Gazebo 4
Gazebo Karya V Lestari Bagian 4
Mariska tidak merasa benar-benar lega. Ia masih mencemaskan Indiarto. Dalam hati ia
berjanji untuk lebih memberi perhatian kepada adiknya itu. Yang membuatnya lega adalah pernyataan Indiarto bahwa ia belum menjadi homo. Bisakah itu diartikan bahwa belum terlambat baginya untuk memberi perhatian dan mencegahnya? Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Padahal dari sikap Indiarto, ia menduga kecenderungan itu ada. Tentunya upaya mencegah itu bukan hanya dengan melarang atau mengancam. Pilihan seseorang untuk menyukai sesama jenis datang begitu saja dari dalam dirinya. Itu sesuatu yang amat sangat pribadi. Mungkin saja ada pengaruh dari luar, tetapi yang selanjutnya menentukan adalah diri sendiri.
Lalu terpikir akan Rico. Bila hubungannya dengan Ivan memang sudah putus, apakah Rico akan mencari pengganti cowok lain? Sungguh patut disayangkan bila lelaki yang berkualitas seperti Rico memilih jalan hidup yang seperti itu. Ia mengakui ketertarikannya kepada Rico. Tapi ia sadar akan kesulitannya.
Muncul ide lain. Bila Rico tak bisa jadi pacar, bisakah ia dijadikan sahabat? Ia memerlukan konsultan dalam urusannya dengan Indiarto.
Kalau ia bisa bersahabat dengan Rico tentunya lelaki itu akan segan mendekati Indiarto.
Ia mengenang kedekatannya yang sejenak dengan Rico saat mengunjungi rumah kosongnya. Sepintas Rico tampaknya biasa-biasa saja. Cukup normal sebagai lelaki. Di dalam mobil pun ia merasakan tatapan Rico menelusurinya. Ya, itu seperti lelaki lainnya juga. Jangan-jangan Rico itu biseks? Pikiran itu membuatnya tak nyaman.
Pandu merasa aneh. Ia sempat melihat sejenak adegan pelukan antara kedua anaknya dan tangisan Mariska. Tapi ia tak bisa menangkap percakapan mereka. Apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua? Ia tidak menyadari bahwa kedua anaknya itu sebegitu dekatnya. Selama ini ia mengira mereka berdua lebih sering bertengkar dan berbeda paham.
Seharusnya ia merasa gembira bila kedua anak itu memang akrab dan dekat satu sama lain. Tetapi karena ia sendiri merasa surprise pada hal itu, ia malah jadi merasa terancam. Adakah sesuatu yang disembunyikan mereka dari dirinya? Sesuatu yang tak boleh ia ketahui?
Semula ia ingin bertanya langsung pada
keduanya. Tapi kemudian ia membatalkan niatnya. Ia yakin, mereka tidak akan memberi jawaban yang benar. Ia tidak suka dibohongi. Lagi pula dengan berbuat seakan tidak tahu apa-apa, tidak merasakan apa-apa, ia bisa lebih leluasa memperhatikan.
Sore itu juga, Mariska menerima telepon dari Maxi.
"Ris, maafkan Bapak, ya, karena telah membuatmu menunggu lama."
"Tidak apa-apa, Pak. Yang penting Bapak nggak lupa."
"Oh, masa lupa, Ris. Tapi maaf sekali lagi, Ris ..., ehem... ehem..."
Mariska menjadi tak sabar mendengarkan ucapan Maxi yang terpatah-patah diselingi deheman seolah kerongkongannya tersumbat.
"Jadi Bapak menolak?" tanyanya langsung.
Di sana diam sejenak. Rupanya terkejut karena pertanyaan langsung itu.
"Be... benar, Ris. Maaf, ya."
Mariska menelan kekecewaannya. Tapi ia bisa merasakan kegelisahan Maxi. Ya, tak salah lagi. Pastilah Maxi tertekan oleh keluarganya. Kalau memang demikian, apa lagi yang bisa ia
lakukan? Ia tak mungkin membujuk-bujuk atau memohon-mohon.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya maklum. Bapak tak usah minta maaf. Bagaimanapun Bapak sangat berjasa bagi saya. Bapak telah berbuat sangat banyak. Terima kasih ya, Pak."
"Kau tentu kecewa."
"Oh ya. Tapi tidak apa-apa. Pilihan cuma satu antara dua, kan? Saya sudah siap, Pak. Jadi Bapak tidak usah merisaukan saya. Mungkin itu memang yang terbaik. Terima kasih, ya, Pak?"
Setelah meletakkan telepon, Mariska tak bisa menahan air matanya.
SETELAH meletakkan telepon Maxi menatap Grace dan Rico bergantian. Wajah Maxi tampak lesu.
"Sudah beres," katanya.
"Apa katanya?" tanya Rico, hampir berbarengan dengan ibunya.
"Kedengarannya kecewa. Itu tentunya wajar. Tapi dia tidak mendesak. Sudah saja."
"Oh, begitu," sahut Grace. Ada rasa iba kepada Mariska. Tapi ia sependapat dengan Rico.
"Aku pikir seharusnya arwah ibunya menampakkan diri kepada keluarganya sendiri saja. Kan bisa langsung. Jangan orang lain dijadikan medium," kata Rico.
"Apakah dia marah sama kita?" tanya Grace.
"Ah, tidak mungkin. Kenapa dia harus marah? Dia orang yang tegar, Ma."
Diam-diam Maxi pergi meninggalkan anak
dan istrinya.
Grace bermaksud menyusul suaminya, tapi Rico menahan lengannya.
"Biarkan Papa menyendiri sejenak, Ma."
"Dia kecewa."
"Tapi kita juga harus tegar, Ma. Kita tidak boleh menurutkan perasaan. Sekarang Papa kecewa. Tapi nanti dia akan bisa mengatasinya."
Grace menatap wajah Rico lalu menggenggam tangannya.
"Sebenarnya aku masih bertanya-tanya, apakah kita melakukan tindakan yang benar, Ric."
"Percaya saja, Ma. Kalau tujuan kita benar pasti benar."
"Kita kan belum tahu tujuannya, Ric."
"Tujuan kita adalah melindungi Papa dari bahaya. Ya, memang kita belum tahu apakah itu berbahaya atau tidak. Tapi lebih baik kita ambil sisi yang aman saja. Aku takut kehilangan Papa, Ma. Dulu dia berhasil selamat. Masa sekarang kubiarkan dia menempuh risiko yang serba gelap."
Ucapan itu menenteramkan keraguan Grace. Ia diminta dan dibujuk Rico untuk berpihak kepadanya. Dua lawan satu pasti bisa mengalahkan yang satu. Padahal ia merasa tidak enak menentang Maxi dan khawatir kalau-kalau tentangan justru membuatnya stres. Ia juga merasa mengenal benar jiwa petualangan Maxi. Orang yang berjiwa seperti ini biasanya sulit dilarang karena akan merasa terkungkung.
"Baiklah," kata Grace.
"Kita lihat dulu saja perkembangannya, ya? Omong-omong, kau sendiri tidak ingin bicara dengan Riris?"
Rico termenung sejenak. Terbayang wajah Mariska yang penuh harap. Kalau saja dia bisa menggantikan ayahnya, maka dengan senang hati dia akan maju. Tapi ternyata dia tidak menghasilkan apa-apa. Hanya keringat dingin!
"Ah, apa gunanya, Ma? Dia tidak membutuhkan hiburan."
"Dia baik. Aku suka kepadanya."
"Ya. Dia memang baik. Tapi ingat, Ma. Kita tak bisa segera memahami orang yang baru kita kenal."
"Kadang-kadang waktu tak bisa membuat kita mengenal seseorang. Kita perlu lebih dari waktu."
Rico mempelajari wajah ibunya.
"Ah, Mama sangat bijak sekarang. Aku tahu ke mana tujuan
Mama. Perempuan di dunia ini bukan cuma Riris seorang. Kita tetap perlu waktu. kan?"
Grace tersenyum. Ucapan Rico itu membangkitkan optimismenya.
Maxi merasa tak enak membayangkan sikap Mariska sewaktu menerima keputusannya. Gadis itu begitu berharap. Sementara ia sendiri juga ingin membantu.
Berhari-hari ia sengaja mengulur waktu dalam memberikan kabar mengenai keputusannya. Selama waktu itu ia masih mencoba mempengaruhi Rico dan Grace, bahwa dirinya tidak akan mengalami masalah jika ia membantu Mariska. Bukankah ia cuma bersikap pasif dalam menerima masukan dari arwah Nyonya Melia, dan selanjutnya yang bertindak secara aktif adalah Mariska? Apa susahnya menjadi medium?
Tetapi kedua orang itu tidak sependapat. Mereka tetap mengkhawatirkan hal-hal yang tidak terbayangkan. Itulah sulitnya. Bagaimana menggambarkan hal-hal yang tidak terbayangkan? Yang bisa dipikirkan cuma kemungkinan-kemungkinan. Sesuatu yang seperti asap, bisa mulur dan melar ke mana-mana.
Walaupun demikian, mereka adalah keluarganya. Dan memang benar, keluarga itu yang terpenting. Jauh lebih penting daripada orang lain. Termasuk arwah.
Kadang-kadang ia terkenang kepada Nyonya Melia di dalam gazebonya. Selalu begitu. Mengenang yang satu termasuk pula yang lain. Ia memang tak pernah melihat Nyonya Melia berdiri, berjalan, atau berada di tempat lain. Selalu di dalam gazebonya. Dan gazebo itu tak pernah ia lihat tanpa Nyonya Melia di dalamnya.
Ia juga ingin gazebo itu kembali seperti yang ada dalam kenangannya.
"Jadi ia menolak," kata Indiarto.
"Ya," sahut Mariska lesu.
Meskipun ia sendiri pernah mengusulkan kepada Rico supaya membujuk Maxi agar menolak, tapi setelah hal itu jadi kenyataan ia menyesal. Terutama karena melihat sikap Mariska yang tampak patah semangat.
"Sudahlah, Mbak. Kita tidak boleh terlalu bergantung pada orang lain," hibur Indiarto.
Mariska tertegun. Ia menatap adiknya dengan heran.
"Omonganmu itu sangat bernilai, Indi!"
Indiarto tersipu. Ia tidak yakin, apakah Mariska memuji atau menyindir.
"Kau benar. Dia berhak menolak. Kita tidak bisa memaksa. Tapi kita juga tidak boleh bergantung pada orang lain," kata Mariska lagi.
"Lalu Mbak mau berbuat apa sekarang?"
"Usai makan malam aku mau ke sana. Mau ikut?"
"Ke sana ke mana?"
"Ke Menteng dong. Memangnya ke mana lagi?"
"Ngapain di sana, Mbak?"
"Main aja. Semakin sering dikunjungi suasananya bisa semakin tenteram, Indi."
"Apa iya? Tapi sudah malam, Mbak. Gelap."
"Listriknya nyala, kok. Ayo, mau ikut, nggak? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa."
"Tempo hari si Rico juga nggak apa-apa, kan?" tegas Indiarto.
"Nggak. Dia masih utuh kok." Mariska terbahak. Semangatnya sudah tumbuh kembali.
"Kau tidak beritahu Papa dulu bahwa kita mau ke sana?" tanya Indiarto dalam perjalanan.
"Ah, tidak perlu. Papa juga sibuk. Entah ke mana dan mau apa. Dia pasti tidak peduli kita
mau apa dan ke mana."
"Bukan urusan bisnis, kan?"
"Kayaknya sih bukan. Aku pasti tahu kalau ada rapat atau pertemuan dengan relasi. Biasanya aku selalu diajak, kan?"
"Jangan-jangan Papa benar punya pacar, Mbak."
"Itu masalah pribadinya."
"Dulu Mbak kepengin tahu. Sekarang kok cuek. Tahu-tahu Papa bawa cewek ke rumah lalu mengenalkannya pada kita sebagai calon istrinya."
"Aku nggak mau mikirin soal itu dulu. Lagi pula kalau itu terjadi, kita bisa apa, In?"
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan yang mau jadi istri Papa pasti ngincar hartanya."
Mariska tertawa.
"Aha, kau khawatir soal itu, ya? Takut bagian kita jadi kurang atau dikangkangi olehnya?"
"Bukan begitu. Aku benci saja membayangkannya. Sekarang banyak perempuan matre, Mbak."
Mariska tertawa semakin keras.
"Apa kau sudah membuat penelitian, Indi?"
"Tak perlu penelitian. Lihat saja sekeliling. Di kampus misalnya. Juga dari omongan teman-teman."
"Jangan buru-buru ambil kesimpulan kalau belum mengalami sendiri, Indi. Bergaullah dulu dengan cewek-cewek. Yang baik dan nggak matre pasti banyak."
"Di kampus kayaknya nggak ada, Mbak."
"Ah, masa. Jangan menyamaratakan dulu dong. Begini saja, In. Kau perhatikan mereka. Yang sudah jelas matre itu kayak gimana. Biasanya mereka punya ciri-ciri. Nah, yang seperti itu jangan didekati. Kalau mereka tahu kau anak orang kaya, wah "
Indiarto tertawa.
"Mereka tidak memandangku karena aku ke kampus naik motor. Yang diincar itu mereka yang bermobil."
"Jangan dekati mereka yang gila mobil. Cari yang penampilannya sederhana, tidak genit dan suka menonjolkan diri. Dekati dia lalu belajar mengenalnya."
"Kedengarannya gampang."
"Ya. Kamu kan lumayan cakep, Indi. Mungkin kau cuma kurang pede. Ingatlah. Bukan cuma cewek yang suka matre. Cowok juga."
Indiarto terdiam. Ia merasa terkena.
"Mbak sendiri kok belum punya pacar, padahal Mbak juga lumayan cakep," katanya kemudian.
Mariska ganti tertawa. Indiarto mengikuti.
"Rupanya kita sama-sama anak orang kaya, sama-sama lumayan cakep, tapi belum laku juga. ya?" seru Mariska.
Tawa mereka berderai-derai.
Tawa itu segera berhenti begitu tiba di depan rumah. Kegelapan sudah menunggu.
"Ada yang memadamkan lampu taman. Tempo hari aku meninggalkan rumah tanpa mematikannya," kata Mariska.
"Mungkin orang suruhan Papa," sahut Indiarto, agak ngeri.
"Kuncinya ada padaku."
"Mungkin punya kunci duplikat."
Mariska tak mau menakut-nakuti Indiarlo.
"Ya. Mungkin."
Sambil membuka kunci gembok, Mariska memikirkan kemungkinan itu. Kalau memang ada orang suruhan ayahnya yang disuruh mengontrol rumah itu, berarti ayahnya tidaklah benar-benar menelantarkannya. Bagaimanapun benci dan ngerinya dia akan rumah itu, tapi itu
tetaplah rumah miliknya yang punya halal. tapi bagaimana dengan kemungkinan lain? Tak ada kunci duplikat? Masih ada kemungkinan lampunya putus.
Gazebo dalam kegelapan menyambut mereka. Bangunan yang terlantar itu cuma tampak seperti bayang-bayang hitam. Pohon-pohon bugenvil yang kering meranggas, tapi masih bisa berdiri tegak karena melilit pada tiang besi penyangga, bergoyang-goyang ditiup angin. Suaranya keresek-keresek.
Keduanya melewati gazebo tanpa lama-lama menatapnya. Mereka yakin, terlalu lama mengamati benda-benda dalam kegelapan bisa membangkitkan kesan mengerikan. Nanti benda-benda yang tidak seharusnya ada malah muncul dalam penglihatan.
Bukan cuma lampu taman. lampu teras pun mati. Mustahil putus semua. Atau orang suruhan itu sangat rajin dalam penghematan listrik. Siapa gerangan orang suruhan itu? Ia mengingat-ingat tapi tidak bisa memastikan nama. Biasanya Abas adalah orang yang diserahi tanggung jawab membayar semua rekening listrik, telepon, dan air untuk rumah, berikut kantor
dan pabrik. Karena semua pembayaran bisa dilakukan lewat bank, tugas itu tidak sulit baginya. Tapi mustahil karena tanggung jawab itu Abas jadi merasa bertanggung jawab juga di segi penghematan. Apa pedulinya kalau rekening listrik membengkak karena pemakaian yang tidak efisien? Kemungkinan ayahnya yang menyuruh juga terasa kecil. Pekerjaan ayahnya sudah sebegitu banyaknya hingga mustahil membuatnya teringat untuk sekadar mematikan lampu yang terus menyala di rumah kosong. Apalagi tanggung jawab atas rumah itu sudah dilimpahkan kepada dirinya. Ia yang memegang kuncinya.
Mariska mengingatkan dirinya untuk menanyakan hal itu nanti kepada ayahnya.
ia agak kesulitan mencari kunci yang sesuai untuk pintu rumah karena suasana yang gelap. Indiarto berdiri mepet di sisinya, hingga ia bisa mendengar bunyi napasnya yang cepat. Dan lengannya yang tersentuh terasa dingin. Pada saat lain mungkin Mariska sudah menertawakan ketegangan dan ketakutan Indiarto. Tapi tak ada keinginan untuk tertawa. Di samping dirinya sendiri merasa tegang, ia pun merasa harus
menghargai kesediaan Indiarto menemaninya.
Indiarto sendiri siap memeluk kakaknya bila perlu. Dalam hati, ia heran sendiri kenapa sampai bersedia menemani Mariska. Tapi ia tidak menyesal. Cuma heran. Mungkin kedekatan yang mulai terasa dengan Mariska belakangan ini yang jadi pendorong. Atau sikap Mariska yang membuatnya berani. Ia bertanya-tanya, benarkah Mariska seberani itu? Andaikata tak ada yang menemani, beranikah ia datang sendirian?
Ada juga ucapan Mariska yang membuat sebagian takutnya hilang. Itu dikatakan sebelum mereka memasuki halaman.
"Ingat, Indi. Kita tidak perlu takut, karena kita berdua adalah anak-anak Mama yang datang dengan maksud baik. Kita anak-anaknya. Bukan musuhnya. Jadi Mama akan menerima kita dengan baik juga. Karena itu tenanglah. Rileks!"
Pintu terbuka. Mariska masuk untuk menyalakan lampu. Indiarto tetap menunggu di luar.
Lampu teras menyala. Demikian pula lampu di taman. Di dalam rumah pun tak ada lampu yang putus. Mereka menjadi lebih santai. Kegelapan memang tidak menyenangkan.
Tiba-tiba terdengar cuplikan soundtrack musik film Indiana Jones. Keduanya terlonjak. Mariska baru menyadari bahwa itu bunyi telepon genggamnya.
"Siapa?" tanya Indiarto.
"Dari HP Rico," sahut Mariska setelah mengamati HP-nya.
Ia bergegas duduk di teras. Indiarto mengikuti, lalu duduk di sampingnya.
"Ya? Ada apa, Ric? Oh ya, aku sudah menerima pesan Pak Maxi. Tidak apa-apa. Ya, kecewa sih. Tapi mau gimana lagi? Aku mengerti kekhawatiranmu. Kau sayang padanya, kan? Sekarang aku nggak di rumah. Eh, salah. Aku memang ada di rumah, tapi rumah kosong di Menteng ..."
Mariska tersenyum ketika untuk sesaat tidak mendengar suara. Pastilah Rico kaget mendengarnya.
"Sendirian?" tanya Rico.
"Oh nggak. Ada yang menemani."
"Siapa?"
"Ada deh." Mariska menoleh kepada Indiarto yang tengah mengamatinya. Ia meletakkan
telunjuknya di bibir.
Sepi sejenak. Rupanya Rico merasa tak enak untuk mendesak ingin tahu siapa gerangan orang yang menemani Mariska. Ia tidak berani.
"Syukurlah kalau kau tidak sendirian."
"Terima kasih."
"Kapan pelaksanaan renovasi rumahmu?"
"Secepatnya."
"Kau akan memandorinya?"
"Kalau aku punya waktu."
"Bolehkah aku ikut melihatnya? Kalau ada kau di sana tentu."
"Tentu boleh. Nanti kau kuberitahu."
"Terima kasih."
Setelah percakapan usai, Marika memberitahu Indiarto apa saja yang dipercakapkannya dengan Rico.
"Rupanya dia punya perhatian kepadamu," Indiarto menyimpulkan.
"Ah, belum tentu. Dia kan homo."
"Mungkin dia mau mengubah haluan?"
Mariska tertawa.
"Apakah segampang itu seperti mengemudikan kapal?"
Lalu Mariska teringat akan kecemasannya
Sendiri perihal Indiarto. Kalau memang Rico itu berniat mengubah haluan tentunya bisa jadi pelajaran berharga untuk Indiarto. Lalu tiba-tiba saja terpikir, mungkinkah Indiarto sendiri naksir Rico? Itu pikiran yang mengerikan.
"Nyatanya dia memutuskan hubungan dengan Ivan," Indiarto mengingatkan.
"Ya. Mungkin dia sudah sadar."
"Apakah menjadi homo itu suatu penyimpangan, Mbak?"
Mariska tersentak. Pertanyaan itu mengingatkannya, bahwa bagi Indiarto soal itu masih menjadi masalah. Tidak semudah itu meminta orang berjanji untuk menjadi ini atau itu. Tetapi ia sadar harus melayani diskusi itu dengan sebaik-baiknya. Ia juga sadar bahwa dirinya tidak berhak memastikan atau mendefinisikan sesuatu yang tidak dipahaminya.
"Aku sungguh tidak tahu, Indi," jawabnya dengan jujur.
"Bagi orang heteroseks mungkin itu dianggap menyimpang, tapi bagi homoseks wajar-wajar saja karena itu hak dalam kehidupan pribadi mereka. Mana mungkin kita bisa disuruh atau dipaksa menyukai seseorang kalau kita tidak suka? Demikian pula sebaliknya.
Reaksi Mariska itu membuat Indiano lebih berani.
"Mbak sendiri gimana? Pernah menyukai teman sejenis?"
Tema percakapan itu bagi keduanya terasa begitu menarik hingga mereka lupa tempat mereka berada. Yang terasa bukan hanya keheningan tapi juga ketenangan. Tempat yang nyaman dan aman untuk membicarakan masalah pribadi.
"Lucu," sahut Mariska.
"Memang pernah. Tapi itu dulu sekali. Ketika di SLP. Aku mengagumi kakak kelasku. Mungkin juga bukan sekadar kagum. Tapi jatuh cinta. Ya, cinta monyet kali. Tapi bukan kepada cowok, melainkan cewek. Aku jadi takut karenanya. Waktu itu aku belum tahu soal homo dan lesbian. Aku pikir aku sudah kurang beres. Mungkin tak lama lagi aku bisa gila. Aku tak mati jadi gila. Saking takutnya aku berusaha sekuat tenaga membunuh perasaanku itu. Ketika ada cowok menaruh perhatian langsung saja dia kuterima. Lama-lama aku berhasil juga melupakannya. Apalagi dia juga punya pacar. Cowok tentunya. Aku sangat bersyukur tak ada yang tahu perasaanku."
"Sesudah itu apa ada lagi yang lainnya?" Indiarto tertarik.
"Memang ada lagi. Tapi aku belajar mengatasi lewat cermin."
"Cermin?"
"Ya. Kupandangi diriku sendiri di cermin setelah berdandan. Eh, lihat, kataku. Aku juga cantik kok. Kenapa aku harus tertarik pada cewek cantik kalau aku sendiri juga cantik? Aku punya semua yang dia punya. Apa senangnya? Yang menantang dan membangkitkan sensasi adalah sesuatu yang berbeda. Dan itu cuma dimiliki cowok. Terus kutanamkan pikiran itu. Aku juga masih diliputi rasa takut yang dulu. Aku tidak mau dianggap aneh. Aku juga tidak mau menganggap diriku aneh. Aku terlalu berharga untuk itu."
Indiarto ternganga memandangi kakaknya. Ini sesuatu yang sama sekali baru untuknya.
Rico mengendarai mobilnya dengan perasaan kurang nyaman. Entah kenapa ia begitu terdorong untuk melihat sendiri dengan siapa Mariska berada di rumah kosongnya yang
berhantu itu. Kenapa Mariska tidak berterus terang saja? Dengan ayah atau adiknya sepertinya tidak mungkin. Mereka terlalu penakut. Lalu dengan siapa? Apakah dia punya pacar"?
Pikiran itu buru-buru ditepis Rico. Ia takut dirinya dikuasai suatu perasaan yang pada suatu waktu pernah menyiksanya, yaitu cemburu! Padahal Mariska bukan apa-apanya. Alangkah bodohnya.
Jangan-jangan Mariska sesungguhnya cuma sendirian? Ia jadi khawatir membayangkan hal itu. Biarpun hantu yang bermukim di sana adalah mantan ibunya, tapi siapa tahu. Biasanya orang bisa celaka justru karena rasa takut yang muncul dari dalam dirinya sendiri.
Memang Mariska itu pemberani, tapi bagaimanapun dia bukanlah manusia super yang tak punya rasa takut. Bukankah tempo hari pun dia kelihatan ngeri saat bersamanya di rumah itu? Dia begitu terburu-buru keluar dan wajahnya seperti orang sedang dikejar.
Rico merasa bisa menebak kenapa sekarang Mariska berada di sana. Pastilah karena ia kecewa ayahnya menolak permintaannya. Ia memang tak tahu mesti bilang apa seandainya bertemu. Tapi itu terserah nanti saja.
Ada keinginan yang kuat untuk menemani Mariska dan membantunya. Apa saja semampunya. Biarlah dia jadi pengganti ayahnya. Kenangan bahwa dia pernah berkeringat dingin di rumah itu tidak membuatnya gentar. Cuma keringat tak perlu dirisaukan.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rico melihat mobil Mariska diparkir di depan pintu gerbang. Sama seperti dulu ketika ia ikut serta.
Ia memarkir mobilnya di tepi jalan berdekatan dengan mobil Mariska. Ketika akan keluar ia mengambil serta koran yang barusan dibelinya di jalan. Koran itu bisa bermanfaat untuk apa saja.
Pintu pagar hanya dirapatkan. Ia membukanya pelan-pelan.
Di sisi gazebo ia bisa memandang ke teras. Ia melihat dua orang duduk di tangga teras dengan sikap yang akrab. Mereka duduk berdekatan dan mengobrol dengan asyik. Ia tak bisa melihat jelas wajah mereka. Keduanya sama-sama mengenakan celana panjang. Yang pasti salah satu dari mereka adalah Mariska. Mereka tampak begitu asyik hingga tidak menyadari kedatangannya. Lampu taman memang tidak menerangi seluruh penjuru taman.
Rico merasa ragu-ragu. Apakah ia akan terus maju lalu menjadi orang ketiga yang kehadirannya dirasa mengganggu? Atau ia berbalik pulang karena Mariska ternyata baik-baik saja dan tidak memerlukan pendamping?
Lalu Rico menoleh ke sampingnya dan melihat gazebo itu. Mendadak saja muncul ide. Ia masuk ke dalam gazebo, mengalasi jok kursi yang menghadap ke teras dengan kertas koran yang dibawahya lalu duduk di situ. Ia menumpangkan sepasang kakinya yang panjang di atas jok kursi di depannya.
Dengan surprise ia merasakan kenyamanan yang sangat. Pantaslah kalau nyonya rumah itu dulu senang duduk di sana berjam-jam dan menjadikannya tempat favorit. Apalagi dulu bentuknya masih indah.
Di dalam gazebo juga ada lampunya. Tapi tidak dinyalakan hingga suasana di situ lebih gelap daripada di luarnya. Hal itu jadi menguntungkan bagi Rico karena ia semakin tidak kelihatan dari teras sementara ia bisa melihat objek di sana dengan baik.
Sekarang terlihat jelas siapa yang duduk di tangga. Mariska dan Indiarto,
Begitu saja Rico merasakan kelegaan yang sangat. Ternyata Mariska tidak bersama sembarang lelaki melainkan bersama adiknya.
Ternyata ia bukan saja mendapatkan pandangan yang strategis, tapi juga bisa mendengar percakapan kedua orang itu dengan baik. Rupanya angin berembus dari sana ke arahnya hingga berperan menjadi mediator.
Semakin lama ia menjadi semakin asyik. ia tak lagi berpikir macam-macam tentang gazebo yang ditempatinya. Sekarang itu cuma tempat bernaung yang strategis. Memang ada perasaan tidak enak. Perbuatan semacam itu tidak etis. Mengintip dan menguping pembicaraan orang. Apalagi masuk rumah orang tanpa diundang dan diam-diam pula. Tetapi perasaan itu melintas saja dengan cepat.
Kupingnya tegak. Apakah ini suatu kebetulan bahwa pembicaraan yang didengarnya itu sangat relevan dengan permasalahannya sendiri.
Mariska menyikut Indiarto.
"Hei, kok bengong saja? Kau dengarkan
omonganku nggak sih?"
"Tentu saja, Mbak. Aku sedang terpesona. Ternyata kau punya banyak cerita. Terusin dong."
"Tapi kalau dipikir-pikir..., apakah ceritaku ada manfaatnya bagimu? Jangan-jangan aku cuma menelanjangi diriku sendiri."
"Tentu saja ada manfaatnya, Mbak. Karena itulah aku sangat tertarik. Kau tidak boleh membuatku penasaran dengan cerita yang tidak selesai."
Mariska tertawa.
"Selama orang masih hidup, ceritanya tidak akan selesai, Indi."
"Ayolah, Mbak."
Indiarto merengek dengan wajah memohon. Dia seperti anak manja yang keinginannya harus dituruti. Pada suatu ketika dulu ia pernah begitu kepada ibunya. Tapi kemudian tidak lagi karena ia sudah dewasa, padahal ia ingin juga sesekali begitu. Rasanya senang bisa begitu lagi.
Mariska merangkul Indiarto sambil tertawa. Indiarto merasa bagai berada di langit ketujuh.
Tapi kemudian Mariska mencubitnya. Indiarto mengaduh, pura-pura sakit luar biasa. Lalu mereka tertawa berdua.
"Ya. aku teruskan," kata Mariska sambil melepaskan rangkulannya.
"Sampai mana, ya? Oh ya, belakangan ada sesuatu yang lain yang membuatku lebih gampang mengatasi kalau dorongan itu muncul kembali."
"Apa itu?" desak Indiarto karena Mariska berhenti sebentar untuk merenung.
"Dalam diriku muncul. naluri keibuan, Indi. Tahu kan itu? Aku ingin punya anak pada suatu saat nanti. Anak yang dilahirkan karena cinta. Aku ingin merawat dan membesarkannya dengan cinta. Aku sering mengangankannya kalau aku melihat anak kecil yang lucu. Lantas siapa yang bisa memberikan itu semua, Indi? Cuma cowok!"
Bukan cuma Indiarto yang tertegun mendengar ucapan Mariska yang sentimentil tapi mengandung kebenaran yang menyentuh itu, tapi lebih-lebih lagi Rico. Dia benar-benar terpana.
Dia jadi teringat pada ucapan ayahnya.
"Yang penting, ada keinginan padamu untuk berubah. Tanpa keinginan mana mungkin."
Betul, Pa, kata Rico di dalam hati. Lebih bagus lagi kalau ada dorongan. Ada cinta. Ada...
Semilir angin yang meniup kuduknya membuat Rico membuka mata. Dia menggulirkan bola matanya ke sekitarnya. Apakah ada sesuatu yang terlihat dan terasa? Semuanya masih sama saja. Dia pun tidak berkeringat dingin seperti tempo hari.
Angin kali ini tidak membuat bulu kuduknya berdiri. Sebaliknya ia merasa sejuk dan nyaman. Apalagi tak ada gangguan nyamuk sama sekali. Sepertinya nyamuk-nyamuk menghindari tempat itu.
Kenyamanan yang terasa itu benar-benar melenakan. Ia mengantuk, setengah tertidur.
