Pencarian

Pendekar Naga Dan Harimau 12

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 12


Namun kemudian orang-orang desa itu mendapat perlakuan yang baik, jauh lebih baik dari ketika desa itu diduduki laskar Li Tiang-hong dan orang-orang Ngo-pi-hwe yang kasar-kasar itu.

Penduduk hanya diminta bantuan tenaganya untuk mengurusi yang luka- luka, itupun tidak berarti prajurit-prajurit Hui- liong-kun hanya berpangku tangan saja.

Merekapun bekerja keras, malah lebih keras dari penduduk desa itu.

Sikap baik itu memang diajarkan oleh Pakkiong Liong.

Di telinga prajurit-prajurit itu masih terngiang pesan Panglima mereka.

"Rebutlah simpati rakyat, dan kau akan merebut sebuah negara."

Tengah malam baru lewat sedikit ketika Ha To-ji melepaskan tiga batang panah berapi ke udara, sebagai isyarat kemenangan bagi Pakkiong Liong di pesanggrahannya.

Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya yang memang sedang berada di tempat tehbuka di depan pesangggrahan, dan memandang ke sebelah barat itu, melihat ketiga anak-panah itu saling susul terlontar ke udara.

"Eh, gila! Pertempurannya begitu singkat!"

Kata Pakkiong Liong sambil tertawa.

"Saudara- saudara, kita akan minum tiga cawan arak untuk kemenangan teman-teman kita!'"

Prajurit-prajurit yang juga ikut berdiri berderet-deret di depan pesang-garahan itupun serentak menyambutnya dengan tepuk-tangan meriah.

Bahkan ada yang bersuit-suit segala.

Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh Pakkiong Liong, gempuran yang merupakan kejutan pertama itu telah memerosotkan semangat tempur pihak lawan.

Jumlah laskar Li Tiang-hong yang gugur tidak seberapa jika dibandingkan seluruh laskar pemberontak yang berjumlah selaksa lebih itu, namun apa gunanya jumlah banyak kalau semangat sudah jatuh ? Ketika malam buta laskar Li Tiang-hong yang sudah rusak itu memasuki desa pertahanan kedua yang letaknya empat li dari desa yang direbut Hui-liong-kun, maka kedatangan mereka itu disambut dengan pertanyaan dan keheranan oleh rekan-rekan mereka di desa kedua itu.

Saudara-seperguruan tertua dari Ngo-pa-hwe, Ong Goan-to yang Juga sering disebut sebagai Tiat-pi-hou (Harimau Berlengan Besi) itu menyambut kedatangan li Tiang-hong dan menanyakan apa yang terjadi.

"Pakkiong Liong memang orang berotak miring!"

Geram Li Tiang-hong menjawab pertanyaan itu.

"Siapa sangka malam-malam seperti ini ia akan menyerang kubu-kubu pertahananku?!"

Ong Goan-to dan keempat adik seperguruannya terkejut.

"Jadi...jadi kubu Li Ciangkun sudah...sudah direbut musuh?"

"Ya!"

Sahut Li Tiang-hong.

"Kita tidak berhadapan dengan sepasukan tentara yang gerak-geriknya bisa diperhitungkan menurut ilmu perang, melainkan berhadapan dengan orang-orang gila kesurupan setan yang menjungkir-balikkan teori-teori kuno dalam buku!"

Ngo-pa-heng-te itu memang jago dalam berkelahi, namun tentang segala teori perang mereka buta sama sekali. Maka mereka diam saja dan membiarkan Li Tiang-hong terus- menerus menggerutu menumpahkan kekesalannya.

"Desa ini juga harus selalu siap siaga!"

Kata Li Tiang-hong.

"Siapa tahu malam ini mendadak Pakkiong Liong kambuh lagi sakit syarafnya dan menyuruh orang-orangnya menyerbu kemari! Aku sendiri akan pergi melapor kepada Pangeran, apakah rencana kita akan dilanjutkan atau tidak."

Kelima bersaudara-seperguruan pemimpin Ngo-pa-hwe itu hanya bisa mengangguk- anggukkan kepalanya.

Mereka segera mempersiapkan diri malam itu juga untuk berjaga-jaga apabila Tentara Kerajaan menyerang lagi.

Sementara Li Tiang-hong dengan diiringi sepuluh pengawal segera berkuda keluar dari desa itu, menembus malam dingin yang menggigit tulang untuk menuju ke desa lain lagi yang merupakan tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong.

Menjelang dini hari adalah saat paling nyaman untuk tidur, apalagi Pangeran Cu Leng- ong yang tidur ditemani dua orang wanita cantik yang tubuhnya hanya tertutup selimut tebal, dua wanita yang baru saja menguras habis kekuatan Sang Pangeran.

Karena itu Mata Pangeran Cu Leng-ong terasa amat berat untuk dibuka ketika telinganya mendengar suara ketukan bertubi-tubi di pintu kamarnya.

Pangeran menggeliatkan tubuhnya dan dengan mata setengah terpejam setengah terbuka, ia bersuara.

"Siapa diluar?"

Dari luar terdengar Jawaban.

"Hamba, pangeran, pengawal!"

Kata Pangeran Cu Leng-ong mendongkol .

"Apakah kau gila? Membangunkan aku selarut ini? "Ampuni hamba, pangeran. Tapi Li Ciangkun mohon menghadap dengan tergesa- gesa, katanya ada sesuatu yang harus dilaporkan dan tak bisa ditunda sampai nanti pagi."

Pangeran Cu Leng-ong mengeluarkan suara sangat enggan, namun dipaksanya dirinya untuk bangkit juga dari pembaringan, lalu dipakainya pakaiannya yang berceceran di bawah tempat tidurnya itu.

Tak lama kemudian ia sudah membuka pintu dan dilihatnya pengawal yang mengetuk pintu tadi berdiri menundukkan kepalanya dengan sikap ketakutan.

"Di mana Li Ciangkun?"

Tanya Pangeran .

"Di ruang depan,"

Sahut pengawal itu.

Kepalanya tetap tertunduk, namun matanya melirik ke celah-celah pintu dan ia menelan ludahnya ketika melihat dua wanita cantik yang bergelimpangan di ranjang Pangeran.

Meskipun tubuh mereka tertutup selimut, namun selimut itu tersingkap di beberapa bagian dan membuat jantung sang pengawal hampir berhenti berdenyut saking tegangnya.

Pengawal itu tergagap kaget ketika Pangeran Cu Leng-ong agak keras menutup pintu sambil membentak.

"Kau minta dicungkil kedua matamu?"

"Am...ampun Pangeran, ham...hamba hanya..eh, hanya..."

Sahut pengawal itu tergagap-gagap. Tapi kemudian Pangeran menepuk pundak pengawal itu sambil tertawa, kata.

"Jika kau berjuang sungguh-sungguh bersama aku, kelak kau bisa menjadi sun-bu (gubernur) atau paling tidak bupati. Nah, dengan kedudukanmu itu maka selusin perempuan secantik apapun bisa kau peroleh dengan mudah,"

Wajah pengawal itu berseri-seri.

"Terimakasih, pangeran. Hamba akan berjuang sunguh-sungguh mendukung Pangeran sampai ke singgasana naga."

"Nah, kembali ke tempat tugasmu."

"Baik, Pangeran."

Langkah laskar rendahan itupun menjadi bersemangat.

Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa apabila lehernya terpenggal oleh pedang orang Man-chu maka sepuluh lusin perempuan cantikpun akan tidak ada gunanya lagi.

Pangeran Cu Leng-ong memang tidak pernah berbicara kepada anakbuahnya tentang "jika kita kalah", yang diperdengarkan selalu saja "jika menang", supaya orang-orang itu mau mengadu nyawa baginya.

Li Tiang-hong hampir tidak sabar menunggu di ruang depan karena pangeran belum juga keluar.

Namun ia pun lega ketika Tapi kemudian Pangeran menepuk pundak pengawal itu sambil tertawa, katanya.

"Jika kau berjuang sungguh-sungguh bersama aku, kelak kau bisa menjadi Sun-bu (Gubernur)....melihat Pangeran melangkah keluar juga, meskipun dengan mata yang masih kelihatan mengantuk Maka tanpa peduli Pangeran tidak senang, Li Tiang-hong segera melaporkan apa yang terjadi di desa kedudukannya. Benar juga, laporan itu membuat mata Pangeran yang sayu karena mengantuk itu menjadi terbelalak lebar karena kaget dan marah.

"Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Pangeran berteriak marah.

"Apakah Ciangkun telah lengah?!"

"Memang diluar perhitungan, Pangeran,"

Sahut Li Tiang-hong.

"andaikata Panglima lain yang ditempatkan di situ, keadaannya akan sama. Memang di luar dugaan bahwa pasukan musuh yang baru datang siang tadi dan masih kelelahan itu tiba-tiba malamnya sudah bergerak."

Alangkah jengkelnya Pangeran Cu Leng-ong, sudah dia terganggu tidurnya berita yang datangpun ternyata bukan berita baik.

Jika yang dihadapannya bukan Li Tiang-hong, maka jambangan bunga di mejanya itu pasti sudah dilemparkannya ke kepala orang itu.

Hamun terhadap Li Tiang-hong ia tidak dapat berbuat begitu tidak sopan selama tenaga bekas panglima itu masih dibutuhkannya.

Selain bekas Panglima Beng itu sangat setia kepada Kaisar yang lama, bahkan di Hun-lam ia sudah membuktikan kesetiaannya kepada Kerajaan Beng dalam pahit getirnya melawan pasukan Manchu yang lebih kuat selama bertahun-tahun, maka Li Tiang-hong juga mempunyai dua ribu orang prajurit yang cukup terlatih.

Jika ia disakiti hatinya dan kemudian menarik dari persekutuan itu, kekuatan Pangeran Cu Leng- ong akan berkurang.

Karena itulah Pangeran menyabarkan diri.

Katanya.

"Baik, Li Ciangkun, agaknya hemang sepenuhnya bukan kesalahanmu. Sekarang bagaimana baiknya?"

"Menurut hamba, semangat tempur dari pasukan kita yang agak merosot karena peristiwa ini, harus dibangkitkan kembali. Caranya adalah dengan merebut kembali kubu terdepan kita itu dengan seluruh kekuatan, jika berhasil maka rasa kepercayaan diri seluruh laskar akan pulih kembali, dan ini besar artinya."

"Jadi ada perubahan rencana?"

"Hanya berubah sedikit, Pangeran. Tapi saudara Kongsun Hui di sayap kanan dan saudara Cu Yok-tek di sayap kiri perlu mendapat pemberitahuan di kubu mereka masing-masing."

Pangeran Cu Leng-ong menguap dengan malasnya, lalu menyahut.

"Terserah kepadamu, Li Ciangkun. Aku terlalu lelah dan segala wewenang kuserahkan kepada Li Ciangkun untuk mengaturnya. Li Ciangkun seorang panglima yang berpengalaman, tentu bisa mengatasi hal ini."

Lalu tanpa menunggu Li Tiang-hong menjawab, Pangeran segera melangkah masuk kembali ke biliknya, kembali kepada kedua bidadarinya yang masih tertidur pulas. Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid ANGERAN..... Li Tiang-hong hendak berkata sesuatu, namun Pangerannya sudah menghilang ke ruangan dalam tanpa mempedulikannya. Li Tiang-hong hanya menarik napas dan membatin dalam hatinya.

"Meskipun kakak beradik seayah, tapi alangkah besar bedanya antara Pangeran Cu Leng-ong dan adindanya, pangeran Cu Hin-yang. Sang adik benar-benar seorang pejuang yang prihatin, jauh dari segala kenikmatan hidup, tidak segan-segan mempertaruhkan nyawa demi perjuangannya. Sementara kakaknya sudah tenggelam dalam segala kenikmatan dunia justru pada langkah pertama dari P perjuangan yang masih panjang ini. Kelakuannya tidak mirip seorang pejuang yang tengah memperjuangkan cita-citanya, tapi lebih mirip seorang yang sudah berhasil menduduki tahta kekaisaran. Ya, Pangeran Cu Leng-ong sudah bersikap seperti seorang Kaisar pada saat perjuangan kami baru saja dimulai."

Setitik ketidak-puasan muncul di hati Li Tiang-hong terhadap kepemimpinan Pangeran Cu Leng-ong.

Ditambah lagi dengan setitik keragu-raguan, bisakah perjuangan kami berhasil kalau dipimpin seorang pemimpin yang sangat mengutamakan dunia dan kurang setia- kawan dengan penderitaan anak-buahnya itu? Tapi sebagai seorang prajurit yang baik dia harus menjalankan perintah atasannya, maka ia memberi hormat dengan berlutut kepada bendera besar Jit-goat-ki yang ada di ruangan itu dan kemudian memutar tubuh hendak melangkah keluar ruangan.

Sebelum kakinya mencapai ambang pintu, terdengar seseorang memanggilnya.

"Li Ciangkun... Waktu ia menoleh, nampaklah Pangeran Cu Hin-yang keluar dari ruangan sebelah dalam keadaan lengkap dengan pakaian perangnya, dengan pedang di pinggangnya dan sikap yang tegap tanpa kelihatan mengantuk, meskipun saat menjelang dini hari itu adalah saat enak- enaknya orang tidur.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Ada apa, Pangeran?"

Sahut pangeran Cu Hin-yang.

"Aku sudah mendengar semuanya dari balik pintu. Sekarang Ciangkun akan ke mana?"

"Lebih dulu akan menjumpai Kong-sun Ciangkun di desa selatan dan Cu Yok...eh, maksudku..Pangeran Cu yok-tek di desa utara, untuk menyampaikan perubahan rencana. Hanya sedikit perubahan tapi harus mereka ketahui."

Kata Pangeran Cu Hin-yang.

"Biar kita bagi- bagi tugas. Li Ciangkun ke selatan, aku ke utara."

"Jangan, pangeran. Ini pekerjaan berbahaya, sebab kita melalui jalan yang sepi yang mungkin akan dihadang oleh orang-orangnya Pakkiong Liong. Dan lagi ini adalah tugasku."

"Kali ini anggap saja aku sebagai perwira bawahan Ciangkun, dan aku membantu mempercepat pekerjaan Ciangkun daripada Ciangkun hilir mudik ke selatan dan ke utara bolak-balik. Tentang bahaya, kita memang sedang berada di medan perang, jadi bahaya memang ada di mana-mana. Di jalan-jalan yang sepi atau di tempat tidur sama saja bahayanya."

Sekali lagi Li Tiang-hong melihat nyata benar perbedaan antara kedua Pangeran kakak beradik itu.

