Pencarian

Pendekar Naga Dan Harimau 13

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 13


"Saudara Li, harap kau ingat akan... ."

Sahut Li Tiang-hong getas.

"Saudara Kongsun, jangan kuatir. Bersama Pangeran atau tidak, aku tetap setia kepada Kerajaan Beng. Hanya jika nyawaku sudah lepaslah maka perjuangan berhenti. Kita akan berjuang di tempat yang berbeda-beda satu sama lain, tapi tujuan kita sama. Membebaskan tanah air."

Agaknya Kongsun Hui sudah tidak dapat mencegah lagi kedua orang itu untuk meninggalkan laskar Cu Leng-ong, bersama bers dengan pengikut mereka masing-masing.

Namun sebelum mereka mencapai ambang pintu, tiba-tiba melayanglah sesosok bayangan yang langsung menghadang jalan mereka berdua, kedua orang itu menghentikan langkah mereka dan melihat siapa yang menghadang mereka, ternyata adalah Pangeran Cu Hin-yang.

Cu Yok-tek langsung menghunus goloknya karena mengira kepergiannya akan dirintangi, sedangkan Li Tiang-hong juga mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah yang akan dilakukan Pangeran itu? Wajah pangeran Cu Hin-yang ternyata tidak garang, bahkan nampak memelas sekali dengan mata yang basah berkaca-kaca.

Lalu tanpa menghiraukan tangga gedung yang kotor oleh debu, ia berlutut di hadapan kedua orang itu dan menempelkan keningnya ke tanah berulang kali.

Katanya dengan nada lembut.

"Li Ciangkun dan Cu Ciangbunjin (Ketua she Cu), aku Cu Hin- yang menyembah kepada kalian untuk memohon agar kalian tidak meninggalkan laskar. Kasihanilah dinasti Beng yang sengsara, tetaplah bergabung dan berjuang bersama kami. Jangan sampai perpecahan yang diakibatkan oleh kemarahan kita membuat perjuangan harapan seluruh rakyat Han in.L hancur berkeping-keping. Aku mohon... aku mohon... jika kalian melangkah keluar juga maka kalian akan melangkahi mayatku... ."

Dan tahu-tahu di tangan Pangeran Cu Hin- yang telah tergenggam sebilah pisau belati yang ujungnya ditempelkan ke ulu hatinya sendiri, sementara tubuhnya masih dalam sikap berlutut.

Andaikata dihalang-halangi dengan mata melotot dan golok terhunus, barangkali Li Tiang-hong akan nekad menerjangnya.

Namun dihalangi dengan ratap tangis pangeran Cu Hin- yang yang wataknya sudah dikenal baik olehnya itu, maka runtuhlah kekerasan hati Li Tiang- hong.

Cepat-cepat iapun melangkah maju dan dengan sikap terharu ia menarik Pangeran Cu Hin-yang agar bangun dari berlututnya, sambil membujuk.

"Jangan berlutut begitu, Pangeran. Calon Kaisar Kerajaan Beng yang agung tidak boleh berlutut kepada siapapun."

"Penuhilah permintaanku."

"Baik, aku tidak akan membawa pergi laskarku, aku tetap di sini dan mendukung Pangeran Cu Hin-yang sebagai calon Kaisar Beng!"

Kata Li Tiang-hong tegas.

Demikianlah dengan bujukan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong akhirnya membatalkan untuk memisahkan diri dari laskar itu.

Namun oleh dorongan kekecewaannya kepada tabiat Pangeran Cu Leng-ong, maka telah terucap secara tegas, bahkan diucapkan dua kali, bahwa Pangeran Cu Hin-yang-lah yang didukung oleh Li Tiang-hong sebagai Kaisar apabila besok perjuangan mereka menang.

Bukan Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran Cu Leng-ong lebih tua.

Pangeran Cu Leng-ong dan juga semua orang yang ada di tempat itupun mendengar jelas-jelas ucapan Li Tiang-hong itu, dan hati merekapun bergolak, paling aman adalah bungkam lebih dulu, mengikuti arah angin saja.

Sedangkan Pangeran Cu Hin-yang sendiripun terkesiap, ucapan Li Tiang-hong yang terlalu terang-terangan itu membuatnya merasa tidak enak terhadap kakandanya sendiri, apalagi ketika diliriknya wajah sang kakak menjadi gelap penuh dendam mendengar hal itu.

Namun ia cukup lega bahwa ia berhasil mencegah Li Tiang-hong memisahkan diri, soal kakandanya salah paham, bisa dijelaskan kemudian.

Kepada Cu Yok-tek-pun Pangeran Cu Hin- yang menghimbau.

"Kakanda Yok-tek, aku harap kakanda memikirkan kembali keputusan kakanda... ."

Memangnya di sinilah letak kelemahan Cu Yok-tek.

Kepada siapapun ia selalu mengaku- aku sebagai kerabat Istana Kerajaan Beng karena ia juga she Cu, dan ia paling jengkel kalau ada orang yang tidak percaya atau mentertawakan silsilah keluarganya yang sebenarnya ia karang sendiri itu.

Maka ketika mendengar seorang Pangeran seperti Cu Hin- yang ini memanggilnya dengan sebutan "kakanda"

Yang berbau kebangsawanan, maka separuh dari kemarahannyapun sudah hilang, hidungnyapun mulai kembang-kempis karena bangga.

Ia berharap agar Pangeran Cu Hin-yang mengulangi panggilannya tadi agar semua telinga di ruangan ini mendengarnya......

Memang Pangeran Cu Hin-yang melanjutkan kata-katanya.

"kakanda, aku mohon kakanda Pangeran ingat darah Kerajaan Beng yang mengalir di tubuh kakanda. Relakah kakanda Pangeran melihat negeri kita diinjak- injak bangsa Man-chu karena kita kurang bersatu? apakah kakanda Pangeran hanya mementingkan Koay-to-bun saja?"

Sekali ini kena. Bukan hanya "kakanda"

Bahkan "kakanda Pangeran", sebutan yang sudah lama ia dambakan. Maka Cu Yok-tekpun segera menyahut meskipun masih dengan pura- pura menggerutu jengkel.

"Baik, mengingat kita sekeluarga maka aku akan tetap disini bersama laskarku. Tapi nasehati baik-baik kakakmu itu, bukan dia saja yang she Cu! Aku sudah memeras keringat dan kehilangan banyak anakbuahku, di sini masih dimaki-maki juga seperti aku ini orang yang tak berharga sama sekali, huh!"

Pangeran Cu Hin-yang berseri gembira mendengar kesanggupan itu, setelah mengucapkan terima kasih kepada Li Tiang- hong dan Cu Yok-tek, maka iapun minggir dan tidak menghalangi lagi kedua orang itu meninggalkan ruangan.

Setelah kedua orang itu pergi, Pangeran Cu Hin-yang mendekati kakaknya dengan wajah yang berseri, katanya.

"Kakanda, akhirnya semuanya berjalan dengan baik dan... ."

Namun dengan wajah gelap dan mata yang memancarkan kedengkian, Pangeran Cu Leng- ong berkata sinis.

"Baik buatmu sendiri, calon Kaisar."

Pangeran Cu Hin-yang terkejut.

"Kakanda, tunggu dulu, Jangan salah paham. Dalam keprihatinan perjuangan kita yang masih lama ini, kurang pada tempat nya kalau kita belum- belum sudah memperebutkan tahta... ."

Karena Pangeran Cu Leng-ong berjalan ke arah ruang dalam, maka adiknya berbicara sambil mengikutinya dari belakang, namun sikap Pangeran Cu Leng-ong sama sekali tidak mendengarkan apapun yang diucapkan adiknya itu.

Bahkan daun pintu dibantingkannya keras Keras sehingga hampir saja membentur hidung adiknya.

Pangeran Cu Hin-yang memandang pintu yang tertutup rapat di depannya itu sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pintu yang rapat itu seakan melambangkan pula pintu hati kakaknya yang juga rapat dan tertutup dari penjelasan apapun juga.

Ia menoleh ketika merasa sebuah telapak tangan menepuk pundaknya dari belakang, ternyata Kongsun Hui.

"Kakanda tidak mau mendengar penjelasan apapun dari padaku,"

Keluh Pangeran Cu Hin- yang dengan hati yang pedih, kata-kata Li Ciangkun tentang calon Kaisar tadi agaknya telah melukai hati kakanda dan ia marah kepadaku."

"Tenanglah, pangeran. Nanti lama-kelamaan kemarahannya akan reda juga dan kalian dapat berbicara sebagai sepasang kakak beradik yang selama ini rukun-rukun saja bukan?"

"Mudah-mudahan begitu, Kongsun Ciangkun."

Ketika malam tiba, maka di desa tempat pertahanan terakhir laskar Cu Leng-ong itu telah terjadi sesuatu.

Orang-orang dari gerombolan-gerombolan Ngo-pa-hwe, Tiat-hi- pang dan Kang-li-ong-pang yang sudah patah semangat karena kehilangan pemimpin- pemimpin mereka, mulai merasa tidak ada gunanya bertempur lebih lanjut di pihak Pangeran Cu Leng-ong.

Dulu mereka memang terpikat janji-janji muluk Pangeran Cu Leng-ong yang menjanjikan kedudukan enak dan kekuasaan besar apabila perjuangan berhasil, tapi setelah mereka mengalami sendiri jalannya pertempuran tadi siang, semangat merekapun patah.

Bagaimana mungkin sebuah laskar yang berjumlah jauh lebih banyak dari musuh dan tinggal selangkah lagi di ambang kemenangan, tiba-tiba malah berbalik terpukul mundur dalam kekalahan? Kehebatan Pasukan Naga Terbang Kerajaan Man-chu benar-benar telah mengguncangkan jantung mereka, dan mereka tidak punya sisa keberanian sedikitpun untuk menerusKan perlawanan.

Melawan Hui-liong- kun sama saja dengan membenturkan kepala sendiri ke batu karang, demikian rata-rata mereka berpendapat.

Maka merekapun berbisik-bisik satu sama lain, mencoba mengetahui pendapat teman-temannya.

"Apakah masih ada gunanya kita mempertaruhkan nyawa buat Pangeran itu?"

Seorang anggota Ngo-pa-hwe yang bertubuh tegap dan berberewok kaku berbisik kepada temannya yang diketahuinya sebagai anggota Tiat-ji-pang.

Beberapa orang itu tengah duduk melingkari sebuah api unggun di sebuah kebun kosong yang dijadikan tempat istirahat mereka dalam desa.

Orang Ngo-pa-hwe yang bertanya itu tahu pula bahwa orang-orang Tiat-hi pang yang ditanayi itu tengah sibuk mengunyah daging bakar, namun disempat-kannya juga mulutnya untuk menyahut.

"Tidak ada gunanya lagi. Kalian orang-orang Ngo-pa-hwe dan kami orang-orang Tiat-hi-pang bernasib sama saja. Tanpa pemimpin kita, maka suara kita tidak terwakili dalam setiap perundingan, maka kita tidak lebih dari potongan-potongan kayu bakar yang akan dilempar-lemparkan sebagai umpan ke tengah-tengah api peperangan. Lalu golongan-goldngan lain dalam laskar inilan yang akan memetik keuntungan."

Pembicaraan antara orang Ngo-pa-hwe dan orang Tiat-hi-pang itu ternyata menarik perhatian beberapa teman-teman mereka untuk duduk berkerumun dan ikut mendengarkan maupun menanggapi.

Ketika Orang Ngo-pa-hwe itu melihat bahwa yang mengerumuniinya itu adalah orang-orang senasib dengan mereka, maka dia berani melanjutkan pembicaraan.

"Kita tidak ingin dijadikan umpan. Kita harus"

Melarikan diri malam ini juga, kalau menunggu sampai pagi kita akan keburu diserbu oleh tentara kerajaan."

"Lari meninggalkan laskar"

Itulah yang berbisisk-bisik dari telinga ketelinga di kalangan laskar yang putus asa itu.

Dan bukan cuma dibisikkan, tapi dilaksanakan juga.

Satu dua orang menyelundup keluar desa, ada yang memanjat dinding.

Namun ada pula yang terang-terangan dengan membunuh teman mereka sendiri yang sedang menjaga pintu gerbang, lalu kemudian membuka pintu gerbang dan merekapun kabur dalam kelompok yang berjumlah besar.

Demikianlah berlangsung sampai pagi.

Bahkan yang ikut minggat bukan cuma orang- orang Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang- liong-pang yang putus-asa, tapi juga sebagian rang-orangnya Li Tiang-hong dari Hun-lam karena mereka telah bosan menjalani perang selama belasan tahun, dan juga sebagian dari orang-orang Jit-goat-pang yang takut mati.

Keesokan harinya, ketika Pangeran Cu Leng- ong menyuruh memberikan seluruh laskar di sebuah lapangan di pinggir desa, terkejutlah ia ketika melihat laskarnya susut hampir separoh lebih.

"Apakah yang lain-lainnya belum bangun tidur?"

Ia bertanya kepada Kong-sun Hui yang berdiri mendampinginya.

"Bangunkan mereka dan beri peringatan keras kepada mereka!"

"Baik, Pangeran."

Tapi sejenak kemudian Kongsun Hui sudah datang kembali dengan airmuka yang aneh. Lapornya.

"Mereka bukannya belum bangun, Pangeran, tetapi semalam agaknya mereka telah minggat.Meninggalkan laskar demi keselamatan diri sendiri."

"Apa?! Pangeran Cu Leng-ong melonjak karena kagetnya. Hampir saja kata-kata makian menghambur lagi dari mulutnya. Namun ketika terpandang olehnya wajah Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek yang tegang itu, maka Pangeranpun menelan kembali maki-makian yang sudah "siap"

Disemburkan itu.

Ia kuatir Li Tiang-hong akan marah seperti kemarin sore, dan jika sampai ia ikut-ikutan meninggalkan laskar pula, maka laskarnya benar-benar akan berantakan.

Sesaat Pangeran Cu Leng-ong kebingungan harus berbuat apa menghadapi kekacauan dalam laskarnya itu.

Tanyanya kepada semua yang hadir.

"Kalian punya pendapat?"

Li Tiang Hong segera maju ke depan dan memberi hormat. Katanya.

"Hamba punya pendapat, Pangeran. Agaknya kekuatan kita telah menjadi sangat lemah sehingga tidak mungkin membendung pasukan lawan. Kita harus bijaksana, dalam mengukur kekuatan diri sendiri dan kekuatan lawan. Lebih baik kita mundur ke gunung lebih dulu, sambil bertahan dan menyusun kekuatan. Di gunung kita akan sulit untuk diserang."

Pangeran Cu Leng-ong mengerutkan alis.

