Perawan Lola 3
Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 3
Wiro Sukro makin menjadi serba salah mendengar kata-kata dua orang kakek ini. Sesungguhnya sudah bulat tekadnya untuk hidup tenang di desa Karangpandan dengan isterinya yang masih muda ini, sebelum bertemu dengan menak Kunjono dan
Aras Pepet.
Akan tetapi sekarang pendapatnya itu menjadi goyah dan terpengaruh oleh kata-kata kakek itu, ia menjadi malu kalau disebut pengecut dan lari dari kewajiban membela wilayah timur.
Inilah perujutan dari "takut".
Takut akan sesuatu!
Takut akan nama baik tercemar.
Takut akan kedudukan.
Takut akan jabatan
Takut dihina dan ditertawakan orang.
Mengapa kita manusia yang hidup di dunia ini, mengenal apa yang disebut "takut" itu?
Takut yang bermacam-ragam di dunia ini?
Salah satu sebab utama rasa takut ialah bahwa kita tak mau menghadapi diri kita sendiri dalam keadaan sebenarnya. Maka di samping kita perlu menyelidiki ketakutan ketakutan itu sendiri, kita harus pula menyelidiki jaringan pelarian-pelarian yang telah kita perkembangkan untuk melenyapkan ketakutan-ketakutan dari diri kita. Bila jiwa, termasuk di dalamnya otak kita, berusaha mengatasi ketakutan, menindasnya, mengontrolnya, merobahnya menjadi benda-benda lain, maka timbullah pergeseran, timbullah pertentangan. Sedang pertentangan itu sendiri memboroskan energi.
Maka yang perlu dan pertama-tama harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, ialah apakah rasa takut itu dan bagaimana pula timbulnya?
Apakah yang kita maksudkan dengan kata takut itu Sendiri?
Yang kutanyakan kepada diriku sendiri itu, ialah apa sebenarnya takut itu, dan bukan apa yang kutakuti,Soalnya kita 'ini hidup dengan satu cara tertentu. Aku berpikir dalam satu pola tertentu. Aku punya beberapa kepercayaan dan
dogma tertentu dan aku tak mau bila pola-pola hidup ini terganggu, karena aku telah berurat berakar di dalamnya.
Maka aku harus mau tahu tentang apa yang mungkin terjadi di hari kemudian atau yang mengkhawatirkan tentang kemungkinan tertimpanya diriku oleh sesuatu hasil masa lampau. Akibatnya aku takut akan masa lampau dan hari depan. Aku telah membagi-bagi waktu menjadi masa lampau dan hari depan. Akibatnya masuklah pikiran yang berkata,
"Hati-hatilah jangan sampai hal itu terjadi lagi! Hari depan mungkin berbahaya untukmu. Sekarang engkau mempunyai sesuatu tetapi engkau mungkin kehilangan itu. Atau engkau mungkin meninggal esok hari, dan isterimu mungkin lari. Atau mungkin esok hari engkau kehilangan jabatanmu. Dan engkau tak pernah bisa terkenal."
Ya, oleh pikiran ini, terjadilah rasa takut. Karena pikiran telah mengalami itu. Dan pikiran menciptakan ketakutan tentang sesuatu.
Tetapi apa bila tidak memikirkan itu, mungkinkah ada yang disebut takut itu dalam diriku?
Jadi jelas bahwa rasa takut itu adalah hasil dari pikiran. Karena pikiran membagi waktu yang lampau dan yang akan datang. Akan tetapi tentu saja aku tak dapat hidup tanpa pikiran dan ingatan. Sebab itu adalah satu-satunya alat yang aku miliki untuk mengadakan hubungan dan mengerjakan tugas-tugas kewajiban untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu kita harus pandai menggunakan pikiran yang kita perlukan ini. Dan kita ini baru mampu mengamati pikiran itu, apa bila jiwa kita ini tenang. Dengan jiwa yang tenang, ketakutan itu akan berakhir.
Seperti halnya Wiro Sukro sekarang ini. Ia dalam ketakutan. Ketakutan akan hari depan tidak mempunyai keturunan, dan ketakutan apa bila dirinya kehilangan nama sebagai pejuang yang gigih melawan Mataram. Mengakibatkan jiwanya tidak tenang. Jiwa yang tidak tenang, menimbulkan kebimbangan dan pertentangan. Maka ia merasa serba salah, dan menjadi bingung apa yang akan dilakukan. Hingga tidak dapat memutuskan secara tegas.
Melihat keraguan Wiro Sukro itu, Ratmi menjadi tidak senang. Ia tidak kuasa menahan perasaannya lagi. Katanya,
'Kakang, aku tidak ingin mempengaruhi pendapatmu! Jika kakang memang ingin berperang, silahkan engkau berperang dan janganlah engkau memikirkan aku lagi. Kakang aku mengerti bahwa kehadiranku di sampingmu, hanya menjadi beban dan memberatkan hatimu. Maka biarlah mulai saat sekarang, kita berpisah. Kita menempuh jalan masing-masing, dan selamat tinggal......"
Tetapi walaupun Ratmi berusaha menekan perasaannya, tidak urung air matanya mengalir dari sudut matanya. Ia melangkah pergi dengan terisak isak. Hati perempuan ini sedih bukan main. Karena harapannya menjadi buyar tidak karuan lagi.
Untuk sejenak Wiro Sukro kebingungan. Ia mengangkat kepala memandang ke arah Ratmi pergi. Kemudian beralih memandang kepada Menak Kunjono dan Aras Pepet. Tetapi mendadak Wiro Sukro seperti disengat oleh kalajengking. Ia meloncat bangkit sambil berseru,
"Ratmi.....! Tunggu! keputusanku tidak berubah. kita pulang ke Karangpandan!"
Ucapan Wiro Sukro mantap. Membuktikan lakilaki ini telah dapat menentukan pilihannya, dan tak mungkin bisa dirubah lagi. Kemudian sambil berdiri, ia mengamati kepada Menak Kunjono dan Aras Pepet, lalu berkata,
'Saudara Kunjono dan Pepet! Menyesal aku tidak dapat membantu Giri maupun membantu Belambangan. Aku sudah tua dan ingin hidup tenang tanpa memikirkan urusan perjuangan lagi. Maafkan aku, dan aku berharap pula agar kalian dapat mengatasi Mataram."
Tanpa menunggu jawaban dua orang kakek itu, Wiro Sukro sudah melompat kemudian memburu isterinya yang sudah agak jauh pergi.
Dalam penasaran dan keputusasaannya, Ratmi tadi sudah berlarian cepat, dengan maksud segera pergi jauh dari Wiro Sukro. Akan tetapi begitu mendengar teriakan suaminya. Ratmi menghentikan langkah dan menunggu. Hati perempuan ini menjadi gembira. Maka begitu suaminya menyusul, tanpa malu lagi Ratmi sudah menubruk, memeluk erat lalu menyembunyikan muka yang basah itu ke dada suaminya. Wiro Sukro amat terharu. Iapun memeluk dan tangan kanannya sudah terangkat, mengusap
rambut isterinya sambil berkata halus.
"Ratmi, jangan menangis. Tidak seorangpun dapat
menghalangi maksud kita untuk hidup tenang di kampung halamanku."
Tetapi justeru oleh ucapan suaminya ini, Ratmi menjadi terbaru dan makin menjadi tangisnya.
Mendadak terdengar suara Menak Kunjono yang terkekeh,
"Heh-heh-heh, tidak tahu malu! Jika engkau akan berkhianat, tentu saja akulah orang pertama yang akan menghancurkanmu!"
Sambil berkata demikian, dua orang kakek itu sudah melangkah lebar menuju ke tempat Wiro Sukro dan Ratmi berdiri berpelukan.
Terkesiap Wiro Sukro mendengar ucapan Menak Kunjono yang penuh ancaman itu. Akan tetapi ia menjadi tersinggung dan marah pula, karena merasa kebebasannya terancam.
Ia boleh menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri, mengapa tahu-tahu dituduh sebagai pengkhianat?
Lalu bagaimanakah orang yang tidak berkhianat itu?
Kalau demikian halnya, perjuangannya yang sudah puluhan tahun lamanya itu, hilang begitu sajakah, karena ia memilih jalan hidup sebagai manusia biasa, yang ingin hidup tenteram dengan keluarganya?
Ia tidak mengharapkan jasa. Namun demikian orang harus berlaku adil terhadap dirinya.
Apa, yang terjadi atas diri Wiro Sukro ini, memang banyak terjadi di dunia yang ramai ini .Jerih payah dan pengorbanan yang puluhan tahun lamanya, bisa hancur dalam waktu yang hanya sekejap, kalau seseorang telah menuduh "berkhianat". Masalah ini sudah merupakan kebudayaan. Lalu orang menelan dan ikut-ikutan saja. Tetapi sudah
tentu semua ini erat hubungannya pula dengan dorongan yang kuat dari "si aku" . Maka selama "si aku" ini oleh setiap orang ditempatkan paling depan, demi kepentingan "si aku", selama itu pula sesuatu yang tidak adil berlangsung terus. Orang bisa dengan gampang mengucapkan "adil". Tetapi pelaksanaan itu sendiri yang amat sulit. Sebab adil dan adil ada dua macam.
Adil untuk yang mana?
Adil untuk kepentingan bagian besar dari manusia yang hidup di dunia ini, ataukah adil untuk beberapa gelintir manusia yang kebetulan berkuasa?
Wiro Sukro amat marah sekali dituduh sebagai "pengkhianat " ini. Namun demikian ia masih menekan kemarahannya itu, karena dirinya sadar berhadapan dengan bahaya. Wiro Sukro sadar bahwa tingkat kesaktiannya seimbang saja dengan dua orang kakek itu. Masih mending kalau berhadapan seorang lawan seorang, walaupun ia sulit memperoleh kemenangan, akan tetapi ia juga tidak mudah dikalahkan. Padahal ia sudah mengenal bagaimanakah watak dan tabiat dua orang kakek itu. Mereka takkan merasa malu lagi untuk kemudian maju mengeroyok, apa bila keadaan memaksa.
Namun sebaliknya, apakah dirinya harus mengalah begitu saja orang menekan dan memaksakan kehendak sendiri, tanpa mengingat kepentingan orang lain?
Tentu saja tidak!
Untuk membela diri dan merasa dirinya pada pihak benar, apapun yang terjadi akan ia hadapi penuh rasa mantap.
Wiro Sukro tersenyum getir. Jawabnya,
"Saudara Kunjono dan Pepet! Jangan sembarangan menuduh orang. Aku berkhianat kepada Siapa?"
"Heh-heh-heh. engkau pura-pura tolol!" ejek Aras Pepet.
"Kalau engkau lari dari kewajiban, itulah yang disebut berkhianat! Mataram berbuat sewenang-wenang. Apakah engkau membiarkan begitu saja? Sampai di manakah kegagahanmu yang selama ini dikenal sebagai pejuang menentang Mataram?"
"Hem,"
Wiro Sukro mendengus dingin sambil melepaskan pelukan Ratmi, dan mendorong perlahan agar isterinya itu menyingkir agak jauh.
"Aku ingin bertanya padamu, apakah yang kamu lakukan selama ini, merupakan pencerminan dari hati dan jiwamu ?"
"Heh-heh-heh, tentu saja! Sejak dahulu sampai sekarang aku dan kakang Kunjono tak pernah berubah. Sebagai pejuang yang menentang Mataram dengan gigih! Hayo, tanyakanlah kepada semua orang gagah di wilayah timur ini. Siapa yang dapat mencela Aras Pepet dan Menak Kunjono?"
"Aku!" bentak Wiro Sukro lantang.
"Engkau menepuk dada sebagai pejuang yang gigih, dalam usaha menutupi borokmu. Heh-heh-heh, engkau hidup sebagai hamba Adipati Belambangan. Maka engkau mempunyai kepentingan langsung dengan timbul dan runtuhnya Belambangan. Bukankah begitu ?"
Tertegun Aras Pepet mendengar ucapan orang yang tepat itu. Kenyataannya mereka memang merupakan hamba dari Adipati Belambangan. Dan Adipati Belambangan malah sudah menjanjikan kedudukan yang tinggi dan empuk, kalau saja mereka
dapat mempertahankan kedaulatan Belambangan dari ancaman Mataram. Karena kedudukan mereka inilah, maka mereka berusaha membujuk orang orang sakti memperkuat persekutuan melawan Mataram. Bagi mereka, setelah banyak adipati dan bupati yang bertekuk lutut kepada Mataram, menjadi sangat khawatir akan keselamatan Belambangan. Makin banyak adipati dan bupati yang tunduk, berarti Belambangan kehilangan kawan seperjuangan, dan Mataram semakin menjadi kuat.
"Heh heh-heh. apakah engkau bisa menangkis ucapanku ini? Engkau berjuang menentang Mataram karena pamrih. Karena kedudukanmu terancam! Sebaliknya, hayo katakan! Untuk siapa aku berpuluh tahun menyabung nyawa di medan perang melawan Mataram? Aku tidak terikat oleh siapapun. Maka kalau aku sekarang memutuskan untuk menikmati hari tuaku di desa kelahiranku, siapa pula yang bisa memaksa ?"
Tidak terbantah akan benarnya ucapan Wiro Sukro ini. Kedudukan Wiro Sukro dengan mereka memang lain. Akan tetapi, tentu saja dua orang ini tidak mau mengakui semua itu. Dan tentu pula dua orang kakek ini menjadi marah atas jawaban tersebut.
Ya, memang sudah menjadi kebiasaan manusia di dunia ini yang menjadi marah, setiap ditentang dan dilawan. Dan sudah menjadi kebiasaan manusia pula yang membabi buta, tidak perduli lagi akan salah maupun benar. Pendeknya selalu minta menang. Tidak seorangpun di dunia ini yang minta kalah. Benar hanya satu saja yang
abstrak. Yang tidak mempunyai bentuk maupun ujud. Akan tetapi manusia selalu keranjingan berusaha mendapatkan kemenangan itu. Maka kalau yang satu merasa benar, sudah tentu yang satu harus mengaku salah. Tetapi manusia tak pernah mau mengakui kenyataan ini. Dan akibat manusia selalu merasa benar dan berusaha memperoleh kebenaran inilah, maka dunia selalu tidak pernah tenteram. Selalu terjadi pertentangan dan pergolakan. Padahal yang sering disebut benar itu belum tentu benar, sekalipun diakui oleh banyak orang. Dan sering terjadi pula apa yang disebut benar itu bukanlah benar yang Sejati.
Katakan saja, raja ,berbuat suatu kesalahan. Ia merampas milik seseorang kawula (rakyat)nya. Entah berujud benda berharga maupan isteri orang. Padahal jelas bahwa perampasan ini tidak benar, sekalipun hal itu dilakukan oleh raja. Namun para bupati, para punggawa dan juga rakyat yang lain, kalau ditanya oleh raja akan menjawab apa yang dilakukan oleh raja itu benar. Takkan ada seorang pun yang berani menjawab "raja salah '. Sebab orang takut akan akibatnya kalau menjawab "raja bersalah".
Jadi apa yang disebut "benar" oleh banyak mulut itu belum tentu benar yang sejati. Tetapi benar oleh karena "rasa takut" dan oleh "kekuasaan",
Dan karena merasa terpojok dan sulit untuk membela diri itulah, maka Aras Pepet yang berangasan tak kuasa menahan hati. Bentaknya,
"Hai Wiro Sukro! Janganlah engkau membuka mulut sembarangan. Dengar! Pendeknya tidak perduli apapun, akan aku hancurkan kepala orang yang merintangi perlawanan kami kepada Mataram. Dan karena engkau berkhianat terhadap perjuangan, dengan menyesal mulai saat ini, engkau sebagai musuh. Dan engkau kami golongkan sama dengan para begundal Mataram !"
Wiro Sukro ketawa dingin mendengar ancaman itu. Apapun jadinya, ia akan tetap pada pendiriannya. Ia akan pulang ke Karangpandan dan membentuk bebrayan bahagia dengan Ratmi yang amat disayangi itu. Setelah lebih sepekan lamanya sebagai "suami isteri". Wiro Sukro sudah bisa merasakan kecocokan hati dan jiwa dengan Ratmi. Perempuan yang muda ini. ternyata hampir mirip dengan sikap sikap dan watak Wigati,isterinya yang sudah meninggal. Maka kehadiran Ratmi disampingnya itu, merupakan pengisian kekosongan yang amat cocok, yang sulit dicari. .. .
"Aras Pepet!" bentak Wiro Sukro lantang.
"engkau dapat mengancam yang lain, tetapi ancamanmu takkan berlaku terhadap diriku. Kalau engkau kukuh pada pendirianmu, akupun tetap pada pendirianku. Pendeknya orang yang berani mengucapkan kata kata 'khianat', harus menebus kelancangannya itu. Huh, dan siapapun yang berani menghalangi ciracitaku untuk hidup tenteram dengan isteriku, orang itu akan aku hancurkan kepalanya. Nah. engkau sudah mendengar pendirianku dan sekarang mau apa?"
"Uah-ha-ha-ha, congkak benar orang ini!"
Menak Kunjono berkata dengan dingin.
"Apakah
sangkamu engkau sudah tanpa tanding di dunia ini, sehingga tidak mau memandang muka orang lain?"
"Menak Kunjono! Jangan engkau memutarbalikkan kenyataan!" bentak Wiro Sukro yang makin marah.
"Siapakah yang tidak memandang muka orang lain, aku ataukah pihakmu sendiri? Aras Pepet dan engkau yang sudah pikun, mau memaksakan kehendak sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain. Tentu saja aku tidak sudi menuruti kehendakmu itu. Huh-huh, apakah engkau akan mengandalkan jumlah untuk menekan aku??
"Uah-heh-heh-heh, lagakmu makin sombong. Siapakah yang mau mengeroyok engkau? Seorang diripun aku sanggup menghancurkan batok kepalamu!" ejek Menak Kunjono dengan mata yang menyala.
"Ha--ha-ha engkau bilang kami mengandalkan jumlah? Yang mana? Kami hanya dua orang saja. Padahal pihakmupun dua orang. Bukankah ini sudah adil? Masing-masing berhadapan seorang lawan seorang."
Tampaknya ucapan Menak Kunjono ini sudah adil.Namun dalam kenyataannya orang ini cerdik dan licin. Pihaknya yang dua orang itu, tentu saja tidak dapat disamakan dengan jumlah dua orang pada pihak Wiro Sukro. Sebab Ratmi bukanlah tanding mereka yang seimbang. Kalau saja saat sekarang ini yang berada di samping Wiro Sukro itu Wigati, sedikit banyak bisa dikatakan seimbang. Maka benar-benar curang sikap Menak Kunjono sekarang ini.Terang, hanya ingin mencari menang.
Dan tentu saja Wiro Sukro menjadi amat khawatir sekali. Khawatir akan keselamatan Ratmi. Sekalipun Ratmi sudah mempunyai kepandaian lumayan, namun tentu saja berhadapan dengan salah seorang dari kakek ini, ibarat mentimun bermusuh dengan durian. Saking khawatir, ia segera berkata,
"Menak Kunjono! Jangan engkau memaksakan kehendak sendiri secara membabi buta. Persoalan ini merupakan persoalan Wiro Sukro dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet. Maka orang lain tidak termasuk di dalamnya. Huh, sekarang kita tentukan saja untuk membereskan soal kita ini. Kalau engkau memang bersikeras mau main paksa, Wiro Sukro takkan mundur selangkahpun dalam membela pendiriannya. Kamu boleh menentukan sendiri, siapa yang akan maju lebih dahulu melawan aku. Akan tetapi kalau memang kamu gentar menghadapi aku, silahkan sekarang juga maju berbareng."
"Mulut yang lancang!" bentak Aras Pepet menggeledek.
"Huh, biarlah aku yang menghadapi kecongkakan dan kesombonganmu ini."
Begitu selesai berkata, Aras Pepet sudah melangkah maju untuk segera berkelahi. Tetapi hal ini cepat dicegah oleh Menak Kunjono.
"Adi. janganlah engkau lancang terhadap orang tua. Berikan dia padaku, dan engkau boleh menonton apa yang bakal terjadi. Hemm, aku ingin melihat sampai di mana kemampuan orang yang sombong ini."
Aras Pepet tidak berani membantah. Lalu mundur. Menak Kunjono segera melangkah maju, lalu berhadapan dengan Wiro Sukro dalam jarak kira kira tiga meter. Melihat itu Ratmi menjadi amat
cemas dan gelisah .Khawatir kalau suaminya sampai gagal dalam membela diri, dan tewas ditangan dua orang kakek yang mau menang sendiri itu. Diam-diam ia menyesal, mengapa kepandaiannya belum seberapa. Juga ia menyesal sekali, mengapa sebagai "isteri " Sungsang selama lebih kurang satu tahun lamanya, tidak memperoleh kemajuan apa apa. Sungsang yang amat pelit tidak pernah mau memberi kesempatan membimbing ke arah kemajuannya. Akibatnya sekarang ia tidak berdaya sama sekali, dan tidak mungkin dapat membantu meringankan beban suaminya.
Oleh kegelisahannya ini, maka perempuan ini berdiri dengan tubuh yang agak gemetar dan wajahnya pucat.
Kalau sampai terjadi suaminya ,tewas di tangan kakek ini, buyarlah harapannya membalas dendam kepada Sungsang Lalu apakah arti hidupnya selanjutnya? '
Dua orang itu sekarang sudah saling berhadapan dan saling pandang. Masing-masing sudah siap siaga menghadapi setiap serangan. Dan masing-masing menyadari pula bahwa lawan yang dihadapi sekarang ini, tidak dapat dibuat main main. Maka otak masing masing diputar, guna memperoleh daya agar dalam waktu singkat dapat memperoleh kemenangan.
"Heh heh-heh," terdengar Menak Kunjono terkekeh,
"mumpung belum terjadi, sekali lagi aku nasihatkan padamu. Pikirlah dahulu baik-baik. jangan engkau membandel dan keras kepalamu. Dengan berjuang membantu Giri dan Belambangan, berarti engkau masih akan tetap hidup dan dapat
memadu kasih dengan isterimu yang masih muda itu. Akan tetapi kalau kau membandel, kemudian engkau roboh dalam tanganku, apakah engkau tidak menyesal dan mati penasaran? Cinta kasihmu dengan isterimu yang masih muda ini belum cukup lama. Dan betapa sedih isterimu ini, jika engkau tinggal mampus?'
Tentu saja kata-kata yang penuh ejekan ini makin memanaskan perut Wiro Sukro. Maka bentaknya menggeledek,
" Huh-huh, engkau sendiri yang sudah hampir mampus, masih banyak mulut dan banyak tingkah! Nih, sambutlah pukulanku! "
Wiro Sukro sudah melompat ke depan dan benar benar membuka serangannya. Tangan yang kiri dengan jari terkepal menyambar ke arah kepala lawan. Namun sebenarnya pukulan ini hanyalah gertak pancingan. Sedang serangan yang sebenarnya adalah tangan kanan, yang jarinya terbuka dan melengkung membentuk cakar garuda. Jari tangan yang melengkung membentuk cakar garuda ini amat berbahaya. Bagian tubuh yang berhasil dicengkeram tentu akan hancur remuk dan paling sedikit si korban akan menderita luka amat parah.
Namun serangan ini hanya disambut dengan ketawanya yang terkekeh oleh Menak Kunjono. Sebagai seorang bekas sahabatnya, tentu saja Menak Kunjono sudah amat kenal dengan tipu serangan ini. Maka ia membiarkan tinju kiri Wiro Sukro itu menyambar kepalanya, dan ia hanya menekuk tubuhnya sedikit. Akan tetapi ketika tangan kanan yang membentuk Cengkeraman itu mengarah
perut, dengan gerakan yang amat cepat ia menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan, adapun tangan yang kanan Sudah melayang seperti kilat menghantam dada lawan.
Tentu saja Wiro Sukro takkan membiarkan dadanya termakan oleh tinju lawan. Ia mengurungkan serangannya, menarik tangan dan diganti dengan tendangan kaki kanan kearah tangan Menak Kunjono yang menyeleweng menghantam dadanya.
"Heh-heh heh. bagus! Sebelum engkau mampus, sebaiknya engkau berpamit dahulu kepada isterimu yang muda itu, sambil memeluk dan berbiSik ! " ejek Menak Kunjono sambil menarik tangannya.
Sepasang mata Wiro Sukro seperti menyala saking marahnya. Ia tidak membuka mulut, hanya segera melancarkan serangannya lagi ,yang lebih dahsyat. ia sadar bahwa sedikit banyak lawannya ini sudah mengenal ilmu tata kelahinya. Maka untuk memperoleh kemenangan, ia harus menggunakan ilmu rahasia yang belum dikenal oleh Menak Kunjono. Akan tetapi sebaliknya, iapun sedikit banyak telah mengenal ilmu tata kelahi Menak Kunjono. Untuk itu ia dapat bersiap siaga setiap menghadapi serangan lawan.
Dalam waktu singkat dua orang bekas sahabat ini telah berkelahi sengit dan mati-matian. Persahabatan yang telah berlangsung puluhan tahun itu, dalam waktu yang singkat telah berubah menjadi musuh bebuyutan. Kebaikan yang telah dipupuk bertahun-tahun. dalam sekejap mata telah berusaha
saling membunuh. Hal-hal yang seperti ini memang banyak sekali terjadi di dunia ini. Dan semua itu bisa terjadi, bukan lain karena masing-masing menempatkan si aku di paling depan. Si aku yang ingin selalu diturut apa yang dikehendaki ini, menjadi marah apa bila ditentang. Dan si aku selalu minta diistimewakan dalam segala persoalan. Selama si aku merajalela dan menonjol di paling depan, selama itu pula orang akan mendekatkan diri dengan pamrih untuk keuntungan sendiri. Maka apa bila orang merasa dirugikan atau dikurangi keuntungannya, orang akan segera menggunakan kekerasan untuk memaksakan pamrihnya itu.
Memang tidak akan pernah terjadi perubahan pada si aku ini, selama manusia tidak mau mengadakan pengamatan dan mawas diri. Karena kepentingan untuk diri sendiri di atas segala-galanya. Persahabatan akan segera berubah menjadi musuh bebuyutan. Keluarga sendiri bisa akan dimusuhi pula. dan tentu saja dalam segala hal ,dirinya sendiri yang merasa benar, sedang orang lain salah!
Kapankah dunia ini terdapat perdamaian dan ketenteraman selama manusia masih menonjolkan "aku." nya ini?
Istilah perdamaian berubah menjadi istilah yang latah dan tiada harganya sama sekali. Perdamaian tidak mungkin datang sendiri, tanpa diusahakan oleh manusia sendiri penuh tanggung jawab.
Dan sungguh menyedihkan apa yang terjadi sekarang ini, antara Wiro Sukro dengan Menak Kunjono. Mereka berkelahi sengit sekali, dan masing-masing berusaha memperoleh kemenangan.
Mereka menguras seluruh kepandaian dan memeras semua tenaga.
Apa yang disebut menang hanya satu, manakah mungkin bisa diraih oleh dua orang?
Aras Pepet mengamati perkelahian sengit itu dengan tenang saja. Sebab ia amat percaya, bahwa kakak seperguruannya akan sanggup mengatasi lawan. Sebaliknya, Ratmi yang menyaksikan perkelahian sengit itu dengan tubuh yang gemetaran. Terkadang pula perempuan ini mendekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan, dalam usahanya menahan jerit ketakutan apa bila melihat suaminya terdesak atau terhuyung oleh sambaran angin pukulan lawan. Perempuan ini gelisah bukan main dan yang berkecamuk memenuhi dadanya hanyalah takut kalau suaminya roboh kalah.
Tiba-tiba timbul niat dalam hati Aras Pepet untuk mempercepat waktu mengalahkan Wiro Sukro. Untuk melaksanakan maksudnya itu tidaklah sulit. Apa bila perempuan yang masih muda itu ia tangkap, Wiro Sukro tentu akan lumpuh semangatnya, dan akhirnya akan tunduk kepada kemauannya.
Memperoleh pikiran demikian. segera pula ia laksanakan, ia sudah melompat jauh, kemudian sudah menubruk untuk menangkap Ratmi. Aras Pepet memang orang yang sembrono. Kakek ini menduga bahwa Ratmi hanyalah seorang perempuan desa biasa yang tidak mengenal akan ilmu tata kelahi. Oleh sebab itu dalam geraknya untuk menubruk dan menangkap itu, Aras Pepet hanya sembarangan saja.
"Aduhh..!"
Aras Pepet memekik kaget, ketika tubrukannya luput, sebaliknya kaki Ratmi malah menyambar kepalanya.
Sesungguhnya sambaran kaki yang kecil itu, tidak mengakibatkan apa-apa bagi kepalanya. Akan tetapi sebagai seorang yang merasa dirinya sakti, peristiwa ini merupakan suatu hinaan yang harus ditebus dengan nyawa. Maka kalau semula ia hanya bermaksud untuk menangkap dan menawan Ratmi untuk dijadikan jaminan supaya Wiro Sukro menyerah, maksud itu sekarang telah berubah. Timbullah nafsunya untuk membunuh perempuan ini.
"Kurang ajar! Apakah engkau ingin mampus?" sambil membentak Aras Pepet sudah mengembangkan dua lengannya.
