Pencarian

Iblis Dari Gunung Wilis 9

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 9



Wanengboyo meninggalkan sumber air. Lalu dengan gerakan cepat, iapun pulang ke

rumah untuk melepaskan lelah dan kantuknya.

Demikianlah peristiwa yang terjadi pada pagi itu. Ketika melangkah pulang,

Danurwenda terus berpikir dan berusaha menduga-duga, apakah sebabnya AyuKedasih

pagi ini menangis di dekat sumber air? Akan tetapi pertanyaannya itu tetap tidak terjawab.

Ia kemudian memutuskan akan menunggu Ayu Kedasih memberi keterangan.

Apa yang diharapkan kemudian terwujut. Setelah makan siang, Ayu Kedasih

menghampiri Danurwenda yang sedang duduk mencari angin di bawah rumpun bambu.

Perempuan itu tersenyum sambil melangkah perlahan, langkah yang berirama yang dapat

mempengaruhi setiap orang yang memandang akan tertarik. Danurwenda juga tertarik

melihat langkah Ayu Kedasih itu. Akan tetapi walaupun tertarik, antara Danurwenda

berlainan dengan Tohjoyo. Kalau Tohjoyo tertarik yang dipengaruhi oleh nafsu birahi,

sebaliknya Danurwenda tertarik tetapi sepi dari pengaruh nafsu birahi. Yang tertarik

hanya sepasang matanya, akan tetapi hatinya, tetap tenang. Danurwenda bisamenikmati

keindahan tanpa dikotori oleh hal-hal lain yang terkutuk.

"Kakang, apakah engkau tidak letih?" tanya Ayu Kedasih dengan suara merdu.

"Aku merasa segar setelah tidur setengah malam," sahut Danurwenda. "Di

manakah suamimu?"

"Dia tidur kakang," sahut Ayu Kedasih. "Tetapi justeru kakang Wanengboyo tidur

itu, merupakan kesempatan bagus bagiku untuk memenuhi janjiku, menerangkan

sebabnya aku menangis tadi pagi."

"Ya, terangkan apa sebabnya," Danurwenda senang sekali dan merasa tidak

sabar lagi. "Apabila engkau dengan suamimu amat rukun dan senang sekali. Akan tetapi

sebaliknya aku akan menjadi sedih apabila melihat engkau dengan suamimu tidak rukun"

Ayu Kedasih tersenyum manis kemudian, "Kakang, seperti sudah aku nyatakan

tadi pagi bahwa aku tidak berselisih dengan kakang Wanengboyo."

"Lalu, apakah sebabnya?" Desak Danurwenda, "Tetapi berjanjilah engkau

kakang, bahwa hal ini takkan didengar oleh dia."

"Ehh......... apakah sebabnya?" Danurwenda menjadi curiga.

"Agar kakangWanengboyo tidak menjadi sedih dan khawatir."

"Mengapa akan sedih dan khawatir?" desakanya sambil menatap Ayu Kedasihhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

makin curiga. Sebagai suami isteri muda tentu saja Danurwenda menjadi khawatir kalau

mereka itu menyembunyikan sesuatu rahasia pribadi, dan yang dapat meretakkan

hubungan suami isteri itu.

"Persolannya akibat impianku semalam yang buruk, kakang," akhirnya Ayu

Kedasih menerangkan.

Dan tiba-tiba saja Danurwenda ketawa mendengar ini. Katanya kemudian. "Jadi,

pagi tadi engkau menangis terpengaruh oleh impianmu semalam yang engkau anggap

buruk? Katakan adi, impian apakah itu?"

Ayu Kedasih memang sengaja menutup peristiwa yang sudah terjadi. Maka

perempuan ini sengaja mengarang keterangan yang berlindung kepada impian buruk.

Tetapi walaupun hanya keterangan palsu, namun diam-diam ia berharap agar keterangan

palsunya ini dapat mempengaruhi Danurweada. Dan kemudian, dalam waktu singkat

dirinya dapat meninggalkan desa ini, sehingga dapat menjauhkan diri dengan Tohjoyo.

Bagaimanapun ia khawatir apabila pengalaman semalam yang tidak menyenangkan itu

terulang lagi. Dan hal itu memang amat mungkin, selama dirinya masih berdekatan

dengan Tohjoyo. Sebab pemuda itu dapat menekan dirinya dengan ancaman

membongkar rahasia pribadinya, yang diam-diam gandrung kepada Fajar Legawa.

"Begini kakang, ehh.........tetapi.........tetapi .........impian buruk itu menyangkut

salah seorang dari kita," jawab Ayu Kedasih dengan hati yang berdebar. "Maka saya

mohon kebijaksanaan kakang Danurwenda."

"Adi, engkau jangan khawatir. Sebagai saudara seperguruan yang tertua, aku akan

mempertimbangkan dengan kepala dingin dan sikap yang adil. Justeru semua itu

mengandung maksud tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan."

Ayu Kedasih menghela napas pendek, ia menatap Danurwenda sekilas. Sejenak

kemudian barulah perempuan ini berkata, "Kakang sekali lagi saya mohon pengertian

bahwa apa yang saya ceritakan ini hanya impian, akan tetapi walaupun hanya impian,

saya menjadi amat khawatir. Bukankah banyak orang tua yang mengatakan, bahwa ada

kalanya impian itumerupakan sasmita yang perlu diperhatikan?"

"Katakanlah adi, katakanlah!" Danurwenda meminta, "Dan aku berharap agar

dalam menanggapi impian yang engkau anggap buruk itu, engkau sependapat dengan aku

bahwa impian itu hanyalah bunga tidur. Seseorang yang tidur, adalah istirahat. Semua

bagian tubuh manusia ini istirahat, kecuali jantung yang menggerakkan darah kita ini di

samping paru-paru yang memompa hawa. Dua bagian itu saja yang tidak beristirahat,

sebab apabila jantung dan paru-paru itu istirahat, niscaya manusia itu takkan dapat

bangkit lagi dan tidurnya. Adi, orang yang mimpi didalam tidurnya, sebagai akibat oleh

pengalamannya pada hari itu atau hari-hari yang lalu, yang tidak mudah dilupakan.

Menyebabkan dikala tidur pikiran tidak istirahat sepenuh sehingga pengalaman-https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pengalaman itu membias didalam tidur dan mimpi. Sebaliknya sasmita, diterima manusia

bukan di dalam tidur. Biasanya sasmita itu datang disaat kita sedang menenangkan

perasaan dan pikiran dalam bersemedi."

Untuk sejenak Ayu Kedasih berdiam diri dan berusaha mencari alasan.

Kemudians sahut perempuan ini. "Tetapi kakang, apabila impian itu sangat

mempengaruhi perasaan dan pikiran saya, maka hatiku takkan tenteram sebelum

rampung. Dan itulah sebabnya mengapa tadi pagi aku menangis. Karena memikirkan

impianku semalam yang buruk."

"Hemmm, baiklah! Coba ceritakanlah impianmu itu, agar aku dapat ikut

mempertimbangkan. Danurwenda akhirnya menganjurkan.

"Kakang, hemmm......dalam tidurku semalam itu........." Ayu Kedasih memulai

ceritanya dengan kata-kata yang kurang lancar. "Terjadilah suatu peristiwa yang

membuat aku dibayangi oleh rasa khawatir dan ketakutan. Karena dalam impian itu,

menyangkut kakang Tohjoyo

"Tohjoyo? Mengapa dia?" Danurwenda nampak kaget dan terbelalak, mengamati

Ayu Kedasih.

"DALAM mimpi yang buruk itu, beginilah peristiwanya."Ayu Kedasih berhenti

dan menghela napas pendek. Baru sesaat kemudian ia meneruskan. "Seakan antara

kakang Wanengboyo dan kakang Tohjoyo saling bermusuhan dan berkelahi............"

"Ihh.........mengapa berkelahi?" Danurwenda kaget. Dan sekarang Danurwenda

berubah perhatiannya, sambil mengamati Ayu Kedasih penuh perhatian .Diam-diam

jantung Danurwenda menjadi tegang,walaupun apa yang akan diceritakan oleh Ayu

Kedasih ini hanya berdasar impian yang dianggap buruk.

Ayu Kedasih menundukkan muka, menghela napas panjang, tetapi diam-diam

perempuan ini menyembunyikan senyum pada bibirnya. Perempuan ini menjadi senang

melihat Danurwenda tertarik perhatiannya, setelah ia mengatakan seperti itu. Maka

masih sambil menghela napas pendek. Ayu Kedasih mengangkat mukanya, kemudian

meneruskan.

"Kakang, dalam impianku yang buruk semalam itu.........antara kakang

Wanengboyo dan kakang Tohjoyo berkelahi, sebagai akibat saling memperebutkan diriku

ini........."

Ayu Kedasih berhenti lagi, menghela napas dan mengamati Danurwenda sejenak

seperti mencari kesan. Sedang Danurwenda berdiam diri, akan tetapi terdengar menghela

napas pendek, entah apa sebabnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Kakang, mereka berkelahi........." Ayu Kedasih bercerita lagi. "Di dalam

perkelahian itu, kakang Wanengboyo dikalahkan oleh kakang Tohjoyo. Kakang

Wanengboyo terluka............dan roboh di tanah. Saya............saya menjadi kaget dan

lari, lalu menubruk kakang Wanengboyo.........Tetapi justeru dalam keadaan seperti

itu......."

Ayu Kedasih berhenti lagi. Agaknyaperempuan ini seorang perempuan yang

pandai sekali menarik perhatian orang dengan cerita bohongnya. Danurwenda terpikat,

dan jantungnya berdegup cepat, sehingga Danurwenda tak sabar lagi dan mendesak.

"Teruskanlah adi!"

Dan Ayu Kedasih berusaha menyembunyikan senyumnya lagi. Sahutnya

kemudian, "Kakang, dalam keadaan seperti itu.........aku ditangkap.

Lalu.........lalu.........aku dicium kakang Tohjoyo.........Aku berusaha

memberontak.........Tetapi tak kuasa. kemudian.........aku dibawa ke suatu tempat yang

tidak aku kenal.........Di situ.........di situ secara paksa kakang Tohjoyo telah merenggut

lepas semua pakaianku ................ aihh, kemudian......... kemudian kakang Tohjoyo

memperlakukan aku sebagai isterinya."

Ayu Kedasih berhenti sambil menundukkan mukanya. Dan terdengar

Danurwenda menghela napas berat mendengar keterangan itu. Untuk sejenak lamanya

dua orang ini tidak membuka mulut. Untuk sejenak keadaan hening, dan angin saja yang

bergerak perlahan mengusap mereka.

"Kakang............" Ayu Kedasih mengangkat kepalanya, kemudian ia

meneruskan. "Dalam keadaan seperti itu aku kaget, dan terjaga............. Aihh, kakang,

itulah sebabnya pagi tadi aku menangis, karena akumemikirkan impian buruk semalam.

Aku menjadi khawatir kalau impian itu benar-benar terjadi .........."

"Hemm............." Danurwenda menghela napas lagi panjang.

"Kakang............sekarang saya mohon nasihatmu ............" kata Ayu Kedasih lagi.

"Apa yangharus dilakukan? Aku.........aku menjadi malu.........apabila nanti bertemu

dengan kakang Tohjoyo. Impian semalam mempengaruhi perasaanku ...........sebagai

seorang wanita ............"

Danurwenda berdiam diri. Namun laki-laki ini tidak melulu berdiam diri, dan

sekarang berusaha untuk memutar otakguna mengatasi keadaan. Menurut pikiran

Danurwenda sekarang ini, kalau Ayu Kedasih merasa malu bertemu denganTohjoyo,

memang tidak bisa disalahkan, karena terpengaruh oleh impian itu. Akan tetapi kalau hal

ini sampai berkembang lebih jauh, juga tidak baik yang terjadi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Adi, sebaiknya begini," kata Danurwenda kemudian. "Usirlah kenangan buruk

dari impian itu, dan anggaplah tidak ada.Bersikaplah engkau sebagaimana biasa, seperti

sebelum engkau mimpi seperti itu. Dan aku percaya, bahwa adi Tohjoyo takkan sampai

hati melakukan perbuatan seperti itu terhadap engkau."

Memang sesungguhnya Danurwenda jugasudah tahu akaa watakdansepakterjang

Tohjoyo selama ini, terhadap paraperempuan.Akan tetapi walaupun demikian

Danurwenda tidak percaya, apabila Tohjoyo sampai hati kepadaAyu Kedasihyang

kedudukannya sebagaiisteriadikseperguruannya. Tidak disadarisamasekalibahwa dirinya

sekarang ini ditipu oleh Ayu Kedasih. Yang jelas semalam Ayu Kedasih telah mengalami,

bukan dalam impian, akan tetapi benar-benar terjadi.

"Kakang............tetapi bagaimanapun sulit bahwa seorang wanita seperti aku

ini, begitu saja melupakan impian buruk seperti itu ............"

Ayu Kedasih mengeluh. "Bagaimanapun akuakan dikejar-kejar oleh bayangan

ketakutan. Akutak sanggup bertemu muka dengan kakang Tohjoyo, dan aku malu............

Maka jalan terbaik kiranya, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak kita harapkan

.........apabih aku dan kakang Wanengboyo meninggalkan desa ini ............"

"Hemmm ............" Danurwenda menghela napas berat. Dalam hatinya terasa

berat juga menghadapi persoalan ini.

"Sesungguhnya, mengingat keadaan desa ini," kata Ayu Kedasih. "Baik aku

maupun kakang Wanengboyo berkewajiban ikut membela dan menanggulangi gangguan

penjahat itu. Tetapi sebaliknya hatiku tak bisa merasa tenteram kakang............ maka saya

mohon kebijaksanaan kakang dalam persoalan ini."

"Hemm........." lagi-lagi Danurwenda menghela napas panjang, Kemudian,

sesudah berpikir sejenak, ia meneruskan. "Adi, baiklah. Hal ini akan aku pertimbangkan

dahulu masak-masak..."

"Kakang........." potong Ayu Kedasih, "Bayangan peristiwa semalam itu selalu

mengganggu perasaanku. Maka saya .........mohon agar besok pagi saya telah diijinkan

pergi meninggalkan desa ini."

"Tetapi........."

"Tidak! Kakang harus dapat memberi keputusan tegas. Tetapi kalau kakang tak

mengijinkan, dan kakang Wanengboyo juga tak setuju, terpaksa saya akan pergi seorang

diri."

"Hemm......ya, baiklah adi, ya.........apa boleh buat jika adi memanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

memaksa........."

Begitulah pembicaraan yang terjadi antara Ayu Kedasih dengan Danurwenda.

Karena Danurwenda sama sekali tidak menduga telah ditipu oleh Ayu Kedasih, ia tidak

dapat berbuat lain kecuali harus mengijinkan Ayu Kedasih hari itu juga pergi

meninggalkan desa Sumberrejo ini. Dan di lain pihak karena Wanengboyo juga tidak

menduga peristiwa yang terjadi semalam, iapun menuruti saja tuntutan Ayu Kedasih yang

mengajak pergi hari ini. Ia memang seorang laki-laki yang pandai "ngemong" kepada

isterinya. Maka walaupun diam-diam merasa heran akan tuntutan isterinya yang tiba-tiba,

ia tidak mendesak lebih jauh.

Akan tetapi ketika Tohjoyo diberitahu tentang maksud Ayu Kedasih dan

Wanengboyo, ia menjadi kaget. Ia yang memang merasa telah menekan Ayu Kedasih

semalam, diam-diam merasa dandapat menduga sebabnya Ayu Kedasih hari ini minta
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Tetapi walaupun demikian, ia merasa agak heran juga. Mengapa begitu sikap Ayu

Kedasih kepada dirinya? Padahal dirinya merasa lebih pengalaman dalam soal wanita

dibanding dengan Wanengboyo, di samping merasa lebih gagah. Namun mengapa Ayu

Kedasih lebih sayang kepada suaminya sendiri? Tentu saja hal ini membuat Tohjoyo

menjadi penasaran. Semula ia berharap setelah peristiwa semalam, ia akan tetap dapat

menjalin hubungan rahasia itu dengan Ayu Kedasih. Tetapi apabila hari ini perempuan

itu pergi,berarti ia akan kehilangan kesempatan menyambung peristiwa semalam.

Sekalipun begitu ia tidak dapat mengumbar rasa penasarannya. Ia khawatir

Danurwenda maupun Wanengboyo timbul rasa kecurigaannya. Dan apabila sampai

terjadi begitu, malah bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan.

Tohjoyo bersikap wajar kepada Ayu Kedasih, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Hanya saja walaupun sikapnya wajar, tetapi pandang mata Tohjoyo sekarang berlainan

dengan kemarin. Di saat berhadapan dengan Wanengboyo, Danurwenda dan Ayu

Kedasih ini Tohjoyo selalu mencuri pandang dan ditujukan kepada AyuKedasih. Sasaran

pandangmatanya, lebih banyak terpusatke dada yang montok dan tersembunyi di

belakang kain penutup dada dan baju itu. Dan sebaliknya, Ayu Kedasih pura-pura tidak

tahu dan tidak mau bertatap pandang. Namun, walaupun pura-pura tidak tahu, diam-

diam perempuan ini mengumpat caci.

"Hemmm

r kurang ajar!" umpat Tohjoyo dalam hati. "Seangkuh itukahsekarang

engkau padaku? Huh, rahasiamu sudah dalam tanganku. Sekali sajaaku memberitahukan

rahasia itu kepada Wanengboyo, engkau takkan diberi ampun lagi."

Tentu saja sikap Tohjoyo seperti ini kepada Ayu Kedasih, bukanlah sikapsetiap

laki-laki.Dan pandangan Tohjoyo kepada Ayu Kedaish ini, bukan berarti bahwa Tohjoyo

mewakili pandangan kaum laki-laki terhadap perempuan. Tetapi walaupun begitu sayang

juga, bahwa laki-laki yang mempunyai pandangan seperti Tohjoyo ini cukup banyakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

jumlahnya di dunia ini. Yang berpandangan merendahkan dan meremehkan derajat kaum

wanita. Yang beranggapan bahwa kaum wanita itu hanya melulu berkedudukan sebagai

pemuas nafsu bagi laki-laki. Ia akan senang apabila dilayani apa kehendakanya.

Sebaliknya ia akan penasaran dikala kehendakanya tidak dilayani.

Walaupun begitu Tohjoyo memang seorang laki-laki yang tidak tahu malu.

Memang ia sudah dapat menduga, akan sebabnya Ayu Kedasih mendadak minta diri.

Tetapi ia masih juga mencoba menggunakan kesempatan dengan berkata. "Ahh adi,

sesungguhnya terasa berat juga harus melepaskan kalian ini, justeru ancaman penjahat

gunung Ungaran masih bisa saja terjadi. Lebih lagi, pertemuan kita ini baru beberapa hari

saja, dan rasa rindu dalam hatikupun belum terobati. Maka saya mohon dengan sangat

baik kepada adi Wanengboyo maupun adi Ayu Kedasih agar sudimenunda keberangkatan

ini barang semalam."

"Sesungguhnya akupun berat juga kakang," sahut Wanengboyo yang jujur, dan

tidak tahu sama sekali akan persoalan yang terjadi. "Tetapi Ayu mendesak saja, sehingga

akutak dapat berbuat lain kecuali harus mengiringkan maksudnya."

Danurwenda yang sudah mendengar penuturan Ayu Kedasih hanya berdiam diri.

Tidak kurang usahanya untuk menahan Ayu Kedasih dan Wanengboyo. Namun apa

harus dikata kalau keputusan Ayu Kedasih sudah bulat?

Sebaliknya Ayu Kedasih yang diam-diam khawatir juga kalau Tohjoyo membuka

rahasia, walaupun terasa berat ia membuka mulut juga, "Maafkanlah akukakang

Toajoyo, bahwa kunjunganku kemari sesingkat ini. Tetapi semalam aku mimpi disusul

ibu dan diminta agar aku pulang secepatnya ......."

"Aihhh!" Wanengboyo kaget dan mengamati isterinya. "Mengapa impianmu itu

tidak engkau beritahukan padaku?"

"Hemm, aku tahu bahwa engkau orang yang tidak percaya kepada impian," sahut

Ayu Kedasih. "Tetapi sebaliknya aku percaya kepada impian semacam itu. Orangtua

memberitahukan kepada kita, bahwa impian semacam itu merupakan sasmita. Bisa jadi

ibu sedang mengalami kesulitan, atau pula sedang sakit."

Diam-diam Danurwenda tertawa mendengar jawaban Ayu Kedasih ini. Kepada

dirinya, Ayu Kedasih menceritakan yang tidak sama dengan keterangannya sekarang ini.

Tetapi ia memang seorang saudara seperguruan tertua yang bijaksana. Di samping itu

iapun sudah berjanji untuk merahasiakan. Maka ia merasa lebih aman apabila bersikap

diam.

"Ya, memang tiada pertemuan yang tanpa perpisahan," kata Tohjoyo kemudian

sambil menghela napas pendek. "Tetapi sekarang terpikir olehku, untuk sekedar memberihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kenang-kenangan dan hadiah kepada adik iparku. Ya, siapa tahu benda yang tidak

berharga itu, akan dapat menjadi sarana hubungan batin antara kita lebih dekat lagi? Nah

oleh sebab itu, aku ingin mengundang adi Ayu Kedasih ke rumahku barang sebentar,

untuk mengambilnya."

"Benar. Dan aku amat berterima kasih sekali, kakang Tohjoyo," sambut

Wanengboyo gembira, tanpa rasa curiga sedikitpun. Maka kemudian ia memalingkan

mukanya kepada isterinya, lalu menganjurkan. "Ambillah Ayu, dan aku percaya bahwa

kenang-kenangan dan hadiah itu tentu besar sekali nilainya. Bukankah begitu kakang

Tohjoyo? Dahulu ketika kita kawin, aku memang tidak dapat memberi hadiah apa-apa

padamu. Maka kiranya wajar juga, kalau sekarang kakang Tohjoyo yang memberi hadiah

itu untukmu, Ayu."

Tohjoyo tertawa, "Ha-ha-ha, tentu saja. Saudara seperguruan, tidak jauh bedanya

dengan saudara kandung. Harus saling tolong, saling setia dan saling percaya. Karena di

saat perkawinanmu berlangsung ayahku meninggal, maka ketika ituaku tidak dapat

datang dan sekarang saatnya aku memberikan hadiah itu untuk Ayu Kedasih."

"Ambillah Ayu," Wanengboyo menganjurkan lagi. "Dan biarlah aku menunggu

di sini sambil bicara dengan kakang Danurwenda."

Namun sudah tentu Ayu Kedasih dapat menduga apa yang dikandung oleh

Tohjoyo ini. Ia mengerti, apabila dirinya datang ke rumah Tohjoyo, dirinya akan dijebak

dan dipaksa untukmelayani kehendak laki-laki itu lagi. Dansungguh celaka sekali,

suaminya terlalu percaya sehingga sekarang sudah menganjurkan seperti itu. Menghadapi

keadaan di luar dugaannya ini, apabila ia menolak begitu saja kehendak Tohjoyo ini bisa

menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Sebaliknya kalau dirinya harus menyerah

lagi kepada Tohjoyo, ia tak sudi. Untung saja ia bukan seorang wanita bodoh. Ia tahu,

apabila ia minta supaya Wanengboyo menyertainya, salah-salah suaminya menjadi

curiga. Namun sebaliknya apabila seorang diri, ia dalam bahaya. Maka sambil mengamati

Danurwenda ia kemudian berkata. "Kakang Danurwenda, saya mohon agar kakang suka

menyertai aku ke sana."

Dan Danurwenda yang sudah mendengar penuturan Ayu Kedasih tentang impian

perempuan itu semalam, mengerti akan sebabnya Ayu Kedasih mengucapkan demikian.

Ayu Kedasih merasa selalu dibayangi oleh kekhawatiran dan ketakutannya berdekatan

dengan Tohjoyo. Dan disamping itu, secara diam-diam iapun dapat menangkap

pandangmata Tohjoyo yang aneh kepada Ayu Kedasih. Sebagai saudara seperguruan

yang tertua dan tidak menghendaki hal-hal yang tidak menyenangkan, maka ia tidak bisa

berkata lain, kecuali. "Kalau demikian, lebih yogya lagi apabila kita datang bersama-sama

ke rumah adi Tohjoyo. Dansekalian kita menjadi saksi akan pemberian hadiah itu.

Bukankah engkau setuju, adi Wanengboyo?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ahhh, pendapatmu bagus sekali kakang," sambut Wanengboyo gembira, "Mari,

kita beramai datang ke sana."

Dan yang mati kutu sekarang adalah Tohjoyo. Ia tadi sudah gembira sekai, ketika

tanpa curiga sedikitpun Wanengboyo sudah menganjurkan kepada Ayu Kedasih supaya

datang seorang diri. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Apabila ia menolak kehadiran

Danurwenda dan Wanengboyo ke rumahnya, tentu menimbulkan kecurigaan. Maka

walaupun menyesal dan masygul, akhirnya Tohjoyo mengajak mereka itu semua ke

rumahnya. Akan tetapi sekalipun begitu, diam-diamTohjoyo penasaran sekali, dan

kemudian hari akan masih berusaha meucari kesempatan untuk dapat menggagahi Ayu

Kedasih lagu

oooOOOoo

SEKARANG tibalah saatnya kita mengikuti perjalanan Tumpak Denta dan Fajar

Legawa yang pergi menuju Lembah Galunggung, untuk memenuhi panggilan gurunya.

Sebenarnya saja memang belum cukup dua bulan dirinya pergi meninggalkan gurunva.

Namun demikian dalim hati pemuda ini timbul juga rasa rindu kepada guru yang

dihormati itu. Maka ketika jarak tempattinggal gurunya sudah tidak jauh lagi, ia mengajak

Tumpak Denta mempercepat perjalanan. Dan Tumpak Dentapun mengangguk, lalu dua

orang muda ini bergerak lebih cepat.

Dalam perjalanan ini tiba-tiba saja Fajar Legawa teringat kepada anak yatim piatu,

anak malang yang bernama Sasongko yang pernah ditolongnya. Ia memalingkan muka

kearah Tumpak Denta. Tanyanya. "Kakang, bagaimanakah dengan Sasongko?"

Tumpak Denta ketawa perlahan. Pertanyaan itu segera mengingatkan

pengalamannya kepada bocah itu setelah dibawanya ke Lembah Galunggung. Seorang

bocah yang tabah, cerdas disamping rajin. Apabila ada waktu terluang, Tumpak Denta

selalu mengisi dengan bergurau dan bercanda. Bocah yang bernama Sasongko itu amat

memikat hatinya, sehingga Tumpak Denta amat kasih. Dan dengan hadirnya bocah itu di

Lembah Galunggung hingga ia tidak merasakan kesunyian lagi seperti biasanya.

"Ternyata dia anak baik adi, di samping cukup menyenangkan." sahut Tumpak

Denta. "Guru amat kasih kepada bocah itu, karena bukan saja tabah, akan tetapi juga

cerdas dan rajin. Hemm, sulitlah menemukan seorang bocah seperti dia. Hingga guru

yang semula sudah tidak lagi menerima murid, beliau merubah sikap karena tertarik.

Maka dia sekarang merupakan murid termuda, merupakan adik seperguruan kita."

"Syukurlah kakang apabila demikian, apabila guru berkenan mendidiknya sendiri.

Mudah-mudahan saja kelak kemudian hari dia menjelma sebagai seorang laki-laki sejati

pengabdi kemanusiaan. Menjadi seorang pejuang tanpa pamrih untuk pribadi."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ya, mudah-mudahan Tuhan mengabulkan harapan kita adi. Dan betapa gembira

bocah itu apabila bertemu dengan engkau."

Ketika mereka sudah tidak jauh lagi dengan padepokan gurunya, terdengarlah

suara nyaring, mengalun dan panjang, menggema dan memantul dari tebingke tebing,

suara seorang yang sedang azan.

"Siapakah yang azan itu kakang?" tanya Fajar Legawa,

"Dialah Sasoagko," sahut Tumpak Denta.

Fajar Legawa diam-diam menjadi bangga. Dan rasa rindunya kepada bocah itu

makin menjadi.

Mereka kemudian langsung menuju surau. Mereka mengambil air suci untuk

segera mengikuti sholat Ashar sebagi makmum. Gurunya, Suria Kencana yang bertindak

sebagai imam. Rasa rindu mereka tahankan menunggu sesudah sholat selesai

"Akhirnya engkau datang juga kakang, aku sudah rindu kepada engkau kata

Sasongko setelah mereka selesai menunaikan sembahyang.

Sasongko tidak lagi memanggil paman kepada Fajar Legawa. karena sekalipun masih

kecil, iapun murid Suria Kencana pula, maka sebagai adik seperguruan, panggilan paling

tepat apabila kakang.

"Akupun sudah rindu padamu," sahut Fajar Legawa sambil tersenyum. Ketika itu

Suria Kencana melambaikan tangan sebagai isyarat agar Fajar Legawa dan Tumpak

Denta datang. Maka kakak beradik seperguruan itu kemudian menggunakan lutut untuk

berjalan, menghampiri guru mereka yang masih duduk di tempatnya. Dua orang murid

ini kemudian bergantian mencium punggung telapak tangan dan kemudian lutut orang

tua itu. Selang kemudian Suria Kencana dengan kasih mengusap rambut muridnya,

menggunakan tangan yang sudah berkeriput.

Sesudah mereka memberikan hormat kepada guru itu, mereka kemudian diijinkan

mendahului meninggalkan surau menuju rumah depan. Dalam perjalanan menuju rumah

depan ini, Sasongko bertanya. "Ke manakah saja kakang selama ini?"

"Banyak yang akan kunjungi. Dan hari ini, aku dan kakangTumpak Denta datang

dari gunung Ungaran." sahut Fajar Legawa.

" Gunung Ungaran sana itu?"

Fajar Legawa mengangguk. Sasongko merasa belum puas, ia bertanya lagi. "Apa

saja yang menarik hatimu datang kesana?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa tersenyum. Kemudian jawabnya. "Nanti sajalah, semuanya akan

aku ceritakan padamu."

Sasongko mengerti dan tidak menuntut lagi. Ia tahu bahwa baik Fajar Legawa

maupun Tumpak Denta akan langsung menghadap guru. Untuk itu maka bocah ini lalu

membalikkan tubuh pergi menuju kebelakang.

Fajar Legawa dan Tumpak Denta mendahului pergi ke ruang tamu, di rumah

depan. Mereka kemudian duduk dan menunggu sesudah guru mereka turun dari surau.

