Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 17

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 17


urus apa yang dimainkan gadis itu. Terpaksa dia mengibaskan
lengan jubahnya dan mengerahkan sebuah jurus yang telah membuat namanya menjadi
terkenal yakni Kibasan Lengan Besi. Serangkum angin yang kencang terpancar keluar dari
kibasan lengan jubahnya dan dihantamkan ke arah bayangan-bayangan yang terlihat di
udara. Kibasan Lengan besi merupakan salah satu ilmu pusaka dalam Bu Tong Pai. Seluruh
kekuatan tenaga dalam dikerahkan ke lengan baju sehingga kaku bagai lempengan besi.
Bukan hanya kekuatannya yang hebat dan aneh, setiap kali sudah mendekat pasti sulit
dihindari, lagipula angin yang terpancar keluar juga tajam bagai gunting. Lawan yang
terhantam tenaga tersebut, besar kemungkinan akan melayang nyawanya.
Watak gadis itu terlalu sombong, dia tidak sudi mengalah begitu saja. Saat ini diamdiam
dia mengerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan sehingga memberat ke bawah
dan bagai kilat dia menyambut serangan tersebut.
Begitu kedua kekuatan saling membentur, hati gadis berpakaian hijau itu langsung
tergetar. Hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri. Sekarang dia baru sadar
bahwa kekuatan tenaga dalamnya masih terpaut jauh dengan tosu tua tersebut. Cepatcepat
dia menghimpun hawa murninya untuk melindungi tubuh dan berjungkir balik sekali
lagi. Dengan membiarkan dirinya didorong oleh kekuatan tenaga Tian Bu Cu,,tubuhnya
melayang lagi ke atas, kemudian pada jarak kurang lebih tiga empat depaan baru
melayang turun kembali. Meskipun ilmu Kibasan Lengan Besi milik Tian Bu Cu ini mempunyai pengaruh kekuatan
yang hebat, tetapi juga memboroskan hawa murni. Selesai mengerahkannya, wajah
orangtua itu tampak agak berubah. Cepat-cepat dia menarik nafas panjang-panjang
kemudian memejamkan matanya sambil mengatur pernafasan dan tidak berani langsung
melancarkan serangan. Tiba-tiba setitik sinar terang sepert berkelebat dalam benaknya. Dia teringat akan
seseorang dan sepasang matanya langsung terbuka lebar-lebar.
"Apakah kau murid dari Ming San Sinni (Rahib suci dari Ming San) Fu Goat Taisu?"
Tampak si gadis itu agak tertegun beberapa saat.
"Ilmu agama Sinni tiada batasnya, bagaimana mungkin beliau mempunyai seorang
murid seperti aku ini" Aku?" tiba-tiba, dia menghentikan kata-katanya, seolah ada sesuatu
yang kurang tepat. Cepat-cepat dia menghentikan ucapannya dan mengibaskan kepang
rambutnya ke belakang. Setelah terdiam beberapa saat dia melanjutkan kembali katakatanya,
"Kau tidak usah perduli siapa diriku ini. Aku hanya ingin membawa orang yang
melukai Liok Giok. Kalau kau tosu tua masih mencoba menghalangi, aku benar-benar akan
mengadu jiwa denganmu!" Tian Bu Cu tersenyum lembut. Belum lagi sempat dia membuka mulut, Tan Ki sudah
berjalan keluar dengan mimik wajah menunjukkan kemarahan hatinya.
"Kau gadis cilik ini memang hebat sekali. Entah ke mana kau akan membawa diriku?"
"Liok Giok adalah burung kesayangan majikanku. Orang dari rombongan kalian yang
melukainya, sedangkan luka yang dideritanya parah sekali. Aku telah melayani majikanku
selama bertahun-tahun, tetapi belum pernah "aku melihat beliau begitu marah. Tadi kau
sudah menyambut jurus seranganku, mungkin dalam hati kau sendiri mengerti. Meskipun
tenaga dalamku belum cukup sempurna, tetapi dalam gerakan maupun jurus-jurus, aku
tidak kalah olehmu. Kalau pertarungan kita diteruskan, belum tentu aku akan mengalami
kekalahan."Seandainya aku tidak dapat membawa orang yang melukai Liok Giok, sebentar
lagi beliau tentu akan datang sendiri, pada waktu itu urusan semakin sulit diselesaikan.
Biarpun kalian beberapa orang bergabung jadi satu, rasanya juga bukan tandingan
majikanku itu. Aku pikir, lebih baik suruh orang yang melukai Liok Giok itu mengikuti aku
menemui majikan. Paling-paling juga hanya mendapat sedikit hukuman darinya. Kata-kata
yang kuucapkan ini keluar dari hati yang tulus. Kalau kalian tetap tidak percaya, boleh saja
coba-coba!" Mendengar keterangannya, Tian Bu Cu menjadi serba salah. Apabila membiarkan Tan
Ki pergi seorang diri menghadap majikan gadis ini, otomatis hatinya khawatir sekali. Kalau
dia mencegah Tan Ki pergi, sebentar lagi apabila majikannya benar datang, kemungkinan
akan terjadi pertumpahan darah baru bisa menyelesaikan urusan. Gadis berpakaian hijau
itu hanya salah seorang budaknya, tetapi ilmu silat yang dikuasainya sudah demikian
tinggi. Hal ini membuktikan bahwa majikannya pasti seorang tokoh yang luar biasa.
Pikirannya terus bekerja. Semakin lama hatinya semakin bingung. Kedua pilihan itu
sama-sama berat baginya. Untuk sesaat, tokoh aneh yang memiliki ilmu tinggi ini juga jadi
kebingungan dan tidak tahu keputusan apa yang harus diambilnya. Dia menundukkan
kepalanya merenung dan untuk sekian lama tiT dak mengucapkan sepatah katapun.
Justru ketika dia merasa serba salah, tiba-tiba terdengar Tan Ki tertawa terbahak-bahak
dan berkata kepada si gadis berpakaian hijau.
"Kalau kau sudah berkata demikian, aku akan mengikutimu untuk menemui majikanmu
itu. Aku ingin lihat bagaimana dia akan menghukum diriku!"
Mendengar Tan Ki bersedia ikut dengannya, wajah gadis itu yang tadinya menunjukkan
kemarahan langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia mengembangkan seulas senyuman
yang manis sekali. "Kalau kau sudah bersedia ikut denganku, maka segala kesulitan tidak mungkin sampai
terjadi. Jangan sampai dipaksa dengan kekerasan yang akhirnya menimbulkan adu senjata
tajam. Aku juga percaya kalau kau adalah seorang Kuncu (Laki-laki sejati). Sekarang ini
tidak mungkin aku membawamu menemui majikan. Malam ini ketika rembulan tepat
berada di atas kepala, kita akan bertemu lagi!" dengan suara rendah kembali gadis itu
kembali menjelaskan kepada Tan Ki arah yang harus diambilnya dan tempat di mana
mereka harus bertemu nanti malam. Setelah itu dia menjura dalam-dalam kepada Tian Bu
Cu, lalu membalikkan tubuh berlari ke depan. Ketika baru berjalan kurang lebih dua puluh
depaan, tiba-tiba dia menolehkan kepalanya kembali dan berkata kepada Tan Ki, "Ingat,
ketika kau pergi nanti malam, jangan ajak siapapun. Majikanku paling benci bertemu
dengan kalian kaum laki-laki"!"
Suaranya terdengar dari jelas sehingga menjadi sayup-sayup kemudian menghilang.
Orangnya sendiri sudah membelok ke dalam sebuah lembah dan tidak terlihat lagi.
Kemudian terdengar lagu suara angin berderu-deru yang meninggi ke atas. Beberapa
orang itu segera mendongakkan kepala, entah dari sebelah mana tiba-tiba melayang
terbang dengan kecepatan tinggi seekor elang raksasa. Sayapnya mengepak-ngepak
sehingga menimbulkan suara angin yang keras. Kecepatannya bagai kilat yang
menyambar di musim hujan. Dalam sekejap mata saja, burung itu hanya tinggal sebuah
titik hitam yang kemudian menghilang di kejauhan.
Saat ini, Tian Bu Cu serasa lega kembali. Dia menghembuskan nafas panjang-panjangdan
berjalan perlahan-lahan mendekati Cian Cong. Tanpa sengaja dia mendongakkan wa"
jahnya. Tampak Mei Ling dan Liang Fu Yong masih mengerutkan sepasang alisnya dan
mimik wajah mereka menyiratkan perasaan khawatir yang dalam. Orangtua itu tahu
mereka mencemaskan diri Tan Ki yang telah berjanji akan bertemu dengan majikan si
gadis cilik itu malam nanti. Apakah dirinya akan selamat atau bahaya masih sulit
dipastikan. Dia tersenyum kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Perlahan-lahan dia
kembali memejamkan matanya dan merenung memikirkan cara untuk menyelamatkan
nyawa si pengemis sakti Cian Cong. Waktu di pegunungan lebih cepat berlalu. Sebentar saja sudah masuk kentungan
pertama. Tan Ki memohon diri kepada Tian Bu Cu dan yang lainnya. Dia juga
memberitahukan tujuan yang akan didatanginya nanti, serta tempat di mana majikan
gadis itu berada. Seorang diri dia meninggalkan padang rumput tersebut dan bersiap-siap
menemui gadis berpakaian putih. Tidak disangka ketika dia baru masuk ke dalam rumah
penginapan, dia telah bertemu dengan rombongan si pengemis cilik dan kawan-kawan.
Setelah mendengar cerita Tan Ki dari awal hingga akhir, sepasang alis si pengemis cilik
Cu Cia langsung mengerut. Hatinya gelisah sekali.
"Kalau Tan-heng sudah mengadakan perjanjian dengan Tian Bu Cu Locianpwe untuk
bertemu di tempat ini, maka secara langsung atau tidak, pasti dapat mengurangi berbagai
kesulitan. Tetapi luka yang diderita suhuku demikian parah, aku takut dia tidak sanggup
bertahan lebih lama lagi." Sam Po Hwesio mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar-benar banyak berpikir hal yang bukan-bukan sehingga mendatangkan
kesulitan bagi diri sendiri. Tenaga dalam Cian Su-pek telah dilatih sampai taraf yang tidak
terkirakan tingginya. Sedikit luka kecil seperti itu mana mungkin berakibat apa-apa bagi
dirinya. Di dalam dunia Kangouw saat ini, kecuali Tian Bu Cu Locianpwe, tidak ada orang
kedua lagi yang lebih hebat darinya. Siau Hente berani menjamin bahwa luka itu tidak
mungkin sampai merenggut nyawanya."
Tiba-tiba Ceng Lam Hong bangkit berdiri. Dia membungkukkan tubuhnya rendahrendah
kepada si pengemis cilik Cu Cia. "Watak Hiantit benar-benar berjiwa besar. Setiap hari selalu tersenyum riang. Benarbenar
seorang sahabat yang susah dicari keduanya. Belum lagi kegagahanmu dalam
membantu orang lain. Rasanya aku tidak perlu bercerita panjang lebar lagi. Apalagi
Suhumu yang disebut sebagai salah satu tokoh teraneh di dunia saat ini. Demi anakku
yang tidak berbakti ini, dia orangtua sampai terluka demikian parah, keselamatan jiwanya
saat ini masih belum dapat dipastikan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus
kukatakan kepadamu." Ceng Lam Hong menarik nafas panjang satu kali. Ia lalu menoleh
kepada Tan Ki dan membentak dengan nada keras, "Anak tidak tahu budi! Masih tidak
lekas-lekas ucapkan terima kasih atas budi yang diberikan oleh Cu-heng dan suhunya?"
Mendengar bentakan ibunya, Tan Ki segera mengiakan dan ternyata dia benar-benar
menjatuhkan diri berlutut di hadapan si pengemis cilik Cu Cia. Tampak dia menyembah
beberapa kali. Begitu seriusnya sampai selembar wajah si pengemis cilik jadi merah
padam. Dia juga ikut-ikutan menjatuhkan diri berlutut di atas" tanah.
"Tan-heng, jangan begitu. Perbuatanmu ini benar-benar ingin membuat si tukang
minta-minta jadi orangtua secara tiba-tiba! Sambil berkata, dia juga menyembah kepada
Tan Ki. Seakan menerima penyembahan dari orang lain benar-benar akan membuat dia
menjadi tua beberapa tahun sehingga hatinya menjadi ketakutan.
Tan Ki sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan, dia tahu orang yang
sikapnya angin-anginan dan ugal-ugalan seperti Cu Cia ini justru mempunyai hati yang
mulia dan tidak suka berhitungan. Meskipun dirinya belum lama mengenal si pengemis
cilik Cu Cia, tetapi dia juga tidak mau sengaja membuatnya marah, yang akibatnya malah
akan merusak hubungan persahabatan mereka. Akhirnya terpaksa dia tersenyum simpul
dan berdiri lagi. Hati Goan Yu Liong tidak pernah lupa masalah mengikat tali persaudaraan dengan Tan
Ki. Melihat kedua orang itu saling menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan pakai acara
menyembah segala macam dengan mimik wajah serius, tiba-tiba dia tersadar dan
menepuk tangannya keras-keras. "Ini baru hebat! Suatu kebetulan yang sulit ditemukan. Koko tukang minta-minta
mewakili kita berempat menyembah kepada Tan-heng, dengan demikian kita tidak perlu
mengadakan upacara yang rumit lagi!"
Mendengar teriakannya, mula-mula Tan Ki heran sekali. Untuk sesaat dia tidak
mengerti apa yang dimaksudkan oleh Goan Yu Liong dengan kata-katanya tadi. Akibatnya
dia jadi termangu-mangu dan memandang anak muda itu dengan mata membelalak lebarlebar.
Kemudian dia mengedarkan pandangannya ke beberapa orang yang lain dengan
tatapan mengandung pertanyaan. Yang Jen Ping langsung tertawa lebar melihat sikapnya.
"Setelah pertandingan di atas panggung, kami semua sudah melihat kehebatan ilmu silat
Tan-heng. Rasanya orang lain juga mempunyai pendapat yang sama. Lagipula sikap Tanheng
saat itu demikian gagah dan meyakinkan. Hal ini menimbulkan perasaan kagum
setiap orang. Goan Yu Liong demikian kagum terhadap ilmu Tan-heng yang tinggi dan
terus berpikir untuk mengajak Tan-heng mengikat tali persaudaraan. Bahkan aku serta
Ban Jin Bu juga mempunyai pikiran yang sama. Kami berharap seusai pertandingan nanti,
kami bisa menjalin tali persaudaraan yang lebih erat sehingga melewati suka duka
bersama-sama." Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia segera menjura dalam-dalam.
"Karena aku seorang, kalian jadi menempuh perjalanan demikian jauh, hal ini saja
sudah membuat pikiran Siaute menjadi tidak enak. Kalau Yang-heng berkata begitu, kelak
aku pasti merasa lebih berat lagi. Dapat mengikat tali persaudaraan dengan kalian,
sungguh merupakan suatu keberuntungan Siaute yang besar sekali, namun malam ini?"
Berkata sampai di sini, tiba-tiba ia seolah merasakan sesuatu hal, sepasang alisnya
bertaut erat dan mulutnya langsung membungkam.
Si pengemis cilik orangnya lebih cerdas. Dia yang pertama-tama melihat mimik wajah
Tan Ki agak aneh. Oleh karena itu dia segera bertanya, "Ada apa?" meskipun mulutnya
bertanya, tetapi sepasang matanya langsung berputar ke seluruh ruangan dan secara
diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk menjaga segala kemungkinan.
Setelah mempertajam indera pendengarannya sesaat, Tan Ki baru menggelengkan
kepalanya. "Orangnya sudah pergi. Tidak ada suara apapun yang dapat dijadikan bahan
penyelidikan. Mungkin salah seorang tamu dari ruangan depan yang ingin ke kamar kecil."
"Aku selalu merasa bahwa penginapan yang satu ini memang rada aneh. Perlukah kita
keluar menyelidikinya sebentar?"
Tan Ki menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Besok sebelum matahari terbit, Tian Bu Cu Locianpwe pasti sudah
menyusul ke mari. Dia orangtua mempunyai hati yang lapang, pengetahuannya juga luas
sekali. Apabila dalam penginapan ini ada orang yang merencanakan apa-apa, pasti tidak
terlepas dari pandangan mata beliau. Sekarang ini urusan kita sendiri cukup rumit. Lebih
baik jangan sampai timbul lagi persoalan yang lain."
Berkata sampai di sini, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki yang ringan.
Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat si gadis berpakaian hijau sedang
melangkah ke dalam ruangan di mana mereka berada. Tampak sepasang matanya yang
indah mengedar ke setiap orang. Kemudian dia mendengus dingin satu kali dan berkata
kepada Tan Ki. "Kau ikut denganku sekarang!"
Mendadak tampak Yang Jen Ping ikut berdiri.
"Tan-heng, Siaute akan menemanimu ke sana. Sekalian lihat-lihat gadis berpakaian
putih yang menunggang elang raksasa itu. Siapa tahu aku mendapat kesempatan
berkenalan dengannya!" "Tidak bisa!" tukas gadis berpakaian hijau. "Kalau kau ikut dengannya, malah bisa
menimbulkan masalah besar. Majikanku paling tidak suka bertemu dengan kalian kaum
laki-laki." Wajah Ceng Lam Hong masih tampak murung. Dia juga ikut berbicara, "Kalau begitu,
aku kan seorang wanita, tentu aku boleh menemaninya ke sana?"
"Tetap saja tidak boleh. Majikanku hanya mengijinkan aku membawa orang yang telah
melukai Liok Giok"!" Mendengar ucapannya, Tan Ki segera membusungkan dada.
"Majikanmu adalah seorang tokoh yang sakti, tentunya manusia seperti itu mempunyai
pengertian yang dalam. Cayhe melukai Liok Giok tanpa sengaja, kalau beliau memang
hanya mengijinkan aku seorang yang menemuinya. Mari kita berangkat sekarang juga."
dia merandek sejenak dan kemudian berkata lagi kepada Ceng Lam Hong. "Ki-ji akan
pergi bersamanya. Kalau majikannya benar-benar tidak tahu aturan dan tetap ingin aku
mengganti kerugian yang diderita burung kakaktua tersebut, paling-paling Ki-ji kehilangan
selembar nyawa. Tetapi kalau dia memang seorang
tokoh Cianpwe yang aneh, tentu tidak akan memperpanjang persoalan sekecil ini.
Pokoknya Ibu tidak perlu khawatir segala macam."
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang memecahkan keheningan malam. Tampak gadis
berpakaian hijau itu mengerutkan sepasang alisnya.
"Cepat jalan, kalau sampai terlambat"!"
Tampaknya dia gugup sekali. Tidak diberinya kesempatan untuk tan ki membantah
sedikit-pun, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya mencekal Tan Ki dan mengajaknya
keluar dari ruangan tersebut. Mungkin dia mendapat isyarat dari suara siualan tadi, tangannya yang mencekal Tan Ki
diperketat dan dia menyeret anak muda itu berlari secepat kilat. Tujuannya sudah tentu
taman bunga tersebut. Di bawah cahaya rembulan, tampak bunga-bunga bermekaran dan
membawa serangkum bau harum yang menyegarkan. Setelah melewati gunung-gunungan
yang ada di tengah-tengah, mereka masuk lagi ke dalam sebuah halaman besar. Gadis
berpakaian hijau itu menarik Tan Ki menuju ke deretan kamar yang ada di sebelah Utara.
Tampaknya gadis itu sudah menghapal daerah ini dengan baik, meskipun melangkah
dengan tergesa-gesa tetapi dia sama sekali tidak bingung atau berhenti memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Dia langsung menying kapkan tirai yang membatasi ruangan dan
melangkah masuk. Diam-diam Tan Ki memperhatikan keadaan dalam ruangan itu. Penataannya sangat asri
dan apik. Di depan ruangan yang membatasi kamar utama terdapat untaian tirai berwarna
putih yang terbuat dari kerang-kerangan. Pada bagian luar diletakkan beberapa buah kursi
yang disandarkan pada tembok. Di sebelah kiri duduk seorang gadis berpakaian mini
dengan sebagian pundak terbuka. Tampaknya usia gadis itu lebih muda sedikit dari si
gadis berpakaian hijau. Dalam pelukannya terbaring Liok Giok yang sedang terluka parah.
Ketika melihat si gadis berpakaian hijau membawa seseorang pulang bersamanya, dia
segera berdiri dan tersenyum manis.
"Cici Mei Hun, apakah orang ini yang melukai Liok Giok?" tanyanya dengan suara lirih.
Gadis berpakaian hijau itu menganggukkan kepalanya.
"Mana Cujin" Ke mana perginya?" tanyanya dengan suara rendah.
Gadis berpakaian mini itu menunjuk ke arah kamar utama.
"Melihat luka yang diderita Liok Giok begitu parah, kelihatannya Cujin marah bukan
main. Siang tadi, beliau sendiri yang mengoleskan obat dan mencekoki setengah bungkus
Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang." selesai berkata, dia mendelik kepada Tan Ki
dengan mata terbelalak lebar-lebar. "Bencana yang kau timbulkan sungguh besar. Luka
yang diderita oleh Liok Giok mungkin harus diganti dengan nyawamu sendiri!" katanya
ketus. Mendengar ucapannya, Tan Ki jadi gusar. Untuk sesaat dia jadi lupa di mana dia
berada. Sepasang alisnya terjungkit ke atas dan dia sudah hampir meledakkan
kemarahannya. Melihat tampangnya yang garang, kemungkinan setiap saat Tan Ki dapat mengumbar
rasa amarahnya, si gadis berpakaian mini takut dia akan membentak atau berteriak keraskeras


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga mengejutkan majikannya yang sedang bersemedi. Tanpa dapat ditahan
lagi hatinya menjadi panik. Tangan kanannya te tap memeluk Liok Giok sedangkan
tangannya terulur ke depan dan secepat kilat menotok ke arah kepala Tan Ki. Angin yang
terpancar dari jari tangannya kencang sekali sampai menimbulkan suara berdesir.
Tan Ki merasa dirinya memang bersalah, oleh karena itu dia tidak berani menyerang
terlebih dahulu. Sebab hal ini membuktikan dirinya sebagai manusia yang tidak tahu
aturan. Namun begitu gadis itu menggerakkan "tubuh dan menyerang kepadanya, dia
langsung membalikkan tangannya dan mengerahkan jurus Lengan Besi Menahan Air
Sungai. Sasarannya malah pergelangan tangan gadis itu.
Gadis berpakaian mini itu dapat melihat gerakan Tan Ki mengandung tenaga yang kuat
lagi pula jurusnya agak aneh. Dia merasa bahwa anak muda ini bukan orang sembarangan
juga. Cepat-cepat dia menekan lengan kirinya agar bobotnya lebih berat. Totokannya
berubah menjadi tepukan, dikerahkannya ilmu Lwekang taraf tertinggi dengan gerak
tangan seperti bunga teratai. Sekali lagi dia melancarkan sebuah serangan ke dada Tan Ki.
Dalam pertandingan di atas panggung beberapa waktu yang lalu, Tan Ki berhasil
tnencapai peringkat Pendekar pedang tingkat lima. Hal ini tidak didapatkannya dengan
mudah. Melihat serangan gadis berpakaian mini itu yang demikian keji, tanpa dapat
ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Setelah mengeluarkan suara
bentakan, tangannya yang terulur ke depan membentuk cakar dan meluncur ke arah
pergelangan tangan kiri gadis itu. Siapa nyana begitu dia mengerahkan serangannya, Mei Hun juga terkejut setengah
mati. Dia tahu apabila seseorang sedang bersemedi, maka hal yang paling dibenci adalah
gangguan dari luar. Tadi Tan Ki membentak dengan suara keras, dia takut majikannya
akan terkejut. Oleh karena itu, tanpa sadar dia menerjang ke depan dan dengan jurus
Menggunting Bunga Bwe Sembarangan, kedua jari tangannya meluncur ke depan dan
menotok bagian ubun-ubun Tan Ki. Anak muda itu langsung merasa tubuhnya seperti kesemutan dan tenaga dalamnya
lenyap seketika. Baru saja dia mendengus satu kali, tubuhnya langsung terkulai di atas
tanah dalam keadaan pingsan. Ubun-ubun merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam diri manusia. Urat-urat
syaraf yang utama semua berkumpul di daerah tersebut. Kalau sampai tertotok, orang itu
tidak hanya akan merasa ngilu dan tidak sadarkan diri. Bila totokannya agak berat malah
bisa membahayakan jiwa seseorang. Apabila tidak sampai mati, lama kelamaan pasti bisa
berubah menjadi tidak waras. Mei Hun tadinya hanya ingin menotok Tan Ki agar anak
muda itu tidak lagi berteriak keras-keras, yang ditakutkan akan mengganggu semedi
gurunya. Setelah majikannya selesai semedi baru dia membebaskan totokan anak muda
tersebut. Siapa tahu dalam keadaan panik dia tidak "membedakan bagian mana yang
ditotoknya dan turun tangannya pun agak berat sedikit. Akibatnya Tan Ki malah jatuh
tidak sadarkan diri di atas tanah. Begitu matanya memandang, dia melihat anak muda itu rebah di atas tanah dengan
sepasang mata terpejam rapat. Giginya juga mengatup kuat-kuat seakan menahan
penderitaannya yang tidak terkirakan. Wajahnya yang pucat terus mengerut-ngerut. Mei
Hun sejak kecil tinggal di daerah pegunungan. Hatinya masih polos sekali. Sepanjang
perjalanan tadi dia terus menarik tangan Tan Ki. Saat itu dia masih belum merasakan apaapa.
Sekarang tubuhnya setengah membungkuk dan dia sedang memperhatikan keadaan
Tan Ki dengan seksama. Dia merasa bahwa anak muda ini berbeda dengan laki-laki
"lainnya. Seakan seluruh bagian dari dirinya tidak ada setitik-pun yang tidak enak
dipandang" Setelah memperhatikan sejenak, tanpa hujan tanpa angin wajahnya jadi merah padam.
Dia mendongakkan kepalanya menatap si gadis berpakaian mini.
"Cici Ciu Hiang, coba lihat tampangnya, kasihan sekali. Lebih baik kita bebaskan saja
totokan pada dirinya." "Selamanya aku belum pernah melihat Cujin begitu marah. Tampaknya dia tidak akan
melepaskan anak muda itu begitu saja."
Hati Mei Hun jadi tergetar mendengar ucapannya.
"Cici Ciu Hiang, kalau menurut pendapatmu, mungkinkah Cujin sampai menginginkan
nyawanya?" Ciu Hiang tersenyum simpul. "Ini" bagaimana aku bisa tahu?" tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu hal. Dia
mengejapkan matanya beberapa kali dan tersenyum manis. "Cici Mei Huh, tampaknya kau
sangat mengkhawatirkan anak muda ini?"
Wajah Mei Hun jadi merah padam mendengar pertanyaannya. Matanya mendelik satu
kali kepada gadis itu lalu menyahut, "Mengapa kau bisa mengoceh sembarangan" Aku
hanya melihat tampangnya mengenaskan sekali. Ubun-ubun merupakan bagian yang
terpenting di bagian tubuh manusia. Kalau agak lama dibiarkan, dia pasti tidak dapat
menahannya. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya sebelum Cujin mengajukan
pertanyaan, bagaimana kita harus bertanggung jawab?"
BAGIAN XLII Selesai berkata, Mei Hun tidak menunggu sampai Ciu Hiang menjawab, dia segera
mengulurkan tangannya dan membopong bangun tubuh Tan Ki. Tangan kanannya segera
mengurut-urut bagian belakang leher anak muda itu. Setelah peredaran darahnya lancar,
kembali dia menepuk perlahan-lahan menepuk bagian punggungnya.
Terdengar Tan Ki mengeluarkan suara batuk-batuk kecil. Tiba-tiba sepasang matanya
membuka. Melihat sebagian dirinya ada dalam pelukan Mei Hun, hatinya merasa heran
sekali. Sepasang alisnya mengerut seketika. Dia menatap Mei Hun sambil berkata, "Kalau
kau sudah menotok jalan darahku, mengapa sekarang kau malah menyelamatkan aku
kembali?" Tanpa hujan tanpa angin dia mengajukan pertanyaan, saat itu juga wajah Mei Hun jadi
merah padam. Sepasang matanya yang besar dan indah mengejap beberapa kali, akhirnya
dia dapat juga memberikan jawaban. "Aku takut jalan darahmu tertotok terlalu lama sehingga dapat mengakibatkan kematian."
Belum lagi suaranya sirap, Ciu Hiang tidak dapat menahan diri lagi, dia langsung
tertawa terkekeh-kekeh. Mei Hun mendongakkan kepalanya dan memandanginya dengan mata mendelik.
"Apa yang kau tertawakan" Memangnya aku tak takut kalau dia mati" Kalau dia benarbenar
sampai mati, setelah selesai bersemedi, Cujin pasti akan mengajukan pertanyaan
kepadanya. Coba apa yang akan kau katakan waktu itu?"
Tiba-tiba dia menundukkan kepalanya dan melihat tubuh Tan Ki masih berada dalam
sandarannya. Kepala Tan Ki tepat menempel pada sepasang payudaranya. Kalau dia tidak
melihat masih tidak apa-apa. Begitu melihat, tubuhnya seperti mendadak dialiri arus listrik.
Tanpa terasa dia menggigil dan cepat-cepat dia menegakkan tubuh Tan Ki dan berkata
dengan suara lirih, "Kau duduk di sini dulu sebentar beristirahat, jangan mempunyai niat
untuk kabur. Sebentar lagi majikanku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu."
Tiba-tiba dari kamar utama terdengar suara gerakan yang halus. Ciu Hiang tahu
majikannya sudah selesai bersemedi. Dengan memeluk Liok Giok, dia cepat-cepat berjalan
menuju kamar utama tersebut. Mei Hun melihat dia berjalan menuju kamar utama kemudian masuk ke dalamnya. Di
luar hanya tinggal dia bersama Tan Ki berduaan. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia
mengkhawatirkan keselamatan anak muda itu. Tanpa sadar dia mendekati Tan Ki dan
berbisik di samping telinganya. "Nanti kalau majikanku mengajukan pertanyaan kepadamu, kau harus mengatakan
bahwa kau tidak sengaja melukai Liok Giok, dan kau bersedia menerima hukuman. Kalau
beliau menyuruh aku atau Ciu Hiang mencambuki dirimu, kau tidak boleh mengerahkan
tenaga dalam melawan atau berteriak kesakitan?"
Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
"Kalau dia benar-benar ingin memberi hukuman, aku tentu saja keberatan
menerimanya. Kecuali kalau dia sama seperti engkau, totok dulu jalan darahku sehingga
aku tidak berdaya. Bila tidak, Tan Ki bukan manusia yang dapat dihina begitu saja!"
Mei Hun melihat anak muda ini demikian keras kepala, dia jadi semakin panik. Tiba-tiba
dari dalam kamar utama terdengar suara teriakan Ciu Hiang, "Cici Mei Hun, cepat bawa
orang yang melukai Liok Giok ke sini! Cujin ingin menanyainya sendiri!"
Mendengar suara itu, sekali lagi sepasang alis Tan Ki terjungkit ke atas. Telapak
tangannya menekan lantai dan melonjak bangun. Mei Hun tahu watak anak muda ini
sangat keras lagi angkuh. Pasti dia sudah ingin mengumbar kemarahannya lagi. Cepatcepat
dia menarik lengan anak muda itu. Dia menggigit bibirnya sendiri perlahan-lahan lalu
berkata lagi, "Setelah bertemu dengan majikanku, jangan sembarangan mengumbar
adatmu. Akhirnya nanti kau sendiri yang merasakan kesulitannya. Mengertikah kau apa
yang kukatakan?" Suaranya begitu lembut, wajahnya menunjukkan permohonan yang dalam. Matanya
yang besar dan bulat memandangi Tan Ki tanpa berkedip sedikitpun. Sinar matanya
menyiratkan perhatian yang besar dan kecemasan yang tidak terkirakan.
Tan Ki melihat gadis remaja itu begitu panik melihat keadaan dirinya, akhirnya anak
muda itu jadi tidak tega. Dia menganggukkan kepalanya dan mengembangkan seulas
senyuman yang manis. Wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kemarahan lagi.
Melihat Tan Ki telah mengabulkan permintaannya, hati Mei Hun gembira sekali.
Wajahnya yang cantik dan berona merah jambu langsung berseri-seri. Dia juga membalas
senyuman Tan Ki dengan senyuman yang tidak kalah manisnya. Kemudian dia menarik
tangan anak muda itu dan mengajaknya masuk menuju kamar utama.
Begitu tirai berwarna putih disingkapkan, tampaklah sebuah ruangan yang ditata indah
dan bersih. Sekali pandang saja membuat perasaan orang menjadi segar dan nyaman.
Seorang gadis berpakaian putih dengan rambut panjang terurai sampai di bahu. Dia
berdiri menghadap jendela. Tan Ki hanya dapat melihat bayangan punggungnya saja.
Tetapi dia sudah dapat merasakan keanggunan gadis itu. Ciu Hiang yang memeluk Liok
Giok "berdiri di samping gadis itu, tetapi wajahnya menghadap Tan Ki.
Mei Hun menarik tangan Tan Ki masuk ke dalam dan berhenti pada jarak kurang lebih
lima langkah dari gadis berpakaian putih itu. Dia membungkukkan tubuhnya memberi
hormat. "Budak Mei Hun sudah membawa orang yang melukai Liok Giok. Harap Siocia
memberikan keputusan." Gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak menolehkan kepalanya.
"Tinggalkan saja dia di sini. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan. Untuk
sementara kau dan Ciu Hiang keluar dulu. Kalau aku sudah memanggil, kalian baru boleh
masuk lagi." Setelah mendengar ucapannya, Mei Hun dan Ciu Hiang menjadi tertegun serentak. Dua
pasang mata menatap majikan mereka lekat-lekat. Kemudian pandangan mereka beralih
kepada Tan Ki. Namun mereka tidak berani banyak bertanya. Kedua-duanya segera
mengiakan kemudian mengundurkan diri.
Di kamar utama sekarang hanya tinggal Tan Ki bersama gadis berpakaian putih
tersebut. Tiada satupun di antara mereka yang mengucapkan kata-kata. Untuk sesaat
suasana jadi hening mencekam. Hati Tan Ki merasa bingung bukan kepalang. Dia berdiri
memandangi bayangan punggung gadis berpakaian putih itu dengan termangu-mangu.
Bentuk tubuhnya sungguh indah. Angin musim semi menghembus lewat jendela,
mengibarkan pakaiannya yang putih bersih. Penampilannya saat itu persis seorang dewi
dari kahyangan yang menanti kedatangan kekasihnya. Hal ini membuat perasaan
seseorang menjadi kagum dan menaruh rasa hormat yang dalam.
Terdengar suaranya yang merdu dari bibir gadis itu.
"Murid siapa kau ini" Burung bukan binatang buas yang suka mencelakai manusia,
mengapa kau sampai hati menggunakan senjata rahasia melukainya?"
Tan Ki mendengar suaranya begitu bening dan enak didengar, namun kata-kata yang
diucapkannya bagai sebilah pisau yang menusuk hati anak muda itu. Diam-diam dia
berpikir dalam hati: "Gadis ini sungguh sombong!"
Tetapi dia tidak menunjukkan perasaannya dari luar, mulutnya malah menyahut, "Aku
bernama Tan Ki. Pernah mendapat pelajaran silat barang beberapa hari dari si pengemis
sakti Cian Lociapwe serta dari pamanku yang ketiga. Kesalahan tangan melukai Liok Giok,
sebetulnya hanya karena rasa penasaran yang timbul sesaat. Sama sekali bukan
kesengajaan. Lagipula aku juga tidak tahu kalau burung itu merupakan peliharaan
seseorang." Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan suara deheman sekali.
"Rupanya kau mengandalkan kebesaran nama si pengemis tua Cian Cong yang besar
sehingga banyak lagak dan bertingkah semena-mena. Meskipun burung kakaktua itu
bukan manusia, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyentuh sehelai bulunya. Cian
Cong sendiri juga belum tentu berani mengganggu binatang peliharaanku. Sekarang kau
sudah berani melukainya, maka sepatutnya menerima hukuman. Tetapi aku tidak sudi
mengatakan apa-apa kepadamu. Aku akan mencari Cian Cong untuk
memperhitungkannya. Biar dia mengganti dengan selembar nyawanya atas kesalahan
yang dilakukan oleh muridnya yang tidak becus!"
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Kemudian dia mengeluarkan suara
tawa yang dingin. "Akulah yang melukai burung itu, apa hubungannya dengan Cian Locianpwe" Aku, Tan
Ki bersedia menanggungnya seorang diri. Nona boleh menghukum aku sampai mati
sekalipun. Meskipun aku tahu ilmu silatmu tinggi sekali dan kepandaianku yang hanya
terdiri dari beberapa jurus ini sudah barang tentu bukan tandinganmu. Namun sudah pasti
aku tidak akan menerima kematian begitu saja!"
Gadis berpakaian putih itu mendongakkan kepalanya sedikit dan memperdengarkan
suara tawa yang merdu. "Kalau mendengar nada ucapanmu, tampaknya kau ingin berkelahi denganku?"
"Hati Nona mengerti sendiri, aku sama sekali tidak ada niat seperti itu. Tetapi kalau
Nona masih belum bisa menerima juga bahwa aku memang tidak sengaja melukai Liok
Giok, Tan Ki bersedia menerima kematian lewat jalan pertarungan!"
Gadis berpakaian putih itu tertawa ringan.
"Bagus sekali! Bukankah kau selalu membawa senjata dalam lengan pakaianmu"
Sekarang coba kau serang dulu aku barang dua jurus. Kalau kau dapat menghantam mati
aku dalam satu jurus, tentu tidak ada lagi orang yang mencari kesulitan dengan Cian Cong
atau paman ketigamu!" Kali ini hati Tan Ki benar-benar tergetar. Sejak dia masuk ke dalam kamar utama ini, si
gadis berpakaian putih belum sekalipun menolehkan kepalanya, tetapi dia bisa tahu bahwa
di dalam lengan bajunya ada sebatang pedang suling. Meskipun hatinya merasa terkejut,
tetapi dari luar dia tidak menunjukkan perasaannya, dia malah mengembangkan seulas
senyuman. "Dari getaran lengan bajuku ini, Nona bisa mengetahui ada senjata yang tersembunyi di
dalamnya, kekuatan indera pendengaranmu itu benar-benar membuat aku kagum sampai
ke lubuk hati yang paling dalam. Meskipun aku, Tan Ki merupakan orang baru dalam dunia
Bulim dan ilmu kepandaian Nona pun jauh melebihi aku, namun aku tidak suka menyerang
orang dari belakang. Harap Nona keluarkan senjatamu. Biarpun harus mati, Tan Ki tidak
akan penasaran lagi." Gadis berpakaian putih itu tetap membelakangi Tan Ki dan memperdengarkan suara
tawanya yang merdu. "Kalau tidak ada keyakinan seratus persen, mana mungkin aku menyuruhmu
menyerang dari belakang. Kau tidak perlu khawatir. Coba saja. Asal kau sanggup
membuat aku bergeser setengah langkah saja dari tempatku sekarang ini, urusan melukai
Liok Giok akan disudahi sampai di sini, sekaligus aku juga akan melepaskan Cian Cong dan
paman ketigamu dari segala tanggung jawab!"
Meskipun kata-kata ini diucapkan dengan wajar dan lembut, namun di dalamnya
terkandung keangkuhan yang tidak terkirakan. Tan Ki yang mendengarnya sampai merasa
panas. Diam-diam dia berpikir dalam hatinya: "Meskipun kepandaianmu tinggi sekali, tetapi
kau juga tidak seharusnya bersikap begitu sombong. Seakan tidak memandang sebelah
mata kepada orang lain sama sekali. Biar aku coba saja. Aku tahu bagaimana kau
menghindar dari gabungan ilmu Tian Si Te-sa yang hebat itu!"
Berpikir sampai di sini, kegagahannya timbul seketika. Dia segera mengeluarkan
senjatanya yang berbentuk pedang suling.
"Kalau Nona memang demikian mengalah kepadaku, tentu saja aku harus menurut.
Harap pusatkan perhatian, aku akan mulai menyerang sekarang."
Lengan kanannya telah mengerahkan tenaga dalam. Tangannya bergerak mengerahkan
salah satu jurus Te Sa Jit-sut, yakni Mengibas Pasir di Atas Tanah. Dengan cepat
serangannya meluncur ke arah punggung gadis itu. Pada dasarnya ilmu silat Tan Ki
sekarang tidak dapat dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Dia sudah
mendapat kemajuan berkat bimbingan kedua orangtua yang mengasihinya. Dapat
dibayangkan sampai di mana kehebatan serangannya itu.
Namun tampaknya si gadis berpakaian putih itu tidak takut sama sekali. Ternyata dia
tidak menolehkan kepalanya sekalipun. Sikapnya seperti orang yang tidak menyadari
datangnya serangan. Tetapi ketika pedang suling Tan Ki mulai memainkan jurusnya yang
hebat, tubuhnya terlihat bergetar sejenak. Tampaknya ilmu Tan Ki yang tinggi sempat
membuatnya terkejut juga. Namun hal ini hanya terjadi dalam sekejap mata saja.
Penampilannya kembali tenang, tetapi meskipun waktu yang sangat singkat, Tan Ki sudah
sempat melihat rasa terkejutnya. Justru di saat itulah, pedang sulingnya tinggal dua tiga centi saja dari punggung gadis
berpakaian putih itu. Tiba-tiba setitik ingatan melintas di benaknya, seolah mendadak
teringat suatu hal. Akhirnya dia tidak sanggup meneruskan serangannya. Dengan panik
dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan menekan tenaganya pada telapak
tangan sehingga tidak terus meluncur ke depan. Dengan demikian serangannya keburu
ditarik kembali. Untung saja ilmu silat Tan Ki sudah cukup tinggi. Serangannya dapat dilancarkan
kemudian ditarik kembali sesuka hati. Tetapi meskipun dia masih sempat menarik kembali
serangannya, namun tubuhnya yang menerjang ke depan justru sulit ditahan. Akibatnya
dia membentur punggung gadis berpakaian putih itu.
Tiba-tiba, serangkum bau harum menerpa hidung Tan Ki. Dia merasa ada segulung
tenaga yang lembut menahan tubuhnya yang sedang meluncur ke depan. Begitu dia
memperhatikan, entah sejak kapan gadis berpakaian putih itu sudah menolehkan
kepalanya. Punggungnya menghadap jendela dan ternyata dia tetap berdiri tegak di
tempatnya semula. Hanya setengah badannya saja yang berputar. Tampak gadis itu


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum simpul. "Mengapa di tengah jalan tiba-tiba-kau mengubah keputusanmu, padahal pedangmu
kan sedang menyerang ke arah punggungku?"
Setelah melihat wajah si gadis berpakaian putih, hati Tan Ki langsung bergetar. Tampak
bulu matanya lentik dan alisnya tebal. Hidungnya mancung dipadu dengan bibir yang
mungil. Kecantikannya boleh dibilang seimbang dengan Mei Ling atau Lok Ing, tetapi di
balik kecantikannya masih terkandung keanggunan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Sepasang matanya yang besar bersinar terang serta menyiratkan kewibawaan yang besar.
Orang yang melihatnya pasti timbul perasaan hormat. Perempuan yang cantik memang
banyak. Tetapi kecantikan yang disertai berbagai macam kesempurnaan seperti yang
diuraikan. di atas, boleh dibilang dari seribu belum tentu ketemu satu. Tan Ki yang
melihatnya sampai termangu-mangu. Akhirnya dia menjadi jengah sendiri dan cepat-cepat
menundukkan kepalanya tidak berani melihat lagi.
Melihat Tan Ki tidak menjawab pertanyaannya, sekali lagi gadis berpakaian putih itu
tersenyum simpul. "Mengapa kau tiba-tiba menahan pedangmu dan tidak menyerang terus" Katakanlah!
Apakah kau tidak mendengar jelas apa yang kutanyakan tadi?" katanya lembut.
Tan Ki cepat-cepat menenangkan hatinya. "Dia mendongakkan kepalanya dan
menyahut, "Aku tahu kesalahan ada di pihakku, meskipun aku melukai burung peliharaan
nona tanpa sengaja. Oleh karena itu, tiba-tiba aku merasa perbuatanku sangat tidak
pantas dan tidak berani meneruskan serangan tadi."
Sepasang mata gadis berpakaian putih yang indah itu menatap Tan Ki lekat-lekat.
Sejenak kemudian tampak senyumannya mulai sirna dan dia memejamkan matanya rapatrapat
kemudian membalikkan tubuhnya kembali menghadap jendela.
"Kalau kau sudah tahu salah, aku juga tidak akan memperpanjang urusan ini.
Mengingat kelakuanmu yang menarik kembali serangan di tengah jalan, urusan Liok Giok
kita sudahi saja. Tetapi ada satu hal lain yang harus kau tutup rahasianya. Laki-laki di
dalam dunia ini, yang pernah melihat wajah asliku hanya engkau seorang. Kau harus
berjanji bahwa kau tidak akan menceritakan apa yang kau lihat dan apa yang kita
bicarakan hari ini kepada siapapun!"
"Hati nona sungguh lapang, aku Tan Ki merasa kagum sekali dan sangat berterima
kasih. Apa yang nona pesankan, sudah seharusnya aku turuti."
Sekali lagi si gadis berpakaian putih itu membalikkan tubuhnya perlahan-lahan dan
mengembangkan seulas senyuman. "Kita dapat bertemu, terhitung ada jodoh juga. Tiga bungkus Bubuk Penyelamat -Jiwa
Penyambung Tulang ini dapat menghilangkan segala macam racun dan menyambung
kembali urat yang sudah terputus, juga dapat menyambung tulang yang retak. Dapat pula
digunakan untuk menyembuhkan luka dalam. Aku hadiahkan kepadamu agar kau dapat
menggunakannya di saat genting." selesai berkata, tangannya mengulur ke depan dan
diserahkannya tiga bungkus obat itu.
Tan Ki melihat tangannya yang halus dan indah menggenggam tiga bungkus obat, dia
segera menyambutnya dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam sembari
mengucapkan terima kasih. Gadis berpakaian putih itu tampaknya sudah tidak memiliki perkataan apa-apa lagi yang
ingin ia sampaikan. Bibirnya bergerak dengan maksud memanggil Mei Ling dan Ciu Hiang.
Tiba-tiba Tan Ki teringat kata-kata yang diucapkan oleh Tian Bu Cu. Oleh karena itu dia
segera menggunakan kesempatan itu menanyakannya.
"Apakah nona yang bernama Fu Goat Taisu dan berjuluk Ming San Sinni" Tecu benarbenar
tidak mempunyai mata, apabila ada kesalahan, harap Locianpwe sudi memaafkan."
Tan Ki menekuk kakinya dengan maksud berlutut menyembah gadis itu.
Tampak gadis itu mengibaskan lengan pakaiannya, segera terasa ada serangkum
kekuatan yang lembut menahan diri Tan Ki yang berniat menjatuhkan diri berlutut.
Bibirnya tersenyum simpul. "Sinni adalah guruku yang mulia. Aku adalah murid tunggal beliau."
Terdengar suara seruan terkejut dari bibir Tan Ki. Diam-diam dia sendiri merasa geli.
"Mengapa hari ini aku jadi linglung, lihat dari caranya berpakaian saja seharusnya aku
sudah dapat menduga bahwa dia bukan seorang rahib?"
Hatinya berpikir demikian, tanpa terasa bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
Siapa nyana sepasang mata gadis itu juga sedang memperhatikan dirinya. Kali ini sinar
yang tersorot dalam matanya tidak lagi mengandung kemarahan malah menyiratkan
perasaannya yang lembut. Dua pasang mata bertemu, mereka sama-sama merasakan
hatinya tergetar. Gadis berpakaian putih itu cepat-cepat memalingkan wajahnya, Tan Ki
sendiri dengan gugup menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Untuk sesaat suasana di dalam kamar itu jadi hening. Di wajah gadis berpakaian putih
yang cantik itu dalam waktu sekejap tersirat berbagai mimik yang berlainan. Kadangkadang
tampak sepasang alisnya mengerut, kadang-kadang pula dia mendongakkan
kepalanya merenung. Seakan dia sedang memikirkan suatu masalah yang serius.
Tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat. Wajahnya kembali datar seperti semula.
Dengan tegas dia berkata kepada Tan Ki.
"Sekarang juga aku akan menyuruh Mei Hun mengantarkan engkau ke tempat semula.
Tapi kau harus ingat apa yang telah kau janjikan. Jangan sekali-kali kau ceritakan apa
yang kau alami hari ini kepada siapapun!" selesai berkata, dia tidak memberi kesempatan
bagi Tan Ki untuk menyahut. Segera dipanggilnya Mei Hun dan Ciu Hiang.
Ketika kedua gadis itu masuk kembali ke dalam kamarnya, gadis berpakaian putih itu
langsung berkata, "Kau antarkan dia kembali ke tempat semula, setelah itu cepat kembali
lagi ke sini. Kita akan segera berangkat kembali ke Ming San!"
Mei Hun tidak berani banyak bertanya. Dia langsung mengiakan dan mengajak Tan Ki
keluar dari kamar tersebut. Ketika berjalan sampai di depan pintu, entah mengapa, Tan Ki tidak dapat menahan
perasaan hatinya untuk menoleh menatap gadis berpakaian putih itu sekejap. Sepasang
mata si gadis berpakaian putih juga sedang memandang kepadanya lekat-lekat. Kembali
kedua pasang mata bertemu, Tan Ki merasa hatinya berdebar-debar. Si gadis berpakaian
putih juga memalingkan wajahnya dengan gugup. Meskipun wajahnya menoleh ke arah
yang lain, tetapi Tan Ki dapat melihat sorot matanya yang mengesankan seperti orang
yang berat ditinggalkan. Mei Hun mengajak Tan Ki keluar dari kamar dan mengantarkannya kembali ke taman
bunga. Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan memandang Mei Hun. Hatinya
ingin sekali mengucapkan terima kasih karena nasehatnya tadi. Tetapi belum sempat dia
membuka suara, Mei Hun sudah berkata duluan, "Setelah perpisahan ini, entah kapan kita
dapat berjumpa kembali. Mungkin dalam seumur hidup ini, kita tidak mempunyai
kesempatan untuk bertemu lagi. Tan Siangkong, harap jaga dirimu baik-baik?"
Berkata sampai di sini, dia tidak meneruskan ucapannya. Meskipun wajahnya
mengembangkan senyuman, namun Tan Ki dapat melihat ada semacam kesedihan
menjelang perpisahan yang tersirat di mimik wajahnya. Perasaan anak muda ini jadi
terharu. Tadinya dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hati gadis ini,
tetapi seribu satu kata bagai tercekat dalam tenggorokannya. Dia tidak tahu apa yang
harus dikatakan dan bagaimana mengucapkannya. Sampai sekian lama dia berdiam diri
seperti orang yang termangu-mangu. Akhirnya dia mengeluarkan suara batuk kecil dan
berkata, "Harap" kau juga" jaga diri baik-baik. Aku" mohon diri sekarang." perlahanlahan
dia membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari halaman tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan Mei Hun.
"Tan Siangkong"!" Mendengar panggilan itu, Tan Ki langsung menghentikan langkah kakinya. Dia
menolehkan kepalanya dan mengembangkan seulas senyuman.
"Apakah nona masih ada perkataan lain?"
Mei Hun melihat dia tiba-tiba menolehkan kepalanya, untuk sesaat jadi tertegun.
Tampaknya dia tidak menduga kalau mendengar panggilannya, Tan Ki akan menghentikan
langkah kakinya seketika dan menolehkan kepala serta mengembangkan seulas senyuman
yang lembut. Sebetulnya dia tidak ada perkataan apa-apa. Panggilannya tadi hanya karena
luapan emosi sesaat dan dilakukannya tanpa sengaja. Sekarang dia justru kebingungan
sendiri. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Setelah berdiam diri beberapa saat
akhirnya dia mencetuskan kata-kata yang terpikir di benaknya saat itu juga"
"Apabila ada waktu, aku akan mengunjungimu!"
Sesudah kata-kata itu diucapkan, dia baru merasa tersipu-sipu. Rasanya tidak pantas
seorang gadis mengucapkan kata-kata seperti itu. Wajahnya jadi merah padam seketika.
Seperti seekor kelinci yang ketakutan, dia langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat
itu. Tan Ki merasa terharu sekali atas sikap gadis itu terhadap dirinya. Dia memandangi
bayangan punggung Mei Hun dengan terma-ngu-mangu. Penampilan si gadis berpakaian
putih yang begitu anggun laksana bidadari, lembut bagai dewi benar-benar telah
meninggalkan kesan yang sangat indah di dalam hatinya.
Entah berapa lama sudah berlalu, tiba-tiba dia mendengar suara Yang Jen Ping yang
tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
"Tan-heng, kapan kau kembali" Mengapa kau berdiri termenung seorang diri" Apakah
gadis berpakaian putih itu tidak jadi menghukum dirimu?" tanyanya bertubi-tubi.
Tan Ki menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru saja dia ingin menjawab, mendadak dari
tempat yang tidak seberapa jauh berkumandang lagi suara tawa seseorang.
"Si pengemis cilik sudah mengatakan bahwa tidak bakal ada kejadian apa-apa, tetapi
kalian tetap tidak percaya! Coba lihat! Bukankah dia berdiri di sana dalam keadaan baikbaik
saja" Si pengemis cilik kalau disuruh berkelahi memang paling tidak becus, tetapi soal
ramal meramal sudah terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia!"
Tan Ki tidak sempat lagi menjawab pertanyaan Yang Jen Ping. Begitu pandangan
matanya dialihkan, dia melihat beberapa orang yang sedang berjalan ke arahnya. Yang
paling depan sudah pasti si pengemis cilik Cu Cia. Di belakangnya mengikuti Ban Jin Bu,
Goan Yu Liong dan Sam Po Hwesio. Seperti semut yang melihat gula, mereka langsung
mengerumuni Tan Ki dan semuanya mengajukan pertanyaan mengenai apa yang
dialaminya barusan. Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.
"Nona yang bernama Mei Hun itu mengajak aku menemui majikannya. Ternyata
majikannya itu orang yang penuh pengertian. Dia tidak menjatuhkan hukuman apapun
pada diriku. Hanya mengajukan satu dua pertanyaan, kemudian melepaskan aku
kembali?" Kata-kata ini diucapkan dengan nada terpaksa sehingga membuat orang sulit
mempercayainya. Seumur hidupnya Tan Ki memang jarang berdusta, apalagi dia juga
merasa berat mengelabui beberapa orang sahabat baiknya ini. Tetapi dia sudah berjanji
kepada si gadis berpakaian putih untuk merahasiakan apa yang dialaminya, terpaksa dia
berkata asal-asalan saja. Si pengemis cilik mengibas-ngibas rambut-N nya yang memang sudah acak-acakan.
Bibirnya tersenyum simpul. "Tan-heng, apa yang kau katakan ini benar-benar sulit dipercaya! Apakah cerita lama di
taman bunga keluarga Liu terulang kembali?"
Hati Tan Ki langsung tergetar. Wajahnya langsung berubah hebat.
"Cu Hente, mana boleh kau sembarangan menduga yang bukan-bukan" Gadis itu
adalah seorang tokoh?" tadinya dia ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang
tokoh sakti yang mendapat didikan langsung dari Ming San Sinni. Tetapi sampai di tengah
jalan, dia teringat kembali akan janjinya. Oleh karena itu dia cepat-cepat menghentikan
kata-katanya dan langsung membungkam. Dirinya malah berdiri termenung sekian lama.
Justru di saat dia termangu-mangu seperti itu, mendadak dari kejauhan terdengar
suara langkah kaki yang mendatangi. Geng Lam Hong berjalan dengan tergesa-gesa
dalam sekejap mata dia sudah tiba di hadapan beberapa orang itu.
"Mengapa kalian masih berdiri di sini santai-santai" Tian Bu Cu Locianpwe dari Bu Tong
Pai sudah membawa Cian Locianpwe datang ke mari. Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong juga
ikut datang!" Tan Ki mendongakkan kepalanya menatap warna langit. Saat itu belum lagi sampai
kentungan kelima, ternyata Tian Bu Cu sudah menepati janjinya menyusul ke mari.
Dengan demikian dia menolehkan kepalanya kepada Cu Cia.
"Gurumu datang ke mari dalam keadaan terluka, entah bagaimana keadaannya. Lebih
baik kita cepat-cepat kembali melihatnya!" Tan Ki memang sengaja menghindari
pertanyaan mereka yang berbelit-belit. Selesai berkata, dia langsung mengerahkan
ginkangnya dan lari ke depan. Saat ini si pengemis sakti Cian Cong sedang duduk bersandar di atas kursi beristirahat.
Begitu si pengemis cilik Cu Cia dan yang lainnya masuk ke dalam kamar, mereka segera
dapat melihat wajah orangtua itu yang kekuning-kuningan. Tampangnya kuyu dan kusut.
Mereka terkejut sekali melihatnya. Hati si pengemis cilik jadi pilu, dia segera menjatuhkan
dirinya berlutut di atas tanah dan memanggil dengan dengan suara parau"
"Suhu"!" air matanya bagai curah hujan yang turun dengan deras membasahi pipinya.
Cian Cong segera membuka sepasang matanya. Dengan sinarnya yang sudah pudar dia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian terdengar orangtua itu tertawa
terbahak-bahak. "Dasar orang tidak berguna! Masa di depan sahabat-sahabat baikmu menangis seperti
anak kecil. Hei, si pengemis tua ini belum mati! Hayo cepat bangun!" baru berkata sampai
di sini, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit sekali. Mungkin lukanya kambuh kembali.
Ternyata tokoh paling aneh di dunia ini juga hampir tidak sanggup menahan penderitaan
yang demikian hebat. Dia langsung menekap dadanya dan mengatur pernafasan. Sampai
kurang lebih sepeminuman teh, baru rasa sakitnya agak berkurang.
Melihat keadaannya, si pengemis cilik tidak berani membantah lagi. Sambil menahan air
mata yang masih ingin mengalir, dia langsung berdiri dengan kepala tertunduk.
Cian Cong memejamkan matanya dan beristirahat beberapa saat. Setelah itu baru dia
membuka matanya kembali. Dia menunjuk ke arah tosu tua yang duduk di sampingnya.
"Tosu ini merupakan tokoh sakti dari Bu Tong Pai yang bersama-sama si pengemis tua
mendapat julukan dua manusia paling aneh di dunia. Kalian sudah tentu pernah
mendengar namanya bukan" Memang betul, beliau adalah Tian Bu Cu Locianpwe. Si
pengemis tua masih dapat hidup sampai sekarang, semuanya merupakan berkat
pertolongan dan rawatannya?" berkata sampai di sini, tiba-tiba dia memejamkan
sepasang matanya kembali dan membungkam seribu bahasa.
Si pengemis cilik, Sam Po Hwesio, Yang Jen Ping, Ban Ji Bu dan Goan Yu Liong cepatcepat
maju ke depan dan memberi hormat dengan berlutut di atas tanah. Tian Bu Cu
mengibaskan lengan bajunya. Serangkum tenaga yang tidak berwujud langsung terpancar
keluar dan menahan tubuh beberapa orang itu sehingga tidak dapat menekuk kakinya
lebih jauh. "Pinto adalah orang gunung yang kasar, tidak biasa menerima segala macam
penghormatan. Kalian berdirilah!"
Sementara itu, Tan Ki menuangkan dua cawan teh untuk kedua orangtua itu. Diamdiam
dia memasukkan sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang pemberian
si gadis berpakaian putih ke dalam cawan teh Cian Cong. Setelah itu dia menyodorkannya
kepada mereka. Ketika Cian Cong meneguk air teh itu, dia merasa teh yang disediakan oleh Tan Ki
harum luar biasa. Tadinya dia mengira bahwa teh itu memang dari jenis daun teh yang
baik sehingga warnanya saja yang lebih pekat dari biasanya. Oleh karena itu dia tidak
banyak bertanya. Diminumnya teh itu sampai kering. Tetapi biar bagaimanapun orangtua
ini merupakan salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia jaman itu. Pengalamannya
banyak dan pengetahuannya luas sekali. Dia segera merasa ada sesuatu yang tidak beres
begitu teh itu diteguknya sampai kering. Dia merasa aliran darah dalam tubuhnya
bertambah cepat, serangkum hawa panas mengalir ke seluruh urai nadinya. Kurang lebih
setengah kentungan kemudian, perasaannya terasa lebih bersemangat, wajahnya yang
tadi pucat kekuning-kuningan sekarang berubah menjadi merah jambu. Saat itu juga, dia
merasa terkejut dan rada curiga. Diam-diam dia mengerahkan hawa murni dalam
tubuhnya, sekarang dia bukan saja tidak merasa sakit lagi, tetapi luka dalam tubuhnya
juga terasa sembuh seketika. Malah hawa murninya beredar lebih lancar daripada sebelum
terluka. Ketika hari sudah terang dan pelayan penginapan mengantarkan sarapan pagi, mereka
segera menyantapnya dengan lahap. Setelah itu Tian Bu Cu kembali memeriksa denyutan
urat nadinya. Hati orangtua itu terlonjak seketika. Tiba-tiba dia menemukan bahwa luka
dalam yang diderita Cian Cong sudah sembuh sama sekali. Bahkan gejala keracunanpun
sudah tidak ada. Dalam keadaan kurang yakin, Tian Bu Cu sampai memeriksanya berkalikali,
tetapi kenyataannya tetap sama. Sama sekali tak ada tanda-tanda seperti orang yang
pernah terluka. Bukan saja kesehatan Cian Cong sudah pulih, bahkan kesehatannya lebih
baik dari pada sebelum terluka. Bagaimana Tian Bu C u tidak menjadi bingung dan
penasaran melihat kenyataan yang aneh ini"
Peristiwa yang tidak terduga-duga ini membuat kedua tokoh sakti tersebut terlongongldngong
sekian lama dan tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Mereka lalu
berusaha menyelidiki apa yang telah terjadi. Saat itu Tan Ki baru menceritakan urusan
gadis berpakaian putih yang menghadiahkan tiga bungkus obat kepadanya.
Tian Bu Cu mendengarkan dengan seksama. Wajahnya tampak serius sekali. Setelah
Tan Ki selesai bercerita, tampak orangtua itu menarik nafas panjang.
"Sudah hampir empat puluh tahun pinto tidak pernah mendengar kabar dari Ming San
Sinni. Tidak disangka dia masih hidup di dunia ini dan mempunyai seorang murid yang
demikian sakti. Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang merupakan obat pusaka bagi
dunia persilatan. Kelak entah berapa banyak tokoh Bulim yang akan tertolong nyawanya
berkat obat mujarab ini. Anak Ki, kau harus simpan baik-baik dua bungkus sisa Bubuk
Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang ini. Kelak pasti ada faedahnya dan dapat menolong
orang di saat genting." Tan Ki mengejap-ngejapkan matanya sambil tersenyum.
"Locianpwe, benarkah obat ini demikian mujarab" Tadi ketika sarapan pagi, diam-diam
Boanpwe memasukkan sebungkus ke dalam air teh adik Mei Ling. Boanpwe pikir dia
kesalahan minum racun sehingga tubuhnya berpenyakit parah. Mungkin obat ini dapat
menawarkan racun yang mengendap dalam tubuhnya. Sekarang hanya sisa satu bungkus
lagi." Cian Cong menghentakkan kakinya keras-keras ke atas tanah.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar bodoh! Berbuat apa-apa selalu tanpa pakai pertimbangan! Obat semacam ini,
beberapa generasi juga belum tentu dapat menemukannya lagi. Kau malah sembarangan
menggunakannya tanpa menanyakan pendapat orang lain. Ilmu pengobatan si hidung
kerbau ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Racun yang diidap Mei Ling hanya
termasuk penyakit kecil baginya, pasti dia dapat menyembuhkannya dengan mudah. Kau
malah melihat penyakit ringan sebagai penyakit yang parah, sampai menghabiskan
sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang!"
Tian Bu Cu tertawa lebar mendengar gerutuannya.
"Ada sebab ada akibat, segala di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa. Kita
manusia hanya mengikuti jalannya saja. Apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali lagi.
Anak muda ini kan masih pengantin baru, tentu saja hatinya panik mengetahui dalam
tubuh isterinya mengendap racun jahat. Dalam hal ini dia juga tidak dapat disalahkan.
Sudah pasti dia ingin isterinya lekas sembuh. Satu-satunya jalan sekarang ini hanya
berharap agar dia mempergunakan sisa sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung
Tulang itu dengan baik-baik." Beberapa orang itu masih merundingkan berbagai hal lainnya. Perlahan-lahan waktu
merayap dan matahari semakin tinggi. Luka yang diderita Cian Cong sudah sembuh secara
keseluruhan. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menunda waktu. Sebelas orang itu
segera meninggalkan penginapan tersebut dan kembali ke Tok Liong Hong di mana
pertandingan untuk memperebutkan Bulim Bengcu masih berlangsung.
Baru beberapa saat mereka meninggalkan Suang Eng Lau, tiba-tiba di angkasa sampai
tiga ekor burung merpati pos terbang melintas: kepala mereka. Kecepatannya bagai
sambaran kilat, arah merekapun berlainan. Ada yang menuju timur, selatan dan yang
terakhir terbang menuju utara. Tian Bu Cu memperhatikan ketiga ekor burung merpati itu terbang jauh. Dia melihat
dengan seksama kecepatan dan arah yang diambil ketiga ekor burung itu. Mendadak
suatu ingatan seolah melintas di benaknya. Tampak sepasang alis orangtua itu mengerutngerut.
Untuk sekian lama dia berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun. Cian
Cong malah hampir kehabisan rasa sabarnya. Terdengar dia tertawa dingin dan
menggumam seorang diri. "Ternyata golongan sesat dari Lam Hay juga sudah bisa menggunakan merpati pos
untuk menyelidiki jejak si pengemis tua?" suaranya semakin lama semakin lirih sehingga
kata-katanya yang terakhir tidak terdengar lagi. Orang lainnya sudah tentu tidak mengerti
apa maksud ucapannya itu. Menjelang malam hari, kesebelas orang itu sampai di Tok Liong Hong. Tampak asap
mengepul-ngepul memenuhi udara. Di depan pintu gerbang berdiri delapan orang laki-laki
bertubuh kekar. Wajah mereka tampak serius.
Bekali. Sekali pandang saja, orang dapat menduga bahwa di atas puncak bukit itu
mungkin telah terjadi sesuatu yang gawat. Keadaan yang terlihat sangat tidak wajar dan
lain sekali dengan sebelumnya. Suasana di sekitar tempat itu juga terasa tegang
mencekam. Watak Cian Cong paling tidak bisa diam serta ugal-ugalan. Dia langsung merasa sebal
melihat keadaan seperti itu. Oleh karena itu, sepasang alisnya segera menjungkit ke atas.
Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang-kencangnya ke ruang pertemuan.
Di atas puncak bukit Tok Liong Hong ini memang sudah dibangun berbagai sarana yang
diperlukan selama terselenggaranya pertemuan besar tersebut. Liu Seng sudah bekerja
keras demi terselenggaranya pertandingan untuk memperebutkan kedudukan Bulim
Bengcu ini. Dia mengumpulkan berpuluh-puluh tukang yang ahli dan membangun semua
ruangan serta panggung dalam waktu yang singkat. Untung saja dua hari sebelum
pertandingan dimulai semuanya sudah beres. Berhubung situasi sedang mendesak,
mereka menggunakan strategi yang membangun ruangan-ruangan dengan mengikuti
susunan tanah bukit itu sendiri. Ilmu ginkang Cian Cong sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Tidak berapa lama
kemudian dia sudah sampai di depan ruang pertemuan. Begitu menaiki undakan batu di
halaman, dia sudah melihat bahwa di dalam ruangan itu telah berkumpul belasan
rekannya. Wajah setiap orang tampak kelam dan serius. Tidak ada seorangpun yang
berbicara. Masing-masing seolah sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tampaknya
mereka sedang merundingkan masalah yang genting dan belum mendapatkan jalan
pemecahannya. Mereka semua bermuram durja dan menunggu dengan sabar. Begitu
heningnya ruangan itu sehingga batang jarum jatuh pun mungkin akan terdengar jelas.
Kali ini sepasang alis Cian Cong mengerut semakin erat, tangannya tanpa terasa
tergerak mengambil kendi araknya dan sebagaimana biasanya dia langsung meneguk
beberapa tegukan besar sehingga terdengar suara: Glek! Glek! Grook! Dari
tenggorokannya. Baru saja dia ingin bertanya, Yibun Siu Sari sudah berdiri dan
menyongsongnya. "Pengemis tua, nasib kita memang lagi sial. Baru saja kau meninggalkan tempat ini, aku
terpaksa menyelenggarakan pertandingan ini seorang diri. Siapa nyana di malam kedua
tiba-tiba terjadi sesuatu. Hampir saja aku tertimpa bencana besar. Dari pihak Lam Hay dan
Si Yu menyelinap beberapa orang utusannya yang ingin menyelidiki keadaan di tempat
kita ini. Hampir sepanjang malam aku dikerjai oleh mereka sampai letihnya tak perlu dikatakan
lagi. Boleh dibilang aku bermain petak umpet dengan mereka. Untung juga ada beberapa
sahabat yang membantu sehingga tidak sempat terjadi apa-apa yang hebat. Kalau tidak,
mungkin terpaksa aku membenturkan kepala di ruangan depan untuk mendapat hukuman
mati atas dosa besar. Apabila sampai jatuh korban banyak. Meskipun beberapa sahabat
kita merupakan tokoh-tokoh tua yang sudah banyak pengalaman, namun kaum penjahat
itu licik sekali. Mereka menimbulkan suara di timur, tetapi menyerang di sebelah barat.
Beberapa bangunan kita sempat dibakar oleh mereka.
Dari pihak mereka yang datang adalah jago-jago yang jarang terlihat di dunia
Kangouw. Dalam satu malam saja ada tujuh delapan orang pihak kita yang terluka. Aku
justru sedang kebingungan karena kita kekurangan tenaga. Untung saja kau cepat-cepat
kembali ke mari. Begini saja, tugas yang berat ini aku kembalikan lagi kepadamu. Malam
ini kalau mereka datang lagi, aku pasti harus melawan mereka agar orang-orang jahat itu
tidak meremehkan kemampuan kita orang-orang Tionggoan!"
Wajahnya selalu ditutupi sehelai cadar yang tipis. Hal ini membuat orang tidak dapat
melihat mimik perasaannya. Sejak berkenalan dengannya, Cian Cong selalu melihat
sikapnya yang tenang dan riang. Belum pernah ditemuinya penampilan seperti sekarang
ini yang begitu kesal. Sepasang matanya terus menyorotkan sinar yang berkilauan. Hal ini
membuktikan bahwa hawa amarah dalam hatinya benar-benar telah meluap.
Kemungkinan besar beberapa malam yang lalu dia dipermainkan musuh sedemikian rupa
sehingga kekesalan dalam hatinya terpendam dalam-dalam dan tidak menemukan suatu
hal yang dapat menjadi salurannya. Mendengar perkataan Yibun Siu San, untuk sesaat si
pengemis sakti Cian Cong tidak enak hati untuk mengatakan apa-apa. Di saat dia sedang
menguras otak bagaimana merundingkan masalah ini dengan baik-baik, Tian Bu Cu
melangkah masuk dengan tenang diiringi beberapa orang lainnya.
Pandangan mata Cian Cong beredar ke sekitar ruangan. Cepat-cepat dia
memperkenalkan tokoh sakti itu kepada rekan-rekannya yang lain. Dengan demikian, dia
sekaligus dapat menghindari desakan Yibun Siu San.
Perlu diketahui, meskipun nama Tian Bu Cu sangat terkenal di dunia Kangouw, tetapi
ia, selalu menyendiri dan lebih banyak tinggal di Yang Sim An, Bu Tong San. Meskipun
disebut sebagai salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia, orang yang pernah melihat
orangnya hanya beberapa gelintir saja. Bahkan sampai di mana ketinggian ilmu silatnya,
orang-orang dunia Kangouw hanya mendengar dari selentingan di luaran saja.
Kenyataannya sendiri, mereka belum tahu pasti. Dengan demikian para tamu yang hadir di
Tok Liong Hong, walaupun tahu di dunia ada tokoh seperti dia, tetapi selama ini hanya
dapat membayangkannya saja. Begitu diperkenalkan oleh Cian Cong, Liu Seng beserta Kok
Hua Hong, Ciong San Suang Siu, Goan Siang Fei, Heng Sang Si dan tujuh delapan orang
lainnya segera mengalihkan pandangan mereka kepada orangtua ini. Mata mereka
memperhatikan Tian Bu Cu lekat-lekat dan mulut mereka mengeluarkan suara pujian
kagum yang tidak berhenti-henti. Watak Tian Bu Cu memang selalu merendahkan diri. Dia senang bergaul dengan siapa
saja meskipun namanya sudah sangat terkenal. Oleh karena itu dia segera menghampiri
setiap tamu yang hadir dan menyalami mereka satu per satu untuk kemudian duduk
bersama-sama mereka. Tan Ki beserta rekan-rekan lainnya yang sebaya berdiri di belakang guru dan angkatan
tua masing-masing. Mereka tidak berani langsung duduk bersama para hadirin yang
merupakan tokoh-tokoh tua. Tian Bu Cu mengulurkan tangannya mengangkat cawan teh
dan dengan lambat menghirupnya beberapa teguk. Bibirnya tersenyum lebar.
"Apa yang diperbuat pihak Lam Hay maupun Si Yu sekarang boleh dibilang sudah
terang-terangan. Kemungkinan besar tidak lama lagi akan terjadi bencana besar yang
akan mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran. Entah bagaimana rencana
saudara-saudara dalam menanggulangi masalah ini?"
Liu Seng segera menjura dan tersenyum.
"Mohon tanya bagaimana pendapat totiang sendiri?"
"Ular tidak bisa tanpa kepala, burung tidak bisa terbang tanpa sayap. Hari ini para
sahabat yang hadir di Tok Liong Hong ini, kalau bukan seorang yang ilmunya tinggi,
berjiwa bijaksana serta mempunyai kecerdasan melebihi orang lain dan sanggup membuat
setiap orang menaruh rasa hormat serta kagum, tentu sulit membuat semuanya tunduk.
Meskipun orang yang hadir di Tok Liong Hong ini jumlahnya banyak sekali, tetapi setiap
tokoh ini mempunyai kelebihan masing-masing. Bila dikumpulkan, kemungkinan malah
akan timbul masalah baru. Yang paling penting bagi kita orang dunia Kangouw, justru
nama besar dan ketenaran serta kemakmuran hidup. Memang tidak semuanya bersikap
demikian, namun apabila kita mau mengakui secara jujur, di antara sepuluh orang,
mungkin ada sembilan yang lebih mementingkan nama besar daripada hal lainnya di dunia
ini. Apabila pihak Lam Hay maupun Si Yu berhasil mengetahui kelemahan kita ini, mereka
bisa menggunakan siasat mengadu domba sehingga terjadi pecah perang saudara di
antara kita sendiri. Hal inilah yang harus kita cegah pertama-tama!"
Apa yang dikatakan oleh Tian Bu Cu benarbenar bagai jarum tajam yang menusuk hati
setiap orang. Sampai-sampai para hadirin saling menatap satu dengan lainnya dan diamdiam,
mereka memuji ketelitian pertimbangan tokoh Bu Tong Pai ini.
Tampak Yibun Siu San tertawa kecil.
"Apa yang totiang katakan mengandung makna yang dalam. Baik pengalaman maupun
pengetahuan juga membuat orang kagum. Tetapi sampai hari ini, dalam pertandingan
yang sudah lalu, telah terpilih tiga belas orang pendekar pedang tingkat delapan dan tiga
puluh lima orang pendekar pedang tingkat tujuh. Ilmu mereka semuanya dapat dibilang
sudah cukup tinggi. Besok siang kita sudah dapat memilih seorang Bulim Bengcu dari tiga
belas orang pendekar pedang tingkat delapan ini." berkata sampai di sini, ucapannya
terhenti, sepasang sinar matanya melirik ke arah Tan Ki sekilas. Beberapa saat kemudian
baru dia melanjutkan kembali, "Karena dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu kali ini,
kita terbentur berbagai kesulitan. Juga disebabkan waktu yang sangat mendesak, mungkin
masih banyak tokoh lain yang tidak keburu datang. Ada juga yang karena halangan
lainnya tidak dapat hadi r pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, aku dan si pengemis
sakti Cian Cong telah merundingkan hal ini baik-baik dan akhirnya mendapatkan suatu
keputusan. Kami membuat peraturan baru bagi para sahabat yang tidak keburu sampai
pada waktunya atau karena urusan pribadi sehingga pertandingannya tertangguh.
Seandainya orang itu mempunyai syarat yang cukup, maka kami memberinya
kesempatan untuk menandingi lawan-lawan lainnya. Umpamanya pendekar pedang
tingkat empat tertangguh dalam pertandingan, dia masih boleh mengikuti pertandingan
lain. Apabila secara berturut-turut dia mengalahkan dua lawan dari tingkat yang sama,
maka tingkatannya pun akan naik menjadi pendekar pedang tingkat lima. Begitu pula
seterusnya. Seandainya dia berhasil mengalahkan lawan-lawan berikutnya sampai
mencapai gelar pendekar pedang tingkat kedelapan, maka orang ini boleh memperebutkan
kedudukan Bulim Bengcu. Setelah semua orang ini mengikuti lagi ujian kebijaksanaan
dalam mengambil ke-putusan serta kecerdasan otaknya, rasanya Bulim Bengcu dapat
terpilih dari salah satu orang-orang ini."
Terdengar suara mendesah dari mulut Tian Bu Cu, kemudian dia memejamkan matanya
merenung beberapa saat. Setelah itu baru dia berkata dengan perlahan-lahan, "Kalau
begitu, besok adalah hari terakhir dalam penyelenggaraan Bulim Tayhwe ini."
Tampaknya hati orangtua ini sedang digelayuti semacam pikiran yang hanya diketahui
oleh dirinya sendiri. Meskipun mulutnya menggumamkan kata-kata, tetapi sepasang
matanya masih terpejam rapat-rapat.
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Betul. Hanya tinggal satu hari lagi. Dalam pengujian kebijaksanaan maupun
kecerdasan, cayhe sudah mempunyai sedikit pertimbangan. Apabila ada waktu senggang,
cayhe ingin merundingkannya kembali dengan Cian-heng serta Tian Bu Cu Locianpwe."
Tiba-tiba sepasang mata Tian Bu Cu terbuka lebar. Sinar yang terpancar keluar begitu
tajamnya, seperti sengaja juga tidak, dia melirik Liang Fu Yong sekilas. Dalam waktu yang
singkat dia seolah telah memutuskan suatu masalah yang besar. Dengan demikian hatinyapun
menjadi lega. "Baiklah, besok saja kita tentukan!"
BAGIAN XLIII Cian Cong mendengar orangtua itu seperti menggumam kepada dirinya sendiri. Nada
suaranya begitu tegas, seolah dalam ucapannya terkandung maksud tertentu. Walaupun
lukanya baru sembuh, tetapi wataknya tetap tidak berubah. Dia masih periang dan ugalugalan
seperti biasanya. Oleh karena itu dia langsung tertawa terbahak-bahak.
"Hidung kerbau, sebetulnya setan apa yang kau sembunyikan dalam hati kecilmu itu"
Bicara seperti menggumam kepada diri sendiri sehingga orang lain dibuat kebingungan
setengah mati. Bolehkah kau menjelaskan dengan terperinci, hal apa sebenarnya yang
sedang terpikir oleh benakmu itu?"
Tian Bu Cu tersenyum simpul melihat ketidaksabaran si pengemis sakti Cian Cong.
"Pinto hidup mengasingkan diri di Yang Sim An, selama enam puluh tahun boleh
dibilang tidak pernah berkelana di dunia Kan-gouw. Oleh karena itu pengetahuan pun
dangkal sekali. Dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini, Pinto tidak bisa memberikan
pendapat apa-apa. Lagipula ilmu silat adalah pelajaran yang paling rumit. Dengan kata lain
tidak ada batas tertentu yang dapat dijadikan patokan. Setiap cabang ilmu mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pinto juga tidak berani memutuskan ilmu
kepandaian siapa yang berhak menjabat kedudukan Bulim Bengcu. Resikonya terlalu
besar. Selama beberapa bulan terakhir ini, pinto sudah mengadakan penyelidikan secara
teliti. Memang ada satu orang yang cukup memenuhi syarat. Baik ilmu silatnya maupun
mutu orangnya serta kecerdasan otaknya, boleh dibilang cukup memuaskan. Pinto adalah
seorang beragama yang sudah lama mengasingkan diri, nama besar bagi Pinto tidak
berarti apa-apa. Tetapi aku mempunyai niat untuk membantu orang ini menjadi tokoh
besar yang mempunyai nama di dunia persilatan. Siapa tahu dia bisa merebut kedudukan
Bulim Bengcu kali ini." Mendengar kata-katanya, untuk sesaat si pengemis sakti Cian Cong jadi termangu-mangu.
Kemudian kesadarannya seakan tersentak sehingga dia mendongakkan kepalanya
tertawa terbahak-bahak. Tangan kanannya mengangkat hiolo araknya dan sebagaimana
biasanya dia meneguk beberapa tegukan besar. Tampaknya hati si pengemis sakti ini
tibatiba jadi gembira bukan kepalang atas kepu-tusan Tian Bu Cu. Wajahnya berseri-seri
dan bibirnya terus tersenyum simpul.
"Apakah yang dikatakan si hidung kerbau ini benar adanya" Si pengemis tua paham
sekali watakmu yang suka menyimpan rahasia dalam-dalam. Paling tidak suka
memamerkan diri di hadapan orang lain. Padahal ilmu silatmu sudah mencapai taraf yang
tinggi sekali. Apalagi Naga Sakti Delapan Jurusmu yang menggetarkan dunia persilatan itu,
terlebih-lebih kau anggap sebagai pusaka. Kalau dibandingkan dengan ilmu ciptaan si
pengemis tua Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma, boleh dibilang masih menang satu
tingkat. Waktu terus berlalu, rambutpun dengan cepat menjadi putih. Selama enam puluh
tahun ini, boleh dibilang si pengemis sakti tidak mendapat kemajuan apa-apa. Sedangkan
kau setiap hari bersemedi menghadap tembok. Ilmu Naga Sakti Delapan Jurus-mu itu pasti
sudah bertambah hebat karena setiap saat kau tambal kelelahannya serta mengubah
gerakannya menjadi sempurna. Entah sahabat mana yang mendapat rejeki demikian besar
sehingga memperoleh perhatianmu dan akan mewarisi ilmu hebat yang pernah
mengalahkan si pengemis sakti itu?"
Tian Bu Cu tetap tersenyum simpul. "Cian-heng memang suka merendah."
Sekali lagi Cian Cong mengangkat hiolonya dan meneguk arak di dalamnya. Kemudian
tangannya mengusap sisa arak yang masih ada di sudut bibir. Setelah itu kembali dia
tertawa terbahak-bahak. "Siapa orangnya yang mendapat perhatianmu yang besar, rasanya si pengemis sakti
dapat menebak sebanyak delapan bagian. Tetapi ada baiknya kau katakan sendiri
sehingga dugaan si pengemis sakti dapat terbukti."
Tian Bu Cu tersenyum lembut mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong yang
lebih pantas disebut pancingan. "Orang yang mendapat perhatian Pinto, tidak lain tidak bukan dari si gadis malang yang
berniat kembali ke jalan lurus, nona Liang Fu Yong!"
Begitu kata-kata ini tercetus dari bibirnya, bukan hanya Yibun Siu San yang tertegun,
bahkan si pengemis sakti Cian Cong yang mempunyai kebiasaan tidak mau mengalah
kepada siapapun ikut-ikutan terkesima karena keputusan Tian Bu Cu benar-benar di luar
dugaannya. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak dan mencelat ke atas kurang lebih tiga kaki.
"Apakah kata-kata yang kudengar tadi tidak salah" Mungkinkah telinga si pengemis tua
tiba-tiba jadi pekak sehingga pendengaran jadi kurang jelas" Kau ingin menerima Liang Fu
Yong sebagai murid" Tadinya aku mengira orang yang kau maksudkan adalah pendekar
pedang tingkat lima, Tan Ki!" Tian Bu Cu tertawa lebar. "Tenaga dalam Cian-heng sudah mencapai taraf tertinggi, selama ini selalu berlatih
dengan keras. Dengan demikian baik indera penglihatan maupun pendengaran pasti lebih
peka dari orang lain, mana mungkin Cian-heng salah dengar" Sebelum kata-kata ini
tercetus dari mulut Pinto, sejak semula pinto sudah memikirkannya matang-matang.
Selamanya Pinto tidak sembarang bertindak apabila belum yakin. Kalau gadis ini benarbenar
berniat merubah tabiatnya dan tabah terhadap segala penderitaan, mungkin dalam


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perebutan Bulim Bengcu besok, dia masih mempunyai kesempatan untuk mencoba-coba."
Dengan tenang dan santai dia mengucapkan kata-kata ini, nada suaranya cukup tegas.
Orang yang mendengarnya tidak dapat mengetahui rahasia apa yang terselip di dalam
hatinya. Namun para hadirin yang mendengar ucapan itu, hampir semuanya memandang
orangtua ini dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar-lebar. Beberapa saat
kemudian tampak mereka saling lirik dengan wajah penasaran.
Tampak Tan Ki tersenyum simpul. Dia melirik ke arah Liang Fu Yong yang ada di
sampingnya. Sorotan matanya seakan mengatakan: "Benar bukan apa yang kukatakan
tempo hari?" dengan demikian dia juga seakan membuktikan bahwa dirinya tidak
mendustai perempuan itu. Kebetulan saat itu, Liang Fu Yong juga sedang mengerling ke arahnya. Dua pasang
mata bertemu. Persis seperti besi berani yang saling menarik. Untuk sekian lama keduanya
saling memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hati masing-masing digelayuti
perasaan yang berbeda. Pada saat itu juga Tan Ki tiba-tiba merasa Liang Fu Yong yang
ada di sampingnya jauh lebih cantik dari sebelumnya. Penampilannya begitu lembut
mempesona, begitu menawan. Liang Fu Yong juga merasa bahwa dalam sinar anak muda itu terkandung perhatian
yang besar serta kasih sayang yang dalam. Hal ini belum pernah ditemui perempuan itu
sebelumnya. Biasanya dia hanya melihat sinar iba di dalam mata Tan Ki. Untuk sesaat
hatinya seperti sangat terhibur. Seakan pengorbanannya selama ini tidak sia-sia. Saat itu
juga, dia membalas senyuman Tan Ki dengan seulas senyuman yang tidak kalah
manisnya. Setelah itu, perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Telinganya kembali mendengar suara Tian Bu Cu yang welas asih dan penuh
kelembutan. Bagi perempuan, suara orang tersebut seakan tiba-tiba menjadi musik yang
paling merdu yang pernah didengarnya dalam seumur hidupnya.
"Yibun-heng kali ini menjadi panitia penyelenggara pertandingan ini. Dapatkah Yibunheng
menyediakan sebuah ruangan kosong untuk pinto?"
Yibun Siu San langsung berdiri dari tempat duduknya. Dia menjura sambil
mengembangkan seulas senyuman. "Totiang sudah terbiasa hidup menenangkan diri dalam tempat yang sunyi seperti Yang
Sim An. Aku justru sedang khawatir kalau tempat di Tok Liong-hong tidak sesuai untuk
totiang. Orang banyak tentu sangat bising, mungkin tidak akan kerasan di sini. Kalau
ternyata Totiang tidak mencela tempat ini dan bersedia tinggal, hal ini merupakan rejeki
besar bagi aku, Yibun Siu San." selesai berkata, dia segera memerintahkan seorang lakilaki
bertubuh kekar untuk membersihkan sebuah ruangan untuk orangtua tadi. Setelah itu
baru dia mengibaskan tangannya agar orang itu langsung mengundurkan diri dan
melaksanakan apa yang diperintahkannya.
Tampak Tian Bu Cu merenung sejenak.
"Tapi?" baru mengucapkan sepatah kata, seakan ada sesuatu hal yang teringat
olehnya sehingga ucapannya tidak diteruskan.
Namun siapa memangnya Yibun Siu San. Orang ini juga mempunyai pengalaman yang
cukup banyak. Melihat Tian Bu Cu agak bimbang, dia segera dapat menduga bahwa
orangtua itu masih ada permohonan yang lainnya, hanya saja ragu-ragu dicetuskan. Oleh
karena itu dia langsung mengembangkan seulas senyuman yang ramah.
"Apabila Totiang masih ada permintaan yanglain, harap jangan sungkan-sungkan.
Katakan saja. Seandainya masalahnya sangat besar, di hadapan begini banyaknya
sahabat, pasti ada jalan untuk menyelesaikannya."
"Pinto juga minta disediakan dua orang jago berilmu tinggi untuk berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan." Tiba-tiba terdengar si pengemis sakti Cian Cong menukas, "Si pengemis tua tidak
percaya. kalau dalam semalaman saja kau dapat membuatnya menjadi jago dan sanggup
mengikuti pertandingan." Mendengar ucapannya, tampak sepasang mata Tian Bu Cu mengeluarkan sinar yang
tajam tetapi sekejap kemudian dia sudah biasa kembali. Wajahnya masih tetap
mengembangkan senyuman. "Enam puluh tahun sudah berlalu, tetapi sikap keras kepalamu tetap saja tidak
berubah. Apa yang terpikir dalam hatimu langsung saja kau cetuskan. Selamanya tidak
pernah dipertimbangkan terlebih dahulu. Dalam satu hari, apabila ingin membuat
seseorang menjadi tokoh yang terkenal, di dengar sepintas lalu oleh kalian semua seakan
sebuah dongeng yang mustahil menjadi kenyataan. Tetapi perlu diketahui bahwa ilmu silat
itu demikian luas dan dalamnya sehingga tidak ada batas tertentu atau tingkat tertentu.
Apalagi ilmu Lwekang yang sejati. Jangan kata tiga atau lima tahun, biar dua puluh tahun
atau tiga puluh tahun juga tidak pernah berhasil menggali sampai dasarnya yang paling
dalam. Seandainya seseorang memiliki kepandaian tinggi, tentu bukan hal yang bisa
dicapai dalam sekejap mata. Meskipun di dunia ini sering dijumpai orang yang berusia
muda namun ke-pandaianya sudah tinggi sekali. Namun biasanya orang itu menemui
keajaiban yang langka, atau kebanyakan bersifat ilmu dari golongan sesat yang setengah
dipaksakan. Biarpun bisa mencapai taraf yang cukup tinggi, tapi biasanya juga ada efek
sampingan yang kelak akan mencelakai diri sendiri?"
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya. Sepasang matanya menyorotkan sinar tajam,
pandangannya perlahan-lahan menyapu ke arah para hadirin yang berkumpul di ruangan
tersebut. Tampak mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa sadar bibirnya
mengembangkan seulas senyuman. Setelah itu dia baru meneruskan lagi kata-katanya"
"Umumnya ilmu silat tidak dapat dipilih-pilih jenis tertentu, misalnya ilmu tinju atau
pukulan saja. Karena pengaruhnya kurang hebat sehingga mudah dikalahkan lawan. Juga
tidak mungkin sekali belajar langsung bisa, kecuali seperti yang pinto katakan di atas tadi.
Umpamanya orang itu menemui suatu keajaiban, boleh dibilang tidak ada cara untuk
belajar semacam ilmu dalam waktu yang cepat. Namun selama ini pinto hidup
mengasingkan diri di Yang Sim An. Pernah satu kali ketika sedang bersemedi, tanpa
sengaja pinto menemukan pengetahuan bahwa ilmu silat dari perguruan manapun
mempunyai kelebihan dalam menghadapi lawan. Untuk memecahkan rahasia tersebut,
bagi orang yang berotak cerdas tentu tidak sulit untuk memahaminya. Setelah memahami
rahasia tersebut, bukan saja waktunya dapat dipersingkat, bahkan pengaruhnya boleh
dibilang sangat ajaib. Bukan hal yang dapat dibayangkan oleh orang biasa, Waktu
semalam, bagi Pinto sudah lebih dari cukup. Orang yang mempelajarinya dan ingin
memahami rahasianya harus memusatkan perhatian yang sepenuhnya, tubuh dan pikiran
harus menyatu. Persis seperti seorang pertapa yang masuk dalam detik kehampaan. Tidak
boleh terkena sedikitpun rasa terkejut atau gangguan di saat tersebut. Apabila hal ini
sampai terjadi, bukan saja ilmu silatnya dapat menyurut, namun ada kemungkinan urat
nadi dalam tubuhnya membengkak sehingga darahnya mengalir secara terbalik. Dengan
demikian orang itu akan menjadi cacat seumur hidup. Justru karena sebab inilah, pinto
memberanikan diri meminta perlindungan dari dua orang jago berilmu tinggi untuk
berjaga-jaga berhadap segala kemungkinan."
Mendengar kata-katanya yang demikian berat serta serius, Yibun Siu San dapat
membayangkan pentingnya masalah ini. Meskipun pada dasarnya dia orang yang cerdas
dan banyak akal, tetapi setelah mendengar ucapan Tian Bu Cu yang sangat serius itu,
untuk sesaat dia tidak bisa menentukan siapa yang cocok mendapat tugas yang berat ini.
Lagipula dia juga tidak enak hati menunjuk seseorang yang belum tentu rela
melakukannya. Hanya sepasang matanya yang mengedar kepada paya hadirin.
Cu Mei yang merupakan salah satu dari Ciong San Suang Siu melihat para hadirin
semuanya merenung tanpa mengucapkan sepatah sepatah katapun. Dia sendiri juga
menundukkan kepalanya berpikir sejenak, ke-mudian dia mendongakkan kepalanya
kembali menatap abang angkatnya Yi Siu. Setelah itu tampak bibirnya mengembangkan
seulas senyuman. "Cayhe dua kakak beradik bersedia menjadi pelindung Totiang untuk satu malam?"
Belum lagi ucapannya selesai, tampak Liang Fu Yong berjalan keluar dari tempatnya
dengan langkah gemulai. Ketika sampai di hadapan Tian Bu Cu, dia langsung menjatuhkan
dirinya berlutut di hadapan orangtua tersebut. Dari mulutnya terdengar suara yang lembut
dan merdu, "Tecu menghadap Insu (guru yang budiman)."
Tian Bu Cu tersenyum simpul. Lengan pakaiannya dikibaskan, serangkum tenaga yang
lembut segera terpancar keluar dan menahan tubuh Liang Fu Yong yang akan
menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
"Sekarang masih belum waktunya upacara penyembahan menghadap guru, kau
bangunlah." Liang Fu Yong jadi tertegun mendengar ucapannya. Dia benar-benar tidak mengerti
apa sebenarnya yang terkandung dalam hati tokoh sakti tersebut. Terang-terangan dia
sudah berani mengumumkan di depan orang-orang bahwa dia akan menerimanya sebagai
murid, tetapi mengapa dia tidak mau menerima penghormatannya" Tetapi biar bagaimana
Liang Fu Yong tidak berani lancang menanyakan hal tersebut. Perlahan-lahan dia berdiri
dan berjalan kembali ke tempatnya semula dengan kepala tertunduk.
Saat ini Cu Mei sudah mendorong mejanya dan bangkit dari tempat duduk. Dia menjura
kepada Tian Bu Cu dan berkata, "Silahkan!" dia langsung membalikkan wajahnya dan
mengajak Yi Siu berjalan keluar. Tian Bu Cu juga menjura ke sekeliling ruangan itu untuk menyalami para hadirin.
Kemudian dia menggapai kepada Liang Fu Yong agar mengikutinya. Tampak jubahnya
yang longgar berkibar-kibar ketika kakinya melangkah. Tampaknya santai-santai saja
tetapi dalam sekejap mata sudah berada jauh dari pandangan.
Setelah keempat orang itu tidak terlihat lagi, Yibun Siu San baru menanyakan
pengalaman Tan Ki beserta yang lainnya selama meninggalkan Tok Liong Hong. Ketika
mendengar cerita Tan Ki, si pengemis cilik serta Liu Mei Ling yang bertemu dengan si
gadis berpakaian putih, sepasang alisnya langsung mengerut. Yibun Siu San sendiri
termasuk orang yang periang. Jarang terlihat dia bermuram durja kecuali ada sesuatu
yang gawat sekali. Terdengar suara mendesah dari bibirnya. Untuk beberapa lama dia
menundukkan kepalanya merenung. Matanya terpejam rapat-rapat, tampaknya dia ingin
memusatkan seluruh pikirannya untuk menebak asal-usul si gadis berpakaian putih. Tetapi
sampai cukup lama dia masih tidak terpikir siapa tokoh terkenal di dunia Kangouw ini yang
memelihara seekor elang raksasa. Cian Cong melihat dia memejamkan matanya dan menundukkan kepalanya merenung
sekian lama. Bahkan hampir sepeminuman teh lamanya, sang sahabat tidak mengucapkan
sepatah katapun. Tanpa terasa hatinya juga terasa pilu dan getir, karena dia juga seorang
tokoh Bulim yang sudah mempunyai nama besar. Mula-mula mendengar cerita Tan Ki
tentang si gadis berpakaian putih, dia juga menguras otaknya berpikir sampai lama sekali.
Namun seperti juga Yibun Siu San saat ini, dia tidak ingat ada seorang Cianpwe seperti
yang dikatakan oleh Tan Ki. Dengan demikian, dia paham sekali bagaimana penasarannya
perasaan hati Yibun Siu San saat ini. Melihat keadaan ini, dia merasa iba terhadap
rekannya itu, tetapi Tan Ki pernah memohon agar tidak mengatakan siapa gadis itu
kepada orang lain, kecuali kalau keadaan benar-benar mendesak. Oleh karena itu dia
langsung mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak. Dia sengaja ingin
mengalihkan pikiran Yibun Siu San. Setelah itu terdengar dia berkata dengan suara keras.
"Setelah mendengar kalian berunding tadi, tampaknya setelah si pengemis tua
meninggalkan Tok Liong-hong, telah terjadi suatu urusan yang hebat. Bahkan si pengemis
tua melihat kau sampai mencak-mencak dan seperti cacing kepanasan saja. Sedikit-sedikit
mengatakan ingin mengadu jiwa dengan orang. Sebenarnya urusan apa yang membuat
kalian demikian panik tidak karuan?"
Mendengar suara tawanya yang memekakkan telinga, Yibun Siu San langsung tersentak
dari lamunan. Mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut seakan baru teringat lagi
akan masalah itu. Perlahan-lahan dia menepuk batok kepalanya sendiri kemudian tertawa
getir. "Kalau diceritakan sejak awal, tentu memakan waktu yang cukup panjang. Rekan-rekan
yang hadir di sini tadinya sudah mempersiapkan diri berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan, tetapi pada saat kejadian, mereka sendiri mendapat lawan yang setimpal.
Aih, diungkit kembali masalah ini hanya mengesalkan saja. Lebih baik tidak usah
diceritakan lagi." Sepasang mata Cian Cong memancarkan sinar yang tajam.
"Benarkah orang-orang dari Lam Hay dan Si Yu mempunyai nyali demikian besar
sehingga berani mengacau di puncak Tok Liong-hong?"
"Apabila Cian-heng ingin melihat buktinya, malam ini atau besok malam ada
kemungkinan mereka akan menyelinap lagi ke mari. Pada saat itu Cian-heng dapat"melihat
sendiri sampai di mana besarnya nyali mereka. Malah mungkin engkau dan aku terpaksa
harus bertarung mati-matian untuk mempertahankan selembar nyawa tua ini." berkata
sampai di sini, tiba-tiba terdengar Cian Cong mendengus dingin. Hatinya jadi tercekat. Dia
maklum sekali kalau orangtua yang satu ini mudah sekali terbakar hatinya. Mungkin
ucapannya tadi tanpa sadar telah membangkitkan sikapnya yang keras kepala dan tidak
mau mengalah kepada siapapun. Oleh karena itu, Yibun Siu San cepat-cepat
menghentikan kata-katanya dan membungkam seribu bahasa. Sejenak kemudian dia barumenoleh
ke arah Tan Ki dan si pengemis cilik lalu melanjutkan kata-katanya"
"Orang-orang dari angkatan muda ini pasti lelah sekali setelah melakukan perjalanan
yang demikian jauh. Mana wajah mereka begitu kotor seperti sudah satu minggu tidak
membasuh diri. Sudah seharusnya kita sebagai yang tua membiarkan mereka beristirahat
dan membersihkan tubuh masing-masing. Berdiri di sini mendengarkan orang-orang tua
berceloteh tentu mereka tidak biasa. Setelah makan malam nanti, baru kita bagi tugas
kepada mereka." Si pengemis cilik dan Hek Lohan memang sejak tadi sudah menunggu kata-katanya ini.
Mereka cepat-cepat menjura kepada Yibun Siu San dan Cian Cong. Setelah itu mereka
mengajak Yang Jen Ping, Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong keluar dari ruangan tersebut.
Tan Ki melirik sekilas kepada Liu Mei Ling, kemudian dia mengajaknya kembali ke
kamar mereka. * * * * Ketika Mei Ling selesai membasuh diri, dia sudah mengganti pakaiannya dengan gaun
berwarna putih yang indah sekali. Di bawah cahaya lentera yang remang-remang, kesan
yang ditampilkan gadis ini benar-benar demikian anggun laksana seorang dewi kahyangan.
Semakin diperhatikan rasanya semakin menawan. Tan Ki sampai memandangnya dengan
terpesona. Dia merasa isterinya itu semakin cantik dan dewasa setelah mengalami
berbagai kejadian yang hebat. Untuk sesaat dia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan
menghampirinya dengan tergesa-gesa lalu memeluk pinggangnya yang ramping. Dua
pasang mata bertemu. Untuk beberapa saat mereka saling pandang. Tidak ada
seorangpun yang mengucapkan sepatah kata karena di saat seperti ini, kata-kata sama
sekali tidak diperlukan. Dari sinar mata mereka sudah terpancar seribu kalimat.
Kedua pemuda pemudi itu berdiri berpelukan dengan penuh perasaan. Entah berapa
lama sudah berlalu. Tiba-tiba Tan Ki menggerakkan tangannya dan merangkul Mei Ling
erat-erat. "Ling Moay, sudah waktunya kita beristirahat."
Begitu dia menundukkan kepalanya, dia melihat wajah isterinya itu merah jengah dan
tersipu-sipu. Matanya menyorotkan sinar yang lembut. Setelah pandangan mereka
bertemu, cepat-cepat dia menundukkan kepalanya. Sikapnya seperti pemalu sekali.
Namun mengandung kejinakan seperti seekor domba. Kepalanya menyandar di bahu Tan
Ki. Tan Ki langsung memondongnya menuju tempat tidur"
Saat itu merupakan hari keempat pernikahan mereka. Tetapi baru sekarang mereka
mendapat kesempatan berkasih-kasihan sebagaimana layaknya sepasang pengantin baru.
Pasti dapat dibayangkan gairah yang bergejolak dalam dada mereka.
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Waktu berlalu bagai kuda yang dipecut, sebentar saja sudah kurang lebih kentungan
kedua. Rembulan yang sejak tadi menyembunyikan diri berusaha mengintai dari balik
awan tebal. Cahayanya begitu redup dan angin musim semi bertiup semilir melambaikan
dedaunan yang berguguran. Seluruh Tok Liong-hong dicekam keheningan. Pada saat seperti ini seharusnya setiap
orang sudah pulas dalam mimpi indah. Suasana di sekitar bukit tersebut gelap gulita. Tak
terlihat setitikpun sinar penerangan. Sebetulnya keadaan seperti itu sudah biasa selama
pertandingan berlangsung. Para hadirin maupun orang-orang yang mengikuti
pertandingan tentunya sudah merasa letih dan ingin istirahat yang cukup. Namun suasana
malam ini memang agak berlainan karena diliputi ketegangan sejak ada gangguan malam
yang lalu. Terasa ada bahaya yang mengintai di mana-mana sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat tidur dengan nyenyak.
Tiba-tiba di bawah sinar rembulan yang remang-remang tampak sesosok bayangan
berkelebat. Gerakannya bagai seekor burung yang sangat lincah. Dalam waktu yang
singkat, dia sudah berada di pertengahan bukit Tok Liong-hong tersebut. Sekali loncat saja
dia dapat mencapai jarak sejauh enam tujuh depa.
Kalau ditilik dari kecepatannya, tampaknya kepandaian orang ini tidak dapat dipandang
ringan. Bahkan Kok Hua Hong dan Ban Jin Bu yang bersembunyi di kegelapan menjadi
terkejut bukan kepalang. Kemungkinan besar ilmu orang itu malah lebih tinggi dari
pendekar pedang tingkat tujuh. Justru ketika Kok Hua Hong masih menimbang-nimbang, orang yang muncul itu sudah
sampai di atas puncak bukit Tok Liong-hong.
Hati Kok Hua Hong menjadi panik. Walaupun sadar dirinya bukan tandingan orang itu,
tetapi biar bagaimana dia mendapat tugas untuk menjaga pos pertama. Urusannya bisa
gawat sekali. Oleh karena itu dia tidak berpikir panjang lagi, mulutnya segera
membentak" "Siapa yang nyalinya besar berani menyelinap ke puncak bukit Tok Liong-hong ini?"
tubuhnya melesat ke bawah, dia meloncat turun dari gerombolan dedaunan pohon siong
yang lebat. Di tengah udara dia mengeluarkan senjatanya yang berbentuk pancingan.
Begitu sampai di atas tanah, tanpa membuang waktu lagi, dia melancarkan sebuah
serangan ke arah orang yang menyelinap tadi.
Tampak orang itu menggeser tubuhnya sedikit, lengan jubahnya yang longgar
dikibaskan. Segera terasa ada serangkum arus tenaga yang kuat terpancar keluar dan
menahan datangnya serangan Kok Hua Hong.
Hati Kok Hua Hong diam-diam tercekat. Dia tidak berani melancarkan jurus kedua.
Tubuhnya menjungkir balik ke belakang dan tahu-tahu dia sudah mencelat mundur sejauh
tujuh delapan depa. Begitu pandangan matanya dipusatkan, dia melihat Yibun Siu San
sudah mengganti pakaiannya dengan jubah panjang yang longgar. Di belakang pundaknya


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersampir sebatang pedang pusaka. Pinggangnya diikat dengan sehelai selendang yang
lebar, wajahnya tetap ditutup dengan sehelai cadar tipis. Justru karena penampilannya
yang berbeda, maka Kok Hua Hong sampai tidak mengenalinya tadi. Sepasang matanya
menyorotkan sinar yang tajam, bibirnya tersenyum lembut.
"Tentunya kau terkejut sekali." katanya. Setelah tertegun sejenak, Kok Hua Hong baru
pulih kembali. Dia segera menjura sambil tertawa lebar.
"Tadinya aku mengira gerombolan penjahat itu balik lagi, hampir saja?"
Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba tampak dua titik asap api melesat ke angkasa
dari jarak beberapa li di kaki bukit. Setiap cahaya api itu ada tiga titik. Begitu melesat ke
angkasa, titik api itu meletus menjadi percikan seperti bintang yang berkilauan, sejenak
kemudian baru luruh kembali ke bawah bagai curah hujan.
Melihat pihak Si Yu kembali menggunakan cahaya api sebagai isyarat, Yibun Siu San
segera tahu bahwa mereka kali ini ingin berkun-jung secara terang-terangan. Tanpa dapat
ditahan lagi hidungnya mengeluarkan suara dengusan yang berat. Dia menoleh kepada
Kok Hua Hong seraya berkata, "Bersiap-siaplah, lakukan seperti rencana semula. Sebelum
datangnya hujan dan badai, pasti cuaca terang dan keadaan tenang. Aku akan memeriksa
tempat lainnya!" selesai berkata, dia tidak menunggu jawaban dari Kok Hua Hong.
Tampak tubuhnya berkelebat. Secepat kilat dia melayang pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah Yibun Siu San pergi, Kok Hua Hong mengedarkan pandangannya ke sekeliling
tempat tersebut. Setelah yakin tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Dia baru
menggerakkan tubuhnya melesat ke atas pohon serta kembali menyembunyikan diri di
balik gerombolan dedaunan yang lebat.
Pohon Siong ini tingginya kurang lebih tujuh delapan depa, orang yang bersembunyi di
atasnya dapat melihat pemandangan di selatar lembah tersebut sementara jejaknya
sendiri tidak mudah diketahui oleh lawan.
Baru saja dia duduk dengan tenang di atas sebatang ranting pohon. Tiba-tiba
telinganya menangkap suara siulan panjang yang tidak berhenti-henti. Nadanya kadang
melengking kadang rendah, hal ini membuktikan bahwa pihak musuh sama sekali tidak
berniat menutupi kedatangan mereka.
Setelah beberapa saat suara siulan tadi terdengar, suasana kembali sunyi seperti
semula. Tetapi di balik keheningan ini terselip hawa ketegangan yang mencekam hati.
Angin menderu-deru melambai-lambaikan rerumputan. Terdengar suara desiran yang
lembut, membuat suasana semakin menyeramkan. Meskipun Kok Hua Hong termasuk
tokoh tua yang sudah banyak pengalaman dan Ban Jin Bu adalah seorang pemuda yang
pemberani, namun dalam keadaan seperti ini, mereka juga merasa agak ngeri dan
jantungpun berdebar-debar. Justru ketika kedua orang itu merasa tegang dan mulai tidak sabar. Tiba-tiba di puncak
bukit terlihat belasan sosok bayangan berkelebat. Gerakan mereka begitu ringan laksana
angin yang berhembus. Hal ini menandakan bahwa di antara rombongan ini tidak ada
satupun yang kepandaiannya lemah. Kok Hua Hong yang melihatnya sampai merasa panik. Tanpa dapat ditahan lagi
sepasang alisnya mengerut ketat. Diam-diam hatinya berpikir: "Tampaknya orang-orang
yang datang ini semuanya berilmu tinggi. Apabila mereka nanti menyerbu dengan
kekerasan, pos pertama ini pasti sulit dipertahankan lebih lama.
Ketika pikirannya masih bekerja, tiba-tiba telinganya kembali menangkap suara siulan
yang panjang. Kali ini nadanya lebih melengking dari yang tadi. Suaranya bagai gerungan
seekor naga sakti yang demikian memekakkan telinga. Mendadak belasan sosok bayangan
itu berpencaran ke segala penjuru. Setiap rombo ngan terdiri dari tiga orang. Semuanya
ada empat kelompok yang dalam waktu bersamaan berpencar ketiga penjuru, yakni utara,
timur dan selatan. Hal ini terjadi dalam sekejap mata. Rombongan yang pertama berlari secepat kilat dan
sebentar saja mereka sudah mendekati tempat persembunyian Kok Hua Hong dan Ban Jin
Bu. Terdengar Kok Hua Hong mengeluarkan suara tawa yang panjang. Tubuhnya melesat
turun dari atas pohon. Senjatanya sudah siap di tangan dan dia menghadang di hadapan
rombongan orang itu. Telinganya mendengar suara kibaran pakaian yang mendesir.
Ternyata Ban Jin Bu juga sudah ikut melayang turun dan mendarat tepat di sampingnya.
Begitu pandangannya diedarkan, dia melihat salah satu dari orang-orang tersebut
hanya bermata satu dan bibirnya sumbing. Dia adalah seorang tua yang wajahnya jelek
sekali. Di sebelah kanannya berdiri seorang laki-laki setengah baya berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan berpakaian seperti tukang pukul. Orang di
sebelahnya merupakan orang yang paling pendek dalam rombongan mereka. Tingginya
kurang dari satu setengah meter. Dilihat sepintas lalu seperti gelundungan bola saja.
Begitu bulatnya sehingga tampak menggelikan. Wajahnya persis orang yang baru keluar
dari tong oli. Hitamnya sampai mengkilap. Begitu gelapnya kulit orang itu sehingga sulit
bagi orang untuk menaksir usianya yang tepat. Di bahunya terselip sepasang golok,
sedangkan di pinggangnya menggantung serenceng pisau terbang dan piauw. Hal ini
menandakan bahwa orang ini mempunyai keahlian dalam bidang senjata rahasia.
Pengetahuan maupun pengalaman Kok Hua Hong cukup luas. Melihat tampang orangorang
itu yang luar biasa lagipula pandangan matanya menyorotkan sinar tajam, dia
langsung sadar bahwa masing-masing orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi dan
istimewa. Diam-diam dia bersiap sedia terhadap segala kemungkinan. Setelah
memperhatikan orang itu satu per satu, tampak dia menggetarkan senjatanya yang
berbentuk bambu pancingan. "Saudara bertiga malam-malam menyelinap ke puncak bukit tanpa menyebutkan nama
masing-masing dan juga tidak memberitahukan terlebih dahulu. Entah maksud apa yang
terkandung dalam hati kalian?" bentaknya keras.
Orangtua yang wajahnya jelek sekali dan rambutnya sudah memutih itu mengeluarkan
suara tertawa yang dingin. "Lohu bernama Ho Tiang Cun, menjabat sebagai Tongcu dari Lam Hay Bun. Selama ini
hanya ada orang lain yang memberitahukan ataupun mengirim undangan apabila ingin
berkunjung. Lohu sendiri belum pernah melakukan yang sebaliknya, apalagi meminta ijin
memasuki suatu wilayah." Kok Hua Hong langsung mendengus dingin mendengar kata-katanya yang pongah.
"Cukup besar juga mulutmu itu!" sindirnya.
"Lumayan! Lumayan!" Melihat orangtua itu baru datang saja sudah begitu sombong, tanpa terasa hawa
amarah dalam dada Kok Hua Hong meluap juga.
"Di puncak bukit Tok Liong-hong ini sedang berkumpul para jago kelas tinggi dari
daerah Tionggoan. Nama mereka sudah terkenal di mana-mana. Kalau dibandingkan
dengan berdirinya dunia Bulim kami yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun, satu Lam
Hay Bun saja belum berarti apa-apa. Apalagi hanya seorang yang menjabat kedudukan
Tongcu, benar-benar bagai seekor katak dalam tempurung yang belum pernah melihat
luasnya bumi tingginya langit, sehingga berani mengacaukan daerah Tionggoan!"
Ho Tiang Cun mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
"Justru karena hal inilah, maka lohu tidak perduli perjalanan sejauh ribuan li untuk
melihat buktinya sendiri. Kau juga tidak perlu menghalangi kegembiraan hati lohu ini.
Cepat minggir!" baru saja ucapannya selesai, tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat
menerjang ke depan. Kebesaran nyalinya dan kecepatan gerakan tubuhnya benar-benar di
luar dugaan Kok Hua Hong maupun Ban Jin Bu.
Wajah Kok Hua Hong langsung berubah hebat. Dia benar-benar terkejut sekali. Baru
saja dia bermaksud menggeser kakinya menghindar untuk kemudian baru memikirkan
cara menghadapi orang ini, tiba-tiba dia melihat cahaya berkelebat dan suara angin yang
mendesir. Rupanya Ban Jin Bu yang berjiwa muda tidak dapat menahan kemarahan
hatinya lagi melihat lagak orangtua yang menyebalkan ini. Tanpa berpikir panjang, dia
sudah menggerakkan golok pusakanya menyambut ke depan.
Tampak Ho Tiang Cun tertawa terbahak-bahak.
"Anak baru gede sudah cari mati!" telapak tangan kanannya terulur ke depan. Dengan
jurus Naga Mencengkeram Dari Balik Awan, serangkum tenaga dahsyat langsung
terpancar keluar dan menerjang pergelangan tangan Ban Jin Bu yang menggenggam
golok. Golok milik Ban Jin Bu ini benar-benar merupakan pusaka yang diwariskan turun
temurun dalam keluarganya. Bukan saja sangat tipis, tetapi apabila digerakkan akan
menimbulkan daya tolak yang lembut. Pengaruh yang terpancar sangat ajaib, namun
mempunyai daya yang sangat ringan sehingga orang yang menggenggamnya tidak
merasa berat sebagaimana golok biasanya yang mempunyai bobot berat. Jurus-jurus
serangannya pun jauh berbeda dengan ilmu golok umumnya.
Ho Tiang Cun mengira tenaga dalamnya yang sudah dilatih kurang lebih tujuh puluh
tahun pasti tidak dapat ditahan oleh pemuda ingusan itu. Dari segi pengalaman saja pasti
ia jauh lebih banyak daripada Ban Jin Bu. Gerakan serangannya kali ini begitu cepat
sehingga sulit diikuti pandangan mata yang kurang tajam. Dia sudah yakin bahwa
serangannya kali ini pasti akan mencapai sasaran dengan telak. Entah bagaimana, tibatiba
terlihat golok di tangan Ban Jin Bu berputaran. Gerakan golok itu berubah tepat di
saat serangannya hampir mengenai pergelangan tangan Ban Jin Bu. Perubahan yang
mendadak itu benar-benar di luar dugaannya. Tahu-tahu golok itu malah mengincar
pergelangan tangannya sendiri!"
Rasa terkejutnya kali ini benar-benar luar biasa. Tetapi biar bagaimana dia adalah
seorang pemimpin dari rombongan tersebut. Ilmunya termasuk paling tinggi di antara
ketiga orang itu. Tentu memalukan baginya apabila dia sampai tersungkur roboh dalam
satu jurus di tangan anak yang baru gede pula. Wajahnya mengeluarkan suara siulan yang
keras. Telapak tangan kanannya menekuk sedikit, dengan jurus Burung Bangau Mematuk
Ikan dia menyambut datangnya serangan golok Ban Jin Bu.
Ketika dia melancarkan sera Bentrok Rimba Persilatan 12 Bentrok Rimba Persilatan 20
^