Begitu bergerak, segera terdengar suara tulang yang gemerotok. Membuktikan bahwa latihannya tentang tenaga sakti sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya. Ia menyalurkan tenaga sakti itu ke tangan. Maksudnya sekali serang akan bisa membunuh perempuan itu,
Tentu saja Ratmi takkan mau menyerah dicelakakan orang. Walaupun ia sadar bahwa kakek ini bukanlah lawannya namun dengan segenap kemampuannya, ia akan berusaha untuk memberikan perlawanan. Sebagai seorang bekas murid wanita Perguruan Tuban, iapun memiliki keberanian berhadapan dengan lawan yang manapun. Dan ia mempunyai harga diri pula, maka apapun yang akan terjadi, ia takkan begitu saja mau dihina orang. Akan tetapi karena sadar menghadapi lawan yang kepandaiannya jauh di atas dirinya. maka Secepat
kilat ia Sudah mencabut pedangnya dan langsung disabatkan. ketika dua tangan Aras Pepet berusaha untuk mencengkeram tubuhnya.
"Bagus, heh heh heh, engkau bisa main pedang? "
Aras Pepet malah terkekeh gembira ketika terpaksa menarik lengannya menghindari sambaran pedang lawan.
Apa yang telah terjadi atas diri Ratmi, didengar pula oleh Wiro Sukro. Diam diam ia cemas bukan main, karena tahu bahwa Ratmi bukanlah lawan Aras Pepet. Namun karena mengingat bahwa dirinya sendiri sekarang berhadapan dengan bahaya, ia tak mau membagi perhatian. Apa pula diam diam iapun sudah mengenal akan watak Aras Pepet maupun Menak Kunjono. Maka dalam hati ia sudah menduga bahwa apa yang di lakukan oleh Aras Pepet memang disengaja. guna mengacau ketenangannya melawan Menak Kunjouo. Sadar akan bahaya yang dihadapi, maka walaupun ia tahu Ratmi berhadapan dengan bahaya, Wiro Sukro tidak berani memalingkan mukanya, ia terus melancarkan pukulan-pukulannya yang berbahaya.
Ratmi sudah menggerakkan pedangnya, memilih jurus yang ia anggap paling hebat. Namun serangan -serangannya itu dengan mudah dapat dihindari oleh Aras Pepet sambil ketawa terkekeh mengejek. Hal ini tentu saja memanaskan perut Ratmi, maka sambil menguatkan hati ia terus menyerang, dengan dahsyat.
"Heh-heh'heh, permainan pedangmu masih jelek. Huh, tidak pantas engkau pamerkan di depan
Aras Pepet!" ejek Aras Pepet sambil terkekeh.
Sejenak kemudian, terdengarlah bentakan Aras Pepet,
"Lepas! Tring..... aihhh......"
Ratmi menjerit kaget ketika pedangnya disentil oleh Aras Pepet kemudian terpental terbang. Sekalipun ia merasakan lengannya seperti lumpuh dan sudah tidak bersenjata lagi, namun Ratmi tak juga mau menyerah. Dengan tangan kosong ia masih bernafsu untuk melawan.
Tetapi justeru pekikan Ratmi tadi, merugikan Wiro Sukro. Begitu mendengar pekikan tersebut, Wiro Sukro tak kuasa menahan hati untuk tidak memalingkan mukanya ke arah isteri yang dikasihi itu. Ia menjadi agak tenang hatinya, ketika tahu Ratmi tidak menderita sesuatu. Namun sekalipun hanya sedetik Wiro Sukro membagi perhatian, kesempatan itu tidak disia siakan oleh Menak Kunjono. Tokoh Belambangan ini membentak nyaring sambil menggunakan tangan kanannya untuk memukul dada. Wiro Sukro telah berusaha untuk menghindari sambaran pukulan lawan itu dengan tangkisan tangan kiri. Akan tetapi sungguh celaka, ternyata pukulan tangan kanan itu hanya pancingan. Secepat kilat tangan kiri Menak Kunjono sudah menyambar.
"Buk!' 'pundak kanan Wiro Sukro terhantam telak sekali.
Tubuh Wiro Sukro terpental lalu sempoyongan, pandang matanya gelap dan bumi serasa berputar. Ia masih berusaha mempertahankan diri akan tetapi gagal. Dan akhirnya, tokoh Karangpandan ini roboh di atas tanah.
Melihat itu Ratmi amat kaget. ia memekik nyaring.
"Ohh..... kakang...,.. !"
Dan tak perduli apapun lagi, Ratmi sudah melompat meninggalkan Aras Pepet untuk menghampiri suaminya.
"Heh-heh-heh, robohlah!"
Aras Pepet tak mau memberi kesempatan kepada Ratmi untuk dapat mendekati Wiro Sukro. Tangan kanannya bergerak, lalu melancarkan pukulan jarak jauh. Saking penasaran, sudah timbul niatnya untuk menghabisi nyawa perempuan itu, agar Wiro Sukro tidak bercabang pikir kepada perempuan itu lagi.
"Manusia keji!" tiba tiba terdengar bentakan nyaring tetapi halus. Belum juga lenyap suara bentakan yang nyaring halus itu. Aras Pepet memekik kaget dan sempoyongan mundur. Wajahnya mendadak pucat dan dadanya tersengal-sengal.
Apa yang terjadi?
Pukulan jarak jauhnya yang dilancarkan ke arah Ratmi itu, ternyata tertangkis oleh pukulan yang amat dahsyat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, justeru tenaga pukulannya itu membalik lalu menghantam dirinya sendiri.
Itulah sebabnya maka tiba-tiba Aras Pepet mundur sempoyongan. wajahnya pucat dan dadanya tersengal sengal. Sebab pukulan jarak jauhnya itu, membuat dadanya sesak. Masih untung Aras Pepet tadi dalam melancarkan pukulan jarak jauhnya membatasi tenaganya. Kalau saja ia tadi menggunakan tenaga sepenuhnya, Aras Pepet akan menderita lebih hebat lagi.
Menak Kunjono yang ketika itu sudah akan melancarkan pukulannya lagi kepada Wiro Sukro
yang sudah roboh di tanah, terpaksa ia tahan, dan kaget ketika melihat Aras Pepet sempoyongan mundur. Lebih kaget lagi kakek ini, ketika yang muncul di tempat itu hanyalah seorang gadis yang masih muda sekali. Seorang bocah yang wajahnya amat cantik, sikapnya tenang dan gerak-geriknya amat halus. Maka Menak Kunjono hampir tidak percaya akan peristiwa yang baru terjadi, Aras Pepet harus sempoyongan mundur.
"Bocah, siapa kau, berani lancang mendekati tempat ini? Apakah engkau sudah bosan hidup?" bentak Aras Pepet yang berusaha menutupi rasa kagetnya.
"Hi-hi-hik, tentang 'siapa aku dan mengapa pula berani datang di tempat ini. engkau tidak perlu repot. Dan jika engkau bertanya apakah aku sudah bosan hidup, tentu saja aku belum bosan. Aku masih ingin hidup seratus tahun lagi !"
Jawaban yang seenaknya sendiri itu, barang tentu membuat Aras Pepet marah bukan main. Bentaknya,
" Kurang ajar! Jika engkau tak lekas enyah dari sini, jangan salahkan aku kalau salah tangan memukul hancur kepalamu."
"Hi-hihik, kepala siapa? Kepalamu?" sahut gadis ini sambil cekikikan.
Gadis muda ini bukan lain adalah Titiek Sariningsih. Sesungguhnya ia tidak ingin mencampuri urusan pribadi Wiro Sukro dan dua orang kakek tokoh Belambangan ini. Maka ia tadi enak-enak saja duduk nongkrong di atas dahan pohon. Akan
tetapi setelah ia melihat kecurangan Aras Pepet yang
bermaksud mau menangkap Ratmi, bocah ini menjadi tidak senang. Ia segera melompat turun dari dahan, kemudian berindap-indap mendekati tempat pertempuran. Maksudnya tidak lain, akan melindungi keselamatan perempuan itu.
Sebagai seorang perempuan pula, ia cepat tidak senang dan tidak rela pula kalau ada seorang perempuan dihinakan lakilaki. Maka laki-laki yang bermaksud menghina perempuan itu, sudah selayaknya pula kalau ia ajar adat.
Di samping ia tidak rela Ratmi dihinakan orang itu. sesungguhnya Titiek Sariningsih merasa penasaran pula atas sikap Menak Kunjono dan Aras Pepet yang mau menang sendiri. Orang mempunyai kebebasan memilih hidupnya.
Mengapa dua orang kakek ini mau mengatur dan malah menggunakan kekerasan pula?
Sekarang dengan sikapnya yang tenang Titiek Sariningsih sudah berdiri menghadapi dua orang kakek itu, untuk melindungi keselamatan Wiro Sukro dan Ratmi. Sebagai seorang yang telah menguasai ilmu tinggi, sekali pandang ia sudah tahu bahwa Wiro Sukro tak mungkin lagi dapat melanjutkan perkelahian itu. Ia tahu bahwa pundak kanan Wiro Sukro patah tulang oleh pukulan Menak Kunjono. Sedang isi dadanya tentu terguncang dan menderita luka dalam. Maka apa bila ia tidak cepat bertindak dan melindungi keselamatan suami isteri ini, sulit diharapkan Menak Kunjono dan Aras Pepet mengampuni jiwanya. Entah mengapa sebabnya, pendeknya ia merasa tidak tega kalau suami isteri
yang masih merupakan pengantin baru ini, harus celaka ditangan dua orang kakek itu.
Wiro Sukro yang masih menggeletak di atas tanah dengan dada yang sesak, mengamati bocah itu dengan hati yang amat tegang dan khawatir. Karena itu ia segera memaksa diri untuk bangkit dan duduk. Sedang Ratmi yang wajahnya pucat, memeluk punggungnya untuk membantu agar suaminya dapat duduk tegak.
"Anak muda," kata Wiro Sukro sambil menahan sesak dadanya,
"siapakah engkau ini? Dan mengapa pula sebabnya engkau berusaha untuk melindungi aku? Uh-uhuh......, anak muda..... aku sudah tua. Aku tak takut mati membela pendirianku.Akan tetapi, hemm, sungguh sayang dan aku akan mati penasaran, kalau engkau yang muda harus berkorban untuk aku. Anak, dengarlah kataku. Pergilah engkau dan biarkan mereka berbuat sesuka hati kepadaku...... yang sudah tidak berdaya.... ini.....! "
Titik Sariningsih memalingkan mukanya sambil cekikikan.
"Paman, hi-hi-hik, terima kasih atas perhatianmu padaku. Akan tetapi legakan hatimu, dan beristirahatlah engkau dengan tenang dijaga oleh isterimu yang setia. Pendeknya untuk melawan dua keledai tua ini, apakah sulitnya?"
Wiro Sukro mengerutkan alisnya dan kurang senang atas Sikap gadis yang menyombongkan diri, dan merendahkan Menak Kunjono dan Aras Pepet itu.
Akan tetapi karena dirinya sekarang dalam keadaan terluka, tulang pundaknya patah dan sakitnya bukan main, ia menahan diri dan ingin melihat, apakah kepandaian gadis muda ini sesuai dengan kesombongannya?
Tetapi sekalipun demikian, dalam hatinya timbul pula rasa yang berdosa kalau gadis muda ini harus mengorbankan nyawanya untuk membela dirinya.
Lebih-lebih bagaimanakah ia harus menjawab, kalau mendapat teguran dari guru gadis ini?
Saking tak kuasa menahan perasaannya, Wiro Sukro berkata lagi,
"Anak, jika sudah menjadi tekadmu, manakah aku dapat menghalangimu? Tetapi, aku minta kerelaan hatimu, agar engkau memperkenalkan namamu dan gurumu."
"Paman, aku yang muda ini bernama Titiek Sariningsih," sahut Titiek Sariningsih ramah.
"Akan tetapi tentang siapa guruku, maafkan aku! Tak dapat aku memperkenalkan nama guruku itu."
"Hemm, terima kasih anak Titiek Sariningsih, engkau sudi mengulurkan tangan dan menolongku. Akan tetapi engkau tidak mempunyai senjata. Apakah tidak sebaiknya engkau gunakan saja pedang isteriku ini? "
Tentu saja Wiro Sukro masih mengkhawatirkan Titiek Sariningsih yang masih berusia muda itu. Dan dalam pada itu, tentu saja Wiro Sukro menduga, bahwa Titiek Sariningsih tidak bersenjata. Sebab pedang lemas Si Buntung melingkar pada pinggang dan tidak tampak dari luar.
Tetapi justeru sikap Wiro Sukro, yang menunjukkan perhatian dan rasa sayangnya ini, membuat Titiek Sariningsih ...terharu, dan makin besar rasa simpatinya.
Sebagai seorang gadis yatim piatu, selama ini hanya lima orang saja, yang memberi kasih sayangnya secara tulus kepada dirinya. Pertama Sindu, kemudian menyusul Ki Ageng Lumbungkerep, Damayanti, lalu ayah dan bunda Damayanti. Terhadap ayah bundanya sendiri, ia masih terlalu kecil ketika itu, sehingga ia belum ingat akan kasih sayang ayah bundanya. Maka Titiek Sariningsih memalingkan mukanya sambil tersenyum. Jawabnya,
"Terima kasih paman, atas perhatianmu. Tentang senjata, aku sudah punya. Yang penting, tenangkan hatimu, biar aku mewakili paman untuk menghajar dua ekor keledai tua ini."
"Kurang ajar! " bentak Aras Pepet menggeledek saking tak kuasa menahan marah.
"Setan kecil, jangan engkau mengumbar mulut sembarangan di depan kakekmu! Apakah engkau memang sudah bosan hidup"? Sekali pukul kepalamu akan hancur. Tahu?"
Titiek Sariningsih sikapnya tetap tenang. lalu ketawa. Sahutnya,
"Hihihik, setan gede! Jangan engkau mengumbar mulut sembarangan di depan nonamu! Apakah engkau memang sudah bosan hidup? Sekali pukul kepalamu akan ambyar. Tahu?"
Melihat sikap dan mendengar jawaban Titiek Sariningsih itu, tak kuasa Ratmi menahan ketawanya yang geli. Sedang Wiro Sukro sekalipun sambil menahan sakit, tertawa juga.
"Nah, rasakan keledai tua! Sekalipun kecil,anak Titiek Sariningsih adalah cabe rawit. Engkau akan babak-belur oleh hajarannya!" saking gemas dan penasaran suaminya terluka,
Ratmi memberanikan diri untuk mengejek.
Titiek Sariningsih cekikikan senang, merasa dibantu oleh Ratmi. Sebaliknya, Menak Kunjono dan Aras Pepet marah bukan main. Saking tak kuasa menahan kemarahannya, Aras Pepet sudah menerjang maju sambil melancarkan pukulannya. Pukulan Aras Pepet ini tidak main-main. Angin pukulannya menyambar amat dahsyat, menyambar ke arah Titiek Sariningsih. Aras Pepet memang sadar, bahwa sekalipun tampaknya lawan ini masih amat muda, akan tetapi ketinggian ilmu, usia muda dan tua bukan ukuran. Tadi ia sudah merasakan sendiri, bahwa pukulannya dapat ditangkis oleh gadis ini, sehingga dadanya terasa sesak. Ingat akan pengalamannya tadi, maka kali ini ia melancarkan pukulan yang lebih dahsyat. Maksudnya, sekali pukul dapat merobohkan bocah ini. Sebab bagaimanapun juga ia merasa malu, sebagai seorang kakek melawan seorang yang pentasnya menjadi cucunya.
Akan tetapi sungguh keliru dugaan Aras Pepet, kalau sekali pukul akan dapat merobohkan Titiek SariningSih. Gadis ini tidak mau melawan keras lawan keras. Ia menjejakkan tumitnya ke tanah, kemudian dengan amat ringan tubuh kecil itu sudah melenting cukup tinggi. Melihat itu Aras Pepet gembira sekali. Ia menduga kalau lawan yang masih bocah ini, tidak berani beradu tenaga. Ejeknya,
"Huh, ajalmu sudah hampir tiba!"
Memang sungguh berbahaya apa yang dilakukan oleh Titiek Sariningsih ini. Tentu saja gadis ini takkan dapat lama bertahan di udara, dan tubuhnya akan meluncur turun. Di saat itulah
Titiek Sariningsih meluncur turun ini, Aras Pepet segera menyambut dengan pukulan yang cukup dahsyat. Tokoh Belambangan ini percaya, bahwa Pukulan susulan ini akan segera dapat mengalahkan gadis itu, kemudian roboh di atas tanah tanpa nyawa.
Pendapat Aras Pepet ini sama dengan pendapat Menak Kunjono yang berdiri menonton. Begitu pula Wiro Sukro yang menjadi amat cemas, wajahnya tambah pucat dan dadanya lebih tersengal lagi. Kalau Menak Kunjono gembira bahwa bocah kurang ajar ini dalam Waktu singkat akan mampus di tangan adiknya, sebaliknya Wiro Sukro menjadi cemas sekali. Kalau gadis yang maksudnya akan menolong dirinya ini sampai mati, ia akan merasa berdosa amat besar sekali. Sebab oleh gara-garanya, gadis muda yang cantik jelita itu harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Berbeda dengan Titiek Sariningsih. Walaupun tubuhnya meluncur turun, ia bersikap tenang saja.Dan ketika angin pukulan Aras Pepet yang dahsyat menyambar, gadis ini tidak memberikan perlawanan. Ia menggunakan tenaga lemas atau tenaga dingin dari Ilmu Tangan Kosong Cleret Taun. Akibatnya tenaga pukulan yang dahsyat itu yang dapat meremukkan batu besar dan menumbangkan pohon, tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap gadis ini.
Pukulan itu lenyap keampuhannya. Dan yang masih menyambar tinggallah angin pukulan yang tidak membahayakan jiwanya. Oleh tiupan angin pukulan yang kuat itu, tubuh Titiek
Sariningsh kembali membal di udara. Di udara
gadis ini kemudian berjungkir balik untuk mematahkan dorongan angin itu. sehingga tubuhnya yang kecil kembali meluncur ke bawah. Akan tetapi begitu meluncur turun, lagi-lagi Aras Pepet mengirimkan pukulannya yang dahsyat. Dan begitu lawan memukul, tubuh kecil itupun kembali membal di udara.
Demikianlah, tampaknya Titiek Sariningsih dalam keadaan yang amat berbahaya, dipermainkan oleh pukulan lawan dari bawah. Akan tetapi yang terjadi sesungguhnya, adalah sebaliknya. Titiek Sariningsih tidak menderita akibat apa apa, oleh tubuhnya yang meluncur turun, dan sedetik kemudian harus membal kembaii. Ia tidak merasa payah sedikitpun, malah seakan-akan ia bermain main di udara.
Tetapi walaupun pukulan Aras Pepet itu tidak menimbulkan akibat apa-ana bagi gadis ini. kalau Titiek Sariningsih tidak dilindungi oleh ilmu sakti, bocah itu akan tersiksa seperti dikocok. Setidaknya perutnya akan menjadi mual dan kepala akan menjadi pening. Katakan saja kalau yang mengalami keadaan seperti ini perempuan yang bernama Ratmi itu, mungkin sudah pingsan atau mati.
Peristiwa yang demikian itu terus berlangsung cukup lama. Setiap tubuh Titiek Sariningsih meluncur turun, akan segera disambut oleh pukulan Aras Pepet yang bertenaga dahsyat. Pada mulanya memang tenaga pukulan itu hanya terbatas saja, karena Aras Pepet mengira bahwa gadis itu tentu tidak dapat bertahan. Akan tetapi setelah beberapa kali terjadi, di udara Titiek Sariningsih masih dapat berjungkir balik, kakek Belambangan ini menjadi penasaran dan amat bernafsu. Ia tidak telaten lagi, kemudian menambah tenaga pukulannya. Angin yang lebih dahsyat menyambar, dan tenaga yang dikirimkan lewat pukulan itupun semakin kuat.
Akibatnya tubuh Titiek Sariningsihpun lebih tinggi lagi membalnya. Dan hal itu, membuat Wiro Sukro yang menonton sambil duduk, makin khawatir bukan main. Kalau saja dirinya sekarang ini tidak menderita luka agak parah, tentu ia takkan dapat membiarkan Titiek Sariningsih dipermainkan seperti itu. Tentu ia sudah menerjang maju guna menolong.
Ratmipun cemas bukan main. Wajah perempuan yang sudah pucat itu, makin tambah pucat lagi. Adapun tubuhnya juga makin gemetaran, mengkhawatirkan keselamatan gadis penolongnya itu. Katanya lirih,
"Kakang, Wiro aduhh. bagaimana dia itu? Aduhh.. .aku khawatir sekali kalau akhirnya dia akan terbanting hancur......"
Wiro Sukro hanya dapat menghela napas, sebab ia sendiri memang amat khawatir.
Tetapi apa daya?
Dirinya sendiri sudah terluka, sedang tenaga Ratmi tidak dapat diperbantukan kepada gadis itu. Karena merasa tidak berdaya itulah, maka yang bisa dilakukan, ia hanya menghibur diri.
'Hemm, mudah-mudahan tidak. Tuhan adalah adil! Aku percaya, orang yang tak bersalah akan memperoleh perlindunganNya......"
"Kakang..... tetapi aku cemas sekali. Kalau dia sampai dikalahkan, tak urung engkau akan celaka......" kata Ratmi setengah meratap, sambil
memandang wajan suaminya yang pucat.
"Tetapi kakang... aku sudah memutuskan. Kalau kakang sampai celaka di tangan dua orang kakek jahat itu .. huh, aku tak mau hidup lagi. Aku...... aku tak dapat hidup tanpa engkau.... kakang. Tentu aku melawan untuk mati,"
Terharu hati Wiro Sukro mendengar pernyataan isterinya itu.Pernyataan kesetiaan seorang isteri kepada suaminya. Maka sambil menggunakan lengan kirinya, Wiro Sukro mengusap rambut Ratmi. Hiburnya,
"Jangan engkau khawatir, isteriku! Percayalah bahwa orang tak bersalah akan memperoleh perlindungan Tuhan."
"Tapi ...." kata-kata Ratmi ini terputus. kemudian Wiro Sukro dan Ratmi memandang ke arah gelanggang perkelahian dengan mata terbelalak heran, hampir tidak percaya apa yang mereka saksikan.
Mereka tadi mendengar pekik nyaring dari mulut Aras Pepet.Dan sekarang mereka melihat bahwa kakek itu sudah roboh, dari mulutnya menyembur darah merah, sedang gadis itu sekarang sudah berdiri tegak di tanah tanpa mengalami suatu apapun. Wajah gadis itu tetap biasa, pernapasannya tidak memburu, sedang bibir yang indah itu menyungging senyum.
Apakah yang telah terjadi?
Ternyata Titiek Sariningsih dapat merobohkan Aras Pepet dalam waktu singkat, karena kecerdikannya. Titiek Sariningsih tadi memang sengaja melenting tinggi di udara. Ia sengaja agar musuh gembira, kemudian menyusuli serangan di saat tubuhnya meluncur turun.Dengan
menggunakan akal yang cerdik ini, Titiek Sariningsih dapat menghemat tenaga, tetapi sebaliknya dapat memeras tenaga lawan tanpa disadari oleh lawan sendiri.
Selama Titiek Sariningsih mengapung di udara dan dipermainkan oleh pukulan bertenaga dari Aras Pepet itu, ia sama sekali tidak menggunakan tenaga, baik untuk menangkis maupun membalas menyerang. Ia membiarkan dirinya dipermainkan, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut. Ternyata pancingannya berhasil. Setelah pukulannya tidak lekas dapat membuat gadis itu pingsan atau tewas, Aras Pepet menjadi amat penasaran dan mengerahkan tenaga untuk melancarkan pukulannya. Oleh pengerahan tenaga yang terus-menerus ini, sudah barang tentu Aras Pepet menjadi kepayahan.
Justeru kesempatan inilah yang selalu ditunggu oleh Titiek Sariningsih. Setelah ia merasakan bahwa tenaga pukulan yang semula dahsyat itu sudah mulai menurun, ia segera tahu bahwa Aras Pepet mulai kehabisan tenaga. Di saat lawan sudah kehabisan tenaga inilah, ia mulai mengadakan pembalasan. Ketika dirinya terayun oleh pukulan Aras Pepet, ia berjungkir balik di udara. Kemudian secara tidak terduga-duga, dan sebelum Aras Pepet sadar akan bahaya, Titiek Sariningsih sudah membalas memukul ke bawah sambil menyalurkan Aji Dahana Muncar ajaran Sindu.
Pengaruh dari Aji Dahana Muncar adalah amat berbahaya. Sebab dahana muncar berarti api yang menyala. Sesuai dengan namanya, maka pengaruh dari aji tersebut amat panas. Maka begitu Titiek Sariningsih melancarkan pukulannya, segera menyambarlah angin pukulan yang sangat panas dan bertenaga.
Kaget Aras Pepet tak terkira, ketika merasakan angin yang amat panas menyambar tubuhnya. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga yang masih ada untuk menangkis. Terjadilah ledakan yang keras, sebagai akibat,bertemunya tenaga pukulan yang sama kuatnya. Akan tetapi ledakan itu segera disusul oleh pekik Aras Pepet yang nyaring panjang. Kakek itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, dari mulutnya menyembur darah segar, dan kemudian robot terguling di tanah.
Apa yang terjadi ini di luar dugaan Menak Kunjbno yang ketika itu menonton. Maka kakek ini tidak sempat berbuat apa-apa. Ia baru kaget dan kemudian melompat ke arah adiknya untuk memberikan pertolongan. Akan tetapi dalam pada itu, secara curang iapun sudah melancarkan serangan dengan pukulan jarak jauh ke arah Titiek Sariningsih yang baru mau melayang turun.
Dalam menyerang ini Menak Kunjono tidak tanggung-tanggung. Ia menggunakan dua tangannya sekaligus. Akibatnya memang hebat sekali. Titiek Sariningsih yang baru akan melayang turun itu, kembali membal di udara amat tinggi. Kalau bukan Titiek Sariningsih yang sudah memperoleh gemblengan Ki Ageng Lumbungkerep, keadaan ini tentu amat berbahaya. Sebab makin tinggi terapung, akan makin cepat pula tenaga luncurannya ke bawah. Kalau di saat meluncur turun ini tidak dapat mematahkan tenaga luncuran itu, niscaya tubuhnya akan terbanting hancur di tanah. .
Di udara Titiek Sariningsih tidak melakukan perlawanan, hingga tenaga pukulan dahsyat yang dilancarkan oleh Menak Kunjono itu tidak berpengaruh apa-apa. Kemudian di udara ia berjungkir balik beberapa kali, sehingga tenaga luncuran ke bawah itu patah dan menjadi lambat. Dan selanjutnya Titiek Sariningsih dapat mendarat dengan tidak mengalami sesuatu .Wajahnya masih tampak biasa, dadanya tidak memburu, malah bibir yang tipis itu tersenyum.
"Setan...!" desis Menak Kunjono.
Ya, hanya setan saja yang tidak menderita sesuatu oleh pukulan Aras Pepet yang berkali-kali, dan oleh pukulannya yang menggunakan dua tangan sekaligus. Diamdiam kakek yang biasanya selain angkuh dan merasa sakti mandraguna itu, menjadi gentar. Jelas walaupun lawan ini masih muda, tetapi lebih berbahaya dibanding dengan Wiro Sukro. Maka ia harus berpikir-pikir seribu kali. kalau harus menggantikan adik seperguruannya untuk melawan bocah ini.
Titiek Sariningsih yang mendengar desis Menak Kunjang itu, cepat bertanya,
"Mana ada setan ? "
"Engkaulah setan!" desis Menak Kunjono geram,
"Engkau setan?" gurau Titiek Sariningsih seenaknya.
Menak Kunjono terbelalak. Ia bermaksud memaki orang sebagai setan. ternyata malah berbalik kepada dirinya Sendiri. Maka kakek ini bersungut sungut untuk tidak mengurangi harga dirinya
"Bocah cilik! Siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pula gurumu? Pantasnya engkau adalah cucuku, maka kurang enak kalau aku harus menggunakan kekerasan terhadap engkau."
Titiek Sariningsih yang pada dasarnya lincah itu, begitu memperoleh kemenangan menjadi lebih lincah lagi .Timbullah keinginannya untuk mempermainkan kakek ini. Jawabnya,
"Bocah gede! Siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pula gurumu? Pantasnya engkau adalah kakekku, akan tetapi tingkah lakumu memang kurang patut. Sungguh celaka kalau ada seorang kakek dihajar oleh cucunya."
Menak Kunjono membanting-banting kakinya saking marah diejek sedemikian rupa. Akan tetapi Titiek Sariningsih malah cekikikan. Ejeknya,
"Aihh. apakah kakimu kumat bubulnya, kek? Mari kalau memang kumat biarlah cucumu memberi obat!"
Sambil berkata, Titiek Sariningsih menendang sebutir kerikil yang berada di depan kakinya. Kerikil itu segera melesat cepat sekali ke arah Menak Kunjono.
"Hemm,"
Menak Kunjono menggeram marah. Namun ia tidak gentar. Malah kemudian timbullah tekadnya untuk melakukan pembalasan kepada bocah ini, agar tidak terlalu congkak sikapnya. Ia tidak menghindar dan menunggu sambaran kerikil yang secepat kilat ke arah dadanya itu. Ia sudah memutuskan untuk menunjukkan kepandaiannya. Maka kerikil yang menyambar itu ia sambut dengan tangan kanan. Maksudnya begitu kerikil itu tertangkap, akan segera ia sambitkan kembali ke arah bocah kurang ajar itu.