Tak lama kemudian Suria Kencana sudah datang dan duduk bersila di atas tikar

pandan kasar. Kemudian terdengarlah kakek ini berkata lembut. "Fajar, sengaja kakakmu

aku perintahkan mencarimu. Karena satu hal yang amat penting harus aku bicarakan

dengan engkau."

Jantung FajarLegawa berdebar. Apakah maksud gurunya yang dikatakan penting

itu? Maka kemudian ia bertanya, "Tentang apakah bapa?"

"Apakah engkau sudah mandi?" tanya gurunya, tidak menjawabpertanyaan

muridnya.

"Belum bapa. Murid dengan kakang Tumpak baru saja tiba."
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suria Kencana tersenyum, lalu katanya lembut. "Kalau demikian, sebaiknya kamu

mandi dahulu agar kembali segar. Dan tentunya kamu lapar, bukan? Maka makanlah

kamu dahulu, justeru nanti malam masih banyak waktu untuk berbicara."

Malam itu sesudah selesai menunaikan tugas sholat Isha, terdengarlah Tumpak

Dentasedang mengajar Sasongko mengaji. Sedang Fajar Legawa langsung berhadapan

dengan gurunya.

"Fajar sudahkah engkau berhasil menemukan jejak pembunuh keluargamu?"

tanya kakek ini dalam membuka percakapan.

Fajar Legawa berdebaran, lalu jawabnya. "Belum bapa. Murid belum tahu siapakah yang

sudah berbuat sekejam dan sekeji itu. Danmurid belum juga mendengar khabar tentang

Irma, masih hidup ataukah sudah mati."

Fajar Legawa mengeluh. Dan rasa sedih kembali menyesak dada. Sesaat kemudian

pemuda ini menyambung. "Sebenarnya murid amat cemas, mengingat akan Irma, bapa!

Entah dia masih hidup ataukah sudah mati. Namun demikian murid selalu berdoa dan

mohon kepada Tuhan agar kepada Irma diberikan perlindungan. Bapa, sesungguhnya

ingin sekali murid dapat menemukan jejak pembunuh kejam itu. Dan murid ingin sekalihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

segera dapat membalas sakit hati itu."

"Ya, aku dapat memahami akan kesedihanmu itu," Suria Kencana menghela

napas, dan rasa haru memenuhi dadanya yang kerempeng. Beberapa saat kemudian

barulah kakek ini melanjutkan. "Itulah sebabnya aku memerintahkan kakakmu Tumpak

Denta mencari engkau. Sebab aku ingin mengabarkan hal amat penting kepadamu."

"Apakah bapa sudah mengetahui siapakah pembunuh keji itu?" kata pemuda ini

seraya mengamati gurunya.

"Fajar, tenanglah engkau," gurunya memberi nasihat. "Apa yang akan aku

kabarkan padamu ini sesungguhnya, hanyalah bagian yang amat kecil dari hidupmu.

Namun, sekalipun amat kecil aku yakin bahwa sedikitnya engkau akan menjadi lega."

Fajar Legawa berdiam diri sambil mengamati Suria Kencana. Kemudian setelah

kakek itu menghela napas panjang, berkata lagi. "Fajar, seminggu yang lalu datanglah

seorang ke tempat ini. Di dalam ruangan inilah orang tersebut bicara dengan aku."

"Siapakah dia, bapa?" tanya Fajar Legawa denganhati berdebar. "Dan membawa

kabar apakah?"

"Fajar, aku sudah berjanji kepada dia, sesuai dengan permintaan orang itu untuk

tidak menyebut nama dan tempattinggal orang itu. Dan justeru aku sudah berjanji kepada

tamu itu, maka aku tak berani melanggarnya. Tetapi yang jelas, tamu itu kepadaku

menceritakan, telah menolong Irma Sulastri."

"Ahhh ........." Fajar Legawa berjingkrak saking kaget, tetapi menjadi lega. "Jadi

............Irma selamat?"

Suria Kencana mengangguk dan tersenyum. Ia dapat memaklumi sikap Fajar

Legawa. Kemudian kata kakek ini. "Begitulah kabar dari tamu itu, adikmu selamat."

"Dimanakah sekarang Irma berdiam, bapa. Dan siapa pulakah yang sudah

menolongnya?" desak Fajar Legawa. Kemudian rasa rindu menyesak dada pemuda ini,

dan ingin pula selekasnya dapat bertemu dengan adiknya itu. Dari adiknya ia berharap

akan dapat memperoleh keterangan tentang ciri-ciri penjahat yang sudah membunuh ayah

dan bundanya.

"Fajar, tamu itu sendiri yang telah menolong adikmu. Dan sesuai dengan janjiku,

maka aku tidak dapat memberitahukan nama maupun tempat tinggal tamu itu."

"Apakah sebabnya dia merahasiakan nama dan tempat tinggalnya?" desak Fajar

Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aku tidak dapat menerangkan."

"Ahhh sayang ........."

"Ya, memang sayang anakku. Karena ketikaaku tanyakan penjahat manakah yang

sudah melakukan kebiadaban itu, iapun tak mau menerangkan. Ia hanya berkata, mudah-

mudahan kemudian hari dapat diketahui."

Fajar Legawa mengeluh. Dan gurunya menghela napas pendek. Beberapa saat

lamanya guru dan murid itu berdiam diri. Dalam hati Fajar Legawa timbul rasa heran,

mengapa seakan gurunya ini menyembunyikan sesuatu. Dan seakan masih merupakan

teka teki yang harus ia pecahkan sendiri. Seakan Irma Sulastri masih diselubungi oleh

rahasia. Namun demikian, kabar ke selamatan adiknya itu sudah cukup membuat

hatinya agak lega juga. Kemudian hari ia berharap akan dapat bertemu juga dengan

adiknya itu.

Tetapi walaupun merasa legar ia masih penasaran, mengapa sipenolong itu tidak

mau menyebutkan nama dan tempat tinggalnya. Apa sajakah sebabnya orang itu perlu

merahasiakan semua itu?

"Bapa!" kata pemuda ini kemudian. "Dengan kabar yang sudah murid dengar itu,

membuat murid lega dan gembira. Akan tetapi sebaliknya muridpun menjadi penasaran."

"Apakah sebabnya engkau penasaran?" tanya gurunya.

"Sikap tamu itulah yang membuat murid penasaran. Seakan sesuatu rahasia

memaksa kepada dia untuk bersembunyi."

Suria Kencana tersenyum. Lalu. "Ya, mungkin, memang dia perlu bersembunyi."

Fajar Legawa menatap wajah gurunya yang sudah berkeriput. Dan mendengar

jawaban gurunya yang terakhir ini, maupun melihat wajah gurunya, pemuda ini menjadi

tertarik dan diam- diam merasa curiga juga.

Sebagai seorang tua pertapa sakti mandraguna. Suria Kencana dapat menduga

kecurigaan muridnya itu. Maka setelah tersenyum, kemudian kakek ini berkata.

"Kecurigaan adalah cermin dari sikap yang ingin berhati-hati. Akan tetapi kecurigaan

yang tanpa alasan, sebenarnya tidak perlu. Dan sesuatu yang dirahasiakan,

membuatorang bertanya-tanya dan bingung. Akan tetapi, kerahasiaan itu amat penting

bagi sesuatu cita-cita. Fajar, anakku, camkanlah nasihat para cendekiawan kita tentang

pentingnya rahasia itu disimpan. Begini antara lain. Rahasia, apabila dipercayakan

kepada orang cerdik yang bijaksana, maka akan terpeliharalah rahasia itu dan akanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tercapailah tujuannya. Dan pandai memelihara rahasia adalah sesuatu sifat yang menjadi

puncak kesopanan. Apabila rahasia telah tergenggam oleh tangan orang yang boleh

dipercaya dan pandai menyimpannya, maka telah amanlah rahasia itu tidak akan terbuka-

buka lagi."

Suria Kencana berhenti, mengamati Fajar Legawa dan mencari kesan. Sejenak

kemudian sesudah kakek ini menghela napas, ia meneruskan. "Hanya kerap kali pula

rahasia itu tidak aman apabila rahasia itu sudah berada di dalam dada dua orang. Apabila

salah seorang yang diantaranya membocorkan, maka rahasia itu akan jatuh pada orang

ke tiga. Dan apabila sudah lebih dari dua orang yang mengetahuinya, rahasia itu tentu

akan terbuka juga. Hingga sifat kerahasiaan itu sudah tidak ada lagi. Anakku, camkanlah

apa yang sudah aku katakan di atas itu. Kemudian kau akan dapat mengambil

manfaatnya."

Fajar Legawa berdiam diri dan merasa terpukul oleh kata-kata gurunya. Sadarlah

ia sekarang bahwa bagaimanapun pula gurunya akan tetap menyimpan rahasia yang

sudah dipercayakan orang kepadanya. Dan apabila semula ia merasa kurang senang

akan sikap gurunya yang tidak mau berterus terang itu, sekarang ia berbalik menjadi

kagum dan menghormati. Karena dengan sikapnya itu, tercerminlah akan budi dan jiwa

ksatryaannya yang tak dapat diragukan lagi.

Demikianlah pada akhirnya Fajar Legawa harus merasa puas dengan keterangan

gurunya ini. Danoleh gurunya kemudian ia diperintahkan datang ke surau untuk

membantu Tumpak Denta mendidik Sasongko.

Pagi-pagi selesai bersembahyang Shubuh, pergilah Fajar Legawa ke salah satu

puncak bukit yang tak jauh dari padepokan gurunya. Dari puncak ini kemudian Fajar

Legawa ingin menikmati pemandangan indah dikala matahari akan terbit. Ia merasa

rindu akan pandangan indah di waktu pagi itu.

Ia meletakkan pantatnya pada sebuah batu. Langit timur tampak merah membara.

Pertanda bahwa bola yang menyinarkan cahaya panas itu akan segera muncul menerangi

bumi. Akan tetapi ia membatalkan niatnya untuk menikmati pemandangan indah itu, dan

kemudian dengan gerak yang cukup gesit sudah berlindung kesebuah batu. Dengan hati-

hati, Fajar Legawa memusatkan perhatian ke sebelah bawah. Karena dalam kesamaran

pagi yang ditabiri oleh kabut tipis, ia menangkap gerakan seseorang yang ringan menuju

ke lembah gurunya bertempat tinggal.

Pemuda itu curiga. Timbul rasa khawatir apabila orang bermaksud tidak baik.

Tanpa sesadarnya tangan sudah bergerak meraba tongkat pada pinggangnya. Ia sadar,

orang yang berani mengganggu gurunya tentu seorang sakti mandraguna. Guna

melindungi keselamatan dirinya maupun gurunya, ia akan langsung menggunakan

tongkat berisi keris pusaka Tilam Upih itu. Hanya dengan tongkat itu sajalah menuruthttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pendapatnya akan dapat melawan orang itu.

Akan tetapi kemudian ia menjadi amat heran. Agak lama ditunggunya orang itu

dengan perasaan gelisah, tetapi orang tersebut tidak juga muncul. Timbul pertanyaan

dalam hati, ke manakah gerangan pendatang itu? Ia mencoba mengamati jalan kecil di

bawah. Tetapi apa yang ditunggu dengan perasaan tegang itu tidak juga muncul.

Pada saat ia keheranan dan gelisah itu, tiba-tiba ia mendengar suara ketawa orang.

Dan yang mengejutkan hatinya justeru mengapa suara itu dari belakangnya. Karena

khawatir dirinya celaka, secepat kilat ia sudah memutar tubuh dan tongkatnya

menyambar dahsyat.

"Aya........." seru orang itu terkejut. "Mengapa engkau menyerang aku?"

Fajar Legawa terkejut juga. Ia cepat menarik tongkatnya, membungkuk memberi

hormat dan kemudian berkata. "Paman, maafkan saya. Kedatangan paman sepagi buta

ini menimbulkan kecurigaanku."

Orang yang datang itu ternyata Wukirsari. Ia terkekeh lalu sahutnya. "Pantas

sekali engkau main sembunyi di tempat ini. Akan tetapi sikapmu yang hati-hati memang

pantas dipuji. Memang demikianlah seharusnya engkau berbuat."

Wukirsari kemudian duduk pada sebuah batu. Dan Fajar Legawa juga sudah pula

duduk pada batu yang lain.

"Baru kemarin saya pulang, paman," kata FajarLegawa tanpa ditanya.

"Baru kemarin? Mengapa?" Wukirsari menjadi heran.

Diceritakan kemudian tentang mengapa sebabnya baru kemarin ia pulang ke

Galunggung. Karena tertahan di desa Sumberrejo, membantu murid-murid Gajah Seta.

Wukirsari mengangguk-angguk. Kemudian orang tua ini berkata. "Fajar, apa yang

aku khawatirkan akhirnya terjadi juga."

"Tentang apakah paman?" Fajar Legawa melengak heran.

"Tentang apa lagi kalau bukan Handana Warih." Wukirsari mengeluh. "Ternyata

sejak engkau berselisih dengan dia, dan Handana Warih aku perintahkan pulang, dia tidak

juga memenuhi perintahku. Handana Warih tidak pulang ke Gresik."

"Lalu, ke manakah dia?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Wukirsari menggelengkan kepalanya, "Aku sudah mencari ke desa tempat

asalnya, di desa Jipang. Tetapi orangtuanya malah kaget mendengar kabar itu. Orang

tuanya malah menjadi sedih."

"Mengapa dia tidak pulang?"

"Mungkin sekali dia takut, akibat sudah merasa bersalah. Bukankah engkau telah

difitnah oleh dia, sudah membunuh Pertiwi Dewi? Jelas bahwa dia menjadi takut akan

bayangannya sendiri. Takut apabila aku memberi hukuman atas kesalahannya itu."

Wukirsari tampak mengamati kabut tipis yang menabiri alam pagi hari ini. Ia tidak

berkedip dan kemudian memandang ke tempat jauh. Entah apa saja yang sedang

dipikirkan kakek ini.

" Fajar," katanya kemudian sesudah berdiam diri beberapa saat, "Tabiat yang

kurang baik itu sesungguhnya sudah agak lama aku ketahui dan agar dia bisa merubahnya.

Akan tetapi ternyata segala usahaku, dan segala nasihatku agaknya tidak juga mempan.

Tabiatnya yang tinggi hati ingin menang sendiri, dan perbuatan-perbuatan lain yang

kurang patut, tidak juga dapat dirubahnya."

"Lalu apakah tindakan paman apabila dapat bertemu dia?" pancing Fajar Legawa.

"Sebelum dia menodai nama baikku sebagai gurunya, aku akan mengambil

tindakan dan menghukum dia. Namun demikian aku masih akan sedia memberi

kesempatan kepada dia supaya merubah sikap. Dan untuk itu anakku, kepadamu aku

minta batuan. Ikutlah engkau mengawasi sepak terjangnya. Dan apabila perlu, ambillah

dengan kekerasan. Dan aku berikan hak penuh atas dirimu, mewakili aku. Hemm,

sesungguhnya saja aku merasa amat sedih dengan tingkah laku Handana Warih yang

tidak patut itu. Engkau tahu, muridku hanya seorang saja, dia. Maka dengan kenyataan

ini, hancurlah harapanku."

Sesudah mengucapkan kata-katanya ini, tampaklah kakek itu masygul. Tampak

amat menyesal sekali, sehingga wajahnya muram. Beberapa kali ia mengeluh, hingga

Fajar Legawa terharu. Akan tetapi sebelum Fajar Legawa sempat membuka mulut, kakek

ini telah berkata lagi. "Sudahlah, mari kita menghadap gurumu. Ada suatu soal penting

harus aku bicarakan dengan gurumu."

