Iblis Dari Gunung Wilis 8
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 8
Tohjoyo kurang senang. "Apakah adi lupa bahwa ayahku sedah menjadi korban penjahat
itu? Dan apakah adi lupa pula bahwa penduduk sekitar ini membutuhkan bantuan kita?"
Mereka terdiam mendengar jawaban Tojoyo ini. Apa yang sudah dikemukakan
Tohjoyo memang sulit untuk dibantah. Dan dalam hati masing-masing juga merasa tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tega untuk membiarkan para penduduk dalam wilayah ini, terancam oleh penjahat.
"Adi," kata Danurwenda perlahan, sambil memandang ke arah Tohjoyo dan
Wanengboyo bergantian, "Apabila ternyata pada hari ketentuan itu keadaan belum aman.
Memang sulitlah bagi aku dan Tohjoyo meninggalkan desa ini tanpa pelindung. Untuk
itu adi Wanengboyo tidak perlu khawatir. Guru tentu akan memaklumi pula apabila pada
hari yang telah ditentukan itu, kita tidak dapat datang dan menghadap. Dan karena itu,
guru tentu dapat pula memaafkan. Keperluan guru toh masih dapat ditunda, tetapi
ancaman penjahat tidak mungkin bisa ditunda."
"Tetapi sayang juga........." ujar Wanengboyo setengah mengeluh.
"Ya, memang sayang," jawab Danurwenda. "Namun apa harus dikata kalau
keadaan memang menghendaki begini? Ya, semoga saja Tuhan menolong kita."
Akan tetapi baru saja Danurwenda selesai bicara ini, terdengarlah suara orang
berlarian. Mereka semua kaget dan mengarahkan pandang mata ke halaman. Tampak
kemudan dua orang pemuda dengan tergesa menuju balai desa.
"Ada apakah?" tanya Danurwenda sambil bangkit dari duduknya.
Dua orang muda itu masih tersengal-sengal. Tanpa sempat duduk, pemuda ini
sudah memberi laporan dengan sikap gugup. "Petugas menyaksikan sesuatu yang
mencurigakan. Pada suatu dataran di luar desa......... tampak orang berkelahi........."
"Orang berkelahi?" Tohjoyo kaget. "Tahukah siapa yang sedang berkelahi itu?
Dan berapa pulakah jumlahnya?"
"Kami tidak berani datang mendekati," jawab pemuda itu. "Tetapi jelas bahwa
yang berkelahi itu dua orang melawan empat orang. Seorang diantaranya, dikeroyok oleh
tiga orang."
"Pakaian Mereka?" desak Danurwenda.
"Maaf. Tidak begitu jelas. Karena kami agak jauh."
Untuk sejenak Mereka berpandangan. Namun kemudian Tohjoyo tidak sabar dan
mengajak. "Mari kita tinjau. Ada kemungkinan mereka memang penjahat Ungaran."
"Benar!" sahut Wanengboyo. "Bersikap waspada adalah baik."
Mereka serempak berdiri. Danurwenda dan Wanengboyo mendahului, kemudian
disusul oleh yang lain.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mereka bergerak cepat. Berkali-kali tanpa sesadarnya, mereka meraba hulu senjata
masing-masing.
Fajar Legawa berjalan di paling belakang. Ayu Kedasih melangkah di sampingnya.
Diam-diam hati Fajar Legawa berdebar didekati oleh perempuan cantik ini. Dan
sebenarnya ia tidak ingin berdekatan dengan Ayu Kedasih, semua itu untuk menjaga agar
tidak timbul hal-hal yang tidak diharapkan. Akan tetapi untuk menyingkir juga merasa
tidak enak hati. Dan hal tersebut dapat menyinggung perasaan Ayu Kedasih, sehingga
malah dapat menimbulkan hal-hal yang lebih tidak menyenangkan
"Adi," kata Ayu Kedasih setengah berbisik dekat sekali tubuh mereka saat itu.
"Sudahkah engkau baca suratku itu?"
"Ya," sahut Fajar Legawa singkat sambil mengangguk.
"Maafkan aku sudah lancang tangan dan berlaku seperti pencuri."
"Tidak apa. Hanya aku minta, engkau dapat menolong dan merahasiakan semua
itu."
Ayu Kedasih tersenyum manis sekali. Lalu terdengarlah perempuan ini berkata,
"Jangan khawatir, dan aku akan selalu menjaga rahasia itu. Tetapi ............"
Ayu Kedasih menghentikan kata-katanya. Dan Fajar Legawa heran, maka
desaknya. "Tetapi apa?"
"Apakah surat itu sudah engkau baca seluruhnya?"
"Ya, aku baca seluruhnya."
"Hemmm, aku mengharap engkau memenuhi apa yang sudah tercantum dalam
surat itu."
Fajar Legawa berjengit agak terkejut. Ia masih belum lupa bahwa dalam surat itu
Ayu Kedasih meminta, agar pada bulan purnama bulan depan, dirinya, diminta datang
ke desa Mergosari, ke rumah Ayu Kedasih. Ketika membaca surat itu, memang tiada
perasaan berat sedikitpun untuk datang dan memenuhinya. Karena hal tersebut bukan
merupakan permintaan yang berlebihan, demi persahabatannya dengan Ayu Kedasih dan
suaminya.
Akan tetapi perkembangannya telah agak berlainan sekarang. Sesudah Fajar
Legawa mendengar bahwa Wanengboyo harus menghadap gurunya pada tanggal 15https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bulan depan. Dengan begitu, maka apabila dirinya datang kesana. Wanengboyo tidak ada
di rumah. Seorang laki-laki yang datang sebagai tamu, patutkah apabila tuan rumah tidak
ada? Tiba-tiba saja hatinya berdesir. Hatinya berdebaran, karena timbul rasa khawatirnya
apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Namun agaknya Ayu Kedasih dapat menebak isi hati Fajar Legawa. Terdengarlah
kemudian perempuan ini berkata. "Adi Fajar Legawa. Engkau tak usah terlalu jauh pikir.
Bukankah engkau terpengaruh oleh kepergian kakang Wanengboyo pada saat itu? Huh,
engkau jangan membayangkan yang tidak-tidak, dan engkau jangan menghina aku!"
Fajar Legawa terkejut dan gugup. Ia maklum bahwa Ayu Kedasih tersinggung.
Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka jawabnya kemudian.
"Mbakyu, maafkan aku. Aku hanya berpikir banwa waktu itu kakang Wanengboyo tidak
di rumah. Aku khawatir apabila orang menggunakan kesempatan itu untuk memfitnah
mbakyu. Bukankah hal itu cukup berbahaya?"
"Yang penting kenyataan dan bukti, adi. Engkau tidak perlu memperdulikan
kepada orang yang suka memfitnah. Percayalah bahwa Tuhan itu adil. Meskipun fitnah
dilancarkan orang membabi buta, fitnah itu tak mungkin mempan. Biarkanlah orang mau
berbuat dan berkata. Biarkan saja orang mau memfitnah. Mana loyang dan mana emas
akan tampak juga, adi. Begitu pula mana penipu dan mana yang jujur. Biasanya orang
yang suka memfitnah semacam itu adalah orang-orang yang takut kepada bayangannya
sendiri. Dan orang yang suka memfitnah, jauh lebih jahat dari pembunuh."
"Tetapi mbakyu, alangkah yogyanya kalau selalu berhati-hati. Menjauhkan diri
dari sesuau yang dapat memberi lobang kelemahan kepada orang, lebih baik lagi. Dan
karena itulah lebih tepat apabila kedatanganku ke sana pada kesempatan lain, dimana
kakang Wanengboyo di rumah."
"Huh, engkau angkuh sekali. Baiklah jika engkau tidak sudi berkunjung ke rumahku.
Ketahuilah bahwa aku membutuhkan pelindung pada saat-saat kakang Wanengboyo
tidak di rumah."
Sesudah berkata demikian, Ayu Kedasih sudah melangkah mendahului, menyusul
suaminya yang berjalan di depan bersama Danurwenda.
Tak enak Fajar Legawa mendengar ucapan Ayu Kedasih tadi. Tetapi ketika
teringat bahwa Ayu Kedasih membutuhkan pelindung, hatinya jadi tergerak.
Mungkinkah Ayu Kedasih emmpunyai musuh? Dan mungkinkah orang yang bernama
Bagus Lantung itu masih juga mengganggu?
"Apabila benar membutuhkan pelindung, dan ada orang sengaja memusuhi, tidak
ada alasan aku menolak," pikirnya kemudian. "Seorang sahabat harus berani berkorbanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
demi kepentingan sahabatnya. Orang yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri,
adalah seorang yang tamak."
Namun kemudian in membantah sendiri. Katanya dalam hati. "Tetapi ............
bukankah kakang Wanengboyo dapat membawa serta isterinya menghadap gurunya?
Hemm, sebaiknya aku bicara dengan dia. Aku akan menganjurkan agar saat itu Ayu
Kedasih ikut serta ke Merbabu."
Ketika itu mereka sudah tiba di tepi desa. Mereka segera bersikap lebih hati-hati
sambil menebar diri. Mereka menajamkan pandang mata dan menjaga segala
kemungkinan. Dengan setengah menahan napas, mereka mengikuti langkah pelapor yang
mendahului di depan.
Tak lama kemudian sampailah Mereka di suatu tempat yang agak tinggi. Pemuda
pelapor itu memberi tanda dengan mengacungkan tangan. Mereka kemudian mengikuti
arah petunjuk itu. Jauh di sana dan samar-samar dalam gelap malam, tampak orang-orang
sedang berkelahi sengit. Perkelahian itu terbagi dalam dua kelompok. Di bagian barat
seorang lawan seorang. Sedang yang di sebelah timur, tiga orang mengeroyok seorang
lawan.
"Dari jarak sejauh ini, sulitlah kita mengenal mereka secara jelas," kata
Danurwenda. "Marilah kiia mendekat ke sana."
"Berbahaya!" desis Tumpak Denta. "Kita belum mengenal siapakah mereka.
Maka sebaiknya kita tugaskan saja seorang dua untuk mendekati. Apabila terjadi sesuatu,
dengan sekali suitan yang lain dapat menolong secepatnya."
"Pendapatmu amat bagus!" sambut Wanengboyo. "Dan biarlah aku yang pergi ke
sana."
"Aku juga!" sambut Tohjoyo.
"Dan akupun ingin ke sana," kata Tumpak Denta.
Sebenarnya dua orang sudah cukup. Namun untuk menolak salah seorang,
Danurwenda tidak enak hati. "Baikah, dan bergeraklah kalian berpencaran. Waspadalah
supaya tidak menimbulkai kerugian. Dan bila perlu, tanda suitan akan mengundang kami
datang ke sana,"
Tiga orang itu mengiakan. Tetapi sesungguhnya pesaban seperti itu tidak perlu.
Mereka sudah cukup dewasa, tidak mungkin gegabah. Mereka kemudian berpencaran.
Dan dalam kegelapan malam mi, semua orang berusaha untuk bisa mengenal mereka
yang sedang berkelahi. Hati mereka tegang, sedang dalam hati sibuk menduga-duga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi Ayu Kedasih sikapnya lain. Tadi ia agak marah kepada Fajar
Legawa. Ia tidak begitu perduli kepada perkelahian yang sedang terjadi. Entah mengapa
sebabnya Setelah ia mengetahui bahwa Fajar Legawa memiliki salah sebuah pusaka yang
sedang diperebutkan orang, ia selalu ingin berdekatan dengan pemuda itu. Ia temasuk
salah seorang yang amat percaya kepada pendapat sementara orang. Bahwa orang yang
dapat memiliki pusaka "Tilam Upih" atau pedang "Sokayana" akan mendapat kemuliaan
hidup yang sulit dicitakan orang. Ia akan disegani dan dihormati orang tidak bedanya
dengan pemilik-pemilik pertama pusaka itu.
Dan oleh kepercayaan itu, maka Fajar Lerawa termasuk seorang calon yang akan
mendapatkan kemuliaan hidup itu, Fajar Legawa sudah memiliki salah satu pusaka itu,
dan berarti pula sudah mempunyai kelebihan dibanding orang lain.
Pendapat Ayu Kedasih ini sudah tentu bertentangan dengan pendapat Fajar
Legawa sendiri, yang sekarang menguasai pusaka itu. Karena menurut pendapat Fajar
Legawa, kemuliaan seseorang bukan karena pusaka keramat. Kemuliaan seseorang oleh
tindak dan perbuatan orang itu sendiri. Dan sebagai salah seorang hamba Allah yang taat
dan patuh kepada agama, hanya Allah yang berkuasa menentukan segala sesuatu di dunia
ini. Dan meskipun benar pusaka Tilam Upih mempunyai kelebihan dibanding dengan
senjata biasa, namun hal itu tidak menjamin orang menjadi digdaya dan sakti. Terbukti
dengan pengalamapnya menghadapi Jalu Gigis dan Klenting Mungilpun dirinya tidak
dapat berbuat banyak. Ilmulah yang menjadikan orang disebut digdaya sakti.
Fajar Legawa amat tertarik kepada merek-yang sedang Verkelahi. Terlebih puli
kenida se-orang yang berkelahi lawan seorang. Meskipun samar-samar, tetapi ia dapat
menangkap bahwa orang itu bersenjata sepasang pedang. Dan yang menarik perhatiannya
adalah gerak-gerik orang itu. Dan menurut perasaannya, sedikit banyak ia sudah
mengenal ilmu pedang itu. Tetapi siapakah orang itu, Fajar Legawa sulit menduga.
Disaat ia penuh perhatian mengikuti gerak gerik mereka yang sedang berkelahi itu,
tiba-tiba ia menangkap langkah orang mendekati. Tiba-tiba hidungnya mencium bau yang
semerbak harum. Dan sesaat kemudian terdengarlah suara orang yang berbisik di dekat
telinganya. "Adi, apakah engkau marah padaku?"
Sebenarnya kurang senang Fajar Legawa mendapat gangguan ini. Akan tetapi
untuk menjaga agar wanita itu tidak kecewa dan bisa berakibat kurang baik maka ia
menjawab juga. "Mengapa aku harus marah?"
"Terima kasih," Ayu Kedasih ketawa lirih, namun cukup merdu dan enak
didengar. "Tahukah engkau tentang usaha orang memperebutkan benda pusaka?"
Fajar Legawa terkesiap, ia dapat menduga akan arah tujuan Ayu Kedasih
membicarakan masalah itu. Namun demikian ia pura-pura belum tahu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pusaka apakah itu?"
"Hi-hi-hik, pusaka apa lagi? Bukankah orang sedang saling berlomba untuk dapat
memiliki keris pusaka "Tilam Upih" dan pedang "Sokayana" Dan salah satu diantara
pusaka itu, sekarang sudah di dalam tanganmu."
Fajar Legawa justeru telah tahu arah ucapan orang. Namun tidak urung sekarang
ini hatinya berdegup, karena menjadi semakin sadarlah ia bahwa mulut Ayu Kedasih
dapat membocorkan rahasia yang selalu ia sembunyikan. Dan apabila rahasia itu bocor,
maka merupakan suatu tanda bahaya bagi dirinya.
"Adi," bisik Ayu Kedasih lagi, "aku tahu bahwa engkau selalu berusaha
merahasiakan pusaka yang engkau bawa itu. Aku tahu bahwa engkau berusaha
menguasai pusaka itu seterusnya. Oleh karena itu, aku nasihatkan padamu adi, engkau
jangan suka membuat orang kecewa, agar rahasiamu tetap terjamin selamanya."
Mendengar kata-kata Ayu Kedasih ini, Fajar Legawa tidak dapat berkutik lagi. Ia
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang merasa ditempatkan pada sudut yang sulit. Kata-kata Ayu Kedasih ini
mempunyai maksud yang amat jauh, sehingga sulitlah bagi Fajar Legawa menduganya.
Akibatnya pula, iapun merasa bingung dan sulit, bagaimanakah caranya menjawab soal
ini?
Untunglah ia segera tertolong oleh keadaan. Ketiga itu terjadilah perobahan dalam
arena perkelahian. Orang yang tadi menggunakan sepasang pedang dan gerakannya
sudah dikenal oleh Fajar Legawa, sekarang terdesak hebat. Kemudian salah sebuah
pedangnya terpental, lepas dari tangan. Akibat kegugupannya, ketika ia akan membalas,
pedang yang tinggal sebatang itu menyusul terpental. Tetapi disaat yang berbahaya itu,
tiba-tiba terdengarlah suitan nyaring.
Dengan gerak yang amat cepat, Danurwenda dan Fajar Legawa lari ke tempat
perkelahian. Sedang Ayu Kedasih, dengan gerak yang lesu, terpaksa ikut menuju ke
tempat perkelahian. Dalam hatinya timbul rasa marah, akan tetapi kepada siapakah
kemarahannya itu harus ditumpahkan?
Ketika Fajar Legawa sudah tiba di dekat arena perkelahian, ia terbelalak dan
terkejut. Ternyata Tumpak Denta, Tohjoyo dan Wanengboyo telah melibatkan diri dalam
perkelahian. Sehingga sekarang terjadilah perobahan, seorang lawan seorang.
"Paman Gadung Melati!" seru Fajar Legawa kaget, sesudah mengenal kembali
orang tua itu.
Terdengar Gadung Melati ketawa terkekeh. Jawabnya. "Kalian memang
anak baik. Hayo Fajar, gantikan aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa sudah melompat tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya. Ia
maklum apabila Gadung Melati sudah memintanya, tentu ada sesuatu yang memaksa
kepadanya.
Ternyata dugaan Fajar Legawa benar. Tampaklah kemudian Gadung Melati
duduk bersila mengatur pernapasan. Fajar Legawa tahu akan sebabnya orang tua itu
duduk bersila di atas tanah. Agaknya pengaruh luka dalam siang tadi, ketika berkelahi
dengan Klenting Mungil, membuat orang tua itu menderita. Karena dipaksa untuk
berkelahi, maka dada orang tua itu sesak lagi dan ingin muntah sebab luka dalam yang
belum sembuh benar itu kambuh kembali.
Fajar Legawa menggantikan kedudukan Gadung Melati dengan tangan kosong.
Karena untuk menggunakan tongkatnya ia khawatir. Padahal musuh yang dihadapi
sekarang ini bersenjata sabit yang besar dan panjang. Gerakanya cepat dan penuh tenaga,
dan bukan pula lawan yang ringan,
Agak mengeluh juga Fajar Legawa, mengapa ia tadi tergesa melompat ke arena.
Apabila ia tadi meminjam senjata Danurwenda, senjata pinjaman itu akan banyak
membantu. Akan tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak ingin menunjukkan
kelemahannya di depan lawan. Dan sekalipun berat, ia melakukan perlawanan dengan
mantap.
Mendadak terdengarlah suara yang nyaring dan merdu. "Kakang Fajar!
Gunakanlah pedangku!"
Berdegup jantung Fajar Legawa mendengar suara yang merdu itu. Sebatang
pedang meluncur ke arahnya, dan dengan gerakan manis pedang itu sudah berhasil ia
tangkap. Katanya. "Terima kasih Wulan, pedangmu amat berguna bagiku sekarang ini."
Betapa gemas Ayu Kedasih melihat semua itu. Ia memandang Nawang Wulan
dengan perasaan tidak senang. Ayu Kedasih tidak tahu, mengapa hatinya tidak senang
kepada gadis itu, gadis yang sesungguhnya belum ia kenal.
Sebaliknya Nawang Wulan tampak tidak perduli. Ia cepat berdiri sambil mengamati
mereka yang sedang berkelahi. Tohjoyo berkelahi dengan canggahnya melawan seorang
berkumis tebal dengan senjata tombak dan perisai. Tumpak Denta dengan pedangnya
melawan seorang bertubuh tegap dan berewok, bersenjata golok. Wanengboyo dengan
sepasang goloknya melawan seorang tinggi besar bersenjata kapak. Sedang Fajar Legawa
dengan pedang pinjaman dari Nawang Wulan melawan seorang berewok yang bersejata
sabit besar.
Mereka berkelahi seorang lawan seorang. Dan Danurwenda berdiri mengamati
penuh perhatian. Sedang Gadung Melati, masih tetap duduk bersila sambil mengaturhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
pernapasan.
Sesungguhnya Gadung Melati sendiri tidak menduga akan terlibat perkelahian
dengan empat orang itu. Tadi, ketiga ia meninggalkan Wukirsari dan yang lain seraya
memondong Nawang Wulan, ia sudah bermaksud untuk terus pulang ke rumahnya. Akan
tetapi karena N wang Wulan masih pingsan dan tenaganya sendiri belum pulih
seluruhnya, maka orang tua berwajah jelek ini mencari tempat untuk mengaso.
Tetapi ketika Nawang Wulan siuman, gadis ini amat terkejut menyaksikan seorang tua
berwajah buruk duduk di sampingnya. Pengalaman sebelumnya masih memenuhi
dadanya, yang dikejar-kejar oleh Putut Jantoko, menyebabkan gadis ini cepat melompat
dan menghunus pedang.
Melihat sikap gadis itu, Gadung Melati terkejut akan tetapi hanya sejenak. Kakek
ini ketawa terkekeh, dan kemudian berkata lembut. "Anakku, sabarlah! Apakah sebabnya
engkau menghunus pedang? Lupakah engkau padaku?"
Mendengar suara seorang yang lembut, Nawang Wulan urung menggerakkan
pedangnya. Tetapi sebagai seorang gadis, ia masih belum percaya. Sepasang matanya
mengamati pakaian yang melekat pada tubuhnya.
Gadung Melati dapat menangkap kecurigaan gadis itu. Maka ia ketawa terkekeh
lagi, lalu katanya menghibur. "Heh-heh-heh, anakku, engkau tidak usah curiga dan
khawatir. Percayalah engkau, bahwa aku bermaksud baik padamu. Engkau anakku, dan
engkau sudah aku ambil sebagai anak angkat."
"Tidak!" pekik Nawang Wulan. "Dimanakah ibuku?"
"Wulan," kata Gadung Melati dengan sikap yang tetap sabar, "cobalah sekarang
iu kumpulkan ingatanmu. Apa sajakah yang engkau alami pada hari ini?"
Nawang Wulan terkesiap, kemudian menundukkan kepala dan berusaha
mengumpulkan ingatannya. Beberapa saat kemualan gadis ini segera ingat kembali apa
yang dialami. Tak salah lagi, bahwa ibunya tadi telah melepaskan napas penghabisan
dalam pelukannya, tiba-tiba saja tubuh gadis ini tergetar hebat, lalu jatuh terduduk dan
meratap. "Ibu.........ibu......... mengapa engkau pergi .........? Ibu.........aku ikut........."
Tidak terduga sama sekali pedang telanjang ditangannya itu sudah bergerak cepat
sekali, menusuk dada. Untung Gadung Melati waspada dan bertindak. Ujung pedang
urung menancap dadanya, malah kemudian berhasil direbut oleh Gadung Melati.
"Anakku, jangan!" hibur Gadung Melati halus, dengan sikapnya yang amat kasih.
"Engkau jangan cepat putus asa dan gelap mata. Anakku, relakanlah ibumu yang sudah
pergi mendahului. Relakan ibumu yang tewas sebagai seorang wanita gagah. Anakku,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akulah yang menggantikan ibumu ........akulah ayah dan orang tuamu........."
Gadung Melati yang memang berperasaan halus, berhati baik dan jujur itu, hampir
saja tidak kuasa menahan runtuhnya air mata. Adapun Nawang Wulan sekarang
menutup mukanya sendiri dengan telapak tangan sambil tersedu-sedu. Gadis ini amat
berduka ditinggal mati ibunya. Betapa tidak? Ayahnya sudah lebih dahulu gugur, dan
sekarang ibunya menyusul.
Gadung Melati membiarkan gadis itu menangis agar menjadi puas. Baru sesudah
agak lama, Gadung Melati kembali menghibur dengn kata-kata halus. Oleh kesabaran dan
ketelatenan Gadung Melati, akhirnya berhasil jugalah orang tua ini menghibur Nawang
Wulan. Namun demikian Nawang Wulan menurut kepada Gulung Melati, mengajak
kembali ke tempat perkelahian, untuk dapat menjenguk makam ibunya.
Gadung Melati terpaksa mengabulkan permintaan ini sekalipun hatinya terasa
berat. Tetapi sesudah Nawang Wulan tiba di tempat ibunya dimakamkan, gadis ini
hampir tidak kuasa menguasai diri dan perasaannya. Gadis ini menangis, menjerit-jerit
dan meratap-ratap. Membuat Gadung Melati yang wataknya welas asih amat terharu.
Malah hampir pula ia ikut menangis.
Memang bisa dimengerti apabila Gadung Melati tidak kuasa menahan diri
berhadapan dengan gadis menangis. Soalnya sampai menjadi kakek-kakek sekarang ini,
ia belum pernah kawin, Ia belum pernah pula merasakan bersanding dengan isteri dan
menimang bayi. Maka melihat kesedihan Nawang Wulan ini ia ikut menderita. Akan
tetapi sekalipun begitu, ia masih dapat pula berusaha menghibur dan membujuk.
Dan ternyata kemudian di samping makam ibunya ini, Nawang Wulan mogok. Ia
tidak mau berdiri dan meninggalkan makam ibunya. Gadung Melati berusaha membujuk
dan menghibur, namun usahanya tak juga berhasil. Nawang Wulan bertekat akan tetap
duduk di tempat itu dan menunggu makan ibunya.
Gadung Melati hampir kewalahan dalam usahanya membujuk gadis ini, dan
hampir putus asa pula. Untung bahwa kemudian kakek berwajah buruk ini menemukan
akal. Bujuknya. "Wulan marilah kita segera pergi. Hari sudah hampir gelap, dan aku
takut........."
Pada mulanya Nawang Wulan tidak menggubris. Tetapi ketika Gadung Melati
sengaja mengulang-ulang kata takut itu, dengan terisak Nawang Wulan bertanya. "Paman
takut apa? Apakah ibu yang sudah mati itu, kemudian akan menjelma menjadi hantu?"
"Ah.......bukan ibumu........." sahut Gadung Melati. "Tetapi aku takut kepada dia
tadi siang. Kepada musuh itu........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Diingatkan tentang Klenting Mungil dan Putut Jantoko, mendadak saja gadis ini
tampak gugup. Apabila musuh yang ditakutinya itu mengganggu lagi, niscaya orang tua
yang sekarang berusaha menolong dirinya ini, akan menjadi korban pula. Tiba-tiba saja
timbullah rasa yang tidak rela apabila Gadung Melati menjadi korban Klenting Mungil
dan Putut Jantoko. Maka kemudian sekalipun hatinya merasa berat meninggalkan
makam ibunya, pada akhirnya Nawang Wulan menurut pula di ajak pergi. Demikianlah,
dua orang itu kemudian melangkah beriringan meninggalkan tempat itu.
Sayang sekali bahwa jalan yang ditempuh Gadung Melati ini berlainan dengan
jalan yang ditempuh Wukirsari. Hingga diantara mereka tidak saling berjumpa. Apabila
kemudian Fajar Legawa dan Tumpak Denta tiba di desa Sumberrejo, sebaliknya Gadung
Melati dan Nawang Wulan menuju desa lain.
Akan tetapi ketika Gadung Melati bersama Nawang Wulan mendekati desa itu,
mereka amat terkejut. Dari dalam desa itu terdengarlah suara yang gaduh oleh jerit dan
tangis orang, Gadung Melati tergerak, maka bersama Nawang Wulan segera masuk desa
itu, ingin tahu apa yang terjadi.
Apa yang kemudian mereka liha? Dua orang laki-laki bersenjata sedang menyeret
dua orang wanita muda. Dan dilihatnya pula tiga orang laki-laki roboh dan mengerang-
erang kesakitan tidak jauh dari tempat itu, dan disamping itu juga tampak seorang wanita
setengah baya menggeletak tak berkutik.
Desa itu tampak sepi. Rumah orang tertutup rapat seakan kosong. Menyaksikan
kesewenangan itu. Gadung Melati cepat marah. Ia menggeram, melompat dan memukul
salah seorang. Nawang Wulan tak mau tinggal diam, iapun sudah mencabut pedang
kemudian menerjang pula.
Melihat bahaya mengancam, laki-laki tersebut melepaskan wanita yang diseret
sambil menghindarkan diri, namun karena takut, maka dua orang laki-laki ini tidak
melawan, hanya kemudian melarikan diri.
Gadung Melati yang sudah marah tidak mungkin mau membiarkan mereka pergi.
Maka bersama Nawang Wulan, mereka mengejar. Dan akhirnya sampailah mereka pada
dataran di dekat ladang luas. Dua orang laki-laki itu bersuit nyaring dan tak lama
kemudian muncullah dua orang laki-laki lain dari balik batu. Tidak jauk dari tempat itu,
tampak pula empat ekor kuda bagus, sedang asyik makan rumput.
Secara kebetulan tempat yang mereka pergunakan berkelahi itu tidak jauh dengan
desa Sumberrejo. Hingga petugas desa Sumberrejo sempat mengetahui pula.
Tetapi empat orang itu bukanlah penjahat gunung Ungaran. Dan sebenarnya saja
mereka bukanlah penjahat, dan mereka datang dari tempat jauh. Mereka berasal darihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
ujung timur pulau Jawa. Mereka prajurit-prajurit terpilih dari Belambangan, sebagai
utusan Adipati menuju Mataram. Mereka penyelidik, justeru antara Mataram dengan
Belambangan masih tetap bermusuhan.
Sesungguhnya Belambangan selalu siap siaga menghadapi penyerbuan Mataram.
Akan tetapi ternyata Sultan Agung yang telah berhasil menundukkan para Bupati dan
Adipati wilayah timur itu, tidak menyerbu ke Belambangan. Kadipaten ini tetap merdeka
tidak tunduk kepada Mataram. Dan untuk memperkuat diri, kemudian Adipati
Belambangan menjalin kerja sama dengan para raja Bali.
Dalam mehadapi ancaman Mataram yang dapat terjadi setiap saat itu, maka
Belambangan memperkuat diri. Memperkuat balatentara dan memperkuat benteng untuk
menanggulangi penyerbuan Mataram. Dan merupakan keuntungan bagi Belambangan
ini, bahwa hubungan di darat dengan daerah lain dipisahkan pegunungan yang sulit
diterobos. Justeru menggantungkan kepada benteng alam inilah maka adipati
Belambangan tidak sudi tunduk kepada Mataram.
Keuntungan lain yang diperoleh Belambangan, justeru di saat ini Kumpeni
Belanda semakin memperluas daerah pengaruhnya. Maka segala daya dan kekuatan
Mataram ditujukan kepada Kumpeni Belanda, sehingga tidak sempat memperhatikan
Belambangan.