"Auhhh......!" tetapi tiba-tiba terdengar pekik nyaring dari mulut Menak Kunjono, sambil berjingkrakan menggunakan sebelah kaki.
Kaki yang kanan ia gantung dan dipegang oleh dua tangan, mulutnya mendesis desis dan dari sudut matanya ke luar air mata.
Apa yang terjadi?
Ternyata kerikil yang tampaknya akan menyambar dada itu, secara tiba tiba arah sasarannya sudah beralih. Di saat sudah menyambar dada itu, secara tiba-tiba arah sasarannya sudah beralih. Disaat sudah menyambar dekat dengan dada Menak Kunjono dan tangan kakek itu sudah terulur, mendadak kerikil itu menukik turun dengan kecepatan tak terduga. Akibatnya tahu-tahu kerikil itu sudah memukul mata kaki. Maka tidak mengherankan kalau kakek itu memekik nyaring sambil berjingkrakan.
Karena mata kaki yang terpukul ini, sakitnya bukan main.
Apa yang terjadi ini, adalah kemahiran Titiek Sariningsih dalam mengatur tenaganya, dari Ilmu Cleret Taun. Akibatnya lawan yang luas pengalaman, dan sudah berusia tua pula, masih pula dapat tertipu.
Titiek Sariningsih cekikikan geli melihat Menak Kunjono berjingkrakan macam itu. Demikian pula Ratmi yang semula tegang dan cemas itu, sekarang ikut terkekeh geli. Hatinya yang merasa lega melihat Titiek Sariningsih tidak menderita sesuatu, membuat Ratmi yang benci kepada kakek itu, ingin sekali ikut mengejek.
"Hi-hi-hik, lucu!"? ejek Titiek Sariningsih.
"Hai bocah gede! Apakah engkau sudah bosan menjadi bocah gede, dan ingin kembali menjadi bocah cilik? hi-hi_hik, permainan yang kaupamerkan sekarang ini, hanya patut dilakukan oleh para bocah cilik."
Mata Menak Kunjono mendelik mengeluarkan sinar api, sedang wajahnya merah padam saking penasaran dan marah.
Siapakah yang tidak menjadi marah, kalau seorang kakek seperti dirinya, dapat diingusi oleh bocah Cilik?
Di samping itu betapa memalukan peristiwa ini, kalau diketahui orang. Aras pepet roboh dalam waktu singkat dan menderita luka parah, sedang dirinya sendiri dalam segebrakan saja sudah menderita kesakitan. Sungguh merupakan pengalaman pahit yang tidak Pernah diimpikan.
Akan tetapi Menak Kunjono bukanlah kakek berangasan seperti Aras Pepet. Bercermin kepada apa yang baru saja dialami,jelas bahwa sekalipun masih muda, lawan ini amat tangguh dan berbahaya. Walaupun ia merasa belum tentu bisa dikalahkan, namun juga belum tentu dirinya dapat mengalahkan.
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah untungnya meneruskan perselisihan yang tidak berarti ini?
Padahal Aras Pepet menderita luka parah dan memerlukan perawatan secepatnya. Maka terpikir oleh kakek ini bahwa sebaiknya hari ini ia mengalah dan pergi. Dan harapannya, kelak kemudian hari masih akan dapat menebus kekalahan yang amat memalukan ini.
Akan tetapi merasa sebagai seorang yang sudah mempunyai nama harum, tentu saja kakek ini menghindarkan diri dari turunnya harga. Ia mendengus dingin.
"Hemm, jangan lekas menjadi congkak anak muda. Menak Kunjoro tidak serendah yang kauduga. Hemm, hari ini biarlah persoalan ini kita anggap selesai sampai di sini. Dan aku tidak akan mengganggu gugat lagi tentang Wiro Sukro. Tetapi, hem. jangan engkau kira bahwa Menak Kunjono gentar berhadapan dengan bocah ingusan macam kau. Hal ini bukan lain karena aku yang tua merasa malu, apa bila harus melayani engkau bermain-main. Betapa. dunia ini akan mentertawakan aku, jika aku harus melayani, kenakalanmu. Bocah, aku mempunyai tugas yang lebih penting. Lain hari masih banyak waktu untuk kita bertemu lagi."
Selesai berkata, Menak Kunjono sudah menyambar tubuh adik seperguruannya, dipanggul pergi cepat sekali. Titiek Sariningsih tidak mengejar. dan hanya mengejek dengan ketawanya yang terkekeh. Bagi Titiek Sariningsih sendiri, memang tidak ingin berpanjang urusan dengan kakek itu. Sebab yang penting bagi dirinya tadi yang terpaksa harus campur tangan, adalah untuk membela keadilan. Ia tida senang terhadap sikap dua orang kakek itu yang mau main paksa kepada orang lain.
Adapun Wiro Sukro dan Ratmi, sulit sekali dilukiskan betapa gembira hatinya melihat kakek itu pergi, dikalahkan oleh seorang bocah saja. Mau rasanya mereka mencium telapak kaki bocah itu.
justeru oleh pertotongannya,nyawa mereka bisa selamat. Akan tetapi di samping rasa gembiranya, wiro Sukro juga heran berbareng kagum.
Murid siapakah bocah ini, justeru masih begitu muda sanggup menundukkan tokoh kawakan dari Belambangan itu?
Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mana mungkin ia percaya? .
Wiro Sukro memaksa diri untuk bangkit, ditolong oleh Ratmi. Maksudnya, orang tua ini akan menghampiri tempat Titiek Sariningsih berdiri, dan akan mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi belum juga Wiro Sukro yang memaksa bangkit berdiri dengan menahan sakit itu berhasil, Titiek Sariningsih sudah berteriak,
"Hai paman! Jangan engkau memaksa diri. Karena engkau sendirilah yang akan menderita rugi."
Wiro Sukro sendiri memang sadar, terlalu memaksa diri dalam keadaan luka yang cukup parah seperti yang diderita sekarang, bisa mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Maka setelah mendengar peringatan itu, perlahan-lahan ia kembali duduk.
( Bersambung jilid 4 )
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 4
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://cerita-silat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung ")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 4
******
DENGAN gerakan ringan Titiek Sariningsih telah menghampiri. Titiek Sariningsih mengambil obat kering dari dalam simpanannya, lalu diangsurkan kepada Ratmi.
"Bibi, nih simpanlah yang-dua butir. Adapun yang sebutir, tolong masukkan dalam mulut paman agar deritanya berkurang. Nih air untuk mempermudah masuknya obat."
Sambil berkata, Titiek Sariningsih memberikan tempat air kepada Ratmi. Perempuan ini mengangguk dan segera melaksanakan perintah bocah itu. Adapun Wiro Sukro tanpa bicara, sudah menurut pula.
"Paman, mudah-mudahan dengan tiga butir obat untuk tiga hari, engkau sudah sembuh. Tapi, eh, tulang pundakmu patah."
Kagum hati Wiro Sukro. Dan orang tua inipun makin hormat kepada bocah ini, yang ternyata awas pula pandang matanya. Ia hanya mengangguk saja, merupakan tanda bahwa apa yang dikatakan Titiek Sariningsih benar.
Dan bocah ini, sudah melompat kemudian mematahkan dahan pohon yang cukupan besarnya. Setelah dipatahkan menjadi dua potong, ia menghampiri Wiro Sukro sambil berkata,
"Paman, bolehkah aku menolongmu untuk menyambung tulangmu yang patah?"
Amat terharu hati tokoh Karangpandan ini, mendengar ucapan yang penuh sopan dan ramah itu. Jelas, sekalipun tanpa diminta, ia akan menyambut dengan senang hati. Namun gadis ini, masih menggunakan basa-basi. Maka ia mengangguk, jawabnya menggeletar,
"Anak, engkau baik sekali. Aku yang tua ini, sulit sekali untuk berkata bagaimanakah aku harus mengucapkan terima kasihku padamu. Bukan saja engkau telah menyelamatkan nyawaku, tetapi juga nyawa isteriku dari kekejaman dua orang kakek tadi."
Titiek Sariningsih tersenyum. Lalu jawabnya,
"Sudahlah paman, janganlah engkau terlalu menyibukkan soal yang tak berarti ini. Kewajiban manusia harus saling tolong tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri."
Gadis ini kemudian berjongkok di belakang Wiro Sukro. Lalu memalingkan muka ke arah Ratmi sambil berkata,
"Bibi, adakah engkau masih mempunyai cadangan kain penutup dada ?"
Sebagai seorang bekas murid Tuban, Ratmi tahu juga maksud bocah ini.
"Hemm, biarlah kulepas kain penutup dadaku ini."
Tanpa menunggu persetujuan Titiek Sariningsih perempuan ini, sudah membuka baju kebayaknya, lalu ia mulai membuka kain penutup dadanya. Kulit yang kuning halus segera tampak amat nyata. Dan...... begitu kain penutup dada lepas. payudara
Ratmi yang montok dan padat itu segera mencuat dari dada ketika kain penutupnya itu lepas. Untung sekali bahwa pada saat ini, tidak ada orang lain yang hadir. Sehingga hal itu tidak menimbulkan sesuatu apa. Titiek Sariningsih hanya tersenyum melihat payudara Ratmi yang semula ditutup oleh kain penutup dada. Yang selanjutnya, Ratmi sudah menutup kembali dengan baju kebayaknya.
"Anak, aku memang sudah tidak mempunyai kain penutup dada yang lain," kata Ratmi.
"Tetapi tidak apa, untuk sementara cukup kututup dengan baju. Bukankah setelah pundak kakang Wiro sembuh, kain penutup dada itu masih dapat aku pergunakan lagi? '
"Begitulah yang seharusnya engkau lakukan, bibi," kata Titiek Sariningsth sambil mulai mengerjakan penyambungan tulang pundak Wiro Sukro yang patah. Namun, diam-diam Titiek Sariningsih senang mendengar jawaban perempuan itu. Membuktikan betapa besar kasih sayang Ratmi kepada Wiro Sukro, sekalipun Wiro Sukro tak bedanya seorang ayah. :
Jari tangan Titiek Sariningsih cekatan dalam usaha mengembalikan tulang pundak yang patah itu. Wiro Sukro menahan sakit oleh pengobatan itu. Sakit hanya untuk sementara, dan ia percaya dalam waktu yang tak begitu lama akan sembuh.
Begitu selesai menolong, Titiek Sariningsih sudah minta diri,
"Paman dan bibi, sekarang semuanya telah selesai, maka pertemuan kita cukup sampai di sini"
"Aihh......."
Wiro Sukro dan Ratmi berseru hampir berbareng saking kaget.
Lalu Wiro Sukro bertanya agak gugup,
"Anak, nanti dulu... mengapa begitu tergesa?"
"Paman, aku harap paman tidak menduga yang tidak tidak," sahut Titiek Sariningsih sambil tersenyum.
" Kalian perlu segera meneruskan perjalanan dan akupun ingin pula meneruskan perjalanan. Tiada pertemuan tanpa perpisahan paman, maka sekarang inipun akan terjadi. Aku yang muda ikut berdoa, agar tak lama lagi kalian segera memperoleh keturunan."
Terbelalak Wiro Sukro dan Ratmi. Kalau bocah ini mengerti soal itu. kiranya sudah agak lama bocah ini hadir. Dengan begitu menjadi lebih jelas lagi, bahwa Titiek Sariningsih bukan hanya secara kebetulan memberi pertolongan. Menduga demikian, hati Wiro Sukro mendadak amat terharu. Mengertilah ia sekarang akan kemuliaan hati bocah ini. Dan betapa amat bahagia hatinya pula, apa bila dapat mengikat hubungan batin dengan bocah ini. Mendadak Wiro Sukro segera memperoleh akal. Katanya halus,
"Anak, apakah engkau ingin menyiksa hatiku yang sudah tua ini?"
Titiek Sariningsih kaget. Ia menghentikan langkah kaki yang sudah meninggalkan suami isteri itu. Tanyanya
" Apakah maksud paman berkata begitu?"
"Anak, nyatalah engkau merupakan alat Tuhan untuk menyelamatkan nyawa kami. Tanpa kehadiranmu, jelas kami tentu mati. Oleh sebab itu
anak, betapa penasaran hatiku apa bila pertemuan dan perkenalan kita sekarang ini, hanya berakhir dengan sesuatu yang kurang berarti......."
Titiek Sariningsih bingung mendengar itu, tak tahu apa maksudnya.
"Apakah maksud paman?"
"Anak..... maafkan aku yang tua ini. Dan maafkan pula apabila yang akan aku kemukakan nanti. tidak sepadan dengan hatimu," kata Wiro Sukro sambil menatap wajah Titiek Sariningsih.
"Anak, tetapi kaubunuhpun aku tak menyesal. Asal saja aku sudah dapat mengucapkan kandungan hatiku ini. Anak, ah... lebih suka aku berdua ini. engkau bunuh saja, dari pada engkau menolong kami kepalang tanggung"
Ratmi heran mendengar ucapan suaminya itu, karena tak tahu maksudnya., Adapun Titiek Sariningsih terbelalak, lalu bertanya,
"Paman, jangan engkau berputar putar dan membuat kepalaku pusing. Katakan terus terang apa maksudmu? Harap engkau tahu bahwa aku orang yang tak suka membunuh orang. Mengapa sampai hati engkau mengucapkan kata-kata itu ?"
Wiro Sukro tersenyum.
"Anak, engkau tahu bahwa aku yang sudah tua ini, belum punya keturunan seorangpun. Isteriku memang masih amat muda, tetapi hal itupun belum merupakan jaminan. aku bakal memperoleh keturunan. Semuanya, hanya Tuhanlah yang serba tahu..."
Wiro Sukro berhenti sejenak. Kemudian,
"Anak, betapa akan tersiksa hidupku ini, apa bila ternyata kemudian harapanku memperoleh keturunan tak
terkabul, lalu apakah arti hidupku ini, apakah arti pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawa kami dari tangan Aras Pepet dan Menak Kunjono? Semuanya hilang musnah tak berarti. Oleh sebab itu anak. jangan engkau kepalang tanggung. Tolonglah kami..... ya tolonglah. Relakan hatimu, mulai saat sekarang ini engkau harus menjadi anak kami. Anak angkat...akan tetapi dalam hatiku, engkau adalah anak kandungku....."
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Wiro Sukro sudah menangis mengguguk. Ia bukan menangis pura-pura. Tokoh sakti dari Karangpandan ini menangis sebenarnya. Tangis yang suci, cetusan dari rasa khawatir tentang tiadanya keturunan seorangpun. Betapa aneh manusia di dunia ini. Puluhan tahun lamanya berhadapan dengan musuh, berkelahi, menderita luka parah, kesakitan, selama itu Wiro Sukro tidak pernah menangis dan menitikkan air mata. Sekarang, setelah bicara soal keturunan, tokoh sakti ini sudah tak kuasa membendung air matanya.
Ratmi menjadi tahu sekarang akan maksud suaminya. Diam-diam perempuan ini amat gembira sekali, apa bila harapan suaminya ini dikabulkan. Dengan demikian, ia mempunyai seorang anak yang sakti, dan tentu akan bisa ia minta membalaskan sakit hatinya kepada sungsang yang amat ia benci. Untuk memperkuat maksud suaminya, tiba-tiba saja perempuan ini sudah berlutut di depan Titiek Sariningsih. Dahinya menyentuh tanah, kemudian berkata tidak lancar,
"Suamiku bener... anak...... memang kami khawatir tidak mempunyai
keturunan. Maka apabila..... anak tak sedia kami angkat sebagai anak... sebaiknya bunuh sajalah kami "
Sulit digambarkan betapa rasa haru menyesak dalam dada perawan lola ini. Ia seorang gadis yatim piatu. Tidak berayah dan tidak beribu lagi. Ia selalu kesepian dari kasih sayang orang tua. Ia amat dahaga akan kaSih sayang yang murni dari ayah dan ibunya. Sekarang, mendadak ada suami isteri yang minta dibunuh saja, kalau tidak boleh mengaku dirinya sebagai anak. Betapa aneh dunia ini.
Mungkinkah maksud suami isteri ini hanya oleh pengaruh dari kenyataan, bahwa dirinya seorang gadis berilmu tinggi?
Sehingga berkehendak mengaku sebagai "anak?,
Akan tetapi prasangka yang demikian ini segera terusir dari dadanya. Kiranya pernyataan suami isteri ini bukan karena itu. Mungkin sekali karena ia merasa sudah menyelamatkan nyawanya dari maut. Maka sebagai balas budi, kiranya yang tepat hanya dengan mengambil sebagai anak.
Terjadi perang batin dalam dadanya, antara menolak dan setuju!
Akan tetapi, pada akhirnya setujulah yang menang. Apakah salahnya ia menyenangkan orang lain, dan di samping itupun, ia ingin memyenangkan hatinya sendiri?
Ia haus akan kasih sayang ayah dan ibu. Maka dalam dadanya berkecamuk rasa ingin dipeluk dan dicium oleh ibunya.
Mendadak, tubuh Titiek Sariningsih gemetaran. Air mata tak kuasa dibendung, ambrol dari pelunuk
mata. Lalu terdengar pekik lirih dari mulut bocan ini,
"Ibu......!"
Titiek Sariningsih sudah menjatuhkan diri sambil memeluk Ratmi amat erat sekali. dan kemudian Titiek Sariningsih menyembunyikan wajah basah itu ke dada yang tanpa kain penutup dada.
" Anakku . . . .. . anakku .. . . . . " desis Ratmi setengah meratap, saking tak kuasa menahan rasa harunya.
Air mata perempuan ini berderai, sedang dua lengannya memeluk erat-erat kepada gadis itu.
Melihat itu, Wiro Sukro gembira sekali dan bersyukur. Ternyata bocah yang sudah menyelamatkan nyawanya ini, memiliki hati yang welas asih dan mau mendengar jerit hatinya. Sebagai pernyataan gembiranya itu, Wiro Sukro menengadah ke angkasa sambil berkata tidak lancar, sedang air mata terus ke luar dari sudut mata,
"Ya Tuhan . . ;. Engkau Maha Besar. . ... Maha Pengasih .. .. . terima kasih ya Tuhan . .. . . Engkau mau mendengar jerit hatiku . .. . . Ya Tuhan . . . . . kebesaran-Mu. . . . . ya hanya oleh kebesaranMu .. . . . aku sekarang Engkau beri anugerah seorang anak perempuan... .. Ya Tuhan . . . . . oleh keagungan Mu . . . , . Engkau telah mengabulkan permohonanku . . . . . Ya . . . . . aku berjanji ya Tuhan . . . . . akan menggunakan sisa hidupku ini untuk melangkah kejalan yang Engkau tunjuk."
Mendengar ucapan Wiro Sukro itu, hati Titiek Sariningsih yang sudah tidak berayah dan beribu itu, menjadi semakin terharu. Kemudian ia menuntun ibunya menghampiri Wiro Sukro. Lalu tanpa malu malu lagi, bocah ini sudah menubruk dan
memeluk pinggang Wiro Sukro sambil sesenggukan saking bahagia. .
Sulit berpanjang kalam melukiskan betapa rasa gembira tiga orang insan yang semula belum pernah kenal ini.
Akan tetapi apakah arti sudah kenal atau belum?
Semuanya akan terjadi sesuai dengan garis Tuhan. Manusia di dunia ini ibarat wayang. Pada akhirnya semua akan masuk dalam kotak, dengan perantaraan dalang. Jadi tidak ada yang perlu dibuat heran apa bila Dia sudah menghendaki, semua akan terjadi.
Setelah agak reda tangis bahagia bagi mereka, berkatalah Wiro Sukro,
'Anakku...... heran hatiku mengapa engkau mengabulkan permintaanku yang muskil ini? Mengapa? Adakah sesuatu hal yang luar biasa-terjadi atas dirimu ?"
Sebagai seorang yang sudah cukup umur dan luas pengalaman, tentu saja Wiro Sukro agak merasa heran juga dengan sikap gadis ini. Dari atas pertanyaan itu, Titiek Sariningsih melepaskan pelukannya kepada Wiro Sukro, kembali menubruk dan memeluk Ratmi. Baru sesudah agak dapat menahan perasaannya, Titiek Sariningsih segera menceritakan semua yang sudah terjadi atas dirinya.
Ratmi kaget mendengar keterangan, bahwa gadis yang diambil anak ini, adalah putri Tumenggung Kebo Bangah, bangsawan Tuban. Dengan demikian. gadis yang sekarang sedia diaku sebagai anaknya ini, bukanlah bocah sembarangan, akan tetapi seorang puteri bangsawan .Hatinya merasa bangga sekali, tetapi juga makin merasa trenyuh.
trenyun akan nasib gadis ini yang kurang beruntung. Masih berusia muda sekali, harus sudah menjadi seorang gadis yatim piatu. Ayahnya gugur di medan perang, sedang ibunya mati terbunuh secara mengenaskan oleh seseorang yang belum diketahui siapa.
"Anakku. .. .. oh, anakku. . kasihan engkau, kata Ratmi dengan suaranya yang menggeletar penuh rasa haru.
" Ya. .... akulah sekarang sebagai pengganti ibumu. Dan...... suamikulah sebagai pengganti ayahmu . . . . ...Anakku, mudah mudahan ya . . . . . mudah mudahan kelak kemudian hari engkau dapat menemukan pembunuh ibumu itu....."
Ucapan Ratmi ini justeru memancing keharuan Titiek Sariningsih, dan menyebabkan gadis ini kembali terisak-isak sambil menyembunyikan wajahnya ke dada Ratmi.
Wiro Sukropun menjadi amat penasaran sekali, setelah mendengar sejarah hidup Titiek Sariningsih yang sekarang sudah menjadi anak angkatnya. Katanya,
"Anakku, betapa penasaran hatiku mendengar tewasnya ibumu seperti itu. Tewas dibunuh seseorang. Hemm, akupun akan membantumu untuk mencari keterangan siapakah pembunuh ibumu itu. Anakku, engkau tidak perlu berkecil hati. Aku mempunyai hubungan yang luas, dan banyak pula sahabatku. Siapa tahu kelak kemudian hari akupun akan dapat menemukan manusia kejam itu."
Lama mereka berbicara. Dan lama pula mereka dicekam oleh rasa yang sedih di samping penasaran.
Akhirnya Wiro Sukra mengajak Titiek sariningsih untuk ikut serta pulang ke Karangpandan, Sebab walaupun baru saja mereka bertemu, hati Wiro Sukro terasa berat berpisah dengan anak angkatnya ini.
Akan tetapi Titiek Sariningsih menggeleng. Jawabnya,
"Ayah...... biarlah ayah dan ibu pulang dahulu ke Karangpandan. Aku berjanji bahwa tak lama lagi aku akan datang ke Karangpandan."
"Mengapa tidak sekarang dan bersama kami?'
Ratmi merasa heran.
"Tidak, ibu?" sahut Titiek Sariningsih mantap.
"Mengingat bahwa terjadinya perselisihan ayah dengan dua orang kakek tadi, berkisar pada persoalan membantu Sunan Giri, maka terpikir olehku untuk mewakili ayah ke sana..?"
"Aihh... jangan anakku,... ibu menjadi khawatir..."
Ratmi mencegah sambil memeluk erat-erat.
"Ibu..."mengapa engkau menjadi khawatir? Engkau khawatir tentang apa? Tentang tewas dalam perang? Hi-hi.hik...... mengapa manusia hidup takut mati? Semua yang hidup tentu mati. Akan tetapi semua itu hanya DlA sajalah yang mengetahui dan menentukan.Kalau tahu bahwa nyawa manusia di tangan Tuhan, mengapa khawatir? Kalau memang sudah dikehendaki, walaupun orang bersembunyi dalam mulut naga, tak urung maut akan datang menyambut. Ibu, maka hal itu tak perlu kau gelisahkan, Percayalah apa bila memang aku diijinkan hidun, aku akan tetap memperoleh perlindunganNya."
"Apakah sebabnya engkau berpendirian demikian, anakku?" tanya Wiro Sukro.
"Ayah. ada dua hal yang mendorong aku harus kesana. Pertama, setelah aku sebagai anakmu, aku harus dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa sekalipun ayah telah tidak mau lagi ikut dalam perjuangan melawan Mataram, namun kedudukan itu diganti oleh anaknya. Dengan demikian nama ayah tidak akan dipandang rendah oleh siapapun. Adapun yang ke dua, anakmu ingin mengurangi rasa sesal dan penasaran yang menyesak dada. Ayahku Tumenggung Kebo Bangah telah gugur dalam perang ketika mempertahankan Tuban. Merupakan kewajibanku untuk meneruskan perjuangan ayah itu pula, secara gigih melawan Mataram."
"Bagus, heh heh-heh! Engkau anak yang baik dan amat berbakti kepada orang tua. Ah, anakku, aku menjadi malu! Kalau begitu, biarlah aku dan ibumu mengurungkan maksud pulang ke desa. Dengan demikian satu keluarga berjuang bersama Sunan Giri, melawan keserakahan Raja Mataram."
Mendengar itu Ratmi mengerutkan alisnya, merasa tidak senang. Ia tidak menghendaki hidup sebagai orang yang selalu berkelahi dan mempertaruhkan nyawa. Ia ingin memperoleh hidup yang tenteram dan layak sebagai keluarga masyarakat. Dan ingin pula dapat menimang seorang anak yang menjadi tumpuan hari depannya.
Melihat itu, Titiek Sariningsih tahu dan bisa menduga apa yang terpikir oleh ibu angkatnya ini. Maka gadis ini cepat berkata,
"Ayah! Aku tidak
setuju kalau ayah dan ibu ikut serta berjuang membantu Sunan Giri. Aku inginkan ayah dan ibu pulang ke Karangpandan, membangun keluarga bahagia. Biarlah aku seorang diri yang pergi ke sana."
Titiek Sariningsih berhenti, mengamati ayah dan ibunya bergantian, seakan mencari kesan. Ia menjadi senang melihat ibunya tersenyum, pertanda setuju dengan pendiriannya ini. Kemudian katanya lagi,
"Dan baik ayah maupun ibu harus mau mendengar permintaanku."
"Permintaan apa, anakku?' tanya Wiro Sukro.
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih tertawa,
"pendeknya kapan aku pulang ke Karangpandan, aku harus sudah dapat menimang dan memondong seorang adik......."
"Ihhh. .!"
Ratmi berseru tertahan, akan tetapi kemudian iapun tertawa sambil memeluk dan menciumi Titiek Sariningsih.
Adapun Wiro Sukro yang hatinya merasa berkenan, terdengar ketawa terkekeh kekeh.
"Ayah dan ibu, sekarang juga kita harus berpisah."
"Tidak!" potong Ratmi tiba-tiba.
"Aku melarang engkau pergi hari ini."
"Ih, mengapa?"
Titiek Sariningsih terbelalak.
"Anakku. bukankah engkau mengakui bahwa aku ibumu ?"
"Tentu saja!"
"Kalau begitu, engkau harus tunduk kepada putusanku. Malam nanti engkau harus tidur dalam
pelukan ibumu. Agar hati ibumu ini menjadi terhibur setelah engkau tinggalkan pergi. Maka aku baru mengijinkan engkau pergi esok pagi."
Ratmi menatap Titiek Sariningsih. Lalu,
"Di samping itu, engkau harus mau mengerti, anakku, bahwa saat ini ayahmu dalam keadaan terluka, Apakah engkau rela meninggalkan ayahmu dalam keadaan seperti ini? Lalu bagaimanakah kalau sepeninggalmu, ada orang yang mengganggu ayah dan ibumu?"
Diingatkan akan keadaan Wiro Sukro itu, barulah Titiek SariningSih sadar. Kekhawatiran ibunya memang beralasan. Ayahnya sedang terluka, sedang ibunya takkan dapat melindungi keselamatan ayahnya apa bila berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Ingat akan keadaan ayah angkatnya ini, maka kemudian gadgs ini berkata,
"Ahhh, ibu benar! Memang tidak pantas kalau aku pergi. sebelum ayah sembuh. Baiklah, aku akan merawat ayah dulu. Baru setelah ayah sembuh benar, aku akan berangkat menuju ke Giri."
Betapa gembira Ratmi mendengar keputusan anaknya ini. Dan betapa rasa haru memenuhi dada Wiro Sukro, bahwa anak angkat yang baru ditemukannya ini, sudah sedemikian besar perhatian dan kasih sayangnya kepada dirinya.
Demikianlah, akhirnya jadilah Titiek Sariningsih merawat Wiro Sukro yang terluka. Gubug pemburu yang kecil itu, mereka jadikan tempat tinggal sementara, Wiro Sukro mengalah tidur di luar gubug, sedang Titiek Sariningsih dan Ratmi tidur di dalam.
*****
Dengan hati yang penasaran di samping Waswas, Menak Kunjono yang berusaha menyelamatkan adik seperguruannya, terus berlarian. Sesudah cukup jauh dan merasa aman, Menak Kunjono baru menghentikan larinya. Ia merebahkan Aras Pepet dengan hati-hati di atas rumput. Kemudian ia menjatuhkan diri dengan dada yang kempas kempis. Namun karena ia mengkhawatirkan keselamatan saudara-seperguruannya ini, ia segera memeriksa keadaan Aras Pepet. Orang tua ini tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, setelah memeriksa nadi Aras Pepet yang agak lemah .Ternyata benar bahwa Aras Pepet menderita luka dalam yang cukup parah. Sungguh ia tidak habis mengerti, mengapa bocah yang masih muda usia ,itu, telah dapat memiliki tenaga sakti yang amat tinggi. Dan melihat akibat yang diderita oleh Aras Pepet, agaknya tingkat tenaga sakti yang dimiliki bocah itu tidak di bawah dirinya maupun Aras Pepet.
