Iblis Dari Gunung Wilis 3
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 3
Legawa. Mengapa ia menduga pemuda itu yang akan dibunuh? Sebab orang orang jahat
ini tentu merasa sayang apabila membunuh seorang perempuan secantik Pertiwi Dewi.
Dan lebih lagi, sejak tadi mereka sudah meagincar dan membicarakan.
Namun walaupun sadar bahwa ancaman itu tentu bukan ancaman kosong, saat
sekarang ini dirinya harus memperhitungkan untung maupun ruginya. Kalau ia berusaha
melompat mundur untuk melindungi Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi yang pingsan,
akibatnya malah lebih celaka lagi. Jaraknya dengan dua orang muda itu lebih empat
tombak. Dan apabila dirinya melompat mundur, akan berarti memberi kesempatan
kepada Dadungawuk untuk membalas maupun melemparkan lagi senjata yang beracun
itu. Maka menurut jalan pikiran Gadung Melati saat sekarang ini, lebih baik ia menekan
Dadungawuk dengan serangan-serangan berantai lebih dahulu, dan baru kemudian
melompat mundur untuk melindungi dua orang muda itu
Sebaliknya Tambak Rawa, setelah berusaha mempengaruhi perasaan Gadung
Melati tidak berhasil, tanpa bicara lagi sudah menyambitkan enam batang pisau itu ke
arah Fajar Legawa yang menggeletak tidak bergerak.
"Siut wut wut. ...!" dan enam batang pisau belati itu kemudian melesat dari
tangannya, saling susul menyambar ke arah Fajar Legawa.
Celaka! Fajar Legawa yang pingsan dan tidak dapat membela diri ini, akan segera
tewas terpanggang oleh pisau-pisau belati yang beracun itu.
"Tring tring tring ....!" Tambak Rawa terbelalak kaget, ketika enam batang pisau
belatinya itu sudah runtuh ke atas tanah terbentur oleh benda-benda kecil yang
menyambar secara tiba-tiba. Dari kaget ia sudah marah sekali, kemudian berteriak
nyaring.
"Hai manusia busuk yang bersembunyi. Muncullah kemari, dan jangan main
curang!"
"Ha-ha-ha-ha, yang curang aku apakah engkau?"
Sepasang mata Tambak Rawa membeliak lebih kaget lagi, kemudian mata orang
ini mencari-cari dan mengamati ke arah batang-batang pohon. Suara jawaban itu, seperti
terdengar dari atas. Akan tetapi ketika ia mengamati penuh perhatian ke arah pohon-
pohon, orang yang dicari tidak tampak.
"Setankah?" desisnya, setelah mengamati tidak juga tampak seorangpun. Akan
tetapi pendapatnya ini segera dibantah sendiri. Tidak mungkin! Manakah ada setan bisa
bicara sejelas itu? Namun sesudah merasa pasti bahwa bukan setan, jantung Tambakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Rawa berdesir hebat dan amat tegang, sebab ia segera dapat menduga, bahwa orang yang
baru saja bersuara itu tentu seorang sakti mandraguna.
Namun walaupun jantungnya berdesir dan tegang, tangannya sudah bergerak lagi.
Sekarang pisau belati yang disambitkan bukan hanya enam batang lagi. Malah sepuluh
batang berturut-turut. Sambitannya kali ini tanpa memberitahukan lebih dahulu, yang
maksudnya agar orang yang bersembunyi itu tidak menduga sama sekali.
"Siut wut wut....!" sepuluh batang pisau belati sudah menyambar seperti kilat
cepatnya, dan berpencaran. Sekarang arah sasarannya bukan melulu kepada Fajar
Legawa, melainkan juga ke arah Pertiwi Dewi.
"Heh-heh heh-heh!" terdengar lagi suara ketawa orang yang terkekeh, akan tetapi
kecil. "Sesudah main-main dengan telur busuk yang membuat orang mabuk dan pingsan,
sekarang engkau main maut dengan pisau belati yang beracun, dan menyerang kepada
lawan yang tidak berdaya karena pingsan. Apakah perbuatanmu macam ini patut?"
"Tring tring tring. ......!" dan pisau-pisau belati yang disambitkan oleh Tambak
Rawa runtuh lagi ke tanah, tidak sebatangpun yang dapat mendekati tubuh FajarLegawa
maupun Pertiwi Dewi. Benturan itu amat tepat, membuktikan bahwa orang yang masih
menyembunyikan diri itu bukan orang sembarangan.
Di saat Tambak Rawa masih terbelalak itu, terdengar lagi suara ketawa terkekeh
dan disusul oleh kata-kata yang mengejek. "Heh-heh-heh! Masihkah pisaumu itu sahabat?
Kalau masih, mengapa tidak kau sambitkan lagi dan lebih banyak?"
Tambak Rawa kembali menebarkan pandang-matanya ke arah dahan-dahan
pohon. Namun anehnya, tidak juga tampak orang yang dicari. Dalam penasarannya
Tambak Rawa sudah mengambil duapuluh batang pisau belati dari kantung senjatanya.
Kemudian, ia menyambitkan lagi pisau itu, sambil menambah tenaga sambitannya.
"Siut wut wut.....!"
"Bagus, ternyata engkau sekarang menyambitkan lebih banyak lagi," terdengar
suara orang itu lagi. Kemudian disusul oleh suara berdering yang berturut-turut.
Dan kali ini yang terjadi berlainan dengan yang sudah terjadi tadi. Kalau tadi
pisau-pisau belati itu runtuh oleh benturan beberapa butir benda yang menyambar,
sekarang yang terjadi cukup membuat Tambak Rawa terkejut, kemudian orang ini
memekik tertahan sambil melompat ke samping, r *
"Cap cap.......!" dua batang pisau belati beracun yang disambitkan tadi, sekarang
telah menancap pada batang pohon yang tegak berdiri di belakangnya. Tambak Rawa
terbelalak dan wajahnya berobah pucat. Kalau saja ia tadi tidak lekas melompat ke
samping, tentu senjata sudah makan tuan.
Yang terjadi memang menakjubkan. Ketika pisau-pisau belati yang disambitkan
Tambak Rawa itu menyambar saling susul, maka dari arah yang berlawanan sudah
menyambar sebutir batu sebesar kepalan tangan. Sambaran batu itu seperti kilat cepatnya
dan secara tepat membentur pisau-pisau belati yang disambitkan oleh Tambak Rawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Yang menakjubkan adalah, bahwa pisau yang pertama terbentur oleh batu itu, terpental
ke belakang dan membentur pisau belati yang menyusul. Dan pisau kedua ini terpental ke
belakang, membentur pisau yang ketiga. Demikianlah berturut-turut pisau itu saling
berbenturan dan menimbulkan suara berdering nyaring. Dan yang terakhir, dua batang
pisau belati telah berbalik arah dan menyerang dirinya sendiri.
Belum juga hilang rasa terkejut Tambak Rawa, tahu-tahu di atas batu besar yang
bercokol pada tebing seberang, telah berdiri seorang laki-laki kurus. Munculnya laki-laki
itu seperti setan. Dan sesudah berdiri di atas batu, laki-laki itu terkekeh nyaring, sambil
menegur kepada Gadung Melati. "Heh-heh-heh, orang macam itu mengapa tidak
selekasnya kau hajar mampus?."
"Kakang Wukirsari!" teriak Gadung Melati yang nadanya amat gembira. "Engkau
datang tepat pada saatnya."
Untuk sejenak Dadungawuk terbelalak. Namun kemudian orang ini melompat
jauh ke belakang sambil bersuit keras, sesudah menghujani serangan pisau belati ke arah
Gadung Melati. Dan di saat Gadung Melati sibuk menangkis hujan pisau belati ini, maka
Dadungawuk sudah melarikan diri, yang disusul oleh Tambak Rawa sambil mendukung
Tambak Raga.
Gadung Melati tidak akan membiarkan orang pergi begitu saja, tanpa
meninggalkan obat pemunahnya. Maka kakek gendut ini sudah melompat dengan
maksud akan mengejar.
"Hai Gadung, kembalilah!" teriak kakek yang bernama Wukirsari ini. "Engkau
tidak perlu repot. Aku sudah mempunyai obat pemunahnya."
Gedung Melati menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. "Benarkah
itu?"
"Mengapa tidak benar?"
Wukirsari sudah mengeluarkan sebutir kelapa hijau, dan kelapa ini kemudian
dilobangi. Air kelapa hijau ini kemudian diminumkan kepada Fajar Legawa dan Pertiwi
Dewi setelah dicampur dengan obat pemunah racun.
Ketika itu matahari sudah di sebelah barat dan sinarnya sudah lemah. Angin
pedesaan berhembus perlahan memberi kesegaran. Gadung Melati dan Wukirari sibuk
bekerja memberi pertolongan kepada dua orang muda itu, agar selekasnya dua orang
muda ini sadar dari pingsan.
Pada kesempatan ini Gadung Melati memberitahukan tentang siapakah pemuda yang
pingsan ini. Ia menceritakan segala sesuatunya tentang Fajar Legawa. Dan mendengar
cerita itu, berkatalah Wukirsari. "Akupun dari sana, sesudah aku mendengar kabar yang
tersiar dari mulut ke mulut. Tetapi setelah datang ke bekas rumah adi Kusen, tidak banyak
keterangan yang aku peroleh. Hemmm....."
Wukirsari menghela napas berat. Dan Gadung Melati berkata. "Akupun sudah ke
sana pula. Dan akupun tidak banyak memperoleh keterangan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tetapi bagaimanakah dengan pusaka itu?"
"Engkau tidak perlu gelisah. Agaknya Kusen sudah lama mempersiapkan diri.
Hemm, pusaka itu masih selamat dia disembunyikan dalam tongkat ini," sambil
menerangkan, Gadung Melati segera menyerahkan tongkat Fajar Legawa itu kepada
Wukirsari.
Wukirsari manggut-manggut. Tanpa mencoba untuk membuka tongkat itu, ia
sudah percaya mendengar keterangan Gadung Melati, dan melihat pula potongan golok
Tambak Rawa. Wajah kakek ini tampak lebih cerah dibanding tadi.
Kemudian. "Jadi, bocah ini sekarang, yang harus meneruskan tugas itu?"
Dan Gadung Melati mengangguk. Disaat kakak-beradik seperguruan ini sedang
asyik bicara, maka Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi sudah sadar dari pingsannya. Untuk
sejenak dua orang muda ini kaget. Tetapi setelah ingatan mereka pulih, segera tahulah
mereka yang terjadi sebelumnya. Dan ketika Fajar Legawa mengamati Wukirsari dengan
heran. Gadung Melati segera berkata. "Fajar! Dia kakang Wukirsari. Dan dia kakak
seperguruan yang tertua dari ayahmu Kusen."
Mendengar keterangan ini, tanpa diperintah Fajar Legawa segera memberikan
hormatnya. Dan atas penghormatan Fajar Legawa ini, Wukirsari terkekeh senang sekali,
ia mengangguk-angguk, kemudian. "Anakku, setiap yang hidup akan kembali ke asalnya.
Maka apa yang terjadi atas keluargamu, terimalah dengan hati tabah. Sebab engkaulah
yang berkewajiban menggantikan tugas ayahmu Kusen itu."
"Tetapi saya heran paman," sahut Fajar Legawa. "Mengapa saya harus mendapat
tugas membawa pusaka orang?"
Gadung Melati dan Wukirsari saling pandang mendengar pertanyaan ini. Agaknya
dua orang ini saling bertanya dengan bahasa mata. Baru sejenak kemudian, terdengarlah
Gadung Melati berkata. "Mari kita mencari tempat mengaso dahulu. Agar kakang
Wukirsari dapat menceritakan lebih gamblang."
Demikianlah, mereka kemudian meninggalkan tepi sungai ini menuju ke sebuah
desa. Atas kebaikan seorang kepala desa, mereka mendapatkan tempat mengaso cukup
menyenangkan, dan lebih lagi kepala desa itu memiliki surau. Maka ketika tiba waktunya
sholat Maghrib, bertindak sebagai imam adalah Wukirsari, sedang yang lain makmum.
Mereka belum juga turun dari surau, dan menunggu waktu sholat Isyak tiba. Dan
baru sesudah sholat terakhir ini selesai mereka tunaikan maka Gadung Melati dan Pertiwi
Dewi meninggalkan surau tersebut, sebaliknya Wukirsari dan Fajar Legawa masih tetap
di situ.
"Mari,"ajak Wukirsari ke sudut. "Agaknya tempat ini lebih aman apabila aku
mengungkap masalah sepenting ini."
Fajar Legawa mengangguk, dan setelah pemuda ini duduk di depan Wukirsari,
orang tua ini mulai bercerita.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Fajar, mungkin engkau sudah mendengar pula tentang Gusti Adipati Ukur yang
menemui ajalnya di tangan algojo Mataram."
"Benar," sahut pemuda ini. "Guru yang menceritakau kepada saya."
Wukirsari mendehem. Kemudian berkata. "Baiklah, sekarang dengar ceritaku.
Sebelum Gusti Adipati Ukur harus menemui ajalnya atas hukuman yang dijatuhkan oleh
Sultan Agung itu, Gusti Adipati Ukur sempat mempercayakan keris pusaka "Tilam Upih"
ke tangan ayahmu Kusen. Mengapa demikian? Soalnya Gusti Adipati Ukur tidak rela
kalau keris pusaka itu jatuh ke tangan orang lain."
"Paman," kata Fajar Legawa tiba-tiba. "Kalau begitu apakah Gusti Adipati Ukur
sudah menduga, bahwa dirinya akan menenui ajalnya di Mataram?"
"Aku kurang tahu, tetapi mungkin sudah menerima firasat, buktinya keris itu
dipercayakan kepada ayahmu Kusen. Dan setelah menerima tugas itu, ayahmu Kusen
menunggu berita tentang nasib Gusti Adipati Ukur. Ternyata, Gusti Adipati Ukur
menemui ajalnya di Mataram . ."
"Apakah kesalahan beliau?" tukas Fajar Legawa.
"Tidak seorangpun tahu. Dan Sultan Agung tidak memberikan alasannya. Yang
jelas, setelah beliau menemui ajalnya di Mataram, ayahmu Kusen lalu menyembunyikan
diri di desa Samakaton, di gunung Slamet itu. Kemudian mengganti nama dengan Kusen.
Hemmm, dugaan Gusti Adipati Ukur ternyata benar. Bmyak orang mengincar keris
pusaka "Tilam Upih." itu. Dan apa yang menimpa pada diri adi Kusen dan isterinya
itu, bukan lain akibat keris pusaka itu."
"Karena orang kemudian tahu rahasia itu?"
"Mungkin, anakku. Manusia dapat berikhtiar, akan tetapi semua ketentuan di
tangan Tuhan. Dan sekarang tugas itu beralih dari tangan ayahmu Kusen ke tanganmu.
Maka engkau harus pandai menjaga diri. Tugas yang engkau pikul sekarang ini cukup
herat. Tetapi apabila engkau percaya, tugas itu akan menjadi ringan. Untuk itu maka
engkau harus dapat menjauhkan diri dari sifat sombong dan bangga diri. Karena bangga
dan kesombonganmu itu, hanya akan mencelakakan dirimu sendiri. Ah Fajar, apakah
dalam engkau mengucapkan "doa iftitah" setiap engkau sholat itu. selalu kau resapkan ke
dalam hati?"
"Ya, paman. Saya selalu berusaha menyesuaikan diri dengan isi doa itu."
"Bagaimanakah arti dari doa itu?"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kira-kira demikian paman. Ya Allah, jauhkanlah antara hamba dan kesalahan
hamba, sebagaimana Allah telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah,
bersihkanlah hamba dari segala kesalahan, sebagaimana pakaian putih yang telah
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkan kesalahan hamba dengan air salju dan em-
bun."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Nah, mudah-mudahan doa itu bukan hanya kau jadikan bacaan yang latah.
Engkau dapat mengucapkan, dan berusahalah engkau dapat memenuhi apa yang sudah
engkau baca setiap engkau sholat itu."
"Ya paman."
"Anakku, ingin aku memberi sekedar nasihat padamu, agar tidak ragu-ragu dalam
melangkah. Begini anakku, di saat malam tiba di mana manusia ini beristirahat
memulihkan kekuatan, maka pada saat itu manusia terbagi menjadi tiga. Ialah waspada,
dursila dan masa bodoh. Anakku, orang yang selalu waspada akan selalu memper-
hitungkan kemungkinan di waktu malam, sehingga tidak hanya akan tidur melulu. Sebab
mengapa? Ketahuilah bahwa malam tiba inilah kesempatan orang dursila melakukan
perbuatannya menggunakan kesempatan di saat orang lengah. Dan orang yang masa
bodoh, tidak akan mau perduli kepada keadaan, sehingga orang inipun hanya enak-enak
tidur. Akibatnya orang seperti inipun akan menderita rugi sendiri, oleh perbuatan para
dursila (orang jahat). Anakku, mengapa tiba-tiba aku membicarakan soal orang tidur?"
Wukirsari berhenti sambil mengamati Fajar Legawa seperti sedang mencari kesan.
Sesaat kemudian, terusnya. "Anakku, disaat engkau hidup sekarang ini,aku umpamakan
engkau melalui sepanjang malam. Perjalananmu saat sekarang ini dapat diartikan, engkau
baru saja meninggalkan waktu Magrib dan menjelang waktu Isyak. Waktu masih sore,
dan baru para kanak-kanak sajalah yang sudah tidur. Keadaan masih ramai, karena
banyak orang yang masih berjaga. Sehingga engkaupun masih belum merasakan kesepian
malam itu. Akan tetapi dalam perjalananmu kemudian,waktu Isyak akan kau tinggalkan.
Dan apabila engkau sudah mendekati tengah malam, akan tibalah waktu yang mulai sepi
dan para dursila mulai melakukan perbuatannya yang jahat. Apakah yang akan engkau
perbuat? Sudah tentu engkau akan selalu waspada menjaga setiap kemungkinan dengan
perasaan yang amat tegang. Ketegangan perasaanmu akan berlangsung beberapa lama,
sampai tibalah saat menjelang pagi."
Wukirsari berhenti lagi dan batuk-batuk kecil. Ia mengamati Fajar Legawa
beberapa saat lamanya, namun beberapa saat kemudian ia meneruskan lagi. "Anakku,
kemudian menyusullah waktu pagi, dimana matahari sudah muncul di timur. Perjalanan
sudah hampir mendekati akhir. Aku tidak mengerti apakah di dalam perjalananmu se-
malam itu kau pandai mengemban tugasmu menyelamatkan pusaka "Tilam Upih",
sehingga tiada ssorangpun penjahat dapat merebutnya. Kesemuanya itu tergantung
kepada engkau sendiri. Dalam perjalanan ini engkau tertidur ataukah engkau selalu
waspada."
Fajar Legawa memperhatikan petunjuk-petunjuk Wukirsari penuh perhatian. Ia
mencamkan dan meresapkan nasihat itu sebaik-baiknya. Dan ia merenungkan nasihat
Wukirsari ini yang diperlabangkan dengan perjalanan semalam suntuk, bukankah ayah
bundanya telah tewas oleh keris pusaka "Tilam Upih" dan adik perempuannya hilang?
Dan mendadak saja jantung pemuda ini berdebar tegang. Teringatlah ia akan pesan dan
setengah ancaman Ayu Kedasih. Perempuan itu sudah mengetahui rahasia tongkatnya.
Dan perempuan itu menghedaki dirinya harus berkunjung lagi kesana dan bertemu
dengan Ayu Kedasih. Apakah maksud perempuan itu, ia tidak dapat menduga sama
sekali.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi pemuda ini segera teringat kata-kata gurunya yang pernah menyebut,
bahwa Kyai Kusen itu bukanlah ayah-kandungnya. Kyai Kusen hanya bertindak sebagai
seorang ayah. Tetapi orang tuanya sendiri adalah orang lain. Sayang gurunya tidak
bersedia menerangkan, lalu siapakah orang-tuanya itu sebenarnya? Teringat akan hal ini
kemudian timbullah keinginannya untuk bertanya kepada Wukirsari.
"Paman, saya menjadi bingung," katanya kemudian.
"Apakah yang engkau bingungkan?"
"Guru pernah mengatakan, bahwa sesungguhnya ayah Kusen itu bukau orang-
tuaku. Lalu siapakah orang tuaku?"
Wukirsari menghela napas pendek. Kemudian orang tua ini memberi jawaban
samar-samar, "Anakku, aku tidak dapat memberikan keterangan terus terang sekarang
ini. Namun dapat mengungkapkan sedikit, bahwa pusaka "Tilam Upih" itu sesungguhnya
pusaka leluhurmu sendiri."
Terbelalak kaget Fajar Legawa mendengar ini. Pusaka leluhurnya sendiri? Kalau
keris pusaka "Tilam Upih" itu semula sebagai milik Adipati Ukur, lalu apakah orang itu
ayahnya?
"Jadi.....Gusti Adipati Ukur itu, ayah ;aya sendiri?" tanyanya dengan hati yang
berdebar.
"Hemmu, aku tidak dapat menerangkan sekarang. Akan tetapi legakanlah hatimu,
bahwa Gusti Adipati Ukur itu masih mempunyai hubungan darah dengan engkau."
Hubungan darah? Jadi bukan ayahnya, akan tetapi masih merupakan kerabat?
Kalau demikian, dirinya masih merupakan keturunan seorang bangsawan? Keterangan
ini membuat ia tambah bingung. Mengapa orang-orang yang mempunyai hubungan
dengan dirinya, berusaha merahasiakan orang tuanya yang sesungguhnya? Apakah
sebabnya? Karena itu ia merasakan kepalanya berdenyutan. Dan sesudah menghela napas
pendek, ia mengeluh.
"Paman, mengapa sebabnya maupun guru merahasiakan orang tuaku yang
sebenarnya?"
"Bukan merahasiakan anakku, tetapi perlu menunggu waktu. Percayalah bahwa
kemudian hari, setelah tiba saatnya engkau akan segera tahu siapakah orang tuamu itu."
Tidak lama kemudian pemuda ini minta diri kepada Wukirsari, sesudah mengerti
bahwa Wukirsari lebih suka tidur di surau. Ia meninggalkan surau itu, dan ketika ia baru
menginjakkan kaki di atas tangga surau yang terakhir, ia agak terkejut, Pertiwi Dewi telah
menggapit lengannya, dan gadis itupun memberi isyarat, menyilangkan jari telunjuk di
depan mulut, agar Fajar Legawa tidak membuka mulut.
Ia tidak ingin mengecewakan gadis ini, maka ia menurut saja ditarik oleh gadis itu,
menjauhi surau, menuju ke samping rumah. Oleh sentuhan lengan yang lembut dan halushttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
itu, jantung pemuda ini tiba-tiba saja berdesir dan tegang. Dan dalam dadanya tiba-tiba
saja menyelinaplah rasa aneh.
TAHUKAH sebabnya aku mengajak engkau kemari?" bisik Pertiwi Dewi. Mulut
gadisini dekat sekali dengan telinga, sehingga udara yang keluar dari lobang hidung gadis
itu hangat dan menyentuh-nyentuh daun telinganya. Bau semerbak harum tercium dari
rambut gadis itu, sehingga membuat perasaannya tambah tidak keruan.
"Tahukah, akan maksudku mengajak engkau kemari?" ulang gadis ini setelah
ditunggu, Fajar Legawa belum menjawab.
"Ada apa?"tanya pemuda ini denganheran.
"Apakah engkau tidak menangkap suara tangis perempuan itu?"tanya Pertiwi
Dewi
Fajar Legawa kaget, dan mendadak pemuda ini seperti disadarkan, sesudah ia
mempertajam pendengarannya. Memang didengarnya suara isak tangis perempuan dari
dalam rumah. Dalam pada itu terdengar pula suara orang agak parau, suara laki-laki.
"Apa yang terjadi?" tanya pemuda ini.
"Mana aku tahu?" sahut Pertiwi Dewi.
Untuk sejenak mereka berpandangan, kemudian masing-masing tersenyum.
"Mari kita selidiki!"ajak Fajar Legawa kemudian.
Pertiwi Dewi mengangguk. Dan kemudian dua orang muda ini melompat ke atas
atap rumah yang paling rendah, Sesudah itu, laksana gerakan dua ekor kucing, mereka
mendekati tempat orang yang menangis itu dengan hati-hati.
Mereka kemudian dapat melihat ke dalam rumah dengan jelas. Seorang gadis
sedang duduk sambil menangis sedih. Gadis ituadalah anak kepala desa yang
makaninimereka tumpangi, bernama Rara Suli. Dan didepan gadis itu, duduk ayah dan
bundanya.
"Anakku," terdengar kemudian kata kepala desa itu. "Akupun dapat merasakan
kesedihanmu saat sekarang ini. Akan tetapi Suli, engkau tahu bahwa aku tidak dapat
berbuat apa-apa.Justeru semua ini, bukan lain untuk menjaga keselamatan kita
sekeluarga."
"Hemm, ayah selalu berkata demikian," protes Rara Suli ditengah isaknya, tetapi
juga setengah bersungut. "Bukankah. . . sebenarnya ayah dapat melaporkan peristiwa
ini. . . .kepada KanjengBupati dan mohon bantuan prajurit?"
Tiba-tiba ibunya berkata. "Suli, bukankah ayahmu tadi sudah mengatakan bahwa
hal itu tidak mungkin dikabulkan?"
"Tetapi apakah alasannya. . . .?" desak Suli.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Hem," kepala desa menghela napas berat, "beginilah anakku, persoalannya
memang tidak semudah engkau kira. Pertama, saat sekarang ini Mataram sedang banyak
membutuhkan tenaga prajurit dalam usaha Sultan Agung mengusir Kumpeni Belanda.
Prajurit Kanjeng Bupati saat ini hampir semuanya dibawa Kanjeng Bupati, ke Karta.
Yang tertinggal di sini dalam jumlah tidak banyak. Dan itupun, tanpa perintah langsung
Kanjeng Bupati sendiri, manakah mungkin mereka berani meninggalkan rumah
kabupaten? Yang kedua anakku, sarang penjahat perempuan itu amat berbahaya. Bukan
saja sarang penjahat perempuan itu amat berbahaya. Tetapi guru penjanat itu yang
bernama JaluGigiss merupakan seorang sakti mandraguna, dan sarang itupun dijaga pula
oleh barisan ular yang amat berbahaya. Hingga tidak mungkin sarang itu dapat digempur,
untuk membebaskan suamimu. Anakku . . . hemm, mengingat semua itu, tidaklah
mungkin Kanjeng Bupati bersedia mengorbankan prajuritnya hanya untuk kepentingan
kita ini. . . ."
"Tetapi.....bukankah penjahat di hutan Roban itu, mengacau ketenteraman
penduduk?"
"Kau benar. Akan tetapi semua itu engkau harus mengerti kedudukan ayahmu.
Aku hanya seorang kepala desa, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Dan akupun
tidak mungkin memaksa kepada para penduduk, untuk kepentingan pribadi macam ini."
Tiba-tiba ibunya berkata. "Suli, mengapa sebabnya engkauselalu memikirkan
suamimu yang ditawan penjahat perempuan itu? Bukankah engkau masih muda dan
cantik, sehingga tidak sedikit laki-laki lain yang patut menjadi suamimu? Jika seorang laki-
laki meninggalkan isterinya, kemudan beralih kepada perempuan lain, itu merupakan
bukti bahwa suamimu tidak setia. Anakku, mengapa engkau sedemikian lemah, dan tidak
sakit hati diperlakukan seperti itu, oleh suami yang tidak setia?"
"Ibu!" teriak Rara Suli sambil menatap ibunya. "Tuduhanmu kepada kakang
Pradopo keterlaluan, aku sendiri menyaksikan terjadinya peristiwa itu, seminggu yang
lalu. Kakang Pradopo berkelahi dengan wanita jahat itu, tetapi dikalahkan. Kemudian
dalam keadaan tidak berdaya kakang Pradopo ditawan. Jadi.....dia tidak berkhianat
ibu....."
Rara Suli kembali terisak-isak dan menyeka air mata. Kemudian.
"Ibu.....apakah.....kebahagiaan rumah tangga itu, dapat dibina tanpa melalui cinta?
Ibu.....seorang wanita yang setia, tidak akan mengalihkan pandang mata kepada laki-laki
lain....."
"Aku mengerti," kata kepala desa. "Tetapi apakah daya? Aku tidak mungkin kuasa
merebut suamimu tanpa kekuatan. . . .hemm. . . ."
Rara Suli kembali terisak-isak. Ia berduka sekali atas peristiwa yang menimpa
dirinya. Suami yang dicintai, ditawan orang.
"Ayah, ibu!" tiba-tiba Rara Suli mengangkat kepala, memandang orang-tuanya,
"Jika ayah tak dapat berdaya, baiklah. Sekarang juga aku minta diri. Aku sendiri yang
akan pergi dan merebut kembali dia....."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ohhh. . . . jangan.....!" pekik ibunya sambil menubruk anaknya, kemudian
menangis. Suaminya nampak amat berduka sekali. Tetapi ia hanya berdiam diri dan
menghela napas panjang .
Terharu sekali Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi mendengar itu. Untuk sejenak dua orang
muda ini berpandangan, dan sesaat kemudian terdengarlah Pertiwi Dewi berbisik.
"Kakang . . . marilah kita tolong ....!"
"Baiklah," Fajar Legawa mengangguk tanda setuju, "Tetapi sebaiknya
kitamintaijin lebih dahulu kepada paman . ....."
"Tak usah. Tidak mungkin guru mau memberi ijin."
"Mengapa?"
"Guru tentu mengkhawatirkan keselamatan kita, kakang. Maka sebaiknya kita
tidak minta ijin saja.
"Tetapi bukankah lebih baik apabila gurumu ikut serta dalam menolong ini?"
"Hemm," gadis ini menghela napas. Tiba-tiba katanya setengah mengejek.
"Apakah kakang takut kepada penjahat itu?"
"Siapa takut?" sabut Fajar Legawa cepat. Ia tidak mau dituduh sebagai seorang
penakut.
"Bagus!" puji Pertiwi Dewi. "Kalau demikian, marilah kita berangkat sekarang
juga dan mengobrak-abrik sarang penjahat itu. Hnh, aku pernah mendengar kabar bahwa
penjahat yang dimaksud, bernama Dyah Raseksi."
"Tetapi .... ijinkanlah aku ambil senjataku lebih dahulu!"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertiwi Dewi mengangguk. Dan tak lama kemudian dua orang muda ini telah
meninggalkan tempat mereka menginap.
Di jalan, terdengar Pertiwi berkata. "Kakang, marilah kita berlomba."
"Apakah maksudmu?" Fajar Legawa melengak heran.
"Mari kita ukur siapakahdi antara kita yang dapat lari lebih cepat!"
Fajar Legawa tertawa. Kemudian jawabnya. Tidak usah, aku mengakui
kekalahanku."
