Asmara Berdarah 11
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
oleh tongkat suci dan ke-saktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"
Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan" Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu se-akan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!
Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.
"Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin marasa terlalu ting-gi untuk bicara sendiri kepada para da-tuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.
"Toan Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, diper-mainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ong-ya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"
"Pemberontakan...?" terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.
"Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Su-ci, Toan Ong-ya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk di-latih bersama oleh Ong-ya sendiri."
"Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengi-rim balatentara untuk menghancurkan kita!" kata pula seorang datuk.
"Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke ben-teng yang sudah tersedia. Ong-ya memi-lih benteng di luar tembok besar, di u-tara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan mar-kas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."
"Ah, aku tahu..."
"Aku tahu tempat itu!"
"Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"
Mendengar suara-suara itu, nenek be-rambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali. "Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menja-di markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di istana. Pasu-kan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."
Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kem-bali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon di-ganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak den Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak den wajah mereka yang biasa-nya gembira itu nampak gelisah sekali.
"Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"
"Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."
"Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada per-mulaan musim semi, pada hari Tahun Ba-ru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"
Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu. Kalau diberi wak-tu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-ka-wan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang sela-lu dimusuhi para pendekar dan selalu di-kejar pasukan pemerintah. Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti i-tu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Twa Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil me-rebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras, "Tidak! Tidak boleh begitu! Pange-ran Toan tidak boleh memberontak ter-hadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" berseru demikian adalah Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas. Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi di situ, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan. Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit-ong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melaku-kan pemberontakan itu, dia segera me-lompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat per-sembunyian mereka tak dapat dipertahan-kan lagi, maka tidak ada lain jalan ba-ginya kecuali keluar dan mendukung pen-dapat temannya.
"Benar, Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pem-berontakan hanya mendatangkan kehan-curan bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"
Melihat munculnya dua orang ini, Pa-ngeran Toan Jit-ong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sen-diri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telun-juknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak, "Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"
Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaan-nya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya mmyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.
"Grrrrr... mampuslah!" Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangan-nnya yang besar-besar berbulu adalah pe-rut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam de-ngan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu! Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!
"Bukk! Bung...!" Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditahuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya. Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai, maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!
Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.
"Heh-heh-heh, aku di sini!"
Kakek raksasa itu membalik dan me-mutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah le-nyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan gin-kangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul see-kor capung dengan tongkatnya saja, me-mukul ke sana ke mari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian ce-pat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.
"Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!" Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, mem-buat raksasa pemakan bangkai itu sema-kin marah. Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya me-miliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas se-perti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.
Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka di antara alis. Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba. Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, me-narik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.
"Dukk...!" Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah. Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak- itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!
Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai ter-engah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang seca-ra bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun ju-ga. Ketika Ciu-sian yang selalu memper-mainkan lawan itu melihat betapa teman-nya telah merobohkan musuh, diapun ce-pat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.
"Krakk!" Robohlah raksasa yang men-jadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.
Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan! Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jit-ong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!
"Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit-ong ya?" Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.
"Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!" kata Siang-kiang Lo-jin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.
"Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia mem-bunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membu-nuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"
"Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?" Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suami-nya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan ma-ta mencorong seperti mengeluarkan api.
"Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentag kejahatan. Seperti tidak tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu.
Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jit-ong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdengar bentakannya halus namun berwi-bawa, "Berlututlah kalian semua meng-hormati Tongkat Suci!"
Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menerima dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuh-kan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit-ong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.
"Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?" terdengar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong berkata kepada mereka.
Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil -mereka itu berkata dengan lirih, "Kami tidak berani..."
Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram. "Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!"
Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali. Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukuran-nya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit-ong, nampak kehitaman. Ia ber-bisik ke dekat telinga Hui Song.
"Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk me-rampas tongkat iblis itu dari tangannya." Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik ju-bah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.
"Tahan dulu...!" Dengan gerakan yang amat gesit karena memang gin-kang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.
"Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?" bentak Ratu Iblis marah. Hui Song tidak dapat menjaWab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak den dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, ha-nya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.
"Aku mau mengataken bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangejan Jit-ong ini palsu!"
Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbalalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya"
Pangeran Toan Jit-ong tentu saja ma-rah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu bar-kata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi, "Anak perempuan gila, apa yang kaukatakan itu" Siapakah kamu?"
"Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su-ong...!" Sui Cin memperkenalkan diri.
"Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai! Bunuh mereka!" Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.
"Tenang!" Tiba-tiba Pangeran Toan Jit-ong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin. "Mendiang Toan Su-ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya" Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"
Sui Cin merasa mendapat hati dan ia-pun berkata dengan suara lantang. "Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang me-nerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tong-kat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang aseli berada bersamaku!"
Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jit-ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.
"Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang aseli! Tongkat Sakti yang aseli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.
"Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su-ong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana aseli. Yang aseli berada di tanganku," katanya dengan lantang.
Pangeran Toan Jit-ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung. "Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" ben-taknya.
"Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk me-ngelabuhi begini banyak orang!"
Tadinya pangeran tua iti ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya" Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.
"Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan tongkat hitam itu. Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!
"Hei, kembalikan tongkatku!" Pange-ran Toan Jit-ong terkejut sekaii dan ma-rah, tangannya bergerak hendak menge-jar. Akan tetapi kini Hui Song baru me-ngerti siasat apakah yank dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pange-ran itu hendak mengejar, dia lalu mem-bentak.
"Perlahan dulu!" Dan tannganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari ta-ngannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.
Melihat serangan yang tenaga sin-kangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jit-ong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.
"Krekkk...!" Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jit-ong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.
"Plakk...!" Sebuah tamparan yang a-neh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup mem-buatnya terpelanting. Sementara itu, Ra-tu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.
"Berikan tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.
"Hihhh...!" Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.
"Berani kau melawan tongkat suci ini?" bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi. Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.
"Hayo kalian semua berlutut!" Bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"
Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung.
Sementara itu, Pangeran Toan Jit-ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru, "Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jit-ong...!"
Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata, "Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"
Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.
"Krakkk...!" Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.
"Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua" Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit-ong! Bantulah aku dan Hui Song!"
Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini merek atidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan" Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.
"Hemm...!" Pangeran Toan Jit-ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat, bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.
"Mari...!" serunya kepada Hui Song.
Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.
"Lari...!" teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.
Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar!
Gerakan Toan Jit-ong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja me-reka dapat disusul!
"Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!" Teriak Ciu--sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.
"Toan Jit-ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!" Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.
"Tongkatku...!" Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan. Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang.
Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau Ciu-sian yang sengaja mengam-bil jalan berlika-liku agar tidak dapat di-susul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun me-reka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbaha-ya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat.
Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian si-buk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.
"Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam ta-di sungguh merupakan bagian riwayat hi-dupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua di-ancam cambuk. Ha-ha-ha!"
Ciu-sian juga tertawa. "Masih mending daripada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kaukira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"
"Ha-ha, memang mereka ini menga-gumkan sekali! Dan ilmu silat merekapun hebat. Aku ingin sekali mengambil mere-ka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"
"Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid" Mana ada aturan macam ini?"
Kakek gendut menghentikan senyum-nya, menyeringai dan alisnya berkerut. "Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"
"Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri a-rakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid" Nanti dulu, ya!"
"Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?" bentak si kakek gendut, kini melotot.
"Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Si kakek katai memban-tah, ngotot. Keduanya kini berdiri berha-dapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya. Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang. Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.
"Kau mau apa?" bentak si gendut.
"Kau mau apa?" bentak si katai.
"Heiii! Kalian punya apa" Aku sih apa-apa mau!" tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu. Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang. "Punya apa" Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.
"Aku tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.
Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Hi-hik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"
"Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.
"Tidak bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.
"Aku dulu!"
"Aku dulu!" Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.
"Eiit, eiit... harap ingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!" kata Sui Cin.
"Eh, siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.
"Heh-heh-heh! Sui Cin, kaukira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh" Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."
"Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."
"Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu." kata Wu-yi Lo-jin.
"Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan Lo-jin.
"Aku dulu!"
"Aku dulu!" Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak kecil" Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-ka-nak" Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak"
Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk be-lajar gin-kang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersi-tegang lagi, iapun maju lagi dan berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik daripada keadilan" Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"
"Benar sekali!" kata Ciu-sian.
"Tidak salah itu!" kata San-sian.
"Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang me-mulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."
Wajah si gendut menjadi merah. "Hah, siapa tidak adil dan siapa takut" Katai, kaupukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kaubanggakan itu. Mulailah!" Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!
"Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!" seru kakek katai dengan girang sekali sambil menu-runkan guci araknya. Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal se-dikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya. "Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat. Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke de-pan, menghantam ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!" Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.
"Bukkk...!" Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.
Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sin-kang itu. Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.
"Awas, sekali lagi!" Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat mera-sakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.
"Siuuuttt... bunggg...!" Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa. Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya. "Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"
Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata, "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."
"Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"
"Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!" Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.
"Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.
"Srrrttt...!" Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.
"Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"
Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.
Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergemin, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!
San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.
"Heh-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kainya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!
"Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"
"Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.
"Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.
Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai. "Harap kalian bersabar dulu," katanya.
"Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.
"Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.
Sui Cin tersenyum. "Ji-wi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan" Bagi rata kan beres" Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"
Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala. "Kenapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.
"Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?" gumam si katai.
"Nah, pemecahannya mudah, bukan" Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."
"Tidak ada murid! Tidak ada murid!" Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.
"Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid" Kenapa sekarang malah menolak" Apa maksud ji-wi ini?" Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.
"Bangun dan duduk, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin. Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon. "Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit-ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."
"Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."
Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal gin-kang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."
"Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan sua-ra sungguh-sungguh.
"Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Mere-kalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."
"Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil me-natap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."
Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang. "Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa ka-kek inipun tidak mau dianggap guru o-lehnya.
"Akan tetapi, tidak mudah belajar da-riku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus be-lajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh me-ninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu daripada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."
Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang se-jak kecil digembleng untuk menjadi pen-dekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran da-lam belajar ilmu.
"Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu gin-kang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhan-nya!" kata Ciu-sian.
Sui Cin tersenyum. "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus bela-jar dari kalian?"
"Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya su-dah cukup untuk menghadapi lawan se-perti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-ibils itu memiliki sin-kang dan gin--kang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu ti-ga tahun lagi mereka akan mempersiap-kan pemberontakan mereka, maka sebe-lum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.
"Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, kalau dimatang-kan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."
Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpak-sa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga ta-hun!
"Cin-moi..." katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.
"Bagaimana Song-twako" Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"
"Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka" Kita akan saling berpisah!"
Dara itu tersenyum. "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing" Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."
"Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."
"Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendenger ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.
"Benarkah itu, Cin-moi" Engkau akan rindu kepadaku?"
Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya" "Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi...!"
Sui Cin tertawa, "Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."
Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu. "Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."
"Ah, apa-apaan sih engkau ini twako" Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."
"Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya", Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cin-ta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, a-ku cinta padamu!"
Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menun-dukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seo-rang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan me-rasa geli dan ia tidak dapat menahan ke-tawanya. Ia tertawa bebas, seperti bia-sanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.
"Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"
"Habis, engkau lucu sih!"
"Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"
"Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta" Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"
"Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."
"Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang te-kun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan" Pula, urusan perjo-dohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."
Sui Cin teringat akan usul orang tua-nya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce--kiang di Ning-po itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song daripada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa sa-ja.
"Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkaupun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkaupun cinta padaku..."
Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song. "Eh, kenapa eng-kau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan -alis berkerut.
"Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."
"Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"
"Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"
Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song ticlak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cin-ta. Dia harus bersabar. Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri meng-ikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain guha yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam. Guha itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai guha dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa guha ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah guha di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.
Kalau orang memasuki guha itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya a-gak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut berge-rak-gerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat. Anehnya, pemuda itu me-makai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pa-da kedua kaki dan lengannya, juga pemu-da ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin. Dapat diba-yangkan beratnya latihan ini. Namun, pe-muda yang usianya sekitar dua puluh em-pat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan un-tuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus ber-main silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.
Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.
Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sin-kang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyeilmuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya. Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna daripada tiga tahun yang lalu!
"Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" Tiba-tiba kakek itu berkata.
"Terakhir kali" Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.
"Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?" tanya kakek gendut.
"Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."
"Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada di sini hampir tiga tahun lamanya" Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."
Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat daripada yang dikehendakinya. Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.
Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira. "Cukuplah, Hui Song, ke sinilah aku mau bicara."
Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu. "Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."
Mendergar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut. Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.
"Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.
Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."