Namun ia tidak akan membiarkan adik seperguruannya ini menderita. Maka segera diambilnya obat untuk meringankan derita Aras Pepet. Setelah dengan agak susah payah ia memasukkan obat itu ke dalam mulut Aras Pepet, kakek ini segera duduk bersila di samping Aras Pepet. Kemudian ia memasukkan telapak tangan yang kanan ke dalam baju, lalu menempel pada punggung. Apa yang dilakukan sekarang ini, dalam usahanya untuk memberi bantuan tenaga sakti, dan guna mempercepat kesembuhan luka dalam yang diderita oleh Aras Pepet. Maka setelah telapak tangan itu menempel pada punggung, Menak Kunjono segera
menyalurkan hawa sakti lewat tangan kanan.
Agak lama Menak Kunjono tenggelam dalam usahanya menolong nyawa adik seperguruannya. Peluh membasahi leher dan dahinya. Wajahnya nampak agak kepucatan, karena ia harus menyalurkan hawa sakti ke dalam tubuh Aras Pepet. Berkat pertolongan kakak seperguruannya itu, wajah Aras Pepet sekarang sudah agak merah. Kakek ini siuman dari pingsannya. Ia mengeluh, kemudian membuka mata sambil bangkit duduk.
"Auhhgg, dadaku terasa sesak sekali, dan darah dalam tubuh serasa bergolak. Hee, mana bocah lancang tadi?" '
"Adi, sudahlah!" cegah Menak Kunjono.
"Apakah engkau tidak sadar telah dirobohkan oleh bocah itu? Hemm, ternyata pergeseran jaman menghendaki terjadinya perubahan. Kita yang sudah pikun ini, kemudian harus dilampaui oleh tunas-tunas muda. Kalau itu sudah kehendak jaman, apa harus dikata? Yang penting mulai sekarang kita harus selalu berhati-hati. Janganlah kita meremehkan tenaga muda. Akibatnya kita sendirilah yang akan menderita malu."
"Hemm, tetapi aku sungguh penasaran, kakang. Mengapa kita yang telah pikun ini, harus roboh oleh seorang bocah ? Agaknya, apakah engkau bisa menduga, siapakah guru bocah itu ?"
Menak Kunjono menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
"Hemm, entahlah! Gerakannya cepat, dan tenaga saktinya bukan main. Aku hampir tidak percaya mengapa bisa begitu? Apakah
semenjak masih bayi, bocah itu sudah digembleng dalam hal tenaga sakti?"
"Dan bagaimanakah dengan Wiro Sukro?"
"Entahlah! Aku tadi terpaksa harus melarikan diri sambil membawamu pergi. Untung bocah itu berwatak baik. Kalau tidak, manakah mungkin kita masih bernyawa lagi ?"
Aras Pepet menghela napas lagi. Dalam dadanya penuh rasa penasaran, roboh di tangan bayi kemarin sore.
Akan tetapi kalau dipikir, apa harus dikata?
Kakak seperguruannya sendiri ternyata juga tidak mampu mengatasi.
"Sst! Ada orang!"
Menak Kunjono sudah meloncat berdiri. Secepat kilat ia sudah menyambar adik seperguruannya, kemudian dibawa menyembunyikan diri di dalam rumpun semak. Kakak beradik yang biasanya menyombongkan diri dan merasa sebagai manusia sakti itu, sekarang dengan terpaksa harus menyembunyikan diri, ketika mendengar suara orang. Hal ini perlu dilakukan, mengingat bahwa Aras Pepet masih menderita. Adapun dirinya sendiri dalam keadaan yang lemah pula, setelah mengerahkan hawa saktinya, guna menolong adik seperguruannya.
Dua orang kakek ini bertiarap di tengah semak tak bergerak. Hanya dua pasang mata mereka yang tajam, mengintip dari sela-sela semak. Itupun mereka terpaksa harus berhati hati dalam bernapas. Sedikit lengah, pernapasannya akan bisa didengar oleh orang. Kalau yang datang itu merupakan musuh, akan celakalah di saat seperti sekarang ini, dalam keadaan yang sedang menderita.
Tampaklah kemudian dari arah utara, lima orang laki-laki dengan langkah mereka yang ringan dan gesit. Usia mereka rata-rata limapuluh sampai enampuluh tahun. Masing-masing menyandang senjata. Akan tetapi senjata mereka itu berlain-lainan. Yang bergerak paling depan bersenjata tombak trisula pendek (tombak bercabang tiga). Dia seorang laki-laki bertubuh kurus kering wajahnya pucat. Di belakangnya menyusul seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah, berkumis tebal dan berjenggot panjang. Senjatanya cukup menyeramkan, berujut rantai baja sebesar ibu jari kaki yang panjang, dan di dua ujungnya terdapat bola berduri sebesar kelapa. Kemudian menyusul di belakangnya seorang gemuk tampan tanpa kumis dan jenggot. Senjatanya sepasang golok besar. Menyusul lagi bergerak di belakang, seorang laki-laki tinggi berkulit hitam dengan mata yang sipit. Kumisnya jarang seperti buntut tikus, sedang jenggotnya mirip jenggot kambing. Senjata orang ini menyeramkan pula. Bentuknya semacam sabit, akan tetapi panjangnya satu meter lebih dan amat besar. Dan yang paling belakang, adalah seorang laki-laki kerdil. Orang yang paling belakang ini karena kakinya pendek, terpaksa harus berlompatan untuk dapat mengikuti gerakan yang di depan. Adapun senyatanya lain dari yang lain. Kalau dalam keadaan biasa, senjata itu semacam tombak pendek yang pada dua ujungnya amat tajam. Akan tetapi sewaktu waktu tombak itu bisa dirubah menjadi busur pendek. Dia seorang jago panah, Maka pada punggungnya tampak beberapa puluh batang anak panah ditempatkan pada bumbung dari bambu. Akan tetapi sesuai dengan tubuhnya yang kerdil, maka anak panah itu disamping kecil juga pendek.
Melihat lima orang yang bergerak beriringan itu, dua orang kakek ini kaget. Jantung mereka tegang, cemas dan khawatir .Mereka makin tidak berani bergerak sedikitpun, sedang bernapaspun terpaksa berhati hati. Bagi Menak Kunjono dan Aras Pepet cukup tahu Siapakah lima orang laki-laki yang baik bentuk tubuh maupun senjatanya berlainan itu. Mereka lima orang yang amat berbahaya. Lima orang itu terkenal dengan sebutan "Lima Harimau Sempu". Nama mereka menanjak tinggi dalam waktu singkat, disegani dan dihormati setiap orang. Mereka merupakan lima serangkai yang tidak pernah terpisah. Kemanapun selalu bergerak bersama. Dan dalam waktu tidurpun, mereka tentu satu tempat. Mereka sebidup semati, maka setiap berhadapan dengan lawanpun mereka tentu maju berbareng.
Tetapi justeru di saat mereka maju berbareng inilah, merupakan musuh yang berbahaya. Sebaliknya kalau mereka mengenal kegagahan, dalam perkelahian maju satu-persatu, tingkat masing masing masih di bawah tingkat Menak Kunjono maupun Aras Pepet. Maka dua orang kakek ini takkan merasa gentar. Akan tetapi kalau mereka berlima maju mengeroyok, selama ini belum seorangpun lawan yang sanggup mengalahkan kerja sama mereka. Itulah sebabnya Menak Kunjono dan Aras Pepet cemas diri khawatir, kalau sampai mereka mengetahui tempat persembunyian ini. Dalam
keadaan Aras Pepet menderita luka dalam yang parah, sedang Menak Kunjono tinggal separuh kekuatannya, tentu merupakan lawan empuk bagi "Lima Harimau Sempu" itu.
Mengapa sebabnya mereka terkenal dengan sebutan "Lima Harimau Sempu' ?
Mereka memang berdiam di Pulau Sempu. Mereka belum lama muncul. Akan tetapi begitu muncul, nama mereka segera terkenal dan menanjak tinggi.Mereka ditakuti dan dihormati setiap orang. Dan untuk menjamin keselamatan nyawa, lebih untung orang mengikat persahabatan daripada memusuhi. Karena orang yang berani bermusuhan, takkan mungkin diberi hidup lagi. '
Sesungguhnya lima orang ini dahulu adalah hamba Kadipaten Pasuruan. Dahulu mereka merupakan pembantu-pembantu Ronggo Kaniten, yang mati terbunuh ketika berhadapan dengan Panembahan Senapati. Setelah Ronggo Kaniten tewas dalam perang, Pasuruan tunduk kepada Mataram, maka lima orang ini bersama-sama melarikan diri. Kemudian tinggal bersama di Pulau Sempu. Mereka bersembunyi sambil menggembleng diri. Mereka saling bantu dan amat rukun. Malah mereka lalu mengangkat sebagai saudara yang sehidup semati. Berkat ketekunan dan kerja sama mereka yang saling membantu, maka setelah lewat tigapuluh tahun lamanya mereka bersembunyi di Pulau Sempu, mereka telah berubah menjadi "manusia manusia sakti", tetapi juga amat berbahaya. Sebagai akibat sakit hati mereka dahulu ketika lari menyelamatkan diri dari kejaran pihak Mataram, maka begitu muncul
mereka menjadi manusia manusia yang kejam dan ganas.
Orang yang bergerak paling dulu dengan senjata tombak trisula itu, adalah orang yang tertua, bernama Surengpati. Orang ke dua bernama Gunopati, orang ke tiga bernama Wiropati, orang yang ke empat bernama Sunupati, dan orang ke lima yang kerdil itu bernama Darmopati. Akan tetapi Walaupun sebagai orang ke lima dan tubuhnya kerdil, Darmopati merupakan orang yang paling berbahaya. Sebab senjatanya yang aneh itu dilumuri racun berbahaya. Lebih-lebih pada ujung anak panahnya, yang dapat dipergunakan menyerang orang dari jarak agak jauh. ,
Entah mengapa sebabnya Lima Harimau Sempu ini semua menggunakan nama dengan akhiran "pati". Akan tetapi mungkin mereka memang sengaja. Guna memberitahukan kepada setiap orang, bahwa sebuai dengan nama masing-masing mereka tidak takut mati. Akan tetapi sebaliknya musuhpun jangan berharap dapat hidup, dan harus mati.
Menak Kunjono dan Aras Pepet berharap agar Lima Harimau Sempu itu secepat mungkin meninggalkan tempat ini. Kalau mereka terlalu lama di tempat ini, berarti mereka akan tersiksa. Sebab di samping mereka tidak berani bergerak sedikitpun, merekapun harus setengah menahan napas, aga pernapasan mereka tidak didengar oleh lima orang itu.
Akan tetapi sungguh celaka. Lima orang itu bukannya cepat pergi, malah mereka berhenti, dan duduk menggerombol di atas batu tak jauh dari
tempat Merak Kunjono dan Aras Pepet bersembunyi. Cara mereka dudukpun diatur sedemikian rupa. Orang tertua yang bernama Surengpati duduk di tengah. Kemudian empat orang saudaranya duduk didepan, belakang, kiri dan kanan Surengpati. Dengan mengatur diri macam ini, mereka akan terhindar dari kecurangan orang.
"Adikku semua, hemm,"
Surengpati membuka pembicaraan.
"Lebih kurang sudah setahun lamanya semenjak kita meninggalkan Pulau Sempu. Kita sudah cukup lama menjelajah kota maupun desa. Akan tetapi mengapa sebabnya usaha kita itu belum juga menampakkan tanda akan keberhasilannya ? "
Empat orang saudaranya menghela napas panjang. Kemudian terdengar jawaban si kerdil yang bernama Darmopati. Suaranya. kecil, mirip dengan suara perempuan,
" Kakang, bolehkah aku memberikan pendapatku?"
"Mengapa tidak? Katakanlah!"
"Apakah tidak sebaiknya maksudmu itu dihentikan sampai di sini saja? Sebab telah setahun kita mengembara. Kita menyelidik. Telah berpuluh kali kita bentrok dengan orang, dan berpuluh pula nyawa orang lain melayang di tangan kita. Namun ternyata harapan kita belum terujut. Apakah tidak berarti kita ini hanya membuang tenaga sia-sia?"
"Hemm, apakah engkau sudah merasa bosan. karena tujuan kepergian kita sekarang ini demi kepentinganku pribadi? "
" Ohhh... .. . sama sekali tidak, kakang! Engkau jangan lekas salah paham. Demi sumpah kita ketika bersepakat mengangkat saudara, bagi kita tidak ada istilah demi kepentingan pribadi. Kepentingan kakang merupakan kepentinganku pula. Dan sebaliknya kepentinganku, merupakan kepentingan kita semua."
"Hemm. kalau menurut pendapatku, ucapan adi Darmopati kurang tepat!" desis Wiropati.
Si kerdil mendelik ke arah Wiropati. Katanya,
"Apakah alasanmu? Huh, janganlah engkau asal mencela orang!"
"Ha-ha-ha, mengapa engkau jadi tersinggung?"
Gunopati terkekeh dan menegur si kerdil.
"ingat, kita ini saudara senasib sepenanggungan. Maka adi Darmopati tidak boleh tersinggung dan merasa dicela orang. Kalau sekarang kakang Surengpati minta pendapat kita, ini membuktikan bahwa kakang Surengpati merupakan saudara tertua yang bijaksana. Dia akan minta pendapat kila, dan tidak ingin memaksakan pendapatnya sendiri."
"Ya..... ya aku merasa salah dan maafkanlah aku, kakang Gunopati," kata si kerdil sambil mengangguk ke arah Gunopati.
Si kerdil Darmopati ini wataknya memang aneh dan sulit diduga, ia mudah tersinggung, akan tetapi juga tidak segan-segan minta maaf kalau merasa dirinya salah. Di balik itu, di antara saudaranya, yang paling dihormati oleh si kerdil memang Gunopati, sebagai orang ke dua. Sebab di antara mereka, memang Gunopatilah orang yang paling cerdik, sabar dan pandai mengambil hati saudara saudaranya.
"Bagaimanakah menurut pendapatmu, adi Gunopati?" tanya Surengpati sambil memalingkan muka, sebab kebetulan Gunopati duduk di belakang Surengpati.
" Sesungguhnya, persoalan ini hanya engkau sendirilah yang dapat memutuskan. Sebab persoalan itu banyak menyangkut pribadimu. Namun sekalipun begitu, kita semua ini setulus hati akan membantu sekuat tenaga. Kalau engkau masih belum puas, mengapa ragu-ragu? Putuskanlah! Kita terus berusaha. Kita semua akan mengiringkan maksudmu. Tetapi sebaliknya jika engkau merasa kurang perlu meneruskan usaha ini, barang tentu kitapun akan tunduk."
"Hemmm..,..."
Surengpati menghela napas panjang. Akan tetapi tak lekas membuka mulut. Tampaknya orang tertua di antara mereka ini sedang berpikir, sebelum menentukan keputusannya,
Apakah sesungguhnya persoalan yang sedang dihadapi oleh Surengpati ini?
Persoalan itu adalah persoalan pribadi. Persoalan yang menyangkut keluarganya. Dahulu, ketika Surengpati melarikan diri dari Pasuruan tidak sempat untuk membantu serta keluarganya. Seorang isteri dan seorang anak laki-laki yang masih amat kecil. Setengah tahun kemudian, setelah Pasuruan menjadi aman-kembali .Surengpati menyelundup ke Pasuruan. Dia pulang ke rumah. Akan tetapi ternyata rumah yang dahulu ditempati itu telah tak ada lagi. Dari keterangan yang ia peroleh, bahwa rumahnya itu hancur menjadi abu karena dibakar orang.
Betapa kaget dan penasaran memperoleh keterangan ini. Pada mulanya para tetangga tidak sedia menerangkan siapa yang telah membakar rumahnya. Akan tetapi setelah ia desak, akhirnya para tetangga mengaku. Diterangkan, bahwa ketika terjadi penyerbuan Mataram ke Pasuruan, dan Surengpati tidak muncul pulang ke rumah, semua orang menduga Surengpati gugur di dalam perang. Keluarga maupun tetangga menunggu dan mengharap munculnya Surengpati kembali. Namun ternyata Surengpati tidak juga muncul sekalipun Pasuruan telah aman kembali.
Tetapi walaupun telah hampir dua bulan Surengpati tidak muncul pulang, isteri maupun keluarganya masih mengharap pulangnya kembali. Isteri Surengpati yang setia amat percaya bahwa Surengpati belum gugur di medan perang.
Kemudian pada suatu hari, datanglah seorang tamu laki-laki ke rumah Surengpati. Isteri Surengpati bernama Witarsih kaget ketika menerima tamu laki-laki itu. Laki-laki yang pernah ia kenal bernama Pitrang.
Disebutnya nama Pitrang oleh tetangga itu, tiba-tiba terdengar Surengpati berteriak,
"Jahanam! Diakah yang telah membakar rumahku? Lalu di mana keluargaku sekarang?"
Kaget sekali tetangga itu di samping takut. Wajahnya menjadi pucat, tubuh gemetaran, ketika melihat sepasang mata Surengpati menyala marah. Dan saking takutnya tetangga itu sampai tidak dapat mengacuhkan kata-katanya.
Untung sekali bahwa Surengpati segera sadar. Ia menahan kemarahannya, lalu tersenyum sambil bertanya halus,
" Katakanlah, apa yang terjadi di rumahku?"
Namun sekalipun sudah menekan perasaan dan berusaha menenangkan hatinya, Surengpati tak juga dapat tenteram hatinya, begitu mendengar nama Pitrang disebut. Sebab laki-laki bernama Pitrang itu adalah musuhnya bebuyutan semenjak sama sama masih muda. Permusuhan antara mereka itu timbul sebagai akibat memperebutkan seorang gadis bernama Witarsih, Akan tetapi kemudan Witarsih memilih Surengpati, yang mempunyai kedudukan sebagai perwira perajurit Pasuruan. Sedang Pitrang hanyalah seorang pemuda lontang-lantung tidak mempunyai pekerjaan tertentu.
Pemuda bernama Pitrang yang patah hati akibat cinta ini kemudian dapat diterima sebagai murid Perguruan Semeru, dan merupakan adik seperguruan Wongso Dipo. Cita-citanya kelak kemudian hari setelah berkepandaian tinggi, akan datang ke Pasuruan untuk membalas sakit hati. Maka Pitrang berlatih dengan amat tekun dan tidak kenal lelah .Tiga tahun kemudian, ia menggunakan kesempatan pergi dari Semeru menuju Pasuruan. Ia berhasil menantang Surengpati dan berkelahilah mereka di dalam hutan yang agak jauh dengan Pasuruan. Namun ternyata bahwa kepandaian Pitrang masih di bawah Surengpati. Hingga Pitrang dalam keadaan luka luka melarikan diri.
Semenjak itu Pitrang tidak berani datang dan
mengganggu Surengpati dan keluarganya. surengpati hidup bahagia dengan isteri terkasih, yang sudah memperoleh seorang anak laki-laki belum berusia satu tahun.
Akan tetapi waktu itu Panembahan Senopati, Raja Mataram yang pertama memimpin pasukan Mataram memerangi Wilayah timur. Sebab para bupati dan adipati yang semula tunduk kepada Kerajaan Pajang, tidak mengakui kedaulatan Mataram. Satu daerah demi satu daerah akhirnya terpaksa tunduk setelah dikalahkan. Kemudian pasuruanpun jatuh setelah Ronggo Keniten yang kebal dan digdaya sakti itu, mati dalam peperangan. Dalam usahanya menyelamatkan diri itulah kemudian Surengpati lari ke Pulau Sempu, Seperti sudah diceritakan di bagian depan.
Tetangga itu menceritakan, bahwa baru mengenal nama Pitrang sesaat setelah laki-laki itu membakar rumah dan akan pergi. Pitrang sesumbar, apa bila Surengpati penasaran dan ingin membalas dendam, dipersilahkan datang ke Perguruan Semeru.
"Jadi, semua keluargaku dibunuh mati semua, sebelum dia membakar rumah?" desak Surengpati, dengan sepasang matanya menyala merah.
"Tidak seluruhnya," sahut tetangga itu.
"Ketika Pitrang pergi, laki-laki itu mengempit Witarsih yang pingsan......." .
"Jahanam!" teriak Surengpati.
"Tapi, mengapa para tetangga tidak berusaha menolong keluargaku?"
"Siapa yang tidak menolong?" tiba-tiba tetangga yang semula nampak ketakutan itu membentak nyaring.
"Anakku laki-laki yang sulung tewas dalam peristiwa itu, dibunuh Pitrang. Juga beberapa tetangga banyak yang menderita luka, dan beberapa orang tewas pula seperti anakku."
Jawaban ini menyadarkan Surengpati. Ia menundukkan muka dan menghela napas. Ia sadar memang tidak sepantasnya mengumbar amarah kepada tetangga dan menyalahkannya. Apa lagi terbukti bahwa tetangga sudah berusaha melindungi keluarganya. Hanya karena para tetangga tak mampu saja, maka Pitrang berhasil menghancurkan keluarganya, dan dapat menculik Witarsih.
"Terima kasih atas perhatian dan pertolongan kalian kepada keluargaku," kata Surengpati kemudian dengan nada halus.
"Akan tetapi..... terangkanlah.... di mana anakku....?"
Tetangga itu menghela napas panjang, tampak merasa terharu dan iba kepada Surengpati, lalu jawabnya,
"Saudara Surengpati, aku bersedia menerangkan semuanya, tetapi dengan suatu janji. Sediakah ?"
"Janji apa?"
"Aku hanya sedia mengungkit peristiwa itu, Jika engkau kuasa menahan hati dan kemarahanmu. Jika engkau mau marah, silahkanlah. Tetapi harus' tepat pada sasarannya, kepada orang bernama Pitrang itu."
Surengpati menghela napas panjang.Ia Jadi sadar akan keadaannya. Memang tidak sepantasnya ia menurutkan hati dan nafsunya.
"Baiklah, aku berjanji dan akan mendengarkan ceritamu dengan tenang."
"Mari aku mulai," kata tetangga itu, sekalipun hatinya masih agak ragu ragu.
"Peristiwa yang terjadi dalam rumahmu, tentu saja kami tidak tahu. Yang kami ketahui hanyalah suara ribut dalam rumahmu, disusul oleh jerit isterimu. Kami kaget dan berlarian datang. Akan tetapi kedatangan kami disambut oleh golok laki-laki itu yang sudah bernoda darah. Beberapa orang segera roboh terluka dan tewas, karena serangan itu tidak terduga-duga. Di dalam rumah tampak api yang menyala besar sekali. Lakilaki itu mengamuk di luar rumah, sambil mengempit Witarsih yang pingsan."
Tetangga ini berhenti dan mencari kesan. Ketika melihat Surengpati berdiam diri dengan kepala tunduk, tetangga itu meneruskan,
"Tetapi ketahuilah, bahwa waktu itu kami semua tidak menduga terjadinya malapetaka dalam rumahmu itu. Maka kami datang tanpa senjata. Itulah sebabnya ketika menghadapi Pitrang yang mengamuk, kami tidak berdaya dan banyaklah jatuh korban, termasuk anakku yang sulung! Nah, begitulah saudara, dan seperti aku katakan tadi, Pitrang sesumbar.Jika engkau penasaran dipersilahkan datang ke Semeru."
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti meledak dada Surengpati mendengar itu. Kemudian bergegas ia pergi setelah minta diri kepada tetangga. Hatinya amat sakit, marah dan penuh dendam. Jelas bahwa apa yang dilakukan Pitrang sengaja menghancurkan keluarganya.
Akan tetapi sesudah agak jauh ia meninggalkan Pasuruan
barulah ia teringat mengapa ia tadi tidak menanyakan, di mana ayah, ibu dan anaknya dikuburkan orang?
Ia berhenti, menunduk dan menghela napas sedih.
"Anakku anakku.....!" gumamnya lirih.
"Maafkan ayahmu... ohh, aku tak dapat melindungi keselamatanmu di kala kau dibunuh orang. Ayah.... oh itu... ampunilah anakmu yang tak berbakti ini. Hemm, akibat perang. aku tak dapat melindungi keselamatanmu....."
Surengpati menjatuhkan diri duduk di atas sebuah batu. Ia ingin menangis akibat kehancuran keluarganya. Akan tetapi air matanya tak mau mengalir. Di saat itu ia seperti mendengar jerit isterinya yang tercinta, Witarsih. Ia kaget, semangatnya bangun dan bangkit berdiri. Tangannya dikepal. Desisnya,
"Huh, Pitrang! Siapa takut datang ke Semeru? Selembar nyawaku ini akan aku korbankan demi kehormatan keluarga dan isteriku! '
Ia dapat membayangkan betapa derita Witarsih jatuh di tangan Pitrang. Lalu ia berlarian menuju ke Semeru.
Akan tetapi sungguh celaka!
Begitu tiba di pinggang gunung, dan masih jauh dengan rumah Perguruan Semeru, dirinya telah dikurung oleh puluhan orang bersenjata. Mereka adalah para anak murid Perguruan Semeru. Namun ia tidak gentar. Ia menerangkan maksud kedatangannya untuk mencari Pitrang. Maka ia minta ijin untuk dapat melanjutkan perjalanan, bertemu dengan Pitrang. Karena orang-orang itu tak mau mengijinkan.Jadilah perkelahian dan Surengpati dikeroyok, Surengpati mengamuk hebat. Dan banyaklah
anak murid Semeru roboh tewas dan terluka.
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. Yang mengeroyok lalu mundur. Surengpati berdiri dengan senjata masih di tangan kanan. Lalu muncullah empat orang yang mengenakan pakaian mewah. Salah seorang di antara mereka telah cukup dikenal oleh Surengpati, bukan lain musuhnya bebuyutan, Pitrang. Adapun tiga orang yang lain, kemudian dikenal bernama Wongso Dipo (waktu itu belum menjabat sebagai ketua perguruan ), Kamilah dan Wigati.
Begitu melihat Surengpati, Pitrang terkekeh mengejek. Katanya,
"Heh-heh-heh, bagus! Ternyata engkau berani datang juga ke mari."
"Siapa takut ? ' bentak Surengpati lantang.
"Hai, Pitrang! Engkau pengecut dan jahanam terkutuk. Engkau telah menghancurkan keluargaku dan menculik isteriku. Kaukembalikan atau tidak?"
"Heh-heh-heh, engkau ingin tahu tentang isterimu?" ejek Pitrang tetap terkekeb.
'Hemm, benar, perempuan yang dahulu membuat hatiku sakit itu aku culik dari rumahmu. Adapun maksudku, sesungguhnya ingin melanjutkan hubungan yang pernah terjadi waktu itu. Akan tetapi, huh. perempuan itu memang tidak kenal budi dan tidak kenal dicinta orang. Baru semalam di rumahku, perempuan itu sudah membunuh diri."
"Jahanam!" teriak Surengpati.
"Engkau sudah membunuh Witarsih. Sekarang berikan lehermu aku penggal."
"Hi-hi-hik, sombongnya!" bentak Kamilah tiba tiba.
"Apakah yang engkau andaikan berani berlagak di tempat ini?"
Kamilah memang terkenal semenjak masih muda, merupakan seorang perempuan galak, tidak sabaran, congkak dan kejam. Apa pula di antara mereka itu, dia merupakan saudara yang tertua dan paling tinggi pula ilmu kepandaiannya. Maka mendengar orang memusuhi salah seorang adik seperguruannya, ia sudah cepat marah.
Wigati berusaha untuk mencegah dan memperingatkan.
"Mbakyu, biarkan Pitrang sendiri yang menyelesaikan persoalannya."
"Kurang ajar kau! Berani kau melawan aku?" bentak Kamilah sambil mendelik.
"Aku orang tertua diantara kamu semua ini. Sekarang ada orang berani sombong ditempat ini, maka kewajibanku pula untuk mengusir anjing ini."
Surengpati yang telah dibakar kemarahan dan sakit hati, sedikitpun tidak gentar dan takut. Kemudian terjadilah perkelahian seorang lawan seorang antara Surengpati dengan Kamilah. Namun ternyata kemudian bahwa Kamilah bukan hanya menyombongkan diri. Baru duapuluh jurus berkelahi, Surengpati sudah mendapat luka di beberapa bagian tubuhnya. Surengpati mandi darah di samping pakaiannya robek sana sini. Meskipun begitu Kamilah yang kejam masih terus menghujani serangan, dan maksudnya memang ingin membunuh. Pedang Kamilah berkelebat menyambar leher .Tetapi tiba-tiba,
"Tring.....! Aihhh.....!" terdengar jerit Kamilah dan pedangnya terlempar.
Leher Surengpati selamat tidak jadi tertabas putus oleh pedang. Kemudian dilihatnya-seorang kakek kurus telah berdiri. sedang empat orang saudara seperguruan itu
Negara Kelima Karya Es Ito Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung Pengaruh Yang Tak Tampak The Invisible Influence Karya Pouw Kioe An
Wiro Sukro makin menjadi serba salah mendengar kata-kata dua orang kakek ini. Sesungguhnya sudah bulat tekadnya untuk hidup tenang di desa Karangpandan dengan isterinya yang masih muda ini, sebelum bertemu dengan menak Kunjono dan
Aras Pepet.