"Aku kira pendapatmu kurang tepat Li Ciangkun. Lari terbirit-birit seperti anjing kena gebuk yang demikian itu hanya akan membuat laskar kita bertambah merosot semangatnya. Dan jika kita balik ke persembunyian kita yang pengab itu, entah kapan lagi kita mendapat kesempatan seperti ini, untuk bangkit menegakkan kepala kita dan mengibarkan bendera perlawanan secara terang-terangan...?"

Li Tiang-hongpun mengundurkan diri.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kupingnya agak merah karena dikatakan "seperti ajing kena gebuk".

Andaikata ia tidak terikat janji dengan Pangeran Cu Hin-yang, ia lebih senang memisahkan diri saja dan berjuang sendirian di Hun-lam sana.

Di sini ia berjuang bersama dengan seorang yang keras kepala, harga dirinya berlebih-lebihan, namun bodoh dalam hal siasat perang.

Maka Li Tiang-hong merasa lebih baik diam saja.

Jika bertengkar malahan akan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh laskar sendiri, sebab Pangeran Cu Leng-ong pun punya pengikut-pengikutnya yang setia, yang siap menjalankan semua perintahnya tidak peduli benar atau salah.

Sebenarnya, yang masih ada dalam perasaan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak lain adalah perasaan sakit hati yang belum hilang sejak perdebatan kemarin sore.

Ketika Li Tiang- hong mengatakan bahwa dirinya hanya enak- enak di dalam rumah sementara Li Tiang-hong dan lain-lainnya berada di medan perang, juga ucapan Li Tiang-hong bahwa Pangeran Cu Hin- yanglah "calon Kaisar Kerajaan Beng", bukan dirinya.

Karena itu, setelah berpikir semalaman segera Pangeran Cu Leng-ong merasa bahwa pengaruhnya atas laskar telah disaingi oleh pengaruh adiknya sendiri.

Ia memutuskan bahwa ia harus berani bertindak berani agar pengaruhnya tidak terdesak oleh pengaruh adiknya.

Katanya.

"Kalau kita setia kepada Kerajaan Beng, kita akan menunjukkan kepada musuh bahwa kita masih sanggup memberi pukulan mematikan buat mereka. Siapkan seluruh laskar. Aku sendiri akan memimpin prajurit- prajuritku di depan pasukan. Yang bernyali kecil dan tidak bersedia berkorban, silahkan minggir dari barisanku!"

Orang-orang yang ahli dalam peperangan seperti Li Tiang-hong dan Kong-sun Hui diam- diam mengeluh dalam hati. Cara bertempur Pangeran Cu Leng-ong yang hanya didasari kemarahan tak terkendali.

"keberanian"

Atau "kesetiaan"

Dan kata-kata muluk yang tidak ber- pijak pada kenyatan itu, jelas bukan cara bertempur yang baik.

Hanya akan menghambur-hamburkan nyawa manusia saja.

Tapi menilik sikap Pangeran Cu Leng-ong saat itu, agaknya perintahnya itu sudah tidak dapat ditarik lagi.

Pangeran Cu Leng-ong sendiri ingin menjadi pahlawan di medan perang dan semua pengikutnya harus mengiringinya.

"Bagaimana ini?"

Bisik Kongsun Hui kepada Li Tiang-hong.

"Nanti diam-diam kita atur sendiri barisan kita setelah ada di medan perang,"

Sahut Li Tiang-hong sambil berbisik pula.

"Bukan karena kita tidak taat kepada Pangeran, tetapi sekedar bertindak menurut ilmu perang agar tidak hancur sama sekali oleh musuh. Kalau maunya Pangeran sih langsung menyerbu saja, tidak dengan pertimbangan-pertimbangan lain."

Tapi di saat orang-orang itu mempersiapkan diri, tiba-tiba seorang laskar berlari-lari masuk dengan gugupnya menghadap Pangeran Cu Leng-ong. Lapornya.

"Ampun, Pangeran, hamba menghadap tanpa dipanggil. Pasukan musuh sudah terlihat di sekeliling desa dan mengepung desa ini dari empat arah!"

Pangeran Cu Leng-ong dan panglima- panglimanya terkejut.

Dan belum lenyap rasa kejut mereka, di luar sana sayup-sayup telah terdengar sorak-sorai orang bertempur, agaknya pasukan musuh sudah mulai merangsak ke dinding sekitar desa, dan laskar pemberontak sedang mempertahankannya.

Dalam keadaan seperti itu, nampaklah bahwa Pangeran Cu Leng-ong bukan seorang Panglima Perang yang baik.

Tadi ia bicara dengan gagah katanya akan menyerbu pasukan musuh, namun setelah mendengar bahwa musuh sudah menggempur lebih dulu, maka iapun menjadi gemetar dan jatuh terduduk di kursinya yang berukir indah itu.

Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Untunglah Pangeran Cu Hin-yang lebih tenang dari kakandanya itu, segera dialah yang mengatur pertahanan meskipun harus minta persetujuan kakandanya.

"Li Ciangkun, Kongsun Ciangkun dan Kakanda Cu Yok-tek, cepat pimpin pasukan kalian masing-masing untuk mempertahankan tembok kota sebelah barat, utara dan timur. Aku mempertahankan selatan. Bagaimana kakanda, setuju?"

Meskipun dalam beberapa hari terakhir ini Pangeran Cu Leng-ong sangat dengki dan bahkan benci kepada adiknya yang dianggap akan menyaingi kekuasaannya itu, namun dalam kebingungannya maka usul adiknya itu tanpa pikir panjang disetujuinya dengan sebuah anggukan kepala.Tapi ia masih bertanya.

"Kalau semuanya menjaga benteng, siapa yang melindungi aku di sini?"

Suaranya itu diucapkan tanpa malu-malu lagi.

Andaikata suasana tidak sedang tegang dan tidak kuatir pangeran Cu Hin-yang tersinggung, ingin rasanya Li Tiang-hong tertawa terbahak- bahak melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong itu.

Sesunguhnya Pangeran itu bukan seorang yang tidak becus sama sekali.

Ilmu pedangnya didikan Hoa-san-pay, dan dalam penyerbuan penjara kerajaan tempo hari bersama para pendekar, dia ikut serta pula.

Namun kali ini keberaniannya sudah terlanjur menjadi susut setelah mengalami kekalahan bertubi-tubi bagi laskarnya itu.

Pangeran Cu Hin-yang segera menjawab.

"Biarlah Ciu Ciangkun bersama seratus anakbuahnya menjaga kakanda disini. Yang disebut Ciu Ciangkun adalah seorang perwira Kerajaan Beng bernama Ciu Heng yang bertampang kambing bandot. Ia anggota Jit- goat-pang yang kedudukannya lebih rendah sedikit dari Kongsun Hui, dan ilmu silatnyapun lumayan juga. Setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangguk, maka barulah para pentolan laskar pemberontak itu bubar untuk mengatur barisannya masing-masing. Sementara sorak- sorai di sekeliling desa makin riuh, menandakan semakin sengitnya pertempuran. Biarpun laskar pemberontak semangatnya tidak setinggi hari- hari kemarin, namun karena mereka dalam kedudukan yang lebih baik, yaitu bertahan di atas dinding-dinding yang terbuat dari batu dan tanah liat itu, maka mereka dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Tidak mudah bagi pasukan Hui-liong-kun untuk merebut dinding, meskipun mereka menyerang dari segala penjuru dengan panah dan lembing, bahkan dengan bandil-bandil batu. Ketika itulah Ha To-ji muncul dari sebelah timur. Di tangannya ia membawa sebuah sebuah bandul besi sebesar semangka yang digantungkan seutas rantai panjang. Bola besi itu dicat warna bergaris-garis hijau dan kuning sehingga mirip sebuah semangka yang segar. Itulah senjata milik ketua Kang-liong-pang, Ji Tay-hou, yang kemarin tewas, Kemarin Ha To-ji melihat bagaimana Ja Tay-hou menggempur pintu gerbang desi hanya dengan dua kali hantam saja, maki timbul pikiran Ha To-ji untuk menggempur pintu gerbang pertahanan terakhir Cu Leng-ong itu dengan cara yang sama pula. Ha To-ji yang bertenaga besar dan berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itupun nierasa ia sanggup berbuat seperti &pa yang diperbuat oleh Ji Tay-hou kemarin. Itu lebih cepat daripada menyuruh para prajurit untuk menggotong sebatang balok besar dan memukulkannya berulang-ulang ke daun pintu. Bersambung

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid ESAAT kemudian, bandul besi besar sudah berputar kencang di ujung rantainya, sementara Ha To-ji mendekat ke arah pintu gerbang timur tanpa peduli hujan panah dan lembing, sebab panah-panah dan lembing- lembing musuh tersapu bersih oleh putaran rantainya.

Dibarengi sebuah bentakan keras, bola besi bercat hijau kuning itupun meluncur deras dan menghantam pintu gerbang desa dengan suara gemuruh.

Hantaman pertama mencuat palang pintunya retak, lalu Ha To-ji memutar bola besinya sekali lagi dan menghantamkannya lagi, dan hantaman kedua benar-benar membuat pintu gerbang itu terbuka leba-bar.

S "Bagus, Ha To-ji!"

Teriak Pakkiong Liong yang melihat hal itu dari dekat, lalu teriaknya kepada prajurit-prajurit yang mengikutinya.

"Saudara-saudara ikuti aku masuk ke sarang pemberontak ini!"

Maka dipelopori oleh Pakkiong Liong, prajurit Hui-liong-kun itupun segera menyerbu masuk lewat pintu gerbang yang telah dibobol itu. Ha To-ji sendiri segera membuang benda "warisan"

Ji Tay-hou itu, dan menghunus golok lengkung yang tergantung di pinggangnya, dan ikut menerjang maju bersama panglimanya.

Selain Ha To-ji, kelihatan pula Panglima Tay- tong Kwe Sin-liong bersama perwira-perwira andalannya Hoa Wi-jong dan Leng Bun yang mengamuk tanpa ketemu lawan yang setimpal itu.

Pemimpin laskar pemberontak yang mempertahankan pintu timur itu adalah Cu Yok-tek, ketua Koay-to-bun.

Dia seorang diri sudah terang tidak sanggup menahan majunya Pakkiong Liong, Ha To-ji dan perwira-perwira Tay-tong itu.

Laskarnya segera menjadi kocar- kacir dan terdesak ke dalam desa.

Sementara itu, meskipun pintu gerbang utara, barat dan selatan belum berhasil digempur sehingga terbuka, namun bobolnya pintu timur itu sudah cukup untuk mempengaruhi seluruh medan pertempuran di desa-desa itu.

Prajurit-prajurit Hui-liong-kun segera "mengalir"

"masuk ke dalam desa bagaikan air bah yang tak terbendung lagi, menguasai jalan-jalan, lorong-lorong, halaman halaman rumah dan bahkan kebun-kebun kosong. Di segala tempat laskar pemberontak mencoba bertahan dengan gigihnya, tapi Hui- liong-kun terus mendesak maju setapak demi setapak. Cu Yok-tek berjulukan Say-bin-ko-ay-to (Si Golok Kilat Bermuka Singa) itu telah bertemu tandingan seimbang, yaitu Kwe Sin-liong yang juga mahir dengan ilmu golok Tay-hong-to-hoat (Ilmu Golok Angin Badai). Maka golok kedua seteru itu saling menyambar dengan kehebatannya masing-masing. Permainan golok Cu Yok-tek mengutamakan kecepatan, bacokan- bacokannya begitu deras, goloknya yang lebar, tebal dan panjang serta berat itu digerakkannya dengan begitu ringan seperti orang menger- akkan sepotong kayu saja. Pantaslah kalau tokoh itu mendapat julukan "koan-to"

Atau si "Golok Cepat".

Tapi kali ini bertemu dengan lawan yang mahir ilmu golok Tay-hong-to-hoat yang apabila dimainkan benar-benar mirip angin prahara yang menggulung lawannya dengan dahsyatnya.

Sementara itu, pintu utara digempur oleh Tong Lam-hou dan beberapa perwira lainnya.

Pasukan Hui-liong-kun agak mendapat kesulitan ketika mereka tidak berhasil mendobrak pintu gerbang dengan balok kayu besar yang di sodok-sodokkan itu.

Tong Lam- hou menjadi tidak sabar.

Disuruhnya prajurit- prajuritnya minggir, lalu Tong lam-hou mengerahkan tenaga dalam ke telapak tangannya, dan dihantamkannya sekuat tenaga ke pintu gerbang yang tebal dan palang yang sebesar paha itu tidak sanggup menahan kekuatan Si Harimau Selatan yang perkasa itu.

Hanya dengan sekali pukul saja maka palang pintu itupun patah, bahkan kedua patahannya sampai mencelat melukai beberapa laskar pemberontak yang bertahan di balik pintu gerbang.

Daun pintunya sendiri pecah berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan kayu selebar telapak tangan.

Maka prajurit Hui-liong-kun dengan dipelopori oleh Tong Lam-hou dan Wa-nyen Hui segera menyerbu masuk lewat pintu itu.

Kongsun Hui mempertahankan diri di balik pintu bersama laskarnya.

Pada wajahnya sudah terbayang tekadnya untuk mempertahankan pertahanan terakhir itu habis-habisan, sampai titik darahnya yang terakhir.

Karena itulah bagaikan mendapat kekuatan dia pimpin prajurit-prajuritnya untuk menghadang musuh.

"sambil berteriak-teriak.

"Prajurit-prajurit Kerajaan Beng yang setia dan gagah perkasa!"

Inilah saatnya kalian menunjukkan kesetiaan dan keberanian kalian, hayo maju bersama aku. yang takut lebih baik cepat-cepat mencopot seragamnya dan berlutut minta ampun kepada musuh!"

Kata-kata itu memang berhasil membakar anakbuahnya yang sebagian terdiri dari bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng itu.

Maka para bekas prajurti itu bagaikan terbakar hatinya dan segera merangsak maju tanpa kenal takut; sehingga pertempuranpun berlangsung dengan hebat.

Di antara laskar pembeerontak dan prajurit- prajurit Hui-liong-kun yang bercampur-aduk untuk saling membantai itu, menyelinaplah Giok-seng Tojin gadungan bersama-sama dengan dua orang rekannya, Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang berpakaian seperti laskar biasa itu.

Mereka bertiga masih merasa penasaran karena kemarin belum berhasil membunuh Tong Lam-hou, maka kali ini mereka akan mengulangi lagi usaha mereka, namun ditambah dengan akal yang agak licik.

Ketika mereka melihat Tong Lam-hou tengah mengamuk di tengah-tengah laskar pemberontak, maka Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to segera berkata kepada kedua rekannya.

"Nah, itu dia. Akan kupancing ke kebun kosong dekat rumpun bambu itu, kalian bersiap-siaplah di sana, cepat!"

Lalu Giok-seng palsu itupun segera mendesak maju untuk mendekati Tong Lam- hou sambil berteriak.

"Bangsat Manchu, jangan terlalu ganas. Akulah lawanmu!"