"Apakah sebabnya?" desak Pertiwi Dewi. "Karena, aku tidak pandai lari . . . . "
"Engkau bohong!" Pertiwi Dewi mencibirkan bibirnya yang tipis dan merah itu.
"Aku tidak percaya bahwa engkau tidak pandai lari."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa tidak menjawab, tetapi mengamati Pertiwi Dewi dengan pandang-
matanya yang terpesona. Walaupun saat sekarang ini malam hari, namun dalam jarak
yang dekat, ia dapat melihat dengan jelas bahwa sekalipun mencibirkan bibir, tetapi gadis
itu tersenyum. Bibir yang mungil itu amat besar daya tariknya bagi pemuda ini, dan
membuat Fajar Legawa tertarik dan terpikat.
Karena Fajar Legawa tidak menjawab malah sekarang mengamati tidak
berkedip, gadis kecil mungil ini sudah menghardik. "Hai, apa yang kau pandang?"
"Ehh .... ehhh . . . aku tak tahu.......!" sahut Fajar Legawa yang gelagapan.
Dan gadis ini ketawa merdu. Ternyata walaupun menghardik, gadis ini tidak
marah. Untuk menghilangkan suasana yang kaku itu, Pertiwi Dewi kembali mengajak.
"Mari kita memulai."
"Mulai apa?"
"Hai, apakah engkau sudah menjadi kakek pikun? Hi-hi-hik," kata gadis ini,
"Bukankah aku tadi mengajak berlomba lari?"
"Hemm . . . . ya, tetapi tidak usah. Aku sudi mengakui kekalahanku," sahut Fajar
Legawa yang berusaha mengalah, karena memng tidak menghendaki berlomba lari
dengan gadis ini.
Tetapi diluar dugaan. Justeru oleh jawaban pemuda ini. Pertiwi Dewi malah
bersungut-sungutmarah. "Hah, engkau terlalu menghina aku ya? Engkau menganggap
bahwa aku tidak pandai lari, sehingga tiada harganya engkau layani?"
"Eh! eh ... . bukan demikian adikku," sahut Fajar Legawacepat dalam usahanya
agar gadis ini tidak tambah marah dan salah faham. "Aku benar-benar mengaku, bahwa
tidak mungkin aku menang melawan engkau dalam lari cepat."
"Belum dicoba mengapa engkau sudah ;merasa kalah? Hayolah, satu .... dua ....
tiga ..."
Dan berbareng dengan selesai hitungan ketiga diucapkan, gadis ini sudah
melompat dan lari cepat sekali. Gerakannya ringan sekali, bagai sebatang anak-panah
lepas dari busur.
Sesungguhnya Fajar Legawa tidak ingin menuruti kehendak Pertiwi Dewi. Akan
tetapi karena sekarang gadis itu telah mendahului lari, maka mau tidak mau ia terpaksa
melompat pula untukmenyusul gadis itu. Dan setelah mereka bergerak dan berlarian,
diam-diam Fajar Legawa mengakui bahwa Pertiwi Dewi memang seorang perempuan
jago lari.
Gerakannya gesit sekali dan cepat. Akan tetapi walaupun demikian, kalau ia mau,
apakah sulitnya mendahului Pertiwi Dewi? Namun hal itu tidak ia lakukan. Pertama, ia
khawatir gadis ini tersinggung kemudian ngambek. Sedang alasan yang kedua, justeru
dengan bergerak dibelakang gadis ini, ia malah memperoleh keuntungan. Sebab denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bergerak dibelakangnya, berarti tanpa diketahui dan disadari oleh Pertiwi, ia dapat
melihat dan menikmati keindahan dan lekuk lekung tubuh gadis ini dari belakang.
Pertiwi Dewi pun tahu bahwa Fajar Legawa telah menyusul dibelakannya. Gadis
ini tidak ingin kalah cepat dengan Fajar Legawa, maka ia pun mempercepat langkahnya,
dengan maksud meninggalkan pemuda itu. Namun amat sayang sekali bahwa sekalipun
ia sudah mengerahkan kepandaiannya lari, ternyata Fajar Legawa tetap saja dapat
membayangi dirinya dalam jarak dekat.
Apa yang terjadi sekarang ini menyadarkan Pertiwi Dewi. Ternyatalah bahwa
dalam hal laripun dirinya tidak mampu menandingi Fajar Legawa, tetapi walaupun
demikian, watak Pertiwi Dewi cukupkeras, ia bukannya mau mengakui kepandaian Fajar
Legawa, melainkan gadis ini malah mengerahkan kepandaiannya lari lebih cepat.
Untung sekali Fajar Legawa bukan seorang pemuda bodoh. Setelah berlarian
cukup lama, gerakan kaki Pertiwi Dewi semakin menjadi cepat, insyaflah Fajar Legawa
bahwa dalam hal lari ini, Pertiwi Dewi tidak mau kalah. Timbulnya akalnya kemudian
untuk mengelabui gadis ini, agar sigadis merasa menang dan hatinya senang.
"Aduh ....sudah.... aduh ....payah.....aku kalah . ..." katanya dengan terputus-
putus, dan pura-pura keletihan sambil tersengal-sengal. Dan untuk menutupi keadaannya,
kemudian Fajar Legawa pura-pura terhuyung, lalu roboh dan duduk.
"Aihhh ... ." melihat Fajar Legawa terhuyung gadis ini kaget. Dan kemudian,
iapun menghentikan tingkahnya.
"Dewi.... engkau lari cepat sekali.... membuat aku .... aduhh ...... hampir putus
napasku," kata Fajar Legawa yang pura-pura mengeluh.
"Hemm," Pertiwi Dewi hanya mendengus dan tidak mengucapkan apa-apa.
Sesudah itu, kemudian Pertiwi Dewi berdiri sambil menyandar pada pohon. Fajar
Legawa melirik, kemudian tahulah pemuda ini bahwa dada gadis itu berombak pertanda
payah juga.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengaso tanpa membuka mulut. Namun
setelah reda pernapasannya, terdengarlah kata Pertiwi Dewi yang mulai percakapan.
"Hemm, biasanya laki-lakilah yang membawa minggat perempuan. Akan tetapi sekarang
yang terjadi sebaliknya, ada perempuan yang membawa minggat laki-laki. Aneh....."
"Kebiasaan bukanlah merupakan ketentuan yang tidak dapat dirobah," sahutFajar
Legawa. "Maka tak mengherankan terjadinya peristiwa ini."
"Tetapi huh, perbuatan Dyah Raseksi ini amat memalukan, dan dengan
perbuatannya itu, merendahkan martabat perempuan."
"Tetapi Dewi, bagi golongan penjahat, hal tersebut sudah tidak ada lagi. Mereka
tak lagi tahu apa yang disebut sopan, malu, maupun norma kesusilaan yang lain."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Dan aku juga heran," Pertiwi Dewi menggelengkan kepalanya. "Mengapa
seorang perempuan menjadi pemimpin para penjahat?"
"Pemimpin bukanlah monopoli laki-laki Dewi," sahut Fajar Legawa. "Dan
perempuanpun sanggup pula memimpin orang."
"Tetapi sebagai seorang perempuan aku menjadi terhina oleh perbuatannya!"
Pertiwi Dewi bersungut.
"Dan kasihan pula Rara Suli," kata Fajar Legawa. "Dia masih muda. . . .tetapi
terpaksa dia ditinggalkan suaminya....."
Pertiwi Dewi memalingkan muka dan mengamati Fajar Legawa. Katanya kemudian.
"Dan lagi.....dia cantik, bukan?"
"Ya."
"Menarik?"
Fajar Legawa mengangguk.
"Dan kau juga tertarik dan cinta pada dia?"
Fajar Legawa kaget atas pertanyaan ini. Pertanyaan yang tidak pernah diduganya.
Dan atas pertanyaan ini tiba-tiba kerongkongannya seperti tersekat, tidak dapat membuka
mulut, maka pemuda ini hanya menggelengkan kepalanya.
"Mengapa engkau tidak jatuh cinta?" desak Pertiwi Dewi.
Fajar Legawa melongo heran mendengar pertanyaan yang terus-terang ini.
Mengapa gadis ini sampai hati mengucapkan pertanyaan itu? Tetapi justeru bingung dan
tidak tahu bagaimanakah dirinya harus menjawab pertanyaan ini, maka jawabnya hanya
sekenanya saja.
"Entahlah. ..."
Tidak terduga Pertiwi Dewi ketawa lirih dengan nada mengejek. "Hi hi-hik, laki-
laki memang, banyak yang suka berpura-pura. . . ."
"Tetapi juga banyak yang tidak. . . ." sahut Fajar Legawa.
"Tentu saja kau membela."
"Aku tidak membela, tetapi kenyataannya memang demikian."
"Hemm, dasar laki-laki!" kata Pertiwi Dewi. "Apakah engkau tidak akan
menepati janjimu disaat bulan purnama?"
Fajar Legawa kaget berbareng heran. Kemudian. "Janji? Janjiku kepada siapa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Hi-hi-hik, siapa lagi? Mengapa engkau pura-pura tidak tahu? Bukankah engkau
sudah berjanji dengan Ayu Kedasih yang sudah bersuami itu?"
Fajar Legawa berjingkrak seperti dipagut ular. Tidak pernah ia duga sama sekali
bahwa Pertiwi Dewi tahu akan soal ini. Namun demikian ia juga tidak terlalu sulit untuk
menemukan jawabannya, akan sebabnya Pertiwi Dewi tahu soal ini. Tentu gadis ini telah
membaca tulisan Ayu Kedasih yang tertulis pada kain merah kemarin itu. Diam-diam ia
menjadi menyesal, mengapa kemarin ia melupakan secarik kain merah itu, setelah
diserang Pertiwi Dewi tiba-tiba.
"Aku tidak berjanji, katanya kemudian dalam usahanya membela diri. "Akan
tetapi dialah yang mengundang."
"Hemm, tetapi bagaimanakah pendapatmu? Akan engkau penuhi juga undangan
itu?" desak Pertiwi Dewi sambil mengamati Fajar Legawa tidak berkedip.
"Ya. Aku tidak mau dikatakan orang dengan sebutan angkuh dan pengecut."
"Tetapi dia ingin membicarakan soal tongkatmu. Mengapa sebabnya engkau
membiarkan perempuan itu mengetahui rahasia tongkatmu? Dan mengapa pula engkau
pura-pura tidur?"
Untuk sejenak Fajar Legawa terbelalak. Sama sekali tidak diduganya bahwa
Pertiwi Dewi akan sampai pada pertanyaan seperti ini. Tetapi setelah menghela napas
dalam, kemudian Fajar Legawa menjawab. "Hemm, aku ditempatkan pada sudut yang
sulit. Aku khawatir apabila dia berteriak, dan karena ia dalam kamar di mana aku tidur,
maka aku takut apabila peristiwa itu menimbulkan salah-paham . . . . "
Tetapi Pertiwi tidak mau mengalah begitu saja dan mendesak. "Kalau tidak
bersalah, mengapa engkau takut?"
"Ya," hanya itulah jawaban Fajar Legawa. Sebab pemuda ini menjadi bingung
sendiri, bagaimanakah ia menjawab desakan Pertiwi Dewi.
Pertiwi Dewi tersenyum mengejek. Tetapi karena gelap, maka senyum mengejek
itu tidak tampak oleh Fajar Legawa. Untuk sejenak keadaan hening, kemudian
terdengarlah Pertiwi Dewi memulai lagi, "Ya, akupun tidak dapat menyalahkan,
mengapa engkau membiarkan Ayu Kedasih mengetahui rahasia tongkatmu. Akan tetapi
inginlah aku berpesan padamu, agar engkau bersikap hati-hati apabila datang ke sana.
Aku tidak tahu mengapa sebabnya, namun ada perasaanku yang curiga akan sikapnya
yang aneh itu. Hem, siapa tahu kalau hanya akan menjebak engkau saja?"
"Terima kasih, dan aku akan selalu berhati-hati," sahut Fajar Legawa. Akan tetapi
dam-diam pemuda ini merasa malu, mengapa dirinya sekarang ini seperti anak kecil saja,
berhadapan dengan Pertiwi Dewi?
Tak lama kemudian dua orang muda ini sudah meneruskan perjalanan. Ketika
warna lembayung sudah mulai membayangi langit timur, dan bintang pagi telah
sepenggalah tingginya, mereka telah tiba di kaki gunung Ungaran, di mana Dyah Raseksi
bertempat tinggal.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pagi sudah hampir tiba, namun walaupun semalam suntuk dua orang muda ini
tidak tidur, mereka sama sekali tidak mengantuk. Dan kemudian dua orang muda ini
sudah mulai menyusuri jalan berliku-liku di lereng gunung. Akan tetapi belum jauh dua
orang muda ini menyusuri jalan sempit itu, tiba-tiba mereka mendengar bentakan yang
parau. "Hai, berhenti!"
Dan belum lenyap suara bentakan keras itu muncullah empat orang laki-laki yang
membuntu jalan.
Dan ketika salah seorang dan mereka ini melihat Pertiwi Dewi yang manis, tiba-
tiba saja berseru. "Ha, gadis ini bagianku!"
Pertiwi Dewi menjadi muak mendengar ini. Sring, mendadak saja ia sudah
menghunus pedang, menyerang sambil membentak nyaring. "Bagus! Tangkaplah jika
bisa!"
"Brettt . . . ." baju orang itu sudah robek panjang sekalipun menghindar dengan
sebat. Dan robeknya baju ini disambut oleh ketawa Pertiwi yang menjadi senang.
"Sring sring. ..." empat orang itu sudah menghunus senjata masing-masing.
Kemudian orang yang bajunya robek sudah membentak garang. "Budak liar! Kalau
begitu, engkau harus mampus!"
Golok orang ini menyambar dahsyat.Tetapi dengan ketawa mengejek Pertiwi
Dewi tidak gentar. Ia menggeser kaki sedikit, tubuhnya dimiringkan, dan pedangnya itu
dengan gerakan yang sebat sudah menyambar leher orang.
Laki-laki itu melompat mundur dalam usahanya menyelamatkan diri. Yang lain
tidak tinggal diam dan berusaha melindungi keselamatan kawannya. Dua orang telah
menerjang kearah Fajar Legawa. Pemuda ini mendengus dingin, menghindar kesamping
dan ketika tangan menyambar, malah sebatang pedang lawan telah dapat direbut. Dan
ketika orang ini belum dapat berbuat apa-apa, maka tinju Fajar Legawa telah bersarang
pada dagu, sedang lawan yang lain terpukul dadanya.
"Plak buk ..... aduhh ....!" jerit dua orang itu hampir berbareng, lalu roboh
terguling. Hanya sebentar, dua orang itu hampir berbareng, ini telah melompat bangun
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan beringas. Akan tetapi mereka ini memang hanya orang-orang berkepandaian
rendah. Atas hajaran Fajar Legawa ini mereka menjadi takut, kemudian sambil berteriak
nyaring mereka telah kabur.
Belum jauh Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi mendaki pinggang gunung Ungaran
itu, terdengarlah suitan nyaring yang panjang dan bersahutan. Dua orangmuda ini
menduga, tentu suitan tersebut untuk mengundang bala-bantuan di samping
memberitahukan adanya bahaya. Namun ternyata dugaannya itu salah. Suitan tersebut
sudah disambut dengan suara berdesis-desis dari segala penjuru.
"Ular.....!" teriak Pertiwi amat terkejut dan cepat menubruk dan memeluk Fajar
Legawa. Semangat gadis ini mendadak saja seperti lenyap tidak kuasa menahan rasa jijik.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pertiwi, tenanglah!" hibur Fajar Legawa-"Gunakan senjatamu!"
Tetapi dara kecil mungil itu seakan tidak mendengar kata-kata Fajar Legawa. Ia
tetap saja memeluk erat dengan tubuh yang mengigil ketakutan, Padahal suara berdesis
itu makin menjadi, dekat dan bau yang anyir tercium dari segala penjuru.
Untuk melarikandiri sudah tidakmungkin. Ular itu berdatangan dari semua
penjuru. Mereka telan terkepung rapat, bukan hanya di atas tanah, tetapi juga tidak
terhitung jumlannya bergerak diatas pohon. Justeru disaat Fajar Legawa masih dalam
keadaan bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ini, tubuh Pertiwi Dewi telah
lemas tak berdaya. Kalau saja tidak ditolong dan dipeluk dengan tangan kiri, tentu gadis
ini sudah roboh diatas tanah.
Hal ini menyebabkan Fajar Legawa tambah gugup, akan tetapi kesadarannya tidak
hilang. Menggunakan tangan kiri untuk mengepit tubuh Pertiwi Dewi, sedang tangan
kanan sudah mencabut tongkat. Kemudian dengan senjata tongkat ini, Fajar Legawa telah
menyapu ke sekitarnya untuk mengusir ular yang mengepungnya.
Gemeresak cabang-cabang dan ranting pohon kayu yang berguguran di atas tanah
oleh pukulan tongkat Mundingrana, di samping batu-batu hancur terpukul, menyusul
suara gemerisik dan gemeresak, akan tetapi makin lama suara itu makin menjauh. Jantung
Fajar Legawa berdebar tegang sambil menghentikan gerakan tongkatnya, tetapi
bercampur dengan rasa heran. Ternyata ular berbisa yang tidak terhitung jumlahnya dan
mengepung dirinya dari segala penjuru tadi, dengan mendadak telah lenyap tanpa bekas.
"Hemm .... ternyata ular itu takut kepada keris . . ." desis pemuda ini. Akan tetapi
ketika melihat Pertiwi Dewi telah pingsan saking takut kepada ular itu, pemuda ini
menjadi gugup, ia membaringkan gadis ini diatas batu datar. Dan dengan cekatan pula,
pemuda ini sudah memijit dan mengurut sana dan sini untuk menyadarkan.
Ketika memperoleh kesadaran pertama kali, Pertiwi Dewi telah melompat.
Kemudian ia berdiri tegak, sepasang matanya merah menyala, mengamati Fajar Legawa
penuh kebencian, lalu teriaknya."Kau .... kau kurang ajar. . . . !"
"Pertiwi, engkau keliru....." sahut Fajar Legawa agak gugup. "Engkau tadi
pingsan . . . . jijik melihat ular....."
Mendengar jawaban Fajar Legawa ini. Pertiwi Dewi kaget, aku tetapi ingatannya
pulih kembali dalam waktu singkat. Teringatlah akan keadaannya tadi yang ngeri
disamping takut, lalu menubruk dan memeluk Fajar Legawa. Sadar bahwa dirinya te1ah
salah menuduh orang, kemudian gadis ini menjatuhkan diri, duduk sambil menangis.
"Sudahlah, bahaya sudah lewat," hibur Fajar Legawa. "Jangan engkau menangis."
Berkat hiburan Fajar Legwa ini, tak lama kemudian Pertiwi Dewi berhenti
menangis. Kemudian mereka melepaskan lelah di atas sebuah batu. Udara pagi yang
dingin mengusap-usap kulit. Tanpa sesadarnya Pertiwi Dewi mendekatkan tubuhnya
kepada Fajar Legawa.
"Seyogyanya kita tunggu saja. sesudah matahari muncul agak tinggi," desis Fajar
Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Benar!" sahut gadis ini. "Pernahkah engkau menikmati pemandangan disaat
matahari akan muncul?"
"Sayang tiada waktu. Tetapi pagi yang cerah seperti ini, akan memberi
kebahagiaan umat manusia."
"Ya. Tetapi janjimu sudah berkurang dua hari."
"Aih.....janji apa dan kepada, siapa?"
"Dengan Ayu Kedasih....."
"Ahhh .... kau menggoda orang saja . ..."
"Tetapi engkau toh memenuhi janji itu juga?"
"Apa salahnya?"
"Tak. ada salahnya....."
Akan tetapi sesudahh mengucapkan kata-kata ini, Pertiwi Dewi memutar tubuh,
dan sekarang duduk membelakangi pemuda itu. Heran juga Fajar Legawa melihat sikap
gadis ini. Sesungguhnya ingin sekali ia menanyakan sebabnya. Akan tetapi belum juga
Fajar Legawa sempat membuka mulut sudah terdengar suara ketawa perempuan yang
nyaring dan merdu menyibak sunyi hutan. Belum juga lenyap suara ketawa itu, telah
disusul oleh suara yang menegur.
"Hai! Apa kerjamu disitu? Huh-huh, engkau sangka tempat ini tempat hiburan?"
Sepasang merpati ini terkejut, dan secepat kilat mereka melompat dari batu.
"Hi-hi-hik, kamu terkejut?" sindir perempuan itu. "Ahh .... tampan juga engkau,
malah masih amat muda....."
Tak jauh di depan mereka telah berdiri seorang perempuan bertubuh ramping dan
semampai tinggi, dan wajahnya cukup cantik. Rambut yang hitam dan lebat itu disanggul
agak rendah, dihias oleh bunga melati yang mungil putih. Pada daun telinga perempuan
itu tampak sepasang subang bermata berlian yang memancarkan sinar kemilauan.
Sepasang mata perempuan itu berkilat-kilat tajam, mengamati dua orang muda ini tak
berkedip.
Wanita yangcantikjelita dan belum tua inilah ratu gunung Ungaran ini, bernama
Dyah Raseksi. Usirnya baru sekitar tigapuluh tahun, namun oleh kepandaiannya merawat
diri, tampak seperti gadis berusia duapuluh tahun.
Sepasang mata yang bersinar tajam itu mengamati Fajar Legawa penuh
perhatian. Dan karena tidak dijawab, maka perempuan ini membentak. "Hai, Apakah
kamu tuli dan bisu?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Panas perut Pertiwi Dewi mendengar ucapan orang ini. Sahutnya ketus. "Apa
pedulimu? Hai, apakah matamu sudah buta bahwa kami tadi sedang enak duduk di atas
batu ini?"
"Hemm," dengus Dyah Raseksi, "engkau galak sekali bocah, hi-hi-hik. Akan tetapi
jawabanmu belum lengkap, siapakah laki-laki itu? Suamimu?"
"Ya! Apakah maksudmu bertanya melit-melit?" sahut Pertiwi Dewi angkuh,
sambil mengerling penuh arti kepada Fajar Legawa.
Dyah Raseksi ketawa merdu, dan sepasang matanya mengamati Fajar Legawa
penuh arti, sedang bibirnya menyungging senyum manis. Katanya kemudian, "Aihh,
suamimu tampan dan menarik. Aku sangat membutuhkan laki-laki tampan dan muda
seperti dia ini. Ahhh, dan alangkah bahagia hidupku ini, kalamana mempunyai seorang
suami seperti dia....."
"Bangsat, perempuan liar. Mulutmu busuk tidak kenal sopan dan amat
memalukan! teriak Pertiwi Dewi yang amat marah. "Kakang, marilah kita bunuh
perempuan liar ini!"
Fajar Legawa mengangguk. Jawabnya. "Kau benar."
Ia mengamati kearah perempuan itu. Kemudian. "Engkaukah yang bernama Dyah
Raseksi?"
"Hi-hi-hik, engkau sudah kenal juga akan namaku?" kata Dyah Raseksi sambil
ketawa merdu, tampak senang sekali. "Aihh, bukankah namaku indah dan orangnyapun
menarik? Lihat baik-baik, bukankah aku seorang perempuan cantik jelita? Hi-hi-hik,
marilah engkau ikut aku dan jadilah engkau raja di gunung ini."
Panas perut Pertiwi Dewi mendengar ucapan Dyah Raseksi yang tidak kenal malu
ini. Mendadak saja gadis ini melengking nyaring, kemudian sudah melompat maju dan
menyerang. Sekali bergerak gadis ini telah mengirimkan serangan berantai, kearah pusar,
dada dan leher.
Akan tetapi serangan Pertiwi Dewi itu hanya disambut dengan suara ketawa Dyah
Raseksi yang merdu. Perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya berdiri, malah tidak
pula berusaha untuk menangkis. Namun demikian yang terjadi kemudian adalah aneh.
Ujung pedang yang tajam itu melesat dan tidak berhasil menyentuh tubuh Dyah Raseksi.
Namun, walaupun serangan itu tidak mengakibatkan apa-apa, Dyah Raksesi
menjadi marah juga. Pada dasarnya ia memang seorang perempuan yang tangannya
ganas dan tidak segan pula membunuh orang. Tetapi anehnya, setiap tangannya sudah
bergerak untuk membalas, lalu timbullah rasa sayang Diam-diam Dyah Raseksi merasa
heran sendiri mengapa selemah itu menghadapi gadis ini. Setiap tangannya sudah
terangkat untuk merebut senjata Pertiwi Dewi maupun membalas serangan itu, timbul
perasaan yang tidak tega dan timbul pula rasa sayang.
Bukan saja Dyah Raseksi berilmu tinggi, tetapi juga memiliki aji "welut putih".
Setiap senjata atau pukulan yang menyentuh tubuhnya akan meleset dan tidak mempan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tubuh perempuan ini menjadi kebal, tinatab mendat jinara menter! Kalau lawan
menggunakan kepandaiannya untuk menangkap dan mencengkeram, maka tangkapan
dan cengkeraman itu akan luput. Di samping ia seorang perempuan sakti mandraguna,
iapun seorang memiliki aji "penutut sato" merupakan ilmu penjinak binatang liar dan
ganas. Oleh pengaruh aji kesaktian ini, maka Dyah Raseksi dapat menundukkan
bermacam-macam ular berbisa sebagai prajurit terpercaya menjaga tempat tinggalnya.
Maka tidak mengherankan pula apabila Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi tadi sudah
dikepung oleh ratusan ular berbisa yang datang dari segala penjuru. Betapapun tinggi
ilmu-kesaktian orang, menghadapi serangan ular dalam jumlah ribuan tidaklah gampang.
Oleh sebab itu Dyah Raseksi menjadi heran dan hampir tidak percaya. Mengapa barisan
ularnya itu lari terbirit-birit ketakutan menghadapi pemuda tampan ini?
Ketika itu dalam marahnya Pertiwi masih terus menyerang dengan pedangnya.
Naman sayang sekali semua serangannya tak berhasil. Sebaliknya setiap kali tangan
Dyah Raseksi bergerak untuk membalas serangan orang, tangan itu sudah ditarik lagi
sambil menghela napas panjang .
Tiba-tiba Dyah Raseksi melompat sambil bersuit nyaring. Dalam waktu singkat
perempuan itu sudah tidak tampak, dan muncullah sembilan orang perempuan dari balik
rumpun pohon. Yang mengherankan dan membuat dua orang muda ini kaget, adalah
wajah perempuan ini. Mengapa semua jelek dan kulit wajahnya hitam legam? Mereka
sudah berdiri mengurung, sedang pada leher mereka melingkar dua ekor ular weling yang
amat berbisa dan selalu berdesis-desis, menyemburkan bisa.
Pertiwi Dewi ngeri melihat perempuan-perempuan jeek itu berkalung ular. Ia
menjerit dan menubruk Fajar Legawa, sambil memeluk dan menyembunyikan wajahnya
di dada bidang.
"Aduhh.....aku ngeri.....!" ratap gadis ini.
"Tenangkan hatimu. Dewi. Jangan engkau khawatir!" hibur Fajar Legawa halus.
Mendadak Dyah Raseksi muncul lagi dari balik gerumbul pohon, sambil ketawa
mengejek. "Hi-hi-hik, tidak tahu malu! Di depan orang kamu berpelukan dan bercumbu."
Perempuan ini berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia meneruskan. "Hi-hi-hik, tak
lama lagi engkau memang akan kehilangan suamimu. Tahukah engkau bahwa aku
memang jatuh cinta pada suamimu yang gagah dan tampan ini? Sedang engkau, huh,
engkau takkan aku bunuh. Tetapi engkau akan aku hadiahkan kepada anak-buahku, agar
diperisteri secara bergilir."
Betapa marah Fajar Legiwa mendengar kata-kata Dyah Raseksi yang tak tahu
malu ini. Bisiknya kepada Pertiwi Dewi. "Tenangkan hatimu, dan minggirlah engkau.
Percayalah bahwa Tuhan akan melindungi kita."
"Tetapi. . . .engkau harus hati-hati. . . ." sahut Pertiwi Dewi dengan ucapannya
yang menggeletar dan penuh kekhawatiran.
"Jangan khawatir," sahut Fajar Legawa. Tetapli sekalipun demikian, ia tidak tahu
apa yang akan terjadi atas dirinya nanti.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pertiwi Dewi sudah melepaskan pelukannya, kemudian melompat dan duduk di
atas batu. Namun demikian pedangnya siap di tangan kanan untuk melindungi
keselamatannya.
Fajar Legawa mengangkat muka, menebarkan pandang matanya ke sekeliling.
Sepasang mata pemuda ini tampak menyala. Kemudian dampratnya. "Hai perempuan
liar! Ucapanmu jelas sekali menunjukkan kerendahan budimu. Kau. . kau perempuan
hina dan jalang!"
Akan tetapi dampratan Fajar Legawa ini hanya disambut oleh suara ketawa Dyah
Raseki yang cekikikan. Adapun sepasang matanya yang liar itu mengamati Fajar Legawa
tanpa malu-malu, seakan sedang menaksir. "Hi-hi-hik, mengapa engkau marah? Apakah
aku kurang cantik? Coba amati dan perhatikan. Aku cantik dan menarik laksana bidadari.
. . ."
"Tutup mulutmu yang busuk!" teriak Fajar Legawa saking tak kuasa menahan
marah.
"Hi-hi-hik, walaupun engkau marah tak juga mengurangi ketampananmu,
kangmas. Ah, sayang sekali mulutmu amat tajam. Untuk itu, maka engkau harus
menerima hajarannya!" setelah berkata demikian, Dyah Raseksi memberi isyarat dengan
tangan kepada sembilan orang perempuan buruk yang berkalung ular itu.
"Berilah hajaran sedikit laki-laki itu, agar tahu adat dan tidak kurangajar. Tetapi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
awas .... jangan sampai mampus."
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, sembilan orang berwajah buruk itu
sudah meloncat dan berpencaran mengurung Fajar Legawa. Pemuda inipun menghadapi
tanpa rasa gentar.. Akan tetapi ia masih bertangan kosong, dan tongkat berisi keris pusaka
itu masih terselip pada pinggangnya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara berdesis dari mulut perempuan jelek itu.
Seperti mendapatkan aba-aba, ular yang semula menggeliat itu, mendadak berdiri tegak
dan berdesis. Mulutnya terbuka lebar dan lidah yang merah menjulur keluar, siap untuk
mematuk dan menggigit lawan. Tiga orang di antara mereka telah melompat ke depan
dan menyerang. Dan enam ekor ular itupun ikut pula menyerang Fajar Legawa,
menyambar muka dan leher.
Tetapi Fajar Legawa takkan begitu saja menyerah dipagut ular. Disaat pukulan
perempuan itu menyerang dan disaat ular-ular itu mematuki, Fajar Legawa menggunakan
kecepatannya bergerak menangkis dan memukul.
Setelah tiga orang bergerak dan menyerang, yang enam orangpun kemudian ikut
menerjang. Dan dengan demikian, Fajar Legawa sekarang dikeroyok oleh sembilan orang
perempuan dan delapan belas ekor ular weling. Ular itu menyerang dengan ganas dari
semua penjuru, dan sedikit saja Fajar Legawa lengah akan celakalah pemuda itu.