Akan tetapi sekarang pendapatnya itu menjadi goyah dan terpengaruh oleh kata-kata kakek itu, ia menjadi malu kalau disebut pengecut dan lari dari kewajiban membela wilayah timur.
Inilah perujutan dari "takut".
Takut akan sesuatu!
Takut akan nama baik tercemar.
Takut akan kedudukan.
Takut akan jabatan
Takut dihina dan ditertawakan orang.
Mengapa kita manusia yang hidup di dunia ini, mengenal apa yang disebut "takut" itu?
Takut yang bermacam-ragam di dunia ini?
Salah satu sebab utama rasa takut ialah bahwa kita tak mau menghadapi diri kita sendiri dalam keadaan sebenarnya. Maka di samping kita perlu menyelidiki ketakutan ketakutan itu sendiri, kita harus pula menyelidiki jaringan pelarian-pelarian yang telah kita perkembangkan untuk melenyapkan ketakutan-ketakutan dari diri kita. Bila jiwa, termasuk di dalamnya otak kita, berusaha mengatasi ketakutan, menindasnya, mengontrolnya, merobahnya menjadi benda-benda lain, maka timbullah pergeseran, timbullah pertentangan. Sedang pertentangan itu sendiri memboroskan energi.
Maka yang perlu dan pertama-tama harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, ialah apakah rasa takut itu dan bagaimana pula timbulnya?
Apakah yang kita maksudkan dengan kata takut itu Sendiri?
Yang kutanyakan kepada diriku sendiri itu, ialah apa sebenarnya takut itu, dan bukan apa yang kutakuti,Soalnya kita 'ini hidup dengan satu cara tertentu. Aku berpikir dalam satu pola tertentu. Aku punya beberapa kepercayaan dan
dogma tertentu dan aku tak mau bila pola-pola hidup ini terganggu, karena aku telah berurat berakar di dalamnya.
Maka aku harus mau tahu tentang apa yang mungkin terjadi di hari kemudian atau yang mengkhawatirkan tentang kemungkinan tertimpanya diriku oleh sesuatu hasil masa lampau. Akibatnya aku takut akan masa lampau dan hari depan. Aku telah membagi-bagi waktu menjadi masa lampau dan hari depan. Akibatnya masuklah pikiran yang berkata,
"Hati-hatilah jangan sampai hal itu terjadi lagi! Hari depan mungkin berbahaya untukmu. Sekarang engkau mempunyai sesuatu tetapi engkau mungkin kehilangan itu. Atau engkau mungkin meninggal esok hari, dan isterimu mungkin lari. Atau mungkin esok hari engkau kehilangan jabatanmu. Dan engkau tak pernah bisa terkenal."
Ya, oleh pikiran ini, terjadilah rasa takut. Karena pikiran telah mengalami itu. Dan pikiran menciptakan ketakutan tentang sesuatu.
Tetapi apa bila tidak memikirkan itu, mungkinkah ada yang disebut takut itu dalam diriku?
Jadi jelas bahwa rasa takut itu adalah hasil dari pikiran. Karena pikiran membagi waktu yang lampau dan yang akan datang. Akan tetapi tentu saja aku tak dapat hidup tanpa pikiran dan ingatan. Sebab itu adalah satu-satunya alat yang aku miliki untuk mengadakan hubungan dan mengerjakan tugas-tugas kewajiban untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu kita harus pandai menggunakan pikiran yang kita perlukan ini. Dan kita ini baru mampu mengamati pikiran itu, apa bila jiwa kita ini tenang. Dengan jiwa yang tenang, ketakutan itu akan berakhir.
Seperti halnya Wiro Sukro sekarang ini. Ia dalam ketakutan. Ketakutan akan hari depan tidak mempunyai keturunan, dan ketakutan apa bila dirinya kehilangan nama sebagai pejuang yang gigih melawan Mataram. Mengakibatkan jiwanya tidak tenang. Jiwa yang tidak tenang, menimbulkan kebimbangan dan pertentangan. Maka ia merasa serba salah, dan menjadi bingung apa yang akan dilakukan. Hingga tidak dapat memutuskan secara tegas.
Melihat keraguan Wiro Sukro itu, Ratmi menjadi tidak senang. Ia tidak kuasa menahan perasaannya lagi. Katanya,
'Kakang, aku tidak ingin mempengaruhi pendapatmu! Jika kakang memang ingin berperang, silahkan engkau berperang dan janganlah engkau memikirkan aku lagi. Kakang aku mengerti bahwa kehadiranku di sampingmu, hanya menjadi beban dan memberatkan hatimu. Maka biarlah mulai saat sekarang, kita berpisah. Kita menempuh jalan masing-masing, dan selamat tinggal......"
Tetapi walaupun Ratmi berusaha menekan perasaannya, tidak urung air matanya mengalir dari sudut matanya. Ia melangkah pergi dengan terisak isak. Hati perempuan ini sedih bukan main. Karena harapannya menjadi buyar tidak karuan lagi.
Untuk sejenak Wiro Sukro kebingungan. Ia mengangkat kepala memandang ke arah Ratmi pergi. Kemudian beralih memandang kepada Menak Kunjono dan Aras Pepet. Tetapi mendadak Wiro Sukro seperti disengat oleh kalajengking. Ia meloncat bangkit sambil berseru,
"Ratmi.....! Tunggu! keputusanku tidak berubah. kita pulang ke Karangpandan!"
Ucapan Wiro Sukro mantap. Membuktikan lakilaki ini telah dapat menentukan pilihannya, dan tak mungkin bisa dirubah lagi. Kemudian sambil berdiri, ia mengamati kepada Menak Kunjono dan Aras Pepet, lalu berkata,
'Saudara Kunjono dan Pepet! Menyesal aku tidak dapat membantu Giri maupun membantu Belambangan. Aku sudah tua dan ingin hidup tenang tanpa memikirkan urusan perjuangan lagi. Maafkan aku, dan aku berharap pula agar kalian dapat mengatasi Mataram."
Tanpa menunggu jawaban dua orang kakek itu, Wiro Sukro sudah melompat kemudian memburu isterinya yang sudah agak jauh pergi.
Dalam penasaran dan keputusasaannya, Ratmi tadi sudah berlarian cepat, dengan maksud segera pergi jauh dari Wiro Sukro. Akan tetapi begitu mendengar teriakan suaminya. Ratmi menghentikan langkah dan menunggu. Hati perempuan ini menjadi gembira. Maka begitu suaminya menyusul, tanpa malu lagi Ratmi sudah menubruk, memeluk erat lalu menyembunyikan muka yang basah itu ke dada suaminya. Wiro Sukro amat terharu. Iapun memeluk dan tangan kanannya sudah terangkat, mengusap
rambut isterinya sambil berkata halus.
"Ratmi, jangan menangis. Tidak seorangpun dapat
menghalangi maksud kita untuk hidup tenang di kampung halamanku."
Tetapi justeru oleh ucapan suaminya ini, Ratmi menjadi terbaru dan makin menjadi tangisnya.
Mendadak terdengar suara Menak Kunjono yang terkekeh,
"Heh-heh-heh, tidak tahu malu! Jika engkau akan berkhianat, tentu saja akulah orang pertama yang akan menghancurkanmu!"
Sambil berkata demikian, dua orang kakek itu sudah melangkah lebar menuju ke tempat Wiro Sukro dan Ratmi berdiri berpelukan.
Terkesiap Wiro Sukro mendengar ucapan Menak Kunjono yang penuh ancaman itu. Akan tetapi ia menjadi tersinggung dan marah pula, karena merasa kebebasannya terancam.
Ia boleh menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri, mengapa tahu-tahu dituduh sebagai pengkhianat?
Lalu bagaimanakah orang yang tidak berkhianat itu?
Kalau demikian halnya, perjuangannya yang sudah puluhan tahun lamanya itu, hilang begitu sajakah, karena ia memilih jalan hidup sebagai manusia biasa, yang ingin hidup tenteram dengan keluarganya?
Ia tidak mengharapkan jasa. Namun demikian orang harus berlaku adil terhadap dirinya.
Apa, yang terjadi atas diri Wiro Sukro ini, memang banyak terjadi di dunia yang ramai ini .Jerih payah dan pengorbanan yang puluhan tahun lamanya, bisa hancur dalam waktu yang hanya sekejap, kalau seseorang telah menuduh "berkhianat". Masalah ini sudah merupakan kebudayaan. Lalu orang menelan dan ikut-ikutan saja. Tetapi sudah
tentu semua ini erat hubungannya pula dengan dorongan yang kuat dari "si aku" . Maka selama "si aku" ini oleh setiap orang ditempatkan paling depan, demi kepentingan "si aku", selama itu pula sesuatu yang tidak adil berlangsung terus. Orang bisa dengan gampang mengucapkan "adil". Tetapi pelaksanaan itu sendiri yang amat sulit. Sebab adil dan adil ada dua macam.
Adil untuk yang mana?
Adil untuk kepentingan bagian besar dari manusia yang hidup di dunia ini, ataukah adil untuk beberapa gelintir manusia yang kebetulan berkuasa?
Wiro Sukro amat marah sekali dituduh sebagai "pengkhianat " ini. Namun demikian ia masih menekan kemarahannya itu, karena dirinya sadar berhadapan dengan bahaya. Wiro Sukro sadar bahwa tingkat kesaktiannya seimbang saja dengan dua orang kakek itu. Masih mending kalau berhadapan seorang lawan seorang, walaupun ia sulit memperoleh kemenangan, akan tetapi ia juga tidak mudah dikalahkan. Padahal ia sudah mengenal bagaimanakah watak dan tabiat dua orang kakek itu. Mereka takkan merasa malu lagi untuk kemudian maju mengeroyok, apa bila keadaan memaksa.
Namun sebaliknya, apakah dirinya harus mengalah begitu saja orang menekan dan memaksakan kehendak sendiri, tanpa mengingat kepentingan orang lain?
Tentu saja tidak!
Untuk membela diri dan merasa dirinya pada pihak benar, apapun yang terjadi akan ia hadapi penuh rasa mantap.
Wiro Sukro tersenyum getir. Jawabnya,
"Saudara Kunjono dan Pepet! Jangan sembarangan menuduh orang. Aku berkhianat kepada Siapa?"
"Heh-heh-heh. engkau pura-pura tolol!" ejek Aras Pepet.
"Kalau engkau lari dari kewajiban, itulah yang disebut berkhianat! Mataram berbuat sewenang-wenang. Apakah engkau membiarkan begitu saja? Sampai di manakah kegagahanmu yang selama ini dikenal sebagai pejuang menentang Mataram?"
"Hem,"
Wiro Sukro mendengus dingin sambil melepaskan pelukan Ratmi, dan mendorong perlahan agar isterinya itu menyingkir agak jauh.
"Aku ingin bertanya padamu, apakah yang kamu lakukan selama ini, merupakan pencerminan dari hati dan jiwamu ?"
"Heh-heh-heh, tentu saja! Sejak dahulu sampai sekarang aku dan kakang Kunjono tak pernah berubah. Sebagai pejuang yang menentang Mataram dengan gigih! Hayo, tanyakanlah kepada semua orang gagah di wilayah timur ini. Siapa yang dapat mencela Aras Pepet dan Menak Kunjono?"
"Aku!" bentak Wiro Sukro lantang.
"Engkau menepuk dada sebagai pejuang yang gigih, dalam usaha menutupi borokmu. Heh-heh-heh, engkau hidup sebagai hamba Adipati Belambangan. Maka engkau mempunyai kepentingan langsung dengan timbul dan runtuhnya Belambangan. Bukankah begitu ?"
Tertegun Aras Pepet mendengar ucapan orang yang tepat itu. Kenyataannya mereka memang merupakan hamba dari Adipati Belambangan. Dan Adipati Belambangan malah sudah menjanjikan kedudukan yang tinggi dan empuk, kalau saja mereka
dapat mempertahankan kedaulatan Belambangan dari ancaman Mataram. Karena kedudukan mereka inilah, maka mereka berusaha membujuk orang orang sakti memperkuat persekutuan melawan Mataram. Bagi mereka, setelah banyak adipati dan bupati yang bertekuk lutut kepada Mataram, menjadi sangat khawatir akan keselamatan Belambangan. Makin banyak adipati dan bupati yang tunduk, berarti Belambangan kehilangan kawan seperjuangan, dan Mataram semakin menjadi kuat.
"Heh heh-heh. apakah engkau bisa menangkis ucapanku ini? Engkau berjuang menentang Mataram karena pamrih. Karena kedudukanmu terancam! Sebaliknya, hayo katakan! Untuk siapa aku berpuluh tahun menyabung nyawa di medan perang melawan Mataram? Aku tidak terikat oleh siapapun. Maka kalau aku sekarang memutuskan untuk menikmati hari tuaku di desa kelahiranku, siapa pula yang bisa memaksa ?"
Tidak terbantah akan benarnya ucapan Wiro Sukro ini. Kedudukan Wiro Sukro dengan mereka memang lain. Akan tetapi, tentu saja dua orang ini tidak mau mengakui semua itu. Dan tentu pula dua orang kakek ini menjadi marah atas jawaban tersebut.
Ya, memang sudah menjadi kebiasaan manusia di dunia ini yang menjadi marah, setiap ditentang dan dilawan. Dan sudah menjadi kebiasaan manusia pula yang membabi buta, tidak perduli lagi akan salah maupun benar. Pendeknya selalu minta menang. Tidak seorangpun di dunia ini yang minta kalah. Benar hanya satu saja yang
abstrak. Yang tidak mempunyai bentuk maupun ujud. Akan tetapi manusia selalu keranjingan berusaha mendapatkan kemenangan itu. Maka kalau yang satu merasa benar, sudah tentu yang satu harus mengaku salah. Tetapi manusia tak pernah mau mengakui kenyataan ini. Dan akibat manusia selalu merasa benar dan berusaha memperoleh kebenaran inilah, maka dunia selalu tidak pernah tenteram. Selalu terjadi pertentangan dan pergolakan. Padahal yang sering disebut benar itu belum tentu benar, sekalipun diakui oleh banyak orang. Dan sering terjadi pula apa yang disebut benar itu bukanlah benar yang Sejati.
Katakan saja, raja ,berbuat suatu kesalahan. Ia merampas milik seseorang kawula (rakyat)nya. Entah berujud benda berharga maupan isteri orang. Padahal jelas bahwa perampasan ini tidak benar, sekalipun hal itu dilakukan oleh raja. Namun para bupati, para punggawa dan juga rakyat yang lain, kalau ditanya oleh raja akan menjawab apa yang dilakukan oleh raja itu benar. Takkan ada seorang pun yang berani menjawab "raja salah '. Sebab orang takut akan akibatnya kalau menjawab "raja bersalah".
Jadi apa yang disebut "benar" oleh banyak mulut itu belum tentu benar yang sejati. Tetapi benar oleh karena "rasa takut" dan oleh "kekuasaan",
Dan karena merasa terpojok dan sulit untuk membela diri itulah, maka Aras Pepet yang berangasan tak kuasa menahan hati. Bentaknya,
"Hai Wiro Sukro! Janganlah engkau membuka mulut sembarangan. Dengar! Pendeknya tidak perduli apapun, akan aku hancurkan kepala orang yang merintangi perlawanan kami kepada Mataram. Dan karena engkau berkhianat terhadap perjuangan, dengan menyesal mulai saat ini, engkau sebagai musuh. Dan engkau kami golongkan sama dengan para begundal Mataram !"
Wiro Sukro ketawa dingin mendengar ancaman itu. Apapun jadinya, ia akan tetap pada pendiriannya. Ia akan pulang ke Karangpandan dan membentuk bebrayan bahagia dengan Ratmi yang amat disayangi itu. Setelah lebih sepekan lamanya sebagai "suami isteri". Wiro Sukro sudah bisa merasakan kecocokan hati dan jiwa dengan Ratmi. Perempuan yang muda ini. ternyata hampir mirip dengan sikap sikap dan watak Wigati,isterinya yang sudah meninggal. Maka kehadiran Ratmi disampingnya itu, merupakan pengisian kekosongan yang amat cocok, yang sulit dicari. .. .
"Aras Pepet!" bentak Wiro Sukro lantang.
"engkau dapat mengancam yang lain, tetapi ancamanmu takkan berlaku terhadap diriku. Kalau engkau kukuh pada pendirianmu, akupun tetap pada pendirianku. Pendeknya orang yang berani mengucapkan kata kata 'khianat', harus menebus kelancangannya itu. Huh, dan siapapun yang berani menghalangi ciracitaku untuk hidup tenteram dengan isteriku, orang itu akan aku hancurkan kepalanya. Nah. engkau sudah mendengar pendirianku dan sekarang mau apa?"
"Uah-ha-ha-ha, congkak benar orang ini!"
Menak Kunjono berkata dengan dingin.
"Apakah
sangkamu engkau sudah tanpa tanding di dunia ini, sehingga tidak mau memandang muka orang lain?"
"Menak Kunjono! Jangan engkau memutarbalikkan kenyataan!" bentak Wiro Sukro yang makin marah.
"Siapakah yang tidak memandang muka orang lain, aku ataukah pihakmu sendiri? Aras Pepet dan engkau yang sudah pikun, mau memaksakan kehendak sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain. Tentu saja aku tidak sudi menuruti kehendakmu itu. Huh-huh, apakah engkau akan mengandalkan jumlah untuk menekan aku??
"Uah-heh-heh-heh, lagakmu makin sombong. Siapakah yang mau mengeroyok engkau? Seorang diripun aku sanggup menghancurkan batok kepalamu!" ejek Menak Kunjono dengan mata yang menyala.
"Ha--ha-ha engkau bilang kami mengandalkan jumlah? Yang mana? Kami hanya dua orang saja. Padahal pihakmupun dua orang. Bukankah ini sudah adil? Masing-masing berhadapan seorang lawan seorang."
Tampaknya ucapan Menak Kunjono ini sudah adil.Namun dalam kenyataannya orang ini cerdik dan licin. Pihaknya yang dua orang itu, tentu saja tidak dapat disamakan dengan jumlah dua orang pada pihak Wiro Sukro. Sebab Ratmi bukanlah tanding mereka yang seimbang. Kalau saja saat sekarang ini yang berada di samping Wiro Sukro itu Wigati, sedikit banyak bisa dikatakan seimbang. Maka benar-benar curang sikap Menak Kunjono sekarang ini.Terang, hanya ingin mencari menang.
Dan tentu saja Wiro Sukro menjadi amat khawatir sekali. Khawatir akan keselamatan Ratmi. Sekalipun Ratmi sudah mempunyai kepandaian lumayan, namun tentu saja berhadapan dengan salah seorang dari kakek ini, ibarat mentimun bermusuh dengan durian. Saking khawatir, ia segera berkata,
"Menak Kunjono! Jangan engkau memaksakan kehendak sendiri secara membabi buta. Persoalan ini merupakan persoalan Wiro Sukro dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet. Maka orang lain tidak termasuk di dalamnya. Huh, sekarang kita tentukan saja untuk membereskan soal kita ini. Kalau engkau memang bersikeras mau main paksa, Wiro Sukro takkan mundur selangkahpun dalam membela pendiriannya. Kamu boleh menentukan sendiri, siapa yang akan maju lebih dahulu melawan aku. Akan tetapi kalau memang kamu gentar menghadapi aku, silahkan sekarang juga maju berbareng."
"Mulut yang lancang!" bentak Aras Pepet menggeledek.
"Huh, biarlah aku yang menghadapi kecongkakan dan kesombonganmu ini."
Begitu selesai berkata, Aras Pepet sudah melangkah maju untuk segera berkelahi. Tetapi hal ini cepat dicegah oleh Menak Kunjono.
"Adi. janganlah engkau lancang terhadap orang tua. Berikan dia padaku, dan engkau boleh menonton apa yang bakal terjadi. Hemm, aku ingin melihat sampai di mana kemampuan orang yang sombong ini."
Aras Pepet tidak berani membantah. Lalu mundur. Menak Kunjono segera melangkah maju, lalu berhadapan dengan Wiro Sukro dalam jarak kira kira tiga meter. Melihat itu Ratmi menjadi amat
cemas dan gelisah .Khawatir kalau suaminya sampai gagal dalam membela diri, dan tewas ditangan dua orang kakek yang mau menang sendiri itu. Diam-diam ia menyesal, mengapa kepandaiannya belum seberapa. Juga ia menyesal sekali, mengapa sebagai "isteri " Sungsang selama lebih kurang satu tahun lamanya, tidak memperoleh kemajuan apa apa. Sungsang yang amat pelit tidak pernah mau memberi kesempatan membimbing ke arah kemajuannya. Akibatnya sekarang ia tidak berdaya sama sekali, dan tidak mungkin dapat membantu meringankan beban suaminya.
Oleh kegelisahannya ini, maka perempuan ini berdiri dengan tubuh yang agak gemetar dan wajahnya pucat.
Kalau sampai terjadi suaminya ,tewas di tangan kakek ini, buyarlah harapannya membalas dendam kepada Sungsang Lalu apakah arti hidupnya selanjutnya? '
Dua orang itu sekarang sudah saling berhadapan dan saling pandang. Masing-masing sudah siap siaga menghadapi setiap serangan. Dan masing-masing menyadari pula bahwa lawan yang dihadapi sekarang ini, tidak dapat dibuat main main. Maka otak masing masing diputar, guna memperoleh daya agar dalam waktu singkat dapat memperoleh kemenangan.
"Heh heh-heh," terdengar Menak Kunjono terkekeh,
"mumpung belum terjadi, sekali lagi aku nasihatkan padamu. Pikirlah dahulu baik-baik. jangan engkau membandel dan keras kepalamu. Dengan berjuang membantu Giri dan Belambangan, berarti engkau masih akan tetap hidup dan dapat
memadu kasih dengan isterimu yang masih muda itu. Akan tetapi kalau kau membandel, kemudian engkau roboh dalam tanganku, apakah engkau tidak menyesal dan mati penasaran? Cinta kasihmu dengan isterimu yang masih muda ini belum cukup lama. Dan betapa sedih isterimu ini, jika engkau tinggal mampus?'
Tentu saja kata-kata yang penuh ejekan ini makin memanaskan perut Wiro Sukro. Maka bentaknya menggeledek,
" Huh-huh, engkau sendiri yang sudah hampir mampus, masih banyak mulut dan banyak tingkah! Nih, sambutlah pukulanku! "
Wiro Sukro sudah melompat ke depan dan benar benar membuka serangannya. Tangan yang kiri dengan jari terkepal menyambar ke arah kepala lawan. Namun sebenarnya pukulan ini hanyalah gertak pancingan. Sedang serangan yang sebenarnya adalah tangan kanan, yang jarinya terbuka dan melengkung membentuk cakar garuda. Jari tangan yang melengkung membentuk cakar garuda ini amat berbahaya. Bagian tubuh yang berhasil dicengkeram tentu akan hancur remuk dan paling sedikit si korban akan menderita luka amat parah.
Namun serangan ini hanya disambut dengan ketawanya yang terkekeh oleh Menak Kunjono. Sebagai seorang bekas sahabatnya, tentu saja Menak Kunjono sudah amat kenal dengan tipu serangan ini. Maka ia membiarkan tinju kiri Wiro Sukro itu menyambar kepalanya, dan ia hanya menekuk tubuhnya sedikit. Akan tetapi ketika tangan kanan yang membentuk Cengkeraman itu mengarah
perut, dengan gerakan yang amat cepat ia menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan, adapun tangan yang kanan Sudah melayang seperti kilat menghantam dada lawan.
Tentu saja Wiro Sukro takkan membiarkan dadanya termakan oleh tinju lawan. Ia mengurungkan serangannya, menarik tangan dan diganti dengan tendangan kaki kanan kearah tangan Menak Kunjono yang menyeleweng menghantam dadanya.
"Heh-heh heh. bagus! Sebelum engkau mampus, sebaiknya engkau berpamit dahulu kepada isterimu yang muda itu, sambil memeluk dan berbiSik ! " ejek Menak Kunjono sambil menarik tangannya.
Sepasang mata Wiro Sukro seperti menyala saking marahnya. Ia tidak membuka mulut, hanya segera melancarkan serangannya lagi ,yang lebih dahsyat. ia sadar bahwa sedikit banyak lawannya ini sudah mengenal ilmu tata kelahinya. Maka untuk memperoleh kemenangan, ia harus menggunakan ilmu rahasia yang belum dikenal oleh Menak Kunjono. Akan tetapi sebaliknya, iapun sedikit banyak telah mengenal ilmu tata kelahi Menak Kunjono. Untuk itu ia dapat bersiap siaga setiap menghadapi serangan lawan.
Dalam waktu singkat dua orang bekas sahabat ini telah berkelahi sengit dan mati-matian. Persahabatan yang telah berlangsung puluhan tahun itu, dalam waktu yang singkat telah berubah menjadi musuh bebuyutan. Kebaikan yang telah dipupuk bertahun-tahun. dalam sekejap mata telah berusaha
saling membunuh. Hal-hal yang seperti ini memang banyak sekali terjadi di dunia ini. Dan semua itu bisa terjadi, bukan lain karena masing-masing menempatkan si aku di paling depan. Si aku yang ingin selalu diturut apa yang dikehendaki ini, menjadi marah apa bila ditentang. Dan si aku selalu minta diistimewakan dalam segala persoalan. Selama si aku merajalela dan menonjol di paling depan, selama itu pula orang akan mendekatkan diri dengan pamrih untuk keuntungan sendiri. Maka apa bila orang merasa dirugikan atau dikurangi keuntungannya, orang akan segera menggunakan kekerasan untuk memaksakan pamrihnya itu.
Memang tidak akan pernah terjadi perubahan pada si aku ini, selama manusia tidak mau mengadakan pengamatan dan mawas diri. Karena kepentingan untuk diri sendiri di atas segala-galanya. Persahabatan akan segera berubah menjadi musuh bebuyutan. Keluarga sendiri bisa akan dimusuhi pula. dan tentu saja dalam segala hal ,dirinya sendiri yang merasa benar, sedang orang lain salah!
Kapankah dunia ini terdapat perdamaian dan ketenteraman selama manusia masih menonjolkan "aku." nya ini?
Istilah perdamaian berubah menjadi istilah yang latah dan tiada harganya sama sekali. Perdamaian tidak mungkin datang sendiri, tanpa diusahakan oleh manusia sendiri penuh tanggung jawab.
Dan sungguh menyedihkan apa yang terjadi sekarang ini, antara Wiro Sukro dengan Menak Kunjono. Mereka berkelahi sengit sekali, dan masing-masing berusaha memperoleh kemenangan.
Mereka menguras seluruh kepandaian dan memeras semua tenaga.
Apa yang disebut menang hanya satu, manakah mungkin bisa diraih oleh dua orang?
Aras Pepet mengamati perkelahian sengit itu dengan tenang saja. Sebab ia amat percaya, bahwa kakak seperguruannya akan sanggup mengatasi lawan. Sebaliknya, Ratmi yang menyaksikan perkelahian sengit itu dengan tubuh yang gemetaran. Terkadang pula perempuan ini mendekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan, dalam usahanya menahan jerit ketakutan apa bila melihat suaminya terdesak atau terhuyung oleh sambaran angin pukulan lawan. Perempuan ini gelisah bukan main dan yang berkecamuk memenuhi dadanya hanyalah takut kalau suaminya roboh kalah.
Tiba-tiba timbul niat dalam hati Aras Pepet untuk mempercepat waktu mengalahkan Wiro Sukro. Untuk melaksanakan maksudnya itu tidaklah sulit. Apa bila perempuan yang masih muda itu ia tangkap, Wiro Sukro tentu akan lumpuh semangatnya, dan akhirnya akan tunduk kepada kemauannya.
Memperoleh pikiran demikian. segera pula ia laksanakan, ia sudah melompat jauh, kemudian sudah menubruk untuk menangkap Ratmi. Aras Pepet memang orang yang sembrono. Kakek ini menduga bahwa Ratmi hanyalah seorang perempuan desa biasa yang tidak mengenal akan ilmu tata kelahi. Oleh sebab itu dalam geraknya untuk menubruk dan menangkap itu, Aras Pepet hanya sembarangan saja.
"Aduhh..!"
Aras Pepet memekik kaget, ketika tubrukannya luput, sebaliknya kaki Ratmi malah menyambar kepalanya.
Sesungguhnya sambaran kaki yang kecil itu, tidak mengakibatkan apa-apa bagi kepalanya. Akan tetapi sebagai seorang yang merasa dirinya sakti, peristiwa ini merupakan suatu hinaan yang harus ditebus dengan nyawa. Maka kalau semula ia hanya bermaksud untuk menangkap dan menawan Ratmi untuk dijadikan jaminan supaya Wiro Sukro menyerah, maksud itu sekarang telah berubah. Timbullah nafsunya untuk membunuh perempuan ini.
"Kurang ajar! Apakah engkau ingin mampus?" sambil membentak Aras Pepet sudah mengembangkan dua lengannya.