"Mungkin bapa masih disurau," sahut Fajar Legawa, kemudian mengikuti langkah

kakek itu.

Dugaan Fajar Legawa ternyata benar. Dan setelah Wukirsari dan Suria Kencana

bertemu, pemuda ini tahu diri dan pergi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Menempuh jarak jauh aku datang kemari, membawa persoalan Fajar Legawa,"

kata Wukirsari yang memulai pembicaraan dengan Suria Kencana.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah sesudah adi Abdul Fatah alias Kusen itu tewas dibunuh orang, kakang

Suria Kencana masih perlu merahasiakan kedudukan Fajar Legawa?"

"Hemm, aku memang sudah pernah berjanji kepada adi. Bahwa pada saatnya aku

akan memberitahukan dia tentang "suatu rahasia" yang selama ini aku tutup," sahut Suria

Kencana sambil menghela napas pendek. "Kalau demikian, menurut pendapatmu apakah

sudah tiba saatnya dia harus tahu kedudukannya? Bahwa dia memang wajib

menyelamatkan keris pusaka "Tilam Upih" itu, justeru dia mengemban tugas keluarga."

"Memang menurut pendapatku sudah tiba saatnya hal itu diberitahukan dia

kakang. Agar dengan begitu Fajar Legawa lebih bersungguh-sungguh lagi menjaga

keris "Tilam Upih" itu, jangan sampai jatuh ke tangan jahat." kata Wukirsari dengan nada

yang mantap dalam memberi tekanan kata-kata yang diucapkan, "Kakang kedudukanmu

sebagai salah seorang sahabat Gusti Adipati Ukur untuk mendidik puteranya telah engkau

laksanakan dengan baik. Sedang adi Abdul Fatah atau Kusen itu, sebagai salah seorang

sahabat Gusti Adipati Ukur, juga sudah melaksanakan tugasnya amat baik. Dia sanggup

mengorbankan nyawanya sendiri untuk kepentingan FajarLegawa dan pusaka itu. Maka

menurut pikiran kakang, sebaiknya Fajar Legawa diberi ungkapan rahasia ini. Bahwa

sesungguhnya adi Abdul Fatah bukan orangtuanya yang sebenarnya, tetapi sebagai ayah

angkat. Yang mempunyai tugas secara khusus, melidungi dan mengamankan dua orang

putera Gusti Adipati Ukur yang masih amat kacil, agar tidak menjadi korban

kesewenangan Sultan Agung. Bahwa orang tua yang sesungguhnya, adalah Gusti Adipati

Ukur sendiri."

Wukirsari berhenti dan batuk batuk. Setelah beberapa saat lamanya berdiam diri,

sambungnya. "Kakang, apabila baik Fajar Legawa maupun Irma Sulastri yang hilang

diculikpenjahat itu tahu, bahwa mereka merupakan putera dan puteri Gusti Adipati

Ukur, yang tewas dibunuh mati oleh Sultan Agung, pendapat dan pandangannya terhadap

Raja Mataram yang sekarang itu, kita serahkan sepenuhnya kepada mereka. Apakah

Fajar Legawa perlu menuntut balas kematian ayahnya oleh hukuman Sultan Agung itu

atau tidak. Apakah Fajar Legawa menganggap hukuman yang diderita oleh ayahnya itu

memang sudah sepantasnya atau tidak, juga kita serahkan kepada dia sendiri. Kita hanya

sekadar mengungkapkan rahasia yang selama ini kita tutup. Kita hanya sekedar memberi

tahu, tentang kedudukannya yang sebenarnya. Bahwa Fajar Legawa bukan anak Abdul

Fatah, akan tetapi putera seorang Adipati, yang disaat hidupnya berkuasa di Kadipaten

Ukur. Maka sudah sepantasnya pula, bahwa sebagai puteranya, Fajar Legawa harus

menyelamatkan keris pusaka ayahnya sendiri itu."

"Hemm, engkau benar adi," sahut Suria Kencana. "Akan tetapi, apakah

pendapatmu itu sudah tepat untuk waktu sekarang?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Apakah maksudmu?" Wukirsari mengamati Suria Kencana dan tampak heran.

"Maksudku, karena Fajar Legawa masih terlalu muda," kata Suria Kencana. "Aku

agak khawatir kalau dia belum mampu menerima kenyataan seperti itu."

"Aku belum dapat menangkap maksudmu kakang," Wukirsari mengamati Suria

Kencana, tampak ingin sekali mendapatkan penjelasan.

Suria Kencana berbatuk-batuk sebentar, baru kemudian, kakek ini berkata. "Adi,

yang selalu membuat aku ini dibayangi oleh perasaan khawatir, apabila kemudian timbul

tekad bocah itu untuk melakukan balas dendam. Maklum adi, seorang muda yang masih

berdarah panas. Apabila tahu bahwa ayahnya dihukum mati oleh orang secara sewenang-

wenang, siapakah yang kuasa menahan rasa dendam dan sakit hati itu?"

Suria Kercana berhenti. Baru sesudah menghela napas, ia melanjutkan. "Adi, aku

menyadari bahwa ilmu bocah itu masih amat dangkal. Padahal Mataram banyak memiliki

jago-jago sakti. Dapat berbuat apakah bocah itu apabila sampai timbul keberaniannya

untuk membalas dendam? Tidak urung dia datang ke Mataram hanya mengantarku

nyawa. Aii, itulah sebabnya yang membuat aku ini ragu-ragu untuk mengungkapkan

rahasia kedudukan Fajar Legawa yang sesungguhnya. Namun, sebaliknya juga sering

terpikir dalam hatiku. Apakah jadinya kalau rahasia itu kita tutup terus? Tidak urung

sejarah hidup bocah itu akan gelap, apabila orang-orang yang tahu riwayat hidupnya telah

tiada. Dankasihan Gusti Adipati Ukur bahwa keturunannya tidak memberikan baktinya

kepada orangtua."

Untuk sejenak dua orang tua ini berdiam diri. Memang timbul rasa keraguan pula

di dajam hati mereka. Ragu karena khwawatir akan akibat yang tidak diharapkan. Lama

dua orang tua ini mempertimbangkan untung dan ruginya membuka rahasia keturunan

Fajar Legawa ini. Bahwa sesungguhnya, putera seorang Adipati yang sejak kecil dititipkan

kepada Kyai Adul Fatah atau Kyai Kusen.

"Jadi, bagaimanakah menurut pendapatmu Kakang?" tanya Wukirsari setelah

berdiam diri berapa saat lamanya.

"Seperti aku katakan tadi pada dasarnya aku memang setuju rahasia itu

diberitahukan," sahut Suria Kencana."Namun harus diusahakan agar bocah itu tidak

terbakar kemarahan tanpa mengingat kekuatan sendiri berusaha membalas dendam."

"Kalau demikian kakang, bolehkah aku saja yang memberitahu dia?" akhirnya

Wukirsari menawarkan diri.

"Jika engkau tidak keberatan, apakah salahnya? Aku malah senang sekali adi. Baikhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

begini saja. Ajaklah dia ke rumahmu, Gresik............"

"Ahhh, mengapa demkian?" Wukirsari kaget dan memotong ucapan Suria

Kencana yang belum selesai.

"Ada maksudku adi. Dengan perjalanan itu, setidak-tidaknya Fajar Legawa akan

memperoleh pengalaman yang lebih luas. Kemudian nasihatilah dia dalam menghadapi

persoalannya. Beritahukan bahayanya kalamana dia mendendam dan berusaha membalas

dendam ke Mataram."

"Mengapa bukan kakang saja?"

"Heh-heh-heh, aku tahu engkau akan menyerahkan padaku sebagai gurunya,

bukan? Dan engkau ingin mencuci tangan? Adi, bagaimanapun engkau adalah kakak

seperguruan ayah angkat Fajar Legawa. Engkau lebih berkepentingan dalam soal ini.

Engkau tak boleh menolak permintaanku, dan persoalan bocah itu aku serahkan ke

tanganmu."

Wukirsari tidak segera memberi jawaban. Namun setelah beberapa saat lamanya

berdiam diri, kemudian ia menjawab juga. "Kalau memang begitu kehendakmu, baiklah.

Aku sedia melaksanakan perintahmu. Ahhh, tetapi............"

"Ada apa?" tanya Suria Kencana dan mengamati dengan heran.

"Aku teringat pengalamanku beberapa minggu yang lalu, bersama adi Gadung

Melati, Fajar Legawa maupun Tumpak Denta. Ternyata sekarang Klenting Mungil

muncul lagi. Apakah tidak terpikir oleh kakang, untuk muncul kembali guna melindungi

keselamatan banyak manusia yang tak berdosa?"

"Heh-heh-heh," Suria Kencana ketawa terkekeh. "Dapat berbuat apakah aku yang

sudah pikun dan keropos tulangku? Aih, aku sudah terlanjur menyembunyi di tempat

sunyi ini, sehingga tiada gairah lagi untuk mencampuri urusan orang. Dalam pada itu,

bukankah, engkau sendiri mampu menghadapi dia?"

"Kakang............ah. terus terang saja aku hampir mati..............."

"Mengapa?" Suria Kencana terbelalak heran.

"Aku tidak percaya engkau sampai kalah dengan Klenting Mungil."

"Kakang, itulah kesulitanku," Wukirsari mengeluh. "Tanpa menggunakan aji

Bramastra, tak mungkin aku sanggup menghadapi dia. Tetapi sebaliknya apabila harus

aku gunakan, aku teringat akan pesan terakhir guru almarhum."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Heh-heh heh, ternyata engkau tidak dapat mengamalkan ilmumu adi!"

"Mengamalkan ilmu yang manakah maksudmu, kakang!"

"Adi, ilmu itu ibarat batang dan amal itu ibarat buahnya. Antara ilmu dan amal

merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Engkau mempunyai ilmu yang disebut

"Bramstra". Tetapi kalau ilmu itu tidak digunakan, lalu untuk apakah ilmu itu? Tiada

gunanya sama sekali, dan sia-sialah waktu yang engkau buang bertahun-tahun. Menurut

pendapatku itu kurang tepat, sekalipun gurumu almarhum telah melarang. Aku kira

larangan itu tidak mutlak. Tentu saja larangan itu terbatas kepada hal-hal yang kurang

benar. Tetapi apabila untuk kebaikan, mengapa harus dilarang? Nah menurut pendapatku

adi, ilmu dan amal tidak dapat dipisahkan. Gunakan ilmu untuk memberikan amal

kepada masyarakat luas."

Wukirsari mengangguk-angguk dan sekarang seperti disadarkan. Kalau saja ketika

itu ia melawan Klenting Mungil dengan aji Bramastra kiranya dirinya takkan menderita

rugi dan malah hampir mati. Oleh sebab itu sesudah menghela napas panjang, ia berkata.

"Kakang benar. Hemmm, memang aku yang tolol. Tetapi kakang, setelah bicara tentang

Klenting Mungil, aku lalu teringat kepada seorang tua yang sudah tidak muncul lama

sekali."

"Siapakah dia?"

"Paman Purwowaseso. Masih hidupkah beliau? Dan kalau masih hidup, di

manakah sekarang berdiam?"

"Heh-heh-heh," Suria Kencana ketawa sejuk. "Engkau ini aneh adi, engkau yang

banyak kesanakemari, mengapa malah bertanya padaku? Semestinya akulah yang harus

bertanya padamu?"

Wukirsari tertawa juga. Kemudian katanya. "Kakang, sesungguhnya amat sayang

bahwa orang seperti paman Purwowaseso itu, tidak mau mengangkat seorangpun murid."

"Ya, memang sayang juga." Suria Kencana mengiakan. "Akan tetapi manusia

mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Hanya saja akan sayang, apabila ilmu tidak

diamalkan. Bukankah hanya Akan sia-sia saja semua ilmu yang sudah dipelajari puluhan

tahun itu, hanya akan dibawa ke liang kubur, tanpa mempunyai pewaris seorangpun?"

Dua orang sahabat yang telah lama tidak bertemu itu bicara asyik sekali. Banyak

yang mereka bicarakan. Akan tetapi tiba-tiba dua orang kakekini kaget ketika Tumpak

Denta tiba-tiba masuk sambil berkata gugup. "Bapa......... aih,ampunilah murid ........."

Sambil berkata dengan nada yang gugup ini, pemuda itu telah menjatuhkan diri

dan berlutut. Hingga baik Suria Kencana maupun Wukirsari menjadi kaget.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ada apa?" tanya Suria Kencana.

"Guruaihh.........adi Fajar Legawa telah pergi."

"Pergi ke mana?" Wukirsari kaget dan mengamati pemuda itu.

"Inilah surat yang ditinggalkan." Tumpak Denta segera menyerahkan selembar

lontar, kemudian diterima oleh Suria Kencan.

Untuk sejenak wajah orang tua itu berubah. Akan tetapi kemudian kembali

tenang dan menghela napas.Wukirsari yang merasa heran dan khawatir, mengamati

Suria Kencana dan bertanya. "Surat itu, apakah isinya?"

"Hemm, silahkan engkau membaca sendiri," sahut Suria Kencana.

Lontar itu diterima Wukirsari. Dan setelah mengetahui isinya, mendadak wajah

kakek ini berubah. Katanya agak gugup. "Ahhh, berbahaya. Mengapa dia pergi ke Karta?"

Kalau Suria Kencana dapat bersikap tenang, sebaliknya Wukirsari tidak.

Wajahnya pucat, kemudian. "Kakang! Terlalu gegabah Fajar Legawa pergi ke sana.

Apakah yang akan diandalkan oleh bocah itu? Sinuwun Sultan Agung dijaga dan

dikelilingi oleh banyaktokoh sakti. Kepergian Fajar kesana, ibarat mengantar nyawa......"

"Hemm," Suria Kencana menghela napas berat. Sesaat kemudian, katanya, "Lalu

bagaimanakah menurut pendapatmu?"

"Aku tidak tega. Secepatnya aku harus mengejar dia. Ahh, jelas sekali bahwa

bocah itu telah mendengar apa yang tadi kita bicarakan. Belum juga aku memberitahukan

Fajar telah tahu, hingga bertindak sendiri tanpa perhitungan!" kata Wukirsari sambil

bangkit. Tampak sekali bahwa kakek ini amat gelisah, mengkhawatirkan Fajar Legawa.

"Bagaimanakah menurut pendapatmu, kakang?"

"Ya, aku serahkan keselamatan bocah itu ke tanganmu," sahut Suria Kencana

dengan nada yang tetap sabar. "Dan maafkan aku adi, aku telah amat tua dan malas untuk

pergi. Harapanku tak lain, agar engkau dapat melindungi keselamatan bocah itu."

"Saya ikut!" tiba-tiba Tumpak Denta berseru minta ikut Wukirsari sekalipun ia tak

tahu apakah sebabnya Fajar Legawa tiba-tiba pergi.

"Takusah," cegah Wukirsari. "Lebih baik engkau menunggu saja di sini. Apabila

aku berhasil menyusul dia, secepatnya aku akan kemari."

Tumpak Denta tidak berani mendesak. Namun ia mengamati gurunya, seakanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mohon bantuan gurunya. Akan tetapi Suria Kencana seperti tidak tahu, sehingga pemuda

ini diam-diam kecewa.

