Pencarian

Iblis Dari Gunung Wilis 8

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 8



Tohjoyo kurang senang. "Apakah adi lupa bahwa ayahku sedah menjadi korban penjahat

itu? Dan apakah adi lupa pula bahwa penduduk sekitar ini membutuhkan bantuan kita?"

Mereka terdiam mendengar jawaban Tojoyo ini. Apa yang sudah dikemukakan

Tohjoyo memang sulit untuk dibantah. Dan dalam hati masing-masing juga merasa tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tega untuk membiarkan para penduduk dalam wilayah ini, terancam oleh penjahat.

"Adi," kata Danurwenda perlahan, sambil memandang ke arah Tohjoyo dan

Wanengboyo bergantian, "Apabila ternyata pada hari ketentuan itu keadaan belum aman.

Memang sulitlah bagi aku dan Tohjoyo meninggalkan desa ini tanpa pelindung. Untuk

itu adi Wanengboyo tidak perlu khawatir. Guru tentu akan memaklumi pula apabila pada

hari yang telah ditentukan itu, kita tidak dapat datang dan menghadap. Dan karena itu,

guru tentu dapat pula memaafkan. Keperluan guru toh masih dapat ditunda, tetapi

ancaman penjahat tidak mungkin bisa ditunda."

"Tetapi sayang juga........." ujar Wanengboyo setengah mengeluh.

"Ya, memang sayang," jawab Danurwenda. "Namun apa harus dikata kalau

keadaan memang menghendaki begini? Ya, semoga saja Tuhan menolong kita."

Akan tetapi baru saja Danurwenda selesai bicara ini, terdengarlah suara orang

berlarian. Mereka semua kaget dan mengarahkan pandang mata ke halaman. Tampak

kemudan dua orang pemuda dengan tergesa menuju balai desa.

"Ada apakah?" tanya Danurwenda sambil bangkit dari duduknya.

Dua orang muda itu masih tersengal-sengal. Tanpa sempat duduk, pemuda ini

sudah memberi laporan dengan sikap gugup. "Petugas menyaksikan sesuatu yang

mencurigakan. Pada suatu dataran di luar desa......... tampak orang berkelahi........."

"Orang berkelahi?" Tohjoyo kaget. "Tahukah siapa yang sedang berkelahi itu?

Dan berapa pulakah jumlahnya?"

"Kami tidak berani datang mendekati," jawab pemuda itu. "Tetapi jelas bahwa

yang berkelahi itu dua orang melawan empat orang. Seorang diantaranya, dikeroyok oleh

tiga orang."

"Pakaian Mereka?" desak Danurwenda.

"Maaf. Tidak begitu jelas. Karena kami agak jauh."

Untuk sejenak Mereka berpandangan. Namun kemudian Tohjoyo tidak sabar dan

mengajak. "Mari kita tinjau. Ada kemungkinan mereka memang penjahat Ungaran."

"Benar!" sahut Wanengboyo. "Bersikap waspada adalah baik."

Mereka serempak berdiri. Danurwenda dan Wanengboyo mendahului, kemudian

disusul oleh yang lain.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mereka bergerak cepat. Berkali-kali tanpa sesadarnya, mereka meraba hulu senjata

masing-masing.

Fajar Legawa berjalan di paling belakang. Ayu Kedasih melangkah di sampingnya.

Diam-diam hati Fajar Legawa berdebar didekati oleh perempuan cantik ini. Dan

sebenarnya ia tidak ingin berdekatan dengan Ayu Kedasih, semua itu untuk menjaga agar

tidak timbul hal-hal yang tidak diharapkan. Akan tetapi untuk menyingkir juga merasa

tidak enak hati. Dan hal tersebut dapat menyinggung perasaan Ayu Kedasih, sehingga

malah dapat menimbulkan hal-hal yang lebih tidak menyenangkan

"Adi," kata Ayu Kedasih setengah berbisik dekat sekali tubuh mereka saat itu.

"Sudahkah engkau baca suratku itu?"

"Ya," sahut Fajar Legawa singkat sambil mengangguk.

"Maafkan aku sudah lancang tangan dan berlaku seperti pencuri."

"Tidak apa. Hanya aku minta, engkau dapat menolong dan merahasiakan semua

itu."

Ayu Kedasih tersenyum manis sekali. Lalu terdengarlah perempuan ini berkata,

"Jangan khawatir, dan aku akan selalu menjaga rahasia itu. Tetapi ............"

Ayu Kedasih menghentikan kata-katanya. Dan Fajar Legawa heran, maka

desaknya. "Tetapi apa?"

"Apakah surat itu sudah engkau baca seluruhnya?"

"Ya, aku baca seluruhnya."

"Hemmm, aku mengharap engkau memenuhi apa yang sudah tercantum dalam

surat itu."

Fajar Legawa berjengit agak terkejut. Ia masih belum lupa bahwa dalam surat itu

Ayu Kedasih meminta, agar pada bulan purnama bulan depan, dirinya, diminta datang

ke desa Mergosari, ke rumah Ayu Kedasih. Ketika membaca surat itu, memang tiada

perasaan berat sedikitpun untuk datang dan memenuhinya. Karena hal tersebut bukan

merupakan permintaan yang berlebihan, demi persahabatannya dengan Ayu Kedasih dan

suaminya.

Akan tetapi perkembangannya telah agak berlainan sekarang. Sesudah Fajar

Legawa mendengar bahwa Wanengboyo harus menghadap gurunya pada tanggal 15https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bulan depan. Dengan begitu, maka apabila dirinya datang kesana. Wanengboyo tidak ada

di rumah. Seorang laki-laki yang datang sebagai tamu, patutkah apabila tuan rumah tidak

ada? Tiba-tiba saja hatinya berdesir. Hatinya berdebaran, karena timbul rasa khawatirnya

apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Namun agaknya Ayu Kedasih dapat menebak isi hati Fajar Legawa. Terdengarlah

kemudian perempuan ini berkata. "Adi Fajar Legawa. Engkau tak usah terlalu jauh pikir.

Bukankah engkau terpengaruh oleh kepergian kakang Wanengboyo pada saat itu? Huh,

engkau jangan membayangkan yang tidak-tidak, dan engkau jangan menghina aku!"

Fajar Legawa terkejut dan gugup. Ia maklum bahwa Ayu Kedasih tersinggung.

Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka jawabnya kemudian.

"Mbakyu, maafkan aku. Aku hanya berpikir banwa waktu itu kakang Wanengboyo tidak

di rumah. Aku khawatir apabila orang menggunakan kesempatan itu untuk memfitnah

mbakyu. Bukankah hal itu cukup berbahaya?"

"Yang penting kenyataan dan bukti, adi. Engkau tidak perlu memperdulikan

kepada orang yang suka memfitnah. Percayalah bahwa Tuhan itu adil. Meskipun fitnah

dilancarkan orang membabi buta, fitnah itu tak mungkin mempan. Biarkanlah orang mau

berbuat dan berkata. Biarkan saja orang mau memfitnah. Mana loyang dan mana emas

akan tampak juga, adi. Begitu pula mana penipu dan mana yang jujur. Biasanya orang

yang suka memfitnah semacam itu adalah orang-orang yang takut kepada bayangannya

sendiri. Dan orang yang suka memfitnah, jauh lebih jahat dari pembunuh."

"Tetapi mbakyu, alangkah yogyanya kalau selalu berhati-hati. Menjauhkan diri

dari sesuau yang dapat memberi lobang kelemahan kepada orang, lebih baik lagi. Dan

karena itulah lebih tepat apabila kedatanganku ke sana pada kesempatan lain, dimana

kakang Wanengboyo di rumah."

"Huh, engkau angkuh sekali. Baiklah jika engkau tidak sudi berkunjung ke rumahku.

Ketahuilah bahwa aku membutuhkan pelindung pada saat-saat kakang Wanengboyo

tidak di rumah."

Sesudah berkata demikian, Ayu Kedasih sudah melangkah mendahului, menyusul

suaminya yang berjalan di depan bersama Danurwenda.

Tak enak Fajar Legawa mendengar ucapan Ayu Kedasih tadi. Tetapi ketika

teringat bahwa Ayu Kedasih membutuhkan pelindung, hatinya jadi tergerak.

Mungkinkah Ayu Kedasih emmpunyai musuh? Dan mungkinkah orang yang bernama

Bagus Lantung itu masih juga mengganggu?

"Apabila benar membutuhkan pelindung, dan ada orang sengaja memusuhi, tidak

ada alasan aku menolak," pikirnya kemudian. "Seorang sahabat harus berani berkorbanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

demi kepentingan sahabatnya. Orang yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri,

adalah seorang yang tamak."

Namun kemudian in membantah sendiri. Katanya dalam hati. "Tetapi ............

bukankah kakang Wanengboyo dapat membawa serta isterinya menghadap gurunya?

Hemm, sebaiknya aku bicara dengan dia. Aku akan menganjurkan agar saat itu Ayu

Kedasih ikut serta ke Merbabu."

Ketika itu mereka sudah tiba di tepi desa. Mereka segera bersikap lebih hati-hati

sambil menebar diri. Mereka menajamkan pandang mata dan menjaga segala

kemungkinan. Dengan setengah menahan napas, mereka mengikuti langkah pelapor yang

mendahului di depan.

Tak lama kemudian sampailah Mereka di suatu tempat yang agak tinggi. Pemuda

pelapor itu memberi tanda dengan mengacungkan tangan. Mereka kemudian mengikuti

arah petunjuk itu. Jauh di sana dan samar-samar dalam gelap malam, tampak orang-orang

sedang berkelahi sengit. Perkelahian itu terbagi dalam dua kelompok. Di bagian barat

seorang lawan seorang. Sedang yang di sebelah timur, tiga orang mengeroyok seorang

lawan.

"Dari jarak sejauh ini, sulitlah kita mengenal mereka secara jelas," kata

Danurwenda. "Marilah kiia mendekat ke sana."

"Berbahaya!" desis Tumpak Denta. "Kita belum mengenal siapakah mereka.

Maka sebaiknya kita tugaskan saja seorang dua untuk mendekati. Apabila terjadi sesuatu,

dengan sekali suitan yang lain dapat menolong secepatnya."

"Pendapatmu amat bagus!" sambut Wanengboyo. "Dan biarlah aku yang pergi ke

sana."

"Aku juga!" sambut Tohjoyo.

"Dan akupun ingin ke sana," kata Tumpak Denta.

Sebenarnya dua orang sudah cukup. Namun untuk menolak salah seorang,

Danurwenda tidak enak hati. "Baikah, dan bergeraklah kalian berpencaran. Waspadalah

supaya tidak menimbulkai kerugian. Dan bila perlu, tanda suitan akan mengundang kami

datang ke sana,"

Tiga orang itu mengiakan. Tetapi sesungguhnya pesaban seperti itu tidak perlu.

Mereka sudah cukup dewasa, tidak mungkin gegabah. Mereka kemudian berpencaran.

Dan dalam kegelapan malam mi, semua orang berusaha untuk bisa mengenal mereka

yang sedang berkelahi. Hati mereka tegang, sedang dalam hati sibuk menduga-duga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi Ayu Kedasih sikapnya lain. Tadi ia agak marah kepada Fajar

Legawa. Ia tidak begitu perduli kepada perkelahian yang sedang terjadi. Entah mengapa

sebabnya Setelah ia mengetahui bahwa Fajar Legawa memiliki salah sebuah pusaka yang

sedang diperebutkan orang, ia selalu ingin berdekatan dengan pemuda itu. Ia temasuk

salah seorang yang amat percaya kepada pendapat sementara orang. Bahwa orang yang

dapat memiliki pusaka "Tilam Upih" atau pedang "Sokayana" akan mendapat kemuliaan

hidup yang sulit dicitakan orang. Ia akan disegani dan dihormati orang tidak bedanya

dengan pemilik-pemilik pertama pusaka itu.

Dan oleh kepercayaan itu, maka Fajar Lerawa termasuk seorang calon yang akan

mendapatkan kemuliaan hidup itu, Fajar Legawa sudah memiliki salah satu pusaka itu,

dan berarti pula sudah mempunyai kelebihan dibanding orang lain.

Pendapat Ayu Kedasih ini sudah tentu bertentangan dengan pendapat Fajar

Legawa sendiri, yang sekarang menguasai pusaka itu. Karena menurut pendapat Fajar

Legawa, kemuliaan seseorang bukan karena pusaka keramat. Kemuliaan seseorang oleh

tindak dan perbuatan orang itu sendiri. Dan sebagai salah seorang hamba Allah yang taat

dan patuh kepada agama, hanya Allah yang berkuasa menentukan segala sesuatu di dunia

ini. Dan meskipun benar pusaka Tilam Upih mempunyai kelebihan dibanding dengan

senjata biasa, namun hal itu tidak menjamin orang menjadi digdaya dan sakti. Terbukti

dengan pengalamapnya menghadapi Jalu Gigis dan Klenting Mungilpun dirinya tidak

dapat berbuat banyak. Ilmulah yang menjadikan orang disebut digdaya sakti.

Fajar Legawa amat tertarik kepada merek-yang sedang Verkelahi. Terlebih puli

kenida se-orang yang berkelahi lawan seorang. Meskipun samar-samar, tetapi ia dapat

menangkap bahwa orang itu bersenjata sepasang pedang. Dan yang menarik perhatiannya

adalah gerak-gerik orang itu. Dan menurut perasaannya, sedikit banyak ia sudah

mengenal ilmu pedang itu. Tetapi siapakah orang itu, Fajar Legawa sulit menduga.

Disaat ia penuh perhatian mengikuti gerak gerik mereka yang sedang berkelahi itu,

tiba-tiba ia menangkap langkah orang mendekati. Tiba-tiba hidungnya mencium bau yang

semerbak harum. Dan sesaat kemudian terdengarlah suara orang yang berbisik di dekat

telinganya. "Adi, apakah engkau marah padaku?"

Sebenarnya kurang senang Fajar Legawa mendapat gangguan ini. Akan tetapi

untuk menjaga agar wanita itu tidak kecewa dan bisa berakibat kurang baik maka ia

menjawab juga. "Mengapa aku harus marah?"

"Terima kasih," Ayu Kedasih ketawa lirih, namun cukup merdu dan enak

didengar. "Tahukah engkau tentang usaha orang memperebutkan benda pusaka?"

Fajar Legawa terkesiap, ia dapat menduga akan arah tujuan Ayu Kedasih

membicarakan masalah itu. Namun demikian ia pura-pura belum tahu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Pusaka apakah itu?"

"Hi-hi-hik, pusaka apa lagi? Bukankah orang sedang saling berlomba untuk dapat

memiliki keris pusaka "Tilam Upih" dan pedang "Sokayana" Dan salah satu diantara

pusaka itu, sekarang sudah di dalam tanganmu."

Fajar Legawa justeru telah tahu arah ucapan orang. Namun tidak urung sekarang

ini hatinya berdegup, karena menjadi semakin sadarlah ia bahwa mulut Ayu Kedasih

dapat membocorkan rahasia yang selalu ia sembunyikan. Dan apabila rahasia itu bocor,

maka merupakan suatu tanda bahaya bagi dirinya.

"Adi," bisik Ayu Kedasih lagi, "aku tahu bahwa engkau selalu berusaha

merahasiakan pusaka yang engkau bawa itu. Aku tahu bahwa engkau berusaha

menguasai pusaka itu seterusnya. Oleh karena itu, aku nasihatkan padamu adi, engkau

jangan suka membuat orang kecewa, agar rahasiamu tetap terjamin selamanya."