Muncul angan-angan. Ia tidak sendirian di situ. Ada seseorang di sampingnya. Mereka bermesraan. Ia memeluknya, menciumnya, membelainya. Ah, siapa ya orang ini? Perempuan atau lelaki? Inge atau Ivan? Aduh! Kenapa Inge? Kenapa Ivan? Keduanya sudah masa lalu Tapi yang penting sekarang bukan siapa-siapanya. melainkan perempuan atau lelakikah dia?
Ia tak bisa melihat wajahnya. Tapi teraba kulitnya yang halus dan sosoknya yang lembut. Tercium pula wangi parfum yang samar
tapi menyenangkan. Ah, dia pasti perempuan. Dia sedang bermesraan dengan perempuan. Tentu dia masih ingat bagaimana sosok perempuan itu. Banyak hal yang membedakan antara perempuan dan lelaki. Bukan cuma anatominya. Ia sudah berpengalaman dengan Inge. Oh, perempuan yang telah mengkhianatinya. Tapi sekarang ia tidak mau mengenang hal-hal yang menyakitkan. Ia ingin menikmati yang sekarang.
Indiarto berjalan mondar-mandir sementara Mariska masih tetap duduk di anak tangga teras. Tiba-tiba ia tersentak kaget. Tubuhnya menegang. Lalu ia melompat mendekati Mariska dan menariknya berdiri.
"Lihat itu, Mbak," tangannya menunjuk ke arah gazebo
"Kau lihat? Kau juga melihatnya?"
Mariska tersentak juga.
"Ya. Aku melihatnya"
Mereka melihat ada sosok. Orang sedang duduk berselonjor di dalam gazebo.
"Apakah itu Mama, Mbak?" Indiarto gemetar. Ia merengkuh pundak kakaknya erat-erat.
Mariska gemetar juga. Tapi ia menenangkan dirinya. Bukankah ia memang ingin melihat,
apa pun itu'!
" Ayo, kita ke sana," bisiknya.
"Nggak mau. Nggak. Takut, Mbak."
"Ayo. Kau tega membiarkan aku sendirian?"
"Tunggu, Mbak. Nyalakan saja lampunya."
"Jangan. Nanti malah hilang."
Akhirnya tak ada yang menyalakan lampu. Mereka melangkah berindap-indap menuju gazebo. Keduanya berpegangan tangan yang sama-sama terasa dingin.
Mariska sengaja mengambil jalan memutar hingga mereka tidak lurus berhadapan dengan orang di dalam gazebo yang posisinya menghadap ke teras. Sosok itu tampaknya diam saja. Ibunyakah itu?
Dalam jarak sekitar lima meter dari gazebo, Indiarto menahan langkahnya dan menarik Mariska.
"I... itu si... si Malik!" desis Indiarta.
Mariska terkejut.
"Mana mungkin? Dia kan dipenjara"
"Itu lelaki, Mbak. Bukan perempuan. Siapa lagi kalau bukan si Malik?"
Tiba-tiba Mariska disadarkan. Sosok itu bukan hantu seperti yang diharapkannya.
"Dua lawan satu. Kita pasti menang." katanya.
"Ta... tapi..." Mariska sudah maju.
"Hei!" teriaknya Rico jatuh terguling.
"NGAPAIN kau di situ, Ric?" seru Mariska. Rico bangkit berdiri dengan malu.
"Ternyata nyaman duduk di situ." katanya
tersipu.
"Kenapa nggak bergabung dengan kami saja?" tanya Indiarto.
"Kalian tampak asyik sekali berbincang hingga tidak menyadari kedatanganku. Aku tidak enak mengganggu."
"Wah, kalau begitu kau mendengarkan percakapan kami?"
"Ya," Rico mengaku terus terang.
""Tapi aku di situ belum lama kok. Paling setengah jam."
"Dalam. setengah jam itu cukup banyak pembicaraan kami," kata Mariska.
"Maafkan aku." Rico salah tingkah.
"Wah, berani benar kau duduk di situ!" seru Indiarta, menolong Rico dari kegugupannya.
Bahkan ia masuk ke dalam gazebo, lalu duduk di kursi yang masih beralaskan kertas koran. Sekarang ia berani melakukannya karena ada yang menemani dan sudah dibuktikan oleh Rico.
"Nyaman. Aku sampai setengah mimpi. Biarpun aku bisa mendengar kalian, tapi rasanya seperti terbuai. Aku merasa nggak sendirian di sini. Ada yang menemani di sampingku. Dia dia mesra sekali kepadaku," Rico mengakui dengan malu.
"Apa?" teriak Indiarto kaget. Ia melompat dari duduknya lalu dengan sekali lompatan ia sudah berada di luar gazebo. Kedua tangannya menggosok-gosok lengan. Ekspresinya cemas.
Rico dan Mariska berpandangan sebentar, lalu mereka tertawa.
"Ayo kita ke dalam," Mariska mengajak.
Mereka melangkah bersisian. Rico di tengah.
"Ceritakan yang jelas, Ric. Siapa yang menemani tadi?"
"Aku setengah mimpi. Tidak jelas siapa itu. Bahkan membuka mata pun aku tidak mampu. Tapi dari wangi-wangian yang tercium olehku
sepertinya dia perempuan."
"Parfum apa?" tanya Mariska bernafsu.
"Mana aku tahu? Yang pasti bukan cuma wangi-wangian yang tercium tapi kulitnya pun lembut. Pasti perempuan."
"Pasti Mama!" seru Mariska.
"Ah, masa Mama memesrai Rico," bantah Indiarto.
"Yang bener aja dong."
"Ya, itu tidak mungkin," kata Rico.
"Mungkin saking nyamannya aku jadi berangan-angan sendiri. Aku pikir, enak, sekali kalau duduknya nggak sendirian."
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi dia perempuan. kan?" tegas Mariska.
"Bukan lelaki?" tambah Indiarto.
Rico tertegun sejenak. Lalu ia berkata pelan,
"Ya Aku juga sempat bertanya-tanya begitu pada diriku sendiri. Perempuan atau lelaki? Tapi rasanya memang perempuan."
"Sori, Ric," kata Indiarto.
"Tempo hari di rumah sakit aku sempat menguping pembicaraanmu dengan Ivan."
"Begitu, ya? Kita sama-sama nguping dong. Ya, pembicaraan kalian tadi memang relevan dengan permasalahanku." Rico tidak merasa tersinggung. Ia merasa lebih baik membuka diri.
Sekarang mereka duduk bertiga di tangga teras. Rico tetap berada di tengah.
"Selama beberapa tahun, aku sempat menyandang predikat homo," Rico mengakui.
"Cuma satu lelaki yang intim denganku. Dia adalah Ivan. Tapi kami sudah putus sekarang. Dan aku tidak berniat terus menyandang predikat itu. Aku akan berusaha sekuat kemampuanku untuk tidak kembali ke sana."
"Kenapa?" tanya Mariska dan Indiarto hampir berbarengan.
"Demi cinta dan sayangku kepada orangtuaku. Mereka sangat mengharapkan aku jadi lelaki normal. Aku anak mereka satu satunya. Aku ingin memberikan cucu untuk mereka. Siapa yang bisa memberikan itu? Seorang istri dan seorang perempuan, bukan? Tapi aku tidak mau anakku lahir bukan karena cinta. Aku ingin dia jadi makhluk yang sempurna karena terbentuk oleh cinta. Bukan semata-mata oleh nafsu. Jadi aku harus belajar mencintai perempuan. Seperti dulu."
"Kau pikir bisa?" tanya Indiarto.
"Selama kita masih hidup dan punya keinginan, kenapa tidak? Apalagi masih ditambah dengan dorongan oleh orang-orang yang kucintai."
"Jadi kau optimis," kata Mariska. Ia senang dengan pembicaraan itu karena sangat berguna bagi Indiarto.
"Tentu saja. Optimisme adalah cambuk bagi semangat."
"Oh, betul sekali!" seru Mariska.
Mereka bertiga merasa gembira karena kebersamaan pikiran dan perasaan. Sesuatu yang bentuknya nyata lebih mendominasi mereka daripada hal lain yang tidak nyata.
Pembicaraan terhenti oleh bunyi HP milik Mariska.
"Dari Papa," kata Mariska pada kedua orang di sampingnya. Lalu melanjutkan bicaranya ke telepon.
"Ya, Pa? Saya ada di Menteng. Sama Indi,
Sedang mendata kerusakan rumah. Oh ya, sama Rico juga. Rico, putranya Pak Maxi. Dia mampir mau lihat rumah. Terus kami ngobrol. Nggak, Pa. Dia beda sama papanya. Dia biasa-biasa aja." Mariska tertawa. memandang
pada Rico. Lalu mengerutkan keningnya,
"hh. itu suara siapa, Pa? Kok saya sepertinya kenal."
"Papa ada di rumah teman. Itu suara istrinya," Pandu menyahut.
"Sudah ya. Jangan malam-malam pulangnya."
"Papa juga," kata Mariska.
Usai berbicara, Mariska buru-buru mencatat nomor telepon yang digunakan ayahnya barusan. Indiarto mengawasi dengan heran.
"Memangnya Papa nggak pakai HP?"
"Mungkin baterainya habis."
"Kenapa kaucatat nomornya?"
"Sudah dua kali Papa nelepon dari nomor ini bila dia pergi malam-malam. Siapa sih teman Papa itu? Kalau relasi masa aku nggak kenal. Kenapa nggak bilang saja namanya? Dan Suara perempuan yang kudengar itu sepertinya kukenal. Tapi... masa iya sih. Nggak mungkin itu."
"Siapa sih, Mbak?"
Mariska menggelengkan kepalanya.
"Segan aku menyebutnya. Rasanya nggak mungkin. Tapi aku cukup pintar mengenal suara. Cuma itulah. Masa iya sih."
"Ayolah, bilang saja. Siapa sih, Mbak?"
"Sebentar. Aku mau cari kepastian dulu."
Mariska beralih kepada Rico,
"Ric, kan bawa HP'! Kalau bawa, boleh pinjam?"
"Tentu," sahut Rico sambil menyodorkan HP-nya.
"Kalau pakai HP-ku, aku khawatir telepon di sana ada pencatat nomor yang nelepon. Nanti ketahuan dong," Mariska menjelaskan.
"Oh, kau mau nelepon balik." Indiarto memahami.
Mariska mulai menelepon ke nomor yang tadi dipakai Pandu. Seandainya ayahnya yang menyahut ia akan segera memutuskan. Tapi seperti yang diharapkannya, suara perempuan menyambutnya.
"Halo? Bisa bicara dengan Ibu Tuti?" kata Mariska dengan suara yang direndahkan.
"Oh, salah sambung," demikian sahutannya.
"Maaf," sahut Mariska lalu memutuskan hubungan.
"Jadi siapa itu?" tanya Indiarto.
"Kayaknya si Mimi," kata Mariska pelan.
Indiarto mengeluarkan seruan heran.
"Si Mimi?"
"Ah, bukan kali," Mariska meragukan dirinya sendiri.
"Pantasnya ada orang yang punya
suara mirip. Ada saja yang begitu, kan?"
"Siapa itu si Mimi?" tanya Rico.
"Dia bekas pembantu di rumah ini dulu. Dia yang pertama menemukan tubuh Mama dan Malik," sahut Mariska dengan segan. Membicarakan hal itu lagi terasa tidak menyenangkan.
Pandu menatap Minarti dengan jengkel.
"Sudah kubilang kalau aku lagi nelepon, jangan bicara," ia bersungut.
"Iya, Pak. Lain kali nggak deh. Tadi kelepasan sih. Habis filmnya seru."
"Mau seru kek, peduli amat."
Minarti mendekati Pandu lalu berdiri di belakangnya. Ia memijit-mijit punggung Pandu dengan tekanan yang khas. Pandu menggeliat keenakan.
"Apa Riris mengenali suara saya, Pak?" tanya Minarti.
"Nggak sih. Mungkin dia cuma dengar suara perempuan, terus jadi kepengin tahu."
Minarti menunduk lalu menciumi kepala Pandu yang rambutnya mulai menipis. Pandu memejamkan mata, merasakan kenikmatan ciuman itu langsung menembus batok kepalanya terus ke otak. kejengkelannya sirna seketika.
"Sudah beberapa hari Bapak nggak datang. Sibuk ya, Pak?" tanya Minarti. Nadanya sekadar bertanya, tidak menggugat atau menuntut.
"Oh ya. Sibuk sekali."
"Bapak makan kacang rebus? Kacangnya besar-besar deh."
"Mau! Sekalian bikinin sekoteng, ya?"
Minarti bergegas pergi.
Pandu membuka mata mengamati lenggang Minarti. Pesona yang dirasakannya terhadap perempuan itu lebih besar dari dulu. Mungkin karena sekarang dia sudah menjadi miliknya hingga ia tahu betul isi perempuan itu, luar dan dalam. Tapi yang jelas Minarti sekarang memang berbeda dibanding dulu, dua tahun yang lalu. Ketika itu Minarti seperti intan yang belum digosok. Kecantikannya sudah ada, tapi tidak segera terlihat. Cuma dia yang melihatnya.
Sekarang Minarti suka mengenakan celana pendek dengan baju kaus tanpa bra. Wah, sungguh memesona matanya. Tapi ia membuat perempuan itu berjanji untuk hanya berpenampilan seperti itu di depannya. Kalau tidak begitu, ia akan mengundang banyak kumbang ke rumah itu.. Dan itu berarti masalah. Jangan ada masalah lagi setelah begitu banyak masalah yang dialaminya. Justru perempuan seperti Minarti adalah orang yang diharapkannya bisa memberikan ketenangan.
Pandu sudah bosan dan jengkel dikelilingi orang-orang, terutama perempuan, baik yang sok pintar maupun yang benar-benar pintar. Di dekat mereka ia selalu merasa dirinya dipelajari, dicermati, diselidiki, dan dipertanyakan. ia ingin seseorang yang lugu, naif, dan berpikiran sederhana, yang semata-mata memberinya kesenangan dan ketenangan belaka. Orang seperti Minarti.
Pandu merasa yakin kedua anaknya tidak mudah mengenali Minarti sekarang. Tapi ia tidak berharap mereka akan melihatnya lagi. Lebih-lebih dalam situasi sekarang. Biarpun begitu, apa yang bisa mereka lakukan? Hidupnya adalah miliknya.
Minarti muncul kembali membawakan makanan dan minuman yang dijanjikannya. Mereka menikmatinya sambil menonton televisi. Pandu benar-benar menikmati keadaannya. Bukan cuma makanan dan minuman yang tengah disantapnya, tapi juga celotehan Minarti yang kadang-kadang terdengar konyol dan bodoh. Kebodohan yang justru disukainya. Di samping itu tentu saja juga kecantikan serta kesegaran seorang perempuan.
Sebenarnya Rico ingin bertanya lebih banyak perihal kejadian masa lalu di rumah itu, tapi khawatir kedua orang di sampingnya tidak suka membicarakannya.
Mereka jadi melupakan bahan pembicaraan sebelumnya yang membuat mereka gembira dan optimis. Tapi untuk kembali ke sana mereka sudah kehilangan semangat. Telepon dari Pandu itu melenyapkan keinginan itu.
"Masa Papa nelepon cuma untuk menanyakan keberadaanku. Memangnya aku anak kecil?" Mariska menggerutu.
"Betul sekali. Kalau nggak penting mustahil dia nelepon," Indiarto membenarkan.
"Kenapa cuma nanya begitu aja?"
"Pasti karena aku menanyakan suara siapa itu di latar belakang. Dia jadi gelisah."
"Eh, gimana kalau kita selidiki saja, Mbak? Ingat detektif swasta itu?" Indiarto mengusulkan.
Rico terperangah.
"Pakai detektif segala?
Kan sudah ada nomor teleponnya. Alamatnya bisa diketahui, kan?"
"Oh ya. Nanti aku tanyakan," kata Mariska bersemangat.
"Tapi aku jadi mikir, Mbak. Seandainya kita menemukan hal-hal yang mengejutkan, lantas gimana?"
Mariska melotot.
"Kamu ini gimana sih, Indi. Itu kan usulmu sendiri."
"Soalnya aku jadi takut."
"Jadi kau berubah pikiran?"
"Entahlah. Belum tahu."
"Bagaimana kalau begini, Indi. Kita sekadar memenuhi keingintahuan kita saja. Soalnya kalau kita tahu, kita bisa mengambil sikap. Tapi di depan Papa kita bersikap seakan-akan kita tidak tahu."
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum Indiarto menjawab, terdengar suara gaduh di dalam rumah. Seperti ada pembongkaran mendadak. Keras sekali. Gedebak-gedebuk. Rumah terasa bergetar. Apakah ada gempa? Tapi objek di depan mereka tak ada yang bergoyang.
Tubuh mereka bertiga menegang. Untuk sesaat ketiganya membeku, tak bisa bergerak. Kaget tak kepalang. Saat berikut mereka melompat berdiri. Spontan mereka berpegangan.
"Mbaaak..., apa... apa itu?" bisik Indiarto.
Suara itu masih kedengaran. Bak-buk bakbuk!
"Ayo, kita lihat?" usul Rico.
Mariska ragu-ragu.
"Kalau itu penjahat bersenjata, kita bisa mati konyol," katanya.
"Masa penjahat membuat gaduh seperti itu?" kata Rico.
"Lalu apa?" tanya Indiarto dengan suara bergetar.
Mereka masih ragu-ragu antara keinginan dan kecemasan. Kemudian suara itu berhenti dan suasana kembali senyap. Kegaduhan tadi cuma berlangsung sekitar lima menit.
Akhirnya mereka berlari masuk rumah. Keheningan di ruang depan menyambut mereka. Tidak ada suatu pertanda bahwa di situ terjadi sesuatu.
"Kayaknya suara itu datang dari atas," kata Rico.
"Kita naik?"
Mereka bergegas menaiki tangga. Rico di
depan, Mariska di tengah, dan Indiarto di belakang.
Setibanya di loteng, Mariska mendahului Rico. Ia langsung menuju pintu kamar tidur yang merupakan tempat kejadian peristiwa di masa lalu itu. Di depan pintu mereka diam sejenak, mendengarkan dengan saksama. Indiarto menempelkan telinganya ke pintu. Tidak ada suara apa-apa.
"Barangkali kita salah dengar," kata Indiarto. Ia berharap Mariska tidak membuka pintu dan mereka tidak perlu melihat isi kamar apalagi masuk ke dalamnya. Harapannya tidak tercapai.
Mariska mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, lalu membuka pintu. Ia mendorong pintu ke dalam hingga terbuka lebar, kemudian tangannya meraba sakelar di tembok. Dalam sekejap kamar terang benderang.
Mereka berteriak kaget. Mata terbelalak, mulut ternganga, dan tubuh serasa membeku. Bulu roma pun berdiri semua!
Dalam ruangan itu tak ada benda yang berada di tempat semula benda-benda itu berada. Semua sudah berpindah tempat dalam keadaan
berantakan. Tempat tidur ukuran besar yang terbuat dari besi sudah berada di pojok seberang dalam keadaan terguling. Springbed dalam keadaan amburadul, kain pelapisnya tersobek-sobek hingga bagian dalamnya bercuatan. Meja rias berada di seberang tempat semula, bukan cuma terguling tapi beberapa bagiannya lepas satu sama lain, salah satu kakinya copot, dan cerminnya hancur dalam potongan kecil-kecil seperti ditumbuki. Tampaknya meja itu dilemparkan ke dinding karena temboknya retak berantakan hingga batanya kelihatan. Hal yang sama terjadi pada kursi-meja. Semuanya sudah tak utuh dan berada jauh dari tempat semula. Demikian pula keempat dinding kamar tak ada yang utuh. Semua sudah retak dan somplak. Lampu kristal pun berada di lantai dalam keadaan hancur. Semua hiasan dinding menumpuk di sudut. Kaca-kacanya pecah, lukisan sobek-sobek, piguranya patah-patah. Nasib sama dialami lemari pakaian. Barang yang besar dan berat itu ikut hancur. Pintu-pintunya lepas. demikian pula bagian-bagiannya yang tersebar di segala penjuru. Pendeknya tak ada satu pun barang di ruang itu yang masih dalam
keadaan utuh.
Kesannya, ruangan itu seolah mengalami penyerbuan dari sekelompok massa yang sedang marah besar. Tetapi semarah-marahnya dan seberapa banyak pun mereka, sulit membayangkan mereka mampu mengangkat barang-barang besar dan berat untuk dilemparkan ke dinding! Lagi pula ke mana mereka sekarang? Mustahil mereka bisa datang dan pergi tanpa kelihatan?
Yang jelas, ada sesuatu yang mengamuk di situ. Sesuatu itu memiliki tenaga dan kekuatan luar biasa dan dia sedang marah besar!
Ketiga orang itu tersadar dari pesona kaget dan takut mereka. Lalu mereka saling memandang dan menemukan wajah-wajah pucat. Mereka seperti kehilangan darah dan tenaga. Lemas sekali. Mula-mula Mariska terpuruk, menggelosor duduk di lantai. Lalu disusul oleh Rico dan Indiarto.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian. Mereka memerlukan waktu untuk memulihkan diri.
Mariska lebih dulu mengeluarkan keluhan yang dalam,
"Aduuuh..., apa ini?"
"Ya, ada apa?" Rico ikut bersuara. Sekadar membuktikan, apakah suaranya masih ada.
"Si... sia... apa?" Indiarto menggagap. Lega karena masih bisa bicara.
"Mama!" seru Mariska. Suaranya melengking seperti kehilangan kendali hingga kedua rekannya memandangnya dengan terkejut.
"Kenapa, Ma?" tanya Mariska sambil melayangkan pandang ke seputar ruangan.
"Mama marah, ya? Marah sama siapa?"
Indiarto dan Rico ikut-ikutan memandang berkeliling. Tapi betapa kontrasnya suasana yang terasa sekarang. Sepi sunyi menyambut pertanyaan Mariska. Tak ada suara, tak ada barang yang bergerak. Padahal sebelumnya begitu riuh bergemuruh.
"Kok harus begitu sih, Ma?" Mariska melanjutkan. Suaranya lebih pelan terkendali.
Keberanian Indiarto muncul karena sikap Mariska. Dia toh tidak sendirian.
"Masa Mama marah sama kami, anak-anak Mama sendiri," katanya.
"Betul, Ma," Mariska berkata lagi. Rasanya melegakan bisa bicara, biarpun cuma monolog.
"Kami bermaksud membantu. kalau memang
ada sesuatu yang Mama perlukan. Tapi masalahnya, kami tidak tahu bagaimana. Mama nggak mau menghubungi kami secara langsung sih. Jangan lewat Pak Maxi dong. Dia memang orang yang baik. Tapi itu kan merepotkan."
Rico ikut bicara,
"Saya anak Pak Maxi. Barangkali saya bisa menolong?"
Mereka diam sejenak. Tak ada sahutan atau bunyi apa pun. Semua benda diam tak bergerak.
"Entah kenapa Mama tak suka pada kami," Mariska bicara lagi.
"Saya kan sayang sama Mama. Mestinya Mama juga sayang sama kami dong. Marah seperti ini sungguh mengerikan, Ma."
"Luar biasa," Indiarto menimpali.
"Saya ingat, dulu Mama juga suka melempar barang kalau marah. Kok sekarang masih, ya?"
Mariska tertegun, melirik adiknya. Ia tak menyangka Indiarto bisa bicara seperti itu. Humornya terasa menggelitik dan pas. Tapi bagaimana dia berani mengatakannya pada saat itu?
Diam-diam Rico mengamati kedua kakak beradik itu bergantian. Simpatinya tercurah kepada mereka. Kejadian seperti itu merupakan
pengalaman yang luar biasa untuknya. Dalam hati ia berjanji untuk menolong mereka sekuat kemampuannya. Kemudian begitu saja terpikir akan pengalamannya sendiri di dalam gazebo barusan. Ia menyadari, ada yang luar biasa di situ. Apakah perempuan yang mendampinginya itu Nyonya Melia? Kenapa perempuan itu memesrainya seolah dia seorang kekasih? Tadi Indiarto sempat mengira dia adalah Malik. Apakah Nyonya Melia pun salah memperkirakan dirinya?
Tiba-tiba terlontar begitu saja dan mulut Rico,
"Saya bukan Malik, Bu!"
Mariska dan Indiarto terkejut. Kepala mereka tersentak menoleh kepada Rico. Wajah keduanya menampakkan keheranan dan kecemasan.
"Aduh!" Rico memekik tiba-tiba. Ada yang menampar kepalanya dengan, keras. Bintang-bintang bermunculan di depan matanya. Telinganya berdenging. Rasanya menyakitkan.
Begitu merasa pulih ia melompat berdiri. Kedua orang di sisinya ikut melakukan hal yang sama.
"Kau kenapa?" tanya Mariska.
Tanpa menjawab Rico buru-buru menarik mereka keluar dari kamar. Kemudian ia mematikan lampu dan merapatkan pintunya.
"Kuncilah kembali," katanya kepada Mariska.
Ekspresi Rico mendorong Mariska melakukan instruksi itu tanpa bertanya-tanya.
Setelah itu Rico memimpin mereka menuruni tangga. Ia melangkah dengan cepat hingga kedua orang itu terpaksa mengimbangi, takut tertinggal. Mereka terus ke luar rumah hingga sampai ke teras. Rico mematikan lampu di ruang depan kemudian merapatkan pintu. Sesudah itu ia memberi tanda kepada Mariska untuk menguncinya. Pada saat Mariska melakukan hal itu, ia bergegas ke anak tangga teras, lalu duduk di situ. Kedua tangannya menyangga dagu.
Mariska dan Indiarto duduk di sisinya, di kiri dan kanan. Sama seperti tadi.
"Kenapa?" tanya Mariska.
"Kepalaku ada yang memukul. Sakit," Rico mengusap-usap kepalanya.
"Siapa yang memukul?" tanya Indiarto. Setelah memandang wajah Mariska ia segera memaklumi. lalu menutup mulutnya.
"Itu tentu setelah kau mengatakan bahwa kau bukan Malik," kata Mariska.
"Ya."
Indiarto ternganga sejenak. Ia teringat.
"Jadi benar yang kulihat di gazebo tadi, kan? Kukira kau adalah Malik!" serunya.
"Tapi aku kan bukan dia," kata Rico setengah mengeluh.
Mereka termangu. Di tempat itu mereka merasa lebih tenang. Biarpun masih di rumah itu, tapi udara terbuka di depan mereka tidak membuat mereka tertekan dan terimpit seperti saat berada di dalam, lebih-lebih di kamar yang mengerikan itu. Bagaimanapun mereka perlu menenangkan diri dulu sebelum pulang dengan mengemudikan mobil.
Tiba-tiba muncul kesedihan dan kekecewaan yang mendalam di hati Mariska. Sepertinya ada pertanyaan yang terjawab dari kejadian itu. Suatu pertanyaan yang tak pernah boleh diajukan secara terbuka. Apakah ibunya berselingkuh dengan Malik?
SUDAH jam sepuluh malam itu. Rico belum pulang.
"Kita tidak perlu menunggunya." kata Grace.
"Dia bawa kunci."
"Betul. Aku ngantuk sekali. Padahal biasanya jam segini aku masih segar," sabut Maxi.
"Ya sudah. Jangan dipaksakan. Kita tidur saja."
"Apa sebaiknya si Rico ditelepon dulu?" tanya Maxi.
"Nggak usahlah. Kita jangan memperlakukannya seperti anak kecil. Itu nggak baik, Pa."
"Baik. Tapi aku mau tidur di sofa saja. Biar bisa bangun kalau Rico pulang. Rasanya nggak tenang juga kalau malam begini dia belum pulang."
Grace tidak mencegah.
Maxi merebahkan tubuhnya di sofa. Lampu
dibiarkan menyala supaya Rico tidak kesulitan bila pulang nanti. Ia tahu ke mana Rico pergi meskipun tidak dikatakannya. Sewaktu Rico menelepon Mariska ia kebetulan mendengar. Ia menduga saja tapi merasa yakin. Usai menelepon Rico bergegas pergi. Tentu ke rumah di Menteng itu.
Ia memejamkan mata. Terbayang olehnya gazebo itu. Dan Nyonya Melia di dalamnya. Oh, dia tampak semakin cantik saja. Biarpun melihatnya dari luar pintu gerbang, ia tahu betapa halus dan lembutnya kulit perempuan itu. Dan senyumnya , wah, sungguh menghanyutkan.
"Kau ke mana saja, Maxi? Aku kangen dengan suaramu!" seru Nyonya Melia.
Maxi tertegun. Suara perempuan itu sejak awal selalu membuat ia tertegun. Suaranya rendah dan besar, mirip Suara lelaki. Mestinya tidak apa-apa. Tapi kesannya adalah suatu kontradiksi. Penampilan feminin tapi suara maskulin. Bukankah seharusnya dia memiliki suara yang halus dan lembut juga? Senyumnya memang feminin, tapi ketawanya .., aduh, begitu lepas dan ceroboh hingga terkesan liar.
"Hei! Nyanyi dong. Maxi! Bengawan Solo,
ya"!"
Maxi terkejut lagi. Suara Nyonya Melia membangkitkan sesuatu yang lain dalam ingatannya. Sesuatu yang mengejutkan. Bukankah suara itu membuat ia penasaran ketika mendengarnya pertama kali'? Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi di mana dan suara siapa?
Nyonya Melia tertawa. Kedengaran puas dan senang.
"Dulu aku pernah membangunkan kau. Ingat? Ingat?"
Maxi ingat sekarang. Keringatnya bercucuran. Aduh, suara itu! Ketika ia tertidur lelap di rumahnya yang kecil di desa ia dibangunkan oleh suara itu.
"Bangun! Bangun! Pergi! Cepat pergi!"
Bila ia tidak dibangunkan, ia dan Grace tidak lagi bisa menikmati hidup mereka sekarang ini!
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyonya Melia tertawa lagi. Puas.
"Nah, nah! Aku sudah membantumu! Kenapa kau tidak mau membantuku?" serunya.
Dengan teriakan keras, Maxi melompat bangun. Ia terduduk. Keringatnya sudah membasahi sofa dan bantal. Mimpikah ia tadi? Sepertinya nyata, tapi juga tidak. Jantungnya berdebar
keras. Sebegitu kerasnya hingga serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya.
Grace muncul lalu menubruknya.
"Ada apa, Pa? Ada apa?" tanyanya dengan cemas.
"Waduh, kau basah begini!"
"Aku... aku...," Maxi ragu-ragu.
"Kau mimpi buruk lagi, kan?" tanya Grace, menatap tajam wajah Maxi.
"Ya," sahut Maxi lesu.
"Mimpi yang sama dengan tempo hari?" tanya Grace.
Maxi menggeleng. Lalu ia memegang kedua pundak Grace dan memandangnya dengan tatapan sayu. Bibirnya bergetar. Tapi suaranya tak segera keluar. Tekanan batin yang mengimpitnya terasa berat sekali. Ia tahu, tekanan yang sama juga akan segera mengimpit Grace begitu ia menceritakan.
"Ceritakan, Pa. Kenapa kau ragu? Bukankah kau sudah berjanji tidak akan menyembunyikan apa pun dariku?" desak Grace meskipun kecemasan mengaliri darahnya.
"Kita... kita... berutang kepadanya, Ma!" akhirnya Maxi mencetuskan perasaannya.
"Berutang apa, Pa? Berulang apa?" teriak
Grace.
Terdengar suara di balik pintu. Keduanya menoleh. Sejenak perhatian beralih.
Rico membuka pintu. Ia membelalak keheranan melihat kedua orangtuanya dalam posisi yang tidak biasa. Ia segera menghambur masuk.
"Ada apa, Pa? Ma? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan cemas.
