Pencarian

Putera Pendekar Sesat 1

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat Bagian 1


Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 26 dalam episode

Putera Pendekar Sesat

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//cerita-silat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)

Spesial thank to : Awie Dermawan

*****

Dikaki gunung Kendeng kobaran api terus melahap tiga bangunan.

Asap hitam mengepul membubung tinggi memenuhi penjuru langit.

Ada suara teriakan marah bercampur kebencian bergema di halaman depan bangunan.

Mayat mayat bergelimpangan saling tumpang tindih di atas genangan darah.

Mayat-mayat itu adalah mayat para pengikut Sugriwa Wisesa yang dikenal dengan julukan Pendekar Sesat.

Tidak jauh dari bangunan yang terbakar ada beberapa penunggang kuda.

Mereka adalah para tokoh persilatan dari Timur yang duduk diatas kudanya masing masing dengan sikap waspada.

Di belakang mereka berdiri berjejer puluhan perajurit bersenjata lengkap yang mengepung bangunan tersebut.

Seorang laki-laki berpakaian merah berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri tidak jauh dari bangunan segera berteriak

"Keluarkan semua orang yang berada di dalam gedung.Cepat kosongkan gedung, karena langit-langit bangunan akan runtuh"

Dengan bantuan beberapa orang muridnya, laki-laki berpakaian merah yang dikenal dengan nama Pranajiwa ini mengeluarkan satu sosok tubuh yang penuh dengan luka.

Luka itu akibat pukulan dan sabetan senjata tajam.

Lalu mereka menggantung tubuh orang itu kepala dibawah dan kaki menghadap ke atas.

Tubuh itu dingin dan dalam keadaan tanpa nyawa.

Karena posisinya terbalik maka dari mulut dan hidungnya menyembur darah.

"Mayat Pendekar Sesat keparat ini memang pantas diperlakukan seperti hewan yang ada di gubuk jagal!"

Teriak Pranajiwa kalap seperti dirasuki setan. Kemudian dia berseru kepada para muridnya.

"Bawa keluar mayat-mayat pengikut Pendekar Sesat, mereka juga pantas mendapat perlakuan yang sama dengan ketuanya.!"

Mendengar perintah itu dengan semangat para murid Pranajiwa menyeret kaki tangan Pendekar Sesat dari dalam bangunan.

Yang masih hidup dibunuh tanpa menghiraukan ratapan minta ampun mereka.

Masih dengan meregang nyawa berkelojotan beberapa laki-laki maupun perempuan pengikut Pendekar Sesat ini juga mengalami nasib yang sama, mereka semua digantung terbalik dengan kepala dibawah.

Semua yang hadir ikut melakukan pengepungan merasa miris dan ngeri melihat tindakan yang dilakukan oleh Pranajiwa.

"Prana.....tindakanmu sangat berlebihan. Kami semua tahu bahwa betapa terguncang hatimu karena kehilangan kedua anak gadismu. Tetapi apakah tindakanmu ini bisa mengembalikan kehidupan kedua anakmu?"

Bertanya seorang kakek berpakaian putih yang duduk di atas kuda dengan sikap kurang senang.

Pranajiwa merasa geram tidak puas.

Lalu palingkan kepala menatap si kakek dengan berkata.

"Sahabat Giring Sabanaya dan para sahabat lainnya.Kedua puteriku memang tidak mungkin hidup lagi, tetapi Pendekar Sesat itulah yang membuat kedua puteriku terjerumus ke dalam perbuatan nista. Jadi para jahanam pantas diperlakukan seperti ini walau mereka telah menjadi mayat!"

Beberapa tokoh sesepuh yang ikut dalam penyerbuan itu hanya bisa menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala dan saling berbisik. Selagi orang-orang di atas kuda membicarakan kemurkaan Pranajiwa yang terlihat sadis itu, dari depan pintu bangunan muncul seorang lelaki muda dengan tergopoh-gopoh.

Pemuda itu berseru kepada orang-orang yang berada disitu.

"Putera Pendekar Sesat tidak ada di dalam gedung. Dia tidak dapat ditemukan, yang ada hanya beberapa perempuan...!"

Mendengar seruan ini semua orang yang hadir menjadi geger.

Selagi mereka tercengang dan tidak percaya dengan seruan tersebut, tiba-tiba dari bagian belakang gedung terdengar suara teriakan.

"Anak Pendekar Sesat melarikan diri...Dia ada di belakang sini...."

"Jangan biarkan lolos."

Teriak satu suara lainnya.

"Bunuh!"

"Cincang hingga lumat!"

Teriak orang yang dibagian belakang sambil menghunus senjatanya lalu melakukan pengejaran.

"Celaka....jangan sampai bocah itu lolos"

Sentak Pranajiwa

"Anak itu tidak bisa lari jauh."

Kata Giring Sabanaya. Kemudian dia berseru kepada orang orang yang berada di sekelilingnya.

"Segera kejar dan tangkap bocah itu!"

"Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari "

Setelah itu Giring Sabanaya tarik tali kekang kudanya.

Kuda meringkik keras.

Dengan diikut rombongan lainnya mereka bergerak menuju kearah lenyapnya anak Pendekar Sesat.

Pranajiwa sendiri dengan dikuti para muridnya telah lebih dahulu menghambur ke bagian belakang gedung.Dia bergabung dengan puluhan orang yang sedang melakukan pengejaran.

Suara hiruk piluk dan deru suara kuda merobek kesunyian. Setiap orang saling berlomba mengejar sang bocah buruannya.

Tujuannya hanya satu yaitu berusaba menangkap atau membunuhnya

"Pasukan pemanah harap berada di depan."

Teriak Pranajiwa dengan lantang sambil terus memacu kudanya.

"Para pemanah..maju...!"

Teriak seorang laki-laki gagah bernama Ariamaja.

Dia berusia sekitar tiga puluh tahun dan berpakaian biru.

Di tanah Dwipa dia dikenal dengan julukan Kaki Seribu karena mempunyai kecepatan berlari yang sangat hebat.

Dua belas pasukan pemanah terlihat bergerak maju.

Sementara pemuda remaja itu berlari masuk ke kawasan hutan lebat yang gelap.

Putera pendekar Sesat yang bernama Pura Saketi ini mempunyai kecepatan lari dan ilmu meringankan tubuh yang cukup tangguh walau usianya masih sangat muda.

Namun karena yang mengejarnya juga para tokoh persilatan maka tidak beberapa lama Pura Saketi tersusul. Pemuda remaja ini tidak memperdulikan para tokoh yang mengejarnya.

Dia terus saja berlari dengan sekuat tenaganya karena dia dihujani oleh lemparan golok dan tombak. Sementara itu kakek Giring Sabanaya dan beberapa tokoh yang bersamanya terus berusaha menyusul Pranajiwa dan para muridnya.

Pada saat itu Pranajiwa telah memerintahkan pasukan pemanah untuk menyerang Pura Saketi.

"Kita harus segera melenyapkan keturunan Pendekar Sesat ini. Arahkan semua panah ke tubuhnya. Habisi dia ! Jangan sampai lolos "

Baru saja Pranajiwa memberi perintah.

Puluhan anak panah berhamburan mengarah ke sekujur tubuh Pura Saketi.

Seiring dengan panah-panah itu para pengejar menyerbu dengan beringas.

Di bagian depan Pura Saketi yang sudah tahu adanya bahaya besar yang menimpa dirinya, berusaha mempercepat larinya.

Ketika dia melihat ada serangan anak panah walau dengan wajah pucat dan perasaan takut dia segera mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya.

Sambil terus berlari dia membabatkan pedangnya ke belakang.

Tring..!

Traang..!

Terdengar suara pedang beradu keras dengan anak panah.

Beberapa panah hancur berpentalan kena babatan pedang Pura Saketi.

Namun ada serangan susulan anak panah yang menderu siap menembus tubuhnya.

Di saat itu Pura Saketi sampai di tepi sebuah jurang dalam menganga di depannya.
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Aku tidak mau mati di tangan mereka! Aku tidak bersalah....aku tidak bersalah.Ayahku yang berbuat jahat mengapa aku juga harus dibunuh"

Sesudah berkata demikian tanpa berpikir panjang lagi segera Pura Saketi melompat ke dalam jurang.

Ketika dia melompat ke dalam jurang ada dua buah anak panah yang tepat menembus tubuhnya.Bocah itu pun menjerit setinggi langit.

Melihat ini para pemanah bersorak kegirangan.

Mereka yakin bahwa Pura Saketi pasti tewas terkena panah.

Apalagi dia juga jatuh ke dalam jurang yang dalam.

Orang-orang berdiri menunggu di tepi jurang, kemudian Pranajiwa pun tiba dengan disusul oleh Giring Sabanaya.

Di situ terlihat ada ceceran darah dengan disertai patahan anak panah , golok dan tombak.

"Bocah itu tidak akan selamat! Jurang ini adalah jurang Watu Remuk Raga. Dalamnya lebih dari seratus tombak"

Kata Ariamaja. Dia sebenarnya tidak setuju kalau putera Pendekar Sesat harus dibunuh pula.

"Dia sudah terluka. Di bawah sana jurang dipenuhi dengan batu-batuan tajam yang terjal. Pendekar berkepandaian tinggipun tidak mungkin dapat berhasil lolos dari maut jika terjun ke dalam jurang itu"

Kata Giring Sabanaya sambil mengelus elus jenggot putihnya yang panjang.

"Semua masalah sekarang sudah selesai."

Kata seorang laki-laki berpakaian hitam yang kedua matanya selalu berkedap kedip.

Orang tua ini adalah salah satu sahabat Pranajiwa yang berasal dari Pasuruan.

Mendengar ucapan orangtua yang dijuluki si Kedip Mata. Pranajiwa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Menurut firasat dan perasaanku bocah itu mungkin masih hidup"

Kata Pranajiwa.

Mendengar perkataan Pranajiwa semua orang menjadi diam dan tenggelam dengan pikirannya masing-masing.

Sampai kemudian seorang gadis berpakaian warna warni dengan kipas ditangannya melangkah maju.

Melihat sang dara yang disebut Dewi Kipas Pelangi menghampiri Pranajiwa maka semuanya memusatkan perhatian kearahnya.

"Paman Pranajiwa sahabatku. Alangkah baiknya jika kita menyudahi pengejaran bocah itu sampai disini. Sebab sangat kecil sekali kemungkinan bocah itu hidup kecuali dia memiliki nyawa sembilan rangkap. Tidak ada satupun mahluk hidup yang bisa selamat bila terjatuh ke bawah sana."

"Hmm, mungkin apa yang kau dan para sahabat katakan memang benar. Aku harap bocah itu sudah mampus sehingga tidak lagi menyusahkan kita di kemudian hari"

Sahut Pranajiwa setelah berpikir cukup lama.

"Jadi semua hutang darah dan nyawa Pendekar Sesat terhadap kita sudah selesai"

Kata Giring Sabanaya dengan perasaan lega.

