Pencarian

Bukit Pemakan Manusia 4

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 4


tari seluruh tanah perbukitan, kalau memang sudah melihat miniaturnya, buat apakah
pula?" "Betul, perkataanmu memang masuk diakal" sela pemuda itu, "sudah
pasti mereka mempunyai suatu hubungan rahasia yang tidak boleh
diketahui orang lain!" Chin Hui hou menghela napas panjang. "Aaaa .... harap kongcu
maklum, setelah menunjukkan gejala yang serba mencurigakan ini, masih beranikah hamba membicarakan soal
terlukanya diri hamba ini kepada nona" seandainya kau tidak percaya,
sebentarhamba akan pergi mencoba, tanggung bukan saja nona tak akan
membelai diri hamba, sebaliknya justru akan memberi pelajaran dan
peringatan kepada diriku!" Pemuda itu mengerutkan alis matanya kencang-kencang, kemudian
berkata: "Cin Hui hou, kalau begitu cobalah pergi melapor kepadanya" Setelah
berhenti sejenak, kembali ia berkata: "Kepulanganku kali ini diketahui
siapa lagi?" Chin Hui hou menggelengkan kepalanya berulang kali.
Dengan cepat pemuda itu berbisik lagi: "Simpan rahasia ini baik, aku
hendak melakukan penyelidikan secara diam diam! Nah..! sekarang kau boleh pergi!" Dengan riang
gembira Chin hui hou beranjak pergi, dia bersyukur
karena siasat liciknya berhasil. Sepeninggalan Chin hui hou, pemuda
itupun menggerakkan tubuhnya meninggalkan tempat itu, sekejap kemudian bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB SEMBILAN PERJAMUAN malam yang diselenggarakan pada malam ini boleh
dibilang merupakan suatu perjamuan yang istimewa. Tempatnya
didalam ruangan tengah perkampungan keluarga Beng, tamu dan tuan
ru mah berjumlah empat orang. Tuan rumahnya adalah Beng Liau-huan dan nona, sedang tamunya
tentu saja Bauji dan Sun Tiong lo. Pelayan yang melayani arak selama perjamuan adalah Beng Seng,
perjamuan berlangsung dengan riang gembira.
Sikap Bauji juga mengalami banyak perubahan, sekalipun dalam
sepuluh pertanyaan yang diajukan dia hanya menjawab tiga empat
buah, namun sikapnya terhadap orang lain tidak sedingin semula.
Dalam perjamuan tersebut, sambil tertawa nona itu bertanya pada Sun
Tiong lo. "Kongcu, setelah melihat keadaan dari tanah perbukitan tersebut,
bagaimanakah perasaanmu ?" Sun Tiong lo tertawa. "Bukit ini boleh dibilang sangat berbahaya dan
mengerikan sekali" sahutnya. Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya: "Cuma belum
bisa dibilang benar-benar dapat makan manusia !" Nona itu cuma
berseru pelan dan tidak bicara lagi. Beng Seng yang berada disisinya
segera menyela: "Kongcu, mengertikah kau kenapa bukit ini dinamakan
Bukit Pemakan Manusia "!" Sun Tionglo menggelengkan kepalanya berulang
kali. "Justeru aku ingin mengajukan pertanyaan ini kepada nona !"
katanya. Beng Seng memandang sekejap ke arah si nona, akhirnya dia
batalkan niatnya untuk berbicara. Saat itulah Beng Liau-huan segera
berkata. "Bolehkah lohu mengajukan satu pertanyaan kepada Kongcu ?" "Silahkan
cengcu !" kata Sun Tiong lo dengan sungkan.
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh Beng Liau huan
berkata: "Sekarang kongcu sudah memahami peraturan tempat ini terhadap tamu
dari luar, dikala batas waktu kongcu menjadi tamu agung di tempat ini
sudah habis dan harus melarikan diri nanti, ada harapankah bagi kongcu
untuk kabur dari sini dengan selamat, terutama setelah kau saksikan apa
adanya di atas bukit ini ?" Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Aku tidak lebih cuma seorang sastrawan, jangankan bukit ini memang
berbahaya sekali, sekalipun aku diperbolehkan pergi dengan begitu saja
belum tentu aku mampu untuk menyeberangi jeram tersebut dengan
begitu saja." "Oooh... kalau begitu, setelah batas waktu kongcu menjadi tamu agung
telah habis, apa rencana kongcu selanjutnya ?"
Sun Tiong lo segera menghela napas panjang. "Aaaii... mungkin
terpaksa menunggu tibanya saat kematianku !" "Seandainya
benar-benar begitu, bukankah kongcu benar-benar
akan di lalap oleh bukit ini !!!" kata Beng Liau huan dengan kening
berkerut. Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali ujarnya: "Bukit
tak bisa makan manusia, tapi samudra dapat menelan
manusia, seandainya aku benar-benar harus mati setelah batas waktuku
menjadi tamu agung disini habis, maka kematianku itu di sebabkan oleh
sekawan manusia jahat, dengan bukitnya sendiri sama sekali tak ada
sangkut pautnya." "Kongcu, kau menuduh ayahku adalah orang jahat"!" tegur sinona
dengan kening berkerut. Dengan wajah serius Sun tionglo berkata:
"Bila aku bicara terus terang nanti, diharap nona jangan marah, terus
terang saja ayahmu adalah manusia yang amat jahat, bahkan
merupakan pemimpin dari sekawanan manusia jahat dia adalah
gembong iblis pembunuh manusia!"
Mendengar perkataan itu, sinona segera bangkit berdiri dari tempat
duduknya, dan dengan suara dalam serunya.
"Besar benar nyalimu, sungguh berani mengucapkan kata-kata seperti
itu ... !" Sun Tionglo tertawa. "Jangan marah dulu nona, terlebih dulu aku
mohon maaf kepadamu nona dan lagi, nonapun jangan lupa, sekarang aku masih
tamu agung dari bukit kalian!"
Nona itu mendengus. "Sekalipun begitu, pantaskah kau memberi
keritikan terhadap tuan rumahnya ?" "Aku rasa ini sudah seharusnya !" jawab pemuda itu
sambil tertawa hambar. Nona itu segera mencibirkan bibirnya, dengan tidak
senang hati dia berseru: "Seharusnya begitu " Kenapa ?" Sun Tiong lo tertawa.
"Kalau toh diduiia ini terdapat tuan rumah yang menghormat
tamunya sebagai tamu agung lebih dulu, kemudian setelah lewat batas
waktunya menjegal tamu agungnya dengan sekehendak hati, maka
sudah sepantasnya jika di dunia inipun terdapat tamu agung yang
makan makanan tuan rumah, minum minuman tuan rumah, tapi
mencaci maki pula tuan rumah."
Mendengar ucapannya yang mencampur baurkan antara kata "tuan
rumah" dengan "tamu agung" itu, lama kelamaan nona itu menjadi geli
sendiri sehingga akhirnya tertawa cekikikan.
Setelah tertawa, berkatalah nona itu: "Pandai benar kau berbicara,
bagaimana kalau kita jangan mempersoalkan masalah ini lagi ?"
Sun Tiong lo juga turut tertawa. "Betul, sekarang adalah waktunya
untuk bersantap, kita memang tidak boleh berbicara lagi!" Maka semua orangpun mulai bersantap dan
tidak berbicara apaapa lagi. Senda gurau antara Sun Tiong lo dengan si nona, serta
sebutan mereka yang menggunakan istilah "kita" dengan cepat membuat se
orang pemuda yang bersembunyi diluar jendela menjadi mendongkol
setengah mati hingga dadanya hampir saja meledak.
Selesai bersantap dan air teh dihidangkan dengan supel nona itu
berkata kepada Sun Tiong lo: "Kongcu, masih ingatkah kau akan satu persoalan?" Sun Tiong lo
menggelengkan kepala berulang kali. "Sayarg daya ingatanku jelek
sekali, tolong nona suka mengingatkannya kembali."
Dengan mata melotot nona ini mendelik sekejap kearah Sun Tiong lo,
kemudian serunya. "Hei, kau benar-benar tidak ingat, ataukah pura-pura berlagak tidak
ingat"!" "Harap nona mdi memaafkan, aku benar benar kelupaan!" "Hmm!
Agaknya kau tidak ada urusan lagi yang hendak
dibicarakan denganku sekarang?" Mendengar perkataan tersebut,
dengan cepat Sun Tiong lo memahami kembali maksud perkataan dari nona itu, cepat dia tertawa.
"Aaah . .. tidak, tidak, nona, sekarang aku sudah teringat kembali..."
"Kalau begitu katakan sekarang, atau lebih baik kita berpindah tempat
saja ?" Dengan sorot matanya Sun Tiong lo memperhatikan nona itu sekejap,
ketika dilihatnya nona itu memang berminat untuk berganti tempat,
maka sahutnya: "Yaa... urusan ini memang menyangkut urusan pribadi, aku berharap
kita bisa berganti tempat saja!"
Nona itu pura-pura termenung sejenak, kemudian diapun mengangguk
"baiklah!" Kepada Beng liau huan katanya kemudian: Beng cengcu, tolong
pinjam sebentar kamar baca dari cengcu itu,
boleh bukan?" Tentu saja Beng Liau huan tidak berani menampik,
sahutnya: "Aaaah, nona terlalu sungkan, biar lohu suruh Beng Seng
membersihkannya lebih dulu." "Tidak usah merepotkan Beng Seng, aku
hanya pinjam sebentar saja." Seraya berkata dia lantas beranjak dan meninggalkan tempat
itu.... Sun Tiong lo sendiriput dengan cepat mengerling sekejap kearah
Bau-ji, lalu setelah meminta maaf kepada Beng Liau huan, denganmengikuti
di belakang nona berjalan menuju kesebuah ruangan
disebelah kanan ruangan tengah. Beng Liau huan tidak tahu apa yang terjadi, memandang bayangan
punggung dari Sun Tiong lo, tiba-tiba gumamnya:
"Mata yang jeli memang pandai memilih mana yang enghiong, sancay,
siancay !" Dengan sikap acuh tak acuh Bauji mendengus dingin.
"Hmm, saudara Sun memang enghiong, tapi mata sinona itu belum
tentu jeli...!" katanya. Beng Liau huan memandang sekejap kearah Bauji, kemudian katanya :
"Kongcu, kau berasal dari mana ?"
Pokok pembicaraan telah dialihkan ke masalah lain, tampaknya dia
bermaksud untuk mengajak Bau ji berbincang-bincang.
Sekarang Bau Ji sudah mengetahui kedudukan yang sebanarnya dari
Beng Liau huan dengan pelayannya, oleh karena itu sikapnya terhadap
Beng Liau huan saat ini juga jauh berbeda sekali.
Mendengar pertanyaan tersebut, dia lantas menjawab: "Aku tinggal
di ibu kota !" Beng Liau huan tertawa kembali ujarnya: "Jika kongcu
bersedia memaafkan kecerobohan lohu, ingin sekali
lohu mengajukan satu pertanyaan lagi !" "Aaaah, mana aku berani, bila
cengcu ada pertanyaan, silahkan saja diutarakan." Beng Liau huan memandang sekejap kesekeliling
tempat itu, kemudian sambil merendahkan ucapannya dia bertanya: "Karena soal
apakah kongcu berkunjung ke atas bukit ini ?" "Soal ini...." sepasang alis
Bau ji segera berkenyit kencang. Dia benar-benar merasa tak mampu
untuk melanjutkan perkataannya, diapun merasa tak bisa tidak untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan Beng Liau huan kepadanya itu, maka setelah
mengucapkan kata "soal ini", ia menjadi terhenti dan selama beberapa
saat lamanya tak sanggup melanjutkan kembali kata- katanya.
Beng liau huan adalah seorang jago kawakan yang sudah lama
melakukan perjalanan didalam dunia persilatan tentu saja dia pun dapat
mengetahui kesulitan orang, maka dengan perasaan minta maaf
katanya: "Lohulah yang salah, tidak seharusnya mengajukan pertanyaan yang
menyusahkan diri kongcu." Belum habis dia berkata, Bau ji telah menyambung. "Aku datang kemari
untuk beradu untung!" Jawaban ini sama sekali diluar dugaan Beng Liau huan, untuk beberapa
saat dia sampai tertegun dibuatnya.
"Adu untung apa?" Bau jl tertawa. "Ada orang yang hilang disini, aku
bertanggung jawab untuk menemukannya kembali, sudah setahun lamanya seluruh dunia
persilatan kujelajahi tanpa hasil, kata teman, kemungkinan besar orang
itu berada dibukit pemakan manusia...."
"Siapakah nama orang yang sedang kongcu cari itu?" tanpa terasa Beng
Liauhuan bertanya lagi. Mendengar perkataan itu, satu ingatan dengan cepat melintas didalam
benak Bau ji, sahutnya kemudian: "Orang itu she Kwan aku rasa cengcu
tak akan kenal dengannya !" Beng Liauhuan segera tertawa getir.. "Sudah puluhan tahun lamanya
lohu berdiam disini, tidak sedikit orang yang pernah ku jumpai selama ini, ada yang temanku, ada pula
yang merupakan musuh lohu, karena itu aku berniat untuk menanyakan
nama dari orang yang sedang dicari kongcu itu.
"Apakah ada yang she Kwa ?" sela Bau ji. Beng liau huan segera
menggeleng "Maaf, tidak banyak orang
yang berasal dari marga itu, seandainya ada, lohu pasti akan teringat
selalu!" Dengan perasaan kecewa Bau ji berseru tertahan lalu tidak berbicara
apa-apa lagi. Terdengar Beng Liau huan kembali bertanya:
"Apa hubungan kongcu dengan sahabat Kwa itu" "Dia adalah
seorang bekas anak buah mendiang ayahku!" jawab
Bau ji tanpa berpikir panjang lagi. "Aaah !" Beng liau huan segera
berseru kaget, "kalau begitu ayahmu juga seorang bu lim!" Sambil menggeleng Bau ji menukas:
"Bukan, mendiang ayahku adalah seorang sekolahan." "Ooh... kalau
begitu, sahabat Kwa juga seorang manusia yang
tidak mengerti akan ilmu silat?" Kembali Bau-ji menggeleng. "Tidak,
orang ini memiliki kepandaian silat yang sangat luar
biasa" sahutnya. Beng Liau-huan segera mengerdipkan matanya
berulang kali, kemudian ujarnya: "Dapatkah kongcu memberitahukan kepada ku, ada
urusan apa kau hendak mencarinya?" "Benda-benda wasiat milik mendiang ayah ku
disimpan ditempatnya." "Ooooh tidak aneh kalau kongcu sampai menyerempet
bahaya berkunjung kebukit ini" kata Beng Liauhuan sambil tertawa. Sesudah
berhenti sebentar, lanjutnya: "Mula-mula lohu mengira masih bisa
mem-bantu mu, siapa tahu . .. terpaksa aku meminta maaf." "Aaaah... tidaklah menjadi soal," kata
Bauji sambil tertawa. "aku percaya cepat atau lambat suatu hari nanti orang itu pasti dapat
kutemukan kembali!" Beng Liau huan memandang sekejap ke arah Bau-ji, kemudian dengan
mengandung maksud lain katanya: "Lohu dengar ketika menyerbu ke atas bukit ini kongcu kena ditangkap
dan tinggal di sini sebagai tamu agung, itu berarti kepandaian silat yang
kongcu miliki lihay sekali..."
"Tidak terhitung-lihay-" tukas Bau-ji, "kalau tidak, tak nanti aku sampai


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kena ditangkap!" Beng liau-huan mengerutkan dahinya, kemudian berkata: "Maaf lohu
akan banyak-berbicara, bila batas waktu kongcu
menjadi tamu agung telah habis, kau harus kabur dari sini, apakah kau
sudah mempunyai sesuatu rencana untuk melarikan diri dari tempat ini
?" Satu ingatan segera melintas dalam benak Bau-Ji, katanya: "Aku
sama sekali belum melakukan persiapan apa-apa" Setelah berhenti
sejenak, dengan suara rendah terusnya: "Apakah cengcu hendak
memberi petunjuk kepadaku ?" Beng Liau huan menggeleng sambil
menghela nafas sedih, sahutnya. "Lohu tak lebih hanya seorang manusia cacad yang tak
berguna, seandainya aku mempunyai cara yang bagus, buat apa aku mencuri
hidup sampai sekarang" Apalagi belasan tahun belakangan ini..."
Mendadak ia berhenti berbicara dan mengalihkan sinar matanya keluar
pintu ruangan. Waktu itu Bau-ji duduk disisi pintu ruangan, melihat itu diapun turut
berpaling ke sebelah kanan. Ternyata Congkoan Chin Hui hou entah sedari kapan sudah berdiri
disana dengan wajah menyeramkan. Bauji segera mendengus dan melengos ke arah lain, dengan langkah
lebar Chin Hui hou segera melangkah masuk ke dalam.
Ia berhenti pada lebih kurang tiga jengkal dihadapan Beng Liau huan,
kemudian dengan suara dalam serunya.
"Beng cengcu, apakah kau tidak merasa sudah terlalu banyak
berbicara?" "Lohu justru ucapanku terlampau sedikit." jawab Beng Liau huan sambil
mengelus jenggot. Chin hui hou mendengus dingin. "Beng cengcu, lohu nasehati dirimu
lebih baik bersikaplah cerdik sedikit, jangan menganggap ada orang yang menyanggah dirimu dari
belakang, maka kau boleh berbicara secara sembarangan dan
ketahuilah bencana itu datangnya dari banyak mulut!"
"Beng liau huan, apakah kau masih mendendam terhadap peristiwa
dimasa lalu?" seru Chin hui hou dengan alis mata berkernyit dan sinar
mata memancarkan cahaya buas. Beng Liau-huan melotot besar. "Sekalipun demikian, mau apa kau?"
"Heeeeh .. :, heehh .., . heeehh Beng Liau huan, kau tahu bukan
saat ini Sancu tidak berada diatas bukit"!" "Sebelum meninggalkan bukit
ini, sancu telah berbicara lama sekali denganku, dia bilang hendak pergi meninggalkan bukit dan lebih
kurang puluhan hari kemudian baru kembali, jadi tak usah kau
peringatkan lagi kepadaku." "Kalau begitu, kau harus lebih mengerti lagi, bila melanggar peraturan
bukit dalam saat seperti ini adalah suatu peraturan yang paling
berbahaya sekali !" Beng Liau huan mendesis sinis. "Memangnya congkoan berani
membunuh diriku" "ejeknya. "Heehh....heeh....heeh... lohu tidak
mempunyai hak untuk melakukan perbuatan tersebut, tapi masih ada orang lain yang sanggup
untuk melakukannya." "Mengapa congkoan tidak berkata langsung kepada nona." tukas Beng
Liau huan. Chin Hui hou tertawa sinis, tukasnya pula: "Menurut pendapatmu,
apakah nona mirip seseorang yang bisa
membunuh orang?" Mendengar perkataan itu, Beng Liau huan
merasakan hatinya bergerak, kemudian katanya. "Lalu siapa yang bisa" Lebih baik suruh
dia untuk mencobanya di hadapanku !" Chin Hui hou tidak langsung menjawab perkataan itu,
cuma dengan sepasang-sinar mata yang sukar dilukiskan dengan katakata-
memandang sekejap ke arah Beng Liau huan, kemudian setelah
tertawa. "Baik-silahkan cengcu-mundur ke belakang."
Sejak tadi Bau ji sudah merasa tidak leluasa menyaksikan sikap
maupun tindak tanduk dari Chin Hui-hou, dengan-suara-dingin- segera
serunya keras. "Kau hendak ke mana?" Mendengar teguran tersebut Chin Hoi hau
merasa tertegun, kemudian dengan kening berkerut sahutnya. "Apakah kau sedang
bertanya kepada lohu ?" Bau ji mendengus dingin, "Yaa kongcu mu
memang sedang bertanya kepadamu." Chin Hui hou segera mendongakkan kepalanya
dan tertawa terbahak-bahak. "Haahh..., haah....hah.. kau bertanya lohu akan
kemana" Hahh. .haahh...haahh.... memangnya kau berhak untuk mengajukan
pertanyaan tersebut ?" "Kongcumu setelah berani bertanya tentu saja merasa berhak untuk
mengajukan pertanyaan itu !" Mencorong sinar buas dari balik mata Chin Hui hou, serunya.
"Orang she Sun, kau anggap dirimu itu seorang pemimpin dari bukit ini
!" Bau-ji sama sekali tidak menanggapi ucapan tersebut, sebaliknya
malahan berkata. "Chin Hui hou, kongcumu hanya akan memberitahukan kepadamu,
sekarang nona kalian sedang berada dibelakang dan merundingkan
sesuatu dengan Sun kongcu tersebut."
Perasan Chin Hui hou segera tergerak setelah mendengar perkataan itu
selanya: "Kenapa pula kalau begitu?"
"Itu berarti, pada saat ini ada baiknya kau jangan mengusik nona
"kalian itu!" Chin Hui hou tidak menyangka kalau Bau-ji bisa mengucapkan kata kata
seperti itu, untuk sasaat lamanya dia tak tahu-bagaimana harus
menjawab perkataan tersebut. Sementara dia masih kebingungan terdengar Bau ji berkata lagi setelah
tertawa dingin: "Apalagi kongcu mu memang ada persoalan hendak dibicarakan dengan
dirimu!" Menggunakan kesempatan ini Chin Hui hou segera memutar kemudi
mengikuti hembusan angin, katanya dengan cepat:
"Katakan, kau ada urusan apa?" Seraya berkata dia lantas
mengambil bangku dan duduk, betul juga, ia tidak berani mengusik nonanya. Bauji melirik sekejap kearahnya,
kemudian berkata: "Sore tadi, bukankah kita berjalan jalan di bukit
bagian belakang?" "Benar, memang bukit bagian belakang!" "Besok pagi pagi,
kongcu mu hendak melakukan pemeriksaan
dibukit sebelah depan, kali ini kita harus bisa menjelajahi
seluruh tanah perbukitan itu dan kau akan tetap sebagai petunjuk jalannya, aku
minta kau jangan melupakannya."
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou segera mendengus dingin.
"Maaf, besok aku tak dapat menemani!" sahutnya. Sengaja Bauji
melototkan sepasang matanya bulat-bulat,
kemudian berseru: "Kalau memang begitu, katakan sendiri kepada
nona." Chin Huihou sama sekali tidak menjadi takut, malahan dia tertawa terkekeh.
"Heehh....heehh.. .heehh....aku kuatir kali ini nona tak bisa
mencampuri urusan ini lagi." Bau ji tertawa dingin. "Kau bersedia pergi
atau tidak, atau nonamu bisa mencampuri
urusan ini atau tidak, semua nya adalah persoalan kalian sendiri,
pokoknya kongcumu telah memberitahukan kepadamu, bila besok tak
ada yang jadi petunjuk jalan..."
"Kalau tak ada yang menjadi petunjuk jalan, mau apa kau?" sela Chin
Hui hou. Bau ji mendengus dingin. "Kongcumu bisa berbuat apa, lihat saja sampai waktunya nanti !"
Chin Hui hou segera tertawa lebar. "Kalau memang begitu, kita
buktikan saja setelah sampai pada waktunya nanti, maaf, aku tak bisa menemani lebih jauh." Di tengah
pembicaraan tersebut, sekali lagi Chin hui hou bangkit
berdiri dan beranjak dari ruangan tersebut. Dengan sorot mata yang
tajam Bau ji awasi bayangan punggungnya Chin hui hou sehingga lenyap dari pandangan mata, dia
merasa sikap orang tersebut pada malam ini sangat istimewa sekali.
Agaknya Beng liau huan juga telah melihat kalau gelagat tidak beres,
menanti bayangan tubuhnya dari Chin hui hou sudah lenyap dari
pandangan matanya dia baru berbisik kepada Bauji.
"Sun kongcu, tidakkah engkau melihat kalau tindak tanduk keparat itu
kiranya agak mencurigakan?" "Yaaa, tampaknya dia seperti mempunyai tulang punggung baru yang
menunjang dirinya dari belakang!" sahut Bau ji dengan kening berkerut
kencang. Dengan nada yang semakin merendah, Beng Liau huan berbisik
kembali: "Sun kongcu, ada satu hal lupa lohu kemukakan karena semula merasa
tidak penting, tapi seandainya tua bangka she Chin itu benar-benar
sudah memiliki tulang punggung baru, maka lohu bisa menduga
siapakah orang itu !" Ketika dilihatnya sikap Beng Liau-huan berubah menjadi serius sekali,
Bau ji segera dapat merasakan juga berapa seriusnya persoalan itu,
dengan memperendah pula dia bertanya.
"Siapakah orang itu?" "Kakak angkatnya nona, dia adalah murid
paling tua dari Sancu bukit ini, konon merupakan keponakan angkat dari Sancu sendiri !"
"Oooh... siapakah nama orang ini" Apakah kekuasaannya jauh
diatas kekuasaan nona?" "Orang ini she Khong bernama It hong,
kepandaian silat dan tenaga dalam yang dimilikinya sudah mendapat seluruh warisan
langsung dari sancu, kehebatannya memang jauh diatas kepandaian
nona, lagipula hatinya kejam, buas dan tidak berperi kemanusiaan!"
Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Oleh karena dia adalah murid
tertua dari Sancu, lagipula masih terhitung keponakan Sancu sendiri, ilmu silatnya juga sangat lihay, maka
sejak beberapa tahun berselang, tiap kali Sancu pergi
meninggalkan bukit karena ada urusan, kekuasaan yang palingbesar-
diatas-bukit inipun diserahkan kepadanya."
"Tapi, bagaimanapun juga, sikapnya terhadap nona tentunya tak berani
sewenang-wenang bukan?" tanya Bauji.
"Bagaimanakah keadaan yang sebenarnya tak seorang manusiapun yang
tahu tapi menurut pengamatan lohu selama banyak-tahun--belakangan
ini, aku rasa ada kemungkinan-besar Sancu ingin menjodohkan nona
kepada Khong It hong." "Oooh... begitukah jalan ceritanya " Sungguh membuat hati orang
merasa tidak habis mengerti." tukas Bauji dengan wajah yang tertegun.
Beng Seng yang berdiri di samping segera menimbrung pula dengan
suara rendah: "Apanya yang perlu diherankan. Sancu ada minat untuk menjodohkan
nona kepada Khong It-hong, mesti belum diucapkan secara
terang-terangan, tapi diam-diam agaknya masing-masing pihak sudah
setuju, baik nona mau pun Khong It-hong sendiri juga mengetahui akan
hal ini." Sesudah berhenti sejenak, kembali ujarnya. "Bagaimanakah watak serta
perangai dari orang she Khong tersebut ?"
"Seperti apa yang telah telah lohu katakan tadi, orang ini berhati
kejam, buas dan tidak berpenkemanusiaan !"
"Apakah nona tidak salah memilih orang?" tanya Bauji dengan kening
berkerut. Beng Seng segera menghela nafas panjang, "Aaaai....nona berwatak
halus berbudi dan lagi cerdik, cuma saja....cuma saja..."
Ia tak dapat melukiskan kesulitan yang sedang dihadapi nonanya, maka
sampai setengah harian lamanya dia masih tak mampu untuk me
lanjutkan kembali kata-katanya itu.
Terdengar Beng Liau huan berkata pula, "Pertama, nona terpengaruh
oleh desakan ayahnya. kedua, wajah Khong It hong
terhitung lumayan juga, kecuali dengan mata kepala sendiri ia saksikan
kebuasan, kekejian dan kebusukan sifat orang itu, rasanya memang
sulit untuk menemukan kejahatan serta kebusukan-nya itu.
"Hal ini ditambah lagi semenjak kecil nona sudah hidup di bukit yang
terpencil kecuali Khong It hong seorang, boleh dibilang dia tak pernah
bertemu dengan pemuda tampan lain-nya, lama kelamaan tentu saja tak
bisa dihindari akan tumbuh rasa cinta dalam hatinya, atau tegasnya saja
sikap nona selama ini hanya terpengaruh belaka di lingkungan
keadaannya." Bau ji termenung beberapa saat lamanya. kemudian
bertanya lagi. "Sampai dimanakah kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki orang
she Khong itu ?" Beng Liau huan menggelengkan kepalanya berulang kali. "Susah untuk
dibicarakan." katanya, "berbicara dengan
kepandaian silat yang kumiliki dahulu, paling banter aku cuma bisa
bertahan lima puluh gebrakan saja, sekalipun kukerahkan segenap
kepandaian silat yang kumiliki untuk melangsungkan pertarungan mati
hidup, paling banyak juga masih bisa bertahan sepuluh gebrakan lagi !"
Bau ji merasakan hatinya tergerak, cuma ia tidak berbicara apa- apa
lagi. Saat itulah Beng Seng kembali berkata, "Sun kongcu kemungkinan
besar dugaan majikanku itu benar, seandainya Khong Ithong tidak secara tiba tiba kembali ke gunung,
sekali pun Chin Hui hou bernyali lebih besarpun, dia tak akan berani
mengucapkan perkataan seperti tadi itu."
"Oooh... kalau memang orang she Khong itu sudah kembali ke gunung,
kenapa tidak tampak dia munculkan diri ?"
Tiba-tiba Beng Liau huan berseru tertahan, dia segera berpaling ke
arah Beng Seng seraya berkata: "Kau cepat ke belakang dan undang nona kemari, katakan kalau aku
ada urusan penting hendak dibicarakan dengannya."
Beng Seng dapat memahami maksun hati tuannya, dengan cepat dia
mengangguk. "Benar, benar, kalau tidak cepat cepat ke sana, bisa jadi akan
mengakibatkan keadaan yang lebih fatal!"
Selesai berkata dia lantas lari menuju ke belakang. Dibelakang
ruangan itu terdapat sebuah kamar baca yang
biasanya hanya digunakan oleh Beng Liau huan pribadi, ketika itu nona
sedang duduk berhadapan dengan Sun Tiong lo sambil berbincang
bincang, kedua belrh pihak saling bergurau dengan sikap yang amat
santai, seakan-akan berhadapan dengan teman lama saja.
Cuma sayang selama ini mereka bicarakan tidak lebih hanya merupakan
kata-kata ringan saja yang sama sekali tidak penting.
Sesudah berlangsung sekian lama, akhirnya nona baru mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal yang sebenarnya, dia berkata.
"Sekarang, sudsh sepantasnya kalau kuaju-kan beberapa buah syarat
kepadamu." Sun Tiong lo tertawa.
"Nona berbudi luhur, berjiwa kesatria dan gagah perkasa, Apakah nona
tidak merasa bahwa untuk menjaga rahasia saja harus mengajukan
pertukaran syarat adalah perbuatan seorang anak kecil ?"
Nona itu tertawa. "Anak kecil atau orang dewasa, apalah bedanya.
Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Maaf kalau mengucapkan kata-kata
yang lebih berani lagi seandainya nona tetap bersikeras untuk mengajukan syarat untuk


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjaga rahasia tersebut, maka perbuatan nona ini pada
hakekatnya merupakan suatu ancaman dan juga merupakan suatu
perbuatan curang yang ingin memanfaatkan keadaan orang!"
"Sekalian demikian apakah tidak boleh?" Dengan perasaan apa boleh
buat Sun Tiong-lo mengangkat bahunya.
"Kalau nona tetap berkata demikian, akupun tidak bisa berbuat apa-apa
lagi" "Nah kalau begitu tentunya kau sudah siap mendengarkan syaratku
bukan?" Kata si nona sambil tersenyum.
"Ehmm, silahkan kau ucapkan!" Si nona itu melirik sekejap ke arah
Sun Tiong lo, kemudian katanya. "Syaratku sederhana sekali, aku hanya ingin tahu keadaan
yang lebih jelas lagi !" Sun Tiong lo mengeruikan alis matanya rapat-rapat,
kemudian berkata. "Keadaan yang sebenarnya rumit sekali, terus terang saja
kurasakan nona, ada sementara persoalan bahkan aku sendiri tak
memahami." "Jadi kau tetap enggan untuk berbicara?" kata si nona dengan wajah
serius. Dengan wajah serius pula Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya
berulang kali. "Walaupun aku tak berani mengatakan sangat memegang janji, tapi
selamanya akupun enggan untuk mengingkari janji !"
Tiba-tiba si nona tertawa. "Aku percaya kepadamu, kalau begitu
katakan saja semua yang kau ketahui.!" Baru saja dia akan menjawab, mendadak timbul
kewaspadaan didalam hatinya dengan bersungguh2 katanya kepada sinona.
"Nona, sesungguhnya cerita ini adalah suatu peristiwa tragedi yang
penuh dengan kesedihan, nona, tak ada gunanya kau mengetahui akan
peristiwa ini, apalagi menyinggung kembali peristiwa tersebut hanya
akan membangkitkan kembali rasa sedih di dalam hatiku."
"Benarkah demikian?" tukas si nona dengan kering berkerut. Sun
Tionglo menghela napas sedih, katanya: "Nona, aku telah memberi
janji kepadamu sekarang akupun telah
memberi jaminan kepada sinona, cepat atau lambat pada suatu ketika
aku pasti akan memenuhi janjiku ini..."
"Kalau begitu yaa sudahlah !" ujar si nona sambil menggigit bibirnya
kencang-kencang. Setelah berhenti sebentar, katanya lebih jauh: "Cuma kau jangan
lupa, kau hanya punya waktu tiga hari lagi
menjadi tamu agung disini" Terima kasih atas peringatanmu nona, aku
sudah mengerti." "Apa rencanamu kemudian ?" tanya si nona dengan
wajah bersungguh-sungguh. Sun Tionglo segera tertawa. "Nona harus tahu,
kemungkinan-kemungkinan apa yang bakal
kulakukan ?" Buat seorang sastrawan lemah yang sama sekali tak
berkepandaian apa-apa macam aku ini, selain menuruti takdir, apa pula
yamg masih bisa kulakukan." "Sun kongcu, aku harap buku-buku yang pernah kau baca itu bukan
cuma pernah dibaca secara sia-sia belaka !" tukas sinona dengan
perasaan tak senang.. Sun Tionglo sengaja berlagak seakan-akan tidak mengerti serunya
kemudian: "Nona, apa maksud dari perkataanmu itu " Apakah kau bisa memberi
penjelasan" Aku benar-benar tidak mengerti !"
"Kalau banyak buku yang dibaca, seharusnya makin banyak persoalan
yang dipahami, bila banyak persoalan yang diketahui, tentu saja mampu
untuk membedakan mana orang baik dan mana orang jahat bagaimana
pendapat kongcu tentang hal ini?" tanya si nona..
Sun Tiong lo segera tertawa. "Aku tidak mengerti dengan perkataan
dari nona itu, seperti misalnya urusan yang baru saja terjadi, andaikata nona menaruh curiga,
terpaksa akupun akan mengesampingkannya, setelah sampai harinya
baru kuberi penjelasan lebih jauh."
"Bagaimana kalau begini saja" kata si nona tiba-tiba sambil
mengerdipkan matar "bila aku mengangguk dan kongcu juga
mengangguk, aku memahami maksudmu itu, sebaliknya jika kongcu
menggelengkan kepalanya, aku juga percayai bagaimana?"
Berbicara sampai disitu, tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu lagi
dia lantas mengangguk lebih dulu, kemudian sambil mementangkan
sepasang matanya yang jeli dia awasi wajah Sun Tiong lo tanpa
berkedip. Dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, Sun Tiong lo juga
segera mengangguk. "Kalau begitu akupun menjadi lega" kata si nona merdu. Setelah
berhenti sebentar, dia berkata lagi: "Cuma, sekalipun begitu kau juga
harus mempunyai persiapan ?" Baru saja Sun Tiong lo hendak
menjawab, Beng Seng telah mengetuk pintu dan masuk ke dalam, serunya: "Nona, cengcu kami
ada urusan penting yang hendak dibicarakan
dengan nona !" Dengan kening berkerut dan wajah tak senang, si
nona berseru: "Ada urusan apa " Apakah musti dibicarakan sekarang juga ?" Pada
saat itulah dari sisi telinga Nona itu berkumandang suara
bisikan seseorang dengan ilmu menyampaikan suara. "Nona, mengapa
kau tidak maju ke depan untuk melakukan
pemeriksaan" Coba lihat, di belakang jendela dalam kamar baca ini ada
sesosok bayangan manusia yang sedang menyadap pembicaraan kita,
orang ini sudah tiba cukup lama, tenaga dalamnya juga lihay sekali,
harap nona suka berhati-hati !"
Kebetulan sekali, Beng Seng juga sedang menjawab ketika itu.
Mendadak mencorong sinar aneh dari balik mata si nona, dia
memandang sekejap ke arah wajah Sun Tiong lo dengan sorot mata
penuh tanda tanya. Tapi sikap Sun Tiong lo acuh, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu,
seperti juga ia tak tahu akan gerak gerik dari si nona.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, si nona pun berkata.
"Baiklah, kau boleh pergi duluan, sebentar aku datang !"
Dengan amat menghormat Beng Seng mengiakan lalu beranjak pergi
meninggalkan dari tempat itu. Sepeninggal pelayan tua Beng Seng, si nona baru berkata kepada Sun
Tiong lo: "Barusan, apa yang sedang kau pikirkan "!" Sun Tiong lo berlagak
seakan-akan tidak mendengar perkataannya itu, wajahnya masih tetap
kaku tanpa emosi Nona itu segera mengerutkan dahinya, mendadak dia membalikkan
badan dan langsung menerjang ke mulut jendela dibelakang ruang baca
tersebut. Khong It-hong yang menyembunyikan diri di luar jendela, sama sekali
tidak menyangka sampai kesitu, tentu saja diapun tak sempat untuk
menghindarkan diri. Begitu mengetahui siapa yang berada disitu dengan wajah sedingin salju
nona itu segera menegur: "Khong It-hong, sebenarnya apa maksudmu?" Merah padam
selembar wajah Khong It-hong karena jengah. "Adik Kim, apa pula
yang kau maksudkan?" ia balik bertanya. "Sejak kapan kau pulang
ke gunung?" bentak si nona lagi. "Barusan saja!" Nona itu segera
mendengus. "Memangnya kau sudah kehilangan sukma-mu diluar
jendela dari kamar baca ini?" "Adik Kim, apa pula maksud perkataanku itu." Khong It
hong balik bertanya sambil berkerut kening. "Jika kau tidak kehilangan
sukmamu disitu, kenapa baru pulang gunung bukannya suruh orang memberi kabar kepadaku, sebaliknya
dengan sikap macam maling mencuri dengar pembicaraan orang diluar
jendela?" Khong lt-hong memang tidak malu disebut seorang manusia yang licik
dan banyak akal nya, setelah tertawa sahutnya:
"Aaaah... rupanya adik Kim salah paham!" "Apanya yang salah
paham?" "Adik Kim, sesungguhnya kejadian ini memang merupakan
suatu kesalahan paham, ketika siau heng pulang gunung, tak seorang
manusiapun yang kujumpai, ketika aku mengitari ruang belakang untuk
menuju ke loteng kediamanmu dan bermaksud untuk membuat kau
merasa terkejut bercampur dengan girang."
"Kejutnya memang ada." tukas si nona, "cuma girangnya telah berubah
menjadi mendongkol!" Sekulum senyuman manis masih menghiasi ujung bibir Khong It hong,
katanya. "Adik Kim, dapatkah kau memberi kesempatan pada siau heng untuk
menyelesaikan kata-kataku." "Cukup, aku tak sudi mendengarkan perkataanmu lagi!" lalu si nona
sambil membanting daun jendela itu keras-keras.
Walaupun daun jendela sudah tertutup kembali, namun suara Khong
It-hong manis juga berkumandang. "Adik Kim, paling tidak kau harus percaya bahwa siau heng bukanlah
dewa, aku tidak mengira kalau pada malam ini adik Kim sedang
mempunyai janji dengan seorang teman diruang bacanya Beng
cengcu.." Mendengar perkataannya pemuda itu makin lama semakin ngelantur
tidak karuan, si nona menjadi naik darah, segera tukasnya:
"Memangnya hal ini tak boleh?" Khong It liong segera tertawa keras.
"Haaah.... haaah... haaaah ... adik Kim mengapa kau berkata
demikian" Siau heng tak bermaksud apa-apa, akupun tidak bermaksud
untuk menyadap pembicaraan kalian, kejadian ini cuma suatu kesalahan
paham, mengenai...." "Kuanjurkan kepadamu, kurangi permainan licikmu dihadapanku" sekali
lagi sinona menukas dengan suara dalam, "setiap kali kau pulang
gunung, tak pernah ketinggalan Chin hui hou pasti kau cari lebih dulu,
sedang mengenai penjelasanmu soal menyadap pembicaraan kami
hmmm! perbuatanmu itu hanya suatu tindakan yang berlebihan."
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Khong It hong menghela
nafas panjang katanya. "Kalau toh adik Kim tidak memberi kesempatan kepada siau heng untuk
memberi penjelasan, terpaksa siau-heng akan turut perintah.
Cuma.,.harap adik Kim ketahui, dengan hati riang gembira siau
heng pulang ke rumah, sebetulnya aku ingin melepaskan rinduku
kepadamu, tapi kini..." "Cukup banyak yang sudah kudengar, lebih baik kurangi sedikit
perkataanmu." tukas si nona dengan cepat.
"Baik, baik, Siau heng tak akan berbicara lagi, setelah berhenti
sebentar, lanjutnya lagi. "Oooh benar, adik Kim ! Dapatkah aku berkenalan dengan sahabat yang
berada di dalam kamar baca " siapakah dia " Siapa namanya ?"
"Besok toh kalian bakal bertemu sendiri, buat apa musti kuperkenalkan
pada saat ini ?" Tiba tiba Sun Tiong lo berkata. "Aku yang muda adalah Sun Tiong-Io,
boIeh aku tahu siapa nama besar saudara ?" Begitu mendengar jawaban dari Sun Tiong Io
dengan cepat Khong It-hong mendorong kembali daun jendela itu, lalu sahutnya. "Aku
bernama Khong It hong...." Belum habis dia berkata, tiba-tiba si nona
telah mengayunkan tangannya.. "Blaam..!" Daun jendela itu segera dibantingnya keras-keras
hingga menutup kembali. "Memang tidak salah namamu Khong It-hong, tapi
bukan caranya untuk sembarangan menongolkan kepalanya lewat jendela untuk
bertemu dan berbicara dengan orang, tata kesopanan dari manakah
yang telah kau pelajari itu ?"
Paras muka Khong It hong, waktu itu tak sedap dipandang, mukanya
merah padam seperti babi panggang, bibirnya pucat menahan emosi
nya, sedangkan sinar matanya memancarkan cahaya kehijau-hijauan
yang mengandung kebencian, cuma sayang
terpisah oleh daun jendela sehingga mereka yang berada dalam
ruangan tidak sempat melihatnya. Api kegusaran serasa membakar seluruh perasaan Khong It hong,
setelah mendengus dingin teriaknya:
"Nona Kim, beginikah sikapmu terhadap diriku "!" Entah mengapa,
ternyata si nona juga tak dapat mengendalikan
kobaran api amarahnya, dengan lantang dia menyahut: "Kalau aku
tidak bersikap demikian kepada mu, lantas aku musti
bersikap bagaimana "!" "Nona Kim, kau paham akupun paham !" "Aku
tidak paham" tukas si nona dengan gusar, "beginilah
sikapku terhadap setiap manusia yang bermain sembunyi semacam
cucu kura-kura." Khong Ithong segera mendengus berulang kali, tanpa banyak berbicara
lagi ia tinggalkan tempat itu dengan langkah lebar.
Didengar dari langkah kakinya, Sun Tiong lo segera mengerti kalau
Khong It-hong sebenarnya belum jauh meninggalkan tempat itu maka
dia sengaja memandang sekejap kearah si nona, kemudian dengan
kening berkerut katanya. "Nona, kau telah menyinggung perasaannya." "Hmm..! Toh dia
sendiri yang mencari gara-gara !" sahut si nona
samoil mendengus. "Nona, apa sih kedudukannya didalam bukit ini"
Dan apa pula hubungannya denganmu ?" Si nona memandang sekejap wajah Sun
Tiong lo, kemudian tanyanya. "Kenapa kau menanyakan persoalan ini ?" "Tampaknya dia
sudah menaruh curiga kepada siau-seng, oleh
karena itu...." "Siapa suruh dia memikirkan yang bukan-bukan?" tukas si nona, Sun
Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Dari nada pembicaraannya itu, dapat kudengar kalau dia sangat
memperhatikan diri nona" katanya.
Nona itu tidak menjawab, sedangkan wajahnya yang dinginpun belum
lagi luntur. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB SEPULUH SUN TIONG LO pun melanjutkan kembali kata katanya "Selama
beberapa hari ini, sudah pasti aku akan bertemu muka dengannya,
maka sudilah kiranya nona memberi petunjuk kepadaku tentang asal
usul dan kedudukannya." Jawaban si nona sangat datar. "Dia adalah putra adik angkat ayahku,
juga merupakan murid dari ayahku !" Sun Tiong lo memandang lagi wajah si nona kemudian
tanyanya. "Cuma dua macam kedudukan ini saja ?" "Memangnya belum
cukup ?" Sun Tiong lo tertawa. "Menurut pandanganku, sobat Khong
bukan cuma mempunyai dua macam kedudukan saja!" Sinona segera menggerling sekejap kearah
Sun liong lo, kemudian serunya: "Memangnya kau lebih mengerti daripada aku
sendiri ?" Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Aku bisa menangkap hal itu
dari nada ucapannya, dan dapat melihat..." "Dapat melihat apa ?" tukas sinona sebelum Sun Tiong lo menyelesaikan
kata-katanya. "Aaaah, aku rasa lebih baik tak usah kukata kan, pokoknya sahabat


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khong mempunyai kedudukan yang istimewa sekali !"
Setelah berhenti sebentar dan tertawa, dia melanjutkan kembali kata
katanya: "Barusan Beng Cengcu telah menitahkan Beng Seng untuk datang
mengundang kehadiran nona, nona..."
"Aku ingin bertanya dulu sampai jelas, apa yang kau maksudkan
dengan lebih baik tidak usah dikatakan itu?" tukas sinona dengan wajah
dingin membesi. Sun Tiong lo segera mengangkat bahunya, baru saja dia hendak
menjawab, sinona berkata lagi: "Dalam hal apakah kedudukan Khong It hong kau katakan sangat
istimewa?" Sekulum senyum masih tersungging di bibir Sun Tiong lo, ujarnya
pelan: Secara diam diam sobat Khong telah menyadap pembicaraan nona
dengan diriku kemudian perbuatannya diketahui nona, tetapi ia malah
berani mengatakan, tidak seharusnya nona berbuat demikian padanya,
oooohhh, besar benar nyali orang ini".
"Sekalipun dia adalah murid ayahmu, tidak mungkin kedudukannya lebih
tinggi dari nona apa lagi dia sudah melakukan kesalahan tetapi nyatanya
sambil mendengus dan menggubris nona, dia telah pergi dari sini.."
"Cukup!" tukas sinona dengan suara dalam, "aku melarang kau untuk
melanjutkan kata-katanya itu."
Sun Tiong lo segera memperlihatkan sikap apa boleh buat, katanya
kemudian. "Adalah nona sendiri yang memaksa aku untuk menjawab, kalau tidak
aku tak akan mengucapkan kata-kata seperti itu!"
Si nona tidak menjawab, sambil membalikkan badan ia beranjak keluar
dari kamar baca dan menuju ke ruang tengah, sementara Sun Tiong lo
mengiringinya dengan senyuman dikulum.
Setelah masuk kedalam ruangan, nona itu menghampiri Beng Liau
huan, seraya berjalan tegurnya. "Ada urusan penting apa..." "Khong sauhiap telah pulang" sahut
Beng Liau huan. "Hanya persoalan ini ?" Beng Liau huan
manggut-manggut. "Orangnya mah tidak kujumpai, maka dari itu..."
Si nona menjadi tertegun, "Kalau toh kau tidak menyaksikan
kedatangannya, dari mana bisa kau ketahui kalau dia sudah pulang ?"
"Kulihat dari sikap maupun cara berbicara Chin Congkoan.... tak nanti
dia akan berbuat demikian andaikata..."
"Hmm, aku sudah tahu" tukas sinona sambil mendengus dan
mengulapkan tangannya. Setelah berhenti sejenak, kepada Beng Seng perintahnya: "Kau keluar
dan undang Chin Hui hou kemari !"
Beng Seng mengiakan dan segera berlalu.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 8 SEPENINGGAL Beng Seng, Sun Tiong lo juga berkata
kepada Bau ji: "Saudara Sun, kita juga harus pulang ke loteng impian
?" Bau ji mengerti, rupanya Sun Tiong lo ingin meminjam alasan tersebut
untuk meninggalkan ruang tengah agar tidak menyaksikan keadaan
Chin Hui hou yang bakal runyam, maka dia pun manggut- manggut dan
segera beranjak. "Siapapun dilarang pergi !" mendadak sinona membentak keras. Bau
ji segera mengerutkan alisnya, baru saja akan berbicara, Sun
Tiong lo telah memberi tanda agar jangan bersuara. Si nona yang
kebetulan melihat hal itu segera mengerling sekejap
kearahnya, lalu berkata: "Ehmm... tampaknya kau memang pandai
sekali merasa kuatir bagi orang Iain !" Tiba-tiba Beng Liau huan berseru setelah memutar
sepasang biji matanya sebentar: "Nona, bolehkah lohu menjamu kedua orang Sun
kongcu ini diruang baca sana?" Si nona berpikir sebentar, lalu mengangguk.
"Baiklah, selesai urusan disini aku masih ada persoalan yang
hendak dibicarakan dengan dirimu ?" Beng Liau huan mengiakan,
kepada Sun Tiong lo dan Bau ji segera katanya: "Apakah kalian berdua bersedia memberi muka ?"
Sebetulnya Sun Tiong lo hendak menampik, mendadak ia
saksikan Beng Liau huan dengan membelakangi sinona sedang memberi
kode kepadanya dengan wajah serius dan gelisah.
Maka dengan cepat dia merubah keputusan nya seraya berkata:
"Dengan senang hati ku terima tawaran cengcu, silahkan !"
Maka mereka bertiga segera beranjak dan menuju keruang baca.
Baru saja Sun Tiong lo menutup pintu, Beng Liau huan telah
berbisik: "Lebih baik biarkan saja pintu itu terbuka, pertama kita bisa ikut
mendengarkan apa yang dibicarakan nona, kedua bila kita hendak
membicarakan rahasia juga tidak kuatir ketahuan orang ?"
Tergerak hati Sun Tiong lo setelah mendengar perkataan itu, belum lagi
dia berbicara, Beng Liau huan telah berbisik lebih lanjut:
"Sudah lama lohu menunggu kesempatan seperti ini, kongcu, cepat duduk
disamping lohu, ada rahasia besar yang hendak lohu sampaikan
kepadamu serta minta pertolonganmu untuk menyelesaikannya ?"
Sun Tiong lo tertegun, dia segera berpaling dan memandang kearah
Bauji. Dengan cepat Bau ji beranjak, bisiknya sambil menuding kepintu
ruangan: "Aku akan berjaga ditepi pintu !" Sambil berkata ia lantas menuju
kesamping pintu dan bersiap siaga dengan kewaspadaan Sun Tiong lo mengerutkan dahinya, lalu
kata nya kepada Beng Liau huan: "Cengcu, kau ada petunjuk apa ?" "Rahasia sebesar ini tak
berani kusampaikan dengan kata-kata,
untuk menjaga segala sesuatu yang tak diinginkan semalam dengan
pertaruhan jiwa aku telah beberkan rahasia ini didalam sejilid kitab,
sekarang kitab ini akan kuserahkan kepada kongcu, asal kau telah
membaca kitab itu, segala sesuatunya akan menjadi terang."
Selain itu, dalam kitab aku juga sertakan barang lain, bila kongcu telah
memahami keadaan dan berhasil kabur dari bukit ini, harap kongcu
suka menghantar barang itu ke..."
"Cengcu, begitu percayakah kau kepadaku?"" tukas Sun Tiong lo
dengan cepat. Beng Liau-huan tertawa. "Betul lohu sudah tak berkepandaian apa-apa, namun sepasang mataku
belum kabur, kong cu sepantasnya merupakan seorang enghiong dari
jaman sekarang !" Sun Tiong lo mencoba untuk memperhatikan wajah Beng Liau- huan,
dia saksikan meski paras muka cengcu itu serius sama sekali tidak
terlintas keragu raguan. Maka setelah termenung dan berpikir sebentar, dia bertanya lagi
dengan nada menyelidik: "Apakah cengcu yakin kalau aku bisa memahaminya." Dengan serius
Beng Liau huan menukas: "Bila kongcu mengatakan dirimu tak
pandai bersilat lagi, hal ini sungguh keterlaluan sekali!" "Apa maksud cengcu berkata begitu?" seru
Sun Tiong lo dengan kening berkerut. "Kongcu, tegakah kau menyaksikan lohu berdua hidup
sengsara, dan tersiksa sepanjang masa di bawah tekanan orang !" Mencorong
sinar tajam dari balik mata Sun Tiong lo, segera
diapun balik bertanya. "Darimana pula cengcu bisa berkata kalau aku
pasti dapat lolos dari bukit ini ?" "Kongcu berilmu silat tinggi, tenaga dalammu telah
mencapai puncak kesempurnaan mau keluar masuk bukit ini sesungguhnya
gampang seperti membalik tangan, siapa pula yang sanggup
menghalangi jalan pergimu ?" "Cengcu, apakah kau tak merasa terlalu memuji diriku?" seru sang
pemuda sambil berkerut kening. Dengan serius Beng Liau huan menggeleng. Kongcu, sudah lohu
katakan, sepasang mata ku belum melamur!" Sun Tiong lo
termenung dan berpikir sebentar, kemudian katanya
"Apakah cengcu memberi batas waktu tertentu bagi persoalan yang kau
perintahkan itu!" Agak tertegun Beng Liau iman setelah mendengar ucapan itu, dia
segera makin merendahkan kata-katanya.
"Apakah kongcu masih belum berniat meninggalkan bukit ini ?"
Tergerak hati Sun Tiong lo, segera sahutnya. "Maksudku seandainya
begitu..." Beng Liau huan salah mengartikan maksudnya, dia segera
mengangguk sambil bertanya. "Dari sekian banyak orang yang berada
dibukit ini, kecuali lohu berdua yang merupakan manusia setengah mati, cuma nona seorang
yang terhitung orang baik, kongcu..."
Merah padam selembar wajah Sun Tiong lo, tukasnya. "Cengcu telah
salah mengartikan maksudku." "Tidak !" tukas Beng Liau-huan
dengan wajah serius, "andaikata
lohu menjadi kongcu, pasti akan ku ajak nona pergi meninggalkan
tempat terkutuk ini." "Sekali lagi kukatakan, harap cengcu jangan salah mengartikan
duduknya persoalan!" Nyatanya Beng Liau huan tetap kukuh dengan pendiriannya, dia
berkata dengan bersungguh-sungguh. "Tiada sesuatu yang disalah artikan, seharusnya kongcu pergi sambil
membawa serta nona membawanya pergi jauh meninggalkan tempat
ini, dari pada membiarkan ia terjerumus ke tangan manusia manusia
serigala yang berhati kejam !"
Sun Tiong lo segera mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian
katanya. "Ayahnya adalah sancu bukit ini, sedang dia adalah putri kesayangan
Sancu, siapa yang berani mengusiknya "!"
Beng liau-huan segera menggelengkan kepalanya berulangkali, katanya
lagi: "Kongcu, kau adalah seorang anak sekolahan, tentunya kau juga tahu
bukan apa yang disebut sebagai: "Dekat gincu ikut menjadi merah,
dekat tinta ikut menjadi hitam " sekali pun nona berwatak baik, namun
kalau dibiarkan bergaul terus dengan manusia manusia laknat, maka
lama kelamaan akan berpengaruh juga wataknya, apakah kongcu tega
menyaksikan dia terjerumus dalam keadaan semacam itu "!"
Sun Tiong memandang sekejap wajah Beng Liauhuan, kemudian
katanya: "Cengcu, kau belum menjawab pertanyaanku..." Beng Liau huan
melirik sekejap ke arah Bau ji, kemudian katanya "Sekaiipun kongcu
sudah bulatkan tekad, apa salahnya kau
menitipkan nona kepada Sun kongcu itu..." Sekali lagi Sun Tiong lo
merasakan hatinya tergerak, selanya
dengan cepat: "Cengcu, mengapa tidak kau jawab dulu pertanyaanku?"
"Sancu mempunyai seorang keponakan yang merupakan pula
murid kepercayaannya, orang ini tak lain adalah orang she Khong yang
barusan lohu bicarakan dengan nona, orang ini licik, busuk, keji dan tak
berperi kemanusiaan. "Selama banyak tahun, lohu selalu berusaha mengamati gerak gerik
mereka, tampaknya Sancu berniat untuk menjodohkan putri
kesayangannya itu kepada orang she Khong, padahal nona orangnya
baik dan berbudi luhur, kalau sampai hal ini menjadi kenyataan..."
"Soal itu mah harus tergantung juga pada-nona sendiri." tukas Sun
Tiong lo. Beng Liau huan mulai kelihatan panik bercampur gelisah, serunya
dengan cepat. "Kongcu, kenapa kau begitu bodoh" Nona sudah terlalu lama tinggal
diatas gunung, dalam sepuluh tahun saja belum tentu ia bisa berjumpa
dengan orang-orang lain kecuali orang-orang yang menghuni disini,
padahal hampir semua manusia yang ada disini rata-rata adalah manusia
buas yang berhati busuk, bayangkan saja nona bisa memilih yang
mana?" "Oleh sebab itu, Khong It hong secara otomatis menjadi orang disiplin,
bukan lohu sengaja mengadu domba, berbicara soal ilmu silat, tenaga
dialam serta tampang muka, Khong It hong cuma bisa dibilang dengan
terpaksa masih mampu untuk mendampingi nona..."
"Bukankah hal ini sangat baik ?" tukas Sun Tiong lo. Beng Liau huan
sudah mulai agak mendongkol tanpa terasa
diapun mempertinggi suaranya sambil berseru. "Kongcu, lohu ingin
bertanya kepadamu, di dalam memilih calon
istri, kongcu lebih mementingkan soal lemah lembutnya dan tata
kesopanannya ataukah letih mementingkan soal paras muka serta
besarnya mas kawin ?" "Tentu saja memilih soal lemah lembutnya, budi kejujurannya serta tata
kesopanannya." "Coba kauIihat, sifat orang she Khong itu jauh lebih keji daripada ular
serta kala jangking beracun." "Cengcu, aku lihat kau terlalu menguatirkan keadaan orang." ucap Sun
Tiong lo sambil tertawa. "coba bayangkan saja, Sancu bukit ini
benar-benar seorang manusia sembarang, andaikata orang she Khong
itu benar benar berhati busuk seperti ular berbisa, bertindak tanduk
buas seperti harimau, memangnya Sancu..."
"Dia adalah harimaunya, dan Khong It-hong, adalah serigalanya." tukas
Beng Liau-huan. Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Sebuas-buasnya harimau, dia tak akan melalap anaknya sendiri, tentu
cengcu pernah dengar akan perkataan ini bukan ?"
Dengan gusar Beng Liautniart memandang sekejap ke arah Sun Tiong
lo, kemudian katanya dengan suara rendah dan berat.
"Betul, sebuasnya harimau tak akan melalap anaknya sendiri, tetapi jika
sudah dipelihara oleh harimau, maka anaknya juga pasti akan menjadi
buas seperti induk harimau, kecuali kongcu memang berharap nona
menjadi manusia berwatak harimau dan serigala kalau tidak!"
Sun Tiong lo segera menepuk nepuk bahu Beng liau-huan, kemudian
ujarnya lembut: "Cengcu. harap kau jangan emosi dulu, sekalipun aku bersedia
meluluskan permintaan cengcu, hal ini juga tergantung kepada nona
sendiri bersedia untuk mengikuti aku apa tidak"
Beng liau-huan menatap Sun tiang lo tajam, lalu katanya: "Soal ini
tergantung pada kongcu seorang!" "Dari manakah kau bisa
mengatakan kalau tergantung aku seorang?" tanya Sun Tiong lo agak tertegun tampaknya. Beng
liau-huan mengerutkan dahi, katanya: "Kongcu benar-benar
tidak mengerti ataukah sudah tahu pura-pura bertanya?" Sun Tiong lo
gelengkan kepalanya berulang kali. "Kalau aku sudah tahu, mengapa
harus pura bertanya?" ia balik
bertanya. "Oooh . . . masakah kongcu belum dapat merasakan kalau
nona sudah menaruh hati kepadamu?" "Menaruh hati apa?" kata Sun Tiong lo
tercengang, "dia.... dia..." "Setiap orang yang naik ke bukit ini, paling
banter dia hanya mendapat kesempatan untuk menjadi tamu agung selama tiga hari
disini" ucap Beng Liau-huan, "tapi ia telah melanggar kebiasaan tersebut
kepadamu sedangkan loteng impian juga merupakan
tempat kediaman pribadinya, dihari-hari biasa selain dua orang yang
boleh kesitu, siapa saja dilarang mendekati tapi diapun memberikan
tempatnya kepadamu."

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cengcu, dihari hari biasa dua orang yang manakah yang diijinkan
memasuki loteng impian?" Beng Liau huan memandang sekejap ke arah nya, lalu tegasnya sambil
tersenyum: "Kongcu, mengapa kau ajukan pertanyaan ini?" "Aaah, aku cuma
bertanya seadanya saja." sahut Sun Tiong lo
dengan wajah memerah. Sambil tertawa Beng Liauhuan gelengkan
kepalanya berulang kali, ucapnya. "Jika kau tidak menaruh perhatian kenapa musti
mengajukan pertanyaan itu" Kalau sudah ditanyakan, itu berarti kau memang
menaruh perhatian khusus." Sun Tiong lo menjadi jengah sekali, sambil tertawa rikuh katanya:
"Aaah, terserah apa pun yang dikatakan cengcu." Beng Liau huan
segera tertawa, setelah termenung sebentar
katanya: "Orang yang diijinkan naik keatas loteng impian, selain Sancu
pribadi, yang seorang adalah..." "Apakah Khong It hong"!" tukas Sun
Tiong lo. Beng liau huan segera manggut-manggut. "Ya, benar memang manusia bedebah yang
berhati kejam itu!" Sun Tiong lo tidak berkata lagi, dia hanya
membungkam sambil termenung. Beng liau-huan segera berkata lagi: "Kong cu, tahukan kau bahwa selama ini belum pernah nona membawa
orang mengunjungi loteng Hian ki lo, apa lagi memberikan petunjuk
kepada seseorang jalan yang mesti dilewati untuk melarikan diri!"
"Sebenarnya semua hal tersebut sudah sepantasnya dia lakukan!" ujar
Sun Tiong lo hambar. "Kongcu, sebenarnya kau maksud apa?" sekali lagi Beng Liauhuan
berusaha mancing. "Cengcu, untung saja aku masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum
pergi, bagaimana kalau kita bicarakan persoalan ini beberapa hari lagi?"
Dengan perasaan apa boleh buat Beng liau huan menghela nafas
panjang, dan sahutnya: "Yaa, terserah pada kongcu sendiri!" Berbicara sampai disitu, dia
lantas mengambil keluar sejilid kitab
dari sakunya, dalam kitab itu terselip sepucuk surat dan diangsurkan
kepada Sun Tiong lo sambil katanya.
"lnilah titipan dari lohu, harap kongcu bersedia untuk menerimanya."
Sun Tiong lo menerima kitab tersebut tanpa dilihat lagi benda tadi
dimasukkan kesakunya. Saat itulah dari luar ruangan tengah kebetulan terdengar Beng seng
sedang berseru: "Chin cong koan telah datang, apakah nona masih ada perintah yang
lain.?" Agaknya sinona gelengkan kepalanya maka terdengar Beng Seng
berkata lagi: "Tolong tanya nona, majikan hamba..." "Ada dikamar baca, pergilah
kau untuk melayaninya!" tukas si
nona dengan cepat. Menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki Beng Seng bergema
mendekati kamar baca itu. Dikala Beng Seng masuk kedalam kamar baca, dari ruang tengah
kebenaran sedang terdengar suara pembicaraan dari Chin Hui hou.
Terdengar Chm Hui hou dengan sikap yang sangat menghormat sedang
berkata kepada si nona: "Ada apa nona mengundang kehadiran hamba?" Kemunculan Chin
Hui hou agaknya si nona sudah melihat bekas
luka diatas wajah-nya, dia lantas menegur: "Kau terluka?" "Yaa, hamba
jatuh terjerembab ke atas tanah, mukaku kena
gesek batu sehingga terluka..." "Oooh .... . .kenapa bisa terjerembab
ketanah?" Dengan kepala tertunduk sahut Chin Hui hou: "Hamba
dipukul roboh oleh Sun kongcu..." "Aaaah! Sun kongcu yang mana...?" seru si
nona sambil menjerit kaget. "Sun kongcu yang menyerbu keatas bukit itu!" si nona segera
mendengus. "Hmm ! apa sebabnya kau kena dirobohkan olehnya?"
"Masing-masing pihak ingin mencoba ilmu silat, maka kamipun
membuat sebuah garis lingkaran seluas satu kaki, siapa yang keluar
dari garis lingkaran itu akan dianggap kalah, hamba..."
"Kau kalah?" bentak si nona dengan gusar. Chin Hui hou segera
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak, hamba menang!"
sahutnya. "Chin Hui hou, aku lihat nyalimu makin lama semakin
besar, kau berani membohongi aku?" ?"Hamba tidak berani membohongi nona." Si nona segera mendengus
dingin. "Hmm! Kalau toh kau kena dihantam sampai keluar garis, bahkan
terluka lagi", kenapa kau dikatakan menang"!"
"Selama pertarungan ini dilangsungkan Sun tongcu yang satunya
bertindak sebagai saksi, kami telah berjanji pertarungan ini cuma
terbatas saling menutul dilarang melukai, kalau tidak maka orang yang
terluka itu di anggap sebagai pemenang."
Mendengar jawaban tersebut kontan saja sinona cekikikan, dan
serunya: "Sudahlah terang mereka bermaksud untuk mempermainkan dirimu, tak
tahunya kau malah termakan oleh jebakan mereka!"
Chin hui hou sengaja berbicara terus terang hal ini disebabkan karena
dia memang berniat untuk main licik, maka setelah mendengar ucapan
dari sinona, dengan cepat dia tunjukkan muka rikuh dan minta belas
kasihan, dan katanya: "Ya, siapa bilang tidak, cuma sayang aku tak dapat memahami kelicikan
mereka saat itu!" Setelah terkejut tertawa tadi, sinona sudah merasa menyesal sekali,
maka dalam kata-kata inilah dia mengumbar hawa amarahnya.
"Hmm ! Kau sebagai seorang congkoan dari bukit ini, seharusnya juga
tahu akan peraturan dari bukit kita ini, selamanya peraturan kita pegang
teguh, mengapa kau sekarang berani beradu kepandaian dengan Sun
kongcu sebagai tamu agung kita. Apakah dalam pandanganmu sudah
tiada peraturan lagi: "Sebenarnya hamba tidak berani berbuat demikian, adalah Sun kongcu
yang menjadi saksi yang berkata kalau urusan ini adalah urusan pribadi,
lagi pula saling mengukur ilmu silat juga tidak terhitung seberapa..."
"Sun kongcu adalah tamu agung kami" bentak si nona dengan marah,
"apa pun yang dia katakan, boleh saja dia utarakan, tapi tidak demikian
dengan kau. Apakah urusan pribadi yang dikatakan Sun kongcu juga
merupakan urusan pribadimu ?" "Hamba tahu salah!" Si nona segera mendengus, kembali katanya:
"Bila Sancu telah pulang nanti, ia akan membereskan sendiri
persoalan ini, sekarang aku hendak menanyakan lagi suatu masalah
yang lain, tapi kuperingatkan dulu kepadamu, kau harus menjawab
sejujurnya!" "Baik hamba tak berani berbohong!" Si nona segera mendengus
dingin, katanya: "Khong lt-hong telah pulang, tahukah kau?" Sahut
Chin hui hou sambil diam dianm menggigit bibirnya
kencang kencang: "Hamba tahu!" "Kenapa tidak kau laporkan
kedatangannya itu padaku?" teriak si
nona dengan gusar. "Tadi hamba telah datang kemari, maksudku adalah
untuk melaporkan kejadian ini kepada nona, tapi Sun kongcu yang nyerbu
bukit itu menghalangi hamba, katanya nona dan seorang Sun kongcu
yang satu sedang membicarakan soal penting didalam kamar buku..."
"Maka dari itu kau lantas mengundurkan diri dari ruangan ini ?" bentak
si nona dengan suara dalam. "Benar!" jawab Chin Hui hou dengan hormat, "hamba tidak berani
mengganggu ketenangan nona." "Sejak kapan sih kau berubah menjadi seorang pengecut yang bernyali
kecil?" Chin Hui-hou tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya dan
tidak berbicara maupun bergerak. Dengan demikian, si nona pun tidak berhasil memegang titik kelemahan
Chin Hui hou dalam peristiwa ini, maka dia berkata lagi.
"Besok pagi, kau temani lagi kedua orang Sun kongcu untuk berjalan
jalan ke bukit sebelah depan, ingat ! Kau harus melayaninya seperti
tamu agung, jika sampai terjadi suatu peristiwa lagi, hmm ! Hmm !"
Dengan suara menghormat Chin Hui hou mengiakan. "Baik nona,
cuma hamba kuatir besok tak bisa menemani Sun
kongcu berdua !" "Berhakkah kau mengucapkan kata kata semacam
itu?" teriak si nona dengan mata melotot. "Nona, kau tidak tahu, barusan Khong ya
memerintahkan kepada hamba, agar besok pagi..." "Tutup mulut!" bentak si nona dengan suara
dalam, "Chin Hui hou ! Kau harus tahu, Bukit ini adalah bukit kepunyaan keluarga Mo,
aku adalah nona dari keluarga Mo, selama sancu tidak ada, akulah
orang yang berhak memberi perintah..."
Belum habis perkataan itu diucapkan Khong It liong dengan wajah
sedingin es telah masuk dalam ruangan tengah.
Begitu melangkah masuk dalam ruangan, dia lantas menegur. "Adik
Kim, tidak seharusnya kau berkata demikian !" "Kalau tidak
dikatakan begini, lantas apa yang harus kukatakan?"
seni si nona dengan mata dingin. "Adik Kim, bukannya kau tidak tahu,
selama beberapa tahun belakangan ini, setiap kali san cu sedang pergi, semua urusan dibukit ini
diserahkan kepada siau heng, segala sesuatunya siau henglah
mengambil keputusan, tampaknya untuk kali inipun tiada
pengecuaIiannya bukan." kata Khong It hong dingin.
"Khong It hong memang betul ayahku sedang keluar rumah, dikala
yang memegang kekuasaan, tapi setiap kali kau selalu diberi perintah
lewat surat, apakah kali ini kau juga mendapat perintah surat..?"
Khong It hong tertawa seram. "Adik Kim, rupanya kau sedang
menggoda aku, masa kau lupa, dikala Sancu pergi hari ini, siau heng belum lagi kembali kegunung,
mana mungkin sancu bisa menyerahkan lencana San leng kepada
siauheng ?" "Oooh....kalau begitu, kali ini kau tidak memiliki lencana San leng
bukan ?" "Yaa, tidak ada !" Si nona segera tertawa dingin. "Lantas atas dasar
apakah kau hendak memerintah bukit kali
ini?" ejeknya. "Tadikan sudah siau heng katakan, semuanya ini adalah
peraturan yang sudah terbiasa suatu kebiasaan, otomatis selamanya
juga akan berlangsung begitu!"
"Benarkah demikian?" ejek sinona sambil tertawa dingin. Kong lt hong
juga tertawa dingin. "Siauheng tidak melihat sesuatu yang tidak
leluasa atau melanggar kebiasaan!" Mencorong sinar tajam dari balik matanya si
nona, sepatah demi sepatah dengan serius, dia bertanya. "Khong It hong apakah kau
adalah anggauta bukit kami?" Khong It hong mengerutkan dahinya
paras-mukanya juga makin lama makin tak sedap dilihat, serunya: "Siauheng adalah murid san cu,
dan lagi akupun ponakannya, dan tentu saja aku adalah anggota dari bukit ini!"
Si nona segera mendengus dingin. "Kalau begitu aku ingin bertanya
kepadamu peraturan lebih besar, atau kebiasaan lebih besar, atau lencana San leng yang lebih
besar?" "Tentu saja Sanleng merupakan benda yang paling besar dan paling
tinggi!" sahut Khong-It hong tanpa berpikir panjang lagi.
Si nonapun segera mendengus marah, dengan cepat dia merogoh
kedalam sakunya dan mengeluarkan sebatang lencana San leng yang
ber warna emas, dan bentaknya: "Khong It hong, kau kenal dengan benda ini?" Baik Khong It hong
maupun Chin hui hou sama-sama dibuat
melongo sesudah menyaksikan benda tersebut, tetapi mereka tidak
berani berayal lagi buru buru sahutnya hormat:
"Hamba menjumpai San leng!" Seraya berkata kedua orang itu
bersama-sama menjatuhkan diri berlutut keatas tanah. Si nona menggertak giginya kencang kencang:
lalu kepada Chin Hui hou serunya. "Chin Hui hou segera bunyikan Genta emas!" Begitu
mendengar ucapan "membunyikan genta emas", Chin Hui
hou menjadi pucat pias seperti mayat, saking takutnya dia sampai
melongo dan termangu-mangu. Beberapa saat kemudian dia baru berkata dengan suara gemetar.
"Nona ijinkan hamba... hamba untuk mengucapkan
bebe...beberapa patah kata !" Sementara itu muka Khong It hong telah
berubah menjadi pucat kehijau-hijauan, dengan suara mendongkol dan gemetar serunya.
"Chin Hui hou, bila kau berani mintakan ampun kepadaku, hatihati
dengan selembar jiwa anjingmu dikemudian hari!"
"Khong It hong!" teriak si nona dengan suara dalam, "berada dihadapan
lencana Kim Ieng kau berani bicara sembarangan" Hmr! Kau terlalu
menghina kewibawaan lencana San leng ini, kau anggap nona tak
berani menghukum kau ?" "Nona Kim, lebih baik lagi jika hari ini kau bunuh sekalian aku orang she
Khong!" seru Khong It hong sambil tertawa dingin.
Chin Hui hou yang berada disampingnya segera berseru. "Sauya,
buat apa kau musti nekad ?" Khong It hong segera mendengus
dingin. "Hmm!Jika kau tak berani dengan nona Kim lebih baik tak usah banyak bacot !" sementara
itu si nona sudah mencak mencak karena gusar, bentaknya sekali lagi.
"Chin Hui hou, kau berani membangkang perintah?" Chin Hui hou
segera menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Nona, harap redakan dulu hawa amarahmu, bila genta emas
dibunyikan delapan orang Tiang lo pasti akan berkumpul diruangan ini
untuk menunggu petunjuk, coba bayangkan nona, bagaimana
pertanggungan jawabmu nanti terhadap tianglo berdelapan ?"
"Soal itu adalah urusan nonamu sendiri, kau tak usah banyak bertanya!"
bentak si nona dengan marah. "Nona, Sancu sendiripun andaikata tidak menjumpai persoalan besar
yang penting dan serius, dia tak akan berani mengganggu tianglo
berdelapan, tapi sekarang dalam marahnya saja nona akan
membunyikan genta emas itu." "Chin Hui hou!" "hardik si nona, "jika kau berani membangkang
perintahku lagi, segera kubunuh dirimu !" Dengan perasaan apa boleh buat pelan-pelan
Chin Hui hou bangkit berdiri lalu mengundurkan diri dari ruangan itu.
Khong It hong tetap berlutut diatas tanah, sinar matanya memancarkan
cahaya berapi-api mukanya tampak menyeringai menyeramkan.
Sesaat kemudian suara genta oerbunyi bertalu-talu dan menggema
diseluruh bukit. Waktu itu, Sun Tiong lo yang berada di dalam kamar baca sedang
memberi tanda kepada Bau-ji untuk meninggalkan sedikit celah pada
pintu, kemudian sambil mendekati Beng Liau huan tanyanya dengan
suara lirih. "Cengcu, ke delapan orang tianglo tersebut adalah manusia ada dalam
bukit ini ?" "Mengenai soal itu, lohu telah mencatatnya dengan jelas dalam kitab


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil itu, cuma lohu tidak menyangka kalau didalam gusarnya, nona
telah membunyikan genta emas dan mengumpulkan delapan orang
tianglo." "Bagaimanakan tenaga dalam yang dimiliki delapan orang tianglo itu ?"
tanya Sun Tiong-lo lagi. "Kecuali Sancu, tiada seorang manusia pun yang sanggup menandingi
mereka...." "Apakah cengcu tahu tentang nama mereka" kembali Sun Tiong lo
bertanya dengan kening berkerut. Beng Liau huan segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Selama belasan tahun, lohu hanya sempat bertemu dua kali
dengan mereka, pertama kali adalah pada malam perkampungan
keluarga Beng kami ini dihancurkan, kedua kalinya adalah pada hari
Tiong ciu delapan tahun berselang !"
"Apakah mereka baru munculkan diri setiap hari Tiong ciu ?" Sekali
lagi Beng Liau huan menggelengkan kepalanya. "Tidak, tempo hari
hanya secara kebetulan saja, kebetulan waktu
itu malam Tiong ciu, San cu belum pulang, dibukit ini telah
kemasukan jago lihay yang hendak mencuri barang mestika, para
huhoat penjaga bukit serta para congkoan tak sanggup menahan diri,
maka...." "Berapa orang jagokah yang terlibat dalam pencurian mestika waktu
itu..?" "Beng Liau huan berpikir sebentar, kemudian menjawab. "Mereka
berlima !" "0ooh...berapa orang huhoat penjaga bukit dan congkoan
yang bertugas hari itu ?" "Semuanya dua belas orang !" Sun Tiong lo
manggut2, katanya kemudian. "Kalau begitu, ilmu silat yang dimiliki
kelima orang tamu tak diundang itu lihay sekali?" "Ya, mereka adalah Pi-an-say-ngo-ciat (lima
manusia ampuh dari pinggir perbatasan) yang tersohor namanya dalam dunia persilatan itu!"
Mendengar nama itu, paras muka Sun Tiong lo berubah, katanya.
"Ngo-ciat bukan termasuk manusia bengis yang berperangai
jahat, masa mereka datang kemari untuk mencari mestika ?" "Setelah
kejadian itu lohu baru tahu kalau putra tunggal loji dari
Ngo ciat telah dibekuk orang, pihak lawan meninggalkan surat yang
menitahkan kepada mereka untuk menukar bocah itu dengan seratus
biji buah aneh dari bukit ini, maka..."
"Dengan tingkat kedudukan serta nama besar yang dimiliki Ngociat
seharusnya mereka langsung mencari si penculik tersebut."
"Sayang. pihak lawan sangat lihay, cara kerjanya amat rahasia dan
sukar lagi untuk menduga siapa orangnya, dimana tempat tinggalnya
karena itu terpaksa mereka harus naik gunung, untuk meminta buah
aneh itu, merekapun menerangkan bila orang itu sudah menampakkan
diri, mereka pasti tak akan menyerahkan buah
aneh itu kepada mereka, sebab tujuan mereka hanyalah untuk memakai
buah tersebut sebagai umpan guna membekuk para manusia terkutuk
itu." "Ehmm... cara kerja Ngo ciat memang tak lepas dari tindak tanduk
seorang enghiong dan mungkin lantaran perundingan itu tidak
mendatangkan hasil dalam keadaan tak berdaya, Ngo ciat terpaksa
harus naik ke gunung untuk mencuri buah aneh itu !"
"Yaa, memang begitulah kenyataannya." "Akhirnya apakah Pian say
ngo ciat kena dibekuk oleh delapan orang tianglo tersebut?" tanya Sun Tiong lo dengan kening berkerut.
Beng Liau huan menghela nafas panjang. "Aaaii... ngo ciat memang
jago jago yang hebat, ketika terkurung
mereka berikan perlawanan yang gigih sekali, ketika pertarungan
berdarah sudah berlangsung setengah harian, tapi harapan untuk
memperoleh buah aneh itu hilang dan kemungkinan untuk lolos juga
tak ada, merekapun bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya !"
Sun Tiong lo menghela nafas panjang. "Aaaii... rupanya begitu,
sungguh teramat sayang." katanya. Setelah berhenti sejenak, dia
melanjutkan. "Cuma dengan kemampuan delapan orang tianglo itu
untuk mengerubuti ngo ciat, meski ngo ciat mati secara gagah, namun dari
sinipun dapat diketahui kalau kepandaian yang dimiliki delapan orang
tianglo itu sungguh amat dahsyat."
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB SEBELAS BARU SAJA Beng Liau huan hendak menjawab, dari balik celah pintu
sudah berkumandang suara pembicaraan yang sangat nyaring.
Suara itu bergema bagaikan guntur yang membelah bumi ditengah hari
bolong. "Pat tek pat lo mendapat perintah lonceng emas datang berkumpul,
silahkan Kim leng memberi perintah !"
Menyusul kemudian terdengar suara nona bergema. "Silahkan Tiong
lo untuk memeriksa Kim leng !" Jawaban dari Tiong lo amat cepat:
"Lohu terima perintah!" Suasana dilain ruangan itu hening untuk
beberapa saat, menyusul kemudian suara dari Tiong lo berkumandang lagi: "Yaa,
Kim-leng ini memang benar Kim leng asli cari perguruan
kami, lohu sekalian siap menunggu perintah." Suara si nona pun
berubah menjadi jauh lebih halus dan lembut,
katanya kemudian: "Pat-lo, silahkan duduk untuk berbincang-bincang!"
Delapan orang kakek itu mengiakan dan sama-sama duduk. Sementara
itu, Sun Tiong lo telah berbisik kepada Bau-ji: "Baik-baik menjaga pintu
ini, jangan sampai bersuara, aku akan
mengintip ke sana!" "Dari sinipun dapat mendengar pembicaraan
mereka, kenapa harus menyerempet bahaya"!" cegah Bau ji. Sun Tiong-lo gelengkan
kepalanya berulang kali, sahutnya: "Aku harus berusaha untuk
mengenali paras muka mereka semua !" Baru selesai ucapan tersebut, Sun Tiong-lo telah menyelinap
keluar dari dalam kamar baca. Dari sikap si nona yang begitu menaruh
hormat kepada delapan orang kakek tersebut, dia menduga ilmu silat yang dimiliki ke
delapan orang kakek tersebut pasti lihay sekali, dia tak berani mengintip
dari belakang pintu ruangan, maka diam-diam dia menyelinap melalui
belakang pintu tersebut. Tatkala dia sudah melingkari ruangan dan tiba di sebelah kanan untuk
mencari tempat persembunyian, kebetulan dari dalam ruangan itu
sedang berkumandang suara dari si nona.
Terlihat si nona sedang menuding ke arah Khong It-hong dan berseru
dengan suara keras. "Sekarang, tiba saatnya bagimu untuk memberi penjelasan kepada
delapan tianglo !" Dengan sangat berhati-hati sekali Sun Tiong-lo mengintip ke dalam
ruangan, dia hanya menyaksikan sepasang bahu dan bagian atas tubuh
Khong It-hong serta empat dari delapan kakek itu, sementara empat
yang duduk di sebelah kanan cuma tampak bayangan punggungnya
saja. Meski demikian, empat orang kakek di sebelah kiri yang dapat terlihat
itu pun sudah cukup menggetarkan perasaan Sun Tiong-lo.
Empat oranp itu memakai baju dengan dandanan yang sama,
satu-satunya perbedaan hanyalah pada lencana emas yang tergantung di
atas dada masing-masing orang. Pada lencana emas itu terteralah huruf-huruf yang berbeda, yakni Iiong,
siau, Jin, Ay, Tak bisa di sangkal lagi, tulisan pada lencana emas yang dikenakan
empat kakek disebelah kanan yang tidak nampak paras makanya itu
adalah Kim, Gi, Hoo dan Peng. Dengan cepat Sun Tiong-lo mengingat baik-baik paras muka emnat
orang kakek yang berada disebelah kiri itu, sedangkan terhadap tanya
jawab yang sedang berlangsung sama sekali tidak tertarik.
Maka diam-diam diapun menyelinap kesebelah kiri ruangan untuk
mengintip paras muka dari empat orang kakek yang duduk disebelah
kanan itu. Benar juga, tulisan yang tertera diatas lencana emas yang dikenakan
keempat orang kakek itu adalah Sim, Gi, Hoo dan Peng.
Setelah melihat jelas paras muka ke delapan orang kakek itu Sun Tiong
lo merasakan hatinya tergerak, diam-diam diapun tersenyum.
Kini paras muka kedelapan orang tlonglo itu sudah diingat olehnya,
maka pemuda itupun dapat mengikuti tanya jawab yang sedang
berlangsung itu dengan lega hati. Saat itu, kebetulan Khong It hong sedang menjawab: "lt hong tak
ingin banyak menyangkal..." Tapi sebelum ucapan tersebut selesai,
kakek liong dari antara delepan kakek itu sudah membentak dengan suara dalam: "Tutup
mulut!" Setelah berhenti sebentar katanya lebih lanjut: "Khong It-hong,
dihadapan Kim leng, di hadapan lohu
bersaudara, kau menyebut apa kepada dirimu?" Diam-diam Khong It
hong menggertak giginya menahan diri,
kemudian sahutnya: "Hamba tak ingin banyak membantah." Kakek
Liong mendengus gusar, kembali tukasnya. "Khong lt hong, dengarkan baik-baik, berada
dibawah perintah Kim leng, persoalannya bukan kau bersedia membantah atau tidak,
melainkan kau wajib dan harus patuh!"
Khong It hong merasakan sekujur badannya menggigil keras, sambil
mengigit bibir serunya. "Hamba mengaku salah, tidak membantah toh boleh saja bukan ?"
Pada saat itulah si nona baru mendengus dingin, kepada kakek Tiong.
katanya: "Kakek Tiong, sekarang tentunya kau telah menyaksikan segala
sesuatunya dengan mata kepala sendiri bukan ?"
"Benar!" sahut kakek Tiong seraya menjura. "berada di hadapan
Kim-leng, lohu bersaudara pasti akan memberikan keputusan yang
adil." Si nona kembali mendenguar katanya: "Sekarang Sancu masih ada
dan kebetulan saja baru pergi keluar
tapi Khong It-hong sudah berani menghina Kim leng, memandang
rendah Pat-lo, andaikata ia sampai memegang kekuasaan suatu saat,
bagaimana jadinya nanti?" Kakek Tiong kembali mengiakan segera ujarnya kepada Khong Ithong
dengan suara dalam. "Khong It-hong, kau mengaku salah ?" Knong It-hong kembali
mendengus dingin. "Kakek Tiong telah memperingatkan kepada hamba
tadi,dihadapan Kim leng, apalagi dihadapan Pat lo, sekalipun hati hamba
terasa terhina dan banyak alasan yang hendak kukemukakan, tapi apa
pula gunanya ?" "Lohu pasti akan memberi kesempatan kepadamu untuk memberi
penjelasan menurut suara hatimu!" jawab kakek Tiong sambil tertawa
dingin. Kakek Liau segera menyambung pula. "Sekalipun nona memegang
lencana Kim leng, kau berharap mendapat kesempatan untuk berbicara!" Dengan wajah menyeringai
dan mata memancarkan sinar gusar dan dendam, Khong It hong melotot sekejap ke arah si nona, kemudian
katanya. "Ucapan Pat lo memang benar, tapi hamba bersedia melepaskan
kesempatan tersebut !" "Kenapa ?" "Hamba tak dapat mengaku ?" kata Khong lt hong
sambil tertawa seram. "Khong It hong" ujar Kakek Tiong sambil berkerut kening-
"besar amat nyalimu dan tajam benar selembar mulutmu!" "Heeh... heeehhh....
heeehh... tapi semuanya adalah kenyataan,dan kenyataan memang lebih menang daripada sanggahan."
Kakek Tiong menjadi teramat gusar, segera bentaknya. "Hayo bicara,
kau harus mengutarakan semua kenyataan itu
dengan sejelas-jelasnya!" Khong It hong memandang sekejap kearah
lencana Kim leng yang berada ditangan nona kemudian katanya: "Harap pat lo maklum,
dengan lencana Kim-leng diacungkan diudara, hamba mana berani berbicara!" Mendengar ucapan tersebut, si
nona menjadi mendongkol dia sudah bersiap siap untuk menyimpan tanda leng pay itu dan mengajak
Khong It hong berdebat, tapi pada saat itulah mendadak ia mendapat
bisikan lirih sekali yang segera membatalkan niat nona itu untuk
menyimpan kembali lencananya. Menyusul kemudian, dengan senyuman dikulum si nona berkata kepada
Khong lt hong dengan nada mengejek:
"Kau memang sangat pintar, rupanya kamu sengaja memancing
kemarahanku agar aku menyimpan kembali lencana Kim leng tersebut,
kemudian kaupun akan mempergunakan ketajaman lidahmu untuk
memutar balikkan keadaan, hmm...! Jangan mimpi"
Mendengar perkataan itu paras muka Khong it hong berubah hebat,
belum sempat dia berbicara sinona lelah berseru dengan lantang:
"Dimana Chin hui hou?" Chin hui hou segera mengiakan dan
menjatuhkan diri berlutut diatas tanah. Dengan suara dalam sinona membentak: "Ceritakan
semua apa yang kau alami dan saksikan dengan
sejujurnya." Sekalipun Chin hui hou sangat berpihak kepada Khong it
hong namun dia tidak berani membangkang perintah Kim leng, apalagi hadir
delapan tianglo di situ, dia semakin tak berani membohong lagi,
terpaksa semua yang diketahuinya dibeberkan sejujurnya.
Ketika Chin Hui hou telah selesai berkata, sinona baru berpaling kearah
delapan tianglo sambil berkata: "Tolong tanya Pat lo, apakah ucapan
dari Chin Hui-hou ini bisa dipercaya ?"
Kakek Tiong segera menjura, sahutnya: "Apa yang dikatakan Chin
Hui hou memang persis seperti apa yang dikatakan nona, tentu saja dapat dipercaya !" Tapi sinona segera
menggelengkan kepala nya berulang kali,
ujarnya dengan serius: "Tidak, aku harus membuat Khong It hong
mengakuinya dengan hati yang takluk !" Pada saat itu sifat bengis Khong It-hong sudah jauh
berkurang, tidak menanti sinona bertanya kepadanya, dia telah menjawab:
"Hamba mengakui semua kenyataan tersebut, cuma..." "Hmm ! Kali ini
kau sudah mengakui bahwa semua kejadian itu
benar"!" "Yaa, cuma hamba masih ada hal lain yang perlu
disampaikan !" Dengan wajah membesi sinona segera berpaling kearah kakek Tiong,
tanyanya: "Apakah Pat lo masih butuh mendengarkan pengakuannya menurut versi
yang dia karang sendiri ?" Dengan gusar kakek Tiong memandang wajah Khong It hong sekejap,
lalu sahutnya: "Nona, lohu sekalian merasa bahwa hal ini sudah tidak penting lagi, apa
yang sudah kami dengar, rasanya sudah lebih dari cukup !"
Si nona segera manggut-manggut, katanya kemudian: "Kalau
memang begitu, pat lo telah menjatuhkan vonis bahwa
Khong It-hong bersalah?" Kakek Tiong mengiakan. Si nonapun bertanya
lagi: "Untuk dosa serta kesalahan yang telah dilakukannya itu, dan
hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepadanya?" Kakek Tiong saling
berpandangan sekejap dengan ketujuh orang
kakek lainnya, lalu: "Lohu rasa, Khong It hong sudah sepantasnya kalau


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijebloskan keruang siksa tingkat yang delapan belas untuk bekerja keras selama
seratus hari lamanya!" Sinona termenung dan berpikir sebentar dan sambil mengacungkan
lencana Kim leng nya diapun berseru.
"Kcputusan telah dijatuhkan, diharap kakek Tiong membawa siterhukum
menuju ketempat penyiksaan!" Setelah berhenti sebentar, dia berkata: "Jika urusan disini telah
selesai, di pergilah Pat lo kembali ke
istana Sinkiong!" Delapan orang kakek itu segera mengiakan.
Mendadak Khong Ithong berteriak keras: "Nona Kim bersekongkol dengan musuh dari luar..." Kakek Tiong
mendengus dingin, jari tangan nya segera di
ayunkan kemuka dan menotok jalan darah bisu ditubuh Khong It hong,
Dengan marah kakek Siau berkata pula: "Itulah yang dinamakan
mencari penyakit buat diri sendiri, ayoh
cepat menggelinding dari sini dan turut lohu bersaudara pergi ketempat
hukuman!" Paras muka Khong It hong berubah pucat pias bagai mayat, sambil
berdiri dari tanah, dengan gemas dia melotot sekejap kearah si-nona
dan tanpa berpaling lagi dia berjalan keluar Iebih dulu dari ruangan.
Delapan orang kakek itu segera memberi hormat kepada sinona,
kemudian baru mengundurkan diri dari ruangan.
Sepeninggal delapan orang kakek itu, dengan sinar mata setajam
sembilu sinona baru--melotot kearah Chin Hui hou, katanya.
"Chin Hui-hou, sekarang tiba giliranmu !" Chin Hui hou mendekam
diatas tanah tak berani berkutik selama
ini, dia tak pernah mendongakkan kepalanya.. Ketika mendengar
perkataan itu, dengan badan menggigil karena
ketakutan serunya. "Nona, ampunilah jiwaku..." "Hayo bicara !" bentak
nona dengan suara dalam, "dari mana
datangnya luka diatas mukamu itu"!" Chin Hui hou tak berani berayal
lagi, secara ringkas dia lantas menceritakan apa yang telah dialaminya.. Mendengar cerita tersebut,
sinona segera mendengus dingin, katanya: "Didalam persoalan ini kau juga tak akan lolos dari hukuman berat..."
Kemudian dengan nada berubah, katanya. "Tidak sampai berapa hari
lagi Sancu akan pulang, selama beberapa hari ini, kau harus lebih
berhati-hati." Chin Hui hou mengiakan berulang kali, Maka sinonapun menyimpan
kembali lencana Kim lengnya, lalu sambil mengulapkan tangannya dia
membentak: "Enyah kau dari sini, cepatlah kau panggil kemari "Kim poo cu!"
Mengetahui kalau dirinya mendapat pengampunan, Chin hui hou
menjadi girang sekali, dengan cepat dia mengundurkan diri dari
ruangan dan buru buru berlalu dari sana.
Sementara itu Sun Tiong lo sudah balik ke-kamar baca, kepada Bau ji
dia lantas berkata. "Toako, tunggu aku disini, siaute akan pergi dahulu sebentar. "Kau
akan pergi kemana Iagi?" tanya Bau ji dengan tertegun. Sun
Tionglopun segera gelengkan kepalanya berulang kali dan
katanya: "Toako, sekarang kau jangan bertanya dulu. lain kali, siaute
pasti akan menerangkan lebih jelas lagi kcpadamu." Setelah berhenti
sejenak, Katanya lagi: "Sebelum kentongan ketiga nanti, jika siaute
belum juga kembali silahkan toako kembali dulu ke loteng, andaikata nona menanyakan
tentangku,, maka toako bisa mengadakan kalau badanku tidak enak
dan telah pulang dahulu ke-loteng impian untuk pergi tidur!"
Berbicara sampai disitu, tak menunggu pertanyaan dari Bau ji agir dia
segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
-ooo0dw0oooSEMBILAN sosok bayangan manusia bersemi ditengah tanah lapang luas
yang penuh dengan semak belukar. Mendadak kesembilan sosok bayangan manusia itu lenyap dengan
begitu saja. Sesosok bayangan manusia lain yang berada ditempat kejauhan segera
mengerutkan dahinya setelah menyaksikan kejadian itu.
Tampak bayangan manusia itu termenung sebentar, kemudian dengan
suatu gerakan yang amat cepat meluncur kearena tersebut.
Hari ini meski langit tak berbulan, namun secara lamat-lamat dapat
terlihat jelas bayangan serta paras muka orang itu.
Dia memakai jubah panjang dengan wajah yang tampan, cuma sayang
berwarna kuning kepucat-pucatan seperti wajah seorang yang baru
sembuh dari penyakit berat, sementara sepasang matanya dengan tajam
mengawasi sekeliling tempat itu. Tempat dimana dia berada adalah sebuah tanah lapang berumput yang
setinggi lutut. Dibalik semak belukar itu tentu saja terdapat batu-batu cadas, ada yang
besar ada pula yang kecil, tapi selain itu tidak nampak sesuatu yang
mencurigakan lagi. Bayangan manusia itu segera berkerut kening, menggelengkan
kepalanya berulang kali seperti tidak percaya dengan apa yang barusan
terlihat. Mendadak bayangan itu tertawa, sambil maju dua langkah dia berdiri
didepan sebuah batu panjang yang mencuat ke atas.
Dengan kaki kirinya bayangan manusia itu menutul sebentar di atas
batuan tadi, tiba-tiba permukaan tanah itu merekah bagian tengahnya,
bayangan itupun turut terjatuh ke dalam rekahan tanah tersebut.
Permukaan tanah kembali merapat, seperti ular raksasa yang menelan
korbannya. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** Terdengar suara langkah kaki bergema datang,
kalau didengar dari suara itu, tampaknya tidak sedikit jumlahnya. Dalam waktu singkat,
delapan sosok bayangan manusia telah
makin mendekat dari kejauhan dan berdiri di tengah lorong bawah
tanah. Pada kedua belah dinding itu masing-masing tertancap obor.dibawah
cahaya api dapat terlihat bahwa ke delapan orang itu adalah delapan
kakek yang dinamakan Pat tek pat lo.
Tampak Kakek Tiong menyentilkan jari tangannya menotok sebuah
tempat pada dinding bagian kanan, menyusul kemudian terbukalah
sebuah pintu rahasia, delapan orang kakek tersebut dengan cepat
meluncur ke luar sebelum pintu itu merapat kembali.
Beberapa saet kemudian, langit-langit itu membuka kembali dan
bayangan itupun meluncur keluar pula dari dalam lorong tadi.
Waktu itu, delapan orang kakek Pat tek pat lo sedang berjalan didepan
sana, kurang lebih puluhan kaki jauhnya.
Walaupun mereka tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya,
namun gerakan tubuh orang orang itu cukup cepat, dalam waktu singkat
beberapa orang itu sudah menuju kebelakang perkampungan sana.
Bayangan manusia tersebut masih saja mengikuti pada jarak sepuluh
kaki dibelakangnya. Setelah melewati kaki bukit, mendaki pinggang bukit, akhirnya
sampailah mereka diatas puncak bukit dibelakang gunung sana.
Bayangan manusia itu segera mengalihkan sinar matanya kedepan sana,
kemudian diam-diam mengangguk. Sebaris pohon siong yang menjulang tinggi keangkasa telah
menghalangi pandangan matanya, pohon tersebut diatur sangat
rapi dan teratur sekali, pada tanah kosong antara satu pohon dengan
pohon yang lain ternyata ditanami dengan "liong-siong" yang sukar
ditanam, waktu itu pohon "Long-siong" tersebut sudah mencapai
ketinggian lima jengkal. Oleh sebab itu, seandainya barisan pohon siong dan liong siong"
tersebut tidak ditembusi dulu, entah dari sudut pandangan manapun
akan yang tinggi atau rendah, jangan harap bisa menyaksikan
pandangan yang sesungguhnya dibelakang pohon tersebut.
Dibelakang pohon siong itu terdapat sebuah gua batu, diatas gua batu
itu terukirlah huruf "Sin-kiong" yang besar dan berwarna kuning emas.
Bayangan tubuh ke-delapan orang itu lenyap tak berbekas setelah
melewati pepohonan siong yang lebat tersebut, tak bisa disangkal lagi
mereka telah memasuki gua batu yang bernama "Sin- kiong" tersebut.
Kini bayangan manusia itupun telah menembusi pula pepohonan siong
yang lebat tersebut. Akhirnya dia berhenti didepan gua Sin-kiong tersebut, ditepi sebatang
pohon siong. Sorot matanya tidak ditujukan ke arah gua tersebut, melainkan
menyapu sekejap kiri dan kanan gua, kemudian tertawa tergelak.
Sambil bergendong tangan, tegurnya: "Sepanjang jalan kalian
berdelapan telah memancingku kemari,
sekarang, mengapa pula menyembunyikan diri keempat penjuru ?"
Baru selesai dia berkata, dari kedua belah samping gua tersebut
segera berjalan keluar delapan orang kakek. Tiong, Siau, Sin dan Ay
empat kakek muncul dari sebelah kiri
sedangkan Sim, Gi, Hoo, Peng empat kakek yang lain muncul dari
sebelah kanan.... Delapan orang kakek itu segera menyebarkan diri dan menyumbat mati
jalan mundur bayangan manusia tersebut.
Dengan sinar mata tajam sembilu, kakek Tiong mengawasi orang itu
lekat-lekat, lalu serunya. "Orang lihay tidak menampakkan diri, lohu bersaudara betul- betul
merasa terkecoh !" "Mana, akupun sudah terlalu gegabah !" kata orang itu tertawa. Yang
di maksudkan "Terkecoh" oleh delapan orang kakek itu
adalah dia tak menyangka tau tindakan mereka untuk menyembunyikan
diri tidak berhasil mengelabuhi bayangan manusia tersebut.
Sedangkan orang itu mengatakan "Gegabah" karena perguntilannya
berhasil diketahui oleh ke delapan orang kakek tersebut.
Maka kakek Tiong pun segera tertawa terbahak-bahak.
"Hah...haa....sama-sama, sama sama,..haha.... "Ah, mana, mana"
kata orang itu sambil tersenyum, "kalian
berdelapan mengetahui diri ku lebih dulu, seharusnya akulah yang
sudah kalah setingkat dari kalian berdelapan !"
"Kalau begitu kita setali tiga uang, haah..." Tiba tiba kakek Peng
bertanya: "Kau datang dari mana" Siapa namamu ?"
Orang itu tidak menjawab, sebaliknya malah berkata. "Pat-tek-pat-lo
adalah orang orang yang terhormat dan
berkedudukan tinggi, masa tidak tahu bagaimana caranya menerima
tamu ?" Mendengar ucapan itu, Pat-lo menjadi terperanjat. Kakek Tiong
segera bertanya. "Jadi kau sudah tahu siapakah kami berdelapan ?"
"Benar!" orang itu mengangguk. Setelah berhenti sejenak, sambil
tertawa katanya lagi: " Aku tak
ingin berbohong, sesungguhnya aku tahu secara kebetulan
saja..." "Maksudmu ketika kami berada dalam ruang tengah perkampungan itu."
"Benar, kalau tidak dari mana aku bisa tahu siapa gerangan kalian
berdelapan !" "Setelah kan berbicara sejujurnya, aku kuatir kalau keadaan justru
malah tidak menguntungkan bagimu."
"Aaaaah, kalau aku diharuskan berbohong karena keadaan, lebih baik
tidak kulakukan saja." Kakek Tiong berseru tertahan, lalu memandang kearah ketujuh orang
rekannya.. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 9 TUJUH ORANG KAKEK yang lain segera
manggut-manggut. Maka kakek Tiong segera tertawa terbahak
bahak, katanya: "Bagus sekali, bersediakah kau untuk masuk istana
Sin kiong dan berbincang-bincang?" Orang itu tertawa: "Mau sih mau, cuma leluasa
tidak?" Kakek Tiong memandang sekejap rekan-rekannya, kemudian
katanya lagi kepada orang itu: "Kau adalah seseorang yang bisa
dipercaya dan lohu ada niat untuk memenuhi keinginanmu mengertikah kau bahwa istana Sin kiong
bukan suatu tempat yang bisa didatangi setiap orang, lagipula bukit
inipun mempunyai peraturan yang berlaku?"
Orang itu mengangguk. "Aku mengerti, cuma aku adalah tamu dari
Pat lo, lagipula kalian yang mengundang aku masuk, sekalipun disini berlaku peraturan bukit
ini, rasanya hal itu toh berlaku buat orang lain?"
Kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lohu memang
ada maksud begitu, cuma peraturan tetap
peraturan, kaupun tak bisa melanggar peraturan itu!" "Bagaimana
seandainya kutanyakan dulu peraturan kemudian
baru masuk?" "Apakah kau merasa takut?" Orang itu menggeleng,
sahutnya: "Tidak, asal hatiku lurus dan
pikiranku benar, naik langit masuk bumi aku tidak akan takut!" "Kalau
memang begitu, mengapa tidak duduk dulu dalam istana
kemudian baru berbincang bincang?" "Seorang tamu ada baiknya kalau
menurut sopan santun, itulah sebabnya aku ingin bertanya dahulu!" "Baiklah, kalau begitu tanyalah!"
kata kakek Tiong kemudian sambil tertawa. "Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan saja,
yakni bukit ini termasuk kekuasaan istana Sin kiong, ataukah istana itu termasuk
kekuasaan bukit ini" Aku harap Patlo bersedia memberi jawaban yang
sejujurnya." "Maksudmu soal peraturannya?" tanya kakek Tiong dengan wajah
serius. "Lebih tepat kalau dikatakan selain peraturan juga menanyakan
kelompok kekuasaan." Istana ini termasuk dalam bukit ini, tetapi menjunjung tinggi peraturan
bukit!" Orang itu berseru mengiakan, dan kemudian sambil menjura katanya:
"Kalau begitu maafkan kelancanganku, aku akan masuk kedalam!"
Selesai berkata, dengan melangkah lebar dia lantas masuk kedalam
istana Sin kiong. Dengan cepat kakek Tiong menghalanginya seraya berkata:
"Keberanianmu sungguh luar biasa, lohu bersaudara tak berani
bersikap kurang hormat." Setelah berhenti sebentar, katanya lagi: "Adik
Peng, mengapa tidak menunjuk jalan buat tamu agung
kita?" Kakek Peng mengiakan, kepada orang itu katanya kemudian
sambil tertawa: "Kau adalah tamu kami, biar lohu saja yang
membawakan jalan bagimu...". Selesai berkata, kakek Peng mendahului orang itu dan
masuk lebih dulu kedalam istana Sin kiong. Orang itu berpaling kearah kakek
Tiong, kakek itu segera berkata lembut: "Saudara, silahkan !" Sun Tiong lo segera gelengkan kepalanya
be rulang kali, katanya. "Silahkan..." Orang itu tertawa, dengan sikap yang amat santai dia
lantas melangkah masuk ke dalam gua. Di balik gua itu terbentang sebuah
jalan yang lurus, lebih kurang sepuluh kaki kemudian mereka berbelok ke kanan, kemudian setelah
sepuluh kaki lagi merekapun berbelok ke sebelah kiri.
Luas lorong bawah tanah itu mencapai dua kaki, dinding batu
terbentang sampai diatas gua, halus dan licin seperti cermin.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berbelok kekiri, maka munculah sebuah gua yang tiga kaki
luasnya. Orang itu berseru tertahan, kemudian kata-nya.
"Ternyata didalam gua ini hanya terdapat sebuah jalan tembusan saja."
"Benar !" jawab kakek Tiong yang berjalan lima depa disisinya, "setelah
menembusi gua tersebut, kita akan sampai diistana Sin- kiong."
Orang itu manggut-manggut. "Tentunya tempat itu sangat luas
bagaikan dunia !" "Aaaahh, mungkin akan ditertawakan oleh yang
telah melihatnya...." Tanpa terasa orang itu bergumam: "Tempat ini tidak
nampak cahaya api. siapa sangka kalau didunia
ini tak ada dewa?" Mendengar ucapan tersebut, paras muka delapan
orang kakek itu agak berubah. Sementara itu kakek Peng yang berjalan dipaling depan
juga telah berhenti sambil dia berpaling ke arah kakek Tiong, agaknya dia
sedang menantikan petunjuknya. Kakek Tiong segera mengangguk, katanya. "Adik Peng, kita terima
tamu di Teng hong sian!" "Baik toako" jawab kakek Peng dengan
sekulum senyuman menghiasi bibirnya, dia tampak gembira sekali, "siaute akan mendahului
beberapa langkah lebih dulu!" Sementara itu, orang tadi sudah maju kembali kedepan sambil berkata.
"Bisa masuk gua dewa, mendapat tempat di atas Teng hong sian, bunyi
sambu menimbulkan karya seni yang indah, hidup tenteram lupa nama
dan kedudukan, itulah jalan yang palinglah tepat bagi para orang gagah
jaman sekarang!" Ketika mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba sekujur badan kakek Peng
yang berjalan dipaling muka itu gemetar keras.
"Adik Peng, hati hati kakimu!" kakek Tiong segera memperingatkan.
Kembali orang itu berseru: "Bila dalam hati tiada noda dan dosa,
melewati tebing curam tempat bahaya, tenang!" Delapan orang kakek itu tak berkata apa apa,
hanya tampak kakek Peng telah mempercepat langkahnya. Sesudah keluar dari gua,
dari kejauhan sana tampak ada empat
buah lentera yang melayang datang makin lama semakin mendekat,
Orang itu menengok sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
menghela napas sambil muji. "Mendengar kau menghela napas ?" tanya
kakek Tiong sambil berkerut kening. "Sungguh besar benar lagak kalian !" kata orang itu
sambil mendongakkan kepalanya. Sementara itu, ke empat buah lentara tadi
sudah semakin mendekat, ternyata mereka adalah empat orang dayang kecil berbaju
hijau yang masing-masing membawa sebuah lentera kristal, tampaknya
mereka datang untuk membawa jalan bagi delapan kakek serta orang
itu. Tidak menunggu ke empat orang dayang itu memberi hormat, kakek
Peng telah berkata: "Tamu agung telah datang, kalian segera kembali ke istana dan
perintahkan untuk menyiapkan meja perjamuan di Teng-hong-sian, lalu
gunakan lencana Giok-pan untuk mengundang datang "Ngo- siu",
cepat!" Ke empat orang dayang cilik itu segera memberi hormat, kemudian
membalikkan badan dan pergi. Sambil tertawa kakek Tiong lantas berkata kepada orang itu: "Kami
delapan bersaudara akan mempergunakan upacara yang
paling megah untuk menyambut kedatanganmu !" Buru-buru orang itu
menjura. "Upacara Kebesaran semacam ini benar-benar tak berani
kuterima !" Kakek Peng tertawa, katanya: "Mata lohu belum melamur,
karena itu maka kami sengaja memberitahu silahkan !" Semua orang segera mempercepat langkahnya
menuju ke depan. Dari kejauhan sana secara lamat lamat tampak
serentetan bangunan loteng yang saat itu terang benderang bermandikan cahaya.
Tak bisa di sangkal lagi, ke empat orang dayang itu tentunya telah
menyampaikan perintah. Di bawa sinar lentera, orang itu dapat melihat
segala sesuatu dengan jelas. Sebuah keraton berbentuk antik dan indah terbentang didepan mata,
meski jaraknya masih jauh namun nampak jelas ukir ukiran pada tiang
penyanggahnya yang indah dan hidup.
Di luar istana diatas pintu gerbang tentera sebuah papan nama yang
bertulis: "Sin Kiong" dari tinta emas yang indah.
Waktu itu semua pintu diistana terbentang lebar, disebelah kiri berdiri
sepasukan wanita wanita-cantik, sedang disebelah kanan berdiri busu
bertubuh kekar.. Sambil mengulapkan tangannya, kakek yang bernama Peng berkata
dengan lantang: "Sejak malam ini... pintu istana tak bolek ditutup, tidak boleh terjadi
kegaduhan bubarkan semua huhoat pengontrol istana, kemudian
naikkan lentera emas di atas loteng Im siau lo, semua perintah tak boleh
dilanggar...." Dua pasukan laki, perempuan yang berada dikedua sisi istana segera
mengiakan, kemudian setelah memberi hormat kepada delapan kakek
serta orang itu, mereka barulah membalikkan badan dan berlalu,
ternyata langkah merekah sama sekali tak bersuara sedikitpun.
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, kakek Peng segera
membalikkan dan sambil menyingkir kesamping, dan katanya:
"Silahkan saudara!" Orang itupun tak mau kurang hormat, kepada
kakek Tiong ujarnya: "Kakek Tiong silahkan !" Kakek Tiong segera tertawa, sambil
menggandeng tangan orang itu katanya: "Saudara, bagaimana kalau kita berjalan sambil
bergandengan tangan." "Dengan segala senang hati." jawab orang itu sambil
menerima uluran tangan kakek itu. Maka kedua orang itupun bergandengan
tangan masuk kedalam pintu istana. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** DI DALAM Teng liong sian, perjamuan
sudah hampir berakhir, irama musik telah berhenti, dan waktupun sudah menunjukkan
kentongan ketiga tengah malam. Kakek Peng segera memberi tanda, para dayang pun maju
membereskan sisa hidangan dimeja, kemudian teh wangi pun
dihidangkan. Ketika dia memberi tanda lagi, semua orang segera memberi hormat
dan mengundurkan diri. Kakek Peng lantas memandang kakek Tiong, kemudian ujarnya.
"Apakah kita akan menggunakan lencana Giok-pay untuk
menghantar "Nga-siu" keluar dari istana ?" Kakek Tiong tidak
menjawab, tapi sambil berpaling kearah orang
itu katanya: Orang itu mengerling sekejap ke balik tirai bambu yang
tebal itu, kemudian sahutnya: "Kalau tamu sih menuruti saja kehendak tuan
rumah !" setelah berhenti sebentar terusnya; "Cuma, aku merasa agak
kecewa." "Haaahh...haahh... apakah disebabkan tak bisa bersua dengan
"Ngo-siu" Orang itu tersenyum, baIik tanyanya. "Apakah kakek Tiong
tidak sependapat dengan diriku." sekali lagi
kakek Tiong tertawa terbahak-bahak. "Yaa, memang kau tak bisa
disalahkan, "Ngo-siu selain cantik
jelita bak bidadari dari kahyangan, kecerdasan dan kepandaiannya juga
amat jarang aca tandingannya, menurut adat kesopanan, sudah
sepantasnya bila lohu mengundangnya keluar untuk bersua dengan
kau." "Kalau memang menurut adat kesopanan harus begitu, bolehkah aku
mengajukan pertanyaan?" orang itu segera menimbrung.
Kakek Tiong mengalihkan sinar matanya dan memandang orang itu
sekejap, lalu jawabnya. "Cuma, lohu tak berani mengambil keputusan." "Oooh... apakah
dengan kedudukan Pat lo yang terhormat masih
belum sanggup untuk mengundang keluar kedua orang perempuan
cantik itu...?" Paras muka kakek Tiong agak berubah, kemudian katanya.
"Darimana kata kata "dua orang perempuan cantik itu berasal"
mengapa kau bisa berkata begitu?"
"Bukankah dibalk tirai bambu itu terdapat dua orang perempuan
cantik....?" ujar orang itu sambil menuding ke balik tirai.
Kakek Tiong segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaahh.... haahhh...
haaahhh.... r Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bara Naga 1
^