Pencarian

Bidadari Penebar Maut 3

Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut Bagian 3


Namun dalam perjalanan, Tanggul Api yang tidak menyukai ketiga perwira itu lebih sering memisahkan diri dari rombongan.

Terkadang dengan menggunakan seruling bambu biasa, pemuda ini kerap meniup seruling di malam hari.

Sebenarnya Tanggul Api memilki seruling sakti yang dikenal dengan nama Seruling Halilintar.

Seruling Halilintar pemberian gurunya Ki Ageng Saba Biru lenyap karena dicuri.

Yang mencuri gurunya sendiri yang berpura-pura mati.

Sang guru mempergunakan seruling untuk melancarkan serangkaian pembunuhan keji.

Walau awalnya Tanggul Api tidak percaya Ki Ageng Saba Biru telah berbuat jahat dengan membunuh banyak orang termasuk juga menghabisi Durgandala sang pembawa Mutiara Tujuh Setan.

Namun lambat laun Tanggul Api sadar, gurunya telah diperalat Bethala Karma.

Ki Agung Saba Biru melakukan semua itu karena dijanjikan akan diberi ilmu langka yang menjadikan dirinya kembali muda dan tidak mengenal kata mati.

Gurunya tewas di reruntuhan candi kuno (dalam episode tujuh mutiara setan & seruling halifintar) tetapi Tanggul Api tidak menemukan Seruling Halilintar dalam tubuh kaku sang guru.

Untuk mencari seruling sakti itu kembali maka Tanggul Ap rela bergabung dengan Peri Halilintar.

Seperti telah diketahui Seruling Halilintar sebenarrnya ada pada Raja Gendeng 313.

Pemuda ini sengaja menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya yaitu Tanggul Api.

Sayang dalam perjalanan bersama tiga perwira setan, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi Per Halilintar yang saat itu sedang membujuk Tanggul Api agar tidak lebih banyak menyendiri ternyata keduanya dihantam cahaya putih aneh yang muncul dari langit.

Cahaya itu meringkus kedua tubuh sehingga membuat mereka tidak berdaya.

Lalu cahaya itu membawa keduanya ke sebuah ruangan aneh.

Kuatnya kesaktian yang datang bersama pancaran cahaya melenyapkan ingatan perwira setan bahwa mereka telah kehilangan Peri Halilintar dan Tanggul Api.

Bahkan sampai ketiga perwira itu bertemu dengan Raja dan dapatkan mutiaranya kembali ketiga perwira itu tidak pernah menyinggung kehadiran Peri Halilintar dan saudaranya.

Kembali pada Tanggul Api.

Setelah menyadari menghancurkan pintu penyekapan justru dapat membuat celaka diri mereka maka pemuda itu menggerutu tak karuan menyalahkan nasib sambil berjalan mondar-mandir di depan Peri Halilintar.

Melihat sikap Tanggul Api yang dianggapnya menjadi sebab mereka terkurung, sang dara tiba tiba membuka mulut.

"kebencianmu pada Tiga Perwira Setan berbuah keburukan bagi kita berdua. Andai saja kau selalu bersama ketiga perwira itu, tidak memisahkan diri. Kemungkinan besar kita tidak terperangkap di tempat ini."

Kata-kata Peri Halilintar walau diucapkan dengan lembut namun membuat wajah dan telinga Tanggul Api menjadi panas.

Tiba-tiba Tanggul Api balikkan badan. Memandang pada dara di depannya dengan mata mendelik sengit dia berkata.

"aku benci pada setan-setan gundul itu. Di dunia mana setan berhati baik? Semua setan musuh manusia. Mengapa kau berpihak padanya? Mengapa kau tidak memihak pada kepentinganku?"

"Kebencianmu adalah kebencian membabi buta. Kau lupa atau juga tidak menyadari bahwa tidak sedikit dari manusia yang bertingkah laku seperti setan? Hik hik hik!"

"Mengapa kau berkata begitu?"

Tukas Tanggul Api gusar.

"Jangan memandangiku seperti itu. Rupanya kau masih belum sadar juga bahwa kau sudah banyak ditipu, saudaraku. Apalagi gurumu sendiri menipumu."

"Sudah, jangan lagi singgung masalah itu. Guruku telah tewas, Seruling Halilintar tidak aku ketahui dimana beradanya. Aku harus mendapatkan senj?taku itu."

"Kalau kau masih penasaran dengan seruling sakti yang lenyap, mengapa kau membawa-bawa seruling besi itu?"

"Mengapa? Aku sudah terbiasa hidup dengan seruling. Aku juga butuh hiburan saat menyendiri.Sebelum seruling yang asli kutemukan, tidak mengapa seruling yang biasa ini menemani sebagai penggantii!"

Jawab Tanggul Api sambil mengusap seruling besi putih yang terselip di pinggangnya.

Peri Halilintar tersenyum sambil geleng kepala.

"Sejak kecil setiap lelaki pasti punya seruling. Tentu saja lelaki tidak bisa berpisah dengan serulingnya. Lain dengan perempuan. Mana ada permpuan yang punya seruling. Itu sebabnya perempuan setelah dewasa harus mencari seruling sebagai teman hidup."

Kata Peri Halilintar sambil senyum-senyum sendiri.

"Kau ini bicara apa? Kau mengira terperangkap di tempat ini sesuatu yang patut ditertawakan?"

Kata Tanggul Api yang tidak bisa mendengar jelas ucapan Peri Halilintar akibat suara gemuruh diluar ruangan seperti suara hujan deras.

Sang dara cantik bangkit berdiri.

Dia menatap ke langit-langit ruangan yang bocor.

Memandang ke arah pintu batu yang digedor paksa oleh Tanggul Api dilihatnya semakin banyak air yang merembes masuk ke dalam.

