Pencarian

Pendekar Naga Dan Harimau 10

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 10


Namun tidak semua orang yang memanjat itu mencapai dinding atas dengan selamat.

Beberapa dari mereka berteriak ngeri ketika punggung mereka terkena lembing-lembing pasukan musuh yang dilontarkan dengan derasnya.

Susul-menyusul setiap regu naik ke tembok.

Bu-sian Hweshio sendiri naik paling akhir, ia didampingi oleh Tong Wi-hong, Ling Thian-ki serta Hong goan Hweshio untuk bertahan paling bawah dan paling akhir.

Kemudian setelah seluruh teman-teman mereka berada di atas tembok, barulah mereka berempat meloncat ke atas.

Diam-diam semua orang mengagumi keberanian keempat orang itu, yang rela membahayakan diri sendiri demi keselamatan seluruh regu.

Sementara itu, sebagian dari pasukan musuh yang datang telah diperintahkan oleh Pakkiong Hok untuk naik ke atas tembok dengan melewati tangga batu di dekat pintu gerbang.

Prajurit-prajurit yang naik segera terlibat pertempuran dengan para pejuang yang sudah berjaga-jaga di atas tembok.

Namun akal Pakkiong Hok itu tidak berhasil menahan musuh untuk meloloskan diri.

Satu persatu para pejuang itu meloncat ke sebelah luar tembok atau turun, dan mereka melenyapkan diri di luar tembok.

Prajurit- prajurit musuh tidak berani mengejar, sebab tidak banyak di antara mereka yang berani meloncat dari dinding setinggi itu.

Yang bisa meloncatpun ragu-ragu, jika mereka sampai sibuk mencari tangga untuk turun dari atas, bukankah mereka akan menjadi makanan empuk senjata musuh? Kini tinggal kehancuranlah yang ditinggalkan oleh para penyerang iitu.

Para penyerang itu sendiri meninggalkan belasan teman-teman mereka yang telah tnenjadi mayat, namun kerugian di pihak pasukan Ui-ih- kun jauh lebih besar karena serangan mendadak yang di luar perhitungan itu.

Hampir seratus orang yang tewas, sementara yang luka- luka Jauh lebih banyak lagi.

Kerugian pasukan Ui-ih-kun bukan cuma dalam hal korban prajurit, tetapi juga keruntuhan semangat prajurit-prajurit itu, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.

Mereka yang berjumlah berratus-ratus telah dikalahkan oleh musuh yang jauh lebih kecil jumlahnya.

Melihat prajurit-prajuritnya patah semangat, Pakkiong Hok bertindak cukup pintar untuk tidak memarahi mereka.

Jika dimarahi semangat mereka akan semakin jatuh, maka Pakkiong Hok justru berusaha membangkitkan kembali semangat yang hampir padam itu.

"Jangan patah semangat! Orang-orang yang menyerang kita tadi memang jagoan-jagoan silat tingkat atas, namun keberhasilan serangan mereka bukan karena kita lemah! Ingat, kalian adalah prajurit-prajurit perkasa dari sebuah kerajaan yang agung! Beberapa tahun yang lalu, kita dengan jumlah yang sedikit bukankah berhasil juga mengalahkan pasukan Li Cu-seng yang jauh lebih besar jumlahnya?. Dan kita berhasil pula menguasai negeri ini bukan?"

Ucapan Pakkiong Hok itu agak manjur juga. Beberapa perwira yang semangatnya hampir padam telah menegakkan kembali kepala mereka, bahkan mereka langsung memancang tekad dalam hati.

"Ya, kekalahan dalam suatu pertempuran adalah hal yang wajar. Selama setahun dua tahun terakhir ini pasukan Ui-ih- kun memang jarang berlatih, kalaupun berlatih hanyalah seperti gerak badan biasa saja dan sekedar mencari keringat, sedangkan Hui-liong- kun berlatih berat dua hari sekali tanpa ada tahun-tahun yang kosong. Pantas mereka selalu berhasil dalam tugas, sedang kami semakin merosot. Besok aku akan usul kepada Pakkiong Ciangkun agar latihan-latihan seperti dulu digalakkan lagi."

Sementara Itu Pakkiong Hok segera memerintahkan,"Hubungi Kiau-bun Te-tok (Panglima yang mengawasi sembilan pintu gerbang Ibukota) agar semua pintu ditutup.

Lainnya pulang ke tangsi untuk memberitahu agar seluruh pasukan bersiap, sebelum fajar kita akan mengadakan penggeledahan di seluruh kota."

Sementara Pakklong Hok masih punya harapan untuk menemukan kembali orang- orang yang menyerang penjara itu, meskipun tidak semuanya, maka di rumahnya yang besar dan indah itu Pakklong An menerima laporan kejadian di penjara itu dengan mata hampir melompat keluar dari rongga kepalanya.

Kepada Hehou Im yang melaporkan hal itu, panglima tua itu menuding sambil berteriak.

"Kau bilang orang yang bernama Te-liong Hiangcu itu dapat dipercaya untuk diajak bekerja-sama sepenuh hati, tetapi sekarang buktinya bagaimana? Ia mengatakan para pemberontak akan menyerang sehabis hari pelantikan prajurit, namun ternyata sekarang malahan sudah bergerak. Mengobrak-abrik anakbuah kita seolah-olah kita ini adalah orang- orang tolol pemakan tahi belaka! Bagaimana aku punya muka untuk menghadap Sri Baginda dalam persidangan pagi nanti? Sri Baginda semestinya sudah mendengar berita ini, dan lebih celaka lagi kalau beliau mendengarnya dari orang-orang yang tidak menyukai kita!"

Demikianlah, meskipun Pakkiong An seorang berdarah bangsawan dan cukup terhormat pula, namun kalau sudah marah tidak ada bedanya dengan orang-orang kalangan rendahan.

Kata-kata kotor apapun diucapkannya.

Hehou Im sempat menghitung panglima tua itu mengucapkan "pemakan tahi"

Duapuluh tiga kali.

"pantat nenekmu"

Sebelas kali.

"cucu kura-kura"

Enambelas kali dan macam-macam lagi. Selama itu Hehou Im membungkam seribu bahasa, sebab ia paham benar watak panglima tua itu, jika dibantah maka segala "gelar kehormatan"

Seperti cucu kura-kura dan sebagainya itu bakal dianugerahkan kepadanya..

BERITA pembongkaran penjara itu membuat.

Pakkiong Liong masgul sekail.

Susah- payah la menangkap Pangeran Cu hin-yang dan Li Tiang-hong sampai harus berkeliaran di padang ilalang di Hun-lam yang jauh sana, dan beberapa anakbuahnya telah gugur dalam tugas maha berat itu, bahkan dirinya sendiri hampir kehilangan nyawa beberapa kali.

Dan tahu-tahu kini ia mendengar bahwa tawanan yang ditangkapnya dengan susah-payah itu sudah kabur kembali karena kelengahan pamannya.

Jika ia tidak mengingat bahwa Pakkiong An itu adalah adik ayahnya, ingin rasanya ia mencaci-maki panglima tua itu untuk melampiaskan kekesalannya.

Namun kini kekesalannya itu hanya dapat disimpannya dalam hatinya sendiri, paling-paling diutarakan kepada sahabatnya yang paling dekat dengannya, Tong Lam-hou.

"Jadi pemimpin dari orang-orang yang menyembelih seisi desa Jit-siong tin itu lepas kembali?"

Tanya Tong Lam hou dengan geramnya, ketika mendengar cerita Pakkiong Liong itu.

"Ya."

Wajah Tong Lam-hou nampak sekali menyembunyikan gejolak kemarahan.

Baginya, pembunuh-pembunuh kejam yang bertanggung-jawab atas kematian orang-orang Jit-siong-tin itu harus dihukum tanpa ampun.

Baik dia sebagai Tong Lam-hou pribadi maupun sebagai prajurit Kerajaan Manchu yang baru tadi pagi dilantik, kewajiban untuk memburu penjahat-penjahat itu akan tetap dipikulnya.

Namun sekarang dia sudah berkedudukan sebagai prajurit, bahkan seorang perwira berpangkat cong-peng, sehingga sebagai prajurit tidak sebebas dulu lagi.

Ia terikat kepada kesatuannya, Hui-liong-kun, dan segala tindakannya tidak boleh lagi semaunya sendiri.

Panggilan "A-liong"

Kepada sahabatnya itu juga hanya bisa diucapkan jika masing tidak sedang mengenakan seragamnya. Jika dalam seragam, maka Tong Lam-hou harus memanggil Pakkiong Liong dengan sebutan ."Pakkiong Ciangkun"

Seperti lain-lainnya, supaya tata tertib ketenteraman tidak dirusak.

"Rasa-rasanya beberapa teman kita yang berkorban di padang ilalang di Hun-lam itu menjadi korban nyawa yang sia-sia,"

Kata Tong Lam-hou sambil menarik napas.

"Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan, yang penting malam nanti kau harus menjamu makan aku dan teman-teman lainnya di rumahmu yang baru,"

Kata Pakkiong Liong mengalihkan pembicaraan.

"Sebagai perayaan atas keberhasilanmu menjadi seorang prajurit dari sebuah Kerajaan yang agung. Bahkan dalam ujian hari ketiga kau telah menunjukkan ilmu silatmu dengan baik sekali, sehingga pangkat cong-peng, langsung kau raih."

"Ah, itu hanya keberuntungan saja."

"Tidak, kau memang pantas menyandang pangkat Congpeng yang cukup tinggi itu. Bahkan kau pantas menjadi seorang Panglima, namun memang belum ada kedudukan Panglima yang lowong saat ini."

Tong Lam-hou tertawa.

"Aku tidak ingin menjadi panglima segala, A-liong. Kedudukan yang kudapat sekarangpun sudah sangat menyenangkan aku. Yang penting aku dapat mengabdikan diriku kepada negara dan kaisar, sehingga negeri ini secepatnya mencapai ketenteraman untuk memberi kesempatan kepada penduduknya untuk bekerja dengan rasa aman."

"Bagus kalau kau sadari hal itu. Kedudukan kita ini sering disalah-gunakan orang, dianggap memberi kemudahan-kemudahan untuk kepentingan pribadi, namun sesungguhnya ini adalah pengabdian. Bahkan kalau perlu kita gugur di medan laga demi kejayaan negara."

"Benar, A-liong."

"Aku jemu berada di rumah tanpa pekerjaan, bagaimana kalau kita lihat pemandangan indah di luar kota?"

"Aku setuju saja. Bersama Ha To-Ji dan Han Yons-kim pula?"

Pakkiong Liong tersenyum menggoda.

"Tentu saja mereka kita ajak, Tapi aku tahu bahwa yang ingin kau tanyakan sebenarnya bukan mereka bukan?"

Muka Tong Lam-hou menjadi agak merah dan ia tertawa kikuk, sementara Pakkiong Liong berkata lagi sambil tertawa.

"Tentu saja adik sepupuku yang cerewet dan gemar mencubit itu harus ikut. Kalau ia tahu bahwa kita pergi tetapi tidak mengajaknya, besok pasti kulit lenganku akan mengelupas karena dicubitinya habis- habisan."

Tong Lam-hou merasa lega juga, daya tarik gadis Manchu yang bernama To Li-hua itu terasa makin lama makin kuat sampai ia merasa bahwa dirinya sudah terikat dan tidak bisa berpisah lama dengan gadis itu.

Kadang-kadang timbul keinginan Tong Lam- hou untuk menjemput ibunya di Tiam-jong-san sana, untuk diboyong ke Pak-khia untuk ditunjuki rumahnya yang besar, sebab sebagai perwira berpangkat cong-peng ia berhak mendapatkan sebuah rumah yang cukup besar.

Namun lebih dari itu.

Tong Lam-hou ingin mendekatkan ibunya dengan To Li-hua.

Keduanya adalah perempuan-perempuan penting bagi kehidupan Tong Lam-hou.

Demikianlah, sementara Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan lain-lainnya meneyegarkan diri di luar kota Pak-khia maka di ruangan belakang rumah gedung Pakakiong An yang tertutup,tengah berlangsung sebuah pertemuan rahasia.

Pakkiong An duduk didampingi puteranya, Pakkiong Hok, serta beberapa perwiranya yang terpercaya yang diikutsertakan dalam komplotan rahasianya.

Hehou Im dan Ibun Hong rampak di antara mereka, dan di hadapannya pula duduklah sekutu barunya yang datang dan pergi seperti siluman tak berbadan kasar saja, Te-liong Hiangcu.

"Semuanya tidak bisa ditimpakan ke pundakku sebagai kesalahanku,"

Kata Te-liong Hiangcu dengan suaranya yang bergulung- gulung dalam perut itu.

Matanya, satu-satunya bagian tubuhnya dari kepala sampai kaki yang tidak tertutup kain hitam, nampak mencorong memandang Pakkiong An dengan tajamnya.

Lalu ia melanjutkan kata-katanya.

"Adalah di luar dugaan bahwa si keledai gundul Bu-sian Hweshio itu tiba tiba mengajukan saat serangan itu...."

"Tetapi bukankah Hiangcu ada di antara mereka dan Hiangcu bisa bersuara untuk menentang pengajuan rencana serangan itu?"

Tanya Pakkiong Hok dengan suara tajam.

"Dalam tubuh kaum pemberontak itu, aku hanya menyamar sebagai seorang tokoh kecil yang tidak banyak berpengaruh. Aku sudah mengusulkan agar saat penyerangan itu tidak diajukan, dengan berbagai alasan yang kira-kira bisa diterima mereka. Namun semua usul usul mereka tolak mentah-mentah, dan dalam penyamaranku gerak-gerikku terbatas pula, sehingga aku terpaksa hanya mengikuti arus saja."

"Tapi bukankah Hiangcu sebenarnya dapat memberi isyarat-isyarat kepada kami sehingga kamipun dapat bersiap-siap?"

Tanya Pakkiong Hok lagi.

"Mana sempat aku memberi isyarat. Malam itu juga mereka langsung membagi bagi seluruh rombongan menjadi regu-regu dengan tugas yang berbeda-beda, dan langsung berangkat pula ke sasaran. Aku termasuk dalam salah satu kelompok, dan sepanjang jalan aku benar-benar tidak punya kesempatan sedikitpun untuk memisahkan diri. Aku tidak ingin mengorbankan penyamaranku yang telah berjalan dengan baik selama bertahun-tahun,"

Sahut Te-liong Hiangcu.

Pakkiong Ar.

dan lain-lainnya sebenarnya masih belum puas dengan jawaban Te-liong Hiangcu itu, namun mereka tidak dapat mendesak lebin lanjut.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mereka kuatir membuat marah orang yang gerak-geriknya mirip siluman itu, dan jika sampai ia marah, maka celakalah orang yang membuatnya marah.

Hidupnya tidak akan tenang lagi sebab setiap saat batok kepalanya akan diambil.