"Kita sekarang kembali ke bangunan tadi untuk menemul tujuh tokoh dari Puncak Akherat. Mereka telah banyak membantu kita.Tanpa bantuan ke tujuh tokoh kita mungkin belum bisa menghabisi Pendekar Sesat dan para pengikutnya."

"Baiklah. Kita semua sepakat untuk kembali menemui ke tujuh tokoh dari Puncak Akherat karena mereka telah membantu tanpa pamrih."

Jelas Ariamaja yang sudah mengenal sifat ke tujuh tokoh tersebut.

Setelah mendengar penjelasan Ariamaja maka para tokoh dan seluruh yang hadir meninggalkan jurang Watu Remuk Raga.

Sesampainya mereka di halaman bangunan yang hancur porak poranda itu masih terlihat kepulan asap dan tumpukan bara yang menyala.

Ternyata tempat itu menjadi sunyi karena ke tujuh tokoh dari Puncak Akherat telah pergi.

Di tempat itu masih tergantung mayat Pendekar Sesat dan para pengikutnya.

"Ke tujuh tokoh Puncak Akherat benar-benar telah pergi. Mereka merasa telah selesai membantu dan segera berlalu dari tempat ini."

Gumam Ariamaja menyayangkan.

"Pranajiwa, aku Giring Sabanaya bersama para sahabat lainnya mohon pamit. Semoga kau betap tabah walau harus kehilangan kedua puterimu itu "

"Penyebab kematian kedua anakmu telah mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Dan kita harus menyadari bahwa setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Hanya setiap orang akan merasakan datangnya kematian itu berbeda-beda."

"Jika berminat datanglah menyambangi gubukku di Batu Balapulang. Kau masih ingat bukan? Di sana udaranya sejuk karena banyak gunung tinggi."

Pranajiwa hanya menganggukkan kepalanya, tidak menyahut Si Kedip Mata juga ikut berkata .

"Maaf Pranajiwa, aku juga akan kembali ke Pasuruan bersama dengan pengikutku"

"Aku tidak punya sanak tidak punya kadang maka aku akan meneruskan pengembaraan. Siapa tahu bisa bernasib baik bertemu jodoh.Hihihi.."

Kata si gadis yang berjuluk Dewi Kipas Pelangi, lalu buru-buru tutupi wajahnya dengan kembangkan kipas kecil di depan hidungnya.

"Hei...kalau memang belum ketemu jodoh, aku bersedia menjadi pasangan jodohmu."

Sahut Ariamaja sambil mengulum senyum. Dewi kipas Pelangi pandangi pemuda itu sejenak. Lalu dengan seenaknya dia berkata .

"Kau hanya punya ilmu lari cepat seperti kuda. Ilmu kesaktianmu masih jauh dibawahku. Aku mendambakan pasanganku memiliki kesaktian lebih dariku, karena setiap laki-laki sudah sewajarnya berada di atas dan perempuan selalu dibawah. Hi...hi.....hi....!"

Ucapan sang dara karuan saja membuat suasana diwarnai dengan gelak tawa.

"Dasar gadis genit."

Kata Giring Sabanaya sambil geleng kepala.

"Sudahlah dia hanya bergurau,"

Menengahi Pranajiwa Sebelum rombongan berpisah untuk kembali ke tempatnya masing-masing, Pranajiwa sambil menjura hormat berkata .

"Tidak ada sesuatu yang layak yang dapat kuberikan kepada kalian. Dan aku hanya mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian semuanya"

"Ha..ha...ha...Tidak usah sungkan atau merasa berhutang budi, Pranajiwa. Sebagai sahabat kita sudah selayaknya saling membantu."

Kata Giring Sabanaya mewakili orang-orang di sekelilingnya.

Setelah berkata demikian si kakek bersama para muridnya menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.

"Paman Pranajiwa, aku juga mohon pamit."

Ujar Dewi Kipas Pelangi segera siap pergi. Namun belum sempat langkahkan kakinya Pranajiwa berkata.

"Dewi, lebih baik menetap saja beberapa hari di kediamanku."

"Terima kasih, paman . Aku tidak bisa berlama-lama disini, karena aku masih mempunyai tugas yang harus diselesaikan."

Selesai berkata sang dara berkelebat tinggalkan tempat itu. Tidak mau ketinggalan Ariamaja pun berpamitan kepada Pranajiwa.

"Kau boleh pergi, Ariamaja!"

Kemudian pemuda itu anggukkan kepala dan memutar tubuh.

Begitu kakinya diayunkan maka dalam sekejab dia lenyap dari pandangan.

Pranajiwa kemudian melompat ke punggung kudanya dan tinggalkan tempat itu bersama dengan para muridnya.

Keadaan di banguan itu kembali sunyi.

Yang terdengar hanya gemeletak sisa-sisa kayu yang terbakar.

******

Tepat seperti dugaan orang-orang yang menginginkan kematiannya.

Jurang tempat di mana Pura Saketi menceburkan diri memang sangat dalam sekali.

Di samping itu di bagian dasar jurang dipenuhi batu-batu hitam runcing.

Mahluk apapun jika sampai terperosok kedalamnya pasti akan mengalami celaka dengan tubuh tertembus batu-batu tajam berbentuk seperti mata tombak. Si bocah sendiri tidak dapat memikirkan apa yang bakal terjadi dibawah sana, karena jurang itu dalam keadaan gelap gulita.

Jangankan untuk melihat dibagian dasarnya, untuk melihat kedua sisi tebingnya saja tidak bisa.

Bagi bocah itu yang terpenting adalah bisa menyelamatkan diri dari kejaran Prana Jiwa dan orang-orang yang tergabung bersamanya.

Dia tidak ingin mati ditangan orang yang sangat dendam kepada ayahnya. Si Bocah merasa tidak bersalah karena dia tidak pernah tahu segala urusan serta tindakan keji yang dilakukan ayahnya si Pendekar Sesat.

Melompat ke jurang adalah satu-satunya jalan yang terbaik bagi sang bocah, Bagaimana nasibnya nanti setelah terhempas ke jurang Pura Suketi tidak perduli. Kematian setiap saat dapat terjadi kepada setiap mahluk yang bernyawa.

Itu kata-kata yang sering di dengarnya dari mulut ayahnya.

Jadi benar apa yang pernah dikatakan pendekar Sesat pada dirinya.

Kematian itu kini memang menghampiri sang ayah.

Dia tewas dibunuh oleh tujuh tokoh dari puncak Akherat.

Walau ayahnya adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa, namun Tujuh Tokoh dari Puncak Akherat itu ternyata bukan manusia sembarangan.

Kekuatan mereka laksana topan yang sanggup menghancurkan gunung yang kokoh.

Dan gunung itu bisa diibaratkan sebagai ayahnya.

Saat itu telah satu panah menembus pahanya dan satunya lagi menghunjam di bagian perut hingga tembus ke pinggang belakang, si bocah merasakan derita sakit yang sangat luar biasa.

Sambil menjerit panjang tubuh Pura Saket terus melayang dalam keadaan jungkir balik tak karuan menuju ke dasar jurang. Dan nampaknya nasib buruk segera dialami oleh bocah itu karena tepat dimana dirinya terjatuh terdapat puluhan batu runcing yang siap mencabik dirinya.

Suara jerit menyayat Pura Saketi ternyata mengusik perhatian satu sosok tubuh yang mendekam direlung dasar tebing sebelah kiri. Tempat dimana sosok itu mendekam dengan jatuhnya Pura Saketi sebenarnya cukup jauh.

Sosok dalam gelap direlung dasar tebing tiba-tiba membuka mulut berucap sendiri.

"Puluhan tahun aku terjebak terkurung ditempat celaka ini. Selama itu jangankan manusia, seekor monyet sekalipun belum pernah ada yang kesasar ke tempat ini!"

Sosok yang duduk sambil mendekam itu lalu bangkit.

Dia melangkah keluar tinggalkan ceruk yaitu cekungan dalam di bagian dasar tebing.

Memandang ke atas matanya yang sudah sangat terlatih dalam kegelapan segera melihat adanya satu sosok tubuh melayang-layang sejarak dua puluh tombak di depannya.

Sosok itu ternyata seorang kakek bercelana hitam dan memakai rompi hitam tak terkancing yang telah lapuk dimakan usia.

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si kakek belalakkan matanya yang cekung menjorok ke dalam rongganya.

Mulutnya menyeringai, wajah yang angker kotor dihiasi cambang janggut lebat tak terurus tampak kaku kelam seperti hantu kegelapan.

"Hmm, ada mahluk kesasar jatuh ke jurang ini. Kalau kubiarkan dia pasti mampus ditembus batu-batu runcing. Seseorang mencampakkan atau membuangnya. Dunia sudah gila dan banyak orang orang tidak punya hati, membuang mayat sembarangan seperti anjing membuang kotoran!"

Setelah berucap demikian si kakek menggaruk rambutnya yang panjang riap-riapan tak terurus.

Orang tua ini lalu senyum-senyum sendiri, tapi kemudian dia malah berteriak sambil melontarkan caci maki.

Entah siapa yang dimakinya.

Yang jelas suaranya bergaung mengerikan seperti suara setan gentayangan penghuni dasar jurang.

Bersungut-sungut orang ini memutar tubuh siap kembali ke dalam ceruk tempat di mana tadinya dia mendekam.

Tapi sekali lagi si kakek mendengar suara jerit menyayat.

Alis matanya berjingkrak tegak mendengar teriakan itu.

"Setan alas. Siapa memangnya bangsat yang jatuh itu? Mengapa menjerit? Belum mati rupanya dia!"

Sambil menggeram demikian dia memutar tubuh, mata menatap nyalang. Dia melihat akar tumbuhan merambat bergelantungan menjuntai tidak jauh dari tempat dimana dirinya berada.

"Ingin kulihat siapa kunyuk yang jatuh itu? Apakah dia pantas ditolong ataukah lebih layak menjadi dendeng lezat pengisi perutku. Puluhan tahun aku hanya makan kodok dan ular berbisa. Sesekali mendapat hidangan istimewa merupakan anugerah dari setan. Ha ha ha!"

Orang tua itu tidak hanya mengumbar tawa.

Tapi seketika tubuhnya melesat melambung ke arah akar tumbuhan gantung disisi kiri jurang.

Begitu ujung akar gantung kena dicengkeramnya si kakek pun mengayunkan tubuhnya hingga melambung jauh ke atas.

Sebelum tubuh Pura Saketi benar-benar jatuh dibebatuan tajam orang tua itu telah menyambarnya.

Pura Saketi selamat.

Leher si bocah kena dicekal.

Sambil melayang turun sementara tangan kiri tetap memegangi ujung akar dia lemparkan bocah itu jatuh terpelanting tepat di depan tempat yang dia tinggal.

Sakit akibat tertancap dua anak panah ditambah rasa sakit luar biasa akibat dilemparkan orang membuat Pura Saketi tidak sadarkan diri.

Si kakek mendengus, pegangan pada ujung akar gantung dilepas.

Tubuhnya melayang ke arah mana si bocah terjatuh lalu jejakkan kedua kakinya tanpa suara.

Tanpa perasaan dengan mata jelalatan dia pandangi bocah itu.

Sepasang mata yang menerawang kosong itu menyipit ketika melihat ada dua anak panah menancap di perut juga paha si bocah.

Selain kedua anak panah itu pakaian biru si bocah bagian punggung robek besar.

Ada beberapa luka bekas sayatan dan bacokan yang terus meneteskan darah.

Si kakek yang semula tidak tertarik dengan keberadaan si bocah dan berniat hendak mempesiangi bocah itu pada keesokkan harinya kin mendekat menghampiri si bocah.

Dia kemudian berjongkok disamping Pura Saketi yang tidak sadarkan diri.

Setelah memperhatikan luka dipunggung dan mengamati dua anak panah yang menembus bagian tubuh disebelah bawah, tiba-tiba dia menyeringai.

"Beberapa orang mungkin telah menjadikan bocah ini sebagai binatang buruan.Dia diserang dan dihujani panah dari belakang. Apa dosanya hingga membuat bocah ini diperlakukan sekeji itu."

Sejenak orang tua ini terdiam.

Dia lalu meraba nadi dipergelangan tangan Pura Saketi.

Nadi masih berdenyut walau lemah.

"Bocah hebat, ternyata dia belum mampus, tidak modar walau mengalamali luka yang sangat sangat parah. Tapi siapa dia, anak siapa? Aku tidak perduli sekalipun dia anak setan. Aku tetap akan menjadikannya santapan yang lezat."

Wajah si kakek angker aneh nampak berseri-seri. Dia julurkan ludah basahi bibir.

"Santapan besar, rejeki besar. Bocah ini dagingnya pasti enak..."

Setelah berkata demikian sambil tertawa cengengesan, si kakek segera patahkan ujung sebelah belakang panah yang menancap di pangkal paha Pura Saketi.

Kemudian dari arah depan panah ditariknya.

Setelah mencabut anak panah pertama dia segera mencabut anak panah kedua yang menancap di perut.

Ketika anak panah dicabut ada darah mengucur dari kedua luka itu.

Melihat darah mengalir dari luka mata si kakek jadi belingsatan selayaknya orang kehausan.

"Darahnya pasti manis!"

Membatin orang tua itu dalam hati.

Tangan lalu dijulur siap menampung darah. Namun mendadak orang tua ini urungkan niat.

Selintas pikiran dibalik akalnya yang memang tidak waras muncul.

"Bagaimana bila bocah ini ternyata bisa kumanfaatkan, mungkin dia akan berguna. Aku bisa membalaskan segala dendam dan sakit hati kepada para jahanam yang membuat diriku tenggelam ditempat ini selama-lamanya. Aku harus memeriksa tulangnya. Siapa tahu dialah orang yang kutunggu-tunggu selama ini."

Selanjutnya tanpa banyak cakap, si kakek segera julurkan jemari tangannya ke arah bagian belakang leher Pura Saketi.

Lima jemari tangan ditempelkan lalu digerakkan lurus sejajar dengan tulang belakang hingga sampa? kebagian pinggul, Tangan ditarik.

Wajah aneh muram berseriseri, sepasang mata yang kosong berbinar-binar.

"Aku dapat! Aku mendapatkan orang yang cocok untuk mewarisi segala ilmu yang ada padaku. Bocah ini tulangnya yang sangat bagus malah nyaris sempurna. Pantas dia sanggup bertahan hidup. Sekarang aku harus menyembuhkan dari luka, pesta besar makanan lezat terpaksa aku urungkan, Bocah ini pantas menjadi muridku. Aku harus mewariskan segala ilmu kesaktianku padanya!"

Kata si kakek sambil mengumbar tawa tergelak.

Jurang yang sunyi mencekam berubah menjadi hingar bingar diwarnai gaung tawa orang tua itu. Kedua sisi jurang bergetar seolah mau runtuh.

Kawanan kelelawar yang mendiami sisi sebelah barat jurang yang gelap berhamburan terbang, sebagian diantaranya bahkan berkaparan tewas tak sanggup menahan pengaruh tawa manusia aneh itu.

Tawa si orang tua kemudian berhenti.

Dengan wajah sumringah selayaknya bocah yang mendapatkan mainan bagus, orang tua itu segera mengusap luka-luka di punggung Pura Saketi.

Sungguh hebat dan mengagumkan kesaktian yang dimiliki oleh kakek ini.

Dengan sekali usapan saja luka dipunggung lenyap.

Dan ketika dia mengusap luka bekas ditembus anak panah dibagian perut dan pinggang lalu dilanjutkan pada luka dibagian paha di bocah.

Kedua luka itupun mendadak raib tanpa bekas sedikitpun.

Walau si kakek sanggup menyembuhkan luka dengan mudah.

Namun Pura Saketi masih belum tunjukkan tanda-tanda sadarkan diri.

"Bocah ini terlalu banyak kehilangan darah. Itu yang membuatnya tidak segera sadarkan diri. Tapi aku punya tempat yang bagus untuk memulihkannya dari segala derita yang masih tersimpan!"

Sambil berkata demikian dia segera cekal lengan kanan Pura Saketi.

Selanjutnya sambil menyeret si bocah dia melangkah cepat menuju ke sebelah selatan ujung dasar jurang.

******

Puteri Manjangan Putih yang cantik memang sangat berwibawa. Ratu Buaya juga cantik sayang tidak menarik.

Yang paling cantik memesona tentunya Bunga Jelita.

Kecantikannya begitu sempurna, sayang dia pemalu dan ada kutil dibagian tumitnya.

Mengingat gadis-gadis cantik itu membuat hidup terasa lebih indah dan bermakna.

Tapi segala keindahan yang sempat menari dalam benak Raja menguap lenyap begitu saja saat terlintas bayangan Nini Buyut Amukan menari-nari di depan matanya.

Nenek itu memang cantik, tapi genitnya luar biasa.

Dua kali Raja sempat kecolongan dicium oleh si nenek.

Uh, ciumannya membuat Raja merinding dan rambut di kepalanya serasa seperti mau berguguran.

Pemuda itu bergidik.

Ciuman itu rasanya masih menempel, membekas dipipi, membuat Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313 tanpa sadar mengusap pipi kirinya sehingga pipinya menjadi merah.

"Dicium gadis jelita merupakan sebuah anugerah. Tapi kalau Nini Buyut yang mencium rasanya seperti ditimpa musibah. Duh biyung...!"

Sang pendekar mengusap wajahnya yang keringatan sambil terus ayunkan langkah.

Tapi tidak berselang lama langkah pemuda itu terhenti.

Raja tertegun, memperhatikan sekelilingnya dengan tatap mata heran.

Dia melihat pedataran luas yang ditumbuhi beberapa pohon tinggi.

Tidak ada bangunan atau seorang manusia di tempat itu.

Suara angin menderu-deru, namun anehnya Raja sama sekali tidak merasakan hembusannya.

"Tempat apakah ini? Mengapa aku bisa kesasar ditempat ini tanpa menyadarinya?"

Gumam Raja heran.

"Mungkin ketika melamun, pikiranku dipenuhi gadis cantik dan nenek cantik itu sehingga tanpa kusadari langkah kaki membawaku ke tempat ini. Apakah mungkin aku telah tersesat disebuah tempat asing? Mungkinkah ini yang namanya neraka?"

Membatin Raja Gendeng 313.

Baru saja hatinya berkata demikian. Tiba-tiba saja disekelilingnya bermunculan titik api. Raja tertegun dan merasa heran.

"Api.. ada api bisa muncul dari dalam tanah?"

Kata pemuda itu lirih. Dia menatap kesekelilingnya.

"Astaga! Titik api muncul disekelilingku. Bagaimana kalau titik api itu tiba-tiba membesar? Oalah, aku bisa terpanggang hidup-hidup!"
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bhel!

Wuus!

Secara mengejutkan sesuai dengan apa yang dikhawatirkan oleh Raja. Titik-titik api yang menyembur dari dalam tanah tiba-tiba membesar, menggeliat bergoyang seperti ular menari. Kobaran api tambah membesar lalu menyerang sang pendekar dari dari segala penjuru.

Mendapat serangan yang tidak terduga dan tak tahu dilakukan oleh siapa. Dalam keheranannya Raja segera lambungkan tubuhnya ke atas.

"Edan! Mengapa yang aku ucapkan berubah menjadi kenyataan. Tempat apakah ini? Mengapa alam menanggapi ucapanku dengan sebuah bukti yang membingungkan begini?"

Raja tidak sempat mencari jawaban atas semua keanehan yang terjadi.

Karena saat itu jilatan lidah api terus mengejar ke arahnya.

Tidak ada pilihan lain.

Sambil terus lambungkan diri dari sambaran api pemuda ini segera hantamkan dua tangannya melepas pukulan Badai Es.

Dari kedua telapak tangan Raja menderu dua gelombang angin dahsyat bergulung-gulung disertai hawa dingin luar biasa melabrak sambaran api,

Brees!

Blep!

Serangan lidah api yang datang dari bawah padam.

Raja pun melesat turun lalu jejakkan kaki tidak jauh dari tempat dimana titik api muncul

"Huuu..ternyata aku tidak boleh bicara sembarangan.
Mulut ini dilarang celamitan. Tapi apakah benar demikian, apa benar aku berada disebuah tempat keramat?"

Batin Raja sambil menghembuskan nafas dalam-dalam.

"Aneh memang aneh... api tidak mungkin muncul begitu saja. Segala sesuatu sekecil apapun pasti ada penyebabnya. Lalu siapa yang melakukan semua ini?"

Sekali lagi pemuda ini layangkan pandang.

Dikejauhan tiba-tiba saja dia melihat benda berkilau yang dipantulkan oleh cahaya matahari.

Benda berkilau itu seperti lempengan kaca Karena cahayanya terarah pada Raja maka pemuda ini pun menjadi kesilauan

"Benda apa itu?"

Raja segera melindungi matanya dengan telapak tangan.

"Mungkin yang punya tempat itu tidak senang aku berada di sini. Mengapa aku tadi melantur, pikiranku melayang teringat pada gadis-gadis cantik itu. Oalah.. apakah mungkin aku sudah tertarik pada Bunga Jelita, gadis cantik pemimpin pasukan kadipaten Salatigo? Baru bertemu gadis Salatigo saja aku sudah ngaco tidak karuan. Bagaimana kalau bertemu gadis Sala empat?"

Raja menyeringai dan berpikir sejenak lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Baru saja sang pendekar berniat tinggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara lengkingan menggeledek disertai sambaran angin keras.

Andai Raja tidak bersikap waspada, tubuhnya pasti sudah terjengkang kebelakang disapu hantaman angin yang melabraknya.

"Kurang ajar! Siapa yang telah menyerangku?"

Seru sang pendekar merasa dipermainkan.

Dia menatap tajam ke arah dimana kilau cahaya muncul. Kilau cahaya lenyap.

Suara lengkingan juga ikut raib.

Keadaan berubah menjadi sunyi.

Tapi kesunyian itu tidak berlangsung lama.

Sekejab kemudian terdengar ada orang berkata.

"Wahai, pemuda gondrong berpakaian kelabu. Aku tidak perduli kau siapa dan datang dari mana. Seandainya kau dikirim oleh Iblis Gila sekalipun aku tidak perduli. Karena aku yakin jahanam satu itu kini telah mampus. Apapun yang menjadi tujuanmu datang ke tempat ini. Kuharap kau jangan pergi begitu saja seperti angin."

"Siapa yang bicara. Suaranya terdengar seperti suara orang yang berada didalam sumur atau liang lahat. Tapi dari getaran suaranya itu aku merasakan seperti suara penderitaan. Siapakah dia?"

Gumam Raja sambil menatap ke arah datangnya Suara.

Pemuda ini tiba-tiba ingat pada dua jiwa penghuni hulu pedang sahabatnya.

"Jiwa Pedang! Cari tahu siapa orang yang baru saja bicara denganku!"

Baru saja sang pendekar berucap demikian, tiba-tiba saja ada semilir angin berdesir menyambar bahu sebelah kanannya.

Beberapa helai rambut panjang pemuda itu berkibar-kibar disertai terdengarnya suara mengiang ditelinga kanan sang pendekar.

"Gusti... memanggil saya. Saya telah menghadap."

Kata Jiwa Pedang sang mahluk alam roh yang selalu bicara dengan Raja melalui suara mengiang. Raja anggukkan kepala.

Belum sempat dia membuka mulut ada lagi angin berhembus ditelinga kiri pemuda itu yang disusul dengan terdengarnya mengiang suara perempuan.

"Gusti, Jiwa Pedang boleh saja disuruh-suruh dan diajak bicara? Saya, Sinta Dewi mohon diajak bercakap-cakap saja tapi jangan disuruh."

Mendengar ucapan mengiang sang jiwa perempuan yang bernama Sinta Dewi itu. Raja pun tersenyum.

"Kau hanya mau diajak bercakap-cakap, tapi tak mau melakukan sesuatu untukku? Apa gunanya kau bergabung dengan kami?"

"Bukan begitu gusti. Saya inikan gadis cantik. Saya tidak mau melakukan tugas yang berat. Kalau yang ringan dan yang enak-enak saya pasti mau gusti!"

"Jangan dengarkan perempuan gila itu gusti. Dia gadis yang sangat cemburu terlebih bila melihat ada gadis cantik bersama gusti."

Kata Jiwa Pedang membuat Raja tak kuasa menahan tawa.

"Siapa bilang saya cemburu. Saya hanya merasa iri saja melihat manusia terutama gadis gadisnya yang cantik. Coba kalau saya mempunyai tubuh, punya raga yang dapat dilihat, pasti banyak laki-laki yang jatuh cinta pada saya.Hi hi!"

Kata gadis alam roh itu disertai tawa.

"Sudah, Bicara dengan gadis sepertimu memang menyebalkan!"

Sentak Jiwa Pedang Kesal.

"Aku tidak mau bergurau terutama pada saat seperti ini, Sinta."

Tukas sang pendekar. Kemudian pada Jiwa Pedang dia berkata.

"Jiwa sahabatku juga kau Sinta. Apakah kalian tahu siapa yang baru saja bicara dan menyerangku tanpa alasan yang jelas?"

"Hmm, kita akan segera mencari tahu. Di depan sana ada sebuah lubang menganga dalam. Segala masalah datangnya dari lubang itu bukan dari tanah tempat dimana gusti berada."

Jelas Jiwa Pedang.

"Lubang? Mengapa banyak sekali orang yang suka mencari lubang atau berada dalam lubang. Seperti jangkrik saja. Hik hik!"

Ucap mahluk alam roh itu sambil tertawa.

"Jangan bicara ngaco. Betapapun manusia tidak dapat melupakan asal usulnya bukan?"

Sambut Raja.

Dengan wajah bersungguh-sungguh Raja kemudian lanjutkan ucapannya.

"Aku ingin kalian mencari tahu siapa orang yang mendekam di dalam lubang itu, seperti yang dikatakan Jiwa Pedang?"

"Tidak bisa gusti. Justru gusti yang harus segera ke sana?"

Kata Jiwa Pedang.

"Apa maksudmu?"

Tanya Raja tidak mengerti.

"Begini. Walau saya dan Sinta tidak datang ke tempat itu. Dari sini kami sudah melihat memang ada orang mendekam dalam lubang. Orang itu berada di tengah kobaran api menyala."

"Ada orang berada di tengah kobaran api. Dan orang tersebut sanggup bertahan hidup? Aneh dan luar biasa!"

Desis sang pendekar heran sekaligus takjub.

"Wahai... mengapa kau tetap berada disitu seperti orang tolol? Kau tersenyum. Mulut bicara sendiri apa kau memang gila sungguhan?"

Sekali lagi terdengar suara ucapan ditujukan pada Raja.

"Eeh, memangnya siapa dirimu? Apakah ucapanmu ditujukan padaku? Mengapa kau menganggap aku orang gila?"

Kata pemuda itu pura-pura tidak mendengar ucapan orang dengan jelas

"Kau mengira hanya dirimu saja yang berada di tempat ini. Tempat ini terbuka. Tidakkah kau menyadari betapa rawannya tempat ini? Kau mencari mampus berani berada di alam terbuka? Mengapa tidak segera mencari tempat yang aman, tempat untuk berlindung dari intaian berpasang pasang mata yang haus nyawa dan darah."

"Andai yang melihatmu cuma satu pasang mata mungkin kau bisa selamat. Tapi bagaimana bila yang melihat kehadiranmu berpasang-pasang mata. Tidak sedikit orang yang berkepandaian luar biasa hebat menemui ajal di tempat ini. Kalau mau selamat segera datanglah kepadaku.Kediamanku yang dingin sejuk ini.Ha ha ha!"

Raja terkesima dan terheran-heran mendengar ucapan orang yang terasa aneh dan membingungkan.

"Apa maksud ucapannya?"

Tanya pemuda itu ditujukan pada dua mahluk alam gaib sahabatnya.

"Tidak ada siapa-siapa disekitar ini. Orang itu mungkin sengaja menakuti-nakuti gusti Raja."

Terdengar suara mengiang di telinga kiri Raja.

"Tapi tunggu... mungkin saja dia tidak bergurau...!"

Sentak Jiwa Pedang.

"Aku tidak melihat apa-apa, kau sendiri melihat apa Jiwa Pedang?"

Tanya Raja.

"Ha ha ha! Segalanya jadi terlambat. Dasar manusia bodoh! "

Seru orang yang berada dikejauhan di depan sana.

Kreeak...!

Terdengar suara jerit mengguntur diketinggian langit. Siang yang panas mendadak berubah menjadi gelap. Terkejut mendengar suara teriakan yang menyakitkan gendang-gendang telinga.
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Raja Gendeng 313 dongakkan kepala menatap ke langit.

Pemuda ini tersentak. Mata terbelaiak, mulut ternganga menatap dengan penuh rasa tidak percaya pada apa yang dilihatnya diketinggian sana.

Di atas awan seolah datang dari atas langit ketujuh bermunculan sedikitnya lima mahluk berwujud seperti elang namun mempunyai sayap tidak ubahnya kelelawar. Sedemikian besarnya kelima mahluk hitam itu sehingga bentangan kedua sayapnya sanggup menghalangi cahaya matahari yang menyentuh kawasan luas yang berada di bawahnya.

"Aku tidak pernah melihat ada mahluk sebesar dan seaneh ini. Jiwa pedang sahabatku! Paman Pelintas Samudera sekalipun besarnya tidak sama seperti mereka?"

Desis Raja dengan suara bergetar.

Pelintas Samudera adalah seekor Rajawali berbulu putih.

Binatang itu berdiam di Pulau Es.

Namun bila dibutuhkan sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh Raja

"Rajawali Putih binatang tunggangan gusti ukurannya memang sedikit lebih kecil. Tapi dia jauh lebih gesit, lebih cepat dan mungkin lebih sakti."

Jawab Jiwa Pedang yang memang mengenal burung Rajawali sahabat Raja.

Berbeda dengan Sinta Dewi Gadis alam roh itu tentunya tidak mengenal Sang Pelintas Samudera.

Tidaklah heran diapun bertanya.

"Pelintas Samudera? Rajawali Putih.. memangnya gusti memiliki burung piaraan yang lain? Selain yang asli?!"

"Gadis kurang ajar! Kau tak tahu apa-apa tentang kehidupan masa lalu gusti Raja. Lebih baik diam! Kelima mahluk itu nampaknya siap turun kemari untuk memangsa gusti Raja!"

Sentak Jiwa Pedang cemas. Sinta terdiam.

Dia yang saat itu berdiri mengapung disebelah kiri Raja memandang ke atas. Ternyata Jiwa Pedang memang tidak bicara berlebihan.

Saat itu kelima mahluk elang bersayap kelelawar, terbang berputar membubung tinggi dan siap melabrak ke bawah.

Begitu kelima mahluk luar biasa ini jungkirkan kepala kebawah.

Kelimanya melesat kebawah dengan kecepatan seperti kilat menyambar disertai suara bergemuruh mengerikan.

Ketika kelima mahluk raksasa melesat sambil kibaskan dua sayap ke arah Raja.

Suara bergemuruh terdengar disertai dengan hembusan angin dingin luar biasa hebat.

Satu mahluk saja kepakan sayap sudah membuat pepohonan rontok dan bebatuan berterbangan diudara.

Apalagi kelima mahluk itu datang menyerbu sekalipun dengan paruh besar ternganga bergerigi ditambah bentangan sayap yang tipis tajam tentu sangat membahayakan keselamatan sang pendekar.

Tidak ada kesempatan bagi Raja untuk memikirkan kelima mahluk pemangsa itu lebih lama.

Dia pun jatuhkan diri, bergulingan kesamping dekat pohon besar rimbun yang berada tidak jauh disebelah kanannya. Sambil bergulingan pemuda ini sempatkan diri hantamkan kedua tangannya ke arah lima mahluk penyerang yang saat itu telah berada diketinggian sekitar tiga tombak

Wuus!

Wuut!

Tidak kepalang tanggung.

Raja menghantam kelima mahluk itu dengan pukulan sakti Badai Serat Jiwa dan pukulan Cakar Sakti Rajawali.

Lima cahaya kemilau berwarna putih dan biru menderu dari telapak tangan kiri Raja sedangkan dari telapak tangan kanannya berkiblat pula lima larik cahaya putih menyilaukan menebar hawa panas luar biasa.

Sepuluh cahaya menghantam kelima mahluk.

Tapi belum mencapai sasaran yang dituju serangan itu kandas dihantam sayap kelima mahluk itu

"Wah, celaka! Seranganku dapat mereka halau dengan mudah!"

Desis Raja yang baru saja mencapai bawah pohon.

Belum sempat pemuda ini berdiri tegak kelima mahluk keluarkan pekikan keras.

Sayap-sayapnya yang tajam menghantam bagian sebelah atas yang dijadikan tempat berlindung pemuda itu.

Hrih..!

Breees!

Laksana dibabat selusin pedang yang luar biasa tajamnya, pucuk pohon, ranting, cabang hingga bagian batang di sebelah atas hancur berguguran.

Puing-puing dan potongan kayu berpentalan diudara, lalu melayang jatuh menimbulkan kegaduhan.

Raja melesat ke tempat yang aman, sementara lima mahluk begitu gagal pada serangan pertama segera membubung tinggi siap lancarkan serangan kedua

"Mahluk-mahluk itu mempunyai senjata mematikan. Dua pukulan yang kulepaskan jangankan mencederai, menyentuh pun tidak sanggup!"

Desis Raja sambil julurkan lidah namun perhatiannya tetap tertuju ke angkasa

"Biarkan kami membantu, gusti.
Mereka bukan mahluk yang tidak mengenal mati. Pasti ada cara untuk menghabisinya!"

Kata Jiwa Pedang

"Mereka berada diketinggian. Pukulan saktiku yang paling hebat sekalipun tidak mungkin bisa menjangkaunya!"

"Kami akan menyerang dengan pedang Gila!"

Sahut Sinta

"Bagus kalau kalian mau membantu, Tidak bersikap diam saja seperti mahluk-mahluk yang bodoh!"

Sahut Raja sambil menyeringai

"Bantuan diberikan. Pedang siap menebas kepala mahluk-mahluk itu!"

Suara mengiang Jiwa Pedang dan Sinta terdengar bersamaan

Sringg!

Terdengar suara pedang dicabut dari rangka yang tergantung dipunggung sang Pendekar.

Pedang meliuk-liuk di udara, lalu melesat mengejar ke arah kelima mahluk raksasa yang kini telah berbalik arah, kepala menghadap ke bawah, menukik tajam siap menyambar sasarannya.

Dari sebelah bawah Pedang Gila yang sesungguhnya dapat bergerak dengan sendirinya, kini berada dalam kendali Jiwa Pedang juga Sinta yang terus mengiringi dari sebelah belakang.

Pedang Gila terus menderu dengan kecepatan luar biasa.

Cahaya kuning kemilau laksana cahaya emas menembus kesegenap penjuru, membuat mata kelima mahluk yang berwarna kecoklatan kesilauan.

Gerakan kelima mahluk sempat tertahan.

"Hantam yang di tengah terlebih dahulu!"

Sinta memberi tahu Jiwa Pedang.

"Aku tahu. Kau hantam segera dua mahluk yang berada di sebelah kirimu. Kalau perlu dengan segala kekuatanmu!"

Perintah Jiwa Pedang.

Setelah berkata demikian Jiwa Pedang menggenggam bagian hulu pedang erat-erat.

Pedang kemudian diayun membabat kepala dan sayap mahluk paling besar yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.

Mahluk itu berkelit, tapi paruhnya membuka berusaha menyambar pedang yang menderu ke arahnya.

Gerakan paruh burung ternyata kalah cepat dengan gerakan senjata.

Begitu luput dari paruh pedang melesat membabat leher sang mahluk yang besarnya hampir sama dengan batang kelapa.

Craas!

Breet!

Tidak hanya kepala yang kena dibabat putus bagian sayap sebelah kiri juga ikut kena ditebas. Kepala melesat melayang jatuh.

Darah hitam menyembur.

Sepotong sayap sepanjang belasan tombak yang putus ikut melayang, bagian tubuh itu menyusul kemudian. Melihat pimpinannya menemui ajal, empat mahluk menjadi murka, Dua lainnya segera meluncur deras ke bawah ke arah Raja.

Sedangkan yang dua lagi tertahan oleh Sinta yang telah berubah menjelma menjadi sosok serba putih.

"Selesaikan mahluk bersayap yang kepalanya paling botak itu!"

Teriak Jiwa Pedang.

"Jangan cerewet! Aku sedang mengusahakannya!"

Sahut Sinta.

Dan tentu saja pembicaraan yang terjadi diantara kedua mahluk alam gaib itu hanya bisa didengar oleh Raja saja.

Sosok serba putih tembus pandang jelmaan Sinta tiba-tiba melesat ke depan.

Melewati paruh dan kepala sang mahluk lalu bertengger diatas leher kokoh sang mahluk.

Lalu dengan kekuatan penuh dia menghantam batok kepala sang mahluk.

Walau telah berusaha menghindar namun mahluk ini tidak sempat selamatkan kepalanya yang dikepruk. Sang mahluk memekik keras.

Kepalanya berderak hancur.

Dalam keadaan berkelonjotan mahluk ini melayang jatuh.

Sementara pada waktu yang sama Jiwa Pedang juga berhasil menghantam punggung mahluk lainnya. Disebelah bawah, suara berdebum jatuhnya mahluk-mahluk raksasa itu terdengar susul menyusul.

Tanah bergetar, debu-debu dan pasir bermuncratan di udara. Apa yang dilakukan oleh kedua jiwa sahabatnya memang sempat membuat Raja Gedeng 313 merasa lega.

Namun dia sendiri saat itu tengah menghadapi serbuan ganas dua mahluk bersayap lainnya. Dengan sepasang sayapnya yang lebar dan tajam luar biasa, kedua mahluk menghantam silih berganti.

Walau telah menggunakan Jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung yang dipadukan dengan jurus Tarian Sang Rajawali, namun Raja agak kewalahan menghadapi gempuran kedua mahluk itu. Apalagi kedua lawan menggunakan juga paruhnya yang tajam melengkung untuk menyerang.

Raja terpaksa melompat menghindar sambil melepaskan pukulan Cakra Hallillintar
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Setan alas! Aku sungguh-sungguh dibuat repot oleh serangan mahluk ini. Kalau Cakra Halilintar tidak sanggup menghantar mereka ke liang kubur. Kemungkinan aku yang bakal menjad korban, Mati dalam kebahagiaan? Andai itu bisa kualami!"

Dua cahaya laksana kilat menyambar, menderu dari setiap ujung jemari tangan sang pendekar, kilatan cahaya terang benderang menebar hawa panas bukan kepalang lalu menghantam dua mahluk yang mengayunkan sayap dan paruh ke arahnya

Blar!

Buum!

Dua serangan sakti melabrak kedua mahluk Itu, membuat keduanya terguncang keras, terdorong melambung diketinggian sambil keluarkan pekikan keras .Mahluk itu terluka namun tidak mati.

Malah kini terlihat bertambah beringas dan kembali menyerang Raja dengan segenap kekuatan yang mereka miliki

"Mati bahagia....
mati bahagia..."

Seru Raja yang kembali salurkan tenaga dalam kebagian kedua belah tangan, Selagi Raja siap hendak menggempur kedua lawan dengan ilmu sakti Seribu Jejak Kematian.

Disaat itulah tiba-tiba dia merasakan ada keanehan terjadi pada dirinya.

Tiba-tiba saja sekujur tubuhnya bergetar.

Pemuda ini kemudian bergoyang, mulut tersenyum. Sementara tanpa dia sadari ada rasa bahagia luar biasa yang mendadak muncul dari dasar relung hati.

Sekujur tubuhnya memancarkan cahaya putih. Bukan hanya tubuhnya saja yang putih berkilau tetapi rambutnya juga berkilau memutih laksana perak

"Oh dewa, aku bahagia...betapa aku teramat sangat bahagia. Terima kasih dewa kau penuhi jwa ragaku dengan kebahagiaan!"

Seru Raja sambil tertawa tergelak-gelak.

"Kebahagiaan datang menghampiri Jiwa yang tulus dalam keikhlasan. Bila kebahagiaan bersemayam dalam diri seseorang yang tidak mengagulkan kedudukan, keturunan dan berjalan di bumi dengan kepala menunduk. Siapapun yang telah mencapai tujuan yang tertinggi ini, maka dia tidak akan tersentuh oleh bencana, marabahaya serta kejahatan yang dilakukan oleh sesama mahluk hidup!"

Berkata satu suara.
Dan Raja ingat suara itu adalah suara puteri Manjangan Putih.

"Gadis itu... Jadi benar seperti yang dikatakannya bahwa aku telah mewarisi ilmu Kebahagiaan saat berada di Istana Satu?"

Desis sang pendekar dengan takjub sambil memperhatikan diri sendiri.

Untuk lebih jelas siapa adanya puteri Manjangan Putih dapat diikuti episode 'Perawan Bayangan Rembulan'

Raja pun terus tersenyum dalam kebahagiaan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Segala keanehan yang terjadi pada Raja tidak hanya membuat Jiwa Pedang dan Sinta yang siap mengembalikan pedang ke rangkanya tertegun.

Sebaliknya dua mahluk bersayap itu pun sempat beliakkan kedua matanya

"Sinta..kau lihat mengapa tiba-tiba tubuh gusti dipenuhi cahaya putih. Dan rambutnya itu..bagaimana bisa ikut memutih?"

Desis Jiwa Pedang heran.

"Aku tidak khawatir dengan perubahan rambutnya. Yang mengherankan mengapa dia terus tertawa. Maut mengancam di depan mata dia kok malah tertawa. Jangan-jangan paduka Raja sudah menjadi gila sungguhan!"

Timpal Sinta.

Selagi kedua sahabat Raja dibuat terpana dengan perubahan yang terjadi pada diri sang pendekar.

Dua mahluk bersayap yang menyerang ternyata sudah dapat menguasal diri.

Kemudian tanpa menghiraukan keanehan yang terjadi pada lawan.

Keduanya pun segera menyerang dengan hantaman paruh dan kepakan sayap.

Melihat serangan ganas kedua mahluk, sang pendekar malah lindungi wajah sambil berujar,

"Oalah... rupanya ada saja yang merasa sirik melihat orang bahagia!"

Karena Raja tidak berusaha menyelamatkan diri atau bergeser dari tempatnya.

Dengan telak serangan kedua lawannya menghantam tubuh Raja dari kepala hingga ke kaki.

Namun apa yang terjadi kemudian sungguh sangat luar biasa.

Begitu sayap dan paruh kedua mahluk menyentuh tubuh dan kedua bagian bahu Raja, Seketika itu pula kedua mahluk bersayap menjerit keras.

Tubuh mereka terpelanting seperti ada dua kekuatan luar biasa besar menghantam mereka.

Kedua mahluk jatuh bergedebukan.

Tubuh mereka dirayapi api dari bagian paruh dan sayap yang kemudian menjalar memberangus bagian tubuh lainnya. Dua mahluk menjerit keras, menggelepar lalu meledak berubah menjadi serpihan daging hangus.

Raja tercengang

"Hei.. kebahagiaan yang kurasakan bahkan sanggup menghancurkan kedua mahluk itu.
Aneh..."

Desis Raja sambil memperhatikan dirinya sendiri yang masih diselimuti cahaya.

"Ilmu Kebahagian. Jadi benar aku telah mewarisi ilmu langka yang bernama Ilmu Kebahagiaan?"

Perlahan dia menarik kembali tenaga sakti yang disalurkan kesegenap penjuru tubuh.

Bersamaan dengan penarikan tenaga dalamnya seketika itu juga cahaya yang memancar dari tubuhnya lenyap.

Bahkan rambutnya yang berwarna putih laksana perak kembali berubah ke warna semula. Raja merasa terharu.

Ingat dengan kemurahan hati Puteri Manjangan Putih.

"Terima kasih dewa, terima kasih Puteri Manjangan Pubih!"

Gumam pemuda itu berulang kali.

Pemuda ini kemudian memanggil pedangnya.

Dan kemudian Pedang Gila menderu ke arah punggung lalu

Treek!

Pedang Gila langsung masuk ke dalam rangkanya, Sementara Jiwa Pedang dan Sinta sudah berdiri di depannya

"Gusti... kami telah membunuh tiga mahluk bersayap itu. Dan gusti membunuh dua diantaranya tanpa menyentuhnya. Semua itu sangat menakjubkan. Apa yang telah gusti lakukan?"

Tanya Sinta sambil menatap Raja penuh arti dan kekaguman. Tentu saja Raja tidak melihat betapa Sinta menatapnya dengan wajah berseri dan mata berbinar-binar, karena sang pendekar memang tidak dapat melihat kedua mahluk alam roh itu.

Dia hanya bisa merasakan kehadiran mereka dan mendengar suara mereka saja.

"Benar gusti. Kami Ingin tahu ilmu apa yang gusti gunakan. Tidak biasanya tubuh gusti bercahaya seperti itu. Dua mahluk bersayap binasa hanya karena mereka menghantam tubuh gusti!"

Ucap Jiwa Pedang pula.

Raja menggaruk kepala lalu tersenyum

"Aku mendapat berkah ketika berkunjung ke Istana Satu, Istana Kebahagian. Berkat kemurahan dewa ketika berada di Istana Satu aku dikarunia ilmu langka bernama Illmu Kebahagiaan. Imu tadi yang telah membunuh dua mahluk dan itu bekerja dengan sendirinya begitu aku menyebut kata Bahagia' berulangkali. Aku merasakan kedamaian yang luar biasa berkat ilmu itu. Aku seperti berada di surga yang paling indah."

Ucap Raja Gendeng 313 dengan wajah cerah sumringah

"Luar biasa.Kebahagiaan menjadi tujuan setiap manusia.Untuk mencapainya tidaklah mudah. Gusti mendapatkan anugerah itu. Tidak semua manusia yang telah memiliki kepandaian tinggi sekalipun yang memilikinya."

Kata Jiwa Pedang

"Sudah selayaknya gusti bersyukur dan kita semua mensyukuri amanah yang langka ini."

Kata Sinta pula,

"Ya... syukur... syukur!"

Sambut Raja dengan kepala terangguk-angguk.

"Hei...gondrong aneh. Selain gendeng ternyata kau pemuda hebat. Seumur hidup aku berada di tempat ini. Baru kau seorang yang sanggup membunuh kelima mahluk buas itu. Kau punya senjata aneh yang bisa terbang. Tubuhmu pun bisa memancarkan cahaya. Segala keganjilan yang ada padamu sungguh membuatku kagum. Kemarilah wahai gondrong. Kau harus mengenalku dan kau harus pula tahu siapa aku!"

Seru suara dari dalam lubang dikejauhan sana.

"Orang itu sejak tadi terus saja bicara. Aku jadi penasaran dan ingin tahu siapa sesungguhnya dia."

Setelah berkata begitu Raja berkata kepada kedua sahabat gaibnya.

"Kalian kembalilah ke hulu pedang. Jangan bicara kalau aku tidak bertanya."

"Baiklah, gusti."

Sahut Jiwa Pedang dan Sinta. Pemuda ini kemudian merasakan ada desir angin melewati bahu menuju ke arah pedang yang bergantung di punggungnya. Setelah kedua sahabat kembali ke tempatnya. Dia pun bergegas menuju ke lubang dari mana suara berasal.

****

Di balik relung tebing. kakek angker yang kerap, tertawa, menangis atau bicara seorang diri ini ternyata mempunyai sebuah tempat rahasia. Tempat ini biasanya dipergunakannya untuk memperdalam jurus-jurus maut dan ilmu kesaktiannya.

Berbeda dengan keadaan jurang di mana Pura Saketi terjatuh yang selalu diselimuti kegelapan. Sebaliknya tempat rahasia yang terletak disebelah dalam relung tebing ini ternyata selalu terang karena ada semburan api yang berpijar dari setiap sudut.

Puluhan tahun terjebak ditempat itu si kakek tidak pernah tahu seberapa luas tempat yang diberinya nama Ruang Menyusun Rencana ini.

Dia sendiri tidak pernah menyelidiki keseluruhan penjuru sudut kawasan yang dipenuhi bebatuan dan juga beberapa gua.

Si kakek yang dikenal dengan sebutan Iblis Kolot hanya mempergunakan tempat yang berpenerangan ini untuk melatih dirinya.

Dua hari sejak Pura Saketi terjatuh, Iblis Kolot sengaja membaringkan si bocah di satu tempat yang gelap sempit namun memiliki udara yang hangat. Tindakan ini dilakukan untuk membuka jalur darah, memperbaiki otot serta tulang punggung si bocah yang mengalami kerusakan.

Beberapa hari kemudian ketika si bocah tersadar dan tubuhnya sudah pulih seperti sediakala, Iblis Kolot membawa Pura Saketi ke tempat luas yang memiliki penerangan alami ini. Di bawah semburan api yang serba merah, Pura Saketi yang saat itu duduk di atas batu bundar perlahan angkat kepala dan menatap kedepan. Telinganya mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat ke arahnya.

Bocah remaja itu terkesiap ketika melihat sosok seorang kakek berambut panjang riap-riapan berdiri tegak sambil menyeringai dan berkacak pinggang.

"Kau terkejut melihat diriku? Apakah tampangku tidak sedap dipandang? Ataukah wajahku tidak setampan ayahmu dan tidak secantik ibumu?"

Kata Iblis Kolot dengan suara menggembor memecah keheningan. Pura Saketi terdiam. Selain bingung karena tidak tahu dirinya berada dimana. Dia pun merasa takut melihat kakek berwajah angker menyeramkan itu.

Dari penampilannya si kakek tidak layak disebut manusia. Dia lebih pantas disebut setan kubur yang baru bangkit dari neraka.

"Dimana diriku? Siapa kakek ini?"

Batin Pura Saketi sambil berusaha keras mengingat-ingat.

"Aku terjatuh, aku menceburkan diri ke jurang. Ada dua anak panah menembus perut dan pahaku!"
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pura Saketi lalu mengusap perut sambil meraba bagian pahanya yang tertembus panah.

Diam-diam dia terkejut tapi juga bersyukur ketika dapati perutnya tidak terluka dan pahanya baik-baik saja.

Dua anak panah lenyap.

Dan dia dalam keadaan tidak kekurangan sesuatu.

"Siapa yang menolongku? Kakek yang berdiri dihadapanku inikah?"

Pikir si bocah.

"Bocah keparat! Ditanya tidak menjawab kau malah melamun seperti orang tolol!"

Hardik si kakek. Matanya mendelik belingsatan.

"Eeh... maafkan aku... kek. Aku memang kaget. Aku terkejut bukan melihat wajahmu, aku hanya bertanya-tanya mengapa aku berada di sini."

Jawab Pura Saketi gelagapan walau dia telah berusaha bersikap tenang. Si kakek mendengus, lalu tertawa-tawa dan memaki tidak karuan.

"Manusia aneh. Keadaannya seperti orang yang tidak waras. Mungkinkah dia gila?"

Pikir Pura Saketi. Baru saja si bocah berkata di dalam hati, tawa Iblis Kolot serta merta terhenti. Matanya yang merah mendelik ke arahnya.

"Bocah keparat! Jangan membicarakan aku walau cuma di hati "
"Maaf kek..!"

"Maaf? Apakah hanya kalimat itu yang bisa kau katakan. Kepalamu tidak terluka. Otakmu utuh tubuhmu bahkan tidak kekurangan sesuatu. Tapi... kalau aku tidak menolongmu, kau sudah mampus didasar jurang. Kau pasti telah jadi arwah gentayangan yang cuma bisa memendam rasa penasaran selama langit terbentang."

Gerutu Iblis Kolot.

Pura Saketi beringsut mundur karena dengan tidak diduga tiba-tiba kakek itu datang mendekat. Si kakek kemudian duduk begitu saja, menjelepok di atas sepotong batu tak jauh dari batu bundar yang diduduki si bocah, Karena jaraknya yang demikian dekat Pura Saketi dapat mengendus bau tubuh si kakek.

Bau busuk keringat yang menandakan orang yang di depannya ini tidak pernah tersentuh air selama puluhan tahun. Takut menyinggung perasaan orang yang tidak dikenalnya, Pura Saketi memilih berdiam diri

"Bocah, kau telah selamat. Dan kau berhutang nyawa padaku. Sebelum aku memutusaian untuk melakukan sesuatu terhadapmu.
Sebaiknya katakan padaku siapa yang telah melemparmu dar atas jurang sana?"

Pertanyaan itu segera mengingatkan si bocah dengan kejadian yang dialami ayahnya dan para pengikutnya.

"Aku menceburkan diri ke jurang kek. Tindakan itu untuk menghindari kejaran orang-orang yang menginginkan kematianku,"

Kata Pura Saketi membuat Iblis Kolot tertegun lalu geleng geleng kepala.

"Kau tidak gila. Pasti ada alasan yang kuat yang membuatmu bertindak nekat! Jawab pertanyaanku, jangan ngaco jangan berdusta!"

Pura Saketi memberanikan diri tatap wajah orang di depannya.

"Orang-orang itu telah membunuh ayahku. Setelah ayah dan pengikutnya terbunuh mereka juga hendak menghabisi aku."

Jelas si bocah.

Dia pun lalu menceritakan siapa ayahnya dan siapa siapa saja yang telah melakukan penyerbuan ke tempat tinggal mereka.

Selesai mendengar penuturan Pura Saketi, Iblis Kolot yang juga dikenal dengan julukan Iblis Gila tak kuasa menahan tawa.

Suara tawa si kakek membuat tanah dan dinding-dinding batu berguncang keras.

Suara itu juga mirip dengan suara raungan mahluk penghuni neraka.

Mendengar tawa si kakek si bocah bergidik dan usap tengkuknya yang terasa dingin.

Tawa si kakek kemudian lenyap, mata angker aneh itu tertuju lurus ke arah Pura Saketi.

Kemudian bibir yang tertutup kumis dan janggut tebal kotor itu membuka.

"Nama Pendekar Sesat rasanya tidak asing ditelingaku. Aku sangat suka dengan segala tingkah dan perbuatannya. Ayahmu kerap menebar kejahatan di delapan penjuru angin, Selain itu dia juga gemar mengumpulkan perawan dan gadis cantik. Dia bebas bertindak semaunya. Banyak orang takut dengan kekejamannya. Andai aku hidup di luar jurang ini aku pasti sudah bergabung dengannya. Berpesta pora menebar angkara murka juga salah satu kegemaranku!"

Mendengar ucapan Iblis Kolot, sadarlah Pura Saketi manusia seperti apa orang yang berada di hadapannya itu.

Dia yang tadi hendak ajukan pertanyaan mengapa si kakek bisa berada didasar jurang maut tersebut terpaksa batalkan keinginan dan telan pertanyaannya kembali

"Bocah siapa namamu?"

Tanya Iblis Kolot sambil memegang bahu Pura Saketi.

"Namaku Pura... Pura Saketi.. kau sendiri siapa kek?"

Si bocah sebutkan nama dan balik bertanya.

"Apa perlunya kau tahu namaku? Orang memanggilku dengan sebutan Iblis Kolot, namun mereka yang berseberangan jalan hidupnya denganku memanggilku Iblis Gila!"

Dia berharap Pura Saketi terkejut begitu mendengar namanya.

Tapi si bocah ternyata diam saja karena dia tidak pernah mengenal nama Iblis Kolot

"Kau tidak kaget.Jika orang lain pasti bisa mati mendadak begitu mendengar namaku.Tapi aku tidak perduli. Dimataku ayahmu, Pendekar Sesat itu adalah manusia yang sangat luar biasa.Kau harus bisa membalas kematian ayahmu!"

Tegas Iblis Kolot bersemangat. Mendengar ucapan ini justru Pura Saketi langsung terdiam

"Apa yang kau pikirkan. Aku bisa mengajarimu jurus-jurus hebat dan mewariskan ilmu pukulan sakti yang sulit dicari tandingannya."

"Kek... mengapa aku harus membalas kematian ayahku? Bukankah apa yang dialaminya sudah sepadan dengan segala yang diperbuatnya, Tidak terhitung berapa banyak yang terbunuh ditangannya. Ayah juga kerap menculik gadis-gadis cantik. Pranajiwa telah kehilangan dua putrinya. Yang lain kehilangan sanak dan kerabat. Bila kemudian mereka bergabung dan menyerang ayah. Sebagai anak, saya sendiri tidak dapat menyalahkan mereka yang telah menghabisi ayah!"

Diluar dugaan tiba-tiba Iblis Kolot menampar Pura Saketi hingga membuat bocah itu terpelanting.Pipinya menjadi merah.

Lima jari Iblis Kolot membekas di pipi itu.

Darah mengucur dari bibir Puri Saketi yang terluka.

Dengan tubuh menggigil di dera rasa takut juga kemarahan si bocah bangkit. Sambil mengusap pipinya yang panas si bocah bertanya dengan suara bergetar.

"Kek mengapa kau menamparku? Apa salahku..."

Iblis Kolot menggeram.

Tangan terjulur siap mencekik leher si bocah, namun entah mengapa dia ragu dan cepat tarik kembali tangannya.

"Bocah tolol, anak yang tidak berguna dan tak berbakti pada orang tua. Ayahmu mati dibunuh orang, kau bersikap tenang dan tidak perduli. Kau malah beranggapan yang dialami oleh ayahmu sebagai sesuatu yang lumrah dan sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya? Jadi kau tidak punya keinginan untuk menuntut balas pada orang-orang yang menganggap dirinya seperti manusia suci?"

Pura Saketi terdiam.

"Kau hanya diam? Anak seperti apa dirimu ini?!"

Sembur si kakek lagi tambah kesal.

"Kau harus melakukan sesuatu agar arwah ayahmu bisa tenang di alam sana."

"Watak dan pendirian Iblis Kolot ternyata tidak berbeda dengan sifat ayahku. Mengapa aku harus bertemu dengan orang tua seperti dia?"

Lalu si bocah berkata.

"Apa yang harus aku lakukan? Pentolan para penyerbu itu ilmunya cukup tinggi. Di samping itu mereka juga dibantu oleh Tujuh Tokoh...!"

"Tujuh Tokoh Dari Puncak Akherat."

Iblis Kolot menyambung ucapan Pura Saketi. Si bocah anggukkan kepala.

"Manusia-manusia jahanam itu. Akan tiba waktunya bagiku untuk melenyapkan mereka dari dunia ini."

Kata Iblis Kolot sambil kepalkan tinjunya

"Kakek... kau bicara apa? Memangnya kau mengenal Tujuh Tokoh Dari Puncak Akherat?"

Tanya Pura Saketi

"Perlu apa kau tanyakan hal itu.Lebih baik pikirkan dirimu sendiri. Mulai sekarang kau harus menjadi muridku.Aku akan menggembleng dan menjadikanmu manusia yang jauh lebih hebat dari ayahmu. Aku memiliki ilmu, jurus serta pukulan pukulan sakti.Dalam beberapa purnama ke depan aku yakin kau telah mewarisi segala ilmu yang kumiliki"

"Tapi kek...ilmu kesaktian hanya membuat seseorang menjadi takabur! Aku tak mau menjadi seperti ayahku!"

"Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, aku menganggapmu sebagai anak yang tidak berguna. Jika tidak berguna buat apa kau berada di sini? Lebih baik kujadikan kau sebagai santapanku Ha ha ha!"

Ancaman Iblis Kolot tentu bukan cuma sekadar gertak belaka.

Sebab puluhan tahun yang silam selama malang melintang dirimba persilatan tidak sedikit bayi yang dijadikan korbannya. Pura Saketi terdiam lagi, Dalam diam rasa takut kembali datang menghantui.

Tapi dia sadar.

Dia memang tidak punya pilihan lain.

Perlahan dia mengangkat wajah lalu tatap wajah kakek angker.

"Apakah benar kau hendak mengangkatku sebagai murid?"

Dalam keraguan si bocah ajukan pertanyaan

"Mengapa tidak? Kau bakal menjadi manusia yang hebat.
Nantinya kau tidak dikejar atau diburu seperti binatang, tapi kaulah yang akan bertindak sebagai pemburunya. Ha ha ha!"

"Hm,kalau memang sudah menjadi keputusanmu. Aku tak akan menolak.Segalanya kuserahkan padamu kek."

"Ha ha ha! Bagus... bagus..."

Sambut Iblis Kolot lalu peluk Pura Saketi untuk mengungkapkan kegembiraannya.

Hari-hari selanjutnya bocah remaja itupun berada dalam gemblengan si kakek. Karena pada dasarnya Pura Saketi memang memiliki susunan tulang yang bagus, otot yang lentur serta jantung dan jalur darah yang baik. Ditambah si bocah juga pernah mendapat pelajaran ilmu silat dari ayahnya. Maka semua jurus-jurus silat, ilmu pukulan yang diturunkan oleh Iblis Kolot dapat diserapnya dalam waktu yang tidak lama.

Di samping mewariskan berbagai ilmu kesaktian yang dia miliki. Tak lupa Iblis Kolot juga secara terus menerus menanamkan rasa benci di hati Pura Saketi terhadap musuh-musuh ayahnya. Lambat laun seiring dengan bertambahnya usia, Pura Saketi yang tumbuh menjadi pemuda remaja telah berubah menjadi ganas dan liar yang memiliki watak tidak jauh berbeda dengan gurunya.


*****


Enam purnama setelah peristiwa penyerbuan gedung milik Pendekar Sesat.

Saat matahari hampir tenggelam Pranajiwa kedatangan seorang kakek bertubuh pendek cebol berambut putih, berjanggut putih panjang menjulai sampai kelutut. Di pinggang orang tua ini tergantung sebuah kendi perak dan mulutnya terselip pipa.

Pranajiwa berkenan menyambut kedatangan sang tamu. Laki-laki tinggi berpakaian merah ini kemudian mempersilahkan tamunya duduk di- pendopo depan.

"Sebelumnya diantara kita tidak pernah bertemu. Kalau boleh tahu siapa namamu, orang tua dan datang dari mana?"
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tanya Pranajiwa yang duduk bersila di depan sang tamu.

Sementara si kakek cebol yang merasa senang disambut dengan sopan oleh pemilik rumah segera mencabut pipa yang terselip di bibirnya.

Sebelum menjawab orang tua ini bungkukkan kepala dalam-dalam.

Sambil tersenyum dia menjawab

"Apalah artinya sebuah nama? Tapi baiklah, biar tidak penasaran kau boleh memanggilku Si Jenggot Panjang.Sesuai dengan sebutanku, kau bisa melihat sendiri betapa jenggotku memang panjang."

Ujar si kakek sambil mengelus jenggotnya yang putih berkilau.

Kemudian si kakek melanjutkan

"Dari mana aku datang saat ini rasanya tidak begitu penting.Bukankah demikian Pranajiwa? Dan benarkah Pranajiwa adalah namamu?"

Pranajiwa menganggukkan kepala.

"Namaku memang Pranajiwa. Lalu apa maksud kedatanganmu, orang tua?"

Tanya Pranajiwa dengan bibir tersenyum namun hati curiga.

Si Jenggot Panjang tersenyum pula.

"Sebelum mengatakan apa tujuanku datang ke sini, aku ingin bertanya terlebih dulu. Apakah saat ini kau masih berduka memikirkan kematian kedua putrimu?"

Pertanyaan itu karuan saja membuat Pranajiwa terkejut.

"Dari mana Si Jenggot Panjang bisa mengetahui bahwa dia telah kehilangan dua puterinya?"

Selagi Pranajiwa bertanya-tanya dalam hati, Si Jenggot Panjang kembali tersenyum.

Dengan sikap seakan mengetahui apa yang dipikirkan Pranajiwa, Si Jenggot Panjang berujar.

"Jangan mencoba mencari tahu bagaimana aku bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluargamu.Bagi orang sepertiku tidak ada yang bisa disembunyikan di dunia ini. Pemilik bumi selalu melihat rahasia yang tersembunyi di dalam dada manusia, Aku hanya bisa memberi saran bahwa semua yang dimiliki munusia sesungguhnya hanya pinjaman saja."

"Orang tua aneh ini banyak tahu,"

Berkata Pranajiwa sambil layangkan pandang ke halaman di depan pendopo yang luas, Lalu dia terdiam

"Mengapa diam Pranajiwa? Jika hendak mengatakan sesuatu janganlah ragu."

"Kakek jenggot panjang. Terus terang aku tidak mungkin menyesali kepergian kedua puteriku Surindah dan Sarindi. Berkat bantuan Tujuh Tokoh dari Puncak Akherat dan dengan dukungan para sahabat dari beberapa daerah, Pendekar Sesat serta kaki tangannya berhasil kami tumpas. Tidak ada keturunannya yang kubiarkan hidup agar arwah kedua puteriku bisa tenang di alam sana. Mengapa kau bertanya hal itu orang tua?"

Pertanyaan ini membuat Si Jenggot Panjang tersenyum.

"Aku datang diutus oleh seseorang yang disanjung karena keagungannya,"

Jawab si kakek

"Siapakah orang yang kau maksudkan itu?"

"Emm, memang seharusnya kau mengetahui siapa dia, Namun aku telah disumpah untuk tidak menyebutkan nama orang yang mengutusku.Melanggar pantangan berarti merupakan pengkhianatan. Aku tidak berani mengatakan orangnya. Yang bisa kukatakan adalah Kuasa Agung sangat pemurah, Beliau mengasihi sesama, penolong sejati dan bersedia memberikan bantuan pada siapapun dan kapan pun bila diminta."

"Kedengarannya Kuasa Agung seperti dewa penolong. Lalu apa hubungannya dengan diriku?"

Tanya Pranajiwa tidak mengerti.

Si Jenggot Panjang lagi-lagi menebar senyum

"Pranajiwa, aku tahu sebenarnya hingga saat ini kau masih selalu memikirkan anak-anakmu. Kalau kau menghendaki, aku bisa memberimu jalan keluar dan mengembalikan kedua puterimu"

Ucapan Si Jenggot Panjang tentu sambil mengejutkan Pranajwa

"Maksudmu...kau bisa menghidupkan mereka kembali?"

Sentak Pranajiwa dengan wajah tercengang mulut ternganga.

"Bukan aku yang mempunyai kemampuan sehebat itu. Yang dapat melakukannya adalah Kuasa Agung."

"Apakah Kuasa Agung benar bisa menghidupkan orang yang sudah mati? Kedua puteriku tewas sudah delapan Purnama yang lalu."

"Selama kematiannya tidak lebih dari dua belas purnama, Kuasa Agung pasti bisa mengembalikan kehidupan puterimu.Kuasa Agung bukanlah manusia biasa. Kesaktiannya meliputi segala."

"Lalu...apakah aku dapat bertemu dengannya?"

Tanya Pranajiwa seakan telah kehilangan pertimbangan akal sehat

"Hari baru saja berganti malam Pranajiwa. Aku bisa mengantar dirimu bertemu dengan Kuasa Agung sekitar tengah malam nanti. Tengah malam adalah waktu yang tepat dimana Kuasa Agung bakal berkenan mengabulkan permintaan setiap orang yang memohon."

"Mengapa menunggu tengah malam. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kedua puteriku!"

"Kau harus bersabar. Sekarang kau harus mempersiapkan perjalanan. Sebelum pergi kumpulkan seluruh muridmu, Bagaimanapun mereka harus menjaga rumahmu selama kau pergi bersamaku!"

Kata Si Jenggot Panjang.

Kegembiraan membayangkan bakal bertemu dengan anak-anaknya dirasakan melebihi kebahagiaan Pranajiwa ketika memenangi pertempuran melawan Pendekar Sesat.

Tidaklah heran dia segera mempersiapkan bekal yang dibutuhkan dan menyuguhi tamunya dengan makanan dan minuman yang lezat.

Pranajiwa mengumpulkan murid-murid dan pengikutnya. Begitu belasan murid berkumpul di halaman Pranajiwa berkata.

"Aku pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Kemana aku pergi bersama orang tua ini kalian tidak perlu tahu, Aku hanya meminta pada kalian semuanya. Selama aku tidak berada di tempat, kalian harus tetap berada di rumah ini. Berlatih seperti biasa dan boleh menggunakan senjata."

"Guru, apakah guru tidak hendak membawa serta beberapa murid?"

Tanya salah seorang muridnya yang bertubuh tegap tinggi. Si Jenggot Panjang yang sedari tadi diam memperhatikan sambil mencicipi hidangan yang tersedia, tiba-tiba menyela.

"Kami hanya berdua. Guru kalian sudah menjelaskan, kalian harus menjaga tempat tinggalnya. Boleh terus berlatih, malah menggunakan senjata pun tidak dilarang!"

Setelah berkata demikian Si Jenggot Panjang mengambil pipanya.

Setelah mengisi mulut pipa yang bulat bundar dengan serbuk berwarna hitam lalu dinyalakannya.

Si kakek menyedot pipa yang terselip diujung bibir dalam-dalam, lalu hembuskan nafas dengan tiupan lembut. Asap kelabu bergulung-gulung menebar memenuhi udara diseluruh penjuru halaman.

Murid-murid Pranajiwa mengendus aroma harum semerbak seperti bau kemenyan dan kelembak. Sesaat setelah menghirup asap pipa Si Jenggot Panjang, mereka merasa tubuh mereka menjadi enteng.

Semua kejadian ini tentu tidak sempat diperhatikan Pranajiwa.

Karena selesai berpesan pada sang murid, orang tua ini segera mengambil dua kuda terbaik yang terdapat dikandang belakang rumah berlantai panggung itu.

Kegembiraan memang membuat orang kerap berlaku lengah hingga hilang kewaspadaannya.

Pranajiwa yang memang masih kalut dilanda kesedihan dan merasa tidak puas walau Pendekar Sesat yang menjadi penyebab kematian orang-orang yang dicintainya telah binasa itu teryata mudah termakan ucapan Si Jenggot Panjang.

Entah apa yang dilakukannya bersama Si Jenggot Panjang setelah tengah malam tiba.

Yang pasti pada keesokan paginya, begitu matahari menampakkan diri dilangit timur, tempat kediaman Pranajiwa yang terpelihara rapi, berubah menjadi bangunan tua yang ditumbuhi rerumputan liar.

Di bagian halaman terdapat belasan patung batu dalam keadaan berdiri, rebah bahkan ada pula yang bergelimpangan.

Setiap patung ada yang memegang senjata, baik berupa tombak, pedang juga golok.

Tidak semua patung dalam keadaan utuh.

Sebagian diantara patung ada yang terluka dibagian leher, ada yang terbelah di bagian dada, ada yang robek dibagian perut hingga bagian isi perut berserabutan keluar.

Satu yang membuat orang yang melihatnya menjadi heran.

Kemana perginya murid-murid Pranajiwa?

Mengapa di halaman darah kental bertaburan memenuhi tempat itu?

Dan yang lebih mengherankan lagi, rumah dan halaman kini dipenuhi oleh sarang laba-laba.

Para tetangga yang bersebelahan dengan tempat kediaman Pranajiwa dibuat terkejut melihat keanehan itu.

Orang sedusun datang silih berganti ingin menyaksikan peristiwa menggemparkan tersebut. Menjelang siang ada seorang penunggang kuda bertubuh kekar bertelanjang dada sampai ke tempat itu.

Beberapa penduduk masih berada di halaman berkumpul bergerombol sibuk membicarakan kejadian yang mereka anggap tidak wajar itu.

Si pemuda bercelana biru berambut panjang.

K?dua matanya dilindungi dengan dua buah batok yang dibentuk mirip kaca mata, ketika sampai di halaman rumah Pranajiwa dia segera menghentikan binatang tunggangannya.

Kehadiran pemuda asing ini tentu saja menarik perhatian orang-orang di halaman itu.

Setelah memperhatikan, mereka terkejut ketika melihat binatang berbulu cokelat yang menjadi tunggangan pemuda gondrong itu ternyata tidak mempunyai mata alias buta.

Walau matanya tertutup dua batok sebesar telur, ternyata pemuda itu tahu dirinya diperhatikan.

Tiba-tiba saja dengan suara dingin dia membentak.

"Apa yang kalian lihat? Lekas pergi, tinggalkan tempat ini!"

Tak ingin mencari perkara dengan si pemuda asing, mereka segera berlalu tinggalkan tempat itu.

Halaman rumah Pranajiwa kini menjadi sunyi, sesunyi di pemakaman.

Si pemuda kembangkan dua lengannya yang kekar sambil hirup nafas dalam-dalam.

Dia lalu menatap ke tanah yang dipenuhi genangan darah yang menebar bau anyir amis luar biasa.

Setelah itu perhatiannya beralih ke arah patung-patung itu.

Hebatnya walau kedua mata tertutup dua batok, namun dia dapat melihat semua yang berada di sekelilingnya dengan jelas.

Tiba-tiba saja pemuda itu menggerutu.

"Aku datang terlambat. Patung-patung ini aslinya pasti murid Pranajiwa. Mereka jadi gila sehingga saling bunuh sesamanya. Darah bertebaran memenuhi halaman sebelum mereka berubah menjadi patung. Sesuatu yang ditebarkan oleh mahluk itu membuat murid-murid Pranajiwa kehilangan akal sehat. Mereka berubah seperti sekawanan anjing gila yang melihat teman sendiri seperti melihat setan menakutkan."

Kata pemuda itu geram. Si pemuda kemudian layangkan pandang ke segenap sudut halaman.

"Benar dugaanku. Halaman ini telah dipenuhi sarang laba-laba, semuanya bisa terjadi hanya dalam waktu semalam. Dia datang ke rumah ini kemarin sore, membujuk, pura-pura menghibur, memberi harapan pada Pranajiwa yang dirundung sedih. Ilmu dan kekuatan jahat telah menjadikan halaman ini dipenuhi semak belukar dan membuat rumah menjadi bangunan tua. Aku yakin sebelum dia datang semuanya dalam keadaan bagus dan baik-baik saja."

Setelah berkata begitu perhatian pemuda ini lalu beralih ke pendopo depan. Dia melihat piring dan mangkuk tanah tergeletak di atas tikar pandan yang sudah kusam warnanya. Sebelumnya tikar itu dalam keadaan masih baru. Tanpa bicara pemuda ini melangkah lebar hampiri anak tangga yang menghubungkan bagian pendopo.

Setelah berada diundakkan tangga teratas dia berusaha mengendus. Walau samar namun dia masih mencium aroma kelembak dan kemenyan.

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat, setan itu telah menyerang murid- murid Pranajiwa dengan Asap Pelenyap Kesadaran. Kemudian dia menggunakan Ilmu Sesat Batu Beku. Kemana bangsat itu pergi saat ini. Pranajiwa manusia tolol yang sudah terhanyut oleh perasaan dan tidak mau berpikir sedikit saja. Mana ada manusia yang sanggup menghidupkan orang yang sudah mampus. Terkecuali bila ada campur tangan iblis!"

Si pemuda lalu melangkah lebar menuju ke arah tikar butut lusuh. Setelah memerhatikan sisa hidangan yang terdapat di piring maka si gondrong ini semakin bertambah yakin, semua yang terjadi di tempat itu berlangsung kurang dari satu malam.

"Semua muslihat busuk ini harus dihentikan! Dia akan terus melancarkan rencana jahatnya. Sebelum dia berubah menjadi manusia yang lain aku harus menemukannya!"

Setelah berkata demikian pemuda ini bergegas turun.

Sesampainya di halaman dia segera melompat ke atas punggung kudanya yang buta.

Dewi Ular 67 Rahasia Anak Neraka Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid
^