Pencarian

Asmara Berdarah 2

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


annya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu. Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat. Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya.
Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu"
Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga. Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kai-sar karena mendiang ayahnya adalah se-orang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bah-kan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-i-beng yang mujijat itu sudah dikuasainya. Dia mewa-risi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pende-kar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memain-kan sabuk sebagai senjata. Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.
Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya. Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Gin-kangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sin-kangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mujijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan!
Demikianlah sedikit perkenalon dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja.
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidaklah mengherankan kalau dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka iapun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran akan hidup yang sudah ditanamkan sejak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Akan tetapi, karena di waktu muda mereka, Ceng Thian Sin maupun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Ia suka bertualang dan menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak perduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, ia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas.
Di dalam perantuannya yang sudah memakan waktu tiga bulan itu, ia tiba di Ceng-tao dan ia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih. Ayah bundanya sendiri tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya, tak pernah ia jumpai. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh "bersih" itu segan mendekatinya. Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi juga dapat dinamakan tokoh hitam karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang. Dan diam-diam iapun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri.
Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah. Sejak kecil, Sui Cin hidup sebagai anak kaya, akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu dan di dalam perantauannya, ia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Ia merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin daripada kalau ia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal. Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain dan tempat sendiri, betapapun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan kalau tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain. Pulau kosong yang ditinggali keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya amat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu telah memperkembang biak bunda-bunga teratai merah di situ sehingga kini pulau itu pe-nuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.
Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah i-bunya, sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya. Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia seorang dara yang gagah, ringan tangan ta-pi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan o-leh ayah bundanya sejak ia kecil. Ayah bundanya di waktu muda amat bengis, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlalu suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu dan menanamkan ke dalam batin anak tunggal me-reka agar jangan terlalu mudah membu-nuh orang.
Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini ia, sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, telah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin la-lu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat dan tidak mungkin dengan tenaga kasar saja membongkarnya. Akan tetapi, karena ia tidak dibelenggu, iapun merasa tenang dan le-luasa. Dicobanya pula kekuatan jeruji be-si sebesar-besar lengannya itu. Tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Ia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasan-nya yang agak memburu. Sementara itu, di luar mulai gelap dan di dalam sel yang tidak diberi penerangan itupun menjadi semakin gelap.
"Sialan, lilinpun tidak diberi!" Sui Cin mengomel akan tetapi ia diam saja, bahkan lalu duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga. Ia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan ia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa ia besok pagi akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.
Akan tetapi ternyata ia tidak perlu menanti terlalu lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam dapat menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang berada di luarpun hanya remang-remang sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.
"Sssttt...!" Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut ketika Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu. "Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."
Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serlus, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, diam-diam tersenyum dan merasa geli.
"Bagaimana aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau ia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan ia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya dan membuka pintu tahanan itu dengan kunci.
"Begini..." kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan kedua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri. Melihat ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Ia sendiri tadi sudah mencobanya dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini dapat menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.
"Cepat, keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin.
Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Ia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka iapun lalu berkata dengan suara lantang sekali, "Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tak bersalah ditangkapi dan disiksa..."
"Ssttt...! Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.
"Kenapa tidak boleh keras-keras" Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"
"Hushhhh...!" Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, namun terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu terdengar sudah oleh para penjaga dan dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.
"Tawanan lolos...!"
"Kepung! Tangkap...!"
Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu dan Sui Cin dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, akan tetapi sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.
"Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.
"Ke mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sesungguhnya ia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.
Pemuda itu nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!" Dan pada saat itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayun kakinya dan empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar gerakan kaki seorang ahli. Akan tetapi pada saat itu, si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.
"Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak, sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Ia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam suatu perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, iapun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari dan berloncatan di atas genteng dan bahwa takkan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
Pemuda itu mengomel, "Aku ingin menolongmu, mengapa engkau bertingkah begini" Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"
Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.
"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati den pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."
"Tidak mengenal budi" Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah-olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja den bengal. Ia bertolak pinggang den memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kautolong" Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku" Dan mengapa pula yang kautolong hanya aku seorang" Kenapa yang lain-lain kaudiamkan saja?" Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.
Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-ka-lau engkau akan celaka di tangan mere-ka."
"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan per-duli. Engkau hanya menjadi penolong pe-rempuan saja" Hemm, di situ sudah ter-dapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tu-buhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!" Pemuda itu meloncat dan le-nyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl marah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlithatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesuiltan-kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali, tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga me-wakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan te-tapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. A-yahnya melarangnya untuk melibatkan di-ri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.
Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah dice-ritakan bahwa Cia Han Tiong putera da-ri Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun den saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong me-wariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua pu-luh dua tahun sekarang ini, Cia Sun te-lah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, na-mun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar kare-na pendiam dan seriusnya.
Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.
Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya. Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.
Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di du-sun-dusun yang amat jauh. Ketika mere-ka hidup berdua, hal ini sama sekali ti-dak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, me-reka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tem-pat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja. Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid. Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh men-jadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang se-hingga nama perkumpulan ini mulai dike-nal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan ca-lon-calon pendekar di utara.
Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penesaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia mem-bayangi mereka dan dengan memperguna-kan ilmu kepandaiannya yang tinggi, ti-dak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke da-lam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan. Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pe-ngemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia me-mang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya ka-lau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut. Akan tetapi, ketika melihat bahwa jem-bel muda itu adalah seorang dara, hati-nya merasa tidak tega. Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan de-rah di dekat pelipis komandan gendut i-tu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu di-suruh tahan dalam sel. Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh di luar dugaannya bah-wa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, ma-lah marah-marah!
Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dili-hatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mence-moohkannya, terbayang saja di depan matanya.
"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibu-nya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah. Dia selalu menolak karena me-mang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mem-punyai cucu! Teringat akan hal itu, wa-jahnya menjadi merah. Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otak-nya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan" Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini" Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali diba-canya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu" Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu "kehormatan" dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!
Satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan. Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik. Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimanapun juga.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri). Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim. Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya. Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaiscr Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali kare-na para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.
Pria yang dikebiri itu tidak lagi da-pat berhubungan dengan wanita, akan te-tapi karena nafsunya masih ada, make sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, den kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin den pandai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.
Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek te-lah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak me-ngenai urusan dalam istana berada di ta-ngannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingat-kannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.
Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar mu-da amat lemah dan kurang memperhati-kan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena si-kapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya, pemerintah kelihat-an kurang perduli den lemah. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, wereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.
Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang. Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.
"Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."
Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengeta-hui bahwa gadis jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dika-guminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nye-nyak karena selalu membayangkan waiah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.
Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakai-annya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera. Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejan-tanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa ga-dis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menung-gang seekor kuda kecil cebol dan mela-rikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bah-wa baru saja pemuda yang semalam me-nolongnya itu juga melalui jalan ini de-ngan berlari cepat menuju ke barat.
Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih ku-rang dua hari lagi, maka jalan masih su-nyi dan selama itu Cia Sun belum ber-jumpa dengan pendekar lain yang dike-nalnya atau orang-orang yang patut didu-ga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.
Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar daripada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.
Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.
Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.
"Krekkk!" Ular itu terkulai dan perla-han-lahan, libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-ge-liat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-pa-tah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali. Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat be-tapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berba-gai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.
"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr... hi-hik!"
Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bong-kok tahu-tahu sudah berada di situ, me-megang sebatang cambuk yang ekornya sembilan. Nenek itu membunyikan cam-buknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuk-nya, diseling suara ketawa terkekeh me-nyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenya-taan bahwa ular-ular itu agaknya terken-dali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.
Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-liong-pang yang su-dah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seo-rang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menu-rut yang didengarnya, di antara Tiga Be-las Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatir-kannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.
"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.
"Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya" Seorang tokoh muda golongan putih" Hi-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru!
Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendeketinya, sedang-kan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat me-nyambar ke arah ular-ular itu dan belas-an ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin. Mellhat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang beru-jung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdepat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang keme-rahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!
"Hemmm!" Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya. Pada saat dia merobohkan ular-ular terbang, kembali terdengar ledakan dan sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lenganpun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah di bagian lengan dan hal itupun cukup berbabaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat dan menyambut ujung cambuk lawan itu.
"Tukk...!" Bagaikan seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik dan melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya ia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu. Ia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), semacam ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi-i-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.
Nenek itu mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan iapun bersikap hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan kalau harus menghadapi demikian banyaknya ular, apalagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.
Sementara itu, nenek pawang ular tadi mulai terkekeh melihat pemuda itu kewalahan dan ia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu.
"Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"
Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang telah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya ia melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, ia merasa geli, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya sudah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat. Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon, terdengar suara ranting patah dan ketika ia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.
"Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan daripada ular-ularmu!" Sui Cin berseru den iapun sudah menerjang ke depan, menggerakkan sen-jatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu. Sebagai puteri suami isteri pen-dekar sakti yang sejak kecil sudah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini, senjata tidak begitu dibutuhkan lagi. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang amat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakan-nya sebagai senjata kalau perlu. Kalau kini ia mempergunakan ranting itu seba-gai senjata adalah karena ia melihat betapa nenek itu memegang cambuk ekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amatlah berbahaya dilawan dengan tangan kosong den senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.
"Syuuttuuttt... wirrr...!" Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat. Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang ren-dah kepada gadis ini kalau saja ia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya den menyebut namanya. Se-orang gadis yang dapat mengenalnya be-gitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang saatnya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapat diduga bahwa seper-ti si pemuda lihai, gadis inipun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar iapun menggerakkan cambuknya sambil menge-rahkan tenaganya.
"Tarrr... pyuuurrr...!" Nenek itu terkejut sekali. Bukan hanya dapat ia merasakan adanya tenaga kuat tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, aka tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja ia menjadi repot mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah karena mendengar gadis itu mentertawakannya.
"Hi-hik, julukanmu diroban saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"
Sui Cin yang maklum bahwa nenek itu lihai sekali, biarpun mentertawakan dan mengejek, namun ia sama sekali tidak berani main-main dan sambil tertawa iapun sudah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan kedua tangannya karena ia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan. Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut mengenal ilmu silat yang amat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi da-tuk selatan kaum sesat yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!
Terjadilah perkelahian yang seru antara Siu Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan setelah kini nenek itu mengerahkan se-luruh kepandaian dan tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi, gadis ini menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.
Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu. Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, ten-tu dia tidak akan mau percaya. Gadis itu ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, adalah seorang gadis yang lemah biarpun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahanpun tidak mau membebaskan dirinya. Kalau bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi bagaimana kini ia muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penub tambalan dan potongannya lucu, membayangkan ke-miskinan, akan tetspi memiliki kepandai-an yang tinggi sehingga mampu menan-dingi seorang datuk sesat lihai seperti Kiu-bwee Coa-li" Dan tiba-tiba saja wajahnya berobah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pu-ra-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian" Bagaimana kalau yang muncul ini seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu" Akan teta-pi, suaranya sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.
Bagaimanapun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinyat apalagi melihat gadis itu kini berkelahi menggunakan ranting. Baru dia seperti diberi ingat bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti gadis itulah yang paling tepat. Diapun berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet tentu melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi. Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apalagi karena kini tidak ada komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, lari meninggalkan bangkai te-man-teman mereka dan teman-teman yang melingkar-lingkar terluka tak mampu me-larikan diri lagi itu.
Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun membalikkan tubuhnya dan me-nonton perkelahian antara gadis jembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, terbelalak malah ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu sa-ja dia mengenal Thai-kek Sin-kun! Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepa-danya dan ilmu ini memang tepat sekali dipergunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu aseli dan itulah Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu"
Akan tetapi Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini pada saat itu. Bagai-manapun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-ling-pai, maka tanpa banyak bicara lagi diapun sudah langsung me-nyerbu dengan senjata rantingnya. Kini dua batang ranting yang digerakkan de-ngan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang segera terdesak hebat. Baru menghadapi dara remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum mampu merobohkannya, hanya mampu mendesak saja. Apalagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya. Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian, ia harus menang dan kalau berbahaya, ia tentu akan lari. Ma-ka iapun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang dan dari ujung cambuk itu me-luncurlah jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.
"Awas senjata rahasia beracun!" seru Cia Sun memperingatkan gadis itu. Akan tetapi, tidak perlu Sui Cin diperingatkan. Seorang gadis yang sudah memiliki ting-kat kepandaian seperti Sui Cin akan se-lalu waspada dan serangan tiba-tiba itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan si-nar hijau dan jarum-jarum yang menyam-bar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung memba-lik dan meluncur, mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang melarikan di-ri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri. Sedangkan Cia Sun sudah meloncat ke samping menghindarkan diri dari jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika me-reka memandang ke depan, nenek itu te-lah lenyap, telah lari jauh sekali maka mereka berduapun tidak mengejar.
Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata, "Kita sudah lunas, ya" Engkau pernah menolongku satu kali dan kini akupun sudah membantumu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"
Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya seperti disedot rasanya dan dia meman-dang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pen-diam, serius, tidak suka berkelakar, den sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira se-kali dan diapun menanggapi.
"None, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan perto-longan. Akan tetapi sekarang, kalau eng-kau tidak muncul den membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan teran-cam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan teri-ma kasih atas budi pertolonganmu tadi."
"Hemm... siapa bicara tentang budi pertolongan" Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran den menolong tanpa se-ngaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi."
Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang ter-pesona. Melihat betapa pemuda itu me-mandangnya dengan bengong seperti o-rang bingung, Sui Cin tersenyum geli.
"He, apa yang kaupandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.
"Eh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."
"Mengapa heran" Apa rupaku tidak lumrah manusia?"
"Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Ba-gaimana nona dapat mempelajari ilmu i-tu?"
"Hemm, dan engkau, bagaimana eng-kau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?" Suara itu lebih heran den lebih curiga.
"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..."
"Kalau begitu..."
"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"
"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"
"Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-ling-pai..." Siapakah namamu, nona?"
"Namamu dulu."
"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."
"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga" Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."
"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"
Sui Cin cemberut dan menghardik, "Siapa yang bengal?"
Cia Sun tersenyum lebar dan menjura. "Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"
"Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya" Dan jangan katakan aku bengal!"
"Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau ke pada dahiku yang dahulu membenjol se-besar telur ayam karena kausambit de-ngan batu?"
Sui Cin tertawa dan menutupi mulut-nya walaupun suara ketawanya lepas be-bas. Lalu disambungnya dengan kata-kata, "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibu-ku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begi-tu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"
"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan" Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."
"... bengal...?"
"Tidak! Tidak...! Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kaumainkan amat indah dan hebat."
"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kaubantu, apa kaukira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu" Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dem mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"
"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"
"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."
Cia Sun mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."
"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?" Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun. Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.
"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"
"Akupun hendak berkunjung ke sana."
"Mewakili orang tuamu?"
"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"
"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."
"Baiklah, Cin-moi. Kaunaiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah-nya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di de-kat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedang-kan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa la-par dan haus, keduanya duduk mengha-dapi api unggun dan melanjutkan perca-kapan mereka.
"Sun-ko, sudah banyak sekah aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayah-mulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."
Cia Sun menghela napas. "Di antara ayah kita berdua memang terjalin perta-lian persaudaraan yang amat kuat, mele-bihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan sa-tu-satunya orang yang amat disayang o-leh ayahku."
"Kalau begitu, orang tua kita memi-liki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat di-bilang masih keluarga sendiri, bukan?"
"Begitulah, siauw-moi."
"Ih, jangan sebuat aku siauw-moi (a-dik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"
"Lima belas tahun masih kecil nama-nya."
"Siapa bilang" Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."
"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."
"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari-pada aku."
"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."
"Engkau tentu sudah menikah..."
Perkataan ini membuat Cia Sun ter-kejut den tertegung sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima per-tanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk. Akan te-tapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat se-suatu dalam sinar mata gadis itu melain-kan kejujuran dan pertanyaan yang ter-buka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng. "Kenapa engkau menyangka demikian?"
"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."
"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"
Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu ti-ba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah se-orang pendekar yang perkasa. Akan teta-pi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan ha-tinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, se-kali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.
Cia Sun kebingungan, merasa diterta-wakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dare itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya, "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"
Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas, "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."
Wajah pendekar itu berobah merah. "Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."
"Siapa berolok-olok" Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm... sudahlah, aku mau tidur." Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering.
Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini. Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia... hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah" Apa maksudnya" Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sa-ma sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan te-tapi bagaimana" Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam!
Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang per-jalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin me-mang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat.
Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, kadang-kadang seper-ti kanak-kanak, kadang-kadang sudah ma-tang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berla-wanan dengan watak Cia Sun yang pen-diam, serius, dan tidak banyak cakap. Namun, suatu keanehan terjadi dalam ba-tin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat ter-tarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, ba-ginya nampak demikian memikat dan me-nyenangkan!
Asmara memang merupakan suatu ke-kuasaan yang amat jahil dan suka meng-goda hati manusia! Demikian kuatnya as-mara sehingga tidak ada seorangpun ma-nusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa re-maja, asmara mulai mengintai dan men-cari korban di antara manusia. Dan se-kali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terja-dilah perobahan besar-besaran dalam diri-nya. Hebatnya, asmara dapat mendatang-kan sorga pada seseorang sehingga batin-nya merasa bergembira, segalanya nam-pak indah, hidup penuh arti yang menye-nangkan. Di lain saat, asmara dapat me-runtuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh de-rita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!
Dan Cia Sun, untuk yang pertama ka-li selama hidupnya, terkena panah asma-ra tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pen-dekar yang budiman, sopan dan meme-gang teguh peraturan, sesuai dengan si-fat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya.
Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu te-lah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan se-perti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat su-bur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.
Selagi keduanya melanjutkan perjalan-an, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan. "Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?"
Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu ada-lah seorang wanita, cepat meloncat tu-run dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu. Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang di-perkosa dan dibunuh secara kejam. Ke-jam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memi-liki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu. Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.
"Kenapa ia?" tanya Cia Sun mende-ngar helaan napas gadis itu.
"Diperkosa lalu dibunuh. Lihatlah sen-diri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."
Sebenarnya, andaikata di situ tidak a-da Sui Cin, tentu Cia Sun tidak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagai-manapun juga, yang terbujur di atas ta-nah itu adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan ha-dirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.
Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, de-ngan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ga-nas pada pelipis gadis itu merusak otak dan menghentikan aliran darah, menda-tangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu matinya perlahan-lahan setelah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!
"Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.
"Dan gadis inipun bukan seorang ga-dis biasa, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggang-nya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dipergunakan, den lengan ki-rinya ada cacat goresan pedang yang su-dah lama."
"Ah, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu di antara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan pa-ra pendekar, seperti tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang kau telah jumpai itu, Cin-moi."
"Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Mengapa ia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"
"Ingat, Cin-moi, bukankah engkaupun seorang gadis muda yang melakukan per-jalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku" Kurasa iapun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."
"Atau ia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."
"Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."
Dua orang pendekar muda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, memberi tan-da di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus.
Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit. Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dike-jutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan. Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah mere-kapun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu hanya terbunuh oleh satu kali serangan sebuah jari tangan sa-ja yang meninggalkan bekas hitam!
"Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!" Cia Sun me-ngepal tjnju dan di dekat tiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.
"Tentu ada hubungan dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Eng-kau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mere-ka ini."
Kembali mereka menggali lubang, ki-ni cukup besar untuk mengubur tiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu be-sar di atas makam baru ini dan mataha-ri telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati tera-sa semakin panas terhadap pelaku pem-bunuhan-pembunuban kejam itu. Menje-lang senja mereka tiba di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua o-rang laki-laki sedang berkelahi dengan serunya. Cepat keduanya menghampiri dan Sul Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia mem-perhatikan dua orang yang sedang berke-lahi mati-matian itu.
Orang pertama yang melakukan se-rangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini mempergunakan se-batang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawannya. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilau-an tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan. Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembi-ra karena menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih dapat tersenyum-senyum! Pakaiannya rapi dan bahkan agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan. Potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya. Pemuda ini berta-ngan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakai-an dan rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya di-lindungi oleh sebuah caping bulat yang lebar sekali. Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itupun ti-dak dilepasnya dan caping itu mengang-guk-angguk dan melambai-lambai meng-ikuti gerakan-gerakannya.
Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Biarpun sambaran go-lok itu cukup dahsyat, namun tubuh pe-muda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seolah-olah sambaran go-lok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum golok-nya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu me-nyingkir. Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda ber-caping lebar itu adalah seorang ahli gin--kang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi gin-kang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, iapun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba gin-kangnya melawan pemuda itu! Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun ta-ngan.
Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh la-wannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali de-ngan kakinya.
"Hyaaat! Robohlah!" Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas. Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri. Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya. Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.
"Krekkk!" Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.
"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"
"Aku... aku mengaku, tapi..."
"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kaupilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukan engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita" Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih." Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilat saja.
Si tinggi besar menarik napas panjang. "Aku sudah kalah, siapa takut mati?" Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri. Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus. Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnva tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.
"AH, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertenwan para pendekar seperti saya juga, bukan?"
Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji, "Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"
"Begitukah, nona" Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."
"Maaf, saudara tadi mengatakan bah-wa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apa-kah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.
Pemuda bercaping itu memandang ke-padanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan teta-pi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan seba-gai sahabat dan kawan seperjalanan dari-pada Cia Sun yang pendiam sekali itu.
"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan perta-nyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, se-yogianyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?" Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia mengang-gap bahwa orang ini pandai bicara Pan-dai pula membawa diri. "Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bu-kan" Aku tidak datang dari satu golong-an atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mem-pelajari bermacam-macam ilmu silat, ma-ka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bu-kit Perahu, aku segera bermaksud meng-hadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ke-tika melewati hutan di bawah, aku meli-hat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu me-ngejar lagi dan akhirnya berhasil menyu-sulnya di tempat ini."
Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji, "Sungguh engkau dapat bergerak cepat hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kamipun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."
"Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"
Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja hanya memandang tajam kepada pe-muda tampan itu, maka ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab. "Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak mi-sanku bernama Cia Sun."
Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan ha-nya Cia Sun yang melihatnya karena me-mang sejak tadi dia memperhatikan o-rang itu.
"Di dalam dunia persilatan terdapat dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis dan Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."
"Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sini itu.
"Ah, kiranya ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang amat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap ku-rang hormat. Maaf, aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jum-pa di tempat pertemuan!" Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tu-buhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu gin-kangnya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar mu-da itupun merasa kagum.
"Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.
Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.
"Apa yang kaulakukan, Sun-ko?"
"Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.
"Wah, kita mengubur lagi?"
"Mayat-mayat yang tadipun kita kubur."
"Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Ka-lau kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat, kita bisa men-jadi tukang pengubur jenazah!"
"Cin-moi, apa bedanya" Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini apa, bedanya?" Cia Sun bekerja terus. Sui Cin mengangkat pundak lalu membantu pe-kerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Me-reka bekerja keras dan sebentar saja me-reka sudah mengubur jenazah itu.
Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu, "Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang pernah kaulakukan sewaktu hidupmu sehingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"
"Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."
"Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko" Bukankah sudah jelas..."
"Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatlah engkau bagaimana matinya em-pat orang pendekar muda itu" Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan te-tapi, orang yang kita kubur ini, dia ber-kelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang ia teringat akan hal itu dan segera otaknya yang cerdik itu bekerja. "Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehigga bukan tidak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang li-hai den lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totok-nya dan menggunakan golok."
Pemuda itu menggeleng kepala. "Me-ragukan sekali. Biarpun permainan golok-nya tadi memang cukup lihai, akan teta-pi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, ka-lau benar penjahat, adalah penjahat yang kasar dan belum tinggi tingkatnya."
"Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan" Kita mendengar sendiri pengakuannya ta-di sebelum dia membunuh diri."
"Itulah yang amat membingungkan ha-tiku, Cin-moi. Akan tetapi, biarpun dia mengaku memperkosa den membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang di-perkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu" Ataukah orang lain yang dia maksudkan" Sayang orang she Sim itu tergesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mence-gah untuk menanyainya secara teliti."
"Sekarang akupun menjadi ragu, Sun-ko. Andaikata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri ga-dis dan tiga orang pemuda itu berarti..."
"Berarti bahwa seorang pemerkosa den pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan be-nyak orang, terutama kaum pendekar."
Mereka melanjutkan perjalanan men-daki lereng bukit den Sui Cin mengomel, "Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"
"Eh, apa salahnya karena memang ke-nyataannya begitu?"
"Aku tidak suka! Aku ingin hidup be-bas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kaulihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan kea-daan diriku sebagai puteri Pendekar Sa-dis."
"Mengapa, Cin-moi" Seharusnya eng-kau bangga mempunyai ayah seperti pa-man Ceng Thian Sin."
"Hemm, ayahku Pendekar Sadis. Ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri" Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu." Gadis itu cemberut dan kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung, semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.
Mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng di tengah malam itu untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata, "Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah."
Ucapan ini sungguh tak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam terkejutnya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan" Setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Kenapa sekarang mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan hatinya merasa seperti disayat"
"Akan tetapi kenapa, Cin-moi" Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar" Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu sudah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."
"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!" Tanpa menanti bantahan lagi, Sui Cin sudah membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu seperti menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu terdapat sebuah daerah liar yang jarang didatangi orang kerena tem-pat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat cu-ram, juga merupakan daerah berbatu-ba-tu, penuh dengan guha-guha gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang bi-natang-binatang buas dan binatang-bina-tang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap se-telah memasuki daerah ini.
Akan tetapi, sehari sebelum pertemu-an para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang di-kelilingi batu-batu dan guha-guha nampak didatangi banyak orang. Melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata menyeram-kan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menama-kan golongan ini sebagai kaum sesat. Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi anggauta dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri. Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diaki-batkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari suatu sebab.
Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas. Dan setiap orang ma-nusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan ke-senangan dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan men-jadi berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.
Orang yang baru tersesat disebut pen-jahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini -yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu me-milih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar ke-pada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan se-bagai balasan, merekapun menamakan golongan para pendekar itu sebagai go-longan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada yang menamakannya kaum munafik!
Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan perte-muan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun sege-ra bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan per-temuan rahasia ini tidak tanggung-tang-gung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang me-rasa dirinya sudah "tokoh" untuk meng-hadiri pertemuan rahasia itu. Dan me-mang sesungguhnyalah, kalau tidak memi-liki kepandaian tinggi, jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya da-lam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepan-daiannya tidak akan berani atau dapat datang.
Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.
Malam itu bulan yang bulat amat te-rangnya. Tidak ada awan hitam yang ge-lap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembut-nya. Suasana di tanah lapang de

^