Pencarian

Golok Halilintar 1

Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 1


"Golok Halilintar di http://cerita-silat.mywapblog.com
Karya : Khu Lung (Tapi banyak pengemar cersil meragukan ini karya Khulung)
Mula cerita : TAHUN ITU adalah tahun kedua dari Kerajaan Goan,
sementara runtuhnya kerajaan Song sudah genap mencapai
enam-puluh tahun. Di suatu musim semi pada bulan ke tujuh, penduduk kota
KangIam waktu.itu sedang menikmati keindahan pohon-pohon
bunga yang sedang bersemi. "Cuaca sudah mulai gelap ketika seorang laki-laki muda
perkasa, berusia kira tiga puluh tahun, memakai baju biru dan
sepatu rumput, nampak sedang berjalan di jalannya dengan
tindakan kaki lebar, di sepanjang kedua tepi jalan raya itu,
buah tho yang merah merekah serta bunga-bunga liu yang
hijau nampak indah semarak namun laki-laki muda perkasa itu
sama sekali tidak memberikan perhatiannya.
Laki-laki muda perkasa itu adalah Lim Tiauw Kie, yang
rnemiliki kepandaian ilmu silat sudah mencapai batas
kemampuannya, ia sedang melakukan perjalananan
mengamalkan ilmu kepandaiannya dan baru saja
membinasakan seorang penjahat besar di propinsi Hok-kian,
yang mengganas di kalangan rakyat jelata, penjahat itu tidak
hanya memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi juga sangat
licin luar biasa sehingga setelah melakukan penyelidikan
selama kira-kira dua bulan lamanya, barulah Lim Tiauw Kie
berhasil mencari tempat permukiman penjahat itu, Dalam
2 suatu pertempuran yang sangat hebat, ia telah berhasil
mengalahkan dan membinasakan penjahat itu, kemudian ia
bermaksud kembali ke tempat kediamannya di kota Leng-lam.
Sementara itu jalan yang sedang ditempuhnya ternyata
kian lama menjadi semakin berkurang lebarnya, sedangkan di
sisi sebelah kanan jalan raya itu kini berdampingan dengan
pantai laut. Tiba-tiba ia melihat tanah datar nampak licin
mengkilat bagaikan kaca, dan dibagi menjadi petak-petak
yang luasnya kira-kira tujuh-delapan tombak persegi.
Sebagai seorang yang telah seringkali melakukan
perjalanan di sebelah utara dan selatan Sungai Besar, Lim
Tiauw Kie mempunyai banyak pengalaman, namun ia belum
pernah melihat tanah yang licin mengkilat dan yang
dianggapnya sangat luar biasa. Setelah ia menanya kepada
seorang penduduk setempat yang kebenaran berpapasan,
maka tahulah dia bahwa petak-petak itu merupakan ladang
garam. Untuk membuat garam, penduduk setempat memasukkan
air laut ke dalam petak-petak ladang itu, Setelah dijemur
kerinq, mereka mengumpulkan pasir yang mengandung garam
dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang putih bersih
sekali. Perhatian Lim Tiauw Kie menjadi amat tertarik, karena
sesungguhnya selama hidupnya ia belum pernah melihat dan
mengetahui tentang cara-cara membuat garam.
Konon selagi ia tertegun menyaksikan petak-petak ladang
garam itu, mendadak ia melihat ada serombongan orang
sebanyak kira-kira dua puluh lebih, sedang memikul barang
bawaan dengan menggunakan pikulan. Mereka sedang
mendatangi dengan cepat dari jalan kecil sebelah barat,
semuanya memakai pakaian yang seragam bentuknya, baju
dengan celana pendek warna hijau dan kepala ditutup dengan
tudung lebar, sepintas lalu, dapat Lim Tiauw Kte menduga
3 bahwa yang mereka sedang bawa adalah garam hasil buatan
mereka. Lim Tiauw Kie memang mengetahui bahwa pada waktu itu
pemerintah penjajah memungut cukai garam terlalu tinggi.
Mereka biasanya bertindak kejam terhadap rakyat jelata dan
menentukan hukuman yang berat bagi para pedagang garam
yang coba-coba tidak memenuhi peraturan membayar pajak,
itu sebabnya walaupun rakyat setempat merupakan penghuni
dekat pantai laut, namun mereka tak sanggup membeli garam
yang harganya menjadi terlalu mahal.
Selama memperhatikan para pemikul garam itu, Lim Tiauw
Kie yakin bahwa yang mereka angkut itu merupakan garam
gelap dalam artikata tidak membayar pajak, Dan yang lebih
menarik perhatiannya adalah pikulan yang digunakan oleh
para pemikul garam Itu. Nampaknya pikulan itu bukan dibuat
dari bahan kayu ataupun bambu, tetapi dari benda logam yang
berat dan berwarna hitam. Beban yang mereka pikul masingmasing
tidak kurang dari tiga ratus kati beratnya, namun
mereka dapat berjalan dengan cepat bagaikan sedang
mengangkut beban ringan, dan dalam waktu yang singkat
mereka telah melewati tempat Lim Tiaw Ki berdiri mengawasi.
Jelas mereka semuanya memiliki tenaga besar, bahkan
rata-rata mempunyai kepandaian ilmu silat dan ringan tubuh
yang mahir. Terbukti dengan cara mereka ber jalan yang cepat
luar biasa, tampak ringan meskipun mereka membawa beban
pikulan yang berat. Pada waktu itu di daerah Kanglam memang telah didengar
oleh Lim Tiauw Kie, tentang adanya perkumpulan Hay-see pay
(Persekutuan Pasir Laut) yang biasa melakukan perdagangan
garam gelap. Mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar
di kalangan masyarakat setempat, sedangkan para
anggotanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Namun demikian merupakan kejadian yang luar biasa,
4 apabila rombongan lebih dari dua puluh orang anggauta itu
beramai-ramai melakukan perjalanan sambil memikul garam
gelap. Jelas merupakan suatu tantangan terhadap para
petugas atau tentara penjajah, karena mereka tidak takut akan
diperiksa dan di tangkap. Selama melakukan petualangannya di kalangan rimba
persilatan, Lim Tiauw Kie memang terkenal gemar melakukan
penyelidikan terhadap kawanan penjahat yang kemudian
dibasminya, Akan tetapi oleh karena waktu itu ia sedang
tergesa-gesa melakukan perjalanan pulang, maka ia bergegas
meneruskan perjalanan dan sengaja dengan cepat ia
melombai rombongan pemikul garam itu yang berbalik menjadi
heran menyaksikan gerak tubuh Lim Tiauw Kie yang sangat
ringan dan pesat sehingga mereka mau tak mau menjadi
curiga. Mendekati waktu magrib Lim Tiauw Kie tiba di sebuah kota
kecil yang cukup- ramai, yakni kota Am-tong tin di wilayah Gieyauw
koan. Oari kota kecil itu, setelah menyeberang sungai
Cian-tong kwan ia akan tiba di kota Lim-an dengan mengambil
arah sebelah barat laut, Sesudah melewati propinsi Kany-say
dan Ouw-lam, barulah ia tiba di kota Leng-lam,
Di kota kecil Am-tong tin itu Lim Tiauw Kie memilih tempat
bermalam di sebuah rumah penginapan yang cukup ramai .
Sesudah makan malam dan selagi Lim Tiauw Kie hendak
beristirahat dan tidur, ttba-tiba ia mendengar suara dari
beberapa orang yang ingin menyewa kamar, Mendengar lidah
Ciat-kang Timur dan suara orang-orang itu yang nyaring luar
biasa, maka Lim Tiauw Kie membuka pintu kamarnya dan
melihat ke luar. Ternyata orang-orang itu bukan lain dari para
pemikul garam siang tadi. Lim Tiauw Kie menutup lagi pintu kamarnya, dan
beristirahat tanpa menghiraukan para tamu tadi yang
melakukan pembicaraan dengan suara bising. Tetapi ditengah
malam dan selagi suasana sunyi senyap, mendadak ia
5 mendengar suara yang tidak wajar di luar kamar-nya.
Menyusul kemudian terdengar suara dari beberapa orang
yang melakukan pembicaraan dengan suara perlahan:
"Awas, kita jangan membuat kaget tamu yang di kamar
sebelah, sehingga mengakibatkan terjadi banyak urusan."
Pintu kamar di sebelah kemudian terdengar ditutup orang,
dan sejumlah orang-orang itu terdengar keluar menuju
pekarangan rumah penginapan, Lim Tiauw Kie merasa
penasaran dan curiga, lalu mengintai lewat jendela kamarnya,
Sempat dilihatnya rombongan pemikul garam itu sedang
keluar dengan melompati tembok pekarangan. Anehnya, di
tengah malam buta mereka pergi dengan melewati tembok
namun tetap membawa-bawa beban yang mereka pikul .
Untuk sesaat Lim Tiauw Kie terdiam mengawasi dengan
hati kian bertambah curiga, "Entah perbuatan apa yang
hendak mereka lakukan, dan apakah beban yang mereka pikul
memang berupa garam?" pikirnya didalam hati.
Karena merasa curiga, maka Lim Tiauw Kie segera
membekal senjatanya yang berupa sebuah golok dan tak lupa
membawa bekal kantong senjata rahasia, Setelah itu ia keluar
lewat jendela kamar, untuk kemudian melompati tembok
pekarangan seperti yang di lakukan oleh rombongan penjual
garam gelap tadi. Setelah berada di luar rumah penginapan, Lim Tiauw Kie
mendengar suara langkah kaki yang menuju kearah Timur
laut. Tanpa ragu-ragu Lim Tiauw Kie lalu bergegas menyusul,
dengan mengerahkan ilmu ringan tubuhnya yang telah
mencapai batas kemampuannya. Suasana malam nampak hitam kelam, karena tiada
bintang bahkan tertutup awan tebal. Lim Tiauw Kie
meneruskan pengejarannya sampai kemudian ia melihat
rombongan orang-orang itu yang bergerak cepat dan ringan,
6 meskipun mereka tetap memikul beban yang nampak berat.
Mungkinkah mereka benar-benar penjual garam gelap,
ataukah mereka merupakan rombongan kawanan penjahat
yang bermaksud merampok" Karena rasa curiganya itu, maka
Lim Tiauw Kie semakin bertekad hendak mengetahui entah
apa yang hendak dilakukan oleh rombongan orang-orang itu.
Hampir setengah jam lamanya mereka melakukan
perjalanan tanpa Lim Tiauw Kie mengetahui entah kemana
tujuan mereka, sementara orang-orang yang berlari-lari di
sebelah depannya, tidak menyadari adanya seseorang yang
sedang membayangi perjalanan mereka.
Pada kesempatan berikutnya mereka tiba di sebuah jalan
yang berdampingan dengan pantai laut, di mana gelombang
terdengar menderu-deru mendampar pantai. Kemudian secara
mendadak pemimpin rombongan orang-orang yang bergerak
di sebelah depan Lim Tiauw Kie nampak menghentikan
langkah kakinya, lalu secara tiba-tiba pula ia bersuara
membentak: "Siapakah itu yang sedang bersembunyi ?"
"Apakah kalian dari Hay-see pay?" balas tanya suara
seseorang yang berlindung ditempat gelap.
"Benar! siapakah anda?" sahut pemimpin rombongan yang
mengaku dari Hay see pay itu. "Sebaiknya kalian jangan mencampuri urusan golok Soenlui
to!" kata orang yang berlindung di tempat geIap. Suaranya
mengandung nada memperingatkan secara menghina.
(Soen-lui to - Golok haliIintar). Pemimpin rombongan Hay-see pay itu nampak terkejut,
tetapi ia berusaha tenangkan diri dan bertanya lagi:
7 "Apakah anda juga datang untuk urusan golok itu?"
Orang itu tertawa mengejek, ia tidak memberikan jawaban.
Mendengar suara tawa itu, diam-diam Lim Ttauw Kie
menjadi sangat terkejut, Suara itu sukar dilukiskan, namun
yang jelas sangat menusuk telinga. Tanpa terasa Lim Tiauw
Kie semakin maju mendekati, ingin melihat lebih tegas
meskipun secara bersembunyi. Dengan matanya yang terlatih di tempat gelap, maka
disaat berikutnya ia melihat bahwa laki-laki yang menghadang
itu memiliki potongan tubuh kecil dan kurus. Muka orang itu tak
dapat ia lihat karena sedang menghadap ke arah lain, dan laki-
Iaki itu dilihatnya memegang sebatang tongkat. pakaiannya
terdapat bintik-bintik terang karena agaknya pakaian itu
sengaja di hias dengan sulaman dan kancing kancing yang
mengkilat. "Golok Soen-lui to adalah milik partai kami, yang telah
hilang dicuri orang," kata lagi si pemimpin Hay-see pay. "OIeh
karena itu, adalah wajar kalau kami berusaha untuk
mendapatkannya kembali." Laki-laki kurus itu kembali tertawa secara menghina, dan
tetap memegat di tengah jalan. Salah seorang anggauta rombongan yang berada di
sebelah belakang si pemimpin, habis sabar dan membentak
dengan suara keras: "Minggir! Dengan memegat rombongan kami, kau sengaja
mencari ..." Akan tetapi belum lagi orang itu sempat menyelesaikan
perkataannya mendadak ia berteriak secara menyayat dan
jatuh terjengkang ke sebelah belakang, Semua kawanKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
8 kawannya terkejut, namun sebelum mereka sempat berbuat
sesuatu maka laki-laki yang memegat itu dengan pesat telah
menghilang dari tempat itu yang gelap.
Para anggauta Hay-see pay menjadi terkejut dan gusar,
karena seorang kawannya yang jatuh tadi telah binasa dengan
tubuh meringkuk, Beberapa di antaranya segera melepaskan
pikuIan mereka untuk mengejar si penyerang tadi, tetapi orang
itu dengan gerakannya yang pesat telah menghilang di
kegelapan malam. Lim Tiauw Kie ikut merasa terkejut dan heran, entah
senjata rahasia jenis apa yang digunakan oleh si penyerang
tadi yang dapat membunuh seseorang dengan tangan maupun
tubuh tidak bergerak. "Aku berada cukup dekat tetapi tak melihat orang itu
bergerak, namun mangsanya roboh terjengkang dan binasa!"
kata Lim Tiauw Kie didalam hati, ia terus bersembunyi di
tempatnya, di balik sebuah batu besar, selagi orang orang
Hay-see pay itu sedang marah-marah.
"Untuk sementara waktu biarlah kita tinggalkan saja
jenazah Han Sin di sini, sebaiknya kita selesaikan dulu urusan
kita yang lebih penting," akhirnya kata si pemimpin
rombongan. "Kelak kita kembali ke sini untuk mengurus
jenasahnya, dan menyelidiki entah siapa gerangan musuh itu."
Semua kawan-kawannya dengan terpaksa menyetujui usul


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, mereka memindahkan jenasah Han Sin ke tepi jalan lalu
mereka meneruskan perjalanan sambil memikul barang
bawaan mereka. Setelah rombongan itu pergi cukup jauh, Lim Tiauw Kie
mendekati jenasah Han Sin, Dari tanda-tanda pada tubuhnya,
ia memperoleh kesimpulan bahwa Han Sin binasa terkena
sejenis racun yang dahsyat. Oleh karena itu selama meneliti,
Lim Tiauw Kie tidak berani menyentuh tubuh Han Sin supaya
9 tidak terkena racun. Untuk sesaat ia terdiam berpikir, setelah itu kembali ia
mengejar rombongan orang-orang Hay-see pay,Setelah lewat
beberapa li jauhnya, Lim Tiauw Kie berhasil mendekati lagi
rombongan itu, namun secara mendadak dilihatnya mereka
berpencar selagi mendekati sebuah bangunan yang cukup
besar dan yang letaknya di sebelah timur Iaut.
"Apakah golok halilintar yang mereka cari berada di dalam
rumah itu?" pikir Lim Tiauw Kie didalam hati.
Diatas wuwungan bangunan rumah itu kelihatan ada
cerobong asap, dimana asap hitam nampak mengepul keluar
menandakan bahwa di rumah itu pasti ada penghuninya.
Rombnngan orang-orang Hay-see pay itu meletakkan
pikulan mereka di tanah, lalu masing-masing mengeluarkan
sendok kayu besar yang mereka gunakan untuk menyendok
garam dari dalam keranjang bawaan mereka, Garam itu
kemudian mereka taburkan di sekeliling bangunan rumah itu,
yang dari jauh nampak bagaikan tumpukan salju yang putih
warnanya, jelas perbuatan mereka tidak dimengerti oleh Lim
Tiauw Kie. Entah apa maksud mereka melaburkan garam
seperti itu, bukankah harga garam yang mahal menjadi
dibuang sia-sia belaka" Pada waktu menyebarkan garam, orang-orang Hay-see
pay itu nampak sangat berhati-hati. Mereka agaknya seperti
khawatir garam itu menyentuh tangan dan tubuh mereka,
sehingga sekilas terpikir oleh Lim Tiauw Kie kalau kalau garam
itu mengancung racun. "Kalau benar garam itu mengandung racun, jelas akan
membahayakan penghuni rumah itu," pikir Lim Tiauw Kie di
dalam hati. Dan naluri hatinya tidak membenarkan perbuatan
seseorang yang menggunakan racun, yang dianggapnya
10 sebagai perbuatan kaum pengecut! Oleh karena berpikir demikian, maka Lim Tiauw Kie
merasa perlu untuk memberitahukan penghuni rumah itu,
supaya mereka entah siapapun adanya, tidak terperangkap
oleh perbuatan orang-orang Hay-see pay yang dianggapnya
telah melakukan perbuatan pengecut.
Dengan jalan memutar Lim Tiauw Kie menuju ke belakang
bagian rumah, lalu dengan melompati tembok halaman ia
memasuki pekarangan yang besar dan iuas, dimana terdapat
lima bangunan lain karena ternyata rumah itu memiliki sangat
banyak kamar-kamar, namun semuanya nampak gelap dan
sunyi, meskipun Lim Tiauw Kie merasa yakin ada
penghuninya, mengingat cerobong asap yang tetap kelihatan
mengepul mengeluarkan asap hitam. Secara berhati-hati dan tanpa mengeluarkan suara, Lim
Tiauw Kie mendekati bangunan rumah yang terdapat
cerobong asap, tetapi ketika ia tiba dibagian belakang
pekarangan maka ia menjadi sangat terkejut karena
menemukan dua mayat manusia yang menggeletak di tanah.
Dua mayat itu merupakan laki-laki, yang seorang
mengenakan pakaian imam, sedangkan yang satunya seperti
seorang petani. Usia mereka sudah cukup lanjut, sudah lebih
dari setengah abad. Wajah muka mereka kelihatan
menyeramkan, seperti mengalami derita sakit yang hebat
sebelum mereka menemui ajal, Namun demikian pada tubuh
mereka tiada nampak bekas bekas luka.
Tanpa menyentuh kedua mayat itu, Lim Tiauw Kie
memasang obor dan mulai memasuki bagian dalam yang
gelap gulita, juga kamar-kamar tidak terdapat penerang sama
sekali. Di dalam ruangan ini kembali ia menemukan tidak
kurang dari dua puluh orang yang telah menjadi mayat.
Dilihat dari pakaian dan senjata-senjata yang berserakan di
11 lantai, jelas bahwa mereka semua terdiri dari orang-orang
yang pandai ilmu silat, tetapi pada semua mayat itu tak satu
pun yang nampak cedera luka atau terkena sesuatu pukulan
tenaga dalam. Besar kemungkinan mereka semua adalah
korban keracunan yang ganas. perbuatan siapakah gerangan"
Dengan langkah kaki yang semakin berhati-hati, Lim Tiauw
Kie meneruskan lagi penyelidikannya memasuki ruangan lain,
sampai tiba-tiba ia merasakan menyambarnya hawa yang
sangat panas. Di bagian tengah dari ruangan itu ternyata terdapat sebuah
tungku atau tempat perapian yang besar, dengan api yang
berkobar-kobar menjilat-jilat ke sebelah atas dan menerbitkan
suara yang cukup bising. Dekat tungku yang besar itu nampak
tiga orang Iaki-laki yang sedang meniup api dengan
mengerahkan tenaga dalam (lweekang) sedang diatas tunggu
menggeletak sebatang golok yang sedang di panggang.
Karena amat panasnya tekanan suhu api, sinarnya
nampak berubah-rubah antara merah dan hijau, sedangkan
sinar dari golok itu tetap nampak putih berkilat menyatakan
tidak menjadi lumer terkena suhu api yang sedemikian
besarnya, dan entah sudah berapa lama di panggang. Asap
hitam yang nampak keluar dari cerobong rumah, jelas berasal
dari tungku itu! Ketiga orang yang sedang meniup api yang berkobar-kobar
itu, rata-rata berusia kurang lebih enampuluh tahun dan
mereka semuanya memakai jubah warna hijau, Muka mereka
penuh peluh bercampur debu, dan jubah mereka banyak yang
berlubang akibat terkena percikan api, Diatas kepala mereka
mengepul uap putih - selagi mereka meniup api sambil
mengerahkan tenaga dalam. Api itu menjilat keatas kira-kira
lima kaki tingginya dan menggulung golok yang berkilauan itu .
Lim Tiauw Kie menyadari bahwa ke tiga orang itu memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi. Dengan berdiri di tempat
12 yang cukup jauh terpisah dari tungku itu, ia sudah merasakan
hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah di bayangkan
panasnya hawa yang menyambar ketiga laki-Iaki tua itu yang
berdiri di dekat tungku. Tetapi anehnya biarpun digulung api
yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan warnanya
tidak berubah sama sekaIi. Mendadak diatas genteng terdengar suara membentak:
"Berhenti! Merusak golok mustika itu adalah merupakan
dosa besar!" Lim Tiauw Kie menjadi sangat terkejut, karena ia
mengenali suara itu adalah suara orang yang tadi memegat
rombongan orang-orang Hay-see pay dan yang telah
membinasakan salah seorang diantaranya.
Akan tetapi ketiga laki-laki yang sedang meniup api itu
tidak menghiraukan, mereka berlaku seperti tidak mendengar
apa-apa bahkan mereka meniup api semakin cepat.
Kemudian, hampir berbareng dengan terdengarnya suara
tertawa, suatu bayangan yang bersinar emas berkelebat dan
dilain detik bagaikan jatuhnya sehelai daun kering, laki-laki
kurus yang pakaiannya penuh dengan kancing mengkilat telah
berdiri ditengah ruangan itu. Dengan bantuan sinar api, Lim Tiauw Kie dapat melihat
dengan nyata wajah muka orang itu, Ternyata ia adalah
seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh tahun,
bermuka tampan tapi agak pucat, sulaman benang emas di
jubahnya yang sangat indah merupakan gambar-gambar
singa, harimau dan bunga bunga. Dengan sikapnya yang
tenang dan tanpa bersenjata, ia berkata dengan suara dingin:
"Hing-san Sam-kiam, mengapa kalian hendak merusak
senjata mustika itu" Apa maksud perbuatan kalian?"
13 Salah seorang dari ketiga Hing-san Sam-kiam atau tiga
jago pedang dari gunung Hing-san, mementang lima jari
tangannya menyerang muka pemuda pendatang baru itu,
Tetapi pemuda itu berkelit menghindar, dan kian maju untuk
mendekati Si kakek yang berada di sebelah timur dengan
cepat meraih sebuah palu yang terletak ditepi tungku, yang
digunakan untuk menghantam kepala si pemuda.
Tetapi gerakan pemuda itu amat gesit luar biasa, Dengan
sekali miringkan badan, kembali ia berhasil menghindar dari
serangan kedua. Palu itu menghantam tempat kosong dan
jatuh di lantai dengan menghamburkan lelatu anak api.
Ternyata batu lantai merupakan batu gunung yang sangat
keras. Orang ketiga dari Hing-san Sam-kiam segera ikut
menyerang dengan kedua tangan yang jari-jarinya dipentang
seperti cakar ayam, ia menyerang secara nekat dengan
pukulan yang membinasakan, membuat Lim Tiauw Kie
menjadi heran, menganggap Hing-san Sam Kiam pasti
menyimpan dendam membara terhadap pemuda pendatang
baru itu, yang mengakibatkan tiga jago pedang dari gunung
Hing-san itu bertindak kejam! Tetapi kepandaian pemuda itu ternyata sangat luar biasa,
walaupun di serang hebat, ia masih dapat bersenyum dan
melayani dengan sikap acuh. setelah bertempur beberapa
jurus, si kakek yang bersenjata palu membentak:
"Siapa tuan" Mengapa anda menghendaki golok mustika"
Harap beritahukan nama anda!" Pemuda itu tidak memberikan jawaban, sebaliknya ia
tertawa secara menghina, Tubuhnya tiba-tiba berputar dan
segera terdengar suara "krak-krek" dan si kakek yang
disebelah timur terbang ke atas, menghantam dan
menjebolkan atap rumah sedangkan si kakek jatuh di
pekarangan luar! 14 Kakek yang bersenjata palu menyadari lawan mereka
sangat tangguh, ia meraih sebuah jepitan api yang tadi
digunakan untuk menjepit golok Soen-lui to yang sedang
dipanggang, ia menunggu kesempatan untuk menimpuk
pemuda itu, yang sedang diserang oleh rekannya.
Akan tetapi gerak pemuda itu sangat gesit, Ketika melihat
si kakek mengangkat jepitan api yang ingin di lontarkan, maka
dengan suatu lompatan ia berhasil menendang lengan si
kakek dan merebut jepitan yang terlepas dari tangan si kakek,
Dengan jepitan itu kemudian ia menjepit golok Soen-lui to
yang sedang di panggang. Si kakek menjadi sangat terkejut, secara nekat ia merebut
dengan meraih gagang golok yang sangat panas itu.
Begitu tangan si kakek mencekal, uap putih mengepul
keatas dan semua orang menciup bau daging terbakar. Tapi
kakek itu bagaikan tidak merasakan sakit maupun pedih,
dengan sepasang mata membelalak ia tetap memegang
gagang golok Soen-lui to yang sangat panas bekas di
panggang. Kemudian dengan suatu gerak yang ringan ia lompat ke
sebelah belakang, berusaha kabur meninggalkan ruangan itu
dengan membawa golok Soen-lui to! Pemuda yang menjadi lawannya kembali perdengarkan
suara tawa menghina, sambil ikut bergerak dengan suatu
lompatan hendak meraih punggung si kakek.
Orang tua itu membalik tubuh dan mengangkat golok
Soen-lui to, membuat hawa yang sangat panas mendahului
menyambar si pemuda yang menjadi sangat terkejut, Tetapi
kedua tangannya kemudian mendorong si kakek, membuat
tubuh si kakek bagaikan terbang kearah mulut tungku yang
apinya masih menyala! 15 Lim Tiauw Kie yang sejak tadi mengawasi perkelahian
mereka, sebenarnya tak ingin mencampuri. Tetapi akhirnya ia
tak sampai hati membiarkan si kakek terbakar hidup-hidup
didalam tungku, Oleh karena itu dengan suatu lompatan yang
indah, yakni dengan menggunakan ilmu "Tee-in ciong" atau
lompatan awan tangga, maka ia berhasil meraih rambut si
kakek yang kemudian diangkatnya dan hinggap di lantai.
Akan tetapi si kakek yang tetap memegang golok yang
panas, mendadak memutar tubuh lalu menyerang Lim Tiauw
Kie yang sama sekali tidak menduga. Untuk menolong diri,
cepat-cepat Lim Tiauw Kie lompat ke atas, sedangkan si kakek
menggunakan kesempatan itu untuk lari ke sebelah belakang,
sambil memutar-mutarkan golok Soen-lui to dan berteriak
seperti orang gila! Dua kakek yang lainnya, demikian pula pemuda yang
menjadi lawan mereka, tak berani merintangi dengan
kekerasan- menyisi membiarkan si kakek yang membawa
golok melarikan diri, akan tetapi kemudian mereka mengejar
sambil berteriak. Lim Tiauw Kie ikut mengejar dan ia bahkan berhasil
mendahului ketiga orang itu, akan tetapi si kakek yang
mengetahui dirinya dikejar, mendadak berteriak secara histeris
lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk lompat ke luar
dari pintu depan. Akan tetapi ketika sepasang kakinya menyentuh tanah di
halaman luar, maka secara mendadak ia roboh terguling
sambil berteriak kesakitan bagaikan menderita luka parah.
Dua kakek yang ikut mengejar bersama si pemuda tadi,
ikut lompat ke luar halaman dan mereka pun segera roboh
terguling-guling sambil perdengarkan teriak suara kesakitan,
Si pemuda yang nampaknya memiliki ilmu lebih tinggi, masih
mampu lompat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu,
16 membiarkan ketiga kakek itu masih bergulingan tak mampu
bangun lagi. Menyaksikan kejadian yang sangat luar biasa itu, Lim
Tiauw Kie bermaksud memberikan pertolongan Akan tetapi
mendadak ia teringat dengan garam mengandung racun yang
di sebarkan oleh orang-orang Hay-see pay, dan menyadari
racun itu pasti hebat luar biasa. Ia tahu bahwa disekitar
gedung itu telah dikurung dengan garam yang mengandungracun,
sehingga ia sendiripun tak tahu bagaimana harus
meIoloskan diri. Untuk sesaat ia berdiri diam dan berpikir, kemudian ia
meIihat adanya dua kursi tinggi di samping pintu. ia


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperoleh pikiran untuk menggunakan kedua kursi itu
sebagai landasan. Dengan cara itu ia berhasil menjambret
punggung si kakek yang memegang golok Soen-lui to, untuk
kemudian ia lompat sambil menjinjing si kakek dan melarikan
diri secepatnya ke jurusan timur. EPISODE I SENJA HARI itu nampak guram dan lembab. Hujan rintikrintik
turun sejak pagi, sementara angin meniup cukup keras
kemudian naik turun bagaikan gelombang pasang. Tanah
lembab yang tergeliat di depan gunung Boe-tong san sunyi
senyap. perkampungan mati tiada bernapas. Penduduk tiada
seorang pun yang nampak keluar dari rumah mereka.
Dalam keadaan demikian, nampaklah lima penunggang
kuda berlari-Iari menyeberangi sungai berlumpur. Mereka tidak
menghiraukan licinnya jalan, dinginnya cuaca maupun hujan
yang turun rintik-rintik. Kuda yang berada paling depan
membawa seorang kanak-kanak berusia kira-kira sepuIuh
tahun. Ia berpakaian serba ringkas, pada pelana kudanya
tampak tergantung sebatang pedang pendek.
Yang berada di belakangnya adalah seoranq gadis remaja
17 berusia kira-kira Iimabelas tahun. Mukanya cantik, tubuhnya
nampak Iangsing walaupun ia sedang menunggang kuda.
Namun demikian wajah yang cantik itu bermuram duka dan
kuyu. Jelas sekaIi ia menderita suatu keletihan luar biasa.
Rambutnya kusut setengah terurai, pakaiannya yang dikenakannya
basah kuyup dan bercampur lumpur. Lengan
kirinya terbaIut dengan sehelai kain sutera yang ditembusi
darah kentaI. Penunggang kuda yang ke tiga tidak jelas jenis
pakaiannya, karena penuh Iumpur melebihi keadaan gadis
remaja yang berada di sebelah depannya. Ia merupakan
seorang pemuda yang gagah dan tampan, usianya kira-kira
sudah mencapai dua puluh tahun. Pandangan sepasang
matanya, memancarkan suatu keberanian tersembunyi.
Terpisah agak jauh di sebelah belakang mereka, berderap
dua ekor kuda yang saling susul . Yang pertama ditunggangi
oleh seorang wanita setengah baya. Alis matanya melengkung
melindungi sepasang matanya yang tajam. Pandang wajahnya
muram luar biasa penuh duka yang berlarat. Lehernya
terbungkus sehelai kain sutera berwarna kelabu, sementara
darah nampak menembusi lipatan pembalutnya yang tebal,
jelas bahwa ia baru saja menderita lupa yang agak parah.
Kudanya dijajari oleh seorang laki laki berusia limapuluh
tahun lebih. Laki-Iaki ini bertubuh singsat dan cekatan, ia
membekal sebilah pedang terhunus dan kerapkali menoleh ke
sebelah belakang, seperti khawatir dengan adanya seseorang
yang mengejar atau mengikuti perjalanan mereka.
Kadangkala ia melambatkan kudanya sambil menebarkan
pengIihatannya. Ia memiliki sedikit jenggot pendek, dan
rambutnya yang tidak teratur nampak sudah beruban,
walaupun demikian, jika dibanding dengan keempat
penunggang kuda yang lainnya, dialah yang nampak gesit dan
segar bugar. 18 Pandang matanya tajam luar biasa, tetapi mengandung air
mata yang membasahi kelopak, Kedua belah pipinya tergores
empat luka memanjang, dua diantaranya adalah goresan luka
baru. Dari cara mereka berlima melarikan kuda mereka, mudah
ditebak bahwa mereka sedang melarikan diri dari suatu
peristiwa. Kuda tunggang merekapun nampak letih sekali.
Sementara itu cuaca senjahari itu makin mendekati petang
yang muram dan hujan rintik-rintik kian menjadi deras, mereka
cepat-cepat menikungi jalan pegunungan, seberangmenyerang
jalan itu nampak menghadang jurang yang daIam
dan banyak tanaman Iiar. Laki-laki beruban yang berada di sebelah belakang tibatiba
menghentak tali kendali sehingga kudanya terkejut
berjingkrak, Lallu menyusul kuda wanita setengah baya yang
sedikit berada di sebelah depannya ikut menghentikan
kudanya. "Lan-moay. Kalau terus-terusan kita melakukan perjalanan
seperti ini, maka kita akan mati kecapaian. Memang tak apa
kalau kita mati di tengah perjalanan, tetapi bagaimana dengan
ketiga anak-anak kita" Marilah kita beristirahat sebentar!" kata
laki-laki itu kepada yang wanita. "Nanti malam kita melanjutkan perjalanan, dan selanjutnya
kita serahkan nasib kita kepada Tuhan. Bagaimana lukamu?"
(Lan-moay = adik Lan). Sehabis berkata demikian, kedua kelopak mata laki-laki itu
basah dengan air mata. ia sangat berduka, hatinya bagaikan
tersayat-sayat. Lalu ia menangis terisak, Untung angin meniup
kencang, sehingga suara tangisnya terendap dari pengamatan
pendengaran. 19 Lie Lan Hwa, wanita setengah umur yang bermuka muram
itu atau istri dari laki-laki yang beruban, berusaha untuk
bersenyum, sahutnya lembut: "Tidak apa-apa, kau tak perlu resah hati, inilah luka ringan
yang tiada artinya sama sekali. Kulitku hanya lecet sedikit,
Hanya ... yang kucemaskan adalah luka... eh, lengah Siu Lan.
Nampaknya ia menderita luka berat. Lengannya seperti
terkulai ..." Tetapi luka yang diderita oleh Lie Lan Hwa sebenarnya
parah. Senjata yang melukai lehernya tidak hanya melecet
kulit belaka, tetapi menembus hampir satu senti. Urat nadinya
nyaris terancam, seseorang yang menderita luka seperti itu,
sebetulnya tidak boleh bergerak terlalu banyak, sebaliknya
senjahari itu ia berada di atas kudanya mengarungi badai
hujan tiada hentinya. Thio Siu Lan, anak gadis mereka yang berada di sebelah
depan, agaknya mendengar keluh kesah ibunya, ia berpaling,
Katanya dengan nada riang: "Ayah, jangan dengarkan ibu. Lenganku tak kurang suatu
apa." ia tersenyum, namun dua tetes air mata jatuh ke pelana
kudanya, Jelas, ia bersama ibunya sedang berusaha
menghibur dan membesarkan hati laki-laki beruban itu.
"Siu Lan, janganlah kau membohongi ayahmu! Lukamu itu
..." laki-laki beruban itu tak dapat menyelesaikan kata-katanya,
karena Siu kan telah berkata lagi: "Ayah! Benar-benar aku tak kurang suatu apa, Lihatlah ! "
ia menunda bicara dan mengertak gigi, kemudian mengangkat
lengannya yang tadi nampak terkulai, Katanya nyaring:
"Sekarang sama sekali tak terasa sakit."
Akan tetapi begitu tangannya terangkat, suatu rasa nyeri
20 luar biasa menggigit jantungnya. Peluh dingin membasahi jidat
dan tengkuk Siu Lan. Cepat-cepat ia membuang mukanya, lalu
memacu kudanya sambil menurunkan lengannya dengan hatihati.
Kedua orang tuanya bermata tajam dan berperasaan
halus, dengan sekilas pandang tahulah mereka, bahwa
putrinya sedang menanggung suatu derita yang mengancam.
Apabila lengan yang terluka itu tidak segera memperoleh
perawatan yang baik, Siu Lan bisa cacat seumur hidupnya.
Karena sangat berduka, laki-laki beruban itu mendongak ke
udara suram, lalu berkata seorang diri:
"Hm. Kata orang, aku Thio Kim San adalah seorang ahli
pedang murid ke-tiga Tie Kong Tianglo dari Boe tong pay,
selamanya tak pernah aku merasa malu terhadap bumi dan
Iangit yang melindungi diriku. Melihat ke kiri aku berbesar hati,
melihat ke kanan aku berbangga hati. Memandang ke depan
tiada rasa segan, menoleh ke belakang tiada rasa kecewa.
Kenapa kini ... Ya, Tuhan mengapa kini kami sampai
menjadi begini " Kenapa aku harus membuat anak-istriku
tersangkut dalam urusan hidupku sehingga mereka harus pula
mengikuti kesengsaraanku yang terpaksa merantau dari
tempat ke tempat sekian bulan lamanya" Ya, Tuhan. Berilah
kami cerahMu..." Lan Hwa menahan kendali kudanya, mendekati suaminya,
Setelah lari berjajar, ia menekap lengan kirinya. Katanya
secara lembut: "Suamiku, janganlah kau terlalu berduka memikirkan kami.
Manusia yang suci bersih pasti akan memperoleh berkah
Tuhan Yang Maha Kuasa, Memang keluargamu lagi menjadi
korban suatu fitnah, kabut gelap menutupi penglihatannya
Akan tetapi sebentar atau lambat laun latar belakang peristiwa
ini pasti akan tersingkap, Sabarlah untuk beberapa hari lagi,
apabila kita telah bertemu dengan Tay-soehoe, semuanya
21 pasti akan menjadi beres seperti sediakala."
Thio Kim San menggeleng-gelengkan kepalanya, Dengan
sedih ia berkata: "Hari ini genap sudah seratus enampuluh hari kita melintasi
air, menerobos rimba dan ladang belukar serta mendaki
gunung. Tetapi tetap saja kita dikejar-kejar . Selama seratus
enam puluh hari, belum pernah kita beristirahat barang
sekejab, Alangkah sakit dan pedihnya hatiku, Lan-moay. Tak
usahlah engkau menutupi kenyataan! Segenap lapisan orangorang
gagah di kalangan rimba persilatan ingin membekuk
aku, berikut kau dan ketiga anak kita, Hidup ataupun mati.
Kalau hal itu sudah terlaksana, barulah mereka mau
menyudahi segalanya, walaupun aku memiliki lidah, namun
sulit bagiku untuk memberikan penjelasan kepada mereka."
"San-ko, janganlah kau terlalu bersedih hati. Salah paham
ini pasti ada akhirnya, Tuhan Maha Adil, dan masih cukup
panjang waktunya, Tak perlu kita tergesa-gesa."
(San-ko = kakak San). Thio Kim San menatap muka istri-nya, ia melihat kain
sutera yang melihat di leher istrinya itu, yang sekarang semua
lipatannya telah menjadi merah. Suatu bukti bahwa darah
masih saja mengalir keluar, sehingga Thio Kim San menjadi
malu kepada dirinya sendiri. Dia yang terkenal sebagai
seorang pendekar pedang, ternyata kini tak mampu
melindungi istrinya sendiri! "Kita telah berlari-lari sepanjang malam sampai sekarang,"
katanya sambil menarik napas, "Sebaiknya kita beristirahat
sebentar, Aku mengharap kita dapat mencapai tujuan besok
pagi." Dengan lemah Lan Hwa manggut dan berkata:
22 "Benar, Kita perlu memulihkan tenaga. Kurasa nanti malam
kita tidak mempunyai kesempatan untuk beristirahat selain itu
kita perlu merawat lukanya Siu Lan. Akh, kasihan anak-anak
kita yang tidak berdosa dan yang tidak tahu-menahu tentang
peristiwa ini. Mereka ikut menanggung derita."
Bukan main sedihnya Thio Kim San yang diingatkan
perkara itu, dengan hati bergetar ia berkata:
"Lan-moay. Kini aku menyadari bahwa aku tak pantas
menjadi suami dan ayah dari ketiga anak-anak kita, Aku tak
sanggup memberikan perlindungan kepada kalian."
"Jangan kau menyesali diri sendiri, San-ko." bujuk Lan
Hwa. "Siapa saja pasti tak akan sanggup menghadapi lawan
yang jumlahnya sekian banyaknya. Mereka dapat bertempur
secara bergantian, sebaliknya engkau" sebenarnya, akulah
yang mengakibatkan terjadinya peristiwa ini. Aku istrimu yang
telah membuka suatu rahasia, karena kebodohan dan
kecerobohan, sebetulnya akulah yang harus mati!"
Sekali lagi Thio Kim San mendongak ke udara, dan sekali
lagi ia menarik napas panjang, Lalu melepaskan pandang jauh
ke sebelah sana, dan tiba-tiba berkata setengah berseru:
"Hey! Bukankah itu sebuah rumah" Mari kita ke sana untuk
beristirahat sebentar, Kita perlu berteduh, agar tidak
kemasukan angin jahat dan terhindar dari dingin hujan!"
Setelah berkata demikian, Thio Kim San memacu kudanya.
ia mendahului dan memimpin rombongannya menuju ke
rumah itu. istrinya segera mengikuti dengan memacu kudanya
pula, disusul oleh ke tiga anak-anak mereka yang berada di
sebelah belakang. Rumah yang berada di sebelah depan mereka sebenarnya
bukan rumah tinggal seseorang, melainkan tempat
penyimpanan padi yang kebenaran kosong tiada isinya, Pasti
23 milik seorang berada, biasanya seorang kepala desa atau
mungkin pula milik seorang Tuan tanah (okpa).
Ketika telah mendekati rumah itu, hujan terasa kian
bertambah deras, Mereka tak menghiraukan derasnya hujan,
sebaliknya yang mereka takuti justru adalah angin jahat yang
menyusup ke dalam tubuh mereka. Rumah yang ternyata merupakan tempat penyimpanan
padi itu itu, berukuran kecil namun cukup bersih, Dindingnya
yang dibuat dari bahan bambu cukup rapat, suatu tanda
bahwa pemiliknya masih menggunakan tempat itu.
Thio Kim San segera lompat turun dari kudanya, lalu
mendekati istrinya hendak membantu turun, Akan tetapi
istrinya malahan melompat turun dari sisi lainnya, sambiI
bersenyum dan berkata: "San-ko, tak usah kau terlalu memperhatikan aku,
sebaiknya kau bantu anak kita, Siu Lan."
Akan tetapi pada waktu itu Siu Lan telah melompat turun
tanpa bantuan siapapun juga. ia bahkan lari menghampiri
ibunya, ketika melihat ayahnya sedang mendekati si bungsu
Sin Houw. Thio Sin Houw belum genap sepuluh tahun umurnya,
masih merupakan seorang bocah namun ikut menderita
bersama ayah dan ibunya merantau dari satu tempat ke
tempat lainnya, Kehidupan demikian membuat dirinya lekas
masak dan berkepribadian, penuh, wajahnya tidak nampak
sinar berseri, karena kegembiraan masa kanak-kanaknya
lenyap sehingga ia lebih mirip dengan seorang pemuda
tanggung yang hendak menanjak dewasa.
Sementara itu Siu Lan telah ikut mendekati adiknya,
Dengan sabar dan lembut ia berkata:
24 "Sin Houw, kau sedang memikirkan apa" Lihatlah, hujan
kian deras." Seperti orang yang tersentak, Sin Houw mengawasi kakak
perempuannya, lalu ia menerima uluran tangan sang kakak
sambil perlihatkan sedikit senyumnya, sahutnya ringan:
"Apa yang kupikirkan" Bukankah ayah hendak


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beristirahat?" Siu Lan tertawa sedih. Katanya sekedar penghibur diri:
"Benar, Kuda kita sudah lelah, Sehari semalam kita berlarilari
terus tiada hentinya. Kitapun agaknya perlu beristirahat
juga." Sambil berkata demikian, Siu Lan mengamat-amati
adiknya. Adik ini sudah setinggi pundaknya, Dahulu, dia masih
perlu didukung secara bergantian Kini sudah mirip seorang
pemuda tanggung. Sementara itu Sin Houw juga sedang menatap wajah
kakaknya. Seperti berjanji, iapun sedang menaksir-naksir
tinggi badannya, Lalu berkata: "Cici, Satu atau dua tahun lagi, tinggi tubuhku akan
melampaui tinggimu." Siu Lan tertawa tawar. Sahutnya: "Benar, adikku. Kau akan lebih tinggi dari aku. Setiap
matahari terbit di langit, tinggi tubuhmu selalu bertambah dan
bertambah, jangan jangan tinggi tubuhmu kelak akan sama
seperti Kwan Kong!" Sin Houw ikut tertawa, sementara kakaknya yang lelaki,
Sin Han, ikut mendekati Dia seorang pemuda berusia
mendekati duapuluh tahun. Dengan tiba-tiba ia menyambar tali
25 kendali kuda Sin Houw, sambil menyertai tawa ramah ia
berkata: "Hey! Apakah kalian hendak mandi hujan" Beristirahatlah
bersama ayah dan ibu, mereka telah berada di dalam sedang
menyalakan api." Siu Lan bersenyum seperti lupa derita, dengan lembut dan
penuh perasaan ia berkata: "Justru kau yang paling lelah kali ini. Kita berdua dapat
beristirahat dengan perlahan-lahan."
Sekali lagi Sin Han tertawa perlahan. Memang benar
perkataan adiknya yang perempuan itu, diantara anggauta
keluarga dialah satu-satunya yang pakaiannya penuh lumpur
sehingga warna pakaiannya tak dikenal lagi warnanya. ia tidak
dapat membantah perkataan adiknya, dari itu tanpa mengucap
apa-apa ia membawa kelima ekor kuda ke ladang rumput yang
berada di sebelah selatan. Dan kuda-kuda itu nampak dengan lahap melalap rumputrumput
itu, sedangkan Sin Han menemani tanpa
menghiraukan derasnya curahan air hujan.
Kim San muncul di ambang pintu sambil menggeribiki
pakaiannya. Melihat putra sulungnya menunggu kuda-kuda
mereka yang sedang makan rumput, ia lantas saja berseru:
"Sin Han! Tinggalkan saja kuda-kuda itu, kau perlu
beristirahat!" "Sebentar, ayah. Lebih baik ayah memeriksa luka Siu Lan
dan ibu, aku dapat mengurus diriku sendiri," sahut Sin Han.
Kim San terdiam sejenak dan berpikir, kemudian memutar
tubuh sambil menarik napas, Perlahan-lahan ia memasuki
tempat penyimpanan padi untuk mendekati istri dan kedua
26 anaknya. Memang sudah terbiasa, bahwa setiap kali mempunyai
kesempatan untuk beristirahat selalu Sin Han yang mengurus
kuda-kuda mereka, Karena kuda-kuda itu merupakan kaki dan
tuIang-punggung keluarga, untuk dapat meneruskan
perjalanan mereka. Kalau sampai terjadi sesuatu, semuanya akan lumpuh.
Dan kelumpuhan berarti suatu ancaman bahaya sendiri. itulah
sebabnya, selama menempuh perjalanan tak pernah Sin Han
melupakan kewajibannya yang satu itu. Malahan kuda-kuda itu
baginya jauh lebih berharga dari pada jiwanya sendiri.
Sementara itu Kim San duduk di sisi istrinya, di atas lantai
papan tempat penampung padi. perlahan-lahan ia melepaskan
bungkusan yang selalu menggemblok di punggungnya, dan
dari dalam bungkusan itu ia mengeluarkan makanan kering
berikut bakpao dan lain sebagainya.
"Anak-anak, mari kita makan," katanya. "Kali ini mungkin
merupakan perjalanan kita yang terakhir, Karena setelah kita
bertemu dengan paman-gurumu Cia Sun Bie, kemudian
kakek-gurumu, Tie Kong Tianglo, selanjutnya tiada lagi yang
akan mengganggu kita." Setelah berkata demikian, Kim San membuka juga dua
tempat air minum, ia mengangsurkan kepada istrinya, sambil
berkata lagi: "lni merupakan suguhan terakhir bagimu, minumlah!"
Perlahan suaranya seperti orang membisik, kemudian
dengan pandang lembut ia menatap muka Siu Lan. Katanya:
"Coba. Kuingin melihat lukamu."
"Akh, lukaku tidak parah," sahut Siu Lan cepat. "Lukanya
27 ibu yang perlu ayah periksa." Lan Hwa tertawa perlahan, dengan penuh kasih sayang ia
berkata: "Lukaku" Apakah arti lukaku ini" Aku sudah berusia tua,
umpama kata luka ini tidak memperoleh pengobatan dan akan
meninggalkan cacat seumur hidup, tidak akan banyak artinya,
sebaliknya kau! Kau masih muda, baru belasan tahun
umurmu, kalau lenganmu sampai cacat, kau akan menyesal
seumur hidupmu, Akupun ikut menderita pula, kalau sampai
terjadi demikian." "Sudahlah! Kalian jangan saling bertengkar Obat lukaku
cukup untuk menyembuhkan dua orang lagi." tukas Kim San.
Setelah berkata demikian ia membuka pembalut luka
istrinya di bagian leher, Luka itu masih mengeluarkan darah,
hal itu membuat hatinya tercekat, Katanya di dalam hati:
"Hebat sabatan golok Cie-san Liong-ong Kwee Sun.
Benar-benar ia merupakan musuh tangguh, sampai ia dapat
melukai istriku, untunglah tidak sampai mengenai urat nadi ..."
dan cepat-cepat ia menaburkan bubuk obat luka yang berwar
kelabu. "Sekarang giliranmu, anakku." katanya kemudian.
Siu Lan membuka pembalut lukanya sendiri. Kemudian
mengangsurkan lengannya kepada ayahnya. Luka itu
dideritanya tiga hari yang lalu, karena kurang rawatan dan
kena air hujan bercampur debu, kini nampak diselipi nanah.
Melihat nanah itu, Kim San mengerutkan alis. Katanya sambil
menghela napas: "Siu Lan, kalau terlambat dua hari lagi, pastilah lenganmu
akan cacat. Kau... kau ..." 28 Kim San tidak meneruskan perkataannya, sebenarnya ia
ingin mengatakan supaya Siu Lan merawat lukanya dengan
cermat, akan tetapi akhirnya ia menyadari bahwa selama
beberapa hari ini, hampir-hampir mereka tidak memperoleh
kesempatan untuk beristirahat, apalagi untuk memeriksa dan
mengobati luka, Musuh yang datang dari berbagai penjuru,
menyerang secara bergelombang dan bergiliran. itulah
sebabnya dengan membungkam Kim San menuangkan sisa
obat bubuknya lalu membuang pembungkusnya di atas tanah.
Kemudian ia berkata setengah berdoa:
"Semoqa inilah perjalanan kita yang terakhir."
Selagi Kim San merenungi ucapannya sendiri dengan
wajah muram, tiba-tiba Sin Houw menyelak bicara tanpa
diduga-duga. Katanya: "Ayah, dapatkah aku minta suatu keterangan" Ada sesuatu
yang tidak kumengerti." Kim San merasa terpukau. Segera ia berpaling dan
menatap muka anaknya yang bungsu itu, Wajah Sin Houw
nampak muram dan setengah bergusar. Melihat kesan itu, ia
menarik napas lagi dengan tak dikehendakinya, sahutnya
dengan suara perlahan : "Keterangan apa yang ingin kau tanyakan, anakku"
Katakanlah, Sebenarnya, andaikata kau tidak mengerti,
akhirnya kau akan mengerti sendiri . Aku sendiri telah
memutuskan hendak memberikan penjelasan kepadamu,
kukira umurmu kini sudah dapat menangkap suatu
keterangan." Sin Houw juga mengerti, seIama ia belum cukup umur,
tidak sewajarnya ia diajak membicarakan masalah orangorang
tua. Akan tetapi ia adalah seorang anak yang dibentuk
oleh keadaan, pertumbuhan akalnya lebih cepat dari pada
nnak-anak lainnya, Dan setelah mendengar perkataaan
29 ayahnya, maka ia berkata: "Ayah, seingat aku, eh ... teringat lah aku pada waktu itu.
Kita semua berlari-larian sepanjang malam, melewati gunung
dan melintasi hutan. Aku ..." "Eh, anakku ...!" potong ibunya dengan suara mengeIuh, ia
Iantas memeluk lehernya dengan air mata mengalir deras. ia
tidak meneruskan bicara sehingga ganti Kim San yang
berkata: "Biarkanlah ia bicara, Lan-moay..." Dan Sin Houw
kemudian berkata lagi: "Waktu itu aku telah melihat banyak gunung, hutan, jurang
dan berbagai tempat belukar. Ayah mengajak aku merantaui
padang luas, dan teringatlah aku, sering turun hujan deras dan
angin meniup sangat gemuruh dan kadang-kadang kita berada
ditengah terik matahari, kita lalu mencari mata air untuk
meneguk airnya yang bening, tetapi yang mengherankan aku,
apa sebab ayah, ibu dan kedua kakak harus bertempur setiap
kali bertemu dengan orang-orang yang berjumpa dengan kita"
Apakah kita pernah menyalahi mereka" Ataukah mereka
memang orang-orang jahat yang memusuhi kita" Buktinya,
suatu kali kita pernah melintasi kota dan pendesaan, dan ayah
tak perlu menghunus pedang untuk menikam mereka..."
Usia Sin Houw masih sangat muda, akan tetapi
pengalamannya ternyata sangat dahsyat. Nalurinya membuat
akalnya mulai ingin mengerti semuanya, Ketika mula-mula
melihat keluarganya bertarung dengan orang-orang tertentu, ia
bersikap acuh tak acuh. Kemudian rasa takut mulai
menggerayangi, lalu rasa gusar dan girang apabila
keluarganya memperoleh kemenangan. Setelah itu ia mulai menebak-nebak apa sebab terjadi
suatu pertarungan adu jiwa, Dan pada tiga hari yang lalu,
untuk yang pertama kalinya salah seorang anggauta
30 keluarganya terluka, Dialah Siu Lan, kakak perempuannya.
Dan hal itu membuat akalnya mulai bingung.
SETELAH ITU ibunya kena babatan golok seorang musuh
yang menamakan diri Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si raja
naga dari gunung Cie-san, Kalau begitu terjadi suatu suatu
pertarungan itu, tidak dikehendaki oleh keluarganya sendiri.
Terasa sekali, betapa ayah dan ibunya terpaksa melayani
lawan untuk suatu pembelaan diri, tetapi mengapa ayah dan
ibunya dimusuhi oleh orang begitu banyak" Benar-benar ia
tidak mengerti. Dan dalam tiga hari itu, ingin ia minta penjelasan, Namun
rasa lelahnya lebih menguasai dari pada perhatiannya itu, ia
tertidur begitu menggeletakkan badan. Kini ia kehujanan.
Pakaiannya basah kuyup, inilah yang membuat dirinya tak
dapat tertidur dengan cepat, maka itu pulalah kesempatan
baginya untuk minta keterangan kepada ayahnya.
"Sin Houw! jangan membuat ayahmu berduka." ibunya
yang mendahului bicara. Mendengar perkataan ibunya, wajah Sin Houw nampak
muram luar biasa, ia menjadi bingung, cemas dan sesal,
Akhirnya ia ingin menangis dengan perasaan tak menentu.
Sejenak kemudian ia mencari kesan wajah ayahnya. Berkata:
"Benarkah ayah jadi berduka karena pertanyaanku tadi"
Kalau begitu, patutlah aku ayah hukum."
Kim San menoleh kepada istrinya, dan berkata:
"Lan-moay, mengapa ia kau tegur demikian" Dalam hal ini
bukan dia yang bersalah, Sebaliknya, akulah manusia yang
tiada gunanya hidup sebagai ayah dan suamimu..." ia berhenti
menelan ludah, Kemudian meraih leher Sin Houw dan
membelai kepalanya dengan perasaan kasih sayang, Katanya
lagi dengan suara agak parau: 31 "Sin Houw, kau tidak bersalah, Sama sekali tak salah,
Mengapa aku harus menghukummu" Selama ini ayahmu telah
berusaha mengatasi kesulitan ini, untuk mengkikis suatu salah
paham, Akan tetapir ayahmu tidak berdaya sama sekali
menghadapi lawan-lawan yang bersikap sangat ganas."
Thio Sin Houw mengangkat kepalanya, mengawasi
ayahnya dan berkata seperti merajuk:
"Ayah, dapatkah ayah menjelaskan tentang salah paham
itu?" Kim San manggut seraya tertawa sedih, jawabnya dengan
suara tegas: "Tentu, Tentu saja. Saat ini justru saat kita yang terakhir.
Sejak tadi ayah telah berkeputusan untuk menjeIaskan
kepadamu, walaupun otakmu mungkin belum dapat mengerti
persoalan latar beIakangnya, Kalau ayah tidak menjelaskan
sekarang, kapan lagi ayahmu memperoleh kesempatan lagi"
Kau duduklah baik-baik. Kemudian dengarkan setiap patah
kata ayahmu, Sebab setelah ini, ayahmu tidak akan berkata
kata lagi." Thio Siu Lan yang sejak tadi berdiam diri sambil membalut
lukanya, menyambung: "Ayah, selama banyak tahun kita merantau, baru kaIi ini
kau membawa kami melarikan diri, Aku tahu sebenarnya,
itulah lantaran aku dan ibu terluka, ibu mahir sekali
menggunakan pedang, kakak Sin Han semakin tangguh,
akupun merasa memperoleh kemajuan pula, setelah lukaku
sembuh, tak perlu lagi ayah membawa kami lari-lari begini.
Hanya saja, ada satu hal yang tidak kumengerti. Ayah dilukai
musuh, mengapa ayah tak mau membalas sedangkan
sebenarnya ayah mampu berbuat begitu?"
32 Sambil mengajukan pertanyaan itu, Siu Lan mengawasi
luka ayahnya yang menggaris kedua belah pipinya. Sin Houw
pun demikian pula, Lalu si bungsu berkata untuk menguatkan
pertanyaan kakaknya: "Benar, ayah. Apa sebab ayah membiarkan musuh melukai
pipi ayah?" "Sin Houw, jangan kurang ajar!" bentak ibunya.
"Lan-moay, biarkanlah," kata Kim San setengah


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membujuk. Akan tetapi wajahnya nampak kian muram,
walaupun demikian, pandang matanya tiba-tiba bersinar tajam,
Dengan suara bernada menghibur ia berkada kepada kedua
anaknya: "Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi, setelah
pernah berbuat suatu kekeliruan sekarang ini ayahmu sudah
berusia cukup tua. Kalau hari ini harus mati, hati ayah benarbenar
rela, akan tetapi, bagaimana dengan kalian..."
Andaikata ayah menggali tanah lebih dalam lagi, kalianlah
yang akan memikul akibatnya, Dapatkah dibenarkan apabila
seorang ayah meninggalkan suatu warisan penderitaan
kepada anak keturunannya" Tidak! Tak dapat aku
menanamkan bibit permusuhan yang berlarut tiada akhirnya
untuk kalian." "Akh! Ayah terlalu bermurah hati kepada mereka," ujar Siu
Lan. "Sebaliknya mereka tak mau tahu. Mereka mengejar kita
terus-menerus tak hentinya, setiap gerakan senjata mereka
mengancam maut tak terampunkan. Selama ini entah sudah
berapa kali ayah dan ibu menderita luka ringan dan berat.
Tetapi kerelaan ayah dan ibu menanggung derita itu, tidak
dapat merubah hati mereka. Bahkan mereka bertambah ganas
dan kejam, sebaliknya mengapa semangat ayah tiba-tiba
menurun?" Thio Kim San menggelengkan kepalanya sambil menarik
33 napas, katanya perlahan: "Tidak, anakku, Tidak! Sama sekali tidak! semangatku
bukan runtuh, tetapi karena mempertimbangkan keadaan.
Tegasnya, ayahmu ini dipaksa oleh keadaan. Memang,
merubah sikap mereka kini sudah tiada harapan, Satu-satunya
jalan hanyalah membela diri mati-matian. Kita membunuh atau
di bunuh. Akan tetapi, anakku, Musuh-musuh kita ini luar biasa
banyaknya. Barangkali kau ingat, tatkala mula-mula kita
meninggalkan rumah dan melarikan diri ke barat, sampai
akhirnya kita tiba disini, di lembah pegunungan Boe-tong.
Akan tetapi musuh-musuh kita tetap mengejar Setiap kali
memasuki suatu wilayah, musuh-musuh berganti orang.
Apakah kau mengetahui, siapakah musuh kita sebenarnya?"
"Justru itu yang hendak kutanya-kan," ujar Thio Siu Lan
penuh perhatian. "Benar, ayah. Agar jelas bagi kita, siapa musuh-musuh kita
itu," Sin Houw ikut bicara. Thio Kim San menundukkan kepalanya . Setelah sejenak
berpikir, dengan muka berkerut-kerut ia berkata:
"Musuh kita adalah seluruh orang-orang gagah dari segala
lapisan, baik golongan hitam maupun putih."
Baik Sin Houw maupun Siu Lan jadi bergidik ketika
mendengar keterangan ayah mereka. Siu Lan yang lebih tua
umurnya dari adiknya, dapat berpikir dan menimbangnimbang,
Katanya lagi minta penjelasan: "Seluruh orang-orang gagah di dunia ini" Benarkah begitu,
ayah" Apa sebabnya mereka memusuhi ayah" Apakah ayah
pernah berbuat kesalahan terhadap mereka" Apakah ayah
kenal mereka?" Kim San menggelengkan kepatanya, jawabnya:
34 "Aku bahkan tidak mengenal mereka semuanya, hanya
sebagian kecil yang kukenal." "Apa sebab mereka bersatu-padu memusuhi ayah?" tanya
Siu Lan heran. "ltulah karena... karena..." sukar rasanya untuk Kim San
memberikan penjelasan ia menimbang-nimbang sebentar, lalu
mengalihkan pembicaraan: "Mereka menuduhku sebagai seorang pencuri besar yang
harus dibekuk hidup atau mati. Barangsiapa dapat menangkap
ayahmu ini hidup-hidup, akan memperoleh tiga bagian mustika
dunia sebaliknya apabila menangkapku mati, hanya
memperoleh sebagian, Tetapi sebagian itu saja sudah cukup
untuk membuat manusia menjadi kaya raya dan terkenal
namanya di seluruh dunia. Karena benda yang mereka cari
adalah sebatang golok Halilintar, yang menyimpan rahasia
ilmu sakti tertinggi di dunia, Dengan memiliki golok itu, siapa
saja pasti akan menjadi sakti ilmunya, dihormati dan dipuja
sebagai malaikat!" "Apakah itu bukan kabar berlebih-lebihan saja?" gerutu Siu
Lan, sedikitpun tak terpikir olehnya bahwa ayahnya pernah
mencuri benda itu. "Benar. itulah suatu dusta. Namun ayahmu tidak berdaya
melawan anggapan demikian," kata ayahnya.
"Jadi, mereka mengejar-ngejar sampai di sini, sematamata
lantaran menginginkan benda itu dari ayah?"
"Walaupun baik ayah maupun mereka tidak pernah saling
mengenal?" Siu Lan meneruskan pertanyaannya.
"Benar." jawab ayahnya singkat.
35 "lnilah suatu kegilaan." Siu Lan menggerutu, "Ya , benarbenar
gila." "Kau boleh berkata demikian, anakku, Tetapi buktinya,
keluarga ayahmu menjadi buruan mereka. Cobalah
pertimbangkan masak-masak, dapatkah ayahmu melawan
demikian banyaknya musuh?" kata Kim San sambil menarik
napas lagi. "ltulah sebabnya, tiada jalan lain kecuali melarikan
diri, mencari kakek-gurumu dan... kalau Tuhan melindungi, kita
akan berlindung kepada kakek gurumu, Tie Kong Tianglo. Ia
adalah seorang guru besar yang dihormati dan disegani orang,
setidak-tidaknya banyak para pendekar mengenal namanya
karena itu, meskipun penderitaan kita berlarut-larut, namun
aku yakin bahwa suatu penderitaan akan ada akhirnya. Belum
pernah manusia menyaksikan awan hitam menutupi langit
cerah sepanjang masa, dan sebaliknya pula matahari yang
perkasa terbatas pula kekuasaannya."
Sementara itu Sin Houw berkomat-kamit seorang diri, lalu
ia berkata kepada ayahnya: "Seluruh pendekar memusuhi ayah, semata-mata karena
ingin memiliki golok Halilintar. Tetapi apa sebab mereka
menganggap golok itu ada pada ayah atau menuduh ayah
yang mencurinya?" Thio Kim Sart tercengang mendengar pertanyaan putranya
yang bungsu itu. Terus saja ia membelai kepaIa Sin Houw
sambiI berkata perlahan: "Kau begitu cerdas. Kau tumbuh terlalu cepat..." dan
hatinya lantas saja terasa pedih, Lalu ia berpaling kepada
istrinya, dan berkata: "Lan-moay. Meskipun kita kini hampir memasuki wilayah
perguruan, namun hidup atau mati belum dapat kita pastikan,
Oleh karena itu, kalau kini aku tidak segera memberikan
penjelasan kepada anak-anak kita, jangan-jangan aku tidak
36 mempunyai kesempatan Iagi. Bagaimana menurut
pendapatmu?" Lie Lan Hwa menatap wajah suaminya, menjawab dengan
sabar: "Kalau demikian pertimbanganmu, terserahlah."
Segera Thio Kim San menghirup napas segar, ia
melepaskan raihannya pada kepala putranya dan mengawasi
wajah Sin Houw silih berganti dengan Siu Lan, lalu berkata
hati-hati: "Anakku, inilah soal yang sukar untuk dimengerti dan
dipahami." Pertama sekali karena umurmu belum cukup kuat untuk
menanggapi, Terus terang saja, sampai kini ayahmupun tetap
berada dalam suatu teka-teki pelik, sebenarnya bagaimana
asal mulanya terjadinya suatu fitnah ini, masih kurang jelas
bagiku. Hanya anehnya, mengapa mereka semua tahu tentang diri
ayahmu yang difitnah sebagai si pencuri ataupun sebagai
orang yang menyimpan golok Halilintar itu. Pastilah ada
seseorang yang meniup-niupkan suatu kabar tentang diri ku.
Benar dan tidak, bercampur aduk tidak keruan.
Aku hanya mempunyai dugaan, tetapi tak dapat aku
membuka mulutku, Akh, seumpama ayahmu tidak terlalu sibuk
menghadapi orang-orang yang datang memusuhi tanpa
alasan permusuhan, siang-siang ayahmu pasti telah dapat
membekuk biang keladi yang menyebar fitnah itu."
Sampai di sini Thio Kim San berhenti bicara, mulutnya
membungkam secara mendadak. Giginya terdengar berbunyi
berceratukan seakan-akan sedang menggigit sesuatu yang
alot luar biasa . 37 Siu Lan seorang gadis perasa, Terus saja ia berkata:
"Ayah sangat bersakit hati. Biar-lah ayah tak meneruskan
saja keterangan tentang peristiwa yang memedihkan ini."
"Tidak, anakku, Ayahmu harus berbicara terus, Hanya saja
..." ia berhenti lagi, sekonyong-konyong berdiri dan berjalan ke
luar, ke ambang pintu, Memanggil putera sulungnya:
"Sin Han, kemarilah! Ayahmu hendak berbicara dengan
kalian semua!" Thio Sin Han masih mengawasi kelima ekor kuda mereka,
Mendengar seruan ayahnya, segera ia menambatkan tali-tali
kendali menjadi seonggok, Kemudian bergegas memasuki
tempat penyimpanan padi dan berkata :
"Ayah hendak bicara mengenap apa?"
"Kau duduklah dahulu diantara kedua adikmu!" perintah
ayahnya. Sin Han menggeribiki pakaiannya, kemudian menghampiri
kedua adiknya, ia tidak segera duduk, karena pakaiannya
yang basah kuyup dengan air hujan. "Baiklah, kau berdiri saja. Kau panaskan tangan dan
badanmu, sambil mendengarkan." kata Kim San. "Cobalah
kau terka, apa sebab seluruh orang-orang gagah memusuhi
ayahmu sekeluarga ?" Sin Han menatap muka ayahnya dengan hati tercekat, lalu
menjawab perlahan: "Yang kuketahui, sepak terjang mereka telah membuat
ayah sangat mendendam dan penasaran."
38 "Yang kumaksud, sebab sebabnya!" tukas Kim San.
Sin Han menimbang-nimbang, secara hati-hati kemudian ia
menyebut: "Menurut yang kudengar, ayah di tuduh menyimpan
sebatang golok mustika dunia, Atau setidak-tidaknya, ayah
tahu rahasianya dan tahu pula di mana goIok mustika itu
tersimpan." "Benar, sebatang golok Halilintar itulah gara-garanya.
Tahukah engkau tentang golok yang dianggap benda mustika
itu?" sang ayah balik menanya.
Sebelum Thio Sin Han menjawab pertanyaan ayahnya,
tiba-tiba Sin Houw memotong dengan pertanyaan pula:
"Koko, kenapa mereka mengira ayah yang menyimpan
golok itu?" (Koko = kakak). Mendengar pertanyaan itu, Sin Han tercengang, justru hal
itu pulalah yang membuat dirinya terus berteka-teki.
"Entahlah ..." jawabnya. "Aku sendiri kurang jelas."
Setelah memberikan jawaban demikian, Sin Han berpaling
kepada ayahnya dan meneruskan bicara:
"Orang-orang yang datang mengejar kita ini, pada suatu
hari dipanggil oleh seseorang yang membawa warta tentang
golok mustika itu. Mereka di kisiki di manakah golok mustika
itu berada. Mereka diberikan penjelasan pula, bahwa golok
mustika itu tidaklah hanya menggenggam suatu rahasia ilmu
sakti yang sangat tinggi, tetapipun menyimpan sebuah gunung
emas dan berlian yang tak ternilai harganya.
39 Pendek kata, barang siapa dapat memperoleh golok
mustika itu, akan dapat memerintah dunia menjadi raja dari
segala raja! Benar tidaknya, aku tak tahu. Ayah, benarkah
demikian?" Pandang mata Sin Houw berdua Siu Lan tertuju kepada
ayahnya, Tetapi tiba-tiba mereka melihat kedua mata ibunya
meneteskan air mata. Mereka jadi terkejut, dan Sin Houw
segera meloncat dari duduknya, ia memeluk ibunya dan
berkata: "lbu, kalau keterangan ayah akan menyusahkan ibu,
biarlah ayah tidak usah menjawab pertanyaan koko."
Mendengar perkataan si bungsu, air mata Lan Hwa kian
deras mengalir ke-Iuar. ia berpaling kepada suaminya
kemudian ganti mengawasi kepala anaknya yang bungsu.
Katanya perlahan: "Sesungguhnya, semuanya ini ibu ikut bersalah. Bahkan
ibumu lah yang menjadi bibit permusuhan ini ..."
"Lan-moay, pengakuanmu tidak benar!" potong suaminya
setengah membujuk "Aku sendiri belum memperoleh
pegangan yang kuat." "Tidak! Selama ini engkau membungkam demi untukku,"
ujar Lan Hwa dengan suara pahit. "Sekaranq tak boleh Iagi
engkau memendam prasangkamu. Serapat-rapat seseorang
membungkus ikan busuk, akhirnya akan tercium juga. Selama
ini, jangan lagi engkau. Aku sendiri telah memperoleh tandatandanya,
dialah ..." "Lan-moay!" potong suaminya dengan suara cukup keras,
Tetapi berbareng dengan itu ia menghela napas. Dengan
menundukkan kepala, ia berkata: "Baiklah, aku akan berbicara, Tetapi sama sekali bukan
40 menjadi maksudku untuk mencelamu, Bahkan selama ini, aku
sangat berbahagia, Aku berhutang budi padamu, Lan-moay.
Engkaulah pelita hidupku, mercu hidup anak-anakku yang lahir
lewat rahimmu. Kalau malapetaka ini terjadi juga, bukankah
sudah seharusnya aku menyadari jauh sebelumnya."
Lie Lan Hwa mengusap air matanya, ia menatap wajah
suaminya dengan pandang lembut. Kemudian selembut itu
juga ia berkata: "Katakan saja. Aku adalah bagian dari hidupmu, tiada
sesuatu kekuatan yang dapat memisahkan kita. KecuaIi...
maut. Kau katakan saja, suamiku."
Untuk sesaat Thio Kim San menunda bicara, ia
menambahkan kayu-kayu pada api yang menyala kemudian
mengawasi ke arah pintu. Udara lembab gunung Boe-tong
telah menjadi guram. Dingin hawa-nya kian merayapi tubuh.


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan ia mengembarakan pandangannya, lalu
berhenti pada wajah ketiga anaknya. Dan diantara gemericik
hujan, mulailah ia berkata: ***** "SEMASA kanak-kanak, aku hidup di wilayah ini, di wilayah
Gunung Boe-tong san yang dianggap keramat oleh penduduk
di sekitar tempat ini, Aku hidup di pinggang gunung sebelah
timur laut, di atas gunung Boe-tong, di puncak Thian-coe hong
yang tinggi menjulang ke angkasa, atau tepatnya di kuil Giokhie
kiong, adalah merupakan tempat bersemayannya Tie-kong
Tianglo dan merupakan tempat aku belajar ilmu silat bersama
empat saudara seperguruanku. Masing-masing adalah Cia Sun Bie sebagai murid
pertama, Lim Tiauw Kie murid kedua, Hoan Siok Hu murid
ketiga Tan Bun Kiat murid keempat dan aku sendiri sebagai
41 murid kelima. Kami lima saudara seperguruan hidup sebagai keluarga
sendiri. Saling menolong dan saling membantu, pendek kata
saling bahu membahu. Setelah masing-masing mempunyai keluarga, lantas
berpisah, Diantara kami ada dua orang yang belum menikah,
mereka adalah pamanmu Cia Sun Bie dan Tan Bun Kiat.
Sebagai Boe-tong Ngo-hiap atau lima pendekar dari Boetong
san, kami berlima seringkali merantau dan menjelajah di
kalangan rimba persilatan, Kadang-kadang secara berbareng
kami melakukan perjalanan untuk menumpas berbagai macam
kejahatan ataupun kelaliman, dan kadang-kadang pula kami
melakukan perjalanan secara terpisah, artinya sendiri-sendiri.
Demikianlah, pada suatu hari pamanmu yang kedua, Lim
Tiauw Kie, melakukan perjalanan ke propinsi Hok-kian, karena
di tempat itu sedang mengganas seorang penjahat yang tidak
hanya memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi juga
terkenal sangat licin luar biasa. Sampai berbuIan-bulan
lamanya Lim Tiauw Kie pergi tanpa memberikan berita, ia
bahkan sampai lupa mengunjungi suhu pada hari ulang tahun
beliau. Lim Tiauw Kie pergi dan terus menghilang tanpa
meninggalkan jejak, sedangkam kami empat bersaudara
seperguruan pernah berkali-kali mencari dan melakukan
penyelidikan. Sampai kemudian kami memperoleh kabar angin
yang mengatakan bahwa Lim Tiauw Kie telah memperoleh
golok Sun Lui To yang direbutnya dari tangan Hing-san samkiam
atau tiga jago pedang dari gunung Hing-san, setelah itu
Lim Tiauw Kie menghilang tak berani pulang ke gunung Boetong
san karena bermaksud memiliki golok mustika itu untuk
dirinya sendiri..." "Jadi, apakah sampai saat ini Lim susiok tak diketahui
42 jejaknya?" tanya Thio Sin Han selagi ayahnya menunda
bicara. Thio Kim San manggut dan berkata: "Orang-orang yang paling gigih mencari dan menyimpan
dendam, sudah tentu adalah pihak murid-muridnya Hing san
Sam-kiam, Tetapi yang lain-lainnya ikut mencari dan sudah
tentu ingin merebut golok mustika itu, di antaranya adalah
orang-orang Hay-see pay, Kun-lun pay dan lain sebagainya,
secara berombongan maupun perorangan."
"Kini dan setelah mereka tidak berhasil menemukan Lim
susiok dan golok mustika itu, mengapa justru mereka
memfitnah dengan mengatakan golok mustika itu ada pada
ayah?" ganti Siu Lan mengajukan pertanyaan.
Sejenak Thio Kim San terdiam menundukkan kepala, lalu
dengan suara perlahan ia memberikan jawaban:
"Mungkin mereka mengetahui bahwa aku adalah yang
paling akrab berhubungan dengan Lim susiokmu, sehingga
mereka menyangka golok mustika itu dititipkan kepadaku ..."
Tiba-tiba Lie Lan Hwa memutus perkataan suaminya:
"Tidak! Sampai di sini sebaiknya aku yang memberikan
keterangan kepada anak-anak kita, Aku tahu engkau seorang
pendekar yang mengutamakan budi luhur, Demi kebajikan itu,
engkau rela hancur lebur tanpa kubur, Akan tetapi, aku tidak!
Sebab di sini kupertaruhkan kesucian hati ku, dan karena aku
tak rela engkau mengalami malapetaka sebesar ini. itulah
karena gara-gara masa mudaku, Engkau khawatir
menyinggung perasaanku , karena itu kau coba menutupi
tetapi justru demikian, aku jadi tersinggung, Sebab artinya kau
mencurigai kesetiaan dan kesucianku."
"Lan-moay, mengapa kau berkata begitu" Demi Tuhan,
43 aku tak pernah berkata yang bukan-bukan terhadapmu,"
potong Kim San, melarang istrinya terus bicara.
Sin Han bertiga merasa prihatin menyaksikan orang tua
mereka bertengkar kata. inilah kejadian yang mereka saksikan
untuk pertama kalinya, dan mereka menjadi terpaku membisu.
Sementara itu Lan Hwa meneruskan bicara kepada anakanaknya:
"Baiklah, anak-anakku. Biarlah aku yang memberikan
keterangan kepada kalian, Pada masa mudaku, aku seperti
engkau, Siu Lan. Cukup menarik dan cukup menawan
perhatian orang, Ayah bundaku mempertunangkan aku
dengan seorang pemuda yang belum pernah kukenal, pemuda
itu bernama Tan Kok Seng. Dia seorang yang berpengaruh, dan iimu kepandaiannya
sangat tinggi. Menurut kata orang, tiada celanya, Akan tetapi
setelah bertemu dengan ayahmu, aku jadi berkeputusan untuk
membantah kehendak orang-tuaku, inilah jadinya, walaupun
ayahmu tadi menyatakan masih bimbang, namun aku mengira
bahwa semuanya ini adalah perbuatannya.
Kalian ingatlah baik-baik, namanya Tan Kok Seng. Aku
mengharapkan agar dikemudian hari kalian bisa menyelidiki
benar tidaknya." Sederhana keterangan Lan Hwa, akan tetapi cukup
merangkum keseluruhannya. Dan mendengar cara sang ibu
menekan setiap patah katanya, membuat hati mereka bertiga
bercekat. Mendadak pada saat itu, terdengarlah suara derap kuda di
antara gemericik hujan, Wajah Thio Kim San berubah hebat.
Serunya setengah mengeluh. "Akh! Benar-benar mereka tidak membiarkan kita untuk
44 beristirahat sebentar Kalau begitu anak-anakku, tiada jalan
lain kecuali kita harus meneruskan perjalanan kita."
Mendengar perkataan suaminya, Lan Hwa mencelat ke
ambang pintu dengan pedang siap di tangannya.
"Aku akan mengambil kuda kita!" katanya.
Sin Han mundur selangkah, ia berdiri tegak di depan kedua
adiknya dengan memancarkan pandang berapi.
"Sin Han, Siu Lan dan Sin Houw! Dengarkan! Siapa saja di
antara kamu bertiga, harus dapat mencapai puncak Thian-coe
hong untuk menemui kakek-gurumu, Tie-kong Tianglo, Jika
harapan ayahmu ini terkabulkan, itulah sudah cukup, Dialah
yang kelak wajib menyambung asal keturunan keluarga kita.
Kau dengar?" kata Thio Kim San dengan suara gemetar.
"Ya, ayah!" mereka bertiga memberikan jawaban serentak,
walaupun dengan suara tertahan. "Akan tetapi apabila kita semua gugur sebelum mencapai
tempat tujuan, ya sudahlah, itulah di luar kekuatan dan
kekuasaan kita, Artinya, Tuhan memang menghendaki
demikian, walaupun demikian, sampai detik ini aku masih
berdoa, semoga Tuhan memberkahi ayah-ibumu, dan semoga
salah seorang diantara kalian bertiga dapat selamat sampai ke
tempat tujuan. Kemudian, apabila Tuhan mengabulkan sehingga salah
seorang di antara kalian berhasil bertemu dengan kakek-guru
kalian, atau setidaknya paman-guru kalian Cia Sun Bie, maka
kalian minta perlindungan... Thio Kim San menjadi gugup karena ia mendengar suara
beradunya senjata, Alangkah cepatnya gerakan musuh itu,
pastilah dia bukan sembarangan orang.
45 "Sin Han! Kau lepaskan panah berapi biru itu! Di sini dekat
rumah perguruanku, mungkin salah seorang paman-gurumu
melihat api tanda bahaya," kata Thio Kim San tergesa-gesa.
Setelah itu ia lompat melesat keluar pintu.
Setelah Thio Kim San hilang di kegelapan malam, Thio Sin
Han menyambar lengan Sin Houw dan berkata dengan suara
dalam: "Adikku, kau adalah satu-satunya harapan kita. Aku akan
membawamu lari dan melindungimu sampai mencapai
jembatan penyeberangan jurang di sana yang curam dan
panjang, Aku tahu di mana letak jembatan itu, karena ayah
pernah menceritakan, Aku dan kakakmu Siu Lan, ayah dan ibu
akan mempertaruhkan harapan kepadamu seorang.
Engkaulah yang kelak harus dapat menyambung asal usul
keluarga kita, dan kami mendoakan agar Tuhan mengabulkan
permohonan keluargamu serta di kemudian hari engkau bisa
mencuci bersih rasa penasaran keluargamu.
Terutama rasa sakit hati ayah-bundamu yang pernah
mendukungmu kesana kemari menempuh bahaya dan
melindungi dirimu, Adikku, cepatlah kau melompat di atas
kudamu dan kaburlah dengan segera. Ke sana!"
Setelah berkata demikian, dengan menghunus pedang Sin
Han berjalan ke ambang pintu melindungi kedua adiknya.
Ketika tiba di luar, Siu Lan segera memberi contoh
melompat ke atas kudanya dengan gesit sekali. Dan setelah
Sin Houw berada pula di atas pelana kudanya, Sin Han
menjajari dan menghentak kendalinya.
"Mari!" ajaknya. Kira-kira lima puluh meter di depannya, ibunya sedang
bertempur melawan seorang yang mengenakan pakaian
46 seperti pendeta, Dialah Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si biang
naga dari gunung Cie-san, ia bersenjata sepasang golok,
gerakannya gesit dan membawa angin bergulungan. Dengan
cepat Lan Hwa dapat di kurungnya rapat-rapat.
Melihat ibunya terdesak, Sin Han membatalkan
maksudnya mengaburkan kudanya. Teringatlah dia dengan
pesan ayahnya, maka cepat-cepat ia menarik anak panah dan
dinyalakan lalu dilepaskan ke udara, seketika itu juga
terdengarlah suara bersuing di udara tinggi. Kemudian dengan
suara ledakan kecil, apinya yang biru pecah berantakan
merayapi ke seluruh penjuru, indah sekali pemandangan itu di
malam gelap gulita, akan tetapi mereka semua tiada
kesempatan untuk menikmati keindahan itu.
Setelah melepaskan anak panah, Sin Han melompat
dengan menyambarkan pedangnya. Tangan kirinya
menggenggam pula sebilah belati tajam. Begitu memasuki
gelanggang, dengan mengerahkan tenaga ia menangkis golok
Ciesan liong ong Kwee Sun, berbareng menikamkan
belatinya. Cie-san Liong-ong Kwee Sun kaget sampai mundur dua
langkah ke belakang, Dan pada saat itu, mendadak Sin Houw
melompat pula dari kudanya sambil menarik keluar pedang
pendeknya yang selalu tergantung di pelana kudanya,
"Hey! Kau hendak ke mana?" cegah Siu Lan.
"Cici, jangan rintangi aku!" teriaknya seperti kalap, "Mereka
sangat kejam dan sama sekali tak sudi memberi ampun,
Mereka selalu mengejar kita seperti barisan iblis, Kalau aku
tidak ikut membasmi mereka, sampai kapan kita bisa hidup
tenang" Aku harus membasmi mereka! Aku harus membantu
ibu!" "Sin Houw, jangan menuruti perasaanmu sendiri! Kau
harus ingat dengan pesan koko. Cepat, pergilah! Lihat musuh
47 semakin banyak! Aku yang akan membantu ayah dan ibu
menahan mereka, sementara kau pergi menjauhi!"
Memang benar, pada waktu itu berdatangan belasan orang
berkuda yang langsung mengepung Kim San dan Lan Hwa -
tetapi nampaknya Kim San sama sekali tidak menjadi gentar.
Seperti Sin Han, kedua tangannya menggenggam pedang dan
pisau belati yang berkilat-kilat karena tajamnya. Dengan cepat
ia mendampingi istrinya yang tak sudi mundur walaupun
selangkah, Untuk sejenak mereka tak berdaya menghadapi
perlawanan yang rapi itu. Thio Kim San dan istrinya merupakan sepasang pendekar
semenjak memasuki jenjang pernikahan. Di kalangan rimbapersilatan
nama mereka terkenal sebagai "Kim-siang yan"
atau sepasang burung walet emas yang gagah perkasa,
karena mereka bisa bekerja sama dengan sangat baik.
sekarang mereka berdua ditambah dengan pengalamannya
yang pahit dan berbahaya selama bertahun-tahun - tak
mengherankan, pembelaan diri mereka rapi dan rapat.
walaupun kena dikepung belasan orang, namun gerak-gerik
mereka tidak kacau. Di lain pihak, Siu Lan menjadi sibuk sendiri. Tak dapat ia
membiarkan kedua orang tuanya dikepung oleh sedemikian
banyaknya musuh, perlahan lahan ia mengeluarkan pedang
lemas yang membelit pinggangnya. Pedang itu terbuat dari emas murni, sifatnya lemas dan
ulat, Begitu ditarik, pedang itu lencang seperti mengandung
per. Tepat pada saat itu kilat menyambar, dan sinar kilat itu
memantul pada pedang emas itu sehingga menimbulkan sinar
berkilau. Thio Sin Han yang sedang bertempur dengan musuh,
menjadi terkejut melihat kilauan sinar itu. Dengan menjejak
tanah ia mundur jumpalitan sambil berteriak:
48 "Moay-moay, kau tak perlu maju! Bawalah Sin Houw
menjauh cepat-cepat, kalau tidak kita bakal menggagalkan
pesan ayah!" Thio Siu Lan tertegun, ia menjadi bingung, Dengan muka
penuh pertanyaan ia mengawasi kakaknya.
"Kau mau pergi atau tidak?" bentak Sin Han.
Selama hidupnya, belum pernah kakaknya membentak
dengan suara demikian. Hatinya yang lembut terhentak kaget,
Dengan suara gugup ia minta penjelasan:
"Sebenarnya ... koko mau apa?"
"Aku mau apa?" bentak Sin Han, lalu memberikan
penjelasan, "Belum pernah aku berbicara dengan cara begini
kepadamu, bukan" Tapi sekarang sekarang lain! Siapa di


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara kalian berdua tidak mau mendengarkan perkataanku,
tak kuakui sebagai saudaraku lagi, Kalian dengar" Nah,
sekarang kalian pergilah, ingatlah pesanku tadi...!"
Dengan air mata mengalir deras keluar, Siu Lan berusaha
meyakinkan: "Koko, kau keliru, Pesan ayah sebenarnya ditujukan
kepadamu dan adik Sin Houw, karena kalian berdua adalah
anak laki-laki. Ayah mengharapkan keturunamnu untuk
menyambung asal-usul keluarga, bukan aku! Aku seorang
perempuan. Biarkanlah aku yang maju membantu ayah dan
ibu. Ingatlah, koko... aku seorang perempuan, tanggung jawab
untuk melaksanakan pesan ayah tidak mungkin dapat ku
Iaksanakan. Andaikata aku selamat, apakah yang dapat kulakukan "
Dari itu maafkan adikmu ini, biarlah aku yang membantu ayah
dan ibu, sebaliknya kau dan adik Sin Houw yang harus
memikul tugas berat untuk mencuci bersih nama keluarga kita
49 di kemudian hari." "Tutup mulutmu!" bentak Sin Han.
"Kau hendak membantu ayah dan ibu apakah
kepandaianmu meIebihi aku?" "Tentu saja kepandaian koko berada di atasku." sahut Siu
Lan. "Jika begitu, kau mengerti maksudku," kata Sin Han.
"Belasan musuh yang mengejar kita kali ini, nampaknya bukan
sembarang musuh, Mereka tahu, jika terlambat sedikit, ayah
dan ibu serta kita semua akan selamat, Karena sudah hampir
mencapai tempat perguruan ayah, maka itulah sebabnya
mereka mengerahkan jago-jago kelas satu. Walaupun
tubuhmu bakal hancur luluh, tiada gunanya sama sekali. Kau
tak bisa menolong ayah dan ibu, maka itu cepatlah kau pergi
membawa adik Sin Houw mendahului kami. Percayalah, kami
akan segera menyusul!" Keras kata-kata Sin Han sehingga suaranya agak
menggeletar, tetapi kedua matanya penuh genangan air mata,
jelas bahwa ia berbicara demikian, untuk membesarkan hati
kedua adiknya. Siu Lan adalah seorang gadis yang lembut perasaan dan
cerdas, ia dapat menebak maksud kakaknya itu. lantas saja ia
menangis sedih. Katanya mencoba: "Koko, tak dapatkah engkau berangkat bersama kami?"
"Tidak!" bentak Sin Han. "Kau mau mendengarkan
perkataanku atau tidak?" Siu Lan mendengar suara bengis kakaknya, tapipun
berbareng melihat kedua mata kakaknya mengalirkan airmata,
Hatinya segera menjadi lemah dan perlahan-lahan ia
50 melibatkan lagi pedangnya pada pinggangnya yang ramping.
"Baiklah, koko ... baiklah..." katanya perlahan di antara
suara isak tangisnya. Thio Sin Han tersenyum lebar, tetapi mengandung rasa
sedih yang tidak terhingga, sahutnya senang:
"Nah, begitulah baru seorang adik yang baik, Akh, adikku
yang manis, kau lindungilah adikmu itu. Tak usah kau
menunggu ayah, ibu dan aku. Kau dengar perkataanku ini"
Nah, cepatlah kau larikan kudamu. Tuhan akan melindungi
kalian berdua dan akan memberkahi kita semua. Selamat
jalan, adikku, Semoga kalian berdua dapat mencapai
tempatnya Tay-suhu.." Bertepatan pada saat itu terdengarlah pekik suara Thio
Kim San mengandung kemarahan: "Akh! Kalian keterlaluan, Mengapa kalian begini ganas"
Baiklah, aku Thio Kim San malam ini kau paksa melakukan
pembunuhan besar-besaran! Lihat saja!"
Dapat dikatakan belum selesai ia bicara, atau di sana
terdengar pekik teriak menyayatkan hati.
Memang, Thio Kim San terkenal sebagai salah seorang
dari Boe-tong Ngo-hiap atau lima pendekar dari Boe-tong pay.
Dia sangat mahir dalam ilmu silat pedang yang khas dari
golongan Boe-tong pay, tetapi selama memupuk keluarga
demi tercapainya hidup tenteram hampir dapat dikatakan
jarang sekali ia menggunakan ilmu pedang simpanannya.
Tapi malam itu merupakan malam pertaruhan antara hidup
dan mati, Apalagi ia merasa dipaksakan oleh keganasan pihak
lawan, Maka tanpa segan-segan ia menerjang dengan ilmu
pedang simpanannya itu. 51 Sebagai akibat, seorang musuh roboh binasa, dan rekanrekannya
yang lain menjadi gusar, Lantas saja kelihatan
berbagai senjata berkeredepan dan sambil berteriak-teriak
mereka meluruk untuk mengepung Thio Kim San dan istrinya.
"Berangkatlah, moay-moay!" kata Thio Sin Han yang
sekilas sempat melihat keadaan ayah dan ibunya.
Thio Siu Lan mengertak gigi menguatkan hati, Rasa
penasarannya jatuh kepada kudanya Thio Sin Houw,
Mengapa semua ini harus terjadi" Dan dengan sekuat tenaga
ia menghantam kuda Thio Sin Houw. Kuda yang tak mengerti keadaan dan kesalahannya itu,
kaget berjingkrak, lantas saja melesat maju dengan berderap,
Untung Thio Sin Houw sudah terbiasa naik kuda. Meskipun
tubuhnya bergoyang ketika kudanya melompat maju, tetapi
beberapa detik kemudian ia sudah dapat menguasai. Tatkala
ia menoleh ke sebelah belakang, dilihatnya kakak
perempuannya telah berada di dekatnya dengan menghunus
pedang emasnya. Thio Sin Han mengikuti kepergian kedua adiknya dengan
pandang matanya. Setelah mereka lenyap dibalik tikungan
bukit, ia berputar tubuh lalu berteriak keras:
"lbu! silahkan istirahat sebentar, biarlah aku yang maju!"
-------------------- Hal 50/51 Hilang -------------------- dapat mengusir musuh dengan mudah, sebentar lagi
mereka akan menyusul kita Tetapi kata-kata itu hanya di mulutnya saja, sedangkan
52 hatinya khawatir bukan main. ia menyadari, ayah-ibunya telah
terluka, juga kakaknya, sedangkan musuh-musuh yang
mengepung sangat banyak dan semuanya tangguh.
Thio Sin Han menengadah, mengawasi udara guram
gelap, Seorang diri ia berkata: "Ayah nampaknya mempunyai kesulitannya sendiri, yang
tak dapat dikatakan di hadapan kita semua. Tadi ia mau
membuka mulut, setelah mendapat idzin dari ibu. Benarkah
begitu, cici?" Setelah berkata demikian, ia mengawasi Siu Lan. ia
percaya, kakak perempuannya itu pasti mengetahui persoalan
yang sebenarnya. Siu Lan dapat menebak apa yang tersimpan di hati
adiknya, Tetapi cepat-cepat ia mengalihkan perhatian:
"Lihatlah ke depan! Menurut keterangan ayah, dibalik bukit
itulah terbentang jembatan penyeberangan yang amat
berbahaya karena dibuat dari bahan rotan semacam tali, dan
yang sangat panjang namun kecil ukurannya, sedangkan jauh
di sebelah bawahnya, terbentang jurang yang amat dalam dan
curam serta penuh batu-batu cadas. Dapat dibayangkan apabila seseorang terjatuh ke dalam
jurang itu, pasti tidak ada kesempatan untuk selamat, Tetapi
dengan kehendak Tuhan, mudah-mudahan engkau akan
selamat tiba di seberangnya. Mari! Mari kita ke sana!"
Selama ia bicara, pandang mata Siu Lan mengawasi ke
arah lain supaya tidak bertemu pandang dengan mata
adiknya. Karena di dalam hati kecilnya, ia meragukan
perkataannya tadi. Benarkah Tuhan akan melindungi, akan
memberikan -------------------- 53 Hal 54/55 Hilang -------------------- Thio Siu Lan mengawasi wajah adiknya, kemudian
menjawab dengan suara tegas: "Ayah adalah seorang yang jujur, ia seorang ksatria sejati.
Maka aku percaya dengan segala perkataannya ... Ya, hanya
karena golok Halilintar! Hanya saja, disamping itu masih ada
suatu hal yang menyulitkan ayah, Beliau tadi mencoba
membicarakan, akan tetapi tidak jelas..."
Thio Sin Han termenung. Kemudian menengadah ke
udara, Teringatlah ia tadi, ibunya selalu mengucurkan airmata
apabila ayahnya nampak sulit berbicara, Maka bertanyalah dia
dengan suara tegas: "Cici, bagaimana dengan ibu..." Maksudku, apakah ibu
yang salah?" Sejenak Siu Lan nampak bimbang, lalu menjawab:
"Samar-samar pernah kudengar hal itu - tetapi aku tak
yakin, Ayah sendiri tadi, juga tidak merasa yakin dalam hal ibu
yang membuat bibit permusuhan."
Sin Houw menarik napas, lalu berkata lagi:
"Kalau ibu atau ayah yang salah, wajib kita memohon maaf
kepada mereka, sebaliknya kalau ayah dan ibu tidak bersalah,
kita harus mencuci noda itu. Bukankah begitu pesan koko?"
Bukan kepalang terharunya hati Siu Lan. Adiknya belum
genap berumur sepuluh tahun, tetapi perkataannya seperti
seorang yang sudah menanjak dewasa, inilah akibat
penggodokan yang seolah-olah dipaksakan oleh keadaan.
54 Pertumbuhan jiwanya menjadi sangat cepat, mungkin terlalu
cepat. "Benar, adikku," akhirnya Siu Lan memberikan jawaban
dengan hati terharu - "Perkataanmu adalah ucapan seorang
ksatria sejati. Maka benarlah kata kata ayah tentang dirimu.
walaupun ilmu kepandaianmu paling lemah diantara kami,
akan tetapi bakatmu berada di atas kita semua, Karena itu
engkaulah yang kelak wajib membersihkan nama orang tua
kita dan menuntut balas dendam!"
Thio Sin Houw diam tak mengucap apa-apa. ia nampak
bersusah hati. Lama sekali ia berdiam diri, lalu berkata dengan
suara perlahan seperti pada dirinya sendiri:
"Jadi, merekalah yang bersalah... Tetapi, apakah maksud
ibu memerintahkan kita mengingat-ingat nama Tan Kok Seng"
ibu mengatakan, bahwa tanda-tandanya telah diketemukan."
"Urusan itu masih gelap, ayah sendiri masih bimbang dan
ragu, Biarlah kita menyelidiki saja di kemudian hari dengan
perlahan-lahan, sekarang kita berdua terlalu sulit untun
memahami. Yang paling penting kita berdua harus dapat
menyeberangi jembatan itu dengan selamat. Terutama
engkau, adikku . Baik ayah, ibu maupun koko dan aku sendiri
mengharapkan dirimu. Engkaulah adikku yang dapat
membersihkan noda keluargamu di kemudian hari."
Thio Sin Houw tertawa. Katanya: "Ribuan orang menjadi musuh kita - sanggupkah aku
melawan mereka?" "Kau berada di jalan yang benar, Tuhan akan memberkati
dan meIindungimu..." Siu Lan menegaskan.
Pada waktu itu mendadak terdengarlah suara Iapat-lapat
dari jauh: 55 "Siu Lan, kenapa kau masih berhenti disitu" Cepat!
Bawalah adikmu lari !" Siu Lan segera mengenali suara kakaknya, gugup ia
mengajak Sin Houw meninggalkan tempat itu:
"Cepat!" Dengan tangan lembut sedingin es, ia menuntun Sin Houw
dan dibawanya berjalan mendaki bukit, Setelah berjalan
selintasan, tiba-tiba Sin Houw me-rand^k lagi dan berkata:
"Aku letih, kita berhenti dahulu di sini..."
Siu Lan dapat menebak hati Sin Houw sebenarnya. Bocah
itu pasti teringat keadaan ayah dan ibunya, juga terhadap
keselamatan kakaknya, Thio Sin Han. ia sendiri sebenarnya
demikian juga, tetapi mengingat tugas yang harus
dilaksanakan, tak dapat ia mengidzinkan adiknya berlalai-Ialai,
segera ia mengkuatkan hati dan mengendalikan perasaannya
sendiri. walaupun de mikian, tak urung ia gagal juga, ia
menoleh dan memusatkan pandangnya ke arah pertempuran.
Heran, Apa sebab pertempuran itu tiba-tiba telah
mendekati tanjakan di bawahnya, Pada saat itu kilat
menyambar beberapa kaIi, puluhan senjata nampak
berkelebatan meluruk ayah dan ibunya serta kakaknya, Maka
tahulah ia kini, karena terlalu banyak lawan ayah, ibu dan
kakaknya membela diri sambil berlari mundur, Setelah
berkelahi beberapa waktu lamanya, mereka telah tiba di
bawah tanjakan bukit. Secara samar dilihatnya ayahnya mendampingi ibunya,
sedangkan kakaknya melesat kian kemari dengan maksud
melindungi kedua orang tuanya, Mereka bertiga bekerja sama
sangat rapi, berpengalaman menjadi kejaran musuh.
56 Biasanya musuh berjumlah paling banyak sepuluh orang,
akan tetapi malam itu musuh yang datang mengeroyok
mencapai jumlah empat puluh orang, Tak mengherankan,
mereka bertiga kena di desak mundur dari tempat ke tempat.
Musuh yang berada di sebelah kiri memakai pakaian serba
hitam dengan jubah putih, dialah yang menyebut diri sebagai
Cie-san Li ong-ong Kwee Sun -senjatanya sepasang golok,
gerakannya gesit dan ganas, sedangkan yanq berada di
sebelah kanan, seorang jago lain bertubuh pendek kecil,
dengan ditangan kirinya memegang perisai besi, sedang di
tangan kanannya menggenggam sepotong gada bergigi tajam,
Dialah lawan yang paling lincah cara perlawanannya.
Beberapa kali ia meloncat kian kemari untuk menyerang atau
mengelak. Berlawanan denqan Cie-san Liong-ong Kwee Sun
yang ternyata sangat Iicik, serangannya selalu dilancarkan,
apabiIa suami-istri Thio Kim San sedang repot menghadapi
kepungan musuh lainnya. Yang berada di bagian tengah, seorang pendekar
berpakaian serba ringkas, umurnya belum mencapai lima
puluh tahun tampangnya bengis, senjatanya merupakan
pedang panjang. Mereka bertiga ini merupakan pemimpin dari puluhan para
pengeroyok. Sambil bertempur seringkali mereka menyerukan


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aba-aba pengepungan atau cara penyerangan.
"Cici, ketiga orang itu berasal dari mana?" Thto Sin Houw
minta keterangan. "Aku sendiri kurang tahu," jawab Siu Lan. "Hanya nama
mereka pernah kudengar. Yang mengenakan jubah seperti
pendeta itu bernama Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si kate
bernama Su Tay Kim, dan yang bersenjata pedang panjang
seorang ahli pedang Bu Seng Kok."
Thio Sin Houw menarik napas, lalu berkata seorang diri:
57 "Mereka sangat gesit dan ganas, apakah ayah dapat
melawan mereka bertiga dengan sekaligus?"
"Ayah dikepung tidak kurang oleh duapuluh orang.
walaupun demikian ayah pasti sanggup merobohkan mereka
bertiga, Kau lihat saja nanti," sahut Siu Lan meyakinkan
adiknya. Akan tetapi sesungguhnya ia sendiri tidak yakin,
maka cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan:
"Mari, kita daki bukit ini secepat-cepatnya. Di seberang
bukit inilah letak jembatan penyeberangan itu, semoga Taysuhu
berada di situ ..." Siu Lan segera menarik lengan adiknya, dan dibawanya
lari secepat-cepatnya. Tatkala itu, ia mendengar suara parau,
suara yang dikenalnya dan yang membuat hatinya tergetar:
"Kami suami isteri, Thio Kim San dengan ketiga anak
keturunan kami, selamanya belum pernah berkenalan atau
bermusuhan dengan kalian, Apa sebab kini kalian mengejar
kami siang dan malam tanpa alasan" Apakah kalian benar
benar menghendaki nyawa kami berlima ?"
Itulah suara sang ayah, kemudian Siu Lan sempat
mendengar Cie-san Liong ong Kwee Sun menggerendang:
"Kamu membunuh guruku, karena itu wajib aku menuntut
balas!" "Membunuh gurumu" Gurumu yang mana?" tanya Thio
Kim San heran. Ketlka Cie-san Liong-ong Kwee Sun hendak membuka
mulutnya, tiba-tiba Su Thay Kim mendahuIui:
"Untuk apa kau mengadu mulut dengan bangsat itu"
Renggut jiwanya habis perkara ..."
58 Thio Kim San menjadi bimbang mendengar perkataan Su
Thay Kim tadi, selama sekian tahun menjadi orang buruan, ia
memang mengalami suatu pertempuran sengit beberapa kali.
Tetapi ia hanya melukai, tak pernah membunuh lawannya.
Apakah kesalahan tangan" Pada waktu waktu itu Bu Seng Kok ikut bicara:
"Jangan bunuh mereka! Kita harus menangkap mereka
hidup-hidup, Kalau mereka mati, sia-sia saja usaha kita ini
untuk memperoleh golok itu." "Huh!" dengus Su Thay Kim. "Mereka hidup atau mati,
golok itu akhirnya akan dapat kita rebut, Mengapa kau ribut tak
karuan" Kalau mereka dibiarkan hidup, huh ... sungguh enak!"
Tetapi seorang lain yang berada di belakang mereka ikut
bicara: "Jangan! jangan dibunuh! Biarkan mereka hidup. Kalau
mereka mati, benar benar kita jadi gelap, Teka-teki itu tak
dapat kita pecahkan." Hebat suara itu. Kecuali nyaring, kerasnya seperti genta
dipukul oleh besi panjang. itulah sebabnya, Thio Sin Houw ikut
terkesiap. ia berduka dan bergusar, sehingga tangannya yang
kecil bergemetar. Thio Siu Lan bercekat hatinya ketika merasakan getaran
tangan adiknya. Cepat-cepat ia kuatkan diri, lalu menekap
tangan adiknya kencang kencang dan dibawanya lari makin
cepat. Mula-mula ia lari asal lari saja. Lambat-laun merasa
seperti diburu, Dan larilah kedua anak itu seperti kalap,
sebentar saja dua gundukan tanah tinggi yang merupakan
bukit telah terlampaui. Kini mereka berdua merasa diri agak aman, Mereka
59 memperlambat langkahnya. Peluh mereka membasahi badan
dan bercampur aduk dengan air hujan. sambil mengatur
pernapasan, Thio Siu Lan memasang telinga. Tiada lagi
terdengar beradunya pedang golok, Suara hiruk-piruk
pertempuran lenyap teraling bukit. Sejenak ia menatap wajah adiknya - Thio Sin Houw
nampak muram, sepasang alisnya berdiri tegak dengan bibir
mengatup rapat. itulah suatu tanda, hatinya bergolak hebat,
Dia membungkam karena berusaha menguasai diri.
"Kau kenapa, Sin Houw?" Siu Lan menegas dengan hatihati,
Gadis ini terkejut dan cemas. "Aku ... aku ... sanggupkah aku membalaskan dendam
ayah dan ibu yang kena dikeroyok musuh begini banyaknya"
Mungkinkah ..." Itulah suatu ucapan yang tepat sekali mengenai sasaran,
Siu Lan sendiri sebenarnya lagi memikirkan soal itu pula,
Tanpa terasa air matanya mengalir keluar, Katanya:
"Menurut kata ayah dahulu, seorang lelaki tidak boleh
merendahkan kemampuannya sendiri. Kau pasti bisa, lihatlah
keatas! Mungkinkah Tuhan akan menutup mataNya?"
Siu Lan menuding keudara, seakan-akan Tuhan berada
dibalik langit yang gelap-kelam, Namun hal itu besar
pengaruhnya didalam hati adiknya, Mendadak saja bocah itu
dapat mengucapkan kata-kata galak: "Ya, benar, Aku seorang laki-Iaki - tak boleh aku menangis,
Mari kita terus!" Selagi ia hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba suatu
bayangan menyambar lengannya, ia kaget setengah mati.
"Siapa?" bentaknya. 60 Kilat berkilau dan ia melihat seorang pria bertubuh kekar
berdiri di hadapannya. Kedua pipinya bermandikan darah
segar, Dialah ayahnya sendiri. Disampingnya berdiri kakaknya
puIa, Lengan dan kedua kakinya terluka, Dan luka itu
mengalirkan carah segar. Melihat keadaan mereka berdua, bocah itu menjadi kalap,
ia memekik hebat: "Kalau aku selamat, aku akan menuntut dendam, Ayah!
Kakak! jangan takut! Aku akan membalaskan dendammu!"
Dengan wajah terharu Thio Kim Sin meraih kepala putera
bungsunya itu, lalu berkata sambil membelai rambutnya:
"Anakku, Ayahmu bersyukur didalam hati mendengar dan
melihat semangatmu Akan tetapi ayahmu mengharapkan kau
menjadi seorang ksatria sejati di kemudian hari, Seorang
ksatria sejati tidak boleh hanya menuruti kata hatinya belaka,
kau harus pandai mempertimbangkan yang cermat, Harus
dapat membedakan antara budi dan penasaran.
Kalau dikemudian hari kau menjadi seorang pendekar
yang tinggi ilmumu, akan tetapi melakukan sembarang
pembunuhan lantaran menuruti rasa penasaranmu belaka
akan membuat sengsara manusia yang tidak berdosa,
Lihatlah, ayah dan ibumu adalah korban suatu dendam yang
masih sangat gelap. Betapa sengsaranya, kaupun ikut
mengalami sendiri. Karena itu, hendaknya di kemudian hari kau hanya
menuntut dendam kepada musuh kita yang benar, Bagaimana
caramu bisa mengetahui musuh keluargamu yang
bersembunyi ini, hendaknya kau bersabar hati dan tabah,
selidiki dahulu sampai jelas!"
61 Thio Sin Houw tertegun karena rasa kagum. pikirnya
didalam hati: "Akh, benarlah keterangan cici. Ayah tidak hanya gagah,
akan tetapi jujur pula, Dia sedang luka parah, Hatinya pasti
panas bagaikan api, walaupun demikian masih bisa bersabar
hati untuk membedakan musuh yang hanya ikut-ikutan
belaka." Pertumbuhan jiwa Thio Sin Houw memang tak dapat
disamakan dengan anak-anak sebayanya, Dia mempunyai
cara berpikir sendiri, karena pengalaman hidupnya. Dia
mempunyai kata hati sendiri, karena penggodogan nasibnya,
ini semua merupakan sendi kekuatan baginya di kemudian
hari, Pada waktu itu, yang terasa didalam hatinya, adalah
suatu keyakinan bahwa ayahnya sama sekali bersih dari suatu
noda dan tidak berdosa. Dan mengalami nasib menjadi buruan
karena suatu fitnah yang masih sangat gelap.
Dalam pada itu Thio Kim San menghela napas dalamdalam,
begitu melihat putera bungsunya terbungkam
mulutnya. Lalu ia berkata lagi: "Anakku, malam ini ayahmu baru sadar, Kalian telah
kubawa merantau dari satu tempat ke tempat lainnya, Ku kira
didalam dunia yang luas ini masih ada tempat untuk kita
meneduh, tak tahunya kita terus dikejar musuh tersembunyi.
Kalau tahu begini, semenjak dahulu lebih baik kalian kubawa
kemari saja, Hm... kukira aku bisa dan sanggup melindungi
rumah perguruan leluhurmu, tak tahunya... akhirnya aku harus
membawamu kemari juga, Alangkah bodohnya aku!"
Mendengar suara ayahnya, hati Sin Houw rusak bukan
main, Tak tahu dia, harus berbuat bagaimana, Tiba tiba ia
teringat sesuatu, lalu ia berteriak kalap:
"Mana ibu...?" 62 "Aku disini, anakku ..." terdengar jawaban lembut.
Kilat mengejab lagi, dan Sin Houw melihat ibunya datang
menghampiri dengan langkah tertatih-tatih. Terang sekali, dia
terluka pula, Kali ini sangat parah.
"lbu! ibu terluka?" jerit Sin Houw.
"Akh, hanya luka dikulit saja," sahut ibunya dengan suara
menghibur. Kim San kemudian menimpali: "lbumu hanya menderita luka ringan. Kau tak perlu
merisaukan, anakku, mari kita meneruskan perjalanan, Rumah
perguruan sucouwmu sudah berada didepan mata ..." ia
berhenti sebentar, kemudian berpaling kepada Sin Han:
"Apakah kau masih bisa berjalan?"
"Mengapa tidak?" sahut Sin Han dengan suara gagah.
Kim San tertawa perlahan, Katanya lagi:
"Kita berhasil mengundurkan musuh - akan tetapi aku
yakin, sebentar lagi mereka akan datang lagi dengan jumlah
yang berlipat, itulah sebabnya kita perlu cepat-cepat
berangkat, Lan-moay, bukankah kau hanya menderita luka
ringan?" Lie Lan Hwa menyahut dengan suara sedih:
"Lukaku ini tak berarti. Mari kita berjalan terus!"
Mereka semua merupakan satu keluarga yang saling
menghibur dan membesarkan hati. Baik Lie Lan Hwa maupun
Thio Sin Han sebenarnya menderita luka parah, akan tetapi
dengan menguatkan diri mereka berusaha membesarkan hati
63 seluruh anggauta keluarganya. Dan malam gelap menolong
menyembunyikan ke adaan mereka masing-masing.
Jelas bahwa perjalanan mereka merupakan perjalanan
yang penuh penderitaan dan siksa. walaupun demikian,
mereka semua tiada yang mengeluh, setapak demi setapak,
mereka maju terus, dan awan pegunungan mulai menyelimuti
mereka, Setelah lewat larut malam, dua tikungan bukit telah
dilintasi, Hanya sekarang, sesuatu yang menakutkan hati
menghadang didepan mereka. Tepat dipinggang bukit menghadanglah suatu lembah yang
gelap sekali. sebuah jurang bertebing curam nampak muncul
diantara kejapan kilat, penuh uap dan kabut hitam- Begitu
mereka mendekati tempat itu, lenyaplah anggauta tubuh
mereka sendiri dari pengIihatan. Thio Kim San berhenti melepaskan pandang, dan Sin
Houw yang berdiri di sampingnya mengarahkan pandangnya
kepada jurang, Lapat-lapat ia mendengar suara gemuruh
seakan-akan suara napas raksasa sedang tidur mendengkur.
Tak dikehendaki sendiri, tengkuknya meremang.
Selagi mereka tertegun dengan pikiran masing-masing,
tiba-tiba hujan berhenti. Angin keras menyapu kabut itu, dan
lambat-laun ketebalan kabut kian menipis dan menipis, samarsamar
bukan sisir menjenguk di belakang tabir awan yang
guram. "Mari kita beristirahat." ajak Kim San dengan suara dalam.
Mereka sudah berpengalaman tidur ditengah alam terbuka
dalam keadaan basah maupun kering. Maka begitu
mendengar ucapan sang ayah, masing-masing mencari
tempatnya sendiri, Dan mereka terus berdiam diri sampai
matahari menerangi udara. 64 Tak perlu diceritakan lagi, satu malam penuh mereka
diserang rasa dingin luar biasa, Masih untung, hujan berhenti
dengan mendadak, Sekiranya tidak demikian, pastilah
penderitaan mereka akan berlipat. Oleh sinar matahari itu, penglihatan yang terbentang
didepan mereka bertambah jelas. Kabut yang menyelimuti
tebing jurang itu kini nampak bedanya dengan udara bersih,
dan dengan membungkam mulut mereka merenungi jurang
itu. "Mari kita berangkat!" Kim San memutuskan setelah
sejenak tadi terdiam seperti berpikir.
"Ayah!" tiba-tiba Sin Han membuka mulut, "Semalam aku
telah melepaskan panah berapi, apa sebab salah seorang
paman guru kita belum muncul?"
Kim San menundukkan kepala. Menjawab:
"Semalam hujan badai. Siapa yang sudi membiarkan
dirinya berada di luar dalam keadaan hujan demikian" Mogamoga
salah seorang melihat cahaya panah itu, Dalam hal ini,
kita hanya bisa berdoa. Akh, marilah kita atasi semua
kesulitan ini dengan tenaga dan kemampuan kita sendiri.
Tuhan pasti memberkati. Mereka menghampiri pinggiran dinding gunung yang tegak
tinggi. Dan yang dikatakan jalan menuju ke jembatan
penyeberangan itu sebenarnya lebih mirip suatu
pengempangan sawah, Tegasnya lebarnya selebar sebuah
pengempangan sawah, licin dan berlumut. sedangkan
diseberangnya, jurang curam yang dalamnya entah berapa
ribu kaki. Panjang jalan sampai mencapai jembatan batu kurang
lebih duapuluh meter saja, akan tetapi menilik batu-batu dasar
yang berlumut, teranglah sudah bahwa sudah puluhan tahun


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

65 lamanya tak pernah terinjak kaki manusia.
Thio Sin Houw yang berjalan disebelah belakang,
melepaskan pandang kepada batu putih yang merupakan
jembatan penghubung itu. Tak dapat ia meyakinkan dirinya,
entah siapa yang membuat jembatan seperti itu. Entah
manusia, entah alam, Tetapi pada waktu itu khayalnya
dipenuhi oleh berbagai tokoh dewata, yang mungkin telah
membuat jembatan itu. Panjang jembatan penghubung itu tak dapat tertembus
ketajaman mata, Yang jelas nampak hanya sepanjang sepuluh
meter, sisanya diselimuti kabut tebal, hitam pekat. Bagaimana
bentuk ujungnya atau berapa puluh meter jauh-nya, tiada
seorangpun yang bisa memberi keterangan selamanya belum
pernah seorangpun yang berhasil mencapai seberang.
"Anak-anak, mari! inilah satu-satunya jalan hidup kita,"
Thio Kim San berkata perlahan, ia segera mendahului jalan
berdinding yang hendak membawanya ke jembatan
penyeberang, Tatkala tangannya meraba dinding batu
mendadak ia terkejut. "Apa artinya ini?" serunya kaget.
Dengan pandang tegang ia mengawasi dinding batu, Lan
Hwa dan ketiga anaknya ikut mendekati, dan mereka
menemukan dua baris huruf kecil-kecil, Setelah membaca,
mereka terkejut. "Kim San. Golok itu tidak mudah kuperoleh, karena itu
pertahankan dengan jiwamu!" "Apa artinya ini?" Thio Kim San mengulangi seruannya
dengan suara setengah membisik, sedangkan jari tangannya
masih meraba-raba huruf-huruf itu. 66 Lalu ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri:
"Bukan! Bukan! Bukan suhu. Siapa yang menulis ini" Apa
maksudnya?" "San-ko," tiba-tiba terdengar suara Lan Hwa membisik.
"ltulah karena aku ... apakah kau masih ragu?"
Baru saja Lie Lan Hwa menutup mulutnya, terdengarlah
suara nyaring beberapa orang. Mereka menoleh dan di atas
gundukan berdiri lah dua puluh orang lebih memegang senjata
masing-masing. "Akh! Mereka bertiga lagi!" thio Kim San mengeluh, Mereka
membawa tenaga baru, Sampai kapankah kita bisa hidup
aman tenteram?" Jawabannya kini makin terang. San-ko," sahut Lan Hwa."Kita akan bisa hidup damai
kembali, manakala penulis tulisan itu sudah lenyap dari dunia.
Bukankah itu suatu fitnah?" "Benar! Memang suatu fitnah!" kata Thio Kim San dengan
napas memburu - "Kini tahulah aku ... apa sebab mereka
menuduh aku menyimpan golok itu. Akh, benar-benar gila!"
Tak sempat lagi Thio Kim San berbicara berkepanjangan.
Beberapa orang datang meluruk ke bawah, Gerak-gerik
musuh baru ini, lebih mantap dan perkasa, Namun hati Thio
Kim San sama sekali tak gentar. Dengan pandang tajam ia
mengawasi mereka, mendadak di atas ketinggian ia melihat
seorang mengenakan jubah abu-abu. siapakah dia" tak dapat
ia mengenali. Selagi ia berusaha untuk memperoleh penglihatan terang,
Sin Han telah melompat menerjang sambil berteriak:
"Manusia-manusia serigala, kalian ganas melebihi
67 binatang, Hayo maju!" Thio Sin Houw yang masih merupakan seorang bocah, ikut
tergetar hatinya oleh rasa kesal dan marah. Dengan
menghunus pedang pendeknya, ia melompat maju, Kim San
terkejut. "Sin Han, Sin Houw! Kembali!" ia berteriak.
Mendengar seruan ayahnya, Sin Han merandek, ia terkejut
tatkala ayahnya menyebut nama Sin Houw, Cepat ia berputar
kebelakang dan melihat Sin Houw berada di belakangnya
dengan langkah kalap, seperti burung alap-alap, ia
menyambar lengan adiknya, Katanya nyaring:
"Sin Houw, tahan!" dan terus di bawanya kembali kepada
ayahnya. Tatkala itu beberapa orang sudah berada sepuluh meter
didepannya, Dengan senjata andalannya masing-masing,
mereka mengurung. Sedang yang lain, datang berturut-turut
bagaikan gugurnya bukit batu. Thio Kim San menggeser tubuhnya, mendampingi
isterinya, ia menghunus pedangnya. wajahnya nampak tak
tenang. Setelah menoleh kepada Sin Han, ia berkata:
"Sin Han! Dan semua saja, dengarlah! Dengan susahpayah
ayah bundamu melindungi kalian sampai disini. Tadinya
aku berharap akan dapat bertemu dengan kakek-guru kalian,
sebaliknya aku justru menemukan suatu deret tulisan yang
membuat hatiku tak tenteram, Anak-anakku, kalian tidak boleh
mengadu jiwa, kalian harus tetap hidup untuk bisa
memecahkan teka-teki itu agar kelak kalian dapat
menyambung anak-keturunan keluarga kita. Bersama ibumu,
aku akan mempertahankan serbuan mereka, Kalian pergilah
cepat cepat menyeberangi jembatan itu!"
68 "Ayah! Mengapa ayah tidak mencoba mengajak mereka
bicara?" teriak Thio Sin Lan. "Tak ada gunanya, Siu Lan. "Mereka semua ganas. Tujuan
mereka hanya ingin membunuh ayahmu sekeluarga, Nah,
pergilah, cepat!" sahut Thio Kim San.
Sebelum Thio Sin Han bertiga dapat melangkah,
terdengarlah seorang musuh berkata nyaring:
"Hai! jangan biarkan mereka membunuh diri, maju!"
Perkataan i tu ternyata merupakan suatu aba-aba. Belasan
orang segera bergerak mengepung, akan tetapi sudah tentu
Thio Kim San tidak tinggal diam, Keputusannya sudah kokoh,
ia bersedia mengorbankan nyawa dalam pertarungan ini.
Segera ia maju dan menghantamkan pedangnya.
Seperti semalam, Cie-san Liong-ong Kwee Sun, su Tay
Kim dan Bu Seng Kok bertiga segera mengepung, mereka
bertiga merupakan lawan yang tangguh dan gesit, walaupun
demikian, tak berani mereka semberono.
Sekali Cie-san Liong-ong Kwee Sun mendekat, senjatanya
segera terbang keudara, senjatanya Cie-san Liong-ong Kwee
Sun merupakan sebuah pian atau gada bergigi terbuat dari
besi utuh, Tetapi dengan sekali babat, Thio Kim San dapat
mementalkan. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat
tenaga Thio Kim San, tak memalukan ia menjadi murid Tiekong
tiangloo dari Go-bi pay! ***** THIO SIN HAN mengeluh, sebenarnya enggan ia
meninggalkan ayah dan ibunya menghadapi ancaman bahaya
yang menentukan. Akan tetapi pesan ayahnya sangat penting
artinya, terus saja ia menarik lengan Sin Houw sambil berkata
69 kepada Siu Lan: "Siu Lan, adikku, Tak dapat kita sia-siakan harapan ayah
dan ibu. M Bukit Pemakan Manusia 12 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bara Naga 6
^