Tong Lam-hou menoleh ke arah orang berteriak itu, dan iapun mengenali imam berjubah kuning yang kemarin bertempur dengannya. Maka Tong Lam-hou, itupun menjawab.

"Bagus hidung kerbau keparat, kaupun seorang agamawan yang palsu, sebab ikut bergabung dengan para pengacau untuk mengacau negara!"

Han Kiam-to melancarkan tusukan pedang tiga kali beruntun untuk memancing kemarahan Tong Lam-hou, setelah itu diapun tiba-tiba meloncat ke atas sebuah tembok yang tinggi sambil berkata menantang.

"Di sini terlalu sesak dengan manusia. Kalau kau tidak bernyali tikus, marilah kita cari tempat yang sepi untuk mengukur kepandaian kita!"

Tanpa pikir panjang lagi Tong Lam-hou juga meloncat menyusul, sehingga ditengah-tengah riuhnya pertempuran di tengah desa itu, kedua orang itu bagaikan dua ekor burung yang berkejaran di atas atap-atap rumah atau meloncati pohon-pohon tinggi.

Tong Lam-hou memang berilmu tinggi, namun tipu licik orang- orang dunia persilatan belum dipahaminya, sehinggai begitu mudahnya ia terpancing oleh Giok-seng Tojin palsu itu.

Wanyen Hui ketika melihat, temannya itu pergi mengejar musuh begitu saja, segera meneriakinya.

"Saudara Tong, hati-hati dengan akal licik musuh!"

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun sambil melayang di atas atap sebuah rumah, Tong Lam-hou berteriak menjawab.

"Jangan kuatir, aku membutuhkan waktu yang singkat saja untuk membereskan keparat ini! Saudara Wanyen, pimpin dulu pasukan di sini!"

Lalu Tong Lam-hou itupun melesat mengejar Giok-seng Tojin.

Ketika tiba di sebuah kebon kosong yang banyak pohon bambunya, dan masih sunyi karena pertempuran belum sampai ke situ, maka Giok-Seng Tojin palsu segera meluncur turun dan menyelinap masuk ke dalam rumpun bambu itu.

Tong Lam-hou masih sempat melihat ujung jubah imam yang berwarna kuning itu berkibar sebelum menghilang dari pandangan.

Dengan pedang melintang di depan dada Tong Lam-hou meloncat memburu tanpa rasa cemas sedikitpun.

Dalam pikirannya ia menganggap semua ahli silat di dunia ini sejujur dirinya, tidak ada yang berbuat curang.

Namun ternyata kemudian Tong Lam-hou telah memasuki jebakan.

Begitu ia menerjang ke sebuah rumpun bambu, maka dari dua buah rumpun yang sebelah menyebelah muncullah serangan-serangan licik.

Dari satu rumpun berhamburan pisau-pisau belati yang logamnya berwarna hitam keungu-unguan, menandakan bahwa pisau-pisau itu diolesi dengan racun yang amat ganas.

Empat pisau sekaligus terlempar dari tangan Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang muncul menyergap dari balik rumpun itu.

Sedang dari rumpun lainnya Seng Cu-bok muncul sambil melemparkan dua butir peluru apinya.

Tong Lam-hou terkejut ketika mendengar desir-desir angin yang menyergap dari belakang itu.

Tanpa menoleh ia langsung menggulingkan badannya dengan gerakan penyelamatan diri Koan-long-ta-kun (Serigala Bergulingan).

Pisau- pisau beracun luput semua dan peluru apipun hanya mengena serumpun bambu sehingga langsung meledak dan berkobar.

Di saat Tong lam-hou dalam keadaan kerepotan itulah maka serangan lainnya datang pula.

Kali ini dari Han Kiam-to sendiri, yang tiba-tiba saja telah meluncur balik ke belakang dan pedangnya dengan keji menikam ke leher Tong Lam-hou yang tengah bergulingan.

Tokoh golongan hitam yang berjuluk Sat-jio-hong-kui (Iblis Gila Bertangan Besi) ini memang tidak percuma menyandang julukannya yang seram itu.

Tong Lam-hou benar-benar dalam bahaya, meskipun tikaman itu berhasil terhindar dari lehernya, namun menggores pundaknya.

Yang membuat Tong Lam-hou terkejut adalah ketika ia merasa luka pedang itu tidak menimbulkan rasa pedih seperti biasanya, melainkan malahan tidak ada rasanya sama sekali, dan sesaat kemudian mulai terasa panas dan gatal-gatal di sekjtar mulut luka.

Jelas sekarang; bahwa pedang Han Kiam-to itu diolesi racun.

Menyadari hal itu, Tong Lam-hou meloncat bangkit dengan marahnya dan hendak melabrak Han Kiam-to.

Tapi pada saat ia hendak menyerang, tiba-tiba kepalanya pusing dan kakinya terasa ringan, langkahnyapun terhuyung-huyung sehingga serangan pedangnya luput.

Kiranya racun yang melumuri pedang Han Kiam-to itu begitu tajamnya sehingga hanya dalam beberapa kejapan mata saja sudah langsung bekerja melumpuhkan korbannya.

Pada saat Tong Lam-hou terhuyung-huyung itulah Tong King-bun dan Seng Cu-bok serempak muncul.

Tong King-bun meloncat langsung; dan menghantam tengkuk Tong Lam- hou sekuat tenaga, sehingga robbhlah anak muda itu tak berberdaya lagi.

Tiga orang anakbuah Te-liong Hiangcu itupun menyeringai seperti iblis-ibiis yang menghadapi mayat yang menjadi santapannya.

Kata Han Kiam-to dingin.

"Kita ambil batok kepalanya untuk ditunjukkan kepada Te-liong Hiangcu. Setelah itu kita tinggalkan desa neraka ini secepatnya, Cu Leng-ong sudah bukan urusan kita lagi. Ia akan menang dan menjadi Kaisar ataupun hancur menjadi debu, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita."

"Benar. Saudara Han, kau yang memegang pedang. Cepat penggal kepalanya. Kami sudah menyiapkan ramuan pengawet kepala itu agar tidak membusuk selama dalam perjalanan ke Kui-kiong (Istana Iblis)."

Dengan sebuah gerakan mantap tanpa ragu- ragu, sedikitpun, Han Kiam-to yang menyamar sebagai Giok-seng Tojin itu mengayunkan pedangnya ke leher Tong Lam-hou yang tertelungkup pingsan itu.

Detik berikutnya, yang kehilangan kepala bukannya Tong Lam- hou melainkan malah Han Kiam-to sendiri.

Sesosok bayangan hitam berkelebat begitu cepatnya seperti sesosok hantu saja, dengan gerakan terlihat telah merebut pedang Han Kiam-to sebelum pedang itu menyentuh leher Tong Lam-hou, dan dengan sekali sabet mengelundunglah kepala Han Kiam-to.

Tubuh tanpa kepala itu masih melangkah dua langkah mundur dengan tangan yang bergerak-gerak sesaat, lalu roboh diam.

Tong King-bun dan Seng Cu-bok terkejut bukan kepalang.

Ketika mereka mengamati orang berpakaian hitam yang merebut pedang Han Kiam-to itu ternyata adalah seorang setengah tua berambut kelabu yang mengenakan seragam hitam-hitam prajurit yang paling rendah dari Hui-liong-kun.

Namun orang tua itu memiliki, sepasang mata yang tajam menusuk, dan sikapnya bukan sikap seorang prajurit biasa.

Sebagai bekas orang-orang Hwe-li-ong-pang yang berkhianat kepada Ketua Hwe-liong-pang Tubuh tanpa kepala itu masih melangkah dua langkah mundur dengan tangan yang bergerak- gerak sesaat lalu roboh diam.

dengan berpihak kepada Te-liong Hiangcu, tentu saja Tong King-bun dan Seng Cu-bok mengenal siapakah prajurit palsu itu, dan dengan bibir gemetar mereka menyebut, ?'Thian-liong Hiangcu!"

Memang, orang itu adalah Siangkoan Hong yang dalam Hwe-liong-pang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu, seorang tokoh yang baik ilmu maupun kedudukannya sejajar dengan Te- liong Hiangcu.

Bedanya, Te-liong Hiangcu menghasut sebagian anggota Hwe-liong-pang untuk berkhianat kepada Ketua yang sah, sedangkan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong ini tetap setia kepada Ketua meskipun sang Ketua yang juga kakak seperguruannya itu sudah mati berpuluh tahun yang lalu.

Betapa garangnya Tong King-bun dari Seng Cu-bok namun di hadapan orang ini, mereka tak ubahnya kelinci-kelinci lumpuh di hadapan seekor singa yang kelaparan.

Tidak perlu malu- malu lagi mereka berlutut dan membentur- benturkan jidat mereka ke tanah sambil berkata.

"Salam hormat untuk Hiangcu!"

Siangkoan Hong tertawa dingin, sekilas diliriknya Tong lam-hou yang tertelungkup diam dengan muka kebiru-biruan itu.

Lalu Siangkoan Hong mengeluarkan sebuah botol keramik dari balik bajunya, dari botol itu dituangkan dua butir benda kehitam-hitaman yang berbau tajam.

Setelah botol kecil keramik itu disimpan kembali dalam baju, maka kedua butiran hitam itu ditimang-timangnya dengan telapak tangannya, katanya.

"Pengkhianat- pengkhianat tak kenal malu, coba angkat wajah kalian dan lihat apa yang ada di tanganku ini!"

Tong King-bun dan Seng Cu-bok mengangkat wajah mereka, dan pucatlah kedua wajah itu ketika melihat kedua butiran hitam di tangan Siangkoan Hong itu.

"Ra...racun Penghan...cur Tubuh...

"Betul. Kalian telan seorang sebutir,"

Kata Siangkoan Hong dingin.

"Anggap saja kembang gula."

Kedua gembong golongan hitam yang menjadi pengikut Te-liong Hiangcu itu kini sadar bahwa mereka telah terperosok kesulitan besar.

Adalah di luar dugaan mereka bahwa Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong tiba-tiba saja muncul di sini dengan menyamar sebagai seorang prajurit Hui-liong-kun rendahan.

Mereka cukup paham watak Thian-Liong Hiangcu yang amat keras, amat membenci pengikut-pengikut Te-liong Hiangcu dan menumpasnya tanpa ampun dimanapun bertemu.

Apalagi mereka berdua tertangkap sedang hendak membunuh Tong lam-hou keturunan Tong Wi-siang.

Akhirnya Tong King-bun berdua menjadi nekad.

Tidak melawan mati, melawan juga mati, maka lebih baik melawan saja.

Bagaikan seekor anjing gila tiba-tiba Tong King-bun meloncat, maju sambil membabatkan pedangnya kepada Siangkoan Hong.

Boleh jadi sergapan itu memang cukup cepat dan keji, tapi di hadapan Siangkoan Hong jadi seperti permainan anak- anak saja.

Tanpa berkisar dari tempatnya, Siangkoan Hong mengulur tangan seenaknya dan dengan tepat berhasil menjepit batang pedang Tong King-bun, di lain saat tangannya sudah bergerak ke mulut Tong King-bun yang masih ternganga kaget itu, dan sebutir Racun Penghancur Tubuhpun menggelinding masuk ke perutnya.

Siangkoan Hong mendorong mundur tubuh Tong King-bun sampai beberapa langkah, katanya sambil tertawa.

"Nah, anak manis, kembang gula bagianmu sudah kau telan."

Sementara itu, terdorong oleh rasa takutnya, Seng Cu-bok meloncat akan melarikan diri.

Tapi dengan sekali loncat saja Siangkoan Hong telah menutup jalannya, dan dengan gerakan amat tangkas maka Racun Penghancur Tubuh yang sebutir lagi juga telah dimasukkan ke mulut Seng Cu-bok.

Kedua, bekas Tongcu Hwe-liong-pang pengikut Te-liong Hiangcu itu kini berdiri termangu-mangu dengan mata yang kehilangan semangat.

Racun Penghancur tubuh sudah masuk ke perut mereka, sebentar lagi akan bekerja dan tamatlah nyawa mereka.

Karena itu, yang mereka lakukan kemudian hanyalah duduk bersila di tanah, sementara mata mereka memandang dengan penuh kebencian kepada Siangkoan Hong.

"Kau iblis laknat!"

Geram Tong King-bun menjelang ajalnya.

"Dan kalian adalah pengkhianat- pengkhianat busuk!"

Balas Siangkoan Hong Tak lama kemudian, wajah kedua orang gembong golongan hitam itu menyeringai menunjukkan rasa sakit dan juga takut yang luar biasa, lalu tubuh mereka terbanting ke tanah, menggeliat-geliat dengan kulit tubuh yang semakin menghitam.

Kuiit merekapun mulai pecah dan mengeluarkan cairan hitam berbau busuk, daging meleleh, dan sekejap kemudian yang namanya Tong King-bun dan Seng Cu-bok hanyalah dua bentuk kerangka putih bersih.

Tanpa daging atau kulit secuilpun yang melekat padanya, sebab seluruh tubuhnya sudah mencair jadi air hitam yang meresap ke tanah.

Yang masih utuh cuma rambut dan pakaian mereka.

Racun Penghancur Tubuh yang diramu berdasar kitab warisan Bu-san-jit-kui itu telah menjalankan tugasnya dengan baik, yang dalam Hwe-liong-pang digunakan khusus untuk orang dalam yang membuat kesalahan besar.

Namun belum pernah terdengar bahwa butiran racun itu digunakan terhadap bukan orang Hwe-liong-pang.

Sesaat Siangkoan Hong memandang kedua tengkorak itu sambil menarik napas.

"Jangan menyesal. Itulah peraturan Hwe-liong-pang bagi setiap pengkhianat. Pemimpin kalian Te-liong Hiangcu itupun suatu saat nanti akan menerima bagiannya."

Kemudian ia berjongkok di dekat tubuh Tong Lam-hou dan dengan tangkas menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun.

Lalu dipanggulnya tubuh Tong Lam-hou untuk dibawa pergi dari situ.

Diterjangnya saja medan perang yang penuh dengan senjata-senjata yang berkelebatan dari segala arah itu.

Hanya dengan mengibaskan tangannya, di depannya muncullah tenaga tak berwujud yang seolah-olah membuka jalan baginya, tidak peduli prajurit Hui-liong-kun atau laskar pemberontak akan segera tersibak terguling-guling oleh kebasan tangan Thian- liong Hiangcu Siangkoan Hong.

Akhirnya orang tua itu dengan membawa Tong Lam-hou telah menghilang di lereng- lereng bukit sana.

Sementara itu, jalannya pertempuran tidak seimbang, semakin lama semakin Jelas bahwa kekalahan sudah membayangi pihak laskar pemberontak.

Empat pintu gerbang sudah berhasil didobrak semuanya oleh pasukan Hui- liong-kun.