Ibun Hong yang pernah melihat keganasan Te-liong Hiangcu, lebih-lebih tidak berani bersuara sedikitpun.

Ia hanya mengikuti pembicaraan, sambil berusaha mencari kedudukan yang paling aman buat dirinya.

Sementara itu, suara Te-liong Hiangcu mulai mengeras.

"Kalian kira aku ini apa? Seorang tertuduh di depan pengadilan dan kalian adalah penuntut-penuntutnya? Aku tidak sudi diperlakukan demikian. Aku sudah menjalankan kerjasama dengan baik, tetapi pihak kalianpun tidak bersih dari kesalahan dalam hal kebobolan penjara itu."

"Dapatkah Hiangcu menyebutkan kesalahan kami?"

"Kalian kurang rapat menyimpan rahasia. Mata-mata kaum pemberontak itu bahkan tahu kalian mempersiapkan diri untuk menjaring mereka, itu berarti ada perwira bawahan Pakkiong Ci-angkun yang membocorkan rencana untuk menjaring mereka. Bahkan para pemberontak itu memiliki sebuah peta lengkap yang menggambarkan keadaan penjara, kata pengemis yang bernama Sun Ci-ok-peng itu, peta itu didapatkan dari seorang perwira bawahan Ciangkun yang telah disuapnya. Nah, bukankah kebocoran ini datang dari pihak kalian? Kenapa sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadaku?"

Di hadapan seorang Panglima Besar seperti Pakkiong An ternyata sikap Te-liong Hiangcu tetap saja beringas, rupanya ia sangat percaya akan ketinggian ilmunya sendiri, sehingga sia- papun tidak ditakutinya.

Tetapi terhadap Pakkiong An sendiri ia masih berusaha bersikap sungkan, sebab ia tahu bahwa perwira tua itu merupakan alat yang banyak gunanya dalam ambisinya untuk mencapai kedudukan Bu-lim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan).

Pakkiong An juga memiliki pengaruh terhadap beberapa Panglima atau Penguasa-penguasa di daerah- daerah tertentu, sehingga di bawah pengaruhnya ada ratusan ribu prajurit yang tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sedang Pakkiong An yang masih membutuhkan kerjasama dengan "manusia siluman"

Yang dapat menusup ke segala tempat itu, juga bersikap sungkan kepada Te-liong Hiangcu.

Ketika ia melihat anaknya hendak mendebat lagi kepada Te-liong Hiangcu yang berpakaian serba hitam dan berkerudung hitam pula itu, maka Pakkiong An cepat-cepat mengangkat tangannya sebagai isyarat agar anaknya diam dulu.

Lalu berkatalah Pakkiong An.

"Yang sudah lalu biar lah lalu, toh andaikata kita berdebat semalam suntuk di tempat ini, keadaan tidak akan berubah. Yang penting, kita harus saling percaya, dan kita tetapkan langkah langkah kita berikutnya."

Kepala Te-liong Hiangcu yang terbungkus kain hitam dan hanya kelihatan matanya itu kelihatan terangguk-angguk.

"Itulah sikap yang bijaksana dari Pakkiong Ciangkun. Kita saling membutuhkan, itu harus kita akui."

Yang merasa kurang senang hanyalah Pakkiong Hok.

Sejak semula putera Pakkiong An ini memang sudah merasa tidak setuju kenapa ayahnya bersekutu dengan mahkluk serba hitam ini? Bagi Pakkiong Hok, itu sangat merugikan pihaknya, sebab pihaknya ibaratnya berada di tempat terang sedangkan sekutunya ada di tempat gelap.

Te-liong Hiangcu tahu rumah Pakkiong An, tahu semua anggota komplotannya dan tahu pula rencana- rencananya.

Sebaliknya pihak.

Pakkiong An tidak tahu dimana tempat tinggal Te-liong Hiang-cu, bahkan wajahnyapun tidak diketahui.

Namun semuanya sudah terlanjur, persekutuan itu sudah terlanjur terjadi dan untuk memutuskan begitu saja tentu amat berbahaya, sebab Te-liong Hiangcu bisa membongkar rahasia Pakakiong An yang mengincar tahta kerajaan itu.

Kini yang dipikirkan oleh Pakkiong Hok yang licin itu adalah cara bagaimana menyeimbangkan kedudukan kedua pihak dalam persekutuan gelap itu.

Tiba-tiba sebuah cahaya terang bagaikan menerangi benak Pakkiong Hok.

Jika ia bisa mendapatkan keterangan tentang siapa orangnya yang mengusulkan agar saat penyerangan jangan diajukan, pada waktu penyusunan rencana serangan kaum pemberontak itu, dari dialah barangkali dapat diselidiki siapakah sebenar nya Te-liong Hiangcu ini.

Meskipun andaikata ditemukan, barangkali orang itupun merupakan tokoh palsu atau tokoh samaran, toh lebih baik mengetahui jejaknya daripada tidak sama sekali.

Tidak ada samaran yang tanpa kelemahan sama sekali, demikian pikir Pakkiong An dengan sepenuh keyakinannya.

Demikianlah untuk sementara dia puas dengan pendapatnya sendiri, dan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, ia menghembuskan napas lega.

Semua yang ada di ruangan itu tak ada yang bisa menebak apa yang ada di dalam benak Pakkiong An yang cerdik dan pikirannya berbelit-belit itu.

Bahkan Te-liong Hiangcu yang menakutkan itupun tidak sadar bahwa "kebocoran"

Mulutnya yang tidak disengaja tadi telah memperlihatkan sedikit lubang kelemahan dalam usaha untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Sebenarnya orang berkerundung hitam itu memang bukan orang yang terlalu pintar otaknya.

Ia hanya kejam, berilmu silat tinggi, bertindak tidak tanggung- tanggung dan mempunyai jaringan anak buah yang luas yang disusupkan ke berbagai perguruan dan golongan.

Namun dalam kecerdasan otak, ia masih beberapa tingkat di bawah Pakkiong Hok.

Setelah berkasak-kusuk sebentar, Te-liong Hiangcu kemudian berpamitan kepada Pakakiong An dan meninggalkan rumah itu.

Seperti kedatangannya, maka kepergiannyanyapun dengar, cara mirip hantu.

Tubuhnya seolah-olah berhembus ringan lewat jendela, dan lenyaplah ia tak terlihat lagi, meskipun di siang hari bolong.

"Orang yang hebat!"

Desis Ibun Hong dan seorang perwira anggota komplotan lainnya. Namun Pakkiong Hok tertawa dingin dan menyahut.

"Hanya hebat dalam ilmu silat, tetapi tidak hebat dalam hal ini,"

Katanya sambil mengetuk-ngetukkan jari ke keningnva sendiri.

"Tidak lama lagi, aku akan tahu siapa dia sebenarnya,"

Kata Pakkiong Hok dengan yakin.

Dan di sini ternyata Pakkiong Hok yang maha pintar itupun membuat kesalahan pula.

Diucapkannya kata-kata sombongnya itu dengan penuh keyakinan bahwa perwira- perwira yang mendengarnya itu akan tetap setia kepada ayahnya.

Tidak diketahuinya bahwa Hehou Im adalah seorang yang berdiri di atas dua perahu, seekor ular berkepala dua yang tidak ragu-ragu menggigit kemanapun arahnya asal menguntungkan diri sendiri.

Dan diam-diam Hehou Im mencatat baik-baik ucapan takabur Pakkiong Hok itu dalam hatinya.

Jika yang mengucapkannya bukan Pakkiong Hok, kata-kata itu boleh dianggap sebagai angin lalu saja, namun karena yang mengucapkannya adalah seorang anakmuda yang cerdik dan penuh akal bulus seperti Pakkiong Hok, maka bobot ucapannya tentu lain.

Sementara itu, orang berkerudung itu masuk ke dalam sebuah rumah reyot yang terletak di sebuah gang yang sepi di belakang gedung-gedung yang tinggi.

Yang kemudian keluar dari rumah kecil itu ternyata bukan lagi seorang berpakaian serba hitam yang tatapan matanya menyeramkan, melainkan seorang tua yang tampangnya rada ketolol-tololan, namun berpakaian seperti kalangan dunia persilatan.

Dialah He Keng-lian, ketua perguruan silat Ho- lian-pay.

Sebuah perguruan silat kecil yang hampir tak ada artinya dalam percaturan kekuatan di dunia persilatan.

Ketika He Keng-lian keluar dari gang dan berada di jalan ramai, ia hampir saja bertabrakan dengan seseorang yang berpakaian seperti seorang saudagar kecil-kecilan.

Orang yang berpakaian saudagar itu tertawa, dan bertanya.

"Bagaimana perundingannya?"

"Tidak penting kau ketahui. Tapi ada hal yang lebih penting lagi, mari kita cari tempat yang aman untuk berbicara."

Kedua orang ttupun kemudian berjalan berdampingan menuju ke suatu arah.

Dalam pandangan orang banyak, mereka seperti dua sahabat yang akrab, sedang berjalan bersama- sama untuk minum teh di suatu kedai.

Namun ternyata mereka menuju ke sebuah rumah penginapan murahan yang letaknya agak jauh dari jalan besar.

"Aku menginap di sini,"

Kata orang yang berpakaian seperti saudagar kecil itu.

"Baik, kita berbicara di kamarmu,"

Kata He Keng-lian sambil setengah mendorong orang itu masuk ke dalam.

Sapaan ramah dari pemilik penginapan di depan pintu tidak mereka hiraukan.

Tiba di dalam kamar, orang berpakaian saudagar itu cepat-cepat menutup pintu, laiu dengan suara tidak terlalu keras ia memberi hormat.

"Salam kepada Hiangcu!"

"Duduklah, apakah kamar di sebelah- menyebelah kamarmu ini ada orangnya?"

Tanya He Keng-Liang sebelum mulai dengan pembicaraannya.

"Kedua-duanya kosong, kita bisa bicara dengan bebas,"

Sahut orang yang berpakaian saudagar kecil-kecilan itu. He Keng-liang mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu bertainya.

"Nah, bagaimana hasil penyelidikanmu terhadap prajurit baru dari Tiam-jong-san itu?"

Orang berpakaian saudagar kecil itu duduk di sebuah kursi, lalu sambil menarik napas ia. berkata.

"Dugaan Hiangcu sungguh tepat. Orang itu bernama Tong Lam-hou, dan ternyata memang benar-benar putera Tong Wi-siang. Ia memiliki sebuah kalung batu kumala hijau yang berukirkan nama ayahnya."

Sepasang alis He Keng-liang berkerut, dan matanya yang biasanya bersinar ketolol-tololan itu tiba-tiba bersinar tajam.

Menyeramkan dan mengandung nafsu membunuh yang berkobar.

Ia bangkit dari kursinya dan berjalan mondar- mandir di ruangan itu, sambil bergumam.

"Sekarang kita sudah pasti siapa anakmuda yang bernama Tong Lam-hou itu, jadi kita tidak boleh ragu-ragu untuk memusnahkannya. Dulu ayahnya sebagai Hwe Hwe-liong Pangcu adalah musuh besarku, meskipun kami seperguruan, dan kini aku tidak boleh membiarkan anaknya hidup dan kelak menikamku dari belakang. Anak harimau harus dibunuh sebelum tumbuh taringnya."

Orang yang berpakaian sebagai saudagar itu bernama Seng Cu-bok.

Diam-diam ia berdebar- debar juga kalau-kalau ia yang akan ditugaskan untuk membunuh Tong Lam-hou, sebab ia sadar bahwa kemampuannya jauh di bawah kemampuan Tong Lam-hou.

Bahkan sejak Tong Lam-hou menjadi seorang perwira Hui-liong- kun, maka di kalangan prajurit telah berkembang istilah "Pak-liong Lam-hou" (Naga di Utara, Harimau di Selatan), menunjukkan betapa keperkasaan Tong Lam-hou dianggap telah dapat disejajarkan dengan Pakkiong Liong yang punya nama besar jauh sebelum Tong Lam-hou datang ke Pak-khia.

Namun hati Seng Cu-bok menjadi lega setelah mendengar ucapan He Keng-liang.

"Dengan tanganku sendiri akan kubereskan si Harimau Selatan itu. Ia tidak berarti apa-apa bagiku. Namun kau harus memancingnya ke tempat yang sepi, paham?"

"Paham,"

Sahut Seng Cu-bok dengan jantung masih agak berdebaran.

Pekerjaan memancing Tong Lam-hou ke tempat sepi itulah sebenarnya cukup berbahaya, bagaimana kalau Tong Lam- hou dapat mengejarnya dan menangkapnya? Tapi tidak bisa tidak tugas itu harus diterimanya.

He Keng-liang yang bukan lain adalah samaran dari Te-liong Hiang-cu itu, adalah sejenis orang yang tidak ingin dibantah setiap perintahnya.

Asal anakbuahnya menunjukkan sikap ragu-ragu sedikit saja, maka kematian adalah bagiannya.

"Satu hal lagi ingin aku laporkan kepada Hiangcu,"

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Seng Cu-bok.

"Apa?"

"Aku telah melihat Siangkoan Hong juga berkeliaran di kota ini. untung dia tidak mengenali aku. Kalau ia tahu aku di sini, habislah riwayatku."

Di hadapan seorang Panglima seperti.

Pakkioong An, He Keng-liang alias Te-liong Hiangcu masih berani marah-marah dan membentak-bentak.

Terhadap nama besar Pakkiong Liong dan Tong lan-hou dia juga tidak takut.

Tapi aneh, begitu mendengar Siangkoan Hong, tubuhnya tiba-tiba bergetar, mulutnya bergerak-gerak namun tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Hiangcu, kau kenapa?"

Tanya Seng Cu-bok.

"Jadi...jadi... setan gila Siang-koan Hong itu ternyata belum mati?"

Tanya He Keng-liang dengan suara agak gemetar.

"He, Seng Cu-bok, apakah kau juga melihat bekas tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya seperti Lim Hong-ping yang-dulu bergelar Kim-liong Hiangcu?"

"Tidak, Hiancu. Aku lihat Siangkoan Hong yang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu itu terjalan seorang diri saja, tidak bersama-sama dengan Lim Hong-ping. Namun aku tidak dapat memastikan apakah Lim Hong-ping ada di kota ini juga atau tidak... ."

Nampaknya He Keng-liang mengalami ketakutan yang di luar kebiasaannya. Dengan lunglai ia duduk kembali ke kursinya, lalu menggumam.

"Wah, pekerjaanku sekarang, benar-benar bertambah sulit. Jika orang-orang gila itu bermunculan kembali, tujuan mereka pasti bukan lain untuk mencariku, membalaskan dendam Tong Wi-siang. Si bocah gunung Tong Lam-hou itu aku tidak gentar sedikitpun, tetapi lain halnya dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping. Mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan Tong Wi- siang pula, seperti aku juga, dan segala ilmu yang aku miliki juga mereka miliki pula."

