Pencarian

Pendekar Naga Dan Harimau 9

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 9


"'Namun orang-orang belum terkumpul semuanya, apakah kekuatan yang ada saat ini cukup untuk tugas berat itu?"

"Apakah ada di antara kalian yang sudah melihat kedatangan orang-orang Jit-goat-pang?"

Tanya Tong Wi-hong kepada empat rekannya. Hampir bersamaan keempatnya menggelengkan kepala.

"Sungguh aneh, pelaksanaan rencana ini tinggal beberapa hari lagi, tapi mereka belum juga kelihatan batang hidungnya?"

Demikian Ting Bun menyatakan keheranannya.

"Mari kita berangkat sekarang ke Te-hok- bio, di sepanjang perjalanan akan kita coba tinggalkan tanda-tanda untuk mereka. Kalau mereka benar-benar di kota ini tentu akan melihat tanda-tanda yang kita tinggalkan, maupun yang ditinggalkan oleh rekan-rekan lainnya."

Maka keempat orang itupun segera mengikuti Tong Wi-hong meninggalkan rumah penginapan itu.

Sepanjang jalan mereka mencoba meninggalkan tanda-tanda yang sudah disepakati bersama, agar terlihat oleh orang- orang Jit-goat-pang.

Kuil Te-hok-bio adalah sebuah kuil yang letaknya tidak jauh dari Istana Kerajaan sendiri.

Tempat itu sengaja dipilih sebagai tempat pertemuan kaum bawah tanah yang akan menggulingkan pemerintahan Manchu, sebab justru di tempat yang dekat Istana itulah maka pihak musuh tidak akan menduga kalau di situ ada pertemuan gelap menentang kerajaan.

Ketika mendekati kuil yang nampak megah, terang benderang namun sunyi itu, maka Tong Wi-hong memecah rombongannya menjadi tiga bagian, sebab kalau lima orang masuk sekaligus tentu akan kelihatan menyolok sekali.

Tidak mustahil ada mata-mata Manchu yang melihatnya dan rencanapun bisa berantakan.

Mula-mula Tong Wi-hong sendiri yang melangkah masuk dengan lagak seperti seorang yang hendak bersembahyang, lalu Ting Bun dan isterinya muncul berikutnya, disusul dua saudara So Hou dan So Pa.

Jika dari luarnya kuil itu kelihatan sunyi, ternyata di bagian belakangnya ternyata sudah penuh dengan orang.

Di sebuah ruangan, ternyata telah duduk dengan agak berjejal-jejal tigapuluh lima orang.

Semuanya bertampang orang-orang di dunia persilatan, dan semuanya berwajah tegang.

Macamnyapun bercampur- aduk.

Ada orang biasa, ada iman, ada pendeta, ada pula pengemis.

Ketika Tong Wi-hong dan rombongannya datang, seorang rahib Buddha berbadan tegap dan berjubah abu-abu segera menyongsongnya.

"Silahkan duduk saudara Tong dan saudara lainnya, kita tinggal menunggu orang-orang Jit- goat pang saja,"

Kata rahib itu.

"Maaf, tempatnya agak berjejalan, namun hanya seperti inilah yang bisa kita selenggarakan ini."

Tong Wi-hong dan orang-orangnya membalas hormat itu sambil menyahut.

"Jangan sungkan-sungkan, taysu."

Maka kembali ruangan itu menjadi sunyi.

Meskipun begitu banyak orang berkumpul di situ, namun jarang yang bercakap-cakap satu Ketika Tong Wi-hong dan rombongannya datang, seorang rahib Buddha berbadan tegap dan berjubah abu-abu segera menyongsongnya.

sama lain.

Kalau ada juga yang berbicara, maka mereka hanya berani berbisik-bisik.

Tidak lama kemudian, seorang pendeta muda dari kuil Te-hok-bio itu masuk ke ruangan itu sambil melapor kepada Bu-sian Hweshio.

"Supek, rombongan dari Jjt-goat-pang sudah tiba."

"Bawa mereka masuk!"

Perintah Bu-sian Hweshio singkat.

Maka rombongan Jit-goat-pang yang berjumlah kira-kira limabelas o-rang itupun memasuki ruangan.

Mereka dipimpin oleh sorang lelaki yang memakai tudung kepala, dan ketika tudungnya dibuka, nampaklah wajah seorang berusia kira-kira empatpuluh tahun dengan berewok tipis di sekitar rahangnya.

Hidungnya besar dan bibirnya tebal, jika ia memandang seseorang maka diciutkannya sepasang matanya seakan-akan ingin menyembunyikan sepasang biji matanya yang penuh rahasia itu.

Orang itu adalah pemimpin Jit-gaot-pang (Serikat Matahari dan Rembulan) yang bernama Cu Leng-ong.

Ia sebenarnya adalah keturunan Raja terakhir dinasti Beng yang Jatuh oleh pemberontakan Li Cu-seng, yaitu Kaisar Cong- ceng, meskipun hanya dilahirkan dari serorang selir yang berasal dari rakyat jelata.

Karena itu, orang itu selalu dipanggil dengan sebutan "Pangeran"

Oleh pengikut-pengikutnya.

Dengan demikian Pangeran Cu Leng-ong ini adalah saudara seayah tapi lain ibu dengan Pangeran Cu Hin-yang yang saat ini berada di penjara kerajaan bersama Li Tiang-hong.

Di antara pengawal-pengawalnya, nampak Kongsun Hui yang pernah ikut Pangeran Cu Hin-yang yang menjelajah daerah selatan dan hampir mati oleh Pakkiong Liong itu.

Selain itu semua pengikut-pengikutnya tampaknya orang- orang pilihan yang cukup tangkas.

Meskipun dinasti Beng sudah terhapus dari muka bumi sejak belasan tahun yang lalu, namun penampilan Pangeran Cu Leng-ong dan pengikut-pengikutnya masih berusaha untuk menunjukkan bahwa merekalah ahli waris sah dari negeri ini.

Ketika Pangeran Cu Leng-ong menduduki kursinya, maka anakbuahnya pun serentak memecah diri di kanan dan kiri kursi itu dan bersikap tegap, seakan-akan mengawal seorang raja.

Sikap seperti itu memang sengaja diatur untuk memberi kesan kepada pengikut- pengikut mereka sendiri maupun kepada orang luar bahwa dinasti Beng "masih ada"

Meskipun sudah tidak berada di Ibukota Kerajaan.

Bahkan panggilan-panggilan kebangsawanan maupun kenegaraan lainnya masih diperkenalkan dalam tubuh Jit-goat pang, karena memang mereka berusaha menimbulkan kesan demikian.

Tanpa adanya kesan bahwa dinasti Bang, maka dukungan rakyat atau golongan-golongan lain pasti sulit diperoleh.

Sebaliknya dengan adanya kesan bahwa dinasti Beng masih ada dan "kuat"

Maka orang tidak ragu-ragu untuk menggabungkan diri.

Di dalam ruangan itu juga ada musuh- musuh dinasti Beng, yaitu bekas pengikut- pengikut Coan-ong Li Cu-seng yang sebagian besar terdiri dari orang orang Hwe-liong-pang.

Jumlah pengikut-pengikut Li Cu-seng yang ada di ruangan itu sama dengan jumlah pengikut- pengikut Cu Leng-ong, di antaranya adalah orang-orang berwatak keras seperti delapan orang tong-cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe- liong-pang yang malam itu berkumpul semua.

Ketika melihat lagak lagu orang-orang Jit- goat-pang itu, diam-diam orang-orang Hwe- liong-pang saling bertukar senyuman, mentertawakan lagak bekas musuh-musuh mereka itu.

Siau-lo-cia Ma Hiong berbisik kepada orang disebelahnya yang berpakaian seperti penduduk daerah Su-coan dan di pinggangnya menyandang sebatang golok pendek yang melengkung seperti bulan sabit.

"Saudara Auyang, hebat benar lagak begundal-begundal keluarga Cu itu."

Orang yang berpakaian daerah Su-coan, lengkap dengan ikat kepalanya yang berwarna putih dan baju rangkapan dari kulit domba, bernama Auyang Siau-pa, dalam Hwe-liong- pang dulu kedudukannya sejajar dengan Ma Hiong.

Kalau Ma Hiong Jai-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Coklat), maka Auyang Siau- pa ini adalah Jing-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Hijau) limu goloknya terkenal dengan gerakan-gerakannya yang amat sederhana, bahkan ia tidak kenal apa artinya "jurus atau kembangan", namun kecepatannya sungguh tidak dapat dipandang ringan oleh tokoh persilatan yang manapun juga.

Jika ia ditanya apakah ia belajar ilmu silat, ia hanya menjawab.

"Aku tidak belajar ilmu atau jurus apapun, aku hanya belajar membacok orang."

Selain kedua Tongcu di jaman Hwe-liong- pang itu, nampak pula Tongcu-tongcu lainnya seperti Pek-ki Tong-cu (Pempimpin Kelompok.

Bendera Putih) Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk-kan Bu-ing-tui (Si Tendangan Tanpa Bayangan), lalu Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) yang bernama Kwa Heng dan bergelar Tiat-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi), Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir), Hek-ki Tongcu (Tongcu Bendera.

Ungu) Kwa Ting- siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Mal ain), Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yang terkenal kehebatan pukulannya sehingga mendapat gelar Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Berribu Kati) dan Ang-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat dengan gelarnya sebagai Siang- po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah gunung).

Selain itu masih ada beberapa orang hu- tongcu (Wakil Pemimpin Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu.

Dan juga bekas panglima- panglima bawahan Li Cu-seng ketika mengobarkan pemberontakan "Pelangi Kuning"

Untuk melawan dinasti Beng.

Antara pengikut-pengikut Li Cu seng dengan pengikut-peingikut dinasti Beng memang pernah terbentang permusuhan selama belasan tahun di jaman perang saudara dulu.

Meskipun kini mereka berada dalam satu, gerakan untuk tujuan bersama, namun sebagai manusia biasa tentu belum bisa melupakan kematian ratusan dan bahkan ribuan teman-teman mereka di medan perang karena senjata pihak musuh.

ibaratnya, senjata musuh belum kering dari darah teman-teman mereka.

Kedua pihak saling menyalahkan orang-orang dinasti Beng yang tidak becus mengendalikan negara sehingga keadaan menjadi morat-marit, sebaliknya pihak orang-orang dinasti Beng menyalahkan Li Cu- seng yang berhasil merebut Pak-khia dari tangan dinastinya tetapi tidak dapat mempertahankannya, dari serbuan bangsa Manchu.

Itulah manusia, kesalahan diri sendiri tidak nampak, yang nampak selalu kesalahan orang lain.

Kini kedua pihak yang dulu bermusuhan itu duduk dalam satu ruangan.

Masing-masing saling melotot, saling berbisik-bisik dengan temannya masing-masing untuk memanaskan pihak lawan, lalu melirik sambil melemparkan senyuman mengejek.

Untunglah di ruangan itu pula ada pihak ketiga yang sama-sama mereka segani.

Yaitu para pendekar rimba persilatan yang meskipun tidak mempunyai laskar yang berjumlah banyak, namun karena ilmu mereka yang rata-rata cukup tinggi Itu membuat mereka merupakan kekuatan tersendiri yang patut diperhitungkan.

Bu-sian Hweshio dari Siau-lim-pay yang merupakan pemimpin dari keseluruhan rencana Itu, diam-diam menarik napas juga melihat bahwa orang-orang Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang itu agaknya belum melupakan "utang-piutang"

Lama mereka. Namun untunglah bahwa kedua belah pihak sama-sama menyadari bahwa baku hantam di bawah hidung musuh tidak akan menguntungkan mereka sendiri, sehingga masing-masing pihakpun berusaha untuk menahan diri.

"Saudara-saudara sekalian,"

Bu-sian Hweshio membuka pertemuan itu.

"Terima kasih atas kehadiran kalian. Dan agaknya kita berjumlah lengkap limapuluh orang, cocok seperti nama-nama yang kita susun untuk kita ikutkan dalam rencana ini seperti beberapa bulan yang lalu."

Sesaat ruangan jadi hening, lalu terdengar rahib Siau-lim-pay itu berkata lagi.

"Aku tidak akan bicara berputar-putar saja, melainkan akan langsung ke pokok persoalan. Menurut laporan saudara Sun Ciok-peng dari kay pang, gerakan yang kita rencanakan untuk menyerang Penjara Kerajaan dan membebaskan sahabat- sahabat kita yang terpenjara oleh musuh, ternyata telah tercium oleh mata-mata musuh.!!"

Berita itu memang cukup mengejutkan, namun mereka cukup mempercayai Bu-sian Hweshio.

Betapapun juga, mereka telah lengah karena menganggap pihak musuh terlalu tolol, padahal pemerintah Manchu juga punya jaringan mata-mata yang dapat diandalkan kebolehannya.

Hilir mudiknya sekian banyak orang bersenjata yang sebelumnya tidak pernah kelihatan di Pak-Khia bagaimanapun juga ada kemungkinan dicurigai oleh musuh, dan agaknya kemungkinan itu kini menjadi kenyataan.

Seketika itu di ruangan itu.

penuh dengan gumaman, seperti ada berratus-ratus lebah yang mendengung bersama.

Salah seorang pendekar yang berrambut putih dan berjenggot putih segera mengajukan pertanyaan.

"Bu-sian Hweshio, apakah berita yang kau terima itu mempunyai bukti yang kuat, atau hanya kira-kira saja?"

Orang yang bertanya itu bernama He Keng- lian, ketua dari perguruan silat Ho-lian-pay.

Ia datang ke tempat itu bersama dengan dua orang adik seperguruannya yang ilmu silatnya dianggap cukup tangguh untuk memikul tugas berat itu.

Ketiga tokoh Ho-lian-pay itu memang sudah menyiapkan diri mereka secara khusus sejak nama mereka dimasukkan mereka dalam daftar limapuluh orang yang akan menyerbu penjara kerajaan itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bu-sian Hweshio tidak menjawab langsung pertanyaan Ho Keng-Jian itu, melainkan melontarkannya kepada seorang pengemis bertubuh gemuk dan bertopi butut, Saudara Sun, coba kau jelaskan kepada Ketua Ho dan juga saudara-saudara yang lain yang belum mendengar laporanmu."

Pengemis yang bernama Sun Ciok-teng itupun berwatak mirip Bu-sian Hweshio yang tidak suka bicara bertele-tele. Maka begitu ia berdiri dari tempat duduknya, ia langsung menyentuh pokok masalahnya.