Di beberapa bagian perlawanan laskar pemberontak masih gigih, bahkan menjurus ke perbuatan bunuh diri beramai- ramai, karena setianya mereka kepada Kerajaan Beng.

Namun lebih banyak lagi laskar pemberontak yang patah semangat dan memilih untuk meletakkan senjata ketika Pakkiong Liong mengeluarkan seruan untuk menyerah.

Seluruh desa hampir mutlak dikuasai pasukan kerajaan.

Di gedungnya, pangeran Cu Leng-ong terus menerus mendengarkan laporan dari medan pertempuran.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dengan hati terguncang hebat didengarnya berita gugurnya Kongsun Hui, gugurnya Li Tiang-hong, menyerahnya Cu Yok- tek kepada musuh.

Dan yang terakhir, Pangeran Cu Hin-yang juga gugur setelah mempertahankan desa pertahanan terakhirnya dengan mati-matian.

Sebelum hari menjadi sore, Hui-liong-kun di bawah pimpinan Pakkiong Liong yang dibantu pasukan Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong sudah mutlak menguasai seluruh desa.

Laskar pemberontak yang nekad melawan dibasmi, sedangkan yang menyerah segera dilucuti senjatanya dan dikumpulkan di suatu tempat yang luas dengan tangan terikat dan diawasi sejumlah prajurit.

Pakkiong Liong sendiri, diiringi oleh perwira-perwiranya segera menuju ke gedung Pangeran Cu Leng-ong, untuk menangkap biang pemberontakan itu.

Sebelumnya, pengawal- pengawal gedung itu sudah dipaksa untuk menyerah lebih dulu setelah mengalami pertempuran singkat.

Begitu Pakkiong Liong dan perwira- perwiranya mulai melangkahi tangga bangunan di tengah desa yang selama ini menjadi "pusat pemerintahan Kerajaan Beng"

Itu, mereka terkejut ketika mendengar dari dalam gedung ada teriakan.

"He, siapa yang berani masuk ke istanaku tanpa aku panggil?!"

Pakkiong Liong tertegun sejenak dan menghentikan langkahnya, sejenak ia berpandangan dengan perwira-perwiranya, lalu katanya.

"Hati-hatilah, barangkali dalam gedung itu masih ada sekelompok pengikut Pangeran Cu Leng-ong yang lebih suka berbuat nekad daripada menyerah."

Perwira-perwiranya menganggukkan kepala dan mereka melangkah lagi.

Ternyata tidak ada siapa-siapa dalam gedung itu, kecuali Pangeran Cu Leng-ong yang tengah duduk sendiri di kursinya yang berukir indah itu.

Ia memakai jubah warna kuning yang baru saja digambarinya sendiri dengan gambar naga, digambari dengan tinta bak sehingga berlepotan tak keruan, dan gambar naganyapun acak-acakan, lebih mirip gambar seekor Kadal.

Jubah kuning bersulam naga adalah jubah keagungan "seorang' kaisar, dan agaknya pangeran Cu Leng-ong sudah menganggap dirinya sebagai Kaisar sehingga ia menggambari jubahnya dengan naga.

Hampir-hampir tak percaya Pakkiong Liong ketika melihat keadaan pemimpin "Sri Baginda"

Itu.

Selain jubah kuningnya yang tak karuan itu, kepalanya memakai mahkota-mahkotaan yang terbuat dari kertas bekas bungkus makanan sementara matanya berputar-putar liar ke sana ke mari sambil menyengir-nyengir sendiri.

Hanya ada satu kesimpulan, bahwa Pangeran Cu Leng-ong telah menjadi gila karena kegagalan ambisinya.

Berita-berita kekalahan dan kematian Kongsun Hui dan lain-lainnya yang selama ini setia kepadanya, apalagi Pangeran Cu Hin-yang juga gugur, telah mempercepat keruntuhan jiwa Pangeran ini.

Akhirnya beginilah jadinya.

Ketika melihat Pakkiong Liong dan lain- lainnya melangkah masuk, Pangeran Cu Leng- ong cepat berteriak.

"He, bagaimana kabarnya medan perang? Musuh sudah terusir bukan? Bagus! aku segera akan bertahta sebagai Kaisar Kerajaan Beng, kalian cepat berlutut!"

Kembali Pakkiong Liong saling melirik dengan perwira-perwiranya.

Adalah lebih mudah bagi mereka untuk menghadapi orang- orang bersenjata yang melawan, daripada menghadapi seorang yang miring otaknya tanpa senjata.

Sementara Pangeran telah berteriak lagi.

"He, kenapa kalian belum juga berlutut kepada raja kalian?! Kalian minta dihukum penggal kepala?"

Akhirnya Pakkiong Liong merasa iba juga kepada Pangeran yang telah menjadi gila karena gagalnya semua impiannya iapun berdesis perlahan kepada perwira-perwiranya.

"Yang penting dapat membawa dia ke Pak-khia. Yang otaknya waras tidak ada jeleknya mengalah sedikit kepada yang gila. ayo berlutut."

Maka pakkiong Liong berlutut disertai perwira-perwiranya, meskipun dengan menahan senyum. Sementara Pangeran Cu Leng-ong telah berteriak lagi.

"Apakah kalian lupa tata tertib kerajaan kita yang agung ini? Sehingga kalian hanya berlutut saja tanpa berbuat lain?"

"Oh, ya, maaf, Pange,..eh, Sri Baginda,"

Kata Pakkiong Liong.

"Kawan-kawan, hayo ucapkan salam panjang umur kepada Sri Baginda gil_____eh, yang agung ini."

Dengan setengah hati perwira-perwira itupun berteriak.

"Ban-swe! "Ban-swe!"

Pangeran Cu Leng-ong nampak puas. Iapun tertwa cekikikan, namun tiba-tiba ia berteriak lagi.

"He, bagaimana jalannya pertempuran? Kalian belum melaporkan kepadaku!"

Tanpa disuruh, Pakkiong Liong berdiri dari dari berlututnya, dan menjawab.

"Musuh sudah diusir. Bahkan kota Pak-khia sudah kita rebut. Kami akan membawa Sri baginda ke Pak-khia, kereta kebesaran Sri Baginda sudah kami siapkan di luar. Marilah, Sri Baginda."

"Bagus! Kalian adalah panglima-panglimaku yang hebat! Kalian akan menerima kedudukan yang tinggi, kau akan menjadi gubernur San-se, kau menjadi gubernur Korea, kau menjadi gubernur Shoa-tang, kau... ."

"Sudahlah, Sri Baginda. Kereta sudah menunggu."

"Baik. Tapi sebelum berangkat aku ingin melihat sebuah tarian dulu. He, siapa di antara kalian yang pintar menari?"

Pakkiong Liong dan lain-lainnya menggerutu dalam hati, namun apa boleh buat, demi kelancaran tugas membawa Pangeran Cu Leng-ong sampai ke Pak-khia maka apapun permintaan si otak miring itu harus dituruti.

Pakkiong Liong segera berkata kepada Ha To-ji.

"Kau menari sebentar. Teman-temanmu biar mengiringinya dengan musik mulut saja."

"Aku menari, Ciangkun?"

Tanya Ha To-ji tercengang.

"Ya. Cepatlah. Turuti permintaan si gila ini agar ia dapat cepat-cepat dibawa ke Pak-khia."

Terdengar Pangeran Cu Leng-ong berteriak.

"He, siapa yang kau sebut si gila itu? Aku? Kurang ajar kau! Kau kupecat sebagai panglimaku!"

"Terima kasih, Sri Baginda,"

Sahut Pakkiong Liong kalem. Lalu katanya kepada Ha To-ji.

"Cepat. Sebisa-bisanya saja!"

Maka Ha To-jipun mulai menari dengan cara ngawur, dengan iringan "musik"

Mulut teman- temannya sendiri.

Ia masih ingat tarian para pengembala di radang rumput Mongol sana, maka Ha Toji sebisa-bisanya menirukannya.

Digerakkannya tangan di pinggangnya dan kakinyapun dilempar ke kanan dan kiri bergantian, meskipun ia melakukannya sambil mencaci-maki dalam hati.

Kemudian Pangeran Cu Leng-ong turun dari singgasananya dan ikut berloncat-loncatan seperti anak kecil, tidak peduli "mahkota"nya yang terbuat dari kertas itu jatuh ke lantai dan terinjak-injak kakinya sendiri.

Setelah puas menari, barulah ia berkata kepada Pakkiong Liong.

"antarkan aku ke kereta kebesaranku. Kita harus segera menuju Pak-khia!"

"Baik, Sri Baginda."

Ketika tiba di dekat sebuah gerobak kayu yang di dalamnya dilapisi jerami dan ditarik dua ekor kerbau itu, Pangeran bertanya.

"Inikah keretaku? Kenapa begini buruk?"

"Nampaknya saja memang buruk, Sri Baginda, tapi sesungguhnya bahan-bahan kereta ini adalah bahan-bahan yang sangat langka. Tidak semua raja di dunia ini mengalami duduk dalam kereta seperti ini, beruntunglah Sri Baginda. Lihat ukir-ukirannya yang begitu indah dan halus,"

Kata Pakkiong Liong sambil meuunjuk permukaan kayu yang Kasar.

"Begitu halusnya sehingga mirip permukaan kayu asl padahal semuanya itu dibuat dengan tangan."

Banyak para perwira dan prajurit di sekitar tempat itu yang menahan tertawanya melihat cara Panglima mereka membujuk Pangeran Cu Leng-ong agar mau menaiki keretanya itu.

Dan akhirnya ternyata Pangeran itu mau juga.

Dengan membawa Pangeran Cu Leng-ong sebagai tawanan, dan juga ratusan orang laskar pemberontak yang menyerah, maka Pasukan Hui-liong-kun meninggalkan desa itu.

Sebagian dari pasukan Tay-tong ditinggalkan di desa itu untuk membantu penduduk mengatur kembali segi-segi kehidupan yang porak-poranda selama perang beberapa hari yang singkat itu.

Pakkiong Liong juga sudah mendengar berita tentang Tong Lam-hou yang menurut laporan prajurit-prajurit dibawa oleh "seorang tua yang bisa terbang".

Pakkiong Liong tidak tahu siapa orang itu dan apa maksudnya membawaa Tong Lam-hou dengan cara seperti itu, namun satu hal yang ia tahu, orang yang sanggup membawa Tong Lam-hou seperti itu tentu seseorang yang kepandaiannya amat tinggi.

Karena itulah Pakkiong Liong merasa tidak ada gunanya menyuruh prajurit- prajuritnya tidak akan sanggup menandingi orang itu.

"Mungkin orang itu adalah gurunya si Sesat Tua dari Tiam-jong-san itu,"

Kata Pakkiong Liong dalam hatinya.

"Meskipun tindakannya itu terasa aneh juga. Dulu di Tiam-jong-san, dengan telingaku sendiri aku mendengar orangtua itu mengijinkan A-hou menjadi prajurit, apakah sekarang orangtua itu tiba-tiba berbalik pendirian sehingga mengambil muridnya dengan cara itu?"

Pertanyaan itu dipendamnya dalam hati dan tak ada jawaban untuk itu.

Dan bahwa orangtua itu benar-benar Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan atau bukan, Juga belum bisa dipastikan.

Kini lebih penting mengurus pasukannya, meskipun kecemasan akan diri sahabatnya itupun terasa cukup menggelisahkan.

BAGIAN KE SEPULUH KETIKA Pangeran Cu Leng-ong si "Kaisar Kerajaan Beng"

Menaiki sebuah gerobak kerbau yang membuatnya terus-terusan mengumpat- umpat sepanjang jalan, maka Tong Lam-hou justru berada di sebuah kereta yang bagus dan empuk.

Begitu ia membuka matanya, yang dilihatnya adalah bagian dalam sebuah kereta yang berlapis kain satin kuning, dan dirinya sendiri terletak di sebuah kursi panjang dalam kereta yang saat itu digunakan sebagai tempat tidur.

Di kiri kanan kereta ada jendela-jendela yang tirainya, disibakkan, seningga angin dari luar dapat berhembus masuk ke dalam kereta dan membuat suasana sejuk.

Kereta itu memang benar-benar nyaman.

Selain besar, jalannya tenang pula.

Antara sumbu roda kereta dengan tubuh kereta dihubungkan dengan besi-besi melengkung yang dapat meredam goncangan jalannya kereta.

Kuda yang menariknya ada dua ekor dan semuanya adalah kuda-kuda gurun pilihan.

Pantasnya kereta ini dimiliki oleh seorang hartawan, bukan oleh seorang Siangkoan Hong yang di penginapan di pak-khia saja masih punya hutang sewa kamar yang belum dilunasi.

Tapi nyatanya yang mengendalikan kereta itu adalah Siangkoan Hong yang duduk di bagian depan.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Tong Lam-hou siuman, dirinya masih ingat peristiwa yang terakhir menimpa dirinya.

Bagaimana seorang imam berjubah kuning memancingnya ke sebuah rumpun bambu yang agak jauh dari medan pertempuran, dan di sana ia dilukai dengan pedang beracun oleh imam itu sehingga kesadarannya hilang, entah mengapa sekarang dia menemukan dirinya berada dalam kereta yang mewah ini? la hendak bangun, tapi kepalanya masih pusing.

Dilihatnya bajunya di bagian pundak telah robek lebar, dan pundaknya yang kemarin luka itu telah dibalut rapi.

Namun badannya masih lemah dan kepalanya masih agak pusing.

Maka ia memutuskan untuk tetap berbaring saja di kursi panjang dalam kereta yang nyaman itu, sampai kekuatannya pulih.

Toh menilik bahwa si pembawa kereta itu tidak mengikat kaki tangannya dan bahkan ia membalut lukanya, agaknya orang itu tidak bermaksud jahat.

Ia merasa Jalannya kereta bertambah lambat, dan di luar kereta mulai terdengar suara orang ramai di dalam pasar atau di tengah kota.

Agaknya mereka masuk ke sebuah kota sehingga harus melambatkan jalannya supaya tidak menabrak orang.

Sambil tetap berbaring Tong Lam-hou melihat ke luar jendela, dan benar juga dia melihat pucuk-pucuk bangunan yang tinggi-tinggi atau genteng-genteng berhias patung naga.

Itulah sebuah kota yang ramai- Kereta berhenti, dan kuping Tong lam-hou mendengar sebuah pertanyaan.

"Membutuhkan penginapan yang tenang dan sejuk serta makanan yang lezat, tuan? Kami menyediakan. Juga perawatan untuk kuda-kuda dan kereta tuan yang bagus ini, dengan bayaran yang murah."

Dari arah tempat duduk pengemudi kereta, Tong Lam-hou mendengar suara yang sudah dikenalnya di Pak-khia beberapa hari yang lalu.

"Baik. Sediakan kamar yang agak terpisah dari lain-lainnya, dan sepi, sebab aku membawa keponakanku yang sakit."

