Pencarian

Dendam Tari Gambyong 1

Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong Bagian 1


*****

Dendam Tari Gambyong

Karya Sabdo Dido Anditoru

Jilid 8 Seri Ceritera Warok Ponorogo

Penerbit Pt Golden Terayon Press Jakarta 1996

Gambar ilustrasi : Syamsudin

******

Buku Koleksi : Gunawan AJ

Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo

Team Kolektor E-Book

*****




PERCEKCOKAN.

PERTUNJUKAN tari gambyong itu belum juga reda walaupun hari sudah lewat tengah malam, menjelang pagi hari.

Para pesinden masih bersemangat melantunkan tembang-tembang yang kata-katanya mulai membara berisi sindiran-sindiran cabul perangsang birahi.

Beberapa perempuan muda yang berdandan menor menor menari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang erotis memakai kain ketat, pantatnya diputar-putar, mereka nampak asyik menemani tamu-tamu yang bersemarak, rata-rata para lelaki berewokan yang terus bersemangat berjoget ria seperti tidak kenal lelah, dan tidak jemu-jemunya terus melenggang-lenggok dihadapan perempuan-perempuan pesolek itu.

Para laki-laki itu kelihatan sudah pada mabuk kepayang kebanyakan minum arak.

Di antara barisan tempat duduk itu, terdapat sepasang mata lelaki berumur baya yang duduk-duduk gelisah di sudut lingkaran tarian itu.

Sejak tadi mata laki-laki itu terus-menerus memelototi seorang perempuan penari gambyong di sudut sana itu. Mata laki-laki itu sepertinya tidak pernah lepas memandangi bangkekan perempuan, pinggang Tarsinem seorang janda muda yang sedang menari bergoyanggoyang memutar-mutar bokongnya yang bulat menjembul, nampak sedhet, mendesak jarit ketat yang dikenakan itu.

Membuat liur laki-laki perkasa itu tak terasa meleleh keluar meresap ke jenggotnya yang lebat kehitaman.

Laki-laki yang dikenal bernama Jogoboyo Singobeboyo itu memang agaknya sudah lama menaksir Tarsinem penari gambyong yang sudah menjanda tiga tahun ditinggal mati suaminya yang juga pernah menjabat sebagai Jogoboyo sebelumnya di Padukuhan Griyantoro ini.

Namun niatnya untuk meminang perempuan kenes yang banyak dikerubungi laki-laki itu tidak pernah kesampaian.

Halangannya, isterinya sekarang masih terhitung agak kerabat dekatnya.

Bagi adat daerah ini, memecah persaudaraan dengan kerabat dekat itu bisa menjadi aib yang tidak tertanggungkan.

Bahkan dapat mendatangkan bencana yang membahayakan nyawa, atau bisa menimbulkan pertentangan antar jagoan di keluarga-keluarga dekat, sehingga tak urung akan bisa mendatangkan korban jiwa.

Dalam suara gamelan yang tiada henti itu, tiba-tiba terdengar suara keras perempuan menjerit

"Adu..hh.jangan kurang ajar. Kalau mau menari jangan pegang-pegang begitu thooo", datangnya suara teriak itu ternyata dari Tarsinem yang sedang digoda oleh seorang tamu yang sudah mulai mabuk kepayang, seorang laki-laki tinggi tegap, jampangnya melebat, bajunya agak terbuka memperlihatkan bulu dadanya yang lebat.

"Ha...hah...ha...ha. Aku senang sama kamu, Nem. Mau enggak, kamu aku jadikan isteriku", teriak laki-laki itu makin garang memegangi bokong Tarsinem yang terkenal perempuan paling bahenol di antara para penari di tempat hiburan Nyai Lindri ini.

"Huss. Jangan kurang ajar, berani pegang-pegang bokong segala. Berani bayar berapa kamu,"

Teriak Tarsinem sambil mencibirkan bibirnya yang penuh gincu merah menyala itu, sehingga makin membuat gemes laki-laki berewokan itu.

"Kamu sendiri mau aku bayar berapa, he...he...he..." tantang laki-laki berewokan itu makin nekat.

Para penonton yang mendengarkan percakapan dua manusia yang sudah mabuk kepayang itu hanya pada tertawa geli terkekeh-kekeh. Tarian laki-laki berewokan itu sudah makin tidak beraturan. Penuh nafsu birahi Laki-laki itu berusaha memeluk tubuh Tarsinem yang sudah makin terpepet di pojok. Tapi, tiba-tiba terdengar suara blukkkkkk seperti suara tendangan keras mengenai tubuh seseorang yang bertubuh keras, laki-laki berewokan tinggi besar yang berusaha mendesak tubuh Tarsinem itu sempoyongan hampir jatuh ke belakang. Sebuah telapak kaki dari seorang laki-laki kekar perkasa tiba-tiba menghujan keras pada dada laki-laki berewokan:itu, sehingga membuat jarak makin jauh dari Tarsinem yang hampir tidak berkutik menghadapi himpitan tubuh besar laki-laki berewokan yang bernafsu itu.

"Weladala...siapa yang berani-beraninya menghalangi aku ini, heh. Anak kadal kamu," teriak laki-laki tinggi besar berewokan itu setengah agak sadar.

Kemudian ia nampak bangkit berdiri tegak di atas kakinya yang kokoh. Setelah melihat seorang laki-laki kekar telah berdiri dihadapannya yang baru saja memberikan tendangan dahsyat ke arah dadanya tadi, laki-laki itu memperlihatkan mukanya yang murka. Matanya melotot mencereng.

"Jangan coba ganggu perempuan ini," teriak laki-laki yang memberikan tendangannya tadi, kelihatan sudah berumur baya bersikap melindungi tubuh Tarsinem dari jamahan laki-laki tinggi besar berewokan itu.

"Heh. siapa kamu, hah. Datang-datang mau bikin perkara sama aku. Rupanya kamu sudah tidak tedas bacok apa, yahh," teriak laki-laki tinggi besar itu menahan amarah sambil mengatur posisi "pasang"

Untuk bersiap beradu tanding menghadapi laki-laki yang berani memberikan tendangan keras tadi.

"Aku Singobeboyo. Punggawa Kadipaten yang ditugaskan mengamankan daerah di sini,"

Jawab laki laki kekar yang sejak tadi kerjanya hanya duduk-duduk sambil mengawasi tiap orang yang menari di halaman tempat hiburan ini.

"Apa urusanmu mengganggu orang yang lagi senangsenang. Hah. Aku datang ke sini enggak gratis lho. Aku mbayar. Aku tidak mau bikin onar. Aku mau bayar perempuan itu. Ada apa kamu ikut campur."

Bela laki laki berewokan tinggi besar itu kelihatan makin geram.

"Kamu tadi sudah keterlaluan hampir membuat celaka Tarsinem itu. Kalau terus kamu desak ia akan terjepit badan kamu yang bau tuak kecut itu,"

Jelas Jogoboyo Singobeboyo berusaha menahan emosi.

Tabuhan gamelan tiba-tiba berhenti.

Orang-Orang yang semula riang gembira, kini menjadi miris demi yang dilihat orang tinggi besar itu adalah bekas begal Tanggorwereng dari kampung Dukuh Sawo yang terkenal kesaktiannya mampu berubah menjadi macan hitam jadian, dikenal memiliki aji Lodaya dari perguruan ilmu hitam yang berpusat di daerah Blitar selatan.

Begitu menurut anggapan orang-orang yang baru dengar ceriteranya, dan belum pernah pergi berguru ke Lodaya.

Konon laki-laki berewokan ini kini menurut ceritera beberapa orang, ia telah menjadi anak buah Warok Wulunggeni yang pernah menaklukkan dia beberapa tahun yang lalu ketika membegal Warok Wulunggeni di hutan Lodaya.

Dan nyawanya masih selamat karena ditolong oleh Warok Wulunggeni yang hampir menyudahi hidupnya ketika terjadi pertarungan sengit waktu itu.

Kini ia memimpin para begal dan sering membuat keonaran dimana-mana walaupun di kampungnya dinamai sebagai Warok Tanggorwereng, sebagai orang sakti yang baik hati.

Akan tetapi karena tabiatnya yang dulu suka bergulat di dunia hitam, kebiasaannya itu rupanya sampai kini belum ditinggalkan, meskipun daerah operasinya membegal di luar kampung halamannya sekarang maka sebenarnya ia lebih tepat disebut sebagai Warokan, bukan Warok sejati.

Warokan, orang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi tapi tabiatnya masih kurang ajar.

Jadi sebenarnya ia itu warok palsu, suka membuat keonaran, suka main perempuan, suka judi, suka mabuk-mabukan suka madat, dan rupa-rupa bentuk kejahatan lainnya.

Tapi kalau Warok Sejati, umumnya mempunyai keseimbangan antara ilmu tinggi yang dimiliki dan budi pekertinya yang juga tinggi, sehingga membuat aman bagi masyarakat sekelilingnya.

Tarsinem yang sedari tadi ngumpet di belakang badan Jogoboyo Singobeboyo yang juga berperawakan tinggi besar itu, ia kini berusaha menyingkir mendekati panggung para penabuh gamelan.

Ia tahu selama ini merasa diperhatikan terus oleh Jogoboyo Singobeboyo, orang yang juga dikenal brangasan di daerah sini.

"Sudahlah Singobeboyo, menyingkirlah kamu sebelum amarahku timbul. Tak sepantasnya punggawa kadipaten mengganggu rakyatnya untuk bersenangsenang" jawab lak-laki yang dipanggil Warok Tanggorwereng itu, sambil matanya melotot bengis memancarkan sinar kebencian kepada laki-laki yang berdiri gagah dihadapannya itu.

Tiba-tiba dari balik pintu rumah gedung yang gemerlapan itu terdengar suara melengking seorang perempuan memanggil-manggil nama Jogoboyo Singobeboyo.

"Kangmas, Kangmas maaf..Kangmas. Jangan diganggu tamu-tamu saya Kangmas," seorang perempuan setengah baya yang menggunakan baju kusut berwarna merah menyala itu jalan terburu-buru setengah berlari kecil mendekati dua laki-laki yang sudah berhadapan memasang diri untuk siap bertarung itu.

"Singobeboyo..." mohon Perempuan itu yang dikenal bernama Nyai Lindri pemilik tempat hiburan ini berusaha melerai terjadinya keributan di tempat usaha hiburannya itu. Ia selama ini memang banyak mengumpulkan janda-janda cantik entah mereka itu yang ditinggal mati suami, atau dicerai, dan macam-macam sebab dari keluarga keluarga berantakan yang ditampung jadi satu di rumahnya yang besar itu untuk diberi pekerjaan sebagai pemain penari gambyong.

"Maaf Nyai Lindri, aku tidak mengganggu tamu-tamumu. Aku hanya menjalankan tugas pengamanan, berusaha menjaga ketenteraman di tempatmu ini dari segala gangguan orang-orang luar yang mau berbuat liar di kampung ini seperti cecunguk bau pesing ini," cela Jogoboyo Singobeboyo sambil telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah hidung Warok Tanggorwereng, lakilaki berbadan tinggi besar berdada dempal, kekar dengan otot-ototnya yang menonjol nampak perkasa, berdiri kokoh di atas kedua kakinya yang sudah bersikap "pasang untuk berlaga. Walaupun Jogoboyo Singobeboyo pun juga telah bersikap serupa untuk berlaga, tapi agaknya ia masih berusaha mengambil simpati agar ia mendapatkan kesempatan untuk mendekati perempuan kenes, Tarsinem, penari gambyong yang tadi dibela itu.

"Ya...ya...sudah, Kangmas. Aku terima kasih kepada Kangmas Singobeboyo. Mari masuk ke dalam Kangmas Singobeboyo. Kita ngobrol di dalam saja."

Sambil berkata begitu tangan Nyai Lindri segera menarik lengan Jogoboyo Singobeboyo yang kekar itu untuk dibawa ke dalam rumahnya.

"Kangmas Tanggorwereng silakan meneruskan menarinya," Kata Nyai Lindri yang terkenal luwes dalam melayani tamu-tamunya itu. Kemudian, Nyai Lindri itu memberi isyarat kepada para penabuh gamelan untuk membunyikan kembali tetabuhannya yang makin malam makin erotis itu. Warok Tanggorwereng jadi tidak bernafsu lagi berjoget. la mengambil tempat duduk di sudut belakang yang agak gelap sambil dikerumuni para anak buahnya yang berjumlah hampir satu lusin

"Kalau aku tidak menaruh hormat kepada Nyai Lindri, sudah aku pisahkan kepala Singobeboyo itu dari lehernya," sergah Warok Tanggorwereng nampak masih kesal. Teman-temannya berusaha menenangkan pemimpinnya yang disegani itu dengan memberikannya minuman tuak kental sambil menarik beberapa perempuan cantik lainnya anak buah Nyai Lindri yang sengaja disodorkan untuk menghibur Warok Tanggorwereng yang sedang kesal berat itu. Warok Tanggorwereng sebenarnya bukan orang baru di tempat hiburan milik Nyai Lindri ini. Ia sangat royal melepaskan uangnya untuk dihamburkan di tempat ini. Oleh karena itu Nyai Lindri pun sering mengistimewakan. Walaupun sebenarnya tidak senonoh. Semaunya sendiri terhadap para anak buah Nyai Lindri. Namun dihadapan Nyai Lindri ia tidak pernah berbuat kurang ajar. Ia bagaikan ompong dihadapan Nyai Lindri

Konon menurut ceritera kampung di sini, Nyai Lindri memiliki aji-aji sirepkepepet, sehingga tiap laki-laki dibuatnya tidak berkutik dihadapannya. Namun demikian, Nyai Lindri juga tahu persis bagaimana mengatur para punggawa Kadipaten seperti Jogoboyo Singobeboyo itu. Sebab kalau izin usaha hiburannya itu dicabut pihak Kadipaten, maka mata pencahariannya akan mampet. Oleh karena itu, ia pun berusaha keras untuk mengambil hati para punggawa Kadipaten yang bertugas keliling mengawasi tempat-tempat hiburan, sebab biasanya di tempat-benmpat hiburan itu sering dijadikan sarang para penjahat. Sehingga pihak Kadipaten menugaskan para warok andalan yang diangkat menjadi pengaman daerah-daerah yang dianggap rawan di tempat-tempat hiburan ini ia juga sering berbuat macam macam. Suara gending terus bertalu, para penari gambyong makin lama makin banyak lagi yang turun ke halaman rumah hiburan itu untuk berjoget. Sementara itu, Nyai Lindri sedang berusaha keras memperlakukan Jogoboyo Singobeboyo bagaikan raja kahyangan. Setelah disuguh minuman istimewa, madu telor dicampur ramuan galian ledender, Jogoboyo Singobeboyo perangainya lama-lama menjadi berubah. Ia mukanya nampak agak pucat, dan lemas. Nyai Lindri berusaha mengerti apa yang sedang bergolak pada diri Jogoboyo Singobeboyo itu, lalu katanya

"Kang mas Singobeboyo, beristirahatlah di kamar saya sebelah sana," sambil menarik lengan Jogoboyo Singobeboyo, Nyai Lindri masuk ke dalam bilik yang tertata apik itu. Ruangan bilik itu sebenarnya hanya khusus untuk tamu tamu istimewa. Setelah Jogoboyo Singobeboyo dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar, Nyai Lindri memberi isyarat kepada salah seorang anak buahnya, Retni Pinasih, untuk menemani Jogoboyo Singobeboyo yang sedang mabuk berat tergeletak di kamar Nyai Lindri itu. Sementara itu diluar sana, Warok Tanggorwereng sedang bercengkerama kembali dengan para pemain gambyong yang agaknya juga memanfaatkan situasi baik itu untuk berusaha menjerat kantung tebal Warok Tanggorwereng yang berisi segenggam kepingan uang itu untuk beralih ke dompetnya.

"Ha..h... aku senang sama kamu Putri Keniken ini," gelak tawa Warok Tanggorwereng sudah mulai lupa daratan. Sudah lupa dengan apa yang baru saja terjadi dengan Jogoboyo Singobeboyo. Para anak buahnya hanya ketawa lebar melihat tingkah pimpinannya yang selama ini dikenal angker menakutkan tetapi tiba-tiba jadi seperti anak kecil ingusan dihadapan para perempuan-perempuan molek yang ramah menemaninya. Kemudian tidak berapa lama mereka nampak sudah menari berjoget ria kembali bersama Putri Keniken itu dengan gelak tawa yang tidak henti-hentinya.

*****

KERIBUTAN.

DIANTARA deretan meja-meja minum tamu di Tempat Hiburan milik Nyai Lindri di Padukuhan Griyantoro itu ternyata terdapat Joko Manggolo. Ia rupanya baru kali ini melihat pemandangan aneh yang menghibur itu, sehinga nampak ia terkagum-kagum. Bengong. Selama ini ia belum pernah melihat tempat keramaian seperti ini, yang penuh dengan perempuan perempuan cantik yang berjoget ria. Ia hanya memesan minuman wedang kopi dan makanan nyamikan ketela goreng .

Beberapa kali pelayan perempuan yang kenes-kenes itu manawarkan tuak kepada Joko Manggolo selalu ditolaknya.

"Maaf saya sedang tidak ingin minum tuak,"

Mendengar jawaban Joko Manggolo kepada pelayan perempuan itu tiba-tiba mengundang perhatian laki-laki yang duduk di meja seberangnya mentertawai diri Joko Manggolo.

"Ha...ha...ha...anak banci. Mana berani kamu minum arak. Minum susu kali kesukaannya, ha...ha..." ledek laki-laki berewokan yang sedang bercengkerama dengan salah seorang perempuan muda pemain gambyong itu sambil berdiri meneriaki Joko Manggolo yang dianggap anak kampungan yang tidak doyan enaknya minuman tuak. Melihat tingkah laki-laki berewokan yang kemudian disambut gelak ketawa mengejek tamu-tamu laki-laki lainnya, Joko Manggolo hanya berdiam diri, berusaha menahan amarah. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana di tempat keramaian seperti ini

"Hae, anak ingusan, dari mana datangmu, sepertinya baru kali ini aku melihat tampangmu yang jelek ini," kata seorang laki-laki yang bertubuh bulat pendek yang tadi mentertawai Joko Manggolo itu, tiba-tiba berdiri dari duduknya dan mendatangi meja Joko Manggolo sambil bertolak pinggang dihadapannya. Joko Manggolo masih tetap diam, tidak tahu harus menjawab apa.

"He, kamu bisu atau tuli. Ditanya diam saja."

Bentak laki-laki bulat pendek itu sambil menggebrak meja Joko Manggolo.

Wedang kopi panas di atas meja itu muncrat hampir mengenai muka Joko Manggolo.

"Aku datang dari arah barat, Kangmas.
Dari Dukuh Ngudisari.
Tujuanku datang kemari untuk mencari hiburan di tempat ini,"

Jawab Joko Manggolo tenang.

"Ha..ha...ha...itu baru. begini ini yang namanya punya mulut. Mau buka suara,"

Ujar laki-laki bulat pendek itu sambil tertawa keras merasa gertakannya itu berhasil membuat takut tamu baru joko Manggolo itu.

"Kamu orang baru di sini, ya. Jangan coba-coba ganggu perempuan di sini, ya. Kalau kamu berani ganggu perempuan di tempat ini, aku bekuk batang lehermu. Tahu."

Bentak laki-laki bulat pendek itu kembali dengan memasang wajah angker.

"Baik Kangmas," jawab joko Manggolo kembali.

"Bagus. Bayar itu minuman saya di meja saya itu,"

Kata laki-laki bulat itu nampaknya berusaha memeras Joko Manggolo.

"Kkk...Ka..Kangmas, saya tidak punya uang. Uang saya hanya cukup untuk membayar wedang kopi dan makanan kecil ini. Maafkan saya,"

Jawab Joko Manggolo agak terbata-bata, agaknya ia mulai marasa sulit berhadapan dengan laki-laki kasar di tempat yang asing begini ini.

Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Peduli amat. Pokoknya kamu harus bayar. Mengerti."

Sekali lagi laki-laki bulat pendek itu menggebrakkan tangannya ke meja Joko Manggolo.

"Baik Kangmas, saya akan bayarkan."

"Ha... ha...ha...bagus. Itu Bagus,"

Kata laki-laki itu makin bangga merasa dapat memperdaya Joko Manggolo.

"Hai, pelayan. Kemari."

Teriak laki-laki itu memberi isyarat memanggil pelayan perempuan yang sedang nampak melayani tamu di meja sebelah.

"Ada apa, Kangmas," tanya pelayan perempuan itu.

"Berapa semua minuman di meja rombonganku di meja ini"

Tanya laki-laki itu sambil bertolak pinggang

"Semuanya, tiga puluh keping" jawab pelayan perempuan itu setelah menghitung semua minuman tuak yang tersaji di meja laki-laki itu.

"Hai, anak ingusan bayar itu tiga puluh keping.
Cepatttt" Hardik laki-laki itu kepada Joko Manggolo.

"Baik, Kangmas," jawab Joko Manggolo sambil merogoh kantongnya dari dalam baju hitamnya.

Ia nampaknya tidak ingin mencari perkara di tempat yang baru pertama kali dikunjungi ini.

Barangkali memang adat kebiasaan pergaulan di lingkungan begini ini harus begini.

Ketika Joko Manggolo mengambil uangnya, terpaksa ia harus membuka bundelan berisi uang kepingnya itu. Demi terlintas nampak bundelan uang di kantong Joko Manggolo, laki-laki itu sekali lagi menggeram.

"Heh, mana uang kamu itu, aku yang akan bayarkan kepada pelayan itu. Serahkan semua yang engkau bawa itu, Bunglon." Sergah laki-laki itu masih berusaha memeras Joko Manggolo.

"Ini uangku sendiri. Kalau aku serahkan semua, aku tidak punya sangu untuk pulang. Tadi Kangmas hanya minta saya membayarkan minumannya saja Tolong jangan meminta semua uang ini" jawab Joko Manggolo berusaha memberi pengertrian kepada lakilaki bulat pendek itu.

"Hae, cocotmu. Tampang kamu jelek, mulut banyak bacot. Sudah serahkan saja itu uang. Kau makan minum sesukamu. Nanti aku yang bayar. Mana, cepat serahkan," teriak laki-laki itu nampak geram, teman-temannya yang duduk-duduk melingkari meja minum itu pada tertawa terkekeh-kekeh melihat temannya laki-laki bulat pendek itu berhasil memperdaya laki-laki muda, Joko Manggolo yang nampak lugu itu.

"Kangmas, sekali ini aku menolak permintaanmu," tiba tiba joko Manggolo berdiri dari duduknya siap menghadapi segala kemungkinan. Melihat sikap berani yang tiba-tiba ditunjukkan oleh Joko Manggolo itu, laki-laki bulat pendek itu beringsut sedikit ke belakang. Hatinya sedikit kecut, rupanya anak muda ini punya keberanian juga.

"Ha...ha..ha...anak ingusan. Berani juga kamu menolak permintaanku,"

Kata laki-laki bulat pendek itu sambil berusaha tertawa untuk mengendalikan diri dari gejolak ketakutannya

"Diam."

Tiba-tiba Joko Manggolo membentak laki-laki yang sedang tertawa lebar itu.

Seketika itu juga ketawa laki-laki itu terhenti.

Joko Manggolo maju melangkah mendekati laki-laki itu, dan laki-laki itu mundur pelan-pelan.

Telunjuk Joko Manggolo menuding pada salah seorang yang ikut tergabung dalam meja orang-orang liar itu.