"Mereka belum tentu bisa mengalahkan Hiangcu,"

Kata Seng Cu-bok mencoba menghibur.

"Bukankah selama berpuluh tahun ini Hiangcu terus menerus berlatih dan menyempurnakan ilmu?"

"Ya. Tetapi apakah kau kira Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping selama ini juga cuma duduk bertopang dagu? Aku tahu betapa besar semangat latihan mereka, dan betapa besar pula dendam mereka kepadaku. Ketika kami masih sama-sama berada di Tiau-im-hong dulu, aku saksikan sendiri betapa hebat latihan mereka. Aku ini terhitung paling malas di antara kami berempat saudara seperguruan."

Penampilan He Keng-lian alias Te-liong Hiang-cu kali itu memang benar-benar lain daripada yang lain.

Biasanya ia hanya menepuk dada membanggakan kepandaiannya, memamerkan kekejamannya tanpa tanggung- tanggung, namun kini ia nampak gentar kepada nama-nama yang disebut tadi.

Cuma Seng Cu- bok tidak berani mentertawakannya, sebab kepalanya masih dibutuhkannya di atas tubuhnya, ia sendiri sebagai bekas orang Hwe- liong-pang pengikut Te-liang Hiangcu juga tahu benar betapa tingginya ilmu saudara-saudara seperguruan Hwe-liang Pangcu yang bernama Siangkoan Hong adan Lim Hong-ping itu.

Te-liong Hiangcu sendiri nampaknya agak tersipu setelah ia sadar bahwa ia sudah menunjukkan sikap gentarnya di hadapan anak buahnya.

Sikap yang sangat memalukan.

Maka buru-buru ia berucap untuk memperbaiki pandangan anakbuahnya terhadap dirinya.

"Eh, kelihatannya aku takut kepada mereka bukan? Sebenarnya aku tidak takut. Aku sanggup mengalahkan Siang-koan Hong dan Lim Hong- ping satu persatu, tapi yang aku kuatirkan adalah jika mereka maju berbarengan, mana bisa dua tangan menghadapi empat tangan?".

"Benar, Hiangcu, mana bisa ilmu Hiangcu yang maha tinggi itu dikalahkan siapapun di dunia ini? Kecuali dengan main keroyok,"

Kata Seng Cu-bok menjilat terang-terangan "Tapi aku rasa mereka sulit menemukan Hiangcu, sebab penyamaran Hiangcu sangat sempurna. Bahkan orang-orang Ho-lian-pay sendiri mengira Hiangcu adalah si tolol He Keng-liang itu. Ha-ha- ha...."

Te-liong Hiangcu yang menyamar sebagai He Keng-liang itupur tertawa.

"Benar, demi cita- citaku yang besar, aku tidak boleh terpancing keluar oleh orang-orang gila macam mereka berdua itu. Seng Cu-bok, ada berapa orang- orang kita yang sedang ada di Pak-khia ini?"

"Ada sebelas orang termasuk aku sendiri dan Say-ya-jat (si hantu Malam) Tong King- bun,"

Sahut Seng Cu-bok.

"Bagus, hubungi mereka dan suruh mereka meninggalkan kota Pak-khia secepatnya, jangan sampai kepergok oleh Siangkoan Hong atau Lim Hong Ping jika iapun ada di kota ini. Setelah itu kaupun harus pergi. Ingat, jangan dengan cara yang menyolok.."

"Baik, Hiang-cu."

"Dan dengan munculnya si setan Siangkoan Hong itu, hentikan dulu semua kegiatan orang- orang, kita, agar tidak sampai tercium oleh Siangkoan Hong. Selanjutnya, tunggu perintahku."

"Baik, Hiangcu. Tetapi kalau aku harus keluar kota, bagaimana dengan tugasku untuk memancing Tong Lam-hou itu?"

"Kucabut dulu untuk sementara. Urusan Tong Lam-hou biar kupikirkan perlahan-lahan, aku memang harus membunuhnya agar tidak menjadi duri dalam daging, namun tidak perlu terburu-buru. Eh, dima mana kau lihat Siangko- an Hong tadi?"

"Dekat Tiau-yang-kiong sebelah timur Istana Kerajaan... ."

"Dan di mana rumah prajurit baru yang bernama Tong Lam-hou?"

"Di dekat perkampungan orang-orang asing dekat pintu selatan."

Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya, sebuah rencana yang jahat muncul di benaknya.

"Letak kedua tempat itu berjauhan satu sama lain. Jika aku datangi Tong Lam-hou dan aku cekik dia di rumahnya sendiri, maka hanya satu kemungkinan berbanding seratus ribu aku kepergok Siang-koan Hong. Satu keuntunganku, aku sudah tahu dimana Siangkoan Hong, sebaliknya ia belum tahu kalau aku ada di kota ini, jadi aku lebih berhati-hati. Lagi pula wujudku sebagai He Keng-liang pasti sulit dikenal olehnya,"

Demikian pikir bekas orang nomor dua di Hwe-iiong-pang itu.

"Aku sudah boleh pergi, Hiangcu?"

Tanya Seng Cu-bok.

"Mari kita pergi bersama-sama."

"Hiangcu tetap ingin membunuh Tong Lam- hou?"

"Ya, tetapi tidak perlu lagi dengan memancingnya keluar segala, akan aku datangi saja rumahnya nanti malam, dan aku bunuh ia di dalam rumahnya. Kalau kupancing ke luar rumah malahan besar kemungkinannya akan bertemu dengan Siangkoan Hong dan urusanku bakal terganggu."

"Hati-hatilah, Hiangcu. Dia hampir selalu bersama-sama dengan Pakkiong Liong dan beberapa perwira lainnya."

"Hemm, anak-anak ingusan itu tidak kupandang sebelah mata. Lima Pak-kiong Liong dan lima Tong Lam-hou masih belum apa-apa buatku."

Demikianlah kedua orang itu keluar dari penginapan itu. Bahkan Seng Cu-bok langsung membawa seluruh bekalnya karena ia akan segera meninggalkan kota Pak-khia bersama rekan-rekan sekomplotannya.

"Ah, tuan besar Seng kenapa kau terburu- buru pergi dari penginapanku? Bukankah katamu kau akan di kota ini beberapa hari lagi?"

Kata si pemilik penginapan.

"apakah karena pelayanan kami kurang memuaskan?"

"Ya, sangat tidak memuaskan,"

Kata Seng Cu-bok sambil menggunakan telapak tangannya untuk mencengkeram wajah pemilik penginapan itu dan mendorongnya kuat-kuat sehingga jatuh ke lantai.

Pemilik penginapan itu dengan wajah pucat menatap kebingungan, entah apa kesalahannya? Ketika sudah agak jauh dari rumah penginapan itu Te-liong Hiangcu bertanya, ...tangannya untuk mencengkeram wajah pemilik penginapan itu dan mendorongnya kuat-kuat sehingga jatuh ke lantai Pemiliknya denan wajah pucat menatap kebingungan.

"Apakah kau selalu bersikap demikian kasar kepada setiap orang?"

Seng Cu-bok menyeringai bangga untuk mencari muka dari Te-liong Hiangcu, katanya.

"Ya, aku meniru Hiangcu. Tegas, tidak ragu-ragu dan ... ."

"Tolol!"

Tiba-tiba suara Te-liong Hiangcu menjadi dingin menyeramkan.

"Kau sangat tolol. Dengan berbuat kasap dan aneh-aneh di tempat umum seperti itu, kau akan mudah menarik perhatian, dan kerahasiaan komplotan kita akan terancam oleh ulahmu yang memuakkan itu. Aku juga bersikap keras, tapi jika sedang menyamar sebagai He Keng-li-ang, maka akupun menjadi persis sama seperti si tua tolol Ketua Ho-lian-pay itu. Begitu pula jika aku sedang menyamar sebagai orang lain."

Seng Cu-bok menjadi gemetar ketika melihat usahanya untuk menjilat Te-liong Hiangcu itu malahan membuatnya marah. Apakah ia akan dibunuh? Ternyata tidak, Te- liong Hiangcu yangberwujud He Keng-liang itu hanya memberinya teguran keras.

"Ingat, ini peringatanku yang terakhir. Jika kelak kau menyamar sebagai apapun, lakukan sebaik- baiknya. Jika kau menjadi penyebab kebocoran rahasia komplotan kita, hati-hatilah dengan batok kepalamu."

"Ya...ya... terima kasih, Hiangcu. Aku memang bersalah... ."

"Nah, kita berpisah di sini. Ingat semua perintahku dan pesanku,"

"Baik, Hiangcu."

Keduanyapun berpisah di tengah jalan, dan Seng Cu-bok boleh menarik napas lega setelah berpisah dengan majikannya yang menakutkan itu.

Bukan hanya menakutkan, bahkan juga mempunyai seribu satu macam wajah yang berbeda beda, membuat ia tidak berani berknianat sedikitpun.

Selama ini ia hanya tahu bahwa He Keng-liang yang memimpin Ho-lian- pay adalah He Keng-liang palsu, sementara yang asli disingkirkan.

Namun wajah He Keng-liang itu hanya satu dari seribu satu wajah Te-liong Hiangcu.

Sedang wajah-wajah lainnya tidak diketahuinya.

Jika ia berbicara dengan teman- teman sekomplotannya untuk mencocokkan penglihatan mereka tentang Te-liong Hiangcu, maka simpang-siurlah pendapat di antara mereka sendiri.

Ada yang bilang Te-liong Hiangcu itu selalu muncul dengan wajah seorang tua yang kurus, lainnya bilang Te-liong Hiangcu itu seorang pemuda yang tampan, lainnya lagi menyebut seorang lelaki bere- wokan bermuka jelek, malahan ada yang pernah bertemu Te-liong Hiangcu dalam ujud seorang perempuan ayu.

Dengan demikian semua anakbuah merasa terkekang dan tidak berani punya pikiran untuk berkhianat, bahkan merekapun saling mencurigai di antara sesama mereka sendiri, jangan-jangan di antara mereka itu terdapat samaran Te-liong Hiangcu sendiri? Sambil melangkah pergi, Seng Cu-bok menggerutu dalam hatinya.

"Inilah harga yang harus kubayar untuk sebuah cita-cita besar yang belum terwujud. Seluruh kebebasanku telah lenyap, seolah-olah Te-liong Hiangcu mengintai dan mendengar segala gerak-gerikku di segala tempat dan keadaan."

Sementaraa itu, hari telah malam ketika Tong Lam-hou kembali ke rumahnya yang dihadiahi oleh Peng-po-ceng-tong.

Rumah itu tidak besar tidak kecil, sedang-sedang saja, dikelilingi kebun bunga yang teratur rapi dengan rumpun-rumpun bambu kerdil bertebaran di halaman depan dan samping.

Agaknya Tong Lam-hou terpengaruh oleh kesederhanaan pengaturan rumah Pakkiong Liong, sehingga rumahnya yang tidak besar itupun diatur dengan gaya yang mirip rumah sahabatnya dan panglimanya itu.

Perabotannya sederhana saja, dan banyak yang terbuat dari bambu bertutul-tutul sehingga menimbulkan suasana sejuk di dalam rumah.

Ketika Tong Lam-hou datang ke rumahnya dan melihat semua lampu sudah menyala, perabotan teratur rapi dan lantai dalam tersapu bersih, maka tahulah Tong Lam-hou bahwa suami isteri Ciu Toasiok (paman Ciu) yang menjadi pembantu-pembantunya itu sudah mengerjakan tugasnya dengan baik selama ia pergi.

Mereka adalah suami isteri setengah baya yang bertempat tinggal selisih dua rumah dari rumah Tong Lam-hou.

Dengan upah sekedarnya, mereka akan membantu Tong Lam- hou dalam mengurus rumahnya, dan bibi Ciu menyediakan masakan buatnya.

Bukan karena Tong Lam-hou malas, melainkan karena sebagai seorang perwira tugasnya banyak, waktunya tidak seluang dulu lagi, dan Tong Lam-hou ingin agar tugas-tugas perwiranya tidak terganggu oleh urusan tetek bengek seperti menyapu halaman, mencuci piring atau memasak nasi..

Semuanya diserahkan kepada paman Ciu dan isterinya, hitung-hitung memberi tambahan penghasilan kepada suami-isteri itu.

Sore itu Tong Lam-hou baru saja ikut melatih pasukan di luar kota Pak-khia, tubuhnya masih berlapis debu dan keringat, pakaian seragam perwiranya yang masih baru itupun nampak kotor oleh debu.

Ketika ia melangkahi ambang pintu, ia tersenyum sendiri ketika melihat lilin-lilin sudah menyala, dan di ruangan dalam sudah tersedia hidangan yang tergelar di atas meja.

Semuanya masih tertutup di bawah tudung bambu, namun sayup-sayup hidung Tong Lam- hou dapat mencium bau sayur lobak kesukaannya di antara bau-bau lainnya.

"Bibi Ciu tidak melupakan pesannanku,"

Kata Tong Lam-hou seorang diri sambil tertawa.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Tetapi masakan sayur lobaknya tentu tidak dapat menandingi hasil karya ibu."

Sekilas ia teringat kepada ibunya yang terpisah berpuluh-puluh ribu li di Tiam-jong- san sana.

Di dalam sebuah gubuk terpencil di lereng gunung, tidur meringkuk di bawah selimutnya yang kumal dan robek-robek, dan Tong Lama-hou Juga tahu bahwa ibunya pasti sangat kangen kepadanya.

Hampir-hampir Tong Lam-hou meneteskan air matanya, namun dikuat-kuatkannya hatinya.

"Begitu aku mendapat cuti pertamaku, aku segera menjemput ibu ke rumah ini,"

Demikian rencananya dalam hati.

"Saat-saat dekat ini kita belum bisa berkumpul ibu, sebab aku sudah mendengar kabar angin bahwa pasukan kami akan mendapat tugas untuk menumpas pemberontakan di daeah Tay-teng. Dan aku sebagai prajurit baru akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan baktiku kepada Negara dan Kaisar. Aku akan membuat pahala yang besar! sehingga namaku harum, dan kelak ibu akan bangga kepadaku."

Ketika ia mendengar suara daun pintu berderak tertiup angin, maka Tong Lam-hou tersentak dari lamunannya.

Lalu ia tertawa sendiri dan dirasakannya perutnya yang lapar.

Dilepaskannya ikat pinggang kulitnya di mana pedangnya tergantung dalam rangkanya, dan digantungkannya di dinding ruangan tengah.

Kemudian ia pun melangkah untuk membersihkan diri.

Ia benar-benar tinggal seorang diri di rumah itu.

Paman dan bibi Ciu yang membantunya itu hanya berada di rumah itu dari pagi sampai sore, dan malamnya mereka pulang ke rumahnya masing-masing karena merekapun punya beberapa anak yang harus mereka urus.