Begitu bergerak, segera terdengar suara tulang yang gemerotok. Membuktikan bahwa latihannya tentang tenaga sakti sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya. Ia menyalurkan tenaga sakti itu ke tangan. Maksudnya sekali serang akan bisa membunuh perempuan itu,
Tentu saja Ratmi takkan mau menyerah dicelakakan orang. Walaupun ia sadar bahwa kakek ini bukanlah lawannya namun dengan segenap kemampuannya, ia akan berusaha untuk memberikan perlawanan. Sebagai seorang bekas murid wanita Perguruan Tuban, iapun memiliki keberanian berhadapan dengan lawan yang manapun. Dan ia mempunyai harga diri pula, maka apapun yang akan terjadi, ia takkan begitu saja mau dihina orang. Akan tetapi karena sadar menghadapi lawan yang kepandaiannya jauh di atas dirinya. maka Secepat
kilat ia Sudah mencabut pedangnya dan langsung disabatkan. ketika dua tangan Aras Pepet berusaha untuk mencengkeram tubuhnya.
"Bagus, heh heh heh, engkau bisa main pedang? "
Aras Pepet malah terkekeh gembira ketika terpaksa menarik lengannya menghindari sambaran pedang lawan.
Apa yang telah terjadi atas diri Ratmi, didengar pula oleh Wiro Sukro. Diam diam ia cemas bukan main, karena tahu bahwa Ratmi bukanlah lawan Aras Pepet. Namun karena mengingat bahwa dirinya sendiri sekarang berhadapan dengan bahaya, ia tak mau membagi perhatian. Apa pula diam diam iapun sudah mengenal akan watak Aras Pepet maupun Menak Kunjono. Maka dalam hati ia sudah menduga bahwa apa yang di lakukan oleh Aras Pepet memang disengaja. guna mengacau ketenangannya melawan Menak Kunjouo. Sadar akan bahaya yang dihadapi, maka walaupun ia tahu Ratmi berhadapan dengan bahaya, Wiro Sukro tidak berani memalingkan mukanya, ia terus melancarkan pukulan-pukulannya yang berbahaya.
Ratmi sudah menggerakkan pedangnya, memilih jurus yang ia anggap paling hebat. Namun serangan -serangannya itu dengan mudah dapat dihindari oleh Aras Pepet sambil ketawa terkekeh mengejek. Hal ini tentu saja memanaskan perut Ratmi, maka sambil menguatkan hati ia terus menyerang, dengan dahsyat.
"Heh-heh'heh, permainan pedangmu masih jelek. Huh, tidak pantas engkau pamerkan di depan
Aras Pepet!" ejek Aras Pepet sambil terkekeh.
Sejenak kemudian, terdengarlah bentakan Aras Pepet,
"Lepas! Tring..... aihhh......"
Ratmi menjerit kaget ketika pedangnya disentil oleh Aras Pepet kemudian terpental terbang. Sekalipun ia merasakan lengannya seperti lumpuh dan sudah tidak bersenjata lagi, namun Ratmi tak juga mau menyerah. Dengan tangan kosong ia masih bernafsu untuk melawan.
Tetapi justeru pekikan Ratmi tadi, merugikan Wiro Sukro. Begitu mendengar pekikan tersebut, Wiro Sukro tak kuasa menahan hati untuk tidak memalingkan mukanya ke arah isteri yang dikasihi itu. Ia menjadi agak tenang hatinya, ketika tahu Ratmi tidak menderita sesuatu. Namun sekalipun hanya sedetik Wiro Sukro membagi perhatian, kesempatan itu tidak disia siakan oleh Menak Kunjono. Tokoh Belambangan ini membentak nyaring sambil menggunakan tangan kanannya untuk memukul dada. Wiro Sukro telah berusaha untuk menghindari sambaran pukulan lawan itu dengan tangkisan tangan kiri. Akan tetapi sungguh celaka, ternyata pukulan tangan kanan itu hanya pancingan. Secepat kilat tangan kiri Menak Kunjono sudah menyambar.
"Buk!' 'pundak kanan Wiro Sukro terhantam telak sekali.
Tubuh Wiro Sukro terpental lalu sempoyongan, pandang matanya gelap dan bumi serasa berputar. Ia masih berusaha mempertahankan diri akan tetapi gagal. Dan akhirnya, tokoh Karangpandan ini roboh di atas tanah.
Melihat itu Ratmi amat kaget. ia memekik nyaring.
"Ohh..... kakang...,.. !"
Dan tak perduli apapun lagi, Ratmi sudah melompat meninggalkan Aras Pepet untuk menghampiri suaminya.
"Heh-heh-heh, robohlah!"
Aras Pepet tak mau memberi kesempatan kepada Ratmi untuk dapat mendekati Wiro Sukro. Tangan kanannya bergerak, lalu melancarkan pukulan jarak jauh. Saking penasaran, sudah timbul niatnya untuk menghabisi nyawa perempuan itu, agar Wiro Sukro tidak bercabang pikir kepada perempuan itu lagi.
"Manusia keji!" tiba tiba terdengar bentakan nyaring tetapi halus. Belum juga lenyap suara bentakan yang nyaring halus itu. Aras Pepet memekik kaget dan sempoyongan mundur. Wajahnya mendadak pucat dan dadanya tersengal-sengal.
Apa yang terjadi?
Pukulan jarak jauhnya yang dilancarkan ke arah Ratmi itu, ternyata tertangkis oleh pukulan yang amat dahsyat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, justeru tenaga pukulannya itu membalik lalu menghantam dirinya sendiri.
Itulah sebabnya maka tiba-tiba Aras Pepet mundur sempoyongan. wajahnya pucat dan dadanya tersengal sengal. Sebab pukulan jarak jauhnya itu, membuat dadanya sesak. Masih untung Aras Pepet tadi dalam melancarkan pukulan jarak jauhnya membatasi tenaganya. Kalau saja ia tadi menggunakan tenaga sepenuhnya, Aras Pepet akan menderita lebih hebat lagi.
Menak Kunjono yang ketika itu sudah akan melancarkan pukulannya lagi kepada Wiro Sukro
yang sudah roboh di tanah, terpaksa ia tahan, dan kaget ketika melihat Aras Pepet sempoyongan mundur. Lebih kaget lagi kakek ini, ketika yang muncul di tempat itu hanyalah seorang gadis yang masih muda sekali. Seorang bocah yang wajahnya amat cantik, sikapnya tenang dan gerak-geriknya amat halus. Maka Menak Kunjono hampir tidak percaya akan peristiwa yang baru terjadi, Aras Pepet harus sempoyongan mundur.
"Bocah, siapa kau, berani lancang mendekati tempat ini? Apakah engkau sudah bosan hidup?" bentak Aras Pepet yang berusaha menutupi rasa kagetnya.
"Hi-hi-hik, tentang 'siapa aku dan mengapa pula berani datang di tempat ini. engkau tidak perlu repot. Dan jika engkau bertanya apakah aku sudah bosan hidup, tentu saja aku belum bosan. Aku masih ingin hidup seratus tahun lagi !"
Jawaban yang seenaknya sendiri itu, barang tentu membuat Aras Pepet marah bukan main. Bentaknya,
" Kurang ajar! Jika engkau tak lekas enyah dari sini, jangan salahkan aku kalau salah tangan memukul hancur kepalamu."
"Hi-hihik, kepala siapa? Kepalamu?" sahut gadis ini sambil cekikikan.
Gadis muda ini bukan lain adalah Titiek Sariningsih. Sesungguhnya ia tidak ingin mencampuri urusan pribadi Wiro Sukro dan dua orang kakek tokoh Belambangan ini. Maka ia tadi enak-enak saja duduk nongkrong di atas dahan pohon. Akan
tetapi setelah ia melihat kecurangan Aras Pepet yang
bermaksud mau menangkap Ratmi, bocah ini menjadi tidak senang. Ia segera melompat turun dari dahan, kemudian berindap-indap mendekati tempat pertempuran. Maksudnya tidak lain, akan melindungi keselamatan perempuan itu.
Sebagai seorang perempuan pula, ia cepat tidak senang dan tidak rela pula kalau ada seorang perempuan dihinakan lakilaki. Maka laki-laki yang bermaksud menghina perempuan itu, sudah selayaknya pula kalau ia ajar adat.
Di samping ia tidak rela Ratmi dihinakan orang itu. sesungguhnya Titiek Sariningsih merasa penasaran pula atas sikap Menak Kunjono dan Aras Pepet yang mau menang sendiri. Orang mempunyai kebebasan memilih hidupnya.
Mengapa dua orang kakek ini mau mengatur dan malah menggunakan kekerasan pula?
Sekarang dengan sikapnya yang tenang Titiek Sariningsih sudah berdiri menghadapi dua orang kakek itu, untuk melindungi keselamatan Wiro Sukro dan Ratmi. Sebagai seorang yang telah menguasai ilmu tinggi, sekali pandang ia sudah tahu bahwa Wiro Sukro tak mungkin lagi dapat melanjutkan perkelahian itu. Ia tahu bahwa pundak kanan Wiro Sukro patah tulang oleh pukulan Menak Kunjono. Sedang isi dadanya tentu terguncang dan menderita luka dalam. Maka apa bila ia tidak cepat bertindak dan melindungi keselamatan suami isteri ini, sulit diharapkan Menak Kunjono dan Aras Pepet mengampuni jiwanya. Entah mengapa sebabnya, pendeknya ia merasa tidak tega kalau suami isteri
yang masih merupakan pengantin baru ini, harus celaka ditangan dua orang kakek itu.
Wiro Sukro yang masih menggeletak di atas tanah dengan dada yang sesak, mengamati bocah itu dengan hati yang amat tegang dan khawatir. Karena itu ia segera memaksa diri untuk bangkit dan duduk. Sedang Ratmi yang wajahnya pucat, memeluk punggungnya untuk membantu agar suaminya dapat duduk tegak.
"Anak muda," kata Wiro Sukro sambil menahan sesak dadanya,
"siapakah engkau ini? Dan mengapa pula sebabnya engkau berusaha untuk melindungi aku? Uh-uhuh......, anak muda..... aku sudah tua. Aku tak takut mati membela pendirianku.Akan tetapi, hemm, sungguh sayang dan aku akan mati penasaran, kalau engkau yang muda harus berkorban untuk aku. Anak, dengarlah kataku. Pergilah engkau dan biarkan mereka berbuat sesuka hati kepadaku...... yang sudah tidak berdaya.... ini.....! "
Titik Sariningsih memalingkan mukanya sambil cekikikan.
"Paman, hi-hi-hik, terima kasih atas perhatianmu padaku. Akan tetapi legakan hatimu, dan beristirahatlah engkau dengan tenang dijaga oleh isterimu yang setia. Pendeknya untuk melawan dua keledai tua ini, apakah sulitnya?"
Wiro Sukro mengerutkan alisnya dan kurang senang atas Sikap gadis yang menyombongkan diri, dan merendahkan Menak Kunjono dan Aras Pepet itu.
Akan tetapi karena dirinya sekarang dalam keadaan terluka, tulang pundaknya patah dan sakitnya bukan main, ia menahan diri dan ingin melihat, apakah kepandaian gadis muda ini sesuai dengan kesombongannya?
Tetapi sekalipun demikian, dalam hatinya timbul pula rasa yang berdosa kalau gadis muda ini harus mengorbankan nyawanya untuk membela dirinya.
Lebih-lebih bagaimanakah ia harus menjawab, kalau mendapat teguran dari guru gadis ini?
Saking tak kuasa menahan perasaannya, Wiro Sukro berkata lagi,
"Anak, jika sudah menjadi tekadmu, manakah aku dapat menghalangimu? Tetapi, aku minta kerelaan hatimu, agar engkau memperkenalkan namamu dan gurumu."
"Paman, aku yang muda ini bernama Titiek Sariningsih," sahut Titiek Sariningsih ramah.
"Akan tetapi tentang siapa guruku, maafkan aku! Tak dapat aku memperkenalkan nama guruku itu."
"Hemm, terima kasih anak Titiek Sariningsih, engkau sudi mengulurkan tangan dan menolongku. Akan tetapi engkau tidak mempunyai senjata. Apakah tidak sebaiknya engkau gunakan saja pedang isteriku ini? "
Tentu saja Wiro Sukro masih mengkhawatirkan Titiek Sariningsih yang masih berusia muda itu. Dan dalam pada itu, tentu saja Wiro Sukro menduga, bahwa Titiek Sariningsih tidak bersenjata. Sebab pedang lemas Si Buntung melingkar pada pinggang dan tidak tampak dari luar.
Tetapi justeru sikap Wiro Sukro, yang menunjukkan perhatian dan rasa sayangnya ini, membuat Titiek Sariningsih ...terharu, dan makin besar rasa simpatinya.
Sebagai seorang gadis yatim piatu, selama ini hanya lima orang saja, yang memberi kasih sayangnya secara tulus kepada dirinya. Pertama Sindu, kemudian menyusul Ki Ageng Lumbungkerep, Damayanti, lalu ayah dan bunda Damayanti. Terhadap ayah bundanya sendiri, ia masih terlalu kecil ketika itu, sehingga ia belum ingat akan kasih sayang ayah bundanya. Maka Titiek Sariningsih memalingkan mukanya sambil tersenyum. Jawabnya,
"Terima kasih paman, atas perhatianmu. Tentang senjata, aku sudah punya. Yang penting, tenangkan hatimu, biar aku mewakili paman untuk menghajar dua ekor keledai tua ini."
"Kurang ajar! " bentak Aras Pepet menggeledek saking tak kuasa menahan marah.
"Setan kecil, jangan engkau mengumbar mulut sembarangan di depan kakekmu! Apakah engkau memang sudah bosan hidup"? Sekali pukul kepalamu akan hancur. Tahu?"
Titiek Sariningsih sikapnya tetap tenang. lalu ketawa. Sahutnya,
"Hihihik, setan gede! Jangan engkau mengumbar mulut sembarangan di depan nonamu! Apakah engkau memang sudah bosan hidup? Sekali pukul kepalamu akan ambyar. Tahu?"
Melihat sikap dan mendengar jawaban Titiek Sariningsih itu, tak kuasa Ratmi menahan ketawanya yang geli. Sedang Wiro Sukro sekalipun sambil menahan sakit, tertawa juga.
"Nah, rasakan keledai tua! Sekalipun kecil,anak Titiek Sariningsih adalah cabe rawit. Engkau akan babak-belur oleh hajarannya!" saking gemas dan penasaran suaminya terluka,
Ratmi memberanikan diri untuk mengejek.
Titiek Sariningsih cekikikan senang, merasa dibantu oleh Ratmi. Sebaliknya, Menak Kunjono dan Aras Pepet marah bukan main. Saking tak kuasa menahan kemarahannya, Aras Pepet sudah menerjang maju sambil melancarkan pukulannya. Pukulan Aras Pepet ini tidak main-main. Angin pukulannya menyambar amat dahsyat, menyambar ke arah Titiek Sariningsih. Aras Pepet memang sadar, bahwa sekalipun tampaknya lawan ini masih amat muda, akan tetapi ketinggian ilmu, usia muda dan tua bukan ukuran. Tadi ia sudah merasakan sendiri, bahwa pukulannya dapat ditangkis oleh gadis ini, sehingga dadanya terasa sesak. Ingat akan pengalamannya tadi, maka kali ini ia melancarkan pukulan yang lebih dahsyat. Maksudnya, sekali pukul dapat merobohkan bocah ini. Sebab bagaimanapun juga ia merasa malu, sebagai seorang kakek melawan seorang yang pentasnya menjadi cucunya.
Akan tetapi sungguh keliru dugaan Aras Pepet, kalau sekali pukul akan dapat merobohkan Titiek SariningSih. Gadis ini tidak mau melawan keras lawan keras. Ia menjejakkan tumitnya ke tanah, kemudian dengan amat ringan tubuh kecil itu sudah melenting cukup tinggi. Melihat itu Aras Pepet gembira sekali. Ia menduga kalau lawan yang masih bocah ini, tidak berani beradu tenaga. Ejeknya,
"Huh, ajalmu sudah hampir tiba!"
Memang sungguh berbahaya apa yang dilakukan oleh Titiek Sariningsih ini. Tentu saja gadis ini takkan dapat lama bertahan di udara, dan tubuhnya akan meluncur turun. Di saat itulah
Titiek Sariningsih meluncur turun ini, Aras Pepet segera menyambut dengan pukulan yang cukup dahsyat. Tokoh Belambangan ini percaya, bahwa Pukulan susulan ini akan segera dapat mengalahkan gadis itu, kemudian roboh di atas tanah tanpa nyawa.
Pendapat Aras Pepet ini sama dengan pendapat Menak Kunjono yang berdiri menonton. Begitu pula Wiro Sukro yang menjadi amat cemas, wajahnya tambah pucat dan dadanya lebih tersengal lagi. Kalau Menak Kunjono gembira bahwa bocah kurang ajar ini dalam Waktu singkat akan mampus di tangan adiknya, sebaliknya Wiro Sukro menjadi cemas sekali. Kalau gadis yang maksudnya akan menolong dirinya ini sampai mati, ia akan merasa berdosa amat besar sekali. Sebab oleh gara-garanya, gadis muda yang cantik jelita itu harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Berbeda dengan Titiek Sariningsih. Walaupun tubuhnya meluncur turun, ia bersikap tenang saja.Dan ketika angin pukulan Aras Pepet yang dahsyat menyambar, gadis ini tidak memberikan perlawanan. Ia menggunakan tenaga lemas atau tenaga dingin dari Ilmu Tangan Kosong Cleret Taun. Akibatnya tenaga pukulan yang dahsyat itu yang dapat meremukkan batu besar dan menumbangkan pohon, tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap gadis ini.
Pukulan itu lenyap keampuhannya. Dan yang masih menyambar tinggallah angin pukulan yang tidak membahayakan jiwanya. Oleh tiupan angin pukulan yang kuat itu, tubuh Titiek
Sariningsh kembali membal di udara. Di udara
gadis ini kemudian berjungkir balik untuk mematahkan dorongan angin itu. sehingga tubuhnya yang kecil kembali meluncur ke bawah. Akan tetapi begitu meluncur turun, lagi-lagi Aras Pepet mengirimkan pukulannya yang dahsyat. Dan begitu lawan memukul, tubuh kecil itupun kembali membal di udara.
Demikianlah, tampaknya Titiek Sariningsih dalam keadaan yang amat berbahaya, dipermainkan oleh pukulan lawan dari bawah. Akan tetapi yang terjadi sesungguhnya, adalah sebaliknya. Titiek Sariningsih tidak menderita akibat apa apa, oleh tubuhnya yang meluncur turun, dan sedetik kemudian harus membal kembaii. Ia tidak merasa payah sedikitpun, malah seakan-akan ia bermain main di udara.
Tetapi walaupun pukulan Aras Pepet itu tidak menimbulkan akibat apa-ana bagi gadis ini. kalau Titiek Sariningsih tidak dilindungi oleh ilmu sakti, bocah itu akan tersiksa seperti dikocok. Setidaknya perutnya akan menjadi mual dan kepala akan menjadi pening. Katakan saja kalau yang mengalami keadaan seperti ini perempuan yang bernama Ratmi itu, mungkin sudah pingsan atau mati.
Peristiwa yang demikian itu terus berlangsung cukup lama. Setiap tubuh Titiek Sariningsih meluncur turun, akan segera disambut oleh pukulan Aras Pepet yang bertenaga dahsyat. Pada mulanya memang tenaga pukulan itu hanya terbatas saja, karena Aras Pepet mengira bahwa gadis itu tentu tidak dapat bertahan. Akan tetapi setelah beberapa kali terjadi, di udara Titiek Sariningsih masih dapat berjungkir balik, kakek Belambangan ini menjadi penasaran dan amat bernafsu. Ia tidak telaten lagi, kemudian menambah tenaga pukulannya. Angin yang lebih dahsyat menyambar, dan tenaga yang dikirimkan lewat pukulan itupun semakin kuat.
Akibatnya tubuh Titiek Sariningsihpun lebih tinggi lagi membalnya. Dan hal itu, membuat Wiro Sukro yang menonton sambil duduk, makin khawatir bukan main. Kalau saja dirinya sekarang ini tidak menderita luka agak parah, tentu ia takkan dapat membiarkan Titiek Sariningsih dipermainkan seperti itu. Tentu ia sudah menerjang maju guna menolong.
Ratmipun cemas bukan main. Wajah perempuan yang sudah pucat itu, makin tambah pucat lagi. Adapun tubuhnya juga makin gemetaran, mengkhawatirkan keselamatan gadis penolongnya itu. Katanya lirih,
"Kakang, Wiro aduhh. bagaimana dia itu? Aduhh.. .aku khawatir sekali kalau akhirnya dia akan terbanting hancur......"
Wiro Sukro hanya dapat menghela napas, sebab ia sendiri memang amat khawatir.
Tetapi apa daya?
Dirinya sendiri sudah terluka, sedang tenaga Ratmi tidak dapat diperbantukan kepada gadis itu. Karena merasa tidak berdaya itulah, maka yang bisa dilakukan, ia hanya menghibur diri.
'Hemm, mudah-mudahan tidak. Tuhan adalah adil! Aku percaya, orang yang tak bersalah akan memperoleh perlindunganNya......"
"Kakang..... tetapi aku cemas sekali. Kalau dia sampai dikalahkan, tak urung engkau akan celaka......" kata Ratmi setengah meratap, sambil
memandang wajan suaminya yang pucat.
"Tetapi kakang... aku sudah memutuskan. Kalau kakang sampai celaka di tangan dua orang kakek jahat itu .. huh, aku tak mau hidup lagi. Aku...... aku tak dapat hidup tanpa engkau.... kakang. Tentu aku melawan untuk mati,"
Terharu hati Wiro Sukro mendengar pernyataan isterinya itu.Pernyataan kesetiaan seorang isteri kepada suaminya. Maka sambil menggunakan lengan kirinya, Wiro Sukro mengusap rambut Ratmi. Hiburnya,
"Jangan engkau khawatir, isteriku! Percayalah bahwa orang tak bersalah akan memperoleh perlindungan Tuhan."
"Tapi ...." kata-kata Ratmi ini terputus. kemudian Wiro Sukro dan Ratmi memandang ke arah gelanggang perkelahian dengan mata terbelalak heran, hampir tidak percaya apa yang mereka saksikan.
Mereka tadi mendengar pekik nyaring dari mulut Aras Pepet.Dan sekarang mereka melihat bahwa kakek itu sudah roboh, dari mulutnya menyembur darah merah, sedang gadis itu sekarang sudah berdiri tegak di tanah tanpa mengalami suatu apapun. Wajah gadis itu tetap biasa, pernapasannya tidak memburu, sedang bibir yang indah itu menyungging senyum.
Apakah yang telah terjadi?
Ternyata Titiek Sariningsih dapat merobohkan Aras Pepet dalam waktu singkat, karena kecerdikannya. Titiek Sariningsih tadi memang sengaja melenting tinggi di udara. Ia sengaja agar musuh gembira, kemudian menyusuli serangan di saat tubuhnya meluncur turun.Dengan
menggunakan akal yang cerdik ini, Titiek Sariningsih dapat menghemat tenaga, tetapi sebaliknya dapat memeras tenaga lawan tanpa disadari oleh lawan sendiri.
Selama Titiek Sariningsih mengapung di udara dan dipermainkan oleh pukulan bertenaga dari Aras Pepet itu, ia sama sekali tidak menggunakan tenaga, baik untuk menangkis maupun membalas menyerang. Ia membiarkan dirinya dipermainkan, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut. Ternyata pancingannya berhasil. Setelah pukulannya tidak lekas dapat membuat gadis itu pingsan atau tewas, Aras Pepet menjadi amat penasaran dan mengerahkan tenaga untuk melancarkan pukulannya. Oleh pengerahan tenaga yang terus-menerus ini, sudah barang tentu Aras Pepet menjadi kepayahan.
Justeru kesempatan inilah yang selalu ditunggu oleh Titiek Sariningsih. Setelah ia merasakan bahwa tenaga pukulan yang semula dahsyat itu sudah mulai menurun, ia segera tahu bahwa Aras Pepet mulai kehabisan tenaga. Di saat lawan sudah kehabisan tenaga inilah, ia mulai mengadakan pembalasan. Ketika dirinya terayun oleh pukulan Aras Pepet, ia berjungkir balik di udara. Kemudian secara tidak terduga-duga, dan sebelum Aras Pepet sadar akan bahaya, Titiek Sariningsih sudah membalas memukul ke bawah sambil menyalurkan Aji Dahana Muncar ajaran Sindu.
Pengaruh dari Aji Dahana Muncar adalah amat berbahaya. Sebab dahana muncar berarti api yang menyala. Sesuai dengan namanya, maka pengaruh dari aji tersebut amat panas. Maka begitu Titiek Sariningsih melancarkan pukulannya, segera menyambarlah angin pukulan yang sangat panas dan bertenaga.
Kaget Aras Pepet tak terkira, ketika merasakan angin yang amat panas menyambar tubuhnya. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga yang masih ada untuk menangkis. Terjadilah ledakan yang keras, sebagai akibat,bertemunya tenaga pukulan yang sama kuatnya. Akan tetapi ledakan itu segera disusul oleh pekik Aras Pepet yang nyaring panjang. Kakek itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, dari mulutnya menyembur darah segar, dan kemudian robot terguling di tanah.
Apa yang terjadi ini di luar dugaan Menak Kunjbno yang ketika itu menonton. Maka kakek ini tidak sempat berbuat apa-apa. Ia baru kaget dan kemudian melompat ke arah adiknya untuk memberikan pertolongan. Akan tetapi dalam pada itu, secara curang iapun sudah melancarkan serangan dengan pukulan jarak jauh ke arah Titiek Sariningsih yang baru mau melayang turun.
Dalam menyerang ini Menak Kunjono tidak tanggung-tanggung. Ia menggunakan dua tangannya sekaligus. Akibatnya memang hebat sekali. Titiek Sariningsih yang baru akan melayang turun itu, kembali membal di udara amat tinggi. Kalau bukan Titiek Sariningsih yang sudah memperoleh gemblengan Ki Ageng Lumbungkerep, keadaan ini tentu amat berbahaya. Sebab makin tinggi terapung, akan makin cepat pula tenaga luncurannya ke bawah. Kalau di saat meluncur turun ini tidak dapat mematahkan tenaga luncuran itu, niscaya tubuhnya akan terbanting hancur di tanah. .
Di udara Titiek Sariningsih tidak melakukan perlawanan, hingga tenaga pukulan dahsyat yang dilancarkan oleh Menak Kunjono itu tidak berpengaruh apa-apa. Kemudian di udara ia berjungkir balik beberapa kali, sehingga tenaga luncuran ke bawah itu patah dan menjadi lambat. Dan selanjutnya Titiek Sariningsih dapat mendarat dengan tidak mengalami sesuatu .Wajahnya masih tampak biasa, dadanya tidak memburu, malah bibir yang tipis itu tersenyum.
"Setan...!" desis Menak Kunjono.
Ya, hanya setan saja yang tidak menderita sesuatu oleh pukulan Aras Pepet yang berkali-kali, dan oleh pukulannya yang menggunakan dua tangan sekaligus. Diamdiam kakek yang biasanya selain angkuh dan merasa sakti mandraguna itu, menjadi gentar. Jelas walaupun lawan ini masih muda, tetapi lebih berbahaya dibanding dengan Wiro Sukro. Maka ia harus berpikir-pikir seribu kali. kalau harus menggantikan adik seperguruannya untuk melawan bocah ini.
Titiek Sariningsih yang mendengar desis Menak Kunjang itu, cepat bertanya,
"Mana ada setan ? "
"Engkaulah setan!" desis Menak Kunjono geram,
"Engkau setan?" gurau Titiek Sariningsih seenaknya.
Menak Kunjono terbelalak. Ia bermaksud memaki orang sebagai setan. ternyata malah berbalik kepada dirinya Sendiri. Maka kakek ini bersungut sungut untuk tidak mengurangi harga dirinya
"Bocah cilik! Siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pula gurumu? Pantasnya engkau adalah cucuku, maka kurang enak kalau aku harus menggunakan kekerasan terhadap engkau."
Titiek Sariningsih yang pada dasarnya lincah itu, begitu memperoleh kemenangan menjadi lebih lincah lagi .Timbullah keinginannya untuk mempermainkan kakek ini. Jawabnya,
"Bocah gede! Siapakah sesungguhnya engkau ini, dan siapa pula gurumu? Pantasnya engkau adalah kakekku, akan tetapi tingkah lakumu memang kurang patut. Sungguh celaka kalau ada seorang kakek dihajar oleh cucunya."
Menak Kunjono membanting-banting kakinya saking marah diejek sedemikian rupa. Akan tetapi Titiek Sariningsih malah cekikikan. Ejeknya,
"Aihh. apakah kakimu kumat bubulnya, kek? Mari kalau memang kumat biarlah cucumu memberi obat!"
Sambil berkata, Titiek Sariningsih menendang sebutir kerikil yang berada di depan kakinya. Kerikil itu segera melesat cepat sekali ke arah Menak Kunjono.
"Hemm,"
Menak Kunjono menggeram marah. Namun ia tidak gentar. Malah kemudian timbullah tekadnya untuk melakukan pembalasan kepada bocah ini, agar tidak terlalu congkak sikapnya. Ia tidak menghindar dan menunggu sambaran kerikil yang secepat kilat ke arah dadanya itu. Ia sudah memutuskan untuk menunjukkan kepandaiannya. Maka kerikil yang menyambar itu ia sambut dengan tangan kanan. Maksudnya begitu kerikil itu tertangkap, akan segera ia sambitkan kembali ke arah bocah kurang ajar itu.