Sebagai utusan Adipati Belambangan, maka empat orang ini bukanlah orang-
orang sembarangan. Dalm perjalanan ini, empat orang itu tersesat jalan dan lewatlah
mereka di tempat ini. Kemudian mereka bermaksud melepaskan lelah dan dua orang
kawannya ditugaskan mencari tempat menginap dalam desa. Pergilah kemudian dua
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang ini menuju desa. Tetapi secara kebetulan, mereka lewat tidak jauh dari sumbar air.
Mereka menyaksikan seorang perawan desa yang sedang mengambil air. Dan celakanya
pula, selera dua orang ini timbul untuk mengunakan kesempatan baik itu. Mereka cepat
menyelinap agar dapat menangkap perawan itu secara mudah. Akan tetapi celakanya
perawan itu membawa seekor anjing yang setia. Ketika anjing itu melihat orang yang
mencurigakan, anjing itu segera menggonggong. Membuat si perawan kaget, dan larilah
perawan ini ke arah desa sambil menjerit minta tolong.
Jerit Perawan itu menyebabkan kaget dan orang dalam desa itu, cepat bersiap diri.
Mereka segera mengira bahwa penjahat gunung Ungaran datang dan mengganggu. Akan
tetapi sayang, bahwa orang desa itu hanya mengandalkan kepada keberanian dan jumlah
banyak. Dengan mudah orang-orang desa itu dihalau. Dalam waktu singkat belasan orang
sudah roboh terluka dan tewas. Mereka yang nekat maju hanya untuk roboh atau mati.
Akibatnya para penduduk menjadi giris, lalu lari terserabutan bersembunyi.
Tetapi justeru marah dan merasa menang ini, maka dua orang prajurit
Belambangan ini mengamuk. Mereka menggedor sana menggedor sini. Penduduk yanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melawan segera dirobohkan. Tak lama kemudian tibalah dua prajurit ini di rumah seorang
kaya dalam desa ini. Dan sungguh kebetulan, bahwa di situ pulalah perawan yang
menarik hati tadi berdiam. Mereka disambut oleh ayah perawan itu dan keluarganya.
Namun apakah sulitnya dua prajurit Belambangan itu mengalahkan mereka? Dan sesudah
puas menghajar keluarga itu, barulah mereka kemudian menyeret perawan tadi bersama
adiknya.
Sungguh untung bagi gadis dan keluarga itu, bahwa Gadung Melati dan Nawang
Wulan datang dan menolong. Hingga mereka terhindar malapetaka yang lebih
mengerikan.
Itulah sebabnya Gadung Melati dan Nawang Wulan berkelahi dengan mereka.
Dan sekarang, prajurit-prajurit Belambangan itu berhadapan dengan musuh baru. Dan
walaupun mereka berusaha untuk segera dapat mengalahkan lawan, mereka tidak
berhasil. Ternyata murid-murid Gajah Seta dari Merbabu dan murid Suria Kencana dari
Lembah Galunggung itu, merupakan pemuda-pemuda berilmu tinggi.
Sepasang golok Wanengboyo menyambar-nyambar dahsyat sekali. Tenaga
pemuda ini memang kuat, maka setiap sambarannya cukup berbahaya. Pemuda Tohjoyo
dengan canggahnya itupun bergerak dengan cepat. Dan setiap kali berbenturan dengan
tombak dan perisai lawan, terdengarlah suara dencing yang amat nyaring.
Tandang Tumpak Denta tidak kalah dengan yang lain. Gerakannya gesit seperti
burung srikatan. Pedangnya berkelebat kesana kemari menerbitkan angin berdesir-desir.
Hanya saja agak sayang, bahwa tadi siang ia menderita luka dalam dan letih pula. Maka
setiap gerakannya, Tumpak Denta merasakan dadanya sakit dan sesak. Tandang Fajar
Legawa sebagai adik seperguruannya, tidak jauh bedanya. Akan tetapi pengaruh luka
dalamnya yang belum sembuh benar, mempengaruhi pula gerakannya.
Diam-diam empat orang prajurit Belambangan itu mengeluh setelah berhadapan
dengan empat orang muda ini. Sekarang baru terbukalah mata mereka, bahwa kepandaian
yang selalu diagulkan itu belum pantas untuk bersombong diri. Dalam perjalanan ke
Mataram baru sekali ini sajalah mereka terlibat dalam perkelahian. Celakanya sekali
berkelahi telah ketanggor batu keras. Dalam hati mereka segera timbul kekhawatiran,
ternyata bahwa Mataram mempunyai banyak orang sakti mandraguna.
Walaupun begitu mereka masih beruntung. Senjata-senjata mereka dari baja
terpilih dan dikerjakan oleh tukang pandai Belambangan yang ahli. Hingga senjata itu bisa
menolong kerepotannya.
Danurwenda, Nawang Wulan dan Ayu Kedasih yang menonton merasa gemas,
musuh belum dapat dikalahkan. Tangan mereka terasa gatal untuk mencabut senjata
masing-masing. Akan tetapi kalau mereka menerjukan diri ke arena, mereka khawatirhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dituduh mengeroyok.
Tiba-tiba terdengarlah pekik Wanengboyo yang tertahan. Ternyata salah sebatang
goloknya lepas dan tangan. Akibatnya, ia sekarang hanya dapat melawan dengan
sebatang golok.
"Ha-ha-ha," lawannya ketawa bekakakan. "Sura mrata jaya mrata. Inilah
Tumenggung Tohjiwo dari Belambangan. Lebih baik kau menyerah sebelum mampus
dalam tanganku!"
Sesumbar orang itu, yang mengaku seorang Tumenggung dari Belambangan,
kuasa membuat kaget para pemuda ini. Ayu Kedasih yang sudah gemas menjadi marah.
Tentu ia takkan rela suaminya dihina seperti itu. Maka dengan menggeram saking
marahnya, perempuan ini sudah mencabut sepasang golok dan menerjang maju. Golok
pada tangan kiri lebih pendek dibanding dengn golok pada tangan kanan.
"Kakang!" serunya kemudian, "Aku bantu kerepotanmu!"
Golok Ayu Kedasih di tangan kanan sudah mengirimkan bacokan kearah lawan,
dengan gerakan berantai. Sekaligus perempuan ini sudah membacok kepala, pundak dan
lambung orang.
Tumenggung Tohjiwo kaget atas serangan itu. Ia melompat ke belakang, tetapi
dikejar oleh sambaran golok Ayu Kedasih,
Wanengboyo memperoleh kesempatan mengambil goloknya yang tadi lepas. Lalu
teriak pemuda ini. "Ayu! Mundurlah! Seorang diri aku masih sanggup menghajar bangsat
itu!"
"Bagus, heh-heh-heh!" Tumenggung Tohjiwo ketawa terkekeh. "Mundurlah
engkau manis, bagaimanapun aku tak tega akan kecantikanmu. Ha-ha-ha, jangan engkau
memaksa diri melawan aku. Tetapi sebaliknya, percayalah bahwa aku akan sanggup
membahagiakan engkau sebagai Nyai Tumenggung."
"Tutup mulutmu!" teriak Ayu Kedasih yang cepat marah, sedang golok di tangan
kanan kembali menyambar. Memang Ayu Kedasih selalu menggunakan tangan kanan
untuk menyerang. Golok pada tangan kiri itulah yang bertugas untuk menangkis.
Wanengboyo amat marah, sebagai seorang suami, sudah tentu tidak sanggup
mendengar godaan orang terhadap isterinya. Maka dengan menggeram marah sepasang
goloknya sudah menyambar pula dari arah samping.
Akan tetapi dengan senjata kapaknya yang besar, Tumenggung Tohjiwo dapathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melindungi diri. Ia membenturkan kapaknya yang besar itu ke golok Ayu Kedasih. Dan
kemudian gerakan itu diteruskan untuk menangkis pula serangan golok Wanengboyo.
Ayu Kedasih amat terkejut. Benturan itu membuat telapak tangannya panas dan
goloknya hampir terlepas. Tetapi Ayu Kedasih sudah dibakar kemarahan. Ia tidak
menjadi gentar, malah kembali menyerang dengan goloknya. Namun setelah mendapat
pengalaman itu. Ayu Kedasih lebih hati-hati. la tidak berani gegabah membenturkan
senjatanya dengan senjata lawan.
Ayu Kedasih salah seorang murid Ki Hajar Jaladara. Maka sekalipun perempuan,
ketangguhannya bisa dibanggakan, ia dapat menyelenggarakan kerja sama baik sekali
dengan suaminya. Dengan berkelahi bersama-sama ini, mereka dapat menggabungkan
ilmu dari dua perguruan. Ialah perguruan Gajah Seta dan perguruan Ki Hajar Jaladara.
Tumenggung Tohjiwo tak lagi bisa mengejek. Dan sekarang dia harus mengakui
ketangguhan suami isteri muda ini. Tetapi ia menang seorang prajurit Belambangan yang
cukup kuat. Kapaknya yang besardan berat itu menyambar-nyambar menerbitkan angin
dahsyat. Akan tetapi walaupun Tumenggung Tohjiwo seorang tangguh, sulit juga
menghadapi keroyokan suami isteri ini.
Di pihak lain, oleh pengaruh luka dalam siang tadi, membuat Tumpak Denta dan
Fajar Legawa mengeluh. Kalau saja kakak beradik itu tidak terluka dalam, kiranya tidak
akan kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Di antara mereka, yang kedudukannya
seimbang hanyalah Tohjoyo. Antara Tohjoyo dengan lawannya berkelahi sengit sekali
sambil membentak-bentak keras.
Mendadak terdengarlah suara kok kok kok, menyerupai suara katak. Disusul oleh
loncatan dari orang-orang Belambangan.
"Ayaa!" Seru Tumpak Denta agak terkejut sambil memutarkan pedangnya seperti
baling-baling. Menyusul terdengarlah suara tring tring tring tiga kali, dan jatuhlah senjata
rahasia yang menyerang kearah dirinya.
Ternyata bahwa suara seperti katak tadi merupakan aba-aba, untuk melepaskan
senjata rahasia. Dan ketika lawan kaget dan sibuk menangkis, mereka menggunakan
kesempatan untuk mengambil langkah seribu. Secepat kilat empat orang itu sudah
meloncat ke punggung kuda masing-masing, kemudian melarikan diri secepat terbang.
Semua berusaha untuk mengejar. Mereka tidak rela untuk melepaskan musuh-
musuh itu. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka mengejar, tiba-tiba terdengarlah
suara kentong titir tanda bahaya.
"Celaka!" teriak Danurwenda. Kemudian ia membalikkan tubuh, lalu lari secepathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
terbang menuju desa Sumberrejo.
Yang lain tidak terkecuali. Mereka kaget dan berbalik arah. Seakan mereka berlomba lari.
Mereka mengerahkan kepandaian mereka lari, kejar mengejar dan saling susul menuju
desa Sumberrejo. Mereka insyaf bahwa tanda bahaya itu, tentu akibat gangguan penjahat
gunung Ungaran.
NAMUN Gadung Melati dan Nawang Wulan tidak ikut serta berlarian menuju
desa Sumberrejo. Gadung Melati yang sudah dapat mengusir sesak dadanya, berdiri dan
mengamati mereka yang berlarian seperti dikejar iblis. Nawang Wulan mengamati
Gadung Melati dengan pandang mata bertanya-tanya. Mengapa orang tua ini tidak
mengikuti jejak mereka?
"Mengapa kita tidak ikut mereka, paman......?" tanya Nawang Wulan kemudian.
"Salah!"
Nawang Wulan heran. "Apa yang salah?"
"Sebutanmu padaku itulah yang salah," sahut Gadung Melati. "Apakah sebabnya
engkau menyebut aku paman?"
Nawang Wulan nampak bingung. Kalau tak boleh menyebut paman, habis disuruh
menyebut apa?"
Gadung Melati ketawa sejuk. Kemudian kata orang tua ini. "Engkau harus merasa
sebagai anakku. Tetapi disamping itu engkau harus merasa pula sebagai muridku. Sebab
aku mendapat penyerahan dari ibumu, untuk mendidik dan membimbingmu, agar engkau
kelak kemudian hari menjadi seorang wanita yang berguna dan dihormati orang."
Gadung Melati berhenti sambil mengamati gadis itu. Baru beberapa saat kemudian
ia melanjutkan. Tahukah engkau bahwa sekalipun perempuan, perlu juga memiliki
kepandaian? Agar laki-laki tidak menganggap dirimu lemah dan tidak berguna? Ingatkah
engkau kepada puteri-puteri prajurit seperti Srikandi dan Larasati? Ahh.........itu terlalu
jauh. Aku ambilkan saja contoh pada jaman kini. Ialah Ratu Wandansari isteri Pangeran
Pekik, Adipati Surabaya. Dia seorang wanita, tetapi prajurit yang hebat. Dialah
sesungguhnya yang berhasil memimpin prajurit Surabaya memukul Giri, sehingga Sunan
Giri menyerah."
Nawang Wulan terlonggong mendengar kata-kata Gadung Melati ini. Tetapi
meskipun perempuan ia seorang gadis yang tahu diri. Ia seorang yang cerdas dan cepat
dapat menangkap maksud orang. Maka cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut.
Katanya kemudian. "Bapa, terima kasih atas kepercayaan bapa kepada saya. Sejak malam
ini murid bersumpah. Bahwa kedudukan saya sekarang sebagai anak pungut sekaligus
murid. Dan sudah tentu anak akan selalu tunduk kepada bapa."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Heh-teh-heh," Gadung Melati ketawa terkekeh-kekeh senang sekali. Kemudian
ia membimbing Nawang Wulan supaya berdiri. Pujinya. "Kau anak yang baik. Dan Allah
telah mempertemukan aku dengan engkau. Hingga kesedihanku sekarang terhibur,
walaupun Pertiwi Dewi telah pergi. Kau akan menggantikan dia, anakku."
Nawang Wulan belum pernah kenal kepada nama orang yang disebut-sebut
Gadung Melati itu. Akan tetapi diam-diam ia sudah dapat menduga, bahwa nama yang
disebut tadi adalah murid orang tua ini.
Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Mereka berdiri bagai patung. Tetapi
agaknya Nawang Wulan tidak kuat untuk berdiam diri, tidak bertanya. "Bapa, pertanyaan
saya belum bapa jawab. Apa sebabnya kita tidak ikut mereka? Bukankah tenaga kita
diperlukan pula orang-orang desa itu?"
"Sesungguhnya aku merasa berat," Gadung Melati menghela napas.
"Apakah sebabnya? Kita toh berbuat baik untuk menolong mereka yang
membutuhkan pertolongan bapa. Mengapa bapa merasa berat menolong orang?"
"Wulan, bukanlah aku berat untuk menolong orang," sahut Gadung Melati.
"Tetapi aku merasa berat karena di antara mereka itu terdapat seorang pemuda bernama
Fajar Legawa."
"Mengapa dia?" desak Nawang Wulan tambah heran.
Gadung Melati menghela napas panjang. Kemudian ia memandang gadis ini lama
sekali, baru ia menjawab. "Karena aku khawatir........."
"Mengapa khawatir?" desak gadis ini lagi.
"Khawatir engkau terpikat kepada dia."
Nawang Wulan terkesiap. Ia mengamati Gadung Melati dengan sepasang mata
yang heran. Tetapi juga merasa tersinggung dan terhina. Hanya karena orang tua ini sudah
menjadi ayah angkat dan juga gurunya, ia tidak bisa marah. Maka kemudian gadis ini
hanya menangis.
Gadung Melati kaget. Ia menjadi heran mengapa Nawang Wulan menangis?
Hiburnya kemudian. "Eh Wulan, kenapa engkau?"
Tetapi Nawang Wulan tidak menjawab. Dengan telapak tangan ia menutupi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aihh, kau tersinggung?" Gadung Melati seperti baru sadar. "Wulan, maafkan
aku. Aku tidak sengaja menyinggung hatimu, tetapi aku memang khawatir kalau sampai
kehilangan engkau. Wulan, ketahuilah bahwa Pertiwi Dewi mengalami derita dan
mendapat celaka, bukan lain karena tertarik kepada pemuda itu. Maka khawatir apabila
peristiwa itu sampai terulang lagi."
Sekalipun Nawang Wulan tidak tahu terjadinya peristiwa yang menimpa Pertiwi
Dewi, tetapi ia sudah dapat memaklumi maksud orang tua itu. Ia kemudian berhenti
menangis. Ditatapnya wajah ayah angkatnya yang jelek itu. Lalu, "Jadi, bapa curiga
padaku?"
"Siapa yang curiga? Tidak! Tetapi aku tidak menginginkan peristiwa menyedihkan
itu terulang lagi, anakku. Aku tidak benci kepada pemuda itu. Akan tetapi aku tidak ingin
engkau tertarik dan jatuh cinta kepada dia, dan tidak menginginkan pula dia menjadi
menantuku."
Gadung Melati adalah seorang kakek yang jujur dan lebih suka blak-blakan.
Pengalamannya dengan muridnya Pertiwi Dewi merupakan pengalaman yang amat
pahit. Dan dia tidak menghendaki peristiwa itu terulang lagi. Dan sebabnya Gadung
Melati segera menuduh Nawang Wulan tertarik kepada Fajar Legawa, karena sikap
Nawang Wulan yang selalu mencari perhatian pemuda itu, dengan meminjamkan
pedangnya.
Padahal Nawang Wulan tidak berpikir sejauh itu. Apa yang tadi dilakukan adalah
terdorong oleh rasa setia kawan, ia telah merasa berhutang budi ketika sedang
menghadapi keroyokan penjahat anak buah Juru Demung.
"Bapa tak perlu khawatir," kata gadis ini kemudian. "Sebab aku masih belum
sempat memikirkan tentang itu."
Gadung Melati terkekeh. Katanya. "Aku belum puas akan jawabanmu. Sekarang
tidak, tetapi siapa tahu belakang hari?"
"Ahhh........." Nawang Wulan berseru kaget, tetapi kemudian menjadi jengkel.
"Habis bagaimanakah aku harus menjawab?"
Gadung Melati tidak mendesak lebih lanjut. Kakek ini kemudian merasa puas juga
atas jawaban itu. Iapun kemudian merasa bahwa memang sulit Nawang Wulan harus
menjawab pertanyaannya. Maka kata kakek ini kemudian. "Baiklah Wulan, marilah kita
sekarang pergi dan membantu mereka."
Nawang Wulan tersenyum manis dan wajahnya berseri. Tanpa mengucapkan
kata-kata lagi, gadis ini sudah melompat mendahului. Gadung Melati terkekeh, kemudianhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
iapun mengejar anak angkatnya. Dalam waktu singkat kakek ini telah dapat mengejar
Nawang Wulan. Dan tiba-tiba saja tangan kakek ini telah menggapit tangan Nawang
Wulan sambil berkata, "Mari kita percepat lari kita,Wulan."
Dengan dibimbing Gadung Melati, gadis ini merasa seperti terbang. Dalam hati
merasa kagum dan bangga akan kesaktian ayah angkatnya. Dalam hati kemudian timbul
rasa yakin, bahwa kemudian hari ia akan dapat mewarisi kepandaian ayah angkatnya ini.
Hati Nawang Wulan menjadi sejuk. Kepergian ibunya sekarang telah mendapatkan ganti
seorang pelindung yang dapat dipercaya.
Ketika mereka sudah dekat dengan desa Sumberrejo, terdengarlah kegaduhan di
sana sini tampak obor kayu yang menyala, disamping suara dencing senjata perkelahian.
"Mereka berkelahi," desis Nawang Wulan.
"Ya, mereka sudah berkelahi," kata Gadung Melati. "Tetapi bagaimanapun
engkau harus hati-hati Wulan, dan jangan terlalu jauh dengan aku."
"Bapa khawatir?"
"Tentu saja! Penjahat gunung Ungaran itu amat berbahaya. Dan orang yang
bernama Jalu Gigis serta Dyah Raseksi itu tidak mudah untuk dilawan. Sebab aku
memang sudah pernah berhadapan dengan mereka."
"Di mana, ayah?" Nawang Wulan kaget, tetapi juga tertarik.
"Di sarang mereka! Tetapi ah, sudahlah. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.
Aih...hatiku menjadi sedih lagi........."
Nawang Wulan tidak mendesak. Maka gadis ini hanya melangkah tanpa
membuka mulut.
"Ha, ternyata benar kataku," desis Gadung Melati tiba-tiba. "Jalu Gigis ikut serta."
Tiba-tiba saja tubuh yang bundar seperti bola itu sudah melompat untuk
melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi Gadung Melati terpaksa harus memukul ke
kanan dan ke kiri untuk menghalau setiap penjahat yang berusaha menghalangi. Ia
langsung menuju ke tempat Jalu Gigis berkelahi dan dikeroyok. Ia merasa tak sampai hati
membiarkan tiga orang muda melawan Jalu Gigis kesulitan.
Memang sesungguhnyalah, keadaan Danurwenda, Tohjoyo dan Wanengboyo
sudah benar-benar payah, terdesak oleh Jalu Gigis. Serangan-serangan mereka selalu
tertahan sesuatu yang licin dan arahnya kemudian menyeleweng. Sama sekali tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mereka sadari bahwa mereka menghadapi seorang sakti-mandraguna yang memiliki aji
"Welutputih".
Sesungguhnya baru malam ini sajalah Jalu Gigis memimpin penjahat-penjahat
Ungaran melakukan kejahatannya. Pada biasanya, cukuplah mereka bergerak sendiri
tanpa pimpinan.
Memang ada sebabnya. Ia mendapat laporan dari seorang penjahat yang
menyelidik, bahwa desa Sumberrejo memperkuat dan mempersiapkan diri. Penduduk itu
dibantu oleh murid-murid Gajah Seta dari Merbabu. Mendengar ini Jalu Gigis menjadi
marah. Maka gerakan malam ini, dialah yang memimpin. Ia penasaran sekali oleh
kelancangan orang-orang desa ini yang berani melawan gerombolannya. Dan maksudnya
sudah tentu, ia ingin menunjukkan kekuatannya.
Ketika Jalu Gigis melihat Gadung Melati, maka penjahat ini ketawa terkekeh-
kekeh mengejek. "Heh-heh-heh. Engkau juga datang kemari? Bagus! Hayo, terjun dan
keroyoklah aku!"
Malam ini, kesehatan Gadung Melati terganggu. Diam-diam kakek ini menyadari
bahwa seharusnya, tidak boleh berkelahi lagi. Ia harus istirahat yang cukup. Namun
sebagai seorang yang mempunyai harga diri, ia tidak sedia dianggap sebagai seorang
pengecut. Ia tidak akan sudi menghadapi Jalu Gigis dengan keroyokan. Dan kalah atau
menang, ia harus melawan seorang diri.
"Mundur!" seru kakek ini kemudian. "Penjahat tua ini bagianku. Huh, tua sama
tua!"
Danurwenda, Tohjoyo dan Wanengboyo tidak membantah. Mereka kemudian
melompat mundur dan memberi kesempatan kepada Gadung Melati untuk menghadapi
Jalu Gigis. Tetapi mereka bukannya berpangku tangan. Mereka ini kemudian mengamuk
untuk menghalau para penjahat kecil.
Agaknya malam ini Jalu Gigis mengerahkan anak buahnya. Jumlah penjahat itu
tidak kurang dari tiga puluh orang, malah kebanyakan dari mereka memiliki kepandaian
lumayan.
Perkelahian itu amat gaduh. Mereka berkelahi sambil mengucapkan kata-kata
kotor. Mengapa begitu? Bukan lain karena para penjahat ini melihat wajah cantik dua
orang perempuan, Nawang Wulan danAyu Kedasih.SengajaMereka mengucapkan kata-
kata kotor itu, untuk memancing lawan marah.
Tentu saja pancingan mereka itu berhasil membangkitkan amarah Nawang Wulan
dan Ayu Kedasih. Dua orang perempuan ini merasa tersinggung dan terhina. Makahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mereka berkelahi dengan dada seperti mau meledak, mengamuk dan tidak
memperhitungkan bahaya yang setiap waktu bisa mengancam keselamatan mereka
sendiri. Dua orang perempuan ini berkelahi seperti banteng ketaton. Mereka terus
mendesak dan senjata masing-masing menyambar dahsyat. Dan sebagai akibat rasa
marah yang menggelega kdalam dada ini, baik Nawang Wulan maupun Ayu Kedasih
seperti lupa diri. Musuh yang melompat mundur selalu dikejar dan didesak terus. Tanpa
terasa, penjahat yang dihadapi telah memisahkan diri dengan yang lain.
Orang lain kurang perhatian justeru menghadapi lawan. Dengan semangat yang menyala
pula, para pemuda itu ingin membunuh penjahat sebanyak-banyaknya. Tohjoyo yang
mendendam sakit hati menggerakkan senjatanya dengan semangat menyala, dan seakan
ia melihat kembali ayahnya yang mati terbunuh oleh keroyokan para penjahat. Dengan
mengandalkan tenaganya yang kuat, setiap kali membentur senjata lawan, gerakan itu
diteruskan untuk menikam. Tombak trisulanya atau canggah itu sudah bernoda darah
merah. Ia telah berhasil melukai dua orang lawan. Namun ia takkan puas sebelum dapat
membunuh belasan orang penjahat sebagai pengganti nyawa ayahnya.
Jalu Gigis mengandalkan kekebalan tubuhnya oleh aji "Welut Putih", menghadapi
Gadung Melati dengan gagah. Baru berkelahi belasan jurus, Gadung Melati sudah mulai
terdesak, karena dada kakek ini sesak kembali akibat luka dalamnya yang belum pulih.
Jalu Gigis gembira. Ia berusaha mendesak dengan pukulan-pukulan yang mematikan.
Dan apabila kakek ini telah roboh, ia akan dapat dengan mudah membunuh setiap orang
yang berani menghadapi. Diantara musuhnya pada malam ini, hanya Gadung Melati
inilah satu-satunya orang yang berisi.
Sadar akan keadaannya Gadung Melati tidak berani sembrono lagi.
Engalamannya adi iang, yang roboh ditangan Klenting Mungil, bukan lain akibat dirinya
segan menggunakan aji pukulan yang bernama "Bramastra". Dan apabila malam ini ia
harus menahan diri dan tidak menggunakan ilmu tersebut, ia maklum takkan dapat
melihat matahari esok pagi. Sadar akan keadaannya, mendadak saja Gadung Melati tidak
sungkan-sungkan lagi. Pukulannya tiba-tiba saja mengandung hawa panas. Dan
walaupun Jalu Gigis dilindungi aji kesaktian "Welut Putih", tidak urung Jalu Gigis
mengeluh kepanasan.
Tanpa terasa malam sudah hampir fajar. Tetapi perkelahian itu masih berlangsung
sengit sekali, semakin dingin, akan tetapi mereka mandi keringat.
Belasan penjahat telah roboh oleh amukan pemuda-pemuda murid Suria Kencana
dan Gajah Seta itu. Akan tetapi karena melihat Jalu Gigis masih tetap berkelahi, maka
tidak seoranpun diantara mereka yang berani mundur. Mereka terus berkelahi, walaupun
sesungguhnya hati sudah merasa miris, melihat banyak temannya sudah roboh.
Namun sebaliknya korban para penduduk juga tidak sedikit. Ketika Danurwenda
dan yang lain tadi belum datang, para penduduk sudah melakukan perlawanan. Tetapi
perlawanan penduduk itu merupakan lawan yang empuk. Sehingga dalam waktu singkathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
sudah banyak penduduk desa yang roboh tewas.
Sekalipun demikian para penduduk desa itu tidak kenal takut. Mereka bersiap diri
di luar arena sambil mempersiapkan senjata masing-masing. Busur dan anak panah telah
siap sedia pula, sehingga setiap saat akan sanggup menghujam anak panah kepada para
penjahat itu.
Sementara itu Wanengboyo yang sibuk melawan, mendadak ia kaget ketika
melihat isterinya tidak tampak. Ia terkejut dan wajahnya pucat. Maka setelah menghalau
lawan sampai mundur, secepat kilat Wanengboyo melompat keluar arena. Tingkah
Waneneboyo ini semula membuat Fajar Legawa heran. Tetapi ketika ia menggunakan
kesempatan melihat keadaan, pemuda inipun menjadi kaget dan khawatir, ketika tidak
melihat Ayu Kedasih dan Nawang Wulan.
Perlahan tetapi pasti. Ayu Kedasih maupun Nawang Wulan telah dipancing
menjauhi arena perkelahian. Para penjahat gunung Ungaran ini merasa pasti, dua orang
perempuan ini dengan gampang akan bisa ditangkap.
Tiba-tiba saja terdengarlah pekik Ayu Kedasih yang nyaring. Perempuan ini
menjerit, karena goloknya terlepas dari tangan akibat pengaruh bauyang memuakkan
sehingga kepala perempuan ini terasa pening. Mengapa? Sebagai seorang perempuan, ia
tidak bedanya dengan yang lain. Ia akan menjadi jijik apabila menghadapi ular. Para
penjahat itu sekarang telah menggunakan ular-ular hidup untuk menghadapi Ayu
Kedasih, yang dipegang pada ekornya. Mulut ular itu terbuka lebar sambil menyemburkan
bisa, disamping pula berusaha mematuk dan menggigit Ayu Kedasih.
Wanita manakah yang tidak jijik dan ngeri berhadapan dengan ular? Maka dalam
keadaan jijik ini, para penjahat menggunakan kesempatm untuk memukul senjata Ayu
Kedasih runtuh dari tangan.
Keadaan Nawang Wulanpun tidak jauh bedanya. Hanya saja gadis ini tidak
menjerit sekalipun ngeri dan muak, menghadapi keroyokan ular hidup. Akan tetapi
walaupun begitu, gerakannya juga menjadi kacau. Ia melawan secara nekad dan terancam
oleh bahaya.
Jerit Ayu Kedasih itu bukan melulu membuat Wanengboyo kaget. Akan tetapi
yang lain demikian pula. Mereka semua marah sekali dan berusaha menolong dua orang
perempuan itu. Sayang, para penjahat yang lain berusaha menghalangi.
Wanengboyo yang mengkhawatirkan keselamatan isterinya, melawan dengan
nekat. Karena kurang hati-hati ini, pundak kirinya tergores pedang salah seorang
penjahat. Darah merah mengucur deras dari luka, dan baju Wanengboyo merah bernoda
darah. Tetapi lukanya ini tidak menyebabkan Wanengboyo gentar. Ia mengamuk hebat.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ia tidak takut sama sekali mengha-dapi lawan dalam usahanya untuk menyelamatkan
isterinya.
Fajar Legawa juga amat khawatir melihat Nawang Wulan terdesak hebat. Ia tidak
tega. Gadis itu baru tadi siang kehilangan ibunya, berarti sekarang ini sudah yatim piatu.
