Pencarian

Asmara Berdarah 12

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."
"Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.
Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."
Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.
"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"
Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran. "Aih, sumoi, kenapa marah" Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah" Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"
"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu" Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng" Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."
Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali. Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.
"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."
"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu" Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu" Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"
Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh ituurusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selam ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!
"Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ. Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu gin-kangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum.
Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.
"Apa yang kaulakukan bersama Su Kiat?" tanya ketua Cin-ling-pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.
"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"
"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."
"Hui Song," potong ayahnya, "mengenai perantauanmu itu, kauceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kaulakukan bersama Su Kiat."
"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."
"Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?" tanya ayahnya dengan alis berkerut.
"Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai di sana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya den meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."
Pada seat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.
"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan gin-kangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"
Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu den isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."
Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.
Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-ling-pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang dide-ngarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pende-kar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mende-ngar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka. Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorangpen pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluar-ga itu. Memang ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sa-dis dan mereka sudah merasa tidak senang, akan tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.
Ketika Hui Song bercerita tentang kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, hati ayahnya tertarik sekali. Dia be-lum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dan mendengar bahwa puteranya mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga ta-hun dari kakek sakti Dewa Kipas dia ikut merasa gembira. Akan tetapi ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ra-tu Iblis yang menghimpun para datuk un-tuk melakukan pemberontakan kelak, mendengar betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pende-kar menentang gerakan para calon pemberontakan, ketua Cin-ling-pai mengerut-kan alisnya.
"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Se-jak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biarkan urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."
"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri kalau melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.
"Hemm, mana kita tahu siapa sebetulnya yang busuk" Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup" Sudahlah, tidak pernah kita mencampurinya dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat maupun mereka yang tidak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tente-ram?"
"Benar, karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."
"Akan tetapi, mana mungkin ada ke-tenteraman kalau terjadi pemberontak-an?"
"Pemerintah sudah mempunyai pasu-kan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara" Kalau terjadi pem-berontakan, pemerintah tentu akan me-numpasnya dengan kekuatan tentaranya."
"Justeru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik ka-lau para pendekar turun tangan menen-tang komplotan yang hendak memberon-tak itu?"
"Hemm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik" Bagaimana kalau peme-rintahnya yang tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar" Sudah, jangan mencampuri urusan peme-rintah, itu bukan tugas kita sebagai pen-dekar!"
"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah tidak benar. Ka-lau kita selalu membela pemerirtah, ber-arti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.
"Ayah dan ibu, harap maafkan kalau aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-ma-nusia biasa yang tidak akan bebas dari-pada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa warga ne-gara, tidak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang terpilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang menanggung, sebaliknya kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bi-jaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Kalau pemerin-tahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikannya menyeleweng, hal itu merupakan tugas para warga negara pula untuk mengawasinya, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa pengawasan, tanpa kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya" Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik untuk menimbulkan pem-berontakan dan merebut kekuasaan, ka-rena yang merebut kekuasaan itupun be-lum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau buruk keadaan pemerin-tah, tetap saja kita, terutama para pen-dekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."
Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas tentang kepatri-otan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan targan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja-.
"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri" Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masib seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"
"Tidak ayah, aku tidak setuju! Peme-rintah dalam bahaya, diancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dahulu. Barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku sudah pula membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap" Kalau pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan menentang para pembeser korup. Apalagi kalau diingat bahwa pemberontakan kali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."
"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya dan menyuruh murid yang mengetuk pin-tu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.
"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.
Mendengar bahwa ayahnya datang ber-kunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereki semua menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam. Kembali keluarga ketua Cin-ling-pai itu, ditemani oleh Tan Siang Wi dan sekali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua, berkumpul di dalam ruangan.
Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya su-dah berwarna putih semua. Inilah dia to-koh persilatan yang pernah merajai laut-an timur dan berjuluk Tung-hai-sian (De-we Lautan Timur), seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berobah menjadi Bin Mo To. Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi setelah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Dia cukup kaya sehingga biarpun meninggalkan segala macam pe-kerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propin-si Shan-tung.