"Saudara- saudara kaum pejuang, dalam rencana ini, aku dan saudara-saudara pengemis di Pak-khia mendapat tugas sebagai penghubung antar kelompok di antara kalian. Tapi tanpa sadar kami mencium bahwa Panglima dari pasukan Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning), yaitu pasukan yang bertanggung-jawab di penjara kerajaan, Pakkiong An, telah mencium gerakan ini. Secara luar biasa Pakkiong An telah memperkuat penjagaan di penjara, Jumlah prajuritnya hampir lipat empat dari biasanya. Lalu anak Pakkiong An yang bernama Pakkiong Hok juga menggunakan uangnya untuk menarik banyak jago-jago silat berkumpul di rumahnya sebagai pembantu-pembantu kepercayaannya. Dan secara teratur ia menempatkan jago-jago upahannya itu untuk membantu penjagaan di penjara. Sampai sekarang masih banyak jago- jago undangan Pakkiong Hok yang berdatangan demi uang, menanyakan kenapa ada peningkatan kekuatan besar-besaran macam itu, dan perwira itu menjawab sambil bertepuk dada bahwa pihaknya sudah tahu akann ada rencana penyerangan penjara kerajaan. setelah hari pelantikan prajurit-prajurit dan perwira baru, katanyaya, pihaknya sudah siap menjaring semua pengacau yang akan memasuki penjara kerajaan pada saat itu, seperti nelayan menjaring ikan. Nah, kesimpulannya adalah bahwa rencana kita telah bocor ke telinga. musuh. Musuh bahkan tahu dengan tepat kapan kita akan menyerang menurut rencana."

Kembali ruangan itu menjadi rebut dengan bisik-bisik. Namun salah seorang pejuang yang berada di ruangan itu diam-diam mengumpat- umpat dalam hati.

"Bangsat, ternyata Pakkiong An bekerja dengan sangat, ceroboh sehingga hingga peningkatan kekuatannya tercium oleh pemberontak-pemberontak ini. Bahkan ia juga kurang rapat menjaga rahasianya, sehingga perwira-perwira rendahannyapun tahu akan rencana kami untuk menjaring kakap-kakap ini. Percuma saja aku membantunya dengan me- nyerahkan daftar nama orang-orang yang akan menyerbu penjara. ia begitu tolol dan tidak dapat memanfaatkan bantuanku. Aku harus menegurnya kelak jika bertemu denganku lagi. Jika ia marah karena teguranku, aku dengan mudah akan mengambil batok kepalanya meskipun la dikelilingi sepasukan pengawal. Kecerobohannya membuat semua rencanaku jadi sia-sia."

Demikianlah, berita tentang bocornya rencana penyerangan itu membuat macam- macam gejolak perasaan di dada orang itu.

Seperti biasanya, pihak bekas pengikut Li Cu- seng dan dinasti Beng saling melirik dengan cu- riga, masing-masing pihak mencurigai jangan- jangan pihak lainnyalah yang membocorkan hal Itu.

Kembali ruangan itu penuh suara gemeremang orang-orang yang berbisik-bisik.

"Tenanglah, saudara-saudaraku,"

Kata Bu- sian Hweshio. Ruangan menjadi sunyi seketika, dan suara Bu-sian Hweshio terdengar jelas di ruangan itu.

"Dalam rencana serangan kita, kita harus mengakui bahwa kita tidak mungkin menandingi pasukan musuh secara terbuka, sebab mereka berjumlah banyak dan kita sedikit. Namun kita mempunyai kelebihan, yaitu serangan itu bersifat sangat mendadak sehingga musuh tidak akan sempat mengatur kekuatannya. Tapi dengan bocornya rencana kita ini, maka unsur pendadakan yang kita miliki itupun hilang. Serangan kita tidak lebih dari serangan bunuh diri seperti serangan menerjang api. Jumlah yang akan tewas di antara kita akan melebihi jumlah orang yang akan kita bebaskan dari penjara... ."

Sesaat orang-orang di dalam ruangan itu teraangu-mangu, ucapan Bu-sian Hweshio itu memang masuk akal.

Tapi mereka datang ke kota Pak-khla ini dengan semangat berkobar, mungkinkah akan dipadamkan begitu saja justru setelah berada di depan hidung musuh? Di tengah kesunyian itu tiba-tiba terdengarlah suara seorang imam Bu-Tong-pay, yaitu Te-sian Tojin.

"Kita belum kehilangan kesempatan sama sekali. Bukahkah pihak musuh sudah memperhitungkan bahwa kita akan menyerang penjara kira-kira tiga hari lagi? Nah, kita masih bisa membuat kejutan, yaitu menyerang sekarang juga. Kita sudah lengkap bukan?"

Imam itu selalu bicara dengan nada tenang- tenang saja, namun usulnya itu ternyata ibarat minyak yang disiramkan ke api yang hampir padam. Semangat para pejuang segera terbangkit kembali beberapa orang segera menyahut.

"Ya, setuju!"

Sebagai pemimpin Bu-sian Hweshio juga memberikan kesempatan kepada orang- orangnya untuk memperdengarkan pendapatnya.

"Bagaimana, saudara-saudara dari Hwe- liong-pang tanyanya. Hampir bersamaan delapan orang Tongcu menjawab.

"setuju!"

Dan disambung oleh suara Lu Siong yang menggeledek itu.

"Sudah di Pak- khia, memangnya kita hanya akar bertamasya di sini? Lebih baik kita coba dulu usul Te-sian To- jin itu daripada pulang dengan tangan kosong!"

Orang-orang Jit-goat-pang di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong agaknya tidak ingin kalah semangat dari bekas musuh-musuh mereka itu. Sebelum mereka ditanya, Kongsun Hui sudah berkata kepada Pangeran.

"Ongya, hamba kira kita tidak keberatan dengan usul Te-sian tojin bukan? Sebab semakin lama Cu Hin-yang Ongya dalam sekapan musuh, semakin berbahayalah keadaannya. Begitu pula Li Ciangkun (Li Tiang-hong)...

"Ya, kita tidak keberatan. Justru kita sebagai pewaris-pewaris negeri yang sah harus berjuang yang paling depan."

Perkataan "pewaris-pewaris negeri yang sah"

Itu seketika mengundang dengusan mengejek atau senyuman sinis dari pihak Hwe- liong-pang.

Namun Bu-sian Hweshio tidak membiarkan suasana meningkat semakin panas, sehingga cepat-cepat memotong "Bagaimana terdapat saudara-saudara dari Bu- tong-pay Soat-san- pay, Khong-tong- pay, Ho- ian pay dan Hoa-san-pay?"

"Sikap kami Bu-tong-pay sudah jelas!"

Kata Te-sian Tojin tegas mewakili orang-orang dari perguruannya"Sudah sampai di Pak-khia, segala jalan harus dicoba, jangan menyerah begitu saja."

"Aku mendukung!"

Kata Tong Wi-hong yang dalam pertemuan itu bukan mewakili Tiong-gi Piauhang, sebab Tiong-gi Piauhang itu bukan suatu perguruan atau aliran silat melainkan hanya sebuah perusahaan dagang di bidang pengangkutan, namun ia mewakili perguruannya, yaitu Soat-san-pay.

Hampir bersamaan, pihak Khong-thong-pay yang dipimpin oleh Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, juga menyatakan persetujuannya.

Namun sikap Ketua Ho-lian-pay He Keng- liang ternyata agak berbeda.

Orang tua itu nampak ragu-ragu, matanya berputar-putar menyambar tiap wajah di ruangan itu.

Lalu katanya "Aku mohon saudara-saudara berkepala dingin, masalahnya bukan sekedar berani atau takut, tapi menyangkut pula nyawa manusia.

Tapi rencana yang sebetulnya sudah setengah gagal ini jika diterus-teruskan akan membahayakan kita sendiri...

Mendengar ucapan itu, ruangan bagian belakang kuil itu seketika berdengung, menyatakan ketidak-senangan mereka kepada Ketua Ho-lian-pay itu.

Tapi He Keng-liang tidak peduli dan terus berucap.

"Menurut aku, kita justru harus mengundurkan hari penyerangan kita, bukan jkustru mengajukannya. Supaya kita dapat membuat persiapan lebih baik... ."

"...dan musuh juga sempat mempersiapkan lebih baik?"

Potong Auyang Siau-pa dari Hwe- liong-pang dengan suara dingin.

Jing-ki Tongcu dari Hwe-liong-pang ini memang seorang pendiam, jarang berbicara, namun ucap- ucapannya tegas dan singkat sehingga orang yang belum paham wataknya akan gampang tersinggung mendengar nada suaranya.

He Keng-liang menatap ke arah Auyang Siau-pa.

Dan tiba-tiba Auyang Siau-pa merasa perasaan aneh dan seram ketika melihat mata He Keng-liang menyambarnya, tatapan mata seperti itu seolah pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.

Tatapan mata yang memancarkan wibawa gaib yang menggidikkan hati.

Dan diam-diam Auyang Siau-pa ini menjadi heran, bukankah He Keng-liang ini cuma ketua sebuah perguruan yang tidak terlalu besar, dan ia sendiri ilmunya sedang-sedang saja, tinggi tidak rendah juga tidak.

Darimana orang tua ketua Ho-lian-pay itu bisa memiliki pandangan mata yang begitu menyeramkan? Namun sesaat kemudian, He Keng-liang kembali kelihatan seperti Seorang tua yang ramah, sehingga Auyang Siau-pa merasa heran.

Mungkinkah ia hanya berangan-angan tentang seseorang di masa lalu, dan angan-angannya itu mempengaruhi pandangannya terhadap He Keng-liang? Auyang Siau-pa mengibaskan kepalanya seakan melontarkan semua kenangan pahitnya di masa lalu.

He Keng-liang yang tua itu nampak terdesak oleh suara-suara dari kiri kanan, ada yang menuduhnya penakut, membuang-buang waktu dan seba-gainya.

Akhirnya ia berkata.

"Baiklah, saudara-saudara, aku hanya bermaksud baik. Tapi agaknya saudara-saudara salah paham semuanya akan maksud-baikku, karena itu biarlah aku ikut dalam rencana ini sebagai tanda-setia-kawan kepada perjuangan kita."

Ucapan itu disambut dengan tepuk tangan beberapa orang. Bu-sian Hweshio sebagai pemimpin segera berbicara.

"Nah, ternyata kalian sepakat bahwa serangan akan kita lakukan malam ini juga. Aku memang sudah menduga bahwa saudara- suadara akan memutuskan seperti ini sehingga akupun sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kita mulai dengan melihat keadaan penjara kerajaan yang akan menjadi sasaran kita."

Lalu dua orang pendeta Siau-lim-pay yang mengikuti Bu-sian Hweshio segera menggelar sebuah kertas besar di lantai, sehingga semua orang bisa melihatnya.

Itulah denah penjara Kerajaan, yang berhasil dibuat oleh orang-orang Kay-pang dengan cara menyuap salah seorang pegawai penjara.

Dan agaknya pegawai penjarapun tidak keberatan menggambarkan denahnya, toh penjagaan di penjara sangat kuat, kalau musuh hanya sekedar mengetahui denahnya tidak jadi soal.

Toh penjagaan di dalam penjara itu sangat kuat dengan jumlah prajurit yang berlipat-lipat dari biasanya, masih ditambah dengan beberapa jagoan silat bayaran yang diundang oleh Pakkiong An dan Pak-kiong Hok.

Demikianlah asalnya sampai orang-orang Kay-pang berhasil mendapatkan denah penjara itu.

Setelah denah digelar di lantai dan semua orang bisa melihatnya, bertanyalah Bu-sian Hweshio kepada si pengemis Sun Ciok-peng.

"Saudara Sun, apakah kau juga berhasil mendapat keterangan di ruangan yang mana para tokoh pejuang itu dikurung?"

"Aku mohon maaf kepada Tay-su dan saudara-saudara sekalian, bahwa keterangan yang sangat penting itu tidak berhasil kami peroleh, betapapun kami berusaha untuk memperolehnya. Bahkan hampir saja kami dicurigai oleh perwira itu, untung kami berhasil membungkamnya dengan sekantong uang, tetapi seterusnya kami tidak terlalu menyolok dalam bertanya."

Banyak orang-orang di dalam ruangan itu yang menarik napas panjang, bahkan He Keng- liang dari Ho-lian-pay kembali mengeluarkan suaranya.

"Ruangan dalam penjara kerajaan itu berjumlah ratusan, kalau kita tidak mendapat keterangan yang pasti tentang disekapnya rekan-rekan pejuang itu, bukankah itu berarti kita harus menggeledah ruangan demi ruangan satu persatu? Dan pekerjaan ini bisa berlangsung sampai pagi kalau pasukan musuh tidak keburu membanjiri penjara kerajaan dan mencincang kita!"

"Jadi bagaimana usul saudara He?"

"Kita undurkan sehari sambil berusaha mencari keterangan tentang ruangan penyekapan itu. Agar dengan sekali gebrak kita berhasil."

Bu-sian Hweshio menyapukan pandangan matanya.

Bukan karena ia tidak punya pendirian, namun Bu-sian Hwe-shio sebagai pemimpin harus mendengarkan suara anak buahnya.

Ketika terpandang wajan Pangeran Cu Leng-ong, ia bertanya, ''Bagaimana pendapat Pangeran?"

Pangeran itu mengecilkan matanya- sebagaimana kebiasaannya jika sedang berpikir, namun kali ini ia tidak berpikir panjang untuk menjawab.

"Terserah kepada Tay-su dan saudara sekalian. Kami orang Jit-goat-pang hanya bagian dari rencana ini dan tentu saja tidak dapat bertindak sendiri!"

Jawabannya kedengaran dingin sekali, seolah-olah nasib adik tirinya Pangeran Cu Hin- yang serta Li Tiang-hong yang bekas Panglima ayahnya itu-pun tidak dikuatirkannya sedikitpun juga.

Bu-sian Hweshio mengalihkan pandangannya kepada orang-orang Hwe-liong pang dan kaum pendekar lainnya.

"Ada pendapat saudara-saudara?"

Tanyanya.

"Kita sudah bertekad untuk maju, kita maju terus!"

Kata seorang rahib berewokan, adik seperguruan Bu-sian Hweshio sendiri yang bernama Bu-gong Hweshio.

"Suheng, sehari kita mengulur waktu, berarti sehari pula musuh sempat menambah kekuatannya. Karena itu, saat ini tidak ada jalan lain kecuali terjang sekarang juga."

Sebelum Bu-sian Hweshio menyahut, He Keng-liang telah berkata.

"Tetapi kita akan seperti orang buta di dalam penjara itu, tanpa tahu ke ruangan mana kita harus menuju. Masalah ini bukan sekedar masalah berani atau takut, namun juga masalah kita akan berhasil atau tidak membebaskan kawan-kawan kita yang dipenjara oleh bangsa Manchu itu."