Menyaksikan semua itu Pertiwi Dewi menjadi ngeri dan khawatir. Dan tanpa
sesadarnya, gadis ini sudah berteriak. "Gunakan senjatamu . . . . gunakan tongkatmu ....!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Atas anjuran Pertiwi Dewi ini, kemudian Fajar Legawa mencabut tongkat yang
terselip pada pinggangnya. Kemudian dengan tongkat ini, ia membalas serangan lawan.
Keajaiban kembali terjadi. Secara tiba-tiba delapan belas ekor ular itu berdesis keras, tidak
lagi berani menyerang malah berusaha memberontak dan lepas dari pegangan perempuan-
perempaan jelek itu.
Peristiwa yang tidak pernah terduga ini menyebabkan sembilan perempuan itu
kaget. Mereka lari serabutan untuk mengejar dan berusaha menangkap ular yang lepas
itu. Akan tetapi sungguh sayang, bahwa usaha mereka ini tidak berhasil.
Dyah Raseksi terbelalak dan sepasang alisnya terangkat tinggi. Perempuan ini
heran sekali menyaksikan peristiwa yang terjadi, dan menyebabkan agak lama penjahat
wanita yang cantik ini berdiri seperti patung. Peristiwa yang terjadi sekarang ini
merupakan peristiwa baru. Bahwa barisan "lintang sanga" yang biasanya dapat
diandalkan itu, seakan tak berdaya menghadapi pemuda tampan ini.
"Engkau menggunakan ilmu siluman?" bentak Dyah Raseksi.
Fajar Legawa menggeleng dan menjawab. "Jangan menuduh orang sembarangan..
Aku tidak menggunakan ilmu Siluman."
"Hmmm, tetapi mengapa "lintang sanga" berantakan dan mengapa semua ular itu
ketakutan?"
Akan tetapi Fajar Legawa tidak melayani ucapan perempuan itu. Kemudian
teriaknya. "Hai Dyah Raseksi! Bebaskanlah laki-laki muda bernama Pradapa yang kau
culik dari Comal itu!"
"Hi-hi-hik, laki-laki yang mana?"
"Jangan banyak mulut, bebaskan dia, agar keluarganya tidak bersedih hati!"
"Hi-hik, tidak sulit membebaskan dia. Tetapi, engkau harus memberi imbalan yang
aku minta," sahut Dyah Raseksi dengan mulut menyungging senyum.
"Katakan, apa kehendakmu?"
"Dia aku bebaskan, tetapi.... engkau harus menggantikannya di sampingku. Hi-hi-
hik, bukankah ini tuntutan yang wajar? Jangankan hanya dia seorang. Walaupun semua
laki-laki yang menghuni rumahku harus diusir, aku rela dan cukup dengan engkau
seorang."
"Iblis perempuan! Tutup mulutmu yang busuk!" damprat Pertiwi Dewi tiba-tiba
sambil melompat dari tempat duduknya. Gadis ini menjadi marah sekali mendengar
ucapan perempuan itu, yang sengaja membujuk Fajar Legawa.
"Budak liar! Mengapa mulutmu setajam itu?" hardik Dyah Raseksi.
"Hi-hi-hik, jika suamimu memalingkan muka dan memilih aku yang lebih cantik,
engkau dapat berbuat apa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Bah, jangan banyak mulut!" bentak Fajar Legawa yang terbakar kemarahannya.
"Siapa sudi kepada perempuan macam engkau?"
"Apa?" sepasang mata Dyah Raseksi membelalak. "Engkau berani menghina aku
dan menyia-nyiakan kesempatan baik yan aku berikan? Bagus! Agaknya engkau belum
mengenal siapakah aku ini. Hayo, majulah berbareng dan hadapilah aku."
"Kakang, dia terlalu menghina kita. Mari kita keroyok perempuan liar ini!" ajak
Pertiwi Dewi yang cepat terbakar oleh marah.
Tetapi tiba-tiba Dyah Raseksi mengangkat tangan dan memberi isyarat. " Tahan!"
Ia mengamati Pertiwi Dewi penuh perhatian, kemudian bertanya. "Katakan
dahulu, siapa namamu!"
"Perduli apa dengan nama segala? Huh, namaku Pertiwi Dewi!"
"Apa? Namamu Pertiwi Dewi?"
"Mengapa engkau heran? Hanya aku seorang sajalah perempuan di dunia ini yang
bernama Pertiwi Dewi!" sabut gadis ini dengan bangga.
"Jangan ngawur!" hardik Dyah Raseksi. "Adikkupun bernama Pertiwi Dewi."
"Apa?" Pertiwi Dewi kaget. "Adikmu juga bernama Pertiwi Dewi? Huh, tetapi
adikmu tentu jahat seperti engkau!"
"Budak liar yang lancang! Engkau berani menghina adikku?" Dyah Raseksi
mendelik dan sepasang matanya menyala. "Dengan kelancanganmu ini sesungguhnya
sudah dapat kujadikan alasan untuk membunuhmu, kemudian memotong-motong
tubuhmu untuk makanan binatang buas. Ah .... tidak! Engkau takut kepada ular. Biarlah
engkau aku berikan kepada ular-ularku, agar digerogoti semua daging dan tulangmu."
"Tetapi aku akan membunuh engkau lebih dahulu!" teriak Pertiwi Dewi tanpa
gentar.
Akan tetapi ketika itu Dyah Raseksi tampak menundukkan muka, dan perempuan
liar ini sekarang terdengar menghela napas panjang . "Hem ..... . Pertiwi Dewi .... adikku
.... sungguh heran . ..... di manakah engkau sekarang? Sudah amat lama sekali aku
mencarimu, namun tak pernah berhasil....."
Mendengar ini Pertiwi Dewi terkejut. Di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba saja
gadis kecil kecil mungil ini mengamati Dyah Raseksi penuh perhatian. Tiba-tiba sepasang
mata gadis ini terbalik, ia melihat kaki kiri Dyah Raseksi ini tidak mempunyai kelingking.
"Kau .... kau .... apakah engkau kakakku Niken Respati ....?" katanya ragu. "Kau
... kau mempunyai cacat sama dengan Kakakku. Kakimu yang kiri .... tanpa kelingking
...."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dyah Raseksi membelalakkan mata dan mengamati Pertiwi Dewi.
"Kau .... apakah engkau bocah dari Brebes.....?"
"Ya .... dahulu kakakku perempuan hilang .."
"Adikku ....ohh, adikku Dewi....."
Tiba-tiba saja dua orang perempuan yang tadi sudah hampir saling labrak dan
berkelahi ini sekarang saling menubruk maju dan berpelukan sambil menangis.
Fajar Legawa menyaksikan peristiwa ini dengan mata terbelalak, ia heran
disamping menjadi trenyuh. Betapa tidak? Kakak beradik yang terpisah oleh malapetaka
yang menyedihkan itu, ternyata sekarang bertemu dalam keadaan yang berseberangan.
Pertiwi Dewi seorang gadis yang benci kepada segala bentuk kejahatan, sebaliknya gadis
yang semula bernama Niken Respati itu, sekarang telah mengganti nama dengan Dyah
Raseksi, dan telah menjadi perempuan jahat.;
Jika teringat akan cerita Gadung Melati, bahwa baik Pertiwi Dewi maupun Niken
Respati (Dyah Raseksi) telah tak berayah-bunda lagi, ia sangat iba. Mengapa pertemuan
antara kakak dan adik ini harus dalam keadaan seperti ini?
Dyah Raseksi tersedan-sedan, memeluk Pertiwi Dewi erat sekali sambi1 terus
menciumi. Pertemuan yang tidak terduga-duga kuasa membuat kakak-adik ini lupa akan
keadaan sebelumnya, yang saling mencaci dan akan berkelahi.
"Adikku . . . ohh adikku .... engkau sebesar ini . . . !" ratap Dyah Raseksi ditengah
tangisnya.
Pertiwi Dewi menangis tersedu-sedu. Pelukan gadis ini juga erat sekali, melingkar
pada pinggang Dyah Raseksi yang ramping. Sedang Fajar Legawa masih tetap berdiri di
tempatnya dengan berkali-kali menghela napas saking iba.
Sulit dilukiskan betapa perasaan dua orang perempuan ini, dapat bertemu masih
dalam keadaan selamat. Perpisahannya waktu itu justeru oleh malapetaka yang tidak
terduga-duga. Rumahnya dirampok habis-habisan, ayah bundanya tewas, sedang Niken
Respati diculik penjahat. Dan sejak itu, antara mereka tidak pernah dapat bersua lagi.
"Pertiwi . . . . hu-hu-huu...." desah Dyah Raseksi disela tangisnya. . . "lebih empat
tahun lamanya aku mencari engkau .... Akan tetapi semua usahaku sia-sia ....... hu-hu-
huu. . . . Kau ...... kau seperti lenyap tanpa bekas......."
"Akupun telah lama mencarimu mbakyu..." sahut Pertiwi Dewi sambil menangis.
"Tetapi ... hu-hu-huu . . usahaku sia-sia belaka....Tetapi hu-hu-huuu..... .sekarang Tuhan
telah mengulurkan tangan ..... mempertemukan kita dalam keadaan selamat....... hu-hu
huu........ hu-hu-huuu...?"
"Ya.......tidak pernah aku duga..... .Ya........terus terang aku katakan....... bahwa
sejak tadi terjadi peristiwa aneh ...... Aku. . . . aku merasa tak tega........ dan sayang
padamu........hu-hu-huuu..."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dyah Raseksi menciumi lagi dahi Pertiwi Dewi, dan diluar kehendaknya
terkenanglah ia akan peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu, disaat dirinya
diringkus dan diculik oleh penjahat. Ia berusaha memberontak dan berteriak minta tolong.
Namun dengan kasar penjahat itu telah mengikat kaki tangannya, malah kemudian
menyumbat mulutnya. Akibat dirinya dicekam oleh rasa takut dan ngeri, maka kemudian
ia pingsan.
Ketika Niken Respati siuman kembali, ternyata dirinya sudah dalam keadaan tidur
terlentang dalam sebuah kamar yang bersih dan di sampingnya, duduk seorang
perempuan tua yang masih sibuk memijit-mijit.
Melihat Niken Respati telah siuman, bibir perempuan tua itu tersenyum, kemudian
berkata dengan halus. "Ha, engkau sudah siuman anak manis."
"Di mana aku? tanya Niken Respati dengan suara menggeletar dan celingukan.
"Anak, engkau tidak perlu khawatir, dan beristirahatlah engkau dengan tenang,"
bujuk perempuan tua ini. "Engkau sekarang telah berdiam dalam rumah majikanku, dan.
. .dan engkau akan hidup bahagia. . . ."
"Apa sebabnya aku di sini?" tanyanya sambil berusaha menyelidik kepada
perempuan tua ini.
Perempuan tua ini ketawa lirih, kemudian jawabnya halus. "Anak manis,
sudahlah. Kurang perlu engkau tanyakan soal itu. Yang jelas sekarang engkau berdiam
di dalam kamar ini, dan engkau akan hidup aman dan bahagia."
Perempuan tua ini berhenti sambil mengamati wajah Niken Respati yang cantik.
Sesaat kemudian, terusnya. "Anak manis, tidak perlu engkau khawatir. Ketahuilah bahwa
majikanku seorang laki-laki muda disamping tampan. Kau .... kau akan menjadi isterinya
yang terkasih....."
"Engkau benar . . . ." suara dari luar kamar menyambung, dan ketika pintu kamar
itu terbuka
r masuklah seorang laki-laki tampan berkumis kecil tanpa jenggot. Dengan
langkah yang ringan, laki-laki ini sudah menghampiri pembaringan Niken Respati dengan
bibir yang tersenyum.
Niken Respati amat kaget, dan ia cepat bangkit. Ia kemudian menangis amat sedih,
justeru sekarang teringatlah semuanya yang terjadi. Rumahnya dirampok orang, sedang
dirinya diculik dan dibawa lari.
Perempuan tua yang tadi menunggui, secara diam-diam telah pergi meninggalkan
kamar. Sedang laki-laki muda ini, mengamati Niken Respati penuh perhatian dengan bibir
yang tetap menyungging senyum. Lalu dengan amat lancangnya, laki-laki ini sudah
merendahkan tubuhnya, dan
memeluk gadis itu. Bujuknya. "Adikku.....tidak perlu engkau gelisah dan takut."
Akan tetapi Niken Respati segera memberontak dan menolak pelukan itu. Ia turun
dari pembaringan, kemudian mendamprat. "Bangsat busuk, pergi! Kau ....... kauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
pembunuh ayah bundaku .... Engkau perampok ganas . . . .! Hayo . . . . bunuh sajalah aku
....!"
Tetapi walaupun mendamprat, tidak urung gadis ini tidak kuasa menahan air
matanya. Dan dari sepasang matanya itu, kemudian menitiklah air mata bening, mengalir
membasahi pipinya yang kuning montok. Mendadak gadis ini melompat ke arah meja
yang letaknya tidak jauh dari pembaringan. Isi meja itu kemudian satu persatu
dilemparkan untuk menyambit laki-laki itu. Piring, cangkir, sendok dan yang lain
menyambar berturut-turut. Akan tetapi dengan gampangnya semua sambitan itu dapat
ditangkap oleh laki-laki muda ini.
"Adikku,, mengapa engkau malah, marah?" kata laki-laki ini halus "Jangan
engkau, menangis, dan marah. Aku sayang padamu, dan engkau akan hidup bahagia di
rumah ini9
"Pergi ..... pergi.... dan tutup mulutmu...!" teriak Niken Respati. "Tak sudiiii....aku
tidak sudiiii .....!"
"Hemm
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
r baiklah!" sahut laki-laki tampan itu dengan nada yang ramah.
"Beristirahatlah engkau dengan tenang."
Ia memang seorang laki-laki yang amat cerdik. Ia segera meninggalkan kamar
Niken Respati tanpa mengganggu, dan bersikap sabar. Ia cukup tahu bahwa Niken
Respati masih binal. Dan menghadapi gadis seperti ini harus menggunakan akal untuk
menundukkan.
Dialah Putut Jantoko, seorang penjahat besar yang sakti mandraguna, disamping
licin bagai belut. Setelah keluar dari kamar, ia bertemu lagi dengan perempuan tua itu.
Dan sesudah memberi pesan yang harus dilakukan, maka ia meninggalkan perempuan
tua itu ke ruangan tengah.
Berkat bujukan dan kata-kata halus dari pelayan tua itu, kemudian Niken Respati
berhenti menangis. Dan dari pemberitahuan pelayan tua ini kemudian Niken Respati tahu
banwa dirinya sekarang ini disekap di dalam sarang Putut Jantoko, dan tidak mungkin
dapat melarikan diri.
Makin hari oleh pengaruh bujukan pelayan tua itu, dan oleh sikap Putut Jantoko
yang sabar dan ramah, kedukaan Niken Respati berkurang dari sedikit. Dan setelah
sebulan lamanya Niken Respati hidup di dalam sarang penjahat ini, sikap gadis ini tidak
sekeras semula. Ketampanan wajah dan sikap yang lemah lembut Putut Jantoko, pada
akhirnya dapat menundukkan kekerasan gadis ini, yang kemudian sedia menyerah dan
tidak menolak lagi dijadikan isteri Putut Jantoko.
Akan tetapi hanya dua bulan saja Niken Respati dapat menikmati hidup bahagia
sebagai isteri Putut Jantoko. Nyata kemudian bahwa Putut Jantoko seorang penjahat
besar yang gemar sekali akan wajah ayu. Makin hari makin bertambah jumlahnya
perempuan muda dan cantik yang menghuni dalam sarang itu. Sedang janji Putut Jantoko
hanya merupakan janji kosong melompong tanpa bukti. Malah kemudian diketahui pula
oleh Niken Respati, bahwa setiap perempuan yang sudah tidak dibutuhkan lagi olehhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Putut Jantoko, maka perempuan itu akan menderita sengsara. Sebab perempuan itu segera
diberikan kepada anak-buah.
Sekarang timbullah rasa sesal dalam hati gadis ini, mengapa lemah menghadapi
bujukan PUTUT Jantoko, sehingga bersedia diperisteri oleh penjahat itu. Padahal Putut
Jantoko adalah seorang penjahat yang sudah membunuh ayah-bundanya seorang musuh
bebuyutan, dan sudah sepantasnya bahwa dirinya harus membalaskan sakit hati itu.
Teringat akan semua ini, pada mulanya timbullah rasa putus asa dan mendorong
keinginannya untuk membunuh diri. Namun kehendak ini kemudian dapat ia gagalkan
sendiri malah timbullah keinginannya untuk dapat terus hidup, kemudian dapat
membunuh Putut Jantoko.
Kemudan pada suatu hari disaat semua penjaga lengah. Niken Respati berhasil
melarikan diri dari sarang penjahat itu. Ia memaksa diri harus berlarian secepatnya, agar
dalam waktu singkat dapat meninggalkan sarang penjahat itu jauh-jauh. Tetapi karena ia
seorang gadis lemah dan tidak pernah mengenal belajar ilmu-tata kelahi, maka di saat ia
melarikan diri ini, ia jatuh bangun dan kaki maupun tangannya terluka oleh batu dan duri.
Malang tak dapat ditolak, dan mujur tak dapat diraih. Demikian pula apa yang
harus dialami Niken Respati. Ia menderita lapar dan haus, disamping kedinginan.
Pakaiannya yang tipis itu sudah robek di sana sini. Setelah tujuh hari tujuh malam hidup
di dalam hutan, kekuatan gadis ini habis dan ia menderita demam. Ia roboh terguling di
atas tanah, dan sulit bangun lagi.
Akan tetapi Tuhan belum menghendaki Niken Respati harus meninggal. Tangan
Tuhan telah menolong dengan perantaraan seseorang. Seorang tua, seorang kakek yang
hidup sengsara pula, bernama Jalu Gigis. Mula pertama derita yang harus dialami oleh
Jalu Gigis ini terjadi, sesudah ia melakukan pembunuh kepada anak isterinya sendiri, yang
diawali oleh percekcokan. Padahal persoa1annya hanya sepele saja, isterinya kurang cepat
disaat mempersiapkan makanan yang dimintanya, sesaat setelah ia pulang berjudi.
Kekalahannya disaat ia berjudi, sehingga menyebabkan semua uangnya ludes,
menyebabkan ia mata gelap menghadapi keluarganya.
Namun kemudian sesudah Jalu Gigis membunuh anak dan isterinya, ia amat
menyesal dan sedih. Kemudian ia meninggalkan rumah dan kampung halamannya, pergi
tanpa tujuan dan pada akhirnya ia memilih tempat di gunung Ungaran ini sebagai tempat
tinggalnya.
Atas pertolongan Jalu Gigis yang kemudian menjadi ayah angkat dan gurunya ini,
kemudian Niken Respati menjelma sebagai seorang perempuan sakti mandraguna. Dan
karena nama Niken Respati dianggap sial dan membawa malapetaka atas dirinya, maka
kemudian ia mengganti nama dengan Dyah Raseksi.
Akan tetapi kemudian perempuan ini tersesat dalam memilih jalan yang harus
dilalui. Timbullah kemudian keinginannya untuk membalas dendam kepada laki-laki
yang pernah menyia-nyiakan. Sungguh sayang sekali, banwa yang bersalah hanya seorang
laki-laki, tetapi semua laki-laki dibalasnya. Setiap laki-laki dianggap jahat dan sebagai
sumber kesengsaraan perempuan. Maka kemudian ia mengganas dan timbullah
keinginannya untuk mempermainkan setiap laki-laki.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Jalu Gigis penuh sayang dan kasih kepada anak angkat dan muridnya ini, tiada
bedanya seorang ayah kandung. Empat tahun kemudian Dyah Raseksi berhasil
mempengaruhi Jalu Gigis untuk membalas dendam dan membunuh Putut Jantoko.
Sayang sekali Putut Jantoko berhasil melarikan diri, dan walaupun ayah dan anak ini
berusaha mencari, tidak juga dapat diketemukan. Dalam pada itu kemudian bersama
ayahnya, iapun mencari keterangan tentang adiknya, Pertiwi Dewi. Namun ternyata
bahwa usahanya itu berhadapan dengan kegagalan. Sebaliknya sekarang, tanpa diduga
lebih dahulu, dirinya malah dapat bertemu dengan adik yang sudah lama dicari-cari itu.
Teringat akan jalan hidup yang sudah dilalui itu, Dyah Raseksi makin sedih dn
tangisnya tak jua mau berhenti. Pelukannya tambah erat dan untuk beberapa saat lamanya
perempuan ini tak kuasa membuka mulut.
Dan Fajar Legawa yang menyaksikan semua itu makin menjadi iba. Dengan
perlahan kemudian pemuda ini melangkah pergi untuk menjauhi. Dan akhirnya, Fajar
Legawa duduk di atas tonggak kayu.
"Mbakyu......hu-hu-huu......" kata Pertiwi Dewi tidak lancar di tengah tangisnya.
"Kau. . . . kau tidak disiksa .... oleh penjahat yang menculikmu . . .?"
"Tidak. . . .!" tetapi Dyah Raseksi menjadi tambah sedih teringat kepada Putut
Jantoko yang sudah merusakkan hidupnya. "Aku ....... aku ketika itu .....diperisteri oleh
dia .....Tetapi . . . . hu-hu-huu . . . . kemudian aku disia-siakan. ..."
"Kasihan sekali engkau . . . ." Pertiwi Dewi menghela napas dalam.
"Aku sudah berusaha....membalas dendam kepada bangsat itu. . . . Akan tetapi hu-
hu-huu . . . . usahaku gagal dan penjahat itu dapat lolos ... . Sejak itu. . . . aku tidak lagi
dapat menemukan jejaknya . . . ."
"Siapa . . . .siapakah penjahat itu. . .?" Pertiwi Dewi berdebar.
"Marilah kita duduk.....!" ajak Dyah Raseksi.
Kemudian kakak beradik ini duduk di atas rumput. Mereka duduk berjajar, dan
oleh rasa rindu yang belum terobati, tangan mereka masih saling peluk. Pada kesempatan
ini Dyah Raseksi segera menceritakan apa yang sudah dialami, sedang Pertiwi Dewi
mendengarkan penuturan itu dengan hati pilu,
"Mbakyu," kata Pertiwi Dewi sesudah Dyah Raseksi selesai bercerita. "Aku tak
lagi ingin berpisahan dengan engkau. . . ."
Dyah Raseksi ketawa lirih, kemudian mencium adiknya penuh kasih dan
menjawab. "Akupun demikian juga, Dewi. Aku ingin selalu hidup bersama engkau."
"Aihh ... aku bahagia sekali....!" kata gadis ini. "Karena itu. . . .kembalilah
engkau ke jalan benar .... Dan marilah sekarang juga kita tinggalkan tempat ini. . . ."
"Tak mungkin!" sahut Dyah Raseksi sambil menggeleng. "Engkaulah yang
seharusnya berdiam di sini, dan ikut aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Apa?" Pertiwi Dewi terbelalak. "Aku berdiam di sini?"
Dyah Raseksi mengangguk. "Benar! Dan engkau akan hidup bahagia di tempat
ini."
"Jadi .... jadi aku engkau ajak sebagai penjahat perempuan pula?"
"Dewi!" tiba-tiba Dyah Raseksi membentak "Jangan setajam itu mulutmu di
depanku!"
Pertiwi Dewi kaget dan memalingkan muka mengamati kakak perempuannya.
Dua pasang mata bertaut, dan seperti terpengaruh oleh daya gaib, kakak beradik itu
kembali berpelukan, sambil bertangisan.
"Pertiwi, jangan engkau salah duga dan mengira aku ini seorang perempuan
jahat," kata Dyah Raseksi setelah kuasa menahan tangisnya. "Engkau harus tahu bahwa
aku bukan penjahat seperti dugaanmu, dan akupun belum pernah melakukan
perampokan,"
Dyah Rseksi berhenti, memandang adiknya, dan sejenak kemudian ia meneruskan.
"Pertiwi, aku minta agar engkau dapat menyelami perasaan hatiku. Aihh .... tetapi nanti
dulu . . . Sebelum aku meneruskan keteranganku ini, jawablah dahulu pertanyaanku,
apakah sebabnya engkau menuduh aku sebagai penjahat? Apakah alasanmu?"
"Mbakyu, mungkin engkau benar belum pernah melakukan perampokan. Akan
tetapi engkau perlu tahu, bahwa beberapa orang anak buahmu itu melakukan
perampokan."
"Tetapi.....orang orangku tidak serampangan dalam berbuat!" bantah Dyah
Raseksi. "Mereka hanya merampok kepada orang-orang tertentu. Kepada orang-orang
kaya yang kikir dan tamak akan harta. Atau kepada para pong-gawa Mataram yang
berbuat sewenang-wenang kepada kawula cilik."
Dyah Raseksi berhenti lagi. Dan sesudah menghela napas pendek, perempuan ini
meneruskan. "Adikku, dan engkau jangan salah sangka tentang hasil perampokan itu.
Sebab hasil perampokan itu tidak untuk dimiliki sendiri, melainkan kemudian dibagakan
kepada para kawula yang hidup menderita. Pertiwi, engkau harus mau percaya, bahwa
tanpa melakukan kejahatanpun, semua anak-buahku dapat hidup tenteram dan tidak
kekurangan, karena hasil dari tanah pertanian lebih dari cukup."
"Mbakyu, menurut pendapatku setiap perbuatan secara paksa terhadap milik
orang lain, dengan alasan apapun tetap saja sebagai perampok!" kata Pertiwi Dewi.
"Maka bagaimanapun aku tak dapat menyetujui cara-cara yang kau tempuh itu. Dunia
sesat ini harus engkau tinggalkan dan marilah hidup sebagai manusia baik-baik."
Dyah Raseksi mengamati adiknya dengan pandang mata tajam. Kalau menuruti
watak dan tabiatnya yang sudah terbiasa, setiap perintah dan kehendaknya selalu dipatuhi
anak buahnya, ingin sekali Dyah Raseksi marah dan mendamprat Pertiwi Dewi. Namun
demikian ada perasaan yang menyebabkan ia tidak tega, dan kemudian perempuan ini
menghela napas panjang .https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pertiwi," katanya kemudian. "Sungguh menyesal, berat sekali rasanya apabila
aku harus meninggalkan tempat ini."
"Apakah sebabnya?" Pertiwi Dewi mengangkat kepala, mengamati kakak
perempuannya dengan pandangan mata heran.
"Ketahuilah bahwa aku telah berhutang budi yang tidak mungkin dapat aku balas,
terhadap ayah angkatku dan guruku," sahut Dyah Raseksi. "Bukan saja dia telah
menolong aku, menyelamatkan aku dari bahaya, tetapi dialah yang sudah mendidik aku
dan menyayangi pula tiada bedanya anak kandung sendiri. Untuk itu, aku harus dapat
membalas budi kebaikannya, agar orang tidak menuduh aku sebagai seorang yang tak
pandai membalas budi. Hemm, oleh karena itu adikku, besar harapanku agar engkau
yang sudi mengalah, dan engkau bersedia hidup bersama aku di tempat ini."
"Tidak mungkin!" sahut Pertiwi Dewi cepat. "Aku mempunyai alasan yang sama
dengan engkau. Karena akupun berhutang budi kepada guruku. Apakah aku masih bisa
hidup dan dapat bertemu dengan engkau, tanpa lewat pertolongan guruku?"
Mereka kembali berdiam diri, dan kemudian masing-masing menghela napas.
Untuk beberapa saat lamanya keadaan hening. Dan Fajar Legawa yang duduk di atas
tonggak nu, dapat mendengar jelas apa yang sedang dipercakapkan oleh kakak dan adik
itu. Akan tetapi dirinya, orang luar, yang tidak berhak sedikitpun mencampuri urusan
kakak-beradik itu. Dan kalau masing-masing kokoh akan pendiriannya, siapakah yang
dapat mengatasi dan memaksa?
Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, dan kemudian terdengarlah
Pertiwi Dewi berkata. "Mbakyu, apabila demikian, agaknya sulit di dalam keadaan seperti
ini, aku dan engkau bersatu kembali seperti ketika ayan bunda masih hidup....."
"Ya, akupun berpendapat demikian," sahut Dyah Raseksi sambil menghela
napas dalam.
"Akan tetap aku berharap agar setiap kali engkau sudi berkunjung kemari dan bertemu
dengan aku. Sebaliknya adikku, aku pun akan selalu berusaha agar dapat mengunjungi
tempat tinpgalmu."
Ketika itu Dyah Raseksi mengangkat kepalanya, dan tampak oleh perempuan ini
seorang pemuda yang duduk di atas tonggak tak bergerak. Bibir perempuan ini tersenyum,
lalu bertanya. "Pertiwi, aihh.....aku sampai lupa kepada suamimu....."
Pertiwi Dewi terkejut dan mengangkat kepalanya, memandang ke arah Fajar
Legawa duduk. "Dia.....dia bukan suamiku....."
"Aih.....lalu siapakah dia?" Dyah Raseksi kaget, tetapi bibirnya menyungging
senyum.
"Dia.....teman baik. Dia sahabatku . . . ." jawabnya dengan agak malu. "Mbakyu,
hari ini aku merasa bahagia sekali, secara tak terduga dapat bertemu dengan kau. Tetapi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
.... tetapi sudikah engkau mengabulkan apa yang aku minta?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Apakah yang akan engkau minta itu?"
"Tentang laki laki dari Comal yang bernama Pradapa itu. Mbakyu, kasihanilah
isterinya yang amat sedih.....Agar suami-isteri itu dapat hidup lagi bahagia."
Sikap yang semula lemah lembut itu, mendadak berobah. Dyah Raseksi
mendengus dingin, kemudian menghardik. "Hemmm, engkau lancang sekali Pertiwi,
sudah mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi ahh.....aku tidak sampai hati menolak
permintaan adikku. Aku kabulkan tuntutanmu itu, justeru tidak sulit bagiku untuk
memperoleh gantinya dua atau tiga orang sekaligus."
"Mbakyu, apa katamu?" Pertiwi Dewi kaget dan mengamati kakak-perempuannya
dengan pandang mata tajam. "Engkau masih saja tetap melanjutkan perbuatan-
perbuatanmu yang terkutuk itu? Mbakyu.....mbakyu .... sadar dan ingatlah
engkau.....Betapa sedih ayah dan bunda kita, melihat sepak terjangmu yang tidak patut
itu....."
"Hai Pertiwi!" bentak Dyah Raseksi tiba-tiba. "Selancang dan setajam itukah
mulutmu terhadap aku? Huh, jika tidak ingat engkau adikku, apakah aku sanggup
menahan diri? Tentu mulutmu sudah aku tampar remuk."