Malah kini lantai ruangan telah tergenang air setinggi mata kaki

"Ada suara aneh di atas langit-langit.
"

Gumam Tanggul Api.

"Mungkin saja itu adalah arus air sungai tapi bisa jadi itu suara pusaran air. Mahluk yang telah menculik dan membawa kita kemari kurasa sejenis siluman. Dia menetap dibalik dasar sungai. Sayang aku tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana ujudnya." kata Peri Halilintar.

"Aku hanya melihat sekilas. Mahluk itu adalah seekor buaya, buaya putih yang besar sekali. Mengapa dia membawa dan menyekap kita. Siapa mahluk itu? Dia pasti bukan buaya biasa!"

"Mahluk jejadian, sebangsa siluman. Aku sendiri tidak mengerti mengapa dia membawa kita kemari?"

Jawab Tanggul Api.

Peri Halilintar terdiam.

Sekali lagi dia menatap ke arah pintu.

Entah mengapa, gadis pemberani itu tiba-tiba saja menjadi gelisah.

Dalam kegelisahan Peri Halilintar mencoba berpikir mengapa mahluk yang tidak mereka kenal tiba-tiba datang menjemput, melumpuhkan mereka dengan cahaya putih.

Selagi Peri Halilintar tenggelam dalam pikiran yang tiada menentu.

Tiba-tiba saja suara gemuruh diluar ruangan berhenti.

Tanggul Api dan Peri Halilintar saling berpandangan

"Suara gemuruh lenyap. Tapi sekarang terdengar suara langkah kaki!"

Kata Tanggul Api

"Ada orang yang datang. Siapapun dia, aku harus menghabisinya agar kita dapat keluar dari tempat dingin celaka ini!" geram sang dara.

"Apakah kau sanggup?"

Tanya Tanggul Api sambil menyeringai dingin seolah mengejek

"Apa maksudmu?"

Sentak dara cantik itu sambil diam-diam alirkan tenaga sakti ke bagian tangannya.

Tapi gadis ini kemudian dibuat kaget sendiri ketika menyadari pada puncak pengerahan tenaga dalam.

Segala kekuatan yang dia miliki mendadak lenyap, amblas entah kemana.

"Sudah kau coba?"

Tanya Tanggul Api. Kemudian tanpa menunggu jawaban saudaranya dia melanjutkan ucapan.

"Tiba-tiba saja kekuatanmu hilang.Tenagamu amblas lenyap hingga menjadikanmu seperti manusia biasa yang tak punya kekuatan apa-apa. Ketahuilah...tempat ini seperti dilindungi oleh satu tabir kekuatan dahsyat tidak terlihat yang sanggup melenyapkan kesaktian kita.Siapapun penguasa di sini, karena mampu melemahkan kekuatan kita maka berarti dia juga bisa menghabisi kita semudah membalikan telapak tangan."

Peri Halilintar diam membisu.

Dalam kebisuan muncul satu pertanyaan mengapa orang menculik dan mengurung mereka di sebuah tempat yang dapat membuat mereka mati kedinginan.

Suara langkah kaki kembali terdengar.

Tidak lama kemudian pintu bergoyang disertai getaran seperti ada sesuatu yang hendak menembus ke dalam.

Peri Halilintar dan Tanggul Api melangkah mundur menjauhi pintu.

Dua mata dipentang lebar.

Walau menyadari tenaga dalam mereka lenyap namun keduanya tetap bersikap waspada.

Sampai akhirnya...

Set!

Satu cahaya putih menembus pintu batu melesat masuk ke ruangan dalam.

Setelah berputar di depan kedua orang itu beberapa kali akhirnya cahaya itu lenyap.

Sebagai gantinya di depan mereka berdiri tegak seorang gadis berwajah cantik rupawan berpakaian merah, berkasut merah berambut panjang dengan mahkota perak bersimbol buaya bertengger di atas kepalarnya.

Hadir di depan Tanggul Api dan saudaranya dalam ujud yang asli.

Gadis ini tersenyum.

Peri Halilintar yang menyadari gadis bermahkota buaya merupakan penguasa tempat itu tanpa dapat menahan diri segera mengajukan pertanyaan.

"Mengapa engkau memperlakukan kami seperti ini?"

Tanya gadis itu sambil tatap dara di depannya.

Gadis bergaun merah tersenyum. Sebelum menjawab pertanyaan orang dia tatap Tanggul Api yang berdiri di sebelah kiri Peri Halilintar.

Kemudian sambil tengadahkan wajah, menatap ke langit-langit ruangan, gadis berpakaian merah itu menjawab.

"Di tempat asalku dikayangan aku biasa dikenal dengan nama Bidadari Selaka Merah. Tapi aku bukanlah bidadari yang baik. Aku sering melanggar pantangan tidak mengindahkan aturan para dewa. Kesukaanku yang sering pergi ke dunia kehidupan manusia menjadi puncak kemurkaan dewa. Aku dikutuk kemudian dibuang ke dunia dalam rupa seekor buaya. Walau ake menjadi ratu dari sekalian buaya namun kehidupan dunia tidak membuatku merasa bahagia. Aku ingin melenyapkan kutukan itu."

Ujar Bidadari Selaka Merah atau ratu buaya siluman sambil menatap kedua orang di depannya silih berganti.

Kemudian dengan sikap acuh dia lanjutkan ceritanya.

"Untuk melenyapkan kutukan tidak mudah, karena aku harus mendapatkan bunga Anggrek Mayat. Pada hal dimana bunga itu berada hanya seorang gadis bernama puteri Manjangan Putih yang tahu. Celakanya aku tidak tahu siapa dia dan dimana sang puteri menetap. Di rimba persilatan, hanya kakek bernama Si Jangkung Reksa Menggala dari padepokan tiga guru yang tahu. Kakek itu kmudian dijemput oleh pengawalku. Aku telah menanyai tua Jangkung."

Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namun dia mengaku untuk mendapatkan Bunga Anggrek Mayat, selain harus menemui puteri Manjangan Putih aku juga harus mencari seseorang yang bernama Tanggul Api. Orang yang dimaksud sangat pandai meniup seruling. Dengan meniup seruling saktinya tepat di bawah pohon tumbuhnya Anggrek Mayat maka bunganya akan segera bertumbuh dan segera berkembang!"

Peri Halilintar terdiam dalam kejut.

Sekarang dia baru mengerti rupanya keterampilan meniup seruling yang dimiliki Tanggul Api itulah yang menjadi pangkal penyebab mereka diculik. Tanggul Api yang tidak suka dilibatkan dengan urusan orang lain, lalu menggeleng gelengkan kepalanya begitu selesai mendengar penjelasan Ratu siluman buaya putih

"Kau bidadari licik curang!"

Geram pemuda itu dengan suara berdengus.

"Sedikitpun aku tidak tahu menahu dengan urusanmu, mengapa kau memperlakukan kami seperti ini?"

Sang dara bergaun merah tersenyum. Tenang saja dia menjawab.

"siapa yang licik? Siapa yang curang? Kau mengira dirimu siapa? Saat ini kalian tidak bisa berbuat apapun. Aku telah melumpuhkan semua kekuatan yang kamu miliki. Aku cuma meminta bantuanmu. Begitu bunga Anggrek Mayat kudapatkan dan kutukan atas diriku lenyap kalian pasti kulepaskan."

"Kau mengira aku mau membantu?"

Kata Tanggul Api disertai seringai mengejek.

Ratu siluman tersenyum.

"Kau pasti mau. Suka atau tidak suka kau harus melakukannya. Kalau tidak pembunuhan bisa menimpa diri siapa saja. Aku juga segera bertumbuh dan segera berkembang!"

Peri Halilintar terdiam dalam kejut.

Sekarang dia baru mengerti rupanya keterampilan meniup seruling yang dimiliki Tanggul Api itulah yang menjadi pangkal penyebab mereka diculik

"Diam! Kau tahu apa tentang hidup matinya seseorang.Bila aku mau kau bahkan tak bisa mempertahankan nyawamu"

"Gadis keparat! Kau cuma mahluk pengecut.kalau kau punya nyali, kembalikan kekuatan kami"

"Aku masih bisa berkelahi denganmu sampai seribu jurus!"

"Gadis sombong! Jaga sikapmu. Kau tidak tahu siapa aku."

Dengus ratu siluman dingin dengan penuh kegusaran, gadis ini menatap pada Tanggul Api.

Dia berkata.

"aku ingin mendengar keputusanmu sekarang juga"

"Keputusanku?"

Tanggul Api tiba-tba menyeringai sambil menggaruk kepalanya.

"Sebagai ratu siluman apakah kau tidak bisa melihat bahwa seruling halilintar tidak ada padaku dan telah lenyap dan tidak tahu dimana keberadaannya. Aku sendiri sedang mencari seruling sakti itu"

Terang Tanggul Api seadanya.

Ratu siluman tersenyum.

Sekilas dia melirik pada seruling berwarna putih yang terselip di pinggang kiri Tanggul Api,

Cukup jelas seruling itu bukan seruling sakti halilintar.

Seruling yang asli berwarna hitam legam.

Tapi karena ingin kepastian sang ratu siluman arahkan pandangan matanya tepat pada seruling sekaligus kerahkan ilmu melalu mata untuk menjajaki seruling dipinggang Tanggul Api.

Tidak ada getaran, tidak terasa adanya hawa panas atau hawa dingin yang menandakan seruling menyimpan kekuatan tertentu.

"Seruling biasa! Cuma mainan rongsokan."

Batin ratu siluman.

"Aku percaya. Senjata itu memang tidak ada padamu. Padahal hanya dengan meniup Seruling Halilintar di tempat tumbuhnya bunga, barulah kuntum Anggrek Mayat mau merekah. Seruling Halilintar harus ditemukan. Aku yakin berada ditangan seseorang. Seruling Halilintar bakal kita temukan dalam waktu yang tidak lama."

"Lagak bicaramu sombong sekali. Aku dan saudaraku Peri Halilintar telah mencari seruling yang hilang kemana-mana. Sudah sekian lama namun kami tidak menemukannya."

Tukas Tanggul Api sambil tersenyum dingin.

"Aku percaya. Hik hik hik. Dengan ilmu kepandaianmu yang cuma setinggi lutut mana mungkin kalian bisa menjajaki dimana beradanya seruling sakti itu!"

Sahut ratu siluman mencemooh.

Melihat sikap sang ratu yang tidak memandang sebelah mata sebenarnya Peri Halilintar menjadi sangat kesal.

Demikian juga Tanggul Api, namun mereka menyadari bahwa dalam keadaan diri lemah kehilangan ilmu kesaktian maka tentu sangat mustahil melawan mahluk siluman itu

"Anggaplah hilangnya Seruling Halilintar menjadi masalah yang bisa diselesaikan.Sekali lagi aku ingin kepastian apakah kau mau membantuku, Tanggul Api?"

Si pemuda tidak segera menjawab. Dia melirik pada saudaranya seolah minta pendapat. Tapi dilihatnya Peri Halilintar malah mengangkat bahu.

"Keputusan ada di tanganmu. Mengapa harus menunggu pendapat orang lain?"

Kata ratu siluman itu.

Karena terus di desak, sambil menghela nafas dia membuka mulut

"Kalau aku bersedia, imbalan apa yang aku dapatkan dan jika menolak apa yang akan terjadi denganku?"

Tanya Tanggul Api.

"Hik hik hik. Menolak berarti kau akan menyakskan derita menyakitkan sebelum ajalnya yang akan dialami oleh saudaramu Peri Halilintar, Setelah dia kukirim ke neraka baru giliranmu, Kau akan kubuat mati mengenaskan. Tetapi...bila kau mau membantu, menunjukkan sikap kerja sama yang baik. Kau akan kupindahkan ke tempat yang layak bersama saudaramu. Kau bebas bersenang-senang di istana bawah air ini."

"Kalian juga bisa melihat tempat penyiksaan para pembangkang di dalam kolam yang penuh dengan buaya rakus kelaparan!"

"Gadis keji!"

Sentak Tanggul Api dengan tengkuk dingin wajah pucat tegang.

"Sebaiknya tunjukkan saja sikap bekerja sama. Aku tidak mau mati ditempat ini dalam keadaan tidak berdaya. Lakukan apa yang dia mau agar kita dapat bebas dari ruangan ini."

Tegas Peri Halilintar melalui suara mengiang. Merasa tidak punya pilihan lain Tanggul Api pun mengangguk setuju.

Melihat ini ratu siluman tertawa lega.

"Bagus. Ternyata kau lebih memilih mencari selamat dari pada mendapat celaka. Karena itu aku akan memindahkan kalian dari ruangan ini. Sekarang pejamkanlah mata kalian. Sudah waktunya kalian meninggalkan ruangan yang dingin ini."

Walau tidak suka diperintah namun terpaksa keduanya segera pejamkan matanya.

Begitu mata dipejam.

Baik Tanggul Api maupun Peri Halilintar merasa tubuh mereka seperti diangkat lalu dibawa melewati lorong-lorong yang sejuk dibawah air.


*****

Kembali pada Raja yang pada saat itu telah melewati pintu gaib.

Saat itu bulan sebelah berbentuk separoh hati yang retak memancarkan cahaya lebih benderang dari sebelumnya.

Suara raung dan lolongan terdengar bersahut-sahutan.

Suara gemuruh langkah kaki orang berlari yang menggantikan suara lolongan menggidikkan datang dari segenap penjuru.

Raja yang berdiri tegak dengan ditemani dua mahluk alam roh sahabatnya segera alirkan tenaga dalam ke bagian tangan dan kaki siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Angin dingin disertai tebaran debu pekat tiba tiba berhembus.

Suasana yang sebelumnya sejuk nyaman berubah menggelisahkan. Lalu sang pendekar mengendus aroma busuk menyengat.

Ketika kepulan debu dan hembusan angin lenyap.

Raja mendapati dirinya telah dikepung dari segala penjuru.

Sambil menahan nafas pemuda ini memperhatikan orang-orang disekelilingnya.

Dia melihat mahluk-mahluk berpakaian hitam, bersenjata aneh berbentuk melengkung, bergagang panjang dan lancip dibagian ujungnya. Mahluk-mahluk yang datang ternyata bukanlah manusia biasa sebagaimana dirinya.

Tubuh mereka hanya terdiri dari onggokan tulang bersusun yang dibalut kulit tipis.

Bagian kepala hanya berupa rongga hitam-dalam dengan mata amblas terbalut kulit hitam.

Rambut yang dilapisi lendir menjijikkan menebar bau busuk hanya terdiri dari beberapa helai.

Di bawah pimpinan sosok bertubuh tinggi berkulit gelap.

Mahluk yang mengenakan jubah hitam itu membekal rantai yang melilit kedua lengan juga palu godam berwarna hitam berkilat

"Mahluk-mahluk ini semuanya tengkorak dan tulang belulang!"

Desis Raja Gendeng 313 dengan mata jelalatan memperhatikan orang-orang disekelilingnya.

"Paduka. Mereka adalah orang mati. Kami menyebutnya sebagai bagian kehidupan yang dilupakan oleh Yang Hidup. Nampaknya mereka berada dalam satu kendali sang penguasa alam gaib."

Terdengar suara mengiang di telinga Raja. Itu adalah suara jiwa perempuan.

"Gusti... Jiwa pedang ikut berbicara. Saya melihat yang menjadi pemimpin adalah mahluk yang bernama Sangkala. Dia dikenal dengan sebutan Penggebah Jiwa. Mahluk ini adalah salah satu dari sekalian mahluk paling keji penyiksa di alam baka!"

Terang jiwa pedang. Raja menggumam sambil mengusap wajahnya yang keringatan. Dengan suara serak parau pemuda ini berkata.

"Kalian membawa aku kesasar ke dunia kehidupan menyeramkan seperti ini. Dimana gadis itu?"

"Jangan pikirkan gadis yang berteriak minta tolong itu paduka. Lebih baik pikirkan saja keselamatan diri paduka. Saya rasa itulah yang paling utama!"

Ucap jiwa perempuan.

"Kurang ajar. Kalau begini aku kelihatan sepert orang tolol. Niat hendak menolong malah kini disibukkan dengan mengurus bahaya diri sendiri."

Gerutu Raja bersungut-sungut

"Tenang Paduka, kami bersama paduka. Apapun terjadi kita harus menghadapinya bersama-sama,"

Kata jiwa perempuan dan jiwa pedang berbarengan.

Selagi Raja berbicara dengan kedua sahabatnya, semua mata tujukan perhatiannya pada pemuda itu.

Sosok berjubah yang jadi pemimpin dan lindungi wajah dengan kerudung putih tiba- tiba melangkah maju.

Berdiri tegak dua tombak di depan Raja.

Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil bertolak pinggang mahluk satu ini menguap lebar selayaknya orang yang dilanda kantuk berat.

Dibalik rongga mulut dan gigi yang hitam, menyembur bau busuk menyengat.

"Mahluk mengantuk. Menebar bau busuk. Apa yang dilakukannya? Hendak merangkul aku"

Dengus Raja yang segera tekab hidungnya demi menghindari bau busuk menyengat

"Anak manusia! Katakan apa kepentinganmu datang ke alam gaib,"

Tanya mahluk itu tanpa menghiraukan ucapan Raja.

