Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 18

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 18


ngan ini, kejadiannya benar-benar cepat sekali, kekuatan
yang terpancar sungguh dahsyat, Kok Hua Hong yang melihatnya sampai tertegun, diamdiam
hatinya berpikir: "Mengapa dia menyambut serangan golok dengan tangan kosong,
malah menggunakan cara keras lawan keras pula, bukankah ini yang dinamakan gilagilaan?"
Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata yang terbuat dari logam. Tanpa dapat di
tahan lagi dia segera mendongakkan wajahnya memandang. Tampak golok Ban Jin Bu
tertangkis oleh orangtua itu begitu kuat. Anak muda itu sampai merasa lengannya
kesemutan dan dadanya seperti diselimuti hawa panas, orangnya sendiri berdiri dengan
termangu-mangu. Dari luar memang tampaknya Ho Tiang Cun ini menghadapi lawan dengan tangan
kosong dan tidak berbekal senjata apapun. Tetapi sebetulnya tangan kiri orang itu
memakai sebuah sarung tangan yang terbuat dari besi. Dengan demikian, selain dia dapat
melindungi telapak tangannya, juga dapat digunakan untuk menangkis senjata tajam.
Kalau bukan orang yang mawas sekali, tentu tidak akan tahu kalau tangan itu memakai
sarung besi. Karena mula-mula Ho Tiang Cun memandang ringan lawannya, hampir saja dia terkena
serangan Ban Jin Bu. Justru karena hal ini pula, hawa pembunuhan dalam dadanya
bangkit seketika. Saat ini melihat Ban Jin Bu masih berdiri dengan terkesima, dengan jurus
Bintang Mengejar Rembulan, sarung tangan besinya kembali menghantam ke depan.
Ditangkis dengan tenaga yang kuat oleh Ho Tiang Cun, golok di tangan Ban Jin Bu
hampir saja terlepas. Kali ini melihat serangan orangtua itu malah lebih hebat dari yang
pertama, mana mungkin dia berani menyambut lagi dengan kekerasan. Tubuhnya
mencelat ke udara, setelah berjungkir balik satu kali, dia melayang mundur sejauh satu
depa lebih. Si gemuk pendek berwajah hitam dan laki-laki bertubuh kekar tiba-tiba bergerak dan
menghambur ke atas, mereka lewat di samping tubuh Kok Hua Hong dengan niat
menyelinap ke puncak bukit. Kok Hua Hong segera merentangkan bambu pancingannya yang panjang. Mulutnya
memperdengarkan suara tawa terbahak-bahak.
"Tunggu dulu, tunggu dulu! Walaupun anak muda itu tidak begitu becus, masih ada aku
si tua b angka ini!" Sembari berkata, dia menghentakkan bambu pancingannya di udara sehingga
berputaran dua kali. Saat itu juga tampak gulungan bayangan yang timbul dari
pancingannya dan seakan menyelimuti sekitar dirinya. Tenaga dalam Kok Hua Hong sudah
termasuk tinggi juga. Meskipun hanya sebuah pancingan yang biasa-biasa saja bahkan
halus sekali, namun berkat hentakan tenaga dalamnya yang kuat, maka pancingannya itu
dapat menjadi sebatang senjata yang hebat, begitu digerakkan terdengar suara angin
menderu-deru. Si gemuk pendek berwajah hitam dan laki-laki kekar tadi terdesak
sedemikian rupa sehingga membatalkan niatnya mendaki puncak bukit. Mereka terpaksa
membalikkan tubuh lalu menangkis serangan Kok Hua Hong tersebut.
Ilmu silat kedua orang itu boleh dibilang sebanding dengan pendekar pedang tingkat
delapan, sedangkan Kok Hua Hong sendiri juga ditaksir oleh Yibun Siu San mempunyai
kepandaian yang setara. Dengan satu melawan dua musuh, tadinya hanya ia lakukan
karena emosi sesaat. Dia tidak berpikir panjang lagi. Dengan segenap kemampuan dia
menghadapi dua orang lawan itu. Tetapi lama kelamaan, dia mulai kewalahan, keringat
sudah membasahi keningnya. Bayangan yang timbul dari pancingannya mulai memudar,
kalau tadinya menyelimuti sampai sejauh satu depaan, sekarang hanya kurang dari
setengah depa saja. Si gemuk pendek dan laki-laki kekar pada dasarnya memang orang yang licik. Melihat
kesempatan yang bagus itu, mereka segera menggencarkan serangannya. Begitu
terdesaknya Kok Hua Hong sampai ia terpaksa menahan di kanan menangkis"di kiri.
Keadaannya mulai terperangkap dalam bahaya.
Ban Jin Bu melihat keringat dingin terus menetes dari kening Kok Hua Hong, selembar
wajahnya pun sudah basah oleh keringat. Nafasnya tersengal-sengal. Tahu situasi
orangtua itu mulai genting, hatinya menjadi panik sekali. Meskipun dia sadar
kepandaiannya sendiri masih tidak berarti apa-apa dibandingkan mereka bertiga, tetapi dia
tidak sempat mempertimbangkan lebih banyak lagi. Golok di tangannya berputar, dia
berniat menerjang ke depan dan mengadu jiwa dengan kedua orang dari pihak musuh itu.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang keras dan memekakkan telinga, sesosok
bayangan hitam melesat datang lewat atas kepalanya. Orangnya belum sampai, sebatang
pedang bambu yang ada di tangannya sudah meluncur bagai kilat ke arah laki-laki
bertubuh kekar. Kecepatannya tidak kalah dengan hembusan angin, kekuatan yang
terpancar dari pedang bambu itu dahsyat sekali.
Laki-laki bertubuh kekar dan bercambang lebat itu langsung tergetar mundur dua
langkah oleh serangan yang datangnya mendadak ini.
Kok Hua Hong sendiri segera merasa bebannya jauh lebih ringan karena satu lawannya
sudah tergetar mundur. Semangatnya juga terbangkit kembali. Sepasang lengannya
digetarkan dan pancingannyapun berputaran di udara. Dengan jurus "Bangau
Membentangkan Sayap" dan Im Yang Memutar Arah, sekali gerak dia melancarkan dua
jurus serangan. Saat itu juga bayangan pancingannya bergulung-gulung bagai ombak di
lautan. Laki-laki gemuk pendek berwajah hitam itu juga melihat semangat Kok Hua Hong
sudah terbangkit kembali. Suara yang timbul dari pancingannya menggetarkan hati orang
itu. Untuk sesaat dia malah tidak berani menyambut serangan Kok Hua Hong. Dari
menyerang sekarang dia malah mempertahankan diri. Kakinya mencelat mundur sejauh
lima langkah. Tampak tangannya bergerak ke belakang, terlihatlah cahaya putih yang
berkilauan, sepasang golok yang tersampir di punggungnya sudah dicabut keluar.
Kok Hua Hong tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang kita duel satu lawan satu. Berarti setali tiga uang, pokoknya belum ada yang
rubuh tidak boleh berhenti. Harus bertarung sampai tarikan nafas yang terakhir!"
Pancingannya dihentakkan, dengan sengit dia menyapunya ke depan. Saat itu juga
terlihat cahaya golok berpijar-pijar, bayangan pancingan bergulung-gulung. Keduanya
merupakan pendekar pedang tingkat delapan. Siapapun mencari peluang untuk
melancarkan serangan terlebih dahulu. Dari lambat mereka bertarung, semakin lama
semakin cepat. Setelah sepuluh jurus ke atas, sulit lagi membedakan mana kawan dan
mana lawan. Sementara itu, Ho Tiang Cun sudah melihat jelas orang yang tadi muncul memberikan
bantuan kepada Kok Hua Hong. Rambut serta jenggotnya sudah memutih. Pakaiannya
lusuh serta penuh tambalan. Baik tampang maupun penampilannya menyebalkan. Tangan
kanannya menggenggam sebatang pedang bambu, di pinggangnya tergantung sebuah
hiolo arak. Kalau ditilik dari semuanya ini, mirip dengan si pengemis sakti Cian Cong yang
pernah didengarnya ketika masih di Lam Hay. Oleh karena itu dia segera
memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Apakah si tukang minta-minta tua ini Cian Cong sendiri adanya?" tanyanya datar.
Cian Cong memperlihatkan senyuman yang angkuh.
"Kalau melihat tampang mukamu itu, masih belum pantas kau menanyakan siapa
adanya aku ini!" Selama hidupnya Ho Tiang Cun terkenal orang yangf tinggi hati. Mana pernah dia
menerima penghinaan dari orang lain. Mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong,
saking kesalnya sampai-sampai seluruh tubuhnya bergetar, wajahnya yang jelek berubah
hebat. Sekali lagi dia tertawa dingin. Matanya yang hanya satu ini mengerling ke sana ke
mari. Kemudian dia menatap Cian Cong lekat-lekat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya dan siap melancarkan serangan.
Tentu saja hal itu tak luput dari perhatian si pengemis sakti. Sebenarnya dia sudah tahu
kalau Ho Tiang Cun diam-diam mengerahkan tenaga dalamnya, tetapi ilmunya sangat
tinggi dan nyalinya besar sekali. Dia sengaja menatap ke atas langit seakan merenungkan
sesuatu dan tetap pura-pura tidak menyadari.
Sikapnya yang acuh tak acuh justru membuat orangtua bermata satu itu menjadi
semakin waspada. Dia merasa heran atas ketenangan Cian Cong dan untuk sesaat dia
sempat termangu-mangu. Hatinya menjadi bimbang dan tidak berani langsung turun
tangan. Tiba-tiba terdengar suara siulan yang bening berkumandang semakin lama semakin
mendekat. Dia segera menolehkan kepalanya. Di bawah cahaya rembulan yang redup,
tiba-tiba tampak tiga sosok bayangan berkelebat. Persis seperti kijang yang berlari dengan
kencang mendatangi ke arah mereka. Dia langsung sadar bahwa bala bantuan pihak
lawan sudah berdatangan. Namun dia masih berdiri dengan angkuh tanpa rasa gentar
sedikitpun. Bahkan terdengar suara dengusan dingin dari hidungnya. Tampaknya dia
sangat yakin sekali dengan kekuatan pihaknya.
Pada dasarnya gerakan yang mereka lakukan malam ini memang melalui rencana yang
matang. Apalagi mereka mempunyai mata-mata di bagian dalam yang akan memberikan
pertolongan seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pokoknya mereka telah
dijanjikan akan dilindungi secara diam-diam. Rombongannya ini memang bertugas untuk
memencarkan perhatian pihak lawan sehingga kelompok lain yang menuju ke utara,
selatan dan timur dapat melaksanakan kewajiban mereka dengan lancar. Tujuan mereka
yang terutama adalah merusak tempat pertandingan tersebut dan kalau bisa membunuh
pihak musuh sebanyak-banyaknya. Lebih bagus lagi kalau pihak jago musuh bermunculan
semua di tempat tersebut. Meskipun rombongan Ho Tiang Cun ini hanya terdiri dari tiga orang dan tidak dapat
dibandingkan dengan jumlah orang-orang gagah yang berkumpul di puncak bukit Tok
Liong-hong, yang rata-rata sudah mempunyai nama besar di Tionggoan, tetapi ketiga
orang ini semuanya merupakan tongcu (kepala bagian) dalam perguruan Lam Hay Bun.
Ilmu mereka tinggi sekali. Ho Tiang Cun menjabat tongcu penasehat, kedudukannya tinggi
sekali. Boleh dibilang kedudukan itu hanya di bawah ketuanya sendiri yang menguasai
empat puluh delapan pulau besar kecil. Laki-laki kekar yang berusia setengah baya
bernama Miao Fei Siong itu menjabat sebagai tongcu upacara, dan si gemuk pendek
berwajah hitam merupakan tongcu bagian penyimpanan kitab ilmu silat. Dia juga yang
mengurus para murid Lam Hay Bun serta memperhatikan mereka apabila sedang berlatih.
Seandainya ketiga orang ini digabungkan menjadi satu, walaupun belum dapat dikatakan
jago-jago yang tidak terkalahkan atau sanggup menguasai dunia persilatan, namun sudah
lebih dari cukup untuk menghadapi pendekar pedang tingkat delapan saja. Bagi mereka
tentu bukan masalah yang berat. Oleh karena itu, begitu Ho Tian Cun melihat bala
bantuan dari pihak musuh sudah datang, dia sama sekali tidak merasa gentar. Dengan
tenang dan angkuh dia berdiri tegak di tempat semula.
Terdengar suara bentakan yang keras menyusup ke dalam telinga seiring dengan
hembusan angin. Kok Hua Hong dan Miao Fei Siong sudah terlibat dalam pertarungan
yang sengit. Keadaan kedua orang itu sudah mencapai titik puncak. Mereka sama-sama
mengerahkan segenap kemampuannya dalam menghadapi lawan. Tampak cahaya golok
memijar, bayangan pancingan berkelebat ke sana ke mari. Masing-masing berusaha
mendahului lawannya mencari kesempatan untuk melancarkan serangan yang dahsyat.
Apabila ada salah satu saja yang terpencar sedikit perhatiannya, tentu akan terjadi
pertumpahan, darah atau terkapar mati di atas tanah.
Cian Cong melihat kedua orang itu semakin bertarung semakin sengit, setiap saat
malah ada kemungkinan terjadi hal yang celaka. Meskipun mereka merupakan lawan yang
sebanding, sulit menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Tanpa terasa
sepasang alisnya menjungkit ke atas. Diam-diam dia merasa khawatir akan keselamatan
Kok Hua Hong. Ho Tiang Cun merupakan orangtua yang licik. Melihat perhatian Cian Cong terpencar,
dia segera menggenggam kesempatan emas itu sebaik-baiknya. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun, sepasang telapak tangannya menghantam ke depan. Dua arus tenaga
yang saling susul menyusul terasa begitu dahsyat menerjang ke arah si pengemis sakti
Cian Cong! Serangannya ini dilancarkan dalam kemarahan yang meluap serta pertimbangan yang
matang. Dengan demikan dapat dibayangkan sampai di mana kehebatannya. Hantaman
telapak tangannya sampai menimbulkan suara angin yang menderu-deru, benar-benar
sebuah serangan yang tidak boleh dianggap remeh.
Namun ilmu silat Cian Cong sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Kalau dilihat dari
luar, tampaknya dia tidak mengadakan persiapan sama sekali. Padahal sejak semula dia
sudah mengerahkan tenaga dalam dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang
tidak diinginkan. Ketika Ho Tiang Cun melancarkan serangannya, tiba-tiba tubuh orangtua
itu juga berkelebat. Dalam waktu yang bersamaan, tangan kanannya bergerak membalas
sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya!
Terdengar suara dengusan Ho Tiang Cun yang berat, dia mengempos semangatnya
dan tenaga dalamnya pun di tambah lagi satu bagian. Dengan berani dia menyambut
serangan si pengemis sakti Cian Cong.
Terdengar suara benturan dua gulung tenaga dalam. Blammm! Tubuh mereka samasama
tergetar dan menindak mundur sejauh satu langkah. Ho Tiang Cun langsung
memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Rupanya tenaga dalam si pengemis tua tidak lemah juga!"
Cian Cong tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih, terima kasih. Kau makhluk tua ini juga lumayan."
Mata Ho Tiang Cun yang tinggal sebelah mengedar ke kiri dan kanan. Dia marah sekali
mendengar sebutan Cian Cong pada dirinya.
"Bersilat lidah panjang lebar tidak ada gunanya! Coba kau sambut lagi dua buah
seranganku ini!" Sembari berkata, telapak tangan kirinya diangkat ke atas. Dengan tenaga dalam yang
telah tersalurkan, kembali dia melancarkan sebuah serangan. Segulung angin yang
kencang segera terpancar keluar seiring dengan gerakan tangannya. Kekuatannya bagai
tanah longsor yang menimbulkan suara keras kemudian menghantam ke depan.
Cian Cong melihat serangan lawan kali ini begitu dahsyat, bahkan lebih hebat dari yang
pertama. Sebagai orang yang wataknya keras, tentu saja dia tidak sudi menunjukkan
kelemahannya. Lengan kirinya mengulur ke depan dan diapun menyambut serangan itu
dengan kekerasan. Sekali terdengar suara benturan tenaga dalam yang memekakkan telinga. Dua rangkum
tenaga dalam yang tidak berwujud kembali beradu, pasir dan debu di atas tanah
beterbangan memenuhi udara. Kedua orang itu lagi-lagi tergetar mundur sejauh satu
langkah, rupanya mereka masih sama-sama kuat.
Setelah beradu kekerasan sebanyak dua kali, hawa murni di dalam kedua tokoh berilmu
tinggi ini sama-sama banyak terhambur. Untuk sesaat keduanya berdiri di tempat masingmasing
tanpa bergerak sama sekali, mata mereka dipejamkan rapat-rapat dan segera
mengatur pernafasan agar tenaga dapat pulih kembali secepatnya. Tampak dada mereka
bergerak turun naik menandakan nafas mereka yang tersengal-sengal. Keringat dingin
membasahi kening dan masih terus menetes membasahi seluruh wajah. Dari sini terlihat
bahwa untuk beberapa saat mereka tidak punya tenaga untuk mengadakan perlawanan.
Keduanya menggunakan kesempatan yang terbatas itu sebaik-baiknya. Siapa yang lebih
cepat memulihkan tenaga dalamnya, tentu berhasil memenangkan pertarungan ini.
Usia Ban Jin Bu masih muda dan pengalamannya masih cetek. Selama hidupnya dia
belum pernah melihat pertarungan yang demikian hebat. Setelah Cian Cong dan Ho Tiang
Cun mengadu kekerasan sebanyak dua kali, dia melihatnya sampai terlongong-longong.
Matanya terasa berkunang-kunang. Hatinya berdebar-debar, tetapi dia pernah mendengar
dari mulut beberapa orang Cianpwe bahwa mengadu tenaga dalam dengan cara demikian
menghamburkan banyak hawa murni dalam tubuh. Sekarang dia melihat nafas Cian Cong
tersengal-sengal dan keringat terus mengucur dengan deras. Dia tahu saat ini orangtua itu
tidak sanggup bertarung lagi untuk sementara. Sementara itu laki-laki setengah baya
bertubuh kekar yang berdiri di belakang Ho Tiang Cun bersikap mencurigakan. Sepasang
alisnya menampakkan hawa pembunuhan yang tebal. Matanya menatap lekat-lekat ke
arah Cian Cong. Orang yang bermata awas sekali pandang saja pasti akan mengetahui
bahwa orang itu mempunyai niat yang jahat.
Berpikir sampai di sini, hatinya semakin khawatir. Diam-diam dia berpikir"
"Laki-laki bertubuh tinggi besar ini entah punya maksud apa. Bila dia melakukan sesuatu
yang melanggar peraturan dunia Kang-ouw, dengan membokong secara tiba-tiba.
Cian Locianpwe pasti hanya punya harapan tipis untuk mempertahankan selembar
nyawanya. Kalau aku maju ke depan memberikan bantuan, dengan mengandalkan sedikit
kepandaian yang kumiliki ini, sama saja membenturkan kepala ke batu dan mengantarkan
nyawa dengan percuma. Namun melihat adanya bahaya tetapi diam saja, bukan pula
sikapku pada dasarnya." Pikirannya persis seperti kincir angin yang berputar dengan cepat. Namun belum
sempat ia memutuskan langkah apa yang harus diambilnya, tiba-tiba tampak laki-laki
bertubuh kekar itu menggerakkan tubuhnya ke atas setinggi lima depaan. Di tengah udara
sepasang kakinya berputaran kemudian berjungkir balik dengan kepala di bawah,
orangnya sendiri laksana seekor burung yang menukik turun serta melancarkan sebuah
serangan! Ban Jin Bu melihat serangannya begitu cepat bagai kilat, jantungnya seakan berhenti
berdetak. Serangan orang itu demikian dahsyat. Apabila sampai mengenai si pengemis
sakti Cian Cong, dapat dipastikan nyawa orangtua itu pasti melayang. Kekuatannya paling
tidak mencapai ribuan kati. Keadaan sudah demikian mendesak, tidak sempat lagi Ban Jin
Bu berpikir panjang. Meskipun hatinya masih agak bimbang, namun mulutnya langsung
membentak dengan keras. Lengannya disentak dan tubuhnya mencelat ke udara Dengan
jurus Naga Murka Menerjang Langit, goloknya segera menimbulkan lingkaran bayangan
yang tidak terhitung jumlahnya. De: ngan kecepatan yang tidak terkirakan, dia menerjang
ke arah Miao Fei Siong. Jurus serangannya ini memang sudah sangat hebat, ditambah lagi suasana hati Ban Jin
Bu yang gugup karena ingin menolong orang. Serangannya ini bukan main dahsyatnya.
Dia telah menggunakan segenap kekuatannya dan otomatis pengaruhnya juga ikut
bertambah hebat. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari mulut Miao Fei Siong. Telapak tangannya
menghantam ke depan. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dia sudah berhasil
menghindar dari kilatan golok Ban Jin Bu, posisinya sendiri masih belum berubah, dia
tetap menerjang ke arah si pengemis sakti Cian Cong.
Ban Jin Bu hanya merasa ada serangkum tenaga yang kuat menahan gerakan
goloknya. Dia segera merasa dadanya agak tergetar dan lengannya kesemutan. Golok
pusaka di tangannya melayang seketika. Tubuhnya sendiri terpental sejauh tiga depaan.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untung saja sejak kecil dia sudah mendapat latihan ilmu Silat dengan keras. Dalam
keadaan seperti itu dia tidak menjadi panik. Cepat-cepat dia menarik nafas dalam-dalam
dan merentangkan sepasang lengannya sehingga dengan gerakan yang indah dan
perlahan-lahan dia melayang turun kembali di atas tanah tanpa terluka sedikitpun.
Dia segera memusatkan pandangan matanya. Tampak Miao Fei Siong yang menahan
goloknya dengan kekerasan hanya menjadi jambat sedikit gerakannya, namun dia tetap
menerjang ke arah si pengemis sakti Cian Cong. Jaraknya sudah begitu dekat, andaikata
Ban Jin Bu berniat memberikan pertolongan, rasanya hanya sia-sia saja. Begitu paniknya
hati anak muda ini, sampai-sampai air matanya hampir mengalir keluar. Dia hanya
memandang lekat-lekat sambil menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras.
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang beliung dan nyaring. Kemudian disusul dengan
perangkum angin kencang yang menghempas lewat di atas kepala Ban Jin Bu. Sesosok
bayangan berwarna hitam menerjang cepat ke arah Miao Fei Siong.
Suara tawa yang panjang dan dengusan berat terdengar dalam waktu yang bersamaan,
matanya agak berkunang-kunang. Dua sosok tubuh melayang turun di atas tanah saat itu
juga. Ban Jin Bu segera menenangkan hatinya lalu memusatkan perhatian. Tampak Lok Yang
Sin Kiam Liu Seng sudah menghadang di depan si pengemis sakti Cian Cong. Sepasang
matanya menyorotkan sinar yang dingin. Wajahnya menyiratkan kegusaran yang tidak
terkirakan. Hal ini membuktikan bahwa laki-laki setengah baya yang ilmunya setingkat
dengan pendekar tingkat delapan ini sudah meluap hawa amarahnya karena tindakan
pihak Lam Hay dan Si Yu yang berkali-kali menyerbu ke Tok Liong-hong dengan berani.
Cian Cong masih memejamkan matanya mengatur pernafasan. Tubuhnya tidak
bergerak sama sekali, tetapi bukan berarti dia tidak tahu bahwa ada orang yang mencoba
membokongnya lalu kemudian ada orang pula yang memberikan bantuan kepadanya.
Tiba-tiba dia membuka sepasang matanya dan mendelik ke arah Miao Fei Siong sekilas.
Setelah itu cepat-cepat dia memejamkan matanya kembali.
Sementara itu, dari belakang Ban Jin Bu terdengar suara kibaran pakaian, rupanya Mei
Ling dan Tan Ki juga sudah sampai di tempat tersebut. Dia menolehkan kepalanya
memandang ke arah mereka. "Tan-heng, bagaimana keadaan di puncak bukit?" tanyanya gembira.
Tampaknya hati Tan Ki juga sedang diliputi kegusaran yang tidak terkirakan,
mendengar pertanyaan itu sepasang alisnya langsung mengerut-ngerut.
"Paman Heng Sang Si beserta dua orang pendekar tingkat delapan yang tidak
kuketahui namanya dan ada lagi enam orang pendekar pedang tingkat tujuh yang
menjaga bagian penyimpanan ransum?"
Belum lagi ucapannya selesai, di bagian utara bukit tersebut tiba-tiba terlihat segumpal
cahaya berwarna kemerahan, tingginya mencapai sepuluh depaan sehingga seluruh bukit
bagai diselimuti awan merah. Dilihat dari kejauhan bagai matahari yang berbentuk
setengah lingkaran. Kalau ditilik dari cahaya itu saja, dapat dipastikan bahwa di bagian
tersebut sedang terjadi kebakaran hebat dan rasanya sulit dipertahankan lagi.
Tan Ki memperdengarkan suara tawa yang dingin. Dia menunjuk ke arah kobaran api
dan berkata: "Beginilah akibatnya, meskipun paman Heng Sang Si sudah mempertahankan
bagiannya mati-matian dan sekaligus menghadapi tiga orang lawan, namun rekanrekannya
yang merupakan pendekar pedang tingkat delapan sudah tewas satu sedang
yang lainnya terluka parah. Enam orang dari pendekar pedang tingkat tujuh juga sudah
ada empat yang rubuh. Untung saja Sam Siok Yibun Siu San cepat mendengar kabar dan
segera menyusul tiba. Bagaimana kejadian berikutnya aku tidak tahu lagi. Dengar-dengar
di tempat Tian Bu Cu Locianpwe menutup diri juga sudah terlihat adanya jejak musuh?"
Ban Jin Bu menjadi tertegun beberapa saat mendengar keterangannya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas panjang.
"Kau kira hati giheng-mu ini tidak panik sebagaimana keadaanmu sekarang" Orangorang
dari pihak Lam Hay dan Si Yu yang muncul malam ini bukan golongan kelas teri
atau pesilat murahan. Dari tiap kelompok ada tiga orang, salah satunya pasti mempunyai
ilmu yang tinggi dan sebanding dengan pendekar pedang tingkat sembilan. Aku benarbenar
tidak berani membayangkan bencana apa yang akan terjadi di bagian belakang
bukit. Tetapi paman Yibun sudah mengutus empat orang pendekar pedang tingkat
delapan untuk memberikan bantuan kepada Ciong San Suang Siu?"
Kebetulan pada saat itu Mei Ling sudah memungut golok Ban Jin Bu yang terjatuh di
atas tanah dan menyodorkannya kembali kepada anak muda itu. Sementara itu hati Tan Ki
mengkhawatirkan keadaan mertuanya sehingga ia tidak jadi melanjutkan kata-katanya.
Begitu pandangan matanya dialihkan, di tengah arena terlihat dua pasang manusia
sudah terlibat dalam pertarungan yang sengit. Kok Hua Hong dan Tio Hui sudah bertarung
selama setengah kentungan. Baik sepasang golok maupun bambu pancingan melakukan
penyerangan dengan jurus-jurus yang keji dan cepat. Lama kelamaan, keduanya tetap
mempertahankan diri masing-masing dan berusaha menyimpan tenaga dalam untuk akhir
pertarungan nanti. Di pihak Liu Seng dan Miao Fei Siong, yang satu mengarahkan ilmu pedangnya yang
cepat dan gesit. Sedangkan yang satu menggunakan sepasang senjata berbentuk sayap
burung dan terbuat dari emas. Perhatian keduanya terpusat pada senjata lawan, cara
bertarung mereka agak berlainan dengan Kok Hua Hong yang sedang melawan Tio Hui.
Gerakan mereka jauh lebih lamban. Setiap kali salah satu dari mereka melakukan
penyerangan, yang satunya bertindak mundur dengan perlahan. Seolah-olah mereka
bukan bertarung secara sungguh-sungguh tetapi bagai dua orang yang sedang berlatih.
Namun bagi orang yang mempunyai mata tajam serta berilmu tinggi, tentu tahu bahwa
cara bertarung seperti mereka ini malah lebih banyak menggunakan hawa murni sehingga
keadaannya juga jauh lebih berbahaya apabila dibandingkan dengan duel antara Kok Hua
Hong dengan Tio Hui. Suasana yang tegang meliputi sekitar tempat tersebut. Setiap saat
ada kemungkinan terjadi pertumpahan darah.
Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, nafas Liu Seng maupun Miao Fei Siong mulai
tersengal-sengal. Yang satu matanya merah membara seakan mengandung kobaran api
yang besar. Sedangkan yang satunya mengucurkan keringat terus dan rambutnya seakan
berjingkrakan karena menahan kegusaran hatinya.
Sepasang alis Mei Ling tampak mengerut ketat melihat keadaan itu. Perlahan-lahan dia
menyenggol lengan Tan Ki. "Tan Koko, coba kau lihat apakah keadaan ayah membahayakan?"
Mata Tan Ki memperhatikan jalannya pertarungan tanpa berkedip sekalipun.
"Aku tidak tahu, Yok-hu (ayah mertua) merupakan pendekar pedang tingkat delapan.
Ilmu pedangnya sudah mencapai taraf yang cukup tinggi, tetapi senjata lawannya
berbentuk aneh dan rasanya sudah dilatih sampai matang. Setiap jurus serangannya
mengandung kekejian yang tidak terkirakan. Masing-masing ada kelebihannya tersendiri.
Untuk sesaat sulit menentukan siapa yang lebih unggul."
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang nyaring dan dengusan yang berat dalam waktu
bersamaan, saat itu juga Kok Hua Hong dan Tio Hui sama-sama rubuh di atas tanah.
BAGIAN XLIV Rupanya setelah bertarung sekian lama, Tio Hui yang merasa dirinya mengemban tugas
penting, ingin segera menyelesaikan pertarungan tersebut. Sepasang goloknya berkelebat
ke sana ke mari dengan gencar. Kadang-kadang menangkis kemudian tiba-tiba melakukan
penyerangan. Tampaknya orang itu sudah nekat untuk berduel habis-habisan dengan Liu
Seng. Lama kelamaan Kok Hua Hong menjadi kehabisan sabar, dia menggenggam bambu
pancingannya erat-erat. Segera dikerahkannya jurus Tiga Puluh Enam Kail Pengejar Angin
yang membuatnya terkenal di dunia Kangouw. Tenaga dalamnya yang mengandung
kekuatan ribuan kati dikerahkan secara keseluruhan di tangkai bambu pancingannya,
setiap gerakan mengandung angin yang kencang.
Saat itu juga timbul bayangan pancingannya yang tampak menyapu ke kiri dan kanan.
Pengaruhnya langsung bertambah hebat, pada jarak kurang lebih sepuluh depaan
diselimuti oleh bayangan pancingannya, bahkan tubuh Tio Hui seakan terkurung di
dalamnya. Melihat gerakan senjata Kok Hua Hong tiba-tiba berubah, cahayanya memercik bagai
curah hujan yang deras, Tio Hui merasa ada gelombang dahsyat yang melanda ke
arahnya. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau dia mengerahkan seluruh kekuatannya
menghadapi lawan. Sepasang goloknya langsung diputar, timbullah gulungan hawa dingin
yang menyinarkan cahaya berkilauan, dengan demikian dirinya jadi terlindung dari
serangan Kok Hua Hong. Namun Kok Hua Hong menyerang semakin gencar. Sedikitpun ia tidak memberi
kesempatan bagi Tio Hui untuk menangkis. Hal ini membuat hawa amarah dalam hati Tio
Hui jadi meluap. Dia langsung mengeluarkan suara bentakan yang menggelegar,
lengannya bergerak setengah melingkar. Dengan jurus Delapan Langkah Kembali Kosong,
dia menerjang ke depan tanpa memperdulikan keadaan dirinya yang berbahaya. Tampak
pancingan Kok Hua Hong bergerak cepat menuju pundak kiri Tio Hui. Dalam waktu yang
bersamaan kakinya melangkah maju mendesak ke depan tiga langkah, tahu-tahu dia
sudah sampai di hadapan Tio Hui. Keberanian Kok Hua Hong dalam melakukan serangan kali ini benar-benar di luar
dugaan Tio Hui. Untuk sesaat sempat dia tertegun, sekejap mata kemudian dia
menggerakkan sepasang goloknya menangkis serangan Kok Hua Hong sekaligus menahan
tubuh orang itu yang mendesak ke arahnya. Cahaya goloknya putih bagai salju, hawa
yang terpancar dingin sekali. Dalam serangannya kali ini,, baik kecepatan, waktu,
kekuatan semuanya terpadu dengan baik. Sambil menangkis, dia tetap mencari
kesempatan melukai lawannya. Cahaya golok memijar menyambut datangnya pancingan, dalam waktu sekejap mata
lagi pasti akan saling beradu. Tiba-tiba Kok Hua Hong menghimpun hawa murni dalam
tubuhnya dan merubah gerakannya. Dengan hentakan yang keras dia menarik kembali
pancingannya yang sedang meluncur ke depan. Terdengar suara desiran yang keras,
pancingannya menyapu ke arah golok yang sedang meluncur ke arahnya. Jurus ini begitu
anehnya sehingga orang yang melihatnya sampai terkesima. Hal ini benar-benar di luar
dugaan Tio Hui sendiri. Hatinya tergetar, apabila saat itu dia bermaksud mencelat mundur,
tentu sudah tidak keburu lagi. Tiba-tiba dia merasa pergelangan tangannya tergetar karena sapuan pancingan Kok
Hua Hong. Pangkal lengannya terkoyak dan darah segera menetes jatuh di atas tanah.
Wajah Tio Hui yang hitam langsung berubah hebat, tubuhnya sempoyongan seperti orang
yang habis meneguk arak secara berlebihan. Setelah terhuyung-huyung mundur sejauh
tiga langkah baru dia dapat berdiri tegak kembali.
Perlu diketahui bahwa orang yang satu ini biar bagaimana merupakan salah satu
tongcu dari Lam Hay Bun. Sehari-harinya dia bertugas mendidik para anak murid berlatih
ilmu silat. Dapat dibayangkan bagaimana berwibawanya orang ini di daerah asalnya
sendiri. Kedudukannya sangat tinggi. Belum pernah ada orang yang menghina dia
sedemikian rupa. Sapuan pancingan Kok Hua Hong sempat membuat lengannya terluka,
meskipun tidak parah tetapi justru menimbulkan hawa pembunuhan dalam dirinya. Dia
merasa kejadian ini benar-benar menjatuhkan pamornya. Dia lalu mengeluarkan suara
siulan yang mengandung kegusaran hatinya. Pergelangan tangannya memutar, tiba-tiba
dia mencelat mundur sejauh empat langkah. Dibuangnya golok yang ada di tangan kiri.
Kok Hua Hong mengira dia akan melancarkan serangan, tahu-tahu orang itu malah
mencelat mundur kemudian membuang golok di tangannya. Untuk sesaat dia jadi
tertegun, tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang tokoh tua yang sudah banyak
pengalamannya. Hatinya merasa curiga atas tindakan Tio Hui itu. Diam-diam dia
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, matanya menyorotkan sinar yang tajam dan
berdiri tegak menanti. Justru di saat itulah dia melihat Tio Hui mengibaskan tangan kirinya, dua carik sinar
berwarna keputihan melesat ke depan!
Kok Hua Hong tertawa terbahak-bahak.
"Segala macam besi rongsokan juga dipamerkan!" sindirnya.
Pancingannya segera menyapu ke depan, terdengar suara: Ser! Ser! Sebanyak dua kali.
Disusul dengan suara benturan antara logam dengan batang pancingannya, dua batang
piau yang disambitkan Tio Hui langsung tersampok jatuh oleh kibasan pancingannya.
Tio Hui tertawa dingin. "Yang pertama tadi hanya salam perkenalan saja. Seumpamanya melempar batu
meninjau ke dalam sumur, sekarang boleh kau coba lagi Jarum Emas Pengincar Nyawa ini,
lihat apakah kau masih berani bermulut besar?"
Sembari berkata, tangannya dikibaskan ke depan beberapa kali. Tubuhnya melesat ke
udara dalam waktu yang bersamaan. Di bawah cahaya rembulan yang redup terlihat tiga
titik sinar seperti bintang meluncur, satu menyusul yang lainnya sehingga seperti barisan
yang rapi. Kecepatannya bagai kilat melesat ke arah Kok Hua Hong.
Tiga batang senjata rahasia ini bentuknya kecil sekali, tetapi sinarnya justru berkilauan.
Tiga-tiganya meluncur di udara bagai anak panah, tetapi tidak ada suara sedikitpun yang
terdengar. Diam-diam Kok Hua Hong menduga dalam hati bahwa ketiga batang am gi
(senjata rahasia) tersebut adalah sejenis Bwe Hua-ciam (jarum bunga bwe). Ilmu Kok Hua
Hong sudah cukup tinggi dan namanya juga terkenal di dunia Kangouw, mana mungkin
dia memandang sebelah mata pada senjata rahasia seperti mainan anak-anak ini" Dia
segera mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak, tangannya menghantam ke
depan mengirimkan sebuah pukulan. Tiga titik sinar tadi langsung memental kembali
terkena angin pukulannya yang dahsyat, cahaya keperakan tadi berkilauan beberapa kali
kemudian lenyap ditelan kegelapan. Namun tepat ketika dia menyampok ketiga batang senjata rahasia itu, tiba-tiba di atas
kepalanya terasa angin berdesir, sesosok bayangan menerjang ke bawah dengan
kecepatan yang tidak terkirakan. Rupanya ketika tubuh Tio Hui melesat ke udara, perhatian Kok Hua Hong terpusat
penuh pada tiga batang senjata rahasia yang disambitkan lawan. Dalam benaknya saat itu
hanya tertinggal sedikit kesan pada orangnya sendiri. Sekarang begitu tahu lawannya
masih melayang di tengah udara dan dia baru saja menyampok tiga batang senjata
rahasia tersebut, ingatannya masih belum tenang sama sekali. Dengan licik Tio Hui sudah
memperhitungkan segalanya. Dia tahu Kok Hua Hong pasti belum mengadakan persiapan,
cepat-cepat dia mengibaskan tangannya sekali, dua puluh empat batang paku beracun
diluncurkan dalam perbedaan waktu sekian detik. Tubuhnya yang di tengah udara
menghentakkan kakinya keras-keras dan menerjang ke bawah secepat kilat.
Kejadiannya cepat sekali. Baru saja Kok Hua Hong sadar akan datangnya marabahaya,
dua puluh empat batang paku beracun sudah mengincar semua bagian tubuhnya.
Luncuran senjata rahasia itu begitu pesat. Ketika dia mendongakkan wajahnya, jaraknya
hanya tinggal tujuh belasan centi. Kali ini serangan Tio Hui benar-benar beda dengan yang
tadi. Senjata rahasia itu bagai mempunyai mata yang mengincar setiap bagian yang
berbahaya, suara yang timbul terdengar berdesir-desir. Pandangan mata Kok Hua Hong
seakan dipenuhi paku beracun tersebut, sedangkan waktunya sudah demikian sempit
untuk menghindar. Dalam keadaan yang demikian gawat, mungkin seorang pendekar pedang tingkat
sembilan pun sulit menghindarinya, apalagi Kok Hua Hong yang ilmunya lebih rendah
sedikit dan baru terhitung pendekar tingkat delapan. Untung saja pengalaman dan
pengetahuannya cukup luas. Dia maklum bahwa pada saat seperti ini waktu sangatlah
berharga. Seandainya dia bisa menggenggam sedikit kesempatan sebelum paku-paku
beracun itu mengenainya, mungkin saja masih ada peluang untuk menyelamatkan diri dari
maut. Cepat-cepat dia gelindingkan tubuhnya di atas tanah dan bergulingan beberapa kali,
kemudian dia mencelat ke samping sejauh lima langkah. Baru saja tubuhnya bergerak, dia
merasa pundak kiri dan pinggang kirinya terasa kesemutan. Dia langsung tahu bahwa
bagian tersebut sudah terkena serangan paku beracun tersebut. Namun Kok Hua Hong
termasuk seorang tokoh yang gagah berani juga keras kepala, dia tidak mengeluh
sedikitpun, tubuhnya yang baru saja terjerembab di atas tanah langsung bangkit kembali
dengan tumpuan tangannya. Baru saja berhasil berdiri tegak, dia langsung merasakan kepalanya berat dan matanya
mulai berkunang-kunang, sedangkan dari atas kembali ada serangkum angin kencang
yang menerpa ke bawah. Kok Hua Hong mengangkat matanya sedikit untuk memandang. Tanpa dapat ditahan
lagi sepasang alisnya mengerut ketat. Dia sadar Tio Hui yang licik kembali menggunakan
kesempatan ketika dia terkena paku beracun untuk menyerangnya kembali. Memang
orang itu pandai sekali memperhitungkan setiap kemungkinan, sedangkan posisi Kok Hua
Hong kurang menguntungkan. Ke manapun dia menghindar, tubuh Tio Hui yang ada di
udara tetap saja dapat menyerangnya dengan telak.
Untuk sesaat hawa amarah dalam dadanya meluap-luap, dia jadi jengkel melihat Tio
Hui yang seakan tidak memberi kesempatan hidup sedikitpun kepadanya. Tanpa berpikir
panjang lagi, dia langsung bertekad mengadu jiwa. Dengan jurus Api Berkobar Menjulang
ke Atas Langit, tampak bayangan pancingannya bergulung-gulung. Ia menyapu dengan
keras ke dada Tio Hui yang sedang meluncur turun itu.
Tiba-tiba tangan Tio Hui terulur, tubuhnya meluncur makin cepat ke bawah. Dengan
ringan dia berhasil menangkap pancingan Kok Hua Hong. Dalam waktu yang bersamaan
telapak tangannya yang satu lagi mengulur ke depan dengan kerahan tenaga seberat
ribuan kati dan serangan itu ditujukan ke arah ubun-ubun kepala Kok Hua Hong.
Serangannya kali ini keji bukan main, tenaganya hebat dan suara pukulannya menderuderu.
Jelas dia berniat menghabisi nyawa Kok Hua Hong sehingga serangan yang
dilancarkannya sama sekali tidak dapat dianggap remeh.
Meskipun Kok Hua Hong sudah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa namun
melihat serangannya yang keji itu, mau tidak mau hatinya tercekat juga. Cepat-cepat dia
miringkan kepalanya, lengan kirinya mengulur ke depan dalam waktu yang bersamaan,
telapak tangannya ditekuk sedikit membentuk cakar dan secepat kilat dia mencengkeram
pundak kiri Tio Hui. Terdengar suara siulan marah dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan.
Pundak kiri Kok Hua Hong yang sudah terkena paku beracun kembali terkena
hantamannya sehingga tulang bagian itu remuk seketika. Saat itu juga ia memuntahkan
darah segar, tubuhnya terkulai di atas tanah. Meskipun dia sudah terluka parah, namun
cengkeramannya pada pundak Tio Hui sama sekali tidak dilepas, malah bertambah erat.
Dengan gerakan yang tidak kalah keji, dia menghentak keras-keras jari tangannya. Di
bawah cahaya rembulan yang redup, tampak darah memercik ke mana-mana. Pada


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian di mana jari tangan Kok Hua Hong mencengkeram, terlihat segumpal daging yang
besar tergenggam erat-erat. Rupanya orang itu benar-benar sudah marah sehingga tanpa
kepalang tanggung dia mencengkeram daging di pundak Tio Hui sehingga terkoyak
sepotong besar. Tepat pada saat itu juga Kok Hua Hong sendiri ikut jatuh tidak sadarkan
diri di atas tanah. Pertarungan kali ini benar-benar sengit dan merupakan duel maut. Kedua belah pihak
sama-sama terluka. Namun kalau dibandingkan sudah pasti luka Kok Hua Hong jauh lebih
parah. Paku beracun yang mengenai pundaknya malah mendesak ke dalam karena
hantaman Tio Hui. Kemungkinan besar malah tertancap di tengah-tengah tulang yang
remuk. Rasanya paku beracun itu tidak mudah dikeluarkan lagi.
Sementara itu, tampak si pengemis sakti Cian Cong membuka sepasang matanya. Dia
seperti menggumam seorang diri. "Sungguh cara turun tangan yang keji! Selama hidup si pengemis tua ini entah sudah
membunuh berapa banyak orang. Segala kelicikan juga sudah pernah kutemui, tetapi
kalau dibandingkan, masih jauh sekali dengan tindakan saudara-saudara ini!"
Tiba-tiba di belakang punggungnya terasa angin berdesir, cepat-cepat dia menolehkan
kepalanya melihat. Tampak Tan Ki, Mei Ling dan Ban Jin Bu berlari dengan tergesa-gesa
ke arah Kok Hua Hong. Melihat adanya mereka yang mengawasi Kok Hua Hong, hati Cian Cong menjadi agak
tenang. Pandangannya dialihkan kepada Ho Tiang Cun.
"Makhluk tua, apakah kau sudah selesai mengatur pernafasanmu?"
Ho Tiang Cun langsung tertawa lebar. Sepasang matanya juga membuka kembali.
"Terima kasih atas perhatian Cian-heng, hengte sejak tadi sudah pulih kembali."
"Bagus sekali. Kalau begitu kita boleh bertarung lagi sebanyak tiga ratus jurus!"
Terdengar suara angin berhembus, dengan posisi tangan menahan di depan dada, si
pengemis sakti melancarkan sebuah serangan.
Tampak Ho Tiang Cun menggeser tubuhnya perlahan-lahan, dalam sekejap mata dia
sudah berhasil menghindarkan diri. Tangan kanannya bergerak dalam waktu yang
bersamaan dan dikirimkannya sebuah serangan balasan.
Kedua orang itu yang satu maju yang lainnya mundur. Masing-masing sudah
mengerahkan sebuah serangan. Bila dilihat dari luar sepertinya tidak ada keistimewaan
apa-apa, padahal dalam setiap serangan terkandung Lwekang sejati dan perubahannya
yang membahayakan posisi lawannya. Kalau bukan orang berilmu tinggi yang mempunyai
pandangan awas, tentu sulit menemukan kehebatan serangan mereka masing-masing, di
mana dalam setiap perubahan terkandung lagi perubahan lainnya.
Telapak tangan Cian Cong mengulur ke depan dan dikibaskannya angin pukulan Ho
Tiang Cun. Dia lalu bersiap-siap melancarkan sebuah serangan lagi, niatnya ingin
menyelesaikan pertarungan tersebut secepat-cepatnya. Tiba-tiba telinganya mendengar
suara teriakan Tan Ki, "Cian Locianpwe, cepat ke mari! Keadaan Tian Tai Tiau-siu genting
sekali!" Cian Cong jadi tertegun. Cepat-cepat dia mencelat mundur sejauh tujuh langkah,
dengan demikian apabila Ho Tiang Cun tiba-tiba mengirimkan sebuah pukulan, dirinya
tidak akan terjangkau. Setelah itu baru dia menolehkan kepalanya ke arah Tan Ki.
"Bagaimana keadaan si tua Kok Hua Hong itu?"
Tampak wajah Tan Ki menyiratkan kepanikan.
"Dia terkena pukulan musuh sehingga tulang.pundaknya remuk, ditambah dengan dua
batang paku beracun yang mengenai pundak serta pinggangnya. Justru paku beracun itu
sekarang sudah melesak ke dalam dan ujungnya pun tidak kelihatan sehingga Boanpwe
tidak berhasil mencabutnya keluar!"
Cian Cong terkejut sekali mendengar kata-katanya, dia langsung menghentakkan kaki
di atas tanah keras-keras. "Dasar kutu busuk! Sudah tahu paku-paku itu beracun, mana boleh sembarangan
dicabut keluar. Kalau dipaksakan juga racun itu akan bertambah cepat kerjanya.
Seandainya berhasil kau cabut tadi, kemungkinan besar nyawa si tua Kok Hua Hong itu
sekarang sudah melayang ke surga!"
"Ilmu senjata rahasia yang dilatih oleh Tio Tongcu semuanya hebat tidak tertandingi.
Paku beracun yang digunakannya dilumuri dengan tiga belas jenis rumput yang paling
ganas racunnya. Sembilan hari direndam kemudian sembilan hari dijemur. Pengaruh racun
itu boleh dibilang, lihat darah langsung bekerja. Kalau kau, si tukang minta-minta ini, ingin
menolong dia, satu-satunya jalan hanya dalam waktu tiga kentungan menemukan tiga
belas jenis obat yang dapat menawarkan rumput-rumput beracun tersebut. Asal dia
minum semuanya sekaligus, baru bisa disembuhkan. Obat-obatan biasa-biasa saja tidak
ada gunanya. Satu racun dapat dibasmi, masih ada dua belas racun jenis lainnya. Oleh
karena itu, biarlah lohu berbaik hati menasehati kalian agar jangan meneruskan impian
kosongmu itu!" tukas Ho Tiang Cun sambil cengar-cengir.
Cian Cong mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
"Racun keluaran Lam Hay Bun tiada duanya di dunia ini, bahkan konon tidak ada obat
penawarnya. Tetapi perlu kalian ketahui bahwa daerah Tionggoan justru kaya dengan
berbagai obat-obat mujarab yang khusus menawarkan racun, walau dari jenis yang paling
berbahaya sekalipun. Kalau kau tidak percaya, tunggulah barang sepenanakan nasi, si
pengemis tua akan membuka matamu lebar-lebar agar kau lihat betapa luasnya dunia ini.
Semacam obat yang biasa-biasa saja namun pengaruhnya mengejutkan." dia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling kemudian berhenti pada diri Liu Seng yang
sedang bertarung melawan Miao Fei Siong. Diam-diam dia meninjau jalannya pertarungan
di antara kedua orang itu. Setelah itu baru dia menggapai tangannya memanggil Tan Ki.
"Bubuk penyelamat nyawa penyambung tulang yang kau miliki cukup untuk
menyembuhkan luka Kok Lau Tao alias si tua bangka Kok. Mungkin malah bisa menambah
tenaga dalamnya, dari bencana berbalik menjadi beruntung. Tampaknya pertarungan
antara mertuamu dengan laki-laki tinggi besar itu masih bisa bertahan. Sedangkan orang
yang dipanggil Tio Tongcu itu kalau ditilik dari keadaan lukanya, untuk sementara pasti
tidak sanggup bertarung lagi. Kalian juga tidak perlu menyesakkan tempat ini lebih lama
lagi, lebih baik kalian kembali ke puncak bukit memberi bantuan kepada yang lainnya!"
Mula-mula Tan Ki agak bimbang, dia mendongakkan kepalanya memperhatikan
pertarungan antara Liu Seng dengan si laki-laki bertubuh kekar. Ternyata mertuanya lebih
banyak menyerang daripada mempertahankan diri. Hal ini membuktikan bahwa keadaan
orangtua itu sedang di atas angin dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan, oleh karena itu
hatinya pun menjadi lega. Setelah mengiakan, dia mengajak Ban Jin Bu dan Mei Ling
kembali ke puncak bukit. Di bawah cahaya rembulan yang redup tampak tiga sosok bayangan berlari bagai
terbang. Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di puncak bukit Tok Liong Hong.
Begitu pandangan mata dipusatkan, tampak di luar ruangan pertemuan mayat-mayat
berserakan, ada yang lengannya putus dan darah berceceran di mana-mana, sungguh
suatu pemandangan yang menyeramkan, tanpa sadar hati mereka menggidik dan bulu
kudukpun ikut meremang melihat keadaan tersebut.
Tan Ki mengenali bahwa mayat-mayat tersebut adalah para tamu dari dunia Bulim yang
ikut meramaikan perebutan Bulim Bengcu kali ini. Diantaranya yang tiga orang malah
merupakan pendekar pedang tingkat tujuh. Ketika matanya menelusuri mereka satu per
satu, dia tidak melihat seorang asingpun di antaranya. Kecuali mayat-mayat yang
berserakan itu, ternyata seluruh ruangan sunyi senyap sehingga tidak terdengar sedikit
suarapun. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alis Tan Ki menjungkit ke atas.
"Mari kita pergi! Kita harus memeriksa bagian penyimpanan ransum!" suaranya begitu
berat, nadanyapun tegas sekali, hal ini membuktikan bahwa hawa amarah dalam dadanya
telah benar-benar meluap. Tiba-tiba Mei Ling menghentikan langkah kakinya, tampaknya perempuan itu sedang
digelayuti suafcu pikiran yang berat.
"Tan Koko, lebih baik kita lihat dulu bagaimana keadaan ibu." katanya nada lirih.
Mula-mula Tan Ki tertegun, kemudian dia sadar Mei Ling pasti mengkhawatirkan
keselamatan ibunya. Tanpa terasa dia langsung mengembangkan seulas senyuman.
"Ibu juga putri seorang pesilat yang terkenal, nyalinya besar dan jiwanya tidak kalah
gagah dengan kaum laki-laki. Beberapa tahun ini beliau mendapat didikan lagi dari paman
Yibun Siu San, rasanya lebih dari cukup untuk membela diri saja. Kau tidak perlu khawatir,
lagipula bagian penyimpanan ransum penting sekali bagi para tamu yang hadir di Tok
Liong Hong kali ini. Kalau sampai pihak Lam Hay maupun Si Yu membakarnya, masa
besok pagi kita semua harus merebutkan kedudukan Bu-lim Bengcu dengan perut
kosong?" Seraya berkata, dia mendahului yang lainnya berlari ke depan. Gerakannya bagai
seekor kuda liar yang lepas kendali, setiap kali mencelat, jaraknya sampai sejauh lima
enam de-paan. Liu Mei Ling dan Ban Jin Bu saling lirik sekilas. Tanpa sempat berkata-kata
lagi, mereka langsung mengikuti di belakang Tan Ki. Kurang lebih sepenanakan nasi
kemudian, mereka sudah melihat kobaran api di bagian depan. Cahayanya berwarna
merah membara dan suara peletekan terdengar seiring dengan hembusan angin. Wajah
setiap orang dan rumah-rumah darurat yang didirikan di tempat tersebut jadi menyala
terang. Dua ratus lebih tamu-tamu yang hadir di Tok Liong-hong membagi diri mereka
menjadi tiga baris dan saling mengoperkan ember-ember untuk memadamkan api
tersebut. Wajah mereka tampak kelam sekali, kecuali suara desiran angin, tidak ada suara
lainnya yang terdengar. Ketika ketiga orang itu sampai di hadapan bagian penyimpanan ransum, tiba-tiba
telinga mereka mendengar suara jeritan yang menyayat hati. Begitu melengkingnya
sampai memecahkan keheningan malam. Mereka segera mengalihkan pandangannya,
seorang laki-laki berusia lanjut rubuh terkulai di atas tanah setelah mengeluarkan suara
jeritan ngeri tadi. Mulutnya terus menerus memuntahkan darah segar dan sekejap waktu
saja nyawanya sudah melayang. Tan Ki segera mengenali orangtua tersebut adalah salah satu dari pendekar pedang
tingkat tujuh yang ambil bagian dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini. Bahkan Yibun Siu
San pernah menyatakan rasa kagumnya terhadap orang ini. Hatinya tercekat, rasa
terkejutnya tak perlu ditanya lagi.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, dia baru melihat di samping kiri orangtua
yang mati itu, kira-kira berjarak tiga tindak, berdiri seorang laki-laki berwajah tenang dan
berpakaian putih dari bahan yang agak kasar. Tangannya menggerak-gerakkan sebatang
kipas dan usianya kurang lebih lima puluh tahunan. Sikapnya yang kalem itu hampir
membuat orang tidak percaya bahwa dia baru saja membunuh seseorang. Bibirnya malah
mengembangkan seulas senyuman yang riang.
Di belakang laki-laki setengah baya yang tenang ini, berdiri seorang tosu dan seorang
nyonya berusia pertengahan. Ingatan Tan Ki sangat tajam, sekali lihat saja dia sudah
mengenali mereka sebagai Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio yang pernah menculik Mei Ling.
Wajah Lu Sam Nio yang jeleknya tidak kepalang tanggung itu paling sulit dilupakannya.
Mengingat kejadian tempo hari yang mengakibatkan Mei Ling kehilangan kesadarannya,
hawa amarah dalam dada Tan Ki meluap seketika. Dia mendelikkan matanya lebar-lebar
kepada kedua orang itu. Beberapa saat kemudian baru dia mengalihkan pandangannya.
Diam-diam dia memperhitungkan kekuatan yang ada di pihaknya. Kalau ditilik dari
beberapa mayat yang tergeletak di atas tanah, ada beberapa yang merupakan pendekar
pedang tingkat delapan. Biarpun dia belum menyaksikan dengan kepala sendiri sampai di
mana tingginya ilmu orang itu, tetapi dia sudah membayangkan bahwa kepandaian si lakilaki
setengah baya yang terus tersenyum simpul itu sama sekali tidak dapat dipandang
ringan. Tampak Heng Sang Si memimpin belasan orang jago dan berdiri membentuk setengah
lingkaran dengan senjata masing-masing di tangan. Wajah setiap orang menyiratkan
kegusaran yang tidak terkirakan, alis mereka menyorotkan hawa pembunuhan yang tebal:
Tampaknya setiap saat ada kemungkinan bisa meledak.
Udara yang diliputi amis darah yang tebal membuat suasana semakin mencekam.
Bintang-bintang mengerjap samar-samar seakan ikut merasa pilu, cahayanya menyoroti
mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah. Hati mereka yang memandangnya ikut
merasa ngeri. Angin yang dingin berhembus, perasaan Tan Ki serta yang lainnya bergidik,
bulu kudukpun meremang semua. Perlahan-lahan Mei Ling menghembuskan nafas panjang, nadanya sendu sekali, "Tan
Koko, lihatlah mayat-mayat yang berserakan di atas tanah itu, kasihan sekali bukan" Aku
benar-benar tidak berani membayangkan bahwa perasaan keluarga mereka apabila
mendengar berita kematian sanak saudaranya ini."
"Golongan sesat tengah merajalela, mereka berusaha menguasai daerah Tionggoan
kita. Ketiga orang ini gugur sebagai pahlawan yang mempertahankan negaranya, mereka
mati dengan gemilang. Tidak ada yang perlu disesalkan. Aku rasa, keluarga mereka
bahkan merasa bangga. Apa yang akan terjadi kelak bukan hal yang dapat diduga oleh
kita semua. Kau juga tidak perlu membayangkan hal yang jauh-jauh."
Meskipun mulutnya berkata, tetapi sepasang matanya yang menyorotkan sinar tajam
menatap gerak-gerik si laki-laki setengah baya dengan penuh perhatian. Dia malah tidak
menolehkan kepalanya. Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat. Seseorang
menerjang keluar ke tengah arena. Dia adalah seorang tua yang punggungnya sudah
membungkuk dan mengenakan pakaian dari bahan kasar. Saat ini dia berdiri di hadapan
laki-laki setengah baya itu dan wajahnya menyiratkan kebimbangan. Jaraknya dengan
orang itu masih kurang lebih tiga langkah.
Laki-laki setengah baya itu menggerak-gerakkan kipasnya dengan santai. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyuman. "Apakah kau juga terhitung pendekar pedang tingkat delapan?" tanyanya tenang.
Dua kali berturut-turut orangtua bungkuk itu mendengus berat. Dengan angkuh dia
menyahut, "Lohu sendiri belum menanyakan nama Saudara yang mulia."
Laki-laki setengah baya itu tertawa makin lebar.
"Pertemuan kita ini hanya sepintas lalu, sama-sama belum saling mengenal secara
mendalam, untuk apa menanyakan nama segala" Kita toh bukan ingin menjalin hubungan
sebagai mertua dan menantu, buat apa membuat lidah menjadi kaku. Sayang sekali cayhe
tidak mempunyai seorang putri. Seandainya ada, tentu dengan senang hati
mempersembahkannya kepadamu supaya dapat dijadikan istri."
Mendengar ucapannya yang berupa sindiran tetapi dikatakan dengan tersenyum simpul,
saking kesalnya orangtua itu sampai mendelikkan matanya lebar-lebar. Rambutnya yang
sudah penuh uban seperti berjingkrak semua ke atas, sepasang lengannya yang sedang
berkacak di pinggang seakan mengembung satu kali lipat.
Si laki-laki setengah baya tersebut melihat orang mengerahkan tenaga dalamnya secara
diam-diam, tampaknya sudah siap melancarkan serangan setiap saat. Dia segera
mengatupkan kipasnya dan senyumannya pun sirna seketika. Sepasang matanya yang
menyorotkan sinar tajam menatap lekat-lekat pada diri si orang tua berpunggung bungkuk
tersebut. Pada dasarnya laki-laki setengah baya ini berilmu sangat tinggi. Pengetahuan maupun
pengalamannya luas sekali. Melihat telapak tangan si orangtua bungkuk luar biasa
besarnya dan jauh dibandingkan dengan orang lain, belum lagi warnanya yang kehitamhitaman
itu, dia langsung maklum bahwa orangtua ini menghabiskan waktu yang banyak
khusus untuk melatih ilmu pukulan. Kalau bukan Ang Sa-Ciang (Telapak pasir merah),
kemungkinan Hek Sa-ciang (Telapak pasir hitam) yang biasanya mengandung racun keji.
Pokoknya sepasang telapak tangannya itu sudah direndam berbagai jenis obat-obatan
karena kukunya pun berwarna hitam. Tan Ki berdiri diam-diam di samping keduanya. Tiba-tiba dia melihat senyuman si lakilaki
setengah baya sirap seketika, sikapnya menjadi serius tidak terkirakan, tidak
mengucapkan sepatah katapun. Hatinya merasa heran dan curiga. Tiba-tiba terdengar
suara bentakan yang lantang, pukulan menimbulkan suara menderu-deru. Rupanya si
orangtua bungkuk sudah mulai melancarkan serangan, suara tadi timbul dari pukulannya
yang dahsyat. Si laki-laki setengah baya mengibaskan kipasnya sehingga terbuka kembali. Dengan
jurus Memuja Bunga Hati, dia membalas serangan orangtua itu dengan serangan pula.
Terasa serangkum angin kencang menerpa datang, tenaganya yang kuat menerjang ke
arah si orangtua bungkuk. Tenaga dalam orang ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, jurus yang
dikerahkannya juga sangat matang. Hal ini membuktikan bahwa dia sudah berlatih keras
selama ini. Ketika dia menggerakkan kipasnya, yang terlihat justru jurus yang tidak ada
keistimewaan apa-apa, namun sebetulnya mengandung kecepatan yang keji, bayangannya
bergulung-gulung dan suara yang ditimbulkannya pun menderu-deru.
Justru pada detik-detik ketika pukulan keduanya hampir berlalu, si orangtua bungkuk
merasa tenaga dalam yang terkandung dalam serangan si laki-laki setengah baya begitu
dahsyatnya sehingga bagai jarum emas yang menusuk tajam. Bahkan gulungan tenaganya
sendiri sampai terterobos dan hal ini membuatnya terkejut setengah mati. Dia benar-benar
tidak menyangka kekuatan lawan jauh lebih hebat dibandingkan dirinya sendiri. Cepatcepat
dia menggeser tubuhnya sedikit dan menggerakkan tangannya ke samping,
otomatis dia tidak berani menyambut serangan laki-laki setengah baya itu dengan
kekerasan. Satu jurus sudah berlalu. Keduanya masih belum bergebrak secara sungguh-sungguh,
namun sukma si orangtua bungkuk seakan sudah melayang karena terkesiap melihat
tingginya ilmu lawan. Keadaannya sudah di bawah angin. Dari serangan yang pertama
saja dia sudah dapat membayangkan bahwa kepandaian si laki-laki setengah baya jauh
lebih hebat dibandingkan dengan ilmunya sendiri.
Begitu perhatiannya dipusatkan, entah sejak kapan si laki-laki setengah baya sudah
merentangkan kipasnya kembali. Dia menggerakkan dengan perlahan-lahan seolah-olah
seseorang yang sedang menikmati pemandangan dengan santai. Wajahnya merekahkan
senyuman yang lebar, sikapnya begitu tenang seakan tidak sedang berhadapan dengan
musuh atau sedang bertarung dengan lawan.
Siapa tahu perasaan si orangtua bungkuk ini memang angkuh dan mudah tersinggung.
Melihat orang berdiri menggoyangkan kipasnya sambil tersenyum simpul, dia langsung
mengira si laki-laki setengah baya itu sedang mengolok-olok dirinya dan memandang
rendah kepadanya. Hawa amarah dalam dadanya jadi meluap, rasa malu dan benci
berbaur menjadi satu. Saat itu juga mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang lantang,
tubuhnya bergerak mencelat ke udara. Tampak sepasang lengannya terentang ke depan
dan menimbulkan bayangan bagai bunga salju yang berderai. Dia melancarkan serangan


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gencar, secara berturut-turut dia mengerahkan enam belas jurus.
Laki-laki setengah baya itu mendengus dingin. Dia segera menghimpun hawa murninya
dan kipas di tangannya dikibaskan. Segulung cahaya berwarna putih langsung tampak
berkilauan, dengan gesit dan lincah dia menyambut serangan si orangtua bungkuk.
Pertarungan antara dua tokoh kelas tinggi ini berlangsung dengan sengit. Mati dan
hidup dapat ditentukan setiap saat. Di bawah cahaya rembulan yang semakin redup,
tampak telapak tangan membentuk bayangan yang tidak terkira banyaknya, sedangkan
kipas di tangan si laki-laki setengah baya berkelebat ke sana ke mari sehingga
menimbulkan cahaya yang berpijar-pijar. Suara angin yang timbul dari serangan kedua
orang itu berdesiran, rumput-rumput melambai-lambai. Debu-debu beterbangan. Dalam
waktu yang singkat bayangan tubuh kedua orang itu sulit lagi dibedakan. Bahkan orangorang
yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak dapat lagi menentukan yang mana
kawan yang mana lawan. Mata mereka berkunang-kunang. Mereka sampai menahan nafas
saking tegangnya, juga ada sebagian yang mengkhawatirkan keselamatan rekan masingmasing.
Sementara itu, Ban Jin Bu berjalan menghampiri Tan Ki. Dengan perasaan ingin tahu
dia bertanya, "Tan-heng, coba kau perhatikan, siapa yang akan memenangkan
pertarungan kali ini?" Tan Ki memalingkan kepalanya dan melirik Ban Jin Bu sekilas. Bibirnya bergerak-gerak
seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia batalkan. Dia hanya tertawa getir
sambil menggelengkan kepalanya, namun tidak memberikan sahutan sedikitpun.
Ban Jin Bu jadi tertegun. Hatinya semakin penasaran.
"Tan-heng, tampaknya sedang banyak pikiran yang mengendap dalam bathinmu.
Bolehkah kau memberitahukannya kepada siau-te sehingga kita dapat membahasnya
bersama-sama?" Tan Ki menarik nafas panjang satu kali.
"Coba kau perhatikan baik-baik, bagaimana menurut pendapatmu ilmu laki-laki
setengah baya itu?" "Jurus serangan yang dilancarkan orang ini selalu mengandung kedahsyatan yang keji.
Ilmunya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, rasanya lebih tinggi dari pendekar
pedang tingkat delapan. Kemungkinan besar sebanding dengan si pengemis sakti Cian
Locianpwe, Yibun Siu San maupun Lok Hong. Meskipun ilmu silat si orangtua bertubuh
bungkuk itu lumayan juga, tetapi kalau dibandingkan dengan si laki-laki setengah baya itu,
rasanya masih terpaut jauh. Setelah ratusan jurus, kemungkinan besar dia akan terkena
serangan orang itu sehingga terluka parah."
Mendengar kata-kata Ban Jin Bu yang persis sama dengan dugaan hatinya sendiri,
pikiran Tan Ki semakin ruwet. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya menjungkit ke
atas. "Justru hatiku sejak tadi merasa tidak tenang karena telah mempunyai pandangan yang
sama. Perlu kau ketahui bahwa dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini, meskipun lima
partai besar yang hadir, tetapi para pesilat yang lain jumlahnya cukup banyak. Bahkan
mereka terdiri dari golongan sesat dan lurus. Saat ini semuanya berkumpul di puncak bukit
Tok Liong-hong. Aku selalu menganggap dengan adanya orang-orang yang mempunyai
nama besar ini, pihak Lam Hay dan Si Yu pasti tidak berani berbuat macam-macam.
Apalagi sebagian besar dari orang yang hadir ini mempunyai ilmu yang tinggi. Namun
dugaanku ternyata salah besar, boleh dibilang hari ini mataku benar-benar terbuka. Pihak
musuh hanya mengirim empat kelompok orang yang jumlah keseluruhannya tidak lebih
dari tiga belas orang, tetapi mereka sanggup membuat kocar-kacir para pendekar pedang
tingkat delapan sehingga bertarung sampai mengadu jiwa. Berapa banyak korban dari
pihak kita yang jatuh" Keadaan yang memalukan ini sudah cukup membuktikan bahwa
pihak Lam Hay dan Si Yu merupakan musuh yang tidak dapat dianggap enteng. Para
pendekar dari Tionggoan seolah menjadi bahan permainan bagi mereka. Kelompok ini
masih terhitung jago kelas dua di wilayah mereka, sedangkan pemimpin yang sebenarnya
masih belum muncul. Kecuali kita bergabung dengan lima partai besar, rasanya dalam
satu hari saja Tok Liong-hong ini sanggup diratakan jadi tanah oleh pihak mereka."
Ban Jin Bu menarik nafas perlahan-lahan.
"Baik bakat maupun kecerdasan Tan-heng, memang melebihi orang lain. Siaute benarbenar
mengaku tidak sanggup menandingi. Tetapi ada satu hal yang membuat siaute tidak
habis pikir, kalau Tan-heng sejak semula sudah mempunyai pandangan demikian,
mengapa tidak berusaha memberitahukan Cian Lo-cianpwe atau sam-siokmu, setidaknya
mereka bisa menyediakan payung sebelum hujan?"
Tan Ki tertawa getir mendengar pertanyaannya.
"Urusan ini memang mudah kalau dibicarakan, tetapi pelaksanaannya justru sulit tidak
terkirakan. Lima partai besar terletak di wilayah yang berjauhan. Apabila mengutus orang
mengirimkan undangan, perjalanan pulang pergi saja mungkin lebih dari setengah bulan.
Air yang jauh tidak mungkin memadamkan api yang dekat. Seandainya menunggu sampai
pihak lima partai besar berdatangan, pasti semuanya sudah terlambat. Kecuali kalau Siau
Lim, Bu Tong, Kun Lun, Cing Ceng dan Go Bi selalu mengirimkan muridnya untuk
menyelidiki keadaan di dunia Kangouw, dan pada saat ini mereka sudah mendengar kabar
serta mengirimkan jago-jagonya untuk memberikan bantuan ke mari. Kalau benar
demikian, tentu tidak banyak waktu yang terbuang, dan kedatangan mereka tepat
waktunya sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang demikian mengerikan."
Berbicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara siulan yang bening memecahkan
keheningan malam. Otomatis kata-kata Tan Ki jadi terhenti, cepat-cepat dia mengalihkan
panda ngan matanya. Tampak Heng Sang Si sedang menggerakkan tubuhnya mencelat ke
udara setinggi tiga empat depa dan dia menerjang ke tengah arena.
Gerakan tubuh orang itu bagai seekor rajawali sakti yang mementangkan sayapnya
dengan lebar, kecepatannya bagai kilat. Ketika tubuhnya masih melayang di tengah udara,
senjatanya telah dikeluarkan, sepasang bola besi itu menimbulkan bayangan berwarna
kehitaman dan menyapu datang dengan dahsyat.
Hampir bersamaan dengan senjata Heng Sang Si yang meluncur ke depan, terdengar
suara jeritan ngeri yang menggidikkan hati. Disusul dengan sesosok tubuh yang terpental
di tengah udara dan berputaran dua kali sebelum menghempas keras di atas tanah.
Percikan darah dan debu-debu yang beterbangan membuat pandangan mata Tan Ki jadi
samar-samar. Hatinya segera merasa tertekan tidak terkirakan.
"Lagi-lagi seorang pendekar pedang tingkat delapan mati di tangannya. Dalam
pertarungan malam ini, entah berapa banyak pendekar pedang tingkat tujuh dan delapan
yang jatuh menjadi korban. Rasanya?" membayangkan hal yang menyakitkan hati itu,
tanpa terasa matanya jadi memerah, hampir saja jatuh bercucuran.
Tiba-tiba dia merasa tangannya disenggol oleh seseorang, entah sejak kapan Mei Ling
sudah berdiri di sampingnya dan memandangnya dengan wajah menyiratkan kepanikan.
"Tan Koko, lihatlah!" Tan Ki menenangkan perasaannya sejenak kemudian mengalihkan pandangannya ke
arah yang ditunjuk Mei Ling. Siapa nyana lebih baik tidak melihat. Begitu matanya
menatap apa yang ditunjuk oleh isterinya itu, hawa amarah dalam dadanya jadi meluap.
Tangannya mengepal erat-erat dan tubuhnya terus bergetar.
Rupanya si laki-laki setengah baya menggunakan ilmu Lam Hay Bun yang keji dan
mengandung kekuatan dahsyat untuk menghancurkan urat dalam jantung si orangtua
bungkuk. Kebetulan waktu itu Heng Sang Si mengayunkan sepasang bola besinya. Entah
bagaimana caranya, tahu-tahu serangan Heng Sang Si mengenai tempat yang kosong.
Bayangan kipas bergulung-gulung dan terpencar kedua arah.
Bibir si laki-laki setengah baya tetap mengembangkan senyuman, sikapnya tenang
sekali. Dia masih tetap berdiri di tempatnya semula tanpa bergeser sedikitpun. Heng Sang
Si mengeluarkan suara dengusan yang berat, tubuhnya terhuyung-huyung kemudian
tergetar mundur sejauh empat langkah. Lengan pakaiannya yang sebelah kiri seakan
terkena serangan si laki-laki setengah baya sehingga koyak berderai tertiup angin dan
lengannya yang kekar pun terlihat jelas.
Tampaknya Heng Sang Si sampai termangu-mangu karena tergetar mundur dalam satu
jurus saja. Tetapi sesaat kemudian dia sudah pulih kembali. Sementara itu si laki-laki
setengah baya itu menggerakkan kipasnya beberapa kali dengan gaya santai. Bibirnya
lagi-lagi tersenyum simpul. "Hai, jurus yang akan datang nanti, harap kau berhati-hati! Aku akan mengoyak
pakaian di depan dadamu!" katanya sombong.
Mendengar ucapannya yang sesumbar itu, Heng Sang Si mendongakkan wajahnya dan
tertawa marah. "Ilmu silat pihak Lam Hay ternyata memang hebat. Tetapi kau juga tidak perlu
demikian sombong dan menertawakan orang lain. Hengte sadar kepandaian sendiri masih
tidak dapat menyamai dirimu, tetapi setidaknya aku mempunyai jiwa yang gagah. Kalau
tidak percaya, boleh kau bunuh diriku sesuka hatimu!"
"Hebat sekali! Aku, Cia Tian Lun ikut mengepalai empat puluh delapan pulau, tetapi
belum pernah melihat orang segagah dirimu!"
Heng Sang Si kembali mendengus satu kali.
"Ilmu kepandaian saudara benar-benar membuat orang kagum, tetapi sikapmu yang
sombong itu juga merupakan orang yang pertama pernah hengte lihat seumur hidup!"
Tiba-tiba sikap Cia Tian Lun berubah mendengar perkataan Heng Sang Si. Dia
mendengus dingin satu kali, kipas di tangannya direntangkan kembali. Tubuhnya berdiri
tegak tanpa bergeming sedikitpun. Sepasang matanya menyorotkan sinar tajam menatap
diri Heng Sang Si lekat-lekat. Sejenak kemudian bibirnya tersenyum lagi.
"Mendapat pujian dari saudara, seharusnya aku mengucapkan terima kasih sedalamdalamnya!"
mendadak kipasnya dikibaskan, tubuhnya menerjang ke depan dengan jurus
Datang Awan dari Luar Langit. Angin yang timbul dari gerakan kipasnya bergulung-gulung,
dia mengirimkan sebuah totokan ke dada Heng Sang Si.
Sepasang bola besi Heng Sang Si langsung dipencarkan, dia mengarahkan seluruh
tenaga dalamnya. Dengan jurus Pohon Tua Mengganti Akar, dia menerjang kipas Cia Tian
Lun yang sedang meluncur ke arahnya. Tangan kanannya memutar bola besi sehingga
menimbulkan bayangan melingkar, angin yang kencang segera terpancar dan kali ini
sasarannya lengan atas Cian Tian Lun.
Cia Tian Lun melihat kemarahan Heng Sang Si benar-benar terpancing sehingga
melancarkan serangan, bahkan kali ini mengandung kekuatan yang dahsyat. Dia langsung
memperdengarkan suara tawa yang panjang. Tiba-tiba tangannya ditarik kembali dan
gerakannya berubah. Tubuhnya memutar setengah lingkaran dan tahu-tahu dia
menerobos ke dalam angin kencang yang timbul dari sepasang bola besi Heng Sang Si.
Gerakan tubuhnya demikian cepat dan gesit, sehingga orang-orang yang menyaksikan
tidak sempat melihat bagaimana caranya dia melakukan hal itu. Mereka juga tidak dapat
menduga ke arah mana sebetulnya tubuh orang itu menghindar. Heng Sang Si sendiri
hanya merasa sepasang bolanya mengenai tempat kosong, matanya berkunang-kunang
dan pandangannya menjadi samar. Justru di saat itu tubuh lawannya sudah berdiri tegak
di hadapannya. Rasa terkejutnya kali ini benar-benar tak terkatakan. Tetapi biar
bagaimanapun Heng Sang Si merupakan seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman di
dunia Kangouw, meski keadaannya sangat gawat sekali, namun pikirannya tidak menjadi
kacau. Cepat-cepat dia mengerahkan jurus Ikan Lele Melompat-lompat, sepasang
pundaknya ditarik ke belakang dan diapun mencelat mundur sejauh delapan sembilan
langkah. Ilmu silat Heng Sang Si sudah cukup tinggi, perubahan gerakannya juga cepat sekali,
tetapi tetap saja dia tidak sanggup mengejar waktu yang hanya sekian detik itu. Ia hanya
merasa mendadak ada serangkum angin yang menerpa wajahnya dan tahu-tahu bagian
dadanya terasa sejuk. Begitu dia menundukkan kepalanya, dia melihat dadanya yang tegap sudah terbuka.
Rupanya pakaian bagian dadanya benar-benar telah terkoyak oleh kipas di tangan Cia Tian
Lun. Sobekan pakaiannya bahkan masih melayang tertiup angin. Tanpa dapat ditahan lagi
wajahnya jadi hijau membesi. Perasaan malu dan marah berbaur menjadi satu dalam
hatinya. Rupanya Cia Tian Lun tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya pada kipas di tangannya
itu. Niatnya memang hanya ingin mempermalukan Heng Sang Si. Dengan ringan dia
menggores bagian depan pakaian laki-laki itu sehingga terkoyak namun ujung kulitnya
tidak tersayat sedikit juga. Hal ini malah membuat rasa malu Heng Sang Si tidak
tertahankan, rasanya dia tidak mempunyai muka lagi untuk berhadapan dengan orang
lain. Sementara itu, Cia Tian Lun malah menelingkup sepasang tangannya di belakang dan
memandangnya dengan tersenyum simpul.
Perlu diketahui bahwa para tokoh di dunia Kangouw sangat memandang tinggi kemashyuran
nama dirinya sendiri. Seumur hidup Heng Sang Si berkecimpung dalam dunia
kekerasan, selamanya dia tidak pernah takut dengan kata kematian. Tetapi dia justru tidak
sanggup menerima penghinaan di hadapan orang banyak. Saat itu juga dia merasa
serangkum rasa pilu melanda dalam bathinnya. Matanya yang besar memerah, dua bulir
air mata langsung jatuh berderai membasahi pipinya. Tubuhnya seperti orang yang
kehilangan tenaga, kakinya goyah serta tidak dapat berdiri tegak. Hampir saja dia terjatuh
di atas tanah. Para hadirin yang menyaksikannya ikut merasa pedih dan iba. Mereka
merasa kasihan sekali melihat keadaan laki-laki itu yang demikian mengenaskan.
Tiba-tiba terdengar mulutnya meraung keras, kepalanya mendongak ke atas dan dia
langsung memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali berturut-turut. Sepasang matanya
mendelik lebar-lebar lalu yang terlihat hanya putihnya saja. Tanpa dapat dipertahankan
lagi, tubuhnya jatuh terkulai di atas tanah.
Dengan panik Tan Ki berlari menghampirinya. Dia segera membungkuk dan memeriksa
keadaan Heng Sang Si. Sejenak kemudian dia mendongakkan kepalanya lagi, wajahnya
menyiratkan perasaan duka yang dalam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menarik
nafas panjang. "Tidak ada harapan lagi, dia sudah menggigit putus lidahnya sendiri?"
Belum lagi ucapan Tan Ki selesai, segera terlihat berbagai reaksi dari orang-orang
gagah yang berkumpul di tempat tersebut. Ada yang membentak marah, ada yang
menarik nafas panjang, ada yang menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras. Ada
juga beberapa orang yang berjalan ke depan namun menghentikan langkah kakinya
kembali" Dari sini dapat dibuktikan bahwa cara membunuh orang tanpa turun tangan sendiri
yang diperlihatkan Cia Tian Lun barusan benar-benar menimbulkan perasaan marah
orang-orang gagah. Tetapi ilmunya yang sangat tinggi juga merupakan hal yang membuat
orang-orang gagah ragu mengambil tindakan"
Sepasang mata Tan Ki yang tajam menyapu sekilas kepada orang-orang gagah. Ia
melihat mereka semuanya seakan siap mengadu jiwa dengan Cia Tian Lun, tetapi masih
merasa gentar terhadap ilmunya yang sangat tinggi. Sebagian besar malah sudah
melangkah ke depan namun membatalkan niatnya kembali. Akhirnya dia menggertakkan
giginya erat-erat, tangannya terulur dan merogoh ke dalam lengan baju yang satunya lagi.
Begitu tangannya mengibas keluar, tampak secarik cahaya berwarna putih berkilauan
sehingga timbul bayangan seperti bunga-bunga yang bermekaran. Setelah itu dia berdiri
tegak dengan senjata melintang di depan dada.
Cia Tian Lun melihat anak muda itu sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa
pedang suling, tampaknya Tan Ki sudah mengerahkan tenaga dalam serta siap
melancarkan serangan. Tanpa dapat ditahan lagi bibirnya menyunggingkan seulas
senyuman. "Kau juga ingin mencoba beberapa jurus ilmuku ini?" tanyanya tenang.
Dengan wajah serius Tan Ki menyahut, "Cia Siansing (Tuan Cia) melihat usiaku masih
terlalu muda sehingga tidak pantas bergebrak denganmu?"
Cia Tian Lun tertawa lebar. "Ilmu silat tidak dapat ditentukan dari usia tua maupun muda, pokoknya siapa yang
menanglah yang dipersoalkan. Tetapi ditilik dari usiamu yang demikian muda, seandainya
sampai"." Tan Ki tidak memberi kesempatan kepada orang itu untuk meneruskan ucapannya, dia
segera menukas, "Seandainya sampai mati di bawah serangan kipasmu, rasanya patut
disayangkan bukan?" Cia Tian Lun mengangkat sepasang bahunya. Bibirnya tersenyum makin lebar.
"Orang-orang muda memang lebih mudah emosi. Kalau kau sudah mengungkapkan
apa yang tersirat dalam hatiku, aku juga tidak ingin menyangkalnya. Namun apabila kau
tetap ingin menjajal barang beberapa jurus, di sini terlalu banyak orang yang hadir.
Mungkin mereka akan menganggap aku yang tua menghina kaum muda dan mengatakan
aku tidak tahu aturan. Usiaku jauh lebih tinggi dibandingkan dirimu. Bagaimana kalau aku
mengalah tiga jurus kepadamu dan tidak membalas sama sekali?"
i Wajah Tan Ki tetap datar dan kaku.
"Dalam tiga jurus ini, kemungkinan besar aku bisa mengambil nyawamu. Dalam
perguruan Lam Hay Bun, rasanya kedudukan Cia Siansing tinggi sekali. Bagaimana kalau
karena sesumbar sesaat lalu kalah di tangan seorang anak muda, rasa malunya mungkin
sanggup kau terima?" Terhadap kata-kata sindirannya yang tajam itu, tampaknya Cia Tian Lun benar-benar
merasa di luar dugaan. Untuk sesaat dia jadi tertegun, kemudian dia memperdengarkan
suara tawanya yang panjang. Padahal dalam hati dia memuji kecerdasan anak muda ini.
Dia tahu Tan Ki sengaja memanasi hatinya dan dengan demikian dia tentu tidak enak
menarik kembali perkataannya. Sebetulnya hal ini hampir sama dengan caranya
menghadapi Heng Sang Si tadi, jadi boleh dibilang dia sudah kena batunya sekarang. Oleh
karena itu suara tawanya begitu melengking sehingga memekakkan telinga orang yang
mendengarnya. "Kalau kau memang punya kepandaian seperti itu, silahkan lakukan saja. Baik ilmu
tenaga dalam, senjata rahasia atau akal licik apapun, aku akan menemani dengan senang
hati. Pokoknya tiga jurus kemudian, kau harus berhati-hati menjaga selembar nyawamu
sendiri!" Sementara itu, belasan tamu yang mengikuti perebutan Bulim Bengcu, Im Ka Tojin, Lu
Sam Nio semuanya memusatkan perhatian kepada diri Cia Tian Lun dan Tan Ki. Mereka
sudah dapat membayangkan kalau pertarungan yang akan berlangsung ini hebatnya
bukan main. Belasan pasang mata seakan tidak ingin berkedip sedikitpun karena takut
kehilangan kesempatan menyaksikan pertarungan yang seru.
Suasana yang mencekam semakin terasa karena diselipi dengan ketegangan. Selain api
yang masih berkobar menimbulkan suara ple-tekan oleh hembusan angin, boleh dibilang di
tempat yang luas itu begitu sunyi sehingga nafas merekapun dapat terdengar dengan
jelas. Hal ini membuat perasaan mereka semakin tidak tenang dan pengap. Tampak


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang mata Tan Ki mengeluarkan sinar bagai kilat. Sikapnya serius sekali. Tangan
kanannya diangkat ke atas perlahan-lahan bagai seseorang yang menggenggam suatu
benda dengan bobot berat mencapai ribuan kati.
Gerakannya yang lambat dan penampilan sikapnya yang agak tegang malah membuat
hati orang-orang gagah ikut tergerak, jantung mereka berdebar-debar. Tanpa terasa
tangan mereka sampai basah karena keringat dingin bahkan menatapnya pun sambil
menahan nafas. Cia Tian Lun melihat sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam serta
menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip sekalipun. Tan Ki masih berdiri tegak dengan
tangan menggetarkan peuang sulingnya yang menimbulkan bayangan putih berkilauan,
tanpa dapat ditahan lagi hatinya agak tercekat. Diam-diam dia berpikir: "Sikapnya serius
dan berwibawa, tangannya diangkat dengan gerakan lamban. Ini merupakan gaya yang
dilakukan tokoh kelas tinggi sebelum memulai sebuah serangan, tampaknya anak muda
ini?" Belum lagi pikirannya selesai bekerja, tiba-tiba telinganya menangkap suara siulan yang
memekakkan telinga. Di depan matanya terlihat cahaya putih berkelebat, rupanya Tan Ki
sudah menerjang ke arahnya dengan sebuah totokan yang ditujukan ke bagian dada.
Cia Tian Lun mengangkat kipasnya menahan. Terdengar suara dentingan logam saling
membentur. Orangnya sendiri mencelat mundur ke belakang dalam waktu yang
bersamaan dengan tangkisan nya barusan.
Sepasang mata Tan Ki membuka lebar-lebar, tubuhnya bergerak mengejar ke depan. Di
tengah udara pergelangan tangannya digetarkan dan pedang sulingnya diangkat ke atas.
Segera dilancarkannya sebuah serangan. Gerakannya dari lambat berubah menjadi cepat.
Tampak cahaya berwarna putih memijar-mijar, hawa dingin terpancar dari pedang
sulingnya. Jurus yang dikerahkannya merupakan salah satu dari petikan ilmunya yang
ajaib, yakni Awan Berkabut Menyorotkan Cahaya Keemasan. Serangannnya kali ini
mengandung kekuatan tenaga yang sudah diperhitungkan matang-matang. Hawa yang
terpancar dari pedangnya tajam bergulung-gulung bagai ombak di lautan, dengan dahsyat
menerjang datang laksana angin topan!
Cia Tian Lun merasa sekitarnya dipenuhi hawa pedang berkilauan yang menusuk
pandangan mata. Seluruh tubuhnya bagai diselu-supi hawa dingin. Meskipun pandangan
matanya sangat awas dan pendengarannya tajam sekali, tetapi yang terlihat maupun
terdengar hanya hawa pedang di tangan Tan Ki. Begitu hebatnya hawa pedang tersebut
sehingga seluruh tubuhnya bagai terkurung rapat. Dia tidak dapat menduga ke arah mana
pedang itu mengincar, dan jalan darah mana yang akan ditotok oleh ujungnya. Tanpa
terasa hatinya tercekat. Tangan kanannya menggerakkan kipas dengan jurus Menggempur
Delapan Penjuru di Malam Hari. Bayangan kipasnya bergulung-gulung melindungi bagian
atas kepalanya, orangnya sendiri langsung mencelat mundur ke belakang sejauh beberapa
langkah. Telinganya menangkap suara keresekan yang halus, kedengarannya hanya satu kali
saja. Kemudian terdengar pula suara bentakan nyaring dan ada pula yang menarik nafas
panjang. Beberapa macam suara membaur di telinganya" rupanya ketiga jurus inilah
yang membuat orang-orang gagah tahu sampai di mana tingginya ilmu silat Tan Ki.
Cia Tian Lun menundukkan kepalanya melihat. Rupanya di antara lengan dan pergelangan
tangannya terdapat sayatan sepanjang tiga cun. Tampaknya dia sudah terkena
serangan pedang suling Tan Ki sehingga tangannya terluka. Kalau saja tenaga yang
terkandung di dalamnya lebih berat sedikit, ada kemungkinan sebelah tangannya itu
menjadi putus atau cacat seumur hidup. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi meremang dan
sikapnya berubah hebat. Tetapi biar bagaimana pada mulanya dia sudah sesumbar
menjual omong besar, urusannya menyangkut muka serta nama baiknya sendiri. Dengan
demikian dia tidak dapat menyesal sehingga dirinya akan dipandang hina oleh orang-orang
gagah yang hadir di sana. Belum lagi anak buahnya sendiri. Akhirnya terpaksa dia
mendongakkan kepalanya dan menebalkan kulit wajahnya dengan berlagak santai.
Bibirnya kembali mengembangkan seulas senyuman.
"Dua jurus sudah berlalu, sekarang kau masih mempunyai satu jurus lagi!"
BAGIAN XLV Baru saja ucapan Cia Tian Lun selesai, Tan Ki sudah mengeluarkan suara siulan
panjang lagi. Tubuhnya kembali mencelat ke udara dan cahaya putih tampak berkilauan.
Dalam sekejap mata orangnya sudah berdiri tegak lagi di tempat semula.
Gerakannya ini merupakan serangan yang mendadak. Cepatnya bagai kilasan cahaya,
begitu berkelebat tahu-tahu sudah diam kembali. Dari berpuluh pasang mata orang-orang
yang hadir di tempat itu, ternyata tidak ada seorangpun yang sempat melihat bagaimana
cara tubuhnya bergerak. Entah bagaimana dia turun tangan lalu tahu-tahu sudah berdiri
kembali di tempat semula. Maju dan mundurnya Tan Ki demikian cepat sehingga dia
seakan tetap berdiri tegak dengan tangan menggenggam pedang suling.
Begitu pandangan mata dialihkan, tubuh Cia Tian Lun yang tadinya tidak bergerak
sudah berubah posisinya. Lengan kanannya terangkat sedikit ke atas dan telapak tangan
kirinya mengambil posisi seperti menahan di depan dada. Sikapnya seperti orang yang
sedang menangkis sebuah serangan. Cahaya api yang terang benderang menekan sinar rembulan yang redup. Kali ini
tampak jelas bahwa pergelangan tangan kanannya telah tersayat cukup dalam sehingga
darah segar terus menetes membasahi tanah dekat kakinya berpijak. Kalau serangan Tan
Ki yang pertama hanya menggores ujung kulitnya serta tidak sampai mengeluarkan darah
banyak, maka kali ini lukanya cukup dalam. Hal ini membuktikan bahwa serangan Tan Ki
yang secepat kilat sudah membuat Cia Tian Lun yang sombong karena ilmunya tinggi
terluka di bawah gerakan pedang sulingnya. Saat itu juga terdengar suara tepuk tangan
yang riuh dan suara pujian yang gegap gempita dari mulut para orang-orang gagah. Suara
desiran angin dan percikan api masih tidak dapat menahan suara gemuruh tersebut.
Setelah tertegun beberapa saat, akhirnya Cia Tian Lun menarik nafas panjang.
"Dalam seumur hidup ini, jarang sekali aku menemukan tandingan yang setimpal,
kecuali dua puluh tahun yang lalu, aku dikalahkan oleh Tocu Lam Hay Bun, selamanya
belum pernah ada orang lain yang dapat bertahan seratus jurus seranganku. Tetapi
malam ini, aku mendapat pelajaran yang baru. Usia adik ini masih demikian muda,
penampilannya pun biasa-biasa saja, ternyata ilmu yang dikuasai sudah sedemikian tinggi
sehingga aku, Cia Tian Lun, salah pandangan?" dia menghentikan kata-katanya sejenak.
Tampaknya dia sedang mengerahkan hawa murninya untuk menahan darah yang terus
mengalir dari pergelangan tangannya. Sesaat kemudian terdengar dia berkata kembali.
"Dalam tiga jurus kau dapat membuat aku terdesak bahkan terluka. Mungkin kecuali Toa
Tocu kami, di dunia ini tidak ada orang yang sanggup menandingimu lagi."
Tan Ki mendengar kata-kata yang diucapkannya seakan keluar dari hati yang tulus,
bahkan sikap angkuhnya juga sudah jauh berkurang. Tanpa dapat ditahan lagi, bibirnya
segera mengembangkan seulas senyuman yang ramah.
"Di dunia ini terdapat banyak tokoh berilmu tinggi, tetapi kebanyakan sudah
mengasingkan diri dan tidak bersedia mencampuri urusan dunia yang rumit ini. Sayangnya
saudara belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Padahal ilmu Cayhe ini masih
belum terhitung apa-apa?" "Kalau kau tidak percaya, tentu saja aku juga tidak dapat berkata apa-apa lagi. Pada
suatu hari nanti, mungkin kau dapat membuktikannya sendiri. Aku bukan orang yang
selalu terkurung di Lam Hay Bun. Banyak sudah aku menyaksikan berbagai keajaiban di
dunia ini. Oleh karena itu kata-kata yang kuucapkan bukan asal cetus saja. Kelak apabila
ada kesempatan untuk bertemu dengan tocu kami, waktu itu kau baru menyadari benar
tidaknya ucapanku ini. Sekarang aku merupakan prajurit yang kalah perang, baik nama
ataupun kecemerlangan wajahku ini sudah sirna, oleh karena itu aku ingin memohon diri!"
Sepasang matanya yang tajam menyapu sekilas kepada mayat-mayat yang berserakan
di atas tanah. Sesaat kemudian baru dia melanjutkan lagi kata-katanya"
"Dua regu tentara berperang, pasti ada korban yang jatuh. Tetapi kalau adik kecil ini
merasa tidak puas karena aku telah membunuh beberapa orang dari pihakmu, tentu saja
aku mengerti peraturan dunia Kangouw yang menyatakan "hutang darah dibayar dengan
darah! Ada dendam harus dibalas. Adik kecil boleh menahan aku di sini. Ingin bunuh, ingin
cincang, silahkan. Pokoknya aku tidak akan membalas!"
Mendengar kata-katanya yang tegas, Tan Ki jadi serba salah. Di dalam ucapannya yang
lembut terkandung kekerasan hatinya yang gagah. Hal ini membuktikan bahwa orang ini
sebetulnya termasuk seorang pendekar berjiwa lapang sehingga menyatakan bahwa
dirinya yang sudah kalah dan tidak berniat mengadakan pertarungan lagi. Tentu saja Tan
Ki boleh maju ke depan dan membunuhnya langsung. Tetapi tentara yang sudah
mengibarkan bendera putih tanda mengaku kalah, di negara mana pun tidak boleh
dibunuh lagi. Bukan saja Tan Ki tidak ingin melakukan hal tersebut, lagipula pandangan
orang terhadap dirinya menjadi rendah. Namun apabila dia melepaskannya begitu saja,
sedangkan di sana hadir demikian banyak orang gagah yang menyaksikan bagaimana Cia
Tian Lun membunuh rekan-rekan mereka dan mayat-mayatnya pun masih berserakan di
atas tanah, keputusan apa yang harus diambilnya agar terlihat tidak berat sebelah"
Tan Ki menundukkan kepalanya merenung. Untuk sesaat dia merasa begini salah begitu
salah. Hatinya bimbang memilih keputusan yang harus diambilnya. Sesaat kemudian dia
mendongakkan kepalanya menatap Cia Tian Lun kemudian pandangannya kembali beredar
kepada orang-orang gagah. Akhirnya dia malah berdiri termangu-mangu tanpa tahu apa
yang harus diperbuatnya. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendatangi. Rupanya Ceng Lam Hong dan
Lok Ing berlari ke arah mereka dan berhenti di samping Tan Ki. Tampaknya kedua
perempuan ini sudah melalui pertarungan yang sengit. Wajah mereka menyiratkan
perasaan letih dan nafaspun masih tersengal-sengal. Malah di lengan kanan Ceng Lam
Hong terlihat bekas darah dan lengan pakaiannya terdapat dua buah lubang bekas
tusukan pedang, untung saja tidak tampak parah. Namun rambutnya awut-awutan dan
tangannya menggenggam sebatang pedang yang sudah, terkutung setengahnya.
Melihat ibunya terluka, Tan Ki merasa terkejut sekali. Bibirnya bergerak-gerak seakan
ingin mengajukan pertanyaan, tetapi Ceng Lam Hong sudah menggoyangkan tangannya
seperti memberi isyarat agar dia jangan berkata apa-apa. Sementara itu, dia menoleh
kepada Cia Tian Lun. "Apakah siangkong ini yang menjabat sebagai Bun Bu Co-siang (Menteri kiri bagian ilmu
surat dan ilmu silat) Cia Siansing adanya?"
Cia Tian Lun tertegun sejenak mendengar pertanyaannya.
"Bagaimana kau bisa tahu sebutan diriku?" tanyanya kembali.
Ceng Lam Hong tersenyum ramah kepadanya.
"Kau juga mendapat gelar Pelajar Maut, bukan" Bagus sekali! Jadi aku tidak perlu
berlari ke sana ke mari untuk mencarimu. Lagipula kalau menyampaikan pesan lewat
orang lain, kadang-kadang justru tidak disampaikan."
Dia berhenti sejenak, tiba-tiba suaranya diperkecil sehingga terdengar lirih sekali.
"Ramalan Cin menembus langit, daun Tong menebarkan keharuman yang semerbak."
suaranya lembut dan lirih sekali. Mungkin hanya Tan Ki yang ada di sampingnya dapat
mendengar dengan jelas. Mendengar kata-katanya, dada Cia Tian Lun bagai tergetar seperti dipukul oleh
seseorang. Tubuhnya bergetar hebat. Tergesa-gesa dia bertanya, "Cepat beritahukan
kepadaku, di mana dia sekarang?"
Sekali lagi Ceng Lam Hong tersenyum simpul.
"Putrinyalah yang ingin aku sampaikan kepadamu agar kau meninggalkan tempat ini
secepatnya!" Cia Tian Lun menghembuskan nafas panjang-panjang.
"Aku kira orang yang sudah mati sudah bisa hidup kembali. Toakoku itu sudah
meninggal bertahun-tahun yang lalu. Mengapa di saat ini dan tempat ini bisa
menyampaikan pesan kepadaku, rupanya budak cilik itu?"
Berkata sampai di sini, tiba-tiba dia seperti tersadar. Matanya yang menyorotkan sinar
tajam menyapu sekilas kepada Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio yang ada pada jarak satu
depa di belakangnya, kemudian dia mengeluarkan suara batuk-batuk kecil dan
menghentikan kata-katanya. "Dia juga ingin aku sampaikan kepadamu, apabila ada kesempatan, dia ingin menemuimu
secara langsung!" Cia Tian Lun menundukkan kejaalanya merenung sejenak, kemudian tampak dia
tersenyum. "Ada baiknya juga. Saat ini lebih baik Cayhe turuti saja perkataannya dan mohon diri
sekarang juga." sembari berkata, dia menoleh kepada Tan Ki. Sekali lagi bibirnya
mengembangkan senyuman yang ramah. "Kau kuat sekali. Biarpun aku kalah di bawah
pedang sulingmu, tetapi kekalahan ini kuterima dengan ikhlas." tanpa menunggu jawaban
dari Tan Ki, dia segera membalikkan tubuhnya kemudian kakinya menghentak. Tubuhnya,
bergerak bagai seekor burung yang mengembangkan sayapnya dan melesat ke depan
bagai terbang. Sekali loncat saja jaraknya mencapai lima enam depaan. Dalam waktu yang
singkat, Cia Tian Lun, Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio sudah berkelebat pergi kemudian
menghilang dadam kegelapan malam. Tan Ki tertegun beberapa saat, kemudian dia menolehkan kepalanya kepada Ceng Lam
Hong. "Ibu, apa sebetulnya makna ucapanmu tadi?"
Ceng Lam Hong tersenyum simpul mendengar pertanyaannya.
"Kelak kau akan mengerti sendiri."
Wajah Tan Ki menyiratkan perasaan ingin tahu. Hatinya masih merasa penasaran,
tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Oleh karena itu dia menundukkan kepalanya
merenung sejenak kemudian baru melanjutkan lagi kata-katanya.
"Apakah Ibu ada bertemu dengan Cin Ying dan Cin Ie" Keadaan malam ini sangat
gawat. Apabila mereka sampai tertangkap oleh pihak Lam Hay atau Si Yu, kemungkinan
mereka akan mendapatkan kesulitan yang besar."
"Kau tidak perlu khawatir, aku justru mendapat tugas dari Sam-siokmu Yibun Siu San
agar mengajak si pengemis cilik Cu Cia, Sam Po Hwesio, dan beberapa jago pedang
tingkat tujuh dan delapan untuk memeriksa daftar nama para peserta Bulim Tayhwe kali
ini, juga diminta menyimpan baik-baik beberapa dokumen penting di dalam ruang baca.
Kurang lebih kentungan kedua, tiba-tiba aku melihat tiga sosok bayangan hitam
berkelebat?" Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar keterangan ibunya.
"Mereka pasti jago-jago dari Lam Hay dan Si Yu?"
Ceng Lam Hong menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Tebakanmu memang benar. Yang datang memang Bun Bu Yu-siang (Menteri kanan
bagian ilmu surat dan baca) dari Lam Hay Bun, Tong Ku Lu beserta bawahannya kakak
beradik keluarga Fu. Aku dan Tong Ku Lu sempat bergebrak beberapa jurus, namun aku
langsung merasa kurang beres. Ilmu silat orang itu tingginya benar-benar di luar
dugaanku, sedangkan tenaga dalam yang terpancar dari telapak tangannya, mungkin tidak
kalah dengan Sam-siokmu sendiri. Setelah belasan jurus, aku mulai terdesak dan tidak
mempunyai tenaga untuk melakukan serangan balasan lagi. Untung saja di saat yang
genting, tiba-tiba datang dua orang gadis bertopeng. Ilmu silat mereka aneh sekali, lagi
pula gabungan keduanya begitu kompak dan serasi sehingga pengaruhnya bertambah
hebat. Tepat sepenanakan nasi kemudian, Tong Ku Lu terdesak mundur sehingga lari
meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu, si gadis yang usianya lebih tua meminta aku
menyampaikan kata-kata tadi kepada Cia Tian Lun. Mungkin kau sudah dapat menduga
bahwa kedua gadis itu adalah kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie."
Mulut Tan Ki mengeluarkan suara "Oh" yang panjang. Tiba-tiba ingatannya melayang ke
peristiwa sewaktu dia keracunan tempo hari. Pada saat itu dia menitipkan ibunya agar
dirawat oleh Cin Ying, tanpa sadar perasaannya menjadi sedih. Ternyata putri bekas Bengcu
dari Lam Hay ini orang yang memegang teguh perkataannya. Apa yang sudah
dijanjikannya pasti ditepati. Hal ini justru membuat perasaan hati Tan Ki menjadi tidak
enak. Biar bagaimana dia pernah berjanji akan mengambil adiknya yang ketolol-tololan itu
sebagai selir. Meskipun sekarang dia sudah beristeri, tetapi kalau Cin Ie dibandingkan
kakaknya, satu seperti gadis desa yang bodohnya minta ampun, sedangkan yang satunya
begitu cerdas dan cantik bagai dewi kahyangan. Perbandingannya begitu menyolok
sehingga Cin Ying bagai rembulan di langit yang memancarkan cahayanya sampai jauh.
Seandainya kedudukan Cin Ie diganti dengan kakaknya, tentu merupakan hal yang
menggembirakan sekali" Berpikir sampai di sini, dia sendiri merasa terkejut, perlahan-lahan dia mengetuk batok
kepalanya sendiri dan berkata dalam hati: Aku selalu merasa diriku sebagai seorang lakilaki
sejati, mengapa tiba-tiba bisa mempunyai pikiran seperti itu" Kalau sampai ada orang
yang mengetahuinya, mana aku ada muka lagi merebut kedudukan Bulim Bengcu?"
Dengan membawa pikiran seperti itu, cepat-cepat dia menarik nafas panjang dan
menghentikan renungannya. Tiba-tiba dia melihat Ceng Lam Hong membalikkan tubuhnya
dan berkata kepada orang-orang gagah yang ada di tempat tersebut.
"Wajah saudara-saudara sekalian seakan menyiratkan perasaan kurang senang. Tentu
karena aku membiarkan tokoh Lam Hay tadi meninggalkan tempat ini begitu saja.
Sebetulnya, ilmu silat orang itu kalian sudah saksikan sendiri, taraf kepandaiannya sudah
mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dalam Lam Hay Bun dia menjabat kedudukan sebagai
Bun Bu Cuo-siang. Jabatan itu sangat tinggi, boleh dibilang hanya di bawah Tocunya
sendiri. Dia juga merupakan salah satu angkatan tua yang paling setia selama mengepalai
empat puluh pulau di daerah Lam Hay. Dia juga merupakan sahabat karib Bengcu lama,
yakni Cin Tong. Pertemuan yang kebetulan ini sebetulnya sulit diharapkan. Tetapi aku
berani menjamin kepada saudara-saudara sekalian, kelak orang ini pasti akan
meninggalkan Lam Hay Bun dan bersahabat dengan pihak Tionggoan kita. Di balik semua
ini terkandung sebuah rahasia besar. Untuk sesaat sulit dijelaskan dengan terperinci.
Harap saudara-saudara sudi bersabar sehingga datang saatnya yang tepat serta lihat
sendiri buktinya nanti!" Tiba-tiba seorang laki-laki tua berlengan tunggal menukas dari antara orang-orang
gagah. "Meskipun seandainya suatu hari nanti Cia Tian Lun bisa memihak kepada kita, tetapi
memangnya dendam para sahabat yang sekarang sudah menjadi mayat berserakan di
atas tanah ini tidak perlu dibalas lagi?"
Ceng Lam Hong mengerti saat ini emosi orang-orang gagah masih meluap-luap.
Meskipun ribuan kata-kata diucapkan, tetaplah sulit membuat mereka paham. Lebih baik
menghindari persoalan besar dan membuatnya sekecil mungkin. Oleh karena itu dia


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera mengembangkan seulas senyuman yang lembut dan berkata, "Urusan ini akan kita
bicarakan lagi perlahan-lahan kelak. Pokoknya suatu hari pasti ada jawaban yang
memuaskan hati saudara sekalian, sekaligus dapat memadamkan api kemarahan dalam
hati kalian itu." Sepasang mata Lok Ing yang mengandung sinar romantis itu berulang kali melirik ke
arah Tan Ki. Tampaknya dia seperti mempunyai banyak kata-kata yang ingin dibicarakan,
namun sampai saat ini tidak ada kesempatan sama sekali. Hanya sepasang alisnya yang
terus mengerut, namun sejak awal hingga akhir, dia tidak mengucapkan sepatah kata-pun.
Setelah Ceng Lam Hong menyelesaikan ucapannya, baru dia berkata, "Pek Bo, kita sudah
boleh pergi sekarang." Ceng Lam Hong menoleh kembali kepada Tan Ki.
"Anak Ki, kau harus berhati-hati. Mulai sekarang kau tidak boleh bertindak sembrono,
apalagi sembarangan menempuh bahaya sehingga membuat orang khawatir. Sekaligus
kau harus berbaik hati kepada?"
Berkata sampai di sini, perempuan setengah baya itu seakan teringat akan sesuatu hal
sehingga ucapannya tidak jadi diteruskan. Sepasang mata Tan Ki melirik sekilas ke arah
isterinya kemudian berkata, "Anak akan menurut apapun perkataan ibu, mulai sekarang
tidak akan sembrono lagi." Baru saja ucapannya selesai, terasa ada segulung angin yang berdesir kencang. Ceng
Lam Hong dan Lok Ing sudah meninggalkan tempat itu, gerakan mereka laksana kepulan
asap yang tertiup angin, mereka menuju ke arah timur.
Tiba-tiba hati Tan Ki jadi tergerak. Diam-diam dia berpikir: "Lok Ing biasa malang
melintang di daerah Sai Pak, dia sudah terkenal sebagai gadis yang keras kepala dan
selalu tidak pakai aturan. Mengapa tanpa hujan tanpa angin dia mendekati ibu dan
bersikap begitu baik terhadapnya" Jangan-jangan di balik semua ini terselip apa-apanya."
Berpikir sampai di sini, dia jadi termangu-mangu. Untuk sekian lama dia memandangi
punggung Lok Ing sampai menghilang di kejauhan. Dia tahu gadis itu bertepuk sebelah
tangan dalam mencintainya. Meskipun hatinya mempunyai maksud tertentu, rasanya
bukan urusan yang akan merugikan diri ibunya, itulah sebabnya Tan Ki tidak terlalu
memusingkan hal itu. Saat itu rembulan yang tinggal sepenggal itu semakin suram cahayanya, sedangkan di
langit bagian timur mulai tampak secarik garis berwarna keemasan. Mungkin sepenanakan
nasi lagi matahari akan terbit secara keseluruhan.
Kurang lebih seratus orang turun tangan membantu memadamkan api yang menyala di
gudang darurat penyimpanan ransum. Lambat laun api mulai melemah. Kecuali debu-debu
sisa kebakaran yang masih beterbangan, di atas langit masih terlihat gumpalan asap putih.
Rasanya keadaan cukup parah dan sulit diperbaiki dalam waktu yang singkat.
Tan Ki mengedarkan pandangannya sambil menyimpan kembali pedang sulingnya. Baru
saja dia berniat memberikan bantuan kepada yang lain untuk membereskan mayat-mayat
yang berserakan, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara panggilan, "Tan-heng!" yang
tidak henti-hentinya berkumandang. Dua sosok bayangan berlari secepat kilat mendatangi.
Begitu pandangan matanya beralih, tampak seorang gemuk dan yang seorang lagi
bertubuh kurus menghampiri ke arah mereka. Kedua orang itu adalah Hek Lohan Sam Po
Hwesio dan si pengemis cilik Cu Cia. Dalam sekejap mata mereka sudah sampai di
hadapan Tan Ki. Lengan kiri si pengemis cilik Bulim dibalut dengan kain putih, rembesan darah terlihat
jelas. Tampaknya luka si pengemis cilik ini tidak ringan juga. Namun sikapnya yang
periang masih kentara jelas. Dia langsung tertawa terbahak-bahak begitu melihat Tan Ki.
"Tan-heng, paman ketigamu Yibun Siu San meminta kau segera datang ke ruang
pertemuan!" Tan Ki jadi tertegun mendengar kata-katanya. "Aku?"
Cu Cia tertawa lebar. "Benar, memang engkau yang dimaksud!"
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Bibirnya tersenyum simpul.
"Dalam pertandingan malam ini boleh dibilang pihak kita mengalami kerugian besarbesaran.
Mayat berserakan, seluruh bukit bagai diselimuti hawa kedukaan yang tebal.
Untung saja tidak sampai rata menjadi tanah. Sedangkan kau di sini juga memenangkan
pertarungan dengan cemerlang. Hal ini sudah tersebar luas di seluruh bukit. Siapapun
tahu bahwa tiga jurus ilmu pedang sulingmu berhasil melukai Bun Bu Cuo-siang dari Lam
Hay. Meskipun tidak parah, "i namun merupakan suatu hal yang patut dibanggakan.
Hwesio cilik ini tidak sampai mati, sejak semula sudah mengambil keputusan untuk minum
sampai puas guna merayakan kemenangan Tan-heng!" katanya sambil tertawa tergelakgelak.
Si pengemis cilik Cu Cia ikut tersenyum simpul.
"Si pengemis cilik sendiri sampai terluka lengan kirinya. Mestinya orang yang terluka
harus merasa sedih dan tidur beristirahat. Tetapi asal masih mempunyai sedikit nafas,
walaupun orang-orang mengatakan minum arak bisa memperbanyak darah yang mengalir,
masa bodoh. Kemenangan Tan-heng yang sedikit tetap merupakan peristiwa yang
menggembirakan. Meskipun harus mati, si tukang minta-minta ini tetap ingin minum
sampai mabuk." Beberapa orang itu bercakap-cakap sambil berjalan. Tanpa terasa sebentar saja mereka
sudah sampai di ruang pertemuan. Tampak bayangan orang berjalan mondar-mandir
membereskan tempat yang berantakan itu. Mayat-mayat telah dipindahkan, sedangkan
bekas darah sudah dibersihkan. Dengan wajah masih tertutup cadar, Yibun Siu San berdiri
di bagian yang tinggi, sedangkan si pengemis sakti Cian Cong duduk di atas kursi besar
dengan wajah serius, tangannya yang satu mengangkat hiolo arak tinggi-tinggi dan
meneguknya seperti orang yang kehausan. Setelah minum arak dalam jumlah yang
banyak, semangatnya malah seperti terbangkit. Di sebelah kanannya duduk Pangcu Ti
Ciang Pang, yakni Lok Hong. Wajahnya juga kelam sekali. Sepasang matanya terpejam
rapat seperti orang yang sedang beristirahat. Dia seolah tak menyadari sama sekali
kehadiran Tan Ki dan yang lainnya. Orangnya sedikitpun tidak bergerak, bahkan matanya
tidak terpicing sedikitpun. Goan Yu Liong dan Yang Jen Ping berdiri di belakang punggung Goan Siang Fei, dua
baris bagian depan duduk berkeliling Kok Hua Hong serta pendekar pedang tingkat
delapan lain. Yibun Siu San menggapai tangannya memberi isyarat agar Tan Ki duduk di tempat yang
kosong. Anak muda itu sampai kelabakan dan cepat-cepat menjura dalam-dalam.
"Para Cianpwe sedang duduk berkumpul, mana boleh anak Ki tidak tahu aturan duduk
bersama. Biar anak Ki berdiri saja." katanya.
Tiba-tiba Lok Hong mendongakkan kepa"lanya dan mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Matanya yang bersinar tajam menatap Tan Ki sekilas. Kemudian dia tersenyum
simpul dengan wajah menyiratkan perasaan kagum. Setelah itu dia memejamkan matanya
kembali. Yibun Siu San tertawa lebar. "Pertarungan malam ini, membuat kau pantas duduk bersama para Cianpwe ini. Kau
juga tidak perlu rendah diri lagi, duduklah. Kalau sampai kau dianggap sombong kan
malah tidak baik." Tan Ki bimbang sejenak. Baru kemudian dia membungkukkan tubuhnya dengan penuh
hormat dan duduk di tempat yang ditunjuk oleh Yibun Siu San. Mei Ling, Ban Jin Bu, Sam
Po Hwesio serta si pengemis cilik Cu Cia berdiri berbaris di belakangnya, seakan menjadi
pengawal bagi Tan Ki. Ketika bara duduk saja, pandangan mata Tan Ki sudah mengedar ke orang-orang
gagah yang ada di sekelilingnya. Tiba-tiba hatinya jadi tergerak. Diam-diam dia berpikir:
"Rasanya masih ada beberapa orang yang belum hadir."
Dengan membawa pikiran seperti itu, dia langsung menanyakannya kepada Yibun Siu
San. "Siok-siok, apakah Ciong San Suang Siu, kedua pengawal Cianpwe, masih menjaga goa
di bagian belakang bukit di mana Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri?"
Tampak sinar mata Yibun Siu San mengeluarkan cahaya yang berkilauan. Dia
mendengus satu kali. "Goa di belakang bukit itu letaknya agak terpencil sehingga tidak mudah ditemukan.
Ketika Tian Bu Cu Locianpwe menyatakan hendak menutup diri menurunkan ilmu kepada
Liang Fu Yong, orang yang tahu hanya segelintir saja. Entah bagaimana caranya ternyata
malah bisa didatangi oleh tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Kecuali Kaucu Pet
Kut Kau dan adik seperguruannya Kim Yu. Laki-laki yang satu lagi mengenakan pakaian
serba hitam dan tubuhnya kurus seperti tinggal tengkorak saja, tetapi ilmunya sangat
tinggi dan rasanya tidak di sebelah bawah Kaucu Pek Kut Kau. Aku sendiri sempat
bergebrak dengannya sampai ratusan jurus, tetapi tidak sanggup meraih keuntungan
sedikitpun. Malah kadang-kadang aku sampai terdesak mundur oleh kekuatan tenaga
dalamnya yang dahsyat serta jurus serangannya yang aneh. Kemudian aku baru
mengetahui bahwa orang ini merupakan Bun Bu Yu Siang dari pihak Lam Hay Bun, yakni
Tong Ku Lu." Tan Ki agak tertegun mendengar keterangannya.
"Ketika Tong Ku Lu menyatroni ruang baca, bukankah dia sudah diusir oleh dua gadis
bertopeng" Mengapa dia bisa kembali lagi dan malah menuju ke bagian belakang bukit di
mana Tian Bu Cu Locianpwe menutup diri?"
Sekali lagi Yibun Siu San mengeluarkan suara dengusan berat dari hidungnya.
"Kalau Tong Ku Lu sempat datang lebih awal sedikit saja, mana mungkin Ciong San
Suang Siu bisa bertahan lebih dari lima puluh jurus" Untung sebelum aku datang memberi
bantuan, Lok Lo Pangcu sudah sampai terlebih dahulu dan menahan Kaucu Pek Kut Kau.
Dengan demikian Tian Bu Cu Loci Bukit Pemakan Manusia 21 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 5
^