Bentakan kakak-perempuannya ini membuat Pertiwi Dewi sadar. Bahwa ia telah
lancang mengucapkan kata-kata yang amat menusuk perasaan. Gadis ini menundukkan
kepalanya, dan sambil terengah-engah dalam usahanya menahan marah, Dyah Raseksi
berkata lagi. "Pertiwi, ketahuilah bahwa aku seorang perempuan malang dan hidup
sengsara. Hari depanku telah dihancurkan oleh laki-laki dan dipermainkan. Apakah
salahnya aku membalasnya?"
"Sungguh menyesal aku, bahwa engkau telah menghina aku," terusnya sambil
menghela napas dalam. "Akan tetapi aku masih dapat memaafkan kelancanganmu ini,
asal engkau berjanji takkan mengulangnya lagi. Pertiwi, bagaimanapun engkau adikku.
Maka kurang layak kiranya apabila engkau merasa lebih tahu dan mencela. Apabila
engkau sampai lancang dan membuat aku marah, jangan salahkan aku tega dan
menghancurkan engkau seperti batu ini."
"Crakk...!" batu sebesar kambing yang bercokol di dekatnya, telah disabet dengan
pedang. Sekali sabet batu besar itu telah pecah menjadi dua.
Pertiwi Dewi terkejut, mengangkat kepalanya dan bergidik. Sejak bertemu ia
memang sudah menyadari hahwa kakak perempuannya ini seorang sakti mandraguna,
jauh di atas dirinya. Akan tetapi walaupun menyadari bahwa kakak perempuannya
seorang perempuan sakti mandraguna, hati gadis ini cukup keras dalam membela
kebenaran dan nama baik keluarga. Ia tidak menjadi gentar dan tidak pula mau mengalah.
Secepat kilat gadis inipun berdiri sambil mencabut pedang, Ia tertawa nyaring, kemudian
terdengarlah jawabannya yang cukup lantang. "Mbakyu, dalam keadaan bagaimanapun
aku tetap mengakui bahwa engkau saudaraku yang lebih tua, dan sepantasnya pula aku
menghormatimu. Tetapi sebaliknya, aku tidak rela apabila engkau menodai nama baik
keluarga. Dan untuk kepentingan keluarga itu, aku tidak takut berhadapan denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahaya. Siapapun yang berani menodai nama baik keluargaku, huh, akan aku tabas
lehernya seperti pohon ini!"
"Crakk!" sekali pedang gadis ini bergerak dan menabas, maka patahlah batang
pohon di dekatnya. Patahnya pohon itu dibarengi oleh suara gemerasak kemudian
tumbang.
Dyah Raseksi ketawa amat nyaring. Ia mengamati adiknya dengan sepasang mata
yang menyala. Namun dibaliknya Pertiwi Dewi tidak takut dan tidak gentar. Ia
menentang pandang mata kakak perempuannya itu, dengan tekat yang sudah bulat. Ia
tidak takut mati dalam usahanya membela nama baik keluarga.
Dengan jantung berdebar tegang Fajar Legawa telah melompat, kemudian
menghampiri kakak beradik itu. Pemuda ini tampak heran melihat perobahn itu. Yang
semula mereka bertangisan dan melepas rindu, sekarang berbalik akan berkelahi.
Bagaimanapun bagi pemuda ini, takkan membiarkan Pertiwi Dewi dalam bahaya. Dan ia
sedia mempertaruhkan nyawa sendiri untuk membela gadis ini.
"Hai Pertiwi!" teriak Dyah Raseksi dengan marah. "Engkau adik kandungku.
Bagaimanapun kekurang ajaranmu terhadap aku, aku masih bisa memaafkan. Oleh sebab
itu, cepatlah engkau enyah dari tempat ini, dan selanjutnya kularang engkau mencampuri
urusanku."
"Hi-hi-hik," Pertiwi Dewi ketawa mengejek. "Enak saja engkau membuka mulut
dan bicara . Kau kira aku takut padamu? Hai perempuan liar, hai perempuan jalang!
Engkau seorang anak yang tak berbakti, dan engkau sampai hati menodai nama baik
keluarga. Lebih biak engkau menyerah dan menerima hukuman atas dosamu. Jangan
menunggu sampai aku marah!"
Sulit dibayangkan betapa marah Dyah Raseksi sekarang ini. Bertahun-tahun
lamanya ia hidup di sini, tidak ubahnya seorang ratu. Setiap orang akan tunduk kepada
perintahnya, dan tidak seorangpun berani membantah. Hari ini secara tak terduga ia dapat
bertemu dengan adiknya yang sudah lama ia cari. Sejak lama ia bercita dan
mengharapkan, agar adiknya yang bernama Pertiwi Dewi itu sedia hidup bersama di
sampingnya, dan takkan terpisah lagi. Akan tetapi sekarang, ternyata harapannya hanya
merupakan impian kosong melompong. Setelah dirinya dapat bertemu dan dapat melepas
rindu dengan adiknya, Pertiwi Dewi malah mencela dan menentang cara hidupnya.
Saking marah alis perempuan ini berdiri, dan giginya gemeretak.
"Hi-hi hik, engkau berani menantang Dyah Raseksi? Bagus! Kerahkan seluruh
kemampuanmu, dan jangan menyesal apabila pedangku terpaksa memenggal lehermu.
Bukan aku yang memulai, akan tetapi engkau sendiri. Dan, hi-hi-hik, sesudah engkau
mampus, maka pemuda tampan itu akan menjadi milikku."
"Tutup mulutmu yang busuk. Jaga seranganku!" teriak Pertiwi Dewi, dan
pedangnya sudah berkelebat untuk menikam.
"Trang......!" Dyah Raseksi sengaja menangkis serangan itu, walaupun sebenarnya
tubuhnya tak mempan oleh senjata. Sengaja ia menangkis untuk mengukur sampai
dimanakah kekuatan adiknya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh....!" pekik Pertiwi Dewi yang kaget. Tubuhnya terhuyung dua langkah ke
belakang, telapak tangmnya panas seperti terbakar, dan hampir saja pedangnya lepas dari
tangan.
Dyah Raseksi tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan hanya ketawa mengejek,
"Hai Pertiwi, aku masih dapat memaafkan engkau, dan lekaslah engkau enyah dari
tempat ini. Tidak mungkin engkau sanggup melawan aku, dan tinggalkan di sini pemuda
tampan itu."
"Mampus kau!" teriak Pertiwi Dewi sambil menikamkan pedangnya lagi.
"Tak tak tak....!" berturut-turut sambaran pedang Pertiwi Dewi itu mengenai
sasarannya, justeru Dyah Raseksi tidak berkisar dari tempatnya berdiri. Akan tetapi oleh
perlindungan "aji welut putih", maka semua tikaman dan sambaran pedang itu meleset,
tidak berhasil melukai tubuh Dyah Raseksi.
Sebaliknya Pertiwi Dewi seperti orang kalap. Walaupun tahu semua serangannya
tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap lawan, namun gadis ini terus menyerang dan
menyerang.
Makin lama Dyah Raseksi menjadi gemas, menghadapi adiknya yang keras kepala
ini, Tiba-tiba peiempuan ini ketawa nyaring melengking dan kemudian terdengarlah
ucapannya yang. menggeletar. "Ayah .... ibu .... maafkan aku. Hari ini aku terpaksa
lancang tangan dan membunuh anakmu yang bungsu, karena tidak pandai
mengindahkan nasihatku."
Bersamaan dengan ucapannya yang terakhir tubuh Dyah Raseksi telah bergerak
bersama pedangnya. Gerakan Dyah Raseksi amat cepat sekali, hingga dalam segebrakan
saja sudah terdengar suara benturan senjata yang berturut-turut disusul oleh suara pekik
Pertiwi Dewi yang amat nyaring.
"Trang trang tring . .. aihhh ,...!" benturan pedang Dyah Raseksi kuasa
mementalkan pedang adiknya, hingga kemudian pedang itu lepas dari tangan, runtuh di
atas tanah. Dan saking kaget, gadis kecil mungil ini sudah berteriak nyaring.
Namun disaat sekarang ini Dyah Raseksi sudah amat marah. Ia sudah tidak ingat
lagi siapa yang dihadapi sekarang ini. Disaat tubuh Pertiwi Dewi masih terhuyung itu,
Dyah Raseksi telah melompat ke depan sambil menikamkan pedangnya.
"Plak .... aihh . . .!" Dyah Raseksi kaget dan terhuyung mundur. Dan Pertiwi Dewi
selamat dari ancaman bahaya, berkat tindakan Fajar Legawa yang tangkas, telah
menolong gadis itu dengan pukulan tangan miring ke punggung pedang Dyah Raseksi.
Dyah Raseksi mengamati Fajar Legawa dengan mata terbelalak. Ia kaget
berbareng heran bahwa pukulan pemuda tadi, kuasa membuat telapak tangannya panas
dan pedangnya hampir jatuh. Namun demikian perempuan ini tidak marah. Sesudah
mengamati Fajar Legawa beberapa saat lamanya, perempuan ini tersenyum manis.
Katanya halus. "Hi-hi-hik, apakah sebabnya engkau selalu membela Pertiwi Dewi?
Bukankah aku tidak kalah cantik jika dibanding dengan dia? Aihh kakang, percayalahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahwa dalam menyenangkan dan membahagiakan hatimu, aku akan jauh lebih pintar.
Engkau tampan dan betapa ....."
"Tutup mulutmu yang busuk!" potong Fajar Legawa yang sudah tidak kuasa lagi
menahan marah dan muaknya. "Engkau binatang berbentuk manusaja. Engkau manusia
ganas dan kepada adikmu sendiri sampai hati berusaha untuk membunuh. Huh, manusia
macam engkau ini, selekasnya harus mampus ."
"Tapi .... tapi dia keras kepala, kangmas," jawab Dyah Raseksi yang masih
berusaha membujuk, dan ucapannya halus. "Dan aku bersedia memaafkan Pertiwi Dewi,
asal saja engkau sedia memenuhi harapanku. Aku .... aku . . . ."
"Cukup!" potong Fajar Legawa yang tambah muak. "Sekarang juga engkau harus
mampus!"
Kemudian dengan gerakannya yang gesit Fajar Legawa telah memukul dengan
telapak tangan yang dimiringkan, ke arah pundak. Akan tetapi celakanya serangan Fajar
Legawa ini hanya disambut oleh ketawa Dyah Raseksi yang mengejek. Ia tidak berusaha
menghindarkan dan mengelak, malah kemudian tangan kiri perempuan ini diangkat
dengan maksud mencubit dagu.
Fajar Legawa terkejut sekali ketika pukulannya terbentur oleh tenaga yang amat lunak,
licin dan menyedot. Dan dalam pada itu ia merasa malu sekali, bahwa hampir saja
dagunya berhasil dicubit oleh perempuan itu.
Pengalamannya ini menyadarkan Fajar Legawa, bahwa perempuan liar ini
seorang sakti mandraguna yang dilindungi oleh aji kesaktian. Hingga semua pukulannya
tidak mungkin berhasil, apabila hanya menggunakan pukulan yang biasa. Sadar akan
keadaan ini, dan sadar pula bahwa Dyah Raseksi yang ganas ini hanya akan menimbulkan
malapetaka bagi umat manusia, maka timbullah niat pemuda ini untuk menggunakan pu-
kulan ampuh yang bernama "lebur jagad".
Secepat kilat Fajar Legawa telah merobah sikap. Tiba-tiba dua kaki pemuda ini
merapat, disusul tangan kanan meninju udara. Gerakan itu disusul oleh tangan kiri yang
mengepal melindungi dada. Menyusul kemudian ia berdiri di atas kekuatan jari, sambil
menyalurkan hawa sakti dalam tubuh ke tangan kanan. Dan apabila kemudian apabila
jari tangan kanan itu sudah berobah menjadi lurus dan merapat, itulah merupakan tanda
aji "lebur jagad" sudah siap dilancarkan.
Dyah Raseksi hanya tersenyum saja menyaksikan tingkah Fajar Legawa ini.
Perempuan ini tidak sadar sama sekali, bahwa aji "lebur jagad" itu merupakan pukulan
berbahaya, yang kuasa menghancurkan batu sebesar gajah. Dau karena tidak sadar akan
bahaya ini, maka bibir Dyah Raseksi tetap tersenyum-senyum, sedang sepasang matanya
mengamati tidak berkedip.
"Hiaaattt.....!" teriak Fajar Legawa nyaring, dan disusul tubuhnya melesat ke
depan untuk memukul.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Darrr.....!" suara menggelegar terjadi akibat benturan tenaga yang amat dahsyat.
Tubuh Fajar Legawa terlempar ke belakang hingga dua tombak, dan peristiwa tidak
terduga itu menyebabkan Pertiwi Dewi memekik nyaring saking terkejut.
Di depan Dyah Raseksi sekarang telah berdiri seorang kakek bertubuh kurus.
Kumis dan jenggotnya panjang menjuntai, sudah bercampur dengan uban. Tubuh kakek
itu bergoyang-goyang seperti pohon padi tertiup angin. Wajah kakek itu agak pucat,
namun tak 1ama kemudian kakek itu sudah dapat berdiri tegak lagi.
Laki-laki tua yang tiba-tiba muncul dan menolong Dyah Raseksi ini, bukan lain
guru Dyah Raseksi sendiri yang bernama Jalu Gigis. Dan diam-diam kakek ini heran pula,
mengapa semuda itu telah memiliki tenaga yang demikian dahsyat.
"Ayah!" tegur Dyah Raseksi dengan nada yang tidak senang. "Mengapa ayah
membuat aku kecewa?"
"Aihh." Jalu Gigis nampak kaget dan membalikkan tubuh menghadapi Dyah
Raseksi. "Apa sebabnya engkau menuduh aku seperti itu?"
"Apakah sebabnya ayah perlu menangkis pukulan dia? Bukankah dengan aji
"welut putih" aku dapat melindungi pengaruh pukulan itu?"
"Heh-heh-heh," Jalu Gigis terkekeh. "Engkau terlalu sembrono anakku. Pukulan
pemuda itu amat berbahaya, dan tak cukup ditolak dengan aji "welut putih"
"Aihh . ..." Dyah Raseksi terbelalak kaget. "Apa sebabnya?"
"Pukulan bocah itu bukanlah pukulan biasa."
"Ayah .... kalau demikian apakah aji "welut putih" belum dapat diandalkan
keampuhannya?"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm" Jalu Gigis menghela napas pendek, "Tidak seorangpun di dunia ini berhak
mengaku orang paling sakti dan tidak terkalahkan."
"Tetapi ayah........aku belum dikalahkan. Mengapa ayah sudah turun tangan?""
"Benar. Namun sebaliknya engkaupun tidak boleh memandang rendah kepada
pemuda itu. Maka serahkan dia padaku, dan engkau cukup menonton saja."
"Tetapi......."
"Apa lagi?"
"Ayah jangan melukai dia ....."
"Hah!" Jalu Gigis terbelalak dan merasa heran mendengar permintaan anak
angkatnya ini. "Permintaanmu sungguh aneh. Bagaimanakah mungkin aku dapat
menundukkan dia tanpa membalas pukulannya?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tetapi ayah......... hi-hi hik," kata Dyah Raseksi dengan sikap yang manja dan
setengah malu-malu. "Apakah ayah belum tahu akan maksudku?"
"Apakah maksudmu?" Jalu Gigis mengamati anaknya dengan pandang mata
heran.
"Pemuda itu tampan dan ganteng ayah . . ..."
Tersentak ketawa Jalu Gigis mendengar ucapan anak angkatnya yang terakhir ini.
"Heh-heh-heh, engkau selalu jatuh hati saja, apabila melihat seorang laki-laki tampan.
Heh-heh-heh, tetapi kau juga tidak salah anakku, justeru engkaupun seorang perempuan
muda dan cantik jelita."
Bangga Dyah Raseksi oleh pujian ayah angkat dan sekaligus gurunya ini. Ia
tersenyum manis sekali sambil mengerling, dan kemudian sesudah mencium pipi Jalu
Gigis yang mulai berkeriput Dyah Raseksi melompat dan kemudian berdiri di pinggir.
"Hai bocah, katakan terus-terang siapakah namamu?" tegur Jalu Gigis dengan
angker.
"Fajar Legawa," sahut pemuda ini singkat.
"Bagus, dan engkau perlu tahu bahwa aku Jalu Gigis, ayah dan guru Dyah
Raseksi," Kata kakek itu. "Tetapi ehh, mengapa sebabnya sepagi ini engkau sudah
mengganggu dan mengacau tempat tinggal kami?"
"Maafkan aku paman, bukan maksudku untuk mengganggu dan mengacau tempat ini,"
sahut Fajar Legawa dengan ramah. "Aku datang kemari untuk menuntut pembebasan
seorang sahabatku. Dan apabila sahabat yang aku maksud telah dibebaskan, tanpa rewel
lagi aku akan pergi dari tempat ini""
"Heh-heh-heh, boleh-boleh, asal saja engkau bisa."
"Apakah syaratnya?"
"Sahabatmu itu tanpa syarat akan dibebaskan tetapi engkau harus menggantikan
dia menjadi tawanan anakku."
"Kurang ajar! Ternyata antara anak dan ayah sama jahatnya!" teriak Fajar Legawa
yang sudah terbakar oleh marah, "Jika demikian, maafkan aku yang muda, terpaksa
berbuat lancang di tempat ini."
"Heh-heh-heh," ejek Jalu Gigis. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Jika paman berkeras mempertahankan sahabatku itu, dengan menyesal akupun
akan menggunakan kekerasan,"
"Heh-heh-heh, bagus! Akan aku lihat sampai dimanakah kemampuanmu, anak
muda!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sambil menggeram Fajar Legawa telah melompat dan melancarkan pukulan-
pukulannya. Angin yang dahsyat menyambar-nyambar mendahului datangnya pukulan
yang dilancarkan. Akan tetapi dengan ketawa ha-ha he-he, tanpa kesulitan Jalu Gigis
melayani semua serangan orang muda itu.
Makin lama Fajar Legawa merasakan tekanan lawan yang makin menjadi kuat. Ia
menjadi sadar, apabila tetap bertangan kosong, tidak urung dirinya celaka. Maka secepat
kilat pemuda ini sudah mencabut tongkatnya, kemudian melancarkan serangannya
dengan tongkat itu.
Jalu Gigis berseru kaget ketika tiba-tiba ia merasakan pengaruh hawa yang amat
dingin menusuk tulang. Mengapa bisa terjadi demikian? Padahal dirinya sekarang ini
dilindungi oleh aji "welut putih" dan sanggup menahan pukulan maupun serangan senjata
tajam. Akan tetapi mengapa sekarang ini, tongkat orang muda ini mempunyai pengaruh
yang mujijad?
Dyah Raseksi mengamati perkelahian itu dengan sepasang mata terbelalak, dan
seakan tidak, percaya akan pandang matanya sendiri. Ayah angkatnya adalah seorang
sakti mandraguna. Akan tetapi mengapa sekarang ini, hanya berhadapan dengan Fajar
Legawa, tidak lekas dapat mengalahkan? Diam-diam perempuan ini menjadi kaget dan
sadar. Ternyatalah bahwa dugaan ayahnya tadi bukan hanya ngawur. Peringatan
ayahnya tadi mempunyai cukup alasan, bahwa Fajar Legawa memang seorang pemuda
yang gemblengan dan sakti mandraguna.
TETAPI justeru menyadari bahwa pemuda ini disamping tampan juga sakti
mandraguna, maka ia makin bernafsu untuk dapat menguasai dan menjinakkan Fajar
Legawa. Sebab dengan kehadiran pemuda ini di sampingnya, akan berarti dirinya
mempunyai seorang pembantu terpercaya. Malah kemudian timbul tekadnya dalam hati,
bahwa ia sedia mengakhiri kebiasaannya yang berganti-ganti laki-laki, untuk menjadi
isteri Fajar Legawa yang setia. Bukankah apabila dirinya dapat hidup sebagai suami-isteri
dengan pemuda itu, di dunia ini akan muncul suami isteri sakti mandraguna yang
namanya menggetarkan jagad?
Sementara itu Pertiwi Dewi mengikuti perkelahian itu dengan jantung yang
berdebar dan tegang, la memang selalu berharap agar Fajar Legawa dapat mengalahkan
Jalu Gigis maupun Dyah Raseksi. Akan tetapi sebaliknya, melihat perkelahian yang
demikian sengit itu, diam-diam ia menjadi khawatir juga kalau Fajar Legawa sampai gagal
mengatasi. Maka walaupun sekarang ini dirinya hanya berdiri dan menonton, tangan
kanannya tetap saja dalam keadaan siaga, menggenggam pedang yang telanjang.
Demikianlah, perkelahian atara Jala Gigis dengan Fajar Legawa itu berlangsung
amat sengit, dan gerakan mereka cepat sekali hampir tak dapat diikuti oleh pandang mata.
Namun makin lama Dyah Raseksi menjadi khawatir dan gelisah. Ia sadar bahwa ayah
angkatnya sudah tua sehingga baik tenaga maupun napasnya sudah jauh merosot. Kalau
perkelahian itu tidak segera juga berakhir, ia menjadi amat khawatir kalau pada akhirnya
pemuda itu yang akan menang.
Oleh dorongan pengaruh yang khawatir ini, tiba-tiba Dyah Raseksi melengking
nyaring. Tubuhnya berkelebat dan kemudian perempuan ini sudah menyerang Pertiwi
Dewi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aihhh.....trang........!" benturan pedang terjadi, sesudah Pertiwi Dewi memekik
nyaring. Gadis ini memang agak kaget, sebab sama sekali tidak menduga, bahwa dirinya
akan diserang Dyah Raseksi.
Fajar Legawa kaget sekali mendengar pekikan Pertiwi Dewi yang nyaring itu. Hati
ingin menolong, akan tetapi sunguh sayang, dirinya sendiri terlibat oleh Jalu Gigis. Dan
disaat Faja Legawa belum dapat berbuat sesuatu ini, tiba-tiba terdengarlah pekik Pertiwi
Dewi yang lebih nyaring. Akibat kaget, hampir saja tongkat Fajar Legawa dapat direbut
oleh Jalu Gigis. Masih untung bahwa pemuda ini dapat mempertahankan tongkat itu,
kemudian melompat ke samping.
Sambil melompat ini Fajar Legawa sempat melirik. Dan betapa terkejut pemuda
ini ketika melihat bahwa Pertiwi Dewi sudah roboh di atas tanah, ia tidak tahu apakah
Pertiwi Dewi pingsan ataukah tewas menghadapi kakak perempuannya sendiri yang
bernama Dyah Raseksi itu.
Akan tetapi yang jelas robohnya Pertiwi Dewi ini membuat Fajar Legawa kalap.
Sambil menggeram seperti harimau terluka, Fajar Legawa menerjang maju memukulkan
tongkatnya keaarah Jalu Gigis. Ternyata Jalu Gigis tidak berani gegabah menghadapi
tongkat Fajar Legawa yang menebarkan hawa dingin itu. Dan Ketika Jalu Gigis
melompat ke samping menghindarkan diri, maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Fajar Legawa untuk menerjang Dyah Raseksi.
Dyah Raseksi kaget oleh serangan lawan tak terduga ini, dan untuk menolong diri
Dyah Raseksi membenturkan pedangnya untuk menangkis, "Trang.....! Aihhh.....!"
Benturan senjata itu disusul oleh Pekik Dyah Raseksi yang amat nyaring. Sebab
begitu berbenturan, pedang Dyah Raseksi telah patah menjadi dua potong. Dalam
marahnya Fajar Legawa tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk bernapas, ia
melompat ke depan sambil menyodokkan tongkat ke dada Dyah Raseksi.
Sungguh sayang bahwa saat sekarang ini Jalu Gigis hadir di tempat itu. Melihat
anak angkatnya terancam oleh bahaya, secepat kilat Jalu Gigis telah merakup lima butir
kerikil, kemudian berturut-turut disambitkan. Atas serangan ini Fajar Legawa memang
tangkas. Menggunakan kegesitannya ia berhasil menghindari dan menangkis serangan itu
yang berturut-turut. Empat butir telah dapat lolos, akan tetapi sayang sekali sebutir kerikil
masih sempat memukul lutut. Terdengar Fajar Legawa mengeluh lirih, disusul tubuhnya
terhuyung, kemudian roboh di atas tanah.
"Heh-heh heh!" Jalu Gigis terkekeh, kemudian berkata ramah kepada anak-angkatnya.
"Puaskah engkau sekarang?"
"Ayah, terima kasih," jawab Dyah Raseksi dengan wajah berseri. "Dan sekarang,
aku sendiri dapat mengurusi."
"Heh-heh-heh.....heh heh-heh....." Jalu Gigis hanya tertawa, tanpa mengucapkan
sesuatu. Agaknya kakek ini sudah maklum akan maksud anak-angkatnya, maka tak lama
kemudian kakek ini telah pergi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Cekatan sekali Dyah Raseksi telah mengikat kaki dan tangan Fajar Legawa. Tetapi
ketika Pertiwi Dwi tiba gilirannya untuk diikat kaki dan tangannya, maka dara kecil
mungil ini mendapat. "Bunuh, bunuhlah saja aku, habis perkara!"
"Hi-hi hik," Dyah Raseksi ketawa mengejek. "Engkau sendiri yang telah memilih
jalan buruk. Aku memberi engkau daging, tetapi engkau malah memilih tai anjing. Hi-hi-
hi, untuk membunuh engkau, apakah sulitnya? Namun karena engkau seorang adik yang
berani melawan saudara tua, engkau harus mengalami derita dan siksaan sebelum
mampus. Huh-huh, sangkamu aku tidak dapat berbuat kejam kepada adik sendiri? Hi-hi-
hikk, aku Dyah Raseksi. Siapapun yang berani menantang aku harus mengalami siksaan
sebelum mampus!"
"Huh-huh, siapa takut?" jawab Pertiwi Dewi marah sekali. "Engkau binatang yang
berbentuk manusia. Engkau bukan saudaraku. Engkau manusia perempuan liar dan
ganas. Aku tidak menyesal mati di tanganmu, sebaliknya aku malah puas. Huh, semoga
Tuhan mengutuk dan menghukummu......."
"Hi-hihik," kata-kata Pertiwi Dewi itu hanya disambut oleh ketawa Dyah Raseksi
yang cekikikan. "Dalam menghadapi maut, ternyata engkau masih juga bermulut tajam.
Huh, apapun yang aku 1akukan, siapa yang dapat melarang dan menghalangi?"
Dyah Raseksi berhenti sebentar sambil menatap tajam kepada Pertiwi Dewi.
Sesaat kenudian ia meneruskan. "Hai budak liar yang tidak tahu adat. Tahukah engkau
bahwa tidak terhitung jumlahnya manusia laki-laki yang saling berebut dan berusaha
mendekati aku? Huh, engkau boleh saja menyebut aku perempuan jalang atau perempuan
terkutuk. Namun yang jelas banyak laki-laki menelan ludah setiap melihat kecantianku.
Dan tahukah engkau apabila laki-laki sudah aku beri kesempatan memeluk dan mencium
aku? Tidak seorangpun mencelanya, sebaliknya malah memuji-muji bahwa aku
perempuan cantik bagai bidadari. Banyak puji sanjung yang diucapkan. Dan mereka akan
selalu terkenang pula padaku."
Pertiwi Dewi meludah saking muak mendengar kata-kata Dyah Raseksi itu. Gadis
yang sudah tidak berdaya ini makin menjadi sengit. "Huh! Ucapanmu merupakan cermin
dari budi dan nuranimu yang amat kotor. Pantas! Pantas apabila kau diberi air susu,
membalas dengan air tuba. Kau mungkir? Huh, orang tua dibunuh mati oleh peijahat,
namun sebaliknya engkau malah menyedikan diri diperisteri. Engkau....... berkhianat
kepada keluarga. . . ."
"Plak plak. . . .!" telapak tangan kanan Dyah Raseksi menyambar pipi Pertiwi
Dewi keras sekali. Dan akibatnya, pipi yang halus dan montok itu, sekarang berolah
menjadi matang biru oleh tamparan yang keras. Dan sudut bibir Pertiwi Dewi mengalir
darah merah, pertanda dalam mulut sudah terluka. Namun demikian, sedikitpun gadis ini
tidak meratap, dan pula tidak menjadi gentar menghadapi kakak perempuannya yang
berobah menjadi ganas ini.
Sungguh kasihan Pertiwi Dewi ini. Bertahun-tahun ia selalu terkenang kepada kakak
perempuannya yang hilang diculik penjahat. Bertahun-tahun ia merindukan pertemuan
dengan kakak perempuannya itu. Namun sekarang, setelah harapannya itu terkabul,
dapat bertemu dengan mbakyu, akan tetapi yang terjadi di luar harapannya. Ternyatahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kakak perempuannya sudah jauh berobah. Kakak perempuannya sudah menjadi manusia
berhati binatang.
"Keparat! Perempuan liar!" teriak Fajar Legawa yang merasa iba kepada
penderitaan Pertiwi Dewi. "Dia sudah tidak berdaya, tetapi mengapa engkau sampai hati
menyiksa dan menyakiti? Huh, lupakah engkau bahwa Pertiwi Dewi itu adik kandungmu
sendiri?"
Sepasang mata Dyah Raseksi yang semula menyala itu mendadak berobah redup
dan bibirnya tersenyum ketika mendengar kata-kata Fajar Legawa ini. Ia kemudian
meninggalkan Pertiwi Dewi, dan ia melangkah menghampiri pemuda itu yang terikat
tidak berdaya. Setelah ia berjongkok di samping Fajar Legawa, perempuan ini berkata
dengan nada halus. "Kangmas, mengapa engkau marah-marah? Bukan maksudku untuk
menyakiti budak liar itu. Akan tetapi karena mulutnya terlalu lancang, maka dengan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpaksa aku harus menghajar mulut tajam itu."
"Tetapi bagaimanapun Pertiwi Dewi itu adik kandungmu," kata Fajar Legawa
dalam usahanya menyadarkan perempuan ini. "Tidak semestinya engkau berbuat sekejam
itu."
"Aihh, kangmas, engkau tidak adil!" protes Dyah Raseksi. "Engkau selalu
membela budak liar itu, dan sebaliknya engkau selalu menyalahkan aku," Dan sepasang
mata Dyah Raseksi yang bening itu, sekarang tampak berkaca-kaca seperti mau menangis.
Entah mengapa sebabnya, tidak seorangpun tahu kecuali Dyah Raseksi sendiri.
"Bukannya aku selalu membela dia," kata Fajar Legawa. "Akan tetapi akupun
tidak setuju dengan pendirianmu yang sesat itu."
"Hi-hi-hik, lagi-lagi engkau mencela aku dan menganggap sesat." jawab Dyah
Raseksi sambil cekikikan. "Kangmas, aku jatuh cinta kepadamu, akan tetapi sebaliknya
mengapa engkau selalu angkuh dan pura-pura tidak tahu? Aih kangmas, jangan engkau
jual mahal. Betapa bahagia hatiku ini, apabila aku selalu berada di sampingmu."
