Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 14

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 14


Kalau keponakan mempunyai umur panjang dan tidak jadi mati, tentu tidak akan menyia-nyiakan harapan Siok Siok serta
hadirin untuk merebut kedudukan Bulim Beng-cu. Sayangnya" sekali lagi Tan Ki tertawa
sumbang. Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan membungkam. Perlahan-lahan dia
membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah ruangan besar.
Yibun Siu San segera berteriak: "Anak Ki, kau mau ke mana?"
"Aku tidak ingin Ibu melihat wajahku ketika menjelang kematian. Hal ini pasti akan
membuat hatinya terpukul sehingga jatuh sakit. Lebih baik aku berjalan dulu dan mencari
sebuah tempat yang tenang untuk mengubur diri. Dengan demikian aku akan menghadapi
kematian dengan hati yang tenteram?" meskipun mulutnya menjawab pertanyaan Yibun
Siu San, namun kakinya tidak pernah berhenti sekalipun. Begitu ucapannya selesai, tibatiba
dia mempercepat langkah kakinya dan menghambur pergi.
Dapat dipastikan bahwa dia sedang menahan penderitaan dalam hatinya dan tidak
ingin orang lain melihat wajahnya yang penuh dengan air mata.
Melihat dia memalingkan kepalanya dan pergi begitu saja, Yibun Siu San jadi tertegun.
Kemudian tampak dia tersenyum sendirian, bibirnya bergerak-gerak dan menggumam
seorang diri, "Kalau ditilik dari kata-katanya yang memikirkan keadaan ibunya. Hal ini
membuktikan bahwa dia sudah mengalami perubahan."
Angin pagi bertiup sepoi-sepoi, harum bunga semerbak, tetapi keadaan hati Tan Ki saat
ini sama sekali tidak membayangkan keindahan dunia ini. Pikirannya terpusat pada
keadaan dirinya sendiri yang sebentar lagi akan mati.
Hatinya sangat tertekan. Kakinya bagai diganduli bola besi yang beratnya ribuan kati.
Langkahnya demikian lambat hampir seperti siput yang merayap. Setelah berjalan
beberapa saat, tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya.
Diam-diam dia berpikir dalam hati: "Kalau sekarang aku meninggalkan gedung keluarga
Liu, dan seandainya di tengah jalan luka atau racun dalam tubuh ini tiba-tiba kambuh,
serta mati di tempat, bukankah seluruh penduduk kota ini akan gempar dan ketakutan"
Lebih baik aku cari tempat yang tenang di sekitar
gedung ini?" Begitu pikirannya tergerak, dia langsung berjalan menuju taman bunga di halaman
belakang. Sinar mentari yang terik menyoroti bayangan punggungnya yang tampak
kesepian. Dengan demikian, kentara sekali bahwa hati anak muda ini digelayuti berbagai
pikiran dan penderitaan yang tidak terkirakan.
Berturut-turut dia melewati tiga ruangan dan tiba-tiba hidungnya mencium bau harum
bunga yang menyegarkan. Anginpun terasa sejuk. Tan Ki menghentikan langkah kakinya,
sepasang matanya mengedar. Dia melihat bunga-bunga yang berwarna-warni
bermekaran, ada anggrek, ada seruni. Meskipun saat ini musim semi hampir berlalu, tetapi
rumput-rumput masih menghijau, bunga-bunga tumbuh subur. Apalagi dihiasi dengan
rumpun bambu yang terawat rapi sehingga menimbulkan kesan bahwa taman bunga ini
demikian indah dan membuat perasaan menjadi tenang.
Diam-diam Tan Ki memuji dalam hati: "Tempat ini cocok sekali dipilih menjadi tempat
menunggu kematian." Dia segera memilih sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu dan menjatuhkan
dirinya duduk di sana. Dia merasa berbagai macam pikiran menggelayuti dadanya. Tetapi ketika Tan Ki
berusaha menyimak apa yang sedang dipikirkannya, dia malah merasa benaknya kosong
melompong. Dia sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang terpikirkan olehnya.
Keadaan yang rumit ini, merupakan hal yang belum pernah ia alami seumur hidup. Dia
sendiri sampai merasa heran. Hatinya bermaksud menggerakkan hawa murni dalam
tubuhnya sesuai dengan ajaran dalam kitab yang ditemukannya. Dia berpikir bahwa
mungkin dengan cara demikian, perasaannya yang gundah bisa menjadi tenang. Oleh
karena itu, dia segera memejamkan matanya dan mengatur pernafasan.
Siapa sangka, begitu dia mengerahkan hawa muminya, tiba-tiba dia merasa lengan
kirinya nyeri bagai digigit ribuan semut. Hawa murni dalam tubuhnya pun tidak dapat
mengalir dengan lancar. Tubuhnya menjadi lemas. Hatinya terkejut setengah mati. Ketika
dia menundukkan kepalanya, dia melihat siku kirinya yang tadi terkena serangan Kim Yu,
entah sejak kapan telah timbul bekas darah berwarna keungu-unguan. Hatinya semakin
terkesiap. Tapi warna yang menghiasi sikunya itu sangat tipis sehingga kalau tidak
diperhatikan dengan seksama, maka sulit menemukannya.
Luka yang biasa dan tidak ada keistimewaannya ini, kalau bagi orang lain, tentu tidak
akan menganggapnya sama sekali. Tetapi Tan Ki justru menatapnya dengan wajah penuh
ketegangan. Lama kemudian baru dia pulih kembali kemudian tampak dia menarik nafas
panjang. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang pahit.
"Rupanya ilmu yang dipelajari oleh Kim Yu juga merupakan sejenis ilmu golongan sesat.
Dalam kuku jarinya telah dilumuri racun keji. Sedang tubuhku ini entah diracuni oleh siapa,
cepat atau lambat aku toh akan mati. Serangannya ini paling-paling hanya mempercepat
kematianku saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan?"
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa dia memejamkan matanya. Kepalanya menggeleng
dan berulang kali dia menarik nafas panjang. Hampir saja air matanya mengalir lagi
mengingat nasibnya yang malang. Tiba-tiba telinganya menangkap suara langkah kaki
yang lirih yang menghampiri ke arahnya.
Saat ini perasaan hati Tan Ki sudah hambar. Malah dia sudah kehilangan
kegembiraannya sama sekali. Meskipun dia tahu bahwa ada seseorang yang sedang
berjalan mendekatinya, tetapi dia merasa malas membuka matanya untuk melihat
sekejappun. Terdengar suara langkah kaki itu semakin lama semakin mendekat. Sekarang jaraknya
paling-paling empat lima depa dari hadapannya. Kemudian langkah kaki itu berhenti.
Mungkin orang itu sudah melihat Tan Ki maka menghentikan gerakan tubuhnya.
Sekejap kemudian, terdengar lagi suara langkah tadi yang semakin jelas menghampiri
tempatnya berada. Keadaan ini membuat rasa penasaran Tan Ki bangkit juga. Oleh karena itu, dia
membuka matanya sedikit dan mengintip. Tanpa dapat ditahan lagi mulutnya
mengeluarkan seruan terkejut. Kemudian wajahnya menyiratkan rona merah jambu.
Rupanya orang ini sama sekali tidak asing bagi dirinya. Justru gadis ini yang selalu
membuat perasaannya menjadi jengah setiap kali bertemu, yakni Cin Ying dari Lam Hay.
Sejak hujan badai yang dialaminya tadi malam, di mana dia memperkosa Liang Fu Yong
tanpa sadar. Justru dirinya sial sekali karena kepergok oleh gadis ini. Malah dia pula yang
mengantarkan dua stel pakaian guna menutup diri mereka yang bugil. Teringat kembali
hal yang demikian memalukan, bagaimana wajahnya tidak menjadi merah padam"
Justru ketika merasa tidak tenang karena malu setengah mati, terdengar gadis itu
bertanya dengan suara yang lembut. "Apakah kau duduk di sini menunggu kedatangan seseorang?" suaranya begitu tenang
sehingga orang tidak dapat menduga apa yang tersirat dalam hatinya. Apakah dia sedang
marah atau gembira. Tan Ki menggelengkan kepalanya. "Aku sedang menunggu kematian!"
Cin Ying jadi tertegun mendengar kata-katanya.
"Apa" Menunggu kematian?"
Tan Ki tertawa getir. "Tidak salah, aku memang sedang menunggu kematian."
Sepasang mata Cin Ying yang indah membelalak lebar-lebar. Dari dalamnya menyorot
sinar yang tajam, dia memperhatikan Tan Ki dari atas kepala sampai ke bawah kaki
seakan ingin menyelidiki apakah anak muda ini tiba-tiba saja menjadi kurang waras.
Sementara itu, bibirnya tetap berbicara, "Kata-katamu itu tiada ujung tiada pangkalnya.
Orang yang mendengar akan sulit untuk memahami. Bagaimana kalau kau
menceritakannya lebih jelas dan lihat apakah aku sanggup menolongmu?" kata-katanya
terhenti sejenak, kemudian dia menarik nafas panjang. "Hawa racun yang terpancar dari
dirimu tampaknya sudah mencapai taraf yang parah sekali?"
Tan Ki tertawa sumbang, "Meskipun kau bisa melihat bahwa diriku sedang keracunan,
tetapi biar bagaimana kau pasti tidak dapat menghilangkan dua jenis racun yang segera
menunjukkan reaksinya dalam waktu yang bersamaan."
"Benarkah sudah separah itu?" kalau ditilik Bari nada suaranya, tampaknya gadis itu
masih kurang percaya. Tan Ki mendongakkan wajahnya dan tersenyum gagah.
"Pertama-tama ada seseorang yang meracuni tubuhku. Begitu hebatnya sampai aku
pendiri tidak tahu bagaimana caranya dan ti-dak menyadarinya sama sekali. Barusan aku
bertarung dengan jago dari Si Yu, akibatnya aku terkena serangan kuku beracun dari adik
seperguruan Kaucu Pek Kut Kau itu. Dua jenis racun berkumpul menjadi satu dan sebentar
lagi akan menunjukkan reaksinya. Meskipun aku memiliki tenaga dalam yang lebih hebat
lagi, dan dapat memperpanjang umurku sampai senja nanti, tetapi tetap saja tidak sempat
melihat mentari esok pagi. Apabila kedua racun ini sudah kambuh, aku pasti akan
menemui ajal." Wajah Cin Ying lambat laun menjadi kelam. Segulung perasaan sedih tiba-tiba saja
menyelimuti hatinya. Tumbuh semacam perasaan khawatir yang dalam. Air matanya
mengembang lalu menetes turun membasahi pipinya.
Mendadak tampak tubuh Tan Ki bergetar hebat sekejap. Dia seolah mendadak ditinju
oleh seseorang dengan keras. Sepasang alisnya bertaut dengan erat. Begitu sakitnya
sehingga keringatnya mengucur dengan deras.
Melihat keadaan itu, jantung Cin Ying seakan berdegup dengan kencang. Cepat-cepat ia
membungkukkan tubuhnya dan berjongkok di samping Tan Ki.
"Kenapa kau?" "Sebentar lagi aku akan mati. Maukah kau mendengar beberapa patah perkataanku?"
kata-kata ini diucapkan dengan gugup, tampaknya dia sedang menahan penderitaan yang
hebat. Selesai berkata, cepat-cepat dia memejamkan matanya dan mendekap dadanya
sendiri. Nafasnya seakan mendadak menjadi sesak.
Cin Ying mengulurkan tangannya dan menempelkannya di dahi anak muda itu. Begitu
tersentuh olehnya, dia merasa dahi anak muda itu panas membara bagai kobaran api. Dia
bagai menyentuh besi yang dibakar di atas tungku. Hatinya tercekat bukan kepalang. Air
matanya mengalir dengan deras. "Seandainya Siangkong mempunyai kepentingan yang mendesak, harap katakan saja.
Semoga Cin Ying mempunyai kesanggupan untuk membantu?"
Mendadak Tan Ki membuka sepasang matanya. Sepasang bola matanya mengerling ke
sana ke mari, kemudian perlahan-lahan dia menarik nafas panjang. Meskipun dia sudah
bersiap menunggu datangnya malaikat el-maut, tetapi wajahnya saat ini menyiratkan
kepanikan dan kecemasan yang tidak terkatakan. Perlahan-lahan dia mengulurkan
tangannya dan mencekal pergelangan tangan Cin Ying.
"Aku sudah hidup selama dua puluh tahun lebih. Tetapi aku justru membuat banyak
kericuhan di dunia Kangouw. Aku tidak takut mati, juga tidak ada hal yang perlu
kuberatkan. Satu-satunya masalah yang membuat aku tidak dapat menutup mata dengan
tenang, hanya karena ibuku yang malang itu. Tidak ada orang lagi yang memperhatikan
dan merawat dirinya. Ketika aku berusia belasan tahun, ayahku mati secara mengenaskan.
Sedangkan saat itu dia masih merupakan seorang wanita yang baru menjelang usia
matang?" Dari kata-katanya ini, Cin Ying sudah dapat menduga sedikit apa yang
dimaksudkannya. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang dan menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Tan Ki menggenggam tangan Cin Ying erat-erat. Tiba-tiba dia menambah sedikit
kekuatannya dan menggeser tubuhnya merapat kepada gadis itu.
Melihat wajahnya yang basah oleh keringat dingin dan tampangnya yang mengenaskan
itu, Cin Ying tidak tega kalau sampai tubuhnya terjatuh. Dia juga tidak ingin menambah
penderitaan anak muda itu. Akhirnya terpaksa dia merentangkan sepasang lengannya
perlahan-lahan dan memeluk tubuh Tan Ki.
Serangkum bau harum yang menyegarkan memencar ke mana-mana. Tan Ki malah
menarik nafas panjang. "Aku tahu hatimu pasti merasa serba salah. Tetapi sebentar lagi aku akan mati. Tidak
ada orang yang dapat kutinggalkan pesan. Lagipula baru pertama kali ini aku mengajukan
permohonan kepada seseorang, juga merupakan permohonan yang terakhir kalinya?"
Selama hidupnya, belum pernah Cin Ying menghadapi hal seperti ini. Juga belum
pernah ada orang yang memohonnya dengan suara demikian tulus. Serangkum hawa
panas bergejolak di dalam hatinya seketika. Hatinya merasa tergugah juga sekaligus
diliputi kebimbangan yang tidak terkirakan..
Dia mendongakkan wajahnya menatap awan putih di atas langit. Gerakan awan itu
terasa begitu lambat dalam pandangannya. Dalam hatinya dia justru berpikir: "Ini
merupakan peristiwa yang luar biasa dan berat. Kalau aku mengabulkan permintaannya,
maka untuk seumur hidup aku harus merawat ibunya baik-baik. Aku harus
menganggapnya sebagai ibu kandungku sendiri?"
Kalau didengarkan saja, tampaknya urusan ini sangat sederhana. Tetapi untuk
melaksanakannya justru memerlukan tanggung jawab yang tidak kepalang tanggung
beratnya. Perlahan-lahan Tan Ki mendongakkan kepalanya. Dia melihat gadis itu sedang menatap
langit dan dengan pandangan menerawang. Dia segera maklum bahwa gadis itu sedang
mempertimbangkan permintaannya matang-matang. Tan Ki mempunyai kecerdasan yang
melebihi orang lain. Malah dia pernah berkelana di dunia Kangouw seorang diri, meskipun
usianya masih cukup muda, tetapi segala macam hal sudah pernah ditemuinya. Dia
mengerti sekali bahwa orang yang tidak mudah mengucapkan janji, justru sekali
mengabulkan akan melaksanakannya sebaik mungkin. Seperti sebuah palang besi yang
dipantekkan dalam hatinya dan untuk selamanya tidak dapat diubah.
Dia berusaha memberontak agar tubuhnya dapat bergeser dan kemudian menyusupkan
kepalanya di atas bahu gadis itu. Dengan demikian perasannya menjadi lebih tenang dan
rasa sakitnya pun agak berkurang. Justru karena dia mengerti sekali perasaan orang yang tidak mudah mengucapkan janji
ini, maka dia juga tidak ingin Cin Ying mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Hatinya
berpikir, asal kematian belum menjemputku dan aku bisa mendapatkan janjinya, maka
semuanya sudah lebih dari cukup. Perlahan-lahan pikirannya mulai melayang-layang. Wajahnya yang tampan malah
mengembangkan seulas senyuman yang tenang. Laksana sebatang pohon siong yang
dilanda gelombang badai, kemudian secara tiba-tiba dipindahkan oleh seseorang ke dalam
rumah. Hatinya terasa nyaman, tenang dan tidak menyiratkan ketakutan menjelang ajal
sedikitpun. Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya yang lemah tidak bertenaga lalu
meletakkannya di atas dadanya sendiri. Matanya terbuka lebar-lebar menatap awan putih
di atas langit. Diam-diam hatinya berpikir"
"Orang-orang di dunia ini selalu menganggap kematian sebagai suatu hal yang
mengerikan. Orang yang bagaimana gagahnya pun atau pendekar yang namanya
menjulang tinggi, juga tidak dapat menahan ketegangan diri dalam menghadapi kematian
dan hatipun berdebar-debar. Tetapi aku malah tidak merasa takut sama sekali. Hatiku demikian
tenteram dan tenang. Aku akan membawa seulas senyuman dan mati dalam
pelukannya." E Tampaknya Cin Ying sudah mengambil sebuah keputusan yang besar. Dia
menghembuskan nafas panjang dan menatap ke arah Tan Ki.
"Aku berjanji bahwa untuk seumur hidupku! Kini aku akan menjaga ibumu baik-baik
dan menganggapnya sebagai ibuku sendiri!"
Tan Ki merasa terhibur sekali mendengar kata-katanya. Bibirnya merekahkan seulas
senyuman yang manis. "Aku tahu, kalau kau sudah berjanji maka hatimu bagai telah dipantek oleh sebuah
palang besi. Meskipun lautan bisa berubah, tetapi kata-kata yang telah kau ucapkan
selamanya tidak akan pernah diingkari."
Cin Ying tersenyum datar. "Siangkong terlalu memuji diriku." dia berhenti sejenak. "Tetapi, sebelum aku
mengabulkannya tadi, hal ini memang membuat hatiku bimbang sekali. Aku telah
memikirkan banyak hal. Seumpamanya, istri yang baru kau nikahi, kau juga pernah
berjanji untuk mengambil adik Cin Ie sebagai selir. Masih ada lagi Liang Fu Yong, Lok
Ing" pokoknya beberapa perempuan ini. Meskipun aku telah berjanji untuk merawat
ibumu, tetapi tidak pernah menunjukkan bahwa aku akan menikah denganmu, tetapi kalau
hal ini sampai terdengar oleh mereka, mungkin bisa timbul gelombang badai yang
dahsyat." "Sebelum kematian menjemput, aku dapat mendengar kata-katamu, rasanya aku pasti
dapat memejamkan mata dengan tenang."
Cin Ying tertawa datar. "Bagaimana perasaanmu saat ini?"
"Hampir. Sebentar lagi pasti aku mati." Cin Ying mendongakkan wajahnya menatap
langit. "Apakah kau sendiri merasa bahwa jiwamu benar-benar tidak tertolong lagi?" tanyanya
sendu. "Tidak ada jalan lagi. Saat ini detik ini, biarpun ada orang yang mengantarkan obat
dewa yang dapat menyembuhkan segala macam racun, tetap saja tidak mungkin dapat
menawarkan dua jenis racun sekaligus."
Terdengar suara keluhan dari mulut Cin Ying. Diam-diam dia berpikir: "Kalau begitu, dia
sudah pasti akan mati. Meskipun tidak ada harapan sama sekali untuk menyembuhkannya,
tetapi aku juga harus mengerahkan segenap kemampuan dan mencoba mencari jalan
keluar?" Tiba-tiba dia merasa sepasang lengan Tan Ki yang sedang memeluk dirinya semakin
mengencang. Dalam waktu yang bersamaan, telinganya menangkap suara anak muda itu
yang lirih dan lembut: "Maukah kau memelukku lebih erat lagi, biar aku merasakan agak
tenteram?" Nada suaranya begitu tulus dan mengandung permohonan yang dalam. Hal ini justru
membuat Cin Ying merasa tidak sampai hati menolaknya. Dia menarik nafas panjang lalu
menuruti permintaan Tan Ki memeluknya lebih erat lagi. Dalam waktu yang bersamaan,
dia memejamkan matanya dan menghembuskan nafas panjang.
Tiba-tiba Tan Ki merasa di dalam hatinya terdapat gejolak yang melonjak-lonjak.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keringatnya mengucur dengan deras. Pikirannya berkata bahwa saatnya sudah hampir
tiba. Perlahan-lahan dia memejamkan matanya dan berkata, "Sudah hampir, aku telah
merasakannya, peluklah aku lebih erat lagi!"
Diam-diam Cin Ying juga berpikir: "Sebentar lagi dia akan mati, bagaimana aku masih
mempersoalkan segala macam peradatan dan batas-batas duniawi sehingga membuat
perasaannya terluka" Kelak apabila adik Cin Ie mengetahui urusan ini, aku yakin dia tidak
akan menyalahkan diriku?" Dengan membawa pikiran demikian, sepasang lengannya dipererat dan ia memeluk Tan
Ki dengan sepenuh tenaga. Ketika dia menundukkan kepalanya memperhatikan, dia
melihat tampang anak muda itu begitu tenang. Wajahnya yang tampan mengembangkan
senyuman. Tidak tersirat sedikitpun rasa takut menjelang kematian. Bahkan hawa
kehijauan yang terdapat di keningnya, juga entah sejak kapan, tahu-tahu sudah lenyap
tidak terlihat lagi. Bahkan dia juga tidak melihat ada penderitaan yang ditahan oleh Tan Ki.
Diam-diam hatinya merasa kagum sekali.
"Jarang sekali orang yang memandang ke-matian seperti pulang ke rumah. Dia boleh
dibilang seorang pemuda yang hebat. Banyak orang gagah di dunia ini, tetapi dalam
menghadapi kematian, pasti terhitung jari orang yang dapat demikian pasrah dan tidak
menyiratkan ketakutan sedikitpun!"
Angin musim semi yang berhembus di dalam taman membawa bau harum bungabungaan
yang menyegarkan. Suara gerakan bambu yang berderak-derak terus merasuk
ke dalam gendang telinga, berpadu dengan desah nafas Tan Ki yang berirama serta
membawa serangkum hawa kelaki-lakian yang terus menerpa indera penciuman gadis itu.
Tampak cahaya mentari yang menyoroti bambu-bambu seakan menindak maju satu
liangkah lagi. Diam-diam dia menghitung waktu yang terus berlalu. Rasanya mereka
berdiam diri sudah ada kira-kira sepenanakan nasi lamanya.
Ketika dia mempertajam indera pendengarannya, terasa nafas Tan Ki begitu teratur dan
tidak menunjukkan seperti orang yang sudah hampir mati. Malah seperti orang yang
tertidur pulas dan bermimpi tentang suatu yang indah. Sudut bibirnya tetap
menyunggingkan seulas senyuman. Semakin diperhatikan, hati Cin Ying semakin curiga. Orang yang mati nafasnya pasti
berhenti. Urat nadi dan jantungpun akan berhenti berdenyut. Sekarang Tan Ki justru
pernafasannya begitu teratur, bibirnya masih bisa tersenyum lagi. Mana mirip dengan
orang yang hampir mati. Oleh karena itu, dia segera mengguncang-guncangkan sepasang
lengannya dan memanggil dengan suara rendah.
"Tan Siangkong, Tan Siangkong"!"
Perlahan-lahan Tan Ki membuka sepasang matanya dan memperhatikan Cin Ying lekatlekat.
Lamat-lamat dia membuka suara, "Apakah aku sudah mati?"
Cin Ying menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Sedikitpun kau tidak mirip dengan orang mati."
Tiba-tiba Tan Ki menegakkan tubuhnya dan melepaskan diri dari pelukan Cin Ying.
Sepasang matanya persis obor api dan berputar mengawasi sekelilingnya. Dia
mengangkat tangannya dan mengetuk batok kepalanya perlahan-lahan. "Aneh sekali?"
Kemudian dia mengangkat tangan kanannya dan menggigitnya sedikit. Mulutnya
mengeluarkan suara seruan terkejut, "Mungkinkah aku sedang bermimpi di siang bolong
dan belum mati?" Cin Ying mengeluarkan suara dengusan yang dingin dari hidungnya. Dia segera tertawa
dingin. "Kau memang belum mati, malah aku dibuat sampai berdebar-debar malah menangis
seperti orang kurang waras." Tan Ki menarik nafas panjang. "Di dalam tubuhku mengendap dua jenis racun yang berlainan, hal ini merupakan
kenyataan. Tetapi mengapa aku tidak mati?"
Hati Cin Ying langsung tergerak. Tiba-tiba dia ingat rumus suatu ilmu pengobatan yang
pernah dibacanya dalam sebuah kitab. Yakni dongan daya Kang (keras) menolak daya Im
(lembut). Ada seperti tidak ada. Dirinya seperti tersentak sadar, mulutnya segera
mengeluarkan seruan terkejut. "Aku mengerti sekarang!" Tan Ki menjadi panik. "Apa yang kau mengerti" Kalau aku memang sengaja mendustaimu, biar aku tidak
mendapatkan kematian yang layak!" tampangnya tegang sekali. Dalam sekejap saja
tampak keringatnya jatuh bercucuran, seperti orang yang merasa gugup sekali.
Cin Ying tertawa lebar. "Mengapa kau jadi gugup seperti itu, aku toh tidak mengatakan bahwa kau mendustai
aku!" Tan Ki mengangkat tangannya ke atas dan mengusap keringat yang membasahi kening
serta wajahnya. "Tetapi aku tetap saja merasa heran. Mengapa aku kok bisa tidak jadi mati?"
"Dua jenis racun saling bertentangan, akhirnya malah menghilangkan daya kerja racun
itu masing-masing. Kalau dalam ilmu pengobatan, hal ini disebut racun lawan racun.
Mungkin begitulah kejadiannya. Pertama-tama tubuhmu diracuni oleh seseorang,
kemudian tergores kuku beracun jago dari Si Yu. Kebetulan kedua jenis racun ini memang
tidak cocok satu dengan lainnya sehingga saling menggempur di dalam tubuhmu dan
menimbulkan keajaiban yakni keduanya menjadi lenyap tidak berbekas?"
"Aku tahu, aku diracuni oleh orang tidak diketahui secara diam-diam dan racun itu
mengandung daya Im sedangkan ilmu yang dipelajari oleh Kim Yu menggunakan racun
yang mengandung daya Kang. Dua jenis racun saling menyerang, Im dan Kang saling
memakan sehingga akhirnya malah musnah kedua-duanya."
Cin Ying tertawa lebar. "Kurang lebih begitulah penjelasannya?"
Tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya telah mengabulkan permintaan Tan Ki, tak urung
diam-diam dia menarik nafas panjang dan menghentikan kata-katanya.
Tan Ki jadi tertegun melihat sikapnya.
"Kenapa kau?" tanyanya bingung.
Cin Ying memaksakan sebuah senyuman dan mengalihkan pokok pembicaran.
"Enghiong tayhwe sudah dimulai di wilayah luar kota Para jago yang ada di gedung
keluarga Liu, kemungkinan besar semuanya sudah menuju ke sana. Tadinya aku berpikir
akan meninggalkan adik Ie di sini dan aku akan Kembali seorang diri ke Lam Hay. Tetapi
aku pernah berjanji kepada Tan Siangkong bahwa akan membantumu merebut kedudukan
Bulim Bengcu dan mencarikan jalan yang baik untuk membalas dendam bagi kematian
ayahmu. Oleh karena itu, terpaksa aku membatalkan maksudku dan menunggu sampai
semua urusan ini selesai, barulah aku terbebas dari segala ikatan."
Tan Ki menarik nafas perlahan-lahan.
"Rasanya aku masih segan memperebutkan segala nama kosong itu?"
Wajah Cin Ying yang cantik langsung berubah mendengar kata-katanya.
"Omong kosong!" dia membentak dengan suara keras.
"Bagaimana kau bisa membalas dendam atas kematian ayahmu, bagaimana kau harus
menunjukkan mukamu di hadapan ibumu dan beberapa gadis yang memujamu itu" Kau
boleh pertimbangkan sendiri baik-baik, aku sendiri tidak perduli apa nama besar atau
bukan, pokoknya untuk perjalanan ini mau tidak mau kau tetap harus pergi!"
Tampak pergelangan tangannya memutar dan secara tiba-tiba terulur ke depan untuk
mencengkeram. Kecepatannya bagai kilat, tahu-tahu tangan Tan Ki telah tercekal olehnya.
Dia tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada Tan Ki untuk memprotes, diseretnya
anak muda itu dan diajaknya pergi dari sana.
BAGIAN XXXVI Tempat ini merupakan sebuah bukit yang arealnya sangat luas. Dari puncaknya dapat
melihat pemandangan bawah yang indah serta pepohonan yang subur.
Saat ini di bagian puncaknya telah didirikan sebuah panggung atau pentas
pertandingan yang tinggi. Dari bawah dapat dilihat kepala manusia bergerak-gerak.
Tampaknya ramai orang yang hilir mudik, jumlahnya tidak kurang dari ratusan orang.
Tentu saja, orang-orang ini merupakan angkatan yang sudah mempunyai nama di dunia
Kangouw dan kedatangan mereka dapat dipastikan untuk ikut meramaikan suasana dalam
merebut kedudukan Bulim Bengcu. Cin Ying menarik tangan Tan Ki dan mengajaknya masuk ke dalam tenda besar yang
digunakan untuk tempat duduk para tamu. Dari awal sampai akhir, Tan Ki terus
mengeratkan sepasang alisnya tanpa berkata sepatah katapun, seakan ada urusan maha
besar sedang melanda hatinya saat ini. Dan masalah ini tidak dapat diungkapkannya
keluar sehingga terpendam dalam hati dan membuat perasaannya jadi kurang gembira.
Dalam sekejap mata, kedua orang itu sudah sampai di bawah pentas pertandingan.
Terdengar suara angin pukulan menderu-deru. Hawa panas seakan ombak yang
bergulung-gulung, dari atas pentas sering terpancar angin yang kencang dan menerpa
lewat di samping wajah. Rupanya saat ini di atas pentas sudah ada orang yang memulai pertandingan. Tentu
saja tujuan mereka untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu.
Tan Ki mengangkat pandangan matanya memandang ke atas. Dia melihat si pengemis
sakti Cian Cong dan Yibun Siu San duduk di belakang panggung yang dibatasi tali panjang.
Kursi yang mereka duduki adalah kursi tinggi berbentuk singa. Di hadapan mereka
terdapat sebuah meja persegi panjang yang ditutupi dengan sehelai taplak berwarna
merah menyala. Di atas meja terdapat beberapa buku tebal dan lengkap dengan alat
tulisnya. Perhatian mereka terpusat pada kedua orang yang sedang bertanding di atas
panggung. Tentu saja kedua tokoh angkatan tua dari Bulim ini bertanggung jawab atas hasil
pertandingan yang berlangsung atau disebut juga sebagai juri. Merekalah yang
menentukan siapa diantara kedua orang yang bertanding itu yang dapat dianggap menang
atau siapa yang dianggap kalah. Liu Seng, Kok Hua Hong dan Ciong San Suang-siu berdiri
berpencaran di setiap sudut. Mereka memperhatikan keadaan di sekitar dengan tangan
menggenggam senjata masing-masing. Mungkin mereka bertugas menjaga segala
kemungkinan yang tidak diinginkan di saat pertandingan sedang berlangsung. Atau
dengan kata lain mereka bertindak sebagai petugas keamanan.
Saat ini kedua pendekar yang sedang berada di atas pentas sedang bertarung dengan
sengit. Mereka seperti berduel mati-matian. Tampak bayangan manusia berkelebat ke
sana ke mari. Tinju dan pukulan mereka menimbulkan angin yang kencang. Orang-orang
yang berada di bawah pentas sampai merasa tegang melihatnya. Kadang-kadang mereka
sampai menahan nafas kalau keadaan agak genting atau dapat membahayakan jiwa salah
satu dari kedua orang tersebut. Biarpun arena yang dibangun cukup luas karena dapat
menampung begitu banyak orang, tetapi saat ini justru tidak terdengar suara sedikitpun.
Tan Ki mengerlingkan matanya memandang si cantik jelita yang ada di sampingnya.
Siapa nyana gadis itu juga sedang melirik ke arahnya. Dua pasang matapun bertemu
pandang, jantung mereka sama-sama tergetar, wajahpun menjadi merah padam seketika,
dan cepat-cepat keduanya memalingkan wajah mereka dan tidak berani melihat lagi.
Dari sinar mata keduanya, mereka dapat menduga apa yang tersirat dalam pikiran
masing-masing. Hal itu merupakan suatu perasaan yang sangat janggal dan aneh.
Demikian ajaibnya sampai tidak dapat diuraikan dengan kata-kata.
Tan Ki merasa wajahnya menjadi panas, dia teringat akan dirinya yang keracunan
sebanyak dua kali namun dapat meloloskan diri dari kematian. Tetapi justru mengira
dirinya sudah di ambang ajal sehingga menyandarkan dirinya dalam pelukan gadis itu dan
mengucapkan kata-kata yang romantis. Hal ini malah menambah perasaan malu dalam
hatinya sehingga kepalanya tertunduk dalam-dalam dan menarik nafas panjang.
"Mengapa kau menarik nafas" Adikku Cin Ie dan pengantin barumu semuanya sudah
berada di sini. Mereka sudah siap melihat kau mengunjukkan kepandaian dalam
memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu yang gemilang. Pertemuan besar yang tidak
sering diadakan, mungkin bagi kalian orang-orang Tionggoan merupakan hal yang jarang
ditemui. Pertemuan ini bagi tokoh-tokoh yang namanya sudah menjulang tinggi ataupun
yang masih kelas teri, tetap merupakan impian yang ditunggu-tunggu. Tanpa
memperdulikan mati hidup sendiri, mereka berusaha sekuat tenaga untuk dapat merebut
kedudukan Bulim Bengcu ini. Kau harus menunjukkan segenap kemampuanmu, jangan
membuat banyak orang menjadi kecewa!"
Tan Ki menghentakkan kakinya sambil menarik nafas.
"Aku?" tadinya dia ingin mengatakan bahwa dirinya sudah pernah menggemparkan
dunia persilatan, bahkan telah membunuh sejumlah jago-jago di dunia Bulim dengan
nama Cian bin mo-ong. Tetapi kata-kata sudah sampai di ujung lidah, dia malah merasa
kurang tepat bila diungkapkan pada saat ini. Akhirnya dia menarik nafas perlahan-lahan
dan membungkam seribu bahasa. Cin Ying dapat melihat mimik wajahnya yang panik dan tegang. Bibirnya sudah
bergerak ingin mengatakan sesuatu tetapi dibatalkannya kembali. Diam-diam dia merasa
heran Sepasang matanya yang besar dan indah menatap diri Tan Ki lekat-lekat.
"Kau kenapa?" Tan Ki tertawa getir. "Banyak sekali perkataan yang ingin kusampaikan kepadamu. Tetapi segalanya terasa
demikian rumit sehingga aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin pada suatu
hari nanti?" Tiba-tiba terasa angin berdesir, kata-katanya jadi terhenti. Ketika memalingkan
wajahnya, dia melihat Cin Ie, Mei Ling, Liang Fu Yong bertiga sedang berlari ke arahnya
dengan cepat. Cin Ie wataknya lebih terbuka dan suka Ceplas-ceplos. Melihat Tan Ki, dia
langsung mempercepat langkahnya dan berteriak.
"Apakah lukamu sudah sembuh" Aib, ketika aku mendengar dari Yibun Siok Siok bahwa
luka yang kau derita sangat parah, ditambah lagi racun yang mengendap dalam tubuhmu,
serta ada kemungkinan bisa mati, aku panik setengah mati. Setelah memohon berkali-kali,
akhirnya Cici baru menyatakan persetujuannya untuk melihat keadaanmu. Tetapi kalau
dilihat dari keadaanmu sekarang, tampaknya kau sudah sembuh bukan?"
Cin Ying menarik tangannya perlahan-lahan.
"Sudahlah, sudahlah. Begitu ketemu kau langsung menyerang orang dengan
pertanyaan yang bertubi-tubi. Tidak malu ditertawakan orang" Hayo kita pergi, biar
mereka suami isteri melepas kerinduan. Pasti banyak yang ingin mereka katakan."
Tanpa menunggu jawaban Cin Ie, dia langsung menarik tangan gadis itu dan
mengajaknya berjalan ke depan. Sinar mata Liang Fu Yong yang sendu melirik sekilas ke arah adik Ki yang dicintainya
tu. Dia mengembangkan senyuman yang tipis alu mengikuti Cin Ying serta Cin Ie berjalan
meninggalkan mereka berdua. Lirikannya yang sekilas itu menyorotkan kasih sayang yang tidak terkira. Dan seakan
banyak sekali kata-kata yang terpendam dalam hatinya. Mungkin orang lain tidak
merasakannya, tetapi Tan Ki yang melihatnya langsung berdebar-debar dan jantungnya
berdegup lebih keras lagi. Dia langsung teringat peristiwa yang mereka lakukan di balik gunung-gunungan dekat
taman bunga. Tanpa dapat ditahan lagi kepalanya langsung tertunduk dalam-dalam dan
tidak berani mendongak untuk beberapa waktu lamanya.
Tiba-tiba dia merasa ada sebuah tangan yang halus menggenggam tangan kanannya.
Di telinganya terdengar suara yang bening dan lembut, "Tan Koko?"
Suaranya lebih mirip isak tangis, di dalamnya terkandung perasaan cinta yang meluap
dan kelembutan yang tidak terkatakan.
Hati Tan Ki sampai bergetar mendengarnya, perlahan-lahan dia menarik nafas panjang,
tetapi tetap membisu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sepasang mata Mei Ling yang indah dan berkilauan menatap suaminya lekat-lekat.
Seakan takut anak muda itu akan menghilang secara gaib dari hadapannya. Cengkeraman
tangannya diperkuat dan menggenggam tangan Tan Ki lebih erat lagi. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyuman yang sendu.
"Kau sudah mengalami berbagai hal, aku sudah mendengarnya dari Liang Cici. Semua
peristiwa yang telah terjadi, akulah yang salah. Aku" aih! Rupanya aku adalah seorang
perempuan yang demikian bodohnya, selamanya tidak mengerti kesulitan dirimu dan
penderitaan yang ada dalam hatimu." Tan Ki tertawa getir.
"Dalam hal ini kau juga tidak dapat dipersalahkan. Aku selalu menganggap diriku paling
pintar, tetapi dalam keadaan seperti tadi malam, aku juga tidak dapat menahan emosi
sehingga mengakibatkan pertengkaran dengan dirimu?" tiba-tiba dia teringat akan
sesuatu hal. Wajahnya yang tampan langsung berubah dan tampaknya dia malu sekali
juga gugup. "Apakah Fu Yong sudah menceritakan semuanya kepadamu?"
Mei Ling mengiakan dengan suara lirih. Kepalanya juga ikut mengangguk. "Baik yang
dulu maupun peristiwa yang terjadi tadi malam, dia sudah menceritakannya secara
terbuka kepadaku." Tubuh Tan Ki agak bergetar. Dia merasa seperti ada segulung hawa panas bergejolak
di dalam dadanya. Dia menjadi gugup sekali.
"Jadi" semua" nya kau sudah tahu?"
Mei Ling tersenyum lembut. Tubuhnya bergerak gemulai mendekati Tan Ki. Sikapnya
serius sekali, dia menyusupkan kepalanya di dada Tan Ki kemudian mendongakkan
wajahnya menatap anak muda itu. "Apa yang kau takutkan, toh belum aku jelaskan semuanya. Kalau kau memang suka,
aku bersedia mengalah dan membiarkan Liang Cici yang menempati kamar pengantin
kita?" Kata-kata ini diucapkannya dengan tenang dan lembut. Nadanya juga tulus sekali. Dari
matanya menyorot sinar yang penuh cinta kasih. Dia menatap suaminya lekat-lekat seakan
menunggu jawaban darinya. Mendengar kata-katanya, perasaan Tan Ki jadi tergugah. Hatinya merasa nyaman
bukan kepalang atas pengertian isterinya.
"Aku" aku tidak tahu apa yang harus kukatakan?"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang nyaring dan keras menggelegar memecahkan
keheningan, bahkan telinga sampai berdengung dibuatnya!
Pembicaraan kedua orang itu pun terhenti seketika. Begitu mata didongakkan ke atas,
ternyata dalam pertadingan di atas panggung sudah ada penentuan siapa yang menang
dan siapa yang kalah. Laki-laki setengah baya yang bertubuh gemuk pendek itu telah
berhasil mendesak lawannya sehingga terjatuh ke
bawah panggung. Rupanya dalam pertandingan untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu ini sudah


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada peraturan yang dinyatakan sebelumnya. Di atas panggung tidak boleh terjadi
pertumpahan darah atau sampai merenggut jiwa lawannya. Oleh karena itu, laki-laki
setengah baya yang bertubuh gemuk pendek itu hanya menjatuhkan lawannya ke bawah
panggung. Terdengar dia tertawa bebas dengan keras.
"Hengte Goan Siang Fei, tidak memperdulikan jarak sejauh ribuan li, sengaja datang ke
Tok Liong Hong atau Bukit Naga Tunggal ini untuk menghadiri pertemuan akbar yang
jarang diselenggarakan di dunia Kangouw ini. Berkat belas kasihan Saudara-saudara
sekalian, Hengte berhasil memenangkan tiga babak pertandingan secara berturut-turut.
Entah siapa lagi yang bersedia naik ke atas panggung memberikan petunjuk?" Baru saja
ucapannya selesai, terdengar suara suitan panjang. Dari kerumunan para hadirin di
bawah, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Gerakannya bagai seekor burung rajawali
yang menukik dari angkasa dan tahu-tahu sudah mendarat di atas panggung.
Desir angin berhenti, orangnya pun muncul. Para hadirin segera memusatkan
pandangan matanya. Tampak orang itu mengenakan pakaian yang ketat. Alas kakinya
merupakan sepatu tali yang diikat sampai bawah lutut dan memang biasa dikenakan oleh
para pendekar yang berkelana di dunia Kangouw. Di belakang pundaknya menggembol
sepasang bola besi yang besarnya seperti buah semangka. Penampilannya gagah dan
tersirat jelas bahwa dia merupakan seorang pendekar yang cukup punya nama.
Perlahan-lahan Goan Siang Fei membuka sepasang matanya dan memperhatikan orang
yang baru muncul ini dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Bibirnya mengembangkan
seulas senyuman. "Saudara membawa sepasang gandulan Im Yang sebagai senjata, mungkinkah Saudara
ini bernama Saudara Heng yang mendapat julukan Harimau Utara?"
Laki-laki kekar itu segera merangkapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura
dalam-dalam. "Terima kasih, Hengte memang Heng Sang
Si yang mendapat ejekan dari para sahabat di dunia Kangouw sebagai Harimau Utara."
Mendengar bahwa orang yang ada di hadapannya memang tidak meleset dari
perkiraannya, sikapnya langsung berubah dan wajahnya memperlihatkan keseriusan. Dia
sadar bahwa lawannya ini sudah mempunyai nama yang sangat terkenal di daerah
asalnya. Tampak dia menghembuskan nafas panjang dan memusatkan perhatiannya
menunggu mulainya pertandingan. Heng Sang Si tertawa lebar. "Ilmu silat Goan-heng sungguh mengejutkan. Tiga kali bertanding, tiga kali berturutturut
meraih kemenangan. Hengte di sini dengan tidak tahu diri ingin meminta petunjuk
dari Goan-heng." Meskipun kata-kata yang diucapkannya sangat sungkan, tetapi begitu pembicaraannya
selesai, orangnya tiba-tiba mendesak maju dua langkah. Lengan kirinya digerakkan
perlahan-lahan. Dengan jurus Dewi Merak Mengembangkan Sayap, dia melancarkan
sebuah serangan. Terdengar deruan angin kencang yang langsung menerpa ke dada Goan
Siang Fei. Meskipun serangannya ini menggunakan jurus yang sederhana, tetapi karena tenaga
dalamnya sangat kuat maka pengaruh yang ditimbulkannya pun cukup hebat. Apalagi ilmu
yang dipelajarinya adalah tenaga Kang yang keras, sehingga baik kecepatan maupun daya
serangannya sangat dahsyat. Ternyata jurus itu bukan jurus yang dapat dianggap enteng.
Goan Siang Fei masih berdiri dengan tenang, seakan tidak tergugah oleh serangannya
yang keji dan ganas itu. Ketika angin pukulannya yang menderu-deru sudah hampir
mendesak ke arah dirinya, tiba-tiba dia seperti seekor kelinci yang terkejut dan cepatcepat
mencelat ke belakang. Lengan kanannya mengibas, seiring dengan gerakan
tubuhnya yang menghindari serangan lawan, dia juga membalas sebuah serangan.
Kedua orang ini merupakan tokoh yang sudah punya nama di daerah kekuasaannya
masing-masing. Ilmu silatnya tinggi sekali. Meskipun masing-masing baru mengerahkan
sebuah jurus serangan, dan mendesak maju lalu mencelat mundur dalam waktu yang
hampir bersamaan, tetapi gerakannya sama-sama cepat sehingga membuat pandangan
mata orang-orang yang melihatnya jadi berkunang-kunang. Begitu pandangan terbiasa
kembali, kedua orang itu sudah berganti posisi.
Setelah mencelat mundur, keduanya tidak mengucapkan sepatah katapun. Kembali
sebuah serangan dilancarkan. Pukulan dan totokan berkelebat ke sana ke mari, masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/ masing mengerahkan segenap kemampuannya dan mencari kesempatan yang baik untuk
merobohkan lawannya. Serangan mereka semakin lama semakin gencar. Pukulan mereka semakin lama
semakin cepat. Terdengar suara pukulan yang menderu-deru, pengaruhnya terasa sampai
jarak lima langkah. Keduanya tidak mau kalah kuat. Setelah bertanding kurang lebih
sepuluh jurus, bayangan tubuh keduanya sulit lagi di-bedakan.
Tan Ki memperhatikan sejenak. Tiba-tiba dia merasa perutnya kembung, wajahnya
merah padam, bibirnya menyunggingkan senyuman yang tersipu-sipu. Kemudian dia
berkata dengan suara lirih. "Ling Moay, aku ingin membuang air kecil sebentar, nanti aku kembali lagi."
Selesai berkata, dia tidak menunggu jawaban dari Mei Ling, kakinya terus melangkah ke
depan. Meskipun tampaknya dia hanya berjalan dengan wajar, tetapi langkahnya cepat
sekali. Baru saja Mei Ling ingin mengatakan sesuatu, bayangan Tan Ki sudah tidak
kelihatan lagi. Tampaknya anak muda itu seperti ingin berlari dari tanggung jawabnya dengan
meninggalkan panggung pertandingan tersebut. Dia merasa hatinya pengap sekali dan
tidak menemukan sesuatu yang dapat dilampiaskannya. Perasaannya seakan enggan
sekali serta tidak tertarik untuk melakukan apapun.
Sebetulnya hal ini disebabkan oleh pikirannya yang rumit. Persoalannya adalah karena
dia mempunyai identitas diri yang lain, yakni Cian bin mo-ong. Tidak ada orang yang tahu
bahwa dalam setengah tahun ini dia sudah membunuh dua puluh tujuh tokoh kelas tinggi
baik dari golongan lurus maupun sesat. Hal ini membuat nama Cian bin mo-ong menjulang
tinggi dan menggemparkan dunia persilatan. Gerak-geriknya sangat misterius dan datang
perginya seperti angin. Dia malah dianggap sebagai raja iblis yang pertama kali
menggetarkan nyali setiap orang selama ratusan tahun ini. Sekarang ini, dia merasa
keadaan dirinya yang dianggap sebagai manusia keji, mana pantas bila menjabat sebagai
Bulim Bengcu" Pikiran yang saling bertentangan dengan hati kecilnya ini membuat Tan Ki merasa
serba salah. Apalagi kalau membayangkan ilmu silat yang dikuasainya sekarang ini. Karena
sudah berhasil menggabungkan ilmu Tian Si Sam-sut dengan Te Sa Jit-sut, sehingga
pengaruhnya kuat sekali, dia percaya ilmu silatnya sekarang sudah cukup berimbang
dengan jago kelas satu di dunia Bulim. Tetapi untuk memperebutkan kedudukan Bulim
Bengcu, dia masih belum mempunyai keyakinan seratus persen. Tanpa terasa, semakin
lama hal yang dipikirkannya semakin banyak. Semakin dipikirkan semakin kacau. Dari
depan menghembus angin yang sejuk sekali, sehingga pikirannya yang terlena dan
melayang-layang jadi tersadar seketika.
Begitu pandangannya mengedar, rupanya dia sedang berhenti di sebuah padang
rumput yang ukurannya cukup besar. Di depannya terlihat pemandangan pegunungan
yang menjulang tinggi, di bagian bawah terlihat bunga-bungaan tumbuh dengan liar.
Sungguh suatu tempat yang menimbulkan suasana tenteram di hati.
Kejadian yang dialami Tan Ki selama beberapa hari berturut-turut ini, kalau bukan
terlibat dalam asmara yang rumit, pasti hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan begitu
gawatnya sehingga nyawapun hampir melayang. Mana dia mempunyai kegembiraan
menyaksikan pemandangan di sekitarnya atau menikmati dengan sungguh-sungguh.
Tanpa terasa dia menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya terasa segar dan pikirannya
yang ruwet pun lenyap seketika. Tepat ketika pikirannya mulai tenang dan menikmati keindahan pemandangan alam ini,
tiba-tiba dia mendengar langkah suara kaki yang menghampiri ke arahnya. Cepat-cepat
dia menolehkan kepalanya memandang. Dilihatnya seorang pengemis muda berusia
kurang lebih delapan belas tahunan, berjalan mendatangi. Rambutnya acak-acakan,
pakaian yang dikenakannya berwarna abu-abu dan penuh dengan tambalan. Wajahnya
malah kotor sekali karena ditempeli debu-debu jalanan. Di sampingnya mengiringi seorang
Hwesio yang juga berpakaian compang-camping. Usia Hwesio ini hampir sebaya pengemis
tadi, hanya saja wajahnya hitam sekali. Tetapi justru karena wajahnya demikian hitam,
maka sulit orang menebak bagaimana perasaan serta usia yang sebenarnya.
Tan Ki melihat kedua orang ini jalan berdampingan. Diperhatikan dari sudut manapun,
tetap saja tidak enak dipandang. Selama setengah tahun ini, dia terus bertarung melawan
berbagai jago dari dunia Bulim, pengalaman maupun pengetahuannya bertambah luas.
Melihat mereka melangkah dengan perlahan, namun tindakannya ringan dan cepat, dapat
dipastikan bahwa ilmu ginkang kedua orang ini sangat tinggi. Hatinya langsung tergerak.
Diam-diam dia berpikir: "Di atas Tok Liong-hong ini diselenggarakan sebuah pertemuan
besar yang belum pernah ada sejak jaman dulu. Orang-orang yang hadir merupakan
tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama cukup besar di dunia persilatan. Kalau tujuan
mereka bukan untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu, tentunya hanya ingin
menyaksikan keramaian saja. Meskipun tampang kedua orang ini agak aneh, tetapi dapat
dipastikan bahwa mereka merupakan murid-murid dari tokoh terkemuka?"
Ketika pikirannya masih tergerak, pengemis dan hwesio cilik itu sudah lewat di
sampingnya. Tetapi tepat pada saat melangkah melalui samping pundaknya, tiba-tiba
pengemis cilik itu menolehkan kepalanya dan mengembangkan tawa yang lebar. Mulutnya
bergerak-gerak seperti menggumam seorang diri.
"Ada keramaian bukannya disaksikan malah berdiri di sini termangu-mangu. Kalau
sampai kedudukan Bulim Bengcu direbut oleh orang lain, bukankah Suhuku bisa meledak
perutnya saking kesalnya?" Kata-kata yang diucapkannya seperti bergumam seorang diri saja, tetapi begitu
suaranya menyusup ke dalam telinga Tan Ki, setiap patah katanya demikian jelas dan
tegas. Tan Ki yang mendengarnya sampai tertegun beberapa saat. Dia langsung
menyadari bahwa kata-kata pengemis muda ini pasti mengandung maksud tertentu. Oleh
karena itu, cepat-cepat dia berteriak memanggil, "Saudara berdua harap tunggu
sebentar!" Dia tidak membuka mulut memanggil masih lumayan, kedua pengemis dan Hwesio itu
tetap melangkah dengan tenang. Begitu dia berteriak menyapa, keduanya seperti terkejut
sekali. Langkah kaki mereka segera dipercepat, pakaian mereka berkibar-kibar
menimbulkan desiran angin. Dalam sekejap mata saja keduanya sudah menghilang dari
pandangan mata. Dengan termangu-mangu Tan Ki menatapi kepergian kedua orang itu. Muncul segulung
perasaan sesal dalam hatinya, seolah kehilangan kedua orang tadi merupakan
kesalahannya yang terbesar. Cepat-cepat dia membuang air kecil dan kembali lagi ke tempat di mana orang-orang
gagah sedang berkumpul. Ternyata saat itu di atas pentas telah terjadi perubahan yang
besar sekali. Goan Siang Fei sudah memenangkan tiga kali pertandingan secara berturut-turut.
Otomatis hawa murninya sudah surut banyak. Tenaganya juga banyak terkuras.
Sedangkan Heng Sang Si ini merupakan lawannya yang seimbang. Cara turun tangan
orang ini keji sekali. Setelah ratusan jurus berlalu, keadaan Goan Siang Fei mulai terdesak,
berkali-kali dia menyurut mundur. Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar bagai geledek dari mulut Heng
Sang Si. Lengan kanannya bergerak memutar setengah lingkaran dan dalam waktu yang
hampir bersamaan, lengah kirinya terulur ke depan. Dengan jurus Iblis-Iblis Beterbangan,
dia melancarkan sebuah serangan. Tenaga yang terpancar sangat kuat. Hawa panas
terasa bagai gulungan angin topan yang menerbangkan pasir-pasir panas di atas tanah,
dengan gencar melanda ke arah Goan Siang Fei.
Kekuatan Goan Siang Fei saat ini sudah terbatas, mana berani dia menyambut
serangan itu dengan kekerasan. Dia menarik nafas dalam-dalam dan mencelat ke
belakang lagi sejauh tiga langkah. Berkali-kali dia menyurut mundur sehingga tanpa terasa dia sudah mencapai batas
tonggak panggung tersebut. Situasi saat itu menggetarkan hati. Setiap detik yang berlalu
bagai menyelipkan ketegangan yang tidak terkirakan. Para hadirin di bawah pentas sudah
dapat melihat kedudukan Goan Siang Fei yang terjepit sekali dan setiap saat pasti bisa
dijatuhkan dari atas panggung. Nama Heng Siang Si sudah cukup terkenal di dunia Kangouw, mana mungkin dia
melewatkan kesempatan emas ini. Oleh karena itu, dia segera memperdengarkan suara
tawanya yang panjang. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam yang ada pada dirinya dan
dengan melancarkan sebuah pukulan yang menimbulkan angin menderu-deru, tubuhnya
langsung menerjang ke depan. Gulungan hawa yang panas dan gencar langsung melanda datang. Goan Siang Fei
sudah surut mundur berkali-kali. Sekarang tidak ada tempat lagi baginya untuk melangkah
mundur, tanpa dapat ditahan lagi wajahnya langsung berubah hebat. Dia segera menarik
nafas dalam-dalam dan mengerahkan semua sisa tenaganya lalu melancarkan sebuah
pukulan untuk menyambut datangnya serangan Heng Sang Si.
Dua gulung tenaga dahsyat dari arah yang berlawanan membentur di tengah udara.
Hawa panas berpencaran ke mana-mana. Begitu kerasnya getaran kedua, pukulan itu,
kain layar yang dijadikan alas panggung sampai berkibar-kibar kencang.
Terdengar Goan Siang Fei mengeluarkan suara dengusan berat. Tubuhnya
sempoyongan dan tanpa dapat ditahan lagi, kakinya mundur setengah tindak. Tempat
kakinya berpijak, tepat di sudut panggung. Rasa terkejutnya bukan main, kira-kira
setengah depa lagi, dia pasti terjatuh ke bawah panggung. Tetapi tubuhnya diterjang oleh
tenaga yang dahsyat, meskipun dia masih sanggup berdiri tegak, belum sampai kalah
total. Namun dia tidak mempunyai kekuatan lagi untuk bertanding. Saat ini, apabila Heng
Sang Si mengirimkan sebuah pukulan maupun sebuah tendangan, dia pasti akan
terjungkal jatuh ke bawah panggung dalam keadaan terluka.
Memangnya siapa Heng Sang Si itu, mana mungkin dia sudi. melepaskan kesempatan
emas ini" Mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang keras, tubuhnya langsung
mendesak ke depan dan diapun segera melancarkan dua buah serangan pukulan dan
sebuah tendangan. Dalam keadaan terdesak seperti ini, kecuali Goan Siang Fei sendiri rela mengakui
kekalahannya dan mengundurkan diri dari atas panggung, tampaknya dia tidak
mempunyai jalan lain lagi. Tetapi pada dasarnya watak orang ini sangat keras. Dia
memandang tinggi sekali nama baik maupun gengsinya. Tentu saja orang seperti ini lebih
rela mati daripada mendapatkan penghinaan. Melihat angin pukulan dan bayangan
tendangan bagai kilat menyambar ke arah dirinya, dia hanya menarik nafas secara diamdiam.
Seakan menyayangkan kehidupannya yang singkat dan segera akan berakhir.
Justru pada saat telur di ujung tanduk ini, tiba-tiba terdengar suara suitan yang nyaring
dan bening. Suara itu berasal dari kerumunan para hadirin. Gemanya bagai gerungan naga
sakti yang marah. Getarannya membuat beberapa orang yang tenaga dalamnya agak
lemah menjadi sakit gendang telinganya sehingga mereka cepat-cepat mendekapkan
sepasang tangan agar suara tidak begitu jelas terdengar. Tampak sebentar lagi pukulan
dan tendangan itu akan mengenai tubuh Goan Siang Fei. Salah satu serangannya saja
sudah pasti membuahkan hasil yang gemilang. Su-dah barang tentu hati Heng Sang Si
gembira bukan kepalang. Tiba-tiba dia mendengar suara bentakan yang keras, "Berhenti!"
Disusul dengan angin pukulan yang menerjang datang dari samping tubuhnya.
Serangan itu tidak meleset sedikitpun, dikatakan lambat tidak, dikatakan cepatpun tidak,
tetapi dengan tepat meluncur ke arah telapak tangan Heng Sang Si yang hampir mengenai
tubuh Goan Siang Fei. Heng Sang Si terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya
dan mencelat mundur untuk menjaga kemungkinan dirinya diserang terus oleh orang yang
baru muncul ini. Setelah itu, dia baru mengalihkan pandangannya. Tampak seorang
pemuda yang wajahnya sangat tampan berdiri di samping Goan Siang Fei. Penampilannya
tenang, wajahnya malah tersenyum simpul.
Rupanya ketika Tan Ki melihat keadaan Goan Siang Fei yang sudah kalah dan didesak
sedemikian rupa, timbul perasaan iba dalam hatinya. Tanpa mempedulikan peraturan yang
berlaku, dia langsung mengeluarkan suara siulan dan mencelat ke udara setinggi dua
depaan. Dengan gerakan yang ringan dan indah, dia mendarat turun di samping Goan
Siang Fei. Kebetulan sekali kemunculannya dengan tepat mengelakkan Goan Siang Fei dari
maut. Dia memang sudah bertekad untuk memberikan pertolongan kepada orang ini.
Melihat keadaan yang begitu genting, tanpa sadar dia mengulurkan tangannya dan
mengirimkan sebuah pukulan ke depan. Hal inilah yang kemudian membuat Heng Sang Si
terkejut dan cepat-cepat mencelat mundur ke belakang.
Dalam waktu yang bersamaan, terdengar suara Tan Ki yang tegas:
"Hengtai ini sudah menjalani tiga kali pertandingan sehingga tubuhnya sudah letih
sekali. Sedangkan Saudara menggunakan kesempatan ini untuk menyerangnya habishabisan,
apakah tindakan Saudara ini tidak keterlaluan?"
Heng Sang Si tidak menduga pada saat seperti ini ada orang yang akan turut campur
dalam urusan ini. Lagipula tenaga dalamnya begitu tinggi dan tampaknya, masih di atas
dirinya sendiri. Untuk sesaat dia jadi tertegun. Sedangkan Goan Siang Fei segera
menggunakan kesempatan ini untuk mencelat ke udara dan menjauhi sudut panggung itu.
Melihat kemenangan yang hampir tercapai digagalkan oleh Tan Ki, hawa amarah dalam
dadanya jadi meluap seketika. Matanya mendelik lebar-lebar ke arah anak muda itu dan
membentak dengan suara keras. "Untuk apa kau naik ke panggung ini?"
Tan Ki tersenyum lembut. "Sebagian besar dari para hadirin yang naik ke Tok Liong
Hong ini bertujuan memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu. Kalau Cayhe sampai naik ke
atas panggung, tentu saja tujuannya ingin mengadu ilmu, memangnya ada jurusan apa
lagi?" Wajah Heng Sang Si menjadi kelam saking marahnya.
"Apakah kau tidak tahu peraturan" Pemuda yang usianya masih begini muda tidak
mengikuti peraturan yang berlaku dan naik ke atas panggung seenaknya saja, apakah kau
tidak takut dirimu akan ditertawakan orang banyak?"
Dengan gaya santai Tan Ki menjawab, "Entah di bagian mana Cahye melanggar
peraturan pertandingan ini, mohon Hengtai bersedia memberikan petunjuk."


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang alis Heng Sang Si menjungkit ke atas. Dia memperdengarkan suara tertawa
yang dingin. "Pertemuan besar yang diselenggarakan kali ini, tujuannya untuk memperebutkan
kedudukan Bulim Bengcu. Orang yang hadir di tempat ini rata-rata adalah tokoh-tokoh
yang sudah mempunyai nama besar, mana bisa disamakan dengan pertandingan silat di
pasaran?"" Tan Ki tidak memberikan kesempatan bagi orang itu untuk menyelesaikan katakatanya.
Sepasang alisnya ikut mengerut dan diapun langsung menukas.
"Kata-kata Saudara ini benar-benar membuat Cayhe sulit untuk mengerti. Tetapi entah
di mana letak perbedaan antara pertemuan besar di Tok Liong Hon ini dengan
pertandingan silat yang ada di pasaran?"
"Kalau pertandingan ilmu silat yang ada di pasaran, baik rekan yang ada di dalam arena
maupun di luar arena, setiap saat boleh menghentikan pertandingan dan menyelesaikan
urusan di saat itu juga. Dalam pertemuan besar ini, yang diperebutkan adalah kedudukan
Bulim Bengcu. Setiap orang yang hadir membawa harapan yang besar dan juga
mempunyai keyakinan bahwa ilmu silatnya sudah cukup tinggi untuk ikut bertanding.
Begitu terjun ke atas panggung menghadapi lawan, urusan menyangkut nama baik serta
kalah menang yang dapat menentukan langkah kita berikutnya. Kalau tidak mempunyai
keyakinan yang tinggi, lebih baik jangan coba- coba dan diam saja di bawah panggung
untuk menyaksikan keramaian. Seandainya mempunyai keberanian untuk ikut bertanding,
sebelumnya sudah harus mempunyai kebesaran jiwa untuk mempertaruhkan nyawa.
Lagipula tidak boleh bertindak setengah jalan, harus tegas mengambil keputusan. Dalam
pertandingan yang menyangkut segala macam aturan ini, mana boleh sembarangan orang
ikut turut campur seenaknya?" Tan Ki mengeluarkan seruan. "Oh?" yang panjang sekali.
"Kalau mendengar kata-kata Saudara tadi, seakan menyalahkan kemunculan Cayhe
yang berniat menolong orang. Meskipun panggung ini dibangun untuk memperebutkan
kedudukan Bulim Bengcu, namun tetap merupakan ajang berkumpulnya para sahabat.
Saudara bisa melihat sendiri, apakah dari pagi sampai sekarang ini ada orang yang terluka
parah atau sampai menemui ajalnya dalam pertandingan" Lagipula, ketika Saudara
bertanding tadi, Cayhe sama sekali tidak ikut campur, atau mempunyai maksud sedikitpun
untuk mencegah berlangsungnya pertandingan. Tuduhan melanggar peraturan
pertandingan yang Saudara katakan tadi, Cayhe benar-benar tidak berani
menyandangnya, harap Saudara?"
Heng Sang Si tampaknya tidak membiarkan Tan Ki menyelesaikan kata-katanya.
"Saudara memang tidak menghalangi jalannya pertandingan, tetapi dengan turun
tangannya Saudara menolong orang saja, sesungguhnya sudah tidak pantas sekali"!"
tukasnya cepat. Tan Ki melihat watak orang ini selalu memprotes setiap perkataannya. Wajahnya yang
tampan langsung berubah. "Bukannya aku, Tan Ki, banyak" urusan. Kenyataannya Goan-heng ini sudah terlalu
letih karena sudah bertanding sebanyak tiga kali. Apabila terkena serangan Saudara yang
keji tadi, para sahabat di bawah panggung tentu mempunyai mata untuk melihat sendiri,
apabila Cayhe tidak segera turun tangan memberikan pertolongan, bukankah selembar
nyawa akan melayang dengan sia-sia?"
Heng Sang Si tertawa dingin. "Kalau ada yang bisa disalahkan, justru dirinya sendiri yang tidak becus. Kedudukan
Bulim Bengcu ini merupakan jabatan yang tidak terkira tingginya, apa dia kira mudah
memperebutkan kedudukan seperti ini" Tanpa ada ketentuan kalah atau menang,
bagaimana menilai hasil pertandingan. Pertandingan justru ditentukan dari mati hidupnya
seseorang. Tanpa hujan tanpa angin, Tan-heng turun tangan menolongnya, berarti
memang sudah berniat untuk mengacaukan pertandingan ini!"
Tan Ki melihat jawaban orang ini semakin lama semakin ngelantur. Tanpa terasa hawa
amarah dalam dadanya jadi meluap. Perlahan-lahan dia memperdengarkan suara batuk
kecil. "Mohon tanya kepada Saudara, apakah dalam pertandingan ini telah ditentukan
peraturan bahwa orang yang kalah tidak boleh mempunyai kesempatan untuk
meninggalkan panggung ini dalam keadaan hidup" Cayhe berkelana di dunia Kangouw
juga bukan baru tiga atau lima hari, tetapi sama sekali belum pernah mendengar
peraturan gila ini. Dari mana sebetulnya Saudara mendengar adanya peraturan seperti itu,
Cayhe ingin sekali menyelidiki kebenarannya."
Kata-kata yang diucapkan Heng Sang Si sejak tadi merupakan protes yang tidak masuk
akal. Sekarang dibalikkan oleh Tan Ki, tanpa dapat ditahan lagi dia menjadi tertegun dan
tidak bisa memberikan jawaban apapun.
Tetapi pada dasarnya Heng Sang Si ini merupakan orang yang wataknya angkuh sekali
dan tidak mau kalah. Di hadapan begitu banyak tokoh persilatan dari berbagai kalangan,
dia didesak sedemikian rupa oleh Tan Ki, mana mungkin dia dapat menahan kemarahan
hatinya" Otomatis dari malu menjadi gusar. Urat-urat hijau di dahinya langsung menonjol
keluar. "Peraturan yang ada di dunia Kangouw ini banyak macamnya. Setiap orang mempunyai
pendapat yang berbeda-beda. Kalau Saudara memang sengaja mencari perkara, apa kau
kira aku benar-benar takut kepadamu" Sekarang kita mempunyai kesempatan bertemu
di tempat seperti ini, aku mengharap kau sudi.
memberikan pelajaran barang beberapa jurus!"
Tan Ki sendiri masih termasuk seorang pemuda yang berdarah panas. Mendengar
tantangan Heng Sang Si, dia segera melirik ke arah Yibun Siu San dan si pengemis sakti
Cian Cong sekilas. Kemudian bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
"Kalau Saudara mempunyai kegembiraan hati, Siaute tentu akan melayani dengan baik
agar kau tidak merasa kecewa."
Seraya berkata, orangnya sendiri melesat ke udara dan mencelat mundur ke belakang
dan tahu-tahu sudah ada di hadapan Goan Siang Fei. Dia berkata dengan suara rendah,
"Lebih baik kau mengatur pernafasan dulu agar tenagamu pulih kembali." tubuhnya
melesat kembali ke udara dan tahu-tahu sudah ada di tempat semula. Mulutnya tertawa
lebar. "Saudara ingin memberikan pelajaran dengari tangan kosong atau dengan senjata?"
Mendengar kata-katanya, tiba-tiba tubuh Heng Sang Si bergerak memutar dengan
cepat. Ketika berhenti kembali, tangannya sudah menggengam sepasang gandulan besi
yang tadi tersandang di bahunya. Gerakannya begitu cepat dan memang seorang tokoh
yang cukup hebat. Terdengar dia tertawa seram.
"Keluarkanlah senjatamu!" katanya kemudian.
Tan Ki tertawa datar. Perlahan-lahan dia mengeluarkan sebatang seruling kuno dari
selipan ikat pinggangnya. Pergelangan tangannya digetarkan, terdengarlah suara siulan
yang bening dan nyaring. Hampir dalam waktu yang bersamaan, tampak cahaya
berkilauan. Dari dalam seruling keluar sebatang pedang pendek. Sekali lagi dia tersenyum
lembut. "Cayhe tidak mempunyai senjata apa-apa. Biarlah sebatang seruling ini akan Cayhe
gunakan untuk melawan sepasang gandulanmu itu. Tetapi jangan khawatir, aku tidak
akan melukai dirimu!" Heng Sang Si marah sekali mendengar sindirannya yang tajam.
"Sungguh ucapan yang besar sekali. Selama beberapa puluh tahun aku orang she Heng
ini berkelana di dunia Kangouw, tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan orang
yang tidak memandang sebelah mata kepada orang
lain seperti dirimu ini!" Ucapannya selesai, sepasang gandulannya langsung bergerak, dengan jurus Sepasang
Naga Muncul Dari Dalam Air, dia melancarkan sebuah serangan.
Tan Ki masih tersenyum lembut. Kakinya maju satu langkah lalu tiba-tiba seperti seekor
belut dia menerobos keluar dari serangan sepasang gandulan besi tersebut. Dalam waktu
yang bersamaan, pedang sulingnya langsung digetarkan lalu meluncur lurus ke arah
pundak Heng Sang Si. Gerakan tubuhnya begitu aneh menakjubkan sehingga hadirin yang
melihatnya jadi terkejut. Heng Sang Si belum sempat menyelesaikan jurus serangannya, malah tubuhnya
terdesak sedemikian rupa sehingga mencelat mundur sejauh delapan langkah. Siapa
nyana Tan Ki sama sekali tidak mengejarnya. Dia berdiri tegak dengan tangan diluruskan
ke bawah. Bibirnya tersenyum simpul.
"Yang tadi terhitung jurus pertama." katanya tenang.
Kata-kata yang sangat sederhana, tetapi Heng Sang Si yang mendengarnya merasa
seperti sebatang pedang yang ditusukkan ke dalam ulu hatinya. Selama puluhan tahun
berkelana di dunia Kangouw, belum pernah ada orang yang menyindirnya dengan katakata
yang demikian tajam. Api kemarahan dalam dadanya jadi berkobar. Setelah meraung
keras, sepasang gandulan besinya dipencarkan lalu menyerang dari dua arah yang
berlawanan. Serangkum angin yang dingin langsung memenuhi sekitarnya dan
serangannya pun meluncur ke depan dengan keji.
Tan Ki memperdengarkan suara tawa yang lepas. Tidak terlihat bagaimana dia
menggerakkan tubuhnya, hanya sedikit menggeser. Tampaknya ia seperti sedang
menghindari serangan lawan, tetapi sebetulnya malah dia yang melancarkan sebuah
serangan. Tangannya bergerak dan diapun mengirimkan sebuah totokan ke arah lawan.
Jurus ini anehnya bukan main. Bukan saja dia bisa menghindarkan serangan keji Heng
Sang Si dengan mudah, malah sekaligus dapat melancarkan serangan balasan. Sekejap
mata dia sudah sampai di sisi tubuh orang itu. Begitu hebatnya serangan yang dilancarkan
sehingga Heng Sang Si terdesak sedemikian rupa dan mau tidak mau terpaksa menarik
kembali serangannya. Setelah itu dia mencelat mundur sejauh tiga langkah. Dengan
demikian baru dia dapat menghindarkan diri dari serangan Tan Ki.
Wajah Tan Ki tetap mengembangkan senyuman yang manis. Dia juga menghentikan
gerakan kakinya. "Yang ini jurus kedua!" selesai berkata, dia tertawa lagi.
Matanya menyorotkan sinar yang tajam. Penampilannya demikian tenang dan
berwibawa. Kesan yang ditimbulkannya justru membuat hati orang merasa bahwa dia
bukanlah lawan yang mudah dihadapi.
Setelah Tan Ki dan Heng Sang Si saling menyerang sebanyak dua jurus, siapa yang
akan meraih kemenangan atau siapa yang akan kalah, tidak sulit lagi diduga. Sebuah
kenyataan lagi yang tidak dapat diingkari, biar rendah atau tinggi tenaga dalam yang
dimiliki Tan Ki, tetapi gerakan tubuh serta jurus serangannya yang aneh saja, sudah
merupakan hal yang sulit ditandingi oleh Heng Sang Si.
Para hadirin yang ada di bawah panggung sudah dapat melihat, apabila Tan Ki benarbenar
mengerahkan segenap kemampuannya, dalam sepuluh jurus saja Heng Sang Si
pasti akan terkapar di lantai panggung dengan tubuh bermandikan darah. Tampaknya
sikap Tan Ki yang tenang memang bukan penampilan yang dibuat-buat.
Sejak semula si pengemis sakti Cian Cong terus memperhatikan gerak-gerik Tan Ki. Dia
melihat cara turun tangannya yang sangat mantap. Setiap jurus yang dimainkannya
mengandung perubahan yang hebat. Sebagai se orang yang sudah berpengetahuan luas,
ternyata dia masih belum dapat menebak gerakan apa yang dimainkan Tan Ki. Tanpa
dapat ditahan lagi, sepasang alisnya mengerut. Dia melirik ke arah Yibun Siu San. Dalam
pikirannya, mereka berdua sama-sama pernah memberi petunjuk tentang ilmu silat
kepada Tan Ki. Sudah pasti hati orang ini sangat sayang sekali kepada Tan Ki sehingga
secara diam-diam mengajarkan ilmu yang hebat dan merupakan andalannya. Dua jurus
yang dilancarkannya tadi, Yibun Siu San pasti paham sekali.
Siapa nyana ketika dia melirik ke arah orang itu, diam-diam hatinya jadi tergetar.
Tampak sepasang alis Yibun Siu San juga terus mengerut dan memperhatikan tengah
arena dengan pandangan terkesima. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Tampaknya dia
juga tidak mengenali gerakan yang dimainkan Tan Ki barusan. Bahkan mimik wajahnya
juga menyiratkan kebimbangan yang dalam.
Justru ketika kedua orang itu memejamkan matanya merenungi ilmu silat yang
dikerahkan Tan Ki tadi, Heng Sang Si juga langsung melancarkan jurus serangannya yang
paling hebat dan dengan gencar diarahkan kepada Tan Ki. Tampak sepasang gandulan
besinya bagai capitan kepiting raksasa yang siap menjepit lawannya hingga gepeng seperti
perkedel. Tidak diragukan lagi bahwa nama Heng
Sang Si cukup terkenal di daerahnya sendiri, bukan saja cara turun tangannya demikian
cepat tetapi di dalamnya juga terkandung berbagai tipuan. Kadang-kadang seperti sebuah
serangan yang sungguh-sungguh, namun kenyataannya hanya siasat untuk mengecoh
lawan. Sepasang gandulannya yang sebesar semangka itu melayang-layang di udara bagai
sedang menggerakkan tarian. Cahaya yang berkilauan, bayangan sepasang gandulannya
menghantam, mengibas, menyapu, memutar, semuanya mengarah ke bagian tubuh yang
penting. Tan Ki masih tetap tersenyum simpul. Tangannya bergerak, pakaiannya berkibar-kibar.
Dia menerobos masuk ke dalam bayangan sepasang gandulan tersebut. Tampak tubuhnya
bergerak memutar, persis seperti seekor kupu-kupu yang menyusup ke dalam gerombolan
bunga, dan dia berkelebat ke sana ke mari di dalam kurungan bayangan sepasang
gandulan lawannya itu. Meskipun sepasang gandulan itu menyambar ke segala penjuru dengan gencarnya
bagai hujan badai yang dahsyat, tetapi malah kelihatannya persis seperti makanan yang
enak dilihat tetapi tidak enak dimakan. Dari awal
sampai akhir, jangan kata tubuh Tan Ki, ujung pakaian anak muda itupun tidak
tersentuh olehnya. Dalam waktu yang singkat, Heng Sang Si terus memainkan jurus-jurus mautnya. Secara
berturut-turut dia sudah mengerahkan dua belas jurus lebih. Di lain pihak dalam dua belas
jurus ini boleh dibilang Tan Ki hanya mengelak ke sana ke mari, dia tidak pernah
membalas sebuah seranganpun. Setelah dua belas jurus berlalu, tiba-tiba terdengar suara tawanya yang panjang.
Pedang sulingnya menimbulkan hawa yang dingin serta melancarkan sebuah serangan
secara mendadak. Tampak cahaya dingin berkilauan menusuk mata. Jurusnya yang aneh
dikerahkan secara berturut-turut. Heng San Si yang sejak tadi tidak mengadakan
persiapan, langsung menjadi kelabakan dan tidak dapat menahannya. Tahu-tahu jalan
darahnya telah tertotok ujung senjata Tan Ki yang tajam dan jatuh tidak sadarkan diri di
atas panggung. Yang ajaib justru cara pengerahan tenaga dalamnya yang tepat sekali.
Meskipun senjatanya sangat tajam sehingga dapat memotong segala macam logam, tetapi
ketika dada Heng Sang Si tertotok olehnya, ternyata tidak mengakibatkan luka goresan
setitikpun. Begitu Heng Sang Si terjatuh tidak sadarkan diri, Kok Hua Hong yang bertugas sebagai
regu keamanan cepat-cepat menghampiri lalu menggotongnya turun dari panggung
tersebut. Sementara itu setelah Goan Siang Fei mengatur pernafasannya beberapa saat, hawa
murni di dalam tubuhnya sudah pulih kembali. Melihat Tan Ki dengan mudah dapat
memenangkan satu babak pertandingan ini, dia merasa penasaran sekali. Oleh karena itu,
dia segera berdiri dan melangkah perlahan-lahan menghampiri anak muda itu. Dia segera
merangkapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura dalam-dalam.
"Orang she Goan minta petunjuk." tangannya menekan sesuatu di bagian pinggang dan
terdengar suara Brett! Senjatanya yang berupa cambuk lemas langsung dihentakkan ke
depan. Matanya memperhatikan Tan Ki lekat-lekat dan memusatkan perhatiannya untuk
menghadapi lawan. "Bagus sekali." kata Tan Ki sambil tersenyum.
Kaki kirinya bergerak maju ke depan setengah langkah. Dengan jurus ajaib yang
memang khusus diciptakan sebagai pembukaan untuk menghadapi lawan, yakni Mengibas
Pasir di Tanah, perlahan-lahan ia memulai gerakan.
Goan Siang Fei melihat gerakannya ini sangat istimewa. Pedang di tangannya
menimbulkan cahaya yang dingin. Sikap Tan Ki demikian anggun berwibawa bagai
seorang pangeran yang siap dilantik menjadi raja. Hati Goan Siang Fei langsung tergetar.
Dia membentak dengan suara keras. "Tunggu dulu!" kakinya langsung menutul dan tubuhnya mencelat mundur sejauh tiga
langkah. Mendengar bentakan Goan Siang Fei, ternyata Tan Ki benar-benar menarik kembali
jurus yang sudah dijalankannya. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang penuh
persahabatan. "Ada apa?" Sikap Goan Siang Fei serius sekali. Dia memperhatikan Tan Ki dari atas kepala sampai
ke ujung kaki. Setelah melihat sejenak, tiba-tiba dia memejamkan sepasang matanya dan
menarik nafas panjang. Kepalanya digelengkan dan dia berkata dengan suara datar:
"Aku sebetulnya tidak habis pikir, mengapa usia Saudara masih demikian muda namun
sudah memiliki pengetahuan yang demikian dalam mengenai Kiam-sut. Dalam satu jurus
saja, cahaya berkilauan dan titik sinar memercik ke mana-mana. Orang sampai tidak dapat
melihat ke mana arah sasaran pedangmu itu, dan tidak tahu pula ke mana tubuhmu akan
bergerak. Jurus yang dikerahkan oleh seorang ahli memang mampu membuat hati orang
tergetar karena mendengarnya saja" aih! Sekarang Hengte baru mengerti. Rupanya ilmu
yang Saudara pelajari merupakan ilmu pedang istimewa dan Saudara sudah bisa mencapai
tingkat kena di sasaran namun tidak melukai lawan. Babak ini Hengte mengaku kalah,
tidak perlu bertanding lagi!" begitu ucapannya selesai, tanpa menunggu jawaban dari Tan
Ki, ia segera mencelat turun dari atas panggung dan menghilang dalam kerumunan para
hadirin yang ramai itu. Tan Ki melihat orang itu sikapnya sangat terbuka, bilang pergi benar-benar langsung
pergi. Diam-diam di dalam hatinya timbul rasa kagum. Dia juga merasa terharu melihat
sikap orang itu yang demikian tegas.
"Para tokoh di dunia Bulim juga tidak semuanya berhati licik dan berpandangan sempit.
Ternyata masih juga ada orang yang berjiwa gagah dan ksatria. Hanya saja yang kutemui
hanya segelintir?" Pikirannya masih melayang-layang, tiba-tiba dari bawah panggung berkumandang
suara siulan yang panjang. Disusul dengan dua sosok bayangan yang berkelebat ke atas.
Mungkin karena tenaga dalam mereka masih kurang kuat, sehingga suara siulan itu tidak
sempat bergema lama namun sudah putus di tengah jalan.
Siulannya berhenti, orangnyapun muncul. Ternyata mereka adalah sepasang pengemis
dan liwesio muda yang bertemu dengan Tan Ki tadi.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati Tan Ki jadi gembira. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba si pengemis
muda itu sudah membungkukkan tubuhnya dan menjura ke arah si pengemis sakti Cian
Cong, mulutnya mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"Suhu, apa kabar" Di sini Tecu, Cu Cia memberi hormat kepadamu!"
Cian Cong membuka sepasang matanya dan mendengus satu kali. i "Si pengemis tua tidak sakit dan tidak menderita luka apa-apa, tentu saja baik-baik
serta sehat!" sahutnya ketus. Ternyata si pengemis sakti ini memang wataknya sleboran. Dia paling benci segala
macam peradatan. Pertemuan antara guru dan murid, asal membungkukkan, tubuh sedikit
saja sudah cukup baginya. Bahkan nada suara pembicaraannya juga seenaknya saja, tidak
terkandung kewibawaan sebagai angkatan yang lebih tua.
Mendengar pembicaraan di antara dua orang itu, Tan Ki jadi tertegun. Hatinya berkata:
"Rupanya Cian Locianpwe juga mempunyai seorang murid?"
Ketika pikirannya masih tergerak, tiba-tiba telinganya menangkap suara yang lirih
namun jelas, "Hengte, jangan berpikir si setan cilik itu adalah muridku, lalu kau jadi
sungkan untuk turun tangan. Dia berani membangkang pesan si pengemis tua dan keluar
dengan sembunyi-sembunyi. Cepat kau wakili si pengemis tua hajar dia habis-habisan biar
tahu rasa!" Tan Ki segera mengetahui bahwa Cian Cong yang berbisik kepadanya lewat ilmu Coan
Im Jut-bit. Tentu saja orang lain tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Oleh
karena itu, Tan Ki langsung tersenyum simpul. Diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya dan bersiap menghadapi lawan.
Si pengemis cilik, Cu Cia menolehkan kepalanya dan menatap sekilas ke arah Hwesio
berwajah hitam tadi. Mulutnya masih saja tertawa lebar.
"Hek Lohan (Lohan Hitam) mari kita bergebrak dengan dia barang beberapa jurus dan
lihat apakah dia mempunyai permainan baru yang menyenangkan."
Hek Lohan, Sam Po tertawa terkekeh-kekeh.
"Bagus sekali, mari kita main-main!" selesai berkata, dia langsung mendahului
melangkah ke depan. Dia mengangkat tinjunya yang besar dan langsung menghantam
keluar. Orang ini wajahnya hitam bagai bak tinta. Sikapnya seperti ketolol-tololan, tetapi
tinjunya ini ternyata mengandung tenaga yang dahsyat sekali. Angin yang timbul
terdengar berderu-deru, gelombang hawanya bagai hempasan ombak.
Tan Ki tersenyum simpul. Sikapnya masih seperti tadi. Dari luar tampaknya dia tidak
mengadakan persiapan sama sekali. Padahal dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya
secara diam-diam. Begitu serangan Hek Lohan, Sam Po meluncur ke arahnya, tiba-tiba
tubuhnya berkelebat, dalam waktu yang bersamaan telapak tangan kanannya
menghantam ke depan. Tetapi di saat pukulannya dihantamkan ke depan, tampaknya
seperti tidak mengandung tenaga dalam sama sekali. Bahkan tidak terdengar deruan
angin sedikitpun. Namun Hek Lohan juga bukan orang yang benar-benar bodoh dan tidak
tahu apa-apa. Sekali lihat saja, dia sudah tahu kalau serangan Tan Ki ini merupakan ilmu
pukulan kelas tinggi. Di Siau Lim Si sendiri ada sejenis ilmu yang sama yang dinamakan
Kim Kong-ciang. Ilmu pukulan yang langka ini memang tampaknya tidak ada keistimewaan
apa-apa, karena pada dasarnya seluruh tenaga dalam sudah terhimpun dalam telapak
tangan dan baru dapat dirasakan apabila sudah hampir mengenai sasarannya.
Ilmu ini memang khusus untuk melukai isi perut lawan. Biarputt tenaga dalammu
sangat hebat, bahkan dapat dibandingkan dengan besi atau baja, namun tetap saja tidak
sanggup menahannya. Otomatis Hek Lohan juga tidak memperdulikan serangannya
kepada lawan lagi. Cepat-cepat dia berjungkir balik di udara dan mencelat ke belakang
sejauh lima depa. Tangan kiri Tan Ki bergerak, kembali dia melancarkan sebuah5 serangan yang tidak
kalah hebatnya dengan yang pertama. Segulungan angin yang kencang terpancar keluar
mengiringi pukulannya. Serangan kali ini mengandung kekuatan yang dahysat sekali,
persis bagai ombak yang menghempas batu karang. Si pengemis cilik tadinya sudah
mengerahkan tenaga dalam secara diam-diam dan siap menghadapi lawan. Namun ketika
melihat serangan Tan Ki yang begitu hebat serta mengandung angin yang tajam, hatinya
pun tercekat. Cepat-cepat dia menggeser langkah kakinya dan melesat ke samping untuk
menghindari serangan tersebut. Ilmu silat Tan Ki yang aneh dan tinggi benar-benar menggetarkan si pengemis cilik dan
Hwesio muda itu. Tampak dua pasang mata mereka terbelalak lebar-lebar bagai buah tho
dan memperhatikan diri Tan Ki sampai termangu-mangu. Begitu terkejutnya kedua orang
itu, sampai sama-sama tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Ketiga orang itu berdiri dengan posisi bentuk segitiga. Tiba-tiba tampak si pengemis
cilik mengerlingkan matanya dan membentak dengan suara keras.
"Kau juga coba seranganku ini!" sepasang tangannya menghantam dan terasa sferangkum
kekuatan yang. dapat merobohkan sebatang pohon melanda datang ke arah Tan Ki.
Melihat si pengemis cilik itu tiba-tiba melancarkan sebuah pukulan, sikap Tan Ki yang
santai langsung berubah serius. Dengan posisi tangan menahan di depan dada, diapun
langsung melancarkan sebuah pukulan menyambut datangnya serangan si pengemis cilik.
Kedua rangkum tenaga yang dahsyat segera beradu di udara. Si pengemis cilik segera
menunjukkan gejala kekalahannya. Kakinya goyah, tetapi orang ini termasuk cukup nekad
juga. Mulutnya mengeluarkan suara seruan yang lirih dan sepasang tangannya maju
mundur, secara berturut-turut dia melancarkan lagi empat buah pukulan.
Hati Tan Ki sudah siap dan tidak merasa gentar sedikitpun. Dia juga tidak menghindar,
sekaligus dia menyambut empat buah pukulan itu dengan keras.
Yang satu melancarkan empat buah serangan, yang satunya lagi menyambut empat
buah pukulan. Wajah kedua orang ini langsung berubah hebat, nafas Tan Ki agak
tersengal-sengal. Sedangkan keringat si pengemis cilik sudah bercucuran membasahi
seluruh tubuhnya. - Si pengemis cilik melihat bahwa empat serangannya yang dikerahkan dengan tenaga
dalam sepenuhnya masih belum sanggup mengalahkan Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi,
hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Dia membentak keras dan telapak tangannya
pun menghantam, keluar memancarkan segulung angin yang kencang. Gerakannya begitu
cepat bagai kilat yang baru terlihat di angkasa tahu-tahu sudah menyambar datang.
Tan Ki h berdiri tegak, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Terpaksa
dia mengulurkan telapak tangannya untuk menyambut dengan kekerasan. Kedua orang ini
melakukan pertandingan dengan gerak cepat. Mungkin maksudnya ingin meraih
kesempatan yang bagus sehingga bisa mendahului lawannya. Tanpa terasa sama sekali,
semakin bergebrak, akhirnya malah menjadi pertarungan yang selalu menggunakan cara
keras lawan keras. Terdengar suara benturan yang keras, tubuh Tan Ki terhuyunghuyung.
Tetapi akhirnya dia tetap dapat berdiri tegak di tempatnya semula. Si pengemis
cilik sendiri sampai tergetar mundur tiga langkah, tubuhnya masih sempoyongan dan
kemudian terjatuh di atas papan panggung dan memuntahkan segumpal darah segar.
Tampak di setiap bekas injakan kakinya terdapat papan yang retak.
Yang aneh, justru meskipun dia terluka isi perutnya bahkan sampai memuntahkan
darah, tetapi wajahnya malah tidak menyiratkan kegusaran sedikitpun. Dia malah
tampaknya gembira sekali. Kepalanya mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar-benar hebat. Si pengemis cilik rela mengaku kalah!"
Tan Ki melihat sikap orang ini sangat terbuka. Berani membuka mulut mengakui
kekalahannya sendiri. Baru saja dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk
menghibur hatinya, siapa tahu mendadak Cu Cia si pengemis cilik itu seperti tiba-tiba
teringat akan suatu masalah yang besar. Dengan kedua tangan mendekap di depan dada,
dia langsung melonjak bangun dan berlari ke samping Hek Lohan. Kemudian terdengar dia
berkata dengan suara lirih, "Hek Lohan, kita bukan tandingannya. Mari kita pergi."
sepasang pundaknya bergerak sedikit dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat turun dari
atas panggung. Meskipun saat itu dia sedang dalam keadaan terluka dan hawa murninya agak membuyar,
tetapi loncatannya tetap saja mengandung kecepatan yang hebat. Terdengar suara
desiran angin, Sam Po Hwesio tidak mengucapkan sepatah katapun dan langsung
mencelat turun mengikuti si pengemis cilik.
Sementara itu wajah para hadirin yang ada di bawah panggung satu per satu berubah
menjadi kelam. Mata mereka semua terpusat pada diri Tan Ki. Bahkan Cian Cong, Yibun
Siu San, kakak beradik Cin Ying dan Cin le, Mei Ling, Liang Fu Yong serta beberapa lainnya
yang mengenal anak muda ini, setelah memperhatikan setengah harian, mereka masih
tetap belum dapat menduga gerakan apa yang dilakukan oleh Tan Ki. Secara berturutturut
Tan Ki mengalahkan empat orang. Baik gerakan tubuh, Kiam-sut, tenaga dalam
maupun perubahan jurus serangannya semuanya mengandung keajaiban. Bahkan
tampaknya tenaga dalam anak muda ini juga merupakan ilmu tingkat tinggi yang jarang
dapat ditemui dalam dunia Kangouw. Tan Ki bagai sebuah patung pahatan yang indah dan berdiri tegak di hadapan para
hadirin. Sikapnya tenang mengandung kegagahan yang tidak terkirakan. Dilihat dari sudut
mana pun tetap saja menimbulkan rasa hormat sehingga orang tidak berani mencari
perkara dengannya. Para hadirin yang melihat penampilannya hari ini, ada sebagian yang
menyesalkan ilmu silatnya sendiri yang tidak dapat menyamainya, namun ada juga
sebagian besar yang merasa kagum sekali terhadap usianya yang masih begitu muda
namun sudah berhasil menguasai ilmu setinggi itu. Tiba-tiba"
Terdengar lagi suara siulan yang bening dan nyaring. Namun yang ini kali tidak dapat
disamakan dengan yang pertama. Sekali dengar saja sudah dapat dipastikan bahwa
tenaga dalam orang ini jauh lebih tinggi bahkan sudah mencapai tingkat teratas.
Tampak sesosok bayangan bagai seekor burung rajawali yang menukik turun ke atas
panggung. Gerakan orang yang baru datang ini luar biasa cepatnya. Namun ketika
mendarat turun, kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun, persis seperti sehelai bulu
angsa yang melayang turun di atas tanah.
Pandangan mata Tan Ki mengerling untuk melihat, tanpa dapat ditahan lagi hatinya jadi
tercekat. Wajahnya yang tampan berubah hebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak
asing baginya. Siapa lagi kalau bukan Pangcu Ti Ciang Pang yang ditakutinya, Lok Hong.
Jantungnya langsung berdebar-debar. Tanpa sadar dia mendekap dadanya sendiri
seakan ingin mengurangi rasa gentar dalam hatinya.
Tampak wajah Lok Hong hijau membesi. Sepasang alisnya terus mengerut.
"Lohu ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepadamu. Tidak ingin berbicara
panjang lebar. Tetapi kau harus menjawab dengan jujur. Sepasang mata Lohu yang sudah
tua ini sudah banyak melihat hal-hal yang aneh di dunia ini. Jangan coba-coba berdusta
sepatah katapun juga!" bentaknya dengan suara keras.
Tan Ki tersenyum datar. Sepasang tangannya mengait di depan dada.
"Kalau memang Cayhe tahu, tentu saja tidak akan menutupinya sedikit juga."
Lok Hong tertawa dingin. "Lohu tadi berdiri di bawah panggung dan memperhatikan jalannya pertandingan
dengan tenang. Tetapi ketika melihat kau berhasil mengalahkan empat orang berturutturut
dengan berbagai jurus yang aneh, Lohu
melihat jurus-jurus tersebut banyak bagian yang ada persamaannya dengan ilmu
kepandaian Ti Ciang Pang kami. Itulah sebabnyaLohu menjadi heran dan ingin
menanyakan persoalan ini kepadamu"!"
Hati Tan Ki tergetar mendengarnya. Dia merasa tubuhnya tiba-tiba bagai diserang
serangkum hawa dingin sehingga gemetar. Keringat dinginpun bercucuran di keningnya
dan diam-diam dia berpikir di dalam hati: "Celaka! Kali ini seluruh rahasiaku pasti
terbongkar!" BAGIAN XXXVII Perlu diketahui bahwa ilmu silat Tan Ki merupakan hasil curian dari goa makam para
leluhur Ti Ciang Pang. Lok Hong adalah Pang-cu Ti Ciang Pang generasi sekarang. Dia
sudah berkali-kali melihat gerakan tubuh Tan Ki, sehingga sejak semula sudah terbit rasa
curiganya. Tadi ketika dia berhadapan dengan Heng Sang Si, lalu mengejutkan Goan Sian
Fei sehingga mengundurkan diri, semuanya menggunakan ilmu pusaka Ti Ciang Pang yang
tidak diwariskan kepada orang lain. Mal na mungkin Lok Hong tidak mengenali ilmu
perguruannya sendiri" Begitu rasa curiganya timbul, tanpa menunda waktu lagi dia langsung mencelat ke atas
panggung dan segera mendesak Tan Ki dengan berbagai pertanyaan yang menyangkut
ilmu silat yang digunakannya tadi. Tetapi begitu melihat orang ini, hati Tan Ki langsung tercekat. Untuk sesaat dia tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Dirinya bagai maling yang kepergok oleh
tuan rumah, otomatis kegagahannya hilang dan tubuhnya mengkeret ketakutan. Sepasang
matanya membelalak lebar-lebar dan menatap Lok Hong tanpa berkedip sedikitpun.
Wajah Lok Hong saat ini berubah semakin kelam. Jenggotnya yang putih berkibar-kibar
dan sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam.
"Lohu sedang bertanya kepadamu, apakah kau tidak mendengarnya" Apakah tiba-tiba
telingamu menjadi tuli atau mdlutmu yang jadi bisu" Apakah harus menunggu sampai
Lohu memaksa dengan kekerasan baru kau mau menjawab pertanyaan Lohu tadi?"
Tan Ki menggerak-gerakkan bibirnya dengan gugup. "Aku" aku?"
Pikirannya ruwet, hatinya tegang. Mulutnya gagap-gugup sampai sekian lama masih
juga tidak dapat memberikan jawaban apa-apa. Dia merasa keningnya basah oleh keringat
dingin yang mengucur dengan deras. Yibun Siu San dan Cian Cong ikut melihat keadaan ini, tanpa sadar keduanya saling lirik
sekilas. Wajah mereka menunjukkan perasaan heran yang tidak terkatakan. Tidak di
sangka-sangka seseorang yang baru saja menunjukkan keperkasaannya bagai seekor
naga sakti tahu-tahu bisa berubah sedemikian rupa sehingga mirip seekor kelinci yang
ketakutan. Wajahnya basah oleh keringat dingin. Kedua orangtua ini sampai mengerutkan
sepasang alisnya. Bahkan beberapa gadis di bawah panggung yang mengkhawatirkan
kekalahan maupun kemenangannya, ikut menjadi tidak tenang melihat penampilannya
saat itu. Tiba-tiba terdengar Lok Hong tertawa panjang. Suaranya begitu keras sehingga
menggetarkan seluruh bukit tersebut.
"Lohu akan bertanya satu kali lagi. Dari mana kau mendapatkan seruling yang ada di
tanganmu itu?" suaranya berat dan mengandung hawa pembunuhan yang besar. Tidak
diragukan lagi kalau orangtua ini benar-benar sudah meluap kemarahannya.
Diam-diam Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat. Akhirnya dia membangkitkan
keberaniannya untuk menjawab. "Baiklah. Kalau kau memang ingin tahu, aku akan mengatakannya. Suling ini pasti
membuat kau mengetahui sebuah rahasia besar. Tidak salah, benda ini memang milik Ti
Ciang Pang kalian. Seluruh ilmu silat yang Cayhe kuasai juga merupakan hasil curian dari
goa makam para leluhur Ti Ciang Pang!"
Dia sadar sekali kalau watak orangtua ini sangat keras dan selalu menganggap dirinya
sendiri paling hebat. Setelah mendengar kata-katanya, pasti orangtua itu tidak akan
melepaskan dirinya begitu saja. Oleh karena itu, begitu selesai berkata, dia langsung surut
mundur satu langkah dan mengerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam untuk
menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Dia sudah bertekad untuk
menggunakan gabungan ilmu Tian Si Sam-sut dan Te Sa Jit-sut untuk berduel mati-matian
dengan ketua Ti Ciang Pang ini. Ternyata dugaannya memang benar. Setelah mendengar kata-katanya, Lok Hong
segera mendongakkan kepalanya dan memperdengarkan suara tawa yang mengandung
kegusaran. Tiba-tiba tubuhnya mendesak ke depan menghampiri Tan Ki dan dalam waktu
yang bersamaan, dia membentak marah, "Kalau ilmu silatmu bisa kau dapatkan dengan
mencuri belajar dari goa makam para leluhur kami, Lohu juga dapat menariknya kembali!"
Selesai berkata, secara mendadak dia mengirimkan sebuah totokan!
Serangkum tenaga yang lurus dan tajam langsung terpancar keluar seiring dengan
tangannya yang bergerak. Sasarannya tulang di atas bahu Tan Ki. Tempat ini merupakan
salah satu bagian yang paling penting dalam tubuh manusia, karena bersambung dengan
tulang penyangga leher. Kalau bagian ini sampai tertotok, maka urat sekaligus tulang pasti
langsung putus, otomatis tanganpun menjadi lumpuh serta leher menjadi kaku, tidak
dapat dibenarkan lagi untuk selamanya. Dan orang yang cacat ini jangan harap lagi dapat
belajar ilmu silat. Sementara itu Tan Ki sejak kecil sudah mendalami ilmu totokan, mana mungkin dia
tidak tahu bahaya yang satu ini. Tanpa dapat ditahan lagi wajahnya yang tampan jadi
berubah hebat. Dia menarik nafas dalam-dalam kemudian mencelat mundur ke belakang.
Lok Hong tertawa dingin. "Sambut lagi sebuah serangan Lohu ini!" sembari berbicara, dalam waktu yang
bersamaan tubuhnya mendesak ke depan satu tindak, lengan bajunya yanr kaku bagai
sebilah besi dikibaskan. Timbullah segulungan angin yang kencang.
Serangannya kali ini mengandung tenaga dalam sebanyak delapan bagian. Deruan
angin memecahkan udara dan terdengar bagai badai yang menerpa. Kekuatannya
demikian dahsyat, paling tidak mengandung tekanan seberat ribuan kati.
Sepasang alis Tan Ki jadi berkerut melihatnya. Hawa amarah jadi meluap seketika.
"Orangtua ini terlalu mendesak orang dan tidak ada sikap mengalah sedikitpun kepada
orang lain. Dia kira aku benar-benar takut kepadanya?"
Sembari berkata, Tan Ki seakan terbangkit semangatnya karena ucapan yang
dicetuskannya sendiri. Keberaniannya ikut meluap dan tiba-tiba dia mendongakkan
wajahnya lalu memperdengarkan suara siulan yang panjang.
Tubuhnya mencelat ke udara, dengan jurus Awan dan Kabut Ditimpa Cahaya Matahari,
dia menukik turun sembari melancarkan sebuah serangan.
Lok Hong melihat tanpa sebab musabab Tan Ki mencelat ke udara, hal ini sebetulnya
menyalahi teori ilmu silat karena bagian tubuhnya yang kosong dapat terlihat jelas
sehingga mudah diincar oleh lawan. Tanpa dapat ditahan lagi dia menjadi termangumangu
sejenak, lalu dia melihat pedang suling di tangan Tan Ki bergerak dengan cepat
sehingga menimbulkan titik sinar dingin yang tidak terhitung jumlahnya. Semuanya
tercurah turun menyelimuti tubuhnya, persis seperti ratusan pisau kecil yang berubah
menjadi cahaya keputihan dan mengurung seluruh tubuhnya, menyerangnya dari atas ke
bawah. Tentu saja dia jadi tercekat bukan main. Terasa cahaya pedangnya memijar, titik
sinar memercik sehingga membuat mata orang menjadi kabur dan tidak tahu bagian mana
sebetulnya yang menjadi sasaran senjata anak muda itu.
Meskipun Lok Hong termasuk seorang tokoh sakti yang berperangai aneh di dunia
persilatan, tetapi dalam waktu yang singkat dia juga tidak tahu bagaimana harus


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memecahkan jurus serangan Tan Ki yang ajaib ini. Terpaksa dia memiringkan pundaknya
dan menggeser ke samping sejauh tiga langkah.
Serangan Tan Ki kali ini masih tetap merupakan salah satu jurus dari ilmu Te Sa Jit-sut.
Pengaruh kekuatannya hebat bukan main. Sayangnya dia belum sempat melatih ilmu ini
hingga mencapai titik kesempurnaan, dengan demikian di tengah jalan dia belum bisa
mengatur hawa murninya dengan benar dan menggunakan kesempatan yang baik untuk
melukai lawannya. Selesai mengembangkan jurus ini sampai selesai, orangnyapun melayang turun kembali
di atas tanah. Padahal kalau orang yang sudah melatih dengan sempurna, gerakannya
tidak perlu berhenti. Selesai jurus yang ini, dia tentu dapat menyambungnya lagi dengan
jurus selanjutnya yang lebih lihai. Kalau tidak, biar Lok Hong lebih terkenal dan lebih tinggi
lagi ilmu silatnya dari sekarang, tetap saja sulit bagi orangtua itu untuk meloloskan diri
dari serangan ilmu pedangnya ini. Sesudah mencelat mundur, tampak selembar wajah Lok Hong yang serius menyiratkan
r perasaannya yang terkejut bukan kepalang tanggung. Sikapnya aneh, menunjukkan
ketegangan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Kecuali merasa gentar, hatinya juga
merasa heran sekali. Dia merasa jurus ilmu pedang Tan Ki tadi benar-benar ajaib, juga
mengandung perubahan yang mengagumkan sehingga hawa pedangnya terasa sekali
mendesak ke arah lawan. Bahkan menimbulkan perasaan menggidik dalam hati. Ilmu
pedang yang tingkatnya demikian tingggi ini, kalau ditilik dari usia Tan Ki yang masih
muda, tampaknya tidak mungkin dia berhasil melatihnya sampai mahir!
Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat sepasang mata Tan Ki menyorotkan
sinar yang tajam. Tangannya menggenggam suling dan berdiri dengan tegak. Sikapnya
berwibawa sekali. Hal ini merupakan sikap yang biasa diperlihatkan oleh tokoh persilatan
yang sudah mencapai taraf tertinggi dalam ilmu pedang. Tanpa dapat ditahan lagi, hatinya
kembali tergetar. Tiba-tiba dia merasa baik pengalaman maupun ilmu silat anak muda ini sedang melaju
ke tingkat yang tidak terkirakan tingginya. Dalam waktu setengah tahun yang singkat, dari
seorang pemuda yang tidak dikenal, dia berubah menjadi seorang jago kelas satu di dunia
Bulim. Dua huruf nama Tan Ki membuat setiap orang yang berkecimpung di dunia persilatan
tahu siapa orang ini atau paling tidak, sadar adanya orang seperti ini. Apabila menunggu
sampai satu atau dua tahun lagi, tentu tidak sulit baginya mengangkat derajatnya sendiri
dan kemungkinan besar dianggap sebagai tokoh tersakti dari generasi muda" namun ada
juga kemungkinan dia bisa menjadi seorang iblis yang menimbulkan segala kekacauan
bagi dunia Kangouw. Berpikir sampai, di sini. di dalam hati Lok Hong seakan timbul semacam perasaan yang
sulit dijelaskan. Semakin membayangkan sampai di mana tingginya ilmu silat anak muda
ini, semakin tidak berani dia memandang ringan lawannya. Wajahnya bahkan jauh lebih
kelam dari sebelumnya. Sepatah katapun tidak terucap dari bibirnya, dua bola matanya
menatap diri Tan Ki lekat-lekat. Waktu terus merayap perlahan-lahan diiringi suasana yang
semakin menegangkan. Setiap menit terasa begitu lamban, begitu panjang sehingga
membuat perasaan bagai diganduli beban yang berat dan tekanannya begitu keras
sehingga untuk bemafaspun rasanya sulit sekali.
Yibun Siu San dan Cian Cong saling lirik sekilas. Hati mereka sama-sama tertekan dan
sejak tadi tidak mengucapkan sepatah katapun. Jangan kata berbicara, mereka bahkan
tidak tahu apa yang harus dilakukan pada saat seperti ini.
Meskipun Lok Hong adalah seorang Cian-pwe dari dunia Bulim sekaligus Pangcu dari Ti
Ciang Pang yang terkenal, tetapi pertemuan besar yang diselenggarakan kali ini
merupakan ajang berkumpulnya para tokoh dari berbagai penjuru untuk memperebutkan
kedudukan Bulim Bengcu. Asal bukan orang-orang dari lima partai besar, siapapun
mempunyai hak untuk naik ke atas panggung mengikuti pertandingan dan
memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu tersebut.
Itulah sebabnya, meskipun Yibun Siu San dan Cian Cong sangat menyayangi Tan Ki,
tetapi mereka tidak mempunyai alasan yang kuat untuk mengusir Lok Hong turun dari
panggung. Akhirnya mereka terpaksa membelalakkan mata lebar-lebar dan mengikuti
perkembangan selanjutnya dengan perasaan yang tidak terkirakan tegangnya.
Pada saat ini, Liu Mei Ling, Liang Fu Yong, kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie, berempat
yang ada di bawah panggung sudah berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka berbicara
dengan berbisik-bisik seolah merundingkan sesuatu yang gawat.
Cin Ie yang adatnya paling berangasan dan ketolol-tololan, tanpa berpikir panjang dia
langsung mengungkapkan apa yang dirasakannya.
"Apa-apaan ini, seorang Locianpwe dari Bulim begitu tidak tahu malu menghina
angkatan muda" Kalau seumpamanya ilmu atau tenaga dalam Tan Koko kurang tinggi dan
sampai berhasil dikalahkan, bukankah semua jerih payah ini jadi sia-sia dan menjadi
harapan kosong saja?" Cin Ying menganggukkan kepalanya sedikit.
"Kalau keadaan sampai mendesak sekali, kita boleh naik ke atas panggung?" meskipun
gadis ini lebih cerdas dan selalu mempertimbangkan setiap persoalan baik-baik. Tetapi
dalam keadaan yang luar biasa dan genting seperti sekarang ini, dia juga kehabisan akal
dan pikirannya jadi bingung. Cin Ie yang mendengar kata-katanya langsung berteriak, "Kalau memang mau naik,
sekaranglah saatnya. Kalau menunggu sampai Tan Koko sudah terluka baru kita naik
memberikan pertolongan, sama saja menambah berat beban hatinya. Liu Cici, coba kau
pertimbangkan, benar tidak kata-kataku ini?"
Hati Mei Ling saat ini demikian tertekannya. Air matanya sudah mulai menggenang di
pelupuk mata. "Aku sendiri tidak tahu bagaimana baiknya?" Sahutnya bingung.
Cin Ie mulai kehabisan sabar, rasanya dia sudah ingin mencelat naik ke atas panggung.
Untung saja mata Cin Ying sangat awas dan gerakannya cepat. Dengan gugup dia menarik
tangan adiknya dan mencegah tindakan gadis itu. Kemudian dia berkata dengan suara
lirih. "Kalau ditilik dari keadaan saat ini, justru merupakan saat genting untuk menentukan
kekalahan atau kemenangan. Kalau Tan Ki belum menunjukkan tanda-tanda di bawah
angin, lebih baik kita jangan turun tangan. Jangan sampai karena emosi sesaat akhirnya
malah merusak urusan besar!" Ketika dia berbicara itulah, tiba-tiba dia melihat wajah Liang Fu Yong cengar-cengir
seperti tersenyum seorang diri. Dia berdiri dengan termangu-mangu. Tampaknya dia
merasa yakin sekali atas kemampuan Tan Ki dalam menghadapi pertandingan ini.. Seakan
hatinya juga telah mempunyai siasat tertentu sehingga tampangnya tidak menunjukkan
rasa gentar sama sekali. Bahkan pembicaraan mereka sejak tadi, tampaknya tidak
didengarkan sama sekadi oleh perempuan itu. Perhat tiannya terpusat secara keseluruhan
ke atas panggung. Cin Ying sendiri jadi terpana melihatnya. Diam-diam dia berpikir di dalam hati:
"Perempuan ini juga termasuk gundik Tan Siangkong. Tetapi isi hatinya demikian tertutup
rapat sehingga membuat orang sulit menduga apa yang dipikirkannya?"
Ketika pikirannya masih bergerak, tiba-tiba telinganya menangkap suara siulan yang
panjang. Cepat-cepat dia mendongakkan wajahnya memperhatikan atas panggung. Entah
sejak kapan, Tan Ki sudah mulai melancarkan serangan lagi mendesak Pangcu Ti Ciang
Pang tersebut. Tampak dia mengangkat pedang sulingnya ke atas dengan gerakan lamban, kemudian
tahu-tahu sudah dikibaskan ke depan. Jurus yang digunakannya kali ini adalah Kabut Putih
Menyelimuti Pasir. Gerakannya demikian anggun sehingga suasana yang ditimbulkannya
bagai pangeran yang siap menerima mahkota kerajaan, sikapnya berwibawa sehingga
orang yang melihatnya langsung menaruh rasa hormat yang tinggi dan merupakan lawan
yang tidak dapat dipandang ringan! Wajah Lok Hong perlahan-lahan mulai berubah. Dia menarik nafas satu kali, lalu
dengan cepat dia menyurut ke kiri satu langkah. Biar bagaimanapun, orangtua ini
merupakan salah satu tokoh aneh berilmu tinggi di dunia Bulim. Ketinggian ilmu silatnya
dapat dikatakan hanya di bawah satu orang tetapi di atas laksaan orang. Tetapi sejak awal
hingga akhir dia tidak berani menyambut serangan Tan Ki dengan kekerasan. Berkali-kali
dia hanya mengelak ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari serangannya. Para
hadirin yang menyaksikan hal itu, benar-benar dibuat tidak mengerti oleh sikapnya.
Perlu diketahui bahwa dalam pelajaran ilmu silat, ilmu pedang merupakan satu-satunya
yang paling sulit mencapai taraf tertinggi. Kalau seseorang sudah dapat mencapai taraf
kesempurnaan, asal mengempos sedikit hawa murninya saja, dari jauh seseorang dapat
menghadapi lawannya dengan sebatang pedang. Pengaruh kekuatannya bisa mencapai
sepuluhan depa. Pada saat itu, tidak ada lagi serangannya yang meleset dan dapat
.membunuh orang semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan orang yang tenaga
dalamnya kuat sekali, dapat melancarkan serangan tanpa wujud dan dapat menikam
lawannya dengan hawa pedangnya yang tajam saja. Para hadirin yang berkumpul di Tok
Liong-hong hari ini merupakan tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru dunia. Tetapi
mereka tidak dapat melihat bahwa yang digunakan Tan Ki adalah hawa pedang yang tidak
berwujud, sehingga Lok Hong terdesak mundur dan tidak berani menyambut serangannya
dengan kekerasan. Bahkan Lok Ing yang di bawah panggung juga menyaksikan keadaan ini sampai
bingung. Hatinya merasa cemas dan panik. Tiba-tiba tampak Tan Ki menarik kembali jurus
serangannya lalu menyurut mundur sejauh empat langkah. Bibirnya mengembangkan
senyuman yang lembut. "Harap Locianpwe berhenti dulu dan dengarkan beberapa patah kataku ini. Setelah itu,
apabila Locianpwe masih ingin melanjutkan pertandingan ini, terserah?"
Lok Hong perlahan-lahan menarik nafas panjang. Ucapan yang tercetus dari mulutnya
malah bukan jawaban atas perkataan Tan Ki.
"Dalam pertandingan kali ini, Lohu baru benar-benar melihat jelas bahwa ilmu silat
maupun tenaga dalam yang kau miliki sungguh-sungguh?"
Tiba-tiba dia teringat bahwa meskipun dirinya belum kalah, tetapi ternyata dia tidak
berani menyambut serangan Tan Ki dengan kekerasan, tanpa dapat ditahan lagi wajahnya
jadi merah padam dan kata-katanya pun tidak jadi diteruskan.
Tan Ki tersenyum simpul. Dengan tenang dia berkata, "Locianpwe jangan terlalu
merendahkan diri sendiri. Beberapa jurus serangan tadi, sebetulnya Boanpwe sudah
mengerahkan segenap kemampuan, namun tetap saja sulit menyentuh ujung pakaian
Locianpwe. Jadi" meskipun tampaknya Boanpwe seperti meraih kemenangan tetapi
kenyataan yang sebenarnya justru Boanpwe yang kalah?"
Mendengar ucapannya Lok Hong langsung tertawa terbahak-bahak.
"Di sindir sedemikian rupa olehmu, Lohu seperti orang yang berjiwa sempit. Ada
masalah apa, silahkan ungkapkan saja, Lohu ingin mendengar apa yang akan kau
utarakan!" "Locianpwe merupakan seorang pendekar besar yang mempunyai wilayah kekuasaan
tersendiri, juga mempunyai murid anggota yang tidak terhitung jumlahnya. Selama
berpuluh-puluh tahun perkumpulan Locianpwe bagai sebatang pohon yang kokoh dan
tidak goyah meskipun dihantam oleh gelombang badai yang bagaimanapun dahsyatnya.
Selama ini Boanpwe percaya Locianpwe menjalani hidup yang menyenangkan apalagi
dengan ketenaran nama yang menimbulkan rasa iri. Setelah kejadian tadi malam, mungkin
Locianpwe ikut maklum bahwa keadaan dunia Kang-ouw sekarang ini telah diterpa oleh
berbagai kekacauan. Golongan sesat dari luar samudera seperti Lam Hay dan Si Yu,
mereka sedang menghimpun kekuatan untuk menyerbu daerah Tiong-goan. Entah kapan,
mereka pasti akan menimbulkan pertumpahan darah yang besar-besaran di kampung
halaman kita ini. Namun seperti apa yang sering dikatakan oleh kaum cerdik pandai,
kemakmuran ataupun keruntuhan sebuah negara, rakyat ikut bertanggung jawab. Lahir
sebagai orang Bulim di daerah Tionggoan, sudah seharusnya ikut memikul beban yang
berat ini. Kita harus bersatu untuk menentang semua kekuatan dari luar yang tujuannya
merugikan kita. Pertemuan besar yang diselenggarakan kali ini, tujuannya justru pada
pokok yang sama. Dengan harapan seluruh orang-orang gagah di daerah Tiong-goan
dapat menggabungkan diri dan merundingkan bagaimana caranya menanggulangi
masalah besar ini. Seandainya mengandalkan nama besar maupun kedudukan Locianpwe
sekarang ini, tentu tidak sulit membangkitkan semangat para orang gagah untuk
bergabung dengan Bengcu yang terpilih nanti untuk menghadapi kemelut besar yang akan
melanda. Hal ini dilakukan demi kesejahteraan dunia Bulim sekaligus menghindari
jatuhnya banyak korban dari rakyat jelata yang tidak berdosa apa-apa. Bila Locianpwe
dapat mengabulkan permintaan ini, bukan hanya aku Tan Ki seorang saja yang merasa
berterima kasih sekali, tetapi baik golongan hitam maupun putih dari daerah Tionggoan ini
pasti akan mengelu-elukan perbuatan Locianpwe yang mulia ini?"
Tan Ki menguraikan pendapatnya dengan panjang lebar. Nada suaranya demikian tegas
dan penuh keg Bukit Pemakan Manusia 9 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 5
^