Pencarian

Iblis Dari Gunung Wilis 3

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 3



Legawa. Mengapa ia menduga pemuda itu yang akan dibunuh? Sebab orang orang jahat

ini tentu merasa sayang apabila membunuh seorang perempuan secantik Pertiwi Dewi.

Dan lebih lagi, sejak tadi mereka sudah meagincar dan membicarakan.

Namun walaupun sadar bahwa ancaman itu tentu bukan ancaman kosong, saat

sekarang ini dirinya harus memperhitungkan untung maupun ruginya. Kalau ia berusaha

melompat mundur untuk melindungi Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi yang pingsan,

akibatnya malah lebih celaka lagi. Jaraknya dengan dua orang muda itu lebih empat

tombak. Dan apabila dirinya melompat mundur, akan berarti memberi kesempatan

kepada Dadungawuk untuk membalas maupun melemparkan lagi senjata yang beracun

itu. Maka menurut jalan pikiran Gadung Melati saat sekarang ini, lebih baik ia menekan

Dadungawuk dengan serangan-serangan berantai lebih dahulu, dan baru kemudian

melompat mundur untuk melindungi dua orang muda itu

Sebaliknya Tambak Rawa, setelah berusaha mempengaruhi perasaan Gadung

Melati tidak berhasil, tanpa bicara lagi sudah menyambitkan enam batang pisau itu ke

arah Fajar Legawa yang menggeletak tidak bergerak.

"Siut wut wut. ...!" dan enam batang pisau belati itu kemudian melesat dari

tangannya, saling susul menyambar ke arah Fajar Legawa.

Celaka! Fajar Legawa yang pingsan dan tidak dapat membela diri ini, akan segera

tewas terpanggang oleh pisau-pisau belati yang beracun itu.

"Tring tring tring ....!" Tambak Rawa terbelalak kaget, ketika enam batang pisau

belatinya itu sudah runtuh ke atas tanah terbentur oleh benda-benda kecil yang

menyambar secara tiba-tiba. Dari kaget ia sudah marah sekali, kemudian berteriak

nyaring.

"Hai manusia busuk yang bersembunyi. Muncullah kemari, dan jangan main

curang!"

"Ha-ha-ha-ha, yang curang aku apakah engkau?"

Sepasang mata Tambak Rawa membeliak lebih kaget lagi, kemudian mata orang

ini mencari-cari dan mengamati ke arah batang-batang pohon. Suara jawaban itu, seperti

terdengar dari atas. Akan tetapi ketika ia mengamati penuh perhatian ke arah pohon-

pohon, orang yang dicari tidak tampak.

"Setankah?" desisnya, setelah mengamati tidak juga tampak seorangpun. Akan

tetapi pendapatnya ini segera dibantah sendiri. Tidak mungkin! Manakah ada setan bisa

bicara sejelas itu? Namun sesudah merasa pasti bahwa bukan setan, jantung Tambakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Rawa berdesir hebat dan amat tegang, sebab ia segera dapat menduga, bahwa orang yang

baru saja bersuara itu tentu seorang sakti mandraguna.

Namun walaupun jantungnya berdesir dan tegang, tangannya sudah bergerak lagi.

Sekarang pisau belati yang disambitkan bukan hanya enam batang lagi. Malah sepuluh

batang berturut-turut. Sambitannya kali ini tanpa memberitahukan lebih dahulu, yang

maksudnya agar orang yang bersembunyi itu tidak menduga sama sekali.

"Siut wut wut....!" sepuluh batang pisau belati sudah menyambar seperti kilat

cepatnya, dan berpencaran. Sekarang arah sasarannya bukan melulu kepada Fajar

Legawa, melainkan juga ke arah Pertiwi Dewi.

"Heh-heh heh-heh!" terdengar lagi suara ketawa orang yang terkekeh, akan tetapi

kecil. "Sesudah main-main dengan telur busuk yang membuat orang mabuk dan pingsan,

sekarang engkau main maut dengan pisau belati yang beracun, dan menyerang kepada

lawan yang tidak berdaya karena pingsan. Apakah perbuatanmu macam ini patut?"

"Tring tring tring. ......!" dan pisau-pisau belati yang disambitkan oleh Tambak

Rawa runtuh lagi ke tanah, tidak sebatangpun yang dapat mendekati tubuh FajarLegawa

maupun Pertiwi Dewi. Benturan itu amat tepat, membuktikan bahwa orang yang masih

menyembunyikan diri itu bukan orang sembarangan.

Di saat Tambak Rawa masih terbelalak itu, terdengar lagi suara ketawa terkekeh

dan disusul oleh kata-kata yang mengejek. "Heh-heh-heh! Masihkah pisaumu itu sahabat?

Kalau masih, mengapa tidak kau sambitkan lagi dan lebih banyak?"

Tambak Rawa kembali menebarkan pandang-matanya ke arah dahan-dahan

pohon. Namun anehnya, tidak juga tampak orang yang dicari. Dalam penasarannya

Tambak Rawa sudah mengambil duapuluh batang pisau belati dari kantung senjatanya.

Kemudian, ia menyambitkan lagi pisau itu, sambil menambah tenaga sambitannya.

"Siut wut wut.....!"

"Bagus, ternyata engkau sekarang menyambitkan lebih banyak lagi," terdengar

suara orang itu lagi. Kemudian disusul oleh suara berdering yang berturut-turut.

Dan kali ini yang terjadi berlainan dengan yang sudah terjadi tadi. Kalau tadi

pisau-pisau belati itu runtuh oleh benturan beberapa butir benda yang menyambar,

sekarang yang terjadi cukup membuat Tambak Rawa terkejut, kemudian orang ini

memekik tertahan sambil melompat ke samping, r *

"Cap cap.......!" dua batang pisau belati beracun yang disambitkan tadi, sekarang

telah menancap pada batang pohon yang tegak berdiri di belakangnya. Tambak Rawa

terbelalak dan wajahnya berobah pucat. Kalau saja ia tadi tidak lekas melompat ke

samping, tentu senjata sudah makan tuan.

Yang terjadi memang menakjubkan. Ketika pisau-pisau belati yang disambitkan

Tambak Rawa itu menyambar saling susul, maka dari arah yang berlawanan sudah

menyambar sebutir batu sebesar kepalan tangan. Sambaran batu itu seperti kilat cepatnya

dan secara tepat membentur pisau-pisau belati yang disambitkan oleh Tambak Rawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Yang menakjubkan adalah, bahwa pisau yang pertama terbentur oleh batu itu, terpental

ke belakang dan membentur pisau belati yang menyusul. Dan pisau kedua ini terpental ke

belakang, membentur pisau yang ketiga. Demikianlah berturut-turut pisau itu saling

berbenturan dan menimbulkan suara berdering nyaring. Dan yang terakhir, dua batang

pisau belati telah berbalik arah dan menyerang dirinya sendiri.

Belum juga hilang rasa terkejut Tambak Rawa, tahu-tahu di atas batu besar yang

bercokol pada tebing seberang, telah berdiri seorang laki-laki kurus. Munculnya laki-laki

itu seperti setan. Dan sesudah berdiri di atas batu, laki-laki itu terkekeh nyaring, sambil

menegur kepada Gadung Melati. "Heh-heh-heh, orang macam itu mengapa tidak

selekasnya kau hajar mampus?."

"Kakang Wukirsari!" teriak Gadung Melati yang nadanya amat gembira. "Engkau

datang tepat pada saatnya."

Untuk sejenak Dadungawuk terbelalak. Namun kemudian orang ini melompat

jauh ke belakang sambil bersuit keras, sesudah menghujani serangan pisau belati ke arah

Gadung Melati. Dan di saat Gadung Melati sibuk menangkis hujan pisau belati ini, maka

Dadungawuk sudah melarikan diri, yang disusul oleh Tambak Rawa sambil mendukung

Tambak Raga.

Gadung Melati tidak akan membiarkan orang pergi begitu saja, tanpa

meninggalkan obat pemunahnya. Maka kakek gendut ini sudah melompat dengan

maksud akan mengejar.

"Hai Gadung, kembalilah!" teriak kakek yang bernama Wukirsari ini. "Engkau

tidak perlu repot. Aku sudah mempunyai obat pemunahnya."

Gedung Melati menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. "Benarkah

itu?"

"Mengapa tidak benar?"

Wukirsari sudah mengeluarkan sebutir kelapa hijau, dan kelapa ini kemudian

dilobangi. Air kelapa hijau ini kemudian diminumkan kepada Fajar Legawa dan Pertiwi

Dewi setelah dicampur dengan obat pemunah racun.

Ketika itu matahari sudah di sebelah barat dan sinarnya sudah lemah. Angin

pedesaan berhembus perlahan memberi kesegaran. Gadung Melati dan Wukirari sibuk

bekerja memberi pertolongan kepada dua orang muda itu, agar selekasnya dua orang

muda ini sadar dari pingsan.

Pada kesempatan ini Gadung Melati memberitahukan tentang siapakah pemuda yang

pingsan ini. Ia menceritakan segala sesuatunya tentang Fajar Legawa. Dan mendengar

cerita itu, berkatalah Wukirsari. "Akupun dari sana, sesudah aku mendengar kabar yang

tersiar dari mulut ke mulut. Tetapi setelah datang ke bekas rumah adi Kusen, tidak banyak

keterangan yang aku peroleh. Hemmm....."

Wukirsari menghela napas berat. Dan Gadung Melati berkata. "Akupun sudah ke

sana pula. Dan akupun tidak banyak memperoleh keterangan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tetapi bagaimanakah dengan pusaka itu?"

"Engkau tidak perlu gelisah. Agaknya Kusen sudah lama mempersiapkan diri.

Hemm, pusaka itu masih selamat dia disembunyikan dalam tongkat ini," sambil

menerangkan, Gadung Melati segera menyerahkan tongkat Fajar Legawa itu kepada

Wukirsari.

Wukirsari manggut-manggut. Tanpa mencoba untuk membuka tongkat itu, ia

sudah percaya mendengar keterangan Gadung Melati, dan melihat pula potongan golok

Tambak Rawa. Wajah kakek ini tampak lebih cerah dibanding tadi.

Kemudian. "Jadi, bocah ini sekarang, yang harus meneruskan tugas itu?"

Dan Gadung Melati mengangguk. Disaat kakak-beradik seperguruan ini sedang

asyik bicara, maka Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi sudah sadar dari pingsannya. Untuk

sejenak dua orang muda ini kaget. Tetapi setelah ingatan mereka pulih, segera tahulah

mereka yang terjadi sebelumnya. Dan ketika Fajar Legawa mengamati Wukirsari dengan

heran. Gadung Melati segera berkata. "Fajar! Dia kakang Wukirsari. Dan dia kakak

seperguruan yang tertua dari ayahmu Kusen."

Mendengar keterangan ini, tanpa diperintah Fajar Legawa segera memberikan

hormatnya. Dan atas penghormatan Fajar Legawa ini, Wukirsari terkekeh senang sekali,

ia mengangguk-angguk, kemudian. "Anakku, setiap yang hidup akan kembali ke asalnya.

Maka apa yang terjadi atas keluargamu, terimalah dengan hati tabah. Sebab engkaulah

yang berkewajiban menggantikan tugas ayahmu Kusen itu."

"Tetapi saya heran paman," sahut Fajar Legawa. "Mengapa saya harus mendapat

tugas membawa pusaka orang?"

Gadung Melati dan Wukirsari saling pandang mendengar pertanyaan ini. Agaknya

dua orang ini saling bertanya dengan bahasa mata. Baru sejenak kemudian, terdengarlah

Gadung Melati berkata. "Mari kita mencari tempat mengaso dahulu. Agar kakang

Wukirsari dapat menceritakan lebih gamblang."

Demikianlah, mereka kemudian meninggalkan tepi sungai ini menuju ke sebuah

desa. Atas kebaikan seorang kepala desa, mereka mendapatkan tempat mengaso cukup

menyenangkan, dan lebih lagi kepala desa itu memiliki surau. Maka ketika tiba waktunya

sholat Maghrib, bertindak sebagai imam adalah Wukirsari, sedang yang lain makmum.

Mereka belum juga turun dari surau, dan menunggu waktu sholat Isyak tiba. Dan

baru sesudah sholat terakhir ini selesai mereka tunaikan maka Gadung Melati dan Pertiwi

Dewi meninggalkan surau tersebut, sebaliknya Wukirsari dan Fajar Legawa masih tetap

di situ.

"Mari,"ajak Wukirsari ke sudut. "Agaknya tempat ini lebih aman apabila aku

mengungkap masalah sepenting ini."

Fajar Legawa mengangguk, dan setelah pemuda ini duduk di depan Wukirsari,

orang tua ini mulai bercerita.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Fajar, mungkin engkau sudah mendengar pula tentang Gusti Adipati Ukur yang

menemui ajalnya di tangan algojo Mataram."

"Benar," sahut pemuda ini. "Guru yang menceritakau kepada saya."

Wukirsari mendehem. Kemudian berkata. "Baiklah, sekarang dengar ceritaku.

Sebelum Gusti Adipati Ukur harus menemui ajalnya atas hukuman yang dijatuhkan oleh

Sultan Agung itu, Gusti Adipati Ukur sempat mempercayakan keris pusaka "Tilam Upih"

ke tangan ayahmu Kusen. Mengapa demikian? Soalnya Gusti Adipati Ukur tidak rela

kalau keris pusaka itu jatuh ke tangan orang lain."

"Paman," kata Fajar Legawa tiba-tiba. "Kalau begitu apakah Gusti Adipati Ukur

sudah menduga, bahwa dirinya akan menenui ajalnya di Mataram?"

"Aku kurang tahu, tetapi mungkin sudah menerima firasat, buktinya keris itu

dipercayakan kepada ayahmu Kusen. Dan setelah menerima tugas itu, ayahmu Kusen

menunggu berita tentang nasib Gusti Adipati Ukur. Ternyata, Gusti Adipati Ukur

menemui ajalnya di Mataram . ."

"Apakah kesalahan beliau?" tukas Fajar Legawa.

"Tidak seorangpun tahu. Dan Sultan Agung tidak memberikan alasannya. Yang

jelas, setelah beliau menemui ajalnya di Mataram, ayahmu Kusen lalu menyembunyikan

diri di desa Samakaton, di gunung Slamet itu. Kemudian mengganti nama dengan Kusen.

Hemmm, dugaan Gusti Adipati Ukur ternyata benar. Bmyak orang mengincar keris

pusaka "Tilam Upih." itu. Dan apa yang menimpa pada diri adi Kusen dan isterinya

itu, bukan lain akibat keris pusaka itu."

"Karena orang kemudian tahu rahasia itu?"

"Mungkin, anakku. Manusia dapat berikhtiar, akan tetapi semua ketentuan di

tangan Tuhan. Dan sekarang tugas itu beralih dari tangan ayahmu Kusen ke tanganmu.

Maka engkau harus pandai menjaga diri. Tugas yang engkau pikul sekarang ini cukup

herat. Tetapi apabila engkau percaya, tugas itu akan menjadi ringan. Untuk itu maka

engkau harus dapat menjauhkan diri dari sifat sombong dan bangga diri. Karena bangga

dan kesombonganmu itu, hanya akan mencelakakan dirimu sendiri. Ah Fajar, apakah

dalam engkau mengucapkan "doa iftitah" setiap engkau sholat itu. selalu kau resapkan ke

dalam hati?"

"Ya, paman. Saya selalu berusaha menyesuaikan diri dengan isi doa itu."

"Bagaimanakah arti dari doa itu?"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kira-kira demikian paman. Ya Allah, jauhkanlah antara hamba dan kesalahan

hamba, sebagaimana Allah telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah,

bersihkanlah hamba dari segala kesalahan, sebagaimana pakaian putih yang telah

dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkan kesalahan hamba dengan air salju dan em-

bun."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Nah, mudah-mudahan doa itu bukan hanya kau jadikan bacaan yang latah.

Engkau dapat mengucapkan, dan berusahalah engkau dapat memenuhi apa yang sudah

engkau baca setiap engkau sholat itu."

"Ya paman."

"Anakku, ingin aku memberi sekedar nasihat padamu, agar tidak ragu-ragu dalam

melangkah. Begini anakku, di saat malam tiba di mana manusia ini beristirahat

memulihkan kekuatan, maka pada saat itu manusia terbagi menjadi tiga. Ialah waspada,

dursila dan masa bodoh. Anakku, orang yang selalu waspada akan selalu memper-

hitungkan kemungkinan di waktu malam, sehingga tidak hanya akan tidur melulu. Sebab

mengapa? Ketahuilah bahwa malam tiba inilah kesempatan orang dursila melakukan

perbuatannya menggunakan kesempatan di saat orang lengah. Dan orang yang masa

bodoh, tidak akan mau perduli kepada keadaan, sehingga orang inipun hanya enak-enak

tidur. Akibatnya orang seperti inipun akan menderita rugi sendiri, oleh perbuatan para

dursila (orang jahat). Anakku, mengapa tiba-tiba aku membicarakan soal orang tidur?"

Wukirsari berhenti sambil mengamati Fajar Legawa seperti sedang mencari kesan.

Sesaat kemudian, terusnya. "Anakku, disaat engkau hidup sekarang ini,aku umpamakan

engkau melalui sepanjang malam. Perjalananmu saat sekarang ini dapat diartikan, engkau

baru saja meninggalkan waktu Magrib dan menjelang waktu Isyak. Waktu masih sore,

dan baru para kanak-kanak sajalah yang sudah tidur. Keadaan masih ramai, karena

banyak orang yang masih berjaga. Sehingga engkaupun masih belum merasakan kesepian

malam itu. Akan tetapi dalam perjalananmu kemudian,waktu Isyak akan kau tinggalkan.

Dan apabila engkau sudah mendekati tengah malam, akan tibalah waktu yang mulai sepi

dan para dursila mulai melakukan perbuatannya yang jahat. Apakah yang akan engkau

perbuat? Sudah tentu engkau akan selalu waspada menjaga setiap kemungkinan dengan

perasaan yang amat tegang. Ketegangan perasaanmu akan berlangsung beberapa lama,

sampai tibalah saat menjelang pagi."

Wukirsari berhenti lagi dan batuk-batuk kecil. Ia mengamati Fajar Legawa

beberapa saat lamanya, namun beberapa saat kemudian ia meneruskan lagi. "Anakku,

kemudian menyusullah waktu pagi, dimana matahari sudah muncul di timur. Perjalanan

sudah hampir mendekati akhir. Aku tidak mengerti apakah di dalam perjalananmu se-

malam itu kau pandai mengemban tugasmu menyelamatkan pusaka "Tilam Upih",

sehingga tiada ssorangpun penjahat dapat merebutnya. Kesemuanya itu tergantung

kepada engkau sendiri. Dalam perjalanan ini engkau tertidur ataukah engkau selalu

waspada."

Fajar Legawa memperhatikan petunjuk-petunjuk Wukirsari penuh perhatian. Ia

mencamkan dan meresapkan nasihat itu sebaik-baiknya. Dan ia merenungkan nasihat

Wukirsari ini yang diperlabangkan dengan perjalanan semalam suntuk, bukankah ayah

bundanya telah tewas oleh keris pusaka "Tilam Upih" dan adik perempuannya hilang?

Dan mendadak saja jantung pemuda ini berdebar tegang. Teringatlah ia akan pesan dan

setengah ancaman Ayu Kedasih. Perempuan itu sudah mengetahui rahasia tongkatnya.

Dan perempuan itu menghedaki dirinya harus berkunjung lagi kesana dan bertemu

dengan Ayu Kedasih. Apakah maksud perempuan itu, ia tidak dapat menduga sama

sekali.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi pemuda ini segera teringat kata-kata gurunya yang pernah menyebut,

bahwa Kyai Kusen itu bukanlah ayah-kandungnya. Kyai Kusen hanya bertindak sebagai

seorang ayah. Tetapi orang tuanya sendiri adalah orang lain. Sayang gurunya tidak

bersedia menerangkan, lalu siapakah orang-tuanya itu sebenarnya? Teringat akan hal ini

kemudian timbullah keinginannya untuk bertanya kepada Wukirsari.

"Paman, saya menjadi bingung," katanya kemudian.

"Apakah yang engkau bingungkan?"

"Guru pernah mengatakan, bahwa sesungguhnya ayah Kusen itu bukau orang-

tuaku. Lalu siapakah orang tuaku?"

Wukirsari menghela napas pendek. Kemudian orang tua ini memberi jawaban

samar-samar, "Anakku, aku tidak dapat memberikan keterangan terus terang sekarang

ini. Namun dapat mengungkapkan sedikit, bahwa pusaka "Tilam Upih" itu sesungguhnya

pusaka leluhurmu sendiri."

Terbelalak kaget Fajar Legawa mendengar ini. Pusaka leluhurnya sendiri? Kalau

keris pusaka "Tilam Upih" itu semula sebagai milik Adipati Ukur, lalu apakah orang itu

ayahnya?

"Jadi.....Gusti Adipati Ukur itu, ayah ;aya sendiri?" tanyanya dengan hati yang

berdebar.

"Hemmu, aku tidak dapat menerangkan sekarang. Akan tetapi legakanlah hatimu,

bahwa Gusti Adipati Ukur itu masih mempunyai hubungan darah dengan engkau."

Hubungan darah? Jadi bukan ayahnya, akan tetapi masih merupakan kerabat?

Kalau demikian, dirinya masih merupakan keturunan seorang bangsawan? Keterangan

ini membuat ia tambah bingung. Mengapa orang-orang yang mempunyai hubungan

dengan dirinya, berusaha merahasiakan orang tuanya yang sesungguhnya? Apakah

sebabnya? Karena itu ia merasakan kepalanya berdenyutan. Dan sesudah menghela napas

pendek, ia mengeluh.

"Paman, mengapa sebabnya maupun guru merahasiakan orang tuaku yang

sebenarnya?"

"Bukan merahasiakan anakku, tetapi perlu menunggu waktu. Percayalah bahwa

kemudian hari, setelah tiba saatnya engkau akan segera tahu siapakah orang tuamu itu."

Tidak lama kemudian pemuda ini minta diri kepada Wukirsari, sesudah mengerti

bahwa Wukirsari lebih suka tidur di surau. Ia meninggalkan surau itu, dan ketika ia baru

menginjakkan kaki di atas tangga surau yang terakhir, ia agak terkejut, Pertiwi Dewi telah

menggapit lengannya, dan gadis itupun memberi isyarat, menyilangkan jari telunjuk di

depan mulut, agar Fajar Legawa tidak membuka mulut.

Ia tidak ingin mengecewakan gadis ini, maka ia menurut saja ditarik oleh gadis itu,

menjauhi surau, menuju ke samping rumah. Oleh sentuhan lengan yang lembut dan halushttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

itu, jantung pemuda ini tiba-tiba saja berdesir dan tegang. Dan dalam dadanya tiba-tiba

saja menyelinaplah rasa aneh.

TAHUKAH sebabnya aku mengajak engkau kemari?" bisik Pertiwi Dewi. Mulut

gadisini dekat sekali dengan telinga, sehingga udara yang keluar dari lobang hidung gadis

itu hangat dan menyentuh-nyentuh daun telinganya. Bau semerbak harum tercium dari

rambut gadis itu, sehingga membuat perasaannya tambah tidak keruan.

"Tahukah, akan maksudku mengajak engkau kemari?" ulang gadis ini setelah

ditunggu, Fajar Legawa belum menjawab.

"Ada apa?"tanya pemuda ini denganheran.

"Apakah engkau tidak menangkap suara tangis perempuan itu?"tanya Pertiwi

Dewi

Fajar Legawa kaget, dan mendadak pemuda ini seperti disadarkan, sesudah ia

mempertajam pendengarannya. Memang didengarnya suara isak tangis perempuan dari

dalam rumah. Dalam pada itu terdengar pula suara orang agak parau, suara laki-laki.

"Apa yang terjadi?" tanya pemuda ini.

"Mana aku tahu?" sahut Pertiwi Dewi.

Untuk sejenak mereka berpandangan, kemudian masing-masing tersenyum.

"Mari kita selidiki!"ajak Fajar Legawa kemudian.

Pertiwi Dewi mengangguk. Dan kemudian dua orang muda ini melompat ke atas

atap rumah yang paling rendah, Sesudah itu, laksana gerakan dua ekor kucing, mereka

mendekati tempat orang yang menangis itu dengan hati-hati.

Mereka kemudian dapat melihat ke dalam rumah dengan jelas. Seorang gadis

sedang duduk sambil menangis sedih. Gadis ituadalah anak kepala desa yang

makaninimereka tumpangi, bernama Rara Suli. Dan didepan gadis itu, duduk ayah dan

bundanya.

"Anakku," terdengar kemudian kata kepala desa itu. "Akupun dapat merasakan

kesedihanmu saat sekarang ini. Akan tetapi Suli, engkau tahu bahwa aku tidak dapat

berbuat apa-apa.Justeru semua ini, bukan lain untuk menjaga keselamatan kita

sekeluarga."

"Hemm, ayah selalu berkata demikian," protes Rara Suli ditengah isaknya, tetapi

juga setengah bersungut. "Bukankah. . . sebenarnya ayah dapat melaporkan peristiwa

ini. . . .kepada KanjengBupati dan mohon bantuan prajurit?"

Tiba-tiba ibunya berkata. "Suli, bukankah ayahmu tadi sudah mengatakan bahwa

hal itu tidak mungkin dikabulkan?"

"Tetapi apakah alasannya. . . .?" desak Suli.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Hem," kepala desa menghela napas berat, "beginilah anakku, persoalannya

memang tidak semudah engkau kira. Pertama, saat sekarang ini Mataram sedang banyak

membutuhkan tenaga prajurit dalam usaha Sultan Agung mengusir Kumpeni Belanda.

Prajurit Kanjeng Bupati saat ini hampir semuanya dibawa Kanjeng Bupati, ke Karta.

Yang tertinggal di sini dalam jumlah tidak banyak. Dan itupun, tanpa perintah langsung

Kanjeng Bupati sendiri, manakah mungkin mereka berani meninggalkan rumah

kabupaten? Yang kedua anakku, sarang penjahat perempuan itu amat berbahaya. Bukan

saja sarang penjahat perempuan itu amat berbahaya. Tetapi guru penjanat itu yang

bernama JaluGigiss merupakan seorang sakti mandraguna, dan sarang itupun dijaga pula

oleh barisan ular yang amat berbahaya. Hingga tidak mungkin sarang itu dapat digempur,

untuk membebaskan suamimu. Anakku . . . hemm, mengingat semua itu, tidaklah

mungkin Kanjeng Bupati bersedia mengorbankan prajuritnya hanya untuk kepentingan

kita ini. . . ."

"Tetapi.....bukankah penjahat di hutan Roban itu, mengacau ketenteraman

penduduk?"

"Kau benar. Akan tetapi semua itu engkau harus mengerti kedudukan ayahmu.

Aku hanya seorang kepala desa, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Dan akupun

tidak mungkin memaksa kepada para penduduk, untuk kepentingan pribadi macam ini."

Tiba-tiba ibunya berkata. "Suli, mengapa sebabnya engkauselalu memikirkan

suamimu yang ditawan penjahat perempuan itu? Bukankah engkau masih muda dan

cantik, sehingga tidak sedikit laki-laki lain yang patut menjadi suamimu? Jika seorang laki-

laki meninggalkan isterinya, kemudan beralih kepada perempuan lain, itu merupakan

bukti bahwa suamimu tidak setia. Anakku, mengapa engkau sedemikian lemah, dan tidak

sakit hati diperlakukan seperti itu, oleh suami yang tidak setia?"

"Ibu!" teriak Rara Suli sambil menatap ibunya. "Tuduhanmu kepada kakang

Pradopo keterlaluan, aku sendiri menyaksikan terjadinya peristiwa itu, seminggu yang

lalu. Kakang Pradopo berkelahi dengan wanita jahat itu, tetapi dikalahkan. Kemudian

dalam keadaan tidak berdaya kakang Pradopo ditawan. Jadi.....dia tidak berkhianat

ibu....."

Rara Suli kembali terisak-isak dan menyeka air mata. Kemudian.

"Ibu.....apakah.....kebahagiaan rumah tangga itu, dapat dibina tanpa melalui cinta?

Ibu.....seorang wanita yang setia, tidak akan mengalihkan pandang mata kepada laki-laki

lain....."

"Aku mengerti," kata kepala desa. "Tetapi apakah daya? Aku tidak mungkin kuasa

merebut suamimu tanpa kekuatan. . . .hemm. . . ."

Rara Suli kembali terisak-isak. Ia berduka sekali atas peristiwa yang menimpa

dirinya. Suami yang dicintai, ditawan orang.

"Ayah, ibu!" tiba-tiba Rara Suli mengangkat kepala, memandang orang-tuanya,

"Jika ayah tak dapat berdaya, baiklah. Sekarang juga aku minta diri. Aku sendiri yang

akan pergi dan merebut kembali dia....."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ohhh. . . . jangan.....!" pekik ibunya sambil menubruk anaknya, kemudian

menangis. Suaminya nampak amat berduka sekali. Tetapi ia hanya berdiam diri dan

menghela napas panjang .

Terharu sekali Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi mendengar itu. Untuk sejenak dua orang

muda ini berpandangan, dan sesaat kemudian terdengarlah Pertiwi Dewi berbisik.

"Kakang . . . marilah kita tolong ....!"

"Baiklah," Fajar Legawa mengangguk tanda setuju, "Tetapi sebaiknya

kitamintaijin lebih dahulu kepada paman . ....."

"Tak usah. Tidak mungkin guru mau memberi ijin."

"Mengapa?"

"Guru tentu mengkhawatirkan keselamatan kita, kakang. Maka sebaiknya kita

tidak minta ijin saja.

"Tetapi bukankah lebih baik apabila gurumu ikut serta dalam menolong ini?"

"Hemm," gadis ini menghela napas. Tiba-tiba katanya setengah mengejek.

"Apakah kakang takut kepada penjahat itu?"

"Siapa takut?" sabut Fajar Legawa cepat. Ia tidak mau dituduh sebagai seorang

penakut.

"Bagus!" puji Pertiwi Dewi. "Kalau demikian, marilah kita berangkat sekarang

juga dan mengobrak-abrik sarang penjahat itu. Hnh, aku pernah mendengar kabar bahwa

penjahat yang dimaksud, bernama Dyah Raseksi."

"Tetapi .... ijinkanlah aku ambil senjataku lebih dahulu!"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertiwi Dewi mengangguk. Dan tak lama kemudian dua orang muda ini telah

meninggalkan tempat mereka menginap.

Di jalan, terdengar Pertiwi berkata. "Kakang, marilah kita berlomba."

"Apakah maksudmu?" Fajar Legawa melengak heran.

"Mari kita ukur siapakahdi antara kita yang dapat lari lebih cepat!"

Fajar Legawa tertawa. Kemudian jawabnya. Tidak usah, aku mengakui

kekalahanku."

"Apakah sebabnya?" desak Pertiwi Dewi. "Karena, aku tidak pandai lari . . . . "

"Engkau bohong!" Pertiwi Dewi mencibirkan bibirnya yang tipis dan merah itu.

"Aku tidak percaya bahwa engkau tidak pandai lari."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa tidak menjawab, tetapi mengamati Pertiwi Dewi dengan pandang-

matanya yang terpesona. Walaupun saat sekarang ini malam hari, namun dalam jarak

yang dekat, ia dapat melihat dengan jelas bahwa sekalipun mencibirkan bibir, tetapi gadis

itu tersenyum. Bibir yang mungil itu amat besar daya tariknya bagi pemuda ini, dan

membuat Fajar Legawa tertarik dan terpikat.

Karena Fajar Legawa tidak menjawab malah sekarang mengamati tidak

berkedip, gadis kecil mungil ini sudah menghardik. "Hai, apa yang kau pandang?"

"Ehh .... ehhh . . . aku tak tahu.......!" sahut Fajar Legawa yang gelagapan.

Dan gadis ini ketawa merdu. Ternyata walaupun menghardik, gadis ini tidak

marah. Untuk menghilangkan suasana yang kaku itu, Pertiwi Dewi kembali mengajak.

"Mari kita memulai."

"Mulai apa?"

"Hai, apakah engkau sudah menjadi kakek pikun? Hi-hi-hik," kata gadis ini,

"Bukankah aku tadi mengajak berlomba lari?"

"Hemm . . . . ya, tetapi tidak usah. Aku sudi mengakui kekalahanku," sahut Fajar

Legawa yang berusaha mengalah, karena memng tidak menghendaki berlomba lari

dengan gadis ini.

Tetapi diluar dugaan. Justeru oleh jawaban pemuda ini. Pertiwi Dewi malah

bersungut-sungutmarah. "Hah, engkau terlalu menghina aku ya? Engkau menganggap

bahwa aku tidak pandai lari, sehingga tiada harganya engkau layani?"

"Eh! eh ... . bukan demikian adikku," sahut Fajar Legawacepat dalam usahanya

agar gadis ini tidak tambah marah dan salah faham. "Aku benar-benar mengaku, bahwa

tidak mungkin aku menang melawan engkau dalam lari cepat."

"Belum dicoba mengapa engkau sudah ;merasa kalah? Hayolah, satu .... dua ....

tiga ..."

Dan berbareng dengan selesai hitungan ketiga diucapkan, gadis ini sudah

melompat dan lari cepat sekali. Gerakannya ringan sekali, bagai sebatang anak-panah

lepas dari busur.

Sesungguhnya Fajar Legawa tidak ingin menuruti kehendak Pertiwi Dewi. Akan

tetapi karena sekarang gadis itu telah mendahului lari, maka mau tidak mau ia terpaksa

melompat pula untukmenyusul gadis itu. Dan setelah mereka bergerak dan berlarian,

diam-diam Fajar Legawa mengakui bahwa Pertiwi Dewi memang seorang perempuan

jago lari.

Gerakannya gesit sekali dan cepat. Akan tetapi walaupun demikian, kalau ia mau,

apakah sulitnya mendahului Pertiwi Dewi? Namun hal itu tidak ia lakukan. Pertama, ia

khawatir gadis ini tersinggung kemudian ngambek. Sedang alasan yang kedua, justeru

dengan bergerak dibelakang gadis ini, ia malah memperoleh keuntungan. Sebab denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bergerak dibelakangnya, berarti tanpa diketahui dan disadari oleh Pertiwi, ia dapat

melihat dan menikmati keindahan dan lekuk lekung tubuh gadis ini dari belakang.

Pertiwi Dewi pun tahu bahwa Fajar Legawa telah menyusul dibelakannya. Gadis

ini tidak ingin kalah cepat dengan Fajar Legawa, maka ia pun mempercepat langkahnya,

dengan maksud meninggalkan pemuda itu. Namun amat sayang sekali bahwa sekalipun

ia sudah mengerahkan kepandaiannya lari, ternyata Fajar Legawa tetap saja dapat

membayangi dirinya dalam jarak dekat.

Apa yang terjadi sekarang ini menyadarkan Pertiwi Dewi. Ternyatalah bahwa

dalam hal laripun dirinya tidak mampu menandingi Fajar Legawa, tetapi walaupun

demikian, watak Pertiwi Dewi cukupkeras, ia bukannya mau mengakui kepandaian Fajar

Legawa, melainkan gadis ini malah mengerahkan kepandaiannya lari lebih cepat.

Untung sekali Fajar Legawa bukan seorang pemuda bodoh. Setelah berlarian

cukup lama, gerakan kaki Pertiwi Dewi semakin menjadi cepat, insyaflah Fajar Legawa

bahwa dalam hal lari ini, Pertiwi Dewi tidak mau kalah. Timbulnya akalnya kemudian

untuk mengelabui gadis ini, agar sigadis merasa menang dan hatinya senang.

"Aduh ....sudah.... aduh ....payah.....aku kalah . ..." katanya dengan terputus-

putus, dan pura-pura keletihan sambil tersengal-sengal. Dan untuk menutupi keadaannya,

kemudian Fajar Legawa pura-pura terhuyung, lalu roboh dan duduk.

"Aihhh ... ." melihat Fajar Legawa terhuyung gadis ini kaget. Dan kemudian,

iapun menghentikan tingkahnya.

"Dewi.... engkau lari cepat sekali.... membuat aku .... aduhh ...... hampir putus

napasku," kata Fajar Legawa yang pura-pura mengeluh.

"Hemm," Pertiwi Dewi hanya mendengus dan tidak mengucapkan apa-apa.

Sesudah itu, kemudian Pertiwi Dewi berdiri sambil menyandar pada pohon. Fajar

Legawa melirik, kemudian tahulah pemuda ini bahwa dada gadis itu berombak pertanda

payah juga.

Untuk beberapa saat lamanya mereka mengaso tanpa membuka mulut. Namun

setelah reda pernapasannya, terdengarlah kata Pertiwi Dewi yang mulai percakapan.

"Hemm, biasanya laki-lakilah yang membawa minggat perempuan. Akan tetapi sekarang

yang terjadi sebaliknya, ada perempuan yang membawa minggat laki-laki. Aneh....."

"Kebiasaan bukanlah merupakan ketentuan yang tidak dapat dirobah," sahutFajar

Legawa. "Maka tak mengherankan terjadinya peristiwa ini."

"Tetapi huh, perbuatan Dyah Raseksi ini amat memalukan, dan dengan

perbuatannya itu, merendahkan martabat perempuan."

"Tetapi Dewi, bagi golongan penjahat, hal tersebut sudah tidak ada lagi. Mereka

tak lagi tahu apa yang disebut sopan, malu, maupun norma kesusilaan yang lain."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Dan aku juga heran," Pertiwi Dewi menggelengkan kepalanya. "Mengapa

seorang perempuan menjadi pemimpin para penjahat?"

"Pemimpin bukanlah monopoli laki-laki Dewi," sahut Fajar Legawa. "Dan

perempuanpun sanggup pula memimpin orang."

"Tetapi sebagai seorang perempuan aku menjadi terhina oleh perbuatannya!"

Pertiwi Dewi bersungut.

"Dan kasihan pula Rara Suli," kata Fajar Legawa. "Dia masih muda. . . .tetapi

terpaksa dia ditinggalkan suaminya....."

Pertiwi Dewi memalingkan muka dan mengamati Fajar Legawa. Katanya kemudian.

"Dan lagi.....dia cantik, bukan?"

"Ya."

"Menarik?"

Fajar Legawa mengangguk.

"Dan kau juga tertarik dan cinta pada dia?"

Fajar Legawa kaget atas pertanyaan ini. Pertanyaan yang tidak pernah diduganya.

Dan atas pertanyaan ini tiba-tiba kerongkongannya seperti tersekat, tidak dapat membuka

mulut, maka pemuda ini hanya menggelengkan kepalanya.

"Mengapa engkau tidak jatuh cinta?" desak Pertiwi Dewi.

Fajar Legawa melongo heran mendengar pertanyaan yang terus-terang ini.

Mengapa gadis ini sampai hati mengucapkan pertanyaan itu? Tetapi justeru bingung dan

tidak tahu bagaimanakah dirinya harus menjawab pertanyaan ini, maka jawabnya hanya

sekenanya saja.

"Entahlah. ..."

Tidak terduga Pertiwi Dewi ketawa lirih dengan nada mengejek. "Hi hi-hik, laki-

laki memang, banyak yang suka berpura-pura. . . ."

"Tetapi juga banyak yang tidak. . . ." sahut Fajar Legawa.

"Tentu saja kau membela."

"Aku tidak membela, tetapi kenyataannya memang demikian."

"Hemm, dasar laki-laki!" kata Pertiwi Dewi. "Apakah engkau tidak akan

menepati janjimu disaat bulan purnama?"

Fajar Legawa kaget berbareng heran. Kemudian. "Janji? Janjiku kepada siapa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Hi-hi-hik, siapa lagi? Mengapa engkau pura-pura tidak tahu? Bukankah engkau

sudah berjanji dengan Ayu Kedasih yang sudah bersuami itu?"

Fajar Legawa berjingkrak seperti dipagut ular. Tidak pernah ia duga sama sekali

bahwa Pertiwi Dewi tahu akan soal ini. Namun demikian ia juga tidak terlalu sulit untuk

menemukan jawabannya, akan sebabnya Pertiwi Dewi tahu soal ini. Tentu gadis ini telah

membaca tulisan Ayu Kedasih yang tertulis pada kain merah kemarin itu. Diam-diam ia

menjadi menyesal, mengapa kemarin ia melupakan secarik kain merah itu, setelah

diserang Pertiwi Dewi tiba-tiba.

"Aku tidak berjanji, katanya kemudian dalam usahanya membela diri. "Akan

tetapi dialah yang mengundang."

"Hemm, tetapi bagaimanakah pendapatmu? Akan engkau penuhi juga undangan

itu?" desak Pertiwi Dewi sambil mengamati Fajar Legawa tidak berkedip.

"Ya. Aku tidak mau dikatakan orang dengan sebutan angkuh dan pengecut."

"Tetapi dia ingin membicarakan soal tongkatmu. Mengapa sebabnya engkau

membiarkan perempuan itu mengetahui rahasia tongkatmu? Dan mengapa pula engkau

pura-pura tidur?"

Untuk sejenak Fajar Legawa terbelalak. Sama sekali tidak diduganya bahwa

Pertiwi Dewi akan sampai pada pertanyaan seperti ini. Tetapi setelah menghela napas

dalam, kemudian Fajar Legawa menjawab. "Hemm, aku ditempatkan pada sudut yang

sulit. Aku khawatir apabila dia berteriak, dan karena ia dalam kamar di mana aku tidur,

maka aku takut apabila peristiwa itu menimbulkan salah-paham . . . . "

Tetapi Pertiwi tidak mau mengalah begitu saja dan mendesak. "Kalau tidak

bersalah, mengapa engkau takut?"

"Ya," hanya itulah jawaban Fajar Legawa. Sebab pemuda ini menjadi bingung

sendiri, bagaimanakah ia menjawab desakan Pertiwi Dewi.

Pertiwi Dewi tersenyum mengejek. Tetapi karena gelap, maka senyum mengejek

itu tidak tampak oleh Fajar Legawa. Untuk sejenak keadaan hening, kemudian

terdengarlah Pertiwi Dewi memulai lagi, "Ya, akupun tidak dapat menyalahkan,

mengapa engkau membiarkan Ayu Kedasih mengetahui rahasia tongkatmu. Akan tetapi

inginlah aku berpesan padamu, agar engkau bersikap hati-hati apabila datang ke sana.

Aku tidak tahu mengapa sebabnya, namun ada perasaanku yang curiga akan sikapnya

yang aneh itu. Hem, siapa tahu kalau hanya akan menjebak engkau saja?"

"Terima kasih, dan aku akan selalu berhati-hati," sahut Fajar Legawa. Akan tetapi

dam-diam pemuda ini merasa malu, mengapa dirinya sekarang ini seperti anak kecil saja,

berhadapan dengan Pertiwi Dewi?

Tak lama kemudian dua orang muda ini sudah meneruskan perjalanan. Ketika

warna lembayung sudah mulai membayangi langit timur, dan bintang pagi telah

sepenggalah tingginya, mereka telah tiba di kaki gunung Ungaran, di mana Dyah Raseksi

bertempat tinggal.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pagi sudah hampir tiba, namun walaupun semalam suntuk dua orang muda ini

tidak tidur, mereka sama sekali tidak mengantuk. Dan kemudian dua orang muda ini

sudah mulai menyusuri jalan berliku-liku di lereng gunung. Akan tetapi belum jauh dua

orang muda ini menyusuri jalan sempit itu, tiba-tiba mereka mendengar bentakan yang

parau. "Hai, berhenti!"

Dan belum lenyap suara bentakan keras itu muncullah empat orang laki-laki yang

membuntu jalan.

Dan ketika salah seorang dan mereka ini melihat Pertiwi Dewi yang manis, tiba-

tiba saja berseru. "Ha, gadis ini bagianku!"

Pertiwi Dewi menjadi muak mendengar ini. Sring, mendadak saja ia sudah

menghunus pedang, menyerang sambil membentak nyaring. "Bagus! Tangkaplah jika

bisa!"

"Brettt . . . ." baju orang itu sudah robek panjang sekalipun menghindar dengan

sebat. Dan robeknya baju ini disambut oleh ketawa Pertiwi yang menjadi senang.

"Sring sring. ..." empat orang itu sudah menghunus senjata masing-masing.

Kemudian orang yang bajunya robek sudah membentak garang. "Budak liar! Kalau

begitu, engkau harus mampus!"

Golok orang ini menyambar dahsyat.Tetapi dengan ketawa mengejek Pertiwi

Dewi tidak gentar. Ia menggeser kaki sedikit, tubuhnya dimiringkan, dan pedangnya itu

dengan gerakan yang sebat sudah menyambar leher orang.

Laki-laki itu melompat mundur dalam usahanya menyelamatkan diri. Yang lain

tidak tinggal diam dan berusaha melindungi keselamatan kawannya. Dua orang telah

menerjang kearah Fajar Legawa. Pemuda ini mendengus dingin, menghindar kesamping

dan ketika tangan menyambar, malah sebatang pedang lawan telah dapat direbut. Dan

ketika orang ini belum dapat berbuat apa-apa, maka tinju Fajar Legawa telah bersarang

pada dagu, sedang lawan yang lain terpukul dadanya.

"Plak buk ..... aduhh ....!" jerit dua orang itu hampir berbareng, lalu roboh

terguling. Hanya sebentar, dua orang itu hampir berbareng, ini telah melompat bangun
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan beringas. Akan tetapi mereka ini memang hanya orang-orang berkepandaian

rendah. Atas hajaran Fajar Legawa ini mereka menjadi takut, kemudian sambil berteriak

nyaring mereka telah kabur.

Belum jauh Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi mendaki pinggang gunung Ungaran

itu, terdengarlah suitan nyaring yang panjang dan bersahutan. Dua orangmuda ini

menduga, tentu suitan tersebut untuk mengundang bala-bantuan di samping

memberitahukan adanya bahaya. Namun ternyata dugaannya itu salah. Suitan tersebut

sudah disambut dengan suara berdesis-desis dari segala penjuru.

"Ular.....!" teriak Pertiwi amat terkejut dan cepat menubruk dan memeluk Fajar

Legawa. Semangat gadis ini mendadak saja seperti lenyap tidak kuasa menahan rasa jijik.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Pertiwi, tenanglah!" hibur Fajar Legawa-"Gunakan senjatamu!"

Tetapi dara kecil mungil itu seakan tidak mendengar kata-kata Fajar Legawa. Ia

tetap saja memeluk erat dengan tubuh yang mengigil ketakutan, Padahal suara berdesis

itu makin menjadi, dekat dan bau yang anyir tercium dari segala penjuru.

Untuk melarikandiri sudah tidakmungkin. Ular itu berdatangan dari semua

penjuru. Mereka telan terkepung rapat, bukan hanya di atas tanah, tetapi juga tidak

terhitung jumlannya bergerak diatas pohon. Justeru disaat Fajar Legawa masih dalam

keadaan bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ini, tubuh Pertiwi Dewi telah

lemas tak berdaya. Kalau saja tidak ditolong dan dipeluk dengan tangan kiri, tentu gadis

ini sudah roboh diatas tanah.

Hal ini menyebabkan Fajar Legawa tambah gugup, akan tetapi kesadarannya tidak

hilang. Menggunakan tangan kiri untuk mengepit tubuh Pertiwi Dewi, sedang tangan

kanan sudah mencabut tongkat. Kemudian dengan senjata tongkat ini, Fajar Legawa telah

menyapu ke sekitarnya untuk mengusir ular yang mengepungnya.

Gemeresak cabang-cabang dan ranting pohon kayu yang berguguran di atas tanah

oleh pukulan tongkat Mundingrana, di samping batu-batu hancur terpukul, menyusul

suara gemerisik dan gemeresak, akan tetapi makin lama suara itu makin menjauh. Jantung

Fajar Legawa berdebar tegang sambil menghentikan gerakan tongkatnya, tetapi

bercampur dengan rasa heran. Ternyata ular berbisa yang tidak terhitung jumlahnya dan

mengepung dirinya dari segala penjuru tadi, dengan mendadak telah lenyap tanpa bekas.

"Hemm .... ternyata ular itu takut kepada keris . . ." desis pemuda ini. Akan tetapi

ketika melihat Pertiwi Dewi telah pingsan saking takut kepada ular itu, pemuda ini

menjadi gugup, ia membaringkan gadis ini diatas batu datar. Dan dengan cekatan pula,

pemuda ini sudah memijit dan mengurut sana dan sini untuk menyadarkan.

Ketika memperoleh kesadaran pertama kali, Pertiwi Dewi telah melompat.

Kemudian ia berdiri tegak, sepasang matanya merah menyala, mengamati Fajar Legawa

penuh kebencian, lalu teriaknya."Kau .... kau kurang ajar. . . . !"

"Pertiwi, engkau keliru....." sahut Fajar Legawa agak gugup. "Engkau tadi

pingsan . . . . jijik melihat ular....."

Mendengar jawaban Fajar Legawa ini. Pertiwi Dewi kaget, aku tetapi ingatannya

pulih kembali dalam waktu singkat. Teringatlah akan keadaannya tadi yang ngeri

disamping takut, lalu menubruk dan memeluk Fajar Legawa. Sadar bahwa dirinya te1ah

salah menuduh orang, kemudian gadis ini menjatuhkan diri, duduk sambil menangis.

"Sudahlah, bahaya sudah lewat," hibur Fajar Legawa. "Jangan engkau menangis."

Berkat hiburan Fajar Legwa ini, tak lama kemudian Pertiwi Dewi berhenti

menangis. Kemudian mereka melepaskan lelah di atas sebuah batu. Udara pagi yang

dingin mengusap-usap kulit. Tanpa sesadarnya Pertiwi Dewi mendekatkan tubuhnya

kepada Fajar Legawa.

"Seyogyanya kita tunggu saja. sesudah matahari muncul agak tinggi," desis Fajar

Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Benar!" sahut gadis ini. "Pernahkah engkau menikmati pemandangan disaat

matahari akan muncul?"

"Sayang tiada waktu. Tetapi pagi yang cerah seperti ini, akan memberi

kebahagiaan umat manusia."

"Ya. Tetapi janjimu sudah berkurang dua hari."

"Aih.....janji apa dan kepada, siapa?"

"Dengan Ayu Kedasih....."

"Ahhh .... kau menggoda orang saja . ..."

"Tetapi engkau toh memenuhi janji itu juga?"

"Apa salahnya?"

"Tak. ada salahnya....."

Akan tetapi sesudahh mengucapkan kata-kata ini, Pertiwi Dewi memutar tubuh,

dan sekarang duduk membelakangi pemuda itu. Heran juga Fajar Legawa melihat sikap

gadis ini. Sesungguhnya ingin sekali ia menanyakan sebabnya. Akan tetapi belum juga

Fajar Legawa sempat membuka mulut sudah terdengar suara ketawa perempuan yang

nyaring dan merdu menyibak sunyi hutan. Belum juga lenyap suara ketawa itu, telah

disusul oleh suara yang menegur.

"Hai! Apa kerjamu disitu? Huh-huh, engkau sangka tempat ini tempat hiburan?"

Sepasang merpati ini terkejut, dan secepat kilat mereka melompat dari batu.

"Hi-hi-hik, kamu terkejut?" sindir perempuan itu. "Ahh .... tampan juga engkau,

malah masih amat muda....."

Tak jauh di depan mereka telah berdiri seorang perempuan bertubuh ramping dan

semampai tinggi, dan wajahnya cukup cantik. Rambut yang hitam dan lebat itu disanggul

agak rendah, dihias oleh bunga melati yang mungil putih. Pada daun telinga perempuan

itu tampak sepasang subang bermata berlian yang memancarkan sinar kemilauan.

Sepasang mata perempuan itu berkilat-kilat tajam, mengamati dua orang muda ini tak

berkedip.

Wanita yangcantikjelita dan belum tua inilah ratu gunung Ungaran ini, bernama

Dyah Raseksi. Usirnya baru sekitar tigapuluh tahun, namun oleh kepandaiannya merawat

diri, tampak seperti gadis berusia duapuluh tahun.

Sepasang mata yang bersinar tajam itu mengamati Fajar Legawa penuh

perhatian. Dan karena tidak dijawab, maka perempuan ini membentak. "Hai, Apakah

kamu tuli dan bisu?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Panas perut Pertiwi Dewi mendengar ucapan orang ini. Sahutnya ketus. "Apa

pedulimu? Hai, apakah matamu sudah buta bahwa kami tadi sedang enak duduk di atas

batu ini?"

"Hemm," dengus Dyah Raseksi, "engkau galak sekali bocah, hi-hi-hik. Akan tetapi

jawabanmu belum lengkap, siapakah laki-laki itu? Suamimu?"

"Ya! Apakah maksudmu bertanya melit-melit?" sahut Pertiwi Dewi angkuh,

sambil mengerling penuh arti kepada Fajar Legawa.

Dyah Raseksi ketawa merdu, dan sepasang matanya mengamati Fajar Legawa

penuh arti, sedang bibirnya menyungging senyum manis. Katanya kemudian, "Aihh,

suamimu tampan dan menarik. Aku sangat membutuhkan laki-laki tampan dan muda

seperti dia ini. Ahhh, dan alangkah bahagia hidupku ini, kalamana mempunyai seorang

suami seperti dia....."

"Bangsat, perempuan liar. Mulutmu busuk tidak kenal sopan dan amat

memalukan! teriak Pertiwi Dewi yang amat marah. "Kakang, marilah kita bunuh

perempuan liar ini!"

Fajar Legawa mengangguk. Jawabnya. "Kau benar."

Ia mengamati kearah perempuan itu. Kemudian. "Engkaukah yang bernama Dyah

Raseksi?"

"Hi-hi-hik, engkau sudah kenal juga akan namaku?" kata Dyah Raseksi sambil

ketawa merdu, tampak senang sekali. "Aihh, bukankah namaku indah dan orangnyapun

menarik? Lihat baik-baik, bukankah aku seorang perempuan cantik jelita? Hi-hi-hik,

marilah engkau ikut aku dan jadilah engkau raja di gunung ini."

Panas perut Pertiwi Dewi mendengar ucapan Dyah Raseksi yang tidak kenal malu

ini. Mendadak saja gadis ini melengking nyaring, kemudian sudah melompat maju dan

menyerang. Sekali bergerak gadis ini telah mengirimkan serangan berantai, kearah pusar,

dada dan leher.

Akan tetapi serangan Pertiwi Dewi itu hanya disambut dengan suara ketawa Dyah

Raseksi yang merdu. Perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya berdiri, malah tidak

pula berusaha untuk menangkis. Namun demikian yang terjadi kemudian adalah aneh.

Ujung pedang yang tajam itu melesat dan tidak berhasil menyentuh tubuh Dyah Raseksi.

Namun, walaupun serangan itu tidak mengakibatkan apa-apa, Dyah Raksesi

menjadi marah juga. Pada dasarnya ia memang seorang perempuan yang tangannya

ganas dan tidak segan pula membunuh orang. Tetapi anehnya, setiap tangannya sudah

bergerak untuk membalas, lalu timbullah rasa sayang Diam-diam Dyah Raseksi merasa

heran sendiri mengapa selemah itu menghadapi gadis ini. Setiap tangannya sudah

terangkat untuk merebut senjata Pertiwi Dewi maupun membalas serangan itu, timbul

perasaan yang tidak tega dan timbul pula rasa sayang.

Bukan saja Dyah Raseksi berilmu tinggi, tetapi juga memiliki aji "welut putih".

Setiap senjata atau pukulan yang menyentuh tubuhnya akan meleset dan tidak mempan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tubuh perempuan ini menjadi kebal, tinatab mendat jinara menter! Kalau lawan

menggunakan kepandaiannya untuk menangkap dan mencengkeram, maka tangkapan

dan cengkeraman itu akan luput. Di samping ia seorang perempuan sakti mandraguna,

iapun seorang memiliki aji "penutut sato" merupakan ilmu penjinak binatang liar dan

ganas. Oleh pengaruh aji kesaktian ini, maka Dyah Raseksi dapat menundukkan

bermacam-macam ular berbisa sebagai prajurit terpercaya menjaga tempat tinggalnya.

Maka tidak mengherankan pula apabila Fajar Legawa dan Pertiwi Dewi tadi sudah

dikepung oleh ratusan ular berbisa yang datang dari segala penjuru. Betapapun tinggi

ilmu-kesaktian orang, menghadapi serangan ular dalam jumlah ribuan tidaklah gampang.

Oleh sebab itu Dyah Raseksi menjadi heran dan hampir tidak percaya. Mengapa barisan

ularnya itu lari terbirit-birit ketakutan menghadapi pemuda tampan ini?

Ketika itu dalam marahnya Pertiwi masih terus menyerang dengan pedangnya.

Naman sayang sekali semua serangannya tak berhasil. Sebaliknya setiap kali tangan

Dyah Raseksi bergerak untuk membalas serangan orang, tangan itu sudah ditarik lagi

sambil menghela napas panjang .

Tiba-tiba Dyah Raseksi melompat sambil bersuit nyaring. Dalam waktu singkat

perempuan itu sudah tidak tampak, dan muncullah sembilan orang perempuan dari balik

rumpun pohon. Yang mengherankan dan membuat dua orang muda ini kaget, adalah

wajah perempuan ini. Mengapa semua jelek dan kulit wajahnya hitam legam? Mereka

sudah berdiri mengurung, sedang pada leher mereka melingkar dua ekor ular weling yang

amat berbisa dan selalu berdesis-desis, menyemburkan bisa.

Pertiwi Dewi ngeri melihat perempuan-perempuan jeek itu berkalung ular. Ia

menjerit dan menubruk Fajar Legawa, sambil memeluk dan menyembunyikan wajahnya

di dada bidang.

"Aduhh.....aku ngeri.....!" ratap gadis ini.

"Tenangkan hatimu. Dewi. Jangan engkau khawatir!" hibur Fajar Legawa halus.

Mendadak Dyah Raseksi muncul lagi dari balik gerumbul pohon, sambil ketawa

mengejek. "Hi-hi-hik, tidak tahu malu! Di depan orang kamu berpelukan dan bercumbu."

Perempuan ini berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia meneruskan. "Hi-hi-hik, tak

lama lagi engkau memang akan kehilangan suamimu. Tahukah engkau bahwa aku

memang jatuh cinta pada suamimu yang gagah dan tampan ini? Sedang engkau, huh,

engkau takkan aku bunuh. Tetapi engkau akan aku hadiahkan kepada anak-buahku, agar

diperisteri secara bergilir."

Betapa marah Fajar Legiwa mendengar kata-kata Dyah Raseksi yang tak tahu

malu ini. Bisiknya kepada Pertiwi Dewi. "Tenangkan hatimu, dan minggirlah engkau.

Percayalah bahwa Tuhan akan melindungi kita."

"Tetapi. . . .engkau harus hati-hati. . . ." sahut Pertiwi Dewi dengan ucapannya

yang menggeletar dan penuh kekhawatiran.

"Jangan khawatir," sahut Fajar Legawa. Tetapli sekalipun demikian, ia tidak tahu

apa yang akan terjadi atas dirinya nanti.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pertiwi Dewi sudah melepaskan pelukannya, kemudian melompat dan duduk di

atas batu. Namun demikian pedangnya siap di tangan kanan untuk melindungi

keselamatannya.

Fajar Legawa mengangkat muka, menebarkan pandang matanya ke sekeliling.

Sepasang mata pemuda ini tampak menyala. Kemudian dampratnya. "Hai perempuan

liar! Ucapanmu jelas sekali menunjukkan kerendahan budimu. Kau. . kau perempuan

hina dan jalang!"

Akan tetapi dampratan Fajar Legawa ini hanya disambut oleh suara ketawa Dyah

Raseki yang cekikikan. Adapun sepasang matanya yang liar itu mengamati Fajar Legawa

tanpa malu-malu, seakan sedang menaksir. "Hi-hi-hik, mengapa engkau marah? Apakah

aku kurang cantik? Coba amati dan perhatikan. Aku cantik dan menarik laksana bidadari.

. . ."

"Tutup mulutmu yang busuk!" teriak Fajar Legawa saking tak kuasa menahan

marah.

"Hi-hi-hik, walaupun engkau marah tak juga mengurangi ketampananmu,

kangmas. Ah, sayang sekali mulutmu amat tajam. Untuk itu, maka engkau harus

menerima hajarannya!" setelah berkata demikian, Dyah Raseksi memberi isyarat dengan

tangan kepada sembilan orang perempuan buruk yang berkalung ular itu.

"Berilah hajaran sedikit laki-laki itu, agar tahu adat dan tidak kurangajar. Tetapi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

awas .... jangan sampai mampus."

Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, sembilan orang berwajah buruk itu

sudah meloncat dan berpencaran mengurung Fajar Legawa. Pemuda inipun menghadapi

tanpa rasa gentar.. Akan tetapi ia masih bertangan kosong, dan tongkat berisi keris pusaka

itu masih terselip pada pinggangnya.

Tak lama kemudian terdengarlah suara berdesis dari mulut perempuan jelek itu.

Seperti mendapatkan aba-aba, ular yang semula menggeliat itu, mendadak berdiri tegak

dan berdesis. Mulutnya terbuka lebar dan lidah yang merah menjulur keluar, siap untuk

mematuk dan menggigit lawan. Tiga orang di antara mereka telah melompat ke depan

dan menyerang. Dan enam ekor ular itupun ikut pula menyerang Fajar Legawa,

menyambar muka dan leher.

Tetapi Fajar Legawa takkan begitu saja menyerah dipagut ular. Disaat pukulan

perempuan itu menyerang dan disaat ular-ular itu mematuki, Fajar Legawa menggunakan

kecepatannya bergerak menangkis dan memukul.

Setelah tiga orang bergerak dan menyerang, yang enam orangpun kemudian ikut

menerjang. Dan dengan demikian, Fajar Legawa sekarang dikeroyok oleh sembilan orang

perempuan dan delapan belas ekor ular weling. Ular itu menyerang dengan ganas dari

semua penjuru, dan sedikit saja Fajar Legawa lengah akan celakalah pemuda itu.

Menyaksikan semua itu Pertiwi Dewi menjadi ngeri dan khawatir. Dan tanpa

sesadarnya, gadis ini sudah berteriak. "Gunakan senjatamu . . . . gunakan tongkatmu ....!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Atas anjuran Pertiwi Dewi ini, kemudian Fajar Legawa mencabut tongkat yang

terselip pada pinggangnya. Kemudian dengan tongkat ini, ia membalas serangan lawan.

Keajaiban kembali terjadi. Secara tiba-tiba delapan belas ekor ular itu berdesis keras, tidak

lagi berani menyerang malah berusaha memberontak dan lepas dari pegangan perempuan-

perempaan jelek itu.

Peristiwa yang tidak pernah terduga ini menyebabkan sembilan perempuan itu

kaget. Mereka lari serabutan untuk mengejar dan berusaha menangkap ular yang lepas

itu. Akan tetapi sungguh sayang, bahwa usaha mereka ini tidak berhasil.

Dyah Raseksi terbelalak dan sepasang alisnya terangkat tinggi. Perempuan ini

heran sekali menyaksikan peristiwa yang terjadi, dan menyebabkan agak lama penjahat

wanita yang cantik ini berdiri seperti patung. Peristiwa yang terjadi sekarang ini

merupakan peristiwa baru. Bahwa barisan "lintang sanga" yang biasanya dapat

diandalkan itu, seakan tak berdaya menghadapi pemuda tampan ini.

"Engkau menggunakan ilmu siluman?" bentak Dyah Raseksi.

Fajar Legawa menggeleng dan menjawab. "Jangan menuduh orang sembarangan..

Aku tidak menggunakan ilmu Siluman."

"Hmmm, tetapi mengapa "lintang sanga" berantakan dan mengapa semua ular itu

ketakutan?"

Akan tetapi Fajar Legawa tidak melayani ucapan perempuan itu. Kemudian

teriaknya. "Hai Dyah Raseksi! Bebaskanlah laki-laki muda bernama Pradapa yang kau

culik dari Comal itu!"

"Hi-hi-hik, laki-laki yang mana?"

"Jangan banyak mulut, bebaskan dia, agar keluarganya tidak bersedih hati!"

"Hi-hik, tidak sulit membebaskan dia. Tetapi, engkau harus memberi imbalan yang

aku minta," sahut Dyah Raseksi dengan mulut menyungging senyum.

"Katakan, apa kehendakmu?"

"Dia aku bebaskan, tetapi.... engkau harus menggantikannya di sampingku. Hi-hi-

hik, bukankah ini tuntutan yang wajar? Jangankan hanya dia seorang. Walaupun semua

laki-laki yang menghuni rumahku harus diusir, aku rela dan cukup dengan engkau

seorang."

"Iblis perempuan! Tutup mulutmu yang busuk!" damprat Pertiwi Dewi tiba-tiba

sambil melompat dari tempat duduknya. Gadis ini menjadi marah sekali mendengar

ucapan perempuan itu, yang sengaja membujuk Fajar Legawa.

"Budak liar! Mengapa mulutmu setajam itu?" hardik Dyah Raseksi.

"Hi-hi-hik, jika suamimu memalingkan muka dan memilih aku yang lebih cantik,

engkau dapat berbuat apa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Bah, jangan banyak mulut!" bentak Fajar Legawa yang terbakar kemarahannya.

"Siapa sudi kepada perempuan macam engkau?"

"Apa?" sepasang mata Dyah Raseksi membelalak. "Engkau berani menghina aku

dan menyia-nyiakan kesempatan baik yan aku berikan? Bagus! Agaknya engkau belum

mengenal siapakah aku ini. Hayo, majulah berbareng dan hadapilah aku."

"Kakang, dia terlalu menghina kita. Mari kita keroyok perempuan liar ini!" ajak

Pertiwi Dewi yang cepat terbakar oleh marah.

Tetapi tiba-tiba Dyah Raseksi mengangkat tangan dan memberi isyarat. " Tahan!"

Ia mengamati Pertiwi Dewi penuh perhatian, kemudian bertanya. "Katakan

dahulu, siapa namamu!"

"Perduli apa dengan nama segala? Huh, namaku Pertiwi Dewi!"

"Apa? Namamu Pertiwi Dewi?"

"Mengapa engkau heran? Hanya aku seorang sajalah perempuan di dunia ini yang

bernama Pertiwi Dewi!" sabut gadis ini dengan bangga.

"Jangan ngawur!" hardik Dyah Raseksi. "Adikkupun bernama Pertiwi Dewi."

"Apa?" Pertiwi Dewi kaget. "Adikmu juga bernama Pertiwi Dewi? Huh, tetapi

adikmu tentu jahat seperti engkau!"

"Budak liar yang lancang! Engkau berani menghina adikku?" Dyah Raseksi

mendelik dan sepasang matanya menyala. "Dengan kelancanganmu ini sesungguhnya

sudah dapat kujadikan alasan untuk membunuhmu, kemudian memotong-motong

tubuhmu untuk makanan binatang buas. Ah .... tidak! Engkau takut kepada ular. Biarlah

engkau aku berikan kepada ular-ularku, agar digerogoti semua daging dan tulangmu."

"Tetapi aku akan membunuh engkau lebih dahulu!" teriak Pertiwi Dewi tanpa

gentar.

Akan tetapi ketika itu Dyah Raseksi tampak menundukkan muka, dan perempuan

liar ini sekarang terdengar menghela napas panjang . "Hem ..... . Pertiwi Dewi .... adikku

.... sungguh heran . ..... di manakah engkau sekarang? Sudah amat lama sekali aku

mencarimu, namun tak pernah berhasil....."

Mendengar ini Pertiwi Dewi terkejut. Di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba saja

gadis kecil kecil mungil ini mengamati Dyah Raseksi penuh perhatian. Tiba-tiba sepasang

mata gadis ini terbalik, ia melihat kaki kiri Dyah Raseksi ini tidak mempunyai kelingking.

"Kau .... kau .... apakah engkau kakakku Niken Respati ....?" katanya ragu. "Kau

... kau mempunyai cacat sama dengan Kakakku. Kakimu yang kiri .... tanpa kelingking

...."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dyah Raseksi membelalakkan mata dan mengamati Pertiwi Dewi.

"Kau .... apakah engkau bocah dari Brebes.....?"

"Ya .... dahulu kakakku perempuan hilang .."

"Adikku ....ohh, adikku Dewi....."

Tiba-tiba saja dua orang perempuan yang tadi sudah hampir saling labrak dan

berkelahi ini sekarang saling menubruk maju dan berpelukan sambil menangis.

Fajar Legawa menyaksikan peristiwa ini dengan mata terbelalak, ia heran

disamping menjadi trenyuh. Betapa tidak? Kakak beradik yang terpisah oleh malapetaka

yang menyedihkan itu, ternyata sekarang bertemu dalam keadaan yang berseberangan.

Pertiwi Dewi seorang gadis yang benci kepada segala bentuk kejahatan, sebaliknya gadis

yang semula bernama Niken Respati itu, sekarang telah mengganti nama dengan Dyah

Raseksi, dan telah menjadi perempuan jahat.;

Jika teringat akan cerita Gadung Melati, bahwa baik Pertiwi Dewi maupun Niken

Respati (Dyah Raseksi) telah tak berayah-bunda lagi, ia sangat iba. Mengapa pertemuan

antara kakak dan adik ini harus dalam keadaan seperti ini?

Dyah Raseksi tersedan-sedan, memeluk Pertiwi Dewi erat sekali sambi1 terus

menciumi. Pertemuan yang tidak terduga-duga kuasa membuat kakak-adik ini lupa akan

keadaan sebelumnya, yang saling mencaci dan akan berkelahi.

"Adikku . . . ohh adikku .... engkau sebesar ini . . . !" ratap Dyah Raseksi ditengah

tangisnya.

Pertiwi Dewi menangis tersedu-sedu. Pelukan gadis ini juga erat sekali, melingkar

pada pinggang Dyah Raseksi yang ramping. Sedang Fajar Legawa masih tetap berdiri di

tempatnya dengan berkali-kali menghela napas saking iba.

Sulit dilukiskan betapa perasaan dua orang perempuan ini, dapat bertemu masih

dalam keadaan selamat. Perpisahannya waktu itu justeru oleh malapetaka yang tidak

terduga-duga. Rumahnya dirampok habis-habisan, ayah bundanya tewas, sedang Niken

Respati diculik penjahat. Dan sejak itu, antara mereka tidak pernah dapat bersua lagi.

"Pertiwi . . . . hu-hu-huu...." desah Dyah Raseksi disela tangisnya. . . "lebih empat

tahun lamanya aku mencari engkau .... Akan tetapi semua usahaku sia-sia ....... hu-hu-

huu. . . . Kau ...... kau seperti lenyap tanpa bekas......."

"Akupun telah lama mencarimu mbakyu..." sahut Pertiwi Dewi sambil menangis.

"Tetapi ... hu-hu-huu . . usahaku sia-sia belaka....Tetapi hu-hu-huuu..... .sekarang Tuhan

telah mengulurkan tangan ..... mempertemukan kita dalam keadaan selamat....... hu-hu

huu........ hu-hu-huuu...?"

"Ya.......tidak pernah aku duga..... .Ya........terus terang aku katakan....... bahwa

sejak tadi terjadi peristiwa aneh ...... Aku. . . . aku merasa tak tega........ dan sayang

padamu........hu-hu-huuu..."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dyah Raseksi menciumi lagi dahi Pertiwi Dewi, dan diluar kehendaknya

terkenanglah ia akan peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu, disaat dirinya

diringkus dan diculik oleh penjahat. Ia berusaha memberontak dan berteriak minta tolong.

Namun dengan kasar penjahat itu telah mengikat kaki tangannya, malah kemudian

menyumbat mulutnya. Akibat dirinya dicekam oleh rasa takut dan ngeri, maka kemudian

ia pingsan.

Ketika Niken Respati siuman kembali, ternyata dirinya sudah dalam keadaan tidur

terlentang dalam sebuah kamar yang bersih dan di sampingnya, duduk seorang

perempuan tua yang masih sibuk memijit-mijit.

Melihat Niken Respati telah siuman, bibir perempuan tua itu tersenyum, kemudian

berkata dengan halus. "Ha, engkau sudah siuman anak manis."

"Di mana aku? tanya Niken Respati dengan suara menggeletar dan celingukan.

"Anak, engkau tidak perlu khawatir, dan beristirahatlah engkau dengan tenang,"

bujuk perempuan tua ini. "Engkau sekarang telah berdiam dalam rumah majikanku, dan.

. .dan engkau akan hidup bahagia. . . ."

"Apa sebabnya aku di sini?" tanyanya sambil berusaha menyelidik kepada

perempuan tua ini.

Perempuan tua ini ketawa lirih, kemudian jawabnya halus. "Anak manis,

sudahlah. Kurang perlu engkau tanyakan soal itu. Yang jelas sekarang engkau berdiam

di dalam kamar ini, dan engkau akan hidup aman dan bahagia."

Perempuan tua ini berhenti sambil mengamati wajah Niken Respati yang cantik.

Sesaat kemudian, terusnya. "Anak manis, tidak perlu engkau khawatir. Ketahuilah bahwa

majikanku seorang laki-laki muda disamping tampan. Kau .... kau akan menjadi isterinya

yang terkasih....."

"Engkau benar . . . ." suara dari luar kamar menyambung, dan ketika pintu kamar

itu terbuka

r masuklah seorang laki-laki tampan berkumis kecil tanpa jenggot. Dengan

langkah yang ringan, laki-laki ini sudah menghampiri pembaringan Niken Respati dengan

bibir yang tersenyum.

Niken Respati amat kaget, dan ia cepat bangkit. Ia kemudian menangis amat sedih,

justeru sekarang teringatlah semuanya yang terjadi. Rumahnya dirampok orang, sedang

dirinya diculik dan dibawa lari.

Perempuan tua yang tadi menunggui, secara diam-diam telah pergi meninggalkan

kamar. Sedang laki-laki muda ini, mengamati Niken Respati penuh perhatian dengan bibir

yang tetap menyungging senyum. Lalu dengan amat lancangnya, laki-laki ini sudah

merendahkan tubuhnya, dan

memeluk gadis itu. Bujuknya. "Adikku.....tidak perlu engkau gelisah dan takut."

Akan tetapi Niken Respati segera memberontak dan menolak pelukan itu. Ia turun

dari pembaringan, kemudian mendamprat. "Bangsat busuk, pergi! Kau ....... kauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pembunuh ayah bundaku .... Engkau perampok ganas . . . .! Hayo . . . . bunuh sajalah aku

....!"

Tetapi walaupun mendamprat, tidak urung gadis ini tidak kuasa menahan air

matanya. Dan dari sepasang matanya itu, kemudian menitiklah air mata bening, mengalir

membasahi pipinya yang kuning montok. Mendadak gadis ini melompat ke arah meja

yang letaknya tidak jauh dari pembaringan. Isi meja itu kemudian satu persatu

dilemparkan untuk menyambit laki-laki itu. Piring, cangkir, sendok dan yang lain

menyambar berturut-turut. Akan tetapi dengan gampangnya semua sambitan itu dapat

ditangkap oleh laki-laki muda ini.

"Adikku,, mengapa engkau malah, marah?" kata laki-laki ini halus "Jangan

engkau, menangis, dan marah. Aku sayang padamu, dan engkau akan hidup bahagia di

rumah ini9

"Pergi ..... pergi.... dan tutup mulutmu...!" teriak Niken Respati. "Tak sudiiii....aku

tidak sudiiii .....!"

"Hemm
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

r baiklah!" sahut laki-laki tampan itu dengan nada yang ramah.

"Beristirahatlah engkau dengan tenang."

Ia memang seorang laki-laki yang amat cerdik. Ia segera meninggalkan kamar

Niken Respati tanpa mengganggu, dan bersikap sabar. Ia cukup tahu bahwa Niken

Respati masih binal. Dan menghadapi gadis seperti ini harus menggunakan akal untuk

menundukkan.

Dialah Putut Jantoko, seorang penjahat besar yang sakti mandraguna, disamping

licin bagai belut. Setelah keluar dari kamar, ia bertemu lagi dengan perempuan tua itu.

Dan sesudah memberi pesan yang harus dilakukan, maka ia meninggalkan perempuan

tua itu ke ruangan tengah.

Berkat bujukan dan kata-kata halus dari pelayan tua itu, kemudian Niken Respati

berhenti menangis. Dan dari pemberitahuan pelayan tua ini kemudian Niken Respati tahu

banwa dirinya sekarang ini disekap di dalam sarang Putut Jantoko, dan tidak mungkin

dapat melarikan diri.

Makin hari oleh pengaruh bujukan pelayan tua itu, dan oleh sikap Putut Jantoko

yang sabar dan ramah, kedukaan Niken Respati berkurang dari sedikit. Dan setelah

sebulan lamanya Niken Respati hidup di dalam sarang penjahat ini, sikap gadis ini tidak

sekeras semula. Ketampanan wajah dan sikap yang lemah lembut Putut Jantoko, pada

akhirnya dapat menundukkan kekerasan gadis ini, yang kemudian sedia menyerah dan

tidak menolak lagi dijadikan isteri Putut Jantoko.

Akan tetapi hanya dua bulan saja Niken Respati dapat menikmati hidup bahagia

sebagai isteri Putut Jantoko. Nyata kemudian bahwa Putut Jantoko seorang penjahat

besar yang gemar sekali akan wajah ayu. Makin hari makin bertambah jumlahnya

perempuan muda dan cantik yang menghuni dalam sarang itu. Sedang janji Putut Jantoko

hanya merupakan janji kosong melompong tanpa bukti. Malah kemudian diketahui pula

oleh Niken Respati, bahwa setiap perempuan yang sudah tidak dibutuhkan lagi olehhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Putut Jantoko, maka perempuan itu akan menderita sengsara. Sebab perempuan itu segera

diberikan kepada anak-buah.

Sekarang timbullah rasa sesal dalam hati gadis ini, mengapa lemah menghadapi

bujukan PUTUT Jantoko, sehingga bersedia diperisteri oleh penjahat itu. Padahal Putut

Jantoko adalah seorang penjahat yang sudah membunuh ayah-bundanya seorang musuh

bebuyutan, dan sudah sepantasnya bahwa dirinya harus membalaskan sakit hati itu.

Teringat akan semua ini, pada mulanya timbullah rasa putus asa dan mendorong

keinginannya untuk membunuh diri. Namun kehendak ini kemudian dapat ia gagalkan

sendiri malah timbullah keinginannya untuk dapat terus hidup, kemudian dapat

membunuh Putut Jantoko.

Kemudan pada suatu hari disaat semua penjaga lengah. Niken Respati berhasil

melarikan diri dari sarang penjahat itu. Ia memaksa diri harus berlarian secepatnya, agar

dalam waktu singkat dapat meninggalkan sarang penjahat itu jauh-jauh. Tetapi karena ia

seorang gadis lemah dan tidak pernah mengenal belajar ilmu-tata kelahi, maka di saat ia

melarikan diri ini, ia jatuh bangun dan kaki maupun tangannya terluka oleh batu dan duri.

Malang tak dapat ditolak, dan mujur tak dapat diraih. Demikian pula apa yang

harus dialami Niken Respati. Ia menderita lapar dan haus, disamping kedinginan.

Pakaiannya yang tipis itu sudah robek di sana sini. Setelah tujuh hari tujuh malam hidup

di dalam hutan, kekuatan gadis ini habis dan ia menderita demam. Ia roboh terguling di

atas tanah, dan sulit bangun lagi.

Akan tetapi Tuhan belum menghendaki Niken Respati harus meninggal. Tangan

Tuhan telah menolong dengan perantaraan seseorang. Seorang tua, seorang kakek yang

hidup sengsara pula, bernama Jalu Gigis. Mula pertama derita yang harus dialami oleh

Jalu Gigis ini terjadi, sesudah ia melakukan pembunuh kepada anak isterinya sendiri, yang

diawali oleh percekcokan. Padahal persoa1annya hanya sepele saja, isterinya kurang cepat

disaat mempersiapkan makanan yang dimintanya, sesaat setelah ia pulang berjudi.

Kekalahannya disaat ia berjudi, sehingga menyebabkan semua uangnya ludes,

menyebabkan ia mata gelap menghadapi keluarganya.

Namun kemudian sesudah Jalu Gigis membunuh anak dan isterinya, ia amat

menyesal dan sedih. Kemudian ia meninggalkan rumah dan kampung halamannya, pergi

tanpa tujuan dan pada akhirnya ia memilih tempat di gunung Ungaran ini sebagai tempat

tinggalnya.

Atas pertolongan Jalu Gigis yang kemudian menjadi ayah angkat dan gurunya ini,

kemudian Niken Respati menjelma sebagai seorang perempuan sakti mandraguna. Dan

karena nama Niken Respati dianggap sial dan membawa malapetaka atas dirinya, maka

kemudian ia mengganti nama dengan Dyah Raseksi.

Akan tetapi kemudian perempuan ini tersesat dalam memilih jalan yang harus

dilalui. Timbullah kemudian keinginannya untuk membalas dendam kepada laki-laki

yang pernah menyia-nyiakan. Sungguh sayang sekali, banwa yang bersalah hanya seorang

laki-laki, tetapi semua laki-laki dibalasnya. Setiap laki-laki dianggap jahat dan sebagai

sumber kesengsaraan perempuan. Maka kemudian ia mengganas dan timbullah

keinginannya untuk mempermainkan setiap laki-laki.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Jalu Gigis penuh sayang dan kasih kepada anak angkat dan muridnya ini, tiada

bedanya seorang ayah kandung. Empat tahun kemudian Dyah Raseksi berhasil

mempengaruhi Jalu Gigis untuk membalas dendam dan membunuh Putut Jantoko.

Sayang sekali Putut Jantoko berhasil melarikan diri, dan walaupun ayah dan anak ini

berusaha mencari, tidak juga dapat diketemukan. Dalam pada itu kemudian bersama

ayahnya, iapun mencari keterangan tentang adiknya, Pertiwi Dewi. Namun ternyata

bahwa usahanya itu berhadapan dengan kegagalan. Sebaliknya sekarang, tanpa diduga

lebih dahulu, dirinya malah dapat bertemu dengan adik yang sudah lama dicari-cari itu.

Teringat akan jalan hidup yang sudah dilalui itu, Dyah Raseksi makin sedih dn

tangisnya tak jua mau berhenti. Pelukannya tambah erat dan untuk beberapa saat lamanya

perempuan ini tak kuasa membuka mulut.

Dan Fajar Legawa yang menyaksikan semua itu makin menjadi iba. Dengan

perlahan kemudian pemuda ini melangkah pergi untuk menjauhi. Dan akhirnya, Fajar

Legawa duduk di atas tonggak kayu.

"Mbakyu......hu-hu-huu......" kata Pertiwi Dewi tidak lancar di tengah tangisnya.

"Kau. . . . kau tidak disiksa .... oleh penjahat yang menculikmu . . .?"

"Tidak. . . .!" tetapi Dyah Raseksi menjadi tambah sedih teringat kepada Putut

Jantoko yang sudah merusakkan hidupnya. "Aku ....... aku ketika itu .....diperisteri oleh

dia .....Tetapi . . . . hu-hu-huu . . . . kemudian aku disia-siakan. ..."

"Kasihan sekali engkau . . . ." Pertiwi Dewi menghela napas dalam.

"Aku sudah berusaha....membalas dendam kepada bangsat itu. . . . Akan tetapi hu-

hu-huu . . . . usahaku gagal dan penjahat itu dapat lolos ... . Sejak itu. . . . aku tidak lagi

dapat menemukan jejaknya . . . ."

"Siapa . . . .siapakah penjahat itu. . .?" Pertiwi Dewi berdebar.

"Marilah kita duduk.....!" ajak Dyah Raseksi.

Kemudian kakak beradik ini duduk di atas rumput. Mereka duduk berjajar, dan

oleh rasa rindu yang belum terobati, tangan mereka masih saling peluk. Pada kesempatan

ini Dyah Raseksi segera menceritakan apa yang sudah dialami, sedang Pertiwi Dewi

mendengarkan penuturan itu dengan hati pilu,

"Mbakyu," kata Pertiwi Dewi sesudah Dyah Raseksi selesai bercerita. "Aku tak

lagi ingin berpisahan dengan engkau. . . ."

Dyah Raseksi ketawa lirih, kemudian mencium adiknya penuh kasih dan

menjawab. "Akupun demikian juga, Dewi. Aku ingin selalu hidup bersama engkau."

"Aihh ... aku bahagia sekali....!" kata gadis ini. "Karena itu. . . .kembalilah

engkau ke jalan benar .... Dan marilah sekarang juga kita tinggalkan tempat ini. . . ."

"Tak mungkin!" sahut Dyah Raseksi sambil menggeleng. "Engkaulah yang

seharusnya berdiam di sini, dan ikut aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Apa?" Pertiwi Dewi terbelalak. "Aku berdiam di sini?"

Dyah Raseksi mengangguk. "Benar! Dan engkau akan hidup bahagia di tempat

ini."

"Jadi .... jadi aku engkau ajak sebagai penjahat perempuan pula?"

"Dewi!" tiba-tiba Dyah Raseksi membentak "Jangan setajam itu mulutmu di

depanku!"

Pertiwi Dewi kaget dan memalingkan muka mengamati kakak perempuannya.

Dua pasang mata bertaut, dan seperti terpengaruh oleh daya gaib, kakak beradik itu

kembali berpelukan, sambil bertangisan.

"Pertiwi, jangan engkau salah duga dan mengira aku ini seorang perempuan

jahat," kata Dyah Raseksi setelah kuasa menahan tangisnya. "Engkau harus tahu bahwa

aku bukan penjahat seperti dugaanmu, dan akupun belum pernah melakukan

perampokan,"

Dyah Rseksi berhenti, memandang adiknya, dan sejenak kemudian ia meneruskan.

"Pertiwi, aku minta agar engkau dapat menyelami perasaan hatiku. Aihh .... tetapi nanti

dulu . . . Sebelum aku meneruskan keteranganku ini, jawablah dahulu pertanyaanku,

apakah sebabnya engkau menuduh aku sebagai penjahat? Apakah alasanmu?"

"Mbakyu, mungkin engkau benar belum pernah melakukan perampokan. Akan

tetapi engkau perlu tahu, bahwa beberapa orang anak buahmu itu melakukan

perampokan."

"Tetapi.....orang orangku tidak serampangan dalam berbuat!" bantah Dyah

Raseksi. "Mereka hanya merampok kepada orang-orang tertentu. Kepada orang-orang

kaya yang kikir dan tamak akan harta. Atau kepada para pong-gawa Mataram yang

berbuat sewenang-wenang kepada kawula cilik."

Dyah Raseksi berhenti lagi. Dan sesudah menghela napas pendek, perempuan ini

meneruskan. "Adikku, dan engkau jangan salah sangka tentang hasil perampokan itu.

Sebab hasil perampokan itu tidak untuk dimiliki sendiri, melainkan kemudian dibagakan

kepada para kawula yang hidup menderita. Pertiwi, engkau harus mau percaya, bahwa

tanpa melakukan kejahatanpun, semua anak-buahku dapat hidup tenteram dan tidak

kekurangan, karena hasil dari tanah pertanian lebih dari cukup."

"Mbakyu, menurut pendapatku setiap perbuatan secara paksa terhadap milik

orang lain, dengan alasan apapun tetap saja sebagai perampok!" kata Pertiwi Dewi.

"Maka bagaimanapun aku tak dapat menyetujui cara-cara yang kau tempuh itu. Dunia

sesat ini harus engkau tinggalkan dan marilah hidup sebagai manusia baik-baik."

Dyah Raseksi mengamati adiknya dengan pandang mata tajam. Kalau menuruti

watak dan tabiatnya yang sudah terbiasa, setiap perintah dan kehendaknya selalu dipatuhi

anak buahnya, ingin sekali Dyah Raseksi marah dan mendamprat Pertiwi Dewi. Namun

demikian ada perasaan yang menyebabkan ia tidak tega, dan kemudian perempuan ini

menghela napas panjang .https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Pertiwi," katanya kemudian. "Sungguh menyesal, berat sekali rasanya apabila

aku harus meninggalkan tempat ini."

"Apakah sebabnya?" Pertiwi Dewi mengangkat kepala, mengamati kakak

perempuannya dengan pandangan mata heran.

"Ketahuilah bahwa aku telah berhutang budi yang tidak mungkin dapat aku balas,

terhadap ayah angkatku dan guruku," sahut Dyah Raseksi. "Bukan saja dia telah

menolong aku, menyelamatkan aku dari bahaya, tetapi dialah yang sudah mendidik aku

dan menyayangi pula tiada bedanya anak kandung sendiri. Untuk itu, aku harus dapat

membalas budi kebaikannya, agar orang tidak menuduh aku sebagai seorang yang tak

pandai membalas budi. Hemm, oleh karena itu adikku, besar harapanku agar engkau

yang sudi mengalah, dan engkau bersedia hidup bersama aku di tempat ini."

"Tidak mungkin!" sahut Pertiwi Dewi cepat. "Aku mempunyai alasan yang sama

dengan engkau. Karena akupun berhutang budi kepada guruku. Apakah aku masih bisa

hidup dan dapat bertemu dengan engkau, tanpa lewat pertolongan guruku?"

Mereka kembali berdiam diri, dan kemudian masing-masing menghela napas.

Untuk beberapa saat lamanya keadaan hening. Dan Fajar Legawa yang duduk di atas

tonggak nu, dapat mendengar jelas apa yang sedang dipercakapkan oleh kakak dan adik

itu. Akan tetapi dirinya, orang luar, yang tidak berhak sedikitpun mencampuri urusan

kakak-beradik itu. Dan kalau masing-masing kokoh akan pendiriannya, siapakah yang

dapat mengatasi dan memaksa?

Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, dan kemudian terdengarlah

Pertiwi Dewi berkata. "Mbakyu, apabila demikian, agaknya sulit di dalam keadaan seperti

ini, aku dan engkau bersatu kembali seperti ketika ayan bunda masih hidup....."

"Ya, akupun berpendapat demikian," sahut Dyah Raseksi sambil menghela

napas dalam.

"Akan tetap aku berharap agar setiap kali engkau sudi berkunjung kemari dan bertemu

dengan aku. Sebaliknya adikku, aku pun akan selalu berusaha agar dapat mengunjungi

tempat tinpgalmu."

Ketika itu Dyah Raseksi mengangkat kepalanya, dan tampak oleh perempuan ini

seorang pemuda yang duduk di atas tonggak tak bergerak. Bibir perempuan ini tersenyum,

lalu bertanya. "Pertiwi, aihh.....aku sampai lupa kepada suamimu....."

Pertiwi Dewi terkejut dan mengangkat kepalanya, memandang ke arah Fajar

Legawa duduk. "Dia.....dia bukan suamiku....."

"Aih.....lalu siapakah dia?" Dyah Raseksi kaget, tetapi bibirnya menyungging

senyum.

"Dia.....teman baik. Dia sahabatku . . . ." jawabnya dengan agak malu. "Mbakyu,

hari ini aku merasa bahagia sekali, secara tak terduga dapat bertemu dengan kau. Tetapi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

.... tetapi sudikah engkau mengabulkan apa yang aku minta?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Apakah yang akan engkau minta itu?"

"Tentang laki laki dari Comal yang bernama Pradapa itu. Mbakyu, kasihanilah

isterinya yang amat sedih.....Agar suami-isteri itu dapat hidup lagi bahagia."

Sikap yang semula lemah lembut itu, mendadak berobah. Dyah Raseksi

mendengus dingin, kemudian menghardik. "Hemmm, engkau lancang sekali Pertiwi,

sudah mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi ahh.....aku tidak sampai hati menolak

permintaan adikku. Aku kabulkan tuntutanmu itu, justeru tidak sulit bagiku untuk

memperoleh gantinya dua atau tiga orang sekaligus."

"Mbakyu, apa katamu?" Pertiwi Dewi kaget dan mengamati kakak-perempuannya

dengan pandang mata tajam. "Engkau masih saja tetap melanjutkan perbuatan-

perbuatanmu yang terkutuk itu? Mbakyu.....mbakyu .... sadar dan ingatlah

engkau.....Betapa sedih ayah dan bunda kita, melihat sepak terjangmu yang tidak patut

itu....."

"Hai Pertiwi!" bentak Dyah Raseksi tiba-tiba. "Selancang dan setajam itukah

mulutmu terhadap aku? Huh, jika tidak ingat engkau adikku, apakah aku sanggup

menahan diri? Tentu mulutmu sudah aku tampar remuk."

Bentakan kakak-perempuannya ini membuat Pertiwi Dewi sadar. Bahwa ia telah

lancang mengucapkan kata-kata yang amat menusuk perasaan. Gadis ini menundukkan

kepalanya, dan sambil terengah-engah dalam usahanya menahan marah, Dyah Raseksi

berkata lagi. "Pertiwi, ketahuilah bahwa aku seorang perempuan malang dan hidup

sengsara. Hari depanku telah dihancurkan oleh laki-laki dan dipermainkan. Apakah

salahnya aku membalasnya?"

"Sungguh menyesal aku, bahwa engkau telah menghina aku," terusnya sambil

menghela napas dalam. "Akan tetapi aku masih dapat memaafkan kelancanganmu ini,

asal engkau berjanji takkan mengulangnya lagi. Pertiwi, bagaimanapun engkau adikku.

Maka kurang layak kiranya apabila engkau merasa lebih tahu dan mencela. Apabila

engkau sampai lancang dan membuat aku marah, jangan salahkan aku tega dan

menghancurkan engkau seperti batu ini."

"Crakk...!" batu sebesar kambing yang bercokol di dekatnya, telah disabet dengan

pedang. Sekali sabet batu besar itu telah pecah menjadi dua.

Pertiwi Dewi terkejut, mengangkat kepalanya dan bergidik. Sejak bertemu ia

memang sudah menyadari hahwa kakak perempuannya ini seorang sakti mandraguna,

jauh di atas dirinya. Akan tetapi walaupun menyadari bahwa kakak perempuannya

seorang perempuan sakti mandraguna, hati gadis ini cukup keras dalam membela

kebenaran dan nama baik keluarga. Ia tidak menjadi gentar dan tidak pula mau mengalah.

Secepat kilat gadis inipun berdiri sambil mencabut pedang, Ia tertawa nyaring, kemudian

terdengarlah jawabannya yang cukup lantang. "Mbakyu, dalam keadaan bagaimanapun

aku tetap mengakui bahwa engkau saudaraku yang lebih tua, dan sepantasnya pula aku

menghormatimu. Tetapi sebaliknya, aku tidak rela apabila engkau menodai nama baik

keluarga. Dan untuk kepentingan keluarga itu, aku tidak takut berhadapan denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bahaya. Siapapun yang berani menodai nama baik keluargaku, huh, akan aku tabas

lehernya seperti pohon ini!"

"Crakk!" sekali pedang gadis ini bergerak dan menabas, maka patahlah batang

pohon di dekatnya. Patahnya pohon itu dibarengi oleh suara gemerasak kemudian

tumbang.

Dyah Raseksi ketawa amat nyaring. Ia mengamati adiknya dengan sepasang mata

yang menyala. Namun dibaliknya Pertiwi Dewi tidak takut dan tidak gentar. Ia

menentang pandang mata kakak perempuannya itu, dengan tekat yang sudah bulat. Ia

tidak takut mati dalam usahanya membela nama baik keluarga.

Dengan jantung berdebar tegang Fajar Legawa telah melompat, kemudian

menghampiri kakak beradik itu. Pemuda ini tampak heran melihat perobahn itu. Yang

semula mereka bertangisan dan melepas rindu, sekarang berbalik akan berkelahi.

Bagaimanapun bagi pemuda ini, takkan membiarkan Pertiwi Dewi dalam bahaya. Dan ia

sedia mempertaruhkan nyawa sendiri untuk membela gadis ini.

"Hai Pertiwi!" teriak Dyah Raseksi dengan marah. "Engkau adik kandungku.

Bagaimanapun kekurang ajaranmu terhadap aku, aku masih bisa memaafkan. Oleh sebab

itu, cepatlah engkau enyah dari tempat ini, dan selanjutnya kularang engkau mencampuri

urusanku."

"Hi-hi-hik," Pertiwi Dewi ketawa mengejek. "Enak saja engkau membuka mulut

dan bicara . Kau kira aku takut padamu? Hai perempuan liar, hai perempuan jalang!

Engkau seorang anak yang tak berbakti, dan engkau sampai hati menodai nama baik

keluarga. Lebih biak engkau menyerah dan menerima hukuman atas dosamu. Jangan

menunggu sampai aku marah!"

Sulit dibayangkan betapa marah Dyah Raseksi sekarang ini. Bertahun-tahun

lamanya ia hidup di sini, tidak ubahnya seorang ratu. Setiap orang akan tunduk kepada

perintahnya, dan tidak seorangpun berani membantah. Hari ini secara tak terduga ia dapat

bertemu dengan adiknya yang sudah lama ia cari. Sejak lama ia bercita dan

mengharapkan, agar adiknya yang bernama Pertiwi Dewi itu sedia hidup bersama di

sampingnya, dan takkan terpisah lagi. Akan tetapi sekarang, ternyata harapannya hanya

merupakan impian kosong melompong. Setelah dirinya dapat bertemu dan dapat melepas

rindu dengan adiknya, Pertiwi Dewi malah mencela dan menentang cara hidupnya.

Saking marah alis perempuan ini berdiri, dan giginya gemeretak.

"Hi-hi hik, engkau berani menantang Dyah Raseksi? Bagus! Kerahkan seluruh

kemampuanmu, dan jangan menyesal apabila pedangku terpaksa memenggal lehermu.

Bukan aku yang memulai, akan tetapi engkau sendiri. Dan, hi-hi-hik, sesudah engkau

mampus, maka pemuda tampan itu akan menjadi milikku."

"Tutup mulutmu yang busuk. Jaga seranganku!" teriak Pertiwi Dewi, dan

pedangnya sudah berkelebat untuk menikam.

"Trang......!" Dyah Raseksi sengaja menangkis serangan itu, walaupun sebenarnya

tubuhnya tak mempan oleh senjata. Sengaja ia menangkis untuk mengukur sampai

dimanakah kekuatan adiknya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahh....!" pekik Pertiwi Dewi yang kaget. Tubuhnya terhuyung dua langkah ke

belakang, telapak tangmnya panas seperti terbakar, dan hampir saja pedangnya lepas dari

tangan.

Dyah Raseksi tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan hanya ketawa mengejek,

"Hai Pertiwi, aku masih dapat memaafkan engkau, dan lekaslah engkau enyah dari

tempat ini. Tidak mungkin engkau sanggup melawan aku, dan tinggalkan di sini pemuda

tampan itu."

"Mampus kau!" teriak Pertiwi Dewi sambil menikamkan pedangnya lagi.

"Tak tak tak....!" berturut-turut sambaran pedang Pertiwi Dewi itu mengenai

sasarannya, justeru Dyah Raseksi tidak berkisar dari tempatnya berdiri. Akan tetapi oleh

perlindungan "aji welut putih", maka semua tikaman dan sambaran pedang itu meleset,

tidak berhasil melukai tubuh Dyah Raseksi.

Sebaliknya Pertiwi Dewi seperti orang kalap. Walaupun tahu semua serangannya

tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap lawan, namun gadis ini terus menyerang dan

menyerang.

Makin lama Dyah Raseksi menjadi gemas, menghadapi adiknya yang keras kepala

ini, Tiba-tiba peiempuan ini ketawa nyaring melengking dan kemudian terdengarlah

ucapannya yang. menggeletar. "Ayah .... ibu .... maafkan aku. Hari ini aku terpaksa

lancang tangan dan membunuh anakmu yang bungsu, karena tidak pandai

mengindahkan nasihatku."

Bersamaan dengan ucapannya yang terakhir tubuh Dyah Raseksi telah bergerak

bersama pedangnya. Gerakan Dyah Raseksi amat cepat sekali, hingga dalam segebrakan

saja sudah terdengar suara benturan senjata yang berturut-turut disusul oleh suara pekik

Pertiwi Dewi yang amat nyaring.

"Trang trang tring . .. aihhh ,...!" benturan pedang Dyah Raseksi kuasa

mementalkan pedang adiknya, hingga kemudian pedang itu lepas dari tangan, runtuh di

atas tanah. Dan saking kaget, gadis kecil mungil ini sudah berteriak nyaring.

Namun disaat sekarang ini Dyah Raseksi sudah amat marah. Ia sudah tidak ingat

lagi siapa yang dihadapi sekarang ini. Disaat tubuh Pertiwi Dewi masih terhuyung itu,

Dyah Raseksi telah melompat ke depan sambil menikamkan pedangnya.

"Plak .... aihh . . .!" Dyah Raseksi kaget dan terhuyung mundur. Dan Pertiwi Dewi

selamat dari ancaman bahaya, berkat tindakan Fajar Legawa yang tangkas, telah

menolong gadis itu dengan pukulan tangan miring ke punggung pedang Dyah Raseksi.

Dyah Raseksi mengamati Fajar Legawa dengan mata terbelalak. Ia kaget

berbareng heran bahwa pukulan pemuda tadi, kuasa membuat telapak tangannya panas

dan pedangnya hampir jatuh. Namun demikian perempuan ini tidak marah. Sesudah

mengamati Fajar Legawa beberapa saat lamanya, perempuan ini tersenyum manis.

Katanya halus. "Hi-hi-hik, apakah sebabnya engkau selalu membela Pertiwi Dewi?

Bukankah aku tidak kalah cantik jika dibanding dengan dia? Aihh kakang, percayalahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bahwa dalam menyenangkan dan membahagiakan hatimu, aku akan jauh lebih pintar.

Engkau tampan dan betapa ....."

"Tutup mulutmu yang busuk!" potong Fajar Legawa yang sudah tidak kuasa lagi

menahan marah dan muaknya. "Engkau binatang berbentuk manusaja. Engkau manusia

ganas dan kepada adikmu sendiri sampai hati berusaha untuk membunuh. Huh, manusia

macam engkau ini, selekasnya harus mampus ."

"Tapi .... tapi dia keras kepala, kangmas," jawab Dyah Raseksi yang masih

berusaha membujuk, dan ucapannya halus. "Dan aku bersedia memaafkan Pertiwi Dewi,

asal saja engkau sedia memenuhi harapanku. Aku .... aku . . . ."

"Cukup!" potong Fajar Legawa yang tambah muak. "Sekarang juga engkau harus

mampus!"

Kemudian dengan gerakannya yang gesit Fajar Legawa telah memukul dengan

telapak tangan yang dimiringkan, ke arah pundak. Akan tetapi celakanya serangan Fajar

Legawa ini hanya disambut oleh ketawa Dyah Raseksi yang mengejek. Ia tidak berusaha

menghindarkan dan mengelak, malah kemudian tangan kiri perempuan ini diangkat

dengan maksud mencubit dagu.

Fajar Legawa terkejut sekali ketika pukulannya terbentur oleh tenaga yang amat lunak,

licin dan menyedot. Dan dalam pada itu ia merasa malu sekali, bahwa hampir saja

dagunya berhasil dicubit oleh perempuan itu.

Pengalamannya ini menyadarkan Fajar Legawa, bahwa perempuan liar ini

seorang sakti mandraguna yang dilindungi oleh aji kesaktian. Hingga semua pukulannya

tidak mungkin berhasil, apabila hanya menggunakan pukulan yang biasa. Sadar akan

keadaan ini, dan sadar pula bahwa Dyah Raseksi yang ganas ini hanya akan menimbulkan

malapetaka bagi umat manusia, maka timbullah niat pemuda ini untuk menggunakan pu-

kulan ampuh yang bernama "lebur jagad".

Secepat kilat Fajar Legawa telah merobah sikap. Tiba-tiba dua kaki pemuda ini

merapat, disusul tangan kanan meninju udara. Gerakan itu disusul oleh tangan kiri yang

mengepal melindungi dada. Menyusul kemudian ia berdiri di atas kekuatan jari, sambil

menyalurkan hawa sakti dalam tubuh ke tangan kanan. Dan apabila kemudian apabila

jari tangan kanan itu sudah berobah menjadi lurus dan merapat, itulah merupakan tanda

aji "lebur jagad" sudah siap dilancarkan.

Dyah Raseksi hanya tersenyum saja menyaksikan tingkah Fajar Legawa ini.

Perempuan ini tidak sadar sama sekali, bahwa aji "lebur jagad" itu merupakan pukulan

berbahaya, yang kuasa menghancurkan batu sebesar gajah. Dau karena tidak sadar akan

bahaya ini, maka bibir Dyah Raseksi tetap tersenyum-senyum, sedang sepasang matanya

mengamati tidak berkedip.

"Hiaaattt.....!" teriak Fajar Legawa nyaring, dan disusul tubuhnya melesat ke

depan untuk memukul.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Darrr.....!" suara menggelegar terjadi akibat benturan tenaga yang amat dahsyat.

Tubuh Fajar Legawa terlempar ke belakang hingga dua tombak, dan peristiwa tidak

terduga itu menyebabkan Pertiwi Dewi memekik nyaring saking terkejut.

Di depan Dyah Raseksi sekarang telah berdiri seorang kakek bertubuh kurus.

Kumis dan jenggotnya panjang menjuntai, sudah bercampur dengan uban. Tubuh kakek

itu bergoyang-goyang seperti pohon padi tertiup angin. Wajah kakek itu agak pucat,

namun tak 1ama kemudian kakek itu sudah dapat berdiri tegak lagi.

Laki-laki tua yang tiba-tiba muncul dan menolong Dyah Raseksi ini, bukan lain

guru Dyah Raseksi sendiri yang bernama Jalu Gigis. Dan diam-diam kakek ini heran pula,

mengapa semuda itu telah memiliki tenaga yang demikian dahsyat.

"Ayah!" tegur Dyah Raseksi dengan nada yang tidak senang. "Mengapa ayah

membuat aku kecewa?"

"Aihh." Jalu Gigis nampak kaget dan membalikkan tubuh menghadapi Dyah

Raseksi. "Apa sebabnya engkau menuduh aku seperti itu?"

"Apakah sebabnya ayah perlu menangkis pukulan dia? Bukankah dengan aji

"welut putih" aku dapat melindungi pengaruh pukulan itu?"

"Heh-heh-heh," Jalu Gigis terkekeh. "Engkau terlalu sembrono anakku. Pukulan

pemuda itu amat berbahaya, dan tak cukup ditolak dengan aji "welut putih"

"Aihh . ..." Dyah Raseksi terbelalak kaget. "Apa sebabnya?"

"Pukulan bocah itu bukanlah pukulan biasa."

"Ayah .... kalau demikian apakah aji "welut putih" belum dapat diandalkan

keampuhannya?"
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmm" Jalu Gigis menghela napas pendek, "Tidak seorangpun di dunia ini berhak

mengaku orang paling sakti dan tidak terkalahkan."

"Tetapi ayah........aku belum dikalahkan. Mengapa ayah sudah turun tangan?""

"Benar. Namun sebaliknya engkaupun tidak boleh memandang rendah kepada

pemuda itu. Maka serahkan dia padaku, dan engkau cukup menonton saja."

"Tetapi......."

"Apa lagi?"

"Ayah jangan melukai dia ....."

"Hah!" Jalu Gigis terbelalak dan merasa heran mendengar permintaan anak

angkatnya ini. "Permintaanmu sungguh aneh. Bagaimanakah mungkin aku dapat

menundukkan dia tanpa membalas pukulannya?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tetapi ayah......... hi-hi hik," kata Dyah Raseksi dengan sikap yang manja dan

setengah malu-malu. "Apakah ayah belum tahu akan maksudku?"

"Apakah maksudmu?" Jalu Gigis mengamati anaknya dengan pandang mata

heran.

"Pemuda itu tampan dan ganteng ayah . . ..."

Tersentak ketawa Jalu Gigis mendengar ucapan anak angkatnya yang terakhir ini.

"Heh-heh-heh, engkau selalu jatuh hati saja, apabila melihat seorang laki-laki tampan.

Heh-heh-heh, tetapi kau juga tidak salah anakku, justeru engkaupun seorang perempuan

muda dan cantik jelita."

Bangga Dyah Raseksi oleh pujian ayah angkat dan sekaligus gurunya ini. Ia

tersenyum manis sekali sambil mengerling, dan kemudian sesudah mencium pipi Jalu

Gigis yang mulai berkeriput Dyah Raseksi melompat dan kemudian berdiri di pinggir.

"Hai bocah, katakan terus-terang siapakah namamu?" tegur Jalu Gigis dengan

angker.

"Fajar Legawa," sahut pemuda ini singkat.

"Bagus, dan engkau perlu tahu bahwa aku Jalu Gigis, ayah dan guru Dyah

Raseksi," Kata kakek itu. "Tetapi ehh, mengapa sebabnya sepagi ini engkau sudah

mengganggu dan mengacau tempat tinggal kami?"

"Maafkan aku paman, bukan maksudku untuk mengganggu dan mengacau tempat ini,"

sahut Fajar Legawa dengan ramah. "Aku datang kemari untuk menuntut pembebasan

seorang sahabatku. Dan apabila sahabat yang aku maksud telah dibebaskan, tanpa rewel

lagi aku akan pergi dari tempat ini""

"Heh-heh-heh, boleh-boleh, asal saja engkau bisa."

"Apakah syaratnya?"

"Sahabatmu itu tanpa syarat akan dibebaskan tetapi engkau harus menggantikan

dia menjadi tawanan anakku."

"Kurang ajar! Ternyata antara anak dan ayah sama jahatnya!" teriak Fajar Legawa

yang sudah terbakar oleh marah, "Jika demikian, maafkan aku yang muda, terpaksa

berbuat lancang di tempat ini."

"Heh-heh-heh," ejek Jalu Gigis. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Jika paman berkeras mempertahankan sahabatku itu, dengan menyesal akupun

akan menggunakan kekerasan,"

"Heh-heh-heh, bagus! Akan aku lihat sampai dimanakah kemampuanmu, anak

muda!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sambil menggeram Fajar Legawa telah melompat dan melancarkan pukulan-

pukulannya. Angin yang dahsyat menyambar-nyambar mendahului datangnya pukulan

yang dilancarkan. Akan tetapi dengan ketawa ha-ha he-he, tanpa kesulitan Jalu Gigis

melayani semua serangan orang muda itu.

Makin lama Fajar Legawa merasakan tekanan lawan yang makin menjadi kuat. Ia

menjadi sadar, apabila tetap bertangan kosong, tidak urung dirinya celaka. Maka secepat

kilat pemuda ini sudah mencabut tongkatnya, kemudian melancarkan serangannya

dengan tongkat itu.

Jalu Gigis berseru kaget ketika tiba-tiba ia merasakan pengaruh hawa yang amat

dingin menusuk tulang. Mengapa bisa terjadi demikian? Padahal dirinya sekarang ini

dilindungi oleh aji "welut putih" dan sanggup menahan pukulan maupun serangan senjata

tajam. Akan tetapi mengapa sekarang ini, tongkat orang muda ini mempunyai pengaruh

yang mujijad?

Dyah Raseksi mengamati perkelahian itu dengan sepasang mata terbelalak, dan

seakan tidak, percaya akan pandang matanya sendiri. Ayah angkatnya adalah seorang

sakti mandraguna. Akan tetapi mengapa sekarang ini, hanya berhadapan dengan Fajar

Legawa, tidak lekas dapat mengalahkan? Diam-diam perempuan ini menjadi kaget dan

sadar. Ternyatalah bahwa dugaan ayahnya tadi bukan hanya ngawur. Peringatan

ayahnya tadi mempunyai cukup alasan, bahwa Fajar Legawa memang seorang pemuda

yang gemblengan dan sakti mandraguna.

TETAPI justeru menyadari bahwa pemuda ini disamping tampan juga sakti

mandraguna, maka ia makin bernafsu untuk dapat menguasai dan menjinakkan Fajar

Legawa. Sebab dengan kehadiran pemuda ini di sampingnya, akan berarti dirinya

mempunyai seorang pembantu terpercaya. Malah kemudian timbul tekadnya dalam hati,

bahwa ia sedia mengakhiri kebiasaannya yang berganti-ganti laki-laki, untuk menjadi

isteri Fajar Legawa yang setia. Bukankah apabila dirinya dapat hidup sebagai suami-isteri

dengan pemuda itu, di dunia ini akan muncul suami isteri sakti mandraguna yang

namanya menggetarkan jagad?

Sementara itu Pertiwi Dewi mengikuti perkelahian itu dengan jantung yang

berdebar dan tegang, la memang selalu berharap agar Fajar Legawa dapat mengalahkan

Jalu Gigis maupun Dyah Raseksi. Akan tetapi sebaliknya, melihat perkelahian yang

demikian sengit itu, diam-diam ia menjadi khawatir juga kalau Fajar Legawa sampai gagal

mengatasi. Maka walaupun sekarang ini dirinya hanya berdiri dan menonton, tangan

kanannya tetap saja dalam keadaan siaga, menggenggam pedang yang telanjang.

Demikianlah, perkelahian atara Jala Gigis dengan Fajar Legawa itu berlangsung

amat sengit, dan gerakan mereka cepat sekali hampir tak dapat diikuti oleh pandang mata.

Namun makin lama Dyah Raseksi menjadi khawatir dan gelisah. Ia sadar bahwa ayah

angkatnya sudah tua sehingga baik tenaga maupun napasnya sudah jauh merosot. Kalau

perkelahian itu tidak segera juga berakhir, ia menjadi amat khawatir kalau pada akhirnya

pemuda itu yang akan menang.

Oleh dorongan pengaruh yang khawatir ini, tiba-tiba Dyah Raseksi melengking

nyaring. Tubuhnya berkelebat dan kemudian perempuan ini sudah menyerang Pertiwi

Dewi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aihhh.....trang........!" benturan pedang terjadi, sesudah Pertiwi Dewi memekik

nyaring. Gadis ini memang agak kaget, sebab sama sekali tidak menduga, bahwa dirinya

akan diserang Dyah Raseksi.

Fajar Legawa kaget sekali mendengar pekikan Pertiwi Dewi yang nyaring itu. Hati

ingin menolong, akan tetapi sunguh sayang, dirinya sendiri terlibat oleh Jalu Gigis. Dan

disaat Faja Legawa belum dapat berbuat sesuatu ini, tiba-tiba terdengarlah pekik Pertiwi

Dewi yang lebih nyaring. Akibat kaget, hampir saja tongkat Fajar Legawa dapat direbut

oleh Jalu Gigis. Masih untung bahwa pemuda ini dapat mempertahankan tongkat itu,

kemudian melompat ke samping.

Sambil melompat ini Fajar Legawa sempat melirik. Dan betapa terkejut pemuda

ini ketika melihat bahwa Pertiwi Dewi sudah roboh di atas tanah, ia tidak tahu apakah

Pertiwi Dewi pingsan ataukah tewas menghadapi kakak perempuannya sendiri yang

bernama Dyah Raseksi itu.

Akan tetapi yang jelas robohnya Pertiwi Dewi ini membuat Fajar Legawa kalap.

Sambil menggeram seperti harimau terluka, Fajar Legawa menerjang maju memukulkan

tongkatnya keaarah Jalu Gigis. Ternyata Jalu Gigis tidak berani gegabah menghadapi

tongkat Fajar Legawa yang menebarkan hawa dingin itu. Dan Ketika Jalu Gigis

melompat ke samping menghindarkan diri, maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-

baiknya oleh Fajar Legawa untuk menerjang Dyah Raseksi.

Dyah Raseksi kaget oleh serangan lawan tak terduga ini, dan untuk menolong diri

Dyah Raseksi membenturkan pedangnya untuk menangkis, "Trang.....! Aihhh.....!"

Benturan senjata itu disusul oleh Pekik Dyah Raseksi yang amat nyaring. Sebab

begitu berbenturan, pedang Dyah Raseksi telah patah menjadi dua potong. Dalam

marahnya Fajar Legawa tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk bernapas, ia

melompat ke depan sambil menyodokkan tongkat ke dada Dyah Raseksi.

Sungguh sayang bahwa saat sekarang ini Jalu Gigis hadir di tempat itu. Melihat

anak angkatnya terancam oleh bahaya, secepat kilat Jalu Gigis telah merakup lima butir

kerikil, kemudian berturut-turut disambitkan. Atas serangan ini Fajar Legawa memang

tangkas. Menggunakan kegesitannya ia berhasil menghindari dan menangkis serangan itu

yang berturut-turut. Empat butir telah dapat lolos, akan tetapi sayang sekali sebutir kerikil

masih sempat memukul lutut. Terdengar Fajar Legawa mengeluh lirih, disusul tubuhnya

terhuyung, kemudian roboh di atas tanah.

"Heh-heh heh!" Jalu Gigis terkekeh, kemudian berkata ramah kepada anak-angkatnya.

"Puaskah engkau sekarang?"

"Ayah, terima kasih," jawab Dyah Raseksi dengan wajah berseri. "Dan sekarang,

aku sendiri dapat mengurusi."

"Heh-heh-heh.....heh heh-heh....." Jalu Gigis hanya tertawa, tanpa mengucapkan

sesuatu. Agaknya kakek ini sudah maklum akan maksud anak-angkatnya, maka tak lama

kemudian kakek ini telah pergi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Cekatan sekali Dyah Raseksi telah mengikat kaki dan tangan Fajar Legawa. Tetapi

ketika Pertiwi Dwi tiba gilirannya untuk diikat kaki dan tangannya, maka dara kecil

mungil ini mendapat. "Bunuh, bunuhlah saja aku, habis perkara!"

"Hi-hi hik," Dyah Raseksi ketawa mengejek. "Engkau sendiri yang telah memilih

jalan buruk. Aku memberi engkau daging, tetapi engkau malah memilih tai anjing. Hi-hi-

hi, untuk membunuh engkau, apakah sulitnya? Namun karena engkau seorang adik yang

berani melawan saudara tua, engkau harus mengalami derita dan siksaan sebelum

mampus. Huh-huh, sangkamu aku tidak dapat berbuat kejam kepada adik sendiri? Hi-hi-

hikk, aku Dyah Raseksi. Siapapun yang berani menantang aku harus mengalami siksaan

sebelum mampus!"

"Huh-huh, siapa takut?" jawab Pertiwi Dewi marah sekali. "Engkau binatang yang

berbentuk manusia. Engkau bukan saudaraku. Engkau manusia perempuan liar dan

ganas. Aku tidak menyesal mati di tanganmu, sebaliknya aku malah puas. Huh, semoga

Tuhan mengutuk dan menghukummu......."

"Hi-hihik," kata-kata Pertiwi Dewi itu hanya disambut oleh ketawa Dyah Raseksi

yang cekikikan. "Dalam menghadapi maut, ternyata engkau masih juga bermulut tajam.

Huh, apapun yang aku 1akukan, siapa yang dapat melarang dan menghalangi?"

Dyah Raseksi berhenti sebentar sambil menatap tajam kepada Pertiwi Dewi.

Sesaat kenudian ia meneruskan. "Hai budak liar yang tidak tahu adat. Tahukah engkau

bahwa tidak terhitung jumlahnya manusia laki-laki yang saling berebut dan berusaha

mendekati aku? Huh, engkau boleh saja menyebut aku perempuan jalang atau perempuan

terkutuk. Namun yang jelas banyak laki-laki menelan ludah setiap melihat kecantianku.

Dan tahukah engkau apabila laki-laki sudah aku beri kesempatan memeluk dan mencium

aku? Tidak seorangpun mencelanya, sebaliknya malah memuji-muji bahwa aku

perempuan cantik bagai bidadari. Banyak puji sanjung yang diucapkan. Dan mereka akan

selalu terkenang pula padaku."

Pertiwi Dewi meludah saking muak mendengar kata-kata Dyah Raseksi itu. Gadis

yang sudah tidak berdaya ini makin menjadi sengit. "Huh! Ucapanmu merupakan cermin

dari budi dan nuranimu yang amat kotor. Pantas! Pantas apabila kau diberi air susu,

membalas dengan air tuba. Kau mungkir? Huh, orang tua dibunuh mati oleh peijahat,

namun sebaliknya engkau malah menyedikan diri diperisteri. Engkau....... berkhianat

kepada keluarga. . . ."

"Plak plak. . . .!" telapak tangan kanan Dyah Raseksi menyambar pipi Pertiwi

Dewi keras sekali. Dan akibatnya, pipi yang halus dan montok itu, sekarang berolah

menjadi matang biru oleh tamparan yang keras. Dan sudut bibir Pertiwi Dewi mengalir

darah merah, pertanda dalam mulut sudah terluka. Namun demikian, sedikitpun gadis ini

tidak meratap, dan pula tidak menjadi gentar menghadapi kakak perempuannya yang

berobah menjadi ganas ini.

Sungguh kasihan Pertiwi Dewi ini. Bertahun-tahun ia selalu terkenang kepada kakak

perempuannya yang hilang diculik penjahat. Bertahun-tahun ia merindukan pertemuan

dengan kakak perempuannya itu. Namun sekarang, setelah harapannya itu terkabul,

dapat bertemu dengan mbakyu, akan tetapi yang terjadi di luar harapannya. Ternyatahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kakak perempuannya sudah jauh berobah. Kakak perempuannya sudah menjadi manusia

berhati binatang.

"Keparat! Perempuan liar!" teriak Fajar Legawa yang merasa iba kepada

penderitaan Pertiwi Dewi. "Dia sudah tidak berdaya, tetapi mengapa engkau sampai hati

menyiksa dan menyakiti? Huh, lupakah engkau bahwa Pertiwi Dewi itu adik kandungmu

sendiri?"

Sepasang mata Dyah Raseksi yang semula menyala itu mendadak berobah redup

dan bibirnya tersenyum ketika mendengar kata-kata Fajar Legawa ini. Ia kemudian

meninggalkan Pertiwi Dewi, dan ia melangkah menghampiri pemuda itu yang terikat

tidak berdaya. Setelah ia berjongkok di samping Fajar Legawa, perempuan ini berkata

dengan nada halus. "Kangmas, mengapa engkau marah-marah? Bukan maksudku untuk

menyakiti budak liar itu. Akan tetapi karena mulutnya terlalu lancang, maka dengan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaksa aku harus menghajar mulut tajam itu."

"Tetapi bagaimanapun Pertiwi Dewi itu adik kandungmu," kata Fajar Legawa

dalam usahanya menyadarkan perempuan ini. "Tidak semestinya engkau berbuat sekejam

itu."

"Aihh, kangmas, engkau tidak adil!" protes Dyah Raseksi. "Engkau selalu

membela budak liar itu, dan sebaliknya engkau selalu menyalahkan aku," Dan sepasang

mata Dyah Raseksi yang bening itu, sekarang tampak berkaca-kaca seperti mau menangis.

Entah mengapa sebabnya, tidak seorangpun tahu kecuali Dyah Raseksi sendiri.

"Bukannya aku selalu membela dia," kata Fajar Legawa. "Akan tetapi akupun

tidak setuju dengan pendirianmu yang sesat itu."

"Hi-hi-hik, lagi-lagi engkau mencela aku dan menganggap sesat." jawab Dyah

Raseksi sambil cekikikan. "Kangmas, aku jatuh cinta kepadamu, akan tetapi sebaliknya

mengapa engkau selalu angkuh dan pura-pura tidak tahu? Aih kangmas, jangan engkau

jual mahal. Betapa bahagia hatiku ini, apabila aku selalu berada di sampingmu."


Death Du Jour Karya Kathy Reichs Pendekar Muka Buruk Pendekar Berwajah Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo
^