Bu-gong Hweshio menjawab dengan suaranya yang keras.

"Itu gampang kita pecahkan. Begitu masuk, kita ringkus seorang perwira dan siksa dia sampai mengaku di mana ruangan penyekapan rekan-rekan kita itu. Jika kita totok jalan darah ki-koat-hiatnya (Jalan darah yang yang menimbulkan rasa kesakitan hebat), masakah ia akan tetap bungkam?"

"Omitohud!"

Bu-sian Hweshio menyebut kebesaran Sang Buddha ketika mendengar usul adik seperguruannya yang tingkah lakunya kurang mencerminkan tingkah laku seorang pendeta itu.

Kasar dan senang mengambil jalan pintas saja dalam segala hal, meskipun dengan kekerasan.

Sementara itu beberapa pendekar diam-diam tersenyum dalam hati melihat cara bicara Bu-gong Hweshio yang berangasan itu.

namun diam-diam merekapun merasa usul Bu- gong Hweshio itu, paling cocok dengan "selera"

Mereka, ketimbang usul He Keng-liang yang terlalu berhati-hati itu. Dan Bu-sian Hweshio sendiripun ternyata menyetujui usul itu, maka sebelum ada orang lain yang berkata, ia telah memperdengarkan suaranya lebih dulu.

"Cukup masuk akal. Saudara-saudara, bagaimana kalau kita pakai cara Sute-ku ini?"

"Cocok dengan aku!"

Geram Jian-cin-sin-kun Lu Siong sambil mengepalkan tinjunya sehingga berkeretekan.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Antara Bu-gong Hweshio dengan Lu Siong memang memiliki beberapa kesamaan dalam hal tampang, perawakan tubuh, maupun sifat tabiatnya.

Bahkan julukan merekapun hampir sama.

Lu Siong adalah Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seberat Seribu Kati), sedangkan Bu- gong Hweshio dikenal pula sebagai Jian kin-cun- kong-tui (Palu Godam Sikut Baja Seribu Kati), sesuai dengan jurus andalannya yang bernama sama dengan julukannya.

Jika Lu Siong bangga dengan kekuatan kepalan tangannya, maka Bu- gong Hweshio amat bangga dengan sikut tangannya yang dapat memecahkan kepala seekor kerbau besar karena latihannya yang bertahun-tahun.

"Aku juga setuju!"

Terdengar beberapa suara dari belakang.

"Yang takut ikut dalam gerakan ini, minggir saja dan pulang kembali ke pangkuan neneknya!"

Entah siapa yang mengucapkana kata-kaa kasar itu, yang terang telah menimbulkan gelak tertawa beberapa orang yang masih agak sungkan kepada He Keng-liang tidak tertawa, meskipun merasa geli pula dalam hatinya.

Bu-sian Hweshio mencoba menjaga agar He Kang-liang tidak kehilangan muka, maka ia cepat-cepat menenangkan keadaan.

"Cukup, saudara-saudara, hal yang amat biasa kalau di antara kita terdapat perbedaan pendapat atau pandangan, harap jangan langsung saling mengejek atau menyudutkan. Usul saudara He tadi juga bukan karena beliau takut bertempur, melainkan karena sikap hati-hatinya, sebab kalau ia takut bukankah ia tidak ikut mendaftarkan diri dalam rencana kita yang penuh bahaya ini? Meskipun usulnya tidak kita paksi, tetapi kita hargai juga karena ia telah menyumbangkan pikiran untuk rencana kita ini!"

Orang-orang terdiam seketika. Sementara Bu-san Hweshio telah berkata lagi.

"Nah, mari kita bagi diri kita dalam lima kelompok. Tiap kelompok akan terdiri dari sepuluh orang, yang akan mendapatkan tugasnya masing-masing."

Pembagian kelompok pun dimulai.

Kelompok satu dipimpin Bu-sian Hwe-shio sendiri akan memikul tugas yang paling berat, yaitu membebaskan tawanan-tawanan, yang berarti harus bertempur dengan bagian yang paling kuat dari penjara itu dan membongkar penjara.

Kelompok kedua dipimpin oleh Gin- yang-cu Tong Wi-hong akan bertugas melindungi kelompok satu, artinya memotong setiap bala bantuan yang berada dari luar selama Bu-sian Hweshio dan teman-temannya menjalankan tugasnya.

Kelompok tiga di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong akan mengacau di sebelah timur, dengan cara membakar istal kuda dan melepaskan kuda- kuda yang berjumlah ratusan itu.

Kelompok empat dipimpin Tongcu yang paling tua dan paling dihormati dari Hwe-liong-pang, ialah Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng yang bertubuh kurus dan bungkuk itu.

Penampilannya tidak mirip sedikitpun dengan seorang tokoh per- silatan yang berilmu tinggi dan disegani semua pihak.

Tapi ia tidak akan mendapatkan julukannya sebagai Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) kalau tidak memiliki keistimewaan dalam ilmunya, terutama kekuatan jari-jarinya.

Bu-sian hweshio juga tidak akan mengangkat orang tua bungkuk ini sebagai pemimpin dari kelompok itu jika Bu- sian Hweshio tidak tahu sampai dimana bobot kewibawaan orang ini, sebab seorang pemimpin kelompok harus sanggup mengikat anak buahnya untuk tidak sendiri-sendiri.

Juga kelompok pimpinan Kwa Heng ini adalah untuk "membuka jalan mundur"

Bagi seluruh penyerang, lewat pintu selatan.

Karena tugasnya yang agak berat, maka kelompok ini tergolong cukup kuat, karena terdiri dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berkepandaian rata-rata cukup tinggi, di samping itu masih ditambah dengan seorang pendekar dari Hoa-san-pay bernama Auyang Seng dan berjulukan Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak), dan seorang lagi adalah seorang Hu-tongcu (Wakil Kepala Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu, yang bernama Yu Ling- hoa.

Orang ini dulunya adalah seorang murid Khong-tong-pay, kemudian karena mendukung perjuangan sampai berhasil menduduki jabatan Hu-tongcu.

Senjatanya adalah sepasang perisai berbentuk persegi yang tajam di sekeliling tepinya, biasa disebut sebagai Gun-goan-pai.

Senjata ini berat, memerlukan tenaga besar dan menghabiskan napas, namun semuanya tidak Jadi soal buat Yu Ling-hoa yang bertubuh tegap kekar dan bernapas kuda itu.

Demikianlah gambaran kelompok ke empat itu.

Sementara kelompok kelima adalah sisa dari kelompok-kelompok lainnya, dipimpin oleh imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin.

Tugasnya menjaga pintu gerbang penjara agar tetap terpalang dari dalam sementara kelompok- kelompok lainnya menjalankan tugas.

Tujuannya adalah menjaga agar bala bantuan musuh tidak dapat masuk ke dalam penjara selama berlangsungnya pembebasan tawanan.

Bu-sian Hweshio memandang kelompok- kelompok yang terbentuk itu dengan puas, dan mereka nampaknya sudah memahami tugas- tugasnya masing-masing dengan memperhatikan denah.

Namun Bu-sian Hweshio masih berpesan.

"Pembagian tugas ini hanya garis besarnya saja. Jika satu kelompok sudah selesai dengan tugasnya ia tidak berarti harus menganggur saja tapi juga harus membantu kelompok lain yang dalam kesulitan. Tanpa tolong menolong di tengah bahaya, kita seperti sekumpulan kupu-kupu yang menerjang api unggun, karena itu hilangkan rasa permusuhan. Kita akan saling menggantungkan keselamatan kita satu sama lain. Jelas?"

Ketika bicara kalimat yang terakhir itu la menoleh ke arah orang-orang Jit-goat-pang dan orang-orang Hwe-li-ong-pang yang merupakan bekas musuh bebuyutan itu.

Dan Bu-sian Hweshio cukup lega ketika melihat pihak-pihak yang dulu bermusuhan itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Satu hal lagi, setiap tindakan harus diperhitungkan secermat-cermat nya,"

Kata rahib Siau-lim-pay itu lagi.

"Jika terdengar suitan tiga kali berturut-turut, kita harus mundur ke arah selatan, sebab di bagian itulah tempat yang paling cocok untuk menghilang dari kejaran musuh. Di selatan tembok penjara adalah pemukiman kaum gelandangan yang padat sehingga musuh akan sulit mengerahkan pasukannya ke arah sana."

Sekali lagi orang-orang itu mengangguk- anggukkan kepalanya.

"Nah, selamat berjuang,"

Kata Bu-sian Hweshio dengan semangat sambil memberi hormat berkeliling kepada rekan-rekan seperjuangannya itu.

"Tinggalkan tempat ini segera menurut cara kelompoknya masing- masing, jangan menarik perhatian!"

Beberpa orang sahabat kental yang kebetulan terpisah kelompoknya, saling berpelukan berpisah.

Mungkin juga mereka masih akan bertemu lagi, namun mungkin pula pertemuan ini adalah yang terakhir buat mereka, jika salah satu mati tertembus pedang prajurit Manchu.

Ketika kelompok-kelompok itu sudah meninggalkan ruangan itu semuanya, maka tinggal kelompok Bu-sian Hweshio dan kelompok Tong Wi-hong yang masih tinggal di ruangan itu.

Karena tugas mereka dalam serangan itu, maka kedua kelompok itu akan berangkat bersama-sama.

"Saudara Tong, bagaimana caranya kita meninggalkan tempat ini tanpa menarik perhatian?"

Tanya Bu-sian Hweshio kepada Tong Wi-hong.

"Rombongan kita terlalu banyak jumlahnya... Tong Wi-hong yang belum hapal akan jalan- jalan di Kotaraja Pak-khia itu tidak dapat menjawab. Namun Sun Ciok-peng si pengemis yang kerjanya sehari-hari menyusuri jalan-jalan di Ibukota Kerajaan, telah hapal lorong-lorong paling kecil di kota itu seperti ia hapal akan jari- jari tangannya sendiri. Dialah yang menjawab.

"Di belakang kuil ini ada sebuah lorong kecil yang tidak pernah dilewati prajurit peronda samasekali. Kita bisa melalui lorong itu sampai mencapai tembok penjara. Beberapa kali lorong itu harus menyeberangi jalan besar yang ramai dengan orang. Tapi kita dapat menyeberangi jalan-jalan itu seorang demi seorang sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan."

"Akal yang bagus, saudara Sun. Mari kita berangkat."

Maka kedua rombongan yang memikul tugas paling berat dan paling berbahaya itupun segera berangkat dengan lewat pintu belakang kuil Te-hok-bio itu.

Benar juga, di belakang kuil itu memang ada sebuah lorong kecil yang gelap, diapit oleh tembok-tembok tinggi yang agaknya merupakan tembok-tembok belakang yang memagari rumah-rumah indah yang menghadap ke jalan raya.

Di kiri jalan ada selokan-selokan berair hitam yang baunya bukan kepalang dan agaknya menjadi kerajaan nyamuk-nyamuk, sementara di beberapa bagian ada gubuk kecil yang bersandar pada tembok- tembok yang tinggi itu, gubuk-gubuk yang demikian reotnya sehingga andaikata ada seekor kucing menabraknya maka gubuk itu pasti akan roboh.

Namun toh gubuk itu didiami manusia, bahkan kadang-kadang sekeluarga lengkap.

Itulah sisi lain dari Kotaraja Pak-khia yang gemerlapan dan mempesona di satu sisi, tapi tidak bagi orang orang yang terlempar dari arena kerasnya perjuangan Manusia memang aneh.

Lebih suka hidup berdesak-desakan di kota besar daripada membanting tulang dan memeras keringat di daerah-daerah yang belum dibuka.

Padahal masih begitu luasnya tanah yang memerlukan uluran tangan dan menjanjikan kemakmuran serta ketenteraman.

Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus.

Meskipun yang dilalui adalah lorong- lorong yang sepi, namun mereka masih tetap menjaga kemungkinan untuk tidak dicurigai oleh musuhi sehingga merekapun tidak berjalan dalam satu kelompok, melainkan agak berpencaran.

Dua atau tiga orang, kemudian belasan langkah lagi dua atau tiga orang lagi, dan seterusnya.

Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus.

Meskipun gang dilalui adalah lorong-lorong sepi.

Setelah berliku-liku di lorong-lorong gelap berbau busuk dan kadang-kadang menyeberangi jalan besar yang berlapis batu- batu persegi, akhirnya tembok penjara yang kehitam-hitaman itu nampak di depan mata.

Di atas tembok kelihatan ada gardu penjagaan di tiap-tiap sudutnya, dan ada sinar lampu, berkelap-kelip dari dalam gardu itu.

Prajurit- prajurit yang hilir-mudik di atas tembok juga terlihat, dengan senjata-senjata yang terhunus.

Bu-sian Hweshio dan teman-temannya berkumpul dl kaki tembok, terlindung bayangan hitam dari sebuah bangunan kayu yang asal jadi saja.

"Tidak semua dari kita bisa melewati tembok yang tingginya kira-kira enam tombak ini,"

Kata Bu-sian Hweshio dengan suara setengah berbisik.

"Hanya yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup baik, atau ilmu Pia- hou-yu jio (Ilmu Cecak Merayap di Tembok) yang bisa melalui tembok ini. Nah, siapa diantara saudara-saudara yang merasa sanggup melintasi tembok ini bersama-sama dengan aku"

Dua orang adik seperguruan Bu-sian Hweshio yang bernama Bu-gong dan Bu-teng Hweshio segera menyatakan sanggup.

Bu-sian Hwesio menganggukkan kepala gundulnya karena tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu memang sudah menguasai ilmu Pia-hou-yu- jio dengan baik.

Lalu berturut-turut Tong Wi hong Imam Hui-liam-cu dari Khong-tong-pay juga menyatakan sanggup.

Tong Wi-hong berjulukan Gin-yang-cu (Si Walet Perak) sehingga ilmu meringankan tubuhnya tidak perlu disangsikan lagi, sedangkan imam Hui- liam-cu yang bertubuh kurus kering seperti bambu itupun terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nomor satu di Khong-tong-pay, meskipun belum selihai Tong Wi-hong.

Kemudian yang menyatakan sanggup masih ada satu orang lagi, yaitu Sun Ciok-peng, si pengemis dari Kay-pang yang bertubuh pendek bui.

Karena tubuhnya yang gemuk dan kulitnya yang putih halus itu maka Sun Ciok- peng sering diolok-olok bahwa dia tidak cocok menjadi anggota Serikat Pengemis, mestinya Serikat Jutawan.

