Kekerasan Di Tengah Bulakan 2
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan Bagian 2
"Rasakan air kencing kamu sendiri"
Bentak Joko Manggolo geram.
"Mak...maaf, Kangmas. Tolong lepaskan saya,"
Rengek laki-laki itu.
Joko Manggolo tak mengacuhkan, ia kini berusaha menolong perempuan itu bangkit dari pembaringannya.
Perempuan itu tampak pucat pasi mukanya.
Sekujur tubuhnya terkena cipratan tanah.
Perempuan itu pelan-pelan telah dapat bangkit dari tanah yang tadi sempat menjadi tempat pergulatan perlawanan yang sengit.
"Mbakyu, silakan kenakan kembali pakaian Mbakyu," kata Joko Manggolo mendekati perempuan itu dengan menyerahkan pakaiannya yang sudah awut-awutan itu. Perempuan itu segera mengenakan pakaiannya dan kemudian menunduk menyembah Joko Manggolo, mungkin sebagai tanda terima kasih. Tetapi tetap diam, tidak bersuara.
"Siapa nama Mbakyu dan dari mana asal Mbakyu,"
Tanya Joko Manggolo.
Perempuan itu tidak menjawab ia hanya geleng-geleng kepala dan menunduk-nunduk.
"Apa maksud Mbakyu.Saya datang untuk menolong Mbakyu.
Aku akan antar Mbakyu, dimana rumahnya," sekali lagi Joko Manggolo bertanya, tetapi tidak dijawabnya, perempuan itu kembali menggelengkan kepalanya.
"Kangmas, Kangmas, perempuan itu bisu, Kangmas," terdengar suara laki-laki yang diringkus Joko Manggolo itu.
"Ohhhhh. Maafkan saya, Mbakyu,"
Kata Joko Manggolo sambil membimbing perempuan itu agar berdiri tidak menyembah-nyembah begitu terus.
"Kamu tahu rumah perempuan ini" tanya Joko Manggo kepada laki laki itu.
"Tat...tahu. Tett...etapi tolong lepaskan aku dulu, Kangmas. Nanti aku akan tunjukkan rumahnya."
"Dimana rumahnya"
"Tolong lepaskan aku dulu, nan..nanti.."
"Aku tanya, dimana rumahnya." Jawab Bentak Joko Manggolo kelihatan mulai kesal terhadap laki-laki yang diringkusnya itu.
"Did...di...di sana. Di Dukuh Patukan."
"Dimana Dukuh Patukan itu."
"Tidak jauh dari sini, Kangmas, Ke arah barat"
"Hayo antar aku ke sana. Cepat berdiri. Hayo jalan."
"Maf...maafkan aku Kangmas. Tolong pakaikan dulu celana saya"
"Tidak usah Hayo jalan. Cepat!"
Dengan pelan laki-laki itu terpaksa harus berjalan dalam kendaan bugil.Joko Manggolo membimbing perempuan itu yang nampak sulit berjalan tertatih-tatih seperti menahan sakit pada bagian bawah pusarnya.
"Mbakyu apa masih sakit.,,"
Perempuan itu mengangguk.
"Hae Bajingan. Kamu bopong Mbakyu ini sampai ke rumahnya," kata Joko Manggolo menyuruh laki-laki itu untuk mengangkat perempuan itu. Tetapi seketika perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian jongkok kembali menyembah-nyembah Joko Manggolo. Baru disadari oleh Joko Manggolo rupanya ia membuat kekeliruan dengan mengambil keputusan untuk menyerahkan perempuam ini agar dibopong oleh laki-laki itu. Rupanya, tampang laki-laki bulat pendek itu telah menimbulkan jijik.
"Maaf Mbakyu. 'Bukan maksudku untuk menyerahkan kepada laki-laki itu. Aku ingin si laki-laki berengsek ini menjadi kuda tunggangan yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya tadi."
Akhirnya sekali kali Joko Manggolo yang membopong perempuan itu kalau kelihatan ia sudah mulai sulit jalan, dan beberapa saat kemudian diturunkan kembali untuk berjalan. Nampak mereka sudah jauh berjalan tetapi belum ada tanda-tanda akan menemui perkampungan.
"Mbakyu, apa benar jalan yang dituju ini kearah rumahmu?" tanya joko Manggolo kepeda perempuan bisu itu.
Dari mimik wajahnya nampak perempuan bisu itu mengerutkan keningnya, menengok-ke kiri ke, kanan, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hae, Bajingan. Kamu akan bawa kemana aku. Ini bukan jalan menuju rumah Mbakyu ini."
"Aku sendiri juga lupa, Kangmas"
"Bajingan! Bilang sejak tadi kalau lupa. Kamu benar-benar lupa atau pura-pura lupa,"
Joko Manggolo menghampiri laki-laki itu dan langsung menempeleng muka laki-laki itu.
Plakk.
"Bajingan kamu.Sudah berbuat kurang ajar sama perempuan, sekarang kau mau menipuaku"
"Maf...maaf Kangmas. Soalnya aku malu. Aku tinggal sekampung dengan perempuan bisu itu. Takut aku kena malu sama orang-orang di kampung"
"Sekarang bilang malu, tadi memperkosa tidak malu. Yang benar yang mana. Mentang-mentang ada perempuan tidak bisa bicara lalu kamu perdaya. Biar tidak buka mulut. Begitu tujuanmu. Kamu mau memuaskan nafsu binatangmu itu, lalu meninggalkan kesengsaraan pada orang lain. Kalau begini kamu merasa sakit tidak," Joko Manggolo menendang perut laki-laki itu dengan dengkulnya.
"Aduhhh, sakit, Kangmas."
"Baru begitu sudah terasa sakit. Bagaimana sakitnya kalau kamu tadi memaksa perempuan ini untuk menyerahkan kehormatannya dengan cara kamu yang brutal itu."
"Maafkan saya, Kangmas".
"Maaf. Maaf. Hayo jalan kemana yang benar jalan ke kampungmu itu."
Akhirnya mereka bertiga itu membalik kembali, berjalan menyelusuri bulakan. Hari mulai makin sore. Setelah sampai di daerah gundukan-gundukan tanah, tiba-tiba dihadapan mereka muncul banyak orang hampir berjumlah sekitar lima puluh orang. Sangat banyak
"Berhenti," teriak seseorang laki-laki yang berambut kelihatan sudah memutih semua. Joko Manggolo bersama laki-laki yang diringkus itu pun berhenti
"Lepaskan ikatan tali pada laki-laki itu. Dan juga lepaskan perempuan itu," perintah laki-laki yang berambut memutih itu nampaknya ditujukan kepada joko Manggolo.
"Hayo cepatttt ikuti perintahku."
Joko Manggolo nampak ragu-ragu, ia hanya memandangi wajah orang-orang yang berkerumun banyak di hadapannya itu semuanya nampak membawa senjata tajam .Diantara rerumunan orang-orang itu, Joko Manggolo mengenali ada laki-laki yang tadi juga ikut memperkosa perempuan bisu ini
"Maaf, Paman. Mungkin Paman salah paham. Apa maksudnya ini semua"
"Sudah jelas, kamu orang asing yang telah membuat kejahatan. Kamu membegal warga kami. Kamu telah memukuli warga kami itu siapa yang kamu sekap itu. Dua orang warga kami, kamu sekap. Apa bukti ini kurang jelas."
"Tet...tetap...kam..."
"Sudah jangan banyak bacot. Lepaskan segera dua orang warga kami itu. Dan kamu akan kami tangkap. Kamu harus diadili di bawa ke kota Kadipaten. Kamu telah membuat kejahatan membegal orang, menyekap orang dan melakukan pemerkosaan terhadap perempuan itu. Ini ada empat orang saksinya yang melaporkan semua kejadian kepada kami. Sekarang akui saja segala perbuatan nistamu itu, anak muda."
.Mendengar uraian laki-laki berambut putih itu, barulah Joko Manggolo paham, rupanya ia kena korban fitnah dari orang-orang yang telah menganiaya perempuan ini. Demi pertimbangan kemanusiaan, perempuan ini dilepaskan dan disuruh bergabung dengan warga Dukuh itu.
"Mbakyu, silakan ke sana. Mereka semua ingin menyelamatkan Mbakyu."
Tetapi perempuan bisu itu tidak mau, ia menggelenggelengkan kepalanya, lalu ia maju di depan Joko Manggolo. la rupanya berusaha menjelaskan kejadian yang sesungguhnya dihadapan orang-orang itu
"Bah..bahih.bah. .bah " kata perempuan bisu itu sambil tangannya digerak-gerakan terus. Tetapi orang-orang tidak ada yang peduli terhadap penjelasan perempuan bisu itu. Mereka nampak acuh tak acuh saja. Perhatian mereka tetap tertuju kepada kesiagaan untuk menghadapi orang asing seperti Joko Manggolo ini yang dari penampilannya diperkirakan oleh orang-orang itu sebagai anak muda yang berilmu kanuragan tinggi. Tanpa dinyana tiba-tiba seorang laki-laki menyambar lengan perempuan itu dan ditarik paksa bergabung dengan mereka. Mungkin dimaksudkan sebagai tindakan penyelamatan warganya. Masih terdengar suara berontak perempuan bisu itu yang nampak berusaha memberikan keterangan kepada warga penduduk itu mengenai kesalahpahaman ini, tetapi keburu perempuan itu diamankan ke garis belakang.
"Sekarang tinggal lepaskan yang satu lagi. Hayo cepat lepaskan, anak muda, sebelum kami semua akan bertindak"
"Baik akan aku lepaskan. Dan aku akan berlalu dari kampung bapak-bapak di sini. Tetapi, tolong diingat kelima laki-laki ini sebenarnya yang telah memperkosa perempuan bisu tadi. Kelima laki-laki yang mau jadi saksi ini bermoral bejat. Sebenarrnya justeru mereka ini yang pantas dihukum"
"Berhenti omongan kosongmu itu. Hayo lepaskan laki laki itu jangan banyak ngomong. Kamu yang akan dihukum bukan mereka yang menjadi saksi. Mengerti kamu orang asing"
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang bertubuh kekar maju menuding-nuding muka Joko Manggolo.
Tanpa banyak bicara lagi, Joko Manggolo lalu melepaskan ikatan tali pada laki-laki bulat pendek berkulit hitam itu, dan laki-laki itu segera berlari bergabung dengan warga dukuh itu. Seorang teman laki-lakinya tadi memberikan pakaiannya yang segera ia kenakan.
"Sekarang ganti giliran kamu anak muda untuk menyerah"
"Apa?.
Aku harus menyerah.
Untuk urusan apa."
"Apa belum jelas. Kamu telah membegal, menganiaya dan memperkosa perempuan warga kampung kami. Itu semua tuduhan yang ditujukan untuk kamu. Tahu tidak Bodoh."
"Itu semua tidak benar, Paman. Seandainya perempuan tadi bisa ngomong ia akan menjelaskan semua apa yang sesungguhnya terjadi."
"Tutup mulutmu orang asing. Hayo menyerah atau mati di sini."
"Kalau kalian ingin menunjukkan kehebatan kalian. Maju satu per satu. Satu lawan satu. Jangan main keroyokan begini,"
Tantang Joko Manggolo berusaha menunjukkan ketegaran dirinya.
"Sudah, jangan banyak bacot.Hayo kawan-kawan kita hantam saja anak muda yang sombong ini," teriak seorang laki-laki bertubuh ceking tiba-tiba langsung mengayunkan moteknya yang berkilau sebagai senjata tajam andalan untuk menyerang Joko Manggolo yang diikuti oleh lainnya yang secara berbarengan menyerbu Joko Mangggolo yang memang sedari tadi telah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Joko Manggolo melakukan pertahanan mundur teratur dengan satu per satu dirobohkan lawan-lawannya itu.
Namun lainnya terus berdatangan mengeroyoknya.
Beberapa goresan senjata tajam itu telah mengenai tubuh Joko Manggolo, tetapi ia tetap terus bertahan dengan melakukan gerak bela-serangnya.
Joko Manggolo telah menghabiskan jurus-jurusnya untuk menghadapi serbuan sebegitu banyak orang kampung ini, nampak ia kewalahan.
Kesulitannya, Joko Manggolo tidak ingin melukai orang-orang yang dianggap salah paham, korban fitnah ini, sehingga Joko Manggolo leb?h banyak melakukan gerakan hindaran, menyapu kedudukan kuda-kuda lawan, dan menyerang ringan untuk sekedar merobohkan mereka, sehingga ia terpaksa harus menerima keadaan dirinya untuk terdesak terus tanpa perlu mengerahkan kekuatan dahsyatnya apalagi mengeluarkan aji-aji pamungkas untuk membuat celaka orang.
Akhirnya Joko Manggolo mundur terus untuk bertahan, tidak disadari ia sudah sampai di pinggir jurang dangkal, berupa tanah berbatu-batu yang curam, tidak ada lagi posisi untuk mundur lagi. Kalau mau nekat maju terus berarti binasa, mundur terus berarti neraka.
"Baik paman-paman. Aku menyerah kalah," kata Joko Manggolo terpaksa mengambil keputusan untuk mengalah daripada ia terkena celaka terjatuh ke jurang, atau akan mengambil sikap menghancurkan sekaligus banyak orang yang tidak tahu-menahu duduk perkara yang sebenarnya ini.
"Horeeee," teriak orang-orang Dukuh Patukan itu hampir berbarengan merasa dapat memenangkan perkelahian yang belum pernah terjadi selama ini. Joko Manggolo menurut saja dicincang dibawa beriringan beramai-ramai menuju Dukuh Patukan yang terletak berbukit-bukit dan masih berhutan walaupun terlihat sudah banyak pohon yang ditebang. Sesampainya di Dukuh Patukan itu, Joko Manggolo dikat di bawah pohon aren besar tinggi, dan para warga beramai-ramai membuatkan kurungan dari bambu bambu dan kayu-kayu besar. Mereka segera sibuk membuat kurungan mendadak. Ada yang menggergaji, memasah, memantek, memotong. Dan malam hari itu, Joko Manggolo sudah berada dalam kurungan yang terbuat nampak kokoh sukar ditembus untuk keluar dari tempat itu.
******
MENCARI KEBENARAN.
MALAM hari, Joko Manggolo harus menelan nasib jeleknya. Ia dipaksa tertidur di dalam kerangkeng jorok yang banyak nyamuk, dijaga ketat sekitar empat laki-laki berwajah angker. Para penjaga itu yang sedari tadi terlihat sedang bermain kartu dengan asyiknya Karena kelelahan, Joko Manggolo tertidur lelap setelah menghabiskan makanan yang diberikan oleh penduduk Dukuh Patuk ini tadi, tanpa menghiraukan dinginnya malam dan kerubungan nyamuk yang terus menggigit tubuhnya itu. Antara setengah sadar dan masih lelap tertidur, tubuh Joko Manggolo seperti digoyang oleh tangan halus yang berusaha membangunkan dia. Begitu matanya dibuka, Joko Manggolo kaget dibuatnya. Di depannya terlihat muka seorang perempuan muda, ia terrnyata perempuan bisu yang tadi siang ditolongnya itu. Perempuan itu jongkok di sebelahnya di luar kerangkeng sambil menyodorkan minuman kopi hangat. Tanpa banyak tanya, minuman hangat itu langsung diterima Joko Manggolo dan diminumnya sampai habis lantaran udara di kampung ini memang amat dingin. Sekedar untuk menghangatkan badan. Dengan adanya wedang kopi hangat itu rupanya cukup membantu keadaan dirinya menjadi lebih segar bugar. Kemudian perempuan itu menyodorkan sebilah pisau besar, sambil berkata-kata.