Walaupun antara dirinya dengan gadis itu tidak mempunyai hubungan apa-apa, akan
tetapi sebabnya gadis ini sekarang terancam oleh bahaya bukan lain akibat memberi
bantuannya untuk penduduk desa Sumberrejo ini.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam kekhawatirannya dan terdorong oleh rasa gugup ini, Fajar Legawa menjadi lupa
akan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Yang pokok bagi dirinya sekarang ini harus
dapat menolong dan menyelamatkan gadis itu. Ia cepat memindahkan pedang pinjaman
dari seorang penduduk, justeru pedang Nawang Wulan tadi sudah dikembalikan kepada
pemiliknya ke tangan kiri. Disusul tangan kanan sudah mencabut tongkat dari
pinggangnya. Begitu tongkat ini bergerak menangkis, menyusul terdengar suara senjata
yang patah, disusul oleh pekik kaget orang.
Fajar Legawa mengamuk seperti banteng ketaton. Tongkat pada tangan kanan dan
pedang pada tangan kiri bergerak tidak kenal ampun. Mereka yang berani menghalangi
segera roboh mandi darah. Dalam waktu singkat beberapa orang penjahat kehilangan
senjata, wajah mereka pucat kemudian melompat mundur. Mereka menjadi kecut, para
penjahat itu menjadi takut dan tidak berani mendekati Fajar Legawa ini. Dan kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Fajar Legawa, segera melompat ke arah Nawang Wulan yang
sudah kepayahan.
Waktu itu keadaan Nawang Wulan memang sudah berbahaya. Gerak
perlawanannya kacau disamping gadis itu sendiri sudah hampir kehabisan tenaga. Oleh
desakan lawan gadis ini mundur terus kearah bagian yang lebih sempit. Jelas, apabila tidak
segera tertolong, niscaya gadis ini akan celaka.
Fajar Legawa mempercepat serangannya, empat orang penjahat yang semula
mengeroyok Nawang Wulan digempur hebat. Ular di tangan para penjahat yang semula
mematuk, menyambar dan menyemburkan bisa dengan ganas itu, mendadak ketakutan.
Ular itu memberontak lepas, kemudian lari tunggang-langgang. Lepasnya ular tersebut
dari tangan sudah disusul oleh pekik dua orang penjahat. Kemudian penjahat itupun
roboh tidak berkutik di atas tanah.
Agaknya Nawang Wulan memang benar-benar sudah kehabisan tenaga. Tubuh
gadis itu sudah sempoyongan hampir roboh. Untung Fajar Legawa telah datang, dan
dengan gerakan secepat kilat, berhasil memeluk pinggang gadis itu. Dalam keadaan
seperti ini, Fajar Legawa sudah tidak malu lagi untuk memeluk gadis itu. Yang penting
untuk mencegah gadis itu roboh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Wulan.........kau payah.........?" desis Fajar Legawa dengan hati khawatir.
Untung juga bahwa Nawang Wulan segera sadar akan keadaan. Ia menjadi malu,
lalu mendorong Fajar Legawa perlahan, dan pelukan itu lepas.
"Maafkan aku," kata Fajar Legawa.
"Tak apa. Dan terima kasih atas pertolonganmu," sahut Nawang Wulan dengan
hati tidak keruan. Dan setelah hilang rasa kagetnya, gadis ini sudah melompat lagi untuk
menghajar lagi para penjahat.
Tetapi penjahat gunung Ungaran itu sudah menjadi gentar, setelah Fajar Legawa
mengamuk dan mematahkan senjata mereka. Mereka sudah cerai-berai, semangat mereka
runtuh dan berlompatan mundur untuk kemudian lari.
Ketika itu Jalu Gigis dan Gadung Melati masih berkelahi sengit sekali. Berkat
pengaruh aji "Bramastra" saja, Gadung Melati dapat menggempur ketangguhan Jalu
Gigis. Sebab terpanggang oleh sambaran hawa panas itu, menyebabkan Jalu Gigis merasa
gerah dan tenaganya seperti dikuras. Semula Jalu Gigis memang masih berusaha
mengalahkan lawan yang sudah menderita luka dalam itu. Akan tetapi ketika melihat
bahwa anak buahnya sudah runtuh semangat dan berlompatan mundur, iapun
terpengaruh. Kemudian iapun bersuit nyaring. Dan disusul oleh semua penjahat dan Jalu
Gigis sendiri melarikan diri.
Dibawahpimpinan Danurwenda mereka kemudian melakukan pengejaran sampai
jauh keluar desa. Hingga baik Jalu Gigis maupun anak buahnya, lari lintang pukang dan
giris
Ketika mereka sudah berkumpul kembali, Gadung Melati segera minta diri.
Namun Danurwenda, Tohjoyo maupun Wanengboyo amat meminta agar kakek ini tidak
cepat pergi. Mereka amat mohon agar Gadung Melati sedia beristirahat di desa ini. Atas
permintaan mereka itu, Gadung Melati merasa tidak enak hati. Lebih lagi ia sendiri
merasa bahwa luka dalamnya belum sembuh. Maka dengan beristrahat di desa ini, malah
memberi keuntungan kepada dirinya, dapat mengobati luka dalamnya.
Tetapi walaupun demikian, Gadung Melati selalu khawatir saja kalau Nawang
Wulan jatuh hati kepada Fajar Legawa. Bukan benci kepda pemuda itu, akan tetapi
Gadung Melati tidak setuju. Mengapa? Semua itu adalah pengaruh peristiwa
menyedihkan yang sudah menimpa Pertiwi Dewi. Menurut pendapatnya, pertiwi Dewi
yang dikasihi itu tidak mungkin celaka, apabila tidak jatuh hati kepada Fajar Legawa, dan
kemudian berdua pergi ke gunung Ungaran. Oleh pengaruh peristiwa itu, maka Gadung
Melati tidak mengharapkan Nawang Wulan menderita seperti Pertiwi Dewi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Alasan yang cukup aneh! Akan tetapi apa harus dikata kalau Gadung Melati
memang khawatir? Dan oleh alasan ini pula, maka Gadung Melati ingin menjauhkan
Nawang Wulan dari Fajar Legawa.
Mereka kemudian menuju balai desa. Semua tamu di tempatkan di balai desa ini
lalu dipersilahkan istirahat. Hanya Danurwenda, Tohjoyo dan beberapa orangpemuda
desa itu saja yang tidak tidur. Sebagai orang yang merasa bertanggung-jawab, maka
Tohjoyo maupun Danurwenda perlu mengatur keperluan para tamu pada hari itu.
Terdengar kemudian kata Tohjoyo. "Kakang! Apakah engkau sependapat dengan
aku, ada sesuatu yang menarik dalam perkelahian tadi?"
Danurwenda mengamati adik seperguruannya itu seakan ingin menduga apa yang
dimaksud. Tanyanya kemudian. "Apakah yang kau maksudkan itu? Gadis yang bernama
Nawang Wulan itukah maksudmu?"
"Ha-ha-ha," Tohjoyo tertawa sedang Danurwenda pun ikut tertawa, sekalipun
tidak tahu apa yang harus ditertawakan.
"Bukan itu," jawab Tohjoyo. "Tetapi Fajar Legawa yang hebat tadi."
Memang sebenarnya Danurwenda tadi juga menyaksikan, bahwa senjata para penjahat
yang berbenturan dengan tongkat Fajar Legawa segera patah. Sesungguhnya ia heran
juga, mengapa tongkat itu begitu hebat. Sudah tentu sekarang ia menjadi tertarik, setelah
hal ini diajukan oleh Tohjoyo.
"Ya, aku tadi juga menyaksikan." katanya kemudian. "Hebat! Senjata para
penjahat itu segera patah berbenturan dengan tongkat Fajar Legawa. Hemmm, aku tidak
mengerti. Mengapa bisa terjadi demikian?"
"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa lagi. Baru beberapa saat kemudian ia berkata.
"Kakang, entah mengapa sebabnya aku menjadi curiga."
"Siapa yang engkau curigai? Fajar Legawa itukah?" Danurwenda heran dan
melengak.
"Bukan dia. Tetapi tongkatnya itu. Mungkinkah tongkat yang tumpul itu bisa
mematahkan setiap senjata yang membentur? Tidak! aku tidak percaya. Tentu di dalam
tongkat itu terdapat senjata pusaka. Dan kalau sekarang ini orang sedang ramai
membicarakan dua macam senjata pusaka dan saling berusaha mendapatkannya, apakah
kakang tidak berpikir sampai ke situ? Hemm, mungkinkah di dalam tongkat Fajar Legawa
itu disimpan pedang Sokayana atau keris Tilam Upih?"
Danurwenda mengerutkan alis dan berpikir. Beberapa saat kemudian barulah iahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menatap adik seperguruannya ini sambil bertanya. "Maksudmu, adi Fajar Legawa
menyimpan salah satu dari pusaka itu?"
Tohjoyo mengangguk.
"Kalau memang benar demikian, bukankah kita perlu bersyukur dan gembira?"
kata Danurwenda kemudian.
Tetapi Tohjoyo kurang senang. Katanya. "Mengapa sebabnya kakang malah
bersyukur dan gembira? Pusaka-pusaka itu diperebutkan orang, karena dikhabarkan
mempunyai tuah yang amat baik bagi pemiliknya. Dan bukankah gurupun sudah pernah
mengatakan begitu? Kakang, apakah engkau sudah lupa?"
Danurwenda ketawa. Kemudian jawabnya. "Katamu benar adi. Tetapi aku
bersyukur dan gembira, justeru salah satu pusaka ampuh yang diperebutkan orang itu,
sudah jelas dikuasai oleh salah seorang sahabat kita. Alangkah besar manfaatnya pusaka
itu di tangan seperti adi Fajar Legawa. Oleh sebab itu, bagi kita malah wajib pula ikut
mengamankan pusaka itu, agar tidak jatuh ke pihak lain."
"Membantu mengamankan?" Tohjoyo terbelalak heran dan kurang senang. Lalu.
"Apakah kakang sudah tolol dan tidak berusaha untuk dapat memiliki benda pusaka itu?
Dan apakah kakang juga tidak lagi memikirkan kemuliaan hidup?"
Danurwenda mengamati Tohjoyo dengan pandang mata tidak senang. Kemudian
ia memperingatkan. "Adi, engkau perlu berpikir luas. Menohok kawan seiring merupakan
perbuatan tidak terpuji. Dan aku juga perlu memberi nasihat kepadamu, adi. Janganlah
kita hanya memikirkan kepentingan diri. Bagiku, sudah merasa puas dan gembira
kalamana pusaka-pusaka yang diperebutkan orang itu jatuh ke tangan orang baik.
Kemuliaan hidup bukan oleh sesuatu pusaka, tetapi oleh tindak dan perbuatan orang itu
sendiri. Meskipun tidak memiliki pusaka tersebut, orang akan memuliakan engkau apabila
sepak terjangmu selalu mengabdi kepada kemanusiaan. Yang perlu kita cegah adalah
jatuhnya pusaka-pusaka itu ke tangan orang jahat. Karena pusaka-pusaka itu tidak akan
dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Tetapi akan dipergunakan untuk kepentingan dirimu
melulu dan mengorbankan orang lain. Itulah sebabnya aku tadi berkata, wajiblah kita
mengamankan pusaka itu."
"Ha-ha-ha," Tohjoyo tertawa. "Engkau berlagak suci kakang. Hemm, dimanakah
ada orang, yang hidup di dunia ini yang tidak mementingkan kemuliaan diri sendiri."
"Adi, engkau jangan keliru sangka," Danurwenda memberi penjelasan. "Aku
bukan orang suci dan sudah tidak mempunyai sesuatu cita-cita. Hanya saja aku tidak
sependapat apabila dalam mencapai cita-cita itu dengan jalan tidak terpuji. Adi, bukankah
guru sudah banyak memberi nasehat kepada kita, bahwa berbuatlah jujur danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menjauhkan diri dari sifat-sifat tamak? Karena ketamakan itu hanya akan menjerumuskan
kita sendiri ke jurang malapetaka dan bahaya, dan salah-salah malah membuat kita
binasa. Adi, juga kiranya engkau masih ingat akan nasihat guru antara lain. Seorang yang
berakal menghargai persahabatan lebih dari pada apa juga yang lain. Sahabat itulah
tempat berteduh di kala hujan, dan tempat berlindung diwaktu panas. Orang yang
mempunyai sahabat setia, hidupnya akan bahagia."
Ia berhenti, menghela napas dan mengamati Tohjoyo, seakan memberi kesan.
Baru sesaat kemudian ia meneruskan nasihatnya kepada adik seperguruannya ini. "Adi,
ingatkah engkau akan nasihat itu. Dan apabila kita mengharapkan kesetiaan seorang
sahabat, maka kitapun harus setia kepada sahabat itu. Lebih lagi, mari kita mawas diri
bersama-sama. Bukankah adi Fajar Legawa itu dengan tulus ikhlas telah membantu kita
mengusir penjahat gunung Ungaran itu? Bayangkan saja apabila kita tidak mempunyai
sahabat-sahabat setia, apa yang akan terjadi dengan desa ini? Dan justeru oleh bantuan-
bantuan sahabat setia yang tanpa pamrih itu, kita dapat mengusir mereka sehingga sampai
sekarang kita masih dapat menghirup hawa."
Tohjoyo berdiam diri. Kata-kata Danurwenda yang membawa-bawa nasihat
gurunya itu, agaknya menyadarkan Tohjoyo untuk berpikir secara lebih luas. Bukan
hanya berpikir secara sempit dan mementingkan diri. Kemudian ingat pula Tohjoyo akan
nasihat gurunya yang lain. Ialah manusia di dunia ini biasa memberi dan mengikat
pesaudaraan dengan dua barang, jiwa dan harta. Orang yang rela memberikan jiwanya
sebagai penebus jiwa sahabatnya, orang itu adalah orang suci. Orang yang bertolong-
tolongan karena harta, ialah orang yang ingin mendapatkan keuntungan. Itu bukanlah
sahabat sejati, orang yang mau mengerjakan kebajikan karena salah satu keuntungan
dunia, orang itu serupa dengan pemikat yang menyerahkan padi di tanah, bukan karena
hendak berbuat baik kepada burung, tetapi karena hendak mencari untung bagi dirinya
semata-mata. Maka bertolong-tolongan dengan jiwa jauh lebih mulia daripada bertolong-
tolongan denganharta.
Teringat akan nasihat gurunya yang amat berharga ini, Tohjoyo semakin
menyadari akankeadaannya. Fajar Legawa tanpa pamrih telah membantu kerepotanny
amenghadapi gangguan penjahat. Fajar Legawa telah menyerahkan jiwa raganya dalam
ikut serta mengusir penjahat gunung Ungaran yang datang mengganggu. Dan atas
pertolongan orang itu, wajib mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk membalas.
Haruskah air susu itu dibalas dengan air tuba? Haruskah kebaikan Fajar Legawa itu
dibalas dengan kejahatan untuk kepentingan diri?
Tidak! Tohjoyo tidak akan setamak itu kepada seorang yang sudah menunjukkan
kesetiaannya kepada sahabat. Apa pula jika diingat, Fajar Legawa sahabat yang baru
kemarin sore saja dikenal, tetapi sudah begitu jauh pengorbanan yang sudah diberikan
untuk desa kelahirannya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tidak lama kemudian matahari sudah menyinarkan cahaya perakanya. Oleh lelah
semalam, Danurwenda dan Tohjoyo tertidur hanya dengan duduk bersandar pada tiang
pendapa balai desa. Menyebabkan Wanengboyo danAyu Kedasih yang sudah bangun
tersenyum melihatnya.
Tak lama kemudian Nawang Wulan sudah bangun, ia tersenyum manis sambil
mengucapkan selamat pagi kepada Wanengboyo dan Ayu Kedasih. Sedang suami-isteri
inipun menyambut salam itu dengan wajah berseri.
Kemudian Ayu Kedasih mengajak Nawang Wulan menuju sumber air untuk
mandi. Nawang Wulan dengan senang hati menerima ajakan itu. Dua orang wanita ini
kemudian meninggalkan balai desa menuju ke sumber air.
Tetapi entah mengapa sebabnya, setiap Ayu Kedasih memandang Nawang Wulan
timbullah perasaan tidak senang. Perasaan tidak senang itu mulai timbul pada saat
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nawang Wulan memberi pinjaman pedang kepada Fajar Legawa. Ia merasa disaingi,
justeru sebenarnya ia sudah mempersiapkan golok untuk dipinjamkan kepada Fajar
Legawa.
Perasaan tidak senang itu kemudian ditambah dengan terjadinya peristiwa
semalam, Fajar Legawa amat membela kepada gadis ini, dan kemudian malah memeluk
pinggangnya. Dan sekarang perasaan tidak senang itu berkembang menjadi benci. Benci
kepada orang sesama jenis yang berhubungan erat dengan Fajar Legawa.
Dan pagi ini, ia hanya berdua saja dengan Nawang Wulan. Maka pada
kesempatan sebaik ini, terpikir olehnya untuk menunjukkan perasaan yang benci itu.
Akan tetapi untuk secara tiba-tiba mengajak berselisih, Ayu Kedasih merasa kurang tepat.
Karena itu kemudian ia memulai dengan ucapan untuk membakar kemarahan orang.
"Adi," katanya lirih, "lihatlah gunung Ungaran itu. Biru, halus dan sedap
dipandang."
Nawang Wulan tersenyum. Kemudian jawabnya. "Ya, pemandangan itu sungguh
menyedapkan, mbakyu. Dan aku amat terpesona dibuatanya."
"Tetapi keadaan gunung itu akan menjadi jauh berlainan sesudah kita tiba di sana"
Ayu Kedasih memberikan pendapatnya. "Warna yang biru dan bentuknya yang halus itu
akan tidak kita dapatkan lagi. Batu menonjol di sana sini. Dan jurang-jurang dalam amat
mengerikan hati."
"Ya, aku juga heran mengapa keadaan itu bisa berlainan?"
"Di dunia ini bukan hanya gunung yang mempunyai perbedaan seperti itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Keadaan manusiapun sama halnya. Keadaan lahir, belum tentu mencerminkan hatinya.
Ada orang mengatakan bahwa si Anu cantik, tetapi hati si Anu itu belum tentu bersih."
"Ya, mbakyu benar. Sulitlah untuk menilai seorang hanya berdasar keadaan
lahiriah. Orang yang menilai seseorang hanya berdasar keadaan lahiriah, akan mudah
terjebak dan tertipu."
"Apakah maksud mbakyu?"
"Dapatkah menilai seseorang wanita yang baik itu hanya berdasar kecantikannya
dalam arti lahir saja?"
"Sudah tentu tidak! Wanita yang baik dalam arti kata yang sebenarnya, bukan
terletak keayuan dan bentuk wujudnya melulu. Jiwanyalah yang terpenting."
"Dimanakah pencerminan dari jiwa itu?" pancing Ayu Kedasih.
"Dari kata, sikap dan perbuatan orang yang bersangkutan," sahut Nawang
Wulan.
Ayu Kedasih ketawa merdu, sambil melirik kearah Nawang Wulan. "Hi-hi-hik,
katamu benar. Oleh sebab itu seorang wanita yang membiarkan dirinya dipeluk oleh laki-
laki bukan suaminya, maka tindakan wanita itu mencerminkan jiwa yang kotor!"
Dan sesudah mengucapkan kata-katanya ini, Ayu Kedasih ketawa lagi lebih keras.
Nawang Wulan terkesiap, ia merasa disindir oleh ucapan Ayu Kedasih. Sebab semalam,
ketika dirinya terhuyung hampir roboh, ia telah dipeluk oleh Fajar Legawa. Akan tetapi,
pelukan Fajar Legawa itu terjadi diluar kehendaknya, sedang Fajar Legawapun memeluk
dengan maksud untuk menolong. Jadi tidak mempunyai maksud lain yang kotor. Ia
seorang gadis baik-baik, gadis yang masih suci murni. Maka tidak sudi ia dihina orang,
dan dituduh berbuat tidak senonoh. Maka langsung saja gadis ini menjawab.
"Tetapi apa yang terjadi belum tentu merupakan percerminan itu. Sebab apabila
terjadinya peristiwa itu tidak sengaja dan dalam keadaan bahaya, maka apa yang
dilakukan wanita itu tidak mengapa. Sebab semua itu tergantung kepada keadaan dan
sifat dari perbuatan orang
Akan tetapi Ayu Kedasih memang sudah sengaja untuk berselisih, dan kata-
katanya tadi memang sengaja untukmembakar hati orang. Maka Ayu Kedasih ketawa
cekikikan dan mengejek. "Hi-hi-hik, setiap orang memang bisa saja mencari alasan dan
dalih untuk menutupi perbuatannya yang tidak patut itu. Maksudnya agar orang bisa
mengerti, sehingga orang tidak mencela lagi. Tetapi sebaliknya menurut pendapatku
dengan dalih apapun, perbuatan itu amat memalukan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akibat Nawang Wulan sudah cepat merasa disindir dan diejek, maka gadis ini makin
tersinggung perasaannya, ia mengangkat muka, menatap Ayu Kedasih dengan sepasang
mata merah saking marah. Dan kemudian, dampratnya lantang. "Tutup mulutmu! Huh,
engkau sengaja menyindir dan menghina aku?"
Tetapi manakah Ayu Kedasih yang memang sengaja mencari perkara itu mau
mundur? Justeru orang sudah terpancing kemarahannya ini, ia malah tambah mengejek.
"Hi-hi-hik, engkau merasa terhina? Aku bukan menghinamu, tahu? Tetapi aku hanya
sekadar menyatakan keadaan yang terjadi sebenarnya. Engkau marah? Bagus! Apakah
sangkamu aku takut menghadapi engkau? Huh, cobalah!"
Nawang Wulan segera mencabut pedangnya. Dan Ayu Kedasihpun sudah
mencabut senjatanya. Dua orang perempuan yang sama marah ini sudah saling mendelik
dan bersiap diri, untuk kemudian berkelahi. Berkelahi yang tidak tanggung-tanggung,
justeru kedua-duanya sudah memegang senjata masing-masing.
Nawang Wulan yang sudah marah tidak sabar lagi. Sepasang pedangnya sudah
menyambar bersamaan dengan lompatan tubuhnya. Pedang pada tangan kanan
membabat dari samping atas, sedang pedang di tangan kiri menusuk ulu hati. Gerakannya
itu secepat tatit, sehingga Ayu Kedasih sendiri kaget. Ia melompat sambil menggerakkan
golok pendek di tangan kiri, sedang golok pada tangan kanan sudah membabat pinggang
lawan.
Nawang Wulan terpaksa menarik kembali pedangnya, untuk melindungi diri.
Dalam waktu singkat dua orang perempuan ini telah berkelahi sengit. Mereka sudah lupa
bahwa tadi, ketika meninggalkan balai desa, mereka rukun. Mereka memang mempunyai
kepandaian yang seimbang. Hingga memang tidak mudah salah seorang memperoleh
kemenangan.
Terjadinya perkelahian antara Nawang Wulan dan Ayu Kedasih ini, membuat
kaget para wanita yang bermaksud ke sumber air. Tetapi tidak seorangpun berani
mendekat maupun melerai. Beberapa orang gadis yang memang sudah terlalu ingin dapat
berkelahi malah menonton. Akan tetapi sebaliknya wanita-wanita desa yang sudah
berumur, cepat-cepat kembali ke desa, langsung menuju desa untuk melapor.
Akan tetapi tiba-tiba terdengarlah suara bentakan yang parau. "Hai, apakah sebabnya
kamu berkelahi?"
Berbareng dengan terdengarnya suara bentakan itu, senjata dua orang perempuan
itu sudah menyeleweng, dan tubuh masing-masing sudah terdorong ke belakang. Gadung
Melati sudah berdiri di tengah mereka sambil mengamati bergantian dan keheranan.
"Wulan, apakah sebabnya engkau berkelahi?" tegur Gadung Melati.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Dia telah menghina anak, ayah," lapor Nawang Wulan.
"Mengapa menghina engkau? Apakah soalnya?" Gadung Melati menatap mereka
bergantian dengan pandang mata curiga, kemudian memandang kepada Ayu Kedasih,
terusnya. "Benarkah engkau sudah menghina anakku?"
"Tidak. Aku tidak menghina dia," sahut Ayu Kedasih. "Tetapi dia yang sudah
menantangaku berkelahi."
"Tidak! Aku tidak menantang, tetapi dialah yang sengaja menghinaaku." Nawang
Wulan berteriak.
Namun sudah biasa bagi manusia di dunia ini, yang selalu ingin menang sendiri,
ingin dirinya selalu menang dan benar. Tidak terkecuali Ayu Kedasih ini. Iapun dengan
lantang sudah membantah. "Bohong! Dia yang sudah menantang aku, dia yang lebih
dahulu menyerangaku, dan dia pula yang sengaja membuat keonaran dan perselisihan!"
Nawang Wulan menggeram marah. Maka gadis ini tidak sudi lagi berbantahan,
lalu melompat dan menyerang. Dalam marahnya ini, Nawang Wulan sudah tidak perduli
lagi kepada Gadung Melati yang berusaha melerai.
Untung juga bahwa Gadung Melati selalu waspada. Tangannya bergerak dan
sekali sambar, batang pedang gadis itu sudah terjepit oleh jari tangan. Kemudian kakek
ini mendorong perlahan sambil berkata. "Wulan, sabarlah! Engkau jangan hanya
menurutkan hati."
"Tetapi............tetapi............aku tidak sudi dihina, ayah," protes Nawang Wulan.
"Tetapi aku juga tidak takut engkau tantang!" balasAyu Kedasih.
Gadung Melati memandang Ayu Kedasih dengan pandang mata merah, tampak
bahwa kakek ini marah. Diam-diam kakek ini sudah dapat menduga apa yang terjadi.
Kalau anak angkatnya ini sampai marah dan tidak tunduk kepada dirinya, jelas bahwa
dalam perkara ini Nawang Wulan tidak salah. Namun sebaliknya untuk marah kepad
Ayu Kedasih, iapun tidak sampai hati. Ia menghela napas pendek, kemudian kembali
mengamati Nawang Wulan sambil berkata. "Wulan, sarungkan pedangmu dan mari kita
pergi!"
Semula Nawang Wulan ingin membantah. Akan tetapi wajah Gadung Melati
ketika itu tampak tambah buruk dan menakutkan. Tanpa berani membangkang lagi, gadis
ini sudah menyarungkan pedang, dan ia menghindar ketika tangan Gadung Melati
bergerak untuk menggandengnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Namun ketika mau pergi, Nawang Wulan yang masih penasaran itu mengamati
Ayu Kedasih sambil mendelik, tetapi tanpa membuka mulut. Ayu Kedasih mencibirkan
bibirnya. Diam-diam perempuan ini merasa lega, dengan kepergian gadis itu. Kemudian
ia menyarungkan goloknya, namun belum juga berkisar dari tempatnya berdiri. Ia masih
terus memandang kearah kakek berwajah buruk itu dan Nawang Wulan pergi.
Beberapa saat kemudianmuncullahWanengboyo, Danurwenda, Tohjoyo, Fajar
Legawa dan Tumpak Denta. Mereka datang ke tempat ini dengan tergesa, ketika
mendengar laporan penduduk, bahwa Ayu Kedasih dengan Nawang Wulan berkelahi.
Tetapi mereka menjadi heran ketika tidak melihat Nawang Wulan.
"Dimanakah Nawang Wulan?" tanya Wanengboyo agak gugup.
"Dia telah pergi dengan ayahnya," sahutAyu Kedasih.
"Apakah sebabnya sepagi ini, adi sudah berselisih dan berkelahi dengan dia?"desak
Wanengboyo.
"Kakang," kata Ayu Kedasih, "aku ingin bertanya kepada engkau. Apakah engkau
tidak tersinggung apabila ditantang orang?"
"Ehh, apakah sebabnya?" Danurwenda tertarik disamping heran.
"Peristiwa semalam yang menjadi pangkal perselisihan itu, kakang." Ayu Kedasih
tidak tanggung-tanggung membohong dalam usahanya mencari simpati orang. "Dia
berkata, bahwa tanpa bantuan ayah gadis itu yang bernama Gadung Melati, apakah kita
semua ini tidak binasa dalam tangan Jalu Gigis? Nah, siapa yang tidak menjadi terhina
oleh kata-katanya itu? Huh, dia menganggap bahwa aku, kau dan kalian ini hanyalah
orang-orang yang tidak berguna."
Tohjoyo yang memang watakanya berangasan, sudah terbakar dan marah.
"Kurang ajar!! Sayang aku datang terlambat. Kalau tidak, tentu mulutnya akan aku remas
biar remuk dan kapok."
Yang lain tidak membuka mulut. Akan tetapi tanggapan Danurwenda, Fajar
Legawa dan Tumpak Denta lain. Mereka tidak segera percaya akan laporan Ayu Kedasih
ini. Sebagai orang-orang yang berpandangan luas, tentu saja tidak akan memberikan
pendapatnya, sebelum mengetahui jelas persoalannya. Mereka tak mau percaya begitu
saja atas keterangan sepihak. Siapa tahu Ayu Kedasih hanya mencari menang dan benar
sendiri?
"Ke manakah mereka pergi?" tanya Danurwenda kemudian.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ke sana!" Ayu Kedasih menunjuk arah barat.
"Mengapakakangingintahu?"
"Sesungguhnya inginlah aku menahan mereka. Sayang, mereka sudah tidak
tampak lagi," kata Danurwenda.
Ayu Kedasih mencibirkan bibir tampak tidak senang. Kemudian. "Apakah kakang
takut menjaga desa ini tanpa bantuan mereka?"
"Bukan itu maksudku, adi," sahut Danurwenda dengan sabar. "Yang terang aku
merasa berhutang budi, dan sayang pula sebelum aku mengucapkan terima kasihku,
mereka telah pergi."
Fajar Legawa danTumpak Denta berdiam diri. Dalam hati mereka cepat dapat
menilai akan watak dan pribadi orang-orang ini. Danurwenda seorang yang memiliki jiwa
ksatrya. Setiap menilai sesuatu peristiwa amat teliti dan bijaksana. Dia tidak mudah
terpengaruh oleh pandangan dan pendapat orang lain, tidak cepat membenci Gadung
Melati maupun Nawang Wulan, dan jauh bedanya dengan tanggapan Tohjoyo.
Hanya tiga malam Fajar Legawa dan Tumpak Denta sebagai tamu di desa
Sumberrejo ini. Pada hari yang ke empat, mereka sudah minta diri pergi, karena keadaan
desa itu sudah aman. Kepergian mereka diantar oleh Danurwenda dan yang lain sampai
jauh di luar desa. Nampak pada wajah mereka, bahwa sesungguhnya merasa belum rela
melepaskan Tumpak Denta dan Fajar Legawa.