Death Du Jour Karya Kathy Reichs Pendekar Muka Buruk Pendekar Berwajah Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo
Legawa. Mengapa ia menduga pemuda itu yang akan dibunuh? Sebab orang orang jahat
ini tentu merasa sayang apabila membunuh seorang perempuan secantik Pertiwi Dewi.
Dan lebih lagi, sejak tadi mereka sudah meagincar dan membicarakan.
Namun walaupun sadar bahwa ancaman itu tentu bukan ancaman kosong, saat
sekarang ini dirinya harus memperhitungkan untung maupun ruginya. Kalau ia berusaha
melompat mundur untuk melindungi Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi yang pingsan,
akibatnya malah lebih celaka lagi. Jaraknya dengan dua orang muda itu lebih empat
tombak. Dan apabila dirinya melompat mundur, akan berarti memberi kesempatan
kepada Dadungawuk untuk membalas maupun melemparkan lagi senjata yang beracun
itu. Maka menurut jalan pikiran Gadung Melati saat sekarang ini, lebih baik ia menekan
Dadungawuk dengan serangan-serangan berantai lebih dahulu, dan baru kemudian
melompat mundur untuk melindungi dua orang muda itu
Sebaliknya Tambak Rawa, setelah berusaha mempengaruhi perasaan Gadung
Melati tidak berhasil, tanpa bicara lagi sudah menyambitkan enam batang pisau itu ke
arah Fajar Legawa yang menggeletak tidak bergerak.
"Siut wut wut. ...!" dan enam batang pisau belati itu kemudian melesat dari
tangannya, saling susul menyambar ke arah Fajar Legawa.
Celaka! Fajar Legawa yang pingsan dan tidak dapat membela diri ini, akan segera
tewas terpanggang oleh pisau-pisau belati yang beracun itu.
"Tring tring tring ....!" Tambak Rawa terbelalak kaget, ketika enam batang pisau
belatinya itu sudah runtuh ke atas tanah terbentur oleh benda-benda kecil yang
menyambar secara tiba-tiba. Dari kaget ia sudah marah sekali, kemudian berteriak
nyaring.
"Hai manusia busuk yang bersembunyi. Muncullah kemari, dan jangan main
curang!"
"Ha-ha-ha-ha, yang curang aku apakah engkau?"
Sepasang mata Tambak Rawa membeliak lebih kaget lagi, kemudian mata orang
ini mencari-cari dan mengamati ke arah batang-batang pohon. Suara jawaban itu, seperti
terdengar dari atas. Akan tetapi ketika ia mengamati penuh perhatian ke arah pohon-
pohon, orang yang dicari tidak tampak.
"Setankah?" desisnya, setelah mengamati tidak juga tampak seorangpun. Akan
tetapi pendapatnya ini segera dibantah sendiri. Tidak mungkin! Manakah ada setan bisa
bicara sejelas itu? Namun sesudah merasa pasti bahwa bukan setan, jantung Tambakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Rawa berdesir hebat dan amat tegang, sebab ia segera dapat menduga, bahwa orang yang
baru saja bersuara itu tentu seorang sakti mandraguna.
Namun walaupun jantungnya berdesir dan tegang, tangannya sudah bergerak lagi.
Sekarang pisau belati yang disambitkan bukan hanya enam batang lagi. Malah sepuluh
batang berturut-turut. Sambitannya kali ini tanpa memberitahukan lebih dahulu, yang
maksudnya agar orang yang bersembunyi itu tidak menduga sama sekali.
"Siut wut wut....!" sepuluh batang pisau belati sudah menyambar seperti kilat
cepatnya, dan berpencaran. Sekarang arah sasarannya bukan melulu kepada Fajar
Legawa, melainkan juga ke arah Pertiwi Dewi.
"Heh-heh heh-heh!" terdengar lagi suara ketawa orang yang terkekeh, akan tetapi
kecil. "Sesudah main-main dengan telur busuk yang membuat orang mabuk dan pingsan,
sekarang engkau main maut dengan pisau belati yang beracun, dan menyerang kepada
lawan yang tidak berdaya karena pingsan. Apakah perbuatanmu macam ini patut?"
"Tring tring tring. ......!" dan pisau-pisau belati yang disambitkan oleh Tambak
Rawa runtuh lagi ke tanah, tidak sebatangpun yang dapat mendekati tubuh FajarLegawa
maupun Pertiwi Dewi. Benturan itu amat tepat, membuktikan bahwa orang yang masih
menyembunyikan diri itu bukan orang sembarangan.
Di saat Tambak Rawa masih terbelalak itu, terdengar lagi suara ketawa terkekeh
dan disusul oleh kata-kata yang mengejek. "Heh-heh-heh! Masihkah pisaumu itu sahabat?
Kalau masih, mengapa tidak kau sambitkan lagi dan lebih banyak?"
Tambak Rawa kembali menebarkan pandang-matanya ke arah dahan-dahan
pohon. Namun anehnya, tidak juga tampak orang yang dicari. Dalam penasarannya
Tambak Rawa sudah mengambil duapuluh batang pisau belati dari kantung senjatanya.
Kemudian, ia menyambitkan lagi pisau itu, sambil menambah tenaga sambitannya.
"Siut wut wut.....!"
"Bagus, ternyata engkau sekarang menyambitkan lebih banyak lagi," terdengar
suara orang itu lagi. Kemudian disusul oleh suara berdering yang berturut-turut.
Dan kali ini yang terjadi berlainan dengan yang sudah terjadi tadi. Kalau tadi
pisau-pisau belati itu runtuh oleh benturan beberapa butir benda yang menyambar,
sekarang yang terjadi cukup membuat Tambak Rawa terkejut, kemudian orang ini
memekik tertahan sambil melompat ke samping, r *
"Cap cap.......!" dua batang pisau belati beracun yang disambitkan tadi, sekarang
telah menancap pada batang pohon yang tegak berdiri di belakangnya. Tambak Rawa
terbelalak dan wajahnya berobah pucat. Kalau saja ia tadi tidak lekas melompat ke
samping, tentu senjata sudah makan tuan.
Yang terjadi memang menakjubkan. Ketika pisau-pisau belati yang disambitkan
Tambak Rawa itu menyambar saling susul, maka dari arah yang berlawanan sudah
menyambar sebutir batu sebesar kepalan tangan. Sambaran batu itu seperti kilat cepatnya
dan secara tepat membentur pisau-pisau belati yang disambitkan oleh Tambak Rawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Yang menakjubkan adalah, bahwa pisau yang pertama terbentur oleh batu itu, terpental
ke belakang dan membentur pisau belati yang menyusul. Dan pisau kedua ini terpental ke
belakang, membentur pisau yang ketiga. Demikianlah berturut-turut pisau itu saling
berbenturan dan menimbulkan suara berdering nyaring. Dan yang terakhir, dua batang
pisau belati telah berbalik arah dan menyerang dirinya sendiri.
Belum juga hilang rasa terkejut Tambak Rawa, tahu-tahu di atas batu besar yang
bercokol pada tebing seberang, telah berdiri seorang laki-laki kurus. Munculnya laki-laki
itu seperti setan. Dan sesudah berdiri di atas batu, laki-laki itu terkekeh nyaring, sambil
menegur kepada Gadung Melati. "Heh-heh-heh, orang macam itu mengapa tidak
selekasnya kau hajar mampus?."
"Kakang Wukirsari!" teriak Gadung Melati yang nadanya amat gembira. "Engkau
datang tepat pada saatnya."
Untuk sejenak Dadungawuk terbelalak. Namun kemudian orang ini melompat
jauh ke belakang sambil bersuit keras, sesudah menghujani serangan pisau belati ke arah
Gadung Melati. Dan di saat Gadung Melati sibuk menangkis hujan pisau belati ini, maka
Dadungawuk sudah melarikan diri, yang disusul oleh Tambak Rawa sambil mendukung
Tambak Raga.
Gadung Melati tidak akan membiarkan orang pergi begitu saja, tanpa
meninggalkan obat pemunahnya. Maka kakek gendut ini sudah melompat dengan
maksud akan mengejar.
"Hai Gadung, kembalilah!" teriak kakek yang bernama Wukirsari ini. "Engkau
tidak perlu repot. Aku sudah mempunyai obat pemunahnya."
Gedung Melati menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. "Benarkah
itu?"
"Mengapa tidak benar?"
Wukirsari sudah mengeluarkan sebutir kelapa hijau, dan kelapa ini kemudian
dilobangi. Air kelapa hijau ini kemudian diminumkan kepada Fajar Legawa dan Pertiwi
Dewi setelah dicampur dengan obat pemunah racun.
Ketika itu matahari sudah di sebelah barat dan sinarnya sudah lemah. Angin
pedesaan berhembus perlahan memberi kesegaran. Gadung Melati dan Wukirari sibuk
bekerja memberi pertolongan kepada dua orang muda itu, agar selekasnya dua orang
muda ini sadar dari pingsan.
Pada kesempatan ini Gadung Melati memberitahukan tentang siapakah pemuda yang
pingsan ini. Ia menceritakan segala sesuatunya tentang Fajar Legawa. Dan mendengar
cerita itu, berkatalah Wukirsari. "Akupun dari sana, sesudah aku mendengar kabar yang
tersiar dari mulut ke mulut. Tetapi setelah datang ke bekas rumah adi Kusen, tidak banyak
keterangan yang aku peroleh. Hemmm....."
Wukirsari menghela napas berat. Dan Gadung Melati berkata. "Akupun sudah ke
sana pula. Dan akupun tidak banyak memperoleh keterangan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tetapi bagaimanakah dengan pusaka itu?"
"Engkau tidak perlu gelisah. Agaknya Kusen sudah lama mempersiapkan diri.
Hemm, pusaka itu masih selamat dia disembunyikan dalam tongkat ini," sambil
menerangkan, Gadung Melati segera menyerahkan tongkat Fajar Legawa itu kepada
Wukirsari.
Wukirsari manggut-manggut. Tanpa mencoba untuk membuka tongkat itu, ia
sudah percaya mendengar keterangan Gadung Melati, dan melihat pula potongan golok
Tambak Rawa. Wajah kakek ini tampak lebih cerah dibanding tadi.
Kemudian. "Jadi, bocah ini sekarang, yang harus meneruskan tugas itu?"
Dan Gadung Melati mengangguk. Disaat kakak-beradik seperguruan ini sedang
asyik bicara, maka Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi sudah sadar dari pingsannya. Untuk
sejenak dua orang muda ini kaget. Tetapi setelah ingatan mereka pulih, segera tahulah
mereka yang terjadi sebelumnya. Dan ketika Fajar Legawa mengamati Wukirsari dengan
heran. Gadung Melati segera berkata. "Fajar! Dia kakang Wukirsari. Dan dia kakak
seperguruan yang tertua dari ayahmu Kusen."
Mendengar keterangan ini, tanpa diperintah Fajar Legawa segera memberikan
hormatnya. Dan atas penghormatan Fajar Legawa ini, Wukirsari terkekeh senang sekali,
ia mengangguk-angguk, kemudian. "Anakku, setiap yang hidup akan kembali ke asalnya.
Maka apa yang terjadi atas keluargamu, terimalah dengan hati tabah. Sebab engkaulah
yang berkewajiban menggantikan tugas ayahmu Kusen itu."
"Tetapi saya heran paman," sahut Fajar Legawa. "Mengapa saya harus mendapat
tugas membawa pusaka orang?"
Gadung Melati dan Wukirsari saling pandang mendengar pertanyaan ini. Agaknya
dua orang ini saling bertanya dengan bahasa mata. Baru sejenak kemudian, terdengarlah
Gadung Melati berkata. "Mari kita mencari tempat mengaso dahulu. Agar kakang
Wukirsari dapat menceritakan lebih gamblang."
Demikianlah, mereka kemudian meninggalkan tepi sungai ini menuju ke sebuah
desa. Atas kebaikan seorang kepala desa, mereka mendapatkan tempat mengaso cukup
menyenangkan, dan lebih lagi kepala desa itu memiliki surau. Maka ketika tiba waktunya
sholat Maghrib, bertindak sebagai imam adalah Wukirsari, sedang yang lain makmum.
Mereka belum juga turun dari surau, dan menunggu waktu sholat Isyak tiba. Dan
baru sesudah sholat terakhir ini selesai mereka tunaikan maka Gadung Melati dan Pertiwi
Dewi meninggalkan surau tersebut, sebaliknya Wukirsari dan Fajar Legawa masih tetap
di situ.
"Mari,"ajak Wukirsari ke sudut. "Agaknya tempat ini lebih aman apabila aku
mengungkap masalah sepenting ini."
Fajar Legawa mengangguk, dan setelah pemuda ini duduk di depan Wukirsari,
orang tua ini mulai bercerita.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Fajar, mungkin engkau sudah mendengar pula tentang Gusti Adipati Ukur yang
menemui ajalnya di tangan algojo Mataram."
"Benar," sahut pemuda ini. "Guru yang menceritakau kepada saya."
Wukirsari mendehem. Kemudian berkata. "Baiklah, sekarang dengar ceritaku.
Sebelum Gusti Adipati Ukur harus menemui ajalnya atas hukuman yang dijatuhkan oleh
Sultan Agung itu, Gusti Adipati Ukur sempat mempercayakan keris pusaka "Tilam Upih"
ke tangan ayahmu Kusen. Mengapa demikian? Soalnya Gusti Adipati Ukur tidak rela
kalau keris pusaka itu jatuh ke tangan orang lain."
"Paman," kata Fajar Legawa tiba-tiba. "Kalau begitu apakah Gusti Adipati Ukur
sudah menduga, bahwa dirinya akan menenui ajalnya di Mataram?"
"Aku kurang tahu, tetapi mungkin sudah menerima firasat, buktinya keris itu
dipercayakan kepada ayahmu Kusen. Dan setelah menerima tugas itu, ayahmu Kusen
menunggu berita tentang nasib Gusti Adipati Ukur. Ternyata, Gusti Adipati Ukur
menemui ajalnya di Mataram . ."
"Apakah kesalahan beliau?" tukas Fajar Legawa.
"Tidak seorangpun tahu. Dan Sultan Agung tidak memberikan alasannya. Yang
jelas, setelah beliau menemui ajalnya di Mataram, ayahmu Kusen lalu menyembunyikan
diri di desa Samakaton, di gunung Slamet itu. Kemudian mengganti nama dengan Kusen.
Hemmm, dugaan Gusti Adipati Ukur ternyata benar. Bmyak orang mengincar keris
pusaka "Tilam Upih." itu. Dan apa yang menimpa pada diri adi Kusen dan isterinya
itu, bukan lain akibat keris pusaka itu."
"Karena orang kemudian tahu rahasia itu?"
"Mungkin, anakku. Manusia dapat berikhtiar, akan tetapi semua ketentuan di
tangan Tuhan. Dan sekarang tugas itu beralih dari tangan ayahmu Kusen ke tanganmu.
Maka engkau harus pandai menjaga diri. Tugas yang engkau pikul sekarang ini cukup
herat. Tetapi apabila engkau percaya, tugas itu akan menjadi ringan. Untuk itu maka
engkau harus dapat menjauhkan diri dari sifat sombong dan bangga diri. Karena bangga
dan kesombonganmu itu, hanya akan mencelakakan dirimu sendiri. Ah Fajar, apakah
dalam engkau mengucapkan "doa iftitah" setiap engkau sholat itu. selalu kau resapkan ke
dalam hati?"
"Ya, paman. Saya selalu berusaha menyesuaikan diri dengan isi doa itu."
"Bagaimanakah arti dari doa itu?"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kira-kira demikian paman. Ya Allah, jauhkanlah antara hamba dan kesalahan
hamba, sebagaimana Allah telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah,
bersihkanlah hamba dari segala kesalahan, sebagaimana pakaian putih yang telah
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkan kesalahan hamba dengan air salju dan em-
bun."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Nah, mudah-mudahan doa itu bukan hanya kau jadikan bacaan yang latah.
Engkau dapat mengucapkan, dan berusahalah engkau dapat memenuhi apa yang sudah
engkau baca setiap engkau sholat itu."
"Ya paman."
"Anakku, ingin aku memberi sekedar nasihat padamu, agar tidak ragu-ragu dalam
melangkah. Begini anakku, di saat malam tiba di mana manusia ini beristirahat
memulihkan kekuatan, maka pada saat itu manusia terbagi menjadi tiga. Ialah waspada,
dursila dan masa bodoh. Anakku, orang yang selalu waspada akan selalu memper-
hitungkan kemungkinan di waktu malam, sehingga tidak hanya akan tidur melulu. Sebab
mengapa? Ketahuilah bahwa malam tiba inilah kesempatan orang dursila melakukan
perbuatannya menggunakan kesempatan di saat orang lengah. Dan orang yang masa
bodoh, tidak akan mau perduli kepada keadaan, sehingga orang inipun hanya enak-enak
tidur. Akibatnya orang seperti inipun akan menderita rugi sendiri, oleh perbuatan para
dursila (orang jahat). Anakku, mengapa tiba-tiba aku membicarakan soal orang tidur?"
Wukirsari berhenti sambil mengamati Fajar Legawa seperti sedang mencari kesan.
Sesaat kemudian, terusnya. "Anakku, disaat engkau hidup sekarang ini,aku umpamakan
engkau melalui sepanjang malam. Perjalananmu saat sekarang ini dapat diartikan, engkau
baru saja meninggalkan waktu Magrib dan menjelang waktu Isyak. Waktu masih sore,
dan baru para kanak-kanak sajalah yang sudah tidur. Keadaan masih ramai, karena
banyak orang yang masih berjaga. Sehingga engkaupun masih belum merasakan kesepian
malam itu. Akan tetapi dalam perjalananmu kemudian,waktu Isyak akan kau tinggalkan.
Dan apabila engkau sudah mendekati tengah malam, akan tibalah waktu yang mulai sepi
dan para dursila mulai melakukan perbuatannya yang jahat. Apakah yang akan engkau
perbuat? Sudah tentu engkau akan selalu waspada menjaga setiap kemungkinan dengan
perasaan yang amat tegang. Ketegangan perasaanmu akan berlangsung beberapa lama,
sampai tibalah saat menjelang pagi."
Wukirsari berhenti lagi dan batuk-batuk kecil. Ia mengamati Fajar Legawa
beberapa saat lamanya, namun beberapa saat kemudian ia meneruskan lagi. "Anakku,
kemudian menyusullah waktu pagi, dimana matahari sudah muncul di timur. Perjalanan
sudah hampir mendekati akhir. Aku tidak mengerti apakah di dalam perjalananmu se-
malam itu kau pandai mengemban tugasmu menyelamatkan pusaka "Tilam Upih",
sehingga tiada ssorangpun penjahat dapat merebutnya. Kesemuanya itu tergantung
kepada engkau sendiri. Dalam perjalanan ini engkau tertidur ataukah engkau selalu
waspada."
Fajar Legawa memperhatikan petunjuk-petunjuk Wukirsari penuh perhatian. Ia
mencamkan dan meresapkan nasihat itu sebaik-baiknya. Dan ia merenungkan nasihat
Wukirsari ini yang diperlabangkan dengan perjalanan semalam suntuk, bukankah ayah
bundanya telah tewas oleh keris pusaka "Tilam Upih" dan adik perempuannya hilang?
Dan mendadak saja jantung pemuda ini berdebar tegang. Teringatlah ia akan pesan dan
setengah ancaman Ayu Kedasih. Perempuan itu sudah mengetahui rahasia tongkatnya.
Dan perempuan itu menghedaki dirinya harus berkunjung lagi kesana dan bertemu
dengan Ayu Kedasih. Apakah maksud perempuan itu, ia tidak dapat menduga sama
sekali.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi pemuda ini segera teringat kata-kata gurunya yang pernah menyebut,
bahwa Kyai Kusen itu bukanlah ayah-kandungnya. Kyai Kusen hanya bertindak sebagai
seorang ayah. Tetapi orang tuanya sendiri adalah orang lain. Sayang gurunya tidak
bersedia menerangkan, lalu siapakah orang-tuanya itu sebenarnya? Teringat akan hal ini
kemudian timbullah keinginannya untuk bertanya kepada Wukirsari.
"Paman, saya menjadi bingung," katanya kemudian.
"Apakah yang engkau bingungkan?"
"Guru pernah mengatakan, bahwa sesungguhnya ayah Kusen itu bukau orang-
tuaku. Lalu siapakah orang tuaku?"
Wukirsari menghela napas pendek. Kemudian orang tua ini memberi jawaban
samar-samar, "Anakku, aku tidak dapat memberikan keterangan terus terang sekarang
ini. Namun dapat mengungkapkan sedikit, bahwa pusaka "Tilam Upih" itu sesungguhnya
pusaka leluhurmu sendiri."
Terbelalak kaget Fajar Legawa mendengar ini. Pusaka leluhurnya sendiri? Kalau
keris pusaka "Tilam Upih" itu semula sebagai milik Adipati Ukur, lalu apakah orang itu
ayahnya?
"Jadi.....Gusti Adipati Ukur itu, ayah ;aya sendiri?" tanyanya dengan hati yang
berdebar.
"Hemmu, aku tidak dapat menerangkan sekarang. Akan tetapi legakanlah hatimu,
bahwa Gusti Adipati Ukur itu masih mempunyai hubungan darah dengan engkau."
Hubungan darah? Jadi bukan ayahnya, akan tetapi masih merupakan kerabat?
Kalau demikian, dirinya masih merupakan keturunan seorang bangsawan? Keterangan
ini membuat ia tambah bingung. Mengapa orang-orang yang mempunyai hubungan
dengan dirinya, berusaha merahasiakan orang tuanya yang sesungguhnya? Apakah
sebabnya? Karena itu ia merasakan kepalanya berdenyutan. Dan sesudah menghela napas
pendek, ia mengeluh.
"Paman, mengapa sebabnya maupun guru merahasiakan orang tuaku yang
sebenarnya?"
"Bukan merahasiakan anakku, tetapi perlu menunggu waktu. Percayalah bahwa
kemudian hari, setelah tiba saatnya engkau akan segera tahu siapakah orang tuamu itu."
Tidak lama kemudian pemuda ini minta diri kepada Wukirsari, sesudah mengerti
bahwa Wukirsari lebih suka tidur di surau. Ia meninggalkan surau itu, dan ketika ia baru
menginjakkan kaki di atas tangga surau yang terakhir, ia agak terkejut, Pertiwi Dewi telah
menggapit lengannya, dan gadis itupun memberi isyarat, menyilangkan jari telunjuk di
depan mulut, agar Fajar Legawa tidak membuka mulut.
Ia tidak ingin mengecewakan gadis ini, maka ia menurut saja ditarik oleh gadis itu,
menjauhi surau, menuju ke samping rumah. Oleh sentuhan lengan yang lembut dan halushttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
itu, jantung pemuda ini tiba-tiba saja berdesir dan tegang. Dan dalam dadanya tiba-tiba
saja menyelinaplah rasa aneh.
TAHUKAH sebabnya aku mengajak engkau kemari?" bisik Pertiwi Dewi. Mulut
gadisini dekat sekali dengan telinga, sehingga udara yang keluar dari lobang hidung gadis
itu hangat dan menyentuh-nyentuh daun telinganya. Bau semerbak harum tercium dari
rambut gadis itu, sehingga membuat perasaannya tambah tidak keruan.
"Tahukah, akan maksudku mengajak engkau kemari?" ulang gadis ini setelah
ditunggu, Fajar Legawa belum menjawab.
"Ada apa?"tanya pemuda ini denganheran.
"Apakah engkau tidak menangkap suara tangis perempuan itu?"tanya Pertiwi
Dewi
Fajar Legawa kaget, dan mendadak pemuda ini seperti disadarkan, sesudah ia
mempertajam pendengarannya. Memang didengarnya suara isak tangis perempuan dari
dalam rumah. Dalam pada itu terdengar pula suara orang agak parau, suara laki-laki.
"Apa yang terjadi?" tanya pemuda ini.
"Mana aku tahu?" sahut Pertiwi Dewi.
Untuk sejenak mereka berpandangan, kemudian masing-masing tersenyum.
"Mari kita selidiki!"ajak Fajar Legawa kemudian.
Pertiwi Dewi mengangguk. Dan kemudian dua orang muda ini melompat ke atas
atap rumah yang paling rendah, Sesudah itu, laksana gerakan dua ekor kucing, mereka
mendekati tempat orang yang menangis itu dengan hati-hati.
Mereka kemudian dapat melihat ke dalam rumah dengan jelas. Seorang gadis
sedang duduk sambil menangis sedih. Gadis ituadalah anak kepala desa yang
makaninimereka tumpangi, bernama Rara Suli. Dan didepan gadis itu, duduk ayah dan
bundanya.
"Anakku," terdengar kemudian kata kepala desa itu. "Akupun dapat merasakan
kesedihanmu saat sekarang ini. Akan tetapi Suli, engkau tahu bahwa aku tidak dapat
berbuat apa-apa.Justeru semua ini, bukan lain untuk menjaga keselamatan kita
sekeluarga."
"Hemm, ayah selalu berkata demikian," protes Rara Suli ditengah isaknya, tetapi
juga setengah bersungut. "Bukankah. . . sebenarnya ayah dapat melaporkan peristiwa
ini. . . .kepada KanjengBupati dan mohon bantuan prajurit?"
Tiba-tiba ibunya berkata. "Suli, bukankah ayahmu tadi sudah mengatakan bahwa
hal itu tidak mungkin dikabulkan?"
"Tetapi apakah alasannya. . . .?" desak Suli.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Hem," kepala desa menghela napas berat, "beginilah anakku, persoalannya
memang tidak semudah engkau kira. Pertama, saat sekarang ini Mataram sedang banyak
membutuhkan tenaga prajurit dalam usaha Sultan Agung mengusir Kumpeni Belanda.
Prajurit Kanjeng Bupati saat ini hampir semuanya dibawa Kanjeng Bupati, ke Karta.
Yang tertinggal di sini dalam jumlah tidak banyak. Dan itupun, tanpa perintah langsung
Kanjeng Bupati sendiri, manakah mungkin mereka berani meninggalkan rumah
kabupaten? Yang kedua anakku, sarang penjahat perempuan itu amat berbahaya. Bukan
saja sarang penjahat perempuan itu amat berbahaya. Tetapi guru penjanat itu yang
bernama JaluGigiss merupakan seorang sakti mandraguna, dan sarang itupun dijaga pula
oleh barisan ular yang amat berbahaya. Hingga tidak mungkin sarang itu dapat digempur,
untuk membebaskan suamimu. Anakku . . . hemm, mengingat semua itu, tidaklah
mungkin Kanjeng Bupati bersedia mengorbankan prajuritnya hanya untuk kepentingan
kita ini. . . ."
"Tetapi.....bukankah penjahat di hutan Roban itu, mengacau ketenteraman
penduduk?"
"Kau benar. Akan tetapi semua itu engkau harus mengerti kedudukan ayahmu.
Aku hanya seorang kepala desa, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Dan akupun
tidak mungkin memaksa kepada para penduduk, untuk kepentingan pribadi macam ini."
Tiba-tiba ibunya berkata. "Suli, mengapa sebabnya engkauselalu memikirkan
suamimu yang ditawan penjahat perempuan itu? Bukankah engkau masih muda dan
cantik, sehingga tidak sedikit laki-laki lain yang patut menjadi suamimu? Jika seorang laki-
laki meninggalkan isterinya, kemudan beralih kepada perempuan lain, itu merupakan
bukti bahwa suamimu tidak setia. Anakku, mengapa engkau sedemikian lemah, dan tidak
sakit hati diperlakukan seperti itu, oleh suami yang tidak setia?"
"Ibu!" teriak Rara Suli sambil menatap ibunya. "Tuduhanmu kepada kakang
Pradopo keterlaluan, aku sendiri menyaksikan terjadinya peristiwa itu, seminggu yang
lalu. Kakang Pradopo berkelahi dengan wanita jahat itu, tetapi dikalahkan. Kemudian
dalam keadaan tidak berdaya kakang Pradopo ditawan. Jadi.....dia tidak berkhianat
ibu....."
Rara Suli kembali terisak-isak dan menyeka air mata. Kemudian.
"Ibu.....apakah.....kebahagiaan rumah tangga itu, dapat dibina tanpa melalui cinta?
Ibu.....seorang wanita yang setia, tidak akan mengalihkan pandang mata kepada laki-laki
lain....."
"Aku mengerti," kata kepala desa. "Tetapi apakah daya? Aku tidak mungkin kuasa
merebut suamimu tanpa kekuatan. . . .hemm. . . ."
Rara Suli kembali terisak-isak. Ia berduka sekali atas peristiwa yang menimpa
dirinya. Suami yang dicintai, ditawan orang.
"Ayah, ibu!" tiba-tiba Rara Suli mengangkat kepala, memandang orang-tuanya,
"Jika ayah tak dapat berdaya, baiklah. Sekarang juga aku minta diri. Aku sendiri yang
akan pergi dan merebut kembali dia....."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ohhh. . . . jangan.....!" pekik ibunya sambil menubruk anaknya, kemudian
menangis. Suaminya nampak amat berduka sekali. Tetapi ia hanya berdiam diri dan
menghela napas panjang .
Terharu sekali Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi mendengar itu. Untuk sejenak dua orang
muda ini berpandangan, dan sesaat kemudian terdengarlah Pertiwi Dewi berbisik.
"Kakang . . . marilah kita tolong ....!"
"Baiklah," Fajar Legawa mengangguk tanda setuju, "Tetapi sebaiknya
kitamintaijin lebih dahulu kepada paman . ....."
"Tak usah. Tidak mungkin guru mau memberi ijin."
"Mengapa?"
"Guru tentu mengkhawatirkan keselamatan kita, kakang. Maka sebaiknya kita
tidak minta ijin saja.
"Tetapi bukankah lebih baik apabila gurumu ikut serta dalam menolong ini?"
"Hemm," gadis ini menghela napas. Tiba-tiba katanya setengah mengejek.
"Apakah kakang takut kepada penjahat itu?"
"Siapa takut?" sabut Fajar Legawa cepat. Ia tidak mau dituduh sebagai seorang
penakut.
"Bagus!" puji Pertiwi Dewi. "Kalau demikian, marilah kita berangkat sekarang
juga dan mengobrak-abrik sarang penjahat itu. Hnh, aku pernah mendengar kabar bahwa
penjahat yang dimaksud, bernama Dyah Raseksi."
"Tetapi .... ijinkanlah aku ambil senjataku lebih dahulu!"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertiwi Dewi mengangguk. Dan tak lama kemudian dua orang muda ini telah
meninggalkan tempat mereka menginap.
Di jalan, terdengar Pertiwi berkata. "Kakang, marilah kita berlomba."
"Apakah maksudmu?" Fajar Legawa melengak heran.
"Mari kita ukur siapakahdi antara kita yang dapat lari lebih cepat!"
Fajar Legawa tertawa. Kemudian jawabnya. Tidak usah, aku mengakui
kekalahanku."
"Apakah sebabnya?" desak Pertiwi Dewi. "Karena, aku tidak pandai lari . . . . "
"Engkau bohong!" Pertiwi Dewi mencibirkan bibirnya yang tipis dan merah itu.