"Auhhh......!" tetapi tiba-tiba terdengar pekik nyaring dari mulut Menak Kunjono, sambil berjingkrakan menggunakan sebelah kaki.
Kaki yang kanan ia gantung dan dipegang oleh dua tangan, mulutnya mendesis desis dan dari sudut matanya ke luar air mata.
Apa yang terjadi?
Ternyata kerikil yang tampaknya akan menyambar dada itu, secara tiba tiba arah sasarannya sudah beralih. Di saat sudah menyambar dada itu, secara tiba-tiba arah sasarannya sudah beralih. Disaat sudah menyambar dekat dengan dada Menak Kunjono dan tangan kakek itu sudah terulur, mendadak kerikil itu menukik turun dengan kecepatan tak terduga. Akibatnya tahu-tahu kerikil itu sudah memukul mata kaki. Maka tidak mengherankan kalau kakek itu memekik nyaring sambil berjingkrakan.
Karena mata kaki yang terpukul ini, sakitnya bukan main.
Apa yang terjadi ini, adalah kemahiran Titiek Sariningsih dalam mengatur tenaganya, dari Ilmu Cleret Taun. Akibatnya lawan yang luas pengalaman, dan sudah berusia tua pula, masih pula dapat tertipu.
Titiek Sariningsih cekikikan geli melihat Menak Kunjono berjingkrakan macam itu. Demikian pula Ratmi yang semula tegang dan cemas itu, sekarang ikut terkekeh geli. Hatinya yang merasa lega melihat Titiek Sariningsih tidak menderita sesuatu, membuat Ratmi yang benci kepada kakek itu, ingin sekali ikut mengejek.
"Hi-hi-hik, lucu!"? ejek Titiek Sariningsih.
"Hai bocah gede! Apakah engkau sudah bosan menjadi bocah gede, dan ingin kembali menjadi bocah cilik? hi-hi_hik, permainan yang kaupamerkan sekarang ini, hanya patut dilakukan oleh para bocah cilik."
Mata Menak Kunjono mendelik mengeluarkan sinar api, sedang wajahnya merah padam saking penasaran dan marah.
Siapakah yang tidak menjadi marah, kalau seorang kakek seperti dirinya, dapat diingusi oleh bocah Cilik?
Di samping itu betapa memalukan peristiwa ini, kalau diketahui orang. Aras pepet roboh dalam waktu singkat dan menderita luka parah, sedang dirinya sendiri dalam segebrakan saja sudah menderita kesakitan. Sungguh merupakan pengalaman pahit yang tidak Pernah diimpikan.
Akan tetapi Menak Kunjono bukanlah kakek berangasan seperti Aras Pepet. Bercermin kepada apa yang baru saja dialami,jelas bahwa sekalipun masih muda, lawan ini amat tangguh dan berbahaya. Walaupun ia merasa belum tentu bisa dikalahkan, namun juga belum tentu dirinya dapat mengalahkan.
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah untungnya meneruskan perselisihan yang tidak berarti ini?
Padahal Aras Pepet menderita luka parah dan memerlukan perawatan secepatnya. Maka terpikir oleh kakek ini bahwa sebaiknya hari ini ia mengalah dan pergi. Dan harapannya, kelak kemudian hari masih akan dapat menebus kekalahan yang amat memalukan ini.
Akan tetapi merasa sebagai seorang yang sudah mempunyai nama harum, tentu saja kakek ini menghindarkan diri dari turunnya harga. Ia mendengus dingin.
"Hemm, jangan lekas menjadi congkak anak muda. Menak Kunjoro tidak serendah yang kauduga. Hemm, hari ini biarlah persoalan ini kita anggap selesai sampai di sini. Dan aku tidak akan mengganggu gugat lagi tentang Wiro Sukro. Tetapi, hem. jangan engkau kira bahwa Menak Kunjono gentar berhadapan dengan bocah ingusan macam kau. Hal ini bukan lain karena aku yang tua merasa malu, apa bila harus melayani engkau bermain-main. Betapa. dunia ini akan mentertawakan aku, jika aku harus melayani, kenakalanmu. Bocah, aku mempunyai tugas yang lebih penting. Lain hari masih banyak waktu untuk kita bertemu lagi."
Selesai berkata, Menak Kunjono sudah menyambar tubuh adik seperguruannya, dipanggul pergi cepat sekali. Titiek Sariningsih tidak mengejar. dan hanya mengejek dengan ketawanya yang terkekeh. Bagi Titiek Sariningsih sendiri, memang tidak ingin berpanjang urusan dengan kakek itu. Sebab yang penting bagi dirinya tadi yang terpaksa harus campur tangan, adalah untuk membela keadilan. Ia tida senang terhadap sikap dua orang kakek itu yang mau main paksa kepada orang lain.
Adapun Wiro Sukro dan Ratmi, sulit sekali dilukiskan betapa gembira hatinya melihat kakek itu pergi, dikalahkan oleh seorang bocah saja. Mau rasanya mereka mencium telapak kaki bocah itu.
justeru oleh pertotongannya,nyawa mereka bisa selamat. Akan tetapi di samping rasa gembiranya, wiro Sukro juga heran berbareng kagum.
Murid siapakah bocah ini, justeru masih begitu muda sanggup menundukkan tokoh kawakan dari Belambangan itu?
Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mana mungkin ia percaya? .
Wiro Sukro memaksa diri untuk bangkit, ditolong oleh Ratmi. Maksudnya, orang tua ini akan menghampiri tempat Titiek Sariningsih berdiri, dan akan mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi belum juga Wiro Sukro yang memaksa bangkit berdiri dengan menahan sakit itu berhasil, Titiek Sariningsih sudah berteriak,
"Hai paman! Jangan engkau memaksa diri. Karena engkau sendirilah yang akan menderita rugi."
Wiro Sukro sendiri memang sadar, terlalu memaksa diri dalam keadaan luka yang cukup parah seperti yang diderita sekarang, bisa mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Maka setelah mendengar peringatan itu, perlahan-lahan ia kembali duduk.
( Bersambung jilid 4 )
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 4
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://cerita-silat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung ")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 4
******
DENGAN gerakan ringan Titiek Sariningsih telah menghampiri. Titiek Sariningsih mengambil obat kering dari dalam simpanannya, lalu diangsurkan kepada Ratmi.
"Bibi, nih simpanlah yang-dua butir. Adapun yang sebutir, tolong masukkan dalam mulut paman agar deritanya berkurang. Nih air untuk mempermudah masuknya obat."
Sambil berkata, Titiek Sariningsih memberikan tempat air kepada Ratmi. Perempuan ini mengangguk dan segera melaksanakan perintah bocah itu. Adapun Wiro Sukro tanpa bicara, sudah menurut pula.
"Paman, mudah-mudahan dengan tiga butir obat untuk tiga hari, engkau sudah sembuh. Tapi, eh, tulang pundakmu patah."
Kagum hati Wiro Sukro. Dan orang tua inipun makin hormat kepada bocah ini, yang ternyata awas pula pandang matanya. Ia hanya mengangguk saja, merupakan tanda bahwa apa yang dikatakan Titiek Sariningsih benar.
Dan bocah ini, sudah melompat kemudian mematahkan dahan pohon yang cukupan besarnya. Setelah dipatahkan menjadi dua potong, ia menghampiri Wiro Sukro sambil berkata,
"Paman, bolehkah aku menolongmu untuk menyambung tulangmu yang patah?"
Amat terharu hati tokoh Karangpandan ini, mendengar ucapan yang penuh sopan dan ramah itu. Jelas, sekalipun tanpa diminta, ia akan menyambut dengan senang hati. Namun gadis ini, masih menggunakan basa-basi. Maka ia mengangguk, jawabnya menggeletar,
"Anak, engkau baik sekali. Aku yang tua ini, sulit sekali untuk berkata bagaimanakah aku harus mengucapkan terima kasihku padamu. Bukan saja engkau telah menyelamatkan nyawaku, tetapi juga nyawa isteriku dari kekejaman dua orang kakek tadi."
Titiek Sariningsih tersenyum. Lalu jawabnya,
"Sudahlah paman, janganlah engkau terlalu menyibukkan soal yang tak berarti ini. Kewajiban manusia harus saling tolong tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri."
Gadis ini kemudian berjongkok di belakang Wiro Sukro. Lalu memalingkan muka ke arah Ratmi sambil berkata,
"Bibi, adakah engkau masih mempunyai cadangan kain penutup dada ?"
Sebagai seorang bekas murid Tuban, Ratmi tahu juga maksud bocah ini.
"Hemm, biarlah kulepas kain penutup dadaku ini."
Tanpa menunggu persetujuan Titiek Sariningsih perempuan ini, sudah membuka baju kebayaknya, lalu ia mulai membuka kain penutup dadanya. Kulit yang kuning halus segera tampak amat nyata. Dan...... begitu kain penutup dada lepas. payudara
Ratmi yang montok dan padat itu segera mencuat dari dada ketika kain penutupnya itu lepas. Untung sekali bahwa pada saat ini, tidak ada orang lain yang hadir. Sehingga hal itu tidak menimbulkan sesuatu apa. Titiek Sariningsih hanya tersenyum melihat payudara Ratmi yang semula ditutup oleh kain penutup dada. Yang selanjutnya, Ratmi sudah menutup kembali dengan baju kebayaknya.
"Anak, aku memang sudah tidak mempunyai kain penutup dada yang lain," kata Ratmi.
"Tetapi tidak apa, untuk sementara cukup kututup dengan baju. Bukankah setelah pundak kakang Wiro sembuh, kain penutup dada itu masih dapat aku pergunakan lagi? '
"Begitulah yang seharusnya engkau lakukan, bibi," kata Titiek Sariningsth sambil mulai mengerjakan penyambungan tulang pundak Wiro Sukro yang patah. Namun, diam-diam Titiek Sariningsih senang mendengar jawaban perempuan itu. Membuktikan betapa besar kasih sayang Ratmi kepada Wiro Sukro, sekalipun Wiro Sukro tak bedanya seorang ayah. :
Jari tangan Titiek Sariningsih cekatan dalam usaha mengembalikan tulang pundak yang patah itu. Wiro Sukro menahan sakit oleh pengobatan itu. Sakit hanya untuk sementara, dan ia percaya dalam waktu yang tak begitu lama akan sembuh.
Begitu selesai menolong, Titiek Sariningsih sudah minta diri,
"Paman dan bibi, sekarang semuanya telah selesai, maka pertemuan kita cukup sampai di sini"
"Aihh......."
Wiro Sukro dan Ratmi berseru hampir berbareng saking kaget.
Lalu Wiro Sukro bertanya agak gugup,
"Anak, nanti dulu... mengapa begitu tergesa?"
"Paman, aku harap paman tidak menduga yang tidak tidak," sahut Titiek Sariningsih sambil tersenyum.
" Kalian perlu segera meneruskan perjalanan dan akupun ingin pula meneruskan perjalanan. Tiada pertemuan tanpa perpisahan paman, maka sekarang inipun akan terjadi. Aku yang muda ikut berdoa, agar tak lama lagi kalian segera memperoleh keturunan."
Terbelalak Wiro Sukro dan Ratmi. Kalau bocah ini mengerti soal itu. kiranya sudah agak lama bocah ini hadir. Dengan begitu menjadi lebih jelas lagi, bahwa Titiek Sariningsih bukan hanya secara kebetulan memberi pertolongan. Menduga demikian, hati Wiro Sukro mendadak amat terharu. Mengertilah ia sekarang akan kemuliaan hati bocah ini. Dan betapa amat bahagia hatinya pula, apa bila dapat mengikat hubungan batin dengan bocah ini. Mendadak Wiro Sukro segera memperoleh akal. Katanya halus,
"Anak, apakah engkau ingin menyiksa hatiku yang sudah tua ini?"
Titiek Sariningsih kaget. Ia menghentikan langkah kaki yang sudah meninggalkan suami isteri itu. Tanyanya
" Apakah maksud paman berkata begitu?"
"Anak, nyatalah engkau merupakan alat Tuhan untuk menyelamatkan nyawa kami. Tanpa kehadiranmu, jelas kami tentu mati. Oleh sebab itu
anak, betapa penasaran hatiku apa bila pertemuan dan perkenalan kita sekarang ini, hanya berakhir dengan sesuatu yang kurang berarti......."
Titiek Sariningsih bingung mendengar itu, tak tahu apa maksudnya.
"Apakah maksud paman?"
"Anak..... maafkan aku yang tua ini. Dan maafkan pula apabila yang akan aku kemukakan nanti. tidak sepadan dengan hatimu," kata Wiro Sukro sambil menatap wajah Titiek Sariningsih.
"Anak, tetapi kaubunuhpun aku tak menyesal. Asal saja aku sudah dapat mengucapkan kandungan hatiku ini. Anak, ah... lebih suka aku berdua ini. engkau bunuh saja, dari pada engkau menolong kami kepalang tanggung"
Ratmi heran mendengar ucapan suaminya itu, karena tak tahu maksudnya., Adapun Titiek Sariningsih terbelalak, lalu bertanya,
"Paman, jangan engkau berputar putar dan membuat kepalaku pusing. Katakan terus terang apa maksudmu? Harap engkau tahu bahwa aku orang yang tak suka membunuh orang. Mengapa sampai hati engkau mengucapkan kata-kata itu ?"
Wiro Sukro tersenyum.
"Anak, engkau tahu bahwa aku yang sudah tua ini, belum punya keturunan seorangpun. Isteriku memang masih amat muda, tetapi hal itupun belum merupakan jaminan. aku bakal memperoleh keturunan. Semuanya, hanya Tuhanlah yang serba tahu..."
Wiro Sukro berhenti sejenak. Kemudian,
"Anak, betapa akan tersiksa hidupku ini, apa bila ternyata kemudian harapanku memperoleh keturunan tak
terkabul, lalu apakah arti hidupku ini, apakah arti pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawa kami dari tangan Aras Pepet dan Menak Kunjono? Semuanya hilang musnah tak berarti. Oleh sebab itu anak. jangan engkau kepalang tanggung. Tolonglah kami..... ya tolonglah. Relakan hatimu, mulai saat sekarang ini engkau harus menjadi anak kami. Anak angkat...akan tetapi dalam hatiku, engkau adalah anak kandungku....."
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Wiro Sukro sudah menangis mengguguk. Ia bukan menangis pura-pura. Tokoh sakti dari Karangpandan ini menangis sebenarnya. Tangis yang suci, cetusan dari rasa khawatir tentang tiadanya keturunan seorangpun. Betapa aneh manusia di dunia ini. Puluhan tahun lamanya berhadapan dengan musuh, berkelahi, menderita luka parah, kesakitan, selama itu Wiro Sukro tidak pernah menangis dan menitikkan air mata. Sekarang, setelah bicara soal keturunan, tokoh sakti ini sudah tak kuasa membendung air matanya.
Ratmi menjadi tahu sekarang akan maksud suaminya. Diam-diam perempuan ini amat gembira sekali, apa bila harapan suaminya ini dikabulkan. Dengan demikian, ia mempunyai seorang anak yang sakti, dan tentu akan bisa ia minta membalaskan sakit hatinya kepada sungsang yang amat ia benci. Untuk memperkuat maksud suaminya, tiba-tiba saja perempuan ini sudah berlutut di depan Titiek Sariningsih. Dahinya menyentuh tanah, kemudian berkata tidak lancar,
"Suamiku bener... anak...... memang kami khawatir tidak mempunyai
keturunan. Maka apabila..... anak tak sedia kami angkat sebagai anak... sebaiknya bunuh sajalah kami "
Sulit digambarkan betapa rasa haru menyesak dalam dada perawan lola ini. Ia seorang gadis yatim piatu. Tidak berayah dan tidak beribu lagi. Ia selalu kesepian dari kasih sayang orang tua. Ia amat dahaga akan kaSih sayang yang murni dari ayah dan ibunya. Sekarang, mendadak ada suami isteri yang minta dibunuh saja, kalau tidak boleh mengaku dirinya sebagai anak. Betapa aneh dunia ini.
Mungkinkah maksud suami isteri ini hanya oleh pengaruh dari kenyataan, bahwa dirinya seorang gadis berilmu tinggi?
Sehingga berkehendak mengaku sebagai "anak?,
Akan tetapi prasangka yang demikian ini segera terusir dari dadanya. Kiranya pernyataan suami isteri ini bukan karena itu. Mungkin sekali karena ia merasa sudah menyelamatkan nyawanya dari maut. Maka sebagai balas budi, kiranya yang tepat hanya dengan mengambil sebagai anak.
Terjadi perang batin dalam dadanya, antara menolak dan setuju!
Akan tetapi, pada akhirnya setujulah yang menang. Apakah salahnya ia menyenangkan orang lain, dan di samping itupun, ia ingin memyenangkan hatinya sendiri?
Ia haus akan kasih sayang ayah dan ibu. Maka dalam dadanya berkecamuk rasa ingin dipeluk dan dicium oleh ibunya.
Mendadak, tubuh Titiek Sariningsih gemetaran. Air mata tak kuasa dibendung, ambrol dari pelunuk
mata. Lalu terdengar pekik lirih dari mulut bocan ini,
"Ibu......!"
Titiek Sariningsih sudah menjatuhkan diri sambil memeluk Ratmi amat erat sekali. dan kemudian Titiek Sariningsih menyembunyikan wajah basah itu ke dada yang tanpa kain penutup dada.
" Anakku . . . .. . anakku .. . . . . " desis Ratmi setengah meratap, saking tak kuasa menahan rasa harunya.
Air mata perempuan ini berderai, sedang dua lengannya memeluk erat-erat kepada gadis itu.
Melihat itu, Wiro Sukro gembira sekali dan bersyukur. Ternyata bocah yang sudah menyelamatkan nyawanya ini, memiliki hati yang welas asih dan mau mendengar jerit hatinya. Sebagai pernyataan gembiranya itu, Wiro Sukro menengadah ke angkasa sambil berkata tidak lancar, sedang air mata terus ke luar dari sudut mata,
"Ya Tuhan . . ;. Engkau Maha Besar. . ... Maha Pengasih .. .. . terima kasih ya Tuhan . .. . . Engkau mau mendengar jerit hatiku . .. . . Ya Tuhan . . . . . kebesaran-Mu. . . . . ya hanya oleh kebesaranMu .. . . . aku sekarang Engkau beri anugerah seorang anak perempuan... .. Ya Tuhan . . . . . oleh keagungan Mu . . . , . Engkau telah mengabulkan permohonanku . . . . . Ya . . . . . aku berjanji ya Tuhan . . . . . akan menggunakan sisa hidupku ini untuk melangkah kejalan yang Engkau tunjuk."
Mendengar ucapan Wiro Sukro itu, hati Titiek Sariningsih yang sudah tidak berayah dan beribu itu, menjadi semakin terharu. Kemudian ia menuntun ibunya menghampiri Wiro Sukro. Lalu tanpa malu malu lagi, bocah ini sudah menubruk dan
memeluk pinggang Wiro Sukro sambil sesenggukan saking bahagia. .
Sulit berpanjang kalam melukiskan betapa rasa gembira tiga orang insan yang semula belum pernah kenal ini.
Akan tetapi apakah arti sudah kenal atau belum?
Semuanya akan terjadi sesuai dengan garis Tuhan. Manusia di dunia ini ibarat wayang. Pada akhirnya semua akan masuk dalam kotak, dengan perantaraan dalang. Jadi tidak ada yang perlu dibuat heran apa bila Dia sudah menghendaki, semua akan terjadi.
Setelah agak reda tangis bahagia bagi mereka, berkatalah Wiro Sukro,
'Anakku...... heran hatiku mengapa engkau mengabulkan permintaanku yang muskil ini? Mengapa? Adakah sesuatu hal yang luar biasa-terjadi atas dirimu ?"
Sebagai seorang yang sudah cukup umur dan luas pengalaman, tentu saja Wiro Sukro agak merasa heran juga dengan sikap gadis ini. Dari atas pertanyaan itu, Titiek Sariningsih melepaskan pelukannya kepada Wiro Sukro, kembali menubruk dan memeluk Ratmi. Baru sesudah agak dapat menahan perasaannya, Titiek Sariningsih segera menceritakan semua yang sudah terjadi atas dirinya.
Ratmi kaget mendengar keterangan, bahwa gadis yang diambil anak ini, adalah putri Tumenggung Kebo Bangah, bangsawan Tuban. Dengan demikian. gadis yang sekarang sedia diaku sebagai anaknya ini, bukanlah bocah sembarangan, akan tetapi seorang puteri bangsawan .Hatinya merasa bangga sekali, tetapi juga makin merasa trenyuh.
trenyun akan nasib gadis ini yang kurang beruntung. Masih berusia muda sekali, harus sudah menjadi seorang gadis yatim piatu. Ayahnya gugur di medan perang, sedang ibunya mati terbunuh secara mengenaskan oleh seseorang yang belum diketahui siapa.
"Anakku. .. .. oh, anakku. . kasihan engkau, kata Ratmi dengan suaranya yang menggeletar penuh rasa haru.
" Ya. .... akulah sekarang sebagai pengganti ibumu. Dan...... suamikulah sebagai pengganti ayahmu . . . . ...Anakku, mudah mudahan ya . . . . . mudah mudahan kelak kemudian hari engkau dapat menemukan pembunuh ibumu itu....."
Ucapan Ratmi ini justeru memancing keharuan Titiek Sariningsih, dan menyebabkan gadis ini kembali terisak-isak sambil menyembunyikan wajahnya ke dada Ratmi.
Wiro Sukropun menjadi amat penasaran sekali, setelah mendengar sejarah hidup Titiek Sariningsih yang sekarang sudah menjadi anak angkatnya. Katanya,
"Anakku, betapa penasaran hatiku mendengar tewasnya ibumu seperti itu. Tewas dibunuh seseorang. Hemm, akupun akan membantumu untuk mencari keterangan siapakah pembunuh ibumu itu. Anakku, engkau tidak perlu berkecil hati. Aku mempunyai hubungan yang luas, dan banyak pula sahabatku. Siapa tahu kelak kemudian hari akupun akan dapat menemukan manusia kejam itu."
Lama mereka berbicara. Dan lama pula mereka dicekam oleh rasa yang sedih di samping penasaran.
Akhirnya Wiro Sukra mengajak Titiek sariningsih untuk ikut serta pulang ke Karangpandan, Sebab walaupun baru saja mereka bertemu, hati Wiro Sukro terasa berat berpisah dengan anak angkatnya ini.
Akan tetapi Titiek Sariningsih menggeleng. Jawabnya,
"Ayah...... biarlah ayah dan ibu pulang dahulu ke Karangpandan. Aku berjanji bahwa tak lama lagi aku akan datang ke Karangpandan."
"Mengapa tidak sekarang dan bersama kami?'
Ratmi merasa heran.
"Tidak, ibu?" sahut Titiek Sariningsih mantap.
"Mengingat bahwa terjadinya perselisihan ayah dengan dua orang kakek tadi, berkisar pada persoalan membantu Sunan Giri, maka terpikir olehku untuk mewakili ayah ke sana..?"
"Aihh... jangan anakku,... ibu menjadi khawatir..."
Ratmi mencegah sambil memeluk erat-erat.
"Ibu..."mengapa engkau menjadi khawatir? Engkau khawatir tentang apa? Tentang tewas dalam perang? Hi-hi.hik...... mengapa manusia hidup takut mati? Semua yang hidup tentu mati. Akan tetapi semua itu hanya DlA sajalah yang mengetahui dan menentukan.Kalau tahu bahwa nyawa manusia di tangan Tuhan, mengapa khawatir? Kalau memang sudah dikehendaki, walaupun orang bersembunyi dalam mulut naga, tak urung maut akan datang menyambut. Ibu, maka hal itu tak perlu kau gelisahkan, Percayalah apa bila memang aku diijinkan hidun, aku akan tetap memperoleh perlindunganNya."
"Apakah sebabnya engkau berpendirian demikian, anakku?" tanya Wiro Sukro.
"Ayah. ada dua hal yang mendorong aku harus kesana. Pertama, setelah aku sebagai anakmu, aku harus dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa sekalipun ayah telah tidak mau lagi ikut dalam perjuangan melawan Mataram, namun kedudukan itu diganti oleh anaknya. Dengan demikian nama ayah tidak akan dipandang rendah oleh siapapun. Adapun yang ke dua, anakmu ingin mengurangi rasa sesal dan penasaran yang menyesak dada. Ayahku Tumenggung Kebo Bangah telah gugur dalam perang ketika mempertahankan Tuban. Merupakan kewajibanku untuk meneruskan perjuangan ayah itu pula, secara gigih melawan Mataram."
"Bagus, heh heh-heh! Engkau anak yang baik dan amat berbakti kepada orang tua. Ah, anakku, aku menjadi malu! Kalau begitu, biarlah aku dan ibumu mengurungkan maksud pulang ke desa. Dengan demikian satu keluarga berjuang bersama Sunan Giri, melawan keserakahan Raja Mataram."
Mendengar itu Ratmi mengerutkan alisnya, merasa tidak senang. Ia tidak menghendaki hidup sebagai orang yang selalu berkelahi dan mempertaruhkan nyawa. Ia ingin memperoleh hidup yang tenteram dan layak sebagai keluarga masyarakat. Dan ingin pula dapat menimang seorang anak yang menjadi tumpuan hari depannya.
Melihat itu, Titiek Sariningsih tahu dan bisa menduga apa yang terpikir oleh ibu angkatnya ini. Maka gadis ini cepat berkata,
"Ayah! Aku tidak
setuju kalau ayah dan ibu ikut serta berjuang membantu Sunan Giri. Aku inginkan ayah dan ibu pulang ke Karangpandan, membangun keluarga bahagia. Biarlah aku seorang diri yang pergi ke sana."
Titiek Sariningsih berhenti, mengamati ayah dan ibunya bergantian, seakan mencari kesan. Ia menjadi senang melihat ibunya tersenyum, pertanda setuju dengan pendiriannya ini. Kemudian katanya lagi,
"Dan baik ayah maupun ibu harus mau mendengar permintaanku."
"Permintaan apa, anakku?' tanya Wiro Sukro.
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih tertawa,
"pendeknya kapan aku pulang ke Karangpandan, aku harus sudah dapat menimang dan memondong seorang adik......."
"Ihhh. .!"
Ratmi berseru tertahan, akan tetapi kemudian iapun tertawa sambil memeluk dan menciumi Titiek Sariningsih.
Adapun Wiro Sukro yang hatinya merasa berkenan, terdengar ketawa terkekeh kekeh.
"Ayah dan ibu, sekarang juga kita harus berpisah."
"Tidak!" potong Ratmi tiba-tiba.
"Aku melarang engkau pergi hari ini."
"Ih, mengapa?"
Titiek Sariningsih terbelalak.
"Anakku. bukankah engkau mengakui bahwa aku ibumu ?"
"Tentu saja!"
"Kalau begitu, engkau harus tunduk kepada putusanku. Malam nanti engkau harus tidur dalam
pelukan ibumu. Agar hati ibumu ini menjadi terhibur setelah engkau tinggalkan pergi. Maka aku baru mengijinkan engkau pergi esok pagi."
Ratmi menatap Titiek Sariningsih. Lalu,
"Di samping itu, engkau harus mau mengerti, anakku, bahwa saat ini ayahmu dalam keadaan terluka, Apakah engkau rela meninggalkan ayahmu dalam keadaan seperti ini? Lalu bagaimanakah kalau sepeninggalmu, ada orang yang mengganggu ayah dan ibumu?"
Diingatkan akan keadaan Wiro Sukro itu, barulah Titiek SariningSih sadar. Kekhawatiran ibunya memang beralasan. Ayahnya sedang terluka, sedang ibunya takkan dapat melindungi keselamatan ayahnya apa bila berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Ingat akan keadaan ayah angkatnya ini, maka kemudian gadgs ini berkata,
"Ahhh, ibu benar! Memang tidak pantas kalau aku pergi. sebelum ayah sembuh. Baiklah, aku akan merawat ayah dulu. Baru setelah ayah sembuh benar, aku akan berangkat menuju ke Giri."
Betapa gembira Ratmi mendengar keputusan anaknya ini. Dan betapa rasa haru memenuhi dada Wiro Sukro, bahwa anak angkat yang baru ditemukannya ini, sudah sedemikian besar perhatian dan kasih sayangnya kepada dirinya.
Demikianlah, akhirnya jadilah Titiek Sariningsih merawat Wiro Sukro yang terluka. Gubug pemburu yang kecil itu, mereka jadikan tempat tinggal sementara, Wiro Sukro mengalah tidur di luar gubug, sedang Titiek Sariningsih dan Ratmi tidur di dalam.
*****
Dengan hati yang penasaran di samping Waswas, Menak Kunjono yang berusaha menyelamatkan adik seperguruannya, terus berlarian. Sesudah cukup jauh dan merasa aman, Menak Kunjono baru menghentikan larinya. Ia merebahkan Aras Pepet dengan hati-hati di atas rumput. Kemudian ia menjatuhkan diri dengan dada yang kempas kempis. Namun karena ia mengkhawatirkan keselamatan saudara-seperguruannya ini, ia segera memeriksa keadaan Aras Pepet. Orang tua ini tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, setelah memeriksa nadi Aras Pepet yang agak lemah .Ternyata benar bahwa Aras Pepet menderita luka dalam yang cukup parah. Sungguh ia tidak habis mengerti, mengapa bocah yang masih muda usia ,itu, telah dapat memiliki tenaga sakti yang amat tinggi. Dan melihat akibat yang diderita oleh Aras Pepet, agaknya tingkat tenaga sakti yang dimiliki bocah itu tidak di bawah dirinya maupun Aras Pepet.