Rico menjatuhkan dirinya di depan sofa lalu memeluk kedua orangtuanya.
"Barusan Papa tidur di sini," Grace menjelaskan.
"Lalu kudengar dia berteriak. Kudapati dia terduduk dengan rupa linglung. Badannya dibasahi keringat. Dia mimpi buruk. Tapi belum menceritakan apa mimpinya. Cuma dia baru mengatakan, bahwa kita berutang kepada entah siapa. Ayo, Pa. Tenang dulu. Sekarang Rico sudah ada. Biarlah kami dengar ceritamu. Bagi perasaanmu itu kepada kami, ya?"
"Iya, Pa. Apa pun itu, ceritakanlah," Rico ikut membujuk.
Kehadiran Rico bisa membuat Maxi lebih mudah bercerita. Seperti sudah diduganya Grace dan Rico tampak shock.
"Jadi begitu," keluh Rico. Ia teringat pada
tamparan di kepalanya. Sakitnya masih terasa.
"Lantas bagaimana sekarang?" tanya Grace.
"Sebenarnya ia tidak menuntut. tapi bertanya. Ia sudah membantuku, kenapa aku tidak mau membantunya?"
"Jadi menurutmu bagaimana?" tanya Grace bingung.
"Aku memang ingin membantunya, tapi kalian tidak setuju. Padahal kalian tahu. aku sendiri belum tahu wujud bantuan seperti apa yang dimintanya."
"Bagaimana, Ric?" tanya Grace kepada Rico.
"Begini saja, Pa. Sekarang terserah sama Papa saja. Bila Papa ingin membantunya dan merasa lebih baik begitu, ya, kami akan mendukung sepenuh hati. Begitu kan, Ma?"
Sebenarnya Rico merasa berat mengatakannya, tapi perkembangan yang terjadi. menyadarkannya bahwa ayahnya justru akan merasa tertekan bila dihalangi.
Berbeda dengan Rico, Grace justru merasa lega. Bagaimana pun istilah "utang" yang dikemukakan Maxi itu menimbulkan perasaan tanggung jawab yang besar. Di mata Grace,
sosok Nyonya Melia itu tampil sebagai perempuan yang amat sangat membutuhkan bantuan. Ia tak lagi memikirkan bahwa Nyonya Melia itu sudah almarhum!
Rico tidak berani menceritakan pengalamannya barusan. Cerita itu terlampau mengejutkan dan mengerikan bagi kedua orangtuanya yang baru saja mengalami kejutan. Bagaimana ia bisa memberi tambahan kejutan lainnya?
"Jadi Papa akan memenuhi pemintaan Ibu Melia," kata Rico.
"Bagaimana caranya, Pa?"
"Soal itu biarlah Papa rundingkan dengan Riris. Yang pasti aku harus ke rumah itu."
Tanpa sadar, Rico bergidik. Ia teringat pengalaman tadi. Haruskah ayahnya tahu?
"Bagaimana kalau aku saja yang nelepon Riris, Pa?"
"Sekarang?"
"Iya. Lebih baik sekarang saja."
"Wah, ini kan sudah malam."
"Dia juga baru pulang kok."
"Kok tahu, Ric?" tanya Grace.
Rico tersipu.
"Ya. Aku barusan ketemu dia dan Indi. Kami mengobrol bertiga," katanya dengan menekankan kata "bertiga".
"Baguslah kalau begitu." Grace tersenyum.
"Biar aku saja yang nelepon," kata Rico.
"Betul," Grace membenarkan.
"Papa belum pulih. Biar istirahat saja."
Maxi akan menyanggah, tapi Grace menyenggol lengannya sebagai isyarat.
"Ya, ya. Baiklah. Tapi jangan beritahu soal mimpiku tadi, ya."
Rico tersenyum.
"Soal itu biarlah Papa sendiri yang cerita kepadanya. Mungkin saya nggak nelepon, tapi cukup kirim pesan singkat saja."
"SMS?" tanya Maxi.
"Ya."
"Bagus." Maxi setuju. Ia memang tidak suka mimpinya dijadikan sensasi.
Mariska dan Indiarto masih berada di dalam mobil meskipun mereka sudah parkir di halaman rumah. Sekilas pandang saja mereka sudah tahu bahwa ayah mereka belum pulang. Mobil Pandu belum kelihatan.
Keduanya masih sibuk memperdebatkan apakah peristiwa tadi sebaiknya diceritakan kepada Pandu atau tidak.
"Kasihan. Nanti Papa shock," kata Indiarto.
"Tapi Papa sepatutnya tahu, Indi. Itu kan rumahnya. Dan hantu itu adalah arwah Mama, istrinya sendiri. Biarpun shock, Papa akan berhasil mengatasinya. Yang dulu saja Papa bisa kok. Padahal dulu itu nyata."
"Justru yang tidak nyata itu lebih mengerikan, Mbak."
"Ah, mana bisa. Kau lebih takut pada siapa, hantu atau orang jahat?"
"Hantu."
"Aku sih lebih takut pada orang jahat. Apalagi pembunuh."
"Ya, takut juga sih. Dua-duanya deh. Sama-sama," Indiarto meralat pernyataannya.
"Papa harus tahu, Indi. Biar Papa ikut berpikir. Papa kan harus ikut serta dalam permasalahan ini. Ini menyangkut kita semua, kan?"
Indiarto merenung.
Saat itulah SMS dari Rico masuk. Mariska membacanya. lalu memperlihatkan kepada Indiano.
"Hore! Pak Maxi mau membantu kita, Indi!" ia berseru.
Mariska mengirim pesan balik, bahwa pesan itu sudah ia terima dan besok ia akan menelepon maxi.
"Ini berita baik, Indi."
"Tapi Pak Maxi memang ingin membantu. Yang tidak setuju itu Rico dan ibunya. Kenapa sekarang mendadak mereka setuju?"
"Mungkin peristiwa tadi penyebabnya," Mariska menduga-duga.
"Secepat itu Rico berubah pikiran? Malam malam membangunkan orangtuanya untuk menceritakan peristiwa tadi?"
"Entahlah. Besok kita akan tahu. Sekarang sudah malam. Tidak pantas nelepon orang yang sudah tua."
"Sungguh mendebarkan, ya? Kayaknya entar aku nggak bisa tidur nih."
"Aku juga," keluh Mariska.
"Kalau Pak Maxi saja bersedia membantu, tentunya Papa juga harus tahu," Indiarto memutuskan.
"Nah, begitu dong. Kita kan harus sepakat. Aku tidak ingin bertindak sendiri. Kita berdua anak-anaknya, kan?"
"Kapan kau mau memberitahu?"
"Begitu Papa pulang."
"Secepat itu?"
"Ya. Sebaiknya jangan ditunda. Besok sudah hari yang lain lagi."
"Kukira, sekaget-kagetnya Papa, tapi kita
jauh lebih kaget karena melihat sendiri."
"Itu sudah jelas."
"Sebenarnya Mama marah sama siapa, ya?" tanya Indiarto.
"Mana aku tahu? Nanyanya jangan sama aku dong."
"Mama ngamuk waktu kita ada di sana. Sengaja memperlihatkannya kepada kita. Kalau kita tak di sana, kita cuma bisa bertanya-tanya siapa yang merusak itu."
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukira, itu ada hubungannya dengan keputusan Pak Maxi."
"Apa... apa kaupikir dia juga mengalami sesuatu?"
"Lihat saja besok apa yang akan dikatakannya kepadaku. Sekarang kita sebaiknya jangan menduga-duga, Indi. Tunggu saja."
Mereka mendengar deru mobil memasuki halaman.
"Itu Papa."
Pandu mengamati wajah anak-anaknya bergantian dengan curiga ketika ia diajak duduk
bersama. Ia bertanya-tanya, apakah hubungan gelapnya dengan Minarti sudah ketahuan. Rupanya firasatnya benar. Sebelum pulang ia sudah mengatakan kepada Minarti bahwa besok nomor telepon akan ia ganti. Rupanya sebelum hal itu dilakukan sudah kejadian. Beginilah kalau punya anak pintar, keluhnya dalam hati.
"Pa, saya pikir kita harus terbuka," Mariska mulai.
"Ya. Ada apa, sih?" tanya Pandu hati-hati. Ia tidak boleh mendahului, takut terjebak.
"Begini, Pa. Tadi saya dan Indi ke rumah di Menteng. Kemudian Rico datang. Jadi kami bertiga."
"Ya. Kan itu sudah kau katakan di telepon."
"Memang. Saya kan belum selesai, Pa. Kami mengobrol di tangga teras. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dalam rumah. Luar biasa bunyinya. Sampai rumah bergetar. Kira-kira lima menit berlangsungnya. Ya kan, Indi?"
"Betul," sahut Indiano cepat.
"Oh, jadi persoalan rumah itu?" kata Pandu lega. Rupanya firasatnya salah.
Mariska heran sejenak, kenapa belum apa apa ayahnya sudah tampak lega. Ia segera menceritakan kelanjutan ceritanya. Indiarto yang sudah ditugasi untuk mengamati reaksi ayahnya hampir tak berkedip memelototi wajah si ayah.
Cerita selesai. Pandu terenyak di kursinya. Kelegaannya berganti dengan ketakutan. Pandangnya menerawang entah ke mana.
Mariska dan indiarto membiarkan Pandu dalam diam untuk sejenak.
"Jadi kalian tidak melihat sendiri benda-benda itu beterbangan?" tanya Pandu.
"Tidak. Kami mendengar suaranya saja."
"Kalau tidak melihat sendiri, jangan sembarang menyimpulkan dong."
Mariska dan Indiarto berpandangan. Mereka bisa melihat bahwa Pandu berusaha mengatasi takutnya dengan ketidakpercayaan.
"Kami tidak menyimpulkan apa-apa, Pa. Kami cerita apa adanya saja."
"Lantas kalian mau apa?"
"Arwah Mama jelas menginginkan sesuatu. Itu sudah disampaikannya pada Pak Maxi. Sekarang Pak Maxi sudah menyatakan kesediaannya untuk membantu."
Pandu mengerutkan kening.
"Membantu apa?"
"Membantu menenangkan Mama."
"Bagaimana caranya?"
"Entahlah. Itu yang nanti akan dicari oleh Pak Maxi."
"Huh! Apa dia minta bayaran?"
"Sama sekali tidak, Pa. Jangan punya prasangka negatif pada Pak Maxi. Dia orang yang baik."
"Jangan sok tahu dulu, Ris! Aku tidak mengerti. Selama lebih dari setahun tidak pernah terjadi apa-apa. Tiba-tiba orang itu muncul, lalu mulailah terjadi keanehan-keanehan. Tidakkah itu patut dicurigai?"
Mariska dan Indiarto terperangah.
"Apakah Papa tidak mau melihat suasana kamar di rumah itu untuk membuktikan cerita saya?" tanya Mariska, penasaran.
"Ah, nggak perlu. Buat apa?"
"Jadi Papa percaya?"
"Tentu. Ada saksinya, kan?"
"Baiklah. Jadi Papa tidak keberatan saya mengajak Pak Maxi ke sana besok?"
"Soal itu kuserahkan saja padamu. Cuma kuingatkan. hati-hatilah."
"Kenapa? Pa?" tanya Mariska. heran karena nada yang terkesan mengancam dalam suara ayahnya.
"Bisa saja itu, bukan arwah Mama, melainkan setan!"
Setelah berkata begitu, Pandu melompat berdiri lalu bergegas pergi tanpa menengok.
Mariska dan Indiarto berpandangan.
""Bagaimana pengamatanmu, Indi?" tanya Mariska pelan.
"Dia memang kaget sekali. Tak bisa diragukan lagi. Tapi tak kusangka dia bisa mengatasinya dengan cepat."
"Aku punya perasaan yang aneh, Indi."
Indiarto mendekatkan duduknya dengan ekspresi ngeri.
"Apa itu, Mbak?"
"Sepertinya Papa mengira kita akan membicarakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang semula dicemaskannya. Itu sebabnya dia sudah kelihatan lega sebelum aku cerita lebih banyak."
"Jadi apa yang dia cemaskan itu jauh lebih menakutkan daripada pengalaman kita barusan?"
"Entahlah. Mungkin baginya begitu."
Di kamar tidurnya, Pandu membuka topengnya. Dia kelihatan tambah tua sepuluh tahun. Kedua bahunya menurun dan langkahnya beringsut-ingsut. Tiba-tiba dia merasa menanggung beban berat.
Ia sadar, tak mungkin bisa tidur nyenyak malam itu. Maka ia mencari obat tidur. Ia masih menyimpan obat tidur untuk persediaan. Setelah tragedi itu, ia memerlukan obat tidur selama beberapa bulan. Belakangan ia sudah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan itu. Tapi sekarang ia mencarinya lagi. Masalahnya bukan semata-mata supaya ia bisa tidur, tapi supaya pikirannya tidak terganggu.
Setelah menelan obat. ia merebahkan diri di tempat tidur. Sempat ia menyesali penolakannya atas ajakan Minarti untuk menginap. Kalau saja ia menginap ia tidak perlu mendengar cerita mengerikan itu. Tapi bukankah itu cuma sekadar mengulur waktu? Besok lusa, Mariska atau Indiarto tetap akan mendatanginya dengan cerita itu.
"Seharusnya aku yang marah padamu, Mel!" ia bicara sendiri.
"Dulu kau yang memulai, bukan?"
Rico bolak-balik terus di tempat tidurnya. Tetapi kantuk tak juga bisa menguasainya.
Pikirannya terus-menerus tertuju kepada peristiwa itu. Apakah arwah itu marah kepadanya lalu memukul kepalanya karena dialah yang mencegah keinginan ayahnya untuk membantu? Logikanya berkata begitu. Tapi ada sisi lain yang mengingatkan, bahwa pukulan itu diterimanya karena ia berkata bahwa dirinya bukanlah Malik. Kecelekah si arwah karena yang duduk di dalam gazebo itu bukan Malik, sang kekasih?
Ia membayangkan lagi pengalamannya saat duduk di dalam gazebo. Sekarang, saat mengingat-ingat ia merasakannya kembali. Ketika itu ia setengah bermimpi, setengah berkhayal, tapi kenapa rasanya riil? Indranya merasakan sentuhan dan embusan napas hangat yang mengalirkan kenikmatan di dalam darahnya. terus ke otaknya. Lalu menghasilkan suatu keinginan yang hanya bisa ditimbulkan oleh rangsangan seksual!
Apakah itu berarti bahwa sosok perempuan, seperti yang disimpulkannya ketika itu telah mampu membangkitkan rangsang itu? Semudah itukah? Ataukah hal itu semata-mata ditimbulkan karena dia berada dalam situasi yang
tidak biasa?
Pertanyaan itu sulit dijawab secara pasti. Ia masih harus membuktikannya dalam situasi yang biasa dan tentu saja juga riil.
Pemikiran itu mendominasi dirinya dibanding pengalaman mengerikan tadi. Baru kemudian ia mulai memikirkannya lagi. Pasti ada hubungannya dengan mimpi ayahnya. Sepertinya semakin lama arwah itu semakin mendesakkan keinginannya. Kenapa harus ayahnya?
Ia bangun, keluar dari kamar. Perutnya terasa lapar.
Melewati kamar orangtuanya, ia berdiri depan pintu dan menempelkan telinganya ke daun pintu. Terdengar dengkur ayahnya. Ia tersenyum. Rupanya ayahnya bisa tidur nyenyak setelah mimpinya tadi. Mungkin baginya itu bukanlah mimpi buruk
Ia ke dapur. Di dalam kulkas cuma ada susu murni dingin.
"Lapar, ya?"
Ia menoleh kaget. Di belakangnya berdiri Grace dengan wajah kucel.
"Iya. Ma. Minum susu sajalah."
"Nanti aku buatkan mi instan. ya. Sabar sebentar."
Tak lama kemudian keduanya sudah duduk menikmati mi. Grace mengaku. dirinya juga lapar.
"Rupanya cuma Papa yang bisa tidur nyenyak malam ini." kata Grace.
"Ya. Kukira Mama juga tidur."
"Wah, sejak rebah di tempat tidur mataku melotot terus. Tambahan lagi mendengarkan dengkur Papa, sudah deh makin hilang kantuknya."
"Sudah pagi," kata Grace memandang jam di dinding dapur. Sudah pukul setengah dua.
"Kayaknya tanggung juga untuk tidur, ya Ma."
"Kau sih perlu tidur sejenak, Ric. Nanti kan mesti kerja."
"Kalau bisa, Ma. Kalau nggak?"
"Ya, lihat sajalah."
Lalu Grace melontarkan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi pikirannya.
"Kalian mengobrol lama sekali tadi, ya?"
"Oh iya, Ma. Cukup lama."
"Kalau begitu rumah itu tidak menyeramkan"
Rico sudah mengambil keputusan. Ia menceritakan pengalamannya tadi. Tetapi ia menyimpan bagian pengalamannya di dalam gazebo. itu terasa memalukan, bahkan di depan ibunya sendiri. Memang cerita itu sudah diketahui Mariska dan Indiarto, tapi mereka sudah menjadi bagian dari pengalamannya itu.
Grace menekan mulutnya. dengan tangan sebagai ekspresi kaget dan ngeri.
"Aduh, serem sekali ya, Ric," komentarnya.
"Apakah kau tidak akan menceritakannya kepada Papa?"
"Kukira biarlah Riris yang cerita. Nanti kan mereka akan bertemu."
Grace meraih tangan Rico. Wajahnya cemas.
"Apakah dia..., maksudku arwah itu, tidak akan mencederai Papa?"
Rico teringat tamparan di kepalanya. Ia memperolehnya bukan tanpa sebab.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kayaknya dia sayang sama Papa. Kalau tidak masa dia menyelamatkan Papa dulu?'
"Itu karena dia punya tujuan. Dia membuat kita berutang."
"Apakah dia menyebutnya sebagai utang?"
Grace berpikir sejenak.
"Kayaknya itu istilah Papa sendiri."
""Sebaiknya kita berpikir baik saja, Ma. Jangan cemas berlebihan."
"Mama takut, Papa tidak bisa memenuhi permintaannya. Lalu dia marah."
"Jangan takut dulu, Ma. Kita kan tidak tahu apa yang diinginkannya."
Rico berdiri lalu merangkul ibunya dari belakang kursi.
"Tenang saja, Ma. Terus terang, aku memang merasa berutang budi pada ibunya Riris. Dia telah menyelamatkan Papa dan Mama. Apapun tujuannya. aku berterima kasih kepadanya. Kalau saja aku bisa berkomunikasi dengan dia, akan kukatakan hal itu."
Grace memegang erat kedua tangan Rico yang berada di pundaknya. Ucapan Rico telah menenangkan keaelisahannya.
KETIKA paginya Rico mengendarai mobil menuju tempat kerja, ia melihat Ivan berdiri di tepi jalan menunggu kendaraan umum. Ivan juga melihat mobilnya tapi buru-buru memalingkan muka, pura-pura tidak melihat.
Semula Rico akan lewat saja, tapi kemudian ia merasa tidak tega. Ia menghentikan mobil lalu mengklakson. Ivan menoleh.
Rico menurunkan kaca mobil.
"Ikut, Van?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Ivan beranjak juga. Ia masuk ke dalam mobil.
"Tumben ngajak," kata Ivan.
"Karena aku melihatmu di situ. Kemarin-kemarin nggak."
"Oh, begitu. Terima kasih dong."
"Kembali."
Ivan melirik. Ia tak bisa membaca apa-apa di wajah Rico.
"Apakah ini berarti kita baikan?" ia bertanya.
"Putus tidak berarti musuhan, kan?"
Ivan memonyongkan mulutnya.
"Kalau sudah putus seharusnya kau tidak mengajakku ikut. Berdekatan itu bisa berbahaya."
"Kurasa tidak," sahut Rico datar.
"Bagimu tidak. Tapi bagiku?"
"Apa kau mau turun saja?"
"Tanggung dong. Masa aku diturunin di jalan tol?"
"Maksudku baik, Van. Aku tidak mau bermusuhan denganmu. Tapi aku juga tidak mau seperti dulu lagi. Itu sudah lewat."
"Karena kau sudah punya pacar baru? Cowok yang namanya Indi itu?"
Rico tertawa.
"Dengar, Van. Aku tidak punya pacar baru. Seandainya punya pun, aku tidak berniat memiliki pacar cowok. Tapi cewek! "
"Kau pengkhianat!"
"Aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Kau bilang padaku, kau akan membenci cewek selamanya."
"Oh, omongan dalam emosi tidak bisa dipegang-"
Ivan sangat marah hingga napasnya memburu.
Rico meliriknya dan menjadi khawatir. Setahunya. Ivan mengidap asma ringan.
"Kau baik-baik saja, Van?"
"Persetan dengan kemunafikanmu!"
"Tenang. Van. Kemarahanmu itu tidak pada tempatnya. Itu merugikan dirimu sendiri. Bukankah aku bersikap jujur kepadamu? Aku tidak munafik. Terus terang kukatakan sejak awal bahwa aku ingin putus dan berpisah. Aku juga terus terang mengatakan bahwa aku bertekad ingin jadi lelaki heteroseks. Hanya itu. Aku tidak mau mendua dengan jadi biseks. Tapi untuk itu aku harus berupaya dulu. Aku harus mencari," kata Rico terus terang.
Ivan menjadi lebih tenang tapi juga sedih. Ia menyadari, dirinyalah yang tidak mau mengerti. Sakit hatinya masih terasa. Lalu ke mana ia harus mencari obat?
"Buatmu gampang saja dapat pasangan, Rie. Cewek atau cowok pada naksir kamu. Tapi aku?"
"Hei, kau tidak perlu minder. Lagi pula masa depan itu kan nggak ditentukan oleh soal yang
satu itu. Memangnya nasibmu ditentukan oleh orang lain? Dan siapa bilang kau sulit dapat pasangan? Kau nggak kurang apa-apa kok. Kau cakep, punya pekerjaan bagus. Apa lagi?"
Ivan merasa terhibur.
"Kau bilang aku cakep?"
"Ya. Jadi kau harus lebih pede. Jangan bersikap seakan kau lemah dan perlu pelindung. Kau tidak membutuhkan itu."
"Aku butuh kawan, Ric."
"Kau sudah memilikinya."
"Aku ingin lebih dari sekadar kawan. Aku kesepian, Ric," Ivan melontarkannya dengan tersedu.
"Yang itu pun bisa kauperoleh. Tapi jangan buru-buru sekadar mengisi kesepian. Cari orang yang baik. Bersikaplah rasional, Van. Nanti kau dimanfaatkan orang yang tidak berniat baik."
"Bantulah aku, Ric."
"Aku akan membantumu. Ingatlah, aku tetap kawanmu."
"Terima kasih. Kau jadi konsultanku, ya? Mau?"
Rico tersenyum.
"Wah, istilahnya jangan konsultan, dong. Aku jadi malu. Memangnya
aku apa'! tapi aku akan membantumu sesuai kemampuanku."
Ivan menatapnya dengan penuh rasa syukur. Tapi ia juga dilanda sesal yang berkepanjangan. Orang sebaik Rico mungkin tak ada duanya.
"Hei, dunia ini bukan sedaun kelor, Van!"
"Ya. Aku cuma perlu membuka mata lebih lebar, bukan?"
Rico tertawa.
"Nah, begitu dong."
"Aku sudah mengajukan pemintaan fasilitas kendaraan, Ric," Ivan berganti topik.
"Bagus. Sudah punya SIM?"
"Aku minta motor saja. Cuma punya SIM motor. Lagi pula aku merasa lebih gagah kalau naik motor. Bagaimana menurutmu. Ric?"
"Kukira itu bagus."
"Eh, sudah dengar rumor paling akhir, Ric?"
"Apa, ya?"
"Si Inge sudah kembali."
Rico tertegun. Topik itu sangat mendadak.
"Tahu dari mana?"
"Ada yang ngomong. Tapi dia kembali sebagai janda"
Rico terkejut.
"Apakah suaminya meninggal? Aku kok tidak mendengar."
"Bukan. Mereka bercerai. Dia punya seorang anak lelaki. Tapi anak itu tak boleh dibawa pulang karena dia warga negara Jepang."
"Wah, tragis, ya."
"Kalau dia mau mendekatimu lagi, jangan kasih hati, Ric," kata Ivan bersemangat.
"Kenapa?"
"Aku tidak rela."
Rico tertegun. Ia kembali diingatkan kepada masa-masa sulitnya ketika baru ditinggalkan Inge. Pada saat itu Ivan berjasa menyatukan kembali serpihan hatinya yang hancur. Tetapi ia pun diingatkan bahwa sekarang ia tidak boleh sentimentil dengan kenangan masa itu, karena Ivan akan memanfaatkannya.
"Jangan khawatir, Van. Aku yakin, dia tidak akan melakukannya."
"Jangan terlalu yakin. Kalau dia melakukannya, depaklah dia sekeras mungkin."
"Istilah itu terlalu keras, Van."
"Dia pantas mendapatkannya. Aku tidak."
"Jangan mulai lagi, ya, Van. Kita berpisah baik-baik," Rico mengingatkan.
"Oh, ya. Jadi aku tidak perlu merasa terdepak?"
"Tentu saja tidak. Depak-mendepak itu disebabkan karena ada orang ketiga. Inge menginginkan orang lain, jadi dia mendepakku. Tapi kita berbeda."
"Kalau aku jadi perempuan, pasti kau mau lagi sama aku, ya?"
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ivan tertawa melihat Rico berwajah masam.
"Eh, aku cuma bercanda!" serunya.
"Sesungguhnya, aku juga nggak mau jadi perempuan kok!"
Rico ikut tertawa. Barangkali Ivan bisa dijadikan teman.
Dengan kesepakatan Indiarto, Mariska memutuskan untuk langsung mengunjungi Maxi di rumahnya daripada cuma menelepon. Itu lebih sopan dan leluasa. Pembicaraan seputar masalah itu terlalu berat dan serius untuk hanya dibicarakan lewat telepon.
Sebelum berangkat ke kantor, Mariska mampir dulu ke rumah Maxi. Pada saat itu Rico sudah pergi.
Maxi dan Grace menerima kedatangannya dengan senang.
"Apakah Bapak dan Ibu sudah mendengar cerita Rico tentang peristiwa semalam?"
Maxi dan Grace berpandangan. Maxi menggeleng. Grace ikut-ikutan menggeleng. Ia tahu, harus bersikap seakan belum pernah mendengar.
"Mungkin waktunya belum ada," kata Mariska.
Lalu ia menceritakan apa yang terjadi di dalam kamar tempat tragedi itu terjadi dulu.
"Saya pikir, Bapak harus tahu soal itu sebelum mulai berkomunikasi dengan Mama nanti. Jadi Bapak bisa tanyakan sekalian kenapa dia semarah itu? Dan marahnya kepada siapa? Saya yakin, dia sengaja berbuat begitu pada saat kami ada di sana, supaya kami tahu."
Maxi termangu. Ia cukup kaget mendengarnya.
"Semalam saya bermimpi ketemu dia," katanya.
"Tapi dia seperti biasa. Tidak marah. Dia bicara saja dan kelihatannya sengaja supaya saya bisa mengingat suaranya. Padahal kalau dia mau mengingatkan kan bisa saja."
"Ya. Pasti marahnya bukan sama Bapak."
"Kelihatannya saya harus segera ke sana, Ris."
"Kapan, Pak? Saya selalu bisa meluangkan
waktu untuk menemani Bapak."
"Ah, bukan begitu caranya, Ris. Biar saya sendiri saja. Dulu pun saya sendirian. Takutnya kalau ditemani dia malah tak mau muncul."
"Kalau begitu saya akan berikan kuncinya kepada Bapak."
Mariska membuka tas.
"Cukup kunci pintu gerbang saja, Ris. Jangan kunci rumah."
"Bapak tak berniat masuk ke dalam kamar?"
"Ah, tak usah. Sudah kacau-balau, bukan?"
"Ya. Sebaiknya tidak usah ke situ. Tidak enak dilihat, Pak. Kalau Bapak memang berniat melihat, sebaiknya jangan sendirian. Biar ramai-ramai saja. Rico juga boleh ikut kalau dia mau."
"Itu baik sekali. Saya cukup di gazebo saja. Katanya, dia kangen sama suara saya. Jadi saya akan bawa gitar."
Mariska melepaskan sebuah anak kunci dari rangkaian lalu menyodorkannya kepada Maxi.
"Bapak akan menyanyi? Aduh, saya ingin sekali mendengarkan."
"Kalau Riris cuma mau mendengar suara saya, nanti saya khusus menyanyi buatmu,"
Maxi tersenyum.
"Mau sekarang?"
Mariska tertawa.
"Ah, jangan sekarang dong. Saya pikir, pada suatu saat kalau semua permasalahan sudah beres kita akan buat acara. Bapak menyanyi di situ, ya?"
Grace tersenyum saja mendengarkan. Ia menyimpan ketegangan dan kegelisahannya. Jadi Maxi akan pergi sendiri.
"Kapan Bapak akan ke sana?" tanya Maris
"Saya masih belum menentukan waktunya. Nanti saya beri kabar kalau mau ke sana."
Sebenarnya Mariska tidak percaya bahwa Maxi belum bisa menentukan waktunya. Tapi ia tahu, mungkin Maxi tidak ingin diintip. Padahal memang hal itu yang ingin dilakukannya.
"Baiklah, Pak. Terima kasih."
Setelah Mariska pergi, Maxi menatap Grace.
"Aku mau ke sana sekarang saja, Ma. Lebih cepat lebih baik."
Grace terkejut.
"Sekarang? Apa Rico sudah tahu?"
"Dia jangan diberitahu, Ma. Nanti dia jadi resah. Lagi pula aku memang harus datang sendiri. Sudahlah."
"Apa kau... kau sudah siap?"
"Tak ada yang perlu disiapkan."
"Mentalmu?"
Maxi tertawa.
"Aku justru ingin secepat mungkin ke sana."
"Ya. Aku tahu kau memang ingin membantunya sejak awal, tapi Rico tidak setuju. Dia tidak bisa disalahkan, Pa. Bukan cuma dia yang khawatir. Aku juga. Lebih-lebih setelah kejadian semalam itu. Ternyata dia bisa ngamuk juga. Bagaimana jika kau kau tidak kembali?"
Maxi menepuk pundak Grace.
"Aku pasti kembali. Sudah. Jangan mikir yang bukan-bukan."
"Rico harus diberitahu."
"Kalau diberitahu, nanti dia terbang ke sana. Ikut-ikutan. Padahal aku ingin sendirian."
"Bagaimana jika dia dipesan supaya tidak ke sana? Hanya asal tahu saja bahwa kau ada di sana"
Maxi menggeleng keras.
"Jangan, Ma. Aku yakin dia akan ke sana. Jangan mengacaukan. Kekhawatiranmu itu tidak membantu."
"Baiklah." Grace agak kesal tapi merasa bisa memahami.
"Bantulah aku, ya, Ma."
"Membantu gimana? Aku di rumah saja kok."
"Doakan aku. ya."
Grace sadar, memang hanya itu yang bisa ia lakukan.
Meskipun sudah mengetahui bahwa semalam Mariska mengemukakan sesuatu yang lain daripada yang dikhawatirkannya, tetapi Pandu tidak mau mengambil risiko. Hari itu juga ia minta nomor telepon rumah Minarti dinonaktifkan, lalu diganti dengan nomor baru. Ia pun mengingatkan diri sendiri agar tidak lagi menelepon anak-anaknya dengan telepon itu.