"Hae bajingan perampok, kamu. Kalian semua kumpul disini rupanya mau merampok yah,"

Bentak joko Manggolo yang tiba-tiba mengenali muka salah seorang dari rombongan laki-laki itu yang pernah merampok di Warung Randil malam-malam itu.

Muka orang yang ditunjuk Joko Manggolo itu menjadi pucat pasi, lamat-lamat ia agak ingat muka Joko Manggolo yang sempat menendangnya terhenyak dari pintu warung Randil itu, untung ia masih mampu melarikan diri

"Kamu yang malam-malam itu merampok di warung Randil, ya."

Hardik Joko Manggolo langsung tertuju kepada orang itu.

"Bu..buk...buk...buka...bukan aku...beb...benar...bukan aku,"

Jawab laki-laki hitam yang nampak mulai gusar dari tempat duduknya itu.

Ia tahu kehebatan Joko Manggolo ketika menghajar kawan-kawannya ketika merampok malam itu di Warug Randil. Keadaan menjadi panas, agaknya pertarungan tidak dapat dihindarkan, Joko Manggolo dikeroyok habis habisan oleh para perampok itu, tetapi ia masih dapat memenangkan perkelahian itu.

Seorang laki-laki pendek gempal yang tadi memperdaya Joko Manggolo dihajar habis oleh joko Manggolo, beberapa tendangannya telah meremukkan tulang iga laki-laki pemeras itu, sehingga ia tergeletak menggelepar.

Kawan-kawannya pun dengan gencar melancarkan serangan dari berbagai jurusan, namun Joko Manggolo rupanya cukup tangguh menghadapi kawanan perampok yang walaupun memiliki keterampilan bertarung lumayan, masih dapat dirontokkan pertahannya oleh sabetan kaki Joko Manggolo yang terus berputar-putar menohok mengenai para kawanan perampok itu.

Pertarungan keroyokan itu telah memporak-porandakan bangku-bangku di barisan belakang yang terkena henyakan tubuh-tubuh para perampok yang besar kokoh itu.

Suasana itu telah membuat keonaran dan mengganggu tamu lainnya yang lagi enak-enaknya bermain joget dengan perempuan-perempuan pemain tari gambyong itu.

Tak urung Warok Tanggorwereng pun merasa terganggu kenyamanannya dengan adanya perkelahian ini, sehingga amarahnya timbul.

Sebenarnya rombongan Warok Tanggorwereng itu tempat duduknya jauh di depan, diluar arena perkelahian mereka, akan tetapi karena banyak perempuan pemain gambyong yang tiba-tiba menghentikan tariannya, sehingga ia merasa terganggu ketenangannya oleh adanya kegaduhan di bangku-bangku belakang itu, maka ia pun kemudian ikut turut campur, padahal dia bukan dari rombongan para perampok itu.

Naas bagi nasib Joko Manggolo yang sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan jauh berjalan kaki sepanjang siang hari, dan baru berkelahi dengan rombongan perampok itu, kemudian harus berhadapan dengan rombongan Warok Tanggorwereng yang jumlahnya selusin itu.

Joko Manggolo langsung dihajar habis-habisan, beramai-ramai hampir mati klenger. Namun agaknya nasib mujur masih mem?hak Joko Manggolo, sebelum ia mati terbunuh oleh permainan keroyokan itu, ketika itu Warok Singobeboyo yang sedang tertidur pulas berada dalam dekapan salah seorang pemain gambyong anak buah Nyai Lindri, segera dibangunkan oleh para pemain gambyong itu

"Kangmas, Kangmas Singobeboyo.
Bangun Ada keributan di luar," teriak Nyai Lindri membangunkan Warok Singobeboyo sebagai penguasa pengamanan daerah ini yang mewakili kepentingan penguasa pemerintahan Kadipaten.

"Hah, apa.
Ada keributan,?" kata Warok Singobeboyo kaget dan segera meloncat keluar sambil berteriak lantang

"Hentikan."

Semua anak buah Warok Tanggorwereng seketika itu menghentikan menghajar Joko Manggolo yang sudah babak belur terkapar, menggelepar di halaman yang luas itu.

"Masih kamu juga Wereng yang bikin onar", teriak Warok Singobeboyo sambil matanya melotot tajam memandang lurus muka Warok Tanggorwereng.

"Bukan aku, Singobeboyo. Tapi orang-orang itu yang bikin keributan mengganggu aku. Jadi aku terpaksa turut campur untuk mengamankan. Ikut membereskan mereka. Maksudku agar tidak terjadi kegaduhan. Kalau sekarang sudah ada kamu yang mau membereskan. Lha, sekarang juga saya tidak perlu ikut campur. Saya mau pergi" jawab Warok Tanggorwereng sambil melangkah mendekati Nyai Lindri yang berdiri gugup tidak jauh dari tempat itu . Setengahnya, Warok Tanggorwereng minta perlindungan dari Nyai Lindri pemilik tempat hiburan itu agar tidak terjadi salah paham dengan Warok Singobeboyo. Warok Singobeboyo yang merasa sebagai Jogoboyo Dukuh Griyantoro ini, sebagai pelindung keamanan penduduk, ia segera meloncat mendekati tubuh joko Manggolo yang tergelepar tidak sadar diri di tanah.

"Cepat bawa masuk anak ini ke ruang sana,"

Perintah Jogoboyo Singobeboyo kepada seorang laki-laki yang berperawakan tinggi tegap yang segera memapah tubuh Joko Manggolo menuju ke suatu ruangan tertutup di dalam rumah Nyai Lindri.

"Mbakyu Lindri, aku mohon pamit dulu. Hari sudah mau pagi, dan ini uang pembayaran untuk semua rombonganku,"

Kata Warok Tanggorwereng sambil menyerahkan segepok uang untuk membayar biaya minum-minum, ia bersama anak buahnya semalam suntuk itu .

"Terima kasih Kakangmas Tanggorwereng, sering-sering saja kemari ya, dan jangan kapok, mohon maaf kalau ada kekurangannya,"

Kata Nyai Lindri kenes setengah merayu tamu langganannya yang royal itu.

"Ya..ya...Mbakyu...mohon pamit dulu,"

Jawab Warok Tanggorwereng nampak hormat kepada Nyai Lindri, pimpinan dan pemilik tempat hiburan yang biasa memanjakan dia dan rombongannya tiap kali mampir ke tempat hiburannya ini .

"Hae, sompret, mau kemana kamu,"

Tiba-tiba terdengar teriakkan Jogoboyo Singobeboyo menghentikan langkah Warok Tanggorwereng bersama segerombol anak buahnya

"Aku mau pulang, Singobeboyo.Hari sudah pagi. Wajar kan.
Aku tidak ngutang di tempat Mbakyu Lindri ini. Semua urusanku sudah beres," jawab Warok Tanggorwereng kalem sambil memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat meninggalkan tempat hiburan ini.

"Berhenti dulu," teriak Jogoboyo Singobeboyo lagi

"Siapa tadi yang memukuli anak malang itu,"

Sambil langkahnya mendekati rombongan Warok Tanggorwereng yang sudah melangkah keluar ruangan itu.

"Kangmas Singobeboyo, sudahlah Kangmas," teriak Nyai Lindri sambil menubruk tubuh Jogoboyo Singobeboyo yang tinggi besar itu, segera menghalangi langkah Jogoboyo Singobeboyo untuk maju mau menghajar rombongan Warok Tanggorwereng yang perkasa itu

"Aku mohon memaafkan tamu-tamuku Kangmas."

Nampaknya Jogoboyo Singobeboyo juga tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan perempuan cantik jelita itu yang ketika gerak langkah kakinya dihalangi oleh tubuh Nyai Lindri yang berbau harum semerbak penuh olesan parfum itu memeluknya erat-erat badan Jogoboyo Singobeboyo yang tinggi kekar itu. Hati laki-laki Jogoboyo Singobeboyo dibuat luluh seketika. Sementara itu rombongan gerombolan Warok Tanggorwereng pun dengan tenang meninggalkan rumah hiburan Nyai Lindri.