Mendengar kata-kata Ayu Kedasih ini, Fajar Legawa tidak dapat berkutik lagi. Ia
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang merasa ditempatkan pada sudut yang sulit. Kata-kata Ayu Kedasih ini

mempunyai maksud yang amat jauh, sehingga sulitlah bagi Fajar Legawa menduganya.

Akibatnya pula, iapun merasa bingung dan sulit, bagaimanakah caranya menjawab soal

ini?

Untunglah ia segera tertolong oleh keadaan. Ketiga itu terjadilah perobahan dalam

arena perkelahian. Orang yang tadi menggunakan sepasang pedang dan gerakannya

sudah dikenal oleh Fajar Legawa, sekarang terdesak hebat. Kemudian salah sebuah

pedangnya terpental, lepas dari tangan. Akibat kegugupannya, ketika ia akan membalas,

pedang yang tinggal sebatang itu menyusul terpental. Tetapi disaat yang berbahaya itu,

tiba-tiba terdengarlah suitan nyaring.

Dengan gerak yang amat cepat, Danurwenda dan Fajar Legawa lari ke tempat

perkelahian. Sedang Ayu Kedasih, dengan gerak yang lesu, terpaksa ikut menuju ke

tempat perkelahian. Dalam hatinya timbul rasa marah, akan tetapi kepada siapakah

kemarahannya itu harus ditumpahkan?

Ketika Fajar Legawa sudah tiba di dekat arena perkelahian, ia terbelalak dan

terkejut. Ternyata Tumpak Denta, Tohjoyo dan Wanengboyo telah melibatkan diri dalam

perkelahian. Sehingga sekarang terjadilah perobahan, seorang lawan seorang.

"Paman Gadung Melati!" seru Fajar Legawa kaget, sesudah mengenal kembali

orang tua itu.

Terdengar Gadung Melati ketawa terkekeh. Jawabnya. "Kalian memang

anak baik. Hayo Fajar, gantikan aku."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Fajar Legawa sudah melompat tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya. Ia

maklum apabila Gadung Melati sudah memintanya, tentu ada sesuatu yang memaksa

kepadanya.

Ternyata dugaan Fajar Legawa benar. Tampaklah kemudian Gadung Melati

duduk bersila mengatur pernapasan. Fajar Legawa tahu akan sebabnya orang tua itu

duduk bersila di atas tanah. Agaknya pengaruh luka dalam siang tadi, ketika berkelahi

dengan Klenting Mungil, membuat orang tua itu menderita. Karena dipaksa untuk

berkelahi, maka dada orang tua itu sesak lagi dan ingin muntah sebab luka dalam yang

belum sembuh benar itu kambuh kembali.

Fajar Legawa menggantikan kedudukan Gadung Melati dengan tangan kosong.

Karena untuk menggunakan tongkatnya ia khawatir. Padahal musuh yang dihadapi

sekarang ini bersenjata sabit yang besar dan panjang. Gerakanya cepat dan penuh tenaga,

dan bukan pula lawan yang ringan,

Agak mengeluh juga Fajar Legawa, mengapa ia tadi tergesa melompat ke arena.

Apabila ia tadi meminjam senjata Danurwenda, senjata pinjaman itu akan banyak

membantu. Akan tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak ingin menunjukkan

kelemahannya di depan lawan. Dan sekalipun berat, ia melakukan perlawanan dengan

mantap.

Mendadak terdengarlah suara yang nyaring dan merdu. "Kakang Fajar!

Gunakanlah pedangku!"

Berdegup jantung Fajar Legawa mendengar suara yang merdu itu. Sebatang

pedang meluncur ke arahnya, dan dengan gerakan manis pedang itu sudah berhasil ia

tangkap. Katanya. "Terima kasih Wulan, pedangmu amat berguna bagiku sekarang ini."

Betapa gemas Ayu Kedasih melihat semua itu. Ia memandang Nawang Wulan

dengan perasaan tidak senang. Ayu Kedasih tidak tahu, mengapa hatinya tidak senang

kepada gadis itu, gadis yang sesungguhnya belum ia kenal.

Sebaliknya Nawang Wulan tampak tidak perduli. Ia cepat berdiri sambil mengamati

mereka yang sedang berkelahi. Tohjoyo berkelahi dengan canggahnya melawan seorang

berkumis tebal dengan senjata tombak dan perisai. Tumpak Denta dengan pedangnya

melawan seorang bertubuh tegap dan berewok, bersenjata golok. Wanengboyo dengan

sepasang goloknya melawan seorang tinggi besar bersenjata kapak. Sedang Fajar Legawa

dengan pedang pinjaman dari Nawang Wulan melawan seorang berewok yang bersejata

sabit besar.

Mereka berkelahi seorang lawan seorang. Dan Danurwenda berdiri mengamati

penuh perhatian. Sedang Gadung Melati, masih tetap duduk bersila sambil mengaturhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pernapasan.

Sesungguhnya Gadung Melati sendiri tidak menduga akan terlibat perkelahian

dengan empat orang itu. Tadi, ketiga ia meninggalkan Wukirsari dan yang lain seraya

memondong Nawang Wulan, ia sudah bermaksud untuk terus pulang ke rumahnya. Akan

tetapi karena N wang Wulan masih pingsan dan tenaganya sendiri belum pulih

seluruhnya, maka orang tua berwajah jelek ini mencari tempat untuk mengaso.

Tetapi ketika Nawang Wulan siuman, gadis ini amat terkejut menyaksikan seorang tua

berwajah buruk duduk di sampingnya. Pengalaman sebelumnya masih memenuhi

dadanya, yang dikejar-kejar oleh Putut Jantoko, menyebabkan gadis ini cepat melompat

dan menghunus pedang.

Melihat sikap gadis itu, Gadung Melati terkejut akan tetapi hanya sejenak. Kakek

ini ketawa terkekeh, dan kemudian berkata lembut. "Anakku, sabarlah! Apakah sebabnya

engkau menghunus pedang? Lupakah engkau padaku?"

Mendengar suara seorang yang lembut, Nawang Wulan urung menggerakkan

pedangnya. Tetapi sebagai seorang gadis, ia masih belum percaya. Sepasang matanya

mengamati pakaian yang melekat pada tubuhnya.

Gadung Melati dapat menangkap kecurigaan gadis itu. Maka ia ketawa terkekeh

lagi, lalu katanya menghibur. "Heh-heh-heh, anakku, engkau tidak usah curiga dan

khawatir. Percayalah engkau, bahwa aku bermaksud baik padamu. Engkau anakku, dan

engkau sudah aku ambil sebagai anak angkat."

"Tidak!" pekik Nawang Wulan. "Dimanakah ibuku?"

"Wulan," kata Gadung Melati dengan sikap yang tetap sabar, "cobalah sekarang

iu kumpulkan ingatanmu. Apa sajakah yang engkau alami pada hari ini?"

Nawang Wulan terkesiap, kemudian menundukkan kepala dan berusaha

mengumpulkan ingatannya. Beberapa saat kemualan gadis ini segera ingat kembali apa

yang dialami. Tak salah lagi, bahwa ibunya tadi telah melepaskan napas penghabisan

dalam pelukannya, tiba-tiba saja tubuh gadis ini tergetar hebat, lalu jatuh terduduk dan

meratap. "Ibu.........ibu......... mengapa engkau pergi .........? Ibu.........aku ikut........."

Tidak terduga sama sekali pedang telanjang ditangannya itu sudah bergerak cepat

sekali, menusuk dada. Untung Gadung Melati waspada dan bertindak. Ujung pedang

urung menancap dadanya, malah kemudian berhasil direbut oleh Gadung Melati.

"Anakku, jangan!" hibur Gadung Melati halus, dengan sikapnya yang amat kasih.

"Engkau jangan cepat putus asa dan gelap mata. Anakku, relakanlah ibumu yang sudah

pergi mendahului. Relakan ibumu yang tewas sebagai seorang wanita gagah. Anakku,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

akulah yang menggantikan ibumu ........akulah ayah dan orang tuamu........."

Gadung Melati yang memang berperasaan halus, berhati baik dan jujur itu, hampir

saja tidak kuasa menahan runtuhnya air mata. Adapun Nawang Wulan sekarang

menutup mukanya sendiri dengan telapak tangan sambil tersedu-sedu. Gadis ini amat

berduka ditinggal mati ibunya. Betapa tidak? Ayahnya sudah lebih dahulu gugur, dan

sekarang ibunya menyusul.

Gadung Melati membiarkan gadis itu menangis agar menjadi puas. Baru sesudah

agak lama, Gadung Melati kembali menghibur dengn kata-kata halus. Oleh kesabaran dan

ketelatenan Gadung Melati, akhirnya berhasil jugalah orang tua ini menghibur Nawang

Wulan. Namun demikian Nawang Wulan menurut kepada Gulung Melati, mengajak

kembali ke tempat perkelahian, untuk dapat menjenguk makam ibunya.

Gadung Melati terpaksa mengabulkan permintaan ini sekalipun hatinya terasa

berat. Tetapi sesudah Nawang Wulan tiba di tempat ibunya dimakamkan, gadis ini

hampir tidak kuasa menguasai diri dan perasaannya. Gadis ini menangis, menjerit-jerit

dan meratap-ratap. Membuat Gadung Melati yang wataknya welas asih amat terharu.

Malah hampir pula ia ikut menangis.

Memang bisa dimengerti apabila Gadung Melati tidak kuasa menahan diri

berhadapan dengan gadis menangis. Soalnya sampai menjadi kakek-kakek sekarang ini,

ia belum pernah kawin, Ia belum pernah pula merasakan bersanding dengan isteri dan

menimang bayi. Maka melihat kesedihan Nawang Wulan ini ia ikut menderita. Akan

tetapi sekalipun begitu, ia masih dapat pula berusaha menghibur dan membujuk.

Dan ternyata kemudian di samping makam ibunya ini, Nawang Wulan mogok. Ia

tidak mau berdiri dan meninggalkan makam ibunya. Gadung Melati berusaha membujuk

dan menghibur, namun usahanya tak juga berhasil. Nawang Wulan bertekat akan tetap

duduk di tempat itu dan menunggu makan ibunya.

Gadung Melati hampir kewalahan dalam usahanya membujuk gadis ini, dan

hampir putus asa pula. Untung bahwa kemudian kakek berwajah buruk ini menemukan

akal. Bujuknya. "Wulan marilah kita segera pergi. Hari sudah hampir gelap, dan aku

takut........."

Pada mulanya Nawang Wulan tidak menggubris. Tetapi ketika Gadung Melati

sengaja mengulang-ulang kata takut itu, dengan terisak Nawang Wulan bertanya. "Paman

takut apa? Apakah ibu yang sudah mati itu, kemudian akan menjelma menjadi hantu?"

"Ah.......bukan ibumu........." sahut Gadung Melati. "Tetapi aku takut kepada dia

tadi siang. Kepada musuh itu........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Diingatkan tentang Klenting Mungil dan Putut Jantoko, mendadak saja gadis ini

tampak gugup. Apabila musuh yang ditakutinya itu mengganggu lagi, niscaya orang tua

yang sekarang berusaha menolong dirinya ini, akan menjadi korban pula. Tiba-tiba saja

timbullah rasa yang tidak rela apabila Gadung Melati menjadi korban Klenting Mungil

dan Putut Jantoko. Maka kemudian sekalipun hatinya merasa berat meninggalkan

makam ibunya, pada akhirnya Nawang Wulan menurut pula di ajak pergi. Demikianlah,

dua orang itu kemudian melangkah beriringan meninggalkan tempat itu.

Sayang sekali bahwa jalan yang ditempuh Gadung Melati ini berlainan dengan

jalan yang ditempuh Wukirsari. Hingga diantara mereka tidak saling berjumpa. Apabila

kemudian Fajar Legawa dan Tumpak Denta tiba di desa Sumberrejo, sebaliknya Gadung

Melati dan Nawang Wulan menuju desa lain.

Akan tetapi ketika Gadung Melati bersama Nawang Wulan mendekati desa itu,

mereka amat terkejut. Dari dalam desa itu terdengarlah suara yang gaduh oleh jerit dan

tangis orang, Gadung Melati tergerak, maka bersama Nawang Wulan segera masuk desa

itu, ingin tahu apa yang terjadi.

Apa yang kemudian mereka liha? Dua orang laki-laki bersenjata sedang menyeret

dua orang wanita muda. Dan dilihatnya pula tiga orang laki-laki roboh dan mengerang-

erang kesakitan tidak jauh dari tempat itu, dan disamping itu juga tampak seorang wanita

setengah baya menggeletak tak berkutik.

Desa itu tampak sepi. Rumah orang tertutup rapat seakan kosong. Menyaksikan

kesewenangan itu. Gadung Melati cepat marah. Ia menggeram, melompat dan memukul

salah seorang. Nawang Wulan tak mau tinggal diam, iapun sudah mencabut pedang

kemudian menerjang pula.

Melihat bahaya mengancam, laki-laki tersebut melepaskan wanita yang diseret

sambil menghindarkan diri, namun karena takut, maka dua orang laki-laki ini tidak

melawan, hanya kemudian melarikan diri.

Gadung Melati yang sudah marah tidak mungkin mau membiarkan mereka pergi.

Maka bersama Nawang Wulan, mereka mengejar. Dan akhirnya sampailah mereka pada

dataran di dekat ladang luas. Dua orang laki-laki itu bersuit nyaring dan tak lama

kemudian muncullah dua orang laki-laki lain dari balik batu. Tidak jauk dari tempat itu,

tampak pula empat ekor kuda bagus, sedang asyik makan rumput.

Secara kebetulan tempat yang mereka pergunakan berkelahi itu tidak jauh dengan

desa Sumberrejo. Hingga petugas desa Sumberrejo sempat mengetahui pula.

Tetapi empat orang itu bukanlah penjahat gunung Ungaran. Dan sebenarnya saja

mereka bukanlah penjahat, dan mereka datang dari tempat jauh. Mereka berasal darihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ujung timur pulau Jawa. Mereka prajurit-prajurit terpilih dari Belambangan, sebagai

utusan Adipati menuju Mataram. Mereka penyelidik, justeru antara Mataram dengan

Belambangan masih tetap bermusuhan.

Sesungguhnya Belambangan selalu siap siaga menghadapi penyerbuan Mataram.

Akan tetapi ternyata Sultan Agung yang telah berhasil menundukkan para Bupati dan

Adipati wilayah timur itu, tidak menyerbu ke Belambangan. Kadipaten ini tetap merdeka

tidak tunduk kepada Mataram. Dan untuk memperkuat diri, kemudian Adipati

Belambangan menjalin kerja sama dengan para raja Bali.

Dalam mehadapi ancaman Mataram yang dapat terjadi setiap saat itu, maka

Belambangan memperkuat diri. Memperkuat balatentara dan memperkuat benteng untuk

menanggulangi penyerbuan Mataram. Dan merupakan keuntungan bagi Belambangan

ini, bahwa hubungan di darat dengan daerah lain dipisahkan pegunungan yang sulit

diterobos. Justeru menggantungkan kepada benteng alam inilah maka adipati

Belambangan tidak sudi tunduk kepada Mataram.

Keuntungan lain yang diperoleh Belambangan, justeru di saat ini Kumpeni

Belanda semakin memperluas daerah pengaruhnya. Maka segala daya dan kekuatan

Mataram ditujukan kepada Kumpeni Belanda, sehingga tidak sempat memperhatikan

Belambangan.