"Baik, tuan. Silahkan masuk. Kereta ini biar dibawa ke belakang oleh pelayan, tuan langsung beristirahat saja."

Pintu kereta terbuka, dan Tong Lam-hou melihat seraut wajah yang sudah diduganya sejak ia mendengar suara si pengemudi kereta tadi. Sapanya.

"Paman Siangkoan,"

Orang itu memang Siangkoan Hong.

Kali ini ia berpakaian bagus mirip seorang hartawan, bahkan kepalanya juga memakai topi yang berbentuk belahan semangka dengan hiasan batu giok hijau di keningnya.

Tong Lam-hou menjadi geli melihatnya.

Siangkoan Hong yang membukakan pintu dari luar kereta itupun tersenyum ketika melihat Tong Lam-hou tersenyum, tanyanya.

"kau mentertawakan aku kurang pantas dengan pakaian seperti ini?"

Sahut Tong Lam-hou cepat-cepat.

"Pantas sekali, paman.Paman mirip seorang hartawan besar. Hanya janggalnya, seorang hartawan melakukan perjalanan jauh dengan mengendalikan sendiri keretanya ."

"Oh, cuma kejanggalan kecil. Besok kita cari seorang sais, sehingga penampilan kita benar- benar mirip seorang hartawan dan puteranya yang sedang berpesiar. Nah, apakah kau sudah bisa turun sendiri?"

"Agaknya sudah bisa, paman,"

Sahut Tong Lam-hou sambil mencoba mengatasi rasa peningnya dan melangkah keluar dengan berpegangan ambang pintu. Dan begitu ia tiba di luar kereta untuk melihat keadaan sekitarnya, diapun melongo kaget.

"Ada yang membuatmu kaget?"

Tanya Siangkoan Hong.

"Paman, melihat cara berpakaian orang- orang di sini, agaknya kita sedang ada di daerah sebelah barat. Entah Su-cuan entah Kam-siok."

Siangkoan Hong.

"Memang. Kau pingsan selama dua hari dan selama itu sambil aku mengobatimu aku juga sedang membawamu kepuncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Kira-kira tiga atau empat hari lagi, kita akan memasuki kota Lam-tiong."

"Untuk apa menuju ke puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san?"

"Apakah kau belum tahu? Di puncak itulah dulu berdirinya markas besar Hwe-liong-pang yang didirikan oleh mendiang ayahmu. Kita kesana untuk mendirikan kembali Hwe-liong- pang yang telah runtuh karena pengkihianatan Te-liong Hiangcu itu. Kau putera Tong Wi-siang dan kau akan menjadi Ketua Hwe-liong-pang yang baru. Jelas?"

Tong Lam-hou terkejut.

"Paman, urusan menjadi ketua sebuah perserikatan yang besar seperti Hwe-liong-pang, sesungguhnya aku belum berani memikirkannya. Agaknya tindakan paman sekali ini sudah terlalu jauh. Aku seorang prajurit yang masih terikat kewajiban untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, aku tidak bisa... ."

"Jadi kau merasa lebih berharga menjadi seorang perwira yang diperintah-perintah oleh orang lain daripada menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang yang memerintahkan ribuan anggota yang setia kepadamu?"

Potong Siangkoan Hong.

"Dengar, nak, aku bukan seorang yang membeda-bedakan keturunan Manchu atau Han atau setan belang. Tapi aku tidak rela melihat putera kakak seperguruanku, putera Ketua Hwe-liong-pang, seumur hidup hanya akan menjadi seorang perwira yang diperintah oleh orang lain. Hidupmu tidak akan berharga sedikitpun, nak."

"Paman, kalau paman..."

Tong Lam-hou sebenarnya hendak mendebat ucapan pamannya itu, tapi terpotong oleh datangnya seorang pelayan yang mengatakan bahwa ruangan untuk mereka sudah siap.

Kedatangan pelayan itu menyadarkan mereka bahwa mereka sedang berada di pinggir jalan, bukan tempat yang cocok untuk berdebat.

Maka Siangkoan Hong dan Tong Lam-houpun segera melangkah mengikuti pelayan rumah penginapan itu untuk menuju kamar mereka, yang ternyata memang cukup bersih.

Begitu keduanya berada dalam kamar, perdebatanpun dilanjutkan.

Tong Lam-hou meneruskan perkataannya yang tertunda tadi.

"Pamana, paman harus tahu apa yang mendorongku menjadi seorang prajurit,. Aku melihat orang-orang yang menamakan diri 'pembebas tanah-air? dari sisa-sisa dinasti Beng itu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Maka aku harus membantu Kerajaan Manchu untuk menertibkan keadaan, membersihkan pengacau-pengacau. Soalnya bukan sekedar diperintah atau memerintah. Dengan kedudukanku sebagai prajurit, aku menertibkan keadaan."

"Jika kau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, nak, kau bisa berbuat lebih banyak lagi untuk menertibkan keadaan. Hwe-liong-pang juga membela rakyat kecil, dan kami pun bermusuhan dengan sisa-sisa dinasti Beng. Bahkan ketika dinasti Beng masih jaya dulu, kami sudah berani menentangnya."

"Tetapi orang-orang Hwe-liong-pang yang kulihat sekarang, maaf, juga pengacau-pengacau tak ada bedanya dengan sisa-sisa dinasti Beng itu. Di Hun-lam aku melihat kedua golongan ini bersekutu memusuhi Pakkiong Liong. Dan menurut beberapa orang perwira Ui-ih-kun yang menjaga Penjara Kerajaan ketika tempat itu dibongkar orang, ada pula orang-orang Hwe- Iiong-pang yang ikut serta dalam pembongkaran penjara itu. Bukankah ini berarti orang-orang Hwe-liong-pang-pun juga adalah pengacau-pengacau yang memusuhi pemerintah Kerajaan? Aku harus berpihak kepada pengacau-pengacau?"

Wajah Siangkoan Hong menjadi merah padam melihat sikap Tong Lam-hou yang menuduh orang-orang Hwe-liong-pang sebagai pengacau itu. Geramnya.

"Kurang ajar kau! Kau mengatakan teman-temanmu sendiri sebagai pengacau? Mereka juga membela rakyat seperti prajurit-prajurit Manchu yang kau banggakan itu. Kalau ada seorang dua orang anggota Hwe- liong-pang yang menyeleweng, apa tidak ada juga prajurit-prajurit Manchu yang menindas rakyat?! aku tidak ingin kau menutup mata dari semua kenyataan."

Tong Lam-hou termangu-mangu mendengar ucapan pamannya itu.

Kedengarannya masuk akal juga, tapi hatinya benar benar tidak tertarik sedikitpun untuk menjadi seorang Ketua Hwe-liong-pang.

Di dalam Pasukan Naga Terbang ia merasa bahwa ia sudah mendapat tempatnya yang pas, kenapa harus ditinggalkan untuk mengejar sesuatu yang lain, yang belum tentu cocok dengan dirinya? Maka katanya.

"Paman Siangkoan, tidak adakah orang lain selain aku yang bisa menjadi Ketua Hwe-liong- pang? Kenapa harus aku? Aku benar-benar tidak bisa menerima........"

"Terlambat kau ucapkan itu,"

Sahut Siangkoan Hong dingin dan tegas.

"Kau tidak akan bisa menghindari pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga karena aku sudah menghubungi bekas pengikut-pengikut ayahmu yang masih setia kepadanya, dan mereka semua sudah menyatakan sanggup untuk datang tanggal nanti di puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san. Untuk menghadiri upacara besar berdirinya kembali Hwe-liong pang dan sekaligus penunjukkanmu sebagai Ketua!"

Alangkah terkejutnya Tong Lam-hou mendenar ucapan paman gurunya yang terakhir ini.

Ia tahu bahwa pamannya tidak bermaksud jahat kepadanya, bahkan sang paman itu tidak memikirkan sedikitpun kepentingan dirinya sendiri, tapi sikapnya yang kepala batu dan mengatur diri Tong Lam-hou seenaknya tanpa "Terlambat kau ucapkan itu,"

Sahut Siangkoan Hong dingin dan tegas.

"Kau tidak akan bisa menghindari pengangkatanmu lagi, selain karena kau adalah anak Hwe-liong Pangcu, juga ... diketahui sendiri oleh Tong-lam-hou itu, membuatnya jengkel. Tong Lam-hou menganggap si paman Siangkoan ini terlalu mencampuri urusan dirinya, bahkan urusan menentukan masa depannya sendiri.

"Paman Siangkoan!"

Kata Tong Lam-hou dengan nada keras.

"Paman sudah terlalu jauh mencampuri urusanku, dan menganggapku sebagai boneka yang harus menuruti semua kehendak paman! Aku memutuskan tidak mau menjadi Ketua Hwe-liong-pang, habis perkara!"

Siangkoan Hong tertciwa dingin sambil mendekati Tong Lam-hou, katanya.

"Habis perkara buat kau, buat aku dan seluruh Hwe- liong-pang belum habis!"

Lalu tangannya tiba-tiba menotok beberapa jalan darah Tong Lam-hou, yang membuat tubuh anakmuda itu jadi lumpuh.

Lalu diangkatnya tubuh Tong Lam hou dan diletakkan di pembaringan, dan diselimuti seperti menyelimuti seorang bayi yang sangat disayangi, sambil berkata.

"Kau harus nampak segar dan sehat dalam upacara besar di puncak Tiau-im-hong nanti. Apa kata orang jika mereka melihat Ketua Hwe-liong-pang berwajah pucat dan kuyu karena kurang tidur?"

Sungguh mendongkol sekali rasanya Tong Lam-hou, namun ia tidak dapat berbuat apa- apa.

Paman Siangkoan-nya itu sudah bertekad bulat untuk mendudukkan dirinya di kursi Ketua Hwe-liong-pang, tidak peduli dirinya sendiri setuju atau tidak.

Begitulah, sejak saat itu Tong Lam-hou jadi mirip sebuah boneka besar di tangan Siangkoan Hong.

Ia tahu bahwa Siangkoan Hong bermaksud baik, namun kebebasannya yang terkekang membuat Tong Lam-hou amat jengkel.

Akhirnya Tong Lam-hou memutuskan untuk berpura-pura menuruti ucapan-ucapan Siangkoan Hong.

Apabila Siangkoan Hong berbicara panjang lebar tentang Kebebatan Hwe-liong-pang di masa lalu, maka Tong Lam- hou mencoba bersikap sangat memperhatikan untuk menyenangkan hati Siang-koan Hong.

Hari demi hari mereka berjalan terus, semakin dekat ke Tiau-im-hong, dan kecurigaan Siangkoan Hong kepada Tong Lam-houpun berkurang.

Dalam beberapa hari terakhir ini nampaknya sang keponakan itu sudah ''menurut", maka totokannyapun tidak seberat beberapa hari yang lalu.

Bahkan kadang-kadang Siangkoan Hong mengajak Tong Lam-hou duduk berdampingan di tempat mengemudikan kereta.

Bercakap-cakap membicarakan beberapa macam hal, dan Tong Lam-hou.

tahu juga bahwa Paman Siangkoan ini tidak selamanya ngawur.

Dari bermacam soal yang dibicarakannya, ada seperempatnya yang tidak ngawur.

Namun Siangkoan Hong masih belum membebaskan Tong Lam-hou sepenuhnya, ia masih punya kekuatiran jangan-jangan sang keponakan yang hendak diangkat sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu nanti kabur di tengah jalan.

Karena itu ada sebuah totokan yang tidak dibebaskannya.

Meskipun kaki tangan Tong Lam-hou bebas semuanya, bahkan ia dapat pula mengerahkan tenaga dalam untuk bertempur, namun ada salah satu jalan darah yang tidak bisa terbuka totokan-nya, kecuali dibuka oleh Siangkoan Hong sendiri atau oleh orang sealiran-nya.

"Itulah ilmu menotok warisan Bu-san-jit-kui yang lihai,"

Kata Siangkoan Hong setengah menakut-nakuti keponakannya.

"Saat ini, di dunia ini yang mahir totokan itu hanya tiga orang. Aku sendiri, Thian-liong Hiangcu, Te-li- ong Hiangcu dan Kim-liong Hiangcu. Aku jelas tidak akan membebaskanmu sebelum kau mantap menjadi Ketua Hwe-liong-pang. Te- liong Hiangcu juga lebih suka mencekikmu daripada membebaskan totokanku itu, dan Kim- liong Hiangcu Lim Hong-ping sudah menghilang sejak runtuhnya Hwe-liong-pang dulu, Jangan harap kau bisa menemukannya."

Tong lam-hou menyeringai mendengar gertakan paman gurunya itu. Tapi ia masih bertanya juga.

"Tapi aku merasa tangan dan kakiku bebas, tenaga dalam pun dapat kukerahkan sesuka hati, apa yang menjadi akibat dari totokan paman Siangkoan itu?"

Siangkoan Hong tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Kau ini disebut oleh pasukanmu dengan sebutan Harimau Selatan, untuk membandingkan dirimu dengan Pakkiong Liong si Naga Utara. Tapi dalam pandanganku, kau tak lebih dari seekor anak kambing gemuk yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Jika kau pernah membaca kitab warisan Bu-san-jit-kui beberapa halaman saja, kau akan tahu bahwa ilmu silat yang bermacam-macam dan maha ajaib terdapat dalam kitab itu. Totokanku kepadamu itu hanya terasa akibatnya setiap malam, yaitu setiap tengah malam kau akan tersikasa oleh rasa nyeri di tubuhmu selama setengah peminuman teh. Selama totokan itu belum dibuka, kau akan terus merasakan siksaan tiap tengah malam."

"Seumur hidup pula kau akan merasakannya. Totokan ajaran Bu-san-Jit-kui ini lain daripada yang lain, ia tidak akan terbuka sendirinya setelah beberapa jam, seperti totokan-totokan biasa lainnya. Itu adalah totokan paling lihai di dunia ini."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tong Lam-hou menjawab, tetapi di dalam hatinya ia tidak percaya kepada pamannya yang dianggap membual itu.

Mana ada totokan seperti itu? Dan bukankah selama beberapa malam ini ia tidak mengalami siksaan apapun? Ia hanya tahu bahwa tiap malam paman Siangkoan-nya ini menotok beberapa jalan darahnya, tapi tidak ada rasa siksaan segala.

Namun Tong Lam-hou tidak berani menunjukkan rasa tidak percayanya itu, dia hanya memutar otak bagaimana caranya melepaskan diri dari genggaman pamannya ini.

Pada suatu hari, kereta itu lewat sebuah tempat yang sepi.

Saat itulah tiba-tiba dari pinggir jalan bermuncullah beberpa orang yang berloncatan menghadang di tengah jalan.

Jumlahnya ada kira-kira sepuluh orang, terdiri dari macam-macam manusia, ada rahib Buddha, ada imam agama To dan ada pula pengemis yang berpakaian tambal-tambalan.

Namun ada pula orang biasa.