Akan tetapi sebaliknya untuk menahan lebih lamapun Danurwenda merasa tidak
enak. Sebab sejak semula sudah diketahui, bahwa kakak-beradik seperguruan itu memang
diundang oleh guru mereka.
Kemudian, tibalah malam hari, Danurwenda dan saudara-saudara
seperguruannya masih tetap waspada menjaga keamanan desa Sumberrejo, bersama para
pemuda yang lain. Setelah Gadung Melati, Nawang Wulan, Fajar Legawa dan Tumpak
Denta meninggalkan desa ini. Danurwenda perlu meningkatkan kewaspadaan. Ia sadar
bahwa Jalu Gigis memang seorang tua sakti yang tidak mudah untuk dilawan.
Antara mereka membagi tugas. Danurwenda dan Tohjoyo bertugas sore hari,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memimpin langsung para pemuda desa mengawasi keselamatan desa. Nanti apabila
sudah tengah malam, datanglah giliran Wanengboyo dan Ayu Kedasih untuk memimpin
mereka. Maka suami-isteri itu memerlukan tidur di waktu sore, untuk kemudian nanti
malam bergilir jaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Demikianlah, sejak Jalu Gigis dipukul mundur oleh Gadung Melati, keadaan desa
itu dalam keadaan aman. Para penduduk dapat tidur dan mengaso dengan hati lega, tanpa
rasa khawatir lagi datang gangguan. Ketika datang giliran Wanengboyo dan Ayu Kedasih
harus bergilir jaga, maka mereka dibangunkan oleh Danurwenda dari luar kamar. Dan
mengingat mereka harus hati-hati dalam mengawal keamanan desa ini, maka, antara
Wanengboyo dengan Ayu Kedasih harus diadakan pembagian tugas. Wanengboyo
bertugas memimpin dan mengamati para petugas dibagian utara dan timur, sedang Ayu
Kedasih harus memimpin dan mengamati para petugas di bagian selatan dan barat. Dan
sebagai orang-orang berilmu, dalam setiap bergerak ini baik Wanengboyo maupun Ayu
Kedasih tidak membutuhkan pengawal. Justeru dengan bergerak seorang diri, mereka
dapat lebih lincah dan gesit.
Ayu Kedasih melaksanakan tugas ronda itu tanpa rasa takut sedikitpun sekalipun
wanita. Ia menjadi gembira ketika kedatangannya pada pos penjagaan itu disambut oleh
para pemuda dengan hormat dan kagum. Tetapi ia tidak terlalu lama pada pos-pos
penjagaan itu, dan perempuan ini kemudian hilang ditelan gelap malam dengan gerakan
gesit, ia menuju ke tepi desa yang lain, di mana di tempat itu tidak terdapat penjagaan,
karena dihalangi oleh pagar hidup bambu berduri. Perempuan ini menjatuhkan diri di atas
rumput. Ia menghela napaspendek, dan tak lama kemudian terdengarlah ia mendesis.
"Aku tidak rela perempuan itu erat hubungannya dengan adi Fajar Legawa. Untung
mereka tidak curiga dan mengurus lebih jauh."
Ia berhenti, terdengar lagi ia menghela napas panjang. Baru beberapa saat
kemudian, terdengarlah ia berdesis lagi. "Tetapi sejak malam ini aku merasa kehilangan
dan sepi, setelah adi Fajar Legawa pergi. Aihh.........apakah dia tidak mengerti perasaan
seorang wanita yang berharap-harap cemas seperti aku ini? Aihh.........mengapa ketika dia
menginap di rumahku.........dan aku sengaja masuk dalam biliknya, malah mendekatkan
payudaraku di depan hidungnya, dia seperti tidak tahu maksudku? Aihh.........apakah
aku ini harus bertepuk sebelah tangan?"
Ayu Kedasih berhenti lagi dan menghela napas pendek, dan sejenak kemudian,
terdengar kat aperempuan ini lagi. "Adi Fajar Legawa, kasihanilahaku ini.
Aihh.
y......apakah hal itu disebabkan aku sudah menjadi isteri kakang Wanengboyo?"
Ia berhenti lagi beberapa saat lamanya dan mengeluh. Baru beberapa saat
kemudian ia berkata lagi, seakan sedang merayu. "Adi Fajar Legawa, percayalah bahwa
aku akan bisa membahagiakan engkau, dan percayalah bahwa Kakang Wanengboyo
takkan curiga padaku. Tetapi sebaliknya apabila engkau membandel adi, hemm
.........aku.........aku.........hai siapa di situ?"
Ayu Kedasih meloncat kaget sambil menghunus sepasang goloknya, ketika
mendengar suara dengus napas orang. Maka perempuan ini sudah meloncat dan siap-
siaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aku.........adi Ayu Kedasih............" sahut suara laki-laki, lirih.
"Ihh.........kau.........kakang Tohjoyo......?" Ayu Kedasih kaget setengah mati,
sehingga kata-katanya tidak lancar. "Mengapa engkau di sini?"
Dan dengan langkahnya yang perlahan Tohjoyo menghampiri. Sahutnya lirih,
tetapi membalas bertanya. "Dan engkau, apakah kerjamu di sini?"
Untuk sejenak Ayu Kedasih tergagap. Kalau saja tempat itu tidak gelap, Tohjoyo
tentu dapat melihat bahwa wajah Ayu Kedasih saat sekarang ini berobah pucat, sedang
dada yang membusung itu berombak saking khawatir.
"Aku sudah meninjau mereka yang bertugas. Kemudian aku berjaga seorang di
sini sambil melepaskan lelah," sahut Ayu Kedasih.
Tohjoyo tersenyum mendengar jawaban itu. Kemudian laki-laki ini berkata. "Dan
aku tidak bisa tidur. Aku selalu khawatir kalau desa ini sampai diganggu penjahat lagi.
Hmm, aku tadi melihat bayangan orang yang kemudian bersembunyi di tempat ini.
Sangkaku penjahat............tidak tahunya malah engkau, Ayu."
Berdebar jantung Ayu Kedasih. Kemudian ia bertanya tidak lancar. "Dan
engkau.........sudah lamakahdi tempat ini.........?"
Wajar pertanyaan itu. Sebab segera timbul kekhawatiran Ayu Kedasih, apabila apa
yang tadi diucapkan, sampai terdengar oleh Tohjoyo.
"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa lirih. Lalu. "Ya, begitu engkau duduk, aku sudah
bersembunyi di situ."
"Ihhh.........!" saking kaget Ayu Kedasih berseru.
Tohjoyo hanya tersenyum, tetapi karena gelap tidak tampak oleh mata Ayu
Kedasih. Kalau saja Ayu Kedasih dapat melihat, tentu perempuan ini kaget. Sebab
senyum Tohjoyo itu setengah meringis, sepasang matanya berkedip-kedip penuh arti,
yang tentu membuat wanita yang memandang agak ngeri.
Sebenarnya, jawaban Tohjoyo tadi hanya mencari-cari dalih belaka. Sejak Fajar
Legawa, Tumpak Denta, Wanengboyo dan Ayu Kedasih di desa ini, Tohjoyo menjadi
curiga melihat hubungan antara Fajar Legawa dengan Ayu Kedasih. Walaupun
Wanengboyo tidak cemburu dan curiga, tetapi Tohjoyo amat memperhatikan. Dalam hati
pemuda ini segera timbul dugaan, bahwa antara dua orang itu memang ada apa-apanya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Menduga demikian, tiba-tiba saja timbullah kehendak pemuda ini yang kurang
baik. Ayu Kedasih justeru seorang perempuan yang amat menarik. Seorang perempuan
cantik dan montok, sehingga sejak beberapa malam ini setiap tidur selalu tergoda oleh
kecantikannya. Oleh dorongan selera yang tidak dapat dikuasai lagi ini, ia tidak ingat lagi
siapakah Ayu Kedasih. Tidak ingat lagi bahwa Ayu Kedasih isteri Wanengboyo, adik
seperguruannya sendiri. Hubungan saudara seperguruan tidak jauh bedanya dengan
saudara kandung. Mereka wajib saling menjaga, saling percaya dan saling melindungi.
Terdorong oleh selera dan keinginannya untuk menggunakan kesempatan dan
menekan perempuan ini, Tohjoyo selalu berusaha menyadap pembicaraan antara Fajar
Legawa dengan Ayu Kedasih. Namun sungguh sayang, setiap ia menyadap pembicaraan
itu, ia tidak dapat menangkap kata-kata yang bisa digunakan sebagai bukti bahwa antara
Fajar Legawa dengan Ayu Kedasih terjadi hubungan cinta gelap. Yang mereka bicarakan
selalu masalah-masalah ringan, masalah penghidupan manusia di dunia ini, yang makin
lama terjadi perbedaan yang amat jauh antara yang melarat dan yang kaya. Dan sering
juga mereka membicarakan tentang ilmu tata-kelahi, dan tukar pengalaman.
Namun demikian Tohjoyo belum juga putus-asa dalam usahanya mencari sarana
untuk menekan Ayu Kedasih. Sore tadi, ia sendirilah yang menyarankan agar diadakan
pembagian tugas seperti malam ini. Hingga dengan demikian, ia dapat memisahkan
antaraAyu Kedasih dengan Wanengboyo untuk setengah malam lamanya. Dan ketika
Ayu Kedasih dan Wanengboyo sudah bertugas, ia tidak segera masuk tidur. Akan tetapi
segera membayangi Ayu Kedasih. Dan sudah menjadi kebiasaan, bahwa orang dibayangi
akan lengah, sebaliknya orang yang membayangi akan dapat mengamati orang tanpa
diketahui pihak yang diamati.
Berdegup tegang jantung Tohjoyo ketika melihat Ayu Kedasih berhenti di tempat
ini, lalu duduk di atas rumput. Dan degup jantungnya itu semakin menjadi cepat lagi
setelah mendengar ucapan Ayu Kedasih yang mengharapkan kasih Fajar Legawa. Justeru
ucapan seperti itulah yang selalu ingin didengar oleh Tohjoyo. Dan dengan begitu, ia
mempunyai alasan untuk menekan Ayu Kedasih, dan akan sulitlah perempuan itu
menolak kehendaknya.
Tohjoyo sudah duduk di atas rumput. Lalu, katanya perlahan. "Ayu, duduklah."
Tetapi Ayu Kedasih belum juga mau duduk. Berkali-kali perempuan ini menghela
napas. Dadanya berombak dan khawatir. Lalu ia menolak permintaan Tohjoyo dengan
halus. "Kakang, maafkan aku. Aku sedang bertugas mengawasi mereka, maka aku harus
pergi."
"Ayu! Kemarilah dahulu!" bujuk Tohjoyo. "Aku ingin sedikit bicara."
"Tetapi.........tugas........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Duduklah dahulu. Tentang itu bisa dilakukan nanti. Akan tetapi sekarang, aku
ingin bicara dengan engkau."
Berdebar jantung Ayu Kedasih. Ia tahu, bahwa Tohjoyo tentu akan mengurus
tentang ucapannya tadi. Diam-diam ia menjadi amat menyesal, mengapa ia tadi kurang
waspada, sehingga tidak menyadari Tohjoyo hadir di dekatnya? Akan tetapi semuanya
sudah terlanjur. Dan sesalpun tiada gunanya. Mendadak saja malah timbul akal
perempuan ini, untuk minta perlindungan. Sebab apabila hal itu sampai terdengar oleh
suaminya, tidak urung bisa menimbulkan geger. Maka kemudian Ayu Kedasih duduk di
tempat yang agak berjauhan dengan Tohjoyo.
Tohjoyo tersenyum. Kemudian katanya lirih. "Ayu, mengapa engkau duduk di
situ? Kita harus bicara perlahan agar rahasiamu tidak sampai didengar orang lain. Ayu,
duduklah di sampingku ini, dan dengar apa yang aku katakan. Aku kakak seperguruan
suamimu, maka pada tempatnya pula apabila hal ini perlu kita selesaikan malam ini ."
Ayu Kedasih makin gemetaran tubuhnya, ia mengerti maksud kata-kata Tohjoyo
itu.
Dan walaupun tampaknya halus. akan tetapi mengandung ancaman yang
menakutkan. Sebagai kakak seperguruan suaminya, Tohjoyo memang mempunyai
wewenang pula untuk menghukum dirinya yang bersalah. Memang benar ia dapat
berdalih dan memberi keterangan palsu. Tetapi ia merasa ragu, apakah suaminya
mempercayai keterangannya yang palsu itu? Ia cukup kenal akan watak Wanengboyo.
Dia seorang yang selalu mendengar dan tunduk kepada kakak seperguruannya. Dan
sesuai dengan itu, tentu Wanengboyo lebih percaya akan keterangan Tohjoyo dibanding
dengan keterangannya. Lebih dari itu, apabila hal ini kemudian dikembangkan dan guru
Tohjoyo ikut serta mencampuri, persoalannya akan menjadi semakin ruwet dan dirinya
sulit mencari jalan selamat. Terpikir demikian, Ayu Kedasih segera bangkit, kemudian
duduk di samping Tohjoyo. Walaupun demikian, perempuan ini semakin berdebar tidak
keruan.
Tohjoyo lega sesudah Ayu Kedasih dudukdi sampingnya. Hampir saja ia tidak
kuasa lagi menahan hasratnya, dapat berdampingan dengan Ayu Kedasih. Tetapi
walaupun jantungnya berdebar tegang, pemuda ini berusaha menekan perasaan,
kemudian berkata, "Nah, dengan duduk berdekatan begini, kita tidak perlu bicara keras.
Bukankah begitu, Ayu?"
"Ya," sahut Ayu Kedasih dengan jantung tegang.
Tohjoyo menghela napas pendek. Kemudian, "Ayu, aku mendengar seluruhnya
apa yang engkau ucapkan tadi. Engkau mencintai FajarLegawa itu bukan?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aku.........aku........." Ayu Kedasih gugup sekalipun sudah dapat menduga.
"Engkau tak dapat mungkir Ayu," potong Tohjoyo. "Aku sudah mendengar
seluruhnya. Engkau harus tahu kedudukanku, sebagai kakak -seperguruannya
Wanengboyo. Maka lebih baik engkau berterus terang di depanku, agar persoalan ini tidak
tersiar luas sehingga menimbulkan hal-hal yang memalukan."
"Lalu.........lalu......bagaimana..........?" Ayu Kedasih yang tidak keruan rasanya
sekarang ini, seakan sulit untuk membuka mulut.
Tohjoyo senang sekali, melihat keadaan Ayu Kedasih yang mati kutu, tidak dapat
mungkir. Maka pemuda ini segera mencari jalan yang menguntungkan dirinya, "Ayu,
engkau tentu menyadari betapa peristiwa ini akan menimbulkan kegemparan apabila
bocor ke telinga adi Wanengboyo dan guru. Dan lebih lagi, apabila sampai terdengar oleh
paman Ki Hajar Jaladara, gurumu."
Ayu Kedasih tambah berdebaran jantungnya, mendengar nama gurunya disebut-
sebut ini. Ia dapat membayangkan betapa marah gurunya apabila mendengar peristiwa
ini, walaupun sesungguhnya antara dirinya dengan Fajar Legawa belum pernah terjadi
pelanggaran. Ia menyadari kedudukannya, sebagai seorang wanita. Bahwa sedikit saja
menyeleweng, akan menimbulkan heboh. Berbeda dengan laki-laki, walaupun orang tahu
laki-laki itu menyeleweng, namun tidak terjadi persoalan. Penyelewengan itu dianggap
biasa saja, tidak ada pengaruhnya apa-apa. Sebaliknya wanita? Jari tangan orang tentu
segera menuding dan banyak orang berbisik-bisik.
"Ya, kakang.........aku mengerti........." sahutnya kemudian dengan suara
menggeletar.
"TetapiAyu. aku tidak akan sekejam dan setega itu. Percayalah, bahwa persoalan
ini hanya aku seorang yang tahu, dan tidak mungkin suamimu mendengar. Aku akan
dapat merahasiakan Ayu apakah engkau percaya?"
"Aihh, terima kasih kakang, dan saya.........saya mohon perlindunganmu........"
pinta Ayu Kedasih.
Dan diam-diamTohjoyo gembira sekali. Ibarat ikan sudah masuk di dalam
jaringnya, tidak mungkin lepas lagi. Ia memang ingin menekan dan mempersulit
perempuan ini secara tidak langsung. Dan dengan demikian, ia akan dapat membuat
perempuan ini tidak berkutik lagi.
"Tetapi Ayu, tanggung jawabku terhadap masalah ini cukup berat," kata
Tohjoyolagi. Tangannya sudah hampir meraih perempuan itu untuk memeluk, namun
ditahankan. "Sesuai dengan tanggung jawab yang besar itu. Apakah tidak terpikir olehmu
untuk balas jasa?"
"Balas jasa?" Ayu Kedasih agak kaget. "Katakan kakang.........engkau minta bendahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
apa saja? Aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu itu kakang, walaupun aku
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang miskin. Kalau perlu aku akan menjual sawah untuk itu."
"Heh-heh-heh," Tohjoyo ketawa terkekeh. "Siapa yang menyuruh engkau menjual
sawah dan barang milikmu? Tidak, Ayu, tidak! Aku bukan seorang tamak akan harta.
Aku tidak menghendaki sesuatu yang sulit, sehingga engkau perlu berusaha. Ayu,
aku............aku hanya menghendaki........."
Dan tiba-tiba saja tangan Tohjoyo sudah menarik pundak Ayu Kedasih, yang
kemudian dipeluk erat sekali, sambil menyerbu bibir dan pipi.
"Aihhh.........kakang.........jangan..........." Ayu Kedasih kaget setengah mati dan
berusaha menolak.
"Aku tidak akan memaksamu, Ayu." kata Tohjoyo sambil mengendorkan
dekapannya.
"Pergilah jika engkau menghendaki. Namun sebaliknya aku tak dapat menjamin
kerahasiaanmu. Semua ini tergantung engkau sendiri Ayu.
Tetapi.........tetapi.........engkau cantiksekali....."
Sambil menutup kata-katanya ini, Tohjoyo sudah memagut bibir Ayu Kedasih
yang memerah jambu itu.
Ayu Kedasih berusaha menghindar. Dan hal ini membuat Tohjoyo kecewa
disamping mendongkol.
"Ayu, baiklah! Agaknya engkau memang memilih jalan lain." Tohjoyo bangkit
berdiri. Lalu ia mengancam. "Tetapi engkau akan tahu sendiri. Malam ini juga rahasiamu
akan terdengar luas. Bukan hanya adi Wanengboyo, tetapi setiap hidung akan tahu."
Tohjoyo melangkah. akan tetapi langkahnya perlahan dan ragu-ragu. Ia
mengancam demikian, tiada maksud lain untuk membuat Ayu Kedasih mati kutu dan
menyerah.
Ayu Kedasih masih duduk. Perasaan perempuan ini tidak keruan. Ia menjadi
bingung, apakah yang harus dilakukan? Apabila ia sekarang ini melarikan diri memang
bisa. Namun akibatnya ia akan berhadapan dengan gurunya, dan juga guru Wanengboyo.
Dirinya akan menjadi pesakitan dan diurus dengan teliti. Teringat soal ini, mendadak saja
tubuhnya menggigil.
"Kakang.........kakang Tohjoyo.........ohhh, kasihanilah aku......." ratap
perempuan ini kemudian, sambil menangis dan menutupi mukanya dengan telapak
tangan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tohjoyo yang belum jauh meringis. Hatinya gembira sekali, kemudian menyelinap
dan bergerak dengan hati-hati sekali, ia menempatkan diri di belakang Ayu Kedasih dan
tidak mengganggu. Ia membiarkan perempuan itu menangis. Dan agar kehadirannya
tidak diketahui Ayu Kedasih, maka Tohjoyo setengah tidak bernapas.
Ayu Kedasih yang menangis itu menjadi lengah, ia tidak mendengar gerakan
Tohjoyo, sehingga tidak tahu bahwa laki-laki itu sudah di belakangnya. Ayu Kedasih
mengangkat kepalanya, dan dengan mata yang basah mengamati kearah Tohjoyo tadi
pergi. Air mata yang memenuhi sepasang matanya itu membuat pandang matanya
berkurang awasnya. Ketika melihat Tohjoyo tidak tampak lagi, perempuan ini bingung
dan khawatir. Maka ia setengah menjerit dan memanggil.
"Kakang Toh.......haeppp............" ucapan Ayu Kedasih terputus, karena dari
belakang Tohjoyo sudah menubruk sambil membungkam mulut perempuan itu.
"Ayu.........mengapa engkau berteriak?" hardik laki-laki ini. "Manisku,
sudahlah.........janganmenangis........"
Dan dengan hati gembira, Tohjoyo sudah menyerbu mulut Ayu Kedasih.
Perempuan yang sudah tidak tahu jalan lain ini, sekarang tidak berusaha menghindarkan
diri.
Masih pagi benar Ayu Kedasih sudah pergi ke sumber air. Ia minta diri kepada
Wanengboyo untuk mandi lebih pagi, sebelum banyak orang datang. Akan tetapi setelah
tiba di sumber air, Ayu Kedasih tidak segera mandi, ia malah duduk di atas batu sambil
menangis tersedu-sedu. Pengalamannya semalam membuat perempuan ini sedih. Sama
sekali tidak diduganya, bahwa kakak seperguruan suaminya itu sampai hati kepada
dirinya. Hampir timbul niatnya untuk membunuh diri saja. Namun kemudian terbayang
di depannya wajah tampan Fajar Legawa yang membuat ia tergila-gila. Ia sudah tahu
rahasia senjata tongkat Fajar Legawa. Bukankah dengan pengetahuannya itu, iapun dapat
menekan Fajar Legawa tidak berkutik? Kalau dirinya bisa ditekan orang, apakah dirinnya
tidak dapat membalas orang.
Teringat akan hal itu hati perempuan ini terhibur, tangisnya berkurang. Akan tetapi
tiba-tiba perempuan ini menjadi kaget, ketika mendengar teguran orang.
"Adi, mengapa engkau menangis di sini?
Betapa kaget Ayu Kedasih ketika melihat bahwa Danurwenda telah berdiri tidak
jauh dari tempatnya. Danurwenda mengamati penuh selidik, membuat Ayu Kedasih
gemetaran, dan cepat menduga yang tidak-tidak. Kalau semalam Tohjoyo sudah menekan
dirinya dengan ancaman itu, apakah sekarang Danurwenda juga akan menggunakanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kesempatan itu untuk minta tubuhnya?
"Adi, mengapa engkau menangs?" tanya Danurwenda dengan halus, dan laki-laki
ini tetap berdiri di tempatnya. "Katakanlah adi, apakah semalam engkau bertengkar
dengan suamimu?"
"Kakang........auh-huhu-huuu............"Ayu Kedasih tidak dapat menjawab, dan
malah menjadi tangisnya, setelah mendengar kata-kata Danurwenda itu.
"Hemm, tidak baik orang bebrayan mendekatkan diri dengan perselisihan," kata
Danurwenda lagi dengan halus. "Adi, sudahlah, jangan engkau menangis. Mandilah, dan
nanti aku yang akan mengurus suamimu. Aku kakak seperguruan suamimu, berhak
mencampuri urusan kekeluargaanmu kalau perlu, dan demi kebaikan. Adi, sudahlah
jangan menangis."
"Kakang.........ohh.........jangan pergi.........!" pekik Ayu Kedasih ketika melihat
Danurwenda mau pergi. Kecurigaanperempuan ini terusir jauh. Dan sekarang malah
timbul rasa khawatirnya, apabila suaminya mengurus dirinya, mengapa menangis.
Danurwendapun berhenti, membalikkan tubuh dan mengamati Ayu Kedasih
dengan pandang mata terharu. Sesudah menghela napas pendek, katanya lagi, "Adi
apakah sebabnya engkau menahan aku? Kalau memang engkau berselisih dengan
suamimu, dan ternyata suamimu memang bersalah, aku wajib memperingatkan dan
memberi nasihat."
"Ti.........tidak.........! Bukan.......!"
Danurwenda tampak heran dan membelalakkan mata. Lalu ia bertanya, "Tidak
dan bukan, apa maksudmu?"
"Saya.........saya tidak berselisih dengan kakang Wanengboyo........."
"Kalau tidak, mengapa sepagi ini menangis di sini?" desak Danurwenda.
"Kakang.........ohh.........hu-hu-huuu........ampunkan saya. Kakang.........jangan
engkau memberitahu kakang Wanengboyo........kalau aku...... ....menangis di sini........."
Ayu Kedasih meminta.
Danurwenda mengerutkan alisnya dan heran. Ia mengamati Ayu Kedasih penuh
perhatian. Kemudian. "Adi. aku menjadi heran dan bingung sendiri. Lalu apakah
sebabnya engkau menangis di sini? Katakanlah adi, apabila engkau menghadapi kesulitan
akulah yang akan mengurus. Percayalah."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Kakang............ohhh............" ratap Ayu Kedasih. "Aku menangis............bukan
karena dia............"
"Aihh.........!" Danurwenda kaget. "Kalau bukan karenadia, lalu apakah soalnya?
Apakah .........engkau dihina orang? Katakanlah adi, katakanlah!"
Ayu Kedasih tidak segera membuka mulut, ia mengusap air matanya yang
membanjir turun dari sepasang matanya, ia ingin segera berhenti menangis, akan tetapi
hatinya yang merasa sengsara oleh tekanan Tohjoyo semalam membuat air matanya tak
kunjung henti.
Dan Danurwenda mendekati, lalu katanya dengan halus. "Adi, jangan engkau
menangis. Katakan yang jelas, agar aku dapat mempertimbangkan dengan adil."
Ingin sekali Ayu Kedasih menubruk kakak seperguruan suaminya ini, kemudian
melaporkan perbuatan Tohjoyo, supaya dihukum. Namun, tiba-tiba kekhawatirannya
menyesak lagi. Ia teringat ancaman Tonjoyo, yang bisa berakibat lebih parah. Diam-diam
perempuan ini segera mencari akal dan dalih, untuk menutupi rahasianya.
"Adi," kata Danurwenda lagi dengan halus. "Apabila engkau sudah memberi
keterangan tentunya sebagai kakakmu aku akan dapat berbuat secara adil. Berhentilah
engkau menangis, dan hapuslah air matamu. Orang bisa menduga yang tidak-tidak,
apabila melihat engkau menangis."
Agak beberapa saat lamanya barulah Ayu Kedasih berhenti menangis, dan tinggal
terisak saja. Kemudian, kata perempuan ini. "Kakang, saya mohon agar kakang tidak
memberitahu kakang Wanengboyo, bahwa aku menangis di tempat ini."
"Apakah sebabnya?" Danurwenda heran dan curiga.
"Kakang............nanti saya akan menerangkan sejelasnya. Dan sekarang, berilah
kesempatan saya mandi," Ayu Kedasih meminta.
"Baiklah, engkau jangan khawatir." Danurwenda segera melangkah pergi, namun
diam-diam laki-laki yang bijaksana ini heran juga, melihat sikap Ayu Kedasih yang agak
aneh itu.
Di saat Ayu Kedasih belum selesai mandi, Wanengboyo sudah datang menyusul.
Tegurnya. "Aihh, Ayu! Mengapa terlalu lama engkau mandi?"
"Ihh...........tunggu dulu, jangan kemari kakang! Aku hampir selesai," sahut Ayu
Kedasih yang segera mempercepat mandinya.
Wanengboyo yang watakanya selalu ngemong kepada Ayu Kedasih itu, tidak mauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mengecewakan isterinya. Ia kemudian duduk di atas batu, agak jauh dengan sumber air.
Akan tetapi di tempat lain, ada seorang laki-laki yang cepat-cepat menyembunyikan diri
ketika melihat Wanengboyo tiba-tiba datang. Orang itu bukan lain Tohjoyo, yang sudah
agak lama hadir di tempat ini. Ia tadi sudah curiga ketika melihat Danurwenda datang.
Kemudian ia mengukur dengan bajunya sendiri, mengira bahwa Danurwenda akan
berbuat seperti yang dilakukan. Namun kemudian Tohjoyo menghela napas lega, ketika
ternyata Danurwenda tidak melakukan sesuatu.
Ia tadi sudah akan mendekati sumber air, disaat Ayu Kedasih mandi. Namun
maksudnya terhalang, karena tiba-tiba Wanengboyo muncul. Hingga sekarang,
menyebabkan Tohjoyo harus bersembunyi dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir
diketahui oleh Wanengboyo.
Tohjoyo datang menyusul Ayu Kedasih oleh godaan rasa penasaran. Walaupun
semalam dapat bersanding dengan perempuan itu. Akan tetapi gelap malam membuat
matanya tak dapat melihat jelas. Maka pagi ini timbullah keinginannya untuk melihat
Ayu Kedasih disaat tanpa busana.
Tak lama kemudian Ayu Kedasih sudah muncul dari balik batu, dan sudah
berdandan. Perempuan ini tersenyum ketika berpapasan dengan Wanengboyo.
Kemudian. "Kakang, apakah, aku perlu menunggu engkau?"
"Boleh, boleh.Tunggulah aku dan nanti pulang bersama," sahut Wanengboyo
sambil terus melangkah menuju sumber air. Tak lama kemudian, Wanengboyo sudah
mulai mandi.
Tohjoyo yang bersembunyi tidak jauh dari tempat itu, diam-diam menyumpah-
nyumpah kepada Wanengboyo. Sebab kehadiran adik seperguruannya itu, membuat
kepergiannya pagi ini tanpa hasil.
Tetapi sebenarnya tingkah laku Tohjoyo terhadap perempuan ini memang
merupakan kebiasaan buruk yang sudah agak lama mengotori jiwanya, di dalam desa ini
dirinya sebagai anak lurah desa. Padahal kedudukan lurah desa, ibarat seorang raja kecil.
Sebab lurah desa di jaman cerita ini terjadi, bisa pula bertindak amat jauh. Dan sebaliknya
para kawula takut. Dan justeru berlindung kepada kedudukan ayahnya sebagai raja kecil
di desa ini, maka Tohjoyo menjadi seorang pemuda yang wataknya kurang baik. Ia
menjadi ganas terhadap wanita dan gadis, tetapi tidak seorangpun berani melaporkan
perbuatan Tohjoyo ini kepada ayahnya.
Di dalam desa Sumberrejo ini, orang satu-satunya yang disegani hanyalah
Danurwenda seorang. Bukan saja karena berkedudukan sebagai kakak seperguruan, tetapi
setiap bicara dan melangkah, Danurwenda selalu bijaksana dan memandang secara jauh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Demikianlah, Tohjoyo baru berani keluar dari tempatnya bersembunyi, sesudah
Dewi Ular 01 Roh Pemburu Cinta Dewi Ular 01 Roh Pemburu Cinta Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga
Tohjoyo kurang senang. "Apakah adi lupa bahwa ayahku sedah menjadi korban penjahat
itu? Dan apakah adi lupa pula bahwa penduduk sekitar ini membutuhkan bantuan kita?"