Semua orang memandang dengan heran kepada pengemis itu.

Tanya Bu-sian Hweshio.

"saudara Sun, apakah kau bisa Pia-hou-yu-jio?"

Pengemis she Sun itu menggeleng- gelengkan kepalanya sehingga pipinya yang kemerah-merahan seperti bayi sehat itu berguncang-guncang. Tampangnya lucu bukan main.

"Kalau tidak menggunakan Piau-hou-yu-jio, tentunya saudara akan menggunakan gin-kang untuk meloncati tembok bersama saudara Tong dan Imam Hui-liam-cu?"

Kembali pengemis itu menggeleng- gelengkan kepalanya.

"Apakah saudara Sun akan menggangsir tasmu lewat bawah tembok?"

Sahut Sun Ciok-peng.

"Juga tidak. Tembok ini tertanam dalam sampai jauh ke dalam tanah, dibuat pada jaman dinasti Goan (Mongol) ratusan tahun yang lalu. Jika aku menggangsirnya, barangkali sampai tiga hari tiga malam baru tembus ke seberang tembok."

"Lalu dengan apa?"

"Dengan ini,"

Sahut Sun Ciok-peng mantap sambil mengangkat kedua tangannya yang menggenggam.

Ternyata sepasang tangannya telah memegang masing-masing sebatang paku besar yang digenggamannya terbalik seperti orang memegang pisau belati.

Lalu pengemis gemuk itu berkata sambil tertawa.

"Dengan ini, ketinggian yang lima kali lipat dari tembok penjara inipun bisa kupanjat. Itulah sebabnya tubuhku gemuk dan sehat."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"He, apa hubungannya memanjat tembok dengan gemuk sehat?"

Tanya Hui-liam-cu heran.

"Dengan sepasang paku ini aku sering memanjat tembok dapur rumah orang orang kaya dan mencuri makansn disana. Biarpun aku cuma pengemis, tapi tidak satu haripun mulutku yang manja ini tidak kemasukan makanan enak yang dimakan para orang kaya. Nah, itulah yang membuat tubuhku gemuk dan sehat."

Jika tidak ingat bahwa mereka sudah berada di dekat musuh, ingin rasanya mereka berkelakar dengan Sun Ciok-peng.

Tapi kini mereka hanya bisa ketawa dengan suara yang ditahan-tahan supaya tidak terdengar oleh prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas dinding penjara.

Tapi Hui-liam-cu sempat juga bercanda.

"Saudara Sun, kalau kau ingin lebih gemuk lagi, kau sekali sekali boleh menyelundup ke dapur Istana Kaisar. Kabarnya Kaisar itu dalam sekali makan saja dihidangi dengan puluhan masakan yang mendengar nama-nyapun barangkali kau belum pernah. Masakan istimewa dari berbagai daerah yang dimasak oleh jurumasak-jurumasak terbaik pula dari masing-masing daerah. Tidakkah kau ingin mencobanya?"

Sun Ciok-peng menjulurkan lidahnya kesekeliling mulutnya seolah-olah benar-benar terbangkit seleranya oleh cerita itu. Sahutnya.

"Memang betul. Tapi bagaimana kalau kepalaku hilang?"

Kembali orang-orang itu menahan tertawanya.

Mereka tahu Istana Kaisar memang bukan taman bunga yang dapat dikunjungi setiap orang dengan semaunya saja.

Di sana ada Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana), Gi- cian-si-wi (Jago-jago Pengawal Kaisar), dan lain- lainnya, yang semuanya berkepandaian tinggi.

Tentu kurang bijaksana kalau mempertaruhkan batok kepala hanya untuk sepotong paha ayam yang bagaimanapun lezatnya.

"Sudahlah,"

Kata Bu-sian Hweshio.

"Sekarang sudah hampir tengah malam dan kitapun harus segera bertindak. Yang akan naik, naiklah, bawalah tali panjang yang akan kita ulurkan dari atas dinding."

Maka Bu-siang Hweshio disertai kedua adik seperguruannyapun menyiapkan diri untuk naik ke atas.

Sesaat mereka berdiri di kaki tembok sambil mengerahkan tenaga dalam mereka, lalu merekapun mulai memanjat ke atas bagaikan tiga ekor cecak raksasa yang- merambat naik di dinding yang hitam kelam itu.

Ilmu Pia-hou-yu-jio memang sejenis ilmu yang menggunakan tenaga dalam di telapak tangan sehingga telapak tangan itu mempunyai daya hisap seperti kaki cecak.

Siau-lim-pay memang bukan perguruan yang mengutamakan Ilmu meringankan tubuh, meskipun mereka juga punya ilmu meringankan tubuh seperti Co- siang-hui (Terbang di Atas Rumput), melainkan sebuah perguruan yang dikenal karena keunggulan tenaga dalamnya dan keaneka- ragaman ilmu silatnya, permainan senjata maupun tangan kosong.

Karena itu tidak mengherankan kalau ketiga rahib itu semuanya mahir Pia-hou-yu-jio, sedangkan di perguruan lain untuk mencari seorang yang mahir ilmu itu adalah sulit sekali.

Sun Ciok-peng menggeleng-gelengkan kepala melihat hal itu.

Gumamnya.

"Lain orang memperlihatkan tenaga dalamnya dan ilmu meringankan tubuhnya, aku hanya bisa memperlihatkan ilmu malingku. Tapi ilmu maling inipun berguna juga bagiku."

Ketika Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu juga sudah meloncat keatas bagaikan sepasang burung saja, maka Sun Tiok-peng pun mulai menggerakkan sepasang paku di tangannya untuk memanjat tembok.

Ternyata ia tangkas sekali dengan sepasang alat "mata pencaharian"nya itu, bagaikan merayap di tanah datar saja ia melaju ke atas dengar cepatnya, hampir sama cepatnya dengan Bu- sian Hweshio dan kedua orang Sute-nya.

Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu yang paling dulu tiba di atas tembok telah bertemu dengan empat orang prajurit penjaga yang sedang berkeliling.

Tetapi ke empat prajurit itu memang sial, sebelum mereka sempat berteriak, mereka telah dibungkam oleh totokan-totokan kilat kedua tokoh Soat-san-pay dan Kong-tong-pay itu.

Mereka telah mendapat pesan dari Bu-sian Hweshio agar dalam serangan itu korban jiwa ditekan sekecil- kecilnya, tidak peduli jiwa musuh seklaipun.

Hanya dalam keadaan yang benar-benar memaksa maka mereka diperkenankan menggunakan tajamnya senjata.

Setelah keempat prajurit itu roboh tertotok hampir tanpa suara, maka hampir bersamaan Bu-sian Hweshio bersama kedua adik seperguruannya serta Sun Ciok-peng juga sudah tiba diatas dinding.

Ketika melihat tubuh keempat prajurit yang bergeletakan itu Bu-sian Hweshio mengerutkan alisnya sambil bertanya.

"Mati?"

Tong Wi-hong menggeleng.

"Hanya tertotok. Fajar nanti mereka akan bebas dengan sendirinya tanpa kurang suatu apa."

Bu-sian Hweshio mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bagus. Memang seharusnya kita tidak menghilangkan nyawa orang lain secara sembarangan, biarpun orang itu musuh. Nah, ulurkan tali ke bawah."

Kenam orang yang sudah di atas dinding itupun kemudian melepaskan gulungan tali panjang yang mereka gendong di punggung masing-masing, dan mengulurkannya ke bawah untuk menarik kawan-kawan mereka.

Orang- orang yang terpilih untuk ikut serangan itu memangnya adalah orang-orang yang tangkas, maka begitu tali terulur, bagaikan monyet- monyet di hutan saja mereka segera memanjat dengan tangkasnya.

Tidak ada yang bergerak lamban.

Dalam waktu singkat duapuluh orang telah berada di atas dinding itu.

"Entah saudara-saudara dari Hwe-liong- pang sudah ?membersihkan? bagian selatan ini atau belum.?"

Kata Bu-sian Hweshio.

"Bu-gong dan Bu-teng Sute!"

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid ADA apa, suheng?"

Hampir bersamaan kedua adik seperguruannya itu menyahut "Kalian berdua periksa sepanjang dinding selatan ini, apakah penjaga-penjaganya sudah dibungkam oleh saudara-saudara Hwe-liong- pang?"

Perintah Bu-Sian Hweshio.

"Kalau belum, lumpuhkan dengan korban jiwa sesedikit mungkin, lalu kembali ke sini."

"Baik, suheng!"

Jawab kedua rahib itu sambil melayang pergi bagaikan dua sosok bayangan hantu saja.

"Sudara Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu"

Kembali Bu-sian Hweshio memanggil dua orang imam seperguruan dari Khong-tong-pay itu. Lalu perintahnya.

"Kaliian berdua harap periksa hal yang sama ke sebelah lain. Kalau sudah selesai kembali ke sini secepatnya."

"Baik,"

Sahut kedua imam itu. Merekapun segera menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang lihai.

"Semuanya tiarap di atas dinding, jangan sampai terlihat dari bawah,"

Perintah Bu-sian Hweshio, yang segera dituruti oleh segenap anggota rombongan.

Tidak lama kemudian, Bu-gong dan Bu-teng Hweshio serta kedua imam Khong tong-pay telah melayang tiba dari pemeriksaan mereka dalam saat yang hampir bersamaan, namun dari arah yang berlawanan.

Bu-gong dan Bu-teng segera melapor lebih dulu bahwa tak seorang- pun penjaga di dinding selatan yang belum dilumpuhkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang.

"Apakah ada korban jiwa?"

Tanya Bu-sian Hweshio.

"Memang kulihat ada dua orang prajurit yang bukan cuma tertotok tetapi tewas,"

Sahut Bu-gong Hweshio. Bu-sian Hweshio menarik napas dalam- dalam ketika mendengar itu, namun ia kemudian berkata.

"Dalam keadaan seperti ini memang sulit sekali untuk sama sekali menghindari jatuhnya korban. Tetapi aku cukup mengenal watak dan tabiat saudara-saudara dari Hwe-liong-pang itu, mereka bukannya pembunuh-pembunuh yang kejam meskipun dalam peperangan terehadap musuh. Kalau mereka sampai membunuh, tentu mereka telah dihadapkan pada satu satunya pilihan yang tak dapat dihindari itu."

"Ya, akupun kenal tabiat mereka. Meskipun sikap, dan ucapan mereka kadang-kadang nampak kasar, namun hati mereka bersih,"

Kata Tong Wi-hong tentang bekas anakbuah kakaknya itu.

"Mungkin ada di antara prajurit Man-chu itu yang mencoba melawan atau mencoba membunyikan tanda bahaya, sehingga para saudara Hwe-liong-pang itu dalam mencegahnya tidak sempat mengendalikan gerakan mereka lagi."

"Ya, inilah peperangan, meskipun sudah berusaha agar tidak jatuh korban tetapi masih jatuh juga,"

Kata Bu-slan Hweshio dengan sedih.

"...dan aku sudah ikut terjun dalam pertentangan sehingga suatu saat akupun akan menjadi binatang buas buat sesamaku sendiri."

Kemudian kedua imam dari Khong-tong-pay itu juga melaporkan hasil pemeriksaannya.

"Kami berdua melihat hal yang agak berbeda dari yang ditemukan oleh saudara Bu-gong berdua. Semua prajurit penjaga di tembok utara telah terbunuh habis oleh kelompok Cu Leng- ong dan orang-orangnya. Hampir semua prajurit kami dapati dengan kepala yang hampir putus... ."

"OmitoHud..."

Bu-sian Hweshio menundukkan kepalanya sambil merangkap kedua telapak tangannya di depan dada.- "Alangkah ganasnya.

Pangeran-Cu-Leng-ong dan anakbuahnya.

Agaknya ia lupa kalau prajurit-prajurit itupun mempunyai anak isteri atau anggota keluarga yang harus dihidupinya dengan upahnya sebagai prajurit.

Aku kelak harus memberi teguran keras kepada Pangeran itu, kekejaman semacam itu hanya akan membuat rakyat semakin segan mendukung perjuangannya."

Sementara mereka berjongkok di atas tembok sambil menanti isyarat.

Tiba-tiba dari sebelah timur terlihat cahaya merahnya api- bagaikan menggapai gapai langit, disusul dengan suara ringkik kuda yang sangat ribut, sebab yang meringkik itu bukan cuma satu atau dua ekor kuda melainkan ratusan ekor kuda.

Derap kaki kuda yang berlari larian keluar dari kandang, bercampur-baur dengan suara prajurti-prajurit yang berteriak-teriak "ada kebakaran"

Atau memperingatkan ada kuda- kuda yaug lepas bahkan tidak lama kemudian teriakan itu bertambah satu macam lagi "ada pemberontak menyusup".

Bagaikan gabah ditampi, prajurit-prajurit bersenjata itu berlari-larian ke satu arah dengan senjata dengar gemerincing senjata berbenturan yang sangat ramai di kejauhan sana.

Jelas sudah mulai ada bentrokan senjata.

"Pangeran Cu Leng-ong dan Te-sian Tojin agaknya juga sudah menjalankan tugasnya masing-masing,"

Desis Bu-sian Hweshlo.

Ketika ia menoleh ke arah teman-teman yang dipimpinnya, maka dilihatnya rata-rata dari mereka sudah tidak sabar lagi, ingin segera terjun ke medan laga.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ternyata Bu-sian Hweshio sendiri memang tidak ingin berlama-lama di tempat itu.

"Bersiaplah, kita harus segera terjun ke arena supaya teman-teman kita tidak mengalami tekanan yang terlalu dari jumlah musuh yang berlebihan. Sekali lagi aku mengingatkan saudara-saudara, kita langsung menuju ke sasaran dan jangan mau terikat kepada pertempuran yang mandeg. Saudara Tong dan kelompoknya akan melindungi kita dari belakang bukan?"

"Kami siap, Taysu,"

Sahut Tong Wi-hong sambil menggenggam pedangnya erat-erat.

Yang termasuk dalam kelompoknya antara lain adalah adik perempuannya sendiri, Tong Wi- lian, serta suaminya, Ting Bun yang ahli silat golok.

Lalu dua pembantunya yang berjulukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung) So Hou dan So Pa yang sudah siap dengan lembing pendeknya masing-masing.

Ditambah dengan lima orang pejuang lainnya dari berbagai perguruan atau perserikatan, yang rata-rata cukup tangguh pula.

"Kelompokku akan turun lebih dulu,"

Kata Bu-sian Hweshio.

"Nanti kelompok saudara Tong jangan lupa membawa tali-tali panjang itu untuk diletakkan di tempat yang sudah ditentukan, agar gerakan mundur kita nanti tidak terhambat."