Minarti tidak bertanya, tapi itu karena ia tahu betul sikap yang selalu ingin tahu tidak disukai Pandu. Ia juga tahu betul tugasnya yang utama adalah menyenangkan hati Pandu dan sebisa mungkin mengikuti saja kemauannya. Ia sadar siapa dirinya. Seorang mantan pembantu rumah tangga yang "naik tangga" menjadi "peliharaan". Dari segi ekonomi atau kenyamanan hidup, perubahan itu bisa dibilang sebagai peningkatan. Berapa gaji seorang pembantu? Belum lagi kerjanya yang berat dan tak kenal
waktu. Dengan kedudukannya yang sekarang, ia bisa senang-senang, makan-tidur-nonton, dan punya dompet penuh. Imbalan untuk itu cuma pelayanan.
Minarti juga tidak keberatan akan larangan Pandu untuk hamil. Ia rajin menelan pil antihamilnya setiap hari. Ia sendiri tidak menginginkan anak dari Pandu. Anak cuma merepotkan. Ia juga takut akan dicampakan Pandu bila itu terjadi. Kelak, pada suatu saat, ia tentu menginginkan anak. Tetapi itu harus dari suami yang dicintai dan mencintainya. Angan-angannya selalu membubung bila membayangkan hal itu. Indah dan muluk.
Tetapi kadang-kadang angan-angan muluk itu dirusak bayangan mengerikan. Pemandangan berdarah di rumah Menteng itu. Sepasang tubuh berlumuran darah. Banyak sekali darahnya. Katanya karpet tempat kedua tubuh itu tergeletak sampai kuyup akibat cairan merah tersebut. Betapa mengerikan.
Ternyata manusia memiliki darah yang sangat banyak. Ia bergidik memikirkan hal itu.
Pandu tidak pernah membicarakan kejadian tersebut. Dia ingin melupakan. Tentu saja
Minarti sendiri pun berusaha melupakan. Tapi kadang-kadang muncul begitu saja, tanpa dikehendaki. Ada saja cara atau kejadian yang membuat ia teringat. Misalnya kalau sedang menonton televisi. Meskipun sudah berusaha menghindari tayangan berita, tontonan lainnya ada saja yang menayangkan adegan mirip. Contoh lain, bila tangannya tergores pisau dapur saat memotong daging atau sayuran hingga mengeluarkan darah. Biarpun darah yang keluar cuma sedikit, tapi warna merahnya tetap mengingatkan Minarti. Dengan perasaan ngeri, ia melihat darah mengalir deras keluar dari lukanya, padahal itu cuma halusinasi. Kenyataannya tidak demikian.
Ada saat-saat ketika Minarti berpikir dirinya akan menjadi gila. Tapi ia memiliki mental yang kuat. Ia mampu mengatasi gangguan itu. Ia menanamkan keyakinan dalam dirinya bahwa untuk bisa melupakan, ia membutuhkan waktu. Pada suatu saat ia akan terbebas dari gangguan itu.
Karena itu ia tidak pernah mengadukan masalah ini kepada Pandu. Ia sadar betul, masalah ini sangat peka bagi Pandu. Jangan sekali-kali menyinggung kepekaan Pandu kalau ia mau mempertahankan kedudukan. Ia tentu tidak mau dipulangkan ke kampung biarpun dibekali "pesangon".
Sebenarnya Minarti juga bukan manusia tanpa perasaan. Apalagi emosi. Sesekali ia melampiaskan amarah dengan berteriak dan memukulkan bantal guling ke tempat tidur sambil membayangkan bahwa yang dipukulnya adalah Pandu!
Bila ia harus terus-menerus merunduk tanpa boleh mengangkat kepala, harus terus-menerus bicara bodoh tanpa boleh mengungkapkan isi kepalanya yang sesungguhnya, harus terus-menerus mengiyakan tanpa membantah, dan harus terus-menerus begini-begitu, maka perasaan tertekan itu akan melampaui batas. Tetapi ia memang harus begitu kalau mau survive.
Ia sudah tahu menjadi perempuan yang cantik saja bukan bekal yang cukup. Dari bacaan, dari televisi, banyak masukan yang diperolehnya. Begitu banyak perempuan yang teperdaya. Apalagi yang cantik. Dulu dia menjadi pembantu rumah tangga bukan karena dibujuk atau diperdaya, tapi karena ingin mencari perbaikan
nasib di Jakarta. Ketika itu ia tidak menyadari bahwa dirinya cantik atau punya suatu daya tarik. Semua itu masih tersembunyi di balik kepolosan penampilannya.
Jadi Minarti termasuk beruntung. Tetapi pada saat melampiaskan kemarahan, ia tidak sempat berpikir ke situ. Nanti kalau amarahnya mereda, ia bisa tenang bahkan tertawa. Kembali ia merasa beruntung. Ternyata ia juga bisa melampiaskan kemarahan dengan leluasa. Bahkan orang yang dijadikan sasaran juga tidak tahu!
Ia bisa terbahak-bahak sendiri karena perasaan beruntungnya itu.
Pagi itu setelah selesai berbelanja dan membawa pulang hasil belanjaannya, Don mendapat tugas lain. Ia harus membawa tagihan ke sebuah hotel yang lokasinya di Jalan Thamrin.
Don senang melakukannya. Dengan berbuat begitu, ia jadi merasa ikut berjuang dan ikut memiliki usaha yang dijalankan istrinya. Apalagi Anie tidak pernah menyuruh atau minta bantuannya bila tahu ia sedang sibuk dengan proyek. Sekarang ia sedang menganggur. Sejak menyelesaikan kasus Pandu, ia belum mendapat order lagi.
Don mengemudikan mobil Kijangnya dengan mengambil rute kawasan Menteng untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Di situ suasana jalan tenang. asal saja jangan melewati sekolah pada saat masuk dan usai sekolah.
Lalu ia tertegun dan memfokuskan pandangannya. Ia melihat seorang lelaki tegap sedang berjalan di seberangnya dengan arah berlawanan. Ia segera mengenalinya sebagai Maxi Tuwana. Yang mengherankan Don, Maxi menggendong sesuatu di punggung yang bentuknya seperti gitar. Mau menyanyi di manakah dia?
Mulanya Don bermaksud memanggil dan bertanya ke mana tujuannya, lalu menawarkan untuk mengantarkan. Tapi kemudian ia membatalkan niat itu. Maxi melangkah tanpa menoleh kanan-kiri. Langkahnya mantap dan cepat. Sama sekali bukan ciri orang yang sedang santai.
Setelah berpapasan dan mobilnya berjalan terus beberapa puluh meter, ia memutarnya untuk menyusuri jalan yang dilalui Maxi. Untung jalan itu dua arah.
Betapa herannya ketika ia melihat Maxi berhenti di depan rumah Pandu yang sudah lama terbengkalai. Mau apa Maxi di situ? Bukankah rumah itu tidak berpenghuni?
Don menghentikan kendaraannya, lalu mengamati. Sekali lagi rasa herannya memuncak ketika ia melihat Maxi mengeluarkan kunci kemudian dengan tenangnya membuka gembok!
Don benar-benar merasa sesak napas melihat kejadian itu. Perilaku Maxi itu menunjukkan bahwa ia punya suatu ikatan dengan rumah itu. Setidaknya dengan penghuninya. Padahal ia baru saja menyelesaikan penyelidikannya perihal Maxi dan menyampaikan laporannya kepada Pandu. Dengan yakin dan pasti, ia menyatakan bahwa Maxi tidak punya hubungan dengan Nyonya Melia. Tapi dengan kejadian sekarang ini, ia menjadi tidak yakin lagi. Bagaimana pertanggungiawabannya kepada Pandu nanti? Ia merasa malu kepada diri sendiri karena pekerjaannya kurang beres. Itulah akibatnya kalau terlalu menganggap ringan suatu pekerjaan.
Tapi masih ada kemungkinan lain. Mungkin Maxi memang orang suruhan Pandu. Sekarang dia ke situ dalam rangka suatu tugas. Itu sebabnya dia punya kunci. Dan kenapa Pandu menyuruh dirinya menyelidiki Maxi adalah untuk masalah kepercayaan. Setelah mendapat laporan darinya, barulah Pandu percaya lalu memberi Maxi tugas itu.
Pikiran itu menenangkan sejenak. Tetapi keheranannya tetap ada. Kenapa Maxi membawa-bawa gitar segala? Untuk Pertanyaan yang ini ia tak bisa menjawab sendiri.
Maxi sudah masuk kemudian menggembok kembali pintu gerbang dari dalam.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat-cepat Don keluar dari mobil lalu menyusul ke sana. Ia bersyukur akan situasi yang sepi.
Mula-mula ia berjalan santai melewati pintu gerbang sambil mengamati diam-diam ke dalam rumah. Ketika merasa tak ada yang memperhatikan, ia berdiri mengamati. Ternyata Maxi berada di samping gazebo. Punggungnya yang kelihatan. Ia mengeluarkan gitar dari kain sarungnya, lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian ia mengambil jok salah satu kursi yang posisinya menghadap ke dalam rumah. Ia menepuk-nepukkan jok itu ke tiang untuk menjatuhkan debu yang menempel. Setelah meletakkannya kembali di kursi, ia duduk di atasnya lalu meraih gitar. Dengan posisinya yang seperti itu, Maxi tidak bisa melihat kehadiran Don di luar pintu gerbang.
Don menyisih ke tepi pintu gerbang supaya lebih tersembunyi.
Rasa heran Don kembali menyeruak ketika gitar Maxi berbunyi, kemudian disusul lantunan merdu lagu Bengawan Solo!
Don terpesona. Sambil mendengarkan pelan-pelan. bulu romanya berdiri.
SETELAH menyanyikan satu lagu, Maxi diam untuk meresap keheningan. Tidak ada reaksi apa-apa. Ia tidak melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu.
"Saya sudah menyanyikan lagu kesenangan Ibu itu," bisiknya.
Tiba-tiba daun-daun kering beterbangan lalu berjatuhan di atas tubuh dan kepalanya. Ia membiarkan, tidak merasa terganggu. Sesudah itu tetap tidak terjadi sesuatu. Ia menaikkan kaki ke atas kursi di depannya.
"Maaf, saya meniru cara duduk Ibu. Kaki saya pegal," katanya pelan.
Ia bersikap santai, sabar menunggu. Tidak ada yang perlu diburu-buru, pikirnya. Ia punya banyak waktu. Ia juga merasa tenang, tanpa rasa seram atau ngeri barang sedikit pun. Biasa saja. Bahkan rasanya seperti di rumah sendiri.
Ia mengamati sekitarnya dengan lebih cermat. Setelah beberapa kali turun hujan, taman itu jadi kelihatan lebih hijau. Ada pohon yang tumbuh lagi, mengeluarkan tunas-tunasnya. Semak-semak juga semakin tinggi. Dan yang paling menarik perhatiannya adalah pohon bugenvil di sekitar tempat duduknya. Pohon yang tadinya kelihatan kering meranggas itu ternyata belum mati. Keempat pohon di seputar tiang besi gazebo sudah mengeluarkan tunas dan daun baru. Tapi daun dan dahan kering mendominasi hingga membuat pohon-pohon itu tidak kelihatan.
Daun-daun bugenvil kembali berjatuhan seperti digoyang-goyang. Maxi mengamati dengan asyik, bagai terpesona. Tiba-tiba ia mendengar bisikan di telinganya,
"Bernyanyilah lagi, Maxi!"
Setelah terkejut sejenak. ia meraih gitar lalu memetiknya dan kembali menyanyikan Bengawan Solo. Suaranya bergetar sesaat, lalu kembali mantap. Yang unik, saat ia menyanyi, daun-daun terus berguguran! Sebenarnya angin tidak kencang, bahkan berembus sepoi-sepoi saja, tapi terdengar berdesir-desir di telinga
Maxi. Sepertinya itu merupakan musik pengiring lagunya.
Ia menikmatinya.
"Terima kasih, Maxi!" bisikan yang kali ini jelas suara Nyonya Melia terdengar lagi di telinganya.
Tetapi hanya itu yang terdengar.
Ia berpikir sejenak. Apakah Nyonya Melia cuma ingin mendengar ia bernyanyi, seperti yang dikatakannya dalam mimpinya semalam?
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Ibu?" tanyanya pelan.
"Bukankah Ibu minta saya membantu? Saya belum tahu persoalannya, Bu."
"Masuklah ke dalam."
Maxi terkejut. ia tidak memiliki kunci rumah. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia memasukkan kembali gitarnya ke dalam sarung, menyandangnya di pundak, lalu melangkah menuju rumah. Barangkali cukup di teras rumah, pikirnya. Memang tidak leluasa berbincang di dalam gazebo karena orang yang lalu-lalang di trotoar depan rumah dan kebetulan memandang ke dalam bisa terpancing keingintahuannya. Bagi orang lain ia akan kelihatan berbicara sendiri.
Dan orang yang tahu mengenai pemilik rumah itu bisa saja mencurigainya.
Ia menaiki tangga teras dengan ragu-ragu. Apakah sebaiknya menunggu di situ saja?
Betapa herannya ketika ia melihat pintu rumah yang besar tinggi itu menganga sedikit. Cukup untuk memperlihatkan bahwa pintu itu tidak dalam keadaan terkunci. Segera jantungnya berdegup kencang. Dak-duk, dak-duk...
"Ke sini! Ke sini!"
Suara Nyonya Melia yang rendah parau terdengar memanggil-manggil dari dalam rumah.
Jantung Maxi Semakin kencang saja degupnya. Ia sampai takut kalau-kalau tak mampu menahan jantungnya itu. Aliran darahnya mengalir lebih cepat, tapi ia justru merasa dingin.
Maxi membuka pintu. Kembali suara gaung yang sudah ia kenali itu menyambutnya. Suasana ruang depan rumah tak begitu gelap. Ada cahaya masuk lewat glass block yang terpasang pada sebagian dinding. Tak perlu menyalakan lampu.
Ia memandang ke sekitarnya dan berharap Nyonya Melia akan menampakkan dirinya di ruang itu.
"Ke sini! Ke sini!"
Maxi terkejut. Suara itu arahnya dari atas!
Ia menekan dadanya dan berharap jantungnya tidak melompat keluar. Aduh, kenapa harus di atas dan kemungkinan di kamar yang itu? Bisakah ia menolak?
Tetapi kakinya melangkah terus. Kemudian menaiki tangga. Sepasang kakinya terasa menekuk-nekuk. Ia harus berjuang supaya bisa sampai ke atas.
"Ke sini, Maxi! Ke sini!"
Benar saja. Suara itu dari dalam kamar!
Kamar yang biasanya terkunci itu pun menganga. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mendorong pintu. Tak berbeda dengan ruang depan, suasana di situ pun tidak terlalu gelap. Ada cahaya masuk. Ia pun sama sekali tidak berpikir untuk menyalakan lampu.
Dalam keadaan begitu, ia masih bisa melihat situasi di dalam kamar dengan cukup baik. Seperti yang diceritakan Mariska, keadaan di situ benar-benar porak-poranda. Seperti habis terjadi gempa hebat. Untunglah ia sudah tahu sebelumnya. Kalau tidak mungkin ia bisa semaput saking kagetnya.
Lalu terdengar suara tertawa. Ia melompat mundur. Lalu menoleh ke arah suara itu.
Di atas susunan dua bantal di lantai, duduk Nyonya Melia! Ia mengenakan gaun panjang putih dengan bunga-bunga kecil merah jambu seperti yang pernah dikenakannya dalam perjumpaan pertama mereka. Gaya duduknya anggun. Punggungnya bersandar ke sisi lemari pakaian yang terguling. Kedua tangannya memeluk lutut. Ia tersenyum manis. Raut Wajahnya memberi kesan menenangkan. Kulitnya tampak lebih putih pucat. Bibirnya berwarna keunguan. Tatapan matanya sayu.
"... i... ibuuu Me... lia," sapa Maxi dengan susah.
"Duduklah. Carilah tempat yang nyaman."
Maxi menoleh berkeliling. Tak ada yang bisa diduduki karena semua perabot berantakan. Akhirnya ia duduk bersila di lantai dekat ambang pintu yang terpentang.
"Nah, sudah nyaman sekarang, ya?" Nyonya Melia tertawa.
Maxi menjadi lebih tenang. Jantungnya tidak lagi berdegup sekencang tadi. Ia sudah beradaptasi dengan situasi. Bukankah memang
keadaan seperti ini yang ditunggunya?
"Apa yang bisa saya bantu, Bu?" ia bertanya, lebih lancar.
"Terima kasih kau mau membantuku, Maxi. Kau tentu sudah tahu mengenai diriku dari Riris, ya?"
"Ya."
"Bagus kalau begitu. Aku adalah orang yang terbunuh dengan rasa penasaran. Aku tidak tahu siapa yang membunuhku !"
Maxi terkejut.
"Pelakunya sudah dipenjara, Bu. Namanya Malik, sopir Ibu."
"Aku tidak melihat ia menusukku. Kau sudah tahu, aku ditusuk dari belakang?"
"Ya."
"Itu sebabnya aku tidak tahu siapa yang begitu pengecut."
"Malik ditemukan di samping Ibu. Dia tertusuk di dadanya. Sidik jarinya ada pada gagang pisau yang menusuk Ibu. Katanya. ia mencoba membunuh diri setelah membunuh Ibu."
"Motifnya?"
"Ia bermaksud merampok. Tapi kemudian menyesal."
"Huh ! Merampok? Ia tidak perlu merampok!"
Maxi tertegun. Tentu ia tidak bisa menyanggah. Ia tidak tahu banyak mengenai soal itu. Apa yang diketahuinya cuma berasal dari cerita Mariska.
"Kenapa Ibu tidak bicara dengan Riris saja? Dia tahu lebih banyak."
"Jangan tanya kenapa atau bagaimana? Aku tidak bisa menjawab! Ingat itu! Jangan bertanya!"
"Baik, Bu. Apakah Ibu tidak keberatan bila saya membicarakan percakapan kita ini dengan anak-anak Ibu dan keluarga saya? Saya sudah berjanji untuk bersikap terbuka kepada mereka. Tanpa bantuan mereka, saya sulit berjalan sendiri."
"Oh, boleh saja. Semua orang boleh tahu kok!"
"Jadi sekarang saya bisa membantu dengan cara apa, Bu?"
"Temuilah Malik. Tanyakan padanya, kalau memang dia yang membunuhku, motifnya apa?"
"Cuma itu?"
"Kau harus menemukan kebenaran! Aku
bergantung kepadamu, Maxi!"
Maxi termangu. Ia sadar, tugas yang diberikan kepadanya memang bukan "cuma itu". Tampaknya akan jauh lebih rumit dan sulit. Apa yang bisa ia lakukan? Ia bukan polisi bukan pula detektif.
Ketika mengangkat kepalanya kembali ia terkejut. Nyonya Melia sudah tak ada di tempatnya. Ia sudah lenyap. Tak ada lagi yang bisa ia bicarakan.
Ia berdiri dan terhuyung sejenak. Kakinya baru terasa pegal setelah duduk bersila sekian lama tanpa mengubah posisi. Ia keluar dan merapatkan pintu.
Berbeda dengan tadi, ia menuruni tangga dengan ringan. Detak jantungnya pun biasa saja. Tetapi beban beralih ke pikirannya.
Don tidak tahan mendengarkan lagu kedua yang dinyanyikan Maxi sampai selesai. Ia suka suara Maxi yang merdu, tapi ia tidak bisa membiarkan bulu romanya berdiri terus. Ia heran kenapa daun-daun berjatuhan di atas tubuh dan kepala, Maxi, tetapi lelaki itu sepertinya tidak merasakan. Tak ada angin kok bisa berjatuhan?
Ia bergegas kembali ke mobil. Di sana ia
duduk sebentar untuk menenangkan diri sebelum menjalankannya. Melewati rumah itu ia tidak menengok. Ia tidak ingin melihat sesuatu yang lain lagi.
Usai melaksanakan tugasnya, ia menelepon Sondang.
"Son, ada waktu nggak barang sebentar saja?"
"Ada, ada. Ayo datang saja ke kantor. Sudah cukup lama kita nggak ketemu."
"Terima kasih. Aku segera ke sana."
Perasaan Don menjadi lebih nyaman. Punya teman yang bisa diajak berbagi itu melegakan sekali. Ia sadar, tidak bisa membawa cerita itu kepada orang-orang di rumahnya. Cerita itu berkaitan dengan kasus-kasus yang ia tangani dan adalah rahasia yang tidak sepatutnya dijadikan gosip.
Begitu bertemu dengan Sondang, ia segera menceritakan pengalamannya. Didahului dengan order yang diterimanya dari Pandu untuk menyelidiki Maxi lalu berakhir pada apa yang dilihatnya barusan.
"Wah, wah," komentar Sondang dengan tak kalah heran.
"Masa cuma itu komentarmu, Son?" Don tidak puas.
"Habis aku mesti bilang apa? Aku kan nggak tahu banyak."
"Mungkin Maxi itu memiliki suatu kelebihan supernatural. Kenapa ia bisa selamat padahal orang-orang sekampungnya mati semua? Cuma ada satu penyebab di antara dua kemungkinan. Dia berkolusi dengan kaum penyerbu atau punya kelebihan itu. Untuk yang pertama rasanya tidak mungkin. Dia sudah dikenal baik di kampungnya."
"Barangkali cuma firasat, Don. Ada orang yang tiba-tiba mendapat suatu firasat padahal tidak pernah sebelumnya. Misalnya ada yang batal naik pesawat terbang dan ternyata pesawat itu kemudian jatuh. Ada lagi yang selamat sendiri dalam suatu musibah padahal yang lain tidak. Nah, hal-hal seperti itu sering kali sulit dijelaskan secara rasional."
"Ya. Kau benar. Persangkaanku itu memang masih perlu dibuktikan. Yang menggelitik perasaanku adalah apa yang dilakukannya di rumah itu. Masa sih cuma sekadar rekreasi, nyanyi-nyanyi di dalam gazebo. Apa disuruh
jaga rumah? Memangnya rumah bisa kabur? Yang jelas dia di situ pasti atas seizin Pandu. Bawa kunci kok."
"Mungkin Pandu memintamu menyelidiki apakah dia penipu atau bukan. Setelah menerima laporanmu baru ia menggunakan tenaganya."
"Untuk apa? Ia cuma duduk di dalam gazebo, memetik gitar lalu menyanyi. Kemudian daun-daun berjatuhan. Hiii..."
Sondang tertawa.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mestinya kau jangan buru-buru lari. Lihat apa lagi yang ia lakukan."
"Maunya sih begitu. Tapi aku tidak sanggup melakukannya. Aku tidak tahan. Perasaanku ngilu sekali. Bulu romaku berdiri. Mungkin rambutku juga. Tampaknya satu-satunya jalan selamat adalah kabur. Belum pernah aku seperti itu, Son."
"Mungkin dia disewa Pandu untuk mengusir hantu dari rumah itu. Bukankah sudah lama rumah itu dibiarkan kosong? Itu kan aset mahal. Masa dibiarkan terlantar begitu saja. Pasti ada apa-apanya."
"Hantu? Kalau memang ada, tentu hantu istrinya. Mungkin untuk menenteramkan, ya?"
kata Don dengan simpati. Ia membayangkan Nyonya Melia yang gerak-gerik dan ekspresinya begitu diingatnya. Muncul kembali rasa bersalah yang dulu. Kalau ia tidak menyampaikan laporan perselingkuhan Nyonya Melia dengan Malik, sopirnya itu, mungkin tragedi itu tidak akan terjadi.
Sondang mengamatinya.
"Hei. jangan menyesali diri lagi."
"Sekarang aku jadi bertanya-tanya, Son. Mau apa lagi Pandu itu sekarang? Istrinya sudah jadi arwah kok masih diusir-usir."
"Jangan buru-buru menyimpulkan. Kau belum tahu apa urusannya."
"Tapi aku yakin Maxi itu orang yang baik. Memang begitu yang kudengar. Kenapa dia menyanyi segala di sana, ya? Apa dengan menyanyi itu dia bisa memanggil arwah? Lantas kalau sudah dipanggil mau apa?" Don kembali bertanya-tanya.
Sondang tertawa.
"Nah, naluri detektifmu kembali bekerja. Kenapa tak kau selidiki saja?"
"Untuk siapa?"
"Ya, untuk dirimu sendiri. Daripada kau terus-terusan bertanya-tanya. Mana mungkin kau
bisa mendapat jawabannya kalau cuma ngomong."
"Tapi itu bukan urusanku. Aku takut apa yang akan kuketahui nanti bisa mengganggu nuraniku."
"Bagaimana kalau dibayar?"
"Ah, kau ngeledek. Itu lain dong. Itu namanya profesi."
"Kau tahu, Don? Aku punya firasat, bahwa pengalamanmu barusan cuma puncak dari gunung es."
"Kau pikir begitu? Sama dong!"
Keduanya saling memandang.
"Barangkali idemu itu bagus juga, Son. Kebetulan aku lagi nganggur. Bila aku perlu bantuanmu, bersedia dong, ya?"
Sondang tertawa.
"Aku dilatih untuk menangkap orang jahat. Bukannya hantu."
Tetapi Don yakin Sondang cuma bergurau. Ia sudah senang temannya itu mau mendengarkan pengalamannya.
Malam itu Maxi mengadakan pertemuan di rumahnya. Yang hadir dia sekeluarga dengan Mariska dan Indiarto. Ia menceritakan pertemuannya dengan arwah Nyonya Melia. Wajah-wajah yang kaget dan tegang menatapnya.
"Jangan khawatir," kata Maxi.
"Aku sudah minta izin padanya untuk membicarakan hal ini dengan kalian. Dia bilang, semua orang boleh tahu."
"Tapi Papa jangan diberitahu dulu !" seru Mariska.
"Kenapa?" tanya Indiarto.
"Bukankah dia juga bagian dari kita? Tempo hari kau segera memberitahu begitu dia pulang malam-malam."
"Kalau itu lain. Itu fakta. Dia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa cerita kita benar. Tapi yang ini kan nggak. Papa selalu skeptis menanggapi cerita begini. Jadi sebaiknya tunda saja dulu."
"Baiklah," Indiarto setuju.
"Yang penting sekarang kita perlu merundingkan bagaimana caranya upaya Pak Maxi bisa melaksanakan tugas itu."
"Apa Papa sendiri punya rencana?" tanya Rico.
"Ya. Pertama-tama aku mau mengunjungi Malik dulu. Itu harus. Selanjutnya lihat dulu apa hasil pertemuan itu."
"Dia di penjara Salemba, Pak,"Mariska
memberitahu.
"Apa bisa kau mengunjunginya padahal kenal saja tidak? Tampangnya saja belum pernah lihat," kata Grace.
"Bagaimana bila aku mengaku sebagai kerabatnya dari jauh?"
Mereka berpandangan sejenak. Ide itu tidak mengada-ada dan tampaknya juga tak ada yang lain.
"Dia berasal dari Jawa Tengah. Persisnya Saya lupa," kata Mariska.
"Yang kelihatan dekat dengan dia adalah Mimi dan Jarot, tukang kebun kami dulu. Mereka suka ngobrol. Yang bisa ditanyai adalah Jarot karena sekarang dia bekerja di pabrik. Sedang Mimi..., entahlah ada di mana dia sekarang. Sejak kejadian itu dia berhenti kerja."
Mariska bertukar pandang sejenak dengan Indiarto.
"Mungkin Jarot bisa diajak menemani Pak Maxi," usul Indiarto.
"Jadi dia bisa mengenalkan Malik pada Pak Maxi."
"Ya. Itu ide yang bagus," sahut Mariska senang.
"Besok saya akan bicara dengan Jarot."
"Nanti kau akan bilang apa sama Jarot?"
tanya Maxi.
"Dia sih orangnya lugu, Pak. Saya bilang saja, Bapak kerabat jauh yang sudah lama tidak ketemu Malik. Dia tidak akan bertanya-tanya. Satu-satunya kesulitan mungkin membujuknya supaya mau ke sana. Dia takut dianggap terlibat. Dia juga marah kepada Malik karena telah membunuh majikan yang dianggapnya sangat baik."
"Aku yakin kau bisa membujuknya, Mbak," Indiarto berkata ringan.
Mariska tersenyum.
"Kenapa Bu Melia mengatakan Malik tidak perlu merampok?" tanya Grace.
"Mana aku tahu," sahut Maxi.
"Dia mengingatkan aku untuk tidak bertanya Padahal banyak sekali yang ingin kutanyakan. Misalnya pesanan Riris untuk menanyakan kenapa dia marah dan kepada siapa marahnya."
"Jadi dia tidak menyinggung kenapa kamar itu berantakan?" tanya Mariska.
"Sama sekali tidak. Dia duduk dengan nyaman di atas bantal. Ruangan yang kacau itu seperti tidak berarti apa-apa untuknya."
"Bagaimana sikapnya, Pak? Ekspresi wajahnya?"
"Dia suka berubah-ubah sesuai dengan pembicaraannya. Adakalanya dia tersenyum sayu, lalu sedih. Wajahnya pucat, putih sekali. Sangat berbeda dengan saat pertama kulihat dia di dalam gazebo. Ketika itu ia kelihatan ceria."
"Ternyata dia memang penasaran dengan kematiannya. Itu menjelaskan kenapa dia resah dan memperlihatkan diri. Dia memerlukan bantuan bagi ketenangan dan kepuasannya," kata Rico.
"Dia menyangsikan pembunuhnya karena tidak melihat," kata Mariska.
"Ya. Pengakuan Malik tidak berarti baginya. Kalau memang Malik yang melakukan, dia ingin tahu apa sebabnya?"
"Kukira, kesangsian Mama itu disebabkan karena dia menyayangi Malik," kata Mariska.
Indiarto menatap kakaknya.
"Mbak tahu Mama menyayangi Malik?"
"Itu perkiraanku saja. Beberapa kali kulihat perlakuan Mama yang ramah kepada Malik."
"Mama selalu baik kepada semua pembantu. Aku tak pernah melihat dia membentak-bentak mereka. Tentu itu sebabnya dia penasaran kenapa sampai dibunuh," kata Indiarto.
"Katakan, In," Mariska menatap adiknya.
"Apa kau sendiri yakin bahwa si Malik yang telah membunuh Mama?"
"Bukankah dia sudah mengaku?" Indiarto balas bertanya.
"Memang betul. Tapi..."
"Nyatanya dia menyesal lalu mencoba membunuh diri."
"Kalau dia memang mau merampok, tentunya dia punya kesulitan keuangan yang sangat mendesak. Itu membuat ia nekat dan gelap mata," kata Rico.
"Ya, Apakah hal itu ditanyakan oleh penyidik?" tanya Maxi.
"Entahlah. Saya tidak ingat tuh, Pak," sahut Mariska.
"Waktu itu saya benar-benar tak ingin mengikuti sidang-sidangnya. Rasanya ingin lari saja. Saya pikir, buat apa lagi saya tahu motifnya. Yang jelas. ibu saya sudah terbunuh. Motif atau apa pun tak ada gunanya lagi. Buat apa pula dia bunuh diri? Nyawanya tak bisa menggantikan nyawa ibu saya."
Maxi tahu, ia tak bisa menanyai Mariska lagi soal itu.
"Kalau begitu, pertemukan saya dengan .Jarot saja. Ris."
"Oh, itu pasti, Pak, Saya akan bicara dulu dengannya."
"Aku kira, semua itu tidak akan gampang, Pa," kata Rico.
"Aku tahu, Ric. Ketika dia memintaku menemukan kebenaran aku sadar akan kesulitannya."
"Bagaimana kau akan bisa melakukannya, Pa? Itu kan bukan keahlianmu?" tanya Grace cemas.
"Memang bukan. Tapi aku sudah berjanji, Ma. Kita lihat saja."
Rico merangkul ibunya.
"Jangan cemas, Ma. Aku percaya Ibu Melia bisa memaklumi bila Papa tidak berhasil."