Dari sekian banyak orang, kesamaan mereka adalah bahwa mereka semuanya bersikap garang dan bermusuhan.

Loncatan-loncatan mereka tadi juga menandakan tidak seorangpun di antara mereka yang berilmu rendah.

Yang menjadi pemimpin adalah seorang rahib Buddha berkepala gundul dengan alis yang putih dan panjang, tangannya memegang sepasang gelang besar yang terbuat dari emas.

Gelang-gelang itu yang satu berukir naga, lainnya berukir harimau.

Yang mendampinginya adalah seorang imam berwajah pucat dan berjubah abu-abu, dengan sebatang pedang tergendong di punggungnya, sementara tangan kirinya memegang hud-tim (kebut pertapa), Siangkoan Hong menarik kuat-kuat tali kendali sehingga keretapun berhenti.

Tanpa turun dari kereta, Siangkoan Hong mengangkat tangan di depan dada untuk memberi salam, dan bertanya.

"Maaf, saudara-saudara, ada keperluan apa saudara-saudara menghadang jalan kami berdua?"

Si rahib bergelang emas itu yang membalas hormat, lalu bertanya dengan nada sehormat mungkin.

"Saudara, menurut penyelidikan beberapa orang-orang kami, apakah saudara yang dalam beberapa hari terakhir ini menyebarkan undangan ke puncak Tiau-im- hong pada tanggal limabelas nanti untuk menghadiri pendirian kembali Hwe-liong- pang?"

Siangkoan Hong bersikap tenang tanpa terkejut mendengar pertanyaan itu.

Memang orang-orang rimba persilatan sering disebut sebagai "bermata seribu dan bertelinga seribu", ada gejolak sekecil apapun dalam dunia persilatan tentu tidak lepas dari penglihatan atau pendengaran mereka dan tersebar luas dengan cepatnya.

Begitu pula ulah Siangkoan Hong yang menyebarkan berita akan adanya upacara besar di puncak Tiau-im-hong itu agaknya telah menimbulkan tanggapan.

Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang yang menanggapi, melainkan juga orang-orang di luar Hwe-liong-pang.

Tanggapan orang-orang di luar Hwe-liong-pangpun bermacam-macam, ada yang bersyukur bahwa Hwe-liong-pang yang pernah jaya itu akan pangkit Kembali, ada yang mengutuk karena masih ingat sakit hstinya terhadap Hwe-liong-pang yang beium juga terhapus oleh jalannya waktu selama berpuluh tahun, dan ada yang acuh tak acuh saja.

Dan orang-orang yang menghadang Siangkoan Hong serta Tong Lam-hou kali ini adalah golongan kedua, golongan yang melihat bangkitnya kembali Hwe-liong-pang ibarat melihat bangkitnya kembali sesosok iblis maha ganas dari liang kuburnya.

Karena itu, dengan segala jalan maka kebangkitan kembali Hwe-liong- pang harus dicegah.

Sahut Siangkoan Hong.

"Benar. Memang aku yang menyebarkan undangan. Tetapi seingatku, undangan hanya kuperuntukkan bagi anggota- anggota Hwe-liong-pang saja. Aku tidak berani merepotkan para pendekar dari golongan lain hanya untuk menghadiri upacara kami yang kecil dan tidak berarti. Apakah saudara-saudara ini ada kepentingan dengan hal itu?"

Sahut si rahib bergelang emas.

"Tentu saja sangat berkepentingan. Di masa lalu, tandang Hwe-liong-pang tidak saja bersangkut-paut dengan para anggota Hwe-liong-pang sendiri, tapi juga menimbulkan gejolak seluruh rimba persilatan, menimbulkan pertentangan dan banjir darah di bukit Siong-san, di lembah Jian- hoa-kok, di markas Tiong-gi Piauhang di Tay- beng dan entah di mana lagi. Itulah yang membuat kami berkepentingan, demi keselamatan seluruh dunia persilatan."

Siangkoan Hong mengerutkan alisnya, sahutnya.

"Ya, aku masih ingat suasana puluhan tahun yang lalu. Tetapi tay-su (bapak pendeta) tentu juga masih ingat bahwa saat itu ada dua Hwe-liong-pang. Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Ketua yang syah Tong Wi-siang, dan Hwe- liong-pang yang dipimpin oleh Te-liong Hiangcu yang berkhianat. Dan yang membuat kekacauan itu adalah orang-orangnya Te-liong Hiangcu. Segala kesalah-pahaman itu sudah beres, bahkan banyak kaum pendekar yang kemudian bersahabat dengan kami. Mau apa tay-su sekarang mengungkat-ungkat lagi hal yang sudah lalu itu?"

Rahib itu tertawa dingin.

"Memang ada rekan-rekan kami sendiri yang berlagak sebagai orang-orang berdada lapang, yang berbalik menjadi sahabat-sahabat Hwe-liong-pang. Tapi kami tidak bisa melupakan apa yang telah menimpa beberapa teman-teman kami yang tewas oleh kekejian kalian. Terserah apakah kami akan dianggap berjiwa sempit atau tidak pemaaf atau sebutan-sebutan lain? pokoknya kami tidak bisa membiarkan Hwe-liong-pang bangkit kembali. Kami tidak ingin gelombang kerusuhan berjangkit pula di rimba persilatan, dan kami harus mencegahnya sebelum itu timbul."

Siangkoan Hong menyeringai kecewa? sahutnya.

"Tay-su, tidak bisakah tay-su menerima penjelasanku tadi? Segala kekejaman itu dilakukan oleh anak buahnya Te-liong Hiangcu. Bahkan pihak kami sendiri juga sudah berusaha sekuat tenaga_untuk mencegah kekejaman-kekejaman mereka demi nama baik Hwe-liong-pang."

Yang menjawab adalah imam berjubah kelabu yang menggendong pedang itu.

"Rasanya sungguh enak melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Tetapi apapun alasannya, kami tetap akan mencegah berdirinya ktembali Hwe-liong- pang. Kucing belang atau kucing hitam tetap akan menerkam tikus, walaupun bulunya berbeda."

Wajah Siangkoan Hong mulai mengeras karena sikap sabarnya ditanggapi oleh penghadang-penghadangnya itu dengan cara yang tidak menyenangkan. Dasarnya dia sendiri bukan seorang penyabar, maka sikapnyapun menjadi keras pula.

"Percuma saja aku memberi penjelasan dengan susah-payah kepada kalian, Kalian belum jera juga akan pengalaman masa lalu di mana Te-liong Hiangcu mengadu domba antara kita supaya dia sendiri memungut keuntungan. Bukankah adu domba itu hanya membuahkan kerugian di pihak kita masing- masing. Berapa teman-teman kita yang tewas sia-sia di Tiau-im-hong waktu itu? Kini kalian a- kan mengulangi ketololan yang sama?"

Namun sikap para penghadang itu sudah membantu, kebencian mereka terhadap Hwe- liong-pang bukan saja terbentuk selama satu dua hari, tapi selama bertahun-tahun. Sepatah dua patah penjelasan Siangkoan Hong tidak akan melumerkan sikap mereka.

"Sudah kami jawab tadi, kucing belang atau kucing hitam tetap akan menangkap tikus,"

Sahut si imam sambil menghunus pedang di punggungnya.

"Aku tidak peduli ada berapa macam Hwe-liong pang, pokonya Hwe-liong- pang harus ber-tanggung-jawab atas kematian dua orang saudara seperguruanku duapuluh lima tahun yang lalu."

Habis juga kesabaran Siangkoan Hong.

Namun sebenarnya diapun mengeluh dalam hati, pertentangan dengan orang-orang dunia persilatan sebenarnya tidak dia kehendaki, sebab pada masa awal kebangkitannya yang kedua itu Hwe-liong-pang membutuhkan sahabat-sahabat, bukan musuh-musuh.

Namun yang tidak dikehendaki itulah yang terjadi pada dirinya.

Dan Siangkoan Hong dapat menebak siapakah yang berdiri sebagai dalang dari semua kesalah-pahaman itu.

Tidak lain tidak bukan tentu Te-liong Hiangcu, sebab Siangkoan Hong sudah hapal dengan cara kerja bekas saudara seperguruannya itu.

Cukup dengan desas-desus sedikit, maka orang-orang yang sejak dulu membenci Hwe-liong-pang akan bangkit kembali untuk mengangkat senjata.

Dan Te-liong Hiangcu tinggal enak-enak menonton kedua pihak bertarung sampai hancur sendiri.

Sambil lalu Siangkoan Hong bertanya.

"Hemm, kalian ingin bertempur, baiklah. Tetapi apa yang mendorong kalian bertindak menjegal langkah kami? Sekedar kebencian sisa-sisa berpuluh tahun yang lalu?"

Sahut si rahib bergelang emas.

"Aku mendengar berita, kalian akan bangkit kembali dan berusaha menguasai dunia persilatan seperti duapuluh lima tahun yang lalu. Kabar ini berasal dari orang yang bisa dipercaya, karena dia adalah Ketua dari sebuah perguruan aliran lurus."

"Siapa dia?"

Tanya Siangkoan Hong. Rahib bergelang emas itu menggelengkan kepalanya, dan menjawab tegas.

"Tidak akan kusebutkan, sebab pihakmu pasti akan membunuhnya untuk membungkam orang yang telah berhasil menelanjangi maksud busuk Hwe-liong-pang itu."

Jika menuruti saja kemarahannya, ingin Siangkoan Hong langsung bertempur dan menghajar si Rahib dan kawan-kawannya yang terlihat sangat tengik itu.

Tapi rasa tahu Siangkoan Hong akan siapa yang menyebar desas-desus itu lebih kuat dari rasa marahnya.

Katanya sambil menarik napas.

"Dasar nasib Hwe-liong-pang yang kurang baik. Duapuluh lima tahun yang lalu dimusuhi orang sejagad hanya karena ulah seorang Te-liong Hiangcu dan begundal-begundalnya yang membuat kerusuhan, sekarangpun akan mengalami nasib yang sama pula. Te-liong Hiangcu..Te-liong Hi- angcu, sungguh berbisa mulutmu itu."

Imam bersenjata pedang itu agaknya bertabiat lebih keras dari rahib bergelang emas itu. Mendengar keluhan Siangkoan Hong itu maka si rahib membentak.

"Jangan mengada- ada. Kau kira kami bertindak hanya berdasarkan kabar angin saja? Dengar baik- baik, yang memberi kisikan bahwa kailan akan mengacau adalah dua orang tokoh terhormat! Mereka adalah... ."

Si rahib cepat-cepat berteriak mencegah temannya itu.

"loyu, jangan sebut nama mereka. Berbahaya buat mereka! "

Tapi si imam membantah.

"Biar aku sebut, taysu, merekapun bukan pengecut yang hanya berani berbisik-bisik tanpa berani mempertanggung-jawabkan ucapan mereka. Kita berani terang-terangan menghadapi Hwe- liong-pang, kedua orang tokoh terhormat itu tentu berani pula."

Lalu imam itu berkata kepada Siangkkoan Hong.

"Yang memboritahu kami adalah He Keng-liang yang menjadi Ketua Ho-lian-pay, serta Yo Ciong-wan si Pedang Kilat dari Hoa- san-pay. Merekalah tokoh-tokoh terhormat, apakah mereka bisa berbohong?"

Diam-diam Siangkoan Hong; heran juga.

Keduanya memang orang-orang yang mempunyai nama baik di dunia persilatan, pantang sembarangan bicara, kenapa sekarang mereka menyebarkan desas-desus macam itu? Atau barangkali si imam berjubah abu-abu itu sendiri yang bicara tidak benar? Andaikata saja Siangkoan Hong tahu bahwa He Keng-liang Ketua Ho-lian-pay itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri, maka keheranannya tentu akan terhapus.

Tapi saat itu Siangkoan Hong belum tahu bahwa saudara seperguruan yang dibencinya itu memiliki seribu satu wajah dalam dunia persilatan.

Sementara itu, dengan satu isyarat si imam berjubah kelabu si rahib bergelang emas telah menyiapkan senjata masing-masing, begitu pula delapan orang lainnyapun telah menghunus senjata mereka yang bermacam-macam dan meloncat berpencaran dalam sikap mengepung.

Siangkoan Hong menarik napas.

"Jadi tidak ada jalan lain kecuali bertempur mengulangi kebodohan kita duapuluh lima tahun yang lalu?"

"Masih ada satu jalan,"

Sahut si imam berjubah kelabu.

"Jalan apa?"

"Tarik kembali semua undangam tentang upacara besar di Tiau-im-hong itu, biarkan Hwe-liong-pang tetap terkubur debu sejarah dan biarkan dunia persilatan tetap tenang dan damai seperti sekarang ini. Dengan demikiai kita tidak perlu berkelahi dan bisa hidup berdampingan secara damai."

Siangkoan Hong mengertak gigi.

"Imam keras kepala, kau berasal dari perguruan mana?"

Tanya Siangkoan Hong. Di hadapan sekian banyak rekan-rekannya dari perguruan-perguruan lain, si imam rupanya malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, maka mendengar jawaban Siangkoan Hong itupun dia berkata tegas.

"Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, akan bertanggung jawab semua yang telah diperbuatnya!"

Bersambung

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid AGUS benar-benar jantan,"

Kata Siangkoan Hong "Hul-beng Toti-ang, kalau ada orang yang minta agar Kun-lun-pay kalian dibubarkan saja, apakah kalian juga akan menurutinya begitu saja?"

"Jangan samakan Hwe-liong-pang dengan Kun-lun-pay Kun-lun-pay tidak pernah menjadi pengacau dunia persilatan, sebaliknya Hwe- liong-pang selalu menimbulkan gejolak berdarah."

"Memang Kun-lun-pay selalu bersih sebab kalian hanya tinggal di gunung Kun-lun-san yang sepi jauh di barat sana, tidak mau tahu akan apa yang diderita sesama manusia. Kalian B hidup seperti dewa-dewa dikayangan. Sedang Hwe-liong-pang kami setia kawan bersama rakyat kecil. Bersama-sama memeras keringat dan menumpahkan darah ketika merobohkan tirani dinasti Beng, dan sampai sekarangpun kami masih berjuang di mana-mana membela rakyat yang tertindas, sementara kalian sendiri berbuat apa? Dan kalian masih merasa diri kalian lebih bersih, lebih suci, lebih berharga dari Hwe-liong-pang?"

Ucapan tajam menusuk itu membuat imam dari Kun Lun-pay serta teman-temannya bungkam. Namun kemudian terdengar pengemis yang bertubuh tegap itu berkata.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Totiang, tidak perlu bersilat lidah lagi dengan iblis-iblis ini. Mereka tidak mau menerima usul kita untuk membubarkan pertemuan Tiau-im- hong, maka kita gasak saja."

Siangkoan Hong telah menyerahkan kendali kereta ke tangan Tong Lam-hou sambil berkata.