"Pesan tay-su aku perhatikan,"

Kata Tong Wi-hong.

"Selamat berjuang, saudara-saudaraku."

"Selamat berjuang."

Maka kelompok Bu-sian Tay-su yang terdiri dari sepuluh orang termasuk Bu-sian Hweshio sendiri itupun segera meluncur turun dengan tali-tali yang dijulurkan dari atas itu.

Yang merasa ginkangnya cukup dapat diandalkan, meloncat begitu saja dari atas tembok, meskipun Bu-sian Hweshio sudah menganjurkan agar berhati-hati, jangan sampai kakinya patah sebelum bertempur.

Munculnya Bu-sian Hweshio dan kelompoknya yang menerjang langsung ke sasarannya itu telah membuat para prajurit Ui- ih-kun semakin kebingungan.

Pasukan itu memang bukan pasukan yang terlatih sebaik Hwe-liong-kunnya Pak-kiong Liong misalnya.

Jarang berlatih dan jarang pula terjun di medan yang sebenarnya, sehingga kini mereka agak kacau ketika melihat musuh muncul dari segala penjuru.

Selain itu, ratusan ekor kuda yang terlepas dari kandangnya telah berlari-larian dengan liarnya ke segala penjuru, karena ketakutan melihat api yang berkobar, membuat semakin bingungnya para prajurit.

"Bunyikan tanda bahaya!"

Teriak seorang perwira. Tapi seorang prajurit menjawab.

"Lonceng tanda bahaya tidak bisa dipukul, sebab gardunya sudah dikuasai oleh sekelompok musuh yang dipimpin oleh seorang imam bersenjata pedang!"

"Kalau begitu, buka pintu gerbang agar salah seorang bisa keluar untuk minta bantuan ke tangsi!"

Teriak perwira itu lagi.

"Juga tidak bisa. Pintu gerbang dijaga sekelompok musuh pula!"

"Gila! Gila! Berapa orang yang menjaga lonceng bahaya dan yang menjaga pintu gerbang?!"

"Lima orang menjaga lonceng lima orang menjaga gerbang!"

"Apa? Tidak salahkah pendengaranku bahwa kalian yang berjumlah berpuluh-puluh ini tidak mampu menguasai hanya sepuluh orang? Kalian ini berotak udang atau kerbau atau apa?"

Teranyata dalam bingungnya perwira itu juga tidak dapat segera memutuskan apa yang harus diperbuat.

Yang keluar dari mulutnya bukan perintah-perintah yang terarah, melainkan cuma caci-maki yang tak keruan tujuannya, membuat perwira-perwira bawahan yang menunggu perintahnya itupun ikut kebingungan.

Demikianlah keadaan kacau-balau, perkelahian terjadi di segala sudut dan andaikata Bu-sian Hweshio tahu apa yang terjadi di sudut-sudut gelap itu maka hatinya pasti akan sedih sekali.

Manusia membantai manusia.

Para pendekar tidak lagi berusaha untuk mengekang senjatanya agar tidak membunuh prajurit musuh, melainkan sudah kehilangan kesabaran.

Jika pedang terayun, maka tujuannya bukan cuma membuat musuh kehilangan senjata dan tak berdaya, melainkan dengan sekuat tenaga dengan harapan musuh akan terbelah dagingnya atau patah tulangnya.

Namun pihak pejuang memang tidak mempunyai pilihan lain, jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi prajurit musuh yang berjumlah ratusan orang itu, dan setolol- tololnya prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu namun merekapun prajurit yang pernah mengalami pendadaran pula.

Berbaik hati kepada prajurit- prajurit itu sama saja dengan membunuh diri.

Dan beban yang harus dipikul oleh para penentang Manchu itu bertambah berat ketika para jago-jago silat sewaan Pakkiong An mulai bertebaran keluar dari sarangnya.

Mereka ini tidak berseragam prajurit, namun kepandaian silatnya rata-rata di atas para prajurit, bahkan tidak sedikit yang lebih unggul dari para perwiranya.

Banyak di antara mereka berasal dari golongan hitam, golongan yang tidak mau tahu soal apapun kecuali kepentingan diri mereka sendiri.

Jika mereka bertempur di pihak prajurit Manchu, bukan karena mereka setia kepada pemerintah Manchu, melainkan karena sudah dibayar oleh Pakklong An.

Untunglah para pejuang yang menyerbu penjara itupun merupakan orang-orang terbaik dari perbagal perguruan ataupun kelompok perjuangan.

Bukan saja semuanya berilmu tinggi, namun juga sudah siap mengorbankan diri apabila perlu, demi penjuangan mereka.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk itu Bu-sian Hweshio memimpin kelompoknya untuk menuju ke bagian tengah penjara.

Di situ ada sebuah bangunan besar berpintu hitam, yang dalam denah disebut dengan Ruangan Hitam.

Beberapa kali kelompok kecil sepuluh orang itu berpapasan dengan kelompok prajurit yang sedang berlarian kebingungan, dan terlibat pertempuran.

Dan dalam perang seperti itu Bu- sian Hweshio yang tidak suka membunuh itupun terpaksa tidak dapat mengendalikan toya besinya yang berputar bagaikan baling- baling tertiup angin ribut itu.

Ia masih berusaha untuk tidak mencabut nyawa musuh-musuhnya, cukup dilumpuhkan dengan dipingsankan atau dipatahkan kakinya, saja.

Tapi tak terhindar bahwa beberapa prajurit musuh tersambar kepalanya sehingga retak, atau tersodok tulang rusuknya sehingga tulang-tulangnya berpatahan ke dalam.

Jika ini terjadi, Bu-sian Hweshio merasa menyesal tetapi tidak dapat berbuat lain daripada itu.

Di samping Bu-sian Hweshio, dua orang adik seperguruannya itupun membabat setiap musuh yang merintangi mereka.

Bu-gong Hweshio adalah seorang thau-to (pendeta yang tidak menggunduli rambutnya), melainkan dibiarkannya panjang sampai ke punggung, dan kepalanya dilingkari sebuah gelang tembaga.

Senjatanya adalah sebatang toya yang disebut hong-pian-jan, semacam toya para rahib yang salah satu ujungnya berbentuk bulan sabit menghadap ke depan.

Dengan penampilannya itu Bu-gong Hweshio mirip seorang malaikat atau dewa seperti yang sering dilukis di gambar-gambar atau dipatungkan di kuil-kuil.

Setiap kali senjatanya menderu dengan hebatnya dan membuat tiga atau empat orang musuh kehilangan senjata dari tangan mereka, lalu disusul dengan tendangan-tendangannya yang membuat prajurit-prajtiri musuh terpental bertebaran.

Masih ada Bu-teng Hweshio yang juga bersenjata toya besi, sepasang imam dari Khong-tong-pay, Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu, yang memegang senjata serupa, yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim (kebut pertapa) di tangan kiri.

Setiap kali hud-tim berhasil melibat senjata musuh, disusul dengan tabasan pedang yang telak.

Si pengemis bertampang jutawan Sun Ciok- peng yang gemuk itupun sekarang tidak nampak kejenakaannya.

Sebatang tongkat yang tadinya digendong di punggungnya, kini dipegangnya dan digunakan untuk mengamuk kawanan prajurit.

Pengemis yang sehari- harinya kelihatannya hanya makan dan tidur itu, ternyata dapat juga berkelahi segarang banteng terluka.

Memang jarang yang tahu bahwa sehari sekali pengemis yang nampak pemalas itu tentu mencari sebuah tempat yang sepi untuk melatih ilmu tongkatnya.

Begitulah, rombongan Bu-sian Hwe-shio yang terdiri dari sepuluh orang itu benar-benar tidak tertahan oleh para prajurit, meskipun di antara prajurit itu terdapat pula Sat-sin-kui (si Setan Ganas) Hehou Im yang berpakaian seragam lengkap perwira itu.

Juga ada dua orang jagoan sewaan lainnya yang tidak cukup tenaganya untuk membendung laju Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya.

Apalagi ketika beberapa puluh langkah di belakang kelompok Bu-sian Hweshio, kelompok Gin-yan-cu Tong Wi-hong mulai terjun ke gelanggang pula.

Tugas kelompok ini memang harus membayangi kelampok Bu-sian Hweshio agar dapat menyelesaikan tugasnya untuk membongkar penjara.

Dengan pedangnya yang berkilauan, Tong Wi-hong sendiri memimpin teman-temannya untuk mendesak ke depan dan ia sendirilah "ujung tombak"

Dari gerakan itu.

Pendekar dari kota Tay-beng yang suka berpakaian serba putih bersih itu, malam ini agaknya harus sedikit mengubah kebiasaannya dengan berpakaian serba hitam agar tidak menyolok dalam gerakan di malam hari itu.

Di sampingnya adalah adik perempuannya dan iparnya.

Tong Wi-lian, si macan betina dari Siau-lim-pay itu adalah seorang ahli ilmu silat tangan kosong, terutama ilmu yang mengutamakan kekuatan jari-jari seperti Coa- Kun(Silat Ular) dan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan dilengkapi dengan Wan-yo-tui (Ilmu Tendangan Bebek) yang lincah.

Namun dalam pertempuran yang kisruh itu Tong Wi-lian tidak mau menangung akibat apabila ada senjata musuh yang menyasar ke tubuhnya, maka lapun mengeluarkan senjata yang sebetulnya bukan senjata, yaitu sehelai selendang panjang yang sehari-harinya selalu dilibatkan di pinggangnya.

dengan kain sutera, sepanjang sedepa itulah ia membuat musuh-musuhnya tercengang.

Kain itu dapat menari-nari dengan lemasnya seperti seekor burung hong menari di udara, tapi di lain saat mematuk seperti seekor ular yang ganas ke jalan-jalan darah yang melumpuhkan musuh, dan jika diputar kencang disertai penyaluran tenaga dalamnya, maka selendang itu menjadi lurus seperti sebatang toya besi yang dapat mengemplang pingsan korbannya.

Sedang suami Tong Wi-lian yang bernama Ting Bun itu telah membuktikan dirinya sebagai ahli gwa-kang (Tenaga Luar) yang patut disegani dl jaman itu.

Lelaki berusia empatpuluh tahun yang berbadan ramping tegap dengan tangan-tangan yang besar berotot itu adalah jago dalam Ngo-hou-toan-bun-to- hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Mencegat Pintu), sedang dalam tangan kosong ia adalah ahli dalam dua macam ilmu keras Ngo-heng- ciang (Telapak Tangan Lima Unsur) dan Eng- Jiau-kang (Cengkeraman Kuku Elang).

Goloknya yang diputar kencang seperti baling-baling itu membuat prajurit-prajurit musuh tersibak mundur, dan yang terlambat mundur akan termakan oleh goloknya.

Di samping itu masih ada Tiong-san-siang- hou yang bertempur benar-benar seperti macan-macan kelaparan di tengah kambing- kambing.

So Hou dan So Pa merupakan lawan- lawan yang harus diperhitungkan pula sehingga dua orang perwira telah turun ke medan untuk menghadang kedua saudara itu agar tidak menimbulkan korban berlalu banyak.

Begitu pula jago-jago lainnya yang termasuk kelompok Tong Wi-hong telah berkelahi dengan semangat tinggi, sehingga kerumunan prajurit yang tadinya hanya mengepung Bu-sian Hwe- shio dan kelompoknya itupun sekarang terbagi.

Bu-sian Hweshlo tidak mau kehilangan waktu.

Setiap kelompok sudah punya tugasnya sendiri-sendiri.

Maka la segera memberi aba- aba kepada kelompoknya.

"Jangan tertahan di sini terjang ke pintu hitam itu Bu-gong Sute, kau di depan dan kau sudah mengerti apa tugasmu!"

"Beres, suheng"

Teriak Bu-gong Hweshio menyahut perintah kakak seperguruannnya itu.

Teriakannya menggelegar seperti guntur sehingga beberapa orang di sekitar dirinya merasa telinganya pekak, dan ketika itulah Bu- gong mengayun senjata hong-pian-jan-nya dengan jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Tentara), membuat tiga orang prajurit musuh terlempar seketika dari gelanggang dengan luka parah.

Melihat keperkasaan pendeta berambut seperti singa ini, prajurit-prajurit musuh yang bernyali agak kecil segera menjadi gentar dan memilih lawan lain.

Kemudian Bu-gong Hweshio membolang-balingkan tongkatnya sambil berteriak kepada anggota kelompok lainnya.

"Ikuti aku menerjang ke pintu hitam"

Teman-temannyapun bagaikan mendapat tambahan semangat ketika melihat keperkasaan Bu-gong Hweshio.

Serentak bagaikan serigala-serigala kelaparan mereka maju mendesak musuh-musuhnya yang jauh lebih banyak namun bernyali lebih kecil.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pasukan Ui-ih-kun memang bukan pasukan berani mati seperti Hui-liong-kunnya Pakkiong Liong, sebaliknya lawan-lawan mereka adalah pemberontak-pemberontak penentang pemerintahan.

Machu yang sudah siap untuk gugur di medan laga.

Tandang bagaikan singa terluka.

Hehou Im yang berpakaian perwira itu berteriak-teriak memberi semangat ke anakbuahnya.

"Tahan agar pemberontak- pemberontak ini tidak mendekati pintu. Bertahan terus!. Sebentar lagi bala bantuan tiba!"

Lawan Hehou Im adalah si pengemis Sun Ciok-peng yang bersenjata tongkat seukuran pedang. Ketika mendengar Hehou Im menyebut bala bantuan segera tiba, maka Sun Ciok-peng tertawa sambil mengejek.

"Bala bantuan dari mana? Pintu gerbang sudah dikuasai oleh kawan-kawanku, apakah bala bantuanmu itu akan lewat langit?"

Belum sempat Hehou Im menjawab ejekan itu, tiba-tiba dari antara prajurit-prajurit musuh itu terdengar suara geraman dingin.

"Benar, bantuan datang dari langit untuk mengambil nyawamu, pengemis busuk!"

Lalu sesosok bayangan merah benar benar meluncur dari langit dan menyambar ke arah Sun Clok-peng.

Dalam sambarannya terasa bahwa serangan itu bukan main-main, kecepatannya maupun kekuatannya.

Sun Clok-peng yang tengah memusatkan perhatiannya kepada Hehou Im itu terkejut bukan main mendapatkan serangan yang agak licik itu.

Namun pengemis bertubuh gemuk itu ternyata sangat tangkas, bagaikan sebuah bola baja saja ia menggelinding tubuhnya ke samping.

Namun tak urung topi bututnya tersambar juga oleh senjata lawan, bersama dengan segumpal kecil rambutnya.

Ketika la meloncat bangun, Hehou Im telah menyergap dengan tiat-koan-hya yang tajam itu sehingga pundak Sun Clok-peng terluka.

Lenyaplah wajah berseri-seri dari pengemis itu, berganti dengan wajah merah padam penuh kemarahan.

Berganti-ganti dipandangnya si bayangan merah yang hampir saja memutuskan batok kepalanya tadi.

Ternyata adalah seorang lelaki berpakaian serba merah, baju lengan pendek dan celananyapun lengan pendek, memakai ikat kepala kuning dan ikat pinggangnya juga kuning, sedang sepatu kulitnya berbentuk aneh.

Dialah salah seorang jago sewaan yang paling tangguh dari Tibet, karena namanya yang susah diucapkan maka ia lebih dikenal dengan julukannya sebagai Hwe- niau (si Burung Api).

Senjatanya adalah sebilah golok yang panjangnya kira-kira hanya dua jengkal, namun berbadan lebar dan melengkung.

Pisau itu adalah pisau khusus para pendekar dl Nepal yang sering disebut Kukri.

Ilmu orang Nepal dan Tibet serumpun, dengan pisau kukri mereka mahir memenggal leher musuh.

Sun Ciok-peng yang baru saja kepalanya hampir terpenggal itu hampir saja maju untuk melabrak kedua musuhnya itu.

Namun sebelum tindakan gegabahnya itu dijalankan, Bu-teng Hwe-shlo dengan toyanya telah meloncat ke samping itu sambil berkata.

"Saudara Sun, kita bagi satu-satu, jangan kau ambil semua!"

Hwe-niau dengan pisau kukrinya telah malang melintang beberapa tahun tanpa tandingan di Tibet, Nepal, Bhutan, Birma bahkan ke semenanjung Malaka.

Kali ini la muncul di Pak-khia atas undangan Pakkiong An, dikiranya jago-jago bangsa Han, Manchu dan Mongol sama saja dengan orang-orang yang telah dikalahkannya.

Namun kali ini ia tercengang.

Seorang pengemispun tidak dapat ia bunuh dengan kukrinya, meskipun la sudah menyergapnya dengan cara yang licik selagi si pengemis menghadapi Hehou Im.

Kini sadarlah bahwa nama besar para pendekar di daratan tengah yang terdengar sampai ke Tibet itu ternyata bukan omong kosong belaka.

Baru Sun Ciok-peng hanya "kelas menengah"

Saja sudah tidak dapat ia atasi, apalagi tokoh-tokoh puncaknya.

Sesaat kemudian terjadilah perkelahian dua lingkaran di tempat itu.

Hwe-niau dengan pisau kukri-nya bertarung sangat lincah menghadapi Bu-teng Hweshio dengan toya bajanya.

Namun ternyata Hwe-niau telah membentur tembok baja kali ini.

Bu-teng Hweshio memang tidak selincah dia, namun kokoh bagaikan angin ribut yang menggulung lawannya.

Toyanya seolah sebuah pusaran angin maut yang siap menghisap dan menggilas lumat korbannya tanpa ampun.

Dengan pisau ku-krinya yang pendek itu, tadinya Hwe-niau berharap akan dapat memaksakan sebuah perkelahian jarak dekat.

Tapi setelah melihat cara bertempur lawannya, ia bersyukur bahwa ia belum terlanjur masuk ke dalam lingkaran dalam dari putaran toya lawannya, sebab jika la sudah masuk ia tidak yakin apakah dirinya akan dapat keluar atau tidak.

"Setan, orang-orang daratan tengah ini benar-benar banyak yang tangguh,"

Geramnya dalam hati.

Sebaliknya Bu-teng Hweshlo juga tidak berani lengah terhadap pisau lawan yang tajam berkilat-kilat dan dimainkan dengan amat mahir itu.

Gerakan gerakannya jauh berbeda dengan silat Tiong-goan, ganas, cepat dan langsung ke sasaran.

Namun Bu-teng Hweshio juga waspada karena ia masih ingin berkepala.

Sementara itu seluruh kelompok Bu-sian Hweshio dapat mendesak maju semakin dekat ke pintu hitam itu.

Pihak musuh dengan gigih mencoba menahan gerak laju itu, tetapi Bu-sian dan Bu-gong Hweshio adalah sepasang ujung tombak yang tak terbendung siapapun.

Bahkan oleh perwira-perwira yang berilmu cukup tinggi maupun oleh jagoan-jagoan sewaan.

Sementara itu, pertempuran telah merata di seluruh penjara yang luas, terdiri dari banyak halaman-halaman dan lorong-lorong berliku- liku itu.

Hampir semua kelompok sudah terlibat pertarungan.

Bahkan orang-orang Hwe-liong- pang di bagian lain yang tugasnya sebenarnya termasuk tugas tahap terakhir, yaitu menyiapkan jalan mundur bagi seluruh kelompok nantinya, agaknya selama menunggu itupun tidak mau berpangku tangan saja.

Mereka memecah diri menjadi dua bagian dan mengadakan pengacauan di arah yang berbeda, sehingga pasukan musuh semakin terpecah- pecah perhatiannya.

Dalam gerakan maju kelompok Bu-sian Hweshio mendekati ke pintu hitam itu, Sun Ciok-peng serta Bu-teng Hweshio yang telah bertemu dengan lawan imbangannya masing-masing Itu hampir-hampl tidak beranjak dari tempatnya, sehingga mereka bisa terpisah dari kelopok mereka yang sedang maju itu.

Betapapun gelisahnya mereka, tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa sebab lawan mereka masing-masing mencegah mereka dengan gigihnya.

Hwe-niau nampak bertarung semakin ganas seakan kesurupan.

Sedangkan Hehou Im tidak percuma berjulukan Sat-sin-kui atau si Setan Ganas.

Tongkat melengkungnya yang tajam itu menyambar-nyambar semakin hebat, dan betapapun tangguhnya Sun Ciok-peng si pengemis, namun kini ia kebentur suatu kenyataan bahwa ilmu Hehou Im selapis lebih tinggi daripadanya, sehingga Sun Ciok-peng mulai terdesak mundur selangkah demi selangkah.

Untunglah keadaan yang mencemaskan dari kedua anggota kelompok Bu-sian Hweshio itu terlihat oleh Tong Wi-hong yang bertempur belasan langkah dari tempat itu.

Meskipun penerangan di tempat itu tidak cukup untuk mengusir sama sekail gelapnya malam, tapi ketajaman mata Tong Wi-hong dapat melihat kesulitan yang diderita Bu-teng Hweshio dan Sun Ciok-peng itu.

Kesulitan mereka berarti kesulitan bagi seluruh kelompok Bu-sian Hweshio, dan kesulitan kelompok Bu-sian Hweshio menimbulkan ancaman gagalnya seluruh rencana.

Karena itulah Tong Wi-hong ingat bahwa tugas kelompoknya adalah melindungi kelompok Bu-sian Hweshio dari belakang agar dapat mencapai pintu hitam.

Maka sambil mengayunkan pedang untuk merobohkan seorang perwira, dia berteriak kepada adik perempuannya.

"A-lian, ikuti akui"

Lalu tubuh Tong Wi-hong bagaikan seekor burung walet saja telah melambung ke angkasa, meloncati kepala para prajurit.

Gelarnya sebagai si Walet Perak karena kemahirannya dalam ilmu meringankan tubuh ternyata terbukti sekarang.

Kepala berpuluh-puluh prajurit musuh diloncatinya begitu saja, dan di udara la masih sempat berteriak kepada Ting Bun, iparnya itu.

"Kak bun, kau pimpin semua saudara-saudara untuk mendesak maju sedikit lagi agar kelompok Bu-sian Hweshio dapat ditolong dari belakang!"

"Baik, A-hongl"

Sahut Tlng Bun singkat.

Ia tahu bahwa Ilmu meringankan tubuhnya sendiri memang tidak dapat dibandingkan dengan iparnya maupun lsterinya, tapi ia tidak merasa terhina, sebab iapun punya kebanggaan tersendiri.

Kekuatannya besar sehingga senjata musuh yang beradu berbenturan dengan goloknya pasti akan terlepas dari tangan musuh.

Susul menyusul tubuh Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian "terbang"

Di atas kepala prajurit- prajurit musuh.

Begitu menakjubkan pemandangan itu sehingga tak terasa ada juga prajurit-prajurit musuh yang bersorak memuji, lupa kalau yang diuji itu adalah lawan.

Tong Wi-hong langsung menuju ke arah Hwe-niau.

Tapi sebagal pendekar terhormat la tidak sudi dikatakan menyergap orang secara licik, maka la tidak langsung menyerang Hwe- niau dengan pedangnya, melainkan dengan tangan kirinya la mendorong tubuh Bu-teng Hweshio untuk menyingkir dari arena, sambil berseru.

"Tinggalkan tempat ini dan susul kelompok tay-su. Mengurusi cecunguk- cecunguk di luar ini adalaha tugas kelompokku"

Hwe-niau berteriak.

"Biarkan aku memotong kepala gundul si rahib busuk itu. Jangan kau selamatkan dia!"

Tong Wi-hong tertawa dingin.

"Jangan besar mulut. Dengan menyuruh Bu-teng Hweshio menyingkir sebenarnya aku sedang menyelamatkan kau dari toya besinya yang bisa membuat benakmu berantakan!"

Hwe-niau menggeram marah, tanpa berkata-apa-apa lagi ia segera menyerang Tong Wi-hong.

Kedua orang itu segera terlibat dalam pertarungan seru, sementara Bu-teng Hweshio buru-buru bergabung dengan kelompoknya yang sudah maju beberapa langkah itu.

Sementara itu, Tong Wi-lian meloncat turun tepat di depan Hehou Im, sambil tertawa ia berkata.

"Kita bertemu lagi, setan busuk. Puluhan tahun yang lalu pernah bertempur dekat kota Bun-siau, dan aku juga melihat tampangmu ketika kau dan gerombolan Te- liong Hiangcu menyerbu Siong-san namun kau tertangkap. Guruku telah melepaskanmu kembali dengan harapan agar kau menyadari kesalahan-kesalahanmu dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi kau makin lama makin sesat. Dulu kau menjadi kaki tangan Te-liong Hiangcu untuk mengacaukan dunia persilatan, dan sekarang kau menjadi budak bangsa Manchu untuk menindas rakyat! Hari ini kubereskan nyawamu sekalian!"

Hehou Im juga pernah mengenal Tong Wi- lian puluhan tahun yang lalu, maka sebenarnya ia agak gentar kepada perempuan murid mendiang Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay yang sejak muda dulu telah dikenal keperkasaannya itu.

Banyak rekan-rekan seangkatan He-hou Im yang pernah mengalami hajaran Tong Wi-lian.

Namun kali ini Hehou Im sedang memakai seragam perwira Ui-ih-kun, tentu saja ia malu menunjukkan rasa takutnya di hadapan sekian banyak anakbuahnya.

Maka tanpa banyak bicara lagi ia segera menyerang dengan tiat-koannya.

Kelompok Bu-sian Hweshio yang semakin dekat ke pintu hitam itu ternyata menghadapi perlawanan yang semakin sengit dan berat.

Prajurit-prajurit musuh bagaikan mengalir tak habis-habisnya, yang depan roboh akan segera disusul dengan majunya orang di bagian belakangnya.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pertempuran maha sengit itu terpaksa kelompok Bu-sian Hweshio kehilangan dua orang yang gugur, sementara hampir seluruh anggota kelompok telah menderita luka-luka.

Namun gerak maju dari regu itu juga telah menimbulkan korban yang berlipat jumlahnya di pihak musuh.

Betapapun hati Bu-sian Hweshlo tergores pedih setiap kali melihat sesamanya kehilangan nyawa, baik itu kawan atau lawan, tapi semuanya terus berlangsung tanpa menghiraukan hatinya sedih atau tidak.

Bahkan Bu-sian Hweshio sendiri kadang-kadang sudah menjadi seorang pembunuh, biarpun la tidak melakukannya dengan senang hati.

Tentara musuh yang berjumlah banyak itu ternyata tidak dapat menahan gerak maju dari regu yang kecil itu, dan akhirnya pertahanan musuh yang terakhir di depan pintu hitam itupun bobol.

Prajurit-prajurit musuh berlarian pontang-panting ke kiri dan kanan ketika Bu- gong Hweshio memutar tongkatnya dengan kencang sambil menggeram dengan menggunakan ilmu Sai-cu-hou-kang (Ilmu Singa Menggeram) yang memekakkan telinga.

Yang disebut Pintu Hitam itu adalah pintu penjara yang terbuat dari kayu jati Lam-yang yang kerasnya bukan main, tebalnya hampir satu setengah jengkal dan di antara sela-sela kayu dilapisi dengan lempengan-lempengan besi setebal hampir sejari.

Kekokohannya sudah terkenal sejak jaman dinasti Goan dulu.

Dan menurut denah, di belakang pintu itu masih ada palang pintu dari kayu yang hampir sebesar paha, dan ada ruangan yang diisi prajurit penjaga pula.

Setelah regunya tiba di depan pintu hitam yang tertutup rapat itu, Bu-sian Hweshio segera memerintahkan regunya untuk membuat setengah lingkaran menghadap keluar, untuk melindungi dirinya dan adik seperguruannya yang akan berusaha untuk menjebol pintu itu dengan pukulannya.

Namun Bu-sian Hweshio sadar bahwa pintu itu terlalu kuat untuk dihancurkan dengan sekali pukul-saja, itulah sebabnya ia mengajak adik seperguruannya yang juga bertenaga raksasa, Bu-gong Hweshio, untuk bersama-sama menjebolnya.

Sedangkan Bu teng Hweshio tidak diajaknya, sebab adik seperguruannya itu bukan seorang yang menonjol tenaga dalamnya, meskipun ia memiliki keistimewaan lain pula, yaitu kelincahan yang tak tertandingi oleh kakak- kakak seperguruannya.

Kata Bu-sian Hweshio kepada Bu-gong.

"Sute, kau pukul lebih dulu dengan Jian-kin-cun- tui (Palu Godam Sikut Seribu Kati), aku akan segera menyusulinya dengan Tay-lik-kim-kong- ci-ang. Meskipun pintu ini kuat, tapi kita berharap pukulan yang ketiga tidak usah kita lakukan "Baik, suheng."

Bu-gong Hweshio lalu meletakkan senjata Hong-pan-jan-nya ke tanah, lalu di bawah perlindungan teman-temannya dia mulai mempersiapkan diri.