Mereka terdiam mendengar jawaban Tojoyo ini. Apa yang sudah dikemukakan
Tohjoyo memang sulit untuk dibantah. Dan dalam hati masing-masing juga merasa tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
tega untuk membiarkan para penduduk dalam wilayah ini, terancam oleh penjahat.
"Adi," kata Danurwenda perlahan, sambil memandang ke arah Tohjoyo dan
Wanengboyo bergantian, "Apabila ternyata pada hari ketentuan itu keadaan belum aman.
Memang sulitlah bagi aku dan Tohjoyo meninggalkan desa ini tanpa pelindung. Untuk
itu adi Wanengboyo tidak perlu khawatir. Guru tentu akan memaklumi pula apabila pada
hari yang telah ditentukan itu, kita tidak dapat datang dan menghadap. Dan karena itu,
guru tentu dapat pula memaafkan. Keperluan guru toh masih dapat ditunda, tetapi
ancaman penjahat tidak mungkin bisa ditunda."
"Tetapi sayang juga........." ujar Wanengboyo setengah mengeluh.
"Ya, memang sayang," jawab Danurwenda. "Namun apa harus dikata kalau
keadaan memang menghendaki begini? Ya, semoga saja Tuhan menolong kita."
Akan tetapi baru saja Danurwenda selesai bicara ini, terdengarlah suara orang
berlarian. Mereka semua kaget dan mengarahkan pandang mata ke halaman. Tampak
kemudan dua orang pemuda dengan tergesa menuju balai desa.
"Ada apakah?" tanya Danurwenda sambil bangkit dari duduknya.
Dua orang muda itu masih tersengal-sengal. Tanpa sempat duduk, pemuda ini
sudah memberi laporan dengan sikap gugup. "Petugas menyaksikan sesuatu yang
mencurigakan. Pada suatu dataran di luar desa......... tampak orang berkelahi........."
"Orang berkelahi?" Tohjoyo kaget. "Tahukah siapa yang sedang berkelahi itu?
Dan berapa pulakah jumlahnya?"
"Kami tidak berani datang mendekati," jawab pemuda itu. "Tetapi jelas bahwa
yang berkelahi itu dua orang melawan empat orang. Seorang diantaranya, dikeroyok oleh
tiga orang."
"Pakaian Mereka?" desak Danurwenda.
"Maaf. Tidak begitu jelas. Karena kami agak jauh."
Untuk sejenak Mereka berpandangan. Namun kemudian Tohjoyo tidak sabar dan
mengajak. "Mari kita tinjau. Ada kemungkinan mereka memang penjahat Ungaran."
"Benar!" sahut Wanengboyo. "Bersikap waspada adalah baik."
Mereka serempak berdiri. Danurwenda dan Wanengboyo mendahului, kemudian
disusul oleh yang lain.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mereka bergerak cepat. Berkali-kali tanpa sesadarnya, mereka meraba hulu senjata
masing-masing.
Fajar Legawa berjalan di paling belakang. Ayu Kedasih melangkah di sampingnya.
Diam-diam hati Fajar Legawa berdebar didekati oleh perempuan cantik ini. Dan
sebenarnya ia tidak ingin berdekatan dengan Ayu Kedasih, semua itu untuk menjaga agar
tidak timbul hal-hal yang tidak diharapkan. Akan tetapi untuk menyingkir juga merasa
tidak enak hati. Dan hal tersebut dapat menyinggung perasaan Ayu Kedasih, sehingga
malah dapat menimbulkan hal-hal yang lebih tidak menyenangkan
"Adi," kata Ayu Kedasih setengah berbisik dekat sekali tubuh mereka saat itu.
"Sudahkah engkau baca suratku itu?"
"Ya," sahut Fajar Legawa singkat sambil mengangguk.
"Maafkan aku sudah lancang tangan dan berlaku seperti pencuri."
"Tidak apa. Hanya aku minta, engkau dapat menolong dan merahasiakan semua
itu."
Ayu Kedasih tersenyum manis sekali. Lalu terdengarlah perempuan ini berkata,
"Jangan khawatir, dan aku akan selalu menjaga rahasia itu. Tetapi ............"
Ayu Kedasih menghentikan kata-katanya. Dan Fajar Legawa heran, maka
desaknya. "Tetapi apa?"
"Apakah surat itu sudah engkau baca seluruhnya?"
"Ya, aku baca seluruhnya."
"Hemmm, aku mengharap engkau memenuhi apa yang sudah tercantum dalam
surat itu."
Fajar Legawa berjengit agak terkejut. Ia masih belum lupa bahwa dalam surat itu
Ayu Kedasih meminta, agar pada bulan purnama bulan depan, dirinya, diminta datang
ke desa Mergosari, ke rumah Ayu Kedasih. Ketika membaca surat itu, memang tiada
perasaan berat sedikitpun untuk datang dan memenuhinya. Karena hal tersebut bukan
merupakan permintaan yang berlebihan, demi persahabatannya dengan Ayu Kedasih dan
suaminya.
Akan tetapi perkembangannya telah agak berlainan sekarang. Sesudah Fajar
Legawa mendengar bahwa Wanengboyo harus menghadap gurunya pada tanggal 15https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
bulan depan. Dengan begitu, maka apabila dirinya datang kesana. Wanengboyo tidak ada
di rumah. Seorang laki-laki yang datang sebagai tamu, patutkah apabila tuan rumah tidak
ada? Tiba-tiba saja hatinya berdesir. Hatinya berdebaran, karena timbul rasa khawatirnya
apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Namun agaknya Ayu Kedasih dapat menebak isi hati Fajar Legawa. Terdengarlah
kemudian perempuan ini berkata. "Adi Fajar Legawa. Engkau tak usah terlalu jauh pikir.
Bukankah engkau terpengaruh oleh kepergian kakang Wanengboyo pada saat itu? Huh,
engkau jangan membayangkan yang tidak-tidak, dan engkau jangan menghina aku!"
Fajar Legawa terkejut dan gugup. Ia maklum bahwa Ayu Kedasih tersinggung.
Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka jawabnya kemudian.
"Mbakyu, maafkan aku. Aku hanya berpikir banwa waktu itu kakang Wanengboyo tidak
di rumah. Aku khawatir apabila orang menggunakan kesempatan itu untuk memfitnah
mbakyu. Bukankah hal itu cukup berbahaya?"
"Yang penting kenyataan dan bukti, adi. Engkau tidak perlu memperdulikan
kepada orang yang suka memfitnah. Percayalah bahwa Tuhan itu adil. Meskipun fitnah
dilancarkan orang membabi buta, fitnah itu tak mungkin mempan. Biarkanlah orang mau
berbuat dan berkata. Biarkan saja orang mau memfitnah. Mana loyang dan mana emas
akan tampak juga, adi. Begitu pula mana penipu dan mana yang jujur. Biasanya orang
yang suka memfitnah semacam itu adalah orang-orang yang takut kepada bayangannya
sendiri. Dan orang yang suka memfitnah, jauh lebih jahat dari pembunuh."
"Tetapi mbakyu, alangkah yogyanya kalau selalu berhati-hati. Menjauhkan diri
dari sesuau yang dapat memberi lobang kelemahan kepada orang, lebih baik lagi. Dan
karena itulah lebih tepat apabila kedatanganku ke sana pada kesempatan lain, dimana
kakang Wanengboyo di rumah."
"Huh, engkau angkuh sekali. Baiklah jika engkau tidak sudi berkunjung ke rumahku.
Ketahuilah bahwa aku membutuhkan pelindung pada saat-saat kakang Wanengboyo
tidak di rumah."
Sesudah berkata demikian, Ayu Kedasih sudah melangkah mendahului, menyusul
suaminya yang berjalan di depan bersama Danurwenda.
Tak enak Fajar Legawa mendengar ucapan Ayu Kedasih tadi. Tetapi ketika
teringat bahwa Ayu Kedasih membutuhkan pelindung, hatinya jadi tergerak.
Mungkinkah Ayu Kedasih emmpunyai musuh? Dan mungkinkah orang yang bernama
Bagus Lantung itu masih juga mengganggu?
"Apabila benar membutuhkan pelindung, dan ada orang sengaja memusuhi, tidak
ada alasan aku menolak," pikirnya kemudian. "Seorang sahabat harus berani berkorbanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
demi kepentingan sahabatnya. Orang yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri,
adalah seorang yang tamak."
Namun kemudian in membantah sendiri. Katanya dalam hati. "Tetapi ............
bukankah kakang Wanengboyo dapat membawa serta isterinya menghadap gurunya?
Hemm, sebaiknya aku bicara dengan dia. Aku akan menganjurkan agar saat itu Ayu
Kedasih ikut serta ke Merbabu."
Ketika itu mereka sudah tiba di tepi desa. Mereka segera bersikap lebih hati-hati
sambil menebar diri. Mereka menajamkan pandang mata dan menjaga segala
kemungkinan. Dengan setengah menahan napas, mereka mengikuti langkah pelapor yang
mendahului di depan.
Tak lama kemudian sampailah Mereka di suatu tempat yang agak tinggi. Pemuda
pelapor itu memberi tanda dengan mengacungkan tangan. Mereka kemudian mengikuti
arah petunjuk itu. Jauh di sana dan samar-samar dalam gelap malam, tampak orang-orang
sedang berkelahi sengit. Perkelahian itu terbagi dalam dua kelompok. Di bagian barat
seorang lawan seorang. Sedang yang di sebelah timur, tiga orang mengeroyok seorang
lawan.
"Dari jarak sejauh ini, sulitlah kita mengenal mereka secara jelas," kata
Danurwenda. "Marilah kiia mendekat ke sana."
"Berbahaya!" desis Tumpak Denta. "Kita belum mengenal siapakah mereka.
Maka sebaiknya kita tugaskan saja seorang dua untuk mendekati. Apabila terjadi sesuatu,
dengan sekali suitan yang lain dapat menolong secepatnya."
"Pendapatmu amat bagus!" sambut Wanengboyo. "Dan biarlah aku yang pergi ke
sana."
"Aku juga!" sambut Tohjoyo.
"Dan akupun ingin ke sana," kata Tumpak Denta.
Sebenarnya dua orang sudah cukup. Namun untuk menolak salah seorang,
Danurwenda tidak enak hati. "Baikah, dan bergeraklah kalian berpencaran. Waspadalah
supaya tidak menimbulkai kerugian. Dan bila perlu, tanda suitan akan mengundang kami
datang ke sana,"
Tiga orang itu mengiakan. Tetapi sesungguhnya pesaban seperti itu tidak perlu.
Mereka sudah cukup dewasa, tidak mungkin gegabah. Mereka kemudian berpencaran.
Dan dalam kegelapan malam mi, semua orang berusaha untuk bisa mengenal mereka
yang sedang berkelahi. Hati mereka tegang, sedang dalam hati sibuk menduga-duga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi Ayu Kedasih sikapnya lain. Tadi ia agak marah kepada Fajar
Legawa. Ia tidak begitu perduli kepada perkelahian yang sedang terjadi. Entah mengapa
sebabnya Setelah ia mengetahui bahwa Fajar Legawa memiliki salah sebuah pusaka yang
sedang diperebutkan orang, ia selalu ingin berdekatan dengan pemuda itu. Ia temasuk
salah seorang yang amat percaya kepada pendapat sementara orang. Bahwa orang yang
dapat memiliki pusaka "Tilam Upih" atau pedang "Sokayana" akan mendapat kemuliaan
hidup yang sulit dicitakan orang. Ia akan disegani dan dihormati orang tidak bedanya
dengan pemilik-pemilik pertama pusaka itu.
Dan oleh kepercayaan itu, maka Fajar Lerawa termasuk seorang calon yang akan
mendapatkan kemuliaan hidup itu, Fajar Legawa sudah memiliki salah satu pusaka itu,
dan berarti pula sudah mempunyai kelebihan dibanding orang lain.
Pendapat Ayu Kedasih ini sudah tentu bertentangan dengan pendapat Fajar
Legawa sendiri, yang sekarang menguasai pusaka itu. Karena menurut pendapat Fajar
Legawa, kemuliaan seseorang bukan karena pusaka keramat. Kemuliaan seseorang oleh
tindak dan perbuatan orang itu sendiri. Dan sebagai salah seorang hamba Allah yang taat
dan patuh kepada agama, hanya Allah yang berkuasa menentukan segala sesuatu di dunia
ini. Dan meskipun benar pusaka Tilam Upih mempunyai kelebihan dibanding dengan
senjata biasa, namun hal itu tidak menjamin orang menjadi digdaya dan sakti. Terbukti
dengan pengalamapnya menghadapi Jalu Gigis dan Klenting Mungilpun dirinya tidak
dapat berbuat banyak. Ilmulah yang menjadikan orang disebut digdaya sakti.
Fajar Legawa amat tertarik kepada merek-yang sedang Verkelahi. Terlebih puli
kenida se-orang yang berkelahi lawan seorang. Meskipun samar-samar, tetapi ia dapat
menangkap bahwa orang itu bersenjata sepasang pedang. Dan yang menarik perhatiannya
adalah gerak-gerik orang itu. Dan menurut perasaannya, sedikit banyak ia sudah
mengenal ilmu pedang itu. Tetapi siapakah orang itu, Fajar Legawa sulit menduga.
Disaat ia penuh perhatian mengikuti gerak gerik mereka yang sedang berkelahi itu,
tiba-tiba ia menangkap langkah orang mendekati. Tiba-tiba hidungnya mencium bau yang
semerbak harum. Dan sesaat kemudian terdengarlah suara orang yang berbisik di dekat
telinganya. "Adi, apakah engkau marah padaku?"
Sebenarnya kurang senang Fajar Legawa mendapat gangguan ini. Akan tetapi
untuk menjaga agar wanita itu tidak kecewa dan bisa berakibat kurang baik maka ia
menjawab juga. "Mengapa aku harus marah?"
"Terima kasih," Ayu Kedasih ketawa lirih, namun cukup merdu dan enak
didengar. "Tahukah engkau tentang usaha orang memperebutkan benda pusaka?"
Fajar Legawa terkesiap, ia dapat menduga akan arah tujuan Ayu Kedasih
membicarakan masalah itu. Namun demikian ia pura-pura belum tahu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Pusaka apakah itu?"
"Hi-hi-hik, pusaka apa lagi? Bukankah orang sedang saling berlomba untuk dapat
memiliki keris pusaka "Tilam Upih" dan pedang "Sokayana" Dan salah satu diantara
pusaka itu, sekarang sudah di dalam tanganmu."
Fajar Legawa justeru telah tahu arah ucapan orang. Namun tidak urung sekarang
ini hatinya berdegup, karena menjadi semakin sadarlah ia bahwa mulut Ayu Kedasih
dapat membocorkan rahasia yang selalu ia sembunyikan. Dan apabila rahasia itu bocor,
maka merupakan suatu tanda bahaya bagi dirinya.
"Adi," bisik Ayu Kedasih lagi, "aku tahu bahwa engkau selalu berusaha
merahasiakan pusaka yang engkau bawa itu. Aku tahu bahwa engkau berusaha
menguasai pusaka itu seterusnya. Oleh karena itu, aku nasihatkan padamu adi, engkau
jangan suka membuat orang kecewa, agar rahasiamu tetap terjamin selamanya."
Mendengar kata-kata Ayu Kedasih ini, Fajar Legawa tidak dapat berkutik lagi. Ia
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang merasa ditempatkan pada sudut yang sulit. Kata-kata Ayu Kedasih ini
mempunyai maksud yang amat jauh, sehingga sulitlah bagi Fajar Legawa menduganya.
Akibatnya pula, iapun merasa bingung dan sulit, bagaimanakah caranya menjawab soal
ini?
Untunglah ia segera tertolong oleh keadaan. Ketiga itu terjadilah perobahan dalam
arena perkelahian. Orang yang tadi menggunakan sepasang pedang dan gerakannya
sudah dikenal oleh Fajar Legawa, sekarang terdesak hebat. Kemudian salah sebuah
pedangnya terpental, lepas dari tangan. Akibat kegugupannya, ketika ia akan membalas,
pedang yang tinggal sebatang itu menyusul terpental. Tetapi disaat yang berbahaya itu,
tiba-tiba terdengarlah suitan nyaring.
Dengan gerak yang amat cepat, Danurwenda dan Fajar Legawa lari ke tempat
perkelahian. Sedang Ayu Kedasih, dengan gerak yang lesu, terpaksa ikut menuju ke
tempat perkelahian. Dalam hatinya timbul rasa marah, akan tetapi kepada siapakah
kemarahannya itu harus ditumpahkan?
Ketika Fajar Legawa sudah tiba di dekat arena perkelahian, ia terbelalak dan
terkejut. Ternyata Tumpak Denta, Tohjoyo dan Wanengboyo telah melibatkan diri dalam
perkelahian. Sehingga sekarang terjadilah perobahan, seorang lawan seorang.
"Paman Gadung Melati!" seru Fajar Legawa kaget, sesudah mengenal kembali
orang tua itu.
Terdengar Gadung Melati ketawa terkekeh. Jawabnya. "Kalian memang
anak baik. Hayo Fajar, gantikan aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa sudah melompat tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya. Ia
maklum apabila Gadung Melati sudah memintanya, tentu ada sesuatu yang memaksa
kepadanya.
Ternyata dugaan Fajar Legawa benar. Tampaklah kemudian Gadung Melati
duduk bersila mengatur pernapasan. Fajar Legawa tahu akan sebabnya orang tua itu
duduk bersila di atas tanah. Agaknya pengaruh luka dalam siang tadi, ketika berkelahi
dengan Klenting Mungil, membuat orang tua itu menderita. Karena dipaksa untuk
berkelahi, maka dada orang tua itu sesak lagi dan ingin muntah sebab luka dalam yang
belum sembuh benar itu kambuh kembali.
Fajar Legawa menggantikan kedudukan Gadung Melati dengan tangan kosong.
Karena untuk menggunakan tongkatnya ia khawatir. Padahal musuh yang dihadapi
sekarang ini bersenjata sabit yang besar dan panjang. Gerakanya cepat dan penuh tenaga,
dan bukan pula lawan yang ringan,
Agak mengeluh juga Fajar Legawa, mengapa ia tadi tergesa melompat ke arena.
Apabila ia tadi meminjam senjata Danurwenda, senjata pinjaman itu akan banyak
membantu. Akan tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak ingin menunjukkan
kelemahannya di depan lawan. Dan sekalipun berat, ia melakukan perlawanan dengan
mantap.
Mendadak terdengarlah suara yang nyaring dan merdu. "Kakang Fajar!
Gunakanlah pedangku!"
Berdegup jantung Fajar Legawa mendengar suara yang merdu itu. Sebatang
pedang meluncur ke arahnya, dan dengan gerakan manis pedang itu sudah berhasil ia
tangkap. Katanya. "Terima kasih Wulan, pedangmu amat berguna bagiku sekarang ini."
Betapa gemas Ayu Kedasih melihat semua itu. Ia memandang Nawang Wulan
dengan perasaan tidak senang. Ayu Kedasih tidak tahu, mengapa hatinya tidak senang
kepada gadis itu, gadis yang sesungguhnya belum ia kenal.
Sebaliknya Nawang Wulan tampak tidak perduli. Ia cepat berdiri sambil mengamati
mereka yang sedang berkelahi. Tohjoyo berkelahi dengan canggahnya melawan seorang
berkumis tebal dengan senjata tombak dan perisai. Tumpak Denta dengan pedangnya
melawan seorang bertubuh tegap dan berewok, bersenjata golok. Wanengboyo dengan
sepasang goloknya melawan seorang tinggi besar bersenjata kapak. Sedang Fajar Legawa
dengan pedang pinjaman dari Nawang Wulan melawan seorang berewok yang bersejata
sabit besar.
Mereka berkelahi seorang lawan seorang. Dan Danurwenda berdiri mengamati
penuh perhatian. Sedang Gadung Melati, masih tetap duduk bersila sambil mengaturhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
pernapasan.
Sesungguhnya Gadung Melati sendiri tidak menduga akan terlibat perkelahian
dengan empat orang itu. Tadi, ketiga ia meninggalkan Wukirsari dan yang lain seraya
memondong Nawang Wulan, ia sudah bermaksud untuk terus pulang ke rumahnya. Akan
tetapi karena N wang Wulan masih pingsan dan tenaganya sendiri belum pulih
seluruhnya, maka orang tua berwajah jelek ini mencari tempat untuk mengaso.
Tetapi ketika Nawang Wulan siuman, gadis ini amat terkejut menyaksikan seorang tua
berwajah buruk duduk di sampingnya. Pengalaman sebelumnya masih memenuhi
dadanya, yang dikejar-kejar oleh Putut Jantoko, menyebabkan gadis ini cepat melompat
dan menghunus pedang.
Melihat sikap gadis itu, Gadung Melati terkejut akan tetapi hanya sejenak. Kakek
ini ketawa terkekeh, dan kemudian berkata lembut. "Anakku, sabarlah! Apakah sebabnya
engkau menghunus pedang? Lupakah engkau padaku?"
Mendengar suara seorang yang lembut, Nawang Wulan urung menggerakkan
pedangnya. Tetapi sebagai seorang gadis, ia masih belum percaya. Sepasang matanya
mengamati pakaian yang melekat pada tubuhnya.
Gadung Melati dapat menangkap kecurigaan gadis itu. Maka ia ketawa terkekeh
lagi, lalu katanya menghibur. "Heh-heh-heh, anakku, engkau tidak usah curiga dan
khawatir. Percayalah engkau, bahwa aku bermaksud baik padamu. Engkau anakku, dan
engkau sudah aku ambil sebagai anak angkat."
"Tidak!" pekik Nawang Wulan. "Dimanakah ibuku?"
"Wulan," kata Gadung Melati dengan sikap yang tetap sabar, "cobalah sekarang
iu kumpulkan ingatanmu. Apa sajakah yang engkau alami pada hari ini?"
Nawang Wulan terkesiap, kemudian menundukkan kepala dan berusaha
mengumpulkan ingatannya. Beberapa saat kemualan gadis ini segera ingat kembali apa
yang dialami. Tak salah lagi, bahwa ibunya tadi telah melepaskan napas penghabisan
dalam pelukannya, tiba-tiba saja tubuh gadis ini tergetar hebat, lalu jatuh terduduk dan
meratap. "Ibu.........ibu......... mengapa engkau pergi .........? Ibu.........aku ikut........."
Tidak terduga sama sekali pedang telanjang ditangannya itu sudah bergerak cepat
sekali, menusuk dada. Untung Gadung Melati waspada dan bertindak. Ujung pedang
urung menancap dadanya, malah kemudian berhasil direbut oleh Gadung Melati.
"Anakku, jangan!" hibur Gadung Melati halus, dengan sikapnya yang amat kasih.
"Engkau jangan cepat putus asa dan gelap mata. Anakku, relakanlah ibumu yang sudah
pergi mendahului. Relakan ibumu yang tewas sebagai seorang wanita gagah. Anakku,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akulah yang menggantikan ibumu ........akulah ayah dan orang tuamu........."
Gadung Melati yang memang berperasaan halus, berhati baik dan jujur itu, hampir
saja tidak kuasa menahan runtuhnya air mata. Adapun Nawang Wulan sekarang
menutup mukanya sendiri dengan telapak tangan sambil tersedu-sedu. Gadis ini amat
berduka ditinggal mati ibunya. Betapa tidak? Ayahnya sudah lebih dahulu gugur, dan
sekarang ibunya menyusul.
Gadung Melati membiarkan gadis itu menangis agar menjadi puas. Baru sesudah
agak lama, Gadung Melati kembali menghibur dengn kata-kata halus. Oleh kesabaran dan
ketelatenan Gadung Melati, akhirnya berhasil jugalah orang tua ini menghibur Nawang
Wulan. Namun demikian Nawang Wulan menurut kepada Gulung Melati, mengajak
kembali ke tempat perkelahian, untuk dapat menjenguk makam ibunya.
Gadung Melati terpaksa mengabulkan permintaan ini sekalipun hatinya terasa
berat. Tetapi sesudah Nawang Wulan tiba di tempat ibunya dimakamkan, gadis ini
hampir tidak kuasa menguasai diri dan perasaannya. Gadis ini menangis, menjerit-jerit
dan meratap-ratap. Membuat Gadung Melati yang wataknya welas asih amat terharu.
Malah hampir pula ia ikut menangis.
Memang bisa dimengerti apabila Gadung Melati tidak kuasa menahan diri
berhadapan dengan gadis menangis. Soalnya sampai menjadi kakek-kakek sekarang ini,
ia belum pernah kawin, Ia belum pernah pula merasakan bersanding dengan isteri dan
menimang bayi. Maka melihat kesedihan Nawang Wulan ini ia ikut menderita. Akan
tetapi sekalipun begitu, ia masih dapat pula berusaha menghibur dan membujuk.
Dan ternyata kemudian di samping makam ibunya ini, Nawang Wulan mogok. Ia
tidak mau berdiri dan meninggalkan makam ibunya. Gadung Melati berusaha membujuk
dan menghibur, namun usahanya tak juga berhasil. Nawang Wulan bertekat akan tetap
duduk di tempat itu dan menunggu makan ibunya.
Gadung Melati hampir kewalahan dalam usahanya membujuk gadis ini, dan
hampir putus asa pula. Untung bahwa kemudian kakek berwajah buruk ini menemukan
akal. Bujuknya. "Wulan marilah kita segera pergi. Hari sudah hampir gelap, dan aku
takut........."
Pada mulanya Nawang Wulan tidak menggubris. Tetapi ketika Gadung Melati
sengaja mengulang-ulang kata takut itu, dengan terisak Nawang Wulan bertanya. "Paman
takut apa? Apakah ibu yang sudah mati itu, kemudian akan menjelma menjadi hantu?"
"Ah.......bukan ibumu........." sahut Gadung Melati. "Tetapi aku takut kepada dia
tadi siang. Kepada musuh itu........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Diingatkan tentang Klenting Mungil dan Putut Jantoko, mendadak saja gadis ini
tampak gugup. Apabila musuh yang ditakutinya itu mengganggu lagi, niscaya orang tua
yang sekarang berusaha menolong dirinya ini, akan menjadi korban pula. Tiba-tiba saja
timbullah rasa yang tidak rela apabila Gadung Melati menjadi korban Klenting Mungil
dan Putut Jantoko. Maka kemudian sekalipun hatinya merasa berat meninggalkan
makam ibunya, pada akhirnya Nawang Wulan menurut pula di ajak pergi. Demikianlah,
dua orang itu kemudian melangkah beriringan meninggalkan tempat itu.
Sayang sekali bahwa jalan yang ditempuh Gadung Melati ini berlainan dengan
jalan yang ditempuh Wukirsari. Hingga diantara mereka tidak saling berjumpa. Apabila
kemudian Fajar Legawa dan Tumpak Denta tiba di desa Sumberrejo, sebaliknya Gadung
Melati dan Nawang Wulan menuju desa lain.
Akan tetapi ketika Gadung Melati bersama Nawang Wulan mendekati desa itu,
mereka amat terkejut. Dari dalam desa itu terdengarlah suara yang gaduh oleh jerit dan
tangis orang, Gadung Melati tergerak, maka bersama Nawang Wulan segera masuk desa
itu, ingin tahu apa yang terjadi.
Apa yang kemudian mereka liha? Dua orang laki-laki bersenjata sedang menyeret
dua orang wanita muda. Dan dilihatnya pula tiga orang laki-laki roboh dan mengerang-
erang kesakitan tidak jauh dari tempat itu, dan disamping itu juga tampak seorang wanita
setengah baya menggeletak tak berkutik.
Desa itu tampak sepi. Rumah orang tertutup rapat seakan kosong. Menyaksikan
kesewenangan itu. Gadung Melati cepat marah. Ia menggeram, melompat dan memukul
salah seorang. Nawang Wulan tak mau tinggal diam, iapun sudah mencabut pedang
kemudian menerjang pula.
Melihat bahaya mengancam, laki-laki tersebut melepaskan wanita yang diseret
sambil menghindarkan diri, namun karena takut, maka dua orang laki-laki ini tidak
melawan, hanya kemudian melarikan diri.
Gadung Melati yang sudah marah tidak mungkin mau membiarkan mereka pergi.
Maka bersama Nawang Wulan, mereka mengejar. Dan akhirnya sampailah mereka pada
dataran di dekat ladang luas. Dua orang laki-laki itu bersuit nyaring dan tak lama
kemudian muncullah dua orang laki-laki lain dari balik batu. Tidak jauk dari tempat itu,
tampak pula empat ekor kuda bagus, sedang asyik makan rumput.
Secara kebetulan tempat yang mereka pergunakan berkelahi itu tidak jauh dengan
desa Sumberrejo. Hingga petugas desa Sumberrejo sempat mengetahui pula.
Tetapi empat orang itu bukanlah penjahat gunung Ungaran. Dan sebenarnya saja
mereka bukanlah penjahat, dan mereka datang dari tempat jauh. Mereka berasal darihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
ujung timur pulau Jawa. Mereka prajurit-prajurit terpilih dari Belambangan, sebagai
utusan Adipati menuju Mataram. Mereka penyelidik, justeru antara Mataram dengan
Belambangan masih tetap bermusuhan.
Sesungguhnya Belambangan selalu siap siaga menghadapi penyerbuan Mataram.
Akan tetapi ternyata Sultan Agung yang telah berhasil menundukkan para Bupati dan
Adipati wilayah timur itu, tidak menyerbu ke Belambangan. Kadipaten ini tetap merdeka
tidak tunduk kepada Mataram. Dan untuk memperkuat diri, kemudian Adipati
Belambangan menjalin kerja sama dengan para raja Bali.
Dalam mehadapi ancaman Mataram yang dapat terjadi setiap saat itu, maka
Belambangan memperkuat diri. Memperkuat balatentara dan memperkuat benteng untuk
menanggulangi penyerbuan Mataram. Dan merupakan keuntungan bagi Belambangan
ini, bahwa hubungan di darat dengan daerah lain dipisahkan pegunungan yang sulit
diterobos. Justeru menggantungkan kepada benteng alam inilah maka adipati
Belambangan tidak sudi tunduk kepada Mataram.
Keuntungan lain yang diperoleh Belambangan, justeru di saat ini Kumpeni
Belanda semakin memperluas daerah pengaruhnya. Maka segala daya dan kekuatan
Mataram ditujukan kepada Kumpeni Belanda, sehingga tidak sempat memperhatikan
Belambangan.