Melihat Hui Song, kakek itu merang-kulnya, lalu memegang kedua pundak pe-muda itu, mendorongnya agar dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa ber-gelak dengan gembira sekali.
"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, be-gus, aku bangga sekali. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"
"Dua puluh empat tahun, kek."
Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa" Dua puluh empat tahun dan engkau
belum kawin?" Dia menoleh ke-pada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"
Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."
"Aih, bagaimana ini?" Kakek itu me-noleh kepada anaknya den mantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah" Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."
"Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Wak-tunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Dia baru saja pulang kemarin dari perantauannya yang mema-kan waktu hampir empat tahun!"
"Ha-ha-ha, merantau den bertualang amat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturun-an," kata kakek itu.
"Aku juga berpikir begitu, ayah, bah-kan muridku ini merupakan calon mantu yang amat baik."
Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih..." katanya.
"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suara-nya jengkel.
"Nah, itulah ayah, cucumu yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, nampak tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.
"Pemberontakan" Apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan" Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.
"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menen-tang komplotan itu."
Kakek itu menarik napas panjang. "Ahh... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada mantunya dengan mata penuh tanda tanya.
"Saya sudah melarangnya, ayah. Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menen-tang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kong-kong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri adanya para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang merencanakan pemberon-takan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"
"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan searang pendekar memang se-patutnya kalau berjiwa pahlawan, mem-bela negara nusa dan bangsa. Akan teta-pi hal ini harus pula diperhitungkan dan dilihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintah yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang meme-gang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi pe-nindas rakyat, apakah kita sebagai pen-dekar dan pahlawan juga harus membela kelaliman?"
"Nah, dengarkan ucapan kong-kongmu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"
"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk se-sat yang amat jahat, kong-kong!" Hui Song membantah.
Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus dapat membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, untuk membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan pa-ra pahlawan berbeda lagi. Dalam per-juangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."
"Jadi... dengan kata lain, kong-kong membenarkan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"
Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi, dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya" Sepanjang pendengaranku, biarpun kini Liu-thaikam telah tertangkap dan tewas, namun keadaan kergjaan masih penuh dengan kotoran. Hanya beberapa orang menteri saja dan beberapa orang jenderal, yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tidak memperdulikan pemerintahan. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, kalau terjadl pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut memperoleh bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"
"Akan tetapi, kong-kong, bukankah sejak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian" Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"
"Hui Song, engkau belum mengerti!" bentak ayahnya. "Seorang patriot adalah seorang gagah yang membela rakyat, membela nusa bangsa! Kalau pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah itu mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, kalau pemerintahnya lalim dan dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-an-tek pembesar lalim!"
"Akan tetapi, ayah. Yang namanya pemberontak itu, sejak dahulu, bukankah dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"
"Belum tentu! Tidak semua pemberontak jahat. Kalau orang memberontak ter-hadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya untuk mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, dia tidak dapat dinamakan jahat."
"Tapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"
"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu mendatangkan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, ta-dinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."
Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kong-kongnya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak membe-rontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi, bukan tidak mungkin kalau pemberontak-annya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tidak memperdulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri dalam kamarnya.
Pahlawan! Patriot! Dari manakah la-hirnya sebutan ini dan apakah sesungguh-nya arti sebutan itu" Pada umumnya, pe-ngertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walaupun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja. Akan tetapi benarkah demikian" Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa" Ataukah hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya" Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa" Mereka sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai "pengkhianat"! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka. Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demi-kian pula" Tokoh-tokoh yang tadinya di-anggap pahlawan dan patriot terbesar sekalipun, kalau sekali waktu yang meme-gang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang-kadang ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya! Dan ini bu-kan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara golongan satu bang-sa yang berlainan golongan, berlainan co-rak pendapat dan gagasannya. Yang ta-dinya oleh satu golongan diagungkan se-bagai pahlawan, oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan go-longan pertama, dicap pengkhianat dan jahat. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap pengkhianat dan pemberontak, setelah golongan orang itu menang, dia akan dipuja sebagai pah-lawan, patriot dan sebagainya.