Selesai mandi, dan memakai pakaian ringan, Tong Lam-hou mulai membuka tudung bambu itu.

Mangkuknya sudah terisi nasi yang sudah agak dingin, namun ia tak peduli dan langsung meraih mangkuk berisi sayur lobak kesayangannya.

Namun begitu ia mengaduk sayur itu dengan sumpitnya, terkejutlah Tong Lam-hou.

Di dalam kuah itu, di dasar mangkuk, ternyata ada seekor kalajengking berwarna hijau tua yang sangat beracun.

Jika kalajengking itu sudah "Berendam"

Di dalam kuah sayur lobak itu sejak tadi, maka racunnya tentu sudah mencemari makanan kesayangan Tong Lam- hou itu, dan tentu saja tidak bisa dimakan lagi kecuali kalau kepingin mampus.

Tong Lam-hou menggeleng-gelengkan kepala sambil mendorong mangkuk itu menyingkir dari hadapannya.

Desahnya.

"Ah, bibi Ciu berbuat ceroboh hari ini. Bagaimana mungkin seekor kalajengking bisa masuk ke dalam sayurannya?"

Lalu diraihnya mangkuk lauk lainnya, namun sekali lagi Tong Lam-hou dikejutkan dengan penemuan seekor kalajengking pula di kuah tahu itu.

Dari jenis yang sama.

Lalu dibukanya mangkuk-mangkuk lainnya, semuanya ternyata telah diracuni! Bahkan nasi yang hanya sebakul kecil itupun sudah beracun semua.

Tong Lain-hou menjadi curiga, ini pasti bukan sekedar keteledoran bibi Ciu.

Ini adalah suatu kesengajaan untuk membunuhnya.

Tapi siapa? Apakah bibi Ciu yang kelihatan baik dan ramah itu ingin membunuhnya? Tengah Tong Lam-hou kebingungan, tiba- tiba didengarnya suara tertawa seram bergema di ruangan itu.

Dengan terkejut Tong Lam-hou memutar tubuh dan bersikap siaga, ia terkejut karena ada orang dapat masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya, menandakan bahwa ilmu orang itu amat tinggi.

Tong Lam-hou yang sejak meninggalkan Tiam-jong-san belum pernah kalah berkelahi itu, kini diam-diam merasa waswas.

Pada pintu yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tengah, nampaklah orang tertawa seram itu, dan ujudnyapun ternyata seseram suara tertawanya tadi.

Ia berpakaian serba hitam dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, namun wajahnya tertutup selembar topeng dari perunggu yang ber- bentuk tengkorak yang mengerikan, berkilat kehijau-hijauan.

Sementara sepasang mata dari balik topeng itu lebih pantas disebut sebagai mata iblis dari pada mata manusia.

Dan dengan sikap seenaknya orang itu berdiri bersandar ambang pintu sambil berpeluk tangan.

"Sialan kau, bangsat kecil, kenapa tidak kau telan saja makanan beracun itu agar aku tidak usah mengeluarkan keringat untuk mencekikmu hingga mampus?"

Geram orang bertopeng tengkorak itu.

"Siapa kau? Apakah di antara kita ada permusuhan sehingga kau bermaksud membunuhku?"

Bentak Tong-lam-hou yang tetap dalam sikap siaga. Orang itu tidak merubah sikapnya yang santai, dan jawabnya dingin.

"antara aku dan kau memang benar tidak bermusuhan. Ketika aku malang-melintang di rimba persilatan, barangkali kau masih mendekam dalam perut ibumu."

"Lalu kenapa kau ingin membunuhku?"

"Karena kau adalah anak Tong-wi-siang. Jadi kematianmu malam ini, anak manis, bukan karena kesal karenamu tetapi karena orang tuamu."

Bergetarlah dada Tong Lam-hou mendengar orang bertopeng tengkorak itu sudah menyebut-nyebut tentang ayahnya.

Namun sebagai seorang anak muda berwatak jantan, ia pantang mengingkari ayahnya sendiri hanya untuk mencari keselamatan diri, malahan ia menyahut dengan bangga.

"Memang, akulah Tong Lam-hou anak Tong Wi-siang, ketua Hwe- liong-pang yang gagah perkasa. Kau sendiri siapa?"

"Menjelang ajalmu biar aku berterus-terang kepadamu supaya kelak arwahmu tidak menjadi setan penasaran yang berkeliaran mengganggu penduduk di sekitar sini. Dengar baik-baik. Dulu aku adalah saudara seperguruan ayahmu, gelarku dalam Hwe-liong-pang adalah Te-liong Hiang-cu."

Tiba-tiba dada Tong Lam-hou terguncang keras sekali, darahnya mendidih dan kemarahan mulai membakar jiwanya.

Ia pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya punya tiga orang saudara seperguruan, namun salah seorang dari mereka telah berkhianat bersama pengikut-pengikutnya, sehingga Hwe-liong- pang yang dengan susah-payah didirikan oleh ayahnya itu hancur berantakan karena perpecahan.

Bahkan Te-liong Hiangcu pernah berkomplot dengan penguasa dinasti Beng untuk menggempur markas perkumpulannya sendiri.

Secara tidak langsung, bolehlah dianggap bahwa Te-liong Hiangcu inilah yang membunuh ayahnya.

Maka dalam diri Tong Lam-hou tiba-tiba berkobar dendam hebat untuk membalas sakit hati ayahnya yang sejak kecil belum pernah dilihatnya itu.

"Jadi kau adalah saudara seperguruannya yang berhati khianat itu?"

Kata Tong Lam-hou marah sambil menudingkan jarinya. Terlalu yakin akan dirinya, maka Te-liong Hiangcu sama sekali tidak ingkar semua perbuatan masa lalunya.

"Benar, karena ayahmu terlalu lunak memegang pimpinan Hwe-liong-pang, maka aku mencoba merebut kekuasaannya untuk menjadikan Hwe-liong- pang sebuah perkumpulan yang kuat. Itulah sebabnya aku bermusuhan dengan ayahmu, dengan pengikut kami masing-masing."

"Aku... aku harus membunuhmu!"

Teriak Tong Lam-hou. Dijawab oleh Te-liong Hiangcu dengan dingin.

"Akupun harus membunuhmu. Marilah kita lihat, siapa yang akan terbunuh oleh siapa."

Dengan darah yang mendidih.

Tong Lam- hou mulai menyerang.

Bahkan dalam gebrakan pertama ia langsung telah mengerahkan Hian- im-ciangnya yang maha dingin itu, untuk membuat lawan mati membeku.

Jurus yang digunakan adalah Tek-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san), kepalannya dengan keras menghantam ke kepala lawan.

Te-liong Hiangcu yang tadinya memandang remeh lawannya itu, terkejut bukan main ketika melihat gerakan Tong lam-hou yang begitu kuat dan cepat, bahkan pukulannya membuat udara seisi ruangan itu jadi beku menggigilkan tulang.

Namun bekas orang nomor dua di Hwe-liong- pang itu masih sanggup berkelit ke samping dan lolos dari pukulan.

Tong Lam-hou yang telah dibakar kemarahan itu menerjang terus, tanpa memutar tubuh ia langsung memakai gerakan Sia-hui-si i Jurus Terbang Miring), kepalannya berubah menjadi sabetan telapak tangan ke pundak lawannya.

Kembali angin maha dingin bagaikan berpusar dalam ruangan itu.

Kalau bukan Te-liong Hiangcu, barangkali dalam pukulan pertama saja sudah akan mati beku.

Namun Te-liong Hiangcu adalah saudara seperguruan dari Ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa, ilmunyapun hampir setingkat dengan Tong Wi-siang dan bahkan dalam tahun-tahun terakhir ini Te-liong Hiangcu rajin menyempurnakan ilmunya demi ambisinya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Ketua Rimba Persilatan) Maka serangan serangan dahsyat bertubi-tubi dari Tong Lam- hou itu tidak dapat memojokkannya, bagaikan bayangan hantu saja ia dapat berkelit ke sana kemari, bahkan masih sempat mengejek.

"Sebagai balas budiku kepada ayahmu yang dulu pernah membimbingku dalam ilmu silat, baiklah aku akan mengalah tiga pukulan kepadamu. Tetapi setelah itu, mati hidupmu tergantung belaskasihanku!"

"'Tutup mulutmu!"

Teriak Tong Lam-hou geram karena pukulan-pukulannya dapat dihindari dengan mudah.

Ketika melihat musuhnya tersudut di pojok ruangan, maka Tong Lam-hou segera menggempurnya dengan Wan-yo-hoan-tui (Tendangan Beruntun Burung Wan-yo) ke arah lutut, perut dan dagu orang bertopeng tengkorak itu.

Tapi lagi-lagi serangan itu luput, malah terdengar Te-liong Hiangcu membentak.

"Aku sudah mengalah tiga jurus. Sekarang terima seranganku!"

Bagaikan segumpal awan hitam pekat yang berhembus dengan kecepatan tinggi, Te-liong Hiangcu tiba-tiba menubruk dengan dahsyatnya..

Tong Lam-hou yang berilmu tinggi itupun sampai tidak dapat melihat bagaimana gerakan kaki atau tangan Te-liong Hiangcu.

Hanya dirasakannya bahwa udara bertekanan berat telah menyesakkan dadanya.

Sejak turun gunung dan berkelahi dengan beberapa orang lawan, inilah untuk pertama kalinya Tong Lam- hou merasa gugup, lawan bergerak terlampau cepat dan melebihi kecepatannya sendiri.

Untung-untungan Tong Lam-hou menjatuhkan dirinya terlentang sambil menjejakkan kedua kakinya ke arah tubuh lawan yang berkelebat di atas tubuhnya.

Ia berhasil lolos namun jejakan kaki-nyapun tak membawa hasil dan hanya mengenai angin.

Tubuh lawan meluncur dan menabrak tembok sehingga jebol, namun lawannya seolah tidak merasa kesakitan sedikit pun, dan dengan dua gerakan manis di udara Te-liong Hiangcu telah mendarat di halaman.

Tak kurang satu apa, hanya pakaian hitamnya yang agak kotor kejatuhan tembok.

Tong Lam-hou menarik napas dingin, sadarlah ia bahwa ia telah kebentur seorang musuh tangguh yang entah bisa dikalahkannya entah tidak.

Tetapi anak Tong Wi-siang itupun berwatak pantang menyerah seperti bapaknya dulu, meskipun harus mati, paling tidak ya harus bertempur sekuat tenaga lebih dulu.

Cepat ia meloncat bangun dan menghunus pedangnya yang tergantung di dinding, lalu iapun memburu ke halaman belakang.

Di tengah-tengah halaman belakang tempat biasanya Tong Lam-hou berlatih silat setiap pagi itu, Te-liong Hiangcu berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya.

Matanya yang bersinar seram itu berkeredap dari balik topeng perunggunya yang hijau kekuning kuningan.

Ketika melihat Tong Lam-hou memburunya keluar dengan pedang di tangan, ia tertawa dingin.

"Bagus, kau benar-benar anak yang berani. Kau tidak memalukan ayahmu dan juga gurumu si tua kluntang-klantung Tiam-jong-lo- sia itu. Akupun sebagai paman gurumu seharusnya bangga juga kepadamu, tapi sayang, aku tetap harus membunuhmu."

Bicara sampai di sini, Te-liong Hiangcu menatap wajah Tong Lam-hou dari balik topengnya, la mengharap akan melihat anakmuda she Tong Itu menggigil ketakutan.

Namun Te-liong Hiangcu kecewa.

Tong Lam- hou tidak kelihatan gentar sedikitpun, dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya, wajah yang terangkat dan mata yang tajam menatap langsung ke pusat mata lawannya tanpa keder seujung rambutpun.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Te- liong Hiangcu kagum juga, sikap itu mengingatkannya kepada sikap kakak seperguruannya yang sudah dikhianatinya, Tong Wi-siang, dan sikap Tong Wi-siang dan sikap Tong Lam-hou yang mirip sikap mendiang ayahnya itu telah membuat Te-liong Hiangcu semakin bernafsu untuk membunuhnya.

Katanya lagi.

"Tetapi aku seorang paman guru yang baik, aku tidak akan nembunuhmu dengan sekali pukul. Sebelum kau mati, kau boleh menyaksikan Jurus-jurus ampuhku, warisan dari Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan-Bu-san), hitung-hitung sebagai bekalmu dalam perjalanan ke akherat."

Tong Lam-hou sudah tidak sanggup berkata sepatah katapun karena marahnya, disertai bentakan keras ujung pedangnya berkelebat bagaikan kilat dengan Jurus Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Api Membakar Langit), dan ketika lawan, melangkah mundur maka ia cepat putar tubuhnya dan menyusulkan serangan Hoa-sin- hian-kiam (Memutar Tubuh Mempersembahkan Pedang) yang dilakukan amat cepat.

Namun serangan-serangannya yang begitu cepat itu gagal semua karena ketangkasan lawannya.

"Bagus!"

Teriak Te-liong Hiangcu mengejek.

"Anak yang berbakat, sekarang coba lihat jurusku yang bernama Wan-hun-yu-hui (Arwah Penasaran Terbang Bergentayangan)!"

Begitu habis kata-katanya, maka mata Tong Lara-houpun seolah-olah jadi kabur karena lawan bergerak cepat sekali.

Tubuhnya melayang bagaikan sesosok arwah benar-benar, dan mengelilingi tubuh Tong Lam-hou sehingga anakmuda itu kebingungan karena tidak tahu arah serangan lawan.

Tahu-tahu terasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya terlempar bergulingan beberapa langkah, tanpa daya sedikitpun seperti seorang yang tidak mahir bersilat sedikitpun.

Ketika Tong Lam-hou melompat bangun kembali, maka pedangnya sudah tidak ada di tangannya lagi, namun tergeletak beberapa langkah daripadanya.

Cepat-cepat disambarnya pedangnya untuk menghadapi lawannya yang berdiri santai sambil bertolak pinggang itu.

"Nah, kau sudah melihat satu jurus hebatku. Kau masih ada kesempatan untuk melihat dua jurus lagi, setelah itu kau akan menyusul ayahmu."

Tong lam-hou menjadi geram, kakinya melangkah maju dengan cepat sambil gerakkan pedangnya dengan Lian-noan-an-kiam (Tiga Kali Sabetan Pedang) yang gencar, lalu tubuhnya tiba-tiba meloncat ke atas dan menyerang dengar gerakan Sin-liong-jip-hai (Naga Malaikat Terjun Ke Laut), pedangnya membabat dari atas ke bawah.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid AMUN lagi-lagi Te-liong Hiangcu dapat menghindarinya dengan kelitan-kelitannya yang lincah, bahkan tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang tubuh Tong Lam-hou yang terhuyung huyung ke depan, dan terdengar bentakannya.

"Inilah Wan-hun-kok-so (Si Arwah Penasaran Mengadukan Nasib)!"