Nama Tuhan Yang Keseratus Balthasar Dewa Linglung Lodra Si Ular Sanca Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu
Mariska tidak merasa benar-benar lega. Ia masih mencemaskan Indiarto. Dalam hati ia
berjanji untuk lebih memberi perhatian kepada adiknya itu. Yang membuatnya lega adalah pernyataan Indiarto bahwa ia belum menjadi homo. Bisakah itu diartikan bahwa belum terlambat baginya untuk memberi perhatian dan mencegahnya? Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Padahal dari sikap Indiarto, ia menduga kecenderungan itu ada. Tentunya upaya mencegah itu bukan hanya dengan melarang atau mengancam. Pilihan seseorang untuk menyukai sesama jenis datang begitu saja dari dalam dirinya. Itu sesuatu yang amat sangat pribadi. Mungkin saja ada pengaruh dari luar, tetapi yang selanjutnya menentukan adalah diri sendiri.
Lalu terpikir akan Rico. Bila hubungannya dengan Ivan memang sudah putus, apakah Rico akan mencari pengganti cowok lain? Sungguh patut disayangkan bila lelaki yang berkualitas seperti Rico memilih jalan hidup yang seperti itu. Ia mengakui ketertarikannya kepada Rico. Tapi ia sadar akan kesulitannya.
Muncul ide lain. Bila Rico tak bisa jadi pacar, bisakah ia dijadikan sahabat? Ia memerlukan konsultan dalam urusannya dengan Indiarto.
Kalau ia bisa bersahabat dengan Rico tentunya lelaki itu akan segan mendekati Indiarto.
Ia mengenang kedekatannya yang sejenak dengan Rico saat mengunjungi rumah kosongnya. Sepintas Rico tampaknya biasa-biasa saja. Cukup normal sebagai lelaki. Di dalam mobil pun ia merasakan tatapan Rico menelusurinya. Ya, itu seperti lelaki lainnya juga. Jangan-jangan Rico itu biseks? Pikiran itu membuatnya tak nyaman.
Pandu merasa aneh. Ia sempat melihat sejenak adegan pelukan antara kedua anaknya dan tangisan Mariska. Tapi ia tak bisa menangkap percakapan mereka. Apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua? Ia tidak menyadari bahwa kedua anaknya itu sebegitu dekatnya. Selama ini ia mengira mereka berdua lebih sering bertengkar dan berbeda paham.
Seharusnya ia merasa gembira bila kedua anak itu memang akrab dan dekat satu sama lain. Tetapi karena ia sendiri merasa surprise pada hal itu, ia malah jadi merasa terancam. Adakah sesuatu yang disembunyikan mereka dari dirinya? Sesuatu yang tak boleh ia ketahui?
Semula ia ingin bertanya langsung pada
keduanya. Tapi kemudian ia membatalkan niatnya. Ia yakin, mereka tidak akan memberi jawaban yang benar. Ia tidak suka dibohongi. Lagi pula dengan berbuat seakan tidak tahu apa-apa, tidak merasakan apa-apa, ia bisa lebih leluasa memperhatikan.
Sore itu juga, Mariska menerima telepon dari Maxi.
"Ris, maafkan Bapak, ya, karena telah membuatmu menunggu lama."
"Tidak apa-apa, Pak. Yang penting Bapak nggak lupa."
"Oh, masa lupa, Ris. Tapi maaf sekali lagi, Ris ..., ehem... ehem..."
Mariska menjadi tak sabar mendengarkan ucapan Maxi yang terpatah-patah diselingi deheman seolah kerongkongannya tersumbat.
"Jadi Bapak menolak?" tanyanya langsung.
Di sana diam sejenak. Rupanya terkejut karena pertanyaan langsung itu.
"Be... benar, Ris. Maaf, ya."
Mariska menelan kekecewaannya. Tapi ia bisa merasakan kegelisahan Maxi. Ya, tak salah lagi. Pastilah Maxi tertekan oleh keluarganya. Kalau memang demikian, apa lagi yang bisa ia
lakukan? Ia tak mungkin membujuk-bujuk atau memohon-mohon.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya maklum. Bapak tak usah minta maaf. Bagaimanapun Bapak sangat berjasa bagi saya. Bapak telah berbuat sangat banyak. Terima kasih ya, Pak."
"Kau tentu kecewa."
"Oh ya. Tapi tidak apa-apa. Pilihan cuma satu antara dua, kan? Saya sudah siap, Pak. Jadi Bapak tidak usah merisaukan saya. Mungkin itu memang yang terbaik. Terima kasih, ya, Pak?"
Setelah meletakkan telepon, Mariska tak bisa menahan air matanya.
SETELAH meletakkan telepon Maxi menatap Grace dan Rico bergantian. Wajah Maxi tampak lesu.
"Sudah beres," katanya.
"Apa katanya?" tanya Rico, hampir berbarengan dengan ibunya.
"Kedengarannya kecewa. Itu tentunya wajar. Tapi dia tidak mendesak. Sudah saja."
"Oh, begitu," sahut Grace. Ada rasa iba kepada Mariska. Tapi ia sependapat dengan Rico.
"Aku pikir seharusnya arwah ibunya menampakkan diri kepada keluarganya sendiri saja. Kan bisa langsung. Jangan orang lain dijadikan medium," kata Rico.
"Apakah dia marah sama kita?" tanya Grace.
"Ah, tidak mungkin. Kenapa dia harus marah? Dia orang yang tegar, Ma."
Diam-diam Maxi pergi meninggalkan anak
dan istrinya.
Grace bermaksud menyusul suaminya, tapi Rico menahan lengannya.
"Biarkan Papa menyendiri sejenak, Ma."
"Dia kecewa."
"Tapi kita juga harus tegar, Ma. Kita tidak boleh menurutkan perasaan. Sekarang Papa kecewa. Tapi nanti dia akan bisa mengatasinya."
Grace menatap wajah Rico lalu menggenggam tangannya.
"Sebenarnya aku masih bertanya-tanya, apakah kita melakukan tindakan yang benar, Ric."
"Percaya saja, Ma. Kalau tujuan kita benar pasti benar."
"Kita kan belum tahu tujuannya, Ric."
"Tujuan kita adalah melindungi Papa dari bahaya. Ya, memang kita belum tahu apakah itu berbahaya atau tidak. Tapi lebih baik kita ambil sisi yang aman saja. Aku takut kehilangan Papa, Ma. Dulu dia berhasil selamat. Masa sekarang kubiarkan dia menempuh risiko yang serba gelap."
Ucapan itu menenteramkan keraguan Grace. Ia diminta dan dibujuk Rico untuk berpihak kepadanya. Dua lawan satu pasti bisa mengalahkan yang satu. Padahal ia merasa tidak enak menentang Maxi dan khawatir kalau-kalau tentangan justru membuatnya stres. Ia juga merasa mengenal benar jiwa petualangan Maxi. Orang yang berjiwa seperti ini biasanya sulit dilarang karena akan merasa terkungkung.
"Baiklah," kata Grace.
"Kita lihat dulu saja perkembangannya, ya? Omong-omong, kau sendiri tidak ingin bicara dengan Riris?"
Rico termenung sejenak. Terbayang wajah Mariska yang penuh harap. Kalau saja dia bisa menggantikan ayahnya, maka dengan senang hati dia akan maju. Tapi ternyata dia tidak menghasilkan apa-apa. Hanya keringat dingin!
"Ah, apa gunanya, Ma? Dia tidak membutuhkan hiburan."
"Dia baik. Aku suka kepadanya."
"Ya. Dia memang baik. Tapi ingat, Ma. Kita tak bisa segera memahami orang yang baru kita kenal."
"Kadang-kadang waktu tak bisa membuat kita mengenal seseorang. Kita perlu lebih dari waktu."
Rico mempelajari wajah ibunya.
"Ah, Mama sangat bijak sekarang. Aku tahu ke mana tujuan
Mama. Perempuan di dunia ini bukan cuma Riris seorang. Kita tetap perlu waktu. kan?"
Grace tersenyum. Ucapan Rico itu membangkitkan optimismenya.
Maxi merasa tak enak membayangkan sikap Mariska sewaktu menerima keputusannya. Gadis itu begitu berharap. Sementara ia sendiri juga ingin membantu.
Berhari-hari ia sengaja mengulur waktu dalam memberikan kabar mengenai keputusannya. Selama waktu itu ia masih mencoba mempengaruhi Rico dan Grace, bahwa dirinya tidak akan mengalami masalah jika ia membantu Mariska. Bukankah ia cuma bersikap pasif dalam menerima masukan dari arwah Nyonya Melia, dan selanjutnya yang bertindak secara aktif adalah Mariska? Apa susahnya menjadi medium?
Tetapi kedua orang itu tidak sependapat. Mereka tetap mengkhawatirkan hal-hal yang tidak terbayangkan. Itulah sulitnya. Bagaimana menggambarkan hal-hal yang tidak terbayangkan? Yang bisa dipikirkan cuma kemungkinan-kemungkinan. Sesuatu yang seperti asap, bisa mulur dan melar ke mana-mana.
Walaupun demikian, mereka adalah keluarganya. Dan memang benar, keluarga itu yang terpenting. Jauh lebih penting daripada orang lain. Termasuk arwah.
Kadang-kadang ia terkenang kepada Nyonya Melia di dalam gazebonya. Selalu begitu. Mengenang yang satu termasuk pula yang lain. Ia memang tak pernah melihat Nyonya Melia berdiri, berjalan, atau berada di tempat lain. Selalu di dalam gazebonya. Dan gazebo itu tak pernah ia lihat tanpa Nyonya Melia di dalamnya.
Ia juga ingin gazebo itu kembali seperti yang ada dalam kenangannya.
"Jadi ia menolak," kata Indiarto.
"Ya," sahut Mariska lesu.
Meskipun ia sendiri pernah mengusulkan kepada Rico supaya membujuk Maxi agar menolak, tapi setelah hal itu jadi kenyataan ia menyesal. Terutama karena melihat sikap Mariska yang tampak patah semangat.
"Sudahlah, Mbak. Kita tidak boleh terlalu bergantung pada orang lain," hibur Indiarto.
Mariska tertegun. Ia menatap adiknya dengan heran.
"Omonganmu itu sangat bernilai, Indi!"
Indiarto tersipu. Ia tidak yakin, apakah Mariska memuji atau menyindir.
"Kau benar. Dia berhak menolak. Kita tidak bisa memaksa. Tapi kita juga tidak boleh bergantung pada orang lain," kata Mariska lagi.
"Lalu Mbak mau berbuat apa sekarang?"
"Usai makan malam aku mau ke sana. Mau ikut?"
"Ke sana ke mana?"
"Ke Menteng dong. Memangnya ke mana lagi?"
"Ngapain di sana, Mbak?"
"Main aja. Semakin sering dikunjungi suasananya bisa semakin tenteram, Indi."
"Apa iya? Tapi sudah malam, Mbak. Gelap."
"Listriknya nyala, kok. Ayo, mau ikut, nggak? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa."
"Tempo hari si Rico juga nggak apa-apa, kan?" tegas Indiarto.
"Nggak. Dia masih utuh kok." Mariska terbahak. Semangatnya sudah tumbuh kembali.
"Kau tidak beritahu Papa dulu bahwa kita mau ke sana?" tanya Indiarto dalam perjalanan.
"Ah, tidak perlu. Papa juga sibuk. Entah ke mana dan mau apa. Dia pasti tidak peduli kita
mau apa dan ke mana."
"Bukan urusan bisnis, kan?"
"Kayaknya sih bukan. Aku pasti tahu kalau ada rapat atau pertemuan dengan relasi. Biasanya aku selalu diajak, kan?"
"Jangan-jangan Papa benar punya pacar, Mbak."
"Itu masalah pribadinya."
"Dulu Mbak kepengin tahu. Sekarang kok cuek. Tahu-tahu Papa bawa cewek ke rumah lalu mengenalkannya pada kita sebagai calon istrinya."
"Aku nggak mau mikirin soal itu dulu. Lagi pula kalau itu terjadi, kita bisa apa, In?"
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan yang mau jadi istri Papa pasti ngincar hartanya."
Mariska tertawa.
"Aha, kau khawatir soal itu, ya? Takut bagian kita jadi kurang atau dikangkangi olehnya?"
"Bukan begitu. Aku benci saja membayangkannya. Sekarang banyak perempuan matre, Mbak."
Mariska tertawa semakin keras.
"Apa kau sudah membuat penelitian, Indi?"
"Tak perlu penelitian. Lihat saja sekeliling. Di kampus misalnya. Juga dari omongan teman-teman."
"Jangan buru-buru ambil kesimpulan kalau belum mengalami sendiri, Indi. Bergaullah dulu dengan cewek-cewek. Yang baik dan nggak matre pasti banyak."
"Di kampus kayaknya nggak ada, Mbak."
"Ah, masa. Jangan menyamaratakan dulu dong. Begini saja, In. Kau perhatikan mereka. Yang sudah jelas matre itu kayak gimana. Biasanya mereka punya ciri-ciri. Nah, yang seperti itu jangan didekati. Kalau mereka tahu kau anak orang kaya, wah "
Indiarto tertawa.
"Mereka tidak memandangku karena aku ke kampus naik motor. Yang diincar itu mereka yang bermobil."
"Jangan dekati mereka yang gila mobil. Cari yang penampilannya sederhana, tidak genit dan suka menonjolkan diri. Dekati dia lalu belajar mengenalnya."
"Kedengarannya gampang."
"Ya. Kamu kan lumayan cakep, Indi. Mungkin kau cuma kurang pede. Ingatlah. Bukan cuma cewek yang suka matre. Cowok juga."
Indiarto terdiam. Ia merasa terkena.
"Mbak sendiri kok belum punya pacar, padahal Mbak juga lumayan cakep," katanya kemudian.
Mariska ganti tertawa. Indiarto mengikuti.
"Rupanya kita sama-sama anak orang kaya, sama-sama lumayan cakep, tapi belum laku juga. ya?" seru Mariska.
Tawa mereka berderai-derai.
Tawa itu segera berhenti begitu tiba di depan rumah. Kegelapan sudah menunggu.
"Ada yang memadamkan lampu taman. Tempo hari aku meninggalkan rumah tanpa mematikannya," kata Mariska.
"Mungkin orang suruhan Papa," sahut Indiarto, agak ngeri.
"Kuncinya ada padaku."
"Mungkin punya kunci duplikat."
Mariska tak mau menakut-nakuti Indiarlo.
"Ya. Mungkin."
Sambil membuka kunci gembok, Mariska memikirkan kemungkinan itu. Kalau memang ada orang suruhan ayahnya yang disuruh mengontrol rumah itu, berarti ayahnya tidaklah benar-benar menelantarkannya. Bagaimanapun benci dan ngerinya dia akan rumah itu, tapi itu
tetaplah rumah miliknya yang punya halal. tapi bagaimana dengan kemungkinan lain? Tak ada kunci duplikat? Masih ada kemungkinan lampunya putus.
Gazebo dalam kegelapan menyambut mereka. Bangunan yang terlantar itu cuma tampak seperti bayang-bayang hitam. Pohon-pohon bugenvil yang kering meranggas, tapi masih bisa berdiri tegak karena melilit pada tiang besi penyangga, bergoyang-goyang ditiup angin. Suaranya keresek-keresek.
Keduanya melewati gazebo tanpa lama-lama menatapnya. Mereka yakin, terlalu lama mengamati benda-benda dalam kegelapan bisa membangkitkan kesan mengerikan. Nanti benda-benda yang tidak seharusnya ada malah muncul dalam penglihatan.
Bukan cuma lampu taman. lampu teras pun mati. Mustahil putus semua. Atau orang suruhan itu sangat rajin dalam penghematan listrik. Siapa gerangan orang suruhan itu? Ia mengingat-ingat tapi tidak bisa memastikan nama. Biasanya Abas adalah orang yang diserahi tanggung jawab membayar semua rekening listrik, telepon, dan air untuk rumah, berikut kantor
dan pabrik. Karena semua pembayaran bisa dilakukan lewat bank, tugas itu tidak sulit baginya. Tapi mustahil karena tanggung jawab itu Abas jadi merasa bertanggung jawab juga di segi penghematan. Apa pedulinya kalau rekening listrik membengkak karena pemakaian yang tidak efisien? Kemungkinan ayahnya yang menyuruh juga terasa kecil. Pekerjaan ayahnya sudah sebegitu banyaknya hingga mustahil membuatnya teringat untuk sekadar mematikan lampu yang terus menyala di rumah kosong. Apalagi tanggung jawab atas rumah itu sudah dilimpahkan kepada dirinya. Ia yang memegang kuncinya.
Mariska mengingatkan dirinya untuk menanyakan hal itu nanti kepada ayahnya.
ia agak kesulitan mencari kunci yang sesuai untuk pintu rumah karena suasana yang gelap. Indiarto berdiri mepet di sisinya, hingga ia bisa mendengar bunyi napasnya yang cepat. Dan lengannya yang tersentuh terasa dingin. Pada saat lain mungkin Mariska sudah menertawakan ketegangan dan ketakutan Indiarto. Tapi tak ada keinginan untuk tertawa. Di samping dirinya sendiri merasa tegang, ia pun merasa harus
menghargai kesediaan Indiarto menemaninya.
Indiarto sendiri siap memeluk kakaknya bila perlu. Dalam hati, ia heran sendiri kenapa sampai bersedia menemani Mariska. Tapi ia tidak menyesal. Cuma heran. Mungkin kedekatan yang mulai terasa dengan Mariska belakangan ini yang jadi pendorong. Atau sikap Mariska yang membuatnya berani. Ia bertanya-tanya, benarkah Mariska seberani itu? Andaikata tak ada yang menemani, beranikah ia datang sendirian?
Ada juga ucapan Mariska yang membuat sebagian takutnya hilang. Itu dikatakan sebelum mereka memasuki halaman.
"Ingat, Indi. Kita tidak perlu takut, karena kita berdua adalah anak-anak Mama yang datang dengan maksud baik. Kita anak-anaknya. Bukan musuhnya. Jadi Mama akan menerima kita dengan baik juga. Karena itu tenanglah. Rileks!"
Pintu terbuka. Mariska masuk untuk menyalakan lampu. Indiarto tetap menunggu di luar.
Lampu teras menyala. Demikian pula lampu di taman. Di dalam rumah pun tak ada lampu yang putus. Mereka menjadi lebih santai. Kegelapan memang tidak menyenangkan.
Tiba-tiba terdengar cuplikan soundtrack musik film Indiana Jones. Keduanya terlonjak. Mariska baru menyadari bahwa itu bunyi telepon genggamnya.
"Siapa?" tanya Indiarto.
"Dari HP Rico," sahut Mariska setelah mengamati HP-nya.
Ia bergegas duduk di teras. Indiarto mengikuti, lalu duduk di sampingnya.
"Ya? Ada apa, Ric? Oh ya, aku sudah menerima pesan Pak Maxi. Tidak apa-apa. Ya, kecewa sih. Tapi mau gimana lagi? Aku mengerti kekhawatiranmu. Kau sayang padanya, kan? Sekarang aku nggak di rumah. Eh, salah. Aku memang ada di rumah, tapi rumah kosong di Menteng ..."
Mariska tersenyum ketika untuk sesaat tidak mendengar suara. Pastilah Rico kaget mendengarnya.
"Sendirian?" tanya Rico.
"Oh nggak. Ada yang menemani."
"Siapa?"
"Ada deh." Mariska menoleh kepada Indiarto yang tengah mengamatinya. Ia meletakkan
telunjuknya di bibir.
Sepi sejenak. Rupanya Rico merasa tak enak untuk mendesak ingin tahu siapa gerangan orang yang menemani Mariska. Ia tidak berani.
"Syukurlah kalau kau tidak sendirian."
"Terima kasih."
"Kapan pelaksanaan renovasi rumahmu?"
"Secepatnya."
"Kau akan memandorinya?"
"Kalau aku punya waktu."
"Bolehkah aku ikut melihatnya? Kalau ada kau di sana tentu."
"Tentu boleh. Nanti kau kuberitahu."
"Terima kasih."
Setelah percakapan usai, Marika memberitahu Indiarto apa saja yang dipercakapkannya dengan Rico.
"Rupanya dia punya perhatian kepadamu," Indiarto menyimpulkan.
"Ah, belum tentu. Dia kan homo."
"Mungkin dia mau mengubah haluan?"
Mariska tertawa.
"Apakah segampang itu seperti mengemudikan kapal?"
Lalu Mariska teringat akan kecemasannya
Sendiri perihal Indiarto. Kalau memang Rico itu berniat mengubah haluan tentunya bisa jadi pelajaran berharga untuk Indiarto. Lalu tiba-tiba saja terpikir, mungkinkah Indiarto sendiri naksir Rico? Itu pikiran yang mengerikan.
"Nyatanya dia memutuskan hubungan dengan Ivan," Indiarto mengingatkan.
"Ya. Mungkin dia sudah sadar."
"Apakah menjadi homo itu suatu penyimpangan, Mbak?"
Mariska tersentak. Pertanyaan itu mengingatkannya, bahwa bagi Indiarto soal itu masih menjadi masalah. Tidak semudah itu meminta orang berjanji untuk menjadi ini atau itu. Tetapi ia sadar harus melayani diskusi itu dengan sebaik-baiknya. Ia juga sadar bahwa dirinya tidak berhak memastikan atau mendefinisikan sesuatu yang tidak dipahaminya.
"Aku sungguh tidak tahu, Indi," jawabnya dengan jujur.
"Bagi orang heteroseks mungkin itu dianggap menyimpang, tapi bagi homoseks wajar-wajar saja karena itu hak dalam kehidupan pribadi mereka. Mana mungkin kita bisa disuruh atau dipaksa menyukai seseorang kalau kita tidak suka? Demikian pula sebaliknya.
Reaksi Mariska itu membuat Indiano lebih berani.
"Mbak sendiri gimana? Pernah menyukai teman sejenis?"
Tema percakapan itu bagi keduanya terasa begitu menarik hingga mereka lupa tempat mereka berada. Yang terasa bukan hanya keheningan tapi juga ketenangan. Tempat yang nyaman dan aman untuk membicarakan masalah pribadi.
"Lucu," sahut Mariska.
"Memang pernah. Tapi itu dulu sekali. Ketika di SLP. Aku mengagumi kakak kelasku. Mungkin juga bukan sekadar kagum. Tapi jatuh cinta. Ya, cinta monyet kali. Tapi bukan kepada cowok, melainkan cewek. Aku jadi takut karenanya. Waktu itu aku belum tahu soal homo dan lesbian. Aku pikir aku sudah kurang beres. Mungkin tak lama lagi aku bisa gila. Aku tak mati jadi gila. Saking takutnya aku berusaha sekuat tenaga membunuh perasaanku itu. Ketika ada cowok menaruh perhatian langsung saja dia kuterima. Lama-lama aku berhasil juga melupakannya. Apalagi dia juga punya pacar. Cowok tentunya. Aku sangat bersyukur tak ada yang tahu perasaanku."
"Sesudah itu apa ada lagi yang lainnya?" Indiarto tertarik.
"Memang ada lagi. Tapi aku belajar mengatasi lewat cermin."
"Cermin?"
"Ya. Kupandangi diriku sendiri di cermin setelah berdandan. Eh, lihat, kataku. Aku juga cantik kok. Kenapa aku harus tertarik pada cewek cantik kalau aku sendiri juga cantik? Aku punya semua yang dia punya. Apa senangnya? Yang menantang dan membangkitkan sensasi adalah sesuatu yang berbeda. Dan itu cuma dimiliki cowok. Terus kutanamkan pikiran itu. Aku juga masih diliputi rasa takut yang dulu. Aku tidak mau dianggap aneh. Aku juga tidak mau menganggap diriku aneh. Aku terlalu berharga untuk itu."
Indiarto ternganga memandangi kakaknya. Ini sesuatu yang sama sekali baru untuknya.
Rico mengendarai mobilnya dengan perasaan kurang nyaman. Entah kenapa ia begitu terdorong untuk melihat sendiri dengan siapa Mariska berada di rumah kosongnya yang
berhantu itu. Kenapa Mariska tidak berterus terang saja? Dengan ayah atau adiknya sepertinya tidak mungkin. Mereka terlalu penakut. Lalu dengan siapa? Apakah dia punya pacar"?
Pikiran itu buru-buru ditepis Rico. Ia takut dirinya dikuasai suatu perasaan yang pada suatu waktu pernah menyiksanya, yaitu cemburu! Padahal Mariska bukan apa-apanya. Alangkah bodohnya.
Jangan-jangan Mariska sesungguhnya cuma sendirian? Ia jadi khawatir membayangkan hal itu. Biarpun hantu yang bermukim di sana adalah mantan ibunya, tapi siapa tahu. Biasanya orang bisa celaka justru karena rasa takut yang muncul dari dalam dirinya sendiri.
Memang Mariska itu pemberani, tapi bagaimanapun dia bukanlah manusia super yang tak punya rasa takut. Bukankah tempo hari pun dia kelihatan ngeri saat bersamanya di rumah itu? Dia begitu terburu-buru keluar dan wajahnya seperti orang sedang dikejar.
Rico merasa bisa menebak kenapa sekarang Mariska berada di sana. Pastilah karena ia kecewa ayahnya menolak permintaannya. Ia memang tak tahu mesti bilang apa seandainya bertemu. Tapi itu terserah nanti saja.
Ada keinginan yang kuat untuk menemani Mariska dan membantunya. Apa saja semampunya. Biarlah dia jadi pengganti ayahnya. Kenangan bahwa dia pernah berkeringat dingin di rumah itu tidak membuatnya gentar. Cuma keringat tak perlu dirisaukan.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rico melihat mobil Mariska diparkir di depan pintu gerbang. Sama seperti dulu ketika ia ikut serta.
Ia memarkir mobilnya di tepi jalan berdekatan dengan mobil Mariska. Ketika akan keluar ia mengambil serta koran yang barusan dibelinya di jalan. Koran itu bisa bermanfaat untuk apa saja.
Pintu pagar hanya dirapatkan. Ia membukanya pelan-pelan.
Di sisi gazebo ia bisa memandang ke teras. Ia melihat dua orang duduk di tangga teras dengan sikap yang akrab. Mereka duduk berdekatan dan mengobrol dengan asyik. Ia tak bisa melihat jelas wajah mereka. Keduanya sama-sama mengenakan celana panjang. Yang pasti salah satu dari mereka adalah Mariska. Mereka tampak begitu asyik hingga tidak menyadari kedatangannya. Lampu taman memang tidak menerangi seluruh penjuru taman.
Rico merasa ragu-ragu. Apakah ia akan terus maju lalu menjadi orang ketiga yang kehadirannya dirasa mengganggu? Atau ia berbalik pulang karena Mariska ternyata baik-baik saja dan tidak memerlukan pendamping?
Lalu Rico menoleh ke sampingnya dan melihat gazebo itu. Mendadak saja muncul ide. Ia masuk ke dalam gazebo, mengalasi jok kursi yang menghadap ke teras dengan kertas koran yang dibawahya lalu duduk di situ. Ia menumpangkan sepasang kakinya yang panjang di atas jok kursi di depannya.
Dengan surprise ia merasakan kenyamanan yang sangat. Pantaslah kalau nyonya rumah itu dulu senang duduk di sana berjam-jam dan menjadikannya tempat favorit. Apalagi dulu bentuknya masih indah.
Di dalam gazebo juga ada lampunya. Tapi tidak dinyalakan hingga suasana di situ lebih gelap daripada di luarnya. Hal itu jadi menguntungkan bagi Rico karena ia semakin tidak kelihatan dari teras sementara ia bisa melihat objek di sana dengan baik.
Sekarang terlihat jelas siapa yang duduk di tangga. Mariska dan Indiarto,
Begitu saja Rico merasakan kelegaan yang sangat. Ternyata Mariska tidak bersama sembarang lelaki melainkan bersama adiknya.
Ternyata ia bukan saja mendapatkan pandangan yang strategis, tapi juga bisa mendengar percakapan kedua orang itu dengan baik. Rupanya angin berembus dari sana ke arahnya hingga berperan menjadi mediator.
Semakin lama ia menjadi semakin asyik. ia tak lagi berpikir macam-macam tentang gazebo yang ditempatinya. Sekarang itu cuma tempat bernaung yang strategis. Memang ada perasaan tidak enak. Perbuatan semacam itu tidak etis. Mengintip dan menguping pembicaraan orang. Apalagi masuk rumah orang tanpa diundang dan diam-diam pula. Tetapi perasaan itu melintas saja dengan cepat.
Kupingnya tegak. Apakah ini suatu kebetulan bahwa pembicaraan yang didengarnya itu sangat relevan dengan permasalahannya sendiri.
Mariska menyikut Indiarto.
"Hei, kok bengong saja? Kau dengarkan
omonganku nggak sih?"
"Tentu saja, Mbak. Aku sedang terpesona. Ternyata kau punya banyak cerita. Terusin dong."
"Tapi kalau dipikir-pikir..., apakah ceritaku ada manfaatnya bagimu? Jangan-jangan aku cuma menelanjangi diriku sendiri."
"Tentu saja ada manfaatnya, Mbak. Karena itulah aku sangat tertarik. Kau tidak boleh membuatku penasaran dengan cerita yang tidak selesai."
Mariska tertawa.
"Selama orang masih hidup, ceritanya tidak akan selesai, Indi."
"Ayolah, Mbak."
Indiarto merengek dengan wajah memohon. Dia seperti anak manja yang keinginannya harus dituruti. Pada suatu ketika dulu ia pernah begitu kepada ibunya. Tapi kemudian tidak lagi karena ia sudah dewasa, padahal ia ingin juga sesekali begitu. Rasanya senang bisa begitu lagi.
Mariska merangkul Indiarto sambil tertawa. Indiarto merasa bagai berada di langit ketujuh.
Tapi kemudian Mariska mencubitnya. Indiarto mengaduh, pura-pura sakit luar biasa. Lalu mereka tertawa berdua.
"Ya. aku teruskan," kata Mariska sambil melepaskan rangkulannya.
"Sampai mana, ya? Oh ya, belakangan ada sesuatu yang lain yang membuatku lebih gampang mengatasi kalau dorongan itu muncul kembali."
"Apa itu?" desak Indiarto karena Mariska berhenti sebentar untuk merenung.
"Dalam diriku muncul. naluri keibuan, Indi. Tahu kan itu? Aku ingin punya anak pada suatu saat nanti. Anak yang dilahirkan karena cinta. Aku ingin merawat dan membesarkannya dengan cinta. Aku sering mengangankannya kalau aku melihat anak kecil yang lucu. Lantas siapa yang bisa memberikan itu semua, Indi? Cuma cowok!"
Bukan cuma Indiarto yang tertegun mendengar ucapan Mariska yang sentimentil tapi mengandung kebenaran yang menyentuh itu, tapi lebih-lebih lagi Rico. Dia benar-benar terpana.
Dia jadi teringat pada ucapan ayahnya.
"Yang penting, ada keinginan padamu untuk berubah. Tanpa keinginan mana mungkin."
Betul, Pa, kata Rico di dalam hati. Lebih bagus lagi kalau ada dorongan. Ada cinta. Ada...
Semilir angin yang meniup kuduknya membuat Rico membuka mata. Dia menggulirkan bola matanya ke sekitarnya. Apakah ada sesuatu yang terlihat dan terasa? Semuanya masih sama saja. Dia pun tidak berkeringat dingin seperti tempo hari.
Angin kali ini tidak membuat bulu kuduknya berdiri. Sebaliknya ia merasa sejuk dan nyaman. Apalagi tak ada gangguan nyamuk sama sekali. Sepertinya nyamuk-nyamuk menghindari tempat itu.
Kenyamanan yang terasa itu benar-benar melenakan. Ia mengantuk, setengah tertidur.