Di tengah jalan Warok Tanggorwereng masih mengomel dihadapan para anak buahnya yang semuanya mengendarai kuda warna hitam-hitam itu.

"Suatu hari nanti, aku akan bikin perhitungan sama si dungu, Singobeboyo itu. Kita bikin kekacawan di manamana agar pihak penguasa Kadipaten kewalahan dan memecat para Pengaman di daerah seperti Singobeboyo itu. Mulai besuk kita susun rencana untuk membikin keonaran di mana-mana, di seluruh daerah Kadipaten," teriak Warok Tanggorwereng yang mengendarai kuda hitam paling depan berjumlah selusin itu dengan semangat memacu kuda kuda mereka ke arah perbukitan selatan. diikuti oleh anak buahnya.

*****

DALAM PERAWATAN.

NAMANYA Sadri, nama seorang pedagang kayu, dan pemburu ternak di hutan yang kemudian hasil buruannya itu dijadikan barang dagangannya, biasa mampir ke tempat hiburan Nyai Lindri ini, sehabis pulang dari berjualan kayu atau ternak di kota Kadipaten Ponorogo, ia mengaku sebagai masih saudara Joko Manggolo. Jelasnya ia masih terhitung sebagai pamannya Joko Manggolo. Ketika ia memperhatikan kalung manik-manik yang terikat tali sisal di leher Joko Manggolo sebagai pertanda ia adalah masih satu keluarga dengannya. Kalung manik-manik itu yang dipakai oleh trah keluarga seperti Paman Sadri dan orang tua Joko Manggolo agar dimana saja mereka menemukan orang yang memakai kalung manik-manik khusus itu sebagai pertanda mereka masih satu keturunan, berasal dari satu eyang. Oleh karena itu ketika tadi terjadi keributan, dan setelah dilihat yang menjadi korban pengeroyokan itu seorang anak muda yang di lehernya terdapat kalung manik-manik itu, segera ia dapat memastikan, anak muda itu masih satu trah dengannya. Setelah menjelaskan panjang lebar kepada Warok Singobeboyo sebagai orang yang menjabat Jogoboyo di Dukuh Griyantoro ini, ia sebagai yang bertanggung jawab terhadap keamanan daerah itu, maka kemudian atas keyakinannya, orang yang mengaku bernama Sadri itu dapat dipastikan benar-benar masih ada hubungan keluarga dengan anak muda yang bernama Joko Manggolo itu.

Oleh karena itu, malam itu juga atas seijin Warok Singobeboyo dan Nyai Lindri, Paman Sadri bersama para anak buahnya segera membawa pergi Joko Manggolo dari tempat hiburan itu untuk diamankan dan dirawat lebih lanjut, ia dibawa pulang menuju ke Dukuh Badegan, kampung halaman Paman Sadri di seberang kulon daerah Ponorogo. Berbekal pengetahuan cara pengobatan seperlunya, Paman Sadri berusaha membalut luka-luka di tubuh Joko Manggolo dengan ramu-ramuan dedaunan di tempat tempat sekeliling. Darah-darah yang mengucur keluar di berbagai tubuh Joko Manggolo itu akhirnya dapat terhenti. Joko Manggolo mulai siuman kembali, walaupun tubuhnya masih nampak lemas. Segera diberi minuman jamu-jamu untuk memulihkan kekuatannya. Dengan dibantu oleh para anak buahnya yang mengendarai dua buah gerobak Kelutuk Sapi, Paman Sadri pagi itu memboyong Joko Manggolo dibawa pulang ke kampungnya mengarah ke sebelah barat Dukuh Griyantoro ini.

Perjalanan setengah hari rombongan Paman Sadri itu baru sampai di Dukuh Badegan, sebuah perkampungan di pinggir alas Badegan yang masih belukar ganas. Paman Sadri kebetulan adalah adik sepupu dari ayah Joko Manggolo, Pak Kartosentono yang juga sama-sama bekerja sebagai pedagang. Ia rupanya baru ingat kalau dahulu ia sangat mengenal Joko Manggolo sejak masih kecil. Dan belakangan ia mendengar berita, perginya Ibu kandung Joko Manggolo, Waijah Sarirupi yang hingga kini tidak tahu rimbanya dimana keberadaannya. Termasuk juga kepergiannya Joko Manggolo yang sebenarnya ingin diangkatnya menjadi anak pungutnya ketika masih bocah. Akan tetapi anak bocah yang baru berumur sebelas tahun itu pergi menghilang meninggalkan kampung halaman yang tidak tahu rimbanya lagi. Kebetulan malam itu ada keributan di tempat hiburan Nyai Lindri, Paman Sadri dan rombongannya yang biasa mampir untuk sekedar minum-minum sambil berjoget melepaskan lelah tiba-tiba dikejutkan oleh perkelahian yang begitu brutal, dan ternyata Joko Manggolo yang menjadi korban dikeroyok secara tidak seimbang oleh para begundal-begundal itu. Paman Sadri berusaha mencoba membantunya, tapi tidak berani.

Sebab Paman Sadri dan rombongannya itu bukanlah sebagai orang orang yang mengusai ilmu kanuragan, tahunya hanya berdagang dan mencari uang. Seperti halnya ayah Joko Manggolo dahulu, hanya uang dan kesenangan yang dipikirkan.

Setelah beberapa hari Joko Manggolo dalam perawatan keluarga Paman Sadri, kondisi tubuhnya mulai membaik. Luka-lukanya mula sembuh. Hanya saja di dalam tubuhnya masih terasa nyeri. Mungkin akibat serangan tenaga dalam orang-orang itu yang dilambari aji-aji kekuatan bathin sehingga kemampuan daya tahan Joko Manggolo lumpuh seketika dibuatnya. Paman Sadri berusaha keras untuk mencarikan Dukun manjur yang dapat memulihkan keadaan Joko Manggolo. Beberapa Dukun terkenal di dekat perkampungan Badegan didatangi, dan nampaknya usaha Paman Sadri yang tidak kenal putus asa itu telah membantu penyembuhan Joko Manggolo.Sudah duahari ini, nampak Joko Manggolo telah mulai dapat berdiri dan berjalan pelan di halaman rumah Paman Sadri yang rindang penuh tumbuh tumbuhan hutan itu.

Wajah Joko Manggolo nampak juga mulai cerah tidak sebagaimana semula yang tertutup penuh luka, kini luka-luka di mukanya mulai mengering dan mengelupas sehingga nampak wajah Joko Manggoio yang asli begitu ganteng. Melihat kemajuan kesehatan Joko Manggolo itu, Paman Sadri sekeluarga nampak suka cita, isterinya Nyai Mekarsari nampak gembira. Selama ini keluarga Paman Sadrisudah lama mendambakan kehadiran anak di tengah tengah keluarga yang nampak makmur itu, tetapi rupanya sampai sekarang belum dikaruniai seorang anak pun. Oleh karena itu, kehadiran Joko Manggolo, sebagai keponakannya, telah dianggapnya sebagai layaknya anaknya sendiri. Selang beberapa bulan kemudian, Joko Manggolo telah dapat membantu Paman Sadri mencari kayu di hutan untuk dijual. Kayu-kayu dagangan itu dibawa ke kota Kadipaten Ponorogo. Dan sejak peristiwa malam itu, Paman Sadri jarang sekali mampir ke Tempat Hiburan Nyai Lindri lagi, apalagi kalau membawa Joko Manggolo takut kepergok rombongan perampok, dan rombongan gerombolan anak buah Warok Tanggorwereng yang terkenal buas itu.

Pada suatu hari di Dukuh Badegan, ketika keluarga Paman Sadri sedang duduk-duduk santai di halaman depan rumah menjelang malam tiba. Mereka nampak sedang asyik ngobrol segala rupa masalah perihal kehidupan.

"Paman Sadri, apakah ayahku masih hidup," tiba-tiba muncul pertanyaan Joko Manggolo yang membuat Paman Sadri agak gugup dibuatnya

"Lhooooo, kan ayahmu Kangmas Kartosentono sudah lama meninggal."

"Menurut penuturan Eyang Guru Warok Wirodigdo dulu, katanya ayahku masih hidup. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Eyang Warok Wirodigdo masih sempat mengatakan, Joko sebenarnya ayahmu itu masih hidup. Ayahmu adalah...Tidak dilanjutkan dan terus keburu wafat.
Timbul pertanyaan dalam diri Joko, Paman Sadri.Barangkali ayah hamba bukan Pak Kartosentono. Kalau bukan beliau lalu siapa," tanya Joko Manggolo.

Suasana hening sejenak.

Paman Sadri tidak segera bicara.

Rupanya ia sedang berpikir.

Banyak hal yang menjedikan pertimbangan untuk mengatakan sesuatu kepada Joko Manggolo yang kini menjadi anak angkatnya itu.

"Sebaiknya engkau jangan mempunyai pikiran begitu, Joko. Kalau engkau tidak mau mengakui almarhum Pak Kartasentono sebagai ayahmu sendiri, ini akan membawa celaka bagimu. Berkhianat kepada orang tuamu sendiri. Beliau itu yang sebenarnya ayah kandungmu sendiri. Tidak ada laki-laki lain yang menjadi ayahmu selain Pak Kartosentono itu. Yakinlah itu. Barangkali, Kangmas Warok Wirodigdo mengatakan begitu lantaran ia dalam keadaan sekarat, antara sadar dan tidak sadar. Jadi ucapannya sulit dipercaya kebenarannya" kata Paman Sadri berusaha menenangkan Joko Mangggolo.

Namun agaknya Joko Manggolo masih percaya benar terhadap kata-kata gurunya Warok Wirodigdo itu. Akan tetapi untuk tidak membuat Paman Sadri gusar, maka Joko Manggolo diam saja, tidak ingin lagi menanyakan hal itu kepada Paman Sadri. Sejak percakapan mereka itu, selama ini rasa ingin tahu Joko Manggolo untuk mengetahui keberadaan ayahanda dan ibundanya yang sebenarnya itu hanya dipendamnya sendiri. Dalam hati ia berkata, pada suatu hari kelak ia terpaksa harus pergi lagi meninggalkan Dukuh Badegan ini untuk pergi berkelana lagi, namun hal itu akan disesuaikan menurut perkembangan keadaan agar keluarga Paman Sadri yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri tidak tersinggung oleh ulah Joko Manggolo. Ia sudah berpendirian untuk menjadikan Dukuh Badegan ini sebagai kampung halamannya yang baru. Oleh karena itu kalaupun ia terpaksa harus pergi berkelana, ia harus kembali lagi ke Dukuh Badegan ini.

*****

PEPINDEN.
Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


DALAM kehidupan keluarga Paman Sadri yang ternyata sampai sekarang belum dikaruniai seorang anak pun itu, sebagai salah satu alasannya, keluarga ini telah memutuskan untuk mengangkat seorang anak perempuan yang terhitung masih keponakannya sendiri, bernama Sri Sulaksmi. Sejak kehadiran Joko Manggolo di tengah keluarga Paman Sadri ini, bertambah ramailah kehidupan keluarga Paman Sadri di kampung Dukuh Badegan sebuah perkampungan kecil yang terletak di pinggir hutan jati.

Joko Manggolo nampak telah pulih dari luka-luka dalamnya, ia nampak telah sehat kembali. Hampir pada tiap pagi buta, hari masih gelap menyongsong matahari terbit, Joko Manggolo nampak sering berjalan berdua bersama dengan Paman Sadri yang berpenampilan lugu, keras hati, mukanya bersih, berpikiran lurus, dan ini. terlihat sebagai orang yang jujur, berwibawa. Namun, sayang selama ini ia tidak pernah berusaha menguasai imu kanuragan. Ia berpendirian, kekerasan harus dihindari dan kalau ia mempelajari ilmu kanuragan, maka tak urung ia pun akan sering terlibat pada tindakan kekerasan. Ia lebih suka berpasrah diri saja kepada Sang Hyang Tunggal untuk menjaga keamanan dirinya. Tanpa ada usaha untuk memperteguh kekuatan dirinya misalnya berlatih ilmu kanuragan itu, hanya sekali-kali memang ia melakukan latihan olah bathin. Perjalanan kedua laki-laki itu telah sampai di suatu tempat gundukan yang rimbun, berjarak lumayan jauh dari kampung Dukuh Badegan. Di tempat itu ditemui banyak patok-patok berjejer-jejer yang ternyata merupakan tempat kuburan para leluhur, para warok dari daerah kulon yang kebanyakan dikubur di tempat ini.

"Dulu, di daerah ini pernah terjadi perkelahian yang menghebat antar para warok yang bersabung mempertahankan kedigdayaannya masing-masing, sampai maut merenggut nyawa mereka. Kemudian penduduk setempat, memutuskan memakamkan jenazah mereka di tempat ini sebagai peringatan kepada kita semua yang masih hidup agar pertentangan berebut keunggulan harga diri, dan kewibawaan ini tidak terulang lagi pada anak cucu berikutnya."

"Apa yang sebenarnya mereka pertentangkan, Paman" tanya Joko Manggolo.

"Ya. Itu tadi yang saya katakan mereka memperebutkan gengsi kewibawaan. Ingin menjadi orang yang dianggap paling kuat, paling berwibawa, paling berpengaruh paling banyak pengikut, dan paling macam-macam, sehingga mereka bersedia mempertaruhkan jiwa raganya hanya ingin mendapatkan pengakuan masyarakat, ia adalah warok unggulan yang tiada tanding. Pernyataan yang kelewatan ini, keblabasen kemudian tidak enak didengar ditelinga warok yang lain. Nah, terjadilah tantang menantang antar warok itu untuk adu kesaktian. Akhirnya pertarungan antar dua warok tangguh itu terjadi secara kesatria di tempat ini sampai pati. Sampai menemui ajalnya masing-masing. Mereka rupanya tidak sendirian. Masing-masing mempunyai pengikut. Melihat pimpinannya yang dijagokan kalah, maka para anak buahnya tidak terima. Terjadilah tawuran keroyokan. Tidak ada yang hidup antar kedua pihak. Semuanya mati dan dikubur berjejer-jejer di sini ini," kata Paman Sadri menceriterakan kejadian yarng sudah berlangsung sekitar empat ratus tahun yang lalu sebagai ceritera yang dipercaya penduduk setempat turun-temurun.

"Apakah mereka tidak ada sanak keluarga, isteri dan anak turunnya, Paman."

"Tidak ada. Mereka yang bertarung di tempat ini dulu para warok sejati. Tidak kawin dan tidak punya anak. Sehingga ketika mati pun tidak meninggalkan garis keturunan, seakan nama kebesarannya pun tidak ada yang mewarisi, ikut terkubur bersama mayat mereka di tempat ini. Tapi, menurut para sesepuh ahli ilmu kanuragan dan olah bathin, ilmu-ilmu yang dimiliki oleh para warok itu tidak ikut terkubur bersama jasadnya. Masih hidup gentayangan di alam baka ini. Banyak warok lain yang memiliki kemampuan linuih, menangkap ilmu-ilmu itu untuk memperkaya kesaktiannya. ilmunya masih hidup tidak ikut lenyap. Itulah yang dipercaya para sesepuh"

"Benar, Paman. Manggolo pun mendapatkan pelajaran mengenai ini dari Eyang Guru Warok Wirodigdo. Namun barangkali ketika itu Manggolo masih bocah saat Eyang Guru meninggal dunia, maka hanya sebagian kecil ilmunya yang dapat Manggolo kuasai. Namun ada pengalaman menarik yang sampai sekarang masih Manggolo ingat, Paman. Yaitu pada saat menjelang wafatnya eyang Warok Wirodigdo. Tiba-tiba dari jasadnya seperti keluar asap lembut yang menyerupai gambaran tombak berbentuk ular naga. Wujud itu kemudian berubah seperti kabut putih menghambur mengawan meninggalkan bumi. Dan pada saat itu pula tiba-tiba Manggolo dapat melihat seperti ada kekuatan cahaya merah menyala yang datang dari ufuk timur yang dengan gesit menyambar kekuatan kabut putih itu kemudian terserap seperti kabur meninggalkan angkasa,"

Kata Joko Manggolo dengan muka serius yang didengarkan oleh Paman Sadri dengan muka serius pula sambil kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk tanda memahami kejadian gaib seperti itu.

"Menurut penuturan para sesepuh,"

Kata Paman Sadri kemudian menimpali pembicaraan Joko Manggolo.

"ilmu gurumu itu terlepas ketika sukmanya meninggalkan jasadnya. Dan barangkali ketika itu ada kekuatan lain yang dimiliki oleh para warok sakti lainnya yang dapat menangkap daya energi kekuatan ilmu yang terlepas dari jiwa raga Warok Wirodigdo itu yang kemudian dicaploknya untuk dimilikinya sebagai tambahan kekuatan kesaktiannya."

"Ohh, begitu ya, Paman Sadri kejadiannya."

"Ya. Itu kejadian gaib. Hanya kalangan tertentu yang berilmu tinggi yang paham soal ilmu-ilmu demikian ini. Dan tentu para warok yang berilmu linuih itu yang bisa mengincar kekuatan warok yang meninggal itu untuk menambah perbendaharaan keilmuannya,"

Urai Paman Sadri.

Udara dingin pagi mulai terasa, kegelapan malam telah berganti suasana yang makin terang, di belahan timur terlihat sinar cahaya matahari remang-remang yang menandakan tidak lama lagi pagi akan tiba.

Joko Manggolo dan Paman Sadri beranjak dari tempat pinggir pekuburan itu, tempat yang menjadi pepunden, kuburan keramat sebagai tempat dimakamkannya para warok yang menemui ajalnya berlaga adu kesaktian di masa lalu itu, sehingga kini dianggap tempat angker untuk sesirah, ngudi doyo bagi orang-orang yang ingin berhubungan dengan roh para leluhur.

Tiba-tiba Joko Manggolo melihat seperti ada cahaya kuning kemerahan yang memantul dari arah batu nisan patok kuburan itu, menyerupai bayangan manusia setinggi pohon beringin lewat begitu cepat mengarah ke ujung kulon perbukitan pinggir hutan jati itu.

"Hah, sepertinya ada kekuatan mahkluk halus...Paman.
Kita harus berhati-hati, Paman.
Sebaiknya kita tidak usah berjalan meneruskan ke arah belokan itu, Paman" bisik Joko Manggolo, suaranya seperti tidak terdengar

"Memang ada apa, Angger Manggolo," tanya Paman Sadri penuh keheranan, sebab ia tidak bisa menangkap dengan mata hatinya apa yang terjadi di alam peralihan yang maya itu

"Apakah Paman tidak melihat ada kekuatan dahsyat sedang berlalu dari patok kuburan yang sebelah tengah itu"

"Tidak.
Sama sekali aku tidak melihat apa-apa."

"Kita harus berusaha konsentrasi untuk melihat kekuatan-kekuatan gaib itu, Paman."

"Aku tidak menguasai iimu olah bathin seperti itu, Angger Manggolo".

"Lihatlah dengan mata hati, Paman. Itu ada pancaran kekuatan yang luar biasa. Barangkali masih banyak sisa sisa kekuatan ilmu kesaktian yang ditinggalkan para leluhur para warok dahulu di tempat keramat ini."

Paman Sadri terdiam, tapi bulu kudugnya mulai merinding. Peluh dinginnya mengalir cepat membasahi sekujur tubuhnya. Ia nampak mulai gemetaran menahan takut.

"Sebentar, Paman. Aku akan melihat ke dalam sepertinya ada sesuatu yang bergerak di antara pohon-pohon kamboja itu. Aku mau periksa. ke dalam kuburan itu. Paman sebaiknya tunggu di sini saja."

"Awas, hati-hati, Angger Manggolo."

Dengan sigap Joko Manggolo telah memasuki lingkaran tanah gundukan di pekuburan itu. Mengendap-endap mendekati tempat yang dicurigai seperti ada asap yang mengepul dari tempat itu. Makin dekat terasa ada bau yang menyengat. Bau kemenyan bakar. Joko Manggolo makin yakin, pasti ada sesuatu yang sedang berjalan di balik pepohonan kamboja yang rindang itu. Setelah dekat Joko Manggolo dapat mengamati dari persembunyiannya di balik pohon-pohon yang lebat itu tapi belum sempat ia melihat apa yang terjadi di balik pohon beringin di tengah pekuburan itu, tiba-tiba seperti terlihat bayangan besar hitam yang meloncat cepat dari balik pohon itu langsung menerjang ke arah joko Manggolo membungkuk yang sedang terbengong.

"Brukkkk"

Suara keras telah menghantam tubuh joko Manggolo sehingga ia terguling-guling beberapa kali surut ke belakang. Kemudian, Joko Manggolo berusaha bangkit dan melakukan sikap "pasang untuk menghadapi kemungkinan menerima serangan lebih lanjut dari orang tua perkasa ini yang tiba-tiba saja menyerangnya tanpa tanya ini dan itunya.

"Engkau telah mengganggu semediku, orang asing" teriak suara berat seorang laki-laki yang kelihatannya sudah berumur lanjut. Melihat sikap orang itu mau menyerang kembali, Joko Manggolo segera memasang kudakudanya ?ntuk menghadapi serangan lanjutan dari seseorang laki-laki bertubuh tinggi besat gempal menandakan laki-laki lanjut usia ini seorang pekerja keras yang berilmu kanuragan tinggi.

"Apakah maksudmu mengintip orang yang sedang semadi, anakmas"

Tanya laki-laki kekar dengan otot-otot yang menonjol sekujur tubuhnya itu

"Mak...maafkan, hamba, Bapak" kata Joko Manggolo tergagap.

"Aku tidak ihgin semadiku terganggu oleh ulahmu di tempat suci ini.
Engkau tahu, tempat apa ini.
Di sini dimakamkan para leluhurku, kakekku.Seorang warok berilmu tinggi"

"Maaf, Pak.
Saya tidak tahu.
Saya hanya ingin tahu tempat apa ini."

"Disini pekuburan suci.
Makam keramat.
Pepunden.
Aku penunggunya, dan di balik pohon beringin itu aku tinggal untuk bersemedi.
Engkau memasuki pekuburan suci ini tanpa permisi dan memberi tanda isyarat yang bersopan santun.
Apakah kamu perlu aku hajar dulu, baru akan tahu bagaimana tata caranya orang hidup itu harus saling harga-menghargai.
Siapa namamu, dan dari mana asalmu, Nakkk"

"Maafkan saya, Pak.
Nama saya Joko Maggolo.
Saya tinggal tidak jauh dari tempat ini di Dukuh Badegan."

"Emmm. Hemmm Nahhh, begitu baru jelas. Kamu bukan orang liar thoo. Jadi tahu diri"

"Kami sedang berjalan-jalan pagi hari dan kebetulan lewat pekuburan ini, Pak"

"Di sini tata caranya kalau mau memasuki pekuburan orang harus ada tata kramanya harus minta ijin kepada juru kuncinya. Di sini aku yang berkuasa. Sudah tahu.?"

"Sekarang saya sudah tahu, Pak"

"Bagus. Kali ini aku maafkan kesalahanmu. Lain kali kalau kamu berbuat kesalahan yang sama akan aku hajar. Tahu. Sekarang perkenalkan, namaku Warok Suroyudho. Aku di sini sebenarnya sedang menunggu wangsit. Menurut perkiraanku, ketika raja Prabu Kelana Swandana dahulu kala ketika berburu binatang ternak untuk hadiah kepada calon isterinya Dewisri Sanggalangit putri kerajaan Doho itu, beliau berburu di daerah hutan sini dengan menggunakan cemetinya. Maka aku berharap cemeti itu dapat aku peroleh kembali di tempat ini. Pusaka sakti Raja penguasa Kerajaan Bantaran Angin itu melenyap begitu beliau wafat."

"Ohhh, begitu tho, Pak" kata Joko Manggolo kelihatan terbengong-bengong keheranan.

"Ya. Ini aku beritahukan kepada kamu yang masih muda. Barangkali aku tidak sampai menemukan pusaka cemeti itu karena usiaku sudah lanjut, nantinya bisa kamu lanjutkan pencarian cemeti sakti ini," jelas Warok Suroyodho itu dengan pandangan mata yang tajam menandakan orang yang berilmu dalam.

"Terima kasih, Pak atas pemberitahuan ini, " lanjut Joko Manggolo.

"Nah anak muda, jangan lagi sekali-kali mengganggu aku di sini. Sekarang pergilah."

"Terima kasih, Pak."

"Ya. Sana, pergilah"

Setelah memberi hormat kepada laki-laki kekar yang rambutnya telah memutih semua itu, Joko Manggolo kemudian meninggalkan laki-laki itu. Di luar halaman pekuburan itu, Paman Sadri yang menunggu derngan cemas sambil sembunyi di balik gerumbul pepohonan itu, segera menyongsong ketika melihat Joko Manggolo telah kembali dengan selamat berjalan di mukanya.

"Angger Manggolo, apa yang terjadi di pekuburan."

"Ohh, Paman."

Joko Manggolo segera menceriterakan pengalaman barunya tadi sambil kedua laki-laki itu berjalan pulang rumah menuju Dukuh Badegan meninggalkan pekuburan keramat itu.

"Nah, ini memang benar seperti yang disampaikan kepadaku oleh beberapa penduduk di Dukuh Badegan yang sering melihat cahaya mencorong di malam hari dari pekuburan ini. Mereka rata-rata mengeramatkan pekuburan ini, dan tidak ada yang berani mendekatinya. Memang ceritera menganai cemeti atau "pecut sakti"
Itu masih berkembang di antara para warok di daerah tetangga kita yang diyakini sebagai peninggalan milik Prabu Kala Swandana, raja Kerajaan Bantaran angin yang sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. Orang yang sedang bertapa itu bernama Warok Suroyudho, orang sakti yang berumur sudah satu abad belum juga wafat.
Ia merasa bersalah atas kematian eyang buyutnya yang juga warok kenamaan yang bertarung sampai ajalnya di pekuburan itu empat ratus tahun yang lalu.
Ia ingin menguasai ilmu-ilmu kenuragan milik Eyang buyutnya dari keluaraga Batoroyudho itu.
Menurut penuturan para sesepuh, keluarga Batoroyudho itu sebenarnya tidak mempunyai keturunan karena tidak beristeri, tetapi ia mengangkat anak laki-laki sebagai gemblak yang kemudian laki-laki anak angkat Warok Batoroyudho itu ketika berkeluarga menurunkan anak cucu yang semuanya bergelar warok hingga yang terakhir cicitnya bernama Warok Suroyudho sekarang ini yang dahulukala sejak eyang buyutnya dikenal sebagai pengabdi setia secara turun-temurun kepada kerajaan Wengker."

"Sejak raja Wengker Pertama, anak turunnya semuanya terus bergelar warok dan menjadi ompleng-omplengnya di kerajaan Wengker.
Urutan nama raja-raja Wengker antara lain, Raja Djoko Warok Tuwo adalah nama raja kerajaan Wengker Pertama.
Raja Bhre Wengker adalah nama raja Wengker Kedua, Raja Pandan Alas nama raja Wengker Ketiga, dan Raja Surya Ngalam Wengker Keempat.
Anak turun keluarga Warok Batoroyudho ini terus mengabdikan diri di kerajaan Wengker itu."

"Lalu, Warok Suroyudho itu, hidup pada zaman siapa, Paman?"

"Ia itu masuk generasi Eyang Buyutmu"

"Ohhhh.
Sudah sangat tua, Paman."

"Ya. Ya, ya, tapi ia tidak mati-mati karena ilmu kesaktiannya itu belum lepas dari raganya sampai berumur setua itu."

"Manggolo sepertinya bersedia menjadi muridnya, Paman"

"Jangan, Angger, nanti engkau juga akan mengalam? nasib yang sama engkau menurunkan ilmumu. Ilmu aneh itu memang masih beredar dimiliki oleh sebagian para warok di daerah barat sini. Untuk segera mati ia harus mencari dengan dia, tidak mati-mati sebelum tandingan lawan yang berat agar dapat mengalahkanya dan atau sanggup membunuhnya. Nah, susahnya kalau sudah bergelar warok demikian ini kesaktiannya ngudubilahi sehingga tidak mati-mati. Jadi itu tadi ia tetap saja hidup walaupun sudah tua bangka."

Joko Manggolo dengan takjim terus mendengarkan uraian Paman Sadri yang dianggap sebagai sesepuh yang tahu banyak mengenai ceritera ceritera kelebihan para warok yang sudah menginjak usia lanjut.

Sesampai di rumah, Bulik Sadri, isteri Paman Sadri telah menyiapkan sarapan di atas meja tengah, sebakul nasi putih berikut lauk pecel disertai rempeyek kedelei. Kedua laki-laki, Paman dan kemenakannya itu, begitu memasuki pintu rumah itu disambut ramah oleh Bulik Sadri dengan senyum keramahan.

"Itu Kangmas sarapannya, nanti keburu dingin nasinya "

"Ya Hayo angger Manggolo, sarapan sekalian. Kamu, Nduk Laksmi sudah sarapan. Hayo sarapan sama sama," kata Paman Sadri begitu dilihatnya kemonakannya, Sri Sulaksmi yang nampak baru pulang dari pasar membawa jajanan pasar, ikan asin, dan ayam potong untuk bahan masak nanti siang.

"Sudah, Paman. Tadi sarapan sama-sama Bulik,"

Kata Sri Sulaksmi dengan senyum-senyum di kulum ketika dilihatnya Joko Manggolo makan lahap di dekat Paman Sadri.

Kemudian ia berlalu membantu Buliknya di belakang.

"Paman.
Manggolo mau minta iin Paman.
Besuk pagi Manggolo mau ingin mengenal lebih jauh lagi sambil mencari tahu siapa tahu Ibu dapat Manggolo temukan," tiba-tiba suara Joko Manggolo memecahkan kesunyian yang membuat kaget Paman Sadri.

'Engkau mau pergi kemana, Angger."

"Mencoba berkelana kembali, Paman"

"Keadaan tubuhmu belum pulih benar. Sebaiknya engkau beristirahat dulu, dan jalan-jalan di seputar kampung sini saja"

Suasana jadi hening Joko Manggolo nampaknya berpikir sejenak. Lalu kemudian

"Paman, Manggolo mau berkelana tidak terlalu lama, nanti Manggolo kembali lagi kemari. Mungkin cuma satu minggu, atau paling lama satu bulan."

Suasana kembali hening. Paman Sadri berpikir agak keras, tetapi akhirnya.

"Baiklah, angger Manggolo, terserah saja kepadamu. Pesanku hati-hati di perjalanan. Dan setelah engkau merasa perlu kembali ke Badegan segeralah kembali. Aku dan Bulikmu, juga Sulaksmi senantiasa menunggu kedatanganmu."

"Ya, Paman. Matur mawun. Terima kasih."
Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Lalu, kapan engkau akan berangkat."

"Besuk pagi,Paman."

"Ya, persiapkan apa saja yang akan engkau perlukan selama di perjalanan"

"Baik, Paman"

Sejak percakapan itu, esuk harinya Joko Manggolo nampak telah berangkat meninggalkan Dukuh Badegan menuju ke arah selatan.

Paman Sadri, isterinya, dan keponakannya, Sri Sulaksmi, mengantarkan kepergian Joko Manggolo sampai di pintu depan rumah dengan perasaan haru .

Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng Ching Ching Karya Matahari Terbit Rising Sun Karya
^