Tong Lam-hou tahu bahwa ia tidak mungkin mengelak lagi, ia membatin dirinya akan terlempar lebih keras dari tadi bahkan mungkin beberapa helai tulangnya akan patah.

Mungkin memang orang bertopeng itu belum bermaksud membunuh, namun ia akan dipermainkan N seperti seekor tikus kecil dalam genggaman seekor kucing yang garang, itu sudah pasti.

Di saat genting itu tiba-tiba ia mengalami hal aneh, seseorang terdengar membisiki dirinya dengan suara selirih desing nyamuk namun setiap kata-katanya terdengar begitu jelas dan tajam.

"Jangan pedulikan serangannya. Tusukkan pedangmu ke belakang setinggi pinggang lewat bawah ketiak, sambil jatuhkan dirimu ke depan."

Dalam keadaan tanpa pegangan, petunjuk itu ibarat sepotong papan bagi seorang yang hampir tenggelam di tengah laut. Maka tanpa pikir panjang ia segera melakukan "petunjuk aneh"

Itu.

Gerakannya dilakukan dengan sera- butan dan sama sekali tidak indah, namun tepat seperti bisikan itu.

Te-liong Hiangcu memang terkejut sekali, kedua tangannya tengah terulur ke pundak Tong Lam-hou untuk mencengkeram dan membanting lawannya, sesuai dengan gerakan jurus yang disebutkannya tadi.

Namun karena tubuh Tong Lam-hou tiba-tiba jatuh ke depan, sesesuai dengan gerakan jurus yang disebutkannya tadi.

Namun karena tubuh Tong Lam-hou tiba-tiba jatuh ke depan.

maka hanya baju di bagian pundak Tong Lam- hou saja yang bisa dirobeknya, sebaliknya pedang tong Lam-hou tanpa terduga menyelonong begitu saja dari bawah ketiak dan hampir menikam tembus perutnya, tempat di mana terdapat kelemahan jurusnya itu.

Keruan Te-li-ong Hiangcu meloncat mundur dengan terkejut, toh bajunya di bagian perut sempat robek juga.

"Gila!"

Teriak Te-liong Hiangcu tanpa sadar. Sementara Tong Lam-hou sendiri telah memperbaiki keseimbangannya dan menghadap kembali ke arah musuhnya. Katanya mengejek.

"Jurusku tadi disebut 'menolak pengaduan sang arwah'!"

Te-liong Hiangcu menjadi marah bukan kepalang, tak terduga jurus andalannya itu kandas begitu saja di depan Tong Lam-hou yang tadinya dianggap ingusan itu.

Segera ia menggeram untuk menyiapkan jurus barunya.

Tiba-tiba terdengar gumam mantera aneh dari balik topengnya, lalu sepasang matanya berubah bersinar kehijau-hijauan dan membawa pengaruh aneh.

Katanya.

"Anak setan, terimalah Thian-mo-tui hun- kang-hoat (Ilmu Sakti Iblis Langit Memburu Sukma)."

Tong Lam-hou yang secara langsung menatap mata lawan yang kehijau-hijauan seperti mata kucing itu, tiba-tiba merasa kepribadiannya goyah, semangat lunturnya menghilang begitu saja dan suatu pengaruh gaib menyusup dalam dirinya.

Susah-payah Tong Lam-hou mencoba menyadari dirinya agar tidak runtuh ke dalam pengaruh ilmu jahat itu, tapi rasanya seperti mempertahankan rumah- rumahan pasir di pantai dari sapuan gelombang.

Te-liong Hiangcu tertawa seram bernada kemenangan, lalu perintahnya.

"Turuti perintahku, gunakan pedangmu itu untuk menggorok lehermu sendiri!"

Perlahan-lahan tangan Tong-lam-hou terangkat dengan mata pedang yang siap memotong lehernya sendiri.

Sisa-sisa kesadaran dalam dirinya masih berjuang mati-matian untuk merebut kembali kepribadiannya dari cengkeraman ilmu Thian-mo-tui-hun-kang-hoat itu, namun gerakan tangannya yang memegang pedang itu sudah tidak terkendali lagi.

Di saat itulah bisikan lembut seperti suara nyamuk tadi terdengar ke telinganya.

"Hindari tatapan matanya. Gigit lidahmu sampai luka dan semburkan darahnya ke tubuhnya!"

Tong Lam-hou segera berusaha menuruti anjuran itu, namun alangkah sulitnya, matanya seolah tidak mau beralih dari sepasang mata kehijauan itu.

Bahkan Te-liong Hiangcu yang telah mengetahui niat Tong Lam-hou itu, memperkuat cengkaman pengaruhnya dengan membentak.

"Jangan melihat ke arah lain. Tetap lihat kepadaku dan turuti perintahku!"

Tanpa daya Tong Lam-hou terseret perlahan-lahan ke dalam cengkraman pengaruh ilmu jahat Te-liong Hiangcu itu, sisa-sisa kesadarannyapun hilang.

Tapi di saat itulah di halaman belakang rumah Tong Lam-hou itu tiba-tiba muncul suara berkumandang, seolah olah tanpa arah dan turun dari langit.

"Selamat bertemu kembali, Jisuheng (kakak seperguruan kedua), bagaimana setelah berpuluh tahun kita berpisah? Ilmumu masih serendah itu juga?"

Te-liong Hiangcu terkejut dan pemusatan ilmunya agak terganggu.

Ketika ia menoleh ke satu arah, dilihatnya di tengah-tengah rumpun bunga itu ada seorang lelaki berumur kira-kira empat puluh tiga tahun, bertubuh kekar, berjubah panjang dari kain sederhana, dan rambutnya yang bercampuran warna hitam dan putih itu dikuncir ke belakang seperti kelaziman di jaman Manchu itu.

Ada kumis dan jenggot pendek berwarna kelabu yang terawat rapi di atas bibirnya dan di janggutnya, namun sepasang matanya tajam sekali, tidak kalah tajam dan seramnya dengan mata Te-liong Hiangcu.

Bahkan, di rumpun bunga lainnya muncul pula seorang lelaki lainnya yang agak lebih muda bermuka kelimis seperti orang- orang muda yang pesolek, dengan tubuh yang agak kurus.

Dalam kejutnya, Te-liong Hiangcu melepaskan cengkaman ilmunya atas diri Tong Lam-hou, sehingga Tong Lam-hou perlahan- lahan mendapat kembali kesadarannya sendiri.

Namun anak muda itu hanya sanggup berdiri dengan lemasnya, bahkan pedangnyapun ditancapkan ke tanah untuk menopang tubuhnya agar tidak roboh.

Sementara itu dengan heran ia melihat dua orang lelaki setengah baya muncul di halaman belakang rumahnya itu seperti dua sosok hantu saja.

Tidak diketahuinya kapan datangnya dan tahu- tahu sudah ada di situ begitu saja.

Bagi Te-liong Hiangcu sendiri, munculnya dua sosok tubuh yang dikenalnya sebagai adik- adik seperguruannya sendiri yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping itu, membuatnya gugup.

Satu lawan satu ia masih sanggup melawan kedua adik seperguruannya itu bergantian, tapi bagaimana mereka maju berbareng.

Namun kemudian mata Te-liong Hiangcu yang tajam dan dilandasi dengan ilmu yang tinggi itu telah melihat suatu kejanggalan pada diri tubuh-tubuh Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping itu.

Mereka nampaknnya bukan terdiri dari manusia yang terdiri dari darah dan daging, melainkan seperti sebuah bayangan yang berbentuk manusia.

Bahkan jika pemandangannya dipertajam sedikit saja, akan terlihat bahwa "Siangkoan Hong"

Dan "Lim Hong,-ping"

Itu memiliki tubuh yang tembus pandang.

Benda-benda yang ada di belakang punggung mereka dapat dilihat melalui tubuh mereka yang seolah-olah terbuat dari kaca itu.

Dan kaki-kaki mereka yang menginjak rumpun- rumpun bunga itu ternyata tidak membuat tangkai-tangkai bunga atau rerumputan itu roboh, melainkan seolah-clah tak ada yang menginjaknya dan tetap tegak.

Melihat hal itu, tertawalah Te-liong Hiangcu.

Katanya.

"Hemm, yang datang ini Samsute (adik seperguruan ketiga) atau Sisute (adik seperguruan ke empat)? Tidak usah bermain- main dengan ilmu sulap kalian yang tidak berarti apa-apa itu. Cepat keluar dari persembunyianmu!"

Tong Lam-hou menjadi heran mendengar ucapan Te-liong Hiangcu itu.

Bukankah kedua orang itu sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di rumpun bunga? Siapa lagi yang disuruh keluar dari persembunyian? Lalu pertunjukkan berikutnya membuat Tong Lam-hou pusing tujuh keliling.

Bayangan kedua lelaki setengah baya yang berdiri di rumpun-rumpun bunga itu tiba-tiba semakinn menipis dan menipis, seperti asap saja, dan akhirnya lenyap perlahan-lahan seperti asap terhembus angin sepoi.

Tong Lam-hou bergidik sendirian.

Apakah rumah yang dihadiahkan oleh Peng-po-ceng-tong kepadanya itu adalah rumah yang dihuni hantu-hantu? Tiba-tiba terdengar rumpun bambu kuning di sebelah belakang gemerisik seperti ada orang melangkah.

Ketika membalik badan untuk melihat siapa yang datang itu, ternyata dia adalah lelaki setengah baya yang nampak di rumpun bunga sebelah kanan tadi.

Yang bertubuh kekar dan berjenggot pendek.

Tapi ia bukan hantu, sebab sepasang kakinya menapak rapat di atas tanah, dan tubuhnyapun ada bayangannya ketika tertimpa sinar bulan sabit di langit.

Ketika lewat di dekat Tong Lam-hou, orang itu menepuk pundaknya sambil berkata dengan nada kagum.

"Anak-muda, kau adalah benar- benar perwujudan Toa-suheng (kakak seperguruan pertama) Tong Wi-siang di masa lampau, baik sikapmu maupun keberanianmu. dan akupun percaya bahwa kau benar-benar tetesan darah dagingnya. Pantas kalau si topeng tengkorak itu begitu getol ingin membunuhmu."

Sekali orang itu berucap.

Tong Lam-hou segera tahu bahwa orang inilah yang tadi beberapa kali membisikinya untuk melakukan ini atau itu.

Mungkin dengan ilmu Coan-im-jip- bit (Mengirim Gelombang Suara) atau Jian-li- coan-im (Mengirim Suara Seribu Li) atau ilmu- ilmu sejenis lainnya.

Dan ternyata ia juga bisa bermain-main dengan menciptakan ujud-ujud tubuhnya sendiri atau ujud orang lain di tempat yang berbeda.

Jelas orang ini berilmu tinggi, dan ternyata juga adik seperguruan dari ayahnya yang bermaksud baik, ingin menyelamatkannya dari kekejaman Te-li-ong Hiangcu.

Maka Tong Lam-hou segera memberi hormat kepada orang itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Salamku kepada samsusiok (paman guru ketiga)!"

Rupanya karena belum mengetahui nama orang itu, maka Tong Lam-hou menyebutnya saja dengan "samsusiok". Orang itu nampak gembira melihat sikap Tong Lam-hou, katanya.

"Aku bernama Siangkoan Hong, dan kau panggil saja Paman Siangkoan."

"Baik, paman Siangkoan."

Sementara itu Te-liong Hiangcu merasa agak lega ketika melihat yang muncul hanya Siangkoan Hong seorang.

Ia Juga memperhitungkan bahwa adik seperguruan lainnya yang bernama Lim Hong-ping tentu tidak berada di situ, sebab kalau ada di situ tentu sudah muncul pula, dan Siangkoan Hong tidak perlu menggertaknya dengan menampilkan "gambar"

Lim Hong-ping di rumpun bunga tadi.

Ilmu mengelabuhi pandangan mata orang lain seperti itu Te-liong Hiangcu sendiri juga bisa melakukannya, sebab itu termasuk dari bagian ilmu-ilmu warisan Bu- san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan Bu-san) yang menggetarkan rimba persilatan kira-kira seratus limapuluh tahun yang lalu.

Ilmu mereka adalah adukan dari ilmu silat, ilmu tentang racun dan ilmu hitam.

Setelah merasa bahwa keadaan dirinya tidak terlalu berbahaya, maka Te-liong, Hiangcu timbul pula sikap takaburnya.

Terhadap Siangkoan Hong yang dimasa Hwe-liong-pang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu, ia berkata.

"Siangkoan Hong, tabiatmu yang usil dan suka mengganggu pekerjaan orang lain itu agaknya belum hilang dari dirimu. Malam ini kau berani pula menghambat pekerjaanku, apakah kau bosan hidup?"

Tanpa gentar sedikitpun Siangkoan Hong berdiri berhadapan dengan Te-liong Hiangcu dan bertolak pinggang.

Bahkan tanpa takut- takut ditatapnya biji mata Te-liong Hiangcu, tidak peduli andaikata bekas kakak seperguruannya itu menggunakan ilmunya Thian-mo tui-hun-kang-hoat.

Dengan sikap yang sama garangnya Siangkoan Hong menuding ke wajah Te-liong Hiangcu sambil menjawab.

"Pengkhianat, mengapa aku harus bosan mencarimu? Kau kabur ke ujung langitpun aku akan tetap memburumu untuk menuntut pertanggung-jawabanmu atas runtuhnya Hwe-liong-pang gara-gara pengkhianatanmu! Arwah Toa su-heng hari ini agaknya menuntunku untuk menemuimu di sini, untuk membasmi iblis berhati hitam seperti kau, dan sekaligus secara kebetulan menyelamatkan keturunan Toasuheng Tong Wi- siang yang hanya satu-satunya itu!"

Te-liong Hiangcu tertawa.

"Hemm. Orang- orang seperti kau ini tidak lain diperbudak oleh Tong Wi-siang saja, bahkan dia sudah mati puluhan tahunpun kau masih berlagak setia kepadanya?"

"Aku tidak setia kepada Tong Wi-siang pribadi, tetapi kepada cita-cita luhurnya yang digariskannya ketika dia mendirikan Hwe-liong- pang di bukit Tiau-im-hong pegunungan Bu-san berpuluh tahun yang lalu. Tapi kaulah yang menghancurkan segala-galanya! Kau harus bertanggung-Jawab, iblis berhati hitam yang tega menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan!"

Sulit diketahui bagaimana wajah Te-liong Hiangcu menerima caci-maki yang pedas itu, sebab wajahnya tertutup topeng berbentuk tengkoraknya.

Namun dilihat dari ujung jubahnya yang bergetar itu, agaknya tubuhnyapun sedang gemetar hebat menahan kemarahannya.

Tapi ia tidak berani bertindak sembarangan.

