Gazebo 8
Gazebo Karya V Lestari Bagian 8
"Jangan dulu berprasangka, Pak," kata Maxi.
"Ada kemungkinan korsleting. Lampunya tak menyala, kan? Tapi di ruang lain menyala. Memang itu bukan indikasi. Tapi melihat jalaran api itu sepertinya lewat sepanjang kabel listrik."
Pandu masih ingin mendebat, tapi kemudian membatalkan. Bukankah dirinya sudah selamat? Itulah yang terpenting.
Ketika pemadam kebakaran datang, api sudah melahap habis rumah itu. Dan sepertinya ketika sudah kenyang, ia pun padam. Yang tersisa hanyalah tembok hangus menghitam dan puing-puing!
ENAM bulan kemudian keluarga Pandu mengadakan acara syukuran sambil meresmikan pertunangan Mariska dan Rico. Seperti yang pernah direncanakan Mariska, mereka mengundang semua relasi dan karyawan perusahaan beserta keluarga, termasuk Jarot yang sudah pulih sepenuhnya. Di antara mereka juga terdapat Malik yang sudah menjadi orang bebas.
Orang yang menggantikan Malik di dalam penjara adalah Mimi. Ia mendapat ganjaran sepuluh tahun, sama seperti vonis yang dijatuhkan atas diri Malik.
Meskipun malu dan sangat minder, Malik hadir juga karena merasa tidak enak hati. Ia sebenarnya lebih suka sembunyi, tapi sadar itu tidak patut. Ia ditemani Jarot dan keluarganya supaya tidak merasa terkucil. Menurut rencana, bulan berikutnya ia akan bekerja di perusahaan
Pandu.
Di antara hadirin tentu saja terdapat pula Don dengan istri dan Elvira, putrinya. Tapi Elvira tidak duduk bersama kedua orangtuanya melainkan akrab bersama Indiarto. Juga hadir Sondang dan keluarga. Sedang Maxi beserta Grace sudah menjadi calon besan Pandu.
Hampir semua yang diundang datang karena sang pengundang telah membuat kehebohan sebelumnya, yaitu kasus Melia yang diungkap kembali dan menggegerkan seisi kota karena keunikannya. Padahal cerita tentang arwah Melia yang mencari kebenaran tak pernah tersebar. Andaikata itu terjadi, tentu lebih menggemparkan lagi. Kisah itu tersimpan rapi di antara mereka yang mengalami saja. Tak ada yang berniat bercerita kepada orang lain karena rasa hormat mereka kepada Melia. Tentu saja juga ada rasa gentar mengingat ledakan kemarahan Melia waktu itu. Bagi mereka itu bukanlah sekadar kisah menarik yang sensasional hingga bisa diceritakan ke sana, kemari, apalagi sampai dibuat film. Kisah itu sesuatu yang menyedihkan, menggemaskan, juga menakutkan.
Para hadirin ingin sekali melihat bagaimana
rupa dan tingkah keluarga yang menghebohkan itu. Ternyata mereka melihat orang-orang yang biasa-biasa saja.Tapi yang mengesankan adalah kewajaran dari keakraban di antara mereka. Tidak ada yang berlebihan atau dibuat-buat.
Pesta berlangsung meriah dan akrab. Kemudian Mariska maju dan mengenalkan seorang "jagoan keroncong" yang akan memperdengarkan suaranya. Ia mengundang Maxi.
Penyanyi yang semula mengiringi pesta bersama organnya mengundurkan diri, duduk di belakang. Lalu Maxi mengambil gitarnya yang sudah di sediakan. Ia membungkuk dalam-dalam lalu mulai menyanyikan Bandung Selatan. Suara baritonnya yang merdu mengalun ke seluruh sudut ruangan. Bila awalnya celoteh hadirin masih dominan di ruangan itu, tiba-tiba menjadi sunyi. Mereka mendengarkan. Usai lagu itu tepuk tangan menggema dengan riuh.
Maxi kembali membungkuk, kemudian berkata,
"Lagu yang akan saya bawakan sekarang ini saya persembahkan khusus untuk Ibu Melia Rahman. Sebuah lagu yang paling disenanginya.
Lalu Maxi menyanyikan Bengawan Solo
dengan konsentrasi dan penuh perasaan. Hadirin terpukau. Mariska berulang-ulang menyeka matanya. Dan ternyata bukan cuma dia yang berlinang air mata. Pandu juga! Bahkan air matanya sempat mengaliri pipinya.
