Pencarian

Bara Naga 6

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 6


enggempur musuh
 ditempat yang jauh akan banyak makan tenaga kita sendiri dan akan banyak menimbulkan
 kerugian, maka menurut pendapat Cayhe, lebih baik gunakan akal menyelundup
 kesarang musuh untuk menimbulkan keributan di dalam sarang mereka, apalagi
 beberapa kawan Cayhe ini perlu perawatan baik disuatu tempat yang tenteram . . .
 . . " "Kongcu," teriak Pau Seh hoa, "jangan kau menggunakan cara yang bodoh ini, dapat
 bergerak tidak aku cukup tahu sendiri, memangnya perlu kau pikirkan tempat aman
 persembunyian diriku segala?"
 "Hm," jengek Siang Cin, "jangan kau bertingkah, ini bukan tugas melancong
 menonton keramaian seminggu lagi akan kucoba kepandaianmu, kalau kondisimu
 sudah pulih, aku pasti takkan merintangi kau."
 Sudah tentu Pau Seh-hoa menggerutu, dia terus menggeragot sebuah bakpau dan
 melalapnya dengan mendongkol.
 Cepat sekali mereka sudah makan kenyang, di bawah aba2 Loh Bong-bu,
 barisanpun segera meninggalkan restoran, setiba di jalan raya luar kota, kuda mulai
 dilarikan, karena perut kenyang, orang dan kuda sama bersemangat tinggi,
 maklumlah, perjalanan ke depan lagi akan lebih sukar di tempuh.
 - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - -
 Dengan cara bagaimana Siang Cin akan membantu pihak Bu-siang-pay mengobrakabrik
 Hek-jiu-tong "
 Rahasia apa di balik peristiwa permusuhan Hek-jiu-tong dan Bu-siang-pay yang
 menyangkut kisah cinta anak murid mereka itu "
 Bacalah jilid ke- 8 "
 Jilid 08 Hu-yang-bo mengalir dengan tenang di musim rontok yang hampir berakhir ini,
 suasana terasa sunyi, salju akan turun tak lama lagi. Alam seakan kelabu, gunung
 gemunung tinggi menjulang ke angkasa dibalut kabut tebal.
 Cap-kau hwi ce Loh Bong bu menghentikan kudanya, dia memeriksa sekitarnya, Huyang
 bo di sebelah kiri, sebelah kanan adalah hutan gundul, empat puluhan murid2
 Bu siang pay dengan kuda mereka menyelinap ke dalam hutan, itulah sebuah
 jalanan yang tidak begitu lebar dan bercabang dua jurusan. jalan sebelah kiri memanjang
 miring ke sebuah bukit batu yang curam, dilihat dari kejauhan tak ubahnya
 134 seperti sebuah kampak raksasa.
 Siang Cin bercokol di punggung kuda berwarna cokelat, setelah membersihkan
 kotoran di badannya, kini dia mengenakan jubah kuning kemilau, wajahnya yang
 masih pucat mulai bersemu merah, sinar matanya begitu terang dan cerah.
 Sambil mengerut kening Loh Bong-bu berkata: "Mengitari daerah hutan gundul
 sebelah kiri itu, perjalanan akan lebih dekat ke Hu thau-san. Lokun san terletak
 di tengah hutan di bawah gunung itu, Hu-than san mirip kepala orang yang botak,
 tapi beberapa pucuk pohon masih dapat tumbuh di situ . . "
 Siang Cin berkata tenang: "Menyusur Hu- yang-ho dan tiba di Hu-than-san, jarak
 ke Cap-ji-koay kurang dari tiga puluh li, di sini sudah termasuk daerah yang
 sering turun hujan, bergerak di daerah seperti ini harus lebih hati2 dan waspada
 kedua kelompok Bu siang pay kalian yang lain tentunya sudah tiba di sana."
 Loh Bong bu mengangguk sahutnya: "Dua bulan yang lalu, hanya terpaut beberapa
 waktu saja kami meninggalkan padang rumput, kecuali tertunda sepuluhan untuk
 menempatkan kawan2 Siang-heng di tempat yang aman, selama ini perjalanan tidak
 pernah tertunda, kukira mereka pasti sudah tiba lebih dulu."
 Siang Cin, mengawasi kedua tangannya yang kini telah mengenakan sarung tangan
 kulit menjangan, katanya kemudian: "Mari, maju lebih lanjut, kalau tiada alangan
 apa2, pastilah bala bantuan kalian sudah tiba Ehm, setelah sepuluh hari merawat
 diri, kesehatanku terasa sudah pulih, bagi pihak Hek-jiu-tong tentu hal ini
 adalah kabar jelek"
 Loh Bong bu bersiul sekali, kuda dikeprak ke depan, katanya sambil menoleh:
 "Sudah tentu, terutama selama sepuluh hari ini Cayhe telah membuat sebuah peta,
 dengan susah payah membuat pula dua belas Toa liong kak, kalau orange Hek
 Jiu-tong tahu, pasti pecah nyali mereka."
 Siang Cin juga larikan kudanya pelan2, Loh Bong-bu berkata pula: "Siang-heng,
 mungkin kau tidak tahu betapa sukarnya membuat dua belas Toa-liong-kak sesuai
 dengan permintaanmu, tak boleh lebih panjang, atau lebih pendek meski satu mili,
 tidak boleh lebih tebal. juga tidak boleh lebih tipis, bagian yang tajam juga
 harus diasah, di tengah batangan harus diukir Naga, untuk membuatnya dengan
 baja murni sungguh sukar dicari, untung di Thay-goan-hu berhasil kukumpulkan sembilan
 pandai besi, lima hari lima malam mereka kubayar lipat untuk menyelesaikan
 permintaanmu, tapi sekali kau coba ternyata masih kau cela, bobotnya kurang
 berat, Wah, serba berabe . . . . . . . "
 Memandang jauh ke puncak Hu-than-san, kata Siang Cin: "Untuk membikin
 Toa-liong-kak, caranya memang lain daripada yang lain dan tak pernah kubocorkan
 kepada siapapun, kalau bukan lantaran untuk menghadapi Hek jiu tong, sebetulnya
 Cayhe tidak ingin cepat2 rnembikinnva lagi, selama ber-tahun2 orang yang
 membikinkan Toa-liong-kak yang kuperlukan adalah seorang pandai besi tua yang
 dulu pernah menjadi kepala pandai besi di istana raja, hasil karyanya memang
 luar biasa, dan yang terpenting adalah pandai besi tua ini selamanya tutup
 mulut, tak pernah membocorkan rahasa pembuatan Toa-liong-kak."
 Loh Bong-bu bertanya ragu2: "Siang-heng, ada satu hal yang tersiar di kalangan
 Kangouw entah benar . . . . . . ..
 "Soal apa, katakan saja," sahut Sing Cin.
 "Konon orang yang pernah ajal dibawah Toa liong-kak Siang-heng itu jumlahnya
 sudah mencapai lima ratus lebih, malah tidak sedikit di antaranya adalah jago2
 ternama dari Bu-lim . . . . . . "
 "Tidak sebanyak itu," ucap Siang Cin, "tapi kalau tiga ratusan mungkin ada . . .
 . . . . " Rombongan berkuda itu kini beranjak di tegalan berumput yang jarang dilalui
 manusia, kecuali suara berisik rumput yang terinjak, hanya suara embusan angin
 sepoi2. Tidak lama kemudian, Hu-thau-san yang gundul tampak berdiri menjulang
 itu semakin dekat, ada beberapa pucuk pohon yang setengah hijau setengah
 135 menguning daunnya kelrhatan tumbuh di celah2 batu di atas bunung, dipandang dari
 kejauhan, tanah pegunungan yang kelabu, penuh mirip sekali dengan warna tulang
 manusia yang mulai membusuk.
 Siang Cin tak bersuara di punggung kudanya, wajahnya kaku, kuda yang berjalan
 naik turun menyebabkan badannya ikut bergontai, biji matanya nan bening
 memancarkan cahaya yang kemilau. .
 "Apa yang kau pikirkan Siang-heng?" tanya Loh Bong-bu.
 " Kun Cici," sahut Siang Cin dengan blak2an.
 "Kun cici?" Loh Bong-bu melengak, tapi segera dia ketawa geli, katanya: "Apakah
 nona pendiam karena luka terbakar itu.?"
 Siang Cin mengangguk, sahutnya: "Betul, memang dia."
 Seperti biasa suka mengelus jenggotnya, Loh Bong-bu tertawa: "Apakah kalian
 saling mencintai?"
 Sekilas melirik, Siang Cin berkata pelahan: "Ya, sudah sejak beberapa tahun yang
 lalu." Tanya Loh Bong-bu dengan heran : "Kalau demikian, kenapa kalian tidak menikah?"
 Siang Cin mengebaskan lengan baju, katanya lirih: "Loh-heng, cinta bukan suatu
 hal yang mudah untuk dilanjutkan menjadi suami isteri, masih banyak sebab dan
 aral rintangan, ada yang nyata, ada pula yang tak kelihatan . . . . . "
 Siang Cin menjilat bibir, lalu tanyanya: "Dan kau Loh-heng, kau sudah menikah?"
 Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Terus terang, sudah sepuluh tahun aku
 berkeluarga, sudah punya dua anak, laki dan perempuan."
 "Loh-heng, memang kau lebih beruntung," ucap Siang Cin dengan tulus.
 Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Ai, tapi itu merupakan beban yang tidak
 ringan, beban keluarga merupakan beban lahir batin, kalau tidak, sejak beberapa
 tahun lalu aku sudah mewarisi jabatan Lan-cian-tong Cuncu dari Bu-siang-pay
 kami." "O." hanya sepatah ini keluar dari mulut Siang Cin, dia tidak bicara lagi, dia
 tahu apa tugas Lan-cian-tong dari Bu-siang-pay, yaitu tugas khusus mengurus
 keluar masuknya rangsum, hasil pertanian dan peternakan suku bangsa mereka di
 padang rumput nan luas itu.
 Padang rumput adalah tanah warisan Bu-siang-pay turun temurun, sawah ladang
 berlaksa ha, ternak tidak terhitung banyaknya, setiap tahun pada waktu yang
 telah ditentukan mereka menjual hasil panen mereka keluar perbatasan, dibarter,
 dengan barang2 keperluan suku bangsa mereka se-hari2, itulah tugas khusus
 Lan-cian-tong. Dalam Bu-siang-pay, Cuncu Lan-cian-tong amat terpandang dan kaya
 raya pula. tapi kerjanya cukup berat, berbahaya lagi, setiap tahun lebih sering
 tugas keluar dan jarang kumpul dengan keluarga.
 Barisan kuda mulai mengitari kaki bukit, di sini ada lereng, batu yang menjulur
 jauh ke sana laksana naga terbang menembus awan, di bawah batu2 raksasa. yang
 bergelantung itulah letak kelenteng bobrok di kaki bukit, pohon2 beringin yang
 sudah tua dan besar berbaris di depan kelenteng.
 Loh Bong bu menghentikan kudanya, dengan cermat dia awasi kelenteng bobrok itu
 dari kejauhan, sesaat kemudian baru dia berkata: "Siang-heng, tiada tanda apa2
 di kelenteng itu, mungkin kedua kelompok barisan bantuan kami belum tiba menurut
 waktu yang ditentukan?".
 Siang Cin memandang ke depan dengan tenang, katanya kalem: "Tujuh hari
 menurut ketentuan sudah lewat, mereka seharusnya sudah tiba lebih dulu, betapa besar
 kekuatan gabungan dari kedua kelompok barisan itu, umpama kebentrok dengan
 pihak Hek jiu-tong juga, tak mudah kalah dalam waktu singkat, apalagi hal ini tak
 mungkin . . . . "
 "Siang-heng, memang mungkin, tapi juga sukar,"
 Hek- jiu-tong tak boleh main2 terhadap mereka, Thi-ji-bun dipimpin langsung oleh
 136 Liat-hwe kim-lun Siang Kong ceng sebagai Cuncunya. Demikian pula Wi-ji-bun
 dipimpin sang Cuncu Hwi-ih Kim Bok, Anak buah sang cuncu ada Tok-ciang, Thi tan
 dan Hek-oh cu, sementara anak buah Kim cuncu ada Ang oh, To-hu dan Lo-kian-tui,
 semuanya adalah jago2 kosen yang sukar dilayani, kalau Hek-jiu-tong ingin
 merobohkan mereka, ha, mungkin cuma mimpi di siang bolong .. . . .."
 "Ya, aku cuma kira2 saja," ajar Siang Cin tertawa.
 "Nama Bu-siang-pay betapa besarnya, sudah lama Cayhe mendengar"
 Loh Bong-cu tertawa rikuh, katanya: "Ai. Siang-heng. mungkin apa yang kukatakan
 terlalu takabur, harap Siang-heng jangan kecil hati. Cayhe kira Hek jiu-tong
 adalah kawanan badut yang tidak perlu ditakuti. . . . . . ."
 "Hek jiu-tong tidak perlu dikuatirkan," ucap Siang Cin, "hanya saja kita tidak
 boleh memandang rendah musuh, Loh-heng, sekarang silakan suruh orangmu
 memeriksa ke sana, kemungkinan rombongan kedua barisan itu sengaja sembunyi di dalam
 kelenteng. Diam2 panas muka Loh Beng cu, lekas dia menggapai ke sana, Poan hou-jiu Te Yau
 segera datang menghadap.
 "Te Yau," kata Loh Bong bu, "gunakan isyarat dan cari huhungan dengan orang di
 dalam kelenteng, kalau tiga kali tanda rahasia tidak memperoleh jawaban, itu
 tandanya terjadi perubahan, kalian harus cepat bergerak menggerebek kelenteng
 itu." Te Yaw mengangguk dan segera bedal kudanya, semua orang sama mengawasi dia
 melarikan kudanya keluar hutan.
 Tiba2 terdengar suara lengking panjang yang berkumandang, mirip ringkik kuda
 juga seperti lolong serigala.
 Siang Cin tahu inilah cara untuk saling memberitahu jejak masing2 dari
 Bu-siang-pay yang turun temurun, dengan tenang dia menunggu reaksi dari sebelah
 depan, sementara Loh Bong-bu di sebelahnya kelihatan menahan napas dengan
 tegang. Maka terdengarlah suara lolong panjang yang sama bergema menyambut lolong tadi,
 tapi bukan berkumandang dari kelenteng dan bukan dari dalam hutan, tapi bergema
 dari celah2 lembah di sebelah kiri bukit, di mana tumbuh pepohonan yang lebat.
 Akhirnya Loh Bong- bu menarik napas panjang, dengan lega dia tertawa katanya:
 "Lo Siang dan keparat she Kim itu memang pandai permainkan orang, tidak kumpul
 di tempat yang ditentukan, malah sembunyi di lembah yang dingin, bukankah
 menyiksa diri sendiri malah?"
 Sejenak mendengarkan pula dengan cermat, akhirnya Siang Cin berkata: "Mungkin
 ada terjadi apa2 sehingga mereka harus ganti batuan dan menyembuniykan diri di
 sana Loh-heng, mari kita temui mereka."
 Loh Bong-bu manggut2, ia memberi aba2 terus keprak kudanya maju bersama Siang
 Cin, tampak Pon-hoan jiu sedang bedal kudanya mendatangi, serunya: "Lapor
 Cuncu, orang kita sudah tiba, tapi sembunyi di lembah .. ....."
 Sambil mengiakan Loh Bong bu membedal kudanya ke arah lembah, empat puluhan
 kuda ikut berlari di belakangnya, derap kaki kuda yang gemuruh menggebu bukit dan
 menimbulkan gema yang keras.
 Mengitari kelenteng bobrok itu mereka menyusuri jalanan kecil yang biasa dilalui
 pencari kayu, maka tampak sebuah lembah sempit yang diapit dinding gunung tinggi
 se-olah2 Iembah ini hasil dari bacokan kampak raksasa, mulut lembah penuh semak
 belukar, kalau tidak diperhatikan sukar juga untuk mencari jalan masuknya, tapi
 puluhan laki2 berkuda dengan seragam yang sama telah muncul di mulut lembah,
 dengan tangkas mereka menyingkirkan perintang yang sengaja mereka atur di mulut
 lembah itu. Loh Bong bu melompat turun dan teriaknya: "Di mana Siang dan Kim-cuncu?"
 137 Puluhan laki2 itu beramai memberi hormat kepada Loh Bong bu, belum sempat
 mereka menjawab dari dalam lembah sudah berkumandang gelak tawa yang keras, lalu lima
 orang tampak keluar.
 Lima orang ini dipimpin seorang laki2 tua berwajah bersih berperawakan kurus
 tinggi, jenggotnya sudah memutih perak, seorang lagi di sebelahnya berwajah
 merah, matanya besar terang, sikapnya gagah perkasa. Melihat kedua orang ini Loh
 Bongbu lantas tertawa ter-bahak2, serunya: "Kalian tua bangka yang belum mampus
 ini, bukankah kelentleng bobrok itu lebih nyaman daripada lembah lembab ini"
 Main sembunyi segala, bikin kami kuatir saja."
 "Paras elok, memang kau sok membual, kau sendiri datang terlambat, sepanjang
 jalan aku sudah banyak menderita kelaparan dan kedinginan, kau tidak menghiburku
 tapi malah mengoceh tak keruan, kau harus dipukul."
 Laki2 muka merah juga cekakakan, katanya: "Betul, memang harus dihajar, belasan
 hari kami berkuatir bagimu, kalau kau tidak tahu diri begini, lebih baik kami
 sembunyi saja supaya kau keparat ini mencari ubek2an."
 Loh Bong-bu mendekati mereka dan berjabatan tangan, katanya: "Memangnya kau
 kira rombongan kami tidak menderita" Kalian datang diam2, kami harus berjalan
 terang2an, golok tajam orang2 Hek-jiu tong seluruhnya ditujukan padaku, sedang
 kalian enak2 langsung tiba di sini dengan aman, pahala menghancurkan musuh
 kelak harus diserahkan seluruhnya padaku."
 Orang tua berjenggot putih memukul pundak Loh Bong-bu, katanya tertawa: "Jangan
 mengagulkan diri, ketahuilah selama belasan hari ini orang2 Hek jiu tong telah
 lima kali menggeledah daerah ini" Di tengah jalan pernah juga bentrok dengan
 barisan pelopor kita, tiap waktu kita harus menunggu sambil menahan napas, kami
 juga kuatir bila musuh mengirim orang2nya mencegat kalian, kalau sampai
 demikian, kelak Ciangbunjin pasti akan mendamperat kami, lebih celaka lagi
 binimu itu bisa minta ganti suami padaku."
 Laki2 muka merah ter-gelak2, katanya: "Sebelum berangkat, binimu itu pesan
 wanti2 padaku agar memperhatikan kesehatanmu, jangan sampai kedinginan dan
 telat makan, jaga badan dan lekas pulang dan banyak lagi, haha . . . . " mendadak dia
 berhenti tertawa, dia menatap Siang Cin yang berdiri di belakang. Dengan
 terseyum Siang Cm mengangguk.
 Loh Bong-bu baru ingat, cepat ia berteriak: ?"ah, aku jadi lupa dan telantarkan
 tamu agung. He, kawan, biar kuperkenalkan kalian dengan seorang tokoh besar."
 Siang Cm melangkah maju, laki2 tua berjenggotpun memapak maju, katanya sambil
 menjura: "Siang Kong-ceng, pejabat Thi-ji-bun Bu-siang-pay."
 Laki2 muka merah juga maju sambil merangkap kedua tangan, katanya: "Wi-ji-bun
 Kim Bok dari Bu-siang pay"
 Siang Cin membungkuk dengan gayanya yang lembut, katanya: "Cayhe Siang Cin."
 "Apa?" si jenggot perak Siang Kong-ceng dan si muka merah Kim Bok sama
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak, keduanya tanya berbareng: "Siang Cin, Siang Cin si Naga Kuning?"
 "Tidak berani, memang Cayhe adanya," sahut Siang Cin.
 Kedua tangan Loh Bong-bu menepuk pundak Siang Kong-ceng dan Kim Bok,
 katanya dengan tertawa: "Meski dunia ini sangat luas, masa ada dua si Naga Kuning Siang
 Cin" Hahaha, kalian tua bangka ini mimpipun tak pernah menyangka bukan?"
 Siang Kong-ceng menggeleng kepala, sekian lama dia mengawasi Siang Cin, ia
 bergumam: "Siang Cin si tangan gapah sangat terkenal di Bu lim, tentang wataknya
 yang nyentrik, dingin dan angkuh lagi, semula kukira dia berparas jelek dan buas
 . . . ." Kim Bok juga berkata tergagap: "Tidak nyana dia masih semuda ini . . . . . . "
 138 "Jangan menilai orang dari wajah dan usianya, kalau bicara soal gagah perkasa,
 kau tua bangka she Kim ini boleh menjadi pelopornya."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Sudah lama Loh-heng menyebut nama besar kalian,
 kaum persilatan umumnya juga sangat kagum terhadap kalian, hari ini dapat
 bertemu, sungguh Cayhe sangat gembira dan amat bangga."
 Hwi-ih ( si sayap terbang ) Kim Bok membuka mulut tapi urung bicara, seperti
 senang tapi juga kikuk. Sementara Liat-hwe-kim-lun ( si roda emas berapi ) Siang
 Kong-ceng mengelus jenggot, katanya: "Siang-lote terlalu memuji, nama kami
 berdua meski digabung mungkin belum ada setengahnya ketenaranmu, terutama
 tidak kusangka bahwa engkau masih begini muda."
 "Siang-cuncu terlalu memuji," ucap Siang Cin, ?"Cayhe hanya bernama kosong saja.
 . . . . . ?"
 Loh Bong-bu lantas menarik Siang Kong-ceng dan Kim Bok ke samping serta
 ber-bisik2 kepada mereka, belum lagi Siang Kong-ceng memperlihatkan reaksinya,
 Kim Bok lantas berjingkrak dan tergelak2: "Siang-lote, jadi kau datang hendak
 membantu kami" Bagus sekali, biarlah kita berjuang berdampingan, setelah
 berhasil merebut kembali puteri Ciangbunjin, orang she Kim akan ajak kau minum
 seratus cangkir."
 Siang Kong-ceng mendekat dua langkah, katanya sambil menjura dalam2: "lote,
 terima kasih akan kesudianmu membantu."
 Cepat Siang Cin balas menghormat, katanya: "Inilah kewajiban setiap insan
 persilatan, menghadapi kelaliman siapapun pantang berpeluk tangan, buat apa
 pakai terima kasih segala?"
 Siang Kong-ceng tertawa, serunya sambil menoleh: "Pek-yang, Siu-cu, Piau-cu,
 hayo kalian berkenalan dengan Siang-tayhiap."
 Tiga orang yang sejak tadi berdiri di belakang itu kini maju bersama, seorang
 berwajah pucat, sorot matanya hijau mengkilat seperti kunang2, pemuda ini
 menjura serta memperkenalkan diri: "Jan Pek -yang."
 Siang Cin pandang pemuda ini dengan tajam, dia tahu, pemuda ini adalah Tok-ciang
 (si pukulan sakti) dari Thi-ji-bun yang terkenal aneh wataknya dan berangasan
 lagi. Di sebelah Jan Pek-yang adalah pemuda yang bersikap angkuh, alis tebal dengan
 bibir tipis, dia memberi hormat dan berkata: "Thi-tan (peluru besi) Ang Sin cu."
 Menyusul laki2 bertubuh tambun berkulit hitam dengan selebar mukanya mengkilap
 berminyak tertawa lebar, suaranya kasar serak: "Aku ini Khu Hok-kui, Hok artinya
 rejeki, Kui artinya agung."
 Siang Cin balas menjura, ketiga orang lantas mundur pula ketempatnva semula.
 Sambil mengelus jenggot Loh Bong-bu berkata dengan heran: "Lo Kim, mana anak
 buahmu, kenapa satupun tidak kelihatan?"
 Kim bok mendengus, katanya: "Memangnya harus gegabah seperti kau" Mereka
 membawa orang menyebar ke Cap-ji-koay, kalau Hek-jiu-tong boleh mengintip gerak-gerik
 kita, kenapa kita tidak mengawasi tingkah laku mereka?"
 Dengan kuatir Loh Bong-bu berkata: "Si jagal dan jenggot merah berwatak jelek,
 jangan2 menggagalkan urusan .. . . "
 Kim Bok mendengus: "Dia berani" Sudah kupesan Lo-kian-tui untuk mengawasi dia,
 setiap gerak geriknya harus patuh akan petunjuk Lo-kian-tui."
 Berpikir sebentar, Loh Bong-bu berkata pula: "Berapa banyak anak buah yang
 kalian bawa kemari?"
 "Masing2 seratus orang," sahut Kim Bok.
 "Lalu berapa orang yang ditugaskan ke Cap-ji-koay?" tanya Loh Bong-bu pula.
 Siang Kong-ceng tertawa, dia mewakili Kim Bok menjelaskan: "Seluruh anak
 Thi-ji-bun yang datang kemari telah dikerahkan semuanya, hanya dia seorang yang
 masih ber-malas2an di sini." - Sampai di sini Siang Kong-ceng berpaling ke arah
 139 Siang Cin, katanya: "Siang-lote, silahkan masuk ke lembah dulu untuk istirahat."
 "Betul," seru Loh Bong bu sambil menyeret Siang Cin, katanya sambil berjalan:
 "Memang gegabah, kenapa hanya berdiri makan angin di luar?" lalu dia berpaling
 dan berkata: "Te Yau, panggil anak2 masuk ke lembah, suruh Jan Pek-yang ikut
 mengatur . . . .
 Murid2 Hiat-ji-bun di bawah pimpinan Te Yau mulai membagi diri, Tok-ciang Jan
 Pek yang ikut mengatur. maka suasana yang semula hening menjadi ramai oleh
 gelak tawa mereka. Melewati mulut lembah yang sempit dan tertutup oleh semak2 dan dahan2 pohon,
 akhirnya mereka memutar lagi kebelakang sebuah batu gunung, batu yang menonjol
 ini kebetulan mengalangi sebuah mulut gua setinggi manusia, gua ini tidak dalam,
 mulutnya sempit tapi di dalam cukup lebar, lantainya dialasi rumput kering yang
 tebal, keadaan agak gelap, enam obor besar tertancap dl dinding.
 Mereka, masuk gua dan berduduk. Mengawasi sekeliling gua Loh Bong-bu bertanya:
 "Gua ini buntu?"
 "Bukan saja buntu, lembah di sinipun lembah mati, sementara murid2 yang lain
 terpaksa pasang tenda di luar."
 "Aku tahu, waktu nasuk tadi kulihat anak2 tersebar di mana2, tubuh sama
 dibungkus selimut, meski tidak berisik tapi mereka bersendau gurau dengan riang
 gembira." "Siang-cuncu," tiba2 Siang Cin menyeletuk, "penjagaan di sekitar sini apakah
 sudah diatur baik2?"
 "Dan kuda ditaruh di mana?" Loh Bong-bu menambahkan.
 "Ada sepuluh tempat penjagaan di sekeliling lembah, juga sudah diatur belasan
 rintangan di sepanjang jalan Hu-thau-san di tempat yang berbahaya, kalau malam
 nanti belum juga mulai beraksi, anak2 Hiat ji-bun kalian harus bergilir jaga.
 Sementara kuda kami sembunyikan di dalam lembah"
 "Menurut hematku, malam ini juga dipilih beberapa orang untuk menyelundup ke
 Cap ji koay mencari tahu keadaan di sana, besok pagi kita tentukan waktunya yang
 tepat untuk menyerbu ke sarang musuh."
 Siang Cin mengangguk, katanya pelahan: "Lebih baik kalau malam nanti dikerahkan
 seluruh kekuatan, karena untuk menyelundup ke Cap ji-koay tanpa diketahui musuh
 terang tidak mungkin, lebih baik sekaligus terjang saja, dengan kerja sama luar
 dalam kita sapu habis seluruh musuh."
 "Sayap Terbang" Kim Bok berkeplok gembira, serunya: "Aku setuju usul Siang-lote,
 sekian hari kita sembunyi di lembah ini, tentu orang2 kita sudah bosan dan gatal
 pula tangannya, bagaimanapun juga berilah kesempatan untuk melampiaskan
 kekesalan mereka."
 Sambil melonjorkan kakinya Loh Bong-bu berkata: "Kalau malam ini juga beraksi,
 aku harus tidur sebentar, demikian pula anak2 Hiat-ji bun perlu waktu untuk
 memulihkan tenaga, tak lama lagi hari pun akan gelap."
 Pelan2 Loh Bong bu merebabkan diri tapi baru saja kepala menyentuh jerami,
 mendadak dia berjingkrak bangun pula, serunya seperti ingat sesuatu: "Lo Siang,
 permainan khusus yang kita bikin itu apa sudah kau bawa lengkap?"
 "Sudah kubawa lengkap," ajar Sang Kong-ceng sambil tertawa, "setiap orang kuberi
 jatah satu sabuk berminyak bakar, tiga biji granat belirang, sepuluh batang
 panah yang sudah direndam minyak, ditambah lagi Bian-hok-ci-cu (labah2) satu
 dos, semua itu cukup untuk membuat geger seluruh penghuni Cap ji koay . . . . "
 Menarik napas lega pelan2 Loh Bong-bu merebahkan diri pula, sementara Siang Cin
 juga memejamkan mata, dalam hati dia berpikir: "Hek-jiu-tong biasanya pandai
 bertempur secara gerilya, licik dan ganas pula, tapi berhadapan dengan tamu2
 dari padang pasir ini mungkin mereka takkan memperoleh keuntungan, apalagi
 140 perlengkapan yang dibawa Bu-siang-pay ini serba aneh, keji dan cukup
 memusingkan musuh," Tengah berpikir, tiba2 Siang Kong-ceIg berpaling ke arahnya dan menutur: "Bian
 hok-ci cu adalah serangga berbisa yang hanya tumbuh di pegunungan Tiang-peksan,
 selamanya tak pernah dia keluar dari sarangnya, badannya putih, kira2 sebesar
 jari tangan, bila kulit daging orang tergigit, daliam waktu enam jam seluruh
 badan akan membengkak hitam dan mati setelah air kuning berbau busuk
 merembes keluar dari pori2. Tapi di mana ada Bian-hok-ci-cu disekitarnya pasti tumbuh
 sejenis rumput aneh dengan buahnya yang coklat dan dua lembar daunnya,
 buahnya yang coklat itu mengeluarkan bau harum memabukkan, dalam jarak beberapa
 tomhak dapat tercium, kalau buah itu ditumbuk dan dihaluskan menjadi bubuk, ditambah
 gula dan dimasak menjadi sirup, bila orang memakannya, Bian-hok-ci-cu takkan
 berani mendekat, malah kalau disentuh dengan tangan, dia segera mengkeret . . .
 . " Seperti ingat apa2 Siang Cin berkata: "Kenapa buahnya tidak dimakan langsung,
 tapi harus dimasak dengan gula dan dijadikan sirup?"
 Kim Bok tertawa, katanya: "Siang-lote, setiap makhluk di dunia ini satu sama
 lain saling mengatasi, di luar sarang Bian-hok-ci-cu pasti tumbuh rumput sejenis
 itu, maka binatang berbisa ini selamanya mengeram dalam sarangnya, setapakpun
 tak berani keluar."
 "Kalau demikian, selaih dapat untuk menjaga gigitan labah2 itu, apakah buah
 itupun dapat menawarkan racun lainnya?"
 "Khasiatnya sama," sahut Siang Kong-ceng, "sangat mujarab, kami namakan buah
 coklat ini Ceng-ci."
 Kim Bok menyela: "Sekali memakannya, khasiat sirup Ceng-ci ini dapat bertahan
 sepuluh tahun tanpa kuatir digigit Bian-hok-ci-cu, untung kanii memiliki obat
 mujarab ini, kalau tidak, kolesom yang tumbuh subur di Tiang-pek-san siapa yang
 berari memetiknya." "
 Bicara sampai di sini dengan keras Kim Bok bertepuk tangan dua kali, bayangan
 seorang berkelebat di luar gua, seorang pen?uda perawakan tinggi melangkah
 masuk, dengan membawa sebuah mangkok porselin hertutup.
 "Lote," ucap Siang Kong-ceng, "sirup Ceng-ci sudah tersedia, silakan kau
 meminumnya."
 Siang Cin berdiri, dari tangan pemuda dia terima mangkok itu serta membuka
 tutupnya, bau harum seketika merangsang hidung, dia menghirup napas panjang
 serta mengawasi sirup berwarna kehijauan di dalam mangkok sebentar, lalu
 menenggaknya habis.
 "Bagaimana rasanya?" tanya Siang Kong-ceng tertawa.
 "Em, manis dan semerbak." sahut Siang Cin.
 "Mulai sekarang," ucap Kim Bok dengan muka merah, "Bian-hok-ci-cu hanya khusus
 ditujukan kepada orang2 Hek-jiu-tong saja."
 Semua orang sama bergelak tertawa. Tidak lama datanglah hidangan malam, ada
 ayam panggang, dendeng dan makanan kering lain, sekaleng arak keras meski rasanya
 kurang sedap, tapi harum dan membakar tenggorokan.
 Setelah kenyang makan, haripun sudah gelap, angin pegunungan mengembus
 kencang hawa mulai dingin, hujan gerimis lagi.
 Dalam gua sempit orang telah bersimpuh, memejamkan mata menghimpun
 semangat dan 141 tenaga, di luar gua, ratusan murid Bu-siang-pay juga sibuk mempersiapkan diri,
 mereka berteduh dalam kemah, yang kasihan adalah orang yang bertugas jaga,
 mereka hanya membalut badan dengan selimut yang cukup tebal.
 Sang waktu terus merambat tanpa terasa, sementara angin semakin kencang,
 hujanpun semakin deras.
 Obor yang tertancap di dinding gua semakin pendek, bau asapnya semakin
 menyesakkan napas. Siang Kong-ceng yang duduk bersila tiba2 membuka mata,
 sekilas dia melirik keluar gua, mendadak dia tepuk tangan dua kali, katanya
 lantang: "Hai, waktunya sudah tiba."
 Loh Bong-bu mendahului melompat berdiri, lalu menggeliat, ia masih ngantuk,
 katanya: "Begini cepat, jam berapa sekarang?"
 "Mendekati kentongan pertama," ujar Siang Kong-ceng, "baiklah kita bekerja
 sesuai rencana tadi, selundupkan beberapa kawan ke sarang musuh untuk
 membikin onar, sementara barisan besar siap menyerbu dari luar, semoga berhasil menyapu
 habis komplotan jahat itu serta merebut kembali puteri Ciangbunjin."
 "Cuaca bagus," ujar Lob Bong bu sambil melongok keluar gua.
 "Ya, angin kencang dan gelap gulita lagi," kata Kim Bok.
 "Siang-lote," kata Clang Kong-ceng kepada Siang Cin, "adakah persoalan yang
 belum sempat kau bicarakan?"
 Siang Cin menggeleng, maka Siang Kong-ceng tepuk tangan tiga kali pula, seorang
 murid Bu-siang-pay berlari masuk, setelah membetulkan pakaian putihnya, Siang
 Kong-ceng berkata dengan lantang dan kereng: "Perintahkan Jan Pek yang menarik
 seluruh murid yang dinas jaga, beritahukan pula kepada Ang Siu-cu untuk
 mengumpulkan semua orang di luar lembah, dalam waktu setengah sulutan dupa
 lagi Lo Ce harus pimpin sepluluh orang membuka jalan ke arah Cap ji-koay, beritahu
 mereka supaya memeriksa perlengkapan, dua sulutan dupa kemudian barisan besar
 harus berangkat."
 Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus mengundurkan diri, sementara empat orang
 dalam gua juga sibuk bebenah, sambil menerima sebuah sabuk minyak sepanjang
 tiga kaki Loh Bong-bu bertanya kepada Siang Cin: "Siang heng, Caybe ingin tanya,
 apakah selamanya kau tidak pernah menggunakan senjata?"
 "Sampai sekarang ini memang belum pernah memakai senjata," sahut Siang Cin.
 "bukan Cayhe suka mengagulkan diri, soalnya permainan senjata Cayhe belum
 sempurna, kalau pakai senjata rasanya kurang leluasa, lebih baik bertangan
 kosong saja "
 Siang Kong ceng melirik ke arah Siang Cin, katanya prihatin: "Siang-lote terlalu
 rendah hati, kukira bila Lote menggunakan senjata, kepala musuh bisa kau penggal
 seperti membabat rumput ...."
 "Senjata Lote tentu luar biasa," timbrung Kim Bok, "sekali dikeluarkan pasti
 menggemparkan Bulim.
 "Hanya besi karatan, apa artinya?" sahut Siang Cin tertawa.
 Di luar gua mulai terdengar suara berisik dan langkah orang banyak diselingi
 ringkik kuda, barisan sudah mulai bergerak, tujuannya adalah Cap-ji-koay, sarang
 utama Hek jiu-tong.
 Bayangan seorang tiba2 muncul di mulut gua, itulah Thi-tan Ang Siu-cu, alisnya
 yang tebal bertaut kencang, serunya: "Lapor Cuncu bertiga, segala persiapan
 sudah sempurna, tinggal tunggu perintah untuk berangkat."
 Siang Kong-ceng mengangguk, tanyanya: "Apakah Pek-yang dan murid2 yang dinas
 jaga sudah kembali?"
 "Seluruhnya sudah siap di luar lembah menunggu perintah," sahut Ang Siu-cu.
 Siang Kong ceng menyapu pandang tiga orang yang lain dalam gua, Siang Cin
 hanya 142 tersenyum saja, sementara Loh Bong bu dan Kim Bok sama mengangguk, Siang
 Kong-ceng lantas berseru: "Perintahkan segera berangkat, murid2 Thi ji-bun di
 tengah, Hiat-ji-bun paling akhir, kau dan Pek-yang masing2 di sayap kanan dan
 kiri, hati2 jangan sampai membuat gaduh dan mengagetkan musuh."
 Thi tan Ang Sin-cu mengiakan terus mengundurkan diri, mantel putihnya melambai
 tertiup angin, betapa gagah dan tegap langkahnya.
 Barisan berkuda terus berpacu ke depan, di sebelah kanan mengalir Hu-yang-ho
 dengan airnya yang kemilauan.
 Liat- hwe-kim lun Siang Kong ceng mendekati Siang Cin, katanya lirih: "Setengah
 jam lagi akan tiba Cap ji-koay menurut laporan beberapa murid siang tadi,
 jalanan tempat itu terdiri dari dua belas jalan yang melingkar ke atas gunung,
 para petani di sekitair sini menamakan gunung itu sebagai Pik-ciok-san, karena
 gunung itu hanya batu2 cadas hitam melulu, di puncak gunung ada sebuah
 perkampungan besar yang berlapis dengan tembok2 sebagai benteng, di sanalah
 pusat Hek-jiu-tong . . . . . . ."
 Termenung sebentar, Siang Cin berkata: "Belum pernah kupergi ke Cap-ji-koay,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi dari namanya dapat diduga pasti sangat rumit, pihak kalian belum lagi jelas
 seluk-beluknya, tapi didesak oleh keadaan, terpaksa harus menempuh bahaya,
 bahwa mereka mendirikan perkampungan dengan batu2 besar, maka senjata berapi kalian
 mungkin kurang bermanfaat."
 "Soal ini tak usah dikuatirkan," ujar Siang Kong ceng, "dalam perkampungan
 Hek-jiu-tong pasti ada bangunan dari kayu atau bambu, kalau di luar tidak bisa
 dibakar, membakar yang di dalam kan sama juga."
 Loh Bong-bu menyusul maju, katanya lirih: "Ada murid yang kembali memberi
 laporan tidak" Tempat tujuan sudah hampir sampai."
 Siang Kong-ceng menjawab: "Belum ada, mungkin sebentar lagi,"
 Tengah bicara, dari arah depan terdengar kuda mendatangi.
 Barisah tidak berhenti dengan kecepatan sama terus laju ke depan, kedua
 penunggang kuda tadi menarik kendalinva hingga kuda berdiri dengan kaki
 belakang, setelah berputar sekali lalu maju ke samping Siang Kong-ceng, salah
 satu yang berbadan agak gemuk berkata dengan cepat: "Lapor Cuncu, penjagaan
 orang2 Hek-jiu-tong di Cap-ji-koay amat ketat, pos penjagaan tersebar di-mana2,
 barisan rondapun hilir mudik, enam jalan menuju Cap ji-koay terang benderang
 oleh sinar obor, sementara enam jalan berliku yang lain gelap gulita, tapi
 perkampungan di puncak bukit terang benderang, bayangan orang banyak kian
 kemari seperti ada perayaan, ramainya bukan main."
 Siang Kong-ceng mendengus, tanyanya: "Apakah mata2 yang ditugaskan menyusup
 ke sarang musuh tidak ketahuan jejaknya?"
 "Tidak," sahut orang itu, "musuh belum tahu .. ."
 "Lekas kembali dan beritahukan mereka supaya lebih waspada, jangan
 sembarangan bertindak, barisan besar segera akan tiba, suruh mereka siap tempur," seru Siang
 Kong-ceng. Murid gemuk itu mengiakan, lalu memberi tanda kepada temannya, kedua kuda
 kembali dibedal pergi ditelan kegelapan. Keadaan ternyata jauh daripada
 perhitungan semula, mungkinkah Hek-jiu-tong mengadakan pesta besar2an pada
 saat situasi segenting ini" Memangnya muslihat apa yang tengah mereka atur"
 Siang Kong-ceng memeras otak, sesaat baru dia bergumam: "Apakah mereka
 sengaja mau memperlihatkan bahwa mereka tidak jeri" Ataukah memberi peringatan kepada
 kita bahwa mereka tidak gentar sedikitpun?" Tiba2 Siang Cin yang ada di samping
 143 berkata:, "Menurut dugaanku mungkin mereka sedang mengadakan pesta
 pernikahan."
 Siang Kong-ceng melengak, katanya dengan air muka berubah: "Apa".." Kau
 bilang mereka sedang mengadakan pesta pernikahan?"
 Loh Bong-bu juga bingung katanya tergagap: "Siang-heng, maksudmu . . . . ."
 "Betul," ucap Siang Cin, "kukira Ji ih kim-kiam Khong Giok-tik yang menculik
 puteri Ciangbujin kalian itu tengan melangsungkan pesta pernikahan, malam ini
 mereka menikah menjadi suami isteri."
 Sekian lama Siang Kong-ceng melongo, mendadak dia berjingkrak murka: "Tidak
 mungkin terjadi, Khong Giok-tik sedang bermimpi, mimpi yang kosong."
 "Anak domba yang sudah berada di mulut harimau memangnya bisa berbuat apa?"
 ujar Siang Cin. "Tapi Yang-ji berhati keras dan suci bersih, dia takkan menyerah begitu saja
 seperti gadis lemah umumnya . . . . " Siang Kong-ceng marah2.
 "Memang, justeru di sinilah letak persoalan ini. Nikah adalah urusan dua orang,
 harus suka sama suka dan tak mungkin main paksa, kalau putri Ciangbunjin kalian
 tidak setuju dikala upacara berlangsung dia menangis dan meronta di depan umum,
 tentu Khong Giok-tik akan kehilangan muka"
 "Jadi maksud Siang-heng, Yang-ji suka rela?" tanya Loh Bong-bu.
 "Cayhe tidak berani bilang begitu," kata Siang Cin sambil larikan kudanya.
 Pucat muka Siang Kong-ceng, katanya dengan gregeten: "Harus dicegah, perbuatan
 kotor dan gila, mereka memaksa dan mengancam seorang gadis yang lemah,
 keparat . . . . " Kata Siang Cin dengan tenang: "Jangan terbawa emosi Siang-cuncu, ini menyangkut
 keselamatan murid2 Bu-siang pay kalian "
 Loh Bong-bu memburu maju, dia pegang tangan Siang Kong-ceng untuk
 menabahkan hati sang kawan.
 Siang Cin lantas bersuara pula: "Sekarang lebih baik percepat perjalanan." "
 Maka barisan berkuda dipacu lebih kencang pula. .
 Si Sayap terhang Kim Bok yang semula berada di belakang barisan membedal
 kudanya menyusul kedepan, serunya gugup: "Kenapa mendadak dilarikan kencang" Ada
 kejadian apa?"
 Siang Kong-ceng hanya mendengus tanpa bersuara. Mukanya tampak hijau
 membesi, secara ringkas Loh Bong bu menceriterakan kejadian tadi, sekilas Kim Bok
 melenggong, segera ia berkata: "Mungkinkah mereka sengaja hendak memancing"
 Atau mencari perempuan lain sebagai gantinya untuk menipu kita" Kalau betul demikian,
 mereka memang terlalu menghina dan pandang rendah kita.. ."
 "Semoga mereka bukan sengaja menipu . . . ." ujar Loh Bong bu menghela napas.
 Habis berkata ia larikan kudanya menyusul ke samping Siang Cin, berdiam
 sebentar, lalu dia bersuara: "Ai, Siang-heng, benar2 bikin rikuh . . . . "
 Siang Cin tertawa ewa, katanya; "Hubungan muda-mudi ada kalanya sukar diselami,
 cinta adalah problem yang rumit dan aneh serta lucu, Loh-heng, apakah
 Siang-cuncu punya anak laki2"
 Loh Bong bu melenggong, dia menatap Siang Cin, akhirnya menghela napas,
 katanya: "Aku takluk padamu Siang-heng, memang Siang cuncu punya seorang putera.
 Selama peristiwa ini, kedua muda mudi ini berhubungan amat intim, malah Ciangbunjin
 144 agaknya juga setuju akan perjodohan ini ...... merandek sebentar, lalu dia
 bertanya: "Bagaimana kau bisa menerka ke arah sini?"
 "Ya, firasatku yang berbicara, kulihat amarahnya begitu meluap melebihi seorang
 pengabdi, tapi lebih mirip seorang tua yang kehilangan puteri atau menantunya
 dibawa lari orang . . . . . . ."
 Kagum Loh Bong-bu luar biasa, katanya: "Sejak pertama kau membongkar muslihat
 musuh di restoran tempo hari, Cayhe sudah mulai kagum dan tunduk padamu, kali
 ini rabaanmu tepat pula, Siang-heng kau malang melintang dan tersohor di
 Kangouw, memang kebesaran namamu bukan karena kebetulan .. ...."
 "Jangan kau terlalu memujiku," kata Siang Cin. "Loh-heng, dalam hal ini
 sebetulnya tiada sesuatu yang istimewa, tentunya kau masih ingat, waktu di
 restoran di Ho than toh tempo hari, kedua orang Hek-jiu-tong itu dengan nada
 memerintah suruh si gendut pemilik restoran mengambilkan sumpit" Pernah kau
 dengar ada koki yang seharusnya diperintah malah memerintah majikannya" Tapi
 sang majikan justeru tunduk dan menunaikan tugasnya dengan segera?"
 Loh Bong-bu manggut2, ia memandang ke depan sana, di puncak sebuah gunung di
 depan kelihatan bayangan bangunan yang bentuknya aneh, bila maju beberapa li
 lagi keadaan tentu bisa terlihat lebih jelas.
 Mendadak ia memberi aba2, maka barisan berkuda yang panjang ini memperlambat
 lari kudanya dan akhirnya berhenti, Siang Kong ceng dan Kim Bok mendekat ke
 depan, Loh Bong bu lantas berkata: "Sudah sampai di Pi ciok-san."
 Siang Kong-ceng masih gelisah, katanya dengan mengertak gigi: "Lekas kita atur
 kekuatan, akan ku terjang ke sana untuk membantu orang2 kita."
 Belum sempat orang lain menjawab, dari hutan di depan sana tampak lima
 bayangan penunggang kuda dilarikan ke arah sini, yang memimpin kiranya adalah Ceng-yapcu
 Lo Ce. "Bagaimana?" tanya Siang Kong ceng sambil memapak maju.
 Malam yang dingin, tapi Ceng-yap-cu bercucuran keringatnya, katanya kemudian:
 "Pertahanan musuh amat kuat, pos2 penjagaan berlapis. Si jagal jenggot merah
 dari Wi ji-bun hanya bisa mengawasi gerak-gerik musuh dari sini dan tak mungkin
 maju lebih dekat. Siang hari pihak Hek jiu-tong malah melepas burung2 elang dan
 anjing pelacak untuk menggeledah segenap pelosok gunung, murid2 Wi ji-bun
 terpaksa harus singkir ke sana dan sembunyi ke sini, memang susah dan
 melelahkan, malam ini perkampungan mereka di puncak gunung terang benderang
 sayup2 kedengaran suara tambur dan bunyi seruling serta musik yang mengalun
 gembira, seperti pesta pernikahan, tapi pertahanan dan penjagaan mereka tak
 pernah kendur . . . . . . .
 Dengan serak Siang Kong-ceng. berkata: "Apakah si jenggot merah dan lain2
 pernah menimbulkan keributan?"
 "Tidak, musuh tidak menemukan apa2 Dan tidak memperlihatkan gerakan apa2."
 Setelah berpikir, akhirnya Siang Kong-ceng berpaling pada Siang Cin, katanya:
 "Lote, hatiku tidak tenteram, bagaimana menurut pendapatmu?"
 "Turun dulu dan istirahat di sini," ucap Siang -Cin tertawa, "lalu pilihlah
 beberapa orang untuk menyusup ke Pi-ciok-son, tentukan pula kode rahasia, sudah
 tentu, sebelum serbuan dilaksanakan, lebih baik kalau diusahakan menolong puteri
 Ciangbun kalian lebih dulu."
 Siang Kong cerrg melompat turun, katanya: "Baik, sudah demikian saja," Tiba2
 segera di kirim ke barisan belakang, seratus empat puluhan lebih anak buah
 Bu-siang-pay serempak turun dari punggung kuda, cepat sekali Lo Ce sudah pimpin
 lima orang anak buahnya membawa orang banyak memasuki daerah yang ditumbuhi
 alang2 setinggi pinggang manusia, di bagian luar teraling oleh hutan, memang
 tepat kalau daerah ini digunakan menyembunyikan kuda mereka.
 145 Kelima anak buah Lo Ce ditugaskan menjaga kuda, sementara yang lain dengan
 hati2 tanpa mengeluarkan banyak suara masuk ke hutan sebelah depan, hutan pohon
 cemara di sini bercampur dengan semak2 pohon liar, lima murid Bu siang pay tampak
 berjaga di empat penjuru mengawasi berbagai arah dan tempat persembunyian.
 Di antara bayang2 pepohonan, bola mata Siang Cin mencorong bagai mata binatang
 buas berkelap-kelip ditengah kegelapan, Loh Bong-bu mendekatinya, katanya
 berbisik: "Siang-heng, apakah boleh mulai beraksi?"
 Siang Cin menoleh, katanya dengan suara dingin: "Bagaimana pendapat kalian?"
 Bentrok dengan sorot mata Siang Cin, Loh Bong-bu berdebar, mendadak dia
 gemetar, katanya: "Siang-heng, sorot matamu tajam luar biasa .. . ."
 Lekas Siang Cin berkedip sehingga sorot matanya yang berkilau sirna seketika,
 katanya mantap: "Apakah Siang cuncu dan Kim-cuncu berpendapat orang2mu itu
 dapat menyelundup ke atas gunung untuk menyambut serbuan dari luar?"
 Loh Bong-bu tenangkan hatinya, katanya: "Sebetulnya Lo Siang sendiri yang hendak
 menyusup ke sarang musuh, tapi tindakan ini dirasa kurang leluasa apalagi orang2
 sebanyak ini harus dipimpinnya, tadi setelah kami berunding, maka diputuskan Jan
 Pek-yang, Ang Siu-cu dan Te Yau bertiga memimpin dua puluhan murid cekatan
 menyusup ke Pi-ciok-san, sementara gerakan dari luar kita serahkan kepada
 Siang-heng untuk bantu mengaturnya ...
 Siang Cin menggeleng, katanya: "Dua puluh murid itu urungkan saja
 kuberangkatannya, urusan ini tidak boleh gegabah. bila sampai konangan musuh,
 pihak kalian akan mengalami kegagalan total dan kerugian pasti amat besar, oleh
 karena itu biarlah aku sendiri bersama Jan-heng bertiga yang menyusup ke jantung
 musuh." "Tapi gerakan dari luar. . . " cepat Loh Bong bu berkata.
 "Kalian bertiga yang harus mengatur," sela Siang Cin. "Loh heng, inilah urusan
 besar dan penting artinya bagi Bu-siang-pay kalian, terus terang tidak enak
 kuturut campur tangan," setelah berherti, lalu ia menambahkan: "Apalagi sebagai
 Cuncu masa kalian harus tunduk pada perintahku?"
 Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu bersuara: "Kalau demikian maksud
 Siang-heng, terpaksa Cayhe setuju, cuma untuk kepentingan kami Siang-heng harus
 ikut menempuh bahaya, terus terang hati kami tidak tenteram . . . . "
 Tersenyum Siang Cin, katanya: "Bersahabat harus berani berkorban, untuk ini
 Loh-heng tidak usah sungkan." Loh Bong-bu melangkah keluar, tak lama kemudian
 dia sudah kembali bersama Liat-hwe-kim lun Siang Kong ceng dan Hwi-ih Kim Bok,
 Siang Kong-ceng berkata dengan gelisah: "Siang-lote. barusan Bong-bu
 memberitahukan, katanva Lote hendak pimpin orang kami sebagai pelopor?"
 "Betul," sahut Siang Cin.
 "Apakah tidak bikin repot Siang-lote, sepantasnya orang2 kami sendiri yang harus
 jadi pelopor . . . . . " seru Sayap Terbang Kim Bok.
 "Sekarang waktu sudah amat mendesak, lebih cepat lebih baik, tak perlu saling
 berebutan tugas, Siang-cuncu, tolong perintahkan kepada murid2 kalian yang akan
 ikut aku supaya menyiapkan diri."
 Liat-hwe-kim-lun Siang Kong ceng menepuk pundak Siang Cin, katanya lantang:
 "Baik, terima kasih lebih dulu dariku." Lalu dia tepuk tangan tiga kali, maka
 Tok ciang Jan Pek yang, Thi tan Ang Siu-cu dan Poan-hou jiu Te Yau yang sudah
 menunggu sejak tadi segera tampil ke depan.
 Sambil mengelus jenggot Siang Kong-ceng memberi pesan: "Kalian bertiga harus
 ikut Siang-tayhiap menyusup ke sarang musuh untuk menyambut gerakan kita dari
 luar, kalian harus turut petunjuk Siang tayhiap, ingat pentingnya tugas kalian,
 harus berhasil dan tidak boleh gagal."
 146 Ketiga jagoan Bu-siang-pay ini sama mengiakan, Siang Cin lantas menyeletuk:
 "Siang cuncu, bila granat belirang kalian meledak di udara, maka kalian harus
 mulai menyerbu ke atas gunung." Siang Kong-ceng menggenggam kencang tangan
 Siang Cin, katanya haru: "Segalanya kuserahkan padamu, Lote."
 Sambil tertawa tawar Siang Cin mengangguk kepada Kim Bok dan Loh Bong-bu,
 begitu badan membalik, bagai segumpal mega kuning tahu2 tubuhnya melejit tinggi ke
 pucuk pohon, sekali berkelebat, ia melayang jauh ke sana.
 Jan Pek-yang bertiga segera ikut meluncur ke sana, hanya sekejap saja bayangan
 merekapun lenyap ditelan tabir kegelapan.
 Mengawasi kegelapan di depannya, Loh Bong-bu bergumam: "Ilmu ringan tubuh
 Hwi-liong-hian-hun (naga ter bang muncul di mega) yang hebat, kawanan
 Hek-jiu-tong malam ini akan memperoleh ganjarannya . . . . "
 Terbangkit semangat Siang Kong-ceng, katanya: "Hayolah, lekas kalian persiapkan
 diri." Maka suara aba2 segera terdengar di sana sini, bayangan orang tampak bergerak di
 dalam hutan. Sementara itu, dengan ringan dan pesat Siang Cin tengah mengayun langkahnya
 diantara bayang2 pepohonan, setiap lompatan begitu jauh dan kencang, di dalam
 Bu-siang pay, Jan Pek-yang bertiga juga terhitung jago2 kelas satu, kini meski
 mereka sudah mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengikuti tetap ketinggalan
 cukup jauh. Pi-ciok san sudah semakin dekat, cahaya lampu yang terang benderang di
 perkampungan di puncak bukit sudah jelas kelihatan, bangunan yang ditatah dari
 batu2 gunung terasa angker bagai iblis raksasa yang berduduk di tengah
 kegelapan. Tiba2 dari tempat gelap sana terdengar siulan rendah bagai bunyi burung
 kokok-beluk, sekaligus muncul bayangan puluhan orang yang segera merubung
 maju dari semak2 sekitarnya.
 Baru saja Siang Cin hendak beraksi, Tok-ciang Jan Pek yang yang ada di
 belakangnya cepat memburu maju, teriaknya dengan suara tertahan: "Apakah
 saudara2 dari Wi ji bun" Jan Pek-yang, di sini!"
 Seketika bayangan orang2 yang sudah bergerak maju itu menyusup lenyap pula ke
 dalam semak2 belukar, sementara seorang laki2 pendek dengan kedua kakinya
 yang melengkung bagai busur tahu2 menerobos keluar dari sana, dia terkekeh, katanya:
 "Kukira siapa, tahunya kau si bocah buntung ini, kenapa lari begitu kencang,
 memangnya kau suka hawa sejuk di tempat ini?" Suaranya tiba bersama
 bayangannya yang buntak, itulah seorang laki-saki cebol dengan kepala besar, kupingnya
 lebar, giginya bersiung besar, kulit mukanya yang kasar burikan lagi.
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tok-ciang Jan Pek-yang hanya mendengus, katanya dingin: "Kalian segera akan
 memperoleh perintah, tunggu saja tanda kobaran api belirang di puncak Pi ciok
 san, kalian harus segera menyerbu ke sana, kami menyusup ke sarang musuh
 menyambut kalian dari dalam. Adakah teman2 kita di sebelah depan?"
 Si cebol kuping lebar meringis tawa, katanya: "setan mungkin ada, rombongan kita
 ini merupakan barisan yang paling dekat dengan sarang musuh, tak jauh lagi
 kawanan serigala Hek-jiu-tong mondar mandir, kalian harus hati2, jangan sampai
 batok kepala kalian kena dipancung musuh." Sembari bicara laki2 cebol ini tanpa
 berkesip mengamati Siang Cin, tapi Jan Pek-yang tidak hiraukan dia, katanya
 sambil berpaling: "Siang tayhiap, apakah segera berangkat?"
 Siang Cin tertawa, dia bawa ketiga orang itu terus menyelinap ke semak belukar
 di depan. Poan hou-jiu Te Yau berjalan paling belakang, waktu lewat di depan si
 147 cebol dia tertawa dan berkata lirih:
 "Lo-kian-tui (kaki melingkar), hati2lah akan kedua kaki mestikamu . . . . "
 Lo-kian-tui segera memberi aba2 kepada anak buahnya terus menyelinap ke dalam
 semak alang2. Pi-ciok-san kini sudah di depan mata, dua beltas jalan berbatu
 yang ber-liku2 menjalar naik ke atas dari arah kiri-kanan, enam jalan yang
 berliku di sebelah kanan pada setiap ujung pengkolan tergantung sebuah lampion
 warna kuning, lampion itu dikerek tinggi bersambung ke atas puncak, sinar
 lampion besar yang terang benderang itu menyebabkan jalan berliku itu kelihatan
 jelas, bayangan tikuspun akan terlihat nyata, di bawah setiap lampion besar itu
 berjaga empat laki2 seragam hitam yang memeluk golok besar, di samping setiap
 empat laki2 ini mendekam pula seekor anjing galak. Sementara enam jalan berliku
 di sebelah kiri kelihatan gelap gulita, tapi terasakan adanya ancaman yang
 serius dalam kegelapan itu.
 Mendekam di belakang sebuah batu kelabu, dengan mengerut kening Siang Cin
 mengamati keadaan sekelilingnya, Poan-hou jiu menggeremet maju ke sampingnya,
 katanya lirih: "Siang-tayhiap, kita naik dari arah mana?"
 Memandang lekat ke depan, sesaat kemudian baru Siang Cin memberi putusan:
 "Dari arah kiri yang gelap itu."
 Sedikit bimbang akhirnya Poan hou-jiu berkata: "Bukan Cayhe banyak mulut,
 Siang-tayhiap, kurasa keadaan jalan disebelah kiri jauh lebih berbahaya daripada
 sebelah kanan yang benderang itu. bukan mustahil banyak pula jebakan dan
 perangkap di sana . . . "
 "Betul," ucap Siang Cin, "tugas kita adalah menyusup ke jantung musuh tanpa
 konangan, kalau naik dari jalan kanan, jelas tak mungkin tidak konangan, meski
 mereka belum tentu mampu merintangi kita, tapi jejak kita sudah konangan dan
 pasti menimbulkan geger dikalangan mereka. Kalau naik dari sebelah kiri memang
 jauh lebih berbahaya. tapi Te-heng harus ingat, di tempat gelap memang sulit
 bergerak, tapi merekapun sukar merintangi kita."
 Memang beralasan, maka Te Yau mengangguk.
 "Ayolah maju!" kata Siang Cin kemudian.
 Selincah kucing merunduk mereka berempat berlompat maju diantara batu2 yang
 terserak di semak belukar." Akhirnya mereka tiba di mulut jalan berliku yang
 menanjak ke atas, lebar jalan batu padas ini kira2 satu tombak.
 Keadaan jalan itu gelap gulita, dua sisi dindingnya menjulang tinggi dan curam,
 sunyi senyap tak terdengar suara apapun.
 Sejenak Siang Cin periksa keadaan sekitarnya, sebat sekali ia melejit tinggi dan
 hinggap di panggung batu yang terletak di antara jalan pertama dan ke dua,
 panggung batu ini berlumut dan ditumbuhi akar2an, batu besar ini mendekuk tidak
 rata, dengan hati2 sekali dia bergerak sehingga tidak menimbulkan suara apapun,
 dia mendekam sekian lama kemudian mengawasi kanan kiri dan depannya, kira2
 lima langkah di sebelah depan ada tiga orang laki2 berseragam hitam tampak mendekam
 di tanah, mereka tumplek seluruh perhatian mengawasi jalan pertama di sebelah
 bawah, di depan ketiga orang itu terpasang peralatan panah berpegas yang
 sekaligus dapat membidikan anak2 panah secara beruntun, kalau tidak diperhatikan
 sukar diduga karena alat2 panah ini ditutupi dengan daun dan semak2 rumput,
 ujung panah yang kemilau biru itu tertuju ke jalan pertama di sebelah bawahnya
 padahal lebar jalan itu hanya setombak, dengan diberondong anak panah sekian
 banyak, tikuspun takkan lolos oleh panah2 beracun itu.
 Siaag Cin coba menoleh ke atas, kembali ia dibikin terkejut, panggung batu di
 antara jalan yang satu dengan jalan yang lain lapat2 terlihat pos setiap jarak
 tiga tombak pasti dipasang peralatan senjata rahasia yang lihay, demikian pula
 di dinding jalan berliku yang tinggi itu juga dipasang berbagai macam alat
 rahasia yang secara otomatis dapat membidikkan senjatanya.
 148 Pelan2 seperti kucing merunduk tikus Siang Cin menggeremet maju, kini
 didengarnya satu diantara ketiga orang penjaga itu menguap dan menggeliat, lalu
 menggerutu: "Keparat, mereka sedang pesta pora makan minum sekenyangnya,
 yang kawin juga sedang main di kasur, kita yang sial harus makan angin dengan perut
 kelaparan . . . . . "
 "Sssst," seorang temannya mencegah, "jangan kau kentut melulu . . . . . beberapa
 hari ini suasana cukup tegang, kau tahu, tujuh di antara sepuluh Toako kita
 sudah pulang kandang, beberapa hari yang lalu Ngo-ko pimpin kawan2 Hiat-huntong
 melabrak musuh, kabarnya juga gugur semua."
 "Cuh," orang pertama menjadi uring2an, "tak usah kau singgung Hiat-hun-tong
 kita, bagian yang mereka terima dan hidangan yang mereka makan selalu lebih
 besar dari bagian orang lain, tapi kalau menjalankan tugas selalu minta tenaga
 orang lain."
 Seorang yang sejak tadi diam saja lantas mengomel: "Keparat, memangnya apa
 yang kalian persoalkan" Buat apa kau menggerutu melulu di sini, memangnya orang
 gagah macam apa kau?"
 Karena disemprot oleh kawannya yang satu ini, keadaan menjadi tenang sejenak,
 tapi sesaat kemudian si mulut usil itu menggerutu lagi: "Jaga malam ini harus
 sampai pagi pula, kemarin main Paykiu kantongku sudah terkuras habis, dasar lagi
 sial . . "
 Laki2 yang menyemprot tadi mendengus, katanya: "Kau si mulut usil ini memang
 harus mampus, kalau kemarin kau tidak kalah habis2an, masa malam ini kau bakal
 cerewet. Melihat tampangmu saja sudah muak, mendengar kau mengerutu lagi, tuan
 besarmu ini menjadi geregetan . . . ."
 Seluruh percakapan ketiga orang ini terdengar jelas oleh Siang Cin, diam2 ia
 geleng2 kepala.
 Ketiga orang tadi terdiam pula, rumput dan ranting kering berisik diembus angin
 lalu, awan ber-gulung2 di angkasa menambah gelapnya malam yang mencekam ini.
 Setelah berpikir sejenak, diam2 Siang Cin maklum untuk menyusup ke atas gunung
 tanpa konangan dan bentrok dengan para penjaga ini terang tidak mungkin,
 pengalaman ber-tahun2 selama ini segera terbayang kembali dalam benaknya.
 Selama ini entah itu demi kepentingan pribadi atau untuk membantu kesukaran orang lain,
 khusus dia mengutamakan gerak "cepat".
 Untuk mengganyang para penjaga di sini harus digunakan pula gerak cepat agar
 tanda bahaya tak sempat dikirim ke markas pusat di atas gunung.
 Tanpa banyak ragu lagi, dengan pelan2 Siang Cin melorot turun dari panggung
 batu, ia melejit kembali ke belakang panggung batu, Jan Pek-yang dan Ang Siu-cu
 tengah duduk bersemadi, sementara Poan-hoan-jiu Te Yau sedang meng-gosok2
 telapak tangan dengan tidak sabar.
 Baru saja Siang Cin tiba Te Yau lantas bertanya lirih: "Bagaimana Siang-tayhiip"
 Bisa mulai kerja?"
 Siang Cin lantas menceritakan apa yang baru dilihatnya, lalu katanya tegas:
 "Urusan tidak boleh terlambat, waktu sudah amat mendesak, sepanjang jalan ini
 kita harus bekerja secara kekerasan, bunuh seluruh orang yang ada di sini sampai
 di markas pusat mereka serta menolong orang kita, menurut perhitunganku, dikala
 musuh tahu gelagat jelek, urusanpun sudah selesai."
 Jan Pek-yang dan Siu-cu diam saja tanpa komentar, tapi Te Yau ragu2, katanya
 lirih: "Apa boleh buat, terserah pada petunjuk Siang-tayhiap saja..." Siang Cin
 tertawa tawar, katanya tegas: "Dikala membunuh, kalian harus gunakan gerak
 cepat, tanpa kenal ampun."
 149 Ketiga orang mengangguk, maka Siang Cin memberi tanda untuk mulai beraksi,
 secepat kilat ia melejit ke punggung batu di sana. Kali ini dia tidak main
 sembunyi pula, baru kaki menginjak batu, ketiga laki2 itupun terperanjat, mereka
 membentak sambil berpaling: "Siapa?"
 Sinar mata Siang Cin mencorong setajam pisau, dia meleset lewat disamping ketiga
 orang itu, belum lagi ketiga oranng itu melihat jelas, telapak tangan kanan
 Siang Cin sudah menabas, kontan tiga batok kepala seketika mencelat dan jatuh
 terguling di jalan.
 Belum lagi mayat ketiga orang ini roboh, tahu2 Siang Cin sudah meleset pula ke
 pos penjagaan di sebelah atasnya, baru saja bertiga orang yang jaga di sini
 merasakan adanya bahaya, tahu2 bayangan Siang Cin sudah meluncur tiba, kedua
 telapak tangannya terayun kontan ketiga korban inipun roboh terjungkal dengan
 perut dan dada remuk.
 Jan Pek-yang bertiga yang menguntit kencang di kelakang hakikatnya tidak sempat
 bekerja, tapi setapakpun mereka tidak berani ketinggalan, kejadian demikian
 terus berlangsung sampai pos penjagaan keenambelas.
 Kejadian yang sebetulnya tidak menimbulkan suara berisik ini, betapapun telah
 mengejutkan orang2 yang jaga di pos2 bagian atas, dua orang Hek-jiu-tong segera
 melolos golok serta memapak maju, sementara seorang lagi merogoh keluar sebuah
 bumbung warna perak kemilau terus dibanting ke tanah sekuatnya.
 Sambil menggeram tiba2 Siang Cin melenting kedepan, kedua kakinya menyepak
 kedua orang yang memapak maju, di tengah berkelebatnya sinar golok, ujung kakinya
 menyelinap di tengah sinar golok lawan dan secara telak mengenai jidat. kedua
 orang Hek jiu-tong, sambil berpekik kedua orang itupun terguling2 di jalan yang
 menurun itu. Bersamaan dengan itu mata Siang Cin yang jeli juga telah melihat seorang musuh
 yang tengah mengayun tangan hendak membanting bumbung perak tadi, maka
 telapak tangannya berkelebat lebih dulu, berbareng ujung kakinya menyapu bumbung perak
 yang melayang jatuh itu, gumpalan darah segar seketika tersembur dari
 tenggorokan laki2 itu, sementara bumbung perak itu mencelat jatuh ke sana.
 Ketika Siang Cin melayang lagi ke pos penjaga ke tujuh belas, bumbung perak yang
 menggelinding itu telah meledak, semburan api berasap menjulang tinggi ke udara,
 mirip kembang api yang sengaja diluncurkan ke angkasa.
 Kobaran api yang besar dan menyala benderang ini menyebabkan jejak Siang Cin
 berempat konangan dan tak sempat menyembunyikau diri lagi. Padahal masih enam
 langkah untuk mencapai pos penjagaan selanjutnya.
 Tiga orang yang jaga di sini menjadi kaget, salah seorang di antaranya melihat
 bayangan Siang Cin yang tengah meluncur datang bagai elang menyambar kelinci.
 Orang ini ketakutan, sekuatnya dia berteriak: "Mata2, awas mata2 . . .." tiba2
 suaranya seperti ditelannya pula, dengan kedua tangan mendekap dada orang ini
 roboh terkulai dengan penderitaan yang luar biasa, kiranya sebatang tombak
 bersula telah menghujam dadanya.
 Kedua orang temannya berteriak aneh, satu di antaranya mengeluarkan bumbung
 perak serupa yang meledak tadi. Cepat Siang Cin menghantam dari kejauhan, belum
 sempat lawannya mengeluarkan senjata, tahu2 tubuhnya mencelat seperti diterjang
 badai, orang itupun melolong dan rnenghamburkan darah serta roboh ter guling2,
 bumbung perak yang telah dia keluarkan itu mencelat ke atas dan kebetulan jatuh
 pula menyentuh punggungnya.
 "Dar", di tengah pancaran lelatu api yang berwarna warni itu, tubuh si korban
 hancur lebur terbakar hangus. Tiada kesempatan untuk menyaksikan adegan yang
 mengerikan ini, karena ledakan satu disusul ledakan yang lain pada pos penjagaan
 sebelah atas, malam yang gelap menjadi terang benderang oleh pancaran cahaya
 warna warni di angkasa. Siang Cin anggap tidak melihat, ia terus meluruk meubruk
 150 maju, pada saat itulah dari jalan di sebelah bawah yang mereka lalui tadi
 terdengar suara meletup yang cukup keras dan menimbulkan hawa panas, ribuan
 lidah api sekaligus menyala, seluruh jalan2 berliku di bawah sana telah ditelan
 api, nyala api yang semakin besar itu terus merambat ke atas sampai di ujung
 jalan sana. Cepat Tok ciang Jan Pek yang melayang maju ke dekat Siang Cin, serunya gugup:
 "Siang-tayhiap, musuh telah tahu kedatangan kita."
 Kedua telapak tangan Poan-hou-jin Te Yau terayun beruntun, tiga orang Hek-jiu
 tong di depan sana dipukulnya roboh binasa, sebat sekali mereka terus menerjang.
 "Terjang terus ke atas!" Siang Cin mendorong semangat mereka. Di atas panggung
 batu di sebelah depan ada dua puluhan orang Hek jiu-tong telah berjajar menunggu
 kadatangan mereka.
 Siang Cin menghardik sekali, sebuah benda melengkung dengan memancarkan
 cahaya kuning kemilau kontan membabat ke depan, luncuran kencang dan ganas, hanya
 kelihatan cahaya kuning berkelebat, beberapa orang Hek jiu-tong yang memapak
 maju seketika roboh terguling dengan batok kepala copot dari lehernya, terdengar
 suara gedebukan diiringi golok yang berkerontangan, suasana menjadi kacau balau.
 Itulah senjata rahasia khas Siang Cin, Toa-liong kak.
 Menyambit dan menangkap pula, Toa-liong-kak kembali berputar balik ke tangan
 Siang Cin, sementara itu sisa musuh yang berjumlah delapan orang juga telah
 diganyang habis oleh Jan Pek-yang bertiga, darah berceceran, mayat
 hergelimpangan.
 Kini tinggal sebuah pos penjagaan terbesar di sebelah depan, di bagian atas pos
 penjagaan ini sengaja dirintangi sebuah dinding, tembok dan di depan dinding
 inilah berjajar menunggu dengan tenang puluhan orang Hek-jiu-tong bersenjata
 lengkap, di sebelah kanan mereka berdiri pula enam laki2 kekar, meski keenam
 orang ini juga berseragam hitam, tapi pada leher mereka dihiasi oleh sebuah
 mainan sebesar telapak tangan manusia yang terbuat dari logam.
 Siang Cin meluncur tiba sembari menyerbu ia berseru lantang: "Kawan tangan
 hitam, nih penagih nyawa telah tiba."
 Keenam laki2 kekar itu menggerung bengis, dari arah yang berbeda mereka
 merubung maju, enam senjata berbentuk aneh sekaligus menyerang.
 Siang Cin menyeringai, sedikit berjongkok, Toa- liong-kak lantas menyamber,
 cahaya kuning berputar menyilaukan mata, dikala Toa-liong-kak berputar balik dan
 tertangkap kembali oleh Siang Cin, empat di antara enam musuh itu sudah
 berguling roboh dengan kedua kaki sebatas lutut terbabat kutung. Dua orang yaug
 selamat jadi melenggong, air muka mereka menampilkan rasa ngeri, tapi dengan
 nekat mereka menerjang maju pula.
 Tok-ciang Jan Pek-yang juga maju kedepan, pukulan dahsyat segera menyapu ke
 arah musuh, jengeknya: "Kawanan tangan hitam, pergilah menghadap Giam-lo-ong."
 Dua orang itu tanpa bicara segera mengayun golok Kui-thau-to dan sebatang
 gantolan runcing, mereka menghujani Siang Cin dengan serangan deras. Sementara
 di sebelah sana Thi tan Ang Siu-cu dan Poan hou-jiu Te Yau juga sedang menghajar
 lawan, dalam kepungan orang banyak, senjata Ngo-poan-kim-cui (bandulan emas
 lima kelopak) milik Ang Siu-cu yang berat itu betul2 mengnujuk perbawanya yang hebat,
 di mana bandulannya, menyambar, musuh pasti dibikin tunggang langgang.
 Sekilas Siang Cin tertawa senang, tiba2 dia melejlt ke atas dinding tadi, baru
 saja kakinya hinggap di atas tembok, dari tempat gelap di sebelah depan tiba2
 terdengar suara jepretan, maka berhamburlah anak panah selebat kawanan tawon
 yang mengejar mangsa, bintik2 sinar perak yang gemerdep memecah udara sama
 tertuju ke arah Siang Cin.
 151 Cepat sekali Siang Cin sudah memperhitungkan suatu posisi yang menguntungkan
 di pojok sana, maka begitu dia berjumpalitan, Toa liong-kak ditangannyapun
 tersambit dengan membawa ekor cahaya kuning.
 Terdengar suara dering beradunya senjata tajam dan terseling pula teriakah orang
 yang meregang nyawa.
 Seperti sudah diperhitungkan, tangan Siang Cin dapat menangkap pula
 Toa-liong-kak yang berputar balik dengan cahayanya yang kemilau kuning, Toa
 liong-kak yang telah berlepotan darah pula.
 Puluhan tombak di sebelah sana terlihat perkampungan besar yang dibangun dari
 batu2 gunung, pintu gerbangnya yang tinggi terbuat dari tembaga, didepan pintu
 gerbang adalah undakan batu yang lebar, megah dan angker keadaannya, kini
 kecuali dua lampion besar yang bergantung di dua sisi pintu gerbang, lampu yang
 semula menyala benderang dalam suasana pesta pora tadi telah padam seluruhnya,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka keadaan perkampungan tampak gelap gulita.
 Di bawah cahaya lampion besar di pinto gerbang itu Siang Cin dapat melihat
 sebuah pigura besar yang tergantung di depan pintu dengan ukiran huruf2 besar
 bertinta emas yang berbunyi: "Bu-wi-san-ceng".
 Siang Cin berdiri di tempat yang miring di depan perkampungan, sementara bidikan
 anak panah telah berharnburan dari belakang tanggul sana. tanpa ayal Siang Cin
 melesat keatas tanggul rendah itu, tapi baru saja dia melangkah, dari tempat
 kegelapan di belakangnya terdergar suara dingin bengis berkata:?"Hm,
 Toa-liong-kak, jadi kau ini Naga Kuning adanya?"
 Sebat sekali Siang Cin membalik tubuh, tampak di atas sebuah batu padas berdrri
 seorang tinggi kurus tengah mengawasinya, Siang Cin menjengek: "Kalau kau sudah
 tahu Toa-liong-kak, kenapa tidak kau turun tangan menolong jiwa temanmu?"
 Mendengus orang itu: "Tak perlu menolong jiwa mereka, cepat atau lambat toh
 utang darah ini harus ditagih?"
 "Baiklah, boleh coba kau tagih," bentak Siang Cin, Toa-liong-kak tiba2 menyamber
 pula dengan suara mendesing kencang, Toa-liong-kak berputar terus membahat
 lebar. Lawannya kelihatan terkejut, sedikit miring tubuh, berbareng sebilah pedang
 kemilau menyampuk Toa liong-kak yang menyamber tiba.
 Tapi mendadak Toa-liong-kak berputar memancarkan cahaya kemilau dan berkisar
 turun membabat ke paha orang itu.
 Se-konyong2 sinar kemilan bertebaran, pedang panjang orang itu berputar kencang,
 Toa-liong-kak tersampuk dan akhirnya jatuh berkerontang.
 Bagai bayangan setan, "ser, ser?", dua Toa-liong-kak tahu2 menyerang tiba pula,
 dikala orang itu menyadari bahaya tengah mengancam, sementara kemilau Toa
 liong-kak sudah menyamber tiba di depan mata. Tetapi orang itu tidak gugup
 sedikitpun, cepat ia berkisar ke samping, pedang berputar kencang dan rapat,
 tapi Toa-liong-kak seperti benda hidup saja, berulang kali kena dibentur pergi,
 tapi berulang kali pula memutar balik menyerang lagi dari berbagai arah.
 "Bagus sahabat, kau memang berisi," puji Siang Cin. Pada setiap katanya segera
 sebuah Toa-liong-kak tersambit pula, Toa-liong-kak yang "meluncur akhirnya
 berjumlah sembilan buah.
 Orang itu merasakan betapa berat tekanan sembilan batang Toa-liong-kak dari
 berbagai arah. Se-konyong2 jerit kaget kesakitan tercetus dari mulut orang itu, bagai orang
 gila sekuatnya dia putar pedang sekencangnya, berbareng ia berusaha berkelit,
 sinar pedangnya yang memanjang seperti rantai perak membungkus sekujur
 badannya. Tapi Toa-liong-kak memang senjata ampuh dan aneh, berulang kali terketuk pergi
 tapi bukan saja tidak jatuh, andaikan jatuh juga masih melejit lagi dan berputar
 pula menerjang balik pada lawannya, se olah2 sebelas batang Toa liok-kak ini
 152 dikendalikan oleh seseorang yang lihay saja.
 Benturan beberapa kali menimbulkan percikan api, kejadian hanya sekejap belaka,
 belum lagi pancaran kembang api itu sirna, se konyong2 terdengar rintih yang
 mengerikan, orang yang bersenjata pedang itu tampak berputar dengan langkah
 sempoyongan, tiga di antara sebelas Toa-liong-kak kena diketuknya jatuh dan tak
 mampu bergerak pula, tapi delapan yang lain ternyata telah menghujam ke
 tubuhnya, kepala, dada, perut, punggung, kaki dan tangan, dengan pedang
 menyangga tanah, pelan2 orang kurus tinggi itu robot terjungkal.
 Secepat angin Siang Cin memburu maju memunguti Toa liong-kak, lalu menghampiri
 korbannya, karena badan dihiasi delapan Toa-liong-kak, keadaan orang itu boleh
 dikatakan sangat mengenaskan, wajahnya sudah tidak pada bentuknya semula,
 darah tampak meleleh dari mulutnya, dengan rebah telentang, sekujur badan
 berkelejetan, sinar matanya pudar, tapi masih menatap Siang Cin tanpa berkedip,
 mulutnya megap2 kepayahan.
 Orang itu juga mengenakan seragam hitam, juga memakai kalung mainan berbentuk
 telapak tangan manusia warna hitam, cuma berbeda dengan kalung orang lain, tepat
 di tengah telapak tangan kalung orang ini terbingkai sebentuk batu warna merah
 sebesar buah kelengkeng.
 Dikala Siang Cin melihat batu merah pada kalung ini, segera ia tahu bahwa
 kedudukan dan jabatan orang ini tentu jauh berbeda dengan para korbannya yang
 terdahulu, belum lagi pikirannya bekerja, tiba2 dilihatnya bayangan orang
 berkelebat di sebelah sana, didengarnya seorang berteriak ngeri dan sedih:
 "Celaka . . . . Cit-ko . . . . Cit-ko dibunuh musuh!"
 Siang Cin terkesiap, kiranya orang ini adalah pentolan ketujuh di antara
 kesepuluh gembong Hek-jiu-tong, permusuhan kini jadi lebih mendalam lagi, sambil
 menunduk dia berkata dengan suara berat: "Kau bukan tandinganku. mestinya kau
 tidak perlu mengorbankan jiwa. Kau mati penasaran, tapi kau memang seorang laki2
 sejati" Pucat muka orang itu, ia menatap Siang Cin, kerongkongannya berkeruyuk, akhirnya
 kepala terkulai miring tak bergerak lagi, sepasang matanya tetap mendelik,
 agaknya dia mati penasaran, dengan terlongong Siang Cin mengawasi pipi kiri
 orang yang terdapat tahi lalat sebesar kacang berwarna kehitaman.
 Suara ribut2 menyentak lamunan Siang Cin, waktu ia memandang ke sana, ratusan
 orang2 Hek-jiu tong telah merubung datang mengepung dirinya, semuanya
 bersenjata golok besar, wajah mereka tampak bengis, sorot matanya memancarkan dendam
 kesumat. Dengan cepat Siang Cin mencabut delapan Toaliong-kak dari tubuh korbannya,
 seluruhnya dia rangkap di sebelah tangannya, dengusnya kemudian: "Suruh
 pimpinanmu keluar, sembunyi bukan cara untuk menyelesaikan persoalan ini,
 kawanan tangan hitam, jangan biarkan darah kalian mengotori Bu wi san ceng ini
 dengan percuma."
 Sebelum gema suara Siang Cin lenyap, dari belakang rombongan kawanan tangan
 hitam yang ratusan jumlahnya ini tampak tiga bayangan orang tengah meluncur
 datang secepat angin, di antara gerakan lompatan ketiga bayangan ini tampak pula
 kemilau senjata tajam.
 Dalam waktu yang sama dari arah tembok yang mengalang jalan sana juga
 berkumandang lengking suara panjang, beruntun muncul pula tiga bayangan orang,
 setelah celingukan sejenak, serempak mereka meluncur ke arah Siang Cin.
 Maklum bahwa suatu pertempuran besar dan banjir darah bakal terbentang di depan
 mata, pelan2 Siang Cin memasukkan Toa-liong kak ke dalam sarungnya di ikat
 pinggang. Tiga orang yang muncul dari arah tembok tadi adalah Jan Pek-yang, Ang Siu-cu dan
 Te Yau, badan mereka berlepotan darah, dengan napas sedikit memburu mereka
 153 melayang turun di kanan kiri Siang Cin, setelah menarik napas panjang Te Yau
 berkata lirih: "Kawanan tangan hitam di atas batu sana berhasil kami babat
 habis, hanya lengan Ang Siu-cu saja yang terluka, tapi tidak parah, Cayhe dan
 Pek-yang tidak kurang suatu apapun . "
 "Musuh sudah mengepung dan akan terjadi pertempuran babak terakhir di sini,
 Te-heng tolong kalian bertiga menyusup ke dalam perkampungan musuh dan
 mencari jejak puteri kesayangan Ciangbunjin kalian, Cayhe akan segera memberi tanda
 supaya bala bantuan kita dibawah segera menyerbu ke atas."
 Te Yau melenggong, katanya: "Tapi di sini hanya Siang-tayhiap sendiri . . . . "
 - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - -
 Pertarungan maut apa yang akan terjadi antara Siang Cin dengan gembong2
 Hek-jiu-tong"
 Dapatkah puteri ketua Bu-siang-pay diselamatkan dan apa yang telah terjadi atas
 diri anak dara itu"
 - Bacalah jilid ke - 9 "
 Jilid 09 Kawanan tangan hitam yang berjumlah ratusan itu sudah berhenti di depan,
 sementara tiga sosok bayangan orang di di belakang itu dalam sekejap telah
 melayang lewat melampui kepala barisan manusia itu dan hinggap di depan barisan,
 mereka melotot gusar ke arah Siang Cin berempat.
 Mendadak Siang Cin angkat tangannya, meluncurlah sebuak benda hitam bundar ke
 udara, ketika mencapai ketinggian belasan tombak benda itu meledak, kembang api
 yang berwarna warna menjadikan pemandangan udara yang indah, sesaat menatap
 ke atas, Siang Cin menoleh ke arah Jan Pek yang bertiga, katanya: "Tak lama lagi
 situasi pasti berubah dan akan lebih baik daripada keadaan yang kita hadapi
 sekarang" Kawanan Tangan Hitam di depan mereka mulai menampakkan reaksi, tapi tiada
 satupun yang berani bertindak tanpa perintah, sementara ketiga orang itu masih
 berdiri tegak tak bergeming, mata mereka tetap melotot tak berkesip.
 Satu diantaranya yapg berperawakan kasar dan berhidung besar tampil kedepan,
 serunya dengan suara lantang, "Anak muda, sudah cukup kau takabur, apakah Lo-jit
 kau yang membunuhnya?"
 Siang Cin tersenyum, katanya; "Kau inikah Si Biruang Lu Tat, pentolan keenam dari
 kesepuluh gembong Hek-jiu-tong?"
 Bentuk mata laki2 kasar ini mirip mata ular, hidung besar seperti hidung singa,
 mulutpun lebar dengan bibir yang tebal pula, serunya dengan gusar: "Akulah yang
 tanya kau, apakah Lo jit mati ditanganmu?".
 Mendengus Siang Cin dan balas bertanya: "Kalau betul mau apa?"
 Hidung laki2 kasar itu menjadi merah, hardiknya beringas: "Siapa kau?"
 Siang Cin berseru lantang: "Napa Kuning Siang Cin."
 Nama julukan ini bagai suara guntur di siang hari bolong, sekujur badan laki2 itu
 tampak bergetar, rona mukanyapun berubah, teriaknya. "Bagus, Siang Cin, kiranya
 kau!" Seorang laki2 setengah umur di samping yang berperawakan sedang tapi kurus
 menyeringai dingin.
 katanya: "Liok-ko, jenazah Jit-ko belum lagi dingin, memangnya setelah dia kaku
 baru kau akan menuntut balas kematiannya?"
 Seorang laki2 yang juga berusia pertengahan dengan alis tipis menimbrung: "Orang
 she Siang, majulah kau, aku Siok-lokiu akan mengiringi kematianmu ke akhirat."
 Tenang2 mengawasi ketiga orang di depannya, Siang Cin berkata kalem: "Ya, kalian
 pentolan2 Hek jiu tong, Lo-liok Si Biruang gunung Lu Tat, Lo-pat Si alap2 hitam Dian
 Ki dan Lo-kiu Siang-to-toh-hun (sepasang golok perenggut sukma) Mo Siong telah
 154 datang sekaligus, maaf kalau aku masih asing dengan kalian, maklumlah sebelum ini
 memang kita belum pernah jumpa, setelah kalian memperkenalkan urutan
 kedudukan tadi baru kutahu akan nama kalian."
 Ketiga orang ini tetap berdiri tegak tanpa bergerak, sementara itu dari bawah gunung
 sudah terdengar suara gaduh serbuan orang2 Bu-siang-pay, kadang terdengar juga
 suara ledakan keras, sementara semprotan minyak berapi masih menerangi jalan
 berliku di sebelah bawah, gelagatnya pertempuran cukup seru atas serbuan pasukan
 Bu-siang-pay itu.
 Tanpa mengunjuk perasaan si Biruang gunung Lu Tat menoleh danm mengawasi
 kedua saudara angkat di kanan kirinya, akhirnya tatapan matanya tertuju pada
 saudaranya yang sudah menggeletak menjadi mayat di atas tanah sana, pelan2 dia
 berkata: "Siang Cin, manfaat apa yang kau terima dari pihak Bu-siang-pay, sampai
 kau rela menjual nyawa bagi mereka?"
 Bertaut alis Siang Cin, katanya tak acuh: "Soalnya satu sama lain segera cocok
 sekali bertemu, dan yang lebih penting, aku merasa muak melihat sepak terjang dan
 perbuatan keji kalian."
 Alap2 hitam Dian Ki segera menggerung, ia memaki: "Kentut makmu busuk!"
 Lu Tat segera mengulap tangan menghentikan caci maki Dian Ki, katanya tandas:
 "Siang Cin, kau sudah main terjang ke gunung kini dia main bunuh, Hek jiu tong tidak
 akan memberi ampun padamu. Dan lagi tak usah kau mengharapkan bala bantuan
 orang Bu-siang-pay di bawah gunung itu, baiklah sekarang kami bicara blak2an saja,
 kawanan tikus Bu-siang-pay itu takkan mampu membobol berbagai rintangan berat
 yang telah kami atur dengan baik, umpama berhasil menerjang kemari juga takkan
 luput dari kematian oleh serangan beberapa saudara tua kami."
 "Apa ya?" Siang Cin mengejek. "Marilah kita coba2 saja."
 Sambil menggeram Lu Tat menahan rasa gusarnya seperti mengharapkan sesuatu
 dia menengadah melihat cuaca.
 Dengan tenang Siang Cin berkata: "Kalian memang boleh juga, sebelum kawan2 Busiang-
 pay menerjang tiba kalian sudah tahu akan serbuan mereka ...."
 Si Biruang Lu Tat menyeringai dam melangkah maju, katanya: "Tepat sekali, dan
 sekarang marilah kita mulai saja."
 Siang Cin memberi tanda gerakan tangan kepada Jan Pek-yang bertiga yang ada
 dibelakangnya, habis itu mendadak ia menerjang ke sana, telapak tangannya
 setajam golok membabat tenggorokan Lu Tat.
 Hampir pada saat yang sama, Tok-ciang Jan Pek yang tiba2 melejit maju dan
 melemparkan granat belerang ke udara. "Tarr", kembang api bercampur asap biru
 keputihan seketika berhamburan berjatuhan ke dalam rombongan orang2 Hek jiutong.
 Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, cepat ia menghindari serangan Siang Cin,
 berbareng sebatang toya perak sepanjang tiga kaki sudah tergenggam di tanganya,
 segera ia balas menerjang ke arah Siang Cin,
 Tanpa bersuara Alap2 hitam Dian Ki juga menyelinap maju, telapak tangan tegak
 miring menggempur punggung lawan.
 Segera Jan Pek-yang berteriak: "Maju!" " Mereka bertiga terus menerjang masuk ke
 Bu-wi-san ceng.
 Tapi baru saja mereka melompat maju, empat golok segera memapak dari kiri-kanan,
 si golok perenggut sukma Mo Siong lantas membentak: "Marilah gebrak dulu bebera
 jurus denganku"
 Thi tan Ang Siau cu segera menyongsong serangan musuh, bandulan beruas
 berkelopak lima sekaligus melancarkan belasan gerakan, ayunan bandulannya
 menderu bagai gelombang samudra. Tapi Jan Pek-yang dan Te Yau sedikitpun tidak
 tertunda gerakannya, beruntun beberapa kali lompatan, tanpa menemui banyak
 rintangan mereka sudah melampaui pagar dan meluncur masuk ke dalam
 perkampungan. Tiga puluhan anggota Tangan Hitam roboh bergulingan, api sama berkobar di tubuh
 155 mereka, bau hangus kulit daging manusia tercium keras, pekikan puluhan mulut
 berpadu seperti berlomba seram mengerikan.
 Dengan enteng dan tangkas, Siang Cin meluputkan diri dari sergapan Dian Ki,
 telapak tangan berkelebat, ia balas membabat kearah musuh yang licik ini,
 sementara tangan kanan bergerak menciptakan bayangan ceplok2 dan tak teraba ke
 mana arahnya tahu2 menyongsong serangan Lu Tat.
 Maka, tiga orang sama berlompatan menyingkir, terdengar Siang Cin mendengus,
 sebuah pukulan sakti terus dilontarkan, seketika udara seperti penuh ditaburi
 bayangan telapak tangan.
 Tapi Biruang gunung Lu Tat juga tak mau kalah tangkas, iapun ingin pamer ilmu
 kebanggaannya yang telah digemblengnya selama puluhan tahun, yaitu Cui-si-cap
 lak-sian (enam belas kali berkelebat mengejar bayangan) dikombinasikan dengan
 permainan toya pendeknya yang berat itu, ia balas menyerang dengan gencar,
 sementara Dian Ki dengan telapak tangan kosong selalu main menyerang secara
 bergerilya, sehingga pertempuran tiga orang ini berjalan seru dan menegangkan,
 apalagi gerakan mereka sama cepat dan tangkas, masing2 sama melontarkan tipu
 serangan berbahaya.
 No-poan-kim-cui yang diyakinkan Thi-tan Ang Siu-cu boleh dikatakan sudah cukup
 sempurna, selama ber-tahun2 dia tumplek segala ketekunan dan tekadnya untuk
 memperdalam permainan senjata bandulan yang satu ini, entah itu dikala fajar atau
 senja, Ho-hou cui-hoat yang punya tiga puluh enam jurus ini tak pernah lupa
 dilatihnya secara rajin, kini seorang diri dia menghadapi Sian ce-to-toh-hun Mo Siong,
 pentolan kesembilan dari Hek-jiu-tong.
 Kawanan Tangan Hitam yang tidak terluka masih ada tujuh puluhan orang lebih,
 kecuali belasan orang yang ditugaskan memberi pertolongan kcpada para korban,
 sisa yang lain di bawah pimpinan beberapa Thaubak tetap merubung maju
 mengepung Siang Cin dan Ang Siu-cu di tengah arena.
 Beruntun Siang Cin menyerang pula dengan jurus It siau-siang itu yang hebat, dikala
 musuh menggerung gusar seraya berkelit pergi, dengan telak kakinya mendepak
 roboh seorang musuh, waktu telapak tangan kirinya menyelonong ke depan, seorang
 lawan kena ditonjoknya terpental dengan muntah darah.
 Sambil melompat kesana Siang Cin membentak kereng: "Ang heng, kenapa
 mestikamu tidak segera kau gunakan?"
 Dikala bicara itulah terasa deru angin mengemplang batok kepalanya, tiba2 ia
 melengkung badan, berbareng tangan memukul balik beberapa kali, menyusul
 dengan jurus Ngo mo-sio-bing langsung dia me nbelah ke arah Dian-Ki, di tengah
 samberan angin kencang secepat kilat itulah, tujuh kawanan Tangan Hitam telah
 terjungkal robob binasa.
 Ang Siu-cu mengertak gigi dan melabrak Mo Siong mati2an, mendengar peringatan
 Siang Cin mendadak dia menyurut mundur, tapi Mo Siong bagai bayangan ikut
 mendesak maju, sementara sepasang goloknya yang kemilau tajam itu menyamber
 bersilang dari atas dan samping, sedetikpun tidak memberi kesempatan kepada
 lawan, malah ejeknya: "Orang gagah dari Bu-sang-pay, hayolah maju lagi"
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bicara sejujurnya di kalangan Bu siang- pay dalam barisan Thi ji bun. Ang Siu-cu
 sebetulnya terhitung jago kosen kelas wahid. orang yang terkenal dan dijunjung
 tinggi martabatnya di dalam Bu siang-pay. Kungfunya memang hebat, cerdik pandas
 juga pemberani, tapi kali ini ia berhadapan dengan salah satu gembong Hek-jiu tong.
 nama Siang-to toh hun cukup disegani juga di kalangan Kangouw, maka Ang Siu cu
 dipaksa tumplek seluruh bekal kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang hebat
 ini, meski dalam waktu singkat Mo Siong tak mungkin mengalahkan atau membunuh
 Ang Siu-cu, tapi untuk mengalahkan lawannya, Ang Siu-cu jelas juga tiada harapan.
 Ang Siu-cu tak berani takabur atau lena untuk mendesak lawan, sehingga Bian-hokcuci
 dan pelor belerang yang disimpan dalam bajunya sama sekali tak sempat
 dikeluarkannya, dengan nekat di samping melayani rangsakan lawan, iapun harus
 selalu waspada akan serangan kawanan Tangan Hitam yang membokong sehingga
 156 keadaannya cukup gawat.
 Siang Cin cukup jelas akan keadaan yang dihadapi kedua musuhnya, sementara Lu
 Tat dan Dian Ki juga bertekad bertempur sampai titik darah terakhir untuk
 mengerubut si Naga Kuning, bukan saja jurus serangan mereka keji, se-olah2
 merekapun rela mengorbankan jiwa raga sendiri asal gugur bersama musuh, apalagi
 tingkat kepandaian kedua orang ini dapat dinilai lebih unggul daripada Mo Siong.
 Berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tapi bukan tugas enteng bagi Siang Cin
 untuk merobohkan kedua lawannya dalam waktu singkat kecuali menggunakan jurus
 sakti yang tiada taranya. padahal uutuk melancarkan jurus sakti ini dia sendiripun
 harus menyerempet bahaya.
 Terdengar jeritan, seorang kawanan Tangan Hitam yang berbadan tinggi besar
 tampak terpental roboh dengan kepala remuk, sementara Mo Siong terdengar
 mengumpat: "Kunyuk Bu-siang-pay, biar tuan besarmu membeset kulit dan menelan
 dagingmnu ... . "
 Tiba2 Siang Cin melambung tinggi ke atas, di tengah udara ia menukik dengan
 tubrukan keras, si Alap2 hitam Dian Ki berpekik aneh, kedua telapak tangan
 sekaligus memukul beberap kali, deru angin pukulan menyampuk bagai kisaran
 angin puyuh. Tidak berkelit, tidak menghindarkan membalik, Siang Cin tetap menukik lurus ke
 bawah menubruk Dian Ki, dikala angin pukulan lawan hampir menyentuh tubuhnya,
 bagaikan mega mengambang di angkasa, dia meluncur lewat dengan jurus Gwat
 bong-ing, lalu disusul pula dengan tipu Ngo mo so hing, kekuatan telapak tangannya
 setajam golok, bagai kilat menyambar Dian Ki.
 Cepat Dian Ki berusaha menyurut mundur, tapi Siang Cin tetap mengejarnya. Pada
 saat itulah si Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, toya peraknya dengan
 kemplangan keras terayun tiba."
 Mendadak Siang Cin batalkan kejarannya kepada Dian Ki, badan melengkung, kaki
 mendepak di udara, gerakannya begitu indah, gesit dan tangkas, yang terlihat
 hanyalah segulung bayangan yang membal balik, padahal toya perak Lu Tat dengan
 sekuatnya telah menyabet, jelas tak mungkin ditarik balik, saking gugupnya, dengan
 tumit kaki dia berusaha memutar, berbareng toya perak ditarik rendah terus menjojoh.
 Tapi baru ia melakukan setengah gerakan, telapak tangan Siang Cin dalam sekejap
 itu bagai kilat telah beberapa kali menghajar dadanya, begitu cepat sampai orang
 tidak sempat melihat jelas, dikala Lu Tat merasakan dadanya tergetar keras dan
 napas menjadi sesak oleh pukulan sekeras godam, tahu2 Siang Cin sudah
 berjumpalitan ke sebelah sana.
 Wajah yang beringas dan kasar itu menjadi pucat dan berkerut menahan kesakitan,
 si Biruang gunung yang kekar ini tak kuasa lagi berdiri tegak, langkahnya
 sempoyongan, kerongkongan terasa amis dan tersemburlah darah segar.
 Tanpa menghiraukan korbannya Siang Cin melesat ke sana, di tengah udara
 badannya kembali membalik, beberapa kali pukulan dahsyat sekaligus dilancarkan
 menyongsong Dian Ki yang memburu maju hendak menolong saudaranya.
 Sambil rnenggembor marah Dian Ki melontarkan belasan jurus pukulan, tapi
 gerakannya tetap tertahan dan malah terdesak mundur, belum lagi sempat dia
 melakukan gerakan susulan, kawanan Tangan Hitam yang lain sama menjerit dan
 berteriak2; Liok ko roboh . . . . . . Hai kawan2, Liok ko telah ajal . . . "
 Dian Ki kaget seperti disambar geledek mendengar teriakan ramai itu, sesaat dia
 terlongong, tapi Siang Cin tidak pernah merandek sedikitpum, dengan menjengek
 tiba2 dia menyelinap maju, telapak tangan tegak miring membelah batok kepala
 orang. Bayangan pukulan berkelebat bagai setan perenggut nyawa, Dian Ki tersentak kaget,
 cepat dia menekuk pinggang seraya menunduk, berbareng kedua tangan menepuk
 ke atas. Akan tetapi ia tetap tak dapat menahan pukulan Siang Cin yang dahsyat.
 "Prak", suara tulang terpukul patah, tulang pipi Dian Ki terpukul pecah, ia terpental ke
 samping, sementara tangan kanan Sang Cin membelah pula kuduk orang, kontan
 157 Dian Ki menggelepar di tanah.
 Tanpa merandek sedikitpun, Siang Cin terus meluncur maju pula, sebilah Toa-liongkak
 tertimpuk, di mana kemilau cahaya berkelebat, lima pasang kaki orang
 yang.menerjang maju sama terbabat kutung.
 Mo Siong yang lagi melabrak Ang Siu-cu dapat melihat jelas, darah tersirap, dengan
 bola mata merah membara, sepasang goloknya berputar sekencang kitiran, mulut
 ber-kaok2 seperti serigala kelaparan, dengan kalap tanpa hiraukan diri sendiri dia
 cecar lawannya yang bersenjata bandulan ini.
 Dasar si Bandul besi Ang Siu-cu juga berwatak angkuh, kini musuh menyerang
 semakin gencar, maka bandulan emasnya juga tak mau kalah gencar dengan keras
 pula dia layani amukan Mo Siong
 Hanya beberapa gebrak saja Siang Cin yang mengamuk di sana terjang ke tengah
 rombongan kawanan Tangan Hitam, tiga puluhan orang sekaligus dibikin tunggang
 langgang, jerit tangis mereka tak terperikan, darah muncrat kemana2, sisanya yang
 masih segar lari pontang-panting, tapi segera mereka merubung maju pula dengan
 mengertak gigi dan nekat melotot penuh dendam.
 Tangan Siang Cm terpentang sebat sekali dia memburu ke arah Siang-to-toh-hun
 yang mencecar Ang Siu-cu itu, sekilas Mo Siong melirik Siang Cin, suketika
 jantungnya serasa pecah, takut tapi juga gusar dan dendam, akhirnya dia nekat,
 golok kanan dengan keras menyampuk bandulan Ang Siu-cu sementara golok di
 tangan kiri mengikuti gerakan tubuhnya melingkar miring menyelonong ke samping
 Ang Siu-cu. Thi tan Ang Siu cu berusaha menarik balik bandulannya, dengan tangan kanannya
 membelah ke dada lawan,
 Kejadian berlangsung cepat, se-olah2 baru saja mulai dan segera pula berakhir,
 belum sempat Siang Cin memburu tiba, cepat dia berteriak: "Awas Ang-heng,
 mendekam ..... . ."
 Sayang baru saja suaranya keluar dari mulut, "trot", golok Mo Siong telah menusuk
 masuk sela2 tulang iga Ang Siu cu, hampir pada waktu yang sama telapak tangan
 Ang Siu cu dengan telak juga membelah dada kiri orang. "Trang", bandulannyapun
 berhasil membentur pergi golok kanan Mo Siong, di tengah percikan lelatu api,
 kedua orang sama terpental roboh ke belakang.
 Begitu tubuh Ang Siu-cu menyentuh tanah, kawanan Tangan Hitam yang merubung
 disekitar gelanggang segera memburu maju sambil menghujani bacokan golok
 mereka. Sementara itu Siang Cin telah menerjang tiba, di mana lengannya menggaris,
 telapak tangannya menyerempet tenggorokan tiga musuh yang memburu maju,
 semburan darah segera menyemprot tinggi, sementara Siang Cin menggasak pula
 dua lawan yang lain, dua orang kawanan Tangan Hitam ini melolong keras, golok
 mereka mencelat, tulang dada patah dan remuk, jiwa melayang seketika.
 Ang Siu-cu jatuh tengkurap dengan napas kempas kempis, tangan kiri menekan luka
 pada iga kiri, tapi darah tetap merembes dari celah2 jari tangannya.
 Setengah berjongkok Siang Cin bertanya dengan cemas: "Ang heng, bagaimana
 keadaanmu?"
 Dengan suara serak Ang Siu-cu menjawab: "Sia ng . . . . . Siang-tayhiap . . . . . . .aku
 tak kuat lagi."
 Waktu berpaling ke sana, terlihat oleh Siang Cin kawanan Tangan Hitaan tampak
 memapah Mo Siong yang kelihatan bermuka pucat menuju kedalam perkampungan.
 Sambil angkat tubuh Ang Siu cu, segera Siang Cin membentak: "Mo Siong,
 serahkan jiwamu: ....." di tengah kumandang suaranya Siang Cin melayang ke sana,
 terjun ke tengah gerombolan musuh, beberapa kawanan Tangan Hitam yang
 memapah Mo Siong sama berteriak kaget, ada beberapa orang angkat golok terus
 menerjang maju.
 Sekali Siang Cin geraki tangan kanan, dua musuh melolong kesakitan dan
 menyernburkan darah segar, kematian mereka teramat mengenaskan.
 158 Mo Siong menjadi kalap dan beringas, dia dorong orang2 yang memapahnya,
 dengan langkah sempoyongan dia menyerbu maju seraya berteriak deagan suara
 serak, dua bilah goloknya memancarkan sinar kemilau membabat miring, mengarah
 leher dan dada Siang Cin.
 Mencorong bola mata Siang Cin, ia menghardik bengis: "Bayarlah hutang jiwamu,
 Mo Siong!"
 Sepasamg golok baru menyamber setengah jalan, "Nyek", tiba2 Mo Siong terpukul
 mencelat, badannya jungkir balik di udara celakanya kepalanya membentur tanah
 lebih dulu dan pecah.
 Dua orang yang memapahnya tadi berdiri melongo ketakutan, kaki mereka seperti
 berakar di bumi, tenaga untuk angkat langkah seribupun sudah tiada lagi.
 Bola mata Siang Cin merah membara melotot kepada kedua orang yang ketakutan
 ini, pelahan dia berkata: "Kalian bunuh diri saja sekarang!"-
 Tiba2 bergidik seperti tersentak bangun dari lamunan mereka, kedua orang ini putar
 badan terus hendak melarikan diri, Siang Cin mendengus sekali, di mana tangannya
 bergerak, "Serr", sebatang Toa-liong-kak dia sambitkan, terdengar kedua orang itu
 mengeluh tertahan, Toa-liong-kak tahu2 sudah berputar kembali pula ke tangan
 Siang Cin. Tanpa ayal lagi Siang Cin melompat ke atas tanggul dan turun di baliknya baru dia
 rebahkan Ang Siu-cu yang dipanggulnya, keadaan Ang Siu-cu sudah kempas
 kempis, napasnya sudah lemah dan tinggal menunggu ajal belaka.
 Menggosok telapak tangan yang gemetar Siang Cin berteriak dengan suara serak:
 "Ang-heng . .. . . . bala bantuan kalian akan segera tiba, kuatkan hatimu,
 pertahankan dirimu . . . . . . takkan lama tentu ada orang akan memberi pertolongan
 padamu" Pelahan2 membuka matanya yang pudar, wajah Ang Siu-cu yang pucat mengulum
 secercah senyum tawar, bibirnya gemetar, suaranya terdengar rendah "Mung . . . ..
 kin tak kuat lagi, Siang-tayhiap . . . . aku kuatir . . . . . . setengah hidupku
 berkecimpung di kalangan Kangouw . . . . . . hari ini memperoleh ganjaran . . . . . .
 yang setimpal, memang demikianlah . . . . . . sebab dan akibat, ini
 memang . . . . . .sudah kuduga sebelumnya . , . . , . . . "
 Menggeleng pilu Siang Cin, katanya dengan suara lirih: "Gara2ku yang tidak becus
 membantumu, Ang-heng. Ai, apa pula yang bisa kukatakan?"
 Beberapa kali tubuh Ang Siu-cu bergetar dan berkelejetan, matanya terbeliak,
 sementara sinar matanya sudah mulai pudar, Siang Cin sudah sering melihat
 keadaan macam begini, dia tahu laki2 yang gagah perwira dihadapannya ini tak lama
 lagi bakal mangkat mendahuluinya menuju alam baka.
 Tengorokannya bersuara rendah, jari tangan Ang Siu-cu yang gemetar dan terasa
 mulai dingin menggenggam kencang tangan Siang Cin, kulit mukanya berkerut,
 sekuatnya dia menarik napas, lalu berkata dengan tersendat: "Suruh . . . . , suruh
 mereka . . . . . . membawa pulang abu tulangku ke padang rumput . . . . . . . ."
 "Ya, pasti kulakukan," sahut Sing Cin.
 Ang Siu-cu berkelejetan beberapa kali, lalu tak bergerak lagi, namun bola matanya
 tetap terbelalak, matipun agaknya dia tak mau meram.
 Tanpa bersuara Siang Cin berdoa mengawasi jenazah dihadapannya, dia menghela
 napas, lalu dia pondong jenasah Ang Siu-cu dan ditaruh di tempat yang agak
 tersembunyi, lalu dia lari ke arah Bu-wi-san-ceng.
 Dinding tembok yang dibangun dari batu gunung tampak begitu tinggi dan tebal,
 musuh yang datang kemari pasti akan ciut nyalinya, tapi Siang Cin sedikitpun tidak
 gentar, dia melayang ke atas, bagai seekor burung raksasa di tengah udara dia
 meliuk dengan badan melengkung, dia melayang turun seringan daun jatuh.
 Tempat berada Siang Cin adalah sebuah serambi panjang luas yang dialasi batu
 marmer hijau, maju ke depan lagi adalah deretan rumah yang di bangun dari batu
 gunung. Tepat di tengah sana adalah ruang pendopo, delapan buah pintu yang
 diatur segi delapan dengan daun pintu terbuat dari tembaga seluruhnya terpentang
 159 lebar, cahaya lampu tampak terang benderang di dalam pendopo, di payon kiri
 kanan rumah bergantungan dua belas lampu kaca yang mengkilap, sebuah huruf
 "GI" (setia) yang besar berwarna merah darah tergantung tepat di tengah dinding
 ruangan, di bawah huruf besar ini, tepat di kaki tembok terdapat sebuah meja
 panjang, dua batang lilin besar tampak menyala terang.
 Dalam suasana segenting ini tiada tampak bayangan seorangpun didalam ruang
 pendopo ini, Siang Cin memandang ke seluruh penjuru, perhatiannya tertuju pada
 pigura besar tepat tergantung di tengah ruangan, pigura ini berwarna dasar putih,
 tanpa tulisan sehurufpun, hanya ada lukisan tangan manusia berwarna hitam yang
 kelihatannya seram.
 Agaknya baru saja berlangsung dalam ruang pendopo ini perjamuan pernikahan.
 Diam2 Siang Cin menghela napas kasihan akan nasib anak perempuan itu, juga
 merasa ikut malu pula bagi pihak Bu-siang-pay, padahal pasukan sudah dikerahkan,
 peperangan yang menimbulkan banjir darahpun telah terjadi, betapa banyak jiwa
 telah dikorbankan, memangnya apa tujuannya" Tidak lain hanya ingin melampiaskan
 rasa penasaran belaka".
 Pelan2 Siang Cin menaiki undakan dan maju ke depan, memasuki ruang pendopo,
 harumnya dupa dan baunya arak masih merangsang hidung, permadani merah
 digelar sejak dari pintu memanjang ke arah meja sembahyang di tengah ruang sana,
 suasana gembira ria masih terasakan.
 Menjelajah ke seluruh ruangan, tiada jejak mencurigakan yang ditemukan oleh Siang
 Cin, lalu dengan langkah hati2 dan penuh perhitungan Siang Cin membelok ke kiri
 menyusuri serambi menuju ke belakang, di sana terdapat sebuah kamar duduk yang
 dipajang dengan serasi dan asri.
 Kamar ini terdapat tiga buah pintu, satu di antaranya menembus ke belakang pula,
 sementara pintu di kanan-kiri menembus ke kamar lain, setelah berpikir sejenak,
 Siang Cin tidak memeriksa lebih lanjut, dia membelok ke pintu kanan.
 Di sini terdapat serambi yang liku2, di ujung serambi adalah sebuah rumah yang
 terbuat dari batu gunung pula, keadaan gelap gulita dan tidak terdengar apa2,
 dengan enteng Siang Cin meluncur ke depan, kira2 setengah perjalanan serambi
 berliku itu, tiba2 ia belok keluar serambi, sekali melenting, dia melejit tinggi dan
 hinggap di atap rumah.
 Di atap serembi panjang ini pada kedua sisinya terdapat payon yang bertalang
 tempatnya yang dekuk cukup pas untuk mendekam seorang. Segera kuping Siang
 Cin yang tajam mendengar suara "klik" sangat pelahan, payon yang kedua sisi
 terbuat dari lempengan besi itu mendadak terbalik dan mengatup, baru sekarang
 disadari oleh Siang Cin bahwa payon besi ini ternyata tajamnya luar biasa.
 Sigap sekali tangan Siang Cin menepuk ke bawah sehingga badannya mencelat ke
 atas, dikala badannya tegak kembali di atap serambi itu, hujan panahpun memapak
 dirinya. Dalam kegelapan Siang Cin masih bisa melihat bahwa hujan panah dibidik keluar
 dari barisan jendela di deretan rumah pertama ujung serambi sana, cepat Siang Cin
 melayang ke sana sembari ayun sebelah tangannya, sebuah kotak kayu warna
 merah dia timpukkan dengan deru suara yang kencang melayang masuk melalui
 jendela ke dalam rumah pertama.
 Suara kotak kayu itu jatuh dan pecah berantakan sekejap saja didengarnya
 kegaduhan mulai timbul di dalam rumah: "Waduh, O, apa ini yang menggigitku?" ---
 "Aduh biang, sakit sekali . . . . . ?" "Celaka, dari mana labah2 sebanyak ini" Aai,
 minggir, jangau kau mendesak ke arahku . . . . . . " - "To-thauling, aduh, aku
 digigit . . . . . . . .."
 Siang Cin menyeringai, mendadak ia membalik tubuh, sebuah sabuk kain berminyak
 bagai seekor ular panjang tiba2 meluncur, dengan tepat menghantam lampu kaca
 yang paling ujung. "Prang pyaaar", ditengah suara berisik berhamburnya pecahan
 kaca, suara nyala api yang segera berkobar terdengar mengerikan, sabuk minyak
 yang mengandung belerang itu seketika menimbulkan kebakaran yang hebat.
 160 Setelah menarik napas panjang, Siang Cin pentang tangan dan mengapung ke atas
 hinggap di atap paling tinggi dari bangunan itu.
 Api berkobar semakin besar di sebelab bawah, segera Siang Cin melayang ke sana
 pula, dikala hampir tiba di samping bangunan tinggi besar ini, dari arah kanan
 dilihatnya dua orang tengah baku hantam dengan sengit, keduanya bergebrak
 dengan gerak cepat dan cekatan.
 Lapat2 Siang Cin mengenali kedua orang yang lagi berhantam di atap rumah itu satu
 di antaranya adalah Poan-hou-jiu Te Yau, lawannya adalah seorang yang berjubah
 merah. Baru saja ia hendak menerjang kesana membantu Te Yau, tiba2 ia punya pikiran lain,
 umumnya orang2 kawanan Tangan Hitam, sekalipun dia seorang gembong yang
 punya kedudukan tinggi,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

^