Sebagai utusan Adipati Belambangan, maka empat orang ini bukanlah orang-
orang sembarangan. Dalm perjalanan ini, empat orang itu tersesat jalan dan lewatlah
mereka di tempat ini. Kemudian mereka bermaksud melepaskan lelah dan dua orang
kawannya ditugaskan mencari tempat menginap dalam desa. Pergilah kemudian dua
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang ini menuju desa. Tetapi secara kebetulan, mereka lewat tidak jauh dari sumbar air.
Mereka menyaksikan seorang perawan desa yang sedang mengambil air. Dan celakanya
pula, selera dua orang ini timbul untuk mengunakan kesempatan baik itu. Mereka cepat
menyelinap agar dapat menangkap perawan itu secara mudah. Akan tetapi celakanya
perawan itu membawa seekor anjing yang setia. Ketika anjing itu melihat orang yang
mencurigakan, anjing itu segera menggonggong. Membuat si perawan kaget, dan larilah
perawan ini ke arah desa sambil menjerit minta tolong.
Jerit Perawan itu menyebabkan kaget dan orang dalam desa itu, cepat bersiap diri.
Mereka segera mengira bahwa penjahat gunung Ungaran datang dan mengganggu. Akan
tetapi sayang, bahwa orang desa itu hanya mengandalkan kepada keberanian dan jumlah
banyak. Dengan mudah orang-orang desa itu dihalau. Dalam waktu singkat belasan orang
sudah roboh terluka dan tewas. Mereka yang nekat maju hanya untuk roboh atau mati.
Akibatnya para penduduk menjadi giris, lalu lari terserabutan bersembunyi.
Tetapi justeru marah dan merasa menang ini, maka dua orang prajurit
Belambangan ini mengamuk. Mereka menggedor sana menggedor sini. Penduduk yanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melawan segera dirobohkan. Tak lama kemudian tibalah dua prajurit ini di rumah seorang
kaya dalam desa ini. Dan sungguh kebetulan, bahwa di situ pulalah perawan yang
menarik hati tadi berdiam. Mereka disambut oleh ayah perawan itu dan keluarganya.
Namun apakah sulitnya dua prajurit Belambangan itu mengalahkan mereka? Dan sesudah
puas menghajar keluarga itu, barulah mereka kemudian menyeret perawan tadi bersama
adiknya.
Sungguh untung bagi gadis dan keluarga itu, bahwa Gadung Melati dan Nawang
Wulan datang dan menolong. Hingga mereka terhindar malapetaka yang lebih
mengerikan.
Itulah sebabnya Gadung Melati dan Nawang Wulan berkelahi dengan mereka.
Dan sekarang, prajurit-prajurit Belambangan itu berhadapan dengan musuh baru. Dan
walaupun mereka berusaha untuk segera dapat mengalahkan lawan, mereka tidak
berhasil. Ternyata murid-murid Gajah Seta dari Merbabu dan murid Suria Kencana dari
Lembah Galunggung itu, merupakan pemuda-pemuda berilmu tinggi.
Sepasang golok Wanengboyo menyambar-nyambar dahsyat sekali. Tenaga
pemuda ini memang kuat, maka setiap sambarannya cukup berbahaya. Pemuda Tohjoyo
dengan canggahnya itupun bergerak dengan cepat. Dan setiap kali berbenturan dengan
tombak dan perisai lawan, terdengarlah suara dencing yang amat nyaring.
Tandang Tumpak Denta tidak kalah dengan yang lain. Gerakannya gesit seperti
burung srikatan. Pedangnya berkelebat kesana kemari menerbitkan angin berdesir-desir.
Hanya saja agak sayang, bahwa tadi siang ia menderita luka dalam dan letih pula. Maka
setiap gerakannya, Tumpak Denta merasakan dadanya sakit dan sesak. Tandang Fajar
Legawa sebagai adik seperguruannya, tidak jauh bedanya. Akan tetapi pengaruh luka
dalamnya yang belum sembuh benar, mempengaruhi pula gerakannya.
Diam-diam empat orang prajurit Belambangan itu mengeluh setelah berhadapan
dengan empat orang muda ini. Sekarang baru terbukalah mata mereka, bahwa kepandaian
yang selalu diagulkan itu belum pantas untuk bersombong diri. Dalam perjalanan ke
Mataram baru sekali ini sajalah mereka terlibat dalam perkelahian. Celakanya sekali
berkelahi telah ketanggor batu keras. Dalam hati mereka segera timbul kekhawatiran,
ternyata bahwa Mataram mempunyai banyak orang sakti mandraguna.
Walaupun begitu mereka masih beruntung. Senjata-senjata mereka dari baja
terpilih dan dikerjakan oleh tukang pandai Belambangan yang ahli. Hingga senjata itu bisa
menolong kerepotannya.
Danurwenda, Nawang Wulan dan Ayu Kedasih yang menonton merasa gemas,
musuh belum dapat dikalahkan. Tangan mereka terasa gatal untuk mencabut senjata
masing-masing. Akan tetapi kalau mereka menerjukan diri ke arena, mereka khawatirhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dituduh mengeroyok.
Tiba-tiba terdengarlah pekik Wanengboyo yang tertahan. Ternyata salah sebatang
goloknya lepas dan tangan. Akibatnya, ia sekarang hanya dapat melawan dengan
sebatang golok.
"Ha-ha-ha," lawannya ketawa bekakakan. "Sura mrata jaya mrata. Inilah
Tumenggung Tohjiwo dari Belambangan. Lebih baik kau menyerah sebelum mampus
dalam tanganku!"
Sesumbar orang itu, yang mengaku seorang Tumenggung dari Belambangan,
kuasa membuat kaget para pemuda ini. Ayu Kedasih yang sudah gemas menjadi marah.
Tentu ia takkan rela suaminya dihina seperti itu. Maka dengan menggeram saking
marahnya, perempuan ini sudah mencabut sepasang golok dan menerjang maju. Golok
pada tangan kiri lebih pendek dibanding dengn golok pada tangan kanan.
"Kakang!" serunya kemudian, "Aku bantu kerepotanmu!"
Golok Ayu Kedasih di tangan kanan sudah mengirimkan bacokan kearah lawan,
dengan gerakan berantai. Sekaligus perempuan ini sudah membacok kepala, pundak dan
lambung orang.
Tumenggung Tohjiwo kaget atas serangan itu. Ia melompat ke belakang, tetapi
dikejar oleh sambaran golok Ayu Kedasih,
Wanengboyo memperoleh kesempatan mengambil goloknya yang tadi lepas. Lalu
teriak pemuda ini. "Ayu! Mundurlah! Seorang diri aku masih sanggup menghajar bangsat
itu!"
"Bagus, heh-heh-heh!" Tumenggung Tohjiwo ketawa terkekeh. "Mundurlah
engkau manis, bagaimanapun aku tak tega akan kecantikanmu. Ha-ha-ha, jangan engkau
memaksa diri melawan aku. Tetapi sebaliknya, percayalah bahwa aku akan sanggup
membahagiakan engkau sebagai Nyai Tumenggung."
"Tutup mulutmu!" teriak Ayu Kedasih yang cepat marah, sedang golok di tangan
kanan kembali menyambar. Memang Ayu Kedasih selalu menggunakan tangan kanan
untuk menyerang. Golok pada tangan kiri itulah yang bertugas untuk menangkis.
Wanengboyo amat marah, sebagai seorang suami, sudah tentu tidak sanggup
mendengar godaan orang terhadap isterinya. Maka dengan menggeram marah sepasang
goloknya sudah menyambar pula dari arah samping.
Akan tetapi dengan senjata kapaknya yang besar, Tumenggung Tohjiwo dapathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
melindungi diri. Ia membenturkan kapaknya yang besar itu ke golok Ayu Kedasih. Dan
kemudian gerakan itu diteruskan untuk menangkis pula serangan golok Wanengboyo.
Ayu Kedasih amat terkejut. Benturan itu membuat telapak tangannya panas dan
goloknya hampir terlepas. Tetapi Ayu Kedasih sudah dibakar kemarahan. Ia tidak
menjadi gentar, malah kembali menyerang dengan goloknya. Namun setelah mendapat
pengalaman itu. Ayu Kedasih lebih hati-hati. la tidak berani gegabah membenturkan
senjatanya dengan senjata lawan.
Ayu Kedasih salah seorang murid Ki Hajar Jaladara. Maka sekalipun perempuan,
ketangguhannya bisa dibanggakan, ia dapat menyelenggarakan kerja sama baik sekali
dengan suaminya. Dengan berkelahi bersama-sama ini, mereka dapat menggabungkan
ilmu dari dua perguruan. Ialah perguruan Gajah Seta dan perguruan Ki Hajar Jaladara.
Tumenggung Tohjiwo tak lagi bisa mengejek. Dan sekarang dia harus mengakui
ketangguhan suami isteri muda ini. Tetapi ia menang seorang prajurit Belambangan yang
cukup kuat. Kapaknya yang besardan berat itu menyambar-nyambar menerbitkan angin
dahsyat. Akan tetapi walaupun Tumenggung Tohjiwo seorang tangguh, sulit juga
menghadapi keroyokan suami isteri ini.
Di pihak lain, oleh pengaruh luka dalam siang tadi, membuat Tumpak Denta dan
Fajar Legawa mengeluh. Kalau saja kakak beradik itu tidak terluka dalam, kiranya tidak
akan kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Di antara mereka, yang kedudukannya
seimbang hanyalah Tohjoyo. Antara Tohjoyo dengan lawannya berkelahi sengit sekali
sambil membentak-bentak keras.
Mendadak terdengarlah suara kok kok kok, menyerupai suara katak. Disusul oleh
loncatan dari orang-orang Belambangan.
"Ayaa!" Seru Tumpak Denta agak terkejut sambil memutarkan pedangnya seperti
baling-baling. Menyusul terdengarlah suara tring tring tring tiga kali, dan jatuhlah senjata
rahasia yang menyerang kearah dirinya.
Ternyata bahwa suara seperti katak tadi merupakan aba-aba, untuk melepaskan
senjata rahasia. Dan ketika lawan kaget dan sibuk menangkis, mereka menggunakan
kesempatan untuk mengambil langkah seribu. Secepat kilat empat orang itu sudah
meloncat ke punggung kuda masing-masing, kemudian melarikan diri secepat terbang.
Semua berusaha untuk mengejar. Mereka tidak rela untuk melepaskan musuh-
musuh itu. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka mengejar, tiba-tiba terdengarlah
suara kentong titir tanda bahaya.
"Celaka!" teriak Danurwenda. Kemudian ia membalikkan tubuh, lalu lari secepathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
terbang menuju desa Sumberrejo.
Yang lain tidak terkecuali. Mereka kaget dan berbalik arah. Seakan mereka berlomba lari.
Mereka mengerahkan kepandaian mereka lari, kejar mengejar dan saling susul menuju
desa Sumberrejo. Mereka insyaf bahwa tanda bahaya itu, tentu akibat gangguan penjahat
gunung Ungaran.
NAMUN Gadung Melati dan Nawang Wulan tidak ikut serta berlarian menuju
desa Sumberrejo. Gadung Melati yang sudah dapat mengusir sesak dadanya, berdiri dan
mengamati mereka yang berlarian seperti dikejar iblis. Nawang Wulan mengamati
Gadung Melati dengan pandang mata bertanya-tanya. Mengapa orang tua ini tidak
mengikuti jejak mereka?
"Mengapa kita tidak ikut mereka, paman......?" tanya Nawang Wulan kemudian.
"Salah!"
Nawang Wulan heran. "Apa yang salah?"
"Sebutanmu padaku itulah yang salah," sahut Gadung Melati. "Apakah sebabnya
engkau menyebut aku paman?"
Nawang Wulan nampak bingung. Kalau tak boleh menyebut paman, habis disuruh
menyebut apa?"
Gadung Melati ketawa sejuk. Kemudian kata orang tua ini. "Engkau harus merasa
sebagai anakku. Tetapi disamping itu engkau harus merasa pula sebagai muridku. Sebab
aku mendapat penyerahan dari ibumu, untuk mendidik dan membimbingmu, agar engkau
kelak kemudian hari menjadi seorang wanita yang berguna dan dihormati orang."
Gadung Melati berhenti sambil mengamati gadis itu. Baru beberapa saat kemudian
ia melanjutkan. Tahukah engkau bahwa sekalipun perempuan, perlu juga memiliki
kepandaian? Agar laki-laki tidak menganggap dirimu lemah dan tidak berguna? Ingatkah
engkau kepada puteri-puteri prajurit seperti Srikandi dan Larasati? Ahh.........itu terlalu
jauh. Aku ambilkan saja contoh pada jaman kini. Ialah Ratu Wandansari isteri Pangeran
Pekik, Adipati Surabaya. Dia seorang wanita, tetapi prajurit yang hebat. Dialah
sesungguhnya yang berhasil memimpin prajurit Surabaya memukul Giri, sehingga Sunan
Giri menyerah."
Nawang Wulan terlonggong mendengar kata-kata Gadung Melati ini. Tetapi
meskipun perempuan ia seorang gadis yang tahu diri. Ia seorang yang cerdas dan cepat
dapat menangkap maksud orang. Maka cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut.
Katanya kemudian. "Bapa, terima kasih atas kepercayaan bapa kepada saya. Sejak malam
ini murid bersumpah. Bahwa kedudukan saya sekarang sebagai anak pungut sekaligus
murid. Dan sudah tentu anak akan selalu tunduk kepada bapa."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Heh-teh-heh," Gadung Melati ketawa terkekeh-kekeh senang sekali. Kemudian
ia membimbing Nawang Wulan supaya berdiri. Pujinya. "Kau anak yang baik. Dan Allah
telah mempertemukan aku dengan engkau. Hingga kesedihanku sekarang terhibur,
walaupun Pertiwi Dewi telah pergi. Kau akan menggantikan dia, anakku."
Nawang Wulan belum pernah kenal kepada nama orang yang disebut-sebut
Gadung Melati itu. Akan tetapi diam-diam ia sudah dapat menduga, bahwa nama yang
disebut tadi adalah murid orang tua ini.
Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Mereka berdiri bagai patung. Tetapi
agaknya Nawang Wulan tidak kuat untuk berdiam diri, tidak bertanya. "Bapa, pertanyaan
saya belum bapa jawab. Apa sebabnya kita tidak ikut mereka? Bukankah tenaga kita
diperlukan pula orang-orang desa itu?"
"Sesungguhnya aku merasa berat," Gadung Melati menghela napas.
"Apakah sebabnya? Kita toh berbuat baik untuk menolong mereka yang
membutuhkan pertolongan bapa. Mengapa bapa merasa berat menolong orang?"
"Wulan, bukanlah aku berat untuk menolong orang," sahut Gadung Melati.
"Tetapi aku merasa berat karena di antara mereka itu terdapat seorang pemuda bernama
Fajar Legawa."
"Mengapa dia?" desak Nawang Wulan tambah heran.
Gadung Melati menghela napas panjang. Kemudian ia memandang gadis ini lama
sekali, baru ia menjawab. "Karena aku khawatir........."
"Mengapa khawatir?" desak gadis ini lagi.
"Khawatir engkau terpikat kepada dia."
Nawang Wulan terkesiap. Ia mengamati Gadung Melati dengan sepasang mata
yang heran. Tetapi juga merasa tersinggung dan terhina. Hanya karena orang tua ini sudah
menjadi ayah angkat dan juga gurunya, ia tidak bisa marah. Maka kemudian gadis ini
hanya menangis.
Gadung Melati kaget. Ia menjadi heran mengapa Nawang Wulan menangis?
Hiburnya kemudian. "Eh Wulan, kenapa engkau?"
Tetapi Nawang Wulan tidak menjawab. Dengan telapak tangan ia menutupi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aihh, kau tersinggung?" Gadung Melati seperti baru sadar. "Wulan, maafkan
aku. Aku tidak sengaja menyinggung hatimu, tetapi aku memang khawatir kalau sampai
kehilangan engkau. Wulan, ketahuilah bahwa Pertiwi Dewi mengalami derita dan
mendapat celaka, bukan lain karena tertarik kepada pemuda itu. Maka khawatir apabila
peristiwa itu sampai terulang lagi."
Sekalipun Nawang Wulan tidak tahu terjadinya peristiwa yang menimpa Pertiwi
Dewi, tetapi ia sudah dapat memaklumi maksud orang tua itu. Ia kemudian berhenti
menangis. Ditatapnya wajah ayah angkatnya yang jelek itu. Lalu, "Jadi, bapa curiga
padaku?"
"Siapa yang curiga? Tidak! Tetapi aku tidak menginginkan peristiwa menyedihkan
itu terulang lagi, anakku. Aku tidak benci kepada pemuda itu. Akan tetapi aku tidak ingin
engkau tertarik dan jatuh cinta kepada dia, dan tidak menginginkan pula dia menjadi
menantuku."
Gadung Melati adalah seorang kakek yang jujur dan lebih suka blak-blakan.
Pengalamannya dengan muridnya Pertiwi Dewi merupakan pengalaman yang amat
pahit. Dan dia tidak menghendaki peristiwa itu terulang lagi. Dan sebabnya Gadung
Melati segera menuduh Nawang Wulan tertarik kepada Fajar Legawa, karena sikap
Nawang Wulan yang selalu mencari perhatian pemuda itu, dengan meminjamkan
pedangnya.
Padahal Nawang Wulan tidak berpikir sejauh itu. Apa yang tadi dilakukan adalah
terdorong oleh rasa setia kawan, ia telah merasa berhutang budi ketika sedang
menghadapi keroyokan penjahat anak buah Juru Demung.
"Bapa tak perlu khawatir," kata gadis ini kemudian. "Sebab aku masih belum
sempat memikirkan tentang itu."
Gadung Melati terkekeh. Katanya. "Aku belum puas akan jawabanmu. Sekarang
tidak, tetapi siapa tahu belakang hari?"
"Ahhh........." Nawang Wulan berseru kaget, tetapi kemudian menjadi jengkel.
"Habis bagaimanakah aku harus menjawab?"
Gadung Melati tidak mendesak lebih lanjut. Kakek ini kemudian merasa puas juga
atas jawaban itu. Iapun kemudian merasa bahwa memang sulit Nawang Wulan harus
menjawab pertanyaannya. Maka kata kakek ini kemudian. "Baiklah Wulan, marilah kita
sekarang pergi dan membantu mereka."
Nawang Wulan tersenyum manis dan wajahnya berseri. Tanpa mengucapkan
kata-kata lagi, gadis ini sudah melompat mendahului. Gadung Melati terkekeh, kemudianhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
iapun mengejar anak angkatnya. Dalam waktu singkat kakek ini telah dapat mengejar
Nawang Wulan. Dan tiba-tiba saja tangan kakek ini telah menggapit tangan Nawang
Wulan sambil berkata, "Mari kita percepat lari kita,Wulan."
Dengan dibimbing Gadung Melati, gadis ini merasa seperti terbang. Dalam hati
merasa kagum dan bangga akan kesaktian ayah angkatnya. Dalam hati kemudian timbul
rasa yakin, bahwa kemudian hari ia akan dapat mewarisi kepandaian ayah angkatnya ini.
Hati Nawang Wulan menjadi sejuk. Kepergian ibunya sekarang telah mendapatkan ganti
seorang pelindung yang dapat dipercaya.
Ketika mereka sudah dekat dengan desa Sumberrejo, terdengarlah kegaduhan di
sana sini tampak obor kayu yang menyala, disamping suara dencing senjata perkelahian.
"Mereka berkelahi," desis Nawang Wulan.
"Ya, mereka sudah berkelahi," kata Gadung Melati. "Tetapi bagaimanapun
engkau harus hati-hati Wulan, dan jangan terlalu jauh dengan aku."
"Bapa khawatir?"
"Tentu saja! Penjahat gunung Ungaran itu amat berbahaya. Dan orang yang
bernama Jalu Gigis serta Dyah Raseksi itu tidak mudah untuk dilawan. Sebab aku
memang sudah pernah berhadapan dengan mereka."
"Di mana, ayah?" Nawang Wulan kaget, tetapi juga tertarik.
"Di sarang mereka! Tetapi ah, sudahlah. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.
Aih...hatiku menjadi sedih lagi........."
Nawang Wulan tidak mendesak. Maka gadis ini hanya melangkah tanpa
membuka mulut.
"Ha, ternyata benar kataku," desis Gadung Melati tiba-tiba. "Jalu Gigis ikut serta."
Tiba-tiba saja tubuh yang bundar seperti bola itu sudah melompat untuk
melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi Gadung Melati terpaksa harus memukul ke
kanan dan ke kiri untuk menghalau setiap penjahat yang berusaha menghalangi. Ia
langsung menuju ke tempat Jalu Gigis berkelahi dan dikeroyok. Ia merasa tak sampai hati
membiarkan tiga orang muda melawan Jalu Gigis kesulitan.
Memang sesungguhnyalah, keadaan Danurwenda, Tohjoyo dan Wanengboyo
sudah benar-benar payah, terdesak oleh Jalu Gigis. Serangan-serangan mereka selalu
tertahan sesuatu yang licin dan arahnya kemudian menyeleweng. Sama sekali tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mereka sadari bahwa mereka menghadapi seorang sakti-mandraguna yang memiliki aji
"Welutputih".
Sesungguhnya baru malam ini sajalah Jalu Gigis memimpin penjahat-penjahat
Ungaran melakukan kejahatannya. Pada biasanya, cukuplah mereka bergerak sendiri
tanpa pimpinan.
Memang ada sebabnya. Ia mendapat laporan dari seorang penjahat yang
menyelidik, bahwa desa Sumberrejo memperkuat dan mempersiapkan diri. Penduduk itu
dibantu oleh murid-murid Gajah Seta dari Merbabu. Mendengar ini Jalu Gigis menjadi
marah. Maka gerakan malam ini, dialah yang memimpin. Ia penasaran sekali oleh
kelancangan orang-orang desa ini yang berani melawan gerombolannya. Dan maksudnya
sudah tentu, ia ingin menunjukkan kekuatannya.
Ketika Jalu Gigis melihat Gadung Melati, maka penjahat ini ketawa terkekeh-
kekeh mengejek. "Heh-heh-heh. Engkau juga datang kemari? Bagus! Hayo, terjun dan
keroyoklah aku!"
Malam ini, kesehatan Gadung Melati terganggu. Diam-diam kakek ini menyadari
bahwa seharusnya, tidak boleh berkelahi lagi. Ia harus istirahat yang cukup. Namun
sebagai seorang yang mempunyai harga diri, ia tidak sedia dianggap sebagai seorang
pengecut. Ia tidak akan sudi menghadapi Jalu Gigis dengan keroyokan. Dan kalah atau
menang, ia harus melawan seorang diri.
"Mundur!" seru kakek ini kemudian. "Penjahat tua ini bagianku. Huh, tua sama
tua!"
Danurwenda, Tohjoyo dan Wanengboyo tidak membantah. Mereka kemudian
melompat mundur dan memberi kesempatan kepada Gadung Melati untuk menghadapi
Jalu Gigis. Tetapi mereka bukannya berpangku tangan. Mereka ini kemudian mengamuk
untuk menghalau para penjahat kecil.
Agaknya malam ini Jalu Gigis mengerahkan anak buahnya. Jumlah penjahat itu
tidak kurang dari tiga puluh orang, malah kebanyakan dari mereka memiliki kepandaian
lumayan.
Perkelahian itu amat gaduh. Mereka berkelahi sambil mengucapkan kata-kata
kotor. Mengapa begitu? Bukan lain karena para penjahat ini melihat wajah cantik dua
orang perempuan, Nawang Wulan danAyu Kedasih.SengajaMereka mengucapkan kata-
kata kotor itu, untuk memancing lawan marah.
Tentu saja pancingan mereka itu berhasil membangkitkan amarah Nawang Wulan
dan Ayu Kedasih. Dua orang perempuan ini merasa tersinggung dan terhina. Makahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mereka berkelahi dengan dada seperti mau meledak, mengamuk dan tidak
memperhitungkan bahaya yang setiap waktu bisa mengancam keselamatan mereka
sendiri. Dua orang perempuan ini berkelahi seperti banteng ketaton. Mereka terus
mendesak dan senjata masing-masing menyambar dahsyat. Dan sebagai akibat rasa
marah yang menggelega kdalam dada ini, baik Nawang Wulan maupun Ayu Kedasih
seperti lupa diri. Musuh yang melompat mundur selalu dikejar dan didesak terus. Tanpa
terasa, penjahat yang dihadapi telah memisahkan diri dengan yang lain.
Orang lain kurang perhatian justeru menghadapi lawan. Dengan semangat yang menyala
pula, para pemuda itu ingin membunuh penjahat sebanyak-banyaknya. Tohjoyo yang
mendendam sakit hati menggerakkan senjatanya dengan semangat menyala, dan seakan
ia melihat kembali ayahnya yang mati terbunuh oleh keroyokan para penjahat. Dengan
mengandalkan tenaganya yang kuat, setiap kali membentur senjata lawan, gerakan itu
diteruskan untuk menikam. Tombak trisulanya atau canggah itu sudah bernoda darah
merah. Ia telah berhasil melukai dua orang lawan. Namun ia takkan puas sebelum dapat
membunuh belasan orang penjahat sebagai pengganti nyawa ayahnya.
Jalu Gigis mengandalkan kekebalan tubuhnya oleh aji "Welut Putih", menghadapi
Gadung Melati dengan gagah. Baru berkelahi belasan jurus, Gadung Melati sudah mulai
terdesak, karena dada kakek ini sesak kembali akibat luka dalamnya yang belum pulih.
Jalu Gigis gembira. Ia berusaha mendesak dengan pukulan-pukulan yang mematikan.
Dan apabila kakek ini telah roboh, ia akan dapat dengan mudah membunuh setiap orang
yang berani menghadapi. Diantara musuhnya pada malam ini, hanya Gadung Melati
inilah satu-satunya orang yang berisi.
Sadar akan keadaannya Gadung Melati tidak berani sembrono lagi.
Engalamannya adi iang, yang roboh ditangan Klenting Mungil, bukan lain akibat dirinya
segan menggunakan aji pukulan yang bernama "Bramastra". Dan apabila malam ini ia
harus menahan diri dan tidak menggunakan ilmu tersebut, ia maklum takkan dapat
melihat matahari esok pagi. Sadar akan keadaannya, mendadak saja Gadung Melati tidak
sungkan-sungkan lagi. Pukulannya tiba-tiba saja mengandung hawa panas. Dan
walaupun Jalu Gigis dilindungi aji kesaktian "Welut Putih", tidak urung Jalu Gigis
mengeluh kepanasan.
Tanpa terasa malam sudah hampir fajar. Tetapi perkelahian itu masih berlangsung
sengit sekali, semakin dingin, akan tetapi mereka mandi keringat.
Belasan penjahat telah roboh oleh amukan pemuda-pemuda murid Suria Kencana
dan Gajah Seta itu. Akan tetapi karena melihat Jalu Gigis masih tetap berkelahi, maka
tidak seoranpun diantara mereka yang berani mundur. Mereka terus berkelahi, walaupun
sesungguhnya hati sudah merasa miris, melihat banyak temannya sudah roboh.
Namun sebaliknya korban para penduduk juga tidak sedikit. Ketika Danurwenda
dan yang lain tadi belum datang, para penduduk sudah melakukan perlawanan. Tetapi
perlawanan penduduk itu merupakan lawan yang empuk. Sehingga dalam waktu singkathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
sudah banyak penduduk desa yang roboh tewas.
Sekalipun demikian para penduduk desa itu tidak kenal takut. Mereka bersiap diri
di luar arena sambil mempersiapkan senjata masing-masing. Busur dan anak panah telah
siap sedia pula, sehingga setiap saat akan sanggup menghujam anak panah kepada para
penjahat itu.
Sementara itu Wanengboyo yang sibuk melawan, mendadak ia kaget ketika
melihat isterinya tidak tampak. Ia terkejut dan wajahnya pucat. Maka setelah menghalau
lawan sampai mundur, secepat kilat Wanengboyo melompat keluar arena. Tingkah
Waneneboyo ini semula membuat Fajar Legawa heran. Tetapi ketika ia menggunakan
kesempatan melihat keadaan, pemuda inipun menjadi kaget dan khawatir, ketika tidak
melihat Ayu Kedasih dan Nawang Wulan.
Perlahan tetapi pasti. Ayu Kedasih maupun Nawang Wulan telah dipancing
menjauhi arena perkelahian. Para penjahat gunung Ungaran ini merasa pasti, dua orang
perempuan ini dengan gampang akan bisa ditangkap.
Tiba-tiba saja terdengarlah pekik Ayu Kedasih yang nyaring. Perempuan ini
menjerit, karena goloknya terlepas dari tangan akibat pengaruh bauyang memuakkan
sehingga kepala perempuan ini terasa pening. Mengapa? Sebagai seorang perempuan, ia
tidak bedanya dengan yang lain. Ia akan menjadi jijik apabila menghadapi ular. Para
penjahat itu sekarang telah menggunakan ular-ular hidup untuk menghadapi Ayu
Kedasih, yang dipegang pada ekornya. Mulut ular itu terbuka lebar sambil menyemburkan
bisa, disamping pula berusaha mematuk dan menggigit Ayu Kedasih.
Wanita manakah yang tidak jijik dan ngeri berhadapan dengan ular? Maka dalam
keadaan jijik ini, para penjahat menggunakan kesempatm untuk memukul senjata Ayu
Kedasih runtuh dari tangan.
Keadaan Nawang Wulanpun tidak jauh bedanya. Hanya saja gadis ini tidak
menjerit sekalipun ngeri dan muak, menghadapi keroyokan ular hidup. Akan tetapi
walaupun begitu, gerakannya juga menjadi kacau. Ia melawan secara nekad dan terancam
oleh bahaya.
Jerit Ayu Kedasih itu bukan melulu membuat Wanengboyo kaget. Akan tetapi
yang lain demikian pula. Mereka semua marah sekali dan berusaha menolong dua orang
perempuan itu. Sayang, para penjahat yang lain berusaha menghalangi.
Wanengboyo yang mengkhawatirkan keselamatan isterinya, melawan dengan
nekat. Karena kurang hati-hati ini, pundak kirinya tergores pedang salah seorang
penjahat. Darah merah mengucur deras dari luka, dan baju Wanengboyo merah bernoda
darah. Tetapi lukanya ini tidak menyebabkan Wanengboyo gentar. Ia mengamuk hebat.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Ia tidak takut sama sekali mengha-dapi lawan dalam usahanya untuk menyelamatkan
isterinya.
Fajar Legawa juga amat khawatir melihat Nawang Wulan terdesak hebat. Ia tidak
tega. Gadis itu baru tadi siang kehilangan ibunya, berarti sekarang ini sudah yatim piatu.