Tiba-tiba Pandu tersentak. Kursi di sampingnya semula diduduki Maxi. Jadi sekarang mestinya kursi itu kosong. Ternyata tidak demikian. Di situ duduk Melia! Ia mengenakan gaun panjang warna putih dengan bunga-bunga kecil merah jambu, seperti yang pernah digambarkan Maxi dalam penampilannya di gazebo. Ia kelihatan sederhana tapi cantik sekali. Wajahnya ceria dengan bibir penuh senyum. Ketika beradu pandang dengan Pandu ia tersenyum dengan tatapan yang lembut. Tidak tampak sedikit pun kebencian atau dendam.
Pandu tersadar oleh sentuhan Mariska di sebelahnya.
"Lihat apa, Pa?"
"Itu, Ris!" bisiknya.
"Mama ada di sebelahku! Itu, di kursinya Maxi!"
"Mana? Ah, kosong, Pa."
Pandu terdiam. Ia sadar sekarang, Mariska tidak melihat Melia. Tapi ia bisa melihatnya! Padahal waktu berada di kamar tempat peristiwa itu, ia tidak bisa melihatnya.
Lalu ia melihat Melia mengangkat tangan dan melambai ke arah Maxi.
Meskipun kaget oleh kehadiran Melia tapi dengan segera Maxi bisa mengatasi. Ia terus menyanyi. Dan pada suatu kesempatan ia membalas lambaian itu.
Selama lagu Bengawan Solo berkumandang, Melia tetap di tempatnya. Selama waktu itu Pandu terus menatapnya dengan emosi yang bergetar. Ah, kalau saja ia bisa menyentuhnya. Tapi ia sadar itu tidak mungkin. Di sampingnya Mariska memegang lengannya. Ia bisa menduga apa yang tengah diperhatikan ayahnya dan khawatir kalau-kalau ayahnya itu sempat lupa diri.
Tetapi Pandu bisa menguasai diri. Ia cuma memanfaatkan waktu untuk memuaskan matanya memandangi Melia. Tak ada lagi kemarahannya kepada Melia. Yang ada hanyalah kepasrahan. Seperti inilah suratan nasib kita, Mel! Yang menentukan nasib kita ternyata adalah tingkah kita sendiri!
Sebelum lagu berakhir, Melia menoleh lagi dan menatap Pandu.
"Mel...," desah Pandu.
Melia tidak berbicara. Ia hanya mengangkat jari telunjuk dan jari tengah yang ditempelkannya ke bibir yang dimonyongkan, lalu kedua jari itu disorongkannya ke arah Pandu. Sebuah isyarat mesra! Kemudian sosoknya memudar seiring berakhirnya lagu. Lalu ia lenyap.
Pandu tersedu.
"Paaa...," bisik Mariska sambil menyodorkan tisu.
"Sadarlah, Pa. Tenang, ya."
"Ya, ya." Pandu mengeringkan mata dan hidungnya.
"Apa Mama masih ada, Pa?"
"Dia sudah pergi."
"Bagaimana dia, Pa?"
"Dia sangat cantik, Ris. Tapi dia tidak lagi kelihatan membenci Papa. Dia sudah memaafkan aku!"
"Oh, syukurlah, Pa." Mariska menyandarkan kepala ke bahu Pandu.
Di sampingnya Rico hanya memperhatikan dengan tersenyum.
Sementara itu Maxi terus bernyanyi lagu demi lagu. Semuanya keroncong. Kemudian ia menyerahkan kembali acara hiburan kepada penyanyi semula dengan organnya. Hadirin agak kecewa tapi sadar Maxi membutuhkan istirahat.
Maxi kembali ke tempatnya di sebelah Pandu.
Segera Pandu bertanya,
"Kau melihatnya tadi, Max?"
"Ya. Kau juga?"
"Ya. Oh, akhirnya aku bisa juga melihatnya.
"Ia sudah memaafkanmu, Pan. Ia pergi dalam damai."
Pandu mengangguk dengan kerongkongan tersekat. Di sebelahnya Mariska menepuk-nepuk lengannya.
"Papa juga senang, kan?"
"Oh iya. Senang sekali juga sedih sekali."