"Pegang ini sebentar, biar aku singkirkan dulu orang-orang yang tidak pernah berbuat apa-apa bagi sesama manusia namun selalu merasa diri mereka paling benar ini."

Lalu Siangkoan Hong meloncat turun sambil berkata.

"Kalian rasakan kelihaian salah seorang Hwe-liong-pang!"

Imam dari Kun-lun-pay, Hui-beng Tojin, tidak menunggu Siangkoan Hong menyerang lebih dulu.

Dengan sebuah loncatan maka pedangnya gemerlapan menikam dengan gerakan pek-coa-cut-tong (Ular Putih Keluar Dari Goa), dan ketika Siangkoan Hong menundukkan kepala untuk menghindar maka Hui-beng Tojin mendesak dengan gerak Hoan- sin-hiam-ki-am (Memutar Tubuh Mempersembahkan Pedang), pedangnya menyerang ke wajah lawan.

Lagi-lagi Siangkoan Hong dapat mengelak dengan langkah yang sederhana saja.

Baik imam dari Kun-lun-pay maupun lain- lainnya terkejut ketika melihat ketangkasan Siangkoan Hong.

Mereka mulai menebak-nebak siapakah lawan mereka ini dan apakah kedudukannya dalam Hwe-liong-pang? Hui- beng Tojin yang termasuk tokoh dalam Kun- lun-pay itu ternyata serangannya dapat digagalkan dua kali berturut-turut.

Sebaliknya Hui-beng Tojin merasa kehilangan mukadengan serangannya yang gagal itu.

Bentaknya.

"Kau tentu seorang yang berkedudukan tinggi dalam Hwe-liong-pang, sebut nama dan kedudukanmu! Siangkoan Hong dapat menebak isi hati imam itu dan timbullah niatnya untuk mempermainkannya. Jika ia menyebut dirinya yang sesungguhnya dan kedudukannya dalam Hwe-liong-pang tentu imam itu tidak akan begitu malu. Tapi kalau ia mengaku sebagai anggota rendahan Hwe-liong-pang, tentu imam itu akan kehilangan muka sebab seorang anggota rendahan Hwe-liong-pang saja tidak dapat ia kalahkan. Maka sahutnya.

"Ingin tahu namaku? Akulah Koan Hong yang berjulukan, eh, Jian-jiau-miao (Si Kucing Berkuku Seribu), anakbuah Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok .Bendera Biru) In Yong!"

Tong Lam-hou di atas kereta diam-diam tertawa mendengar jawaban paman gurunya itu.

Ia paham maksud sang paman guru yang ingin memberi kesan bahwa yang sedang dihadapi oleh para penghadang itu hanyalah anggota rendahan Hwe-liong-pang.

Namun sang paman cukup cerdik juga, ia tidak mengaku kedudukannya terlalu rendah, sebab kalau demikian malahan tidak dipercaya.

Maka dikarangnya pula sebuah julukan, karena biasanya orang-orang yang memakai Julukan itu bukanlah keroco-keroco biasa.

Dan siasat itu cukup mengena, wajah Hui-beng Tojin nampak kecewa setelah mengetahui bahwa orang yang sanggup mengelakkan dua serangannya dengan mudah tadi ternyata bukan tokoh puncak Hwe- liong-pang.

Hanya seorang anggota biasa yang kedudukannya malah dibawah Lam-ki-tong-cu In Yong.

Siangkoan Hong tertawa melihat Hui-beng Tojin menghentikan serangannya dan berdiri termangu-mangu.

Katanya sambil tertawa.

"He, imam bau, kenapa kau melamun? Gentar mendengar julukan-ku? Ha-ha-ha-ha, apalagi setelah nanti kau rasakan sendiri kelihaian silatku yang disebut Ciu-miao-pat-sik (Delapan Serakan Kucing Mabuk)... ."

Kalimat ejekan Siangkoan Hong itu tidak terselesaikan sebab Hui-beng Tojin telah menyerang kembali dengan sengit, kali ini bahkan dengan dua senjatanya yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim di tangan kiri.

Gerak gabungan pedang dan kebut-pertapa itu adalah salah satu jurus andalan Kun-lun-kiam-hoat yang disebut Hui-tou-bong goat-hong-tian-ci (Memutar Kepala Menengok Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap)Bayangan pedang yang keperak-pe-rakan bertebaran mendatar dan menegak seolah ada puluhan pedang yang bergerak serentak, sementara kebut pertapaanpun tiba-tiba menegak bulu-bulunya seperti ratusan jarum-jarum runcing yang siap menusuk puluhan jalan darah penting di tubuh lawan.

Kali ini Siangkoan Hong tidak berani memandang remeh, tapi serangan imam itu masih belum cukup untuk membahayakan dirinya.

Sambil menarik sebelah kakinya ia berkelit, dan ketika tangannya terulur maka lengan Hui-beng Tojin tahu-tahu sudah kena tercengkeram erat.

Dan dengan sekali sentakan maka tubuh imam itupun jungkir balik di tanah, jurus hebatnya tadi kabur entah ke mana.

Siangkoan Hong mengejek.

"Jurusku tadi adalah Sun-jiu-cian-oh (Mengulur Tangan Menuntun kambing), cocok untukmu bukan?"

Para penghadang yang terdiri dari orang- orang Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kay pang dan Jing-sia-pay itu kini sadar bahwa mereka menghadapi lawan berat.

Maka tidak membiarkan lagi Hui-beng Tojin untuk maju seorang diri.

Rahib bergeleng emas itu bernama Liong-hou Hwe-shio dari Go-bi-pay, segera gelang emasnya yang sebesar lengan anak kecil itu dipegang di kedua tangannya.

Gelang berukir naga di tangan kanan dan gelang berukir harimau di tangan kiri, lalu bagaikan seekor elang raksasa ia telah meloncat dan menubruk Siangkoan Hong dari udara- Sepasang gelangnya menggencet pelipis Siangkoan Hong dari dua arah.

Maka pertempuran itupun berkobar hebat di tempat sepi di lereng gunung itu, Hui-beng Tojin yang telah bangkit kembali itupun segera ikut menyerang Siangkoan Hong dengan sengitnya, rasa-rasanya ia ingin mencincang tubuh lawan sampai berpotong-potong untuk membalas penghinaannya tadi.

Tapi ternyata gabungan Liong-hou untuk membalas penghinaannya tadi.

Tapi ternyata gabungan Liong hou Hweshio dan Hui-beng Tojin itu masih belum sanggup mendesak mundur Siangkoan Hong yang hanya bertangan kosong itu.

Bahkan ketika Siangkoan Hong memutar sepasang lengan bajunya dengan gerakan Lui- hong-tian-siam (Guntur Meledak, Kilat Menyambar), maka muncul suatu pusaran angin kencang yang membawa tenaga luar biasa, sehingga dua tokoh dari Go-bi-pay dan Kun-lun- pay itu serempak terdorong mundur terhuyung- huyung.

Pedang Hui-beng Tojin hampir saja lepas dari tangannya ketika pergelangan tangannya kena sabetan ujung baju Siangkoan Hong.

"Ha-ha-ha! Dengan kepandaian kalian yang seburuk ini kalian ternyata bersikap tidak tahu diri hendak mencegah bangkitnya Hwe-liong- pang?"

Seru Siangkoan Hong sambil terbahak- bahak. Liong-hou Hweshio cepat kerahkan tenaga ke sepasang kakinya agar ia tidak terdorong mundur lagi. Mulutnyapun berteriak kepada teman-temannya.

"Maju serentak. Untuk menumpas kawanan iblis berilmu hitam ini tidak perlu terikat peraturan satu lawan satu segala!"

Maka orang-orang itupun segera berhamburan menyerbu.

Ternyata ke sepuluh orang itu rata-rata memiliki kepandaian setingkat dengan Liong-hou Hweshio maupun Hui-beng Tojin, kalau ada lebih kurangnyapun tidak seberapa.

Maka repotlah Siangkoan Hong.

Tiga atau empat orang setingkat mereka, ia masih sanggup menghadapinya, namun kalau sepuluh berbareng, dirinya bakal menghadapi kesulitan hebat.

Dengan tangkas Siangkoan Hong melepaskan jubahnya lalu digulung menjadi semacam tongkat raksasa, dan ketika tenaga dalamnya tersalur ke dalam gulungan jubah itu, maka jubah itu tidak kalah kerasnya dengan tongkat baja sekalipun.

Dengan senjatanya itulah dia melawan pengeroyok- pengeroyoknya.

Ia masih belum ingin menggunakan ilmu-ilmu mirip sihir dari ajaran Bu-san-jit-kui, sebab ia ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa Hwe-liong-pang juga memiliki ilmu silat sejati, bukan hanya ilmu sihir atau ilmu sesat yang digembar-gemborkan sebagai ilmu terkutuk oleh orang-orang yang tidak senang itu.

Di atas kereta, Tong Lam-hou menyaksikan jalannya pertempuran sengit satu lawan sepuluh itu.

Jika dia ingin lepas dari cengkeraman paman Siangkoan-nya, inilah saatnya yang baik.

Paman Siangkoan yang tengah terkepung sepuluh orang musuh itupun tentu tidak akan dapat mengejarnya, tapi ia akhirnya membuang jauh-jauh pikirannya untuk kabur pada saat Siangkoan Hong terancam bahaya.

Betapapun dia sering jengkel kepada sang paman yang keras kepala itu itu, tapi ia tidak tega meninggalkan pamannya sendirian dalam bahaya.

Akhirnya malah Tong Lam-hou juga meloncat turun dari kereta dan menghunus pedangnya dan mendekati gelanggang pertempuran sambil berteriak.

"Tidak tahu malu! Mengaku sebagai pendekar-pendekar dari golongan lurus tetapi main keroyokan seperti bajingan-bajingan di warung arak saja! Hayo hadapilah aku Hou Tong Lam-hou dari Hwe-liong-pang, berjulukan..berjulukan apa ya? Ya-...ya...akulah si Ngo-hou-cu (Si Macan Lapar) yang terkenal. Hayo, siapa lawanku. Agaknya Tong Lam-hou meniru akal Siangkoan Hong dan mengarang pula sebuah julukan yang sekenanya saja. Waktu ke sepuluh pendekar dengan gencar telah menekan Siangkoan Hong sampai keripuhan. Ketika Tong Lam-hou masuk ke gelanggang maka Liong-hou Hweshio segera memerintahkan lima orang untuk menghadapinya. Lima orang berloncatan keluar meninggalkan Siangkoan Hong dan menyerang Tong Lam-hou. Maka sekarang pertempuran di lereng gunung itu terbagi dua. Siangkoan Hong dan Tong Lam-hou masing-masing menghadapi keroyokan lima orang lawan yang tak bisa dipandang ringan. Bagi Siangkoan Hong, berkurangnya lima orang musuh membuat dia semakin ringan, meskipun tetap terasa berat tetapi tidak berbahaya seperti tadi. Sebaliknya bagi Tong lam-hou melawan lima orang itu terasa berat bukan main. Satu demi satu mereka bukan lawan berarti buatnya, namun karena lima orang maju sekaligus dan kelima-limanya memiliki tingkatan ilmu yang cukup baik, maka terdesaklah Tong Lam Hou. Lawannya yang paling berbahaya adalah seorang tua setengah umur yang bertubuh pendek kecil dan tubuhnya terbungkus jubah hijau tua. Orang tua itu berloncatan dengan amat lincah seperti seekor tupai saja, dan senjatanya yang berujud sepasang pedang pendek itupun menyambar-nyambar bagaikan sayap sepasang rajawali yang perkasa. Keempat o-rang lainnyapun tidak dapat dipandang ringan, sebab merekalah orang-orang terbaik dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Jing-sia-pay. Di saat Tong Lam-hou sudah megap-megap selagi Siangkoan Hong tidak dapat menolongnya itulah maka tiba-tiba dari kaki gunung terdengar derap kaki beberapa ekor kuda yang mendekati ke arah gelanggang pertempuran. Meskipun jalan di lereng gunung itu adalah jalan sepi yang jarang dilalui orang, namun kadang kadang ada juga yang lewat di tempat itu. Penunggang kuda yang muncul dari kaki gunung itu ternyata adalah empat orang, terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan. Nampaknya seperti sebuah keluarga dengan dua orang anak. Satu laki-laki setengah umur yang berpakaian serba putih dan punggungnya menggendong pedang itu bukan lain adalah tokoh terkenal dunia persilatan yang berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, pemimpin perusahaan pengawalan terbesar di Kang-pak, Tiong-gi Piau Piauhang yang berpusat di kota Tay-beng. Perempuan yang setengah baya namun masih kelihatan cantik dan ramping di sebelah adalah isterinya, Cian Ping, yang mahir dengan permainan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Macan) yang nampak terselip di pelana kudanya. Sedang dua orang anak muda berwajah tampan di belakang mereka itu adalah putera-putera mereka. Yang tua-bernama Tong Hoa-tiong, adiknya bernama Cian Hoa-ceng. Ada alasan kenapa Tong Wi- hong memberikan she (nama marga) yang berbeda kepada putera bungsunya itu. Dulu, Tong Wi-hong mewarisi perusahaan pengawalan Tiong-gi Piauhang itu dari mertuanya, yaitu ayah Cian Ping. Ayah Cian Ping bukan saja memberi warisan kekayaan yang begitu besar tetapi bahkan pernah menyelamatkan nyawa Tong Wi-hong. Ketika kemudian mertuanya itu tewas hanya dengan meninggalkan Cian Ping, seorang anak perempuan, maka Tong Wi-hong bermaksud membalas budi dengan memberi she Cian kepada seorang anak laki-lakinya. Maksudnya jelas agar she Cian tidak putus keturunannya. Dari empat orang itu, hanyalah si baju putih Tong Wi-hong yang pernah dikenal oleh Tong Lam-hou, bahkan ia juga tahu bahwa pendekar berbaju putih itu adalah pamannya. Benar- benar paman kandung itu tidak membuat hati Tong Lam hou lega. Satu paman guru yang keras kepala seperti Siangkoan Hong sudah membuatnya pusing, dan kini masih ditambah dengan satu paman lagi yang sudah jelas-jelas berbeda pendirian dalam menghadapi pemerintah Manchu? Pertempuran di lereng gunung itu memang menarik perhatian Tong Wi-hong dan rombongan anak isterinya itu. Apalagi karena Tong Wi-hong mengenal beberapa orang yang bertempur itu. Liong-hou Hweshio dari Go-bi- pay, Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay, Jian- kiam-hui-ci (Si Tius Terbang Seribu Pedang) Ki. Peng-sian dari Jing-sia-pay dan lain-lainnya lagi. Dan ketika Tong Wi-hong memperhatikan lawan-lawan mereka, maka hatinyapun berdesir hebat, salah seorang dari kedua orang itu dikenalnya di Hun-lam dulu sebagai Tong Lam-hou, anak kakak kandungnya yang dianggapnya "tersesat"

Karena memihak kepada Kerajaan Manchu.