"Aku tidak percaya bahwa engkau tidak pandai lari."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa tidak menjawab, tetapi mengamati Pertiwi Dewi dengan pandang-
matanya yang terpesona. Walaupun saat sekarang ini malam hari, namun dalam jarak
yang dekat, ia dapat melihat dengan jelas bahwa sekalipun mencibirkan bibir, tetapi gadis
itu tersenyum. Bibir yang mungil itu amat besar daya tariknya bagi pemuda ini, dan
membuat Fajar Legawa tertarik dan terpikat.
Karena Fajar Legawa tidak menjawab malah sekarang mengamati tidak
berkedip, gadis kecil mungil ini sudah menghardik. "Hai, apa yang kau pandang?"
"Ehh .... ehhh . . . aku tak tahu.......!" sahut Fajar Legawa yang gelagapan.
Dan gadis ini ketawa merdu. Ternyata walaupun menghardik, gadis ini tidak
marah. Untuk menghilangkan suasana yang kaku itu, Pertiwi Dewi kembali mengajak.
"Mari kita memulai."
"Mulai apa?"
"Hai, apakah engkau sudah menjadi kakek pikun? Hi-hi-hik," kata gadis ini,
"Bukankah aku tadi mengajak berlomba lari?"
"Hemm . . . . ya, tetapi tidak usah. Aku sudi mengakui kekalahanku," sahut Fajar
Legawa yang berusaha mengalah, karena memng tidak menghendaki berlomba lari
dengan gadis ini.
Tetapi diluar dugaan. Justeru oleh jawaban pemuda ini. Pertiwi Dewi malah
bersungut-sungutmarah. "Hah, engkau terlalu menghina aku ya? Engkau menganggap
bahwa aku tidak pandai lari, sehingga tiada harganya engkau layani?"
"Eh! eh ... . bukan demikian adikku," sahut Fajar Legawacepat dalam usahanya
agar gadis ini tidak tambah marah dan salah faham. "Aku benar-benar mengaku, bahwa
tidak mungkin aku menang melawan engkau dalam lari cepat."
"Belum dicoba mengapa engkau sudah ;merasa kalah? Hayolah, satu .... dua ....
tiga ..."
Dan berbareng dengan selesai hitungan ketiga diucapkan, gadis ini sudah
melompat dan lari cepat sekali. Gerakannya ringan sekali, bagai sebatang anak-panah
lepas dari busur.
Sesungguhnya Fajar Legawa tidak ingin menuruti kehendak Pertiwi Dewi. Akan
tetapi karena sekarang gadis itu telah mendahului lari, maka mau tidak mau ia terpaksa
melompat pula untukmenyusul gadis itu. Dan setelah mereka bergerak dan berlarian,
diam-diam Fajar Legawa mengakui bahwa Pertiwi Dewi memang seorang perempuan
jago lari.
Gerakannya gesit sekali dan cepat. Akan tetapi walaupun demikian, kalau ia mau,
apakah sulitnya mendahului Pertiwi Dewi? Namun hal itu tidak ia lakukan. Pertama, ia
khawatir gadis ini tersinggung kemudian ngambek. Sedang alasan yang kedua, justeru
dengan bergerak dibelakang gadis ini, ia malah memperoleh keuntungan. Sebab denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bergerak dibelakangnya, berarti tanpa diketahui dan disadari oleh Pertiwi, ia dapat
melihat dan menikmati keindahan dan lekuk lekung tubuh gadis ini dari belakang.
Pertiwi Dewi pun tahu bahwa Fajar Legawa telah menyusul dibelakannya. Gadis
ini tidak ingin kalah cepat dengan Fajar Legawa, maka ia pun mempercepat langkahnya,
dengan maksud meninggalkan pemuda itu. Namun amat sayang sekali bahwa sekalipun
ia sudah mengerahkan kepandaiannya lari, ternyata Fajar Legawa tetap saja dapat
membayangi dirinya dalam jarak dekat.
Apa yang terjadi sekarang ini menyadarkan Pertiwi Dewi. Ternyatalah bahwa
dalam hal laripun dirinya tidak mampu menandingi Fajar Legawa, tetapi walaupun
demikian, watak Pertiwi Dewi cukupkeras, ia bukannya mau mengakui kepandaian Fajar
Legawa, melainkan gadis ini malah mengerahkan kepandaiannya lari lebih cepat.
Untung sekali Fajar Legawa bukan seorang pemuda bodoh. Setelah berlarian
cukup lama, gerakan kaki Pertiwi Dewi semakin menjadi cepat, insyaflah Fajar Legawa
bahwa dalam hal lari ini, Pertiwi Dewi tidak mau kalah. Timbulnya akalnya kemudian
untuk mengelabui gadis ini, agar sigadis merasa menang dan hatinya senang.
"Aduh ....sudah.... aduh ....payah.....aku kalah . ..." katanya dengan terputus-
putus, dan pura-pura keletihan sambil tersengal-sengal. Dan untuk menutupi keadaannya,
kemudian Fajar Legawa pura-pura terhuyung, lalu roboh dan duduk.
"Aihhh ... ." melihat Fajar Legawa terhuyung gadis ini kaget. Dan kemudian,
iapun menghentikan tingkahnya.
"Dewi.... engkau lari cepat sekali.... membuat aku .... aduhh ...... hampir putus
napasku," kata Fajar Legawa yang pura-pura mengeluh.
"Hemm," Pertiwi Dewi hanya mendengus dan tidak mengucapkan apa-apa.
Sesudah itu, kemudian Pertiwi Dewi berdiri sambil menyandar pada pohon. Fajar
Legawa melirik, kemudian tahulah pemuda ini bahwa dada gadis itu berombak pertanda
payah juga.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengaso tanpa membuka mulut. Namun
setelah reda pernapasannya, terdengarlah kata Pertiwi Dewi yang mulai percakapan.
"Hemm, biasanya laki-lakilah yang membawa minggat perempuan. Akan tetapi sekarang
yang terjadi sebaliknya, ada perempuan yang membawa minggat laki-laki. Aneh....."
"Kebiasaan bukanlah merupakan ketentuan yang tidak dapat dirobah," sahutFajar
Legawa. "Maka tak mengherankan terjadinya peristiwa ini."
"Tetapi huh, perbuatan Dyah Raseksi ini amat memalukan, dan dengan
perbuatannya itu, merendahkan martabat perempuan."
"Tetapi Dewi, bagi golongan penjahat, hal tersebut sudah tidak ada lagi. Mereka
tak lagi tahu apa yang disebut sopan, malu, maupun norma kesusilaan yang lain."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Dan aku juga heran," Pertiwi Dewi menggelengkan kepalanya. "Mengapa
seorang perempuan menjadi pemimpin para penjahat?"
"Pemimpin bukanlah monopoli laki-laki Dewi," sahut Fajar Legawa. "Dan
perempuanpun sanggup pula memimpin orang."
"Tetapi sebagai seorang perempuan aku menjadi terhina oleh perbuatannya!"
Pertiwi Dewi bersungut.
"Dan kasihan pula Rara Suli," kata Fajar Legawa. "Dia masih muda. . . .tetapi
terpaksa dia ditinggalkan suaminya....."
Pertiwi Dewi memalingkan muka dan mengamati Fajar Legawa. Katanya kemudian.
"Dan lagi.....dia cantik, bukan?"
"Ya."
"Menarik?"
Fajar Legawa mengangguk.
"Dan kau juga tertarik dan cinta pada dia?"
Fajar Legawa kaget atas pertanyaan ini. Pertanyaan yang tidak pernah diduganya.
Dan atas pertanyaan ini tiba-tiba kerongkongannya seperti tersekat, tidak dapat membuka
mulut, maka pemuda ini hanya menggelengkan kepalanya.
"Mengapa engkau tidak jatuh cinta?" desak Pertiwi Dewi.
Fajar Legawa melongo heran mendengar pertanyaan yang terus-terang ini.
Mengapa gadis ini sampai hati mengucapkan pertanyaan itu? Tetapi justeru bingung dan
tidak tahu bagaimanakah dirinya harus menjawab pertanyaan ini, maka jawabnya hanya
sekenanya saja.
"Entahlah. ..."
Tidak terduga Pertiwi Dewi ketawa lirih dengan nada mengejek. "Hi hi-hik, laki-
laki memang, banyak yang suka berpura-pura. . . ."
"Tetapi juga banyak yang tidak. . . ." sahut Fajar Legawa.
"Tentu saja kau membela."
"Aku tidak membela, tetapi kenyataannya memang demikian."
"Hemm, dasar laki-laki!" kata Pertiwi Dewi. "Apakah engkau tidak akan
menepati janjimu disaat bulan purnama?"
Fajar Legawa kaget berbareng heran. Kemudian. "Janji? Janjiku kepada siapa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Hi-hi-hik, siapa lagi? Mengapa engkau pura-pura tidak tahu? Bukankah engkau
sudah berjanji dengan Ayu Kedasih yang sudah bersuami itu?"
Fajar Legawa berjingkrak seperti dipagut ular. Tidak pernah ia duga sama sekali
bahwa Pertiwi Dewi tahu akan soal ini. Namun demikian ia juga tidak terlalu sulit untuk
menemukan jawabannya, akan sebabnya Pertiwi Dewi tahu soal ini. Tentu gadis ini telah
membaca tulisan Ayu Kedasih yang tertulis pada kain merah kemarin itu. Diam-diam ia
menjadi menyesal, mengapa kemarin ia melupakan secarik kain merah itu, setelah
diserang Pertiwi Dewi tiba-tiba.
"Aku tidak berjanji, katanya kemudian dalam usahanya membela diri. "Akan
tetapi dialah yang mengundang."
"Hemm, tetapi bagaimanakah pendapatmu? Akan engkau penuhi juga undangan
itu?" desak Pertiwi Dewi sambil mengamati Fajar Legawa tidak berkedip.
"Ya. Aku tidak mau dikatakan orang dengan sebutan angkuh dan pengecut."
"Tetapi dia ingin membicarakan soal tongkatmu. Mengapa sebabnya engkau
membiarkan perempuan itu mengetahui rahasia tongkatmu? Dan mengapa pula engkau
pura-pura tidur?"
Untuk sejenak Fajar Legawa terbelalak. Sama sekali tidak diduganya bahwa
Pertiwi Dewi akan sampai pada pertanyaan seperti ini. Tetapi setelah menghela napas
dalam, kemudian Fajar Legawa menjawab. "Hemm, aku ditempatkan pada sudut yang
sulit. Aku khawatir apabila dia berteriak, dan karena ia dalam kamar di mana aku tidur,
maka aku takut apabila peristiwa itu menimbulkan salah-paham . . . . "
Tetapi Pertiwi tidak mau mengalah begitu saja dan mendesak. "Kalau tidak
bersalah, mengapa engkau takut?"
"Ya," hanya itulah jawaban Fajar Legawa. Sebab pemuda ini menjadi bingung
sendiri, bagaimanakah ia menjawab desakan Pertiwi Dewi.
Pertiwi Dewi tersenyum mengejek. Tetapi karena gelap, maka senyum mengejek
itu tidak tampak oleh Fajar Legawa. Untuk sejenak keadaan hening, kemudian
terdengarlah Pertiwi Dewi memulai lagi, "Ya, akupun tidak dapat menyalahkan,
mengapa engkau membiarkan Ayu Kedasih mengetahui rahasia tongkatmu. Akan tetapi
inginlah aku berpesan padamu, agar engkau bersikap hati-hati apabila datang ke sana.
Aku tidak tahu mengapa sebabnya, namun ada perasaanku yang curiga akan sikapnya
yang aneh itu. Hem, siapa tahu kalau hanya akan menjebak engkau saja?"
"Terima kasih, dan aku akan selalu berhati-hati," sahut Fajar Legawa. Akan tetapi
dam-diam pemuda ini merasa malu, mengapa dirinya sekarang ini seperti anak kecil saja,
berhadapan dengan Pertiwi Dewi?
Tak lama kemudian dua orang muda ini sudah meneruskan perjalanan. Ketika
warna lembayung sudah mulai membayangi langit timur, dan bintang pagi telah
sepenggalah tingginya, mereka telah tiba di kaki gunung Ungaran, di mana Dyah Raseksi
bertempat tinggal.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pagi sudah hampir tiba, namun walaupun semalam suntuk dua orang muda ini
tidak tidur, mereka sama sekali tidak mengantuk. Dan kemudian dua orang muda ini
sudah mulai menyusuri jalan berliku-liku di lereng gunung. Akan tetapi belum jauh dua
orang muda ini menyusuri jalan sempit itu, tiba-tiba mereka mendengar bentakan yang
parau. "Hai, berhenti!"
Dan belum lenyap suara bentakan keras itu muncullah empat orang laki-laki yang
membuntu jalan.
Dan ketika salah seorang dan mereka ini melihat Pertiwi Dewi yang manis, tiba-
tiba saja berseru. "Ha, gadis ini bagianku!"
Pertiwi Dewi menjadi muak mendengar ini. Sring, mendadak saja ia sudah
menghunus pedang, menyerang sambil membentak nyaring. "Bagus! Tangkaplah jika
bisa!"
"Brettt . . . ." baju orang itu sudah robek panjang sekalipun menghindar dengan
sebat. Dan robeknya baju ini disambut oleh ketawa Pertiwi yang menjadi senang.
"Sring sring. ..." empat orang itu sudah menghunus senjata masing-masing.
Kemudian orang yang bajunya robek sudah membentak garang. "Budak liar! Kalau
begitu, engkau harus mampus!"
Golok orang ini menyambar dahsyat.Tetapi dengan ketawa mengejek Pertiwi
Dewi tidak gentar. Ia menggeser kaki sedikit, tubuhnya dimiringkan, dan pedangnya itu
dengan gerakan yang sebat sudah menyambar leher orang.
Laki-laki itu melompat mundur dalam usahanya menyelamatkan diri. Yang lain
tidak tinggal diam dan berusaha melindungi keselamatan kawannya. Dua orang telah
menerjang kearah Fajar Legawa. Pemuda ini mendengus dingin, menghindar kesamping
dan ketika tangan menyambar, malah sebatang pedang lawan telah dapat direbut. Dan
ketika orang ini belum dapat berbuat apa-apa, maka tinju Fajar Legawa telah bersarang
pada dagu, sedang lawan yang lain terpukul dadanya.
"Plak buk ..... aduhh ....!" jerit dua orang itu hampir berbareng, lalu roboh
terguling. Hanya sebentar, dua orang itu hampir berbareng, ini telah melompat bangun
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan beringas. Akan tetapi mereka ini memang hanya orang-orang berkepandaian
rendah. Atas hajaran Fajar Legawa ini mereka menjadi takut, kemudian sambil berteriak
nyaring mereka telah kabur.
Belum jauh Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi mendaki pinggang gunung Ungaran
itu, terdengarlah suitan nyaring yang panjang dan bersahutan. Dua orangmuda ini
menduga, tentu suitan tersebut untuk mengundang bala-bantuan di samping
memberitahukan adanya bahaya. Namun ternyata dugaannya itu salah. Suitan tersebut
sudah disambut dengan suara berdesis-desis dari segala penjuru.
"Ular.....!" teriak Pertiwi amat terkejut dan cepat menubruk dan memeluk Fajar
Legawa. Semangat gadis ini mendadak saja seperti lenyap tidak kuasa menahan rasa jijik.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pertiwi, tenanglah!" hibur Fajar Legawa-"Gunakan senjatamu!"
Tetapi dara kecil mungil itu seakan tidak mendengar kata-kata Fajar Legawa. Ia
tetap saja memeluk erat dengan tubuh yang mengigil ketakutan, Padahal suara berdesis
itu makin menjadi, dekat dan bau yang anyir tercium dari segala penjuru.
Untuk melarikandiri sudah tidakmungkin. Ular itu berdatangan dari semua
penjuru. Mereka telan terkepung rapat, bukan hanya di atas tanah, tetapi juga tidak
terhitung jumlannya bergerak diatas pohon. Justeru disaat Fajar Legawa masih dalam
keadaan bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ini, tubuh Pertiwi Dewi telah
lemas tak berdaya. Kalau saja tidak ditolong dan dipeluk dengan tangan kiri, tentu gadis
ini sudah roboh diatas tanah.
Hal ini menyebabkan Fajar Legawa tambah gugup, akan tetapi kesadarannya tidak
hilang. Menggunakan tangan kiri untuk mengepit tubuh Pertiwi Dewi, sedang tangan
kanan sudah mencabut tongkat. Kemudian dengan senjata tongkat ini, Fajar Legawa telah
menyapu ke sekitarnya untuk mengusir ular yang mengepungnya.
Gemeresak cabang-cabang dan ranting pohon kayu yang berguguran di atas tanah
oleh pukulan tongkat Mundingrana, di samping batu-batu hancur terpukul, menyusul
suara gemerisik dan gemeresak, akan tetapi makin lama suara itu makin menjauh. Jantung
Fajar Legawa berdebar tegang sambil menghentikan gerakan tongkatnya, tetapi
bercampur dengan rasa heran. Ternyata ular berbisa yang tidak terhitung jumlahnya dan
mengepung dirinya dari segala penjuru tadi, dengan mendadak telah lenyap tanpa bekas.
"Hemm .... ternyata ular itu takut kepada keris . . ." desis pemuda ini. Akan tetapi
ketika melihat Pertiwi Dewi telah pingsan saking takut kepada ular itu, pemuda ini
menjadi gugup, ia membaringkan gadis ini diatas batu datar. Dan dengan cekatan pula,
pemuda ini sudah memijit dan mengurut sana dan sini untuk menyadarkan.
Ketika memperoleh kesadaran pertama kali, Pertiwi Dewi telah melompat.
Kemudian ia berdiri tegak, sepasang matanya merah menyala, mengamati Fajar Legawa
penuh kebencian, lalu teriaknya."Kau .... kau kurang ajar. . . . !"
"Pertiwi, engkau keliru....." sahut Fajar Legawa agak gugup. "Engkau tadi
pingsan . . . . jijik melihat ular....."
Mendengar jawaban Fajar Legawa ini. Pertiwi Dewi kaget, aku tetapi ingatannya
pulih kembali dalam waktu singkat. Teringatlah akan keadaannya tadi yang ngeri
disamping takut, lalu menubruk dan memeluk Fajar Legawa. Sadar bahwa dirinya te1ah
salah menuduh orang, kemudian gadis ini menjatuhkan diri, duduk sambil menangis.
"Sudahlah, bahaya sudah lewat," hibur Fajar Legawa. "Jangan engkau menangis."
Berkat hiburan Fajar Legwa ini, tak lama kemudian Pertiwi Dewi berhenti
menangis. Kemudian mereka melepaskan lelah di atas sebuah batu. Udara pagi yang
dingin mengusap-usap kulit. Tanpa sesadarnya Pertiwi Dewi mendekatkan tubuhnya
kepada Fajar Legawa.
"Seyogyanya kita tunggu saja. sesudah matahari muncul agak tinggi," desis Fajar
Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Benar!" sahut gadis ini. "Pernahkah engkau menikmati pemandangan disaat
matahari akan muncul?"
"Sayang tiada waktu. Tetapi pagi yang cerah seperti ini, akan memberi
kebahagiaan umat manusia."
"Ya. Tetapi janjimu sudah berkurang dua hari."
"Aih.....janji apa dan kepada, siapa?"
"Dengan Ayu Kedasih....."
"Ahhh .... kau menggoda orang saja . ..."
"Tetapi engkau toh memenuhi janji itu juga?"
"Apa salahnya?"
"Tak. ada salahnya....."
Akan tetapi sesudahh mengucapkan kata-kata ini, Pertiwi Dewi memutar tubuh,
dan sekarang duduk membelakangi pemuda itu. Heran juga Fajar Legawa melihat sikap
gadis ini. Sesungguhnya ingin sekali ia menanyakan sebabnya. Akan tetapi belum juga
Fajar Legawa sempat membuka mulut sudah terdengar suara ketawa perempuan yang
nyaring dan merdu menyibak sunyi hutan. Belum juga lenyap suara ketawa itu, telah
disusul oleh suara yang menegur.
"Hai! Apa kerjamu disitu? Huh-huh, engkau sangka tempat ini tempat hiburan?"
Sepasang merpati ini terkejut, dan secepat kilat mereka melompat dari batu.
"Hi-hi-hik, kamu terkejut?" sindir perempuan itu. "Ahh .... tampan juga engkau,
malah masih amat muda....."
Tak jauh di depan mereka telah berdiri seorang perempuan bertubuh ramping dan
semampai tinggi, dan wajahnya cukup cantik. Rambut yang hitam dan lebat itu disanggul
agak rendah, dihias oleh bunga melati yang mungil putih. Pada daun telinga perempuan
itu tampak sepasang subang bermata berlian yang memancarkan sinar kemilauan.
Sepasang mata perempuan itu berkilat-kilat tajam, mengamati dua orang muda ini tak
berkedip.
Wanita yangcantikjelita dan belum tua inilah ratu gunung Ungaran ini, bernama
Dyah Raseksi. Usirnya baru sekitar tigapuluh tahun, namun oleh kepandaiannya merawat
diri, tampak seperti gadis berusia duapuluh tahun.
Sepasang mata yang bersinar tajam itu mengamati Fajar Legawa penuh
perhatian. Dan karena tidak dijawab, maka perempuan ini membentak. "Hai, Apakah
kamu tuli dan bisu?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Panas perut Pertiwi Dewi mendengar ucapan orang ini. Sahutnya ketus. "Apa
pedulimu? Hai, apakah matamu sudah buta bahwa kami tadi sedang enak duduk di atas
batu ini?"
"Hemm," dengus Dyah Raseksi, "engkau galak sekali bocah, hi-hi-hik. Akan tetapi
jawabanmu belum lengkap, siapakah laki-laki itu? Suamimu?"
"Ya! Apakah maksudmu bertanya melit-melit?" sahut Pertiwi Dewi angkuh,
sambil mengerling penuh arti kepada Fajar Legawa.
Dyah Raseksi ketawa merdu, dan sepasang matanya mengamati Fajar Legawa
penuh arti, sedang bibirnya menyungging senyum manis. Katanya kemudian, "Aihh,
suamimu tampan dan menarik. Aku sangat membutuhkan laki-laki tampan dan muda
seperti dia ini. Ahhh, dan alangkah bahagia hidupku ini, kalamana mempunyai seorang
suami seperti dia....."
"Bangsat, perempuan liar. Mulutmu busuk tidak kenal sopan dan amat
memalukan! teriak Pertiwi Dewi yang amat marah. "Kakang, marilah kita bunuh
perempuan liar ini!"
Fajar Legawa mengangguk. Jawabnya. "Kau benar."
Ia mengamati kearah perempuan itu. Kemudian. "Engkaukah yang bernama Dyah
Raseksi?"
"Hi-hi-hik, engkau sudah kenal juga akan namaku?" kata Dyah Raseksi sambil
ketawa merdu, tampak senang sekali. "Aihh, bukankah namaku indah dan orangnyapun
menarik? Lihat baik-baik, bukankah aku seorang perempuan cantik jelita? Hi-hi-hik,
marilah engkau ikut aku dan jadilah engkau raja di gunung ini."
Panas perut Pertiwi Dewi mendengar ucapan Dyah Raseksi yang tidak kenal malu
ini. Mendadak saja gadis ini melengking nyaring, kemudian sudah melompat maju dan
menyerang. Sekali bergerak gadis ini telah mengirimkan serangan berantai, kearah pusar,
dada dan leher.
Akan tetapi serangan Pertiwi Dewi itu hanya disambut dengan suara ketawa Dyah
Raseksi yang merdu. Perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya berdiri, malah tidak
pula berusaha untuk menangkis. Namun demikian yang terjadi kemudian adalah aneh.
Ujung pedang yang tajam itu melesat dan tidak berhasil menyentuh tubuh Dyah Raseksi.
Namun, walaupun serangan itu tidak mengakibatkan apa-apa, Dyah Raksesi
menjadi marah juga. Pada dasarnya ia memang seorang perempuan yang tangannya
ganas dan tidak segan pula membunuh orang. Tetapi anehnya, setiap tangannya sudah
bergerak untuk membalas, lalu timbullah rasa sayang Diam-diam Dyah Raseksi merasa
heran sendiri mengapa selemah itu menghadapi gadis ini. Setiap tangannya sudah
terangkat untuk merebut senjata Pertiwi Dewi maupun membalas serangan itu, timbul
perasaan yang tidak tega dan timbul pula rasa sayang.
Bukan saja Dyah Raseksi berilmu tinggi, tetapi juga memiliki aji "welut putih".
Setiap senjata atau pukulan yang menyentuh tubuhnya akan meleset dan tidak mempan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tubuh perempuan ini menjadi kebal, tinatab mendat jinara menter! Kalau lawan
menggunakan kepandaiannya untuk menangkap dan mencengkeram, maka tangkapan
dan cengkeraman itu akan luput. Di samping ia seorang perempuan sakti mandraguna,
iapun seorang memiliki aji "penutut sato" merupakan ilmu penjinak binatang liar dan
ganas. Oleh pengaruh aji kesaktian ini, maka Dyah Raseksi dapat menundukkan
bermacam-macam ular berbisa sebagai prajurit terpercaya menjaga tempat tinggalnya.
Maka tidak mengherankan pula apabila Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi tadi sudah
dikepung oleh ratusan ular berbisa yang datang dari segala penjuru. Betapapun tinggi
ilmu-kesaktian orang, menghadapi serangan ular dalam jumlah ribuan tidaklah gampang.
Oleh sebab itu Dyah Raseksi menjadi heran dan hampir tidak percaya. Mengapa barisan
ularnya itu lari terbirit-birit ketakutan menghadapi pemuda tampan ini?
Ketika itu dalam marahnya Pertiwi masih terus menyerang dengan pedangnya.
Naman sayang sekali semua serangannya tak berhasil. Sebaliknya setiap kali tangan
Dyah Raseksi bergerak untuk membalas serangan orang, tangan itu sudah ditarik lagi
sambil menghela napas panjang .
Tiba-tiba Dyah Raseksi melompat sambil bersuit nyaring. Dalam waktu singkat
perempuan itu sudah tidak tampak, dan muncullah sembilan orang perempuan dari balik
rumpun pohon. Yang mengherankan dan membuat dua orang muda ini kaget, adalah
wajah perempuan ini. Mengapa semua jelek dan kulit wajahnya hitam legam? Mereka
sudah berdiri mengurung, sedang pada leher mereka melingkar dua ekor ular weling yang
amat berbisa dan selalu berdesis-desis, menyemburkan bisa.
Pertiwi Dewi ngeri melihat perempuan-perempuan jeek itu berkalung ular. Ia
menjerit dan menubruk Fajar Legawa, sambil memeluk dan menyembunyikan wajahnya
di dada bidang.
"Aduhh.....aku ngeri.....!" ratap gadis ini.
"Tenangkan hatimu. Dewi. Jangan engkau khawatir!" hibur Fajar Legawa halus.
Mendadak Dyah Raseksi muncul lagi dari balik gerumbul pohon, sambil ketawa
mengejek. "Hi-hi-hik, tidak tahu malu! Di depan orang kamu berpelukan dan bercumbu."
Perempuan ini berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia meneruskan. "Hi-hi-hik, tak
lama lagi engkau memang akan kehilangan suamimu. Tahukah engkau bahwa aku
memang jatuh cinta pada suamimu yang gagah dan tampan ini? Sedang engkau, huh,
engkau takkan aku bunuh. Tetapi engkau akan aku hadiahkan kepada anak-buahku, agar
diperisteri secara bergilir."
Betapa marah Fajar Legiwa mendengar kata-kata Dyah Raseksi yang tak tahu
malu ini. Bisiknya kepada Pertiwi Dewi. "Tenangkan hatimu, dan minggirlah engkau.
Percayalah bahwa Tuhan akan melindungi kita."
"Tetapi. . . .engkau harus hati-hati. . . ." sahut Pertiwi Dewi dengan ucapannya
yang menggeletar dan penuh kekhawatiran.
"Jangan khawatir," sahut Fajar Legawa. Tetapli sekalipun demikian, ia tidak tahu
apa yang akan terjadi atas dirinya nanti.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pertiwi Dewi sudah melepaskan pelukannya, kemudian melompat dan duduk di
atas batu. Namun demikian pedangnya siap di tangan kanan untuk melindungi
keselamatannya.
Fajar Legawa mengangkat muka, menebarkan pandang matanya ke sekeliling.
Sepasang mata pemuda ini tampak menyala. Kemudian dampratnya. "Hai perempuan
liar! Ucapanmu jelas sekali menunjukkan kerendahan budimu. Kau. . kau perempuan
hina dan jalang!"
Akan tetapi dampratan Fajar Legawa ini hanya disambut oleh suara ketawa Dyah
Raseki yang cekikikan. Adapun sepasang matanya yang liar itu mengamati Fajar Legawa
tanpa malu-malu, seakan sedang menaksir. "Hi-hi-hik, mengapa engkau marah? Apakah
aku kurang cantik? Coba amati dan perhatikan. Aku cantik dan menarik laksana bidadari.
. . ."
"Tutup mulutmu yang busuk!" teriak Fajar Legawa saking tak kuasa menahan
marah.
"Hi-hi-hik, walaupun engkau marah tak juga mengurangi ketampananmu,
kangmas. Ah, sayang sekali mulutmu amat tajam. Untuk itu, maka engkau harus
menerima hajarannya!" setelah berkata demikian, Dyah Raseksi memberi isyarat dengan
tangan kepada sembilan orang perempuan buruk yang berkalung ular itu.
"Berilah hajaran sedikit laki-laki itu, agar tahu adat dan tidak kurangajar. Tetapi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
awas .... jangan sampai mampus."
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, sembilan orang berwajah buruk itu
sudah meloncat dan berpencaran mengurung Fajar Legawa. Pemuda inipun menghadapi
tanpa rasa gentar.. Akan tetapi ia masih bertangan kosong, dan tongkat berisi keris pusaka
itu masih terselip pada pinggangnya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara berdesis dari mulut perempuan jelek itu.
Seperti mendapatkan aba-aba, ular yang semula menggeliat itu, mendadak berdiri tegak
dan berdesis. Mulutnya terbuka lebar dan lidah yang merah menjulur keluar, siap untuk
mematuk dan menggigit lawan. Tiga orang di antara mereka telah melompat ke depan
dan menyerang. Dan enam ekor ular itupun ikut pula menyerang Fajar Legawa,
menyambar muka dan leher.
Tetapi Fajar Legawa takkan begitu saja menyerah dipagut ular. Disaat pukulan
perempuan itu menyerang dan disaat ular-ular itu mematuki, Fajar Legawa menggunakan
kecepatannya bergerak menangkis dan memukul.
Setelah tiga orang bergerak dan menyerang, yang enam orangpun kemudian ikut
menerjang. Dan dengan demikian, Fajar Legawa sekarang dikeroyok oleh sembilan orang
perempuan dan delapan belas ekor ular weling. Ular itu menyerang dengan ganas dari
semua penjuru, dan sedikit saja Fajar Legawa lengah akan celakalah pemuda itu.
