Pencarian

Bara Naga 4

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 4


elangkah pergi. Setelah bayangan lenyap di balik tembok sana,
 Ci Kiu berludah sambil mengejek: "Keparat, kalau kebentur setan tanggung jiwamu
 melayang lebih dulu. Kunyuk, waktu terjadi pertempuran semalam kau cucunya
 kura2 hanya sembunyi dalam pelukan gendakmu . ..."
 Seorang laki2 disampingnya segera membujuk: "Sudahlah Kiu-ko, salah kita sendiri
 kenapa membekal kepandaian rendah, buat apa kau marah2 pada orang macam
 dia . . . . . "
 Ci Kiu berludah lagi dengan penasaran, katanaya: "Nenek moyangnya, bagi yang
 tidak tahu kan menyangka kunyuk she Ciu itu jagoan lihay yang diagulkan oleh
 Wancu, yang benar dia itu cucunya kura2, antek yang cuma iri sesuap nasi . . . ."
 Siang Cin yang sembunyi di atap gardu diam2 menahan geli, setelah orang2 di
 bawah pergi, kembali dia kembangkan ketangkasannya, sekali lompat delapan
 tombak jauhnya, beruntun juga kaki menutul dan kembali dia meluncur jauh ke
 depan kembali terdapat dua bangunan berloteng yang kelihatan mungil, di atas
 loteng sinar lampu masih menyorot keluar.
 Tanpa mengeluarkan suara Siang Cin melekatkan tubuhnya di jendela tingkat kedua,
 dengan hati2 dia membasahi kertas penutup jendela dengan ujung lidahnya, dari
 lubang kecil ini dia mengintip ke dalam, itulah sebuah ruang yang dipajang cukup
 mewah, seorang laki2 berusia empat puluhan, dengan muka sebelah kanan
 berwarna kelabu tengah mondar mandir sambil menggendong tangan.
 Diam2 Siang Cin menilai bobot laki2 ini, dia tidak berani bertindak semberono, sebab
 kalau orang ini tidak tahu di mana Pau Seh-hoa dan lain2 dikurung, kemungkinan
 akan membuat geger sehingga rencana semula bisa gagal total.
 Sesaat kemudian, Iaki2 itu mengambil secangkir teh panas serta menghirupnya
 seteguk, lalu dia memanggil: "An Hok."
 Seorang kacung mengiakan dan lari mendekati pintu, serunya: "Suhu . . . . "
 Laki2 itu berkata: "Ingat, sebelum kentongan ketiga sampai fajar menyingsing adalah
 waktuku bertugas bersama Bok suhu."
 An Hok mengiakan dan mengundurkan diri. Seperti iseng orang itu menggeliat sekali
 lalu menutup pintu dan langkah balik ke dalam.
 Pelan2 Siang Cin mencongkel kertas jendela, sekali menyelinap dan berkelebat,
 sekali dia sudah meloncat ke atas belandar. Mendadak terasa angin berkesiur, laki2
 itu berpaling, tapi tiada sesuatu yang dilihatnya, sekilas dia tertegun, lalu mendekati
 jendela dan memeriksa ala kadarnya, dia menggeleng sambil menggerundel: "Ah,
 79 terlalu takut akan bayangan sendiri, kalau keadaan seperti ini terus berlangsung,
 rasanya bisa gila . . . ."
 Seringan asap Siang Cin melayang turun ke belakang orang, katanya kalem: "Sudah
 tentu, perasaan was2 memang menekan batin."
 Bergetar sekujur badan orang itu, tanpa menoleh tangannya menepuk ke belakang,
 Tapi Siang Cin keburu bergerak maju, empat jurus pukulan di lancarkan sekaligus.
 Hakikatnya orang itu tidak sempit melawan atau berkelit dikala dia menyurut
 kelabakan itulah Siang Cin berhasil membantingnya jatuh ke lantai.
 Belum lagi sempat melompat bangun, tahu2 sebelah kaki Siang Cin sudah
 menginjak batok kepala orang itu.
 "Jangan sembarang bergerak sahabat, kalau aku mau merenggut nyawamu, apakah
 kau bisa hidup?"
 Muka orang itu menjadi merah padam, keringat sebesar kacang membasahi
 mukanya, ia berkata dengan serak: "Kau Sang Cin, apa keinginanmu?"
 Siang Cin tarik kakinya, katanya: "Bangunlah, berdiri!"
 Orang itu melompat bangun dengan terhuyung, katanya dengan gusar: "Orang she
 Siang, kalau berani sebutkan caranya, kalau mau bicara, lekaslah terus terang, aku
 Ki Toa-bok kalau takut bukanlah laki2 sejati."
 Sang Cin mendengus, katanya: "Sahabat, dengarkan baik2 dan jangan coba main2,
 dalam waktu sedetik Siang Cin mampu mencabut nyawamu. Sekarang beritahu
 padaku, teman2ku itu dikurung di mana?"
 Berubah air muka Ki Toa bok, katanya geram: "Aku tidak tahu."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Seorang laki2 harus bisa melihat gelagat, saudara Ki,
 jangan kau minta disiksa baru mau bicara."
 Ki Toa-bok nenyeringai, katanya: "Hampir dua puluhan tahun Ki Toa bok
 berkecimpung di Kangouw, orang she Siang jangan kau main gertak padaku, mau
 sembelih atau mau gantung boleh silakan, tapi jangan harap memperoleh
 keterangan apapun dari mulutku."
 Siang Cin menarik murka, katanya pelan: "Kau boleh menjerit, tapi kalau aku
 memberi kesempatan membuka mulut, anggaplah sia2 Naga Kuning dilahirkan."
 Ki Toa bok menyurut mundur, keringat gembrobyos, katanya dengan napas
 memburu: "Orang she Ki bukan pengecut .... ...."
 "Hm," Siang Cin menggeram, "berkata tidak?"
 Ki Toa bok menggeleng, katanya. "Aku tidak tahu."
 Mendadak Siang Cin tertawa dan berkata: "Sahabat akan kucukil mata kananmu."
 Belum sempat Ki Toa-bok menjawab, tahu2 bayangan berkelebat, tangan Siang Cin
 telah mencolok, tahu2 jarinya telah menempel di kelopak mata kanannya. "Kau
 terlalu bodoh sahabat, ingat gunakan cara yang paling singkat untuk mengejar waktu,
 sementara gerak kepalamu juga terlalu lamban," ejek Siang Cin.
 Gemetar badan Ki Toa bok, muka kelabunya bersemu hijau, mulutnya megap2 tak
 mampu bicara. Siang Cin melangkah mundur, katanya tenang2: "Jangan kau paksa
 aku melukaimu. Nah, beritahu padaku, di mana teman2ku dikurung?"
 Ki Toa-bok berdiri menjublek bagai patung tanpa bicara, pecah nyalinya
 menyaksikan gerakan orang secepat dan selihay itu.
 Dengan tanganya Siang Cin mengusap muka, katanya: "Ki Toa-bok, nanti kau boleh
 bilang aku memaksamu. Jangan bodoh, hal yang sepele itu jangan kau pertaruhkan
 untuk jiwa ragamu, ini termasuk Cengcu kalian Ha It-cun."
 Namun Ki Toa-bok memang kepala batu, sepatah katapun tetap tak mau bicara,
 betapapun dia tidak mau menjadi pengkhianat Ceng-siong-san-ceng.
 Melihat sikap orang, Siang Cin tahu urusan bisa runyam, bukan maksudnya ingin
 mencelakai orang ini, tapi kalau menggunakan kekerasan, coba bagaimana dapat
 menundukkan kekerasan hatinya" Sambil menggeleng Siang Cin menegas: "Kau
 betul2 tak mau menerangkan?"
 Ki Toa-bok tetap tutup mulut, se-olah2 gunung runtuh di depan mata juga takkan
 menggoyahkan tekadnya.
 80 "Baiklah, aku mau pergi saja," pelahan Siang Cin membalik tubuh, sekilas melirik ia
 dapat menangkap perubahan air muka Ki Toa-bok yang merasa lega serta bangga,
 maka baru saia tubuhnya bergerak secepat kilat dia turun tangan, hakikatnya Ki Toabok
 tak sempat berkelit, kontan dia roboh terkapar.
 Siang Cin menutuk Hiat-to pembisu dan pelemas badannya, sekali raih dia jinjing
 tubuh orang serta didudukkan di atas kursi, lalu Siang Cin berjongkok dibalik kursi,
 dengan suara dibikin kasar dia berteriak: "A Hok, A Hok . . . . "
 Setelah memanggil beberapa kali, didengarnya langkah berlari di luar, suara orang
 tadi berkumandang di luar pintu, "Suhu, A Hok ada di sini!"
 Dengan setengah menahan suara Siang Cin berkata: "Panggil Bok-suhu kemari."
 Agaknya A Hok yang di luar melengak, katanya lirih: "Bukankah Bok-suhu akan
 ronda bersama Suhu pada kentongan ketiga nanti" Kenapa . . . . "
 "Lekas pergi," desak Siang Cin menirukan suara Ki Toa-bok.
 Lekas A Hok mengiakan dan berlalu cepat2, Ki Toa-bok yang duduk lemas di kursi
 hanya mendelik gusar.
 Siang Cin menepuk pundaknya, katanya: "Kutiru suaramu, meski tidak begitu mirip,
 tapi nadanya sudah hampir sama, dalam keadaan seperti ini A Hok tentu tidak
 memperhatikan, meniru suara orang harus ingat akan satu hal yaitu bicara harus
 pendek dan samar2, bicaranya tidak boleh terlalu banyak, terlalu banyak bicara pasti
 ketahuan."
 Saking gusar gemetar sekujur badan Ki Toa-bok, Siang Cin tersenyun, kursinya
 diputar ke arah jendela, katanya pelan2: "Tak usah marah, laki2 keras kepala,
 kututuk hiat-tomu, orang lain mungkin tidak tahu, tapi Bok-suhu itu pasti tahu dari air
 muka dan sikapmu, nanti akan kutipu dia, memang aku juga tahu harapan mencapai
 tujuan hanya setengah saja."
 Menunggu lagi beberapa kejap, tangga loteng di luar mulai berderap langkah orang,
 langkah kakinya cepat tapi mantap.
 Pintu diketuk pelahan, suara nyaring seorang berkata di luar: "Ki toako, Cayhe sudah
 datang, Toako ada pesan apa?"
 Pelahan Siang Cin membisiki Ki Toa-bok: "Suara orang ini nyaring keras, dia pasti
 masih muda belia, dia memanggil kau Toako, kalau usiamu sekitar empat puluhan,
 maka usianya pasti cuma tiga puluhan, anak muda biasanya suka bicara terus
 terang dan tentu jauh lebih gampang ditipu ......"
 Saking gusar dengus Ki Toa-bok bertambah cepat, sekujur badan bergetar, tapi dia
 tidak mampu berbuat apa2, Siang Cin tertawa, dengan suara lemah, seperti
 kehabisan tenaga dia berseru: "Aku lagi kurang enak badan, Bok-lote, untuk tugas
 nanti boleh kau lakukan sendirian saja."
 Agaknya orang she Bok di luar melengak kaget, katanya: "Ki toako, ada beberapa
 tempat aku kurang apal, apalagi untuk meronda sampai ke Lokoh-ce tanpa kau aku
 takkan diperbolehkan melewati pos penjagaan, ini . . . . ini ......
 Siang Cin batuk2 dua kali, serunya: "Lo- kohce (sumur perawan tua) . . . . "
 "Itulah tempat untuk mengurung teman2 orang she Siang," kata orang di luar gugup,
 "meski penjagaan diperketat dan orang she Siang juga belum tentu tahu akan
 tempat itu, tapi bila sampai kita tak meronda ke sana dan terjadi sesuatu, tak berani
 aku memikul tanggung jawabnya . . . . "
 Siang Cin pura2 merintih lirih, katanya: "Ha, tapi aku benar2 kurang enak badan . . . .
 " Tiba2 orang di luar itu berkata: "Ki toako, maukah kupanggilkan tabib Kho di depan
 sana untuk memeriksa penyakitmu" Sekalian kulaporkan kepada Sek-wancu dan
 mohon beliau menambah tenaga lain untuk menggantikan kau?"
 Siang Cin berpikir sejenak, setelah batuk2 dia menjawab: "Baiklah! Huk, huk! Malam
 ini terpaksa aku menderita . . . . "
 Setelah diam sebentar, orang di luar kedengaran heran, katanya: "Kitoako
 . . . .suaramu seperti agak berubah" Kenapa . . . . "
 Siang Cin tertawa serak, sahutnya megap2: "0, tenggorokanku gatal. . . . badan
 81 terasa lemas. . .. . "
 Suara orang di luar kedengaran2 ragu, katanya: "Ki-toako, perlukah aku masuk
 meladenimu?"
 Dengan suara dibikin parau Slang Cin menjawab: "Tak usahlah."
 "Baiklah Ki-toako. Cayhe akan kembali nanti sebelum kentongan ketiga," lalu cepat
 ia menuruni tangga dan tak terdengar lagi.
 Siang Cin berdiri, dengan tersenyum dia awasi Ki Toa bok yang merah padam,
 katanya: "Adakalanya manusia perlu menggunakan akal, tapi dalam mengatur
 akalnya itu juga bergantung pada nasib, keduanya saling berkaitan, tadi nasibku lagi
 baik, aku telah mencapai setengah dari pekerjaanku."
 Terbeliak mata Ki Toa-bok, mukanya merah bagai kepiting direbus, keringat sebesar
 kacang bertetesan, napas memburu, keadaannya sungguh harus dikasihani.
 Siang Cin tepuk jidat Ki Toa-bok dan berkata "Kau seperti sakit betul2 Baiklah kau
 tidur saja" besok pagi tenagamu pasti sekuat harimau, sekarang maafkan kalau aku
 menutuk Hek-tiam-hiatmu." Dengan ringan Siang Cin menutuk Hiat-to yang di-sebut,
 Ki T'oa bok lantas merasa kelopak matanya semakin berat dan pelan2 terpejam, dia
 tidak ingin tidur, tapi rasa kantuk tak tertahankan lagi.
 Siang Cin menghela napas lega, dia bersyukur bahwa akalnya berhasil, padahal Ki
 Toa-bok ini bergelar Ci-bin hwi-ja (guru terbang muka kelabu), ilmu silatnya tinggi
 dan keji pula, sebagai pengawas umum Ceng siong-san-ceng, kepandaiannya cukup
 hebat, tapi sekali gebrak dia justeru kecundang oleh Siang Cin.
 Mengawasi Ki Toa bok yang tidur nyenyak. Siang Cin membetulkan jubah orang, lalu
 sekali berkelebat dia menyelinap keluar dan lenyap.
 Kini dia sudah tahu tempat mengurung Pau Seh-hoa dinamakan Lo keh ce, tapi
 dapat dibayangkan betapa keras penjagaan di "sumur perawan tua" itu, lebih penting
 lagi dia harus bisa menentukan arah mana letaknya" Demikianlah dia mendekam di
 belakang sepucuk pohon serta memeras otak, terpaksa dia berkeputusan untuk
 menyerempet bahaya sekali lagi.
 Dengan langkah lebar dia maju ke depan, baru beberapa langkah, dua laki2 kekar
 melompat keluar mengadangnya dengan bentakan kereng: "Ceng-siong . . . . . . . ."
 Siang Cin menjawab tenang: "Ban-kiu." --Kata rahasia ini ditirunya dari pos
 penjagaan tadi.
 Kedua orang itu menarik senjata dan minggir.
 tanyanya: "Suhu manakah yang kemari?"
 Siang Cin tertawa, katanya: "Inilah Ui-liong Siang-suhu"
 Bagai petir menyambar kepala, kedua laki2 itu tersentak keget, seketika mereka
 berdiri kaku mematung,
 Sekali berkelebat bayangan Siang Cin sudah tiba di depan mereka, dengan suara
 lembut dia berbisik: "Sahabat baik, malam sudah larut dan dingin, lebih baik kalian
 tidur saja."
 Begitu Hiat-to tertutuk kedua orang lantas jatuh lemas, Siang Cin jinjing tubuh
 mereka melompat ke atas pohon. Tak lama kemudian dia sudah lompat turun, kini
 dia berganti seperangkat pakaian seragam hitam, ikat kepala warna hitam pula,
 dengan menjinjing Kui-thau-to lagaknya mirip penjaga tadi.
 Dia pura2 gugup dan gelisah, sambil berjalan meronda dia celingukan, dengan hati2
 ia terus maju mencari tempat tujuannya - "sumur perawan tua"
 Tiba di taman bunga, mendadak empat laki2 mencegatnya dan menegur: "Hai, kau
 bocah ini dari pekarangan mana" Mondar-mondrr seorang diri, memangnya kau
 tidak takut jiwamu direnggut setan?"
 Meendengar orang menyangka dirinya kawan sendiri, Siang Cin menjawab sambil
 menghela napas: "Ai, atas perintah Ki-suhu, aku disuruh memeriksa kemari, jalan
 sendirian di malam gelap sungguh kebat-kebit dan merinding bulu romaku."
 Empat laki2 itu sama mentertawakan, kata salah seorang: "Jangan sok pintar, apa
 yang dapat kau lihat dan periksa, bila kebentur bocah she Siang itu, belum lagi saling
 gebrak mungkin kau sudah terkencing2 ketakutan .. ... ...."
 82 Siang Cin pura2 takut, katanya menyengir: "Memang, tapi Ki-suhu malah
 rnenyuruhku pergi ke Lo-keh-ce segala . . . . . . "
 Kembali keempat laki2 itu berseloroh, kata salah seorang yang lain: "Lo-koh-ce kan
 terletak di pekarangan belakang di bawah Keh-im-san, tempat yang seram itu
 memang menggiriskan, siang hari bolong orangpun akan merinding lewat di sana,
 apa lagi pada malam gulita dan dalam suasana tegang begini, memang sialmu
 sendiri, kenapa kau memperoleh tugas berat ini . . . . . . "
 Memperoleh keterangan letak Lo-koh-ce, Siang Cin tidak ayal lagi, ia menjura terus
 melangkah pergi, sambil berjalan mulutnya menggerutu: "Makan sesuap nasi orang
 harus turut perintahnya. Ya, apa boleh buat" Biar sekarang juga aku kesana. . . "
 Dengan ketajaman mata dan telinga Siang Cin terus maju kedepan, sedapat
 mungkin dia menghindari pos penjagaan, dia mengembangkan ketangkasannya,
 dengan cepat ia menyusur ke depan.
 Setelah melampaui pagar tembok yang dikapur putih serta melewati dua lapangan
 berumput yang luas, iapun tiba di pekarangan belakang, dari jauh terlihat bayangan
 pagar tembok yang mengelilingi sebuah bangunan.
 Dia memeriksa keadaan sekeliling, di ujung kiri belakang pekarangan sana dilihatnya
 segundukan bayangan gelap, itulah sebuah gunung2an, gunung2an buatan ini cukup
 luas, kelihatannya sunyi dan angker, mungkin di sinilah letak Keh-im-san yang
 dicarinya itu"
 Dia bergerak di bawah bayang2 berbagai benda yang ada di sekitarnya terus maju
 tanpa menemui rintangan, lekas sekali dia sudah tiba di tempat tujuan, bentuk dari
 keseluruhan Keh-im-san yang dibangun dengan pecahan batu2 yang ditata rapi dan
 bagus dibuat mirip dongeng neraka, ada pintu kematian, jembatan gantung,
 panggung kenangan, empang teratai, jalan yang menyesatkan dan puluhan macam
 gedung2 sidang para setan, setiap gedung atau istana dari neraka yang pernah
 dijadikan dongeng dalam masyarakat, semuanya ada di sini, malah disusun
 sedemikian rapi sehingga terbentuklah gunung2an yang menggiriskan ini, walau di
 sini tidak dipasang ukir2an malaikat dan setan, tapi bangunan istana bawah tanah
 yang mirip neraka itu terasa seram dan menakutkan.
 Sekilas Siang Cin melenggong mengamati keadaan yang seram ini, sorot matanya
 menjelajah sekelilingnya. dengan enteng segera dia melayang ke arah empang
 teratai, di tengah empang teratai ini ada sebuah empang kecil berisi air kotor warna
 hitam yang tenang, tak bergelombang, scperti permukaan kaca beku, di bagian
 tengahnya terdapat teratai yang diukir dari batu hitam, bentuknya mirip setan yang
 mati tenggelam dan kepala menongol keluar.
 Berbagai bentuk batu2 hitam raksasa lain dan aneh2 mengelilingi empang teratai,
 tampak sebuah jalanan kecil yang berlandas batu2 krikil menjurus ka dalam dihimpit
 dua batu raksasa hitam, batu2 hitam itu tingginya ada delapan tombak, jika tidak
 mampu melompat ke atas, maka orang harus jalan melalui jalanan kecil itu.
 Sudah tentu Siang Cin tidak sebodoh itu, setelah menarik napas dia melejit enteng
 tanpa mengeluarkan suara, dia hinggap di atas batu. Di depan ternyata diadang oleh
 sebuah dinding batu yang miring, entah bagaimana keadaan di balik dinding batu ini,
 baru saja Siang Cin hendak bertindak lebih lanjut, air empang teratai di bawahnya
 tiba2 bersuara gemericik, tak ubahnya air yang mendidih.
 Melihat uap yang keluar dari pemukaaan air, Siang Cin lantas paham, itu bukan uap
 biasa, tapi penguapan air hitam kotor itu sehingga mengandung hawa beracun yang
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahat. Dia tahu dirinya tak boleh terlalu lama lama berada di sini, bila hawa beracun itu
 sampai membumbung ke udara, siapapun takkan luput dari bencana keracunan.
 Cepat Siang Cin melambungkan tubuhnya, di udara dia menukik miring serta
 jumpalitan sekali lagi, badannya kembali melejit dua tombak ke atas, dengan enteng
 dia tancapkan kakinya di atas dinding batu yang mengadang di depan itu.
 Kini di depan kiranya adalah "jembatan kenangan abadi", air gemencik mengalir di
 bawah jembatan, diseberang jembatan berjajar puluhan ruang sidang mirip istana
 83 dalam dongeng neraka, cuma di sini tidak kelihatan ada setan2 cilik yang berjaga.
 Bimbang sejenak akhirnya Siang Cin meluncur turun bagai anak panah, sedikit
 menutul kaki di atas jembatan ia terus meluncur pula ke depan, tapi, di kala kakinya
 menutul jembatan, timbul reaksi yang hebat, dua pagar yang ada di dua sisi
 jempatan tiba2 menjeplak dan menyabet ke tengah. "Trang", timbul" percikan api,
 ternyata di sisi pagar jembatan terpasang barisan golok baja yang tajam luar biasa,
 untung gerakan Siang Cin cukup sebat, setelah dia melayang pergi baru barisan
 golok itu mengatup.
 Sebelum tiba di seberang Siang Cin membelok arah menyelinap ke tempat gelap,
 dia mengusap telapak sepatunya di atas batu untuh menghilangkan cairan hitam
 ketika kakinya menutul permukaan jembatan tadi.
 Bayangan delapan orang melompat keluar dari "istana neraka" itu dan berlari ke arah
 jembatan, mereka celingukan ke sana sini, suara seorang serak mengomel: "Keparat,
 pagar jembatan sudah kembali ke asalnya, barusan jelas ada orang lewat jembatan,
 kenapa bayangan setan saja tidak kelihatan, memangnya dia bisa terbang,"
 Suara serak yang lain ikut bicara: "Belum tentu manusia" Bisa juga kucing atau tikus,
 jembatan rahasia ini memang tajam daya kerjanya, barang apapun sedikit
 menyentuhnya pasti menimbulkan reaksi, bukankah tempo hari seekor kucing mati
 terkacip oleh golok2 baja itu?"
 Setelah menggerutu akhirnya merekapun mengundurkan diri, keadaan kembali
 menjadi sunyi dengan suasana yang seram.
 Dari balik sebuah batu besar Siang Cin melesat keluar, beruntun dua kali lompatan,
 iapun menyelinap masuk ruangan ke mana beberapa orang tadi mengundurkan diri,
 keadaan di sini gelap dan seram.
 Kecuali sebuah panggung panjang di sini tiada perabot lainnya. serba kosong,
 sejenak Siang Cin berdiri bingung, dinding batu warna hitam, lantainya juga gelap,
 sampai panggung itupun hitam, kecuali dari arah masuk tadi tiada kelihatan pintu
 atau lubang keluar lainnya, tapi jelas beberapa orang tadi masuk kemari, lalu ke
 mana saja mereka menghilang"
 Dinding terasa dingin lembab dan berlumut, tiba2 timbul akal Siang Cin, dengan
 tangan dia meraba dinding pelan dan penuh perhatian, sejengkal demi sejengkal dia
 periksa dengan teliti, tak lama kemudian, betul juga ditemukan suatu tempat terasa
 kering daripada dinding disekitarnya yang lembab, kiranya di sini letak rahasianya.
 Sorot matanya seketika bercahaya, pelan2 dia tolak ke dalam, lalu dijorong pula
 kedua kalinya, tapi tidak bergeming dan tidak menimbulkan reaksi, dia me-raba2
 pula sekeliling dinding yang kering ini, akhirnya ditemukan sebuah tombol yang
 menonjol di bawah kaki dinding, tanpa pikir segera dia tekan tombol itu.
 Bagian dinding sepanjang tiga kaki dan lebar tiga kaki tiba2 menjeplak, hanya
 sekejap saja terus putar kembali ke tempatuya, setelah itu baru pelan2 terbuka lagi.
 Siang Cin tertawa, kalau dia ter-buru2 menerobos masuk secara sembrono, tentu
 tertabrak dinding yang membalik tadi, umpama tidak mampus pasti juga akan terluka.
 Bagian dalam adalah sebuah lorong panjang, disebelah kanan ujung lorong ada
 kamar batu dan cahaya lampu, terdengar ramai suara orang di dalam..
 Siang Cin tarik balok batu itu ke tempat asal nya, seringan kucing dia rnenggeremet
 maju ke depan kamar batu, daun pintu tebal terbuat dari kayu setengah terbuka, bau
 arak merangsang hidung, hawa dalam kamar terasa panas, kiranya orang2 di dalam
 tengah berlomba minum arak sehingga lupa daratan.
 Kamar batu ini ada dua tombak persegi luasnya dan belasan orang, delapan
 diantaranya tengah mengelilingi sebuah meja dengan beberapa macam hidangan
 yang belum termakan habis, ada empat poci arak, wajah ke delapan orang ini
 tampak merah kelam karena terlampau banyak minum, seorang laki2 kepala besar
 sedang duduk dipojok sana, disampingnya ada sebuah kotak kayu.
 Waktu Siang Cin melangkah masuk, seorang yang duduk menghadap pintu
 berkepala botak lantas melihatnya, sekilas dia tertegun, seperti dipagut ular dia
 berjingkrak sambil berteriak: "Celaka, lekaa . . . . ."
 84 Di samping duduk seorang berewok yaug segera mendelik kepadanya, bentaknya:
 "Kenapa kau" Keparat, memangnya kau melihat setan?"
 Belum habis si berewok bicara, tiga orang yang lain juga sudah melihat Siang Cin,
 sikap mereka sama berubah, be-ramai2 seperti berlomba cepat mereka mencabut
 senjata serta melompat ke samping dan mengawasi Siang Cin dengan pandangan
 takut dan penuh tanda tanya, mereka tidak habis mengerti, cara bagaimana Siang
 Cin bisa masuk kemari"
 Siang Cin gosok2 tangan, katanya: "Saudara2, malam dingin berkabut tebal, minum
 arak mencari hangat di sini memang menyenangkan."
 Si brewok menelan ludah, dia berseru: "Sahabat, kau takkan bisa keluac dari
 sini . . . . . ."
 Melihat sekitarnya, Siang Cin berkata dengan tertawa: "Ini bukan soal, yang penting
 apakah kalian mampu menangkapku. Sekarang taruh senjata kalian dan teruskan
 minum arak, setelah kutanya jelas sesuatu hal, segera aku akan berlalu, takkan
 mengganggu kalian."
 Dikala Siang Cin bicara, diam2 si kepala besar ulur tangan ke dalam kotak kayu,
 disitu ada sebuah genta kecil yang tergatung di dalam lubang dinding.
 Tapi batu tangan si kepala besar bergerak, teasa angin menyambar, tahu2 tangan
 kanan yang menjulur itu sudah terbacok putus jatuh ke lantai, darah seketika
 berhamburan, kiranya yang membacok putus lengan si kepala besar adalah Kuithau-
 to yang berada di tangan Siang Cin.
 Si kepala besar terbanting ber guling2 di lantai sambil menjerit.
 Jeritan yang menggiriskan menggugah bangun si orang kurus kering bagai lutung
 yang sejak tadi tidur nyenyak di atas dipan, begitu membuka mata belum lagi sadar
 apa yang terjadi, langsung ia keluarkan pedang terus membacok ke arah Siang Cin.
 Kasihan, belum lagi dia sempat beraksi, sekali golok Siang Cin menabas miring,
 kontan kepalanya mencelat. .
 Kecuali jerit kesakitan si kepala besar, suasana mencekam semua orang, wajah
 mereka tampak pucat penuh rasa takut dan ngeri.
 Siang Cin tertawa, katanya: "Jangan kuatir, bila kalian mau bekerja sama denganku,
 orang she Siang pasti tidak akan mencelakai kalian, sekarang ingin kutanya, untuk
 menghindari salah satu di antara kalian dituduh sebagai pengkhianat, maka setiap
 pertanyaanku harus dijawab.bersama, siapa yang ragu2 dan menjawab tidak
 semestinya, kedua kawan kalian itu menjadi contoh yang baik buat kalian."
 Sembilan orang yang berdiri mengelilingi meja itu saling pandang, mereka berdiri
 kaku seperti linglung, tangan pegang senjata tapi tiada satupun yang berani bergerak,
 mereka maklum bila tidak ingin mati, mereka harus terima syarat yang diajukan.
 Siang Cin kucek2 hidung, lalu katanya pelahan: "Di mana letak Lo koh-ce?"
 Sekilas orang2 itu saling pandang pula, seperti berlomba saja mereka lantas berebut
 bicara: "Di belakang lorong di luar kamar batu itulah . .. . . ."
 Siang Cin manggut, katanya tertawa: "Bagus, kalian mau bekerja sama, adakah
 benda apa2 yang menutupi Lo-koh-ce?"
 Jawaban orang2 ini sekarang lebih cepat lagi, jawaban yang satu menambah terang
 jawaban yang lain: "Itulah sebuah meja persegi, Lo koh-ce berada di bawah meja
 persegi . . . . . . "
 "Meja batu persegi, beratnya ribuan kati ........
 "Mejanya amat berat, di dalam sumur ada undakan batu yang menjurus ke
 bawah . . . . "
 "Dasar sumur merupakan sebuah lorong panjang, ada tiga rintangan binatang
 buas . . . . "
 "Tiga rintangan binatang buas masing2 terdiri dari harimau bertanduk, gajah
 bersayap dan ular merah . . . . "
 "Paling akhir adalah kamar kurungan, teman2 Siang-toaya tersekap di sana . . . . "
 "Di luar sel dijaga oleh dua raksasa segoblok babi tapi sebuas serigala . . . . "
 Jawaban seperti berlomba cepat itu sungguh menggelikan.
 85 Setelah jawaban mereka cukup lengkap, Siang Cin berkata dengan tertawa: "Bagus
 sekali, kalian memang baik hati, hanya Enghiong seperti kalian ini yang bisa melihat
 gelagat dan tahu diri, orang she Siang sangat berterima kasih akan keterangan ini,
 soal ini, tanggung tidak akan kusiarkan, kalian tidak usah kuatir."
 Orang2 itu diam2 merasa lega, rasa tegang merekapun mengendur, kembali mereka
 saling pandang dengan menyengir.
 Kemudian Siang Cin berkata pula: "Cayhe akan tutuk Hiat-to pelemas kalian, satu
 jam kemudian akan pulih kembali, kalian boleh lapor orang she Siang menerobos
 masuk ke Lo-koh-ce, kepala besar itu tak menjadi soal, walau dia tidak mampus,
 tentunya kalian juga bisa menbayangkan betapa kesakitan bila lengan kutung."
 Dengan rasa tidak tenteram orang2 itu berpaling ke arah si kepala besar yang
 menggeletak tak bergerak lagi. mereka merasa lega, tiba2 terasa pinggang terasa
 kesemutan, bayangan orang tidak kelihatan bergerak, tapi hampir pada waktu yang
 sama mereka lantas roboh terkulai.
 "Maaf, kalian boleh tunggu satu jam lagi." ucap Siang Cin. Di tengah kumandang
 suaranya ia lantas meluncur keluar. Setiba di pojok, dengan kuat kedua telapak
 tangan menghantam ke depan dinding di ujung lorong itu seketika pecah
 berhamburan, kiranya dinding itu hanya tumpukan batu yang disusun sedemikian
 rupa untuk mengaburkan pandangan orang.
 Di bagian dalam adalah sebuah kamar batu kecil yang sumpek, tiada angin
 mengembus kemari, kesana tiada benda apapun kecuali sebuah meja batu yang
 berada di tengah ruangan, Siang Cin tidak membuang waktu, segera dia mendorong
 meja itu, meja batu mulai bergeser dengan suaranya yang gemuruh dan akhirnya
 jatuh ke tanah. Di bawah meja ternyata berlubang, itulah mulut sumur bersegi
 delapan, keadaan di bawah gelap gulita.
 Tanpa ragu Siang Cin lompat ke bawah, sumur ini sedalam tiga tombak, di bawah
 ternyata memang ada undakan batu, dinding di kedua samping lembab berlumut,
 tapi ada puluhan obor yang berjajar di dinding. di bawah penerangan obor yang
 kehijaun itu tampak beberapa tombak di sebelah depan, di dalam sebuah
 kerangkeng yang mengadang, berkumandang raungan binatang buas.
 Raungan binatang ini bukan saja terdengar buas, galak dan rakus sekali.
 Siang Cin berdiri sejenak di tengah lorong, keadaan gelap, tiada terlihat apa2 dibalik
 kerangkeng, tapi raungan keras menggetar seluruh lorong itu jelas bergema dari
 depan. Terdengar letupan kecil bunga api obor, lidah apinya yang berwarna merah
 kehijauan menambah suasana lorong terasa seram, apalagi raungan binatang buas
 semakin keras. Tiba2 terasa lelah merangsang dirinya, Siang Cin menggelengkan kepalanya,
 selangkah demi selangkah dengan hati2 dia mendekati terali besi, dengan penuh
 perhatian Siang Cin awasi keadaan di balik kerangkeng sana, tapi yang dilihatnya
 hariya kegelapan melulu.
 Bau langu busuk merangsang hidungnya, Siang Cin mengerut kening, bau langu
 busuk memang ini mirip bau kelek orang gemuk yang tak pernah mandi selama tiga
 tahun. Pelan2 Siang Cin mendekati terali besi, dengan gerakan enteng terali besi
 dipentangnya hingga melengkung, segera Siang Cin menyelinap ke dalam,
 kemudian dua batang terali dicabutnya mentah-mentah, debu krikil sama bertebaran.
 Bau langu busuk semakin tebal, Siang Cin menggigit bibir, bagai bayangan setan dia
 melesat maju lebih lanjut, tanah di bawah kakinya terasa lembab licin berlumut, tapi
 dinding kedua samping justeru mengkilap licin. ini berarti lorong di balik terali ini
 kosong melompong tanpa ada apa2nya, hal ini rada ganjil.
 Raung binatang buas entah kenapa knwi tidak terdengar lagi, suasana hening di
 balik terali besi ini terasa aneh, Siang Cin merasa merinding juga, se-olah2 ada
 sepasang mata setan yang sembunyi di tempat gelap tengah mengawasi gerakgeriknya,
 mendadak ia berpaling dan menatap lorong.
 86 Di sebelah atas sana kiranya terdapat sebuah belandar batu sepanjang lima kaki dan
 lebar tiga kaki seperti tergantung di udara, letaknya justeru lepas dari sorotan cahaya
 obor, di pinggir belandar batu ini menongol keluar sebuah kepala yang ditumbuhi
 bulu panjang berwarna hitam dan putih, sepasang mata tampak mencorong berkedip2
 di kegelapan, ujung hidungnya yang basah tampak berwarna merah mengendus2
 liar, dua baris gigi putih runcing dengan kedua taringnya tampak
 menyeramkan, tepat di tengah batok kepalanya tumbuh sebuah tanduk setengah
 melengkung ke depan, warnanya kuning emas, tampangnya mirip kepala harimau,
 tapi juga seperti iblis yang sedang menyeringai seram.
 Pelan2 Siang Cin maju selangkah, tanpa berkedip ia mengawasi kepala harimau
 bertanduk yang istimewa itu.
 Siang Cin sengaja menggodanya, sambil menuding dan menari Siang Cin bergelak
 tawa, beberapa kali ia sengaja berputar tepat di bawah harimau, maka auman
 harimau yang kelaparan itu menjadi lebih keras dan beringas, di tengah sampukan
 angin kencang, segumpal bayangan putih-hitam tiba2 melayang turun menerkam
 Siang Cin. Cepat Siang Cin menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana seraya berteriak
 "Binatang!"
 Dikala dia menjatuhkan diri itulah, terkaman harimau menyamber lewat di atas
 badannya, tanduknya yang runcing menumbuk dinding sehingga dinding batu ambrol
 berhamburan, tak ubahnya sebuah martil raksasa yang dipukulkan ke dinding yang
 keras. Siang Cin melompat bangun, menyusul tangan menghantam, tapi binatang itupun
 sempat mengelak, dengan cepat harimau itu berputar balik serta menerkam pula
 dengan beringas.
 Mendadak Siang Cin merendahkan tubuh, telapak tangannya tegak bagai mata
 golok terus menggaris ke perut harimau, tapi binatang buas yang aneh ini ternyata
 cukup cerdik, dengan enteng dia mengegos, berbareng ekornya yang besar panjang
 itu menyabet. Setelah beberapa gebrak saling serang ini, agaknya harimau itu juga merasakan
 bahwa lawan yang satu ini jauh lebih kuat dan lihay daripada korban yang pernah
 masuk ke perutnya, kini dia mendekam sambil meng-gerung2, bola matanya
 memancarkan cahaya hijau, air liur berbuih meleleh dari ujung mulutnya,
 taringnyapun menyeringai, sungguh seram dan menjijikan tampang yang buas ini.
 Siang Cin berdiri diam, menunggu dengan tenang, dengan seksama iapun amati
 binatang aneh yang lain dari harimau umumnya ini, panjangnya kira2 lima kaki,
 bulunya warna putih hitam mengkilap, badannya kekar gempal penuh kekuatan,
 cakarnya yang panjang melengkung tajam, berbeda dengan harimau umumnya yang
 sembrono asal terkam saja, di balik kepala yang bertanduk itu agaknya penuh akal
 muslihat yang licik dan jahat.
 Tanduknya yang kuning emas itu seperti selalu tergosok mengkilap, tak ubahnya
 sebuah ganco, jelas merupakan senjata yang ampuh.
 Kembali Siang Cin menepuk tangan, seperti menyapa kenalan baik dia berkata:
 "Marilah, harimau bertanduk, marilah kita ber main2 untuk menyelesaikan perang
 tanding ini ........."
 Pelan2 harimau bertanduk berdiri, selangkah demi selangkah mendekat ke arah
 Siang Cin, setiap batang bulunya tampak menegak, dengus napasnya mulai berat,
 matanya menatap tajam ke arah Siang Cin, tanduk yang melengkung itu seperti siap
 menyeruduk. Lahirnya Siang Cin bersikap tak acuh, yang benar hatinya juga gelisah, dia tahu
 waktu sudah mendesak, harus secepatnya menolong kawannya, kalau musuh tahu
 adanya kejadian ini, situasi bisa berubah memburuk baginya, apalagi tempat seram
 seperti ini siapapun takkan sudi tinggal lama2 di sini.
 Segera dia menyurut mundur sambil mengerahkan salah satu ilmunya yang tak
 pernah terpakai selama berkelana di Kangouw, yaitu "Sim-hoa-hong hiat", hawa
 87 murni diam2 terhimpun.
 Harimau semakin dekat, hatinya yang langu sungguh memualkan, apalagi dengus
 napasnya yang keras, sorot matanya yang mencorong, bulunya yang hitam putih
 serta cakarnya yang mengkilap tajam, semua itu cukup mengerikan. Mendadak
 Siang Cin tertawa, bagai anak panah dia mendahului menubruk maju.
 Hampir pada waktu yang sama harimau juga mengaum serta melompat tinggi
 menerkam ke arah Siang Cin, tanduknya yang kuning membawa cahaya yang
 menyilaukan, kuku kaki depannya setajam pisau mencakar ke dada dan perut Sang
 Cin, betapa garang, cepat dan kuat terkamannya sungguh luar biasa.
 Siang Cin sedikit mengegos, sambil membertak telapak tangan berkelebat, "plak",
 dengan telak badan harimau terpukul, menyusul telapak tangan kirinya menepuk ke
 arah kepala harimau, badan harimau yang besar kekar itu ber-guling2 sambil
 meraung2 kesakitan, tanduk menggaris tajam di lantai berbatu sampai memercikan
 lelatu api. Siang Cin tidak berhenti, kedua tangannya bekerja lebih kencang, suara "Plak- plok"
 saling susul, sinnentara harimau yang ganas itu terus ber-guling2 di tanah sambil me
 raung2, darahpun berhamburan, auman yang keras menyeramkan berkumandang
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggetar seluruh lorong.
 Siang Cin membentak dan menubruk maju, kedua tangannya terayun sekuat
 tenaganya, harimau itu kena ditamparnya mencelat, setelah terbanting dengan keras
 dan berkelejetan, lalu tak bergerak lais untuk selamanya.
 Menarik napas panjang, pelan2 Siang Cin menyeka keringat dimukanya, matanya
 mengawasi harimau bertanduk yang menggeletak itu dan berguman: "Binatang tetap
 binatang, kecuali tenaganya yang besar, tiada sesuatu yang patut ditakuti . .. ..."
 Setelah istirahat sejenak, Siang Cin kerahkan hawa murni, cepat sekali tenaganya
 telah pulih, dengan mudah dia menyelinap masuk lebih lanjut ke dalam sana.
 Beberapa tombak kemudian, kembali terali besi mengadang jalan, kini di bawah obor
 yang menyala terang dapat terlihat jelas, seekor gajah warna kelabu sebesar kerbau
 jantan berdiri di dalam kerangkeng, matanya yang kecil tengah mengawasi Sang Cin
 dengan heran, gajah kelabu ini kelihatannya jinak.
 Siang Cin merasa kepalanya sedikit pening, ia bersandar pada terali besi dan
 menarik napas panjang, dia pandang tajam gajah kelabu di dalam sana, sang gajah
 juga tengah mengawasinya, sepasang matanya yang kecil, tapi daun kupingnya
 ternyata besar dan lebar mirip dua kipas raksasa, tidak panjang tapi gadingnya amat
 runcing dan mengkilah kuning menghimpit bclalainya yang ber-gerak2 naik turun,
 bentuknya tak ubahnya seperti gajah umumnya, cuma perawakannya sedikit lebih
 kecil, tapi tepat di belakang kupingnya entah terdapat benda apakah itu" Dua lembar
 benda bersusun di atas punggung gajah, warnanya ungu, dan tembus cahaya, urat
 hijau hitam tampak membentang di seluruh lembaran itu.
 "Gajah bersayap", dalam hati Siang Cin membatin, pelan2 dia berjongkok, dengan
 kekuatan jarinya dia hancurkan batu lantai, lalu diremasnya menjadi krikil, tubuh
 gajah bersayap yang besar ini kebetulan merupakan sasaran empuk dijadikan
 bidikan kerikilnya.
 Siang Cin tersenyum, katanya pelahan: "Sahabat tua, kelihatannya kau amat sopan
 dan ramah, kita tiada permusuhan apa2, sebetulnya tak perlu aku memusuhimu, tapi
 kau berdiri di tempat yang keliru, berada di tengah jalan yang harus kulalui, oleh
 karena itu, terpaksa aku menyalahimu, sayang sayapmu itu . . . . "
 Satu biji batu kecil segera meluncur kencang mendesing, gajah bersayap
 melengking rendah, matanya yang kecil mengedip, krikil yang mengenai badannya
 terpental balik dan hancur menjadi bubuk.
 Melenggong sebentar, Siang Cin mencoba sekali lagi, hasilnya tetap serupa, seperti
 merasa gatal si gajah bersayap menggerakan kupingnya, sementara hidungnya yang
 panjang masih ber-gerak2 tak hentinya.
 Siang Cin menggeleng, sekali lompat dia raih sebatang obor yang tertancap di
 dinding, katanya penuh penyesalan: "Sahabat yang berkulit tebal, terpaksa kucoba
 88 memanggang kulitmu yang gemuk."
 "Wut", menerobos terali besi obor itu melayang ke arah gajah bersayap, kali ini
 agaknya gajah itu tahu diri, dia tidak menahan dengan kulitnya yang tebal, mulutnya
 menguik keras, kulit ungu di punggungnya tiba2 terpentang lebar dan mengeluarkan
 suara menggelepar, tubuhnya yang gembur besar itu mengapung dua kaki ke atas,
 obor melayang lewat di bawah perutnya, timpukan obor ini membikin gajah bersayap
 naik pitam, dengan beringas dia bersuara keras.
 Beruntun Siang Cin mencabut tiga obor lagi dengan cara yang sama dia timpuk ke
 dalam, dua obor dengan telak mengenai badan gajah bersayap, maka gajah
 bersayap ini kini betul2 marah, dengan belalai yang panjang dia memukul terali besi
 sambil meraung keras, akhirnya belalai membelit terali serta ditariknya sekuatnya,
 atap lorong sampai ambrol dan debupun berhamburan.
 Cepat Siang Cin menerjang maju, di mana telapak tangannya bergerak, kembali dia
 lontarkan jurus Sim hoa hong hiat, sepenuh kekuatannya ia menabas, darah seketika
 muncrat, belalai gajah yang membelit terali itu ditabasnya putus sebagian.
 Sudah tentu gajah bersayap itu kesakitan, dia mengamuk dan menerjang terali di
 depannya, sementara mulut ber kuik2 semakin keras, darah berhamburan dari
 kutungan belalai, sementara sayap di punggungnya terpentang dan bergerak, lambat
 laun terali besi sebesar lengan bayi itu kena ditariknya hingga bengkok.
 Siang Cin mengancing mulut, kedua tangan bekerja sekaligus, "crat", di tengah
 raungan gajah yang mengamuk, tahu2 sepasang mata kecil sang gajah
 memuncratkan darah segar, gajah itu semakin murka karena matanya tertimpuk buta,
 sang gajah kini betul2 telah kehilangan kesadaran, sayapnya menggelepar,
 kepalanya menerjang kian kemari, raungannya diselingi darah yang berhamburan,
 suasana yang sudah seram bertambah mengerikan."
 Sejenak bimbang akhirnya Siang Cin menarik napas dalam2, tiba2 dia menyelinap
 maju, secepat itu pula tahu2 dia sudah melompat balik dan begitulah secara
 berulang, pada setiap kali lompatannya terali besi di depannya pasti dia tekuk
 bengkok sehingga ruang gerak sang gajah semakin sempit karena gerak geriknya
 terganggu, keruan gajah itu mengamuk semakin hebat.
 Setelah merapikan diri Siang Cin terus menyelinap masuk, menerobos lewat melalui
 sela2 terali yang melengkung selebar dua kaki itu terus melayang ke dalam.
 Agaknya gajah bersayap merasakan kehadiran Siang Cin dari bau badannya,
 sayapnya kembali menggelepar turun naik dengan kekuatannya yang luar biasa,
 gadingnya yang runcing dengan belalai yang panjang sekaligus menyapu pergi
 datang, sementara badannya yang besar itu main tumbuk secara membabi buta.
 Selincah kera Siang Cin lompat sana dan menyelinap sini dengan tangkas, pada
 setiap lompatannya, kedua tangan juga bekerja melukai si gajah, di samping
 menyingkirkan terali besi yang merintangi gerak-geriknya, meski agak payah, tapi
 akhirnya selicin belut dia bisa menyelinap keluar, tinggal sang gajah yang terluka
 parah itu masih mencak2 di dalam sangkar besi.
 Waktu sudah banyak terbuang, setelah menyeka keringat, beruntun dua kali
 lompatan Siang Cin melayang tiba di depan sebuah pintu batu, tak peduh makhluk
 apa yang berada di situ, dan apapula akibatnya, dia kerahkan setaker tenaganya
 menggempur, beberapa kali hantaman kemudian, daun pintu yang terbuat dari balok
 batu besar dan tebal itupun telah rontok berhamburan, tanpa berhenti Siang Cin
 terus menerobos masuk.
 Tapi dia menjerit kaget, tiba2 dia menyelinap keluar pula secepat kilat bagai melihat
 setan, menyusul dari balik pintu terdengar suara mendesis riuh ramai, ular2 kecil
 sebesar ibu jari sepanjang tiga kaki berwarna merah darah berlomba merayap keluar,
 begitu besar jumlah ular yang merayap ini sungguh menggiriskan, lidahnya yang
 menjulur keluar, baunya yang amis memualkan, siapa yang takkan ngeri?" .
 Begitu jelek dan menjijikkan, kepala segi tiga binatang melata itu, ekornya kasar,
 matanya memancar biru, jelas seluruhnya ular2 beracun, Bagai air mengalir saja
 ular2 itu merayap memenuhi lantai lorong.
 89 Belum kaki sempat menyentuh lantai Siang Cin langsung mengapung ke atas,
 dengan punggung lengket di langit2 lorong tak ubahnya seekor cicak dia awasi ular2
 merah di bawah, ular2 itupun mendongak sambil meujulurkan lidahnya, lidah yang
 bercabang itu mendesis keluar masuk, mau tidak mau Siang Cin menjadi merinding.
 Seluruh lorong dipenuhi ular, sedikitnya ada ribuan, tempat luang untuk berdiri saja
 tidak ada, lalu bagaimana baiknya" Memangnya dia harus bergantung terus di atas
 dinding", Ia coba menggeser mendekati obor yang tertancap di dinding, dia cabut
 batang obor dia, bikin remuk gagang obor yang terbuat dari kayu cemara serta
 dipuntirnya pula, gagang kayu menjadi hancur berkeping, kepingan kayu yang tak
 terhitung jumlahnya ini disulut oleh Siang Cin, setelah api menyala dia ayun
 tangannya, membawa deru api yang memancar terang, kepingan kayu itu
 berhamburan laksana panah berapi.
 Ular2 yang ada di lorong seketika menjadi kalut, desis suaranya semakin keras
 sehingga hawa terasa amis dan memualkan, kepingan kayu cemara yang runcing
 kecil serta menyala itu melukai ular2 yang ada di lorong, ular yang terluka dan
 terbakar itu menjadi panik dan terguling kesakitan, terjang sana gigit sini, keadaan
 menjadi kacau antara sesama ular saling gigit, ular merah ini terhitung kecil, tapi
 taringnya panjang dan melengkung
 bagai kaitan. Melihat usahanya berhasil mengacaukan barisan ular, maka Siang Cin bekerja lebih
 lanjut, dari atas dinding dia menggeremet maju, obor kayu cemara ternyata
 merupakan senjata yang ampuh untuk mengalahkan barisan ular, setiap kali dia
 mengayun obor, ular sama menyurut mundur dan lari serabutan, tidak sedikit pula
 yang terbakar, ular2 itu dipaksa menyingkir ke mana saja asal ada tempat luang,
 maka gajah bersayap yang lagi mengamuk di dalam sangkarnya itu kini menjadi
 musuh kawanan ular berbisa ini.
 Gajah besayap dalam sangkar mengamuk semakin jadi, ular2 kecil itu sama
 merambati keempat kakinya dan menggigit kulit dagingnya yang tebal, terang
 kawanan ular ini terasa menganggu, gajah bersuara semakin keras, kakinya menggentak2,
 kedua sayapnyapun menggelepar, maka tidak sedikit kawanan ular yang
 terinjak hancur.
 Sekuatnya Siang Cin timpuk pula dua batang obor, kini tinggal dua batang obor lagi
 yang tertancap di dinding, maka cahayanya jauh lebih gelap, tapi sebatang lagi dia
 cabut, setelah menarik napas, pelan2 lalu dia melayang masuk ke balik pintu.
 Di balik pintu ternyata adalah sebuah kamar yang tidak keruan bentuknya, di lanta
 penuh serakan rumput busuk tercampur najis ular yang tak sedap baunya, Siang Cin
 tidak berani bernapas di sini kuatir hawanya mengandung bisa, maka tanpa ayal ia
 terus melayang pula ke depan menerjang dinding di sebelah depan, waktu jarak
 tinggal satu kaki, tinjunya segera menggempur ke arah dinding, di tengah
 gemuruhnya dinding yang terpukul retak, badan Siang Cin terpental balik ke
 belakang, Jumpalitan sekali di udara, Siang Cin tidak jatuh di lantai, tapi kedua kaki terus
 memancal di tengah udara, kembali tubuhnya melesat maju pula kedepan, kini
 dinding kena dipukulnya runtuh berantakan, secercah cahaya segera menyorot
 masuk lewat lubang dinding yang jebol, di sebelah sana kiranya juga sebuah lorong.
 Siang Cin menyelinap keluar, dengan gaya yang indah dia meluncur ke pengkolan
 sebelah kiri, belum lagi dia melayang turun, matanya sudah melihat dua orang
 raksasa aneh dengan rambut kuning gonderong tengah melotot padanya.
 Kedua raksasa aneh ini hanya memakai cawat kulit harimau kumbang, bulu panjang
 tumbuh di sekujur badannya. jidat lebar, hidung pesek, bibirnya mencuat keluar,
 giginya yang kuning gede itu meringis keluar bibir, tampangnya buas dan jelek sekali,
 lebih mirip orang hutan dibanding manusia.
 Dengan enteng Siang Cin melayang turun, sorot matanya menatap dingin kedua
 raksasa yang berwajah kaku ini, bukan saja berbulu badan kedua raksasa ini,
 ternyata mengkilap seperti berminyak, tinggi besar tak ubahnya sebuah bukit.
 90 Sambil menggerung serentak kedua raksasa ini mendorong bangku yang semula
 mereka duduki, seorang langsung menyambar senjatanya, yaitu sebatang gada
 besar penuh paku runcing, gada sebesar paha itu cukup kuat untuk mengemplang
 manpus seekor biruang.
 Siang Cin menjura, katanya: "Selamat bertemu tuan2, apakah kalian tidak ingin
 ngobrol denganku?"
 Dengan langkah yang berat kedua raksasa maju menghampiri, mendengar Siang
 Cin bicara, mereka berhenti dan saling pandang dengan tak mengerti, wajah
 mengunjuk rasa heran.
 Siang Cin tertawa pula, katanya: "Apakah kalian tidak mengerti maksud ucapanku"
 Ini bukan soal, boleh kalian duduk saja di sana, nanti setelah aku menyelesaikan
 urusanku, pasti akan kujelaskan kepada kalian."
 Habis bicara dia coba maju selangkah, seketika kedua raksasa berjingkrak dan
 menggeram, keduanya mencegat di tengah lorong, gada berpaku terangkat tinggi,
 taring mereka tampak seram menjijikkan.
 Pelahan Siang Cin menggeser ke pinggir, dengan jari telunjuk dia memberi tanda
 pada kedua raksasa itu, lalu ia kerahkan tenaga, ujung jarinya menjojoh dinding batu
 yang keras. Kedua raksasa berteriak kaget, matanya melotot seperti ingin menikmati tontonan
 yang menarik. Siang Cin membuat tanda2 yang bersahabat, telunjuknya dia tarik
 keluar, lalu dia menarik napas panjang2, badannya yang ramping segera merayap
 lurus ke atas setinggi lima kaki, kemudian melayang turun pula pelan2.
 Kedua raksasa itu menyaksikan dengan mata terbeliak sambil bersorak gembira,
 Siang Cin tepuk2 tangan lalu memberi gerakan tangan pada mereka, supaya
 merekapun mencobanya.
 Agaknya mereka ragu2, tapi setelah saling bercowetan sebentar, mereka membuang
 gada masing2. Yang satu menirukan cara Siang Cin menjojok dinding dengan jari,
 sementara yang lain ber-jingkrak2 ingin mengapung dengan mulut terkekeh geli,
 keduanya mirip sekali anak2 nakal.
 Siang Cin menghela napas lega dengan rasa letih, pelan dia menggeremet maju ke
 sana, dia tepuk bahu kedua raksasa serta tersenyum manis penuh persahabatan,
 lalu menyelinap di tengah2 mereka langsung menuju ke ujung lorong, di sini
 memang terdapat sebuah pintu batu yang besar.
 Setiba di depan pintu Siang Cin menoleh kearah kedua raksasa yang masih bermain
 dengan asyik sekah. Dia coba mendorong pintu batu ini bagai gunung yang kukuh
 tak bergeming sedikitpun. Ia mengerut kening, tenaganya memang sudah banyak
 terkuras, kalau setiap kali harus menggempur dengan seluruh kekuatan, mungkin dia
 takkan sanggup bertahan lebih lama lagi, maklumlah manusia terdiri dari tulang dan
 darah daging, bukan terbuat dari kawat dan besi.
 Sebetulnya Siang Cin tidak ingin mengganggu kedua raksasa yang bermain begitu
 asyik, dia lebih suka membuka pintu ini tanpa mengeluarkan suara berisik dan tanpa
 susah payah menolong kawan2nya, tapi kenvataan sekarang tak mungkin terjadi
 demikian, tanpa kunci untuk membuka gemboknya, pintu tak mungkin bisa dibuka,
 kecuali menggunakan kekerasan menggempurnya rasanya tiada jalan lain lagi.
 Dengan menggertak gigi pelan2 dia himpun semangat dan kerahkan tenaga,
 akhirnya seluruh kekuatan dia pusatkan pada kedua lengan, ketika dia
 menghembuskan napas diiringi gertakan, pukulan yang dahsyat segera
 menggempur pintu batu itu.
 Ditengah suara gemuruh yang bergema sampai lama, batu dan debu sama muncrat,
 tapi suara gemuruh ini sekaligus membuat kaget kedua raksasa yang lagi ber-main2
 itu, sekilas tampak mereka kaget serta berhenti main, dengan pandangan bingung
 mereka membalik ke sini mengawasi Siang Cin.
 Tanpa menunggu kedua raksasa ini memaklumi apa yang terjadi, cepat Siang Cin
 menggempur pula beberapa kali, pintu batu itu lambat laun tergempur runtuh dan ber
 goyang2, pintu batu yang tebal dan berat ini boleh dikatakan sudah retak parah, kini
 91 mudah dijebolnya.
 Tiba2 kedua raksasa itu meraung gusar, suaranya mirip serigala kelaparan, seperti
 badak menyeruduk keduanya menerjang datang sambil angkat gada terus
 mengepruk, sebat sekali Siang Cin menyingkir, sekilas ia lihat mata kedua raksasa
 yang beringas tak mengenal persahabatan lagi.
 Sebuah gada menyambar dari samping. Kembali Siang Cin berkelit, sementara
 raksasa yang lain juga menyerbu tiba dan ber- teriak2 gusar, gada berayun
 serabutan menimbulkan kisaran angin lesus yang kencang.
 Siang Cin berkelit kian kemari sambil menyelinap di antara kedua raksasa yang lagi
 mengamuk ini, serunya dingin: "Kalian mundur saja, aku tidak ingin melukai kalian,
 tahu tidak" Lekas mundur . . . "
 Kedua raksasa ini adalah manusia liar, mereka meraung2, suaranya lebih mirip
 binatang buas, sorot matanya yang ber-kunang2 lebih mirip mata elang yang buas,
 tak kelihatan adanya sifat2 kemanusiaan, maka Siang Cin mengerti sekarang kecuali
 mengalirkan darah, tiada jalan lain yang dapat dimengerti oleh mereka.
 Badan yang kasar sebesar kerbau itu tiba2 menerjang maju, bau badan yang apek
 rnenyusup ke hidung Siang Cin, sementara gada besar teiah mengemplang batok
 kepalanya, berbareng sebelah kakinya mendepak iganya pula. Sungguh tak nyana
 bahwa raksasa liar ini juga pandai berkelahi dengan macam2 tipu serangan.
 Siang Cin menghela napas, dia menyelinap ke samping, mepet dinding, begitu
 punggung menyentuh dinding, secepat kilat badan membal balik, tiada kata2 yang
 dapat melukiskan kecepatan gerakannya, tahu2 raksasa di depannya meraung keras
 seperti babi disembelih. "Duk, duk, duk", ia terhuyung mundur menyusul telapak
 tangan Siang Cin yang sudah ditarik keluar dari rongga dada si raksasa, telapak
 tangan berlumuran darah.
 Tiada peluang bagi raksasa yang lain untuk menyerang maju pula, tangan Siang Cin
 yang berlepotan darah itu sudah bekerja pula, selagi gada besar si raksasa
 menyambar lewat di atas kepala Siang Cin, dalam waktu sekejap ini Siang Cin
 menyarangkan tangannya belasan kali di antara dada dan perut lawan.
 Rintihan raksasa di kaki dinding sana masih berkelejetan, raksasa yang lain sudah
 menyusul dengan jeritannya yang menyayat hati, badannya yang sebesar kerbau
 me-liuk2 sambil ber-putar2 dan akhirnya menumbuk dinding, lalu jatuh tersungkur
 dengan kepala menyeruduk lantai.
 Siang Cin mencibir sambil menggeliat letih, tanpa hiraukan kedua korbannya lekas
 dia beranjak maju, beruntun beberapa kali pukul dia menggempur daun pintu, di
 tengah gemuruhnya debu dan pasir, daun pintu batu itupun runtuh ber keping2.
 Sebelum kepulan debu mereda, bayangan Siang Cin sudah menyelinap masuk.
 Di belakang pintu adalah sebuah kamar yang remang2 dengan sebuah lampu
 minyak, di atas jerami yang mulai membusuk berduduk empat orang, itulah "dua
 keping papan" Pau Seh hoa, An Lip, lalu calon isterinya serta . . . . Kun Sim-ti yang
 tampak kurus dan lemas.
 Jantung Siang Cin seperti mengejang, sekuatnya dia tekan emosinya, katanya: "Lo
 Pau, aku telah datang!"
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pau Seh hoa mengawasinya dengan pandangan melongo, tatapannya seperti
 berlapis kabut, sorot matanya seperti memancarkan rasa ngantuk, lelah luar biasa,
 bagai melihat seorang asing yang tak dikenalnya.
 Pelan2 Siang Cin berjongkok di depan Pau Seh hoa, dia terkejut didapatinya tubuh
 Pau Seh-hoa penuh berlepotan darah yang sudah mengering berwarna hitam,
 rambutnya yang memang awut2an bagai rumput itu tampak lebih kotor dan tak
 keruan lagi, Siang Cin menarik napas, lalu memanggilnya pula dengan suara
 pelahan: "Lo Pau, aku inilah, Siang Cin . . . . "
 Berjingkat seperti kena lecutan Pau Seh-hoa, dia terkejut, pada saat lain tubuh Pau
 Seh-hoa seperti tersentak sadar dari impian buruk, sekuatnya dia geleng2 kepala,
 Siang Cin di tatapnya lekat2, se-akan2 sudah puluhan tahun tak melihatnya,
 suaranyapun kaget, girang dan gemetar: "Kongcuya ...... betulkah kau . . . . oh, oh,
 92 memang betul kau, kukira aku sedang bermimpi . . . . "
 Derita macam apakah yang telah menyiksa jago kosen yang tak kenal takut ini"
 Dengan cara keji apa pula laki2 sekeras baja ini dibikin loyo dan linglung begini"
 Gemertak gigi Siang Cin saking dendam, sesaat dia berdiam diri. satu persatu dia
 puntir putus borgol di tubuh Pau Seh-hoa, lalu berganti membebaskan An Lip,
 perempuannya, keadaan An Lip jauh lebih mending dibanding Pau Seh-hoa waktu
 Siang Cin memuntir putus borgol ditubuhnya, laki2 kasar dan keras hati yang
 berewok ini, berkata penuh haru: "Inkong, akhirnya kau datang juga, tahukah kau
 dengan cara apa mereka menyiksa Pau-cianpwe . . . kedua binatang liar di luar itu
 tiga kali setiap hari di suruh menghajar Pau-cianpwe . . . . . hanya sekeping roti
 kering pula setiap hari Pau-cianpwe diberi makan, dan yang paling mengenaskaan,
 setiap malam seorang nenek jahat membawa masuk seekor kelelawar raksasa yang
 jelek untuk mengisap darah segar Pau-cianpwe . . . . masih ada lagi, masih ada . . . .
 " "Hai," seru Pau Seh-hoa dengan serak, "An Lip, memangnya kau tak bisa bungkam
 saja." Dengan pelahan Siang Cin menepuk bahu Pau Seh-hoa, katanya lirih: "Jangan
 marah Lo Pau, ingatlah selalu, derita dan siksa yang kita alami sekarang akan kita
 tagih dengan imbalan yang berlipat ganda dari mereka."
 Habis berkata dia ke sana menghampiri Kun Sim-ti, pelan2 dan hati2 dia membuka
 borgol di tubuhnya, pembalut di muka Kun Sim-ti sudah terbuka, wajah yang tadinya
 ayu segar bak kuntum bunga baru mekar itu kini dihiasi segumpal daging warna
 ungu menjadikan wajahnya kelihatan kurus, kuyu dan harus dikasihani. terpancar
 perasaan pilu, sedih tak terlampias dari wajah pucat itu, sejak Siang Cin datang
 sampai sekarang, Kun Sim-ti tetap memejamkan mata, tidak bergerak dan tidak
 mengeluarkan sepatah kata, tidak memperhatikan gejolak perasaan-nya, dia hanya
 diam saja, diam keputus-asaan.
 Bahwa terakhir Siang Cin baru memeriksa orang yang paling diperhatikan dan
 dikasihinya, justeru karena terlampau besar perhatiannya, dia tidak ingin cepat2 tahu
 betapa hebat siksa derita yang dialaminya, meski akhirnya toh dia akan tahu, malah
 iapun tahu bahwa derita itu telah terjadi dan tak mungkin dihindarkan lagi.
 Setelah memuntir putus borgol yang membelenggu kedua kaki Kun Sim ti, pelan2
 Siang Cin mengelus jalur membiru yang melingkar di kakinya, dengan suara serak
 dan tersendat dia berkata: "Ci, kau terlalu menderita . . . . "
 Kun Sim-ti menggeleng, dia tetap memejamkan mata, Pau Seh-hoe menjilati bibirnya
 yang kering pecah, katanya: "Luka terbakar nona Kun belum lagi sembuh, dengan
 kasar mereka membuka pembalut-nya, tidak diberi obat dan tidak dibersihkan lagi,
 justeru hal2 demikian inilah yang paling dikuatirkan untuk luka2 terbakar . . . . "
 Siang Cin menengadah, wajahnya tampak tenang, ia memandang langit2, tapi Pau
 Seh hoa justeru gemetar, ia tahu, ia paling dapat meresapi apa arti kelakuan
 sahabatnya ini, tentu banjir darah akan terjadi pula.
 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
 Dapatkah Siang Cin menyelamatkan kawan2nya dan cara bagaimana meloloskan
 diri " Pengalaman pahit apapula yang akan menimpa mereka"
 - Bacalah jilid ke 6 -
 93 Jilid 06 Akhirnya Pau Sek-hoa bersuara serak: "lote, apa pula yang kau pikirkan?"
 Siang Cin menatap datar ke arah Pau Seh-hoa, dia menggeleng, katanya dengan
 tertawa rawan: "Tiada yang kupikirkan Lo Pau, kau tahu, tiada yang kupikirkan."
 Ragu2 sejenak lalu Pau Seh hoa berkata pula hati2: "Bekas hitam di wajah nona
 Kun itu lantaran lukanya dulu tidak dirawat baik2 sehingga menimbulkan borok
 begitu, kelak bila diobati lagi ada harapan akan sembuh seperti sediakala lote,
 jangan timbul nafsumu membunuh pula, lote . . . . , ."
 Siang Cin berdiri, katanya menyimpangkan persoalan: "Lo Pau, kau sendiri apa
 bisa bergerak?"
 Pau Seh hoa menghela napas, sahutnya: "Sekuatnya masih bisa."
 Siang Cin berputar ke arah An Lip dan bertanya: "Bagaimana kau An Lip?"
 An Lip sudah berdiri, dia membusungkan dada, katanya dengan tegas: "Boleh saja!"
 "Dengan menggendong calon isterimu?" Siang Cin menambahkan.
 An Lip mengertak gigi, katanya: "Tidak jadi soal."
 Maka tanpa bicara lagi Siang Cin membopong Kun Sim-ti, sekalian dia tarik Pau
 Seh-hoa. Badan Pau Seh-hoa yang kurus tinggal kulit membungkus tulang itu
 terhuyung, katanya dengan ketus: "Tak usah membimbingku, Lo Pau bukan kakek
 yang sudah loyo"
 Lima orang beriring keluar dari pintu, Pau Seh-hoa melihat raksasa yang
 menggeletak mampus dalam keadaan yang mengenaskan, melihat pula dinding
 yang ambrol dan terali besi yang jebol, setelah menarik napas dia berkata: "Kongcuya,
 dengan tangan kosong kau menggempur masuk."
 Sambil memeriksa lorong yang dilewati, dengan tawar Siang Cin menjawab:
 "Menurut pendapatmu, memangnya aku harus membawa pasukan?"
 An Lip menggendong isterinya berdiri di samping, dengan penuh kebencian dia
 berludah pada mayat kedua raksasa, katanya gemas: "Mereka memang patut
 dibunuh, 94 Inkong, setiap hari kedua babi ini menghajar Pau cianpwe . . . . "
 Dengan tenang Siang Cin berkata:`Kalau begitu, kematian cara begini masih untung
 bagi mereka."
 Pau Seh-hoa mengusap muka, baru mau bicara, dari ujung lorong sana sayup2
 terdengar suara ribut diselingi teriakan kaget dan ketakutan.
 Terbelalak An Lip, katanya gelisah: "Inkong .... kudengar suara orang. . ."
 Siang Cin sibuk memeriksa lorong, katanya tenang: "Mereka takkan kemari dalam
 waktu dekat, di sana penuh ular2 merah beracun, kukira mereka akan sibuk
 setengah harian . . . . . "
 "Kongcu," ucap Pau Seh-hoa setelah ragu2 se-jenak; "apa yang sedang kau cari?"
 Siang Cin mengencangkan gendongan Kun Sim-ti, katanya: "Kupikir, tahanan di
 bawah tanah ini tak mungkin hanya ada sebuah jalan lorong saja, mereka pasti ada
 jalan rahasia untuk melowati ketiga kerangkeng binatang itu, tak mungkin mereka
 terjang masuk kemari seperti caraku tadi . . .."
 Pau Seh hoa mengangguk, katanya: "Kalau begitu, para keparat itu sebentar akan
 kemari." Wajah Siang Cin yang masih membiru hitam itu tampak kaku, katanya: "Betul, akan
 segera datang."
 Mereka berdiri diam di depan pintu, mereka seperti mengharapkan entah di mana
 nanti tiba2 dinding akan terbuka, lalu orang2 yang bersenjata berbondong
 menyerbu masuk, mereka sedang menantikan datangnya pertempuran besar.
 Suara gemuruh bergesernya barang2 berat sayup2 terdengar, seperti di bawah
 tanah, tapi juga seperti di sebelah atas,
 Tiba2 Siang Cin tertawa, dia berkata: "Lo Pau, setelah pertempuran ini, bila
 kita masih hidup, aku akan membuat neraca dan daftar untung rugi betapa banyak
 aku telah membunuh mereka."
 Pau Seh hoa memandangnya lekat2, katanya getir: "Kongcu, keganasanmu sudah
 kuketahui, di situlah letak yang tak bisa kutiru."
 Siang Cin tertawa, ucapnya: "Waktu mereka menyedot darah segarmu dengan
 kelelawar, apakah kau tak pernah menyesal telah berlaku bajik terhadap mereka"
 Lo Pau. ketahuilah, penghuni Cengsiong-san ceng ini tiada satupun manusia baik2,
 mereka adalah hewan yang bertopeng manusia belaka."
 Dengan beringas An Lip berteriak: "Inkong, biar nanti kuobrak abrik kawanan
 bangsat itu."
 "Bagus," puji Siang Cin mengangguk, "kau akan memperoleh imbalan berlipat ganda
 An Lip, ganyang saja, tabahkan hatimu, kesempatan hidup kita jauh lebih besar
 daripada mereka."
 Suara Kun Sim ti, yang digendong Siang Cin seperti berkumandang dari kejauhan,
 lemah dan lirih sekali, hanya Siang Cin saja yang mendengar: "Dik..."
 Bergetar tubuh Siang Cin, dia sediktt menengadah sebagai tanda mendengar, suara
 Kun Sim-ti yang lemah dan sedih terdengar pula: "Dik, apakah kita masih ada
 harapan?" Berpikir sebentar, baru Siang Cin berkata penuh keyakinan: "Kita akan berjuang,
 Ci, kau tahu, kita berlima tiada seorangpun yang segar bugar."
 Tiba2 Kun Sim-ti terisak, lekas Siang Cin berkata: "Kak . . . . . . "
 Suara sedih lirih Kun Sim-ti berkata: "Dik, apapun yang akan terjadi, ada
 omongan yang ingin kusampaikan padamu, kata2ku ini mungkin sudah kau ketahui,
 sebab sudah kita sembunyikan dalam relung hati sekian tahun lamanya . . . . . .
 aku, aku tidak setimpal, tapi . . . . . , tetap, tetap akan kuberitahukan padamu
 . . . . . . "
 Siang Cin bergetar seperti kedinginan dia menggertak gigi, rintihnya dengan
 rawan: "Kak . .. . .."
 Kepala Kim Sim-ti mendekap di pundak Siang Cin, secara langsung dia dapat
 merasakan dengus napasnya yang tersengal, dengan air mata yang melefeh ia
 berbisik: "Dik, aku . . . . . . aku cinta padamu . . . ."
 95 Hati Siang Cin tergetar, bibirnya rada pucat, dia mengangguk pelahan. Ya, kata2
 inilah yang telah sekian tahun tersimpan dalam sanubari mereka. Sebelum ini,
 bila mereka duduk berhadapan di bawah penerangan lilin, dikala ber jalan2
 menyongsong datangnya musim semi, secara polos bodoh mereka lewatkan
 suasana yang romantis itu, kini yang tertinggal hanya kenangan pahit melulu" Tapi isi
 hati ini akhirnya terlimpahkan, dinyatakan dengan tulus dan suci.
 Siang Cin pejamkan mata, suaranya tegas dan tandas laksana, kukuhnya gunung :
 "Kak, akupun demikian, malah sudah sejak lama . . . . . . "
 Girang dan haru Kun Sim-ti tak tertahan lagi, dia rapatkan mukanya kepunggung
 Siang Cin. Sekuatnya Pau Seh-hoa mengangkat badannya, laki2 yang keras hati ini menahan
 air matanya yang hampir meleleh, tapi ia sengaja berkelakar: "Nah, bagus sekali,
 seharusnya sudah sejak lama kalian nikah tamasya dan hidup bahagia . . . . . . "
 Kini terasakan juga sesuatu mengetuk sanubarinya, sesuatu yang tak terlupakan
 selama hidupnya, selama setengah umurnya ini dia hidup sebatangkara, selama
 kehidupan yang merana ini dia selalu mencari sesuatu yang dapat membuat
 hidupnya bercahaya, kini dia telah menemukannya, meski sesuatu ini bukan diperoleh bagi
 dirinya sendiri, tapi dia merasa puas, paling tidak dia sudah membuktikan bahwa
 di dunia fana ini memang ada cinta murni yang luhur dan di atas segalanya.
 An Lip menyeka air mata terharu, katanya tiba2: "Inkong, seperti ada gerakan . .
 . . . " Siang Cin memang sedang memperhatikan dinding di sebelah kiri, sebuah batu
 persegi tampak sedang bergerak tergeser keluar, mayat raksasa pertama yang
 dibunuhnya tadi kebetulan berada di bawah batu yang bergerak itu.
 Pau Seh hoa mengernyit dahi, katanya: "Kongcuya, kita bertindak menurut petunjuk
 tadi, jika kita tak dapat menerjang keluar, paling tidak kita harus melakukan
 apa saja sekuat tenaga."
 "Sudah tentu," dingin suara Siang Cin, "mereka takkan melupakan kejadian ini,
 karena peristiwa di sini akan menimbulkun bayangan takut selama hidup mereka"
 Di sebelah sana dengan langkah berat An Lip tengah menggeser mencari posisi,
 kini dia berdiri disudut yang paling mudah untuk menggempur musuh yang akan
 keluar dari lubang dinding itu.
 Pelaban Pau Seh-hoa juga duduk bersimpuh tepat di bawah batu yang sedang
 bergerak itu, ke dua matanya melotot, kedua telapak tangan siap di atas
 lututnya. Mundur selangkah Siang Cin berkata pelahan kepada Kun Sim ti: "Kak, keadaan
 amat mendesak, kita berada di lorong yang buntu ini, semuanya terluka lagi, musuh
 mungkin menggunakan cara yang paling keji untuk menghadapi kita. Kak, maafkan
 bila kau harus ikut terseret dalam kancah pertarungan ini, tapi aku berjanji
 sekuat tenaga akan melindungi keselamatanmu . , . . . "
 Lirih dan rawan Kun Sim- ti berkata: "Kenapa kau bilang begini" Kau tahu aku
 selalu akan mendampingimu, aku tidak takut, betul2 tidak takut. . . ?"
 Se-konyong2 Pau Seh-hoa mendesis: "Nah sudah datang, orang pertama yang akan
 kupukul mampus keluar."
 Bongkah batu besar yang lagi bergerak itu akhirnya terbuka, sesosok bayangan
 tampak merambat keluar, rnembulat mata Pau Seh hoa., tubuhnya yang bersimpuh
 tiba2 setengah berdiri, bagai seekor ular yang semula melingkar tiba2 hendak
 memagut mangsanya, telapak tangan terangkat.terus hendak menggempur. .
 Padahal bayangan itu baru saja keluar, keruan bayangan itu menjerit ngeri,
 untung mata Siang Cin amat tajam, sekilas dia sudah melihat jelas siapa yang
 menerobos keluar dari lubang batu itu, ia tak sempat berseru mencegah serangan
 96 Pau Seh-hoa, segera dia tutul sebelah kakinya, seeepat kilat ia sempat menahan
 tangan Pau Seh-hoa, arah pukulan Pau Sehhoa menjadi menceng. "Plak",
 pukulannya mengenai dinding, batu dinding muncrat berhamburan, merekapun tertolak ke
 samping. Pau Seh-hoa lantai menggerutu gusar: "Lote, kau gila . . . . . . kau. . . . . .
 . " Siang Cin menggeleng, lalu berpaling ke arah orang tadi yang menggelendot lemas
 di kaki dinding sana, rasa kejut masih terbayang di wajahnya. Wajahnya nan
 jelita tampak pucat, napasnya juga memburu, kedua bola matanya terbelalak, tanpa
 berkesip memandangi Siang Cin.
 Dia bukan lain daripada Sek Pin, adik Sek Kui, Wancu (ketua perkampungan)
 pertama dari Ceng siong san ceng.
 Dengan tertawa, tenang saja Siang Cin menyapa: "Manusia hidup di mana2 selalu
 bersua nona!".
 Sek Pin mengenakan pakaian ungu ketat, gaun panjang dengan ikat pinggang sutera
 warna putih, bagian luarnya mengenakan mantel kulit rase, topi kain yang lebar,
 wajah yang pucat bagai orang yang baru sembuh dari sakit, keringat basah di
 ujung hidung, sikapnya tampak gelisah dan takut.
 Pelan2 dia merangkak bangun dan mengelus dada, katanya gugup: "Siang Cin,
 besar amat nyalimu, seorang diri berani kau menerobos ke Lo-koh-ce gunung palsu ini,
 kini Cengcu dan lain2 sudah tahu perbuatanmu, seluruh kekuatan dikerahkan,
 daerah ini sudah terkepung rapat .. ... ."
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Hal ini memang sudah kuduga."
 Suara orang ribut2 dari lorong di mana kamar ular dan gajah bersayap semakin
 dekat, terdengar pula suara benda2 dipukul, obor bergerak dengan bunga apinya
 yang bertebaran.
 Melihat keadaan kelima orang dihadapannya, terbayang rasa iba dan simpatik pada
 muka si nona, tapi sikapaya tampak teguh untuk bertindak menuruti nuraninya yang
 suci murni, sekilas dia berpaling ke lorong gana, lalu tanpa ragu berkata:
 "Siang Cin, waktu sudah mendesak, bawalah orang2mu ikut aku."
 Sedikit melengak dan ragu2, Siang Cin berkata dingin: "Tentunya ini bukan sebuah
 jebakan?" Ujung bibir Sek Pin tampak mencibir sinis, wataknya yang keras seketika meledak
 mengobarkan amarah dan penasaran, katanya merasa terhina. "Kalau betul begitu,
 tak perlu aku bersusah payah kemari."
 Siang Cin menatap tajam pada Sek Pin, akhirnya ia mengangguk, katanya: "Baik,
 tunjukkan jalannya."
 Tanpa bicara lagi Sek Pin membalik dan menerobos ke dalam lubang darimana tadi
 dia datang, Siang Cin ikut di belakangnya, lalu An Lip yang memayang isterinya,
 terakhir adalah Pau Seh hoa. Di balik batu undakan sebelah kanan menurut
 petunjuk Sek Pin, Siang Cin menginjak sebuah tombol rahasia, maka pintu batu
 yang bergeser tadi pelan2 bergerak merapat.
 Lorong bawah tanah ini seperti menjurus ke pusar bumi, miring turun, terasa
 lembab dan dingin agaknya sudah sekian tahun tak terpakai lagi, bau apek busuk
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang umumnya hanya tercium di tempat gelap yang jarang terkena sinar matahari
 menyesakkan pernapasan, tanah licin berlumut, jauh dekat tak bisa dibedakan,
 karena gelap gulita, Sek Pin terus menggremet maju sambil me raba2, sepatah
 katapun tak bersuara. .
 Siang Cin melangkah maju lebih dekat, dengan suara lirih dia berkata: "Nona Sek,
 nona sudi menyerempet bahaya menolong kami, tak peduli Siang Cin dapat keluar
 dengan hidup atau mati, bila masih.ada kesempatan pasti takkan kulupakan budi
 luhur nona."
 Sek Pin maju terus tanpa bersuara, sesaat kemudian baru dia berkata rawan: "Tak
 97 usah kau berterima, kasih, memang ini kehendakku sendiri."
 Terketuk hati Siang Cin, ia menyesal, katanya kemudian: "Jangan berkata begitu
 nona, pengorbananmu teramat besar . .... " lalu Siang Cin menambahkan dengan
 nada berat: "Nona, apakah engkohmu tahu apa yang kau lakukan sekarang" Kecuali
 dirimu adakah orang lain yang tahu akan tindakanmu malam ini?"
 Sek Pin menahan isak tangisnya, katanya sedih: "Engkohku tidak tahu, tapi cepat
 atau lambat akhirnya dia akan tahu juga. Dia tidak akan mengakuiku lagi sebagai
 adik, ia pasti akan menghukum aku ... aku dan Hoan-gwat .... "
 "Siapakah Hoan-gwat?" tanya Siang Cin.
 Sek Pin terpeleset ditanah yang licin dan hampir saja jatuh, lekas Siang Cin
 memapaknya, Sek Pin berkata sotelah menghela napas: "Hoan-gwat adalah pelayan
 yang paling kusayang, kami tumbuh dewasa bersama sejak kecil."
 Berjalan beberapa jauh lagi baru Siang Cin berkata pelahan: "Lorong rahasia ini
 terang sangat panjang, tembus ke mana?"
 Kini Sek Pin berjalan lebih hati2, katanya: "Hampir lima tahun lorong ini tidak
 dipakai lagi, letaknya antara dua puluh kaki di bawah tanah, panjangnya dua li,
 karena tanahnya yang sering longsor, maka pembangunan lorong rahasia ini sudah
 dihentikan lima tahun lalu, lorong ini tembus ke gunung di belakang perkampungan
 . .. . " "Mungkinkah ergkohmu takkan curiga akan lorong rahasia yang terbengkalai ini"
 Tidak curiga bahwa kau yang menolong kami" Kecuali lorong rahasia ini, adakah
 jalan rahasia lain untuk masuk ke Lo-koh-ce?"
 Berpikir sekian lama baru Sek Pin berkata pula: "Sudah lima tahun lorong ini
 tidak terpakai, banyak orang tahu bahwa lorong ini sudah buntu dan tak bisa
 digunakan lagi, bulan yang lalu, tanpa sengaja Hoan-gwat dengan . .. . dengan
 temannya bertemu di sini, didapatinya longsoran tanah di sini ternyata sudah
 bergerak lagi, sehingga terbuka sebuah terowongan selebar tiga kali. Waktu itu
 secara diam2 Hoan-gwat beritahukan padaku, semula tidak kuperhatikan, tak nyana
 hari ini begini besar manfaatnya, menolong kau sekaligus juga mencelakakan
 diriku . . . . "
 Siang Cin geleng2, baru saja dia mau bicara Sek Pin sudah menyambung:
 "Engkohku pasti tidak tahu kalau lorong di sini masih dapat digunakan dan lebih penting
 lagi bahwa dia tak menduga akan perbuatanku yang durhaka ini, oleh karena itu,
 dalam waktu singkat mereka takkan memburu kemari, tapi bila mereka telah masuk
 lewat jalan rahasia lain dan kehilangan jejak kalian, pasti mereka akan menduga
 kalian telah kabur lewat lorong rahasia yang terbengkalai ini."
 Berpikir sebentai, tiba2 Siang Cin berkata: "Menurut perhitungan waktu,
 seharusnya mereka segera akan tiba di tempat kurungan kami dari jalan rahasia
 yang lain, tapi kenapa setelah kita pergi sekian lama masih belum kelihatan
 bayangan mereka?"
 Sek Pin menunduk malu, sesaat baru dia bersuara pula: "Aku kuatir mereka tiba
 lebih dulu maka . . . . maka kunci pintu yang disimpan engkohku telah kucuri . .
 . . " Siang Cin mengangguk maklum, sebabnya orang2 Ceng-siong-san-ceng ribut
 dilorong tempat binatang buas itu ialah karena pintu jalan rahasia yang lain terkunci dan
 tak bisa dibuka, terpaksa mereka harus masuk menurut jalan yang ditempuh Siang
 Cin, walau harimau bertanduk sudah mati tapi gajah bersayap yang terluka dan
 ular2 merah itu mungkin menjadi rintangan bagi mereka.
 Jalan semakin datar, maka langkah mereka bertambah cepat pula, tiba2 Siang Cin
 berkata pula dengan setulus hati: "Nona Sek, kami sangat berterima kasih atas
 pengorbanan dan pertolongan . ... . ..."
 Tanpa berpaling Sek Pin berkata dingin: "Sekarang kalian harus berusaha
 meninggalkan Cengsiong-san-eeng secepatnya, satu jam yang lalu Im-bing long-kun
 98 Ih King-hok telah tiba, mungkin sekarang dia sudab berada dalam barisan orang2
 Cengsiong san-ceng."
 Mendengar nama ini mau tak mau Siang Cin terkesiap, tanyanya: "Ih King-hok" Ih
 King-hok dari Ang-tong-nia itu?"
 Sek Pin juga terperanjat mendengar nada ucapan Siang Cin, langkahnya
 diperlambat, tanyanya heran: "Sudah tentu, memangnya di dunia ini ada Ih King
 hok kedua?" setelah merandek sebentar, dia berkata pula kuatir: "Kau juga kenal
 dia" Siang Cin, belum pernah aku melihat kau seprihatin ini . . . .. orang ini
 membuatmu takut?"
 Sambil tertawa tawar Sang Cin berkata. "Tidak, mungkin ada orang yang mampu
 mengalahkan Naga Kuning, tapi TIada seorangpun yang mampu membuat Naga
 Kuning jeri. Aku hanya merasa heran, Ih King-hok bertabiat aneh, tinggi hati, sUka
 menyendiri. tak pernah mencampuri urusan duniawi, bagaimana mungkin sekarang
 dia bergaul dengan orang2 Ceng - siong - san ceng yang terkenal jahat dan sampah
 dari kaum persilatan ini?"
 Dengan mendengus Sek Pin berkata kurang senang: "Hm, bicaralah yang bersih,
 kaum jahat dan sampah persilatan apa" Setiap orang punya pendiriannya. Kau
 menjelekkan orang lain, belum tentu orang akan memuji sepak terjangmu . . . . .
 . " Tertawa Siang Cin dan berkata:. "Ya, memang, kalau tidak, mayat takkan
 bergelimpangan sebanyak itu."
 Saking dongkol Sek Pin membanting kaki langkahnya dipercepat, Siang Cin menarik
 lengan Kun Sim-ti dalam gendongannya, lalu memberi tanda ke belakang sambil
 menyusul dangan langkah cepat, jalan rahasia sepanjang dua li itu mungkin sudah
 akan tiba di ujung.
 Kini terasa jalan yang mereka tempuh mulai menanjak naik, turun dan naik pula,
 tidak lama kemudian, dari depan sudah terasa ada embusan angin yang segar.
 Menarik napas panjang, Siang Cin berkata: "Sudah sampai."
 Sek Pin mangangguk sambil menuding kedepan, Siang Cin pusatkan perhatian
 memandang ke sana. Tertampak sebuah tangga batu berputar naik ke atas, mulut
 terowongan tertutup oleh sesuatu benda yang hitam gelap. Siang Cin tertawa, dia
 tahu itulah tumpukan rumput kering, karena dari sela2 lubang tumpukan benda
 hitam itu dia dapat melihat sinar bintang yang kelap-kelip di cakrawala.
 Setiba di undakan Sek Pin tampak tegang dan gelisah, setelah menarik napas,
 sekilas ia bimbang dan takut, akhirnya dia menepuk tangan dua kali, cepat dari
 luar mulut lorong berkumandang pula dua kali tepukan balasan.
 Sek Pin berteriak tertahan: "Hoan-gwat . . . . ."
 Benda hitam yang menutup mulut terowongan tampak digeser ke pinggir, ternyata
 memang tumpukan rumput kering, seorang dara jelita segera menongol, tanyanya
 gugup dan tegang: "Siocia, sudah datang semua?"
 "Ya," sahut Sek Pin. "Hoan-gwat, bagaimana keadaan di luar?"
 Wajah jelita di atas itu tampak takut2 dan ngeri: "Hampir saja aku mati
 ketakutan, sinar pedang dan golok gemilapan di dalam dan luar kampung, bayangan
 orang simpang siur, baru saja kulihat The moacu membawa sebarisan anak buahnya
 berlari lewat di depan sana. Siocia, lekas kalian naik kemari . . . . "
 Mendadak Siang Cin melangkah maju, katanya.. "Untuk Menjaga kemungkinan, biar
 aku naik lebih dulu." Habis berkata ia terus melayang ke atas, baru saja
 tubuhnya muncul, seorang nona berpakaian hitam di mulut gua itu segera hendak
 menjerit kaget.
 Tapi Siang Cin sempat mendekap mulut si gadis yang hampir menjerit, katanya
 tenang: "Jangan berisik, aku Siang Cin."
 Gadis itu mengenakan pakaian serba hitam, dengan kerudung warna hitam pula,
 99 wajahnya bundar kwaci manis dan mungil, usinya sekitar delapan belasan, kalau
 tidak lantaran kaget sehingga mukanya tampak pucat, mungkin dia akan kelihatan
 lebih jelita. Siang Cin unjuk tawa ramah kepada dara remaja ini, lalu dia membalik bantu
 menarik Sek Pin keluar, disusul An Lip dan isterinya lalu Pau Seh-hoa.
 Mulut gua ini berada di sisi sebuah batu gunung, sekelilingnya adalah rumput
 alang2 yang tumbuh tinggi setengah badan orang, bayangan puncak tinggi tampak
 berdiri tegak di kejauhan, angin malam meniup kencang sehingga rumput dan
 pepohonan bergerak mengeluarkan suara berisik, suasana pegunungan yang liar
 dan sepi ini terasa seram dari menggiriskan.
 Pau Seh hoa memandang sekelilingnya dan menarik napas panjang ber-ulang2
 untuk menghirup hawa segar. Siang Cin juga memandang jauh ke kegelapan alam,
 katanya lirih: "Lo Pau, pegunungan ini merupakan tempat sembunyi paling baik bagi kita."
 Pau Seh hoa memegang dagu, sahutnya dengan serak: "Ya, untuk sementara saja,
 memangnya kita berani pelesir di jalan raya sekarang?"
 Pelan2 Siang Cin berpaling pada Sek Pin, Si nona tengah mengawasinya dengan
 tatapan tajam, katanya pelahan: "Siang Cin, kau boleh pergi."
 Menghela napas masgul, Siang Cin berkata; "Apakah engkohmu akan
 menghukummu?"
 Tampak senyum aneh menghias wajah Sek Pin, tapi senyum ini lantas beku oleh
 kerongkongan yang seperti tersumbat, lekas dia berpaling, lalu berkata dengan
 sedih: "Tergantung betapa banyak yang dia ketahui . . . . . . . " sampai di sini
 dia membalik pula, deagan lagak tenang ia menyambung: "Paling tidak, sekarang
 dia belum tahu, atau mungkin bila aku bisa menutupi perbuatanku dengan baik,
 mungkin selamanya dia tidak akan tahu "
 Siang Cin rnemandangnya, dia tahu orang senugaja menghibur diri, urusan tak
 mungkin begitu mudah, orang2 Ceng siong-san-ceng tidak bodoh, terutama Sek Kui
 si durjana itu.
 Pau Seh hoa menghampirinya, katanya serak: "Kongcuya, sekarang kita boleh
 berangkat bukan?"
 Siang Cin menengadah memandang angkasa, bibirnya bergetar, sesaat kemudian
 baru berkata: "Kami akan berangkat nona Sek, kau harus jaga dirimu baik2, demikian
 pula nona Hoan gwat."
 Sek Pin diam saja, sinar matanya tampak kabur, dengan berat dan seperti tak
 terasa dia mengangguk, se-olah2 mengandung derita batin yang tak terperikan,
 takut karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan atau jeri menghadapi
 hukuman yang bakal menimpa dirinya" Atau mungkin karena menyesal akan
 perbuatannya sendiri"
 Sedikit membungkuk kepada Sek Pin sebagai tanda hormat, Siang Cin lantas
 melangkah pergi,
 baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 Sek Pin memburu maju tanyanya dengan
 muka pucat dan suara gemetar: "Kau . . . . . Siang Cin, apakah kau akan datang
 lagi?" Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata:
 "Aku akan kembali, nona Sek, aku pasti akan datang lagi."
 Sek Pin menyurut mundur dengan perasaan ngeri, badannya gemetar menghadapi
 tatapan Siang Cin yang penuh rasa dendam membara, tubuhnya gemetar
 mendengar nada ucapnya yang kaku dingin itu, katanya pula dengan duka nestapa: "Kembali
 dengan kedua tanganmu yang berlepotan darah itu?"
 Menguwasi muka orang Siang Cin berkata dengan tegas: Kau tahu aku pasti berbuat
 100 begitu, nona Sek, aku juga takkan melupakan kebaikan dan pertolonganmu malam
 ini, sejak masih bocah Siang Cin sudah pandai membedakan antara budi dan sakit
 hati." Langkah Siang Cin berlima semakin jauh, jalan yang mereka tempuhpun semakin
 jelek dengan batu gunung yang runcing dan licin. Pau Seh-hoa berpaling,
 dilihatnya Sek Pin berdiri ditempatnya seperti dibungkus kegelapan, pelayannya
 Hoan-gwat masih tetap mendampinginya, Pau Seh-hoa dapat meresapi betapa
 masgul hati si nona yang terpencil dalam kesunyian.
 Pau Seh-hoa berjalan dengan payah, lama sekali baru dia berkata: "Kongcuya, apa
 kau akan naik ke puncak gunung?"
 Siang Cin menggeleng, katanya tawar: "Tidak, kita hanya berputar melalui kaki
 gunung." Di atas punggungnya Kun Sim-ti menghela napas lelah, katanya lirih: "Dik, kau
 tidak letih?"
 Berdetak jantung Siang Cin, dengan haru dia usapkan telinganya ke pipi si nona,
 dia tahu bukan hanya soal sepele ini yang ingin diajukan oleh Kun Sim-ti, dalam
 hatinya tentu ingin tahu siapakah Sek Pin. Tapi dia tidak bertanya, di sinilah
 letak kebesaran jiwa Kun Sim-ti dan dalam hal ini dia lebih unggul dari wanita
 yang lain. Siang Cin memandang jauh ke bawah, ke arah Ceng-siong-san-ceng, cahaya obor
 masih kelihatan bergerak kian kemari, perkampungan besar itu seperti diliputi
 suasana tegang dan dibungkus kabut hitam, se olah2 mereka ingin mengaduk setiap
 jengkal tanah di sana untuk menemukan jejak Siang Cin.
 Pau Seh hoa menepuk pundaknya, katanya: "Kongcuya, tak perlu memandang ke
 sana lagi, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Sekarang lebih penting kita cari
 tempat untuk menyembuhkan luka2 ini, apalagi kita harus sembunyi dan
 menghindari kejaran musuh."
 Memandang bayang2 hitam di puncak kejauhan Siang Cin mengangguk, katanya
 dengan rasa lelah: "Kau betul, memang itulah yang kita perlukan sekarang."
 Dengan tertatih saling gandeng mereka, maju terus di lereng pegunungan yang
 belukar ini, lambat dan sukar sekali perjalanan yang harus mereka tempuh. tapi
 mereka tetap maju ke depan, menuju ke pinggir gunung, ke arah datangnya sang
 fajar. Ya, tak lama lagi hari akan terang tanah.
 Lereng bukit itu berserakan batu2 gunung, di belakang lereng sana adalah sebuah
 bukit yang penuh semak belukar, di bawah lereng adalah sebidang hutan yang daun
 pohonnya sudah sama rontok, di antara hutan dan serakan batu2 gunung itu
 terdapat sebuah jalan pegunungan yang melingkar menjurus ke atas. Tatkala itu,
 suasana sekeliling sunyi senyap.
 Di antara batu2 yang berserakan di lereng itu terdapat sebuah batu padas besar
 yang datar licin, bagian atasnya mencuat keluar seperti tergantung di tengah
 lereng, di bawah batu padas raksasa ini ada pula puluhan batu2 besar kecil yang
 ditumpuk mirip sebuah dinding yang tidak teratur, sementara batu padas yang
 mencuat keluar kebetulan mengalingi sinar matahari, dapat untuk berlindung dari
 angin dan hujan, dilihat dari luar sukar diketahui apa dan bagaimana keadaan di
 balik tumpukan batu itu, tapi dari celah2 batu orang dapat melihat keadaan di
 luar dengan jelas.
 Sekarang Siang Cin, Kun Sim-ti, Pau Seh hoa berlima tengah beristirahat di sini,
 Siang Cin menggelendot pada sebuah batu, ber-malas2 dengan setengah
 memejamkan mata. Kun Sim ti rebah tenang
 di sampingnya, An Lip dan bakal isterinya duduk setengah rebah di ujung kaki
 101 batu, sedang Pau Sehhoa mondar mandir sambil menggerutu entah apa yang
 membuatnya gelisah.
 Hawa sejuk nyaman, kadang kala terdengar juga kicau burung, tapi gema suaranya
 seperti berada di tempat jauh.
 "Sret". Pau Seh-hoa berludah, dengan gelisah dia mendekat ke samping Siang Cin,
 lalu berduduk, Siang Cin membuka mata memandangnya, muka Pau Seh-hoa bukan
 saja kurus kering tapi juga berwarna kuning dan kuyu, bibirnya yang pecah tampak
 putih tak berdarah, sementara kedua matanya tampak cekung, rambut yang
 memang awut2an itu tampak bagai rumput kering, sikap dan gerak geriknya kelihatan loyo
 dan lemas. Siang Cin menghela napas, katanya: "Lo Pau, melihat keadaanmu, sungguh aku ikut
 bersedih."
 Pau Seh-hoa tergelak2 dengan suara kering, katanya sambil unjuk giginya yang
 kuning: "Sudahlah, kau yang cakap ini kini juga tidak lebih bagus daripadaku,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendeknya, derita yang kita alami sudah cukup kenyang."
 Siang Cin mengawasi angkasa dengan memicingkan mata, agak lama kemudian
 baru dia berkata: "Memang benar, Ceng-siong san-ceng memang teramat kejam, tapi akupun
 lebih suka berhadapan dengan musuh macam begini, karena hal itu akan
 membuatku tidak mengenal kasihan lagi dikala menuntut balas kelak. Memang mereka bekerja
 dengan sempurna, sempurna dalam kekejaman."
 Pau Seh-hoa menggeram tertahan, "Kongcu," katanya kemudian," kau hanya tahu
 bahwa mereka menghajarku tiga kali, saking kelaparan mataku ber-kunang2, mereka
 membawa kelelawar untuk menghisap darahku, tapi masih ada satu yang belum kau
 ketahui . . . . . . . "
 Tenang Siang Cin memandang Pau Seh-hoa, tanyanya: "Apa pula yang satu ini?"
 Muka Pau Seh hoa tampak berkerut, dengan penuh dendam dia mengepal kedua
 tinjunya, pelan-pelan kepalanya tertunduk, rambutnya yang panjang awut2an
 menutupi jidatnya, sementara matanya terlongong mengawasi ujung kaki tanpa
 bergeming, belum pernah Siang Cin melihat kelakuan Pau Seh-hoa seperti ini
 selama dia kenal dan bergaul dengan dia selama puluhan tahun. Dia tahu kecuali
 temannya ini mengalami suatu pukulan lahir batin yang kelewat batas, atau
 mungkin suatu penghinaan besar, jelas dia tidak akan bersikap seaneh ini.
 Pelan2 Siang Cin mengusap bahunya, katanya: "Ceritakan padaku, Lo Pau,
 pengalaman yang satu itu. Bila ada yang terhina dan hal yang memalukan, biar aku
 ikut meresapi dan memperoleh bagiannya."
 Pelan2 Pau Seh hoa angkat kepalanya yang bergetar, sekuatnya dia menekan
 gejolak emosinya, lama kemudian baru dia membuka mulut sambil tertawa: "Bukannya tak
 boleh kuceritakan pengalamanku itu, cuma setiap kali aku teringat adegan itu,
 sungguh ingin rasanya aku membenturkan kepalaku supaya mampus saja seketika."
 "Katakan Lo Pau, dengan cara apa mereka menyiksamu?"
 Menarik napas dalam2, seperti berusaha menekan darahnya yang mendidih, setelah
 bungkam sekian saat, Pau Seh-hoa mengawasi Siang Cin dengan tersenyun getir,
 lalu katanya: "Mereka paksa aku menelan pil berwarna merah, setiap kali ada
 orang yang masuk bersama. Ternyata kepandaian kedua keparat ini tidak lemah,
 mereka menutuk Hiat-toku lebih dulu sehingga aku tak bisa meronta, pil merah itu
 rasanya getir dan wangi, karena pernah aku mempelajari ilmu pengobatan, maka
 aku tahu bahwa obat itu kemungkinan adalah obat perangsang pembangkit nafsu, cuma
 tak pernah kuduga bahwa mereka bakal menggunakan obat perangsang yang
 khasiatnya 102 begitu besar dan kuat, apalagi sekaligus mereka mencekok aku lima butir, lalu
 aku diseret keluar lorong, di sana . . . . . . sudah menunggu tiga orang
 perempuan yang genit, secara kekerasan mereka membelejeti pakaianku, di tengah
 tawa cekikik jari tangan yang halus menggelitik badanku, satu persatu aku
 membawakan adegan yang memalukan, lebih rendah daripada hewan, aku
 merasakan lebih terhina dari seekor anjing, lebih bodoh dari babi, sungguh aku hampir
 kehilangan perikemanusiaan . . . . . . . "
 Siang Cin mendengarkan dengan diam dan tenang, tidak menampilkan perasaan
 apapun, sesaat kemudian baru dia berkata perlahan: "Mereka sengaja hendak
 menguras tenaga murnimu sekaligus untuk menghinamu pula, Lo Pau, beberapa kali
 mereka memaksamu melakukan hal itu setiap harinya?" "
 "Timbul rona merah pada muka Pau Seh hoa yang kempot, giginya gemertak,
 katanya dengan geram: "Empat kali atau lima kali."
 Menatap lembut dan lengang, Siang Cin baru berkata: "Lo Pau, aku tidak senang
 menghibur dengan kata2 yang tak berguna, memang suatu penghinaan yang
 kelewat batas, bila aku sendiri yang mengalami, akupun tak tahan, apakah beberapa
 perempuan itu tahu akan cara mengisap sari kejantananmu?"
 Gemetar kulit muka Pau Seh-hoa yang kurus, katanya mengangguk: "Mungkin saja,
 setelah berakhir, aku pasti merasa amat letih, kehabisan tenaga sampai pingsan
 beberapa kali, tulang sekujur badan seperti terlepas, ada kalanya untuk
 bernapaspun terasa sesak."
 Diam sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin bertanya: "Apakah Kun cici dan isteri An
 Lip tahu akan hal ini?"
 Pau Seh-hoa menggeleng, katanya: "Tidak tahu, tapi An Lip agaknya dapat meraba."
 Terbayang tekad menuntut balas pada sorot mata Siang Cin, katanya penuh
 pengertian: "Waktu kau dipaksa melakukan itu. kecuali ketiga perempuan itu siapa
 pula di antara mereka yang menonton dari samping" Maksudku mereka yang
 tersangkut langsung dengan kejadian ini."
 "Kecuali ketiga perempuan itu, yaitu kedua raksasa dan dua orang keparat yang
 memaksaku menelan pil merah itu, kedua jahanam itu berperawakan tinggi kurus,
 seorang bercodet di ujung kanan matanya, seorang bermuka burik, usianya sekitar
 tiga puluhan, wajah kedua orang jelas tak bermoral . . . . "
 "Kau tidak salah lihat dan keliru mengingatnya?" Siang Cin menegas.
 Menggeram dalam tenggorokan Pau Seh-hoa: "Umpama mereka hancur lebur jadi
 abu tetap bisa kukenali wajah kedua binatang yang berkedok manusia itu, selama aku
 tidak mati, pasti takkan pernah kulupakan."
 Siang Cin mengangguk, ujarnya: "Makhluk aneh penjaga pintu sudah kusingkirkan,
 kini tinggal kedua orang berwajah buruk itu yang masih hidup, kecuali itu, kita
 harus mencari tahu siapa orang di belakang layar yang menjadi biang keladi
 kejadian ini?"
 Seperti mendadak maklum ke mana arti perkataan Siang Cin, Pau Seh-hoa bertanya
 pelan: "Menurut pendapatmu, Kongcuya?"
 "Maksudku mereka takkan lama mengenang kejadian itu, mereka harus
 melupakannya, cara untuk membikin mereka melupakan hal itu amat mudah kukira tak usah
 kujelaskan, tentunya kau sudah mengerti."
 "O, ya, Kongcuya, kulihat kau se-olah2 terbungkus darah, kenapa jarimu bengkak
 dan membusuk" Demikian pula kulit daging dadamu seperti terkelupas . . . . . . .
 " Siang Cin menekuk jarinya dan berkata: "Mereka menusuk kuku-jariku dengan jarum
 baja yang telah dilumuri racun, menggunakan semacam alat penghisap untuk
 103 menyedot kulit dagingku. lalu garam dipoleskan pada luka2 badanku, masih ada
 pula cara2 keji lain, segan aku membicarakannya . . . . "
 Gemeretak gigi Pau Seh hoa menahan dendam kebencian, desisnya beringas: "Kita
 akan mencuci dendam dan penghinaan ini dengan darah mereka...."
 Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalamannya dan bagaimana dia berhasil
 lolos kembali, akhirnya dengan letih dia berkata: "Racun bius yang mereka
 gunakan dalam gubuk mungil itu amat lihay, boleh dikatakan tidak berbau dan tak
 berwarna, tahu2 kita semua sudah terpedaya, lain kali kita harus jauh lebih
 hati2 dalam hal ini . . . . "
 Pau Seh-hoa mengangguk dan berkata: " Gadis tadi kau memanggilnya Sek Pin"
 Apakah dia adik Sek Kui, si anjing buduk itu?"
 Siang Cin tertawa. "Betul" sahutnya.
 "Kenapa dia suka rela menempuh bahaya menolong kita, semua ini sungguh luar
 biasa . . . . " setelah menepekur agak lama dia angkat kepala. Melihat Siang Cin
 seperti lagi tertawa tapi tidak tertawa, maka tokoh Kangouw yang keras hati ini
 lantas berseloroh: "Nah, tentu kau bocah bergajul ini yang memikat anak perawan
 orang, orang hanya tahu bahwa tanganmu gapah terhadap musuh, tapi tiada yang
 tahu bahwa dalam main pat-gulipat kau juga cukup ahli, dalam keadaan begitu kau
 masih sempat mengembangkan bakatmu, sungguh aku tak berani
 membayangkannya. Dari
 sikapnya terhadapmu, menurut pengamatanku, se-olah2 kalian sudah bersahabat
 puluhan tahun."
 Mengawasi kesepuluh jari2nya yang bengkak menghitam, Siang Cin berkata prihatin:
 "Lo Pau, apakah luka di muka Kun-cici bisa disembuhkan?"
 Serta merta Pau Seh-hoa menoleh ke arah Kun Sim-ti yang rebah di sebelah sana,
 sahutnya ragu2: "Sukar dikatakan, tapi besar kemungkinan bisa disembuhkan . . .
 . " Menggigit bibir, Siang Cin berkata sungguh2: "Peduli dengan imbalan apapun atau
 dengan segala pengorbanan harus kuperjuangkan harapan yang ada itu Lo Pau, ini
 bukan untukku, tentunya kau tahu, bagi seorang perempuan betapa besar arti
 wajahnya, karena kecantikan menyangkut watak pembawaan perempuan."
 "Aku mengerti," ujar Pau Seh hoa sambil meng-gosok2 tangan "Kongcuya, aku akan
 berusaha," lalu dia meraba2 perut, kebetulan perutnya berkeruyukan, dengan
 tertawa dia berkata: "Kongcu, perut yang kurangajar ini mulai menggerutu . . .
 ." Belum habis Pau Seh-hoa bicara, tiba2 Siang Cin memberi tanda supaya dia
 menaruh perhatian, lalu berpaling serta mendengarkan dengan seksama.
 Dengan hati2 Pau Seh hoa merambat ke sana dan mengintip lewat celah2 batu,
 kecuali beberapa kali terdengar kicauan burung, di luar sepi dan kosong tak
 terlihat apapun.
 Tapi Siang Cin masih mendengarkan penuh perhatian, sikapnya serius tak bergerak.
 Sembari melongok Pau Seh-hoa berkata lirih: "Kukira kau melihat setan di siang
 hari bolong, tiada gerakan apa2 di luar sana . . . . . " belum lenyap suaranya,
 kulit mukanya tiba2 mengencang, tidak salah, sayup2 memang didengarnya suara
 derap tapal kuda yang lagi mendatangi, masih jauh sekali se-akan2 derap kuda
 yang datang dari balik awan.
 Berpaling cepat, Pau Seh-boa menuding ke arah datangnya suara, Siang Cin sedikit
 manggut, katanya: `Berapa jauh kira2 tempat ini dari Ceng siong-san-ceng?"
 Berpikir sebentar akhirnya Pau Seh-hoa berkata: "Kurang lebih dua puluh li atau
 tiga puluh li."
 Ber- kedip2 Siang Cin, katanya lirih: "Apa kau masih mampu beraksi, Lo Pau?"
 Pau Seh- hoa meringis, katanya, "Sudah tentu, cuma jauh tidak sehebat biasanya."
 Siang Cin tertawa getir, katanya: "Kalau yang datang musuh, lindungilah
 Kun-cici, kalian harus mundur ke atas gunung biar aku yang mengadang mereka,
 104 jangan membantah, soalnya kondisiku sekarang lebih kuat daripadamu dan lagi
 untuk lari aku bisa lebih cepat, betul tidak?"
 Bergetar bibir Pau Seh-hoa, apa boleh buat akhirnya dia berkata: "Baiklah, tapi
 kau harus tahan hidup, aku tidak mengharapkan kawan yang masih muda, belum
 lagi menikmati kebahagiaan berumah tangga sudah mangkat . , . . "
 Menepuk bahu Pau Seh-hoa, Siang Cin tertawa, ucapnya: "Sudah tentu,
 memangnya aku ingin mati."
 Maka Pau Seh-hoa mendekati An Lip berdua supaya mereka bersiap, Sang Cin juga
 membangunkan Kun Sim ti, kini suasana terasa mencekam, hawa pegunungan
 seperti menjadi beku, lapat2 bau anyir darah seperti tercium pula.
 Derap tapal kuda yang ramai itu semakin nyata dan keras beradu dengan batu2
 pegunungan, dengan cermat Siang Cin mengintip keluar dari celah2 batu, Kun
 Sim-ti menggelendot di sampingnya, sekujur badan terasa lemas dan gemetar.
 Nah, itu dia, sudah datang semakin dekat, kini sudah kedengaran dengus napas
 kuda yang kepayahan. Pau Seh hoa menggertak gigi sambil menengadah, sinar
 matanya memancarkan rasa dendam kesumat, jari2nya terkepal kencang se-akan2
 ingin meremas hancur batok kepala musuhnya.
 Di bawah lereng bukit yang terdapat batu berserakan itu, pada jalan pegunungan
 yang melingkar berliku itu, dari pengkolan sebelah kiri tertampaklah debu
 mengepul tinggi, penunggang kuda pertama kini sudah kelihatan.
 "Nah itu, sudah terlihat," ucap Siang Cin lirih sambil berpaling memberi tanda.
 Lekas dia berpaling ke sana lagi, dalam sekejap itu dilihatnya sepuluhan
 penunggang kuda telah muncul, di belakang masih ada, dari suaranya kemungkinan
 ada lima puluhan lebih penunggang kuda.
 Semua penunggang kuda mengenakan pakaian ringkas warna putih mengkilap
 terbuat dari sutera, semuanya mengenakan mantel seragam dari warna yang sama,
 semuanya memelihara rambut panjang, hingga semampir di belakang pundak, jidat dilingkari
 gelang emas, di belakang punggung mereka memanggul jenis senjata yang sama
 pula, yaitu golok besar yang melengkung dengan sarung kulit harimau, tumbak pendek
 bersula dua terpegang miring di depan dada, kelihatan dandanan rombongan orang
 ini amat aneh dan menyolok, tapi barisan ini nyata membawa wibawa keperkasaan.
 Pemimpinnya adalah tiga orang yang luar biasa, seorang bermuka putih halus,
 berkumis dan jenggot hitam, berusia pertengahan umur, seorang pemuda berwajah
 bersih dengan sikapnya yang dingin, orang ketiga mungkin buta sebelah matanya,
 dengan secuil kain bundar yang bertali dia menutup matanya itu, tepat di tengah
 alisnya melintang kebawah pipi sebuah garis bekas luka yang berwarna merah,
 diantara ketiga orang ini, tampang orang terakhir inilah yang paling jelek, tak
 ubahnya seekor binatang liar yang ganas, buas dan sukar dijinakkan.
 Memang rombongan berkuda ini ada lima puluhan lebih, setiba di bawah lereng batu
 berserakan itu, laki2 pertengahan umur yang memelihara jenggot pendek itu tiba2
 mengangkat tinggi tangan kanannya, maka barisan berkuda itupun berhenti, dengan
 pandangan penuh tanya matanya menjelajah ke arah lereng, lalu kepada dua orang
 di kanan-kirinya entah membisiki apa2.
 Cahaya mentari nan cemerlang di pagi hari ini menerangi barisan berkuda ini,
 pakaian mereka yang putih mengkilap memancarkan cahaya bersih yang
 menyilaukan mata. Mengerut kening Siang Cin di belakang batu, katanya pelahan: "Mereka bukan orang
 Ceng siong-sa
^