Cu Leng-ong yang lebih suka tidur mendengkur diapit dua perempuan cantik, dan menyerahkan pekerajaannya begitu saja kepada bawahannya dengan cara "borongan", pokoknya tahu beres.

Dan Pangeran Cu Hin- yang yang di pagi buta yang dingin itu rela menempuh bahaya demi memperringan pekerajaan anak buahnya.

Maka rasa hormat Li Tiang-hong kepada Pangeran itu semakin tebal.

Keduanyapun segera melangkah berbarengan ke luar pintu, mendapat penghormatan dari beberapa laskar yang menjaga gedung itu siang malam.

Ketika hendak berpisah, Li Tiang-hong masih berpesan.

"Berhati-hatilah, pangeran. Meskipun dari desa ini ke desa kedudukan Cu Yok-tek adalah wilayah pengaruh kita, namun bukan mustahil Pakkiong Liong sudah menyusupkan orang- orangnya. bawalah pengawal secukupnya, pangeran adalah biji mata kiri dari seluruh gerakan perjuangan ini."

"Baik, akan kubawa duapuluh pengawal ."

Tiba-tiba dari samping gedung yang gelap itu terdengar suara menyahut.

"Biar aku pergi bersama Pangeran."

Lalu muncullah Giok-seng Tojin. Pangeran Cu Hin-yang gembira melihat paman gurunya itu bersedia pergi bersamanya, tanpa prasangka apapun ia menjawab.

"terima kasih, susiok. Kalau susiok bersamaku, perjalananku tentu aman. Selamat berpisah, Li Ciangkun."

Maka pada dini hari itupun orang-orang berkuda keluar dari desa yang menjadi "ibukota Kerajaan Beng"

Itu.

Li Tiang-hong serta Pangeran Cu Hin-yang, dengan pengawalnya masing-masing pergi ke arah yang berbeda- beda.

Langit yang biru gelap itupun warnanya.

semakin muda, semakin cerah, bahkan di kaki langit sebelah timur sudah muncul warna merah keemas-emasan yang cemerlang.

Hari yang indah.

Tapi tidak indah buat kedua pasukan yang berhadap-hadapan di sebelah barat kota Tay-tong itu.

Datangnya pagi sama dengan datangnya perang, dan senjata-senjata harus diasah tajam untuk membantai sesama manusia yang berbeda pendiriannya.

Di pesanggrahannya, Pakkiong Liong telah membuat persiapan-persiapan.

Sejak dini hari tadi sebagian dari pasukannya telah meninggalkan pesanggrahan dan mengalir masuk ke desa yang baru diduduki itu.

Sebanyak ribu prajurit dibawah pimpinan Han Yong-kim dan Le Tong-bun memasuki desa itu, bergabung dengan seribu limaratus teman mereka yang sudah menduduki desa itu sebelumnya.

Dengan demikian, kini Hui-liong- kun terbagi dua, tepat separuh-separuh, separuh di pesanggrahan dan separuh lagi di desa yang telah diduduki.

Pakkiong Liong sendiri tetap di pesanggrahan bersama empat perwira andalannya, Tokko Seng, Ko Lung-to, Tamtai Hok dan Wanyen Hui serta separuh pasukannya.

Ia punya rencana tersendiri yang belum dikeluarkan Kepada perwira-perwiranya.

Ketika fajar menyingsing, dari dalam kota Tay-tong keluarlah seribu limaratus prajurit dari kota Tay-tong sendiri, yang dipimpin langsung oleh Kwe Sin-liong si panglima Tay- tong, setelah pimpinan dalam kota diserahkan kepada wakilnya yang bernama Lo Tam-hi-ong.

Kwe Sin-liong langsung saja memimpin pasukannya untuk menuju ke pesanggrahan Hui-liong-kun.

Panglima Tay-tong itu membawa dua orang perwira kepercayaannya yang cukup ahli dalam ilmu perang maupun jago dalam ilmu silat.

Tapi kedua perwira andalan itu memiliki penampilan yang berlawanan satu sama lain.

Yang satu bertubuh raksasa dan berotot tegap, bermuka merah dan bermata bundar besar seperti buah jeruk.

Namanya Hoa Wi-jong dan berjulukan Im-kan-pian (si ruyung dari neraka).

Kalau anak kecil melihat, tampang Hoa Wi-jong ini mungkin bisa langsung menangis dan malamnya demam.

Tapi rekan Wi-jong satunya justru bertubuh pendek kerdil, mukanya mirip monyet dan matanya selalu berkedip-kedip dan tangannya mengempit sebatang toya besi yang ukurannya iebih panjang dari tubuhnya sendiri.

Namanya Leng Bun dan berjulukan Say-it-hou (seperti It- hou).

Yang dimaksud It-hou adalah seorang tokoh sejarah jaman dinasti Tong dulu, Toh It- hou, yang bertubuh kerdil dan juga seorang ahli memainkan toya Anak kecil yang menangis ketakutanpun jika melihat tampang Leng Bun pasti akan berubah menjadi gembira dan tertawa terpingkal-pingkal seperti melihat seekor monyet yang lucu.

Namun sebenarnya Leng Bun ini lebih berbahaya di medan perang dibandingkan Hoa Wi-jong yang seperti bukit.

Pakkiong Liong menyambut kedatangan Kwe Sin-liong di depan pesanggrahannya didampingi oleh perwira-perwiranya.

Begitu keduanya sudah berhadapan, Kwe Sin-liong langsung saja memegang lengan Pakkiong Liong dan mengguncang- guncargkannya dengan sikap akrab.

Katanya.

"Hebat, saudara Pakkiong! Aku benar-benar sudah menyaksikan sendiri, kehebatan Hui- liong-kun. Tadi pagi-pagi buta aku hampir tidak percaya ketika mendengar bahwa kalian sudah merebut satu desa dalam waktu semalam dengan mudahnya, sebab aku memperhitungkan bahwa kalian baru akan bergerak pagi ini, tapi kalian telah membuat kejutan yang sulit dipercaya. Cu Leng-ong itu- benar-benar bernasib sial kenapa ia dilahirkan satu jaman dengan Pakkiong Liong?"

Demikianlah, karena kagum kepada Pakkiong Liong maka Kwe Sin- liong jadi berbicara menyerocos seperti perempuan ceriwis. Paikkiong Liongpun tersenyum dan menjawab.

"Terima kasih atas pujianmu, Kwe Ciangkun. Semuanya hanyalah berdasar kepada satu hal pokok, yaitu bergeraklah di luar perhitungan!"

Bagi Kwe Sin-liong, teori sederhana yang diucapkan Pakkiong Liong itu memang gampang- diucapkan tetapi sulit dilaksanakan.

Memang untuk mencapai kemenangan harus bergerak di luar perhitungan musuh, Panglima yang paling bodohpun akan tahu hal itu, tapi seperti apa yang diperbuat prajurit-prajurit Hui-liong-kun semalam adalah bukan hal gampang jika prajurit-prajurit itu tidak memiliki daya tahan jasmani yang tinggi.

Pasukan lain pasti masih kelelahan setelah siangnya berjalan jauh, dan malamnya tahu- tahu sudah harus bertempur.

"Prajurit-prajuritku sendiri, untuk memulihkan tenaga paling tidak buruh semalam, jika habis melakukan perjalanan sejauh itu,"

Demikian Kwe Sin-liong membatin dalam hati.

Prajurit-prajurit dari Tay-tong segera ditempatkan di pesanggarahan yang memang sudah kosong separuh itu.

Pakkiong Liong merasa lega dengan bantuan itu.

Meskipun ia yakin pasukan Tay-tong itu tidak sebaik pasukannya, tapi pasti sanggup mempengaruhi medan pula, paling tidak pasti lebih baik dari pasukan Pangeran Cu Leng-ong yang campur- aduk dari berbagai golongan itu.

Sementara itu, di desa yang semalam berhasil direbut oleh Ha To-ji dan pasukannya, kini penuh dengan prajurit-prajurit Mancu berseragam hitam dan bertopi bulu hitam pula.

Prajurit-prajurit yang rata-rata bertubuh tegap- tegap karena latihan keras hampir tiap hari selama bertahun-tahun itu, memberi rasa aman kepada penduduk desa itu.

Sikap mereka lebih baik dari pada orang-orangnya Pangeran Cu Leng-ong.

Ha To-ji yang bertindak sebagai pimpinan tertinggi atas rekan-rekan perwira lainnya, segera mengatur penjagaan.

Benteng di seputar desa yang hanya terbuat dari batu dan tanah liat, yang dibuat oleh lascar pemberontak itu, kini justru dimanfaatkan oleh Ha To-ji sebagai sarana pertahanan yang baik.

Apalagi pintu gerbang desa dilengkapi pula dengan palang di bagian dalam yang amat kuat dan di balik dinding itu pula tersedia ribuan lembing dan anak panah, batu-batu yang diikat dengan tali supaya bisa dilempar jauh dan juga pelenting- pelenting bambu atau ketapel-ketapel raksasa yang bisa melemparkan batu-batu sebesar kepala kerbau, semuanya tinggalan laskar pemberontak.

"Kita patut berterima kasih kepada laskar Cu Leng-ong peninggalan mereka terhadap kita,"

Kata Yong-kim sambil tertawa ketika melihat alat-alat serangan jarak jauh itu.

"Ya, lembing ini seharusnya menancap di tengkukmu,"

Tong Lam-hou bergurau sambil menimang-nimang sebuah lembing yang amat sederhana buatannya.

Hanya sebatang bambu yang tidak sampai sedepa panjangnya dan ujungnya adalah besi yang runcing.

Namun lembing itu agaknya cukup seimbang dalam luncurannya dan dengan demikian akan mudah di-bidikkan.

"Aku punya firasat, pagi ini laskar pemberontak akan melakukan sesuatu,"

Kata Ha To-ji kepada rekan-rekannya.

"Mungkin mereka akan merebut kembali desa ini sebagai suatu cara untuk memulihkan semangat pasukan mereka yang merosot karena kekalahan semalam. Jadi kita harus selalu siap."

Orang mongol itu sejenak berhenti lalu melanjutkan.

"Dengan pasukan kita di desa ini yang jumlahnya jauh lebih kecil dari laskar pemberontak kita harus membagi tenaga sebaik-baiknya, jangan sampai kita kehabisan napas sebelum pertempuran berakhir. Saudara Han Yong-kim dan Hu Lan-to, kalian bertanggung jawab untuk pengawasan sekeliling dinding desa. Tempatkan prajurit- prajurit kita secukupnya di balik dinding- dinding desa yang meskipun kurang memadai tetapi akan kita manfaatkan sebaik-baiknya. Sebagian besar pasukan harus berisltirahat sebaik-baiknya namun tidak boleh lengah, tetap dalam kelompoknya masing-masing agar setiap saat lebih mudah dikerahkan."

Han Yong-kim dan Hu Lan-to segera menjalankan tugasnya.

Dinding desa ternyata tidak panjang, sehingga ketika diatur tiap langkah ada satu prajurit, maka untuk satu lingkaran penuh dari dinding desa itu hanya membutuhkan tidak lebih, dari tujuhratus prajurit.

Sisanya diharuskan teristirahat, sebab mereka akan menjadi kekuatan pemukul-balik apabila musuh sudah dipukul mundur.

"Kalau musuh tidak menyerang, kitalah yang akan menyerang. Kalau musuh menggempur dan kemudian berhasil kita pukul mundur, kita akan mengejar, bukan untuk mengalahkannya langsung tetapi sekedar membuat semangat mereka makin turun. Untuk mengalahkan mereka secara tuntas agaknya dibutuhkan beberapa hari lagi,"

Demikian perhitungan Ha To-ji. Ternyata perasaan Ha To-ji cukup tajam. Begitu matahari terbit, maka dari kejauhan di arah barat tiba-tiba terlihat debu mengepul tinggi, terdengar"

Pula sorak-sorai membahana dan ringkik kuda bercampur-aduk.

Lalu terlihat bendera Jit-goat-ki yang berkibar kibar di tengah-tengah laskar mereka dikelilingi ribuan ujung senjata yang mengkilap.

Para prajurit Hui-liong-kun di dalam desa menjadi tegang, namun Ha To-ji dengan tenang, memberi perintah-perintah.

"Tenangkan penduduk. Yang bertugas di balik dinding desa harap segera menempatkan diri, lainnya beristirahat tapi tetap siap, sebab jika tiba saatnya kitalah yang akan membuka pintu gerbang dan menyerbu keluar."

Sungguh aneh bahwa di saat musuh datang menggempur seperti itu malahan disuruh beristirahat, namun para prajurit-prajurit itu menurut saja.

Mereka tidak tahu rencana apa yang ada dalam otak Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya, namun mereka percaya, sebab selama ini rencana Pakkiong Liong yang kedengaran aneh-aneh itu selalu berhasil dengan gemilang.

Lalu Ha To-ji bersama rekan-rekan perwiranya naik kedinding yang tingginya hampir dua kali orang biasa itu, dan dengan menggunakan teropong Ha To-ji mencoba melihat siapa saja yang memimpin pasukan musuh yang masih agak jauh itu.

Dilihatnya seorang bertubuh tegap dan bermuka berkuda paling depan dari laskarnya yang berjalan Kaki, lalu seorang lelaki berwajah tampan yang berpakaian perang lengkap dengan baju tembaga dan topi besi yang berkilauan.

Ha To-ji mengenal mereka sebagai bekas tawanan- tawanan yang pernah dikawalnya dari Hun-lam sampai ke Pak-khia, yaitu Li Tiang-hong dan pangeran Cu Hin-yang.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah, lagi-lagi mereka!"

Desis Ha To-ji.

Lalu diteropongnya lagi, dan masih ada lima orang yang pakaiannya dilapisi dengan kulit macan tutul, mereka berlima nampaknya garang- garang.

Di barengi sorak-sorai yang menggetarkan angkasa, laskar pemberontak yang bagaikan semut banyaknya itupun segera menyerbu ke dinding desa.

Ada di antara mereka yang memanggul tangga yang panjang, sementara belasan orang mencoba menggempur pintu desa dengan balok kayu yang digotong dan kemudian disodokkan secara beramai-ramai.

Orang-yang terdepan dari pasukan itu berlindung di balik perisai-perisai mereka.

Prajurit-prajurit Hui-liong-kun di atas dinding segera menyambut serbuan itu dengan lontaran panah, lembing dan bandil-bandil batu mereka.

Bahkan pelanting-pelanting bambupun mulai digunakan, yang jarak lemparannya jauh sekali, jauh melebihi kekuatan lempar tangan manusia.

Laskar pemberontak yang paling depan segera berjatuhan terpatuk lembing atau panah, atau terhantam batu sebesar kepada manusia yang dilontarkan dengan seutas tali itu.