Walaupun antara dirinya dengan gadis itu tidak mempunyai hubungan apa-apa, akan
tetapi sebabnya gadis ini sekarang terancam oleh bahaya bukan lain akibat memberi
bantuannya untuk penduduk desa Sumberrejo ini.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam kekhawatirannya dan terdorong oleh rasa gugup ini, Fajar Legawa menjadi lupa
akan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Yang pokok bagi dirinya sekarang ini harus
dapat menolong dan menyelamatkan gadis itu. Ia cepat memindahkan pedang pinjaman
dari seorang penduduk, justeru pedang Nawang Wulan tadi sudah dikembalikan kepada
pemiliknya ke tangan kiri. Disusul tangan kanan sudah mencabut tongkat dari
pinggangnya. Begitu tongkat ini bergerak menangkis, menyusul terdengar suara senjata
yang patah, disusul oleh pekik kaget orang.
Fajar Legawa mengamuk seperti banteng ketaton. Tongkat pada tangan kanan dan
pedang pada tangan kiri bergerak tidak kenal ampun. Mereka yang berani menghalangi
segera roboh mandi darah. Dalam waktu singkat beberapa orang penjahat kehilangan
senjata, wajah mereka pucat kemudian melompat mundur. Mereka menjadi kecut, para
penjahat itu menjadi takut dan tidak berani mendekati Fajar Legawa ini. Dan kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Fajar Legawa, segera melompat ke arah Nawang Wulan yang
sudah kepayahan.
Waktu itu keadaan Nawang Wulan memang sudah berbahaya. Gerak
perlawanannya kacau disamping gadis itu sendiri sudah hampir kehabisan tenaga. Oleh
desakan lawan gadis ini mundur terus kearah bagian yang lebih sempit. Jelas, apabila tidak
segera tertolong, niscaya gadis ini akan celaka.
Fajar Legawa mempercepat serangannya, empat orang penjahat yang semula
mengeroyok Nawang Wulan digempur hebat. Ular di tangan para penjahat yang semula
mematuk, menyambar dan menyemburkan bisa dengan ganas itu, mendadak ketakutan.
Ular itu memberontak lepas, kemudian lari tunggang-langgang. Lepasnya ular tersebut
dari tangan sudah disusul oleh pekik dua orang penjahat. Kemudian penjahat itupun
roboh tidak berkutik di atas tanah.
Agaknya Nawang Wulan memang benar-benar sudah kehabisan tenaga. Tubuh
gadis itu sudah sempoyongan hampir roboh. Untung Fajar Legawa telah datang, dan
dengan gerakan secepat kilat, berhasil memeluk pinggang gadis itu. Dalam keadaan
seperti ini, Fajar Legawa sudah tidak malu lagi untuk memeluk gadis itu. Yang penting
untuk mencegah gadis itu roboh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Wulan.........kau payah.........?" desis Fajar Legawa dengan hati khawatir.
Untung juga bahwa Nawang Wulan segera sadar akan keadaan. Ia menjadi malu,
lalu mendorong Fajar Legawa perlahan, dan pelukan itu lepas.
"Maafkan aku," kata Fajar Legawa.
"Tak apa. Dan terima kasih atas pertolonganmu," sahut Nawang Wulan dengan
hati tidak keruan. Dan setelah hilang rasa kagetnya, gadis ini sudah melompat lagi untuk
menghajar lagi para penjahat.
Tetapi penjahat gunung Ungaran itu sudah menjadi gentar, setelah Fajar Legawa
mengamuk dan mematahkan senjata mereka. Mereka sudah cerai-berai, semangat mereka
runtuh dan berlompatan mundur untuk kemudian lari.
Ketika itu Jalu Gigis dan Gadung Melati masih berkelahi sengit sekali. Berkat
pengaruh aji "Bramastra" saja, Gadung Melati dapat menggempur ketangguhan Jalu
Gigis. Sebab terpanggang oleh sambaran hawa panas itu, menyebabkan Jalu Gigis merasa
gerah dan tenaganya seperti dikuras. Semula Jalu Gigis memang masih berusaha
mengalahkan lawan yang sudah menderita luka dalam itu. Akan tetapi ketika melihat
bahwa anak buahnya sudah runtuh semangat dan berlompatan mundur, iapun
terpengaruh. Kemudian iapun bersuit nyaring. Dan disusul oleh semua penjahat dan Jalu
Gigis sendiri melarikan diri.
Dibawahpimpinan Danurwenda mereka kemudian melakukan pengejaran sampai
jauh keluar desa. Hingga baik Jalu Gigis maupun anak buahnya, lari lintang pukang dan
giris
Ketika mereka sudah berkumpul kembali, Gadung Melati segera minta diri.
Namun Danurwenda, Tohjoyo maupun Wanengboyo amat meminta agar kakek ini tidak
cepat pergi. Mereka amat mohon agar Gadung Melati sedia beristirahat di desa ini. Atas
permintaan mereka itu, Gadung Melati merasa tidak enak hati. Lebih lagi ia sendiri
merasa bahwa luka dalamnya belum sembuh. Maka dengan beristrahat di desa ini, malah
memberi keuntungan kepada dirinya, dapat mengobati luka dalamnya.
Tetapi walaupun demikian, Gadung Melati selalu khawatir saja kalau Nawang
Wulan jatuh hati kepada Fajar Legawa. Bukan benci kepda pemuda itu, akan tetapi
Gadung Melati tidak setuju. Mengapa? Semua itu adalah pengaruh peristiwa
menyedihkan yang sudah menimpa Pertiwi Dewi. Menurut pendapatnya, pertiwi Dewi
yang dikasihi itu tidak mungkin celaka, apabila tidak jatuh hati kepada Fajar Legawa, dan
kemudian berdua pergi ke gunung Ungaran. Oleh pengaruh peristiwa itu, maka Gadung
Melati tidak mengharapkan Nawang Wulan menderita seperti Pertiwi Dewi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Alasan yang cukup aneh! Akan tetapi apa harus dikata kalau Gadung Melati
memang khawatir? Dan oleh alasan ini pula, maka Gadung Melati ingin menjauhkan
Nawang Wulan dari Fajar Legawa.
Mereka kemudian menuju balai desa. Semua tamu di tempatkan di balai desa ini
lalu dipersilahkan istirahat. Hanya Danurwenda, Tohjoyo dan beberapa orangpemuda
desa itu saja yang tidak tidur. Sebagai orang yang merasa bertanggung-jawab, maka
Tohjoyo maupun Danurwenda perlu mengatur keperluan para tamu pada hari itu.
Terdengar kemudian kata Tohjoyo. "Kakang! Apakah engkau sependapat dengan
aku, ada sesuatu yang menarik dalam perkelahian tadi?"
Danurwenda mengamati adik seperguruannya itu seakan ingin menduga apa yang
dimaksud. Tanyanya kemudian. "Apakah yang kau maksudkan itu? Gadis yang bernama
Nawang Wulan itukah maksudmu?"
"Ha-ha-ha," Tohjoyo tertawa sedang Danurwenda pun ikut tertawa, sekalipun
tidak tahu apa yang harus ditertawakan.
"Bukan itu," jawab Tohjoyo. "Tetapi Fajar Legawa yang hebat tadi."
Memang sebenarnya Danurwenda tadi juga menyaksikan, bahwa senjata para penjahat
yang berbenturan dengan tongkat Fajar Legawa segera patah. Sesungguhnya ia heran
juga, mengapa tongkat itu begitu hebat. Sudah tentu sekarang ia menjadi tertarik, setelah
hal ini diajukan oleh Tohjoyo.
"Ya, aku tadi juga menyaksikan." katanya kemudian. "Hebat! Senjata para
penjahat itu segera patah berbenturan dengan tongkat Fajar Legawa. Hemmm, aku tidak
mengerti. Mengapa bisa terjadi demikian?"
"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa lagi. Baru beberapa saat kemudian ia berkata.
"Kakang, entah mengapa sebabnya aku menjadi curiga."
"Siapa yang engkau curigai? Fajar Legawa itukah?" Danurwenda heran dan
melengak.
"Bukan dia. Tetapi tongkatnya itu. Mungkinkah tongkat yang tumpul itu bisa
mematahkan setiap senjata yang membentur? Tidak! aku tidak percaya. Tentu di dalam
tongkat itu terdapat senjata pusaka. Dan kalau sekarang ini orang sedang ramai
membicarakan dua macam senjata pusaka dan saling berusaha mendapatkannya, apakah
kakang tidak berpikir sampai ke situ? Hemm, mungkinkah di dalam tongkat Fajar Legawa
itu disimpan pedang Sokayana atau keris Tilam Upih?"
Danurwenda mengerutkan alis dan berpikir. Beberapa saat kemudian barulah iahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menatap adik seperguruannya ini sambil bertanya. "Maksudmu, adi Fajar Legawa
menyimpan salah satu dari pusaka itu?"
Tohjoyo mengangguk.
"Kalau memang benar demikian, bukankah kita perlu bersyukur dan gembira?"
kata Danurwenda kemudian.
Tetapi Tohjoyo kurang senang. Katanya. "Mengapa sebabnya kakang malah
bersyukur dan gembira? Pusaka-pusaka itu diperebutkan orang, karena dikhabarkan
mempunyai tuah yang amat baik bagi pemiliknya. Dan bukankah gurupun sudah pernah
mengatakan begitu? Kakang, apakah engkau sudah lupa?"
Danurwenda ketawa. Kemudian jawabnya. "Katamu benar adi. Tetapi aku
bersyukur dan gembira, justeru salah satu pusaka ampuh yang diperebutkan orang itu,
sudah jelas dikuasai oleh salah seorang sahabat kita. Alangkah besar manfaatnya pusaka
itu di tangan seperti adi Fajar Legawa. Oleh sebab itu, bagi kita malah wajib pula ikut
mengamankan pusaka itu, agar tidak jatuh ke pihak lain."
"Membantu mengamankan?" Tohjoyo terbelalak heran dan kurang senang. Lalu.
"Apakah kakang sudah tolol dan tidak berusaha untuk dapat memiliki benda pusaka itu?
Dan apakah kakang juga tidak lagi memikirkan kemuliaan hidup?"
Danurwenda mengamati Tohjoyo dengan pandang mata tidak senang. Kemudian
ia memperingatkan. "Adi, engkau perlu berpikir luas. Menohok kawan seiring merupakan
perbuatan tidak terpuji. Dan aku juga perlu memberi nasihat kepadamu, adi. Janganlah
kita hanya memikirkan kepentingan diri. Bagiku, sudah merasa puas dan gembira
kalamana pusaka-pusaka yang diperebutkan orang itu jatuh ke tangan orang baik.
Kemuliaan hidup bukan oleh sesuatu pusaka, tetapi oleh tindak dan perbuatan orang itu
sendiri. Meskipun tidak memiliki pusaka tersebut, orang akan memuliakan engkau apabila
sepak terjangmu selalu mengabdi kepada kemanusiaan. Yang perlu kita cegah adalah
jatuhnya pusaka-pusaka itu ke tangan orang jahat. Karena pusaka-pusaka itu tidak akan
dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Tetapi akan dipergunakan untuk kepentingan dirimu
melulu dan mengorbankan orang lain. Itulah sebabnya aku tadi berkata, wajiblah kita
mengamankan pusaka itu."
"Ha-ha-ha," Tohjoyo tertawa. "Engkau berlagak suci kakang. Hemm, dimanakah
ada orang, yang hidup di dunia ini yang tidak mementingkan kemuliaan diri sendiri."
"Adi, engkau jangan keliru sangka," Danurwenda memberi penjelasan. "Aku
bukan orang suci dan sudah tidak mempunyai sesuatu cita-cita. Hanya saja aku tidak
sependapat apabila dalam mencapai cita-cita itu dengan jalan tidak terpuji. Adi, bukankah
guru sudah banyak memberi nasehat kepada kita, bahwa berbuatlah jujur danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
menjauhkan diri dari sifat-sifat tamak? Karena ketamakan itu hanya akan menjerumuskan
kita sendiri ke jurang malapetaka dan bahaya, dan salah-salah malah membuat kita
binasa. Adi, juga kiranya engkau masih ingat akan nasihat guru antara lain. Seorang yang
berakal menghargai persahabatan lebih dari pada apa juga yang lain. Sahabat itulah
tempat berteduh di kala hujan, dan tempat berlindung diwaktu panas. Orang yang
mempunyai sahabat setia, hidupnya akan bahagia."
Ia berhenti, menghela napas dan mengamati Tohjoyo, seakan memberi kesan.
Baru sesaat kemudian ia meneruskan nasihatnya kepada adik seperguruannya ini. "Adi,
ingatkah engkau akan nasihat itu. Dan apabila kita mengharapkan kesetiaan seorang
sahabat, maka kitapun harus setia kepada sahabat itu. Lebih lagi, mari kita mawas diri
bersama-sama. Bukankah adi Fajar Legawa itu dengan tulus ikhlas telah membantu kita
mengusir penjahat gunung Ungaran itu? Bayangkan saja apabila kita tidak mempunyai
sahabat-sahabat setia, apa yang akan terjadi dengan desa ini? Dan justeru oleh bantuan-
bantuan sahabat setia yang tanpa pamrih itu, kita dapat mengusir mereka sehingga sampai
sekarang kita masih dapat menghirup hawa."
Tohjoyo berdiam diri. Kata-kata Danurwenda yang membawa-bawa nasihat
gurunya itu, agaknya menyadarkan Tohjoyo untuk berpikir secara lebih luas. Bukan
hanya berpikir secara sempit dan mementingkan diri. Kemudian ingat pula Tohjoyo akan
nasihat gurunya yang lain. Ialah manusia di dunia ini biasa memberi dan mengikat
pesaudaraan dengan dua barang, jiwa dan harta. Orang yang rela memberikan jiwanya
sebagai penebus jiwa sahabatnya, orang itu adalah orang suci. Orang yang bertolong-
tolongan karena harta, ialah orang yang ingin mendapatkan keuntungan. Itu bukanlah
sahabat sejati, orang yang mau mengerjakan kebajikan karena salah satu keuntungan
dunia, orang itu serupa dengan pemikat yang menyerahkan padi di tanah, bukan karena
hendak berbuat baik kepada burung, tetapi karena hendak mencari untung bagi dirinya
semata-mata. Maka bertolong-tolongan dengan jiwa jauh lebih mulia daripada bertolong-
tolongan denganharta.
Teringat akan nasihat gurunya yang amat berharga ini, Tohjoyo semakin
menyadari akankeadaannya. Fajar Legawa tanpa pamrih telah membantu kerepotanny
amenghadapi gangguan penjahat. Fajar Legawa telah menyerahkan jiwa raganya dalam
ikut serta mengusir penjahat gunung Ungaran yang datang mengganggu. Dan atas
pertolongan orang itu, wajib mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk membalas.
Haruskah air susu itu dibalas dengan air tuba? Haruskah kebaikan Fajar Legawa itu
dibalas dengan kejahatan untuk kepentingan diri?
Tidak! Tohjoyo tidak akan setamak itu kepada seorang yang sudah menunjukkan
kesetiaannya kepada sahabat. Apa pula jika diingat, Fajar Legawa sahabat yang baru
kemarin sore saja dikenal, tetapi sudah begitu jauh pengorbanan yang sudah diberikan
untuk desa kelahirannya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tidak lama kemudian matahari sudah menyinarkan cahaya perakanya. Oleh lelah
semalam, Danurwenda dan Tohjoyo tertidur hanya dengan duduk bersandar pada tiang
pendapa balai desa. Menyebabkan Wanengboyo danAyu Kedasih yang sudah bangun
tersenyum melihatnya.
Tak lama kemudian Nawang Wulan sudah bangun, ia tersenyum manis sambil
mengucapkan selamat pagi kepada Wanengboyo dan Ayu Kedasih. Sedang suami-isteri
inipun menyambut salam itu dengan wajah berseri.
Kemudian Ayu Kedasih mengajak Nawang Wulan menuju sumber air untuk
mandi. Nawang Wulan dengan senang hati menerima ajakan itu. Dua orang wanita ini
kemudian meninggalkan balai desa menuju ke sumber air.
Tetapi entah mengapa sebabnya, setiap Ayu Kedasih memandang Nawang Wulan
timbullah perasaan tidak senang. Perasaan tidak senang itu mulai timbul pada saat
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nawang Wulan memberi pinjaman pedang kepada Fajar Legawa. Ia merasa disaingi,
justeru sebenarnya ia sudah mempersiapkan golok untuk dipinjamkan kepada Fajar
Legawa.
Perasaan tidak senang itu kemudian ditambah dengan terjadinya peristiwa
semalam, Fajar Legawa amat membela kepada gadis ini, dan kemudian malah memeluk
pinggangnya. Dan sekarang perasaan tidak senang itu berkembang menjadi benci. Benci
kepada orang sesama jenis yang berhubungan erat dengan Fajar Legawa.
Dan pagi ini, ia hanya berdua saja dengan Nawang Wulan. Maka pada
kesempatan sebaik ini, terpikir olehnya untuk menunjukkan perasaan yang benci itu.
Akan tetapi untuk secara tiba-tiba mengajak berselisih, Ayu Kedasih merasa kurang tepat.
Karena itu kemudian ia memulai dengan ucapan untuk membakar kemarahan orang.
"Adi," katanya lirih, "lihatlah gunung Ungaran itu. Biru, halus dan sedap
dipandang."
Nawang Wulan tersenyum. Kemudian jawabnya. "Ya, pemandangan itu sungguh
menyedapkan, mbakyu. Dan aku amat terpesona dibuatanya."
"Tetapi keadaan gunung itu akan menjadi jauh berlainan sesudah kita tiba di sana"
Ayu Kedasih memberikan pendapatnya. "Warna yang biru dan bentuknya yang halus itu
akan tidak kita dapatkan lagi. Batu menonjol di sana sini. Dan jurang-jurang dalam amat
mengerikan hati."
"Ya, aku juga heran mengapa keadaan itu bisa berlainan?"
"Di dunia ini bukan hanya gunung yang mempunyai perbedaan seperti itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Keadaan manusiapun sama halnya. Keadaan lahir, belum tentu mencerminkan hatinya.
Ada orang mengatakan bahwa si Anu cantik, tetapi hati si Anu itu belum tentu bersih."
"Ya, mbakyu benar. Sulitlah untuk menilai seorang hanya berdasar keadaan
lahiriah. Orang yang menilai seseorang hanya berdasar keadaan lahiriah, akan mudah
terjebak dan tertipu."
"Apakah maksud mbakyu?"
"Dapatkah menilai seseorang wanita yang baik itu hanya berdasar kecantikannya
dalam arti lahir saja?"
"Sudah tentu tidak! Wanita yang baik dalam arti kata yang sebenarnya, bukan
terletak keayuan dan bentuk wujudnya melulu. Jiwanyalah yang terpenting."
"Dimanakah pencerminan dari jiwa itu?" pancing Ayu Kedasih.
"Dari kata, sikap dan perbuatan orang yang bersangkutan," sahut Nawang
Wulan.
Ayu Kedasih ketawa merdu, sambil melirik kearah Nawang Wulan. "Hi-hi-hik,
katamu benar. Oleh sebab itu seorang wanita yang membiarkan dirinya dipeluk oleh laki-
laki bukan suaminya, maka tindakan wanita itu mencerminkan jiwa yang kotor!"
Dan sesudah mengucapkan kata-katanya ini, Ayu Kedasih ketawa lagi lebih keras.
Nawang Wulan terkesiap, ia merasa disindir oleh ucapan Ayu Kedasih. Sebab semalam,
ketika dirinya terhuyung hampir roboh, ia telah dipeluk oleh Fajar Legawa. Akan tetapi,
pelukan Fajar Legawa itu terjadi diluar kehendaknya, sedang Fajar Legawapun memeluk
dengan maksud untuk menolong. Jadi tidak mempunyai maksud lain yang kotor. Ia
seorang gadis baik-baik, gadis yang masih suci murni. Maka tidak sudi ia dihina orang,
dan dituduh berbuat tidak senonoh. Maka langsung saja gadis ini menjawab.
"Tetapi apa yang terjadi belum tentu merupakan percerminan itu. Sebab apabila
terjadinya peristiwa itu tidak sengaja dan dalam keadaan bahaya, maka apa yang
dilakukan wanita itu tidak mengapa. Sebab semua itu tergantung kepada keadaan dan
sifat dari perbuatan orang
Akan tetapi Ayu Kedasih memang sudah sengaja untuk berselisih, dan kata-
katanya tadi memang sengaja untukmembakar hati orang. Maka Ayu Kedasih ketawa
cekikikan dan mengejek. "Hi-hi-hik, setiap orang memang bisa saja mencari alasan dan
dalih untuk menutupi perbuatannya yang tidak patut itu. Maksudnya agar orang bisa
mengerti, sehingga orang tidak mencela lagi. Tetapi sebaliknya menurut pendapatku
dengan dalih apapun, perbuatan itu amat memalukan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akibat Nawang Wulan sudah cepat merasa disindir dan diejek, maka gadis ini makin
tersinggung perasaannya, ia mengangkat muka, menatap Ayu Kedasih dengan sepasang
mata merah saking marah. Dan kemudian, dampratnya lantang. "Tutup mulutmu! Huh,
engkau sengaja menyindir dan menghina aku?"
Tetapi manakah Ayu Kedasih yang memang sengaja mencari perkara itu mau
mundur? Justeru orang sudah terpancing kemarahannya ini, ia malah tambah mengejek.
"Hi-hi-hik, engkau merasa terhina? Aku bukan menghinamu, tahu? Tetapi aku hanya
sekadar menyatakan keadaan yang terjadi sebenarnya. Engkau marah? Bagus! Apakah
sangkamu aku takut menghadapi engkau? Huh, cobalah!"
Nawang Wulan segera mencabut pedangnya. Dan Ayu Kedasihpun sudah
mencabut senjatanya. Dua orang perempuan yang sama marah ini sudah saling mendelik
dan bersiap diri, untuk kemudian berkelahi. Berkelahi yang tidak tanggung-tanggung,
justeru kedua-duanya sudah memegang senjata masing-masing.
Nawang Wulan yang sudah marah tidak sabar lagi. Sepasang pedangnya sudah
menyambar bersamaan dengan lompatan tubuhnya. Pedang pada tangan kanan
membabat dari samping atas, sedang pedang di tangan kiri menusuk ulu hati. Gerakannya
itu secepat tatit, sehingga Ayu Kedasih sendiri kaget. Ia melompat sambil menggerakkan
golok pendek di tangan kiri, sedang golok pada tangan kanan sudah membabat pinggang
lawan.
Nawang Wulan terpaksa menarik kembali pedangnya, untuk melindungi diri.
Dalam waktu singkat dua orang perempuan ini telah berkelahi sengit. Mereka sudah lupa
bahwa tadi, ketika meninggalkan balai desa, mereka rukun. Mereka memang mempunyai
kepandaian yang seimbang. Hingga memang tidak mudah salah seorang memperoleh
kemenangan.
Terjadinya perkelahian antara Nawang Wulan dan Ayu Kedasih ini, membuat
kaget para wanita yang bermaksud ke sumber air. Tetapi tidak seorangpun berani
mendekat maupun melerai. Beberapa orang gadis yang memang sudah terlalu ingin dapat
berkelahi malah menonton. Akan tetapi sebaliknya wanita-wanita desa yang sudah
berumur, cepat-cepat kembali ke desa, langsung menuju desa untuk melapor.
Akan tetapi tiba-tiba terdengarlah suara bentakan yang parau. "Hai, apakah sebabnya
kamu berkelahi?"
Berbareng dengan terdengarnya suara bentakan itu, senjata dua orang perempuan
itu sudah menyeleweng, dan tubuh masing-masing sudah terdorong ke belakang. Gadung
Melati sudah berdiri di tengah mereka sambil mengamati bergantian dan keheranan.
"Wulan, apakah sebabnya engkau berkelahi?" tegur Gadung Melati.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Dia telah menghina anak, ayah," lapor Nawang Wulan.
"Mengapa menghina engkau? Apakah soalnya?" Gadung Melati menatap mereka
bergantian dengan pandang mata curiga, kemudian memandang kepada Ayu Kedasih,
terusnya. "Benarkah engkau sudah menghina anakku?"
"Tidak. Aku tidak menghina dia," sahut Ayu Kedasih. "Tetapi dia yang sudah
menantangaku berkelahi."
"Tidak! Aku tidak menantang, tetapi dialah yang sengaja menghinaaku." Nawang
Wulan berteriak.
Namun sudah biasa bagi manusia di dunia ini, yang selalu ingin menang sendiri,
ingin dirinya selalu menang dan benar. Tidak terkecuali Ayu Kedasih ini. Iapun dengan
lantang sudah membantah. "Bohong! Dia yang sudah menantang aku, dia yang lebih
dahulu menyerangaku, dan dia pula yang sengaja membuat keonaran dan perselisihan!"
Nawang Wulan menggeram marah. Maka gadis ini tidak sudi lagi berbantahan,
lalu melompat dan menyerang. Dalam marahnya ini, Nawang Wulan sudah tidak perduli
lagi kepada Gadung Melati yang berusaha melerai.
Untung juga bahwa Gadung Melati selalu waspada. Tangannya bergerak dan
sekali sambar, batang pedang gadis itu sudah terjepit oleh jari tangan. Kemudian kakek
ini mendorong perlahan sambil berkata. "Wulan, sabarlah! Engkau jangan hanya
menurutkan hati."
"Tetapi............tetapi............aku tidak sudi dihina, ayah," protes Nawang Wulan.
"Tetapi aku juga tidak takut engkau tantang!" balasAyu Kedasih.
Gadung Melati memandang Ayu Kedasih dengan pandang mata merah, tampak
bahwa kakek ini marah. Diam-diam kakek ini sudah dapat menduga apa yang terjadi.
Kalau anak angkatnya ini sampai marah dan tidak tunduk kepada dirinya, jelas bahwa
dalam perkara ini Nawang Wulan tidak salah. Namun sebaliknya untuk marah kepad
Ayu Kedasih, iapun tidak sampai hati. Ia menghela napas pendek, kemudian kembali
mengamati Nawang Wulan sambil berkata. "Wulan, sarungkan pedangmu dan mari kita
pergi!"
Semula Nawang Wulan ingin membantah. Akan tetapi wajah Gadung Melati
ketika itu tampak tambah buruk dan menakutkan. Tanpa berani membangkang lagi, gadis
ini sudah menyarungkan pedang, dan ia menghindar ketika tangan Gadung Melati
bergerak untuk menggandengnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Namun ketika mau pergi, Nawang Wulan yang masih penasaran itu mengamati
Ayu Kedasih sambil mendelik, tetapi tanpa membuka mulut. Ayu Kedasih mencibirkan
bibirnya. Diam-diam perempuan ini merasa lega, dengan kepergian gadis itu. Kemudian
ia menyarungkan goloknya, namun belum juga berkisar dari tempatnya berdiri. Ia masih
terus memandang kearah kakek berwajah buruk itu dan Nawang Wulan pergi.
Beberapa saat kemudianmuncullahWanengboyo, Danurwenda, Tohjoyo, Fajar
Legawa dan Tumpak Denta. Mereka datang ke tempat ini dengan tergesa, ketika
mendengar laporan penduduk, bahwa Ayu Kedasih dengan Nawang Wulan berkelahi.
Tetapi mereka menjadi heran ketika tidak melihat Nawang Wulan.
"Dimanakah Nawang Wulan?" tanya Wanengboyo agak gugup.
"Dia telah pergi dengan ayahnya," sahutAyu Kedasih.
"Apakah sebabnya sepagi ini, adi sudah berselisih dan berkelahi dengan dia?"desak
Wanengboyo.
"Kakang," kata Ayu Kedasih, "aku ingin bertanya kepada engkau. Apakah engkau
tidak tersinggung apabila ditantang orang?"
"Ehh, apakah sebabnya?" Danurwenda tertarik disamping heran.
"Peristiwa semalam yang menjadi pangkal perselisihan itu, kakang." Ayu Kedasih
tidak tanggung-tanggung membohong dalam usahanya mencari simpati orang. "Dia
berkata, bahwa tanpa bantuan ayah gadis itu yang bernama Gadung Melati, apakah kita
semua ini tidak binasa dalam tangan Jalu Gigis? Nah, siapa yang tidak menjadi terhina
oleh kata-katanya itu? Huh, dia menganggap bahwa aku, kau dan kalian ini hanyalah
orang-orang yang tidak berguna."
Tohjoyo yang memang watakanya berangasan, sudah terbakar dan marah.
"Kurang ajar!! Sayang aku datang terlambat. Kalau tidak, tentu mulutnya akan aku remas
biar remuk dan kapok."
Yang lain tidak membuka mulut. Akan tetapi tanggapan Danurwenda, Fajar
Legawa dan Tumpak Denta lain. Mereka tidak segera percaya akan laporan Ayu Kedasih
ini. Sebagai orang-orang yang berpandangan luas, tentu saja tidak akan memberikan
pendapatnya, sebelum mengetahui jelas persoalannya. Mereka tak mau percaya begitu
saja atas keterangan sepihak. Siapa tahu Ayu Kedasih hanya mencari menang dan benar
sendiri?
"Ke manakah mereka pergi?" tanya Danurwenda kemudian.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ke sana!" Ayu Kedasih menunjuk arah barat.
"Mengapakakangingintahu?"
"Sesungguhnya inginlah aku menahan mereka. Sayang, mereka sudah tidak
tampak lagi," kata Danurwenda.
Ayu Kedasih mencibirkan bibir tampak tidak senang. Kemudian. "Apakah kakang
takut menjaga desa ini tanpa bantuan mereka?"
"Bukan itu maksudku, adi," sahut Danurwenda dengan sabar. "Yang terang aku
merasa berhutang budi, dan sayang pula sebelum aku mengucapkan terima kasihku,
mereka telah pergi."
Fajar Legawa danTumpak Denta berdiam diri. Dalam hati mereka cepat dapat
menilai akan watak dan pribadi orang-orang ini. Danurwenda seorang yang memiliki jiwa
ksatrya. Setiap menilai sesuatu peristiwa amat teliti dan bijaksana. Dia tidak mudah
terpengaruh oleh pandangan dan pendapat orang lain, tidak cepat membenci Gadung
Melati maupun Nawang Wulan, dan jauh bedanya dengan tanggapan Tohjoyo.
Hanya tiga malam Fajar Legawa dan Tumpak Denta sebagai tamu di desa
Sumberrejo ini. Pada hari yang ke empat, mereka sudah minta diri pergi, karena keadaan
desa itu sudah aman. Kepergian mereka diantar oleh Danurwenda dan yang lain sampai
jauh di luar desa. Nampak pada wajah mereka, bahwa sesungguhnya merasa belum rela
melepaskan Tumpak Denta dan Fajar Legawa.