Namun ia tidak akan membiarkan adik seperguruannya ini menderita. Maka segera diambilnya obat untuk meringankan derita Aras Pepet. Setelah dengan agak susah payah ia memasukkan obat itu ke dalam mulut Aras Pepet, kakek ini segera duduk bersila di samping Aras Pepet. Kemudian ia memasukkan telapak tangan yang kanan ke dalam baju, lalu menempel pada punggung. Apa yang dilakukan sekarang ini, dalam usahanya untuk memberi bantuan tenaga sakti, dan guna mempercepat kesembuhan luka dalam yang diderita oleh Aras Pepet. Maka setelah telapak tangan itu menempel pada punggung, Menak Kunjono segera
menyalurkan hawa sakti lewat tangan kanan.
Agak lama Menak Kunjono tenggelam dalam usahanya menolong nyawa adik seperguruannya. Peluh membasahi leher dan dahinya. Wajahnya nampak agak kepucatan, karena ia harus menyalurkan hawa sakti ke dalam tubuh Aras Pepet. Berkat pertolongan kakak seperguruannya itu, wajah Aras Pepet sekarang sudah agak merah. Kakek ini siuman dari pingsannya. Ia mengeluh, kemudian membuka mata sambil bangkit duduk.
"Auhhgg, dadaku terasa sesak sekali, dan darah dalam tubuh serasa bergolak. Hee, mana bocah lancang tadi?" '
"Adi, sudahlah!" cegah Menak Kunjono.
"Apakah engkau tidak sadar telah dirobohkan oleh bocah itu? Hemm, ternyata pergeseran jaman menghendaki terjadinya perubahan. Kita yang sudah pikun ini, kemudian harus dilampaui oleh tunas-tunas muda. Kalau itu sudah kehendak jaman, apa harus dikata? Yang penting mulai sekarang kita harus selalu berhati-hati. Janganlah kita meremehkan tenaga muda. Akibatnya kita sendirilah yang akan menderita malu."
"Hemm, tetapi aku sungguh penasaran, kakang. Mengapa kita yang telah pikun ini, harus roboh oleh seorang bocah ? Agaknya, apakah engkau bisa menduga, siapakah guru bocah itu ?"
Menak Kunjono menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
"Hemm, entahlah! Gerakannya cepat, dan tenaga saktinya bukan main. Aku hampir tidak percaya mengapa bisa begitu? Apakah
semenjak masih bayi, bocah itu sudah digembleng dalam hal tenaga sakti?"
"Dan bagaimanakah dengan Wiro Sukro?"
"Entahlah! Aku tadi terpaksa harus melarikan diri sambil membawamu pergi. Untung bocah itu berwatak baik. Kalau tidak, manakah mungkin kita masih bernyawa lagi ?"
Aras Pepet menghela napas lagi. Dalam dadanya penuh rasa penasaran, roboh di tangan bayi kemarin sore.
Akan tetapi kalau dipikir, apa harus dikata?
Kakak seperguruannya sendiri ternyata juga tidak mampu mengatasi.
"Sst! Ada orang!"
Menak Kunjono sudah meloncat berdiri. Secepat kilat ia sudah menyambar adik seperguruannya, kemudian dibawa menyembunyikan diri di dalam rumpun semak. Kakak beradik yang biasanya menyombongkan diri dan merasa sebagai manusia sakti itu, sekarang dengan terpaksa harus menyembunyikan diri, ketika mendengar suara orang. Hal ini perlu dilakukan, mengingat bahwa Aras Pepet masih menderita. Adapun dirinya sendiri dalam keadaan yang lemah pula, setelah mengerahkan hawa saktinya, guna menolong adik seperguruannya.
Dua orang kakek ini bertiarap di tengah semak tak bergerak. Hanya dua pasang mata mereka yang tajam, mengintip dari sela-sela semak. Itupun mereka terpaksa harus berhati hati dalam bernapas. Sedikit lengah, pernapasannya akan bisa didengar oleh orang. Kalau yang datang itu merupakan musuh, akan celakalah di saat seperti sekarang ini, dalam keadaan yang sedang menderita.
Tampaklah kemudian dari arah utara, lima orang laki-laki dengan langkah mereka yang ringan dan gesit. Usia mereka rata-rata limapuluh sampai enampuluh tahun. Masing-masing menyandang senjata. Akan tetapi senjata mereka itu berlain-lainan. Yang bergerak paling depan bersenjata tombak trisula pendek (tombak bercabang tiga). Dia seorang laki-laki bertubuh kurus kering wajahnya pucat. Di belakangnya menyusul seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah, berkumis tebal dan berjenggot panjang. Senjatanya cukup menyeramkan, berujut rantai baja sebesar ibu jari kaki yang panjang, dan di dua ujungnya terdapat bola berduri sebesar kelapa. Kemudian menyusul di belakangnya seorang gemuk tampan tanpa kumis dan jenggot. Senjatanya sepasang golok besar. Menyusul lagi bergerak di belakang, seorang laki-laki tinggi berkulit hitam dengan mata yang sipit. Kumisnya jarang seperti buntut tikus, sedang jenggotnya mirip jenggot kambing. Senjata orang ini menyeramkan pula. Bentuknya semacam sabit, akan tetapi panjangnya satu meter lebih dan amat besar. Dan yang paling belakang, adalah seorang laki-laki kerdil. Orang yang paling belakang ini karena kakinya pendek, terpaksa harus berlompatan untuk dapat mengikuti gerakan yang di depan. Adapun senyatanya lain dari yang lain. Kalau dalam keadaan biasa, senjata itu semacam tombak pendek yang pada dua ujungnya amat tajam. Akan tetapi sewaktu waktu tombak itu bisa dirubah menjadi busur pendek. Dia seorang jago panah, Maka pada punggungnya tampak beberapa puluh batang anak panah ditempatkan pada bumbung dari bambu. Akan tetapi sesuai dengan tubuhnya yang kerdil, maka anak panah itu disamping kecil juga pendek.
Melihat lima orang yang bergerak beriringan itu, dua orang kakek ini kaget. Jantung mereka tegang, cemas dan khawatir .Mereka makin tidak berani bergerak sedikitpun, sedang bernapaspun terpaksa berhati hati. Bagi Menak Kunjono dan Aras Pepet cukup tahu Siapakah lima orang laki-laki yang baik bentuk tubuh maupun senjatanya berlainan itu. Mereka lima orang yang amat berbahaya. Lima orang itu terkenal dengan sebutan "Lima Harimau Sempu". Nama mereka menanjak tinggi dalam waktu singkat, disegani dan dihormati setiap orang. Mereka merupakan lima serangkai yang tidak pernah terpisah. Kemanapun selalu bergerak bersama. Dan dalam waktu tidurpun, mereka tentu satu tempat. Mereka sebidup semati, maka setiap berhadapan dengan lawanpun mereka tentu maju berbareng.
Tetapi justeru di saat mereka maju berbareng inilah, merupakan musuh yang berbahaya. Sebaliknya kalau mereka mengenal kegagahan, dalam perkelahian maju satu-persatu, tingkat masing masing masih di bawah tingkat Menak Kunjono maupun Aras Pepet. Maka dua orang kakek ini takkan merasa gentar. Akan tetapi kalau mereka berlima maju mengeroyok, selama ini belum seorangpun lawan yang sanggup mengalahkan kerja sama mereka. Itulah sebabnya Menak Kunjono dan Aras Pepet cemas diri khawatir, kalau sampai mereka mengetahui tempat persembunyian ini. Dalam
keadaan Aras Pepet menderita luka dalam yang parah, sedang Menak Kunjono tinggal separuh kekuatannya, tentu merupakan lawan empuk bagi "Lima Harimau Sempu" itu.
Mengapa sebabnya mereka terkenal dengan sebutan "Lima Harimau Sempu' ?
Mereka memang berdiam di Pulau Sempu. Mereka belum lama muncul. Akan tetapi begitu muncul, nama mereka segera terkenal dan menanjak tinggi.Mereka ditakuti dan dihormati setiap orang. Dan untuk menjamin keselamatan nyawa, lebih untung orang mengikat persahabatan daripada memusuhi. Karena orang yang berani bermusuhan, takkan mungkin diberi hidup lagi. '
Sesungguhnya lima orang ini dahulu adalah hamba Kadipaten Pasuruan. Dahulu mereka merupakan pembantu-pembantu Ronggo Kaniten, yang mati terbunuh ketika berhadapan dengan Panembahan Senapati. Setelah Ronggo Kaniten tewas dalam perang, Pasuruan tunduk kepada Mataram, maka lima orang ini bersama-sama melarikan diri. Kemudian tinggal bersama di Pulau Sempu. Mereka bersembunyi sambil menggembleng diri. Mereka saling bantu dan amat rukun. Malah mereka lalu mengangkat sebagai saudara yang sehidup semati. Berkat ketekunan dan kerja sama mereka yang saling membantu, maka setelah lewat tigapuluh tahun lamanya mereka bersembunyi di Pulau Sempu, mereka telah berubah menjadi "manusia manusia sakti", tetapi juga amat berbahaya. Sebagai akibat sakit hati mereka dahulu ketika lari menyelamatkan diri dari kejaran pihak Mataram, maka begitu muncul
mereka menjadi manusia manusia yang kejam dan ganas.
Orang yang bergerak paling dulu dengan senjata tombak trisula itu, adalah orang yang tertua, bernama Surengpati. Orang ke dua bernama Gunopati, orang ke tiga bernama Wiropati, orang yang ke empat bernama Sunupati, dan orang ke lima yang kerdil itu bernama Darmopati. Akan tetapi Walaupun sebagai orang ke lima dan tubuhnya kerdil, Darmopati merupakan orang yang paling berbahaya. Sebab senjatanya yang aneh itu dilumuri racun berbahaya. Lebih-lebih pada ujung anak panahnya, yang dapat dipergunakan menyerang orang dari jarak agak jauh. ,
Entah mengapa sebabnya Lima Harimau Sempu ini semua menggunakan nama dengan akhiran "pati". Akan tetapi mungkin mereka memang sengaja. Guna memberitahukan kepada setiap orang, bahwa sebuai dengan nama masing-masing mereka tidak takut mati. Akan tetapi sebaliknya musuhpun jangan berharap dapat hidup, dan harus mati.
Menak Kunjono dan Aras Pepet berharap agar Lima Harimau Sempu itu secepat mungkin meninggalkan tempat ini. Kalau mereka terlalu lama di tempat ini, berarti mereka akan tersiksa. Sebab di samping mereka tidak berani bergerak sedikitpun, merekapun harus setengah menahan napas, aga pernapasan mereka tidak didengar oleh lima orang itu.
Akan tetapi sungguh celaka. Lima orang itu bukannya cepat pergi, malah mereka berhenti, dan duduk menggerombol di atas batu tak jauh dari
tempat Merak Kunjono dan Aras Pepet bersembunyi. Cara mereka dudukpun diatur sedemikian rupa. Orang tertua yang bernama Surengpati duduk di tengah. Kemudian empat orang saudaranya duduk didepan, belakang, kiri dan kanan Surengpati. Dengan mengatur diri macam ini, mereka akan terhindar dari kecurangan orang.
"Adikku semua, hemm,"
Surengpati membuka pembicaraan.
"Lebih kurang sudah setahun lamanya semenjak kita meninggalkan Pulau Sempu. Kita sudah cukup lama menjelajah kota maupun desa. Akan tetapi mengapa sebabnya usaha kita itu belum juga menampakkan tanda akan keberhasilannya ? "
Empat orang saudaranya menghela napas panjang. Kemudian terdengar jawaban si kerdil yang bernama Darmopati. Suaranya. kecil, mirip dengan suara perempuan,
" Kakang, bolehkah aku memberikan pendapatku?"
"Mengapa tidak? Katakanlah!"
"Apakah tidak sebaiknya maksudmu itu dihentikan sampai di sini saja? Sebab telah setahun kita mengembara. Kita menyelidik. Telah berpuluh kali kita bentrok dengan orang, dan berpuluh pula nyawa orang lain melayang di tangan kita. Namun ternyata harapan kita belum terujut. Apakah tidak berarti kita ini hanya membuang tenaga sia-sia?"
"Hemm, apakah engkau sudah merasa bosan. karena tujuan kepergian kita sekarang ini demi kepentinganku pribadi? "
" Ohhh... .. . sama sekali tidak, kakang! Engkau jangan lekas salah paham. Demi sumpah kita ketika bersepakat mengangkat saudara, bagi kita tidak ada istilah demi kepentingan pribadi. Kepentingan kakang merupakan kepentinganku pula. Dan sebaliknya kepentinganku, merupakan kepentingan kita semua."
"Hemm. kalau menurut pendapatku, ucapan adi Darmopati kurang tepat!" desis Wiropati.
Si kerdil mendelik ke arah Wiropati. Katanya,
"Apakah alasanmu? Huh, janganlah engkau asal mencela orang!"
"Ha-ha-ha, mengapa engkau jadi tersinggung?"
Gunopati terkekeh dan menegur si kerdil.
"ingat, kita ini saudara senasib sepenanggungan. Maka adi Darmopati tidak boleh tersinggung dan merasa dicela orang. Kalau sekarang kakang Surengpati minta pendapat kita, ini membuktikan bahwa kakang Surengpati merupakan saudara tertua yang bijaksana. Dia akan minta pendapat kila, dan tidak ingin memaksakan pendapatnya sendiri."
"Ya..... ya aku merasa salah dan maafkanlah aku, kakang Gunopati," kata si kerdil sambil mengangguk ke arah Gunopati.
Si kerdil Darmopati ini wataknya memang aneh dan sulit diduga, ia mudah tersinggung, akan tetapi juga tidak segan-segan minta maaf kalau merasa dirinya salah. Di balik itu, di antara saudaranya, yang paling dihormati oleh si kerdil memang Gunopati, sebagai orang ke dua. Sebab di antara mereka, memang Gunopatilah orang yang paling cerdik, sabar dan pandai mengambil hati saudara saudaranya.
"Bagaimanakah menurut pendapatmu, adi Gunopati?" tanya Surengpati sambil memalingkan muka, sebab kebetulan Gunopati duduk di belakang Surengpati.
" Sesungguhnya, persoalan ini hanya engkau sendirilah yang dapat memutuskan. Sebab persoalan itu banyak menyangkut pribadimu. Namun sekalipun begitu, kita semua ini setulus hati akan membantu sekuat tenaga. Kalau engkau masih belum puas, mengapa ragu-ragu? Putuskanlah! Kita terus berusaha. Kita semua akan mengiringkan maksudmu. Tetapi sebaliknya jika engkau merasa kurang perlu meneruskan usaha ini, barang tentu kitapun akan tunduk."
"Hemmm..,..."
Surengpati menghela napas panjang. Akan tetapi tak lekas membuka mulut. Tampaknya orang tertua di antara mereka ini sedang berpikir, sebelum menentukan keputusannya,
Apakah sesungguhnya persoalan yang sedang dihadapi oleh Surengpati ini?
Persoalan itu adalah persoalan pribadi. Persoalan yang menyangkut keluarganya. Dahulu, ketika Surengpati melarikan diri dari Pasuruan tidak sempat untuk membantu serta keluarganya. Seorang isteri dan seorang anak laki-laki yang masih amat kecil. Setengah tahun kemudian, setelah Pasuruan menjadi aman-kembali .Surengpati menyelundup ke Pasuruan. Dia pulang ke rumah. Akan tetapi ternyata rumah yang dahulu ditempati itu telah tak ada lagi. Dari keterangan yang ia peroleh, bahwa rumahnya itu hancur menjadi abu karena dibakar orang.
Betapa kaget dan penasaran memperoleh keterangan ini. Pada mulanya para tetangga tidak sedia menerangkan siapa yang telah membakar rumahnya. Akan tetapi setelah ia desak, akhirnya para tetangga mengaku. Diterangkan, bahwa ketika terjadi penyerbuan Mataram ke Pasuruan, dan Surengpati tidak muncul pulang ke rumah, semua orang menduga Surengpati gugur di dalam perang. Keluarga maupun tetangga menunggu dan mengharap munculnya Surengpati kembali. Namun ternyata Surengpati tidak juga muncul sekalipun Pasuruan telah aman kembali.
Tetapi walaupun telah hampir dua bulan Surengpati tidak muncul pulang, isteri maupun keluarganya masih mengharap pulangnya kembali. Isteri Surengpati yang setia amat percaya bahwa Surengpati belum gugur di medan perang.
Kemudian pada suatu hari, datanglah seorang tamu laki-laki ke rumah Surengpati. Isteri Surengpati bernama Witarsih kaget ketika menerima tamu laki-laki itu. Laki-laki yang pernah ia kenal bernama Pitrang.
Disebutnya nama Pitrang oleh tetangga itu, tiba-tiba terdengar Surengpati berteriak,
"Jahanam! Diakah yang telah membakar rumahku? Lalu di mana keluargaku sekarang?"
Kaget sekali tetangga itu di samping takut. Wajahnya menjadi pucat, tubuh gemetaran, ketika melihat sepasang mata Surengpati menyala marah. Dan saking takutnya tetangga itu sampai tidak dapat mengacuhkan kata-katanya.
Untung sekali bahwa Surengpati segera sadar. Ia menahan kemarahannya, lalu tersenyum sambil bertanya halus,
" Katakanlah, apa yang terjadi di rumahku?"
Namun sekalipun sudah menekan perasaan dan berusaha menenangkan hatinya, Surengpati tak juga dapat tenteram hatinya, begitu mendengar nama Pitrang disebut. Sebab laki-laki bernama Pitrang itu adalah musuhnya bebuyutan semenjak sama sama masih muda. Permusuhan antara mereka itu timbul sebagai akibat memperebutkan seorang gadis bernama Witarsih, Akan tetapi kemudan Witarsih memilih Surengpati, yang mempunyai kedudukan sebagai perwira perajurit Pasuruan. Sedang Pitrang hanyalah seorang pemuda lontang-lantung tidak mempunyai pekerjaan tertentu.
Pemuda bernama Pitrang yang patah hati akibat cinta ini kemudian dapat diterima sebagai murid Perguruan Semeru, dan merupakan adik seperguruan Wongso Dipo. Cita-citanya kelak kemudian hari setelah berkepandaian tinggi, akan datang ke Pasuruan untuk membalas sakit hati. Maka Pitrang berlatih dengan amat tekun dan tidak kenal lelah .Tiga tahun kemudian, ia menggunakan kesempatan pergi dari Semeru menuju Pasuruan. Ia berhasil menantang Surengpati dan berkelahilah mereka di dalam hutan yang agak jauh dengan Pasuruan. Namun ternyata bahwa kepandaian Pitrang masih di bawah Surengpati. Hingga Pitrang dalam keadaan luka luka melarikan diri.
Semenjak itu Pitrang tidak berani datang dan
mengganggu Surengpati dan keluarganya. surengpati hidup bahagia dengan isteri terkasih, yang sudah memperoleh seorang anak laki-laki belum berusia satu tahun.
Akan tetapi waktu itu Panembahan Senopati, Raja Mataram yang pertama memimpin pasukan Mataram memerangi Wilayah timur. Sebab para bupati dan adipati yang semula tunduk kepada Kerajaan Pajang, tidak mengakui kedaulatan Mataram. Satu daerah demi satu daerah akhirnya terpaksa tunduk setelah dikalahkan. Kemudian pasuruanpun jatuh setelah Ronggo Keniten yang kebal dan digdaya sakti itu, mati dalam peperangan. Dalam usahanya menyelamatkan diri itulah kemudian Surengpati lari ke Pulau Sempu, Seperti sudah diceritakan di bagian depan.
Tetangga itu menceritakan, bahwa baru mengenal nama Pitrang sesaat setelah laki-laki itu membakar rumah dan akan pergi. Pitrang sesumbar, apa bila Surengpati penasaran dan ingin membalas dendam, dipersilahkan datang ke Perguruan Semeru.
"Jadi, semua keluargaku dibunuh mati semua, sebelum dia membakar rumah?" desak Surengpati, dengan sepasang matanya menyala merah.
"Tidak seluruhnya," sahut tetangga itu.
"Ketika Pitrang pergi, laki-laki itu mengempit Witarsih yang pingsan......." .
"Jahanam!" teriak Surengpati.
"Tapi, mengapa para tetangga tidak berusaha menolong keluargaku?"
"Siapa yang tidak menolong?" tiba-tiba tetangga yang semula nampak ketakutan itu membentak nyaring.
"Anakku laki-laki yang sulung tewas dalam peristiwa itu, dibunuh Pitrang. Juga beberapa tetangga banyak yang menderita luka, dan beberapa orang tewas pula seperti anakku."
Jawaban ini menyadarkan Surengpati. Ia menundukkan muka dan menghela napas. Ia sadar memang tidak sepantasnya mengumbar amarah kepada tetangga dan menyalahkannya. Apa lagi terbukti bahwa tetangga sudah berusaha melindungi keluarganya. Hanya karena para tetangga tak mampu saja, maka Pitrang berhasil menghancurkan keluarganya, dan dapat menculik Witarsih.
"Terima kasih atas perhatian dan pertolongan kalian kepada keluargaku," kata Surengpati kemudian dengan nada halus.
"Akan tetapi..... terangkanlah.... di mana anakku....?"
Tetangga itu menghela napas panjang, tampak merasa terharu dan iba kepada Surengpati, lalu jawabnya,
"Saudara Surengpati, aku bersedia menerangkan semuanya, tetapi dengan suatu janji. Sediakah ?"
"Janji apa?"
"Aku hanya sedia mengungkit peristiwa itu, Jika engkau kuasa menahan hati dan kemarahanmu. Jika engkau mau marah, silahkanlah. Tetapi harus' tepat pada sasarannya, kepada orang bernama Pitrang itu."
Surengpati menghela napas panjang.Ia Jadi sadar akan keadaannya. Memang tidak sepantasnya ia menurutkan hati dan nafsunya.
"Baiklah, aku berjanji dan akan mendengarkan ceritamu dengan tenang."
"Mari aku mulai," kata tetangga itu, sekalipun hatinya masih agak ragu ragu.
"Peristiwa yang terjadi dalam rumahmu, tentu saja kami tidak tahu. Yang kami ketahui hanyalah suara ribut dalam rumahmu, disusul oleh jerit isterimu. Kami kaget dan berlarian datang. Akan tetapi kedatangan kami disambut oleh golok laki-laki itu yang sudah bernoda darah. Beberapa orang segera roboh terluka dan tewas, karena serangan itu tidak terduga-duga. Di dalam rumah tampak api yang menyala besar sekali. Lakilaki itu mengamuk di luar rumah, sambil mengempit Witarsih yang pingsan."
Tetangga ini berhenti dan mencari kesan. Ketika melihat Surengpati berdiam diri dengan kepala tunduk, tetangga itu meneruskan,
"Tetapi ketahuilah, bahwa waktu itu kami semua tidak menduga terjadinya malapetaka dalam rumahmu itu. Maka kami datang tanpa senjata. Itulah sebabnya ketika menghadapi Pitrang yang mengamuk, kami tidak berdaya dan banyaklah jatuh korban, termasuk anakku yang sulung! Nah, begitulah saudara, dan seperti aku katakan tadi, Pitrang sesumbar.Jika engkau penasaran dipersilahkan datang ke Semeru."
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti meledak dada Surengpati mendengar itu. Kemudian bergegas ia pergi setelah minta diri kepada tetangga. Hatinya amat sakit, marah dan penuh dendam. Jelas bahwa apa yang dilakukan Pitrang sengaja menghancurkan keluarganya.
Akan tetapi sesudah agak jauh ia meninggalkan Pasuruan
barulah ia teringat mengapa ia tadi tidak menanyakan, di mana ayah, ibu dan anaknya dikuburkan orang?
Ia berhenti, menunduk dan menghela napas sedih.
"Anakku anakku.....!" gumamnya lirih.
"Maafkan ayahmu... ohh, aku tak dapat melindungi keselamatanmu di kala kau dibunuh orang. Ayah.... oh itu... ampunilah anakmu yang tak berbakti ini. Hemm, akibat perang. aku tak dapat melindungi keselamatanmu....."
Surengpati menjatuhkan diri duduk di atas sebuah batu. Ia ingin menangis akibat kehancuran keluarganya. Akan tetapi air matanya tak mau mengalir. Di saat itu ia seperti mendengar jerit isterinya yang tercinta, Witarsih. Ia kaget, semangatnya bangun dan bangkit berdiri. Tangannya dikepal. Desisnya,
"Huh, Pitrang! Siapa takut datang ke Semeru? Selembar nyawaku ini akan aku korbankan demi kehormatan keluarga dan isteriku! '
Ia dapat membayangkan betapa derita Witarsih jatuh di tangan Pitrang. Lalu ia berlarian menuju ke Semeru.
Akan tetapi sungguh celaka!
Begitu tiba di pinggang gunung, dan masih jauh dengan rumah Perguruan Semeru, dirinya telah dikurung oleh puluhan orang bersenjata. Mereka adalah para anak murid Perguruan Semeru. Namun ia tidak gentar. Ia menerangkan maksud kedatangannya untuk mencari Pitrang. Maka ia minta ijin untuk dapat melanjutkan perjalanan, bertemu dengan Pitrang. Karena orang-orang itu tak mau mengijinkan.Jadilah perkelahian dan Surengpati dikeroyok, Surengpati mengamuk hebat. Dan banyaklah
anak murid Semeru roboh tewas dan terluka.
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. Yang mengeroyok lalu mundur. Surengpati berdiri dengan senjata masih di tangan kanan. Lalu muncullah empat orang yang mengenakan pakaian mewah. Salah seorang di antara mereka telah cukup dikenal oleh Surengpati, bukan lain musuhnya bebuyutan, Pitrang. Adapun tiga orang yang lain, kemudian dikenal bernama Wongso Dipo (waktu itu belum menjabat sebagai ketua perguruan ), Kamilah dan Wigati.
Begitu melihat Surengpati, Pitrang terkekeh mengejek. Katanya,
"Heh-heh-heh, bagus! Ternyata engkau berani datang juga ke mari."
"Siapa takut ? ' bentak Surengpati lantang.
"Hai, Pitrang! Engkau pengecut dan jahanam terkutuk. Engkau telah menghancurkan keluargaku dan menculik isteriku. Kaukembalikan atau tidak?"
"Heh-heh-heh, engkau ingin tahu tentang isterimu?" ejek Pitrang tetap terkekeb.
'Hemm, benar, perempuan yang dahulu membuat hatiku sakit itu aku culik dari rumahmu. Adapun maksudku, sesungguhnya ingin melanjutkan hubungan yang pernah terjadi waktu itu. Akan tetapi, huh. perempuan itu memang tidak kenal budi dan tidak kenal dicinta orang. Baru semalam di rumahku, perempuan itu sudah membunuh diri."
"Jahanam!" teriak Surengpati.
"Engkau sudah membunuh Witarsih. Sekarang berikan lehermu aku penggal."
"Hi-hi-hik, sombongnya!" bentak Kamilah tiba tiba.
"Apakah yang engkau andaikan berani berlagak di tempat ini?"
Kamilah memang terkenal semenjak masih muda, merupakan seorang perempuan galak, tidak sabaran, congkak dan kejam. Apa pula di antara mereka itu, dia merupakan saudara yang tertua dan paling tinggi pula ilmu kepandaiannya. Maka mendengar orang memusuhi salah seorang adik seperguruannya, ia sudah cepat marah.
Wigati berusaha untuk mencegah dan memperingatkan.
"Mbakyu, biarkan Pitrang sendiri yang menyelesaikan persoalannya."
"Kurang ajar kau! Berani kau melawan aku?" bentak Kamilah sambil mendelik.
"Aku orang tertua diantara kamu semua ini. Sekarang ada orang berani sombong ditempat ini, maka kewajibanku pula untuk mengusir anjing ini."
Surengpati yang telah dibakar kemarahan dan sakit hati, sedikitpun tidak gentar dan takut. Kemudian terjadilah perkelahian seorang lawan seorang antara Surengpati dengan Kamilah. Namun ternyata kemudian bahwa Kamilah bukan hanya menyombongkan diri. Baru duapuluh jurus berkelahi, Surengpati sudah mendapat luka di beberapa bagian tubuhnya. Surengpati mandi darah di samping pakaiannya robek sana sini. Meskipun begitu Kamilah yang kejam masih terus menghujani serangan, dan maksudnya memang ingin membunuh. Pedang Kamilah berkelebat menyambar leher .Tetapi tiba-tiba,
"Tring.....! Aihhh.....!" terdengar jerit Kamilah dan pedangnya terlempar.
Leher Surengpati selamat tidak jadi tertabas putus oleh pedang. Kemudian dilihatnya-seorang kakek kurus telah berdiri. sedang empat orang saudara seperguruan itu
Negara Kelima Karya Es Ito Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung Pengaruh Yang Tak Tampak The Invisible Influence Karya Pouw Kioe An