Menghadapi Siangkoan Hong yang pernah bergelar Thian-liong Hiangcu itu tentu jauh berbeda dengan menghadapi Tong Lam-hou yang meskipun mewarisi ilmu Tiam- jong-lo-sia Ang Hoan namun masih hijau dalam pengalaman, dan ilmunyapun belum mencapai batas kemungkinan.

Maka Te-liong Hiangcu lebih suka menggunakan siasat debat kusir sambil mencoba menunggu kelengahan lawan untuk disergap dan dibinasakan sekali.

Soal licik atau tidak licik, itu tidak pernah dianggap penting oleh Te-liong Hiangcu, yang penting tujuannya tercapai lebih dahulu.

"Kau memaki aku sebagai iblis berhati hitam memangnya kau sendiri itu siapa? Siapa pula Tong Wi-siang dan Lim Hong-ping? Kita semuanya adalah iblis, tak ada bedanya, kita adalah pewaris-pewaris Bu-san-jit-kui yang oleh pendekar-pendekar dari perguruan- perguruan sok suci dimaki sebagai kaum sesat, kaum iblis, namun orang-orang yang memaki kita itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada kita. Sebab kita jauh lebih kuat dari mereka. ilmu kita jauh lebih tinggi dari mereka, dan kita dapat membunuh mereka kapan saja kita mau!"

Tong Lam-hou yang mendengarkan perdebatan kedua kakak beradik seperguruan itu diam-diam mulai memahami bagaimana pribadi Te-liong Hiangcu yang sebenarnya.

Orang di balik topeng tengkorak itu benar- benar seorang iblis tulen sampai ke bulu- bulunya.

Adalah malapetaka bagi umat manusia bahwa seorang manusia semacam Te-liong Hiangcu ini hidup di tengah-tengah mereka.

Namun Tong Lam-hou juga menyesal bahwa ilmunya masih belum cukup untuk memberantas iblis bertopeng itu, bahkan andaikata ia menggabungkan diri dengan Pakkiong Liong sekalipun, belum tentu bisa mengalahkan Te-liong Hiangcu.

Di dalam rimba persilatan, agaknya hanya ada beberapa gelintir orang yang bisa sanggup menghadapi Te-liong Hiangcu.

Di antaranya termasuk Siangkoan Hong dan saudara seperguruannya yang lain yang bernama Lim Hong-ping itu, mungkin juga guru Tong Lam-hou sendiri, Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, atau guru Pakkiong Liong, Hoat-Beng Lhama dari kuil Thian-liong-si di Tibet yang letaknya jauh di barat sana.

Terdengar Siangkoan Hong membantah.

"Jalan pikiranmu yang keblinger itulah yang membuat Hwe-liong-pang kita dulu sampai dimusuhi berbagai perguruan. Padahal Toa- suheng Tong Wi-siang bercita-cita, biarpun ilmu yang dimilikinya itu disebut sebagai ilmu sesat, namun ia ingin mengamalkannya untuk kemanfaatan sesama manusia. Membela yang lemah dari tindakan sewenang-wenang yang kuat. Itulah cita-cita Toasuheng, dan cita-cita seluruh anggota Hwe-liong-pang yang murni, bukan yang berkhianat seperti, kau dan begundal-begundalmu itu!"

Dalam pada itu, Te-liong Hiangcu memaki- maki dalam hatinya.

Siangkoan Hong sudah diajaknya bicara berputar-putar dengan harapan agar lengah sedetik saja, namun peluang yang ditunggu-tunggu itu belum muncul juga.

Bekas adik seperguruannya itu tetap berada dalam kesiagaannya yang tertinggi.

Sesungguhnya Siangkoan Hong memang tidak berani lengah sekejap mata-pun.

Ia sudah hapal benar tabiat Te-liong Hiangcu yang maha licik itu.

Dengan kelicikannya itu pula ia pernah berhasil melukai Hwe-liong Pangcu Tong Wi- siang yang ilmunya sebetulnya jauh lebih tinggi daripadanya.

Dan luka-luka yang diderita oleh Hwe-liong Pangcu itulah awal dari keruntuhannya selangkah demi selangkah.

Keruntuhan pribadinya maupun keruntuhan Hwe-liong pang.

Bahkan kemudian Siangkoan Hong-lah yang menunjukkan ketidak-sabarannya untuk segera bertempur.

"Sekarang jangan banyak bicara. Menyerahlah untuk kutangkap!"

"Setelah aku kau tangkap, lalu akan kau apakan?"

"Aku seret ke puncak Tiau-im-hong tempat reruntuhan markas Hwe-liong-pang dulu, lalu aku undang semua bekas anggota Hwe-liong- pang yang masih setia kepada Toasuheng untuk berkumpul di puncak itu. Dan aku sembelih kau untuk dikorek jantungmu, untuk menyem- bahyangi bendera Hwe-liong-pang, dan sejak detik itu Hwe-liong-pang akan bangkit kembali!"

Geram Siangkoan Hong penuh dendam.

Dan ketika kemarahan menguasai hatinya, maka cahaya mata-nyapun tiba-tiba berubah menjadi kehijau-hijauan, mirip benar dengan cahaya mata Te-liong Hiangcu tadi.

Bahkan Tong Lam-hou sendiri bergidik mendengar rencana paman Siangkoannya untuk menyembelih orang dan mengorek Jantungnya segala itu.

Orang-orang yang mempelajari ilmu sesat, meskipun dia bisa juga menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan bagi sesama manusia, namun pengaruh itu tak terhindari sama sekali.

Menyembelih orang dan mengorek jantungnya itu biasanya didapati pada aliran- aliran kaum sesat dalam upacara-upacara mereka.

Te-liong Hiangcu tidak terkejut sedikitpun mendengar ancaman yang bagi orang lain menyeramkan itu.

"Hemm, kau pikir aku ini kambing yang bisa diseret ke sana ke mari tanpa melawan? Siangkoan Hong, mimpimu untuk membangun kembali Hwe-liong-pang itu adalah mimpi anak kecil di siang hari bolong. Aku, majikan dari Kui-kiong (Istana Iblis), akan menggagalkanmu. Saat ini, Hwe-liong-pangmu hanya berujud impian, sementara Kui-kiong yang kupimpin sudah berujud! Sudah mempunyai jaringan luas di mana-mana, mempunyai banyak pengikut yang setia kepada perintahku meskipun aku suruh terjun ke ujung golok! Nah, bisakah kau mengalahkan kami?"

Hati Siangkoan Hong sudah terbakar, maka jawabnya sambil berteriak.

"Bisa! Asal aku bunuh kau sebagai pemimpinnya, maka semua iblis-iblis kecil di bawah pimpinanmu pasti akan berantakan semua!"

Te-liong Hiangcu masih hendak mengejek lagi.

Namun Siangkoan Hong sudah tidak memberinya kesempatan lagi, diiringi sebuah bentakan menggemuruh Siangkoan Hong telah memutar sepasang telapak tangannya dan kemudian menghantamkannya ke depan.

Seketika itu di halaman belakang rumah Tong Lam-hou itu seolah-olah dilanda badai dahsyat.

Jarak antara Siangkoan Hong dan Te-liong Hiangcu ada belasan langkah, namun tekanan pukulan yang dahsyat segera melanda Te-liong Hiangcu.

Rumpun-rumpun bunga yang dilewati oleh tenaga pukulan Siangkoan Hong itu sampai tercabut dari akarnya dan beterbangan porak- poranda.

Taman yang indah permai itupun hancur berantakan.

Te-liong Hiangcu tidak tinggal diam saja.

Ia undur selangkah sambil memasang kuda-kuda dan menyilangkan kedua tangannya, kemudian sambil membentak dengan tidak kalah kerasnya ia pun hantamkan sepasang telapak tangan ke depan untuk menyongsong tenaga pukulan Siangkoan Hong.

Dua tangan pukulan maha dahsyat yang tak berwujud itu berbenturan di udara, menimbulkan angin pusaran yang membuat kerusakan lebih parah lagi di halaman belakang itu.

Beberapa hiasan kebun yang terbuat dari batu dan kayu, telah terlempar ke atas karena terangkat oleh angin berpusar yang dahsyat itu, lalu kedua orang yang beradu kekuatan dari jarak belasan langkah itu sama-sama tergetar mundur selangkah.

Melihat pertarungan dua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu, diam-diam Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam.

Terasa alangkah kecil dirinya dibandingkan kedua orang paman gurunya yang saling bermusuhan itu.

Ia menjadi malu sendiri.

Ketika ia menjalani ujian pendadaran penerimaan prajurit di lapangan di luar kota Pak-khia itu, ia pernah merasa sangat bangga, apalagi ketika ribuan penonton bersorak-sorai untuk kehebatannya.

Rasanya saat itu ia adalah orang paling hebat di dunia ini.

Namun malam ini, di halaman belakang rumahnya sendiri dan tak ada seorang penontonpun selain dirinya sendiri, ia menyaksikan suatu pertarungan antara tokoh- tokoh cabang atas.

Pertarungan yang tidak dapat diurai dengan nalar.

Tong Lam-hou juga merasa bahwa udara di halaman belakang itu semakin dicengkam oleh suasana gaib, hawa dingin yang sama sekali berbeda dengan hawa dingin yang dikeluarkan apabila ia menggunakan ilmu pukulan Han-im- ci-ang, melainkan hawa dingin ini tidak membuat tubuh menggigil, hanya membuat perasaan bergidik seolah-olah berada di suatu tempat yang dihuni sekumpulan setan.

Sayup- sayup Tong Lam-hou mulai mendengar ada gumaman aneh dalam bahasa yang aneh mengumandang di udara, bahkan rasanya ada mahluk-mahluk tak terlihat yang ikut bertempur bersama kedua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu.

Bulu kuduk Tong Lam-hou kini berdiri tegak semuanya.

Inilah kiranya ilmu-ilmu warisan Bu-san-Jit-kui yang juga pernah diceritakan oleh Suhunya itu.

Sementara itu, Siangkoan Hong dan Te-liong Hiangcu telah berkelahi semakin sengit.

Kini mereka bukan hanya saling memukul dari jarak belasan langkah, melainkan telah saling berloncatan menerjang dengan jurus-jurus mereka yang sama kejamnya.

Mereka bukan cuma ingin saling mendorong dengan tenaga pukulan mereka, atau merobek-robek tubuh lawan dengan jari-jari mereka.

Gerakan mereka mula-mula bisa diikuti oleh mata Tong Lam- hou, namun semakin lama semakin cepat sehingga akhirnya mereka bagaikan.

dua bayangan yang bergulung menjadi satu tanpa terlihat lagi wujudnya.

Suasana seram dan dingin yang melingkupi arena pertempuran itu terasa semakin tebal, bahkan selapis tipis kabut kehijau-hijauan entah darimana datangnya, telah melingkari arena itu.

Suara-suara aneh yang mirip mantera-mantera bahasa asing dari aliran kepercayaan sesat itupun semakin nyata terdengar, bahkan sekali-sekali terdengar suara letupan-letupan.

Tong Lam-hou mundur beberapa langkah untuk menjauhi arena.

Diam-diam ia membatin.

"Ini bukan lagi perkelahian antara tokoh-tokoh persilatan, melainkan perkelahian antar iblis!"

Setelah Te-liong Hiangcu berkutetan sekian lama melawan adik seperguruannya tanpa perubahan keseimbangan, maka iapun habis sabarnya.

Ia meloncat mundur dari lawannya untuk mengambil jarak beberapa langkah, mulutnya menggumamkan mantera karena untuk mengeluarkan ilmunya yarg disebut Jit- mo-tiau-goat-sin-hoat Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rembulan Tong Lam-hou memperhatikan dengan seksama gerak-gerik iblis bertopeng itu, dan rasa-rasanya ia berada di dalam mimpi ketika melihat Te-liong Hiangcu meloncat, dan pada saat meloncat itulah seakan-akan tubuhnya berpisah dengan tubuh lainnya, sehingga tiba- tiba di tempat itu ada dua orang Te-liong Hiangcu dengan wujud yang sama Kedua- duanya lengkap dengan jubah hitamnya dan topeng tengkoraknya, dan keduanya begitu persis dan hidup sehingga sulit dibedakan mana Te-liong Hiangcu yang bertubuh kasar dan yang hanya bayangan ciptaan saja.

Bukan hanya sampai di situ, kedua wujud Te-liong Hiangcu itupun serempak bergerak dengan gerakan berbeda, dan ketika bergerak kembali, mereka meninggalkan bayangan mereka di tempat semula, sehingga kini ada empat orang Te-liong Hiangcu.

Keempat-empatnya berlari-larian silang menyilang membingungkan, dan ketika tiga orang wujud tiga orang Te-liong Hiangcu lagi, sehingga kini genaplah jumlahnya menjadi tujuh wujud Te-liong Hiangcu, sudah tentu yang asli hanya satu dan enam lainnya sekedar bayangan semu yang seolah-olah hidup.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun amat sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, apalagi jika ketujuhnya bergerak secara serempak dengan gerakan yang berbeda-beda.

"Jit-mo-tiau-goat-sin-kang!"desis Siangkoan Hong dengan bergetar. Tapi bekas orang ketiga dalam Hwe liong- pang itupun tidak mau kalah langkah, dalam waktu sekejap iapun telah mengeluarkan ilmu yang sama. Dan di kebun itu muncul pula berturut-turut enam orang Siangkoan Hong lainnya, jadi tujuh orang dengan yang asli. Maka bertempurlah kakak beradik seperguruan itu dengan dibantu bayangan- bayangan mereka sendiri. Kini seolah-olah ada tujuh pasang orang yang sedang berkelahi, namun ke tujuh pasangan itu tidak berkelahi dengan lawan yang tetap, melainkan loncat sana loncat sini berganti-ganti lawan. Tong Lam-hou benar-benar merasa pening kepalanya melihat adu ilmu yang luar biasa itu. Kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, barangkali iapun sulit mempercayainya. Namun ia tidak mau melewatkan kesempatan yang luar biasa itu, ditenangkannya hatinya dan iapun mencoba memperhatikan jalannya pertempuran dengan cermatnya. Di antara wujud-wujud Te-liong Hiangcu dan Siangkoan Hong yang sama-sama berjumlah tujuh orang dan bersambaran itu, sebenarnya yang bisa benar-benar melukai hanyalah satu orang saja, yaitu wujud aslinya. Yang enam orang hanya bertugas untuk membingungkan lawan agar membuat gerakan yang salah, sedangkan apabila wujud palsu itu memukul dan kena, yang dikenalnya tidak akan merasakan apa-apa, sebab yang "memukul"nya itupun hanya bayangan. Dengan semakin gencarnya gerakan-geakan bayangan-bayangan itu, maka baik wujud asli Te-liong Hiangcu maupun Siangkoan Hong sama-sama belum menemukan sasaran mereka yang sebenarnya. Beberapa kali mereka berhasil memukul telak wujud yang dikiranya lawan mereka, namun mereka seperti memukul asap saja. Dan tidak jarang bila Te-liong Hiangcu mengecoh Siangkoan Hong dengan gerakan pancingan dari salah satu "diri"nya, ternyata yang seolah-olah terkecoh itupun cuma Siangkoan Hong palsu. Tidak jarang jika wujud palsu saling terjang dengan wujud palsu lainnya, maka keduanya seakan bertabrakan namun dapat saling melewati tubuh "lawan"

Masing-masing begitu saja, seperti dua gumpal asap yang berpapasan tentu tidak menimbulkan bentur an sekecil apapun. Perlahan-lahan Tong Lam-hou mulai memahami "pola-kerja"

Ilmu yang aneh itu.

Ternyata kecerdikan otak untuk memainkan tayangan-bayangannya sendiri untuk menjebak musuh, juga memainkan peranan di sini, sambil berusaha mengetahui siapa musuh yang sebenarnya, agar pukulannya tidak sekedar menghantam bayangan kosong.

Dalam hal kecerdikan, ternyata Te-liong Hiangcu dan Siangkoan Hong cukup seimbang pula.

Supaya mereka tidak dapat ditebak oleh lawannya, maka mereka tidak menggunakan pukulan jarak jauh mereka yang menimbulkan deru angin keras itu, sebab jika sampai mereka berbuat demikian, itu sama saja dengan memberitahukan kepada lawan siapa yang asli di antara ketujuh wujud itu.

Masing-masing berusaha menyamarkan diri sebaik mungkin di antara wujud-wujud palsu mereka sendiri.

Tong Lam-hou memperhatikan jalannya perkelahian dengan tegang bercampur kagum.

"Kalau seseorang yang kurang tabah hatinya berkelahi melawan ilmu ini, maka dalam waktu singkat dia akan menjadi gila sendiri,"

Pikirnya.

Setelah pertempuran itu berjalan cukup lama tanpa ada yang bisa menarik keuntungan, agaknya Siangkoan Hong mulai bosan.

Di otaknya mulai terpikir untuk menggunakan ilmu lainnya, yang boleh dikatakan sebagai linu puncak atau vang paling hebat dari ilmu-ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui.

Ilmu itu disebut Thian-mo-kay-teh-kang (Iblis Langit Melukai Badan).

Dengan cara melukai diri sendiri, yaitu menggigit lidah sehingga berdarah, maka tenaga di dalam tubuh akan dapat dikobar kan sampai beberapa kali lipat dari tenaga aslinya.

Namun penggunaan ilmu itu ada juga bahayanya bagi diri sendiri, yaitu bahwa timbulnya tenaga yang berlipat ganda itu hanya dalam waktu yang singkat saja, setelah itu kekuatannya justru akan merosot tajam.

Apabila pada saat kekuatannya merosot itu musuh belum berhasil dibereskan, maka alamat dirinya sendirilah yang akan dibereskan oleh musuh.

Sehabis penggunaan ilmu itu, biasanya orangnya juga akan, menderita luka berat untuk beberapa waktu lamanya.

Jenis ilmu sesat ini sangat dikutuk oleh kaum lurus, bahkan di kalangan kaum sesat sendiripun penggunaannya terbatas hanya jika tenar-benar sudah tidak ada jalan lain dan harus memenangkan pertempuran.

Maka tiba-tiba Siangkoan Hong asli segera meloncat mundur dari gelanggang pertempuran, dan langsung meninggalkan Ilmu- Ilmu Jit-mo-tiau-goat-sin-kang yang lebih mirip dengan ilmu sihir daripada ilmu silat itu.

Keenam wujud palsu dirinyapun tiba-tiba hilang menguap begitu saja, tinggal wujud aslinya yang berdiri tegak dengan kedua tangan direntang ke samping, dengan sorot mata yang semakin tajam dan tubuh yang bergetar karena pengerahan ilmu lainnya.

Thian-mo-kay-teh- kang.

Te-liong Hiangcu agak terlambat mengurai situasi, wujud-wujud-palsunya masih saja berloncatan mencoba membingungkan lawan, namun tidak dipedulikan oleh Siangkoan Hong.

Bahkan andaikata yang mendekatinya itu wujud Te liong Hiangcu yang asli, justru itulah yang ditunggunya, hantaman akan disambutnya dengan hantaman pula agar orang yang dibencinya itu terlempar mampus.

Melihat sikap Siangkoan Hong itu, justru dada Te-liong Hiangcu berdesir hebat.

Diapun pewaris dari ilmu-ilmu dalam kitab peninggalan Bu-san-jit-kui, dan ia tahu ilmu apa yang sedang akan dilontarkan oleh Siangkoan Hong itu.

Terpaksa ia harus mengimbanginya dengan ilmu yang sama, sebab kalau tidak maka dirinya akan hancur berkeping keping tergilas ilmu yang dahsyat itu.

Bayangan-bayangan palsu Te-liong Hiangcu serempak menghilang dari tengah arena, menyusul nampak orang bertopeng tengkorak itu berdiri dalam sikap sama dengan Siangkoan Hong, karena diapun terpaksa harus menggunakan ilmu yang sama, meskipun hatinya sama sekali tidak suka hal itu.

Waktu itu, getaran tubuh Siangkoan Hong semakin keras, dari sela-sela bibirnya meneteskan darah yang menandakan bahwa ia sudah mulai menggigit lidahnya, lalu diiringi dengan teriakan keras ia melompat ke depan dengan sepasang telapak tangan dihantamkan sekuat tenaga.

Deru angin dahsyat bercampur suara seperti dengung aneh segera melanda ke depan, jangan lagi tubuh manusia, sedang batu sebesar kerbaupun akan hancur lebur tertimpa pukulan itu.

Namun Te-liong Hiang-cu tidak membiarkan tubuhnya hancur berkeping- keping.

Dengan tergesa-gesa ia menggigit lidanya sehingga luka dan mengerahkan tenaga dalam tubuhnya sehingga mirip perut gunung berapi yang hampir meledak, lalu dengan keras lawan keras disongsongnya langsung pukulan Siangkoan Hong dengan pukulan pula, bahkan juga sambil meloncat.

Benturan dahsyat dari ilmu yang sama dari kakak beradik seperguruan itu segera menggetarkan tempat itu.

Udara yang terbelah dan mengatup kembali itu menimbulkan suara bagaikan guntur meledak di langit.

Tekanan tenaga pukulan dari kedua pihak yang berbenturan itupun menimbulkan angin berputar berkekuatan hebat, sehingga kebun bunga seluas dua tiga tombak di sekitar benturan itu menjadi bersih karena tanaman- tanamannya tercabut dari tanah dan terlempar ke udara untuk kemudian jatuh kembali beberapa tombak di sekitarnya.

Sementara lengan-lengan yang beradu kekuatan itu seperti lempengan-lempengan besi yang dibenturkan.

Kedua orang itu sama-sama terlempar jatuh dan bergulingan beberapa langkah, dan kemudian sama-sama terbaring terlentang di halaman belakang yang sudah porak-poranda tak keruan itu.

Baik Te-liong Hiangcu maupun Siangkoan Hong sama-sama memperdengarkan pernapasan yang berat dan tersengal-sengal, menandakan bahwa benturan tadi benar-tenar telah menguras habis tenaga kedua telah pihak.

Dengan terlongong kagum campur ngeri Tong Lam-hou melihat kesudahan dari perkelahian sepasang saudara seperguruan yang menjadi musuh bebuyutan itu.

Ketika melihat tubuh Siangkoan Hong masih bergerak- gejrak, cepat-cepat Tong Lam-hou berlari mendekatinya sambil memanggil.

"Paman Siangkoan, apakah kau baik-baik saja?"

Dengan muka yang pucat dan jenggot yang berubah warna menjadi merah karena basah oleh darah, Siangkoan Hong berkata dengan terbata-bata.

"Cepat lihat iblis itu masih hidup atau tidak. Kalau masih hidup, tikam saja jantungnya dengan pedangmu. Dia adalah biang keladi runtuhnya Hwe-liong-pang, Dan biang keladi kematian ayahmu pula."

Jika menuruti saja jiwa yang panas bergolak oleh dendam, rasa-rasanya Tong Lam-hou ingin berbuat seperti yang dianjurkan oleh Siangkoan Hong itu, namun pertimbangan lain mencegahnya.

Bagaimanapun juga wataknya sebagai seorang jantan telah mencegahnya untuk menghunjamkan pedang ke tubuh seorang yang kempas-kempis tanpa daya sedikitpun, meskipun itu adalah musuhnya.

Maka dibiarkannya saja ucapan paman Siangkoan-nya itu, pura-pura tidak didengarnya.

Bahkan pedangnya diletakkannya di tanah dan dengan kedua tangannya ia hendak mengangkat tubuh Siangkoan Hong, sambil berkata "Udara malam yang lembab kurang baik untuk kesehatan paman, apalagi paman sudah luka, mari aku angkat ke dalam rumah untuk mendapat pengobatan."

Namun Siangkoan Hong menolak tangan Tong Lam-hou itu meskipun dengan tenaga yang lemah, dengan mata mendelik ia berkata kepada Tong Lam-hou.

"Anak bodoh, kenapa kau sibukkan dirimu dengar, lukaku yang tidak bakal mematikan aku ini? Cepat bunuh Te-liong Hiangcu sebelum dia mendapat sedikit kekuatannya untuk melarikan diri. Cepat!"

"Tidak, paman,"

Sahut Tong Lam-hou sambil menggelengkan kepalanya.

"Orang itu berbaring tak berdaya, hampir mampus. Tidak jantan kalau aku menusuk seseorang yang tidak sanggup melawan lagi."

Mata Siangkoan Hong terbelalak.

"Anak bodoh, tolol, goblok! Kapan kau akan mendapatkan kesempatan sebaik ini untuk membalaskan dendam ayahmu? Ayo cepat lakukan! Sikap jantan hanya perlu kau tunjukan kepada orang-orang yang bersikap jantan pula, bukan kepada seseorang yang telah tega menyerang kakak seperguruannya sendiri dengan cara yang sangat licik. Jika kau lepaskan dia kali ini, maka lain kali kau akan dicekiknya hingga mampus. Kau kira dia akan berterima kasih karena dia kau ampuni jiwanya?"

Tong Lam-hou tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, aku tidak peduli dia tidak berterima kasih kepadaku atau bahkan semakin membenciku,tapi aku tidak akan membunuhnya saat ini. Kelak, aku akan membunuhnya jika kami berhadapan secara adil. Mari paman aku bawa ke dalam."

Jika saja Siangkoan Hong masih punya tenaga, ingin dia menggampar muka Tong Lam- hou yang dirasanya sangat menjengkelkan itu, lalu dengan tangannya sendiri pula la akan mencekik Te-liong Hiangcu, si biang keladi keruntuhan Hwe-liong-pang yang dulunya la bangga-banggakan itu.

Namun apa daya, tubuhnya luka parah, untuk bangkit duduk saja tidak punya tenaga, maka segala kemendongkolannya disimpannya saja dalam hati.

Dan ia tidak meronta lagi ketika Tong Lam- hou mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam rumahnya.

Ketika Tong Lam-hou melewati tubuh Te- liong Hiangcu yang juga masih terbaring lemah itu, memang timbul juga sedikit sadar untuk membunuh orang itu.

Tidak usah dengan pedang, cukup dengan menginjak lehernya saja maka orang jahat itu akan mati.

Namun akhirnya sifat-sifat baiknya yang mengusai dirinya.

Yang kemudian dilakukannya bukanlan menginjak leher orang itu, melainkan dengan ujung kakinya ia menyingkap topeng perunggu yang melapisi wajah Te-liong Hiangcu.

Ia hanya ingin melihat wajah asli dibalik topeng itu, supaya kelak jika ditemuinya lagi orang itu akan dapat diajaknya bertarung memperhitungkan dendam ayahnya.

Ketika topeng perunggu itu tersingkap, muncullah seraut wajah lelaki berusia menjelang setengah abad, wajahnya sebenarnya cukup tampan, dihiasi dengan kumis tipis yang bagus di atas bibirnya.

Namun wajah itu kini pucat, sementara matanya yang berkerdip- kerdip menatap ke arah Tong Lam-hou itu memancarkan kemarahan dan nafsu membunuh, kelicikan, namun sekaligus juga kekuatiran kalau Tong Lam-hou membunuhnya.

Tadi ia sudah berusaha membunuh Tong Lam- hou, dan sekarang jika Tong Lam-hou ingin membunuhnya maka semudah membunuh seekor kelinci sakit-sakitan.

Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memeondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu.

Katanya dingin.

"Bangsat, tahukah kau bahwa saat ini aku dapat membunuhmu dengan mudah? Tetapi aku tidak selicik kau, meskipun Ilmuku jauh lebih rendah dari ilmumu, namun kelak aku tetap akan berusaha membunuhmu dengan cara seorang lelaki. Cara jantan. Paling tidak aku boleh berbangga dengan sikapku sendiri ini, karena watakku tidak serendah watakmu yang tidak segan-segan menaruh binatang beracun dalam makananku. Itu perbuatan orang-orang hina."

Mata Te-liong Hiangcu nampak berkilat mendengar ucapan Tong Lam-hou yang menusuk hati itu.

Alangkah benci dan marahnya ia kepada anak Tong Wi-siang itu, namun luka- lukanya akibat benturan ilmu dengan Siangkoan Hong tadi memang benar-benar luka yang berat.

Namun Te-liong Hiangcu masih sempat melontarkan kebenciannya dengan sepatah kalimat.

"Kau akan menyesal kelak."

Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin.

"Bangsat... Siangkoan Hong yang dipapah oleh Tong Lam-hou itupun masih mencoba mempengaruhi anakmuda itu.

"Benar, anak muda, kau akan menyesal kelak. Bunuh pengkhianat itu sekarang juga."

Namun Tong Lam-hou tidak peduli lagi, dengan hati-hati dibawanya Siang koan Hong ke dalam rumahnya, dan dibaringkannya di pembaringan miliknya sendiri sambil berkata.

"Beristirahatlah, paman, jangan dipikirkan lagi iblis bertopeng yang masih terbaring di luar itu. Jika paman mau, aku akan menghangatkan makanan buat paman."

Siangkoan Hong duduk di atas pembaringan dan menatap wajah Tong Lam-hou lekat-lekat. Katanya.

"Kau segala-segalanya mirip dengan Toasuheng Tong Wi-siang, baik wajah, perawakan maupun keberaniamu, hanya ada satu kekuranganmu dibandingkan dengan dia."

Tong Lam-hou yang memang selalu merasa dahaga untuk mendengar kisah-kisah hidup ayahnya yang tidak pernah dilihatnya itu, segera bertanya.

"Kekurangan apa?"

Kata Siangkoan Hong.

"Kau terlalu baik hati terhadap orang yang jahat seperti Te-liong Hiangcu sekalipun, dan itu kelak akan membuahkan kesulitan bagimu sendiri, nak. Ayahmu juga seorang yang baik hati, namun ia dengan tegas dapat membedakan siapa yang masih berhak untuk diampuni dan siapa yang sudah tidak berhak untuk dihidupi lagi. Terhadap orang jenis kedua ini, ayahmu tidak ragu-ragu untuk bertindak tegas."

Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam.

"Aku memang bukan ayah, dan barangkali aku juga tidak akan seperkasa dan sekuat ayahku."

Sinar mata Siangkoan Hong nampak agak kecewa ketika mendengar pengakuan Tong Lam-hou itu. la menarik napas berulang kali dan berkata.

"Ya, sebenarnya aku menaruh harapan kepadamu untuk suatu hal."

"Hal apa?"

"Membangun kembali Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang kuat dan perkasa, meneruskan cita-cita ayahmu yang belum sempurna terlaksana."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Apakah itu perlu?"

"Apa-apaan ucapanmu ini?"

Kata Siangkoan Hong dengan suara meninggi karena jengkel melihat sikap Tong Lam-hou.

"Ucapanmu yang kebanci-bancian itu tidak pantas diucapkan oleh putera mendiahg Hwe-liong Pangcu yang gagah perkasa!"

Segera Tong Lam-hou tahu bahwa sang paman Siangkoan yang baru ditemukannya malam ini adalah seorang yang berwatak keras kepala dan pemberang pula, seorang yang agak sulit diajak bicara dengan kepala dingin.

Namun betapapun Tong Lam-hou berterima-kasih karena nyawanya sudah diselamatkan oleh paman Siangkoan ini dari terkaman Te-liong Hiangcu, dan bagaimanapun juga Siangkoan Hong adalah adik seperguruan mendiang ayahnya yang pantas dihormati sebagai orang tua.

Kemudian Tong Lam-hou ingat pula seorang paman lainnya, bukan hanya adik seperguruan ayahnya tapi malahan adik sekandung dari ayahnya.

Tong Wi-hong.

Pendekar dari kota Tay-beng yang selalu berpakaian serba putih dan terkenal dengan julukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) dan ilmu pedangnya yang hebat.

Sejak pertama kali Tong Lam-hou bertemu dengan pamannya itu, sudah timbul rasa kagum dan hormatnya ia melihat sikapnya yang agung dan tutur katanya yang penuh kebijaksanaan itu.

Tapi sayang, paman dan keponakan itu harus berdiri pada pihak- pihak yang berseberangan karena membela pendiriannya masing-masing.

Tong Lam-hou merasa bahwa pamannya itu tidak memahami pendiriannya untuk mengabdi Negara dan Kaisar, menciptakan ketertiban dan kedamaian di seluruh negeri, sebab hal itulah yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat banyak sejak Li Cu-seng memberontak dulu.

Bertahun-tahun yang ada hanyalah perang, perang dan perang melulu, yang membuahkan Kekacauan, perkosaan, perampasan sewenang-wenang, pembunuhan tanpa diadili dan sebagainya.

Namun Tong Lam-hou sadar bahwa paman Tong-nya itu telah menganggapnya sebagai pengkhianat, kaki tangan bangsa Manchu dan sebagainya.

Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam kalau memikirkan semua persoalan itu.

Dulu ketika ia hidup di gunung hanya bersama ibunya, dia mendambakan alangkah senang hidupnya kalau seperti orang lain, bukan hanya punya ibu tetapi juga punya keluarga lainnya, mungkin paman atau bibi, saudara sepupu dan lain-lainnya.

Namun setelah didapatkannya seorang paman seperti Tong Wi-hong dan seorang bibi sperti Tong Wi- lian, malahan timbul pertentangan dalam jiwanya.

Kini muncul pula seorang paman guru seperti Siangkoan-Hong yang sikapnya sangat keras itu, menambah rumitnya pergolakan jiwanya.

Dibandingkan ketika la "hanya punya"

Seorang ibu di gunung dulu, masa lalu seperti itu ternyata jauh lebih tenteram bagi jiwa nya.

"He, kenapa kau melamun?"

Tanya Siangkoan Hong mengejutkan Tong Lam-hou.

"Kau tersinggung oleh kata-kataku?"

Tong Lam-hou menyeringai canggung, lalu menyahut.

"Tidak, paman. Mana berani aku tersinggung oleh nasehat paman yang bermaksud baik kepadaku itu. Paman aku anggap sebagal orang tuaku."

"Benar demikian? Kau anggap nasehatku ada unsur-unsur kebenarannya?"

Sekenanya Tong Lam-hou menjawab.

"Tentu, paman. Umur paman yang jauh lebih tua daripadaku itu menjadikan paman memiliki lebih banyak pengalaman dan kebijaksanaan daripadaku yang masih hijau ini."

Tak terduga Jawaban yang sekenanya membuat Tong Lam-hou tersudut ke dalam kesulitan. Siangkoan Hong nampak tertawa puas, katanya.

"?Nak kalau kau anggap nasehatku cukup baik, keluarlah ke halaman belakang dan bunuhlah pengkhianat Hwe-liong- pang itu demi arwah ayahmu. Jangan ragu- ragu."

Tong Lam-hou mengeluh dalam hatinya, yang terpikir di kepala pamannya ini apakah tidak lebih dari membunuh dan membalas dendam untuk urusan Hwe-liong-pang yang sudah kedaluwarsa itu.

Tidak adakah urusan penting lainnya yang lebih penting dari itu? Sesaat Tong Lam-hou jadi kebingungan bagaimana harus menjawab permintaan paman gurunya itu.

Sikap ragu-ragu Tong Lam-hou itu membuat SiangKoan Hong naik darah.

"Anak tak bergunal!. Benar-benar anak tak berguna! Kau akan mengemukakan alasanmu yang sok kesyatria bahwa membunuh orang tak berdaya itu tidak dibenarkan? Padahal inilah satu- satunya kesempatanmu untuk mengimpaskan dendam ayahmu, satu-satunya kesempatan. Kalau si bangsat Te-liong Hiangcu itu sudah sembuh dari lukanya, kau kira kau bisa mengalahkannya? Kaulah yang akan mampus di tangannya!"

Panas Juga darah Tong Lam-hou.

"Tidak, paman, apapun kata paman Siangkoan, tetapi kelak aku tetap harus membunuhnya dengan cara kesyatria, bukah cara yang licik. Jika kepandaianku tidak mencukupi, aku akan berlatih keras agar ilmuku semakin tinggi, kalau perlu minta bantuan paman Siang--koan untuk membimbing peningkatan ilmuku."

Wajah Siangkoan Hong nampak memucat karena jengkelnya, dengan jari gemeretak ia menuding wajah Tong Lam-hou.

Dan karena jengkelnya akhirnya bagian dalam tubuhnya yang terasa nyeri karena luka dalamnya itupun kambuh kembali, iapun mengeluh sambil tekan dadanya sendiri dan tubuhnya condong ke depan, hampir jatuh dari pembaringannya.

Untunglah Tong Lam-hou cepat-cepat menyangga tubuhnya.

"Paman, kau beristirahatlah dengan tenang, tenteramkan pikiranmu."

Siangkoan Hong menurut saja ketika Tong Lam-hou meletakkan tubuhnya perlahan-lahan di kasur, bahkan menyelimutinya sampai ke dada.

Sesaat napas bekas nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu nampak terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai kesakitan, tapi semakin lama semakin tenang.

Dibukanya matanya dan berkatalah ia.

"Tinggalkan aku sendirian, aku akan mengobati luka dalamku dengan ilmuku sendiri. Pikirkan baik-baik semua ucapanku tadi."

Untuk melegakan hati paman gurunya itu, Tong Lam-hou menjawab juga.

"Baik, paman Siangkoan. Akan kupikirkan baik-baik."

Lalu Tong Lam-houpun meninggalkan kamar itu.

Ia berjalan menuju ke dapur dan berharap masih akan bisa menemukan makanan di sana, untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Makanan yang disediakan oleh bibi Ciu di atas meja tadi jelas tidak lagi bisa dimakan, sebab sudah tercemar oleh racun.

Ketika ia melewati kebun belakang di mana tadi Te-liong Hiangcu terbaring, maka dilihatnya orang bertopeng itu sudah tidak ada di tempatnya lagi.

Nampak segumpal darah kehitam-hitaman tercecer di rerumputan tempatnya berbaring tadi, namun orangnya sendiri sudah tidak terlihat.

Agaknya ia sudah cukup punya tenaga untuk membawa dirinya meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, dengan menyeret langkahnya Te-liong Hiangcu berusaha menjauhi rumah Tong Lam-hou itu.

Topeng perunggunya dan jubah hitamnya yang mudah menarik perhatian orang itupun telah dilemparkan ke sebuah parit.

Meskipun malam cukup sunyi, karena sudah larut, namun di kota besar semacam Pak-khia masih ada saja orang- orang yang berkeliaran di malam sunyi itu.

Kalau bukan prajurit-prajurit yang berjalan berkeliling untuk menjaga keamanan, tentunya juga pemabuk atau penjudi yang pulang kemalaman, atau si hidung belang yang sedang pulang dari rumah pelesiran atau justru sedang berangkat ke sana untuk hasratnya yang berkobar.

Untuk tidak menarik perhatian, Te-liong Hiangcu yang sedang "memakai"

Wajah aslinya itupun menyamar sebagai pemabuk.

Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berkata-kata sendiri tak keruan, kadang-kadang menyanyi dengan suara yang parau.

Beberapa prajurit yang berpapasan memang tidak curiga apapun kepadanya, meskipun ada juga seorang prajurit yang menendang pantat Te-liong Hiangcu ketika berpapasan disebuah gang.

Kini Te-liong Hiangcu agak kebingungan hendak menuju ke mana untuk mengistirahatkan tubuhnya yang luka dalam itu? Ke rumah Pakkiong An sebagai sekutunya? Tidak mungkin, sebab Te-liong Hiangcu tahu bahwa kerjasamanya dengan panglima Ui-ih- kun itu bukan kerjasama yang tulus, baik dari pihaknya sendiri maupun dari pihak Pakkiong An, jangan-jangan malah masuk perangkap dan selanjutnya ia hanya akan menjadi sekedar alat untuk memenuhi ambisi panglima tua itu? Ke tempat Hehou Im? Terhadap bekas anakbuahnya dalam Hwe-liong-pang itu pun ternyata Te-liong Hiangcu kurang percaya, jangan-jangan Hehou Im seekor ular berkepala dua yang sanggup menggigit siapa saja demi keuntungan dirinya sendiri? Lalu hendak ke rumah siapa? Ke rumah salah seorang anakbuahnya yang ada di Ibukota Kerajaan ini? itupun ternyata tidak berani dilakukan, sebab siapa tahu kalau anak buahnya yang merasa tertindas olehnya selama ini tiba-tiba merasa mendapat kesempatan untuk mencekiknya? Dalam keadaan membutuhkan seseorang yang dipercayanya seperti saat itu, tiba-tiba Te- liong Hiangcu timbul perasaan bahwa dia sebenarnya sendirian di dunia ini.

Sendirian, tanpa seorangpun yang dipercayainya.

Selama ia tidak terluka seperti itu, ia merasa berkuasa, setiap anakbuahnya dapat diperalatnya semau- maunya tanpa berani membantah, namun ternyata tak seorangpun di antara mereka yang dipercayainya.

Ia sendiri tanpa kawan.

Semua itu akibat tindakkannya sendiri selama ini, memperbudak orang, menyiksa secara kejam, berbuat licik dan sebagainya.

sehingga tak seorangpun yang diperolehnya sebagai kawan.

Budak memang banyak, sekutu juga ada, tapi seorang kawan, tak seorangpun.

Bahkan dengan saudara-saudara seperguruannya sendiri yang merupakan kawan-kawan sepermainan sejak kecil di kota An-yang-shia, dia telah bermusuhan.

Andaikata Te-liong Hiangcu menyadari kesendiriannya itu, mungkin ia akan mengubah jalan hidupnya, sebab apa enaknya hidup tanpa kawan seorangpun seperti itu? Seumpama ia berhasil menjadi Bu-lim Bengcu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan) seperti yang diimpikannya, bahkan kemudian menggerakkan pemberontakan untuk merebut singgasana dan menjadi seorang Kaisar, ia akan hidup kesepian di istananya yang megah dan penuh dengan manusia.

Kesepian, sebab ia tidak akan mempercayai orang-orang di sekitarnya, selalu bercuriga jangan jangan ia akan dikhianati.

Apa enaknya hidup macam itu? Seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak gunung batu yang tinggi, dilihat dari bawah ia nampak begitu perkasa, namun tahukah bahwa rajawali itu sendirian, kedinginan dan kesepian? Kehangantan pergaulan antar sesama tidak akan pernah dinikmatinya.

Namun kesadaran macam itu belum ada dalam hati Te-liong Hiangcu.

Hatinya masih saja tertutup oleh gejolak nafsu kekuasaannya yang tak kunjung padam, singkirkan siapa saja yang merintangi, susun sebuah lalan ke masa depan dengan menggunakan ribuan mayat sesama.

Tekan dalam-dalam rasa kesepiannya demi Jalan menuju singgasana kekuasaan .

Akhirnya Te-liong Hiangcu menemukan juga tempat yang dianggapnya cocok untuk tempat persembunyian sementaranya untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya.

Sebuah rumah bekas milik seorang hartawan yang mati membunuh diri dan letak rumah itu berjauhan dari letak rumah-rumah lainnya di gang itu.

Kata penduduk, hartawan yang menggantung diri itu masih suka menampakkan dirinya di malam hari.

Tapi Te-liong Hiangcu tak peduli.

Segala macam setan iblis atau hantu gentayangkan adalah sahabatnya, menguasai hatinya dan bukankah dia dengan bangga juga menamakan komplotan yang dipimpinnya itu sebagai Kui-kiong (Istana Iblis) Ketika ia melangkah masuk ke halaman rumah yang ditumbuhi rerumputan setinggi dada itu, Te- liong Hiangcu tidak peduli sedikitpun ketika merasa ada angin dingin menghembus tengkuknya.

Bahkan dengan garang Te-liong Hiangcu menggeram entah ditujukan kes-pada siapa.

"Enyahlah daripadaku, hantu-hantu kerdil, aku bisa menghajar kalian meskipun kalian tidak tampak . Akulah majikan Kui-kiong, tuan kalian, dan penguasa kalian, dan kalian adalah pesuruh-pesuruhku yang paling rendah derajatnya"

Untuk sementara, tempat itu menjadi tempat Te-liong Hiangcu bersembunyi sambil menyembuhkan luka-lukanya.

Bulan yang hanya sepotong di langit perlahan-lahan menggeser dirinya ke arah barat diikuti bintang-bintang yang lenyap satu persatu dari iangit.

Biang Ilmu Hitam Hek Hoat Bo Karya Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang
^