Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 6

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 6


Yong sedikit. Agak lama juga dia memandangnya. Dia melihat bibir itu begitu indah, menantang bahkan kemerahan
walaupun tidak diolesi gincu. Nafas yang keluar dari hidungnya sebentar lambat sebentar
cepat. Malah terendus keharuman yang khas.
Hatinya jadi tergerak, perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya dan menekankan
bibirnya di atas bibir tersebut. Begitu sepasang bibir bertemu, Tan Ki segera merasa
seluruh tubuhnya bagai disengat aliran listrik. Dia agak gemetar. Maklumlah, baru pertama
kali ini dia mencium seorang perempuan. Keempat anggota tubuhnya seperti kehilangan
tenaga. Ada semacam perasaan yang melenakan serta membuat dirinya merasa nyaman.
Tetapi dia tidak dapat menjelaskan bagaimana perasaan itu sesungguhnya. Tanpa dapat
dipertahankan lagi, sepasang lengannya memeluk Liang Fu Yong semakin erat.
Pada saat itu juga, dia telah memejamkan matanya seakan sedang menikmati apa yang
sedang berlangsung. Entah sejak kapan, sepasang mata Liang Fu Yong yang juga
terpejam mengalirkan dua bulir air mata. Kalau saja Tan Ki tahu apa yang sedang tersirat
dalam hatinya saat itu, maka ciuman itu menjadi ciuman yang paling mengenaskan.
Tampak sepasang lengannya yang indah memeluk leher Tan Ki erat-erat. Ciumannya
semakin mesra. Rembulan masih bersinar. Angin sejuk bertiup sepoi-sepoi. Kurang lebih
sepeminuman teh, Tan Ki mendorong tubuh Liang Fu Yong perlahan-lahan. Dua pasang
matapun bertemu. Tanpa terasa wajah keduanya jadi merah padam.
Dengan gerakan yang lemah gemulai, Liang Fu Yong mengulurkan tangannya untuk
memeluk sekali lagi. "Sekali lagi?" katanya lirih.
Tan Ki tersenyum lembut. Dia menurut apa yang diminta oleh Liang Fu Yong dengan
men-ciumnya sekali lagi. "Sekali lagi?"
Hal ini berlangsung terus. Entah berapa kali sudah bibir mereka saling bertautan. Tan Ki
seperti terlena. Bahagianya bukan main. Akhirnya mereka saling melepaskan diri juga.
"Cici, sisakan untuk malam pernikahan kita. Hari sudah hampir terang, kita boleh melanjutkan
perjalanan sekarang." Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya beberapa kali. Rasanya seperti ingin
memandang Tan Ki terus menerus. Tapi dia tetap membungkam seribu bahasa. Pada
dasarnya, Tan Ki memang seorang pemuda yang berotak cerdas. Pikirannya cepat
tanggap terhadap suasana sekitar. Tiba-tiba dia merasa ada yang tidak beres. Dia
merenungkan kembali gerak-geriknya sejak awal hingga akhir. Semakin dipikirkan,
hatinyapun semakin yakin akan dugaannya sendiri. Perempuan itu pasti sudah
merencanakan sesuatu. Pandangan mata Liang Fu Yong tajam sekali. Melihat sepasang bola mata Tan Ki terus
bergerak memperhatikan dirinya lekat-lekat. Hatinya menjadi panik. Terdengar tarikan
nafas perempuan itu. Tarikan nafasnya seperti menyiratkan perasaan hatinya yang pedih.
Pada malam yang sesunyi ini, kedengarannya malah tambah menyayatkan hati.
Tepat pada saat perempuan itu selesai menarik nafas panjang, tiba-tiba tangannya
terulur dengan cepat dan tahu-tahu dia menotok salah satu urat darah di tubuh anak
muda tersebut. Perubahan yang mendadak ini benar-benar di luar dugaan Tan Ki. Hatinya menjadi
tercekat. Tiba-tiba urat nadinya terasa kesemutan dan seluruh tubuhnya jadi lemas tidak
bertenaga. Dia langsung membentak dengan suara keras.
"Apa yang kau lakukan?" Meskipun dirinya sudah tertotok, tetapi cara turun tangan Liang Fu Yong memang
sudah dipertimbangkan matang-matang. Jadi dia tetap dapat berbicara. Tampak Liang Fu
Yong melonjak bangun. Bibirnya tersenyum.
"Dengan demikian kau tidak bisa mengejar aku lagi."
Dia membalikkan tubuhnya dan menghambur ke depan secepat kilat. Tetapi di kala
tubuhnya baru bergerak, sudah terlihat air matanya mengalir dengan deras. Wajahnya
tampak muram sekali. BAGIAN XV "Cici, kau hendak ke mana?" teriak Tan Ki panik.
"Dunia ini luas sekali, ke manapun aku bisa pergi?"
Entah karena hati Tan Ki terlalu panik sehingga tidak dapat mendengar jelas ucapannya
atau perasaan Liang Fu Yong yang terlalu pedih sehingga suaranya seperti tercekat di
tenggorokan. Pokoknya setelah mengucapkan beberapa patah kata itu, orangnya sudah
jauh sekali dan sekejap mata kemudian menghilang dari pandangan.
Yang tersisa hanya gema suaranya yang terdengar begitu menyayat dan mengandung
penderitaan yang hebat. Sampai saat ini Tan Ki baru tersadar. Liang Fu Yong mendapat
caci maki dari para murid Bu Tong Pai, hal ini membangkitkan kenangan masa lalunya
yang gelap. Dalam keadaan tertekan, juga pukulan bathin yang hebat. Meskipun dirinya
sendiri sudah berniat bertobat, tetapi dia seperti kehilangan rasa percaya diri. Dengan
terang-terangan dia minta dicium oleh Tan Ki, pada dasarnya hanya sebagai kenangan
menjelang perpisahan. Berpikir sampai di sini, tanpa dapat dipertahankan lagi, dia memaki-maki dirinya sendiri.
Mengapa sampai hal sekecil ini dia juga tidak menyadarinya sejak semula"
Sembari menyalahkan dirinya sendiri, matanya terus memandang arah di mana Liang
Fu Yong pergi. Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu. Tiba-tiba wajahnya terasa
sejuk. Setetes embun menyadarkannya dari rasa sedih.
Dia mendongakkan kepalanya. Di ujung langit telah terbit seberkas sinar. Fajar
sebentar lagi akan menyingsing, angin masih terasa sejuk. Hal itu membuat perasaan anak
muda itu semakin pilu. Setelah berbaring sejenak, hatinya berpikir untuk membalikkan tubuhnya, tetapi
tenaganya tidak ada sama sekali. Keinginannya pun tidak dapat terkabul. Tanpa sadar dia
menarik nafas panjang. "Seandainya aku pernah mempelajari Lwe Kang, tentu aku dapat melancarkan hawa
murni untuk menerobos urat yang tertotok. Sayangnya Cici hanya menjelaskan sedikit
pelajaran tersebut. Sehingga totokan yang tidak seberapa berat ini pun membuat aku
tidak berdaya!" pikirnya dalam hati.
Tepat pada saat itu juga, telinganya menangkap kibaran pakaian yang sedang menuju
ke tempatnya. Cepat-cepat dia mengerlingkan matanya memandang. Hatinya menjadi
gembira bukan kepalang. "Aku tahu kau pasti akan kembali." katanya sambil tersenyum.
Liang Fu Yong hanya tertawa datar. Tampaknya dia tidak merasa heran. Wajahnya juga
tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Tan Ki tersenyum. "Kau meninggalkan aku terbaring seorang diri di tempat ini, apalagi aku tidak dapat
bergerak sama sekali. Kalau aku sampai tergigit ular berbisa atau disantap binatang buas,
tamatlah riwayatku. Aku rasa setelah kau pergi, tentu kau baru teringat akan hal ini. Itulah
sebabnya kau kembali lagi." Liang Fu Yong tertawa getir. "Tekadku untuk pergi sejak semula sudah kupertimbangkan matang-matang. Meskipun
gunung Thai San menjulang di hadapanku, niatku juga tidak akan berubah. Kali ini aku
kembali, hanya untuk menyampaikan beberapa patah kata. Pertemuan kita terlalu lambat,
dalam hal ini entah siapa yang harus disalahkan. Dunia memang penuh dengan tragedi.
Mungkin ini adalah pertemuan kita yang terakhir kalinya?"
Berkata sampai di sini, dia merandek sejenak. Dia membuka jubah panjang yang
diberikan oleh Tan Ki. Dia menyelimuti anak muda tersebut dengan jubahnya sendiri.
Kemudian dia mengeluarkan bendera merah yang terselip di pinggangnya. "Bendera ini
dinamakan Tiat Hiat (Darah Besi). Di lihat dari luar memang biasa-biasa saja. Tidak ada
keistimewaannya sama sekali. Tetapi benda ini merupakan lambang perintah dari Barisan
Jendral Langit. Keampuhannya sampai di mana, kau sudah pernah menyaksikan sendiri.
Tetapi harap kau ingat baik-baik, si tua bangka Oey Kang merupakan manusia yang
sangat licik. Ilmu senjata rahasianya tinggi sekali. Barisan Jendral Langit merupakan hasil
didikannya langsung. Setiap orangnya dapat menimpukkan tiga macam senjata rahasia
sekaligus. Apabila kelak kau kebetulan datang lagi ke Pek Hun Ceng, maka kau harus
berhati-hati terhadap bokongan senjata rahasia mereka. Aku sudah berkhianat terhadap
Pek Hun Ceng, bahkan mencuri Tiat Hiat Ki ini. Oey Kang pasti membenci aku sampai ke
tulang sumsum. Kelak apabila aku sampai terjatuh ke tangannya. Hidup atau mati sulit
ditentukan." Otaknya segera membayangkan bagaimana Oey Kang membereskan seorang murid
yang mengkhianatinya. Cara turun tangannya yang demikian keji, rasanya tiada duanya
lagi di dunia ini. Tanpa terasa tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin membasahi
keningnya. Sejenak kemudian dia meletakkan bendera tersebut di atas kepala Tan Ki.
"Baik-baiklah menjaga diri, aku pergi?" kata-katanya pendek, tetapi mengandung
makna yang dalam. Tan Ki yang mendengarnya sampai tertegun. Dia melihat kaki Liang
Fu Yong melangkah mundur setindak demi setindak. Tampaknya sebentar lagi dia akan
meninggalkan Tan Ki. Hati anak muda itu menjadi panik. Rasanya dia ingin berteriak
sekeras-kerasnya agar Liang Fu Yong membatalkan maksudnya. Tetapi dia tidak tahu
kata-kata apa yang harus diucapkannya. Dia hanya merasa ada segulung kepedihan yang
memenuhi hatinya. Perasaannya bagai hancur lebur. Ingin rasanya dia mengorek hatinya
sendiri agar Liang Fu Yong dapat melihat bagaimana khawatirnya dia saat itu.
Akhirnya, dia hanya melihat saja Liang Fu Yong meninggalkan dirinya setindak demi setindak.
Ketika akan melangkah pergi, Liang Fu Yong seperti merasa berat berpisah dengan Tan
Ki. Meskipun kakinya terus maju, namun setiap tiga langkah, dia pasti menoleh kembali.
Dari sinar matanya terpancar kerinduan dan kepedihan yang tidak terkirakan.
Sebagian sukma Tan Ki seakan dibawa pergi juga oleh perempuan itu. Meskipun Liang
Fu Yong sudah meninggalkannya cukup lama, namun dia masih memandangi arah
kepergiannya dengan termangu-mangu. Tampak air matanya mengalir dengan deras
membasahi kedua pipinya. Yang Kuasa seperti mempermainkan nasib anak manusia. Takdir memang tidak dapat
ditolak. Dia ingat ketika pertama kali bertemu dengan Mei Ling serta pelayannya Kiau Hun.
Meskipun, gadis itu hanya seorang budak, tetapi api asmara di dalam kalbunya juga
berkobar-kobar. Namun, gadis itu juga meninggalkan dirinya dengan membawa hati yang
terluka" Kalau dibandingkan, tampaknya penderitaan Liang Fu Yong lebih hebat, belum lagi
pukulan bathin yang diterimanya, juga berlipat ganda!
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa dia menarik nafas panjang. Air matanya mengalir
semakin deras. Tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang dingin yang datang dari
samping tubuhnya. "Seorang laki-laki sejati lebih memilih terjun ke jurang yang dalam daripada cengeng
seperti perempuan. Coba lihat dirimu, menangis tersedu-sedu, menarik nafas panjang
pendek, masa pantas disebut seorang pendekar yang gagah?" sindir orang itu.
Mendengar ucapan orang itu, Tan Ki terkejut setengah mati. Dirinya tenggelam dalam
kesedihan sampai sedemikian rupa, sampai ada orang yang berdiri di sampingnya, dia
tidak menyadarinya sama sekali. Begitu terperanjatnya Tan Ki, sampai seluruh tubuhnya
basah oleh keringat. Dia segera memalingkan wajahnya. Si pengemis sakti Cian Cong
dengan tubuhnya yang tinggi besar sudah berdiri dalam jarak kurang lebih lima langkah di
sebelah kirinya. Cepat-cepat dia mengembangkan seulas senyuman.
"Locianpwe?" sapanya. Belum lagi kumandang suaranya sirap, Cian Cong sudah mendengus dingin. Mulutnya
langsung mengomel. "Pagi-pagi buta ada tempat tidur tidak ditiduri, malah datang ke tempat ini dan purapura
gila. Kau kira si pengemis tua tidak menjadi marah?" tiba-tiba sebelah kakinya
terjulur dan ditendangnya Tan Ki keras-keras.
Orang ini memang tidak malu disebut sebagai salah satu dari dua tokoh sakti di dunia
ini. Pengetahuannya sangat luas. Sekali pandang saja dia sudah tahu kalau Tan Ki dalam
keadaan tertotok. Tendangannya tadi begitu cepat, namun begitu sampai di tubuh Tan Ki,
tidak terasa sakit sama sekali. Malah jalan darahnya yang tertotok jadi terbuka.
Dengan pandangan kagum, Tan Ki langsung meloncat bangun. Dia menggerakkan
anggota tubuhnya yang terasa kaku. Kemudian dia mengambil bendera merah yang
ditinggalkan Liang Fu Yong dan menyelipkannya di pinggang. Setelah itu dia menjura
dalam-dalam kepada Cian Cong. "Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Kalau tadi Locianpwe tidak menghadiahkan
sebuah tendangan, entah sampai kapan Boanpwe harus terbaring di tempat ini." hatinya
teringat kesedihan Liang Fu Yong ketika akan meninggalkannya. Hatinya masih terasa pilu.
Tetapi di hadapan seorang tokoh sakti, dia tidak berani berlaku kurang ajar. Selesai
berkata, sekali lagi dia membungkukkan tubuhnya rendah-rendah.
"Menurut Ciong San Suang-siu, kau mengejar Oey Kang. Sampai sekarang dua hari
sudah berlalu, mengapa kau malah terbaring di tempat ini dan bermimpi yang bukanbukan?"
Tan Ki tertawa getir. Dia menceritakan bagaimana dirinya ditolong oleh Mei Ling,
sampai ia dibawa oleh Oey Kang. Seluruhnya dikisahkan dengan jelas. Tetapi dia menutupi
nama busuk Liang Fu Yong di luaran, malah mengisahkan bagaimana dia mengorbankan
diri sehingga diperkosa oleh Oey Kang.
Cian Cong mendengarkan dengan seksama. Akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Di dunia ini ternyata ada seorang gadis yang begitu mulia hatinya. Pada suatu hari
nanti, si pengemis ingin sekali belajar kenal dengannya." dia merandek sejenak. Kemudian
mengalihkan "pokok pembicaraan. "Tua bang-ka itu benar-benar jahat. Mengapa tidak
mencari wanita penghibur saja malah?"
Dia tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Seperti ada sesuatu yang terlintas dalam
benaknya. Rupanya orangtua ini memang membenci sekali segala macam kejahatan. Dan
wataknya juga agak aneh. Tindak-tanduknya kadang-kadang menyimpang dari jalur dan
selalu di luar dugaan orang lain. Sejak bertarung dengan Ciu Cang Po di atas genting Cui
Sian Lau tempo hari, meskipun dia berhasil melukai nenek tua tersebut, namun dia juga
dikejutkan oleh gerakan tubuh Oey Kang ketika datang dan pergi. Dia menjadi kagum
sekali. Timbul perasaan menyayangkan dalam hatinya. Saat ini, mendengar keterangan
Tan Ki bahwa orang itu juga mata keranjang, memang tepat kalau disebut sebagai raja
iblis nomor satu di dunia ini. Hatinya menjadi tergerak, tanpa sadar dia menarik nafas
panjang kembali. Mendengar ucapannya yang sepotong itu, Tan Ki sudah paham isi hati tokoh tua
tersebut. Dia teringat saat-saat di mana Liang Fu Yong diperkosa oleh raja iblis itu, hawa
amarahnya langsung meluap-luap. Sepasang alisnya terjungkit ke atas.
"Sikap Locianpwe terhadap orang tersebut seakan menutupi sesuatu, hal ini benarbenar
membuat Boanpwe tidak habis pikir?" tiba-tiba dalam perutnya terdengar suara air
yang beriak-riak. Rupanya dia sudah kelaparan setengah mati. Sudah dua hari dua malam
dia tidak mengisi perut, malah dirinya tidak sadar akan hal ini.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Cian Cong malah seperti tidak mendengarkan.
Tampak dia tertawa terbahak-bahak. "Mari ikut aku." katanya.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia menghambur menuju lembah sebelah kiri.
Melihat tindak-tanduknya, mula-mula Tan Ki tertegun. Tetapi pada dasarnya dia memang
seorang pemuda yang cerdas. Tanpa berpikir panjang lagi, dia segera menggerakkan
kakinya mengejar ke depan. Meskipun si pengemis sakti Cian Cong tidak menolehkan kepalanya sama sekali. Tetapi
setiap gerak-geriknya dapat diketahui oleh tokoh sakti tersebut. Begitu Tan Ki mengejar,
dia pun menambali kecepatan langkahnya.
Tampaknya dia ingin mengadu kecepatan kaki dengan Tan Ki. Langkahnya mendadak
dipercepat, gerakan tubuhnya laksana terbang dan menerjang ke depan. Sepasang alis
Tan Ki bertaut erat. "Rupanya kau ingin menguji diriku?" katanya dalam hati.
Dipertahankannya luka dalam yang dideritanya, kecepatan kakinya ditambah. Dikerahkannya
ilmu ginkang tingkat tinggi. Tubuhnya pun seakan melayang di udara. Pakaiannya
berkibar-kibar, menimbulkan deruan angin.
Gerakan mengadu kecepatan kedua orang ini benar-benar seperti dua ekor kijang yang
saling mengejar. Di bawah sorotan terik matahari, tampak dua titik hitam yang berendeng
dan melesat ke depan. Dalam pandangan orang biasa, tentu tidak mengira bahwa kedua
titik hitam itu merupakan dua orang tokoh silat kelas tinggi yang sedang berlari.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah berlari sejauh dua li. Jarak diantara mereka
tetap kurang lebih dua depa. Tan Ki tidak dapat lebih dekat satu inci pun, dan Cian Cong
juga tidak sanggup menarik jarak lebih jauh satu langkahpun.
Tiba-tiba tampak sepasang lengan Cian Cong bergerak sedikit, tahu-tahu tubuhnya
sudah mencelat ke atas setinggi satu depa. Dia melayang melewati sebuah batu karang
dan tahu-tahu hilang dari pandangan.
Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan memandang ke daerah sekitar. Dia melihat
semak belukar di mana-mana. Udara terasa agak lembab. Rupanya kedua orang itu terus
berlari dan tidak memperhatikan arah sama sekali. Tahu-tahu mereka sudah sampai di
pegunungan yang ditumbuhi rumput-rumput serta semak-semak belukar.
Mula-mula Tan Ki agak ragu, tetapi akhirnya dia melangkah perlahan-lahan memanjat
batu karang. Segulungan angin gunung menghembuskan bau harum arak dan daging
bakar. Tanpa sadar kakinya mengikuti sumber bau harum itu.
Begitu matanya memandang, dia melihat si pengemis sakti Cian Cong sedang duduk
ber-sandar di batang pohon. Matanya terpejam, dia sedang beristirahat. Di hadapannya
terdapat tiga bongkah batu yang mana di atasnya menangkring sebuah panci. Tungku api
alami yang dibuatnya sudah menyala. Uap mengebul-ngebul dari dalam panci. Sehingga
tutup di atasnya bergerak-gerak. Entah apa yang dimasaknya. Bau daging yang menusuk
terendus dari panci tersebut. Hidung Tan Ki mengendus bau harum masakan. Dia memandang panci yang sedang
mengepulkan uap panas tersebut. Perutnya semakin keroncongan. Matanya sampai
berkunang-kunang. Diam-diam dia meneguk air liur, tetapi tidak berani membuka mulut
meminta makanan itu. Setelah berdiri agak lama, terdengar suara bersin dari hidung si pengemis sakti.
Dengan gerak lambat dan kemalas-malasan, dia mengeluarkan tujuh delapan biji bakpao
yang sudah gepeng karena terlalu sering tertekan. Dia melemparkannya ke arah Tan Ki.
"Sambutlah!"

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Caranya melempar bakpao itu seakan menggunakan ilmu yang khas. Jarak bakpao itu
kurang lebih masih kurang lebih dua inci, sudah terasa hembusan angin yang terpancar
dari lemparannya. Hati Tan Ki diam-diam merasa kagum. Dengan cepat dia mengulurkan tangannya dan
secara berturut-turut dia berhasil menangkap lima butir bakpao. Tampak Cian Cong
tersenyum simpul kepadanya. "Gerakan yang bagus. Tampaknya mau tidak mau, kau harus ikut ke Pek Hun Ceng kali
ini." Tan Ki langsung tertegun. "Rupanya lemparan bakpao ini mempunyai maksud tersendiri. Tampaknya kau ingin
menguji kesigapanku dalam menyambut senjata rahasia." pikirnya dalam hati.
Begitu hatinya tergerak, tadinya dia bermaksud mengajukan beberapa pertanyaan.
Tetapi rasa lapar di perutnya tidak tertahankan lagi. Dengan lahap dia menikmati makanan
di tangannya. Dalam waktu yang singkat, kelima butir bakpao tersebut sudah habis
tertelan ke dalam perutnya. Sementara itu, tangan kanan Cian Cong menggenggam sepotong paha ayam.
Sedangkan tangan kirinya memegang hiolo arak kesayangannya. Setiap menggigit ujung
paha ayamnya sekerat, dia pun minum araknya seteguk. Tampaknya dia sangat menikmati
cara makannya itu. Tan Ki tahu, diantara tokoh-tokoh sakti di dunia Bulim, ada beberapa yang wataknya
aneh. Biasanya mereka tidak suka segala peradatan. Melihat Cian Cong menikmati
makanannya dengan lahap, dia jadi tidak enak hati mengganggunya dengan pertanyaanpertanyaan.
Diam-diam dia berdiri di samping dan menunggu kurang lebih setengah
kentungan. Akhirnya sepotong paha ayam dan sekendi arak itu habis juga. Tan Ki baru
berani menghampiri tokoh tua itu. "Kalau mendengar kata-kata Locianpwe tadi, apakah yang dimaksudkan sebagai Pek
Hun Ceng adalah tempat tinggal si raja iblis Oey Kang?"
"Tidak salah. Orang yang pergi ke sana bukan hanya si pengemis tua saja. Masih ada
orang-orang dari lima partai besar yakni, Siau Lim, Bu Tong, Kun Lun, Go Bi dan Ceng
Cen. Kalau seluruh Hwesio dan Tojin dihitung sekaligus, jumlahnya tidak kurang dari
seratus orang. Mereka semua berbondong-bondong menuju Pek Hun Ceng. Bahkan ada
beberapa pendekar yang tidak termasuk perguruan maupun partai lima besar ikut
mengambil bagian." selesai berkata, dia langsung mendongakkan wajahnya dan tertawa
terbahak-bahak. "Dengan berkumpulnya tokoh-tokoh ini, tentu ada keramaian yang dapat
disaksikan." "Kalau para pendekar dunia Bulim semuanya menggabungkan diri, meskipun Oey Kang
mempunyai kepandaian setinggi langit, juga tidak sanggup menghadapi kemarahan
mereka. Satu Pek Hun Ceng yang demikian kecil, tentu tidak sanggup menahan?"
Wajah Cian Cong menjadi serius. Dia segera menukas ucapan Tan Ki yang belum
selesai. "Si pengemis tua sengaja menerjunkan diri ke dunia Kangouw untuk kedua kalinya,
karena mendengar gerak-gerik Cian bin mo-ong yang sudah keterlaluan. Itulah sebabnya,
si pengemis tua tiba-tiba muncul di Lok Yang. Dalam beberapa hari ini, tidak terdengar
berita si iblis seribu wajah itu, malah perasaan si pengemis tua semakin khawatir.
Sekarang karena terdesak oleh keadaan, hati si pengemis tua malah dibebani persoalan
yang lain?" Diam-diam Tan Ki merasa geli. "Cian bin mo-ong justru ada di hadapan kau, si pengemis sakti. Sayangnya
pandanganmu kurang tajam sehingga tidak mengenali?" katanya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi wajahnya tetap tidak menunjukkan perasaan
apapun. "Apa persoalan yang lainnya itu?" tanyanya tenang.
"Ya, urusan Oey Kang itulah. Orang ini mempunyai berbagai macam kepandaian.
Ilmunya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bukan si pengemis sakti memujinya,
kalau suruh si pengemis tua bertarung dengannya tiga hari tiga malam juga tidak menjadi
persoalan, tetapi dia mempunyai keahlian dalam senjata rahasia. Itulah yang membuat
kepala si pengemis tua menjadi pusing tujuh keliling. Sekali bergebrak, senjata rahasianya
langsung disambitkan ke mana-mana. Hebatnya, pukulan maupun totokan jarinya tidak
berhenti melancarkan serangan. Hal ini membuat orang yang diserangnya tidak dapat
menduga-duga atau mengadakan persiapan sebelumnya. Walaupun dapat meloloskan diri
dari tiga batang pisaunya, atau sembilan keping uang logam emas, tetap sulit menghindar
dari dua puluh tujuh jarum beracunnya. Malah pernah dengar orang mengatakan, sejak
berhasil melatih ilmu tersebut, dia tidak pernah melancarkan ketiganya sekaligus."
Tan Ki seperti kurang percaya. "Benarkah sampai sedemikian hebat ilmunya?"
"Benar atau tidaknya, asal sudah dicobakan bisa ketahuan. Kita juga sudah boleh
berangkat. Kalau sampai terlambat mengikuti pertemuan, mungkin akhirnya bisa menyesal
seumur hidup." Orangtua itu segera berdiri kemudian menepis-nepis pantatnya yang kotor.
Tan Ki tertawa lebar. "Dengan adanya bantuan dari Locianpwe, kekuatan para pendekar menjadi berlipat
ganda." Sembari berkata, kedua orang itu segera mengerahkan ilmu ginkangnya. Secepat kilat
mereka berlari. Tampak dua baris pepohonan yang ada di kiri dan kanan seakan bergerak
mundur dengan pesat. Angin terus menimbulkan suara dengungan di telinga.
Pada saat sedang berlari itulah, tiba-tiba terdengar Cian Cong berkata:
"Ulurkan tanganmu ke mari!"
Tan Ki segera mengikuti perkataannya dengan mengulurkan tangan kanan.
Dibiarkannya Cian Cong menggandeng tangannya itu meskipun dia tidak mengerti maksud
si pengemis sakti tersebut. Namun langkah kaki keduanya tidak berhenti, mereka terus
berlari ke depan. Mendadak dia merasa ada segulungan hawa panas mengalir dari telapak
tangan orangtua itu yang mendorong masuk lewat tangannya lalu menyusup ke dalam
dada serta isi perutnya. Aliran hawa panas ini kuat sekali, setingkat demi setingkat, segulung demi segulung,
terus mendesak ke dalam. Setingkat demi setingkat bertambah panas, segulung demi
segulung bertambah cepat. Seluruh anggota tubuh terasa hangat, ada semacam
kenyamanan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Tanpa dapat ditahan lagi, keringat
segera membasahi seluruh tubuh Tan Ki. Pikiran seakan menjadi lebih terang, nafaspun
lebih teratur, luka yang dideritanya pun sudah pulih sebagian besar.
Rasa terkejut serta gembira bercampur aduk dalam hatinya. Orangtua ini mempunyai
watak yang aneh. Kalau bicara selalu ceplas-ceplos yang mana sering membuat orang
menjadi jengah dan serba salah. Tapi setiap tindak-tanduknya, tidak ada satupun yang
tidak membuat orang menjadi kagum. Bahkan terhadap seseorang yang tidak ada
hubungannya seperti aku ini, dia juga tidak sayang menyalurkan hawa murninya guna
membantuku menyembuhkan luka dalam. Tindakan yang demikian bijak dan berhati
mulia, di dunia ini masih ada berapa orang yang bersedia melakukannya" Gerakan kakinya
tetap tidak berhenti, sembari berlari dia sanggup menyalurkan hawa murni dengan lancar
menerobos seluruh tubuh. Hal ini membuktikan bahwa ilmu orangtua ini telah mencapai
taraf yang tidak terkira tingginya.
Begitu pikirannya tergerak, dalam hati Tan Ki pun timbul rasa hormat kepada si
pengemis sakti tersebut. Tanpa sadar dia menolehkan kepalanya melirik Cian Cong
beberapa kali. Di wajahnya tersirat perasaan terima kasih serta haru yang tidak
terkatakan. Cara lari kedua orang itu demikian ringan dan cepat. Tidak berapa lama kemudian,
mereka sudah sampai di sebuah hutan yang lebat sekali. Sampai di tempat ini, mendadak
Cian Cong menghentikan langkah kakinya. Matanya menatap ke arah papan peringatan
yang bertuliskan: "Sebelum masuk wilayah ini, urus dulu masalah penguburan." Cian Cong
langsung tertawa dingin, dia menolehkan kepalanya dan berkata:
"Kau tunggu di sini, si pengemis tua ingin masuk ke dalam dan meninjau sebetulnya
ada persiapan apa yang mengejutkan orang."
Tan Ki tahu orangtua itu merasa sayang kepadanya, dia tidak ingin dirinya terjerumus
dalam bahaya, tetapi karena hatinya merasa kagum serta hormat kepada orangtua ini,
tanpa sadar diapun mengkhawatirkan keselamatannya.
"Locianpwe hendak masuk ke sarang harimau, mana boleh Boanpwe ketinggalan. Kalau
memang mau meninjau, biar kita tinjau sama-sama, hidup atau mati kita jalani bersama.
Untung rugi kita bagi rata." Mendengar ucapannya yang gagah, Cian Cong langsung tersenyum simpul. Dia segera
menganggukkan kepalanya. "Boleh juga, kalau si pengemis tua sampai pulang ke rumah kakek moyang, toh jadi
tidak kesepian karena ada yang menemani."
Selesai berkata, dia langsung mendahului masuk ke dalam hutan tersebut.
Sejak mendapat saluran hawa murni dari si pengemis sakti, luka Tan Ki sudah hampir
pulih. Hanya saja dalam beberapa hari ini dia terus dikecewakan masalah cinta kasih, jadi
tekanan bathinnya yang agak parah itu masih terasa. Melihat Cian Cong sudah mendahului
masuk ke dalam hutan, dia segera menghimpun hawa murninya guna melindungi tubuh.
Kakinya langsung berlari mengejar Cian Cong.
Baru saja sebelah kakinya menginjak ke dalam hutan, tiba-tiba matanya terasa
berkunang-kunang. Keadaan langsung berubah. Tampak di depan belakang kiri maupun
kanannya semua merupakan pepohonan. Dirinya bagai terkepung. Dia mempertajam
penglihatannya memperhatikan, tetapi dirinya malah seperti berada di lautan luas yang
tidak terlihat tepiannya. Dia juga tidak berhasil menemukan arah dari mana dia masuk
tadi. Saat itu, tengah hari belum lagi tiba. Matahari bersinar cerah. Tetapi diri Tan Ki yang
terperangkap dalam hutan itu malah tidak dapat melihat sinar sedikitpun. Cahaya matahari
yang terik itu seakan diselimuti oleh dedaunan serta pohon-pohon yang lebat sehingga
tidak dapat menerobos sedikitpun. Meskipun biasanya nyali Tan Ki sangat besar,
menghadapi situasi seperti ini, diam-diam hatinya tercekat juga. Perubahan ini memang
terlalu aneh. "Ketika berdiri di luar, tampaknya hutan ini tidak ada kelainan apa-apa. Mengapa begitu
masuk ke dalam, semuanya jadi berubah" Kecuali tempat di mana aku berdiri, di manamana
yang terlihat hanya bayangan pepohonan, bahkan sedikit tempat yang kosongpun
tidak terlihat." pikirnya dalam hati.
Pada saat pikirannya dilanda kebingungan itulah, tiba-tiba terdengar Cian Cong
mendengus dingin. Tan Ki segera mengalihkan pandangannya. Tampak mimik wajah
orangtua itu kelam sekali. Mulutnya terus bergerak-gerak, seakan sedang menghitung
sesuatu. Oleh karena itu, Tan Ki hanya berdiri di belakangnya tanpa berani menganggu
pikiran si pengemis sakti. Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, di wajah Cian Cong yang tadinya kelam
mulai merekah seulas senyuman. "Si maling tua Oey Kang itu ternyata memang bukan tokoh sembarangan. Dia sanggup
menggabung perubahan Pat Kua dan Kiu
Kong sehingga pengaruhnya lebih kuat. Hampir saja si pengemis tua tertipu olehnya."
Tiba-tiba dia menghimpun hawa murninya, kaki kiri digerakkan perlahan-lahan seakan
takut ada jebakan yang terpasang di hadapannya. Dengan hati-hati orangtua itu maju
setengah langkah, orangnya pun segera membelok di balik sebatang pohon.
Tan Ki sadar dirinya tidak mengerti unsur langkah seperti Pat Kua maupun Kiu Kong.
Biasanya perubahan unsur-unsur ini memang ajaib sekali. Dia takut kehilangan jejak Cian
Cong, maka dari itu, cepat-cepat dia menyusul dari belakang. Langkah kaki Cian Cong
baru saja berhenti, Tan Ki sudah sampai di belakangnya.
Cian Cong menolehkan kepalanya dan tersenyum. Kemudian dia melangkah ke dalam
sejauh sembilan tindak. Setelah itu menggeser ke kanan sejauh empat tindak. Tan Ki terus
mengikuti dengan ketat, ternyata memang tidak terdapat halangan apapun. Dalam waktu
yang singkat, mereka sudah masuk sejauh lima enam puluh depa, hati Tan Ki diam-diam
menghitung. Dia tahu apabila mereka melangkah beberapa tindak lagi, mereka segera
dapat menerobos keluar dari bayangan pepohonan yang menyeramkan itu. Tanpa terasa
hatinya menjadi gembira. Perasaan hormatnya kepada Cian Cong semakin bertambah.
Pikirannya melayang-layang, tetapi sebetulnya hanya sekejap mata. Tiba-tiba terdengar
suara keluhan dari mulut Cian Cong. Langkah kakinya mendadak terhenti. Wajahnya
menyiratkan rasa terkejut serta penasaran.
Tan Ki jadi tertegun. Baru saja dia ingin bertanya, sudah terdengar Cian Cong menarik
nafas panjang. "Tadinya pengemis tua mengira bahwa barisan pepohonan ini hanya merupakan
gabungan dari unsur Pat Kua dan Kiu Kong, tidak tahunya masih banyak unsur lainnya
yang terdapat di dalamnya. Malah Im dan Yang dapat diputar balikkan sehingga arahnya
menjadi berubah?" Tan Ki terkejut sekali. "Apa" Jadi kita sudah tersesat dan tidak dapat keluar lagi?"
Wajah Cian Cong berubah kelam kembali.
"Walaupun belum sampai tersesat, tetapi babak kali ini, si pengemis tua rela mengaku
kalah. Memang sulit untuk keluar dari barisan pepohonan ini."
Tan Ki tersenyum simpul. "Seseorang salah menduga, merupakan hal yang wajar. Kita bisa mundur kembali ke
tempat semula dan mulai lagi dari awal." katanya menghibur.
Cian Cong tidak berkata apa-apa. Dia hanya menarik tangan Tan Ki dan mengajaknya
kembali ke tempat semula. Setelah berputar ke kiri dan membelok ke kanan beberapa kali,
akhirnya mereka sampai di luar hutan.
Tan Ki melihat mimik wajah Cian Cong jauh berbeda dengan biasanya. Kali ini sungguh
tidak enak dipandang. Hatinya jadi sedih. Dia tetap membungkam seribu bahasa. Perlu di
ketahui, seorang tokoh Bulim, apabila namanya menjulang semakin tinggi, maka ia akan
memandang harga dirinya semakin tinggi juga. Si pengemis tua ini merupakan salah satu
dari dua tokoh sakti di dunia Kangouw. Nama besarnya sudah menggemparkan dunia
persilatan. Tapi justru dia terkurung di dalam barisan pepohonan ini dalam waktu yang
dibilang lama juga tidak, tapi sebentar juga tidak. Tentu saja dia merasa malu sekali.
Padahal dia orang yang optimis dan selalu berpandangan luas, tetapi kali ini mau tidak
mau menelan seluruh kekesalan hatinya dalam-dalam.
Sementara itu, di sekeliling mereka kembali terkepung pepohonan dalam jumlah yang
tidak terhitung. Angin lembut berhembus. Pikiran yang tegangpun seakan ikut terbang
seiring dengan tiupan angin tersebut. Tetapi wajah Cian Cong masih murung seperti tadi.
Keriangannya di waktu kemarin-kemarin seolah lenyap entah ke mana.
Mata Tan Ki segera beredar, tiba-tiba dari bagian depan terlihat belasan orang sedang
berlari dengan tergesa-gesa ke arah mereka. Gerakan setiap orang itu seperti burung
camar yang terbang melayang. Jarak yang masih empat puluh depaan, dalam sekejap
mata, tahu-tahu sudah ada di hadapan mereka.
Orang yang paling depan, mungkin yang bertindak sebagai pemimpin, merupakan
seorang pemuda berwajah tampan. Alisnya bagus matanya bersinar terang. Tampaknya
dia melihat Cian Cong dan Tan Ki berjalan keluar dari hutan maka merasa di luar dugaan
sehingga terkejut sekali. Langkah kakinya pun otomatis terhenti. Dia memperhatikan
kedua orang itu dari atas kepala sampai ke bawah kaki. Dari mulutnya terdengar suara
keluhan yang lirih. Kemudian dia merangkapkan sepasang kepalan tangannya menjura
dalam-dalam. "Yang ini mungkin "si lengan koyak" Cian Cong Locianpwe yang namanya sudah menggetarkan
dunia Kangouw?" Cian Cong mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya.
"Baju rombeng milik si pengemis tua ini, lengannya memang sudah koyak sebagian. Ini
merupakan lambang gelar si pengemis tua."
Anak muda itu tersenyum lembut. Tiba-tiba sepasang alisnya mengerut di atas.
Matanya beralih kepada Tan Ki. "Kenapa kau kembali lagi?"
Tan Ki yang mendengar nada suaranya serasa tidak asing. Hatinya jadi tergerak. Dia
segera maju dua langkah dan menjura dalam-dalam.
"Apakah Saudara ini yang bersembunyi di dalam hutan dan memberikan obat
penyembuh luka kepadaku?" Alis anak muda itu bergerak-gerak. Dia seakan ingin mengatakan sesuatu namun
seperti ada suatu ingatan yang melintas di benaknya. Tiba-tiba dia mengibaskan ujung
pakaiannya dan melesat ke tengah udara. Dalam dua kali loncatan saja, tahu-tahu
orangnya sudah berada dalam jarak dua depaan.
Melihat keadaan itu, Tan Ki jadi termangu-mangu. Hatinya sedang berpikir mengapa
anak muda itu tiba-tiba pergi dengan tergesa-gesa, dalam waktu yang bersamaan,
telinganya menangkap suara panggilan "Locianpwe"! Locianpwe!" sebanyak beberapa kali
berturut-turut. Kepalanya segera menoleh untuk melihat apa yang telah terjadi. Entah sejak kapan Bu
Ti Sin Kiam Liu Seng, Ciong San Suang-siu, Kok Hua-hong beserta delapan orang lainnya
yang tidak dikenal oleh Tan Ki sedang mengerumuni Cian Cong.
Melihat kehadiran Liu Seng, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam hati Tan Ki
meluap seketika. Tubuhnya sampai gemetar melihat musuh yang membunuh ayahnya ada
di depan mata dan apabila dia mengulurkan tangannya saja, tubuh orang itu dapat
tersentuh. Tetapi terasa begitu jauh dan hanya dapat dipandang saja. Begitu bencinya
perasaan Tan Ki terhadap orang yang satu ini, sampai-sampai matanya mendelik lebarlebar.
Dari dalamnya terpancar sinar yang dingin menusuk serta mengandung hawa
pembunuhan yang tebal. Dia menatap Liu Seng lekat-lekat. Seakan setiap waktu dia sudah
siap melancarkan serangan yang mematikan ke arah orang tersebut.
Tan Ki menggunakan berbagai samaran dengan nama Cian bin mo-ong hampir
setengah tahun lamanya. Tapi begitu pandai pemuda itu merahasiakan identitas dirinya.
Orang yang mengetahui masalah ini hanya Liang Fu Yong serta dua Tosu Bu Tong Pai
yang sempat dibiarkan pergi oleh Tan Ki. Bahkan tokoh sakti seperti Cian Cong dan lainlainnya
tidak ada seorangpun yang tahu. Malah mereka melakukan kesalahan berulang kali
dengan menolong jiwa anak muda itu.
"Sebetulnya urusan apa yang membuat kalian mengejar pemuda tadi?" terdengar Cian
Cong bertanya. Liu Seng segera maju satu langkah lalu menjura dalam-dalam.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemuda tadi adalah anak angkat Oey Kang, yakni Pek I Tay-hiap (Pendekar Baju
Putih) Oey Ku Kiong." Cian Cong langsung tertawa dingin mendengar keterangannya.
"Usia semuda itu, memangnya pantas disebut segala Tayhiap?"
Tiba-tiba si gemuk pendek Cu Mei yang merupakan salah satu dari Ciong San Suang-siu
terdengar menukas" "Dia sendiri yang mengatakan hal ini kepada kita. Itulah sebabnya kita bisa tahu. Aku
pikir, tadinya mungkin dia hanya ingin membanggakan dirinya sendiri agar pandangan kita
terhadap harga dirinya jadi lebih tinggi."
Mendengar ucapannya, Cian Cong tampak berdiam diri. Seakan ada sesuatu yang
sedang dipikirkan olehnya. Setelah agak lama" baru dia berkata:
"Pertama kali melihat wajah tampan serta gagah dari pemuda tadi, pikiranku tiba-tiba
teringat seorang sahabat lama yang sudah berpuluh tahun tidak pernah berjumpa lagi."
dia menarik nafas panjang-panjang. Kemudian dia mengalihkan pokok pembicaraannya.
"Kalian datang ke Pek Hun Ceng untuk menolong orang. Lebih baik kalian pergi sekarang
juga. Si pengemis tua kali ini dibuat bingung sekian lama, rasanya seluruh kegembiraan
sampai kabur jauh-jauh. Diri si pengemis tua pun jadi enggan menemani lama-lama."
Tiba-tiba dia mengerahkan ginkangnya, dengan kecepatan tinggi dia melesat
meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap mata saja, orangnya sudah menghilang dari
pandangan. Para hadirin tidak tahu kalau hati tokoh tua ini sedang penasaran. Melihat dia tiba-tiba
pergi begitu saja, mereka menjadi tidak mengerti sama sekali. Oleh karena itu, semuanya
saling pandang sekilas kemudian termangu-mangu untuk beberapa saat.
Justru ketika para hadirin masih termangu-mangu itulah, Tan Ki segera menggunakan
kesempatan itu untuk ngeloyor pergi secara diam-diam. Orang-orang yang disekitarnya
merupakan tokoh kelas tinggi di dunia Bulim. Pendengaran mereka tajam sekali. Ternyata
mereka tidak sadar kapan Tan Ki pergi dari tempat tersebut. Kalaupun ada yang melihat,
juga mengira bahwa anak muda itu hendak menyusul Cian Cong, maka tidak ada yang
mengajukan pertanyaan kepadanya. Sebetulnya, Tan Ki pergi secara diam-diam, tujuannya sama sekali bukan menyusul
Cian Cong. Justru setelah melihat Liu Seng juga hadir di sana, gejolak kebenciannya
membara di dada. Dia ingin memikirkan cara membalas dendam, itulah sebabnya dia
ngeloyor secara diam-diam. Penderitaan di masa lalu menghasilkan watak yang luar biasa pada dirinya. Tabah,
angkuh dan dingin. Harapan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya juga lebih
dalam dari orang lain. Sejak mendapat petunjuk dari Bu Beng Lojin (Orangtua tanpa
nama) serta berhasil mencuri belajar dari kuburan para ketua Ti Cian Pang, keinginan
dalam hatinya semakin bergejolak. Itulah sebabnya, belum sampai setengah tahun dia
terjun ke dunia Kangouw, secara berturut-turut dia telah membunuh dua puluh tujuh
orang pendekar kenamaan. Dia selalu beranggapan, pada mayat ayahnya terdapat empat puluh delapan jenis
senjata rahasia, dari sini dapat dibuktikan bahwa musuh yang membunuh ayahnya ada
empat puluh delapan orang. Dalam perhitungannya saat ini, sisa musuh ayahnya tinggal
dua puluh satu orang. Nama Liu Seng sangat terkenal. Lagipula dia juga termasuk seorang
pendekar yang gagah serta menjunjung tinggi keadilan. Meskipun dia sudah menggantung
pedangnya sekian tahun, tapi kebesaran namanya tetap tersohor. Sedangkan Hek Hong
Ciam adalah senjata rahasia andalan keluarganya. Ilmu tersebut hanya diwariskan kepada
anak laki-laki dan tidak diwariskan kepada anak perempuan. Justru senjata rahasia
tersebut termasuk salah satu jenis yang membunuh ayahnya. Hal ini pula yang akhirnya
menimbulkan kegemparan di kota Lok Yang.
Sepanjang perjalanan dia terus berpikir, kakinya tidak pernah berhenti melangkah.
Tidak di sadari oleh Tan Ki bahwa dia malah kembali ke jalan semula.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya berkumandang suara tawa yang dingin. Kemudian di
susul dengan bentakan dari mulut seorang gadis.
"Berhenti!" Mendapat bentakan yang tidak terduga-duga ini, hati Tan Ki terkejut sekali.
Lamunannya jadi tersentak. Untuk sesaat dia tidak dapat mengendalikan diri, kakinya
tetap melangkah maju dua tindak baru kemudian terhenti. Perlahan-lahan dia
membalikkan tubuhnya dan memusatkan perhatiannya memandang. Entah sejak kapan, di
belakang punggungnya sudah berdiri seorang gadis berpakaian hitam dengan sebatang
pedang panjang terikat di punggungnya.
Hati Tan Ki langsung tercekat. "Apakah nona memanggil aku?"
Gadis berpakaian hitam itu tertawa dingin.
"Di sekitar ini tidak ada orang lainnya, kalau bukan kau yang dipanggil, habis siapa
lagi?" Diam-diam Tan Ki mengusap keringat yang membasahi keningnya.
"Perempuan ini sungguh tidak tahu aturan. Ketusnya bukan main. Bahkan tokoh sakti
seperti Cian Cong Locianpwe saja enggan mencari gara-gara dengannya?" pikirnya dalam
hati. Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi tampangnya tetap tenang. Dia segera
merang-kapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura kepada gadis tersebut.
"Kalau Nona memang memanggil, bolehkah Cayhe tanya untuk urusan apa gerangan?"
Gadis berpakaian hitam itu segera memalingkan wajahnya. Dia mendengus lirih.
"Rupanya kau memang pandai berpura-pura. Tempo hari kau ikut dengan kakekku
pulang ke pondok kami. Kau justru menggunakan kesempatan di saat aku tidak ada untuk
melarikan diri secara diam-diam. Hari ini ke-pergok olehku?"
Semakin dibicarakan hatinya semakin kesal. Tubuhnya sampai gemetaran, Seakan baru
saja mendapat penghinaan yang tidak kepalang pahitnya. Berbicara sampai di situ, dia
tidak sanggup meneruskan lagi. "Dengan seorang diri berada di daerah pegunungan seperti ini pasti membahayakan
sekali. Apakah kakekmu tidak ikut bersamamu?"
Gadis berpakaian hitam itu tambah jengkel.
"Tidak perlu kau urus masalah ini. Kalau aku sampai mati, hatimu malah merasa
tentram!" Jantung Tan Ki sampai berdebar-debar mendengar perkataannya.
"Mulai lagi, adatnya selalu keras kepala serta tidak tahu aturan kalau bicara." pikir Tan Ki
dalam hati. Tiba-tiba, dia seperti teringat sesuatu hal. Sepasang kakinya berjinjit ke atas dan
diedar-kannya pandangannya ke sekeliling tempat itu. Setelah yakin di sana tidak ada
pihak ketiga, hatinya baru merasa tenang.
Memang ilmu silat Tan Ki merupakan hasil curian dari kuburan para leluhur Ti Ciang
Pang. Dia menimbulkan huru hara di dunia Kangouw, selama ini boleh dibilang tidak ada
yang ditakutinya. Justru terhadap Pangcu Ti Ciang Pang, Lok Hong, dia merasa pusing
tujuh keliling. Setiap kali bertemu, hatinya pasti ketakutan. Sedangkan gadis ini adalah
cucu kesayangan ketua Ti Ciang Pang tersebut. Mencari perkara dengannya sama saja
mencari gara-gara dengan Lok Hong. Berpikir sampai di situ, hatinya yang sudah agak tenang menjadi gelisah kembali.
Gadis berpakaian hitam itu melihatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun dalam
jangka waktu sekian lama, tanpa terasa hatinya jadi marah kembali.
"Mengapa tidak bicara" Apakah mulutmu tiba-tiba menjadi bisu atau telingamu yang
mendadak budek?" "Perkataan Nona setiap kali selalu menyindir orang dengan tajam. Hal ini membuat aku
jadi serba salah. Kalau aku diam saja, Nona malah marah kembali. Kalau aku lancang
mengucapkan kata-kata yang salah, hasilnya sama saja."
Lok Ing menjadi kesal mendengar jawabannya.
"Aku justru ingin kau bicara!" pinggangnya meliuk ke samping, kemudian secara
mendadak menegak kembali. Tangannya diulurkan ke kiri lalu merentang ke depan. Dalam
waktu yang singkat dia sudah melancarkan empat buah pukulan dan satu buah totokan.
Serangan yang gencar ini, kecepatannya tidak terkirakan. Empat buah pukulan
diarahkan ke tempat yang berlainan. Seiring dengan gerakan tubuhnya, serangan yang
dilancarkan gadis itu pun menyerang datang. Pukulannya belum sampai, angin yang
ditimbulkannya sudah menerpa duluan.
Padahal Tan Ki sudah berusaha untuk tidak berurusan dengannya. Melihat kekasaran
gadis itu, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Dia menarik
nafas dalam-dalam. Tiba-tiba kakinya mundur tiga langkah, menunggu gerakan tubuh Lok
Ing hampir mencapai dirinya, sepasang telapak tangannya segera menghantam ke depan.
Tampak bayangan pukulan berkibar-kibar. Angin yang terpancar keluar menderu-deru.
Dalam sekejap mata, dia sudah melancarkan dua belas pukulan secara berturut-turut.
Lok Ing mencibirkan bibirnya sambil tersenyum mengejek.
"Bagus, kau benar-benar ingin berkelahi?"
Dua jari tangannya terjulur keluar. Dengan kecepatan kilat meluncur ke arah urat darah
di bagian pinggang sebelah kiri Tan Ki.
Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas.
"Sifat Nona sungguh keras kepala. Kalau tidak mengajar adat padamu sekali-sekali,
tentu kau tidak tahu kemarahan dalam hatiku."
Kegagahannya sebagai seorang laki-laki seakan terbangkit karena kata-katanya yang
di-ucapkannya sendiri. Untuk sesaat dia tidak berpikir panjang lagi. Lengan kirinya
menghimpun tenaga dalam dan menyambut totokan gadis itu. Dalam waktu yang hampir
bersamaan, telapak tangannya terulur keluar melancarkan sebuah pukulan.
Dalam satu jurus dia melakukan dua gerakan. Secara bergantian dikerahkannya, angin
yang kencang segera terpancar keluar serta menimbulkan suara seperti siulan.
Terdengar suara keluhan dari mulut Lok Ing. Tubuhnya sempoyongan dan langkah
kakinya tergetar mundur lima tindak. Bibirnya bergerak-gerak, dia seakan sedang
bergumam kepada dirinya sendiri. "Jurus Bintang-Bintang Berputaran ini baru diajarkan oleh Yaya beberapa hari yang lalu.
Mengapa dia juga bisa?" Hati Tan Ki jadi tercekat mendengar gu-mamannya. Keringat dingin segera membasahi
seluruh tubuhnya. Gadis ini merupakan cucu kesayangan ketua Ti Ciang Pang, tentu saja
dia dapat melihat ilmu yang kugunakan ini sama dengan yang dipelajarinya:
Dari kuburan para leluhur Ti Ciang Pang, Tan Ki berhasil mempelajari berbagai ilmu.
Kecuali Bu Beng Lojin yang sudah mati itu, tidak ada orang ketiga lagi yang mengetahui
hal ini. Kalau sampai karena kecerobohan sesaat, gadis itu berhasil membongkar
rahasianya, tentu merupakan hal yang gawat bagi Tan Ki.
Hatinya mempertimbangkan bolak balik. Akhirnya dia mengambil keputusan lebih baik
melarikan diri saja. Tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang panjang.
Kumandangnya menimbulkan gema yang bergaung-gaung. Lok Ing langsung tertawa
lebar. "Bagus, kakekku sudah datang. Lihat kau bisa kabur ke mana?"
Hati Tan Ki terkesiap mendengar kata-katanya. Saat itu juga dia merasa sukmanya
seperti terbang entah ke mana. Seumur hidupnya dia tidak pernah merasa takut
menghadapi apapun. Justru terhadap kakek gadis itu, rasa gentarnya tidak terkirakan.
BAGIAN XVI Justru dalam waktu yang sekejap mata dari kejauhan, berkelebat tubuh seseorang.
Tampak pakaiannya yang berwarna hijau berkibar-kibar. Tampangnya demikian tenang.
Tidak seperti orang yang sedang berlari kencang.
Begitu pandangan mata Tan Ki berhasil melihat orang yang mendatangi itu, hatinya
langsung tercekat. Perasaannya yang tidak tenang semakin menebal. Seumur hidup
memang dia tidak gentar menghadapi apapun.
Justru orang ini yang paling enggan ditemuinya.
Dalam sekejap mata, sebuah pikiran yang cemerlang segera melintas di otaknya. Tibatiba
dia memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu. Lok Ing segera tertawa dingin.
Dengan nada marah dia membentak"
"Dari tadi aku sudah mengatakan bahwa kakekku sedang menuju ke mari. Pokoknya
kau tidak bisa lari lagi!" kakinya langsung digerakkan untuk mengejar Tan Ki.
Ilmu Tan Ki memang hasil curian dari kuburan leluhur Ti Ciang Pang. Sedangkan Lok
Hong merupakan Pangcu Ti Ciang Pang generasi sekarang. Apabila Tan Ki bertemu
dengannya, ibarat maling kecil yang bertemu dengan pemilik barang. Bagaimana dia tidak
merasa takut" Tanpa berpikir panjang lagi, Tan Ki lari terbirit-birit. Dia seperti dikejar setan
gentayangan. Ilmu silat Lok Ing masih kalah satu tingkat dengan Tan Ki, otomatis jarak di
antara mereka semakin lama semakin jauh. Hati gadis itu menjadi panik. Oleh karena itu
dia segera berteriak sekeras-kerasnya.
"Yaya, jangan biarkan dia kabur!"
Lok Hong tertawa terkekeh-kekeh. "Anak baik, kau tidak perlu khawatir."
Sambil berkata, dia menghimpun tenaganya. Sepasang lengan bajunya bergerak-gerak.
Orangnya sendiri sudah mencelat ke tengah udara.
Tan Ki sedang dalam keadaan terluka. Lewat pemberian obat si Pendekar Baju Putih
Oey Ku Kiong dan penyaluran hawa murni si pengemis sakti Cian Cong, tampaknya sudah
hampir pulih seperti sedia kala. Saat ini dia ingin meloloskan diri dari kesulitan. Oleh
karena itu, gerakan kakinya pun berlari secepat kilat. Tubuhnya bagai melayang di udara.
Siapa nyana, baru berlari kurang lebih dua belas depaan, tiba-tiba dia merasa kerah
lehernya mengetat. Tahu-tahu tubuhnya telah ditarik oleh Lok Hong. Kakinya menggapai
di atas tanah. Dia tidak bisa bergerak sedikitpun.
Tampak lengan Lok Hong bergerak. Mulutnya mengeluarkan suara bentakan.
"Pergilah!" dilemparkannya tubuh Tan Ki jauh-jauh.
Anak muda itu terkejut sekali. Dia tidak berani menggunakan ilmu silatnya untuk
berjungkir balik di udara. Begitu dilempar oleh Lok Hong, tubuhnya bagai sebutir bola
yang melayang di angkasa. Terdengar suara Blukk! Yang memekakan telinga, tubuh Tan
Ki terhempas di atas tanah. Kaki tangannya terasa ngilu. Sepasang matanya terasa
berkunang-kunang. Lok Ing tersenyum senang melihat keadaan itu. Dia berjalan lambat-lambat
menghampiri. "Bagaimana" Begitu kakekku datang, meskipun di punggungmu tiba-tiba
tumbuh sayap, kau juga tidak bisa lari ke mana-mana. Kata-kataku ini bukan sekedar
omong besar bukan?" sindirnya tajam.
Tulang belulang dalam tubuh Tan Ki seperti berpatahan. Tetapi dia memaksakan dirinya
untuk bangun. "Mengandalkan kehebatan orang lain, apa yang patut dibanggakan?" teriaknya marah.
Mula-mula Lok Ing tertegun. Setelah sadar maksud ucapan Tan Ki, wajahnya segera
berubah hebat. Biar bagaimanapun, dia memang Seorang gadis yang angkuh, mana
mungkin dia sudi menerima caci maki orang lain. Kakinya sampai dihentak-hentakkan di
atas tanah. "Kau bilang aku mengandalkan nama besar kakekku untuk menghina dirimu. Baiklah,
kita boleh mengulangi perkelahian kita. Lihat siapa diantara kita yang lebih unggul!"
sepasang tangannya segera digerakkan. Dengan kalap dia melancarkan serangan. Yang
digunakannya justru Bintang-Bintang Bertaburan yang dikerahkan Tan Ki tadi.
Tadinya dia mengira ilmu silat Tan Ki hampir seimbang dengan dirinya. Serangan yang
dilancarkannya kali ini sangat keji, tetapi dia tidak menyangka dapat melukai lawannya.
Matanya melihat Tan Ki tidak mengelak maupun menangkis, seakan memandang ringan
serangannya itu. Diam-diam hatinya jadi tergetar.
"Mungkinkah dia sudah berhasil melatih semacam ilmu yang istimewa dan dapat
memba-likkan tenaga seranganku?" tanyanya kepada diri sendiri.
Begitu ingatan itu melintas dalam benaknya, otomatis dia menarik kembali tenaga
dalam yang terhimpun di telapak tangannya sebanyak sembilan bagian, tetapi gerakannya
tidak berhenti. Dengan gencar serangannya terus meluncur.
Kejadiannya berlangsung dengan cepat. Terdengar suara Plak! Yang keras. Dengan
telak pukulan Lok Ing mendarat di dada lawannya. Tubuh Tan Ki langsung terhuyunghuyung.
Kemudian tergetar mundur sejauh dua langkah. Mulutnya terbuka diapun
memuntahkan segumpal darah segar. Tampak sepasang alisnya bertaut ketat. Seolah
sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan. Tetapi dia tetap menggertakkan giginya
serta memaksakan dirinya untuk berdiri tegak.
Lok Ing jadi termangu-mangu seketika.
"Mengapa kau tidak menghindar?" tanyanya penasaran.
"Siapa yang sudi dikasihani olehmu!" teriak Tan Ki sambil membalikkan tubuhnya.
Tanpa menoleh sekalipun dia langsung melesat meninggalkan tempat tersebut.
Lok Ing memandangi bayangan punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.
Dia hanya merasa ada serangkum rasa pedih yang memenuhi hatinya. Tapi dia tidak,
dapat menjelaskan bagaimana rasanya. Dan dia pun tidak turun tangan menghalangi
kepergian Tan Ki. Perlahan-lahan Lok Hong mendekatinya. Dia menepuk-nepuk pundak gadis itu. Bibirnya
tersenyum. "Apa yang kau pikirkan" Mengapa sampai tertegun seperti itu?" nada suaranya
mengandung kasih sayang yang dalam.
Tanpa bergerak sedikitpun, Lok Ing berdiri termangu-mangu.
Ditanya sedemikian rupa oleh Lok Hong, tanpa sadar dia menyahut, "Aku sedang
memikirkan dia?" Lok Hong tersenyum simpul. "Apakah dia jahat sekali?"
Lok Ing menganggukkan kepalanya seperti burung pelatuk. Kata-kata yang tercetus
dari mulutnya seperti sedang bergumam seorang diri, tetapi seperti juga sedang
memberikan jawaban atas pertanyaan kakeknya.
"Betul, dia memang jahat" jahat sekali. Menyebalkan" tetapi, aku kok tidak tahu di
mana letak kejahatannya?" di dasar hatinya yang paling dalam, Long Ing seakan sedang
menimbun segudang rahasia. Kata-kata ini diucapkan dengan terputus-putus. Nada
suaranya juga tidak menentu. Kadang tinggi, kadang pula rendah. Meskipun ilmu silat Lok
Hong tinggi sekali, tetap saja ada beberapa patah yang kurang jelas tertangkap oleh
telinganya. Tetapi, biar bagaimanapun dia merupakan seorang pangcu dari sebuah perkumpulan
yang sudah terkenal sekali. Pengetahuan maupun pengalamannya sangat luas. Gerakgerik


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lok Ing yang seperti orang kehilangan kesadaran serta terlena dalam lamunan,
sekali lihat saja dia sudah mengerti bahwa di dalam lubuk hati gadis itu pasti ada masalah.
Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya. Pada dasarnya orangtua ini memang
bukan orang yang bodoh. Tampak dia menarik nafas panjang kemudian mengalihkan
pokok pembicaraan. "Mari kita berangkat. Pek Hun San Ceng merupakan tempat yang berbahaya. Boleh
dibilang sebuah sarang harimau. Kepergian kita kali ini mungkin akan menghadapi ajang
pembunuhan yang menyeramkan. Sebaiknya kau lebih berhati-hati dan jangan bertindak
gegabah." "Aku sudah tahu. Yaya, aku tidak akan menurunkan derajat perkumpulan kita."
Pada saat berbicara itu, keduanya sudah mengerahkan ilmu ginkangnya dan melesat
secepat bidikan anak panah. Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, mereka sudah
keluar dari daerah pegunungan. Begitu memandang dari kejauhan, tampak sebuah
bangunan yang besar sekali. Sekelilingnya ditumbuhi pepohonan yang merambat dan
lebat sehingga temboknya hampir tertutup.
Justru ketika sedang berlari pesat melesat ke depan. Dari balik sebatang pohon yang
baru saja mereka lalui, muncul seorang pemuda berwajah tampan. Dia tidak lain dari Cian
bin mo-ong Tan Ki. Tadinya dia berpikir, setelah meninggalkan rombongan Liu Seng, dia akan merias
dirinya menjadi orang lain. Dengan demikian, apabila dia ingin menolong orang atau pun
membalas dendam, dia dapat bergerak dengan leluasa. Siapa tahu Lok Hong dan cucunya
juga datang ke Pek Hun Ceng. Meskipun dia mempunyai nyali sebesar apapun, tetap saja
ia tidak berani bertemu lagi dengan Lok Hong. Dia bermaksud menghindarkan diri dari
orang ini sejauh-jauhnya. Dengan demikian, hatinya bisa menjadi tenang. Mana sudi dia
pergi ke Pek Hun Ceng saat ini"
Tetapi mengingat musuh besar yang membunuh ayahnya juga ada di dalam, kebencian
di dalam hatinya semakin menjadi-jadi. Rasanya sulit untuk memadamkan kobaran api
kemarahan dalam dadanya. Pikirannya melayang-layang. Otaknya terus berputar. Untuk sesaat dia merasa mundur
salah, maju juga salah. Hatinya gelisah luar biasa. Kakinya melangkah ke depan, tetapi
tidak membedakan utara selatan timur maupun barat. Pokoknya dia hanya melangkah
terus. Matahari bersinar terik, angin hangat bertiup sepoi-sepoi. Keadaan ini membuat
perasaan orang jadi terlena. Hati Tan Ki sedang gundah. Dengan termenung-menung dia
terus melangkah. Telinga maupun matanya seperti kehilangan kepekaannya. Entah sejak
kapan, dari belakangnya terlihat mengikuti seorang gadis. Wajahnya cantik jelita.
Penampilannya agung, langkahnya lemah gemulai. Seperti hembusan angin yang lembut
bergerak-gerak. Diantara ketegarannya terselip kelembutan.
Gadis ini seperti selir Ong Sun Ping di masa lampau. Di atas kepalanya terdapat sebuah
mahkota yang bertahtakan batu permata. Cahayanya berkilauan. Dandanan maupun
pakaiannya mewah sekali. Sekali lihat saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia bukan dari
golongan orang biasa. Tampaknya dia mempunyai maksud tertentu dengan mengikuti Tan Ki dari belakang.
Gerak-geriknya juga berani sekali. Dia tidak menyembunyikan diri atau berjalan dengan
mengendap-endap. Jaraknya juga segitu-segi-tu saja. Dia berjalan perlahan-lahan dalam
batas lima langkah dengan Tan Ki. Sudah cukup lama juga mereka berjalan.
Tiba-tiba, kedua orang itu melintasi sebuah padang rumput. Pek Hun Ceng sudah mulai
tampak di depan mata. Dari belakang tubuh kedua orang itu mendadak berhembus
segulungan angin. Lamunan Tan Ki seperti tersentak. Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya.
Kepalanya didongakkan dan hidungnya pun mengendus-endus. Perempuan itu terkejut
sekali. Dia menundukkan kepalanya serta mencium-cium tubuhnya sendiri. Kemudian dia
mendengus dingin. "Tidak perlu mencari lagi. Aku ada di sini!" Tan Ki membalikkan tubuhnya dengan
gerakan terperanjat. Begitu matanya memandang, tanpa dapat di tahan lagi dia terkejut
sekali karena merasa hal itu di luar dugaannya. "Kau, Kiau Hun?" Kiau Hun tertawa dingin.
"Aku kira kau sudah lama melupakan namaku?"
Ketika pertama kali berkenalan dengan Tan Ki, dia langsung tertarik dengan
ketampanan serta kegagahan anak muda itu. Malah tanpa memperdulikan keselamatan
nyawanya sendiri, dia menolong pemuda itu sebanyak dua kali. Akhirnya dia malah
dikeluarkan dari perguruan oleh Ciu Cang Po yang merasa marah sekali akan tindakannya
yang kurang ajar. Kemudian mereka berjanji untuk bertemu kembali di sebelah barat kota
Lok Yang. Tidak disangka, bintang jodoh Tan Ki sedang bersinar terang, sekaligus sedang
gelap. Dia bertemu dengan kakek Lok Hong serta cucunya Lok Ing. Waktu itu dia berhasil
diringkus oleh mereka. Kemudian dia berhasil ditolong Liang Fu Yong, keduanya terlibat
berbagai masalah yang bersangkutan dengan hubungan antara pemuda-pemudi. Bersamasama
mereka menuju ke Cui Sian Lau yang mana menyebabkan salah paham di pihak Kiau
Hun. Gadis itu meninggalkan dirinya dengan hati yang marah.
Gadis ini mempunyai perasaan hati yang romantis namun selalu sirik dan cemburunya
besar sekali. Malah melebihi orang lain. Begitu mengucapkan kata-kata tadi, tampangnya
dingin dan datar sekali, namun di dalamnya terselip kepedihan yang disembunyikan.
Tan Ki tersenyum simpul. "Cen Kouwnio, urusan hari itu sebetulnya hanya sebuah salah paham?"
Kiau Hun tidak menunggu sampai dia menyelesaikan kata-katanya. Dia segera
menukas. "Kalau memang hanya kesalahpahaman, mengapa kau melamarnya?" kembali tertawa
dingin, namun hatinya pilu tidak terkira. "Kau hanya manis di bibir dan menganggap aku
tidak tahu apa-apa." Hati Tan Ki tergetar mendengar ucapannya.
"Tidak ada kejadian seperti itu. Aku menerima budi pertolongan Nona sebanyak dua
kali, belum lagi aku sempat membalasnya. Mana mungkin aku mempunyai pikiran jahat"
Meskipun Cayhe hanya seorang Bu Beng Siau-cut (Prajurit Tidak Ternama), tetapi tahu
mengingat budi. Mendongak tidak memalukan langit, menunduk tidak meludah di atas
tanah." Mulut Kiau Hun bergerak-gerak. Tadinya dia bermaksud mencaci maki anak muda itu
sehingga kekesalan hatinya dapat terlampiaskan. Ucapan sudah sampai di ujung bibir,
bergerak-gerak, namun tiba-tiba membungkam seribu bahasa. Ada segulungan kesedihan
yang rumit terlihat pada sepasang alisnya yang berkerut.
Tan Ki maklum sekali perasaan gadis ini. Asmaranya bagai kobaran api, keberaniannya
tidak perlu diragukan lagi, kalau bukan mengalami urusan yang besar sekali, tampangnya
pasti tidak akan demikian sedih dan tidak bersedia mengucapkan sepatah katapun.
Di pihak lain dia juga sadar bahwa kesalahpahaman di antara mereka bukan hal yang
dapat dijelaskan dengan satu dua kalimat. Tanpa terasa dia menundukkan kepalanya
merenung. Dia berusaha mencari jalan keluar yang baik agar semuanya dapat diselesaikan
dengan tuntas. Di hati mereka masing-masing terdapat berbagai masalah. Untuk sesaat lamanya
mereka tidak membuka suara. Meskipun mereka berdiri berhadapan, tetapi suasananya
seakan ruwet sekali. Angin yang hangat berhembus, jubah panjang Tan Ki serta gaun Kiau
Hun berkibar-kibar. Kurang lebih sepeminum teh kemudian, Kiau Hun seperti teringat akan sesuatu hal.
Mulutnya mengeluarkan suara keluhan. Dia segera mendongakkan kepalanya menatap
langit. "Hari sudah siang, aku akan pergi sekarang juga?" dia merandek sejenak. Di wajahnya
tersirat kepedihan menjelang perpisahan. Dengan lambat dia melanjutkan kata-katanya,
"Mengenai urusan kita, aku" tidak berani berharap lagi." tenggorokannya seperti tercekat.
Kata-kata yang belum selesai diucapkan tidak sanggup diteruskannya lagi. Perlahan-lahan
dia berjalan ke depan. Tan Ki menjadi panik. "Kau hendak ke mana?" Mendengar pertanyaannya, tanpa sadar Kiau Hun menghentikan langkah kakinya.
Hatinya ingin sekali kembali dan bercakap-cakap dengan Tan Ki. Tetapi rasanya sulit
memuntahkan penderitaannya menjadi kata-kata. Apabila dapat melihat wajah Tan Ki
untuk terakhir kalinya, hati Kiau Hun sudah merasa puas. Tetapi gadis ini mempunyai
perasaan rendah diri yang dalam sekali. Meskipun dia ingin berjalan kembali, tetapi
hatinya terasa kesal. Dia memaksakan dirinya menahan gejolak asmara dalam hati,
perlahanlahan dia meneruskan langkah kakinya.
Perasaan hatinya saat ini sangat gundah. Dia dibimbangkan dua pilihan antara kembali
atau tidak. Langkah kakinya pun semakin berat. Jalannya bagai siput merayap.
Tan Ki berdiri membelakangi punggung gadis itu. Dia tidak tahu dalam waktu yang
singkat wajah gadis itu sudah berubah berapa kali. Melihat dia berjalan pergi, hatinya
menjadi panik. "Cen Kouwnio, biarkan aku mengucapkan beberapa patah dahulu. Pada saat itu kalau
kau tetap ingin pergi, juga belum terlambat. Kalau kesalahpahaman ini tidak dibikin
terang, kau malah akan salah tanggap terhadap pribadiku sebagai seorang laki-laki.
Dengan demikian, apakah kelak aku masih mempunyai muka untuk bertemu denganmu?"
teriaknya gugup. Kiau Hun tidak menyahut sepatah katapun. Langkahnya terus dipercepat dan tubuhnya
pun melesat ke depan. Dia seakan takut mendengarkan penjelasan dari mulut Tan Ki.
Gerakannya seperti kilat. Dalam sekejap mata, dia sudah melesat sejauh empat puluh depaan.
Tiba-tiba terasa kibaran pakaian melesat ke depan. Tan Ki merentangkan kedua
tangannya dengan kalap. Dia menghadang di depan Kiau Hun. Tubuh gadis itu sedang
menerjang secepat kilat, tahu-tahu sudah teringkus olehnya.
Diam-diam Tan Ki merasa terkejut setengah mati.
"Melihat gerakannya yang ringan dan mantap, rasanya tidak dipaksakan sedikitpun.
Meskipun sedang berlari begitu cepat, dia dapat menghentikan gerakannya pada tepat
waktunya" mungkinkah ilmu silatnya sudah mendapat kemajuan yang pesat?" Kalau
dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu, tampaknya lebih hebat sepuluh kali lipat."
pikirnya dalam hati. Meskipun hatinya berpikir demikian, bibirnya tetap tersenyum simpul.
"Apakah kau benar-benar masih merasa marah terhadapku?"
Kiau Hun menghembuskan nafas panjang-panjang.
"Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Tetapi saat ini aku sedang
tidak tenang, malas berbicara dengan siapapun."
"Kalau memang tidak tahu, mengapa kau tidak memperdulikan aku, malah
memalingkan kepala dan pergi begitu saja?" tanya Tan Ki kembali.
Mendengar pertanyaannya, Kiau Hun jadi termangu-mangu. Dia merasa di balik ucapan
Tan Ki terselip semacam maksud yang aneh. Pada dasarnya, dia memang seorang gadis
yang mudah curiga. Begitu pikirannya melintas, wajahnya jadi merah padam. Setelah
beberapa lama berlalu, dia tetap tidak dapat memberikan jawaban.
Tan Ki menunggu beberapa saat, tetapi Kiau Hun tetap diam saja. Hatinya menjadi
panik. "Mengapa kau tidak berbicara?" Kiau Hun menarik nafas dalam-dalam. "Apa yang
harus aku katakan?" "Apa saja boleh, asal kau yang berbicara, soal apapun aku akan senang
mendengarkannya." Kiau Hun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sayangnya aku tidak
mempunyai kegembiraan seperti itu. Maaf, aku tidak dapat menemani lebih lama lagi."
perlahan-lahan dia melangkahkan kakinya dan lewat di samping Tan Ki.
Dari jawabannya yang dingin dan kaku, Tan Ki sadar salah paham yang terjadi di
antara mereka sulit sekali diselesaikan. Dia melihat Kiau Hun sama sekali tidak
menolehkan kepalanya dan berjalan terus ke depan.
Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
"Pengalaman yang berlangsung beberapa hari ini, tampaknya semua menyangkut jodoh
yang tidak berkelanjutan dengan kaum perempuan. Setiap orangnya mempunyai watak
yang berlainan dan sulit dimengerti. Keketusan Lok Ing membuat kepala menjadi pusing
dan takut. Kepedihan serta rasa tertekan dalam hati Liang Fu Yong ketika meninggalkan
diriku?" Berpikir sampai di sini, pengalaman yang berbeda-beda selama beberapa hari ini
melintas satu per satu di benaknya. Tanpa terasa, kakinya terus melangkah ke depan,
diam-diam dia mengikuti di belakang Kiau Hun.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Perhiasan di seluruh tubuh maupun pakaiannya
menimbulkan suara gemerincing yang tiada berhenti. Telinga Tan Ki seakan tidak
mendengar suara apapun. Dengan termangu-mangu dia terus mengikuti di belakang gadis
itu. Langkah kakinya bagai mayat hidup, tampang wajahnya tidak menunjukkan perasaan
apapun. Dia benar-benar seperti orang yang telah kehilangan kesadarannya.
Kiau Hun tahu Tan Ki mengikuti di belakangnya. Tetapi dia tidak pernah menolehkan
kepalanya sedikitpun. Perasaan hatinya yang gundah, membuat sepasang alisnya
mengerut. Bibirnya sering digigit sendiri. Hal ini membuktikan bahwa masalah yang
memenuhi hatinya pasti besar sekali.
Begitu mata memandang, kurang lebih sepuluh depaan di depan sana, terdapat sebuah
bangunan yang luas sekali. Pintu gerbangnya sangat tinggi, juga lebar. Cukup untuk tiga
buah kereta yang keluar masuk sekaligus. Di dalam halaman gedung itu terlihat kamarkamar
yang berderetan. Sebaris demi sebaris dari depan hingga belakang. Ruangannya
besar-besar dan dekorasinya indah. Entah berapa luas tanah yang mencakup seluruh
bangunan ini. Tetapi kalau diperhatikan dari luar, dapat diketahui bahwa bangunannya
sendiri begitu luas sehingga mengejutkan.
Kiau Hun menghentikan langkah kakinya dan menatap, sejenak. Dari hidungnya
terdengar suara dengusan yang dingin. Dia membalikkan tubuhnya. Tanpa dapat ditahan
lagi, seseorang yang sedang berjalan dengan termangu-mangu di belakangnya langsung
berbenturan dengan dirinya. Perubahan yang mendadak ini benar-benar di luar dugaan keduanya. Meskipun otaknya
cerdas dan nyalinya besar sekali, tetapi dari mulutnya terdengar suara aduhan yang keras.
Secara refleks dia mengulurkan tangannya dan memeluk orang itu.
Rupanya, meskipun Tan Ki berjalan dengan mata terbuka lebar, tetapi pikirannya
melayang-layang. Dia terus melangkah tanpa memperhatikan apa yang ada di
hadapannya. Dengan tidak terduga-duga Kiau Hun menghentikan langkah kakinya lalu
membalikkan tubuh, dia masih belum menyadari. Dengan termangu-mangu dia terus
melangkah. Sampai Kiau Hun memeluk dirinya, lamunannya baru tersentak, dia langsung
mengeluarkan suara aduhan, wajahnya yang tampan menjadi merah padam seketika.
Malunya bukan main. Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepa-lanya dalam-dalam.
Saking kesalnya, Kiau Hun sampai menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali.
"Bagaimana sih kau ini" Tempat begini luas tidak memilih jalan yang lain malah
menabrak badan orang!" bentaknya dengan nada jengkel.
Tan Ki tersenyum cengar-cengir. "Aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa pemandangan di depan mata seakan
samar-samar. Apapun tidak dapat terlihat dengan jelas. Mungkin karena masalah yang
kupikirkan sudah terlampau banyak sehingga?" tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya
menatap ke sekeliling. Mulutnya langsung mengeluarkan seruan heran. Jari tangannya
menunjuk ke arah bangunan yang besar itu.
"Aneh, mengapa aku bisa kembali lagi ke Pek Hun San Ceng?"
"Benar-benar lucu! Kau sendiri yang mengikuti di belakangku. Setelah menempuh
perjalanan sedemikian jauh, apakah kau masih tidak merasa?"
Tan Ki langsung menepuk batok kepalanya sendiri.
"Apakah tujuanmu memang bangunan ini?"
"Tidak salah!" sahut Kiau Hun dingin.
"Untuk apa?" "Bukan urusanmu!" "Aku menanyakanmu tentang hal ini hanya karena bermaksud baik. Sama sekali tidak
ter-kandung niat lainnya. Mengapa kau selalu bicara dengan ketus dan nada dingin
kepadaku" Pemilik bangunan ini merupakan raja iblis yang paling ditakuti di zaman ini. Di
dalam bangunan ini, setiap langkah telah dipasang perangkap. Di mana-mana terdapat
bahaya mengintai. Begitu masuk ke dalam, ibarat terjerat jaring maut, hidup tidak
mungkin, mati sudah pasti. Meskipun kau sudah mendapat didikan ilmu silat dari Ciu Cang
Po, namun tetap saja tidak boleh ceroboh. Dengan tidak berpikir panjang lagi langsung ini
masuk ke dalam." kata Tan Ki menasehati.
Ucapan ini dicetuskan dengan lancar. Maknanya sangat dalam dan keluar dari lubuk
hati yang paling dalam. Nadanya mengandung perasaan khawatir dan penuh perhatian.
Kiau Hun yang mendengarnya sampai terharu. Hatinya terasa pilu, air matanya pun
mengalir dengan deras. Tetapi dia masih merasa kesal.
"Kau toh sudah mempunyai perempuan jahat itu, mengapa masih berpura-pura seakan
penuh perhatian terhadap diriku?"
Tan Ki menarik nafas panjang. "Aku sudah mengatakan bahwa semua itu hanya salah paham, kau masih juga tidak
percaya. Apalagi yang dapat kulakukan?"
Di saat bicara itulah, tiba-tiba terdengar suara suitan yang panjang. Dibawa oleh
hembusan angin bagai kilat yang menyambar sebelum hari hujan. Kumandangnya
memecahkan keheningan. Kedua orang itu merasa hatinya tercekat. Jantungpun laksana
diganduli beban yang berat. Dalam waktu yang bersamaan, mereka memalingkan
wajahnya, tampak sesosok bayangan sedang melesat keluar bagai terbang. Kedua kakinya
terus bergerak. Kecepatannya bagai anak panah yang meluncur. Dalam sekejap mata, dia
sudah berdiri di atas jembatan yang terdapat di depan bangunan.
Kekuatan sinar mata kedua orang itu tajam sekali. Meskipun jarak mereka masih kirakira
empat puluh lima depaan, tetapi mereka dapat melihat dengan jelas, pakaian, raut
wajah maupun senjata yang digunakan orang itu.
Orang itu adalah seorang nenek yang jelek dan sudah tua sekali. Tubuhnya yang kurus
berdiri di atas jembatan, seakan-akan bisa terbang melayang bila dihempas oleh angin
yang agak kencang. Tangannya menggenggam sebatang tongkat berbentuk aneh yang
digunakan sebagai tumpuan. Hati Tan Ki langsung tergetar. "Suhumu sudah datang." katanya dengan suara lirih.
Sepasang alis Kiau Hun terjungkit ke atas satu kali. Matanya memancarkan hawa pembunuhan
yang tebal. Dia tertawa dingin.

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nenek itu sudah mengusir aku dari perguruannya. Hubungan di masa lalu sudah hilang
tanpa tersisa sedikitpun. Kalau dia berani menghalangi apapun yang akan kuperbuat,
maka aku akan menyuruh dia mencoba barang dua jurus ilmu pukulanku ini." sahutnya
ketus. Baru saja kata-katanya yang terakhir diucapkan, tiba-tiba dia mengerahkan tenaga
dalamnya dan melesat ke depan. Tan Ki mengikuti di belakangnya dengan ketat.
Kecepatan mereka hampir seimbang. Tetapi anak muda itu merasa gerakannya ringan dan
cepat sekali. Gaunnya yang berkibar-kibaran menentang angin menimbulkan suara yang
berdesir-desir. Di udara bagai ada serangkum kekuatan yang bergerak-gerak mengiringi
berkelebat-nya tubuh Tan Ki dan mendesaknya dari dua arah.
Hati Tan Ki terkejut sekali. "Baru beberapa hari tidak berjumpa, ternyata ilmu silatnya sudah maju sedemikian
pesat," katanya kepada diri sendiri.
Tepat pada saat pikirannya tergerak keduanya sudah melesat ke atas jembatan lalu
menghentikan langkah kakinya. Tampaknya untuk sesaat Kiau Hun agak bimbang. Dia
merasa serba salah. Masuk atau jangan. Tetapi tiba-tiba dia menggertakkan giginya eraterat.
Dengan wajah mendongak dan dada dibusungkan dia melangkah maju.
Dia membungkam seribu bahasa. Langkah kakinya merapat ke arah Ciu Cang Po.
Meng-hadapi bekas gurunya, ini, perasaan Kiau Hun agak tenang. Tampaknya dia juga
tidak berani memandang ringan. Cuaca yang cerah, udara yang lembut, tiba-tiba diselimuti dengan ketegangan yang
luar biasa. Tan Ki melihat kedua bekas guru dan murid itu sebentar lagi akan bergebrak,
tanpa terasa seluruh tubuhnya dibasahi keringat dingin. Hatinya bermaksud mendamaikan
mereka, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan panik dia berdiri di
samping sambil meremas kedua tangannya serta menghentakkan kakinya berulang kali.
Tetapi dia tidak berani maju ke depan.
Tiba-tiba terlihat Ciu Cang Po mengangkat lengannya ke atas. Tongkatnya yang aneh
di-rentangkan ke depan menghadang Kiau Hun. Nenek itu sudah dicekoki obat Li Hun Tan
(Pil Pelenyap Sukma) oleh Oey Kang. Wajahnya tidak menunjukkan perasaan apapun. Tapi
membawa kesan yang angker. Meskipun berdiri di bawah sorotan terik matahari, namun
ada semacam perasaan yang menyeramkan yang membuat seluruh tubuh gemetar dan
hati menggidik. Sepasang alis Kiau Hun terjungkit ke atas.
"Apakah kau bermaksud menghadangku?" bentaknya marah. Hawa murninya di
himpun. Tiba-tiba, dengan cepat dia maju dua langkah. Dirinya menyongsong ke arah
tongkat aneh di tangan Ciu Cang Po.
Ciu Cang Po telah dicekoki pil pelenyap sukma oleh Oey Kang. Pikirannya hilang, tetapi
ilmu silatnya tetap seperti biasa. Melihat Kiau Hun menerjang ke arahnya, tiba-tiba
mulutnya mengeluarkan suara raungan yang keras, lengannya disurutkan, tongkatnya pun
tertarik ke belakang, pergelangan tangannya memutar, timbul beratus-ratus bayangan
tongkatnya. Dengan gencar dia menyerang ke arah dada Kiau Hun.
Nenek tua ini pernah bergebrak dengan Cian Cong sebanyak ratusan jurus. Meskipun
akhirnya dia dikalahkan oleh jurus Hui Siu-jut lin, tetapi dia menggunakan detik-detik yang
membahayakan itu untuk menendang Cian Cong sehingga terluka. Hal ini membuktikan
bahwa ilmu silat nenek kurus ini tidak dapat dipandang ringan.
Kali ini, serangan tongkatnya ini mengandung kekuatan yang luar biasa. Angin yang
terpancar sangat keras, seiring dengan gerakan tangannya menimbulkan suara seperti
siulan. Pengaruh suara itu hebatnya bukan main.
Kiau Hun tertawa ringan, dihimpunnya hawa murni ke bagian dada, tiba-tiba dia
melesat mundur kurang lebih tiga mistar. Dengan tubuh agak membungkuk, tongkat di
tangan Ciu Cang Po terus meluncur ke depan. Ketika pergelangan tangannya bergerak,
selalu membawa suara seperti siulan, tongkat ini mengincar salah satu urat darah Kiau
Hun yang mematikan. Gadis itu seperti sengaja mengalah. Dia tidak pernah membalas menyerang, dengan
gerak tubuh yang lemah gemulai, orangnya sudah sampai di ujung jembatan.
Tadinya dia menganggap Ciu Cang Po adalah manusia yang angkuh. Tiga jurus
dilancarkan, Kiau Hun seakan terdesak mundur, dia pasti menggunakan kesempatan itu
untuk mendesak terus. Tetapi dugaannya ternyata salah. Ketika dirinya terus mencelat
mundur dan sudah sampai di ujung jembatan, ternyata nenek itu tidak menyerang lagi.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengundurkan diri ke tempat semula.
Wajahnya yang datar dan tidak menunjukkan perasaan apa-apa masih terlihat. Dia berdiri
tegak dengan mencekal tongkat di tangannya erat-erat.
Kiau Hun jadi tertegun. Tiba-tiba dia berteriak dan tubuhnya bergerak menerjang ke
depan, dengan jurus Ci Yang Tian Bun (Terus Menerjang Menuju Pintu Langit), tangannya
mengambil posisi menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan.
Ciu Cang Po tetap membungkam. Tongkatnya segera terulur ke depan. Dengan jurus
"Menahan Gulungan Angin" dikerahkannya tenaga dalam sebanyak sepuluh bagian seakan
hendak mengadu kekerasan dengan Kiau Hun.
Gadis itu memperdengarkan suara tertawa yang dingin, pukulan di tangan kirinya terus
menyerang tanpa perubahan apa-apa, pukulan di tangan kanannya segera menyusul di
belakang. Tahu-tahu dia mengganti jurus serangannya. Yang dikerahkan sekarang adalah
"Daun-daun berguguruan di musim semi".
Ciu Cang Po mendapat tugas menjaga jembatan. Dia tidak boleh membiarkan siapapun
masuk ke dalam. Jurus serangan Kiau Hun ini tampaknya merupakan ilmu yang biasabiasa
saja. Tetapi dalam satu jurus dia menggabungkan dua macam gerakan, begitu
dilancarkan dapat meraih manfaat yang besar. Tanpa diduga hal itu menambah kekuatan
pengaruhnya. Angin pukulan serta bayangan lengan memenuhi atas jembatan tersebut.
Sepasang kaki Ciu Cang Po berdiri tanpa bergerak, bagian atas tubuhnya bergeser
sedikit untuk menghindari serangan Kiau Hun. Tiba-tiba dia membentak dengan suara
keras, lengan kanannya menambah kekuatan dan datangnya serangan begitu mendadak
serta cepat tidak kepalang tanggung.
Terdengar suara beradunya pukulan yang menggelegar memecahkan keheningan.
Ternyata mereka memang mengadu kekerasan, hasilnya kedua orang itu tergetar mundur
satu langkah. Melihat keadaan itu, hati Tan Ki terkesiap.
"Dengan tangan kosong, Kiau Hun mengadu kekerasan melawan tongkat Ciu Cang Po.
Nyatanya dia hanya tergetar mundur satu langkah. Entah ilmu perguruan mana yang
digunakan olehnya?" pikirnya diam-diam.
Justru ketika otaknya sedang mereka-reka, dengan keberanian yang luar biasa, Kiau
Hun yang baru mundur sudah maju kembali. Sepasang telapak tangannya dirangkapkan.
Dengari jurus Dua Gulung Angin Berhembus Di Telinga, dia menerjang ke depan. Pada
saat yang hampir bersamaan, kaki kirinya terangkat ke atas serta mengirimkan sebuah
tendangan ke arah perut lawan. Begitu bergerak maju, dia langsung melancarkan dua
buah serangan yang keji sekaligus. Meskipun Ciu Cang Po sudah kehilangan kesadarannya karena dicekoki pil pelenyap
sukma oleh Oey Kang, namun reaksi refleks yang terdapat di benaknya belum hilang
secara keseluruhan. Melihat Kiau Hun begitu berani, justru setelah mereka mengadu
kekerasan dan bahkan tidak mengatur pernafasannya lagi, kembali menyerang dengan
demikian keji. Hati kecilnya agak tergetar, dia bermaksud menghindarkan diri, tiada
kesempatan lagi baginya. Terpaksa dia mengulurkan lengan kanannya, dalam posisi
menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan, dan sekali lagi mengadu
kekerasan dengan hantaman Kiau Hun.
Paha kanannya juga mengerahkan sebuah tendangan menyambut tendangan kiri gadis
itu. Terdengar lagi suara benturan yang keras, tiga pukulan dan dua tendangan bertemu
dalam saat yang hampir bersamaan. Kembali hati Tan Ki tercekat. "Cara bertarung yang tidak perduli mati hidup ini, benar-benar merupakan hal yang
belum pernah kudengar apalagi menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apabila salah
satu pihak tenaga dalamnya lebih tinggi sedikit saja, lawannya pasti akan terpukul mati?"
pikirnya diam-diam. Terdengar suara tertawa yang dingin dan dengusan hidung yang terpancar dalam
waktu bersamaan, kedua orang itu sama-sama tergetar mundur tiga langkah. Mengadu
kekerasan secara berturut-turut sebanyak dua kali, membuat hawa murni di dalam mereka
agak bergejolak, mereka sama-sama merasakan aliran darah seakan membalik dan
membuat sesak nafas. Begitu kakinya berdiri dengan mantap, Ciu Cang Po segera memejamkan matanya
mengatur pernafasan. Sedangkan Kiau Hun seakan sudah bertekad untuk menyelesaikan
pertarungan tersebut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia kembali menerjang ke
depan. Pergelangan tangannya terulur, jari tangannya membentuk totokan dan langsung
dilancarkan ke dada lawan. Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya dia menerjang kembali, benar-benar di luar
dugaan orang. Dalam perasaan Ciu Cang Po, pukulan yang dikerahkan oleh Kiau Hun tidak
lebih kuat dari dirinya sendiri. Tetapi setelah mengadu kekerasan sebanyak dua kali, hati
kecilnya merasa dirinya tidak kuat bertarung lagi. Oleh karena itu, berdasarkan
anggapannya, dia mengira pihak lawannya juga pasti tidak kuat lagi meneruskan
pertarungan. Itulah sebabnya dia berani memejamkan mata mengatur pernafasan. Siapa
sangka kenyataannya benar-benar lain dari dugaannya. Ketika dia tersadar, telapak
tangan Kiau Hun sudah menghantam telak dadanya.
Nenek itu sedang dalam keadaan kehabisan tenaga, ditambah lagi kesadaran
pikirannya yang hilang. Tentu saja kegesitan ataupun kecepatan daya tangkapnya tidak
dapat dibandingkan dengan biasanya. Yang mana dia mempunyai akal untuk menentukan
apa yang harus dilakukannya. Saat ini sepasang matanya baru saja terbuka kembali, tahutahu
dadanya sudah terkena pukulan Kiau Hun yang dahsyat. Pada saat itu juga, dia
seakan merasa dadanya terhimpit oleh beban yang berat. Isi perutnya seperti menjungkir
balik di dalam. Sepasang kakinya tidak dapat dipertahankan lagi, mulutnya membuka dan
diapun memuntahkan segumpal darah segar, tubuhnya sendiri langsung melayang sejauh
tujuh delapan mistar. Terdengar suara dentangan yang keras, tongkatnya yang aneh terjatuh ke samping
jembatan. Sedangkan nenek itu terhempas jatuh dalam posisi duduk di atas tanah.
Tan Ki melihat permukaan jembatan penuh dengan bercak darah. Tiba-tiba hatinya
menjadi khawatir, cepat-cepat dia menghambur maju ke tempat itu.
"Cen Kouwnio, meskipun suhumu tempo hari pernah berbuat hal yang menyakitkan
hatimu, tetapi diantara kalian pernah terjalin hubungan yang dekat. Tidak seharusnya kau
turunkan tangan sekeji ini dan membuatnya terluka sedemikian rupa. Kalau sampai urusan
ini tersebar di luaran kelak, orang pasti akan menyalahkan dirimu. Aih! Sayangnya
gerakanmu terlalu cepat, membuat orang yang berniat menolongpun tidak mempunyai
kesempatan sama sekali. Seandainya aku keburu?"
Kiau Hun tertawa dingin. "Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa di antara kami tidak ada hubungan apaapa
lagi. Dia sudah mengusir aku dari pintu perguruan, di dalam hatiku juga tidak
menganggapnya sebagai guru lagi. Aku tidak membunuhnya saja, dia sudah harus
berterima kasih." Sembari berkata, orangnya sendiri sudah berjalan sampai hadapan Ciu Cang Po. Tanpa
melirik sedikitpun, dia terus melangkah ke dalam bangunan tersebut. Tampangnya
demikian dingin serta angkuh. Tan Ki menatap Ciu Cang Po sekilas. Tampak wajahnya yang pucat pasi masih juga
kaku dan datar. Tidak menunjukkan perasaan apapun. Angin terus bertiup sepoi-sepoi,
bahkan menerpa diri nenek itu, tetapi dia seperti tidak merasakannya. Sepasang matanya
yang membelalak seperti orang yang termangu-mangu. Dia tidak bergerak ataupun
mengeluarkan suara. Dengan terduduk di atas jembatan, dibandingkan dengan orang
mati, dia hanya kelebihan satu hal, yakni nafasnya yang tersengal-sengal. Kalau dipikir,
biar bagaimanapun dia adalah seorang tokoh Bulim yang lihai sekali. Namanya sudah
terkenal. Ilmu silatnya tinggi, tenaga dalamnya hebat, bahkan tidak jauh berbeda dengan
si pengemis sakti Cian Cong. Sekarang justru terjatuh dalam keadaan yang demikian
mengenaskan. Hati Tan Ki jadi iba. Diam-diam dia menarik nafas panjang. Kepalanya
digeleng-gelengkan, kemudian meneruskan langkah kakinya menyusul Kiau Hun.
Begitu mata memandang, jalan setapak yang ditata rapi ternyata sunyi senyap. Tetapi
keheningan yang berlebihan itu malah menambah ketegangan yang tidak berwujud.
Jantungnya semakin berdebar-debar. Dari luar tampangnya masih tenang seakan tidak
merasakan apa-apa. Tetapi sepasang alisnya terus mengerut menandakan hatinya yang
tidak tenang. Setelah meninggalkan rombongan Bu Ti Sin Kiam Liu Seng, tadinya dia hendak
merubah dirinya sebagai Cian bin mo-ong kembali. Dengan merias wajahnya dia akan
masuk ke dalam Pek Hun Ceng seorang diri. Tidak disangka-sangka dia malah bertemu
lagi dengan Kiau Hun. Terpaksa dia membatalkan rencananya semula. Dia sudah pernah
menghadapi barisan Jendral Langit yang dididik langsung oleh Oey Kang. Kalau bukan
karena otaknya segera mendapat ide pada saat dirinya terancam bahaya, yang mana
kebetulan dia berhasil memecahkan sedikit perubahan Te Sa Jit-sut hampir saja dia tidak
dapat menyelamatkan dirinya. Meskipun demikian, hatinya sudah merasa ngeri
terperangkap lagi dalam jebakan yang sama. Dia takut tiba-tiba ketiga puluh enam orang
yang membentuk barisan menyerang. Jendral Langit itu muncul dengan tidak terduga di depan matanya. Tanpa sadar dia mengedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dia meningkatkan kewaspadaan
dirinya. Begitu kepalanya menoleh, dia melihat di wajah Kiau Hun tersirat mimik yang aneh.
Bibirnya tersenyum, namun seperti bukan niatnya sendiri untuk mengembangkan
senyuman. Dia melangkahkan kakinya dengan mantap. Seakan mempunyai keyakinan
tersendiri dalam menghadapi orang-orang di dalam Pek Hun San-ceng. Hati Tan Ki jadi
tergerak, tanpa dapat menahan rasa ingin tahu di dalam bathinnya, dia segera bertanya"
"Cen Kouwnio, aku mempunyai suatu masalah yang tidak dimengerti. Bolehkah aku
mohon tanya?" Langkah kaki Kiau Hun tidak berhenti. Dengan gerakan yang sama dia terus berjalan ke
depan. Bibirnya tersenyum licik. "Yang ingin kau tanyakan, bukankah mengenai ilmu silatku yang tiba-tiba maju pesat
dari sebelumnya?" Tan Ki tertawa lebar. "Cen Kouwnio memang cerdas sekali. Urusan sekecil ini mana mungkin dapat
mengelabui dirimu" Tetapi aku memang tidak habis pikir, mengapa ilmu seseorang bisa
berlainan" Padahal menurut apa yang kuketahui, biasanya ilmu seseorang itu dipelajari
sedikit demi sedikit. Semakin lama latihannya, gerakannya pun semakin lancar, otomatis
makin hebat. Meskipun mempunyai bakat yang tinggi, tetap tidak bisa berhasil dalam
waktu tiga atau lima hari. Apalagi ilmu silat Cen Kouwnio merupakan hasil didikan Ciu
Cang Po. Seandainya kau bisa mengalahkan dia, tetap bukan hal yang akan terwujud
dalam tiga atau lima hari. Tetapi dalam tiga gebrakan tadi, kau sudah sanggup melukai Ciu
Cang Po. Kalau aku tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku benar-benar
tidak percaya bahwa hal ini merupakan kenyataan."
Kiau Hun tersenyum simpul. "Seseorang yang menyimpan harapan, tentu tidak dapat terkabul dalam satu hari.
Tetapi aku rasa kau sudah dapat menduga, aku memang bertemu dengan jodoh yang
langka." "Aku juga berpikir demikian. Tetapi entah bagaimana kejadian yang sesungguhnya,
hatiku benar-benar penasaran."
Kiau Hun tersenyum lembut. "Sebetulnya aku juga ingin menceritakannya. Tetapi keadaan di depan mata tidak memungkinkan
untuk berbicara panjang lebar. Kelak apabila ada kesempatan, aku akan menceritakannya
perlahan-lahan." Kedua orang itu berjalan berdampingan. Tampaknya kesalahpahaman yang terjadi sebelumnya
sudah agak berkurang. Kiau Hun juga tidak sedingin dan seketus sebelumnya.
Tampangnya mulai memperlihatkan perasaannya yang romantis. Bibirnya sedikit-sedikit
tersenyum. Seakan banyak ucapan yang ingin disampaikannya kepada Tan Ki, tetapi
kesempatan itu memang belum ada. Ilmu silat kedua orang ini, boleh dibilang sudah termasuk jago kelas satu di dunia
Kangouw. Gerakan tubuh mereka melesat bagai sambaran kilat. Dalam waktu yang
singkat mereka sudah sampai di bawah sebuah gedung yang bertingkat. Belum lagi Tan Ki
sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya, telinganya sudah mendengar suara tawa
Kiau Hun yang merdu. "Di sinilah tempatnya." Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya dan berdiri tegak.
Tan Ki termangu-mangu. Otomatis gerakan kakinya juga terhenti.
"Tempat apa ini?" tanyanya heran.
"Gedung tinggi di depan itu merupakan tempat si raja iblis menyambut tamunya."
BAGIAN XVII Sepasang alis Tan Ki mengerut beberapa kali. Tiba-tiba hatinya tergerak, dia merasa
curiga sekali. Begitu Kiau Hun selesai berbicara, dia langsung mengajukan pertanyaan
yang mengganjal di hatinya. "Tampaknya kau jelas sekali mengenai seluk-beluk tempat ini" Malah tidak pernah
tersesat sekalipun." Dari sinar mata Kiau Hun terpancar kasih yang berkobar-kobar. Dia melirik Tan Ki
sekilas dan tersenyum penuh rahasia. Tetapi dia belum memberikan jawaban. Perlahanlahan
dia melangkahkan kakinya dan dengan nyali yang besar masuk ke dalam gedung
besar tersebut. Hati Tan Ki sedang diliputi kecurigaan. Saat ini dia malah tidak mengikuti Kiau Hun,
tetapi berdiri di depan dengan termangu-mangu. Dia terus merasa senyuman gadis itu tadi
mengandung kemisteriusan yang tidak terkatakan. Mungkin juga menyimpan rencana
yang keji. Kalau Kiau Hun memang murid Ciu Cang Po, mengapa dalam beberapa hari
yang singkat saja ilmunya sudah melampui nenek tua itu" Hal ini benar-benar perlu
direnungkan baik-baik. Selain itu pengetahuannya tentang seluk beluk Pek Hun Ceng juga
jelas sekali. Memangnya siapa Oey Kang itu, mana mungkin dia membiarkan orang luar
keluar masuk seenaknya menyelidiki tempat tinggalnya itu. Kalau dipikirkan kembali,
seandainya dia mengkhawatirkan keselamatan bekas suhunya yang disandera orang,


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka dia menyusul ke mari, dalam waktu yang demikian singkat, dia juga tidak mungkin
berhasil menyelediki sampai sedemikian mendetail. Apalagi bukti sudah menyatakan
bahwa dia sampai hati melukai Ciu Cang Po, berarti kedatangannya bukan karena nenek
itu. Namun suatu masalah yang perlu dicari jawabannya"
Otaknya terus tidak habis pikir, semakin direnungkan, kemungkinannya semakin
banyak. Hatinya juga makin curiga. Setelah berdiri dengan diam-diam sekian lama, dia
mendongakkan wajahnya memandang, tampak gedung itu dibangun dengan bentuk pat
kua. Ibarat pagoda yang bersusun tinggi. Setingkat lebih mewah dari tingkat lainnya.
Jendelanya terbuat dari kaca. Namun semuanya tertutup rapat. Bagian yang paling dasar
dikelilingi oleh rotan yang dijadikan sebagai pagar. Di balik rotan tersebut terdapat
berbagai pot bunga yang ditanami tumbuhan yang indah. Se-juk dan segar rasanya. Di
tengah-tengahnya terdapat lantai yang didasari batu kumala putih.
Hati Tan Ki terasa nyaman. Seakan-akan kegagahannya terbangkit karena mencium
harum bunga tersebut. Oleh karena itu, dia menarik nafas dalam-dalam. Kakinya pun
melangkah lebar-lebar dan berjalan terus ke dalam gedung. Diam-diam dia menghimpun
tenaganya dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Saat itu, matahari bersinar dengan terik. Tetapi rupanya cara pembuatan bangunan ini
sangat istimewa. Baru saja dia melangkahkan kakinya ke bawah atap gedung dan berjalan
masuk, dari dalam sudah terpancar hawa yang sejuk bahkan agak lembab sehingga tanpa
sadar bulu kudukpun jadi merinding.
Begitu Tan Ki memusatkan perhatiannya, Kiau Hun sedang menempelkan telinganya ke
dinding. Tangannya berulang kali mengetuk-ketuk. Setelah mendengarkan beberapa saat,
dia berjalan maju beberapa langkah kemudian melakukan hal yang sama. Entah apa yang
sedang dicarinya. Tan Ki jadi tertegun. Perlahan-lahan dia berjalan menghampiri dan baru saja
bermaksud mengajukan pertanyaan, tiba-tiba dia melihat wajah Kiau Hun kelam sekali.
"Coba kau perhatikan, di mana letak kejanggalan tempat ini?" tanyanya dengan suara
lirih. Sepasang mata Tan Ki segera mengedar memperhatikan dengan seksama. Dia hanya
merasa bahwa ruangan itu tidak terlalu besar namun ukurannya juga tidak kecil. Hampir
tidak berbeda dengan kamar di rumah-rumah lainnya. Tetapi di dalamnya justru kosong
melompong. Hatinya sedang merasa heran, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan Kiau
Hun pada dinding agak berat dan dalam, tanpa dapat tertahan lagi, Tan Ki terkesiap.
"Jangan-jangan dinding ini dilapisi logam sejenis besi?"
Kiau Hun tersenyum simpul. "Kalau dibayangkan, si raja iblis Oey Kang itu, mana mungkin mempunyai tempat
tinggal yang biasa seperti orang lainnya. Tembok di sekeliling ini bukan terlapis bahan
besi, tetapi mempunyai jalan rahasia yang menembus ke tempat lain."
Hati Tan Ki langsung tergetar. "Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa Pek Hun San-ceng ini penuh dengan
jebakan dan di mana-mana terdapat alat rahasia"
Kiau Hun tampaknya tidak puas dengan ucapan ini. Wajahnya segera dipalingkan dan
tertawa dingin. "Sebuah gedung yang begini kecil, paling-paling hanya dipasangi beberapa permainan
anak kecil. Apanya yang perlu diherankan?" tangannya terulur dan menekan pada celah
dinding. Dengan kecepatan kilat dia langsung mencelat ke belakang.
Tampaknya gadis itu sendiri takut kalau dugaannya salah. Oleh karena itu dia menekan
dinding itu lalu mencelat mundur. Tampaknya dia berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan. Meskipun perbuatannya merupakan hal yang biasa dilakukan oleh para
tokoh Bulim, tetapi mengingat gadis itu tadinya hanya seorang pelayan yang tidak pernah
menginjak dunia ramai dan tidak berpengalaman sama sekali, tetap saja terlihat janggal.
Kecuali dia mendapat petunjuk dari seorang tokoh sakti, tidak mungkin dalam waktu tiga
atau lima hari, pengetahuannya bisa bertambah luas dengan sendirinya.
Tiba-tiba terdengar suara berderak-derak yang memekakkan telinga. Sumbernya
berasal dari bawah tanah. Dan dinding yang berlapis besi itu pun memperlihatkan sebuah
lubang besar. Suara derakannya begitu keras. Seluruh gedung sampai bergetar dibuatnya.
Seakan setiap waktu bisa ambruk ke bawah..
Kira-kira sepeminum teh kemudian, suara yang membuat jantung berdebar-debar itu
pun mulai mereda. Lubang itupun sudah terbuka seluruhnya. Ukurannya cukup untuk
tubuh seseorang menyelinap ke dalam.
Tan Ki melihat dinding itu memperlihatkan sebuah celah, tetapi tidak ada
perkembangan apa-apa, hatinya yang tertekan jadi agak mengendur dan diapun
menghembuskan nafas panjang. Tetapi celah yang terlihat di dalamnya gelap gulita. Entah
seberapa dalam dan jauhnya. Dia mempertajam penglihatannya serta mengawasi dengan
seksama. Namun yang dapat tertangkap oleh pandangannya hanya beberapa undakan
batu yang menurun ke bawah. Tampaknya seperti sebuah tangga rahasia yang menuju ke
bawah dan dapat menembus ke tempat lain.
Tanpa terasa mulutnya mengeluarkan suara keluhan.
"Tadi ketika hendak masuk ke mari, aku sudah memperhatikan pagoda bersegi delapan
ini. Keseluruhannya bertingkat delapan. Tetapi cara membuat bangunan ini tampaknya
sangat istimewa. Dekorasinya juga janggal. Pertama, tidak ada sebuahpun lukisan atau
gambar yang tergantung pada dindingnya. Kedua, tidak ada perabotan satupun. Bahkan
jendelapun tidak ada. Kecuali pintu masuk, yang lainnya merupakan dinding kokoh. Begitu
rapatnya seolah angin pun tidak dapat menembusnya, juga tidak ada tangga yang dapat
naik ke atas maupun turun ke bawah, kecuali ruang rahasia ini. Tapi kalau dibilang
sarananya terletak di sini, undakan batu yang terlihat hanya menuju ke bawah. Bagaimana
orang bisa naik ke atas?" Seperti bergumam seorang diri, dia mengoceh panjang lebar. Tetapi sebetulnya dia
sedang memperingatkan Kiau Hun, bahwa tempat ini penuh dengan perangkap, alat
rahasia dan dia tidak boleh bertindak ceroboh.
Pada dasarnya Kiau Hun juga seorang gadis yang cerdas, memangnya dia tidak
mengerti isi hati yang terkandung dalam ucapan Tan Ki. Matanya menatap pemuda itu
dengan perasaan sayang. Bibirnya tersenyum lembut.
"Aku juga tahu kalau bangunan ini telah dipasang berbagai perangkap dan tidak boleh
dianggap ringan. Tetapi sebelum aku datang ke mari, aku telah mendapat beberapa
petunjuk dari seorang Cianpwe. Meskipun penuh bahaya, tetapi aku sudah mempunyai
pegangan untuk meloloskan diri di saat genting."
"Apakah ada seseorang yang melindungimu secara diam-diam?" tanya Tan Ki.
Tampaknya Kiau Hun tidak bersedia mengemukakan identitas orang itu. Bibirnya hanya
tersenyum sedikit dan sengaja mengalihkan pokok pembicaraan.
"Yang penting, kau harus mengikuti di belakangku dan tidak boleh sembarangan
berkeliaran. Biar menghadapi urusan yang bagaimana gawatnya, kau harus tenang. Aku
jamin tidak akan terjadi apa-apa."
Meskipun ucapannya dicetuskan dengan santai, tetapi di dalamnya terkandung rasa
percaya diri dan keangkuhan yang dalam. Seperti menunjukkan, bahwa meskipun dunia ini
luas sekali, tetapi hanya ada aku seorang yang paling hebat.
Tepat pada saat itu, keadaan di depan pintu masuk menjadi remang- remang seperti
tertutup bayangan seseorang. Hati Kiau Hun terkejut sekali. Dia sadar telah kedatangan
seorang musuh. Oleh karena itu dia segera memperdengarkan suara tawa yang dingin.
Lengannya bergerak dan tiga macam senjata rahasia dilontarkan sekaligus.
Ilmu silat Kiau Hun sudah mencapai tahap di mana mendengar suara angin saja dia
sudah dapat menentukan arah. Meskipun dia tidak menolehkan kepalanya, namun senjata
rahasia yang dilontarkan mempunyai daya lempar yang tepat. Kelebatannya membawa
kilasan cahaya yang dingin, kecepatannya bagai kilat, bahkan timbul segulungan suara
suitan yang lirih. Tan Ki melihat lengan Kiau Hun bergerak dan melemparkan senjata rahasia. Kecepatan
gerakannya hanya berlangsung dalam sekedi-pan mata. Diam-diam dia membayangkan,
serangan yang mendadak ini apabila ditujukan kepadanya, mungkin dia tidak sempat lagi
menghindar. Ketika masih merenungkan kepandaian gadis itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara
tawa yang panjang. Ketiga senjata rahasia tadi seakan tenggelam ke dasar lautan, tidak
terdengar suara sedikitpun. Kiau Hun menjungkitkan sepasang alisnya ke atas. Mulutnya tertawa dingin.
"Gerakan saudara yang menggunakan jurus Po Hong Cut-hun (Menambal Angin
Menangkal Bayangan) ternyata boleh juga!"
Orang itu tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih, terima kasih. Sambitan ketiga jarum perak ini juga kuat sekali!"
Kata-kata yang diucapkannya sebagai sindiran membuat hati Kiau Hun jengkel
setengah mati. Wajahnya yang cantik sampai memutih. Begitu mata memandang, dia
melihat usia lawannya paling banter dua puluh tahunan. Dia mengenakan jubah berwarna
putih, alisnya bagus, hidungnya mancung. Penampilannya gagah. Ketampanan maupun
gayanya tidak kalah dengan Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi, dia jadi memandangnya
dengan termangu-mangu. Meskipun dia tidak mengenal orang ini, tetapi Tan Ki sendiri sudah mengenalinya. Anak
muda itu tidak lain adalah putra angkat Oey Kang yang menyebut dirinya sendiri Pendekar
Baju Putih Oey Ku Kiong. Dia segera maju dua langkah dan bermaksud mengucapkan
terima kasih atas pemberian obatnya, tiba-tiba anak muda itu telah mendahuluinya.
"Ayah menunggu di ruangan pendopo, harap mendapat kunjungan dari Saudara
berdua." "Bagaimana kau bisa tahu bahwa kami telah masuk ke dalam bangunan ini?" tanya Tan
Ki. "Kalau menilik dari ucapanmu, tampaknya kau menganggap Pek Hun Ceng sebagai
tempat umum yang orang-orang bisa keluar masuk seenak perutnya sendiri." sahut
pemuda itu. Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tersebut, dia langsung membalikkan
tubuhnya dan berjalan keluar. Tan Ki memandangi bayangan tubuh orang itu yang kekar dan menyiratkan
keangkuhan. "Tampaknya orang ini mempunyai watak yang terbuka, tetapi kemarahan dan
kegembiraan cepat sekali berubah-ubah. Benar-benar membuat orang sulit
mendekatinya?" Oey Ku Kiong seakan sengaja ingin menjajal kedua orang itu. Begitu mereka menyusul
di belakangnya, setelah jarak diantara mereka kurang lebih empat lima mistar, tiba-tiba
dia menghimpun hawa murninya dan melesat ke depan.
"Bagus, rupanya kau hendak menjajal ilmu ginkang kami!" maki Kiau Hun dalam hati.
Gadis itu segera menarik nafas dalam-dalam dan menambah kecepatannya. Tubuhnya
berkelebat bagai kilat yang menyambar. Dia terus mengejar di belakang pemuda tersebut.
Angin yang berhembus membuat perhiasan di seluruh tubuhnya memperdengarkan suara
gemirincingan yang tidak putus-putus.
Di bawah sorotan cahaya matahari, tampak tiga sosok bayangan yang membentuk titik
hitam seakan melayang di udara. Kecepatannya bagai hembusan angin yang meniup
kumpulan asap. Baru terlihat sudah membuyar. Diiringi dengan suara kerincingan yang
timbul dari perhiasan di tubuh Kiau Hun, bak irama di pulau dewata.
Setelah melintasi tiga buah halaman, Oey Ku Kiong juga tidak dapat menarik dirinya
lebih jauh. Sedangkan Kiau Hun dan Tan Ki juga tidak sanggup lebih mendekat.
Tampaknya ilmu ginkang ketiga orang itu memang hampir seimbang.
Tiba-tiba terdengar Oey Ku Kiong mengeluarkan suara siulan yang panjang. Lengannya
merentang, tubuhnya mencelat dan tahu-tahu sudah berada di tengah udara. Dengan
gerakan yang indah dia mencelat ke atas tembok pekarangan kemudian menghilang dari
pandangan. Tampaknya tanpa berpikir panjang lagi Kiau Hun juga ikut mencelat ke atas tembok.
Kemudian terlihat dia menggapaikan tangannya ke arah Tan Ki lalu meloncat ke bawah.
Tan Ki takut di balik tembok itu terdapat perangkap. Dia menghimpun hawa murninya
kemudian mencelat ke atas tembok, dia mengedarkan pandangannya sejenak, baru
kemudian meloncat turun. Dia mendarat tepat di samping Kiau Hun. Begitu mata
memandang, Oey Ku Kiong sendiri lenyap entah ke mana. Halaman berhias rumput
kosong melompong. Di sana hanya terdapat mereka berdua.
Mata Kiau Hun yang indah mengedar ke sekeliling. Dia memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Kemudian terlihat jari telunjuknya menuding.
"Coba lihat, apa itu?" Tan Ki mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Kiau Hun. Dia melihat
rumpun bambu yang tersusun rapi membentuk pagar sebuah pondok. Hatinya jadi
tergerak. "Pemuda tadi membawa kita ke tempat ini. Mungkin itulah pendopo yang dimaksud
oleh-nya." Tepat pada saat itu, kebetulan angin berhembus dari arah Kiau Hun ke tempat dirinya
berdiri. Jarak diantara mereka sangat dekat. Ketika Tan Ki sedang berbicara, hidungnya
dapat mengendus segulungan bau harum yang terpancar dari tubuh seorang gadis. Bau
harum itu samar sekali, namun sanggup membuat perasaan Tan Ki menjadi aneh. Dia
bagai terlena untuk beberapa saat. Seakan sedang menikmati suasana itu.
Justru ketika dia sedang terbuai, tidak terdengar olehnya sahutan Kiau Hun. Rupanya
gadis itu telah melangkah maju setindak demi setindak.
Tan Ki melihat dia berjalan menuju pondok tersebut, dia juga tidak enak berkata apaapa
lagi. Kakinya bergerak, tidak cepat dan tidak lambat, namun dengan tenang dan jarak
yang tetap, dia mengikutinya dari belakang.
Tampak wajah Kiau Hun memperlihatkan mimik yang aneh. Seperti ada suatu masalah
rumit di dalam hatinya. Sepasang alisnya berkerut-kerut. Jalannya seperti merayap. Jarak
dari tempat mereka ke pondokan itu hanya sekitar dua belas depaan. Dia malah
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapainya.
Di dalam hati Kiau Hun ada persoalan, dia sendiri malah tidak merasa bagaimana.
Justru Tan Ki melihat tampangnya yang termangu-mangu, tiba-tiba merasa tidak tenang.
Diam-diam dia menghimpun tenaga dalamnya dan berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan. Matanya segera beralih, dia melihat pintu rumah pondok itu tertutup rapat.
Tidak dapat diketahui keadaan di dalamnya. Delapan orang gadis yang cantik jelita dengan
pinggang masing-masing terselip sebilah pedang pendek. Mereka terbagi menjadi dua
kelompok yang menjaga di kiri kanan pintu pendopo tersebut. Penampilan mereka keren,
mereka tidak bergerak sedikitpun. Mungkin mereka bertugas sebagai penyambut tamu
Oey Kang. Ketika kedua orang itu sudah dekat, kedelapan orang gadis itu segera membungkukkan
tubuhnya dengan penuh hormat. Tangannya direntangkan sebagai tanda mempersilahkan.
Gerakannya kompak tidak ada yang salah sedikitpun.
Pada saat itu, Tan Ki baru sempat melihat, meskipun usia gadis-gadis itu baru sekitar
dua puluh tiga atau dua puluh empat tahunan, tetapi mata mereka masing-masing
menyorotka Bukit Pemakan Manusia 1 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Seruling Samber Nyawa 1
^