Sebagai utusan Adipati Belambangan, maka empat orang ini bukanlah orang-

orang sembarangan. Dalm perjalanan ini, empat orang itu tersesat jalan dan lewatlah

mereka di tempat ini. Kemudian mereka bermaksud melepaskan lelah dan dua orang

kawannya ditugaskan mencari tempat menginap dalam desa. Pergilah kemudian dua
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang ini menuju desa. Tetapi secara kebetulan, mereka lewat tidak jauh dari sumbar air.

Mereka menyaksikan seorang perawan desa yang sedang mengambil air. Dan celakanya

pula, selera dua orang ini timbul untuk mengunakan kesempatan baik itu. Mereka cepat

menyelinap agar dapat menangkap perawan itu secara mudah. Akan tetapi celakanya

perawan itu membawa seekor anjing yang setia. Ketika anjing itu melihat orang yang

mencurigakan, anjing itu segera menggonggong. Membuat si perawan kaget, dan larilah

perawan ini ke arah desa sambil menjerit minta tolong.

Jerit Perawan itu menyebabkan kaget dan orang dalam desa itu, cepat bersiap diri.

Mereka segera mengira bahwa penjahat gunung Ungaran datang dan mengganggu. Akan

tetapi sayang, bahwa orang desa itu hanya mengandalkan kepada keberanian dan jumlah

banyak. Dengan mudah orang-orang desa itu dihalau. Dalam waktu singkat belasan orang

sudah roboh terluka dan tewas. Mereka yang nekat maju hanya untuk roboh atau mati.

Akibatnya para penduduk menjadi giris, lalu lari terserabutan bersembunyi.

Tetapi justeru marah dan merasa menang ini, maka dua orang prajurit

Belambangan ini mengamuk. Mereka menggedor sana menggedor sini. Penduduk yanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melawan segera dirobohkan. Tak lama kemudian tibalah dua prajurit ini di rumah seorang

kaya dalam desa ini. Dan sungguh kebetulan, bahwa di situ pulalah perawan yang

menarik hati tadi berdiam. Mereka disambut oleh ayah perawan itu dan keluarganya.

Namun apakah sulitnya dua prajurit Belambangan itu mengalahkan mereka? Dan sesudah

puas menghajar keluarga itu, barulah mereka kemudian menyeret perawan tadi bersama

adiknya.

Sungguh untung bagi gadis dan keluarga itu, bahwa Gadung Melati dan Nawang

Wulan datang dan menolong. Hingga mereka terhindar malapetaka yang lebih

mengerikan.

Itulah sebabnya Gadung Melati dan Nawang Wulan berkelahi dengan mereka.

Dan sekarang, prajurit-prajurit Belambangan itu berhadapan dengan musuh baru. Dan

walaupun mereka berusaha untuk segera dapat mengalahkan lawan, mereka tidak

berhasil. Ternyata murid-murid Gajah Seta dari Merbabu dan murid Suria Kencana dari

Lembah Galunggung itu, merupakan pemuda-pemuda berilmu tinggi.

Sepasang golok Wanengboyo menyambar-nyambar dahsyat sekali. Tenaga

pemuda ini memang kuat, maka setiap sambarannya cukup berbahaya. Pemuda Tohjoyo

dengan canggahnya itupun bergerak dengan cepat. Dan setiap kali berbenturan dengan

tombak dan perisai lawan, terdengarlah suara dencing yang amat nyaring.

Tandang Tumpak Denta tidak kalah dengan yang lain. Gerakannya gesit seperti

burung srikatan. Pedangnya berkelebat kesana kemari menerbitkan angin berdesir-desir.

Hanya saja agak sayang, bahwa tadi siang ia menderita luka dalam dan letih pula. Maka

setiap gerakannya, Tumpak Denta merasakan dadanya sakit dan sesak. Tandang Fajar

Legawa sebagai adik seperguruannya, tidak jauh bedanya. Akan tetapi pengaruh luka

dalamnya yang belum sembuh benar, mempengaruhi pula gerakannya.

Diam-diam empat orang prajurit Belambangan itu mengeluh setelah berhadapan

dengan empat orang muda ini. Sekarang baru terbukalah mata mereka, bahwa kepandaian

yang selalu diagulkan itu belum pantas untuk bersombong diri. Dalam perjalanan ke

Mataram baru sekali ini sajalah mereka terlibat dalam perkelahian. Celakanya sekali

berkelahi telah ketanggor batu keras. Dalam hati mereka segera timbul kekhawatiran,

ternyata bahwa Mataram mempunyai banyak orang sakti mandraguna.

Walaupun begitu mereka masih beruntung. Senjata-senjata mereka dari baja

terpilih dan dikerjakan oleh tukang pandai Belambangan yang ahli. Hingga senjata itu bisa

menolong kerepotannya.

Danurwenda, Nawang Wulan dan Ayu Kedasih yang menonton merasa gemas,

musuh belum dapat dikalahkan. Tangan mereka terasa gatal untuk mencabut senjata

masing-masing. Akan tetapi kalau mereka menerjukan diri ke arena, mereka khawatirhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dituduh mengeroyok.

Tiba-tiba terdengarlah pekik Wanengboyo yang tertahan. Ternyata salah sebatang

goloknya lepas dan tangan. Akibatnya, ia sekarang hanya dapat melawan dengan

sebatang golok.

"Ha-ha-ha," lawannya ketawa bekakakan. "Sura mrata jaya mrata. Inilah

Tumenggung Tohjiwo dari Belambangan. Lebih baik kau menyerah sebelum mampus

dalam tanganku!"

Sesumbar orang itu, yang mengaku seorang Tumenggung dari Belambangan,

kuasa membuat kaget para pemuda ini. Ayu Kedasih yang sudah gemas menjadi marah.

Tentu ia takkan rela suaminya dihina seperti itu. Maka dengan menggeram saking

marahnya, perempuan ini sudah mencabut sepasang golok dan menerjang maju. Golok

pada tangan kiri lebih pendek dibanding dengn golok pada tangan kanan.

"Kakang!" serunya kemudian, "Aku bantu kerepotanmu!"

Golok Ayu Kedasih di tangan kanan sudah mengirimkan bacokan kearah lawan,

dengan gerakan berantai. Sekaligus perempuan ini sudah membacok kepala, pundak dan

lambung orang.

Tumenggung Tohjiwo kaget atas serangan itu. Ia melompat ke belakang, tetapi

dikejar oleh sambaran golok Ayu Kedasih,

Wanengboyo memperoleh kesempatan mengambil goloknya yang tadi lepas. Lalu

teriak pemuda ini. "Ayu! Mundurlah! Seorang diri aku masih sanggup menghajar bangsat

itu!"

"Bagus, heh-heh-heh!" Tumenggung Tohjiwo ketawa terkekeh. "Mundurlah

engkau manis, bagaimanapun aku tak tega akan kecantikanmu. Ha-ha-ha, jangan engkau

memaksa diri melawan aku. Tetapi sebaliknya, percayalah bahwa aku akan sanggup

membahagiakan engkau sebagai Nyai Tumenggung."

"Tutup mulutmu!" teriak Ayu Kedasih yang cepat marah, sedang golok di tangan

kanan kembali menyambar. Memang Ayu Kedasih selalu menggunakan tangan kanan

untuk menyerang. Golok pada tangan kiri itulah yang bertugas untuk menangkis.

Wanengboyo amat marah, sebagai seorang suami, sudah tentu tidak sanggup

mendengar godaan orang terhadap isterinya. Maka dengan menggeram marah sepasang

goloknya sudah menyambar pula dari arah samping.

Akan tetapi dengan senjata kapaknya yang besar, Tumenggung Tohjiwo dapathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melindungi diri. Ia membenturkan kapaknya yang besar itu ke golok Ayu Kedasih. Dan

kemudian gerakan itu diteruskan untuk menangkis pula serangan golok Wanengboyo.

Ayu Kedasih amat terkejut. Benturan itu membuat telapak tangannya panas dan

goloknya hampir terlepas. Tetapi Ayu Kedasih sudah dibakar kemarahan. Ia tidak

menjadi gentar, malah kembali menyerang dengan goloknya. Namun setelah mendapat

pengalaman itu. Ayu Kedasih lebih hati-hati. la tidak berani gegabah membenturkan

senjatanya dengan senjata lawan.

Ayu Kedasih salah seorang murid Ki Hajar Jaladara. Maka sekalipun perempuan,

ketangguhannya bisa dibanggakan, ia dapat menyelenggarakan kerja sama baik sekali

dengan suaminya. Dengan berkelahi bersama-sama ini, mereka dapat menggabungkan

ilmu dari dua perguruan. Ialah perguruan Gajah Seta dan perguruan Ki Hajar Jaladara.

Tumenggung Tohjiwo tak lagi bisa mengejek. Dan sekarang dia harus mengakui

ketangguhan suami isteri muda ini. Tetapi ia menang seorang prajurit Belambangan yang

cukup kuat. Kapaknya yang besardan berat itu menyambar-nyambar menerbitkan angin

dahsyat. Akan tetapi walaupun Tumenggung Tohjiwo seorang tangguh, sulit juga

menghadapi keroyokan suami isteri ini.

Di pihak lain, oleh pengaruh luka dalam siang tadi, membuat Tumpak Denta dan

Fajar Legawa mengeluh. Kalau saja kakak beradik itu tidak terluka dalam, kiranya tidak

akan kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Di antara mereka, yang kedudukannya

seimbang hanyalah Tohjoyo. Antara Tohjoyo dengan lawannya berkelahi sengit sekali

sambil membentak-bentak keras.

Mendadak terdengarlah suara kok kok kok, menyerupai suara katak. Disusul oleh

loncatan dari orang-orang Belambangan.

"Ayaa!" Seru Tumpak Denta agak terkejut sambil memutarkan pedangnya seperti

baling-baling. Menyusul terdengarlah suara tring tring tring tiga kali, dan jatuhlah senjata

rahasia yang menyerang kearah dirinya.

Ternyata bahwa suara seperti katak tadi merupakan aba-aba, untuk melepaskan

senjata rahasia. Dan ketika lawan kaget dan sibuk menangkis, mereka menggunakan

kesempatan untuk mengambil langkah seribu. Secepat kilat empat orang itu sudah

meloncat ke punggung kuda masing-masing, kemudian melarikan diri secepat terbang.

Semua berusaha untuk mengejar. Mereka tidak rela untuk melepaskan musuh-

musuh itu. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka mengejar, tiba-tiba terdengarlah

suara kentong titir tanda bahaya.

"Celaka!" teriak Danurwenda. Kemudian ia membalikkan tubuh, lalu lari secepathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

terbang menuju desa Sumberrejo.

Yang lain tidak terkecuali. Mereka kaget dan berbalik arah. Seakan mereka berlomba lari.

Mereka mengerahkan kepandaian mereka lari, kejar mengejar dan saling susul menuju

desa Sumberrejo. Mereka insyaf bahwa tanda bahaya itu, tentu akibat gangguan penjahat

gunung Ungaran.

NAMUN Gadung Melati dan Nawang Wulan tidak ikut serta berlarian menuju

desa Sumberrejo. Gadung Melati yang sudah dapat mengusir sesak dadanya, berdiri dan

mengamati mereka yang berlarian seperti dikejar iblis. Nawang Wulan mengamati

Gadung Melati dengan pandang mata bertanya-tanya. Mengapa orang tua ini tidak

mengikuti jejak mereka?

"Mengapa kita tidak ikut mereka, paman......?" tanya Nawang Wulan kemudian.

"Salah!"

Nawang Wulan heran. "Apa yang salah?"

"Sebutanmu padaku itulah yang salah," sahut Gadung Melati. "Apakah sebabnya

engkau menyebut aku paman?"

Nawang Wulan nampak bingung. Kalau tak boleh menyebut paman, habis disuruh

menyebut apa?"

Gadung Melati ketawa sejuk. Kemudian kata orang tua ini. "Engkau harus merasa

sebagai anakku. Tetapi disamping itu engkau harus merasa pula sebagai muridku. Sebab

aku mendapat penyerahan dari ibumu, untuk mendidik dan membimbingmu, agar engkau

kelak kemudian hari menjadi seorang wanita yang berguna dan dihormati orang."

Gadung Melati berhenti sambil mengamati gadis itu. Baru beberapa saat kemudian

ia melanjutkan. Tahukah engkau bahwa sekalipun perempuan, perlu juga memiliki

kepandaian? Agar laki-laki tidak menganggap dirimu lemah dan tidak berguna? Ingatkah

engkau kepada puteri-puteri prajurit seperti Srikandi dan Larasati? Ahh.........itu terlalu

jauh. Aku ambilkan saja contoh pada jaman kini. Ialah Ratu Wandansari isteri Pangeran

Pekik, Adipati Surabaya. Dia seorang wanita, tetapi prajurit yang hebat. Dialah

sesungguhnya yang berhasil memimpin prajurit Surabaya memukul Giri, sehingga Sunan

Giri menyerah."

Nawang Wulan terlonggong mendengar kata-kata Gadung Melati ini. Tetapi

meskipun perempuan ia seorang gadis yang tahu diri. Ia seorang yang cerdas dan cepat

dapat menangkap maksud orang. Maka cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut.

Katanya kemudian. "Bapa, terima kasih atas kepercayaan bapa kepada saya. Sejak malam

ini murid bersumpah. Bahwa kedudukan saya sekarang sebagai anak pungut sekaligus

murid. Dan sudah tentu anak akan selalu tunduk kepada bapa."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Heh-teh-heh," Gadung Melati ketawa terkekeh-kekeh senang sekali. Kemudian

ia membimbing Nawang Wulan supaya berdiri. Pujinya. "Kau anak yang baik. Dan Allah

telah mempertemukan aku dengan engkau. Hingga kesedihanku sekarang terhibur,

walaupun Pertiwi Dewi telah pergi. Kau akan menggantikan dia, anakku."

Nawang Wulan belum pernah kenal kepada nama orang yang disebut-sebut

Gadung Melati itu. Akan tetapi diam-diam ia sudah dapat menduga, bahwa nama yang

disebut tadi adalah murid orang tua ini.

Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Mereka berdiri bagai patung. Tetapi

agaknya Nawang Wulan tidak kuat untuk berdiam diri, tidak bertanya. "Bapa, pertanyaan

saya belum bapa jawab. Apa sebabnya kita tidak ikut mereka? Bukankah tenaga kita

diperlukan pula orang-orang desa itu?"

"Sesungguhnya aku merasa berat," Gadung Melati menghela napas.

"Apakah sebabnya? Kita toh berbuat baik untuk menolong mereka yang

membutuhkan pertolongan bapa. Mengapa bapa merasa berat menolong orang?"

"Wulan, bukanlah aku berat untuk menolong orang," sahut Gadung Melati.

"Tetapi aku merasa berat karena di antara mereka itu terdapat seorang pemuda bernama

Fajar Legawa."

"Mengapa dia?" desak Nawang Wulan tambah heran.

Gadung Melati menghela napas panjang. Kemudian ia memandang gadis ini lama

sekali, baru ia menjawab. "Karena aku khawatir........."

"Mengapa khawatir?" desak gadis ini lagi.

"Khawatir engkau terpikat kepada dia."

Nawang Wulan terkesiap. Ia mengamati Gadung Melati dengan sepasang mata

yang heran. Tetapi juga merasa tersinggung dan terhina. Hanya karena orang tua ini sudah

menjadi ayah angkat dan juga gurunya, ia tidak bisa marah. Maka kemudian gadis ini

hanya menangis.

Gadung Melati kaget. Ia menjadi heran mengapa Nawang Wulan menangis?

Hiburnya kemudian. "Eh Wulan, kenapa engkau?"

Tetapi Nawang Wulan tidak menjawab. Dengan telapak tangan ia menutupi
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mukanya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aihh, kau tersinggung?" Gadung Melati seperti baru sadar. "Wulan, maafkan

aku. Aku tidak sengaja menyinggung hatimu, tetapi aku memang khawatir kalau sampai

kehilangan engkau. Wulan, ketahuilah bahwa Pertiwi Dewi mengalami derita dan

mendapat celaka, bukan lain karena tertarik kepada pemuda itu. Maka khawatir apabila

peristiwa itu sampai terulang lagi."

Sekalipun Nawang Wulan tidak tahu terjadinya peristiwa yang menimpa Pertiwi

Dewi, tetapi ia sudah dapat memaklumi maksud orang tua itu. Ia kemudian berhenti

menangis. Ditatapnya wajah ayah angkatnya yang jelek itu. Lalu, "Jadi, bapa curiga

padaku?"

"Siapa yang curiga? Tidak! Tetapi aku tidak menginginkan peristiwa menyedihkan

itu terulang lagi, anakku. Aku tidak benci kepada pemuda itu. Akan tetapi aku tidak ingin

engkau tertarik dan jatuh cinta kepada dia, dan tidak menginginkan pula dia menjadi

menantuku."

Gadung Melati adalah seorang kakek yang jujur dan lebih suka blak-blakan.

Pengalamannya dengan muridnya Pertiwi Dewi merupakan pengalaman yang amat

pahit. Dan dia tidak menghendaki peristiwa itu terulang lagi. Dan sebabnya Gadung

Melati segera menuduh Nawang Wulan tertarik kepada Fajar Legawa, karena sikap

Nawang Wulan yang selalu mencari perhatian pemuda itu, dengan meminjamkan

pedangnya.

Padahal Nawang Wulan tidak berpikir sejauh itu. Apa yang tadi dilakukan adalah

terdorong oleh rasa setia kawan, ia telah merasa berhutang budi ketika sedang

menghadapi keroyokan penjahat anak buah Juru Demung.

"Bapa tak perlu khawatir," kata gadis ini kemudian. "Sebab aku masih belum

sempat memikirkan tentang itu."

Gadung Melati terkekeh. Katanya. "Aku belum puas akan jawabanmu. Sekarang

tidak, tetapi siapa tahu belakang hari?"

"Ahhh........." Nawang Wulan berseru kaget, tetapi kemudian menjadi jengkel.

"Habis bagaimanakah aku harus menjawab?"

Gadung Melati tidak mendesak lebih lanjut. Kakek ini kemudian merasa puas juga

atas jawaban itu. Iapun kemudian merasa bahwa memang sulit Nawang Wulan harus

menjawab pertanyaannya. Maka kata kakek ini kemudian. "Baiklah Wulan, marilah kita

sekarang pergi dan membantu mereka."

Nawang Wulan tersenyum manis dan wajahnya berseri. Tanpa mengucapkan

kata-kata lagi, gadis ini sudah melompat mendahului. Gadung Melati terkekeh, kemudianhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

iapun mengejar anak angkatnya. Dalam waktu singkat kakek ini telah dapat mengejar

Nawang Wulan. Dan tiba-tiba saja tangan kakek ini telah menggapit tangan Nawang

Wulan sambil berkata, "Mari kita percepat lari kita,Wulan."

Dengan dibimbing Gadung Melati, gadis ini merasa seperti terbang. Dalam hati

merasa kagum dan bangga akan kesaktian ayah angkatnya. Dalam hati kemudian timbul

rasa yakin, bahwa kemudian hari ia akan dapat mewarisi kepandaian ayah angkatnya ini.

Hati Nawang Wulan menjadi sejuk. Kepergian ibunya sekarang telah mendapatkan ganti

seorang pelindung yang dapat dipercaya.

Ketika mereka sudah dekat dengan desa Sumberrejo, terdengarlah kegaduhan di

sana sini tampak obor kayu yang menyala, disamping suara dencing senjata perkelahian.

"Mereka berkelahi," desis Nawang Wulan.

"Ya, mereka sudah berkelahi," kata Gadung Melati. "Tetapi bagaimanapun

engkau harus hati-hati Wulan, dan jangan terlalu jauh dengan aku."

"Bapa khawatir?"

"Tentu saja! Penjahat gunung Ungaran itu amat berbahaya. Dan orang yang

bernama Jalu Gigis serta Dyah Raseksi itu tidak mudah untuk dilawan. Sebab aku

memang sudah pernah berhadapan dengan mereka."

"Di mana, ayah?" Nawang Wulan kaget, tetapi juga tertarik.

"Di sarang mereka! Tetapi ah, sudahlah. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.

Aih...hatiku menjadi sedih lagi........."

Nawang Wulan tidak mendesak. Maka gadis ini hanya melangkah tanpa

membuka mulut.

"Ha, ternyata benar kataku," desis Gadung Melati tiba-tiba. "Jalu Gigis ikut serta."

Tiba-tiba saja tubuh yang bundar seperti bola itu sudah melompat untuk

melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi Gadung Melati terpaksa harus memukul ke

kanan dan ke kiri untuk menghalau setiap penjahat yang berusaha menghalangi. Ia

langsung menuju ke tempat Jalu Gigis berkelahi dan dikeroyok. Ia merasa tak sampai hati

membiarkan tiga orang muda melawan Jalu Gigis kesulitan.

Memang sesungguhnyalah, keadaan Danurwenda, Tohjoyo dan Wanengboyo

sudah benar-benar payah, terdesak oleh Jalu Gigis. Serangan-serangan mereka selalu

tertahan sesuatu yang licin dan arahnya kemudian menyeleweng. Sama sekali tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mereka sadari bahwa mereka menghadapi seorang sakti-mandraguna yang memiliki aji

"Welutputih".

Sesungguhnya baru malam ini sajalah Jalu Gigis memimpin penjahat-penjahat

Ungaran melakukan kejahatannya. Pada biasanya, cukuplah mereka bergerak sendiri

tanpa pimpinan.

Memang ada sebabnya. Ia mendapat laporan dari seorang penjahat yang

menyelidik, bahwa desa Sumberrejo memperkuat dan mempersiapkan diri. Penduduk itu

dibantu oleh murid-murid Gajah Seta dari Merbabu. Mendengar ini Jalu Gigis menjadi

marah. Maka gerakan malam ini, dialah yang memimpin. Ia penasaran sekali oleh

kelancangan orang-orang desa ini yang berani melawan gerombolannya. Dan maksudnya

sudah tentu, ia ingin menunjukkan kekuatannya.

Ketika Jalu Gigis melihat Gadung Melati, maka penjahat ini ketawa terkekeh-

kekeh mengejek. "Heh-heh-heh. Engkau juga datang kemari? Bagus! Hayo, terjun dan

keroyoklah aku!"

Malam ini, kesehatan Gadung Melati terganggu. Diam-diam kakek ini menyadari

bahwa seharusnya, tidak boleh berkelahi lagi. Ia harus istirahat yang cukup. Namun

sebagai seorang yang mempunyai harga diri, ia tidak sedia dianggap sebagai seorang

pengecut. Ia tidak akan sudi menghadapi Jalu Gigis dengan keroyokan. Dan kalah atau

menang, ia harus melawan seorang diri.

"Mundur!" seru kakek ini kemudian. "Penjahat tua ini bagianku. Huh, tua sama

tua!"

Danurwenda, Tohjoyo dan Wanengboyo tidak membantah. Mereka kemudian

melompat mundur dan memberi kesempatan kepada Gadung Melati untuk menghadapi

Jalu Gigis. Tetapi mereka bukannya berpangku tangan. Mereka ini kemudian mengamuk

untuk menghalau para penjahat kecil.

Agaknya malam ini Jalu Gigis mengerahkan anak buahnya. Jumlah penjahat itu

tidak kurang dari tiga puluh orang, malah kebanyakan dari mereka memiliki kepandaian

lumayan.

Perkelahian itu amat gaduh. Mereka berkelahi sambil mengucapkan kata-kata

kotor. Mengapa begitu? Bukan lain karena para penjahat ini melihat wajah cantik dua

orang perempuan, Nawang Wulan danAyu Kedasih.SengajaMereka mengucapkan kata-

kata kotor itu, untuk memancing lawan marah.

Tentu saja pancingan mereka itu berhasil membangkitkan amarah Nawang Wulan

dan Ayu Kedasih. Dua orang perempuan ini merasa tersinggung dan terhina. Makahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mereka berkelahi dengan dada seperti mau meledak, mengamuk dan tidak

memperhitungkan bahaya yang setiap waktu bisa mengancam keselamatan mereka

sendiri. Dua orang perempuan ini berkelahi seperti banteng ketaton. Mereka terus

mendesak dan senjata masing-masing menyambar dahsyat. Dan sebagai akibat rasa

marah yang menggelega kdalam dada ini, baik Nawang Wulan maupun Ayu Kedasih

seperti lupa diri. Musuh yang melompat mundur selalu dikejar dan didesak terus. Tanpa

terasa, penjahat yang dihadapi telah memisahkan diri dengan yang lain.

Orang lain kurang perhatian justeru menghadapi lawan. Dengan semangat yang menyala

pula, para pemuda itu ingin membunuh penjahat sebanyak-banyaknya. Tohjoyo yang

mendendam sakit hati menggerakkan senjatanya dengan semangat menyala, dan seakan

ia melihat kembali ayahnya yang mati terbunuh oleh keroyokan para penjahat. Dengan

mengandalkan tenaganya yang kuat, setiap kali membentur senjata lawan, gerakan itu

diteruskan untuk menikam. Tombak trisulanya atau canggah itu sudah bernoda darah

merah. Ia telah berhasil melukai dua orang lawan. Namun ia takkan puas sebelum dapat

membunuh belasan orang penjahat sebagai pengganti nyawa ayahnya.

Jalu Gigis mengandalkan kekebalan tubuhnya oleh aji "Welut Putih", menghadapi

Gadung Melati dengan gagah. Baru berkelahi belasan jurus, Gadung Melati sudah mulai

terdesak, karena dada kakek ini sesak kembali akibat luka dalamnya yang belum pulih.

Jalu Gigis gembira. Ia berusaha mendesak dengan pukulan-pukulan yang mematikan.

Dan apabila kakek ini telah roboh, ia akan dapat dengan mudah membunuh setiap orang

yang berani menghadapi. Diantara musuhnya pada malam ini, hanya Gadung Melati

inilah satu-satunya orang yang berisi.

Sadar akan keadaannya Gadung Melati tidak berani sembrono lagi.

Engalamannya adi iang, yang roboh ditangan Klenting Mungil, bukan lain akibat dirinya

segan menggunakan aji pukulan yang bernama "Bramastra". Dan apabila malam ini ia

harus menahan diri dan tidak menggunakan ilmu tersebut, ia maklum takkan dapat

melihat matahari esok pagi. Sadar akan keadaannya, mendadak saja Gadung Melati tidak

sungkan-sungkan lagi. Pukulannya tiba-tiba saja mengandung hawa panas. Dan

walaupun Jalu Gigis dilindungi aji kesaktian "Welut Putih", tidak urung Jalu Gigis

mengeluh kepanasan.

Tanpa terasa malam sudah hampir fajar. Tetapi perkelahian itu masih berlangsung

sengit sekali, semakin dingin, akan tetapi mereka mandi keringat.

Belasan penjahat telah roboh oleh amukan pemuda-pemuda murid Suria Kencana

dan Gajah Seta itu. Akan tetapi karena melihat Jalu Gigis masih tetap berkelahi, maka

tidak seoranpun diantara mereka yang berani mundur. Mereka terus berkelahi, walaupun

sesungguhnya hati sudah merasa miris, melihat banyak temannya sudah roboh.

Namun sebaliknya korban para penduduk juga tidak sedikit. Ketika Danurwenda

dan yang lain tadi belum datang, para penduduk sudah melakukan perlawanan. Tetapi

perlawanan penduduk itu merupakan lawan yang empuk. Sehingga dalam waktu singkathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sudah banyak penduduk desa yang roboh tewas.

Sekalipun demikian para penduduk desa itu tidak kenal takut. Mereka bersiap diri

di luar arena sambil mempersiapkan senjata masing-masing. Busur dan anak panah telah

siap sedia pula, sehingga setiap saat akan sanggup menghujam anak panah kepada para

penjahat itu.

Sementara itu Wanengboyo yang sibuk melawan, mendadak ia kaget ketika

melihat isterinya tidak tampak. Ia terkejut dan wajahnya pucat. Maka setelah menghalau

lawan sampai mundur, secepat kilat Wanengboyo melompat keluar arena. Tingkah

Waneneboyo ini semula membuat Fajar Legawa heran. Tetapi ketika ia menggunakan

kesempatan melihat keadaan, pemuda inipun menjadi kaget dan khawatir, ketika tidak

melihat Ayu Kedasih dan Nawang Wulan.

Perlahan tetapi pasti. Ayu Kedasih maupun Nawang Wulan telah dipancing

menjauhi arena perkelahian. Para penjahat gunung Ungaran ini merasa pasti, dua orang

perempuan ini dengan gampang akan bisa ditangkap.

Tiba-tiba saja terdengarlah pekik Ayu Kedasih yang nyaring. Perempuan ini

menjerit, karena goloknya terlepas dari tangan akibat pengaruh bauyang memuakkan

sehingga kepala perempuan ini terasa pening. Mengapa? Sebagai seorang perempuan, ia

tidak bedanya dengan yang lain. Ia akan menjadi jijik apabila menghadapi ular. Para

penjahat itu sekarang telah menggunakan ular-ular hidup untuk menghadapi Ayu

Kedasih, yang dipegang pada ekornya. Mulut ular itu terbuka lebar sambil menyemburkan

bisa, disamping pula berusaha mematuk dan menggigit Ayu Kedasih.

Wanita manakah yang tidak jijik dan ngeri berhadapan dengan ular? Maka dalam

keadaan jijik ini, para penjahat menggunakan kesempatm untuk memukul senjata Ayu

Kedasih runtuh dari tangan.

Keadaan Nawang Wulanpun tidak jauh bedanya. Hanya saja gadis ini tidak

menjerit sekalipun ngeri dan muak, menghadapi keroyokan ular hidup. Akan tetapi

walaupun begitu, gerakannya juga menjadi kacau. Ia melawan secara nekad dan terancam

oleh bahaya.

Jerit Ayu Kedasih itu bukan melulu membuat Wanengboyo kaget. Akan tetapi

yang lain demikian pula. Mereka semua marah sekali dan berusaha menolong dua orang

perempuan itu. Sayang, para penjahat yang lain berusaha menghalangi.

Wanengboyo yang mengkhawatirkan keselamatan isterinya, melawan dengan

nekat. Karena kurang hati-hati ini, pundak kirinya tergores pedang salah seorang

penjahat. Darah merah mengucur deras dari luka, dan baju Wanengboyo merah bernoda

darah. Tetapi lukanya ini tidak menyebabkan Wanengboyo gentar. Ia mengamuk hebat.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ia tidak takut sama sekali mengha-dapi lawan dalam usahanya untuk menyelamatkan

isterinya.

Fajar Legawa juga amat khawatir melihat Nawang Wulan terdesak hebat. Ia tidak

tega. Gadis itu baru tadi siang kehilangan ibunya, berarti sekarang ini sudah yatim piatu.

Walaupun antara dirinya dengan gadis itu tidak mempunyai hubungan apa-apa, akan

tetapi sebabnya gadis ini sekarang terancam oleh bahaya bukan lain akibat memberi

bantuannya untuk penduduk desa Sumberrejo ini.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam kekhawatirannya dan terdorong oleh rasa gugup ini, Fajar Legawa menjadi lupa

akan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Yang pokok bagi dirinya sekarang ini harus

dapat menolong dan menyelamatkan gadis itu. Ia cepat memindahkan pedang pinjaman

dari seorang penduduk, justeru pedang Nawang Wulan tadi sudah dikembalikan kepada

pemiliknya ke tangan kiri. Disusul tangan kanan sudah mencabut tongkat dari

pinggangnya. Begitu tongkat ini bergerak menangkis, menyusul terdengar suara senjata

yang patah, disusul oleh pekik kaget orang.

Fajar Legawa mengamuk seperti banteng ketaton. Tongkat pada tangan kanan dan

pedang pada tangan kiri bergerak tidak kenal ampun. Mereka yang berani menghalangi

segera roboh mandi darah. Dalam waktu singkat beberapa orang penjahat kehilangan

senjata, wajah mereka pucat kemudian melompat mundur. Mereka menjadi kecut, para

penjahat itu menjadi takut dan tidak berani mendekati Fajar Legawa ini. Dan kesempatan

ini tidak disia-siakan oleh Fajar Legawa, segera melompat ke arah Nawang Wulan yang

sudah kepayahan.

Waktu itu keadaan Nawang Wulan memang sudah berbahaya. Gerak

perlawanannya kacau disamping gadis itu sendiri sudah hampir kehabisan tenaga. Oleh

desakan lawan gadis ini mundur terus kearah bagian yang lebih sempit. Jelas, apabila tidak

segera tertolong, niscaya gadis ini akan celaka.

Fajar Legawa mempercepat serangannya, empat orang penjahat yang semula

mengeroyok Nawang Wulan digempur hebat. Ular di tangan para penjahat yang semula

mematuk, menyambar dan menyemburkan bisa dengan ganas itu, mendadak ketakutan.

Ular itu memberontak lepas, kemudian lari tunggang-langgang. Lepasnya ular tersebut

dari tangan sudah disusul oleh pekik dua orang penjahat. Kemudian penjahat itupun

roboh tidak berkutik di atas tanah.

Agaknya Nawang Wulan memang benar-benar sudah kehabisan tenaga. Tubuh

gadis itu sudah sempoyongan hampir roboh. Untung Fajar Legawa telah datang, dan

dengan gerakan secepat kilat, berhasil memeluk pinggang gadis itu. Dalam keadaan

seperti ini, Fajar Legawa sudah tidak malu lagi untuk memeluk gadis itu. Yang penting

untuk mencegah gadis itu roboh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Wulan.........kau payah.........?" desis Fajar Legawa dengan hati khawatir.

Untung juga bahwa Nawang Wulan segera sadar akan keadaan. Ia menjadi malu,

lalu mendorong Fajar Legawa perlahan, dan pelukan itu lepas.

"Maafkan aku," kata Fajar Legawa.

"Tak apa. Dan terima kasih atas pertolonganmu," sahut Nawang Wulan dengan

hati tidak keruan. Dan setelah hilang rasa kagetnya, gadis ini sudah melompat lagi untuk

menghajar lagi para penjahat.

Tetapi penjahat gunung Ungaran itu sudah menjadi gentar, setelah Fajar Legawa

mengamuk dan mematahkan senjata mereka. Mereka sudah cerai-berai, semangat mereka

runtuh dan berlompatan mundur untuk kemudian lari.

Ketika itu Jalu Gigis dan Gadung Melati masih berkelahi sengit sekali. Berkat

pengaruh aji "Bramastra" saja, Gadung Melati dapat menggempur ketangguhan Jalu

Gigis. Sebab terpanggang oleh sambaran hawa panas itu, menyebabkan Jalu Gigis merasa

gerah dan tenaganya seperti dikuras. Semula Jalu Gigis memang masih berusaha

mengalahkan lawan yang sudah menderita luka dalam itu. Akan tetapi ketika melihat

bahwa anak buahnya sudah runtuh semangat dan berlompatan mundur, iapun

terpengaruh. Kemudian iapun bersuit nyaring. Dan disusul oleh semua penjahat dan Jalu

Gigis sendiri melarikan diri.

Dibawahpimpinan Danurwenda mereka kemudian melakukan pengejaran sampai

jauh keluar desa. Hingga baik Jalu Gigis maupun anak buahnya, lari lintang pukang dan

giris

Ketika mereka sudah berkumpul kembali, Gadung Melati segera minta diri.

Namun Danurwenda, Tohjoyo maupun Wanengboyo amat meminta agar kakek ini tidak

cepat pergi. Mereka amat mohon agar Gadung Melati sedia beristirahat di desa ini. Atas

permintaan mereka itu, Gadung Melati merasa tidak enak hati. Lebih lagi ia sendiri

merasa bahwa luka dalamnya belum sembuh. Maka dengan beristrahat di desa ini, malah

memberi keuntungan kepada dirinya, dapat mengobati luka dalamnya.

Tetapi walaupun demikian, Gadung Melati selalu khawatir saja kalau Nawang

Wulan jatuh hati kepada Fajar Legawa. Bukan benci kepda pemuda itu, akan tetapi

Gadung Melati tidak setuju. Mengapa? Semua itu adalah pengaruh peristiwa

menyedihkan yang sudah menimpa Pertiwi Dewi. Menurut pendapatnya, pertiwi Dewi

yang dikasihi itu tidak mungkin celaka, apabila tidak jatuh hati kepada Fajar Legawa, dan

kemudian berdua pergi ke gunung Ungaran. Oleh pengaruh peristiwa itu, maka Gadung

Melati tidak mengharapkan Nawang Wulan menderita seperti Pertiwi Dewi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Alasan yang cukup aneh! Akan tetapi apa harus dikata kalau Gadung Melati

memang khawatir? Dan oleh alasan ini pula, maka Gadung Melati ingin menjauhkan

Nawang Wulan dari Fajar Legawa.

Mereka kemudian menuju balai desa. Semua tamu di tempatkan di balai desa ini

lalu dipersilahkan istirahat. Hanya Danurwenda, Tohjoyo dan beberapa orangpemuda

desa itu saja yang tidak tidur. Sebagai orang yang merasa bertanggung-jawab, maka

Tohjoyo maupun Danurwenda perlu mengatur keperluan para tamu pada hari itu.

Terdengar kemudian kata Tohjoyo. "Kakang! Apakah engkau sependapat dengan

aku, ada sesuatu yang menarik dalam perkelahian tadi?"

Danurwenda mengamati adik seperguruannya itu seakan ingin menduga apa yang

dimaksud. Tanyanya kemudian. "Apakah yang kau maksudkan itu? Gadis yang bernama

Nawang Wulan itukah maksudmu?"

"Ha-ha-ha," Tohjoyo tertawa sedang Danurwenda pun ikut tertawa, sekalipun

tidak tahu apa yang harus ditertawakan.

"Bukan itu," jawab Tohjoyo. "Tetapi Fajar Legawa yang hebat tadi."

Memang sebenarnya Danurwenda tadi juga menyaksikan, bahwa senjata para penjahat

yang berbenturan dengan tongkat Fajar Legawa segera patah. Sesungguhnya ia heran

juga, mengapa tongkat itu begitu hebat. Sudah tentu sekarang ia menjadi tertarik, setelah

hal ini diajukan oleh Tohjoyo.

"Ya, aku tadi juga menyaksikan." katanya kemudian. "Hebat! Senjata para

penjahat itu segera patah berbenturan dengan tongkat Fajar Legawa. Hemmm, aku tidak

mengerti. Mengapa bisa terjadi demikian?"

"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa lagi. Baru beberapa saat kemudian ia berkata.

"Kakang, entah mengapa sebabnya aku menjadi curiga."

"Siapa yang engkau curigai? Fajar Legawa itukah?" Danurwenda heran dan

melengak.

"Bukan dia. Tetapi tongkatnya itu. Mungkinkah tongkat yang tumpul itu bisa

mematahkan setiap senjata yang membentur? Tidak! aku tidak percaya. Tentu di dalam

tongkat itu terdapat senjata pusaka. Dan kalau sekarang ini orang sedang ramai

membicarakan dua macam senjata pusaka dan saling berusaha mendapatkannya, apakah

kakang tidak berpikir sampai ke situ? Hemm, mungkinkah di dalam tongkat Fajar Legawa

itu disimpan pedang Sokayana atau keris Tilam Upih?"

Danurwenda mengerutkan alis dan berpikir. Beberapa saat kemudian barulah iahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menatap adik seperguruannya ini sambil bertanya. "Maksudmu, adi Fajar Legawa

menyimpan salah satu dari pusaka itu?"

Tohjoyo mengangguk.

"Kalau memang benar demikian, bukankah kita perlu bersyukur dan gembira?"

kata Danurwenda kemudian.

Tetapi Tohjoyo kurang senang. Katanya. "Mengapa sebabnya kakang malah

bersyukur dan gembira? Pusaka-pusaka itu diperebutkan orang, karena dikhabarkan

mempunyai tuah yang amat baik bagi pemiliknya. Dan bukankah gurupun sudah pernah

mengatakan begitu? Kakang, apakah engkau sudah lupa?"

Danurwenda ketawa. Kemudian jawabnya. "Katamu benar adi. Tetapi aku

bersyukur dan gembira, justeru salah satu pusaka ampuh yang diperebutkan orang itu,

sudah jelas dikuasai oleh salah seorang sahabat kita. Alangkah besar manfaatnya pusaka

itu di tangan seperti adi Fajar Legawa. Oleh sebab itu, bagi kita malah wajib pula ikut

mengamankan pusaka itu, agar tidak jatuh ke pihak lain."

"Membantu mengamankan?" Tohjoyo terbelalak heran dan kurang senang. Lalu.

"Apakah kakang sudah tolol dan tidak berusaha untuk dapat memiliki benda pusaka itu?

Dan apakah kakang juga tidak lagi memikirkan kemuliaan hidup?"

Danurwenda mengamati Tohjoyo dengan pandang mata tidak senang. Kemudian

ia memperingatkan. "Adi, engkau perlu berpikir luas. Menohok kawan seiring merupakan

perbuatan tidak terpuji. Dan aku juga perlu memberi nasihat kepadamu, adi. Janganlah

kita hanya memikirkan kepentingan diri. Bagiku, sudah merasa puas dan gembira

kalamana pusaka-pusaka yang diperebutkan orang itu jatuh ke tangan orang baik.

Kemuliaan hidup bukan oleh sesuatu pusaka, tetapi oleh tindak dan perbuatan orang itu

sendiri. Meskipun tidak memiliki pusaka tersebut, orang akan memuliakan engkau apabila

sepak terjangmu selalu mengabdi kepada kemanusiaan. Yang perlu kita cegah adalah

jatuhnya pusaka-pusaka itu ke tangan orang jahat. Karena pusaka-pusaka itu tidak akan

dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Tetapi akan dipergunakan untuk kepentingan dirimu

melulu dan mengorbankan orang lain. Itulah sebabnya aku tadi berkata, wajiblah kita

mengamankan pusaka itu."

"Ha-ha-ha," Tohjoyo tertawa. "Engkau berlagak suci kakang. Hemm, dimanakah

ada orang, yang hidup di dunia ini yang tidak mementingkan kemuliaan diri sendiri."

"Adi, engkau jangan keliru sangka," Danurwenda memberi penjelasan. "Aku

bukan orang suci dan sudah tidak mempunyai sesuatu cita-cita. Hanya saja aku tidak

sependapat apabila dalam mencapai cita-cita itu dengan jalan tidak terpuji. Adi, bukankah

guru sudah banyak memberi nasehat kepada kita, bahwa berbuatlah jujur danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menjauhkan diri dari sifat-sifat tamak? Karena ketamakan itu hanya akan menjerumuskan

kita sendiri ke jurang malapetaka dan bahaya, dan salah-salah malah membuat kita

binasa. Adi, juga kiranya engkau masih ingat akan nasihat guru antara lain. Seorang yang

berakal menghargai persahabatan lebih dari pada apa juga yang lain. Sahabat itulah

tempat berteduh di kala hujan, dan tempat berlindung diwaktu panas. Orang yang

mempunyai sahabat setia, hidupnya akan bahagia."

Ia berhenti, menghela napas dan mengamati Tohjoyo, seakan memberi kesan.

Baru sesaat kemudian ia meneruskan nasihatnya kepada adik seperguruannya ini. "Adi,

ingatkah engkau akan nasihat itu. Dan apabila kita mengharapkan kesetiaan seorang

sahabat, maka kitapun harus setia kepada sahabat itu. Lebih lagi, mari kita mawas diri

bersama-sama. Bukankah adi Fajar Legawa itu dengan tulus ikhlas telah membantu kita

mengusir penjahat gunung Ungaran itu? Bayangkan saja apabila kita tidak mempunyai

sahabat-sahabat setia, apa yang akan terjadi dengan desa ini? Dan justeru oleh bantuan-

bantuan sahabat setia yang tanpa pamrih itu, kita dapat mengusir mereka sehingga sampai

sekarang kita masih dapat menghirup hawa."

Tohjoyo berdiam diri. Kata-kata Danurwenda yang membawa-bawa nasihat

gurunya itu, agaknya menyadarkan Tohjoyo untuk berpikir secara lebih luas. Bukan

hanya berpikir secara sempit dan mementingkan diri. Kemudian ingat pula Tohjoyo akan

nasihat gurunya yang lain. Ialah manusia di dunia ini biasa memberi dan mengikat

pesaudaraan dengan dua barang, jiwa dan harta. Orang yang rela memberikan jiwanya

sebagai penebus jiwa sahabatnya, orang itu adalah orang suci. Orang yang bertolong-

tolongan karena harta, ialah orang yang ingin mendapatkan keuntungan. Itu bukanlah

sahabat sejati, orang yang mau mengerjakan kebajikan karena salah satu keuntungan

dunia, orang itu serupa dengan pemikat yang menyerahkan padi di tanah, bukan karena

hendak berbuat baik kepada burung, tetapi karena hendak mencari untung bagi dirinya

semata-mata. Maka bertolong-tolongan dengan jiwa jauh lebih mulia daripada bertolong-

tolongan denganharta.

Teringat akan nasihat gurunya yang amat berharga ini, Tohjoyo semakin

menyadari akankeadaannya. Fajar Legawa tanpa pamrih telah membantu kerepotanny

amenghadapi gangguan penjahat. Fajar Legawa telah menyerahkan jiwa raganya dalam

ikut serta mengusir penjahat gunung Ungaran yang datang mengganggu. Dan atas

pertolongan orang itu, wajib mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk membalas.

Haruskah air susu itu dibalas dengan air tuba? Haruskah kebaikan Fajar Legawa itu

dibalas dengan kejahatan untuk kepentingan diri?

Tidak! Tohjoyo tidak akan setamak itu kepada seorang yang sudah menunjukkan

kesetiaannya kepada sahabat. Apa pula jika diingat, Fajar Legawa sahabat yang baru

kemarin sore saja dikenal, tetapi sudah begitu jauh pengorbanan yang sudah diberikan

untuk desa kelahirannya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tidak lama kemudian matahari sudah menyinarkan cahaya perakanya. Oleh lelah

semalam, Danurwenda dan Tohjoyo tertidur hanya dengan duduk bersandar pada tiang

pendapa balai desa. Menyebabkan Wanengboyo danAyu Kedasih yang sudah bangun

tersenyum melihatnya.

Tak lama kemudian Nawang Wulan sudah bangun, ia tersenyum manis sambil

mengucapkan selamat pagi kepada Wanengboyo dan Ayu Kedasih. Sedang suami-isteri

inipun menyambut salam itu dengan wajah berseri.

Kemudian Ayu Kedasih mengajak Nawang Wulan menuju sumber air untuk

mandi. Nawang Wulan dengan senang hati menerima ajakan itu. Dua orang wanita ini

kemudian meninggalkan balai desa menuju ke sumber air.

Tetapi entah mengapa sebabnya, setiap Ayu Kedasih memandang Nawang Wulan

timbullah perasaan tidak senang. Perasaan tidak senang itu mulai timbul pada saat
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nawang Wulan memberi pinjaman pedang kepada Fajar Legawa. Ia merasa disaingi,

justeru sebenarnya ia sudah mempersiapkan golok untuk dipinjamkan kepada Fajar

Legawa.

Perasaan tidak senang itu kemudian ditambah dengan terjadinya peristiwa

semalam, Fajar Legawa amat membela kepada gadis ini, dan kemudian malah memeluk

pinggangnya. Dan sekarang perasaan tidak senang itu berkembang menjadi benci. Benci

kepada orang sesama jenis yang berhubungan erat dengan Fajar Legawa.

Dan pagi ini, ia hanya berdua saja dengan Nawang Wulan. Maka pada

kesempatan sebaik ini, terpikir olehnya untuk menunjukkan perasaan yang benci itu.

Akan tetapi untuk secara tiba-tiba mengajak berselisih, Ayu Kedasih merasa kurang tepat.

Karena itu kemudian ia memulai dengan ucapan untuk membakar kemarahan orang.

"Adi," katanya lirih, "lihatlah gunung Ungaran itu. Biru, halus dan sedap

dipandang."

Nawang Wulan tersenyum. Kemudian jawabnya. "Ya, pemandangan itu sungguh

menyedapkan, mbakyu. Dan aku amat terpesona dibuatanya."

"Tetapi keadaan gunung itu akan menjadi jauh berlainan sesudah kita tiba di sana"

Ayu Kedasih memberikan pendapatnya. "Warna yang biru dan bentuknya yang halus itu

akan tidak kita dapatkan lagi. Batu menonjol di sana sini. Dan jurang-jurang dalam amat

mengerikan hati."

"Ya, aku juga heran mengapa keadaan itu bisa berlainan?"

"Di dunia ini bukan hanya gunung yang mempunyai perbedaan seperti itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Keadaan manusiapun sama halnya. Keadaan lahir, belum tentu mencerminkan hatinya.

Ada orang mengatakan bahwa si Anu cantik, tetapi hati si Anu itu belum tentu bersih."

"Ya, mbakyu benar. Sulitlah untuk menilai seorang hanya berdasar keadaan

lahiriah. Orang yang menilai seseorang hanya berdasar keadaan lahiriah, akan mudah

terjebak dan tertipu."

"Apakah maksud mbakyu?"

"Dapatkah menilai seseorang wanita yang baik itu hanya berdasar kecantikannya

dalam arti lahir saja?"

"Sudah tentu tidak! Wanita yang baik dalam arti kata yang sebenarnya, bukan

terletak keayuan dan bentuk wujudnya melulu. Jiwanyalah yang terpenting."

"Dimanakah pencerminan dari jiwa itu?" pancing Ayu Kedasih.

"Dari kata, sikap dan perbuatan orang yang bersangkutan," sahut Nawang

Wulan.

Ayu Kedasih ketawa merdu, sambil melirik kearah Nawang Wulan. "Hi-hi-hik,

katamu benar. Oleh sebab itu seorang wanita yang membiarkan dirinya dipeluk oleh laki-

laki bukan suaminya, maka tindakan wanita itu mencerminkan jiwa yang kotor!"

Dan sesudah mengucapkan kata-katanya ini, Ayu Kedasih ketawa lagi lebih keras.

Nawang Wulan terkesiap, ia merasa disindir oleh ucapan Ayu Kedasih. Sebab semalam,

ketika dirinya terhuyung hampir roboh, ia telah dipeluk oleh Fajar Legawa. Akan tetapi,

pelukan Fajar Legawa itu terjadi diluar kehendaknya, sedang Fajar Legawapun memeluk

dengan maksud untuk menolong. Jadi tidak mempunyai maksud lain yang kotor. Ia

seorang gadis baik-baik, gadis yang masih suci murni. Maka tidak sudi ia dihina orang,

dan dituduh berbuat tidak senonoh. Maka langsung saja gadis ini menjawab.

"Tetapi apa yang terjadi belum tentu merupakan percerminan itu. Sebab apabila

terjadinya peristiwa itu tidak sengaja dan dalam keadaan bahaya, maka apa yang

dilakukan wanita itu tidak mengapa. Sebab semua itu tergantung kepada keadaan dan

sifat dari perbuatan orang

Akan tetapi Ayu Kedasih memang sudah sengaja untuk berselisih, dan kata-

katanya tadi memang sengaja untukmembakar hati orang. Maka Ayu Kedasih ketawa

cekikikan dan mengejek. "Hi-hi-hik, setiap orang memang bisa saja mencari alasan dan

dalih untuk menutupi perbuatannya yang tidak patut itu. Maksudnya agar orang bisa

mengerti, sehingga orang tidak mencela lagi. Tetapi sebaliknya menurut pendapatku

dengan dalih apapun, perbuatan itu amat memalukan."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akibat Nawang Wulan sudah cepat merasa disindir dan diejek, maka gadis ini makin

tersinggung perasaannya, ia mengangkat muka, menatap Ayu Kedasih dengan sepasang

mata merah saking marah. Dan kemudian, dampratnya lantang. "Tutup mulutmu! Huh,

engkau sengaja menyindir dan menghina aku?"

Tetapi manakah Ayu Kedasih yang memang sengaja mencari perkara itu mau

mundur? Justeru orang sudah terpancing kemarahannya ini, ia malah tambah mengejek.

"Hi-hi-hik, engkau merasa terhina? Aku bukan menghinamu, tahu? Tetapi aku hanya

sekadar menyatakan keadaan yang terjadi sebenarnya. Engkau marah? Bagus! Apakah

sangkamu aku takut menghadapi engkau? Huh, cobalah!"

Nawang Wulan segera mencabut pedangnya. Dan Ayu Kedasihpun sudah

mencabut senjatanya. Dua orang perempuan yang sama marah ini sudah saling mendelik

dan bersiap diri, untuk kemudian berkelahi. Berkelahi yang tidak tanggung-tanggung,

justeru kedua-duanya sudah memegang senjata masing-masing.

Nawang Wulan yang sudah marah tidak sabar lagi. Sepasang pedangnya sudah

menyambar bersamaan dengan lompatan tubuhnya. Pedang pada tangan kanan

membabat dari samping atas, sedang pedang di tangan kiri menusuk ulu hati. Gerakannya

itu secepat tatit, sehingga Ayu Kedasih sendiri kaget. Ia melompat sambil menggerakkan

golok pendek di tangan kiri, sedang golok pada tangan kanan sudah membabat pinggang

lawan.

Nawang Wulan terpaksa menarik kembali pedangnya, untuk melindungi diri.

Dalam waktu singkat dua orang perempuan ini telah berkelahi sengit. Mereka sudah lupa

bahwa tadi, ketika meninggalkan balai desa, mereka rukun. Mereka memang mempunyai

kepandaian yang seimbang. Hingga memang tidak mudah salah seorang memperoleh

kemenangan.

Terjadinya perkelahian antara Nawang Wulan dan Ayu Kedasih ini, membuat

kaget para wanita yang bermaksud ke sumber air. Tetapi tidak seorangpun berani

mendekat maupun melerai. Beberapa orang gadis yang memang sudah terlalu ingin dapat

berkelahi malah menonton. Akan tetapi sebaliknya wanita-wanita desa yang sudah

berumur, cepat-cepat kembali ke desa, langsung menuju desa untuk melapor.

Akan tetapi tiba-tiba terdengarlah suara bentakan yang parau. "Hai, apakah sebabnya

kamu berkelahi?"

Berbareng dengan terdengarnya suara bentakan itu, senjata dua orang perempuan

itu sudah menyeleweng, dan tubuh masing-masing sudah terdorong ke belakang. Gadung

Melati sudah berdiri di tengah mereka sambil mengamati bergantian dan keheranan.

"Wulan, apakah sebabnya engkau berkelahi?" tegur Gadung Melati.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Dia telah menghina anak, ayah," lapor Nawang Wulan.

"Mengapa menghina engkau? Apakah soalnya?" Gadung Melati menatap mereka

bergantian dengan pandang mata curiga, kemudian memandang kepada Ayu Kedasih,

terusnya. "Benarkah engkau sudah menghina anakku?"

"Tidak. Aku tidak menghina dia," sahut Ayu Kedasih. "Tetapi dia yang sudah

menantangaku berkelahi."

"Tidak! Aku tidak menantang, tetapi dialah yang sengaja menghinaaku." Nawang

Wulan berteriak.

Namun sudah biasa bagi manusia di dunia ini, yang selalu ingin menang sendiri,

ingin dirinya selalu menang dan benar. Tidak terkecuali Ayu Kedasih ini. Iapun dengan

lantang sudah membantah. "Bohong! Dia yang sudah menantang aku, dia yang lebih

dahulu menyerangaku, dan dia pula yang sengaja membuat keonaran dan perselisihan!"

Nawang Wulan menggeram marah. Maka gadis ini tidak sudi lagi berbantahan,

lalu melompat dan menyerang. Dalam marahnya ini, Nawang Wulan sudah tidak perduli

lagi kepada Gadung Melati yang berusaha melerai.

Untung juga bahwa Gadung Melati selalu waspada. Tangannya bergerak dan

sekali sambar, batang pedang gadis itu sudah terjepit oleh jari tangan. Kemudian kakek

ini mendorong perlahan sambil berkata. "Wulan, sabarlah! Engkau jangan hanya

menurutkan hati."

"Tetapi............tetapi............aku tidak sudi dihina, ayah," protes Nawang Wulan.

"Tetapi aku juga tidak takut engkau tantang!" balasAyu Kedasih.

Gadung Melati memandang Ayu Kedasih dengan pandang mata merah, tampak

bahwa kakek ini marah. Diam-diam kakek ini sudah dapat menduga apa yang terjadi.

Kalau anak angkatnya ini sampai marah dan tidak tunduk kepada dirinya, jelas bahwa

dalam perkara ini Nawang Wulan tidak salah. Namun sebaliknya untuk marah kepad

Ayu Kedasih, iapun tidak sampai hati. Ia menghela napas pendek, kemudian kembali

mengamati Nawang Wulan sambil berkata. "Wulan, sarungkan pedangmu dan mari kita

pergi!"

Semula Nawang Wulan ingin membantah. Akan tetapi wajah Gadung Melati

ketika itu tampak tambah buruk dan menakutkan. Tanpa berani membangkang lagi, gadis

ini sudah menyarungkan pedang, dan ia menghindar ketika tangan Gadung Melati

bergerak untuk menggandengnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun ketika mau pergi, Nawang Wulan yang masih penasaran itu mengamati

Ayu Kedasih sambil mendelik, tetapi tanpa membuka mulut. Ayu Kedasih mencibirkan

bibirnya. Diam-diam perempuan ini merasa lega, dengan kepergian gadis itu. Kemudian

ia menyarungkan goloknya, namun belum juga berkisar dari tempatnya berdiri. Ia masih

terus memandang kearah kakek berwajah buruk itu dan Nawang Wulan pergi.

Beberapa saat kemudianmuncullahWanengboyo, Danurwenda, Tohjoyo, Fajar

Legawa dan Tumpak Denta. Mereka datang ke tempat ini dengan tergesa, ketika

mendengar laporan penduduk, bahwa Ayu Kedasih dengan Nawang Wulan berkelahi.

Tetapi mereka menjadi heran ketika tidak melihat Nawang Wulan.

"Dimanakah Nawang Wulan?" tanya Wanengboyo agak gugup.

"Dia telah pergi dengan ayahnya," sahutAyu Kedasih.

"Apakah sebabnya sepagi ini, adi sudah berselisih dan berkelahi dengan dia?"desak

Wanengboyo.

"Kakang," kata Ayu Kedasih, "aku ingin bertanya kepada engkau. Apakah engkau

tidak tersinggung apabila ditantang orang?"

"Ehh, apakah sebabnya?" Danurwenda tertarik disamping heran.

"Peristiwa semalam yang menjadi pangkal perselisihan itu, kakang." Ayu Kedasih

tidak tanggung-tanggung membohong dalam usahanya mencari simpati orang. "Dia

berkata, bahwa tanpa bantuan ayah gadis itu yang bernama Gadung Melati, apakah kita

semua ini tidak binasa dalam tangan Jalu Gigis? Nah, siapa yang tidak menjadi terhina

oleh kata-katanya itu? Huh, dia menganggap bahwa aku, kau dan kalian ini hanyalah

orang-orang yang tidak berguna."

Tohjoyo yang memang watakanya berangasan, sudah terbakar dan marah.

"Kurang ajar!! Sayang aku datang terlambat. Kalau tidak, tentu mulutnya akan aku remas

biar remuk dan kapok."

Yang lain tidak membuka mulut. Akan tetapi tanggapan Danurwenda, Fajar

Legawa dan Tumpak Denta lain. Mereka tidak segera percaya akan laporan Ayu Kedasih

ini. Sebagai orang-orang yang berpandangan luas, tentu saja tidak akan memberikan

pendapatnya, sebelum mengetahui jelas persoalannya. Mereka tak mau percaya begitu

saja atas keterangan sepihak. Siapa tahu Ayu Kedasih hanya mencari menang dan benar

sendiri?

"Ke manakah mereka pergi?" tanya Danurwenda kemudian.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ke sana!" Ayu Kedasih menunjuk arah barat.

"Mengapakakangingintahu?"

"Sesungguhnya inginlah aku menahan mereka. Sayang, mereka sudah tidak

tampak lagi," kata Danurwenda.

Ayu Kedasih mencibirkan bibir tampak tidak senang. Kemudian. "Apakah kakang

takut menjaga desa ini tanpa bantuan mereka?"

"Bukan itu maksudku, adi," sahut Danurwenda dengan sabar. "Yang terang aku

merasa berhutang budi, dan sayang pula sebelum aku mengucapkan terima kasihku,

mereka telah pergi."

Fajar Legawa danTumpak Denta berdiam diri. Dalam hati mereka cepat dapat

menilai akan watak dan pribadi orang-orang ini. Danurwenda seorang yang memiliki jiwa

ksatrya. Setiap menilai sesuatu peristiwa amat teliti dan bijaksana. Dia tidak mudah

terpengaruh oleh pandangan dan pendapat orang lain, tidak cepat membenci Gadung

Melati maupun Nawang Wulan, dan jauh bedanya dengan tanggapan Tohjoyo.

Hanya tiga malam Fajar Legawa dan Tumpak Denta sebagai tamu di desa

Sumberrejo ini. Pada hari yang ke empat, mereka sudah minta diri pergi, karena keadaan

desa itu sudah aman. Kepergian mereka diantar oleh Danurwenda dan yang lain sampai

jauh di luar desa. Nampak pada wajah mereka, bahwa sesungguhnya merasa belum rela

melepaskan Tumpak Denta dan Fajar Legawa.

Akan tetapi sebaliknya untuk menahan lebih lamapun Danurwenda merasa tidak

enak. Sebab sejak semula sudah diketahui, bahwa kakak-beradik seperguruan itu memang

diundang oleh guru mereka.

Kemudian, tibalah malam hari, Danurwenda dan saudara-saudara

seperguruannya masih tetap waspada menjaga keamanan desa Sumberrejo, bersama para

pemuda yang lain. Setelah Gadung Melati, Nawang Wulan, Fajar Legawa dan Tumpak

Denta meninggalkan desa ini. Danurwenda perlu meningkatkan kewaspadaan. Ia sadar

bahwa Jalu Gigis memang seorang tua sakti yang tidak mudah untuk dilawan.

Antara mereka membagi tugas. Danurwenda dan Tohjoyo bertugas sore hari,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memimpin langsung para pemuda desa mengawasi keselamatan desa. Nanti apabila

sudah tengah malam, datanglah giliran Wanengboyo dan Ayu Kedasih untuk memimpin

mereka. Maka suami-isteri itu memerlukan tidur di waktu sore, untuk kemudian nanti

malam bergilir jaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Demikianlah, sejak Jalu Gigis dipukul mundur oleh Gadung Melati, keadaan desa

itu dalam keadaan aman. Para penduduk dapat tidur dan mengaso dengan hati lega, tanpa

rasa khawatir lagi datang gangguan. Ketika datang giliran Wanengboyo dan Ayu Kedasih

harus bergilir jaga, maka mereka dibangunkan oleh Danurwenda dari luar kamar. Dan

mengingat mereka harus hati-hati dalam mengawal keamanan desa ini, maka, antara

Wanengboyo dengan Ayu Kedasih harus diadakan pembagian tugas. Wanengboyo

bertugas memimpin dan mengamati para petugas dibagian utara dan timur, sedang Ayu

Kedasih harus memimpin dan mengamati para petugas di bagian selatan dan barat. Dan

sebagai orang-orang berilmu, dalam setiap bergerak ini baik Wanengboyo maupun Ayu

Kedasih tidak membutuhkan pengawal. Justeru dengan bergerak seorang diri, mereka

dapat lebih lincah dan gesit.

Ayu Kedasih melaksanakan tugas ronda itu tanpa rasa takut sedikitpun sekalipun

wanita. Ia menjadi gembira ketika kedatangannya pada pos penjagaan itu disambut oleh

para pemuda dengan hormat dan kagum. Tetapi ia tidak terlalu lama pada pos-pos

penjagaan itu, dan perempuan ini kemudian hilang ditelan gelap malam dengan gerakan

gesit, ia menuju ke tepi desa yang lain, di mana di tempat itu tidak terdapat penjagaan,

karena dihalangi oleh pagar hidup bambu berduri. Perempuan ini menjatuhkan diri di atas

rumput. Ia menghela napaspendek, dan tak lama kemudian terdengarlah ia mendesis.

"Aku tidak rela perempuan itu erat hubungannya dengan adi Fajar Legawa. Untung

mereka tidak curiga dan mengurus lebih jauh."

Ia berhenti, terdengar lagi ia menghela napas panjang. Baru beberapa saat

kemudian, terdengarlah ia berdesis lagi. "Tetapi sejak malam ini aku merasa kehilangan

dan sepi, setelah adi Fajar Legawa pergi. Aihh.........apakah dia tidak mengerti perasaan

seorang wanita yang berharap-harap cemas seperti aku ini? Aihh.........mengapa ketika dia

menginap di rumahku.........dan aku sengaja masuk dalam biliknya, malah mendekatkan

payudaraku di depan hidungnya, dia seperti tidak tahu maksudku? Aihh.........apakah

aku ini harus bertepuk sebelah tangan?"

Ayu Kedasih berhenti lagi dan menghela napas pendek, dan sejenak kemudian,

terdengar kat aperempuan ini lagi. "Adi Fajar Legawa, kasihanilahaku ini.

Aihh.

y......apakah hal itu disebabkan aku sudah menjadi isteri kakang Wanengboyo?"

Ia berhenti lagi beberapa saat lamanya dan mengeluh. Baru beberapa saat

kemudian ia berkata lagi, seakan sedang merayu. "Adi Fajar Legawa, percayalah bahwa

aku akan bisa membahagiakan engkau, dan percayalah bahwa Kakang Wanengboyo

takkan curiga padaku. Tetapi sebaliknya apabila engkau membandel adi, hemm

.........aku.........aku.........hai siapa di situ?"

Ayu Kedasih meloncat kaget sambil menghunus sepasang goloknya, ketika

mendengar suara dengus napas orang. Maka perempuan ini sudah meloncat dan siap-

siaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aku.........adi Ayu Kedasih............" sahut suara laki-laki, lirih.

"Ihh.........kau.........kakang Tohjoyo......?" Ayu Kedasih kaget setengah mati,

sehingga kata-katanya tidak lancar. "Mengapa engkau di sini?"

Dan dengan langkahnya yang perlahan Tohjoyo menghampiri. Sahutnya lirih,

tetapi membalas bertanya. "Dan engkau, apakah kerjamu di sini?"

Untuk sejenak Ayu Kedasih tergagap. Kalau saja tempat itu tidak gelap, Tohjoyo

tentu dapat melihat bahwa wajah Ayu Kedasih saat sekarang ini berobah pucat, sedang

dada yang membusung itu berombak saking khawatir.

"Aku sudah meninjau mereka yang bertugas. Kemudian aku berjaga seorang di

sini sambil melepaskan lelah," sahut Ayu Kedasih.

Tohjoyo tersenyum mendengar jawaban itu. Kemudian laki-laki ini berkata. "Dan

aku tidak bisa tidur. Aku selalu khawatir kalau desa ini sampai diganggu penjahat lagi.

Hmm, aku tadi melihat bayangan orang yang kemudian bersembunyi di tempat ini.

Sangkaku penjahat............tidak tahunya malah engkau, Ayu."

Berdebar jantung Ayu Kedasih. Kemudian ia bertanya tidak lancar. "Dan

engkau.........sudah lamakahdi tempat ini.........?"

Wajar pertanyaan itu. Sebab segera timbul kekhawatiran Ayu Kedasih, apabila apa

yang tadi diucapkan, sampai terdengar oleh Tohjoyo.

"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa lirih. Lalu. "Ya, begitu engkau duduk, aku sudah

bersembunyi di situ."

"Ihhh.........!" saking kaget Ayu Kedasih berseru.

Tohjoyo hanya tersenyum, tetapi karena gelap tidak tampak oleh mata Ayu

Kedasih. Kalau saja Ayu Kedasih dapat melihat, tentu perempuan ini kaget. Sebab

senyum Tohjoyo itu setengah meringis, sepasang matanya berkedip-kedip penuh arti,

yang tentu membuat wanita yang memandang agak ngeri.

Sebenarnya, jawaban Tohjoyo tadi hanya mencari-cari dalih belaka. Sejak Fajar

Legawa, Tumpak Denta, Wanengboyo dan Ayu Kedasih di desa ini, Tohjoyo menjadi

curiga melihat hubungan antara Fajar Legawa dengan Ayu Kedasih. Walaupun

Wanengboyo tidak cemburu dan curiga, tetapi Tohjoyo amat memperhatikan. Dalam hati

pemuda ini segera timbul dugaan, bahwa antara dua orang itu memang ada apa-apanya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Menduga demikian, tiba-tiba saja timbullah kehendak pemuda ini yang kurang

baik. Ayu Kedasih justeru seorang perempuan yang amat menarik. Seorang perempuan

cantik dan montok, sehingga sejak beberapa malam ini setiap tidur selalu tergoda oleh

kecantikannya. Oleh dorongan selera yang tidak dapat dikuasai lagi ini, ia tidak ingat lagi

siapakah Ayu Kedasih. Tidak ingat lagi bahwa Ayu Kedasih isteri Wanengboyo, adik

seperguruannya sendiri. Hubungan saudara seperguruan tidak jauh bedanya dengan

saudara kandung. Mereka wajib saling menjaga, saling percaya dan saling melindungi.

Terdorong oleh selera dan keinginannya untuk menggunakan kesempatan dan

menekan perempuan ini, Tohjoyo selalu berusaha menyadap pembicaraan antara Fajar

Legawa dengan Ayu Kedasih. Namun sungguh sayang, setiap ia menyadap pembicaraan

itu, ia tidak dapat menangkap kata-kata yang bisa digunakan sebagai bukti bahwa antara

Fajar Legawa dengan Ayu Kedasih terjadi hubungan cinta gelap. Yang mereka bicarakan

selalu masalah-masalah ringan, masalah penghidupan manusia di dunia ini, yang makin

lama terjadi perbedaan yang amat jauh antara yang melarat dan yang kaya. Dan sering

juga mereka membicarakan tentang ilmu tata-kelahi, dan tukar pengalaman.

Namun demikian Tohjoyo belum juga putus-asa dalam usahanya mencari sarana

untuk menekan Ayu Kedasih. Sore tadi, ia sendirilah yang menyarankan agar diadakan

pembagian tugas seperti malam ini. Hingga dengan demikian, ia dapat memisahkan

antaraAyu Kedasih dengan Wanengboyo untuk setengah malam lamanya. Dan ketika

Ayu Kedasih dan Wanengboyo sudah bertugas, ia tidak segera masuk tidur. Akan tetapi

segera membayangi Ayu Kedasih. Dan sudah menjadi kebiasaan, bahwa orang dibayangi

akan lengah, sebaliknya orang yang membayangi akan dapat mengamati orang tanpa

diketahui pihak yang diamati.

Berdegup tegang jantung Tohjoyo ketika melihat Ayu Kedasih berhenti di tempat

ini, lalu duduk di atas rumput. Dan degup jantungnya itu semakin menjadi cepat lagi

setelah mendengar ucapan Ayu Kedasih yang mengharapkan kasih Fajar Legawa. Justeru

ucapan seperti itulah yang selalu ingin didengar oleh Tohjoyo. Dan dengan begitu, ia

mempunyai alasan untuk menekan Ayu Kedasih, dan akan sulitlah perempuan itu

menolak kehendaknya.

Tohjoyo sudah duduk di atas rumput. Lalu, katanya perlahan. "Ayu, duduklah."

Tetapi Ayu Kedasih belum juga mau duduk. Berkali-kali perempuan ini menghela

napas. Dadanya berombak dan khawatir. Lalu ia menolak permintaan Tohjoyo dengan

halus. "Kakang, maafkan aku. Aku sedang bertugas mengawasi mereka, maka aku harus

pergi."

"Ayu! Kemarilah dahulu!" bujuk Tohjoyo. "Aku ingin sedikit bicara."

"Tetapi.........tugas........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Duduklah dahulu. Tentang itu bisa dilakukan nanti. Akan tetapi sekarang, aku

ingin bicara dengan engkau."

Berdebar jantung Ayu Kedasih. Ia tahu, bahwa Tohjoyo tentu akan mengurus

tentang ucapannya tadi. Diam-diam ia menjadi amat menyesal, mengapa ia tadi kurang

waspada, sehingga tidak menyadari Tohjoyo hadir di dekatnya? Akan tetapi semuanya

sudah terlanjur. Dan sesalpun tiada gunanya. Mendadak saja malah timbul akal

perempuan ini, untuk minta perlindungan. Sebab apabila hal itu sampai terdengar oleh

suaminya, tidak urung bisa menimbulkan geger. Maka kemudian Ayu Kedasih duduk di

tempat yang agak berjauhan dengan Tohjoyo.

Tohjoyo tersenyum. Kemudian katanya lirih. "Ayu, mengapa engkau duduk di

situ? Kita harus bicara perlahan agar rahasiamu tidak sampai didengar orang lain. Ayu,

duduklah di sampingku ini, dan dengar apa yang aku katakan. Aku kakak seperguruan

suamimu, maka pada tempatnya pula apabila hal ini perlu kita selesaikan malam ini ."

Ayu Kedasih makin gemetaran tubuhnya, ia mengerti maksud kata-kata Tohjoyo

itu.

Dan walaupun tampaknya halus. akan tetapi mengandung ancaman yang

menakutkan. Sebagai kakak seperguruan suaminya, Tohjoyo memang mempunyai

wewenang pula untuk menghukum dirinya yang bersalah. Memang benar ia dapat

berdalih dan memberi keterangan palsu. Tetapi ia merasa ragu, apakah suaminya

mempercayai keterangannya yang palsu itu? Ia cukup kenal akan watak Wanengboyo.

Dia seorang yang selalu mendengar dan tunduk kepada kakak seperguruannya. Dan

sesuai dengan itu, tentu Wanengboyo lebih percaya akan keterangan Tohjoyo dibanding

dengan keterangannya. Lebih dari itu, apabila hal ini kemudian dikembangkan dan guru

Tohjoyo ikut serta mencampuri, persoalannya akan menjadi semakin ruwet dan dirinya

sulit mencari jalan selamat. Terpikir demikian, Ayu Kedasih segera bangkit, kemudian

duduk di samping Tohjoyo. Walaupun demikian, perempuan ini semakin berdebar tidak

keruan.

Tohjoyo lega sesudah Ayu Kedasih dudukdi sampingnya. Hampir saja ia tidak

kuasa lagi menahan hasratnya, dapat berdampingan dengan Ayu Kedasih. Tetapi

walaupun jantungnya berdebar tegang, pemuda ini berusaha menekan perasaan,

kemudian berkata, "Nah, dengan duduk berdekatan begini, kita tidak perlu bicara keras.

Bukankah begitu, Ayu?"

"Ya," sahut Ayu Kedasih dengan jantung tegang.

Tohjoyo menghela napas pendek. Kemudian, "Ayu, aku mendengar seluruhnya

apa yang engkau ucapkan tadi. Engkau mencintai FajarLegawa itu bukan?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aku.........aku........." Ayu Kedasih gugup sekalipun sudah dapat menduga.

"Engkau tak dapat mungkir Ayu," potong Tohjoyo. "Aku sudah mendengar

seluruhnya. Engkau harus tahu kedudukanku, sebagai kakak -seperguruannya

Wanengboyo. Maka lebih baik engkau berterus terang di depanku, agar persoalan ini tidak

tersiar luas sehingga menimbulkan hal-hal yang memalukan."

"Lalu.........lalu......bagaimana..........?" Ayu Kedasih yang tidak keruan rasanya

sekarang ini, seakan sulit untuk membuka mulut.

Tohjoyo senang sekali, melihat keadaan Ayu Kedasih yang mati kutu, tidak dapat

mungkir. Maka pemuda ini segera mencari jalan yang menguntungkan dirinya, "Ayu,

engkau tentu menyadari betapa peristiwa ini akan menimbulkan kegemparan apabila

bocor ke telinga adi Wanengboyo dan guru. Dan lebih lagi, apabila sampai terdengar oleh

paman Ki Hajar Jaladara, gurumu."

Ayu Kedasih tambah berdebaran jantungnya, mendengar nama gurunya disebut-

sebut ini. Ia dapat membayangkan betapa marah gurunya apabila mendengar peristiwa

ini, walaupun sesungguhnya antara dirinya dengan Fajar Legawa belum pernah terjadi

pelanggaran. Ia menyadari kedudukannya, sebagai seorang wanita. Bahwa sedikit saja

menyeleweng, akan menimbulkan heboh. Berbeda dengan laki-laki, walaupun orang tahu

laki-laki itu menyeleweng, namun tidak terjadi persoalan. Penyelewengan itu dianggap

biasa saja, tidak ada pengaruhnya apa-apa. Sebaliknya wanita? Jari tangan orang tentu

segera menuding dan banyak orang berbisik-bisik.