Wukirsari yang menjadi tak enak hati, segera minta diri kepada Suria Kencana.

Tetapi Tumpak Denta yang belum puas karena belum mengetahui sebab-sebab Fajar

Legawa pergi, mengikuti Wukirsari dan bertanya. "Paman, saya menjadi heran. Apakah

sebabnya adi Fajar Legawa pergi ke Karta, dan paman menjadi gugup?"

Wukirsari tersenyum, kemudian orang tua ini menerangkan tentang hal-hal yang

bersangkutan dengan Fajar Legawa. Bahwa bocah itu sesungguhnya adalah pulera

Adipati Ukur yang telah dibunuh mati oleh Sultan Agung. Jelas sekali bahwa kepergian

Fajar Legawa mendadak itu, tentu bermaksud untuk membalas dendam.Tindakan itu

amatberbahaya, justeru Sultan Agung mempunyai pengawai-pengawal sakti mandraguna.

Mendengar ini Tampak Denta kaget. Baru sekarang iamengerti bahwa Fajar

Legawaputera Adipati Ukur. Demikian rapat gurunya maupun yang lain menutup rahasia

itu, sehingga sekalipun sejak kecil dirinya berkenalan dan berkumpul, sama sekali tidak

tahu.

"Mengingat bahaya yang akan kita hadapi di sana itulah, maka aku tak dapat

mengijinkan engkau ikut." Wukirsari kemudian memberikan alasannya.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi paman.........sayapun menjadi khawatir."

"Aku tahu," kata Wukirsari. "Namun begitu tenangkan hatimu. Biarkan aku yang

mengurusi dia. Bagimu jauh lebih penting mengurusi guruu yang sudah tua, maupun adik

perguruanmu Sasongko."

Sesungguhnya Tumpak Denta masih akan memberikan alasan, dengan maksud

agar diperbolehkan ikut pergi. Akan tetapi Wukirsari telah mengebaskan tangannya,

sambil berkata. "Aku tidak dapat melarang engkau. Namun engkau harus minta ijin

gurumu lebih dahulu."

Pemuda ini hanya berdiri mematung sambil mengamati kepergian Wukirsari.

Hatinya terasa masygul disamping kecewa. Akan tetapi memang dapat mengerti.

Wukirsari memang tidak berhak memberi ijin dirinya pergi, tanpa persetujuan Suria

Kencana. Tetapi teringat akan sikap gurunya tadi, jelas bahwa gurunya tidak

menghendaki dirinya pergi. Tumpak Denta sadar, tentu Sasongkolah yang membuat

gurunya tidak memberi ijin dirinya pergi. Untuk pendidikan bocah itu, karena usia

gurunya yang sudah tua hampir sepenuhnya diserahkan kepada dirinya.

Memang sulit dibayangkan betapa kaget dan sakit hati Fajar Legawa, setelah

mendengar pembicaraan antara Wukirsari dengan gurunya, bahwa dirinya bukan anakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kandung Kyai Kusen, akan tetapi anak dari Adipati Ukur yang sudah dibunuh mati oleh

Sultan Agung tanpa alasan yang terang. Sebagai seorang anak, tentu saja menjadi panas.

Yang terpikir hanyalah ingin membalas dendam kepada Sultan Agung.

Fajar Legawa juga tahu bahwa tak mungkin gurunya mengijinkan, apabila dirinya

terusterang memberitahukan maksud kepergiannya. Justeru khawatir tidak diijinkan ini,

maka kemudian ia mencari daun lontar, lalu ia menulis pada daun itu dan kemudian

diberikan kepada Sasongko. Bocah kecil yang belum pandai membaca itu hanya segera

menyerahkan daun lontar itu kepada Tumpak Denta.

Sambil berlarian cepat sekali, Fajar Legawa sekarang menjadi tahu, mengapa

sebabnya keris pusaka "Tilam Upih" peninggalan Adipati Ukur itu, menjadi

tanggungjawabnya. Ternyata dirinya adalah keturunannya.

"Ayah.........oh ayah ......... berilah aku ampun........." ratap pemuda ini dalam hati

sambil terus berlarian. "Baru sekarang aku tahu tentang kedudukanku. Maka baru

sekarang pula aku akan pergi ke Mataram, untuk membalaskan sakit hati ayah........."

Ia bertekad, lebih baik menyusul ayahnya daripada tidak berhasil membalaskan

sakit hati ayahnya, yang telah menemui ajalnya di tangan algojo Mataram. Salah atau

benar, ia tidak mau perduli lagi.

Akan tetapi yang membuat Fajar Legawa sendiri merasa heran, mengapa ia tidak

ingat sama sekali, bahwa dirinya sebagai anak Adipati Ukur. Lalu kapankah dirinya

dipungut dan dirawat oleh kyai Kusen?

Memang tidak mengherankan apabila Fajar Legawa tidak ingat lagi akan semua

itu. Ketika itu masih amat kecil. Hingga tak mudah mengingat-ingat peristiwa yang dilalui

di saat dirinya masih amat kecil Akan tetapi apabila ada orang yang menuntun ingatan

itu bisa jadi Fajar Legawa mengingat kembali peristiwa yang terjadi empat belas tahun

yang lalu.

Waktu itu Sultan Agung telah berhasil menundukkan para bupati dan adipati di

wilayah timur, kecuali kadipaten Belambangan. Akan tetapi Sultan Agung masih belum

puas. Sebab cita-citanya untuk mengusir Belanda dari bumi Nusantara belum berhasil.

Maka pada tahun 1628 dikirimkanlah pasukan Mataram ke Betawi ( Jakarta ), dengan

panglima perangnya, Bupati Bahurekso, ialah Bupati Kendal yang amat dipercaya

olehSultan Agung, oleh kesetiaan dan kesaktiannya. Gerakan pasukan ini dibantu oleh

pasukan Sunda yang dipimpin sendiri oleh Adipati Ukur. Dan dalam pada itu, pasukan

yang menyusul cukupbesar pula dipimpin oleh Tumenggung Suro Agul-agul, Adipati

Mandurorejo dan Adipati Uposonto.

Pertempuran antara pasukan Mataram dengan Kumpeni itu cukup hebat. Mereka

menyerang benteng Belanda, dan pertempuran itu berlangsung kira-kira dua bulanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lamanya. Prajurit Mataram berjuang dengan gaggh berani, tidak takut mati. Akan tetapi

amat sayang bahwa perlengkapan pasukan Mataram memang kalah dibanding dengan

pihak Kumpeni. Walaupun pasukan Mataram semangatnya berkobar-kobar, namun

perahunya akan tenggelam juga oleh tembakan meriam-meriam Kumpeni yang justeru

amat berbahaya. Dalam pertempuran ini, Bahurekso yang menjadi Panglima pasukan

Mataram, kemudian gugur di medanperang. Hingga pasukan ini dipukul mundur oleh

Kumpeni.

Pasukankedua yang dipimpin Tumenggung Suro Agul-agul membantu. Pasukan

ini mengurung benteng Kumpeni itu dengan hebat. Akan tetapi sebagai akibat kalah

perlengkapan pasukan Mataram tidak dapat menerobos maju. Dan sebagai akibat terlalu

lama harus mengurung benteng Kumpeni itu, pada akhirnya pasukan Mataram ini

terpaksa mundur pula, karena kekurangan persediaan makan.

Tetapi walaupun gerakan pasukan itu tidak membawa hasil, Sultan Agung

mengirimkan lagi pasukan yang besar setahun kemudian. Pasukan lebih besar dibanding

dengan gerakan yang pertama. Namun ternyata gerakan pasukan kedua inipun

mengalami kegagalan akibat kehabisan persediaan makan pula.

Kegagalan yang ke dua kalinya ini, menyebabkan Sultan Agung marah, Raja

Mataram ini tidak mau tahu kesulitan pasukan Mataram yangkalah peralatan

perangnya itu, dan yang diinginkan hanyalah menang. Padahal pasukan itu sudah

berjuang mati-matian, namun pulangnya keMataram tanpa membawa hasil membuat

Sultan Agung mata gelap. Beberapa orang pemimpin prajurit itu dihukum mati. Akan

tetapi bagi mereka yang sanggup kembali ke Betawi menyerbu ke benteng Kumpeni,

mereka diberi hidup. Sesungguhnya sama saja nasib mereka ini. Menyerbu benteng

Kumpeni itu, akibatnya mereka gugur pula. Semuanya mati, hanya sebutannya saja yang

lain

Di saat Sultan Agung menghukum kepada orang-orang yang gagal dalam

menunaikan tugas ini, datanglah utusan dari Mataram ke Ukur, dan menangkap

Adipati Ukur. Ternyata kemudian, setelah tiba di Karta, Adipati Ukur harus menemui

ajalnya di tangan para algojo. Agaknya hukuman mati ini sehubungan pula dengan

masalah kegagalan menyerbu benteng Kumpeni di Betawi itu.

Peristiwa dibunuh matinya Adipati Ukur ini cukup menggegerkan keluarga

Adipati Ukur yang ditinggalkan. Isteri Adipati Ukur jusferu tidak hanya seorang, dan di

antara para isteri itu, diam-diam terjadi permusuhan batin. Akibat masing-masing selalu

berusaha memperoleh kasih dari suami.

Dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba saja salah seorang isteri Adipati Ukur tahu

bahwa ibu Fajar Legawa menyimpan keris pusaka "Tilam Upih". Keris itu

diperebutkan, akan tetapi ibu Fajar Legawa yang merasa mendapat penyerahan suaminya

bertahan. Akibatnya terjadi usaha pembunuhan dengan racun. Untung Kyai Kusen tahuhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kemudian dapat menyelamatkan ibuFajar Legawa bersama dua orang anaknya dan lalu

dibawa pergi. Untuk menghilangkan jejaknya maka kemudian mengganti nama dengan

Abdul Fatah dan memilih berdiam di pegunungan.

Tetapi sungguh sayang sekali sebagai akibat kesedihannya ditinggalkan suami,

pada suatu hari ibu Fajar Legawa meninggal dunia setelah sakit beberapa bulan lamanya.

Selama ibunya sakit, isteri Kyai Kusen yangmerawat dan mencukupi kebutuhan Fajar

Legawa maupun Irma Sulastri. Dan karena dua orang anak ini masih begitu kecil, maka

dalam waktu tak lama terlupa kepada ibunya sendiri, dan malah kemudian menganggap

Nyai Kusenlah ibu mereka. Sungguh kebetulan bahwa Nyai Kusen ssndiri tidak

mempunyai anak. Maka sikapnya kepada Fajar Legawa maupun Irma Sulastri tidak

bedanya anak sendiri.

Itulah sebabnya Fajar Legawa sampai tidak ingat lagi bahwa dirinya bukan anak

Kyai Kusen, akan tetapi putera Adipati Ukur. Sekarangsetelah memperoleh petunjuk

tentang riwayat hidupnya itu samar-samar terbayanglah ingatandikala masih keciL Serasa

ia pernah hidup dalam sebuah rumah yang besar dan banyak pula penghuninya. Sering

sekali ia menyaksikan orang-orang berkumpul di halaman yang luas sekali, sambil

membawa tongkat panjang (maksudnya tombak). Di antara mereka kemudian saling

berkejaran dengan kuda dan pukul memukul. Dan di samping itu, ayahnya selalu

dihormati oleh setiap orang.

Tetapi kenangan itu malah menambah hati yang sedih dan penasaran. Mengapa

ayahnya dibunuh mati oleh Sultan Agung? Salahkah ayahnya kepada raja Mataram itu?

Tetapi menurut pendapatnya ayahnya tidak mungkin salah. Ayahnya tentu menjadi

korban kesewenangan raja Mataram itu.

Ia terus berlarian cepat menuju ke Karta. Namun ia sadar, bahwa kepergiannya ini

akan membuat gurunya kaget, dan kemudian orang berusaha menyusul dirinya. Untuk

menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki ini, maka ia lewat jalan-jalan kecil dan sepi.

Yang penting, agar orang tidak dapat menyusul dirinya. Ia sudah bertekad bulat bahwa

harus dapat membunuh Sultan Agung guna membalaskan sakit hati ayahnya. Dan apabila

sampai gagal, ia pun sedia mengorbankan nyawa sendiri.

Berkat kebulatan tekatnya tiba juga akhirnya pemuda ini di kota Karta dengan

selamat. Sungguh kebetulan bahwa pemuda ini tiba di kota Karta sudah hampir senja.

Dengan demikian ia tidak perlu banyak membuang waktu, sehingga malamnya ia sudah

akan dapat melaksanakan maksudnya. Sambil mengaso, ia masuk ke dalam warung

untuk mengisi perut. Namun karena kota Karta ini bagi dirinya asing, maka secara tidak

langsung ia mencari keterangan di manakah letak keraton Karta itu.

Setelah kenyang dan membayar harga makanan, seorang diri Fajar Legawa

melangkah menyusuri jalan dalam kota Karta, yang menuju kearah keraton. Akan tetapihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

diam-diam pemuda ini menjadii terkejut setelah mengetahui keadaan. Ternyata keraton

itu luas sekali, disamping dilindungi oleh tembok yang tinggi. Disamping itupun Fajar

Legawa sadar bahwa setiap penjuru dan sempat-tenpat penting, tentu dijaga oleh prajurit

bersenjata. Tetapi mundurkah tekad pemuda ini? Tidak! Ia lebih suka mengorbankan

nyawa sendiri daripada harus mengurungkan maksudnya. Pendeknya malam ini yang

mati terbunuh musuh besarnya itu, ataukah dirinya sendiri yang hanya seorang diri.

Ketika malam tiba dan keadaan kota sudah menjadi sepi, dengan gerakan yang

ringan Fajar Legawa telah mendekati tembok keraton. Tampak oleh pemuda ini sejumlah

prajurit bersenjata tombak yang selalu hilir mudik di luar tembok keraton, sehingga untuk

mendekati dan menerobos masuk memang tidak gampang. Pemudi ini menempatkan diri

di tempat gelap sambil mencari akal, bagaimanakah cara yang tepat dapat masuk ke dalam

keraton, tanpa diketahui oleh seorangpun prajurit yang berjaga itu.

Akan tetapi di saat ia sedang memutar otak untuk mencari jalan itu, mendadak ia

kaget. Ia mendengar suara terompet yang melengking nyaring dimalam sepi. Beberapa

saat kemudian muncullah belasan bayangan hitam di atas genteng. Bayangan itu

bergerak kesatu arah, ialah utara. Melihat ini diam-diam Fajar Legawa menjadi heran.

Apakah arti dari semua itu?

Tetapi ia bukan seorang pemuda tolol. Ia menjadi sadar bahwa kesempatan ini merupakan

kesempatan yang amat bagus bagi dirinya. Secepatnya Fajar Legawa segera mengambil

sebuah batu yang agak besar. Batu itu segera ia lontarkan keras-keras dan cukup jauh,

kearah gerumbul pohon yang tidak jauh dari tembok keraton. Suara yang gemerasak

mengejutkan para prajurit yang berjaga. Untuk sejenak mereka sangsi sambil mengamati

kearah suara yang gemerasak itu. Namun kemudian mereka segera melompat dan

menyuluhi suara yang gemerasak tadi. Di saat para penjaga itu terpancing oleh suara

gemerasak yang ditimbulkan, secepat kilat Fajar Legawa telah melompat ke atas tembok.

