Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 19

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 19


anpwe serta Liang Fu Yong yang menutup diri di dalam
goa tidak sampai mengalami peristiwa yang membahayakan."
Tan Ki seperti teringat akan sesuatu hal, tiba-tiba saja dia bertanya, "Siapa perempuan
yang satunya lagi?" Yibun Siu San menggelengkan kepalanya.
"Tidak tahu. Dia juga sama seperti aku ini, mengenakan cadar untuk menutupi
wajahnya. Dengan demikian wajah aslinya jadi tidak kelihatan. Sejak awal hingga akhir dia
tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun dari bentuk badannya dapat diduga bahwa
perempuan ini usianya masih muda sekali."
Mulut Tan Ki mengeluarkan suara "oh" yang panjang. Biji matanya mengerling ke sana
ke mari. Sepertinya ada suatu hal yang sedang ia pertimbangkan dalam hatinya. Kelima
jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Matanya terpejam dan
merenung beberapa saat, tetapi dia tidak bersuara sedikitpun. Telinganya kembali
mendengar suara Yibun Siu San yang berbicara dengan perlahan-lahan.
"Meskipun usia gadis ini masih muda, tetapi tampaknya dia justru yang menjadi
pimpinan orang-orang ini. Dia yang menurunkan perintah dan juga sangat licik. Ciong San
Suang Siu kedua-duanya terluka di tangan gadis ini. La-gipula gadis itu sepertinya
memahami sekali seluk beluk daerah di belakang bukit, begitu sampai dia langsung
menuju goa di mana Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri?"
Kata-kata yang diucapkannya seperti ditujukan kepada Tan Ki, juga merupakan
peringatan kepada orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut. Setiap patah kata
diucapkannya dengan berat dan lambat sehingga menimbulkan peraaan tidak tenang di
hati mereka. Begitu mata dipejamkan, yang terbayang di pelupuk mata justru diri seorang
gadis bercadar yang samar-samar seakan berkelebat ke sana ke mari"
Tiba-tiba si pengemis sakti Cian Gong menepuk meja di hadapannya dan tertawa
terbahak-bahak. "Ditilik dari kata-kata si tua Yibun Siu San tadi, tampaknya dia ingin memperingatkan
bahwa di antara kita terdapat seorang mata-mata. Kalau tidak, pihak Lam Hay maupun Si
Yu tidak mungkin secara kebetulan atau begitu cepat menemukan goa di belakang bukit.
Apabila kita renungkan secara seksama, tampaknya serangan Lam Hay dan Si Yu yang
Secara mendadak tadi seolah ingin memamerkan kekuatan dan mengacaukan keadaan
kita. Tetapi sebetulnya tujuan utama mereka adalah jiwa Tian Bu Cu. Kalau serangan ini
sampai berhasil dan si hidung kerbau itu mati di puncak bukit Tok Liong Hong, akibatnya
tentu dapat dibayangkan. Sudah pasti mereka akan menggunakan cara yang licik dengan
menyebarkan berita di luaran bahwa si hidung kerbau mati karena ulah kita. Dengan
demikian, meskipun kita mempunyai seribu lidah ataupun alasan, pihak lima partai besar
belum tentu mau mengerti. Akhirnya pasti timbul bentrokan antara pihak kita dengan para
partai besar. Kemungkinan malah bisa timbul pertumpahan darah yang hebat. Sedangkan
saat itu mereka tinggal berdiri di samping menyaksikan keramaian dan kemudian
memungut hasilnya." Mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong, orang-orang gagah langsung
mengeluarkan suara seruan terkejut. Mereka bagai tersentak dari mimpi dan wajah
masing-masing menyiratkan perasaan gusar yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
Memang dari pihak lima partai besar, kali ini yang memberikan bantuan hanya Tian Bu Cu
seorang. Apabila sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri orangtua itu,
akibatnya kemarahan pihak lima partai besar pasti terbangkit.
Cian Cong mengangkat hiolo araknya dan meneguk dua tegukan besar. Matanya yang
bersinar tajam menyapu ke sekeliling sekilas. Perlahan-lahan dia berkata lagi.
"Sebentar lagi hari sudah pagi, saudara sekalian sudah letih berkutat sepanjang malam.
Untuk sementara persoalan ini tidak usah terlalu dipikirkan. Biar kita selidiki perlahanlahan,
suatu hari nanti urusan ini pasti bisa mendapat penjelasan yang memuaskan dan
mata-mata tersebut pasti ketahuan siapa orangnya. Dengan demikian kita bisa
membalaskan dendam untuk para sahabat yang gugur hari ini. Setelah sarapan pagi nanti,
pemilihan Bulim Bengcu akan dimulai kembali. Sekarang harap saudara-saudara sekalian
dapat mempergunakan waktu yang singkat ini untuk beristirahat sebaik-baiknya sehingga
dapat hadir dalam pertandingan final nanti."
Selesai berkata, dia segera berjalan keluar mendahului yang lain. Langkah kakinya
ringan sekali, dalam sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata. Tamutamu
yang lainnya mulai bangkit dari tempat duduk masing-masing, dengan berbondongbondong
mereka keluar dari ruangan tersebut.
Dalam waktu yang singkat, di dalam ruangan itu hanya tinggal Yibun Siu San, Lok
Hong, Tan Ki dan istri yang baru dinikahinya, Liu Mei Ling, berempat.
Tampak Yibun Siu San memejamkan matanya, mendengarkan dengan seksama.
Setelah yakin orang-orang gagah lainnya sudah keluar dari ruangan tersebut, dia baru
berkata dengan nada suara berat, "Anak Ki, kau pernah mengatakan kepadaku bahwa di
antara pihak kita telah diselusupi mata-mata dari Lam Hay dan Si Yu. Hal ini membuktikan
bahwa sejak semula kau sudah tahu siapa adanya orang ini. Sekarang di dalam ruangan
ini hanya tinggal aku dan Lok Locianpwe, beliau bukan orang luar bagi kita, kau boleh
mengatakannya terus terang dan tidak perlu ditutupi lagi."
Mendengar kata-katanya, untuk sesaat Tan Ki tertegun. Kemudian dia menolehkan
kepalanya kepada Mei Ling. Tampak sepasang mata istrinya itu juga menyiratkan perasaan
ingin tahu yang dalam. Dia sedang menatap Tan Ki lekat-lekat dengan bibir
menyunggingkan senyuman, seolah perasaannya langsung menjadi tenteram asal berada
dekat suaminya itu. Mungkin apabila ada yang mengatakan gunung Thai San akan roboh,
dia juga tidak merasa gentar. Tan Ki menarik nafas panjang. "Ling Moay, sebelum aku mengatakan siapa adanya orang ini, aku harap kau menjaga
perasaanmu agar jangan sampai terkejut?"
Mei Ling menanggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Tan Ki berpikir sejenak
sebelum berkata, "Orang ini belum lama kukenal?"
Lok Hong tampaknya kurang sabar mendengar ucapan Tan Ki. Wajahnya agak berubah.
Dia segera menukas, "Mengapa sih kau ini suka bertele-tele" Bicara nama seseorang saja
pakai putar-putar segala. Lohu tidak perduli bagaimana kau bisa mengenal orang ini, asal
kau katakan saja secara terus terang siapa orangnya. Coba apakah orang yang kau
sebutkan sama dengan orang yang kucurigai dalam hati" Segala macam tetek bengek
lebih baik dihilangkan saja!" Tan Ki jadi tertegun mendengar kata-katanya yang ketus. Diam-diam dia berpikir di
dalam hati: "Perasaan hati orangtua ini maunya tergesa-gesa, padahal orang yang ingin
mengetahui kejadian yang sebenarnya seharusnya justru bersabar. Dia malah mendesak
orang sedemikian rupa. Hm! Aku, Tan Ki, toh bukan orang yang takut menghadapi urusan
apapun." Meskipun dia menggerutu dalam hati, di luarnya dia tidak berani menunjukkan
perasaan kurang senangnya. "Kalau Locianpwe berkata begitu, Boanpwe terpaksa mengatakannya secara langsung
saja. Orang yang Boanpwe curigai sebagai mata-mata adalah bekas budak keluarga Liu
yang bernama Cen Kiau Hun!" Sepasang alis Lok Hong langsung terjungkit ke atas mendengar keterangannya.
"Lohu pernah mendengar berita bahwa si raja iblis Oey Kang sudah bergabung dengan
pihak Lam Hay. Oleh karena itu di dalam hati Lohu selalu menduga bahwa mata-mata
yang menyelusup ke pihak kita kali ini pasti putra angkatnya Oey Ku Kiong. Orang ini
sangat mencurigakan. Belakangan ini dia malah seakan berpihak kepada kita. Sekarang
tiba-tiba kau mengatakan mata-mata itu justru bekas budak keluarga Liu, Kiau Hun. Entah
bukti apa yang sudah tergenggam dalam tanganmu sehingga kau berani mengatakan
bahwa dialah mata-mata yang dimaksud?"
Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Bukti sih belum ada. Tetapi Boanpwe pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bahwa dia mewakili pihak Lam Hay Bun seorang diri mengadakan pertemuan di sebuah
kuil tua. Sedangkan tujuannya saat itu adalah mengadakan perundingan tentang
persoalan penting dengan adik seperguruan Kaucu Pek Kut Kau. Sayangnya Locianpwe
tadi buru-buru menukas perkataan Boanpwe sehingga banyak kata-kata yang sebetulnya
ingin dijelaskan jadi terlupa. Kalau tidak, tanpa perlu Locianpwe menanyakan pun,
Boanpwe bisa menerangkan semuanya sampai jelas."
Mata Lok Hong mendelik lebar-lebar mendengar ucapannya. Tampaknya orangtua itu
mulai merasa marah. "Sepertinya engkau ini memang sengaja ingin mencari gara-gara dengan Lohu?"
Tan Ki tertawa lebar. "Tidak berani, tidak berani! Locianpwe merupakan seorang pimpinan di daerah Sai Pak.
Nama Locianpwe sudah terkenal di mana-mana dan semua orang mengetahui jiwamu
yang gagah. Sedangkan Boanpwe hanya seorang Bu Beng Siau-cut, bukan ilmunya saja
yang masih rendah, pengetahuan pun cetek sekali. Diri Boanpwe sendiri menyadari bahwa
sinar kunang-kunang tidak mungkin lebih terang dari cahaya rembulan. Locianpwe sekalisekali
jangan salah paham terhadap ucapan Boanpwe."
Mendengar kata-katanya, mata Lok Hong menyorotkan sinar yang tajam menusuk.
Tiba-tiba dia menggebrak meja keras-keras, kemudian bangkit dari tempat duduknya
sambil tertawa terbahak-bahak. "Kata-kata yang kau ucapkan semakin lama semakin kentara bahwa kau memang
sengaja mencari perkara dengan Lohu!"
Suara tawanya mengandung keangkuhan yang tidak terkirakan, namun begitu kerasnya
sehingga mirip geledek yang bergemuruh, Mei Ling sampai merasa jantungnya bergetar
dan cepat-cepat menutup kedua telinganya erat-erat.
Yibun Siu San melihat sikap keduanya secara bergantian. Yang satu matanya
menyorotkan sinar dingin seakan ingin melampiaskan penghinaan yang diterimanya
selama sebulan belakangan ini, sedangkan rambut si orangtua sampai berjingkrakan ke
atas menandakan kemarahan hatinya. Dia juga melihat Lok Hong secara diam-diam telah
mengerahkan tenaga dalamnya seperti siap melancarkan serangan. Suasana saat itu
terasa pengap dan menegangkan. Cepat-cepat dia membuka mulut membentak Tan Ki.
"Anak Ki tidak boleh kurang ajar. Biar bagaimana Lok Locianpwe merupakan Pangcu
dari sebuah perkumpulan besar. Baik nama besar maupun kedudukannya jauh lebih tinggi
daripadamu, mana boleh kau sembarangan mengoceh di hadapannya" Malam ini kita
mendapat banyak bantuan darinya. Berterima kasih saja belum, kau sudah berani berkatakata
yang tidak enak didengar di hadapanku! Tenaga dalam Lok Locianpwe sudah
mencapai taraf yang tinggi sekali. Asal dia turun tangan, jangan harap selembar nyawamu
masih dapat dipertahankan. Cepat minta maaf kepada dia orangtua, apakah kau benarbenar
sudah tidak menyayangkan jiwamu sendiri?"
Tan Ki malah tersenyum simpul mendengar omelannya.
"Apa yang dikatakan keponakanmu ini setiap patahnya merupakan kata-kata yang
sebenarnya, sama sekali bukan ocehan yang tidak benar bukan?"
Begitu kesalnya Lok Hong sehingga dia menggebrak meja di hadapannya keras-keras.
Saat itu juga terdengar suara yang menggelegar, cawan teh di atas meja pecah
berhamburan, air teh yang di dalamnya pun muncrat ke mana-mana.
Tan Ki masih tetap tersenyum. "Locianpwe merupakan seorang pimpinan di daerah tertentu, tidak usah pura-pura
marah. Boanpwe hanya ingin mengingatkan sedikit. Seandainya aku sanggup meraih
kedudukan Bulim Bengcu, entah janji yang pernah Locianpwe ucapkan masih terhitung
atau tidak?" Wajah Lok Hong merah padam, sepasang matanya bagai mengandung kobaran api
yang membara. "Memangnya kau kira siapa diri Lohu ini" Mana mungkin aku menghilangkan rasa
percaya kepada seorang angkatan muda" Tapi kau juga harus ingat baik-baik! Apabila kau
tidak sanggup merebut kedudukan Bulim Bengcu, sepasang telapak besi Lohu ini tidak
akan melepaskan orang yang mencuri ilmu leluhur kami begitu saja!"
Mendengar kata-katanya, Tan Ki langsung berdiri sambil tertawa panjang.
"Baiklah, kita tentukan demikian saja. Sesudah sarapan nanti, kita bertemu lagi di arena
pertandingan!" selesai berkata, dia langsung mengajak Mei Ling meninggalkan tempat
pertemuan tersebut. Telinganya menangkap suara dengusan dingin sebanyak dua kali,
tetapi dia tidak memperdulikan sama sekali.
Kemungkinan, ketika Tan Ki memejamkan matanya merenung tadi, dia telah
mempunyai keyakinan atas dirinya sendiri dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu.
Sedangkan barusan tanpa sadar dia seakan telah menyatakan isi hatinya.
Baru saja Tan Ki dan Mei Ling meninggalkan tempat itu, tampak dua sosok bayangan
berkelebat masuk ke dalam ruangan pertemuan. Rupanya yang datang adalah Ceng Lam
Hong beserta Lok Ing berdua. Entah apa sebabnya, sikap Lok Ing yang keras kepala dan tidak tahu aturan sama
sekali tidak terlihat lagi. Tampak wajahnya yang cantik selalu mengembangkan senyuman
yang lembut. Saat itu sambil berjalan dia berkata kepada Ceng Lam Hong, "Pek Bo, kau
lihat sendiri sikap Tan Koko kepada kakekku kurang ajar sekali, sungguh menyebalkan.
Tetapi Pek Bo hanya memperhatikan tanpa mengatakan apa-apa. Seharusnya kau
orangtua mengajar adat sedikit kepadanya."
Ceng Lam Hong tersenyum simpul. "Anak baik, kau tidak perlu khawatir. Pek Bo pasti mengikuti kemauan hatimu,
pokoknya sampai hatimu puas. Tetapi sekarang masih belum tepat waktunya, asal kau
sabar saja dulu sedikit." Ucapannya itu mengandung dua makna, nada suaranya tenang dan terselip sesuatu hal
yang lainnya. Wajah Lok Ing jadi merah padam. Cepat-cepat dia menghambur ke belakang
Lok Hong. Begitu pandangan mata dialihkan, tampak mata Yibun Siu San maupun Lok Hong
terpejam rapat-rapat. Mereka duduk di atas kursi berbentuk singa dan tidak mengucapkan
sepa-tah katapun. Hatinya menjadi berdebar-debar. Entah apa yang terjadi pada diri
kedua orang ini. BAGIAN XLVI Ceng Lam Hong segera menghampirinya. "Kedua orang itu sedang menghimpun hawa
murni dalam tubuh agar keletihan dapat dihilangkan secepatnya. Sepanjang malam
mereka sudah banyak mengeluarkan tenaga, jangan bersuara, nanti mereka terkejut."
katanya lirih. Lok Ing menghembuskan nafas panjang-panjang. Cepat-cepat dia mengusap keringat
dingin yang membasahi keningnya. Tadi dia sempat panik karena mengira telah terjadi
sesuatu pada diri kakeknya dan Yibun Siu San. Lewat keterangan Ceng Lam Hong,
perasaannya jadi tenang kembali. Bibirnya tersenyum.
"Tit-li (keponakan) juga menduga demikian. Pek Bo, duduk saja di sini." dia langsung
menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Ceng Lam Hong duduk. Dia sendiri menemani
duduk di sebelah kirinya kemudian memejamkan mata beristirahat.
Perlu diketahui bahwa seseorang yang mempelajari ilmu silat dapat bertahan tidak tidur
meskipun tiga hari tiga malam lamanya. Apabila dalam pertarungan terkena luka dalam
atau bagian luar yang terluka, asalkan mengerahkan hawa murni dalam tubuh lalu
beristirahat sejenak, maka keadaannya bisa segera pulih kembali.
Yibun Siu San dan Lok Hong adalah tokoh-tokoh Bulim yang memiliki kepandaian tinggi.
Tenaga dalam mereka juga sudah mencapai taraf yang hebat, tetapi kali ini mereka
sampai memerlukan waktu dua kentungan untuk memejamkan mata beristirahat. Setelah
itu tampak keduanya membuka mata dan kesehatan sudah pulih seperti sedia kala. Hal ini
membuktikan bahwa pertarungan tadi malam cukup banyak menguras hawa murni dalam
tubuh mereka. Sementara itu, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Mereka segera menolehkan
kepalanya. Tampak si pengemis cilik Cu Cia beserta Sam Po Hwesio berjalan masuk
dengan berendengan. Melihat kehadiran kedua orang itu, Yibun Siu San langsung bertanya, "Apakah
semuanya telah disiapkan?" "Suhu si tukang minta-minta sudah membereskan arena pertandingan sampai rapi serta
siap dipakai. Para pendekar tingkat delapan, kecuali Heng Sang Si dan empat rekan
lainnya yang meninggal beserta delapan orang pendekar pedang tingkat enam, semuanya
sudah berkumpul di arena pertandingan. Asal Susiok serta Lok Locianpwe sudah hadir,
rasanya pemilihan Bulim Bengcu sudah bisa dimulai."
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali. Sejenak kemudian tampak dia
berdiri dari kursinya kemudian mengajak Lok Hong menuju arena pertandingan.
Ceng Lam Hong dan Lok Ing berjalan lemah gemulai mengikuti di belakang mereka.
Paling akhir mengiringi si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio, tetapi sepasang mata
kedua orang ini terus mengerling ke sana ke mari. Diam-diam mereka merasa heran
mengapa sampai saat ini masih belum terlihat bayangan Tan Ki dan istrinya.
Dalam waktu singkat keenam orang itu sudah sampai di ruangan pertandingan.
Kerumunan manusia bergerak-gerak, angin pagi menghembus membawa kesegaran.
Pakaian yang berwarna-warni pun melambai-lambai seperti bendera yang berkibaran.
Mereka mengambil jalan mengitar. Di tengah-tengah arena bagian atas tampak duduk si
pengemis sakti Cian Cong. Orangtua itu sedang menggerogoti paha ayam sambil sekalisekali
meneguk arak dari hiolonya. Wajah Cian Cong sudah merah padam, matanya terlihat sayu sehingga kentara jelas
bahwa orangtua itu sudah mulai mabuk. Kemungkinan sebelum menuju ke tempat
tersebut dia sudah minum arak dalam jumlah yang banyak. Orangtua ini memang
mempunyai kebiasaan yang aneh, belum pernah dia minum air putih atau air teh. Biar
makanpun yang diminumnya tetap arak. Setiap minum pasti mabuk. Oleh karena itu dari
tubuhnya tidak sedetikpun tidak terpancar bau arak yang menusuk. Sedangkan pikirannya
semakin terang kalau sudah mabuk. Saat ini dia duduk di bagian atas dengan sepasang
mata mengedar ke sana ke mari. Tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun.
Yibun Siu San mengulapkan tangannya mempersilahkan Lok Hong duduk di bagian
kanan. Dia sendiri tanpa sungkan lagi duduk di tengah-tengah. Ceng Lam Hong dan si
pengemis cilik Cu Cia berdiri di belakang mereka.
Di seluruh arena yang luas itu tidak terdengar sedikit suarapun. Suasana demikian
serius seakan mereka sedang menantikan berlangsungnya pertandingan dengan hati
tegang. Yibun Siu San duduk di tempatnya sambil mengedarkan sepasang matanya yang tajam.
Dia memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Sekonyong-konyong tampak sepasang
alisnya menjungkit ke atas. Dia menolehkan kepalanya kepada Cian Cong.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa anak Ki masih belum hadir juga"
"Si pengemis tua kan bukan inang pengasuhnya, bagaimana bisa tahu mengapa dia
masih belum datang juga" Tetapi Hek Lohan si Hwesio cilik dan Yang Jen Ping melihat dia
berjalan sambil bercakap-cakap dengan istrinya. Entah apa yang mereka kasak-kusukkan.
Meskipun mereka melihat, tetapi kan tidak enak rasanya mengganggu sepasang pengantin
baru yang sedang memadu kasih?"
Yibun Siu San jadi tertegun mendengar kata-katanya.
"Arah mana yang mereka ambil?" tanyanya kembali.
Cian Cong merenung sejenak. "Kemungkinan ke bagian belakang bukit. Sam Po Hwesio mengatakan bahwa si setan
cilik itu mungkin mengkhawatirkan keadaan Liang Fu Yong. Semalam mereka sudah
terlibat berbagai pertarungan, sedangkan dia masih belum mendapat bukti yang nyata
bagaimana keadaan mereka yang sedang menutup diri."
Wajah Yibun Siu San tampak kelam sekali. "Pertandingan sudah hampir dimulai, dia toh
sudah pergi cukup lama, kan seharusnya sudah kembali. Apakah dia tidak tahu setelah
lewat pagi ini, berarti dia tidak mempunyai kesempatan lagi ikut dalam perebutan Bulim
Bengcu?" mendengar nada bicaranya, tampaknya Yibun Siu San mengkhawatirkan
keadaan Tan Ki dan perhatiannya terhadap anak muda itu juga besar sekali.
Cian Cong tertawa lebar. "Si pengemis tua dengan dirimu tiada bedanya. Kita semua mengharapkan si setan cilik
itu dapat melewati tiga macam ujian dalam pertandingan ini dan sanggup menghadapi
lawan yang lain agar kedudukan Bulim Bengcu berhasil diraihnya tanpa susah payah.
Tetapi kita justru tidak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki bocah ini. Waktu
pertandingan sudah hampir dimulai, dia malah tidak muncul. Sedangkan seratus lebih
tokoh Bulim sudah berkumpul di sini menantikan jalannya pertandingan. Kita toh tidak
mungkin menunda waktu lebih lama hanya karena urusan pribadi. Sekarang sebaiknya kita
mulai saja acara ini sambil mengutus orang untuk mencari si setan cilik itu."
Yibun Siu San menarik nafas panjang.
"Aku justru khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya, padahal tidak
ada orang yang dapat disuruhnya mencari bantuan." sambil berkata, dia menggapaikan
tangannya kepada si pengemis cilik Cu Cia, juga Hek Lohan Sam Po Hwesio. Dia berbisik
kepada mereka dengan suara lirih kemudian baru berdiri dengan perlahan-lahan. Dengan
suara keras dia mengumumkan bahwa pertandingan final perebutan Bulim Bengcu
tersebut segera di mulai. Di antara delapan orang jago yang diandalkan, Liu Seng tidak berminat mencari nama
sehingga mengundurkan diri. Sedangkan Kok Hua Hong baru sembuh dari luka yang
parah, untuk sementara tenaganya tidak boleh terkuras. Ciong San Suang Siu sedang
menjaga goa di mana Tian Bu Cu sedang menutup diri menurunkan ilmu kepada Liang Fu
Yong. Tugas mereka bukan saja berat, namun tanggung jawabnya pun tinggi sekali.
Dengan demikian mereka juga tidak dapat turut dalam pertandingan tersebut. Oleh karena
itu, dari antara pendekar pedang tingkat delapan, yang tersisa hanya Goan Yu Liong
beserta tiga orang lainnya. Lihat siapa diantara mereka yang berhak menjabat kedudukan
sebagai Bulim Bengcu. Begitu pertandingan dimulai, empat orang pendekar pedang tingkat delapan itu
langsung dibagi menjadi dua kelompok dan segera melangsungkan pertarungan sengit.
Masing-masing mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenangkan pertarungan.
Untuk sementara kita kembali kepada si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio yang
ditugaskan oleh Yibun Siu San untuk mencari Tan Ki.
Kedua orang itu tidak menunda waktu lagi, mereka segera meninggalkan arena
pertandingan dan lari dengan cepat. Gerakan tubuh mereka bagai awan yang berarak.
Yang tertangkap oleh pandangan mata mereka hanya pepohonan dan rerumputan yang
tinggi. Semakin jauh mereka berlari, jalanan yang dilewati pun semakin sulit ditempuh.
Ranting-ranting pohon serta batu-batu besar kecil menghalangi jalan. Kerikil-kerikil tajam
juga berserakan di mana-mana sehingga menimbulkan perasan tidak enak dalam hati.
Pikiran Cu Cia sedang ruwet, dia tidak memperdulikan jalanan yang banyak liku-likunya
itu. Sepanjang perjalanan dia terus berlari secepat kilat. Dalam sekejap mata dia sudah
mencapai jarak setengah li. Setelah melewati sebuah lekukan, tiba-tiba dia melihat ada
jurang yang dalam sehingga jalanan menjadi buntu. Bagian kiri terdapat pepohonan siong
yang lebat, dedaunannya juga rimbun sekali. Sedangkan di bagian kanan persis
bersebelahan dengan jurang terdapat sebuah goa alami namun sudah dibersihkan oleh
beberapa orang gagah atas perintah Yibun Siu San. Suasana di sekitar begitu tenang
sehingga menimbulkan perasaan tenteram. Memang sebuah tempat yang cocok sekali
apabila digunakan untuk menutup diri berlatih ilmu.
Seiring tiupan angin yang lembut, tampak rumput-rumput melambai-lambai. Pinto goa
yang entah seberapa tebalnya justru tertutup rapat-rapat. Keadaan di sekeliling pun sunyi
senyap tanpa terlihat bayangan seorangpun.
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Dia menunjuk ke arah pintu goa
sambil berkata, "Apakah goa ini yang digunakan Tian Bu Cu Locianpwe untuk menutup
diri?" Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya menyiratkan
perasaannya yang sedang kebingungan.
"Memang goa ini yang dimaksud, tetapi entah ke mana perginya Ciong San Suang Siu
yang bertugas menjaga di sini?"
Mendengar kata-katanya, Sam Po Hwesio jadi termangu-mangu. Matanya mengedar ke
sekeliling tempat itu. "Rasanya sedikit aneh. Tukang minta-minta, biasanya kau paling banyak akal bulus.
Apakah kau bisa menebak apa sebetulnya yang telah terjadi?"
"Si pengemis cilik kan bukan setan penjaga lembah ini, juga bukan tukang ramal.
Tanpa hujan tanpa angin menghadapi urusan seperti ini, mana bisa aku menduga
sembarangan saja. Asal mulanya bagaimana saja aku tidak tahu, rasanya"." tiba-tiba dia
seperti menemukan sesuatu. Kata-katanya terhenti seketika. Sepasang matanya menatap
ke depan lekat-lekat. Sikapnya serius dan waspada.
Sam Po Hwesio tahu sikap rekannya ini sehari-harinya bebas tanpa banyak pemikiran
apa-apa. Sepanjang hari selalu tertawa lebar. Sebelumnya dia tidak pernah melihat
tampang si pengemis cilik seperti sekarang ini, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi
termangudari dalam goa. Cu Cia jadi termangu-mangu beberapa saat. Kemudian
terdengar dia berkata kembali"
"Apakah wajah saudara ini dipenuhi dengan bekas cacar atau lidah saudara yang telah
dipotong oleh mertua, sehingga tidak berani menemui orang dan bahkan tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun" Si pengemis cilik berkelana di dunia Kangouw, bukan
baru dua tiga tahun ini, tetapi belum pernah menemui manusia yang menyembunyikan
kepala memperlihatkan ekor seperti dirimu ini. Apabila saudara mempunyai kepala dan
wajah, ada she serta nama, seharusnya tidak perlu menyembunyikan diri di tempat gelap
seperti setan gentayangan. Meskipun selembar nyawa si tukang minta-minta ini tidak
seberapa nilainya, namun hanya mati di tangan seorang pendekar sejati baru merasa
puas!" Si pengemis cilik mengira kata-katanya yang keras dan tajam ini pasti bisa
menimbulkan kemarahan orang yang bersembunyi itu sehingga mengunjukkan diri. Paling
tidak dia akan membuka suara memberikan sahutan. Dengan demikian tidak sulit baginya
untuk menentukan bagian mana orang itu menyembunyikan dirinya. Setelah itu urusan
timenjaga segala kemungkinan, sekonyong-konyong dia merasa ada serangkum angin
yang menerpa dari depan. Keadaan di dalam goa itu begitu gelap sehingga kelima jari
tangan sendiripun tidak terlihat. Meskipun pandangan mata Cu Cia lebih tajam daripada
orang biasa, dalam keadaan seperti ini dia tidak dapat melihat senjata rahasia apa yang
sedang meluncur ke arahnya. Hatinya menjadi tercekat, mulutnya mengeluarkan suara
teriakan keras. "Ada senjata rahasia!" sepasang lengannya direntangkan ke depan, seiring dengan
suara teriakannya, tubuh si pengemis cilik pun mencelat ke samping dengan gerakan
secepat kilat. Tanpa menunda waktu dia pun meloncat mundur ke belakang tiga langkah.
Terdengar suara benturan logam dan batu, Cu Cia tahu senjata rahasia itu sudah
mengenai dinding goa di sampingnya. Suaranya saja sampai bergema ke seluruh goa dan
kumandangnya seperti sahut menyahut.
Cu Cia merasa marah sekali terhadap bo-kongan itu.
"Siapa yang menimpukkan senjata rahasia" Kalau sahabat dari dunia Bulim seharusnya
memberi peringatan terlebih dahulu!"
Untuk sekian lama tetap tidak ada sahutan sumbernya dari bahwa tanah, suaranya
sendiri gemuruh memekakkan telinga. Kurang lebih setengah menit kemudian sepasang
pintu yang tadinya tertutup rapat mulai membuka.
Si pengemis cilik Cu Cia merentangkan pedang pendeknya di depan dada kemudian
mendahului Sam Po Hwesio menerjang ke dalam. Dengan bantuan cahaya matahari yang
sedang bersinar terang, dia mengedarkan pandangannya. Tampak tinggi goa itu mencapai
satu depa setengah. Keadaan di dalamnya luas sekali. Tetapi karena lama sekali tidak
pernah dimanfaatkan, maka di dalamnya masih terasa ada hawa yang lembab.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar, rupanya sepasang pintu goa yang tadi
telah terbuka sekarang merapat kembali. Kalau waktu membukanya agak lama, tutupnya
justru cepat sekali. Otomatis ruangan goa tersebut kehilangan penerangan dan menjadi
gelap gulita. Sam Po Hwesio meleletkan lidahnya sambil tertawa lebar.
"Amit-amit! Kalau saja si hwesio cilik terlambat masuk satu detik saja, tubuh ini pasti
tergencet pintu yang tebal ini dan bisa-bisa gepeng seperti perkedel!"
Si pengemis cilik mengerutkan sepasang alisnya, dia berkata dengan suara lirih,
"Jangan banyak bicara! Menurut pandangan si pengemis cilik, di dalam goa pasti
bersembunyi seorang tokoh yang berbahaya. Keadaan sekarang tidak menguntungkan
bagi kita, apalagi si pengemis cilik masih belum menemukan seorang tukang minta-minta
perempuan yang dapat dijadikan isteri, dengan demikian ketu-runanpun belum ada. Siapa
yang ingin mati konyol di tempat ini?" mulutnya berkata, langkahnya mulai bergerak.
Perlahan-lahan dia berjalan masuk ke dalam goa.
Sam Po Hwesio melepaskan tasbeh yang mengalungi lehernya. Digenggamnya erat-erat
tasbeh itu di tangan. Dia mengikuti belakang Cu Cia dengan ketat seakan takut
ketinggalan oleh sahabat karibnya itu. Berduaan mereka masuk ke dalam goa dengan hatihati.
Selangkah demi selangkah mereka bertindak. Setelah berjalan kurang lebih tiga puluh
depaan, mereka mulai merasa tanah yang diinjak menjadi kasar dan penuh dengan batubatu
kecil. Semakin lama semakin sulit ditempuh. Baru saja dia ingin mengingatkan Sam
Po Hwesio agar mengerahkan tenaga dalamnya goa ini tanpa sebab musabab yang pasti!"
Sam Po Hwesio merenung beberapa saat. Dia merasa apa yang dikatakan si pengemis
cilik Cu Cia memang beralasan. Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya. Setelah yakin
tidak ada hal yang mencurigakan, tubuhnya langsung berkelebat ke depan goa dan
memeriksa keadaan di sana dengan teliti.
Sejenak kemudian terdengar suara teriakan Sam Po Hwesio, "Apa yang diduga oleh si
tukang minta-minta ternyata sedikitpun tidak salah. Di tempat ini terdapat banyak jejak
kaki. Rumput-rumputan terkulai karena bekas injakan. Tampaknya malah telah terjadi
pertarungan yang sengit, sehingga banyak bekasnya yang serabutan. Sedangkan bekas
jejak kaki ada yang dalamnya sampai tiga senti, lagipula satu di antaranya kecil sekali.
Tidak salah lagi jejak kaki seorang perempuan?"
Si pengemis cilik tidak mengucapkan sepa-tah katapun. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat
ke depan goa, tangannya mengulur ke depan dan menekan suatu benda yang bentuknya
bulat kecil. Dalam waktu yang bersamaan, tangan kanannya langsung mengeluarkan
sebatang pedang pendek berukuran tiga mistar.
Terdengar suara rantai berderak-derak, mangu untuk beberapa saat.
"Apakah kau menemukan sesuatu?"
Tangan si pengemis cilik menunjuk ke arah goa batu.
"Hek Lohan, coba kau perhatikan. Di depan batu goa itu ada tiga batang senjata
rahasia, entah siapa yang menjatuhkannya di sana. Juga terdapat sepasang golok.
Rasanya telah terjadi sesuatu belum lama ini. Kalau jatuhnya tadi malam, setelah terkena
embun pagi, cahayanya pasti tidak demikian berkilau lagi. Di rerumputan bagian timur
juga terdapat beberapa senjata rahasia, juga secarik koyakan baju berwarna abu-abu. Aku
masih ingat dengan jelas bahwa Yi Siu Locianpwe mengenakan pakaian dari,bahan yang
persis dan warnanya pun sama pula!"
Hati Sam Po Hwesio tergetar mendengarnya.
"Maksudmu di depan goa ini telah terjadi suatu peristiwa pagi ini?"
Cu Cia menganggukkan kepalanya berkahkah.
"Secara kasarnya memang demikian. Kalau tidak, Ciong San Suang Siu Locianpwe yang
sudah tahu tugas serta tanggung jawabnya sangat berat, tidak mungkin meninggalkan dak
begitu sulit lagi diselesaikan. Kalau tidak, posisi dirinya sungguh tidak menguntungkan.
Musuh di tempat gelap, sedangkan dirinya di tempat terang. Setiap gerak-geriknya dapat
diketahui oleh lawan sehingga dia kehilangan peluang melakukan penyerangan. Orang
bodoh juga mengerti bahwa kedudukannya sekarang sudah kalah set. Oleh karena itu,
selesai berkata dia segera mempertajam indera pendengarannya dan mendengarkan
dengan seksama. Dalam keadaan seperti ini, walaupun sebatang jarum jatuh di atas tanah pada jarak
sepuluh depa, pasti masih dapat terdengar jelas olehnya. Siapa nyana setelah
mendengarkan beberapa saat tetap saja tidak ada suara sedikitpun. Akhirnya hawa
amarah dalam dada si pengemis cilik jadi meluap. Dia berteriak dengan suara keras, "Hei,
kalau kau masih tidak mengunjukkan diri juga, si pengemis cilik akan memaki-maki
delapan keturunan dari nenek moyangmu!"
Baru saja ucapannya selesai, tampaknya pihak lawan sudah mulai kehabisan perasaan
sabarnya. Tiba-tiba terdengar suara angin berdesir, tiga batang senjata rahasia meluncur
ke arahnya secepat kilat. Cu Cia mengeluarkan suara dengusan berat satu kali. Lengan kanannya bergerak dan
tenaga dalam langsung terpancar keluar. Begitu ketiga batang senjata rahasia itu agak
mendekat, sekonyong-konyong Cu Cia mengibaskan tangannya dengan jurus Angin
Menangkap Bayangan. Tampak pedangnya berkilauan dan menimbulkan bayangan seperti
bunga-bunga yang menerjang ke atas. Terdengar suara berdentang beberapa kali
berturut-turut. Tiga batang senjata rahasia tersampok jatuh di atas tanah oleh pedang si
pengemis cilik. Pendengaran si pengemis cilik Cu Cia sangat tajam, apalagi sejak semula dia memang
sudah memusatkan seluruh perhatiannya. Ketika telinganya mendengarkan dengan
seksama, dia segera dapat menduga dari mana ketiga batang senjata rahasia itu
dilemparkan. Tempatnya kurang lebih dua belas langkah di sebelah kiri. Dengan demikian
dia segera tertawa terbahak-bahak. "Si pengemis cilik juga mempunyai sedikit hadiah untukmu, sambutlah!" tangan kirinya
mengibas, dua butir batu kecil melayang ke depan.
Rupanya ketika berbicara tadi, secara diam"diam dia sudah menyediakan dua butir
batu dalam genggaman tangannya. Kedua butir batu tersebut melayang secepat kilat
karena dilemparkan dengan tenaga dalam yang kuat. Terdengar suara desiran pakaian
yang sekejap mata sirap kembali. Kemudian terdengar suara: Plok! Plok! Dua kali dari
jarak kurang lebih satu depaan. Kedua butir batu itu mengenai dinding goa sehingga
menimbulkan gema yang berkumandang di seluruh goa. Tentu saja orang itu sudah
berpindah tempat ketika ia menimpukkan senjata rahasia.
Untuk sesaat Cu Cia jadi termangu-mangu. Diam-diam dia berpikir di dalam hatinya.
"Entah siapa orang ini" Ternyata ilmu meringankan tubuhnya begitu tinggi. Seandainya
dia sengaja menggunakan senjata rahasia mempermainkan aku, jangan harap aku dapat
menggeser setengah langkah saja. Tampaknya kalau begini terus, keadaan Tian Bu Cu
Locianpwe semakin lama bisa semakin berbahaya. Lagipula aku tidak tahu ada berapa
jago kelas tinggi yang bersembunyi di dalam goa ini."
Pikirannya bekerja cepat bagai kincir angin, setelah berputaran beberapa kali, hati Cu
Cia semakin panik. Matanya menatap ke arah dalam goa dengan termangu-mangu. Dia
sendiri bingung apa yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa Sam Po Hwesio.
"Hidup ada tempatnya, mati ada suratan nasibnya. Bila Giam Lo-ong (Malaikat elmaut)
sudah menentukan ingin mengambil jiwa kita berdua di tempat ini, mau lari pun tidak
mungkin. Saat sekarang ini yang paling penting justru menolong orang. Kita terpaksa
berusaha dengan menempuh bahaya!" sambil berkata, tampak tubuhnya yang gemuk
berkelabat. Sepasang lengan bajunya menimbulkan desiran angin, dia melesat lewat di
samping Cu Cia kemudian menerjang ke depan.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari dalam goa, "Berhenti! Kalau kau
masih berani maju terus, jangan salahkan apabila aku turun tangan melukaimu!"
Sam Po Hwesio tertawa terbahak-bahak.
"Maaf sekali kalau si Hwesio cilik tidak dapat menuruti permintaanmu!"
Sepasang kakinya dipercepat, dua kali loncatan dia sudah mencapai sembilan langkah
lebih. Cu Cia yang melihat Sam Po Hwesio menerjang ke depan tanpa memperdulikan
bahaya langsung mengerutkan sepasang alis karena perbuatan rekannya itu benar-benar
ceroboh. Mudah sekali apabila lawan hendak membokongnya secara tiba-tiba. Tetapi saat
itu sudah terlambat baginya mencegah, terpaksa dia mengerahkan hawa murninya dan
mengejar ke depan. Siapa nyana baru saja dia melesat ke depan, telinganya sudah mendengar suara
dengusan berat Sam Po Hwesio. Orangnya sendiri bagai disengat aliran listrik. Setelah
gemetar sebentar, dia langsung terkulai jatuh di atas tanah. Si pengemis cilik telah
bersahabat karib dengannya cukup lama. Selama beberapa tahun ini mereka bergembira
bersama, apabila ada kedukaan pun dibagi bersama, boleh dibilang mereka berdua seperti
orang dengan bayangannya yang tidak pernah berpisah sekejap matapun. Hubungan
mereka demikian erat seperti kelima jari tangan sendiri.
Sam Po Hwesio terkulai di atas tanah, kejadiannya begitu cepat. Cu Cia tahu dia telah
dibokong oleh seseorang. Saat itu juga perasaan amarah dalam dadanya jadi meluap.
Wajahnya menyiratkan kegusaran yang berbaur dengan rasa sedih. Dia langsung
mengeluarkan suara siulan yang panjang, pedang bambunya mengerahkan jurus
Menyerang Delapan Penjuru di Malam Hari. Timbul berpuluhpuluh bayangan dari pedang
bambunya yang digunakan untuk melindungi diri, orangnya sendiri menerjang ke depan
dalam waktu yang bersamaan. Dalam keadaan marah, kecepatan tubuhnya bagai terbang. Dalam sekejap mata saja


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia sudah sampai di tempat Sam Po Hwesio terkulai. Dari dalam goa panjang dan gelap,
kembali berkumandang suara yang dingin tadi.
"Kalau kau ingin mati kan mudah saja!"
Cu Cia menggetarkan lengan kanannya, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan
sekonyong-konyong berubah posisi. Pedangnya menimbulkan suara angin yang menderuderu
dan dilancarkannya langsung ke arah sumber suara barusan.
Entah mengapa, tiba-tiba dia merasa bagian pahanya kesemutan, peredaran darah di
bagian bawah tubuhnya bagai tersumbat, tenaganya lenyap dan hampir saja dia terkulai
jatuh. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan dengan keras dia
menghentakkan sepasang pundaknya ke belakang, gerakan tubuhnya pun terhenti. Tetapi
untuk beberapa saat dia sempat terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Apabila pada saat itu orang yang bersembunyi dalam goa kembali menimpukkan
sebatang senjata rahasia, biarpun ilmu Cu Cia lebih tinggi lagi dari sekarang, tetap saja
sulit baginya untuk menghindarkan diri. Entah apa sebabnya, ternyata orang itu tidak
melakukan tindakan apa-apa. Seluruh ruangan goa yang gelap gulita itu menjadi hening
sekali. Bahkan terasa ada serangkum hawa tegang yang menyelimuti keadaan di
dalamnya. Hal ini membuat perasaan orang semakin tidak tenang.
Ketika Cu Cia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, dia merasa aliran hawa
tersebut seakan tersumbat, paha kirinya sulit digerakkan. Dia langsung tahu bahwa
barusan dirinya telah terkena senjata rahasia lawan yang mengandung racun. Meskipun
nyali anak muda ini sangat besar dan selamanya menganggap remeh terhadap kematian,
tetapi kali ini hatinya tercekat juga. Dia segera mendongakkan wajahnya dan membentak
dengan suara lantang, "Hei, siapa kau sebenarnya" Keluarlah dan biar si pengemis cilik
melihat tampangmu, dengan demikian matipun tidak menyesal!"
Orang itu mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.
"Sebelum masuk ke dalam goa ini, cahye sudah menutupi wajah dengan sehelai cadar.
Seandainya saat ini aku keluar menemuimu, kau juga tidak dapat melihat wajah asliku!"
Cu Cia sengaja merenung sejenak. Sesaat kemudian baru dia berkata kembali.
"Si pengemis cilik maklum ilmu silatku masih tidak dapat menandingi dirimu, tetapi aku
rela mati di bawah tanganmu. Apabila ada beberapa temanmu yang lain di dalam goa, ada
baiknya suruh mereka turun tangan sekalian, agar si pengemis cilik mati dengan puas!"
Sembari berbicara, tangannya terulur ke depan meraba-raba tubuh Sam Po Hwesio. Dia
ingin memeriksa keadaan sahabatnya, apakah masih hidup atau sudah mati. Tindakannya
ini dilakukan dengan cepat sekali, baru saja teraba dia sudah menarik tangannya kembali.
Sementara mulutnya sedang berbicara, Cu Cia mengira lawannya pasti berhasil dikelabui.
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan suara tertawa terbahak-bahak.
"Teman baikmu itu hanya tertotok jalan darahnya, dalam waktu satu kentungan lebih
tidak mungkin mati. Kau tidak perlu khawatir, lagipula cayhe sama sekali tidak berniat
melukai orang, maka cara turun tanganpun ringan sekali. Sekarang ini lebih baik kau
berdiri diam-diam di tempatmu itu, jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Cahye
sendiri juga tidak ingin mencari kesulitan."
"Siapa kau sebenarnya" Apakah Ciong San Suang Siu telah terbunuh olehmu?" tanya
Cu Cia semakin penasaran. Sekali lagi orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak perlu mencapaikan diri beromong kosong, kurang lebih setengah kentungan
kemudian, semua urusan akan menjadi terang!"
Hati Cu Cia tergetar mendengar perkataannya, tiba-tiba saja dia membayangkan diri
Tian Bu Cu yang entah selamat atau tidak. Tanpa dapat ditahan lagi dia langsung bertanya
kepada orang itu. "Apakah Tian Bu Cu Locianpwe juga sudah?"
Belum lagi ucapannya selesai, sekonyong-konyong telinganya mendengar suara
benturan senjata. Nadanya melengking membuat telinga menjadi ngilu. Sumbernya dari
dalam goa. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya, tampak di dalam goa yang tertangkap
pandangan mata hanya kegelapan. Jarak lebih dari tiga langkah sudah tidak kelihatan
apaapa lagi. Meskipun Cu Cia memusatkan pandangan matanya, tetap saja dia tidak
menemukan jejak apa-apa. Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berdiri terdengar suara desiran angin yang
timbul dari pakaian seseorang, semakin lama semakin menjauh. Sesaat kemudian suara
itu tidak terdengar lagi. Cu Cia yakin orattg yang bersembunyi tadi sudah meninggalkan
tempat tersebut. Apabila pendengaran Cu Cia tidak cukup tajam, tentu dia tidak dapat
mendengar suara gerakan orang itu yang demikian ringan.
Dia maklum situasi saat ini sangat gawat, menunda waktu satu detik satu menit saja,
kemungkinan menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Dia tidak sempat memeriksa
keadaan luka Sam Po Hwesio lagi, tubuhnya langsung bergerak, berkelebat masuk ke
dalam goa. Sayang sekali pahanya sendiri juga terluka, gerakannya menjadi kaku dan
tidak gesit seperti biasa. Oleh karena itu, jalannya juga tidak dapat terlalu cepat.
Kurang lebih seminuman teh kemudian, dia menikung pada sebuah belokan. Telinganya
kembali mendengar suara benturan senjata. Dia segera menduga ada orang yang sedang
mengadakan pertarungan. Cepat-cepat dia melonjak dua kali berturut-turut. Dengan
menahan rasa nyeri di pahanya, dia terus menerjang maju ke depan. Setelah lewat lagi
sebuah tikungan, tiba-tiba pemandangan di depan matanya jadi terang. Di kiri kanan
dinding goa terdapat beberapa batang obor besar yang menyala, sinarnya berkibaran
sehingga matanya yang sejak tadi melihat keadaan gelap menjadi silau. Untuk sesaat dia
tidak berani membuka matanya. Namun dia sadar musuh kuat sedang di hadapan mata, setiap waktu bisa menyebabkan
peristiwa yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, setelah memejamkan mata beberapa
saat, perlahan-lahan dia membukanya kembali.
Begitu pandangan matanya sudah terbiasa, dia melihat Ciong San Suang Siu duduk
berdampingan di depan tumpukan kayu bakar. Wajah mereka pucat pasi dan keringat
membasahi seluruh tubuh mereka. Tampang mereka menyiratkan penderitaan yang dalam
seakan sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan. Di bagian pundak, pinggang
maupun paha mereka terlihat tanda luka yang cukup dalam. Darah segar masih terus
menetes. Tampaknya kedua orang itu saja melangsungkan pertarungan sengit dengan
pihak musuh dan akibatnya terluka cukup parah.
Mei Ling sedang berjongkok di bawah tanah mengobati kedua orangtua tersebut.
Meskipun dia tahu di belakangnya ada orang yang berlari mendatangi, tetapi dia tidak
menolehkan kepalanya atau melirik sekilas.
Seorang laki-laki berpakaian putih dengan wajah ditutupi sehelai cadar berdiri di
samping dengan tangan menggenggam sebatang pedang. Diam-diam Cu Cia
memperhatikan orang ini. Mungkin dialah yang menimpukkan senjata rahasia di tengah
goa tadi. Tanpa dapat ditahan lagi hidungnya mengeluarkan suara dengusan dingin.
Setelah itu baru dia mengalihkan pandangannya. Siapa nyana begitu melihat, dia langsung
merasa jantungnya berdebar-debar dan hatinya menjadi panik bukan main.
Dia melihat sebelah lengan Tan Ki terulur ke depan dengan wajah kelam. Dengan
pedang sulingnya dia menahan pedang panjang di tangan seorang gadis berpakaian
merah. Gadis itu juga menggunakan cadar untuk menutupi wajahnya. Hanya dari bentuk
tubuhnya dapat dipastikan bahwa usianya masih cukup muda. Saat ini kedua orang itu
saling mengadu kekuatan tenaga dalam lewat senjata masing-masing, tubuh mereka tidak
bergerak sedikit-pun. Tampak keringat sudah membasahi kening keduanya, dada mereka turun naik dan
nafas-pun tersengal-sengal. Masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya yang
disalurkan lewat pedang dan berusaha mendesak lawannya.
Keduanya mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendesak lawannya. Hal ini
membuat kedua batang senjata mereka hampir tidak bisa dipertahankan. Tampak cahaya
dari percikan api yang timbul dari senjata mereka memijar-mijar. Kedua senjata saling
bergesekan dan seperti mengandung aliran listrik. Timbul suara yang membuat
pendengaran menjadi ngilu. Kurang lebih sepeminuman teh kemudian tampak wajah Tan Ki semakin kelam,
keringatnya mengucur bagai curah hujan. Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut
gadis itu, tubuhnya terhuyung-huyung seakan sudah mulai tidak kuat mempertahankan
diri. Mungkin sebentar lagi dia akan terdesak mundur. Laki-laki berpakaian putih yang
wajahnya juga ditutupi cadar seakan tergetar melihatnya, tanpa sadar kakinya melangkah
ke depan setengah tindak. Cu Cia melihat laki-laki itu ingin maju ke depan memberikan bantuan kepada si gadis
berpakaian merah. Dia segera memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Saudara harap jangan keburu nafsu! Jangan lupa masih ada si pengemis cilik di sini!"
Tiba-tiba semangat si gadis berpakaian merah sepertinya terbangkit kembali. Tubuhnya
bergerak ke sana ke mari. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangannya sudah
bertambah sebatang pedang pendek. Meskipun ukuran pedang itu pendek, tetapi
cahayanya justru berkilauan sekali. Begitu digerakkan terasa ada serangkum hawa dingin
yang menyebar. Kalau dibandingkan dengan pedang panjang di tangan kanannya,
mungkin ketajamannya melebihi beberapa kali lipat.
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Diam-diam dia menghimpun hawa
murni dalam tubuhnya dan memperhatikan tindakan yang akan diambil oleh gadis
tersebut. Tampaknya gadis itu mengatur pernafasannya sejenak, tiba-tiba tubuhnya
kembali berkelebat dan menerjang datang ke arah Tan Ki.
Kedua orang itu kembali bergerak dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang
dahsyat serta kecepatan bagai kilat. Orang lain jangan harap dapat melihat bagaimana
mereka menggerakkan senjata masing-masing, yang tampak hanya cahaya berwarna hijau
dan sinar putih yang berkilauan menusuk pandangan mata. Untuk sesaat bayangan
manusia laksana menari-nari di tengah kabut yang tebal.
Terasa hawa yang terpancar dari pedang menyebar sejauh lima langkah di sekeliling
mereka. Bahkan obor api yang tertancap di kanan kiri dinding goa ikut melambai-lambai
karena terpaan angin yang kencang. Kadang sinarnya menyala terang, sekejap kemudian
redup kembali. Tan Ki khawatir suara pertarungan mereka mengejutkan Tian Bu Cu yang
sedang menutup diri. Oleh karena itu, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak
menimbulkan suara bising. Cu Cia sampai mengeluarkan keringat dingin menyaksikan pertarungan tersebut. Diamdiam
dia berpikir dalam hatinya: "Tampaknya ilmu pedang memang benar tidak ada
batasnya. Suhuku sendiri terkenal di dunia Kangouw dengan ilmu pedang Delapan Pedang
Pengejar Sukma-nya. Tetapi kalau dibandingkan dengan ilmu yang digunakan Tan-heng
sekarang, kemungkinan malah sudah kalah satu garis. Usia Tan-heng paling-paling lebih
tua satu dua tahun dibandingkan denganku, ternyata dia sudah berhasil melatih ilmu
pedangnya sampai taraf sedemikian tinggi sehingga dapat melukai orang dari jarak
sepuluh langkah tanpa wujud sama sekali?"
Justru di saat Cu Cia sedang merenung, teryata telah terjadi perubahan di arena
pertarungan. Tampak cahaya hijau semakin lama semakin membesar. Hawa yang
terpancar dari pedang seperti mengandung kegusaran. Tiba-tiba terdengar kembali suara
logam beradu, timbul secarik sinar bagai pelangi yang hanya sepenggal. Bayangan
manusia pun memencar, sebatang pedang suling di tangan Tan Ki yang langka ternyata
kutung putus oleh cahaya hijau yang tajam tadi. Di lain pihak pedang panjang di tangan
kanan si gadis berpakaian merah juga patah menjadi dua bagian, dari lengannya terlihat
darah mengalir. Tetapi karena wajahnya ditutupi dengan cadar, jadi tidak tampak
bagaimana tampangnya saat itu. Tampaknya dia tergetar oleh tenaga dalam Tan Ki yang kuat. Kalau saja gerakannya
kurang cepat, mungkin sebelah lengannya juga ikut terpapas putus. Untungnya dia cepatcepat
menahan serangan Tan Ki dengan pedang panjangnya. Dalam hati dia sadar bahwa
apabila pertarungan ini tetap diteruskan, dia juga bukan tandingan Tan Ki. Rencana yang
telah diperhitungkan matang-matang tampaknya tidak mungkin terwujud lagi. Tanpa
menunda waktu lagi gadis itu mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian
menghambur keluar dari goa tersebut.
Cu Cia dapat melihat bagaimana liciknya gadis ini. Saat itu sang gadis melesat lewat di
sampingnya, dia segera mengambil kesimpulan bahwa dia harus menggunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang murid yang
dididik oleh tokoh lurus. Tentu saja dia tidak sudi membokong orang secara diam-diam,
oleh karena itu mulutnya segera mengeluarkan suara bentakan nyaring, "Sambut
seranganku ini!" pergelangan tangannya memutar, pedangnya langsung dijulurkan ke
depan. Dengan jurus Ular Putih Memuntahkan Bisa, dia melancarkan sebuah tikaman.
Serangan ini dikerahkan setelah mempertimbangkan baik-baik. Dengan demikian
kehebatannya tidak dapat dianggap ringan. Suara yang timbul dari serangannya menderuderu.
Kecepatannya bagai kilat menyambar.
Punggung si gadis berpak un merah seakan mempunyai mata, tanpa memalingkan
kepala, lengannya sudah terulur dan menghantam ke belakang. Kalau dikatakan memang
aneh juga, serangannya itu ternyata dengan telak menahan pedang kayu Cu Cia yang
sedang meluncur ke arahnya. Cu Cia melihat dia melancarkan serangan balasan tanpa menolehkan kepalanya sedikit
pun. Bahkan langkah kaki gadis itu tidak berhenti sama sekali. Tampaknya dia memang
tidak memandang sebelah mata kepada Cu Cia. Karena usia si pengemis cilik itu masih
relatif muda, otomatis emosi dalam dadanya gampang meluap. Saat itu juga dia menjadi
gusar, kecepatan pedang bambunya dipertambah, serangkum angin yang kencang
langsung terpancar keluar. Namun baru saja dia maju dua langkah, pedang bambunya
telah tertahan oleh tenaga dalam yang tidak berwujud. Hatinya tercekat, tangannya yang
menggenggam pedang terasa panas dan hampir saja dia tidak dapat mempertahankan
diri. Akhirnya pedang bambu di tangannya terjatuh di atas tanah kerena terlepas dari
pegangannya. Matanya menatap lekat-lekat bayangan punggung si gadis berpakaian merah yang
terus melesat pergi. Tanpa terasa dia jadi termangu-mangu. Seandainya gadis itu memang
berniat melukainya, asal tenaga dalamnya tadi ditambah sedikit lagi, Cu Cia pasti tidak
sanggup mengundurkan diri dalam keadaan utuh. Berpikir sampai di sini, tanpa dapat
ditahan lagi tubuhnya bergetar. Bulu kuduknya merinding semua membayangkan
kehebatan ilmu silat gadis itu. Sementara itu, Tan Ki membungkukkan tubuhnya memungut kembali pedang sulingnya
yang sudah terkutung sebagian. Dia memasukkannya ke dalam saku pakaian.
"Kedatangan Cu-heng sungguh kebetulan. Harap kau menjaga diri Tian Bu Cu
Locianpwe yang sedang merawat lukanya!"
Melihat orang habis berkata sudah berniat pergi, Cu Cia malah jadi tertegun.
"Memangnya Tan-heng sendiri hendak ke mana?"
"Aku ingin menyelidiki jejak orang-orang tadi!" tanpa memberi kesempatan bagi Cu Cia
untuk mengajukan pertanyaan lagi, Tan Ki langsung melesat keluar dari goa tersebut.
Tampak bayangan tubuhnya berkelebat bagai hembusan angin dan dalam waktu
sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata.
Sepasang alis Cu Cia langsung mengerut-ngerut. Diam-diam dia berpikir dalam hati:
"Tingkah lakunya seperti orang yang tergesa-gesa, malah keringatpun belum sempat
dihapus. Mungkinkah di dalam hatinya telah tersimpan suatu kecurigaan sehingga dia ingin
membuktikan benar tidaknya?" Seraya berpikir, kakinya melangkah ke depan untuk memungut pedang bambunya yang
terjatuh di atas tanah. Tangannya yang sebelah lagi mengeluarkan sebotol obat luka dan
dia segera membantu Mei Ling membalut luka Ciong San Suang Siu.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Begitu
pandangan matanya ditolehkan, dia melihat sosok tubuh Sam Po Hwesio yang gemuk
sedang berjalan masuk mendekati mereka.
Belum lagi Cu Cia sempat menanyakan keadaan lukanya, si Hwesio cilik itu sudah
terlebih dahulu mengajukan pertanyaan.
"Siapa laki-laki dan perempuan yang baru menerjang keluar dari dalam sini" Keadaan di
tengah-tengah goa begitu gelap, kawan atau lawan sampai sulit dibedakan. Biarpun hati si
Hwesio cilik sedang mendongkol sekali, tetapi tetap saja tidak berani sembarangan turun
tangan. Si pengemis cilik Cu Cia hanya tertawa getir. Dia sengaja tidak menjawab pertanyaan
Sam Po Hwesio, namun menolehkan kepalanya kepada Mei Ling.
"Liu Kouwnio, sebetulnya bagaimana kejadiannya sampai Ciong San Suang Siu kedua
Locianpwe bisa sampai terluka sedemikian rupa?"
Mei Ling meletakkan bekas sobekan lengan pakaian sisa membalut luka Ciong San
Suang Siu di atas tanah. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sendiri juga kurang jelas. Tadinya aku dan Tan Koko hanya berniat melihat
keadaan Liang Cici, sekalian jalan ke arah ini. Tetapi baru masuk ke dalam goa, kami
sudah melihat laki-laki berpakaian putih yang mengenakan cadar tadi. Dia sedang
berusaha membuka pintu ini. Aku dan Tan Koko bertanya kepadanya dengan suara keras
sampai beberapa kali, tetapi mereka tidak menyahut sedikitpun. Malah si gadis berpakaian
merah langsung menyerang Tan Koko sehingga terjadi pertarungan sengit."
"Kalah dan menang masih belum ketahuan, mengapa si laki-laki berpakaian putih tibatiba
mengundurkan diri dan mencegat kami di lorong goa" Dia toh bukan tukang ramal,
bagaimana dia bisa tahu kalau aku dan Sam Po Hwesio akan datang ke mari?"
Mei Ling tersenyum mendengar kata-katanya.
"Dia sama sekali belum bergebrak dengan Tan Koko, tentu saja bebas ke mana saja.
Begitu masuk ke mari, Tan Koko langsung terlibat perkelahian dengan gadis berpakaian
merah. Pada saat itu Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe justru sedang
mempertahankan diri sekuatnya agar mereka jangan sampai menerobos masuk ke dalam.
Meskipun sudah terluka parah tetapi mereka masih terus bertahan. Seorang diri saja,
apabila dia hendak merobohkan Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe dalam waktu yang
singkat, memangnya gampang. Apalagi setelah kedatangan kami, tampaknya dia tidak
ingin menyaksikan pertarungan antara gadis berpakaian merah itu dengan Tan Koko. Oleh
karena itu, dia segera berjalan keluar dan kemungkinan dia bersembunyi di lorong sempit
sekaligus mencegah apabila ada pihak kita yang datang memberikan pertolongan atau
bisa jadi dia menunggu di sana sebagai pembuka jalan seandainya gadis itu ingin
mengundurkan diri." Cu Cia menaikkan sepasang bahunya. "Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe mempertaruhkan nyawa menjaga pintu batu
ini. Untung saja pihak lawan belum sempat membobolnya. Apabila hal ini terjadi, Tian Bu
Cu Locianpwe yang sedang menutup diri pasti akan terkejut, akibatnya sungguh tidak
dapat dibayangkan, bahkan Liang Fu Yong juga mungkin?"


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu hal yang mencurigakan, kata-katanya terhenti.
Sepasang alisnya mengerut ketat dan kepalanya mendongak ke atas seakan sedang
memutar otaknya. Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, baru terdengar dia menarik nafas panjang.
Lalu dia berkata dengan lirih seperti sedang mengguman seorang diri, "Si pengemis cilik
sungguh tidak mengerti, bagaimana kedua orang ini bisa tahu cara membuka alat rahasia
yang digunakan untuk menutup goa. Apakah ada orang yang mengkhianati kita dan
membeberkan rahasia kepada pihak musuh?""
Bukan hanya Cu Cia yang mengandung kecurigaan yang dalam. Demikian pula halnya
dengan Tan Ki yang sedang mengejar sepasang manusia tadi. Setelah memungut kembali
pedang sulingnya yang patah ia langsung mengejar mereka. Kecepatannya jangan
ditanyakan lagi. Dalam waktu yang singkat dia sudah keluar dari goa yang gelap itu.
Begitu pandangan matanya beredar, dia melihat sekitar bukit tersebut sunyi senyap. Angin
berhembus semilir menggoyangkan rerumputan yang tumbuh liar. Tidak terlihat bayangan
seorangpun. Tanpa dapat ditahan lagi dia menggaruk-garuk kepalanya, diam-diam dia
berpikir dalam hati: "Di seluruh bukit ini entah terdapat berapa banyak celah-celah yang
terpencil, ke mana aku harus mencari mereka?" begitu pikirannya tergerak, dia merenung
sejenak. Kemudian dia menggertakkan giginya erat-erat dan mengerahkan ilmu
ginkangnya menghambur ke arah barat.
Dia sadar cara berlari tanpa memperhitungkan arah ini dan hanya mengandalkan nasib
serta peruntungan, sebetulnya sulit untuk dapat menyandak kedua orang tadi. Siapa
nyana baru saja berlari sejauh empat lima depa, secercah warna menyolok sudah
tertangkap pandangan matanya. Gadis berpakaian merah itu ternyata sedang berdiri
membelakanginya dengan bersandar pada sebatang pohon siong. Angin pagi
menghembuskan ikat pinggangnya yang menjuntai ke bawah. Gelang tangannya yang
diganduli bola-bola emas ukuran kecil berdentingan karena saling beradu. Warna
pakaiannya sungguh kontras dengan pemandangan di sekitar. Untuk sesaat Tan Ki malah
jadi tertegun. Tempat ini merupakan sebidang tanah kosong yang tidak jauh dari jurang yang dalam.
Rerumputan serta pepohonan agak jarang, dengan demikian pemandangan jadi lapang.
Selain sebatang pohon siong yang disandarinya, boleh dibilang tidak ada lagi tempat untuk
menyembunyikan diri. Tetapi Tan Ki tetap khawatir kalau si laki-laki berpakaian putih tetap
melindungi gadis itu secara diam-diam. Meskipun kakinya melangkah ke depan, namun
tanpa menyolok dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan. Sikapnya hati-hati dan waspada.
BAGIAN XLVII Ketika jaraknya dengan gadis berpakaian merah tinggal empat lima langkah, tetap tidak
terjadi apapun. Entah mengapa, terang-terangan si gadis itu tahu ada seseorang yang
sedang berjalan ke arahnya, namun dia tidak menolehkan kepalanya atau melirik sekilaspun.
Dengan punggung membelakangi Tan Ki, dia menatap ke arah pemandangan yang
jauh. Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya. Jaraknya sekarang hanya tinggal
setengah depa saja. Begitu dekatnya sehingga apabila Tan Ki mengulurkan tangannya, dia
pasti dapat meraba gadis itu. Tetapi dia malah sengaja mengeluarkan suara batuk-batuk
kecil. "Kiau Hun!" panggilnya. Secara langsung dia menyebut nama gadis itu, tadinya dia mengira paling tidak gadis
itu akan menolehkan kepalanya dengan terkejut. Siapa tahu gadis itu hanya
mengembangkan sedikit senyuman sambil menyahut, "Baguslah kalau kau sudah tahu!"
"Aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu!"
Kiau Hun tertawa datar. "Lihat dulu apakah hatiku sedang gembira atau tidak menjawab pertanyaanmu!"
Tan Ki jadi termangu-mangu. "Kiau Hun, mana boleh kau berbicara ketus seperti itu denganku?"
Mendengar kata-katanya, sekonyong-konyong Kiau Hun membalikkan tubuhnya.
"Aku baru mengucapkan sepatah kata saja, kau sudah anggap ketus" Pernahkah kau
sendiri berpikir, berapa banyak sudah kau mendatangkan penderitaan kepada orang lain.
Tentu kau sendiri tidak merasakannya bukan?"
Wajahnya masih ditutupi sehelai cadar. Dengan demikian sulit melihat bagaimana
tampangnya saat itu. Tetapi dari nada suaranya dapat diduga bahwa hatinya saat ini
merasa pedih sekali. Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas panjang.
"Apa yang terjadi di masa lalu, masih terbayang jelas di depan mata. Aku Tan Ki
beberapa kali menerima budi pertolonganmu, biar bagaimana aku tidak akan
melupakannya. Tetapi aku tidak mengerti mengapa kau harus merendahkan dirimu
menjadi mata-mata bagi pihak Lam Hay. Tadi di dalam goa, kalau aku tidak keburu datang
tepat pada waktunya, mungkin saat ini Tian Bu Cu Locianpwe beserta cici Liang sudah
terkapar di atas tanah bermandikan darah. Keduanya pasti mati di bawah pedang hijaumu
itu. Untung saja jurus yang kau gunakan tadi pernah kulihat satu kali ketika di Pek Hun
Ceng, dengan demikian aku segera mengenali dirimu. Entah bagaimana perasaanku tadi,
boleh dibilang kesal dan panik bercampur menjadi satu, tetapi sejak mula hingga akhir,
aku tetap tidak tega turun tangan kejam terhadap dirimu?"
Kiau Hun langsung menukas dengan nada dingin.
"Sekarang Oey Ku Kiong tidak ada di sini, kau boleh turun tangan menghantam diriku
sampai mati!" Tan Ki semakin gugup menghadapinya.
"Aku hanya ingin bertanya sampai jelas, mengapa kau bisa beralih ke pihak Lam Hay
Bun?" Kiau Hun mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Suaranya melengking
memecahkan keheningan dan membuat telinganya jadi ngilu. Wajah Tan Ki langsung
berubah hebat melihat tingkah lakunya.
"Apa yang kau tertawakan?" bentaknya kesal.
"Aku menertawakan pertanyaanmu yang begitu kekanak-kanakan. Kalau di daerah
Tionggoan aku selalu mendapat hinaan karena keadaan diriku yang hanya seorang budak
di keluarga Liu dan di mana-mana yang terlihat hanya cibiran orang, mengapa aku tidak
boleh mencari jalan mengangkat derajatku sendiri?"
"Oleh karena itu kau sengaja mendekati Tocu Lam Hay Bun dan memikatnya dengan
kecantikanmu itu?" Kiau Hun tertawa dingin. "Ini merupakan salah satu jalan bagiku untuk membalas dendam!"
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
"Kepada siapa kau ingin membalas dendam?"
"Siapa saja, pokoknya setiap orang yang pernah memandang rendah diriku dan pernah
menghina aku. Termasuk orang-orang yang sudah merebut kekasih hatiku!"
Tan Ki tertawa getir mendengarnya. "Bagus sekali! Sekarang aku toh ada di hadapanmu, kau boleh membalaskan
dendammu yang pertama!" Kiau Hun mendengus dingin satu kali. Tangannya bergerak, tahu-tahu sebatang pedang
pendek telah tergenggam di tangannya. Cahayanya berwarna hijau dan berkilauan.
"Apa yang kau katakan memang tidak salah. Dalam daftar orang-orang yang ingin
kubalaskan dendam dalam hati ini, kau menduduki urutan pertama. Demi engkau, aku
tidak perduli segala macam bahaya, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa aku pernah
menolong dirimu. Akibatnya aku malah ditendang keluar dari pintu perguruan. Sebagai
seorang gadis yang sebatang kara tanpa sanak saudara seorangpun, aku berkelana ke
mana-mana. Apakah kau pernah membayangkan betapa mengenaskannya keadaanku saat
itu" Tetapi aku tidak merasakannya sama sekali. Siapa sangka hatiku yang tulus ini
ternyata dipersembahkan kepada seorang laki-laki buaya. Bukan saja aku tidak dihibur
sedikitpun, kau malah menghancurkan seluruh perasaanku. Dalam keadaan putus asa,
setiap orang pasti mempunyai pikiran pendek. Apalagi jiwa kami kaum perempuan yang
jauh lebih lemah daripada kalian laki-laki. Biasanya sedikit-sedikit ingin bunuh diri. Tetapi
aku bukan orang bodoh yang mau mati begitu saja. Aku ingin menggunakan tubuh yang
sudah tidak mempunyai perasaan ini sebagai imbalan untuk membuka jalan agar aku
dapat membalas dendam. Siapa saja yang pernah menganggap remeh diriku atau
menghindari aku, aku akan mencincang tubuhnya sampai hancur berkeping-keping!"
sambil berbicara, pedang pendek di tangannya bergerak, cahayanya berkilauan dan saat
ini sudah di tempelkan di depan dada Tan Ki. Asal dia mengerahkan sedikit saja
tenaganya, sudah pasti selembar nyawa Tan Ki sulit dipertahankan.
Sikap Tan Ki masih tenang seperti semula. Dia seakan tidak merasa gentar sedikitpun
menghadapi pedang pendek tersebut. "Pendirianmu yang demikian picik, akhirnya hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.
Meskipun aku mempunyai niat membantu, tetapi aku tidak mempunyai kesanggupan
seperti itu. Hany dirimu sendiri yang dapat menyadarkan pikiranmu yang sesat serta
kembali ke jalan yang benar!" Sekali lagi Kiau Hun tertawa dingin.
"Sayangnya aku ini selalu mengikuti apa kata hati, biarlah penyesalan datang di
kemudian hari!" Pergelangan tangannya bergerak, pedang pendeknya dihunjamkan sedikit ke dalam
daging di dada Tan Ki. Tampak sepasang alis anak muda itu mengerut-ngerut, tetapi dia
tetap menahan rasa sakit dan tidak mengeluarkan suara keluahan sedikitpun. Darah segar
mengalir dari ujung pedang tersebut.
Pedang pendek di tangan Kiau Hun ini pernah mematahkan pedang suling Tan Ki ketika
bertarung di dalam goa. Tajamnya jangan ditanyakan lagi. Tampak wajah Tan Ki tetap
menyiratkan ketenangan seakan tidak merasakan apa-apa. Dia seperti orang yang tidak
memperdulikan mati hidupnya sendiri. Sepasang matanya menatap Kiau Hun lekat-lekat
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Angin yang sejuk berhembus semilir, pakaian kedua orang itu mengibar-ngibar.
Suasana begitu hening dan mencekam. Tiba-tiba Tan Ki merasa tangan Kiau Hun terus
gemetaran, di cadar yang menutupi wajahnya juga terlihat rembesan air. Tidak diragukan
lagi bahwa emosi gadis itu telah tergugah dan keringat terus menetes membasahi
wajahnya. Tan Ki menarik nafas panjang perlahan-lahan.
"Mengapa kau tidak meneruskan tusukan-mu?"
Pertanyaan ini seakan memberi pukulan bathin yang hebat kepadanya. Tiba-tiba
tangannya merenggang dan dia menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Perubahan yang tidak terduga-duga ini justru membuat Tan Ki jadi termangu-mangu.
Meskipun dia merupakan seorang pemuda yang berotak cerdas, tetapi setiap kali
menghadapi air mata seorang perempuan, dia malah tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Dia berdiri terpana di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun. Untuk
sesaat suasana jadi hening. Tan Ki hanya membungkukkan tubuhnya memungut pedang
pendek Kiau Hun yang terjatuh di atas tanah.
Setelah menangis beberapa lama, tampaknya emosi di dalam hati Kiau Hun sudah agak
reda. Perlahan-lahan suara isak tangisnya semakin lirih dan dilepaskannya cadar penutup
wajahnya. "Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa setiap orang yang terjatuh di tanganku,
dapat kubunuh tanpa mengedipkan mata sedikitpun. Hanya engkau laki-laki yang tidak
berbudi ini yang justru membuat aku tidak sampai hati untuk turun tangan."
Beberapa lama dia terdiam, kemudian baru melanjutkan kembali kata-katanya,
"Mungkin tanpa kusadari sebetulnya aku masih menaruh hati kepadamu."
Diam-diam Tan Ki berpikir di dalam hati.
"Aku sudah menikahi Mei Ling, belum lagi janjiku untuk mengambil Liang Fu Yong dan
Cin Ie sebagai selir. Di samping itu masih ada dua gadis lain yang diam-diam
memperhatikan aku, yakni Lok Ing dan Cin Ying. Sekarang aku sudah cukup bingung,
bagaimana mungkin ditambah lagi dengan dirimu?"
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi dia justru tidak tahu bagaimana
mengutarakannya. Wajahnya menyiratkan perasaan bimbang.
Kedua orang itu terdiam untuk sekian"lama, mereka saling pandang tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Tan Ki merasa dengan berdiam diri seperti ini, rasanya
bukan tindakan yang baik. Akhirnya dia mengungkit kembali masalah yang tadi.
"Mengapa kau tidak meninggalkan jalan yang sesat dan kembali menjadi orang baikbaik
saja?" Kiau Hun tertawa getir. "Sekarang baru mengatakan semua ini, memangnya masih belum terlambat" Meskipun
aku mempunyai niat demikian, tetapi pelaksanaannya justru tidak semudah berbicara saja.
"Mengapa sulit" Apakah mereka mengancam dirimu sehingga kau tidak dapat
melepaskan diri dari pihak Lam Hay Bun?"
"Tidak juga." "Sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu, aku benar-benar tidak dapat
menduganya." Kiau Hun tersenyum tipis. Dia mengusap bekas air mata yang masih membasahi
pipinya. "Kalau kau dapat menduga apa yang kupikirkan, tentu kau tidak akan menikahi Liu Mei
Ling, bekas nonaku itu." Mendengar kata-katanya, sekali lagi Tan Ki tertegun. Dia merasa seperti ada sebuah
batu yang berat menggelayuti hatinya sehingga dia tidak sanggup mengutarakan
bagaimana perasaannya saat itu. "Apakah kau merasa hatimu gundah sekarang ini?" tanya Kiau Hun kembali.
Tan Ki menarik nafas panjang-panjang.
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." sahutnya terus terang.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dari mengejar si gadis yang mengenakan cadar
tadi?" Tan Ki membalikkan tubuhnya. Dia sengaja mengalihkan pokok pembicaraan.
"Bagaimana keadaan di dalam goa?"
"Masih lumayan. Setelah diborehkan obat, luka Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe
tidak mengalirkan darah dan tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sedangkan Yang Jen Ping,
Goan Yu Liong dan Ban Jin Bu juga sudah menyusul ke sana."
Tan Ki hanya menganggukkan kepalanya. Si pengemis cilik kembali melanjutkan katakatanya.
"Si pengemis cilik tidak ingin banyak bicara. Tetapi Sam-siokmu meminta aku
menyampaikan kepadamu bahwa pertandingan perebutan kedudukan Bulim Bengcu sudah
di mulai. Kau harus muncul di sana secepatnya. Apabila kesempatan ini terlewati, maka
harapanmu untuk merebut kedudukan itu tipis sekali. Cepatlah ke sana, urusan lainnya
kau tidak perlu ikut campur lagi."
"Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri, tugas menjaga pintu batu terpaksa
kuserahkan kepada Cu-heng." kata Tan Ki.
Baru saja ucapannya selesai, tubuhnya sudah berkelebat pergi menuju ruang
pertandingan. Dalam sekejap mata, dari kejauhan sudah terlihat kerumunan orang banyak. Jumlahnya
mungkin di atas seratus orang. Tetapi meskipun tempat itu dipenuhi orang ramai, tetapi
suasananya justru begitu mencekam tanpa terdengar suara sedikitpun.
Tan Ki menyeruak di antara kerumunan orang banyak. Sambil mengatur pernafasannya
dia memperhatikan beberapa saat. Ada beberapa orang yang sempat melihat bagaimana
dia melukai utusan pihak Lam Hay dengan sebatang pedang sulingnya. Orang-Orang ini
segera membagi diri menjadi dua bagian dan membuka jalan agar dia dapat lewat.
Hal ini menandakan rasa kagum di dalam hati mereka. Seraya memberi salam kepada
orang-orang itu, Tan Ki terus berjalan sampai barisan terdepan. Begitu pandangan
matanya di alihkan ke tengah arena, dia melihat Goan Siong Fei dengan pecut lembutnya
sedang menghadapi seorang kakek bungkuk bersenjatakan sebatang potlot besi. Mereka
sedang bertarung dengan sengit. Cahaya yang terpancar dari ujung pecut Goan Siong Fei
yang diganduli oleh sebuah logam berwarna keputihan dan bayangan potlot besi
memenuhi tengah arena. Kedua orang ini merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai
nama di dunia Kangouw. Tenaga dalam mereka sudah mencapai taraf yang cukup tinggi.
Jurus-jurus yang mereka kerahkan telah dilatih dengan matang. Baik pecut lemas maupun
potlot besi selalu ditujukan ke arah jalan darah yang penting di bagian tubuh lawan.
Semakin lama gerakan mereka semakin cepat, sehingga orang-orang yang
menyaksikannya merasa pandangan mereka seperti berkunang-kunang.
Tepat pada saat itu, dari luar masuk seorang nenek yang rambutnya sudah penuh
dengan uban. Setiap kali ia melangkah, tongkat besinya menimbulkan suara berdentum di
atas tanah. Gerakannya seperti orang yang santai, tetapi dalam sekejap mata dia sudah
sampai di hadapan Yibun Siu San. Orang ini sama sekali tidak asing bagi Tan Ki. Dia adalah pendekar pedang tingkat
sembilan yang selama beberapa hari ini tidak kelihatan batang hidungnya, juga
merupakan bekas guru Kiau Hun dan Mei Ling, yakni Ciu Cang Po. Melihat tampangnya
yang dekil dan wajahnya yang penuh debu, dapat diduga bahwa dia baru saja kembali dari
perjalanan yang cukup jauh. Tan Ki segera merasa bahwa kepulangan Ciu Cang Po ini
pasti membawa berita yang sangat penting, cepat-cepat dia menghambur ke depan
mendekati nenek itu. Cian Cong langsung mengeluarkan suara tawanya yang bebas.
"Si nenek pengemis ini pasti sudah letih sekali!"
Yibun Siu San segera memerintahkan orang mengambil lagi sebuah kursi dan
mempersilahkan nenek itu duduk di sana. Siapa nyana nenek itu malah menggelengkan
kepalanya dan tidak bersedia langsung duduk. Wajahnya tampak kelam sekali.
"Nenek tua menerima tugas berat dan menyampingkan dendam pribadi dengan
meninggalkan bukit Tok Liong-hong ini. Aku menghubungi pihak lima partai besar agar
segera mengirimkan bala bantuan ke sini sekaligus mengintai gerak-gerik pihak Lam Hay
serta Si Yu. Beberapa hari pertamanya, aku masih bisa keluar masuk dengan bebas, tidak
ada seorangpun yang sempat memergoki perbuatanku itu. Tidak tahunya beberapa hari
yang lalu, ketika aku sedang menyelidiki seorang diri?"
Sepasang alis si pengemis sakti Cian Cong langsung berkerut-kerut mendengar
ceritanya. "Apakah si nenek pengemis menemui kesulitan?"


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciu Cang Po langsung mendengus dingin.
"Sampai di mana tingginya ilmu si nenek tua ini, dapatkah kau jelaskan dengan
terperinci?" Rupanya si pengemis sakti Cian Cong tidak menduga kalau akan mendapat pertanyaan
seperti ini. Untuk beberapa saat dia jadi tertegun, kemudian dia memejamkan matanya
merenung sebentar. "Tinggi rendahnya ilmu kepandaian si nenek pengemis, apabila hendak dijelaskan
secara terperinci sebetulnya sulit sekali. Tetapi si pengemis tua mengakui bahwa kau
memang bernyali besar dan banyak akalnya. Sedangkan tenaga dalammu hampir
seimbang dengan si pengemis tua. Tempo hari di atap gedung Cui Sian-lau, si pengemis
tua kebetulan mendapat peluang bagus dan dengan jurus Lengan Pakaian Beterbangan
Masuk ke Dalam Hutan, baru bisa memaksakan diri mengalahkan dirimu. Secara kasarnya,
boleh dibilang kepandaianmu itu di bawah tiga orang, di atas laksaan orang."
Wajah Ciu Cang Po yang sudah penuh keriput jadi merah jengah mendengar pujiannya.
"Kalian semua tentunya sudah tahu bahwa watak nenek tua ini picik dan ingin menang
terus. Terhadap siapapun tidak sudi mengalah. Tetapi beberapa malam yang lalu ketika
kepergok, ternyata aku dikalahkan dalam tujuh jurus saja."
Sembari berkata, dia mengangkat lengan kirinya. Begitu pandangan mata orang
memperhatikan, ternyata lengan pakaiannya sudah koyak sepanjang empat cun. Setelah
lewat dua hari bekas luka berdarah masih menimbulkan warna kehitaman.
Wajah Yibun Siu San jadi kelam seketika.
"Siapa sebetulnya yang melukaimu itu?" hatinya memang terkejut setengah mati, orang
yang dapat melukai Ciu Cang Po dalam tujuh jurus benar-benar tidak dapat dianggap
enteng. Tetapi dia memang tidak malu disebut sebagai tokoh tua yang sudah banyak
pengalaman di dunia Kangouw. Meskipun terkejut, tetapi penampilannya masih
menunjukkan ketenangan. "Dia adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahunan. Aku
melihat Bun Bu-siang Cia Tian Lun, Tong Ku Lu beserta tiga tongcu lainnya bersikap
hormat sekali kepada orang ini. Tadinya aku mengira dialah sang tocu dari Lam Hay Bun
pribadi. Tetapi kenyataannya bukan, dia merupakan murid tunggal tocu besar tersebut,
namanya Hua Pek Cing." Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi berpasang-pasang alis dari para jago
tingkat sembilan dan Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Serentak mereka menundukkan
kepala merenung. Sebab mereka tahu pasti bahwa watak Ciu Cang Po sangat keras dan
tidak sudi mengaku kalah kepada siapa saja. Tanpa alasan yang pasti, dia tidak mungkin
mengucapkan kata-kata yang merendahkan derajatnya sendiri.
Kalau Hua Pek Cing memang murid tunggal Toa Tocu, tetapi hanya dalam tujuh jurus
dia berhasil melukai Ciu Cang Po, dengan demikian Yibun Siu San, Cian Cong beserta Lok
Hong yang hanya menang satu garis dari Ciu Cang Po, tentu masih terpaut jauh apabila
dibandingkan dengan tocu dari Lam Hay Bun sendiri.
Tan Ki pribadi juga mempunyai pikiran bahwa apabila pihak Lam Hay dan Si Yu
bergabung menjadi satu kekuatannya tidak dapat dianggap main-main, pengaruhnya pasti
besar sekali. Kalau ditilik dari tokoh-tokoh yang datang tadi malam saja, paling tidak masih
ada empat tokoh tingkat sembilan yang belum menampakkan diri. Sedangkan jago-jago
lainnya entah masih berapa banyak lagi. Ditinjau dari keadaan ini, seandainya kedua pihak
berhadapan secara terang-terangan, meskipun di puncak bukit Tok Liong-hong banyak
jago-jago daerah Tiong-goan, kemungkinan tetap masih bukan tandingan pihak Lam Hay.
Satu-satunya jalan hanyalah mengajak lima partai besar ikut bergabung melawan
golongan sesat yang ingin menguasai Tionggoan tersebut. Namun siapa yang sanggup
melawan pimpinan mereka yang paling lihai itu" Tan Ki berusaha mengingat satu per satu
tokoh berilmu tinggi yang pernah diketahuinya. Tanpa dapat ditahan lagi dia tertawa pahit,
karena meskipun orang berilmu tinggi di puncak bukit Tok Liong-hong ini cukup banyak,
namun orang yang benar-benar dapat menandingi tocu besar dari Lam Hay Bun itu,
kemungkinan hanya tokoh sakti dari Bu Tong San, yakni Tian Bu Cu Locianpwe.
Sejak tadi Lok Hong duduk di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba
terdengar dia mengajukan pertanyaan kepada Ciu Cang Po.
"Kau mengatakan bahwa jejakmu berhasil dipergoki pihak musuh, malah setelah
terjadinya pertarungan sengit, kau terluka dalam tujuh jurus. Entah bagaimana kau bisa
melarikan diri belakangan?" "Si nenek tua mengira pertarungan tersebut boleh dibilang untuk yang terakhir kalinya.
Meskipun sudah terluka, aku tetap tidak mau mengaku kalah. Aku pikir lebih baik
mengadu jiwa dengan orang itu. Rupanya walaupun tenaga dalam cukup tinggi, tetapi
dalam gerakan dan jurus-jurus serangan, aku masih bukan tandingan Hua Pek Cing. Baru
bertarung dengan nekat sebanyak tiga jurus, ujung pedangnya sudah menunjuk ke bagian
yang penting di dadaku." Mendengar sampai di sini, hati orang-orang gagah tidak ada satupun yang tidak
tercekat. Meskipun sekarang ini orangnya sendiri masih berdiri dalam keadaan sehat di
depan mata, tetapi membayangkan kejadian yang dialaminya saat itu, hati mereka tidak
urung bergidik juga. Setelah berhenti sejenak, Ciu Cang Po melanjutkan kembali kata-katanya.
"Keadaan waktu itu gawat sekali. Si nenek tua sendiri maklum bahwa tidak mungkin
bisa meloloskan diri dari kematian. Meskipun ada niat mengadu jiwa dan mengorbankan
diri dalam pertarungan, namun semuanya sudah terlambat. Baru saja aku memejamkan
mata menunggu datangnya malaikat elmaut, tiba-tiba telinga ini mendengar suara
benturan logam, nadanya begitu keras sehingga hatipun ikut terguncang. Bunga api
memercik ke mana-mana. Aku segera menenangkan hatiku dan memperhatikan dengan
seksama. Hua Pek Cing yang berilmu aneh dan dalam sepuluh jurus sanggup merenggut
selembar nyawaku, ternyata terdesak mundur sejauh empat langkah oleh seorang gadis
ingusan!" Mulut Cian Cong sampai terbuka lebar-lebar. Pandangan matanya menyiratkan rasa
penasaran yang tidak terkatakan. "Masa ada kejadian seperti itu?"
Ciu Cang Po tertawa dingin. "Si nenek tua dapat meloloskan diri dari tangan malaikat elmaut sehingga selembar
nyawa tua ini dapat dipertahankan, justru berkat pertolongan si gadis cilik itu. Percaya
atau tidak, terserah. Si nenek tua juga tidak ingin mengoceh banyak-banyak!"
Yibun Siu San maklum di antara kedua orang ini masih tersimpan rasa mendongkol
karena pertarungan tempo hari. Dia khawatir urusan akan jadi panjang dan timbul
perteng-karan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, cepat-cepat dia mengembangkan
seulas senyuman. "Cayhe percaya sepenuhnya atas apa yang kau katakan. Tentu semuanya diucapkan
dari hati yang paling dalam. Tetapi gadis cilik itu ternyata berilmu demikian tinggi dan
sanggup menggetarkan pedang Hua Pek Cing, sebetulnya memang membuat orang
terkejut mendengarnya." "Seandainya gadis cilik itu hanya menolong aku pergi dari tempat itu dan tidak ada
urusan lainnya lagi, tentu orang-orang juga belum tentu percaya atau merasa terkejut."
Sinar matanya yang tajam menyapu ke sekeliling sekilas kemudian berhenti pada wajah
Tan Ki. Dia melanjutkan kembali kata-katanya.
"Gadis cilik itu menitip pesan kepada si nenek tua. Dia mengeluarkan sebatang pedang
pusaka yang selalu dibawanya dan meminta aku menyerahkannya kepada Tan Ki sebagai
hadiah darinya. Dalam waktu yang bersamaan dia juga menitipkan sepucuk surat agar
dibaca olehnya." seraya berkata, dari dalam lengan bajunya yang longgar dia
mengeluarkan sebatang pedang kuno berwarna kehitam-hitaman. Kalau diperhatikan,
mungkin usia pedang itu sudah lebih dari dua ratus tahunan. Telapak tangannya
menggenggam sepucuk surat berwarna merah jambu yang kemudian diserahkannya
kepada Tan Ki. "Gadis cilik itu pasti mengenal baik dirimu. Tanpa merasa berat sedikitpun dia
menghadiahkan pedang pusaka ini kepadamu. Meskipun si nenek tua mendapat
pertolongan darinya, tetapi sebetulnya dia melakukannya karena memandang dirimu."
Tan Ki segera membuka surat itu dan membacanya. Dia melihat di atas kertas
berwarna putih tertera tulisan yang indah dan rapi. Secara garis besarnya, isi surat itu
menyatakan: Peristiwa melukai Liok Giok yang tanpa sengaja sudah berlalu dan tidak usah dipikirkan
lagi. Dia sudah mengikuti majikannya kembali ke Tian San, Kali ini mereka menuju ke
selatan dengan maksud mengambil rumput obat-obatan. Tanpa sengaja menolong Ciu
Cang Po merupakan kejadian yang tidak terduga olehnya sendiri. Mendengar dari nenek
itu bahwa Tan Ki masih ada di puncak bukit Tok Liong-hong untuk ikut dalam perebutan
Bulim Bengcu dan dia terpaksa harus memohon diri secepatnya. Dia sendiri tidak
mempunyai apa-apa sebagai hadiah kecuali sebatang pedang pusaka itu. Pedang itu
sendiri merupakan pemberian majikannya yang diberi nama Pedang Penghancur Pelangi.
Apabila ada kesempatan, dia akari berusaha menemui Tan Ki.
Tan Ki melihat isi surat itu mengandung ketulusan hati yang tidak terkirakan. Bahkan
setelah mengetahui bahwa dia akan ikut dalam pertandingan perebutan kedudukan Bulim
Bengcu, gadis itu tidak perduli akan mendapat omelan dari majikannya dengan
menghadiahkan pedang pusaka. Perasaan hati yang tulus ini membuat hati Tan Ki terharu
sekali. Sepasang tangannya sampai gemetar dan hampir saja surat itu terlepas dari
genggaman tangannya. Sambil melihat perkembangan yang terjadi di atas arena pertandingan, Yibun Siu San
juga memperhatikan tampang wajah Tan Ki saat itu. Melihat wajahnya menyiratkan rasa
haru yang dalam, tanpa dapat menahan diri lagi dia segera bertanya.
"Apakah kau mengenal gadis cilik itu?"
Tan Ki menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Dialah pelayan si gadis berpakaian putih yang merupakan pemilik Liok Giok yang
pernah dilukai keponakanmu ini tanpa sengaja."
Terdengar suara desahan dari mulut Yibun Siu San.
"Tampaknya perempuan yang kau kenal tidak sedikit juga jumlahnya."
Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia tidak berani menyahut sepatah pun.
"Apa yang tertulis dalam suratnya itu?" tanya si pengemis sakti Cian Cong.
"Hal yang biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan apa-apa."
Tiba-tiba terdengar Ciu Cang Po menukas.
"Apakah nona cilik itu tidak mengungkit soal Lam Hay dan Si Yu yang akan
menggempur Tok Liong-hong?" Tubuh Yibun Siu San dan Cian Cong agak bergetar mendengar kata-katanya. Serentak
mereka bertanya. "Kapan mereka akan menggempur kita?"
"Sore ini!" sahut Ciu CangPo sambil mengalihkan wajahnya bertanya kepada Tan Ki.
"Apa lagi yang dikatakannya?"
"Tidak ada lagi, dia hanya mengatakan apabila ada kesempatan akan menemui
Boanpwe." Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata yang memekakkan telinga. Ternyata pecut
lemas Goan Siong Fei dan potlot si orangtua bungkuk putus dalam waktu yang bersamaan.
Kedua sosok tubuh mereka juga langsung memencar.
Rupanya Goan Siong Fei mengadu kekerasan dengan orangtua bertubuh bungkuk itu.
Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam ke arah senjata masing-masing
sehingga kedua senjata tidak dapat mempertahankan diri lalu putus menjadi dua bagian.
Perubahan yang mengejutkan ini benar-benar di luar dugaan, dengan demikian katakata
Tan Ki jadi terhenti. Baik Yibun Siu San, Lok Hong, Cian Cong dan Ciu Cang Po segera
memalingkan wajahnya melihat ke tengah arena.
Sementara itu, Ceng Lam Hong yang berdiri di belakang Yibun Siu San tampak maju ke
depan. Dia mengambil Pedang Penghancur Pelangi pemberian Mei Hun dan diserahkannya
kepada Tan Ki. "Simpanlah pedang ini baik-baik, mungkin nanti kau memerlukannya."
Sembari tersenyum simpul, Tan Ki menyambut pedang itu. Pandangan matanya
kembali beralih ke tengah arena. Rupanya Goan Siong Fei sudah, berniat menyelesaikan
pertarungan secepat mungkin. Pecut lemasnya yang terputus segera dibuang ke atas tanah. Dalam waktu yang
bersamaan, telapak tangan kirinya menjulur keluar dan mengirimkan sebuah serangan.
Kakek tua bertubuh bungkuk itu menggeser tubuhnya sedikit. Dia mengelak dari serangan
Goan Siong Fei, mulutnya mengeluarkan suara bentakan. Dengan jurus Awan Bergerak
Menutupi Rembulan, dia membalas serangan Goan Siong Fei.
Terdengar suara benturan, kedua orang itu mengadu tenaga dalam dengan kekerasan.
Masing-masing tergetar mundur sejauh satu langkah. Goan Siong Fei bernyali besar,
begitu mundur dia langsung maju lagi. Sepasang telapak tangannya dirapatkan. Dengan
jurus Dua Rangkum Angin Menerpa Telinga, dia melancarkan sebuah serangan. Dalam
waktu yang bersamaan, kaki kanannya mengirimkan sebuah tendangan. Sasarannya
bagian perut si kakek bungkuk. Sekali maju dia mengerahkan dua jurus sekaligus.
Serangannya hebat bukan main. Diam-diam hati si kakek bungkuk merasa terkejut bukan kepalang, pikirannya tergerak.
Orang ini pemberani sekali, benar-benar manusia yang jarang terlihat di dunia ini.
Ketika mengadu kekerasan tadi, kelihatannya tidak ragu sama sekali. Padahal tenaga
dalamnya tidak lebih tinggi dari diriku, tetapi mengapa tanpa mengatur pernafasan sama
sekali, dia berani melancarkan serangan kembali?"
Justru ketika pikirannya masih tergerak, sepasang telapak tangan dan tendangan Goan
Siong Fei sudah hampir mencapai dirinya. Apabila si kakek bungkuk ingin mengelakkan
serangan tersebut, pasti sudah terlambat. Akhirnya dia terpaksa menghimpun hawa
murninya dan dengan posisi menahan di depan dada, dia menghantamkan sepasang
telapak tangannya ke depan. Dengan jurus Dua Naga Mencipratkan Air, dia merentangkan sepasang tangannya.
Sekali dia menyambut serangan Goan Siong Fei dengan kekerasan. Dalam waktu yang
bersamaan, kaki kanannya juga menyapu ke depan, dengan berani dia menyambut
tendangan Goan Siong Fei. Terdengar lagi suara keras yang menggelegar, dua pasang tangan dan sepasang kaki
kembali beradu. Tenaga dalam kedua orang ini boleh dibilang seimbang. Orang-orang
gagah yang melihatnya sampai tercekat. Diam-diam mereka berpikir dalam hati: "Cara
berkelahi tanpa memperdulikan mati hidup diri sendiri, benar-benar baru terlihat kali ini
saja?" Terdengar suara tertawa dingin dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan.
Kedua orang itu sama-sama tergetar mundur sejauh tiga langkah. Secara berturut-turut
sebanyak dua kali mereka mengadu kekerasan. Hal ini membuat hawa murni dalam tubuh
mereka terkuras banyak. Aliran darah beredar semakin cepat dan nafaspun tersengalsengal.
Keringat membasahi seluruh wajah mereka dan terus menetes turun.
Tan Ki yang menyaksikan hal ini diam-diam mengerutkan sepasang alisnya. Selama
beberapa bulan terakhir ini, dia sudah menjumpai banyak kejadian aneh. Pengetahuannyapun
semakin luas. Dia tahu ilmu kedua orang itu setali tiga uang. Sulit membedakan
siapa yang lebih unggul. Apabila terus bertarung dengan mengadu kekerasan seperti
sekarang ini, paling-paling kedua pihak sama-sama rubuh dalam keadaan terluka. Hatinya
berniat memecahkan masalah mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang
panjang. Nadanya bagai burung merak yang melengking murka. Tanpa dapat ditahan lagi
dia segera mendongakkan kepalanya. Justru dalam waktu sekejap mata itulah, di samping
Goan Siong Fei sudah bertambah seorang gadis berpakaian merah.
Tampak gadis itu berkulit halus dengan sepasang bibir yang menantang. Pakaiannya
yang berwarna merah membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga setiap lekuk
tubuhnya kentara jelas. Kecantikannya menyiratkan kematangan. Gadis ini sama sekali
tidak asing bagi Tan Ki. Dialah Kiau Hun yang memihak ke Lam Hay Bun.
Setelah melihat jelas, hati Tan Ki tercekat bukan kepalang. Dia segera mengedarkan
pandangan matanya. Ternyata dia melihat Oey Ku Kiong dengan pakaian putih berdiri di
antara kerumunan orang banyak. Hanya saja saat ini dia sudah melepaskan cadar penutup
wajahnya. Kemunculan Kiau Hun yang tidak terduga-duga itu tampaknya membuat Goan Siong Fei
beserta si kakek bungkuk jadi tertegun beberapa saat. Otomatis telapak tangan mereka
ditarik kembali kemudian keduanya mencelat mundur ke belakang.
Kiau Hun menatap kedua orang itu sambil tersenyum simpul. Senyumannya
mengandung gaya yang kenes dan matanya menyorotkan sinar tajam menusuk sehingga
kedua laki-laki yang memandangnya merasa jengah sendiri. Mereka cepat-cepat
memalingkan wajahnya dan tidak berani melihat lebih lama. Telinga mereka menangkap
suara yang merdu. "Dengan segenap kemampuan kalian terus bertarung. Apalagi sama-sama menyambut
serangan, musuh dengan kekerasan. Tentunya hawa murni di dalam tubuh kalian sudah
banyak membuyar dan tubuhpun letih sekali. Mungkin sudah waktunya kalian beristirahat
sebentar." Goan Siong Fei mendengar nada suaranya begitu lembut dan merdu. Seluruh tubuhpun
benar-benar terasa letih. Matanya terasa mengantuk. Begitu dia menolehkan kepalanya,
dia melihat juga terpikat oleh suaranya yang lembut. Matanya hampir tidak bisa dibuka
Tiba-tiba hatinya jadi tergerak, cepat-cepat dia mengeluarkan suara bentakan dan
mencelat ke atas. "Perempuan siluman berani main-main, lihat seranganku!" telapak tangannya langsung
menghantam ke depan. Kiau Hun mencelat mundur ke belakang. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
"Kau benar-benar sudah letih, jangan sembarangan mengumbar hawa amarah dalam
hatimu." Sekonyong-konyong kepala Goan Siong Fei terasa pening. Tenaga dalamnya tidak
dapat dikerahkan lagi. Hatinya terkejut setengah mati, cepat-cepat dia menghimpun hawa
murninya dan mengeluarkan suara siulan yang panjang. Dengan demikian pikirannya
menjadi jernih kembali. Telapak tangan kirinya langsung mengerahkan jurus Membangun
Jembatan Besi, dilancarkannya sebuah serangan ke depan. Dalam waktu yang bersamaan
kaki kirinya melayang, sekaligus dia mengerahkan dua buah serangan.
Sementara itu, si kakek bungkuk juga baru tersentak sadar. Dia segera menyadari gadis
berpakaian merah itu menggunakan semacam ilmu yang disebut Ilmu Pembetot Sukma,
dengan demikian dia dan Goan Siong Fei seperti dihipnotis. Untung saja tenaga dalamnya
cukup kuat, pengetahuannya juga luas sekali. Begitu merasa curiga, dia langsung


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menenangkan pikirannya. Mulutnya juga mengeluarkan bentakan yang keras dan dengan
posisi tangan menahan di depan dada, sepasang telapak tangannya mengirimkan
serangan ke depan! Empat buah tangan dan sebuah kaki yang mengirimkan serangan segera menimbulkan
suara angin yang menderu-deru. Serangan ini mengandung tenaga yang kuat, sasarannya
bagian dada, pinggang dan perut Kiau Hun.
Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Cepat juga kalian tersadar." sindirnya. Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan datar,
namun terdengar di telinga justru tajam menusuk.
Tampak pakaiannya yang merah berkibar-kibar. Semua serangan yang ditujukan
kepadanya ternyata mengenai tempat yang kosong. Debu-debu beterbangan, rumputrumput
di sekitar mereka melambai-lambai. Tahu-tahu orangnya sudah mencelat ke
samping sejauh lima langkah. Goan Siong Fei jadi termangu-mangu. Sesaat kemudian tubuhnya mencelat ke udara,
telapak tangannya yang kanan menghantam dan jari tangan kirinya mengirimkan totokan.
Dalam waktu yang singkat dia melancarkan serangan sebanyak dua belas jurus.
Sedangkan si kakek bungkuk mengimbangi serangannya dengan melancarkan tiga buah
pukulan. Kedua orang itu dari musuh malah menjadi kawan. Mereka bergabung
menghadapi seorang lawan. Tampak telapak tangan membentuk bayangan dalam jumlah
yang tidak terkirakan, angin yang terpancar dari serangan mereka tajam sekali. Setiap
jurus yang dikerahkan mengandung kedahsyatan yang tidak terkirakan. Sasarannya selalu
bagian tubuh yang membahayakan. Mereka maklum kemunculan Kiau Hun di tengah
arena tentunya mengandung niat ikut merebut kedudukan Bulim Bengcu, tetapi tidak
seharusnya dia menggunakan ilmu sesat begitu terjun ke tengah arena. Dia menghipnotis
kedua lawannya agar terpengaruh pada apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, hawa
amarah Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk jadi meluap dan dari musuh keduanya
malah bersatu menghadapi Kiau Hun. Tampak Kiau Hun tersenyum simpul, bibirnya kembali bergerak-gerak mengucapkan
kata-kata yang bernada merdu. "Kalian boleh menyerang sesuka hati. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat
mengalahkan kalian sampai merasa takhluk, otomatis aku akan mengundurkan diri!"
Seandainya ucapan ini dicetuskan oleh orang lain, tentu tidak ada orang yang
menganggap sebagai kata-kata yang pongah. Tetapi karena yang mengucapkannya justru
seorang gadis yang demikian muda, orang-orang gagah yang mendengarnya tidak ada
satupun yang tidak mengerutkan alisnya dan berubah wajahnya.
"Perkataan nona tidak perlu demikian congkak. Aku si orangtua sudah lama
berkecimpung di dunia Kangouw, tetapi belum pernah bertemu dengan seorang gadis
yang begitu sombong dan menganggap dirinya hebat sekali seperti engkau ini!"
Wajah Kiau Hun langsung berubah mende ngar perkataannya. Tampangnya dingin dan
datar. "Karena ucapan yang kau keluarkan ini, aku malah akan mengutungkan sebelah
telingamu sebagai hukuman!" Tangan kirinya menekuk sedikit. Entah bagaimana caranya dia melakukan gerakan,
tahu-tahu sebilah pedang pendek yang berkilauan telah tergenggam dalam telapak
tangannya. Walaupun pedang itu sangat pendek, tetapi cahayanya justru terang sekali.
Saat itu juga, orang-orang gagah merasa ada serang-kum hawa dingin yang menyebar
dari tengah arena. Goan Siong Fei memalingkan kepalanya menatap ke arah si kakek bungkuk. Mulutnya
mengembangkan tawa yang getir. Kedua orang itu sudah lama berkecimpung di dunia
Kangouw, bukan saja pengetahuan mereka luas sekali, pengalamanpun banyak tidak
terkirakan. Sekali lihat saja, mereka segera mengetahui bahwa pedang pendek di tangan
Kiau Hun tajam sekali dan pasti dapat memotong besi dalam sekali tebasan. Oleh karena
itu, mereka segera meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati menghadapi lawannya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari mulut si kakek bungkuk. Tubuhn3ra berputar
satu kali kemudian melesat ke depan. Tangan kanannya mengirimkan sebuah pukulan,
suara angin yang ditimbulkannya berdesir-desir. Sementara itu telapak kirinya
mengerahkan jurus Sungai Membeku Menjadi Es. Serangannya membawa suara siulan
angin yang mendesing, dengan sengit ditujukannya ke dada Kiau Hun.
Melihat hal itu Yibun Siu San menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik nafas
panjang. Dia menggumam seorang diri.
"Meskipun serangannya keji dan dahsyat, tetapi menghadapi senjata lawan yang tajam
dan langka itu, belum apa-apa dia sudah kalah satu tingkat."
Ternyata apa yang diduganya sama sekali tidak salah. Walaupun Kiau Hun merasa rada
terkejut melihat dia masih sanggup melancarkan serangan yang begitu hebat meskipun
sudah bertarung dengan si kakek bungkuk, cukup lama, tetapi dia tidak bergerak atau
mencelat mundur sama sekali. Hanya perge-langan tangannya saja yang memutar, ujung
pedang yang memancarkan hawa dingin meluncur ke depan sehingga si kakek bungkuk
terdesak mundur dan tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Tan Ki mulai tidak sabar melihat keadaan itu, dia menoleh kepada Yibun Siu San.
"Siok-siok, cara bertarung seperti ini sama sekali tidak adil."
Sekali lagi Yibun Siu San menarik nafas panjang.
"Dengan tangan kosong kedua orang itu menghadapi lawan yang menggunakan
senjata pusaka, tentu saja tidak adil. Tetapi dengan dua melawan satu orang, apabila
mengerahkan segenap kemampuannya, boleh dibilang seimbang juga."
"Namun, kita tidak boleh membiarkan dia mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu!"
"Mengenai hal ini aku tahu, pihak Lam Hay dan Si Yu akan menyerang kita sore ini
juga. Bukan saja kita harus secepatnya memilih seorang Bulim Bengcu agar dapat
merundingkan masalah ini dan mengatur persatuan menghadapi musuh, kita juga harus
membuat peraturan baru supaya posisi kita lebih kuat. Tetapi, kecuali engkau seorang,
pamanmu ini benar-benar tidak tahu siapa lagi yang cocok menduduki jabatan tersebut.
Justru tergantung dari dirimu sendiri berhasil atau tidaknya."
Tan Ki mendongakkan wajahnya dan menghembuskan nafas panjang.
"Keponakan akan berusaha sekuat tenaga, kalah atau menang terpaksa melihat nasib!"
Tiba-tiba terdengar Lok Hong menukas pembicaraan mereka, "Kau mendapatkan ilmu
silatmu dengan mencuri dari dalam goa leluhur lohu. Apabila kau sampai gagal merebut
jabatan Bulim Bengcu, lohu akan mempereteli tulang belulang di dalam tubuhmu dan
meminta kembali ilmu silat yang kau miliki!"
Justru pada saat mereka berbincang-bincang, ternyata keadaan di tengah arena telah
terjadi perubahan yang besar. Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk sudah bertarung
cukup lama, hawa murni dalam tubuh mereka sudah terkuras banyak. Di lain pihak,
sebilah pedang pusaka di tangan Kiau Hun bagai naga sakti yang mengamuk, hal ini
menambah kekuatannya. Di mana ujung pedangnya yang memancarkan hawa dingin
menyerang, kedua orang itu tidak berani langsung menyambutnya. Apabila bukan
mencelat mundur, mereka pasti menghindarkan diri ke samping. Dengan demikian mereka
menjadi sulit mendekati tubuh Kiau Hun.
Empat jurus telah berlalu. Bukan hanya orang-orang gagah yang menjadi penonton
yang merasakan bahwa senjata di tangan Kiau Hun sangat tajam dan kedudukannya
menjadi kuat, bahkan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk juga sudah merasa bahwa
mereka tidak mempunyai harapan untuk menang. Walaupun mereka bersatu menghadapi
lawan dan tenaga dalam yang ada lebih hebat satu kali lipat lagi dari sekarang, tetap saja
sulit menghadapi kedahsyatan pedang pendek tersebut.
Hati mereka sudah merasa was-was. Menilik dari keadaan mereka sekarang ini,
kemungkinan tidak sampai sepuluh jurus mereka akan berhasil dikalahkan oleh si gadis
berpakaian merah itu. BAGIAN XLVIII Sementara itu, tampak Kiau Hun menyapu ke depan dengan pedang pendeknya,
cahaya hijau berpijar-pijar. Secarik sinar memanjang sampai satu depan, persis seperti
pelangi yang menggantung di langit, gerakannya dengan cepat meluncur ke arah si kakek
bungkuk. Si kakek bungkuk memang tidak berani menghadapi senjata lawan secara berhadapan,
tubuhnya berputar setengah lingkaran kemudian melesat mundur ke belakang dua
langkah. Tampaknya Kiau Hun sejak semula sudah menduga bahwa dia akan melakukan
gerakan ini. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang nyaring, gerakan
pedang di tangannya tahu-tahu berubah arah dan meluncur ke urat nadi di dada Goan
Siong Fei. Dalam satu jurus, sekaligus dia melancarkari serangan kepada kedua orang itu.
Perubahan gerakannya begitu cepat dan serangannya keji bukan main. Orang-orang
gagah yang berkumpul di sana melihatnya sampai mata mereka membelalak dan mulut
melongo. Hatipun terasa bergidik. Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk adalah tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama
di dunia Kangouw. Sekarang mereka melihat kenyatan bahwa biarpun bergabung, tetap
saja mereka tak sanggup menghadapi seorang gadis muda. Rasanya pamor mereka jatuh
dan tidak ada muka menghadapi orang lain. Rasa malu dan marah membaur menjadi satu
dalam dada. Tanpa sadar mereka berdua saling melirik sekilas, tiba-tiba muncul keinginan
untuk mengadu jiwa dengan gadis ini. Mula-mula Goan Siong Fei membentak dengan
suara keras, tubuhnya berkelebat dan melesat ke depan. Tangan kanannya membentuk
cakar, dengan keji dia melancarkan cengkeraman ke dada Kiau Hun, sedangkan telapak
tangan kirinya membawa serangkum angin yang kencang. Dengan jurus Mencari Jarum di
Dasar Lautan, dia menghantam ke arah pusar gadis tersebut.
Wajah Kiau Hun menjadi merah padam melihat serangannya yang keji.
"Ke mana tujuan seranganmu" Kurang ajar!" pedang pendek di tangannya langsung
digetarkan, segera terlihat cahaya kilat yang dingin dengan ukuran besar sekali. Begitu
terangnya sehingga menyilaukan mata, serangannya yang dahsyat membentuk perisai
yang berkilauan dan menghantam ke arah wajah Goan Siong Fei.
Sepasang mata Goan Siong Fei yang tajam sekali ternyata sulit menentukan ke bagian
mana serangan itu ditujukan. Tadinya dia sudah bertekad untuk gugur secara perkasa
sehingga serangan yang dilancarkannya tidak main-main, kalau bisa kedua belah pihak
sama-sama terluka. Dengan demikian meskipun kalah, pamornya tidak sampai jatuh.
Tahu-tahu Kiau Hun memaki dirinya dengan wajah merah padam dan mungkin
kemarahan gadis itu jadi meluap dan menyerangnya dengan jurus yang tidak kepalang
tanggung kejinya. Dia sendiri bagai tersentak sadar bahwa kedua serangannya tadi bisa
dianggap kotor dalam, pandangan orang lain. Begitu pikirannya tergerak, cepat-cepat dia
menjungkirbalikkan tubuhnya. Dengan jurus Ikan Lele Melompat-lompat, dia langsung
mencelat mundur sejauh delapan sembilan langkah.
Baru saja kakinya mendarat di atas tanah, dia segera mengalihkan pandangan
matanya. Tampak sinar kehijauan melesat secepat kilat dan menimbulkan hawa dingin
yang terasa menyusup ke dalam tulang. Kemudian ketika pedang itu ditarik kembali,
terlihatlah hujan darah yang memercik ke mana-mana, disusul segera dengan suara
jeritan ngeri si kakek bungkuk. Orangtua itu mencelat mundur sambil menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. Darah segar masih merembes dari tangan kirinya dan jatuh
menetes ke atas tanah. Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin sekali. Pedangnya menuding ke
arah si kakek bungkuk. "Aku memotong sebelah telingamu sebagai peringatan! Lihat apakah lain kali kau masih
berani sembarangan mengoceh dan bersikap kurang sopan terhadap diriku!"
Mendengar nada kata-katanya yang ketus dan sombong, orangtua bungkuk itu
terpaksa menahan sakit dan kesal dalam hatinya. Seluruh tubuhnya sampai tergetar hebat
dan untuk beberapa lama dia malah berdiri dengan wajah termangu-mangu. Sesaat
kemudian tampak dia menghentakkan kakinya di atas tanah dan berkata dengan nada
penuh kebencian. "Lohu hari ini kalah di bawah pedang nona, aku hanya dapat menyalahkan kepandaian
sendiri yang tidak bisa menandingi ilmu yang dimiliki orang lain. Mulai sekarang di dunia
Kangouw tidak ada lagi manusia seperti aku ini. Sisa hidupku biar dilewatkan di tempat
terpencil dan hanya ditemani batu-batu serta rerumputan!" sembari berkata, tubuhnya
melesat, tahu-tahu dia bukan maju ke depan malah mencelat ke belakang sejauh satu
depa lebih. Setelah itu baru dia membalikkan tubuhnya, terdengar suara raungan yang
pilu seiring dengan bayangan punggungnya yang semakin menjauh.
Sekali turun tangan saja Kiau Hun berhasil menggetarkan Goan Sio
Bentrok Rimba Persilatan 6 Bukit Pemakan Manusia 5
^