Menyaksikan semua itu Pertiwi Dewi menjadi ngeri dan khawatir. Dan tanpa
sesadarnya, gadis ini sudah berteriak. "Gunakan senjatamu . . . . gunakan tongkatmu ....!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Atas anjuran Pertiwi Dewi ini, kemudian Fajar Legawa mencabut tongkat yang
terselip pada pinggangnya. Kemudian dengan tongkat ini, ia membalas serangan lawan.
Keajaiban kembali terjadi. Secara tiba-tiba delapan belas ekor ular itu berdesis keras, tidak
lagi berani menyerang malah berusaha memberontak dan lepas dari pegangan perempuan-
perempaan jelek itu.
Peristiwa yang tidak pernah terduga ini menyebabkan sembilan perempuan itu
kaget. Mereka lari serabutan untuk mengejar dan berusaha menangkap ular yang lepas
itu. Akan tetapi sungguh sayang, bahwa usaha mereka ini tidak berhasil.
Dyah Raseksi terbelalak dan sepasang alisnya terangkat tinggi. Perempuan ini
heran sekali menyaksikan peristiwa yang terjadi, dan menyebabkan agak lama penjahat
wanita yang cantik ini berdiri seperti patung. Peristiwa yang terjadi sekarang ini
merupakan peristiwa baru. Bahwa barisan "lintang sanga" yang biasanya dapat
diandalkan itu, seakan tak berdaya menghadapi pemuda tampan ini.
"Engkau menggunakan ilmu siluman?" bentak Dyah Raseksi.
Fajar Legawa menggeleng dan menjawab. "Jangan menuduh orang sembarangan..
Aku tidak menggunakan ilmu Siluman."
"Hmmm, tetapi mengapa "lintang sanga" berantakan dan mengapa semua ular itu
ketakutan?"
Akan tetapi Fajar Legawa tidak melayani ucapan perempuan itu. Kemudian
teriaknya. "Hai Dyah Raseksi! Bebaskanlah laki-laki muda bernama Pradapa yang kau
culik dari Comal itu!"
"Hi-hi-hik, laki-laki yang mana?"
"Jangan banyak mulut, bebaskan dia, agar keluarganya tidak bersedih hati!"
"Hi-hik, tidak sulit membebaskan dia. Tetapi, engkau harus memberi imbalan yang
aku minta," sahut Dyah Raseksi dengan mulut menyungging senyum.
"Katakan, apa kehendakmu?"
"Dia aku bebaskan, tetapi.... engkau harus menggantikannya di sampingku. Hi-hi-
hik, bukankah ini tuntutan yang wajar? Jangankan hanya dia seorang. Walaupun semua
laki-laki yang menghuni rumahku harus diusir, aku rela dan cukup dengan engkau
seorang."
"Iblis perempuan! Tutup mulutmu yang busuk!" damprat Pertiwi Dewi tiba-tiba
sambil melompat dari tempat duduknya. Gadis ini menjadi marah sekali mendengar
ucapan perempuan itu, yang sengaja membujuk Fajar Legawa.
"Budak liar! Mengapa mulutmu setajam itu?" hardik Dyah Raseksi.
"Hi-hi-hik, jika suamimu memalingkan muka dan memilih aku yang lebih cantik,
engkau dapat berbuat apa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Bah, jangan banyak mulut!" bentak Fajar Legawa yang terbakar kemarahannya.
"Siapa sudi kepada perempuan macam engkau?"
"Apa?" sepasang mata Dyah Raseksi membelalak. "Engkau berani menghina aku
dan menyia-nyiakan kesempatan baik yan aku berikan? Bagus! Agaknya engkau belum
mengenal siapakah aku ini. Hayo, majulah berbareng dan hadapilah aku."
"Kakang, dia terlalu menghina kita. Mari kita keroyok perempuan liar ini!" ajak
Pertiwi Dewi yang cepat terbakar oleh marah.
Tetapi tiba-tiba Dyah Raseksi mengangkat tangan dan memberi isyarat. " Tahan!"
Ia mengamati Pertiwi Dewi penuh perhatian, kemudian bertanya. "Katakan
dahulu, siapa namamu!"
"Perduli apa dengan nama segala? Huh, namaku Pertiwi Dewi!"
"Apa? Namamu Pertiwi Dewi?"
"Mengapa engkau heran? Hanya aku seorang sajalah perempuan di dunia ini yang
bernama Pertiwi Dewi!" sabut gadis ini dengan bangga.
"Jangan ngawur!" hardik Dyah Raseksi. "Adikkupun bernama Pertiwi Dewi."
"Apa?" Pertiwi Dewi kaget. "Adikmu juga bernama Pertiwi Dewi? Huh, tetapi
adikmu tentu jahat seperti engkau!"
"Budak liar yang lancang! Engkau berani menghina adikku?" Dyah Raseksi
mendelik dan sepasang matanya menyala. "Dengan kelancanganmu ini sesungguhnya
sudah dapat kujadikan alasan untuk membunuhmu, kemudian memotong-motong
tubuhmu untuk makanan binatang buas. Ah .... tidak! Engkau takut kepada ular. Biarlah
engkau aku berikan kepada ular-ularku, agar digerogoti semua daging dan tulangmu."
"Tetapi aku akan membunuh engkau lebih dahulu!" teriak Pertiwi Dewi tanpa
gentar.
Akan tetapi ketika itu Dyah Raseksi tampak menundukkan muka, dan perempuan
liar ini sekarang terdengar menghela napas panjang . "Hem ..... . Pertiwi Dewi .... adikku
.... sungguh heran . ..... di manakah engkau sekarang? Sudah amat lama sekali aku
mencarimu, namun tak pernah berhasil....."
Mendengar ini Pertiwi Dewi terkejut. Di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba saja
gadis kecil kecil mungil ini mengamati Dyah Raseksi penuh perhatian. Tiba-tiba sepasang
mata gadis ini terbalik, ia melihat kaki kiri Dyah Raseksi ini tidak mempunyai kelingking.
"Kau .... kau .... apakah engkau kakakku Niken Respati ....?" katanya ragu. "Kau
... kau mempunyai cacat sama dengan Kakakku. Kakimu yang kiri .... tanpa kelingking
...."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dyah Raseksi membelalakkan mata dan mengamati Pertiwi Dewi.
"Kau .... apakah engkau bocah dari Brebes.....?"
"Ya .... dahulu kakakku perempuan hilang .."
"Adikku ....ohh, adikku Dewi....."
Tiba-tiba saja dua orang perempuan yang tadi sudah hampir saling labrak dan
berkelahi ini sekarang saling menubruk maju dan berpelukan sambil menangis.
Fajar Legawa menyaksikan peristiwa ini dengan mata terbelalak, ia heran
disamping menjadi trenyuh. Betapa tidak? Kakak beradik yang terpisah oleh malapetaka
yang menyedihkan itu, ternyata sekarang bertemu dalam keadaan yang berseberangan.
Pertiwi Dewi seorang gadis yang benci kepada segala bentuk kejahatan, sebaliknya gadis
yang semula bernama Niken Respati itu, sekarang telah mengganti nama dengan Dyah
Raseksi, dan telah menjadi perempuan jahat.;
Jika teringat akan cerita Gadung Melati, bahwa baik Pertiwi Dewi maupun Niken
Respati (Dyah Raseksi) telah tak berayah-bunda lagi, ia sangat iba. Mengapa pertemuan
antara kakak dan adik ini harus dalam keadaan seperti ini?
Dyah Raseksi tersedan-sedan, memeluk Pertiwi Dewi erat sekali sambi1 terus
menciumi. Pertemuan yang tidak terduga-duga kuasa membuat kakak-adik ini lupa akan
keadaan sebelumnya, yang saling mencaci dan akan berkelahi.
"Adikku . . . ohh adikku .... engkau sebesar ini . . . !" ratap Dyah Raseksi ditengah
tangisnya.
Pertiwi Dewi menangis tersedu-sedu. Pelukan gadis ini juga erat sekali, melingkar
pada pinggang Dyah Raseksi yang ramping. Sedang Fajar Legawa masih tetap berdiri di
tempatnya dengan berkali-kali menghela napas saking iba.
Sulit dilukiskan betapa perasaan dua orang perempuan ini, dapat bertemu masih
dalam keadaan selamat. Perpisahannya waktu itu justeru oleh malapetaka yang tidak
terduga-duga. Rumahnya dirampok habis-habisan, ayah bundanya tewas, sedang Niken
Respati diculik penjahat. Dan sejak itu, antara mereka tidak pernah dapat bersua lagi.
"Pertiwi . . . . hu-hu-huu...." desah Dyah Raseksi disela tangisnya. . . "lebih empat
tahun lamanya aku mencari engkau .... Akan tetapi semua usahaku sia-sia ....... hu-hu-
huu. . . . Kau ...... kau seperti lenyap tanpa bekas......."
"Akupun telah lama mencarimu mbakyu..." sahut Pertiwi Dewi sambil menangis.
"Tetapi ... hu-hu-huu . . usahaku sia-sia belaka....Tetapi hu-hu-huuu..... .sekarang Tuhan
telah mengulurkan tangan ..... mempertemukan kita dalam keadaan selamat....... hu-hu
huu........ hu-hu-huuu...?"
"Ya.......tidak pernah aku duga..... .Ya........terus terang aku katakan....... bahwa
sejak tadi terjadi peristiwa aneh ...... Aku. . . . aku merasa tak tega........ dan sayang
padamu........hu-hu-huuu..."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dyah Raseksi menciumi lagi dahi Pertiwi Dewi, dan diluar kehendaknya
terkenanglah ia akan peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu, disaat dirinya
diringkus dan diculik oleh penjahat. Ia berusaha memberontak dan berteriak minta tolong.
Namun dengan kasar penjahat itu telah mengikat kaki tangannya, malah kemudian
menyumbat mulutnya. Akibat dirinya dicekam oleh rasa takut dan ngeri, maka kemudian
ia pingsan.
Ketika Niken Respati siuman kembali, ternyata dirinya sudah dalam keadaan tidur
terlentang dalam sebuah kamar yang bersih dan di sampingnya, duduk seorang
perempuan tua yang masih sibuk memijit-mijit.
Melihat Niken Respati telah siuman, bibir perempuan tua itu tersenyum, kemudian
berkata dengan halus. "Ha, engkau sudah siuman anak manis."
"Di mana aku? tanya Niken Respati dengan suara menggeletar dan celingukan.
"Anak, engkau tidak perlu khawatir, dan beristirahatlah engkau dengan tenang,"
bujuk perempuan tua ini. "Engkau sekarang telah berdiam dalam rumah majikanku, dan.
. .dan engkau akan hidup bahagia. . . ."
"Apa sebabnya aku di sini?" tanyanya sambil berusaha menyelidik kepada
perempuan tua ini.
Perempuan tua ini ketawa lirih, kemudian jawabnya halus. "Anak manis,
sudahlah. Kurang perlu engkau tanyakan soal itu. Yang jelas sekarang engkau berdiam
di dalam kamar ini, dan engkau akan hidup aman dan bahagia."
Perempuan tua ini berhenti sambil mengamati wajah Niken Respati yang cantik.
Sesaat kemudian, terusnya. "Anak manis, tidak perlu engkau khawatir. Ketahuilah bahwa
majikanku seorang laki-laki muda disamping tampan. Kau .... kau akan menjadi isterinya
yang terkasih....."
"Engkau benar . . . ." suara dari luar kamar menyambung, dan ketika pintu kamar
itu terbuka
r masuklah seorang laki-laki tampan berkumis kecil tanpa jenggot. Dengan
langkah yang ringan, laki-laki ini sudah menghampiri pembaringan Niken Respati dengan
bibir yang tersenyum.
Niken Respati amat kaget, dan ia cepat bangkit. Ia kemudian menangis amat sedih,
justeru sekarang teringatlah semuanya yang terjadi. Rumahnya dirampok orang, sedang
dirinya diculik dan dibawa lari.
Perempuan tua yang tadi menunggui, secara diam-diam telah pergi meninggalkan
kamar. Sedang laki-laki muda ini, mengamati Niken Respati penuh perhatian dengan bibir
yang tetap menyungging senyum. Lalu dengan amat lancangnya, laki-laki ini sudah
merendahkan tubuhnya, dan
memeluk gadis itu. Bujuknya. "Adikku.....tidak perlu engkau gelisah dan takut."
Akan tetapi Niken Respati segera memberontak dan menolak pelukan itu. Ia turun
dari pembaringan, kemudian mendamprat. "Bangsat busuk, pergi! Kau ....... kauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
pembunuh ayah bundaku .... Engkau perampok ganas . . . .! Hayo . . . . bunuh sajalah aku
....!"
Tetapi walaupun mendamprat, tidak urung gadis ini tidak kuasa menahan air
matanya. Dan dari sepasang matanya itu, kemudian menitiklah air mata bening, mengalir
membasahi pipinya yang kuning montok. Mendadak gadis ini melompat ke arah meja
yang letaknya tidak jauh dari pembaringan. Isi meja itu kemudian satu persatu
dilemparkan untuk menyambit laki-laki itu. Piring, cangkir, sendok dan yang lain
menyambar berturut-turut. Akan tetapi dengan gampangnya semua sambitan itu dapat
ditangkap oleh laki-laki muda ini.
"Adikku,, mengapa engkau malah, marah?" kata laki-laki ini halus "Jangan
engkau, menangis, dan marah. Aku sayang padamu, dan engkau akan hidup bahagia di
rumah ini9
"Pergi ..... pergi.... dan tutup mulutmu...!" teriak Niken Respati. "Tak sudiiii....aku
tidak sudiiii .....!"
"Hemm
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
r baiklah!" sahut laki-laki tampan itu dengan nada yang ramah.
"Beristirahatlah engkau dengan tenang."
Ia memang seorang laki-laki yang amat cerdik. Ia segera meninggalkan kamar
Niken Respati tanpa mengganggu, dan bersikap sabar. Ia cukup tahu bahwa Niken
Respati masih binal. Dan menghadapi gadis seperti ini harus menggunakan akal untuk
menundukkan.
Dialah Putut Jantoko, seorang penjahat besar yang sakti mandraguna, disamping
licin bagai belut. Setelah keluar dari kamar, ia bertemu lagi dengan perempuan tua itu.
Dan sesudah memberi pesan yang harus dilakukan, maka ia meninggalkan perempuan
tua itu ke ruangan tengah.
Berkat bujukan dan kata-kata halus dari pelayan tua itu, kemudian Niken Respati
berhenti menangis. Dan dari pemberitahuan pelayan tua ini kemudian Niken Respati tahu
banwa dirinya sekarang ini disekap di dalam sarang Putut Jantoko, dan tidak mungkin
dapat melarikan diri.
Makin hari oleh pengaruh bujukan pelayan tua itu, dan oleh sikap Putut Jantoko
yang sabar dan ramah, kedukaan Niken Respati berkurang dari sedikit. Dan setelah
sebulan lamanya Niken Respati hidup di dalam sarang penjahat ini, sikap gadis ini tidak
sekeras semula. Ketampanan wajah dan sikap yang lemah lembut Putut Jantoko, pada
akhirnya dapat menundukkan kekerasan gadis ini, yang kemudian sedia menyerah dan
tidak menolak lagi dijadikan isteri Putut Jantoko.
Akan tetapi hanya dua bulan saja Niken Respati dapat menikmati hidup bahagia
sebagai isteri Putut Jantoko. Nyata kemudian bahwa Putut Jantoko seorang penjahat
besar yang gemar sekali akan wajah ayu. Makin hari makin bertambah jumlahnya
perempuan muda dan cantik yang menghuni dalam sarang itu. Sedang janji Putut Jantoko
hanya merupakan janji kosong melompong tanpa bukti. Malah kemudian diketahui pula
oleh Niken Respati, bahwa setiap perempuan yang sudah tidak dibutuhkan lagi olehhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Putut Jantoko, maka perempuan itu akan menderita sengsara. Sebab perempuan itu segera
diberikan kepada anak-buah.
Sekarang timbullah rasa sesal dalam hati gadis ini, mengapa lemah menghadapi
bujukan PUTUT Jantoko, sehingga bersedia diperisteri oleh penjahat itu. Padahal Putut
Jantoko adalah seorang penjahat yang sudah membunuh ayah-bundanya seorang musuh
bebuyutan, dan sudah sepantasnya bahwa dirinya harus membalaskan sakit hati itu.
Teringat akan semua ini, pada mulanya timbullah rasa putus asa dan mendorong
keinginannya untuk membunuh diri. Namun kehendak ini kemudian dapat ia gagalkan
sendiri malah timbullah keinginannya untuk dapat terus hidup, kemudian dapat
membunuh Putut Jantoko.
Kemudan pada suatu hari disaat semua penjaga lengah. Niken Respati berhasil
melarikan diri dari sarang penjahat itu. Ia memaksa diri harus berlarian secepatnya, agar
dalam waktu singkat dapat meninggalkan sarang penjahat itu jauh-jauh. Tetapi karena ia
seorang gadis lemah dan tidak pernah mengenal belajar ilmu-tata kelahi, maka di saat ia
melarikan diri ini, ia jatuh bangun dan kaki maupun tangannya terluka oleh batu dan duri.
Malang tak dapat ditolak, dan mujur tak dapat diraih. Demikian pula apa yang
harus dialami Niken Respati. Ia menderita lapar dan haus, disamping kedinginan.
Pakaiannya yang tipis itu sudah robek di sana sini. Setelah tujuh hari tujuh malam hidup
di dalam hutan, kekuatan gadis ini habis dan ia menderita demam. Ia roboh terguling di
atas tanah, dan sulit bangun lagi.
Akan tetapi Tuhan belum menghendaki Niken Respati harus meninggal. Tangan
Tuhan telah menolong dengan perantaraan seseorang. Seorang tua, seorang kakek yang
hidup sengsara pula, bernama Jalu Gigis. Mula pertama derita yang harus dialami oleh
Jalu Gigis ini terjadi, sesudah ia melakukan pembunuh kepada anak isterinya sendiri, yang
diawali oleh percekcokan. Padahal persoa1annya hanya sepele saja, isterinya kurang cepat
disaat mempersiapkan makanan yang dimintanya, sesaat setelah ia pulang berjudi.
Kekalahannya disaat ia berjudi, sehingga menyebabkan semua uangnya ludes,
menyebabkan ia mata gelap menghadapi keluarganya.
Namun kemudian sesudah Jalu Gigis membunuh anak dan isterinya, ia amat
menyesal dan sedih. Kemudian ia meninggalkan rumah dan kampung halamannya, pergi
tanpa tujuan dan pada akhirnya ia memilih tempat di gunung Ungaran ini sebagai tempat
tinggalnya.
Atas pertolongan Jalu Gigis yang kemudian menjadi ayah angkat dan gurunya ini,
kemudian Niken Respati menjelma sebagai seorang perempuan sakti mandraguna. Dan
karena nama Niken Respati dianggap sial dan membawa malapetaka atas dirinya, maka
kemudian ia mengganti nama dengan Dyah Raseksi.
Akan tetapi kemudian perempuan ini tersesat dalam memilih jalan yang harus
dilalui. Timbullah kemudian keinginannya untuk membalas dendam kepada laki-laki
yang pernah menyia-nyiakan. Sungguh sayang sekali, banwa yang bersalah hanya seorang
laki-laki, tetapi semua laki-laki dibalasnya. Setiap laki-laki dianggap jahat dan sebagai
sumber kesengsaraan perempuan. Maka kemudian ia mengganas dan timbullah
keinginannya untuk mempermainkan setiap laki-laki.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Jalu Gigis penuh sayang dan kasih kepada anak angkat dan muridnya ini, tiada
bedanya seorang ayah kandung. Empat tahun kemudian Dyah Raseksi berhasil
mempengaruhi Jalu Gigis untuk membalas dendam dan membunuh Putut Jantoko.
Sayang sekali Putut Jantoko berhasil melarikan diri, dan walaupun ayah dan anak ini
berusaha mencari, tidak juga dapat diketemukan. Dalam pada itu kemudian bersama
ayahnya, iapun mencari keterangan tentang adiknya, Pertiwi Dewi. Namun ternyata
bahwa usahanya itu berhadapan dengan kegagalan. Sebaliknya sekarang, tanpa diduga
lebih dahulu, dirinya malah dapat bertemu dengan adik yang sudah lama dicari-cari itu.
Teringat akan jalan hidup yang sudah dilalui itu, Dyah Raseksi makin sedih dn
tangisnya tak jua mau berhenti. Pelukannya tambah erat dan untuk beberapa saat lamanya
perempuan ini tak kuasa membuka mulut.
Dan Fajar Legawa yang menyaksikan semua itu makin menjadi iba. Dengan
perlahan kemudian pemuda ini melangkah pergi untuk menjauhi. Dan akhirnya, Fajar
Legawa duduk di atas tonggak kayu.
"Mbakyu......hu-hu-huu......" kata Pertiwi Dewi tidak lancar di tengah tangisnya.
"Kau. . . . kau tidak disiksa .... oleh penjahat yang menculikmu . . .?"
"Tidak. . . .!" tetapi Dyah Raseksi menjadi tambah sedih teringat kepada Putut
Jantoko yang sudah merusakkan hidupnya. "Aku ....... aku ketika itu .....diperisteri oleh
dia .....Tetapi . . . . hu-hu-huu . . . . kemudian aku disia-siakan. ..."
"Kasihan sekali engkau . . . ." Pertiwi Dewi menghela napas dalam.
"Aku sudah berusaha....membalas dendam kepada bangsat itu. . . . Akan tetapi hu-
hu-huu . . . . usahaku gagal dan penjahat itu dapat lolos ... . Sejak itu. . . . aku tidak lagi
dapat menemukan jejaknya . . . ."
"Siapa . . . .siapakah penjahat itu. . .?" Pertiwi Dewi berdebar.
"Marilah kita duduk.....!" ajak Dyah Raseksi.
Kemudian kakak beradik ini duduk di atas rumput. Mereka duduk berjajar, dan
oleh rasa rindu yang belum terobati, tangan mereka masih saling peluk. Pada kesempatan
ini Dyah Raseksi segera menceritakan apa yang sudah dialami, sedang Pertiwi Dewi
mendengarkan penuturan itu dengan hati pilu,
"Mbakyu," kata Pertiwi Dewi sesudah Dyah Raseksi selesai bercerita. "Aku tak
lagi ingin berpisahan dengan engkau. . . ."
Dyah Raseksi ketawa lirih, kemudian mencium adiknya penuh kasih dan
menjawab. "Akupun demikian juga, Dewi. Aku ingin selalu hidup bersama engkau."
"Aihh ... aku bahagia sekali....!" kata gadis ini. "Karena itu. . . .kembalilah
engkau ke jalan benar .... Dan marilah sekarang juga kita tinggalkan tempat ini. . . ."
"Tak mungkin!" sahut Dyah Raseksi sambil menggeleng. "Engkaulah yang
seharusnya berdiam di sini, dan ikut aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Apa?" Pertiwi Dewi terbelalak. "Aku berdiam di sini?"
Dyah Raseksi mengangguk. "Benar! Dan engkau akan hidup bahagia di tempat
ini."
"Jadi .... jadi aku engkau ajak sebagai penjahat perempuan pula?"
"Dewi!" tiba-tiba Dyah Raseksi membentak "Jangan setajam itu mulutmu di
depanku!"
Pertiwi Dewi kaget dan memalingkan muka mengamati kakak perempuannya.
Dua pasang mata bertaut, dan seperti terpengaruh oleh daya gaib, kakak beradik itu
kembali berpelukan, sambil bertangisan.
"Pertiwi, jangan engkau salah duga dan mengira aku ini seorang perempuan
jahat," kata Dyah Raseksi setelah kuasa menahan tangisnya. "Engkau harus tahu bahwa
aku bukan penjahat seperti dugaanmu, dan akupun belum pernah melakukan
perampokan,"
Dyah Rseksi berhenti, memandang adiknya, dan sejenak kemudian ia meneruskan.
"Pertiwi, aku minta agar engkau dapat menyelami perasaan hatiku. Aihh .... tetapi nanti
dulu . . . Sebelum aku meneruskan keteranganku ini, jawablah dahulu pertanyaanku,
apakah sebabnya engkau menuduh aku sebagai penjahat? Apakah alasanmu?"
"Mbakyu, mungkin engkau benar belum pernah melakukan perampokan. Akan
tetapi engkau perlu tahu, bahwa beberapa orang anak buahmu itu melakukan
perampokan."
"Tetapi.....orang orangku tidak serampangan dalam berbuat!" bantah Dyah
Raseksi. "Mereka hanya merampok kepada orang-orang tertentu. Kepada orang-orang
kaya yang kikir dan tamak akan harta. Atau kepada para pong-gawa Mataram yang
berbuat sewenang-wenang kepada kawula cilik."
Dyah Raseksi berhenti lagi. Dan sesudah menghela napas pendek, perempuan ini
meneruskan. "Adikku, dan engkau jangan salah sangka tentang hasil perampokan itu.
Sebab hasil perampokan itu tidak untuk dimiliki sendiri, melainkan kemudian dibagakan
kepada para kawula yang hidup menderita. Pertiwi, engkau harus mau percaya, bahwa
tanpa melakukan kejahatanpun, semua anak-buahku dapat hidup tenteram dan tidak
kekurangan, karena hasil dari tanah pertanian lebih dari cukup."
"Mbakyu, menurut pendapatku setiap perbuatan secara paksa terhadap milik
orang lain, dengan alasan apapun tetap saja sebagai perampok!" kata Pertiwi Dewi.
"Maka bagaimanapun aku tak dapat menyetujui cara-cara yang kau tempuh itu. Dunia
sesat ini harus engkau tinggalkan dan marilah hidup sebagai manusia baik-baik."
Dyah Raseksi mengamati adiknya dengan pandang mata tajam. Kalau menuruti
watak dan tabiatnya yang sudah terbiasa, setiap perintah dan kehendaknya selalu dipatuhi
anak buahnya, ingin sekali Dyah Raseksi marah dan mendamprat Pertiwi Dewi. Namun
demikian ada perasaan yang menyebabkan ia tidak tega, dan kemudian perempuan ini
menghela napas panjang .https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pertiwi," katanya kemudian. "Sungguh menyesal, berat sekali rasanya apabila
aku harus meninggalkan tempat ini."
"Apakah sebabnya?" Pertiwi Dewi mengangkat kepala, mengamati kakak
perempuannya dengan pandangan mata heran.
"Ketahuilah bahwa aku telah berhutang budi yang tidak mungkin dapat aku balas,
terhadap ayah angkatku dan guruku," sahut Dyah Raseksi. "Bukan saja dia telah
menolong aku, menyelamatkan aku dari bahaya, tetapi dialah yang sudah mendidik aku
dan menyayangi pula tiada bedanya anak kandung sendiri. Untuk itu, aku harus dapat
membalas budi kebaikannya, agar orang tidak menuduh aku sebagai seorang yang tak
pandai membalas budi. Hemm, oleh karena itu adikku, besar harapanku agar engkau
yang sudi mengalah, dan engkau bersedia hidup bersama aku di tempat ini."
"Tidak mungkin!" sahut Pertiwi Dewi cepat. "Aku mempunyai alasan yang sama
dengan engkau. Karena akupun berhutang budi kepada guruku. Apakah aku masih bisa
hidup dan dapat bertemu dengan engkau, tanpa lewat pertolongan guruku?"
Mereka kembali berdiam diri, dan kemudian masing-masing menghela napas.
Untuk beberapa saat lamanya keadaan hening. Dan Fajar Legawa yang duduk di atas
tonggak nu, dapat mendengar jelas apa yang sedang dipercakapkan oleh kakak dan adik
itu. Akan tetapi dirinya, orang luar, yang tidak berhak sedikitpun mencampuri urusan
kakak-beradik itu. Dan kalau masing-masing kokoh akan pendiriannya, siapakah yang
dapat mengatasi dan memaksa?
Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, dan kemudian terdengarlah
Pertiwi Dewi berkata. "Mbakyu, apabila demikian, agaknya sulit di dalam keadaan seperti
ini, aku dan engkau bersatu kembali seperti ketika ayan bunda masih hidup....."
"Ya, akupun berpendapat demikian," sahut Dyah Raseksi sambil menghela
napas dalam.
"Akan tetap aku berharap agar setiap kali engkau sudi berkunjung kemari dan bertemu
dengan aku. Sebaliknya adikku, aku pun akan selalu berusaha agar dapat mengunjungi
tempat tinpgalmu."
Ketika itu Dyah Raseksi mengangkat kepalanya, dan tampak oleh perempuan ini
seorang pemuda yang duduk di atas tonggak tak bergerak. Bibir perempuan ini tersenyum,
lalu bertanya. "Pertiwi, aihh.....aku sampai lupa kepada suamimu....."
Pertiwi Dewi terkejut dan mengangkat kepalanya, memandang ke arah Fajar
Legawa duduk. "Dia.....dia bukan suamiku....."
"Aih.....lalu siapakah dia?" Dyah Raseksi kaget, tetapi bibirnya menyungging
senyum.
"Dia.....teman baik. Dia sahabatku . . . ." jawabnya dengan agak malu. "Mbakyu,
hari ini aku merasa bahagia sekali, secara tak terduga dapat bertemu dengan kau. Tetapi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
.... tetapi sudikah engkau mengabulkan apa yang aku minta?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Apakah yang akan engkau minta itu?"
"Tentang laki laki dari Comal yang bernama Pradapa itu. Mbakyu, kasihanilah
isterinya yang amat sedih.....Agar suami-isteri itu dapat hidup lagi bahagia."
Sikap yang semula lemah lembut itu, mendadak berobah. Dyah Raseksi
mendengus dingin, kemudian menghardik. "Hemmm, engkau lancang sekali Pertiwi,
sudah mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi ahh.....aku tidak sampai hati menolak
permintaan adikku. Aku kabulkan tuntutanmu itu, justeru tidak sulit bagiku untuk
memperoleh gantinya dua atau tiga orang sekaligus."
"Mbakyu, apa katamu?" Pertiwi Dewi kaget dan mengamati kakak-perempuannya
dengan pandang mata tajam. "Engkau masih saja tetap melanjutkan perbuatan-
perbuatanmu yang terkutuk itu? Mbakyu.....mbakyu .... sadar dan ingatlah
engkau.....Betapa sedih ayah dan bunda kita, melihat sepak terjangmu yang tidak patut
itu....."
"Hai Pertiwi!" bentak Dyah Raseksi tiba-tiba. "Selancang dan setajam itukah
mulutmu terhadap aku? Huh, jika tidak ingat engkau adikku, apakah aku sanggup
menahan diri? Tentu mulutmu sudah aku tampar remuk."