Malam itu memang cukup gelap. Kerlap-kerlip bintang tidak sanggup menembus

gelap malam. Dan dengan pakaiannya yang hitam pula, gerakannya menjadi sulit dikenal

orang. Dengan gerakan yang berhati-hati kemudian pemuda ini merangkak di atas

genteng. Dan sayup-sayup ia mendengar suara ribut di tempat agak jauh. Diam-diam

pemuda ini berpikir, apakah yang sedang terjadi, sehingga tadi belasan bayangan hitam

pergi ke utara dan sekarang terjadi keributan?

Namun di saat ia sedang bertanya-tanya ini, tiba-tiba ia kaget dan tergugu sejenak,

ketika mendadak didengar orang, "Salak sepet!"

Atas teguran orang itu, Fajar Legawa bisa menduga bahwa teguran itu merupakan

bahasa rahasia yang dipergunakan oleh prajurit penjaga malam ini. Iapun tahu apabila

jawabannya salah, akan terbukalah rahasianya. Sadar akan keadaan, maka ia menjawab

dengan jawaban yang seperti menggumam dan tidak terang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Apa?" bentak penegur itu. "Keras sedikit!"

Justeru orang sedang lengah ini, sebutir batu yang disiapkan telah menyambar ke

tengorokan lawan. Pukulan batu itu bertenaga di samping keras. Akibatnya, sekali kena

orang tersebut roboh di atas ganteng tanpa suara lagi. Pukulan batu yang disambitkan

Fajar Legawa itu, ternyata sanggup membuat prajurit itu pingsan.

Cepat-cepat Fajar Legawa segera membuka pakaian prajurit itu, kemudian

dipakai. Setelah selesai, ia segera meloncat turun dan bersembunyi di tempat gelap.

Dengan mengenakan pakaian prajurit penjaga keraton ini, ia bermaksud dapat bergerak

di tempat ini lebih bebas dan dengan demikian, maksudnyapun akan terkabul.

Beberapa saat setelah ia menempatkan diri ditempat gelap ini, kemudian

tampaklah seorang prajurit yang membawa lentera. Dengan gerakan yang gesit dan tanpa

suara, tengkuk orang itu sudah ia cengkeram sedang lenteranya ia padamkan. Karena

cengkeraman itu bisa menimbulkan bahaya maut, maka prajurit ini tidak berani berkutik

maupun berteriak. Akan tetapi diam-diam prajurit ini tegang dan khawatir.

"Katakan yang jelas," bentaknya perlahan sambil mencengkeram lebih keras,

"Dimanakah letak kamar Sultan Agung? Jika engkau berdusta, hemmm, akan aku
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patahkan batang lehermu."

Prajurit itu tidak segera menjawab, Fajar Legawa penasaran dan lebih menguatkan

cengkeramannya. Prajurit itu meringis kesakitan, kemudian meratap. "Aduhhh

........ampun .... akan aku terangkan.........Tetapi lepaskan dahulu."

"Jangan cerewet!" bentak Fajar Legawa. "Terangkan secepatnya di mana kamar

Sultan Agung dan harus lewat mana. Awas, berani menipu, nyawamu akan melayang."

"Ohh ............aih ............ kamar beliau di bagian dalam agak di belakang.........."

prajurit itu menerangkan.

"Lalu, jalan manakah yang harus dilalui?" desak Fajar Legawa.

"Aihh............saya............saya tak tahu pintu mana harus mas............

prak...........!" Prajurit itu tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena kepala

prajurit itu sudah pecah oleh pukulan tinjunya. Akan tetapi setelah memukul mati prajurit

itu, pemuda ini kemudian menghela napas dalam dan timbul rasa sesalnya. Prajurit itu

tidak bersalah mengapa harus dibunuh?

Namun sejenak kemudian iapun segera insyaf akan keadaan. Kalau tidak dibunuh

mati, prajurit itu dapat membuka rahasia dan dirinya terancam oleh bahaya maut.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa melangkah dan bersembunyi ditempat lain dengan hati yang

penasaran. Mengapa sebabnya prajurit itu tidak mau memberi keterangan terus terang?

Di luar tahu Fajar Legawa bahwa sesungguhnya prajurit itu sendiri memang tidak tahu di

manakah Sultan Agung tidur. Sebab walaupun ia seorang prajurit, akan tetapi belum

sekali saja ia mendapat kesempatan masuk ke dalam keraton. Kalau belum pernah masuk

dalam keraton, mana mungkin ia dapat memberi keterangan

Memang tidak sembarang orang dapat masuk ke dalam keraton. Apalagi prajurit

seperti dia ini sulit memperoleh kesempatan itu. Tetapi sebaliknya bagi prajurt yang

memang bertugas menjaga di bagian dalam, akan lebih tahu keadaan dalam keraton

sekalipun pengetahuannya itu hanya serba terbatas. Sebab prajurit itupun belum tentu

mendapat kesempitan masuk ke dalam keraton, di mana kamar Sultan Agung dan para

isterinya berada.

Ia dapat menangkap seorang prajurit lagi dengan mudah. Tetapi ia berhadapan

dengan rasa kecewa yang kedua kalinya, sehingga berakhir dengan dibunuh matinya

prajarit itu, karena tak dapat, memberi keterangan jelas.

Keadaan ini membuat hatinya berdebar tegang. Nyatalah bahwa usahanya tidak

segampang yang ia duga. Dan diam-diam ia memuji sikap setiap prajarit Mataram ini

yang disiplin kuat, tidak mau memberitahukan tempat Sultan Agung tidur. Fajar Legawa

tetap tidak sadar, bahwa prajurit itu memang benar benar tidak tahu.

Di tempat bersembunyi. Fajar Legawa menghela napas berat. Ia menjadi bingung

serdiri, ke mana harus pergi dan mencari kamar Sultan Agung? Haruskah ia berhadapan

dengan kegagalan dan membatalkan niatnya membalas dendam kepada Sultan Agung?

"Hemm, demi ayah aku tak takut menghadapi bahaya!" desisnya. "Aku harus

mencari sampai ketemu."

Dengan bekal tekadnya mi, kemudian Fajar Legawa meloncat lagi ke atas genteng.

Kemudian seperti seekor kucing, ia merembet dari atap ke atap, dan ada kalanya pula ia

harus melompat.

Agaknya kedatangan Fajar Legawa ini amat kebetulan. Penjaga di atas genteng

tidak ia jumpai seorangpun, sehingga ia dapat bergerak leluasa. Mengapa bisa demikian?

Pemuda ini memang tertolong oleh keadaan. Sebelum Fajar Legawa datang, sudah datang

lebih dahulu seorang yang gerak-geriknya amat gesit di atas atap keraton ini. Tetapi

walaupun gerak-geriknya tidak urung ketahuan oleh penjaga. Ketika orang itu bergerak

pergi, segera dikejar oleh para pengawal, itulah sebabnya mengapa, ketika Fajar Legawa

tiba di tempat ini, mendengar suara ribut agak jauh di utara. Mereka terpancing dam

mengejar pengacau itu, sehingga Fajar Legawa yang untung. Siapakah orang itu? Bukanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lain Wukirsari yang berusaha menyusul Fajar Legawa. Ia datang di Karta lebih dahulu.

Akan tetapi karena tak dapat mencari Fajar Legawa, kemudian kakek itu malam ini

datang ke keraton. Maksudnya utuk menyelidik, mungkinkah Fajar Legawa ying

dicarinya itu, gagal membalas dendam dan kemudian malah tertangkap dan ditawan?

Walaupun tidak langsung, ternyata apa yang dilakukan Wukirsari ini memberi

keuntungan kepada Fajar Legawa.

Tak lama kemudian tibalah Fajar Legawa ke taman dalam keraton. Taman yang

indah, diterangi oleh lampu-lampu aneka ragam dan warna, sehingga taman itu tampak

indah dan menarik hati. Menyejukkan pandang mata dan mendinginkan pikiran manusia.

Untuk beberapa saat lamanya, Fajar Legawa terpesona juga akan keadaan itu. Kemudian

pemuda ini mengaso di tempat agak gelap sambil duduk di atas kursi batu.

Akan tetapi belum lama Fajar Lgawi duduk di tempat ini, terkejutlah ia oleh

teguran orang yang nadanya halus

"Anak muda, apa kerjamu di sini?"

Fajar Legawa meloncat bangkit dan mempersiapkan tongkatnya. Kemudian

tampak oleh pemuda ini seorang laki-laki sudah agak tua dengan kumis tebal tetapi tidak

berjenggot, mengenakan pakaian yang cukup indah. Sikapnya tampak agung, dan ketika

bertatap pandang Fajar Legawa kaget. Sepasang mata laki-laki itu nampak tajam dan

berwibawa, sehingga tanpa sesadarnya Fajar Legawa menundukkan muka.

Dan pria itu tersenyum katanya lagi dengan nada yang tetap halus. "Agaknya

engkau kaget? Hemm, jika memandang pakaianmu, jelas engkau prajurit pengawal.

Tetapi melihat kehadiranmu di taman ini jelas bahwa engkau bukan prajurit pengawal.

Apakah engkau sudah melucuti pakaian salah seorang prajurit?"

Seperti disambar petir Fajar Legawa saat sekarang ini, mendengar ucapan pria itu

yang tepat. Dan diam-diam Fajar Legawa menduga-duga, apakah sebabnya secara tepat

orang sudah dapat membuka kedoknya?

Memang tanpa disadari oleh Fajar Legawa dengan mudah dirinya terbuka kedok

penyamarannya. Hal ini adalah karena, sungguh aneh seorang prajurit berani masuk ke

dalam taman ini. Jangan lagi seorang prajurit sedang seorang pangeranpun tidak

diperkenankan masuk, kecuali raja sendiri. Sebab taman ini merupakan bagian dari

keputren, ialah khusus dihuni oleh para putcra keraton. Di samping itu, sungguh aneh

apabila seorang prajunt bersenjata tongkat. Senjata prajurit pengawal keraton ini tentang

senjatanya diatur menurut kedudukannya. Bagi prajurit biasa senjatanya tombak panjang.

Bagi seorang lurah prajurit di samping keris bersenjata pedang. Hanya bagi lurah prajurit

ke atas sajalah, senjatanya tidak ditentukan dan disesuaikan dengan keahlian masing-

masing. Akan tetapi karena pakaian yang dikenakan oleh Fajar Legawa ini pakaianhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

seorang prajurit biasa, maka sudah tentu senjatanya tombak panjang. Dan kalau laki-laki

yang berhak masuk ke dalam taman keputren ini melulu raja, maka mudah diduga

siapakah sesungguhnya laki-laki bersikap agung yang sedang dihadapi oleh Fajar Legawa

sekarang ini. Bukan lain Sultan Agung sendiri, yang memang merupakan kebiasaan

apabila malam banyak kali meninggalkan kamarnya dan pergi menyelidik seorang diri,

mengenakan pakaian penyamaran.

"Siapa kau!" kata Fajar Legawa dalam usahanya untuk menutupi ketegangannya

"Aku penjaga taman ini, anak," sahut Sultan Agung dengan nada yang tetap halus

dan menyembunyikan keadaannya.

"Hemm," Fajar Legawa mendengus. "Jika engkau penjaga, taman ini lekas

terangkan. Di manakah letak kamar raja?"

Mendengar pertanyaan ini Sultan Agung mengerutkan alis sambil mengamati

Fajar Legawa tajam-tajam. Dari nada ucapannya, segera diketahui bahwa maksud

kedatangan pemuda ini mengandung maksud kurang baik. Akan tetapi walaupun hatinya

menjadi tidak senang akan tingkah laku dan sikap pemuda ini, Sultan Agurg masih dapat

menekan perasaan. Ia justeru seorang raja yang bijaksana dan bercita-cita tinggi. Sebagai

seorang yang mencintakan mengusir Kumpeni Belanda dari bumi Pertiwi ini, Sultan

Agung dapat menilai, hanya seorang pemberani dan perwira sajalah yang seorang diri

berani masuk ke dalam taman ini. Maka walaupun dalam hati tidak senang, ia tertarik

juga akan sikap Fajar Legawa ini. Katanya kemudian.

"Anak, aku sedia memberitahukan letak kamar raja itu, asal saja engkau sedia

berterus-terang padaku. Siapakah sesungguhnya anak ini, dan apakah sebabnya masuk ke

mari? Apakah engkau tidak takut akan larangan raja bahwa tidak seorangpun laki-laki

diperkenankan masuk dalam taman ini?"

Fajar Legawa mengerutkan alis dan heran. Mengapa ada larangan semacam itu?

Tetapi ia tidak sempat untuk mempersoalkan larangan itu. Yang penting bagi dirinya

sekarang ini, agar secepatnya dapat membalaskan sakit-hati ayahnya.

"Aku sedia menerangkan, apabila engkau sedia berjanji!" sahut Fajar Legawa.

"Janji tentang apa?" tanya Sultan Agung.

"Berjanji engkau takkan mengganggu aku, sehingga aku dapat masuk dalam kamar

raja."

"Kemudian, apakah maksudmu?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Hemm, aku ingin membalas dendam atas kematian orang tuaku."

"Aihh!" tidak urung Sultan Agung kaget juga mendengar keterangan ini. Tetapi ia

masih tetap dapat menekan perasaan, lalu bertanya. "Anak, aku sedia berjanji

menunjukkan kamar raja itu asal saja engkau menerangkan sejelasnya. Apakah

maksudmu membalas dendam itu? Siapakah orang tuamu dan kapan dibunuh raja?"

Dan Fajar Legawa yang memang sudah bertekad mati untuk menuntut balas ini

tidak perlu lagi menutup-nutupi asal-usulnya. Menurut perhitungannya, seorang juru

taman tentu hanya seorang bodoh. Sebab apabila berkepandaian, manakah sudi menjadi

juru taman? Kalau juru taman ini berani ingkar janji, apakah sulitnya membunuh mati?

Sekali pukul dengan tongkatnya juru taman ini akan mati.

"Aku Fajar Legawa " sahutnya mantap. "Ayahku dahulu berkuasa di Ukur, tetapi

pada akhirnya harus menemui ajalnya di tangan algojo Mataran, atas perintah Sultan

Agung."

"Ahh.........engkau anak Adipati Ukur.........?" tidak urung Sultan Agung agak

kaget juga mendengar pengakuan pemuda ini.

"Kau kaget? Hemm, aku memang anak Adipati Ukur yang datang kemari untuk

menuntut balas. Aku sudah tidak mengharapkan hidup lagi, maka seorang diri aku datang

ke mari untuk melaksanakan maksud itu. Nah engkau sudah mendengar sekarang, maka

lekaslah kau tunjukkan kamar raja itu."

Pernyataan Fajar Legawa yang terus terang ini mau tidak mau membuat Sultan

Agung berpikir juga. Teringatlah raja Mataram ini akan peristiwa yang telah terjadi.

Bahwa Adipati Ukur atas permtahnya, ditangkap di rumah kediamannya. Kemudian

Adipati Ukur dibawa ke Mataram, lalu diperintahkan untuk membunuh mati.

Masih terbayang dalam ingatan raja, bahwa Adipati Ukur seorang Adipati setia

dan sakti mandraguna. Tetapi akhirnya atas perintahnya, Adipati itu harus menemui

ajalnya di tangan para Algojo.

Ketika itu Sultan Agung sendiri mengakui, sedang kecewa dan mata gelap. Dan

sebagai akibatnya, timbullah peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan. Kekecewaan itu

berpangkal pada kegagalan penyerbuan pasukan Mataram ke Betawi, sampai dua kali.