Jelaslah bahwa manusia telah menjadi boneka permainan gagasan mereka sendi-ri, saling bertentangan, bermusuhan, bu-nuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semua itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat. Para pejuang dari golongan manapun, yang sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, demikian semboyan usang yang diulang-ulang sepanjang sejarah. Dan rakyatpun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya mmbantu para "patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat" itu. Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai" Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka. Dan rakyat" Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu" Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji sedangkan yang mati akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit. Tapi, apa yang dapat dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa" Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tidak mau kalah, apa pula mengalah. Yang menentang, walaupun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan ingin menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya" Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan sesampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu. "Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu," demikian Hui Song mengakhiri suratnya.
"Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, dan isterinya menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi bertahun-tahun, hanya semalam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.
"Ah, sudahlah. Tidak aneh kalau putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman" Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.
"Tapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa sejak pagi mereka tidak pernah melihat Hui Song maupun Siang Wi.
"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.
"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali kalau mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.
Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, kakek Bin Mo To perlahan-lahan membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.
"Setiap usaha menentang pemerintahan yang buruk patut didukung oleh orang orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapapun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.
Mendengar ucapan ayahnya dan melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.
"Ayah, ada apa pulakah ini" Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah meneuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia" Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan mendukungnya?"
Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik sekali dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu. Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, setelah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu. Biarpun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Bekas kawan-kawan kakek itu datang berkunjung dan urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan. Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit-ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui dan sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua akan tetapi dia ingat akan mantunya. Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan karena bujukan atau karena paksaan, melainkan ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan. Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat ikut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.
"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk ikut berjuang" Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung dalam batin. Dan siapa yang tidak akan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.
"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya" Tetap saja rakyat yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya." Bin Mo To terus membujuk mantunya, dan dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya, akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan memban-tu kelak kalau saatnya telah tiba.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Hati Hui Song masih diliputi rasa pe-nasaran dan dia nampak termenung keti-ka dia berjalan seorang diri melalui ja-lan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan du-sun di depan sudah nampak genteng-gen-tengnya.
Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan kini Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin" Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas" Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu" Ah, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu amat jahat dan perjuangan murni bagaimanapun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan diapun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlalu banyak pejabat yang mempergunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri. Pada jaman itu, sukarlah ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pem-berontakan para datuk sesat, walaupun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia memba-yangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik kalau kekuasaan berada di ta-ngan para datuk sesat!
Dia sudah mendekati dusun di depan ketika terdengar derap kaki kuda dari a-rah belakangnya. Hui Song cepat minggir karena jalan itu sempit, memberi kesem-patan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik. Hui Song dapat mengenal kuda baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang sederhana potongan-nya namun bersih dan baru dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum. Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggung dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan me-nambah manis. Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan se-lain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nam-pak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebe-lah kiri, agak di bawah mulut. Dan ke-tika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar. Lirikan itu sungguh tajam dan mengan-dung banyak arti, lirikan yang dapat di-katakan genit memikat! Lirikan yang di-hiss senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu me-miliki pinggang yang amat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.
Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, ia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan te-tapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa ia seorang gadis kota. Ia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara ia menguasai kudanya, membayang-kan bahwa ia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa ia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik.
Kuda dan penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda dan akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Hui Song sudah melupakan gadis itu ketika dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat ru-mah penginapan dan juga terdapat sebuah restoran yang cukup besar. Setelah memesan sebuah kamar dalam rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu. Ada belasan meja di situ dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas mudah diduga bahwa mereke adalah langganan--langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga diapun memilih meja yang tidak berjauhan dengan dua orang tamu itu, hanya terpisah dua meja kosong.
Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di an-tara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu nampak menjadi semakin jang-kung karena dia memakai sebuah topi hi-tam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh tosu atau kepala agama atau pertapa. Jubahnya juga lebar dan kedodoran menutupi semua tubuhnya dari leher sampai kaki yang mengenakan se-patu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan bela-kang, mencapai dadanya. Tubuhnya yang kurus itu seperti tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak berkulit, dengan sepa-sang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya. Adapun orang kedua tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dibiarkan perutnya itu nampak karena bajunya terbu-ka tanpa kancing, atau kancingnya agak-nya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang le-bar untuk dapat menutupi perutnya. Pe-rut gendut dan dadanya terbuka. Jubah-nya juga lebar dan panjang di bagian be-lakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung di pinggang kanan. Kepalanya yang bundar itu dicu-kur gundul kecuali di tengah-tengah, di atas ubun-ubun terdapat segumpal ram-but yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu, banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itupun tidak menimbulkan perhatian orang. Na-mun tidak demikian bagi Hui Song. Pe-muda ini amat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Tiba-tiba percakapan di sebelah kiri-nya di antara empat orang muda yang sudah setengah mabok menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanan sudah dihi-dangkan dan sambil makan diapun mema-sang telinga mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal suara orang setengah ma-bok.
"Huh, di jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara yang lantang seorang pemuda bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut menyeringai tanda kemabokannya, dia melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang dilindungi sendiri. Tidak ada orang dapat dipercaya sekarang ini!"
"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"
Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya telah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itupun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya. Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan ini yang tak tahu diri, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Dan dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah. Akan tetapi dari kerling matanya dia melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tidak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikitpun juga tidak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.
Agaknya mereka sudah selesai makan sekarang. Keduanya bangkit berdiri, membayar harga hidangan lalu melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song. Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang amat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song meramkan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan kedua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut me-nyeringai penuh ejekan. Tidak terjadi se-suatu dan dua orang kakek itupun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pin-tu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan dan merekapun tergu-ling roboh. Kursi-kursi mereka terbawa roboh dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa em-pat orang muda itu berkelojotan dan ma-ta mereka mendelik, dari mata, hidung, mulut dan telinga keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorangpun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa mereka itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melang-kah lebar keluar dari rumah makan itu.
Hui Song cepat meninggalkan mejanya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Sekali melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu tahulah dia tanpa memeriksa bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata ge-lap beracun, maka diapun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Diapun cepat melakukan pengejaran.
Tepat seperti yang telah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Be-gitu tiba di luar dusun, mereka berdua lalu berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi, Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang telah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat. Apalagi selama tiga tahun dilatih Si Dewa Kipas, dia te-lah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini membuat gin-kangnya juga memper-oleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya amat ringan dan diapun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.
Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua o-rang yang merasa tidak akan dapat me-lepaskan diri dari pengejarannya, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupa-kan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga si-nar mata mereka membayangkan kema-rahan.
Begitu Hui Song tiba di depan mere-ka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jang-kung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur, "Orang muda, siapa-kah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"
Hui Song maklum bahwa dia berha-dapan dengan dua orang pandai. Dia ti-dak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka diapun menjura dengan hormat. "Harap ji-wi locianpwe suka me-maafkan kalau aku bersikap kurang hor-mat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."
"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gen-dut.
"Pembunuhan itu dilakukan dengan se-rangan beracun dan hanya ji-wi yaqg mampu melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"
Dua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pe-muda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata de-ngan nada suara menantang, "Baik, me-mang kami yang membunuh mereka. Ha-bis, kau mau apa" Siapa engkau?"
Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban kedua orang ini sungguh meru-pakan tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melaku-kan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"
"Ha-ha, engkau sudah tahu akan teta-pi masih juga bertanya. Telingamu sen-diri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," ka-ta si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hi-dup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song ter-kejut. Si gendut ini memiliki sin-kang yang amat kuat, pikirnya.
"Kalau hanya ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ri-ngan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah kedua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali. Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.
"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membu-nuh empat orang lancang mulut dan ku-rang ajar itu. Nah, kalau engkau tidak dapat menerimanya, habis engkau mau a-pa?" tantang lagi si jangkung sambil ber-tolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata ta-jam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap sia-ga.