"Aku yakin, sekarang dia pergi untuk selamanya. Ia pergi ke tempat yang seharusnya," kata Maxi.
"Ya."
Percakapan terhenti karena seorang ibu mendekati Maxi.
"Pak, nyanyi lagi, dong. Saya mewakili banyak orang di sana," ia menunjuk.
"Tapi selain keroncong, bisa lainnya nggak, ya'"
Maxi berdiri lalu melangkah ke depan. Orang-orang bertepuk tangan.
Untuk kedua kalinya hadirin terperangah ketika Maxi tidak lagi melantunkan irama yang lambat dan lembut mendayu-dayu seperti keroncong, melainkan irama yang dinamis dan menyentak-nyentak, yaitu rock and roll! Satu demi satu lagu-lagu top yang dulu dinyanyikan Elvis Presley disuarakan olehnya. Gaya menyanyinya pun dimiripkan dengan dua kaki terentang dan tubuh bergoyang!
Tepuk tangan membahana lebih keras daripada sebelumnya. Dan hadirin seperti sepakat menyingkirkan kursi-kursi ke pinggir, lalu mereka mulai beijingkrak-jingkrak! Tua dan muda melakukannya tanpa kecuali. Di antara mereka terdapat Mariska dan Rico, Indiarto dan Elvira, Don dan Sondang bersama istri masing-masing. Lalu Grace mengajak Pandu. Pada mulanya Pandu segan, tapi setelah dibujuk ia mau juga kemudian malah menikmatinya.
Kemudian Maxi mengganti irama lagu. Ia menyanyikan lagu-lagu lama yang sentimentil tapi tetap disukai sampai kini, seperti The Great
Prelender, I Have a Dream, The Green Green Grass of Home, dan banyak lagi. Ia benar-benar kuat dan tak kenal lelah. Antusiasme para hadirin telah memberinya suntikan adrenalin dan membuatnya senang tak kepalang.
Penggantian irama lagu membuat para pendansa juga mengubah gaya dansa mereka. Dengan demikian mereka bisa sekalian istirahat dalam pelukan pasangan masing-masing. Tapi Pandu mengajak Grace duduk. Ia tidak kuat lagi. Mereka duduk di pinggiran sambil menyaksikan para pedansa.
"Hebat juga Maxi itu, ya, Grace?" kata Pandu.
"Oh iya, dia memang jago nyanyi," sahut Grace dengan bangga.
"Sungguh bakat yang terpendam. Aku jamin sebentar lagi dia akan ngetop."
"Ah, masa." Grace tak percaya.
"Lihat saja."
Sementara itu Malik tetap duduk bersama keluarga Jarot. Mereka tidak ikut berdansa karena tidak bisa. Mereka lebih suka menonton. Banyak objek menarik. Ada saja yang bisa ditertawakan atau dijadikan bahan pembicaraan.
"Betulkah Pak Maxi itu kerabatmu dari kampung?" tanya Jarot.
"Betul," sahut Malik. Bukan saja ia sudah dipesan agar mengatakan demikian, tapi bila ia berkata bukan, sudah tentu Jarot tidak akan puas tanpa bertanya lebih banyak lagi. Ia sudah sepakat dengan yang lain untuk tidak menceritakan. Ia bukan cuma menghormati Melia tapi juga memujanya bagaikan dewi! Adalah suatu kehormatan dan kebahagiaan tersendiri baginya karena ia mendapat kesempatan mereguk cinta bersamanya. Tapi sampai saat itu ia tidak merasa benci atau dendam kepada Mimi. Ada kesadaran bahwa Mimi berhak mencari kebahagiaan dengan caranya sendiri karena dirinya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sesungguhnya, pendorong ia mengungkapkan kejadian sebenarnya bukanlah perasaan dikhianati, tapi diperbodoh! Bagaimanapun ia masih punya ego. Masih ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya untuk bangkit dan menjadi dirinya sendiri. Sebegitu bodohnyakah dia? Tambahan lagi, setelah menyadari Bu Mel tidak ingin ia ikut mati, harapannya akan kehidupan tumbuh
kembali. Bila jalan untuk mati sudah tertutup. tentunya ia harus tetap hidup, tapi hidup tanpa harapan adalah siksaan. Padahal setiap orang punya naluri untuk menghindarinya.
"Hei, Lik!" Jarot menyikutnya.