Puluhan ribu jiwa harus melayang dalam penyerbuan itu, dan sulit dihitung berapakah

banyaknya harta yang hilang tanpa hasil sebagai biaya penyerbuan itu.

Diam-diam Sultan Agung mengakui bahwa tindakannya ketika itu mata gelap.

Karena dua kali penyerbuan ke Betawi itu gagal, ia memerintahkan prajurit dan

panglimanya kembali menyerbu sampai mati. Dan bagi mereka yang tidak tunduk kepadahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

perintahnya, harus berhadapan dengan algojo dan dibunuh mati. Sebagai akibat dari

mata gelap itu, para prajurit dan perwiranya yang berguna bagi kepentingan Mataram

harus mati sia-sia dalam peperangan.

Dan ketika itu, Adipati Ukur tidak terkecuali, sesuai dengan perintah yang sudah

dititahkan, seharusnya Adipati Ukur dengan pasukannya menyerbu lagi ke benteng

Kumpeni di Betawi. Akan tetapi ternyata Adipati Ukur tidak mau tunduk. Adipati Ukur

bersama pasukannya nekat pulang. Mendengar laporan ini ketika itu Sultan Agung murka

sekali. Mengapa seorang Adipati berani menentang perintahnya? Maka dikirimkanlah

sepasukan kecil pergi ke Ukur untuk menangkap Adipati Ukur hidup-hidup. Akan tetapi

apabila Adipati Ukur berani melawan, utusan itupun telah diberi wewenang untuk

membunuh mati Adipati Ukur di tempat.

Semua itu terjadi akibat kecewa dan mata gelap. Sekarang Sultan Agung

menyadari langkahnya yang keliru itu. Maka kalau benar pemuda ini anak Adipati Ukur,

bukankah sudah pada tempatnya apabila pemuda ini ditempatkan pada kekudukan yang

layak sesuai dengan kaidah yang berlaku? Pemuda ini anak Adipati, maka sudah layak

kiranya apabila didudukkan dalam jabatan cukup tinggi itu. Namun untuk menduduki

jabatan setinggi itu, juga memerlukan syarat pula. Seorang Adipati merupakan wakil raja

dalam daerah kekuasaan Adipati itu sendiri. Maka seorang Adipati harus digdaya sakti.

Harus berwatak perwira. Bukan seorang penakut, tetapi mempunyai kebijaksanaan. Juga

harus cerdas, tegas dan setia. Sebab bagaimanapun seorang Adipati, merupakan seorang

panglima prajurit pula.

Tiba-tiba saja Sultan Agung ketawa lirih, kemudian katanya. "Anak apakah

maksudmu itu sudah engkau pikirkan dalam-dalam? Sebab engkau harus tahu bahwa

paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung itu, juga seorang sakti mandraguna."

"AKU tidak takut!" sahutnya cepat. "Dan kalau aku sampai gagal berhadapan

dengan dia, akupun rela harus mati dalam tangannya. Huh, kalau dahulu ayahku

menemui ajalnya atas perintah Sultan Agung, bukankah aku akan gembira sekali kalau

aku akan mati ditangannya? Hayo, lekas tunjukkan di mana letak kamar raja itu, dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

janganlah engkau berusaha mengulur waktu!"

"Heh-heh-heh, bukannya aku bermaksud mengulur waktu anak," sahut Sultan

Agung yang menyamar sebagai juru taman ini. "Akan tetapi semua itu demi

kepentinganmu sendiri. Aku merasa sayang padamu, justeru engkau masih amat muda.

Aku khawatir bahwa sebelum engkau sempat bertemu dengan Inkang Sinuhun Sultan

Agung, engkau harus berhadapan dengan para prajurit pengawal yang sulit engkau atasi."

"Hemm, tidak perlu engkau membual kosong. Aku tidak sabar lagi!" bentak Fajar

Legawa. "Lupakah bahwa dari tempat yang jauh aku datang kemari, hanya seorang

diri saja? Nah, orang yang berani datang ke keraton ini seorang diri sudah jelas, tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

takut berhadapan dengan bahaya apapun."

"Tetapi anak, dengar dulu apa yang akukatakan,"juru taman ilu berusaha

membujuk dengan nada katanya yang halus. "Engkau seorang putera Adipati. Mengapa

engkau tidak mencari jalan dan berusaha untuk menggantikan kedudukan ayahmu

sebagai Adipati?"

"Apa? Apakah seorang anak bisa menggantikan kedudukan ayahnya?" tanya Fajar

Legawa yang kaget dan agak tertarik.

"Mengapa tidak?" sahut juru taman, "Menurut kaidah yang berlaku, apabila

seorang ponggawa Mataram menutup mata, maka kedudukan itu kemudian oleh raja

diberikan kepada anaknya. Misal seorang anak Mantri, dia akan menggantikan ayannya

sebagai Mantri. Misal anak seorang Tumenggung, dia akan menggantikan ayahnya

sebagai Tumenggung, dan seterusnya. Demikian pula engkau, anak seorang Adipati. Jika

engkau datang dengan maksud baik, memberi keterangan yang dikuatkan oleh saksi-

saksi, tentu saja raja akan berkenan mengangkat engkau sebagai pengganti ayahmu."

Hati Fajar Legawa tergerak mendengar keterangan ini. Kemudian,

"Tetapiayahkutelah dihukum mati, dan sekarangUkurpun telah mempunyai penguasa,

mana mungkin hal ini bisa terjadi?"

"Anak muda, raja mempunyai wilayah yang amat luas dan kekuasaan tak terbatas.

Dengan demikian, takkkan sulit untuk menempatkan engkau pada tempat yang seimbang

dengan kedudukan ayahmu. Dan tentang apa yang terjadi dengan ayahmu waktu itu,

kiranya tidak perlu engkau risaukan lagi. Jika engkau setuju, dan jika engkau mau

merobah sikap dan mengabdi kepada raja, niscaya engkau akan hidup mulia di Mataram.

Tetapi sudah tentu pula, memerlukan persyaratan pembuktian seperti yang aku katakan

tadi."

Mendengar keterangan ini tiba-tiba saja timbullah rasa heran dalam hati pemuda

ini, disamping curiga. Pertama, orang ini mengaku juru taman. Akan tetapi mengapa

pakaiannya cukup indah? Tadi juru taman ini juga menerangkan, banwa taman ini

terlarang bagi setiap laki-laki, kecuali raja sendiri, mengapa juru taman ini boleh masuk

ke dalam taman? Walaupun memang sudah tugasnya, akan tetapi tentu bukan malam hari

seperti sekarang ini. Dengan demikian keterangan juru taman ini bertentangan sendiri

dengan kenyataan. Yang kedua, pandang mata laki-laki ini begitu tajam dan berwibawa.

Disamping sikapnya agung. Sifat-sifat ini tentu tidak akan dimiliki seorang juru taman.

Sedang yang ketiga, mengapa ucapan juru taman ini mencerminkan suatu kepastian

tentang dirinya. Walaupun ia sudah berterus terang mengatakan ayahnya telah dibunuh

mati oleh Sultan Agung, mengapa juru taman ini seakan memberi keterangan bahwa hal

itu tidak perlu dikhawatirkan lagi? Seakan memberi kepastian bahwa hal itu bukanlah

halangan lagi. Adakah juru taman mempunyai hak mencampuri masalah itu sehingga

begitu pasti?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa mengamati "juru taman"itu penuh selidik. Dan sebaliknya sang juru

taman inipun merasa diperhatikan dan dicurigai. Ia tersenyum, lalu bertanya. "Mengapa

sebabnya engkau amat memperhatikan aku?"

"Hemmm, keteranganmu membuat aku harus bertanya kepada diriku sendiri."

"Mengapa bertanya kepada diri sendiri?"

"Sebab akukhawatir engkau tak mau mengaku."

"Mengaku tentang apa?" desak sang juru taman.

"Hemm, tentang keadaanmu yang sesungguhnya?"

"Mengapa keadaanku? Apakah engkau beranggapan bahwa aku tidak pantas

sebagai juru taman?"

"Ya. Sebab keteranganmu bertentangan dengan kenyataan yang ada."

"Kenyataanmanakahyang kau maksud itu?" desak sang juru taman lagi sambil

tersenyum.

Fajar Legawa mengamati juru taman lagi penuh selidik. Baru kemudian ia

menjawab. "Engkau tadi mengatakan sendiri bahwa tidak seorangpun dibenarkan masuk

ke dalam taman ini apabila seorang laki-laki, kecuali seorang raja. Akan tetapi apakah

sebabnya engkau melanggar larangan raja itu?"

"Larangan yang mana? Hemm. Aku seorang juru taman. Apabila aku ikut dilarang

masuk ke dalam taman ini, bagaimanakah aku dapat menunaikan tugasku sebagai juru

taman?" sahut sang juru taman ini sambil mengulum senyum.

"Tetapi tentu ada batasnya."

"Batas tentang apa?"

"Batas waktu. Tidak seharusnya malam seperti ini seorang juru taman masih

berkeliaran di dalam taman ini, padahal keadaan sudah larut. Hemm, katakanlah terus

terang, siapakah sesungguhnya engkau ini? Bukankah engkau sendiri inilah sesungguhnya

raja Mataram yang bernama Sultan Agung itu?"

Sultan Agung hanya tersenyum dan tidak segera menjawab.

Atassikap "juru taman" ini, Fajar Legawa makin tambah curiga. Akan tetapi iahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tidak sabar lagi, maka desaknya. "Lekas jawab pertanyaanku. Bukankah kau ini Raja

Mataram yang aku cari itu?"

Walaupun sikap Fajar Legawa ini tidak pada tempatnya seorang raja yang

berkuasa di Mataram, namun Sultan Agung tidak marah. Pandangannya cukup jauh,

maka dapat menyelami perasaan seorang muda. Sahutnya kemudian dengan nada yang

tetap sabar, "Kalau dugaanmu benar, dan aku ini raja Mataram, mengapa engkau tidak

segera berlutut di depanku dan memberikan hormatmu?"

Mendengar jawaban ini Fajar Legawa mundur selangkah sambil mempersiapkan

tongkatnya. Dan melihat sikap pemuda ini, Sultan Agung tersenyum. Katanya dengan

nada yang tetap sabar. "Anakmuda, simpanlah senjatamu. Tidak selayaknya seorang

kawula berhadapan dengan raja bersikap mengancam. Marilah kita duduk dan bicara dari

hati ke hati. Agar engkau dapat mengetahui sejelasnya tentang apa yang terjadi dengan

ayahmu Adipati Ukur."

Hampir hati pemuda ini tergerak mendengar ucapanRaja Mataram ini. Akan tetapi

sedetik kemudian perasaannya berubah dan mengeras lagi. Sahutnya ketus. "Huh

tidakperlu. Aku tidak sudi berlutut di depanmu dan tidak ingin berunding apapun. Hemm.

Ayahku telah mati atas perintahmu. Maka malam ini merupakan penentuan terakhir yang

sudah amat lama sekali aku tunggu. Sekarang hanya ada satu pilihan saja bagiku."

"Apakah pilihanmu itu?" pancing Sultan Agung.

"Aku ataukah engkau yang harus mati malam ini." Katanya dengan nada yang

mantap dan pasti.

Diam-diam kagum juga Sultan Agung akan sikap Fajar Legawa ini yang begitu

tabah dan berani. Walaupun tahu bahwa sekarang berhadapan dengan sorang raja bintara,

sikap Fajar Legawa tidak juga berubah dan tidak gentar. Ini mencerminkan jiwak satrya,

yang memang amat diperlukan oleh setiap prajurit. Justeru seorang prajurit tidak boleh

gentar, sekalipun berhadapan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya, apabila

sebagai pihak yang benar.

Cita-citanya untuk mengusir Kumpeni Belanda, sampai sekarang belum juga

terlaksana. Dan untuk keperluan itu, ia memerlukan banyak tenaga muda yang gagah-

perwira. Maka jawabnya kemudian. "Anak muda, sabarlah! Engkau mau membunuh

aku, bunuhlah! Akan tetapi sebelum itu, aku minta agar engkau mau mendengar

keteranganku lebih dahulu."

"Tentang apalagi?"

"Tentang ayahmu dan tentang engkau," sahut Sultan Agung dengan tersenyum.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Seperti tadi sudah aku katakan, bahwa setiap anak dapat menggantikan kedudukan

ayahnya yang sudah tiada. Apakah tidak terpikir oleh engkau, untuk menjadi seorang

ponggawa Mataram? Kalau ayahmu dahulu seorang Adipati, maka jabatan itu akan aku

wariskan kepada........."

"Tak perlu engkau membujuk dengan kata-kata manis dan jabatan yang tinggi!"

bentak Fajar Legawa, memotong ucapan Sultan Agung yang belum selesai. "Pendeknya

keputusanku tak dapat dirubah lagi. Malam ini merupakan penyelesaian terakhir antara

aku dan engkau. Huh, aku ataukah engkau yang harus mati?"

Memang sesungguhnya Fajar Legawa tadi bergerak hatinya, mendengar janji

Sultan Agung ini. Bukankah kedudukan itu cukup tinggi bagi dirinya apabila benar

dilaksanakan oleh Sultan Agung? Dan betapa mulia pula hidupnya kalamana dirinya

diangkat sebagai seorang Adipati. Akan tetapi justeru di saat hatinya tergerak ini,

mendadak saja dalam benaknya seperti terpeta suatu peristiwa yang amat menyedihkan.

Ia seperti melihat seorang laki-laki setengah tua, dengan dua tangan ditelikung ke

belakang, dan kemudian seorang algojo mengayunkan pedang, lalu terpancunglah leher

laki-laki itu, sehingga kepalanya menggelinding di atas tanah. Gambaran itu membuat ia

teringat akan nasib ayahnya sendiri. Mungkin sekali ayahnya ketika itu menemui ajalnya

seperti itu.

Sebaliknya sikap Sultan Agung tetap sabar. Sebenarnya saja, apa yang tadi

diucapkan merupakan pencerminan dari hatinya yang suci. Ia teringat akan jasa-jasa

Adipati Ukur disaat masih hidup. Dan kalau toh akhirnya harus menemui ajalnya di

tangan algojo atas perintahnya sendiri, ketika itu terdorong oleh rasa kecewa dan

menyebabkan mata gelap. Namun setelah sadar kembali, ia masygul di samping getun.

Banyak diantara mereka yang setia, yang sakti mandraguna dan yang berguna bagi

Mataram harus mati di tangan algojo atau berperang dengan nekat hingga mati. Semua

itu tiada manfaatnya sama sekali, dan malah menimbulkan kerugian yang amat besar

sekali bagi Mataram. Sebab dengan banyaknya tokoh yang harus menerima hukuman

mati itu menyebabkan tokoh sakti di Mataram berkurang. Dan berakibat, Mataram

kekurangan tenaga untuk memerangi dan mengusir Kumpeni Belanda. Dan akibatnya

pula, telah beberapa tahun lamanya Sultan Agung menghentikan usahanya memerangi

Kumpeni.

Sebagai akibat dari pengalaman ini, maka kemudian timbul pikiran Sultan Agung

untuk mengarahkan perhatian guna mengumpulkan para tokoh sakti, diminta supaya

sedia bernaung di Mataram dan membantu perjuangan. Akan tetapi sungguh sayang,

bahwa di antara sekian banyak tokoh sakti itu tidak sedia memenuhi harapannya.