Bentakan kakak-perempuannya ini membuat Pertiwi Dewi sadar. Bahwa ia telah
lancang mengucapkan kata-kata yang amat menusuk perasaan. Gadis ini menundukkan
kepalanya, dan sambil terengah-engah dalam usahanya menahan marah, Dyah Raseksi
berkata lagi. "Pertiwi, ketahuilah bahwa aku seorang perempuan malang dan hidup
sengsara. Hari depanku telah dihancurkan oleh laki-laki dan dipermainkan. Apakah
salahnya aku membalasnya?"
"Sungguh menyesal aku, bahwa engkau telah menghina aku," terusnya sambil
menghela napas dalam. "Akan tetapi aku masih dapat memaafkan kelancanganmu ini,
asal engkau berjanji takkan mengulangnya lagi. Pertiwi, bagaimanapun engkau adikku.
Maka kurang layak kiranya apabila engkau merasa lebih tahu dan mencela. Apabila
engkau sampai lancang dan membuat aku marah, jangan salahkan aku tega dan
menghancurkan engkau seperti batu ini."
"Crakk...!" batu sebesar kambing yang bercokol di dekatnya, telah disabet dengan
pedang. Sekali sabet batu besar itu telah pecah menjadi dua.
Pertiwi Dewi terkejut, mengangkat kepalanya dan bergidik. Sejak bertemu ia
memang sudah menyadari hahwa kakak perempuannya ini seorang sakti mandraguna,
jauh di atas dirinya. Akan tetapi walaupun menyadari bahwa kakak perempuannya
seorang perempuan sakti mandraguna, hati gadis ini cukup keras dalam membela
kebenaran dan nama baik keluarga. Ia tidak menjadi gentar dan tidak pula mau mengalah.
Secepat kilat gadis inipun berdiri sambil mencabut pedang, Ia tertawa nyaring, kemudian
terdengarlah jawabannya yang cukup lantang. "Mbakyu, dalam keadaan bagaimanapun
aku tetap mengakui bahwa engkau saudaraku yang lebih tua, dan sepantasnya pula aku
menghormatimu. Tetapi sebaliknya, aku tidak rela apabila engkau menodai nama baik
keluarga. Dan untuk kepentingan keluarga itu, aku tidak takut berhadapan denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahaya. Siapapun yang berani menodai nama baik keluargaku, huh, akan aku tabas
lehernya seperti pohon ini!"
"Crakk!" sekali pedang gadis ini bergerak dan menabas, maka patahlah batang
pohon di dekatnya. Patahnya pohon itu dibarengi oleh suara gemerasak kemudian
tumbang.
Dyah Raseksi ketawa amat nyaring. Ia mengamati adiknya dengan sepasang mata
yang menyala. Namun dibaliknya Pertiwi Dewi tidak takut dan tidak gentar. Ia
menentang pandang mata kakak perempuannya itu, dengan tekat yang sudah bulat. Ia
tidak takut mati dalam usahanya membela nama baik keluarga.
Dengan jantung berdebar tegang Fajar Legawa telah melompat, kemudian
menghampiri kakak beradik itu. Pemuda ini tampak heran melihat perobahn itu. Yang
semula mereka bertangisan dan melepas rindu, sekarang berbalik akan berkelahi.
Bagaimanapun bagi pemuda ini, takkan membiarkan Pertiwi Dewi dalam bahaya. Dan ia
sedia mempertaruhkan nyawa sendiri untuk membela gadis ini.
"Hai Pertiwi!" teriak Dyah Raseksi dengan marah. "Engkau adik kandungku.
Bagaimanapun kekurang ajaranmu terhadap aku, aku masih bisa memaafkan. Oleh sebab
itu, cepatlah engkau enyah dari tempat ini, dan selanjutnya kularang engkau mencampuri
urusanku."
"Hi-hi-hik," Pertiwi Dewi ketawa mengejek. "Enak saja engkau membuka mulut
dan bicara . Kau kira aku takut padamu? Hai perempuan liar, hai perempuan jalang!
Engkau seorang anak yang tak berbakti, dan engkau sampai hati menodai nama baik
keluarga. Lebih biak engkau menyerah dan menerima hukuman atas dosamu. Jangan
menunggu sampai aku marah!"
Sulit dibayangkan betapa marah Dyah Raseksi sekarang ini. Bertahun-tahun
lamanya ia hidup di sini, tidak ubahnya seorang ratu. Setiap orang akan tunduk kepada
perintahnya, dan tidak seorangpun berani membantah. Hari ini secara tak terduga ia dapat
bertemu dengan adiknya yang sudah lama ia cari. Sejak lama ia bercita dan
mengharapkan, agar adiknya yang bernama Pertiwi Dewi itu sedia hidup bersama di
sampingnya, dan takkan terpisah lagi. Akan tetapi sekarang, ternyata harapannya hanya
merupakan impian kosong melompong. Setelah dirinya dapat bertemu dan dapat melepas
rindu dengan adiknya, Pertiwi Dewi malah mencela dan menentang cara hidupnya.
Saking marah alis perempuan ini berdiri, dan giginya gemeretak.
"Hi-hi hik, engkau berani menantang Dyah Raseksi? Bagus! Kerahkan seluruh
kemampuanmu, dan jangan menyesal apabila pedangku terpaksa memenggal lehermu.
Bukan aku yang memulai, akan tetapi engkau sendiri. Dan, hi-hi-hik, sesudah engkau
mampus, maka pemuda tampan itu akan menjadi milikku."
"Tutup mulutmu yang busuk. Jaga seranganku!" teriak Pertiwi Dewi, dan
pedangnya sudah berkelebat untuk menikam.
"Trang......!" Dyah Raseksi sengaja menangkis serangan itu, walaupun sebenarnya
tubuhnya tak mempan oleh senjata. Sengaja ia menangkis untuk mengukur sampai
dimanakah kekuatan adiknya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ahh....!" pekik Pertiwi Dewi yang kaget. Tubuhnya terhuyung dua langkah ke
belakang, telapak tangmnya panas seperti terbakar, dan hampir saja pedangnya lepas dari
tangan.
Dyah Raseksi tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan hanya ketawa mengejek,
"Hai Pertiwi, aku masih dapat memaafkan engkau, dan lekaslah engkau enyah dari
tempat ini. Tidak mungkin engkau sanggup melawan aku, dan tinggalkan di sini pemuda
tampan itu."
"Mampus kau!" teriak Pertiwi Dewi sambil menikamkan pedangnya lagi.
"Tak tak tak....!" berturut-turut sambaran pedang Pertiwi Dewi itu mengenai
sasarannya, justeru Dyah Raseksi tidak berkisar dari tempatnya berdiri. Akan tetapi oleh
perlindungan "aji welut putih", maka semua tikaman dan sambaran pedang itu meleset,
tidak berhasil melukai tubuh Dyah Raseksi.
Sebaliknya Pertiwi Dewi seperti orang kalap. Walaupun tahu semua serangannya
tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap lawan, namun gadis ini terus menyerang dan
menyerang.
Makin lama Dyah Raseksi menjadi gemas, menghadapi adiknya yang keras kepala
ini, Tiba-tiba peiempuan ini ketawa nyaring melengking dan kemudian terdengarlah
ucapannya yang. menggeletar. "Ayah .... ibu .... maafkan aku. Hari ini aku terpaksa
lancang tangan dan membunuh anakmu yang bungsu, karena tidak pandai
mengindahkan nasihatku."
Bersamaan dengan ucapannya yang terakhir tubuh Dyah Raseksi telah bergerak
bersama pedangnya. Gerakan Dyah Raseksi amat cepat sekali, hingga dalam segebrakan
saja sudah terdengar suara benturan senjata yang berturut-turut disusul oleh suara pekik
Pertiwi Dewi yang amat nyaring.
"Trang trang tring . .. aihhh ,...!" benturan pedang Dyah Raseksi kuasa
mementalkan pedang adiknya, hingga kemudian pedang itu lepas dari tangan, runtuh di
atas tanah. Dan saking kaget, gadis kecil mungil ini sudah berteriak nyaring.
Namun disaat sekarang ini Dyah Raseksi sudah amat marah. Ia sudah tidak ingat
lagi siapa yang dihadapi sekarang ini. Disaat tubuh Pertiwi Dewi masih terhuyung itu,
Dyah Raseksi telah melompat ke depan sambil menikamkan pedangnya.
"Plak .... aihh . . .!" Dyah Raseksi kaget dan terhuyung mundur. Dan Pertiwi Dewi
selamat dari ancaman bahaya, berkat tindakan Fajar Legawa yang tangkas, telah
menolong gadis itu dengan pukulan tangan miring ke punggung pedang Dyah Raseksi.
Dyah Raseksi mengamati Fajar Legawa dengan mata terbelalak. Ia kaget
berbareng heran bahwa pukulan pemuda tadi, kuasa membuat telapak tangannya panas
dan pedangnya hampir jatuh. Namun demikian perempuan ini tidak marah. Sesudah
mengamati Fajar Legawa beberapa saat lamanya, perempuan ini tersenyum manis.
Katanya halus. "Hi-hi-hik, apakah sebabnya engkau selalu membela Pertiwi Dewi?
Bukankah aku tidak kalah cantik jika dibanding dengan dia? Aihh kakang, percayalahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bahwa dalam menyenangkan dan membahagiakan hatimu, aku akan jauh lebih pintar.
Engkau tampan dan betapa ....."
"Tutup mulutmu yang busuk!" potong Fajar Legawa yang sudah tidak kuasa lagi
menahan marah dan muaknya. "Engkau binatang berbentuk manusaja. Engkau manusia
ganas dan kepada adikmu sendiri sampai hati berusaha untuk membunuh. Huh, manusia
macam engkau ini, selekasnya harus mampus ."
"Tapi .... tapi dia keras kepala, kangmas," jawab Dyah Raseksi yang masih
berusaha membujuk, dan ucapannya halus. "Dan aku bersedia memaafkan Pertiwi Dewi,
asal saja engkau sedia memenuhi harapanku. Aku .... aku . . . ."
"Cukup!" potong Fajar Legawa yang tambah muak. "Sekarang juga engkau harus
mampus!"
Kemudian dengan gerakannya yang gesit Fajar Legawa telah memukul dengan
telapak tangan yang dimiringkan, ke arah pundak. Akan tetapi celakanya serangan Fajar
Legawa ini hanya disambut oleh ketawa Dyah Raseksi yang mengejek. Ia tidak berusaha
menghindarkan dan mengelak, malah kemudian tangan kiri perempuan ini diangkat
dengan maksud mencubit dagu.
Fajar Legawa terkejut sekali ketika pukulannya terbentur oleh tenaga yang amat lunak,
licin dan menyedot. Dan dalam pada itu ia merasa malu sekali, bahwa hampir saja
dagunya berhasil dicubit oleh perempuan itu.
Pengalamannya ini menyadarkan Fajar Legawa, bahwa perempuan liar ini
seorang sakti mandraguna yang dilindungi oleh aji kesaktian. Hingga semua pukulannya
tidak mungkin berhasil, apabila hanya menggunakan pukulan yang biasa. Sadar akan
keadaan ini, dan sadar pula bahwa Dyah Raseksi yang ganas ini hanya akan menimbulkan
malapetaka bagi umat manusia, maka timbullah niat pemuda ini untuk menggunakan pu-
kulan ampuh yang bernama "lebur jagad".
Secepat kilat Fajar Legawa telah merobah sikap. Tiba-tiba dua kaki pemuda ini
merapat, disusul tangan kanan meninju udara. Gerakan itu disusul oleh tangan kiri yang
mengepal melindungi dada. Menyusul kemudian ia berdiri di atas kekuatan jari, sambil
menyalurkan hawa sakti dalam tubuh ke tangan kanan. Dan apabila kemudian apabila
jari tangan kanan itu sudah berobah menjadi lurus dan merapat, itulah merupakan tanda
aji "lebur jagad" sudah siap dilancarkan.
Dyah Raseksi hanya tersenyum saja menyaksikan tingkah Fajar Legawa ini.
Perempuan ini tidak sadar sama sekali, bahwa aji "lebur jagad" itu merupakan pukulan
berbahaya, yang kuasa menghancurkan batu sebesar gajah. Dau karena tidak sadar akan
bahaya ini, maka bibir Dyah Raseksi tetap tersenyum-senyum, sedang sepasang matanya
mengamati tidak berkedip.
"Hiaaattt.....!" teriak Fajar Legawa nyaring, dan disusul tubuhnya melesat ke
depan untuk memukul.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Darrr.....!" suara menggelegar terjadi akibat benturan tenaga yang amat dahsyat.
Tubuh Fajar Legawa terlempar ke belakang hingga dua tombak, dan peristiwa tidak
terduga itu menyebabkan Pertiwi Dewi memekik nyaring saking terkejut.
Di depan Dyah Raseksi sekarang telah berdiri seorang kakek bertubuh kurus.
Kumis dan jenggotnya panjang menjuntai, sudah bercampur dengan uban. Tubuh kakek
itu bergoyang-goyang seperti pohon padi tertiup angin. Wajah kakek itu agak pucat,
namun tak 1ama kemudian kakek itu sudah dapat berdiri tegak lagi.
Laki-laki tua yang tiba-tiba muncul dan menolong Dyah Raseksi ini, bukan lain
guru Dyah Raseksi sendiri yang bernama Jalu Gigis. Dan diam-diam kakek ini heran pula,
mengapa semuda itu telah memiliki tenaga yang demikian dahsyat.
"Ayah!" tegur Dyah Raseksi dengan nada yang tidak senang. "Mengapa ayah
membuat aku kecewa?"
"Aihh." Jalu Gigis nampak kaget dan membalikkan tubuh menghadapi Dyah
Raseksi. "Apa sebabnya engkau menuduh aku seperti itu?"
"Apakah sebabnya ayah perlu menangkis pukulan dia? Bukankah dengan aji
"welut putih" aku dapat melindungi pengaruh pukulan itu?"
"Heh-heh-heh," Jalu Gigis terkekeh. "Engkau terlalu sembrono anakku. Pukulan
pemuda itu amat berbahaya, dan tak cukup ditolak dengan aji "welut putih"
"Aihh . ..." Dyah Raseksi terbelalak kaget. "Apa sebabnya?"
"Pukulan bocah itu bukanlah pukulan biasa."
"Ayah .... kalau demikian apakah aji "welut putih" belum dapat diandalkan
keampuhannya?"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm" Jalu Gigis menghela napas pendek, "Tidak seorangpun di dunia ini berhak
mengaku orang paling sakti dan tidak terkalahkan."
"Tetapi ayah........aku belum dikalahkan. Mengapa ayah sudah turun tangan?""
"Benar. Namun sebaliknya engkaupun tidak boleh memandang rendah kepada
pemuda itu. Maka serahkan dia padaku, dan engkau cukup menonton saja."
"Tetapi......."
"Apa lagi?"
"Ayah jangan melukai dia ....."
"Hah!" Jalu Gigis terbelalak dan merasa heran mendengar permintaan anak
angkatnya ini. "Permintaanmu sungguh aneh. Bagaimanakah mungkin aku dapat
menundukkan dia tanpa membalas pukulannya?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tetapi ayah......... hi-hi hik," kata Dyah Raseksi dengan sikap yang manja dan
setengah malu-malu. "Apakah ayah belum tahu akan maksudku?"
"Apakah maksudmu?" Jalu Gigis mengamati anaknya dengan pandang mata
heran.
"Pemuda itu tampan dan ganteng ayah . . ..."
Tersentak ketawa Jalu Gigis mendengar ucapan anak angkatnya yang terakhir ini.
"Heh-heh-heh, engkau selalu jatuh hati saja, apabila melihat seorang laki-laki tampan.
Heh-heh-heh, tetapi kau juga tidak salah anakku, justeru engkaupun seorang perempuan
muda dan cantik jelita."
Bangga Dyah Raseksi oleh pujian ayah angkat dan sekaligus gurunya ini. Ia
tersenyum manis sekali sambil mengerling, dan kemudian sesudah mencium pipi Jalu
Gigis yang mulai berkeriput Dyah Raseksi melompat dan kemudian berdiri di pinggir.
"Hai bocah, katakan terus-terang siapakah namamu?" tegur Jalu Gigis dengan
angker.
"Fajar Legawa," sahut pemuda ini singkat.
"Bagus, dan engkau perlu tahu bahwa aku Jalu Gigis, ayah dan guru Dyah
Raseksi," Kata kakek itu. "Tetapi ehh, mengapa sebabnya sepagi ini engkau sudah
mengganggu dan mengacau tempat tinggal kami?"
"Maafkan aku paman, bukan maksudku untuk mengganggu dan mengacau tempat ini,"
sahut Fajar Legawa dengan ramah. "Aku datang kemari untuk menuntut pembebasan
seorang sahabatku. Dan apabila sahabat yang aku maksud telah dibebaskan, tanpa rewel
lagi aku akan pergi dari tempat ini""
"Heh-heh-heh, boleh-boleh, asal saja engkau bisa."
"Apakah syaratnya?"
"Sahabatmu itu tanpa syarat akan dibebaskan tetapi engkau harus menggantikan
dia menjadi tawanan anakku."
"Kurang ajar! Ternyata antara anak dan ayah sama jahatnya!" teriak Fajar Legawa
yang sudah terbakar oleh marah, "Jika demikian, maafkan aku yang muda, terpaksa
berbuat lancang di tempat ini."
"Heh-heh-heh," ejek Jalu Gigis. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Jika paman berkeras mempertahankan sahabatku itu, dengan menyesal akupun
akan menggunakan kekerasan,"
"Heh-heh-heh, bagus! Akan aku lihat sampai dimanakah kemampuanmu, anak
muda!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sambil menggeram Fajar Legawa telah melompat dan melancarkan pukulan-
pukulannya. Angin yang dahsyat menyambar-nyambar mendahului datangnya pukulan
yang dilancarkan. Akan tetapi dengan ketawa ha-ha he-he, tanpa kesulitan Jalu Gigis
melayani semua serangan orang muda itu.
Makin lama Fajar Legawa merasakan tekanan lawan yang makin menjadi kuat. Ia
menjadi sadar, apabila tetap bertangan kosong, tidak urung dirinya celaka. Maka secepat
kilat pemuda ini sudah mencabut tongkatnya, kemudian melancarkan serangannya
dengan tongkat itu.
Jalu Gigis berseru kaget ketika tiba-tiba ia merasakan pengaruh hawa yang amat
dingin menusuk tulang. Mengapa bisa terjadi demikian? Padahal dirinya sekarang ini
dilindungi oleh aji "welut putih" dan sanggup menahan pukulan maupun serangan senjata
tajam. Akan tetapi mengapa sekarang ini, tongkat orang muda ini mempunyai pengaruh
yang mujijad?
Dyah Raseksi mengamati perkelahian itu dengan sepasang mata terbelalak, dan
seakan tidak, percaya akan pandang matanya sendiri. Ayah angkatnya adalah seorang
sakti mandraguna. Akan tetapi mengapa sekarang ini, hanya berhadapan dengan Fajar
Legawa, tidak lekas dapat mengalahkan? Diam-diam perempuan ini menjadi kaget dan
sadar. Ternyatalah bahwa dugaan ayahnya tadi bukan hanya ngawur. Peringatan
ayahnya tadi mempunyai cukup alasan, bahwa Fajar Legawa memang seorang pemuda
yang gemblengan dan sakti mandraguna.
TETAPI justeru menyadari bahwa pemuda ini disamping tampan juga sakti
mandraguna, maka ia makin bernafsu untuk dapat menguasai dan menjinakkan Fajar
Legawa. Sebab dengan kehadiran pemuda ini di sampingnya, akan berarti dirinya
mempunyai seorang pembantu terpercaya. Malah kemudian timbul tekadnya dalam hati,
bahwa ia sedia mengakhiri kebiasaannya yang berganti-ganti laki-laki, untuk menjadi
isteri Fajar Legawa yang setia. Bukankah apabila dirinya dapat hidup sebagai suami-isteri
dengan pemuda itu, di dunia ini akan muncul suami isteri sakti mandraguna yang
namanya menggetarkan jagad?
Sementara itu Pertiwi Dewi mengikuti perkelahian itu dengan jantung yang
berdebar dan tegang, la memang selalu berharap agar Fajar Legawa dapat mengalahkan
Jalu Gigis maupun Dyah Raseksi. Akan tetapi sebaliknya, melihat perkelahian yang
demikian sengit itu, diam-diam ia menjadi khawatir juga kalau Fajar Legawa sampai gagal
mengatasi. Maka walaupun sekarang ini dirinya hanya berdiri dan menonton, tangan
kanannya tetap saja dalam keadaan siaga, menggenggam pedang yang telanjang.
Demikianlah, perkelahian atara Jala Gigis dengan Fajar Legawa itu berlangsung
amat sengit, dan gerakan mereka cepat sekali hampir tak dapat diikuti oleh pandang mata.
Namun makin lama Dyah Raseksi menjadi khawatir dan gelisah. Ia sadar bahwa ayah
angkatnya sudah tua sehingga baik tenaga maupun napasnya sudah jauh merosot. Kalau
perkelahian itu tidak segera juga berakhir, ia menjadi amat khawatir kalau pada akhirnya
pemuda itu yang akan menang.
Oleh dorongan pengaruh yang khawatir ini, tiba-tiba Dyah Raseksi melengking
nyaring. Tubuhnya berkelebat dan kemudian perempuan ini sudah menyerang Pertiwi
Dewi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aihhh.....trang........!" benturan pedang terjadi, sesudah Pertiwi Dewi memekik
nyaring. Gadis ini memang agak kaget, sebab sama sekali tidak menduga, bahwa dirinya
akan diserang Dyah Raseksi.
Fajar Legawa kaget sekali mendengar pekikan Pertiwi Dewi yang nyaring itu. Hati
ingin menolong, akan tetapi sunguh sayang, dirinya sendiri terlibat oleh Jalu Gigis. Dan
disaat Faja Legawa belum dapat berbuat sesuatu ini, tiba-tiba terdengarlah pekik Pertiwi
Dewi yang lebih nyaring. Akibat kaget, hampir saja tongkat Fajar Legawa dapat direbut
oleh Jalu Gigis. Masih untung bahwa pemuda ini dapat mempertahankan tongkat itu,
kemudian melompat ke samping.
Sambil melompat ini Fajar Legawa sempat melirik. Dan betapa terkejut pemuda
ini ketika melihat bahwa Pertiwi Dewi sudah roboh di atas tanah, ia tidak tahu apakah
Pertiwi Dewi pingsan ataukah tewas menghadapi kakak perempuannya sendiri yang
bernama Dyah Raseksi itu.
Akan tetapi yang jelas robohnya Pertiwi Dewi ini membuat Fajar Legawa kalap.
Sambil menggeram seperti harimau terluka, Fajar Legawa menerjang maju memukulkan
tongkatnya keaarah Jalu Gigis. Ternyata Jalu Gigis tidak berani gegabah menghadapi
tongkat Fajar Legawa yang menebarkan hawa dingin itu. Dan Ketika Jalu Gigis
melompat ke samping menghindarkan diri, maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Fajar Legawa untuk menerjang Dyah Raseksi.
Dyah Raseksi kaget oleh serangan lawan tak terduga ini, dan untuk menolong diri
Dyah Raseksi membenturkan pedangnya untuk menangkis, "Trang.....! Aihhh.....!"
Benturan senjata itu disusul oleh Pekik Dyah Raseksi yang amat nyaring. Sebab
begitu berbenturan, pedang Dyah Raseksi telah patah menjadi dua potong. Dalam
marahnya Fajar Legawa tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk bernapas, ia
melompat ke depan sambil menyodokkan tongkat ke dada Dyah Raseksi.
Sungguh sayang bahwa saat sekarang ini Jalu Gigis hadir di tempat itu. Melihat
anak angkatnya terancam oleh bahaya, secepat kilat Jalu Gigis telah merakup lima butir
kerikil, kemudian berturut-turut disambitkan. Atas serangan ini Fajar Legawa memang
tangkas. Menggunakan kegesitannya ia berhasil menghindari dan menangkis serangan itu
yang berturut-turut. Empat butir telah dapat lolos, akan tetapi sayang sekali sebutir kerikil
masih sempat memukul lutut. Terdengar Fajar Legawa mengeluh lirih, disusul tubuhnya
terhuyung, kemudian roboh di atas tanah.
"Heh-heh heh!" Jalu Gigis terkekeh, kemudian berkata ramah kepada anak-angkatnya.
"Puaskah engkau sekarang?"
"Ayah, terima kasih," jawab Dyah Raseksi dengan wajah berseri. "Dan sekarang,
aku sendiri dapat mengurusi."
"Heh-heh-heh.....heh heh-heh....." Jalu Gigis hanya tertawa, tanpa mengucapkan
sesuatu. Agaknya kakek ini sudah maklum akan maksud anak-angkatnya, maka tak lama
kemudian kakek ini telah pergi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Cekatan sekali Dyah Raseksi telah mengikat kaki dan tangan Fajar Legawa. Tetapi
ketika Pertiwi Dwi tiba gilirannya untuk diikat kaki dan tangannya, maka dara kecil
mungil ini mendapat. "Bunuh, bunuhlah saja aku, habis perkara!"
"Hi-hi hik," Dyah Raseksi ketawa mengejek. "Engkau sendiri yang telah memilih
jalan buruk. Aku memberi engkau daging, tetapi engkau malah memilih tai anjing. Hi-hi-
hi, untuk membunuh engkau, apakah sulitnya? Namun karena engkau seorang adik yang
berani melawan saudara tua, engkau harus mengalami derita dan siksaan sebelum
mampus. Huh-huh, sangkamu aku tidak dapat berbuat kejam kepada adik sendiri? Hi-hi-
hikk, aku Dyah Raseksi. Siapapun yang berani menantang aku harus mengalami siksaan
sebelum mampus!"
"Huh-huh, siapa takut?" jawab Pertiwi Dewi marah sekali. "Engkau binatang yang
berbentuk manusia. Engkau bukan saudaraku. Engkau manusia perempuan liar dan
ganas. Aku tidak menyesal mati di tanganmu, sebaliknya aku malah puas. Huh, semoga
Tuhan mengutuk dan menghukummu......."
"Hi-hihik," kata-kata Pertiwi Dewi itu hanya disambut oleh ketawa Dyah Raseksi
yang cekikikan. "Dalam menghadapi maut, ternyata engkau masih juga bermulut tajam.
Huh, apapun yang aku 1akukan, siapa yang dapat melarang dan menghalangi?"
Dyah Raseksi berhenti sebentar sambil menatap tajam kepada Pertiwi Dewi.
Sesaat kenudian ia meneruskan. "Hai budak liar yang tidak tahu adat. Tahukah engkau
bahwa tidak terhitung jumlahnya manusia laki-laki yang saling berebut dan berusaha
mendekati aku? Huh, engkau boleh saja menyebut aku perempuan jalang atau perempuan
terkutuk. Namun yang jelas banyak laki-laki menelan ludah setiap melihat kecantianku.
Dan tahukah engkau apabila laki-laki sudah aku beri kesempatan memeluk dan mencium
aku? Tidak seorangpun mencelanya, sebaliknya malah memuji-muji bahwa aku
perempuan cantik bagai bidadari. Banyak puji sanjung yang diucapkan. Dan mereka akan
selalu terkenang pula padaku."
Pertiwi Dewi meludah saking muak mendengar kata-kata Dyah Raseksi itu. Gadis
yang sudah tidak berdaya ini makin menjadi sengit. "Huh! Ucapanmu merupakan cermin
dari budi dan nuranimu yang amat kotor. Pantas! Pantas apabila kau diberi air susu,
membalas dengan air tuba. Kau mungkir? Huh, orang tua dibunuh mati oleh peijahat,
namun sebaliknya engkau malah menyedikan diri diperisteri. Engkau....... berkhianat
kepada keluarga. . . ."
"Plak plak. . . .!" telapak tangan kanan Dyah Raseksi menyambar pipi Pertiwi
Dewi keras sekali. Dan akibatnya, pipi yang halus dan montok itu, sekarang berolah
menjadi matang biru oleh tamparan yang keras. Dan sudut bibir Pertiwi Dewi mengalir
darah merah, pertanda dalam mulut sudah terluka. Namun demikian, sedikitpun gadis ini
tidak meratap, dan pula tidak menjadi gentar menghadapi kakak perempuannya yang
berobah menjadi ganas ini.
Sungguh kasihan Pertiwi Dewi ini. Bertahun-tahun ia selalu terkenang kepada kakak
perempuannya yang hilang diculik penjahat. Bertahun-tahun ia merindukan pertemuan
dengan kakak perempuannya itu. Namun sekarang, setelah harapannya itu terkabul,
dapat bertemu dengan mbakyu, akan tetapi yang terjadi di luar harapannya. Ternyatahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kakak perempuannya sudah jauh berobah. Kakak perempuannya sudah menjadi manusia
berhati binatang.
"Keparat! Perempuan liar!" teriak Fajar Legawa yang merasa iba kepada
penderitaan Pertiwi Dewi. "Dia sudah tidak berdaya, tetapi mengapa engkau sampai hati
menyiksa dan menyakiti? Huh, lupakah engkau bahwa Pertiwi Dewi itu adik kandungmu
sendiri?"
Sepasang mata Dyah Raseksi yang semula menyala itu mendadak berobah redup
dan bibirnya tersenyum ketika mendengar kata-kata Fajar Legawa ini. Ia kemudian
meninggalkan Pertiwi Dewi, dan ia melangkah menghampiri pemuda itu yang terikat
tidak berdaya. Setelah ia berjongkok di samping Fajar Legawa, perempuan ini berkata
dengan nada halus. "Kangmas, mengapa engkau marah-marah? Bukan maksudku untuk
menyakiti budak liar itu. Akan tetapi karena mulutnya terlalu lancang, maka dengan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpaksa aku harus menghajar mulut tajam itu."
"Tetapi bagaimanapun Pertiwi Dewi itu adik kandungmu," kata Fajar Legawa
dalam usahanya menyadarkan perempuan ini. "Tidak semestinya engkau berbuat sekejam
itu."
"Aihh, kangmas, engkau tidak adil!" protes Dyah Raseksi. "Engkau selalu
membela budak liar itu, dan sebaliknya engkau selalu menyalahkan aku," Dan sepasang
mata Dyah Raseksi yang bening itu, sekarang tampak berkaca-kaca seperti mau menangis.
Entah mengapa sebabnya, tidak seorangpun tahu kecuali Dyah Raseksi sendiri.
"Bukannya aku selalu membela dia," kata Fajar Legawa. "Akan tetapi akupun
tidak setuju dengan pendirianmu yang sesat itu."
"Hi-hi-hik, lagi-lagi engkau mencela aku dan menganggap sesat." jawab Dyah
Raseksi sambil cekikikan. "Kangmas, aku jatuh cinta kepadamu, akan tetapi sebaliknya
mengapa engkau selalu angkuh dan pura-pura tidak tahu? Aih kangmas, jangan engkau
jual mahal. Betapa bahagia hatiku ini, apabila aku selalu berada di sampingmu."
Death Du Jour Karya Kathy Reichs Pendekar Muka Buruk Pendekar Berwajah Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo