Pencarian

Kekerasan Di Tengah Bulakan 1

Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan Bagian 1


******

Kekerasan Di Tengah Bulakan

Karya Sabdo Dido Anditoru

Jilid 7 Seri Ceritera Warok Ponorogo

Penerbit Pt Golden Terayon Press Jakarta 1996

Gambar ilustrasi : Syamsudin

******

Buku Koleksi : Gunawan AJ

Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo

Team Kolektor E-Book

*****



GUBUG PENJUAL DAWET.

SUARA seruling bambu itu terus mengalun dengan nyaringnya yang ditiup oleh seorang bocah bercelana pendek hitam dengan telanjang dada.

Kepalanya yang gundul pacul itu dengan potongan rambut kauncung semua rambut di kepalanya dicukur habis disisakan rambutnya diujung jidat, tertutup topi capil terbuat dari bahan bambu kering untuk melindungi diri dari panas terik matahari yang menyengat siang hari ini.

Bocah cilik itu kelihatan sedang asyik melantunkan tembang yang ikut memberikan suasana nyaman bagi para petani yang sedang menunai padi di hamparan sawah ladang yang nampak telah menguning itu.

Angin yang berhembus ringan ikut menggoyangkan padi-padi yang telah siap dipanen itu, seperti layaknya menari riang ikut menyambut kegembiraan para petani atas datangnya rezeki musim panen tahun ini.

Burung burung gelatik yang berbulu abu-abu dan bermoncong kemerahan delima itu nampak beterbangan gembira kian kemari menyambut datangnya musim panen tahun ini yang dianggap lebih barhasil dari tahun-tahun sebelumnya.

Biasanya suasana ini sering diikuti oleh kegiatan para perempuan kampung yang ramai menumbuk padi dengan lesung-lesung di dukuh-dukuh perkampungan, dekat ladang persawahan itu.

Mereka bekerja sambil bercanda ria, para perawan kampung itu biasa tertawa cekikikan membicarakan teman-teman lainnya, membicarakan pemuda yang sedang ditaksirnya, atau mengomongkan orang lain.

Tak urung juga sering keluar celotehan cabul untuk saling menghibur.

Ceritera-ceritera guyonan sebagai bumbu canda ria mereka.

Pendek kata, dalam suasana demikian ini para perempuan itu tidak habis-habisnya untuk berbicara sesama teman kerjanya itu sambil bersenda-gurau tertawa lepas cekikikan .Mereka sepertinya tidak pernah mengenal berhenti bicara, tidak pernah kehabisan bahan ceritera.

Ada saja yang dibicarakan.

Seharian mereka bisa berceloteh membicarakan segala rupa, tetek bengek kehidupan ini, baik waktu kerja maupun istirahat makan minum.

Mereka nampak guyub, dan akrab sesamanya.

Perjalanan Joko Manggolo, telah beberapa bulan ini meninggalkan Dukuh Pupus Aren, kini telah sampai di dekat Dukuh Ngudisani, yang terletak ke arah selatan dari Dukuh Pupus Aren.

Panas yang mulai menyengat itu membuat tenggorokan Joko Manggolo menjadikan haus dibuatnya.

Di pinggir jalan di tengah-tengah pematang persawahan itu terlihat ada sebuah gubug bambu yang nampak banyak dikerumuni orang.

Joko Manggolo mendekati kerumunan orang itu yang ternyata sedang ramai membeli dawet cendol dengan gempol beras putih yang bercampur gula aren nampak telah membantu melepaskan dahaga kehausan bagi orang-orang petani atau pedagang keliling yang sedang melewati daerah bulakan yang panas di siang hari ini.

Joko Manggolo kemudian ikut bergabung bersama para pembeli lainnya yang duduk berderet di atas papan dingklik kayu yang disediakan oleh penjual dawet itu.

Seorang perempuan muda berparas ayu yang nampak luwes melayani para pembeli di situ, berkebaya coklat tua kehitam-hitaman dan bibirnya diolesi gincu warna merah cerah agak berlebihan nampak semringah menerima para tamu-tamunya itu yang kebanyakan kaum pekerja sawah.

Senyumnya terus meluncur untuk membagi keramahan kepada para langganan minuman dawet jajaannya.

Para pembelinya kebanyakan para kaum laki-laki yang tubuhnya terlihat kering kerontang susuk iganya menggores keluar menembus kulitnya yang hitam kelam yang menandakan para laki-laki itu kebanyakan adalah para buruh tani yang biasa bekerja keras di persawahan di daerah itu.

"Mau beli dawetnya, Mbakyu,"

Kata Joko Manggolo karena merasa belum dilayani sejak tadi sementara banyak pembeli lain yang datang belakangan lebih didahulukan daripadanya.

Perempuan muda penjual dawet itu nampaknya lebih memberi perhatian kepada orang yang baru datang lebih belakangan daripada Joko Manggolo.

Lantaran mereka itu sudah dikenal lama sebelumnya sebagai langganan tetap.

Sedangkan Joko Manggolo sebagai pendatang baru, dianggap sebagai orang asing di pedukuhan ini, sehingga rupanya tidak perlu begitu diperhatikan.

"Mau beli dawetnya. Mbakyu,' sekali lagi Joko Manggolo meminta untuk dilayani, tetapi tetap saja diacuhkan oleh perempuan kenes itu.

"Sabar. Tunggu dulu tho Kangmas. Jangan khawatir tidak kebagian,"

Jawab perempuan itu mencibirkan bibir tipisnya itu sambil matanya mengerling menggoda ke arah Joko Manggolo yang terus terdiam saja sejak tadi menunggu antrean dilayani dengan sabar.

"Khok, saya sejak tadi tidak dilayani, Mbakyu"

Tanya Joko Manggolo lagi ketika dilihatnya orang-orang yang baru datang pun malahan mendapatkan pelayanan lebih didahulukan.

"Makan saja dulu makanan yang tersedia. Nanti belakangan minum dawetnya.Kan bisa menyusul" kata perempuan itu lagi sambil senyum-senyum.

Entah apa arti senyum-senyumnya itu.

Sepertinya perempuan itu sengaja memperlakukan Joko Manggolo agar ia mendongkol kepadanya .Barangkali ingin mempermainkan lali-laki asing itu sebagai hiburan semata.

Dalam hati kecil Joko Manggolo mulai merasa kesal juga melihat sikap penjual dawet yang nampak pilih kasih ini.

"Panas-panas begini, ditambah haus dahaga seperti ini, maunya minum yang banyak tetapi malehan disuruh makan ketela rebus, ubi, pisang godog, dan singkong goreng yang semuanya malahan menambah bikin haus saja," pikir Joko Manggolo dalam hati, tetapi ia tidak berani mengatakannya terus terang dihadapan perempuan muda itu.
"Lho, sampeyan mau pergi ke mana tho, Pak,"

Tanya perempuan penjual dawet itu melihat ada salah seorang dari pembelinya yang telah menghabiskan dua mangkok minuman dawetnya tiba-tiba berdiri berlalu mau meninggalkan warung gubug dawet itu tanpa ada tanda tanda mau membayar terlebih dahulu.

"Aku mau meneruskan perjalanan, Nduk" kata laki-laki yang bertubuh hitam legam itu kalem sambil tak acuh saja mengangkat sebungkus karung yang diikat dengan tali rami siap meninggalkan warung dawet ini

"Bayar dulu, Pak.
Baru boleh pergi"

Hardik perempuan muda penjual dawet itu dengan ketus.

"Aku tidak bawa duit, Nduk. Ngutang dulu.Nanti aku bayar lain hari saja.

"Ach, enggak bisa.
Kapan kemarinya lagi.Sampeyan kan orang jauh, kapan mau bayar lagi kemari" kata perempuan pemilik warung dawet itu sambil berdiri bertolak pinggang.