Ia berdiri dengan kuda- kuda Pat-ji-ma sambil merentangkan tangan ke samping dan mengatur napasnya, lalu tiba-tiba dengan gerak cepat la silangkan kedua tangannya di atas kepala dan tubuhnya meluncur maju dua langkah dengan kuda-kuda Co-cian-ma, disertai bentakan menggelegar maka ilmu Jian-kin-cun-tui kebanggaannya itupun dihantamkan ke daun pintu dengan penuh kekuatan.

Hantaman sikut tangan Bu-gong Hweshio memang luar biasa.

Pintu yaing tebal itu bagaikan diguncang gempa yang keras dan bergetar hebat, beberapa lapisan tembok rontok ke tanah, dan sepasang daun pintu yang dibanggakan sejak Jaman dinasti Goan ltupun mulai retak.

Belum reda kejut dan kagum dari orang- orang yang menyaksikan "pertunjukan"

Itu, kembali mereka melihat sesosok bayangan lain meluncur sambil menghantam ke pintu pula.

Kali ini adalah Bu-sian Hweshio yang memukul dengan Tay-lik-kim-kong-ciang (Telapak Tangan Malaikat Bertenaga Besar).

Bu-gong memukul dengan sikut tangan, Bu-kian dengan telapak tangan, gembali pintu tebal dan kuat itu bergetar keras dan bahkan terdengar pula suara berderak dari palang pintu yang patah.

Salah satu dari sepasang daun pintu maha Kuat itu benar-benar telah pecah berikut palang pintunya sekalian! Agaknya tenaga Bu-sian Hweshio malahan berlebihan, sehingga daun pintu itu bukan cuma pecah tetapi juga lepas dari engselnya dan terlempar ke dalam suatu kekuatan yang sulit dibayangkan akan bisa dimiliki oleh manusia yang berdarah daging.

Di bagian dalam pintu itupun ada duapuluh lima orang prajurit yang dipimpin seorang perwira, muka mereka menampilkan rasa gentar dan kaget melihat pameran kekuatan yang mengerikan itu.

Ketika Bu-sian dan Bu-gong Hweshio melangkah masuk dengan senjata-senjata di tangan, maka prajurit-prajurit itupun melangkah mundur selangkah dengan tangan agak gemetar.

"Letakkan senjata kalian dan kami tidak akan menciderai kalian,"

Kata Bu-gong Hweshio.

"Tapi jika kalian keras kepala, kami tidak sulit untuk membabat kalian sampai habis, sebab kawan-kawan kalian yang berada di luar dan berjumlah beratus-ratus itupun tidak dapat mencegah kami sampai ke sini."

Prajurit-prajurit itu tidak menjawab tetapi melirik ke arah pemimpin mereka, seolah membujuk agar perwira itu menerima saja tawaran untuk menyerah itu agar nyawa selamat.

Tapi harapan mereka sia-sia, sebab perwira itu rupanya seorang yang keras kepala, teriaknya garang.

"Tangkap pengacau-pengacau ini!"

Maka di dalam ruangan yang tidak begitu luas itupun terjadi pertempuran hebat.

Bu-gong Hweshio melawan puluhan prajurit.

Sementara pertempuran di bagian luar, terutama di sekitar pintu hitam yang sudah roboh itu, semakin panas-Anggota-anggota regu Bu-sian Hweshio merasa tekanan yang semakin berat dan merekapun terdesak ke ambang pintu.

Biarpun di antara regu itu terdapat Bu- teng Hweshio serta Hui-liam-cu dan Hui-seng- cu, namun prajurit musuh yang seolah mengalir Maka di dalam ruangan yang tidak begitu luas itupun terjadi pertempuran hebat.

Bu-gong Hweshio melawan puluhan prajurit.

tak habis-habisnya itu membuat mereka kewalahan juga, apalagi ada juga perwira- perwira atau jago-jago sewaan Pakkiong An yang rata-rata bertempur lebih baik dari para prajurit biasa.

Lagi-lagi seorang anggota regu gugur.

Untunglah bahwa regu Tong Wi-hong telah berhasil mendesak maju sampai ke dekat pintu hitam itu, dan kemudian bergabung dengan sisa regu Bu-sian Hweshio.

Tong Wi-hong sudah berhasil mengusir Hwe-niau sehingga orang '?Tibet, yang tadinya merasa tak terkalahkan itu kabur dengan membawa luka-lukanya.

Sedangkan setinggi-tingginya ilmu Sat-sin-kui Hehou Im, ia masih kalah beberapa lapis dari si pendekar wanita Tong Wi-lian.

Senjata tiat-ko- annya yang telah digunakan untuk membunuh berpuluh-puluh musuh itu, kini tidak berdaya menghadapi selendang sutera yang menari-nari lincah seperti burung hong itu, dan di lain saat berubah menjadi lurus keras seperti toya baja yang kekuatannya tak terbendung.

Ketika punggung Hehou Im terkena -sebuah gebukan keras sehingga matanya berkunang-kunang, maka rontok pulalah sisa-sisa keberanian perwira yang bekas tokoh golongan hitam itu, dah ia memilih untuk memperpanjang nyawanya dengan kabur tunggang-langgang.

Namun sambil meninggalkan gelanggang, ia masih- sempat juga memberi alasan kepada prajurit-prajuritnya untuk menjaga jangan sampai kehilangan muka.

"Aku akan memeriksa ke bagian lain yang barangkali memerlukan bantuanku. Kalian terus bertahan di sini!'' Tong Wi-lian tidak mengejar musuhnya itu. Bahkan ia berharap agar nanti Hehou Im bertemu dengan bekas rekan-rekannya, yaitu para Tongcu Hwe-liong-pang. Dulunya Hehou Im ini bekas Tongcu Hwe-liong-pang pula, namun Tongcu yang diangkat oleh Te-liong Hi- angcu untuk menandingi kelompok tandingan yang bermaksud menyaingi, bahkan menyingkirkan, Ketua Hwe-liong-pang yang sah. Jika malam ini Hehou Im bertemu para Tongcu yang setia kepada Ketua syah Hwe- liong-pang, maka berarti malam ini akan menjadi ujung perjalanan hidup Hehou Im. Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tentu akan menghukum Hehou Im bukan sekedar sebagai pengkhianat terhadap Ketua Hwe-liong-pang, melainkan juga sebagai kaki tangan Manchu. Kesalahan ganda. Sementara itu, sambil terbirit-birit menjauhi Tong Wi-lian, Hehou Im juga mengumpat-umpat dalam hatinya.

"Apakah Te- liong Hiangcu sengaja memberi keterangan yang salah? Katanya serangan kaum pemberontak ini baru akan dilakukan tiga hari lagi, kenapa sekarang pemberontak- pemberontak jahanam ini sudah bergerak?"

Demikianlah, dengan kaburnya Hwe-niau serta Hehou Im sebagai jago-jago yang paling diandalkan, maka bertambah lemahlah perlawanan para prajurit di tempat itu, meskipun jumlah mereka lebih banyak.

beberapa perwira, terutama yang berkebangsaan Manchu asli, bertempur dengan gigihnya dengan ilmu yang lumayan, tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menyamai ketangguhan Hehou Im maupun Hwe-niau.

Jika perwira-perwira itu kebentur Tong Wi-hong, Tong Wi-lian ataupun Ting Bun, maka perwira-perwira itu tidak akan dapat melawan mereka lebih dari sepuluh jurus.

Tong Wi-hong segera memerintahkan regunya untuk segera mengambil tempat di depan di depan pintu hitam itu, bergabung dengan regu Bu-sian Hweshio yang sudah bertahan di tempat itu sejak tadi.

"Bagus, saudara Tong, kau sudah menempati tempat yang tepat,"

Kata Bu-sian Hweshio di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran.

"Ada anggota regu saudara yang gugur?"

"Dua orang,"

Sahut Tong Wi-hong sambil menangkis tombak seorang prajurit yang hampir melubangi dadanya.

Lalu dengan sebuah putaran cepat, ia melemparkan tombak prajurit itu ke udara disusul sebuah sabetan yang melemparkan nyawa prajurit itu untuk bersujud kepada nenek-moyangnya.

Setelah merasa bahwa pertahanan dl pintu hitam itu cukup kuat untuk menahan para prajurit supaya tidak menyerbu ke dalam, maka pekerjaan Bu-sian sekarang adalah membantu Bu-gong untuk menaklukkan prajurit-prajurit yang di dalam ruangan itu.

Perwira yang memimpin mereka sudah roboh, dan prajurit- prajurit itupun bertempur dengan setengah hati.

Maka ketika Bu-gong Hweshio membentak sekali lagi dengan suara bagaikan guntur, menyuruh prajurit-prajurit itu untuk menyerah, maka entah siapa yang mendahului meletakkan senjata, sisa-sisa prajurit di ruangan dalam yang hanya sedikit itupun berturut-turut meletakkan senjata sebagai tanda menyerah.

"Bagus!"

Seru Bu-gong Hweshio.

"Sekarang semuanya masuk ke situ!"

Perintahnya sambil menunjuk sebuah ruangan berterali besi yang masih kosong.

Tanpa berani membantah lagi, prajurit- prajurit itu masuk ke kerangkeng itu yang kemudian dikunci dari luar oleh Bi-gong Hweshio, dan kuncinya dilemparkan jauh-jauh sehingga tidak akan terjangkau oleh tangan prajurit-prajurit itu seandainya mereka ingin melepaskan diri dari kerangkeng itu.

Bu-sian Hweshio tersenyum melihat tindakan adik seperguruannya itu, namun ia puas bahwa pertempuran dl bagian dalam bangunan itu tidak memakan kohban jiwa terlalu banyak.

Hanya si perwira yang keras kepala tadi dan beberapa prajurit yang mengikuti jejaknya.

Maka dengan leluasa kecua orang pendeta Siau-lim-si itu melepaskan tawanan-tawanan yang memang patut untuk dibebaskan, yaitu para pejuang penentang pemerintahan Manchu yang dipenjarakan.

Tetapi kedua pendeta itu tidak membebaskan semua orang.

Mereka tahu bahwa di penjara itu pula terdapat para perampok, pembunuh, pemerkosa dan lain- lainnya yang memang sudah sepantasnya mendekam di balik terali besi itu.

Penjahat- penjahat itupun berteriak-teriak minta dibebaskan, namun teriakan mereka berubah menjadi caci-maki kotor ketika kedua pendeta itu tidak menggubris mereka.

Begitu bebas, para tahanan itu segera memungut senjata-senjata para prajurit yang bergeletakan di tanah, lalu ikut bertempur melawan musuh.

Di antara tahanan-tahanan yang dibebaskan itu ada dua orang tokoh yang ilmunya malahan lebih, tinggi dari Bu-sian maupun Bu-gong Hweshio.

Kedua tokoh itu di masa lalu termasuk tokoh puncak dalam Hwe-liong-pang, kedudukannya lebih tinggi setingkat dari para Tongcu.

Yang satu bernama Ling Thian-ki yang wajahnya penuh bulu seperti monyet, sehingga ia dijuluki Jian-jiu-sin-wan (Monyet Sakti Berlengan Seribu), dan lainnya adalah seorang Hweshio bertubuh pendek gempal, janggutnya keriting dan berwarna pirang, matanya biru dan hidungnya mancung, tampang orang suku Hui asli.

Hweshio itu adalah bekas seorang pendeta Siau-lim-si, namun kemudian bergabung dalam pergerakan Hwe-liong-pang ketika menentang dinasti Beng, bahkan di Hwe-liong-pang ia mendapat tempat yang terhormat.

Karena Itu, ketika berhadapan dengan Hweshio bertubuh pendek gempal itu, Bu-sian dan Bu-gong Hweshio serentak memberi hormat.

"Salam untuk susiok (paman guru)!"

Hong-goan Hweshio tertawa dan menyahut.

"Bagus kalian datang. Kalau kalian terlambat beberapa hari lagi, kalian hanya akan menjumpai tubuh su-siokmu dan saudara Ling ini tanpa kepala, sebab keputusan hukuman mati untuk kami sudah ditetapkan dan tinggal menunggu pelaksanaannya saja."

"Mari kita keluar dari sini. Di sebelah luar, beberapa teman sedang melawan musuh dengan sibuknya,"

Ajak Bu-sian Hweshio.

"Dan kami masih harus membongkar penjara ini di bagian lain untuk membebaskan beberapa orang lagi."

"Baik, he, keledai gundul, ?mari kita terjang keluar,"

Kata Ling Thian-ki kepada Hong-goan Hweshio sambil memungut sebatang pedang prajurit di tanah. Hong-goan Hweshio memungut sebatang tombak dan berkata.

"Benar, selama ini kita dirantai seperti binatang saja, tak dapat bergerak sehingga tubuh kita pegal semuanya. Sekarang saatnya untuk menggebuk pantat orang-orang Manchu itu."

Bu-sian Hweshio agak cemas melihat keberingasan paman gurunya dan sahabatnya itu, maka iapun memberi hormat dan berkata.

"Susiok dan Ling Lo-enghiong, kami mohon agar kalian tidak membunuh semena-mena. Prajurit- prajurit musuh itupun sesama manusia yang punya keluarga dan punya anak-isteri, jangan membuat melayangnya nyawa sesama jika tidak terpaksa sekali."

Agaknya pendeta suku Hui itu memang bukan pembunuh berdarah dingin.

Nasihat keponakan muridnya itu diterimanya dengan senang hati, dengan kekuatan jari-jarinya yang pendek-pendek itupun ia mematahkan kepala tombak yang terbuat dari besi itu, sehingga tombak berubah menjadi toya.

Katanya.

"Jangan kalian kuatir, biarpun aku malas bersembahyang tapi aku ingin jadi murid Sang Buddha yang baik. Sekedar menghajarkan tidak berarti membunuh?"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sementara itu, Tong Wi-hong dan lain- lainnya yang bertahan di pintu masuk itu, telah mulai kelelahan juga.

Musuh benar-benar terlalu banyak.

Gugur satu muncul dua orang, dua dibabat muncul empat orang, dan ternyata tidak semua prajurit musuh bernyali kecil.

Yang bernyali kecilpun karena banyak kawannya menjadi timbul keberaniannya.

Beberapa anggota regu Tong Wi-hong maupun regu Bu- sian hweshio mulai berguguran pula.

Saat itulah dari dalam bantuan para bekas tahanan itu datang, langsung terjun ke garis depan dengan senjata di tangannya masing- masing dibantu oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, maka dalam waktu singkat kepungan musuh jebol.

Bu-sian Hweshio segera memimpin sisa- sisa regunya untuk menyerbu bangunan penjara yang satunya lagi.