Akan tetapi sebaliknya untuk menahan lebih lamapun Danurwenda merasa tidak
enak. Sebab sejak semula sudah diketahui, bahwa kakak-beradik seperguruan itu memang
diundang oleh guru mereka.
Kemudian, tibalah malam hari, Danurwenda dan saudara-saudara
seperguruannya masih tetap waspada menjaga keamanan desa Sumberrejo, bersama para
pemuda yang lain. Setelah Gadung Melati, Nawang Wulan, Fajar Legawa dan Tumpak
Denta meninggalkan desa ini. Danurwenda perlu meningkatkan kewaspadaan. Ia sadar
bahwa Jalu Gigis memang seorang tua sakti yang tidak mudah untuk dilawan.
Antara mereka membagi tugas. Danurwenda dan Tohjoyo bertugas sore hari,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memimpin langsung para pemuda desa mengawasi keselamatan desa. Nanti apabila
sudah tengah malam, datanglah giliran Wanengboyo dan Ayu Kedasih untuk memimpin
mereka. Maka suami-isteri itu memerlukan tidur di waktu sore, untuk kemudian nanti
malam bergilir jaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Demikianlah, sejak Jalu Gigis dipukul mundur oleh Gadung Melati, keadaan desa
itu dalam keadaan aman. Para penduduk dapat tidur dan mengaso dengan hati lega, tanpa
rasa khawatir lagi datang gangguan. Ketika datang giliran Wanengboyo dan Ayu Kedasih
harus bergilir jaga, maka mereka dibangunkan oleh Danurwenda dari luar kamar. Dan
mengingat mereka harus hati-hati dalam mengawal keamanan desa ini, maka, antara
Wanengboyo dengan Ayu Kedasih harus diadakan pembagian tugas. Wanengboyo
bertugas memimpin dan mengamati para petugas dibagian utara dan timur, sedang Ayu
Kedasih harus memimpin dan mengamati para petugas di bagian selatan dan barat. Dan
sebagai orang-orang berilmu, dalam setiap bergerak ini baik Wanengboyo maupun Ayu
Kedasih tidak membutuhkan pengawal. Justeru dengan bergerak seorang diri, mereka
dapat lebih lincah dan gesit.
Ayu Kedasih melaksanakan tugas ronda itu tanpa rasa takut sedikitpun sekalipun
wanita. Ia menjadi gembira ketika kedatangannya pada pos penjagaan itu disambut oleh
para pemuda dengan hormat dan kagum. Tetapi ia tidak terlalu lama pada pos-pos
penjagaan itu, dan perempuan ini kemudian hilang ditelan gelap malam dengan gerakan
gesit, ia menuju ke tepi desa yang lain, di mana di tempat itu tidak terdapat penjagaan,
karena dihalangi oleh pagar hidup bambu berduri. Perempuan ini menjatuhkan diri di atas
rumput. Ia menghela napaspendek, dan tak lama kemudian terdengarlah ia mendesis.
"Aku tidak rela perempuan itu erat hubungannya dengan adi Fajar Legawa. Untung
mereka tidak curiga dan mengurus lebih jauh."
Ia berhenti, terdengar lagi ia menghela napas panjang. Baru beberapa saat
kemudian, terdengarlah ia berdesis lagi. "Tetapi sejak malam ini aku merasa kehilangan
dan sepi, setelah adi Fajar Legawa pergi. Aihh.........apakah dia tidak mengerti perasaan
seorang wanita yang berharap-harap cemas seperti aku ini? Aihh.........mengapa ketika dia
menginap di rumahku.........dan aku sengaja masuk dalam biliknya, malah mendekatkan
payudaraku di depan hidungnya, dia seperti tidak tahu maksudku? Aihh.........apakah
aku ini harus bertepuk sebelah tangan?"
Ayu Kedasih berhenti lagi dan menghela napas pendek, dan sejenak kemudian,
terdengar kat aperempuan ini lagi. "Adi Fajar Legawa, kasihanilahaku ini.
Aihh.
y......apakah hal itu disebabkan aku sudah menjadi isteri kakang Wanengboyo?"
Ia berhenti lagi beberapa saat lamanya dan mengeluh. Baru beberapa saat
kemudian ia berkata lagi, seakan sedang merayu. "Adi Fajar Legawa, percayalah bahwa
aku akan bisa membahagiakan engkau, dan percayalah bahwa Kakang Wanengboyo
takkan curiga padaku. Tetapi sebaliknya apabila engkau membandel adi, hemm
.........aku.........aku.........hai siapa di situ?"
Ayu Kedasih meloncat kaget sambil menghunus sepasang goloknya, ketika
mendengar suara dengus napas orang. Maka perempuan ini sudah meloncat dan siap-
siaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aku.........adi Ayu Kedasih............" sahut suara laki-laki, lirih.
"Ihh.........kau.........kakang Tohjoyo......?" Ayu Kedasih kaget setengah mati,
sehingga kata-katanya tidak lancar. "Mengapa engkau di sini?"
Dan dengan langkahnya yang perlahan Tohjoyo menghampiri. Sahutnya lirih,
tetapi membalas bertanya. "Dan engkau, apakah kerjamu di sini?"
Untuk sejenak Ayu Kedasih tergagap. Kalau saja tempat itu tidak gelap, Tohjoyo
tentu dapat melihat bahwa wajah Ayu Kedasih saat sekarang ini berobah pucat, sedang
dada yang membusung itu berombak saking khawatir.
"Aku sudah meninjau mereka yang bertugas. Kemudian aku berjaga seorang di
sini sambil melepaskan lelah," sahut Ayu Kedasih.
Tohjoyo tersenyum mendengar jawaban itu. Kemudian laki-laki ini berkata. "Dan
aku tidak bisa tidur. Aku selalu khawatir kalau desa ini sampai diganggu penjahat lagi.
Hmm, aku tadi melihat bayangan orang yang kemudian bersembunyi di tempat ini.
Sangkaku penjahat............tidak tahunya malah engkau, Ayu."
Berdebar jantung Ayu Kedasih. Kemudian ia bertanya tidak lancar. "Dan
engkau.........sudah lamakahdi tempat ini.........?"
Wajar pertanyaan itu. Sebab segera timbul kekhawatiran Ayu Kedasih, apabila apa
yang tadi diucapkan, sampai terdengar oleh Tohjoyo.
"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa lirih. Lalu. "Ya, begitu engkau duduk, aku sudah
bersembunyi di situ."
"Ihhh.........!" saking kaget Ayu Kedasih berseru.
Tohjoyo hanya tersenyum, tetapi karena gelap tidak tampak oleh mata Ayu
Kedasih. Kalau saja Ayu Kedasih dapat melihat, tentu perempuan ini kaget. Sebab
senyum Tohjoyo itu setengah meringis, sepasang matanya berkedip-kedip penuh arti,
yang tentu membuat wanita yang memandang agak ngeri.
Sebenarnya, jawaban Tohjoyo tadi hanya mencari-cari dalih belaka. Sejak Fajar
Legawa, Tumpak Denta, Wanengboyo dan Ayu Kedasih di desa ini, Tohjoyo menjadi
curiga melihat hubungan antara Fajar Legawa dengan Ayu Kedasih. Walaupun
Wanengboyo tidak cemburu dan curiga, tetapi Tohjoyo amat memperhatikan. Dalam hati
pemuda ini segera timbul dugaan, bahwa antara dua orang itu memang ada apa-apanya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Menduga demikian, tiba-tiba saja timbullah kehendak pemuda ini yang kurang
baik. Ayu Kedasih justeru seorang perempuan yang amat menarik. Seorang perempuan
cantik dan montok, sehingga sejak beberapa malam ini setiap tidur selalu tergoda oleh
kecantikannya. Oleh dorongan selera yang tidak dapat dikuasai lagi ini, ia tidak ingat lagi
siapakah Ayu Kedasih. Tidak ingat lagi bahwa Ayu Kedasih isteri Wanengboyo, adik
seperguruannya sendiri. Hubungan saudara seperguruan tidak jauh bedanya dengan
saudara kandung. Mereka wajib saling menjaga, saling percaya dan saling melindungi.
Terdorong oleh selera dan keinginannya untuk menggunakan kesempatan dan
menekan perempuan ini, Tohjoyo selalu berusaha menyadap pembicaraan antara Fajar
Legawa dengan Ayu Kedasih. Namun sungguh sayang, setiap ia menyadap pembicaraan
itu, ia tidak dapat menangkap kata-kata yang bisa digunakan sebagai bukti bahwa antara
Fajar Legawa dengan Ayu Kedasih terjadi hubungan cinta gelap. Yang mereka bicarakan
selalu masalah-masalah ringan, masalah penghidupan manusia di dunia ini, yang makin
lama terjadi perbedaan yang amat jauh antara yang melarat dan yang kaya. Dan sering
juga mereka membicarakan tentang ilmu tata-kelahi, dan tukar pengalaman.
Namun demikian Tohjoyo belum juga putus-asa dalam usahanya mencari sarana
untuk menekan Ayu Kedasih. Sore tadi, ia sendirilah yang menyarankan agar diadakan
pembagian tugas seperti malam ini. Hingga dengan demikian, ia dapat memisahkan
antaraAyu Kedasih dengan Wanengboyo untuk setengah malam lamanya. Dan ketika
Ayu Kedasih dan Wanengboyo sudah bertugas, ia tidak segera masuk tidur. Akan tetapi
segera membayangi Ayu Kedasih. Dan sudah menjadi kebiasaan, bahwa orang dibayangi
akan lengah, sebaliknya orang yang membayangi akan dapat mengamati orang tanpa
diketahui pihak yang diamati.
Berdegup tegang jantung Tohjoyo ketika melihat Ayu Kedasih berhenti di tempat
ini, lalu duduk di atas rumput. Dan degup jantungnya itu semakin menjadi cepat lagi
setelah mendengar ucapan Ayu Kedasih yang mengharapkan kasih Fajar Legawa. Justeru
ucapan seperti itulah yang selalu ingin didengar oleh Tohjoyo. Dan dengan begitu, ia
mempunyai alasan untuk menekan Ayu Kedasih, dan akan sulitlah perempuan itu
menolak kehendaknya.
Tohjoyo sudah duduk di atas rumput. Lalu, katanya perlahan. "Ayu, duduklah."
Tetapi Ayu Kedasih belum juga mau duduk. Berkali-kali perempuan ini menghela
napas. Dadanya berombak dan khawatir. Lalu ia menolak permintaan Tohjoyo dengan
halus. "Kakang, maafkan aku. Aku sedang bertugas mengawasi mereka, maka aku harus
pergi."
"Ayu! Kemarilah dahulu!" bujuk Tohjoyo. "Aku ingin sedikit bicara."
"Tetapi.........tugas........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Duduklah dahulu. Tentang itu bisa dilakukan nanti. Akan tetapi sekarang, aku
ingin bicara dengan engkau."
Berdebar jantung Ayu Kedasih. Ia tahu, bahwa Tohjoyo tentu akan mengurus
tentang ucapannya tadi. Diam-diam ia menjadi amat menyesal, mengapa ia tadi kurang
waspada, sehingga tidak menyadari Tohjoyo hadir di dekatnya? Akan tetapi semuanya
sudah terlanjur. Dan sesalpun tiada gunanya. Mendadak saja malah timbul akal
perempuan ini, untuk minta perlindungan. Sebab apabila hal itu sampai terdengar oleh
suaminya, tidak urung bisa menimbulkan geger. Maka kemudian Ayu Kedasih duduk di
tempat yang agak berjauhan dengan Tohjoyo.
Tohjoyo tersenyum. Kemudian katanya lirih. "Ayu, mengapa engkau duduk di
situ? Kita harus bicara perlahan agar rahasiamu tidak sampai didengar orang lain. Ayu,
duduklah di sampingku ini, dan dengar apa yang aku katakan. Aku kakak seperguruan
suamimu, maka pada tempatnya pula apabila hal ini perlu kita selesaikan malam ini ."
Ayu Kedasih makin gemetaran tubuhnya, ia mengerti maksud kata-kata Tohjoyo
itu.
Dan walaupun tampaknya halus. akan tetapi mengandung ancaman yang
menakutkan. Sebagai kakak seperguruan suaminya, Tohjoyo memang mempunyai
wewenang pula untuk menghukum dirinya yang bersalah. Memang benar ia dapat
berdalih dan memberi keterangan palsu. Tetapi ia merasa ragu, apakah suaminya
mempercayai keterangannya yang palsu itu? Ia cukup kenal akan watak Wanengboyo.
Dia seorang yang selalu mendengar dan tunduk kepada kakak seperguruannya. Dan
sesuai dengan itu, tentu Wanengboyo lebih percaya akan keterangan Tohjoyo dibanding
dengan keterangannya. Lebih dari itu, apabila hal ini kemudian dikembangkan dan guru
Tohjoyo ikut serta mencampuri, persoalannya akan menjadi semakin ruwet dan dirinya
sulit mencari jalan selamat. Terpikir demikian, Ayu Kedasih segera bangkit, kemudian
duduk di samping Tohjoyo. Walaupun demikian, perempuan ini semakin berdebar tidak
keruan.
Tohjoyo lega sesudah Ayu Kedasih dudukdi sampingnya. Hampir saja ia tidak
kuasa lagi menahan hasratnya, dapat berdampingan dengan Ayu Kedasih. Tetapi
walaupun jantungnya berdebar tegang, pemuda ini berusaha menekan perasaan,
kemudian berkata, "Nah, dengan duduk berdekatan begini, kita tidak perlu bicara keras.
Bukankah begitu, Ayu?"
"Ya," sahut Ayu Kedasih dengan jantung tegang.
Tohjoyo menghela napas pendek. Kemudian, "Ayu, aku mendengar seluruhnya
apa yang engkau ucapkan tadi. Engkau mencintai FajarLegawa itu bukan?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aku.........aku........." Ayu Kedasih gugup sekalipun sudah dapat menduga.
"Engkau tak dapat mungkir Ayu," potong Tohjoyo. "Aku sudah mendengar
seluruhnya. Engkau harus tahu kedudukanku, sebagai kakak -seperguruannya
Wanengboyo. Maka lebih baik engkau berterus terang di depanku, agar persoalan ini tidak
tersiar luas sehingga menimbulkan hal-hal yang memalukan."
"Lalu.........lalu......bagaimana..........?" Ayu Kedasih yang tidak keruan rasanya
sekarang ini, seakan sulit untuk membuka mulut.
Tohjoyo senang sekali, melihat keadaan Ayu Kedasih yang mati kutu, tidak dapat
mungkir. Maka pemuda ini segera mencari jalan yang menguntungkan dirinya, "Ayu,
engkau tentu menyadari betapa peristiwa ini akan menimbulkan kegemparan apabila
bocor ke telinga adi Wanengboyo dan guru. Dan lebih lagi, apabila sampai terdengar oleh
paman Ki Hajar Jaladara, gurumu."
Ayu Kedasih tambah berdebaran jantungnya, mendengar nama gurunya disebut-
sebut ini. Ia dapat membayangkan betapa marah gurunya apabila mendengar peristiwa
ini, walaupun sesungguhnya antara dirinya dengan Fajar Legawa belum pernah terjadi
pelanggaran. Ia menyadari kedudukannya, sebagai seorang wanita. Bahwa sedikit saja
menyeleweng, akan menimbulkan heboh. Berbeda dengan laki-laki, walaupun orang tahu
laki-laki itu menyeleweng, namun tidak terjadi persoalan. Penyelewengan itu dianggap
biasa saja, tidak ada pengaruhnya apa-apa. Sebaliknya wanita? Jari tangan orang tentu
segera menuding dan banyak orang berbisik-bisik.
"Ya, kakang.........aku mengerti........." sahutnya kemudian dengan suara
menggeletar.
"TetapiAyu. aku tidak akan sekejam dan setega itu. Percayalah, bahwa persoalan
ini hanya aku seorang yang tahu, dan tidak mungkin suamimu mendengar. Aku akan
dapat merahasiakan Ayu apakah engkau percaya?"
"Aihh, terima kasih kakang, dan saya.........saya mohon perlindunganmu........"
pinta Ayu Kedasih.
Dan diam-diamTohjoyo gembira sekali. Ibarat ikan sudah masuk di dalam
jaringnya, tidak mungkin lepas lagi. Ia memang ingin menekan dan mempersulit
perempuan ini secara tidak langsung. Dan dengan demikian, ia akan dapat membuat
perempuan ini tidak berkutik lagi.
"Tetapi Ayu, tanggung jawabku terhadap masalah ini cukup berat," kata
Tohjoyolagi. Tangannya sudah hampir meraih perempuan itu untuk memeluk, namun
ditahankan. "Sesuai dengan tanggung jawab yang besar itu. Apakah tidak terpikir olehmu
untuk balas jasa?"
"Balas jasa?" Ayu Kedasih agak kaget. "Katakan kakang.........engkau minta bendahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
apa saja? Aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu itu kakang, walaupun aku
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang miskin. Kalau perlu aku akan menjual sawah untuk itu."
"Heh-heh-heh," Tohjoyo ketawa terkekeh. "Siapa yang menyuruh engkau menjual
sawah dan barang milikmu? Tidak, Ayu, tidak! Aku bukan seorang tamak akan harta.
Aku tidak menghendaki sesuatu yang sulit, sehingga engkau perlu berusaha. Ayu,
aku............aku hanya menghendaki........."
Dan tiba-tiba saja tangan Tohjoyo sudah menarik pundak Ayu Kedasih, yang
kemudian dipeluk erat sekali, sambil menyerbu bibir dan pipi.
"Aihhh.........kakang.........jangan..........." Ayu Kedasih kaget setengah mati dan
berusaha menolak.
"Aku tidak akan memaksamu, Ayu." kata Tohjoyo sambil mengendorkan
dekapannya.
"Pergilah jika engkau menghendaki. Namun sebaliknya aku tak dapat menjamin
kerahasiaanmu. Semua ini tergantung engkau sendiri Ayu.
Tetapi.........tetapi.........engkau cantiksekali....."
Sambil menutup kata-katanya ini, Tohjoyo sudah memagut bibir Ayu Kedasih
yang memerah jambu itu.
Ayu Kedasih berusaha menghindar. Dan hal ini membuat Tohjoyo kecewa
disamping mendongkol.
"Ayu, baiklah! Agaknya engkau memang memilih jalan lain." Tohjoyo bangkit
berdiri. Lalu ia mengancam. "Tetapi engkau akan tahu sendiri. Malam ini juga rahasiamu
akan terdengar luas. Bukan hanya adi Wanengboyo, tetapi setiap hidung akan tahu."
Tohjoyo melangkah. akan tetapi langkahnya perlahan dan ragu-ragu. Ia
mengancam demikian, tiada maksud lain untuk membuat Ayu Kedasih mati kutu dan
menyerah.
Ayu Kedasih masih duduk. Perasaan perempuan ini tidak keruan. Ia menjadi
bingung, apakah yang harus dilakukan? Apabila ia sekarang ini melarikan diri memang
bisa. Namun akibatnya ia akan berhadapan dengan gurunya, dan juga guru Wanengboyo.
Dirinya akan menjadi pesakitan dan diurus dengan teliti. Teringat soal ini, mendadak saja
tubuhnya menggigil.
"Kakang.........kakang Tohjoyo.........ohhh, kasihanilah aku......." ratap
perempuan ini kemudian, sambil menangis dan menutupi mukanya dengan telapak
tangan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tohjoyo yang belum jauh meringis. Hatinya gembira sekali, kemudian menyelinap
dan bergerak dengan hati-hati sekali, ia menempatkan diri di belakang Ayu Kedasih dan
tidak mengganggu. Ia membiarkan perempuan itu menangis. Dan agar kehadirannya
tidak diketahui Ayu Kedasih, maka Tohjoyo setengah tidak bernapas.
Ayu Kedasih yang menangis itu menjadi lengah, ia tidak mendengar gerakan
Tohjoyo, sehingga tidak tahu bahwa laki-laki itu sudah di belakangnya. Ayu Kedasih
mengangkat kepalanya, dan dengan mata yang basah mengamati kearah Tohjoyo tadi
pergi. Air mata yang memenuhi sepasang matanya itu membuat pandang matanya
berkurang awasnya. Ketika melihat Tohjoyo tidak tampak lagi, perempuan ini bingung
dan khawatir. Maka ia setengah menjerit dan memanggil.
"Kakang Toh.......haeppp............" ucapan Ayu Kedasih terputus, karena dari
belakang Tohjoyo sudah menubruk sambil membungkam mulut perempuan itu.
"Ayu.........mengapa engkau berteriak?" hardik laki-laki ini. "Manisku,
sudahlah.........janganmenangis........"
Dan dengan hati gembira, Tohjoyo sudah menyerbu mulut Ayu Kedasih.
Perempuan yang sudah tidak tahu jalan lain ini, sekarang tidak berusaha menghindarkan
diri.
Masih pagi benar Ayu Kedasih sudah pergi ke sumber air. Ia minta diri kepada
Wanengboyo untuk mandi lebih pagi, sebelum banyak orang datang. Akan tetapi setelah
tiba di sumber air, Ayu Kedasih tidak segera mandi, ia malah duduk di atas batu sambil
menangis tersedu-sedu. Pengalamannya semalam membuat perempuan ini sedih. Sama
sekali tidak diduganya, bahwa kakak seperguruan suaminya itu sampai hati kepada
dirinya. Hampir timbul niatnya untuk membunuh diri saja. Namun kemudian terbayang
di depannya wajah tampan Fajar Legawa yang membuat ia tergila-gila. Ia sudah tahu
rahasia senjata tongkat Fajar Legawa. Bukankah dengan pengetahuannya itu, iapun dapat
menekan Fajar Legawa tidak berkutik? Kalau dirinya bisa ditekan orang, apakah dirinnya
tidak dapat membalas orang.
Teringat akan hal itu hati perempuan ini terhibur, tangisnya berkurang. Akan tetapi
tiba-tiba perempuan ini menjadi kaget, ketika mendengar teguran orang.
"Adi, mengapa engkau menangis di sini?
Betapa kaget Ayu Kedasih ketika melihat bahwa Danurwenda telah berdiri tidak
jauh dari tempatnya. Danurwenda mengamati penuh selidik, membuat Ayu Kedasih
gemetaran, dan cepat menduga yang tidak-tidak. Kalau semalam Tohjoyo sudah menekan
dirinya dengan ancaman itu, apakah sekarang Danurwenda juga akan menggunakanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kesempatan itu untuk minta tubuhnya?
"Adi, mengapa engkau menangs?" tanya Danurwenda dengan halus, dan laki-laki
ini tetap berdiri di tempatnya. "Katakanlah adi, apakah semalam engkau bertengkar
dengan suamimu?"
"Kakang........auh-huhu-huuu............"Ayu Kedasih tidak dapat menjawab, dan
malah menjadi tangisnya, setelah mendengar kata-kata Danurwenda itu.
"Hemm, tidak baik orang bebrayan mendekatkan diri dengan perselisihan," kata
Danurwenda lagi dengan halus. "Adi, sudahlah, jangan engkau menangis. Mandilah, dan
nanti aku yang akan mengurus suamimu. Aku kakak seperguruan suamimu, berhak
mencampuri urusan kekeluargaanmu kalau perlu, dan demi kebaikan. Adi, sudahlah
jangan menangis."
"Kakang.........ohh.........jangan pergi.........!" pekik Ayu Kedasih ketika melihat
Danurwenda mau pergi. Kecurigaanperempuan ini terusir jauh. Dan sekarang malah
timbul rasa khawatirnya, apabila suaminya mengurus dirinya, mengapa menangis.
Danurwendapun berhenti, membalikkan tubuh dan mengamati Ayu Kedasih
dengan pandang mata terharu. Sesudah menghela napas pendek, katanya lagi, "Adi
apakah sebabnya engkau menahan aku? Kalau memang engkau berselisih dengan
suamimu, dan ternyata suamimu memang bersalah, aku wajib memperingatkan dan
memberi nasihat."
"Ti.........tidak.........! Bukan.......!"
Danurwenda tampak heran dan membelalakkan mata. Lalu ia bertanya, "Tidak
dan bukan, apa maksudmu?"
"Saya.........saya tidak berselisih dengan kakang Wanengboyo........."
"Kalau tidak, mengapa sepagi ini menangis di sini?" desak Danurwenda.
"Kakang.........ohh.........hu-hu-huuu........ampunkan saya. Kakang.........jangan
engkau memberitahu kakang Wanengboyo........kalau aku...... ....menangis di sini........."
Ayu Kedasih meminta.
Danurwenda mengerutkan alisnya dan heran. Ia mengamati Ayu Kedasih penuh
perhatian. Kemudian. "Adi. aku menjadi heran dan bingung sendiri. Lalu apakah
sebabnya engkau menangis di sini? Katakanlah adi, apabila engkau menghadapi kesulitan
akulah yang akan mengurus. Percayalah."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Kakang............ohhh............" ratap Ayu Kedasih. "Aku menangis............bukan
karena dia............"
"Aihh.........!" Danurwenda kaget. "Kalau bukan karenadia, lalu apakah soalnya?
Apakah .........engkau dihina orang? Katakanlah adi, katakanlah!"
Ayu Kedasih tidak segera membuka mulut, ia mengusap air matanya yang
membanjir turun dari sepasang matanya, ia ingin segera berhenti menangis, akan tetapi
hatinya yang merasa sengsara oleh tekanan Tohjoyo semalam membuat air matanya tak
kunjung henti.
Dan Danurwenda mendekati, lalu katanya dengan halus. "Adi, jangan engkau
menangis. Katakan yang jelas, agar aku dapat mempertimbangkan dengan adil."
Ingin sekali Ayu Kedasih menubruk kakak seperguruan suaminya ini, kemudian
melaporkan perbuatan Tohjoyo, supaya dihukum. Namun, tiba-tiba kekhawatirannya
menyesak lagi. Ia teringat ancaman Tonjoyo, yang bisa berakibat lebih parah. Diam-diam
perempuan ini segera mencari akal dan dalih, untuk menutupi rahasianya.
"Adi," kata Danurwenda lagi dengan halus. "Apabila engkau sudah memberi
keterangan tentunya sebagai kakakmu aku akan dapat berbuat secara adil. Berhentilah
engkau menangis, dan hapuslah air matamu. Orang bisa menduga yang tidak-tidak,
apabila melihat engkau menangis."
Agak beberapa saat lamanya barulah Ayu Kedasih berhenti menangis, dan tinggal
terisak saja. Kemudian, kata perempuan ini. "Kakang, saya mohon agar kakang tidak
memberitahu kakang Wanengboyo, bahwa aku menangis di tempat ini."
"Apakah sebabnya?" Danurwenda heran dan curiga.
"Kakang............nanti saya akan menerangkan sejelasnya. Dan sekarang, berilah
kesempatan saya mandi," Ayu Kedasih meminta.
"Baiklah, engkau jangan khawatir." Danurwenda segera melangkah pergi, namun
diam-diam laki-laki yang bijaksana ini heran juga, melihat sikap Ayu Kedasih yang agak
aneh itu.
Di saat Ayu Kedasih belum selesai mandi, Wanengboyo sudah datang menyusul.
Tegurnya. "Aihh, Ayu! Mengapa terlalu lama engkau mandi?"
"Ihh...........tunggu dulu, jangan kemari kakang! Aku hampir selesai," sahut Ayu
Kedasih yang segera mempercepat mandinya.
Wanengboyo yang watakanya selalu ngemong kepada Ayu Kedasih itu, tidak mauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
mengecewakan isterinya. Ia kemudian duduk di atas batu, agak jauh dengan sumber air.
Akan tetapi di tempat lain, ada seorang laki-laki yang cepat-cepat menyembunyikan diri
ketika melihat Wanengboyo tiba-tiba datang. Orang itu bukan lain Tohjoyo, yang sudah
agak lama hadir di tempat ini. Ia tadi sudah curiga ketika melihat Danurwenda datang.
Kemudian ia mengukur dengan bajunya sendiri, mengira bahwa Danurwenda akan
berbuat seperti yang dilakukan. Namun kemudian Tohjoyo menghela napas lega, ketika
ternyata Danurwenda tidak melakukan sesuatu.
Ia tadi sudah akan mendekati sumber air, disaat Ayu Kedasih mandi. Namun
maksudnya terhalang, karena tiba-tiba Wanengboyo muncul. Hingga sekarang,
menyebabkan Tohjoyo harus bersembunyi dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir
diketahui oleh Wanengboyo.
Tohjoyo datang menyusul Ayu Kedasih oleh godaan rasa penasaran. Walaupun
semalam dapat bersanding dengan perempuan itu. Akan tetapi gelap malam membuat
matanya tak dapat melihat jelas. Maka pagi ini timbullah keinginannya untuk melihat
Ayu Kedasih disaat tanpa busana.
Tak lama kemudian Ayu Kedasih sudah muncul dari balik batu, dan sudah
berdandan. Perempuan ini tersenyum ketika berpapasan dengan Wanengboyo.
Kemudian. "Kakang, apakah, aku perlu menunggu engkau?"
"Boleh, boleh.Tunggulah aku dan nanti pulang bersama," sahut Wanengboyo
sambil terus melangkah menuju sumber air. Tak lama kemudian, Wanengboyo sudah
mulai mandi.
Tohjoyo yang bersembunyi tidak jauh dari tempat itu, diam-diam menyumpah-
nyumpah kepada Wanengboyo. Sebab kehadiran adik seperguruannya itu, membuat
kepergiannya pagi ini tanpa hasil.
Tetapi sebenarnya tingkah laku Tohjoyo terhadap perempuan ini memang
merupakan kebiasaan buruk yang sudah agak lama mengotori jiwanya, di dalam desa ini
dirinya sebagai anak lurah desa. Padahal kedudukan lurah desa, ibarat seorang raja kecil.
Sebab lurah desa di jaman cerita ini terjadi, bisa pula bertindak amat jauh. Dan sebaliknya
para kawula takut. Dan justeru berlindung kepada kedudukan ayahnya sebagai raja kecil
di desa ini, maka Tohjoyo menjadi seorang pemuda yang wataknya kurang baik. Ia
menjadi ganas terhadap wanita dan gadis, tetapi tidak seorangpun berani melaporkan
perbuatan Tohjoyo ini kepada ayahnya.
Di dalam desa Sumberrejo ini, orang satu-satunya yang disegani hanyalah
Danurwenda seorang. Bukan saja karena berkedudukan sebagai kakak seperguruan, tetapi
setiap bicara dan melangkah, Danurwenda selalu bijaksana dan memandang secara jauh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Demikianlah, Tohjoyo baru berani keluar dari tempatnya bersembunyi, sesudah
Dewi Ular 01 Roh Pemburu Cinta Dewi Ular 01 Roh Pemburu Cinta Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga