Pencarian

Putera Pendekar Sesat 2

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat Bagian 2


Selanjutnya kuda dipacu tinggalkan halaman itu.


*****

Gejolak api yang panas luar biasa seperti tidak dirasakan oleh sosok kakek tua berpakaian serba merah dan berambut merah.

Api yang berkobar tidak hanya memberangus lubang sempit seukuran tubuhnya tetapi juga membakar tubuh si kakek.

Melihat apa yang terjadi pada diri orang tua berambut merah itu. Raja Gendeng 313 sempat terkesima.

"Orang tua ini, siapakah dia? Tangan dan kaki dalam keadaan dipentang terbelenggu rantai.Manusia dengan kesaktian sehebat apapun mana mungkin dapat bertahan hidup dipanggang di atas kobaran api."

Pikir Raja.

"Akhirnya kau mau datang juga pemuda hebat. Kau lolos dari incaran kematian bahkan sang pembawa maut yang mengincarmu malah menemu ajal. Ha ha ha... Kau pasti dewa atau mungkin juga masih titisan dewa. Anak muda cepat mengaku kau ini titisan dewa apa?"

Tanya si kakek sambil tatap wajah pemuda yang berdiri tujuh tombak di depannya dengan mata yang merah membara dan mengepulkan asap.

"Aku titisan dewa katamu? Kalaupun aku titisan dewa, aku ini titisan Dewa Gendeng. Ha ha ha...!"

Jawab Raja diiringi tawa terkekeh.

Sepasang mata yang merah mendelik besar.

"Jadi... jadi kau bukan titisan dewa. Lalu siapa?"

Bentak si kakek marah.

"Aku, aku bernama Raja dan aku putera seorang Raja."

Jelas sang pendekar membuat si kakek malah tidak kuasa menahan tawa.

"Kau anak raja. Mungkin... mungkin saja kau anak seorang raja gila dan kau sendiri pangeran gendeng. Ha ha ha...."

Raja tersenyum

"Siapapun dirimu bahkan seandainya engkau anak setan pun aku tidak perduli. Aku hanya ingin tahu apa yang membuatmu sampai dikawasan Tua, kawasan dari bagian masa lalu yang tersisa.
Kau mencari sesuatu? Mungkin mencari benda berharga, barang keramat, peninggalan penting masa lalu atau ingin melihat legenda Patung Maha Dewa yang tersohor itu?"

Bertanya si kakek disertai tatapan penuh selidik.

Raja menyeringai.

"Tidak satupun dari semua yang kau sebutkan yang menjadi incaranku. Aku tidak membutuhkan benda keramat karena setiap laki-laki pasti memilikinya."

Sahut Raja sambil tersenyum penuh arti.

Ucapan sang pendekar membuat mata yang melotot itu menyipit. Si kakek terdiam dan berpikir sejenak.

Tiba-tiba saja dia tertawa terkekeh.

"Hooo...betul-betul manusia aneh tolol dan gila. Jadi itu yang kau maksudkan, Pusaka keramat yang bisa bangkit."

"Gelo betul pemuda gendeng sialan. Tapi rasanya aku mulai menyukai sifatmu."

"Kau suka, tapi aku muak melihatmu! Katakan siapa dirimu, mengapa kau dirantai dan digarang dalam kobaran api?"

Tanya sang pendekar.

Dalam hati dia berkata.

"Hebat dia tidak mati terbakar. Ilmu kesaktian apa yang membuatnya tetap bertahan hidup. Dia tidak kesakitan, tidak merintih apalagi menjerit"

Yang ditanya bersikap acuh. Setelah menatap pedang berhulu emas yang tergantung dipunggung Raja si kakek menjawab.

"Orang menyebutku Si Gembala Api tapi itu dulu, seratus tahun yang lalu. Sekarang diusiaku yang hampir dua ratus lima puluh tahun apakah masih ada orang yang mengenal diriku? Ha ha ha!"

"Dua ratus lima puluh tahun. Usianya sama dengan umur guruku Ki Panaraan Jagad Biru. Dulu aku mengira gurulah orang satu-satunya yang memiliki usia panjang. Ternyata di tempat yang aneh ini masih ada orang berumur panjang!"

Batin Raja.

Diam-diam dia merasa kagum melihat si kakek. Setelah hatinya berkata demikian, Raja lalu ajukan pertanyaan.

"Kakek gembala sapi... eh api. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu? Apakah sengaja mengikat kaki tanganmu, lalu memanggang tubuhmu? Aku tahu api yang memberangus tubuhmu itu adalah api yang keluar dari perut bumi, panasnya mungkin sepuluh kali lebih panas dari api biasa!"

"Apa kau kira aku sengaja mengikat lalu membakar diri di api abadi!"

Damprat si kakek sambil delikkan mata.

"Jangan mengira diriku sama gilanya seperti dirimu! Aku tidak gila. Memang panas api membuat otakku serasa mendidih, Aku ingin sekali memberitahu siapa orang yang telah membuatku sengsara seperti ini."

"Jadi walau tahan api kau masih juga merasakan kesengsaraan kek? Kukira kau sedang bersenang-senang!"

Sahut Raja dengan mulut terpencong.

"Gondrong sialan! Aku belum selesai bicara jangan memotong. Ada yang yang memperlakukan aku seperti ini. Tapi aku tidak mau menceritakan siapa orang itu sekarang. Kau harus menolongku lebih dulu, memutus empat rantai celaka yang mengikat tangan dan kakiku."

"Oalah... sejak tadi kau selalu menghina diriku, sekarang ujung-ujungnya minta tolong. Memangnya rantai itu terbuat dari apa? Mengapa orang sakti seperti dirimu tak sanggup memutuskannya?"

Ejek Raja sambil memonyongkan bibir dan kedap- kedipkan matanya.

Melihat tingkah Raja yang terkesan mengejeknya si kakek menjadi kesal.

"Gondrong gila, Raja sialan. Kau mengira aku sedang bergurau! Cepat pergunakan pedangmu untuk memutus rantai-rantai ini. Lihatlah sekejab lagi hari berubah menjadi malam. Di saat itu mahluk- mahluk buas sisa-sisa kehidupan di masa lalu akan bermunculan mencari mangsa. Jika keberadaanmu diketahui oleh mahluk-mahluk itu. Tamatlah sudah riwayatmu!"

Berkata Si Gembala Api sambil unjukkan wajah ketakutan.

"Ha ha ha! Kau jangan menakut-nakuti aku Gembala Api. Kau sendiri sudah sangat lama berada di sini, mungkin sudah ratusan tahun. Tapi anehnya mengapa kau masih hidup? Mahluk-mahluk itu apa tidak suka dengan rasa dagingmu? Atau mereka takut dengan bau ketekmu? Ha ha ha!"

"Pemuda sinting! Bagaimana aku bisa membuatnya yakin? Dia mengira aku bergurau. Padahal tampangku bukan tampang orang tolol."

Geram si kakek dalam hati.

Dengan perasaan kesal si kakek akhirnya berucap.

"Dengar, anak muda. Mahluk-mahluk itu tidak memangsaku karena aku berada di atas api. Mereka takut api. Tapi bagaimana denganmu. Apakah kau juga ingin bergabung bersamaku, mendinginkan diri di api abadi ini?"

Sindir Si Gembala Api sinis. Di dalam hatinya Raja merasa ragu untuk menolong.

Raja merasa kalau kakek itu bukan orang baik-baik sebab mana mungkin ada orang yang begitu tega memperlakukannya dengan kejam.

Tapi kalau Si Gembala Api orang jahat, dosa kesalahan apa yang telah diperbuatnya sehingga membuatnya harus menjalani hukuman seberat ini?

"Kau tak mau menolong. Kau takut aku ini orang jahat? Tapi kau sendiri sudah tidak punya waktu untuk angkat kaki dari Alam Tua ini.Matahari hampir tenggelam. Sekejab lagi mahluk-mahluk jahanam bakal muncul untuk mempesiangi tubuhmu. Aku hanya bisa menonton, tak mampu menunjukkan tempat perlindungan yang aman untukmu dari incaran mereka.Kasihan sekali...! Kau masih begitu muda, kencing baru lempang tapi kawin pun kau belum. Mati dalam keadaan tercabik, tulang belulang tercerai berai, apa enaknya?"

Gumam Si Gembala Api dan kali ini tidak ada senyum dan tawa yang keluar dari mulutnya.

"Kurasa apa yang dikatakannya memang benar. Banyak tulang belulang berserakan ditempat ini."

Raja kemudian memperhatikan sekelilingnya.

Sekejab kemudian perhatiannya tertuju ke arah Si Gembala Api.

"Orang tua, aku akan membebaskanmu dari belenggu rantai, tapi ingat semua ini kulakukan bukan karena aku takut pada mahluk-mahluk yang kau sebutkan itu. Tapi apakah kau bisa mengendalikan api yang membakar tubuhmu?"

"Apa maksudmu?"

Tanya Si Gembala Api tidak mengerti.

"Sebagai seorang gembala selayaknya pengembala yang lain. Tentu yang digembalakannya selalu menurut, tunduk patuh pada pengembalanya. Jika kau mengaku sebagai Pengembala Api, tentu saja api itu seharusnya tunduk pada perintahmu!"

Kata pemuda itu penuh arti

"Ha ha ha! Kau mengujiku. Tentu api ini bisa mengecil bahkan kubuat padam sesuai dengan keinginanku. Yang membuat aku tidak mengerti mengapa aku harus melakukannya?"

"Jangan berlagak bodoh, kakek Gembala Api. Kau tahan api aku tidak tahan. Udara disekelilinginu panas membara, bagaimana aku bia mendekatimu?"

Tanya pemuda itu membuat si kakek terangguk angguk tanda mengerti. Ingin rasanya dia menepuk kepala tapi tak bisa.

"Kau benar. Baiklah... baik... aku akan memadamkan api ini!"

Sambil berkata demikian si kakek lalu mengucapkan sesuatu yang hanya si kakek sendiri yang tahu maknanya.

Begitu selesai berucap dia meniup ke kanan kirinya masing-masing satu kali.

Suara angin tiupan menderu.

Terdengar Suara....

Blepp!

Apipun padam seketika.

"Luar biasa, menakjubkan."

Puji Raja dalam hati.

"Sudah. Api sudah padam. Tunggu apa lagi?" tanya Si Gembala Api tidak sabar.

"Ada satu pertanyaan jawabnya dengan julur kek. Kau harus menjawab"

"Pertanyaan apa? Jangan mempermainkan diriku!"

Geram Si Gembala Api kesal.

"Tidak ada yang bermaksud mempermainkan, tidak ada pula yang dipermainkan! Aku heran, jika kau bisa memerintah api menurut kehendakmu. Mengapa kau biarkan diri dipanggang begitu rupa mengapa kau tidak memadamkannya sejak dulu."

Raja lalu pandangi Si Gembala Api dengan sorot mata heran.

"Kau hebat, tapi aku tidak menyangka di balik kesaktian yang kau miliki terrnyata kau juga manusia bodoh. Ketahuilah, jika aku membiarkan api padam, di malam hari mahluk-mahluk itu pasti menyerangku.Mungkin aku sudah lama mampus jika aku melakukan seperti yang kau katakan. Api abadi ini melindungi diriku dari keganasan mahluk-mahluk itu.Yang menjadi persoalan bagiku bukanlah apinya. Aku tidak dapat ke mana-mana karena empat rantai sialan ini! Aku telah melakukan berbagai cara untuk membebaskan diri, namun rantai ini tidak dapat hancur."

"Mungkinkah pedang Gila dapat menghancurkan empat rantai itu?"

Batin sang Pendekar.

"Hmm, baiklah! Aku akan membantu membebaskanmu dari rantai sialan itu!"

Raja Gendeng 313 kemudian melangkah maju.

Dia lalu berdiri tiga langkah di depan si kakek.
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pada jarak sedekat itu sang pendekar masih dapat merasakan adanya hawa panas yang menyengat.

Diam-diam Raja salurkan tenaga dalam berhawa dingin untuk melindungi sekujur tubuhnya.

Tanpa bicara pemuda ini lalu mencabut Pedang Gila.

Ketika pemuda itu salurkan hawa sakti kebagian hulu pedang, senjata mustika itu tiba-tiba pancarkan cahaya kuning menyilaukan.

Hawa dingin menebar kesegenap penjuru arah.

Melihat kilauan Pedang Gila si kakek pun diam- diam merasa takjub lalu tanpa sadar mulutnya berseru memuji.

"Senjata sakti, senjata hebat. Di balik kemilauan ada alur ukiran berbentuk naga di sisi pedang sebelah kiri, lalu di sebelah kanan badan pedang kulihat ada ukiran burung Rajawali. Luar biasa, apakah kedua simbol mahluk langka itu mempunyai makna!"

Raja anggukkan kepala.

"Naga adalah lambang kekuasaan dan kebijaksanaan, sedangkan Rajawali adalah simbol keperkasaan dan kehormatan diri. Di samping itu kedua binatang yang terakhir dipedangku sebenarnya adalah dua sahabat yang sewaktu- waktu bisa hadir dihadapanku bila aku menghendakinya."

Raja kemudian mengangkat pedang tinggi-tinggi.

Pedang itu diarahkannya ke arah rantai yang mengikat tangan kanan si kakek

"Tunggu...setelah melihat senjata dan mendengar ceritamu. Aku jadi ingin tahu apakah benar dirimu ini adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313?"

Tanya si kakek.

Walau terkejut tapi Raja segera menjawab.

"Kau hanya membuang-buang waktuku saja orang tua. Tapi yang kau tanyakan memang betul Hiya..."

Dengan dibarengi teriakan keras melengking Raja melompat ke depan.

Lalu secepat kilat pedang dihantamkan ke arah rantai. Kibasan pertama membuat rantai putus menjadi dua. Bunga api berpijar dan serpihan rantai bertabur diseluruh penjuru arah.

Demikian pula dengan tebasan kedua, ketiga dan ke empat. Begitu empat belenggu rantai dibuat hancur berantakan, si kakek pun bebas lalu melompat menjauh dari lubang pendaman.

Sedangkan Raja segera masukkan kembali pedang ke rangkanya.

Memandang ke arah lubang, tempat yang baru ditinggalkan kembali mengobarkan api. Si Gembala Api bersikap tidak perduli. Sebaliknya kakek itu malah berjingkrak kegirangan.

Raja tertawa melihat Si Gembala Ap berjingkrakan beberapa kejab lamanya. Tapi kemudian dia khawatir dengan keadaan disekitarnya yang mulai gelap.

"Kegelapan mulai menyelimuti tempat ini. Apakah mahluk-mahluk yang dikatakan Si Gembala Api benar-benar muncul di tempat ini?"

Raja yang tahu betapa ganas dan berbahayanya binatang tersebut akhirnya tidak bisa menahan diri dan segera berkata.

"Orang tua aku aku tidak bisa menunggu. Aku tidak peduli dengan kegembiraanmu itu, tetapi sesuai janjimu, tunjukkanlah di mana tempat persembunyian yang aman dari gangguan mahluk-mahluk itu!"

Ucapan Raja seakan membuat si kakek baru menyadari bahwa saat itu senja telah berganti malam.

"Astaga! Mengapa tidak mengingatkan aku sejak tadi. Aku larut dalam kegembiraan karena hancurnya rantai yang telah membuatku tidak berdaya selama puluhan tahun. Dan pedangmu memang sebuah pedang hebat. Apa nama senjata mu itu?"

Tanya si kakek sambil melirik ke arah pedang yang tergantung di punggung Raja.

"Lebih baik kau tak usah mengetahuinya. Kau terlalu banyak mulut orang tua. Lihat disekelilingmu.Suasana makin bertambah gelap, kau tidak takut dimangsa mahluk raksasa ganas seperti yang kubunuh itu!"

"Lima mahluk telah mati, tapi sisanya masih banyak lagi. Maaf, kegembiraan terkadang membuatku hilang kewaspadaan. Sudah waktunya bagiku untuk membalas kebaikanmu. Ikuti aku dan jangan terlalu jauh dariku!"

Pesan Si Gembala Api. Walau tidak sabar melihat sikap si kakek yang terlalu banyak bicara, namun sang pendekar tetap patuhi apa yang diperintahkan orang.

Si Gembala Api memutar tubuh lalu bergegas melewati bukit-bukit berbatu, Raja segera mengikutinya.

Dari hanya berjalan si kakek kemudian berlari.

Sementara Raja yang terus membayangi langkah orang tua itu sesekali layangkan pandang memperhatikan keadaan disekitarnya.

Tanpa menghiraukan hawa dingin yang luar biasa akhirnya Si Gembala Api memasuki sebuah kawasan hutan yang tidak seberapa luas namun banyak pepohonan menjulang tinggi tumbuh di sana.

"Masih jauhkah tempat yang kita tuju, orang tua!"

Bertanya sang pendekar dengan tubuh menggigil menahan hawa dingin bukan kepalang.

Raja yang pernah dibesarkan di Istana Tua Pulau Es memang menyadari keadaan di kawasan itu ternyata jauh lebih dingin dibandingkan di tempat asalnya.

"Mengapa? Kau sudah hampir beku rupanya atau kau takut binatang-binatang ganas itu menyergapmu?"

Kata si kakek acuh.

"Mahluk-mahluk apa? Apakah matamu tidak melihat bahwa dilangit sana banyak cahaya bermunculan. Ada cahaya merah ada pula yang biru dan itu bukanlah bintang. Bintang mana ada yang berpasang-pasangan!"

Dengus Raja membuat Si Gembala Api terkejut sekaligus dongakkan kepala menatap ke langit.

Begitu si kakek dongakkan kepala.

"Astaga!"

Wajah orang tua ini seketika berubah menjadi pucat.

Langit malam tampak gelap gulita seolah ditutup mendung tebal pekat.

Dan cahaya berpasang-pasangan yang bertebar di angkasa yang disangka sebagai binatang berpasang- pasangan, sama sekali memang bukan cahaya bintang.

Itu tak lain adalah bias dari puluhan pasang mata mahluk yang ukurannya sedikit lebih kecil dari lima mahluk yang dibunuh oleh Raja.

Namun mereka jauh lebih ganas.

Kehadiran mahluk-mahluk itulah yang membuat langit menjadi gelap

"Mereka muncul di langit dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari biasanya. Makandor.. si terkutuk! Mereka pasti telah mengendus darah dan kematian Simujud!"

"Makandor... Simujud? Apa maksudmu orang tua?"

Tanya Raja tidak mengerti.

Sementara pemuda itu terus saja berlari.

Sambil berlari sesekali dia memperhatikan mahluk-mahluk bersayap panjang yang wujudnya mirip dengan burung pemakan bangkai.

"Simujud adalah nama lima mahluk yang kau bunuh.Sedangkan Makandor adalah mahluk-mahluk yang saat ini memenuhi langit. Tidak seorang pun yang tahu dari mana asal mereka, ada yang mengatakan mereka berasal dari neraka."

Menerangkan si kakek sambil mempercepat larinya hingga membuat gerakan orang tua ini laksana terbang.

"Makandor mengendus kematian Simujud. Binatang itu muncul dan sepertinya hendak memangsa bangkai Simujud?"

Gumam Raja Gendeng 313 bergidik ngeri.

"Jika Makandor yang mati, Simujud yang memangsanya, demikian juga sebaliknya. Jika kau yang mati kau juga akan dimangsa Simujud atau Makandor. Di Kawasan Tua ini berlangsung proses alam yang sejati. Siapa yang kuat dialah yang menang. Saling memangsa diantara sesama adalah kejadian yang biasa."

Jelas Si Gembala Api.

Raja menggumam.

Saat itu tiba-tiba terdengar suara pekikan di langit.

Suara pekikan pertama disambut dengan pekikan yang datang dari segenap penjuru arah.

Di satu titik diketinggian sana Raja menyaksikan kawanan Makandor sang mahluk berleher panjang berleher botak membentuk satu kelompok besar.

Setelah berputar tiga kali, secara serentak mahluk-mahluk itu menukik tajam kebawah ke arah lima mahluk yang bergeletakkan tanpa nyawa.

Suara bergemuruh dari seluruh gerakan mahluk-mahluk itu tidak ubahnya seperti air terjun. Dan ketika kawanan Makandor mencapai bangkai lima Simujud, merekapun segera memangsa burung-burung raksasa yang ukurannya jauh lebih besar dari gajah.

Klik!

Kraak!

Suara-suara menggidikkan itu terus berkumandang ditengah kegelapan yang tidak bersahabat.

"Masuk ke sini!"

Teriak Si Gembala Api tiba tiba.

Sang pendekar yang perhatiannya terbagi hampir menabrak si kakek di depannya yang ternyata berhenti mendadak lalu membuka pintu besar berbentuk bundar.

Pintu besar dan berat terbuka.

Si Gembala Api buru-buru melompat ke dalam.

Raja tidak segera mengikuti tindakan yang dilakukan oleh si kakek melainkan melayangkan pandangan mata kesegenap penjuru arah.

Walau dalam keadaan gelap namun Raja masih dapat melihat di depannya berdiri sebuah bangunan tua yang sepenuhnya terbuat dari batu.

Bangunan itu menjulang tinggi dengan lima menara lancip menjulang ke langit. Walau bangunan tua itu telah dipenuhi lumut, memandang ke arah ukiran-ukiran samar yang menghias setiap bagian dindingnya.

Sang pendekar maklum bangunan kuno itu bukan bekas sebuah istana, melainkan mirip dengan sebuah tempat perlindungan.

"Pemuda gendeng! Apalagi yang kau tunggu? Lekas masuk atau Makandor yang kelaparan akan mengetahui keberadaanmu. Bila mereka menyerbu kemari tidak sepotong tulangmu akan tersisa. Cepat masuk!"

Teriak si kakek cemas. Raja tersentak dari lamunannya dan segera bergegas masuk.

Sesampainya di balik pintu, si kakek segera menutup pintu.

Tertutupnya pintu utama membuat suasana di dalam ruangan gelap gulita.

Raja dongakkan kepala.

Sayup-sayup dia mendengar suara gemercik air dikejauhan.

Dia juga mengendus aroma lembab dan bau khas bangunan tua yang ditinggalkan oleh penghuninya.

"Tidak ada penerangan dan kita seperti orang buta tolol yang tak bisa melihat hidung sendiri."

Gerutu Raja yang merasa gerakannya tak bisa leluasa.

"Diam! Aku harus mengunci pintu ini. Ada beberapa pelita ditempat ini. Aku akan mencarinya. Kau diam saja di situ, jangan bergerak kemanapun kalau tidak ingin kesasar ke tempat yang bisa membuatmu celaka!"

Si Gembala Api memperingatkan lalu memasang semua kunci.

Setelah itu dia berjalan menuju ke arah pelita yang tersembunyi di sudut ruangan.

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya si kakek telah terbiasa berada ditempat itu.

Terbukti walau gelap gulita dia dapat menemukan pelita yang dicarinya.

Dengan menggunakan kedua tangan yang digosok satu dengan yang lain pelita pun akhirnya menyala.

Si kakek lalu berjalan menuju ke arah pelita lain yang tergantung di dinding. Ketika cahaya dua pelita menerangi, kini sang pendekar dapat melihat keadaan disekitarnya.

Raja terhenyak menyaksikan lantai ruangan dipenuhi tumpukan tulang belulang serta tengkorak manusia. Di beberapa sudut terlihat pula sosok berpakaian lengkap dalam keadaan duduk memeluk pedang atau tombak.

Walau terpisah dari onggokan tulang dan tengkorak yang menumpuk di tengah ruangan. Sosok berpakaian lengkap itu juga telah menemul ajal

"Apa yang terjadi ditempat ini? Mengapa ruangan ini dipenuhi tulang dan tengkorak? Apakah ini kubur kuno? Mengapa orang-orang ini dikubur di dalam bangunan, bukan di tanah makam?"

Tanya Raja sambil tatap orang tua yang kini berdiri di depannya.

Si Gembala Api tidak menjawab.

Wajahnya muram, dia kemudian melangkah ke sudut kiri ruangan.

Si kakek duduk di sana sementara perhatiannya tertuju ke arah tumpukan tulang di tengah ruangan.

Setelah sempat mengalihkan perhatian ke arah onggokan tulang berpakaian lengkap yang terdapat di beberapa sudut penjuru. Sambil menghela nafas dalam-dalam si kakek berkata.

"Bangunan ini luasnya hanya sejauh mata memandang. Ada lima menara menjulang sebagai jalan keluar masuk udara yang dibutuhkan untuk kepentingan orang-orang yang hidup di dalamnya. Tempat ini bukan istana. Ini adalah benteng pertahanan yang dibuat oleh orang-orang yang hidup sebelum jamanku."

Jelas si kakek membuat Raja bingung dan tidak mengerti.

"Mengapa mereka membangun benteng?"

"Benteng dibangun sebagai tempat perlindungan terakhir!"

"Perlindungan terakhir? Mereka berlindung dari mahluk-mahluk pemangsa itukah?"

"Salah satunya. Makandor dan Simujud adalah salah satu pemangsa yang harus dihindari oleh orang-orang yang pernah bertahan di sini. Tapi masih ada mahluk buas lain yang tak kalah ganasnya. Mahluk itu tak lain adalah sisa kehidupan purba dari sebuah lembah gelap yang letaknya tidak jauh dari sini. Manusia sisa masa lalu itu bukan Cuma pemangsa, mereka juga menjadikan orang-orang ditempat ini seperti hewan ternak. Para perempuan dipaksa untuk melakukan hubungan cinta, begitu perempuan-perempuan itu hamil lalu melahirkan. Anak-anaknya dijadikan santapan dan ibunya juga dijadikan hidangan."

Jelas si kakek lagi membuat Raja jadi bergidik

"Puluhan purnama manusia dari kehidupan masa lalu itu melakukan pengepungan. Mereka memang tidak dapat menghancurkan dan masuk ke dalam benteng ini. Tapi orang-orang yang bertahan di dalam sini lambat laun kehabisan makanan.Mereka tidak bisa keluar sekedar mengumpulkan buah-buahan. Satu demi satu mati bergelimpangan.Banyak yang mati karena menderita sakit dan kelaparan."

"Tapi mereka yang mempunyai daya tahan tubuh serta ilmu kesaktian juga terpaksa hidup dalam kesengsaraan.Beberapa diantaranya menjadi gila.Sisanya dengan terpaksa bertahan hidup dengan memakan bangkai sesamanya sendiri!"

Kata Si Gembala Api dengan berurai air mata.

Raja terdiam.

Dia lalu hampiri kakek itu dan duduk di sampingnya.

Sejenak Sang Pendekar tidak mampu berkata-kata.

Semua penjelasan yang diucapkan Si Gembala Api benar-benar tidak pernah terlintas dalam benaknya.

"Adakah manusia yang terpaksa memakan mayat sesamanya demi bertahan hidup? Kenyataan itu sungguh mengerikan."

"Apa yang terjadi kemudian kek? Apakah manusia kegelapan yang datang dari masa lalu itu masih ada hingga sekarang?"

Tanya Raja sambil tatap wajah kakek disampingnya dalam-dalam

"Puluhan tahun yang lalu terjadi gerhana bulan di tempat ini.Bersamaan dengan terjadinya gerhana datang pula gempa bumi hebat. Orang- orang di dalam benteng selamat.Sedangkan manusia sisa kehidupan purba yang mengepung benteng menemui ajal.Mereka raib di telan bumi."

"Kejadian yang luar biasa, tapi mengapa berlangsung secara bersamaan?"

Gumam Raja dengan diliputi tanda tanya.

Si kakek terdiam, kedua kaki yang bersila diluruskan.

Mata menerawang dan dia nampaknya berusaha keras mengingat rangkaian kejadian di masa lalu yang demikian tragis

"Semuanya ini tidak terjadi secara kebetulan."

Kata Si Gembala Api mengenang.

"Kawasan tua ini dulunya adalah sebuah tempat yang aman dan sangat makmur. Aku adalah pemimpin di tempat ini. Tapi dalam kemakmuran setiap orang selalu dibayang-bayangi rasa cemas karena di tempat ini terpendam sebuah kitab langka terbuat dari batu. Kitab batu itu menurut peramal kami terpendam jauh di dalam bumi. Dan kitab batu bakal muncul tepat pada saat gerhana bulan dan bumi dilanda gempa hebat."

"Apakah yang terjadi kemudian, apa tetap sama seperti yang diramalkan oleh peramalmu?"

"Ya."

"Apa nama kitab itu kek?"

"Kitab itu tidak bernama namun di dalamnya berisi serangkaian kata-kata berupa aksara aneh. Aksara itu bernama Aksara Iblis. Aksara Iblis adalah aksara sakti yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan manusia sungguh pun manusia itu mempunyai pengetahuan yang luas dan segunung. Aksara Iblis hanya diketahui maknanya oleh Raja Iblis atau juga orang yang kemungkinan berjodoh dengan kitab."

"Lalu kitab Aksara Iblis itu apakah benar-benar keluar dar? dalam bumi?"

"Yang dikatakan peramalku memang benar. Kitab muncul dari tanah yang terbelah akibat guncangan gempa. Kemudian kitab melesat guna mencari jodohnya. Sampai sekarang aku sendiri tidak tahu dimana jatuhnya Kitab Aksara Iblis. Di saat malapetaka melanda Kawasan Tua ini, di tengah kepanikan dan hiruk pikuk rakyatku yang berlarian menyelamatkan diri. Kulihat kitab itu melayang ke arah barat."

"Bagaimana kau bisa memastikan bahwa yang kau lihat itu adalah kitab bukan benda lain semisal senjata bertuah?"

"Aku berani mengatakan karena benda itu memancarkan cahaya merah membara. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh peramalku."

Terang si kakek hingga melenyapkan keraguan di hati sang pendekar.

"Jadi kitab melayang ke arah barat. Sampai saat ini apakah kitab itu telah menemukan jodoh- nya?"

"Aku tidak bisa memastikan. Aku bukan peramal dan peramalku itu sayangnya sudah tiada."

Sesal Si Gembala Api.

"Kau tidak berusaha mencarinya?"

Tanya Raja kembali

"Bagaimana aku bisa mencari? Sehari setelah gerhana dan gempa bumi hebat aku berusaha menguburkan rakyatku yang berkaparan tewas di luar benteng.Tadinya mereka ada di dalam sini. Tapi gempa membuat mereka panik dan berlari meninggalkan benteng. Tiba-tiba muncul mahluk-mahluk pemangsa seperti yang terlihat di luar tadi."

"Sebelumnya mahluk-mahluk itu tidak pernah ada. Mereka datang memangsa orang yang telah mati dan yang masih hidup. Di tengah kekacauan dan serbuan mahluk itu datang pula seorang kakek. Aku mengenalnya sebagai Iblis Kolot. Dunia persilatan juga mengenalnya dengan sebutan Iblis Gila! Dia datang untuk meminta kitab Aksara Iblis.Karena apa yang dia minta tak dapat kuberikan, akhirnya kami terlibat pertempuran sengit."

"Iblis Kolot memang sangat luar biasa, Selusin manusia sakti yang memiliki ilmu kepandaian setara denganku belum tentu sanggup mengalahkannya. Aku kalah, dia lalu memasungku, mengikat tangan dan kakiku dengan rantai yang disebutnya Rantai Akherat. Dia lalu membakar tubuhku di atas api abadi, Dan perlu kiranya kau tahu. Dari sekian banyak senjata ternyata hanya pedangmu saja yang sanggup menghancurkan rantai sialan itu."

"Iblis Gila?"

Gumam Raja.

"Ya, Iblis Gila atau Iblis Kolot adalah dua nama sebutannya."

Terang si kakek.

"Tapi kemana perginya Iblis Kolot?"

Tanya Raja ingin kepastian. Si kakek menggeleng.

"Pastinya aku tidak tahu. Namanya juga iblis, sudah tua dan gila pula. Namun belakangan kerena sifatnya yang serakah ingin menguasai Kitab Aksara Iblis membuatnya selalu bentrok dengan banyak tokoh persilatan. Tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan yang hebat yang mati di tangannya. Tapi ketika beberapa tokoh sakti bersatu melawan Iblis Kolot. Dia dibuat bertekuk lutut. Aku tidak tahu apakah dia tewas atau tidak. Yang jelas para tokoh yang mengeroyoknya melemparkan kakek itu ke sebuah jurang."

"Di mana letak jurang itu dan apa namanya?"

Tanya Raja.

Dia berpikir kalau pun Iblis Kolot memang pernah dilempar ke dasar jurang setidaknya Raja bisa mencari dan menemukan jasadnya.

Si kakek tertegun. Tapi kemudian segera menjawab.

"Seperti yang kudengar jurang itu bernama Jurang Watu Remuk Raga. Letaknya tidak jauh dari Surokarto."

"Jika tempat yang kau sebutkan betul-betul ada, berarti kita masih bisa mencarinya. Hanya dengan menemukan jasad Iblis Kolot kita bisa memastikan Kitab Aksara Iblis apakah berada ditangannya"

"Tetapi aku tidak mungkin meninggalkan tempat ini untuk mencari keberadaan kitab. Jika kitab Aksara Iblis jatuh ke tangan orang berjiwa sesat berwatak telengas maka dunia persilatan berada dalam ancaman malapetaka baru yang jauh lebih mengerikan dari gempa hebat yang pernah melanda Kawasan Tua ini."

Gumam si kakek.

Nada ucapannya menyiratkan kehawatiran yang mendalam

"Kalau yang kau katakan memang benar. Mengapa kau tidak mau ikut bersamaku, kek? Tempat ini bukanlah tempat yang aman. Mahluk-mahluk itu selalu muncul tidak terduga. Bagaimana kau bisa hidup tenang dengan adanya kehadiran mereka?"

Kata Raja tidak mengerti.

Untuk pertama kalinya Raja melihat si kakek tersenyum.

Sambil tersenyum dia berkata.

"Aku sudah sangat tua. Kematian bagiku bukan sesuatu yang meresahkan. Ada seseorang yang akan menemanimu. Kau pasti akan suka pergi bersamanya. Jika aku bersamamu, kau pasti cepat bosan menatap wajah tua penuh keriput dan tak sedap dipandang ini."

Tiba-tiba Raja memotong.

"Memangnya di tempat kuno seperti ini masih ada sesuatu yang sedap dipandang?"

Ejeknya.

"Tentu. Walau tempat ini angker menyeramkan tetapi masih ada pemandangan bagus yang enak dilihat. Aku akan mempertemukanmu dengannya. Tapi sebelum itu masih banyak rahasia yang harus kau ketahui. Benteng ini sangat luas, kau harus tahu semuanya. Sekarang ikutilah denganku!"

Kata Si Gembala Api.

Orang tua ini kemudian bangkit.

Dia meraih pelita lalu menyerahkannya pada Raja.

Setelah menerima pelita pemberian si kakek, Raja segera mengikuti di belakangnya.

Tepat seperti yang dikatakan Si Gembala Api, benteng kuno itu memang sangat luas.

Menuju lebih ke dalam suasananya bertambah dingin.

Namun Raja tidak melihat onggokkan tengkorak atau tulang lagi.

Yang ada hanyalah mayat-mayat yang membeku, lukisan dan patung juga perlengkapan alat untuk memasak.

"Sebelumnya kami ada beberapa kelompok masyarakat. Kami juga bergabung dengan ras manusia lain yang semuanya membutuhkan tempat perlindungan. Setiap kelompok memiliki kepandaian juga ketrampilan tertentu seperti membuat senjata, panah juga busurnya. Serangan sisa-sisa orang kuno, serta dua kawanan mahluk Makandor dan Simujud telah menghabiskan segalanya. Banyak orang kehilangan nyawa dengan sia-sia diluar sana, sedangkan mereka yang tetap bertahan dibenteng ini nasibnya juga tidak jauh lebih baik."

Jelas si kakek.

Raja memilih diam untuk mendengarkan semua penjelasan si kakek.

Sampai kemudian baik dirinya maupun Si Gembala Api dikejutkan oleh munculnya cahaya dari sudut sebelah kanan benteng.
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Cahaya itu menyambar ke arah mereka.

"Awas!"

Teriak si kakek lalu melompat kesamping sambil jatuhkan diri.

Raja yang tidak sempat menghindar terpaksa dorongkan tangan kanannya ke depan.

Sambil memegang pelita di tangan kiri, tangan yang didorong lalu dilambaikan ke bawah,

Byar!

Satu benturan keras antara tangan sang pendekar dengan cahaya yang mengarah kebagian dadanya terjadi.

Terjadi ledakan keras yang membuat lantai dan langit-langit ruangan mengalami guncangan keras. Raja terjajar, tangannya terasa linu namun rasa sakit lenyap begitu dia salurkan hawa sakti ke lengannya.

"Kau tidak apa-apa?"

Tanya si kakek yang tahu-tahu sudah berdiri

"Tidak, aku baik-baik saja. Memangnya siapa yang menyerang kita?"

Orang tua ini cemas, lalu menatap heran ke arah di mana cahaya berasal.

"Aku sendiri heran. Sebaiknya kita periksa. Aku yakin tidak ada siapapun di sana. Mungkin semua ini adalah pertanda...."

"Pertanda apa?"

"Aku tidak begitu yakin. Setahuku disudut sana hanya ada kubur Kalamurti peramal kami yang tewas lima puluh tahun yang lalu. Jika ada yang tidak beres akan terjadi dirimba persilatan maka ditempat itu bakal muncul tanda-tanda. Aku lebih suka menyebutnya Isyarat Alam Gaib. Dan isyarat itu diberikan oleh almarhum Kalamurti. Coba kita lihat dulu apakah disekitar kuburnya muncul tanda- tanda tertentu."

Kemudian tanpa menunggu persetujuan Raja, si kakek bergegas menuju tempat yang dimaksudkannya.

Pusara Kalamurti ternyata hanya berupa gundukan tanah seluas setengah tombak dengan panjang kurang dari dua tombak.

Tidak ada tanda atau pun batu nisan.

"Inilah kubur satu-satunya di dalam benteng di tengah ruangan yang cukup luas"

Menatap ke pusara terlihat pusara itu mengepulkan asap.

Sementara di sekitar pusara juga terlihat beberapa patung.

Keberadaan patung disamping kubur Kalamurti menimbulkan tanda tanya sekaligus keheranan di hati si kakek karena sebelumnya patung-patung tersebut memang tidak berada di tempat itu.

Raja yang diam-diam memperhatikan kakek disampingnya tiba-tiba saja berkata.

"Ada apa? Kau takut pada patung-patung itu?"

"Seribu patung yang paling seram pun tidak membuatku takut. Apakah kau tidak memperhatikan beberapa patung yang berjejer di sekeliling makam itu masih baru dan seperti baru diletakkan oleh seseorang. Di tempat ini tidak ada kehidupan. Dan patung ini jika kau memperhatikan dengan mata batinmu sesungguhnya bukan patung sungguhan."

"Kalau bukan sungguhan memangnya semua patung itu adalah jejadian?"

Tanya Raja tidak mengerti. Si kakek menganggukkan kepala.

"Peramal Kalamurti telah mengirimkan tanda tanda dari alam arwah. Setiap tanda yang dia kirimkan merupakan gambaran tentang semua yang akan terjadi di dunia persilatan."

"Hebat! Betapa tinggi rasa perduli peramal sahabatmu itu. Walau kini beliau telah berada di alam arwah namun masih sempat memberikan tanda kepadamu!"

Kata Raja sambil tersenyum

"Aku tidak bergurau. Aku menaruh dugaan kuat, selain Kitab Aksara Iblis bakal menemukan jodohnya, di dunia persilatan akan muncul persoalan baru. Apa bentuk persoalan yang kumaksudkan aku tidak dapat mengatakannya dengan pasti."

"Kau harus mencari tahu mengapa Kalamurti mengirimkan tanda dalam rupa patung-patung ini."

Ucapan Si Gembala Api membuat Raja menjadi bingung juga penasaran. Namun jauh dilubuk hati dia pun ingin tahu apakah patung-patung yang mengelilingi pusara Kalamurti memang bukan patung sungguhan. Raja tatap wajah kakek di depannya.

"Boleh aku menyentuh patung di depanku ini kek?"

Pertanyaan itu membuat si Gembala Ap tertawa dingin.

"Kau meragukan ucapanku. Kau tidak percaya patung-patung ini hanyalah bayangan? Kau boleh menyentuhnya, kalau perlu kau sentuh semua patung itu hingga kau bisa tahu apa yang bakal terjadi!"

Tegas si kakek tanpa ragu sedikit pun. Raja menahan nafas. Dia pun segera julurkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan.

"Lakukan saja, mengapa ragu? Tidak perlu menggunakan tenaga dalam untuk melindungi tanganmu karena patung-patung itu tidak bisa menyakitimu!"

Raja mengangguk.

Dalam hati dia merasa takjub tak menyangka Si Gembala Api tahu dia menggunakan tenaga dalam untuk menjaga setiap kemungkinan yang tidak dinginkan.

Sambil melangkah maju tangan pun kemudian diusapkan ke badan patung yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Begitu setiap ujung jemari menyentuh.

Tiba-tiba terjadi sesuatu yang benar-benar berada di luar dugaan sang pendekar

Byar!

Byar!

Patung yang tersentuh tangannya mendadak hancur menjadi kepingan cahaya.

Patung yang disentuh lenyap, puing-puing patung yang berupa cahaya juga ikut raib.

"Aneh... aku seperti menyentuh bayangan."

Desis Raja,

Dengan tercengang dia kembali tatap wajah si kakek

"Kau boleh sentuh semuanya. Lihatlah kejadian yang sama akan terulang kembali."

"Tidak kek. Cukup sudah. Ternyata kau tidak bicara dusta. Patung itu hanya sebuah bayangan yang dikirim dari alam gaib. Peramal sahabatmu itu ternyata sangat luar biasa. Sudah menjadi arwah saja masih sanggup mengirim pesan. Tapi mengapa tanda yang dia kirimkan berupa patung, bukan yang lain."

"Semuanya ini memang menjadi sebuah misteri. Seperti yang telah kukatakan aku tidak bisa membaca atau mengartikan isyarat yang diberikan oleh almarhum sahabatku itu. Kaulah yang harus mencari tahu apa yang terjadi di luar sana."

"Baiklah orang tua, aku akan berusaha menyingkap semua rahasia yang kutemukan di tempat ini. Setiap petunjuk sekecil apapun yang kakek berikan mudah-mudahan menjadi sebuah jalan untuk menemukan titik terang dari segala ganjalan dilubuk hatimu. Tapi orang tua, haruskah aku pergi ke barat?"

"Pergilah ke barat ke jurang Watu Remuk Raga karena kemungkinan besar disanalah semua pangkal sebab bermula. Iblis Kolot bukanlah manusia. Dia adalah manusia iblis, iblis tua yang selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan rimba persilatan. Kitab Aksara Iblis harus kau temukan. Seandainya kau beruntung menemukan kitab Aksara Iblis. Segera serahkan kepada sesepuh dunia persilatan yang bernama Kanjeng Empu Basula. Hanya sang Kanjeng yang sanggup memusnahkan kitab yang menjadi penyebab timbulnya segala angkara murka."

Terang Si Gembala Api

"Bagaimana bila kitab telah menemukan jodohnya?"

Mendapat pertanyaan itu si kakek terdiam dan wajahnya membayangkan kekhawatiran yang mendalam.

"Aku tidak ingin mengatakan dan tidak pernah pula berharap kitab bisa menemukan jodohnya. Namun bila kejadian itu benar-benar terjadi maka menjadi tanggung jawabmu untuk menghancurkan orang yang mewarisi kitab Aksara Iblis!"

"Rasanya ini bukan tugas yang ringan. Tapi aku akan berusaha melaksanakan amanat yang kau berikan dengan sebaik-baiknya."

Janji pemuda itu.

"Bagus."

Si Gembala Api tersenyum sambil menepuk bahu Raja.

"Aku percaya dengan kemampuan yang kau miliki. Sekarang ikut denganku!"

Perintah si kakek.

Tanpa bicara sedikitpun dia mengikuti orang tua itu. Mereka terus berjalan melewati ruang demi ruang.

Kemudian keduanya sampai di depan sebuah pancuran yang menjadi sumber air satu-satunya di benteng itu.

Raja melihat di depan pancuran ada sebuah kolam berair bening dan sejuk.

Rupanya suara gemercik air pancuran itulah yang tadi terdengar oleh Raja ketika berada di balik pintu benteng.

"Tanpa air tak satupun mahluk bisa bertahan hidup, namun air saja tidak cukup buat seseorang untuk bertahan hidup. Kau lihat dibalik pancuran. Perhatikan baik-baik!"

Tegas si kakek sambil menunjuk ke balik pancuran.

Ada dinding, dindingnya seperti pintu. Mungkin pintu rahasia namun sudah ditumbuhi lumut tebal.

"Memangnya di balik dinding itu ada makanan, kek?"

Tanya Raja.

"Edan. Yang ada dalam pikiranmu ternyata hanya makanan saja!"

Gerutu si kakek. Senyum-senyum pemuda itu menjawab.

"Kau mengatakan air tidak cukup membuat seseorang bisa hidup. Harus ada makanankan? Aku bertanya makanan kau malah tersinggung."

Sambil bersungut-sungut si kakek menjawab pula.

"Sudah. Jangan banyak tanya. Sebaiknya lihat apa yang akan kulakukan!"

Sambil berucap demikian si kakek tiba-tiba melangkah lebar melewati pancuran air.

Ketika air pancuran mengguyur tubuhnya ternyata tubuh si kakek tidak menjadi basah.

Sebaliknya sekujur tubuhnya malah mengepulkan asap tak ubahnya seperti besi membara yang dicelupkan ke dalam air.

Tanpa menghiraukan Raja yang terus memperhatikan gerak geriknya, Si Gembala Api Segera menyingkirkan lumut yang menempel pada dinding.

Begitu dinding bersih dari lumut, si kakek segera pula mendorongnya.

Di balik dinding yang bergeser tampak sebuah pintu terbuka.

Ada cahaya terang memancar dari balik pintu.

Si kakek menoleh ke belakang lalu memberi isyarat pada Raja untuk mengikutinya.

Sambil lindungi matanya yang kesilauan akibat pancaran cahaya yang datang dari ruangan dalam pemuda itu segera menyusul si kakek

"Ruangan yang sejuk, indah dan nyaman!"

Gumam Raja memuji.

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera saja mata pemuda itu menjelajah kesegenap penjuru ruangan.

Dia melihat di seluruh dinding ruangan yang luar biasa luas dipenuhi tumbuhan yang sedang berbuah lebat. Buah yang bergelantungan di setiap tangkai merah kuning dan ada pula yang berwarna biru ranum seperti buah anggur.

Melihat buah yang bergelantungan. Raja julurkan lidah basahi bibir.

Dia berpikir buah-buahan yang terdapat disetiap tangkai itu pasti enak dan lezat.

Si kakek yang mengetahui apa yang ada dalam benak Raja segera menyikutnya.

"Jangan pernah berpikir kau bisa mencicipi sebutirpun dari buah-buahan itu. Kau tidak berhak memetiknya. Buah-buahan yang ada di sini semuanya hanya bisa dimakan oleh orang yang istiwewa!"

Menerangkan si kakek

"Istimewa bagaimana kek? Memangnya aku bukan tamu istimewa?"

Rungut Raja sambil memendam rasa kecewa.

"Kau bukan tamu, kau hanya orang kesasar. Sudah... sekarang lupakan tentang segala rasa laparmu. Kau lihat di tengah ruangan itu!"

Kata si kakek sambil layangkan pandang ke tengah ruangan. Raja melihat ke tengah ruangan.

Terlihat ada sebuah tempat tidur berkasur tebal dilapisi kain berwarna kuning.

Diatas tempat tidur terbentang sebuah kelambu tipis tembus pandang juga berwarna kuning gading.

Karena kelambunya demikian tipis, maka Raja dapat melihat orang yang berada di dalamnya,
Di balik kelambu tergeletak satu sosok seorang gadis dalam keadaan tertidur pulas, Gadis itu berambut panjang.

Wajahnya cantik mempesona, berleher jenjang, berpinggul dan berdada bagus

"Siapa dia?"

Tanya Raja yang tidak dapat menahan diri

"Dulu ketika Iblis Kolot datang ke sini, dia hanya seorang bocah berumur dua tahun.Tidak kusangka kini dia sudah besar, tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik.Dia diasuh oleh peri kayangan. Dan peri itu kemungkinan telah meninggalkannya begitu dia sudah mampu mengurus diri sendiri."

Jelas si kakek.

Sambil menatap ke arah ranjang di mana sang dara cantik dibuai mimpi si kakek melanjutkan.

"Namanya Anjarsari. Dia adalah satu-satunya wanita keturunan terakhir yang selamat dari malapetaka puluhan tahun yang silam. Sekarang aku akan membangunkannya. Begitu dia terjaga aku akan memberi tahu, dia harus ikut bersamamu!"

"Memangnya apa yang bisa dilakukan gadis seperti dia? Aku bisa pergi sendiri dan tidak perlu direpotkan oleh siapapun."

Jawab Raja.

"Hus!, kau tidak boleh bicara begitu. Gadis itu umurnya sepantaran denganmu, siapa tahu dia berjodoh denganmu!"

Ucap si kakek sambil tatap pemuda itu dengan penuh arti.

Raja pencongkan mulutnya.

Belum sempat dibangunkan si kakek tiba-tiba saja gadis di atas ranjang berkelambu menggeliat. Setelah menggeliat lalu menguap, si gadis tiba-tiba bangun dan duduk di atas tempat ketidurannya.

Setelah merapikan pakaian dan rambut yang menutupi wajah, gadis itu tiba-tiba menoleh ke arah dimana Raja dan Si Gembala Api berdiri.

Dia terkejut begitu melihat ada orang berada di dalam ruangan itu dan tengah memperhatikannya pula.

Kelambu disingkapkan.

Seraut wajah cantik di balik kelambu terlihat tambah mempesona, membuat hati sang pendekar bergetar, jantung berdegup lebih cepat dan darah mudanya berdesir.

Sambil menahan marah gadis itu memperhatikan si kakek dan Raja silih berganti.

Dia rasa-rasa masih mengenal Si Gembala Api walau sekian lama diantara mereka tidak pernah bertemu.

Namun pemuda yang bersama si Gembala Api itu siapakah?

Tidak ingin terombang-ambing oleh perasaannya sendiri.

Gadis berkulit putih bersih bermata indah itu segera membuka mulut ditujukan pada si kakek

"Orang tua...aku seperti mengenal dirimu?"

"Aku merasa kau bukan orang yang asing bagiku."

"Dua puluh tahun adalah waktu yang lama bagi tua bangka ini berada di luar sana. Semua itu karena ulah Iblis Kolot. Aku beruntung dapat bertahan hidup dalam liang pemasungan api abadi. Jika tidak dipasung di api kemungkinan aku sudah dimangsa oleh Simujud dan Makandor."

"Binatang-binatang sisa kehidupan masa lalu itu masih berkeliaran?"

Tanya gadis itu, sikapnya terlihat tenang namun wajahnya membayangkan kekhawatiran. Si kakek anggukkan kepala.

"Iblis Kolot membuat semuanya menjadi hancur. Kau pastilah Si Gembala Api pemimpin rakyat kita."

"Kau benar. Ternyata ingatanmu cukup baik."

Memuji si kakek.

Sementara Raja hanya diam mendengarkan. Dalam diam pemuda itu sesekali mencuri pandang pada si gadis. dan setiap kali dia menatap hatinya selalu bergetar.

"Apa yang terjadi dengan diriku. Mengapa hatiku jadi gelisah seperti ini. Padahal sebelumnya aku juga sering bertemu gadis cantik. Dan aku tidak merasakan sesuatu yang aneh seperti aku melihatnya."

Batin sang pendekar.

Gadis itu bangkit berdiri.

Sekejab dia melirik ke arah Raja, namun kemudian dia bersikap acuh.

Perhatiannya kini kembali tertuju pada si kakek

"Semua ingatan dan kenangan tentang kehebatanmu selalu diceritakan oleh Peri Indah. Dia pula yang mengatakan engkau masih hidup, tapi aku kurang begitu percaya. Setelah peri pengasuhku pergi sekarang aku baru mempercayainya, Aku senang melihatmu orang tua, tapi kehadiranmu diruangan pribadiku dengan membawa serta orang yang tak kukenal membuatku tidak suka."

Kata si gadis berterus terang.Walau Raja merasa tersinggung dengan sikap Anjarsari yang dianggapnya congkak dan sombong namun Raja membalasnya dengan senyum.

Ucapan sang dara sendiri bagi si kakek membuatnya merasa tidak enak hati pada Raja, maka buru-buru dia menyela.

"Anjarsari, bukankah itu namamu sejak kecil?"

Sebagai jawaban si gadis anggukkan kepala.

"Ketahuilah, pemuda ini yang telah menyelamatkan aku, menghancurkan rantai yang mengikat tangan dan kakiku. Namanya Raja, Raja Gendeng 313. Tepatnya begitu, dia bukan pemuda sembarangan. Dia bahkan sanggup membunuh dua mahluk iblis itu tanpa menyentuhnya."

Puji si kalkek kagum. Berbeda dengan Si Gembala Api yang pernah merasa ditolong. Sebaliknya Anjarsari malah cibirkan mulutnya.

"Kau membawa orang gila ke ruangan ini? Penjelasanmu sama sekali tidak membuatku merasa kagum padanya. Aku yakin dia seorang pemuda lemah. Dan aku ingin menjajal kehebatannya sehingga aku bisa menilai apakah dia layak berada dihadapanku!"

Kata Anjarsari ketus.

Ucapan itu karuan saja membuat wajah sang pendekar berubah merah.

Dia lalu melangkah maju.

Kali ini dia lebih memilih menatap langit-langit kelambu.

Dia tidak berani beradu pandang dengan Anjarsari gadis congkak yang memuakkan namun sanggup membuat hati sang pendekar berdebar-debar.

"Gadis angkuh, kau mengagulkan diri, merasa hebat karena kau tidak pernah melihat betapa luasnya bumi dan birunya langit. Kau seperti katak di bawah tempurung, merasa hebat sendiri. Aku pun tidak perlu bersahabat dengan gadis sepertimu!"

Tegas Raja, namun entah mengapa hatinya menjadi bimbang. Dia malah takut tidak melihat Anjarsari lagi diwaktu yang akan datang.

"Gila! Mengapa aku Jadi begini."

Gerutu Raja.

Mendengar ucapan sang pendekar, si gadis malah tersenyum memperlihatkan sederet giginya yang rapi, putih menawan.

"Beraninya kau bicara seperti itu. Siapa yang sudi bersahabat denganmu. kau mana pantas menjadi teman gadis secantikku!"

Dengus Anjarsari tanpa perasaan. Raja menggaruk rambutnya yang tidak gatal.Melihat sikap Anjarsari yang kasar serta menyaksikan kegelisahan Raja, si kakek buru-buru membuka mulut.

"Tunggu... tenang... mengapa kalian malah bertengkar. Aku belum bicara dan menjelaskan niat kedatanganku ke sini.

"Kek... lebih balk tidak usah kau ceritakan. Aku tidak mau pergi bersama kuntilanak cantik itu!"

Tukas Raja kesal

"Hah... apa. Apa maksud ucapannya kek. Lekas jelaskan...."

Desak Anjarsari tidak sabar.

"Hmm, begini...!"

Sambut Si Gembala Api.

Orang tua ini terdiam sesaat namun kemudian segera menceritakan semua keinginannya serta perintah yang harus dilakukan oleh Raja dan gadis itu.

Selesai mendengar penjelasan Si Gembala Api, Anjarsari pun tak kuasa menahan gelak tawanya.

Sambil terkekeh dan pegangi perutnya yang kaku karena banyak tertawa, Anjarsari pun menjawab

"Memangnya dia siapa? Apakah sudah tidak ada lagi manusia hebat di negeri kita ini yang layak melakukan sebuah tugas berat?"

"Manusia hebat di negerimu? Ha ha ha! Kau mana bisa membangkitkan para tokoh yang sudah menemui ajal untuk mencari kitab juga mencari Iblis Kolot!"

Tukas Raja disertai tawa dingin.

Kemudian pada si kakek pemuda itu berujar.

"Sudahlah kek. Aku ini cuma manusia tolol, dia lebih hebat dariku. Mengapa tidak kau perintahkan saja dia untuk menyelesaikan setiap amanat yang kau berikan padaku."

Berkata demikian Raja segera balikkan badan dan melangkah tinggalkan ruangan itu.

Si kakek terkejut

"Hei... kau mau kemana?!"

Si Gembala Api lalu tarik tangan Raja mencegah sang pendekar agar tidak pergi

"Biarkan saja kek. Dia cuma bisa merajuk seperti anak kecil!"

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ejek Anjarsari sambil mencibir. Mendengar ucapan itu membuat langkah Raja terhenti. Cepat pemuda ini balikkan badan, kemudian dengan tatapan tajam menusuk dia berkata.

"Gadis sombong! Aku bisa membuatmu bertekuk lutut tanpa menggunakan senjataku ini!"

"Hmm, begitu. Kek, bukankah ada-ruangan luas yang bisa kita gunakan untuk menguji kehebatannya? Aku yakin dia cuma bermulut besar. Dan aku ingin membuktikan bahwa yang kukatakan ini benar adanya!"

Kata Anjarsari tetap angkuh.

Walau bingung dan merasa tidak enak pada sang pendekar, Si Gembala Api menjawab.

"Baiklah, Jika memang yang menjadi keinginanmu. Sekarang juga kita bersama-sama menuju ke ruangan pengujian...!"

Ujarnya mengalah. Akhirnya bersama-sama mereka bertiga tinggalkan ruangan ketiduran yang dipenuhi buah buahan itu.

Dalam perjalanan menuju ruangan yang dimaksud dalam hati Raja berucap.

"Aku harus mengesampingkan perasaan aneh tolol yang memenuhi hatiku ini. Dia harus diberi pelajaran agar bisa menghargai orang lain."


*****

Tidak sampai tiga puluh purnama berada dalam gemblengan Iblis Kolot, Pura Saketi yang kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda remaja telah berhasil menyerap sekaligus menguasai jurus-jurus silat tangguh serta ilmu pukulan sakti yang diberikan oleh orang tua itu.

Mendidik pemuda dengan berbagai ilmu olah kanuragan, Iblis Kolot sendiri tidak mengalami banyak rintangan yang berarti. Setiap ilmu yang diturunkan si kakek gila ini dengan mudah dapat diserap oleh Pura Saketi. Semua kemajuan pesat yang dialami oleh Pura Saketi bukan karena dia memiliki susunan tulang dan otot yang bagus saja tapi juga karena sebelumnya dia memang telah mewarisi ilmu olah kanuragan yang diturunkan oleh ayahnya Pendekar Sesat.

Dan siang itu kakek berambut panjang riap- riapan memanggil muridnya. Pura Saketi mendapati si kakek aneh sedang duduk di atas batu di tengah sebuah lapangan berumput hijau.

Begitu sampai di hadapan Iblis Kolot sambil rangkapkan kedua tangannya.

"Guru memanggil saya?"

Bertanya Pura Saket sambil tatap wajah si kakek yang muram. Iblis Kolot anggukkan kepala sebagai jawaban.

"Tadi malam guru mengatakan semua ilmu sakti yang guru miliki telah diberikan padaku semuanya."

"Yang kau katakan benar, Pura Saketi. Kau telah memperoleh jurus Kuda Kuda Iblis yang hebat, juga jurus keramat Bayang Bayang Senja. Di samping itu kau telah mendapatkan ilmu pukulan Sungsang Jiwa, Pukulan Iblis Menembus Langit dan juga pukulan Bara Neraka. Setelah semua ilmu kuturunkan padamu maka hubungan antara diriku dengan dirimu boleh dikatakan berakhir sampai di sini. Tapi ingat untuk menyempurnakan semua ilimu yang telah kuberikan padamu, kau harus menemukan kitab Aksara Iblis. Aku tidak tahu di mana keberadaan kitab luar biasa itu, tapi firasatku mengatakan kitab berada disekitar kawasan ini. Aku tidak bisa membantu, namun kau sendiri yang harus menemukannya sebelum kitab ditemukan oleh orang lain."

Terang si kakek dengan berbinar-binar menyimpan harapan.

"Guru pernah mencarinya. Guru mengatakan kitab tidak guru temukan!"

Ujar Pura Saketi

"Itu benar. Mungkin kitab itu tidak berjodoh denganku, tapi aku yakin kitab itu berjodoh denganmu!"

"Guru, apakah mungkin kitab bisa kutemukan mengingat kawasan Jurang Watu Remuk Raga ini sangat luas!"

Jawab Pura Saketi dalam keraguan.

Tidak disangka-sangka mendengar ucapan Pura Saketi, si kakek delikkan mata.

Dari mulutnya terdengar suara menggerung dan lolongan.

Setelah menangis tersedu-sedu, orang tua ini kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Pemuda jahanam! Jangan kau mengakui aku sebagai gurumu bila kau bersikap lemah di depanku. Ucapanku tidak boleh kau bantah. Jangan kau buat kecewa arwah Pendekar Sesat ayahmu. Kau juga jangan membuatku marah!"

Teriak si kakek gusar.

Dalam kemarahannya dia menghantam batu yang dia duduki.

Batu hancur menjadi kepingan.

Dinding jurang terguncang, bagian dasar jurang bergetar seperti dilanda gempa bumi hebat. Pura Saketi menyeringai.

Dia tidak gentar dengan kemarahan gurunya karena dalam keseharian si kakek pun memang sering bertingkah aneh. Namun dia berpikir mengabulkan perintah orang yang dianggapnya sangat berjasa adalah sesuatu menjadi keharusan.

"Kau harapanku satu-satunya, Pura Saketi. Setiap orang yang telah memperlakukan dirimu seperti binatang harus mendapat ganjaran yang setimpal. Dan diluar musuh-musuhmu aku juga masih punya musuh yang harus disingkirkan. Aku punya rencana besar... aku punya rencana. Tapi rencanaku itu tidak akan berjalan sesuai dengan keinginanku bila kau belum menguasai ilmu hebat yang tersimpan dalam Aksara Iblis."

"Hmm, baiklah. Aku akan mencari kitab yang kau maksudkan, tapi apakah aku boleh mengetahui rencana besar yang kau maksudkan itu?"

Tanya Pura Saketi sambil tatap orang tua yang kini telah berdiri di depannya.

Iblis Kolot menyeringal. Dalam hati dia berkata.

"Anak ini tidak boleh tahu apa yang menjadi rencanaku. Dia bisa kujadikan sebagai kepanjangan tangan. Tapi sebelum rencanaku berjalan sebagaimana yang seharusnya, aku harus menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatnya tak dapat menolak kehadiranku. Aku akan menguasainya, memanfaatkan raganya untuk memuluskan setiap keinginan yang telah lama terkubur dalam sanubariku. Orang tolol yang telah mengeroyokku dulu dan melemparkan aku ke dalam jurang ini adalah orang yang patut mendapat ganjaran dari semua perbuatannya terhadap diriku."

"Guru... mengapa diam, apa yang ada dalam benakmu!"

Tanya Pura Saketi.

Pertanyaan itu membuat Iblis Kolot tersentak dan segera tersadar dari lamunannya.

"He, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku senang melhatmu berhasil menguasai ilmu yang aku turunkan."

Jawab Iblis Kolot penuh dusta.

"Aku tidak dapat mengatakan apa yang menjadi rencanaku!"

Lanjutnya lagi

"Lalu... apakah sekarang aku harus memenuhi kewajibanku, mencari dan menemukan Kitab Aksara Iblis?"

"Kau memang harus melakukannya. Tapi sebelum kau meninggalkan tempat ini aku punya satu permintaan yang harus kau lakukan. Jika permintaanku kau patuhi, maka aku akan menganggap hutang nyawa dan budi antara dirimu dengan diriku impas."

Merasa tidak mengerti maksud ucapan Iblis Kolot, dengan kening berkerut Pura Saketi pun bertanya.

"Apa maksudmu orang tua. Aku berhutang nyawa padamu, aku juga berhutang budi terhadapmu. Dan semua itu tidak mungkin bisa kubayar lunas sampai kapanpun."

Iblis Kolot tersenyum. Dia merasa ucapan Pura Saketi sebagai sebuah kemenangan baginya

"Pura Saketi, perlu kiranya kau tahu. Segala hutang piutangmu terhadapku tentu saja bisa kau bayar lunas. Dan semua itu tidak membutuhkan waktu yang lama!"

Ucap si kakek diringi senyum

"Guru, apa maksudmu? Andai saja aku bisa melunasi semua hutangku sekarang tentu aku segera melakukannya karena aku tidak mau pergi dari sini dengan membawa beban yang mengganjal di hati!"

"Ha ha ha! Bagus. Aku juga ingin melihat apakah kau bisa melakukannya!"

Dengus si kakek.

"Cepat katakan!"

Desak Pura Saketi terkejut bukan main. Matanya mendelik, mulut ternganga, bibir bergetar namun tidak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.

"Mengapa? Apakah ada yang aneh? Permintaanku adalah sesuatu yang menjadi keharusan. Kau harus membunuhku! Hanya itu satu-satunya cara untuk membalas semua hutang budimu kepadaku!"

"Guru... apakah kau sudah gila?"

Sentak pemuda itu sambil melangkah mundur mundur.

"Ha ha ha! Aku gila, sinting edan kan?! Bukankah kau sudah lama mengetahuinya. Aku hidup dalam ketidakwarasan. Dan kau termasuk orang yang beruntung karena bertemu dengan si gila ini!"

Jawab Iblis Kolot sambil melangkah maju.

"Kau boleh menyuruh melakukan apa saja. Tapi membunuhmu, menghabisi guru sendiri adalah sesuatu yang mustahil bisa kulakukan!"

Sahut Pura Saketi.

"Murid tolol, tidak berguna. Mengapa kau masih juga terpengaruh oleh perasaanmu? Bukankah sudah kukatakan bahwa diantara kita tidak ada ikatan?"

"Guru... aku tak sanggup melakukannya. Lebih baik aku menghabisi seribu musuh dari pada harus membunuhmu. Aku tidak bisa... aku tak sanggup. Maafkan aku!"

Setelah berkata demikian Pura Saketi balikan badan lalu menghambur lari tinggalkan gurunya.

Melihat pemuda itu tidak memenuhi keinginannya. Iblis Kolot menjadi kecewa dan murka.

"Murid keparat! Hendak kemana kau?"

Teriak Iblis Kolot sambil banting kakinya. Kaki yang menghentak amblas ke dalam tanah. Batu-batu bertebaran, seluruh penjuru jurang bergetar dilanda guncangan hebat

"Maafkan aku guru! Aku lebih baik mencari Kitab Aksara Iblis saja!"

Sahut pemuda itu dikejauhan

"Bocah edan. Kembali! Kau harus membunuhku!"

Seru Iblis Kolot geram.

Tapi hanya desir angin yang terdengar.

Pura Saketi walau mendengar teriakan Iblis Kolot tidak menjawab.

Sebaliknya dari sekedar berlari cepat pemuda itu kini mengerahkan tenaga dalam kebagian kaki, membuat gerakannya bertambah cepat lalu lenyap dari pandangan Iblis Kolot.

Dengan segala kekecewaannya Iblis Kolot menggerung.

Tapi dia tidak mau tenggelam dalam kekesalan terlalu lama.

"Harus ada cara agar dia bisa membunuhku. Tapi bagaimana...!"

Pikir Iblis Kolot bimbang.

Dia pun lalu menarik kakinya yang amblas di tanah.

Setelah sempat mondar mandir Iblis Kolot lalu hentikan langkah.

Kakek gila ini lalu tersenyum begitu selintas akal muncul dari dalam benaknya

"Yang ini pasti bisa. Dia tidak akan tahu. Hanya dengan cara itu aku bisa mati di tangannya. Setelah aku mati barulah semua rencanaku bisa berjalan. Aku akan mengejarnya, aku akan menyusulnya!"

Tegas Iblis Kolot sambil menatap ke arah lenyapnya Pura Saketi.

Sambil berlari di dalam hatinya Pura Saketi bertanya-tanya, mengapa Iblis Kolot ingin mati.

"Apakah sang guru sudah bosan hidup? Tetapi mengapa aku yang harus membunuhnya?"

Iblis Kolot memang bukan manusia waras. Kegilaannya sudah Pura Saketi ketahui sejak lama, Memang orang tua itu gila, namun menghabisi orang yang telah banyak menanam budi kepadanya adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan.

Lelah berlari lelah pula dia berpikir.

Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu pun lalu hentikan langkahnya.

Sejurus dia memandang ke belakang.

Tidak terlihat tanda-tanda sang guru menyusulnya.

Pemuda ini menghela nafas sambil mengusap keringat yang membasahi wajah. Pura Saketi lalu memutuskan untuk beristirahat di bawah sebatang pohon berdaun rindang.

Di bawah pohon itu tubuhnya dibaringkan.

Dengan bantal kedua tangan mata menerawang.

Tiba-tiba dia berkata.

"Mengapa guru memilih mati. Jika benar dia punya rencana besar, bukankah rencana itu bisa dilakukan bersamaku? Aku tidak akan mau lagi bersikap pasrah seperti dulu. Aku harus mencari orang-orang yang telah menghabisi ayahku. Mereka pantas mendapat hukuman yang setimpal. Semua orang yang pernah bermusuhan dengan ayah harus dibunuh, Kelak bila aku telah menguasai kitab Aksara Iblis aku akan habisi semua tokoh rimba persilatan. Aku bisa menjadi penguasa tunggal dan menjadi raja diraja didunia persilatan. Akan kubuktikan bahwa Pura Saketi putra Pendekar Sesat lebih hebat dari almarhum ayahnya!"

Pura Saketi kemudian terdiam.

Bibir tersenyum.

Banyak rencana memenuhi benaknya.

Dalam keadaan hati dipenuhi rencana, si pemuda ternyata tidak sadar kalau tidak jauh dari tempatnya berbaring berdiri tegak seorang kakek tua renta berpipi cekung berambut putih.

Kakek itu berterompah butut, tangan kanan bersitekan pada tongkat hitam berukir kepala tengkorak. Setelah menatap sejenak pada Pura Saketi, si kakek bercelana setinggi lutut tiba-tiba menyeringai.

"Sudah lama aku tidak membunuh! Lama pula aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang layak dibunuh.Tidak disangka hari ini aku menemukan manusia kesasar yang siap mampus!"

Dengus kakek itu dingin.

Pura Saketi terkejut.

Dia menyangka yang datang dan bicara adalah gurunya.

Secepat kilat pemuda ini bangkit.

Menatap ke depan dia terkesima.

Orang yang berdiri di depannya ternyata bukan Iblis Kolot.

Orang tua itu sama sekali tidak dikenalnya

"Siapa kau?"

Hardik si pemuda.

Si kakek tersenyum.

"Aku adalah orang yang haus darah. Aku membunuh siapa saja yang berani menginjakkan kaki di daerah yang menjadi kekuasaanku!"

Dengus si kakek ketus

"Bukankah daerah ini masih termasuk bagian dari wilayah kekuasaan Iblis Kolot?"

Tanya pemuda itu heran.

"Aku tidak mengenal orang yang kau sebutkan. Kau berada di tempat yang salah, maka sudah selayaknya mampus di tanganku!"

Berkata demikian si kakek geser kaki kirinya ke samping, tongkat dilintangkan di depan dada siap menyerang. Melihat ini Pura Saketi menjadi gusar. Cepat pemuda itu membuka mulut.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Katakan siapa dirimu?!"

Si kakek angker bertelanjang dada dongakkan kepala lalu tertawa tergelak-gelak

"Ha ha ha! Kau bertanya siapa aku? Akulah orangnya yang dijuluki El Maut Kaki Seribu,"

Sahut si kakek

"El Maut Kaki Seribu? Guru tidak pernah mengatakan ada orang dengan julukan seperti dia? Mengapa guru tidak pernah mengatakan kalau di dalam jurang ini juga dihuni oleh orang lain?"

Bertanya Pura Saketi di dalam hati.

"Anak muda, sudah waktunya bagimu untuk menghadap diraja akherat! Sekarang bersiap- siaplah untuk mampus!"

Berkata demikian tiba-tiba si kakek melompat ke depan lalu tusukkan tongkat di tangannya ke bagian wajah dan tenggorokan Pura Saketi.

Melihat serangan datang demikian cepat, Pura Saketi tidak punya kesempatan lagi bicara lebih banyak.

Dia terpaksa rundukkan kepala, kaki ditarik ke belakang sedangkan tangan digerakkan ke atas menangkis serangan tongkat.

Pada waktu bersamaan pemuda ini juga pergunakan tangan kirinya untuk menghantam dada lawan.

Dua serangan tongkat El Maut Kaki Seribu melesat sejengkal di atas kepalanya.

Tidak mengenai sasaran, tongkat melesat ke samping lalu menggebuk rusuk pemuda itu. Pura Saketi tarik tangan kanan yang gagal menangkis tongkat, lalu dengan menggunakan siku dia menangkis hantaman tongkat

Tak!

Benturan antara tongkat dan siku membuat Pura Saketi tergetar, sikunya menggembung bengkak sakit luar biasa.

Si kakek sendiri terjajar.

Tapi Pura Saketi segera merangssak maju, tangan kiri meluncur deras menyusup hindari tinju lawan lalu...

Dess!

Dengan telak tangan kiri pemuda itu menghajar dada si kakek, membuat orang tua itu terdorong ke belakang sejauh satu tombak.

Selagi El Maut Kaki Seribu kehilangan keseimbangan, pemuda ini melesat ke udara lalu disaat tubuhnya melayang dia lancarkan tendangan ke arah kepala lawan.

Tendangan ini sebenarnya hanyalah tipuan saja karena ketika lawan menangkis dengan kibasan tongkat justru Pura Saketi menarik balik tendangannya, kemudian sebagai gantinya dia dorongkan dua tangan ke arah lawan melepas pukulan Iblis Menembus Langit.

Segulung angin menebar hawa luar biasa dingin menderu.

Menyertai serbuan hawa dingin itu membersit pula cahaya biru kehitaman berbentuk seperti mata pedang dan melesat cepat menebas mencari sasaran ditiga bagian tubuh lawan.

Melihat serangan ini si kakek keluarkan seruan kaget.

Tapi dia segera memutar tongkat di tangan, menjadikan tongkat itu sebagai perisai pertahanan yang kokoh.

Cahaya hitam memancar dari tongkat bergulung-gulung disertai angin ribut.

Dan ketika serangan Pura Saketi menghantam tongkat yang berputar melindungi tubuh si kakek maka terdengar suara dentuman menggeledek.

Lembah di dasar jurang mengalami guncangan keras.

Batu-batu dasar jurang mengalami guncangan hebat seperti dilanda kiamat.

Batu-batu dan pepohonan yang berada di sekitarnya hancur porak-poranda, bertebaran diudara dalam keadaan menyala dikobari api.

El Maut Kaki Seribu terjatuh dengan kedua kaki tertekuk.

Pura Saketi yang sempat mengalami guncangan keras terjatuh dengan dua kaki terlebih dulu menyentuh tanah.

"Tua bangka jahanam! Kau belum tahu siapa aku!"

Teriak pemuda itu sambil dekap dadanya yang mendenyut sakit.

Si kakek tergelak-gelak. Secepat kilat dia bangkit berdiri.

Dengan menggunakan tongkat yang telah hancur dibagian ujungnya tanpa membuang waktu orang tua ini melesat ke depan.

Walau serangan tongkat berlangsung sangat cepat.

Namun berkat jurus keramat Bayang Bayang Senja, Pura Saketi dengan mudah sanggup menghindari tusukan maupun sambaran tongkat.

Namun si kakek yang menyadari betapa tangguh lawan yang dihadapinya tiba-tiba merubah jurus silatnya Ketika tongkat gagal melukai lawan, El Maut Kaki Seribu lebih banyak mengandalkan kecepatannya dalam bergerak Sambil menghuyungkan tubuhnya ke kiri atau ke kanan kakek ini terus merangsak maju.

Tiba-tiba tongkat meluncur menusuk ke bagian perut, Pura Saketi menghantam tongkat itu dengan pukulan Bara Neraka,

Seketika itu pula dari kedua tangan di pemuda yang telah berubah merah laksana bara menderu hawa panas luar biasa.

Disaat tongkat menusuk perutnya, tangan si pemuda menghantam tongkat itu.

Kraak!

Byar!

Tongkat tak dapat melukai perut Pura Saketi.

Sebaliknya senjata andalan si kakek hancur bertebaran menjadi puing berserakan dalam keadaan dikobari api.

Setelah menghancurkan senjata lawan.

Tangan kanan dia dorongkan ke wajah lawan.

Namun tindakan yang dilakukannya ini kalah cepat dengan datangnya serangan El Maut Kaki Seribu

Des!

Des!

Dua pukulan ganas mendera dada dan perut pemuda itu.

Pakaian Pura Saketi hancur dibagian depan, dada dan perutnya terguncang keras.

Sambil menahan rasa sakit luar biasa pemuda ini berusaha menguasai diri setelah sempat kehilangan keseimbangan.

Kesempatan ini kembali dipergunakan si kakek untuk menyerang lawan.

Tiba-tiba tubuh si kakek melambung tinggi.

Kaki kanan terlanjur lalu dihantamkan ke arah lawan dengan tendangan bertubi-tubi.

Pura Saketi menggeram.

Dalam kemurkaannya dia salurkan tenaga dalam ke kedua belah tangan.

Dengan tangan kiri tendangan itu di- tangkisnya.

Sedangkan dengan tangan kanannya dia lepaskan pukulan yang tidak kalah ganas dari serangan si kakek
Raja Gendeng 26 Putera Pendekar Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Duuk!

Duuk!

Dua benturan keras terjadi, membuat keduanya terguncang.

Tapi ditengah kemarahan yang meluap tiba-tiba Pura Saketi melompat ke arah si kakek.

Kemudian dengan tangan kanan yang berubah merah laksana bara pemuda ini menghantam.

El Maut Kaki Seribu coba hindari serangan dengan berjumpalitan ke belakang.

Tapi pukulan Sakti Bara Neraka yang dilancarkan pemuda itu telah menderu menembus dua kakinya dan menghantam selangkangan si kakek

Dess!

Raak!

Kerasnya pukulan dan tepat mengenai sasaran membuat El Maut Kaki Seribu menjerit setinggi langit.

Tubuhnya terguncang jungkir balik tidak karuan lalu jatuh tergelimpang di tanah.

Orang tua ini megap-megap.

Dari mulut, telinga dan lubang hidungnya menyemburkan darah. Melihat lawan terkapar tidak berdaya si pemuda segera menghampiri.

Dia menatap lawan disertai seringai dingin.

"Berurusan denganku ternyata hanya mem-buatmu berhadapan dengan kematian"

Geram Pura Saketi. Si kakek lalu dicengkeramnya.Sekali rambut disentak kepala dan tubuh lawan terangkat naik.

Di saat itulah satu keanehan terjadi. Tiba-tiba seluruh tubuh orang tua itu bergetar. Takut lawan berniat melakukan serangan mematikan, Pura Saketi lepaskan jambakan rambut. Si kakek sekali lagi terhempas. Tapi begitu menyentuh tanah satu perubahan tidak terduga terjadi pada diri El Maut Kaki Seribu.

Sekonyong-konyong ujudnya berubah kembali ke sosok yang asli.

Sosok Iblis Kolot.

Pura Saketi kaget bukan main

"Guru... kau..."

Pemuda itu keluarkan seruan tertahan. Dalam kaget dia menghampiri sang guru dan jatuhkan diri disamping Iblis Kolot.

"Bagaimana yang menjadi korban adalah dirimu? Padahal yang kuserang jelas-jelas El Maut Kaki Seribu?"

Sentak pemuda itu seolah tidak percaya. Iblis Kolot tersenyum. Dengan suara tersendat kemudian dia berkata.

"Aku bisa merubah diri menjadi apa saja. Itulah satu-satunya ilmu yang tidak pernah kuberikan padamu. Kau tak usah bersedih, apalagi merasa bersalah. Semua ini memang menjadi keinginanku. Aku ingin mati di tanganmu. Keinginan itu tak mungkin terlaksana selama aku sebagai Iblis Kolot Ha ha ha...!"

"Tapi guru, mengapa kau ingin mati, mengapa?"

Pekik pemuda itu.

"Kelak kau akan tahu mengapa aku menginginkan kematianku. Aku..."

Iblis Kolot berusaha keras ingin menyelesaikan ucapan.

Namun bukan ucapan yang keluar dari mulut melainkan semburan darah merah kehitam-hitaman.

Iblis Kolot terkulai.

Pura Saketi meraung sejadi-jadinya.

Tapi bersamaan dengan terkaparnya Iblis Kolot satu perubahan yang luar biasa aneh sekonyong konyong terjadi pada diri kakek ini.

Tubuh yang terkapar diam tiba-tiba menggeletar.

Ada asap tebal mengepul dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

Asap berwarna merah kelabu kemudian membumbung tinggi, tergulung-gulung di udara.

Tidak disangka-sangka kepulan asap merah kelabu itu kemudian bergerak ke arah kepala tepat di bagian ubun-ubun Pura Saketi.

Si pemuda yang tidak mengetahui tentang keanehan yang terjadi tidak sempat menghindari asap merah kelabu yang menerpa ubun-ubunnya.

Begitu asap menyentuh ubun-ubunnya, dia merasakan ada satu hawa dingin luar biasa bergerak di dalam kepalanya, Hawa aneh itu kemudian menjalar kesekujur tubuh di sebelah bawah.

Pura Saketi beliakkan mata.

Tubuh merinding disertai guncangan dibagian tubuh sebelah dalam.

"Apa yang terjad...?"

Sentak pemuda itu, heran, kaget juga bingung.

Sebagai jawaban.

Tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa dari mulut pemuda itu.

Tawa yang terdengar bukan lagi tawa Pura Saketi, melainkan tawa arwah Iblis Kolot

"Inilah yang kumaksud. Dengan terbunuh ditanganmu, berarti aku bisa menitipkan arwahku di dalam ragamu.Mulai sekarang kita berbagi tempat. Dalam satu raga terdapat dua mahluk hidup. Satu arwahku dan satu lagi sukmamu. Ha ha ha..."

Pura Saketi tercengang. Dia merasa aneh pada dirinya sendiri.

"Aku ketitipan arwah? Dan arwah itu adalah arwah guruku sendiri!"

Membatin si pemuda kaget. Masih tidak percaya dengan kenyataan yang terjadi pemuda ini menatap ke arah di mana tubuh Iblis Kolot terbujur.

Sekali lagi dia dibuat terguncang ketika sadar jasad gurunya ternyata telah lenyap tidak meninggalkan bekas

"Guru... guru...Rencana dan muslihat apa sebenarnya yang tersimpan dalam benakmu!"

Teriak Pura Saketi penasaran.

Tidak ada jawaban.

Hanya desir angin yang terdengar.

Tamat

Episode Selanjutnya

Aksara Iblis


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini)

Situbondo,30 September 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******


Special thank to
Awie Dermawan







Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Jago Pedang Tak Berjago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Bu Beng Kiam Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa
^