Sebaliknya kalau harus menggunakan kekerasan untuk memaksa mereka, juga tidak

mungkin. Sebab hal itu malah bisa menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.Yang

kemudian bisa menyebabkan perpecahan dan ringkihnya Mataram.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Lekaslah engkau bersiap diri!" bentak Fajar Legawa lagi sambil bersiap diri

dengan tongkatnya. Ia sudah menyadari dan mendengar, bahwa Sultan Agung seorang

raja yang sakti mandraguna. Dalam usahanya untuk membalas dendam, ia tak boleh

sembrana, maka tongkatnya harus digunakan.

Sultan Agung ketawa lirih. Kemudian sahutnya dengan nada tetap sabar. "Anak

muda, mengapa begitu sikapmu? Seharusnya engkau mengucapkan terima kasih atas

maksud baikku. Tetapi mengapa engkau malah bersikap seperti ini?"

"Huh, aku tidak butuh kedudukan!" hardiknya dengan mendelik. "Ayahku mati

penasaran atas perintahmu. Maka kalau malam ini aku gagal, lebih baik aku menyusul

ayahku."

Kata-katanya ini kemudian ditutup oleh terjangannya, yang menyodokkan

tongkatnya ke dada Sultan Agung. Atas serangan ini Sultan Agung tersenyum sambil

mengangkat tangannya untuk menyentil ujung tongkat. Tetapi tiba-tiba Sultan Agung

kaget dan heran, karena tiba-tiba hawa dingin menyambar.

Tetapi oleh sentilan tangan itu, menyebabkan tongkat Fajar Legawa menyeleweng.

Untuk beberapa saat lamanya Sultan Agung menggunakan kecepatannya bergerak,

melayani tongkat Fajar Legawa yang menyambar dahsyat. Namun kemudian segera

timbul kegembiraan Sultan Agung, disamping timbul pula keinginannya untuk mencoba

ketangguhan pemuda ini. Sambil melompat ke belakang, Sultan Agung mencabut pedang

kemudian berkata. "Anak muda, engkau sendirilah yang memaksa aku berkelahi. Mari,

sekarang engkau aku layani dengan pedangku ini."

Begitu menutup ucapannya, pedang Sultan Agung sudah menyambar dan

menikam bawah tenggorokan Fajar Legawa. Serangan ini sesungguhnya amat berbahaya.

Apabila pemuda itu tak sanggup menangkis maupun menghindar, bisa mati tertembus

pedang. Namun sebaliknya Sultan Agung juga sudah memperhitungkan semuanya,

hingga tidak khawatir kalau pemuda itu sampai tewas.

Tetapi Fajar Legawa yang sudah bertekat mati ini, telah menangkis senjata lawan

tanpa bergeser sedikitpun. Malah kemudian tangkisan itu disusul dengan serangan balasan

yang membabat kearah lutut lawan.

"Bagus!" puji Sultan Agung. "Gerakanmu sungguh cepat!"

Sambil memuji ini, ia menangkis dengan pedangnya.

"Trang...........!" Terdengar suara benturan yang cukup nyaring, sehingga pijar api

beterbangan. Fajar Legawa terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang, sebaliknya

Sultan Agung juga mundur, tetapi hanya dua langkah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari benturan senjata yang dilambari tenaga sakti ini nampak jelas bahwa tenaga

Fajar Legawa terpaut jauh dengan tenaga lawannya. Sadar bahwa dirinya kalah tenaga

ini, kemudian Fajar Legawa berhati-hati. Disamping sadar bahwa tenaga lawan di atas

tingkat dirinya, pemuda inipun merasa kaget. Berkali-kali tongkatnya telah membuktikan

kemampuannya, mematahkan senjata lawan, tetapi mengapa sebabnya sekarang pedang

lawan tidak apa-apa?

Sebaliknya begitu tangkisan pedangnya hanya sanggup mementalkan tongkat

lawan yang masih muda itu, sultan Agung menjadi lega. Ternyata dugaannya benar

bahwa tongkat yang menebarkan hawa dingin itu benar, bukan tongkat sembarangan.

Sebab pedang yang dipergunakan sekarang ini merupakan pedang pusaka keraton. Setiap

senjata yang berbenturan dengan pedangnya, sulit sekali bisa bertahan.

Namun demikian Sultan Agung memang tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh,

hanya ingin mencoba pemuda ini dan ingin pula menunjukkan keangkeran dan

kesaktiannya. Ia berharap bahwa kemudian berhasil menundukkan kekerasan hati

pemuda ini. Ia ingin menebus kesalahannya beberapa tahun yang lalu. Dan ia ingin dapat

mendudukkan pemuda ini sebagai pengganti ayahnya.

Demikianlah sesudah dua pihak bersiap diri lagi, maka terjadilah perkelahian yang

cepat dan hebat. Pedang Sultan Agung yang gerakannya cepat sekali itu menyambar-

nyambar dan menerbitkan angin tajam. Setiap pedang itu menyambar, apabila lawan

lengah akan celaka! Dan sebaliknya tongkat Fajar Legawa juga berkelebat bagai berubah

menjadi seekor ular hidup yang ganas. Dan karena perkelahian itu terjadi cepat sekali,

berakibat beberapa ranting pohon di dekat gelanggang perkelahian rusak terbabat dan

daun berguguran.

Sambil melayani, Sultan Agung yang tidak berkelahi sesungguhnya ini menaksir.

Diam-diam ia memuji akan kegagahan pemuda ini. Kecepatannya bergerak, ilmu tata

kelahinya yang cukup tangguh.Sultan Agung dapat menduga bahwa kelak kemudian hari

pemuda ini merupakan tenaga yang amat berguna, apabila sudah cukup pengalaman dan

latihan yang lama. Dan justeru melihat kegagahan pemuda ini, ia makin tidak tega kalau

harus mencelakakan Fajar Legawa sekalipun kedatangannya mengandung maksud mau

membunuhnya. Ia tetap berharap agar pemuda ini sedia menjadi seorang Ponggwawa

Mataram yang kelak kemudian hari dapat diharapkan tenaganya untuk ikut serta

mengusir Kumpeni Belanda.

Tiba-tiba gerak pedang Sultan Agung sekarang berubah. Pedang pusaka itu

sekarang menyambar dan berkelebat seperti kilat cepatnya, dengan gerakan yang

berlingkar-lingkaran. Pedang itu seakan segera mengurung tubuh Fajar Legawa dan

menerbitkan pengaruh yang hebat sekali. Sebab lingkaran-lingkaran pedang itu sulit untuk

ditembus, dan sebagai akibatnya pula Fajar Legawa dibawah angin.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Melihat kesulitan pemuda itu, Sultan Agung tersenyum. Katanya. "Anak muda,

ilmu pedangku hanyalah ilmu murahan saja."

Fajar Legawa tidak membuka mulut. Ia mengerahkan semua perhatian dan

kepandaiannya untuk dapat mengatasi keadaan yang berbahaya ini. Begitu tertekan oleh

lingkaran pedang, Fajar Legawa segera merasakan bahwa tekanan pedang itu hebat

sekali.Walaupun ia mengerahkan tenaganya, namun tekanan itu tidak juga berkurang.

Untung juga menghadapi keadaan yang tidak menguntungkan ini, Fajar Legawa

segera ingat akan petunjuk dan nasihat gurunya. Yang antara lain mengatakan, bahwa di

dunia ini dikenal semacam ilmu pedang yang hebat sekali. Ilmu pedang itu gerakanya

banyak membentuk lingkaran, dan lawan yang kurang tahu dan kurang hati-hati akan

celaka. Ilmu pedang itu tidak dapat dilawan dengan tenaga keras. Makin kuat orang

melawan dengan tenaga keras, orang akan makin sulit dan tertindih sehingga akan kalah.

Untuk dapat mengatasi keadaan dan memunahkan pengaruh itu, harus digunakan tenaga

lemas atau tenaga lembek.

Teringat akan petunjuk gurunya ini, Fajar Legawa menjadi sadar, iapun kemudian

merubah cara berkelahinya, ia sekarang menggunakan tenaga lemas, dan tongkatnyapun

sekarang berubah gerakannya, kadang merupakan gerakan melingkar, kadang setengah

lingkaran dan kadang pula menggetar.

Kemudian ternyata benar nasihat Suria Kencana itu. Dengan perubahan cara

berkelahinya ini, segera saja ia dapat melepaskan diri dari tekanan. Malah kemudian

tampak tongkat Fajar Legawa dapat mengatasi lawan, karena gerakan pedang itu

sekarang berubah menjadi perlahan.

Akan tetapi walaupun gerakan pedang Sultan Agung itu tampak perlahan, namun

sebenarnya bukan berarti Sultan Agung di bawah angin, bagaimanapun tingkat

kepandaian Fajar Legawa masih kalah jauh di bawah Raja Mataram ini. Kalau mau,

apakah sulitnya menerbangkan tongkat pemuda itu?

"Hemm, lepas!" teriak Sultan Agung perlahan.

"Trang.........!" belum juga lenyap suara Raja Mataram ini, benturan senjata yang

nyaring sekali terdengar dan memecah kesunyian taman. Pijar api berterbangan ke

sekitarnya, dan di antara pijar api itu tampaklah tongkat Fajar Legawa terbang ke udara,

sehingga membuat Fajar Legawa sendiri berseru kaget.

Untung bahwa Sultan Agung memang tidak bermaksud buruk kepada Fajar

Legawa ini. Maka ketika tongkat itu terbang ke udara, ia tidak menyusul serangan dan

malah berdiri sambil melihat tongkat yang melesat ke udara itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Gesit luar biasa tubuh Fajar Legawa bergerak. Kaki pemuda ini menjejak tanah

dan tubuhnya melenting tinggi ketika tongkat itu sudah meluncur turun. Tongkat itu dapat

ditangkap di tengah udara, dan sebelum kakinya menyentuh tanah, ia memutar tongkat

itu dan dihantamkan ke kepala Raja Mataram.

Namun denganketawa perlahan, Sultan Agung melompat mundur. Dan setelah

pukulannya luput, Fajar Legawa berdiri di atas tanah kembali, dengan peluh membanjir

membasahi tubuh dan jantungnya tegang. Sebab apa? Sebab pemuda ini sadar. Kalau saja

disaat tongkatnya terbang tadi Sultan Agung menyerang dirinya, sulit kiranya dengan

tangan kosong dapat mempertahankan diri. Menyadari keadaan ini mendadak saja

pendiriannya menjadi goyah. Kalau semula ia sudah bertekat mati dalam usahanya

membalas dendam ini, sekarang lain. Ia bukan seorang tolol, sehingga nekat saja

sekalipun keadaan tidak menguntungkan. Terpikir kemudian bahwa masih banyak waktu

untuk melatih diri, dan kemudian kembali lagi ke keraton ini untuk melaksanakan

niatnya. Sebaliknya kalau malam ini dirinya nekat, maka cita-citanya sudah kandas dan

sakit hatinya tidak mungkin terbalas.

"Anak muda," kata Sultan Agung sambil melintangkan pedangnya di depan dada,

"Aku harap engkau dapat mempertimbangkan maksud baikku."

"Hemm, tidak sudi!" sahut Fajar Legawa ketus. "Aku bukan seorang yang silau

kepada pangkat tinggi dan harta benda yang bertumpuk."

"Jadi, engkau masih nekat melawan aku? Tidak bisa jadi. Belajarlah dua puluh

tahun lagi," sahut Sultan Agung. "Melawan aku seorang saja tak mampu, apa pula engkau

melawan para pengawal keraton ini. Hemm, jika engkau memang tidak setuju dengan

maksud baikku, baiklah sekarang lekaslah engkau pergi. Engkau dalam bahaya apabila

diketahui oleh pengawal keraton ini.

Sesungguhnya Fajar Legawa masih merasa penasaran. Namun iapun memang

sadar kepada keadaan. Ucapan Sultan Agung ini tentu bukan sekadar ancaman dan untuk

menakut-nakuti, tetapi merupakan kenyataan tak terbantah. Dirinya sendiri malam ini

jelas tidak berdaya menghadapi Sultan Agung. Kalau raja ini menghendaki nyawanya,

apakah sulitnya? Raja Mataram itu sendiri dapat melakukan dengan gampang. Apabila

tidak sedia melakukan juga dapat memanggil pengawal untuk melawan dan

membunuhnya. Sadar keadaan ini, Fajar Legawa membungkukkan tubuh sambil berkata.

"Terima kasih atas kemurahan hatimu. Akan tetapi percayalah, bahwa kemudian

hari aku akan datang kembali untuk membuat perhitungan."

Sultan Agung ketawa lirih. Kemudian. "Anak muda, mengapa sekeras itu hatimu?

Mengapa engkau menolak kedudukan yang cukup tinggi sebagai pengganti ayahmu,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

malah engkau mengancam aku? Tetapi baiklah anak muda, aku tunggu pembalasanmu,

kapan saja!"

Fajar Legawa tidak membuka mulut lagi, memutar tubuhnya kemudian melompat

ke atas pagar tembok taman. Tak lama kemudian bayangan pemuda ini telah lenyap

ditelan gelap malam. Setelah Fajar Legawa pergi, Sultan Agung menghela napas dalam.

Timbul lagi rasa sesalnya. Namun sesaat kemudian ia berjengit. Ia sadar bahwa setiap saat

pemuda itu bisa bertemu dengan pengawal, dan berhadapan dengan bahaya. Ia tidak

menehendaki, pemuda itu harus mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Maka

kemudian dengan gerakan ringan, ia telah melompat pula untuk membayangi Fajar

Legawa. Dengan perlindungannya, niscaya pemuda itu takkan diganggu oleh para

pengawal.

Ketika itu Fajar Legawa berlarian di atas genteng. Gerakannya cepat sekali, dan

tongkatnya selalu siap di tangan. Akan tetapi belum jauh ia berlarian, tiba-tiba

terdengarlah suara bentakan nyaring.

"Hai, berhenti! Siapa engkau?"

Tetapi Fajar Legawa tidak berhenti, dan malah mempercepat larinya.

"Jangan lari!" teriak orang itu lagi. Kemudian menyusullah sambaran angin tajam

kearah belakang kepalanya.

Serangan mendadak ini membuat Fajar Legawa harus menghindar sambil

memukulkan tongkatnya untuk menangkis.

"Trang......!" benturan dua senjata terjadi dan keras sekali. Di atas genteng itu

segera menyebar pijar api.

Fajar Legawa kaget bukan main. Bukan saja karena melihat senjata penyerang itu

tidak patah oleh tangkisannya, tetapi iapun merasakan telapak tangannya panas dan

lengannya sendiri kesemutan. Ketika ia sudah memutar tubuh dan mengamati, ternyata

dirinya sekarang telah berhadapan dengan seorang tinggi besar bersenjata golok besar.

Diam-diam pemuda ini mengeluh. Sekarang ia baru sadar, bahwa keadaan kota

Karta ini jauh dengan dugaannya. Tadi baru sajaia tidak mampumengalahkanSultan

Agung. Dan sekarang belum jauh ia lari telah bertemu dengan seorang pengawal yang

sanggup menandingi keampuhan senjatanya. Nyatalah bahwa di keraton Mataram ini

tidak sedikit jumlahnya manusia yang memiliki senjata ampuh, sehingga tidak patah oleh

benturan tongkatnya.


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Raja Naga 15 Pusara Keramat Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding
^