Namun jumlah laskar pemberontak yang bagaikan semut keluar dari sarangnya itu tidak berkurang banyak dengan robohnya teman- teman mereka yang terkena panah, lembing atau bandil.

Laskar yang di belakang terus mendesak maju dengan melangkahi tubuh teman-teman mereka yang roboh, dan tidak semua dari mereka bisa dibendung dengan senjata-senjata jarak jauh.

Bahkan pemanah-pemanah atau pelempar- pelempar lembing dari laskar pemberontakpun mulai beraksi sehingga prajurit-prajurit Hui- liong-kun tidak dapat lagi seenaknya berdiri di atas dinding batu itu, melainkan harus berlindung lebih baik sehing lemparan mereka- pun tidak selebat semula.

Di beberapa bagian, laskar pemberontak dengan berlindung perisai sudah mulai mendekati dinding desa untuk memasang tangga.

Setiap kali prajurit Hui-liong- kun berusaha mendorong jatuh tangga itu, namun setiap kali pula laskar pemberontak tanpa jera memasangnya kembali.

Sementara itu, Li Tiang-hong sebagai pemimpin di pihak pemberontak dalam serangan itu, terus menerus memberi semangat kepada anak buahnya.

Dalam hal ilmu silat, bekas Panglima Beng itu biasa-biasa saja, tetapi dalam hal ketrampilan ketentaraan ia cukup dapat diandalkan.

Ia mengambil busur dan anak panahnya, lalu memajukan kudanya sambil melepaskan panah-pananhnya, maka beberapa orang prajurit Hui-liong-kun-pun terjungkal jatuh dari atas dinding dengan dada "terhias"

Anak panah.

Laskar pemberontak bersorak- sorai melihat kelihaian pemimpin mereka itu, dan kemudian Pangeran Co Hin-yang juga melakukan hal yang sama, sehingga sorakan di pihak pasukan pemberontak semakin menggemuruh.

Rangsakan merekapun semakin hebat.

Namun para perwira Hui-liong-kun juga tidak membiarkan anakbuah mereka dibantai secara semena-mena.

Terutama Tong Lam-hou yang hatinya menjadi panas ketika melihat ulah Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang itu.

Kepada seorang prajurit yang ada di sampingnya, Tong Lam-hou memerintah.

"Ambil anak panah sebanyak-banyaknya dari dalam desa, dan letakkan di sampingku. Akan kuhabiskan keparat-keparat pemberontak ini."

"Baik, congpeng,"

Sahut prajurit yang diperintah itu.

Setelah panah-panah itu tersedia, maka Tong Lam-houpun berdiri tegak di atas dinding, tidak berlindung seperti lain-lainnya.

Dan dengan gencar mulai dilepaskananya panah- panahnya seolah-olah tanpa membidik sekejappun.

Namun panah-panah yang dilepaskan oleh murid kesayangan Tiam-jong- lo-sia Ang Hoan itu bagaikan punya mata di ujungnya dan dapat memilih sasarannya sendiri, sekejap saja belasan orang laskar musuh terjungkal mampus dengan ulu hati tertembus panah.

Sebaliknya jika ada musuh yang memanahnya atau melemparnya dengan lembing, maka dengan mudah Tong Lam-hou mengelakkannya dengan loncatan kecil atau menangkisnya dengan busurnya, lalu kembali ia membalas.

Melihat ketangkasan Tong Lam-hou itu, kini ganti prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bersorak-sorai, menenggelamkan sorak-sorai kaum pemberontak.

Kemudian beberapa perwira juga melepaskan panah-panahnya.

Tapi Ha To-ji dan Hu Lan-to, dua orang perwira berdarah Mongol yang bertenaga raksasa itu, tidak menggunakan panah melainkan bandil, yaitu batu-batu sebesar kepala orang dewasa yang diikat dengan tali-tali sedepa panjangnya.

Dengan memegang ujung tali, mereka putar bandil-bandil itu dengan kencang kemudian dilemparkan ke pasukan musuh.

Dengan luncurannya yang hebat, siapa yang terkena lemparan mereka, akan roboh dengan kepala retak atau muntah darah.

Sementara itu di tengah-tenagah pasukan pemberontak, Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong terus memberi semangat agar laskarnya tidak gentar.

Namun setiap kali anak panah Tong lam-hou berdesing dan menjemput selembar nyawa, maka laskar pemberontak agak terpengaruh juga.

Panah Tong Lam-hou bahkan tidak tertahan oleh perisai dari kayu tebal maupun baju tembaga berbentuk sisik ikan yang dipakai oleh para perwira pemberontak.

Seorang prajurit mengangkat perisainya ketika panah Tong Lam-hou menyambarnya, namun ia menjerit kesakitan karena panah itu menembus perisainya dan bahkan juga tangannya yang memegang prisai.

Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya dengan lambaran tenaga dalamnya.

"Gila ! Bangsat itu harus segera dihentikan ulahnya!"

Geram Li Tiang-hong sambil mengarahkan panahnya ke arah Tong Lam-hou yang berdiri perkasa tanpa perlindungan di atas dinding desa itu.

Namun semua panahnya dapat ditangkis dengan mudah oleh Tong Lam-hou.

Giok-seng Tojin yang selalu mengawal Pangeran Cu Hin-yang itu berada pula di ajang perang itu, ketika melihat ketangkasan Tong Lam-hou maka iapun bertanya.

"Siapa dia ?"

Sahut Pangeran Cu Hin-yang.

"Su-siok, itulah Tong Lam-hou yang sering disebut Harimau Selatan, begundal Pak-kiong Liong yang paling tangguh"

Giok-seng Tojin gadungan itu terkesiap.

Jadi perwira muda itulah yang menurut perintah Te- liong Hingcu harus dibunuh olehnya? Memang gagah perkasa.

Pantas Te-liong Hiangcu memberi perintah yang bahwa Tong Lam-hou harus dihadapi bertiga bersama dengan Say-ya- jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok, dua orang bekas Tongcu Hwe-liong-pang pengikut Te-liang Hiangcu itu.

Kini ia melihatnya sendiri, dan timbul niat Giok-seng Tojin untuk mengujinya.

"Pangeran, biar aku coba melawannya dalam adu panah", kata imam gadungan itu.

"Susiok bisa memanah juga?"

Tanya pangeran heran.

Giok-seng Tojin hanya tertawa pendek, dengan pemusatan pikiran dan bahkan penyaluran tenaga dalamnya, la mulai merentang busurnya, dan kemudian anak panahnyapun terlompat bagaikan petir.

Lurus ke dada musuh.

Tong Lam-hou sendiri terkejut ketika ada sebatang panah yang meluncur jauh lebih deras dari panah-panah lainnya.

Dan ketika ditangkisnya, maka ia merasa tangannya tergetar dan busur yang digunakannya untuk menangkis itu pun retak kayunya.

Tong Lam- hou segera tahu bahwa pemanahnya kali ini bukan orang sembarangan, dan ketika ia melihat dengan cermat, ia tahu pemanahnya adalah seorang imam berjubah kuning yang berkuda di dekat Pangeran Cu Hin-yang di tengah-tengah laskar pemberontak sana.

"Oh, seorang imam juga bisa main panah?"

Geram Tong Lam-hou, timbul niatnya untuk memberi balasan kepada imam itu.

Diambilnya sebuah busur yang belum retaK, lalu dipasangnya anak panahnya dan diincarnya baik-baik imam itu sambil menyalurkan tenaga dalamnya ke batang panah itu.

Lalu busur itu menjepret dan panahnya meluncur jauh lebih deras dari panah Giok-seng Tojin tadi.

Giok-seng Tojin terkejut, panah yang menyambarnya itu mengeluarkan suara mendengung keras.

Cepat-cepat ia menarik keluar pedang yang tergantung di pinggangnya untuk menangkis, dan ketika pedangnya berbenturan dengan panah, maka yang dirasakannya seolah bukan cuma menangkis sebatang panah yang kecil dan ringan, tetapi seakan-akan sebatang balok kayu raksasa yang dilemparkan seorang raksasa yang sedang mengamuk.

Giok-seng Tojin bukan cuma tergetar tangannya, namun bahkan terpental jatuh dari kudanya.

Tong Lam-hou tertawa dingin melihat hasil bidikannya itu.

Tapi ia masih penasaran, dipasangnya lagi sebatang anak panah dan diincarnya bendera Jit-goat-ki yang melambai- lambai menimbulkan kebencian itu.

Panah meluncur deras dan menghantam tangkai bendera dan langsung mematahkannya.

Bendera yang diagung-agungkan di jaman dinasti Beng itupun roboh ke tanah, bercampur debu dan terinjak-injak.

Tong Lam-hou masih belum puas, Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong yang dianggapnya bertanggung-jawab atas kematian orang-orang Jit-siong-tin itu-pun harus mampus.

Namun ia tidak ingin membunuh langsung, ingin ditakut-takuti nya mereka lebih dulu.

Dua kali berturut-turut panahnja berdesing, dan topi besi yang dipakai oleh Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong itupun terpental pecah dari kepala pemiliknya masing- masing.

Dua kali berturut-turut panahnja berdesing, dan topi besi yang dipakai oleh Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong itupun terpental pecah dari kepala pemiliknya masing-masing.

"Gila!"

Teriak Li Tiang-hong dengan gugup.

"Pangeran, bangsat kecil itu mulai mengincar kita! Lekas menjauh sejauh-jauhnya dari jangkauan panahnya!"

Sementara Pangeran Cu Hin-yang bergerak mundur disertai oleh Li Tiang-hong dan Giok- seng Tojin yang wajah dan pakaiannya penuh debu itu, pengawal pengawal Pangeran yang siap mengorbankan nyawa demi keselamatan Pangeran, segera memajukan kudanya sambil menghujankan panah kepada Tong Lam-hou.

Agar perwira kerajaan itu tidak sempat memanah Sang Pangeran.

Akibatnya Pangeran sendiri memang selamat, namun pengawal- pengawalnya itulah yang menjadi sasaran kemarahan Tong Lam-hou.

Satu persatu mereka bertumbangan ke bumi karena menjadi korban panah Tong Lam-hou.

Namun keperkasaan Tong Lam-hou di satu bagian dari pertempuran itu tidak banyak mempengaruhi bagian-bagian pertempuran lainnya.

Di sekelilingi dinding desa, prajurit Hui- liong-kun tetap harus bekerja keras membendung musuh yang jumlahnya berkali lipat dari mereka, musuh yang bagaikan kerasukan setan terus saja menyerbu dengan melangkahi mayat-mayat teman-teman mereka yang gugur.

Dan di pihak prajurit-prajurit Hui- liong-kun sendiri tak terhindar jatuhnya korban karena panah atau lembing musuh.

Ha To-ji terpaksa memerintahkan pasukan yang seharusnya beristirahat untuk tenaga pukul- balik itu naik ke dinding untuk menggantikan teman-teman yang gugur atau luka.

Sementara para perwira sendiri bukan cuma berteriak- teriak memerintah prajuritnya, namun juga ikut memeras darah dan keringat untuk mempertahankan dinding desa.

Makin tinggi matahari, makin panas lah pertempuran untuk merebut desa itu Kedua pihak bertarung dengan gigihnya.

Secara perseorangan prajurit-prajurit Hui-liong-kun lebih unggul, namun jumlah lawan yang amat banyak bagaikan semut itu cukup merepotkan juga.

Sementara kedua belah pihak terus saja kehilangan teman-teman mereka, dan itu membuat hati semakin panas.

Di satu bagian dari dinding batu yang melingkari desa itu, prajurit-prajurit Hui-liong- kun sudah tidak sempat memanah atau melemparkan lembing lagi.

Laskar musuh sudah berhasil meloncat ke atas dinding,dan sekali seorang berhasil meloncat maka akan semakin banyaklah yang melakukannya, sebab yang lain-lainnya akan lebih mudah dengan perlindungan teman-temannya yang sudah ada di atas dinding.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bobolnya pertahanan prajurit Hui-liong-kun di tempat itu diawali dengan munculnya tiga orang yang pakaiannya dilapisi dengan selembar kulit macan tutul, dan rata-rata bermuka garang.

Ketiga-tiganya bersenjata golok lebar yang diputar kencang untuk menghalau semua panah, lembing atau bandil.

yang tertuju ke arah mereka, dan berhasil mendekati dinding.

Tanpa membutuhkan tangga segala, ketiganya dengan mudah meloncat ke atas dan memaksa prajurit-prajurit Hui-liong-kun di bagian dinding itu untuk mengganti busur rnereka dengan pedang atau tombak.

Ternyata ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu sangat garang.

Tabasan-tabasan golok mereka begitu cepat dan mantap sehingga beberapa prajurit menjadi korban.

Namun prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah diajari cara bagaimana melawan orang- orang berilmu tinggi seperti itu, yaitu dengan membentuk semacam barisan kecil melingkar yang tiap lingkarannya terdiri tuiuh sampai sepuluh prajurit yang menyerang lawan-lawan berilmu tinggi itu secara berganti-ganti dan teratur, sehingga ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu-pun tidak dapat malang melintang seenaknya.

Tapi mereka memang hebat, dalam keadaan terkepung maka golok- golok mereka masih saja sanggup mengambil korban.

"Kebocoran"

Pertahanan Hui-liong-kun di satu tempat itu ibarat sebuah pematang dari lumpur untuk membendung air.

Bocor sedikit saja maka air akan semakin deras mengalir dan robeknya pematang akan semakin lebar.

Begitu pula yang terjadi di situ.

Amukan tiga orang berpakaian kulit macan tutul di atas dinding itu memberi kesempatan kepada laskar pemberontak untuk memasang tangga-tangga mereka ke dinding dan merekapun semakin banyak yang memanjat ke atas dinding dan bahkan meloncat ke dalam.

Tapi di bagian dalam itupun mereka disambut oleh prajurit- prajurit Hui-liong-kun, sehingga pertempuranpun berkobar di dalam desa, terutama di dekat dinding desa.

Yang disebut "tangga"

Itu hanyalah sebuah batang kayu yang panjang dan di sepanjang batangnya diberi takik-takik, untuk injakan kaki.

Dan makin banyak benda-benda semacam itu disandarkan ke dinding luar untuk "meng- alirkan'' lebih banyak lagi laskar musuh ke atas dinding dan ke bagian da-lama dinding.

Perwira Hui-liong-kun yang paling dekat letaknya dengan tempat "kebocoran"

Itu adalah Na Hong dan Han Yong-kim.

Tentu saja mereka tidak bisa membiarkan hal itu berlarut-larut.