"Ada cewek memandangimu terus, tuh. Aku kenal dia. Mau kukenalkan?"
Malik terkejut. Ia cepat menggeleng tanpa melihat dulu cewek yang dimaksud.
"Nggak, ah. Nggak," katanya sambil menekan tangan Jarot agar tidak berdiri.
"Ya, nanti sajalah," Jarot maklum. Malik memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka hatinya.
Terkaan Pandu ternyata benar. Usai acara Maxi dikerubuti bagai selebriti idola. Kebanyakan meminta nomor telepon. Katanya mereka akan memanggil Maxi bila kelak punya acara.
Pesta berakhir dengan sukses berkat Maxi. Dia menjadi bintang di situ.
Para tamu pulang dengan berkeringat dan wajah yang ceria. Bahkan sebagian segan pulang dan ingin berdansa terus sampai tak kuat lagi. Tapi kekuatan Maxi juga terbatas. Usai menyanyi ia langsung menghabiskan tiga gelas
besar air putih.
"Aku benar-benar nggak menyangka bahwa Papa sehebat itu," puji Rico.
Hidung Maxi kembang-kempis.
"Tapi aku tetap lebih suka lagu keroncongmu," kata Grace.
"Aku juga begitu. Habis ibu tadi ngomong seolah aku nggak bisa yang lain," sahut Maxi.
"Pantas. Jadi panas, ya, Pa?" kata Rico.
Mereka tertawa.
Setelah enam bulan itu, sisa-sisa rumah tempat kejadian yang terbakar sudah lenyap. Dinding menghitam sudah dirobohkan dan dijadikan puing yang kemudian diratakan. Maka tidak lagi tampak bekas-bekas kebakaran yang terlantar. Yang tinggal adalah kekosongan.
Belum ada rencana untuk membangun lagi di situ. Pandu dan anak-anaknya tak ingin berpikir tentang hal itu dulu. Terlalu cepat membangun tanpa kejelasan masa depannya akan menghasilkan kesia-siaan. Bila sudah jadi rumah baru, mau diapakan? Ditempati sendiri, dijual. atau dikontrakkan? Untuk kemungkinan pertama tak ada yang berminat. Baik Pandu, maupun kedua anaknya tak ingin kembali
tinggal di situ. Sedang kemungkinan berikutnya pun masih meragukan. Peristiwanya masih baru. Orang pasti akan enggan menempati rumah yang memiliki sejarah kelam, biarpun sudah jadi bangunan baru. Untuk itu diperlukan waktu.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka satu-satunya bangunan yang ada di situ hanyalah gazebo. Tanaman bugenvilnya tak perlu diganti baru, karena yang lama sekarang sudah tumbuh subur lagi. Bunga-bunganya yang sarat beraneka warna sudah kembali menutupi atap gazebo dan menutup juga tiang-tiangnya yang karatan. Yang dicat hanya kursi-kursi dan jok-joknya diganti baru.
Gazebo itu sudah menjadi seindah dulu ketika pertama kali dilihat Maxi. Kalau tadinya cuma ilusi maka sekarang adalah riil. Tapi biarpun indah, gazebo itu tampak aneh karena sepertinya tidak pas berada di situ. Toh itu tidak menjadi soal bagi mereka yang berkunjung. Itu bisa menjadi tempat yang nyaman untuk duduk duduk, mengobrol. atau melamun.
Untuk memanfaatkan tanah yang terbengkalai, Jarot menawarkan jasanya. Tanpa bayaran, di waktu luang nya ia membersihkan dan menanami taman dengan tanaman buah yang cepat berbuah seperti jambu air dan belimbing serta tanaman bunga-bungaan. Untuk keperluan bibit, pupuk, dan sebagainya, Mariska yang membayari. ia tinggal mengatakan saja apa yang diperlukan. Seminggu sekali ia ke situ dan kadang-kadang membawa serta istri dan anaknya. Mereka membantu sambil bermain, lalu beristirahat sambil makan dan minum di gazebo. Seperti layaknya orang piknik.
Tak pernah ada lagi peristiwa aneh atau hal hal yang tak rasional terjadi di situ. Tak ada ketakutan dan kengerian. Yang ada hanyalah rasa tenang dan tenteram.
TAMAT
Mr Fox Yang Fantastis Fantastic Mr Fox Wiro Sableng 082 Dewi Ular Girl Talk 07 Pasangan Aneh
"Jangan dulu berprasangka, Pak," kata Maxi.
"Ada kemungkinan korsleting. Lampunya tak menyala, kan? Tapi di ruang lain menyala. Memang itu bukan indikasi. Tapi melihat jalaran api itu sepertinya lewat sepanjang kabel listrik."
Pandu masih ingin mendebat, tapi kemudian membatalkan. Bukankah dirinya sudah selamat? Itulah yang terpenting.
Ketika pemadam kebakaran datang, api sudah melahap habis rumah itu. Dan sepertinya ketika sudah kenyang, ia pun padam. Yang tersisa hanyalah tembok hangus menghitam dan puing-puing!
ENAM bulan kemudian keluarga Pandu mengadakan acara syukuran sambil meresmikan pertunangan Mariska dan Rico. Seperti yang pernah direncanakan Mariska, mereka mengundang semua relasi dan karyawan perusahaan beserta keluarga, termasuk Jarot yang sudah pulih sepenuhnya. Di antara mereka juga terdapat Malik yang sudah menjadi orang bebas.
Orang yang menggantikan Malik di dalam penjara adalah Mimi. Ia mendapat ganjaran sepuluh tahun, sama seperti vonis yang dijatuhkan atas diri Malik.
Meskipun malu dan sangat minder, Malik hadir juga karena merasa tidak enak hati. Ia sebenarnya lebih suka sembunyi, tapi sadar itu tidak patut. Ia ditemani Jarot dan keluarganya supaya tidak merasa terkucil. Menurut rencana, bulan berikutnya ia akan bekerja di perusahaan
Pandu.
Di antara hadirin tentu saja terdapat pula Don dengan istri dan Elvira, putrinya. Tapi Elvira tidak duduk bersama kedua orangtuanya melainkan akrab bersama Indiarto. Juga hadir Sondang dan keluarga. Sedang Maxi beserta Grace sudah menjadi calon besan Pandu.
Hampir semua yang diundang datang karena sang pengundang telah membuat kehebohan sebelumnya, yaitu kasus Melia yang diungkap kembali dan menggegerkan seisi kota karena keunikannya. Padahal cerita tentang arwah Melia yang mencari kebenaran tak pernah tersebar. Andaikata itu terjadi, tentu lebih menggemparkan lagi. Kisah itu tersimpan rapi di antara mereka yang mengalami saja. Tak ada yang berniat bercerita kepada orang lain karena rasa hormat mereka kepada Melia. Tentu saja juga ada rasa gentar mengingat ledakan kemarahan Melia waktu itu. Bagi mereka itu bukanlah sekadar kisah menarik yang sensasional hingga bisa diceritakan ke sana, kemari, apalagi sampai dibuat film. Kisah itu sesuatu yang menyedihkan, menggemaskan, juga menakutkan.
Para hadirin ingin sekali melihat bagaimana
rupa dan tingkah keluarga yang menghebohkan itu. Ternyata mereka melihat orang-orang yang biasa-biasa saja.Tapi yang mengesankan adalah kewajaran dari keakraban di antara mereka. Tidak ada yang berlebihan atau dibuat-buat.
Pesta berlangsung meriah dan akrab. Kemudian Mariska maju dan mengenalkan seorang "jagoan keroncong" yang akan memperdengarkan suaranya. Ia mengundang Maxi.
Penyanyi yang semula mengiringi pesta bersama organnya mengundurkan diri, duduk di belakang. Lalu Maxi mengambil gitarnya yang sudah di sediakan. Ia membungkuk dalam-dalam lalu mulai menyanyikan Bandung Selatan. Suara baritonnya yang merdu mengalun ke seluruh sudut ruangan. Bila awalnya celoteh hadirin masih dominan di ruangan itu, tiba-tiba menjadi sunyi. Mereka mendengarkan. Usai lagu itu tepuk tangan menggema dengan riuh.
Maxi kembali membungkuk, kemudian berkata,
"Lagu yang akan saya bawakan sekarang ini saya persembahkan khusus untuk Ibu Melia Rahman. Sebuah lagu yang paling disenanginya.
Lalu Maxi menyanyikan Bengawan Solo
dengan konsentrasi dan penuh perasaan. Hadirin terpukau. Mariska berulang-ulang menyeka matanya. Dan ternyata bukan cuma dia yang berlinang air mata. Pandu juga! Bahkan air matanya sempat mengaliri pipinya.
Tiba-tiba Pandu tersentak. Kursi di sampingnya semula diduduki Maxi. Jadi sekarang mestinya kursi itu kosong. Ternyata tidak demikian. Di situ duduk Melia! Ia mengenakan gaun panjang warna putih dengan bunga-bunga kecil merah jambu, seperti yang pernah digambarkan Maxi dalam penampilannya di gazebo. Ia kelihatan sederhana tapi cantik sekali. Wajahnya ceria dengan bibir penuh senyum. Ketika beradu pandang dengan Pandu ia tersenyum dengan tatapan yang lembut. Tidak tampak sedikit pun kebencian atau dendam.
Pandu tersadar oleh sentuhan Mariska di sebelahnya.
"Lihat apa, Pa?"
"Itu, Ris!" bisiknya.
"Mama ada di sebelahku! Itu, di kursinya Maxi!"
"Mana? Ah, kosong, Pa."
Pandu terdiam. Ia sadar sekarang, Mariska tidak melihat Melia. Tapi ia bisa melihatnya! Padahal waktu berada di kamar tempat peristiwa itu, ia tidak bisa melihatnya.
Lalu ia melihat Melia mengangkat tangan dan melambai ke arah Maxi.
Meskipun kaget oleh kehadiran Melia tapi dengan segera Maxi bisa mengatasi. Ia terus menyanyi. Dan pada suatu kesempatan ia membalas lambaian itu.
Selama lagu Bengawan Solo berkumandang, Melia tetap di tempatnya. Selama waktu itu Pandu terus menatapnya dengan emosi yang bergetar. Ah, kalau saja ia bisa menyentuhnya. Tapi ia sadar itu tidak mungkin. Di sampingnya Mariska memegang lengannya. Ia bisa menduga apa yang tengah diperhatikan ayahnya dan khawatir kalau-kalau ayahnya itu sempat lupa diri.
Tetapi Pandu bisa menguasai diri. Ia cuma memanfaatkan waktu untuk memuaskan matanya memandangi Melia. Tak ada lagi kemarahannya kepada Melia. Yang ada hanyalah kepasrahan. Seperti inilah suratan nasib kita, Mel! Yang menentukan nasib kita ternyata adalah tingkah kita sendiri!
Sebelum lagu berakhir, Melia menoleh lagi dan menatap Pandu.
"Mel...," desah Pandu.
Melia tidak berbicara. Ia hanya mengangkat jari telunjuk dan jari tengah yang ditempelkannya ke bibir yang dimonyongkan, lalu kedua jari itu disorongkannya ke arah Pandu. Sebuah isyarat mesra! Kemudian sosoknya memudar seiring berakhirnya lagu. Lalu ia lenyap.
Pandu tersedu.
"Paaa...," bisik Mariska sambil menyodorkan tisu.
"Sadarlah, Pa. Tenang, ya."
"Ya, ya." Pandu mengeringkan mata dan hidungnya.
"Apa Mama masih ada, Pa?"
"Dia sudah pergi."
"Bagaimana dia, Pa?"
"Dia sangat cantik, Ris. Tapi dia tidak lagi kelihatan membenci Papa. Dia sudah memaafkan aku!"
"Oh, syukurlah, Pa." Mariska menyandarkan kepala ke bahu Pandu.
Di sampingnya Rico hanya memperhatikan dengan tersenyum.
Sementara itu Maxi terus bernyanyi lagu demi lagu. Semuanya keroncong. Kemudian ia menyerahkan kembali acara hiburan kepada penyanyi semula dengan organnya. Hadirin agak kecewa tapi sadar Maxi membutuhkan istirahat.
Maxi kembali ke tempatnya di sebelah Pandu.
Segera Pandu bertanya,
"Kau melihatnya tadi, Max?"
"Ya. Kau juga?"
"Ya. Oh, akhirnya aku bisa juga melihatnya.
"Ia sudah memaafkanmu, Pan. Ia pergi dalam damai."
Pandu mengangguk dengan kerongkongan tersekat. Di sebelahnya Mariska menepuk-nepuk lengannya.
"Papa juga senang, kan?"
"Oh iya. Senang sekali juga sedih sekali."
"Aku yakin, sekarang dia pergi untuk selamanya. Ia pergi ke tempat yang seharusnya," kata Maxi.
"Ya."
Percakapan terhenti karena seorang ibu mendekati Maxi.
"Pak, nyanyi lagi, dong. Saya mewakili banyak orang di sana," ia menunjuk.
"Tapi selain keroncong, bisa lainnya nggak, ya'"
Maxi berdiri lalu melangkah ke depan. Orang-orang bertepuk tangan.
Untuk kedua kalinya hadirin terperangah ketika Maxi tidak lagi melantunkan irama yang lambat dan lembut mendayu-dayu seperti keroncong, melainkan irama yang dinamis dan menyentak-nyentak, yaitu rock and roll! Satu demi satu lagu-lagu top yang dulu dinyanyikan Elvis Presley disuarakan olehnya. Gaya menyanyinya pun dimiripkan dengan dua kaki terentang dan tubuh bergoyang!
Tepuk tangan membahana lebih keras daripada sebelumnya. Dan hadirin seperti sepakat menyingkirkan kursi-kursi ke pinggir, lalu mereka mulai beijingkrak-jingkrak! Tua dan muda melakukannya tanpa kecuali. Di antara mereka terdapat Mariska dan Rico, Indiarto dan Elvira, Don dan Sondang bersama istri masing-masing. Lalu Grace mengajak Pandu. Pada mulanya Pandu segan, tapi setelah dibujuk ia mau juga kemudian malah menikmatinya.
Kemudian Maxi mengganti irama lagu. Ia menyanyikan lagu-lagu lama yang sentimentil tapi tetap disukai sampai kini, seperti The Great
Prelender, I Have a Dream, The Green Green Grass of Home, dan banyak lagi. Ia benar-benar kuat dan tak kenal lelah. Antusiasme para hadirin telah memberinya suntikan adrenalin dan membuatnya senang tak kepalang.
Penggantian irama lagu membuat para pendansa juga mengubah gaya dansa mereka. Dengan demikian mereka bisa sekalian istirahat dalam pelukan pasangan masing-masing. Tapi Pandu mengajak Grace duduk. Ia tidak kuat lagi. Mereka duduk di pinggiran sambil menyaksikan para pedansa.
"Hebat juga Maxi itu, ya, Grace?" kata Pandu.
"Oh iya, dia memang jago nyanyi," sahut Grace dengan bangga.
"Sungguh bakat yang terpendam. Aku jamin sebentar lagi dia akan ngetop."
"Ah, masa." Grace tak percaya.
"Lihat saja."
Sementara itu Malik tetap duduk bersama keluarga Jarot. Mereka tidak ikut berdansa karena tidak bisa. Mereka lebih suka menonton. Banyak objek menarik. Ada saja yang bisa ditertawakan atau dijadikan bahan pembicaraan.
"Betulkah Pak Maxi itu kerabatmu dari kampung?" tanya Jarot.
"Betul," sahut Malik. Bukan saja ia sudah dipesan agar mengatakan demikian, tapi bila ia berkata bukan, sudah tentu Jarot tidak akan puas tanpa bertanya lebih banyak lagi. Ia sudah sepakat dengan yang lain untuk tidak menceritakan. Ia bukan cuma menghormati Melia tapi juga memujanya bagaikan dewi! Adalah suatu kehormatan dan kebahagiaan tersendiri baginya karena ia mendapat kesempatan mereguk cinta bersamanya. Tapi sampai saat itu ia tidak merasa benci atau dendam kepada Mimi. Ada kesadaran bahwa Mimi berhak mencari kebahagiaan dengan caranya sendiri karena dirinya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sesungguhnya, pendorong ia mengungkapkan kejadian sebenarnya bukanlah perasaan dikhianati, tapi diperbodoh! Bagaimanapun ia masih punya ego. Masih ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya untuk bangkit dan menjadi dirinya sendiri. Sebegitu bodohnyakah dia? Tambahan lagi, setelah menyadari Bu Mel tidak ingin ia ikut mati, harapannya akan kehidupan tumbuh
kembali. Bila jalan untuk mati sudah tertutup. tentunya ia harus tetap hidup, tapi hidup tanpa harapan adalah siksaan. Padahal setiap orang punya naluri untuk menghindarinya.
"Hei, Lik!" Jarot menyikutnya.
"Ada cewek memandangimu terus, tuh. Aku kenal dia. Mau kukenalkan?"
Malik terkejut. Ia cepat menggeleng tanpa melihat dulu cewek yang dimaksud.
"Nggak, ah. Nggak," katanya sambil menekan tangan Jarot agar tidak berdiri.
"Ya, nanti sajalah," Jarot maklum. Malik memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka hatinya.
Terkaan Pandu ternyata benar. Usai acara Maxi dikerubuti bagai selebriti idola. Kebanyakan meminta nomor telepon. Katanya mereka akan memanggil Maxi bila kelak punya acara.
Pesta berakhir dengan sukses berkat Maxi. Dia menjadi bintang di situ.
Para tamu pulang dengan berkeringat dan wajah yang ceria. Bahkan sebagian segan pulang dan ingin berdansa terus sampai tak kuat lagi. Tapi kekuatan Maxi juga terbatas. Usai menyanyi ia langsung menghabiskan tiga gelas
besar air putih.
"Aku benar-benar nggak menyangka bahwa Papa sehebat itu," puji Rico.
Hidung Maxi kembang-kempis.
"Tapi aku tetap lebih suka lagu keroncongmu," kata Grace.
"Aku juga begitu. Habis ibu tadi ngomong seolah aku nggak bisa yang lain," sahut Maxi.
"Pantas. Jadi panas, ya, Pa?" kata Rico.
Mereka tertawa.
Setelah enam bulan itu, sisa-sisa rumah tempat kejadian yang terbakar sudah lenyap. Dinding menghitam sudah dirobohkan dan dijadikan puing yang kemudian diratakan. Maka tidak lagi tampak bekas-bekas kebakaran yang terlantar. Yang tinggal adalah kekosongan.
Belum ada rencana untuk membangun lagi di situ. Pandu dan anak-anaknya tak ingin berpikir tentang hal itu dulu. Terlalu cepat membangun tanpa kejelasan masa depannya akan menghasilkan kesia-siaan. Bila sudah jadi rumah baru, mau diapakan? Ditempati sendiri, dijual. atau dikontrakkan? Untuk kemungkinan pertama tak ada yang berminat. Baik Pandu, maupun kedua anaknya tak ingin kembali
tinggal di situ. Sedang kemungkinan berikutnya pun masih meragukan. Peristiwanya masih baru. Orang pasti akan enggan menempati rumah yang memiliki sejarah kelam, biarpun sudah jadi bangunan baru. Untuk itu diperlukan waktu.
Gazebo Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka satu-satunya bangunan yang ada di situ hanyalah gazebo. Tanaman bugenvilnya tak perlu diganti baru, karena yang lama sekarang sudah tumbuh subur lagi. Bunga-bunganya yang sarat beraneka warna sudah kembali menutupi atap gazebo dan menutup juga tiang-tiangnya yang karatan. Yang dicat hanya kursi-kursi dan jok-joknya diganti baru.
Gazebo itu sudah menjadi seindah dulu ketika pertama kali dilihat Maxi. Kalau tadinya cuma ilusi maka sekarang adalah riil. Tapi biarpun indah, gazebo itu tampak aneh karena sepertinya tidak pas berada di situ. Toh itu tidak menjadi soal bagi mereka yang berkunjung. Itu bisa menjadi tempat yang nyaman untuk duduk duduk, mengobrol. atau melamun.
Untuk memanfaatkan tanah yang terbengkalai, Jarot menawarkan jasanya. Tanpa bayaran, di waktu luang nya ia membersihkan dan menanami taman dengan tanaman buah yang cepat berbuah seperti jambu air dan belimbing serta tanaman bunga-bungaan. Untuk keperluan bibit, pupuk, dan sebagainya, Mariska yang membayari. ia tinggal mengatakan saja apa yang diperlukan. Seminggu sekali ia ke situ dan kadang-kadang membawa serta istri dan anaknya. Mereka membantu sambil bermain, lalu beristirahat sambil makan dan minum di gazebo. Seperti layaknya orang piknik.
Tak pernah ada lagi peristiwa aneh atau hal hal yang tak rasional terjadi di situ. Tak ada ketakutan dan kengerian. Yang ada hanyalah rasa tenang dan tenteram.
TAMAT
Mr Fox Yang Fantastis Fantastic Mr Fox Wiro Sableng 082 Dewi Ular Girl Talk 07 Pasangan Aneh