"Uhhh..uh..bah...uh," tangannya menunjuk-nunjuk ke arah ikatan tali-tali yang ada pada daun pintu bambu bambu itu. Joko Manggolo menangkap yang dimaksudkan agar ia menggunakan pisau besar itu untuk memotong ikatan tali-tali bambu itu supaya ia bisa keluar dari kerangkeng. Tanpa basa-basi lagi, Joko Manggolo segera bertindak mengikuti petunjuk perempuan bisu itu. Tidak berapa lama, pintu kerangkeng itu dapat dibongkar, dan Joko Manggolo dengan mudah dapat keluar dari kerangkeng Joko Manggolo setelah berhasil ditolong oleh perempuan bisu ttu keluar dari kerangkeng. . Tapi masih ada masalah beret lagi, Joko Manggolo harus menghadapi para penjaga yang nampak galakgalak itu sejak tadi kelihatan angker menjaga di situ. Begitu mata Joko Manggolo menoleh ke arah para penjaga itu, nampak mereka rupanya telah tertidur lelap, tergeletak tidak karuan di bawah tempat penjagaan itu. Di sana-sini nampak berhamburan cangkir yang sama dengan cangkir yang diberikan perempuan bisu itu kepadanya. Perempuan bisu itu rupanya membawakan minuman yang membuat penjaga ronda kampung itu tertidur lelap. Lalu, Joko Manggolo memberikan bahasa isyaratnya kepada perempuan bisu itu yang maksudnya mau menanyakan
"Apakah yang diberikan kepada Joko Manggolo sama dengan yang diberikan kepada penjaga-penjaga itu"
Perempuan bisu itu menggelengkan kepala, berarti joko Manggolo tidak terkena minuman serupa untuk merangsang tertidur, tapi sebaliknya justeru membaat mata terbelalak karena pengaruh kopi minuman itu. Kemudian Joko Manggolo menanyakan lagi
Apakah itu semua bertujuan untuk membebaskan Joko Manggolo dari kerangkeng ini. Dijawab oleh perempuan bisu itu dengan anggukan kepala, berarti mengiyakan.Seterusnya, Joko Manggolo ditarik lengannya oleh perempuan bisu itu, diajak berjalan menyelusuri lorong-lorong perkampungan itu maksudnya ingin menunjukkan jalan keluar agar Joko Manggolo dapat segera meninggalkan perkampungan itu. Namun malang ketika Joko Manggolo sudah di luar kurungan, baru melingkari beberapa lorong rumah-rumah penduduk itu, ia keburu ketahuan penjaga ronda keliling yang sedang meronda ingin mengontrol tawanannya itu. Terjadi pergumulan keras. Joko Manggolo memberikan perlawanan dengan cara melakukan gerakan hindaran menjauh terus agar penjaga itu tidak membangunkan orang-orang kampung lalu mengeroyoknya kembali.
Dengan cara demikian, rupanya Joko Manggolo berhasil mengelabuhi penjaga-penjaga malam itu yang merasa dapat memenangkan pertarungan tanpa harus meminta bantuan kepada orang-orang kampung lainnya. Joko Manggolo bergerak mundur terus tanpa menciderai lawannya. Ketika mereka sampai di perbatasan perkampungan, segera Joko Manggolo memasang jurus berkelitnya, memasang jurus terjangan angin lesus, sehingga dengan mudah ia berhasil meloloskan diri, tanpa bisa dikejar para penjaga yang terpedaya merasa bangga dapat memenangkan pertarungan itu ternyata ia kena dikelabuhi Joko Manggolo agar mereka tidak meminta bantuan teman lainnya karena telah merasa kuat menghadapi serangan Joko Manggolo itu. Baru setelah Joko Manggolo berhasil lenyap ditelan kegelapan malam, mereka menyadari telah berbuat kesalahan besar, seperti menghantarkan tawanannya itu untuk dilepas di alam bebas. Petugas ronda yang berjumlah dua orang itu lantaran merasa tidak berhasil menangkap Joko Manggolo, maka ia segera membunyikan kentongannya keras-keras, titir,
"Tuk..tuk..uk...huk.", untuk membangunkan penduduk. Dalam waktu singkat penduduk Dukuh Patuk itu telah berhamburan keluar rumah dengan membawa senjata masing-masing di tangan. Mereka mendatangi arah bunyi kentongan itu. Setelah mendapatkan penjelasan dari petugas ronda itu, sebagian dari mereka berusaha mengejar larinya Joko Manggolo, dan lainnya kemudian memeriksa kerangkeng tempat Joko Manggolo ditahan. Di tempat itu didapati para petugas jaga kerangkeng itu nampak masih tertidur pulas, seperti tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Ketika mereka dibangunkan nampak pada kebingungan. Kerangkeng segera diperiksa beramai-ramai, gerangan apa yang menyebabkan sehingga Joko Manggolo bisa lolos. Terlihat sebilah pisau besar masih tergeletak tertinggal di situ Kemudian para penjaga itu berkisah bahwa tadi malam mereka mendapatkan minuman dari perempuan bisu itu. Dikiranya, perempuan bisu itu ingin membalas jasa budi baik kepada mereka yang telah menolongnya, berhasil menangkap dan menyekap Joko Manggolo sebagai pelaku perkosaan. Maka hadiah minuman hangat itu segera beramai-ramai diteguknya dalam suasana udara dingin di perkampungan itu. Kemudian mereka tidak ingat lagi. Setelah diperiksa minuman-minuman itu. Ternyata benar, memang mengandung ramuan yang memancing orang segera ngantukdan tertidur. Orang-orang kampung pun kemudian pada heran mengetahui kelakuan perempuan bisu itu. Dan setelah diselidiki diketahui bahwa perempuan bisu inilah yang malahan teiah membebaskan Joko Manggolo. Para sesepuh dan tokoh masyarakat Dukuh Patuk segera mengadakan sidang malam itu juga untuk mencari tahu semua kejadian di balik yang sesungguhnya terjadi dari peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan bisu kemarin siang. Kalau yang menjadi korban pemerkosaan itu Sritarti (nama perempuan bisu itu Sritarti).
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa malahan ia yang justeru mau membebaskan anak muda itu. Mustinya ia malah dendam kepada pemuda itu. Tetapi nampaknya justeru kebalikannya ia yang merasa harus membalas budi dan mau bersusah-payah malam-malam dingin begini ia sudi mengantarkan minuman untuk membius para penjaga dan membebaskan anak muda itu dari kerangkeng ini,"
Kata seorang tua yang d?kenal arif bijaksana di Dukuh Patuk itu dihadapan warga dukuh yang berkumpul beramai-ramai di tempat itu dengan penerangan obor yang dibawa oleh banyak orang yang berkumpul di tempat itu sehingga nampak menerangi sekelilingnya.
"Itu tentu masuk akal tho, Kangmas," bela laki-laki yang berambut putih yang tadi siang bertindak sebagai pemimpin penangkapan terhadap Joko Manggolo itu.
"Kalau anak muda itu merasa tidak bersalah, mengapa ketika dia mau kita tangkap, malahan ia melawan kita. Kalau ia merasa tidak bersalah ya menyerahkan diri saja dengan cara baik-baik. Itu kan gampang jadinya. Dan nanti kita serahkan ke pengadilan di kadipaten. Pengadilan yang akan memutuskan bersalah atau tidak. Tetapi ia malahan nekat melawan kita, sehingga mengakibatkan banyak korban luka-luka warga kita. Jadi jelas, pemuda asing itu sejak semula sudah merasa bersalah dan tahu betul ia akan dihukum, makanya ia melawan dan berusaha kabur dari penangkapan kita," tukas pimpinan kampung Dukuh Patuk yang tadi sore memimpin penangkapan itu.
"Sampeyan itu bagaimana tho, Dik.Kok malahan cara berpikirnya terbalik. Jelas saja pemuda asing itu melawan kita, wong ia merasa tidak bersalah" kata orang tua yang terkenal bijak itu kemudian.
"Tapi, Kangmas. Mengapa ia tidak bersikap satria, mau menyerahkan diri siap untuk diadili agar tahu kebenaran yang memihak dirinya, tetapi yang ia lakukan melawan kita."
"Dimas ini bagaimana. Sikap tidak menyerah untuk membela kebenaran itu kan sifat ksatria. Justeru sikap pemuda tadi, aku anggap yang benar. Kalau ia salah, aku rasa ia akan menunjukkan sikap takutnya. Akan tetapi ia nampak tegar saja. Dan yang mengherankan kalau aku amati jalannya perkelahian mengeroyok pemuda itu tadi sore, satu pun di antara penduduk warga ini tidak ada yang jadi korbannya, hanya luka-luka kecil saja. Padahal ia telah merebut salah satu senjata orang-orang kita tetapi tidak untuk melukai orang-orang kita hanya sekedar untuk bertahan. Aku melihat banyak kesempatan pemuda tangguh itu dapat mencederai atau bahkan membunuh beberapa penduduk kita waktu penyerangan kemarin siang. Tetapi hal itu tidak ia lakukan."
"Ach, Kangmas bisa saja. Justeru karena kekuatan kita ini yang tangguh. Bukan lantaran pemuda itu sengaja untuk tidak melukai orang-orang kita."
"Kalau demikian aku punya usul Coba bawa kemari Sritarti,"
Kata orang bijak sesepuh Dukuh Patuk itu.
Tidak berapa lama, gadis bisu yang malang itu dibawa masuk ruangan pendopo Dukuh Patuk yang sudah dipenuhi berjejal oleh penduduk kampung itu ingin menyaksikan bagaimana duduk perkara sebenarnya karena mereka kemarin siang juga ikut memberikan pengorbanannya menyerang pemuda asing itu.Sementara semua orang yang berkerumun di balai Dukuh Patuk itu pada terdiam ingin mendengarkan pemecahan perkara ini.
"Nduk, Eyang mau tanya, ya. Mengapa kamu berani beraninya melepaskan orang asing itu dari kerangkeng yang sudah dibuat susah payah oleh para penduduk dengan gotong royong."
tanya sesepuh Dukuh Patuk itu.
Di dukuh ini belum ada kepala dukuhnya, jadi kedudukan sesepuh dukuh ini dapat bertindak seperti kepala dukuhnya.
Sebab kepala dukuh yang lama baru beberapa minggu ini meninggal dan belum mengadakan pemilihan kepala dukuh yang baru.
"Uhh, Uhh, Uhh" kata perempuan bisu itu sambil tangannya memperagakan gerakan-gerakan berusaha menjawab pertanyaan sesepuh dukuh itu.
"Ohh, maksud kamu, pemuda itu tidak bersalah,?" tanya sesepuh dukuh itu kembali.
Nampak perempuan bisu itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi siapa yang salah,"
Tanya sesepuh dukuh itu lebih lanjut .Perempuan bisu itu terdiam.
"Jawab Nduk, siapa yang salah."
Masih tetap bungkam
"Tolong, Nduk.
Jawab siapa yang salah agar kita semua dapat menolongmu dan menjagamu di kemudian hari."
Kelihatan perempuan bisu itu ragu-ragu, tetapi ia pelan pelan berdiri dan matanya mengelilingi orang-orang yang hadir berkumpul di ruangan balai pedukuhan itu kemudian pandangannya berhenti pada seorang laki laki gendut yang berdiri di baris tengah. Tangan perempuan bisu itu pelan-pelan diangkat, lalu-menunjuk lurus ke arah laki-laki gendut tadi.
Semua orang matanya tertuju pada arah telunjuk perempuan bisu itu.
"Hayo, KiSanak; yang merasa ditunjuk coba tolong maju ke depan" kata laki-laki tua sesepuh dukuh yang nampak bijak itu. Seorang laki-laki yang ditunjuk itu kemudian demgan gemetaran maju ke depan dengan muka yang pucat pasi .Belum habis di situ, telunjuk perempuan bisu itu menunjuk lagi kepada dua orang laki-laki yang duduk berdampingan di sudut belakang yang diterangi lampu teplok remang remang itu. Kemudian kedua laki-laki gagah itu pun maju ke depan. Lalu, perempuan bisu itu menggeleng gelengkan kepalanya, yang menandakan mungkin sudah tidak ada lagi pelaku lainnya yang ada di situ.
"Kangmas Pramono," kata sesepuh dukuh itu membahasakan pada laki-laki penduduk dukuh itu dengan sebutan Kangmas.
"Kangmas Tarjito, dan Kangmas Karmono. Apa benar kalian bertiga telah mencelakan Sritarti ini."
"Tit...titt...tidak. Tidak benar. Itu tidak benar, Pak Sesepuh. Ini titt...tidak betul," jawab ketiga laki-laki itu hampir berbarengan menyangkal tuduhan terhadap diri mereka
"Lalu, siapa yang telah berbuat menodai Sritarti tadi siang."
"Pemuda asing yang tadi kita tangkap itu. Kami bertiga hanya mau menolongnya, tetapi kami kalah pandai berkelahi. Ia menguasi ilmu kanuragan yang susah ditaklukkan, maka kami kabur mencari bantuan kepada orang-orang di kampung kita ini,"
Kata Pramono lakilaki bertubuh gendut itu.
"Bagaimana, Nak Tarti. Apa kamu tidak salah tuduh"
Perempuan bisu itu menggelengkan kepala, masih membenarkan pada tuduhannya semula terhadap ketiga laki-laki itu
"Baiklah kalau demikian. Perkara ini tidak bisa kita sidangkan di balai dukuh ini. Kita tidak berhak mengadili perkara seperti ini. Kita melapor saja ke penguasa pengadilan di kota Kadipaten Ponorogo besuk pagi .Kamu Nduk Tarti yang akan mengajukan tuntutan, dan kalian bertiga Kangmas yang akan dituduh,"
Kata sesepuh dukuh itu dengan tegarnya.
"Tapi jangan hanya kami bertiga yang dituduh. Masih ada dua lagi, Pak", tiba-tiba keluar kata-kata dari salah seorang laki-laki itu yang menimbulkan perhatian orang tua bijak yang dikenal sebagai sesepuh dukuh itu.
"Hah, apa katamu tadi, Kangmas. Masih ada dua lagi. Apa yang telah dua orang lagi itu lakukan, Kangmas" pancing sesepuh dukuh itu.
"Ia juga ikut bersalah Jangan salahkan kami bertiga saja, Pak Sesepuh."
"Nah, ini baru menarik. Kamu tadi baru mengatakan mereka berdua juga ikut memperkosa Tartii"
"Iyah...ohh. Bukan begitu maksud saya. Tidak. Bukan begitu,"
Jawab Karmono gugup tergagap-gagap, sehingga mengundang kecurigaan orang tua bijak itu.
"Lalu siapa yang memperkosa duluan."
"Mas Dalijo."
"Yahh Mas Dalijo yang memperkosa duluan" kata Pramono.
"Be...benar. Oh tidak, tidak ada yang memperkosa,"
Kata Karmono tergagap-gagap seperti baru disadarkan memberikan jawaban yang keliru.
"Yang benar mana. Kamu atau dia yang memperkosa.$
"Dia, Pak Sesepuh," kata Tarjito menunjuk ke arah muka Karmono.
"Nah. Itu baru jawaban yang tegas. Baik kawan-kawan se Dukuh Patuk, sudah ada pengakuan dari Dimas Tarjito yang menyaksikan bahwa Dimas Karmono dan Dimas Dalijo yang telah melakukan pemerkosaan terhadap Sritarti. Jadi tugas kita sekalian membawa Dimas Dalijo kemari Mana Dimas Dalijo," tanya sesepuh dukuh itu.
"Tadi saya lihat dia ada di gardu jaga depan Pak Sesepuh"
"Kasih tahu dia agar kemari. Akan tetapi jangan diberitahu pembicaraan kita di sini ini tadi, agar dia tidak kabur," kata orang tua bijak itu kembali. Beberapa pemuda ramai-ramai berhamburan keluar mencari Dalijo. Tidak berapa lama orang yang namanya Dalijo itu telah d?bawa masuk balai pedukuhan Patuk oleh para pemuda itu.
"Ini, Eyang. Pak Dalijo,"
Kata salah seorang pemuda tegap yang mengantarkan Pak Dalijo ke depan sesepuh dukuh itu.
"Dimas Dalijo, menurut kesaksian Dimas Tarjito dan Dimas Pramono, tadi siang yang telah berbuat tidak sesonoh terhadap Anakmas Sritarti, sampeyan.Apa benar."
"Tit.tit...tidak benar itu, Pak Sesepuh."
"Lalu siapa yang berbuat."
"Titt..tidak tahu"
"Lho tadi siang yang melaporkan kepada penduduk sehingga kita ramai-ramai mengeroyok pemuda asing tadi siapa."
"Bukan saya, entah. Saya hanya ikut-ikutan menangkap pemuda asing itu."
"Bagaimana Dimas Tarjito. Apa benar demikian?"
Tarjito yang ditanya laki-laki tua itu hanya menundukan kepala. Tidak tahu harus bilang apa.
"Baik kalau demikian. Sebelum kita ramai-ramai mengeroyok pemuda asing tadi. Sebelum ada laporan mengenai diri Sritati diperkosa, Dimas Dalijo dimana."
"Diit. sawah."
"Sawah mana."
"Sawah...sawa..."
"Hayo sawah dimana "
"Berarti Dimas Dalijo bersama Dimas Tarjito."
"Iyah.eehh. Bukan...buk...bukan. Maksud saya.."
"Lalu dimana."
"Diiili, mana ya."
"Lho, kenapa jadi kebingungan"
"Di sawah, Pak Sesepuh"
"Iyah di sawah bersama Dimas Tarjito, apa bersama yang lain."
"Bersama Kangmas Pramono dan Kangmas Karmono."
"Apa benar Dimas Pramono dan Dimas Karmono, memang demikian,"
Tanya sesepuh dukuh itu kembali.
"Beb...benar, Pak Sesepuh"
"Lalu kalian di sawah mana."
"Diii .sawah Traju." jawab Karmono ragu-ragu
"Dii...Pradangan, oh bukan," jawab Pramono hampir berbarengan dengan jawaban Karmono.
"Lho, yang benar yang mana kok jawab kalian berbeda beda, katanya kalian bertiga tadi bersama."
Keempat laki-laki itu semuanya terdiam .Nampak diwajahnya kebingungan harus menjawab apa, kalau menjawab serba salah.
"Siapa di antara kalian yang pertama kali punya gagasan untuk memperdaya Anakmas Sritarti,"
Tanya kembali orang tua bijak itu.
"Kangmas Dalijo,"
Ketiga laki-laki itu tanpa sadar langsung mengucapkan hampir berbarengan
"Nah sekarang ketahuan, kalian telah melakukan perbuatan aniaya, dan Dimas Dalijo yang pertama kali punya gagasan ini. Benar demikian, Dimas Dalijo."
"Ampun Pak Sesepuh,bukan saya sendirian Tetapi rembugan secara beramai-ramai. Dan yang melakukan juga bukan saya sendiri. Mereka bertiga juga melakukan."
"Nah Cukup jelas. Sekarang kalian berempat telah mengaku semua."
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukk..bukan berempat, Pak Sesepuh. Berlima,"
Kata Dalijo kemudian.
"Berlima ?. Siapa lagi yang satunya. Satunya lagi, Tarkun,"
Jawab Dalijo tegas
"Iya, Tarkun yang tadi diikat pemuda asing yang ditelanJangi itu"
"Benar, Pak Sesepuh. Tolong bawa kemari Tarkun, sobat-sobat,"
Kata sesepuh dukuh itu setengah meminta kepada para pemuda itu untuk menghadirkan Tarkun ke balai dukuh ini.
Tanpa banyak kata para pemuda yang sedari tadi pada tekun mendengarkan pembicaraan itu kemudian pada pergi berhamburan mencari Tarkun.
Tidak berapa lama, Tarkun telah dibawa ramai-ramai oleh para pemuda itu.
"Dimas Tarkun, menurut kesaksian keempat teman temanmu ini, kau tadi siang juga ikut memperkosa Sritarti"
"Saya belum sempat memasukkan, Pak sesepuh. Baru jongkok, tiba-tiba punggung saya digebuk oleh pemuda asing itu.
Jadi saya langsung terkapar belum sempat menikmati...anu maksud saya belum jadi..."
kata-kata Tarkun yang polos sambil diucapkan gemetaran itu mengundang tawa para warga yang menyaksikan persidangan darurat di balai Dukuh Patuk ini.
"Jadi kamu belum sempat berbuat. Tetapi memang ada niat untuk berbuat itu."
"Hanya mengikuti teman-teman saja kok, Pak Sesepuh."
"Baik kalau demikian, para warga yang terhormat. Sudah jelas bahwa kelima laki-laki warga dukuh kita ini telah mencemari nama baiik kita bersama dan telah membuat penderitaan anakmas Sritarti. Lalu bagaimana baiknya."
"Kita laporkan saja ke pengadilan Kadipaten di kota Ponorogo, Pak Sesepuh,"
Kata salah seorang laki-laki begap berewokan yang berdiri paling depan itu.
"Lebih baik diambil jalan damai, dan diminta bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Kalau masih berbuat lagi nanti, disunati saja itu yang membikin celakanya sampai habis," kata laki-laki yang lain.
Terdengar tawa para warga mendengarkan usulan salah seorang salah satu warga ini yang memang terkenal kocak kalau bicara.
"Apa sebaiknya kita sunat saja sekarang."
kata salah seorang laki-laki yang lain sambil ketawa cengengesan. Ia rupanya sudah tahu lama kalau gerombolan kelima laki-laki itu suka jajan perempuan nakal di warung remang-remang.
Kehidupan keluarganya berantakan semua, jadi mereka praktis berpredikat sebagai para duda yang ditinggal minggat isteri mereka masing-masing. Maka kemudian mereka kompak, punya kebiasaan buruk itu yang dipupuk bersama.
Suka mencari kesenangan yang bukan-bukan.
Namun selama ini karena itu dianggap sebagai urusan pribadi, maka tidak ada penduduk yang menggubris perilaku menyimpang mereka demi menjaga kerukunan kehidupan Dukuh Patuk ini.
"Huss. Memang kamu yang mau disunat dua kali," kata yang lain, sehingga mengundang ketawa riuh orang orang yang ikut hadir di balai dukuh ini, sebab cara bicaranya orang itu yang suka melucu mengundang tawa orang lain.
"Bagaimana masih ada yang purnya usul lain,"
Kata orang tua bijak itu lagi sebagai sesepuh dukuh
"Kalau mereka ini tidak dihukum, takut nanti yang lain akan berbuat hal yang serupa dan dapat membuat tidak tenteram para perempuan di dukuh kita ini.
Jadi, saya usul agar perkara ini diserahkan saja kapada yang berhak mengadili perkara ini di pengadilan Kadipaten Ponorogo," usul salah seorang yang berumur kira-kira sudah setengah baya.
"Baik kalau demikian. Kita ambil mufakat saja, bagaimana kalau perkara ini kita serahkan saja kepada pengadilan Kadipaten Ponorogo. Besuk pagi kita sama sama mengantar ke kota Kadipaten. Yang mau ikut harap didaftar. Setuju."
"Setujuuuuuuu," jawab warga itu serentak. Malam itu Dukuh Patuk yang semula tenang tenteram, menjadi ramai oleh perbincangan para warga yang membicarakan kejadian yang hampir membawa celaka semua warga kemarin siang karena harus berperang keroyokan terhadap pemuda asing itu. Sedangkan kelima laki-laki yang telah mendzalimi perempuan bisu Sritarti itu, malam itu menggantikan menempati kerangkeng yang tadi dipersiapkan oleh penduduk untuk mengurung Joko Manggolo.
Mereka berlima berdesak-desakan di kurungan sempit. Mereka nampak menyesali diri. Terutama nampak sangat malu terhadap warga Dukuh Patuk ini yang kalau sudah keluar sikap tegasnya, tidak pandang bulu walaupun itu bekas teman sendiri kalau berbuat salah harus tetap disalahkan dan diganjar hukuman. Oleh karena itu, pagi-pagi buta para warga sudah bersiap beramai-ramai mengantarkan warganya yang salah itu untuk dibawa ke kota Kadipeten Ponorogo agar dapat diadili di sana.
******
TERKOYAK BINASA.
HUJAN lebat itu sedari tadi tidak ada henti-hentinya. Angin bertiup kencang menggoyangkan pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi di atas langit itu, beberapa telah roboh terhenyak oleh kerasnya kekuatan arus angin yang mengganas dahsyat. Joko Manggolo, sedari tadi berusaha berteduh di bawah gubug reyot yang biasa digunakan oleh pemilik sawah untuk menghalau burung-burung yang akan memangsa padi-padi yang menguning itu, letaknya berada di tengah sawah penduduk perkampungan itu. Nampak sudah tidak ada lagi empat berlindung di tempat lain untuk menghindari dari amukan hujan yang terus mengguyur sejak tadi, membuat hampir basah kuyup seluruh tubuh Joko Manggolo. Sekali-kali terdengar suara bledek dan kilatan cahaya yang memecah awan di angkasa.
Ketika melarikan diri dari Dukuh Patuk itu, Joko Manggolo terus berlari di malam hari menjauh dari kejaran orang orang kampung yang salah paham terhadapnya itu. Ia terus menuju ke selatan. Sampai paginya ia telah menemui suatu padang bulakan yang gersang .Siangnya ia terus berjalan, tetapi sudah hampir sore tidak ditemui satu kampung pun di daerah selatan. Akhirnya joko Manggolo memutuskan untuk mencari tempat tidur di daerah ini. Kemudian Joko Manggoio mencari batu besar di situ yang akan dijadikan sebagai tempat merebahkan badannya semalaman. Terdapat suara air yang terus mengalir mengucur, di dekat batu tempat ia tidur. Mencari tempat yang dekat dengan air ini, pertimbangannya agar ia dapat minum sewaktu-waktu kehausan, atau dapat mandi sepuasnya di situ. Paginya, joko Manggolo meneruskan perjalanannya menuju ke arah selatan. Tiap sore tiba ia selalu mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Begitu seterusnya, siang dan malam ia terus menelusuri jalan-jalan, keluar masuk perkampungan, menerjang bulakan, memasuki hutan, mendaki bukit-bukit, dan menuruni jurang jurang terjal. Berbulan-bulan Joko Manggolo terus berjalan, bahkan sudah berapa tahun ia tidak ingat lagi, setiap kali ia selalu bertanya kepada tiap orang yang ditemuinya, apakah mereka mengenal nama orang tuanya. Namun sampai sejauh ini belum ada petunjuk dimana keberadaan kedua orang tnanya, khususnya ibunya, yang bernama Waijah Sarirupi, yang ia telah kenal sewaktu ia masih bocah ketika tiba-tiba ibunya itu meninggalkan dirinya yang kemudian ia hanya dititipkan begitu saja kepada gurunya Warok Wirodigdo di kampung Bubadan.
Suatu hari sehabis Joko Manggolo membersihkan mukanya dari tidurnya semalam di dekat sungai kecil yang mengalir tenang itu, kemudian Joko Manggolo kembali meneruskan perjalanannya menyelusuri padang ilalang yang nampak belum banyak orang yang menjamahnya. Setelah Joko Manggolo menyebarangi tanah kosong, bulakan penjang yang bergelombang penuh tanah-tanah gundukan, Joko Manggolo melihat ada tanda pintu gerbang yang menunjukkan ke arah suatu perkampungan. Ia telah sampai di suatu dusun di kaki pegunungan yang berbukit-bukit. Pohon-pohon besar jarang dijumpai hanya beberapa pohon asem yang tumbuh menjulang ke atas. Gardu jaga dusun itu nampak kosong ditinggalkan orang, barangkali hanya pada malam hari saja di gardu itu penuh orang yang sedang mengadakan ronda malam. Suasana perkampungan itu mulai terasa ramai. Rumah-rumah bambu dengan halaman yang rata-rata agak luas, banyak ayam-ayam kampung berkeliaran ke sana kemari. Dibelokan perempatan jalan kampung itu, Joko Manggolo berpapasan dengan serombongan ibu-ibu. Ia berhenti dengan sopan bertanya kepada rombongan ibu-ibu itu.
"Maaf bu boleh tahu. Apa nama kampung ini"
"Kampung ini masih termasuk Pedukuhan Kluyuk. Anakmas mau kemana atau mau menemui siapa," tanya salah seorang ibu yang kelihatan paling tua di antara mereka, sudah berumur lanjut
"Saya sedang menelusuri kampung-kampung ingin mencari orang tua saya. Namanya Bu Waijah Sarirupi."
"Ohhh. Disini sepertinya tidak ada nama itu. Tetapi coba boleh tanya kepada Kepala Dukuh berangkali mengetahui. Anakmas terus saja jalan ke sana. Setelah ada pertigaan, belok ke kiri. Di rumah yang di halaman rumahnya ada tiga buah pohon cengkir gading. Di situ rumah Kepala Dukuh. Namanya Pak Sumo Pradigdo."
"Terima kasih, Bu."
"Ya. Cobalah ke sana"
Baru beberapa langkah Joko Manggolo berjalan setelah berpapasan dengan rombongan ibu-ibu itu, tiba-tiba ada bayangan-bayangan turun dari pohon-pohon jambu itu ternyata ada tiga orang pemuda yang nampak gagah-gagah loncat tepat beberapa meter di depan Joko Manggolo.
"Berhentiti,"
Teriak salah seorang pemuda itu nampak di pinggangnya terselip sebilah motek. Joko Manggolo pun berhenti dengan sikap waspada.
"Kamu orang asing, siang-siang begini beraninya memasuki dusun kami. Ada perlu apa kamu, "
"Kami sengaja menelusuri kampung-kampung sedang mencari kedua orang tua saya."
"Ha..he.sudah segede begini masih embok-emboken minta diteteki embokmu, yah"
Para pemuda itu meledek dengan mentertawai Joko Manggolo.
*****
"Begini, anak muda. Silakan masuk saja ke dalam mari silakan duduk" kata Pak Lurah yang rupanya mulai menarah simpatik dari ceritera asal-usul Joko Manggolo yang anak yatim itu. Melihat dari cara menuturan, dan mimik mukanya, Pak Lurah mempunyai kesan terhadap Joko Manggolo ini anak yang jujur. Akan tetapi sebelum, Joko Manggolo melangkah masuk rumah mengikuti Pak Lurah, tibe-tiba ketiga pemuda itu berbarengan meloncat mencegat di hadapan Joko Manggola. Mereka menghadang sepertinya mau mengajak berkelahi
"Maaf, Pak Lurah. Kami curiga terhadap orang asing ini. Beri kesempatan kami bertiga menghajar terlebih dulu orang asing ini."