Muncul angan-angan. Ia tidak sendirian di situ. Ada seseorang di sampingnya. Mereka bermesraan. Ia memeluknya, menciumnya, membelainya. Ah, siapa ya orang ini? Perempuan atau lelaki? Inge atau Ivan? Aduh! Kenapa Inge? Kenapa Ivan? Keduanya sudah masa lalu Tapi yang penting sekarang bukan siapa-siapanya. melainkan perempuan atau lelakikah dia?
Ia tak bisa melihat wajahnya. Tapi teraba kulitnya yang halus dan sosoknya yang lembut. Tercium pula wangi parfum yang samar
tapi menyenangkan. Ah, dia pasti perempuan. Dia sedang bermesraan dengan perempuan. Tentu dia masih ingat bagaimana sosok perempuan itu. Banyak hal yang membedakan antara perempuan dan lelaki. Bukan cuma anatominya. Ia sudah berpengalaman dengan Inge. Oh, perempuan yang telah mengkhianatinya. Tapi sekarang ia tidak mau mengenang hal-hal yang menyakitkan. Ia ingin menikmati yang sekarang.
Indiarto berjalan mondar-mandir sementara Mariska masih tetap duduk di anak tangga teras. Tiba-tiba ia tersentak kaget. Tubuhnya menegang. Lalu ia melompat mendekati Mariska dan menariknya berdiri.
"Lihat itu, Mbak," tangannya menunjuk ke arah gazebo
"Kau lihat? Kau juga melihatnya?"
Mariska tersentak juga.
"Ya. Aku melihatnya"
Mereka melihat ada sosok. Orang sedang duduk berselonjor di dalam gazebo.
"Apakah itu Mama, Mbak?" Indiarto gemetar. Ia merengkuh pundak kakaknya erat-erat.
Mariska gemetar juga. Tapi ia menenangkan dirinya. Bukankah ia memang ingin melihat,
apa pun itu'!
" Ayo, kita ke sana," bisiknya.
"Nggak mau. Nggak. Takut, Mbak."
"Ayo. Kau tega membiarkan aku sendirian?"
"Tunggu, Mbak. Nyalakan saja lampunya."
"Jangan. Nanti malah hilang."
Akhirnya tak ada yang menyalakan lampu. Mereka melangkah berindap-indap menuju gazebo. Keduanya berpegangan tangan yang sama-sama terasa dingin.
Mariska sengaja mengambil jalan memutar hingga mereka tidak lurus berhadapan dengan orang di dalam gazebo yang posisinya menghadap ke teras. Sosok itu tampaknya diam saja. Ibunyakah itu?
Dalam jarak sekitar lima meter dari gazebo, Indiarto menahan langkahnya dan menarik Mariska.
"I... itu si... si Malik!" desis Indiarta.
Mariska terkejut.
"Mana mungkin? Dia kan dipenjara"
"Itu lelaki, Mbak. Bukan perempuan. Siapa lagi kalau bukan si Malik?"
Tiba-tiba Mariska disadarkan. Sosok itu bukan hantu seperti yang diharapkannya.
"Dua lawan satu. Kita pasti menang." katanya.
"Ta... tapi..." Mariska sudah maju.
"Hei!" teriaknya Rico jatuh terguling.
"NGAPAIN kau di situ, Ric?" seru Mariska. Rico bangkit berdiri dengan malu.
"Ternyata nyaman duduk di situ." katanya
tersipu.
"Kenapa nggak bergabung dengan kami saja?" tanya Indiarto.
"Kalian tampak asyik sekali berbincang hingga tidak menyadari kedatanganku. Aku tidak enak mengganggu."
"Wah, kalau begitu kau mendengarkan percakapan kami?"
"Ya," Rico mengaku terus terang.
""Tapi aku di situ belum lama kok. Paling setengah jam."
"Dalam. setengah jam itu cukup banyak pembicaraan kami," kata Mariska.
"Maafkan aku." Rico salah tingkah.
"Wah, berani benar kau duduk di situ!" seru Indiarta, menolong Rico dari kegugupannya.
Bahkan ia masuk ke dalam gazebo, lalu duduk di kursi yang masih beralaskan kertas koran. Sekarang ia berani melakukannya karena ada yang menemani dan sudah dibuktikan oleh Rico.
"Nyaman. Aku sampai setengah mimpi. Biarpun aku bisa mendengar kalian, tapi rasanya seperti terbuai. Aku merasa nggak sendirian di sini. Ada yang menemani di sampingku. Dia dia mesra sekali kepadaku," Rico mengakui dengan malu.
"Apa?" teriak Indiarto kaget. Ia melompat dari duduknya lalu dengan sekali lompatan ia sudah berada di luar gazebo. Kedua tangannya menggosok-gosok lengan. Ekspresinya cemas.
Rico dan Mariska berpandangan sebentar, lalu mereka tertawa.
"Ayo kita ke dalam," Mariska mengajak.
Mereka melangkah bersisian. Rico di tengah.
"Ceritakan yang jelas, Ric. Siapa yang menemani tadi?"
"Aku setengah mimpi. Tidak jelas siapa itu. Bahkan membuka mata pun aku tidak mampu. Tapi dari wangi-wangian yang tercium olehku
sepertinya dia perempuan."
"Parfum apa?" tanya Mariska bernafsu.
"Mana aku tahu? Yang pasti bukan cuma wangi-wangian yang tercium tapi kulitnya pun lembut. Pasti perempuan."
"Pasti Mama!" seru Mariska.
"Ah, masa Mama memesrai Rico," bantah Indiarto.
"Yang bener aja dong."
"Ya, itu tidak mungkin," kata Rico.
"Mungkin saking nyamannya aku jadi berangan-angan sendiri. Aku pikir, enak, sekali kalau duduknya nggak sendirian."
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi dia perempuan. kan?" tegas Mariska.
"Bukan lelaki?" tambah Indiarto.
Rico tertegun sejenak. Lalu ia berkata pelan,
"Ya Aku juga sempat bertanya-tanya begitu pada diriku sendiri. Perempuan atau lelaki? Tapi rasanya memang perempuan."
"Sori, Ric," kata Indiarto.
"Tempo hari di rumah sakit aku sempat menguping pembicaraanmu dengan Ivan."
"Begitu, ya? Kita sama-sama nguping dong. Ya, pembicaraan kalian tadi memang relevan dengan permasalahanku." Rico tidak merasa tersinggung. Ia merasa lebih baik membuka diri.
Sekarang mereka duduk bertiga di tangga teras. Rico tetap berada di tengah.
"Selama beberapa tahun, aku sempat menyandang predikat homo," Rico mengakui.
"Cuma satu lelaki yang intim denganku. Dia adalah Ivan. Tapi kami sudah putus sekarang. Dan aku tidak berniat terus menyandang predikat itu. Aku akan berusaha sekuat kemampuanku untuk tidak kembali ke sana."
"Kenapa?" tanya Mariska dan Indiarto hampir berbarengan.
"Demi cinta dan sayangku kepada orangtuaku. Mereka sangat mengharapkan aku jadi lelaki normal. Aku anak mereka satu satunya. Aku ingin memberikan cucu untuk mereka. Siapa yang bisa memberikan itu? Seorang istri dan seorang perempuan, bukan? Tapi aku tidak mau anakku lahir bukan karena cinta. Aku ingin dia jadi makhluk yang sempurna karena terbentuk oleh cinta. Bukan semata-mata oleh nafsu. Jadi aku harus belajar mencintai perempuan. Seperti dulu."
"Kau pikir bisa?" tanya Indiarto.
"Selama kita masih hidup dan punya keinginan, kenapa tidak? Apalagi masih ditambah dengan dorongan oleh orang-orang yang kucintai."
"Jadi kau optimis," kata Mariska. Ia senang dengan pembicaraan itu karena sangat berguna bagi Indiarto.
"Tentu saja. Optimisme adalah cambuk bagi semangat."
"Oh, betul sekali!" seru Mariska.
Mereka bertiga merasa gembira karena kebersamaan pikiran dan perasaan. Sesuatu yang bentuknya nyata lebih mendominasi mereka daripada hal lain yang tidak nyata.
Pembicaraan terhenti oleh bunyi HP milik Mariska.
"Dari Papa," kata Mariska pada kedua orang di sampingnya. Lalu melanjutkan bicaranya ke telepon.
"Ya, Pa? Saya ada di Menteng. Sama Indi,
Sedang mendata kerusakan rumah. Oh ya, sama Rico juga. Rico, putranya Pak Maxi. Dia mampir mau lihat rumah. Terus kami ngobrol. Nggak, Pa. Dia beda sama papanya. Dia biasa-biasa aja." Mariska tertawa. memandang
pada Rico. Lalu mengerutkan keningnya,
"hh. itu suara siapa, Pa? Kok saya sepertinya kenal."
"Papa ada di rumah teman. Itu suara istrinya," Pandu menyahut.
"Sudah ya. Jangan malam-malam pulangnya."
"Papa juga," kata Mariska.
Usai berbicara, Mariska buru-buru mencatat nomor telepon yang digunakan ayahnya barusan. Indiarto mengawasi dengan heran.
"Memangnya Papa nggak pakai HP?"
"Mungkin baterainya habis."
"Kenapa kaucatat nomornya?"
"Sudah dua kali Papa nelepon dari nomor ini bila dia pergi malam-malam. Siapa sih teman Papa itu? Kalau relasi masa aku nggak kenal. Kenapa nggak bilang saja namanya? Dan Suara perempuan yang kudengar itu sepertinya kukenal. Tapi... masa iya sih. Nggak mungkin itu."
"Siapa sih, Mbak?"
Mariska menggelengkan kepalanya.
"Segan aku menyebutnya. Rasanya nggak mungkin. Tapi aku cukup pintar mengenal suara. Cuma itulah. Masa iya sih."
"Ayolah, bilang saja. Siapa sih, Mbak?"
"Sebentar. Aku mau cari kepastian dulu."
Mariska beralih kepada Rico,
"Ric, kan bawa HP'! Kalau bawa, boleh pinjam?"
"Tentu," sahut Rico sambil menyodorkan HP-nya.
"Kalau pakai HP-ku, aku khawatir telepon di sana ada pencatat nomor yang nelepon. Nanti ketahuan dong," Mariska menjelaskan.
"Oh, kau mau nelepon balik." Indiarto memahami.
Mariska mulai menelepon ke nomor yang tadi dipakai Pandu. Seandainya ayahnya yang menyahut ia akan segera memutuskan. Tapi seperti yang diharapkannya, suara perempuan menyambutnya.
"Halo? Bisa bicara dengan Ibu Tuti?" kata Mariska dengan suara yang direndahkan.
"Oh, salah sambung," demikian sahutannya.
"Maaf," sahut Mariska lalu memutuskan hubungan.
"Jadi siapa itu?" tanya Indiarto.
"Kayaknya si Mimi," kata Mariska pelan.
Indiarto mengeluarkan seruan heran.
"Si Mimi?"
"Ah, bukan kali," Mariska meragukan dirinya sendiri.
"Pantasnya ada orang yang punya
suara mirip. Ada saja yang begitu, kan?"
"Siapa itu si Mimi?" tanya Rico.
"Dia bekas pembantu di rumah ini dulu. Dia yang pertama menemukan tubuh Mama dan Malik," sahut Mariska dengan segan. Membicarakan hal itu lagi terasa tidak menyenangkan.
Pandu menatap Minarti dengan jengkel.
"Sudah kubilang kalau aku lagi nelepon, jangan bicara," ia bersungut.
"Iya, Pak. Lain kali nggak deh. Tadi kelepasan sih. Habis filmnya seru."
"Mau seru kek, peduli amat."
Minarti mendekati Pandu lalu berdiri di belakangnya. Ia memijit-mijit punggung Pandu dengan tekanan yang khas. Pandu menggeliat keenakan.
"Apa Riris mengenali suara saya, Pak?" tanya Minarti.
"Nggak sih. Mungkin dia cuma dengar suara perempuan, terus jadi kepengin tahu."
Minarti menunduk lalu menciumi kepala Pandu yang rambutnya mulai menipis. Pandu memejamkan mata, merasakan kenikmatan ciuman itu langsung menembus batok kepalanya terus ke otak. kejengkelannya sirna seketika.
"Sudah beberapa hari Bapak nggak datang. Sibuk ya, Pak?" tanya Minarti. Nadanya sekadar bertanya, tidak menggugat atau menuntut.
"Oh ya. Sibuk sekali."
"Bapak makan kacang rebus? Kacangnya besar-besar deh."
"Mau! Sekalian bikinin sekoteng, ya?"
Minarti bergegas pergi.
Pandu membuka mata mengamati lenggang Minarti. Pesona yang dirasakannya terhadap perempuan itu lebih besar dari dulu. Mungkin karena sekarang dia sudah menjadi miliknya hingga ia tahu betul isi perempuan itu, luar dan dalam. Tapi yang jelas Minarti sekarang memang berbeda dibanding dulu, dua tahun yang lalu. Ketika itu Minarti seperti intan yang belum digosok. Kecantikannya sudah ada, tapi tidak segera terlihat. Cuma dia yang melihatnya.
Sekarang Minarti suka mengenakan celana pendek dengan baju kaus tanpa bra. Wah, sungguh memesona matanya. Tapi ia membuat perempuan itu berjanji untuk hanya berpenampilan seperti itu di depannya. Kalau tidak begitu, ia akan mengundang banyak kumbang ke rumah itu.. Dan itu berarti masalah. Jangan ada masalah lagi setelah begitu banyak masalah yang dialaminya. Justru perempuan seperti Minarti adalah orang yang diharapkannya bisa memberikan ketenangan.
Pandu sudah bosan dan jengkel dikelilingi orang-orang, terutama perempuan, baik yang sok pintar maupun yang benar-benar pintar. Di dekat mereka ia selalu merasa dirinya dipelajari, dicermati, diselidiki, dan dipertanyakan. ia ingin seseorang yang lugu, naif, dan berpikiran sederhana, yang semata-mata memberinya kesenangan dan ketenangan belaka. Orang seperti Minarti.
Pandu merasa yakin kedua anaknya tidak mudah mengenali Minarti sekarang. Tapi ia tidak berharap mereka akan melihatnya lagi. Lebih-lebih dalam situasi sekarang. Biarpun begitu, apa yang bisa mereka lakukan? Hidupnya adalah miliknya.
Minarti muncul kembali membawakan makanan dan minuman yang dijanjikannya. Mereka menikmatinya sambil menonton televisi. Pandu benar-benar menikmati keadaannya. Bukan cuma makanan dan minuman yang tengah disantapnya, tapi juga celotehan Minarti yang kadang-kadang terdengar konyol dan bodoh. Kebodohan yang justru disukainya. Di samping itu tentu saja juga kecantikan serta kesegaran seorang perempuan.
Sebenarnya Rico ingin bertanya lebih banyak perihal kejadian masa lalu di rumah itu, tapi khawatir kedua orang di sampingnya tidak suka membicarakannya.
Mereka jadi melupakan bahan pembicaraan sebelumnya yang membuat mereka gembira dan optimis. Tapi untuk kembali ke sana mereka sudah kehilangan semangat. Telepon dari Pandu itu melenyapkan keinginan itu.
"Masa Papa nelepon cuma untuk menanyakan keberadaanku. Memangnya aku anak kecil?" Mariska menggerutu.
"Betul sekali. Kalau nggak penting mustahil dia nelepon," Indiarto membenarkan.
"Kenapa cuma nanya begitu aja?"
"Pasti karena aku menanyakan suara siapa itu di latar belakang. Dia jadi gelisah."
"Eh, gimana kalau kita selidiki saja, Mbak? Ingat detektif swasta itu?" Indiarto mengusulkan.
Rico terperangah.
"Pakai detektif segala?
Kan sudah ada nomor teleponnya. Alamatnya bisa diketahui, kan?"
"Oh ya. Nanti aku tanyakan," kata Mariska bersemangat.
"Tapi aku jadi mikir, Mbak. Seandainya kita menemukan hal-hal yang mengejutkan, lantas gimana?"
Mariska melotot.
"Kamu ini gimana sih, Indi. Itu kan usulmu sendiri."
"Soalnya aku jadi takut."
"Jadi kau berubah pikiran?"
"Entahlah. Belum tahu."
"Bagaimana kalau begini, Indi. Kita sekadar memenuhi keingintahuan kita saja. Soalnya kalau kita tahu, kita bisa mengambil sikap. Tapi di depan Papa kita bersikap seakan-akan kita tidak tahu."
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum Indiarto menjawab, terdengar suara gaduh di dalam rumah. Seperti ada pembongkaran mendadak. Keras sekali. Gedebak-gedebuk. Rumah terasa bergetar. Apakah ada gempa? Tapi objek di depan mereka tak ada yang bergoyang.
Tubuh mereka bertiga menegang. Untuk sesaat ketiganya membeku, tak bisa bergerak. Kaget tak kepalang. Saat berikut mereka melompat berdiri. Spontan mereka berpegangan.
"Mbaaak..., apa... apa itu?" bisik Indiarto.
Suara itu masih kedengaran. Bak-buk bakbuk!
"Ayo, kita lihat?" usul Rico.
Mariska ragu-ragu.
"Kalau itu penjahat bersenjata, kita bisa mati konyol," katanya.
"Masa penjahat membuat gaduh seperti itu?" kata Rico.
"Lalu apa?" tanya Indiarto dengan suara bergetar.
Mereka masih ragu-ragu antara keinginan dan kecemasan. Kemudian suara itu berhenti dan suasana kembali senyap. Kegaduhan tadi cuma berlangsung sekitar lima menit.
Akhirnya mereka berlari masuk rumah. Keheningan di ruang depan menyambut mereka. Tidak ada suatu pertanda bahwa di situ terjadi sesuatu.
"Kayaknya suara itu datang dari atas," kata Rico.
"Kita naik?"
Mereka bergegas menaiki tangga. Rico di
depan, Mariska di tengah, dan Indiarto di belakang.
Setibanya di loteng, Mariska mendahului Rico. Ia langsung menuju pintu kamar tidur yang merupakan tempat kejadian peristiwa di masa lalu itu. Di depan pintu mereka diam sejenak, mendengarkan dengan saksama. Indiarto menempelkan telinganya ke pintu. Tidak ada suara apa-apa.
"Barangkali kita salah dengar," kata Indiarto. Ia berharap Mariska tidak membuka pintu dan mereka tidak perlu melihat isi kamar apalagi masuk ke dalamnya. Harapannya tidak tercapai.
Mariska mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, lalu membuka pintu. Ia mendorong pintu ke dalam hingga terbuka lebar, kemudian tangannya meraba sakelar di tembok. Dalam sekejap kamar terang benderang.
Mereka berteriak kaget. Mata terbelalak, mulut ternganga, dan tubuh serasa membeku. Bulu roma pun berdiri semua!
Dalam ruangan itu tak ada benda yang berada di tempat semula benda-benda itu berada. Semua sudah berpindah tempat dalam keadaan
berantakan. Tempat tidur ukuran besar yang terbuat dari besi sudah berada di pojok seberang dalam keadaan terguling. Springbed dalam keadaan amburadul, kain pelapisnya tersobek-sobek hingga bagian dalamnya bercuatan. Meja rias berada di seberang tempat semula, bukan cuma terguling tapi beberapa bagiannya lepas satu sama lain, salah satu kakinya copot, dan cerminnya hancur dalam potongan kecil-kecil seperti ditumbuki. Tampaknya meja itu dilemparkan ke dinding karena temboknya retak berantakan hingga batanya kelihatan. Hal yang sama terjadi pada kursi-meja. Semuanya sudah tak utuh dan berada jauh dari tempat semula. Demikian pula keempat dinding kamar tak ada yang utuh. Semua sudah retak dan somplak. Lampu kristal pun berada di lantai dalam keadaan hancur. Semua hiasan dinding menumpuk di sudut. Kaca-kacanya pecah, lukisan sobek-sobek, piguranya patah-patah. Nasib sama dialami lemari pakaian. Barang yang besar dan berat itu ikut hancur. Pintu-pintunya lepas. demikian pula bagian-bagiannya yang tersebar di segala penjuru. Pendeknya tak ada satu pun barang di ruang itu yang masih dalam
keadaan utuh.
Kesannya, ruangan itu seolah mengalami penyerbuan dari sekelompok massa yang sedang marah besar. Tetapi semarah-marahnya dan seberapa banyak pun mereka, sulit membayangkan mereka mampu mengangkat barang-barang besar dan berat untuk dilemparkan ke dinding! Lagi pula ke mana mereka sekarang? Mustahil mereka bisa datang dan pergi tanpa kelihatan?
Yang jelas, ada sesuatu yang mengamuk di situ. Sesuatu itu memiliki tenaga dan kekuatan luar biasa dan dia sedang marah besar!
Ketiga orang itu tersadar dari pesona kaget dan takut mereka. Lalu mereka saling memandang dan menemukan wajah-wajah pucat. Mereka seperti kehilangan darah dan tenaga. Lemas sekali. Mula-mula Mariska terpuruk, menggelosor duduk di lantai. Lalu disusul oleh Rico dan Indiarto.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian. Mereka memerlukan waktu untuk memulihkan diri.
Mariska lebih dulu mengeluarkan keluhan yang dalam,
"Aduuuh..., apa ini?"
"Ya, ada apa?" Rico ikut bersuara. Sekadar membuktikan, apakah suaranya masih ada.
"Si... sia... apa?" Indiarto menggagap. Lega karena masih bisa bicara.
"Mama!" seru Mariska. Suaranya melengking seperti kehilangan kendali hingga kedua rekannya memandangnya dengan terkejut.
"Kenapa, Ma?" tanya Mariska sambil melayangkan pandang ke seputar ruangan.
"Mama marah, ya? Marah sama siapa?"
Indiarto dan Rico ikut-ikutan memandang berkeliling. Tapi betapa kontrasnya suasana yang terasa sekarang. Sepi sunyi menyambut pertanyaan Mariska. Tak ada suara, tak ada barang yang bergerak. Padahal sebelumnya begitu riuh bergemuruh.
"Kok harus begitu sih, Ma?" Mariska melanjutkan. Suaranya lebih pelan terkendali.
Keberanian Indiarto muncul karena sikap Mariska. Dia toh tidak sendirian.
"Masa Mama marah sama kami, anak-anak Mama sendiri," katanya.
"Betul, Ma," Mariska berkata lagi. Rasanya melegakan bisa bicara, biarpun cuma monolog.
"Kami bermaksud membantu. kalau memang
ada sesuatu yang Mama perlukan. Tapi masalahnya, kami tidak tahu bagaimana. Mama nggak mau menghubungi kami secara langsung sih. Jangan lewat Pak Maxi dong. Dia memang orang yang baik. Tapi itu kan merepotkan."
Rico ikut bicara,
"Saya anak Pak Maxi. Barangkali saya bisa menolong?"
Mereka diam sejenak. Tak ada sahutan atau bunyi apa pun. Semua benda diam tak bergerak.
"Entah kenapa Mama tak suka pada kami," Mariska bicara lagi.
"Saya kan sayang sama Mama. Mestinya Mama juga sayang sama kami dong. Marah seperti ini sungguh mengerikan, Ma."
"Luar biasa," Indiarto menimpali.
"Saya ingat, dulu Mama juga suka melempar barang kalau marah. Kok sekarang masih, ya?"
Mariska tertegun, melirik adiknya. Ia tak menyangka Indiarto bisa bicara seperti itu. Humornya terasa menggelitik dan pas. Tapi bagaimana dia berani mengatakannya pada saat itu?
Diam-diam Rico mengamati kedua kakak beradik itu bergantian. Simpatinya tercurah kepada mereka. Kejadian seperti itu merupakan
pengalaman yang luar biasa untuknya. Dalam hati ia berjanji untuk menolong mereka sekuat kemampuannya. Kemudian begitu saja terpikir akan pengalamannya sendiri di dalam gazebo barusan. Ia menyadari, ada yang luar biasa di situ. Apakah perempuan yang mendampinginya itu Nyonya Melia? Kenapa perempuan itu memesrainya seolah dia seorang kekasih? Tadi Indiarto sempat mengira dia adalah Malik. Apakah Nyonya Melia pun salah memperkirakan dirinya?
Tiba-tiba terlontar begitu saja dan mulut Rico,
"Saya bukan Malik, Bu!"
Mariska dan Indiarto terkejut. Kepala mereka tersentak menoleh kepada Rico. Wajah keduanya menampakkan keheranan dan kecemasan.
"Aduh!" Rico memekik tiba-tiba. Ada yang menampar kepalanya dengan, keras. Bintang-bintang bermunculan di depan matanya. Telinganya berdenging. Rasanya menyakitkan.
Begitu merasa pulih ia melompat berdiri. Kedua orang di sisinya ikut melakukan hal yang sama.
"Kau kenapa?" tanya Mariska.
Tanpa menjawab Rico buru-buru menarik mereka keluar dari kamar. Kemudian ia mematikan lampu dan merapatkan pintunya.
"Kuncilah kembali," katanya kepada Mariska.
Ekspresi Rico mendorong Mariska melakukan instruksi itu tanpa bertanya-tanya.
Setelah itu Rico memimpin mereka menuruni tangga. Ia melangkah dengan cepat hingga kedua orang itu terpaksa mengimbangi, takut tertinggal. Mereka terus ke luar rumah hingga sampai ke teras. Rico mematikan lampu di ruang depan kemudian merapatkan pintu. Sesudah itu ia memberi tanda kepada Mariska untuk menguncinya. Pada saat Mariska melakukan hal itu, ia bergegas ke anak tangga teras, lalu duduk di situ. Kedua tangannya menyangga dagu.
Mariska dan Indiarto duduk di sisinya, di kiri dan kanan. Sama seperti tadi.
"Kenapa?" tanya Mariska.
"Kepalaku ada yang memukul. Sakit," Rico mengusap-usap kepalanya.
"Siapa yang memukul?" tanya Indiarto. Setelah memandang wajah Mariska ia segera memaklumi. lalu menutup mulutnya.
"Itu tentu setelah kau mengatakan bahwa kau bukan Malik," kata Mariska.
"Ya."
Indiarto ternganga sejenak. Ia teringat.
"Jadi benar yang kulihat di gazebo tadi, kan? Kukira kau adalah Malik!" serunya.
"Tapi aku kan bukan dia," kata Rico setengah mengeluh.
Mereka termangu. Di tempat itu mereka merasa lebih tenang. Biarpun masih di rumah itu, tapi udara terbuka di depan mereka tidak membuat mereka tertekan dan terimpit seperti saat berada di dalam, lebih-lebih di kamar yang mengerikan itu. Bagaimanapun mereka perlu menenangkan diri dulu sebelum pulang dengan mengemudikan mobil.
Tiba-tiba muncul kesedihan dan kekecewaan yang mendalam di hati Mariska. Sepertinya ada pertanyaan yang terjawab dari kejadian itu. Suatu pertanyaan yang tak pernah boleh diajukan secara terbuka. Apakah ibunya berselingkuh dengan Malik?
SUDAH jam sepuluh malam itu. Rico belum pulang.
"Kita tidak perlu menunggunya." kata Grace.
"Dia bawa kunci."
"Betul. Aku ngantuk sekali. Padahal biasanya jam segini aku masih segar," sabut Maxi.
"Ya sudah. Jangan dipaksakan. Kita tidur saja."
"Apa sebaiknya si Rico ditelepon dulu?" tanya Maxi.
"Nggak usahlah. Kita jangan memperlakukannya seperti anak kecil. Itu nggak baik, Pa."
"Baik. Tapi aku mau tidur di sofa saja. Biar bisa bangun kalau Rico pulang. Rasanya nggak tenang juga kalau malam begini dia belum pulang."
Grace tidak mencegah.
Maxi merebahkan tubuhnya di sofa. Lampu
dibiarkan menyala supaya Rico tidak kesulitan bila pulang nanti. Ia tahu ke mana Rico pergi meskipun tidak dikatakannya. Sewaktu Rico menelepon Mariska ia kebetulan mendengar. Ia menduga saja tapi merasa yakin. Usai menelepon Rico bergegas pergi. Tentu ke rumah di Menteng itu.
Ia memejamkan mata. Terbayang olehnya gazebo itu. Dan Nyonya Melia di dalamnya. Oh, dia tampak semakin cantik saja. Biarpun melihatnya dari luar pintu gerbang, ia tahu betapa halus dan lembutnya kulit perempuan itu. Dan senyumnya , wah, sungguh menghanyutkan.
"Kau ke mana saja, Maxi? Aku kangen dengan suaramu!" seru Nyonya Melia.
Maxi tertegun. Suara perempuan itu sejak awal selalu membuat ia tertegun. Suaranya rendah dan besar, mirip Suara lelaki. Mestinya tidak apa-apa. Tapi kesannya adalah suatu kontradiksi. Penampilan feminin tapi suara maskulin. Bukankah seharusnya dia memiliki suara yang halus dan lembut juga? Senyumnya memang feminin, tapi ketawanya .., aduh, begitu lepas dan ceroboh hingga terkesan liar.
"Hei! Nyanyi dong. Maxi! Bengawan Solo,
ya"!"
Maxi terkejut lagi. Suara Nyonya Melia membangkitkan sesuatu yang lain dalam ingatannya. Sesuatu yang mengejutkan. Bukankah suara itu membuat ia penasaran ketika mendengarnya pertama kali'? Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi di mana dan suara siapa?
Nyonya Melia tertawa. Kedengaran puas dan senang.
"Dulu aku pernah membangunkan kau. Ingat? Ingat?"
Maxi ingat sekarang. Keringatnya bercucuran. Aduh, suara itu! Ketika ia tertidur lelap di rumahnya yang kecil di desa ia dibangunkan oleh suara itu.
"Bangun! Bangun! Pergi! Cepat pergi!"
Bila ia tidak dibangunkan, ia dan Grace tidak lagi bisa menikmati hidup mereka sekarang ini!
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyonya Melia tertawa lagi. Puas.
"Nah, nah! Aku sudah membantumu! Kenapa kau tidak mau membantuku?" serunya.
Dengan teriakan keras, Maxi melompat bangun. Ia terduduk. Keringatnya sudah membasahi sofa dan bantal. Mimpikah ia tadi? Sepertinya nyata, tapi juga tidak. Jantungnya berdebar
keras. Sebegitu kerasnya hingga serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya.
Grace muncul lalu menubruknya.
"Ada apa, Pa? Ada apa?" tanyanya dengan cemas.
"Waduh, kau basah begini!"
"Aku... aku...," Maxi ragu-ragu.
"Kau mimpi buruk lagi, kan?" tanya Grace, menatap tajam wajah Maxi.
"Ya," sahut Maxi lesu.
"Mimpi yang sama dengan tempo hari?" tanya Grace.
Maxi menggeleng. Lalu ia memegang kedua pundak Grace dan memandangnya dengan tatapan sayu. Bibirnya bergetar. Tapi suaranya tak segera keluar. Tekanan batin yang mengimpitnya terasa berat sekali. Ia tahu, tekanan yang sama juga akan segera mengimpit Grace begitu ia menceritakan.
"Ceritakan, Pa. Kenapa kau ragu? Bukankah kau sudah berjanji tidak akan menyembunyikan apa pun dariku?" desak Grace meskipun kecemasan mengaliri darahnya.
"Kita... kita... berutang kepadanya, Ma!" akhirnya Maxi mencetuskan perasaannya.
"Berutang apa, Pa? Berulang apa?" teriak
Grace.
Terdengar suara di balik pintu. Keduanya menoleh. Sejenak perhatian beralih.
Rico membuka pintu. Ia membelalak keheranan melihat kedua orangtuanya dalam posisi yang tidak biasa. Ia segera menghambur masuk.
"Ada apa, Pa? Ma? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan cemas.