"Kalau begitu, locianpwe tahu di mana Wu-yi Lo-jin membawanya dan di mana saya dapat menjumpai Sui Cin?"
"Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."
"Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe" Masih berapa lamakah?"
"Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."
Hui Song menjadi girang sekali. "Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."
"Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-ling-pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jit-ong dan sekutunya."
"Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."
Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan guha di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara. Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam guha, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu. Yang amat menggembleakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.
Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu gin-kang dara itu. "Mari kita ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ. Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang amelayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.
"Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu gin-kangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama pu-luhan tahun. Tidak sembarang orang da-pat mencapai puncak ini karena tidak a-da jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak dan me-reka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Hanya orang-orang yang me-miliki gin-kang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sin-kang dan khi-kang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tena-ga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan gin-kang.
Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di ba-wah bimbingan dan penggwasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, Sui Cin te-lah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri. Pada suatu hari, ka-kek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam. Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sam-pai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wu-yi Lo-jin.
"Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan gin-kang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah daripada tepi tebing sebelah sini.
Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran daripada takut. "Meloncat ke seberang sana" Ah, perlukah itu, kek" Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu tertawa. "Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih gin-kang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kaulihat lubang-lubang di tepi tebing ini" Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana." Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana. Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanuya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tall ini!"
Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.
"Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kaukuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas. Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah data itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki gin-kang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit-ong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.
"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."
Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.
"Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."
"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya" Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka depat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!"
"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit-ong itu masih paman dari ibu."
Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai. Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdepat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cinmelakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.
"Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi shbulan yang lalu, entah kapan pulangnya."
Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya. Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah ke mana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan, kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit-ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su--ong!
Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ruangan itu luas dan terhias indah, juga hiasannya membayangkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang berada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik. Pada dinding ruangan itu nampak lukisan-lukisan yang indah pula tergantung, lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah menghias pula dinding ruangan itu. Sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar. Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang laki-laki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap tiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa ia sedang berkabung!
Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya, yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, alisnya tebal dan jenggotnya yang pendek itupun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang. Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianyapun sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput, tubuhanya agak pendek dan dandanannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang keturunan Jepang.
Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya. Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang berlutut di luar ruangan itu dan merekapun memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.
Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu telah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.
"Ciang Su Kiat suheng tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua dapat menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilin suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walaupun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"
"Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah walaupun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan semua yang terjadi!"
"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja sejak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi, Coan Ti-hu terkenal pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dihardik dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lalu dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu dapat menerimanya karena bagaimanapun juga alasannya, ayah teecu mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Akan tetapi, ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan ketika pulang, dalam waktu tiga hari ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian kepada Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin saja ayah menegur karena ayah sudah menghambakan diri sejak muda akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimanapun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Maka, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar sewenang-wenang itu."
"Dan engkau menjadi buronan peme-rintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, melainkan juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami karena eng-kau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau ka-mi tidak dapat menangkapmu, kami akan diadukan dan dianggap pemberontak ka-rena murid perguruan Cin-ling-pai telah berani menyerang seorang pembesar pe-merintah! Nah, apa yang hendak kaukatakan sekarang?"
"Suhu, bagaimanapun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepa-da teecu. Akan tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"
"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan ber-arti bahwa teecu akan mengingkari sum-pah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu terhadap Cin-ling-pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...! Teecu... teecu menerima hu-kuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu ti-dak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!" Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt, plakkk... trangggg...!" Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi sa-ya!" Berkata demikian, laki-laki yang su-dah putus asa dan marah ini lalu meng-gerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!" Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap bendak membunuh diri itu.
"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.
Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut." Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.
"Hui Song, apa yang hendak kaulakukan?" Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat daripada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bu-kan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-ling-pai. Bagaimanapun juga, Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan di-ri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama me-reka rindukan itu.
Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat ce-pat bagaikan burung malam beterbangan itu.
Suasana sunyi di gedung besar itu ti-ba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.
"Coan Ti-hu, buka telingamu dan de-ngar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"
Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua -bayangan yang berdiri tegak di atas wu-wungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung. Tentu aaja Coan Ti-hu sendiri juga men-dengar teriakan itu, akan tetapi dia ti-dak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.
"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.
"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamman dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.
Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya. "Ciang suheng, di sini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku" Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan Ciang-suheng...!" Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya. Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.
"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini
oleh tongkat suci dan ke-saktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"
Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan" Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu se-akan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!
Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.
"Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin marasa terlalu ting-gi untuk bicara sendiri kepada para da-tuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.
"Toan Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, diper-mainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ong-ya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"
"Pemberontakan...?" terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.
"Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Su-ci, Toan Ong-ya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk di-latih bersama oleh Ong-ya sendiri."
"Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengi-rim balatentara untuk menghancurkan kita!" kata pula seorang datuk.
"Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke ben-teng yang sudah tersedia. Ong-ya memi-lih benteng di luar tembok besar, di u-tara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan mar-kas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."
"Ah, aku tahu..."
"Aku tahu tempat itu!"
"Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"
Mendengar suara-suara itu, nenek be-rambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali. "Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menja-di markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di istana. Pasu-kan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."
Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kem-bali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon di-ganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak den Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak den wajah mereka yang biasa-nya gembira itu nampak gelisah sekali.
"Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"
"Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."
"Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada per-mulaan musim semi, pada hari Tahun Ba-ru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"
Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu. Kalau diberi wak-tu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-ka-wan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang sela-lu dimusuhi para pendekar dan selalu di-kejar pasukan pemerintah. Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti i-tu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Twa Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil me-rebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras, "Tidak! Tidak boleh begitu! Pange-ran Toan tidak boleh memberontak ter-hadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" berseru demikian adalah Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas. Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi di situ, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan. Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit-ong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melaku-kan pemberontakan itu, dia segera me-lompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat per-sembunyian mereka tak dapat dipertahan-kan lagi, maka tidak ada lain jalan ba-ginya kecuali keluar dan mendukung pen-dapat temannya.
"Benar, Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pem-berontakan hanya mendatangkan kehan-curan bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"
Melihat munculnya dua orang ini, Pa-ngeran Toan Jit-ong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sen-diri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telun-juknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak, "Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"
Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaan-nya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya mmyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.
"Grrrrr... mampuslah!" Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangan-nnya yang besar-besar berbulu adalah pe-rut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam de-ngan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu! Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!
"Bukk! Bung...!" Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditahuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya. Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai, maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!
Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.
"Heh-heh-heh, aku di sini!"
Kakek raksasa itu membalik dan me-mutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah le-nyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan gin-kangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul see-kor capung dengan tongkatnya saja, me-mukul ke sana ke mari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian ce-pat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.
"Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!" Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, mem-buat raksasa pemakan bangkai itu sema-kin marah. Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya me-miliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas se-perti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.
Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka di antara alis. Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba. Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, me-narik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.
"Dukk...!" Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah. Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak- itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!
Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai ter-engah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang seca-ra bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun ju-ga. Ketika Ciu-sian yang selalu memper-mainkan lawan itu melihat betapa teman-nya telah merobohkan musuh, diapun ce-pat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.
"Krakk!" Robohlah raksasa yang men-jadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.
Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan! Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jit-ong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!
"Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit-ong ya?" Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.
"Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!" kata Siang-kiang Lo-jin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.
"Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia mem-bunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membu-nuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"
"Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?" Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suami-nya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan ma-ta mencorong seperti mengeluarkan api.
"Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentag kejahatan. Seperti tidak tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu.
Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jit-ong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdengar bentakannya halus namun berwi-bawa, "Berlututlah kalian semua meng-hormati Tongkat Suci!"
Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menerima dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuh-kan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit-ong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.
"Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?" terdengar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong berkata kepada mereka.
Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil -mereka itu berkata dengan lirih, "Kami tidak berani..."
Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram. "Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!"
Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali. Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukuran-nya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit-ong, nampak kehitaman. Ia ber-bisik ke dekat telinga Hui Song.
"Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk me-rampas tongkat iblis itu dari tangannya." Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik ju-bah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.
"Tahan dulu...!" Dengan gerakan yang amat gesit karena memang gin-kang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.
"Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?" bentak Ratu Iblis marah. Hui Song tidak dapat menjaWab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak den dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, ha-nya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.
"Aku mau mengataken bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangejan Jit-ong ini palsu!"
Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbalalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya"
Pangeran Toan Jit-ong tentu saja ma-rah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu bar-kata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi, "Anak perempuan gila, apa yang kaukatakan itu" Siapakah kamu?"
"Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su-ong...!" Sui Cin memperkenalkan diri.
"Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai! Bunuh mereka!" Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.
"Tenang!" Tiba-tiba Pangeran Toan Jit-ong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin. "Mendiang Toan Su-ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya" Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"
Sui Cin merasa mendapat hati dan ia-pun berkata dengan suara lantang. "Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang me-nerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tong-kat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang aseli berada bersamaku!"
Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jit-ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.
"Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang aseli! Tongkat Sakti yang aseli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.
"Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su-ong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana aseli. Yang aseli berada di tanganku," katanya dengan lantang.
Pangeran Toan Jit-ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung. "Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" ben-taknya.
"Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk me-ngelabuhi begini banyak orang!"
Tadinya pangeran tua iti ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya" Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.
"Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan tongkat hitam itu. Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!
"Hei, kembalikan tongkatku!" Pange-ran Toan Jit-ong terkejut sekaii dan ma-rah, tangannya bergerak hendak menge-jar. Akan tetapi kini Hui Song baru me-ngerti siasat apakah yank dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pange-ran itu hendak mengejar, dia lalu mem-bentak.
"Perlahan dulu!" Dan tannganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari ta-ngannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.
Melihat serangan yang tenaga sin-kangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jit-ong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.
"Krekkk...!" Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jit-ong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.
"Plakk...!" Sebuah tamparan yang a-neh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup mem-buatnya terpelanting. Sementara itu, Ra-tu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.
"Berikan tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.
"Hihhh...!" Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.
"Berani kau melawan tongkat suci ini?" bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi. Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.
"Hayo kalian semua berlutut!" Bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"
Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung.
Sementara itu, Pangeran Toan Jit-ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru, "Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jit-ong...!"
Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata, "Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"
Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.
"Krakkk...!" Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.
"Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua" Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit-ong! Bantulah aku dan Hui Song!"
Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini merek atidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan" Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.
"Hemm...!" Pangeran Toan Jit-ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat, bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.
"Mari...!" serunya kepada Hui Song.
Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.
"Lari...!" teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.
Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar!
Gerakan Toan Jit-ong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja me-reka dapat disusul!
"Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!" Teriak Ciu--sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.
"Toan Jit-ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!" Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.
"Tongkatku...!" Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan. Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang.
Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau Ciu-sian yang sengaja mengam-bil jalan berlika-liku agar tidak dapat di-susul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun me-reka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbaha-ya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat.
Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian si-buk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.
"Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam ta-di sungguh merupakan bagian riwayat hi-dupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua di-ancam cambuk. Ha-ha-ha!"
Ciu-sian juga tertawa. "Masih mending daripada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kaukira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"
"Ha-ha, memang mereka ini menga-gumkan sekali! Dan ilmu silat merekapun hebat. Aku ingin sekali mengambil mere-ka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"
"Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid" Mana ada aturan macam ini?"
Kakek gendut menghentikan senyum-nya, menyeringai dan alisnya berkerut. "Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"
"Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri a-rakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid" Nanti dulu, ya!"
"Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?" bentak si kakek gendut, kini melotot.
"Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Si kakek katai memban-tah, ngotot. Keduanya kini berdiri berha-dapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya. Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang. Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.
"Kau mau apa?" bentak si gendut.
"Kau mau apa?" bentak si katai.
"Heiii! Kalian punya apa" Aku sih apa-apa mau!" tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu. Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang. "Punya apa" Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.
"Aku tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.
Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Hi-hik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"
"Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.
"Tidak bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.
"Aku dulu!"
"Aku dulu!" Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.
"Eiit, eiit... harap ingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!" kata Sui Cin.
"Eh, siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.
"Heh-heh-heh! Sui Cin, kaukira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh" Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."
"Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."
"Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu." kata Wu-yi Lo-jin.
"Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan Lo-jin.
"Aku dulu!"
"Aku dulu!" Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak kecil" Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-ka-nak" Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak"
Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk be-lajar gin-kang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersi-tegang lagi, iapun maju lagi dan berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik daripada keadilan" Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"
"Benar sekali!" kata Ciu-sian.
"Tidak salah itu!" kata San-sian.
"Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang me-mulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."
Wajah si gendut menjadi merah. "Hah, siapa tidak adil dan siapa takut" Katai, kaupukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kaubanggakan itu. Mulailah!" Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!
"Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!" seru kakek katai dengan girang sekali sambil menu-runkan guci araknya. Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal se-dikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya. "Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat. Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke de-pan, menghantam ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!" Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.
"Bukkk...!" Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.
Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sin-kang itu. Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.
"Awas, sekali lagi!" Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat mera-sakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.
"Siuuuttt... bunggg...!" Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa. Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya. "Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"
Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata, "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."
"Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"
"Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!" Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.
"Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.
"Srrrttt...!" Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.
"Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"
Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.
Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergemin, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!
San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.
"Heh-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kainya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!
"Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"
"Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.
"Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.
Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai. "Harap kalian bersabar dulu," katanya.
"Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.
"Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.
Sui Cin tersenyum. "Ji-wi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan" Bagi rata kan beres" Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"
Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala. "Kenapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.
"Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?" gumam si katai.
"Nah, pemecahannya mudah, bukan" Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."
"Tidak ada murid! Tidak ada murid!" Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.
"Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid" Kenapa sekarang malah menolak" Apa maksud ji-wi ini?" Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.
"Bangun dan duduk, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin. Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon. "Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit-ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."
"Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."
Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal gin-kang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."
"Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan sua-ra sungguh-sungguh.
"Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Mere-kalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."
"Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil me-natap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."
Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang. "Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa ka-kek inipun tidak mau dianggap guru o-lehnya.
"Akan tetapi, tidak mudah belajar da-riku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus be-lajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh me-ninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu daripada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."
Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang se-jak kecil digembleng untuk menjadi pen-dekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran da-lam belajar ilmu.
"Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu gin-kang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhan-nya!" kata Ciu-sian.
Sui Cin tersenyum. "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus bela-jar dari kalian?"
"Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya su-dah cukup untuk menghadapi lawan se-perti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-ibils itu memiliki sin-kang dan gin--kang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu ti-ga tahun lagi mereka akan mempersiap-kan pemberontakan mereka, maka sebe-lum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.
"Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, kalau dimatang-kan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."
Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpak-sa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga ta-hun!
"Cin-moi..." katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.
"Bagaimana Song-twako" Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"
"Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka" Kita akan saling berpisah!"
Dara itu tersenyum. "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing" Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."
"Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."
"Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendenger ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.
"Benarkah itu, Cin-moi" Engkau akan rindu kepadaku?"
Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya" "Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi...!"
Sui Cin tertawa, "Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."
Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu. "Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."
"Ah, apa-apaan sih engkau ini twako" Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."
"Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya", Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cin-ta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, a-ku cinta padamu!"
Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menun-dukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seo-rang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan me-rasa geli dan ia tidak dapat menahan ke-tawanya. Ia tertawa bebas, seperti bia-sanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.
"Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"
"Habis, engkau lucu sih!"
"Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"
"Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta" Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"
"Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."
"Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang te-kun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan" Pula, urusan perjo-dohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."
Sui Cin teringat akan usul orang tua-nya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce--kiang di Ning-po itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song daripada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa sa-ja.
"Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkaupun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkaupun cinta padaku..."
Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song. "Eh, kenapa eng-kau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan -alis berkerut.
"Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."
"Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"
"Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"
Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song ticlak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cin-ta. Dia harus bersabar. Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri meng-ikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain guha yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam. Guha itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai guha dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa guha ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah guha di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.
Kalau orang memasuki guha itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya a-gak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut berge-rak-gerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat. Anehnya, pemuda itu me-makai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pa-da kedua kaki dan lengannya, juga pemu-da ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin. Dapat diba-yangkan beratnya latihan ini. Namun, pe-muda yang usianya sekitar dua puluh em-pat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan un-tuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus ber-main silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.
Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.
Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sin-kang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyeilmuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya. Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna daripada tiga tahun yang lalu!
"Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" Tiba-tiba kakek itu berkata.
"Terakhir kali" Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.
"Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?" tanya kakek gendut.
"Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."
"Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada di sini hampir tiga tahun lamanya" Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."
Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat daripada yang dikehendakinya. Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.
Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira. "Cukuplah, Hui Song, ke sinilah aku mau bicara."
Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu. "Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."
Mendergar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut. Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.
"Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.
Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."
"Kalau begitu, locianpwe tahu di mana Wu-yi Lo-jin membawanya dan di mana saya dapat menjumpai Sui Cin?"
"Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."
"Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe" Masih berapa lamakah?"
"Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."
Hui Song menjadi girang sekali. "Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."
"Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-ling-pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jit-ong dan sekutunya."
"Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."
Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan guha di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara. Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam guha, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu. Yang amat menggembleakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.
Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu gin-kang dara itu. "Mari kita ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ. Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang amelayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.
"Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu gin-kangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama pu-luhan tahun. Tidak sembarang orang da-pat mencapai puncak ini karena tidak a-da jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak dan me-reka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Hanya orang-orang yang me-miliki gin-kang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sin-kang dan khi-kang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tena-ga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan gin-kang.
Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di ba-wah bimbingan dan penggwasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, Sui Cin te-lah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri. Pada suatu hari, ka-kek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam. Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sam-pai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wu-yi Lo-jin.
"Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan gin-kang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah daripada tepi tebing sebelah sini.
Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran daripada takut. "Meloncat ke seberang sana" Ah, perlukah itu, kek" Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu tertawa. "Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih gin-kang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kaulihat lubang-lubang di tepi tebing ini" Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana." Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana. Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanuya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tall ini!"
Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.
"Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kaukuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas. Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah data itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki gin-kang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit-ong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.
"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."
Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.
"Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."
"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya" Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka depat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!"
"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit-ong itu masih paman dari ibu."
Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai. Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdepat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cinmelakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.
"Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi shbulan yang lalu, entah kapan pulangnya."
Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya. Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah ke mana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan, kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit-ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su--ong!
Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ruangan itu luas dan terhias indah, juga hiasannya membayangkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang berada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik. Pada dinding ruangan itu nampak lukisan-lukisan yang indah pula tergantung, lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah menghias pula dinding ruangan itu. Sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar. Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang laki-laki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap tiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa ia sedang berkabung!
Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya, yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, alisnya tebal dan jenggotnya yang pendek itupun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang. Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianyapun sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput, tubuhanya agak pendek dan dandanannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang keturunan Jepang.
Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya. Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang berlutut di luar ruangan itu dan merekapun memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.
Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu telah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.
"Ciang Su Kiat suheng tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua dapat menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilin suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walaupun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"
"Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah walaupun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan semua yang terjadi!"
"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja sejak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi, Coan Ti-hu terkenal pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dihardik dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lalu dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu dapat menerimanya karena bagaimanapun juga alasannya, ayah teecu mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Akan tetapi, ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan ketika pulang, dalam waktu tiga hari ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian kepada Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin saja ayah menegur karena ayah sudah menghambakan diri sejak muda akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimanapun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Maka, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar sewenang-wenang itu."
"Dan engkau menjadi buronan peme-rintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, melainkan juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami karena eng-kau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau ka-mi tidak dapat menangkapmu, kami akan diadukan dan dianggap pemberontak ka-rena murid perguruan Cin-ling-pai telah berani menyerang seorang pembesar pe-merintah! Nah, apa yang hendak kaukatakan sekarang?"
"Suhu, bagaimanapun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepa-da teecu. Akan tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"
"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan ber-arti bahwa teecu akan mengingkari sum-pah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu terhadap Cin-ling-pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...! Teecu... teecu menerima hu-kuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu ti-dak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!" Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt, plakkk... trangggg...!" Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi sa-ya!" Berkata demikian, laki-laki yang su-dah putus asa dan marah ini lalu meng-gerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!" Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap bendak membunuh diri itu.
"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.
Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut." Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.
"Hui Song, apa yang hendak kaulakukan?" Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat daripada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bu-kan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-ling-pai. Bagaimanapun juga, Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan di-ri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama me-reka rindukan itu.
Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat ce-pat bagaikan burung malam beterbangan itu.
Suasana sunyi di gedung besar itu ti-ba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.
"Coan Ti-hu, buka telingamu dan de-ngar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"
Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua -bayangan yang berdiri tegak di atas wu-wungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung. Tentu aaja Coan Ti-hu sendiri juga men-dengar teriakan itu, akan tetapi dia ti-dak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.
"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.
"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamman dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.
Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya. "Ciang suheng, di sini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku" Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan Ciang-suheng...!" Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya. Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.
"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini