Bara Naga 5
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 5
n ceng . . . ."
105 Sambil berjongkok Pau Seh-hoa berkata dingin: "Mereka sudah berhenti?"
Sorot mata Siang Cin tertuju keluar, katanya bingung: "Ya, kita tidak
meninggalkan jejak apa2 sehingga menimbulkan perhatian mereka bukan"
Dandanan orang2 ini rada aneh, selamanya belum pernah kulihat dan belum pernah dengar. ..
." Pelan2 Pau Seh hoa mendekat, iapun mengintip keluar, sesaat kemudian baru
berkata penuh curiga: "Aneh, memangnya mereka ini orang2 gagah dari mana"
Gelagatnya mereka akan naik kemari mengadakan pemeriksaan, memangnya
mereka suka iseng . . . . "
Sembari berpikir Siang Cin berkata pelan2: "Berhadapan dengan mereka lebih
mending dari pada orang2 Cong siong-san ceng. Kukira, bila mereka bukan
makhluk2 aneh yang bertabiat nyentrik, mungkin kita bisa mengadakan kontak dan bicara
secara damai . . . . "
"Crot", Pau Seh-hoa berludah, desisnya benci: "peduli mereka siapa, bila berani
cari gara2, biar dia nanti rasakan kelihayanku . . . "
Tiba2 Siang Cin mengulap tangan, katanya: "Awas hati2, mereka sudah naik
kemari." Pau Seh-hoa coba melongok ke bawah lereng, setengah dari penunggang seragam
putih itu sudah turun dari kuda, di bawah pimpinan si pemuda berwajah kaku
dingin, mereka membentuk setengah lingkaran terus merambat ke atas.
Diam dan seksama Siang Cin mengawasi orang2 baju putih yang tidak terang
asal-usulnya dari tumpukan batu, setengah lingkaran itupun menyurut kecil, kini
jelas terlihat muka mereka, mimik muka yang sukar dijajaki ke mana alam pikiran
mereka tertuju.
"Apa keinginan mereka?" tanya Pau Seh-hoa sambil menelan ludah, "Apa pula yang
hendak dilakukannya?"
Se-konyong2 salah seorang berbaju putih menjerit girang, waktu Siang Cin menoleh
kesana, tangan orang itu tengah teracung tinggi memegang sebuah benda, itulah
sobekan ujung pakaian warna hijau pupus yang berlepotan darah, secuil kain dari
sobekah baju perempuan. Dari warna kain itu jelas itulah sobekan dari gaun yang
dipakai Kun Sim-ti.
Kun Sim-ti yang ada di samping Siang Cin bergetar, dengan jari2nya yang halus
runcing dia meraba bagian gaunnva yang robek, memang di bawah ujung kiri
terobek secuil. "Tak usah kuatir," Siang Cin menepuk bahu Kun Sim-ti, "Kak, urusan toh harus
diselesaikan, tiada yang perlu ditakuti."
Orang2 baju putih di luar itu sudah berhenti, pandangan mereka penuh waspada
akan keadaan sekeliling, pandangan mereka tertuju ke arah tumpukan batu yang
melingkar di atas sana, entah sejak kapan golok besar melengkung di punggung
mereka sudah dicabut keluar, jenis golok melengkung panjang besar ini,
berpunggung tebal dan berat, mata goloknya tajam luar biasa, dari pinggang golok
sampai keujungnya berbentuk melengkung bak bulan sabit, sekilas pandang
kelihatan jauh lebih menyeramkan dari senjata umumnya. - -"
Dengan golok yang mengkilap tajam itu mereka berdiri pada posisi yang paling
menguntungkan, leluasa dan cepat untuk melancarkan serangan ke dalam sela2
batu yang berserakan itu.
Posisi macam ini cukup dimengerti oleh Siang Cin, dengan penuh perhatian dia
mengawasi gerak gerik orang2 baju putih.
"Kongcu," kata Pau Seh-hoa dengan suara tertahan, "agaknya takkan terhindar . .
. ." 106 "Memangnya, kapan kita pernah menghindar," jengek Siang Cin, "kita hanya
menunggu, Lo Pau, hanya menunggu kesempatan."
Mendadak di luar berkumandang sebuah suara, suara kasar, kaku dan dingin:
"Sahabat di balik batu berserakan itu, dengarkanlah, bila kalian kawanan
gerombolan Hek-jiu-tong. silakan lekas keluar saja, muslihat kalian takkan bisa
mengelabuhi Bu-siang-pay dari padang rumput di kaki Kiu-jin-san."
"Bu-siang- pay", ketiga huruf ini laksana tiga bola emas yang menggelinding
masuk telinga Siang Cin, sekilas dia melenggong, katanya pelahan: "Inikah orang2
Bu-siang-pay" Em, pernah kudengar namanya, cuma tiada kesempatan melihat . . . .
?" Pau She hoa membasahi bibir, denga serak ia berkata: "Keparat, apakah
Bu-siang-pay kurang puas merajai sekitar Kiu-jin-san dan padang rumput, untuk
apa pula lari ke sini dan berkaok2 lagi?"
Belum Siang Cin menjawab, suara kaku dingin tadi berkunrandang pula: "Bila
sahahat di belakang batu bukan orang2 Hek-jiu-tong, maka silakan buktikan bahwa
kalian tidak bermusuhan, silakan keluar untuk berbincang beberapa patah kata"
Kembali Pau Seh hoa memaki dengan suara palahan: "Bedebah. bocah ingusan
berani bertingkah di sini . . . . "
Setelah menepuk kedua pipi Kun Sim-ti, lalu Siang Cin berkata kepada Pau
Seh-hoa: "Lo Pau, perhatikan baik2, aku akan keluar."
"Hati2 . . . . " lekas Pau Seh-hoa berseru.
Sekali enjot tubuh, dengan enteng Siang Cin melejit ke atas tumpukan batu,
pakaiannya yang rombeng melambai tertiup angin, mengelus luka2 di muka dan
badannya yang masih berlepotan darah kering, tak ubahnya seorang panglima
perang yang baru saja berhasil menjebol kepungan musuh.
Orang berbaju putih seketika terbeliak, serentak mereka menggeram, golok
melengkung serempak bergerak melintang di depan dada dan siap tempur.
Dingin saja Siang Cin memandang orang2 baju putih itu, sikapnya kelihatan gagah,
keras dan angkuh. Pemuda berwajah kaku dingin itu agaknya terpengaruh juga oleh
sikap perwira Siang Cin, sesaat dia melenggong, lalu maju selangkah ke depan,
katanya dengan ketus: "Sahabat, mohon tanya siapa namamu yang mulia?"
Sekilas menatap muka orang, Siang Cin menjawab dengan tenang dan singkat: "Aku
she Siang."
Bimbang sebentar, pemuda itu bertanya pula: "Kawanan Hek-jiu-tong apakah ada
sangkut paut dengan saudara Siang?"
"Apa itu Hok jiu-tong, selamanya tidak kenal," sahut Siang Cin dengan tersenyum.
Si pemuda lantas memandang ke bawah, ke arah kawan2nya, terpancar cahaya
kemilau dari gelang emas yang melangkar di kepalanya, orang2 baju putih yang berada di
lereng bukit agaknya juga sudah tahu keadaan di atas, bayangan seorang tampak
melompat turun dari kuda dengan beberapa kali lompatan secepat terbang terus
melambung ke atas.
Mata Siang Cin amat tajam, sekilas pandang dia sudah melihat jelas, pendatang
ini adalah laki2 pertengahan umur bermuka putih dengan jenggot pendek itu.
Cepat sekali laki2 ini sudah hinggap di samping si pemuda, sikapnya gagah,
lekat2 dia menatap Siang Cin, lalu berkata lirih dengan si pemuda, akhirnya di
menghadap kemari serta menjura, katanya "Cayhe Loh Bong-bu, Cuncu Hiat ji-bun
dari Bu siang-pay di padang rumput di kaki Kiu jin san"
Mendengar orang memperkenalkan diri, timbul rasa simpatik Siang Cin, tapi juga
meningkatkan kewaspadaannya, dia tahu Bu siang-pay adalah organisasi besar,
berdisiplin keras dan terkordinir dengan baik dan rapi, jago2 kosen tak
terhitung jumlahnya, kekuatannya besar dan pengaruhnya luas, ,jabatan Cuncu
dalam Bu-siang-pay kira2 setingkat dengan jabatan Tongcu dari Pang atau Pay yang
107 ada di Tionggoan, jabatan yang tinggi, agung dan berwibawa, kalau tidak memiliki
Kungfu yang lihay takkan mungkin bisa menduduki jabatan tinggi ini.
Setelah membalas hormat, Siang Cin berkata kalem: "Sudah lama kudengar
kebesaran Bu siang-pay, syukur hari ini berjumpa di sini."
Loh Bong-bu tertawa ramah, katanya: "Dari laporan kawan kami, Ceng yap-cu,
katanya tuan she Siang?"
"Ya, itulah she ku yang asli," sahut Siang Cin tersenyum.
Berpikir sebentar, dengan hati2 Loh Bong-bu berkata pula: "Seharusnya tidak
pantas kutanyakan, tapi bolehkah Cayhe tahu kenapa keadaan Siang-heng begini
rupa, kelihatan letih dan kotor?"
Dari rangkaian kata orang yang hati2 diucapkan, Siang Cin merasa geli dan
menaruh simpatik, segera Siang Cin berkata: "Soal sederhana, di tengah jalan
bentrok dengan musuh, dalam keadaan terkepung oleh musuh yang berjumlah lebih
banyak, adalan jamak kalau mengalami cidera seperti ini, beginilah jadinya
keadaan kami."
Loh Bong-bu mengawasi Siang Cin dengan rasa kasihan dan kagum, katanya
dengan tulus hati: "Siang heng, meski kita baru saja kenal, tapi pepatah bilang di
empat penjuru lautan semuanya adalah saudara, Apalagi bila di tengah jalan
melihat keadaan ganjil lantas melolos senjata dan memberi bantuan adalah
kewajiban setiap insan persilatan kita, mungkin Cayhe terlalu semberono, tapi
bila Siang-heng ada kesulitan, Cayhe ingin sekadar membantumu. Siang-heng,
melihat keadaanmu sekarang, agaknya ada kesulitan apa2 yang tidak ingin kau
utarakan .. . . . .. "
Tanpa berkesip Siang Cin pandang orang, demikian dengan tulus Loh Bong-bu balas
memandangnya, keduanya saling menyelami relung hati masing2 yang paling dalam.
Lama sekali, akhirnya Siang Cin tersenyum, katanya: "Loh-cuncu, lebih dulu Cayhe
menyampaikan rasa terima kasih."
Loh Bung-bu tertawa, katanya riang: "Tidak, sebaliknya Cayhe yang harus
berterima kasih dan bersyukur bahwa Siang-heng sudi merendah diri bersahabat
denganku, bolehkah Caybe tahu nama besar Siang heng?"
Siang Cin tertawa, lekas dia merangkap kedua tangan, katanya: "Siang Cin."
Dua patah kata yang datar ini bagi pendengaran Loh Bong-bu seperti bunyi guntur
di siang bolong, ia tergetar melongo, katanya kemudian: "Siang . . . . . . . .
Siang Cin" Siang Cin si Naga Kuning?"
"Itulah julukan yang diberikan teman2 Kangouw, jangan dianggap . . . . . . . "
"Siang-heng," tukas Loh Bong-bu sambil mengawasi Siang Cin, "tak perlu Cayhe
mengagulkan kau, nama orang dan bayangan pohon, semua ini tak mungkin
dipalsukan, nama besar Siang-heng menggetarkan Bu lim, tersiar luas di utara dan
selatan sungai besar, sekalipun ada yang tidak tahu keperkasaan Naga Kuning
menjagoi tiga sungai lima danau, tapi siapa pula yang tidak maklum bahwa
keganasan Naga Kuning justeru menggetar nyali setup insan persilatan" Tapi
Siang-heng, siapa pula yang mampu membuatmu begini rupa?"
Dengan tertawa getir Siang Cin berkata: "Berkecimpung di kalangan Kangouw, logis
kalau adakalanya mengalami nasib jelek, ini tidak terhitung sia2 . . ."
"Mohon penjelasan," pinta Loh Bong-bu.
Sambil menggosok telapak tangan, tenang2 Siang Cin mulai bicara: "Cayhe ada dua
musuh, suatu ketika menyamar sebagat orang yang terluka dan dikejar musuk serta
minta perlindungan padaku, Cayhe menerima mereka. Tak nyana kami terjebak oleh
muslihat yang menggunakan obat bius berkadar keras, tidak kepalang derita yang
kami alami, tapi dengan akal akhirnya Cayhe berhasil menjebol penjara. Sudah
tentu setelah mengalami pertempuran sengit, dalam kondisi yang payah kami
mengalami luka2 seberat ini."
Loh Bong-bu naik pitam setelah mendengar cerita Siang Cin, katanya: "Membokong
108 orang dengan cara keji dan rendah semacam itu mana boleh dianggap Enghiong"
Siang-heng, kawan dari aliran manakah yang melakukan perbuatan rendah dan
kotor itu?" Siang Cin berkata pelahan: "Ceng-siong-san-ceng!"
"Ceng-siong-san-ceng" Sungguh memalukan," teriak Loh Bong-bu dengan mendelik
gusar, "Ha It can juga terhitung tokoh yang disegani dalam Bu lim, sampai hati
juga dia berbuat sehina ini, Siang-heng, cara bagaimana kau sampai bermusuhan
dengan mereka?"
"Ha It cun Cengcu dari Ceng siong-san ceng adalah saudara angkat Kongsun
Kiau-hong, Kongsun Kiau hong ada permusuhan dengan Cayhe, Ha It-cun hanya
bantu menuntut balas. Di samping itu, masih ada pula seorang nona yang bernama Kiang
Ling, mungkin putera Ha It-cun ada main cinta dengan budak ini, pantas kalau dia
ikut campur permusuhan ini."
Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu berkata: "Siang-heng, orang bersahabat
mengutamakan keluhuran budi dan kejujuran, meski kita buru berkenalan, tapi
sudah lama Cayhe mengagumimu, jika Siang-heng sudi, Cayhe akan pimpin anak
buahku ke Ceng-siong-san-ceng untuk bantu kau menuntut balas."
Lekas Siang Cin merangkap kedua tangan, katanya haru dan berterima kasih: "Loh
cuncu, orang she Siang menerima tawaranmu dengan senang hati, cuma
permusuhan ini akan Cayhe selesaikan sendiri, Ceng siong-san-ceng bukannya sarang harimau
rawa naga, paling2 mereka hanya pandai main muslihat, tak perlu Loh-cuncu
merepotkan diri"
Loh Bong-bu menggoyang tangan, katanya "Siang heng, jangan berkata demikian,
maksudku hanya ingin mempererat persahabatan, bagaimana kalau Cayhe
perintahkan anak buahku bantu teman-teman Siang-heng turus gunung dan merawat luka2nya di
kota?" Siang Cin melengak, tanyanya: "Dari mana Cuncu tahu kalau temanku perlu
perawatan?"
Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Bukankah Siang-heng tadi menjelaskan bahwa
teman2mu juga tersangkut dalam perkara ini" Kita bicara sekian lamanya, belum
juga terlihat teman2mu muncul, mungkin karena luka2nya cukup berat. Kalau tidak
tentu sejak tadi sudah keluar."
Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Baiklah, terima kasih."
Dengan tertawa Loh Bong bu lantas berseru kepada anak buahnya: "Lo Ce,
perintahkan membawa usungan kulit biruang kemari, siapkan tenaga untuk
membawa Siang tayhiap dan kawan2nya."
Lalu dengan tertawa dia berkata kepada pula Siang Cin: "Siang heng, berapa
temanmu?" "Empat orang," sahut Siang Cin.
Loh Bong-bu berpaling pula ke arah si pemuda yang berjuluk Ceng-yap cu(si daun
hijau) dan bernama Lo Ce, katanya: "Siapkan empat usungan."
Cepat Lo Ce mengiakan dan lari ke bawah, sekali bergerak Loh Bong-bu melompat
naik ke samping Siang Cin, maka iapun dapat melihat keadaan di balik tumpukan
batu. Tertawa getir Siang Cin berkata: "Lo Pau, inilah Loh cuncu, ketua Hiat ji-bun
dari Bu-siang-pay."
Dengan payah Pau Seh-hoa menggeser badannya, katanya: "Kami ini Lung pan cu
Pau Seh-hoa terimalah hormatku."
Lekas Loh Bong-bu balas menghormat, serunya girang: "Bagus, kiranya pendekar
109 aneh dari Hau-keh-san, Pau heng, selamat bertemu."
Setelah menghela napas Pau Seh hoa berkata: "Jangan sungkan, sejak lama aku
juga sudah dengar nama besar Cap kau-hwi-ce Loh-cuncu, cuma sayang sekarang
bertemu di tempat dan dalam keadaan begini, sungguh Lo Pau amat menyesal."
Loh Bong-bu melompat turun, katanya sambil membungkuk: "Pau-heng, terlalu berat
kata2mu. kaum persilatan mana yang tak pernah kecundang" Bahwa kau masih bisa
bangkit kembali itulah seorang Enghiong sejati."
Sementara itu Ceng-yap cu Lo Ce telah kembali dengan membawa puluhan laki2,
tiap dua orang membawa sebuah usungan yang terbuat dari kulit biruang.
Sejenak melihat cuaca, Loh Bong bu berkata: "Siang heng, apakah sekarang juga
kita boleh berangkat?"
"Cayhe masih kuat bertahan, tak perlu lima usungan, empat saja cukup." kata
Siang Cin. "Siang heng," bujuk Loh Bong bu, "lukamu sendiri juga tidak ringan . . . . "
Dengan tegas berkatalah Siang Cin: "Selama hidup manusia harus berani
mengalami pukulan lahir batin, kalau sanggup bertahan, maka bertahanlah sekuat tenaga,
kalau tidak, sekali ambruk, untuk merangkak bangun lagi tentu akan memakan
banyak tenaga."
Lekat tatapan Loh Bong bu, dari kata2 Siang Cin ia seperti memahami sesuatu,
tapi Loh Bong-bu tidak bicara, segera dia perintahkan anak buahnya memapah Kun
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sim ti, An Lip dan isterinya ke atas tandu, semula Pau Seh-hoa menolak, tapi
akhirnya dia menurut juga.
Setelah berputar keluar dari serakan batu di samping gunung, anak buah
Bu-siang-pay yang memikul usungan, di bawah pimpinan Ceng-yap-cu Lo Ce
dengan tenang mereka turun dari lereng bukit itu, Siang Cin dan Loh Bong-bu berjalan di
belakang. Sementara itu, si mata satu dari anak buahnya yang masih menunggu di bawah
sana sudah turtrn dari kuda dan menyambut kedatangan mereka.
Loh Bong-bu memanggil si mata tunggal, katanya sambil tertawa: "Te Yau,
kuperkenalkan seorang Enghiong."
Si mata tunggal hanya menatap Siang Cin sekejap tanpa memperlihatkan perasaan
apa2, codet di mukanya tampak berkerut, dengan langkah ogah2an dia melangkah
maju dan menjura, katanya: "Poan-hou-jiu Te Yau dari Hiat ji-bun Bu-siang-pay."
Timbul juga perasaan iba Siang Cin, sedikitpun tiada rasa marah akan sikap
orang, karena dia maklum, seorang yang badannya mengalami cacat atau
kekurangan pasti akan mempunyai tabiat yang aneh pula, entah suka menyendiri atau bersikap
kaku dingin, yang terang mereka punya kebiasaan tidak suka bergaul dengan orang
banyak, kebanyakan mereka memencilkan diri, seperti membangun lingkungannya
sendiri, untuk menutupi kekurangan pribadinya ini, maka sikapnya sering angkuh
dan kasar. Loh Bong-bu melotot kurang senang, sekalipun Siang Cin sudah merangkap tangan,
katanya, menjura: "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan To heng, Cayhe
Naga Kuning Siang Cin."
Mata kanan Te Yau yang tunggal mendadak terbeliak, terpancar cahaya aneh dari
mata tunggalnya, itulah pancaran rasa kaget, heran dan terharu pula, dengan
darah bergolak dia maju setapak, Siang Cin ditatapnya lekat2, sesaat kemudian,
sikapnya berubah bagai seorang lain, serunya riang: "Kau, kau ini Naga Kuning?"
110 . Loh Bong-bu membentak gusar: "Te Yau, jangan kurang ajar."
Siang Cin mengangguk, katanya ramah: "Betul, memang Cayhe adanya."
Tenggorokan Te Yau berbunyi keruyukan saking terharu, lekas dia berputar ke arah
Loh Bong-bu dan memohon dengan sangat: "Cuncu, kukira kini saatnya tiba untuk
melampiaskan keinginanku yang terkatung selama beberapa tahun ini, harap Cuncu
suka meluluskan . . . . "
Loh Bong-bu mengerut kening, katanya serba susah: "Tidak boleh, tidakkah kau
lihat Siang-heng dalam keadaan terluka . . . ."
Tergerak hati Siang Cin, sedikit banyak dia dapat menangkap arti percakapan
kedua orang, maka dengan tenang dia berkata: "Loh-cuncu, bile Te-heng
memerlukan tenaga bantuanku, boleh silakan terangkan saja, sedikit luka luar ini tidak
terhitung apa2"
Ragu sebentar, Loh Bong bu mengelus jenggot, lalu katanya pelan2: "Siang-heng,
soal ini agak . . . . ya, agak menyulitkan, ada Ngo-coat (lima kampiun) di bawah
pimpinanku, bicara terus terang setiap orangnya memiliki kepandaian khas yang
tidak lemah, tapi persoalan justeru terletak pada kepandaian khusus itulah, apa
lagi usia mereka masih muda, berdarah panas lagi, di samping sombong dan
jumawa . . . . suatu ketika, kira2 tiga tahun yang lalu, seorang diri Te Yau berlatih
di lapangan di pinggir hutan di padang rumput besar, Poan hou-jiu yang dia
yakinkan memang cukup terkenal, di kala dia berlatih itulah, Ho-lothau yang suka
iseng mendadak berlari datang serta tertawa sambil tepuk tangan, Te Yau tanya
apa yang dia tertawakan, dengan suara yang di-bikin2 Ho-lothau menerangkan: "Te
lote, Kungfu yang kau yakinkan memang cukup lihay. Tapi bila Poan-hou jiu yang
kau latih ini kebentur dengan Joan-ciang si Naga Kuning Siang Cin, pasti kau
akan kecundang. Poanhou-jiu yang kau yakinkan ini mengutamakan kecepatan dan
sukar diraba, tapi Joan-ciang yang diyakinkan si Naga Kuning Siang Cin itu juga
mengutamakan cepat dan aneh, tapi Kungfu yang orang latih justeru jauh lebih
hebat daripada apa yang kau latih sekarang" Sudah tentu mendengar olok2 ini Te
Yau amat marah, ia lupa berlatih dan berlari pulang. Sejak tiga tahun yang lalu
ke mana saja dia berada pasti mencari jejakmu, begitu besar keinginannya untuk
bertanding, untuk ini entah berapa kali aku pernah menegurnya, tapi tekadnya
begitu besar . . . . "
Siang Cin tertawa, katanya: "Ah, Te-heng terlalu percaya obrolan orang lain,
Cayhe hanya bernama kosong belaka, terhitung apa kepandaian yang kuyakinkan ini,
mana bisa dijajarkan dengan Kungfu Te-heng?"
Merah muka Te Yau, katanya penuh permohonan: "Tidak, Siang tayhiap terlalu
sungkan, bagaimana juga Cayhe mohon kepada Siang-tayhiap untuk memberi
kesempatan menjajal ilmu yang pernah kuyakinkan ini, supaya hatiku bisa tenteram
dan takluk lahir batin."
"Te-heng" kata Siang Cin dengan rendah hati, "kukira urungkan saja niatmu, kau
akan kecewa"
Dengan kecewa Te Yau memandangi Loh Bong-bu.
Loh Bong-bu menggeleng, katanya: "Ah dasar Ho lothau yang banyak mulut, banyak
tingkah . . . ."
"Lo-cuncu," tanya Siang Cin, "siapakah Ho-lothau yang kausebut itu?"
Belum Lo Bong bu menerangkan Te Yau sudah mendahului: "Ho-lothau adalah Yu
hun-hou-cay Ho Siang-gwat, Cong-tong cu dari Bu siang-pay kami."
Dengan tertawa getir Siang Cin berkata: "Usia Ho Siang-gwat sudah 70, beliau
adalah Locianpwe, kenapa dia membuat gara2 terhadap angkatan muda."
Losiansing ini juga terlalu tinggi menilai Cayhe?" "Siang-heng," ucap Loh
Bong-bu sungguh2, "Ho-lothau memang bertabiat aneh, senang dan marah tidak
111 menentu, sampaipun Ciangbunjin kami juga kewalahan terhadapnya. Tapi
terhadapmu dia betul amat kagum, kalian belum pernah ketemu, tapi dalam kehidupan se-hari2
dia selalu menyatakan kekagumannya terhadapmu, semua ini memang kenyataan,
bukan dihadapan Siang hrng sengaja aku membual?"
Siang Cin hanya angkat pundak saja. Maka Te Yau mendesak pula: "Siang-tayhiap,
harap engkau suka memberi muka padaku, jangan tolak permohonanku . . . . . "
Siang Cin berpaling ke arah Loh Bong-bu, dilihatnya Loh Bong-bu tertnwa, katanya
kikuk: "Andaikata Siang-heng mau memberi petunjuk, baiklah, boleh kau hajar adat
bocah ini . . . . , cuma, tentunya akan menyulitkan Siang-heng . . . . . "
Baru Siang Cin mau bicara, Te Yau telah menimbrung pula sambil menjura: "Siangtayhiap,
kecuali kagum pada kepandaianmu yang tinggi, dengan ini akan sekaligus
menguji sampai di mana taraf kepandaian yang telah kuyakinkan selama ini,
se-kali2 tiada niat buruk apa2, untuk ini harap Siangtayhiap maklum dan suka
memberikan pelajaran untuk memperluas pandanganku yang cupet ini . . . ."
Bong-bu berdehem, katanya: "Siang-heng cobalah kau pertimbangkan apakah bisa
kau terima .... ."
Pau Seh hoa rebah di usungan di sebelah, tak tahan lagi ia menyeletuk:
"Kongcuya, coba kau perlihatkan dua gerakan saja, kan tidak suruh kau
menggantung diri, cara ini juga biasa bagi setiap insan persilatan yang
berkecimpung di Kangouw, peduli kalah atau menang nanti, cukup dia kali bergelak
tawa dan urusanpun berakhirlah?"
Loh Bong bu tertawa, katanya: "Ucapan Pau-heng memang tepat, anggaplah untuk
menambah pengalaman kita semua."
"Terlalu berat kata2 Loh-cuncu . . . . . . " ucap Siang Cin, lalu dia berpaling
kepada Te Yau, katanya: "Te heng, kuharap nanti kau tidak kecewa .
Te You berjingkrak girang, serunya: "Jadi engkau meluluskan?"
Kata Siang Cin terpaksa: "Begitu besar hasrat kalian, Cayhe jadi tidak enak
untuk menolak?"
Te Yau berseru girang dengan merangkap kedua tangan: "Kalau begitu, terimalah
hormatku." Ia membungkuk tubuh, tidak tampak tubuhnya bergerak, lutut juga tidak
tertekuk, tapi bagai busur melenting tahu2 tubuhnya meluncur ke depan dengan
gerakan yang indah dan hinggap di atas batu padas. Pelan2 Siang Cin melangkah
maju, sementara Loh Bong bu memberi aba2 kepada anak buahnya agar minggir
sehingga terluang tanah lapang sebagai arena. Lima puluhan pasang mata tanpa
berkedip tertuju ke dalam arena, semua tahan napas dan menunggu dengan
berdebar, wajah mereka tampak serius, meski katanya pertandingan ini hanya saling ukur
kepandaian, tapi bagi setiap orang persilatan sama tahu kalah menang dari hasil
pertandingan ini akan sama dengan pertempuran umumnya.
Sebelah kaki Siang Cin memancal enteng, dengan ringan tubuhnya lantas melayang
ke atas sebuah batu yang berjarak dengan tempat Te Yau berdiri kira2 setombak
lebih. Hawa masih sejuk, mentari masih memancarkan cahayanya yang hangat, Tapi
ujung hidung Poan-hou-jiu Te Yau telah basah oleh butiran keringat kecil2,
mantel luarnya sudah dicopot, kedua mata tanpa berkesip mengawasi Siang Cin,
gelang emas di jidatnya tampak mengkilap tersorot sinar matahari.
Rebah di atas usungan, dengan penuh perhatian Kun Sim-ti juga menonton,
sebetulnya ia tidak menginginkan pertandingan seperti ini dikala kondisi Siang
Cin masih seburuk itu.
Loh Bong-bu mengelus jenggotnya yang pendek, pelan2 dia menggeser mendekati
Siang Cin, dengan suara rendah dan memohon dengan setulus hati: "Siang-heng,
cukup saling sentuh saja."
Siang Cin berpaling dengan tertawa, katanya lirih: "Harap Te-heng bermurah
112 hati." Loh Bong bu mundur keluar gelanggang, di mana Te Yau telah menjura, katanya:
"Silakan Siangtayhiap."
Siang Cin angkat sebelah tangan, katanya tertawa: "Silakan Te-heng."
Badan yang kurus sedikit berjongkok, kaki Te Yau seperti terpasang pegas yang
berdaya pantul keras, tiba2 ia melenting ke atas, dengan membawa segulung angin
yang dahsyat ia menubruk turun, betapa cepat dan tangkas gerakannya.
Siang Cin berdiri tegak dan tenang, setelah bayangan lawan melambung ke atas dan
menukik ke arahnya, baru Siang Cin sedikit goyang tubuh ke kanan, pada saat itu
Te Yau telah menghardik seraya melontarkan pukulannya, selarik cahaya setengah
lingkar menyambar dengan ganas, begitu Siang Cin bergoyang ke kanan, cahaya
itupun ikut berganti haluan ke kanan, sambil terapung di udara ternyata kedua
kaki Te Yau dapat bergerak dengan leluasa, ia memancal lalu tubuhnya bergulung
dalam lingkaran kecil di udara, sementara telapak tangannya kembali menghantam,
dalam sekejap sudah berada di pinggir telinga Siang Cin.
Siang Cin mengegos, hanya sekejap Te Yau merasa pukulan lawan yang berlapis
dan bersusun rapat itu bagai gelombang samudra menerpa ke arahnya, cepat dan
berputar ke kiri terus melayang ke sana, bayangan tangan yang bergerak sambung
menyambung itu tahu2 sirna, keduanya bergerak sama cepat dan menakjubkan
sekali, memang nyata jago kosen sama2 tinggi ilmunya.
Maka telapak tangan saling gempur dengan telapak tangan di udara, bayangan
saling gubat di angkasa, terdengar rangkaian suara tepukan yang ramai, di tengah
bayangan yang menari itu, dua sosok bayangan orang tahu2 melorot turun kedua
arah yang berlawanan serta jumpalitan dengan gaya masing2 yang mempesona,
belum lagi kaki menyentuh bumi, tahu2 keduanya berputar balik dan saling labrak pula.
Sementara itu, tanpa berkedip Loh Bong-bu mengikuti pertempuran di udara itu,
diam2 ia menggeleng kepala.
Bayangan kedua orang di udara bagai gumpalan asap samar2 saling berkelebat,
belum lagi pandangan penonton sempat mengikuti apa yang terjadi, kedua orang ini
sudah melayang turun dengan gagah indah dan tenang, baru kaki mereka
menyentuh tanah, berkumandang suara tepukan yang keras, ini berarti kecepatan gerak mereka
sudah melampaui kecepatan suara, maka setelah mereka turun baru ledakan
pukulan berkumandang di udara.
Nampak jelas butiran keringat di wajah Te Yau, air mukanya tampak bersemu merah,
deru napasnya juga lebih kasar dari biasanya, dalam dua kali bentrokan singkat
ini, keduannya seperti baru saja mengalami suatu pertempuran sengit yang lama
dan menghabiskan seluruh kekuatannya, dia lesu dan
nampak pula merasa malu.
Sementara Siang Can berdiri tenang di samping sana, sikapnya wajar dan adem
ayem seperti tak pernah terjadi apa2, se olah, sejak tadi dia memang berdiri di sana
dengan bebas tanpa bergeming sedikitpun. Kini dia tengah mengebut debu yang
melekat dipakaiannya yang telah koyak2 itu, sikapnya. ke-malas2an tapi juga
gagah. Bergelak tawa Loh Bong-bu memapak maju sambil mengacungkan jempol,
serunya:"Bagus, bagus, sekali, Siang-heng, Cayhe hari ini betul2 terbuka
matanya, dalam gerakanmu tadi cepatnya bagai terbang. Haha, se-olah2 sekaligus
ada puluhan orang yang bantu kau menggerakkan tangan kakimu .....
"Loh-cuncu terlalu memuji," ,ucap Siang Cin. "Soalnya Te heng sudi mengalah
padaku." 113 Semakin jengah Te Yau, ia mengencangkan ikat pinggangnya, dengan tergagap ia
berkata: "Siang-tayhiap, apa yang dikatakan Ho-cuncu memang tidak salah, engkau
memang jauh lebih kuat daripadaku."
Sambil menggoyang tangan Siang Cin berkata: "Pelajaran silat hakekatnya tiada
batasnya, masing2 memiliki kelebihan kelihayannya sendiri2, siapapun takkan
berani menyatakan dia lebih unggul daripada yang lain. Te-heng, dengan tarap
yang telah kau capai ini, sudah harus dibanggakan."
Dengan rasa ikhlas dan kagum Te Yau melangkah maju, katanya dengan hormat:
"Siang-tayhiap, dalam pertempuran tadi meski dua kali kita saling gempur,
hakikatnya aku telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku, seluruhnya
Cayhe melancarkan sembilan kali pukulan, tapi engkau melancarkan belasan kali,
dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama pula, jelas sekali
bahwa taraf kepandaianmu jauh melampauiku, sungguh2 Cayhe merasa tunduk lahir
batin, malah menurut hematku, engkau belum lagi mengerahkan seluruh
kekuatanmu . . . . . . "
Siang Cin tersenyum, katanya: ."Ya, kira2 hantya begitu sajalah, bahwasanya
Cayhe juga tidak memiliki apa2 yang melampaui orang lain . . . . . . "
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apakah Siang Cin menerima bantuan pihak Bu siang-pay untuk menuntut balas pada
Ceng siong san-ceng"
Organisasi macam apakah Hek jiu-tong atau gerombolan tangan hitam dan apa latar
belakang permusuhannya dengan pihak Bu siang-pay"
Bacalah jilid ke 7 -
114 Jilid 07 Sesungguhnya apa yang dirasakan Te Yau memang tepat dan benar2 terjadi, dikala
bertanding tadi Siang Cin memang belum lagi mengerahkan seluruh kekuatannya,
paling2 dia hanya melancarkan salah satu kepandaiannya yang lihay dan aneh,
yaitu Kui-ing cap sa-sek (tiga belas gerak bayangan setan) untuk menandingi
Poan-hou-jiu kebanggaan Te Yau, hakikatnya dia belum menggunakan Joanciang
yang khas, karena dalam Bu-lim orang hanya tahu bahwa Joan-ciang (ilmu pukulan lunak)
yang diyakinkannya itu sangat hebat, aneh dan mengerikan, tapi jarang orang tahu
bila dia sudah mengembangkan Joan-ciang, sebelum tangannya mencium darah
takkan berhenti. Dalam pertandingan persahabatan ini. jelas bukan tempat baginya untuk
mengembangkan Joan-ciang.
Loh Bong-bu tertawa, katanya; "Te Yau, adakah terasa olehmu bahwa tak ada tapi
tenaga tidak memadai pada dirimu" Terutama gerak kaki tangan se akan2 terkekang
oleh lawan dan tak mampu mengembangkannya."
Merah muka Te Yau, tapi dia mengangguk dengan jujur, dengan nada malu2 dia
berkata: "Sekarang baru benar2 kusadari apa yang diibaratkan seperti kunang2
dibanding rembulan . . . . . . "
Loh Bong-cu ter-gelak2, katanya: "Anak muda, kecundang di tangan Siang-heng
bukanlah hal yang memalukan, betapa banyak jago kosen yang pernah roboh di
tangahnya, di antaranya tidak sedikit pula tokoh2 jauh lebih hebat daripadamu."
Cepat Siang Cin berkata: "Ah, Loh-cuncu, laki2 sejati tidak perlu mengagulkan
diri, soal ini tidak perlu dibicarakan pula . . . . . . "
Te Yau membungkuk hormat, katanya: "Siang tayhiap, kalau tidak ke pesisir takkan
tahu betapa luasnya langit, kalau tidak memanjat gunung takkan tahu betapa
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tingginya gunung, banyak terima kasih atas pengajaranmu ini, selanjutnya Cayhe
pasti akan rajin berlatih untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi."
Lega hati Siang Cin melihat watak Te Yau yang berjiwa besar ini, dia genggam
tangan Te Yau, katanya: "Bicara soal watak sebagai manusia, Te-heng, kau jauh lebih tinggi
daripada kepandaian silatmu."
Ingin Te Yau bicara, tapi dirasakannya tangan Siang Cin yang menggenggam
tangannya menjejalkan sesuatu entah apa, diam2 dia memeriksanya, ia terkejut,
kiranya ujung tombaknya yang telah putus sebagian, letak kutungan ujung tombak
itu tampak rata dan licin seperti dibacok putus oleh sebuah golok pusaka. Tapi
Te Yau tahu yang memapas kutung ujung tombak pasti bukan golok pusaka, tapi
adalah telapak tangan Siang Cin. Sudah tentu dia lebih maklum lagi, bila Siang
Cin mau mencelakai jiwanya, maka sejak tadi dia sudah takkan berdiri di sini,
115 dia menatap Sang Cin, mata tunggalnya tampak mencorong penuh rasa kekaguman.
haru, terima kasih, heran dan kaget pula.
Di sana Loh Bong-bu telah melihat cuaca pula, katanya: "Siang-heng, kita boleh
berangkat, kalau tertunda lebih lama kita bisa terlambat tiba dikota." Sampai di
sini seperti tidak tahu apa2, dia menambahkan: "Te Yau, lekas kau kenakan
mantelmu, pakaianmu basah kuyup melekat badan, nanti masuk angin."
Te Yau melengak segera dia maklum, ia menyengir lekas dia membalik mengambil
mantel serta mengenakannya. kini Te Yau tahu bahwa Loh Bong-bu sudah melihat
ujung tombaknya terpapas kutung. Bahwa Cap-kiu-hwi-ce dapat mencapai
kedudukannya yang tinggi sekarang, pandanganya tentu saja sangat tajam.
Seorang laki2 baju putih menghampiri dengan menuntun seekor kuda kuning yang
gagah, setelah mengucap terima kasih Siang Cin segera mencemplak ka punggung
kuda, Loh Bong-bu memberi aba2 agar rombongannya berangkat, di belakang ada
delapan kuda dengan masing2 dua kuda mengangkut satu usungan, karena kuda2
itu sudah terlatih baik maka orang2 yang rebah di atas usungan bisa tidur tenang dan
tidak merasakan goncangan keras.
Dengan gembira Loh Bong bu berkata: "Siangheng, tiga puluh li lagi kita akan
tiba di Ho thau-toh, di sana kita bisa makan dan istirahat, kemudian kita dapat
bermalam di Lam-tin, di sana ada beberapa hotel besar bersih dengan serpis yang
memuaskan."
"Baiklah.." ucap Siang Cin, "keadaanku memang perlu mencari tempat untuk
melepaskan lelah." Sampai di sini tiba2 dia menambahkan: "Loh-cuncu, agaknya
kalian bermusuhan dengan Hek-jiu-tong (komplotan tangan hitam)?"
"Betul," ucap Loh cuncu setelah berdiam sebentar, "kalau dikatakan memang
memalukan. Di padang rumput yang luas itu kami mendirikan sebuah Toa-bong-ceng
(perkampungan). Bahwasanya Toa bong-ceng merupakan pusat kekuasaan Busiang
pay kami, Bu-siang-lan-tai di depan Toa-bong-ceng dan Ceng-hun kek d! Kiu jin-san
hanya merupakan cabang belaka . . . . . . ."
Setelah berpikir sejenak kemudian Loh Bong-bu berkata pula: "Se giok lau di Toa
bong-ceng adalah tempat tinggal pribadi Ciangbunjin yang terlarang bagi siapa
saja, sementara keluarga Ciangbunjin seluruhnya tinggal di Se-giok-lau itu . . .
. ." Agaknya Loh Bong bu ragu2 untuk melanjutkan uraiannya, setelah batuk2 dua kali
akhirnya dia berkata pula: "Ai, soal ini sebetulnya tidak enak dibicarakan,
walau dalam Bu lim sekarang sebagian telah dengar berita jelek ini, tapi kami
mendapat perintah sedapat mungkin menutup persoalan ini."
"Kalau begitu, lebih baik tak usah kau terangkan," kata Siang Cin.
Loh Bong bu tertawa kikuk, katanya: "Siangheng jangan salah mengerti, umpama
sekarang Cayhe tidak bicarakan soal ini dengan kau, cepat atau lambat Siang heng
juga akan tahu, cuma Cayhe merasa bila membicarakan soal ini, hati menjadi
dongkol dan penasaran . . .. . . . ."
Setelah celingukan dia melanjutkan dengan suara lebih lirih: "Tiga tahun yang
lalu dalam perjalanan pulang ke Toa-bong-ceng, Ciangbunjin pernah menolong
seorang yang rebah terluka di tengah hujan salju, orang itu sudah kempas-kempis
tinggal menunggu ajal, tapi Ciangbunjin menolongnya dan dibawa pulang, dengan
susah payah merawat dan mengobati luka2nya sampai sembuh, dia memang
seorang yang cakap dan ganteng, berotak encer dan cerdik pandai, bibir merah gigi putih,
siapa saja pasti merasa senang dan simpatik padanya, maka Ciangbunjin
menjadikan dia kacung di kamar bukunya, kerjanya hanya meladeni segala keperluan pribadi
Ciangbunjin di Se-giok-lau. Ai, siapa tahu bahwa pemuda cakap itu hanya luarnya
manis hatinya jahat, manusia rendah budi berhati binatang. Selama tiga tahun
116 ini, bukan saja dengan akalnya yang licin dan mulutnya yang manis . . . . . .
ah, lebih tepat kalau dikatakan menghasut dan memikat, bukan saja keparat itu
berhasil memikat puteri tunggal Ciangbunjin malah Ci-giok-cu ( mutiara ungu )
milik Ciangbujin yang disimpan ditempat rahasia itupun dicurinya. Sudah tentu
bukan kepalang gusar Ciangbunjin, maka kami beramai memperoleh perintah untuk
mengejar keparat itu, Ciangbunjin ada pesan, mati atau hidup kami harus
menyeretnya pulang . . . . . . . "
Lalu apa sangkut pautnya soaI ini dengan Hek-jiu- tong?" tanya Siang Cin.
Loh Bong-bu meng-geleng2 katanya: "Hasil penyelidikan kami setelah
menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, eh, kiranya bocah keparat itu adalah tokoh ketiga
Hek-jiu-tong. Bahwa dia rebah terluka di atas salju dulu itu bukan lantaran
dilukai oleh kawanan begal melainkan terluka oleh musuh yang mencegatnya di
tengah jalan. Dua bulan yang lalu, kami bertiga kelompok ditugaskan mengejarnya
ke Tionggoan, tapi selama ini bayangan bocah itu tak pernah kami jumpai, pada
hal sudah tujuh kali kami bentrok secara langsung dengan orang2 Hek jiu-tong,
komplotan jahat itu memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan
menyerang dengan akal licik pula. Tadi waktu kami lewat dilereng bukit, karena
melihat keadaan di sana cukup berbahaya, kuatir terjebak musuh, maka kami
berhenti mengadakan pemeriksaan ala kadarnya, rupanya memang ada jodoh dan
berkenalan dengan Siang-heng . . . . "
Berpikir sebentar, Siang Cin berkata, "Tahukah siapa nama bocah yang menipu dan
membawa minggat puteri tunggal Ciangbunjin kalian?"
"Ji-ih-kim-kiam Khong Giok-tek."
Siang Cin menopang dagu, katanya: "Agaknya pernah kudengar nama ini. Em,
tentunya dia amat licik dan banyak muslihatnya?"
"Memang " kata Loh Boh-bu dengan gregeten, betapa cerdik dan hati2 Ciangbunjin
kami, akhirnya toh kena dikelabui dan tertipu mentah2. Pernah beberapa kali
Cayhe melihat dia, sikapnya memang ramah dan sopan santun, mulutnya manis dan
pandai ber-muka2, lahirnya dia bekerja dengan giat dan rajin, hakikatnya tak
pernah terbayang dalam benak kami bahwa ada orang luar yang berani main kayu
dalam markas pusat kami, biasanya dia pura2 lembut, keberanian menyembelih
ayampun tiada, kalau bicara halus dan munduk2, sopan dan pemalu seperti gadis
pingitan . . . . "
Siang Cin berkata: "Mohon tanya, ke mana tujuan perjalanan Loh-cuncu kali ini?"
Loh Bon-bu berkata setelah menghela napas: "Menyerbu langsung ke sarang
komplotan tangan hitam."
Siang Cin menggeleng, katanya: "Loh-cuncu, bukan Cayhe banyak mulut dan
berkomentar, bila hanya dengan kekuatan yang kau bawa ini, Bu-siang-pay hendak
menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong, ku kira kekuatan kalian jauh daripada memadai,
keadaan pihak Hek-jiu-tong memang Cayhe tidak tahu, tapi pernah juga Cayhe
dengar tentang mereka, kekuatan mereka memang tidak sebesar Bu-siang-pay, tapi
juga tidak lemah, jago2 kosen Hek-jiu-tong cukup banyak, anak buah merekapun
jahat dan kejam, apalagi mereka berhubungan erat dengan komplotan hitam lainnya,
dengan tenaga yang tidak memadai ini kalian hendak menyerbu ke tempat yang jauh
itu, mungkin tidak akan memperoleh keuntungan . . . "
Alis Loh Bong-bu bertaut, katanya dengan prihatin: "Apa yang Siang-heng katakan
sudah Cayhe pikirkan, tapi perintah Ciangbunjin mana kami berani membangkang"
Pertama Cayhe hanya ingin paksa Khong Giok-tek menyerahkan orang dan benda
mestika yang dicurinya, jadi tidak harus menumpahkan darah. sementara bala
bantuan dari markas kami, yaitu Thi ji-bun dan Wi-ji-bun dalam waktu tujuh hari
ini akan berkumpul di kaki Au-than-san, setelah merundingkan strategi yang akan
kami tempuh baru akan bergerak, menurut hematku, kekuatan kami akan cukup
besar." 117 Siang Cin mengawasi pernandangan alam nan permai, alam pikirannya melayang
pada sebuah persoalan yang lain, sesaat lamanya, baru dia berkata pula: "Loh-cuncu,
kukira Khong Giok tek tidak akan sudi menyerahkan apa yang kalian tuntut."
Dengan tertawa getir Loh Bong-bu berkata: "Memang mungkin, tapi dia harus siap
menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."
"Apakah kalian hanya ingin mengajak orang pulang serta merebut mestika saja?"
tanya Siang Cin.
"Itu langkah pertama, bila sekiranya tidak sampai menimbulkan akibat lain, maka
langkah kedua adalah menawan hidup2 Khong Giok tek, hal ini tadi sudah
kuterangkan."
"Kalau demikian perhitungan kalian, mungkin pertempuran besar dan banjir darah
tidak terhindar lagi . . . . . ."
"Inipun sudah dalam perhitungan kami, kalau situasi menghendaki demikian, ya apa
boleh buat, tapi tak peduli bagaimana hasil tujuan perjalanan yang terang
Bu-siang-pay takkan memberi kesempatan pada Hek-jiu-tong untuk bernapas,
umpama kami harus gugur di medan laga, jago2 Bu-siang-pay kami akan ber-bondong2
keluar dari padang rumput dan menyerbu ke sana."
"Kalau Hek-jiu-tong tahu kekuatan tidak memadai, mereka pasti minta bala bantuan
dari komplotan lainnya, beroperasi tidak di daerah kekuasaan sendiri betapapun
Bu-siang pay pasti akan mengalami pukulan yang berat juga, maaf Cayhe bicara
secara blak2an, harap Loh-cuncu tidak berkecil hati."
"Kenyataan memang demikian, seharusnya aku berterima kasih akan petunjuk
Siang-heng, masa aku menyalahkan kau malah?" sampai di sini Loh Bong bu lalu
menambahkan lagi: "Persoalan ini, biarlah kita bicarakan lain waktu saja, yang
penting sekarang harus selekasnya cari tempat untuk merawat luka2 Siang-heng
dan teman2mu."
"Ya, benar," ucap Siang Cin.
Derap tapal kuda berdetak di tanah pegunungan yang keras, seketika Loh Bong-bu
melirik Siang Cin, sorot matanya mengandung permohonan yang sangat, bibirnya
sudah bergerak sedikit, tapi akhirya dia telan kata2 yang ingin dilontarkan,
alisnya berkerut dan wajahnya tampak murung, masgul dan gelisah.
Sebetulnya Siang Cin tahu sikap Loh Bong-bu itu, iapun tahu apa yang ingin
diutarakan olehnya. Hal inilah membuat Siang Cin serba susah, ia tahu jelas
macam apakah gerombolan Hek-jiu-tong, apa yang dia beritahukan kepada Loh
Bong-bu tadi hanya sekelumit keadaan luarnya saja, jadi keadaan sebenarnya dalam
Hek jiu-tong belum dia beberkan:
Sementara pihak Bu-siang-pay kelihatannya hanya melihat bentuk luarnya saja dari
Hek-jiu-tong, tidak tahu seluk beluk di dalamnya, padahal Hek-jiu-tong adalah
salah satu komplotan penjahat yang paling ganas di Bu-lim, pentolannya ada
sepuluh orang, satu lebih kejam dari yang lain. Kungfu merekapun termasuk kelas
wahid, kekuatan Hek-jiu-tong sudah melebar sampai di propinsi Ho-pak dan Ho-lam,
usaha mereka ialah penyelundupan garam gelap dan membegal, bila perlu
merekapun main bunuh secara kejam, umumnya mereka tidak mematuhi aturan Kangouw, tak
mengerti apa itu keadilan dan kebenaran, demi keuntungan pihak sendiri mereka
tidak peduli siapa lawan, asal sikat dan ganyang, cara yang digunakanpun
melampaui batas perikemanusiaan. Oleh karena itu, sesama kaum Kangouw tiada
yang berani mengusik dan mencari perkara pada mereka, padahal mereka jarang
beroperasi keluar daerah kekuasaan sendiri, sejak Hek-jiu-tong berdiri, selama
10 tahun ini bukan saja mereka tidak pernah mengalami musibah besar, malah
118 kekuatan mereka semakin berkembang dan melebar kemana2.
Sejak keluar kandang, meski Naga Kuning Siang Cin malang melintang dan disegani
orang, tapi selama ini belum pernah dia bentrok dengan pihak Hek jiu-tong.
Bagaimana keadaan Hek-jiu-tong sering didengarnya dari cerita orang, jadi
seluk-beluk mereka banyak yang dia ketahui. Bu-siang-pay memang besar dan kuat,
tapi mereka berada jauh di padang rumput sana, sebagai harimau galak yang
meninggalkan gunungnya, bila betul2 harus bertempur jauh dari sarang sendiri,
betapapun mereka harus berpikir lebih matang sebelum bergerak.
Cepat sekali rombongan besar ini sudah berderap di jalan pegunungan yang kecil
dan berliku naik-turun, tak lama lagi mereka akan keluar dari lekuk gunung dan
menempuh perjalanan di jalan raya.
Sambil membetulkan rambut panjangnya ke beIakang kepala Loh Bong-bu berkata:
"Siang-heng ....."
Siang Cin menoleh, katanya: "Ada petunjuk apa Loh-cuncu?"
Menatap jauh ke depan, Loh Bong-bu berkata serba rikuh: "Ada suatu hal, ingin
Cayhe . . . . . . "
Diam2 Siang Cin menghela napas, dia tahu apa yang hendak diajukan orang,
apakah dia harus menerima permintaan orang" Walau baru bertemu di tengah jalan dan
baru berkenalan, tapi kaum persilatan mengutamakan setia kawan, apalagi sikap orang
begini simpatik dan murah hati" "Silakan berkata," sahut Siang Cin kemudian.
Setelah berpikir sekian lama dengan sikap serba susah, akhirnya Loh Bong-bu
berkata getir: "Siang heng, Cayhe, Cayhe . . . . ai, sukar untuk kuutarakan . .
. . " Akhirnya Siang Cin berkata tegas: "Baiklah, orang she Siang tidak akan berpeluk
tangan dalam persoalan ini . . . . "
Loh Bong-bu berjingkrak girang dan hampir jatuh dari kudanya mendengar janji
Siang Cin, seperti ketiban rejeki matanya terbeliak, mulutnya megap2:
"Siang-heng, kau maksudmu sudi bantu kami untuk menghadapi Hek-jiu-tong?"
"Cayhe kira, begitulah maksud Cuncu semula," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Loh Bong-bu tertawa gembira, katanya: "Tentu tentu, cuma baru berkenalan, Cayhe
tidak enak memohon bantuan kepada Siang heng, tapi Siang heng memang pandai
menerka isi hati orang, sungguh tak terkira rasa terima kasibku . . . . "
Pelan2 menepuk kepala kudanya, Loh Bong bu tak bersuara pula, sesaat kemudian
baru berkata pula, "Siang-heng, pihak Hek jiu tong mungkin juga akan bermusuhan
dengan kau . . . . "
Dengan tajam Siang Cin pandang orang, katanya: "Loh-cuncu, berkelana di
Kangouw, bahaya demikian siapapun sukar menghindarkannya, kalau sudah hidup di Kangouw,
sebagai insan persilatan, maka dia harus berani menghadapi tantangan yang penuh
liku2 kekejaman, kalau tidak ya jangan terjun ke dunia persilatan."
Loh Bong-bu berkeplok tangan, serunya memuji: "Komentar bagus!"
"Ah, tidak, hanya sekedar menghibur diri belaka," kata Siang Cin.
Tanpa terasa rombongan besar ini sudah tiba di bawah bukit dan mulai menempuh
perjalanan di jalan raya, sebelah kiri adalah sawah ladang yang luas dan subur,
sebelah kanan adalah hutan lebar yang rimbun, jalan raya ini lurus lempeng, maka
dari kejauhan kelihatan bangunan rumah yang tersebar di sepanjang sungai sana.
Menuding ke rumah2 di kejauhan itu Loh Bongbu berkata: "Nah, di sana itulah Ho
thau-toh, kutahu di sana ada sebuah restoran yang baik."
Siang Cin manggut2, tiba2 dia berkata: "Oh, ya, bagaimana letak kota itu dari
Ceng siong-san-ceng?"
Lob Bong-bu menerawang sekitarnya, katanya kemudian: "Pagi tadi kita mengitari
Ceng-siong-san-ceng jadi Ho-thau-toh terletak tepat di sebelah selatannya."
"Jadi kota ini masih dalam lingkungan kekuasaan pihak Ceng-siong-san-ceng, Loh
119 cuncu, kita harus lebih berhati2."
Kuharap mereka tidak mencari kesulitan untuk diri sendiri," ujar Loh Bong bu.
Kini sang surya sudah tinggi di cakrawala, maka kerongkongan mereka mulai terasa
kering, ingin minum dan istirahat.
Setengah jam kemudian setelah menyusuri sungai akirnya mereka naik keatas
tanggul dan memasuki Kota tambangan yang tidak begitu besar ini, mengawasi arus
sungai dengan airnya yang keruh menguning, Siang Cin berkata pelahan, Loh-cuncu:
"Apa nama sungai ini?"
Loh Bong bu sedang mengatur anak buahnya yang membawa usungan untuk
menyeberang, cepat ia menoleh dan menjawah: "O. namanya Se-jiang-ho sawah ladang seluas
ribuan ha di kedua sisi sungai tumbur subur karena air sungai ini, setiap musim
semi air pasang hampir setinggi tanggul."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa menunjukkan perasaan Siting Cin manggut-manggut: "Loh Bong-bu sibuk
mengatur anak buahnya pula, dengan barisan yang rapi dan teratur rombongan
besar ini memasuki kota, melalui jalan raya yang hanya satu2nya di kota kecil ini.
Para petani yang bekerja di ladang sama menoleh dan memandang keheranan,
demikian pula penduduk kota ber-bondong2 keluar menonton barisan besar berkuda
ini, wajah mereka sama menampilkan rasa heran dan curiga, maklum kota sekecil
ini penduduk jarang melihat rombongan besar berkuda berseragam lengkap dengan
senjata lagi. Barisan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan, dua anak buah
Bu-siang-pay yang di tugaskan kemari lebih dulu tampak sudah menunggu di depan
restoran, tanya Loh Bong bu: "Restoran itu masih buka tidak?"
Salah seorang laki2 itu membungkuk. sahutnya: "Lapor Cuncu, masih buka, Tecu
sudah pesan hidangan yang cukup untuk makan enam puluh orang."
"Ehm," Loh Bong-bu bersuara singkat lalu menoleh dan berkata: "Siang-heng,
marilah turun."
Dengan enteng Siang Cin melompat turun, para penunggang kuda yang lain juga
turun be ramai2, dengan suara lirih Loh Bong-bu memberi pesan apa2 kepada
Ceng-yap-cu Lo Ce, setelah Kun Sim-ti, Pau seh-hoa dan lain2 digotong masuk baru
Siang Cin masuk terakhir.
Ruang restoran ini cukup lebar, lantainya dari batu marmer, seorang laki2 gemuk
dengan kain putih melingkar di depan perut beranjak keluar dengan langkah
tergopoh. Mengawasi si tambun ini, Loh Bong-bu tertawa katanya: "Gui-poancu (Gui si
gemuk), melihat tampangmu yang merah gembira ini, mungkin kau sudah tambah
rejeki?" Gui poancu adalah taukeh atau majikan pemilik restoran ini, dengan ter gelak2 ia
berkata: "Loh-ya, engkau memang suka berkelakar, restoran sekecil ini di kota
yang serba miskin pula, kalau tidak gulung tikar sudah mending, mana bisa tambah
rejeki segala" Kalau bisa mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarga sudah
lebih dari lumayan."
Loh Bong-bu menggeleng katanya: "Poancu, kau memang pandai bicara."
Sembari silakan tamunya duduk. Gui poancu perintahkan juga para pelayan
meladeni tamunya, dari luar restoran ini kelihatan kuno, tapi keadaan di dalam ternyata
rapi dan bersih, tempatnya juga amat luas, lima belas meja berjajar menjadi
sebuah meja panjang di tengah ruang, kursinya dari bangku panjang, di luar
jendela tampak Se-jing-ho dengan pemandanganya nan permai.
Loh Bong bu persilakan Siang Cin dan Kun Sim-ti duduk di dekat jendela,
sementara pelayan yang hanya tiga orang muda sibuk bekerja sesuatu petunjuk si
gemuk, menyuguh minuman dan menyiapkan piring mangkok.
"Sebelum ini pernah engkau datang kemari Lohcuncu?" tanya Siang Cin setelah
120 melihat sekelilingnya "Pernah lewat dua kali," sahut Loh Bong bu tertawa,
"setiap kali si gendut itulah yang menyediakan hidangan untuk kami."
Berpikir sebentar Siang Cin berkata pula: "Apakah orang ini dapat dipercaya"
Maksudku mungkinkah dia menaruh apa2 di dalam hidangan?"
Serta merta Loh Bong-bu melirik ke arah si gendut yang lagi sibuk di sana,
katanya; "Kupikir, tak mungkin . . . . . . ?"
"Hati2 lebih baik," ucap Siang Cin sambil tersenyum.
Pau Seh hoa mengertak gigi, katanya: "Kalau ada yang berani main licik sekotor
itu, orang she Pau pasti akan mengunyahnya hancur."
Melirik kepada Pau Seh-hoa, belum lagi Siang Cin bicara, Gui-poancu sudah
datang, katanya dengan tertawa lebar: "Loh-ya, engkau orang tua dan para tuan2
ini hendak pesan makanan apa?"
"Hidangar apa yang paling baik dalam persedianmu boleh kau keluarkan seluruhnya,
yang terang setelah kami makan kenyang kau boleh tutup restoranmu saja."
"Loh-ya memang malaikat pembawa rejeki bagi kami, kalau Loh-ya bisa datang
setiap hari, restoranku ini pasta kubangun menjadi tingkat tiga, hahaha . . . .
. . " sembari bicara dia terus mundur berlari masuk dapur.
Pelan2 Loh Bong-bu tanggalkan mantel, sambil menghabiskan waktu mulailah
mereka bicara bebas sambil berkelakar.
Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, kira2 setengah jam kemudian, hidangan
masih belum juga disuguhkan, malah ketiga pelayan yang semula mondar-mandir
keluar masuk kini juga jarang unjuk diri, apalagi Gui-poancu, dia seperti lenyap
ditelan bumi. Setelah meneguk secangkir teh, perut yang tambah keroncongan lagi, Loh Bong-bu
bersuara heran, katanya dengan kereng pada seorang pelayan yang kebetulan
beranjak keluar: "Siau-ji-ko, memangnya kenapa majikan kalian" Sekian lamanya
kenapa hidangan belum lagi disuguhkan" Memangnya kau masak pakai api lilin?"
Pelayan ter sipu2 mengiakan terus berlari ke belakang, kebetulan Gui poancu
tengah beranjak keluar dari dalam, tampak kedua tangannya mengusung sebuah
baki besar, di atas baki penuh berisi daging ayam, itik, ikan dan udang goreng saus,
lengkap dengan cabai, tomat, dan acar.
Dua laki2 berpakaian kotor penuh minyak ikut di belakang Gui-poancu, dandanannya
mirip koki, kepala dibungkus kain hitam kedua orang ini juga membawa dua nampan
besar, isinya adalah berbagat macam masakan yang berbeda.
Loh Bong-bu mendengus keras2: "Goi-poancu, cepat juga kau menyiapkan
hidangannya."
Gui-poancu minta maaf dengan tertawa ngakak, dia taruh baki di atas meja. Diam2
Siang Cin memperhatikan sorot matanya yang kelihatan guram, tawanya juga kaku
dan suaranya sumbang, jelas yang tidak wajar.
Ia melirik pula kedua koki yang mengintil di belakang Gui-poancu, cara kedua
orang ini membawa nampan ternyata amat mahir dan kelihatan gesit, padahal isi
nampan begitu banyak dan penuh, langkahnya cekatan bergerak di antara bangku2,
cara kerjanya juga cepat tak ubahnya seperti koki di restoran lain.
Sambil menerima sumpit yang diangsurkan Gui-poancu, Loh Bong-bu berkata
dengan tertawa: "Nah, ayam, itik, ikan dan daging, semuanya lengkap, Loui, jangan lupa,
bawakan dua poci untuk kami, bakpau pangsit juga keluarkan, lihat, ada tamu
perempuan, mereka suka makanan yang empuk2."
Gui-poancu mengiakan, tapi tampak agak ragu, tiba2 salah seorang koki tadi
berteriak: "Ciangkui, sumpitnya masih kurang berapa pasang."
Orang ini bicara sambil menaruh mangkuk piring, sementara mukanya menoleh ke
sini mengawasi gerak-gerik si gendut. Gui-poancu seperti gemetar sedikit katanya
tersipu: "Oh, ya, sebentar kuambilkan . . . . "
121 Beberapa patah percakapan ini seketika mengetuk hati Siang Cin, tanpa diketahui
hadirin yang lain diam2 ia mengawasi kedua koki, tapi badan orang tidak menunjuk
sesuatu tanda yang mencurigakan. Siang Cin menjadi bimbang, apakah dugaannya
meleset. Lalu di mana kedua pelayan muda yang tadi meladeni tamu2nya"
Sementara itu Gui-poancu tampak keluar pula dengan membawa sumpit, dikala dia
membagikan sumpit, Siang Cin sudah perhatikan muka orang yang penuh butiran
keringat segede kacang, padahal kini bukan musim panas.
Arak disuguhkan oleh koki yang lain, orang ini bermuka putih dengan handuk
melingkar di leher, sebuah tahi lalat warna merah tumbuh di ujung mata kirinya,
dua helm bulu panjang tumbuh menjuntai, kedua tangannya tampak berotot kasar,
mengkilat berminyak, dikala menyuguhkan arak, selalu dia unjuk tawa lebar, tak
ubahnya pelayan yang ramah untuk menarik simpatik para tamunya.
Mengawasi orang Siang Cin bertanya: "Mana kedua pelayan tadi" Kenapa tidak
disuruh bantu di luar" Orang kami terlalu banyak, kalau hanya mengandal tenaga
kalian, kapan kami baru bisa melanjutkan perjalanan?"
Koki ini menjura, katanya tertawa: "Maksud tuan mungkin Siau-gu dan Ah-mao"
Mereka adalah tenaga baru, belum mahir dan hanya disuruh mengerjakan tugas
kasar, kalau melayani tamu sebanyak ini, mungkin bisa berantakan, maka mereka
kini ditugaskan di dapur "
Siang Cin tertawa, katanya: "O, lidahmu ternyata lincah berbicara."
Si Koki menunduk, lekas dia mengundurkan diri tanpa bicara, tapi dikala dia
menunduk itulah, mata Siang Cin yang tajam sekilas dapat menangkap waiah si koki
yang putih itu ber-kerut2, itulah pertanda perasaan yang menaruh dendam.
Sebagai tuan rumah Loh Bong-bu mendahului angkat cangkir araknya, katanya:
"Siang-heng, Pau-heng, An-heng dan kedua nona mari habiskan secangkir arak ini."
Siang Cin juga angkat cangkirnya, bola matanya bentrok dengan pandangan Pau
Seh-hoa, tampak terpancar sinar aneh dari matanya seperti memaklumi sesuatu dia
tatap Siang Cin, dan diluar tahu siapapun ia mengangguk pelahan.
Loh Bong-bu berkata pula: "Hadirin sekalian, marilah kita habiskan secangkir
ini." Siang Cin serba salah, ia tak sempat memberi tanda, hatinya gelisah, baru saia
dia hendak mencegah, dilihatnya Loh Bong bu telah angkat cangkirnya yang sambil
menengadah dia tuang arak yang berwarna kuning itu. Tapi arak bukan dituang ke
dalam mulut, melainkan dituang ke dalam lengan bajunya yang longgar itu.
Maka Siang Cin lantas tertawa lebar, katanya gembira: "Bagus, bagus sekali !"
Bersama Pau Seh hoa iapun tiru cara orang.
Di bawah meja jari Siang Cin menulis di telapak tapak tangan Kun Sim-ti, dengan
maksud: "Kau jangan minum, kau dan istri An Lip tidak usah minum."
An Lip dan istrinya tampak ragu2, Pau Seh hoa sengaja berkata: "Tidak, Lo An
harus minum secangkir, aku orang she Pau yang menyuguh."
An Lip menjadi gugup, ia bilang tak berani minum, sementara Ceng yap cu tampak
mendatangi dan berdiri di samping meja, katanya: "Lapor Cuncu, mohon diberi izin
para Tecu boleh mulai makan."
"Sudah tentu," seru Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Lain kali ingat, disiplin
di padang rumput tidak perlu dilaksanakan di luaran" ia merandek sejenak, lalu
menambahkan: "Tapi kalian harus ingat peraturan lama Bu-siang pay kita bila
menginap di mana saja. Nah, ayam sudah berkokok, elang terbang datang dari
langit, golok tersembunyi di bawah payon, membabat bayangan nan tidak kelihatan
itu ... . "
Waktu Loh Bong-bu mengucapkan kata2 yang aneh ini, sikapnya tampak kaku dan
kereng, sudah tentu An Lip, Kun Sim-ti bertiga merasa heran, lekas Ceng-yap cu
membalik badan, secepat angin dia sudah berkisar ke sana, dikala badannya
berputar itulah, kedua telapak tangannya secara beruntun telah bertepuk lima
kali. Perubahan berlangsung dengan cepat, selagi gema tepuk tangan Ceng-yap-cu yang
122 nyaring masih berkumandang di dalam ruangan, semua anak buah Bu-siang pay
serempak melompat berdiri, golok melengkung di punggung serentak tercabut ke
luar. Tiada sedikitpun rasa ragu dan bimbang, puluhan anak murid Bu-siang pay
mendadak menerjang ke luar jalan raya, sekelompok menyebar kedua sisi rumah, sementara
sisanya menyebar ke berbagai pojok ruangan, sehingga terbentuklah sebuah
lingkaran besar, hanya sekejap mereka telah menduduki posisi yang
menguntungkan, bayangan beberapa orang berkesiur kencang, meja kursi sama tertumbuk roboh,
dikala kedua koki itu menyadari apa yang terjadi, tahu2 mereka sudah terkepung
di tengah lingkaran.
Saat mana Gui-poancu tengah mengangkat daging panggang, seperti mendadak
terserang angin duduk, seketika dia berdiri kaku mematung, mukanya yang gemuk
penuh daging menonjol itu sungguh lucu, seperti tertawa tapi juga mirip orang
menangis seperti ketakutan tapi juga girang. Mulutnya melongo lebar, sementara
kedua matanya melotot.
Kedua koki itu berdiri tepat di tengah ruangan mereka celingukan bingung, dengan
sorot mata mohon bantuan mereka menoleh ke arah si gendut she Gui yang berdiri
mematung dan gemetar di sana.
Pelan2 Loh Bong-bu berdiri, katanya mengejek: "Te Yau, periksa ke belakang."
Poan hou jiu Te Yau mengiakan, sebat sekali ia melesat ke pintu belakang,
sementara Loh Bong-bu letakkan cangkir ke atas meja, katanya sambil memandang
Gui gendut: "Lo Gui, apakah kau di paksa?"
Bergetar tubuh Gui gendut yang penuh daging itu, serta merta ia mengerling ke
arah kedua koki, kedua orang yang dipandang diam saja tanpa unjuk perasaan apa2.
Mendadak Loh Bong-bu menggebrak meja, teriaknya bengis: "Untuk apa kau lihat
mereka" Kau kira golok lengkung Bu siang-pay kurang tajam?"
Dengan menyengir kulit daging si gendut tampak ber-goyang2 saking ketakutan,
mulutnya terpentang lebar, tapi sepatah katapun tak mampu bicara sungguh kasihan
keadaannya. Siang Cin tertawa, katanya: "Loh-cuncu, Guiponcu terang dipaksa, kita tidak
perlu mendesak dia, kukira kedua koki ini bisa memberi keterangan, karena
merekalah biang keladinya."
Seketika kedua koki itu ketakutan, mereka meratap: "Ciangkui, sudah sekian tahun
kami membantumu, seingatku kecuali sering mencuri minum dua cangkir arak
selamanya tak pernah berbuat salah, Ciangkui, tolonglah kau memberikan
kesaksian, kami kan tak pernah melakukan kejahatan apa2 . . . . . ."
Gui-poancu seka keringatnya dengan lengan bajunya, jari2nya tampak gemetar,
sesaat kemudian baru dia dapat bersuara dengan tersendat: "Tidak . . . . . tidak
salah, Loh-ya, mereka . . . . . . . mereka berdua."
Dengan tersenyum Siang Cin mengulap tangan katanya: "Sahabat baik, dihadapan
orang jujur tidak perlu membual, cara kalian ini hanya bisa rnenggertak si lemah
dan mengelabui yang bodoh, dihadapan kami kau tak perlu main sandiwara, tak
berguna" Semakin hijau muka koki tadi, katanya sedih: "Tuan ini, sudilah engkau suka
menjelaskan, hamba kan bekerja baik2 dan tidak berbuat salah, mendadak tuan2
mencabut senjata dan mengepung kami, memangnya kami pernah melakukan
kejahatan apa" Umpama membunuh orang kan juga harus dibikin terang persoalannya, entah
kesalahan apa yang telah hamba lakukan?"
Melotot gemas dan dendam Loh Bong-bu, bentaknya gusar: "Keparat yang licik."
"Kesalahan sih ada," ucap Siang Cin dengan tertawa, "cuma arak, hidangan yang
kalian masak ini rasanya koh ganjil sekali, kalian kan koki di restoran ini,
nah, silakan kalian cicipi dulu hasil karya kalian sendiri, kalau apa yang
123 kukatakan terbukti benar, maka kalian harus lekas bikin lagi hidangan yang
lain." Seketika berubah air muka kedua koki, sekuatnya mereka seperti menahan diri, si
muka putih yang bernama Mao-ci menelan air liur, katanya dengan serak: "Tuan ..
Ini kan hidangan untuk tuan2 sekalian, mana hamba berani mencicipinya lebih dulu
........."
"Hm." Loh Bong-bu menggeram, "disuruh makan, maka kalian harus mencicipi dulu,
nanti kubayar dua kali lipat."
Sudah tentu tambah buruk air muka kedua koki ini, mereka bimbang dan saling
pandang, koki yang bermata juling mengertak gigi hendak bergerak, tapi koki muka
putih bernama Mao-ci menggeleng kepala. Golok besar melengkung telah terhunus
mengelilingi mereka dengan sinar yang gemerdep demikian pula tombak pendek
bersula telah terpegang di tangan kiri, agaknya Mao ci cukup tahu diri nelihat
situasi dihadapan mata, sedikit bergerak tanpa perhitungan, jelas mereka akan
menjadi sasaran empuk bidikan tombak2 pendek bersula itu.
Berkejang muka Mao-ci, tiba2 sikapnya berubah tenang, katanya: "Baiklah, kalau
demikian pesan tuan2, biarlah hamba mencicipinya." Waktu menoleh ke arah
temannya, sorot matanya seperti mohon diri, seperti juga menyesali nasibnya yang
jelek. Lalu dengan langkah lebar dia menghampiri meja Siang Cin, ia mencomot
sepotong paha ayam serta menjemput cangkir arak di depan Loh Bongbu, sekilas
ragu2, lalu dia angkat paha ayam ke mulutnya.
Tiada orang bersuara, puluhan pasang mata tertuju ke muka Mao-ci, suasana terasa
seram. Dengan menyengir Mao-ci pentang mulutnya, Sikap Siang Cin tampak dingin kaku,
sorot matanya ber kilat2, dengan tajam diawasi gerak-gerik orang.
Lagaknya Mao-ci mau makan paha ayam itu tapi ketika paha ayam itu hampir
menyentuh bibirnya, tangan kirinya tiba2 menggentak, arak itu dia siramkan ke
muka Loh Bong-bu, sementara paha ayam mendadak juga dilempar ke arah Siang
Cin, begitu barang2 di kedua tangannya disambitkan, sigap sekali ia berputar, tahu2
tangan kanan sudah mencabut sebilah belati yang tajam berkilau.
Hanya sedikit mengegos dengan mudah Siang Cin hindarkan, samberan paha ayam,
perawakannya yang kurus bergerak gemulai, hampir tidak kelihatan melakukan
gerakan apapun, tahu2 Mao-ci menjerit keras, tubuhnya berputar dan darahpun
terhambur dari mulutnya. Sebat sekali Siang Cin melompat maju, dikala badan
Mao-ci masih berputar2, telapak tangan kirinya terayun, kembali darah muncrat,
Mao-ci mencelat tinggi membentur langit2, "klotak", dengan keras ia terpental
balik dan jatuh terguling di lantai, dengan berlepotan darah. Siang Cin
menghardik: "Jangan bergerak!"
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru saja koki bermata juling hendak menubruk maju dengan belatinya, hardikan
Siang Cin bagai bunyi guntur telah membikinnya bergetar, sedikit merandek itu,
tujuh batang golok sabit telah menyamber tiba, puluhan tombakpun meluncur datang
dengan deru angin yang kencang, orang merasa pandangan mendadak kabur, dikala
dia menggerakkan belatinya itu, kaki Siang Cinpun menyapunya, golok sabit dan
tombak berdering saling bentur, mendadak Siang Cin melambung ke atas, berbareng
ia tarik baju kuduk orang itu serta diangkat ke atas,
Sekali tendang Loh Bong bu bikin meja kursi jungkir balik, lalu dia sudah
berkelebat maju, beruntun dia gampar laki bermata juling itu beberapa kali,
keruan gigi rompal bibir pecah dan darahpun berhamburan dari mulut orang itu.
Sekali raih Loh Bong-bu menjambak rambut orang, hardiknya gusar: "Keparat,
betapa tinggi kepandaianmu, berani membokong Cuncu Bu-siang-pay" Katakan, dari
aliran setan atau golongan iblis mana kau?"
Melotot bola mata laki2 yang juling (keroh) itu, Loh Bong bu mendengus, telunjuk
tangannya mencolok, secara mentah2 dia cukil keluar sebuah biji mata orang.
Raung kesakitan bergema, kaki tangan berkelejetan seperti orang terserang ayan,
124 wajah Loh Bongbu biasanya putih bagai batu jade kini berubah hijau kelabu,
sekali raih pula dia betot biji mata orang yang bergelantung di pipi orang,
kembali dia hendak cukil biji mata orang yang sebelah kiri.
Lekas Siang Cin menarik mundur orang itu, katanya: "Loh-cuncu, biarkan dia
hidup, nyawanya lebih berguna dari pada membunuhnya."
Loh Bong bu menggerutu: "Bangsat, kalau tidak kuremukkan tulang belulangnya,
sungguh tak terlampias amarahku."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Cepat atau lambat dia pasti mati, sekarang lebih
baik mengompes keterangannya. Loh-cuncu, sampai sekarang kita belum tahu dia
dari aliran mana." - Sembari bicara Siang Cin mencengkeram baju leher orang,
katanya dingin: "Sahabat baik, apa yang harus kau katakan, kini sudah tiba
saatnya kau beberkan."
Sekujur badan orang itu gemetar, mukanya berkerut dan berlumuran darah,
keadaanya sungguh seram dan mengerikan.
"Anak muda," tiba2 Loh Bong-bu tertawa, "ini baru mulai, bila setiap pertanyaan
tidak kau jawab dengan jelas, sedikit akan kusiksa kau hingga mangkat ke alam
baka." Mendadak mata tunggal orang itu mendelik, katanya dengan meraung penuh
dendam: "Loh Bong bu, kalau tuan besarmu mati, beribu anggota Hek jiu tong akan menuntut
balas bagi kematianku, kau anjing tua ini akan mati lebih mengenaskan
daripadaku, kalau berani, hayo bunuhlah sekarang, buktikan saja apakah anggota
Hek-jiu-tong memang takut mati seperti omonganmu."
Ceng-yap-cu Lo Ce yang berdiri di samping menghardik, golok sabit di tangannya
tiba2 membacok, bentaknya: "Baik, coba rasakan ini!"
Sekali tarik Siang Cin singkirkan tawanannva, "Siiuut", golok sabrt menyamber
lewat dan "crat" bangku panjang di sebelah tertabas kutung menjadi dua, dengan
mata membara Lo Ce putar badan serta mengayun golok pula, lekas Siang Cin
mencegah. "Berhenti dulu, Lo-heng . . . . "
Lekas Loh Bong-bu angkat tangan mencegah Lo Ce, Katanya kemudian: "Sahabat
baik, mulutmu ternyata berbisa juga. Baiklah Cap kau hwi ce Loh Bong-bu ingin
menyaksikan sendiri kawanan anjing Hek-jiu-tong dapat berbuat apa terhadapku?"
Siang Cin mengertak gigi, jari2nya yang mencengkeram kuduk orang semakin
mengencang: "Sahabat, kalau kau tidak ingin disiksa, maka bicaralah, masih ada
berapa banyak kaki-tangan Hek-jiu-tong di sekitar sini" Di mana mereka sembunyi"
Siapa pula yang jadi pemimpin" Dengan cara licik apa pula kalian hendak
mencelakai kami" Bagaimana gerakan orang2 Hek-jiu-tong akhir2 ini?"
Orang itu malah memejamkan mata, dengus napasnya berat, dadanya turun-naik,
mukanya kotor berlumurah darah yang mulai mengering, jelas sekuatnya dia
menahan derita, sepatah katapun dia tidak jawab pertanyaan Siang Cin.
Loh Bong-hu berseru gusar: "Siang-heng, ganyang saja dia."
Berpikir sejenak Siang Cin berkata: "Sahabat, akan kuberi waktu selama satu
sulutan dupa, bila kau menjawab beberapa pertanyaanku tadi, segera kau boleh
meninggalkan tempat ini."
"Cuh," tiba2 orang itu menghamburkan darah di mulutnya, katanya sambil tertawa:
"Kau . . . . ingin aku menjual Hek-jiu-tong" Haha jangan menilai! Kau ingin aku
menjawab pertanyaanmu, anak muda, boleh kau tunggu bila mentari terbit dari
barat . . . . "
"Ciiiiaaaat" - "Bluk", mendadak telapak tangan Loh Bong-bu mendarat di dada
orang itu, terdengar suara tulang retak dan patah, orang itu meraung
se-keras2nya, gumpalan darah tertumpah dari mulutnya, darah yang tercampur
gumpalan2 merah, karena dada terpukul keras sehingga isi dadanya remuk dan ikut
tersembur keluar.
125 Siang Cin menghela napas, sekali dorong "Byuuuarr", mayat orang itupun terlempar
keluar jendela dan tercebur ke dalam sungai.
Kun Sim-ti menunduk kepala dan menutup mukanya dengan kedua tangannya di
meja sana, pundaknya tampak ber-goyang2, dulu dia tidak tahu apa yang dinamakan
kejam, apa yang dinamakan dendam kesumat, sekarang dia dapat meresapinya.
Bahwa derita yang menimpa manusia bukan cuma pukulan batin melulu, derita yang
nyata di depan mata sekarang juga cukup mengerikan dan amat menyedihkan pula,
kiranya demikianlah kehidupan insan persilatan yang kecimpung di Bu lim.
Tanpa bersuara Siang Cin mengawisi jari2nya yang masih membengkak hijau
ke-biru2an, pelan2 dia menggeleng kepala serta berkata: "Hek-jiu-tong dapat
menggembleng anak buahnya sehebat ini, memang bukan kerja yang gampang.
Yang kusangsikan sekarang apakah setiap anggota Hek-jiu-tong juga keras kepala dan
tak takut mati seperti kedua orang ini?"
Loh Bong-bu berkata sinis; "Siang heng. Cayhe sudah bentrok beberapa kali dengan
orang2 Hek-jiu-tong, aku harus mengakui bahwa mereka memang punya keberanian
yang luar biasa, tapi tidak semuanya demikian."
Bercahaya sorot mata Siang Cin, katanya: "Kalau demikian, Loh cuncu, boleh kita
tandangi Hek jiu-tong secara besar2an, cuma untuk itu, mungkin harus mengalami
banyak kesukaran."
"Cayhe mengerti," ucap Loh Bong-bu baru tapi penuh semangat, "kami harus
bertempur dengan segala kekuatan, kamipun mohon supaya Siang heng suka
membantu."
Tertawa tawar Siang Cin berkata: "Kalau Cayhe sudah berjanji, pasti akan
kutepati sampai titik darah terakhir."
Terhibur hati Loh Bong-bu, lekas dia menjura, sementara seorang tampak berlari
masuk, sekujur badannya berlepotan lumpur, basah kuyup oleh keringat dan air
kotor, langsung dia memburu kearah Loh Bong bu serta berteriak: "Loh cuncu,
mata2 Hek-jiu-tong telah menyelundup ke restoran ini, dua koki dan dan pelayan
restoran mereka gantung di belakang, waktu Tecu beramai menolongnya turun, kami
sempat lihat beberapa orang berlari menyusuri tepi sungai ke arah barat, Te
toa-suheng membawa beberapa orang telah mengejar ke sana, dengan susah payah
akhirnya musuh dapat disusul dan terjadilah baku hantam sengit, baru beberapa
gebrak mereka ngacir pula, Toa-suheng suruh Tecu pulang memberi laporan . . . .
. " Loh Bong bu mendengus, tanyanya: "Mereka juga perkenalkan diri sebagai anggota
Hek-jiu-tong?"
Dengan napas tersengal2 murid Bu-siang-pay itu mengangguk: "Ya, peminpinnya
seorang yang tidak punya hidung .... perawakannya gemuk . . . ."
Tiba- Siang Cin menepuk paha, sikapnya tampak gelisah dan gugup, katanya:
"Celaka, Loh cuncu, lekas kita susul mereka, kalau terlambat mungkin bisa celaka
semuanya."
Sikap Siang Cin yang gugup membuat Loh Bong bu tegang juga, katanya dengan
nada curiga: "Siang heng, apa yang tidak beres?"
Sembari melangkah keluar Siang Cin memberi tanda, katanya ter-gesa2:
"Tinggalkan
beberapa orang tunggu di sini, Loh heng, sisanya yang lain lekas ikut kita,
laki2 gemuk tak berhidung yang di terangkan saudara ini adalah salah satu
pentolan Hek jiu tong, yaitu Ang bin-cu (hidung malam) Kau Hui-hui, orang kelima
dari Hek jiu-tong.?"
"Kau hui hui?" Loh Bong-bu mengulang nama yang aneh ini, mendadak dia berpaling,
serunya: "Lo Ce kau pimpin dua puluh Tecu bertugas jaga di sini, sisanya ikut
126 aku mengejar musuh."
Ceng yap-cu Lo Ce mengiakan, bayangan orang bergerak, derap orangpun beranjak
keluar, di bawah pimpinan Siang Cin dan Loh Bong bu, dengan cepat sebarisan
orang berlari menuju kebelakang.
Di ujung serambi adalah dapur dan gudang rangsum, di belakang dapur ada
undakan batu yang menjurus turun ke tepi sungai, dimusim rontok air sungai tak pernah
pasang maka pesisir membentang panjang dengan pasirnya yang menghitam legam,
tapak kaki tampak acak2an di atas pasir menjurus ke arah barat.
Siang Cin membetulkan pakaiannya yang koyak, sakali narik napas, segera ia
melayang ke depan secepat terbang.
"Ginkang yang hebat!" Loh Bong-bu berseru memuji, sambil memberi tanda, bagai
anak panah melesat iapun menyusul dibelakang Siang Cin, sekejap saja kedua
orang ini sudah melayang jauh ke depan, anak buahnya jauh ketinggalan di belakang.
Pesisir sungai ini berbelak-belok, ada kalanya teraling oleh batu karang yang
menjurus ke tengah sungai, tapak kaki masih tampak acak2an ke arah depan,
sejauh mata memandang bayangan Te Yau dan lain2 belum lagi kelihatan.
Siang Cin berlari kencang berdampingan dengan Loh Bong-bu mulai menampilkan
rasa gelisah, diam2 ia seka keringat yang membasahi hidung, katanya gemas: "Te Yau
keparat itu memang sembrono terlalu serakah mengejar pahala dan suka menang
sendiri, kalau sekali ini dia terjungkal, coba nanti kalau aku tidak membeset
kulitnya . . . . . ."
Sambil melompati gundukan pasir Siang Cin berkata, "Anak muda semuanya
demikian, tapi dengan bekal kepandaian Te-heng, untuk bisa merobohkan dia musuh harus
memeras keringat dalam waktu yang cukup lama juga, untuk ini Loh-heng tidak
perlu kuatir."
Mendadak Loh Bong-bu berteriak kaget, tarnpak di atas pasir di depan sana tiga
orang seragam putih menggeletak di pinggir sungai, muka mereka terbenam dalam
pasir, sekujur badan berlepotan darah, air sungai membasahi tubuh mereka, air
sungai berubah merah, jiwa mereka terang sudah melayang.
Dengan kencang Siang Cin tarik tangan orang serta menyeretnya lari ke depan
tanpa memeriksa ketiga orang itu, gigi Loh Bong-bu gemeretak menahan gejolak
hatinya. Tanpa berhenti Siang Cin terus seret orang berlari, sikapnya tenang2 seperti tak
pernah terjadi apa2, katanya: "Sudah kulihat, Loh-heng, yang perlu dipikirkan
sekarang ialah cara bagaimana menagih dan mencari imbalan untuk dendam sakit
hati ini."
Menggigit kencang bibirnya, Loh Bong-bu tidak bersuara, mereka berdua harus
mengitari sebuah batu karang besar yang menongol di depan, di balik sana kiranya
adalah rawa dengan rumput gelagah yang tumbuh subur dan membentang luas
sepanjang sungai.
Sekilas memandang. "Nah, itulah," serta merta Siang Cin berseru lirih, berbareng
ia melayang ke sana, kiranya di tengah semak2 rumput sana beberapa bayangan
orang tengah saling tubruk dan bertempur dengan sengit.
Tampak seorang murid Bu siang-pay yang bergelang emas di kepalanya tengah
meronta2 roboh ke dalam air, dadanya berlubang dan berdarah, menyusul seorang
laki2 berpakaian abu2 juga melolong roboh dan kelejetan di tengah semak2,
sebilah golok sabit menembus perutnya, isi perutnya ikut kedodoran keluar.
Siang Cin melompat maju di tengah udara sebelah kakinya sempat menendang jatuh
seorang laki2 kurus berbaju hitam. Masih ada tiga murid Bu-siang-pay yang
bertempur sengit melawan lima orang anak buah Hek-jiu-tong yang berpakaian
127 warna-warni. Sekilas pandang Siang Cin lantas melihat Poan-hou-jiu Te Yau, dengan ilmu
pukulan kebanggaannya Te Yau tengah bertempur mati2an melawan seorang laki2
berpinggang besar, muka penuh daging menonjol dan berperawakan tinggi,
sepasang mata laki2 itu melotot beringas, sikapnya sadis, yang lebih mengerikan lagi
ialah laki2 besar ini ternyata tidak punya hidung. Dari depan mukanya kelihatan
rata, kedua lubang hidungnya tampak buruk dan menjijikkan.
Laki2 gemuk ini ternyata memiliki kepandaian yang ganas dan keji, iapun main
dengan kepalan tangan, setiap gerak tangannya membawa deru kekuatan yang
dahsyat, tipu serangannya juga aneh dan banyak perubahan, rumput berterbangan,
air muncrat ke sana-sini, Poan-hou-jiu Te Yau sudah terdesak, jelas kelihatan
Poan-hou-jiu Te Yau sudah kewalahan dan tak mampu melawan lebih lama lagi,
meski sekuat tenaga dia tetap berjuang dengan gigih.
Bagai burung raksasa Siang Cin langsung menubruk ke arah laki2 tidak berhidung
itu, dengan jurus Gwat-bong-ing tangan bergerak maju tapi sebat sekali lantas
ditarik balik pula, cepat laki2 gemuk itu berputar, "bret", tahu2 juga biru yang
dipakainya sobek tepat di depan dadanya,
Tidak kepalang kejut si gemuk, cepat ia melompat mundur, ia menatap tajam ke
arah Siang Cin.
Siang Cin berdiri di tengah lumpur, sapanya sambil unjuk senyum: "Kau Hui-hui,
selamat bertemu."
Daging yang benjal benjol di selebar muka Kau Hui-hui ber-gerak2, dengan gusar
dia tatap Siang Cin sekian lamanya, katanya dengan suara serak pecah seperti
gembreng: "Kau, siapa kau?"
Poan hou jiu sempat ganti napas, dengan serak dia memaki: "Kau Hui-hui, dia
inilah raja akhirat yang akan mengantar nyawamu ke neraka."
Dengan rasa hina dan mengejek Kau Hui-hui berludah, jengeknya: "Katakan, siapa
kau?" Mendadak sesosok bayangan berkelebat di udara, seringan daun jatuh Loh Bong bu
telah melayang turun, dia mengawasi Te Yau sebentar, tanyanya kereng: "Terluka
tidak?" Paras muka Te Yau, dia betulkan letak tutup matanya, sahutnya dengan tergagap:
"Tidak, tidak apa2 . . . . "
"Tunggu apa lagi kau di sini, lekas bantu para saudaramu berantas kawanan
binatang tangan hitam itu!" demikian seru Loh Bong-bu gusar.
Te Yau mengiakan dan cepat lompat ke sana. Kau Hui hui melotot, dia maju setapak
ke depan, Siang Cinpun tersenyum, dia juga maju setapak lebih dekat.
Otot hijau yang merongkol di jidat Kau Hui-hui bergerak2, mukanya yang tak
berhidung tampak menjijikan, ia melotot beringas ke arah Siang Cin dan berkata
lantang: "Orang yang berani merintangi sepak terjang Kau Hui hui pasti seorang
yang punya asal-usul, anak muda, sebutkan namamu?"
Sorot mata Siang Cin menatap luka jari2nya yang telah mulai mengering, katanya
tawar: "Naga Kuning Siang Cin dari angkatan muda memberi salam hormat kepada
Cianpwe Kau-longo."
Mata Kiau Hui hui mendelik lebih lebar, lama dia mengawasi Siang Cin kataaya
kemudian" "Orang she Siang, gerangan apa yang menimbulkan hasratmu main2
dengan orang Hek jiu-tong, apakah sudah kau pikirkan apa akibat dari campur tanganmu
ini?" Alis terangkat, Siang Cin berkata tenang: "Sudah tentu, paling2 jiwa melayang."
merandek sebentar, lalu disambungnya dengan tertawa: "Tapi, jiwaku ini harus
diimbali, beberapa jiwa kalian, malah bukan mustahil, hm, kau sendiri harus ikut
serta ke alam baka."
128 Gigi Kau Hui-hui gemeratak, pada saat itu sebuah jeritan, berkumandang dari
sebelah sana, tapi dia seperti tidak mendengar, katanya pula: "Siang-Cin,, kau
akan menyesal . . . . "
Siang Cin, menjawab: ?"Entah sudah berapa tahun dan betapa banyak urusan telah
kubereskan, tapi selamanya Naga Kuning tidak pernah menyesal."
"Hayolah, Kau Hui-hui" Loh Bong-bu meraung tidak sabar: "Biarlah cuncu dari Bu
Siang-pay menghadapimu."
Sekilas ia melirik Loh Bung bu, Kiau Hui-hui berkata sinis: "Orang she Loh, tak
perlu kau menampilkan diri, sudah lama Kiau longo tahu siapa kau keparat ini."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ditengah gelak tawanya mendadak Loh Bong bu menubruk maju secepat kilat,
sekaligus dia lontarkan sepuluh pukulan dan tujuh belas kali tendangan.
"Ciiiaat" Kau Hui hui menggembor keras, badannya yang besar tangkas luar biasa
berkelit ke samping, sementara kedua telapak tangannya dengan gencar membelah
dan menabas, Serangan balasan ini membawa damparan angin angin kencang,
ekuatannya mampu membelah batu mematah pilar.
Di tengah muncratnya air dan daun yang melayang, golok sabit Loh Bong-bu
menyambar kian kemari, terjadilah pertempuran sengit dengan Kau Hui hui yang
melawan dengan bertangan kosong.
Dengan tawar Siang Cin berkata: "Kau Hui-hui, ilmu pukulanmu nyata memang
lumayan, tapi kurang cepat, ingatlah pertempuran jago kosen mengutamakan
ketangkasan, terpaut sedetik saja akibatnya jiwapun bisa melayang."
Golok Loh Bong-bu bergerak semakin gencar, lincah dan mantap, dengan tangkas
Kau Hui-hui berkisar ke samping, kedua telapak tangan berputar cepat menimbulkan
gejolak angin keras, jengeknya dingin: "Orang she Siang, kau boleh terjun
sekalian, Kau-longo tidak akan mundur karenanya."
Dengan memicingkan mata Siang Cin saksikan kedua orang saling serang lagi
puluhan jurus, katanya kemudian: "Jangan gelisah saudara, mungkin nanti kau
masih punya kesempatan."
Darah tampak berhambur dari belakang semak2 sana, seorang laki2 berpakaian
warna hitam dengan sulaman benang putih sebagai hiasan tampak terhuyung beberapa
langkah, mungkin telah kehabisan tenaga, pelan2 dia tersungkor roboh ke dalam
air, di kuduknya tampak merekah besar sebuah luka tabasan golok yang mengerikan,
darah masih menyembur deras, jiwa anak buah Hek jiu-tong ini jelas akan menyusul
teman2nya yang telah mangkat lebih dulu.
Kau Hui hui sedikitpun tidak terpengaruh, seperti tidak mendengar dan melihat,
dia tetap bergerak lincah menempur Loh Bong bu dengan sengit, bayangan mereka
berlompatan naik turun di antara semak2 gelagah, sekejap saja mereka telah
bertempur tiga puluhan jurus.
Dinilai secara menyeluruh, Loh Bong-bu adalah orang pertama dari Hiat ji-bun di
Bu-siang-pay, dalam Bu-siang-pay tingkat kepandaiannya termasuk kelas wahid,
kaum persilatan di utara bila menyinggung nama Cap-kau-hwi-ce (sembilan belas
bintang terbang) pasti akan mengacungkan jempol dan memuji "bagus",
Si-bun-cap-sa-sek, ilmu goloknya dikombinasikan dengan tiga belas biji senjata
rahasia bintang terbang segi enam yang dibuat dari baja asli, entah telah
merobohkan berapa banyak tokoh2 persilatan. Tapi kini menghadapi Kau Hui hui dia
harus menguras tenaga, walaupun lambat-laun sudah menempatkan dirinya di atas
angin. Jauh di luar semak2 sana terdengar derap langkah orang banyak berlari datang
dengan cahaya kemilau senjata tajam, dua puluhan murid Bu-siang-pay baru
sekarang menyusul tiba, dengan golok sabit mereka membabat rumput dan
membuka jalan maju ke-semak2 cepat sekali sisa2 orang2 Hek-jiu-tong yang masih hidup
telah terkepung oleh mereka.
129 Tiba2 Kau Hui-hui bergontai ke kanan kiri, ketika golok lawan menyambar lewat,
berbareng ia pun menghantam sambil bersuara keras memberi aba2: "Anak2 tangan
hitam, lekas lari"
Empat anak buah Hek-jiu-tong bagai memperoleh pengampunan serentak
mengembor sambil angkat langkah seribu ke arah semak2 yang lebih lebat.
Golok sabit Poan-hou-jiu Te Yau sempat membacok tempat kosong, teriaknya
bengis: "Setengah lingkar, cepat!"
Beberapa murid Bu-siang-pay yang tengah mengudak serentak berhenti, cepat
mereka menyingkir kedua samping mengambil posisi setengah lingkaran, Te Yau diam
sejenak mengawasi keempat orang Hek-jiu-tong yang lari seperti dikejar setan
itu, mendadak ia memekik panjang, tumbak bersula di tangannya tiba2 meluncur
bagai lembing memecah udara, dua puluhan murid Bu-siang-pay serentak juga
menimpukkan tumbak masing2, keempat orang Hek-jiu-tong yang sedang lari itu
satu persatu melolong terus roboh berkelejetan kesakitan di tengah semak, entah
kepala, punggung, kaki tangan keempat orang itu sama tertusuk tumbak bersula,
sebelum ajal mereka tetap berusaha melarikan diri, namun rasa sakit tak tertahan
lagi darah mereka mewarnai air yang sudah keruh ini.
Di bawah rangsakan golok sabit Loh Bong-bu, Kau Hui-hui terus bertahan dengan
serangan balasan yang gencar, dia tahu kematian seluruh anak buahnya, tapi
tampangnya yang kelihatan beringas sadis itu sedikitpun tidak menampilkan rasa
murka dan dendam, gerak-geriknya tetap tangkas, meski air merendam sebatas
lutut, mereka terus mengembangkan kegesitan masing2 dan saling labrak dengan
sengit kembali tiga puluh jurus telah berselang.
"Kau Hui-hui," Siang Cin berseloroh dengan menggosok telapak tangan, "apa kau
tidak ingin menyelamatkan jiwa?"
Mendadak Kau Hui-hui melancarkan pukulan dahsyat Siang jong-ciang dikala Loh
Bong-bu melompat berkelit, dia berkata dengan menyeringai: "Siang Cin, kalau
Kau-longo ingin pergi, kalianpun tak kuasa merintangi."
"Sudah tentu," Siang Cin mengedip mata, "tapi kau boleh coba."
Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu menghardik lantang, golok sabit membabat ke
kanan-kiri lalu membacok naik-turun, begitu gencar dan ganas rangsakannya, hawa
di sekitar gelanggang seperti berpusar menimbulkan angin lesus, denging suara
yang timbul dari sambaran goloknya laksana tangisan setan. Inilah jurus ilmu
golok Tan-hun-liok-hoan ( enam gelang mega mendung ) dari Liong-hun-cap-sa-sek
yang lihay. Dengan gelak tertawa Kau Hui-hui melompat naik turun, serunya: "Loh Bong-bu,
beginilah baru memenuhi seleraku."
Mendadak golok menusuk lurus kedepan, pada hal bagian atas tubuh Loh Bong-bu
doyong ke belakang, namun dalam gerakan singkat itu, entah bagaimana tahu2 tiga
benda sebesar kepalan tangan, yaitu bintang segi enam kemilau biru laksana kilat
melesat mengincar leher perut dan selangkang Kau Hui hui, baru saja ketiga
bintang terbang ini berkelebat di udara, kembali ia menimpuk lagi tiga bintang
terbang dan mengincar kanan kiri kepala musuh.
"Heit," tiba2 Kau Hui-hui melompat ke atas, badannya yang besar bagai gentong
air itu melayang ke samping, kedua tangannya berbareng memukul, di tengah
samberan bintang2 yang lebat, dengan golok sabit tergigit di mulut Loh Bong-bu
ayun tangan ber-ulang2, tiga belas biji bintang terbang memancarkan cahaya biru
berhamburan seperti hujan.
Kau Hui-hui yang terapung di udara tampak bergetar sekali, tiba2 dia menggeliat,
bagai anak panah terlepas dari busurnya tubuhnya melenting beberapa tombak
jauhnya. 130 Siang Cin menyeringai, serunya: "Kau-longo, kau takkan bisa lolos." Di tengah
kumandang suaranya, Siang Cin terus menubruk ke arah Kau Hui hui.
Kau Hui-hui masih berusaha menahan tubuhnya di udara, sekilas tampak mukanya
telah berubah pucat menghijau, kedua matanya melotot berdarah ke arah Siang Cin.
sekali menyendal lengan kanan, seutas sabuk sutera tiba2 melecut kencang ke
depan, sabuk ini ternyata berisi terbagi beberapa ruas yang diikat kencang,
laksana ular hendak membelit tubuh Siang Cin.
Siang Cin tertawa ejek, telapak tangannya berkelebat dengan kecepatan tinggi,
berbareng dia miringkan tubuh ke kanan.
Sabuk itu tiba2 berbunyi bagai ledakan, kabut putih seketika berhamburan di
udara, begitu dihembus angin seketika melebar bagai kabut tebal tapi bersamaan
dengan itu terdengar pula rintihan tertahan, meski lirih masihi sempat didengar
Siang Cin, lekas dia menahan napas serta berteriak: "lekas menyingkir."
Dengan bergerak melawan arah angin Siang Cin melambung setingginya, dari
tempat ketinggian ia menyapu pandang sekelilingnya, orang Bu-siang pay di bawah tampak
lari pontang panting menyingkirkan diri, semua menutup mulut dan hidung
sementara Loh Bong-bu berusaha mengitari kabut dan mengudak musuh.
Di tengah udara Siang Cin mendatarkan tubuh dan berputar lambat2 dengan kedua
tangan terpentang, sementara kedua kaki memancal, tubuhnya yang kurus seketika
meluncur bagai anak panah, matanya tidak lepas mengawasi keadaan semak2
sekitarnya, tapi setelah bubuk kapur putih sirna tertiup angin, kecuali rumput
yang bergontai tertiup angin, mana lagi ada jejak musuh.
Dengan ringan Siang Cin melayang turun, berdiri diam dan pasang kuping
mendengarkan dengan seksama, arus sungai di kejauhan terdengar gemercik,
suasana sunyi senyap, entah di mana si hidung merah menyembunyikan diri.
Terlihat Loh Bong-bu lari mendatangi, katanya dengan napas memburu: "Siang-heng,
kau melihat dia"
Siang Cin menggeleng, katanya: "Mungkin melarikan diri dengan menyelam kalau
Kau Hui hui tidak jaga gengsi, tentu dia sudah selulup dan berenang ke tengah
sungai" Loh Bong-bu mengawasi air keruh dan berbau busuk, kalau harus lari dengan
menyelam di air seperti ini, wah, cukup nekat juga dia . . . . "
"Demi menyelamatkan jiwa sudah tentu Kau Hui-hui tidak peduli air kotor atau
berbau," ucap Siang Cin tertawa.
"Hahaha," Loh Bong bu bergelak tertawa, katanya: "Siang heng, menurut
pandanganku keparat tak berhidung itu agaknya terluka."
Siang Cin manggut2, katanya: "Betul, dia terkena tiga biji bintang terbangmu.
Loh-heng, kepandaian menimpuk senjata rahasia yang kau yakinkan sungguh hebat
dan dapat dikatakan sebagai ahli."
Lekas Loh Bong-bu goyang tangan, katanya: "Mana, permainan begini mana dapat
disebut sebagai ahli" Dihadapan Siang-heng mana berani kuterima pujian yang
berlebihan."
"Loh-heng jangan merendahkan diri sendiri, sekarang silakan Loh-heng menoleh ke
belakang .......
Dengan ragu2 Loh Bong bu menoleh, seketika berubah air mukanya. Ternyata
tempat pertempuran di mana tadi Kau Hui-hui menebar bubuk kapur putih, tetumbuhan
rumput telah layu menguning, permukaan air yang keruh itu dilapisi kapur putih
yang ikut terombang-ambing oleh riak air, di antara kapur putih yang terapung
itu tampak bangkai ikan dan udang. Hanya sekejap saja kadar racan bubuk putih
itu telah memperlihatkan kekuatannya yang ganas.
"Keji amat . . . . " Loh Bong-bu mendesis dengan mengertak gigi.
131 Siang Cin menepuk pundaknya, katanya: "Tak usah marah, Loh-heng, beginilah
permusuhan dan pertempuran, sesungguhnya apa yang kita lakukan tadi juga tidak
kalah ganas daripada musuh."
Menyarungkan golok sabitnya Loh Bong-bu berkata: "Tapi kan harui ada batasnya,
kekejaman orang2 Hek-jiu-tong boleh dikatakan sudah melampaui takaran."
Siang Cin tak bersuara lagi, di sana Poan hou-jiu tengah ber teriak2 dan lari
datang, "Cuncu, kami harus pulang atau terus mengudak musuh?"
Loh Bong-bu mendelik ke arah anak murid Bu siang-pay yang masih berdiri
menjublek, semprotnya dongkol: "Nasib kalian lebih mujur, hayo lekas urus
saudara2 yang gugur, kenapa melamun. . ." Te Yau membungkuk sambil mengiakan,
ia memberi gerakan tangan dan memimpin anak buahnya mengundurkan diri.
Mengawasi mereka pergi, Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Lima orang kembali gugur
dalam pertempuran ini . . . . Ai, mereka adalah anak2 pilihan dari padang
rumput..."
Pelahan Siang Cin beranjak ketepi, katanya: "Mati atau hidup soal biasa,
Loh-heng, sudah kodrat alam, siapapun takkan terhindar. Cuma ada perbedaan
dalam cara saja bagi masing2 orang, tapi akhir dari segala yang berbeda inipun sama
juga ......."
Sepanjang jalan kedua orang terus berbincang hingga memasuki restoran, tiga
jenazah murid Bu siang pay sudah dibawa pulang, waktu mereka menaiki undakan
restoran, Ceng-yap-cu Lo Ce memapak maju, katanya serak dengan menahan suara:
"Lapor Cuncu, tadi kedatangan petugas hukum dari pejabat setempat, maka menurut
hemat Tecu lebih baik kita lekas berangkat, dengan obat khusus bikinan kita
Yong-ki-hoe-kut-san (puyer pelebur tulang) Te-suheng telah mencairkan ketiga
jenazah saudara . kita yang gugur tadi . . . ."
"Sudah dimasukkan dalam kaleng belum?" tanya Loh Bong-bu.
"Sudah disimpan baik2," sahut Ceng- yap-cu dengan suara tersendat.
Loh Bong-bu mengangguk lalu ajak Siang Cin masuk ke dalam, Gui-poancu yang
bertubuh gerrbrot dengan koki dan pelayannya sama duduk di kursi pojok sana
dengan melamun. Loh Bong-bu mendekatinya, begitu melihat wajah Loh Bong-bu
yang kereng, seketika gemetar si gendut, katanya dengan suara gemetar: "Loh-ya . . .
. engkau orang tua . . sukalah . . . . memberi ampun . . . . "
Loh Bong-bu memapahnya bangun, katanya ramah: "Tak usah takut, Lo Gui,
peristiwa ini bukan salahmu, aku tahu kau diancam mereka, kalau aku sendiri juga terpaksa
berbuat demikian"
"Apa . . . . apa benar bukan salah hamba?" si gendut masih gemetar. "Loh-ya,
hamba memang diancam. Dia . . . . mengancam leherku dengan belati. . . pelayan
dan koki juga mereka belenggu dan digantung. . . . lalu menuang bubuk merah ke
dalam hidangan . . . . hamba tahu pasti musuh tuan menaruh racun dalam makanan,
tapi . . . . ai, hamba memang pantas mampus, hamba tidak berani buka mulut,
belati yang tajam kemilau itu terasa seperti masih mengancam tenggorokan."
kedua orang itu bilang, kalau hamba berani membocorkan rahasia ini, akan . . . . akan
disembelih. "Sekarang kau tidak usah takut lagi," ucap Loh Bong-bu tertawa, "orang2 itu
sebagian besar sudah tak bisa melihat matahari lagi. Nah, Lo Gui, sediakan pula
hidangan yang tiada racunnya."
Gui-poancu mengiakan, dua pelayannya segera memapahnya berdiri, koki diperintah
menyiapkan hidangan baru, sambil menunggu masakan Loh Bung-bu berkata
kepada 132 Ceng-yap-cu: "Tadi apakah sudah kau bereskan kedua mayat orang Hek-jiu-tong?"
Kata -Lo Ce dengan tersenyum: "Sudah tentu, untuk mayat kedua orang itu telah
menghabiskan setengah botol obat bubuk milikku."
Tak lama kemudian tampak Gui-poancu muncul dengan penuh keringat membawa
daging panggang, ayam panggang, ikan goreng dan lain2 yang dijinjing kedua pelayannya
di atas baki besar, si gendut juga menenteng keranjang yang berisi bakpao yang
masih mengepul hangat, setelah menaruh hidangan di atas meja, si gendut berkata
dan mohon maaf: "Loh-ya, inilah sisa yang semula siap untuk jualan besok,
persediaan tidak lengkap, silakan tuan2 makan seadanya, mumpung masih panas,
kalau sudah dingin rasanya tidak enak . . . . . . . . " lalu dia comot sebuah
bakpau terus digerogoti lebih dulu, setelah menelan beberapa kerat bakpao,
dengan tertawa dia berkata pula: "Rasanya cukup enak, tidak beracun . . . . . .
Mengawasi si gendut Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Lo Gui, kau memang
pedagang yang cerdik, hatimupun baik." Sambil melirik Ceng-yap-cu Lo Ce, Loh Bong-bu
menambahkan: "Lo Ce, suruh saudara2 kita lekas tangsal perut, selekasnva kita
harus berangkat."
Lo Ce mengiakan, dengan teratur anak murid Bu-siang-pay mulai sibuk makan dan
minum sekenyangnya, saat mana tampak Te Yau bersama beberapa murid Busiang-
pay yang kelihatan kehabisan tenaga beranjak masuk, badan masih berlepotan darah
dan lumpur, tampak lesu dan berduka cita, langsung mereka mendekati meja mengambil
makanan masing2 dan dimakan tanpa bicara.
Semula Loh Bong-bu sudah siap mendamperat mereka, tapi melihat keadaan
mereka terpaksa dia urungkan maksudnya, sementara itu dengan suara pelan Siang Cin
ceritakan kejadian barusan kepada Pau Seh-hoa dan lain2, Pau Seh-hoa lantas
berkomentar: "Kelompok orang2 Hek-jiu-tong memang pengecut, kalau merasa kuat
mereka melawan dengan gigih, kalau merasa kewalahan lantas ngacir, aku orang
she Pau merasa sebal dan kesal bila lihat tampang mereka, kalau luka2ku sudah
sembuh nanti, coba saja kalau tidak kucari mereka dan mengganyangnya habis2an."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Loh Bong-bu berduduk pula, katanya tertawa: "Mengganyang orang2 Hek-jiu-tong
berarti melatih tinjumu, baiklah engkau pasti akan memperoleh bagiannya."
Dalam sekejap hidangan sebanyak itu telah dimakan habis, si gendut dengan
langkah cepat membawa keluar poci teh yang hangat serta mengisi cawan masing2,
sebelum dia membalik, Loh Bong-bu telah menyuapkan sebuah kantong kulit kecil ke
telapak tangannya, si gendut lantas tertawa berseri, sejenak jari2nya bergerak
meraba dan memijat, dia lantas tahu bahwa isi kantong adalah lima belas bentuk
uang emas murni.
Si gendut bergelak tertawa, katanya sambil munduk2: "Ai, masa sebanyak ini,
padahal pelayanan yang sederhana, tapi Loh-ya telah membayar seroyal ini, ai,
memangnya . . . . "
Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Tak usah sungkan, terima saja, hari ini mungkin
kau sudah dibikin ketakutan setengah mati."
Dengan tertawa lebar si gendut menjura terus mengundurkan diri, cepat sekali dia
sudah keluar pula menyuguhkan teh ke meja2 lain, seorang diri dia telah
menyuguhkan teh pada lima puluhan tamu-tamunya.
Kata Siang Cin setelah termenung: "Setelah meninggalkan Ho-thau-toh, Loh heng,
ke mana, pula tujuan selanjutnya?"
Kata Loh Bong-bu lirih: "Memasuki daerah Hek-yang menyusuri sungai menuju ke
hulu, tiba di Hu-than-san, pada sebuah kelenteng bobrok kita akan bergabung
133 dengan dua kelompok kawan kita, lalu langsung menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong."
"Berapa luasnya Hu-thau-san?" tanya Siang Cin.
"Tidak begitu besar, luasnya sekitar tiga li, letak kelenteng bobrok itu di
sebelah sayap kiri gunung di belakang hutan cemara, dulu dinamakan Lo kun san,
sekarang keadaannya sudah tak terurus lagi, beberapa tahun yang lalu pernah aku
lewat di sana."
Berpikir sejenak Siang Cin, berkata: "Tiga puluh li setelah melewati Hu-yang-ho
akan tiba Cap-ji-koay, pusat sarang Hek-jiu-tong, Cayhe belum pernah ke sana,
tapi pernah kudengar bahwa tempat itu terkenal sangat berbahaya, pihak
Hek-jiu-tong kini tentu sudah menambah kekuatan penjaganya, maka kita semua
harus membuat suatu rencana penyerbuan yang betul2 baik dan sempurna."
Loh Bong-bu mengangguk, Kata Siang Cin lebih lanjut: "M
n ceng . . . ."
105 Sambil berjongkok Pau Seh-hoa berkata dingin: "Mereka sudah berhenti?"
Sorot mata Siang Cin tertuju keluar, katanya bingung: "Ya, kita tidak
meninggalkan jejak apa2 sehingga menimbulkan perhatian mereka bukan"
Dandanan orang2 ini rada aneh, selamanya belum pernah kulihat dan belum pernah dengar. ..
." Pelan2 Pau Seh hoa mendekat, iapun mengintip keluar, sesaat kemudian baru
berkata penuh curiga: "Aneh, memangnya mereka ini orang2 gagah dari mana"
Gelagatnya mereka akan naik kemari mengadakan pemeriksaan, memangnya
mereka suka iseng . . . . "
Sembari berpikir Siang Cin berkata pelan2: "Berhadapan dengan mereka lebih
mending dari pada orang2 Cong siong-san ceng. Kukira, bila mereka bukan
makhluk2 aneh yang bertabiat nyentrik, mungkin kita bisa mengadakan kontak dan bicara
secara damai . . . . "
"Crot", Pau Seh-hoa berludah, desisnya benci: "peduli mereka siapa, bila berani
cari gara2, biar dia nanti rasakan kelihayanku . . . "
Tiba2 Siang Cin mengulap tangan, katanya: "Awas hati2, mereka sudah naik
kemari." Pau Seh-hoa coba melongok ke bawah lereng, setengah dari penunggang seragam
putih itu sudah turun dari kuda, di bawah pimpinan si pemuda berwajah kaku
dingin, mereka membentuk setengah lingkaran terus merambat ke atas.
Diam dan seksama Siang Cin mengawasi orang2 baju putih yang tidak terang
asal-usulnya dari tumpukan batu, setengah lingkaran itupun menyurut kecil, kini
jelas terlihat muka mereka, mimik muka yang sukar dijajaki ke mana alam pikiran
mereka tertuju.
"Apa keinginan mereka?" tanya Pau Seh-hoa sambil menelan ludah, "Apa pula yang
hendak dilakukannya?"
Se-konyong2 salah seorang berbaju putih menjerit girang, waktu Siang Cin menoleh
kesana, tangan orang itu tengah teracung tinggi memegang sebuah benda, itulah
sobekan ujung pakaian warna hijau pupus yang berlepotan darah, secuil kain dari
sobekah baju perempuan. Dari warna kain itu jelas itulah sobekan dari gaun yang
dipakai Kun Sim-ti.
Kun Sim-ti yang ada di samping Siang Cin bergetar, dengan jari2nya yang halus
runcing dia meraba bagian gaunnva yang robek, memang di bawah ujung kiri
terobek secuil. "Tak usah kuatir," Siang Cin menepuk bahu Kun Sim-ti, "Kak, urusan toh harus
diselesaikan, tiada yang perlu ditakuti."
Orang2 baju putih di luar itu sudah berhenti, pandangan mereka penuh waspada
akan keadaan sekeliling, pandangan mereka tertuju ke arah tumpukan batu yang
melingkar di atas sana, entah sejak kapan golok besar melengkung di punggung
mereka sudah dicabut keluar, jenis golok melengkung panjang besar ini,
berpunggung tebal dan berat, mata goloknya tajam luar biasa, dari pinggang golok
sampai keujungnya berbentuk melengkung bak bulan sabit, sekilas pandang
kelihatan jauh lebih menyeramkan dari senjata umumnya. - -"
Dengan golok yang mengkilap tajam itu mereka berdiri pada posisi yang paling
menguntungkan, leluasa dan cepat untuk melancarkan serangan ke dalam sela2
batu yang berserakan itu.
Posisi macam ini cukup dimengerti oleh Siang Cin, dengan penuh perhatian dia
mengawasi gerak gerik orang2 baju putih.
"Kongcu," kata Pau Seh-hoa dengan suara tertahan, "agaknya takkan terhindar . .
. ." 106 "Memangnya, kapan kita pernah menghindar," jengek Siang Cin, "kita hanya
menunggu, Lo Pau, hanya menunggu kesempatan."
Mendadak di luar berkumandang sebuah suara, suara kasar, kaku dan dingin:
"Sahabat di balik batu berserakan itu, dengarkanlah, bila kalian kawanan
gerombolan Hek-jiu-tong. silakan lekas keluar saja, muslihat kalian takkan bisa
mengelabuhi Bu-siang-pay dari padang rumput di kaki Kiu-jin-san."
"Bu-siang- pay", ketiga huruf ini laksana tiga bola emas yang menggelinding
masuk telinga Siang Cin, sekilas dia melenggong, katanya pelahan: "Inikah orang2
Bu-siang-pay" Em, pernah kudengar namanya, cuma tiada kesempatan melihat . . . .
?" Pau She hoa membasahi bibir, denga serak ia berkata: "Keparat, apakah
Bu-siang-pay kurang puas merajai sekitar Kiu-jin-san dan padang rumput, untuk
apa pula lari ke sini dan berkaok2 lagi?"
Belum Siang Cin menjawab, suara kaku dingin tadi berkunrandang pula: "Bila
sahahat di belakang batu bukan orang2 Hek-jiu-tong, maka silakan buktikan bahwa
kalian tidak bermusuhan, silakan keluar untuk berbincang beberapa patah kata"
Kembali Pau Seh hoa memaki dengan suara palahan: "Bedebah. bocah ingusan
berani bertingkah di sini . . . . "
Setelah menepuk kedua pipi Kun Sim-ti, lalu Siang Cin berkata kepada Pau
Seh-hoa: "Lo Pau, perhatikan baik2, aku akan keluar."
"Hati2 . . . . " lekas Pau Seh-hoa berseru.
Sekali enjot tubuh, dengan enteng Siang Cin melejit ke atas tumpukan batu,
pakaiannya yang rombeng melambai tertiup angin, mengelus luka2 di muka dan
badannya yang masih berlepotan darah kering, tak ubahnya seorang panglima
perang yang baru saja berhasil menjebol kepungan musuh.
Orang berbaju putih seketika terbeliak, serentak mereka menggeram, golok
melengkung serempak bergerak melintang di depan dada dan siap tempur.
Dingin saja Siang Cin memandang orang2 baju putih itu, sikapnya kelihatan gagah,
keras dan angkuh. Pemuda berwajah kaku dingin itu agaknya terpengaruh juga oleh
sikap perwira Siang Cin, sesaat dia melenggong, lalu maju selangkah ke depan,
katanya dengan ketus: "Sahabat, mohon tanya siapa namamu yang mulia?"
Sekilas menatap muka orang, Siang Cin menjawab dengan tenang dan singkat: "Aku
she Siang."
Bimbang sebentar, pemuda itu bertanya pula: "Kawanan Hek-jiu-tong apakah ada
sangkut paut dengan saudara Siang?"
"Apa itu Hok jiu-tong, selamanya tidak kenal," sahut Siang Cin dengan tersenyum.
Si pemuda lantas memandang ke bawah, ke arah kawan2nya, terpancar cahaya
kemilau dari gelang emas yang melangkar di kepalanya, orang2 baju putih yang berada di
lereng bukit agaknya juga sudah tahu keadaan di atas, bayangan seorang tampak
melompat turun dari kuda dengan beberapa kali lompatan secepat terbang terus
melambung ke atas.
Mata Siang Cin amat tajam, sekilas pandang dia sudah melihat jelas, pendatang
ini adalah laki2 pertengahan umur bermuka putih dengan jenggot pendek itu.
Cepat sekali laki2 ini sudah hinggap di samping si pemuda, sikapnya gagah,
lekat2 dia menatap Siang Cin, lalu berkata lirih dengan si pemuda, akhirnya di
menghadap kemari serta menjura, katanya "Cayhe Loh Bong-bu, Cuncu Hiat ji-bun
dari Bu siang-pay di padang rumput di kaki Kiu jin san"
Mendengar orang memperkenalkan diri, timbul rasa simpatik Siang Cin, tapi juga
meningkatkan kewaspadaannya, dia tahu Bu siang-pay adalah organisasi besar,
berdisiplin keras dan terkordinir dengan baik dan rapi, jago2 kosen tak
terhitung jumlahnya, kekuatannya besar dan pengaruhnya luas, ,jabatan Cuncu
dalam Bu-siang-pay kira2 setingkat dengan jabatan Tongcu dari Pang atau Pay yang
107 ada di Tionggoan, jabatan yang tinggi, agung dan berwibawa, kalau tidak memiliki
Kungfu yang lihay takkan mungkin bisa menduduki jabatan tinggi ini.
Setelah membalas hormat, Siang Cin berkata kalem: "Sudah lama kudengar
kebesaran Bu siang-pay, syukur hari ini berjumpa di sini."
Loh Bong-bu tertawa ramah, katanya: "Dari laporan kawan kami, Ceng yap-cu,
katanya tuan she Siang?"
"Ya, itulah she ku yang asli," sahut Siang Cin tersenyum.
Berpikir sebentar, dengan hati2 Loh Bong-bu berkata pula: "Seharusnya tidak
pantas kutanyakan, tapi bolehkah Cayhe tahu kenapa keadaan Siang-heng begini
rupa, kelihatan letih dan kotor?"
Dari rangkaian kata orang yang hati2 diucapkan, Siang Cin merasa geli dan
menaruh simpatik, segera Siang Cin berkata: "Soal sederhana, di tengah jalan
bentrok dengan musuh, dalam keadaan terkepung oleh musuh yang berjumlah lebih
banyak, adalan jamak kalau mengalami cidera seperti ini, beginilah jadinya
keadaan kami."
Loh Bong-bu mengawasi Siang Cin dengan rasa kasihan dan kagum, katanya
dengan tulus hati: "Siang heng, meski kita baru saja kenal, tapi pepatah bilang di
empat penjuru lautan semuanya adalah saudara, Apalagi bila di tengah jalan
melihat keadaan ganjil lantas melolos senjata dan memberi bantuan adalah
kewajiban setiap insan persilatan kita, mungkin Cayhe terlalu semberono, tapi
bila Siang-heng ada kesulitan, Cayhe ingin sekadar membantumu. Siang-heng,
melihat keadaanmu sekarang, agaknya ada kesulitan apa2 yang tidak ingin kau
utarakan .. . . . .. "
Tanpa berkesip Siang Cin pandang orang, demikian dengan tulus Loh Bong-bu balas
memandangnya, keduanya saling menyelami relung hati masing2 yang paling dalam.
Lama sekali, akhirnya Siang Cin tersenyum, katanya: "Loh-cuncu, lebih dulu Cayhe
menyampaikan rasa terima kasih."
Loh Bung-bu tertawa, katanya riang: "Tidak, sebaliknya Cayhe yang harus
berterima kasih dan bersyukur bahwa Siang-heng sudi merendah diri bersahabat
denganku, bolehkah Caybe tahu nama besar Siang heng?"
Siang Cin tertawa, lekas dia merangkap kedua tangan, katanya: "Siang Cin."
Dua patah kata yang datar ini bagi pendengaran Loh Bong-bu seperti bunyi guntur
di siang bolong, ia tergetar melongo, katanya kemudian: "Siang . . . . . . . .
Siang Cin" Siang Cin si Naga Kuning?"
"Itulah julukan yang diberikan teman2 Kangouw, jangan dianggap . . . . . . . "
"Siang-heng," tukas Loh Bong-bu sambil mengawasi Siang Cin, "tak perlu Cayhe
mengagulkan kau, nama orang dan bayangan pohon, semua ini tak mungkin
dipalsukan, nama besar Siang-heng menggetarkan Bu lim, tersiar luas di utara dan
selatan sungai besar, sekalipun ada yang tidak tahu keperkasaan Naga Kuning
menjagoi tiga sungai lima danau, tapi siapa pula yang tidak maklum bahwa
keganasan Naga Kuning justeru menggetar nyali setup insan persilatan" Tapi
Siang-heng, siapa pula yang mampu membuatmu begini rupa?"
Dengan tertawa getir Siang Cin berkata: "Berkecimpung di kalangan Kangouw, logis
kalau adakalanya mengalami nasib jelek, ini tidak terhitung sia2 . . ."
"Mohon penjelasan," pinta Loh Bong-bu.
Sambil menggosok telapak tangan, tenang2 Siang Cin mulai bicara: "Cayhe ada dua
musuh, suatu ketika menyamar sebagat orang yang terluka dan dikejar musuk serta
minta perlindungan padaku, Cayhe menerima mereka. Tak nyana kami terjebak oleh
muslihat yang menggunakan obat bius berkadar keras, tidak kepalang derita yang
kami alami, tapi dengan akal akhirnya Cayhe berhasil menjebol penjara. Sudah
tentu setelah mengalami pertempuran sengit, dalam kondisi yang payah kami
mengalami luka2 seberat ini."
Loh Bong-bu naik pitam setelah mendengar cerita Siang Cin, katanya: "Membokong
108 orang dengan cara keji dan rendah semacam itu mana boleh dianggap Enghiong"
Siang-heng, kawan dari aliran manakah yang melakukan perbuatan rendah dan
kotor itu?" Siang Cin berkata pelahan: "Ceng-siong-san-ceng!"
"Ceng-siong-san-ceng" Sungguh memalukan," teriak Loh Bong-bu dengan mendelik
gusar, "Ha It can juga terhitung tokoh yang disegani dalam Bu lim, sampai hati
juga dia berbuat sehina ini, Siang-heng, cara bagaimana kau sampai bermusuhan
dengan mereka?"
"Ha It cun Cengcu dari Ceng siong-san ceng adalah saudara angkat Kongsun
Kiau-hong, Kongsun Kiau hong ada permusuhan dengan Cayhe, Ha It-cun hanya
bantu menuntut balas. Di samping itu, masih ada pula seorang nona yang bernama Kiang
Ling, mungkin putera Ha It-cun ada main cinta dengan budak ini, pantas kalau dia
ikut campur permusuhan ini."
Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu berkata: "Siang-heng, orang bersahabat
mengutamakan keluhuran budi dan kejujuran, meski kita buru berkenalan, tapi
sudah lama Cayhe mengagumimu, jika Siang-heng sudi, Cayhe akan pimpin anak
buahku ke Ceng-siong-san-ceng untuk bantu kau menuntut balas."
Lekas Siang Cin merangkap kedua tangan, katanya haru dan berterima kasih: "Loh
cuncu, orang she Siang menerima tawaranmu dengan senang hati, cuma
permusuhan ini akan Cayhe selesaikan sendiri, Ceng siong-san-ceng bukannya sarang harimau
rawa naga, paling2 mereka hanya pandai main muslihat, tak perlu Loh-cuncu
merepotkan diri"
Loh Bong-bu menggoyang tangan, katanya "Siang heng, jangan berkata demikian,
maksudku hanya ingin mempererat persahabatan, bagaimana kalau Cayhe
perintahkan anak buahku bantu teman-teman Siang-heng turus gunung dan merawat luka2nya di
kota?" Siang Cin melengak, tanyanya: "Dari mana Cuncu tahu kalau temanku perlu
perawatan?"
Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Bukankah Siang-heng tadi menjelaskan bahwa
teman2mu juga tersangkut dalam perkara ini" Kita bicara sekian lamanya, belum
juga terlihat teman2mu muncul, mungkin karena luka2nya cukup berat. Kalau tidak
tentu sejak tadi sudah keluar."
Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Baiklah, terima kasih."
Dengan tertawa Loh Bong bu lantas berseru kepada anak buahnya: "Lo Ce,
perintahkan membawa usungan kulit biruang kemari, siapkan tenaga untuk
membawa Siang tayhiap dan kawan2nya."
Lalu dengan tertawa dia berkata kepada pula Siang Cin: "Siang heng, berapa
temanmu?" "Empat orang," sahut Siang Cin.
Loh Bong-bu berpaling pula ke arah si pemuda yang berjuluk Ceng-yap cu(si daun
hijau) dan bernama Lo Ce, katanya: "Siapkan empat usungan."
Cepat Lo Ce mengiakan dan lari ke bawah, sekali bergerak Loh Bong-bu melompat
naik ke samping Siang Cin, maka iapun dapat melihat keadaan di balik tumpukan
batu. Tertawa getir Siang Cin berkata: "Lo Pau, inilah Loh cuncu, ketua Hiat ji-bun
dari Bu-siang-pay."
Dengan payah Pau Seh-hoa menggeser badannya, katanya: "Kami ini Lung pan cu
Pau Seh-hoa terimalah hormatku."
Lekas Loh Bong-bu balas menghormat, serunya girang: "Bagus, kiranya pendekar
109 aneh dari Hau-keh-san, Pau heng, selamat bertemu."
Setelah menghela napas Pau Seh hoa berkata: "Jangan sungkan, sejak lama aku
juga sudah dengar nama besar Cap kau-hwi-ce Loh-cuncu, cuma sayang sekarang
bertemu di tempat dan dalam keadaan begini, sungguh Lo Pau amat menyesal."
Loh Bong-bu melompat turun, katanya sambil membungkuk: "Pau-heng, terlalu berat
kata2mu. kaum persilatan mana yang tak pernah kecundang" Bahwa kau masih bisa
bangkit kembali itulah seorang Enghiong sejati."
Sementara itu Ceng-yap cu Lo Ce telah kembali dengan membawa puluhan laki2,
tiap dua orang membawa sebuah usungan yang terbuat dari kulit biruang.
Sejenak melihat cuaca, Loh Bong bu berkata: "Siang heng, apakah sekarang juga
kita boleh berangkat?"
"Cayhe masih kuat bertahan, tak perlu lima usungan, empat saja cukup." kata
Siang Cin. "Siang heng," bujuk Loh Bong bu, "lukamu sendiri juga tidak ringan . . . . "
Dengan tegas berkatalah Siang Cin: "Selama hidup manusia harus berani
mengalami pukulan lahir batin, kalau sanggup bertahan, maka bertahanlah sekuat tenaga,
kalau tidak, sekali ambruk, untuk merangkak bangun lagi tentu akan memakan
banyak tenaga."
Lekat tatapan Loh Bong bu, dari kata2 Siang Cin ia seperti memahami sesuatu,
tapi Loh Bong-bu tidak bicara, segera dia perintahkan anak buahnya memapah Kun
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sim ti, An Lip dan isterinya ke atas tandu, semula Pau Seh-hoa menolak, tapi
akhirnya dia menurut juga.
Setelah berputar keluar dari serakan batu di samping gunung, anak buah
Bu-siang-pay yang memikul usungan, di bawah pimpinan Ceng-yap-cu Lo Ce
dengan tenang mereka turun dari lereng bukit itu, Siang Cin dan Loh Bong-bu berjalan di
belakang. Sementara itu, si mata satu dari anak buahnya yang masih menunggu di bawah
sana sudah turtrn dari kuda dan menyambut kedatangan mereka.
Loh Bong-bu memanggil si mata tunggal, katanya sambil tertawa: "Te Yau,
kuperkenalkan seorang Enghiong."
Si mata tunggal hanya menatap Siang Cin sekejap tanpa memperlihatkan perasaan
apa2, codet di mukanya tampak berkerut, dengan langkah ogah2an dia melangkah
maju dan menjura, katanya: "Poan-hou-jiu Te Yau dari Hiat ji-bun Bu-siang-pay."
Timbul juga perasaan iba Siang Cin, sedikitpun tiada rasa marah akan sikap
orang, karena dia maklum, seorang yang badannya mengalami cacat atau
kekurangan pasti akan mempunyai tabiat yang aneh pula, entah suka menyendiri atau bersikap
kaku dingin, yang terang mereka punya kebiasaan tidak suka bergaul dengan orang
banyak, kebanyakan mereka memencilkan diri, seperti membangun lingkungannya
sendiri, untuk menutupi kekurangan pribadinya ini, maka sikapnya sering angkuh
dan kasar. Loh Bong-bu melotot kurang senang, sekalipun Siang Cin sudah merangkap tangan,
katanya, menjura: "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan To heng, Cayhe
Naga Kuning Siang Cin."
Mata kanan Te Yau yang tunggal mendadak terbeliak, terpancar cahaya aneh dari
mata tunggalnya, itulah pancaran rasa kaget, heran dan terharu pula, dengan
darah bergolak dia maju setapak, Siang Cin ditatapnya lekat2, sesaat kemudian,
sikapnya berubah bagai seorang lain, serunya riang: "Kau, kau ini Naga Kuning?"
110 . Loh Bong-bu membentak gusar: "Te Yau, jangan kurang ajar."
Siang Cin mengangguk, katanya ramah: "Betul, memang Cayhe adanya."
Tenggorokan Te Yau berbunyi keruyukan saking terharu, lekas dia berputar ke arah
Loh Bong-bu dan memohon dengan sangat: "Cuncu, kukira kini saatnya tiba untuk
melampiaskan keinginanku yang terkatung selama beberapa tahun ini, harap Cuncu
suka meluluskan . . . . "
Loh Bong-bu mengerut kening, katanya serba susah: "Tidak boleh, tidakkah kau
lihat Siang-heng dalam keadaan terluka . . . ."
Tergerak hati Siang Cin, sedikit banyak dia dapat menangkap arti percakapan
kedua orang, maka dengan tenang dia berkata: "Loh-cuncu, bile Te-heng
memerlukan tenaga bantuanku, boleh silakan terangkan saja, sedikit luka luar ini tidak
terhitung apa2"
Ragu sebentar, Loh Bong bu mengelus jenggot, lalu katanya pelan2: "Siang-heng,
soal ini agak . . . . ya, agak menyulitkan, ada Ngo-coat (lima kampiun) di bawah
pimpinanku, bicara terus terang setiap orangnya memiliki kepandaian khas yang
tidak lemah, tapi persoalan justeru terletak pada kepandaian khusus itulah, apa
lagi usia mereka masih muda, berdarah panas lagi, di samping sombong dan
jumawa . . . . suatu ketika, kira2 tiga tahun yang lalu, seorang diri Te Yau berlatih
di lapangan di pinggir hutan di padang rumput besar, Poan hou-jiu yang dia
yakinkan memang cukup terkenal, di kala dia berlatih itulah, Ho-lothau yang suka
iseng mendadak berlari datang serta tertawa sambil tepuk tangan, Te Yau tanya
apa yang dia tertawakan, dengan suara yang di-bikin2 Ho-lothau menerangkan: "Te
lote, Kungfu yang kau yakinkan memang cukup lihay. Tapi bila Poan-hou jiu yang
kau latih ini kebentur dengan Joan-ciang si Naga Kuning Siang Cin, pasti kau
akan kecundang. Poanhou-jiu yang kau yakinkan ini mengutamakan kecepatan dan
sukar diraba, tapi Joan-ciang yang diyakinkan si Naga Kuning Siang Cin itu juga
mengutamakan cepat dan aneh, tapi Kungfu yang orang latih justeru jauh lebih
hebat daripada apa yang kau latih sekarang" Sudah tentu mendengar olok2 ini Te
Yau amat marah, ia lupa berlatih dan berlari pulang. Sejak tiga tahun yang lalu
ke mana saja dia berada pasti mencari jejakmu, begitu besar keinginannya untuk
bertanding, untuk ini entah berapa kali aku pernah menegurnya, tapi tekadnya
begitu besar . . . . "
Siang Cin tertawa, katanya: "Ah, Te-heng terlalu percaya obrolan orang lain,
Cayhe hanya bernama kosong belaka, terhitung apa kepandaian yang kuyakinkan ini,
mana bisa dijajarkan dengan Kungfu Te-heng?"
Merah muka Te Yau, katanya penuh permohonan: "Tidak, Siang tayhiap terlalu
sungkan, bagaimana juga Cayhe mohon kepada Siang-tayhiap untuk memberi
kesempatan menjajal ilmu yang pernah kuyakinkan ini, supaya hatiku bisa tenteram
dan takluk lahir batin."
"Te-heng" kata Siang Cin dengan rendah hati, "kukira urungkan saja niatmu, kau
akan kecewa"
Dengan kecewa Te Yau memandangi Loh Bong-bu.
Loh Bong-bu menggeleng, katanya: "Ah dasar Ho lothau yang banyak mulut, banyak
tingkah . . . ."
"Lo-cuncu," tanya Siang Cin, "siapakah Ho-lothau yang kausebut itu?"
Belum Lo Bong bu menerangkan Te Yau sudah mendahului: "Ho-lothau adalah Yu
hun-hou-cay Ho Siang-gwat, Cong-tong cu dari Bu siang-pay kami."
Dengan tertawa getir Siang Cin berkata: "Usia Ho Siang-gwat sudah 70, beliau
adalah Locianpwe, kenapa dia membuat gara2 terhadap angkatan muda."
Losiansing ini juga terlalu tinggi menilai Cayhe?" "Siang-heng," ucap Loh
Bong-bu sungguh2, "Ho-lothau memang bertabiat aneh, senang dan marah tidak
111 menentu, sampaipun Ciangbunjin kami juga kewalahan terhadapnya. Tapi
terhadapmu dia betul amat kagum, kalian belum pernah ketemu, tapi dalam kehidupan se-hari2
dia selalu menyatakan kekagumannya terhadapmu, semua ini memang kenyataan,
bukan dihadapan Siang hrng sengaja aku membual?"
Siang Cin hanya angkat pundak saja. Maka Te Yau mendesak pula: "Siang-tayhiap,
harap engkau suka memberi muka padaku, jangan tolak permohonanku . . . . . "
Siang Cin berpaling ke arah Loh Bong-bu, dilihatnya Loh Bong-bu tertnwa, katanya
kikuk: "Andaikata Siang-heng mau memberi petunjuk, baiklah, boleh kau hajar adat
bocah ini . . . . , cuma, tentunya akan menyulitkan Siang-heng . . . . . "
Baru Siang Cin mau bicara, Te Yau telah menimbrung pula sambil menjura: "Siangtayhiap,
kecuali kagum pada kepandaianmu yang tinggi, dengan ini akan sekaligus
menguji sampai di mana taraf kepandaian yang telah kuyakinkan selama ini,
se-kali2 tiada niat buruk apa2, untuk ini harap Siangtayhiap maklum dan suka
memberikan pelajaran untuk memperluas pandanganku yang cupet ini . . . ."
Bong-bu berdehem, katanya: "Siang-heng cobalah kau pertimbangkan apakah bisa
kau terima .... ."
Pau Seh hoa rebah di usungan di sebelah, tak tahan lagi ia menyeletuk:
"Kongcuya, coba kau perlihatkan dua gerakan saja, kan tidak suruh kau
menggantung diri, cara ini juga biasa bagi setiap insan persilatan yang
berkecimpung di Kangouw, peduli kalah atau menang nanti, cukup dia kali bergelak
tawa dan urusanpun berakhirlah?"
Loh Bong bu tertawa, katanya: "Ucapan Pau-heng memang tepat, anggaplah untuk
menambah pengalaman kita semua."
"Terlalu berat kata2 Loh-cuncu . . . . . . " ucap Siang Cin, lalu dia berpaling
kepada Te Yau, katanya: "Te heng, kuharap nanti kau tidak kecewa .
Te You berjingkrak girang, serunya: "Jadi engkau meluluskan?"
Kata Siang Cin terpaksa: "Begitu besar hasrat kalian, Cayhe jadi tidak enak
untuk menolak?"
Te Yau berseru girang dengan merangkap kedua tangan: "Kalau begitu, terimalah
hormatku." Ia membungkuk tubuh, tidak tampak tubuhnya bergerak, lutut juga tidak
tertekuk, tapi bagai busur melenting tahu2 tubuhnya meluncur ke depan dengan
gerakan yang indah dan hinggap di atas batu padas. Pelan2 Siang Cin melangkah
maju, sementara Loh Bong bu memberi aba2 kepada anak buahnya agar minggir
sehingga terluang tanah lapang sebagai arena. Lima puluhan pasang mata tanpa
berkedip tertuju ke dalam arena, semua tahan napas dan menunggu dengan
berdebar, wajah mereka tampak serius, meski katanya pertandingan ini hanya saling ukur
kepandaian, tapi bagi setiap orang persilatan sama tahu kalah menang dari hasil
pertandingan ini akan sama dengan pertempuran umumnya.
Sebelah kaki Siang Cin memancal enteng, dengan ringan tubuhnya lantas melayang
ke atas sebuah batu yang berjarak dengan tempat Te Yau berdiri kira2 setombak
lebih. Hawa masih sejuk, mentari masih memancarkan cahayanya yang hangat, Tapi
ujung hidung Poan-hou-jiu Te Yau telah basah oleh butiran keringat kecil2,
mantel luarnya sudah dicopot, kedua mata tanpa berkesip mengawasi Siang Cin,
gelang emas di jidatnya tampak mengkilap tersorot sinar matahari.
Rebah di atas usungan, dengan penuh perhatian Kun Sim-ti juga menonton,
sebetulnya ia tidak menginginkan pertandingan seperti ini dikala kondisi Siang
Cin masih seburuk itu.
Loh Bong-bu mengelus jenggotnya yang pendek, pelan2 dia menggeser mendekati
Siang Cin, dengan suara rendah dan memohon dengan setulus hati: "Siang-heng,
cukup saling sentuh saja."
Siang Cin berpaling dengan tertawa, katanya lirih: "Harap Te-heng bermurah
112 hati." Loh Bong bu mundur keluar gelanggang, di mana Te Yau telah menjura, katanya:
"Silakan Siangtayhiap."
Siang Cin angkat sebelah tangan, katanya tertawa: "Silakan Te-heng."
Badan yang kurus sedikit berjongkok, kaki Te Yau seperti terpasang pegas yang
berdaya pantul keras, tiba2 ia melenting ke atas, dengan membawa segulung angin
yang dahsyat ia menubruk turun, betapa cepat dan tangkas gerakannya.
Siang Cin berdiri tegak dan tenang, setelah bayangan lawan melambung ke atas dan
menukik ke arahnya, baru Siang Cin sedikit goyang tubuh ke kanan, pada saat itu
Te Yau telah menghardik seraya melontarkan pukulannya, selarik cahaya setengah
lingkar menyambar dengan ganas, begitu Siang Cin bergoyang ke kanan, cahaya
itupun ikut berganti haluan ke kanan, sambil terapung di udara ternyata kedua
kaki Te Yau dapat bergerak dengan leluasa, ia memancal lalu tubuhnya bergulung
dalam lingkaran kecil di udara, sementara telapak tangannya kembali menghantam,
dalam sekejap sudah berada di pinggir telinga Siang Cin.
Siang Cin mengegos, hanya sekejap Te Yau merasa pukulan lawan yang berlapis
dan bersusun rapat itu bagai gelombang samudra menerpa ke arahnya, cepat dan
berputar ke kiri terus melayang ke sana, bayangan tangan yang bergerak sambung
menyambung itu tahu2 sirna, keduanya bergerak sama cepat dan menakjubkan
sekali, memang nyata jago kosen sama2 tinggi ilmunya.
Maka telapak tangan saling gempur dengan telapak tangan di udara, bayangan
saling gubat di angkasa, terdengar rangkaian suara tepukan yang ramai, di tengah
bayangan yang menari itu, dua sosok bayangan orang tahu2 melorot turun kedua
arah yang berlawanan serta jumpalitan dengan gaya masing2 yang mempesona,
belum lagi kaki menyentuh bumi, tahu2 keduanya berputar balik dan saling labrak pula.
Sementara itu, tanpa berkedip Loh Bong-bu mengikuti pertempuran di udara itu,
diam2 ia menggeleng kepala.
Bayangan kedua orang di udara bagai gumpalan asap samar2 saling berkelebat,
belum lagi pandangan penonton sempat mengikuti apa yang terjadi, kedua orang ini
sudah melayang turun dengan gagah indah dan tenang, baru kaki mereka
menyentuh tanah, berkumandang suara tepukan yang keras, ini berarti kecepatan gerak mereka
sudah melampaui kecepatan suara, maka setelah mereka turun baru ledakan
pukulan berkumandang di udara.
Nampak jelas butiran keringat di wajah Te Yau, air mukanya tampak bersemu merah,
deru napasnya juga lebih kasar dari biasanya, dalam dua kali bentrokan singkat
ini, keduannya seperti baru saja mengalami suatu pertempuran sengit yang lama
dan menghabiskan seluruh kekuatannya, dia lesu dan
nampak pula merasa malu.
Sementara Siang Can berdiri tenang di samping sana, sikapnya wajar dan adem
ayem seperti tak pernah terjadi apa2, se olah, sejak tadi dia memang berdiri di sana
dengan bebas tanpa bergeming sedikitpun. Kini dia tengah mengebut debu yang
melekat dipakaiannya yang telah koyak2 itu, sikapnya. ke-malas2an tapi juga
gagah. Bergelak tawa Loh Bong-bu memapak maju sambil mengacungkan jempol,
serunya:"Bagus, bagus, sekali, Siang-heng, Cayhe hari ini betul2 terbuka
matanya, dalam gerakanmu tadi cepatnya bagai terbang. Haha, se-olah2 sekaligus
ada puluhan orang yang bantu kau menggerakkan tangan kakimu .....
"Loh-cuncu terlalu memuji," ,ucap Siang Cin. "Soalnya Te heng sudi mengalah
padaku." 113 Semakin jengah Te Yau, ia mengencangkan ikat pinggangnya, dengan tergagap ia
berkata: "Siang-tayhiap, apa yang dikatakan Ho-cuncu memang tidak salah, engkau
memang jauh lebih kuat daripadaku."
Sambil menggoyang tangan Siang Cin berkata: "Pelajaran silat hakekatnya tiada
batasnya, masing2 memiliki kelebihan kelihayannya sendiri2, siapapun takkan
berani menyatakan dia lebih unggul daripada yang lain. Te-heng, dengan tarap
yang telah kau capai ini, sudah harus dibanggakan."
Dengan rasa ikhlas dan kagum Te Yau melangkah maju, katanya dengan hormat:
"Siang-tayhiap, dalam pertempuran tadi meski dua kali kita saling gempur,
hakikatnya aku telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku, seluruhnya
Cayhe melancarkan sembilan kali pukulan, tapi engkau melancarkan belasan kali,
dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama pula, jelas sekali
bahwa taraf kepandaianmu jauh melampauiku, sungguh2 Cayhe merasa tunduk lahir
batin, malah menurut hematku, engkau belum lagi mengerahkan seluruh
kekuatanmu . . . . . . "
Siang Cin tersenyum, katanya: ."Ya, kira2 hantya begitu sajalah, bahwasanya
Cayhe juga tidak memiliki apa2 yang melampaui orang lain . . . . . . "
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apakah Siang Cin menerima bantuan pihak Bu siang-pay untuk menuntut balas pada
Ceng siong san-ceng"
Organisasi macam apakah Hek jiu-tong atau gerombolan tangan hitam dan apa latar
belakang permusuhannya dengan pihak Bu siang-pay"
Bacalah jilid ke 7 -
114 Jilid 07 Sesungguhnya apa yang dirasakan Te Yau memang tepat dan benar2 terjadi, dikala
bertanding tadi Siang Cin memang belum lagi mengerahkan seluruh kekuatannya,
paling2 dia hanya melancarkan salah satu kepandaiannya yang lihay dan aneh,
yaitu Kui-ing cap sa-sek (tiga belas gerak bayangan setan) untuk menandingi
Poan-hou-jiu kebanggaan Te Yau, hakikatnya dia belum menggunakan Joanciang
yang khas, karena dalam Bu-lim orang hanya tahu bahwa Joan-ciang (ilmu pukulan lunak)
yang diyakinkannya itu sangat hebat, aneh dan mengerikan, tapi jarang orang tahu
bila dia sudah mengembangkan Joan-ciang, sebelum tangannya mencium darah
takkan berhenti. Dalam pertandingan persahabatan ini. jelas bukan tempat baginya untuk
mengembangkan Joan-ciang.
Loh Bong-bu tertawa, katanya; "Te Yau, adakah terasa olehmu bahwa tak ada tapi
tenaga tidak memadai pada dirimu" Terutama gerak kaki tangan se akan2 terkekang
oleh lawan dan tak mampu mengembangkannya."
Merah muka Te Yau, tapi dia mengangguk dengan jujur, dengan nada malu2 dia
berkata: "Sekarang baru benar2 kusadari apa yang diibaratkan seperti kunang2
dibanding rembulan . . . . . . "
Loh Bong-cu ter-gelak2, katanya: "Anak muda, kecundang di tangan Siang-heng
bukanlah hal yang memalukan, betapa banyak jago kosen yang pernah roboh di
tangahnya, di antaranya tidak sedikit pula tokoh2 jauh lebih hebat daripadamu."
Cepat Siang Cin berkata: "Ah, Loh-cuncu, laki2 sejati tidak perlu mengagulkan
diri, soal ini tidak perlu dibicarakan pula . . . . . . "
Te Yau membungkuk hormat, katanya: "Siang tayhiap, kalau tidak ke pesisir takkan
tahu betapa luasnya langit, kalau tidak memanjat gunung takkan tahu betapa
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tingginya gunung, banyak terima kasih atas pengajaranmu ini, selanjutnya Cayhe
pasti akan rajin berlatih untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi."
Lega hati Siang Cin melihat watak Te Yau yang berjiwa besar ini, dia genggam
tangan Te Yau, katanya: "Bicara soal watak sebagai manusia, Te-heng, kau jauh lebih tinggi
daripada kepandaian silatmu."
Ingin Te Yau bicara, tapi dirasakannya tangan Siang Cin yang menggenggam
tangannya menjejalkan sesuatu entah apa, diam2 dia memeriksanya, ia terkejut,
kiranya ujung tombaknya yang telah putus sebagian, letak kutungan ujung tombak
itu tampak rata dan licin seperti dibacok putus oleh sebuah golok pusaka. Tapi
Te Yau tahu yang memapas kutung ujung tombak pasti bukan golok pusaka, tapi
adalah telapak tangan Siang Cin. Sudah tentu dia lebih maklum lagi, bila Siang
Cin mau mencelakai jiwanya, maka sejak tadi dia sudah takkan berdiri di sini,
115 dia menatap Sang Cin, mata tunggalnya tampak mencorong penuh rasa kekaguman.
haru, terima kasih, heran dan kaget pula.
Di sana Loh Bong-bu telah melihat cuaca pula, katanya: "Siang-heng, kita boleh
berangkat, kalau tertunda lebih lama kita bisa terlambat tiba dikota." Sampai di
sini seperti tidak tahu apa2, dia menambahkan: "Te Yau, lekas kau kenakan
mantelmu, pakaianmu basah kuyup melekat badan, nanti masuk angin."
Te Yau melengak segera dia maklum, ia menyengir lekas dia membalik mengambil
mantel serta mengenakannya. kini Te Yau tahu bahwa Loh Bong-bu sudah melihat
ujung tombaknya terpapas kutung. Bahwa Cap-kiu-hwi-ce dapat mencapai
kedudukannya yang tinggi sekarang, pandanganya tentu saja sangat tajam.
Seorang laki2 baju putih menghampiri dengan menuntun seekor kuda kuning yang
gagah, setelah mengucap terima kasih Siang Cin segera mencemplak ka punggung
kuda, Loh Bong-bu memberi aba2 agar rombongannya berangkat, di belakang ada
delapan kuda dengan masing2 dua kuda mengangkut satu usungan, karena kuda2
itu sudah terlatih baik maka orang2 yang rebah di atas usungan bisa tidur tenang dan
tidak merasakan goncangan keras.
Dengan gembira Loh Bong bu berkata: "Siangheng, tiga puluh li lagi kita akan
tiba di Ho thau-toh, di sana kita bisa makan dan istirahat, kemudian kita dapat
bermalam di Lam-tin, di sana ada beberapa hotel besar bersih dengan serpis yang
memuaskan."
"Baiklah.." ucap Siang Cin, "keadaanku memang perlu mencari tempat untuk
melepaskan lelah." Sampai di sini tiba2 dia menambahkan: "Loh-cuncu, agaknya
kalian bermusuhan dengan Hek-jiu-tong (komplotan tangan hitam)?"
"Betul," ucap Loh cuncu setelah berdiam sebentar, "kalau dikatakan memang
memalukan. Di padang rumput yang luas itu kami mendirikan sebuah Toa-bong-ceng
(perkampungan). Bahwasanya Toa bong-ceng merupakan pusat kekuasaan Busiang
pay kami, Bu-siang-lan-tai di depan Toa-bong-ceng dan Ceng-hun kek d! Kiu jin-san
hanya merupakan cabang belaka . . . . . . ."
Setelah berpikir sejenak kemudian Loh Bong-bu berkata pula: "Se giok lau di Toa
bong-ceng adalah tempat tinggal pribadi Ciangbunjin yang terlarang bagi siapa
saja, sementara keluarga Ciangbunjin seluruhnya tinggal di Se-giok-lau itu . . .
. ." Agaknya Loh Bong bu ragu2 untuk melanjutkan uraiannya, setelah batuk2 dua kali
akhirnya dia berkata pula: "Ai, soal ini sebetulnya tidak enak dibicarakan,
walau dalam Bu lim sekarang sebagian telah dengar berita jelek ini, tapi kami
mendapat perintah sedapat mungkin menutup persoalan ini."
"Kalau begitu, lebih baik tak usah kau terangkan," kata Siang Cin.
Loh Bong bu tertawa kikuk, katanya: "Siangheng jangan salah mengerti, umpama
sekarang Cayhe tidak bicarakan soal ini dengan kau, cepat atau lambat Siang heng
juga akan tahu, cuma Cayhe merasa bila membicarakan soal ini, hati menjadi
dongkol dan penasaran . . .. . . . ."
Setelah celingukan dia melanjutkan dengan suara lebih lirih: "Tiga tahun yang
lalu dalam perjalanan pulang ke Toa-bong-ceng, Ciangbunjin pernah menolong
seorang yang rebah terluka di tengah hujan salju, orang itu sudah kempas-kempis
tinggal menunggu ajal, tapi Ciangbunjin menolongnya dan dibawa pulang, dengan
susah payah merawat dan mengobati luka2nya sampai sembuh, dia memang
seorang yang cakap dan ganteng, berotak encer dan cerdik pandai, bibir merah gigi putih,
siapa saja pasti merasa senang dan simpatik padanya, maka Ciangbunjin
menjadikan dia kacung di kamar bukunya, kerjanya hanya meladeni segala keperluan pribadi
Ciangbunjin di Se-giok-lau. Ai, siapa tahu bahwa pemuda cakap itu hanya luarnya
manis hatinya jahat, manusia rendah budi berhati binatang. Selama tiga tahun
116 ini, bukan saja dengan akalnya yang licin dan mulutnya yang manis . . . . . .
ah, lebih tepat kalau dikatakan menghasut dan memikat, bukan saja keparat itu
berhasil memikat puteri tunggal Ciangbunjin malah Ci-giok-cu ( mutiara ungu )
milik Ciangbujin yang disimpan ditempat rahasia itupun dicurinya. Sudah tentu
bukan kepalang gusar Ciangbunjin, maka kami beramai memperoleh perintah untuk
mengejar keparat itu, Ciangbunjin ada pesan, mati atau hidup kami harus
menyeretnya pulang . . . . . . . "
Lalu apa sangkut pautnya soaI ini dengan Hek-jiu- tong?" tanya Siang Cin.
Loh Bong-bu meng-geleng2 katanya: "Hasil penyelidikan kami setelah
menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, eh, kiranya bocah keparat itu adalah tokoh ketiga
Hek-jiu-tong. Bahwa dia rebah terluka di atas salju dulu itu bukan lantaran
dilukai oleh kawanan begal melainkan terluka oleh musuh yang mencegatnya di
tengah jalan. Dua bulan yang lalu, kami bertiga kelompok ditugaskan mengejarnya
ke Tionggoan, tapi selama ini bayangan bocah itu tak pernah kami jumpai, pada
hal sudah tujuh kali kami bentrok secara langsung dengan orang2 Hek jiu-tong,
komplotan jahat itu memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan
menyerang dengan akal licik pula. Tadi waktu kami lewat dilereng bukit, karena
melihat keadaan di sana cukup berbahaya, kuatir terjebak musuh, maka kami
berhenti mengadakan pemeriksaan ala kadarnya, rupanya memang ada jodoh dan
berkenalan dengan Siang-heng . . . . "
Berpikir sebentar, Siang Cin berkata, "Tahukah siapa nama bocah yang menipu dan
membawa minggat puteri tunggal Ciangbunjin kalian?"
"Ji-ih-kim-kiam Khong Giok-tek."
Siang Cin menopang dagu, katanya: "Agaknya pernah kudengar nama ini. Em,
tentunya dia amat licik dan banyak muslihatnya?"
"Memang " kata Loh Boh-bu dengan gregeten, betapa cerdik dan hati2 Ciangbunjin
kami, akhirnya toh kena dikelabui dan tertipu mentah2. Pernah beberapa kali
Cayhe melihat dia, sikapnya memang ramah dan sopan santun, mulutnya manis dan
pandai ber-muka2, lahirnya dia bekerja dengan giat dan rajin, hakikatnya tak
pernah terbayang dalam benak kami bahwa ada orang luar yang berani main kayu
dalam markas pusat kami, biasanya dia pura2 lembut, keberanian menyembelih
ayampun tiada, kalau bicara halus dan munduk2, sopan dan pemalu seperti gadis
pingitan . . . . "
Siang Cin berkata: "Mohon tanya, ke mana tujuan perjalanan Loh-cuncu kali ini?"
Loh Bon-bu berkata setelah menghela napas: "Menyerbu langsung ke sarang
komplotan tangan hitam."
Siang Cin menggeleng, katanya: "Loh-cuncu, bukan Cayhe banyak mulut dan
berkomentar, bila hanya dengan kekuatan yang kau bawa ini, Bu-siang-pay hendak
menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong, ku kira kekuatan kalian jauh daripada memadai,
keadaan pihak Hek-jiu-tong memang Cayhe tidak tahu, tapi pernah juga Cayhe
dengar tentang mereka, kekuatan mereka memang tidak sebesar Bu-siang-pay, tapi
juga tidak lemah, jago2 kosen Hek-jiu-tong cukup banyak, anak buah merekapun
jahat dan kejam, apalagi mereka berhubungan erat dengan komplotan hitam lainnya,
dengan tenaga yang tidak memadai ini kalian hendak menyerbu ke tempat yang jauh
itu, mungkin tidak akan memperoleh keuntungan . . . "
Alis Loh Bong-bu bertaut, katanya dengan prihatin: "Apa yang Siang-heng katakan
sudah Cayhe pikirkan, tapi perintah Ciangbunjin mana kami berani membangkang"
Pertama Cayhe hanya ingin paksa Khong Giok-tek menyerahkan orang dan benda
mestika yang dicurinya, jadi tidak harus menumpahkan darah. sementara bala
bantuan dari markas kami, yaitu Thi ji-bun dan Wi-ji-bun dalam waktu tujuh hari
ini akan berkumpul di kaki Au-than-san, setelah merundingkan strategi yang akan
kami tempuh baru akan bergerak, menurut hematku, kekuatan kami akan cukup
besar." 117 Siang Cin mengawasi pernandangan alam nan permai, alam pikirannya melayang
pada sebuah persoalan yang lain, sesaat lamanya, baru dia berkata pula: "Loh-cuncu,
kukira Khong Giok tek tidak akan sudi menyerahkan apa yang kalian tuntut."
Dengan tertawa getir Loh Bong-bu berkata: "Memang mungkin, tapi dia harus siap
menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."
"Apakah kalian hanya ingin mengajak orang pulang serta merebut mestika saja?"
tanya Siang Cin.
"Itu langkah pertama, bila sekiranya tidak sampai menimbulkan akibat lain, maka
langkah kedua adalah menawan hidup2 Khong Giok tek, hal ini tadi sudah
kuterangkan."
"Kalau demikian perhitungan kalian, mungkin pertempuran besar dan banjir darah
tidak terhindar lagi . . . . . ."
"Inipun sudah dalam perhitungan kami, kalau situasi menghendaki demikian, ya apa
boleh buat, tapi tak peduli bagaimana hasil tujuan perjalanan yang terang
Bu-siang-pay takkan memberi kesempatan pada Hek-jiu-tong untuk bernapas,
umpama kami harus gugur di medan laga, jago2 Bu-siang-pay kami akan ber-bondong2
keluar dari padang rumput dan menyerbu ke sana."
"Kalau Hek-jiu-tong tahu kekuatan tidak memadai, mereka pasti minta bala bantuan
dari komplotan lainnya, beroperasi tidak di daerah kekuasaan sendiri betapapun
Bu-siang pay pasti akan mengalami pukulan yang berat juga, maaf Cayhe bicara
secara blak2an, harap Loh-cuncu tidak berkecil hati."
"Kenyataan memang demikian, seharusnya aku berterima kasih akan petunjuk
Siang-heng, masa aku menyalahkan kau malah?" sampai di sini Loh Bong bu lalu
menambahkan lagi: "Persoalan ini, biarlah kita bicarakan lain waktu saja, yang
penting sekarang harus selekasnya cari tempat untuk merawat luka2 Siang-heng
dan teman2mu."
"Ya, benar," ucap Siang Cin.
Derap tapal kuda berdetak di tanah pegunungan yang keras, seketika Loh Bong-bu
melirik Siang Cin, sorot matanya mengandung permohonan yang sangat, bibirnya
sudah bergerak sedikit, tapi akhirya dia telan kata2 yang ingin dilontarkan,
alisnya berkerut dan wajahnya tampak murung, masgul dan gelisah.
Sebetulnya Siang Cin tahu sikap Loh Bong-bu itu, iapun tahu apa yang ingin
diutarakan olehnya. Hal inilah membuat Siang Cin serba susah, ia tahu jelas
macam apakah gerombolan Hek-jiu-tong, apa yang dia beritahukan kepada Loh
Bong-bu tadi hanya sekelumit keadaan luarnya saja, jadi keadaan sebenarnya dalam
Hek jiu-tong belum dia beberkan:
Sementara pihak Bu-siang-pay kelihatannya hanya melihat bentuk luarnya saja dari
Hek-jiu-tong, tidak tahu seluk beluk di dalamnya, padahal Hek-jiu-tong adalah
salah satu komplotan penjahat yang paling ganas di Bu-lim, pentolannya ada
sepuluh orang, satu lebih kejam dari yang lain. Kungfu merekapun termasuk kelas
wahid, kekuatan Hek-jiu-tong sudah melebar sampai di propinsi Ho-pak dan Ho-lam,
usaha mereka ialah penyelundupan garam gelap dan membegal, bila perlu
merekapun main bunuh secara kejam, umumnya mereka tidak mematuhi aturan Kangouw, tak
mengerti apa itu keadilan dan kebenaran, demi keuntungan pihak sendiri mereka
tidak peduli siapa lawan, asal sikat dan ganyang, cara yang digunakanpun
melampaui batas perikemanusiaan. Oleh karena itu, sesama kaum Kangouw tiada
yang berani mengusik dan mencari perkara pada mereka, padahal mereka jarang
beroperasi keluar daerah kekuasaan sendiri, sejak Hek-jiu-tong berdiri, selama
10 tahun ini bukan saja mereka tidak pernah mengalami musibah besar, malah
118 kekuatan mereka semakin berkembang dan melebar kemana2.
Sejak keluar kandang, meski Naga Kuning Siang Cin malang melintang dan disegani
orang, tapi selama ini belum pernah dia bentrok dengan pihak Hek jiu-tong.
Bagaimana keadaan Hek-jiu-tong sering didengarnya dari cerita orang, jadi
seluk-beluk mereka banyak yang dia ketahui. Bu-siang-pay memang besar dan kuat,
tapi mereka berada jauh di padang rumput sana, sebagai harimau galak yang
meninggalkan gunungnya, bila betul2 harus bertempur jauh dari sarang sendiri,
betapapun mereka harus berpikir lebih matang sebelum bergerak.
Cepat sekali rombongan besar ini sudah berderap di jalan pegunungan yang kecil
dan berliku naik-turun, tak lama lagi mereka akan keluar dari lekuk gunung dan
menempuh perjalanan di jalan raya.
Sambil membetulkan rambut panjangnya ke beIakang kepala Loh Bong-bu berkata:
"Siang-heng ....."
Siang Cin menoleh, katanya: "Ada petunjuk apa Loh-cuncu?"
Menatap jauh ke depan, Loh Bong-bu berkata serba rikuh: "Ada suatu hal, ingin
Cayhe . . . . . . "
Diam2 Siang Cin menghela napas, dia tahu apa yang hendak diajukan orang,
apakah dia harus menerima permintaan orang" Walau baru bertemu di tengah jalan dan
baru berkenalan, tapi kaum persilatan mengutamakan setia kawan, apalagi sikap orang
begini simpatik dan murah hati" "Silakan berkata," sahut Siang Cin kemudian.
Setelah berpikir sekian lama dengan sikap serba susah, akhirnya Loh Bong-bu
berkata getir: "Siang heng, Cayhe, Cayhe . . . . ai, sukar untuk kuutarakan . .
. . " Akhirnya Siang Cin berkata tegas: "Baiklah, orang she Siang tidak akan berpeluk
tangan dalam persoalan ini . . . . "
Loh Bong-bu berjingkrak girang dan hampir jatuh dari kudanya mendengar janji
Siang Cin, seperti ketiban rejeki matanya terbeliak, mulutnya megap2:
"Siang-heng, kau maksudmu sudi bantu kami untuk menghadapi Hek-jiu-tong?"
"Cayhe kira, begitulah maksud Cuncu semula," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Loh Bong-bu tertawa gembira, katanya: "Tentu tentu, cuma baru berkenalan, Cayhe
tidak enak memohon bantuan kepada Siang heng, tapi Siang heng memang pandai
menerka isi hati orang, sungguh tak terkira rasa terima kasibku . . . . "
Pelan2 menepuk kepala kudanya, Loh Bong bu tak bersuara pula, sesaat kemudian
baru berkata pula, "Siang-heng, pihak Hek jiu tong mungkin juga akan bermusuhan
dengan kau . . . . "
Dengan tajam Siang Cin pandang orang, katanya: "Loh-cuncu, berkelana di
Kangouw, bahaya demikian siapapun sukar menghindarkannya, kalau sudah hidup di Kangouw,
sebagai insan persilatan, maka dia harus berani menghadapi tantangan yang penuh
liku2 kekejaman, kalau tidak ya jangan terjun ke dunia persilatan."
Loh Bong-bu berkeplok tangan, serunya memuji: "Komentar bagus!"
"Ah, tidak, hanya sekedar menghibur diri belaka," kata Siang Cin.
Tanpa terasa rombongan besar ini sudah tiba di bawah bukit dan mulai menempuh
perjalanan di jalan raya, sebelah kiri adalah sawah ladang yang luas dan subur,
sebelah kanan adalah hutan lebar yang rimbun, jalan raya ini lurus lempeng, maka
dari kejauhan kelihatan bangunan rumah yang tersebar di sepanjang sungai sana.
Menuding ke rumah2 di kejauhan itu Loh Bongbu berkata: "Nah, di sana itulah Ho
thau-toh, kutahu di sana ada sebuah restoran yang baik."
Siang Cin manggut2, tiba2 dia berkata: "Oh, ya, bagaimana letak kota itu dari
Ceng siong-san-ceng?"
Lob Bong-bu menerawang sekitarnya, katanya kemudian: "Pagi tadi kita mengitari
Ceng-siong-san-ceng jadi Ho-thau-toh terletak tepat di sebelah selatannya."
"Jadi kota ini masih dalam lingkungan kekuasaan pihak Ceng-siong-san-ceng, Loh
119 cuncu, kita harus lebih berhati2."
Kuharap mereka tidak mencari kesulitan untuk diri sendiri," ujar Loh Bong bu.
Kini sang surya sudah tinggi di cakrawala, maka kerongkongan mereka mulai terasa
kering, ingin minum dan istirahat.
Setengah jam kemudian setelah menyusuri sungai akirnya mereka naik keatas
tanggul dan memasuki Kota tambangan yang tidak begitu besar ini, mengawasi arus
sungai dengan airnya yang keruh menguning, Siang Cin berkata pelahan, Loh-cuncu:
"Apa nama sungai ini?"
Loh Bong bu sedang mengatur anak buahnya yang membawa usungan untuk
menyeberang, cepat ia menoleh dan menjawah: "O. namanya Se-jiang-ho sawah ladang seluas
ribuan ha di kedua sisi sungai tumbur subur karena air sungai ini, setiap musim
semi air pasang hampir setinggi tanggul."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa menunjukkan perasaan Siting Cin manggut-manggut: "Loh Bong-bu sibuk
mengatur anak buahnya pula, dengan barisan yang rapi dan teratur rombongan
besar ini memasuki kota, melalui jalan raya yang hanya satu2nya di kota kecil ini.
Para petani yang bekerja di ladang sama menoleh dan memandang keheranan,
demikian pula penduduk kota ber-bondong2 keluar menonton barisan besar berkuda
ini, wajah mereka sama menampilkan rasa heran dan curiga, maklum kota sekecil
ini penduduk jarang melihat rombongan besar berkuda berseragam lengkap dengan
senjata lagi. Barisan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan, dua anak buah
Bu-siang-pay yang di tugaskan kemari lebih dulu tampak sudah menunggu di depan
restoran, tanya Loh Bong bu: "Restoran itu masih buka tidak?"
Salah seorang laki2 itu membungkuk. sahutnya: "Lapor Cuncu, masih buka, Tecu
sudah pesan hidangan yang cukup untuk makan enam puluh orang."
"Ehm," Loh Bong-bu bersuara singkat lalu menoleh dan berkata: "Siang-heng,
marilah turun."
Dengan enteng Siang Cin melompat turun, para penunggang kuda yang lain juga
turun be ramai2, dengan suara lirih Loh Bong-bu memberi pesan apa2 kepada
Ceng-yap-cu Lo Ce, setelah Kun Sim-ti, Pau seh-hoa dan lain2 digotong masuk baru
Siang Cin masuk terakhir.
Ruang restoran ini cukup lebar, lantainya dari batu marmer, seorang laki2 gemuk
dengan kain putih melingkar di depan perut beranjak keluar dengan langkah
tergopoh. Mengawasi si tambun ini, Loh Bong-bu tertawa katanya: "Gui-poancu (Gui si
gemuk), melihat tampangmu yang merah gembira ini, mungkin kau sudah tambah
rejeki?" Gui poancu adalah taukeh atau majikan pemilik restoran ini, dengan ter gelak2 ia
berkata: "Loh-ya, engkau memang suka berkelakar, restoran sekecil ini di kota
yang serba miskin pula, kalau tidak gulung tikar sudah mending, mana bisa tambah
rejeki segala" Kalau bisa mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarga sudah
lebih dari lumayan."
Loh Bong-bu menggeleng katanya: "Poancu, kau memang pandai bicara."
Sembari silakan tamunya duduk. Gui poancu perintahkan juga para pelayan
meladeni tamunya, dari luar restoran ini kelihatan kuno, tapi keadaan di dalam ternyata
rapi dan bersih, tempatnya juga amat luas, lima belas meja berjajar menjadi
sebuah meja panjang di tengah ruang, kursinya dari bangku panjang, di luar
jendela tampak Se-jing-ho dengan pemandanganya nan permai.
Loh Bong bu persilakan Siang Cin dan Kun Sim-ti duduk di dekat jendela,
sementara pelayan yang hanya tiga orang muda sibuk bekerja sesuatu petunjuk si
gemuk, menyuguh minuman dan menyiapkan piring mangkok.
"Sebelum ini pernah engkau datang kemari Lohcuncu?" tanya Siang Cin setelah
120 melihat sekelilingnya "Pernah lewat dua kali," sahut Loh Bong bu tertawa,
"setiap kali si gendut itulah yang menyediakan hidangan untuk kami."
Berpikir sebentar Siang Cin berkata pula: "Apakah orang ini dapat dipercaya"
Maksudku mungkinkah dia menaruh apa2 di dalam hidangan?"
Serta merta Loh Bong-bu melirik ke arah si gendut yang lagi sibuk di sana,
katanya; "Kupikir, tak mungkin . . . . . . ?"
"Hati2 lebih baik," ucap Siang Cin sambil tersenyum.
Pau Seh hoa mengertak gigi, katanya: "Kalau ada yang berani main licik sekotor
itu, orang she Pau pasti akan mengunyahnya hancur."
Melirik kepada Pau Seh-hoa, belum lagi Siang Cin bicara, Gui-poancu sudah
datang, katanya dengan tertawa lebar: "Loh-ya, engkau orang tua dan para tuan2
ini hendak pesan makanan apa?"
"Hidangar apa yang paling baik dalam persedianmu boleh kau keluarkan seluruhnya,
yang terang setelah kami makan kenyang kau boleh tutup restoranmu saja."
"Loh-ya memang malaikat pembawa rejeki bagi kami, kalau Loh-ya bisa datang
setiap hari, restoranku ini pasta kubangun menjadi tingkat tiga, hahaha . . . .
. . " sembari bicara dia terus mundur berlari masuk dapur.
Pelan2 Loh Bong-bu tanggalkan mantel, sambil menghabiskan waktu mulailah
mereka bicara bebas sambil berkelakar.
Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, kira2 setengah jam kemudian, hidangan
masih belum juga disuguhkan, malah ketiga pelayan yang semula mondar-mandir
keluar masuk kini juga jarang unjuk diri, apalagi Gui-poancu, dia seperti lenyap
ditelan bumi. Setelah meneguk secangkir teh, perut yang tambah keroncongan lagi, Loh Bong-bu
bersuara heran, katanya dengan kereng pada seorang pelayan yang kebetulan
beranjak keluar: "Siau-ji-ko, memangnya kenapa majikan kalian" Sekian lamanya
kenapa hidangan belum lagi disuguhkan" Memangnya kau masak pakai api lilin?"
Pelayan ter sipu2 mengiakan terus berlari ke belakang, kebetulan Gui poancu
tengah beranjak keluar dari dalam, tampak kedua tangannya mengusung sebuah
baki besar, di atas baki penuh berisi daging ayam, itik, ikan dan udang goreng saus,
lengkap dengan cabai, tomat, dan acar.
Dua laki2 berpakaian kotor penuh minyak ikut di belakang Gui-poancu, dandanannya
mirip koki, kepala dibungkus kain hitam kedua orang ini juga membawa dua nampan
besar, isinya adalah berbagat macam masakan yang berbeda.
Loh Bong-bu mendengus keras2: "Goi-poancu, cepat juga kau menyiapkan
hidangannya."
Gui-poancu minta maaf dengan tertawa ngakak, dia taruh baki di atas meja. Diam2
Siang Cin memperhatikan sorot matanya yang kelihatan guram, tawanya juga kaku
dan suaranya sumbang, jelas yang tidak wajar.
Ia melirik pula kedua koki yang mengintil di belakang Gui-poancu, cara kedua
orang ini membawa nampan ternyata amat mahir dan kelihatan gesit, padahal isi
nampan begitu banyak dan penuh, langkahnya cekatan bergerak di antara bangku2,
cara kerjanya juga cepat tak ubahnya seperti koki di restoran lain.
Sambil menerima sumpit yang diangsurkan Gui-poancu, Loh Bong-bu berkata
dengan tertawa: "Nah, ayam, itik, ikan dan daging, semuanya lengkap, Loui, jangan lupa,
bawakan dua poci untuk kami, bakpau pangsit juga keluarkan, lihat, ada tamu
perempuan, mereka suka makanan yang empuk2."
Gui-poancu mengiakan, tapi tampak agak ragu, tiba2 salah seorang koki tadi
berteriak: "Ciangkui, sumpitnya masih kurang berapa pasang."
Orang ini bicara sambil menaruh mangkuk piring, sementara mukanya menoleh ke
sini mengawasi gerak-gerik si gendut. Gui-poancu seperti gemetar sedikit katanya
tersipu: "Oh, ya, sebentar kuambilkan . . . . "
121 Beberapa patah percakapan ini seketika mengetuk hati Siang Cin, tanpa diketahui
hadirin yang lain diam2 ia mengawasi kedua koki, tapi badan orang tidak menunjuk
sesuatu tanda yang mencurigakan. Siang Cin menjadi bimbang, apakah dugaannya
meleset. Lalu di mana kedua pelayan muda yang tadi meladeni tamu2nya"
Sementara itu Gui-poancu tampak keluar pula dengan membawa sumpit, dikala dia
membagikan sumpit, Siang Cin sudah perhatikan muka orang yang penuh butiran
keringat segede kacang, padahal kini bukan musim panas.
Arak disuguhkan oleh koki yang lain, orang ini bermuka putih dengan handuk
melingkar di leher, sebuah tahi lalat warna merah tumbuh di ujung mata kirinya,
dua helm bulu panjang tumbuh menjuntai, kedua tangannya tampak berotot kasar,
mengkilat berminyak, dikala menyuguhkan arak, selalu dia unjuk tawa lebar, tak
ubahnya pelayan yang ramah untuk menarik simpatik para tamunya.
Mengawasi orang Siang Cin bertanya: "Mana kedua pelayan tadi" Kenapa tidak
disuruh bantu di luar" Orang kami terlalu banyak, kalau hanya mengandal tenaga
kalian, kapan kami baru bisa melanjutkan perjalanan?"
Koki ini menjura, katanya tertawa: "Maksud tuan mungkin Siau-gu dan Ah-mao"
Mereka adalah tenaga baru, belum mahir dan hanya disuruh mengerjakan tugas
kasar, kalau melayani tamu sebanyak ini, mungkin bisa berantakan, maka mereka
kini ditugaskan di dapur "
Siang Cin tertawa, katanya: "O, lidahmu ternyata lincah berbicara."
Si Koki menunduk, lekas dia mengundurkan diri tanpa bicara, tapi dikala dia
menunduk itulah, mata Siang Cin yang tajam sekilas dapat menangkap waiah si koki
yang putih itu ber-kerut2, itulah pertanda perasaan yang menaruh dendam.
Sebagai tuan rumah Loh Bong-bu mendahului angkat cangkir araknya, katanya:
"Siang-heng, Pau-heng, An-heng dan kedua nona mari habiskan secangkir arak ini."
Siang Cin juga angkat cangkirnya, bola matanya bentrok dengan pandangan Pau
Seh-hoa, tampak terpancar sinar aneh dari matanya seperti memaklumi sesuatu dia
tatap Siang Cin, dan diluar tahu siapapun ia mengangguk pelahan.
Loh Bong-bu berkata pula: "Hadirin sekalian, marilah kita habiskan secangkir
ini." Siang Cin serba salah, ia tak sempat memberi tanda, hatinya gelisah, baru saia
dia hendak mencegah, dilihatnya Loh Bong bu telah angkat cangkirnya yang sambil
menengadah dia tuang arak yang berwarna kuning itu. Tapi arak bukan dituang ke
dalam mulut, melainkan dituang ke dalam lengan bajunya yang longgar itu.
Maka Siang Cin lantas tertawa lebar, katanya gembira: "Bagus, bagus sekali !"
Bersama Pau Seh hoa iapun tiru cara orang.
Di bawah meja jari Siang Cin menulis di telapak tapak tangan Kun Sim-ti, dengan
maksud: "Kau jangan minum, kau dan istri An Lip tidak usah minum."
An Lip dan istrinya tampak ragu2, Pau Seh hoa sengaja berkata: "Tidak, Lo An
harus minum secangkir, aku orang she Pau yang menyuguh."
An Lip menjadi gugup, ia bilang tak berani minum, sementara Ceng yap cu tampak
mendatangi dan berdiri di samping meja, katanya: "Lapor Cuncu, mohon diberi izin
para Tecu boleh mulai makan."
"Sudah tentu," seru Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Lain kali ingat, disiplin
di padang rumput tidak perlu dilaksanakan di luaran" ia merandek sejenak, lalu
menambahkan: "Tapi kalian harus ingat peraturan lama Bu-siang pay kita bila
menginap di mana saja. Nah, ayam sudah berkokok, elang terbang datang dari
langit, golok tersembunyi di bawah payon, membabat bayangan nan tidak kelihatan
itu ... . "
Waktu Loh Bong-bu mengucapkan kata2 yang aneh ini, sikapnya tampak kaku dan
kereng, sudah tentu An Lip, Kun Sim-ti bertiga merasa heran, lekas Ceng-yap cu
membalik badan, secepat angin dia sudah berkisar ke sana, dikala badannya
berputar itulah, kedua telapak tangannya secara beruntun telah bertepuk lima
kali. Perubahan berlangsung dengan cepat, selagi gema tepuk tangan Ceng-yap-cu yang
122 nyaring masih berkumandang di dalam ruangan, semua anak buah Bu-siang pay
serempak melompat berdiri, golok melengkung di punggung serentak tercabut ke
luar. Tiada sedikitpun rasa ragu dan bimbang, puluhan anak murid Bu-siang pay
mendadak menerjang ke luar jalan raya, sekelompok menyebar kedua sisi rumah, sementara
sisanya menyebar ke berbagai pojok ruangan, sehingga terbentuklah sebuah
lingkaran besar, hanya sekejap mereka telah menduduki posisi yang
menguntungkan, bayangan beberapa orang berkesiur kencang, meja kursi sama tertumbuk roboh,
dikala kedua koki itu menyadari apa yang terjadi, tahu2 mereka sudah terkepung
di tengah lingkaran.
Saat mana Gui-poancu tengah mengangkat daging panggang, seperti mendadak
terserang angin duduk, seketika dia berdiri kaku mematung, mukanya yang gemuk
penuh daging menonjol itu sungguh lucu, seperti tertawa tapi juga mirip orang
menangis seperti ketakutan tapi juga girang. Mulutnya melongo lebar, sementara
kedua matanya melotot.
Kedua koki itu berdiri tepat di tengah ruangan mereka celingukan bingung, dengan
sorot mata mohon bantuan mereka menoleh ke arah si gendut she Gui yang berdiri
mematung dan gemetar di sana.
Pelan2 Loh Bong-bu berdiri, katanya mengejek: "Te Yau, periksa ke belakang."
Poan hou jiu Te Yau mengiakan, sebat sekali ia melesat ke pintu belakang,
sementara Loh Bong-bu letakkan cangkir ke atas meja, katanya sambil memandang
Gui gendut: "Lo Gui, apakah kau di paksa?"
Bergetar tubuh Gui gendut yang penuh daging itu, serta merta ia mengerling ke
arah kedua koki, kedua orang yang dipandang diam saja tanpa unjuk perasaan apa2.
Mendadak Loh Bong-bu menggebrak meja, teriaknya bengis: "Untuk apa kau lihat
mereka" Kau kira golok lengkung Bu siang-pay kurang tajam?"
Dengan menyengir kulit daging si gendut tampak ber-goyang2 saking ketakutan,
mulutnya terpentang lebar, tapi sepatah katapun tak mampu bicara sungguh kasihan
keadaannya. Siang Cin tertawa, katanya: "Loh-cuncu, Guiponcu terang dipaksa, kita tidak
perlu mendesak dia, kukira kedua koki ini bisa memberi keterangan, karena
merekalah biang keladinya."
Seketika kedua koki itu ketakutan, mereka meratap: "Ciangkui, sudah sekian tahun
kami membantumu, seingatku kecuali sering mencuri minum dua cangkir arak
selamanya tak pernah berbuat salah, Ciangkui, tolonglah kau memberikan
kesaksian, kami kan tak pernah melakukan kejahatan apa2 . . . . . ."
Gui-poancu seka keringatnya dengan lengan bajunya, jari2nya tampak gemetar,
sesaat kemudian baru dia dapat bersuara dengan tersendat: "Tidak . . . . . tidak
salah, Loh-ya, mereka . . . . . . . mereka berdua."
Dengan tersenyum Siang Cin mengulap tangan katanya: "Sahabat baik, dihadapan
orang jujur tidak perlu membual, cara kalian ini hanya bisa rnenggertak si lemah
dan mengelabui yang bodoh, dihadapan kami kau tak perlu main sandiwara, tak
berguna" Semakin hijau muka koki tadi, katanya sedih: "Tuan ini, sudilah engkau suka
menjelaskan, hamba kan bekerja baik2 dan tidak berbuat salah, mendadak tuan2
mencabut senjata dan mengepung kami, memangnya kami pernah melakukan
kejahatan apa" Umpama membunuh orang kan juga harus dibikin terang persoalannya, entah
kesalahan apa yang telah hamba lakukan?"
Melotot gemas dan dendam Loh Bong-bu, bentaknya gusar: "Keparat yang licik."
"Kesalahan sih ada," ucap Siang Cin dengan tertawa, "cuma arak, hidangan yang
kalian masak ini rasanya koh ganjil sekali, kalian kan koki di restoran ini,
nah, silakan kalian cicipi dulu hasil karya kalian sendiri, kalau apa yang
123 kukatakan terbukti benar, maka kalian harus lekas bikin lagi hidangan yang
lain." Seketika berubah air muka kedua koki, sekuatnya mereka seperti menahan diri, si
muka putih yang bernama Mao-ci menelan air liur, katanya dengan serak: "Tuan ..
Ini kan hidangan untuk tuan2 sekalian, mana hamba berani mencicipinya lebih dulu
........."
"Hm." Loh Bong-bu menggeram, "disuruh makan, maka kalian harus mencicipi dulu,
nanti kubayar dua kali lipat."
Sudah tentu tambah buruk air muka kedua koki ini, mereka bimbang dan saling
pandang, koki yang bermata juling mengertak gigi hendak bergerak, tapi koki muka
putih bernama Mao-ci menggeleng kepala. Golok besar melengkung telah terhunus
mengelilingi mereka dengan sinar yang gemerdep demikian pula tombak pendek
bersula telah terpegang di tangan kiri, agaknya Mao ci cukup tahu diri nelihat
situasi dihadapan mata, sedikit bergerak tanpa perhitungan, jelas mereka akan
menjadi sasaran empuk bidikan tombak2 pendek bersula itu.
Berkejang muka Mao-ci, tiba2 sikapnya berubah tenang, katanya: "Baiklah, kalau
demikian pesan tuan2, biarlah hamba mencicipinya." Waktu menoleh ke arah
temannya, sorot matanya seperti mohon diri, seperti juga menyesali nasibnya yang
jelek. Lalu dengan langkah lebar dia menghampiri meja Siang Cin, ia mencomot
sepotong paha ayam serta menjemput cangkir arak di depan Loh Bongbu, sekilas
ragu2, lalu dia angkat paha ayam ke mulutnya.
Tiada orang bersuara, puluhan pasang mata tertuju ke muka Mao-ci, suasana terasa
seram. Dengan menyengir Mao-ci pentang mulutnya, Sikap Siang Cin tampak dingin kaku,
sorot matanya ber kilat2, dengan tajam diawasi gerak-gerik orang.
Lagaknya Mao-ci mau makan paha ayam itu tapi ketika paha ayam itu hampir
menyentuh bibirnya, tangan kirinya tiba2 menggentak, arak itu dia siramkan ke
muka Loh Bong-bu, sementara paha ayam mendadak juga dilempar ke arah Siang
Cin, begitu barang2 di kedua tangannya disambitkan, sigap sekali ia berputar, tahu2
tangan kanan sudah mencabut sebilah belati yang tajam berkilau.
Hanya sedikit mengegos dengan mudah Siang Cin hindarkan, samberan paha ayam,
perawakannya yang kurus bergerak gemulai, hampir tidak kelihatan melakukan
gerakan apapun, tahu2 Mao-ci menjerit keras, tubuhnya berputar dan darahpun
terhambur dari mulutnya. Sebat sekali Siang Cin melompat maju, dikala badan
Mao-ci masih berputar2, telapak tangan kirinya terayun, kembali darah muncrat,
Mao-ci mencelat tinggi membentur langit2, "klotak", dengan keras ia terpental
balik dan jatuh terguling di lantai, dengan berlepotan darah. Siang Cin
menghardik: "Jangan bergerak!"
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru saja koki bermata juling hendak menubruk maju dengan belatinya, hardikan
Siang Cin bagai bunyi guntur telah membikinnya bergetar, sedikit merandek itu,
tujuh batang golok sabit telah menyamber tiba, puluhan tombakpun meluncur datang
dengan deru angin yang kencang, orang merasa pandangan mendadak kabur, dikala
dia menggerakkan belatinya itu, kaki Siang Cinpun menyapunya, golok sabit dan
tombak berdering saling bentur, mendadak Siang Cin melambung ke atas, berbareng
ia tarik baju kuduk orang itu serta diangkat ke atas,
Sekali tendang Loh Bong bu bikin meja kursi jungkir balik, lalu dia sudah
berkelebat maju, beruntun dia gampar laki bermata juling itu beberapa kali,
keruan gigi rompal bibir pecah dan darahpun berhamburan dari mulut orang itu.
Sekali raih Loh Bong-bu menjambak rambut orang, hardiknya gusar: "Keparat,
betapa tinggi kepandaianmu, berani membokong Cuncu Bu-siang-pay" Katakan, dari
aliran setan atau golongan iblis mana kau?"
Melotot bola mata laki2 yang juling (keroh) itu, Loh Bong bu mendengus, telunjuk
tangannya mencolok, secara mentah2 dia cukil keluar sebuah biji mata orang.
Raung kesakitan bergema, kaki tangan berkelejetan seperti orang terserang ayan,
124 wajah Loh Bongbu biasanya putih bagai batu jade kini berubah hijau kelabu,
sekali raih pula dia betot biji mata orang yang bergelantung di pipi orang,
kembali dia hendak cukil biji mata orang yang sebelah kiri.
Lekas Siang Cin menarik mundur orang itu, katanya: "Loh-cuncu, biarkan dia
hidup, nyawanya lebih berguna dari pada membunuhnya."
Loh Bong bu menggerutu: "Bangsat, kalau tidak kuremukkan tulang belulangnya,
sungguh tak terlampias amarahku."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Cepat atau lambat dia pasti mati, sekarang lebih
baik mengompes keterangannya. Loh-cuncu, sampai sekarang kita belum tahu dia
dari aliran mana." - Sembari bicara Siang Cin mencengkeram baju leher orang,
katanya dingin: "Sahabat baik, apa yang harus kau katakan, kini sudah tiba
saatnya kau beberkan."
Sekujur badan orang itu gemetar, mukanya berkerut dan berlumuran darah,
keadaanya sungguh seram dan mengerikan.
"Anak muda," tiba2 Loh Bong-bu tertawa, "ini baru mulai, bila setiap pertanyaan
tidak kau jawab dengan jelas, sedikit akan kusiksa kau hingga mangkat ke alam
baka." Mendadak mata tunggal orang itu mendelik, katanya dengan meraung penuh
dendam: "Loh Bong bu, kalau tuan besarmu mati, beribu anggota Hek jiu tong akan menuntut
balas bagi kematianku, kau anjing tua ini akan mati lebih mengenaskan
daripadaku, kalau berani, hayo bunuhlah sekarang, buktikan saja apakah anggota
Hek-jiu-tong memang takut mati seperti omonganmu."
Ceng-yap-cu Lo Ce yang berdiri di samping menghardik, golok sabit di tangannya
tiba2 membacok, bentaknya: "Baik, coba rasakan ini!"
Sekali tarik Siang Cin singkirkan tawanannva, "Siiuut", golok sabrt menyamber
lewat dan "crat" bangku panjang di sebelah tertabas kutung menjadi dua, dengan
mata membara Lo Ce putar badan serta mengayun golok pula, lekas Siang Cin
mencegah. "Berhenti dulu, Lo-heng . . . . "
Lekas Loh Bong-bu angkat tangan mencegah Lo Ce, Katanya kemudian: "Sahabat
baik, mulutmu ternyata berbisa juga. Baiklah Cap kau hwi ce Loh Bong-bu ingin
menyaksikan sendiri kawanan anjing Hek-jiu-tong dapat berbuat apa terhadapku?"
Siang Cin mengertak gigi, jari2nya yang mencengkeram kuduk orang semakin
mengencang: "Sahabat, kalau kau tidak ingin disiksa, maka bicaralah, masih ada
berapa banyak kaki-tangan Hek-jiu-tong di sekitar sini" Di mana mereka sembunyi"
Siapa pula yang jadi pemimpin" Dengan cara licik apa pula kalian hendak
mencelakai kami" Bagaimana gerakan orang2 Hek-jiu-tong akhir2 ini?"
Orang itu malah memejamkan mata, dengus napasnya berat, dadanya turun-naik,
mukanya kotor berlumurah darah yang mulai mengering, jelas sekuatnya dia
menahan derita, sepatah katapun dia tidak jawab pertanyaan Siang Cin.
Loh Bong-hu berseru gusar: "Siang-heng, ganyang saja dia."
Berpikir sejenak Siang Cin berkata: "Sahabat, akan kuberi waktu selama satu
sulutan dupa, bila kau menjawab beberapa pertanyaanku tadi, segera kau boleh
meninggalkan tempat ini."
"Cuh," tiba2 orang itu menghamburkan darah di mulutnya, katanya sambil tertawa:
"Kau . . . . ingin aku menjual Hek-jiu-tong" Haha jangan menilai! Kau ingin aku
menjawab pertanyaanmu, anak muda, boleh kau tunggu bila mentari terbit dari
barat . . . . "
"Ciiiiaaaat" - "Bluk", mendadak telapak tangan Loh Bong-bu mendarat di dada
orang itu, terdengar suara tulang retak dan patah, orang itu meraung
se-keras2nya, gumpalan darah tertumpah dari mulutnya, darah yang tercampur
gumpalan2 merah, karena dada terpukul keras sehingga isi dadanya remuk dan ikut
tersembur keluar.
125 Siang Cin menghela napas, sekali dorong "Byuuuarr", mayat orang itupun terlempar
keluar jendela dan tercebur ke dalam sungai.
Kun Sim-ti menunduk kepala dan menutup mukanya dengan kedua tangannya di
meja sana, pundaknya tampak ber-goyang2, dulu dia tidak tahu apa yang dinamakan
kejam, apa yang dinamakan dendam kesumat, sekarang dia dapat meresapinya.
Bahwa derita yang menimpa manusia bukan cuma pukulan batin melulu, derita yang
nyata di depan mata sekarang juga cukup mengerikan dan amat menyedihkan pula,
kiranya demikianlah kehidupan insan persilatan yang kecimpung di Bu lim.
Tanpa bersuara Siang Cin mengawisi jari2nya yang masih membengkak hijau
ke-biru2an, pelan2 dia menggeleng kepala serta berkata: "Hek-jiu-tong dapat
menggembleng anak buahnya sehebat ini, memang bukan kerja yang gampang.
Yang kusangsikan sekarang apakah setiap anggota Hek-jiu-tong juga keras kepala dan
tak takut mati seperti kedua orang ini?"
Loh Bong-bu berkata sinis; "Siang heng. Cayhe sudah bentrok beberapa kali dengan
orang2 Hek-jiu-tong, aku harus mengakui bahwa mereka memang punya keberanian
yang luar biasa, tapi tidak semuanya demikian."
Bercahaya sorot mata Siang Cin, katanya: "Kalau demikian, Loh cuncu, boleh kita
tandangi Hek jiu-tong secara besar2an, cuma untuk itu, mungkin harus mengalami
banyak kesukaran."
"Cayhe mengerti," ucap Loh Bong-bu baru tapi penuh semangat, "kami harus
bertempur dengan segala kekuatan, kamipun mohon supaya Siang heng suka
membantu."
Tertawa tawar Siang Cin berkata: "Kalau Cayhe sudah berjanji, pasti akan
kutepati sampai titik darah terakhir."
Terhibur hati Loh Bong-bu, lekas dia menjura, sementara seorang tampak berlari
masuk, sekujur badannya berlepotan lumpur, basah kuyup oleh keringat dan air
kotor, langsung dia memburu kearah Loh Bong bu serta berteriak: "Loh cuncu,
mata2 Hek-jiu-tong telah menyelundup ke restoran ini, dua koki dan dan pelayan
restoran mereka gantung di belakang, waktu Tecu beramai menolongnya turun, kami
sempat lihat beberapa orang berlari menyusuri tepi sungai ke arah barat, Te
toa-suheng membawa beberapa orang telah mengejar ke sana, dengan susah payah
akhirnya musuh dapat disusul dan terjadilah baku hantam sengit, baru beberapa
gebrak mereka ngacir pula, Toa-suheng suruh Tecu pulang memberi laporan . . . .
. " Loh Bong bu mendengus, tanyanya: "Mereka juga perkenalkan diri sebagai anggota
Hek-jiu-tong?"
Dengan napas tersengal2 murid Bu-siang-pay itu mengangguk: "Ya, peminpinnya
seorang yang tidak punya hidung .... perawakannya gemuk . . . ."
Tiba- Siang Cin menepuk paha, sikapnya tampak gelisah dan gugup, katanya:
"Celaka, Loh cuncu, lekas kita susul mereka, kalau terlambat mungkin bisa celaka
semuanya."
Sikap Siang Cin yang gugup membuat Loh Bong bu tegang juga, katanya dengan
nada curiga: "Siang heng, apa yang tidak beres?"
Sembari melangkah keluar Siang Cin memberi tanda, katanya ter-gesa2:
"Tinggalkan
beberapa orang tunggu di sini, Loh heng, sisanya yang lain lekas ikut kita,
laki2 gemuk tak berhidung yang di terangkan saudara ini adalah salah satu
pentolan Hek jiu tong, yaitu Ang bin-cu (hidung malam) Kau Hui-hui, orang kelima
dari Hek jiu-tong.?"
"Kau hui hui?" Loh Bong-bu mengulang nama yang aneh ini, mendadak dia berpaling,
serunya: "Lo Ce kau pimpin dua puluh Tecu bertugas jaga di sini, sisanya ikut
126 aku mengejar musuh."
Ceng yap-cu Lo Ce mengiakan, bayangan orang bergerak, derap orangpun beranjak
keluar, di bawah pimpinan Siang Cin dan Loh Bong bu, dengan cepat sebarisan
orang berlari menuju kebelakang.
Di ujung serambi adalah dapur dan gudang rangsum, di belakang dapur ada
undakan batu yang menjurus turun ke tepi sungai, dimusim rontok air sungai tak pernah
pasang maka pesisir membentang panjang dengan pasirnya yang menghitam legam,
tapak kaki tampak acak2an di atas pasir menjurus ke arah barat.
Siang Cin membetulkan pakaiannya yang koyak, sakali narik napas, segera ia
melayang ke depan secepat terbang.
"Ginkang yang hebat!" Loh Bong-bu berseru memuji, sambil memberi tanda, bagai
anak panah melesat iapun menyusul dibelakang Siang Cin, sekejap saja kedua
orang ini sudah melayang jauh ke depan, anak buahnya jauh ketinggalan di belakang.
Pesisir sungai ini berbelak-belok, ada kalanya teraling oleh batu karang yang
menjurus ke tengah sungai, tapak kaki masih tampak acak2an ke arah depan,
sejauh mata memandang bayangan Te Yau dan lain2 belum lagi kelihatan.
Siang Cin berlari kencang berdampingan dengan Loh Bong-bu mulai menampilkan
rasa gelisah, diam2 ia seka keringat yang membasahi hidung, katanya gemas: "Te Yau
keparat itu memang sembrono terlalu serakah mengejar pahala dan suka menang
sendiri, kalau sekali ini dia terjungkal, coba nanti kalau aku tidak membeset
kulitnya . . . . . ."
Sambil melompati gundukan pasir Siang Cin berkata, "Anak muda semuanya
demikian, tapi dengan bekal kepandaian Te-heng, untuk bisa merobohkan dia musuh harus
memeras keringat dalam waktu yang cukup lama juga, untuk ini Loh-heng tidak
perlu kuatir."
Mendadak Loh Bong-bu berteriak kaget, tarnpak di atas pasir di depan sana tiga
orang seragam putih menggeletak di pinggir sungai, muka mereka terbenam dalam
pasir, sekujur badan berlepotan darah, air sungai membasahi tubuh mereka, air
sungai berubah merah, jiwa mereka terang sudah melayang.
Dengan kencang Siang Cin tarik tangan orang serta menyeretnya lari ke depan
tanpa memeriksa ketiga orang itu, gigi Loh Bong-bu gemeretak menahan gejolak
hatinya. Tanpa berhenti Siang Cin terus seret orang berlari, sikapnya tenang2 seperti tak
pernah terjadi apa2, katanya: "Sudah kulihat, Loh-heng, yang perlu dipikirkan
sekarang ialah cara bagaimana menagih dan mencari imbalan untuk dendam sakit
hati ini."
Menggigit kencang bibirnya, Loh Bong-bu tidak bersuara, mereka berdua harus
mengitari sebuah batu karang besar yang menongol di depan, di balik sana kiranya
adalah rawa dengan rumput gelagah yang tumbuh subur dan membentang luas
sepanjang sungai.
Sekilas memandang. "Nah, itulah," serta merta Siang Cin berseru lirih, berbareng
ia melayang ke sana, kiranya di tengah semak2 rumput sana beberapa bayangan
orang tengah saling tubruk dan bertempur dengan sengit.
Tampak seorang murid Bu siang-pay yang bergelang emas di kepalanya tengah
meronta2 roboh ke dalam air, dadanya berlubang dan berdarah, menyusul seorang
laki2 berpakaian abu2 juga melolong roboh dan kelejetan di tengah semak2,
sebilah golok sabit menembus perutnya, isi perutnya ikut kedodoran keluar.
Siang Cin melompat maju di tengah udara sebelah kakinya sempat menendang jatuh
seorang laki2 kurus berbaju hitam. Masih ada tiga murid Bu-siang-pay yang
bertempur sengit melawan lima orang anak buah Hek-jiu-tong yang berpakaian
127 warna-warni. Sekilas pandang Siang Cin lantas melihat Poan-hou-jiu Te Yau, dengan ilmu
pukulan kebanggaannya Te Yau tengah bertempur mati2an melawan seorang laki2
berpinggang besar, muka penuh daging menonjol dan berperawakan tinggi,
sepasang mata laki2 itu melotot beringas, sikapnya sadis, yang lebih mengerikan lagi
ialah laki2 besar ini ternyata tidak punya hidung. Dari depan mukanya kelihatan
rata, kedua lubang hidungnya tampak buruk dan menjijikkan.
Laki2 gemuk ini ternyata memiliki kepandaian yang ganas dan keji, iapun main
dengan kepalan tangan, setiap gerak tangannya membawa deru kekuatan yang
dahsyat, tipu serangannya juga aneh dan banyak perubahan, rumput berterbangan,
air muncrat ke sana-sini, Poan-hou-jiu Te Yau sudah terdesak, jelas kelihatan
Poan-hou-jiu Te Yau sudah kewalahan dan tak mampu melawan lebih lama lagi,
meski sekuat tenaga dia tetap berjuang dengan gigih.
Bagai burung raksasa Siang Cin langsung menubruk ke arah laki2 tidak berhidung
itu, dengan jurus Gwat-bong-ing tangan bergerak maju tapi sebat sekali lantas
ditarik balik pula, cepat laki2 gemuk itu berputar, "bret", tahu2 juga biru yang
dipakainya sobek tepat di depan dadanya,
Tidak kepalang kejut si gemuk, cepat ia melompat mundur, ia menatap tajam ke
arah Siang Cin.
Siang Cin berdiri di tengah lumpur, sapanya sambil unjuk senyum: "Kau Hui-hui,
selamat bertemu."
Daging yang benjal benjol di selebar muka Kau Hui-hui ber-gerak2, dengan gusar
dia tatap Siang Cin sekian lamanya, katanya dengan suara serak pecah seperti
gembreng: "Kau, siapa kau?"
Poan hou jiu sempat ganti napas, dengan serak dia memaki: "Kau Hui-hui, dia
inilah raja akhirat yang akan mengantar nyawamu ke neraka."
Dengan rasa hina dan mengejek Kau Hui-hui berludah, jengeknya: "Katakan, siapa
kau?" Mendadak sesosok bayangan berkelebat di udara, seringan daun jatuh Loh Bong bu
telah melayang turun, dia mengawasi Te Yau sebentar, tanyanya kereng: "Terluka
tidak?" Paras muka Te Yau, dia betulkan letak tutup matanya, sahutnya dengan tergagap:
"Tidak, tidak apa2 . . . . "
"Tunggu apa lagi kau di sini, lekas bantu para saudaramu berantas kawanan
binatang tangan hitam itu!" demikian seru Loh Bong-bu gusar.
Te Yau mengiakan dan cepat lompat ke sana. Kau Hui hui melotot, dia maju setapak
ke depan, Siang Cinpun tersenyum, dia juga maju setapak lebih dekat.
Otot hijau yang merongkol di jidat Kau Hui-hui bergerak2, mukanya yang tak
berhidung tampak menjijikan, ia melotot beringas ke arah Siang Cin dan berkata
lantang: "Orang yang berani merintangi sepak terjang Kau Hui hui pasti seorang
yang punya asal-usul, anak muda, sebutkan namamu?"
Sorot mata Siang Cin menatap luka jari2nya yang telah mulai mengering, katanya
tawar: "Naga Kuning Siang Cin dari angkatan muda memberi salam hormat kepada
Cianpwe Kau-longo."
Mata Kiau Hui hui mendelik lebih lebar, lama dia mengawasi Siang Cin kataaya
kemudian" "Orang she Siang, gerangan apa yang menimbulkan hasratmu main2
dengan orang Hek jiu-tong, apakah sudah kau pikirkan apa akibat dari campur tanganmu
ini?" Alis terangkat, Siang Cin berkata tenang: "Sudah tentu, paling2 jiwa melayang."
merandek sebentar, lalu disambungnya dengan tertawa: "Tapi, jiwaku ini harus
diimbali, beberapa jiwa kalian, malah bukan mustahil, hm, kau sendiri harus ikut
serta ke alam baka."
128 Gigi Kau Hui-hui gemeratak, pada saat itu sebuah jeritan, berkumandang dari
sebelah sana, tapi dia seperti tidak mendengar, katanya pula: "Siang-Cin,, kau
akan menyesal . . . . "
Siang Cin, menjawab: ?"Entah sudah berapa tahun dan betapa banyak urusan telah
kubereskan, tapi selamanya Naga Kuning tidak pernah menyesal."
"Hayolah, Kau Hui-hui" Loh Bong-bu meraung tidak sabar: "Biarlah cuncu dari Bu
Siang-pay menghadapimu."
Sekilas ia melirik Loh Bung bu, Kiau Hui-hui berkata sinis: "Orang she Loh, tak
perlu kau menampilkan diri, sudah lama Kiau longo tahu siapa kau keparat ini."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ditengah gelak tawanya mendadak Loh Bong bu menubruk maju secepat kilat,
sekaligus dia lontarkan sepuluh pukulan dan tujuh belas kali tendangan.
"Ciiiaat" Kau Hui hui menggembor keras, badannya yang besar tangkas luar biasa
berkelit ke samping, sementara kedua telapak tangannya dengan gencar membelah
dan menabas, Serangan balasan ini membawa damparan angin angin kencang,
ekuatannya mampu membelah batu mematah pilar.
Di tengah muncratnya air dan daun yang melayang, golok sabit Loh Bong-bu
menyambar kian kemari, terjadilah pertempuran sengit dengan Kau Hui hui yang
melawan dengan bertangan kosong.
Dengan tawar Siang Cin berkata: "Kau Hui-hui, ilmu pukulanmu nyata memang
lumayan, tapi kurang cepat, ingatlah pertempuran jago kosen mengutamakan
ketangkasan, terpaut sedetik saja akibatnya jiwapun bisa melayang."
Golok Loh Bong-bu bergerak semakin gencar, lincah dan mantap, dengan tangkas
Kau Hui-hui berkisar ke samping, kedua telapak tangan berputar cepat menimbulkan
gejolak angin keras, jengeknya dingin: "Orang she Siang, kau boleh terjun
sekalian, Kau-longo tidak akan mundur karenanya."
Dengan memicingkan mata Siang Cin saksikan kedua orang saling serang lagi
puluhan jurus, katanya kemudian: "Jangan gelisah saudara, mungkin nanti kau
masih punya kesempatan."
Darah tampak berhambur dari belakang semak2 sana, seorang laki2 berpakaian
warna hitam dengan sulaman benang putih sebagai hiasan tampak terhuyung beberapa
langkah, mungkin telah kehabisan tenaga, pelan2 dia tersungkor roboh ke dalam
air, di kuduknya tampak merekah besar sebuah luka tabasan golok yang mengerikan,
darah masih menyembur deras, jiwa anak buah Hek jiu-tong ini jelas akan menyusul
teman2nya yang telah mangkat lebih dulu.
Kau Hui hui sedikitpun tidak terpengaruh, seperti tidak mendengar dan melihat,
dia tetap bergerak lincah menempur Loh Bong bu dengan sengit, bayangan mereka
berlompatan naik turun di antara semak2 gelagah, sekejap saja mereka telah
bertempur tiga puluhan jurus.
Dinilai secara menyeluruh, Loh Bong-bu adalah orang pertama dari Hiat ji-bun di
Bu-siang-pay, dalam Bu-siang-pay tingkat kepandaiannya termasuk kelas wahid,
kaum persilatan di utara bila menyinggung nama Cap-kau-hwi-ce (sembilan belas
bintang terbang) pasti akan mengacungkan jempol dan memuji "bagus",
Si-bun-cap-sa-sek, ilmu goloknya dikombinasikan dengan tiga belas biji senjata
rahasia bintang terbang segi enam yang dibuat dari baja asli, entah telah
merobohkan berapa banyak tokoh2 persilatan. Tapi kini menghadapi Kau Hui hui dia
harus menguras tenaga, walaupun lambat-laun sudah menempatkan dirinya di atas
angin. Jauh di luar semak2 sana terdengar derap langkah orang banyak berlari datang
dengan cahaya kemilau senjata tajam, dua puluhan murid Bu-siang-pay baru
sekarang menyusul tiba, dengan golok sabit mereka membabat rumput dan
membuka jalan maju ke-semak2 cepat sekali sisa2 orang2 Hek-jiu-tong yang masih hidup
telah terkepung oleh mereka.
129 Tiba2 Kau Hui-hui bergontai ke kanan kiri, ketika golok lawan menyambar lewat,
berbareng ia pun menghantam sambil bersuara keras memberi aba2: "Anak2 tangan
hitam, lekas lari"
Empat anak buah Hek-jiu-tong bagai memperoleh pengampunan serentak
mengembor sambil angkat langkah seribu ke arah semak2 yang lebih lebat.
Golok sabit Poan-hou-jiu Te Yau sempat membacok tempat kosong, teriaknya
bengis: "Setengah lingkar, cepat!"
Beberapa murid Bu-siang-pay yang tengah mengudak serentak berhenti, cepat
mereka menyingkir kedua samping mengambil posisi setengah lingkaran, Te Yau diam
sejenak mengawasi keempat orang Hek-jiu-tong yang lari seperti dikejar setan
itu, mendadak ia memekik panjang, tumbak bersula di tangannya tiba2 meluncur
bagai lembing memecah udara, dua puluhan murid Bu-siang-pay serentak juga
menimpukkan tumbak masing2, keempat orang Hek-jiu-tong yang sedang lari itu
satu persatu melolong terus roboh berkelejetan kesakitan di tengah semak, entah
kepala, punggung, kaki tangan keempat orang itu sama tertusuk tumbak bersula,
sebelum ajal mereka tetap berusaha melarikan diri, namun rasa sakit tak tertahan
lagi darah mereka mewarnai air yang sudah keruh ini.
Di bawah rangsakan golok sabit Loh Bong-bu, Kau Hui-hui terus bertahan dengan
serangan balasan yang gencar, dia tahu kematian seluruh anak buahnya, tapi
tampangnya yang kelihatan beringas sadis itu sedikitpun tidak menampilkan rasa
murka dan dendam, gerak-geriknya tetap tangkas, meski air merendam sebatas
lutut, mereka terus mengembangkan kegesitan masing2 dan saling labrak dengan
sengit kembali tiga puluh jurus telah berselang.
"Kau Hui-hui," Siang Cin berseloroh dengan menggosok telapak tangan, "apa kau
tidak ingin menyelamatkan jiwa?"
Mendadak Kau Hui-hui melancarkan pukulan dahsyat Siang jong-ciang dikala Loh
Bong-bu melompat berkelit, dia berkata dengan menyeringai: "Siang Cin, kalau
Kau-longo ingin pergi, kalianpun tak kuasa merintangi."
"Sudah tentu," Siang Cin mengedip mata, "tapi kau boleh coba."
Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu menghardik lantang, golok sabit membabat ke
kanan-kiri lalu membacok naik-turun, begitu gencar dan ganas rangsakannya, hawa
di sekitar gelanggang seperti berpusar menimbulkan angin lesus, denging suara
yang timbul dari sambaran goloknya laksana tangisan setan. Inilah jurus ilmu
golok Tan-hun-liok-hoan ( enam gelang mega mendung ) dari Liong-hun-cap-sa-sek
yang lihay. Dengan gelak tertawa Kau Hui-hui melompat naik turun, serunya: "Loh Bong-bu,
beginilah baru memenuhi seleraku."
Mendadak golok menusuk lurus kedepan, pada hal bagian atas tubuh Loh Bong-bu
doyong ke belakang, namun dalam gerakan singkat itu, entah bagaimana tahu2 tiga
benda sebesar kepalan tangan, yaitu bintang segi enam kemilau biru laksana kilat
melesat mengincar leher perut dan selangkang Kau Hui hui, baru saja ketiga
bintang terbang ini berkelebat di udara, kembali ia menimpuk lagi tiga bintang
terbang dan mengincar kanan kiri kepala musuh.
"Heit," tiba2 Kau Hui-hui melompat ke atas, badannya yang besar bagai gentong
air itu melayang ke samping, kedua tangannya berbareng memukul, di tengah
samberan bintang2 yang lebat, dengan golok sabit tergigit di mulut Loh Bong-bu
ayun tangan ber-ulang2, tiga belas biji bintang terbang memancarkan cahaya biru
berhamburan seperti hujan.
Kau Hui-hui yang terapung di udara tampak bergetar sekali, tiba2 dia menggeliat,
bagai anak panah terlepas dari busurnya tubuhnya melenting beberapa tombak
jauhnya. 130 Siang Cin menyeringai, serunya: "Kau-longo, kau takkan bisa lolos." Di tengah
kumandang suaranya, Siang Cin terus menubruk ke arah Kau Hui hui.
Kau Hui-hui masih berusaha menahan tubuhnya di udara, sekilas tampak mukanya
telah berubah pucat menghijau, kedua matanya melotot berdarah ke arah Siang Cin.
sekali menyendal lengan kanan, seutas sabuk sutera tiba2 melecut kencang ke
depan, sabuk ini ternyata berisi terbagi beberapa ruas yang diikat kencang,
laksana ular hendak membelit tubuh Siang Cin.
Siang Cin tertawa ejek, telapak tangannya berkelebat dengan kecepatan tinggi,
berbareng dia miringkan tubuh ke kanan.
Sabuk itu tiba2 berbunyi bagai ledakan, kabut putih seketika berhamburan di
udara, begitu dihembus angin seketika melebar bagai kabut tebal tapi bersamaan
dengan itu terdengar pula rintihan tertahan, meski lirih masihi sempat didengar
Siang Cin, lekas dia menahan napas serta berteriak: "lekas menyingkir."
Dengan bergerak melawan arah angin Siang Cin melambung setingginya, dari
tempat ketinggian ia menyapu pandang sekelilingnya, orang Bu-siang pay di bawah tampak
lari pontang panting menyingkirkan diri, semua menutup mulut dan hidung
sementara Loh Bong-bu berusaha mengitari kabut dan mengudak musuh.
Di tengah udara Siang Cin mendatarkan tubuh dan berputar lambat2 dengan kedua
tangan terpentang, sementara kedua kaki memancal, tubuhnya yang kurus seketika
meluncur bagai anak panah, matanya tidak lepas mengawasi keadaan semak2
sekitarnya, tapi setelah bubuk kapur putih sirna tertiup angin, kecuali rumput
yang bergontai tertiup angin, mana lagi ada jejak musuh.
Dengan ringan Siang Cin melayang turun, berdiri diam dan pasang kuping
mendengarkan dengan seksama, arus sungai di kejauhan terdengar gemercik,
suasana sunyi senyap, entah di mana si hidung merah menyembunyikan diri.
Terlihat Loh Bong-bu lari mendatangi, katanya dengan napas memburu: "Siang-heng,
kau melihat dia"
Siang Cin menggeleng, katanya: "Mungkin melarikan diri dengan menyelam kalau
Kau Hui hui tidak jaga gengsi, tentu dia sudah selulup dan berenang ke tengah
sungai" Loh Bong-bu mengawasi air keruh dan berbau busuk, kalau harus lari dengan
menyelam di air seperti ini, wah, cukup nekat juga dia . . . . "
"Demi menyelamatkan jiwa sudah tentu Kau Hui-hui tidak peduli air kotor atau
berbau," ucap Siang Cin tertawa.
"Hahaha," Loh Bong bu bergelak tertawa, katanya: "Siang heng, menurut
pandanganku keparat tak berhidung itu agaknya terluka."
Siang Cin manggut2, katanya: "Betul, dia terkena tiga biji bintang terbangmu.
Loh-heng, kepandaian menimpuk senjata rahasia yang kau yakinkan sungguh hebat
dan dapat dikatakan sebagai ahli."
Lekas Loh Bong-bu goyang tangan, katanya: "Mana, permainan begini mana dapat
disebut sebagai ahli" Dihadapan Siang-heng mana berani kuterima pujian yang
berlebihan."
"Loh-heng jangan merendahkan diri sendiri, sekarang silakan Loh-heng menoleh ke
belakang .......
Dengan ragu2 Loh Bong bu menoleh, seketika berubah air mukanya. Ternyata
tempat pertempuran di mana tadi Kau Hui-hui menebar bubuk kapur putih, tetumbuhan
rumput telah layu menguning, permukaan air yang keruh itu dilapisi kapur putih
yang ikut terombang-ambing oleh riak air, di antara kapur putih yang terapung
itu tampak bangkai ikan dan udang. Hanya sekejap saja kadar racan bubuk putih
itu telah memperlihatkan kekuatannya yang ganas.
"Keji amat . . . . " Loh Bong-bu mendesis dengan mengertak gigi.
131 Siang Cin menepuk pundaknya, katanya: "Tak usah marah, Loh-heng, beginilah
permusuhan dan pertempuran, sesungguhnya apa yang kita lakukan tadi juga tidak
kalah ganas daripada musuh."
Menyarungkan golok sabitnya Loh Bong-bu berkata: "Tapi kan harui ada batasnya,
kekejaman orang2 Hek-jiu-tong boleh dikatakan sudah melampaui takaran."
Siang Cin tak bersuara lagi, di sana Poan hou-jiu tengah ber teriak2 dan lari
datang, "Cuncu, kami harus pulang atau terus mengudak musuh?"
Loh Bong-bu mendelik ke arah anak murid Bu siang-pay yang masih berdiri
menjublek, semprotnya dongkol: "Nasib kalian lebih mujur, hayo lekas urus
saudara2 yang gugur, kenapa melamun. . ." Te Yau membungkuk sambil mengiakan,
ia memberi gerakan tangan dan memimpin anak buahnya mengundurkan diri.
Mengawasi mereka pergi, Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Lima orang kembali gugur
dalam pertempuran ini . . . . Ai, mereka adalah anak2 pilihan dari padang
rumput..."
Pelahan Siang Cin beranjak ketepi, katanya: "Mati atau hidup soal biasa,
Loh-heng, sudah kodrat alam, siapapun takkan terhindar. Cuma ada perbedaan
dalam cara saja bagi masing2 orang, tapi akhir dari segala yang berbeda inipun sama
juga ......."
Sepanjang jalan kedua orang terus berbincang hingga memasuki restoran, tiga
jenazah murid Bu siang pay sudah dibawa pulang, waktu mereka menaiki undakan
restoran, Ceng-yap-cu Lo Ce memapak maju, katanya serak dengan menahan suara:
"Lapor Cuncu, tadi kedatangan petugas hukum dari pejabat setempat, maka menurut
hemat Tecu lebih baik kita lekas berangkat, dengan obat khusus bikinan kita
Yong-ki-hoe-kut-san (puyer pelebur tulang) Te-suheng telah mencairkan ketiga
jenazah saudara . kita yang gugur tadi . . . ."
"Sudah dimasukkan dalam kaleng belum?" tanya Loh Bong-bu.
"Sudah disimpan baik2," sahut Ceng- yap-cu dengan suara tersendat.
Loh Bong-bu mengangguk lalu ajak Siang Cin masuk ke dalam, Gui-poancu yang
bertubuh gerrbrot dengan koki dan pelayannya sama duduk di kursi pojok sana
dengan melamun. Loh Bong-bu mendekatinya, begitu melihat wajah Loh Bong-bu
yang kereng, seketika gemetar si gendut, katanya dengan suara gemetar: "Loh-ya . . .
. engkau orang tua . . sukalah . . . . memberi ampun . . . . "
Loh Bong-bu memapahnya bangun, katanya ramah: "Tak usah takut, Lo Gui,
peristiwa ini bukan salahmu, aku tahu kau diancam mereka, kalau aku sendiri juga terpaksa
berbuat demikian"
"Apa . . . . apa benar bukan salah hamba?" si gendut masih gemetar. "Loh-ya,
hamba memang diancam. Dia . . . . mengancam leherku dengan belati. . . pelayan
dan koki juga mereka belenggu dan digantung. . . . lalu menuang bubuk merah ke
dalam hidangan . . . . hamba tahu pasti musuh tuan menaruh racun dalam makanan,
tapi . . . . ai, hamba memang pantas mampus, hamba tidak berani buka mulut,
belati yang tajam kemilau itu terasa seperti masih mengancam tenggorokan."
kedua orang itu bilang, kalau hamba berani membocorkan rahasia ini, akan . . . . akan
disembelih. "Sekarang kau tidak usah takut lagi," ucap Loh Bong-bu tertawa, "orang2 itu
sebagian besar sudah tak bisa melihat matahari lagi. Nah, Lo Gui, sediakan pula
hidangan yang tiada racunnya."
Gui-poancu mengiakan, dua pelayannya segera memapahnya berdiri, koki diperintah
menyiapkan hidangan baru, sambil menunggu masakan Loh Bung-bu berkata
kepada 132 Ceng-yap-cu: "Tadi apakah sudah kau bereskan kedua mayat orang Hek-jiu-tong?"
Kata -Lo Ce dengan tersenyum: "Sudah tentu, untuk mayat kedua orang itu telah
menghabiskan setengah botol obat bubuk milikku."
Tak lama kemudian tampak Gui-poancu muncul dengan penuh keringat membawa
daging panggang, ayam panggang, ikan goreng dan lain2 yang dijinjing kedua pelayannya
di atas baki besar, si gendut juga menenteng keranjang yang berisi bakpao yang
masih mengepul hangat, setelah menaruh hidangan di atas meja, si gendut berkata
dan mohon maaf: "Loh-ya, inilah sisa yang semula siap untuk jualan besok,
persediaan tidak lengkap, silakan tuan2 makan seadanya, mumpung masih panas,
kalau sudah dingin rasanya tidak enak . . . . . . . . " lalu dia comot sebuah
bakpau terus digerogoti lebih dulu, setelah menelan beberapa kerat bakpao,
dengan tertawa dia berkata pula: "Rasanya cukup enak, tidak beracun . . . . . .
Mengawasi si gendut Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Lo Gui, kau memang
pedagang yang cerdik, hatimupun baik." Sambil melirik Ceng-yap-cu Lo Ce, Loh Bong-bu
menambahkan: "Lo Ce, suruh saudara2 kita lekas tangsal perut, selekasnva kita
harus berangkat."
Lo Ce mengiakan, dengan teratur anak murid Bu-siang-pay mulai sibuk makan dan
minum sekenyangnya, saat mana tampak Te Yau bersama beberapa murid Busiang-
pay yang kelihatan kehabisan tenaga beranjak masuk, badan masih berlepotan darah
dan lumpur, tampak lesu dan berduka cita, langsung mereka mendekati meja mengambil
makanan masing2 dan dimakan tanpa bicara.
Semula Loh Bong-bu sudah siap mendamperat mereka, tapi melihat keadaan
mereka terpaksa dia urungkan maksudnya, sementara itu dengan suara pelan Siang Cin
ceritakan kejadian barusan kepada Pau Seh-hoa dan lain2, Pau Seh-hoa lantas
berkomentar: "Kelompok orang2 Hek-jiu-tong memang pengecut, kalau merasa kuat
mereka melawan dengan gigih, kalau merasa kewalahan lantas ngacir, aku orang
she Pau merasa sebal dan kesal bila lihat tampang mereka, kalau luka2ku sudah
sembuh nanti, coba saja kalau tidak kucari mereka dan mengganyangnya habis2an."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Loh Bong-bu berduduk pula, katanya tertawa: "Mengganyang orang2 Hek-jiu-tong
berarti melatih tinjumu, baiklah engkau pasti akan memperoleh bagiannya."
Dalam sekejap hidangan sebanyak itu telah dimakan habis, si gendut dengan
langkah cepat membawa keluar poci teh yang hangat serta mengisi cawan masing2,
sebelum dia membalik, Loh Bong-bu telah menyuapkan sebuah kantong kulit kecil ke
telapak tangannya, si gendut lantas tertawa berseri, sejenak jari2nya bergerak
meraba dan memijat, dia lantas tahu bahwa isi kantong adalah lima belas bentuk
uang emas murni.
Si gendut bergelak tertawa, katanya sambil munduk2: "Ai, masa sebanyak ini,
padahal pelayanan yang sederhana, tapi Loh-ya telah membayar seroyal ini, ai,
memangnya . . . . "
Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Tak usah sungkan, terima saja, hari ini mungkin
kau sudah dibikin ketakutan setengah mati."
Dengan tertawa lebar si gendut menjura terus mengundurkan diri, cepat sekali dia
sudah keluar pula menyuguhkan teh ke meja2 lain, seorang diri dia telah
menyuguhkan teh pada lima puluhan tamu-tamunya.
Kata Siang Cin setelah termenung: "Setelah meninggalkan Ho-thau-toh, Loh heng,
ke mana, pula tujuan selanjutnya?"
Kata Loh Bong-bu lirih: "Memasuki daerah Hek-yang menyusuri sungai menuju ke
hulu, tiba di Hu-than-san, pada sebuah kelenteng bobrok kita akan bergabung
133 dengan dua kelompok kawan kita, lalu langsung menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong."
"Berapa luasnya Hu-thau-san?" tanya Siang Cin.
"Tidak begitu besar, luasnya sekitar tiga li, letak kelenteng bobrok itu di
sebelah sayap kiri gunung di belakang hutan cemara, dulu dinamakan Lo kun san,
sekarang keadaannya sudah tak terurus lagi, beberapa tahun yang lalu pernah aku
lewat di sana."
Berpikir sejenak Siang Cin, berkata: "Tiga puluh li setelah melewati Hu-yang-ho
akan tiba Cap-ji-koay, pusat sarang Hek-jiu-tong, Cayhe belum pernah ke sana,
tapi pernah kudengar bahwa tempat itu terkenal sangat berbahaya, pihak
Hek-jiu-tong kini tentu sudah menambah kekuatan penjaganya, maka kita semua
harus membuat suatu rencana penyerbuan yang betul2 baik dan sempurna."
Loh Bong-bu mengangguk, Kata Siang Cin lebih lanjut: "M