Keadaan amat berat yang dialami oleh semua regu pejuang itu dialami di semua tempat.

Regu pimpinan Pangeran Cu Leng-ong yang tadinya berhasil membuat musuh Ketakutan, kini mengalami kesulitan.

Kepanikan musuh tidak lama, sebab bagaimanapun juga mereka adalah prajurit-prajurit terlatih, dan setelah musuh tidak panik lagi maka merekapun dapat mengatur diri sehingga mampu memberikan perlawanan yang kuat.

Kini Pangeran Cu Leng-ong dan regunyalah yang terjepit.

Pangeran Cu Leng-ong yang bersenjata tombak Hong-thian-kek (tumbak bercagak seperti senjata dari tokoh sejarah jaman dinasti Tong Si Jin-kui) telah membasahi senjatanya itu dengan darah musuh-musuhnya.

Namun musuh mengerumuninya seperti semut mengerumuni ulat, seolah tak habis-habisnya, sehingga lengan Pangeran Cu Leng-ong mulai terasa pegal.

Begitu pula yang dialami oleh Kongsun Hui.

Dengan sepasang ruyung bajanya ia sudah memecahkan beberapa kepala musuh, dan merobohkan banyak orang, tapi sebuah tombak musuh sempat menyelonong menerobos pertahanannya dan melukai lambungnya.

"Bangsat keparat Manchu! Majulah semuanya untuk menerima hajaranku!"

Teriak Kongsun Hui yang pikirannya mulai kacau karena kelelahan itu.

"Hayo hadapilah Kongsun Hui, Panglima Pasukan ke sebelas dari Kerajaan Beng yang agung!"

Seorang perwira Manchu yang memimpin pertempuran dl bagian itu tertawa dingin ketika mendengar teriakan Kongsun Hui itu. Kata perwira itu dengan mengejek.

"He, Panglima kerajaan agung yang setia, mari aku bantu dengan senjataku ini supaya bisa menyusul Kaisar Cong-cengmu itu di akherat!"

Dengan marah Kongsun Hui menerjang perwira itu, namun perwira itupun dengan garangnya menyambut serangannya tanpa takut.

Senjatanya adalah sebatang.

tombak besi yang berat namun dapat dimainkan dengan ringan dan cepat karena tangannya yang besar.

Satu demi satu anggota-anggota Jit-goat- pang yang mengikuti Pangeran ! Cu Leng-ong itu mulai berguguran.

Dan sebelum mereka roboh ke tanah, dengan fanatik mereka meneriakkan semboyan perjuangan kaum Jit- goat-pang "Seng-wi beng-jin Si-wi-beng-kui (hidup menjadi rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng") Namun ada yang baru mengucapkan separuh dari kalimat yang membakar semangat, dan tubuhnya sudah keburu roboh dengan nyawa melayang.

Disaat regu Pangeran Cu Leng-ong bagaikan telur dl ujung tanduk, tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara suitan tiga kali berturut-turut.

Itulah isyarat dari Bu-sian Hweshio bahwa semua tawanan telah berhasil di bebaskan, dan semua regu segera mundur ke arah selatan untuk melepaskan diri dari musuh.

Mendengar itu, Pangeran segera memimpin anakbuahnya yang tinggal beberapa gelintir untuk menerjang ke selatan.

Ketika melihat Kongsun Hui masih saja bertempur berkutetan melawan perwira Manchu bersenjata tombak itu tanpa ketahuan siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, Pangeran segera berteriak.

"Kongsun Ciangkun, bergerak sesuai dengan rencana. Isyarat dari Bu-sian Hweshio sudah terdengar!"

Namun Kongsun Hui menjawab dengan teriakan kalap.

"Biarpun tubuhku tercincang, aku harus merobek anjing Man-chu bermulut kotor ini, karena ia telah, berani menghina mendiang Sri Baginda!"

Dalam keadaan mendesak, Pangeran Cu Leng-ong menjadi kehabisan kesabaran.

"Kongsun Ciangkun, kau bisa merusak seluruh rencana dan menjadi penyebab bencana bagi regu-regu lainnya. Ikuti perintahku atau kau harus dipecat sebagai seorang prajurit yang tidak taat kepada junjungannya?"

Bagi seorang prajurit yang setia membabi- buta kepada dinasti Beng semacam Kongsun Hui ini, maka yang lebih menakutkan dari kematian adalah jika ia dipecat tidak hormat dari Jit-goat-pang yang selama ini dianggapnya sebagai "susunan pemerintahan Kerajaan-Beng di luar Ibukota"

Itu.

Gertakan Pangeran itu telah membuatnya bertempur sambil mundur, meskipun kebenciannya membuatnya la ingin menghantam kepala musuhnya sampai remuk.

Perwira Manchu bersenjata tombak itu tidak mau membiarkan musuh mundur begitu saja setelah melakukan pembakaran dan pengacauan.

Ia pimpin anak buahnya untuk terus mengejar sambil menekan regu Pangeran Cu Leng-ong yang tinggal empat orang itu.

"Tumpas habis semuanya, jangan sisakan seorangpunj' perintahnya. Selain Pangeran Cu Leng-ong dan Kongsun Hul, yang dua lainnya adalah dua orang bekas perwira Beng berpangkat cong-peng, masing- masing bernama Song Sin-kiam dan Wan Liu- cong. Meskipun mereka berdua juga bertempur dengan dibekali semangat berani mati yang berkobar-kobar, tetapi karena kepandaian merekapun tidak lebih dari Kongsun Hui yang juga biasa-biasa saja itu, maka amukan mereka tak banyak berarti. Regu Pangeran Cu Leng-ong dan pengikutnya tetap saja terpancang di tempat itu. Jangan lagi untuk bergabung dengan Bu-sian Hweshio untuk mundur serempak, sedangkan untuk bergeser sejengkal begitu sulit. Agaknya regu itu benar-benar akan tertumpas habis, dan sebuah gerakan bawah tanah yang menamakan diri Serikat Matahari? dan rembulan akan kocar-kacir, sebab Jit-goat- pang tanpa Pangeran Cu Leng-ong akan seperti ular tanpa kepala. Saat itu, darisebuah lorong gelap muncul serombongan orang yang berlari-lari ke arah kuda yang terbakar itu. Dalam gelapnya malam belum terlihat mereka itu siapa, namun setelah cahaya api menimpa wajah mereka,. terlihatlah yang paling depan itu adalah pangeran Cu Hin- yang bersama dengan Li Tiang-hong, diikuti beberapa bekas tahanan yang semuanya adalah tokoh-tokoh Jit-goat-pang yang tertangkap lebih dulu dari Pangeran Cu Hin-yang. Namun kini mereka semua sudah bebas begitu melihat Pangeran Cu Leng-ong dan sisa regunya yang tinggal tiga orang itu terkepung musuh tanpa berkutik, maka Pangeran Cu Hin-yang segera menyerbu sambil berteriak.

"Kakanda Cu Leng- ong, aku datang! Segera mundur ke selatan agar tidak terlambat!"

Alangkah gembiranya Pangeran Cu Leng- ong melihat adiknya dalam keadaan selamat dan sudah bebas, meskipun tampang adiknya itu menjadi cekung dan kotor karena berhari- hari tersekap di penjara dan pakaiannyapun compang-camping.

Maka semangat tempur Pangeran Cu Leng-ongpun menghebat.

Dan kedatangan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong dan lain-lainnya itu membuat pertempuran di dekat kandang kuda itu berubah keseimbangannya.

Prajurit-prajurit musuh tidak dapat lagi merintangi gerak mundur sisa-sisa dinasti Beng itu, meskipun tidak berarti pasukan Manchu berhenti mengejar mereka.

Saat itu semua regu memang sudah bergerak ke dinding selatan, seperti telah disepakati dalam rencana.

Dan regu orang- orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tiat- Jiau-tho-wan Kwa Heng sudah bekerja dengan baik untuk menyiapkan jalan mundur bagi semua regu itu.

Tali-tali sudah terpasang berjuntaian dari atas dinding, nantinya untuk memanjat bagi para pejuang yang ilmu meringankan tubuhnya cukupan saja, tidak lihai.

Delapan orang Hwe-liong-pang Tongcu seorang Hutong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) ditambah dengan Gin-hoa-kiam Auyang Seng dari Hoa-san-pay telah berjaga- jaga di bawah dan di atas dinding untuk menjaga agar tali yang telah terpasang itu tidak diputuskan oleh musuh.

Hehou Im yang memimpin prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu hampir meledak dadanya ketika melihat penyerang-penyerang itu berhasil membobol penjara dan membebaskan banyak tawanan bahkan kini malah mereka hampir berhasil melarikan diri pula.

Namun Hehou Im tahu bahwa ia dan prajurit-prajuritnya.

tidak akan dapat menahan gerak mundur lawan, sementara bala bantuan yang diharapkannyapun belum kunjung tiba.

Dilihatnya regu Bu-sian Hweshio dan regu Tong Wi-hong sudah lebih dulu berhasil mencapai kaki dinding, dan bergabung dengan regu Hwe-liong-pang untuk menghadapi musuh dari segala penjuru.

Orang-orang bekas tahanan yang terdiri dari macam-macam golongan itupun bertempur dengan sangat gigih, berdampingan dengan orang-orang yang telah membebaskan mereka.

Ada di antara mereka berasal dari golongan-golongan yang saling bermusuhan di masa lalu, tapi di medan tempur itu mereka telah melupakan persengketaan mereka dan berjuang bahu-membahu melawan pasukan Manchu.

Bu-sian Hweshio sempat mendekati Kwa Heng dan bertanya.

"Saudara Kwa regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong sudah berkumpul atau belum?"

"Belum,"

Sahut Kwa Heng singkat.

Orang tua bungkuk yang mahir Kau-Kun (Silat Kera) dan biasanya hanya mengandalkan kekuatan jari-jarinya untuk bertempur itu, kini terpaksa memegang senjata dalam pertempuran yang ribut itu.

Dengan sepasang pedang pendek di tangannya, la berkelahi selincah seekor kera, sehingga prajurit-prajurit musuh sulit mengenalnya, sebaliknya sepasang pedang pendeknya berkali-kali meminta korban.

Di dekat Kwa Heng, bertempurlah Tongcu Hwe-liong-pang lainnya, yaitu Oh Yun-kim si orang Korea yang berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan).

Dalam kisruhnya pertempuran itu, ia tetap mantap tanpa sepotong senjatapun.

di tangannya, hanya mengandalkan sepasang kakinya yang merupakan; senjata yang dahsyat itu.

Ketika seorang prajurit musuh menyerang dengan tombaknya, Oh Yun-kim berkelit memiringkan tubuh sambil mengempit tombak musuh, lalu tendangannya melayang secepat kilat ke iga prajurit musuh itu.

Musuh terjungkal dengan tulang-tulang iga yang berpatahan.

Ditengah hiruk-pikuk itu, Auyang Seng yang berjaga-jaga di atas tembok rupanya dapat melihat ke kejauhan, dan ia berteriak dari atas Ketika orang prajurit musuh menyerang dengan tombaknya.

Oh Yun-kim berkelit memiringkan tubuh sambil mengempit tombak musuh, lalu tendangannya..

tembok "Bu-sian Taysu, rombongan.

Te-sian Tojin sedang menuju ke mari, tapi musuh.

terus mengejar dan menghalangi sehingga gerakannya agak lambat!!"

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid i antara bekas tahanan yang dibebaskan itu, ada seorang pendekar dari Bu-tong-pay bernama Thia Ji-hong. Ketika mendengar Te- sian Tojin sebagai sesama murid Bu-tong-pay mengalami kesulitan, maka Thia Ji-hong segera berteriak.

"Aku akan bergabung dengan Te-sian Suheng agar ia dapat mempercepat gerakannya kemari! Siapa ikut aku!"

Beberapa orang segera menyatakan ikut, bahkan Bu-teng Hweshio juga ikut.

Maka kelompok ini dengan dipelopori oleh Thia Ji- hong segera menyibak kepungan musuh untuk mencapai tempat Te-sian Tojin dan regunya.

Bu-sian Hweshio sebagai pimpinan seluruh regu segera berteriak.

"Jangan pergi menolong D Te-sian Tojin semuanya? Cukup enam atau tujuh orang! Lainnya pergi ke sebelah timur untuk menolong regu Pangeran Cu Leng-ong!"

Beberapa orang nampak enggan ketika ditunjuk untuk menolong Pangeran Cu Leng- ong dari dinasti Beng yang biasanya nampak angkuh dan berlagak sebagai bangsawan itu, namun perintah Bu-sian Hweshio tidak dapat mereka bantah.

Rombongan segera terbagi, sebagian ke barat untuk menolong regu Te-sian Tojin, sebagian lagi ke timur untuk menolong regu Jit-goat-pang yang keadaannya malah lebih parah dari regu Te-sian Tojin.

Karena Te-sian Tojin yang bertugas menjaga agar pintu gerbang penjara tetap tertutup itu telah meninggalkan tempat tugasnya, maka prajurit musuh berhasil membuka pintu gerbang dar segera mengirim orang ke tangsi untuk meminta bantuan.

Tepat ketika regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong berhasil bergabung, dengan melangkahi prajurit-prajurit musuh namun juga dengan kehilangan beberapa anggota regu, maka dari arah pintu gerbangpun terdengar sorak-sorai dari bala bantuan yang datang.

Bukan hanya ratusan, tetapi seribu orang prajurit yang dipimpin langsung oleh putera Pakkiong An, yaitu Pakkiong Hok.

Disertai pula belasan orang jago-jago silat sewaan Pakkiong An.

Semua pejuang sadar bahwa jika bala bantuan musuh sampai tiba di kaki dinding selatan itu, maka biarpun punya sayap diri mereka akan tertumpas habis tanpa ampun di tempat itu.

Setangguh-tangguhnya seorang pendekar silat, mana bisa ia melawan ribuan prajurit? Maka Bu-sian Hweshio segera meneriakkan perintah.

"Regu Te-sian dan regu Pangeran Cu Leng-ong mulai memanjat!"

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua regu yang diperintahkan itupun segera memanjat ke dinding.

Khusus untuk rencana serangan ini, memang setiap orang sudah berlatih khusus memanjat tali dengan cara yang cepat.

Namun bagi orang-orang yang memiliki gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang tinggi, tali-tali itu tidak dibutuhkan, cukup dengan sekali loncat seperti seekor burung saja mereka sudah berhasil mencapai dinding bagian atas.

Tiga Dara Pendekar Siauw Lim Karya Kho Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair Wiro Sableng 040 Setan Dari Luar Jagat
^