"Bagus, kau menyebutku anak manusia. Kalau menyebut anak setan seperti guru menyebutku wah aku bisa marah besar,"

Kata pemuda itu sambil menyeringai.

"Aku, Sangkala... Penggebah Jiwa dan Penyiksa Arwah bertanya, mengapa kau bergurau? Kau kira tempat ini merupakan sebuah panggung lucu- lucuan,"

Geram Sangkala dengan suara serak lantang dan tersendat-sendat.

Raja menggeleng sambil mengusap dagunya.

"Setan kuburan juga tahu ini adalah tempat yang paling tidak menyenangkan sedunia. Kau kira aku bergurau?"

Jawab Raja sambil pencongkan mulutnya.

"Kau bertanya apa kepentinganku datang ke sini. Hmm. aku memang tidak kesasar, tersesat juga tidak. Aku datang karena ada orang minta tolong. Suaranya perempuan. Entah setan, entah arwah gentayangan,"

Raja terdiam sebentar.

Kemudian lanjutkan ucapan.

"Sampai di sini orang itu tidak terlihat. Karena tidak menemukan orang yang hendak ditolong, dari pada mengganggu ketenangan saudara-saudara sebaiknya aku undurkan diri."

Raja kemudian memutar tubuh bersikap seperti orang yang hendak tinggalkan tempat itu.

"Terlambat!"

Teriak sangkala dingin.

"Siapa yang berani datang tanpa diundang tak akan bisa kembali. Kau telah ditentukan untuk menjadi teman penghuni kegelapan dan kesengsaraan. Kau tidak mungkin selamat terkecuali punya nyawa rangkap."

"Oh sayang sekali, nyawaku cuma satu lembar. Walau punya selembar nyawa tentu saja aku bisa selamat karena sejak kecil aku sering bertemu dengan orang bernama Selamat! Ha ha ha!"

Jawab pemuda itu disertai gelak tawa.

"Gusti!"

Kata jiwa perempuan.

"Apa?"

Sahut raja.

"Mengapa dalam keadaan seperti ini gusti masih juga bergurau!"

"Orang yang tidak pernah tersenyum atau ketawa dalam hidupnya biasanya cepat mati. Ha ha ha!"

Jawab Raja sekenanya.

Melihat Raja bicara sendiri.

Mula-mula Sangkala dan pengikutnya mengira Raja Gendeng 313 adalah pemuda yang gila kurang waras.

Namun kemudian terpikir olehnya Kemungkinan pemuda itu tidak datang sendiri.

Ada yang menemani tapi siapa?

Sebagai penghuni alam gaib, mengapa dia tidak bisa melihatnya?

Sangkala lupa kehidupan alam gaib memiliki beberapa tingkatan.

Tingkat jiwa atau alam roh jelas tiga tingkat berada di atas alam gaib yang dihuni oleh sangkala dan mahluk sejenis dengannya.

"Anak muda! Lekas sebutkan, siapa namamu!"

Kata mahluk berjubah itu.

"Aku adalah pangeran.Aku adalah rajamu.Harusnya kau tunduk pada Raja dan kau boleh menyebutku paduka Raja Gendeng 313. ha ha ha."

"Raja Gendeng alias Raja Gila. Beraninya orang tidak waras memasuki dunia kami. Dia patut untuk dihabisi, tetua Sangkala."

Berkata salah satu pengikutnya tidak sabaran sambil acung-acungkan senjatanya yang melengkung

"Dia mungkin Gendeng tapi tidak gila. Dan dia tidak sendiri.Ada mahluk tidak terlihat bersamanya Habisi pemuda itu, bunuh siapapun yang datang bersamanya,"

Teriakan Sangkala disambut gegap gempita para pengikutnya.

Kemudian dengan suara riuh mereka berlompatan maju, merangsak ke arah sang pendekar, lalu menghujani pemuda itu dengan serangan dan tebasan senjata yang datang dari segala penjuru.

Melihat junjungan yang juga sahabatnya terancam bahaya, jiwa perempuan dan jiwa pedeng tidak tinggal diam.

Sesama mahluk alam roh itu berkata.

"sekaranglah saatnya pesta tulang di mulai."

"Kau mau memilih bagian yang mana?"

Tanya Jiwa perempuan pada jiwa pedang

"Gadis sinting, Jiwa konyol sjalan. Kau kira diriku ini sebangsa anjing atau apa? Tentu saja aku memilih melenyapkan semua mereka tanpa pandang bulu. Pokoknya bulu apa saja aku sikat."

"He he he"

"Kau juga gila!"

"Sudah! Sekarang kita bertindak."

Sahut jiwa pedang.

Dalam gaibnya kedua jiwa melayang meninggalkan hulu pedang dengan kecepatan laksana terbang.

Kemudian dengan kesaktian yang mereka miliki mereka mulai menghantam mahluk-mahluk penyerang yang menghujani Raja dengan senjatanya.

Beberapa senjata berhasil direbut Jiwa pedang dan jiwa perempuan kemudian bahkan memanfaatkan salah satu senjata lawan untuk menyerang mahluk-mahluk itu.

Ketika Raja melihat senjata bergerak dengan sendirinya dia tahu pastilah jiwa pedang dan jiwa perempuan telah bertindak mendahului melakukan tugasnya.

Sedangkan bagi Sangkala dan para pengikutnya, melihat senjata milik dua di antara mereka melayang di udara sambil menyerang mereka sendiri tentu merupakan keanehan yang membingungkan.

"Seperti yang kukatakan, ada mahluk yang tak terlihat yang menyertai pemuda gendeng itu. Mahluknya ada dua itu dibuktikan dengan dua senJata yang mengamuk membantai kalian .Walau tidak terlihat aku yakin, mereka bisa dihabisi,"

Kata Sangkala dalam kemurkaan.

Laki-laki berjubah hitam tinggi yang tubuhnya terdiri dari tulang terbalut kulit tipis ini kemudian melompat melewati para pengikutnya.

Melihat dua rangkum cahaya dingin menggidikan, Jiwa Pedang dan Jiwa Perempuan yang menggunakan senjata rampasan, menyadari, walau mereka tidak kelihatan tetapi serangan Sangkala itu bisa membuat mereka celaka atau sedikitnya terluka, maka mereka segera mengubah gerakan.

Tiba-tiba senjata yang tadinya siap hendak menyerang kini berputar arah.

Bergerak cepat laksana titiran membentuk sebuah perisal diri disertai deru suara mengerikan

Bum!

Bum!

Dua dentuman keras melanda kawasan yang sunyi itu.

Dua senjata hancur menjadi kepingan.

Jiwa Pedang dan Jiwa Perempuan terlempar jatuh, terguling-guling dengan dada seolah remuk amblas dan sekujur tubuh menggigil.

Hancurnya senjata di tangan mereka membuat Sangkala tidak tahu dimana kedua lawannya jatuh

"Aku mahluk gaib, lalu siapa mereka, bila mahluk dari alam gaib juga seharusnya aku dapat melihat ujud mereka."

Jelalatan Sangkala pentang mata memandang ke sekeliling.

Dia menggeleng sambil menggeram kecewa. Mahluk berjubah ini kemudian ballkan badan.

Menghadap ke arah Raja yang sedang dikerubuti oleh para pengikutnya.

Sangkala diam-diam memperhatikan dan tersenyum.

Dia tidak tahu ketika itu Jiwa Pedang dan Jiwa Perempuan telah bangkit.

Setelah melihat Raja menghadapi banyak pengikut Sangkala, keduanya sepakat untuk menghabisi mahluk tinggi itu. Sementara Raja sendiri tampaknya tidak mau bersikap ayal dalam menghadapi mahluk bertingkah aneh itu.

Ketika serangan datang dari segala penjuru dan sambaran senjata datang laksana hujan, dengan menggunakan jurusan Delapan Bayangan Dewa Raja Gendeng 313 berkelit hindari serangan.

Hantaman, tebasan dan tusukan senjata mengenai tempat kosong.

Tapi kemanapun pemuda ini bergerak, lawan terus mengejar sambil melancarkan pukulan dan tendangan maut. Deru angin panas, kilatan-kilatan cahaya yang memancar dari pukulan yang dilepaskan dari para pengikut Sangkala beberapa kali dapat dihindarinya.

Tapi pemuda ini kemudian terdesak.

Menggunakan jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung, Raja segera dorongkan kedua tangan ke depan sekaligus memutar tubuhnya.

Des!

Des!

Des!

Pukulan beruntun yang dilancarkan secara susul menyusul membuat belasan lawan berpelantingan dengan kepala melesat tanggal, lengan patah dan tubuh yang berupa onggokan tulang hancur berserakan.

Tapi pada kesempatan yang sama walau Raja bergerak dengan kecepatan seperti bayang-bayang sesuai dengan jurus yang di pergunakannya.

Beberapa lawan yang membokong dari belakang berhasil babatkan senjata ke punggung pemuda itu.

Crack!
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Hantaman senjata yang mendera punggung tak sanggup melukai tubuh Raja yang terlindung pakaian sakti.

Tetapi ketika lawan yang berada di depan menyerangnya dengan pukulan tangan kosong ke bagian wajah, Raja tidak sempat menghindar.

Sang pendekar terjajar.

Pipinya yang terkena pukulan seperti digarang di atas tumpukan bara.

Selagi pemuda ini terhuyung, geleng-geleng kepala sambil mengusapi wajahnya karena tak menyangka kena dipukul.

Kesempatan itu dipergunakan para pengikut Sangkala.

Serentak mereka merangsak maju.

Senjata ditangan diayun, kaki bergerak menendang mengincar sasaran bagian tubuh sebelah bawah.

Sementara sebagian di antara mereka melompat tinggi lalu menyerang bagian kepala Raja yang tidak terlindung pakaian.

Rupanya mahluk-mahluk ini tahu pakaian sakti pemuda itu sulit untuk ditembus.Sehingga mereka memutuskan untuk menyerang bagian tubuh yang terbuka.

Melihat datangnya serangan laksana curah air bah.

Dengan tubuh bersimbah keringat pemuda ini segera alirkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki.

Dua tangan menggeletar, kaki bergerak lincah menendang sekaliigus menangkis.

Dan sebelum semua serangan dahsyat menghantam sekujur tubuhnya.

Sambil berkemak-kemik membaca mantra ajian, pemuda ini memutar tangannya dan menyilangkan kedua tangan itu ke depan dada.

Dua tangan bergetar dan tampak berubah biru menyilaukan.

Kemudian sambil berteriak menyebut ilmu pukulan sakti yang dilepasnya.

Raja memutar tubuh sambil menghantam kedelapan penjuru arah. Satu gelombang angin dahsyat disertai munculnya gelombang panas bersama melesatnya cahaya biru menderu ke segenap penjuru arah.

Puluhan pengikut Sangkala tercekat dihantam gelombang cahaya biru dan angin panas membakar yang datang dari pukulan sang pendekar.

Diantara mereka ada yang mempergunakan senjata untuk melindungi diri.

Tapi yang bersikap nekat banyak yang berpelantingan dengan tubuh terceral berai.

Melihat dahsyatnya serangan yang hampir menyapu habis semua pengikutnya.

Sangkala yang saat itu menghadapi gempuran sengit dari Jiwa Pedang dan Jiwa Perempuan keluarkan suara raungan murka

"Pemuda gondrong jahanam! Ilmu kesaktian apa yang kau miliki? Bagaimana mungkin sebagian besar pengikutiku terbantai di tanganmu,"

Teriak Sangkala sambil hindari serangan ganas yang dilancarkan Jiwa Perempuan.

Ditempatnya berdiri Raja tersenyum dingin.

Kini dia acungkan kedua tangannya ke atas.

Dua tangan yang tadinya berwarna biru terang kini berubah menjadi merah redup menggidikkan

"Tadi aku menghajar pengikutmu dengan pukulan Seribu Jejak Kematian."

Kata Raja menyebut nama pukulan sakti yang dipergunakannya.

"Sekarang aku akan menghabisi sisanya dengan pukulan sakti Cakra Halilintar"

Lalu secepat Raja berbicara secepat itu pula dia menghantam sisa pengikut Sangkala.

Dua kilatan cahaya berwarna merah bertepi putih berkiblat.

Ketika melesat cahaya berbentuk Cakra bundar itu berputar sebat laksana topan yang berhembus menyapu daratan.

Suara gemuruh dan guncangan keras melanda kawasan seluas seratus tombak. Mahluk-mahluk angker mirip jerangkong hidup dalam kemarahan melihat temannya menemul ajal segera campakkan senjata ditangan masing masing, lalu geser salah satu kaki ke depan.

Dengan kedua kaki ditekuk mereka menyambut serangan lawan dengan hantamkan tangannya masing masing ke depan. Cahaya-cahaya hitam redup membersit dari telapak tangan yang hanya berupa rangkaian tulang yang terbalut kulit itu.

Hawa dingin menebar menyertai berkelebatnya puluhan cahaya hitam.

Sebelum dua serangan sakti beradu di udara.

Hawa panas yang berasal dari pukulan sakti Raja Gendeng 313 saling bentur dan saling tindih dengan hawa dingin lawan.

Cahaya merah dan cahaya hitam akhirnya beradu keras di udara.

Guncangan dan dentuman yang terjadi akibat beradunya dua kekuatan membuat tempat di sekitar terjadinya pertempuran seperti dilanda gempa bumi hebat.

Raja jatuh terjengkang dengan dua tangan terasa panas.

Dada menjadi sesak,namun secepatnya dia bangkit berdiri.

Menatap ke depan melihat puluhan sisa pengikut Sangkala berpelantingan dengan tubuh terceral berai.

Tak satupun mahluk-mahluk tengkorak itu tersisa.

Melihat kenyataan ini, Sangkala menjadi marah

"Kau dan dua sahabatmu yang tidak terlihat itu sama jahanamnya. Kalian semua harus merasakan pembalasan dariku,"

Teriak Sangkala dengan suara bergaung.

Mahluk itu kemudian rentangkan tangannya.

Tangan bergetar, dua mata di dalam rongga melotot nyalang.

Dalam sekejab dari dua tangan, tubuh terutama dari bagian kepala mengepul asap tebal berwarna hitam pekat.

Melihat apa yang dilakukan lawan, Jiwa Pedang yang mengenali ilmu yang dipergunakan lawan jadi tercekat.

"Celaka, dia menggunakan ilmu iblis Menjejak Rasa Mengejar Arwah! Walau kita tidak kelihatan tapi dia bisa membuat kita semua menemui ajal."

"Aku tahu cara menolak ilmu itu."

Menyahuti Jiwa Perempuan sambil mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

Segala keresahan yang terjadi antara Jiwa Pedang dan Jiwa Perempuan rupanya sempat didengar oleh Raja.

Sambil melompat ke depan Sangkala, pemuda inipun berseru ditujukan pada dua sahabatnya.

"Kalian menyingkir! Kembalilah ke hulu pedang. Aku akan menjajal kehebatan mahluk satu ini."

"Tapi Gusti..."

Jiwa Pedang menjawab dengan ragu-ragu.

"Saya sanggup menangkal ilmu Menjejak Rasa Mengejar Arwah, gusti,"

Kata Jiwa Perempuan pula

"Turuti perintahku.
Cepat..."

Teriakan Raja membuat kedua mahluk alam roh itu segera sadar. Raja bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Walau dengan berat hati keduanya segera memenuhi perintah sang pendekar.

Raja yang sedang mengerahkan tenaga dalam siap melepas pukulan Sakti Kabut Kematian yang digabung dengan pukulan Cakar Sakti Rajawali hanya sempat merasakan ada sambaran angin di kedua telinganya pertanda kedua jwa telah kemball ke hulu pedang. Sekejap saja tangan kiri pendekar mengepulkan kabut putih yang disertai pancaran cahaya biru kehijauan.

Sedangkan tangan kanannya yang dipentang membentuk cakar nampak memancarkan cahaya putih menyilaukan.

Ketika Sangkala mengayunkan kedua tangan kedepan bergerak sedemikian rupa seperti orang yang menepuk, Dari sepuluh jemari tangan mahluk berjubah itu terdengar suara berdesis tidak ubahnya seperti suara ular raksasa yang tidak terlihat ujudnya.

Walau tidak melihat ada cahaya atau sambaran hawa panas atau menderu dingin dari tangan lawan.

Namun Raja tahu sesungguhnya ada bahaya besar sedang mengancam jiwanya.

Tidak menunggu lebih lama, dia dorongkan tangan kiri sekaligus hantamkan tangan kanan kedepan menyambut serangan Menjejak Rasa Mengejar Arwah yang dilakukan oleh lawannya.

Cahaya biru disertai kabut bergulung, menderu sedemikian rupa ke arah Sangkala.

Sedangkan dari tangan kanan Raja melesat cahaya putih berbentuk seperti cakar rajawali raksasa, Di tengah perjalanan sebelum mencapai sasaran.

Cahaya biru kehijauan dan cahaya putih berbentuk cakar bergetar dan mengalami guncangan hebat seperti membentur sesuatu.

Raja sendiri sempat terhuyung akibat guncangan itu.

Dan dia merasakan seluruh tubuh serta batok kepala seperti diremas.

Setelah lipat gandakan tenaga dalam yang dimiliki.

Pemuda ini kembali menghantam melepas serangan susulan

Rrrt!

Berrt!

Buumm!

Serangan susulan yang dilancarkan Raja ternyata diluar perhitungan Sangkala.

Mahluk berjubah yang juga berasal dari suatu tempat yang dikenal dengan nama Kehidupan Yang terlupakan itu segera melompat jatuhkan diri sama rata dengan tanah.

Sebagian pukulan yang berbalik akibat benturan yang dahsyat menyambar setengah jengkal di atas punggungnya.

Serangan itu kemudian menghantam gundulan batu dibelakang Sangkala.

Batu hancur bertabur menjadi kepingan.

Dibalik batu bermunculan ulat belatung sebesar jari kelingking sepanjang sejengkal, Belatung berwarna kuning kehijauan kemudian menyebar seperti rombongan perajurit besar yang siap tempur. Raja tidak menghiraukan kehadiran belatung belatung itu.

Selagi Sangkala bersiap bangkit, Raja segera menerjang sambil menghantam lawan dengan pukulan tangan kosong.

Sangkala yang baru berdiri tegak menyambut serangan Raja dengan kecepatan kilat.

Benturan keras terjadi berulang kali, membuat telapak tangan dan lengan Raja yang beradu keras dengan lengan lawan yang terdiri dari tulang terbalut daging bengkak lebam.
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Selagi Raja menyeringai sambil memperhatikan lengannya yang sakit luar biasa.

Sangkala berhasil susupkan satu jotosan telak ke dada Raja.

Jotosan yang disertai tendangan yang mengenai perut membuat Raja terjajar.

Pemuda ini mendelik menahan sakit luar biasa. Dia masih beruntung karena bagian tubuhnya terlindung pakaian sakti.

Kalau tidak, dada yang kena jotosan pasti remuk dan perutnya di bagian dalam hancur.

Walau begitu, masih ada darah yang meleleh di bibirnya.

Melihat lawan menderita luka bagian dalam, Seperti kerasukan Sangkala bertambah beringas dan tambah nafsu untuk menghabisi lawan.

Dengan langkah lebar setengah melayang mahluk berjubah ini segera julurkan tangan dan mencekal leher Raja.

Raja yang baru saja dapat menguasai diri merasakan lehernya seperti dijepit oleh sebuah jepitan raksasa.

Pemuda ini mendelik.

Dalam waktu singkat kerasnya jepitan membuat kepalanya serasa mau meledak.

Sangkala menyeringai.

Dia berpikir sekali saja menggerakan kepala itu kekiri dapat dipastikan kepala lawan pasti patah.

Tapi mahluk itu lupa dan tidak sempat melihat dua tangan Raja yang bebas bergerak segera meraih pedang yang tergantung di punggungnya.

Sangkala hanya sempat mendengar suara menderu disertai kilauan cahaya emas berkelebat diudara.

Dan ketika cahaya kuning yang tak lain adalah Pedang Gila menderu membabat ke arah pinggang Sangkala.

Mahluk ini hanya bisa mendelik dan merasakan adanya hawa dingin menembus pinggangnya.

Jeritan Sangkala melengking laksana jeritan serigala di malam buta.

Tubuh disebelah bawah yang terbabat nyaris putus ambruk disusul dengan bagian tubuh sebelah atas.

Ketika tubuh itu menyentuh tanah, tiba-tiba saja sosok yang terdiri dari susunan tulang belulang dan tengkorak itu mengepulkan asap, Munculnya asap disertai dengan kobaran api.

Api padam dan sosok yang cuma berupa tulang belulang dan kulit itu lenyap ditiup angin.

Ditempatnya berdiri sang pendekar segera sarungkan pedang ke dalam rangkanya.

Sejenak dia mengusapi lehernya yang sakit dan tampak merah.

Setelah itu dua tangan diturunkan kedada.

Diam-diam Raja salurkan hawa sakti untuk menyembuhkan luka dibagian dalam.

Tidak berselang lama setelah rasa sesak didada lenyap, pemuda ini menatap ke arah dikejauhan di depannya.

Samar-samar tak jauh dari sebuah pohon meranggas tanpa daun namun dengan cabang dipenuhi reranting dan akar menjuntal dia melihat satu sosok tubuh.

Sosok yang tadinya tidak terlihat itu entah sejak kapan berada di sana.

Yang jelas sosok yang kaki dan tangannya terikat ditiang pancang itu berambut panjang awut-awutan.

Terdorong rasa ingin tahu, pemuda ini melangkah mendatangi.

Langkahnya terhenti dua tombak di depan sosok yang ternyata seorang gadis berkulit kecoklatan.

Yang membuat Raja merasa iba, selain tubuhnya berbilur luka seperti bekas cambukan, gadis ini juga nyaris telanjang.

"Siapa yang melakukan kekejian ini terhadapmu,"

Tanya Raja ditujukan pada gadis ditiang pancang.

Raja menunggu.

Sesekali terdengar suara deru angin.

Dengan segala kesengsaraan yang dialaminya si gadis membisu seolah mati.

Kemudian sebagai jawaban sayup-sayup terdengar suara lolong anjing dan jerit mengerikan.

Suara-suara itu seakan datang dari neraka kegelapan.Raja leletkan lidah .Telan ludah basahi tenggorokannya yang mendadak kering.

Dalam keraguan dia menghela nafas

"Mati!"

Mati.

Mungkinkah gadis itu telah menemui ajal?

Ikuti dalam kisah selanjutnya.


Tamat

Episode Berikutnya


Misteri Cinta Hitam


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,27 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******







Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Irama Pencabut Nyawa Karya Wen Wu
^