Han Yong-kim segera meletakkan busurnya dan menghunus pedang samurainya yang tergendong melintang di punggung itu.

Kedatangan si orang Korea ke gelanggang itu tadinya kurang diperhatikan oleh ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu.

Dalam Hui-liong-kun, memang sulit dibedakan antara pakaian seorang prajurit dengan seorang perwira.

Perbedaannya hanyalah pada topi seorang perwira ada hiasan benang merah dan sehelai bulu burung merak yang rebah ke belakang, selain sebuah hiasan kecil berbentuk tombak di tengah-tengah ubun-ubun topi.

Karena itu barulah ketika salah seorang dari ketiga orang berpakaian kulit macan tutul itu merasa tergetar tangannya ketika gploknya menangkis pedang Han Yong-kim, mereka terkejut.

Orang yang membenturkan goloknya tadi segera meloncat ke hadapan Han Yong-kim dan membentak.

"Siapa kau?!"

"Han Yong-kim, Jian-hu-thio dari pasukan ketiga Hui-liong-kun!"

Sahut Han Yong-kim sambil memperkenalkan kedudukannya sekalian. Orang berkulit macan tutul itu tertawa congkak.

"Jadi kau seorang perwira? Bagus, golokku akan mendapat kehormatan besar untuk memenggal kepala seorang perwira dari sebuah pasukan yang terkenal. Bersiaplah!"

"Kau sendiri siapa?"

Tanya Han Yong-kim. Dengan sikap tetap congkak orang itu memperkenalkan diri selengkap-lengkapnya pula.

"Aku pemimpin ketiga dari Ngo-pa-hwe (Perkumpulan Lima Harimau Tutul), Kong Hok- bun yang bergelar Hui-pa (Si Macan Tutul Terbang). Perwira yang malang, menangislah untuk nasibmu karena bertemu denganku. Aku juga calon gubernur daerah Shoa-say jika kelak bangsa Manchu sudah terusir dan Kerajaan Beng telah berdiri kembali."

"Astaga..."

Han Yonng-kim tertawa geli mendengar penjelasan terakhir itu.

"Jadi Pangeran Cu Leng-ong berhasil mengumpulkan sekian banyak anakbuah hanya dengan menjual mimpi macam itu?"

"Bangsat Manchu, kusumpal mulutmu; dengan golokku ini!"

Teriak Hui-pai Kong Hok- bun dengan marah.

Dan golok-nyapun berkelebat dengan gerakan Lian-cu-sam-to (Bacokan Golok Tiga Kali Beruntun).

Goloknya berkelebat cepat ke arah kepala, pinggang dan kaki, namun semuanya dapat dielakkan oleh Han Yong-kim.

Bahkan kemudian Han Yong-kim membalas dengan sabetan pedangnya secepat Kilat yang mengejutkan Kong Hok-bun, ketika orang ketiga dari Ngo-pa-bwe meloncat mundur maka sebagian dari ikat kepalanya sudah terpapas putus.

Keruan saja orang she Kong itu berkeringat dingin.

Sedangkan Han Yong-kim tertawa mengejek.

"Hati-hati dengan kepalamu bapak gubernur"

Maka bertempurlah kedua orang itu dengan sengitnya.

Sementara itu di sebelah lain Na Hong juga sudah bertarung sengit dengan orang ke empat dari Ngo-pa-hwe pang bernama Kim Hwe-jing), senjatanya juga sebuah golok lebar seperti kakak seperguruannya yang lain.

Sedang Na Hong melayaninya dengan sehelai cambuk yang terbuat dari anyaman benang baja yang meledak-ledak dengan dahsyatnya.

Menghadapi lawan yang berkelahi benar-benar seekor harimau gila.

Na Hong meladeninya dengan sama beringas nya...

Perwiranya Pakkiong Liong yang satu ini memang dikenal sebagai orang yang berdarah panas juga, wataknya mirip dengan Tong Lam-hou atau Hu Lan-to.

Tinggal orang ke lima Ngo-pa-hwe Mo Kian- keng yang belum mendapat lawan.

Namun tak lama kemudian iapun tidak bisa malang- melintang seenaknya lagi, ketika dua orang perwira berpangkat pek-hu-thio (perwira yang menguasai seratus orang prajurit, kira-kira bawahannya Jian-hu-thio atau "pemimpin seribu prajurit") telah menghadangnya dan melibatkan dalam suatu pertempuran sengit.

Dua perwira pek-hu-thio yang bersenjata sam- ciat-kun (ruyung tiga tekukan) dua pedang itu ternyata cukup tangkas bekerja-sama untuk mengimbangi kegarangan si "macan tutul"

Paling bungsu dari Ngo-pa-hwe itu. Sementara itu Le Tong-bun dengan memimpin sejumlah prajurit mencoba "menambal kebocoran"

Pertahanan Hui-liong- kun di bagian dinding itu.

Ia dan kelompoknya berusaha untuk menguasai dinding kembali, tidak peduli bahwa sebagian laskar musuh sudah berada di bagian dalam dinding.

Musuh yang terlanjur di dalam biarlah diselesaikan oleh pasukan Hui-liong-kun yang di dalam pula, dan itu bukan pekerjaan berat.

Tetapi sesungguhnya bobolnya pertahanan Hui-liong-kun itu tidak hanya di satu tempat saja, tetapi juga di tempat lainnya.

Si saudara tertua dari Ngo-pa-heng-te (Lima Bersaudara Macan Tutul itu, Ong Goan-to yang berjulukan Tiat-pi-pa ( Si Macan Tutul Berlengan Besi) dan orang keduanya Bu Siang-kok yang berjulukan Toat-hun-pa ( Si Macan Tutul Perenggut Nyawa) itu juga telah berhasil mebobol pertahanan Hui- liong--kun di sisi sebelah lain dari ketiga saudara mereka yang lain.

Meskipun kemudian mereka sendiri tertahan Hu Lan-to yang dibantu beberapa perwira rendahan, namuntoh laskar musuh sudah terlanjur mendapat "pintu"

Untuk mengalir dalam desa.

Secara keseluruhan memang pasukan Hui- liong-kun harus bekerja keras.

Baik yang di atas dinding maupun yang di dalam desa, sementara perwira-perwira mereka sudah dibuat sibuk oleh orang-orang berilmu tinggi di pihak laskar pemberontak.

Tong Lam-hou dengan kepandaiannya yang tinggi memang sanggup membendung musuh di satu bagian, tapi hanya di satu bagian saja, sebab tenaga seseorang yang bagaimanapun tinggi ilmunya tentu tidak sanggup untuk mempengaruhi medan yang seluas itu.

Maka semangat laskar pemberontak semakin meningkat setelah melihat teman- teman mereka sebagian besar berhasil naik ke tembok dan bahkan turun ke bagian dalam tembok.

Desa yang tadi malam terlepas dari tangan mereka, ada harapan akan direbut kembali.

Bukan itu saja, pasukan Hui-liong-kun yang menduduki desa itu agaknya akan tertumpas habis sampai orang-orang terakhir sebab mereka tidak punya jalan mundur, ibarat dilingkari oleh laskar pemberontak.

Tapi prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang berjumlah duaribu limaratus, jauh lebih sedikit dari laskar pemberontak yang menyerbu itu, juga berkelahi dengan amat gigih, tidak peduli mereka berguguran seorang demi seorang.

Tidak percuma mereka disebut Pasukan berani Mati-nya Kerajaan Manchu, sebab dalam keadaan terjepit itupun setiap prajurit Hui- liong-kun memiliki tekad yang sama.

Diri sendiri boleh mampus asal sudah berhasil membunuh beberapa orang musuh.

Dengan demikian kematian di pihak laskar pemberontak akan mencapai jumlah berlipat ganda dari duaribu limaratus orang prajurit yang berhati singa itu.

Apalagi perwira- perwiranya seperti Ha To-ji atau Tong Lam-hou atau lain-lainnya.

Andaikata mereka harus mati, mereka tentu akan membawa korban puluhan orang di pihak lawan, bukan sekedar dua atau tiga orang.

Si Harimau Selatan dan Si Beruang Gurun Pasir Mongolia itu benar-benar berkelahi seperti sepasang malaikat maut yang menyebar malapetaka di bumi ini.

Bagian dinding desa yang mereka pertahankan adalah bagian yang paling banyak meminta korban laskar pemberontak dibandingkan bagian-bagian dinding desa lainnya.

Di pihak laskar pemberontak, ada tiga pasang mata yang tadi terus mengincar Tong lam-hou.

Tiga pasang mata milik Giok-seng Tojin palsu yang nama aslinya adalah Han Kiam-to yang berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Setan Gila Bertangan Ganas), dan dua orang Te-liong Hiangcu lainnya yang menyusup dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itu.

Merekalah Tong King-bun dan Seng Cu-bok.

Ketiga-tiganya mendapat perintah tegas dari Te-liong Hiangcu bahwa Tong Lam-hou harus dibunuh, entah dengan cara bagaimana, karena dia adaiah putera kandung Hwe-liong Pangcu Tong Wi- siang yang dikuatirkan akan membalas dendam, kepada Te-liong Hiangcu itu.

"Ini kesempaan kita,"

Kata Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to.

"Memang benar ucapan saudara Tong King-bun dulu, dia memang luar biasa. Tadi Ketika aku menangkis panahnya, aku sampai terjatuh dari kuda."

Tong King-bun dan Seng Cu-bok tertawa berbareng, dan salah seorang dari mereka menjawab.

"Ya, kami juga melihatnya. Sekarang saudara Han percaya bahwa kami tidak membual bukan?"

Sebenarnya wajah Han Kiam-to menjadi kemerah-merahan karena malu, tapi karena wajah aslinya itu tertutup oleh wajah palsu Giok-seng Tojin maka warna merah mukanya tidak kelihatan. Sahutnya.

"mari kita kerubut dia."

Ditengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran, merekapun segera mendesak maju ke arah Tong Lam-hou yang masih berdiri di atas dinding desa dan mengamuk dengan panahnya itu.

Jika ada laskar pemberontak yang berhasil memanjat naik, maka Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan merobohkan mereka, lalu disarungkannya pedangnya kembali dan panah-panahnyalah yang beterbangan kembali.

Kegagahannya telah membuat musuh pecah nyalinya dan lebih suka menyingkiri dia saja.

Namun Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok tidak merasa takut.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu persatu memang mereka kalah, tapi mereka percaya bahwa dengan maju bertiga mereka akan berhasil membereskan anak Tong Wi-siang, apalagi Seng Cu-bok memiliki senjata yang disebut hwe-tan (peluru api) yang sesuai dengan julukannya sendiri.

Dengan peluru- apinya itulah nanti ia berharap bisa membuat Tong Lam-hou terbakar hangus dan ia akan memperoleh pujian dari Te-liong Hiang-cu.

Han Kiam-to dan Tong King-bun bersenjata.

masing-masing sebatang pedang, sedangkan Seng Cu-bok memegang sebatang golok.

Ketiga- tiganya adalah tokoh golongan hitam yang sudah memiliki nama disegani sebelum Tong Lam-hou dilahirkan ke dunia ini, dan kini ketiga tokoh yang masing-masing mempunyai julukan- julukan yang seram-seram itu tidak segan-segan hendak mengeroyok seorang anak muda yang jauh lebih muda umurnya dari mereka sendiri.

Tong Lam-hou yang sibuk membendung musuh dengan panah atau pedangnya itu, tidak menyadari bahaya yang mengancam nyawanya.

Sekeliling desa itu memang penuh dengan laskar pemberontak yang berjumlah berribu- ribu dan terus bergerak seperti padi ditampi, sehingga gerakan ketiga anakbuah Te-liong Hiangcu itupun tidak kentara.

Dan barulah Tong Lam-hou terkejut ketika sesosok tubuh melayang secepat kilat ke arahnya sambil menikamkan pedangnya.

Tak sempat menghunus pedangnya, maka Tong Lam-hou hanya menggunakan busurnya untuk menangkis sambil meloncat ke samping.

Akibatnya, busur yang hanya terbuat dari kayu itu pun terpapas patah oleh pedang musuh.

Ketika Tong lam-hou memperhatikan penyerangnya itu? ternyata bukan lain adalah imam yang tadi memanahnya itu.

"Bagus, imam busuk!"

Teriak Tong Lam-hou.

"Bukannya kau berdoa dalam kuilmu untuk kedamaian umat manusia, tapi malahan berkompolot dengan kaum pemberontak untuk mengacau negara?"

Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan hendak menyerang imam itu.

Tapi kembali ia dikejutkan sebuah serangan gelap dari samping.

Seseorang kembali telah meloncat ke atas tembok dan menyerangkan pedangnya dengan dahsyat.

Lalu muncul seorang lagi dengan golok ditangan kanan, namun ia melemparkan sebuah benda hitam bulat sebesar kepalan tangan ke arah Tong Lam-hou.

Tong Lam-hou mengayunkan pedangnya hendak memukul jatuh benda bulat hitam itu, namun sebelum pedangnya bersentuhan dengan benda itu, tibat-iba hidungnya mecium bau belerang yang tajam, maka terkejutlah Tong Lam-hou karena ia dapat menebak benda apa yang bulat hitam itu, dan bagaimana akibatnya jika pedangnya membenturnya.

Cepat-cepat ia tarik pedangnya agar tidak membentur benda itu, dan tubuhnyapun sekuat tenaga meloncat turun dari dinding, tidak diperhitungkannya bahwa loncatannya itu justru ke arah luar dinding desa.

Ia jatuh ke tengah-tengah kerumunan laskar musuh! Sementara benda bulat hitam yang dilemparkan oleh Seng Cu-bok itu bukan lain adalah sebutir hwe-tan (peluru api) yang akan meledak jika membentur benda lain secara keras.

Dan karena benda itu tidak mengenai Tong Lam-hou, maka ia jatuh ke tanah dan meledak menjadi api yang berkobar bercampur dengan bau belerang yang tajam.

Sementara itu Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga telah meloncat turun kembali dari dinding desa untuk mengepung Tong Lam-hou.

Maka dibawah dinding desa itu terjadilah pertempuran seru satu lawan tiga.

Tidak ada laskar pemberontak yang berani mencampurinya, sebab mereka melihat betapa tingginya ilmu dari orang-orang yang bertempur itu.

Tong Lam-hou yang masih muda dan berdarah panas itu herkPiahi seperti seekor harimau yang sangat buas.

Begitu tangkas dan kuat, membuat musuh-musuhnya harus berhati-hati agar tubuh mereka tidak robek oleh pedang yang digerakkan dengan ilmu yang tinggi itu.

Ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah ilmu pedang yang mengutamakan kekuatan, kecepatan, di mana ujung-ujung pedang mengincar sasaran dengan telak.

Ilmu pedang itu tidak sedikit pun mempedulikan unsur keindahan atau seni, sebab ia tidak untuk dipertontonkan tapi benar- benar diciptakan untuk berkelahi.

Namun ketika lawannyapun bukan anak yang baru kemarin sore belajar memegang senjata.

Ketiganya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berilmu tinggi pula dan berpengalaman, berhati keji tidak tanggung- tanggung dan bahkan dalam hal kelicikan mereka jauh berada di atas Tong Lam-hou yang lugu itu.

Dengan demikian Tong Lam-hou menghadapi lawan-lawan yang sangat berbahaya, vang tidak segan-segan memakai cara sekotor apapun untuk memenangkan perkelahian itu.

Tong Lam-hou juga ingat bahwa Salah seorang dari mereka punya peluru-peluru api yang setiap saat dapat membahayakannya.

Ha To-ji di atas dinding terkejut sekali ketika melihat Tong Lam-hou telah terpancing keluar dinding dan dikerubut tiga orang musuh tangguh.

Orang Mongol yang berjulukan si Beruang Gurun itu segera mencabut golok lengkungnya dan siap terjun untuk membantu sahabatnya itu.

Tapi Tong Lam-hou telah meneriakinya.

"Jangan turun, Ha To-ji! Kau tetap pimpin seluruh pasukan sebab rekan- rekan lainnyapun sudah sibuk dengan lawan mereka masing-masing! Ketiga cecunguk berilmu rendah ini belum bisa menyentuh seujung rambutkupun meskipun mereka mengerahkan ilmu mereka!"

Han Kiam-to yang sekian lamanya ditakuti sebagai tokoh golongan hitam yang menonjol itupun marah sekali mendengar ejekan Tong Lam-hou yang sangat memandang rendah dirinya itu. Teriaknya.

"Bangsat Manchu bermulut besar! Kesombonganmu patut kau tebus dengan nyawamu!"

Tong King Bun juga membentak.

"Kau akan menyesali ucapanmu itu, anak Tong Wi-siang! Menyesalinya di akehrat!"

Tong Lam-hou agak heran karena lawannya itu langsung mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong pang berpuluh tahun yang lalu.

Ia merasa kedua orang yang berpakaian seperti laskar biasa itu agak aneh dan mencurigakan, apalagi setelah Tong Lam- hou mengenali kembali Tong King-bun sebagai salah seorang yang memimpin pencegatan di sungai Yang-ce-kiang beberapa waktu yang lalu, sewaktu Pakkiong Liong dan pasukan kecilnya pulang dari Hun-lam dengan membawa tawanan.

Perasaan Tong Lam-hou yang tajam segera merasakan adanya suatu jaringan- jaringan rahasia yang aneh yang tersebar di mana-mana, mengincar nyawanya, dan ia ingat pula kemunculan seorang bertopeng tengkorak di rumahnya di Pak-khia yang tiba-tiba saja ingin membunuhnya dengan alasan bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang.

Dan kini, di medan perang yang jauh di sebelah barat kota Pak-khia inipun ia menjumpai tiga orang yang mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang dan ingin membunuhnya.

"Siapa kalian?"

Bentak Tong Lam-hou sambil terus bertempur. Tong King-bun menjawab.

"Kami dulu anak buah Hwe-liong Pangcu. Semalam kami mimpi di datangi Hwe-liong Pangcu dan ia minta agar anaknya dijemput dan diantarkan kepadanya supaya ia tidak kesepian di akherat...

"

Tong King-bun tidak dapat melanjutkan kata-kaanya, sebab Tong Lam-hou sejak lahir belum pernah melihat ayahnya, namun ia sangat hormat dan bangga kepada ayahnya itu, maka ketiKa mendengar Tong King-bun mempermainkan nama ayahnya sebagai bahan gurauan, diapun marah bukan kepalang.

Untung Tong King-bun tidak sendirian, di dalam bahaya ia mendapat bantuan kedua temannya.

Saat itulah Tong Lam-hou yang sudah habis kesabarannya itu memutuskan untuk mengerahkan ilmu Hian-im-ciangnya agar musuh cepat mampus.

Demikianlah, diawali sebuah bentakan, udara di sekitar tubuh Tong Lam-hou sampai sejauh lima atau enam langkah tiba-tiba menjadi sangat dingin.

Jauh lebih dingin dari salju yang beku.

Setiap gerak tangannya maupun pedangnyapun membawa angin dingin yang jika kena telak akan sanggup membekukan darah.

Bahkan Tong Lam-hou keluarkan pula ilmu tendangan yang disebut Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Beruntun Seratus Kali Pergantian).

Ketiga lawannyapun terkejut bukan kepalang ketika merasa udara di tempat itu tiba-tiba turun suhunya dengan tajam, begitu tajamnya sehingga mereka merasa seperti dari bawah sinar matahari yang hangat mendadak disemplungkan ke sebuah sumur es di musim salju.

Rasa dingin yang menusuk kulit menggigit tulang, membuat darah mereka menjadi dingin mendadak dan tidak lancar mengalirnya, dan dengan sendirinya membuat gerakan mereka jadi lambat.

Di saat gerakan mereka melambat itulah maka Tong Kim-bun mencelat keluar dari arena karena kena tendangan Tong lam-hou.

Masih untung tidak mampus.

Kerjasama antara ketiga orang itu sejenak menjadi kalang-kabut, Han Kiam-to dan Seng Cu-bok segera meloncat menjauhi Tong Lam- hou dengan tubuh yang menggigil karena kedinginan.

Sesaat mereka harus mengerahkan tenaga dalam mereka untuk mengalirkan udara hangat ke seluruh tubuh mereka agar darah tidak terlanjur menjadi beku.

Tong King-bun yang terbanting jatuh itupun cepat-cepat melompat bangun dan meniru jejak kedua temannya itu.

Tapi Tong Lam-hou tidak membiarkan ketiganya lolos lagi.

Dengan sengit segera dilibatnya mereka kembali dalam pertempuran yang hebat.

Seng Cu-bok mencoba membuyarkan hawa maha dingin yang melingkupi tubuh Tong Lam- hou itu dengan melempar-lemparkan beberapa buah peluru apinya ke tubuh lawan dan ternyata Tong Lam-hou menangkisnya tanpa takut-takut dengar pengerahan Han-im- ciangnya.

Maka peluru peluru api Seng Cu-bok itu tidak lagi meletus dahsyat dan menyemburkan api yang berkobar-kobar, melainkan hanya mengeluarkan suara letupan lemah, dan kobarannyapun hanya muncul sebentar lalu sirna tertindih oleh udara maha dingin yang diatas kekuatannya.

Demikianlah tiga orang anggota kelompok Kui-kiong (Istana Iblis) pimpinan Te-liong Hiangcu itu mulai merasa bahwe tugas yang dibebankan oleh majikan mereka agaknya bakal gagal terlaksana.

Pada saat yang sama, di seluruh medan perang keadaan pasukan Hui-liong-kun benar- benar telah jatuh di bawah tekanan berat.

Laskar pemberontak yang terus membanjir bagaikan air bah sudah sulit dibendung lagi.

Beberapa tempat pertahanan Hui-liong-kun di sekeliling dinding desa sudah berhasil dibobol musuh tanpa dapat ditutup lagi, tidak peduli para perwira dan prajurit bertahan amat gigih dengan mempertaruhkan nyawa mereka.

Dan semangat laskar pemberontak bagaikan melonjak tinggi ketika dari arah selatan muncul pula sebarisan laskar pemberontak lainnya yang tenaganya nasih segar, dipimpin oleh Kongsun Hui yang didampingi oleh Kam-koan, Ketua dari Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) itu.

Pertanda mereka dapat dilihat dari kibaran bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar di pucuk barisan.

Begitu masuk ke kancah pertempuran, Kongsun Hui dan pasukannya langsung mendesak maju untuk membantu mempercepat bobolnya pertahanan pasukan Hui-liong-kun di dinding desa.

Pertahanan Hui-liong-kun itu sendiri sebenarnya sudah robek-robek di sana- sini, dan kini dengan datangnya bala bantuan untuk musuh, maka dapat dipastikan sebentar lagi seluruh desa akan dapat direbut.

Kam Koan si ketua Tiat-hi-pang agaknya ingin mendirikan pahala di depan Pangeran Cu Leng-ong, maka iapun memacu kudanya sampai ke dekat dinding desa, dengan sepasang tombak pendeknya sudah tergenggam erat di tangannya.

Begitu tiba dekat dinding, ia berteriak.

"Anggota-anggota Tiat-hi-pang, ikuti aku! Jangan kalah berjasa dengan orang-orang Ngo- pa-hwe!"

Agaknya antara kelompok-kelompok yang bergabung dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itupun masih juga ada persaingan, meskipun mereka telah bertempur di bawah satu bendera.

Maka mendengar teriakan sang pemimpin, orang-orang Tiat-hi-pang segera mendesak maju dengan beringas dan berusaha merebut satu bagian dari dinding yang melingkari desa.

Kam Koan sendiri memimpin orang- orangnya.

Di putarnya sepasang tombak pendek (siang-kek) untuk menghalau anak anak panah dan lembing yang dilontar-iontarkan oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun dari atas dinding.

Kemudian, seperti seekor burung saja ia meloncat naik ke atas dinding, dua orang prajurit Hui-liong-kun yang tepat berada di arah lompatannya ternyata tidak sempat meletakkan dan menghunus pedang mereka.

Kedua prajurit itu menjadi korban-korban pertama dari sepasang senjata Ketua Tiat-hi-pang itu.

Prajurit-prajprit lain sempat mengambil pedang atau tombak, dan mengerubut Kam Koan yang bertarung dengan hebat itu.

Dengan demikian mereka tidak sempat lagi untuk memanah atau melemparkan lembing.

Kesempatan itu segera digunakan oleh orang- orang Tiat-hi-pang untuk mendekati dinding, memasang tangga, dan mulai memanjat dinding dipelopori oleh orang-orang yang bernyali besar lebih dulu, meskipun yang bernyali besar itupun harus tetap melindungi kepala mereka dengan perisai.

Satu lagi titik pertahanan Hui-li-ong-kun jebol.

Dan yang kemudian mengalir masuk lewat "lubang"

Pertahanan yang bobol itu bukan saja orang-orang Tiat-hi-pang, tetapi juga orang-orang Ngo-pa-hwe yang sudah ada di situ lebih dulu, orang-orang Jit-goat-pangnya Cu Leng-ong sendiri, atau laskar lainnya yang berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong.

Setiap kelompok ingin memperebutkan jasa bagi dirinya sendiri, sehingga merekapun seakan berebutan lebih dulu siapa yang berhasil menundukkan Hui-iiong-kun.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pihak Hui-liong- kun harus mengerahkan beberapa regunya ke tempat itu untuk membendung musuh.

Kam Koan sendiri adalah seorang yang terlalu kuat untuk dilawan oleh prajurit-prajurit biasa.

Setiap kali beberapa orang prajurit Hui- liong-kun dengan berani mencoba menghadang Ketua Tiat-hi-pang itu, namun setiap kali pula bebeberapa prajurit terjungkal tewas dan kepunganpun tercerai-berai.

Girang-orang Tiat- hi-pang setiap kali bersorak-sorak mengejek musuh apabila melihat kegagahan ketua mereka dai am menghajar musuh.

Tapi aknirnya Kam Ko-an bertemu dengan seorang, lawan yang agak seimbang, yaitu seorang perwira Hui liong- kun berpangkat pek-hu-thio yang kepandaiannya agak lumayan, bersenjata perisai di tangan kiri dan golok lengkung di tangan kanan.

Meskipun perwira ini masih saja terdesak meiawan Kam Koan, namun setidak- tidaknya ia dapat memancing Kam Koan dalam suatu perkelahian satu lawan satu dan tidak membiarkannya malang-melintang sambil menyebar.

Tiba-tiba terdengar laskar pemberontak yang berada di sisi utara dinding itu bersorak- sorai membelah langiit.

Ternyata balabantuan telah datang lagi buat mereka.

Kali ini dan dipimpin oleh Ketua Koay-to-bun (Perguruan Golok Cepat) Cu Yok-tek yang mengaku berdarah bangsawan itu, dan berjulukan Say- bin-koay-to (Si Golok Cepat Berwajah Singa) yang memimpin orang-orang Koay-to-bun, didampingi oleh Ketua Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai) Ji Tay-hou yang dari kejauhan sudah memutar-mutar rantai dengan bandul besinya yang sebesar semangka itu.

Bahkan, entah untuk bergurau atau untuk maksud lainnya, Ji Tay-hou sengaja mengecat bandul besinya itu dengan warna lurik hijau dan kuning sehingga mirip semangka betul-betul.

Hanya saja "semangka"

Ini dulunya adalah semangka yang paling mematikan di sepanjang suangi Hong-ho.

Tak seorangpun menyukai "semangka"nya ini.

Ketika mereka tiba di sisi desa sebelah utara, dilihatnya sepasukan laskar pemberontak sedang mendobrak pintu gerbang desa, namun belum juga berhasil.

Setiap kali segerombolan laskar pemberontak berlari bersama-sama sambil menggotong sebuah balok besar untuk disodokkan ke pintu gerbang.

Namun hujan panah dan lembing yang dilontarkan prajurit- prajurit Hui-liong kun membuat sebagian dari kelompok pendobrak itu berejatuhan, dan daya luncur merekapun berkurang sehingga benturan balok kayu yang mereka bawa tidak berhasil mendobrak pintu gerbang desa yang dipalang kuat di sebelah dalamnya itu.

Melihat hal itu, Ji Tay-hou segera berteriak.

"Membuang-buang waktu saja! Minggir semuanya!"

Laskar pemberontak yang sedang mendobrak pintu gerbang itupun segera minggir berhamburan sambil meletakkan balok kayu mereka. Kini Ji Tay-hou berdiri belasan langkah dari pintu gerbang desa sambil memutar-mutar rantainya yang berujung "semangka"

Itu, tanpa peduli panah-panah atau lebing-lembing.

musuh semuanya tersapu oleh putaran rantainya.

Terdengar suara menderu kencang ketika bandul besi besar itu diputar, menandakan tenaga Ji Tay-hou yang luar biasa.

Kecepatannyapun luar biasa sehingga bandul itu hanya berwujud lingkaran hijau-kuning.

Setelah sesaat memutar bandulnya, tiba-tiba Ji Tay-hou membentak keras sambil melangkahkan kakinya selangkah dengan kuda- kuda Yu-cian-ma, lalau bandulnyapun meluncur deras menghajar pintu gerbang itu.

Terdengar suara berderak patahnya palang pintu.

Dan dengan sekali hajaran lagi, palang pintupun patah dan kedua pintu gerbang itu terbuka lebar....Dengan bandul besinya yang berantai panjang itulah biasanya Ji Tay-haou mengahantam kapal-kapal di sungai Hong-ho yang hendak dirampoknya.

Kalau bukan tiang- layarnya ya lambung kapalnya sehingga kapal calon korbannya akan bocor dan mudah disusul.

Kini ia meninggalkan Hong-ho dan bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong karena ia sudah ditawari jabatan "Panglima Armada Kerajaan Beng"

Apabila perjuangannya berhasil kelak.

Dengan jebolnya pintu gerbang desa, laskar pemberontakpun menyerbu ke dalam desa dengan derasnya.

Hujan panah dan lembing musuh tak lagi dapat membendung mereka.

Say-bin-koay-to Cu Yok-tek dan Ketua Kang- llong-pang Ji Tay-hou segera pimpin laskarnya untuk menyerbu masuk ke desa.

Ketika palang pintu gerbang berderak retak tadi, prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bertahan di balik pintu itu sudah menyangka bahwa pintu gerbang sudah tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi.

Maka saat itu mereka sudah mempersiapkan diri untuk menyambut membanjirnya pasukan musuh lewat pintu gerbang yang jebol itu.

Seperti sekawanan burung gereja yang sedang beristirahat, prajurit-prajurit itu menangkring berderet-deret di atap-atap rumah atau di tembok-tembok rumah yang terletak di kiri kanan jalan yang akan diserbu musuh.

Begitu laskar musuh nampak, maka hujan panah dan lembingpun meghujani pasukan musuh.

Namun kejutan itupun hanya sementara, sebab musuh segera mengangkat tameng-tameng mereka, lalu pertempuranpun jarak dekatpun berkobar dengan sengitnya.

Pertempuran segera menyebar ke lorong- lorong, ke segala sudut desa.

Bahkan jika ada seseorang yang lari masuk ke halaman sebuah rumah karena dikejar oleh musuhnya, maka pertempuranpun terjadi di halaman-halaman rumah, lalu masuk ke rumah-rumah, dari kamar ke kamar.

Di dapur, di ruangan tamu, di kebun belakang, di kandang ternak.

Di mana saja, tidak ada lagi garis yang memisahkan antara orang- orang kedua belah pihak.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid ENDUDUK - PENDUDUK desa mendekam di rumahnya masing-masing, berkumpul sekeluarga di dalam satu kamar sambil menggigil ketakutan.

Ada yang mengunci pintu rumah mereka, namun lebih banyak yang membiarkannya terbuka saja.

Percuma pintunya dikunci, toh dengan sekali tendang oleh prajurit Hui-liong-kun atau laskar pemberontak maka pintu itupun akan terdobrak.

Masih beruntung kalau yang masuk ke rumah itu adalah prajurit-prajurit Hui-liong- kun yang oleh Pakkiong Liong diikat dengan taca-tertib ketentaraan yang kuat itu, namun jika yang masuk ke rumah adalah segerombolan P anakbuah Pangeran Cu Leng-ong yang tengah buas-buasnya karena merasa akan merebut kemenangan, maka malanglah nasib orang- orang di rumah itu.

Jika ada perempuan muda berwajah menarik, mereka akan langsung menjadi sasaran pesta pora laskar pemberontak, yang lain-lainnya menguras harta benda, anggota rumah yang melawan langsung dibabat dengan senjata.

Bahkan tidak melawanpun kadang kadang dibabat juga.

Di salah satu rumah yang keadaannya agak baik dari rumah-rumah lainnya, seisi rumah berkumpul di ruangan belakang dengan menggigil ketakutan.

Sang suami adalah seorang lelaki berumur limapuluh tahun, jauh lebih tua dari isterinya yang baru berusia tujuh- belas tahun dan menggendong seorang anak berusia satu tahun itu.

Yang berkumpul di situ juga seorang mertua perempuan dan dua orang pembantu rumah tangga mereka.

Sang suami nampak pucat wajahnya, namun tiba-tiba sikap takutnya berubah sama sekali.

Ia mulai tertawa-tawa sendirian, dan mengoceh sendiri.

"Bagus-pernah bosan berperang. Hayo berperang-lah terus, biar harta bendaku yang kukumpulkan selama duabelas tahun ini ludes sekalian! Ludes untuk ketiga kalinya! Ha-ha-ha... dan bantailah pula seluruh keluargaku ini, supaya untuk ketiga kalinya pula aku kehilangan keluarga; ha-ha-ha..."

Dan makin lama tertawanya berubah menjadi suara tangisan yang menyeramkan.

Isterinya dan mertuanya mencoba menenangkan lelaki itu.

Tapi lelaki yang sudah sampai pada puncak ketakutan dan keputusasaan itu agaknya sudah kehilangan pikiran warasnya.

Setengah tertawa setengah menangis ia terus berceloteh.

"Dulu ketika Li Cu-seng berontak kepada dinasti Beng, maka si keparat-keparat busuk prajurit-prajurit Beng itu memperkosa isteriku lalu membunuhnya, membakar rumahku, meludeskan hartaku yang kukumpulkan sedikit demi sedikit, karena aku dituduh menyokong Li Cu-seng. Aku jatuh miskin dan mengumpulkan lagi kekayaan sesen demi sesen, sampai mendapat lagi seorang isteri dan sebuah keluarga yang manis. Tapi setan- setan keparat anak buah Li Cu-seng itu dalam gerakan mundur menghindari tentara Manchu, kembalimemporak-porandakan kebahagiaanku. Harta ludes, keluarga ludes pula. Sekarang.... agaknya keluargaku akan ludes pula. Ha-ha-ha- ha..... ludes ...... ludes semuanya! "

Lalu lelaki itu menjadi liar matanya, kelihatan sekali kekurang-warasan otaknya saat itu, bahkan air liurnya-pun menetes-netes.

Katanya sambil ter-tawa-taway "Perang...perang terus...entah membebaskan tanah air...entah apa lagi.

Aku juga akan ikut perang, ah!"

Lalu disambarnya sebatang palang pintu, dan ia berlari-lari ke jalanan di mana perkelahian sedang berkecamuk hebat antara laskar pemberontak dan pasukan Hui-liong-kun.

Namun perkelahiannya tidak mirip antara dua buah pasukan lagi, tapi lebih mirip antara orang per orang, dengan jumlah yang lebih banyak lagi di pihak pemberontak.

Lelaki yang kehilangan akal sehatnya itupun berloncatan-loncatan di jalan raya sambil mengayun-ayunkan palang pintunya, sambil berteriak-teriak.

"Hayo siapa berani berperang dengan aku! Cihui... ."

Ketika seseorang lewat di dekatnya, maka diayunkanlah palang pintunya untuk menghantam kepala orang itu.

Tapi malangkah nasibnya, sebab orang yang diserangnya itu adalah Cu Yok-tek.

Serangannya dihindari dengan mudah sambil menyabetkan goloknya, dan kali ini-pun bukan cuma hartanya atau keluarganya yang ludes, tapi bahkan sebutir kepalapun ia tidak memilikinya Lagi.

Dari sela-sela pintu, isterinya dengan menangis menyaksikan semuanya itu, dan jika tidak dicegah oleh ibunya yang tua tentu akan lari untuk menangisi tubuh suaminya yang dicintainya itu, meskipun umurnya berselisih banyak dengan dirinya sendiri.

Kata ibunya setengah membujuk setengah menyeret.

"Jangan keluar, A-mei, ingat bayimu. Ingat nasib A-im tetangga kita yang diperkosa beramai-ramai oleh pemberontak-pemberontak itu beberapa saat yang lalu ketika desa ini masih diduduki oleh mereka. Sekarang dalam suasana Ketika seseorang lewat di dekatnya, maka diayunkanlah palang pintunya untuk menghantam kepala orang itu. Tapi malanglah nasibnya, sebab orang yang diserangnya itu adalah Cu Yok-tek. perang, teptu mereka jauh lebih buas dari dulu- dulu". Itulah perang. Tiap pihak mengarang alasan alasan yang muluk-muluk untuk tujuan perangnya, namun setiap kali rakyatlah yang terinjak tanpa daya. Ribuan orang kehilangan keluarga, kehilangan harta bertda, kehilangan masa depan bahkan kehilangan nyawa, tapi apa peduli para pencipta perang? Perjuangan membutuhkan pengorbanan, demikian selalu alasan yang dikemukakan para diri berkorban apa? Mereka yang bercita cita, mereka yang bernafsu akan kemenangan dan kejayaan, kenapa orang lain yang tidak tahu apa-apa yang harus berkorban? Demi rakyat kecillah kami mengangkat senjata, begitu teriak mereka. Kenapa tidak diganti saja semboyan itu dengan demi rakyat kecillah kami rela meletakkan senjata. Kedengarannya sangat tolol buat orang- orang yang haus kekuasaan bukan? Meletakkan senjata? Bukan saja tolol, malahan gila. Perang berkecamuk terus di desa itu. Nyawa-nyawa dari kedua belah pihak beterbangan meninggalkan raga-raga yang luka oleh senjata. Desa semakin penuh dengan laskar pemberontak, namun pasukan Hui-liong-kun tetap bertahan dengan amat gigih. Jumlah musuh yang jauh lebih banyak membuat mereka semakin terdesak ke tengah desa, namun mereka pertahankan lorong demi lorong, halaman demi halaman, pintu rumah dengan pintu rumah, dengan semangat berani mati yang mau tidak mau membuat musuh- musuh mereka bergidik ngeri. Tetapi pada saat pasukan Hui-liong kun yang dipimpin oleh Ha To-ji itu sudah di ambang kehancuran, maka tiba-tiba terasa tekanan laskar pemberontak agak mengendor. Dari sebelah selatan dan utara, jauh di luar desa itu, ada debu mengepul tinggi dan bendera yang berkibar-kibar. Pasukan-pasukan yang baru datang itu langsung membuat gerakan menebar dan menggencet laskar pemberontak dari arah lambung. Pasukan penyerbu itu bukan saja terdiri dari pasukan berjalan kaki yang amat tangkas dan berani, tetapi juga sebagian kecil dari mereka adalah prajurit-prajurit berkuda yang dengan beraninya menusuk jauh sampai ke tengah-tengah laskar pemberontak, dan dengan garangnya mereka mengamuk, membuat bagian belakang laskar pemberontak kacau balau. Le Tong-bun yang bersama sepasukan kecil anakbuahnya masih bertempur di atas dinding sebelah selatan itu dapat melihat datangnya pasukan bantuan itu. Ketika melihat bendera bergambar seekor naga putih yang sedang menginjak mega yang berwarna putih pula tahulah dia bahwa itulah Pakkiong Liong sendiri yang memimpin pasukannya untuk terjun ke medan laga.

"Pakkiong Ciangkun turun ke gelanggang!"

Pekik Le Tong-bun gembira "Mampuslah pemberontak!"

Teriakan "Pakkiong Ciangkun turun ke gelanggang"

Itu segera menjalar dari mulut ke mulut sampai seluruh prajurit Hui-liong-kun yang bertahan gigih di desa itupun mendengarnya.

Mereka bagaikan menelan sebutir obat kuat yang membuat keputus-asaan mereka tersapu sirna, dan semangat berkobar kembali.

Ternyata yang turun ke medan laga bukan hanya Pakkiong Liong dan pasukan Hui-liong- kun yang ada di pesanggrahannya, tetapi juga Panglima Tay-tong Kwe Sin-liong-kun dan sebagian pasukannya.

Pasukan Tay-tong memang tidak sebaik pasukan Hui-liong-kun, tapi kalau dibandingkan laskar pemberontak yang kurang terlatih itu, jelas bahwa pasukan Tay-tong setingkat lebih baik.

Baik dalam hal membentuk barisan maupun kemampuan perseorangan rata-ratanya.

Seiama ini pasukan Tay-tong terkungkung di dalam kota sambil menunggu datangnya balabantuan dari Pak- khia.

Tidak jarang prajurit Tay-tong harus menahan hati apabila mereka sedang bertugas di atas dinding kota, dan mereka melihat laskar pemberontak lewat di luar dinding kota sambil menantang-nantang dan mengejek.

Tapi waktu itu mereka harus menahan diri untuk tidak melayani tantangan itu, meskipun hati panas, namun mereka sadar bahwa kekuatan mereka jauh di bawah laskar pemberontak, sehingga keluar benteng sama saja dengan bunuh diri.

Kini, Kwe Sin-liong sendiri memimpin pasukannya untuk mengempur dari utara, sehingga berbenturan langsung dengan pasukannya Cu Yok-tek.

Dan prajurit Tay-tong yang selama ini merasa diejek dan dihina oleh laskar pemberontak bagaikan mendapat pelampiasan untuk melepaskan kemarahan mereka Maka pada benturan pertama saja pihak pemberontak di sisi utara sudah terdesak mundur puluhan langkah oleh pasukan kota Tay-tong yang bertempur dengan barisan menebar itu.

Di tengah ada Kwe Sin-liong, di sayap kanan ada Hoa Wi-jong dengan ruyung bajanya yang mengerikan, dan di sayap kiri ada si kerdil Leng Bun yang bertempur segagah Toh It-hou di jaman dinasti Tong ketika menyerang ke barat itu.

Ternyata Li Tiang-hong yang memimpin serangan ke desa itu, telah salah langkah.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengerahkan pasukannya seluruhnya untuk menggempur desa itu karena mengira bahwa pasukan yang tadi malam mengusirnya adalah seluruh pasukan musuh.

Tak ia sangka bahwa yang ada di desa itu hanya separuh dari seluruh kekuatan Hui-liong-kun, sedang yang separuh lagi tetap di luar pesanggrahan malahan sudah ditambah dengan seribu limaratus orang prajurit Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin- liong sendiri.

Karena itu, Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang terkejut bukan main ketika dua orang laskar mereka melaporkan bahwa dari utara dan selatan muncul dua pasukan besar yang langsung menekan dan nyaris mematahkan kedua sayap laskar Li tiang- hong.

"Kita telah salah hitung!"

Teriak Li Tiang- hong kebingungan.

"Lekas ambil tindakan!"

Sahut Pangeran Cu Hin-yang.

Sementara itu di sayap selatan, laskar pemberontak bukan saja terdesak oleh Hui- liong-kun yang dipimpin langsung oleh Pakkiong Liong, namun juga nyaris tercerai- berai.

Kongsun Hui yang memimpin laskar pemberontak di sayap itu tidak menduga akan serangan yang datang dari lambung dan melanda seperti banjir-bandang itu.

Hulubalang-hulubalang laskar pemberontak yang dapat diandalkan semuanya telah dikerahkan ke depan untuk merebut desa, sehingga yang ada di bagian itu tinggal Kongsun Hui seorang.

Sebaliknya dipihak Hui-liong-kun ada Pakkiong Liong serta empat perwiranya, Ko Lung-to Tokko Seng, Tamtai Hok dan Wanyen Hu yang keempat-empatnya terlalu tangguh untuk dilawan prajurit-prajurit biasa.

Apaboleh buat, seorang diri Kong sun Hui mencoba mengendalikan laskarnya agar tidak tercerai-berai, meskipun mundur tetapi tetap harus teratur.

Tapi apa mau dikata, yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan keinginannya.

Laskarnya yang campur-aduk dari berbagai golongan itu ternyata tidak bisa kompak dalam menuruti aba-abanya Orang-orang Jit-goat-pang atau prajurit prajurit Beng dari Hun-lam yang dulunya anakbuah Li Tiang-hong, memang bertahan dengan gigih sebab merekalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Beng.

Tapi orang- orang Tiat-hi-pang atau Ngo-pa-hwe yang bertempur dengan mengharap keuntungan itu tentu saja tidak sudi membuang nyawa di tempat itu.

Jika laskar sedang di atas angin, mereka membantu dengan bersemangat, jika laskar terdesak, maka merekalah yang mundur paling dulu meninggalkan garis depan.

Cara mundurnyapun tidak seperti prajurit yang terlatih, melainkan lari serabutan seperti orang- orang di pasar jika pasarnya terbakar.

Kongsun Hui melihat tingkah laku orang- orang Tiat-hi-pang dan Ngo-pa-hwe itu dengan perasaan geram campur sedih.

Batinnya.

"Laskar kami ini biarpun nampaknya berjumlah besar sekali, namun separuh lebih terdiri dari pengecut-pengecut tak berguna semacam ini, yang beraninya hanya membentak-bentak rakyat yang tak berdosa namun begitu dihadapkan lawan yang sesungguhnya mereka kabur lintang-pukang seperti ini."

Sedangkan orang-orang Jit-goat-pang dan bekas-bekas prajurit Hwe-liong-pang yang menyerbu laksana sekawanan serigala kelaparan itu.

Pasukan Berani Mati Kerajaan Manchu itu benar-benar lawan yang sulit dihadapi, tidak cukup dengar teriakan-teriakan bersemangat saja.

Kongsun Hui segera memerintahkan laskarnya untuk mundur teratur tanpi menunggu persetujuan Li Tiang-hong yang berada di di barisan tengah.

Kalau harus menunggu persetujuan rekannya itu, bisa jadi laskarnya di sayap selatan itu sudah hancur lebih dulu.

Maka laskar itupun mulai mundur dengan teratur, sebab bagaimanapun juga Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Kerajaan Beng cukup punya pengalaman dan pengetahuan untuk mengendalikan tentara di medan perang.

Gerakan mundur juga terjadi di sayap utara, di mana laskar pemberontak digempur bertubi- tubi oleh Pasukan Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong.

Namun cara mundurnya laskar pemberontak di bagian ini dengan mundurnya laskar yang dipimpin Kongsun Hui.

Cu Yok-tek sebagai pimpinan sayap utara malahan sudah masuk ke dalam desa, sehingga laskarnya yang sebagian masih di luar itu bertempur tanpa pimpinan.

Maka kacaulah diamuk oleh Kwe Sin- liong dan pasukannya.

Saat itu laskar pemberontak yang sudah berada di dalam desa dan bertempur sengit melawan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang mempertahankan desa itu sebenarnya hampir menang.

Jika kawan-kawan mereka terus mengalir dari luar desa lewat pintu-pintu gerbang yang bobol ataupun memanjat lewat tembok tembok, maka tidak sampai sore prajurit prajurit Hui-liong-kun akan mereka habiskan.

Tapi tiba-tiba laskar mereka yang ada di luar desa ditarik mundur, maka yang sudah terlanjur memasuki desa itu jadi seolah-olah terpencil di tengah-tengah musuh.

"Gila! Gila!"

Cu Yok-tek yang memimpin orang-orang Koay-to-bun dar Kang-liong-pang itu berteriak-teriak.

"Apa yang terjadi di luar dinding sana. Cepat lihat!"

Seorang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar segera menerobos medan pertempuran kacau-balau di lorong-lorong desa itu, dan mencoba melihat keluar dinding desa.

Tidak lama kemudian ia telah kembali ke samping Cu Yok-tel dalam keadaan luka-luka, namun masih bisa melapor.

"Ong-ya, seluruh pasukan kita sedang ditarik mundur. Li Ciang-kun juga memerintahkan kita untuk bergerak mundur secepatnya!"

"Apa? Mundur? Cu Yok-tek terbelalak kaget dan marah.

"Apakah Panglim tololmu itu sudah miring otaknya? Kita hampir menang, kenapa harus mundur?"

Pengawal Cu Yok-tek itu menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlalu, tolol untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di seluruh medan perang, maka ia menjawab sekenanya saja.

"Barangkali...barangkali Li Ciang-kun menganggap inilah waktunya untuk istirahat makan, nanti sehabis makan kita teruskan menggempur lagi."

"Makan kepala nenekmu?"

Bentak Cu Yok- tek yang kehabisan kata-kata untuk memaki pengawal tololnya itu.

Namun sebagai orang berpengalaman diapun segera merasakan gelagat buruk.

Sayup-sayup ia mendengar pula prajurit-prajurit musuh berteriak-teriak "Pakkiong Ciangkun terjun ke medan perang"

Dengan penuh semangat. Tidak ada gunanya memaki-maki pengawalnya atau memaki siapapun juga, dia sendiri harus segera menarik mundur pasukannya. Kalau tidak, alamat bahwa umurnya hanya sampai hari ini.

"Mundur!"

Teriak Cu Yok-tek.

Teriakannya segera ditirukan secara bersambung dari mulut ke mulut.

Setengah percaya setengah tak percaya laskar pemberontak yang sudah memenuhi desa itu ketika mendengar perintah Cu Yok-tek itu.

Namun mereka tidak berani membantah perintah itu.

Sementara itu, karena gerakan mundur seluruh laskar pemberontak, maka tiga orang anakbuah Te-liong Hiangcu yang hendak membunuh Tong Lam-hou itupun terpaksa ikut mundur.

Mereka tidak ingin ditinggal bertiga saja di tengah-tengah musuh, lagipula mereka merasa tidak sanggup lagi melawan Tong Lam- hou yang berkelahi seperti luka sambil menyebarkan udara maha dingin yang membekukan darah itu.

Maka tidak ada pilihan lain buat mereka bertiga kecuali bergerak mundur bersama seluruh laskar.

Tong Lam-hou yang kehilangan lawan itupun segera masuk ke desa untuk membantu membereskan sisa-sisa laskar pemberontak yang masih berada di desa.

Ketika Tong Lam- hou mengejar dua orang laskar pemberontak sampai ke dalam sebuah rumah, terkejutlah ia ketika melihat seisi rumah itu sudah menjadi mayat.

Pemilik rumah itu dikenalnya baik, dan baru tadi pagi mereka menawari Tong Lam-hou untuk makan pagi bersama.

Kini seluruh rumah telah menjadi mayat.

Bahkan gadis kecil berkuncir dua yang baru berusia empatbelas tahun dan selalu mengambil Tong lam-hou dengan sebutan "kakak"

Itu, kini tergeletak di sebuah meja, terlentang tanpa selembar benangpun ditubuhnya, tanpa nyawa dan matanya terbeliak lebar.

Jelas dia mengalami perkosaan sebelum akhirnya dibunuh pula bersama seisi rumahnya.

Di tangan kanannya tergenggam erat sehelai ikat kepala berwarna kuning, ikat kepala laskar pemberontak! Gigi Tong Lam-hou gemeretak menahan amarah, bayangan orang-orang Jit-siong-tin yang dibantai tanpa belas kasihan telah membuatnya kehilangan pengendalian diri.

Di sini ternyata berlaku pula kebiadaban yang sama dan oleh pihak yang sama pula, yaitu orang-orang yang mengaku akan membebaskan tanah air dan mendirikan kembali Kerajaan Beng yang adil dan sejahtera.

Dengan tangan gemetar Tong Lam-hou mengatupkan mata mayat gadis kecil itu, di renggutnya sehelai taplak meja dan ditutupkannya ke tubuh gadis itu.

Lalu iapun mengitari rumah untuk mencari kedua laskar pemberontak yang lari ke situ tadi.

Mereka berdua ditemukan di ruangan belakang sedang berjongkok bersembunyi, dan Tong Lam-hou tidak menggubris ketika mereka meratap-ratap minta ampun.

Pedangnya berkelebat dua kali dan habislah nyawa kedua orang laskar Cu Leng-ong itu.

Ketika telinganya menangkap suara pertempuran yang masih berlangsung di lorong-lorong desa itu, maka mata Tong Lam- hou menjadi merah liar seperti mata seorang gila.

"Pemberontak-pemberontak itu harus ditumpas habis tanpa ampun,"

Desisnya dengan bibir gemetar.

"Di manapun mereka datang, mereka melakukan hal-hal biadab terhadap rakyat kecil yang tak tahu apa-apa. Aku tidak pantas mengenakan seragam ini kalau tidak bisa menghabiskan mereka."

Lalu iapun beriari keluar.

Dan malangkah setiap laskar pemberontak yang bertemu dengan putera Hwe-liong Pangcu ini.

Sifat-sifat yang keras dan sedikit kejam dari ayahnya, ternyata menurun ke dalam pribadi Tong Lam- hou.

Sekejap saja pedangnya sudah merah, namun ia masih mengayunkannya kesana kemari sambil berteriak-teriak kepada sesama prajurit Hui-liong-kun.

"Habiskan saja! Mereka telah berbuat biadab kepada rakyat! Habiskan- habiskan!"

Seruan Tong lam-hou itu mendapat sambutan dari prajurit-prajaurit Hui-liong-kun, yang darahnya masih saja hangat.

Baru saja mereka lepas dari kematian, andaikata pasukan Pakkiong Liong terlambat, maka mereka semua akan mati di situ.

Karena itu, ketika mereka berbalik mendapat kesempatan di atas angin, maka merekapun membinasakan laskar pemberontak yang tidak sempat mengundurkan diri itu, tanpa ampun.

Ha To-ji terkejut melihat pasukannya menjadi liar tak terkendali itu, bahkan tata-tertib peperangan terhadap lawan- lawan yang sudah menyerah di peperanganpun tidak dihiraukan lagi oleh mereka.

Laskar pemberontak yang sudah meletakkah senjatanyapurn dibabat tanpa ampun.

"Hentikan!"

Teriak Ha To-ji kepada prajurit- prajuritnya.

"Hentikan! Lawan yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh!"

Namun pada mulanya seruan itu seolah- olah orang berteriak di tengah padang pasir saja, tidak ada yang menanggapinya.

Prajurit- prajuritnya.

masih saja memburu lawan-lawan mereka dengan buasnya, sementara Tong Lam- hou masih berteriak-teriak di kejauhan.

"Manusia-manusia biadab ini hanya mengotori dunia dan menyengsarakan sesamanya saja! Sikat sampai habis!"

Ketika Ha To-ji melihat seorang laskar pemberontak di dekatnya ditusuk perutnya dengan tombak oleh seorang prajuritnva, meskipun laskar pemberontak itu sudah membuang pedangnya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, maka kesabaran Ha To- jipun habislah.

Disarungkannya pedangnya, lalu dengan kedua tangannya la mencengkeram baju prajuritnya sendiri itu, dan diguncang- guncangkannya tubuh prajuritnya itu sambil berteriak marah.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Prajurit gila, apa matamu tidak melihat kalau lawanmu itu sudah meletakkan senjata dan bersikap menyerah?! He?! butakah matamu? !"

Ketika Ha To-ji melihat wajah prajurit yang dicengkeramnya itu, iapun terkejut, ternyata prajurit itu matanya berkaca-kaca. Jadi prajurit itu tadi berkelahi sambil menangis! "Kau menangis, he?"

Suara Ha To-ji agak melunak.

"Bangsat-bangsat pemberontak itu membunuh adikku, Ciangkun, di lorong itu, meskipun adikku sudah tergeletak luka tetapi bangsat-bangsat itu tetap saja membacok dadanya dengan kampak!' sahut prajurit itu sambil tetap menangis.

"Mereka orang-orang biadab! Tak patut diberi ampun... ."

"Diam! Prajuritkah adikmu itu?!"

Tanya Ha To-ji. Dan dijawab dengan anggukan kepala.

"Ya?ia baru diterima tahun lalu dan ditempatkan satu regu denganku,"

Sahut prajurit itu dengan air mata bercucuran.

"Kalau dia prajurit, dia harus siap mati di peperanan demi tugasnya. Kalau menyesal jadi prajurit dan takut mati di peperangan, jadi saja muncikari atau tukang membungakan uang yang kerjanya enak dan cepat kaya! Seorang prajurit bukan saja siap mati demi negara, tapi juga harus mengendalikan diri dalam semua keadaan, bahkan dalam perang yang paling buas sekalipun! Kau tahu kesalahanmu?"

Bentak Ha To-ji tajam.

"Ya...tahu, Ciangkun!"

"Apa?"

"Membunuh seorang lawan yang sudah meletakkan senjata dan menyerah."

"Kalau kau tahu, kenapa tadi kau lakukan juga?"

"A...aku mata gelap, Caingkun. Aku lupa segala-galanyei...

"Orang itukah yang mengampak dada adikmu?"

Tanya Ha To-ji sambil menunjuk mayat laskar pemberontak yang masih bersandar tembok dengan tombak di perutnya itu.

"Aku tidak tahu. Peperangan begitu ribut, dan aku tidak jelas melihat wajah orang yang mengampak adikku."

"Nama dan regumu?"

"Ui Beng. Pasukan ke tujuh dan regu k.e tujuhbelas."

"Bagus, Ui Beng, nanti kau akan mempertanggung-jawabkan kelakuanmu yang melanggar aturan peperangan itu. Sekarang, cegah kawan-kawanmu yang kesurupan setan semuanya itu."

"Baik, Ciangkun."

Meskipun perlahan-lahan, tapi Ha To-ji berhasil juga menenangkan pasukannya yang dengain kalap membunuhi lawan-lawan yang sudah menyerah itu.

Ketika semuanya berhasil ditenangkan, termasuk Tong Lam-hou, maka laskar pemberontak yang terjebak di desa itu sudah terlanjur tinggal sebagian kecil saja.