"Masak tidak percaya sama aku, Nduk.
Namaku Tarno Jinggo pedagang burung di pasar Sumoroto wetan sana. Aku lagi apes tidak punya uang.Hari ini aku sedang bernasib sial, tidak dapat tangkapan burung.
Kapan-kapan saja kalau aku banyak tangkapan burung aku akan bayar utangku. Sebar saja ya, Ndukk"

"Tidak bisa, Pak Harus bayar sekarang juga.Tidak boleh ngutang"

"Ehhh, dibilang lagi tidak ada duit kok tetap ngeyel saja kamu ini.Sudah cantik-cantik begitu, kalau mukanya bersungut-sungut begitu jadi hilang cantiknya yang tinggal berengutnya jadi bikin jelek kayak hantu..ha.ha..ha.."

kata laki-laki berkulit hitam legam itu sambil tertawa cekakakan tetap saja jalan ngeloyor keluar meninggalkan warung itu merasa tidak bersalah,

"Sudah lain kali saja aku pasti bayar.Layani pembeli lain yang sudah pada ngantre itu kasihan pada kehausan."

"Masa bodoh. Hayo bayar tidak," tiba-tiba perempuan penjual dawet itu meloncat dari dalam gubug dengan secepat kilat ia telah berada di luar gubug itu berusaha menangkap laki-laki yang sudah beranjak meninggalkan gubug bambu itu. Tanpa banyak kata lagi perempuan muda itu menerjang ke arah laki-laki itu dan membekuk tangannya dipuntir ke belakang.

Melihat adegan ini, Joko Manggolo hanya tersenyum senyum senang. Mel?hat kegesitan gerak perempuan muda itu, sudah terbaca "perempuan muda ini memiliki pegangan ilmu kanuragan yang lumayan pikir Joko Manggolo dalam hati.Rupanya laki-laki berkulit hitam legam itu tidak mudah begitu saja menyerah dipecundangi perempuan muda yang telah memperlakukan dirinya dengan kasar itu Dengan sigap pula ia mampu melakukan gerakan untuk mengandorkan jurus kuncian dengan daya kekuatan cengkeraman pada lengannya yang dilakukan oleh perempuan muda itu, dan dengan cepat pula ia berhasil melepaskan diri dari bekukan tangan perempuan muda itu. Laki-laki itu segera berusaha kabur menjauhi warung gubug bambu itu, meloncat-loncat dengan cekatan

"Nduk, Nduk Cah Ayu, jangan coba-coba unjuk gigi di dihadapanku. Kamu kira aku siapa, Mau main-main pakai jurus ngambeng begini. Apamu yang akan kamu pamerkan, Nduk. Perempuan owes. Belajar dulu sama guru kamu yang benar, baru kamu boleh bikin gara-gara sama aku,"

Ledek laki-laki itu menyepelekan permainan jurus kuncian yang baru saja diperagakan perempuan muda itu ternyata dengan mudah dapat diatasi oleh laki-laki kekar berkulit hitam legam itu.

"Bajingan Kamu-ternyata laki-laki yang benar-benar tidak tahu diri. Sudah tidak bayar malahan meledek aku," nampaknya perempuan muda itu bangkit amarahnya. Ia segera melayangkan tendangan-tendangan lurusnya ke depan mengarah kepada posisi dada, leher, muka laki laki kekar berkulit hitam legam itu. Hampir saja muka laki-laki itu terkena sambaran tendangan keras perempuan muda yang penuh tenaga itu.

Akan tetapi, ternyata, memang laki-laki itu juga bukan orang sembarangan. Ia rupanya menguasai ilmu kanuragan yang tangguh pula. Beberapa kali melakukan gerakan hindaran dari serangan yang terus beruntun dari perempuan muda itu dengan menunjukkan kekayaan variasi geraknya yang sering tidak terduga dan sulit diperkirakan bagi perempuan muda yang nampak masih belum banyak pengalaman bertarung itu. Orang-orang yang berkerumun di warung dawet itu tidak ada yang berani melerainya. Mereka malahan hanya menjadi penonton. Seperti layaknya melihat keasyikan sesuatu tontonan yang menarik.

Kain perempuan muda itu sudah menyingkap ke atas, demikian juga beberapa kali celana dalamnya terlihat jelas, karena banyak memainkan jurus tendangan sehingga beberapa kali mata para laki-laki di situ terperangah melihat paha kuning langsat perempuan muda penjual dawet itu seperti terbang melayang-melayang di udara terbuka. Mereka nampaknya malahan berharap pertunjukan gratis pertarungan adu ilmu kanuragan di siang hari bolong ini dapat berlangsung lama, sehingga mereka dapat terhibur lebih lama lagi menyaksikan kemolekan gerakan-gerakan lekukan tubuh perempuan muda penjual dawet itu. Nampaknya perempuan muda itu sudah semakin ganas ini sudah tidak lagi menghiraukan pandangan mata para laki-laki yang melotot memandang tajam ke arahnya. Amarahnya telah memuncak sehingga mengerahkan segala daya dan upaya ingin segera menundukan laki-laki kurang ajar yang menganggap enteng dirinya itu. Pertarungan makin seru, rupanya perbendaharaan jurus jurus perempuan muda itu juga cukup banyak, sehingga ia dengan mudah mengembangkan gerakannya yang bervariasi yang membingungkan, membuat posisi laki laki pedagang burung itu makin terdesak. Gerakan sambaran yang cekatan dan cepat telah ditunjukkan perempuan muda itu bagaikan sambaran burung sriti yang mengejar mangsanya. Beberapa kali laki-laki itu terkena tendangan menyamping yang dilancarkan perempuan muda itu sulit dihindari atau tidak terjangkau oleh gerak tangkisan laki-laki itu. Nampak laki-laki itu makin terdesak mundur. Mukanya yang hitam kelam itu sudah terguyur keringat dengan debu-debu yang berhamburan menempel pada mukanya yang berkeringat deras itu.

Tidak disangka-sangka, tiba-tiba laki-laki itu masih mampu melakukan gerakan pertahanan dengan mengandalkan pada kekukuhan kedudukan kuda-kudanya. Dengan tenaga yang terkuras, ia rupanya masih melakukan gerakan menyamping dan melemparkan tendangan sadukan gejohan yang sangat berbahaya bagi orang yang terkena jurus yang dilambari dengan kekuatan penuh itu. Dan nampaknya perempuan muda itu belum berpengalaman menghadapi datangnya jurus aneh yang banyak dimiliki oleh kalangan yang sudah senior di dunia pergulatan imu kanuragan di daerah Ponorogo ini. Tiba-tiba,

Brakddk!

suara luar biasa kerasnya. Dua kekuatan beradu keras. Laki-laki berkulit hitam kelam itu tidak disangka terpental jatuh berguling-guling beberapa langkah ke belakang, dan perempuan itu meloncat ke samping menjauh dari datangnya benturan kedua kekuatan dahsyat itu, sehingga perempuan itu tidak terkena cidera apa pun. Rupanya suara benturan itu datangnya dari beradunya dua kekuatan antara kaki kanan laki-laki berkulit hitam kelam itu dengan kaki kanan Joko Manggolo yang meloncat menahan serangan kaki laki-laki itu yang hampir mencelakan perempuan molek itu apabila tidak ditahan oleh kekuatan dahsyat Joko Manggolo yang begitu cepat bergerak membenturkan kakinya menyongsong serangan laki-laki berkulit hitam kelam itu.

Joko Manggolo pun ikut jatuh terpental beberapa langkah ke belakang namun ia segera dapat menguasai diri, membangun kembali kedudukan kuda-kudanya, melakukan gerak pasang sehingga ia tetap bisa berdiri walaupun ia nampak menahan sakit pula. Rasa nyeri di kaki kanannya agak mengganggu posisi berdirinya.

"Hae. Bedebah, orang asing, Mengapa kamu ikut campur urusan orang. Dasar anak kemarin sore," teriak laki-laki itu menyumpahi Joko Mangggolo, sambil ia nampak menyeringai menahan sakit pada pergelangan kaki kanannya.

Perempuan muda penjual dawet itu mendekati Joko Manggolo nampak bergerak lincah. Joko Manggolo sudah mengira, perempuan muda itu pasti akan memarahinya, ia pasti tersinggung Joko Manggolo ikut campur menolongnya. Harga diri perempuan muda itu akan merasa disepelekan oleh pertolongan Joko Manggolo. Oleh karena itu, Joko Manggolo sudah bersiap, pasti perempuan muda itu akan berhadapan dengannya. Dalam keadaan sedang berpikir itu, Joko Manggolo kebingungan harus bersikap bagaimana. Melayani perkelahian atau menghindar. Namun kemudian yang terjadi malahan sebaliknya.

"Kangmas. Terima kasih Iho, Kangmas atas pertolongannya," kata perempuan muda penjual dawet itu sambil nafasnya masih terengah-engah nampak tenaganya telah terkuras. Ia rupanya menyadari kalau tingkatan ilmu kanuragan yang dimilikinya belum sebanding dengan laki-laki berkulit hitam legam itu.

Tanpa ada pertolongan joko Manggolo itu, apa jadi dirinya. Mungkin sudah terenggut nyawanya, sebeab laki-laki berkulit hitam legam itu rupanya sudah melepaskan jurus pamungkas andalannya yang dapat mematikan bagi lawan yang tidak mampu mengimbanginya.

"Kalau tidak ada anak laki-laki ini. Kamu sudah mampus, Nduk. Perempuan awes,"

Kata laki-laki itu nampaknya tenaganya pun telah ikut terkuras pula.

Mau bangkit menantang Joko Manggolo yang kelihatan kondisi fisiknya masih segar bugar dengan sikap yang teguh berdiri di atas kedua kaki yang kokoh itu, laki-laki itu terpaksa berhitung pula.

Bisa-bisa ia yang akan menjadi korban oleh laki-laki muda yang nampak perkasa itu.

Akhirnya ia hanya menggerakan kakinya pelan-pelan berusaha meninggalkan tempat itu menjauh dari kerumunan orang-orang yang nampak mulai menyalahkan dia, lantaran gara-gara dia tidak mau bayar minuman dawet hampir saja membawa korban perempuan muda yang menjadi langganan minum dawet bagi para buruh tani yang sedang panen di sawah sekitar itu.

Akhirnya dengan berjalan tertatih-tatih perempuan muda itu kembali memasuki warung gubug bambunya itu dan duduk kembali dengan tenang di tempat jualan dawetnya semula.

"Maafkan saya lho, Kangmas. Sejak tadi saya belum melayani, Kakangmas," kata perempuan muda itu walaupun masih kelihatan kesakitan berusaha memberi senyuman kepada joko Manggolo, dan dengan bersusah payah sambil menahan nyeri luka di tangannya ia mengambilkan cangkir, menuangkan dawet itu dan disodorkan khusus kepada Joko Manggolo yang sedari tadi terus menunggu layanan itu.

Ia merasa malu dan bersalah kepada Joko Manggolo yang semula dianggap enteng. Lantaran jasa Joko Manggolo yang baru saja menolong perermpuan muda itu dari kemungkinan benturan dahsyat yang dilakukan laki-laki pedagang burung itu maka sekarang kelihatan sekali joko Manggolo diistimewakan oleh perempuan muda itu dengan senyum manisnya yang harus mengembang ke arah Joko Manggolo yang pendiam itu.

"Kangmas, asalnya dari mana,"

Tanya perempuan muda itu.

Dan semua pembeli itu hanya terdiam sambil memandangi wajah Joko Manggolo yang dinilai memiliki ilmu kanuragan tinggi dari gerakan cepatnya tadi menahan serangan laki-laki berkulit hitam kelam yang telah mengeluarkan jurus pamungkasnya itu tadi.

"Saya dari Dukuh Mranti, Mbakyu."

"Dukuh Mranti. Dekat sini, tho. Sudah sering kemari ?"

Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum pernah. Baru kali ini."

"Lho kan dekat. Setengah hari perjalanan dengan mengendarai kuda dari sini."

"Saya berjalan kaki "

"Berjalan kaki ?"

"Ya."

"Wah. Pantas jadi jauh. Tetapi kan sudah sering kemari."

"Baru kali ini."

"Masak ?.

"Saya memang jarang keluar rumah."

"Ohhh. Rupanya masih perjaka pingitan, yah."

"Yah. Mungkin begitulah,"

Kata Joko Manggolo sambil menelan singkong rebus yang tersaji di meja itu.

"Siapa nama, Kangmas."

"Manggolo."

"Nama yang bagus."

Kata perempuan itu sambil tersenyum manja.

"Kalau Mbakyu sendiri, siapa namanya."

"Nama saya, Sriti Mentari."

"Nama yang indah. Pantas tadi gerakannya lincah seperti sambaran burung Sriti saja."

"Achhh, Kangmas Manggolo. Ada-ada saja. Mau menyindir yah. Saya kan baru belajar ilmu kanuragan tho, Kangmas. Jadi masih kurang pengalaman. Hitung hitung tadi untuk praktek saja," kata Sriti Mentari sambil senyum-senyum di kulum.

Mungkin merasa malu ilmunya masih rendah dibandingkan dengan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Joko Manggolo yang tadi telah terbukti mampu menolong dirinya itu. Orang-orang yang sedang makan minum di warung dawet itu hanya kelihatan tersenyum-senyum mendengarkan pembicaraan kedua anak muda yang sedang berbasabasi melakukan penjajagan perkenalan diri itu.

"Mbakyu Sriti. Apa boleh, Manggolo bantu-bantu kerja di sini. Sejak tadi kelihatannya Mbakyu Sriti kerja sendiri"

"Mau bantu apa, Kangmas Manggolo. Semua pekerjaan kasar. Biasanya adik laki-laki saya suka bantu di sini, tetapi sekarang ia sedang angon ternak di sawah sebelah sana. Jadi saya harus kerja sendiri."

"Kalau demikian, biar aku saja yang bantu cuci-cuci, dan memasak di sini."

"Achh. Nanti saya tidak kuat bayar."

"Tidak usah dibayar tidak apa-apa, asal dikasih minum saja."

"Terserahlah kalau demikian"

Sehabis makan minum di gubug bambu warung dawet itu, Joko Manggolo bukannya terus langsung pergi meneruskan perjalanannya, akan tetapi malahan sampai sore hari ia tetap saja di situ sambil bantu-bantu mencuci mangkok-mangkok terbuat dari lempung, tanah liat itu .Bahkan ia ikut goreng-goreng makanan kecil, dan setelah warung itu tutup pada senja hari, joko Manggolo ikut pula mengangkat barang-barang warung dawet itu ke rumah orang tua Sriti Mantari di kampungnya, Dukuh Purut yang jaraknya tidak jauh dari tempat jualan dawet di bulakan itu.

*****

MALAMNYA, Joko Manggolo diperkenankan bermalam di rumah orang tua Sriti Mentari itu .Ternyata, Sriti Mentari hanya hidup bertiga bersama ibunya yang sudah menjanda. walaupun masih kelihatan berumur muda, bernama Nyai Supi. Satu lagi penghuni rumah bambu ini, seorang anak laki-laki bocah berpotongan rambut kuncung, berkepala gundul dengan sisa rambut di jidat yang tadi siang dijumpai Joko Manggolo bermain seruling di pematang sawah yang dilewati ketika panas terik matahari di siang hari bolong

"Kangmas Manggolo, perkenalkan ini ibu saya, dikampung sini dikenal bernama Nyai Sup, dan ini adik saya namanya Trimo Kuncung. Sebenarnya bernama Sutrimo, tetap? karena potongan rambutnya suka dikuncung maka di sini dipanggil Trimo Kuncung"saya kata Sriti Mentari memperkenalkan keluarganya dengan ramah penuh senyum kebahagiaan malam in, diiringi senyum Joko Manggolo yang ikut geli mendengarkan uraian perkenalan Sriti Mentari yang seloroh polos itu.

"Ya. Tadi siang saya telah mengenal Dimas Trimo ini di Sawah bermain meniup seruling, ya,"

Kata Joko Manggolo sambil menyalami Nyai Supi ibunya Sriti Mentari dan juga bocah laki-laki yang telah dikenalnya itu.

"Memang dia seharian di sawah. Kerjanya angon, mengembala kambing sama lembu,"

Kata Sriti Mentari sambil tersenyum lebar kepada joko Manggolo yang nampak penuh perhatian terhadap anak-anak bocah itu.

"Ohhh, bagus sekali.Waktu saya berumur segede Dimas Trimo ini, kegemaranku juga angon kambing di sawah."

kata Joko Manggolo dengan penuh senvum simpatik.

"Sriti, tamunya diajak makan dulu sana, itu di meja sudah aku siapkan sejak tadi,"

Kata Nyai Supi yang terus sejak tadi sibuk berbenah, mencuci, membuat adonan masakan, dan apa saja yang rupanya untuk persiapan dagangan dawet Sriti Mentari esuk harinya.

Tidak berapa lama nampak mereka sedang menghadap meja makan rame-rame, sebakul nasi, lauk daun-daunan secobek sambal tomat, dan gorengan ikan mujair.

Namnpak merupakan makanan sangat sederhana.

Keluarga ini dilihat dari tata lahirnya, memang tergolong keluarga yang amat sederhana, atau katakanlah tergolong miskin di kampung ini.

Nafkah hidupnya diperoleh dari penghasilan berjualan dawet tiap siang yang sering pindah pindah tempat mengikuti kegiatan orang yang lagi panen atau tanam padi.

"Pantas tadi siang kalau ada orang yang tidak mau bayar minum dawetnya, Sriti Mentari lekas naik pitam bahkan berari bertaruh nyawa bersabung dengan laki-laki yang tidak bisa mengendalikan diri itu, lantaran memang penghasilan yang kecil itu yang harus diburu untuk menghidupi keluarga ini," pikir Joko Manggolo dalam hati.

"Buk, Kangmas Manggolo ini tadi siang yang telah menolong Sriti dari gangguan laki-laki yang ingin memperdaya Sriti. Lantaran dia tidak mau bayar, Sriti mencoba menghajarnya. Eeceehhh tahunya laki-laki setengah baya itu ilmu kanuragannya tangguh juga. Sriti hampir saja binasa di tangannya kalau tidak ada Kangmas Manggolo. Untung saja Kangmas Manggolo ini turun tangan menolongnya,"

Ceritera Sriti Mentari di depan bunya dan adik laki-lakinya ketika bersama Joko Manggolo bersantap malam bersama di amben tengah rumah gubuk kecil itu.

"Ya.
Hati-hati kamu Sriti.Kamu suka sembrono.Kurang waspada, dan tidak pernah lihat-lihat orang, apakah orang itu kelihatan punya ilmu kanuragan atau tidak .Kalau mau berurusan sama orang lihat-lihat dulu orangnya.Berbahaya atau tidak.Jangan asal hantam kromo saja, nanti bisa terbalik mencelakakan kamu.Kalau menemukan orang yang berangasan, kamu yang kena getahnya nanti,"

Nasehat ibunya yang nampak mengkhawatirkan putri tunggalnya yang masih berdarah muda itu.

"Ya, Buk. Sriti akan lebih berhati-hati."

"Silakan ambil lagi, Kangmas.
Maaf apa adanya.
Hanya ini yang ada," kata Sriti Mentari menyilakan sambil matanya mengerling ke arah Joko Manggolo yang hanya bisa tersipu-sipu.

"Achhh, saya yang seharusnya berterima kasih kepada keluarga ini, Mbakyu, saya bukannya yang justeru membuat repot di sini"

"Ach, tidak, Kangmas.Kami senang kok atas kesediaan Kangmas Manggolo mau mampir ke gubug buruk kami ini"

Joko Manggolo hanya tersenyum tersipu-sipu kepalanya mengangguk-angguk, sambil tangannya terus menyantap makanan yang tersaji itu dengan lahapnya, ia memang dalam keadaan yang memang lapar berat. Setelah mereka ngobrol panjang lebar, hampir tengah malam mereka kemudian pergi tidur.

Ternyata rumah kecil bambu reyot itu, tidak ada kamar tidurnya.

Semua kegiatan jadi satu dalam satu ruangan di rumah itu. Makan, minum, menerima tamu, dan tempat tidur jadi satu di situ.

Hanya sumur, kakus dan blandongan tempat mandi yang diluar, berada di tengah kebun sebagai pelindung.

Joko Manggolo tidur berdekatan dengan Trimo Kuncung di sebelah sananya Sriti Mentari, dan paling pinggir ibunya.

Mereka semua jadi satu di atas tempat tidur amben besar itu.

Tengah malam, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar Joko Manggolo yang baru tersirap tertidur, segera bangkit dari tempat tidurnya.

Demikian juga Sriti Mentari dan ibunya, kaget, segera bangkit berdiri seperti dibangunkan ketika suara riuh itu makin mendekati rumahnya.

Hanya Trimo, si bocah itu nampak tertidur pulas tidak terganggu oleh suara yang makin keras mendekat itu .Suara itu seperti menyerupai banyak orang beramai ramai mendatangi rumah bambu reyot itu.

"Ada apa ya, Mbakyu Sriti," tanya Joko Manggolo.

Sriti Mentari yang ditanya pun hanya menggelengkan kepala, tanda ia sendiri tidak tahu-menahu. Nyai Supi, Ibunya Sriti yang segera mengambil prakarsa mengintip dari lubang dinding rumah gubug gedeg itu.

"Seperti banyak laki-laki membawa obor, berdatangan ke rumah kita, Sri,"

Kata Nyai Supi nampak cemas

"Hayooo, buka pintu. Cepatttt,"

Teriak suara laki-laki di luar diikuti oleh yang lainnya lagi berteriak-teriak.

Nampak mereka mengepung rumah gubug bambu kecil ini dari segala penjuru.

Dar? arah depan, belakang.

Dari samping kiri, dan kanan, dan terbanyak dari arah depan rumah. Sriti Mentar?, segera berganti pakaian laganya, celana hitam dan baju hitam petadon, tiba-tiba dengan cekatan meloncat dan sambil menyambar senjata tajam andalannya, sebilah motek, langsung ia menuju ke depan pintu, lalu membuka daun pintu itu, ia berdiri tegak di tengah-tengah pintu masuk itu.

"Ada apa, bapak-bapak Malam begini membuat kegaduhan di rumahku," kata Sriti Mentari nampak dengan sikap tegarnya.

"Kami semua yang datang ini akan menangkap laki-laki yang sembunyi di dalam rumah ini," teriak seorang pemuda di tengah kerumunan orang-orang itu.

"Laki-laki itu, tamu keluarga kami. Apa salahnya dia, sampai bapak-bapak ingin menangkapnya,"

Kata Sriti Mentari mantab sambil berdiri tegak di tengah pintu yang daun pintunya telah terbuka lebar itu.

"Bukankah kamu menyembunyikan laki-laki yang bukan suami kamu di dalam rumah. Itu perbuatan terkutuk.Cabul.
Tahu tidak kamu.
Itu melanggar adat kesopanan Dukuh kita ini," kata seorang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu maju mendekati Sriti Mentari yang berdiri tegar di depan daun pintu rumahnya itu.

"Sekali lagi aku katakan.
Dia itu tamuku.
Aku harus menghormatinya.
Hari sudah malam, wajar kami menawari untuk bermalam di rumah kami.
Apa salahnya.
Lagipula, apa mungkin kami akan berbuat cabul di rumahku yang kecil ini.Tinggal bersama ibuku dan adik laki-lakiku dalam satu kamar begini ini,"

Jawab Sriti Mentari tegas.

"Dia itu laki-laki. Dan kamu perempuan. Apa pantas tidur serumah,"

Bentak seorang laki-laki muda itu dengan mata terbelalak.

"Sudah aku katakan.Dengar tidak kataku tadi.Kami ini tidur serumah berempat, ada adikku laki-laki dan ibuku.
Aku tidak tidur sekamar dengan tamuku itu.
Jangan kalian menuduh yang bukan-bukan.Rumahku tidak ada kamar tidurnya.Lihat sendiri ke dalam. Tuduhan kamu tidak masuk akal."

"Sriti.
Ingat kamu.
Ibumu itu janda, sudah lama ditinggal mati bapakmu.
Ia masih muda dan masih doyan lakilaki.
Apalagi kamu masih perawan kencur.
Masuk akal kalian mendatangkan laki-laki untuk tidur bersama.
Bukankan begitu teman-teman..."

Belum habis kata-kata Darso Gemblung, nama laki-laki muda yang rupanya sebagai penggerak warga Dukuh Purut ini yang malam malam ini mau bikin onar di halaman rumah Sriti Mentari itu, tiba-tiba Sriti Mentari membentak dengan lantang untuk menghentikan ucapan-ucapan laki-laki itu
Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Berhenti bicara kamu, Darso. Rupanya kamu biang keladinya semua ini,"

Bentak Sriti Mentari kepada lakilaki muda tegap yang belum habis bicara itu.

"Aku belum selesai bicara, Sriti"

"Darso, aku tahu semua isi otak jahatmu itu.Sebulan yang lalu kamu merengek-rengek dihadapanku.Minta belas kasihan.Mengemis cinta.Minta aku menjadi isterimu.Kekasihmu.Atau segala rupa ucapan rayuan gombalmu itu.Aku tidak sudi.
Aku tampik, lamaranmu itu.Aku tolak ajakan jahatmu bermain cinta.
Lalu kamu mengancam aku macam-macam.Mau membikin celaka segala rupa.
Ohhhh, kini aku tahu. Kamu yang mempengaruhi bapak-bapak ini semua untuk membalas dendammu itu, ya."

Darso Gemblung mukanya nampak menjadi pucat dikeremangan sinar obor yang dibawa orang-orang itu.

Dan semua yang hadir kemudian saling berpandangan.

Mereka seperti disadarkan, apa sebenarnya tujuan mereka semua malam-malam begini menggedor rumah janda muda ini untuk menuduh keluarga janda ini berbuat tidak senonoh.

Padahal mereka kebanyakan hanya ikut ikutan, karena berbawa arus saja oleh datangnya rombongan yang dibawa Darso Gemblung sebelumnya.

"Hayooo, sekarang kamu ngomong Darso. Apa benar yang menghasut bapak-bapak ini agar mau datang kemari lantaran mau mengikuti akal bulus kamu yang lic?k .Membalas dendam sama aku. Hayoo, bersikaplah jantan sebagai laki-laki. Kamu, Darso tengik. Apa tujuan kamu datang kemari. Mau mengusik aku, bukan. Karena sakit hati sama aku,"

Teriak Sriti Mentari kembali lantang.

"Diam kamu Sriti. Jangan banyak membual," tiba-tiba keluar bentakan Darso Gemblung itu nampak emosional

"Ma...ma.maaf, bapak-bapak. Jangan dengarkan omongan si Sriti gila ini. Ia itu berbohong. Mari kita tangkap lakilaki di dalam rumah itu sebagai bahan bukti perbuatan cabul mereka. Itu yang menjadi tujuan kita datang kemari, bapak-bapak" kata Darso Gemblung tergagap, sambil ia melangkah ke depan dengan tujuan memasuki rumah itu untuk menangkap Joko Manggolo di dalam rumah. Maksudnya ia berusaha mempengaruhi agar bapak-bapak yang lain mau menggrebek rumah ini, mau mengikuti jejaknya. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mau mengikuti langkah Darso. Bahkan mereka surut beberapa langkah mundur ke belakang, sepertinya mereka ingin menghindar dari pandangan Sriti Mentari. Mereka takut dikenali, diketahui oleh Sriti Mentari kalau mereka ikut-ikutan jejak Darso Gemblung, mereka akan ikut malu nantinya kepada Sriti Mentari yang juga dikenal sebagai pendekar muda perempuan satu satunya di Dukuh Purut ini .

Tanpa diperkirakan sebelumnya oleh Darso Gemblung yang benar-benar nekat ingin memasuki rumah itu untuk menangkap laki-laki di dalam rumah itu, namun sebelum niatnya itu kesampaian, tiba-tiba Sriti Mentari dengan cekatan telah bergerak lincah seperti melayang di udara beberapa kaki di atas tanah. Kakinya bergerak cepat menjatuhkan diri menerjang ke arah dada Darso Gemblung yang kurang siap menghadapi serangan Sriti Mentari yang tidak diduga sebelumnya itu.

Blukkk, brakkkk.
Suara benturan tendangan kaki kanan Sriti Mentari menghujan kembali mengenai pelipis Darso Gemblung yang hampir jatuh sempoyongan terhempas ke belakang. Untung saja, Darso Gemblung ternyata juga memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang lumayan, sehingga ia bisa segera menjaga keseimbangan tubuhnya, tidak jadi jatuh tersungkur.

Rupanya Darso Gemblung juga termasuk orang nekad. Ia tidak ingin dipermalukan oleh perempuan bau kencur ini di depan orang-orang kampung itu, maka ia kemudian melancarkan serangan balik menguber posisi gerak Sriti Mentari yang terus melingkar-lingkar ,menghindari serangan balik Darso Gemblung yang nampak trengginas sangat berbahaya itu. Seketika itu, halaman rumah yang masih becek habis terguyur hujan gerimis tadi sore itu menjadi arena sabung antara Darso Gemblung dan Sriti Mentari. Orang-orang kampung Dukuh Purut itu pun menjadi kebingungan, mau berbuat apa. Mau membela Darso Gemblung karena tadi mereka datang bersama-sama dia. Atau, apakah harus membantu Sriti Mentari, siapa tahu, ucapan Sriti Mentari tadi benar. Ada udang di balik batu, atas niat busuk Darso Gemblung mendatangkan orang-orang kampung untuk bikin gara-gara sebagai balas dendamnya terhadap Sriti Mentari.

Mereka sama berbisik-bisik, harus berbuat apa. Sementara itu, pertarungan Sriti Mentari dengan Darso Gemblung itu makin seru. Sriti Mentari telah mengerahkan jurus-jurus andalannya untuk mematahkan serangan Darso Gemblung yang terus menyerang bertubi-tubi tidak mengenal ampun itu.

Demikian juga Darso Gemblung nampaknya juga makin tidak sabar untuk segera menghabisi Sriti Mentari yang dianggap perempuan sombong itu, sehingga ia harus mengerahkan segala daya upayanya habis-habisan. Tidak berapa lama, Sriti Mentari nampak sudah mencabut senjata tajamnya motek yang terlihat pantulan cahayanya kesana kemari. Demikian juga rupanya Darso Gemblung juga telah mengeluarkan senjata sejenis yang digunakan Sriti Mentari. Kalau sudah demikian, ini benar-benar merupakan pertarungan ganas yang penuh pertaruhan jiwa dan raga. Bersabung nyawa. Keduanya sudah kalap, masing-masing berusaha keras untuk menghabisi nyawa lawannya. Ditengah pertarungan sengit itu diam-diam Joko Manggolo menyelinap keluar rumah dan berbaur dengan orang orang kampung lainnya yang berdiri tegang mengelilingi arena pertarungan itu.
Tangan kanan dan kiri Joko Manggolo dengan cepat bereaksi. Beberapa kali melempar kerikil-kerikil tajam diarahkan ke bagian-bagian tubuh Darso Gemblung untuk mengganggu konsentrasinya.Sekali-kali kena keningnya, lengannya, pelipisnya, atau diarahkan ke kemaluannya sebagai pusat kelemahan laki-laki.Beberapa kali Darso Gemblung mengerang kesakitan terkena kerikil tajam yang dilempar Joko Manggolo dengan dilambari aji-ajian yang mengandung kekuatan tidak sewajarnya. Erangan keras ketika Darso Gemblung terkena pukulan kerikil-kerikil tajam itu dikira oleh orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu dianggap lantaran terkena serangan Sriti Mentari yang dahsyat itu.

"Aduhhhh, sakit aku,"

Teriak Darso Gemblung beberapa kali.

Melihat gerakan Darso Gemblung yang sering goyah tidak jitu lagi, Sriti Mentari makin bersemangat.

Ia mengira Darso Gemblung mulai kewalahan menghadapi jurus-jurus yang terus dihujankan ke arah Darso Gemblung itu.

Sriti Mentari tidak tahu kalau mendapatkan bantuan dari Joko Manggolo yang terus-menerus menghajar Darso Gemblung dengan kerikil-kerikil kecil yang tajam penuh ajian itu mengenai ke berbagai titik-titik kelemahan tubuh laki-laki yang rawan dari perlindungan. Setelah berapa lama kemudian, tidak diduga-duga serangan Sriti Mentari yang agak keras tepat mengenai sasaran, lantaran bersamaan dengan itu Joko Manggolo melepaskan beberapa kerikil tajam ke beberapa arah titik kelemahan tubuh Darso Gemblung sekaligus, sehingga membuat gerakan Darso Gemblung kelabakan menahan sakit dari pukulan kecil kerikil-kerikil tajam di berbagai bagian tubuhnya itu.

Kesempatan lengah itu tidak disiasiakan oleh Sriti Mentari untuk melepaskan jurus andalannya

brakkk!

tepat di tengah ulu hati Darso Gemblung terkera tendangan gajulan Sriti Mentari yang telah diisi oleh tenaga dalam.

Sangat keras.

Seketika itu, Darso Gemblung terjungkal ke belakang, dan jatuh terhempas di atas air comberan tempat minum babi hutan peliharaan keluarga Sriti Mentari itu.

Ia tidak sadarkan diri seketika itu.

Kepala belakangnya terbentur kayu balok besar di situ.

Melihat adegan bersebut, penduduk Dukuh Purut ini segera mengerubungi tubuh Darso Gemblung yang nampak terkulai lemas tak berdaya.

Semula tidak ada yang mau mengangkat menolongnya.

Mereka nampak jijik melihat tempat comberan yang kotor dengan baunya yang tidak karuan menyengat hidung itu.

Mereka nampak pada sayang sama pakaiannya yang harus berbasah-basah terkena air kotoran itu .Sehingga mereka hanya berdiri, memandangi, dan mengitari tubuh Darso Gemblung yang nampak sudah tidak bergerak itu.

Tiba-tiba terdengar ada suara laki-laki teriak-teriak dari kejauhan, mendengar suaranya itu, laki-laki itu sudah berumur baya.

"Hai...minggir....minggir....minggir semua. Apa dikira tontonan. Sudah tahu ada orang sekarat, tidak segera ditolong malahan ditonton,"

Teriak laki-laki itu menerobos kerumunan orang-orang itu, dan setelah sampai d?hadapan tubuh Darso Gemblung yang tergeletak itu, ia segera mengangkat tubuh itu.

Laki-laki baya itu nampak masih kokoh, memperlihatkan sewaktu masih mudanya terlihat sebagai jagoan berkelahi yang tangguh di kampung ini. Laki-laki itu serta merta membawa tubuh Darso Gemblung langsung diangkut masuk ke dalam rumah Sriti Mentari dan ditaruh di atas tempat tidur besar itu.

Rupanya laki-laki itu tidak tahu-menahu persoalan sebelumnya.

Ia ternyata seorang jogoboyo, kepala keamanan kampung Dukuh Purut.

Ia tadi lagi enak enaknya bermalam di rumah isteri mudanya, tiba-tiba dicari warganya yang melapor ada keributan di kampungnya, maka ia segera berangkat bersama orang yang memberi laporan itu menuju ke arena itu tadi.

Memang ia sangat terlambat datang, sebab orang-orang kampung yang akan melapor kejadian itu perlu mencari dia ke beberapa rumah isteri isterinya yang lain, sehingga harus mutar-mutar tidak ketemu ketemu.

Tahu-tahunya ia sedang menggilir isteri mudanya yang tinggal agak jauh di luar kampung yang daerah penguasaan keamanannya juga menjadi tanggung jawabnya.

Nama Jogoboyo itu, Sastro Glembuk.

Perawakannya tinggi besar berangasan.

Konon mempunyai kesaktian yang agak lumayan, tetapi masyarakat tidak ada yang menyebutnya sebagai Warok, karena ia mempunyai kegemaran memelihara isteri banyak yang oleh masyarakat Ponorogo dianggap tabu dan tidak ada orang yang mau menghormati terhadap tabiat orang yang suka mengumpulkan perempuan banyak itu .Hanya lantaran ia berperangai berangasan dan mau melindungi penduduk dari ancaman keamanan, maka ia pun dipercayakan sebagai Jogoboyo kampung setempat.

"Hayooo, ngaku saja siapa yang berani-beraninya berbuat mencelakan orang ini,"

Teriak Sastro Glembuk ketika ia telah merawat tubuh Darso Glembuk dengan ramuan ala kadarnya agar sekedar membuat dirinya siuman kembali. Suasana menjadi hening.

Semua orang saling berpandangan.

Tidak ada yang berani menunjuk ke arah Sriti Mentari yang duduk dengan tenang-tenang di kursi, sambil sekali-sekali menghirup jamu ramuan yang disiapkan oleh ibu dan adik laki-lakinya itu untuk memulihkan kekuatan tubuhnya yang terkuras oleh pertarungan yang seru ini.

"Sekali lagi, saya minta kalian bersikap jantan. Laki-laki mana yang berani membuat celaka wargaku ini Hayooo, ngaku saja,"

Rupanya Sastro Glembuk kurang menguasai masalah sebelumnya, ia tadi hanya dilapori kalau ada keributan di kampungnya dan datangnya seorang laki-laki asing.

"Aku,"

Terdengar suara Sriti Mentari yang tinggi merdu itu memecahkan suasana.

Semua orang menoleh ke arah Sriti Mentari termasuk pandangan Sastro Glembuk yang seakan-akan ia tidak percaya terhadap penglihatannya sendiri itu.

Seorang gadis mungil mengaku telah menghajar laki-laki gagah perkasa berilmu kanuragan lumayan tinggi seperti Darso Gemblung ini.

"Sriti, kamu jangan main-main. Ini Pakde, sedang mau mengurus perkara penting. Kamu jangan main-main," Kata Sastro Glembuk dengan mata lebar memelototi Sriti Mentari

"Benar, Pakde. Sriti yang membuat Kakang Darso mampus begini"

"Hah, yang benar saja kamu, Sriti"

"Benar, Pakde. Tarnyakan sendiri kepada bapak-bapak ini"

"Apa benar ucapan si Sriti ini Teman-teman."

"Benar," jawab orang-orang yang sedang berkumpul itu hampir berbarengan. Sastro Glembuk itu, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, nampak ia terheran-heran, dan seperti timbul penyesalan, entah karena apa

"Ada persoalan apa, Sriti. Kalian sampai terlibat perkelahian malam-malam begini"

Suasana menjadi sunyi senyap. Semua terdiam. Termasuk Sriti Mentari yang hanya menundukkan mukanya.

"Ak...ak...aku yang salah, Guru."

"Aku minta maaf kepadamu, Sriti Maafkan aku. Sri. Sriti tidak salah, Guru,"

Tba-tiba terdengar suara laki-laki yang kelihatan masih lemah itu. Ternyata datangnya suara itu dari Darso Gemblung, ketika ia telah sadar dari pingsannya dan mendengarkan semuanya percakapan mereka.

"Lho, apa benar, kamu Darso. Kamu yang salah,"

Kata Sastro Glembuk sambil jongkok di dekat Darso Gemblung berbaring sepertinya ingin minta keterangan lebih lanjut.

"Beb...benar, Guru. Ma...maaf...maafkan Darso, Guru. Saya kilap, Guru. Saya sakit hati pada Sriti. Saya yang salah. Saya yang membuat gara-gara ini semuanya. Maafkan aku bapak-bapak semua."

Sastro Glembuk hanya tercenung mendengar pengakuan muridnya itu. Darso Gemblung selama ini memang berguru ilmu kanuragan kepada Sastro Glembuk dengan imbalan, ia sering memberikan macam-macam barang oleh-oleh kalau ia baru bepergian ke kota kadipaten. Atau sering memberikan sejumlah uang yang cukup besar. Darso Gemblung yang mempunyai usaha macam macam, sehungga ia adalah menjadi orang terkayanya di Dukuh Purut ini . Ia resminya masih perjaka, tetapi sering bersiar kabar ia baryak memiliki perempuan simpanan. Alasan tabiat Darso Gemblung yang tidak benar itu yang membuat Sriti Mentari jijik melihat tampang Darso Gemblung yang sebenarnya termasuk pemuda tampan di kampung Dukuh Purut ini. Tapi, lantaran Darso Gemblung merasa menjadi orang kuatnya di dukuh ini, banyak harta, sehingga ia menjadikan dirinya seperti anak raja yang kemauannya inginnya selalu dituruti .Melihat sikap penolakan Sriti Mentari yang berani menentang itu membuat hati Darso Gemblung panas. Apalagi ketika tadi sore ia mel?hat Sriti Mantari berjalan mesra bersama laki-laki asing, Joko Manggolo, maka hati Darso Gemblung makin panas, kemudian ia menghasut warga kampung untuk menggropyok rumah Sriti Mentari. Tapi naas, selama ini tidak ada yang tahu kalau diam diam Sriti Mentari juga diajari ilmu kanuragan oleh Sastro Glembuk itu. Sriti Mentari, adalah amanah dari almarhum ayahnya yang ketika masih hidup berkawan akrab dengan Sastro Glembuk, sama-sama menjadi jagoan kampung satu perguruan, sehingga keluarga orang tua Sriti Mentari menganggap Sastro Glembuk ini sudah seperti keluarga sendiri. Anak-anaknya memanggil Pakde terhadap Sastro Glembuk. Maka, Sastro Glembuklah yang sekarang jadi terbengong-bengong, antara memberatkan muridnya yang selama ini menjadi sumber rejekinya atau terhadap keluarga bekas sahabat akrabnya dahulu.

Tiba-tiba air mata Sastro Glembuk yang biasa berangasan itu menetes.

"Nduk, Sriti. Bermaaf-maaflah kalian. Berilah maaf terhadap saudaramu, Darso ini. Ia telah mengaku salah, Sriti" kata Sastro Glembuk berusaha membujuk Sriti Mentari. Agaknya hati Sriti Mentari belum luluh benar. Ia masih diam saja. Tidak mau menoleh. Tiba-tiba, dari arah belakang terdengar suara bisikan lirih, rupanya suara Joko Manggolo.

"Mbakyu, Sriti. Ucapkan tanda maaf terhadap bekas lawanmu yang telah mengaku salah, dan telah kalah bertanding itu. "

Bagaikan terkena pengaruh sirep, seketika itu juga, tibatiba Sriti langsung berdiri dan mendekati tempat Darso tergeletak di tempat tidurnya itu.

"Maafkan aku juga Kangmas Darso,"

Kata Sriti Mentari sendu.

"Iya...aku yang salah, Sriti. Maafkan, aku"

Kata Darso Gemblung lirih nampak Sriti Mentari segera mengambilkan air minum dan membantu meminumkan kepada Darso Gemblung yang nampak pucat pasi dan badannya lunglai.

Semua orang matanya mengucur keluar.
yang menyaksikan adegan tersebut ikut terharu.

Demikian juga Sestro Glembuk tidak kuat lagi menahan air matanya yang terus mengalir.

Ia kelihatan terharu.

Warga Dukuh Purut itu pun segera bubar pulang ke rumah masing-masing.

Di jalan mereka masih terus membicarakan peristiwa langka malam hari ini yang bisa dianggap akan mengganggu kerukunan warga Dukuh Purut yang selama ini tenang, aman sentosa.

Sementara itu, Darso Gemblung telah diangkut ke rumahnya sendiri tidak jauh dari rumah keluarga Sriti Mentari, dengan dibekali ramuan sebagai pengobatan yang disiapkan oleh ibunya Sriti Mentari, nampak berangsur-angsur keadaan Darso Gemblung itu mulai membaik. Setelah kepergian warga Dukuh Purut dari halaman rumah keluarga Sriti Mentari itu, nampak suasana menjadi hening.

Sepi.

Yang tinggal hanya Nyai Supi Ibunya Sriti, Sriti Mentari itu sendiri, adiknya si bocah Trimo Kuncung dan Joko Manggolo.

Semua terdiam dengan perasaannya sendiri-sendiri duduk di amben tengah itu.

Warok Ponorogo 7 Kekerasan Di Tengah Bulakan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mbakyu Sriti,"

Suara Joko Manggolo memecahkan kesenyapan,

"Menurut pendapatku, sebaiknya Mbakyu memperbaiki kembali hubungan baiknya dengan si Darso Gemblung itu.
Tiap ada masalah sebaiknya dirundingkan dengan Pakde Sastro Glembuk"

Joko Manggolo perlu memberi nasehat demikian ini kepada Sriti Mentari, sebab ia tahu, bagaimana sebenarnya tingkat kemampuan penguasaan ilmu kanuragan Sriti Mentari itu.

Menurut penilaiannya, sebenarnya ilmu kanuragan Darso Gemblung cukup tinggi masih berada di atas tingkatan Sriti Mentari.

Jadi kalau nantinya terjadi lagi perkelahian antara kedua orang itu tanpa ada bantuan darinya, Joko Manggolo mengkhawatirkan nasib,Sriti Mentari yang orangnya mudah temperemen, mudah naik darah itu, padahal penguasaan ilmu kanuragannya masih tanggung sehingga akan membahayakan jiwanya.

"Ya, Kangmas Manggolo.Saya harus lebih hati-hati lagi menghadapi dia itu."

"Sebaiknya jalan damai itu lebih arif daripada harus bermusuhan.
Akan sangat merugikan kita.
Tapi, kalau dia menghina aku lagi bagaimana Kangmas"

"Sebaiknya laporkan saja kepada Pakde Sastro.Beliau itu kan gurunya."
"Beliau, juga guruku," kata Sriti Mentari menyela dengan muka cemberut

"Nah Kebetulan kalaut begitu.
Jadi tentu murid itu harus patuh kepada gurunya.
Guru yang akan menyelesaikan sengketa antar murid-muridnya."

"Ya, nasehat Kangmas Manggolo akan saya perhatikan."

Suasana menjadi tenang kembali. Sriti Mentari kemudian bangkit dari tempat duduknya, ia melangkah menuju ke sudut ruangan itu.

Hanya dengan ditutup sehelai kain yang dipasang dengan tali-temali yang dikat di papan rumah itu dijadikan sebagai tempat untuk melindungi tubuhnya yang telanjang bulat, berganti pakaian.

Sriti Mentari menggantikan pakaian laganya yang sudah kotor itu dengan pakaian dasternya yang nampak lusuh, warnanya yang bladus, sudah banyak sobek di kiri kanan.

Agaknya keluarga ini termasuk hidup pas-pasan, kalau tidak dikatakan tergolong sebagai keluarga miskin.

Pakaiannya apa adanya, rumahnya sederhana, dan hidup dari hasil berjualan dawet yang hasinya kadang tidak seberapa.

Pada pagi harinya, Joko Manggolo berpamitan meninggalkan rumah Sriti Mentari itu agar tidak menimbulkan masalah lebih parah lagi di antara warga atas kehadirannya di rumah keluarga Sriti Mentari, maka ia menghindar untuk bertemu penduduk.

Ia diberi bekal seperlunya oleh Sriti Mentari.

Dengan hati yang berat, perasaan yang berbaur tidak menentu, Sriti Mentari-sebenarnya tidak tega melepaskan kepergian Joko Manggolo yang begitu cepat.

Dalam hati Sriti Mentari, sebenarnya ia masih ingin menahan Joko Manggolo agar mau tinggal lebih lama lagi perlunya untuk dijadikan guru guna menambah ilmu kanuragannya.

Joko Manggolo yang telah diketahui kehandalannya ketika ia menolongnya kemarin siang.

Namun, apa daya, setelah dibicarakan semalam dengan penuh pertimbangan, akhirnya Sriti Mentari harus merelakan kepergian Joko Manggolo.

"Kangmas Manggolo, suatu saat kelak...kem..kembalilah lagi kemari. Kam..kami semua sekeluarga tentu sangat merindukan kehadiranmu kembali di tengah keluarga ini, Kangmas," kata Sriti Mentari terbata-bata bercampur haru.

"Tentu, tentu, Mbakyu Sriti. Aku tentu ingin bertemu kembali dengan keluarga yang baik hati ini semua. Aku berjanji akan kemari lagi."

Tidak sadar, Sriti Mentari tiba-tiba tidak kuasa terus memeluk tubuh Joko Manggolo erat-erat seperti tidak ingin melepaskan ketika Joko Manggolo sudah bersiap mau melangkahkan kakinya beranjak pergi. Setelah itu, diiringi tetesan air mata Sriti Mentari dengan langkah mantab, Joko Manggolo berjalan tegap menuju ke arah selatan meninggalkan rumah gubug reyot milik keluarga Sriti Mentari yang makin lama tertinggal jauh di belakangnya itu.


****

KENA GETAHNYA.

SIANG hari, terik panas matahari yang menyengat itu telah membuat Joko Manggolo berkeinginan berteduh di bawah pohon mahoru di antara dedaunan itu. Ia nampak sedang asyik-asyiknya memperhatikan keindahan panorama alam yang menawan itu sambil duduk-duduk menikmati semilirnya angin yang berhembus lembut .Bungkusan bahan makanan yang dibawanya dari pemberian Sriti Mentari beberapa hari yang lalu dibukanya siap dimasak untuk makan siangnya. Ia terpaksa harus menghemat bahan makan itu. Setelah mencari kayu bakar dan menyalakan, kemudian memanggangnya, maka siaplah makanan sederhana itu untuk disantap. Selagi enak-enaknya menikmati makan siang itu, tiba tiba terasa terdengar seperti orang-orang yang sedang berbisik-bisik dengan ketawa-ketawa cekikikan yang ditahan-tahan dikejauhan, suara itu sepertinya datang dari di antara semak-semak pepohonan yang rimbun itu.
Kayaknya seperti suara laki-laki yang sedang riang gembira. Diperhitungkan lebih dari dua orang. Suara dedaunan yang terinjak-injak seperti ada gerakan perlawanan di antara beberapa orang itu, terdengar lamat-lamat dari suara daun-daun kering itu. Timbul keingintahuan pada diri Joko Manggolo.

"Ada apa gerangan. Apa yang terjadi di antara rerimbunan semak-semak itu."

Dengan mengendap-endap sangat hati-hati, Joko Manggolo mendekati arah datangnya suara yang mencurigakan itu. Tidak berapa lama, Joko Manggolo sudah dekat dengan sumber datangnya suara tadi yang makin jelas. Ia terus mendekat, suara orang-orang itu makin keras. Joko Manggolo menyelusuri di antara semak-semak itu untuk mengintip rerumunan orang yang lamat-lamat terlihat makin jelas, ternyata ada sekitar lima orang laki-laki yang sudah berumur setengah baya nampak sedang bercanda di antara mereka. Tetapi aneh, para laki-laki itu semuanya membuka celana bawahnya dan seperti ada yang sedang dipergulatkan. Nampak seperti ada satu orang lagi di bawah para laki-laki itu, sepertinya ada yang tergeletak memberikan perlawanan keras terhadap rerumunan lakilaki itu. Makin dekat mulai agak jelas, memang ada seseorang lagi yang juga tidak memakai celana bawah, ia terlihat tidur terlentang ditiduri oleh salah seorang laki-laki yang terus menggerak-gerakkan pantatnya di atas salah seorang yang tidur terlentang itu. Mulai timbul pikiran macam-macam dalam diri Joko Manggolo yang mengira-ngira

"Jangan-jangan sedang terjadi pemerkosaan perempuan oleh lima orang laki laki itu di tempat sunyi ini. Tetapi mengapa tidak ada suara dari pihak perempuannya. Apa mungkin semuanya terdiri dari laki-laki. Atau mungkin malahan isteri-isteri mereka sendiri. Tetapi kalau isterinya mengapa kelihatannya memberikan perlawanan berontak sejadi jadinya begitu."

Setelah makin dekat lagi mulai terdengar suara

"Ba...uh...bah...u.hh."

Yang rada-radanya menandakan seperti suara perempuan yang tidak jelas.

Setelah begitu dekat antara jarak Joko Manggolo dengan gerombolan laki-laki itu, ia baru bisa memastikan memang di situ ada perempuan yang terlentang dikeroyok kelima laki-laki itu sedang memberikan perlawanan hebat.

Berontak keras.

Maka tanpa pikir panjang Joko Manggolo meloncat menyambar laki-laki yang paling berjarak dekat dengan mengayunkan serangan tendangannya.

"Blukk", laki-laki yang nampak sedang bernafsu terhadap perempuan itu kaget dibuatnya. Ia tidak mengira ada orang yang tiba-tiba menyerangnya, sehingga ia jatuh terguling-guling di antara semak-semak.Empat orang temannya yang mengetahui ada orang lain yang memergoki perbuatan mereka itu bukannya memberikan perlawanan menolong temannya tetapi malahan berusaha lari kabur. Untung segera dengan cekatan Joko Manggolo sempat menangkap salah satu dari laki-laki itu dan langsung membantingnya hingga terkapar di tanah.

"Ampun, Kangmas. Maafkan aku. Aku tidak berbuat apa-apa,"

Pinta laki-laki yang terkapar itu menyembah nyembah Joko Manggolo nampak ketakutan dalam keadaan masih tidak berbusana.

Joko Manggolo segera meringkus laki-laki yang tertangkap itu mengikat dengan tali yang diambilkan dari serat-serat akar pohon yang lemas dan kuat di sekitar tempat itu.

"Kamu telah memperkosa perempuan itu ya."

"Tidak, Kangmas. Sungguh tidak. Saya minta ampun" kata lakd-laki itu gemetaran .la memanggil joko Manggolo dengan Kangmas padahal usia laki-laki itu nampak jauh lebih tua daripada joko Manggolo yang masih pemuda remaja.

"Lihat itu, mengapa kamu telanjang begitu di depan perempuan itu."

"Saya tadi cuma mau kencing. Teman saya tadi yang memperkosa, saya belum"

"Itu sama saja. Berkata belum berarti sudah ada niat mau melaksanakan. Cuma kamu mungkin tadi belum kebagian keburu aku mempergoki kalian. Jadi kalau aku tidak memergoki, kamu juga pasti turut menperkosanya"

Laki-laki bulat pendek kekar itu terdiam saja menundukkan kepalanya. Nampak badannya gemetaran, mungkin menahan takut dihadapan Joko Manggolo pemuda yang perkasa ini.

Tidak terasa, mungkin saking terlalu takutnya, badannya gemetaran, laki-laki bulat pendek kekar itu ngompol. Ia terkencing-kencing.

"Bajingan kamu, sudah berbuat jahat berani kencing didepanku, telanjang di depan perempuan lagi,"

Bentak Joko Manggolo geram.

"Mak...maaaf, saya tidak sengaja, Kangmas."

Joko Manggolo rupanya tidak sabar lagi menghadapi laki-laki pengecut itu, tangan kanannya segera diayunkan memegang leher laki-laki itu dan menundukkan ke bawah

"itu air kencing kamu. Hayo cium, bau apa."

Muka laki-laki itu diperosokkan ke tanah bekas terkena air kencing laki-laki itu, sehingga muka laki-laki itu kotor terkena tanah basah bercampur air kencing itu.

Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Pendekar Rajawali Sakti 200 Bencana Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long
^