Tapi siapakah lelaki satunya lagi yang hanya bersenjata gulungan jubah saja mampu membendung Liong-hou Hweshio berlima? Apakah lelaki selihai itu juga seorang kaki tangan bangsa Manchu? "Aku harus ikut campur dalam persoalan itu,"

Kata Tong Wi-hong tiba-tiba sambil menyentakkan kudanya untuk mendekati arena pertempuran itu.

Ia tidak akan membiarkan salah satu pihak terluka, di satu pihak adalah sahabat-sahabatnya dari berbagai perguruan, di lain pihak adalah Tong Lam-hou yang tetap dianggapnya sebagai keponakan meskipun pendiriannya bertolak-belakang.

"Liong-hou Taysu, apa yang terjadi di sini?"

Teriak Tong Wi-hong. Rahib bersenjata sepasang gelang emas itu menyahut gembira.

"Nah, kebetulan Tong Tayhiap (pendekar she Tong) datang! Tayhiap, bantulah kami lebih dulu untuk menumpas iblis tua dan iblis cilik dari Hwe-liong-pang ini!"

Iblis tua dan iblis cilik dari Hwe-liong-pang? demikian Tong Wi-hong kebingungan.

Bukankah duapuluh lima tahun yang lalu setelah berakhirnya pertempuran di Tiau-im- hong maka antara Hwe-liong-pang dan beberapa perguruan dunia persilatan sudah menjalin perjanjian damai, karena mereka sadar bahwa mereka cuma diadu-domba oleh Te-liong Hiangcu? Kenapa sekarang timbul permusuhan lagi? Dan Liong-hou Hweshio ini adalah seorang tokoh terhormat dari Go-bi-pay.

Begitu pula banyak di antara para pengeroyok itu merupakan tokoh-tokoh.

terkemuka dalam alirannya, adakah sikap mereka yang memusuhi Hwe-liong-pang itu juga mencerminkan sikap perguruan mereka? Apakah banjir darah puluhan tahun yang lalu akan terulang lagi? Karena itulah Tong Wi-hong merasa semakin berkepentingan dengan perkelahian itu.

Banyak Tongcu Hwe-liong-pang yang menjadi sahabat baiknya, tapi banyak pula orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Jing sia-pay yang kenal baik dengannya, dan ia tidak mau melihat antara sahabat baik itu sama bantai.

Maka iapun meloncat turun dari kudanya sambil berteriak.

"Hentikan! Kedua pihak yang bertempur tolong menahan diri!"

Siangkoan Hong yang berasal dari kampung-halaman yang sama dengan Tong Wi- hong, yaitu An-yang-shia, diam-diam juga merasa lega melihat kedatangan Tong Wi-hong.

Di masa kecil, Tong Wi-hong maupun Siangkoan Hong memiliki nama panggilan yang sama, yaitu "A-hong"

Dan di jaman pergolakan Hwe-liong- pang dulupun mereka masih saling memanggil dengan nama kecil mereka. Karena itu Siangkoan Hong-pun putar gulungan jubahnya untuk mendesak kelima orang lawannya, sambil berteriak ke arah Tong Wi-hong.

"A-hong, kau masih kenal kepadaku?"

Sejak tadi memang Tong Wi-hong merasa sudah pernah mengenal lelaki se-usianya yang kelihatan sangat perkasa dengan gulungan jubahnya itu. Kini setelah mengenal suara orang itu, maka iapun menyahut.

"Jadi...jadi kau adalah.. .Siangkoan Hong?"

"Benar! Kita sama-sama anak An-yang-shia bukan?"

Tanpa peduli musuh-musuhnya yang masih berdiri melongo, kedua "A-hong"

Itu saling berpegangan tangan dan saling mengguncangkan tangan dengan akrab hya; sambil tertawa sepuas-puasnya "Kau awet muda, A-hong!"

Kata Siangkoan Hong.

"Rambutmu belum beruban sedikitpun, padahal umur kita sama!"

Sahut Tong Wi-hong.

"Tidak sama! Aku bahkan lebih tua dua tahun dari padamu. Apakah kesehatanmu baik? Apa saja yang selama ini menjadi pikiranmu yang membebanimu sehingga kau secepat ini beruban?" .

"Kau awet muda, A-hong!"

Kata Siangko-an Hong.

"Rambutmu belum beruban se-dikitpun, padahal umur kita sama!"

Siangkoan Hong menarik napas.

"Yang selalu terpikirkan olehku? Tidak lain tidak bukan adalah tegaknya kembali Hwe-liong-pang yang perkasa dan bersih,"

Sahut Siangkoan Hong sambil melirik ke arah Liong-hou Hweshio dan teman-temannya yang sudah menghentikan pertempuran.

"Tapi ada orang-orang yang masih saja mendendam dan menyebarkan kabar bohong katanya Hwe-liong-pang kembali hendak menyebarkan kekacauan. Lalu cecunguk-cecunguk ini hendak merintangi kami... ."

Dalam pada itu, Liong-hou Hweshio dan rombongannya jadi melongo ketika melihat Tong Wi-hong yang tadinya diharapkan bantuannya itu ternyata sekarang malah akrab dengan Siangkoan Hong. Sedang dua orang "Koan Hong"

Dan "Hou Tong-lam"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Saja belum bisa mereka selesaikan, kini jika ditambah dengan Tong-Wi-hong berpihak kepada mereka, bukankah malah pihaknya sendiri yang akan mengalami malapetaka? Sementara itu Tong Wi-hong telah memberi hormat kepada Liong-hou Hweshio dan rombongannya yang rata-rata adalah orang- orang terkenal dari berbagai perguruan itu, dan merekapun mau tidak mau membalas penghormatan pendekar yang terkenal itu.

Namun muka mereka menjadi masam dan tidak enak dilihat.

"Ada kesalah-pahaman yang melibatkan tuan-tuan berkelahi?"

Tanya Tong Wi-hong tetap ramah, tanpa peduli sikap masan dari Liong-hou Hweshio dan orang-orangnya.

"Jika ada persoalan yang bisa didamaikan, kenapa harus mengangkat senjata untuk menyelesaikan masalah? Seolah-olah kita ini binatang buas yang tidak berakal-budi saja, sedikit-sedikit saling menghantam."

Hui-beng Tojin mengeluarkan dengusan dingin dari hidungnya, katanya.

"Ingin berdamai? Mudah saja, suruh orang-orang Hwe- liong-pang membatalkan perserikatan mereka yang akan dibangun kembali itu."

"Totiang, kenapa kalian agaknya masih membenci Hwe-liong-pang saja sejak dulu? Bukankah kita sudah sama-sama tahu bahwa biang kerusuhan puluhan tahun yang lalu itu adalah Te-liong Hi-angcu yang keluar dari Hwe- liong-pang? Sedang yang akan mengadakan pendirian kembali ini justru orang-orang yang bermusuhan dengan biang pengacau itu, dengan demikian akan membawa manfaat dalam rimba persilatan,"

Kata Tong Wi-hong dengan sabar.

"Huh, membawa manfaat apa? Yang terang adalah menimbulkan kerusuhan,"

Si orang tua pendek kecil yang bernama Ki Peng-sian dan berjuluk Jian-kiam-hui-ci itupun menyela.

"Darah memang lebih kental dari air. Tong Tay- hiap, bagaimanapun juga orang menganggapmu sebagai seorang yang berpikiran adil, tetapi kau tentu tidak akan dapat bertindak adil jika bicara tentang Hwe-liong-pang, sebab Ketua Hwe- liong-pang Tong Wi-siang adalah kakak- kandungmu. Tentu saja kau selalu berbicara kebaikannya. Tapi kami justru tidak percaya lagi kepada segala jenis Hwe-liong-pang, tidak peduli mereka bermusuhan satu sama lain."

Siangkoan Hong sudan mengepal tangan hendak melabrak kembali musuh-musuhnya, tapi cepat-cepat tangannya ditarik oleh Tong Wi-hong, dan Tong Wi-honglah yang bicara dengan suara tetap sabar.

"Saudara Ki, andaikata aku seorang tolol yang tidak bisa menimbang baik buruknya Hwe-liong-pang, apakah kau pikir Ketua Siau-lim-pay, Ketua Bu- tong-pay, Ketua Hoa-san-pay, bahkan juga Ketua Jing-sia-paymu sendiri itu juga orang- orang tolol? Dengan tulus mereka mengakui kehadiran Hwe-liong-pang sebagai sahabat, dan aku dengar mereka sedang dalam perjalanan menuju Tiau-im-hong untuk menghadiri upacara besar itu. Merekalah orang-orang yang tidak mudah dihasut. Apa kata saudara Ki tentang ini?"

Orang tua pendek kecil berjubah hijau yang mukanya memang mirip tikus sesuai dengan julukannya itu, kelihatan terdesak oleh debatan Tong Wi-hong itu. Namun dengan keras kepala ia tetap ngotot dengan pendiriannyanya sendiri.

"Itulah yang aku sesalkan. Tokoh-tokoh berpandangan luas seperti Ketua Siau-lim pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya seharusnya menjaga derajat kehormatan mereka, tidak perlu menghadiri upacara yang diselenggarakan golongan penjahat tapi entah mengapa mereka menghadirnya juga. Agaknya orang-orang Hwe- liong-pang menggunakan sihir untuk mempengaruhi mereka, dan bahkan Ketuaku sendiri juga kena disihir oleh mereka. Bukankah Hwe-liong-pang adalah gudangnya ilmu-ilmu sihir dan ilmu sesat lainnya?"

Siangkoan Hong membentak.

"Hati kalianlah yang telah terkena sihir penuh kebencian dari orang-orang yang tidak suka kepada kami."

Pembicaraan kedua belah pihak memang tidak menemukan titik temu, tapi kedua belah pihak juga masih merasa sungkan untuk bertempur satu sama lain, sehingga akhirnya merekapun berpisahan dengan membawa kemendongkolannya sendiri-sendiri.

"Sungguh susah bicara dengan orang-orang yang keras kepala,"

Kata Tong Wi-hong.

"Eh, A- hong, kabarnya kau berhasil membawa Tong Lam-hou untuk dibawa ke Tiau-im-nong dan hendak diangkat menjadi Ketua Hwe-liong- pang? Di manakah dia?"

"Ha-ha, kupingmu tajam juga", sahut Siangkoan Hong.

"Kau pernah bertemu dengan keponakanmu itu atau belum? Ia gagah seperti ayahnya, dan ... he, dimana bocah ini? Tadi dia berdiri di sana! Lam-hou Lam-hou!"

Percuma saja Siangkoan Hong dan Tong Wi- hong berteriak-teriak memanggil-manggil dan berlari-iari di lereng gunung itu, sebab Tong Lam-hou sudah menghilang sejak tadi.

Ketika orang-orang itu sedang berdebat sengit dan semua perhatian tercurah kepadanya, maka Tong Lam-hou diam-diam bergeser sampai ke pinggir sebuah jurang yang tidak terlalu dalam, lalu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya diapun meloncat ke bawah dengan selamat.

Legalah dia karena bebas cengkeraman paman-guru-nya yang sebenarnya bermaksud baik namun ternyata sikap kepala batunya sangat menjengkelkan itu.

Apa lagi ditambah lagi dengan paman kandungnya Tong Wi-hong yang juga berbeda pendirian dengannya itu.

Apa yang bisa diperbuat oleh seorang muda kalau harus menghadapi dua orang paman berwatak keras itu, satu-satunya jalan adalah kabur sejauh mungkin.

"Ah, setan kecil itu benar-benar susah diurus", SiangKoan Hong membanting kakinya dengan jengkel setelah berputar di gunung itu tanpa menemukan Tong Lam-hou.

"Tapi biar dia tahu rasa akibat kelancangannya itu. Tiap tengah malam dia akan tersiksa selama sesulutan hio, sebab totokanku akan bekerja. Dan jika tidak tahan dia akan mencari aku dengan sendirinya".

"Berbahayakah totokanmu itu?"

Tanya Tong Wi-hong dengan cemas.

"Bisa mematikan dia ?"

"Tidak. Hanya menyiksa setiap tengah malam, sebagai sedikit hajaran buat anak bengal itu. Kau jangan kuatir."

"Kalau cuma sedikit hajaran, akupun tidak cemas. Tadinya aku sudah senang mendengar dia akan menjadi Ketua Hwe-liong-pang, sebab itu lebih baik daripada dia mengenakan seragam prajurit Manchu. Aku pernah merasa cemas ketika melihat dia bersahabat akrab sekali dengan Pakkiong Liong si Panglima Manchu itu. Tapi, ah, agaknya anak itu masih belum bisa melupakan kedudukannya yang penuh kemuliaan di Pak-khia sana", kata Tong Wi-nong sambil menarik napas. Buat Siangkoan Hong, apakah Tong Lam- hou akan berpihak kepada bangsa Han atau bangsa Manchu, bukan urusannya, yang menjadikannya bingung adalah bahwa pertemuan di Tiau-im-hong itu akan berantakan tanpa hadirnya Tong Lam-hou. Hana bisa upacara mendirikan kembali Hwe-Liong-pang itu berlangsung kalau calon ketuanya sendiri tidak muncul? Sementara kedua paman "A-hong"

Itu kebingungan, Tong Lam-hou sudah jauh dari situ, berjalan kaki sambil bersiul-siul gembira.

Ia merasa betapa bebas hidup tanpa kekangan, meskipun kekangan itu adalah kekangan paman-gurunya yang sebenarnya bermaksud baik.

Ingin mendudukknnya sebagai Ketua sebuah serikat yang cukup besar dan dihormati banyak orang, namun apa gunanya kedudukan yang bagaimanapun tingginya kalau hati tidak berkenan? Sampai detik itu Tong Lam-hou masih merasa bahwa tempat yang tepat buatnya adalah sebagai seorang prajurit.

Sore hari, ia tiba di sebuah desa kecil yang hanya terdiri dari belasan rumah kayu, dikitari sawah ladang yang subur.

Namun suasana desa Itu cukup aneh.

Para petani atau peladang yang tengah berjalan pulang dari sawah-ladangnya sama-sama menatap Tong Lam-hou dengan pandangan penuh kecurigaan.

Setengah takut tapi juga setengah benci.

Tong Lam-hou menjadi heran karenanya, diamat-amati pakaiannya sendiri dan diraba- rabanya wajahnya sendiri, adakah yang aneh pada dirinya? Ternyata semuanya beres.

Pakaiannya yang sederhana itu beres, tubuhnyapun beres, jadi kenapa orang-orang desa kecil itu memandangnya dengan kecurigaan? Mungkin karena desa itu jarang dikunjungi orang asing? Tapi tidak jauh dari desa itu ada jalan besar......

Pedang Pusaka Buntung Karya T Nilkas Goosebumps Pantai Hantu Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet
^