Yang sebagian kecil itu dikumpulkan di sebuah halaman rumah yang cukup luas, dan wajah mereka nampak pucat ketakutan dengan kaki yang menggigil ketakutan.

Tak tersisa lagi sikap garang mereka tadi ketika mereka berhasil menjebol pertahanan Hui-liong-kun dan berteriak-teriak "bunuh Manchu"

Dengan pedang terhunus.

Kini mereka seperti tikus- tikus tak berdaya yang berada di tengah kucing kelaparan yang menatap mereka dengan air liur menetes-netes.

Sebagai manusia biasa, sebenarnya Ha To-ji sendiri merasa geram melihat tampang orang- orang yang tertawan itu.

Merekalah yang tadi berpesta-pora dengan nyawa penduduk desa yang mereka masuki rumahnya, dan jufea membunuh-bunuhi prajurit-prajuritnya tanpa ampun.

Namun Ha To-ji tidak dapat menuruti perasaan dendamnya semata-mata, dia harus memberikan contoh bagi anakbuahnya.

Tapi Ha To-ji tidak dapat menahan mulutnya untuk melepaskan sebagian dari kepepatan hatinya.

"Kalian sudah merasakan sendiri ketakutan akan kematian bukan? Tapi apakah kalian tidak pernah berpikir, ketika kalian menghancurkan sebuah desa, bahwa orang-orang desa itupun ketakutan seperti kalian saat ini? Pernahkah ketakutan dan ratap tangis mereka kalian pedulikan? Ku rasa tidak pernah. Karena kalian adalah bandit-bandit bertampang anjing tetapi bernyali tikus! Kalian pengecut-pengecut besar, yang menutup-nutupi kekerdilan kalian sendiri dengan perbuatan- perbuatan kejam di luar batas, seolah-olah dengan berbuat demikian kalian menjadi pahlawan."

Masih banyak lagi caci-maki Ha To-ji kepada mereka sebelum mereka semuanya diikat di halaman itu juga, dan dijaga. Sebelum pergi, Ha To-ji masih ingin menyiksa perasaan mereka yang tertawan itu.

"Kalau kalian sanggup berpesta-pora di atas penderitaan orang orang yang tak dapat melawan mereka, kenapa kami tidak boleh? Siapa tahu nanti malam kami membutuhkan hiburan, dan kalian akan kami ambil satu persatu untuk kami bakar hidup- hidup, atau dikuliti perlahan-lahan, atau seribu satu macam permaianan mengasyikkan lainnya."

Meskipun para prajurit Hui-liong-kun sadar bahwa mereka tidak mungkin melakukan siksaan keji seperti yang disebutkan Ha To-ji itu, namun mereka puas juga ketika melihat wajah para tawanan itu semakin pucat, bahkan ada beberapa orang tawanan yang pandangan matanya sudah kosong hampa, seolah raganya sudah ditinggalkan oleh sukmanya.

Sementara prajurit-prajurit Hui-liong-kun di desa itu sibuk memisah-misahkan mayat-mayat teman-teman mereka sendiri maupun mayat- mayat lawan, maka pasukan Pakkiong Liong serta Kwe Sin-liong berturut-turut memasuki desa itu.

Ternyata setelah mereka mematahkan perlawanan musuh, mereka tidak langsung mengejarnya sebab mereka lebih menganggap penting untuk menilik keadaan Ha To-ji dan pasukannya lebih dulu.

Gemeretaklah gigi Pakkiong Liong ketika melihat keadaan pasukan Ha To-ji yang agak parah itu.

Namun ia dapat menyetujui tindakan Ha Toji yang mencegah anak buahnya untuk membunuhi lawan-lawan yang sudah menyerah itu.

"Kami hampir terlambat,"

Kata Pakkiong Liong di hadapan Ha To-ji, Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Han Yong-kim yang tampangnya dekil-dekil karena darah dan debu itu.

"Mana Na Hong dan Le Tong-bun?"

Waktu itu di sekitar mereka sedang hilir mudik para prajurit yang menggotong tubuh terluka atau yang sudah jadi mayat, bahkan prajurit yang baru datangpun segera diperintahkan untuk membantu agar cepat selesai dan desa itu dapat segera dibenahi sebagai pangkalan yang nyaman untuk ditempati, meskipun hanya untuk sementara, dan bukannya desa dimana ada mayat malang- melintang di semua lorong dan sudutnya.

Dua orang prajurit datang membawa usungan dan di atas usungan itulah tubuh Le Tong-bun terbaring.

Hanya tubuhnya saja, nyawanya tidak.

Kemudian di bagian lain ditemukan pula tubuh Na Hong yang juga sudah tidak bernyawa.

Dua orang prajurit datang membawa u-sungan, dan di atas usungan itulah tubuh Le Tong-bun terbaring.

Hanya tubuhnya, nyawanya tidak.

Pakkiong Liong menundukkan kepalanya ketika mendengar kabar kematian kedua perwiranya itu.

Sesaat ia nampak menahan gelora hatinya, lalu kemudian ia mengangkat mukanya dan katanya dengan tegas tetapi dingin.

"Malam ini seluruh pasukan akan beristirahat kecuali yang bertugas menguburkan mayat-mayat. Gunakan tenaga para tawanan untuk mengubur mayat. Besok pagi kita akan keluar dari sini dan menggempur pertahanan terakhir dari Cu Leng-ong. Menang atau kalah kita tentukan secepatnya."

"Bagus!"

Sahut Tong Lam-hou dengan tangan terkepal, sementara matanya masih saja menyalakan kemarahan.

"Besok kita gempur mereka!"

"Pakkiong Ciangkun, apakah aku perlu mengambil pasukan yang masih ada dalam kota Tay-tong untuk digabungkan sama sekali?"

Tanya Kwe Sin-liong.

Panglima Tay-tong itu nampak bersemangat sekali, hari ini goloknya sudah membinasakan lebih dari tigapuluh orang laskar pemberontak "Tidak perlu, Kwe Ciangkun, sebab meskipun pasukan kita sudah berkurang tetapi pihak laskar musuhpun berkurang jauh lebih banyak dari kita,"

Sahut Pakkiong Liong.

"aku dapat memperhitungkan perbandingan kekuatan kita dan musuh. Lagipula kota Tay- tong tidak boleh dibiarkan tanpa prajurit sama sekali bukan?"

Apa yang diucapkan Pakkiong Liong itu ada benarnya.

Hui-liong-kun Kehilangan hampir prajurit serta dua orang perwira, Le Tong- bun dan Na hong, tetapi laskar pemberontak kehilangan lebih banyak lagi, bahkan hampir empat kali lipat akibat kesalahan perhitungan mereka.

Sedang pentolan-pentolan di pihak pemberontak yang terjebak di dalam desa, boleh dikata hanya Say-bin-koay-to Cu Yok-tek yang berhasil lolos dari maut.

Yang lain-lainnya seperti Kam Koan, Ji Tay-hou seta Ngo-pa-heng- te telah tewas penasaran.

Dikatakan penasaran, sebab mereka tewas pada saat didalam hati sudah sangat yakin bahwa pihak mereka akan mencapai kemenangan.

Alangkah marah dan terkejutnya Pangeran Cu Leng-ong ketika sore itu Li Tiang-hong membawa laskarnya yang rusak parah dan patah semangat itu masuk ke desa pertahanannya.

"Apa yang terjadi? apa yang terjadi? He, kalian yang mengaku diri kalian sebagai panglima-panglima yang pandai dan berpengalaman?!"

Pangeran Cu Leng-ong berteriak-teriak sambil memukul meja ketika Li Tiang-hong, Kongsun Hui dan lain-lainnya menghadapnya untuk melaporkan jalannya peperangan.

"Li Tiang-hong! Kongsun Hui! Cu Yok tek! Kalian ini hanyalah k.antong-kantong nasi yang hanya pandai membual saja"

Merah padamlah wajah orang-orang yang disebut namanya itu.

Li Tiang-hong dan Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Kerajaan Beng, seingat mereka Kaisar Cong-ceng sendiri belum pernah bicara sekasar itu terhadap mereka, namun sekarang Pangeran Cu Leng-ong yang hanya dilahirkan oleh seorang selir itu telah berani mengeluarkan kata-kata sekasar itu? Belum jadi Kaisar sudah berwatak seperti itu, bagaimana kelak kalau benar-benar menjadi seorang Kaisar yang kekuasaannya meliputi negeri yang besar ini? Agaknya Pangeran Cu Leng-ong mewarisi sifat-sifat dari nenek- moyangnya, Cu Goan-ciang yang mendirikan dinasti Beng itu.

"He, kantong-kantong nasi goblok! Apa katamu?!"

Teriak Pangeran Cu Leng-ong yang kehilangan pengendalian diri itu. Pangeran Cu Hin-yang yang juga hadir di tempat itu dengan pakaian perangnya yang masih penuh debu dan darah itu, menyela, mencoba menenangkan kakaknya yang lain ibu itu.

"Kakanda, coba tenangkan pikiranmu dulu. Dengan mata kepalaku sendiri aku lihat Li Ciang-kun, Kongsun Ciangkun dan lain-lainnya benar-benar telah berjuang mempertaruhkan nyawa. Desa itu berhasil kami rebut dan pintu gerbangnya telah kami pecahkan ke empat- empatnya, namun kami agak salah hitung. Yang ada di desa itu ternyata bukannya seluruh pasukan Pakkiong Liong, tapi hanya sepa- ruhnya saja. Dan di saat yang tak terduga, yang separuh lagi menyergap dari selatan, dan pasukan Tay-tong sendiri juga ikut menyerang dari utara."

"Persetan dengan alasan-alasan yang selalu diulang-ulang itu! Dari dulu selalu saja tidak becus!"

Kata Pangeran Cu Leng-ong dengan kemarahan yang meluap-luap.

Tiba-tiba disambarnya sebuah jambangan bunga yang terletak di mejanya, dan dilemparkannya sekuat tenaga ke wajah Pangeran Cu Hin-yang yang hanya berjarak beberapa langkah darinya itu.

Pangeran Cu Hin-yang terkejut dan berusaha menghindar, tapi luncuran jambangan itu begitu cepat sehingga masih sempat membentur pelipisnya sehingga kulitnya robek dan berdarah.

Pangeran Cu Hin-yang sendiri terhuyung-huyung sambil berdesis.

"Kakanda..."

"Persetan dengan banci-banci yang mengaku sebagai laki-laki seperti kalian ini!"

Teriak Pangeran Cu Leng-ong lagi "Minggat semua dari depanku! Aku muak melihat tampang kalian!"

Bagaimanapun sabarnya Li Tiang-hong dan lain-lainnya, tapi terbakar juga melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong yang tak terkendali dan juga tidak mempedulikan harga diri orang lain itu.

Li Tiang-hong tiba-tiba membuka topi perangnya yang sudah retak karena terpanah Tong Lam-hou tadi, dan ditunjukkannya kepada Pangeran Cu Leng-ong sambil berkata dengan suara meluap luap pula.

"Pangeran yang hamba junjung tinggi, barangkali hamba memang amat tolol, namun, kesetiaanku kepada Kerajaan Beng tidak akan luntur sedikitpun sampai ajalku tiba. Tidak juga meskipun Pangeran telah mencaci-maki aku sepedas ini. Lihat, Pangeran, kepalaku hampir ditembus panah musuh! Ketika pangeran sedang makan enak dikelilingi dayang dayang cantik di gedung ini, maka aku sedang menyantap debu dan panas matahari di medan perang sana, mempertaruhkan nyawa tanpa pamrih kecuali untuk tegaknya kembali kerajaan Beng. Ketika tadi malam Pangeran dibawah selimut yang hangat, aku sedang berpacu bersama adinda Pangeran sendiri, menembus dinginnya malam untuk mengatur rencana penyerangan. Aku tidak tidur semalam suntuk, aku hampir mampus di peperangan! Tapi agaknya keberadaanku di sini hanya membuat pangeran merasa muak! Baik! aku akan membawa laskarku kembali ke Hun-lam sana untuk meneruskan perjuangan kami yang dulu! Dulu tidak di bawah perintah Pangeranpun aku sanggup berjuang bersama pasukanku, sanggup pula menderita kekurangan sandang-pangan untuk waktu yang tak terbatas, demi tercapainya cita-citaku!"

Lalu Li Tiane-hong membanting topi perangnya di hadapan Pangeran Cu Leng-ong dan membalik tubuh dan melangkah pergi tanpa memberi hormat lagi.

Tindakan itu diikuti oleh Cu Yok-tek yang juga amat tersinggung oleh ucapan-ucapan Pangeran Cu Leng-ong tadi.

Dengan suaranva yang kasar dan besar ia berkata singkat namun tegas.

"Kau bermimpi untuk menjadi Kaisar Kerajaan Beng! Silahkan terus dengan mimpimu itu! Aku tetap lebih suka sebagai Ketua Koy-to- bun yang menguasai wilayahku sendiri, daripada dijanjikan pangkat muluk-muluk tetapi hanya dijadikan permainanmu saja!"

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah pangeran Cu Leng-ong memucat melihat Sikap Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek itu.

Ia tahu bahwa kekuatan mereka cukup besar, jika sampai mereka memisahkan diri maka yang tinggal di sini hanya separuh lebih, bagaimana sanggup menghadap gabungan antara Hui- liong-kun dengan pasukan kota Tay-tong? Ia hendak berteriak memanggil kedua orang yang sudah hampir mencapai pintu itu, namun harga dirinya telah mencegahnya.

Apa kata kedua orang itu kalau ia memanggilnya kembali? Tentu dirinya akan dikatakan takut ditinggalkan oleh mereka, tidak sanggup meneruskan perjuangan tanpa mereka berdua dan sebagainya.

Akhirnya Pangeran Cu Leng-ong menatap saja langkah-langkah kedua orang itu dengan mata menyesal tapi juga angkuh.

Kongsun Hui yang mencoba mencegah kedua rekannya itu.

"Saudara Li dan saudara Cu, harap menahan diri dan mengingat perjuangan kita.. Cu Yok-tek mengibaskan tangan Kongsun Hui yang memegang pundaknya itu sambil berkata keras.

"Perjuangan itu perjuangan kalian sendiri! Jelek-jelek aku juga seorang she Cu, meskipun darah bangsawanku tidak sekental darah bangsawannya, tapi aku tidak sudi diinjak-injak seperti seorang budak seperti tadi!"

Lalu Kongsun Hui beralih kepada Li Tiang- hong.

Gaijin Karya Marc Olden Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Midnight Sun Karya Stephenie Meyer
^