"Ya, kakang.........aku mengerti........." sahutnya kemudian dengan suara

menggeletar.

"TetapiAyu. aku tidak akan sekejam dan setega itu. Percayalah, bahwa persoalan

ini hanya aku seorang yang tahu, dan tidak mungkin suamimu mendengar. Aku akan

dapat merahasiakan Ayu apakah engkau percaya?"

"Aihh, terima kasih kakang, dan saya.........saya mohon perlindunganmu........"

pinta Ayu Kedasih.

Dan diam-diamTohjoyo gembira sekali. Ibarat ikan sudah masuk di dalam

jaringnya, tidak mungkin lepas lagi. Ia memang ingin menekan dan mempersulit

perempuan ini secara tidak langsung. Dan dengan demikian, ia akan dapat membuat

perempuan ini tidak berkutik lagi.

"Tetapi Ayu, tanggung jawabku terhadap masalah ini cukup berat," kata

Tohjoyolagi. Tangannya sudah hampir meraih perempuan itu untuk memeluk, namun

ditahankan. "Sesuai dengan tanggung jawab yang besar itu. Apakah tidak terpikir olehmu

untuk balas jasa?"

"Balas jasa?" Ayu Kedasih agak kaget. "Katakan kakang.........engkau minta bendahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

apa saja? Aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu itu kakang, walaupun aku
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang miskin. Kalau perlu aku akan menjual sawah untuk itu."

"Heh-heh-heh," Tohjoyo ketawa terkekeh. "Siapa yang menyuruh engkau menjual

sawah dan barang milikmu? Tidak, Ayu, tidak! Aku bukan seorang tamak akan harta.

Aku tidak menghendaki sesuatu yang sulit, sehingga engkau perlu berusaha. Ayu,

aku............aku hanya menghendaki........."

Dan tiba-tiba saja tangan Tohjoyo sudah menarik pundak Ayu Kedasih, yang

kemudian dipeluk erat sekali, sambil menyerbu bibir dan pipi.

"Aihhh.........kakang.........jangan..........." Ayu Kedasih kaget setengah mati dan

berusaha menolak.

"Aku tidak akan memaksamu, Ayu." kata Tohjoyo sambil mengendorkan

dekapannya.

"Pergilah jika engkau menghendaki. Namun sebaliknya aku tak dapat menjamin

kerahasiaanmu. Semua ini tergantung engkau sendiri Ayu.

Tetapi.........tetapi.........engkau cantiksekali....."

Sambil menutup kata-katanya ini, Tohjoyo sudah memagut bibir Ayu Kedasih

yang memerah jambu itu.

Ayu Kedasih berusaha menghindar. Dan hal ini membuat Tohjoyo kecewa

disamping mendongkol.

"Ayu, baiklah! Agaknya engkau memang memilih jalan lain." Tohjoyo bangkit

berdiri. Lalu ia mengancam. "Tetapi engkau akan tahu sendiri. Malam ini juga rahasiamu

akan terdengar luas. Bukan hanya adi Wanengboyo, tetapi setiap hidung akan tahu."

Tohjoyo melangkah. akan tetapi langkahnya perlahan dan ragu-ragu. Ia

mengancam demikian, tiada maksud lain untuk membuat Ayu Kedasih mati kutu dan

menyerah.

Ayu Kedasih masih duduk. Perasaan perempuan ini tidak keruan. Ia menjadi

bingung, apakah yang harus dilakukan? Apabila ia sekarang ini melarikan diri memang

bisa. Namun akibatnya ia akan berhadapan dengan gurunya, dan juga guru Wanengboyo.

Dirinya akan menjadi pesakitan dan diurus dengan teliti. Teringat soal ini, mendadak saja

tubuhnya menggigil.

"Kakang.........kakang Tohjoyo.........ohhh, kasihanilah aku......." ratap

perempuan ini kemudian, sambil menangis dan menutupi mukanya dengan telapak

tangan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tohjoyo yang belum jauh meringis. Hatinya gembira sekali, kemudian menyelinap

dan bergerak dengan hati-hati sekali, ia menempatkan diri di belakang Ayu Kedasih dan

tidak mengganggu. Ia membiarkan perempuan itu menangis. Dan agar kehadirannya

tidak diketahui Ayu Kedasih, maka Tohjoyo setengah tidak bernapas.

Ayu Kedasih yang menangis itu menjadi lengah, ia tidak mendengar gerakan

Tohjoyo, sehingga tidak tahu bahwa laki-laki itu sudah di belakangnya. Ayu Kedasih

mengangkat kepalanya, dan dengan mata yang basah mengamati kearah Tohjoyo tadi

pergi. Air mata yang memenuhi sepasang matanya itu membuat pandang matanya

berkurang awasnya. Ketika melihat Tohjoyo tidak tampak lagi, perempuan ini bingung

dan khawatir. Maka ia setengah menjerit dan memanggil.

"Kakang Toh.......haeppp............" ucapan Ayu Kedasih terputus, karena dari

belakang Tohjoyo sudah menubruk sambil membungkam mulut perempuan itu.

"Ayu.........mengapa engkau berteriak?" hardik laki-laki ini. "Manisku,

sudahlah.........janganmenangis........"

Dan dengan hati gembira, Tohjoyo sudah menyerbu mulut Ayu Kedasih.

Perempuan yang sudah tidak tahu jalan lain ini, sekarang tidak berusaha menghindarkan

diri.

Masih pagi benar Ayu Kedasih sudah pergi ke sumber air. Ia minta diri kepada

Wanengboyo untuk mandi lebih pagi, sebelum banyak orang datang. Akan tetapi setelah

tiba di sumber air, Ayu Kedasih tidak segera mandi, ia malah duduk di atas batu sambil

menangis tersedu-sedu. Pengalamannya semalam membuat perempuan ini sedih. Sama

sekali tidak diduganya, bahwa kakak seperguruan suaminya itu sampai hati kepada

dirinya. Hampir timbul niatnya untuk membunuh diri saja. Namun kemudian terbayang

di depannya wajah tampan Fajar Legawa yang membuat ia tergila-gila. Ia sudah tahu

rahasia senjata tongkat Fajar Legawa. Bukankah dengan pengetahuannya itu, iapun dapat

menekan Fajar Legawa tidak berkutik? Kalau dirinya bisa ditekan orang, apakah dirinnya

tidak dapat membalas orang.

Teringat akan hal itu hati perempuan ini terhibur, tangisnya berkurang. Akan tetapi

tiba-tiba perempuan ini menjadi kaget, ketika mendengar teguran orang.

"Adi, mengapa engkau menangis di sini?

Betapa kaget Ayu Kedasih ketika melihat bahwa Danurwenda telah berdiri tidak

jauh dari tempatnya. Danurwenda mengamati penuh selidik, membuat Ayu Kedasih

gemetaran, dan cepat menduga yang tidak-tidak. Kalau semalam Tohjoyo sudah menekan

dirinya dengan ancaman itu, apakah sekarang Danurwenda juga akan menggunakanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kesempatan itu untuk minta tubuhnya?

"Adi, mengapa engkau menangs?" tanya Danurwenda dengan halus, dan laki-laki

ini tetap berdiri di tempatnya. "Katakanlah adi, apakah semalam engkau bertengkar

dengan suamimu?"

"Kakang........auh-huhu-huuu............"Ayu Kedasih tidak dapat menjawab, dan

malah menjadi tangisnya, setelah mendengar kata-kata Danurwenda itu.

"Hemm, tidak baik orang bebrayan mendekatkan diri dengan perselisihan," kata

Danurwenda lagi dengan halus. "Adi, sudahlah, jangan engkau menangis. Mandilah, dan

nanti aku yang akan mengurus suamimu. Aku kakak seperguruan suamimu, berhak

mencampuri urusan kekeluargaanmu kalau perlu, dan demi kebaikan. Adi, sudahlah

jangan menangis."

"Kakang.........ohh.........jangan pergi.........!" pekik Ayu Kedasih ketika melihat

Danurwenda mau pergi. Kecurigaanperempuan ini terusir jauh. Dan sekarang malah

timbul rasa khawatirnya, apabila suaminya mengurus dirinya, mengapa menangis.

Danurwendapun berhenti, membalikkan tubuh dan mengamati Ayu Kedasih

dengan pandang mata terharu. Sesudah menghela napas pendek, katanya lagi, "Adi

apakah sebabnya engkau menahan aku? Kalau memang engkau berselisih dengan

suamimu, dan ternyata suamimu memang bersalah, aku wajib memperingatkan dan

memberi nasihat."

"Ti.........tidak.........! Bukan.......!"

Danurwenda tampak heran dan membelalakkan mata. Lalu ia bertanya, "Tidak

dan bukan, apa maksudmu?"

"Saya.........saya tidak berselisih dengan kakang Wanengboyo........."

"Kalau tidak, mengapa sepagi ini menangis di sini?" desak Danurwenda.

"Kakang.........ohh.........hu-hu-huuu........ampunkan saya. Kakang.........jangan

engkau memberitahu kakang Wanengboyo........kalau aku...... ....menangis di sini........."

Ayu Kedasih meminta.

Danurwenda mengerutkan alisnya dan heran. Ia mengamati Ayu Kedasih penuh

perhatian. Kemudian. "Adi. aku menjadi heran dan bingung sendiri. Lalu apakah

sebabnya engkau menangis di sini? Katakanlah adi, apabila engkau menghadapi kesulitan

akulah yang akan mengurus. Percayalah."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Kakang............ohhh............" ratap Ayu Kedasih. "Aku menangis............bukan

karena dia............"

"Aihh.........!" Danurwenda kaget. "Kalau bukan karenadia, lalu apakah soalnya?

Apakah .........engkau dihina orang? Katakanlah adi, katakanlah!"

Ayu Kedasih tidak segera membuka mulut, ia mengusap air matanya yang

membanjir turun dari sepasang matanya, ia ingin segera berhenti menangis, akan tetapi

hatinya yang merasa sengsara oleh tekanan Tohjoyo semalam membuat air matanya tak

kunjung henti.

Dan Danurwenda mendekati, lalu katanya dengan halus. "Adi, jangan engkau

menangis. Katakan yang jelas, agar aku dapat mempertimbangkan dengan adil."

Ingin sekali Ayu Kedasih menubruk kakak seperguruan suaminya ini, kemudian

melaporkan perbuatan Tohjoyo, supaya dihukum. Namun, tiba-tiba kekhawatirannya

menyesak lagi. Ia teringat ancaman Tonjoyo, yang bisa berakibat lebih parah. Diam-diam

perempuan ini segera mencari akal dan dalih, untuk menutupi rahasianya.

"Adi," kata Danurwenda lagi dengan halus. "Apabila engkau sudah memberi

keterangan tentunya sebagai kakakmu aku akan dapat berbuat secara adil. Berhentilah

engkau menangis, dan hapuslah air matamu. Orang bisa menduga yang tidak-tidak,

apabila melihat engkau menangis."

Agak beberapa saat lamanya barulah Ayu Kedasih berhenti menangis, dan tinggal

terisak saja. Kemudian, kata perempuan ini. "Kakang, saya mohon agar kakang tidak

memberitahu kakang Wanengboyo, bahwa aku menangis di tempat ini."

"Apakah sebabnya?" Danurwenda heran dan curiga.

"Kakang............nanti saya akan menerangkan sejelasnya. Dan sekarang, berilah

kesempatan saya mandi," Ayu Kedasih meminta.

"Baiklah, engkau jangan khawatir." Danurwenda segera melangkah pergi, namun

diam-diam laki-laki yang bijaksana ini heran juga, melihat sikap Ayu Kedasih yang agak

aneh itu.

Di saat Ayu Kedasih belum selesai mandi, Wanengboyo sudah datang menyusul.

Tegurnya. "Aihh, Ayu! Mengapa terlalu lama engkau mandi?"

"Ihh...........tunggu dulu, jangan kemari kakang! Aku hampir selesai," sahut Ayu

Kedasih yang segera mempercepat mandinya.

Wanengboyo yang watakanya selalu ngemong kepada Ayu Kedasih itu, tidak mauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mengecewakan isterinya. Ia kemudian duduk di atas batu, agak jauh dengan sumber air.

Akan tetapi di tempat lain, ada seorang laki-laki yang cepat-cepat menyembunyikan diri

ketika melihat Wanengboyo tiba-tiba datang. Orang itu bukan lain Tohjoyo, yang sudah

agak lama hadir di tempat ini. Ia tadi sudah curiga ketika melihat Danurwenda datang.

Kemudian ia mengukur dengan bajunya sendiri, mengira bahwa Danurwenda akan

berbuat seperti yang dilakukan. Namun kemudian Tohjoyo menghela napas lega, ketika

ternyata Danurwenda tidak melakukan sesuatu.

Ia tadi sudah akan mendekati sumber air, disaat Ayu Kedasih mandi. Namun

maksudnya terhalang, karena tiba-tiba Wanengboyo muncul. Hingga sekarang,

menyebabkan Tohjoyo harus bersembunyi dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir

diketahui oleh Wanengboyo.

Tohjoyo datang menyusul Ayu Kedasih oleh godaan rasa penasaran. Walaupun

semalam dapat bersanding dengan perempuan itu. Akan tetapi gelap malam membuat

matanya tak dapat melihat jelas. Maka pagi ini timbullah keinginannya untuk melihat

Ayu Kedasih disaat tanpa busana.

Tak lama kemudian Ayu Kedasih sudah muncul dari balik batu, dan sudah

berdandan. Perempuan ini tersenyum ketika berpapasan dengan Wanengboyo.

Kemudian. "Kakang, apakah, aku perlu menunggu engkau?"

"Boleh, boleh.Tunggulah aku dan nanti pulang bersama," sahut Wanengboyo

sambil terus melangkah menuju sumber air. Tak lama kemudian, Wanengboyo sudah

mulai mandi.

Tohjoyo yang bersembunyi tidak jauh dari tempat itu, diam-diam menyumpah-

nyumpah kepada Wanengboyo. Sebab kehadiran adik seperguruannya itu, membuat

kepergiannya pagi ini tanpa hasil.

Tetapi sebenarnya tingkah laku Tohjoyo terhadap perempuan ini memang

merupakan kebiasaan buruk yang sudah agak lama mengotori jiwanya, di dalam desa ini

dirinya sebagai anak lurah desa. Padahal kedudukan lurah desa, ibarat seorang raja kecil.

Sebab lurah desa di jaman cerita ini terjadi, bisa pula bertindak amat jauh. Dan sebaliknya

para kawula takut. Dan justeru berlindung kepada kedudukan ayahnya sebagai raja kecil

di desa ini, maka Tohjoyo menjadi seorang pemuda yang wataknya kurang baik. Ia

menjadi ganas terhadap wanita dan gadis, tetapi tidak seorangpun berani melaporkan

perbuatan Tohjoyo ini kepada ayahnya.

Di dalam desa Sumberrejo ini, orang satu-satunya yang disegani hanyalah

Danurwenda seorang. Bukan saja karena berkedudukan sebagai kakak seperguruan, tetapi

setiap bicara dan melangkah, Danurwenda selalu bijaksana dan memandang secara jauh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Demikianlah, Tohjoyo baru berani keluar dari tempatnya bersembunyi, sesudah


Dewi Ular 01 Roh Pemburu Cinta Dewi Ular 01 Roh Pemburu Cinta Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga
^