Rico menjatuhkan dirinya di depan sofa lalu memeluk kedua orangtuanya.
"Barusan Papa tidur di sini," Grace menjelaskan.
"Lalu kudengar dia berteriak. Kudapati dia terduduk dengan rupa linglung. Badannya dibasahi keringat. Dia mimpi buruk. Tapi belum menceritakan apa mimpinya. Cuma dia baru mengatakan, bahwa kita berutang kepada entah siapa. Ayo, Pa. Tenang dulu. Sekarang Rico sudah ada. Biarlah kami dengar ceritamu. Bagi perasaanmu itu kepada kami, ya?"
"Iya, Pa. Apa pun itu, ceritakanlah," Rico ikut membujuk.
Kehadiran Rico bisa membuat Maxi lebih mudah bercerita. Seperti sudah diduganya Grace dan Rico tampak shock.
"Jadi begitu," keluh Rico. Ia teringat pada
tamparan di kepalanya. Sakitnya masih terasa.
"Lantas bagaimana sekarang?" tanya Grace.
"Sebenarnya ia tidak menuntut. tapi bertanya. Ia sudah membantuku, kenapa aku tidak mau membantunya?"
"Jadi menurutmu bagaimana?" tanya Grace bingung.
"Aku memang ingin membantunya, tapi kalian tidak setuju. Padahal kalian tahu. aku sendiri belum tahu wujud bantuan seperti apa yang dimintanya."
"Bagaimana, Ric?" tanya Grace kepada Rico.
"Begini saja, Pa. Sekarang terserah sama Papa saja. Bila Papa ingin membantunya dan merasa lebih baik begitu, ya, kami akan mendukung sepenuh hati. Begitu kan, Ma?"
Sebenarnya Rico merasa berat mengatakannya, tapi perkembangan yang terjadi. menyadarkannya bahwa ayahnya justru akan merasa tertekan bila dihalangi.
Berbeda dengan Rico, Grace justru merasa lega. Bagaimana pun istilah "utang" yang dikemukakan Maxi itu menimbulkan perasaan tanggung jawab yang besar. Di mata Grace,
sosok Nyonya Melia itu tampil sebagai perempuan yang amat sangat membutuhkan bantuan. Ia tak lagi memikirkan bahwa Nyonya Melia itu sudah almarhum!
Rico tidak berani menceritakan pengalamannya barusan. Cerita itu terlampau mengejutkan dan mengerikan bagi kedua orangtuanya yang baru saja mengalami kejutan. Bagaimana ia bisa memberi tambahan kejutan lainnya?
"Jadi Papa akan memenuhi pemintaan Ibu Melia," kata Rico.
"Bagaimana caranya, Pa?"
"Soal itu biarlah Papa rundingkan dengan Riris. Yang pasti aku harus ke rumah itu."
Tanpa sadar, Rico bergidik. Ia teringat pengalaman tadi. Haruskah ayahnya tahu?
"Bagaimana kalau aku saja yang nelepon Riris, Pa?"
"Sekarang?"
"Iya. Lebih baik sekarang saja."
"Wah, ini kan sudah malam."
"Dia juga baru pulang kok."
"Kok tahu, Ric?" tanya Grace.
Rico tersipu.
"Ya. Aku barusan ketemu dia dan Indi. Kami mengobrol bertiga," katanya dengan menekankan kata "bertiga".
"Baguslah kalau begitu." Grace tersenyum.
"Biar aku saja yang nelepon," kata Rico.
"Betul," Grace membenarkan.
"Papa belum pulih. Biar istirahat saja."
Maxi akan menyanggah, tapi Grace menyenggol lengannya sebagai isyarat.
"Ya, ya. Baiklah. Tapi jangan beritahu soal mimpiku tadi, ya."
Rico tersenyum.
"Soal itu biarlah Papa sendiri yang cerita kepadanya. Mungkin saya nggak nelepon, tapi cukup kirim pesan singkat saja."
"SMS?" tanya Maxi.
"Ya."
"Bagus." Maxi setuju. Ia memang tidak suka mimpinya dijadikan sensasi.
Mariska dan Indiarto masih berada di dalam mobil meskipun mereka sudah parkir di halaman rumah. Sekilas pandang saja mereka sudah tahu bahwa ayah mereka belum pulang. Mobil Pandu belum kelihatan.
Keduanya masih sibuk memperdebatkan apakah peristiwa tadi sebaiknya diceritakan kepada Pandu atau tidak.
"Kasihan. Nanti Papa shock," kata Indiarto.
"Tapi Papa sepatutnya tahu, Indi. Itu kan rumahnya. Dan hantu itu adalah arwah Mama, istrinya sendiri. Biarpun shock, Papa akan berhasil mengatasinya. Yang dulu saja Papa bisa kok. Padahal dulu itu nyata."
"Justru yang tidak nyata itu lebih mengerikan, Mbak."
"Ah, mana bisa. Kau lebih takut pada siapa, hantu atau orang jahat?"
"Hantu."
"Aku sih lebih takut pada orang jahat. Apalagi pembunuh."
"Ya, takut juga sih. Dua-duanya deh. Sama-sama," Indiarto meralat pernyataannya.
"Papa harus tahu, Indi. Biar Papa ikut berpikir. Papa kan harus ikut serta dalam permasalahan ini. Ini menyangkut kita semua, kan?"
Indiarto merenung.
Saat itulah SMS dari Rico masuk. Mariska membacanya. lalu memperlihatkan kepada Indiano.
"Hore! Pak Maxi mau membantu kita, Indi!" ia berseru.
Mariska mengirim pesan balik, bahwa pesan itu sudah ia terima dan besok ia akan menelepon maxi.
"Ini berita baik, Indi."
"Tapi Pak Maxi memang ingin membantu. Yang tidak setuju itu Rico dan ibunya. Kenapa sekarang mendadak mereka setuju?"
"Mungkin peristiwa tadi penyebabnya," Mariska menduga-duga.
"Secepat itu Rico berubah pikiran? Malam malam membangunkan orangtuanya untuk menceritakan peristiwa tadi?"
"Entahlah. Besok kita akan tahu. Sekarang sudah malam. Tidak pantas nelepon orang yang sudah tua."
"Sungguh mendebarkan, ya? Kayaknya entar aku nggak bisa tidur nih."
"Aku juga," keluh Mariska.
"Kalau Pak Maxi saja bersedia membantu, tentunya Papa juga harus tahu," Indiarto memutuskan.
"Nah, begitu dong. Kita kan harus sepakat. Aku tidak ingin bertindak sendiri. Kita berdua anak-anaknya, kan?"
"Kapan kau mau memberitahu?"
"Begitu Papa pulang."
"Secepat itu?"
"Ya. Sebaiknya jangan ditunda. Besok sudah hari yang lain lagi."
"Kukira, sekaget-kagetnya Papa, tapi kita
jauh lebih kaget karena melihat sendiri."
"Itu sudah jelas."
"Sebenarnya Mama marah sama siapa, ya?" tanya Indiarto.
"Mana aku tahu? Nanyanya jangan sama aku dong."
"Mama ngamuk waktu kita ada di sana. Sengaja memperlihatkannya kepada kita. Kalau kita tak di sana, kita cuma bisa bertanya-tanya siapa yang merusak itu."
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukira, itu ada hubungannya dengan keputusan Pak Maxi."
"Apa... apa kaupikir dia juga mengalami sesuatu?"
"Lihat saja besok apa yang akan dikatakannya kepadaku. Sekarang kita sebaiknya jangan menduga-duga, Indi. Tunggu saja."
Mereka mendengar deru mobil memasuki halaman.
"Itu Papa."
Pandu mengamati wajah anak-anaknya bergantian dengan curiga ketika ia diajak duduk
bersama. Ia bertanya-tanya, apakah hubungan gelapnya dengan Minarti sudah ketahuan. Rupanya firasatnya benar. Sebelum pulang ia sudah mengatakan kepada Minarti bahwa besok nomor telepon akan ia ganti. Rupanya sebelum hal itu dilakukan sudah kejadian. Beginilah kalau punya anak pintar, keluhnya dalam hati.
"Pa, saya pikir kita harus terbuka," Mariska mulai.
"Ya. Ada apa, sih?" tanya Pandu hati-hati. Ia tidak boleh mendahului, takut terjebak.
"Begini, Pa. Tadi saya dan Indi ke rumah di Menteng. Kemudian Rico datang. Jadi kami bertiga."
"Ya. Kan itu sudah kau katakan di telepon."
"Memang. Saya kan belum selesai, Pa. Kami mengobrol di tangga teras. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dalam rumah. Luar biasa bunyinya. Sampai rumah bergetar. Kira-kira lima menit berlangsungnya. Ya kan, Indi?"
"Betul," sahut Indiano cepat.
"Oh, jadi persoalan rumah itu?" kata Pandu lega. Rupanya firasatnya salah.
Mariska heran sejenak, kenapa belum apa apa ayahnya sudah tampak lega. Ia segera menceritakan kelanjutan ceritanya. Indiarto yang sudah ditugasi untuk mengamati reaksi ayahnya hampir tak berkedip memelototi wajah si ayah.
Cerita selesai. Pandu terenyak di kursinya. Kelegaannya berganti dengan ketakutan. Pandangnya menerawang entah ke mana.
Mariska dan indiarto membiarkan Pandu dalam diam untuk sejenak.
"Jadi kalian tidak melihat sendiri benda-benda itu beterbangan?" tanya Pandu.
"Tidak. Kami mendengar suaranya saja."
"Kalau tidak melihat sendiri, jangan sembarang menyimpulkan dong."
Mariska dan Indiarto berpandangan. Mereka bisa melihat bahwa Pandu berusaha mengatasi takutnya dengan ketidakpercayaan.
"Kami tidak menyimpulkan apa-apa, Pa. Kami cerita apa adanya saja."
"Lantas kalian mau apa?"
"Arwah Mama jelas menginginkan sesuatu. Itu sudah disampaikannya pada Pak Maxi. Sekarang Pak Maxi sudah menyatakan kesediaannya untuk membantu."
Pandu mengerutkan kening.
"Membantu apa?"
"Membantu menenangkan Mama."
"Bagaimana caranya?"
"Entahlah. Itu yang nanti akan dicari oleh Pak Maxi."
"Huh! Apa dia minta bayaran?"
"Sama sekali tidak, Pa. Jangan punya prasangka negatif pada Pak Maxi. Dia orang yang baik."
"Jangan sok tahu dulu, Ris! Aku tidak mengerti. Selama lebih dari setahun tidak pernah terjadi apa-apa. Tiba-tiba orang itu muncul, lalu mulailah terjadi keanehan-keanehan. Tidakkah itu patut dicurigai?"
Mariska dan Indiarto terperangah.
"Apakah Papa tidak mau melihat suasana kamar di rumah itu untuk membuktikan cerita saya?" tanya Mariska, penasaran.
"Ah, nggak perlu. Buat apa?"
"Jadi Papa percaya?"
"Tentu. Ada saksinya, kan?"
"Baiklah. Jadi Papa tidak keberatan saya mengajak Pak Maxi ke sana besok?"
"Soal itu kuserahkan saja padamu. Cuma kuingatkan. hati-hatilah."
"Kenapa? Pa?" tanya Mariska. heran karena nada yang terkesan mengancam dalam suara ayahnya.
"Bisa saja itu, bukan arwah Mama, melainkan setan!"
Setelah berkata begitu, Pandu melompat berdiri lalu bergegas pergi tanpa menengok.
Mariska dan Indiarto berpandangan.
""Bagaimana pengamatanmu, Indi?" tanya Mariska pelan.
"Dia memang kaget sekali. Tak bisa diragukan lagi. Tapi tak kusangka dia bisa mengatasinya dengan cepat."
"Aku punya perasaan yang aneh, Indi."
Indiarto mendekatkan duduknya dengan ekspresi ngeri.
"Apa itu, Mbak?"
"Sepertinya Papa mengira kita akan membicarakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang semula dicemaskannya. Itu sebabnya dia sudah kelihatan lega sebelum aku cerita lebih banyak."
"Jadi apa yang dia cemaskan itu jauh lebih menakutkan daripada pengalaman kita barusan?"
"Entahlah. Mungkin baginya begitu."
Di kamar tidurnya, Pandu membuka topengnya. Dia kelihatan tambah tua sepuluh tahun. Kedua bahunya menurun dan langkahnya beringsut-ingsut. Tiba-tiba dia merasa menanggung beban berat.
Ia sadar, tak mungkin bisa tidur nyenyak malam itu. Maka ia mencari obat tidur. Ia masih menyimpan obat tidur untuk persediaan. Setelah tragedi itu, ia memerlukan obat tidur selama beberapa bulan. Belakangan ia sudah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan itu. Tapi sekarang ia mencarinya lagi. Masalahnya bukan semata-mata supaya ia bisa tidur, tapi supaya pikirannya tidak terganggu.
Setelah menelan obat. ia merebahkan diri di tempat tidur. Sempat ia menyesali penolakannya atas ajakan Minarti untuk menginap. Kalau saja ia menginap ia tidak perlu mendengar cerita mengerikan itu. Tapi bukankah itu cuma sekadar mengulur waktu? Besok lusa, Mariska atau Indiarto tetap akan mendatanginya dengan cerita itu.
"Seharusnya aku yang marah padamu, Mel!" ia bicara sendiri.
"Dulu kau yang memulai, bukan?"
Rico bolak-balik terus di tempat tidurnya. Tetapi kantuk tak juga bisa menguasainya.
Pikirannya terus-menerus tertuju kepada peristiwa itu. Apakah arwah itu marah kepadanya lalu memukul kepalanya karena dialah yang mencegah keinginan ayahnya untuk membantu? Logikanya berkata begitu. Tapi ada sisi lain yang mengingatkan, bahwa pukulan itu diterimanya karena ia berkata bahwa dirinya bukanlah Malik. Kecelekah si arwah karena yang duduk di dalam gazebo itu bukan Malik, sang kekasih?
Ia membayangkan lagi pengalamannya saat duduk di dalam gazebo. Sekarang, saat mengingat-ingat ia merasakannya kembali. Ketika itu ia setengah bermimpi, setengah berkhayal, tapi kenapa rasanya riil? Indranya merasakan sentuhan dan embusan napas hangat yang mengalirkan kenikmatan di dalam darahnya. terus ke otaknya. Lalu menghasilkan suatu keinginan yang hanya bisa ditimbulkan oleh rangsangan seksual!
Apakah itu berarti bahwa sosok perempuan, seperti yang disimpulkannya ketika itu telah mampu membangkitkan rangsang itu? Semudah itukah? Ataukah hal itu semata-mata ditimbulkan karena dia berada dalam situasi yang
tidak biasa?
Pertanyaan itu sulit dijawab secara pasti. Ia masih harus membuktikannya dalam situasi yang biasa dan tentu saja juga riil.
Pemikiran itu mendominasi dirinya dibanding pengalaman mengerikan tadi. Baru kemudian ia mulai memikirkannya lagi. Pasti ada hubungannya dengan mimpi ayahnya. Sepertinya semakin lama arwah itu semakin mendesakkan keinginannya. Kenapa harus ayahnya?
Ia bangun, keluar dari kamar. Perutnya terasa lapar.
Melewati kamar orangtuanya, ia berdiri depan pintu dan menempelkan telinganya ke daun pintu. Terdengar dengkur ayahnya. Ia tersenyum. Rupanya ayahnya bisa tidur nyenyak setelah mimpinya tadi. Mungkin baginya itu bukanlah mimpi buruk
Ia ke dapur. Di dalam kulkas cuma ada susu murni dingin.
"Lapar, ya?"
Ia menoleh kaget. Di belakangnya berdiri Grace dengan wajah kucel.
"Iya. Ma. Minum susu sajalah."
"Nanti aku buatkan mi instan. ya. Sabar sebentar."
Tak lama kemudian keduanya sudah duduk menikmati mi. Grace mengaku. dirinya juga lapar.
"Rupanya cuma Papa yang bisa tidur nyenyak malam ini." kata Grace.
"Ya. Kukira Mama juga tidur."
"Wah, sejak rebah di tempat tidur mataku melotot terus. Tambahan lagi mendengarkan dengkur Papa, sudah deh makin hilang kantuknya."
"Sudah pagi," kata Grace memandang jam di dinding dapur. Sudah pukul setengah dua.
"Kayaknya tanggung juga untuk tidur, ya Ma."
"Kau sih perlu tidur sejenak, Ric. Nanti kan mesti kerja."
"Kalau bisa, Ma. Kalau nggak?"
"Ya, lihat sajalah."
Lalu Grace melontarkan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi pikirannya.
"Kalian mengobrol lama sekali tadi, ya?"
"Oh iya, Ma. Cukup lama."
"Kalau begitu rumah itu tidak menyeramkan"
Rico sudah mengambil keputusan. Ia menceritakan pengalamannya tadi. Tetapi ia menyimpan bagian pengalamannya di dalam gazebo. itu terasa memalukan, bahkan di depan ibunya sendiri. Memang cerita itu sudah diketahui Mariska dan Indiarto, tapi mereka sudah menjadi bagian dari pengalamannya itu.
Grace menekan mulutnya. dengan tangan sebagai ekspresi kaget dan ngeri.
"Aduh, serem sekali ya, Ric," komentarnya.
"Apakah kau tidak akan menceritakannya kepada Papa?"
"Kukira biarlah Riris yang cerita. Nanti kan mereka akan bertemu."
Grace meraih tangan Rico. Wajahnya cemas.
"Apakah dia..., maksudku arwah itu, tidak akan mencederai Papa?"
Rico teringat tamparan di kepalanya. Ia memperolehnya bukan tanpa sebab.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kayaknya dia sayang sama Papa. Kalau tidak masa dia menyelamatkan Papa dulu?'
"Itu karena dia punya tujuan. Dia membuat kita berutang."
"Apakah dia menyebutnya sebagai utang?"
Grace berpikir sejenak.
"Kayaknya itu istilah Papa sendiri."
""Sebaiknya kita berpikir baik saja, Ma. Jangan cemas berlebihan."
"Mama takut, Papa tidak bisa memenuhi permintaannya. Lalu dia marah."
"Jangan takut dulu, Ma. Kita kan tidak tahu apa yang diinginkannya."
Rico berdiri lalu merangkul ibunya dari belakang kursi.
"Tenang saja, Ma. Terus terang, aku memang merasa berutang budi pada ibunya Riris. Dia telah menyelamatkan Papa dan Mama. Apapun tujuannya. aku berterima kasih kepadanya. Kalau saja aku bisa berkomunikasi dengan dia, akan kukatakan hal itu."
Grace memegang erat kedua tangan Rico yang berada di pundaknya. Ucapan Rico telah menenangkan keaelisahannya.
KETIKA paginya Rico mengendarai mobil menuju tempat kerja, ia melihat Ivan berdiri di tepi jalan menunggu kendaraan umum. Ivan juga melihat mobilnya tapi buru-buru memalingkan muka, pura-pura tidak melihat.
Semula Rico akan lewat saja, tapi kemudian ia merasa tidak tega. Ia menghentikan mobil lalu mengklakson. Ivan menoleh.
Rico menurunkan kaca mobil.
"Ikut, Van?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Ivan beranjak juga. Ia masuk ke dalam mobil.
"Tumben ngajak," kata Ivan.
"Karena aku melihatmu di situ. Kemarin-kemarin nggak."
"Oh, begitu. Terima kasih dong."
"Kembali."
Ivan melirik. Ia tak bisa membaca apa-apa di wajah Rico.
"Apakah ini berarti kita baikan?" ia bertanya.
"Putus tidak berarti musuhan, kan?"
Ivan memonyongkan mulutnya.
"Kalau sudah putus seharusnya kau tidak mengajakku ikut. Berdekatan itu bisa berbahaya."
"Kurasa tidak," sahut Rico datar.
"Bagimu tidak. Tapi bagiku?"
"Apa kau mau turun saja?"
"Tanggung dong. Masa aku diturunin di jalan tol?"
"Maksudku baik, Van. Aku tidak mau bermusuhan denganmu. Tapi aku juga tidak mau seperti dulu lagi. Itu sudah lewat."
"Karena kau sudah punya pacar baru? Cowok yang namanya Indi itu?"
Rico tertawa.
"Dengar, Van. Aku tidak punya pacar baru. Seandainya punya pun, aku tidak berniat memiliki pacar cowok. Tapi cewek! "
"Kau pengkhianat!"
"Aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Kau bilang padaku, kau akan membenci cewek selamanya."
"Oh, omongan dalam emosi tidak bisa dipegang-"
Ivan sangat marah hingga napasnya memburu.
Rico meliriknya dan menjadi khawatir. Setahunya. Ivan mengidap asma ringan.
"Kau baik-baik saja, Van?"
"Persetan dengan kemunafikanmu!"
"Tenang. Van. Kemarahanmu itu tidak pada tempatnya. Itu merugikan dirimu sendiri. Bukankah aku bersikap jujur kepadamu? Aku tidak munafik. Terus terang kukatakan sejak awal bahwa aku ingin putus dan berpisah. Aku juga terus terang mengatakan bahwa aku bertekad ingin jadi lelaki heteroseks. Hanya itu. Aku tidak mau mendua dengan jadi biseks. Tapi untuk itu aku harus berupaya dulu. Aku harus mencari," kata Rico terus terang.
Ivan menjadi lebih tenang tapi juga sedih. Ia menyadari, dirinyalah yang tidak mau mengerti. Sakit hatinya masih terasa. Lalu ke mana ia harus mencari obat?
"Buatmu gampang saja dapat pasangan, Rie. Cewek atau cowok pada naksir kamu. Tapi aku?"
"Hei, kau tidak perlu minder. Lagi pula masa depan itu kan nggak ditentukan oleh soal yang
satu itu. Memangnya nasibmu ditentukan oleh orang lain? Dan siapa bilang kau sulit dapat pasangan? Kau nggak kurang apa-apa kok. Kau cakep, punya pekerjaan bagus. Apa lagi?"
Ivan merasa terhibur.
"Kau bilang aku cakep?"
"Ya. Jadi kau harus lebih pede. Jangan bersikap seakan kau lemah dan perlu pelindung. Kau tidak membutuhkan itu."
"Aku butuh kawan, Ric."
"Kau sudah memilikinya."
"Aku ingin lebih dari sekadar kawan. Aku kesepian, Ric," Ivan melontarkannya dengan tersedu.
"Yang itu pun bisa kauperoleh. Tapi jangan buru-buru sekadar mengisi kesepian. Cari orang yang baik. Bersikaplah rasional, Van. Nanti kau dimanfaatkan orang yang tidak berniat baik."
"Bantulah aku, Ric."
"Aku akan membantumu. Ingatlah, aku tetap kawanmu."
"Terima kasih. Kau jadi konsultanku, ya? Mau?"
Rico tersenyum.
"Wah, istilahnya jangan konsultan, dong. Aku jadi malu. Memangnya
aku apa'! tapi aku akan membantumu sesuai kemampuanku."
Ivan menatapnya dengan penuh rasa syukur. Tapi ia juga dilanda sesal yang berkepanjangan. Orang sebaik Rico mungkin tak ada duanya.
"Hei, dunia ini bukan sedaun kelor, Van!"
"Ya. Aku cuma perlu membuka mata lebih lebar, bukan?"
Rico tertawa.
"Nah, begitu dong."
"Aku sudah mengajukan pemintaan fasilitas kendaraan, Ric," Ivan berganti topik.
"Bagus. Sudah punya SIM?"
"Aku minta motor saja. Cuma punya SIM motor. Lagi pula aku merasa lebih gagah kalau naik motor. Bagaimana menurutmu. Ric?"
"Kukira itu bagus."
"Eh, sudah dengar rumor paling akhir, Ric?"
"Apa, ya?"
"Si Inge sudah kembali."
Rico tertegun. Topik itu sangat mendadak.
"Tahu dari mana?"
"Ada yang ngomong. Tapi dia kembali sebagai janda"
Rico terkejut.
"Apakah suaminya meninggal? Aku kok tidak mendengar."
"Bukan. Mereka bercerai. Dia punya seorang anak lelaki. Tapi anak itu tak boleh dibawa pulang karena dia warga negara Jepang."
"Wah, tragis, ya."
"Kalau dia mau mendekatimu lagi, jangan kasih hati, Ric," kata Ivan bersemangat.
"Kenapa?"
"Aku tidak rela."
Rico tertegun. Ia kembali diingatkan kepada masa-masa sulitnya ketika baru ditinggalkan Inge. Pada saat itu Ivan berjasa menyatukan kembali serpihan hatinya yang hancur. Tetapi ia pun diingatkan bahwa sekarang ia tidak boleh sentimentil dengan kenangan masa itu, karena Ivan akan memanfaatkannya.
"Jangan khawatir, Van. Aku yakin, dia tidak akan melakukannya."
"Jangan terlalu yakin. Kalau dia melakukannya, depaklah dia sekeras mungkin."
"Istilah itu terlalu keras, Van."
"Dia pantas mendapatkannya. Aku tidak."
"Jangan mulai lagi, ya, Van. Kita berpisah baik-baik," Rico mengingatkan.
"Oh, ya. Jadi aku tidak perlu merasa terdepak?"
"Tentu saja tidak. Depak-mendepak itu disebabkan karena ada orang ketiga. Inge menginginkan orang lain, jadi dia mendepakku. Tapi kita berbeda."
"Kalau aku jadi perempuan, pasti kau mau lagi sama aku, ya?"
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ivan tertawa melihat Rico berwajah masam.
"Eh, aku cuma bercanda!" serunya.
"Sesungguhnya, aku juga nggak mau jadi perempuan kok!"
Rico ikut tertawa. Barangkali Ivan bisa dijadikan teman.
Dengan kesepakatan Indiarto, Mariska memutuskan untuk langsung mengunjungi Maxi di rumahnya daripada cuma menelepon. Itu lebih sopan dan leluasa. Pembicaraan seputar masalah itu terlalu berat dan serius untuk hanya dibicarakan lewat telepon.
Sebelum berangkat ke kantor, Mariska mampir dulu ke rumah Maxi. Pada saat itu Rico sudah pergi.
Maxi dan Grace menerima kedatangannya dengan senang.
"Apakah Bapak dan Ibu sudah mendengar cerita Rico tentang peristiwa semalam?"
Maxi dan Grace berpandangan. Maxi menggeleng. Grace ikut-ikutan menggeleng. Ia tahu, harus bersikap seakan belum pernah mendengar.
"Mungkin waktunya belum ada," kata Mariska.
Lalu ia menceritakan apa yang terjadi di dalam kamar tempat tragedi itu terjadi dulu.
"Saya pikir, Bapak harus tahu soal itu sebelum mulai berkomunikasi dengan Mama nanti. Jadi Bapak bisa tanyakan sekalian kenapa dia semarah itu? Dan marahnya kepada siapa? Saya yakin, dia sengaja berbuat begitu pada saat kami ada di sana, supaya kami tahu."
Maxi termangu. Ia cukup kaget mendengarnya.
"Semalam saya bermimpi ketemu dia," katanya.
"Tapi dia seperti biasa. Tidak marah. Dia bicara saja dan kelihatannya sengaja supaya saya bisa mengingat suaranya. Padahal kalau dia mau mengingatkan kan bisa saja."
"Ya. Pasti marahnya bukan sama Bapak."
"Kelihatannya saya harus segera ke sana, Ris."
"Kapan, Pak? Saya selalu bisa meluangkan
waktu untuk menemani Bapak."
"Ah, bukan begitu caranya, Ris. Biar saya sendiri saja. Dulu pun saya sendirian. Takutnya kalau ditemani dia malah tak mau muncul."
"Kalau begitu saya akan berikan kuncinya kepada Bapak."
Mariska membuka tas.
"Cukup kunci pintu gerbang saja, Ris. Jangan kunci rumah."
"Bapak tak berniat masuk ke dalam kamar?"
"Ah, tak usah. Sudah kacau-balau, bukan?"
"Ya. Sebaiknya tidak usah ke situ. Tidak enak dilihat, Pak. Kalau Bapak memang berniat melihat, sebaiknya jangan sendirian. Biar ramai-ramai saja. Rico juga boleh ikut kalau dia mau."
"Itu baik sekali. Saya cukup di gazebo saja. Katanya, dia kangen sama suara saya. Jadi saya akan bawa gitar."
Mariska melepaskan sebuah anak kunci dari rangkaian lalu menyodorkannya kepada Maxi.
"Bapak akan menyanyi? Aduh, saya ingin sekali mendengarkan."
"Kalau Riris cuma mau mendengar suara saya, nanti saya khusus menyanyi buatmu,"
Maxi tersenyum.
"Mau sekarang?"
Mariska tertawa.
"Ah, jangan sekarang dong. Saya pikir, pada suatu saat kalau semua permasalahan sudah beres kita akan buat acara. Bapak menyanyi di situ, ya?"
Grace tersenyum saja mendengarkan. Ia menyimpan ketegangan dan kegelisahannya. Jadi Maxi akan pergi sendiri.
"Kapan Bapak akan ke sana?" tanya Maris
"Saya masih belum menentukan waktunya. Nanti saya beri kabar kalau mau ke sana."
Sebenarnya Mariska tidak percaya bahwa Maxi belum bisa menentukan waktunya. Tapi ia tahu, mungkin Maxi tidak ingin diintip. Padahal memang hal itu yang ingin dilakukannya.
"Baiklah, Pak. Terima kasih."
Setelah Mariska pergi, Maxi menatap Grace.
"Aku mau ke sana sekarang saja, Ma. Lebih cepat lebih baik."
Grace terkejut.
"Sekarang? Apa Rico sudah tahu?"
"Dia jangan diberitahu, Ma. Nanti dia jadi resah. Lagi pula aku memang harus datang sendiri. Sudahlah."
"Apa kau... kau sudah siap?"
"Tak ada yang perlu disiapkan."
"Mentalmu?"
Maxi tertawa.
"Aku justru ingin secepat mungkin ke sana."
"Ya. Aku tahu kau memang ingin membantunya sejak awal, tapi Rico tidak setuju. Dia tidak bisa disalahkan, Pa. Bukan cuma dia yang khawatir. Aku juga. Lebih-lebih setelah kejadian semalam itu. Ternyata dia bisa ngamuk juga. Bagaimana jika kau kau tidak kembali?"
Maxi menepuk pundak Grace.
"Aku pasti kembali. Sudah. Jangan mikir yang bukan-bukan."
"Rico harus diberitahu."
"Kalau diberitahu, nanti dia terbang ke sana. Ikut-ikutan. Padahal aku ingin sendirian."
"Bagaimana jika dia dipesan supaya tidak ke sana? Hanya asal tahu saja bahwa kau ada di sana"
Maxi menggeleng keras.
"Jangan, Ma. Aku yakin dia akan ke sana. Jangan mengacaukan. Kekhawatiranmu itu tidak membantu."
"Baiklah." Grace agak kesal tapi merasa bisa memahami.
"Bantulah aku, ya, Ma."
"Membantu gimana? Aku di rumah saja kok."
"Doakan aku. ya."
Grace sadar, memang hanya itu yang bisa ia lakukan.
Meskipun sudah mengetahui bahwa semalam Mariska mengemukakan sesuatu yang lain daripada yang dikhawatirkannya, tetapi Pandu tidak mau mengambil risiko. Hari itu juga ia minta nomor telepon rumah Minarti dinonaktifkan, lalu diganti dengan nomor baru. Ia pun mengingatkan diri sendiri agar tidak lagi menelepon anak-anaknya dengan telepon itu.
Minarti tidak bertanya, tapi itu karena ia tahu betul sikap yang selalu ingin tahu tidak disukai Pandu. Ia juga tahu betul tugasnya yang utama adalah menyenangkan hati Pandu dan sebisa mungkin mengikuti saja kemauannya. Ia sadar siapa dirinya. Seorang mantan pembantu rumah tangga yang "naik tangga" menjadi "peliharaan". Dari segi ekonomi atau kenyamanan hidup, perubahan itu bisa dibilang sebagai peningkatan. Berapa gaji seorang pembantu? Belum lagi kerjanya yang berat dan tak kenal
waktu. Dengan kedudukannya yang sekarang, ia bisa senang-senang, makan-tidur-nonton, dan punya dompet penuh. Imbalan untuk itu cuma pelayanan.
Minarti juga tidak keberatan akan larangan Pandu untuk hamil. Ia rajin menelan pil antihamilnya setiap hari. Ia sendiri tidak menginginkan anak dari Pandu. Anak cuma merepotkan. Ia juga takut akan dicampakan Pandu bila itu terjadi. Kelak, pada suatu saat, ia tentu menginginkan anak. Tetapi itu harus dari suami yang dicintai dan mencintainya. Angan-angannya selalu membubung bila membayangkan hal itu. Indah dan muluk.
Tetapi kadang-kadang angan-angan muluk itu dirusak bayangan mengerikan. Pemandangan berdarah di rumah Menteng itu. Sepasang tubuh berlumuran darah. Banyak sekali darahnya. Katanya karpet tempat kedua tubuh itu tergeletak sampai kuyup akibat cairan merah tersebut. Betapa mengerikan.
Ternyata manusia memiliki darah yang sangat banyak. Ia bergidik memikirkan hal itu.
Pandu tidak pernah membicarakan kejadian tersebut. Dia ingin melupakan. Tentu saja
Minarti sendiri pun berusaha melupakan. Tapi kadang-kadang muncul begitu saja, tanpa dikehendaki. Ada saja cara atau kejadian yang membuat ia teringat. Misalnya kalau sedang menonton televisi. Meskipun sudah berusaha menghindari tayangan berita, tontonan lainnya ada saja yang menayangkan adegan mirip. Contoh lain, bila tangannya tergores pisau dapur saat memotong daging atau sayuran hingga mengeluarkan darah. Biarpun darah yang keluar cuma sedikit, tapi warna merahnya tetap mengingatkan Minarti. Dengan perasaan ngeri, ia melihat darah mengalir deras keluar dari lukanya, padahal itu cuma halusinasi. Kenyataannya tidak demikian.
Ada saat-saat ketika Minarti berpikir dirinya akan menjadi gila. Tapi ia memiliki mental yang kuat. Ia mampu mengatasi gangguan itu. Ia menanamkan keyakinan dalam dirinya bahwa untuk bisa melupakan, ia membutuhkan waktu. Pada suatu saat ia akan terbebas dari gangguan itu.
Karena itu ia tidak pernah mengadukan masalah ini kepada Pandu. Ia sadar betul, masalah ini sangat peka bagi Pandu. Jangan sekali-kali menyinggung kepekaan Pandu kalau ia mau mempertahankan kedudukan. Ia tentu tidak mau dipulangkan ke kampung biarpun dibekali "pesangon".
Sebenarnya Minarti juga bukan manusia tanpa perasaan. Apalagi emosi. Sesekali ia melampiaskan amarah dengan berteriak dan memukulkan bantal guling ke tempat tidur sambil membayangkan bahwa yang dipukulnya adalah Pandu!
Bila ia harus terus-menerus merunduk tanpa boleh mengangkat kepala, harus terus-menerus bicara bodoh tanpa boleh mengungkapkan isi kepalanya yang sesungguhnya, harus terus-menerus mengiyakan tanpa membantah, dan harus terus-menerus begini-begitu, maka perasaan tertekan itu akan melampaui batas. Tetapi ia memang harus begitu kalau mau survive.
Ia sudah tahu menjadi perempuan yang cantik saja bukan bekal yang cukup. Dari bacaan, dari televisi, banyak masukan yang diperolehnya. Begitu banyak perempuan yang teperdaya. Apalagi yang cantik. Dulu dia menjadi pembantu rumah tangga bukan karena dibujuk atau diperdaya, tapi karena ingin mencari perbaikan
nasib di Jakarta. Ketika itu ia tidak menyadari bahwa dirinya cantik atau punya suatu daya tarik. Semua itu masih tersembunyi di balik kepolosan penampilannya.
Jadi Minarti termasuk beruntung. Tetapi pada saat melampiaskan kemarahan, ia tidak sempat berpikir ke situ. Nanti kalau amarahnya mereda, ia bisa tenang bahkan tertawa. Kembali ia merasa beruntung. Ternyata ia juga bisa melampiaskan kemarahan dengan leluasa. Bahkan orang yang dijadikan sasaran juga tidak tahu!
Ia bisa terbahak-bahak sendiri karena perasaan beruntungnya itu.
Pagi itu setelah selesai berbelanja dan membawa pulang hasil belanjaannya, Don mendapat tugas lain. Ia harus membawa tagihan ke sebuah hotel yang lokasinya di Jalan Thamrin.
Don senang melakukannya. Dengan berbuat begitu, ia jadi merasa ikut berjuang dan ikut memiliki usaha yang dijalankan istrinya. Apalagi Anie tidak pernah menyuruh atau minta bantuannya bila tahu ia sedang sibuk dengan proyek. Sekarang ia sedang menganggur. Sejak menyelesaikan kasus Pandu, ia belum mendapat order lagi.
Don mengemudikan mobil Kijangnya dengan mengambil rute kawasan Menteng untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Di situ suasana jalan tenang. asal saja jangan melewati sekolah pada saat masuk dan usai sekolah.
Lalu ia tertegun dan memfokuskan pandangannya. Ia melihat seorang lelaki tegap sedang berjalan di seberangnya dengan arah berlawanan. Ia segera mengenalinya sebagai Maxi Tuwana. Yang mengherankan Don, Maxi menggendong sesuatu di punggung yang bentuknya seperti gitar. Mau menyanyi di manakah dia?
Mulanya Don bermaksud memanggil dan bertanya ke mana tujuannya, lalu menawarkan untuk mengantarkan. Tapi kemudian ia membatalkan niat itu. Maxi melangkah tanpa menoleh kanan-kiri. Langkahnya mantap dan cepat. Sama sekali bukan ciri orang yang sedang santai.
Setelah berpapasan dan mobilnya berjalan terus beberapa puluh meter, ia memutarnya untuk menyusuri jalan yang dilalui Maxi. Untung jalan itu dua arah.
Betapa herannya ketika ia melihat Maxi berhenti di depan rumah Pandu yang sudah lama terbengkalai. Mau apa Maxi di situ? Bukankah rumah itu tidak berpenghuni?
Don menghentikan kendaraannya, lalu mengamati. Sekali lagi rasa herannya memuncak ketika ia melihat Maxi mengeluarkan kunci kemudian dengan tenangnya membuka gembok!
Don benar-benar merasa sesak napas melihat kejadian itu. Perilaku Maxi itu menunjukkan bahwa ia punya suatu ikatan dengan rumah itu. Setidaknya dengan penghuninya. Padahal ia baru saja menyelesaikan penyelidikannya perihal Maxi dan menyampaikan laporannya kepada Pandu. Dengan yakin dan pasti, ia menyatakan bahwa Maxi tidak punya hubungan dengan Nyonya Melia. Tapi dengan kejadian sekarang ini, ia menjadi tidak yakin lagi. Bagaimana pertanggungiawabannya kepada Pandu nanti? Ia merasa malu kepada diri sendiri karena pekerjaannya kurang beres. Itulah akibatnya kalau terlalu menganggap ringan suatu pekerjaan.
Tapi masih ada kemungkinan lain. Mungkin Maxi memang orang suruhan Pandu. Sekarang dia ke situ dalam rangka suatu tugas. Itu sebabnya dia punya kunci. Dan kenapa Pandu menyuruh dirinya menyelidiki Maxi adalah untuk masalah kepercayaan. Setelah mendapat laporan darinya, barulah Pandu percaya lalu memberi Maxi tugas itu.
Pikiran itu menenangkan sejenak. Tetapi keheranannya tetap ada. Kenapa Maxi membawa-bawa gitar segala? Untuk Pertanyaan yang ini ia tak bisa menjawab sendiri.
Maxi sudah masuk kemudian menggembok kembali pintu gerbang dari dalam.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat-cepat Don keluar dari mobil lalu menyusul ke sana. Ia bersyukur akan situasi yang sepi.
Mula-mula ia berjalan santai melewati pintu gerbang sambil mengamati diam-diam ke dalam rumah. Ketika merasa tak ada yang memperhatikan, ia berdiri mengamati. Ternyata Maxi berada di samping gazebo. Punggungnya yang kelihatan. Ia mengeluarkan gitar dari kain sarungnya, lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian ia mengambil jok salah satu kursi yang posisinya menghadap ke dalam rumah. Ia menepuk-nepukkan jok itu ke tiang untuk menjatuhkan debu yang menempel. Setelah meletakkannya kembali di kursi, ia duduk di atasnya lalu meraih gitar. Dengan posisinya yang seperti itu, Maxi tidak bisa melihat kehadiran Don di luar pintu gerbang.
Don menyisih ke tepi pintu gerbang supaya lebih tersembunyi.
Rasa heran Don kembali menyeruak ketika gitar Maxi berbunyi, kemudian disusul lantunan merdu lagu Bengawan Solo!
Don terpesona. Sambil mendengarkan pelan-pelan. bulu romanya berdiri.
SETELAH menyanyikan satu lagu, Maxi diam untuk meresap keheningan. Tidak ada reaksi apa-apa. Ia tidak melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu.
"Saya sudah menyanyikan lagu kesenangan Ibu itu," bisiknya.
Tiba-tiba daun-daun kering beterbangan lalu berjatuhan di atas tubuh dan kepalanya. Ia membiarkan, tidak merasa terganggu. Sesudah itu tetap tidak terjadi sesuatu. Ia menaikkan kaki ke atas kursi di depannya.
"Maaf, saya meniru cara duduk Ibu. Kaki saya pegal," katanya pelan.
Ia bersikap santai, sabar menunggu. Tidak ada yang perlu diburu-buru, pikirnya. Ia punya banyak waktu. Ia juga merasa tenang, tanpa rasa seram atau ngeri barang sedikit pun. Biasa saja. Bahkan rasanya seperti di rumah sendiri.
Ia mengamati sekitarnya dengan lebih cermat. Setelah beberapa kali turun hujan, taman itu jadi kelihatan lebih hijau. Ada pohon yang tumbuh lagi, mengeluarkan tunas-tunasnya. Semak-semak juga semakin tinggi. Dan yang paling menarik perhatiannya adalah pohon bugenvil di sekitar tempat duduknya. Pohon yang tadinya kelihatan kering meranggas itu ternyata belum mati. Keempat pohon di seputar tiang besi gazebo sudah mengeluarkan tunas dan daun baru. Tapi daun dan dahan kering mendominasi hingga membuat pohon-pohon itu tidak kelihatan.
Daun-daun bugenvil kembali berjatuhan seperti digoyang-goyang. Maxi mengamati dengan asyik, bagai terpesona. Tiba-tiba ia mendengar bisikan di telinganya,
"Bernyanyilah lagi, Maxi!"
Setelah terkejut sejenak. ia meraih gitar lalu memetiknya dan kembali menyanyikan Bengawan Solo. Suaranya bergetar sesaat, lalu kembali mantap. Yang unik, saat ia menyanyi, daun-daun terus berguguran! Sebenarnya angin tidak kencang, bahkan berembus sepoi-sepoi saja, tapi terdengar berdesir-desir di telinga
Maxi. Sepertinya itu merupakan musik pengiring lagunya.
Ia menikmatinya.
"Terima kasih, Maxi!" bisikan yang kali ini jelas suara Nyonya Melia terdengar lagi di telinganya.
Tetapi hanya itu yang terdengar.
Ia berpikir sejenak. Apakah Nyonya Melia cuma ingin mendengar ia bernyanyi, seperti yang dikatakannya dalam mimpinya semalam?
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Ibu?" tanyanya pelan.
"Bukankah Ibu minta saya membantu? Saya belum tahu persoalannya, Bu."
"Masuklah ke dalam."
Maxi terkejut. ia tidak memiliki kunci rumah. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia memasukkan kembali gitarnya ke dalam sarung, menyandangnya di pundak, lalu melangkah menuju rumah. Barangkali cukup di teras rumah, pikirnya. Memang tidak leluasa berbincang di dalam gazebo karena orang yang lalu-lalang di trotoar depan rumah dan kebetulan memandang ke dalam bisa terpancing keingintahuannya. Bagi orang lain ia akan kelihatan berbicara sendiri.
Dan orang yang tahu mengenai pemilik rumah itu bisa saja mencurigainya.
Ia menaiki tangga teras dengan ragu-ragu. Apakah sebaiknya menunggu di situ saja?
Betapa herannya ketika ia melihat pintu rumah yang besar tinggi itu menganga sedikit. Cukup untuk memperlihatkan bahwa pintu itu tidak dalam keadaan terkunci. Segera jantungnya berdegup kencang. Dak-duk, dak-duk...
"Ke sini! Ke sini!"
Suara Nyonya Melia yang rendah parau terdengar memanggil-manggil dari dalam rumah.
Jantung Maxi Semakin kencang saja degupnya. Ia sampai takut kalau-kalau tak mampu menahan jantungnya itu. Aliran darahnya mengalir lebih cepat, tapi ia justru merasa dingin.
Maxi membuka pintu. Kembali suara gaung yang sudah ia kenali itu menyambutnya. Suasana ruang depan rumah tak begitu gelap. Ada cahaya masuk lewat glass block yang terpasang pada sebagian dinding. Tak perlu menyalakan lampu.
Ia memandang ke sekitarnya dan berharap Nyonya Melia akan menampakkan dirinya di ruang itu.
"Ke sini! Ke sini!"
Maxi terkejut. Suara itu arahnya dari atas!
Ia menekan dadanya dan berharap jantungnya tidak melompat keluar. Aduh, kenapa harus di atas dan kemungkinan di kamar yang itu? Bisakah ia menolak?
Tetapi kakinya melangkah terus. Kemudian menaiki tangga. Sepasang kakinya terasa menekuk-nekuk. Ia harus berjuang supaya bisa sampai ke atas.
"Ke sini, Maxi! Ke sini!"
Benar saja. Suara itu dari dalam kamar!
Kamar yang biasanya terkunci itu pun menganga. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mendorong pintu. Tak berbeda dengan ruang depan, suasana di situ pun tidak terlalu gelap. Ada cahaya masuk. Ia pun sama sekali tidak berpikir untuk menyalakan lampu.
Dalam keadaan begitu, ia masih bisa melihat situasi di dalam kamar dengan cukup baik. Seperti yang diceritakan Mariska, keadaan di situ benar-benar porak-poranda. Seperti habis terjadi gempa hebat. Untunglah ia sudah tahu sebelumnya. Kalau tidak mungkin ia bisa semaput saking kagetnya.
Lalu terdengar suara tertawa. Ia melompat mundur. Lalu menoleh ke arah suara itu.
Di atas susunan dua bantal di lantai, duduk Nyonya Melia! Ia mengenakan gaun panjang putih dengan bunga-bunga kecil merah jambu seperti yang pernah dikenakannya dalam perjumpaan pertama mereka. Gaya duduknya anggun. Punggungnya bersandar ke sisi lemari pakaian yang terguling. Kedua tangannya memeluk lutut. Ia tersenyum manis. Raut Wajahnya memberi kesan menenangkan. Kulitnya tampak lebih putih pucat. Bibirnya berwarna keunguan. Tatapan matanya sayu.
"... i... ibuuu Me... lia," sapa Maxi dengan susah.
"Duduklah. Carilah tempat yang nyaman."
Maxi menoleh berkeliling. Tak ada yang bisa diduduki karena semua perabot berantakan. Akhirnya ia duduk bersila di lantai dekat ambang pintu yang terpentang.
"Nah, sudah nyaman sekarang, ya?" Nyonya Melia tertawa.
Maxi menjadi lebih tenang. Jantungnya tidak lagi berdegup sekencang tadi. Ia sudah beradaptasi dengan situasi. Bukankah memang
keadaan seperti ini yang ditunggunya?
"Apa yang bisa saya bantu, Bu?" ia bertanya, lebih lancar.
"Terima kasih kau mau membantuku, Maxi. Kau tentu sudah tahu mengenai diriku dari Riris, ya?"
"Ya."
"Bagus kalau begitu. Aku adalah orang yang terbunuh dengan rasa penasaran. Aku tidak tahu siapa yang membunuhku !"
Maxi terkejut.
"Pelakunya sudah dipenjara, Bu. Namanya Malik, sopir Ibu."
"Aku tidak melihat ia menusukku. Kau sudah tahu, aku ditusuk dari belakang?"
"Ya."
"Itu sebabnya aku tidak tahu siapa yang begitu pengecut."
"Malik ditemukan di samping Ibu. Dia tertusuk di dadanya. Sidik jarinya ada pada gagang pisau yang menusuk Ibu. Katanya. ia mencoba membunuh diri setelah membunuh Ibu."
"Motifnya?"
"Ia bermaksud merampok. Tapi kemudian menyesal."
"Huh ! Merampok? Ia tidak perlu merampok!"
Maxi tertegun. Tentu ia tidak bisa menyanggah. Ia tidak tahu banyak mengenai soal itu. Apa yang diketahuinya cuma berasal dari cerita Mariska.
"Kenapa Ibu tidak bicara dengan Riris saja? Dia tahu lebih banyak."
"Jangan tanya kenapa atau bagaimana? Aku tidak bisa menjawab! Ingat itu! Jangan bertanya!"
"Baik, Bu. Apakah Ibu tidak keberatan bila saya membicarakan percakapan kita ini dengan anak-anak Ibu dan keluarga saya? Saya sudah berjanji untuk bersikap terbuka kepada mereka. Tanpa bantuan mereka, saya sulit berjalan sendiri."
"Oh, boleh saja. Semua orang boleh tahu kok!"
"Jadi sekarang saya bisa membantu dengan cara apa, Bu?"
"Temuilah Malik. Tanyakan padanya, kalau memang dia yang membunuhku, motifnya apa?"
"Cuma itu?"
"Kau harus menemukan kebenaran! Aku
bergantung kepadamu, Maxi!"
Maxi termangu. Ia sadar, tugas yang diberikan kepadanya memang bukan "cuma itu". Tampaknya akan jauh lebih rumit dan sulit. Apa yang bisa ia lakukan? Ia bukan polisi bukan pula detektif.
Ketika mengangkat kepalanya kembali ia terkejut. Nyonya Melia sudah tak ada di tempatnya. Ia sudah lenyap. Tak ada lagi yang bisa ia bicarakan.
Ia berdiri dan terhuyung sejenak. Kakinya baru terasa pegal setelah duduk bersila sekian lama tanpa mengubah posisi. Ia keluar dan merapatkan pintu.
Berbeda dengan tadi, ia menuruni tangga dengan ringan. Detak jantungnya pun biasa saja. Tetapi beban beralih ke pikirannya.
Don tidak tahan mendengarkan lagu kedua yang dinyanyikan Maxi sampai selesai. Ia suka suara Maxi yang merdu, tapi ia tidak bisa membiarkan bulu romanya berdiri terus. Ia heran kenapa daun-daun berjatuhan di atas tubuh dan kepala, Maxi, tetapi lelaki itu sepertinya tidak merasakan. Tak ada angin kok bisa berjatuhan?
Ia bergegas kembali ke mobil. Di sana ia
duduk sebentar untuk menenangkan diri sebelum menjalankannya. Melewati rumah itu ia tidak menengok. Ia tidak ingin melihat sesuatu yang lain lagi.
Usai melaksanakan tugasnya, ia menelepon Sondang.
"Son, ada waktu nggak barang sebentar saja?"
"Ada, ada. Ayo datang saja ke kantor. Sudah cukup lama kita nggak ketemu."
"Terima kasih. Aku segera ke sana."
Perasaan Don menjadi lebih nyaman. Punya teman yang bisa diajak berbagi itu melegakan sekali. Ia sadar, tidak bisa membawa cerita itu kepada orang-orang di rumahnya. Cerita itu berkaitan dengan kasus-kasus yang ia tangani dan adalah rahasia yang tidak sepatutnya dijadikan gosip.
Begitu bertemu dengan Sondang, ia segera menceritakan pengalamannya. Didahului dengan order yang diterimanya dari Pandu untuk menyelidiki Maxi lalu berakhir pada apa yang dilihatnya barusan.
"Wah, wah," komentar Sondang dengan tak kalah heran.
"Masa cuma itu komentarmu, Son?" Don tidak puas.
"Habis aku mesti bilang apa? Aku kan nggak tahu banyak."
"Mungkin Maxi itu memiliki suatu kelebihan supernatural. Kenapa ia bisa selamat padahal orang-orang sekampungnya mati semua? Cuma ada satu penyebab di antara dua kemungkinan. Dia berkolusi dengan kaum penyerbu atau punya kelebihan itu. Untuk yang pertama rasanya tidak mungkin. Dia sudah dikenal baik di kampungnya."
"Barangkali cuma firasat, Don. Ada orang yang tiba-tiba mendapat suatu firasat padahal tidak pernah sebelumnya. Misalnya ada yang batal naik pesawat terbang dan ternyata pesawat itu kemudian jatuh. Ada lagi yang selamat sendiri dalam suatu musibah padahal yang lain tidak. Nah, hal-hal seperti itu sering kali sulit dijelaskan secara rasional."
"Ya. Kau benar. Persangkaanku itu memang masih perlu dibuktikan. Yang menggelitik perasaanku adalah apa yang dilakukannya di rumah itu. Masa sih cuma sekadar rekreasi, nyanyi-nyanyi di dalam gazebo. Apa disuruh
jaga rumah? Memangnya rumah bisa kabur? Yang jelas dia di situ pasti atas seizin Pandu. Bawa kunci kok."
"Mungkin Pandu memintamu menyelidiki apakah dia penipu atau bukan. Setelah menerima laporanmu baru ia menggunakan tenaganya."
"Untuk apa? Ia cuma duduk di dalam gazebo, memetik gitar lalu menyanyi. Kemudian daun-daun berjatuhan. Hiii..."
Sondang tertawa.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mestinya kau jangan buru-buru lari. Lihat apa lagi yang ia lakukan."
"Maunya sih begitu. Tapi aku tidak sanggup melakukannya. Aku tidak tahan. Perasaanku ngilu sekali. Bulu romaku berdiri. Mungkin rambutku juga. Tampaknya satu-satunya jalan selamat adalah kabur. Belum pernah aku seperti itu, Son."
"Mungkin dia disewa Pandu untuk mengusir hantu dari rumah itu. Bukankah sudah lama rumah itu dibiarkan kosong? Itu kan aset mahal. Masa dibiarkan terlantar begitu saja. Pasti ada apa-apanya."
"Hantu? Kalau memang ada, tentu hantu istrinya. Mungkin untuk menenteramkan, ya?"
kata Don dengan simpati. Ia membayangkan Nyonya Melia yang gerak-gerik dan ekspresinya begitu diingatnya. Muncul kembali rasa bersalah yang dulu. Kalau ia tidak menyampaikan laporan perselingkuhan Nyonya Melia dengan Malik, sopirnya itu, mungkin tragedi itu tidak akan terjadi.
Sondang mengamatinya.
"Hei. jangan menyesali diri lagi."
"Sekarang aku jadi bertanya-tanya, Son. Mau apa lagi Pandu itu sekarang? Istrinya sudah jadi arwah kok masih diusir-usir."
"Jangan buru-buru menyimpulkan. Kau belum tahu apa urusannya."
"Tapi aku yakin Maxi itu orang yang baik. Memang begitu yang kudengar. Kenapa dia menyanyi segala di sana, ya? Apa dengan menyanyi itu dia bisa memanggil arwah? Lantas kalau sudah dipanggil mau apa?" Don kembali bertanya-tanya.
Sondang tertawa.
"Nah, naluri detektifmu kembali bekerja. Kenapa tak kau selidiki saja?"
"Untuk siapa?"
"Ya, untuk dirimu sendiri. Daripada kau terus-terusan bertanya-tanya. Mana mungkin kau
bisa mendapat jawabannya kalau cuma ngomong."
"Tapi itu bukan urusanku. Aku takut apa yang akan kuketahui nanti bisa mengganggu nuraniku."
"Bagaimana kalau dibayar?"
"Ah, kau ngeledek. Itu lain dong. Itu namanya profesi."
"Kau tahu, Don? Aku punya firasat, bahwa pengalamanmu barusan cuma puncak dari gunung es."
"Kau pikir begitu? Sama dong!"
Keduanya saling memandang.
"Barangkali idemu itu bagus juga, Son. Kebetulan aku lagi nganggur. Bila aku perlu bantuanmu, bersedia dong, ya?"
Sondang tertawa.
"Aku dilatih untuk menangkap orang jahat. Bukannya hantu."
Tetapi Don yakin Sondang cuma bergurau. Ia sudah senang temannya itu mau mendengarkan pengalamannya.
Malam itu Maxi mengadakan pertemuan di rumahnya. Yang hadir dia sekeluarga dengan Mariska dan Indiarto. Ia menceritakan pertemuannya dengan arwah Nyonya Melia. Wajah-wajah yang kaget dan tegang menatapnya.
"Jangan khawatir," kata Maxi.
"Aku sudah minta izin padanya untuk membicarakan hal ini dengan kalian. Dia bilang, semua orang boleh tahu."
"Tapi Papa jangan diberitahu dulu !" seru Mariska.
"Kenapa?" tanya Indiarto.
"Bukankah dia juga bagian dari kita? Tempo hari kau segera memberitahu begitu dia pulang malam-malam."
"Kalau itu lain. Itu fakta. Dia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa cerita kita benar. Tapi yang ini kan nggak. Papa selalu skeptis menanggapi cerita begini. Jadi sebaiknya tunda saja dulu."
"Baiklah," Indiarto setuju.
"Yang penting sekarang kita perlu merundingkan bagaimana caranya upaya Pak Maxi bisa melaksanakan tugas itu."
"Apa Papa sendiri punya rencana?" tanya Rico.
"Ya. Pertama-tama aku mau mengunjungi Malik dulu. Itu harus. Selanjutnya lihat dulu apa hasil pertemuan itu."
"Dia di penjara Salemba, Pak,"Mariska
memberitahu.
"Apa bisa kau mengunjunginya padahal kenal saja tidak? Tampangnya saja belum pernah lihat," kata Grace.
"Bagaimana bila aku mengaku sebagai kerabatnya dari jauh?"
Mereka berpandangan sejenak. Ide itu tidak mengada-ada dan tampaknya juga tak ada yang lain.
"Dia berasal dari Jawa Tengah. Persisnya Saya lupa," kata Mariska.
"Yang kelihatan dekat dengan dia adalah Mimi dan Jarot, tukang kebun kami dulu. Mereka suka ngobrol. Yang bisa ditanyai adalah Jarot karena sekarang dia bekerja di pabrik. Sedang Mimi..., entahlah ada di mana dia sekarang. Sejak kejadian itu dia berhenti kerja."
Mariska bertukar pandang sejenak dengan Indiarto.
"Mungkin Jarot bisa diajak menemani Pak Maxi," usul Indiarto.
"Jadi dia bisa mengenalkan Malik pada Pak Maxi."
"Ya. Itu ide yang bagus," sahut Mariska senang.
"Besok saya akan bicara dengan Jarot."
"Nanti kau akan bilang apa sama Jarot?"
tanya Maxi.
"Dia sih orangnya lugu, Pak. Saya bilang saja, Bapak kerabat jauh yang sudah lama tidak ketemu Malik. Dia tidak akan bertanya-tanya. Satu-satunya kesulitan mungkin membujuknya supaya mau ke sana. Dia takut dianggap terlibat. Dia juga marah kepada Malik karena telah membunuh majikan yang dianggapnya sangat baik."
"Aku yakin kau bisa membujuknya, Mbak," Indiarto berkata ringan.
Mariska tersenyum.
"Kenapa Bu Melia mengatakan Malik tidak perlu merampok?" tanya Grace.
"Mana aku tahu," sahut Maxi.
"Dia mengingatkan aku untuk tidak bertanya Padahal banyak sekali yang ingin kutanyakan. Misalnya pesanan Riris untuk menanyakan kenapa dia marah dan kepada siapa marahnya."
"Jadi dia tidak menyinggung kenapa kamar itu berantakan?" tanya Mariska.
"Sama sekali tidak. Dia duduk dengan nyaman di atas bantal. Ruangan yang kacau itu seperti tidak berarti apa-apa untuknya."
"Bagaimana sikapnya, Pak? Ekspresi wajahnya?"
"Dia suka berubah-ubah sesuai dengan pembicaraannya. Adakalanya dia tersenyum sayu, lalu sedih. Wajahnya pucat, putih sekali. Sangat berbeda dengan saat pertama kulihat dia di dalam gazebo. Ketika itu ia kelihatan ceria."
"Ternyata dia memang penasaran dengan kematiannya. Itu menjelaskan kenapa dia resah dan memperlihatkan diri. Dia memerlukan bantuan bagi ketenangan dan kepuasannya," kata Rico.
"Dia menyangsikan pembunuhnya karena tidak melihat," kata Mariska.
"Ya. Pengakuan Malik tidak berarti baginya. Kalau memang Malik yang melakukan, dia ingin tahu apa sebabnya?"
"Kukira, kesangsian Mama itu disebabkan karena dia menyayangi Malik," kata Mariska.
Indiarto menatap kakaknya.
"Mbak tahu Mama menyayangi Malik?"
"Itu perkiraanku saja. Beberapa kali kulihat perlakuan Mama yang ramah kepada Malik."
"Mama selalu baik kepada semua pembantu. Aku tak pernah melihat dia membentak-bentak mereka. Tentu itu sebabnya dia penasaran kenapa sampai dibunuh," kata Indiarto.
"Katakan, In," Mariska menatap adiknya.
"Apa kau sendiri yakin bahwa si Malik yang telah membunuh Mama?"
"Bukankah dia sudah mengaku?" Indiarto balas bertanya.
"Memang betul. Tapi..."
"Nyatanya dia menyesal lalu mencoba membunuh diri."
"Kalau dia memang mau merampok, tentunya dia punya kesulitan keuangan yang sangat mendesak. Itu membuat ia nekat dan gelap mata," kata Rico.
"Ya, Apakah hal itu ditanyakan oleh penyidik?" tanya Maxi.
"Entahlah. Saya tidak ingat tuh, Pak," sahut Mariska.
"Waktu itu saya benar-benar tak ingin mengikuti sidang-sidangnya. Rasanya ingin lari saja. Saya pikir, buat apa lagi saya tahu motifnya. Yang jelas. ibu saya sudah terbunuh. Motif atau apa pun tak ada gunanya lagi. Buat apa pula dia bunuh diri? Nyawanya tak bisa menggantikan nyawa ibu saya."
Maxi tahu, ia tak bisa menanyai Mariska lagi soal itu.
"Kalau begitu, pertemukan saya dengan .Jarot saja. Ris."
"Oh, itu pasti, Pak, Saya akan bicara dulu dengannya."
"Aku kira, semua itu tidak akan gampang, Pa," kata Rico.
"Aku tahu, Ric. Ketika dia memintaku menemukan kebenaran aku sadar akan kesulitannya."
"Bagaimana kau akan bisa melakukannya, Pa? Itu kan bukan keahlianmu?" tanya Grace cemas.
"Memang bukan. Tapi aku sudah berjanji, Ma. Kita lihat saja."
Rico merangkul ibunya.
"Jangan cemas, Ma. Aku percaya Ibu Melia bisa memaklumi bila Papa tidak berhasil."
Nama Tuhan Yang Keseratus Balthasar Dewa Linglung Lodra Si Ular Sanca Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu