Asmara Berdarah 3
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
kat din-ding guha-guha itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang. Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengeri-kan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin ke-ras, menyayat hati seperti anak yang da-lam kesakitan. Setelah tangis yang ma-kin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suara-nya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan me-nakutkan, sampai beberapa lamanya. Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak ter-dengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, se-perti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu ter-henti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!
Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena geraken mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ. Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah! Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.
Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala! Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandai-nya berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya. Mereka tidak pernah mema-kai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mere-ka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mere-ka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakai-an putih berkabung.
"Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan sua-ra mengomel.
"Mereka itu memang bermalas-malas-an kalau ada tugas pekerjaan, coba di-beritahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan da-tang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian da-ri tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.
Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobah-an apapun, akan tetapi mata mereka ber-sinar-sinar.
"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.
"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.
Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik guha seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng. Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya den dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya. Diam-diam kakek den nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.
Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini" Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Ka-rena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu se-sat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.
Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik ju-rang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.
"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang me-muakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.
"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.
"Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu" Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu terta-wa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.
"Apa" Aku pemakan bangkai" Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.
"Segala macam daging yang kaumakan itu apakah bukan bangkai" Bangkai binatang yang kaumakan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"
"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.
"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."
Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata. "Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main me-lawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita." Kalau tidak melihat wajahnya yang se-perti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi baha-sanya.
Setelah mendapat persetujuan suami-nya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia su-dah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan se-cepat kilat nenek itu sudah menggerak-kan tangannya ke depan. Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.
"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyam-bar ke arah perutnya. Itulah semacam il-mu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Ma-ka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke bela-kang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk me-nangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.
Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.
Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.
"Eh, eh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.
Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"
Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!" Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu. Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak! Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan gin-kang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.
Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.
"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya. Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.
"Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"
"Ha-ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.
"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!" Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isteri-nya atau raksasa itu, bahkan berbeda de-ngan lagak den sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan ti-dak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwi-bawa, lebih mendekati sikap seorang to-koh pendekar daripada seorang tokoh sesat. Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.
"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.
"Sambutlah!" kata Lo-mo dan diapun mulai menyerang. Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakan-nya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah le-her Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kali-nya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama de-ngan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak ta-ngan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi den hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis. Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seper-ti terguncang-guncang den kedua lengan-nya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulan-nya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai den mengeluarkan suara bersuitan.
Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo berjalan seru, lebih ramai daripada keti-ka kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi setelah lewat se-ratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaima-napun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya. Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di te-ngah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka den mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan me-reka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.
Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul den ne-nek ini terkekeh girang menyaksikan per-tandingan itu, diam-diam dia sebagai se-orang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia da-pat mencurahkan perhatian mengikuti se-tiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan il-mu simpanan baru itu.
Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwe Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepan-daiannya itu.
Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hemm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"
Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul. Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah, "Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?"
Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan ti-dak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh ta-hun, pakaiannya serba hitam dan bentuk-nya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!
Kiranya kakek ini adalah seorang bu-ta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-to-koh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gen-tar menghadapinya" Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggau-ta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, ke manapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat se-orang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.
Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seo-rang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal ber-sama seorang putera tunggalnya dan be-lasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya ma-sih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada pu-tera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.
Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu me-mandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesung-guhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehen-dak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.
Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar pernah melihatnya.
"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.
"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.
"Diam!" bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"
Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeremkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.
Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu. Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu. Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu mele-watinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk men-daki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Diahat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bu-lan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.
"Hanya ada dua puluh dua orang se-muanya?" Tiba-tiba Siangkoan-lojin berta-nya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mere-kapun tertegun ketika mendapat kenya-taan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang be-gitu banyak dengan tepat" Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah! Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pen-dengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan meng-andalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat meng-andalkan ketajaman pendengarannya se-hingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.
"Benar, lojin. Yang hadir ada dua pu-luh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.
"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"
"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.
"Tujuh orang" Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berke-rut.
"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."
Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua o-rang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlam-bat karena tahu-tahu kakek buta itu te-lah mencelat ke depan, tongkatnya me-nyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit la-lu roboh terlentang, ujung tongkat me-nempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru meroboh-kan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu! "Mulut lancang! Kausa-makan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"
Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.
"Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tan-pa dia dapat menolongnya itu.
Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau aku tidak mengampuni-nya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup" Perempuan lancang, engkau me-nyesal telah bersalah kepadaku?"
"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.
"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Bu-ta. Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itu-lah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasa-nya amat galak dan kejam itu kini berlu-tut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!
"Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.
"Sudah, mundurlah dan mari kita lan-jutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Kita ber-kumpul di sini untuk mengadakan perte-muan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita se-mua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Pun-cak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan beruseha menumpas kita semua."
Hening sejenak setelah Iblis Buta ber-henti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-ma-nusia sombong itu!"
"Bunuh semua pendekar!"
"Serang mereka pada pertemuan itu!"
Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.
"Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena di an-tara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan keke-rasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pe-laporan kalian masing-masing tentang ke-adaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."
Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perha-tian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, anak buah kami membayangi kai-sar yang sedang lolos dari istana mela-kukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia diba-yangi dan dilindungi oleh dua orang per-wira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."
"Jangan ganggu kaisar! Jangan meng-ganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani meng-ganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan te-tapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.
"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar" Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?"
"Remnwn, bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama de-ngan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan me-reka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam ke-hilangan kekuasaannya, kita tidak mem-punyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"
Semua orang mengangguk. "Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."
Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kaukatakan bahwa ada dua pang-awal rahasia yang melindungi kaisar?"
"Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah o-rang-orang Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berke-pala botak.
Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"
Koai-pian Hek-mo den Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, make mereka berdua serentak menyatakan sanggup.
"Bagus, setelah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi me-lakukan tugas den keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula ka-kek buta. Memang bagi kakek ini, kesela-matan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya. Tugas itu di-laksanakan oleh Siangkoan-lojin, yang me-nyuruh anak buahnya, dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.
"Ada dua tugas yang agak berat na-mun penting sekali," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua o-rang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yai-tu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja ka-lau nenek itu berani!"
Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..! Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin" Sekarang juga aku berangkat!"
"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Ka-lau engkau gagal, aku akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping men-teri yang lemah itu terdapat seorang selirnya dan seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."
"Heh-heh-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga sendiri hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.
"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Sekarang pembe-sar kedua yang harus dienyahkan, dia a-dalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"
Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin lak-saan orang pasukan! "Akan tetapi... ma-na mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu orang pasu-kan" Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa ban-tuan pasukan besar pula, lojin" Dan me-ngerahkan pasukan besar berarti pemberontakan dan perang..."
Pertanyaan ini keluar dari mulut se-orang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang nampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya be-sar dan gerek-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya terbayang sifat yang ke-jam dan suka mempergunakan kekerasan. Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.
"Kalian semua bodoh kalau berpendirian demikian. Memang, Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi, diapun seorang manusia biasa dan tidaklah mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali- waktu tentu dia akan menyendiri, dengan kcluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tidak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"
Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.
"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Setelah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu dan kemudian hasilnya laporkan kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang ada laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan dan menyambung, "Bukankah kalian sebelum berkumpul di sini sudah menyelidiki ten-tang pertemuan para pendekar" Siapa sa-ja yang akan hadir dan apakah kalian su-dah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"
Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri. "Blarrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka. Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang yang terkena kayu terba-kar dan pecahan batu karang. Akan te-tapi karena mereka semua adalah golong-an orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang ter-kejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat luar biasa, dapat me-ngetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.
"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia kalau kau menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nam-pak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.
"Ampun, lojin, maksudkan hanya untuk mengusir nyamuk..."
"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa membuat lapor-an?"
"Aku bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku banyak kehilangan ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu namun selihai itu. Masing-masing da-ri mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pende-kar."
Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Kalau dua orang muda dapat menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa di pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, pada-hal mereka masih begitu muda!
"Aku sempat bertemu dengan suami -isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, dan aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seo-rang tokoh lain yang suaranya mirip bu-nyi tikus, mencicit. Ada pula yang mela-por telah berhasil melukai seorang peser-ta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan telah membunuh bebe-rapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu amat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.
"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan lemah!"
Tiba-tiba si cebol botak yang tadi pernah bicara, maju ke depan sambil me-nyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan kawan-kawan itu masih tidak ada artinya kalau dibandingkan de-ngan yang kuhasilkan!" katanya menyom-bong dan dengan sikap menjilat.
Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar daripada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Kalau orang mau memperhatikan daun telinganya, di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.
"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.
"Lojin, dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."
"Kenapa ditawan?"
"Ha-ha, ia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."
"Mana tawanan itu?"
Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu berpakaian pendekar dan ia segera menggulingkan tubuhnya dan biarpun kaki tangannya terbelenggu, ia berusaha untuk memberontak.
"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya. Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halusa sekali yang menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.
Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.
"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya" Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kaubiarkan lolos?"
"Tapi dia terluka..."
"Apa kaukira tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya" Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi. Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang telah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka cepat meloncat ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.
Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.
"Brukkkk!" Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara "tuk!" perlahan ketika ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!
Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi kalau kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kitapun bisa terdapat kekejaman seperti itu.
Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas daripada kekotor-an itu.
Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.
"Sekarang kita harus melakukan persi-apan. Kita mendekati Puncak Bukit Pe-rahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar me-reka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat diperguna-kan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.
Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua se-perti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"
Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar se-mua orang diam. Dia sendiri lalu melang-kah ke kanan, mendekati tebing dari ma-na dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu. Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesua-tu, juga yang mereka dengar hanya ge-merciknya air sungai. Akan tetapi agak-nya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan se-mua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang be-nar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim. Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring me-lengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim di-mainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yong liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.
Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.
Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk. Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.
Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksa-sa baju hijau yang sudah memiliki ting-kat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing se-hingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang he-bat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak pe-rahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.
"Krakkk...!" Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, den tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim! Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta. Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak den wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.
Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!
"Blarrrr...!" Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus den suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.
Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang. "Hemm, gara-gara si tolol ini!" ketanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam! "Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang men-dahuluiku. Mengerti?"
Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu be-nar-benar lihai. Kalau banyak yang se-perti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh. Bagaimanapun juga, mere-ka adalah orang-orang lihai yang biasa-nya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka, biarpun peristiwa tadi mengecut-kan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.
Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan perte-muan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.
Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai mntahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah! Karena melihat ka-kek itu sudah tiba, para gerombolan se-gera menyerbu ke atas dipimpin oleh ke-pala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-ma-rah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan mere-mukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siang-koan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang pemain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.
Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, setelah kita gagal di sini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"
Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri. Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-sen-kok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat.
Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu" Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.
Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hen-dak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mende-ngar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.
"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-mu-rid Siauw-lim-pai. "Apalagi jumlah mere-ka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa per-temuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk me-nentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."
Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai dan karena dia se-orang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Si-lat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), ma-ka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para mu-rid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendali-kan. Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting dan karena Hwa Siong Hwesio sen-diri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya, maka per-kumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.
Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu. Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!
Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu" Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, di antara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.
Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.
Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah ber-gerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!
Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.
"Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki sete-ngah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba pu-tih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu ka-rena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.
Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum di-kenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, ka-rena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.
"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pan-dang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.
Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya a-dalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."
"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.
"Maaf, harap nona sudi memperkenal-kan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."
Sui Cin tersenyum. Dia dapat memak-lumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mem-pelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai. "Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!
Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu si-latnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini. Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya me-mancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang mem-bentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun me-lompat ke belakang.
"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebe-tulan lewat dan mendengar tentang per-temuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."
Tentu saja omongan ini tidak diperdu-likan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki il-mu silat yang hebat dan memiliki keee-patan gerak yang luar biasa. Diapun ti-dak mengenal nama itu, akan tetapi se-bagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.
"Maaf, nona. Saya diberi tugas mem-beritahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka me-ninggalkan tempat ini sekarang juga ka-rena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan me-ngurung dan menyerbu tempat ini."
Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apaiagi mendengar
se-butnya nama Si Iblis Buta. "Ah, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja"
"Saya tidak dapat menerangkan ba-nyak, nona. Akan tetapi demikianlah pe-rintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan meng hilang dalam gelap.
Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung. Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan. Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apa- lagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.
Selagi ia termenung, tiba-tiba berke-lebat bayangan orang lagi. Karena tadi-nya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini ber-kelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis melon-cat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.
Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut" Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."
Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.
"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"
Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai" Berita tentang apa" Aku belum mendengarnya, nona."
"Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."
"Dibatalkan?" Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, kenapa dibatalkan?"
"Karena besok tempat ini akan diku-rung dan diserbu oleh para penjahat..."
"Hemmm..."
"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."
"Benarkah...?"
"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."
"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"
"Tidak, hanya namanya saja yang ku-kenal."
"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemu-an para pendekar?"
"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"
"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."
"Kita...?"
"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama" Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"
Sui Cin tersenyum. "Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat."
Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."
"Kenapa?"
"Karena engkau lihai..."
"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"
"Mana mungkin engkau tidak li-hai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"
Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Un-tuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih me-narik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpe-ngaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun a-dalah putera tunggal Cia Han Tiong, ka-kak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi se-orang pendekar pula.
"Hati-hati berhadapan dengan manu-sia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesung-guhnya adalah manusia jahat yang berba-haya, seperti harimau bertopeng domba." Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka ber-gaul dengan pemuda tampan yang berwa-jah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh keperca-yaannya dan diam-diam bersikap waspa-da.
"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk mele-watkan malam di tempat itu dan mem-buntal semua pakaiannya.
"Ke Mana" Ha-ha, nona, sudah kube-ritahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana" Tentu saja kalau nona suka." Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan ha-ti Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan pera-saan gadis itu.
"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin. Ia mengambil keputusan untuk bar-senang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat re-kreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur. Di luar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Di sini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang da-pat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya. Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pe-lesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.
Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pu-la yang sedang duduk di perahunya me-mancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak. Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya. Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.
"... gerakan air dan awan
berobah setiap saat
tanpa bekas, tanpa tujuan..."
Penyair itu bertepuk tangan dengan girang. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair ter-kandung lukisan, keduanya tak dapat di-pisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah me-reka."
Si pelukis memandang ke arah pemu-kaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyi-kan muka mereka, dan dari bawah ca-ping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang se-dang mendayung perahu seorang diri sam-bil minum arak! Dua orang bercaping le-bar itu memiliki bentuk tubuh yang te-gap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat seba-tang pedang.
Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan ber-sama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mung-kin karena keduanya seniman. Usia mere-ka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sastera-wan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek seder-hana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka. Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!
Memang demikianlah. Dua orang ka-kek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Ba-ja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan per-kumpulan itu berpusat di Cin-an. Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menen-tang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia ti-dak mendendam karena dikeluarkan, me-lainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan o-leh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun sela-lu bersikap menentang. Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia me-miliki banyak murid yang menjadi ang-gauta Kang-jiu-pang. Ketika dia mende-ngar bahwa kaisar dalam penyamaran se-dang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertin-dak. Kaisar harus ditawan, diculik, demi-klan keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hen-dak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancam-an nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik ba-ginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!
Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pri-badi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pe-ngawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat se-tia kepida kaisar!
Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut ke-setiaan sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri! Siapakah yang setia dan ke-pada siapa" Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang menerima ke-untungan atau kebaikan, pendeknya menerima sesuatu yang menyenangkan dan ke-setiaan itu ditujukan kepada orang atau golongan yang mendatangkan kesenangan itu! Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini seringkali terjadi ke-setiaan yang kemudian berobah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu ti-dak diterimanya lagi, maka kesetiaanpun akan mengalami perobahan.
Liu-thaikam setia kepada kaisar, se-betulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri-pun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan ba-tiniah berupa nama terhormat dan seba-gainya.
Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk ber-sih menyegarkan di pagi hari itu. Pemu-da itu berpakaian seperti seorang sastra-wan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!
Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita. Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pan-dai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa mem-perdulikan urusan pemerintah. Dan satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggal-kan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, mening-galkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!
Keadaan kaisar muda ini dapat terja-di demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya. Dan betapa ba-nyaknya manusia di dunia ini yang beker-ja atau mengerjakan sesuatu bukan kare-na mencintai pekerjaannya, melainkan karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh do-rongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Banyak orang tua me-ngirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong cita-cita muluk dan setelah kelak si anak berhasil lulus, dia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga dia mera-sa tersiksa batinnya selama hidup! Ba-nyak pula yang melakukan suatu peker-jaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat di waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disukai mendatangkan rasa jemu dan ka-lau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa. Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat meli-hat kenyataan ini, betapa manusia be-kerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiman karena memang pada hake-katnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki ta-ngannya selama hidup itu!
Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat mele-paskan diri atau mencoba untuk melepas-kan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bu-kanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia ma-sih mempergunakan haknya sebagai kai-sar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pela-rian ini adalah kekacauan! Roda peme-rintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.
Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil terse-nyum-senyum gembira, mengira bahwa ti-dak ada seorangpun yang mengetahui ke-adaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa ti-dak jauh dari perahunya, dua orang tu-kang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.
Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang dan yang bertugas memim-pin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan ti-ba-tiba perahu mereka itu menabrak pe-rahu dua orang tukang pancing yang ber-caping dan yang tidak menyangka-nyang-ka itu.
"Heiii...!" Seorang di antara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja si-kap dua orang kakek seniman itu berobah.
Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.
"Heiiiittt!"
"Hyaaattt...!"
Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mu-lai berkelahi dengan seru. Dua orang se-niman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan tali-nya itu bergoyang-goyang keras dan se-tiap saat perahu-perahu itu dapat saja ter-guling.
Kaisar Ceng Tek yang perahunya ber-ada tak jauh dari situ, terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang sa-ling serang dengen hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bang-kit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira! Satu di antara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan si-lat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.
"Ceppp...!" Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!
"Heiii, apa-apaan ini" Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.
"Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding me-lawan dua orang bercaping itu.
Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri ka-rena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau me-reka kehendaki. Jalan satu-satunya ha-nyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat mem-bunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya" Tidak nampak ada pe-tugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat meno-longnya dari orang-orang ini.
Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang melon-cat ke dalam perahu kecil itu.
"Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami daripada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," kata seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."
Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya ber-debar penuh ketegangan, bahkan ada se-dikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan men-darat. Akan tetapi, pada saat delapan o-rang itu mendarat semua, tiba-tiba ter-dengar suara bentakan nyaring.
"Tikus-tikus bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wa-nita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.
"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua. Para anggauta Kang-jiu-pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ke-tawa mengejek.
"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula se-orang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang pan-jang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jo-rok dan kotor.
Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.
"Ji-wi locianpwe, harap jangan men-campuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya de-ngan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang de-ngan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hu-bungannya dengan golongan manapun, se-hingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi peker-jaan mereka.
"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam" Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"
Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!
Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua ta-ngan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu. Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mem-pertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senja-ta mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pu-la.
Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu. Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut me-ngeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menon-ton dengan heran dan kagum. Dia mera-sa heran mengapa orang-orang yang ke-lihatannya seperti pendekar-pendekar ga-gah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.
Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para su-tenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki ta-ngan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang ha-nya sementara itu.
"Berhenti, atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelelak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka akan takut akan kemarahan Iblis Buta.
Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut, "Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."
Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk. Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini mera-sa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya ber-gerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan da-da murid Kang-jiu-pang yang masih ping-san, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru da-tang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!
Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang te-lah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deret-an gigi putih yang besar-besar.
Pemuda itu memang ganteng. Tubuh-nya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajah-nya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gem-bira. Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agak-nya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pe-muda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seo-rang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa se-pasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban me-nyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.
Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang me-nyamar sebagai dua orang seniman, da-tang berlarian dengan pakaian basah ku-yup. Mereka kelihatan gembir
kat din-ding guha-guha itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang. Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengeri-kan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin ke-ras, menyayat hati seperti anak yang da-lam kesakitan. Setelah tangis yang ma-kin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suara-nya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan me-nakutkan, sampai beberapa lamanya. Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak ter-dengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, se-perti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu ter-henti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!
Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena geraken mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ. Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah! Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.
Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala! Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandai-nya berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya. Mereka tidak pernah mema-kai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mere-ka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mere-ka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakai-an putih berkabung.
"Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan sua-ra mengomel.
"Mereka itu memang bermalas-malas-an kalau ada tugas pekerjaan, coba di-beritahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan da-tang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian da-ri tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.
Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobah-an apapun, akan tetapi mata mereka ber-sinar-sinar.
"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.
"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.
Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik guha seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng. Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya den dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya. Diam-diam kakek den nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.
Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini" Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Ka-rena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu se-sat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.
Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik ju-rang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.
"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang me-muakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.
"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.
"Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu" Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu terta-wa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.
"Apa" Aku pemakan bangkai" Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.
"Segala macam daging yang kaumakan itu apakah bukan bangkai" Bangkai binatang yang kaumakan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"
"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.
"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."
Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata. "Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main me-lawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita." Kalau tidak melihat wajahnya yang se-perti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi baha-sanya.
Setelah mendapat persetujuan suami-nya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia su-dah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan se-cepat kilat nenek itu sudah menggerak-kan tangannya ke depan. Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.
"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyam-bar ke arah perutnya. Itulah semacam il-mu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Ma-ka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke bela-kang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk me-nangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.
Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.
Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.
"Eh, eh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.
Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"
Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!" Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu. Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak! Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan gin-kang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.
Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.
"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya. Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.
"Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"
"Ha-ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.
"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!" Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isteri-nya atau raksasa itu, bahkan berbeda de-ngan lagak den sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan ti-dak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwi-bawa, lebih mendekati sikap seorang to-koh pendekar daripada seorang tokoh sesat. Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.
"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.
"Sambutlah!" kata Lo-mo dan diapun mulai menyerang. Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakan-nya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah le-her Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kali-nya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama de-ngan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak ta-ngan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi den hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis. Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seper-ti terguncang-guncang den kedua lengan-nya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulan-nya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai den mengeluarkan suara bersuitan.
Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo berjalan seru, lebih ramai daripada keti-ka kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi setelah lewat se-ratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaima-napun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya. Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di te-ngah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka den mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan me-reka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.
Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul den ne-nek ini terkekeh girang menyaksikan per-tandingan itu, diam-diam dia sebagai se-orang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia da-pat mencurahkan perhatian mengikuti se-tiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan il-mu simpanan baru itu.
Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwe Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepan-daiannya itu.
Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hemm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"
Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul. Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah, "Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?"
Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan ti-dak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh ta-hun, pakaiannya serba hitam dan bentuk-nya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!
Kiranya kakek ini adalah seorang bu-ta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-to-koh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gen-tar menghadapinya" Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggau-ta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, ke manapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat se-orang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.
Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seo-rang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal ber-sama seorang putera tunggalnya dan be-lasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya ma-sih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada pu-tera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.
Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu me-mandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesung-guhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehen-dak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.
Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar pernah melihatnya.
"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.
"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.
"Diam!" bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"
Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeremkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.
Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu. Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu. Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu mele-watinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk men-daki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Diahat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bu-lan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.
"Hanya ada dua puluh dua orang se-muanya?" Tiba-tiba Siangkoan-lojin berta-nya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mere-kapun tertegun ketika mendapat kenya-taan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang be-gitu banyak dengan tepat" Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah! Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pen-dengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan meng-andalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat meng-andalkan ketajaman pendengarannya se-hingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.
"Benar, lojin. Yang hadir ada dua pu-luh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.
"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"
"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.
"Tujuh orang" Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berke-rut.
"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."
Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua o-rang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlam-bat karena tahu-tahu kakek buta itu te-lah mencelat ke depan, tongkatnya me-nyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit la-lu roboh terlentang, ujung tongkat me-nempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru meroboh-kan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu! "Mulut lancang! Kausa-makan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"
Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.
"Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tan-pa dia dapat menolongnya itu.
Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau aku tidak mengampuni-nya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup" Perempuan lancang, engkau me-nyesal telah bersalah kepadaku?"
"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.
"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Bu-ta. Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itu-lah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasa-nya amat galak dan kejam itu kini berlu-tut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!
"Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.
"Sudah, mundurlah dan mari kita lan-jutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Kita ber-kumpul di sini untuk mengadakan perte-muan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita se-mua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Pun-cak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan beruseha menumpas kita semua."
Hening sejenak setelah Iblis Buta ber-henti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-ma-nusia sombong itu!"
"Bunuh semua pendekar!"
"Serang mereka pada pertemuan itu!"
Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.
"Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena di an-tara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan keke-rasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pe-laporan kalian masing-masing tentang ke-adaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."
Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perha-tian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, anak buah kami membayangi kai-sar yang sedang lolos dari istana mela-kukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia diba-yangi dan dilindungi oleh dua orang per-wira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."
"Jangan ganggu kaisar! Jangan meng-ganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani meng-ganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan te-tapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.
"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar" Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?"
"Remnwn, bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama de-ngan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan me-reka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam ke-hilangan kekuasaannya, kita tidak mem-punyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"
Semua orang mengangguk. "Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."
Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kaukatakan bahwa ada dua pang-awal rahasia yang melindungi kaisar?"
"Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah o-rang-orang Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berke-pala botak.
Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"
Koai-pian Hek-mo den Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, make mereka berdua serentak menyatakan sanggup.
"Bagus, setelah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi me-lakukan tugas den keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula ka-kek buta. Memang bagi kakek ini, kesela-matan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya. Tugas itu di-laksanakan oleh Siangkoan-lojin, yang me-nyuruh anak buahnya, dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.
"Ada dua tugas yang agak berat na-mun penting sekali," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua o-rang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yai-tu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja ka-lau nenek itu berani!"
Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..! Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin" Sekarang juga aku berangkat!"
"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Ka-lau engkau gagal, aku akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping men-teri yang lemah itu terdapat seorang selirnya dan seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."
"Heh-heh-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga sendiri hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.
"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Sekarang pembe-sar kedua yang harus dienyahkan, dia a-dalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"
Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin lak-saan orang pasukan! "Akan tetapi... ma-na mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu orang pasu-kan" Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa ban-tuan pasukan besar pula, lojin" Dan me-ngerahkan pasukan besar berarti pemberontakan dan perang..."
Pertanyaan ini keluar dari mulut se-orang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang nampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya be-sar dan gerek-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya terbayang sifat yang ke-jam dan suka mempergunakan kekerasan. Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.
"Kalian semua bodoh kalau berpendirian demikian. Memang, Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi, diapun seorang manusia biasa dan tidaklah mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali- waktu tentu dia akan menyendiri, dengan kcluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tidak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"
Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.
"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Setelah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu dan kemudian hasilnya laporkan kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang ada laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan dan menyambung, "Bukankah kalian sebelum berkumpul di sini sudah menyelidiki ten-tang pertemuan para pendekar" Siapa sa-ja yang akan hadir dan apakah kalian su-dah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"
Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri. "Blarrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka. Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang yang terkena kayu terba-kar dan pecahan batu karang. Akan te-tapi karena mereka semua adalah golong-an orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang ter-kejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat luar biasa, dapat me-ngetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.
"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia kalau kau menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nam-pak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.
"Ampun, lojin, maksudkan hanya untuk mengusir nyamuk..."
"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa membuat lapor-an?"
"Aku bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku banyak kehilangan ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu namun selihai itu. Masing-masing da-ri mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pende-kar."
Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Kalau dua orang muda dapat menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa di pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, pada-hal mereka masih begitu muda!
"Aku sempat bertemu dengan suami -isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, dan aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seo-rang tokoh lain yang suaranya mirip bu-nyi tikus, mencicit. Ada pula yang mela-por telah berhasil melukai seorang peser-ta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan telah membunuh bebe-rapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu amat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.
"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan lemah!"
Tiba-tiba si cebol botak yang tadi pernah bicara, maju ke depan sambil me-nyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan kawan-kawan itu masih tidak ada artinya kalau dibandingkan de-ngan yang kuhasilkan!" katanya menyom-bong dan dengan sikap menjilat.
Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar daripada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Kalau orang mau memperhatikan daun telinganya, di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.
"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.
"Lojin, dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."
"Kenapa ditawan?"
"Ha-ha, ia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."
"Mana tawanan itu?"
Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu berpakaian pendekar dan ia segera menggulingkan tubuhnya dan biarpun kaki tangannya terbelenggu, ia berusaha untuk memberontak.
"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya. Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halusa sekali yang menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.
Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.
"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya" Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kaubiarkan lolos?"
"Tapi dia terluka..."
"Apa kaukira tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya" Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi. Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang telah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka cepat meloncat ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.
Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.
"Brukkkk!" Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara "tuk!" perlahan ketika ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!
Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi kalau kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kitapun bisa terdapat kekejaman seperti itu.
Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas daripada kekotor-an itu.
Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.
"Sekarang kita harus melakukan persi-apan. Kita mendekati Puncak Bukit Pe-rahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar me-reka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat diperguna-kan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.
Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua se-perti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"
Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar se-mua orang diam. Dia sendiri lalu melang-kah ke kanan, mendekati tebing dari ma-na dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu. Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesua-tu, juga yang mereka dengar hanya ge-merciknya air sungai. Akan tetapi agak-nya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan se-mua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang be-nar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim. Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring me-lengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim di-mainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yong liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.
Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.
Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk. Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.
Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksa-sa baju hijau yang sudah memiliki ting-kat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing se-hingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang he-bat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak pe-rahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.
"Krakkk...!" Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, den tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim! Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta. Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak den wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.
Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!
"Blarrrr...!" Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus den suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.
Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang. "Hemm, gara-gara si tolol ini!" ketanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam! "Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang men-dahuluiku. Mengerti?"
Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu be-nar-benar lihai. Kalau banyak yang se-perti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh. Bagaimanapun juga, mere-ka adalah orang-orang lihai yang biasa-nya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka, biarpun peristiwa tadi mengecut-kan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.
Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan perte-muan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.
Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai mntahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah! Karena melihat ka-kek itu sudah tiba, para gerombolan se-gera menyerbu ke atas dipimpin oleh ke-pala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-ma-rah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan mere-mukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siang-koan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang pemain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.
Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, setelah kita gagal di sini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"
Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri. Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-sen-kok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat.
Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu" Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.
Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hen-dak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mende-ngar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.
"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-mu-rid Siauw-lim-pai. "Apalagi jumlah mere-ka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa per-temuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk me-nentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."
Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai dan karena dia se-orang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Si-lat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), ma-ka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para mu-rid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendali-kan. Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting dan karena Hwa Siong Hwesio sen-diri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya, maka per-kumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.
Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu. Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!
Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu" Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, di antara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.
Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.
Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah ber-gerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!
Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.
"Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki sete-ngah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba pu-tih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu ka-rena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.
Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum di-kenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, ka-rena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.
"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pan-dang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.
Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya a-dalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."
"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.
"Maaf, harap nona sudi memperkenal-kan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."
Sui Cin tersenyum. Dia dapat memak-lumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mem-pelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai. "Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!
Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu si-latnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini. Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya me-mancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang mem-bentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun me-lompat ke belakang.
"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebe-tulan lewat dan mendengar tentang per-temuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."
Tentu saja omongan ini tidak diperdu-likan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki il-mu silat yang hebat dan memiliki keee-patan gerak yang luar biasa. Diapun ti-dak mengenal nama itu, akan tetapi se-bagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.
"Maaf, nona. Saya diberi tugas mem-beritahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka me-ninggalkan tempat ini sekarang juga ka-rena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan me-ngurung dan menyerbu tempat ini."
Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apaiagi mendengar
se-butnya nama Si Iblis Buta. "Ah, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja"
"Saya tidak dapat menerangkan ba-nyak, nona. Akan tetapi demikianlah pe-rintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan meng hilang dalam gelap.
Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung. Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan. Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apa- lagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.
Selagi ia termenung, tiba-tiba berke-lebat bayangan orang lagi. Karena tadi-nya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini ber-kelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis melon-cat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.
Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut" Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."
Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.
"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"
Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai" Berita tentang apa" Aku belum mendengarnya, nona."
"Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."
"Dibatalkan?" Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, kenapa dibatalkan?"
"Karena besok tempat ini akan diku-rung dan diserbu oleh para penjahat..."
"Hemmm..."
"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."
"Benarkah...?"
"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."
"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"
"Tidak, hanya namanya saja yang ku-kenal."
"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemu-an para pendekar?"
"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"
"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."
"Kita...?"
"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama" Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"
Sui Cin tersenyum. "Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat."
Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."
"Kenapa?"
"Karena engkau lihai..."
"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"
"Mana mungkin engkau tidak li-hai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"
Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Un-tuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih me-narik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpe-ngaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun a-dalah putera tunggal Cia Han Tiong, ka-kak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi se-orang pendekar pula.
"Hati-hati berhadapan dengan manu-sia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesung-guhnya adalah manusia jahat yang berba-haya, seperti harimau bertopeng domba." Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka ber-gaul dengan pemuda tampan yang berwa-jah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh keperca-yaannya dan diam-diam bersikap waspa-da.
"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk mele-watkan malam di tempat itu dan mem-buntal semua pakaiannya.
"Ke Mana" Ha-ha, nona, sudah kube-ritahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana" Tentu saja kalau nona suka." Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan ha-ti Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan pera-saan gadis itu.
"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin. Ia mengambil keputusan untuk bar-senang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat re-kreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur. Di luar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Di sini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang da-pat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya. Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pe-lesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.
Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pu-la yang sedang duduk di perahunya me-mancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak. Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya. Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.
"... gerakan air dan awan
berobah setiap saat
tanpa bekas, tanpa tujuan..."
Penyair itu bertepuk tangan dengan girang. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair ter-kandung lukisan, keduanya tak dapat di-pisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah me-reka."
Si pelukis memandang ke arah pemu-kaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyi-kan muka mereka, dan dari bawah ca-ping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang se-dang mendayung perahu seorang diri sam-bil minum arak! Dua orang bercaping le-bar itu memiliki bentuk tubuh yang te-gap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat seba-tang pedang.
Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan ber-sama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mung-kin karena keduanya seniman. Usia mere-ka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sastera-wan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek seder-hana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka. Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!
Memang demikianlah. Dua orang ka-kek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Ba-ja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan per-kumpulan itu berpusat di Cin-an. Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menen-tang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia ti-dak mendendam karena dikeluarkan, me-lainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan o-leh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun sela-lu bersikap menentang. Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia me-miliki banyak murid yang menjadi ang-gauta Kang-jiu-pang. Ketika dia mende-ngar bahwa kaisar dalam penyamaran se-dang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertin-dak. Kaisar harus ditawan, diculik, demi-klan keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hen-dak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancam-an nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik ba-ginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!
Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pri-badi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pe-ngawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat se-tia kepida kaisar!
Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut ke-setiaan sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri! Siapakah yang setia dan ke-pada siapa" Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang menerima ke-untungan atau kebaikan, pendeknya menerima sesuatu yang menyenangkan dan ke-setiaan itu ditujukan kepada orang atau golongan yang mendatangkan kesenangan itu! Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini seringkali terjadi ke-setiaan yang kemudian berobah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu ti-dak diterimanya lagi, maka kesetiaanpun akan mengalami perobahan.
Liu-thaikam setia kepada kaisar, se-betulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri-pun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan ba-tiniah berupa nama terhormat dan seba-gainya.
Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk ber-sih menyegarkan di pagi hari itu. Pemu-da itu berpakaian seperti seorang sastra-wan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!
Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita. Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pan-dai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa mem-perdulikan urusan pemerintah. Dan satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggal-kan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, mening-galkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!
Keadaan kaisar muda ini dapat terja-di demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya. Dan betapa ba-nyaknya manusia di dunia ini yang beker-ja atau mengerjakan sesuatu bukan kare-na mencintai pekerjaannya, melainkan karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh do-rongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Banyak orang tua me-ngirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong cita-cita muluk dan setelah kelak si anak berhasil lulus, dia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga dia mera-sa tersiksa batinnya selama hidup! Ba-nyak pula yang melakukan suatu peker-jaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat di waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disukai mendatangkan rasa jemu dan ka-lau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa. Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat meli-hat kenyataan ini, betapa manusia be-kerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiman karena memang pada hake-katnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki ta-ngannya selama hidup itu!
Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat mele-paskan diri atau mencoba untuk melepas-kan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bu-kanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia ma-sih mempergunakan haknya sebagai kai-sar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pela-rian ini adalah kekacauan! Roda peme-rintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.
Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil terse-nyum-senyum gembira, mengira bahwa ti-dak ada seorangpun yang mengetahui ke-adaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa ti-dak jauh dari perahunya, dua orang tu-kang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.
Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang dan yang bertugas memim-pin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan ti-ba-tiba perahu mereka itu menabrak pe-rahu dua orang tukang pancing yang ber-caping dan yang tidak menyangka-nyang-ka itu.
"Heiii...!" Seorang di antara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja si-kap dua orang kakek seniman itu berobah.
Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.
"Heiiiittt!"
"Hyaaattt...!"
Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mu-lai berkelahi dengan seru. Dua orang se-niman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan tali-nya itu bergoyang-goyang keras dan se-tiap saat perahu-perahu itu dapat saja ter-guling.
Kaisar Ceng Tek yang perahunya ber-ada tak jauh dari situ, terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang sa-ling serang dengen hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bang-kit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira! Satu di antara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan si-lat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.
"Ceppp...!" Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!
"Heiii, apa-apaan ini" Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.
"Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding me-lawan dua orang bercaping itu.
Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri ka-rena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau me-reka kehendaki. Jalan satu-satunya ha-nyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat mem-bunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya" Tidak nampak ada pe-tugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat meno-longnya dari orang-orang ini.
Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang melon-cat ke dalam perahu kecil itu.
"Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami daripada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," kata seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."
Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya ber-debar penuh ketegangan, bahkan ada se-dikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan men-darat. Akan tetapi, pada saat delapan o-rang itu mendarat semua, tiba-tiba ter-dengar suara bentakan nyaring.
"Tikus-tikus bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wa-nita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.
"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua. Para anggauta Kang-jiu-pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ke-tawa mengejek.
"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula se-orang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang pan-jang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jo-rok dan kotor.
Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.
"Ji-wi locianpwe, harap jangan men-campuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya de-ngan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang de-ngan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hu-bungannya dengan golongan manapun, se-hingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi peker-jaan mereka.
"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam" Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"
Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!
Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua ta-ngan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu. Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mem-pertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senja-ta mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pu-la.
Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu. Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut me-ngeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menon-ton dengan heran dan kagum. Dia mera-sa heran mengapa orang-orang yang ke-lihatannya seperti pendekar-pendekar ga-gah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.
Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para su-tenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki ta-ngan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang ha-nya sementara itu.
"Berhenti, atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelelak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka akan takut akan kemarahan Iblis Buta.
Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut, "Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."
Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk. Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini mera-sa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya ber-gerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan da-da murid Kang-jiu-pang yang masih ping-san, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru da-tang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!
Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang te-lah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deret-an gigi putih yang besar-besar.
Pemuda itu memang ganteng. Tubuh-nya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajah-nya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gem-bira. Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agak-nya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pe-muda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seo-rang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa se-pasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban me-nyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.
Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang me-nyamar sebagai dua orang seniman, da-tang berlarian dengan pakaian basah ku-yup. Mereka kelihatan gembir