Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 20

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 20


ng Fei dan melukai si kakek bungkuk sehingga mengundurkan diri dari arena pertandingan tersebut. Orangorang
gagah yang berkumpul di tempat itu sampai saling pandang dan suasana hening
mencekam. Tidak terdengar suara sedikitpun. Kedua tokoh yang menghadapi Kiau Hun
tadi merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai nama besar di
dunia Kangouw. mereka juga merupakan pesertapeserta yang mempunyai harapan besar
untuk meraih kedudukan Bulim Bengcu. Ternyata dalam beberapa jurus saja, satu dapat
dikalahkan dan yang lainnya terluka. Kejadian ini menimbulkan perasaan kagum juga di
hati orang-orang gagah akan ketinggian ilmu silat yang dimiliki Kiau Hun. Kenyataan ini
merupakan hal yang belum pernah mereka dengar apalagi saksikan dengan mata kepala
sendiri. Sinar mata Kiau Hun perlahan-lahan mengedar ke arah orang-orang gagah yang
berkumpul di tempat tersebut. Melihat pandangan mata mereka menyiratkan perasaan
kagum, tanpa dapat ditahan lagi bibirnya mengembangkan senyuman manis. Sikapnya
sengaja dibuat sekenes mungkin dan berkali-kali dia merapikan rambutnya yang terurai
karena tiupan angin. "Siapa lagi yang berniat terjun ke arena memberi pelajaran kepada Siauli?"
Suaranya sudah berhenti agak lama, tetapi tetap tidak ada seorangpun yang
memberikan reaksi. Suasana di sekitar hanya diliputi kesunyian yang mencekam. Seakan
di tempat yang begitu luas tidak terdapat seorang ma-nusiapun.
Angin berhembus semilir, tiba-tiba terdengar suara tambur ditalu satu kali. Nadanya
begitu keras sehingga memecahkan keheningan yang mendirikan bulu roma itu!
Ini merupakan peraturan yang telah ditetapkan dalam penyelenggaraan pertemuan kali
ini. Apabila tambur berbunyi sampai tiga kali, tetap tidak ada orang yang turun ke tengah
arena menantang gadis itu, maka kedudukan Bulim Bengcu kali ini jatuh ke tangan Kiau
Hun. Hal ini tidak bisa diganggu gugat lagi.
Ceng Lam Hong menyenggol tangan anaknya dan berkata dengan suara lirih, "Anak Ki,
suara tambur sudah terdengar, mengapa kau masih diam di sini dan tidak turun ke tengah
arena?" "Ibu?" hatinya bagai diliputi kebimbangan yang dalam, namun dia tidak tahu
bagaimana harus mengutarakannya di hadapan ibunya itu. Setelah memanggil satu kali,
tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya dan tidak jadi meneruskan ucapannya.
Ceng Lam Hong bertambah panik melihat sikapnya itu.
"Kau anak ini memang keterlaluan! Entah apa yang dipikirkan dalam hatimu, aku
sungguh tidak mengerti. Kau harus tahu bahwa dendam kematian ayahmu masih belum
terbalas. Hanya dengan mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu kau baru dapat
membasmi si raja iblis Oey Kang!"
Tan Ki tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pernahkah ibu mendengar orang menyebut nama Cian Bin Mo-ong?" tanyanya dengan
suara rendah. "Pernah Yibun Sam-siokmu menceritakannya sedikit. Dalam keadaan gawat seperti
sekarang ini, kau malah bertanya yang bukan-bukan!"
"Aku khawatir dia ada di antara kerumunan orang banyak dan mungkin akan ikut dalam
perebutan Bulim Bengcu." Sepasang alis Ceng Lam Hong langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
"Apakah kau mengenal orang itu?"
Tan Ki hanya tertawa pahit, dia sengaja tidak menyahut pertanyaan ibunya. Telinganya
kembali menangkap suara Kiau Hun. "Pertemuan seperti ini langka sekali, apakah saudara-saudara sekalian benar-benar
kehilangan rasa percaya diri untuk menghadapi seorang gadis muda seperti aku?"
Ucapannya selesai, tetap tidak ada orang yang menyahut sepatah katapun. Tong!
Sekali lagi suara tambur berbunyi, kumandangnya sampai lama sekali menyusup di
telinga orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut.
Waktu perlahan-lahan merayap, sinar mata orang-orang gagah menyorotkan keraguan
hati mereka, tangan mereka sampai berkeringat dingin. Mereka memperhatikan tengah
arena dengan menahan nafas. Setiap detik yang berlalu lebih mencekam daripada
sebelumnya ketika Kiau Hun bertarung dengan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk.
Sebab tiga menit lagi, seandainya tidak ada orang yang terjun ke tengah arena, maka di
dunia Bulim untuk pertama kalinya muncul seorang Bulim perempuan.
Perasaan hati Tan Ki galau sekali, tangan kirinya menggenggam Pedang Penghancur
Pelangi pemberian Mei Hun. Tampaknya dia ragu-ragu mengambil keputusan. Yibun Siu
San, Cian Cong dan Lok Hong menatap ke arahnya dengan perasaan khawatir. Hal ini m
alah membuat hati Tan Ki semakin bimbang.
Beberapa ratus pasang mata memperhatikan diri Kiau Hun. Dalam hati orang-orang
gagah merasa saat sekarang ini suasana terasa tegang bukan main. Laki-laki yang
memukul tambur mendongakkan kepalanya menatap langit. Perlahan-lahan tangannya
terangkat ke atas dan dipukulnya tambur di hadapannya!
Tong! Suara tambur kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Nadanya begitu keras
sehingga hati orang yang mendengarnya menjadi tergetar. Lambat laun secercah
senyuman lebar menghias di wajah Kiau Hun. Wajahnya tampak berseri-seri.
Justru di saat tambur baru dipukul, tiba-tiba tubuh Tan Ki berkelebat. Dia melesat ke
depan secepat kilat. Saat ini ilmu silat anak muda itu sudah tergolong jago kelas satu.
Pikirannya baru tergerak dan dia langsung mengambil keputusan, tubuhnya segera
melesat ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Kiau Hun.
Boleh dibilang dalam waktu yang bersamaan, dari luar arena terdengar suara siulan
panjang. Nadanya melengking dan berkumandang ke dalam gendang telinga. Tahu-tahu
pandangan mata menjadi samar, suara angin berdesiran, sesosok bayangan bagai bintang
jatuh melayang turun dengan kecepatan kilat.
Tan Ki menjadi tertegun, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan-matanya. Orang
yang baru muncul sama sekali tidak asing baginya. Dialah Liang Fu Yong yang mendapat
warisan ilmu dalam satu malam oleh Tian Bu Cu, si tokoh sakti dari Bu Tong San. Tampak
wajahnya bersinar terang, matanya menyorot tajam. Dibandingkan dengan sebelumnya
bagai dua orang yang berlainan. Tan Ki tahu dia mendapat ilmu sakti dari Tian Bu Cu
dalam semalaman saja. Sudah pasti tenaga dalamnya berlipat ganda dibandingkan dengan
sebelumnya. Cepat-cepat dia menenangkan perasaan hatinya dan mengembangkan seulas
senyuman manis. Kiau Hun tertawa dingin menatap kedua orang itu.
"Untuk apa kalian naik ke atas panggung pertandingan ini?"
Liang Fu Yong mengulurkan tangannya ke belakang punggung dan mencabut sebatang
pedang berwarna hijau. Dia menolehkan kepalanya kepada Tan Ki.
"Adik Ki, lebih baik kau berbincang-bincang saja dengan suhuku. Babak ini biar aku
yang mencobanya terlebih dahulu."
Tan Ki memalingkan kepalanya, dia melihat tampak Tian Bu Cu pucat pasi. Tampaknya
orangtua itu telah menguras pikiran dan tenaga untuk mewariskan ilmu kepada Liang Fu
Yong. Wajahnya seperti orang yang baru sembuh dari sakit parah. Langkah kakinya
lambat dan saat itu sedang menuju ke tempat duduk yang ada di dekat Yibun Siu San. Si
pengemis cilik Cu Cia, Sam Po Hwesio dan dua orang gadis bercadar hitam berdiri di
belakang para Cianpwe ini. Tan Ki segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum
simpul. "Dalam waktu satu malam Tian Bu Cu Lo-cianpwe mewariskan ilmu sakti kepadamu.
Tentunya hawa murni dalam tubuhnya banyak terkuras. Aku tidak ingin mengganggu
ketenangan beliau. Apabila kau tetap ingin bertanding dalam babak ini, biar aku berdiri di
samping sebagai penonton saja." perlahan-lahan dia melangkah mundur empat tindak dan
berdiri dengan tangan memeluk pedang pemberian Mei Hun.
Kiau Hun tertawa dingin mendengar percakapan mereka.
"Tambur sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Kedudukan Bulim Bengcu sudah menjadi
hak diriku, apalagi yang ingin kalian perebut kan?"
Liang Fu Yong mengejap-ngejapkan sepasang matanya yang lebar. Bibirnya tersenyum
simpul. "Aku hanya merasa kurang puas. Lagipula nona menggunakan sebatang pedang pusaka
untuk menghadapi kedua orang tadi. Andaikata menang juga tidak ada yang perlu
dibanggakan." Sepasang alis Kiau Hun langsung menjungkit ke atas. Hal ini menandakan hawa amarah
dalam dadanya sudah terbangkit saat itu juga.
"Kau sengaja ingin mencari gara-gara" Lagipula, apakah kau lupa bahwa dalam
perebutan kedudukan Bulim Bengcu kali ini, lima partai besar tidak boleh ikut serta.
Sedangkan kau merupakan murid Tian Bu Cu dari Bu Tong Pai yang termasuk anggota
lima partai besar. Dengan demikian kau tidak mempunyai peluang untuk?"
Liang Fu Yong tetap tersenyum lembut.
"Sayangnya aku merupakan murid tidak resmi dari orangtua itu, jadi bukan anggota
dari kelima partai besar. Dalam hal ini kau tidak mempunyai alasan untuk melarang aku
mengikuti pertandingan ini. Kalau kau masih tidak mau turun tangan juga, jangan
salahkan kalau aku memaksa dengan kekerasan!"
Begitu ucapannya selesai, pergelangan tangannya langsung memutar. Dengan jurus
Gadis Menghias Wajah, dia melancarkan sebuah serangan.
Kiau Hun marah sekali melihat tingkah lakunya yang seakan memaksa itu.
"Budak hina berani sesumbar! Aku justru tidak percaya dalam semalaman saja Tian Bu
Cu bisa mengajarkan ilmu sakti kepadamu!" pedang pendeknya bergerak, tampak cahaya
hijau berkilauan. Tenaga dalam yang terpancar kuat bukan main. Dia melancarkan
serangan sambil menangkis, terdengar suara benturan logam yang berdenting tiada hentihentinya.
Percikan api karena gesekan kedua senjata berpijaran di udara. Masing-masing
tergetar mundur sebanyak satu langkah.
"Ilmu pedang yang bagus!" teriak Liang Fu Yong. Tubuhnya menggeser sedikit,
kemudian dengan berani dia menerobos ke dalam sinar pedang Kiau Hun. Pedangnya
sendiri menimbulkan bayangan bunga-bunga yang tidak terhitung jumlahnya. Dia
menebas dari atas ke bawah. Kiau Hun melihat serangan perempuan itu demikian gencar, dia sendiri tidak berani
menganggap remeh. Cepat-cepat dia mengempos tenaga dalamnya dan sekonyongkonyong
mencelat mundur ke belakang sejauh tiga langkah. Liang Fu Yong terus
mendesak ke depan, pedangnya menyabet ke sana ke mari, dalam waktu yang singkat
secara berturut-turut dia melancarkan tiga serangan.
Terdengarlah serentetan suara benturan logam, tubuh kedua orang itu kembali
mencelat mundur sejauh beberapa langkah. Pertarungan antara kedua orang itu baru
berlangsung beberapa jurus, tetapi orang-orang yang hadir di tempat itu dapat merasakan
bahwa perkelahian mereka sengit sekali. Keduanya telah mengerahkan segenap
kemampuan masing-masing. Tampaknya saja setiap jurus yang mereka mainkan tidak
mengandung keistimewaan apa-apa, tetapi sebetulnya justru serangan yang ditujukan
kepada lawannya sangat keji. Hidup dan mati bagai telur di ujung tanduk yang dapat
ditentukan setiap saat. Wajah Kiau Hun yang tadinya tenang mulai kelihatan kelam. Dengan memusatkan
seluruh perhatiannya, dia berdiri tegak dengan pedang melintang di depan dada. Liang Fu
Yong juga berdiri di hadapannya kurang lebih lima langkah dengan sepasang mata
memperhatikan lawannya lekat-lekat. Sikapnya juga serius sekali dan tidak berani ayal
menghadapi musuh yang tangguh ini. Rupanya gebrakan yang beberapa jurus itu, membuat keduanya sadar bahwa hari ini
masing-masing telah menemukan lawan yang seimbang. Seandainya tadi malam Liang Fu
Yong tidak mendapat warisan ilmu dari Tian Bu Cu yang membuat tenaga dalamnya
bertambah satu kali lipat dan jurus-jurus ilmu pedangnya jauh lebih matang, mungkin saat
ini dia sudah terluka parah di bawah pedang Kiau Hun.
Tempat yang luas itu menjadi sunyi senyap tanpa terdengar suara sedikitpun. Tan Ki
yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan juga mulai merasa gelisah. Hatinya
khawatir sekali. Tangan kirinya mengenggam Pedang Penghancur Pelangi erat-erat.
Keringat dingin terus mengucur membasahi keningnya.
Liang Fu Yong menarik nafas panjang-panjang, baru saja dia mengerahkan tenaga
dalamnya secara diam-diam dan siap melancarkan sebuah serangan, tiba-tiba telinganya
mendengar suara Kiau Hun yang merdu dan lembut.
"Kau sudah terluka oleh pukulan Telapak Dingin milikku. Kalau tidak cepat-cepat
mengerahkan hawa murni mendesak keluar racun dingin tersebut, dalam dua belas
kentungan seluruh urat darah dalam tubuhmu akan mulai membeku. Tidak sampai tiga
bulan racun dingin akan menyerang jantung dan jiwamu tidak akan tertolong lagi!"
Nada suaranya begitu dingin dan menyeramkan, membuat orang-orang yang
mendengarnya timbul perasaan tidak enak. Perasaan Liang Fu Yong sendiri sampai
tergerak mendengar suaranya. Dia mendongakkan kepalanya menatap gadis itu, tampak
Kiau Hun berdiri di hadapannya dengan tampang keren serta berwibawa bagai sebuah
patung dewi khayangan. Matanya memandang Liang Fu Yong lekat-lekat dan tidak
berkedip sedikitpun. Pandangan mata mereka bertemu, tiba-tiba jantung Liang Fu Yong berdebar-debar.
Serangkum hawa dingin seperti merasuk dalam hatinya. Tanpa sadar tubuhnya menggigil
dan bulu kuduknya meremang semua. Telinganya kembali terdengar suara yang dingin seperti es itu.
"Racun dalam tubuhmu parah sekali. Apabila kau tidak duduk dan mengerahkan hawa
murni secepatnya, dalam waktu dua kentungan, pasti kau akan merasakan penderitaan
yang hebat karena urat nadi dalam tubuhmu mulai membeku!"
Mendengar kata-katanya, tanpa sadar sekali lagi Liang Fu Yong mendongakkan
wajahnya menatap Kiau Hun. Dua pasang mata bertemu pandang, kembali jantungnya
berdebar-debar. Serangkum hawa dingin meluap dalam dadanya.
Tampak Kiau Hun tersenyum simpul. Namun di balik senyumannya terkandung
keseraman yang mengerikan. Saat itu juga seluruh tubuh Liang Fu Yong terasa lemas,
hatinya bergidik. Tan Ki merasa sikap Liang Fu Yong semakin lama semakin kurang beres. Pandangan
mata perempuan itu begitu kosong seakan orang yang kesadarannya hilang. Namun dia
justru melotot tanpa berkedip sekalipun. Wajahnya menunjukkan keletihan yang tidak
terkirakan. Diam-diam dia mengerutkan sepasang alisnya. Kemudian dia mengerahkan
hawa murni dalam tubuhnya dan berteriak sekeras mungkin.
"Cici Liang!" suaranya begitu lantang sehingga menggelegar dan menggetarkan
gendang telinga bagi orang yang mendengarnya.
Pikiran Liang Fu Yong seperti tersentak, matanya yang mendelik lebar-lebar segera
dipejamkan. Dia mengatur pernafasannya untuk beberapa saat. Kemudian terdengar dia
membentak dengan suara nyaring. Pedangnya digerakkan, timbul bayangan bunga-bunga
dan cahaya dingin. Dengan cepat dia mengirimkan sebuah serangan.
Kiau Hun segera memainkan jurus Im dan Yang Berbalik Arah. Ditahannya serangan
Liang Fu Yong yang dahsyat, orangnya sendiri malah mencelat ke belakang. Matanya
mendelik ke arah Tan Ki lebar-lebar. Mulutnya kembali berbicara dengan nada dingin.
"Lukamu parah sekali. Kalau kau masih tidak mau mendengar nasehatku untuk duduk
dan beristirahat, jangan menyesal apabila sudah terlambat!"
Begitu mendengar nada suara yang menyeramkan itu, setiap patah katanya bagai
menggetarkan kalbu. Tiba-tiba seluruh kekuatannya lenyap. Otomatis serangan yang ia
lancarkan pun jadi melemah. Hatinya sadar bahwa Kiau Hun menggunakan semacam ilmu
untuk mempengaruhi pikirannya. Dia sendiri tidak sanggup memberontak, sedangkan
pengaruh suara itu semakin menjadi-jadi. Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya lemas
sekali. Kapan waktu saja dia bisa terkena serangan Kiau Hun. Oleh karena itu dia segera
berteriak dengan gugup, "Adik Ki, cepat ke mari! Aku tidak sanggup lagi"!"
Belum lagi suaranya sirap, tiba-tiba dia melihat tubuh Kiau Hun berkelebat, dengan
kecepatan kilat lawannya itu menerjang ke arahnya. Pedang pendek di tangan Kiau Hun
menimbulkan cahaya kehijauan, serangannya digerakkan dari atas ke bawah. Belum lagi
pedangnya sampai, segulung demi segulung hawa dingin sudah menerpa wajah Liang Fu
Yong. Sinar mata Kiau Hun yang aneh membuat tubuh Liang Fu Yong lemas dan tidak bisa
mengerahkan tenaga dalamnya sedikitpun. Serangan Kiau Hun yang dahsyat ini sudah
pasti dia tidak sanggup menahannya. Melihat cahaya hijau bertebaran dan memenuhi atas
kepalanya, tanpa sadar Liang Fu Yong menarik nafas panjang. Dia memejamkan matanya
menunggu datangnya dewa kematian. Justru pada saat yang kritis ini, terasa ada serangkum
angin kencang menerpa menerjang di sisi tubuhnya. Telinganya mendengar suara
benturan logam. Dalam waktu sekejap mata, angin tadi tidak terasa lagi dan keadaan
menjadi normal kembali. Begitu dia membuka matanya, Tan Ki sudah berdiri di
sampingnya dengan pedang terentang seakan melindungi dirinya.
Wajah Kiau Hun langsung berubah hebat. Dengan nada dingin dia berkata,
"Tampaknya kau memang selalu menghalangi apapun yang kuperbuat. Entah apa
maksudmu yang sebenarnya?" Tan Ki menolehkan kepalanya dan berkata kepada Liang Fu Yong, "Lebih baik cici
beristirahat dulu, biar aku saja yang menghadapinya."
Liang Fu Yong mengiakan dengan suara lirih. Perlahan-lahan dia mengundurkan diri
dari arena pertandingan. Tan Ki menunggu sampai dia keluar dari arena tersebut, kemudian baru mendongakkan
wajahnya. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
"Tidak perlu berbicara hal yang tidak penting. Yang kita perebutkan adalah kedudukan
Bulim Bengcu, lebih baik diselesaikan secepatnya agar sama-sama merasa puas!"
Tiba-tiba Kiau Hun menyimpan pedang pendeknya ke dalam selipan ikat pinggangnya.
Bibirnya tersenyum manis. . "Aku tidak ingin menggerakkan pedang atau golok dengan dirimu yang bisa
mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah yang mengenaskan."
Tan Ki sudah tahu bahwa pihak Lam Hay telah bergabung dengan pihak Si Yu dan akan
melakukan penyerangan sore nanti. Meskipun saat ini di bukit Tok Liong-hong telah
berkumpul dua ratusan tokoh hitam putih yang berilmu cukup tinggi, tetapi seekor ular
tidak mungkin hidup tanpa kepala. Kalau tidak cepat-cepat memilih seorang Bulim Bengcu,
kumpulan orang-orang itu bagai domba yang kehilangan gembalanya. Pasti mereka tidak
akan berhasil menahan datangnya serangan musuh. Begitu pikirannya tergerak, cepatcepat
dia memasukkan kembali Pedang Penghancur Pelangi-nya dan tersenyum simpul.
"Waktu sangat berharga. Setiap detik harus dipergunakan sebaik mungkin. Aku tidak
ingin berdebat dengan dirimu. Kalau kau memang tidak bersedia menggunakan pedang,


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biar kita bertarung dengan tangan kosong saja!" seraya berkata, diam-diam dia
mengerahkan tenaga dalamnya kemudian tanpa menunda waktu lagi dia melancarkan
sebuah serangan. Serangkum angin yang tidak berwujud menerpa ke depan, orangnya
sendiri ikut melesat bagai kilat. Kiau Hun mengira ucapannya tadi meskipun dikeluarkan dengan tenang tetapi
mengandung sindiran yang tajam, tentu dia berhasil mendesak Tan Ki sehingga kehabisan
alasan untuk bergebrak dengannya. Dengan demikian kedudukan Bulim Bengcu pasti
berhasil diraihnya dengan mudah. Dia tidak menyangka kalau Tan Ki malah menyimpan
pedangnya dan menyerangnya dengan tangan kosong. Untuk sesaat dia jadi termanguma-
ngu. Dia merasa ada hawa panas yang berkobar dalam dadanya. Hatinya merasa
marah sekali. Diam-diam dia berpikir: "Padahal aku hanya mengingat hubungan kita di
masa lalu. Oleh karena itu aku selalu mengalah kepadamu. Kau kira aku benar-benar takut
kepadamu?" Sepasang alisnya langsung menjungkit ke atas. Kedua tangannya langsung
dihantamkan ke depan, dengan keras dia menyambut datangnya angin serangan Tan Ki
yang dahsyat. Tan Ki merasa getaran tenaga tolakan Kiau Hun begitu kuat, diam-diam hatinya merasa
kagum. "Tidak disangka dia juga mempunyai tenaga dalam yang begitu kuat, tidak heran
di depan Pek Hun Ceng dengan mudah dia dapat melukai Ciu Cang Po."
Dia mendongakkan kepalanya memandang, tampak Kiau Hun sedang mendelikkan
sepasang matanya menatap ke arahnya lekat-lekat. Pandangan mata mereka bertaut,
tanpa dapat ditahan lagi hatinya tergetar.
Tan Ki merasa ada sesuatu yang aneh terpancar dari matanya. Begitu tajamnya
sehingga menusuk kalbu hatinya. Jantungnya langsung berdebar-debar, cepat-cepat dia
memejamkan dan mengerahkan hawa murninya agar dapat mempertahankan
kesadarannya. Tenaga dalamnya kuat sekali, begitu hawa murni dalam tubuhnya dikerahkan, hatinya
menjadi tenang kembali. Diam-diam dia berpikir: "Ilmu apa ini" Apakah di dalam pelajaran
silat juga ada ilmu sihirnya?"
Tepat di saat pikirannya sedang tergerak, tiba-tiba dia merasa ada serangkum angin
yang kuat menerpa ke arah dadanya. Siapa kiranya Tan Ki itu, berkecimpung di dunia
Kangouw selama setengah tahun, dia sudah menggetarkan hati para jago. Nalurinya lebih
tajam dari orang biasa, tanpa sempat membuka sepasang matanya, dia langsung
mengambil posisi menahan di depan dada dan melancarkan sebuah serangan.
Meskipun rangkuman tenaga dalam Kiau Hun cukup dahsyat, tetapi ketika didorong
oleh tenaga dalam Tan Ki, ternyata serangannya memental kembali. Baru saja anak muda
itu bermaksud mengirim sebuah serangan kembali, tiba-tiba telinganya mendengar suara
tawa Kiau Hun yang merdu. Suara itu merdu namun agak seram bila didengarkan lama-lama. Begitu dinginnya
sehingga mendirikan bulu roma dan menggetarkan jantung. Tubuh Tan Ki tampak
menggigil hebat saat itu juga. Begitu suara tawa itu terhenti, kembali terdengar suara Kiau Hun berkata kepadanya.
"Tan Ki, aku mengingat ilmu silatmu didapatkan dengan cara yang tidak mudah. Oleh
karena itu aku tidak tega melukaimu. Kalau kau tidak cepat-cepat mengaku kalah, jangan
salahkan apabila aku menurunkan tangan ke-ji!"
Tan Ki terus memejamkan sepasang matanya. Dia tidak berani membukanya biar
sekejap saja. Hal ini disebabkan rasa terkejutnya melihat sinar mata Kiau Hun yang aneh.
Setiap kali bertemu pandang dengannya, hati Tan Ki langsung bergetar, tenaga dalamnya
seakan menjadi lemah. Siapa nyana biar dia memejamkan matanya, tetap saja dia merasa
gelisah mendengar suara Kiau Hun. Untuk sesaat dia merasa sulit mengendalikan
perasaannya. Untung saja tenaga dalam Tan Ki sudah mencapai taraf yang tinggi sekali.
Ketenangannya juga melebihi orang lain. Meskipun dia terpengaruh oleh suara gadis itu,
tetapi dia terus mempertahankan diri agar kesadarannya tetap terjaga. Cepat-cepat dia
mengerahkan hawa murninya dan mengedarkannya ke seluruh tubuh. Sementara itu
pikirannya terus berputar mencari jalan menghadapi situasi di hadapannya. Diam-diam dia
berpikir dalam hatinya: "Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan saat ini, hanya
menyerangnya dengan gencar. Pokoknya tidak boleh memberi kesempatan sama sekali
baginya untuk membuka mulut." Pikirannya tergerak, diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan
menyalurkannya ke seluruh tubuh. Dia sengaja memperlihatkan tampang seperti orang
yang letih dan mengantuk. Dengan demikian dia berharap perhatian Kiau Hun akan
terpencar dan tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya.
Keadaan di seluruh arena itu menjadi demikian hening. Namun di balik kesunyian
tersebut terselip ketegangan yang tidak terkirakan. Telinganya kembali menangkap suara
Kiau Hun yang dingin seperti es. "Tan Ki, apakah masih ada kata-kata yang ingin kau sampaikan untuk ter?"
Tiba-tiba Tan Ki mengeluarkan suara bentakan yang keras, dengan demikian kata-kata
Kiau Hun jadi terputus. Sepasang matanya membelalak lebar-lebar dan tahu-tahu
tubuhnya berkelebat menerjang ke depan!
Kiau Hun benar-benar tidak menyangka sama sekali tindakan Tan Ki ini. Sepasang
kakinya menutul di atas tanah, orangnya sendiri langsung mencelat ke udara dan
melompat mundur sejauh tiga langkah.
Sejak tadi Tan Ki sudah memperhitungkan semuanya dengan matang. Mana mungkin
dia membiarkan Kiau Hun menguras otaknya mencari akal licik lainnya. Sepasang
tangannya menghantam ke depan dengan tenaga dalam yang dahsyat. Dalam waktu yang
singkat secara berturut-turut dia melancarkan sepuluh pukulan.
Tiba-tiba diserang secara gencar oleh Tan Ki, Kiau Hun sampai kelabakan setengah
mati. Hampir saja dia tidak dapat menahan dirinya. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur
ke belakang. Sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam. Baru saja dia bermaksud
mengerahkan ilmu Tian Si Sam-sut dan Te Sa Jit-sut-nya yang hebat, sekonyong-konyong
terdengar suara siulan yang panjang. Begitu kerasnya sampai memekakkan telinga.
Tampak tiga batang senjata rahasia meluncur ke arahnya dengan kecepatan kilat.
Tan Ki segera membentak dengan suara keras, "Oey Ku Kiong, apakah kau juga ingin
main-main denganku?" hawa murni dalam tubuhnya segera dikerahkan. Sepasang telapak
tangannya menghantam ke depan. Tahu-tahu ketiga batang senjata rahasia itu telah
tersam-pok jatuh di atas tanah. Seiring dengan tenaga dalam yang dipancarkannya, tubuh
Tan Ki mencelat ke udara setinggi satu depaan. Laksana seekor elang yang mengincar
anak ayam, tubuhnya kembali menukik ke bawah dan mengirimkan sebuah serangan
kepada Kiau Hun yang baru saja berdiri tegak.
Dengan nama Cian Bin Mo-ong, Tan Ki telah menggetarkan dunia Kangouw. Otomatis
ilmu silatnya tidak dapat dibandingkan dengan tokoh Kangouw umumnya. Tubuhnya
mencelat dan menukik ke bawah dengan kecepatan yang tidak terkirakan. Meskipun Kiau
Hun tidak berniat bertarung dengannya dari jarak yang dekat, tetapi dalam keadaan
seperti ini, terpaksa dia mengerahkan tenaga dalamnya dan sepasang telapak tangannya
menghantam ke depan. Tidak ada waktu lagi baginya untuk menghindarkan diri. Pikirnya,
dia ingin menghentakkan tubuh Tan Ki ketika dia belum sempat mendarat di atas tanah.
Kemudian dengan jurus Suara Bergema Mengguncangkan Sukma, dia akan menghantam
dada Tan Ki sehingga terluka di bagian dalam.
Siapa nyana tubuh Tan Ki yang menukik ke bawah justru menggunakan sebuah jurus
yang paling hebat dari Te Sa Jit-sutnya. Baru saja telapak tangan Kiau Hun terulur ke
depan, tahu-tahu bayangan tubuhnya berkelebat, dari melancarkan serangan tiba-tiba dia
menarik kembali tubuhnya dan menjungkir balik satu kali di udara. Tanpa mendarat lagi di
atas tanah, tangannya langsung menerjang ke depan menyambut serangan Kiau Hun.
Perubahan jurus yang dikerahkannya begitu cepat sehingga sulit diuraikan dengan
kata-kata. Bahkan orang-orang yang hadir di tempat itu tidak satupun yang dapat
melihatnya dengan jelas. Hanya bayangan tubuh kedua orang itu yang berkelebat ke sana
ke mari, kemudian dua rangkum tenaga dalam saling beradu. Dalam waktu hanya
sekedipan mata saja, tubuh Tan Ki sudah mendarat turun pada jarak tujuh delapan
langkah. Wajahnya tampak merah padam, nafasnya tersengal-sengal dan keringat
membasahi keningnya, terus menetes ke wajahnya. Tubuh Kiau Hun justru terhuyunghuyung
kemudian tergetar mundur sejauh empat lima langkah. Dia seperti orang yang
baru saja minum arak dalam jumlah yang banyak. Kakinya tidak dapat berdiri dengan
mantap. Kemudian tampak mulutnya terbuka dan dia memuntahkan darah segar seperti
melesatnya sebatang anak panah. Tidak syak lagi bahwa Tan Ki menggunakan ilmunya yang hebat untuk melukai Kiau
Hun. Tetapi dirinya sendiri juga kehilangan cukup banyak hawa murni dalam tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang riuh memecahkan keheningan di seluruh
arena tersebut, seruan gembira dan pujian gegap gempita".
Kiau Hun memandang Tan Ki dengan termangu-mangu. Sesaat kemudian tampak
wajahnya menyiratkan dendam membara dan mata menyorotkan kebencian yang dalam.
Dia menghentakkan kakinya di atas tanah dan berkata dengan nada ketus, "Bagus sekali
perbuatanmu!" Tanpa menunda waktu lagi dia segera membalikkan tubuhnya dan menghambur pergi
meninggalkan tempat tersebut. Ternyata pada saat terakhir, hanya karena satu jurus saja
dia berhasil dikalahkan oleh Tan Ki. Tidak perlu dikatakan lagi bahwa kedudukan Bulim
Bengcu otomatis terjatuh ke tangan anak muda itu. Rencananya yang ingin menjadi matamata
bagi pihak Lam Hay jadi buyar seketika. Dia merasa kekalahan ini benar-benar
membuatnya kehilangan muka. Bahkan harga dirinya bagai tercampak"
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat dan mengejar ketat di belakang Kiau
Hun. Orang itu sudah pasti Oey Ku Kiong yang tergila-gila kepadanya. Kedua orang itu
berlari secepat kilat. Satu di depan dan yang lainnya di belakang. Mereka meninggalkan
arena yang bising itu sejauh-jauhnya.
*** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
Angin pagi masih terasa sejuk, cahaya matahari tidak terlalu terik. Keadaan di bukit itu
masih sama seperti sediakala. Rumput-rumput melambai-lambai seakan menyambut
kedatangan setiap pengunjung. Tetapi pemandangan ini bagi penglihatan Kiau Hun
bahkan seperti sedang menertawakan dirinya. Hatinya merasa benci dan pedih. Semua
yang ada di hadapannya bagai benda-benda mati yang tidak mempunyai daya tarik sama
sekali. Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya dan membentak, "Untuk apa kau
mengikuti diriku?" Tampaknya dia ingin menumpahkan segala kekesalannya pada diri Oey Ku Kiong. Suara
bentakannya itu begitu ketus dan dingin. Boleh dibilang tanpa perasaan sama sekali.
Terdengar Oey Ku Kiong menyahut dengan suara gugup, "Aku hanya ingin melihat kau
tersenyum kembali kemudian?" Kiau Hun langsung menukas dengan nada yang lebih dingin lagi.
"Kemudian apa" Kau toh tidak sanggup membantu aku meraih kedudukan Bulim
Bengcu. Dari pagi sampai malam seperti seekor anjing yang mengikuti majikannya ke
mana-mana. Namun apa yang bisa kau berikan kepadaku" Kecuali kesulitan dan
keruwetan" Hm" boleh dibilang seperti?"
Begitu kesalnya dia sampai kata-katanya tidak sanggup diteruskan lagi, tetapi Oey Ku
Kiong dapat membayangkan bahwa apa yang ingin diucapkannya pasti tidak enak
didengar. Oleh karena itu dia hanya tertawa sumbang dan berkata dengan nada perlahanlahan,
"Kiau Hun, asal aku dapat melihat senyumanmu seperti biasanya, meskipun harus
mati aku rela. Kalau kau merasa tidak senang, hatiku juga terasa sedih sekali."
Kiau Hun sengaja memamerkan seulas senyuman. Namun suaranya tetap dingin seperti
es. "Nah, aku sudah tertawa sekarang. Apakah kau sudah merasa senang?" selesai
berkata, kembali wajahnya cemberut dan datar seperti semula. Dia melanjutkan katakatanya
dengan nada yang ketus. "Laki-laki seperti engkau ini hanya mirip dengan
kumbang yang mencari bunga. Malah lebih menyebalkan dari pada kaum Jay Hwa-eat
(penjahat pemetik bunga). Kalau bukan disebabkan ayali angkatmu yang baru-baru ini ikut
bergabung dengan Lam Hay Bun, huh! Sekarang aku ingin menampar pipimu sampai
bengap!" Kata-katanya itu bagai sebilah pisau yang tajam menikam hati Oey Ku Kiong, tetapi dia
menahan diri sebisanya dan menelan semua ucapan yang menyakitkan itu. Hanya
tubuhnya yang bergetar hebat dan perasaannya pedih sekali. Tetapi sejenak kemudian
kembali bibirnya tersenyum simpul. Perasaan hati seseorang memang demikian anehnya.
Apalagi cinta kasih antara pemuda dan pemudi, lebih sulit lagi diuraikan dengan tulisan
maupun kata-kata. Oey Ku Kiong bagai seekor kupu-kupu yang terjerat pada sarang labalaba.
Cinta kasihnya yang tulus dicurahkan pada diri Kiau Hun sehingga dia tidak sanggup
mengendalikan dirinya lagi. Semakin ketus sikap Kiau Hun kepadanya, hatinya semakin
mengkeret dan tidak berani membantah. Seorang laki-laki apabila jatuh cinta sampai
tahap seperti ini, sebetulnya patut dikasihani juga.
Sementara itu, tiba-tiba terdengar suara tawa yang lantang dan panjang. Sumbernya
dari rumput ilalang yang tinggi. Sesosok bayangan berlari mendatangi bagai terbang.
Kemudian terdengar mulutnya berkata, "Nona Ceng harap jangan gusar. Apabila putraku
yang tidak berbakti itu berbuat kesalahan, bagaimana kalau lohu saja yang memintakan
maaf baginya?" Setelah melihat jelas orang yang datang, Oey Ku Kiong segera menjatuhkan dirinya
berlutut di atas tanah. "Gi-hu." panggilnya.
Oey Kang mengulapkan tangannya. "Di hadapan Ceng Kouwnio tidak perlu kau bergaya lemah lembut seperti ini.
Bangunlah!" Kiau Hun tersenyum simpul kepadanya.
"Kedatangan Oey Locianpwe di atas bukit Tok Liong-hong ini, pasti bukan tanpa sebab.
Mungkin Toa Tocu ada menitipkan pesan kepadamu?"
Oey Kang tertawa terbahak-bahak. "Kecerdasan Ceng Kouwnio selalu dipuji oleh Toa Tocu. Tampaknya bukan hanya itu
saja, nalurimu juga jauh lebih tajam dari orang lain. Sekali lihat saja, semuanya dapat
diduga dengan tepat." Kiau Hun tertawa lebar mendengar pujiannya.
"Terima kasih, terima kasih. Entah apa pesan Toa Tocu kali ini?"
Oey Kang mengeluarkan sepucuk surat dari balik pakaiannya. Kemudian dari sakunya
dia mengambil sebuah botol sebesar jempol. Bentuknya seperti hiolo yang biasa
digunakan untuk mengisi arak. "Keterangan selengkapnya ada di dalam surat. Yang penting kau mengikuti petunjuk
yang tertera di dalamnya saja. Apabila sudah berhasil nanti, Toa Tocu akan memberikan
hadiah besar untukmu!" Kiau Hun mengulurkan tangannya menyambut surat dan botol tersebut. Tampaknya dia
tidak terlalu ambil hati karena dia sama sekali tidak meliriknya sekilaspun. Langsung saja
dimasukkannya ke dalam saku pakaian.
Oey Kang mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
"Oey Ku Kiong, kemarilah!" panggilnya.
Oey Ku Kiong segera mengiakan. Dia segera menghampiri ayah angkatnya itu. Oey
Kang mengulurkan tangannya menepuk-nepuk pundak putra angkatnya. Dengan nada
menghibur dia berkata, "Sejak kehilangan jejakmu di Pek Hun Ceng, ayah persis seperti
seekor anjing gila yang mencari ke mana-mana. Sementara itu ayah juga khawatir apabila
kau sampai dicelakai oleh orang atau dibunuh secara diam-diam. Hampir seluruh
perkampungan ayah kelilingi, setiap jengkal tanah ayah gali, tetapi tetap saja tidak
menemukan dirimu ataupun mayatmu. Ayah sama sekali tidak menyangka kalau kau
demikian cerdik dan mempunyai pikiran yang luas sehingga bergabung lebih duluan
dengan pihak Lam Hay?" Sepasang mata Oey Ku Kiong menatap wajah ayah angkatnya lekat-lekat. Tadinya dia
ingin mengatakan bahwa dia tidak memperdulikan segalanya karena jatuh cinta kepada
Kiau Hun. Itu pula sebabnya dia meninggalkan Pek Hun Ceng. Tetapi kata-katanya hanya
sampai di ujung bibir, akhirnya dia tidak sanggup juga mengucapkannya keluar.
Terdengar kembali suara tawa Oey Kang yang keras.
"Ceng Kouwnio merupakan selir kesayangan Toa Tocu, kau bisa mengikutinya ke manamana,
pasti merupakan suatu keberuntungan bagi dirimu. Lagipula sore nanti kita akan
menyerbu ke puncak bukit Tok Liong Hong ini, paling tidak kau harus memberikan
bantuan kepada Ceng Kouwnio dengan melihat-lihat situasi. Kesempatan yang bagus ini
harus kau pergunakan baik-baik. Jangan sampai membuat ayahmu ini kecewa."
Seraya berkata, dia memberi salam kepada Kiau Hun kemudian membalikkan tubuhnya
meninggalkan tempat tersebut. Oleh karena itu, Kiau Hun dan Oey Ku Kiong pun kembali
ke ruang pertemuan di atas puncak bukit Tok Liong Hong.
Terdengarlah suara tawa yang keras dan dentingan cawan yang saling beradu. Suasana
di dalam ruang pertemuan itu bising sekali. Rupanya ketika Tan Ki berhasil merebut
kedudukan Bulim Bengcu, Liu Seng langsung menyatakan akan merayakannya saat itu
juga. Para hadirin minum arak dan makan hidangan yang disediakan dengan perasaan
gembira. Begitu masuk, Kiau Hun melihat kesempatan untuk melaksanakan tugas dari Toa Tocu
sudah ada di depan mata. Tampak sepasang alisnya menjungkit ke atas dan menyiratkan
hawa pembunuhan yang tebal. Dia memberi isyarat kepada Oey Ku Kiong dengan
menganggukkan kepalanya. Kemudian berjalan menuju tempat duduk tamu-tamu wanita.
Di sekeliling meja yang paling depan saat itu duduk Ceng Lam Hong, Mei Ling, Liang Fu
Yong, Lok Ing serta dua orang gadis bercadar hitam. Semuanya berjumlah tujuh orang.
Tanpa sungkan lagi Kiau Hun langsung duduk di sebuah kursi yang masih kosong. Setelah
itu dia mengangkat cawan yang ada di hadapannya dan sekaligus meneguk sampai kering
arak yang terisi di dalamnya. Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu sebagian besar merasa kagum juga
terhadap ilmu silat Kiau Hun yang tinggi. Melihat dia yang sudah pergi meninggalkan
tempat itu tahu-tahu balik kembali, tanpa dapat ditahan lagi kepala mereka semua
menoleh kepadanya dan ratusan pasang matapun terpusat pada dirinya. Tetapi Kiau Hun
justru seakan tidak melihat pandangan mata mereka, dia tidak melirik sekilaspun dan tetap
meneguk araknya dengan santai. Sikapnya yang membingungkan ini malah membuat
kaum wanita yang duduk di sekitarnya merasa tidak tentram.
Tan Ki yang duduk di bagian paling tinggi saat itu tiba-tiba bangkit berdiri. Kemudian


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar dia berkata dengan suara lantang.
"Saudara-saudara sekalian, mohon dengarkan perkataanku ini!"
Kata-kata ini diucapkan dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya. Dengan
demikian suaranya menjadi lantang dan bergema ke seluruh tempat tersebut. Setiap patah
kata yang diucapkannya dapat terdengar dengan jelas dan suara bising yang memenuhi
tempat itu jadi tertutup oleh ucapannya. Dalam sekejap mata suara tawa terhenti dan
cawan-cawan arak diletakkan kembali ke atas meja masing-masing. Suasana jadi hening
seketika. Ratiisan pasang mata sekarang tertuju pada dirinya. Sikap mereka tampak serius
sekali seakan ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Tan Ki.
Terdengar lagi kumandang suara Tan Ki yang lantang.
"Aku mempunyai niat dalam hati yang sudah tersimpan cukup lama. Sekarang dengan
adanya kesempatan ini, ingin sekali kucetuskan agar dapat didengar oleh semuanya.
Tetapi entah saudara-saudara sekalian mempunyai kesabaran mendengarkannya atau
tidak?" Terdengar sahutan dari orang-orang gagah yang berkumpul di tempat tersebut.
"Silahkan Bengcu katakan saja, kami sekalian bersedia mendengarkannya!"
Tan Ki menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Bagus! Kalau saudara-saudara sekalian demikian memandang tinggi diriku ini, maka
aku, Tan Ki akan mengatakannya terus terang!" matanya yang bersinar tajam menyapu ke
para hadirin yang berkumpul di tempat itu. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali
kata-katanya. "Di dalam dunia Kangouw saat ini di mana-mana terjadi pembunuhan dan perampokan.
Sebelumnya tokoh-tokoh Bulim berpencaran di setiap daerah. Masing-masing menjagoi
wilayah sendiri-sendiri. Dengan demikian setiap orang bagai raja di wilayahnya dan banyak
yang bertindak semena-mena. Untung saja tidak sampai terjadi pertikaian besar-besaran.
Sekarang di puncak bukit Tok Liong Hong ini berkumpul para jago dari segala penjuru, dan
saat ini juga telah berhasil memilih seorang Bulim Bengcu. Sekarang setiap tokoh dari
manapun berdiri di bawah satu bendera yang sama. Yang perlu kita jaga adalah jangan
sampai terjadi perselisihan dan dapat bersatu menghadapi segala bencana"!"
Si pengemis sakti Cian Cong menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan ucapan
Tan Ki. "Ucapan yang tepat sekali! Seandainya dunia Bulim dipimpin oleh seorang kepala yang
bijaksana, maka tidak akan terjadi keributan yang tidak diinginkan. Apabila tidak seperti
sekarang ini, seandainya terjadi pertikaian, tentu sulit diselesaikan dengan sempurna."
Tan Ki tersenyum lembut. "Selama ratusan tahun di dunia Bulim orang selalu menyelesaikan setiap peristiwa
dengan kekerasan. Budi dan dendam seakan tidak ada habis-habisnya. Apalagi kita yang
hidup sebagai orang-orang Kangouw, hal itu lebih menyolok lagi. Dengan demikian tanpa
terasa dunia Bulim kita terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan lurus dan sesat.
Orang yang menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melindungi rakyat kecil dan
membasmi kejahatan, serta memeras orang kaya yang lalim lalu dibagikan kepada kaum
fakir miskin, kita menyebutnya sebagai golongan lurus. Mereka selalu menganggap apa
yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang mulia. Sedangkan golongan yang lain
adalah orang yang hidup dalam kekerasan, setiap perbuatan selalu diakhiri dengan
pertumpahan darah dan biasanya menguasai sebuah wilayah sebagai raja kecil. Mereka
bahkan tidak segan-segan memperkosa ataupun merampok. Orang-orang ini disebut
sebagai golongan sesat atau golongan hitam. Hal ini merupakan ketentuan yang berlaku
bagi golongan lurus di dunia Bulim sejak ratusan tahun yang silam. Sebetulnya, perampok
pun mempunyai peraturannya sendiri. Asal apa yang dilakukan ada tujuannya, mengapa
tidak boleh dilakukan" Apakah yang tidak dilakukan manusia di dunia ini" Adakah manusia
yang tidak pernah berbuat dosa" Kebetulan aku, Tan Ki, mendapat perhatian serta kasih
sayang yang besar dari saudara-saudara sekalian sehingga mendapatkan jabatan Bulim
Bengcu hari ini. Aku merasa bahwa seseorang hidup di dunia ini, yang paling penting
harus berbuat segala macam hal dengan terang-terangan dan jangan menyimpang dari
kata hati sendiri. Dengan demikan hidup ini barulah ada gunanya dan tidak sia-sia. Demi
merubah pandangan orang-orang di dunia ini terhadap kehidupan tokoh-tokoh Kangouw
kita, demi mempertahankan kedudukan dunia Bulim kita yang telah berlangsung selama
ratusan tahun, hari ini Tan Ki ingin mempersatukan semua golongan di dunia ini untuk
menghadapi golongan pemberontak dari pihak Lam Hay serta Si Yu yang akan menyerbu
daerah kita. Setidak-tidaknya kita harus mempersiapkan diri dengan baik supaya jangan
sampai terjadi kekalahan di pihak kita. Oleh karena itu, meskipun aku Tan Ki bukan
manusia yang maha pintar, tetapi aku mencoba menentukan empat macam peraturan
yang harus ditaati semua kalangan?"
Untuk sesaat suasana menjadi hening mencekam. Beratus pasang mata terpusat pada
diri Tan Ki. Di seluruh tempat tersebut seakan ada terselip hawa ketegangan yang tidak
terkirakan. Selama hidupnya Tan Ki belum pernah menghadapi suasana seperti ini.
Otomatis hatinya jadi berdebar-debar.
Perlu diketahui bahwa sebagian besar orang-orang yang hadir di tempat tersebut
merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing. Dengan
demikian membunuh orang adalah pekerjaan mereka sehari-harinya. Mereka selalu
melakukan apa saja yang disenanginya. Selama ini belum pernah mereka diatur oleh
orang lain. Yang namanya hukum atau pengadilan boleh dibilang tidak dipandang sebelah
mata oleh mereka. Apabila secara tiba-tiba ada beberapa peraturan yang harus mereka
taati, mungkin hati mereka tidak dapat menerimanya dengan tulus. Bahkan bisa juga
terjadi perselisihan besar-besaran karena masalah ini. Mereka su-uah terbiasa berbuat
semaunya, apabila ada sedikit saja hal yang membuat mereka kurang senang, maka
pertemuan kali ini malah bisa berubah menjadi pertumpahan darah"
Tan Ki merenung beberapa saat. Dia berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk
mencetuskan isi hatinya" sesaat kemudian terdengar dia tertawa keras-keras dan
melanjutkan ucapannya. "Seandainya ada diantara kalian yang keberatan mengikuti peraturan tersebut,
sekarang masih ada waktu untuk mengundurkan diri. Sore nanti pihak Lam Hay sudah
akan menyerbu kita. Dengan demikian aku juga tidak berharap terjadinya pengorbanan
yang sia-sia!" Beberapa kali berturut-turut dia mengajukan pertanyaan tersebut. Rupanya para hadirin
merasa takluk juga dengan kewibawaan yang diperlihatkannya. Oleh karena itu sampai
sekian lama tidak ada orang yang memprotes.
Wajah Tan Ki tampak serius sekali, sepasang matanya yang menyorotkan sinar yang
tajam. Dia mengedarkan pandangannya ke se keliling tempat tersebut.
"Segala kejahatan di dunia ini perlu dibasmi. Cayhe merasa peraturan pertama yang
harus ditetapkan adalah tidak boleh menodai gadis keluarga baik-baik atau memperkosa
sampai terjadi jatuh korban jiwa. Sedangkan larangan membunuh orang yang tidak
berdosa dan berbuat tidak adil terhadap sesamanya merupakan peraturan yang kedua!"
Baru saja kata-kata ini diucapkan, ternyata ada reaksi dari para hadirin. Salah satu
orang di antara kerumunan tersebut segera berteriak dengan suara keras, "Apakah
peraturan Bengcu yang satu ini tidak terlalu keras" Kita merupakan orang-orang yang
sehari-harinya bergerak di dunia Kangouw. Kitapun mencari makan dari golok serta
pedang tajam. Kalau kita tidak membunuh lawan, mungkin diri kittalah yang akan
terbunuh secara mengenaskan." Belum lagi ucapannya selesai, sesosok bayangan langsung berkelebat datang dan
mengeluarkan suara tawa yang keras, "Maksud Bengcu, kita tidak boleh membunuh orang
yang tidak berdosa atau tidak sanggup memberikan perlawanan!" kata-katanya selesai,
orangnya pun mendarat di atas tanah, dia tidak bukan dan tidak lain dari Pendekar Baju
Putih, Oey Ku Kiong. Tan Ki melihat orang itu hanya berjarak lima enam langkah dari dirinya, tetapi tiba-tiba
langkah kakinya berhenti. Meskipun hatinya mengandung kecurigaan, namun bibirnya
tetap mengembangkan seulas senyuman.
"Kedatangan Oey-heng sungguh kebetulan sekali. Silahkan duduk dan minum dulu
beberapa cawan arak." katanya mempersilahkan.
Oey Ku Kiong juga memamerkan senyuman yang ramah. Dengan penuh hormat dia
membungkukkan tubuhnya. Kemudian mencari sebuah tempat yang kosong dan duduk di
sana. Dengan wajah menyiratkan ketenangan, Tan Ki mengangkat cawan araknya. Setelah
itu dia berkata lagi dengan perlahan-lahan.
"Sebelum aku menentukan peraturan yang ketiga, ada beberapa patah kata lagi yang
ingin kusampaikan kepada saudara-saudara sekalian. Pertemuan di puncak bukit Tok Liong
Hong kali ini, khusus untuk melawan pihak Lam Hay dan Si Yu yang ingin berlaku semenamena
kepada pihak kita. Meskipun telah terpilih seorang Bulim Bengcu, tetapi kita tidak
mungkin tidak mempunyai sebutan. Dengan memberanikan diri, aku memberi nama
Perkumpulan Ikat Pinggang Merah kepada golongan kita ini. Setiap jago pedang tingkat
sembilan, harus mengenakan ikat pinggang merah setebal sembilan cun. Sedangkan
pendekar pedang tingkat delapan, memakai ikat pinggang merah setebal delapan cun dan
demikian seterusnya sampai tingkat kesatu. Dengan cara ini pula kita dapat menentukan
tingkatan masing-masing sekaligus merupakan tanda pengenal kita di hadapan orang
lain." selesai berkata dia meneguk isi cawannya sampai kering.
Para hadirin langsung bertepuk tangan dengan gemuruh dan menyambut ucapan Tan
Ki dengan mengeringkan cawan masing-masing.
Si pengemis sakti Cian Cong terkenal sebagai setan arak. Cawan yang ada di tangannya
juga luar biasa besarnya dan jauh berbeda dengan orang-orang lainnya. Tampak dia
mendongakkan wajahnya dan meneguk isi cawannya sampai kering. Siapa nyana baru
saja arak tersebut masuk ke dalam perutnya, tampak kening orang itu langsung berkerut.
Boleh dibilang Cian Cong adalah seorang peminum sejati. Selama puluhan tahun ini, di
sisinya selalu ditemani oleh sebuah hiolo arak.
Entah sudah berapa jenis arak yang pernah diisi dalam hiolonya itu. Terhadap keras
atau ringannya setiap jenis arak, boleh dibilang dia sudah hapal luar kepala. Saat ini,
begitu arak yang diminumnya masuk ke dalam perut, dia langsung merasa arak tersebut
keras sekali, malah ada sedikit keanehan yang mencurigakan.
BAGIAN XLIX Tiba-tiba saja Cian Cong merasa ada yang tidak beres dalam arak itu. Tetapi melihat
Tan Ki sedang mengumumkan peraturan-peraturan yang harus ditetapkan oleh dirinya
sebagai seorang Bulim Bengcu yang baru terpilih, tentu saja dia merasa tidak enak
mengganggunya dengan kecurigaan yang tidak beralasan.
Apalagi para hadirin tampaknya sedang menyambut ucapannya dengan gembira.
Orangtua ini selalu melakukan segala hal dengan perhitungan yang matang. Oleh karena
itu, dia segera mengerahkan hawa murninya dan mendesak racun tersebut di ujung
tenggorokannya. Apabila Tan Ki sudah selesai bicaranya, baru dia mengemukakan
kecurigaannya itu. Suasana di tempat itu terasa demikian hening dan mencekam. Wajah setiap orang
menyiratkan keseriusan yang tidak terkirakan. Mereka mendengar kelanjutan kata-kata
Tan Ki tentang peraturan yang ditentukannya.
"Meskipun cayhe sudah menentukan untuk memberi nama Perkumpulan Ikat Pinggang
Merah pada golongan kita ini, maka setiap anggota kita harus memakai sehelai ikat
pinggang berwarna merah sebagai tanda pengenal. Tetapi orang-orang kita sekarang ini
sudah tidak menghargai kepercayaan yang diberikan dan menganggap remeh sebuah
persahabatan. Dengan demikian, di antara satu orang teman dengan lainnya sering
menggunakan akal licik atau saling memanfaatkan. Mulut mengucapkan janji saja sering
diingkari tanpa merasa malu atau menyesal sedikitpun. Apabila bertemu dengan teman
lainnya yang dapat memberikan keuntungan lebih banyak, sering orang-orang dunia Bulim
kita mengkhianati persahabatan tanpa perduli apa yang akan terjadi dengan temannya itu,
yang akhirnya timbul perselisihan dan kemudian menjadi dendam. Oleh karena itu,
kepercayaan dan kesetiakawanan menjadi peraturan ketiga yang harus ditaati!"
Dia menghentikan kata-katanya sejenak, melihat tidak ada seorangpun yang
membantah, baru dia meneruskan kembali ucapannya.
"Di depan tadi telah kita tetapkan tiga buah peraturan. Satu, tidak boleh memperkosa
atau menodai gadis baik-baik. Kedua, tidak boleh membunuh orang yang tidak berdosa
ataupun tidak sanggup mengadakan perlawanan. Tiga, harus menghargai kepercayaan
seseorang dan tidak boleh mengkhianati persahabatan demi keuntungan diri sendiri.
Tetapi aku maklum bahwa dunia ini sangat luas. Negara kita saja mempunyai tiga belas
propinsi yang terbagi dari utara sampai selatan. Tempat yang begini luas tentu tidak
mudah untuk dipersatukan, apalagi takluk di bawah satu pimpinan. Seandainya ada satu
orang saja yang tidak mengikuti peraturan yang ditentukan, pasti yang lainnya akan
terpengaruh untuk melakukan hal yang sama. Apabila kita ingin menghindari
persengketaan yang sudah berlangsung di dunia Bulim selama ratusan tahun ini, maka
kita harus menghukum orang yang membangkang perintah dan ditentukan sebagai
peraturan keempat. Peraturan ini juga mencakup bahwa anggota kita tidak boleh
menghasut rekannya yang lain untuk berkhianat atau berpihak pada negara lain. Keempat
peraturan ini telah kupertimbangkan baik-baik sejak menjabat kedudukan sebagai Bulim
Bengcu, dengan harapan bahwa dapat disetujui oleh saudara-saudara sekalian. Tetapi
sebelum peraturan tersebut diresmikan, kalian, masih mempunyai kesempatan untuk
mempertimbangkannya. Tentu saja aku berharap tidak ada orang yang keberatan dan
bersedia bekerja sama dengan segenap kemampuan diri masing-masing!"
Tiba-tiba Oey Ku Kiong berdiri dari tempat duduknya.
"Dari keempat peraturan yang ditentukan oleh Bengcu, dapat diketahui bahwa beliau
mempunyai pengetahuan yang luas dan berpikir panjang demi dunia Bulim kita. Cayhe
adalah yang pertama-tama menyatakan kesetujuannya. Apabila saudara-saudara sekalian
juga mempunyai pikiran yang sama, mari kita minum arak ini sama-sama sebagai tanda
sepakat!" selesai berkata, dia mengangkat cawannya tinggi-tinggi lalu diedarkan ke
sekeliling kemudian meneguknya sampai kering.
Melihat gerak-geriknya yang sangat menghormati Bengcu mereka, para hadirin yang
lain segera mengangkat cawannya masing-masing dan meneguk arak di dalam cawan
sampai kering. Cian Gong adalah manusia yang peka perasaannya dan pikirannya cerdas. Melihat Oey
Ku Kiong bertindak sebagai orang pertama yang mengajak orang lainnya meminum arak
sebagai tanda penghormatan, diam-diam dia sudah merasa aneh. Cepat-cepat dia
memalingkan wajahnya melihat ke arah Kiau H u r, sekilas. Tampak gadis itu mengangkat
cawannya ke atas tetapi untuk sekian lama dia tidak juga meneguk araknya, bahkan
bibirnya mengembangkan seulas senyuman licik. Pikirannya terus bergerak: "Kedua
manusia ini sangat licik. Tentunya mereka bersekongkol, tetapi entah apa yang mereka
rencanakan kali ini?" Semakin dipikir, otaknya semakin ruwet. Dia tidak dapat menduga maksud hati Kiau
Hun dan Oey Ku Kiong. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang matanya terus mengawasi
gerak-gerik kedua orang itu dengan seksama.
Kembali terdengar suara Tan Ki yang lantang.
"Apabila saudara-saudara sekalian tidak ada yang merasa keberatan, maka harap kalian
makan dan minum sepuasnya. Besok aku akan meresmikan peraturan yang telah kita
tentukan!" Selesai berkata, kembali dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak orangorang
itu mengangkat cawannya masing-ma sing dengan wajah serius. Dia tahu bahwa
orang-orang ini sudah terbiasa hidup bebas tanpa kekangan orang lain. Seandainya dalam
sesaat ingin mereka mentaati berbagai peraturan, tentu bukan hal yang mudah. Sudah
pasti mereka ingin mempertimbangkannya baik-baik. Oleh karena itu, dia segera
mengembangkan seulas senyuman kemudian duduk kembali di atas kursinya.
Tan Ki baru saja berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu, dari luar tampangnya
memang tenang-tenang saja, tetapi sebetulnya dalam hati dia merasa tegang bukan main.
Seandainya keempat peraturan yang ditetapkan menimbulkan perasaan berontak dari
orang-orang ini, meskipun dia berhasil mendapatkan jabatannya ini dari menang
pertandingan, tetapi tetap saja sulit melawan demikian banyak orang yang memberontak.
Takutnya sebelum pihak Lam Hay dan Si Yu menyerbu nanti sore, di antara kalangan
sendiri telah terjadi bentrokan yang tidak kepalang besarnya.
Mengingat seriusnya masalah ini, hati Tan Ki semakin tertekan. Duduk salah berdiri pun
salah. Sepasang matanya menyorotkan kecemasan dan terus beredar ke para hadirin.
Diperhatikannya baik-baik reaksi yang mereka perlihatkan. Seandainya ada seseorang
yang memperlihatkan gerak-gerik mencurigakan, lebih baik ringkus dulu orang itu sebelum
dia berhasil menghasut yang lainnya.
Justru ketika hatinya masih merasa tegang menunggu reaksi dari para hadirin, tiba-tiba
telinganya menangkap suara jeritan yang menyayat hati. Begitu seramnya suara itu
sehingga membuat bulu kuduk jadi meremang.
Seiring dengan suara jeritan tersebut, tampaknya ada seseorang yang rubuh di atas
tanah. Boleh dibilang ketika suara itu baru sirap, dari timur barat dan utara kembali
terdengar suara jeritan lainnya yang serupa. Suara-suara itu bagai ratapan burung hantu
di malam hari. Dalam waktu yang bersamaan, tampak tujuh delapan orang bangkit dari
tempat duduknya dengan sepasang tangan menekan bagian perut. Mereka seperti sedang
menahan rasa sakit yang tidak terkirakan. Tetapi dalam sekejap mata, ketujuh delapan
orang itu rubuh di atas tanah dengan panca inderanya mengalirkan darah. Suara raungan
mereka semakin menggetarkan hati. Bahkan ada yang berguling-guling di atas tanah
sehingga meja serta bangku terbalik semua.
Meskipun Tan Ki mempunyai ketenangan yang luar biasa, namun menghadapi
perubahan yang tidak disangka-sangka ini, dia juga terkejut setengah mati sampai
wajahnya berubah hebat. Jantungnya berdebar-debar. Dalam keadaan yang menegangkan
ini tiba-tiba terjadi peristiwa yang demikian mengerikan, hal ini benar-benar membuat
mereka tercekat dan tidak sempat lagi memberikan pertolongan.
Tiba-tiba si pengemis sakti Cian Cong mengeluarkan suara tawa yang panjang. Dia
mendorong meja di hadapannya dan bangkit berdiri. Mulutnya terbuka dan segera terlihat
air arak memuncrat keluar bagai melesatnya sebatang anak panah. Arak beracun yang
sejak tadi ditahannya dalam tenggorokan sekarang dimuntahkannya. Kemudian terdengar
suara dengusan dari hidung Lok Hong, cawan araknya didekatkan ke bibir dan dia
mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya lalu ikut memuntarikan arak beracun yang baru
diminumnya tadi. Arak itu tertuang kembali ke dalam cawan.
Hal ini membuktikan bahwa tokoh tua yang menjabat sebagai pangcu Ti Ciang Pang ini
juga sudah tahu bahwa arak yang disediakan mengandung racun yang ganas. Sikapnya


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin dan mimik wajahnya tidak enak dilihat. Hawa amarah dalam dadanya sudah
meluap-luap. Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat, secara berturut-turut beberapa orang
melayang keluar. Yibun Siu San, Cian Cong dan tokoh sakti Bu Tong Pai, Tian Bu Cu
menghambur ke arah orang-orang yang terserang racun. Pengetahuan ketiga tokoh ini
luas sekali. Pengalaman pun sudah banyak. Niat mereka sekarang sama, yakni ingin
melihat dengan jelas keadaan para korban. Ternyata orang-orang itu tidak sempat
mengerahkan hawa murninya untuk menunda beredarnya racun dalam tubuh dan mati
dalam sekejap mata. Racun apa sebetulnya yang dimasukkan dalam arak tersebut
sehingga daya kerjanya begitu keji"
Terdengar suara gabrukan yang membisingkan pendengaran. Meja dan kursi terbalik di
sana-sini. Kembali beberapa orang rubuh di atas tanah. Begitu diperhatikan ternyata
semuanya mati dengan keadaan mengerikan. Darah terus mengalir dari ketujuh panca
indera mereka. Suasana di dalam arena tersebut menjadi demikian menyeramkan karena
banyaknya mayat yang bergelimpangan. Tampak Mei Ling, Liang Fu Yong dan kedua gadis
bercadar hitam segera menghambur ke dekat Tan Ki dan menanyakan apa yang
sebenarnya telah terjadi. Meskipun warna pakaian yang dikenakan keempat orang perempuan itu berlainan
warnanya, tetapi sorot mata mereka semuanya mengandung perhatian yang sama
besarnya. Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.
"Aku tidak apa-apa." hatinya maklum bahwa kedua gadis becadar hitam itu adalah dua
kakak beradik, Cin Ying serta Cin Ie. Guna menghindari sorotan mata Kiau Hun yang
bertugas menjadi mata-mata, mereka sengaja menggunakan cadar hitam untuk menutupi
Wajah. Keadaan di depan mata demikian mengkhawatirkan, oleh karena itu Tan Ki tidak
ingin banyak bicara. Dia hanya mengucapkan kata-kata yang pendek itu saja.
Liang Fu Yong menarik nafas panjang dengan wajah sendu.
"Setegukan arak saja dapat menghancurkan jantung orang dan melumatkan usus. Kau
baru saja terpilih sebagai Bulim Bengcu, tanggung jawabmu berat sekali. Kau sama sekali
tidak boleh bertindak ceroboh sehingga menimbulkan bencana di kemudian hari. Meskipun
kau masih bisa bicara dengan santai, tetapi aku tetap mencemaskan dirimu. Ada baiknya
kau coba kerahkan hawa murni dalam tubuhmu dan lihat apakah merasakan sesuatu
kelainan?" Tan Ki langsung menukas ucapannya dengan tersenyum.
"Arak ini hanya kutempelkan di ujung bibir sebagai syarat dan penghormatan bagi
tokoh-tokoh lainnya saja. Aku belum benar-benar meminumnya. Tetapi atas perhatian cici
yang besar, tetap saja aku merasa berterima kasih sekali." selesai berkata dia
membalikkan tubuhnya dan berjalan ke sebelah kiri.
Tampak si pengemis cilik dan rekan-rekannya yang lain sedang mengerutkan sepasang
alis mereka dengan ketat. Gigi mereka diker-takkan erat-erat seakan sedang menahan
rasa sakit yang tidak terkirakan. Wajah mereka juga menyiratkan penderitaan yang dalam.
Tiba-tiba saja Tan Ki teringat beberapa hari yang lalu, kelima orang itu berlari ke sana ke
mari demi dirinya tanpa mengenal rasa lelah sedi-kitpun. Namun mereka tidak
menginginkan apapun, kecuali rasa persahabatan yang telah mereka bina selama ini.
Mereka membela dirinya tanpa memperdulikan situasi yang bagaimana gawatnya
sekalipun. Persahabatan yang dalam ini membuat Tan Ki terharu. Sekarang melihat
keadaan mereka yang demikian mengenaskan, seperti mengalami penderitaan yang tidak
terkirakan, hatinya menjadi pedih karena tidak sanggup mengulurkan tangan memberi
bantuan. Air mata tampak membasahi pelupuk matanya dan hampir saja menetes turun.
Tiba-tiba terdengar bentakan seseorang dari belakang punggungnya. "Berhenti!"
Suara itu bagai geledek yang menggelegar. Tan Ki yang mendengarnya sampai
tercekat. Tanpa terasa dia menghentikan langkah kakinya. Begitu kepalanya ditolehkan,
dia melihat Lok Hong sedang menatapnya dengan mata mendelik lebar-lebar. Sikap Lok
Hong itu membuat perasaan Tan Ki tergetar. Diam-diam dia mengerahkan hawa murni
dalam tubuhnya dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, namun bibirnya tetap
mengembangkan seulas senyuman. "Entah apa maksud Locianpwe memanggil cayhe?"
"Apakah pesta ini diurus oleh dirimu sendiri?" tanya Lok Hong.
"Yibun Sam-siok yang mempersiapkannya?" tiba-tiba saja kata-katanya terhenti. Dalam
benaknya terlihat suatu masalah yang rumit. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya
berkerut. Setelah sesaat dia baru bertanya, "Apakah Locianpwe mencurigai diri cayhe?"
Lok Hong tertawa dingin. "Walaupun kau tidak melakukan hal ini, tetapi tetap saja sulit bagimu untuk
melepaskan diri dari tanggung jawab!"
Sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam menusuk. Tetapi sesaat
kemudian pulih kembali seperti biasanya. Bibirnya malah mengembangkan seulas
senyuman. "Harap Locianpwe jangan memandang segala hal dari sudut mata orang yang jiwanya
rendah. Apabila cayhe memang berniat mencelakai orang, rasanya juga tidak perlu begitu
menyolok. Lagipula?" tadinya dia ingin mengatakan secara terus terang bahwa dirinya
pernah menggemparkan dunia Kangouw dengan nama Cian Bin Mo-ong, tetapi tiba-tiba
saja suatu ingatan melintas dalam benaknya. Tidak sepatutnya dia menceritakan hal
tersebut dalam keadaan seperti ini. Cepat-cepat dia menghentikan kata-katanya dan
membungkam. Tampaknya kemarahan Lok Hong jadi terbangkit mendengar ucapannya. Dia langsung
memperdengarkan suara tawa terbahak-bahak. Nada suaranya bagai singa yang sedang
meraung, memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya.
Keadaan di tempat itu menjadi kacau balau. Para hadirin merasa cemas. Kecuali para
tamu wanita yang tidak minum arak, beserta beberapa orang lagi yang tenaga dalamnya
cukup tinggi, boleh dibilang hampir sebagian besarnya keracunan. Suasananya menjadi
tegang dan menyeramkan" namun di balik ketegangan serta keseraman pemandangan
yang terlihat di tempat tersebut, terselip rasa pilu dan mengenaskan melihat banyaknya
mayat-mayat yang mati secara mengerikan.
Walaupun orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut sadar bahwa dirinya
keracunan, tetapi melihat Tan Ki dan Lok Hong mulai bersitegang, mereka segera dapat
merasakan bahwa ada segelombang badai yang dahsyat akan melanda. Beratus pasang
mata serentak beralih pada diri kedua orang itu.
Sudah pasti Tan Ki maklum bahwa termangu-mangu terus juga tidak dapat
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Biar bagaimana dia merupakan seorang
pemuda yang cerdas serta banyak akalnya. Setelah merenung sejenak, dia merasa bahwa
perdebatan dengan Lok Hong hanya menambah masalah yang sudah ada. Oleh karena itu,
dia langsung tersenyum simpul dan berkata dengan nada lembut"
"Biarpun Cayhe mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam hati Locianpwe,
tetapi untuk sesaat juga tidak dapat dijelaskan. Lebih baik biarkan Boanpwe mencari jalan
agar dapat menemukan orang yang menyebarkan racun tersebut, bagaimana?"
Kata-kata ini diucapkan dengan nada wajar. Tidak sombong juga tidak merendahkan
derajatnya sendiri. Mendengar kata-katanya, Lok Hong jadi termangu-mangu untuk sekian
lama. Biar bagaimana dia merupakan seorang tokoh tua yang sudah mempunyai nama
besar. Tentu tidak enak baginya apabila terlalu mendesak tanpa bukti yang konkret.
Tiba-tiba terdengar desiran angin yang disebabkan oleh kibaran pakaian seseorang.
Kiau Hun bagai sekuntum bunga tho di bawah cahaya matahari berdiri di antara kedua
orang itu. Bibirnya mengembangkan senyuman.
"Berapa usia Locianpwe tahun ini?" tiba-tiba saja dia mengajukan pertanyaan kepada
Lok Hong. Suaranya begitu merdu dan lembut sehingga membuat orang yang mendengarnya
merasa tidak enak hati apabila tidak memberikan jawaban. Demikian pula Lok Hong, dia
terpaksa menyahut pertanyaan gadis itu.
"Tahun ini Lohu berusia tujuh puluh enam tahun. Entah apa maksud nona menanyakan
hal ini?" Kiau Hun tersenyum manis. "Itulah, kalau usia Locianpwe sudah sedemikian tinggi, pengetahuan maupun
pengalaman pasti sudah luas sekali. Tetapi setelah bertemu sekarang, ternyata Locianpwe
masih kalah pintar dengan seorang gadis muda seperti diriku."
Mendengar sindirannya, wajah Lok Hong langsung berubah. Perlahan-lahan dia
mendengus kemudian bertanya, "Hal apa yang membuat kepintaran nona melebihi lohu,
coba kaujelaskan secara terang-terangan!"
Kembali Kiau Hun memamerkan seulas senyuman. Dia menolehkan kepalanya
memandang Tan Ki yang berdiri di sampingnya dengan mata melotot serta sepasang alis
berkerut-kerut. Kemudian dia berkata dengan, tenang.
"Apabila Locianpwe seorang yang cerdas, tentu bisa mengetahui kata-kata yang
diucapkannya tadi rada kurang beres. Seandainya dia benar-benar ingin menyelidiki
masalah ini, entah darimana dia harus memulainya" Lagipula dia tidak memberikan batas
waktu yang tepat untuk membuktikan kata-katanya. Dengan demikian dia bisa mengulur
waktu sesuka hatinya sendiri. Apabila Locianpwe ingin mengetahui kejadian yang
sebenarnya, mungkin harus menunggu sampai tubuh membungkuk dan rambut menjadi
putih semua juga belum tentu ada hasilnya. Hal ini membuktikan bahwa dia sengaja
mempermainkan dirimu karena menganggap kau tidak tahu apa-apa. Bila orang lain dapat
dikelabuinya begitu saja, maka tidak begitu mudah kalau sasarannya diriku."
Perlahan-lahan Lok Hong menepuk batok kepalanya sendiri.
"Betul juga apa yang kau katakan!"
"Mumpung orangnya masih ada di depan mata, mengapa Locianpwe tidak
menanyakannya sampai jelas sekarang juga?"
Lok Hong mendongakkan wajahnya kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Apa lagi yang perlu ditanyakan?" sebelah telapak tangannya terulur ke depan dan
langsung dihantamkan ke dada Tan Ki.
Tadinya Tan Ki bermaksud mengecilkan masalah sehingga tidak bertambah ruwet,
sehingga dia sengaja mengalah. Tiba-tiba Lok Hong melancarkan sebuah serangan yang
mengandung tenaga dahsyat serta menimbulkan suara angin yang menderu-dem, dia
segera sadar bahwa paling tidak orangtua itu menggunakan delapan bagian kekuatannya.
Oleh karena itu kegagahannya jadi terbangkit, dia segera mengeluarkan suara bentakan
yang lantang, tubuhnya memutar setengah lingkaran kemudian membalas sebuah pukulan
ke depan. Serangannya begitu kokoh bagai gunung yang menjulang tinggi, dengan gerakan
laksana ombak yang bergulung-gulung menyapu ke arah Lok Hong. Terdengar orangtua
itu mengeluarkan suara tawa yang dingin.
"Bocah kemarin sore berani-beraninya memamerkan sedikit kepandaian yang tidak
berarti. Jangan kira baru mendapatkan jabatan Bulim Bengcu saja, aku akan mengkeret
menghadapimu!" Sembari berkata, dalam waktu singkat dia melancarkan dua belas pukulan. Setiap jurus
yang dikerahkannya mengandung kekejian yang tidak terkirakan. Semuanya ditujukan ke
urat darah di tubuh Tan Ki yang penting.
Tan Ki baru saja menjabat sebagai Bulim Bengcu, mana mungkin dia sudi
memperlihatkan kelemahannya di hadapan orang banyak. Meskipun ilmu kepandaiannya
didapatkan dari hasil curian dalam goa makam para leluhur Ti Ciang Pang, tetapi dia sudah
menggabungkannya dengan ilmu yang diajarkan oleh Yi-bun Siu San dan mendapat
pengarahan pula dari si pengemis sakti Cian Cong. Dengan demikian kepandaiannya
sekarang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.
Begitu dia mengerahkan ilmunya, tidak ada sejuruspun yang dimainkan sampai habis.
Hal ini dapat membingungkan lawannya karena dalam setiap jurus yang dijalankan,
kadang-kadang dia melancarkan pukulan kemudian tiba-tiba bisa berubah menjadi
totokan. Angin yang kencang terpancar dari serangannya sehingga bebatuan serta
rerumputan terpental dan melambai-lambai.
Pertarungan di antara mereka berlangsung sengit sekali. Yang satu adalah ketua Ti
Ciang Pang yang menguasai wilayah Sai Pak, sedangkan yang satunya merupakan
pendekar muda yang baru berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu. Meskipun baru kali
ini mereka benar-benar bergebrak, tetapi serangan yang dilancarkan menggunakan
kecepatan yang tidak terkirakan. Masing-masing pihak berusaha mendahului lawannya
mendapatkan peluang untuk menyerang terlebih dahulu. Dalam sepuluh jurus kemudian,
tampak bayangan pukulan berkibar-kibar, angin yang terpancar bagai auman seekor
harimau. Bayangan tubuh keduanya sulit lagi dibedakan. Apabila diperhatikan sepintas
lalu, gerakan tangan mereka bagai berubah menjadi ratusan pasang yang saling melilit
kemudian memencar kembali. Ilmu silat Tan Ki merupakan hasil curian, sebelum bertarung saja hatinya sudah
berdebar-debar. Kadang kala dia sampai kalang kabut diserang oleh Lok Hong. Keadaan
dirinya sempat terperangkap dalam bahaya beberapa kali. Tetapi setelah lewat beberapa
jurus, dia melihat bahwa tenaga dalam Lok Hong tidak lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Dengan demikian nyalinya jadi besar dan tiba-tiba dia membentak dengan suara keras.
Serangannya berubah menjadi gencar, secara berturut-turut dia membalas serangan Lok
Hong dengan empat lima jurus. Begitu hebatnya serangan Tan Ki sampai Lok Hong mulai
terdesak dan mencelat ke belakang sejauh tiga langkah. Lama kelamaan dia malah berada
di posisi yang semakin gawat. Sekarang ini, Tan Ki mulai merasa bahwa ketakutannya terhadap Lok Hong di masa
yang silam benar-benar merupakan hal yang menggelikan. Dia sama sekali tidak sadar
bahwa Lok Hong bisa menjadi ketua sebuah perguruan dan menguasai wilayah Sai Pak
sekian lama, tentu bukan hal yang mudah. Tentu saja dia mempunyai ilmu yang sangat
tinggi. Hanya saja dia jarang berkecimpung di dunia Kangouw sehingga pengalaman
bertarungnya tidak cukup banyak. Lagipula sejak semula Tan Ki sudah merasa gentar
karena merasa ilmu yang dimilikinya berasal dari perguruan orangtua tersebut. Dengan
demikian jurus apapun yang dikerahkannya, tentu Lok Hong sudah paham sekali serta
tahu bagaimana menangkisnya. Oleh karena itu, sebelum bertarung saja hatinya sudah
gentar terlebih dahulu. Dalam keadaan gugup, otomatis ilmu seseorang tidak dapat
dikerahkan dengan lancar. Untung saja dia berhasil mendapat didikan dari Yibun Siu San
dan Cian Cong sehingga tenaga dalamnya jauh lebih kuat dan pikirannya juga jauh lebih
peka. Melihat hasutannya membuahkan hasil, sudah barang tentu hati Kiau Hun gembira
bukan kepalang. Tetapi setelah memperhatikan sejenak, dia dapat melihat bahwa
meskipun tenaga dalam Lok Hong cukup hebat, namun apabila ingin melukai Tan Ki dalam
waktu yang singkat, bukan hal yang mudah. Matanya mengerling ke sana ke mari sejenak,
kemudian dia berteriak dengan nada lantang, "Lok Locianpwe, bagaimana kalau aku
membantumu?" Sebetulnya dia tidak perlu mengucapkan kata-kata itu, karena pembicaraannya belum
selesai, tubuhnya sudah melesat ke depan tanpa rnemperdulikan Lok Hong akan setuju
atau tidak dengan tindakannya itu. Tampak cahaya hijau berkilauan, dia meluncurkan
serangannya ke arah telapak tangan Tan Ki yang sedang melesat datang.
Baru saja serangannya dilancarkan, tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu Tan Ki
sudah mencelat mundur sejauh lima langkah.
Rupanya dia sadar bahwa pedang pendek di tangan Kiau Hun tajamnya bukan main.
Oleh karena itu dia tidak berani menyambut dengan kekerasan. Terpaksa dia
mengerahkan salah satu jurus dari ilmu Te Sa Jit-sut yang paling hebat dan menghindar
dari serangan Lok Hong. Dalam waktu yang bersamaan tubuhnya mencelat ke belakang,
tetapi sekonyong-konyong telinganya mendengar desiran angin yang menyapu lewat di
depan dadanya. Hatinya langsung tergetar. Melihat serangan Kiau Hun yang begitu keji,
dia segera sadar bahwa perempuan itu memang benar-benar ingin menghabisi nyawanya.
Hatinya tergerak, sepasang matanya langsung mendelik lebar-lebar.
"Kiau Hun, tindakanmu ini"!" dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya, hatinya
terasa pilu dan gusar. Tubuhnya gemetar dan wajahnya merah padam. Tiba-tiba
terdengar lagi suara serangkum angin yang menerpa ke arahnya. Tan Ki tidak sempat
berpikir panjang lagi. Dia segera mengulurkan tangannya dan menyambut datangnya
serangan Lok Hong. Kedua gulung tenaga yang dahsyat saling berbenturan, suaranya menggetarkan hati,
namun tampak kaki keduanya agak limbung dan tubuh merekapun sempoyongan. Untuk
beberapa saat mereka tidak sanggup berdiri dengan tegak.
Kiau Hun mendekat ke sampingnya dan berkata dengan suara yang lirih.
"Apabila dua negara berkecimpung, masing-masing berpihak pada rajanya sendirisendiri.
Tentu kau tidak dapat menyalahkan diriku bukan?"
Di saat berbicara, keduanya sudah saling melancarkan enam jurus serangan. Tampak
sinar berwarna hijau yang timbul dari pedang pendek Kiau Hun menyilaukan pandangan
mata. Begitu beradu selalu memencar kembali. Tidak ada sejuruspun yang tidak
mengandung kekejian. Orang-orang yang menyaksir kan jalannya pertarungan itu merasa
jantung-ihya berdebar-debar dan bahkan ada yang sampai menahan nafas.
Tan Ki merasa serangan yang dilancarkan gadis itu demikian gencarnya. Tiba-tiba dia
melihat Lok Hong maju selangkah ke depan dan ikut mengirimkan sebuah pukulan. Tan Ki
sadar bahwa serangan pukulan Lok Hong itu membawa serangkum angin yang tajam
sehingga belum tentu sanggup ditangkisnya. Tentu saja Tan Ki tidak mau mati konyol
begitu saja dengan mencoba-coba, terpaksa tubuhnya mencelat ke belakang dan
menghindarkan diri sejauh satu depa lebih.
Baru saja kakinya mendarat di atas tanah, Kiau Hun sudah menerjang datang lagi ke
arahnya, tampak cahaya hijau berkilauan dan menghunjam dari atas kepala ke bawah.
Entah siapa orangnya, justru pada saat itu ada yang menimpukkan tiga batang senjata
rahasia berwarna putih dan bersinar terang. Kecepatannya pun jangan ditanyakan lagi,
sasarannya adalah salah satu urat mematikan di tubuh Tan Ki. Gerakan ketiga batang
senjata rahasia itu begitu cepat, seakan mengimbangi serangan Kiau Hun yang dahsyat.
Baik saat maupun tenaga yang terkandung di dalamnya berpadu dengan kompak.
Mendapat serangan dari depan belakang, untuk sesaat Tan Ki merasa tidak sanggup
menahannya. Cahaya berwarna hijau melesat dari depan, sedang ketiga batang senjata
rahasia justru ditujukan ke bagian kanan, kiri dan tengah. Biar dia mengelak ke manapun,
tetap saja dirinya menjadi sasaran empuk. Tetapi karena keadaan sudah demikian
mendesak, Tan Ki terpaksa menempuh bahaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Sepasang tangannya merentang dan tubuhnya mencelat ke udara. Mula-mula dia
menghindar dari serangan bagian belakang tubuhnya.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebetulnya dia maklum bahwa dengan mencelat ke udara seperti itu, bagian tubuhnya
malah terbuka semua, seakan memberi peluang bagi musuh. Meskipun jurus yang
digunakannya saat itu merupakan salah satu jurus terhebat dari Tian Si Sam-sut, tetapi
dengan tangan kosong menyambut pedang pendek di tangan Kiau Hun adalah hal yang
gila bukan main. Oleh karena itu di tengah udara tiba-tiba ia merubah jurus serangannya
sehingga timbul banyangan pukulan yang tidak terkirakan banyaknya. Hal ini membuat
pandangan mata Kiau Hun jadi berkunang-kunang dan kebingungan. Di hadapannya tibatiba
saja seperti ada delapan sembilan Tan Ki yang menukik ke bawah.
Tadinya Tan Ki bermaksud memencarkan perhatian Kiau Hun sehingga lengan. Siapa
tahu tangan kanan gadis itu menggenggam pedangnya erat sedangkan jari tangan kirinya
menuding ke atas. Saat itu dia sedang menatap tubuh Tan Ki yang meluncur turun tanpa
mengedipkan matanya sekalipun. Sikapnya itu seakan tidak mengandung keistimewaan
sama sekali, tetapi sebetulnya merupakan gerakan seorang ahli pedang yang
menggunakan cara tingkat tinggi dalam menghadapi musuh.
Ketika pukulan kedua pihak hampir saling beradu, tiba-tiba Kiau Hun mengeluarkan
suara bentakan keras. Telapak tangan kirinya menghantam ke depan, dia mementalkan
kembali sebatang senjata rahasia yang dikibas Tan Ki yang kemudian malah meluncur ke
arah dirinya sendiri. Tampak pedangnya bergerak dan menimbulkan cahaya seperti
pelangi. Kebetulan tubuh Tan Ki sedang melesat ke arahnya dan dia menyerang bagian
pundak anak muda itu. Gerakannya ini dari lambat tiba-tiba berubah menjadi cepat, persis seperti cahaya kilat
yang melintas. Begitu cepatnya sehingga orang-orang sulit melihat jurus apa yang
dikerahkannya. Mata mereka menjadi silau karena cahaya berkelebat.
Terdengar suara benturan yang memekakkan telinga berturut-turut sebanyak beberapa
kali. Kemudian disusul dengan suara siulan yang panjang serta gerungan dalam waktu
yang bersamaan. Di tengah udara tubuh kedua orang itu bagai dua buah layangan yang
putus kemudian melayang turun di atas tanah satu per satu.
Begitu pandangan mata dialihkan, tampak pinggang kiri Tan Ki telah terkena goresan
pedang. Lukanya sepanjang tiga cun dan terus mengalirkan darah. Kiau Hun malah seperti
orang yang minum arak kebanyakan. Kakinya goyah kemudian terhuyung-huyung mundur
sejauh tiga empat langkah. Ternyata lengan kanannya terkena pukulan Tan Ki sehingga
pedang pendeknya terjatuh di atas tanah. Dia memegangi lengannya sambil mundur.
Tampaknya sampai saat ini dia baru sadar sampai di mana tingginya ilmu kepandaian Tan
Ki, matanya menatap Tan Ki lekat-lekat dengan wajah termangu-mangu. Untuk sekian
lama dia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Kedua orang itu bergebrak di tengah udara dan boleh dibilang dalam waktu yang
singkat sama-sama terluka. Jurus serangan yang dilancarkan begitu cepat sehingga sulit
diikuti dengan pandangan mata. Dalam sekali bentrokan saja terselip bahaya yang
mengintai, orang-orang yang melihatnya diam-diam jadi memuji kepandaian kedua orang
itu. Baru saja kaki Tan Ki mendarat di atas tanah dan bermaksud mengerahkan hawa
murninya agar darah yang mengalir dapat segera dihentikan, sekonyong-konyong dia
melihat Lok Hong menerjang ke arahnya dengan kecepatan yang tidak terkirakan. Telapak
tangannya terulur ke depan mengirimkan sebuah pukulan.
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Tiba-tiba ingatannya melintas di
masa lalu ketika berkali-kali dirinya menerima hinaan dari Lok Hong. Entah berapa kali
pipinya ditempeleng oleh orang ini. Sekarang bukan saja sikapnya tidak berubah, tetapi
masih keras kepala seperti sediakala. Dia seakan ingin mendesak Tan Ki terus menerus.
Otomatis jiwa mudanya jadi tergugah dan rasa tidak ingin kalah ikut terbangkit. Tadinya
dia masih berharap Yibun Siu San, Cian Cong, Tian Bu Cu atau yang lainnya akan
menengahi masalah ini, tetapi sekarang dia tahu harapannya tidak mungkin terkabul.
Diam-diam dia berpikir dalam hati: "Kalau aku tidak menggunakan ilmuku yang sejati
untuk melawanmu, mungkin sampai tiga ratusan jurus, kau juga belum mau berhenti!"
Pikirannya tergerak, kegagahannya timbul. Sepasang lengannya satu per satu menjulur
ke depan dan mengirimkan serangan dengan gencar.
Gerakannya ini sungguh jarang terlihat di dunia Kangouw. Sepasang tangannya bukan
menghantam ke depan sekaligus, tetapi melancarkan serangan satu per satu. Tenaga
yang terkandung di dalamnya juga berbeda dan arahnya pun berlainan. Persis seperti dua
orang yang berilmu serupa dan melancarkan serangan dalam waktu yang bersamaan.
"Ilmu yang digunakan budak ini sungguh aneh, yang pasti bukan ilmu dari perguruan
lohu." kata Lok Hong seperti kepada dirinya sendiri.
Lengan kanannya mengibas dan dengan jurus Lengan Baju Menyapu ke Wajah, dia
menyambut datangnya serangan Tan Ki.
Terdengar suara benturan yang memekakan telinga. Tiba-tiba Tan Ki mencelat munt
dur ke belakang sejauh lima langkah. Ternyata tenaga dalam Lok Hong begitu kuat. Ketika
beradu, Tan Ki langsung merasa tidak mudah menyambut pukulan lawannya dengan
kekerasan. Lok Hong langsung tertawa dingin. Tubuhnya kembali mendesak ke depan, dengan
posisi tangan menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan. Pertarungan
kedua orang itu baru berlangsung beberapa jurus, tetapi orang-orang yang melihatnya
dapat merasakan bahwa duel di antara mereka demikian sengit dan membahayakan.
Setiap serangan yang dilancarkan seperti ingin merenggut jiwa masing-masing lawan.
Pengetahuan Lok Hong sangat luas, dia tahu tenaga dalamnya lebih tinggi sedikit dari
pada Tan Ki. Justru jurus serangannya yang tidak dapat menandingi keanehan jurus-jurus
yang dikerahkan oleh Tan Ki. Lama kelamaan ada kemungkinan bahwa dia yang akan
terdesak oleh ilmu anak muda itu yang ajaib. Sejak semula hatinya sudah berniat untuk
menyelesaikan pertarungan secepatnya, kemudian meringkusnya untuk menanyakan dari
mana asalnya racun yang ada di dalam arak. Sekaligus dia juga ingin memamerkan
kehebatan ilmu Ti Ciang Pang agar orang-orang yang hadir di tempat itu merasa kagum.
Meskipun orangtua ini tidak berminat merebut kedudukan Bulim Bengcu, tetapi dia ingin
nama Ti Ciang Pang yang sudah terkenal sejak ratusan tahun yang lalu dapat
dipertahankan. Oleh karena itu pula, serangannya makin lama makin cepat, tenaga dalam
yang dipancarkan semakin lama semakin kuat, dia sengaja menambah, kelebihannya dan
menutupi kekurangannya. Dengan tenaga dalam yang lebih kuat dia berusaha mendesak
Tan Ki menyambut serangannya dengan keras.
Serangan yang cepatnya tidak terkirakan ini membuat Tan Ki tidak mempunyai waktu
lagi untuk menghindar. Terpaksa dia menggertakkan giginya erat-erat dan mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya guna menyambut serangan Lok Hong dengan keras.
Dua rangkum tenaga dalam yang kuat saling beradu, timbullah gelombang angin yang
kencang. Kedua orang itu tergetar hebat sehingga pakaian yang mereka kenakan berkibarkibar
laksana air yang bergejolak. Begitu beradu tenaga dalam dengan kekerasan, Tan Ki langsung merasa hawa murni di
dalam tubuhnya membuyar cukup banyak, tampak dadanya naik turun dan nafasnya
tersengal-sengal. Keringat mengucur dari keningnya bagai curahan air hujan.
Lok Hong memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Bagaimana kalau kau sambut lagi sebuah pukulan lohu ini?" terdengar suara angin
menderu dan rupanya orangtua itu benar-benar melancarkan sebuah pukulan lagi ke
depan. Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat. Sepasang tangannya pun dihantamkan ke
depan. Meskipun dia tidak ingin terjadi sesuatu hal yang mengenaskan baik pada dirinya
sendiri atau pada diri Lok Hong, tetapi karena orangtua itu terus-terusan mendesaknya
sedemikian rupa, kesabarannya juga mulai habis. Begitu sepasang tangannya
menghantam keluar, secara diam-diam dia telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya
dan bersiap mengadu jiwa dengan Lok Hong.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari mulut seorang gadis, "Jangan berkelahi lagi!"
tubuhnya melesat dan ternyata dengan berani dia menerobos di antara kedua orang itu.
Tenaga dalam Lok Hong sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Pukulannya dapat
dilancarkan dan ditarik kembali sesuka hatinya. Melihat cucu kesayangannya secara
mendadak menghadang di depan mereka berdua dan mencegah mereka bertarung lebih
lanjut, hatinya tercekat bukan kepalang. Cepat-cepat dia menarik kembali tenaga dalam
yang terpancar pada telapak tangannya dan dengan susah payah mencelat mundur satu
langkah. Tetapi pukulan yang dilancarkan oleh Tan Ki justru digerakkan dalam keadaan
marah. Walaupun dia melihat dengan jelas Lok Ing menerobos datang dan menghadang di
hadapan mereka, tetapi untuk sesaat dia tidak sanggup menarik kembali serangannya.
Hatinya masih merasa terkejut setengah mati dan belum sempat memikirkan bagaimana
caranya mengatasi hal tersebut, telinganya sudah mendengar suara jeritan yang menyayat
hati. Rupanya pukulan yang ia lancarkan telah menghantam telak tubuh Lok Ing sehingga
gadis itu terpental melayang di udara sejauh tujuh delapan langkah.
Kali ini rasa terkejut di dalam hati Tan Ki jangan ditanyakan lagi! Dia seakan merasa
dadanya ditinju dengan keras oleh seseorang, tubuhnya bergetar hebat dan sekonyongkonyong
dia seperti orang yang kehilangan kesabarannya. Setelah mengeluarkan suara
teriakan yang keras, orangnya sendiri langsung menghambur ke depan.
Tiba-tiba terasa ada serangkum angin kencang yang menghadang di depannya.
Terpaksa Tan Ki menghentikan langkah kakinya.
Setelah melancarkan sebuah pukulan, Lok Hong segera membungkukkan tubuhnyamenggendong
Lok Ing. Begitu dia menundukkan kepalanya, dia melihat wajah Lok Ing
yang biasanya bersemu dadu kini menjadi pucat pasi seakan tidak ada darahnya. Bahkan
di sudut bibir terlihat darah segar mengalir turun membasahi pakaiannya. Tanpa perlu
memeriksa denyut nadinya, sekali lihat saja sudah dapat diduga bahwa setiap waktu
nyawanya bisa melayang. Dalam usia tuanya, Lok Hong hanya mempunyai seorang cucu yang disayanginya
setengah mati. Dalam waktu yang singkat ternyata dia melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa cucu kesayangannya mungkin tidak lama lagi akan meninggalkan dirinya, terasa
ada serangkum kepedihan yang menyelinap dalam hatinya. Dia memandang wajah Lok
Ing dengan termangu-mangu dan mulutnya seperti menggumam seorang diri.
"Anak bodoh, mengapa harus berbuat demikian" Benar-benar tolol, tolol sekali?"
Beberapa patah ucapan yang sederhana tercetus dari mulut orangtua itu, namun
makna yang terkandung di dalamnya justru seperti aliran air matanya dan ratapan hatinya
yang sedih tidak terkirakan. Orang-orang yang mendengarkannya ikut merasa pilu, hati
mereka terharu sekali sehingga untuk sesaat sampai lupa bahwa keadaan mereka sedang
menghadapi bahaya. Tampak Yibun Siu San, Tian Bu Cu dan Cian Cong berjalan menghampiri. Ketiga orang
itu seakan dapat menduga apa yang akan terjadi. Mereka berhenti pada jarak kurang lebih
lima langkah dari tempat Lok Hong berdiri.
Mereka mengerti sekali apabila seseorang yang terkena pukulan bathin sedemikian
rupa, tetapi tidak menangis atau meraung-raung, berarti memendam kemarahan dan
kepedihannya dalam hati. Tetapi kalau sudah tidak tertahankan, maka endapan emosi
dalam dadanya langsung meluap keluar. Seandainya hal itu sampai terjadi maka dapat
dibayangkan bagaimana dahsyatnya, mungkin seperti gunung berapi yang meletus. Paling
tidak dia akan membunuh orang untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Sedangkan saat
ini mereka justru sedang menghadapi pihak Lam Hay dan Si Yu yang akan menyerbu
datang sore nanti, mereka sangat memerlukan bantuan orang yang mempunyai ilmu tinggi
seperti Lok Hong. Oleh karena itu, ketiga orangtua itu takut Lok Hong akan melakukan
perbuatan yang bodoh karena perasaannya yang kelewat sedih. Mereka malah tidak
berani dekat-dekat dengan dirinya tetapi berdiri di sudut dan mengikuti perkembangan
yang akan terjadi. Tiba-tiba sepasang mata Lok Hong mengalirkan dua bulir air mata. Sungguh
mengenaskan keadaan orangtua tersebut. Dia mendongakkan wajahnya mengeluarkan
suara siulan yang panjang, sekonyong-konyong tubuhnya mencelat ke depan dan dalam
sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan.
Yibun Siu San menarik nafas panjang-panjang.
"Anak Ki, kau benar-benar telah menimbulkan bencana?" wajah orangtua ini selalu
ditutupi sehelai cadar hitam. Tentu saja sulit melihat bagaimana mimik wajahnya saat itu.
Tetapi dari sorotan matanya, Tan Ki dapat melihat kepedihan yang tersirat di sana. Diamdiam
hatinya merasa tergetar" re "Keponakan melukainya tanpa sengaja. Dalam keadaan
seperti tadi, perasaan hati hanya ingin mengadu jiwa karena orangtua itu terus-terusan
mendesak. Namun keponakan sungguh tidak menyangka akhirnya bisa seperti ini."
Yibun Siu San mendongakkan kepalanya sembari membentak, "Dengan tindak
tandukmu yang demikian ceroboh, mana pantas menjabat sebagai Bulim Bengcu. Apabila
tiga ratusan jiwa yang ada di puncak bukit Tok Liong-hong ini diserahkan kepada dirimu,
mungkin suatu hari nanti bisa menjadi korban karena keteledoranmu!"
Sebelumnya Tan Ki belum pernah melihat paman Yibunnya marah sedemikian rupa.
Untuk sesaat dia malah jadi termangu-mangu, kemudian kepalanya ditundukkan dalamdalam.
Dia tidak berani menyahut sepatah kata-pun.
Cian Cong mengeluarkan suara batuk-batuk kecil, kemudian terdengar dia menukas"
"Orangtua jangan mengumbar adat. Kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie sudah mengejar
si keras kepala itu. Apakah persoalan ini akan menjadi budi atau dendam, mungkin segera
akan terlihat hasilnya." Yibun Siu San menarik nafas panjang.
"Aku bukan takut menjadi perselisihan dengan Lok Hong. Tetapi justru memikirkan
kekuatan pihak kita. Di hadapan mata sekarang, sebentar lagi akan terjadi hujan badai.
Kita memerlukan orang yang mempunyai kepandaian tinggi seperti si tua bangka itu.
Dengan demikian kedudukan kita lebih kokoh dari sekarang ini?" tiba-tiba seperti ada
suatu ingatan yang melintas di benaknya, tampak dia menggeleng-gelengkan kepalanya
dan membungkam seribu bahasa. "Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendebatkan persoalan ini. Lebih baik kita
mencari akal menyelamatkan orang-orang yang keracunan!" tukas Tian Bu Cu yang sejak
tadi berdiri di sampingnya berdiam diri.
"Apa yang dikatakan oleh Totiang memang tepat sekali. Namun racun yang dimasukkan
dalam arak ternyata adalah Coa-cio (cairan ular) meskipun kita tahu cara menyelamatkan
mereka, namun dengan tidak adanya obat penawar, boleh dibilang sia-sia saja."
Begitu kata-katanya tercetus keluar, Tian Bu Cu dan Cian Cong saling lirik sekilas serta
berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah ka-tapun. Suasana menjadi hening seketika, hati
mereka sama-sama merasa tertekan. Yibun Siu San menggapaikan tangannya kepada Tan Ki.
"Kau kembalilah ke kamar serta ajak Mei Ling untuk beristirahat. Biar aku yang
mengurus masalah di sini. Tetapi kalau kau sampai berbuat yang tidak-tidak. Aku tidak
segan-segan menghukum dirimu, mengerti?"
Tan Ki mengiakan dengan suara lirih kemudian meninggalkan tempat tersebut.
Sementara itu, si pengemis sakti Cian Cong memejamkan matanya sekian lama untuk
merenung. Beberapa saat kemudian mendadak dia membuka matanya kembali.
"Apabila ada sesuatu hal yang aneh terjadi, tentu ada sebab musababnya atau ada
dalang yang melakukannya. Seandainya orang itu menyusup di dalam orang-orang kita,
kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apabila kita dapat meringkus orang itu, mungkin tidak
sulit bagi kita mendapatkan obat penawar tersebut."
"Apakah kau sudah tahu siapa orang itu?" tanya Yibun Siu San.
Sinar mata Cian Cong menyapu sekilas kepada Kiau Hun yang sedang memungut
pedang pendeknya. Mulutnya tertawa ringan.
"Apa yang dipikirkan si pengemis tua hampir tidak berbeda dengan si bocah Tan Ki.
Perempuan itu tiba-tiba saja mempunyai ilmu yang tinggi, lagipula jurus serangannya
kebanyakan terdiri dari aliran sesat dan bukan dari daerah Tionggoan. Hal ini
mencurigakan sekali. Tetapi apabila kita menuduhnya sebagai orang yang memasukkan
racun, kita masih belum mempunyai bukti yang nyata. Tetapi dia memang tersangka
utama?" Yibun Siu San merenung sejenak. "Ini?" Cian Cong jadi panik melihat sikapnya.
"Tua bangka jangan ini itu lagi. Sekarang ini waktu sangat berharga. Menunda sampai
siang nanti, kita harus merundingkan cara menghadapi pihak Lam Hay dan Si Yu yang
akan melakukan penyerbuan. Saat itu kita tidak mempunyai waktu lagi meringkus
perempuan ini." Yibun Siu San menarik nafas panjang, "Sikap Cian-heng seperti kuda liar yang lepas
kendali. Apa-apa maunya terburu-buru saja. Hengte sendiri juga ingin menyelesaikan
masalah ini secepatnya, juga ingin meringkus si penjahat itu. Tetapi?" dia menghentikan
kata-katanya sejenak, kemudian baru melanjutkan kembali ucapannya. "Keadaan sekarang
ini tidak dapat disamakan dengan kemarin-kemarinnya. Kau dan aku tidak bisa
sembarangan menurunkan perintah atau mengambil keputusan sendiri dalam suatu hal.
Perlu kau ketahui bahwa Tan Ki baru saja menjabat kedudukan Bulim Bengcu. Meskipun
kau dan aku merupakan angkatan tua baginya, tetapi tetap saja kita tidak boleh lancang
menentukan apa-apa. Biar bagaimana harus mendapat persetujuan darinya, baru kita
boleh bertindak. Dengan demikian kewibawaannya tidak jatuh di mata orang-orang
lainnya." Sepasang alis Cian Cong langsung berkerut mendengar ucapannya.
"Kalau ditilik dari ucapanmu, bagaimana kita harus menolong orang-orang yang
keracunan" Seandainya tidak cepat-cepat mendapatkan obat penawar atau meringkus
pelakunya, si pengemis tua tidak tahu lagi apa yang kau inginkan."
Sepasang mata Yibun Siu San yang bersorot tajam seperti sengaja juga tidak, melirik
sekilas kepada Tian Bu Cu. Rupanya orang-orang yang hadir di tempat itu merupakan
tokoh-tokoh Bulim yang sudah berdiri di bawah kekuasaan Tan Ki. Hanya Tian Bu Cu
seoranglah yang tidak termasuk karena orangtua itu merupakan tokoh dari lima partai
besar. Hanya dia yang bukan termasuk anggota Perkumpulan Ikat Pinggang Merah.
Apabila ingin meringkus pelaku kejahatan tersebut, hanya dia seorang pula yang paling
cocok melaksanakan tugas tersebut. Tetapi bagaimanapun orangtua itu merupakan tamu
terhormat, tentu saja Yibun Siu San merasa tidak enak hati memintanya melakukan hal
tersebut. Oleh karena itu, dia terpaksa menyatakan maksudnya dengan lirikan mata yang
mengandung makna tertentu. Mata Tian Bu Cu sangat tajam. Memangnya dia tidak mengerti maksud Yibun Siu San.
Hatinya merasa tidak enak menolak. Oleh karena itu dia segera mengembangkan seulas
senyuman. "Nyawa manusia lebih penting daripada segalanya, hal ini Pinto maklum sekali. Maaf


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau Pinto terpaksa mengunjukkan ilmu yang buruk." sembari berkata, tiba-tiba dia
membalikkan tubuhnya. Gerakannya seperti awan yang berarak melesat ke arah Kiau Hun.
Kiau Hun melihat jubah orangtua itu berkibar-kibar dan menerjang datang ke arahnya.
Diam-diam hatinya menjadi tercekat.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
Tian Bu Cu tertawa sumbang. "Hati-hati menyambut beberapa jurus serangan Pinto!" katanya.
Jubah tosunya dikibaskan, segera terasa ada serangkum angin yang kencang melanda
datang ke arah Kiau Hun. BAGIAN L Baru saja Kiau Hun menggerakkan pedangnya untuk menangkis, tahu-tahu serangan
Tian Bu Cu sudah ditarik kembali. Rupanya baru saja dia melancarkan serangan,
sekonyong-konyong dia mengingat bahwa dirinya merupakan seorang angkatan tua di
dunia Bulim sehingga rasanya tidak pantas melancarkan serangan terlebih dahulu kepada
seorang gadis dari generasi muda. Oleh karena itu, di tengah jalan dia menarik kembali
serangan yang telah dilancarkannya.
Kiau Hun justru menggunakan kesempatan itu baik-baik. Pedang pendeknya
digetarkan, sehingga menimbulkan cahaya seperti pelangi. Dengan kecepatan yang tidak
terkirakan dia segera mengirimkan sebuah tikaman ke depan.
Serangan itu tampaknya biasa-biasa saja dan tidak terlihat keistimewaan sedikitpun,
tetapi gerakannya begitu cepat dan pedangnya memancarkan hawa dingin yang menusuk.
Begitu dilancarkan timbul suara mendengung-dengung seperti ada sekelompok lebah yang
terbang memenuhi tempat tersebut. Hal ini membuktikan bahwa jurus yang digunakannya
benar-benar tidak dapat dianggap enteng.
Selama ini Tian Bu Cu mengasingkan diri di Yang Sim An. Waktunya kebanyakan
dihabiskan dengan bersemedi. Oleh karena itu, boleh dibilang lebih dari separuh hidupnya
dia jarang bertarung dengan orang. Tetapi karena keadaan yang mendesak di mana ada
tiga puluhan orang lebih yang keracunan hebat, maka mau tidak mau dia harus turun
tangan. Apalagi masalah ini menyangkut ketentraman dunia Bulim di masa yang akan
datang. Belum lagi sore nanti pihak Lam Hay dan Si Yu akan menyerbu tempat tersebut.
Dalam keadaan terpaksa, dia menawarkan diri meringkus orang pertama yang dicurigai.
Melihat serangan Kiau Hun begitu gencar dan mengandung kekejian, hati tosu tua ini
merasa tidak senang. Masih begitu muda saja sudah berwatak demikian licik dan jahat,
apalagi kalau usianya sudah lanjut dan ilmunya jauh lebih tinggi dari sekarang ini. Oleh
karena itu, terdengar dia menyebutkan pembukaan doa agama To kemudian mencelat
mundur sejauh enam langkah. Kiau Hun membentak nyaring, pedangnya digetarkan kemudian mengejar ke depan.
Ketika tangannya bergerak, cahaya berwarna hijau langsung tampak memijar, persis
seperti sinar mentari yang baru terbit di ufuk timur, cahayanya memenuhi sekitar tempat
itu dan bagai titik hujan yang jatuh dari langit.
Sepasang lengan Tian Bu Cu direntangkan, seperti seekor walet yang ketakutan dia
mencelat ke samping sejauh lima enam langkah. Kiau Hun melihat orangtua itu
menghindarkan serangannya berkali-kali, diam-diam hatinya merasa heran. Kalau ditilik
dari namanya yang sudah menggetarkan kolong langit, tidak semestinya dia terus
mengundurkan diri seperti sekarang ini. Pikirannya tergerak, kembali dia melancarkan
sebuah serangan. Tampak Tian Bu Cu tetap tenang-tenang saja. Bibirnya malah menyunggingkan seulas
senyuman. Ketika pedang Kiau Hun sudah meluncur ke arahnya dan tinggal jarak
setengah meter, dan tidak mungkin bisa merubah jurusnya lagi, tiba-tiba lengan kirinya
bergerak dengan kecepatan kilat dan mengibas ke depan.
Kiau Hun merasa seperti ada serangkum tenaga tidak berwujud yang menahan ketika
serangan pedangnya meluncur ke depan. Bukan saja dia tidak sanggup meneruskan
serangannya tetapi menariknya kembali pun sulit. Hatinya terkejut bukan kepalang. Justru
ketika otaknya berputar mencari jalan keluar, tahu-tahu pundaknya terasa kesemutan,
seluruh tenaga dalamnya lenyap seketika. Setelah mengeluarkan suara keluhan, tubuhnya
terkulai di atas tanah. Terdengar suara berden-tangan, ternyata pedang pendeknya juga
terlepas jatuh. Melihat keadaan itu, Yibun Siu San dan si pengemis sakti Cian Cong segera
menghambur datang. Dia segera menjura dalam-dalam sambil berkata, "Atas bantuan
Totiang meringkus perempuan ini, cayhe mengucapkan banyak terima kasih."
Tian Bu Cu cepat-cepat membalas penghormatannya dengan rendah diri.
"Jangan sungkan terhadap orang sendiri." sahutnya.
Semua kejadian ini tidak terlepas dari pandangan mata Oey Ku Kiong. Hatinya tercekat
sekali. Tanpa sadar dia langsung berdiri dari tempat duduknya. Namun sekejap kemudian
tampak dia duduk kembali seperti tidak merasakan apapun.
Anak muda ini mencintai Kiau Hun sejak lama. Melihat perempuan itu berhasil
diringkus, dia merasa terkejut sekali sehingga wajahnya langsung berubah. Hampir saja
dia berpikir untuk menerjang ke depan dan mengadu jiwa untuk menolongnya. Tetapi biar
bagaimana dia merupakan seorang manusia yang cerdas. Begitu memperhatikan sejenak,
dia langsung sadar bahwa situasi saat itu sangat tidak menguntungkan dirinya. Dengan
kekuatannya seorang diri, sudah pasti bukan tandingan ketiga orang Cianpwe tersebut.
Jangan kata menolong Kiau Hun, bisa-bisa selembar nyawanya terbuang secara percuma.
Begitu pikirannya tergerak, dia segera duduk kembali dan mengikuti perkembangan
selanjutnya sambil mencari akal menolong Kiau Hun.
m Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki yang mendatangi. Begitu
pandangan matanya dialihkan, tampak Liang Fu Yong berlari datang dengan langkah
tergesa-gesa. Tampaknya ada suatu masalah yang sedang menggelayuti hatinya sehingga
tampangnya begitu gugup dan wajahnya penuh dengan keringat.
"Ada apa?" tanya Tian Bu Cu.
Wajah Liang Fu Yong tampak merah padam. Keringat membasahi keningnya dan masih
terus menetes turun. Tetapi setelah mendengar pertanyaan Tian Bu Cu, dia malah
menggelengkan kepalanya dan tidak menyahut sepatah katapun.
Tampaknya Tian Bu Cu melihat sesuatu pada dirinya. Sepasang matanya menyorotkan
sinar yang tajam serta dingin. Dia memandang Liang Fu Yong lekat-lekat. Tiba-tiba alisnya
yang panjang mengerut ketat, dia seakan ingin mengajukan pertanyaan tetapi akhirnya
ditahan. Namun melihat tampangnya, hati Liang Fu Yong sudah berdebar-debar tidak
karuan. Rupanya ketika Yibun Siu San menyuruh Tan Ki mengajak Mei Ling kembali ke kamar
untuk beristirahat, dia juga ikut serta. Kamar tidur yang disediakan untuknya memang
bersebelahan dengan kamar Tan Ki dan Mei Ling. Pada dasarnya Mei Ling memang istri
resmi Tan Ki, sedangkan dirinya hanya dijanjikan oleh Tan Ki kelak akan diangkat menjadi
selir. Tentu saja janji semacam ini hanya dinyatakan dengan ucapan saja. Melihat sepasang
suami istri itu masuk ke dalam kamar, terpaksa dia kembali ke kamarnya sendiri untuk
beristirahat. Tadinya dia ingin tidur sampai puas. Rasanya kelelahan selama beberapa hari itu ingin
dihilangkannya dengan tidur yang panjang. Tetapi entah mengapa, meskipun dia telah
bergulingan ke sana ke mari sekian lama, tetap saja matanya tidak mau dipejamkan.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara tawa sepasang laki-laki dan perempuan. Hatinya
menjadi tergerak. Perasaan ingin tahunya terbangkit seketika. Setelah mendengarkan
dengan seksama, dia baru sadar bahwa suara tertawa itu terpancar dari kamar sebelah di
mana Tan Ki dan Mei Ling beristirahat.
Biar bagaimana Liang Fu Yong pernah menempuh kehidupan sebagai wanita jalang
yang tiap malam mencari seorang laki-laki untuk menemaninya. Bahkan dia mendapat
julukan Siau Yau Sian-li karena hal ini juga. Kemudian dia diberi nasehat oleh Tan Ki yang
akhirnya membuatnya berniat merubah kelakuannya serta menjadi orang baik-baik.
Akhirnya dia malah diterima sebagai murid tidak resmi oleh Tian Bu Cu yang maha sakti.
Tanpa menyayangkan hawa murni dalam tubuhnya yang terkuras banyak, dalam waktu
semalaman dia merubah Liang Fu Yong menjadi seorang tokoh berilmu tinggi. Namun
manusia mempunyai watak yang dibawa sejak lahir, pepatah mengatakan "Gunung bisa
dirubuhkan, namun hati manusia sulit dirubah". Begitulah keadaan Liang Fu Yong, dari
seorang perempuan jalang tiba-tiba dia berubah jadi orang baik-baik. Meskipun hari demi
hari dilaluinya tanpa menemui kesulitan sedikitpun, tetapi kenangan masa lalunya sering
terbayang di depan pelupuk mata. Pada malam hari dia sering merasa kesepian. Seperti
sekarang ini, hatinya sedang merasa tertekan dan gundah, tiba-tiba telinganya menangkap
suara cekikikan sepasang suami isteri. Otomatis pikirannya melayang ke hal yang satu itu.
Suara itu hanya terdengar dalam waktu sekejap, kemudian ruangan sebelahnya kembali
sunyi senyap dan mencekam. Di depan pelupuk mata Liang Fu Yong seakan melintas
berpuluh-puluh pasangan laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang bulat.
Bayangan yang tidak-tidak saat itu memenuhi seluruh benaknya.
Sesaat kemudian, dia merasa seluruh tubuhnya jadi panas membara. Gairah dalam
dadanya terbangkit. Seluruh tubuhnya gemetar hebat dan dengan keadaan hampir tidak
dapat menahan diri, dia melonjak bangun dari tempat tidurnya.
Bayangan masa lalu kembali menggelayuti pikirannya. Saat ini dia tidak sanggup lagi
mengerahkan lwekangnya untuk menahan hawa nafsu yang berkobar-kobar. Pandangan
matanya beredar ke sekeliling, begitu sepinya keadaan dirinya seakan di dalam dunia ini
hanya ada dirinya seorang yang masih hidup. Segulung harapan yang besar menutupi
kesadarannya, pikirannya mulai kacau. Dia hanya tahu bahwa dirinya saat ini hanyalah
seorang perempuan yang kesepian! Apabila di dalam kamar itu ada seorang laki-laki, tidak
perduli tua atau muda, mungkin dia langsung menerjang orang itu untuk menghilangkan
rasa dahaga dalam hatinya" Meskipun dia telah bertekad untuk merubah dirinya menjadi orang baik-baik, tetapi
pada dasarnya bakat jalang di dalam dadanya masih sering bergejolak dengan kuat.
Sebelumnya dia bergolek di atas tempat tidur dengan gelisah. Begitu melonjak bangun,
tanpa memperdulikan apa-apa lagi, dia langsung melesat keluar dari kamarnya bagai
seekor kelinci yang tidak mempunyai pikiran.
Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat seorang bocah laki-laki berusia
kurang lebih empat belas tahunan sedang berjalan ke arahnya. Tampaknya bocah itu
bekerja sebagai pelayan yang menghantarkan hidangan atau arak bagi para tamu. Saat itu
tangannya membawa sebuah nampan dengan dua mangkok bubur di atasnya yang masih
mengepulkan asap. Rupanya dia hendak mengantarkan makanan untuk Tan Ki dan
istrinya. Di pelupuk mata Liang Fu Yong terbayang langsung hal yang romantis. Tiba-tiba dia
menggertakk Bara Naga 14 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 22
^