Tanpa menunggu jawaban Pak Lurah, rupanya ketiga pemuda itu tanpa tedeng aling-aling dan basa-basi lagi langsung menyerang Joko Manggolo. Terjadilah pergumulan keras di halaman rumah Pak Lurah itu. Joko Manggolo yang sudah tahu banyak makan garamnya beradu ilmu kanuragan dengan enteng ia memasang jurus-jurus hindaran ke samping kanan kiri, ia hanya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan berbarengan ketiga pemuda yang nampak bernafsu ingin menguasai permaianan ini. Mendengar kegaduhan perkelahian di halaman rumah Pak Lurah ini, peduduk kampung pun kemudian banyak yang berdatangan, berkerumun di halaman depan rumah Pak Lurah itu ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun begitu dilihatnya di sana berdiri Pak Lurah dengan muka cerah yang bersikap tenang memperhatikan jalannya perkelahian itu, tanpa berusaha melerainya, maka orang-orang kampung pun menduga nampaknya tidak ada hal yang membahayakan terjadi di kelurahan. Secara cepat berita perkelahian di rumah Pak Lurah itu tersebar. Penduduk kampung pun banyak yang berlari lari ingin mencari berita, apa yang sebenarnya sedang terjadi di halaman rumah Pak Lurah itu. Banyak laki-laki yang sudah mempersiapkan diri dengan senjata-senjata tajam mereka. Akan tetapi, begitu sampai di rumah Pak Lurah, dan melihat orang yang dituakan di kampung itu tidak memberi perintah apa-apa, orang-orang itu lalu bersikap pasif malahan beramai-ramai menjadi penonton perkelahian itu sambil bersurak-surai.
Joko Manggolo sebenarnya menguasai permainan ketiga pemuda yang sok pamer kekuatan itu. Namun rupanya Joko Manggolo tidak segera menyelesaikan perkelahian itu dan menghabisi mereka. Ia sengaja memperpanjang tempo perkelahian dengan harapan ada orang yang memisahnya, tanpa mempunyai kesan ia yang memenangkan pertarungan ini agar tidak menimbulkan sakit hati, atau balas dendam di kemudian hari para pemuda kampung ini kepadanya. Rupanya, ketiga pemuda itu juga mulai menyadari ketangguhan ilmu kanunagan yang dimiliki Joko Manggolo itu. Sebelum mereka kehabisan jurus-jurusnya dan terkuras tenaganya, kemudian malu kalah bertarung ditonton banyak orang, apalagi banyak perempuan perempuan muda, para perawan di kampung ini yang menonton.
****
Joko Manggolo terdiam saja. "Boleh saya menemui Pak Sumo Pradigdo. Lho. Sampeyan masih keluarga Pak Sumo?," tanya salah seorang pemuda itu kaget, penuh tanda tanya.
"Ya,"
Jawab Joko Manggolo
"Kalau demikian, aku minta maaf atas ketidak sopanan kami.
Mari ikut kami, kami akan antar ke rumah beliau."
"Terima kasih."
"Sebaiknya kami akan mencari send?ri saja, Kangmas," kata Joko Manggolo.
"Tidak usah basa-basi.
Kami akan antar sampeyan ketemu rumahnya, supaya sampeyan tidak kesasar.
"
Joko Manggolo akhirnya bersedia diantar rombongan para pemuda itu agar tidak dicurigai oleh mereka.
Sesampai di rumah Pak Sumo Pradigdo.
"Pak Lurah, ini ada tamunya dari jauh. Keluarga Pak Lurah"
Tidak berapa lama muncul seorang tua yang sedang mengancingkan kain bajunya.
"Ada apa Sarko,"
Tanya Pak Lurah itu
"Ini ada tamu, katanya masih keluarga Bapak."
Kata orang yang dipanggil Sarko itu sambil tangannya menyalami tangan Pak Lurah.
Joko Manggolo dipandangi Pak Lurah agak lama.
Mulai dari atas sampai bawah.
Nampak, wajah Joko Manggolo berubah menjadi pucat.
"Siapa pemuda ini," tanya Pak Lurah kemudian.
"Ia mengaku katanya masih keluarga Bapak."
"Mengaku keluargaku?. Aku tidak kenal. Siapa, Anakmas sebenarnya," tanya Pak Lurah dengan penuh selidik
"Nama hamba Joko Manggolo, Pak Lurah. Asal hamba dari Dukuh Randil. Hamba kemari sedang mencari keluarga hamba, namanya ibu Waijah Sarirupi."
"Aku tidak kenal nama itu. Siapa itu, Waijah Sarirupi. Wargaku di sini tidak ada yang bernama itu."
"Hehh. Orang asing."
Bentak salah seorang pemuda yang nampak paling geram melihat Joko Manggolo.
"Kamu tadi mengaku katanya sudah kenal Pak Sumo Pradigdo dan mengaku masih keluarga. Ngomong yang benar. Kamu mau apa. Tujuan kamu datang ke kampung kami ini, mau apa. Hayo, Jawab," bentak salah seorang pemuda yang nampak paling geram di antara kedua pemuda yang lain.
"Maaf, Kangmas. Tujuanku. Seperti sudah aku sampaikan kepada Pak Lurah tadi. Aku sedang mencari keluargaku Ibu Waijah Sarirupi. Tadi ketika aku masuk melalui gardu Dukuh depan sana, diberitahu ibu-ibu agar aku menemui Pak Sumo Pradigdo. Katanya, mungkin beliau mengetahui keberadaan ibuku kalau memang kemungkinan sekarang menjadi warga di sini. Aku tidak tahu sebelumnya kalau Pak Sumo Pradigdo ini adalah Pak Lurah di sini. Karena aku anak yatim, ditinggal mati bapakku ketika masih kecil, jadi aku menduga mungkin nama Pak Sumo Pradigdo itu masih keluarga sendiri"
Jelas Joko Manggolo dengan sikap santun.
******
bertepuk-tepuk tangan menonton adegan perkelahian antar pemuda itu. Tidak ada jalan lain kecuali berusaha berdamai dengan Joko Manggolo.
"Hae, orang asing. Kalau engkau telah mengaku kalah. Aku tidak teruskan seranganku berikutnya ini,"
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teriak salah seorang pemuda yang nampak sudah kelelahan itu sambil matanya berkedip-kedip memberikan bahasa isyarat kepada joko Manggolo, walaupun:ia terus menyerang Joko Mangggolo.
Rupanya joko Manggolo pun maklum akan maksud mereka itu, maka bukannya Joko Manggolo terus mengaku kalah, malahan ia memasang tubuhnya untuk mendapatkan tendangan para pemuda itu
"Blukkkk", perut Joko Manggolo terkena tendangan yang sebenarnya tidak terlalu keras, namun Joko Manggolo berpura-pura terjungkal ke belakang beberapa kali, dan terkapar di atas tanah.
Tidak bergerak. Ia pura-pura pingsan.
"Ha ha ha...mati kamu orang asing"
Terdengar teriakan teriakan ketiga pemuda itu.
"IImumu belum seberapa untuk menandingiku," kata salah seorang pemuda itu dengan sikap membanggakan diri di hadapan tubuh Joko Manggolo yang tergeletak begitu saja.
Pak Lurah yang prayitno, melihat ada sesuatu yang tidak benar diperlakukan para pemuda di kampungnya itu terhadap pemuda pendatang itu.
Makin yakin bahwa Joko Manggolo ini, orang yang berkemampuan ilmu kanuragan tinggi, tetapi tidak sombong, bahkan terkesan sebagai pemuda jujur, dan nampak mau memberikan pengorbanan.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, pertarungan telah usai. Kami mohon semua kembali ke rumah masing-masing dengan tenang.
Kami akan urus pemuda pendatang ini untuk menjelaskan duduk persoalannya, besuk kami akan beritahukan .Dan kalian bertiga sebagai pemada kampung kita yang tangguh-tangguh, aku mengucapkan terima kasih atas kemampuan kalian membela kepentingan keamanan Dukuh kita ini.
Tolong bapak-bapak yang lain, bawa masuk tubuh orang asing itu ke dalam," kata Pak Lurah Tanpa banyak bicara ketiga pemuda itu tadi juga ikut membopong tubuh Joko Manggolo ke dalam rumah Pak Lurah .Beberapa saat kemudian.
Joko Manggolo setelah dirawat orang-orang kampung di kamar Pak Lurah bagian tengah ia bangkit kembali dan duduk bersila di bawah dengan sopan dihadapan Pak Lurah yang dengan tenang juga duduk bersila di situ di kelilingi orang-orang kampung lainnya, termasuk ketiga pemuda itu tadi.
"Bapak-bapak, dan ibu-ibu. Aku ingin mananyai pemuda asing ini seorang diri. Mohon berkenan, bapak-bapak dan ibu-ibu meninggalkan ruangan ini untuk bebera saat saja. Terima kasih." begitu Pak Lurah selesai mengucapkan kata-katanya itu, orang yang berkerumun di ruangan itu bubar. Satu per satu meninggalkan ruangan ini. Kini tinggal berdua, Pak Lurah dan Joko Manggolo.
"Anakmas Manggolo."
"Sendiko, Pak Lurah"
"Aku telah melihat kehandalan ilmu kanuraganmu dan ketinggian budimu. Kalau engkau jahat, ketka bertarung melawan ketiga pemuda itu tadi, tidak perlu waktu lama engkau sudah bisa membikin mereka tidak berkutik. Akan tetapi ternyata itu tidak engkau lakukan. Malahan engkau persiapkan diri kamu untuk mengalah dan berkorban membuat tontonan agar ketiga pemuda tadi dihadapan para penduduk kampung sini sebagai pemuda gagah perkasa. Nah, selain itu, ucapanmu sepertinya cukup jujur. Aku percaya kepadamu, Anakmas Manggolo. Walaupun aku baru mengenalmu, aku telah mempunyai kesan engkau anak muda yang memiliki masa depan. Tinggallah di dukuh ini sampai seberapa lama, terserah kepada anakmas Manggolo suka," tawaran yang simpatik disampaikan Pak Lurah kepada Joko Manggolo.
"Matur nuwun. Terima kasih, Pak Lurah. Hamba sebenarnya harus meneruskan perjalanan hamba ini. Kalau pun harus tinggal di sini, mungkin juga tidak terlalu lama."
"Walaupun hanya sepekan, atau sewindu, atau cuma semalam, kami sudah sangat gembira. Tapi, ada yang lebih penting bagiku, Anakmas Manggolo, tolong ajar aku ilmu kanuragan itu, khususnya untuk tenaga dalamnya. Aku sangat tertarik dengan penguasaan ilmu kanuragan Anakmas Manggolo tadi. Aku akan tulis semua pelajaran yang anakmas Manggolo ajarkan, maksudku kalau anakmas Manggolo sudah tidak di sini lagi, aku bisa belajar terus sendirian dengan menggunakan catatan catatan pelajaran yang anakamas tuntunkan."
Joko Manggolo terdiam beberapa saat. Kepalanya menunduk dalam.Mungkin ia sedang menimbang-nimbang penawaran Pak Lurah yang simpatik ini
"Bagaimana, Anakmas Manggolo."
"Maaf, Pak Lurah. Mempelajari ilmu kanuragan itu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Perlu waktu banyak Perlu kesabaran. Ketekunan. Ketahanan mental. Tahan uji. Dan itu suatu perjalanan waktu yang panjang. Seperti keadaan hamba sekarang ini, sebenarnya belum memiliki apa-apa. Baru dasar-dasarnya. Hamba masih terus mengembangkan diri, merase belum sempurna dan ingin terus menambah ilmu."
"Aku mengerti anakmas. Itu tidak mengapa. Ajari aku sebisaku dan sebisanya Anakmas mengajariku. Asal saja aku kemudian mempunyai pegangan ilmu kanuragan ini. Aku akan sangat berterima kasih kepada anakmas."
"Kalau memang demikian, hamba sanggup, Pak Lurah."
Tanpa sadar Pak Lurah tiba-tiba meloncat kegirangan memeluk rapat tubuh joko Manggolo seperti tidak ingin dilepas kepergiannnya. Sejak saat itu, Joko Manggolo tinggal di rumah Pak Lurah. Pagi, sore, dan malam hari, diam-diam Pak Lurah terus diajari latihan ilmu kanuragan oleh Joko Manggolo. Pada suatu malam ketika Joko Manggolo sedang duduk duduk santai bersama Pak Lurah yang habis latihan ilmu kanuragan, mereka nampak sedang menikmati wedang jahe-dan gorengan ketela pohong yang disediakan oleh Bu Lurah. Mereka nampak ngobrol gayeng.
"Pak Lurah, kalau bapak bersedia, saya sebenarnya mempunyai setumpuk buku-buku peninggalan guru saya Warok Wirodigdo. Demi keamanan di perjalanan saya, takut dirampas orang atau hilang di jalan, dan juga untuk meningkatkan keilmuan Pak Lurah, buku itu saya titipkan kepada Pak Lurah saja. Bagaimana?."
"Ohhh, dengan senang hati Anakmas Manggolo. Aku bersedia menjaganya, merawatnya, dan sekaligus berusaha mempelajarinya tuntunan dalam buku itu, Anakmas Manggolo."
"Kalau demikian, buku ini saya serahkan Pak Lurah. Suatu saat kelak, saya akan datang lagi kemari untuk mengambil buku ini. Bukan karena apa, sebab buku ini merupakan buku kenangan peninggalan guru Warok Wirodigdo yang sangat berharga bagi hidup saya. Atas bantuan buku ini, saya telah menguasai ilmu yang dituntunkan dalam buku ini sejak hampir sepuluh tahun pengembaraan ini"
"Ohhh, begitu..." kata Pak Lurah sambil mengangguk anggukan kepalanya.
"Mudah-mudahan demikian juga terhadap diri Pak Lurah, dengan berpegang pada buku ini Pak Lurah akan dengan cepat menguasai semua pelajaran yang tertuang dalam isi buku ini begitu kelak kita bertemu lagi."
"Ya, tidak apa, Anakmas. Aku akan serahkan kembali kapan saja Anakmas menganggap perlu, buku ini harus diambil kembali oleh Anakmas,"
Kata Pak Lurah dengan muka jernih berseri-seri sebagai tanda kegirangan menerima penawaran yang sangat menarik dari pemuda Joko Manggolo ini .Setelah tinggal sekitar sebulan di kampung Dukuh ini, Joko Manggolo mengajari lmu kanuragan kepada Pak Lurah secara diam-diam, rupanya Pak Lurah merasa malu juga kalau sampai ia ketahuan orang-orang kampung ia sedang mempelajari ilmu kanuragan dari orang pendatang seperti Joko Manggolo ini.
Namun kemudian tiba saatnya Joko Manggolo harus berpamitan untuk meneruskan perjalanannya.
Keluarga Pak Lurah merasa kehilangan atas kepergian Joko Manggolo yang selama ini sudah dianggap seperti anggola keluarganya sendiri.
Joko Manggolo pergi menuju ke arah selatan berangkat pada pagi-pagi buta.
Bu Lurah menyediakan bekal yang lumayan banyaknya harus dibawa Joko Manggolo dalam kampluk besar.
Pak Lurah dan Bu Lurah dengan iba nampak mengantarkan kepergian Joko Manggolo di depan rumah kelurahan itu
"Hati-hati Anakmas di perjalanan,"
Pesan Pak Lurah
"Ya, Pak Lurah. Mohon diri sampai bertemu kembali"
"Ya, aku doakan selamat di perjalanan."
Nampak Joko Manggolo menyalami Pak Lurah dan Bu Lurah itu dengan takjim.
BERSAMBUNG.
*****
Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Bulu Merak Serial 7 Senjata Qi Zhong Wu Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar
"Rasakan air kencing kamu sendiri"
Bentak Joko Manggolo geram.
"Mak...maaf, Kangmas. Tolong lepaskan saya,"
Rengek laki-laki itu.
Joko Manggolo tak mengacuhkan, ia kini berusaha menolong perempuan itu bangkit dari pembaringannya.
Perempuan itu tampak pucat pasi mukanya.
Sekujur tubuhnya terkena cipratan tanah.
Perempuan itu pelan-pelan telah dapat bangkit dari tanah yang tadi sempat menjadi tempat pergulatan perlawanan yang sengit.
"Mbakyu, silakan kenakan kembali pakaian Mbakyu," kata Joko Manggolo mendekati perempuan itu dengan menyerahkan pakaiannya yang sudah awut-awutan itu. Perempuan itu segera mengenakan pakaiannya dan kemudian menunduk menyembah Joko Manggolo, mungkin sebagai tanda terima kasih. Tetapi tetap diam, tidak bersuara.
"Siapa nama Mbakyu dan dari mana asal Mbakyu,"
Tanya Joko Manggolo.
Perempuan itu tidak menjawab ia hanya geleng-geleng kepala dan menunduk-nunduk.
"Apa maksud Mbakyu.Saya datang untuk menolong Mbakyu.
Aku akan antar Mbakyu, dimana rumahnya," sekali lagi Joko Manggolo bertanya, tetapi tidak dijawabnya, perempuan itu kembali menggelengkan kepalanya.
"Kangmas, Kangmas, perempuan itu bisu, Kangmas," terdengar suara laki-laki yang diringkus Joko Manggolo itu.
"Ohhhhh. Maafkan saya, Mbakyu,"
Kata Joko Manggolo sambil membimbing perempuan itu agar berdiri tidak menyembah-nyembah begitu terus.
"Kamu tahu rumah perempuan ini" tanya Joko Manggo kepada laki laki itu.
"Tat...tahu. Tett...etapi tolong lepaskan aku dulu, Kangmas. Nanti aku akan tunjukkan rumahnya."
"Dimana rumahnya"
"Tolong lepaskan aku dulu, nan..nanti.."
"Aku tanya, dimana rumahnya." Jawab Bentak Joko Manggolo kelihatan mulai kesal terhadap laki-laki yang diringkusnya itu.
"Did...di...di sana. Di Dukuh Patukan."
"Dimana Dukuh Patukan itu."
"Tidak jauh dari sini, Kangmas, Ke arah barat"
"Hayo antar aku ke sana. Cepat berdiri. Hayo jalan."
"Maf...maafkan aku Kangmas. Tolong pakaikan dulu celana saya"
"Tidak usah Hayo jalan. Cepat!"
Dengan pelan laki-laki itu terpaksa harus berjalan dalam kendaan bugil.Joko Manggolo membimbing perempuan itu yang nampak sulit berjalan tertatih-tatih seperti menahan sakit pada bagian bawah pusarnya.
"Mbakyu apa masih sakit.,,"
Perempuan itu mengangguk.
"Hae Bajingan. Kamu bopong Mbakyu ini sampai ke rumahnya," kata Joko Manggolo menyuruh laki-laki itu untuk mengangkat perempuan itu. Tetapi seketika perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian jongkok kembali menyembah-nyembah Joko Manggolo. Baru disadari oleh Joko Manggolo rupanya ia membuat kekeliruan dengan mengambil keputusan untuk menyerahkan perempuam ini agar dibopong oleh laki-laki itu. Rupanya, tampang laki-laki bulat pendek itu telah menimbulkan jijik.
"Maaf Mbakyu. 'Bukan maksudku untuk menyerahkan kepada laki-laki itu. Aku ingin si laki-laki berengsek ini menjadi kuda tunggangan yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya tadi."
Akhirnya sekali kali Joko Manggolo yang membopong perempuan itu kalau kelihatan ia sudah mulai sulit jalan, dan beberapa saat kemudian diturunkan kembali untuk berjalan. Nampak mereka sudah jauh berjalan tetapi belum ada tanda-tanda akan menemui perkampungan.
"Mbakyu, apa benar jalan yang dituju ini kearah rumahmu?" tanya joko Manggolo kepeda perempuan bisu itu.
Dari mimik wajahnya nampak perempuan bisu itu mengerutkan keningnya, menengok-ke kiri ke, kanan, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hae, Bajingan. Kamu akan bawa kemana aku. Ini bukan jalan menuju rumah Mbakyu ini."
"Aku sendiri juga lupa, Kangmas"
"Bajingan! Bilang sejak tadi kalau lupa. Kamu benar-benar lupa atau pura-pura lupa,"
Joko Manggolo menghampiri laki-laki itu dan langsung menempeleng muka laki-laki itu.
Plakk.
"Bajingan kamu.Sudah berbuat kurang ajar sama perempuan, sekarang kau mau menipuaku"
"Maf...maaf Kangmas. Soalnya aku malu. Aku tinggal sekampung dengan perempuan bisu itu. Takut aku kena malu sama orang-orang di kampung"
"Sekarang bilang malu, tadi memperkosa tidak malu. Yang benar yang mana. Mentang-mentang ada perempuan tidak bisa bicara lalu kamu perdaya. Biar tidak buka mulut. Begitu tujuanmu. Kamu mau memuaskan nafsu binatangmu itu, lalu meninggalkan kesengsaraan pada orang lain. Kalau begini kamu merasa sakit tidak," Joko Manggolo menendang perut laki-laki itu dengan dengkulnya.
"Aduhhh, sakit, Kangmas."
"Baru begitu sudah terasa sakit. Bagaimana sakitnya kalau kamu tadi memaksa perempuan ini untuk menyerahkan kehormatannya dengan cara kamu yang brutal itu."
"Maafkan saya, Kangmas".
"Maaf. Maaf. Hayo jalan kemana yang benar jalan ke kampungmu itu."
Akhirnya mereka bertiga itu membalik kembali, berjalan menyelusuri bulakan. Hari mulai makin sore. Setelah sampai di daerah gundukan-gundukan tanah, tiba-tiba dihadapan mereka muncul banyak orang hampir berjumlah sekitar lima puluh orang. Sangat banyak
"Berhenti," teriak seseorang laki-laki yang berambut kelihatan sudah memutih semua. Joko Manggolo bersama laki-laki yang diringkus itu pun berhenti
"Lepaskan ikatan tali pada laki-laki itu. Dan juga lepaskan perempuan itu," perintah laki-laki yang berambut memutih itu nampaknya ditujukan kepada joko Manggolo.
"Hayo cepatttt ikuti perintahku."
Joko Manggolo nampak ragu-ragu, ia hanya memandangi wajah orang-orang yang berkerumun banyak di hadapannya itu semuanya nampak membawa senjata tajam .Diantara rerumunan orang-orang itu, Joko Manggolo mengenali ada laki-laki yang tadi juga ikut memperkosa perempuan bisu ini
"Maaf, Paman. Mungkin Paman salah paham. Apa maksudnya ini semua"
"Sudah jelas, kamu orang asing yang telah membuat kejahatan. Kamu membegal warga kami. Kamu telah memukuli warga kami itu siapa yang kamu sekap itu. Dua orang warga kami, kamu sekap. Apa bukti ini kurang jelas."
"Tet...tetap...kam..."
"Sudah jangan banyak bacot. Lepaskan segera dua orang warga kami itu. Dan kamu akan kami tangkap. Kamu harus diadili di bawa ke kota Kadipaten. Kamu telah membuat kejahatan membegal orang, menyekap orang dan melakukan pemerkosaan terhadap perempuan itu. Ini ada empat orang saksinya yang melaporkan semua kejadian kepada kami. Sekarang akui saja segala perbuatan nistamu itu, anak muda."
.Mendengar uraian laki-laki berambut putih itu, barulah Joko Manggolo paham, rupanya ia kena korban fitnah dari orang-orang yang telah menganiaya perempuan ini. Demi pertimbangan kemanusiaan, perempuan ini dilepaskan dan disuruh bergabung dengan warga Dukuh itu.
"Mbakyu, silakan ke sana. Mereka semua ingin menyelamatkan Mbakyu."
Tetapi perempuan bisu itu tidak mau, ia menggelenggelengkan kepalanya, lalu ia maju di depan Joko Manggolo. la rupanya berusaha menjelaskan kejadian yang sesungguhnya dihadapan orang-orang itu
"Bah..bahih.bah. .bah " kata perempuan bisu itu sambil tangannya digerak-gerakan terus. Tetapi orang-orang tidak ada yang peduli terhadap penjelasan perempuan bisu itu. Mereka nampak acuh tak acuh saja. Perhatian mereka tetap tertuju kepada kesiagaan untuk menghadapi orang asing seperti Joko Manggolo ini yang dari penampilannya diperkirakan oleh orang-orang itu sebagai anak muda yang berilmu kanuragan tinggi. Tanpa dinyana tiba-tiba seorang laki-laki menyambar lengan perempuan itu dan ditarik paksa bergabung dengan mereka. Mungkin dimaksudkan sebagai tindakan penyelamatan warganya. Masih terdengar suara berontak perempuan bisu itu yang nampak berusaha memberikan keterangan kepada warga penduduk itu mengenai kesalahpahaman ini, tetapi keburu perempuan itu diamankan ke garis belakang.
"Sekarang tinggal lepaskan yang satu lagi. Hayo cepat lepaskan, anak muda, sebelum kami semua akan bertindak"
"Baik akan aku lepaskan. Dan aku akan berlalu dari kampung bapak-bapak di sini. Tetapi, tolong diingat kelima laki-laki ini sebenarnya yang telah memperkosa perempuan bisu tadi. Kelima laki-laki yang mau jadi saksi ini bermoral bejat. Sebenarrnya justeru mereka ini yang pantas dihukum"
"Berhenti omongan kosongmu itu. Hayo lepaskan laki laki itu jangan banyak ngomong. Kamu yang akan dihukum bukan mereka yang menjadi saksi. Mengerti kamu orang asing"
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang bertubuh kekar maju menuding-nuding muka Joko Manggolo.
Tanpa banyak bicara lagi, Joko Manggolo lalu melepaskan ikatan tali pada laki-laki bulat pendek berkulit hitam itu, dan laki-laki itu segera berlari bergabung dengan warga dukuh itu. Seorang teman laki-lakinya tadi memberikan pakaiannya yang segera ia kenakan.
"Sekarang ganti giliran kamu anak muda untuk menyerah"
"Apa?.
Aku harus menyerah.
Untuk urusan apa."
"Apa belum jelas. Kamu telah membegal, menganiaya dan memperkosa perempuan warga kampung kami. Itu semua tuduhan yang ditujukan untuk kamu. Tahu tidak Bodoh."
"Itu semua tidak benar, Paman. Seandainya perempuan tadi bisa ngomong ia akan menjelaskan semua apa yang sesungguhnya terjadi."
"Tutup mulutmu orang asing. Hayo menyerah atau mati di sini."
"Kalau kalian ingin menunjukkan kehebatan kalian. Maju satu per satu. Satu lawan satu. Jangan main keroyokan begini,"
Tantang Joko Manggolo berusaha menunjukkan ketegaran dirinya.
"Sudah, jangan banyak bacot.Hayo kawan-kawan kita hantam saja anak muda yang sombong ini," teriak seorang laki-laki bertubuh ceking tiba-tiba langsung mengayunkan moteknya yang berkilau sebagai senjata tajam andalan untuk menyerang Joko Manggolo yang diikuti oleh lainnya yang secara berbarengan menyerbu Joko Mangggolo yang memang sedari tadi telah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Joko Manggolo melakukan pertahanan mundur teratur dengan satu per satu dirobohkan lawan-lawannya itu.
Namun lainnya terus berdatangan mengeroyoknya.
Beberapa goresan senjata tajam itu telah mengenai tubuh Joko Manggolo, tetapi ia tetap terus bertahan dengan melakukan gerak bela-serangnya.
Joko Manggolo telah menghabiskan jurus-jurusnya untuk menghadapi serbuan sebegitu banyak orang kampung ini, nampak ia kewalahan.
Kesulitannya, Joko Manggolo tidak ingin melukai orang-orang yang dianggap salah paham, korban fitnah ini, sehingga Joko Manggolo leb?h banyak melakukan gerakan hindaran, menyapu kedudukan kuda-kuda lawan, dan menyerang ringan untuk sekedar merobohkan mereka, sehingga ia terpaksa harus menerima keadaan dirinya untuk terdesak terus tanpa perlu mengerahkan kekuatan dahsyatnya apalagi mengeluarkan aji-aji pamungkas untuk membuat celaka orang.
Akhirnya Joko Manggolo mundur terus untuk bertahan, tidak disadari ia sudah sampai di pinggir jurang dangkal, berupa tanah berbatu-batu yang curam, tidak ada lagi posisi untuk mundur lagi. Kalau mau nekat maju terus berarti binasa, mundur terus berarti neraka.
"Baik paman-paman. Aku menyerah kalah," kata Joko Manggolo terpaksa mengambil keputusan untuk mengalah daripada ia terkena celaka terjatuh ke jurang, atau akan mengambil sikap menghancurkan sekaligus banyak orang yang tidak tahu-menahu duduk perkara yang sebenarnya ini.
"Horeeee," teriak orang-orang Dukuh Patukan itu hampir berbarengan merasa dapat memenangkan perkelahian yang belum pernah terjadi selama ini. Joko Manggolo menurut saja dicincang dibawa beriringan beramai-ramai menuju Dukuh Patukan yang terletak berbukit-bukit dan masih berhutan walaupun terlihat sudah banyak pohon yang ditebang. Sesampainya di Dukuh Patukan itu, Joko Manggolo dikat di bawah pohon aren besar tinggi, dan para warga beramai-ramai membuatkan kurungan dari bambu bambu dan kayu-kayu besar. Mereka segera sibuk membuat kurungan mendadak. Ada yang menggergaji, memasah, memantek, memotong. Dan malam hari itu, Joko Manggolo sudah berada dalam kurungan yang terbuat nampak kokoh sukar ditembus untuk keluar dari tempat itu.
******
MENCARI KEBENARAN.
MALAM hari, Joko Manggolo harus menelan nasib jeleknya. Ia dipaksa tertidur di dalam kerangkeng jorok yang banyak nyamuk, dijaga ketat sekitar empat laki-laki berwajah angker. Para penjaga itu yang sedari tadi terlihat sedang bermain kartu dengan asyiknya Karena kelelahan, Joko Manggolo tertidur lelap setelah menghabiskan makanan yang diberikan oleh penduduk Dukuh Patuk ini tadi, tanpa menghiraukan dinginnya malam dan kerubungan nyamuk yang terus menggigit tubuhnya itu. Antara setengah sadar dan masih lelap tertidur, tubuh Joko Manggolo seperti digoyang oleh tangan halus yang berusaha membangunkan dia. Begitu matanya dibuka, Joko Manggolo kaget dibuatnya. Di depannya terlihat muka seorang perempuan muda, ia terrnyata perempuan bisu yang tadi siang ditolongnya itu. Perempuan itu jongkok di sebelahnya di luar kerangkeng sambil menyodorkan minuman kopi hangat. Tanpa banyak tanya, minuman hangat itu langsung diterima Joko Manggolo dan diminumnya sampai habis lantaran udara di kampung ini memang amat dingin. Sekedar untuk menghangatkan badan. Dengan adanya wedang kopi hangat itu rupanya cukup membantu keadaan dirinya menjadi lebih segar bugar. Kemudian perempuan itu menyodorkan sebilah pisau besar, sambil berkata-kata.
"Uhhh..uh..bah...uh," tangannya menunjuk-nunjuk ke arah ikatan tali-tali yang ada pada daun pintu bambu bambu itu. Joko Manggolo menangkap yang dimaksudkan agar ia menggunakan pisau besar itu untuk memotong ikatan tali-tali bambu itu supaya ia bisa keluar dari kerangkeng. Tanpa basa-basi lagi, Joko Manggolo segera bertindak mengikuti petunjuk perempuan bisu itu. Tidak berapa lama, pintu kerangkeng itu dapat dibongkar, dan Joko Manggolo dengan mudah dapat keluar dari kerangkeng Joko Manggolo setelah berhasil ditolong oleh perempuan bisu ttu keluar dari kerangkeng. . Tapi masih ada masalah beret lagi, Joko Manggolo harus menghadapi para penjaga yang nampak galakgalak itu sejak tadi kelihatan angker menjaga di situ. Begitu mata Joko Manggolo menoleh ke arah para penjaga itu, nampak mereka rupanya telah tertidur lelap, tergeletak tidak karuan di bawah tempat penjagaan itu. Di sana-sini nampak berhamburan cangkir yang sama dengan cangkir yang diberikan perempuan bisu itu kepadanya. Perempuan bisu itu rupanya membawakan minuman yang membuat penjaga ronda kampung itu tertidur lelap. Lalu, Joko Manggolo memberikan bahasa isyaratnya kepada perempuan bisu itu yang maksudnya mau menanyakan
"Apakah yang diberikan kepada Joko Manggolo sama dengan yang diberikan kepada penjaga-penjaga itu"
Perempuan bisu itu menggelengkan kepala, berarti joko Manggolo tidak terkena minuman serupa untuk merangsang tertidur, tapi sebaliknya justeru membaat mata terbelalak karena pengaruh kopi minuman itu. Kemudian Joko Manggolo menanyakan lagi
Apakah itu semua bertujuan untuk membebaskan Joko Manggolo dari kerangkeng ini. Dijawab oleh perempuan bisu itu dengan anggukan kepala, berarti mengiyakan.Seterusnya, Joko Manggolo ditarik lengannya oleh perempuan bisu itu, diajak berjalan menyelusuri lorong-lorong perkampungan itu maksudnya ingin menunjukkan jalan keluar agar Joko Manggolo dapat segera meninggalkan perkampungan itu. Namun malang ketika Joko Manggolo sudah di luar kurungan, baru melingkari beberapa lorong rumah-rumah penduduk itu, ia keburu ketahuan penjaga ronda keliling yang sedang meronda ingin mengontrol tawanannya itu. Terjadi pergumulan keras. Joko Manggolo memberikan perlawanan dengan cara melakukan gerakan hindaran menjauh terus agar penjaga itu tidak membangunkan orang-orang kampung lalu mengeroyoknya kembali.
Dengan cara demikian, rupanya Joko Manggolo berhasil mengelabuhi penjaga-penjaga malam itu yang merasa dapat memenangkan pertarungan tanpa harus meminta bantuan kepada orang-orang kampung lainnya. Joko Manggolo bergerak mundur terus tanpa menciderai lawannya. Ketika mereka sampai di perbatasan perkampungan, segera Joko Manggolo memasang jurus berkelitnya, memasang jurus terjangan angin lesus, sehingga dengan mudah ia berhasil meloloskan diri, tanpa bisa dikejar para penjaga yang terpedaya merasa bangga dapat memenangkan pertarungan itu ternyata ia kena dikelabuhi Joko Manggolo agar mereka tidak meminta bantuan teman lainnya karena telah merasa kuat menghadapi serangan Joko Manggolo itu. Baru setelah Joko Manggolo berhasil lenyap ditelan kegelapan malam, mereka menyadari telah berbuat kesalahan besar, seperti menghantarkan tawanannya itu untuk dilepas di alam bebas. Petugas ronda yang berjumlah dua orang itu lantaran merasa tidak berhasil menangkap Joko Manggolo, maka ia segera membunyikan kentongannya keras-keras, titir,
"Tuk..tuk..uk...huk.", untuk membangunkan penduduk. Dalam waktu singkat penduduk Dukuh Patuk itu telah berhamburan keluar rumah dengan membawa senjata masing-masing di tangan. Mereka mendatangi arah bunyi kentongan itu. Setelah mendapatkan penjelasan dari petugas ronda itu, sebagian dari mereka berusaha mengejar larinya Joko Manggolo, dan lainnya kemudian memeriksa kerangkeng tempat Joko Manggolo ditahan. Di tempat itu didapati para petugas jaga kerangkeng itu nampak masih tertidur pulas, seperti tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Ketika mereka dibangunkan nampak pada kebingungan. Kerangkeng segera diperiksa beramai-ramai, gerangan apa yang menyebabkan sehingga Joko Manggolo bisa lolos. Terlihat sebilah pisau besar masih tergeletak tertinggal di situ Kemudian para penjaga itu berkisah bahwa tadi malam mereka mendapatkan minuman dari perempuan bisu itu. Dikiranya, perempuan bisu itu ingin membalas jasa budi baik kepada mereka yang telah menolongnya, berhasil menangkap dan menyekap Joko Manggolo sebagai pelaku perkosaan. Maka hadiah minuman hangat itu segera beramai-ramai diteguknya dalam suasana udara dingin di perkampungan itu. Kemudian mereka tidak ingat lagi. Setelah diperiksa minuman-minuman itu. Ternyata benar, memang mengandung ramuan yang memancing orang segera ngantukdan tertidur. Orang-orang kampung pun kemudian pada heran mengetahui kelakuan perempuan bisu itu. Dan setelah diselidiki diketahui bahwa perempuan bisu inilah yang malahan teiah membebaskan Joko Manggolo. Para sesepuh dan tokoh masyarakat Dukuh Patuk segera mengadakan sidang malam itu juga untuk mencari tahu semua kejadian di balik yang sesungguhnya terjadi dari peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan bisu kemarin siang. Kalau yang menjadi korban pemerkosaan itu Sritarti (nama perempuan bisu itu Sritarti).
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa malahan ia yang justeru mau membebaskan anak muda itu. Mustinya ia malah dendam kepada pemuda itu. Tetapi nampaknya justeru kebalikannya ia yang merasa harus membalas budi dan mau bersusah-payah malam-malam dingin begini ia sudi mengantarkan minuman untuk membius para penjaga dan membebaskan anak muda itu dari kerangkeng ini,"
Kata seorang tua yang d?kenal arif bijaksana di Dukuh Patuk itu dihadapan warga dukuh yang berkumpul beramai-ramai di tempat itu dengan penerangan obor yang dibawa oleh banyak orang yang berkumpul di tempat itu sehingga nampak menerangi sekelilingnya.
"Itu tentu masuk akal tho, Kangmas," bela laki-laki yang berambut putih yang tadi siang bertindak sebagai pemimpin penangkapan terhadap Joko Manggolo itu.
"Kalau anak muda itu merasa tidak bersalah, mengapa ketika dia mau kita tangkap, malahan ia melawan kita. Kalau ia merasa tidak bersalah ya menyerahkan diri saja dengan cara baik-baik. Itu kan gampang jadinya. Dan nanti kita serahkan ke pengadilan di kadipaten. Pengadilan yang akan memutuskan bersalah atau tidak. Tetapi ia malahan nekat melawan kita, sehingga mengakibatkan banyak korban luka-luka warga kita. Jadi jelas, pemuda asing itu sejak semula sudah merasa bersalah dan tahu betul ia akan dihukum, makanya ia melawan dan berusaha kabur dari penangkapan kita," tukas pimpinan kampung Dukuh Patuk yang tadi sore memimpin penangkapan itu.
"Sampeyan itu bagaimana tho, Dik.Kok malahan cara berpikirnya terbalik. Jelas saja pemuda asing itu melawan kita, wong ia merasa tidak bersalah" kata orang tua yang terkenal bijak itu kemudian.
"Tapi, Kangmas. Mengapa ia tidak bersikap satria, mau menyerahkan diri siap untuk diadili agar tahu kebenaran yang memihak dirinya, tetapi yang ia lakukan melawan kita."
"Dimas ini bagaimana. Sikap tidak menyerah untuk membela kebenaran itu kan sifat ksatria. Justeru sikap pemuda tadi, aku anggap yang benar. Kalau ia salah, aku rasa ia akan menunjukkan sikap takutnya. Akan tetapi ia nampak tegar saja. Dan yang mengherankan kalau aku amati jalannya perkelahian mengeroyok pemuda itu tadi sore, satu pun di antara penduduk warga ini tidak ada yang jadi korbannya, hanya luka-luka kecil saja. Padahal ia telah merebut salah satu senjata orang-orang kita tetapi tidak untuk melukai orang-orang kita hanya sekedar untuk bertahan. Aku melihat banyak kesempatan pemuda tangguh itu dapat mencederai atau bahkan membunuh beberapa penduduk kita waktu penyerangan kemarin siang. Tetapi hal itu tidak ia lakukan."
"Ach, Kangmas bisa saja. Justeru karena kekuatan kita ini yang tangguh. Bukan lantaran pemuda itu sengaja untuk tidak melukai orang-orang kita."
"Kalau demikian aku punya usul Coba bawa kemari Sritarti,"
Kata orang bijak sesepuh Dukuh Patuk itu.
Tidak berapa lama, gadis bisu yang malang itu dibawa masuk ruangan pendopo Dukuh Patuk yang sudah dipenuhi berjejal oleh penduduk kampung itu ingin menyaksikan bagaimana duduk perkara sebenarnya karena mereka kemarin siang juga ikut memberikan pengorbanannya menyerang pemuda asing itu.Sementara semua orang yang berkerumun di balai Dukuh Patuk itu pada terdiam ingin mendengarkan pemecahan perkara ini.
"Nduk, Eyang mau tanya, ya. Mengapa kamu berani beraninya melepaskan orang asing itu dari kerangkeng yang sudah dibuat susah payah oleh para penduduk dengan gotong royong."
tanya sesepuh Dukuh Patuk itu.
Di dukuh ini belum ada kepala dukuhnya, jadi kedudukan sesepuh dukuh ini dapat bertindak seperti kepala dukuhnya.
Sebab kepala dukuh yang lama baru beberapa minggu ini meninggal dan belum mengadakan pemilihan kepala dukuh yang baru.
"Uhh, Uhh, Uhh" kata perempuan bisu itu sambil tangannya memperagakan gerakan-gerakan berusaha menjawab pertanyaan sesepuh dukuh itu.
"Ohh, maksud kamu, pemuda itu tidak bersalah,?" tanya sesepuh dukuh itu kembali.
Nampak perempuan bisu itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi siapa yang salah,"
Tanya sesepuh dukuh itu lebih lanjut .Perempuan bisu itu terdiam.
"Jawab Nduk, siapa yang salah."
Masih tetap bungkam
"Tolong, Nduk.
Jawab siapa yang salah agar kita semua dapat menolongmu dan menjagamu di kemudian hari."
Kelihatan perempuan bisu itu ragu-ragu, tetapi ia pelan pelan berdiri dan matanya mengelilingi orang-orang yang hadir berkumpul di ruangan balai pedukuhan itu kemudian pandangannya berhenti pada seorang laki laki gendut yang berdiri di baris tengah. Tangan perempuan bisu itu pelan-pelan diangkat, lalu-menunjuk lurus ke arah laki-laki gendut tadi.
Semua orang matanya tertuju pada arah telunjuk perempuan bisu itu.
"Hayo, KiSanak; yang merasa ditunjuk coba tolong maju ke depan" kata laki-laki tua sesepuh dukuh yang nampak bijak itu. Seorang laki-laki yang ditunjuk itu kemudian demgan gemetaran maju ke depan dengan muka yang pucat pasi .Belum habis di situ, telunjuk perempuan bisu itu menunjuk lagi kepada dua orang laki-laki yang duduk berdampingan di sudut belakang yang diterangi lampu teplok remang remang itu. Kemudian kedua laki-laki gagah itu pun maju ke depan. Lalu, perempuan bisu itu menggeleng gelengkan kepalanya, yang menandakan mungkin sudah tidak ada lagi pelaku lainnya yang ada di situ.
"Kangmas Pramono," kata sesepuh dukuh itu membahasakan pada laki-laki penduduk dukuh itu dengan sebutan Kangmas.
"Kangmas Tarjito, dan Kangmas Karmono. Apa benar kalian bertiga telah mencelakan Sritarti ini."
"Tit...titt...tidak. Tidak benar. Itu tidak benar, Pak Sesepuh. Ini titt...tidak betul," jawab ketiga laki-laki itu hampir berbarengan menyangkal tuduhan terhadap diri mereka
"Lalu, siapa yang telah berbuat menodai Sritarti tadi siang."
"Pemuda asing yang tadi kita tangkap itu. Kami bertiga hanya mau menolongnya, tetapi kami kalah pandai berkelahi. Ia menguasi ilmu kanuragan yang susah ditaklukkan, maka kami kabur mencari bantuan kepada orang-orang di kampung kita ini,"
Kata Pramono lakilaki bertubuh gendut itu.
"Bagaimana, Nak Tarti. Apa kamu tidak salah tuduh"
Perempuan bisu itu menggelengkan kepala, masih membenarkan pada tuduhannya semula terhadap ketiga laki-laki itu
"Baiklah kalau demikian. Perkara ini tidak bisa kita sidangkan di balai dukuh ini. Kita tidak berhak mengadili perkara seperti ini. Kita melapor saja ke penguasa pengadilan di kota Kadipaten Ponorogo besuk pagi .Kamu Nduk Tarti yang akan mengajukan tuntutan, dan kalian bertiga Kangmas yang akan dituduh,"
Kata sesepuh dukuh itu dengan tegarnya.
"Tapi jangan hanya kami bertiga yang dituduh. Masih ada dua lagi, Pak", tiba-tiba keluar kata-kata dari salah seorang laki-laki itu yang menimbulkan perhatian orang tua bijak yang dikenal sebagai sesepuh dukuh itu.
"Hah, apa katamu tadi, Kangmas. Masih ada dua lagi. Apa yang telah dua orang lagi itu lakukan, Kangmas" pancing sesepuh dukuh itu.
"Ia juga ikut bersalah Jangan salahkan kami bertiga saja, Pak Sesepuh."
"Nah, ini baru menarik. Kamu tadi baru mengatakan mereka berdua juga ikut memperkosa Tartii"
"Iyah...ohh. Bukan begitu maksud saya. Tidak. Bukan begitu,"
Jawab Karmono gugup tergagap-gagap, sehingga mengundang kecurigaan orang tua bijak itu.
"Lalu siapa yang memperkosa duluan."
"Mas Dalijo."
"Yahh Mas Dalijo yang memperkosa duluan" kata Pramono.
"Be...benar. Oh tidak, tidak ada yang memperkosa,"
Kata Karmono tergagap-gagap seperti baru disadarkan memberikan jawaban yang keliru.
"Yang benar mana. Kamu atau dia yang memperkosa.$
"Dia, Pak Sesepuh," kata Tarjito menunjuk ke arah muka Karmono.
"Nah. Itu baru jawaban yang tegas. Baik kawan-kawan se Dukuh Patuk, sudah ada pengakuan dari Dimas Tarjito yang menyaksikan bahwa Dimas Karmono dan Dimas Dalijo yang telah melakukan pemerkosaan terhadap Sritarti. Jadi tugas kita sekalian membawa Dimas Dalijo kemari Mana Dimas Dalijo," tanya sesepuh dukuh itu.