"Ji-wi sebagai pembunuh-pembunuh harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."
Dua orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami huRum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"
Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menenteng kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang tak berdosa, tak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."
Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak dan Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga sinar menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali dan bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun. Akan tetapi yang mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukanlah senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.
"Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song. Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan dan mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sin-kang kuat, maka diapun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.
"Syuuuttt... dukkk...!" Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biarpun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, namun benturan tenaga sin-kang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walaupun tubuhnya terguncang hebat.
Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, lalu merekapun melompat dan melarikan diri! Hui Song tidak mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka sudah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya. Bagaimanapun juga, empat orang itu telah tewas dan dia bukan seorang petugas keamanan. Andaikata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi, mereka telah tewas karena kelancangan mulut mereks sendiri.
Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak seperti iblis kejamnya itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.
Bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini. Setelah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan kepada pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.
"Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tidak ada orang berani mendekati, terutama sekali di waktu malam."
"Eh, kenapa?" Hui Song bertanya.
"Karena... tempat itu angker, ada setannya."
"Hemm, benarkah itu" Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan" Ke mana perginya para pendetanya?"
"Kuil itu dahulu adalah kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua bersama empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi pada suatu malam, terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada keesokan harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima telah tewas dalam keadaan mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.
"Bagaimana" Terbunuhkah?"
"Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang dapat melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berobah hitam membengkak, dan empat orang nikouw muda itu kesemuanya telanjang bulat."
Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.
"Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan sekarang, seperti keteranganmu tadi, ada setannya" Bagaimana pula itu?"
Pelayan itu mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka dan sejak hari itu, kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekatipun tidak berani, apalagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil. Bahkan beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan dan tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"
"Mati...?" tanya Hui Song kaget.
"Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apalagi tidur di situ."
Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu saja menjadi tempat yang amat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itupun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.
Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh namun kotor tidak terpelihara itu. Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apalagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru mengingat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apalagi sudah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang berani tidur di situ. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah"
Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan sembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tidak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.
Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan awan gelap yang menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song schingga dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang! Tentu saja, kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa.
Hui Song melihat seorang gadis cantik berhenti di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan diapun terkejut dan terheran. Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang melewatinya di luar dusun, ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Dan kini tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Akan tetapi pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.
Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang dan daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidakwajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan angin tidak ada sedikitpun juga di malam itu.
"Wuuuttt... cit-cittt...!" Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.
"Aihh... galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun dan berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam." Dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka diapun tidak menyangka buruk.
Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar. "Siapa kau?"
"Nanti dulu, nona. Kita sudah saling bertemu di luar dusun dan kenapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu" Kalau aku tidak hati-hati dan jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang juga aku sudah tidak dapat menjawab pertanyaanmu tadi?"
Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik dan kekerasan, yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu amat menarik dan mengagumkan hatinya. Akan tetapi ia masih menaruh curiga.
"Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.
Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apalagi kalau tersenyum. "Nona, menurut cerita orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana menjadi tempat tinggalmu" Aku yakin engkau bukan setan."
"Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, dan engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaianmu menangkap jarum-jarumku. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.
"Dukk! Plakk!" Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka iapun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulan dengan cengkeraman atau totokan ke arah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Akan tetapi, Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas. "Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat" Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut" Eiiit, sayang tak kena!"
Nona itu semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah saputangan sutera putih dari lengan bajunya. Saputangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan biarpun saputangan itu hanya merupakan kain sutera tipis lemas, namun di tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang-kadang merupakan cambuk yang melecut dan mengeluarkan suara ledakan, kadang-kadang menjadi kaku dan keras seperti besi baja!
Hui Song masih tetap tenang. Saputangan sutera itu boleh jadi berbahaya bagi lain orang, akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa saputangan itu tidak mengandung racun, seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya semakin senang. Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia mulai membanding-bandingkan. Gadis ini juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi kalau dinilai dari kepandaian silatnya, Sui Cin tentu saja lebih lihai, apalagi sekarang setelah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji sampai di mana kemajuan dan kelihalan Sui Cin sekarang.
Gadis itu semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Dan diapun menyerang semakin nekat. Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat menyerang terus"
"Nona, hentikanlah seranganmu dan mari kita bicara. Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!" Terpaksa dia mengancam dan dia mengepal tinju kanan, siap untuk membalas se-rangan kalau lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi perkelahian itu.
Tiba-tiba saputangan sutera itu menyambar lagi ke arah muka Hui Song dan kini benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya dan karena dia sudah mengambil keputusan untuk membalas, Hui Song menarik tubuh atasnya ke belakang dan saputangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat saja.
Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau yang sangat wangi dan tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.
"Celaka...!" teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, saputangan itu mengandung bubuk beracun yang ketika dikebutkan telah menyambar dan masuk ke dalam hidungnya, membuat dia keracunan.
"Tukk!" Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji, "Engkau gagah perkasa..." Dan diapun tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali ketika gadis itu memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.
Kalau saja Hui Song tahu siapa gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini memang kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa senjata atau bersikap menyeramkan. Akan tetapi sesungguhnya ia merupakan seorang tokoh besar dunia hitam pada waktu itu, dan walaupun ia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, ia boleh dibilang menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terbawa oleh nama gurunya yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Siapakah gurunya" Bukan lain adalah Pangeran Toan Jit-ong atau Si Raja Iblis sendiri!
Tokoh sakti Toan Jit-ong yang dijuluki Raja Iblis dan isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu walaupun merupakan sepasang tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa, hanya mempunyai seorang murid itulah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat. Murid itu bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri itu semenjak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat. Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat, juga gadis ini amat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun, terutama sekali racun yang berbau wangi. Karena pandainya bermain racun wangi, dan karena memang ia cantik manis, maka sebentar saja ia memperoleh julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi). Siang Hwa sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi ia belum menikah. Biarpun kedua orang gurunya sudah membujuknya, namun ia belum mau menikah karena ia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya. Akan tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknyapun menjadi binal dan seperti para penjahat lain, gadis inipun menjadi budak nafsunya sendiri. Di luarnya saja kelihaten halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para rekannya, iapun dapat bertindak ke-jam sekali, penuh dengan akal dan mus-lihat busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, ia sudah suka berhubungan dengan pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan ia termasuk seorang wa-nita mata keranjang yang akan memper-gunakan segala akal, kalau perlu mem-pergunakan ilmu kepandaian silatnya yang tinggi, untuk berhasil mendapatkan pria yang disukainya.
Seperti telah kita ketahui, Toan Jit-ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan. Pada waktu diadakan pertemuan itu, Siang Hwa berusia dua puluh satu tahun dan ia sendiri tidak memperlihatkan diri dalam perte-muan itu karena ia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Ia ha-rus bersembunyi dan melakukan penjaga-an rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya.
Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka. Murid inilah yang mendapat tugas mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting. Berkat kecantikannya, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik sekali dan pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan telah diam-diam menjadi sekutu para pemberontak yang sudah siap siaga dan sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek! Selain membujuk para pembesar untuk berseku-tu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari dunia kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman!
Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu. Dara ini mempergunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu untuk tempat tinggal sementara sehingga ia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga ia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat. Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu ia sudah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak sudah ia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula ia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsu. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh amat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan saputangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan saputangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada saputangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh.
Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain, yang pada waktu itu amat menganggu hati Siang Hwa. Gurunya menunjuk ia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada di sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi. Ia sudah berkali-kali mencoba dengan teman-temannya menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat ia temukan. Gurunya berpesan bahwa kalau ia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri. Teman-temannya sudah menganjurkan dan menasihatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa ia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Ia merasa malu kalau harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, ia harus mencoba lagi dan untuk itu ia harus mendapatkan seorang kawan yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama gin-kang yang setingkat dengannya!
Di antara para pembantunya, terdapat dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran. Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka itu adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat! Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang amat lihai, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat kuat itu. Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu sudah teedengar oleh dunia persilatan dan tidak merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ruangan yang meniadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya tidak dapat dibilang bagus, apalagi mewah. Namun, kalau orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu terdapat sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat. Kamar itu bersih walaupun sederhana dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah sehelai tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.
Inilah ruangan yang dipergunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara ia bersembunyi di dalam kuil itu. Dan setelah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya lalu menawannya, ia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu dengan erat, ia lalu menyandarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.
Tak lama kemudian, sadariah Hui Song. Dia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada begitu dekat dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat keeil di atas dagu. Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget mendapat kenyataan bahwa kedua lengannya tak dtpat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.
Diapun teringat kini dan alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu. Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat sehingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda itu bergidik ketika jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata sudah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka. Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia tidak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan kedua lengannya tidak mampu digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.
"Ehh..." Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.
"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..." Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu. Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang amat kuat di balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini seperti keluar hawa panas yang membakarnya dan dia terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya. Pengerahan sin-kang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Ada seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika kegelisahan dan kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!
"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.
Siang Hwa tidak menjadi marah, me-lainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat. "Kalau aku menghendaki tetap tadi aku sudah mem-bunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkan-mu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."
"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"
"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup se-batangkara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu ga-gah perkasa, tanpa menggunakan akal a-ku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"
Diam-diam pemuda itu terkejut. Kira-nya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.
"Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"
"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat dengan-mu. Akan tetapi karena aku takut eng-kau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."
"Hemm, apa yang kaumaksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah mengenai cinta dan dia be-lum berpengalaman tentang wanita.
Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terde-ngar gadis itu berbisik, "Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan se-luruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.
"Perempuan hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam ka-mar itu.
Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.
"Siapa engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.
"Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.
"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.
"Trang! Cringg...!"
Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia mera-sa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi di-rinya. Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan-se-rangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.
Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segere mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu sa-ja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia ber-usaha melepaskan diri, akan tetapi pe-ngaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelang-an tangannya juga amat kuat. Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada da-lam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoi-nya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis daripada menye-rang.
"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoiku...!" Akhirnya kcrena khawatir sumoinya celaka, dia berteriak.
Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang me-nimbulkan suara berdenting. "Hi-hik, ki-ranya sumoimu sendiri" Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!" Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi dan terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.
"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.
Akan tetapi sumoinya tidak menjawab dan suasana menjadi sunyi. Yang terde-ngar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.
Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata, "Lihat, kalau tidak berat kepadamu, tentu ia telah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoimu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"
Hui Song maklum bahwa pada saat itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, keselamatan nyawanya dan nyawa sumoinya memang berada di tangan gadis lihai ini. "Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya" Akan tetapi, engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Hal seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"
Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya. Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, ia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut walaupun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini. pemuda gagah perkasa seperti ini selain amat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapet merupakan seorang sahabat dan sekutu yang amat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.
Hatinya amat kecewa dan nafsu berahinya yang tadinya memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimanapun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Kalau tidak dapat menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah ia menariknya sebagai sahabat dan sekutu. Kalau sudah menjadi sahabat, perlahan-lahan ia akan dapat merayunya dan ia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.
"Cia-taihiap, kaukira aku ini orang macam apakah" Aku tidak biasa memak-sakan cinta, dan walaupun aku jatuh ha-ti kepadamu dan mencintamu sejak per-tama kali bertemu, akan tetapi aku ha-nya mengharapkan engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"
Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak dapat memilih. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia meng-hendaki, pada saat itupun dia akan mam-pu mengerahkan tenaga dan membebas-kan diri dari belenggu. Akan tetapi, de-ngan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Dan wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersa-habat. Apa salahnya"
"Baiklah, apa salahnya kalau kita ber-sahabat" Akan tetapi sikapmu tidak se-perti bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."
"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik" Siapa tahu kalau-kalau kalian ini mata-mata dari pihak pemberontak" Ka-lau kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dengan suatu urusan, a-ku tentu akan membebaskunmu dan juga sumoimu dan minta maaf."
Diam-diam Hui Song merasa heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal inipun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandai-annya, wanita inipun tentu seorang kang-o-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Dan agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.
"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana takut akan segala kekacauan" Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"
"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang di-atur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"
Hui Song mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, me-lainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui bersatu dan bersekutu dengan pa-ra datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang ta-jam untuk melihat reaksi pada wajah ga-dis itu.
"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat" Kalau begitu, kerajaan teran-cam bahaya!"
"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kaulakukan" Apa-kah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"
Muka Siang Hwa menjadi merah, se-betulnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan te-man para pemberontak.
"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga hendak membantu Cap-sha-kui dan para pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.
Hui Song menggeleng kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui daripada menjadi sahabat mere-ka!"
"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoimu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata de-mikian, ia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelang-an tangan Hui Song. Akan tetapi ia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."
"Setelah kita bersahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."
"Hemm, apakah kau belum percaya padaku, taihiap" Aku bukan penjahat. Berjanjilah baHwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoimu. Akan tetapi, sumoimu tidak boleh ikut serta."
"Mengapa?"
"Urusan itu adalah rahasiaku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."
Hui Song mengangguk, mengerti. Pula, diapun tidak senang kalau sumoinya mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoinya itu angkuh dan keras sehingga di mana-mana mudah menimbulkan keri-butan dan permusuhan, kedua, tingkat il-mu kepandaian sumoinya, walaupun pada umumnya dapat dianggap cukup lihai, a-kan tetapi belum boleh diandalkan kalau bertemu dengan datuk-datuk sesat dan ke tiga, dia tahu betapa sumoinya mencinta-nya dan mengharapkan dia menjadi sua-minya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berha-dapan dengan gadis itu.
"Kalau begitu, aku akan membebaskanmu sekarang!" Siang Hwa mendekat tetapi Hui Song tersenyum.
"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadipun aku sudah bisa mem-bebaskan diri sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sin-kang, disalur-kan kepada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itupun putus-putus.
"Ihhh...!" Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.
Akan tetapi Hui Song tersenyum. "Ja-ngan kaget dan jangan khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melibat apakah be-nar-benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."
"Aihh... engkau... sungguh hebat, taihiap," katanya kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoimu," Iapun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi. Tak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yahg tadi merayu suhengnya itu duduk berjongkok di dekatnya, Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja ia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.
Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa ka-li. Gerakannya amat diperhatikan Hui Song den pemudia ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang amat tinggi, ge-rakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah walaupun aneh dan liar sifatnya. Mudah nampak olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai daripada gerak-an sumoinya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoinya akan kalah walaupun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.
"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.
Mendengar bentakan ini, Siang Wi me-nahan serangannya dan membalik, me-mandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng, ia... ia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"
"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini ada-lah segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."
"Tapi... tapi aku melihat dengan me-taku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa ia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."
"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan ta-di hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan aku lagi."
"Tapi... suheng..."
"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau ti-dak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"
Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini ke-dua matanya mulai basah. Ia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, sedangkan kalau ia memandan-g suhengnya sepasang matanya me-mancarkan permohonan dan kekecewaan. "Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"
Hui Song mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti hati sumoinya, akan tetapi mengingat akan watak sumoinya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia su-dah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu. Pula, diam-diam dia menaruh hati curiga kepada Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesua-tu yang rahasia.
"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."
Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."
"Maafkan, sumoi..."
Akan tetapi Tan Siang Wi sudah me-nyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh ke atas lantai ketika ia roboh ping-san dan berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi dan akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.
"Aihhh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Sudah dua orang wanita kulihat hari ini yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan kedua adalah sumoimu!"
Hui Song juga menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoinya itu. Sejak kecil sumoinya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang mengharapkan untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri. Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoinya, walaupun dia sayang kepada sumoinya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini" Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.
"Maafkan aku kalau memang demikian, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."
Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak kalau sampai ia berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada dalam dekapannya. "Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, dan aku merasa kasihan kepada sumoimu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."
"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana

^