Pencarian

Asmara Berdarah 10

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


ng pandang, kemudian memandang lagi kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini" Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.
"Apakah yang telah terjadi, kek" Sia-pa yang mengancam kehidupan dan kese-lamatan manusia?"
Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau di-ingat, memang memalukan sekali. Terja-dinya sudah puluhan tahun yang lalu. Ka-mi, sekelompok delapan jagoan yang da-hulu menjadi datuk-datuk dunia persilat-an, sebelum muncul datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Lam-sin sebagai datuk selatan dan Pak-san-kui se-bagai datuk utara. Kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Ke-tika itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"
Kembali kakek katai itu kelihatan ge-lisah dan memandang ke kanan kiri. Ka-lau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa serem di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.
"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.
"Raja Iblis itu seorang pangeran aseli yang melarikan diri dari istana. Dia ber-sama isterinya terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahken se-cara mutlak, termasuk aku. Kepandaian mereka memang hebat bukah main, mi-rip iblis-iblis saja mereka itu. Kami de-lapan orang datuk bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk ke-pada kami selama hidup. Dengan tanda itu, kami tidak akan berani melawan me-reka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murld kami secara otematis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah ja-lan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mere-ka."
Bukan main hebatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Pe-ristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua me-reka masih kecil, akan tetapi mengapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka" Agaknya se-mua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang di dunia persilatan terdapat ba-nyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.
"Jadi selama puluhan tabun ini locian-pwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.
"Benar, aku tidak pernah melihat dunia ramai, bahkan jarang bertemu manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."
"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."
"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, merekapun bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah hebat. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan ini berbehaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga kepada semua pendekar mereka merasa benci. Jadi, dapat kaubayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, akupun meninggalkan pertapaanku. Biarlah kalau perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhir, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."
"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"
"Sudah tiga bulan. Dan selama ini aku menyelidiki jejak mereka. Dan terdengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk kaum sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"
"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"
"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada" Akan tetapi, aku mendengar bahwa pada akhir bulan depan para datuk itu, termasuk Cap-sha-kui, akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku karena kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerima sebagai murid walaupun aku akan meng-ajarken gin-kang kepadamu, Sui Cin. Ka-lau aku menerimamu sebagai murid, ber-arti engkau akan terikat pula oleh sum-pah kami terhadap kedua iblis itu."
"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.
"Benar, akupun siap membantumu, kek. Iblis-iblis itu sudah sepatutnya di-hadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apalagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."
Wu-yi Lo-jin tersenyum geli. "Biarpun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-a-nak ayam mencoba untuk menantang sri-gala! Akan tetapi semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimanapun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian sudah siap membantu, marilah kita pergi melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."
Berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dusun di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu disebut dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempa-rempa yang ditanam oleh para penghuni dusun seki-tarnya dan di dusun itulah semua hasil rempa-rempa itu dikumpulkan, dan orang-orang kota banyak yang datang untuk membeli rempa-rempa itu. kemudian di-muatkan gerobak dibawa ke kota.
Sebuah kedai makan baru dibuka orang. Tidak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja saja dengan beberapa buah bangku. Akan tetapi kalau melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini. Pelayannya hanya seorang saja, seorang pemuda yang berwajah tampan, walaupun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Ia seorang gadis yang amat manis, walaupun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang sampai ke perut.
Mudah diduga siapa mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya. "Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."
Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin membuka warung nasi dengan menyewa sebuah rumah pondok kecil. Semua ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara saja menjelang datangnya hari di mana para datuk sesat menghadapi Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.
Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempa-rempa. Terpaksa mereka melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok ketika mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis. Mereka bukan ingin mencari keuntungan, maka makin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka dan makin lelah mereka melayani. Bahkan kakek na-kal itu, saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, se-ngaja mencampurkan keringat kepada ma-sakannya, bahkan kadang-kadang dia ma-sak sembarangan saja. Akan tetapi aneh-nya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!
"Wah, kek, kalau begini terus aku ti-dak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Kalau aku tahu hanya akan dijadi-kan bahan sikap dan ucapan jorok mela-yani orang-orang kasar itu, aku tidak su-di. Pula, katanya kau hendak melatih gin-kang kepadaku. Kalau setiap hari bekerja seperti ini, kapan kita latihan" Apakah engkau begitu mata duitan hendak mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"
"Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mende-ngar tentang mereka, tunggulah saja."
Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung itu masih sepi dan tiga orang sedang membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya nampak besar dan bulat pada kakek ini. Kepalanya besar bulat, botak licin bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tertinggal di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut di kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Kedua telinganya seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah. Bajunya yang biru kedodoran itu tidak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan. Ketika memasuki warung kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini memiliki tugas ganda. Dapat dipakai untuk mengipas kalau kegerahan, gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat dan mung-kin saja benda itu dapat dipergunakan sebagai semacam senjata toya.
Begitu memasuki warung, hidung kakek itu berkembang kempis mencium-cium seperti seekor anjing mencari je-jak. "Heh-heh, sedap! Perutku lapar, bi-sakah aku mendapatkan sarapan di wa-rung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.
Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para datuk yang hendak mengha-dap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.
"Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."
"Bubur ayam" Bagus, sediakan semangkok besar!" Dan melihat beberapa buah prabot dapur di atas meja, karena baru saja dicuci, di antaranya sepasang sum-pit besar yang biasa dipergunaken untuk masak, kakek gendut itu mengambil se-pasang sumpit besar itu. "Heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan lebih enak!"
Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu -kepada tamunya. Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di lantai. Mangkok terisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan dan terdengar suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.
"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Bawa saja dua mangkok agar tidak tertunda makanku!" Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut. Semangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Bergegas dia menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin dan mengantarnya kepada tamu aneh. Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok inipun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut sudah berteriak-teriak minta tambah lagi. Sibuklah Hui Song berlari hilir-mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Biarpun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu amat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.
Setelah menghabiskan belasan mang-kok bubur dan kakek gendut masih minta tambah lagi, mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hut Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh tiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.
"Masih ada buburnya" Bung pela-yan, tambah lagi buburnya lima mangkok, juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"
Tentu saja mendengar pesanan ini, tiga orang itu menjadi terkejut dan makin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau! "Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini ma-suk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bi-sa bangkrut kita!"
Akan tetapi Hui Song yang semakin merasa yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya ia bertanya, "Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"
Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itupun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa, "Hah-hah-ha! Nona, apakah aku kelihatan seperti orang yang biasanya menyikat makanan tanpa membayar?"
"Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."
"Ya-ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda, ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?" Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makan-an, berapapun banyaknya.
Karena kehabisah air jernih, Hui Song lalu membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ke-tika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerrakkan dan mengembang-kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing men-cium sesuatu. Dia menghentikan makan-nya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih ber-kelebat memasuki dapur.
"Prokk! Prak!" dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu kini tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu. Airnya tentu saja tumpah den mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.
"Apa artinya ini" Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.
Kakek gendut itu kini sudah meng-hampiri mereka di dalam dapur dan ber-diri tegak sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang ke air yang me-menuhi lantai dapur. Kemudian dia me-mandang kepada Wu-yi Lo-jin dan tiba-tiba menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berka-ta, "Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san" Coba kau kakek katai, pergu-nakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"
Wu-yi Lo-jin terlalu kaget mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak memperhatikan betapa si gendut itu me-ngenal gucinya. Dia membuka tutup gu-cinya, akan tetapi nampak ragu-ragu. "Wah, arakku masih setengah guci..."
Kakek gendut menyodorkan sebuah panci kosong dan Wu-yi Lo-jin tanpa banyak cakap lagi lalu memangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan setelah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar sa-ja, air itu berobah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar beracun!
"Ihh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.
"Loh, siapa minum arakku, hah?" Dia tidak perlu terlalu sibuk menyelidiki ka-rena kakek gendut itu masih kelihatan meng-usap bibirnya yang berlepotan arak itu dengan ujung lengan bajunya.
"Heh-heh, arak baik... arak baik...!"
"Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?" Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap me-nyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.
Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata, "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"
"Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"
Dua orang muda itu berlari keluar dan dua orang kakek itupun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar warung, mereka mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu. Dan nampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada di antara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.
Hui Song cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras, "Saudara-saudara sekalian dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Karena itu sebaiknya jangan minum dulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apapun jangan diminum dulu!"
Suaranya yang lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang sedang mengangkat cangkir untuk minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, yang sudah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!
Gegerlah dusun itu. Dan tanpa dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda malapetaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan di air itu amat jahat sehingga biarpun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, percuma saja.
"Huh, ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut setelah memeriksa seorang korban.
"Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.
"Seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gundul.
"Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."
"Heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu ceroboh!" kata si kakek gendut.
Kini Wu-yi Lo-jin memandang dengan alisnya yang panjang berkerut kepada ka-kek gendut, wajahnya membayangkan ke-marahan. "Heh, gendut! Engkau licik! Engkau agaknya sudah mengenalku, sudah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana kau bisa me-ngenalku, dan apa kehendakmu datang ke tempat ini?"
"Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa be-nar engkau tidak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut" Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), lupakah engkau kepada kipasku?"
Wu-yi Lo-jin terbelalak, lalu menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan diapun terkekeh.
"Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu" Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau men-jadi seperti kerbau bengkak hamil! Ha-ha--ha-ha!"
Si Dewa kipas juga tertawa bergelak. "Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"
"Mari kita bicara dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua o-rang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa." Mereka lalu menasihatkan kepada belasan orang yang tinggal di situ untuk pergi mengungsi pula, karena mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan ke-jam. Agaknya tempat itu memang sudah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.
Empat orang itu lalu memasuki wa-rung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela. "Sui Cin, engkau mengintai dari belakang dan engkau Hui Song, eng-kau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, beritahu kami."
Dua orang muda itu menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit. Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tidak ada seekor anjing atau ayampun yang nampak berkeliaran karena binatang-bina-tang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para pendu-duk. Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat. Akan tetapi, penglihatan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu a-mat menyeramkan. Sunyi sekali, tidak a-da sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Du-sun yang ramai itu kini berobah menjadi sunyi seperti tanah kuburan.
Dua orang kakek itu bercakap-cakap dan biarpun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, kedua orang kakek itu yang sudah jelas memiliki kesaktian, kini ke-lihatan seperti orang-orang ketakutan!
"San-sian, kalau aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersem-bunyi dan bertapa, kini keluar tentu de-ngan alasan yang sama dengan aku, bu-kan?"
Si gendut mengangguk dan mengang-kat kedua jari kirinya, telunjuk dan jari tengah ke atas.
"Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"
Kembali si gendut mengangguk. "Karena itulah aku tiba di dusun ini," katanya. "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku memperoleh teman. Aku makan mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."
"Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.
"Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.
Kakek katai mengangguk. "Mau apa keluar" Hanya akan menderita penghinaan saja. Setelah secara kebetulan aku keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, aku merasa panas hatiku dan akupun nekat keluar. Dan engkau sendiri" Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"
"Benar, aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tidak betah untuk menyendiri di tempat sunyi terus. Aku mulai suka keluar dan merantau, dan untung perutku menjadi gendut sehingga tidak mudah dikenal, apalagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Akupun memakai nama Siang-kiang Lo-jin..."
"Heh-heh-heh, kenapa bisa sama" Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin, engkaupun menggunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu" Bagaimana dengan mereka?"
Si gendut yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepala. "Aku tidak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini sudah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, kalau sampai para datuk sesat dikuasai mereka berdua, tentu akan rusak binasa keamanan rakyat."
"Karena itu, kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, walaupun mereka telah membunuh puluh-an orang di dusun ini."
"Kakek, apa sih maksud mereka membunuhi orang-orang dusun dengan penye-baran racun dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil melanjutkan penjagannya karena hatinya ingin sekali ta-hu. "Dan siapakah kiranya yang melaku-kan perbuatan keji itu?"
"Siapa lagi kalau bukan mereka" Ah, perbuatan mereka sekali ini belum bera-pa hebat. Mereka itu dapat melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam daripada ini. Dan mereka membunuhi o-rang-orang dusun itu tentu ada maksudnya."
"Yang jelas tentu saja untuk membu-nuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.
"Belum tentu!" kata kakek katai de-ngan muka berubah gelisah. "Kalau mereka menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air" Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga se-mua penghuni dusun melarikan diri. Ke-adaan seperti sekarang inilah yang mere-ka kehendaki, untuk membuat keadaan sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."
"Hayaaa, tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik. Agaknya hawa arak te-lah mempertajam otakmu. Benar sekali dugaanmu itu. Akan tetapi, tahulah eng-kau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"
"Aku tahu. Melalui air."
"Bagus! Akupun berpikir demikian. Mari kita selidiki."
"Sssttt...!" Tiba-tiba Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."
"Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik Hui Song.
"Benar," kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."
Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Sampai lama mereka menanti, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayang-an lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.
"Kita harus memberanikan diri men-cari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka telah beraksi, membunuh banyak orang, maka kurasa malam inilah penentuan waktu mereka berkumpul." Wu-yi Lo-jin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat o-rang itu berkata dengan nada mengambil keputusan.
Agaknya Siang-kiang Lo-jin juga tidak berkeberatan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Setelah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata di antara banyak saluran air, hanya satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!
"Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun." Dengan penuh semangat akan tetapi amat hati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu.
Saluran air itu berlika-liku dan akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas, mereka melihat adanya sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang amat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang. Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah. Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran, akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa kedua orang kakek sakti itu amat gelisah, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan pernapasan merekapun agaknya ditahan dan tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang! Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu selain merasa heran, juga merasa ngeri. Kalau sampai dua orang kakek seperti mereka itu ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu benar-benar memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!
Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan. Lapangan rumput itupun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Akan tetapi, yang nampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus.
Empat orang yang mengintai itupun berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena kedua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.
"Mereka itu amat berbahaya, apalagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menye-lidiki keadaan dan rencana mereka, bu-kan untuk melakukan penyerbuan." Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu dan tidak berani sembarangan bergerak.
Tiba-tiba, setelah lebih satu jam mereka menanti, terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan iapun tak dapat menahan lagi perasaan hatinya. Ia bergerak dan biarpun terdengar suara Hui Song "Sshhhh...!" mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi. Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin ia tinggal diam saja kalau ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut" Bagaimanapun juga, ia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apapun yang akan menjadi resikonya. Maka, dengan hati-hati sekali iapun menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan iapun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia menangkap lengan gadis itu.
"Hati-hati, Cin-moi..." bisiknya.
"Aku harus menolongnya, apapun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.
"Hati-hati, siapa tahu ini jebakan mereka..."
Akan tetapi Sui Cin melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis ketakutan lemah saja dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka menjauhi padang rumput dan tiba di luar sebuah hutan. Tiba-tiba, tiba-tiba sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jerit yang menyayat hati kemudian diam! Dua orang pendekar itu saling berpegang tangan dan saling pandang di bawah sinar bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat. Jeritan tadi jelas merupakan jeritan maut seorang anak yang berada dalam puncak ketakutan atau kesakitan. Sui Cin kini bergeges lari menyusup di antara semak-semak, diikuti oleh Hui Song dan tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah guha, mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak. Dan apa yang mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.
Penglihatan di depan guha itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Amat mengerikan! Seorang laki-laki yang seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu mandi darah yang juga membasahi paha laki-laki raksasa itu. Melihat tubuh kecil telanjang yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja tewas. Yang amat menjijikkan adalah betapa raksasa itu memegang sebuah kaki kecil yang agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubunya. Raksasa itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu dilahapnya seperti seekor harimau sedang melahap paha domba.
Sui Cin menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang amat mengerikan penglihatan itu. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan untaian daun-daun yang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar sekali dan nampak kuat. Di pundah dan lengannya tumbuh rambut panjang seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuh atau daging jadi. Sebuah gelang akar kayu hitam menghias lengan kirinya. Kepala dan muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan hanya bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku. Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar, hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa makan daging manusia mentah-mentah.
Melihat kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak dapat menahan kemarahannya dan iapun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika ia menengok, ternyata yang menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang agaknya sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin! Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala dan memberi isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata, "Sui Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."
"Tapi, kek, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja kekejian seperti yang dilakukan oleh iblis raksasa itu?"
Wu-yi Lo-jin tidak bergurau seperti biasa, melainkan memandang dengan wajah serius. "Sui Cin, kekejian seperti itu saja masih belum apa-apa dibandingkan dengan kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang dunia sesat. Anak itu telah tewas, jadi tidak dapat ditolong lagi. Dan belum waktunya bagimu untuk turun tangan menentang iblis itu, karena kalau hal itu kaulakukan tadi, akan bermunculan mereka semua dan kita tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi."
Sebelum Sui Cin dapat membantah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriak-an dan hiruk-pikuk di sebelah kiri, dari arah sebuah dusun yang berada di luar hutan. Mendengar ini, empat orang itu, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin, segera meng-gunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari ke arah itu.
Apakah yang terjadi di dusun kecil itu" Seorang kakek lain yang juga seperti raksasa, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, membawa sebuah tongkat panjang, mengamuk den membunuhi para penduduk. Seorang ayah yang melindungi anak isterinya, mencoba melawan dengan golok di tangan. Akan tetapi dia bukan lawan kakek raksasa yang seperti iblis itu. Sekali dorong saja petani itu roboh dan ujung tongkat menembus dadanya, sedangkan isterinya telah tewas di am-bang pintu. Anaknya yang tunggal, seo-rang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menangis dan tak mampu bergerak ketika lengan kanannya dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri yang besar dan panjang itu. Melihat betapa ayahnya dibunuh, anak itu menjadi nekat. Sambil menjerit-jerit dia lalu menggigit punggung tangan kakek yang mencengkeram lengannya.
Huh! Keparat!" Kakek itu menghardik dan sekali tangan kirinya bergerak, kepala anak itupun pecah dan tubuhnya terpelanting ke dekat mayat ayahnya dalam keadaan tewas seketika. Melihat betapa kakek ini mengamuk, para penduduk dusun melarikan diri ketakutan, meninggalkan belasan orang kawan yang sudah roboh dan tewas terlebih dahulu. Ketika Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin tiba di situ dan mengintai, semua penduduk yang masih hidup telah lari mengungsi dan yang ada hanya kakek raksasa itu yang tertawa bergelak memegangi tongkatnya, di tengah-tengah dusun dan di sana-sini nampak mayat-mayat berserakan.
Kembali Wu-yi Lo-jin harus menahan Sui Cin yang sudah merah mukanya karena marah dan sudah gatal-gatal tangannya untuk keluar dan menyerang iblis itu.
"Sabarlah. Mereka itu memang sengaja membuat pembersihan agar semua dusun di sekitar tempat ini ditinggalkan kosong dan pertemuan mereka tidak terganggu. Dan perbuatan mereka itu, selain berusaha mengusir semua penghuni penduduk, juga agaknya hendak memancing keluarnya golongan musuh yang mungkin datang mengintai seperti yang kita lakukan. Jangan kita mudah terpancing keluar dan mati konyol. Mari kita bersembunyi dan mengintai lagi di padang rumput itu. Di sana adanya bendera itu, maka tentu di sana pula mereka akan datang berkumpul."
Empat orang itu berindap-indap dan menyusup-nyusup melalui belakang semak-semak dan batu-batu besar, kembali ke tempat tadi. Masih sunyi di situ dan bendera itupun masih berkibar di ujung tiang bendera dari bambu. Akan tetapi, dengan gerakan tangan Wu-yi Lo-jin menudingkan telunjuknya dan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk memperhatikan ke atas. Sui Cin dan Hui Song memandang ke arah yang ditunjuk dan mereka terbelalak. Di sana, di atas puncak tiang bambu seperti ada dua ekor burung raksasa bermain-main. Yang seekor hinggap di atas puncak tiang bambu dan yang seekor lagi berjungkir balik di atas. Ketika yang berjungkir balik tadi melayang turun, yang hinggap di ujung bambu mencelat ke atas, berjungkir balik dan tempatnya kini dipakai oleh burung kedua. Akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, nampak oleh Sui Cin dan Hui Song bahwa dua bayangan yang bermain-main di puncak tiang bambu itu sama sekali bukan burung melainkan manusia! Dua orang manusia yang keduanya berambut panjang riap-riapan, berpakaian longgar dan dari jarak sejauh itu sukar dikenal wajahnya. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang seorang ramping, mudah diduga bahwa mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi yang amat mengagumkan adalah gerakan mereka. Sui Cin sendiri seorang ahli gin-kang yang telah mewarisi ilmu gin-kang ibunya yang juga hebat. Akan tetapi melihat cara dua orang itu main-main di puncak tiang bambu yang lentur seperti dua ekor burung saja, diam-diam ia terkejut dan kagum bukan main. Tahulah ia bahwa kedua orang itu memiliki ilmu gin-kang yang amat tinggi dan ia, seperti juga Hui Song, menduga-duga siapa adanya kedua orang lihai itu. Ketika Sui Cin menoleh dan memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, ia melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak pucat, terbelalak dan seperti orang ketakutan. Bahkan ketika Si Dewa Arak Wu-yi Lo-jin menoleh kepada Sui Cin dan melihat gadis ini seperti hendak membuka mulut, dia cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.
Kini nampak oleh empat orang pengintai itu betapa yang pria hinggap di atas ujung bambu dan yang wanita melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian turun, melayang ke arah pria yang berdiri dengan satu kaki di atas puncak bambu. Akan tetapi, pria itu tidak meninggalken tempatnya dan si wanita dengan lunaknya dapat hinggap di atas kepala pria itu dengan kepalanya pula! Mereka beradu kepala dan si wanita kini berdiri jungkir balik, kepalanya menempel pada kepala pria yang masih berdiri tegak. Sungguh pertunjukan yang amat mengagumkan dan kalau saja tidak ada tiga orang lain yang memperingatkannya, tentu Sui Cin akan bertepuk tangan dan bersorak memuji. Gin-kang seperti yang diperlihatkan dua orang yang agaknya sedang berlath itu sungguh membuat hatinya kagum bukan main. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin yang juga merupakan seorang ahli gin-kang yang hebat, memandang khawatir. Dia tahu bahwa menghadapi sepasang iblis itu, hanya dalam gin-kang saja dia masih mampu mengungguli mereka, akan tetapi kini, melihat cara kedua orang itu berlatih, dia merasa sangsi apakah ilmu gin-kangnya akan mampu menandingi mereka sekarang!
Melihat kekhawatiran di wajah kedua orang kakek sakti, Sui Cin lalu menyentuh lengan Wu-yi Lo-jin, kemudian de-ngan isyarat ia mengangkat dua jari ta-ngan, telunjuk dan jari tengah ke atas. Melihat isyarat ini, Wu-yi Lo-jin mengangguk dan tahulah Sui Cin bahwa kedua orang yang sedang berlatih itu benar ada-lah Raja Iblis dan Ratu Iblis seperti yang pernah diceritakan Dewa Arak yang ka-tai itu kepadanya. Maka tentu saja iapun menjadi gelisah dan tertarik, memandang dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba para pengintai melihat berkelebatnya bayangan orang. Agaknya mereka yang sedang berlatih di puncak bambu juga melihatnya karena mereke berdua tiba-tiba melayang turun dan gerakan mereka ketika melayang sambil mengembangkan kedua lengan dan jubah mereka yang lebar berkibar benar-benar membuat mereka nampak seperti dua ekor burung besar. Tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, kedua orang itu turun hinggap di atas dua buah batu besar yang agaknya seperti juga tiang bendera itu, sudah sengaja dipersiapkan lebih dahulu di tempat itu. Dengan berdiri di atas batu yang besar setinggi manusia ini, maka kedua orang itu nampak nyata dari jarak jauh.
Sui Cin memandang penuh perhatian. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan berperawakan sedang. Wajahnya sama sekali bukan seperti wajah iblis atau wajah tokoh-tokoh sesat lain yang biasanya menyeramkan. Orang-orang Cap-sha-kui juga berwajah menyeramkan, juga dua orang raksasa yang dilihatnya tadi jelas membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang sesat yang kejam sekali. Akan tetapi kalau pria ini dinamekan Raja Iblis yang yang ditakuti sekali oleh dua orang kakek sakti yang berada di dekatnya, sungguh membuat hatinya penasaran. Laki-laki itu sukar ditaksir berapa usianya karena walaupun wajahnya masih nampak muda dan tidak keriputan, akan tetapi rambutnya yang panjang riap-riapan itu sudah putih semua. Kumis dan jenggotnya dipotong pendek. Tidak nampak sesuatu yang aneh atau menakutkan pada diri pria ini kecuali barangkali matanya. Sepasang matanya itu mencorong dan nampak kehijauan! Sungguh bukan seperti mata manusia biasa. Orang kedua, seorang wanita yang bertubuh langsing, juga tidak kelihatan aneh atau menakutkan. Tubuhnya masih langsing padat seperti tubuh seorang wanita muda, dan wajahnya juga belum berkeriput. Akan tetapi rambutnya yang riap-riapan itupun sudah putih semua dan seperti juga pria itu, ia meiliki sepasang mata yang mencorong bersinar kehijauan. Selain mata mereka yang mencorong kehijauan, juga sikap kedua orang ini amat dingin, wajah mereka seperti topeng saja, seperti kulit mati dan hanya mata mereka yang hidup. Wajah itu tidak membayangkan perasaan apa-apa kecuali dingin dan mati, dengan kerut dekat mata dan mulut yang menunjukkan kemarahan atau ejekan atau tidak perdulian. Pakaian mereka hanya dari dua macam warna, putih dan kuning, dan polos. Potongannya sederhana sekali, kebesaran dan longgar, akan tetapi kain-nya terbuat dari sutera halus dan nam-pak bersih.
Bagaikan setan-setan yang berkeliar-an, bayangan-bayangan berkelebat dan kini di tempat itu telah berkumpul ba-nyak orang. Tidak kurang dari tiga puluh orang berdatangan dari segala penjuru.
Sui Cin yang mengintai, diam-diam bergidik melihat betapa puluhan orang ini, sebagian besar memiliki bentuk wajah, tubuh atau pakaian yang aneh-aneh dan menyeramkan. Dua orang kakek raksasa yang dilihatnya tadipun berada di situ. Anehnya, di antara tiga puluh orang lebih itu, sebagian berlutut menghadap kepada dua orang yang berdiri tegak di atas batu besar, akan tetapi sebagian lagi, kurang lebih setengahnya tetap berdiri dan menghadap dua orang itu dengan sikap yang jelas menyatakan bahwa mereka yang berdiri ini tidak tunduk! Dan dua orang kakek raksasa tadi termasuk di antara mereka yang berdiri dengan sikap angkuh. Puluhan orang itu rata-rata sudah tua, di antara empat puluh tahun sampat ada yang sukar ditaksir berapa usianya. Dan Sui Cin melihat betapa hidung kakek gendut Dewa Kipas berkem-bang kempis tanda bahwa dia mencium sesuatu. Ia sendiripun lapat-lapat dapat mencium bau yang bermacam-macam. Ada bau yang amis sekali, ada bau harum yang aneh, dan iapun tahu bahwa di an-tara orang-orang yang berkumpul di situ tentu terdapat banyak datuk-datuk sesat yang selalu bergelimang dengan racun yang berbahaya. Kalau ia membayangkan betapa di situ terdapat orang yang mele-pas racun dalam air sehingga membunuh puluhan orang, sungguh ia merasa ngeri dan bergidik. Agaknya mereka semua itu bukan manusia lagi, melainkan iblis-iblis jahat yang berhati kejam bukan main.
Pria dan wanita yang berdiri di atas batu besar itu kini memandang ke ba-wah. Wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan, akan tetapi mereka tidak memperlihatan perasaan apapun wajah mereka ketika melihat betapa sebagian dari mereka yang mun-cul itu tidak berlutut.
Wanita berambut riap-riapan putih itu kini mengangkat tangan kanan ke atas dan terdengar suaranya, suara yang lan-tang dan melengking halus, menusuk anak telinya. "Kawan-kawan yang sudah memperlihatkan penghormatan kepada kami, kami menerimanya dan silakan kalian duduk dan berkumpul di sebelah kanan!" Jarinya menuding ke kanan dan mereka yang berlutut itu, berjumlah belasan o-rang, lalu bangkit dan berkumpul di se-belah kanan, di mana mereka lalu duduk dengan santainya di atas rumput. Akan tetapi, dasar orang-orang kasar yang ti-dak mengindahkan kesopanan dan aturan, mereka duduk seenaknya, ada yang jong-kok, ada yang mekangkang, ada yang se-tengah tiduran.
Tinggal belasan orang yang merupakan kelompok yang sejak tadi berdiri saja, tidak mau berlutut seperti yang lain. Dan di tengah-tengah mereka, kini bahkan berada paling depan, berdiri seorang kakek yang sudah dikenal oleh Sui Cin, yaitu kakek buta yang terkenal dengan julukan Iblis Buta! Itulah Siangkoan Lo-jin, kakek yang berpakaian petani hitam sederhana, yang matanya buta hanya nampak putihnya saja dan melek terus, kakek yang menjadi datuk sesat dan yang pernah memimpin sebagian dari anggauta Cap-sha-kui. Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta itu kini berdiri tegak dengan tong-kat kayu cendana hitam di tangannya. Sikapnya tegak dan angkuh berwibawa dan agaknya inilah yang membuat belas-an orang datuk lain, termasuk mereka dari Cap-sha-kui, berani untuk berdiri di belakangnya menentang suami isteri yang merupakan raja dan ratu baru di kalang-an sesat, akan tetapi yang belum pernah mereka rasakan sendiri kehebatan mereka itu. Mereka semua kaum sesat yang pernah mendengar nama Raja Iblis dan Ratu Iblis dari Guha Tengkorak, akan tetapi karena selama puluhan tahun suami isteri ini tidak pernah muncul, maka mereka-pun tidak pernah bertemu dengan mereka dan kini mereka sangsi apakah benar suami isteri itu hebat dan lebih tangguh daripada Si Iblis Buta!
Wanita itu kembali menghadapi mereka yang berdiri di bawah dan suara-nya masih terdengar melengking nyaring dan tidak ada bedanya dengan tadi, tidak menunjukkan kemarahan, hanya terdengar lebih dingin. "Dan kalian yang berani me-nentang kami dengan pandang mata dan sikap, kami masih memberi kesempatan untuk bicara dan mengemukakan alasan mengapa kalian tidak mau tunduk kepada kami, Raja dan Ratu kalian!"
Belasan orang yang berdiri tegak dan tidak mau tunduk itu nampak ragu-ragu. Sikap wanita itu biarpun nampak halus namun sungguh mengandung suatu wibawa yang amat menyeramkan, dan lebih-lebih lagi sikap pria yang berdiri tegak di atas batu besar tanpa mengeluarkan sepatah kata itu, yang hanya memandang dengan matanya yang mengeluarkan si-nar hijau seperti mata iblis. Agaknya, Raja Iblis ini memang jarang bicara dan isterinya, Ratu iblis itu yang menjadi ju-ru bicara untuknya.
Nama seseorang memang mempunyai pengaruh besar. Biarpun belum pernah melihat kelihaian Raja dan Ratu Iblis i-tu, namun tiga belas orang Cap-sha-kui yang kini berkumpul semua, bersama be-berapa orang datuk sesat lainnya, dan di-pelopori oleh Iblis Buta, sudah pernah mendengar kesaktian suami isteri bang-sawan yang kini menjadi manusia iblis itu. Maka, bagaimanapun juga, ada pera-saan gentar di dalam lubuk hati mereka. Hanya karena di situ terdapat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta yang menjadi pelopor, maka mereka masih berbesar hati karena mereka semua sudah melihat sendiri ke-saktian Iblis Buta ini yang telah mereka akui sebagai pemimpin, atau setidaknya beberapa orang di antara Cap-sha-kui telah mengakuinya. Kini, mendengar perta-nyaan dan ucapan Ratu Iblis, belasan o-rang itu memandang ke arah Siangkoan Lo-jin, mengharapken tokoh pemimpin ini yang akan menjawab.
Siangkoan Lo-jin yang buta itu mak-lum malalui pendengaran dan perasaan hatinya bahwa rekan-rekannya mengharapkan dirinya sebagai pemimpin untuk menghadapi suami isteri yang begitu muncul telah menentukan dan mengangkat diri sendiri sebagai raja dan ratu para datuk. Dia menjadi marah.
"Tukk! Tukk! Tukk!" Tiga kali ujung tongkat kayu cendana yang berada di tangannya itu menotok, ke atas sebongkah batu yang berada di depan kakinya. Totokan-totokan itu nampaknya perlahan saja, akan tetapi sebongkah batu itu retak-retak dan ketika tongkat kakek buta mendorong, batu itu pecah menjadi empat potong! Betapa hebat tenaga sin-kang kakek buta ini yang disalurkan melalui tongkatnya!
"Seorang pemimpin dinilai dari perbuatannya, bukan dari namanya atau omongannya! Kalian datang-datang mengangkat diri menjadi raja dan ratu dan minta agar kami tunduk dan taat. Kami bukan anak kecil yang dapat kalian takut-takuti begitu saja. Aku Siangkoan Lo-jin, minta bukti apakah kalian memang sudah pantas untuk memimpin kami!"
Melihat betapa pemimpin ini sudah berani maju menentang, tiba-tiba suami isteri dari Kui-kok-pang, yaitu Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bp juga berloncatan ke depan dengan sikap menantang.
"Kami juga penasaran!" kata Kui-kok Lo-bo dengan suara melengking. "Melihat keadaan kalian, tidak lebih hebat daripada aku dan suamiku. Mana mungkin kami berdua mau tunduk dan taat kepada kalian kalau kami belum tahu sampai di mana kesaktian kalian?" Kui-kok Lo-bo memandang dengan mata terbolalak. Nenek ini sesungguhnya tidak kalah angkernya dibandingkan dengan nenek yang berdiri di atas batu besar. Ia dan suaminya memang merasa penasaran sekali. Mereka merupakan suami isteri yang terkenal sebagai sepasang iblis, ketua Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan merupakan tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang ditakuti. Kini muncul suami isteri yang seolah-olah hendak menyaingi mereka, dan melihat betapa suami isteri yang baru muncul dan mengangkat diri sendiri menjadi Raja Iblis dan Ratu Iblis, tentu saja Kui-kok Lo-bo merasa penasaran. Kakek nenek di atas batu itu merupakan orang-orang biasa saja. Dan memang keadaan suami isteri Kui-san-kok ini lebih menyeramkan dibandingkan dengan Raja dan Ratu Iblis itu. Suami isteri ini berpakaian putih-putih dan muka merekapun putih pucat, seperti muka mayat. Mata mereka mencorong mengerikan dan kekejaman mereka sudah terkettal di seluruh dunia kang-ouw. Jauh lebih mengesankan daripada suami isteri biasa sederhana yang kini berdiri di atas batu besar itu.
Sejenak nenek berambut putih itu memandang kepada suami isteri yang berdiri bertolak pinggang menentangnya di bawah batu itu tanpa perubahan air muka, hanya sepasang matanya berkedip-kedip dan sinar pandang matanya menyambar ganas. Dengan suara tetap halus akan tetapi nadanya semakin dingin saja, akhirnya ia bertanya sambil memandang ke arah sekelompok orang yang berdiri di sebelah belakang Iblis Buta dan sepasang Iblis Kui-kok-pang itu, "Masih ada lagikah yang merasa penasaran dan yang hendak menentang kami selain tiga ekor monyet ini?"
Biarpun di situ berkumpul datuk-datuk sesat yang amat kejam deperti sakumpulan Cap-sha-kui, namun ternyata selain tiga orang itu, tidak ada lagi yang berani menentang secara terang-terangan. Mereka merasa lebih aman untuk menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan dari sikap Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang itu.
Sementara itu, mendengar dirinya di-sebut "tiga ekor monyet", tentu saja Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang menjadi marah. Itulah penghinaan yang hebat! Akan tetapi, merasa betapa derajat-nya lebih tinggi, yaitu sebagai pemimpin sebagian tokoh Cap-sha-kui termasuk suami isteri Kui-kok-pang itu, Iblis Buta diam saja, membiarkan bawahannya untuk bertindak lebih dahulu. Pula, dia sendiri belum mengenal kelihaian lawan, maka kalau lawan sudah bergebrak melawan suami isteri Kui-kok-pang, dia dapat mempergumkan pendengarannya yang tajam untuk mengikuti gerakan mereka dan mengukur sampai di mana kelihaian dua orang itu.
"Kawan-kawan semua yang telah datang memenuhi undangan kami, kani berdua
mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas perhatian kalian. Percayalah, kami berdua Raja dan Ratu kalian akan mendatangkan suasana baru bagi kita semua, dan sudah waktunya bagi kita untuk menguasai dunia! Sekarang, kalau ada yang tidak setuju bahwa kami berdua yang menjadi Raja dan Ratu, dan kalau ada yang hendak menentang, kami persilakan naik ke atas batu ini. Kalau kami sampai dapat digusur turun dari atas batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi dan kembali ke tempat pertapaan kami dan tinggal di sana sampai mati. Nah, hayo, siapa hendak naik" Tiga ekor monyet ini?"
Sikap dan ucapan nenek berambut putih itu sungguh menyakitkan hati Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Mereka melihat bahwa batu besar itu cukup luas, tidak kurang dari lima meter persegi luasnya. Memang kurang luas untuk menjadi tempat perkelahian, akan tetapi, mereka maju bersama dan mereka berdua sudah memiliki ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh mereke berdua. Tempat yang sempit itu bahkan menguntungkan kalau mereka maju bersama.
"Perempuan sombong, biarkan kami yang mencoba untuk menyeret kalian turun!" Bentak Kui-kok Lo-bo yang berwatak keras dan galak. Ia mendahului suaminya meloncat dan nampaklah dua bayangan berkelebat cepat ketika suami isteri ini melayang naik ke atas batu dan dalam waktu sekejap saja mereka kini telah berdiri berdampingan, menghadapi nenek berambut putih yang menyambut mereka dengan sikap dingin dan mata mencorong penuh selidik. Adapun suaminya, kakek berambut putih riap-riapan itu, agaknya tidak memperdulikan, bahkan kini dia mengundurkan diri dan duduk bersila di sudut permukaan batu, bahkan lalu memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi.
"Agaknya kalian yang disebut Sepasang Iblis Kui-kok-pang, dua orang di antara Cap-sha-kui. Sayang, mulai sekarang, Cap-sha-kui harus merasa puas dengan sebutan Cap-it-kui (Sebelas Iblis) saja," kata nenek berambut putih.
Suami isteri Kui-kok-pang itu mendelik. Penghinaan ini lebih hebat daripada makian monyet tadi, karena ucapan itu amat meremehkan mereka, memastikan bahwa mereka berdua tentu akan tewas sehingga Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya akan tinggal sebelas orang lagi saja.
"Perempuan sombong, engkaulah yang akan mampus di tangan kami!" bentak Kui-kok Lo-bo yang sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya tadinya terkembang, kemudian menubruk dengan sepuluh jari tangan membentuk cakar setan. Gerakannya demikian kuatnya dan mengandung sin-kang amat kuat sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan!
"Plak! Plakk!" Dua kali tangan nenek berambut putih menangkis dan tubuh Kui-kok Lo-bo terdorong dan hampir terjengkang. Tentu saja ia terkejut, bukan main ketika merasa betapa dorongan tangan lawan itu lunak dan lembut, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat yang tenang seperti air telaga sehingga tenaga sin-kangnya sendiri yang bersifat keras itu seperti tenggelam ke dalamnya! Itulah semacam tenaga halus yang amat hebat, yang membuat telapak tangan wanita itu seperti kapas halusnya akan tetapi mengandung tenaga dahsyat yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan untuk mengirim serangan maut dari balik kelembutan.
Pada saat isterinya terdorong mundur, Kui-kok Lo-mo yang terkejut melihat cara lawan menangkis isterinya dan membuat isterinya terhuyung, sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun menerjang maju mengirim pukulan dengan targan kanan terbuka ke arah dada lawan. Kali ini, angin yang berhembus lebih kuat daripada gerakan Kui-kok Lo-bo dan tangan maut itu menyambar dahsyat, mengeluarkan suara berdesing.
Nenek rambut putih mengenal pukulan dahsyat, maka iapun mengelak, dengan gerakan yang gesit, tubuhnya menyelinap ke samping akan tetapi bukan hanya se-kedar mengelak karena sambil mengelak kakinya melayang ke arah selangkang lawan.
"Wuuuttt...!" Kui-kok Lo-mo cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan yang amat berbahaya itu lewat di depan tubuhnya. Menggunakan kesempatan ini, Kui-kok Lo-bo sudah menerjang lagi dari belakang, mencengkeram ke arah tengkuk lawan, sedangkan tangan yang lain menusuk dengan jari-jari tangan ditegakkan ke arah lambung. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya, dilakukan dari belakang tubuh lawan pula! Akan tetapi nenek rambut putih itu sama sekali tidak kelihatan terkejut atau gugup menghadapi serangan dari belakang ini. Ia menarik tubuh atas ke belakang sambil memutar tubuh, menangkis tusukan ke arah lambungnya itu sedangkan cengkeraman ke arah tengkuknya luput, dan secepat kilat ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang putih dan riap-riapan itu tiba-tiba saja berubah kaku seperti kawat-kawat baja menyambar ke depan.
Bukan main hebatnya serangan ini! Di dunia persilatan ada ilmu memperguna-kan rambut sebagai senjata. Akan tetapi biasanya rambut itu dikuncir sehingga kalau kepala digerakkan, kuncir yang te-bal itu depat menghantam seperti ujung toya. Ilmu mempergunakan rambut nenek ini lain lagi. Rambutnya tidak dikuncir melainkan riap-riapan dan menurut nalar, rambut yang riap-riapan ini tentu saja tidak mempunyai daya kekuatan. Akan tetapi hebatnya, begitu nenek ini meng-gerakkan kepalanya, rambut putih yang riap-riapan dan beribu-ribu banyaknya itu menjadi tegeng seperti kawat-kawat baja halus menyambar ke arah lawan. Kui-kok Lo-bo terkejut bukan main ketika tubuh-nya dari dada sampai kepala diserang o-leh rambut-rambut putih yang menjadi kaku itu. Ia cepat melempar tubuh ke belakang, akan tetapi masih saja ada rambut yang menyentuh kulit lehernya dan dan kulit leher itupun terluka berlubang-lubang seperti ditusuki jarum-jarum halus! Memang tidak terlalu nyeri bagi wanita iblis ini, akan tetapi cukup mengejutkan karena ternyata kekebalan kulitnya tidak dapat bertahan terhadap rambut-rambut putih halus itu.
Sementara itu, Kui-kok Lo-mo sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat. Juga Lo-bo cepat membantu suaminya dan sebentar saja nenek rambut putih itu sudah dikeroyok dua oleh sepasang iblis dari Kui-kok-pang. Perlu diketahui bahwa suami isteri Kui-kok-pang itu melatih diri bersama, mempelajari berbagai ilmu pukulan yang ampuh-ampuh sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik. Akan tetapi, nenek yang tidak mengesankan keadaannya itu ternyata lincah bukan main dan ia seperti mempermainkan kedua orang pengeroyoknya! Gerakannya begitu mantap dan cepat sehingga ke manapun kedua orang lawannya menyerang, ia sudah siap untuk mengelak atau menangkis, bahkan hampir selalu secara langsung ia membalas setiap serangan dengan tidak kalah dahsyatnya. Hebatnya, makin dahsyat serangan lawan, makin dahsyat pula ia membalas, seolah-olah kedahsyatan serangannya tergantung kepada serangan lawan.
Hui Song dan Sui Cin yang nonton dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kagum. Mereka berdua sudah maklum akan kesaktian suami isteri Kui-kok-pang itu. Akan tetapi melihat betapa nenek rambut putih itu mampu mempermainkan pengeroyokan mereka, sungguh hal ini amat mengejutkan dan mengagumkan. Kini mengertilah mereka mengapa dua orang kakek sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak jerih terhadap Raja dan Ratu Iblis!
Perkelahian di atas batu itu menjadi semakin seru. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah dua orang datuk sesat yang sudah memiliki kedudukan tinggi dan mengalahkan pengeroyokan dua orang ini bukan merupakan hal mudah, biarpun bagi nenek berambut putih itu sekalipun. Memang benar bahwa nenek itu menang segala-galanya, baik kekuatan sin-kang maupun kepandaian silat dan ketinggian gin-kang, akan tetapi berkat kerja sama yang amat kompak suami isteri iblis dari Kui-san-kok itu dapat bertahan dan menjaga diri. Mereka berdua terdesak hebat dan kini bahkan sukar untuk membalas serangan nenek itu yang dibantu oleh rambutnya itu. Bagaikan gelombang samudera, nenek itu mengirim serangannya susul-menyusul, dengan kedua tangan, kedua kaki dan diseling dengan gerakan rambutnya yang amat berbahaya.
Karena merasa kewalahan, suami isteri dari Kui-kok-pang itu menjadi penasaran dan marah. Biarpun mereka bertangan kosong dan nenek rambut putih itu juga bertangan kosong, akan tetapi penggunaan rambut nenek itu bahkan lebih merepotkan daripada kalau lawan menggunakan senjata. Maka merekapun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat di bawah bayangan cahaya bulan yang kini bersinar terang. Tahu-tahu Kui-kok Lo-mo telah memegang sebatang pedang panjang lemas yang tadinya dipakai sebagai ikat pinggang, sedangkan isterinya telah memegang dua buah pisau belati yang tajam mengkilat. Dengan senjata di tangan, mereka lalu mengamuk dan menyerang kalang kabut.
"Plak! Plak! Plak!" Sui Cin hampir berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan kedua lengannya! Kulit lengan menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka karena tenaga bacokan senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.
Betapapun juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenage sin-kang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.
"Tringgg... crakkk... tranggg...!" Bunga api berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu bertaburan. Diserang kedua kakinya dengan babatan pedang sedangkan Kui-kok Lo-bo menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya, nenek itu harus memperlipatgandakan kecepatannya. Setelah suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru menegangkan. Semua orang yang hadir di situ, baik yang sekelompok dan duduk di sebelah kanan maupun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis Buta, nonton dengan hati tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada Raja dan Ratu Iblis dan golongan yang menentang.
Biarpun ia harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali sehingga dikeroyok suami isteri iblis dari Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam tidak sampai kalah, namun ia masih merasa ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut menghadapinya. Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis" Ia menaksir bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian kedua orang suami isteri Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!
Akan tetapi tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan telunjuknya ke arah batu di mana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin yang tadinya termenung itu kini terbelalak. Dua orang suami isteri Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung! Yang membuat Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika ia melihat betapa kedua tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang tadinya pucat seperti muka mayat itu ber-ubah menjadi kehijauan! Dan ia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu. Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali. Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah. Padahal, nenek berambut putih itu sama sekali tidak pernah kelihatan menggunakan racun! Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu" Dan kedua suami isteri Iblis Kui-kok-san itupun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah itu"
Tiba-tiba nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak terkejut, akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan kini mereka mengamuk dengan nekat, melihat betapa tubuh mereka telah dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.
"Hyaaattt!" tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan. Nenek ini sudah nekat karena betapa sebetulnya ia dan suaminya dipermainkan, dan agaknya kalau dikehendaki, sejak tadi ia dan suaminya sudah dapat dikalahkan. Ia tadi sudah mencoba menggunakan pel anti racun untuk menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Maka, ia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan lawan. Maka serangannya itu amat hebat, tidak lagi memperdulikan daya pertahanan lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh lawan. Tentu saja ia menyerang sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang membuat kedua tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Akan tetapi karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo. Sebelum Lo-bo dapat mencegahnya, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan rambut-rambut putih yang riap-riapan itu sudah bergerak menyerang mukanya! Terdengar jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang berobah menjadi kaku meruncing menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan di situ tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga kedua matanya rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!
Melihat isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan sambil berseru keras dia memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan kedua tangan ini hebat bukan main. Biarpun kakek ini juga sudah keracunan dan tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini memperlipatgandakan kekuatannya dan dua serangan itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.
Nenek rambut putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu ia sambut dengan rambutnya. Akan tetapi, sekali ini rambut di kepalanya tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dengan kekuatan dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.
"Krakk!! Krekkk...!!"
Kui-kok Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan itu menjadi semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tak berdaya lagi karena tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan tambut dan kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tak beedaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.
"Haiiiittt...!" Biarpun kedua lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur. Sudah kepalang baginya. Isterinya sudah tewas dan bagaimanapun juga, tidak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan kekalahan begitu saja di depan banyak orang. Akan dikemanakan mukanya" Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang kalau dia mundur dan mengaku kalah. Sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kaki melakukan tendangan dahsyat sekali.
"Plakkk! Brukkk...!" Tubuh Kui-kok Lo-mo terbanting keras ke atas batu ketika nenel itu mengelak ke samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit lagi dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menyangga tubuhnya, dan dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, sampai empat kali tubuhnya terbanting karena setiap tendangan dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawannya membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.
"Aaahhhh...!" Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau mengamuk dan hendak menggunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok Lo-mo tidak bertanduk, ketika dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek berambut putih itu. Jangan dipandang ringan serangan seperti ini! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang terlatih dan dapat disaluri tenaga sin-kang sehingga mampu menghancurkan batu karang. Akan tetapi kepalanya juga merupakan anggauta badan yang dapat dipakai untuk menyerang. Seruduken kepala itu amat berbahaya. Tembok tebal sekalipun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sin-kang ini. Sui Cin dan Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut putih itu tentu akan mengelak.
Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan menerima kepala yang menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.
"Ceppp...!" Terdengar suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke dalam perut. Perut yang ramping itu seperti menjadi kosong dan kepala Kui-kok Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot den tidak dapat dikeluarkan lagi!
Kui-kok Lo-mo terkeJut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke dalam perut wanita itu. Dia hanya dapat bernapas melalui mulutnya dan dia merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam perapian! Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan kepalanya. Kedua lengannya sudah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinyapun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan. Kini dia hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta dan berusaha melepaskan diri dari sedotan perut itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas. Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya sehingga kedua kakinya meronta-ronta, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di samping tubuh isterinya yang masih berkelojotan, dari mulut, hidung dan telinganya bercucuran darah dan mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.
Melihat tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biarpun ia ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia, akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan mata, hampir ia tidak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis itu! Akan tetapi, Dewa Arak yang berada di dekatnya, agaknya tahu akan isi hati gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin untuk menyabarkannya.
Sementara itu, Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang sudah bertolak pinggang menanti lawan itu. Biarpun buta, akan tetapi kakek berambut putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, menggunakan pendengarannya saja. Bahkan lebih daripada mereka yang memiliki mata sehat, dia mampu meneliti dan mengenal gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui di mana letak kekuatannya dan di mana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.
"Hemm, sobat. Kini agaknya tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Majulah dan mari kita selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan nyawa."
Melihat sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biarpun buta, kakek ini tak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena iapun sudah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini sudah berhasil menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, bahkan beberapa orang anggauta Cap-sha-kui, termasuk suami isteri yang telah dirobohkannya itu telah tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apalagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa dan ia harus berhati-hati.
Agaknya suaminya maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan melangkah maju. Tanpa bicara apapun, si isteri agaknya maklum bahwa kalau suaminya sudah maju sendiri, tidak ada alasan baginya untuk mencampurinya. Maka iapun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri berhadapan dengan Iblis Buta.
Siangkoan Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi dan tahu bahwa nenek itu mundur, digantikan dengan seorang yang langkah kakinya perlahan namun getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu sehingga kakinya sendiripun dapat merasakan getaran itu! Diam-diam Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja dia akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.
"Apakah aku berhadapan dengan pangeran yang dijuluki Raja Iblis?" Slangkoan Lo-jin bertanya, tongkatnya mengetuk-ngetuk permukaan batu besar untuk mengenal keadaan.
"Kami adalah Pangeran Toan Jit-ong," untuk pertama kalinya terdengar kakek berambut putih riap-riapan itu bicara, suaranya halus dan tenang berwibawa, seperti suara dan sikap seorang bangsawan tinggi. "Kamu tentu orang she Siangkoan itu. Menyerahlah dan kami akan mengampunimu, dan mengangkatmu menjadi pembantu kami!"
"Manusia sombong! Aku baru mau menyerah kalau kalah olehmu dan aku lebih baik mati kalau sampai kalah oleh orang lain!" Berkata demikian, si buta sudah menggerakkan tongkatnya.
"Wirrrr... siuuuuttt...!" Nampak sinar hitam bergulung-gulung lalu mencuat ke arah kakek rambut putih yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong itu. Serangan ini dahsyat sekali karena tong-kat kayu cendana itu digerakkan dengan tenaga sin-kang yang amat kuat.
Pangeran yang dijuluki Raja Iblis itu agaknya mengenal serangan ampuh, maka cepat dia menggerakkan tubuhnya. Yang mengagumkan adalah bahwa gerakannya itu seenaknya saja tidak tergesa-gesa dan hanya menarik kaki menggeser tubuh dan serangan tongkat itu luput dan lewat di samping tubuhnya. Akan tetapi, kakek buta itu lihai bukan main. Biarpun matanya buta, akan tetapi pendengarannya dapat mengikuti semua gerakan lawan dan biarpun tongkatnya luput dalam serangan pertama, akan tetapi tongkat itu seperti hidup dapat mengejar lawan dengan susulan serangan yang lebih dahsyat lagi, kini menghantam dari atas ke bawah!
"Wuuuttt... tarrr...!" Bunga api berpijar ketika tongkat itu menghantam batu dan debu berhamburan. Hebat bukan main tenaga pukulan ini. Batu besar itu tergetar dan dapat dibayangkan kalau hantaman seperti itu mengenai kepala atau anggauta badan lainnya.
Sampai lima kali pangeran yang kini menjadi datuk sesat itu mengelak, dengan gerakan seenaknya saja, kemudian tahu-tahu tubuhnya mencelat ke tempat tadi dalam keadaan duduk bersila. "Kamu orang buta masih tidak berharga menjadi lawan kami!" katanya dan diapun sudah memejamkan kedua matanya.
Agaknya sikap ini mudah dimengerti oleh isterinya. Nenek itu yang tadinya juga duduk bersila, sudah meloncat ke depan, menyambut si buta yang menjadi marah dan mengejar lawan yang meninggalkannya. Ketika dia mendengar suara nenek itu bergerak menyambutnya, dia menggerakkan tongkatnya menyapu dari samping. Wanita berambut putih itu mengelak dengan loncatan tinggi. Ketika tongkat lewat di bawah kakinya, nenek itu membalas serangan dengan tamparan tangan dari atas. Akan tetapi, Siangkoan Lo-jin sudah melanjutkan babatan tongkat tadi dengan membalikkan tongkatnya dan kini gagang tongkat yang berbentuk kepala ular atau naga itu menyambut serangan nenek itu dengan dorongan kuat!
Hampir saja Ratu Iblis itu celaka ketika gagang tongkat itu menyambut dadanya langsung dari depan. Namun ia lihai sekali, dalam keadaan meloncat tadi, selagi tubuhnya melayang di udara dan didorong tongkat, tiba-tiba rambutnya menyambar ke depan ketika ia menggerakkan kepala dan ribuan helai rambut membelit ujung tongkat. Tubuhnya terbawa oleh gerakan tongkat sehingga tubuh itu terpelanting, akan tetapi berkat rambutnya yang bertahan pada tongkat, ia tidak sampai terkena dorongan, juga tidak sampai terbanting ke atas batu. Siangkoan Lo-jin terkejut sekali ketika tubuh lawan menempel seperti lintah pada tongkatnya. Ia tidak dapat melihat, juga tidak dapat mengikuti gerakan rambut yang halus itu, hanya mengira bahwa lawannya tentu mempergunakan semacam senjata lemas untuk menangkap ujung atau gagang tongkatnya. Maka dia segera memutar tongkatnya agar tubuh itu ikut terputar dengan cepat.
Untung bagi Ratu Iblis bahwa ia dapat menduga maksud lawan. Kalau sampai ia terbawa berputar oleh tongkat pada rambutnya, ia dapat celaka, terbanting keras atau rambutnya tercabut dari kepala! Namun nenek ini cerdik sekali. Ia dapat menduga siasat lawan, maka cepat ia melepaskan rambutnya pada satu kali putaran, dan dengan berjungkir balik di udara sampai lima kali ia dapat mematahkan tenaga putaran itu dan melayang turun ke atas batu. Namun Iblis Buta sudah menyambutnya lagi dengan hantaman-hantaman dahsyat, membuat nenek itu terpaksa berloncatan ke sana-sini dengan sigapnya, seperti seekor lalat saja.
"Dinda, jangan main-main, cepat bereskan dia!" terdengar kakek yang duduk bersila itu berkata. Dan tiba-tiba saja terdengar suara getaran lembut, seperti suara nyamuk yang beterbangan di dekat telinga. Akan tetapi suara mendengung itu makin lama semakin kuat sehingga menusuk telinga.
Sui Cin terkejut sekali. Suara mendengung yang tadinya lembut seperti nyamuk itu, kini benar-benar merupakan suara yang amat menyiksa dan tahulah ia bahwa suara itu dikeluarkan oleh Raja Iblis, suara mengandung khi-kang yang amat kuat, semakin lama semakin kuat. Terpaksa ia harus mengerahkan sin-kang untuk bertahan, karena ia tahu bahwa kalau dibiarkan saja, kekuatan yang tersembunyi dalam suara itu akan merusak jantungnya, dan akan merusak telinganya. Ketika ia melirih ke arah Hui Song, iapun melihat betapa pemuda itu juga sedang mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara yang menyiksa itu. Juga dua orang kakek sakti. Maka tahulah Sui Cin bahwa memang suara mendengung itu amat kuat.
Dan kini terjadi perobahan pada perkelahian di atas batu besar. Kalau tadi Siangkoan Lo-jin menggerakkan tongkatnya dengan ganas sehingga Ratu Iblis sibuk mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak terus-menerus, kini nampak seperti orang kebingungan. Jelas bahwa dia terserang suara itu dan hal ini sungguh membuat dia bingung. Biarpun dengan sin-kangnya yang kuat dia mampu bertahan dan suara mendengung itu tidak sampai melukainya, namun tetap saja pendengarannya terganggu. Padahal, untuk berkelahi, dia hanya mengandalkan pendengaran sepenuhnya. Kini pendengarannya terganggu suara berdengung yang semakin kuat itu menggetarkan anak telinga den dia tidak mungkin lagi dapet mengikuti gerakan Ratu Iblis dengan seksama. Maka, kini dia hanya memutar tongkatnya secara ngawur saja seperti sebuah perahu tanpa kemudi dan tanpa kompas. Sudah tentu saja menghadapi seorang lawan selihai Ratu Iblis, tidak mungkin dilawan dengan pemutaran tongkat secara ngawur.
"Plakk!" Sebuah tamparan yang amat keras dari tangan kiri Ratu Iblis mengenai telinga kanan Siangkoan Lo-jin. Tamparan itu masuk menyelinap melalui putaran tongkat dan sama sekali tidak mampu dielakkan atau ditangkis oleh Siangkoan Lo-jin yang kini benar-benar menjadi seperti buta-tuli itu.
"Ahhh...!" Tubuh kakek itu terpelanting. Tamparan itu amat keras, bukan hanya mengandung tenaga sin-kang akan tetapi juga mengandung hawa beracun. Seketika muka kakek buta itu yang sebelah kanan menjadi kehijauan dan telinga kanannya menjadi rusak. Darah segar mengalir keluar dari telinga itu!
Akan tetapi kakek buta itu memang hebat bukan main. Setua itu dia masih memiliki daya tahan yang mengagumkan. Padahal, kalau orang lain yang terkena pukulan seperti itu, tentu akan roboh dan tewas, atau setidaknya terluka parah dan tidak mampu melawan lagi. Kakek ini begitu terpelanting, mempergunakan tongkatnya melindungi tubuh agar tidak menerima serangan susulan, lalu sekali menggerakkan tubuh dia sudah meloncat bangkit lagi dan memutar tongkatnya. Kini begaikan orang gila dia mengamuk, memutar tongkatnya dan kakinya meraba-raba sambil melangkah ke kanan kiri dengan tegapnya! Darah yang bercucuran keluar dari telinga kanannya tidak mengurangi kegesitannya.
Akan tetapi, sekarang dia sungguh tidak berdaya, seperti seekor tikus menghadapi seekor kucing yang mempermainkan dirinya. Telinga kanannya sudah rusak, telinga kirinya seperti tuli saja karena dipenuhi suara mendengung-dengung yang keluar dari dalam kerongkongan Raja Iblis. Kini tahulah Sui Cin bahwa Raja Iblis itu secara lihai sekali menyerang dengan suara dan membuat Iblis Buta menjadi tidak berdaya sama sekali. Sungguh cerdik dan licik! Pantas saja dia tidak mau melawan Siangkoan Lo-jin yang dianggapnya terlalu rendah atau terlalu lemah. Kiranya sekali berhadapan, Raja Iblis itu telah tahu apa yang harus dilakukan untuk melumpuhkan lawan sehingga isterinya saja sudah lebih dari cukup untuk menghadapi lawan ini.
"Desss...!" Kembali Ratu Iblis memukul dan sekali ini pukulannya mengenai telinga kiri kakek buta itu. Darah kini mengucur keluar dari telinga kiri yang rusak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Akan tetapi dia masih dapat bertahan dan tidak roboh! Kembali dia memutar tongkatnya.
Sut Cin mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa nenek berambut putih itu tersenyum dingin, senyuni yang amat keji dan sinar mata yang mencorong itu kini berkilauan seperti mata seekor binaang buas yang haus darah. Penuh kesadisan! Tahulah ia bahwa nenek itu sengaja tidak mau merobohkan lawan, melainkan hendak mempermainkannya lebih dahulu. Tiba-tibe suara mendengung itu lenyap dan sungguh hal ini mendatangkan perasaan amat tidak enak dalam hati. Kalau tadi ada suara mendengung-dengung sehingga ia terpaksa harus mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan, kini tiba-tiba suara itu lenyap dan telinganya masih saja mendengar suara dengungan itu, seakan-akan selamanya tidak akan mau meninggalkan telinga. Dan perasaan tidak enak ini dapat nampak pada wajah semua orang yang berada di situ dan yang tadipun semua mengerahkan sin-kang melawan suara yang menyiksa itu. Sungguh hebat sekali serangan suara Raja Iblis.
Agaknya memang benar dugaan Sui Cin. Kini Ratu Iblis itu mempermainkan Siangkoan Lo-jin yang sudah tidak dapat menggunakan pendengarannya lagi. Wanita itu berloncatan ke sana-sini dan begitu tiba di belakang kakek yang mengamuk ke depan, ia mengirim tamparan. Tidak cukup keras untuk mematikan lawan, akan tetapi juga tidak terlalu perlahan karena setiap kali terkena tamparan, tubuh kakek itu terputar-putar dan terhuyung-huyung. Muka kakek itu sudah berlumuran darah. Derah bercucuran dari mulut, bidung, telinga, bahkan kedua matanya menjadi sasaran-sasaran pukulan ringan yang cukup membuat biji mata yang tak dapat melihat itu pecah-pecah dan berdarah. Namun kakek itu dengan semangat pantang mundur melawan terus dengan napas terengah-engah!
Yang mengerikan, di antara para tokoh yang berada di kelompok yang me-nakluk kepada Raja dan Ratu Ibils, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan. Mereka itu nampak beringas, seperti harimau-harimau mencium darah, dan semakin tersiksa Si Iblis Buta, semakin gem-bira suara mereka bersorak-sorak.
"Dinda, hentikan main-main itu. Bereskan dia!" Kembali terdengar Raja IbliS berkata.
"Dukkk...! Aughhhh...!" Tubuh Siangkoan Lo-jin terjengkang dan terbanting jatuh ke bawah batu. Di atas tanah, tubuh itu berkelojotan akan tetapi tongkat hitam kayu cendana masih saja dipegangnya erat-erat. Kakek itu tewas dengan dada pecah dan dengan senjata masih di tangan!
Sui Cin menahan napas menahan isak. Dia tahu bahwa kakek buta itu juga se-orang datuk sesat yang kejam seperti iblis. Akan tetapi melihat kakek ini ter-siksa seperti itu, hatinya menjadi panas dan dia membenci Raja dan Ratu Iblis itu. Akan tetapi ia masih ingat bahwa ia tidak boleh sembarangan menurut perasa-an hati terhadap dua orang yang benar-benar memiliki kepandaian amat hebat itu. Maka ia menahan diri, sejenak me-nundukkan muka dan mengumpulkan hawa murni untuk menenangkan batinnya yang terguncang. Ketika ia mengangkat muka lagi, ia melihat betapa kini para iblis Cap-sha-kui dan semua datuk yang tadinya berdiri dengan sikap menentang, di belakang Si Iblis Buta, telah menjatuhkan diri berlutut. Agaknya mereka maklum bahwa setelah suami isteri Kui-kok-pang dan Siangkoan Lo-jin sendiri tewas di tangan pangeran dan isterinya yang mengangkat diri menjadi Raja dan Ratu Iblis, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat menang. Menentang suami isteri yang amat lihai itu berarti mencari kematian yang mengerikan.
Ratu Iblis tersenyum dingin melihat sebelas orang Cap-sha-kui dan dua orang tokoh sesat lainnya berlutut tanda menakluk. "Kalian tadi berani menentang kami, dan hal itu saja sudah cukup bagi kami untuk membunuh kalian! Akan tetapi karena kalian telah insyaf dan menyerah, kalian harus bersumpah untuk selamanya tidak akan menentang kami lagi. Bersediakah kalian disumpah?"
Cap-sha-kui kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas. Mereka adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai dan ditakuti, akan tetapi kini mereka maklum bahwa berhadapan dengan dua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah, tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!
"Kami bersedia!" Serentak mereka menjawab!
Nenek itu kini menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura ia berkata, "Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."
Pangeran Toan Jit-ong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut putih ini. Tadi ia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jit-ong. Hal ini mengingatkan ia akan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa jantungnya berdebar dan ia bergidik. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan ibunya itupun she Toan! Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang telah meninggal, bernama Pangeran Toan Su-ong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga antara kakek-nya, Toan Su-ong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong ini. Kalau benar demikian, berar-ti Raja Iblis masih kakeknya juga! Kakek paman! Mengerikan, pikirnya.
Dengan gerakan perlahan dan tenang, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya. Sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali. Dengan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas bersikap hormat pula dan menundukkan muka meng-hadap ke arah tongkat hitam itu!
"Kalian semua lihat baik-baik. Tong-kat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarangpun masih dianggap suci dan da-pat membuka semua pintu di istana kai-sar! Pemegang tongkat suci ini berhak menasihati dan menegur kaisar yang ma-napun juga. Tongkat suci inipun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapapun yang bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu, kalian harus menganggap tongkat ini sebagai tongkat suci dan disaksi-kan oleh tongkat suci ini kalian diminta bersumpah. Bersediakah kalian?"
"Kami bersedia!" Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan Ratu Iblis mengenai tongkat hitam i-tu.
"Nah, ikuti kata-kataku!" kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh belasan orang itu dengan serempak.
"Kami bersumpah, bahwa mulai saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya menjadi Raja dan Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua perintahnya, dan kami siap mengor-bankan nyawa untuk membela Tongkat Suci! Kami bersama seluruh murid dan keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah ka-mi disaksikan

^