"Tadi saya lihat dia ada di gardu jaga depan Pak Sesepuh"
"Kasih tahu dia agar kemari. Akan tetapi jangan diberitahu pembicaraan kita di sini ini tadi, agar dia tidak kabur," kata orang tua bijak itu kembali. Beberapa pemuda ramai-ramai berhamburan keluar mencari Dalijo. Tidak berapa lama orang yang namanya Dalijo itu telah d?bawa masuk balai pedukuhan Patuk oleh para pemuda itu.
"Ini, Eyang. Pak Dalijo,"
Kata salah seorang pemuda tegap yang mengantarkan Pak Dalijo ke depan sesepuh dukuh itu.
"Dimas Dalijo, menurut kesaksian Dimas Tarjito dan Dimas Pramono, tadi siang yang telah berbuat tidak sesonoh terhadap Anakmas Sritarti, sampeyan.Apa benar."
"Tit.tit...tidak benar itu, Pak Sesepuh."
"Lalu siapa yang berbuat."
"Titt..tidak tahu"
"Lho tadi siang yang melaporkan kepada penduduk sehingga kita ramai-ramai mengeroyok pemuda asing tadi siapa."
"Bukan saya, entah. Saya hanya ikut-ikutan menangkap pemuda asing itu."
"Bagaimana Dimas Tarjito. Apa benar demikian?"
Tarjito yang ditanya laki-laki tua itu hanya menundukan kepala. Tidak tahu harus bilang apa.
"Baik kalau demikian. Sebelum kita ramai-ramai mengeroyok pemuda asing tadi. Sebelum ada laporan mengenai diri Sritati diperkosa, Dimas Dalijo dimana."
"Diit. sawah."
"Sawah mana."
"Sawah...sawa..."
"Hayo sawah dimana "
"Berarti Dimas Dalijo bersama Dimas Tarjito."
"Iyah.eehh. Bukan...buk...bukan. Maksud saya.."
"Lalu dimana."
"Diiili, mana ya."
"Lho, kenapa jadi kebingungan"
"Di sawah, Pak Sesepuh"
"Iyah di sawah bersama Dimas Tarjito, apa bersama yang lain."
"Bersama Kangmas Pramono dan Kangmas Karmono."
"Apa benar Dimas Pramono dan Dimas Karmono, memang demikian,"
Tanya sesepuh dukuh itu kembali.
"Beb...benar, Pak Sesepuh"
"Lalu kalian di sawah mana."
"Diii .sawah Traju." jawab Karmono ragu-ragu
"Dii...Pradangan, oh bukan," jawab Pramono hampir berbarengan dengan jawaban Karmono.
"Lho, yang benar yang mana kok jawab kalian berbeda beda, katanya kalian bertiga tadi bersama."
Keempat laki-laki itu semuanya terdiam .Nampak diwajahnya kebingungan harus menjawab apa, kalau menjawab serba salah.
"Siapa di antara kalian yang pertama kali punya gagasan untuk memperdaya Anakmas Sritarti,"
Tanya kembali orang tua bijak itu.
"Kangmas Dalijo,"
Ketiga laki-laki itu tanpa sadar langsung mengucapkan hampir berbarengan
"Nah sekarang ketahuan, kalian telah melakukan perbuatan aniaya, dan Dimas Dalijo yang pertama kali punya gagasan ini. Benar demikian, Dimas Dalijo."
"Ampun Pak Sesepuh,bukan saya sendirian Tetapi rembugan secara beramai-ramai. Dan yang melakukan juga bukan saya sendiri. Mereka bertiga juga melakukan."
"Nah Cukup jelas. Sekarang kalian berempat telah mengaku semua."
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukk..bukan berempat, Pak Sesepuh. Berlima,"
Kata Dalijo kemudian.
"Berlima ?. Siapa lagi yang satunya. Satunya lagi, Tarkun,"
Jawab Dalijo tegas
"Iya, Tarkun yang tadi diikat pemuda asing yang ditelanJangi itu"
"Benar, Pak Sesepuh. Tolong bawa kemari Tarkun, sobat-sobat,"
Kata sesepuh dukuh itu setengah meminta kepada para pemuda itu untuk menghadirkan Tarkun ke balai dukuh ini.
Tanpa banyak kata para pemuda yang sedari tadi pada tekun mendengarkan pembicaraan itu kemudian pada pergi berhamburan mencari Tarkun.
Tidak berapa lama, Tarkun telah dibawa ramai-ramai oleh para pemuda itu.
"Dimas Tarkun, menurut kesaksian keempat teman temanmu ini, kau tadi siang juga ikut memperkosa Sritarti"
"Saya belum sempat memasukkan, Pak sesepuh. Baru jongkok, tiba-tiba punggung saya digebuk oleh pemuda asing itu.
Jadi saya langsung terkapar belum sempat menikmati...anu maksud saya belum jadi..."
kata-kata Tarkun yang polos sambil diucapkan gemetaran itu mengundang tawa para warga yang menyaksikan persidangan darurat di balai Dukuh Patuk ini.
"Jadi kamu belum sempat berbuat. Tetapi memang ada niat untuk berbuat itu."
"Hanya mengikuti teman-teman saja kok, Pak Sesepuh."
"Baik kalau demikian, para warga yang terhormat. Sudah jelas bahwa kelima laki-laki warga dukuh kita ini telah mencemari nama baiik kita bersama dan telah membuat penderitaan anakmas Sritarti. Lalu bagaimana baiknya."
"Kita laporkan saja ke pengadilan Kadipaten di kota Ponorogo, Pak Sesepuh,"
Kata salah seorang laki-laki begap berewokan yang berdiri paling depan itu.
"Lebih baik diambil jalan damai, dan diminta bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Kalau masih berbuat lagi nanti, disunati saja itu yang membikin celakanya sampai habis," kata laki-laki yang lain.
Terdengar tawa para warga mendengarkan usulan salah seorang salah satu warga ini yang memang terkenal kocak kalau bicara.
"Apa sebaiknya kita sunat saja sekarang."
kata salah seorang laki-laki yang lain sambil ketawa cengengesan. Ia rupanya sudah tahu lama kalau gerombolan kelima laki-laki itu suka jajan perempuan nakal di warung remang-remang.
Kehidupan keluarganya berantakan semua, jadi mereka praktis berpredikat sebagai para duda yang ditinggal minggat isteri mereka masing-masing. Maka kemudian mereka kompak, punya kebiasaan buruk itu yang dipupuk bersama.
Suka mencari kesenangan yang bukan-bukan.
Namun selama ini karena itu dianggap sebagai urusan pribadi, maka tidak ada penduduk yang menggubris perilaku menyimpang mereka demi menjaga kerukunan kehidupan Dukuh Patuk ini.
"Huss. Memang kamu yang mau disunat dua kali," kata yang lain, sehingga mengundang ketawa riuh orang orang yang ikut hadir di balai dukuh ini, sebab cara bicaranya orang itu yang suka melucu mengundang tawa orang lain.
"Bagaimana masih ada yang purnya usul lain,"
Kata orang tua bijak itu lagi sebagai sesepuh dukuh
"Kalau mereka ini tidak dihukum, takut nanti yang lain akan berbuat hal yang serupa dan dapat membuat tidak tenteram para perempuan di dukuh kita ini.
Jadi, saya usul agar perkara ini diserahkan saja kapada yang berhak mengadili perkara ini di pengadilan Kadipaten Ponorogo," usul salah seorang yang berumur kira-kira sudah setengah baya.
"Baik kalau demikian. Kita ambil mufakat saja, bagaimana kalau perkara ini kita serahkan saja kepada pengadilan Kadipaten Ponorogo. Besuk pagi kita sama sama mengantar ke kota Kadipaten. Yang mau ikut harap didaftar. Setuju."
"Setujuuuuuuu," jawab warga itu serentak. Malam itu Dukuh Patuk yang semula tenang tenteram, menjadi ramai oleh perbincangan para warga yang membicarakan kejadian yang hampir membawa celaka semua warga kemarin siang karena harus berperang keroyokan terhadap pemuda asing itu. Sedangkan kelima laki-laki yang telah mendzalimi perempuan bisu Sritarti itu, malam itu menggantikan menempati kerangkeng yang tadi dipersiapkan oleh penduduk untuk mengurung Joko Manggolo.
Mereka berlima berdesak-desakan di kurungan sempit. Mereka nampak menyesali diri. Terutama nampak sangat malu terhadap warga Dukuh Patuk ini yang kalau sudah keluar sikap tegasnya, tidak pandang bulu walaupun itu bekas teman sendiri kalau berbuat salah harus tetap disalahkan dan diganjar hukuman. Oleh karena itu, pagi-pagi buta para warga sudah bersiap beramai-ramai mengantarkan warganya yang salah itu untuk dibawa ke kota Kadipeten Ponorogo agar dapat diadili di sana.
******
TERKOYAK BINASA.
HUJAN lebat itu sedari tadi tidak ada henti-hentinya. Angin bertiup kencang menggoyangkan pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi di atas langit itu, beberapa telah roboh terhenyak oleh kerasnya kekuatan arus angin yang mengganas dahsyat. Joko Manggolo, sedari tadi berusaha berteduh di bawah gubug reyot yang biasa digunakan oleh pemilik sawah untuk menghalau burung-burung yang akan memangsa padi-padi yang menguning itu, letaknya berada di tengah sawah penduduk perkampungan itu. Nampak sudah tidak ada lagi empat berlindung di tempat lain untuk menghindari dari amukan hujan yang terus mengguyur sejak tadi, membuat hampir basah kuyup seluruh tubuh Joko Manggolo. Sekali-kali terdengar suara bledek dan kilatan cahaya yang memecah awan di angkasa.
Ketika melarikan diri dari Dukuh Patuk itu, Joko Manggolo terus berlari di malam hari menjauh dari kejaran orang orang kampung yang salah paham terhadapnya itu. Ia terus menuju ke selatan. Sampai paginya ia telah menemui suatu padang bulakan yang gersang .Siangnya ia terus berjalan, tetapi sudah hampir sore tidak ditemui satu kampung pun di daerah selatan. Akhirnya joko Manggolo memutuskan untuk mencari tempat tidur di daerah ini. Kemudian Joko Manggoio mencari batu besar di situ yang akan dijadikan sebagai tempat merebahkan badannya semalaman. Terdapat suara air yang terus mengalir mengucur, di dekat batu tempat ia tidur. Mencari tempat yang dekat dengan air ini, pertimbangannya agar ia dapat minum sewaktu-waktu kehausan, atau dapat mandi sepuasnya di situ. Paginya, joko Manggolo meneruskan perjalanannya menuju ke arah selatan. Tiap sore tiba ia selalu mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Begitu seterusnya, siang dan malam ia terus menelusuri jalan-jalan, keluar masuk perkampungan, menerjang bulakan, memasuki hutan, mendaki bukit-bukit, dan menuruni jurang jurang terjal. Berbulan-bulan Joko Manggolo terus berjalan, bahkan sudah berapa tahun ia tidak ingat lagi, setiap kali ia selalu bertanya kepada tiap orang yang ditemuinya, apakah mereka mengenal nama orang tuanya. Namun sampai sejauh ini belum ada petunjuk dimana keberadaan kedua orang tnanya, khususnya ibunya, yang bernama Waijah Sarirupi, yang ia telah kenal sewaktu ia masih bocah ketika tiba-tiba ibunya itu meninggalkan dirinya yang kemudian ia hanya dititipkan begitu saja kepada gurunya Warok Wirodigdo di kampung Bubadan.
Suatu hari sehabis Joko Manggolo membersihkan mukanya dari tidurnya semalam di dekat sungai kecil yang mengalir tenang itu, kemudian Joko Manggolo kembali meneruskan perjalanannya menyelusuri padang ilalang yang nampak belum banyak orang yang menjamahnya. Setelah Joko Manggolo menyebarangi tanah kosong, bulakan penjang yang bergelombang penuh tanah-tanah gundukan, Joko Manggolo melihat ada tanda pintu gerbang yang menunjukkan ke arah suatu perkampungan. Ia telah sampai di suatu dusun di kaki pegunungan yang berbukit-bukit. Pohon-pohon besar jarang dijumpai hanya beberapa pohon asem yang tumbuh menjulang ke atas. Gardu jaga dusun itu nampak kosong ditinggalkan orang, barangkali hanya pada malam hari saja di gardu itu penuh orang yang sedang mengadakan ronda malam. Suasana perkampungan itu mulai terasa ramai. Rumah-rumah bambu dengan halaman yang rata-rata agak luas, banyak ayam-ayam kampung berkeliaran ke sana kemari. Dibelokan perempatan jalan kampung itu, Joko Manggolo berpapasan dengan serombongan ibu-ibu. Ia berhenti dengan sopan bertanya kepada rombongan ibu-ibu itu.
"Maaf bu boleh tahu. Apa nama kampung ini"
"Kampung ini masih termasuk Pedukuhan Kluyuk. Anakmas mau kemana atau mau menemui siapa," tanya salah seorang ibu yang kelihatan paling tua di antara mereka, sudah berumur lanjut
"Saya sedang menelusuri kampung-kampung ingin mencari orang tua saya. Namanya Bu Waijah Sarirupi."
"Ohhh. Disini sepertinya tidak ada nama itu. Tetapi coba boleh tanya kepada Kepala Dukuh berangkali mengetahui. Anakmas terus saja jalan ke sana. Setelah ada pertigaan, belok ke kiri. Di rumah yang di halaman rumahnya ada tiga buah pohon cengkir gading. Di situ rumah Kepala Dukuh. Namanya Pak Sumo Pradigdo."
"Terima kasih, Bu."
"Ya. Cobalah ke sana"
Baru beberapa langkah Joko Manggolo berjalan setelah berpapasan dengan rombongan ibu-ibu itu, tiba-tiba ada bayangan-bayangan turun dari pohon-pohon jambu itu ternyata ada tiga orang pemuda yang nampak gagah-gagah loncat tepat beberapa meter di depan Joko Manggolo.
"Berhentiti,"
Teriak salah seorang pemuda itu nampak di pinggangnya terselip sebilah motek. Joko Manggolo pun berhenti dengan sikap waspada.
"Kamu orang asing, siang-siang begini beraninya memasuki dusun kami. Ada perlu apa kamu, "
"Kami sengaja menelusuri kampung-kampung sedang mencari kedua orang tua saya."
"Ha..he.sudah segede begini masih embok-emboken minta diteteki embokmu, yah"
Para pemuda itu meledek dengan mentertawai Joko Manggolo.
*****
"Begini, anak muda. Silakan masuk saja ke dalam mari silakan duduk" kata Pak Lurah yang rupanya mulai menarah simpatik dari ceritera asal-usul Joko Manggolo yang anak yatim itu. Melihat dari cara menuturan, dan mimik mukanya, Pak Lurah mempunyai kesan terhadap Joko Manggolo ini anak yang jujur. Akan tetapi sebelum, Joko Manggolo melangkah masuk rumah mengikuti Pak Lurah, tibe-tiba ketiga pemuda itu berbarengan meloncat mencegat di hadapan Joko Manggola. Mereka menghadang sepertinya mau mengajak berkelahi
"Maaf, Pak Lurah. Kami curiga terhadap orang asing ini. Beri kesempatan kami bertiga menghajar terlebih dulu orang asing ini."
Tanpa menunggu jawaban Pak Lurah, rupanya ketiga pemuda itu tanpa tedeng aling-aling dan basa-basi lagi langsung menyerang Joko Manggolo. Terjadilah pergumulan keras di halaman rumah Pak Lurah itu. Joko Manggolo yang sudah tahu banyak makan garamnya beradu ilmu kanuragan dengan enteng ia memasang jurus-jurus hindaran ke samping kanan kiri, ia hanya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan berbarengan ketiga pemuda yang nampak bernafsu ingin menguasai permaianan ini. Mendengar kegaduhan perkelahian di halaman rumah Pak Lurah ini, peduduk kampung pun kemudian banyak yang berdatangan, berkerumun di halaman depan rumah Pak Lurah itu ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun begitu dilihatnya di sana berdiri Pak Lurah dengan muka cerah yang bersikap tenang memperhatikan jalannya perkelahian itu, tanpa berusaha melerainya, maka orang-orang kampung pun menduga nampaknya tidak ada hal yang membahayakan terjadi di kelurahan. Secara cepat berita perkelahian di rumah Pak Lurah itu tersebar. Penduduk kampung pun banyak yang berlari lari ingin mencari berita, apa yang sebenarnya sedang terjadi di halaman rumah Pak Lurah itu. Banyak laki-laki yang sudah mempersiapkan diri dengan senjata-senjata tajam mereka. Akan tetapi, begitu sampai di rumah Pak Lurah, dan melihat orang yang dituakan di kampung itu tidak memberi perintah apa-apa, orang-orang itu lalu bersikap pasif malahan beramai-ramai menjadi penonton perkelahian itu sambil bersurak-surai.
Joko Manggolo sebenarnya menguasai permainan ketiga pemuda yang sok pamer kekuatan itu. Namun rupanya Joko Manggolo tidak segera menyelesaikan perkelahian itu dan menghabisi mereka. Ia sengaja memperpanjang tempo perkelahian dengan harapan ada orang yang memisahnya, tanpa mempunyai kesan ia yang memenangkan pertarungan ini agar tidak menimbulkan sakit hati, atau balas dendam di kemudian hari para pemuda kampung ini kepadanya. Rupanya, ketiga pemuda itu juga mulai menyadari ketangguhan ilmu kanunagan yang dimiliki Joko Manggolo itu. Sebelum mereka kehabisan jurus-jurusnya dan terkuras tenaganya, kemudian malu kalah bertarung ditonton banyak orang, apalagi banyak perempuan perempuan muda, para perawan di kampung ini yang menonton.
****
Joko Manggolo terdiam saja. "Boleh saya menemui Pak Sumo Pradigdo. Lho. Sampeyan masih keluarga Pak Sumo?," tanya salah seorang pemuda itu kaget, penuh tanda tanya.
"Ya,"
Jawab Joko Manggolo
"Kalau demikian, aku minta maaf atas ketidak sopanan kami.
Mari ikut kami, kami akan antar ke rumah beliau."
"Terima kasih."
"Sebaiknya kami akan mencari send?ri saja, Kangmas," kata Joko Manggolo.
"Tidak usah basa-basi.
Kami akan antar sampeyan ketemu rumahnya, supaya sampeyan tidak kesasar.
"
Joko Manggolo akhirnya bersedia diantar rombongan para pemuda itu agar tidak dicurigai oleh mereka.
Sesampai di rumah Pak Sumo Pradigdo.
"Pak Lurah, ini ada tamunya dari jauh. Keluarga Pak Lurah"
Tidak berapa lama muncul seorang tua yang sedang mengancingkan kain bajunya.
"Ada apa Sarko,"
Tanya Pak Lurah itu
"Ini ada tamu, katanya masih keluarga Bapak."
Kata orang yang dipanggil Sarko itu sambil tangannya menyalami tangan Pak Lurah.
Joko Manggolo dipandangi Pak Lurah agak lama.
Mulai dari atas sampai bawah.
Nampak, wajah Joko Manggolo berubah menjadi pucat.
"Siapa pemuda ini," tanya Pak Lurah kemudian.
"Ia mengaku katanya masih keluarga Bapak."
"Mengaku keluargaku?. Aku tidak kenal. Siapa, Anakmas sebenarnya," tanya Pak Lurah dengan penuh selidik
"Nama hamba Joko Manggolo, Pak Lurah. Asal hamba dari Dukuh Randil. Hamba kemari sedang mencari keluarga hamba, namanya ibu Waijah Sarirupi."
"Aku tidak kenal nama itu. Siapa itu, Waijah Sarirupi. Wargaku di sini tidak ada yang bernama itu."
"Hehh. Orang asing."
Bentak salah seorang pemuda yang nampak paling geram melihat Joko Manggolo.
"Kamu tadi mengaku katanya sudah kenal Pak Sumo Pradigdo dan mengaku masih keluarga. Ngomong yang benar. Kamu mau apa. Tujuan kamu datang ke kampung kami ini, mau apa. Hayo, Jawab," bentak salah seorang pemuda yang nampak paling geram di antara kedua pemuda yang lain.
"Maaf, Kangmas. Tujuanku. Seperti sudah aku sampaikan kepada Pak Lurah tadi. Aku sedang mencari keluargaku Ibu Waijah Sarirupi. Tadi ketika aku masuk melalui gardu Dukuh depan sana, diberitahu ibu-ibu agar aku menemui Pak Sumo Pradigdo. Katanya, mungkin beliau mengetahui keberadaan ibuku kalau memang kemungkinan sekarang menjadi warga di sini. Aku tidak tahu sebelumnya kalau Pak Sumo Pradigdo ini adalah Pak Lurah di sini. Karena aku anak yatim, ditinggal mati bapakku ketika masih kecil, jadi aku menduga mungkin nama Pak Sumo Pradigdo itu masih keluarga sendiri"
Jelas Joko Manggolo dengan sikap santun.
******
bertepuk-tepuk tangan menonton adegan perkelahian antar pemuda itu. Tidak ada jalan lain kecuali berusaha berdamai dengan Joko Manggolo.
"Hae, orang asing. Kalau engkau telah mengaku kalah. Aku tidak teruskan seranganku berikutnya ini,"
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teriak salah seorang pemuda yang nampak sudah kelelahan itu sambil matanya berkedip-kedip memberikan bahasa isyarat kepada joko Manggolo, walaupun:ia terus menyerang Joko Mangggolo.
Rupanya joko Manggolo pun maklum akan maksud mereka itu, maka bukannya Joko Manggolo terus mengaku kalah, malahan ia memasang tubuhnya untuk mendapatkan tendangan para pemuda itu
"Blukkkk", perut Joko Manggolo terkena tendangan yang sebenarnya tidak terlalu keras, namun Joko Manggolo berpura-pura terjungkal ke belakang beberapa kali, dan terkapar di atas tanah.
Tidak bergerak. Ia pura-pura pingsan.
"Ha ha ha...mati kamu orang asing"
Terdengar teriakan teriakan ketiga pemuda itu.
"IImumu belum seberapa untuk menandingiku," kata salah seorang pemuda itu dengan sikap membanggakan diri di hadapan tubuh Joko Manggolo yang tergeletak begitu saja.
Pak Lurah yang prayitno, melihat ada sesuatu yang tidak benar diperlakukan para pemuda di kampungnya itu terhadap pemuda pendatang itu.
Makin yakin bahwa Joko Manggolo ini, orang yang berkemampuan ilmu kanuragan tinggi, tetapi tidak sombong, bahkan terkesan sebagai pemuda jujur, dan nampak mau memberikan pengorbanan.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, pertarungan telah usai. Kami mohon semua kembali ke rumah masing-masing dengan tenang.
Kami akan urus pemuda pendatang ini untuk menjelaskan duduk persoalannya, besuk kami akan beritahukan .Dan kalian bertiga sebagai pemada kampung kita yang tangguh-tangguh, aku mengucapkan terima kasih atas kemampuan kalian membela kepentingan keamanan Dukuh kita ini.
Tolong bapak-bapak yang lain, bawa masuk tubuh orang asing itu ke dalam," kata Pak Lurah Tanpa banyak bicara ketiga pemuda itu tadi juga ikut membopong tubuh Joko Manggolo ke dalam rumah Pak Lurah .Beberapa saat kemudian.
Joko Manggolo setelah dirawat orang-orang kampung di kamar Pak Lurah bagian tengah ia bangkit kembali dan duduk bersila di bawah dengan sopan dihadapan Pak Lurah yang dengan tenang juga duduk bersila di situ di kelilingi orang-orang kampung lainnya, termasuk ketiga pemuda itu tadi.
"Bapak-bapak, dan ibu-ibu. Aku ingin mananyai pemuda asing ini seorang diri. Mohon berkenan, bapak-bapak dan ibu-ibu meninggalkan ruangan ini untuk bebera saat saja. Terima kasih." begitu Pak Lurah selesai mengucapkan kata-katanya itu, orang yang berkerumun di ruangan itu bubar. Satu per satu meninggalkan ruangan ini. Kini tinggal berdua, Pak Lurah dan Joko Manggolo.
"Anakmas Manggolo."
"Sendiko, Pak Lurah"
"Aku telah melihat kehandalan ilmu kanuraganmu dan ketinggian budimu. Kalau engkau jahat, ketka bertarung melawan ketiga pemuda itu tadi, tidak perlu waktu lama engkau sudah bisa membikin mereka tidak berkutik. Akan tetapi ternyata itu tidak engkau lakukan. Malahan engkau persiapkan diri kamu untuk mengalah dan berkorban membuat tontonan agar ketiga pemuda tadi dihadapan para penduduk kampung sini sebagai pemuda gagah perkasa. Nah, selain itu, ucapanmu sepertinya cukup jujur. Aku percaya kepadamu, Anakmas Manggolo. Walaupun aku baru mengenalmu, aku telah mempunyai kesan engkau anak muda yang memiliki masa depan. Tinggallah di dukuh ini sampai seberapa lama, terserah kepada anakmas Manggolo suka," tawaran yang simpatik disampaikan Pak Lurah kepada Joko Manggolo.
"Matur nuwun. Terima kasih, Pak Lurah. Hamba sebenarnya harus meneruskan perjalanan hamba ini. Kalau pun harus tinggal di sini, mungkin juga tidak terlalu lama."
"Walaupun hanya sepekan, atau sewindu, atau cuma semalam, kami sudah sangat gembira. Tapi, ada yang lebih penting bagiku, Anakmas Manggolo, tolong ajar aku ilmu kanuragan itu, khususnya untuk tenaga dalamnya. Aku sangat tertarik dengan penguasaan ilmu kanuragan Anakmas Manggolo tadi. Aku akan tulis semua pelajaran yang anakmas Manggolo ajarkan, maksudku kalau anakmas Manggolo sudah tidak di sini lagi, aku bisa belajar terus sendirian dengan menggunakan catatan catatan pelajaran yang anakamas tuntunkan."
Joko Manggolo terdiam beberapa saat. Kepalanya menunduk dalam.Mungkin ia sedang menimbang-nimbang penawaran Pak Lurah yang simpatik ini
"Bagaimana, Anakmas Manggolo."
"Maaf, Pak Lurah. Mempelajari ilmu kanuragan itu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Perlu waktu banyak Perlu kesabaran. Ketekunan. Ketahanan mental. Tahan uji. Dan itu suatu perjalanan waktu yang panjang. Seperti keadaan hamba sekarang ini, sebenarnya belum memiliki apa-apa. Baru dasar-dasarnya. Hamba masih terus mengembangkan diri, merase belum sempurna dan ingin terus menambah ilmu."
"Aku mengerti anakmas. Itu tidak mengapa. Ajari aku sebisaku dan sebisanya Anakmas mengajariku. Asal saja aku kemudian mempunyai pegangan ilmu kanuragan ini. Aku akan sangat berterima kasih kepada anakmas."
"Kalau memang demikian, hamba sanggup, Pak Lurah."
Tanpa sadar Pak Lurah tiba-tiba meloncat kegirangan memeluk rapat tubuh joko Manggolo seperti tidak ingin dilepas kepergiannnya. Sejak saat itu, Joko Manggolo tinggal di rumah Pak Lurah. Pagi, sore, dan malam hari, diam-diam Pak Lurah terus diajari latihan ilmu kanuragan oleh Joko Manggolo. Pada suatu malam ketika Joko Manggolo sedang duduk duduk santai bersama Pak Lurah yang habis latihan ilmu kanuragan, mereka nampak sedang menikmati wedang jahe-dan gorengan ketela pohong yang disediakan oleh Bu Lurah. Mereka nampak ngobrol gayeng.
"Pak Lurah, kalau bapak bersedia, saya sebenarnya mempunyai setumpuk buku-buku peninggalan guru saya Warok Wirodigdo. Demi keamanan di perjalanan saya, takut dirampas orang atau hilang di jalan, dan juga untuk meningkatkan keilmuan Pak Lurah, buku itu saya titipkan kepada Pak Lurah saja. Bagaimana?."
"Ohhh, dengan senang hati Anakmas Manggolo. Aku bersedia menjaganya, merawatnya, dan sekaligus berusaha mempelajarinya tuntunan dalam buku itu, Anakmas Manggolo."
"Kalau demikian, buku ini saya serahkan Pak Lurah. Suatu saat kelak, saya akan datang lagi kemari untuk mengambil buku ini. Bukan karena apa, sebab buku ini merupakan buku kenangan peninggalan guru Warok Wirodigdo yang sangat berharga bagi hidup saya. Atas bantuan buku ini, saya telah menguasai ilmu yang dituntunkan dalam buku ini sejak hampir sepuluh tahun pengembaraan ini"
"Ohhh, begitu..." kata Pak Lurah sambil mengangguk anggukan kepalanya.
"Mudah-mudahan demikian juga terhadap diri Pak Lurah, dengan berpegang pada buku ini Pak Lurah akan dengan cepat menguasai semua pelajaran yang tertuang dalam isi buku ini begitu kelak kita bertemu lagi."
"Ya, tidak apa, Anakmas. Aku akan serahkan kembali kapan saja Anakmas menganggap perlu, buku ini harus diambil kembali oleh Anakmas,"
Kata Pak Lurah dengan muka jernih berseri-seri sebagai tanda kegirangan menerima penawaran yang sangat menarik dari pemuda Joko Manggolo ini .Setelah tinggal sekitar sebulan di kampung Dukuh ini, Joko Manggolo mengajari lmu kanuragan kepada Pak Lurah secara diam-diam, rupanya Pak Lurah merasa malu juga kalau sampai ia ketahuan orang-orang kampung ia sedang mempelajari ilmu kanuragan dari orang pendatang seperti Joko Manggolo ini.
Namun kemudian tiba saatnya Joko Manggolo harus berpamitan untuk meneruskan perjalanannya.
Keluarga Pak Lurah merasa kehilangan atas kepergian Joko Manggolo yang selama ini sudah dianggap seperti anggola keluarganya sendiri.
Joko Manggolo pergi menuju ke arah selatan berangkat pada pagi-pagi buta.
Bu Lurah menyediakan bekal yang lumayan banyaknya harus dibawa Joko Manggolo dalam kampluk besar.
Pak Lurah dan Bu Lurah dengan iba nampak mengantarkan kepergian Joko Manggolo di depan rumah kelurahan itu
"Hati-hati Anakmas di perjalanan,"
Pesan Pak Lurah
"Ya, Pak Lurah. Mohon diri sampai bertemu kembali"
"Ya, aku doakan selamat di perjalanan."
Nampak Joko Manggolo menyalami Pak Lurah dan Bu Lurah itu dengan takjim.
BERSAMBUNG.
*****
Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Bulu Merak Serial 7 Senjata Qi Zhong Wu Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar