Pencarian

Hikmah Pedang Hijau 14

Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 14


g, dari sini dapat diketahui betapa keji dan dendamnya.
"Jangan2 orang she Beng ini terluka oleh paman Lui, atau mungkin Ji-lopiautau, atau Tay-pek-siang-gi dan adik Hong dan ini berarti mereka sudah lalu di tempat ini......"
begitu dia berpikir, maka cepat ia meneruskan pengejarannya melalui jalan setapak tersebut.
Panjang sekali jalanan itu, di depan sana terbentang sebuah halaman yang luas, pada halaman itu mayat bergelimpangan, keadaan mengerikan sekali.
Tian Pek segera tahu pembantaian ini bukan hasil perbuatan paman Lui, Ji-lopiautau, Tay pek-sing-gi atau Buyung Hong, sebab kelima orang itu tak nanti melakukan pembantaian cara begini keji dan tak kenal peri kemanusiaan.
Di ujung halaman terbentang sebuah pintu bundar, di bawah cahaya bintang yang bertaburan di angkasa, lamat2
terbaca tiga huruf besar di atas pintu, "Gi-cing-wan"
(ruangan memadu cinta).
Bangunan rumah di sisi kiri kanan berada dalam kegelapan, hanya bangunan yang sebelah depan terang benderang bermandikan cahaya lampu.
Di balik tirai jendela yang tipis terdengar suara cekikikan diselingi suara robekan kain.
Tian Pek tercengang masa di dalam rumah yang berbau darah ini ada orang yang sedang menjahit pakaian"
Ia merasa urusan ini rada mencurigakan, tanpa pikir ia melayang ke atas bangunan tersebut dengan Ginkang Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, sekali melayang ia sudah berada di depan jendela dan mengintip ke dalam ruangan.
Kain gorden jendela itu terbuat dari bahan sutera yang tipis, tidak sembarangan orang bisa membeli bahan kain seperti ini. Kain itu mempunyai keistimewaan, yaitu pada siang hari orang berada di di dalam dapat melihat pemandangan di luar dengan jelas, sebaliknya orang luar tak bisa melihat keadaan di dalam. Sebaliknya kalau malam tiba, maka di dalam tak dapat melihat keadaan di luar, sebaliknya yang ada di luar dapat melihat keadaan di dalam dengan jelas.
Demikianlah, maka Tian Pek yang sembunyi di luar jendela dapat melihat jelas keadaan di dalam ruangan itu.
Mendingan kalau Tian Pek tidak mengintip, begitu ia melongok ke dalam, kontan saja anak muda itu jadi terbelalak . . .
Kiranya di tengah ruangan itu, di depan sebuah cermin besar berdiri seorang gadis yang cantik jelita, mukanya bersemu merah dan matanya jeli, pada waktu itu sedang berlenggang-lenggok membawakan tarian telanjang.
Mengikuti gerak langkahnya nona cantik itu melepaskan pakaiannya dengan lembut, ketika itu sudah setengah
telanjang, pakaiannya dirobek dan dibuang ke lantai, pinggulnya megal-megol dan payudaranya ber-goyang2.
Sementara itu sebagian besar pakaian gadis itu sudah robek, bagaikan kupu2 cuilan kain itu beterbangan, sekarang ia sudah hampir berada dalam keadaan telanjang bulat, lekukan tubuhnya yang indah dan bagian yang mempesona pasti membuat melotot mata laki2 manapun juga.
Berdiri membelakangi jendela seorang pemuda berbaju putih sambil menggoyangkan kipas peraknya sedang menikmati "striptis" yang merangsang itu, kelihatan sorot matanya mengincar bagian tubuh tertentu dan tiada hentinya menggeleng kepala disertai suara tertawa tengik.
Tian Pek tercengang bercampur terkejut, apalagi setelah mengetahui bahwa gadis jelita yang sedang membawakan tarian telanjang itu tak lain adalah puteri kesayangan Cinghu-sin Kim Kiu, yaitu Kang-lam te-it-bi-jin Kim Cay-hong.
Kim Cay-hong adalah puteri keluarga terhormat, dua kali Tian Pek pernah berkunjung ke istana Kim dan menyaksikan betapa agung gadis itu, bagaimanapun juga tidak nanti gadis itu melakukan perbuatan serendah ini, apalagi menelanjangi diri sendiri di hadapan seorang pemuda asing.
Ia coba berpaling ke arah pemuda baju putih itu, meski wajahnya tidak kelihatan, tapi dari potongan badannya serta kipas perak yang dipegangnya, ia menduga orang itu pasti Sin liong taycu (pangeran naga sakti) alias Lam-hay-siau-kun.
Dalam pada itu, Kim Cay-hong telah menghancur-lumatkan pakaian yang dikenakan sehingga berada dalam keadaan bugil, sementara Lam hay-siau-kun sendiri telah menyelipkan kipasnya pada leher baju, lalu dengan cengar-
cengir ia memeluk tubuh Kim Cay-hong yang telanjang bulat itu, katanya: "Nona manis, sekarang marilah kita bermain di ranjang, mari kita......."
Tiba2 Tian Pek menemukan sesuatu, dilihatnya sorot mata Kim Cay-hong buram, tampak berada dalam keadaan tak sadar, seketika ia paham mungkin sesali Kim Cay-hong dicekoki obat perangsang sehingga kehilangan kesadarannya......
Terkenang waktu ia berbaring di rumah si gadis dan bagaimana gadis itu menyuapi dirinya, lalu terbayang pula ketika terjebak oleh Sek-ki-toa-tin, bagaimana gadis itu mempertaruhkan jiwanya untuk menolongnya,
bagaimanapun juga Tian Pek tak dapat berpeluk tangan membiarkan kesucian Kim Cay-hong direnggut orang secara licik.
Tanpa berpikir panjang lagi, telapak tangannya langsung menyodok ke jendela, ia hancurkan dulu jendela itu terus menerobos ke dalam ruangan.
Sementara itu Sin-liong-taycu sedang memondong korbannya ke pembaringan, selagi ia hendak "meluncurkan perahu masik dermaga", mendadak muncul seorang di dalam ruangan itu, apalagi setelah tahu tamu tak diundang ini bukan lain adalah Tian Pek, seketika ia terkejut.
Tapi segera ia dapat menenangkan diri, sambil tersenyum licik ia berkata: "Hahaha, sungguh tak tersangka Tian-heng adanya! Hehehe, bukankah Kui-bin-kiau-wo sudah kuserahkan hak utamanya kepadamu, masa kau serakus itu dan sekarang hendak mengacau bagianku"!"
Tian Pek tertawa dingin: "Hm, tak menyangka Sin-liongtaycu yang termashur tidak lebih cuma seorang Jay-hoa-cat (penjahat pemetik bunga) yang gemar merusak kesucian
perempuan baik2 dengan obat perangsang secara rendah begini?"
Senyuman yang semula menghiasi bibir Sin liong taycu seketika lenyap, ia mencabut kipas-peraknya, 'Creet", kontan ia ketuk Bi sim-hiat di dahi Tian Pek.
Cepat serangan itu dan dilancarkan tanpa memberi peringatan, seandainya Tian Pek tidak menguasai beberapa macam ilmu sakti dari kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip, niscaya dia sudah mampus termakan serangan itu.
Dengan ilmu langkah Cian hoan-biau-hian-poh dia melejit mundur, berbareng itu ia balas memotong persendian tulang tangan Sin-liong-taycu yang memegang kipas.
Sin-liong-taycu terkesiap, ia tak menduga gerak Tian Pek jauh lebih cepat daripadanya. Namun sebagai jago yang berani memimpin Iaskarnya menyerang daratan Tionggoan dan merajai dunia persilatan, tentu saja dia memiliki kungfu yang bisa diandalkan, ketika persendian tulang pergelangan tangannya hampir tersambar musuh, mendadak ia tekan tangannya ke bawah. "Bret!" Kipas peraknya direntangkan lebar2, dengan jurus Ya-tok-geng-ciu (menyeberang sungai dengan sampan), diiringi cahaya perak yang menyilaukan mata dia serang dada Tian Pek
Cepat Tian Fek angkat telapak tangannya untuk menangkis, "blang!" benturan keras tak bisa dihindari, Tian Pek tergetar dan tergeliat, sebaliknya Sin-liong-taycu tergentak mundur tiga langkah.
Sejak masuk daratan Tionggoan jarang sekali Sin-liongtaycu turun tangan sendiri, sebab ia sangat angkuh, ia menganggap jago silat daratan Tionggoan tak seorang pun yang bisa menandinginya.
Tapi sekarang, baru satu-dua gebrakan ia sudah dihajar Tian Pek sampai mundur tiga langkah, betapa rasa kagetnya dapatlah dibayangkan.
Iapun cukup cerdik dan bisa lihat gelagat setelah kalah dua gebrakan, ia tahu Kungfu Tian Pek memang lebih lihay, jika pertarungan ini diteruskan niscaya dia akan menderita kekalahan yang lebih mengerikan lagi dan akan merusak nama baiknya.
Karena pertimbangan ini, maka begitu terdesak mundur segera dia manfaatkan kesempatan yang baik ini untuk kabur lewat jendela.
Pada saat tubuhnya menyelinap keluar jendela, ia sempat melepaskan tiga batang tulang kipas yang terbuat dari perak, dengan cahaya tajam ketiga tulang kipas itu serentak menyerang kepala, dada serta perut Tian Pek.
"Taycuya enggan menemani kau lebih lama, tapi kaupun jangan harap bisa lolos dari loteng ini!" hardiknya lantang.
Ketika Tian Pek berhasil menghindari serangan ketiga titik cahaya perak itu, sementara itu Sin-liong-taycu sudah kabur pergi.
Tian Pek bermaksud mengejar, tapi sebelum bergerak, tiba2 sesosok tubuh yang hangat telah menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Tian Pek berpaling dan tanpa pikir dirangkulnya, kiranya Kim Cay-hong yang telanjang bulat telah menubruk ke dalam pelukannya. Memeluk tubuh yang halus tanpa pakaian ini, jantung Tian Pek berdebar keras, ia terkesima dan terperanjat pula.
Cepat ia mendorong gadis itu, tapi Kim Cay hong yang sudah dicekoki obat perangsang sekarang bertenaga luar biasa besarnya, sekalipun pemuda itu mendorongnya tetap
tak berhasil melepaskan diri, malahan lengan gadis itu bagaikan jepitan baja terus merangkul Tian Pek lebih erat.
Jilid 21 Dengan mata setengah terpenjam, bibir yang kecil setengah merekah, dada berombak dengan napas yang memburu, tubuhnya yang bugil menempel rapat dadanya, malahan sambil menggeliat kesana kemari dengan rintihan yang merangsang dan keluhan "kehausan"
Keagungan seorang tuan puteri kini lenyap tak berbekas, keadaan Kim Cay-hong sekarang tiada ubahnya seorang perempuan jalang
Tian Pek tahu gadis ini pasti terkena pengaruh obat bius, diam2 ia tambah benci akan kerendahan pribadi Sin-liongtaycu, tampangnya saja apung dan sopan, kenyataannva tak lebih hanya hidung belang yang gemar merusak kesucian anak gadis dengan cara yang kotor dan rendah.
Sekarang ia jadi serba salah, ingin mendorong gadis itu rasanya tak tega, mau meronta untuk lepaskan diri juga tak dapat, untuk sesaat Tian Pek jadi serba susah dan bingung.
Selagi serba salah, tiba2 terdengar suara "Kreek! kreek!"
menyusul di bagian pintu maupun jendela anjlok sebuah lempengan baja sehingga seluruh ruangan itu tertutup rapat.
Terperanjat Tian Pek, ia tahu Sin-liong-taycu telah menggerakkan alat rahasianya dari luar, dalam keadaan begini ia tak sempat berpikir panjang lagi, setelah menutuk jalan darah tidur Kim Cay-hong, gadis itu dibaringkan di tempat tidur berkelambu.
Setelah itu ia lolos pedang hijaunya hendak membobol lempengan baja yang menutupi jendela dan pintu, tapi
sebelum ia bertindak lebih jauh, asap tebal tiba2
menyembur masuk lewat celah2 pintu dan jendela.
Cepat sekali asap putih itu menyusup ke dalam ruangan, dalam sekejap seluruh ruangan sudah gelap tertutup kabut itu, walaupun Tian Pek sudah menaban napas, tak urung ia merasakan kepalanya jadi pening dan berat, ketika pedang hijaunya bhendak digunakan untuk membacok lempengan baja itu, telinga terasa sudah pecah dan tubuh jadi lemas, akhirnya ia roboh terjungkal di atas pembarinqan, persis di samping paha Kim Cay-hong.
Sekalipun pikiran anak muda itu masih sadar, tetapi apa daya, badan terlalu lemah sehingga sama sekaii tak mampu bergerak .
Tiba2 dari luar terdengar suara seorang perempuan menegur dengan suara dingin: "Suheng, ada apa kau berada di sini" Permainnn busuk apa lagi yang kau lakukan?"
Seorang laki2, agaknya Sin-liong taycu, segera tertawa dan menjawab: "Sumoay, kau jangan banyak curiga, permainan busuk apa yang bisa kulakukan di sini" Aku cuma berhasil menangkap seorang musuh tangguh . . ."
"Hm, kau kira aku tidak tahu" Jelas kau telah menawan nona rumah ini dan membawanya ke loteng ini" Huuh, perbuatan baik apa yang akan kau lakukan terhadap nona tersebut!"
Agaknya Sin-liong-taycu terdesak, ia tidak mampu menjawab kecuali tertawa cengar-cengir.
Lalu nona itu berkata dengan ketus: "Mendingan kau berbuat tidak se-mena2 di rumah sendiri, tapi dalam perjalanan kita ke daratan Tiong-goan ini, ayah telah memberikan tugas berat di atas pundakmu, kalau kau masih
saja bertindak sembrono, usaha besar kita tentu gagal total.
Hayo cepat buka-pintu ruangan ini!"
Tampaknya Sin-liong-taycu keberatan untuk membukti pintu, sambil tertawa ia mencari alasan, katanya: "Sumoay lebih baik jangan kau buka pintu ruangan ini, Kungfu musuh kita ini terlampau tangguh, baru saja aku embuskan
'dupa liur naga' untuk bikin mabok dia, mungkin dia belum lagi roboh pingsan."
"Sudah, tak perlu cari alasan lagi, mau buka tidak?"
bentak nona itu seperti habis sabarnya.
Sin-liong-taycu berusaha pula mengurungkan niat nona itu, tapi si nona mendadak berseru: "Hm, kau tak mau membukanya, menangnya aku tak bisa membukanya sendiri?"
"Kreek!" lempengan baja yang menutup jendela dan pintu perlahan-lahan bergeser dan terbukalah ruangan itu, asap yang memenuhi ruangan itu segera tersebar kemana-mana.
Nona itu tidak langsung melangkah masuk, ia lepaskan dua biji bola kecil ke dalam, "blang. blang", asap hijau terpancar, menyusul kabut putih yang semula menyelimuti seluruh ruangan lantas tersapu bersih.
Sesudah asap lenyap, gadis itu baru melangkah ke dalam ruangan disusul Sin-liong-taycu di belakangnya, tapi mereka lantas berseru kaget dan berdiri melongo.
Ruangan itu kosong tak berpenghuni lagi, bukan saja Tian Pek tak ketahuan ke mana perginya, malahan Kim Cay-hong yang telanjang bulat dan terpengaruh oleh obat perangsang pun lenyap tak berbekas.
Lama sekali Sin-liong-taycu berdiri termangu-mangu, sebaliknya Lam-hay-liong-li sambil mencibir lantas mengejek: "Koko, di mana orang yang kau bekuk?"
Kendatipun biasanya Sin-liong-taycu cerdik dan banyak tipu muslihatnya, dalam keadaan seperti ini ia menjadi gelagapan dan tak sanggup menjawab.
Kiranya dikala Lam-hay-liong-li sedang memaksa Sin-hong-taycu membuka dinding baja yang menutupi jendela dan pintu, Tian Pek serta Kim Cay-hong telah ditolong oleh seorang gadis bertopeng setan.
Walaupun ketika itu Tian Pek tak mampu bergerak dan tak bertenaga, akan tetapi nona bertopeng setan itu cukup dikenalnya, dia bukan lain adalah Liu Ciu-cui yang pernah bermesraan dengannya sewaktu berada disampan kecil di sungai Hway, kemudian kabur karena kheki ketika berada di Pah-to-san Ceng.
Tian Pek tercengang, ia heran kenapa Cui-cui dipat muncul di tempat ini dan mau dibawa ke manakah mereka berdua" Tapi karena ia tak mampu berkata, terpaksa ia diam saja.
Dengan entengnya Liu Cui-cui mengempit Tian Pek dan Kim Cay-hong, dasar nakal dan suka menggoda, walaupun tahu gadis itu berada dalam keadian bugil, namun Cui-cui sengaja tidak membungkusnya dengan kain.
Dalam keadaan telanjang bulat itulah Kim Cay-hong dibawa kabur dari ruangan tersebut, sesudah keluar dan melewati beberapa tikungan sampailah mereka di sebuah taman bunga, Cui-cui menyelinap ke belakang gunung-gunungan yang sepi, disana ia membanting kedua orang itu ke atas tanah.
"Hehebe, sebetulnya aku segan menolong kau," katanya kepada Tian Pek sambil tertawa dingin, "tapi untuk bikin terang janji palsu kaum lelaki macam kau, maka sengaja kuselamatkan lagi dirimu, Hm, aku ingin tanya, kalau kau sudah menjadi suami-isteri dengan aku, kenapa dulu kau menyukai seorang Tian Wan-ji dan sekarang muncul pula seorang Kim Cay-hong" Mungkin saja terus terang, masih berapa banyak lagi perempuan yang kau kenal?"
Setelah teremhus angin, racun "dupa liur naga" yang mengeram di dalam tubuh Tian Pek sudah banyak berkurang, walaupun badannya masih lemas akan tetapi ia sudah dapat berbicara.
Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Besar amat rasa cemburumu! Sekalipun begitu, sebelum jelas duduk persoalannya hendaknya kau jangan sembarangan menuduh ..."
Lui Cui-cui tertawa dingin, selanya: "Percuma kalau cuma kudengarkan pengakuan sepihak. Akan kusadarkan dulu nonn ini, kemudian akan kuadu di hadapanmu, bila dia terbukti punya hubungan apa2 denganmu, hehehe, saat itulah akan kubikin perhitungan denganmu!"
Berbicara sampai di sini dia lantas mengimbil keluar sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Kim Cay-hong.
Sesaat kemudian sekujur badan Kim Cay-hong tergetar keras dan sadar kembali dari pingsannya, tatkala melihat seorang makhluk seram bermuka hijau dan berambut merah berdiri di sisi tubuhnya yang telanjang, ia jadi tercengang.
Kemudian ketika berpaling dan melihat Tien Pek berada di sisinya, Cay-hong berseru terus menubruk ke dalam pelukan anak muda itu.
Kontan Liu Cui-cui mendengus, jengeknya. "Hm, tekarang apa yang hendak kau katakan lagi" Kenyataan sudah berbicara di depan matamu sendiri!"
"Cring!" pedang hijau di punggung Tian Pek lantas dicabut. dengan cepat ia menusuk ulu hati Kim Cay-hong,
"Tunggu sebentar!" teriak Tian Pek.
"Hehehe! Kenapa" Sakit hati?" ejek Cui-cui, setelah berhenti sejenak, dengan suara yang kasar ia membentak:
"Akan kubunuh perempuan ini di depan mu.. ."
Saat itu kekuatan Tian Pek belum pulih, dilihatnya pedang hijau itu hampir menembus ulu hati Kim Cay-hong dan dirinya tak sanggup mencegah, saking gemasnya ia tertawa dingin dan berteriak: "Kau kuntilanak! Kau kira setelah kau bunuh gadis yang tak berdaya ini lantas perasaanku bisa berubah" Hehehe, jangan mimpi di siang hari bolong."
Sekujur badan Cui-cui gemetar keras mendengar makian itu, pedang hijau yang hampir menembus ulu hati Kim Cayhong itu terhenti di tengah jalan, serunya setengah terisak:
"Siapa yang kau maki sebagai Kuntilanak?"
"Siapa lagi" Tentu saja kau. Hm, sebelum tahu duduknya perkara lantas cemburuan dan main bunuh . . . ."
Belum habis ucapan Tian Pek, badan Cui-cui tampak gemetar, "trang", pedang hijau itu terlepas dari genggamannya, sambil menutup wajahnya dan menangis ia putar badan terus kabur dari situ.
Sedari kecil Cui-cui dibesarkan di sebuah pulau terpencil, meskipun tak banyak tahu urusan tapi cukup memahami betapa kejinya kata "Kuntilanak" tersebut.
Gurunya bukanlah Thian-sian-mo-li sendiri yang tersohor pada dua ratus tahun berselang, tapi murid.Thian-sian-mo-li yang bernama Kui-bin-kiau-wa Ang-hun-kut-lau (gadis cantik bermuka setan)
Kisah hidup Kui-bin-kiau-wa ini memang tragis dan mengenaskan, dia asalnya adalah seorang anak buangan, sebulan setelah dilahirkan bayinya dibuang oleh orang tuanya di sebuah kuil terpencil disatu bukit, untung Thian-sian-mo-li lewat disana dan menolong jiwanya, semakin meningkat besar ia diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi.
Ketika usianya meningkat dewasa, paras muka gadis ini ternyata cantik jelita, ditambah pula kungfunya yang lihiy, banyak sekali kaum muda yang jatuh cinta dan targila-gila kepadanya.
Kebetulan waktu itu Thian-sian-mo-li mendapat hasutan orang dan karena rasa ingin menang, ia telah menggunakan ilmu To-li-mo-hun-toa-hoat untuk mengganggu pertapaan Tiak-gan-longkun, karena peristiwa ini semua jago dunia persilatan jadi marah dan menuduh Thian-sian-mo-li seorang iblis yang keji.
Oleh karena desakan dan ancaman yang datang dari berbagai penjuru lama2 Thian-sian-mo-li tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan. akhirnya dia kabur ke lautan dan bersembunyi di sebuah pulau kosong.
Pulau itu adalah sebuah pulau tak bertuan, letaknya di laut selatan, nama pulaupun tak diketahui, tanah di pulau itu tandus sekali, kecuali batu karang yang berserakan dimana-mana, hampir boleh dikatakan tiada tumbuhan yang bisa hidup di situ.
Thian-sian-mo-li dan muridnya mulai membangun rumah, membuat kolam air, membajak tanah dan
menanam pohon, dengan perjuangan mereka yang gigih dan rajin, akhirnya pulau gersang yang tak berpenghuni itu telah mereka sulap menjadi pulau yang indah dan subur.
Sebagai seorang jago silat yang lihay, Thian-sian-mo-li telah mengatur perangkap yang hebat serta alat jebakan yang lihay untuk melindungi pulau itu dari sergapan musuh, maka dari itu bukan saja pulau itu subur makmur, penjagaan serta sistem pertahanan di pulau itupun amat tangguh.
Selama perjuangan membuka tanah tandus di pulau tersebut, oleh karena kekurangan makanan kedua orang itu mengisi perut dengan menangkap ikan dan udang di laut, kebetulan pula dalam sebuah gua karang di atas pulau itu hidup sebangsa ikan tawar yang disebut "hiat man"
(sebangsa ikan belut) yang bermanfaat sekali bagi kesehatan badan.
Karena terlalu banyak menyantap ikan belut itu, tanpa disadari tenaga dalam mereka peroleh kemajuan yang sangat pesat.
Suatu ketika, secara kebetulan kedua orang ini berhasil menangkap seekor ikan belut berusia ribuan tahun, setelah mereka santap bersama ikan tersebut. mereka jadi awet muda, kecantikan merekapun tetap abadi walaupun usianya kian meningkat.
Setelah usia hampir dua ratus tahun, Thian-sian-mo-li baru mengakhiri hidupnya, dengan begitu maka di atas pulau yang terpencil itu tinggal Kui-bin-kiau-wa seorang.
Sementara itu pertarungan antara para jago di daratan Tionggoan masih berlangsung dengan serunya, saling bunuh, saling gontok2an masih terjadi di-mana2, banyak kaum iblis dan manusia sesat tak bisa menancapkan
kakinya didaratan Tionggoan dan kabur keluar lautan, banyak diantaranya kaum pelarian itu yang kemudian mendarat di pulau tanpa nama ini.
Waktu itu Kui-bin-kiau-wa sedang ditinggal mati gurunya, ia merasa kesepian dan murung, maka kedatangan kaum pelarian itu di pulaunya segera disambut dengan senang hati, di antaranya adalah empat perempuan cabul dari pulau Tho-hoa-to yang kemudian menjadi Tho-hoa-susian, Toa-tiu-kui-ong berdelapan pencoleng dari Leng-lam yang kemudian menjadi Mo-kui-to-pat yang lalu Hay-gwa-sam-sat beserta beberapa orang yang akhirnya menjadi jagoan lihay di pulau tersebut, selain itu banyak pula penjahat lain yang berkumpul di sana.
Dasar pekerjaan mereka memang merampok, membegal, setelah berada di pulau itupun mereka tetap meneruskan pekerjaan mereka, setiap ada kapal pedagang yang bertemu dengan mereka di tengah lautau maka perahu itu pasti dibajak, dirampok dan penghuninya dibantai habis2an, malahan mereka pun merampok sampai kesepanjang pesisir, banyak rakyat yang jadi korban sehingga akhirnya pulau kosong itu lebih tersohor sebagai Mo-kui-to (pulau setan) yang ditakuti orang.
Suatu pulau yang gersang berubah menjadi taman firdaus, suatu taman firdaus akhirnya berubah pula menjadi pulau setan, memang begitulah perubahan di dunia ini yang sukar diduga.
Dalam pada itu, Kui-bin-kiau-wa telah mencintai seorang pesilat muda yang bernama Liong Siau-thian. yakni Hay-liong-sin yang kemudian tersohor sebagai Lam-hay-it-kun.
Hubungan kedua orang ini berlangsung dengan mesra, tapi entah apa sebabnya ternyata suatu ketika Liong Siau-
thian telah meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dan kembali ke daratan Tionggoan, ber-tahun2 lamanya orang ini tak ada kabar beritanya lagi.
Kui-bin-kiau-wa menjadi sedih dan selalu murung.
akhirnya ia memutuskan untuk menyusulnya ke Tionggoan, disana ia temukan Liong Siau-thian telah kawin dengan perempuan lain, malahan sudah berputera.
Karena cemburu dan gusarnya Kui-bin-kiau-wa mencari ke tempat kediaman Liong Siau-thian, apa mau dikata, dasar nasibnya memang jelek, suatu ketika ia dibius oleh seorang teman Liong Siau-thian yang jahat dan diperkosa sampai beberapa kali.
Dengan alasan inilah Liong Siau-thian menyatakan putus hubungannya dengan Kui-bin-kiau-wa, bahkan mencaci maki gadis yang malang ini sebagai perempuan jalang.
Mengalami pukulau batin yang berat ini, hampir saja Kui-bin-kiau-wa menjadi gila, sejak itulah dia melakukan pembantaian secara besar2an di daratan Tiongoan, malahan kemudian menjadi seorang perempuan jalang yang kecabulannva luar biasa, banyak pemuda yang dirusak olehnya, oleh sebab ilmu silatnya tinggi dan seringkali mengenakan topeng setan, orang persilatan menyebutnya sebagai Kui-bin-kiau-wa, Ang-hun-kut-lau. si boneka muka setan, si tengkorak cantik.
Kemudian karena perbuatannya kian hari kian brutal, dunia persilatan jadi geger, umat persilatan baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam bersatu padu untuk menumpas dia.
Dalam suatu pertarungan yang seru di puncak Koan-jit-hong Thay-san, ia kena dihajar sampai terjungkal kedalam jurang, untung umurnya masih panjang, ia cuma terluka
parah, membawa hati yang luka dan badan yang sakit, kembalilah perempuan malang ini ke pulau Mo kiu-to. sejak itu tak pernah muncul kembali di dunia persilatan.
Kemudian Liong Siau-thian sendiri karena
memperebutkan sejilid kitab pusaka ilmu silat, ia pun di-buru2 oleh kawanan jago, baik dari golongan putih maupun dan kalangan hitam, berhubung tak dapat tancapkan kakinya di daratan Tionggoan, dengan memboyong anak isterinya untuk kedua kalinya dia mengungsi ke pulau Mo-kui-to.
Entah dengan siasat dan cara bagaimana, akhirnya ia berhasil menundukkan hati Kui-bin-kiau-wa, malahan mereka bersepakat untuk tinggal ber-sama2, yaitu Kui-bin-kiau-wa, Liong Siau- thiin serta isterinya.
Berdasarkan kitab pusaka yarg berhasil di dapatkan, Liong Siau-thian dikemudian hari berhasil mencapai tingkatan sangat lihay, bahkan menyebut dirinya sebagai Lam-hay-it-kun, kaisar dari lautan selatan dengan gelar Hay-liong-sin (malaikat naga sakti), ia mendirikan perguruan
Lam-hay-bun, menerima anak murid dan mengangkat dirinya jadi pemimpin paling tinggi di wilayah itu.
Puteranya sementara itu meningkat dewasa dan menjadi Lam-hay-siau-kun dengan julukun pangeran naga sakti, sedang isterinya yang dulu melahirkan pula seorang anak gadis yang kini menjabat pucuk pimpinan dalam penyerbuannya ke daratan Tionggoan, yaitu Lam-hay-liong-li.
Semenjak kecil Lam-hay-liong-li sudah mengangkat ibunya yang kedua menjadi gurunya, Kui-bin-kiau-wa sendiripun menyayangi Lam-hay-liong-li, malahan dia tidak
suka pada Lam-hay-siau-kun, karena itu Lam-hay-siau-kun belajar silat dari ayahnya.
Ber-tahun2 kemudian, orang ketujuh dari Kanglam-jit-hiap, si kipas perak Liu Tiong-ho kabur pula ke pulau setan dengan membawa puterinya yang masih kecil karena peristiwa harta karun di telaga Tong-ting-ouw, waktu itu bukan saja Toakonya, Pek-lek-kiam Tian In-thian, telah terbunuh, isteri Liu Tiong-ho juga dibantai oleh kelima saudara angkat sendiri, maka dalam keadaan kepepet ia kabur ke luar lautan.
Puterinya, Liu Cui-cui, karena berwajah cantik dan berpembawaan menarik, pada usia tiga belas tahun, amat disayang oleh Lam-hay-it-kun, ia diperintahkan untuk melayani Lam-hay hong-li.
Sebagai anggota Kanglam-jit-hiap, Liu Tiong-ho tentu saja tak setuju puterinya dijadikan budak oleh orang, tapi keadaan waktu itu amat terdesak, berada di rumah yang pendek, mungkinkah ia tak tunduk kepala"
Liu Tiong-ho cukup memahami posisinya pada waktu itu, ia membutuhkan perlindungan dari Lam-hay-bun sekalipun dalam hati kecilnya ia sangat marah karena puterinya dijadikan budak, namun iahirnya ia pura2 setuju.
Siapa tahu karena bencana Cui-cui malah mendapat rejeki, berhubung setiap hari ia melayani Lam-hay-liong-li, akhirnya ia dipenujui oleh Kiu-bin-kiau-wa, maka gadis itu diterima menjadi muridnya yang kedua.
Dasar otaknya memang cerdik dan bakatnya lebih bagus daripada Lam-hay-liong-li, walaupun Liu Cui-cui belajar lebih belakangan, namun Kungfunya justeru di atas Lam-hay-liong-li. bukan begitu saja, malahan ilmu Toh-mi-hun-toa-hoat yang diturunkan Thian-sian-mo-li kepada Kui-bin-kiau-wa pun telah diwariskan pula kepadanya.
Si kipas perak Liu Tiong-ho sendiri, sekali pun tidak ikut serta dalam rencana pembunuhan atas diri Pek-lek-kiam Tian In-thian, pada hakikatnya ia sendiripun menyimpan suatu rahasia pribadi.
Kiranya ketika dengan kemahirannya berenang ia menyelam ke gua harta karun itu, secara diam2 ia telah menyembunyikan isi kitab pusaka Bu-hak-cinkeng, sampul depan kitab itu dirobek dan ditempelkan pada sejilid kitab rongsokan yang lain, sebab itulah setelah kelima saudura angkat lain membunuh sang Toako dan mengusir Liu Tiong-ho, waktu pembagian harta, Kim-kun-ciang In Tiong-liong mendapatkan kitab Bu-hak-cinkeng palsu.
Itulah sebabnya putera In Tiong-liong, yaitu An-lok Kongcu In Cing, setiap hari tak pernah meninggalkan kitab rongsokannya, dan di situlah sebabnya mengapa ilmu silat An lok Kongcu tak berhasil mencapai tingkatan yang paling tinggi kendatipun ia menyelami isi kitab tersebut secara seksama.
Seandainya tidak terjadi peristiwa ini, mungkin di dunia persilatan takkan muncul empat Kongcu, bisa jadi seluruh kolong langit ini sudah menjadi wilayah kekuasan An-lok Kongcu seorang.
Liu Tiong-ho sendiri setelah berhasil membawa kabur Bu-hak-cinkeng yang asli keluar lautan, sambil menahan penderitaan dan penghinaan ia berlatih secara rajin dan tekun dengan harapan bila sudah menguasai ilmu silat yang tinggi, maka dia akan pulang ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas.
Tapi takdir menghendaki lain, tatkala sebagian besar isi Bu-hak-cinkeng berhasil dikuasainya, ternyata ia mampu menguasai emosinya sendiri, api dendanmya boleh di bilang telah padam semuanya.
Perlu diketahui Bu-hak-cinkeng adalah kitab pelajaran agama To, meskipun ilmu silat yang tercantum di dalam kitab itu lihaynya tidak kepalang, namun yang dititik-beratkan dalam pelajaran tersebut adalah tentang ketenangan, dengan ketenangan jiwa, ketenangan pikiran dan hidup damai di dunia, sebab itulah setelah berhasil dengan pelajarannya, Gin-san-cu Liu Tiong-ho berbalik segan untuk muncul kembali di daratan Tioggoan, malahan niatnya untuk membalas dendampun sama sekali lenyap.
Malahan kipas peraknya yang selama ini selalu diandalkan telah dihadiahkan kepada Lam-hay-siau-kun.
Dalam waktu senggangnya seringkali ia ber-cakap2
dengan puterinya, mengisahkan kembali peristiwa lama dan mengisi hari2 yang penuh kesepian itu dengan gelak tertawa dan berbicara,
Tidaklah heran kalau Liu Cui-cui sangat memahami duduk persoalannya mengenai Kanglam-jit-hiap.
Kendati pun Liu Tiong-ho sudah meremehkan soal pembalasan dendam, berbeda dengan Liu Cui-cui, setiap saat ia selalu teringat dendam kematian ibunya.
Seringkali ia bermaksud berangkat ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas, tapi setiap kali maksud itu berhasil diurungkan oleh ayahnya.
Setiap ada waktu senggang, Liu Tiong-ho selalu mewariskan pelajaran Bu-hak-cinkeng kepada puterinya, ia selalu menasihati puterinya tentang budi, dendam, cinta, benci, kemewahan dan kemiskinan yang berada di dunia ini tak lebih hanya soal kosong belaka.
Ia berusaha mematangkan pikiran anak dara itu, agar ia berpandangan lebih terbuka, namun Liu Cui-cui berwatak
keras, dihadapan nyahnya ia mengangguk, namun niat untuk membalas dendam bagi ibunya tak pernah goyah.
Suatu hari, Kui-bin-kiau-wa meninggal dunia, dengan kematian perempuan itu otomatis kekuasaan tertinggi di pulau Mo-kui-to pun beralih ke tangan Lam-hay-it kun.
Waktu itu Lam-hay-it-kun menganggap sayapnya telah tumbuh dengan kuat, ambisinya merajai daratan Tionggoan segera berkobar, apalagi rasa dendamnya terhadap kawanan jago yang pernah mengejar dirinya tak pernah padam, ia lantas mengutus putera-puterinya dengan membawa Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian, Mo-kui-lo-pat-yau serta sekalian jago lihay Lam-hay-bun untuk menyerbu ke daratan Tionggoan.
Pada kesempatan itulah Liu Cui-cui pun untuk pertama kali ikut meninggalkan Mo-tui-to menuju ke daratan.
Sesaat sebelum berangkat, Liu Tiong-ho sempat memperingatkan puterinya, ia berpesan begini: "Puteriku, pemuda di daratan Tionggoan kebanyakan berwajah tampan dan menarik hati, ketahuilah imanmu kurang teguh. janganlah kau menjerumuskan diri ke jaring cinta, sebab sekali kau terjerumus maka untuk selamanya takkan mampu meloloskan diri lagi!"
Atas nasihat tersebut, Liu Cui-cui hanya tersenyum saja, dalam anggapannya, Lam hay-it-kun dan Lam-hay-siau-kun berdua yang bangor pun bisa dihindarinya, apalagi laki2
lain, ia menganggap tak akan ada laki2 di dunia ini yang mampu memikat hatinya, maka pesan sang ayah sama sekali tak digubris.
Begitu tiba didaratan Tionggoan, pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah membalas dendam bagi kematian ibunya, diam2 ia meninggalkan Lam-hay-liong-li dan berangkat ke istana Kim di kota Lam-keng untuk
menyelidiki gerak-gerik Cing-hu-sin Kim Kiu dan untuk pertama kalinya pula ia berkenalan dengan seorang pemuda yang ditolongnya ditepi sungai Hway, apa mau dibilang lagi, ternyata ia terjerumus ke dalam jaring cinta.
Dari Pedang Hijau Tian Pek ia lantas mengetahui akan asal-usul pemuda itu, maka ditolongnya Tian Pek dan dirawat luka racunnya di suatu kuil.
Kemudian sebagaimana sudah diceritakan, makin lama rasa cintanya kepada pemuda itu makin mendalam, sampai akhirnya ia merasa tak dapat hidup tanpa didampingi oleh anak muda itu.
Tidak heran kalau ia menjadi sedih dan sakit hati ketika Tian Pek memakinya sebagai Kuntilanak,
Sebagaimana diketahui, Lam-hay-it-kun Liong Siau-thinn adalah lelaki bejat, sababnya dia meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dulu tak lain karena ia hendak mengawini Tionggoan Giok-li, perempuan tercantik di daratan Tionggoan.
Kemudian setelah Tionggoan Giok-li melahirkan anak, karena dimakan usia, apalagi wajah Kui- bin-kiau-wa jadi rusak akibat terjatuh ke dalam jurang di puncak Koan-jit-hong, Lam-hay-it-kun merasa muak untuk berhubungan dengan mereka lagi.
Untuk melampiaskan hawa napsunya, sering- kali ia mengadakan hubungan gelap dengan Tho-hoa-so-sian.
Akhirnya rahasia ini diketahui juga oleh Kui-bin-kiau-wa, kalau terhadap Tionggoan Gok-li ia masih bisa bersabar, maka terhadap penyelewengannya dengan Tho-hoa-su-sian tak bisa diterima dengan begitu saja, seringkali ia cekcok dengan Lam-hay-it-kun!, seringkali Lam-hay-it-kun memaki Kui-bin-kiau-wa sebagai Kuntilanak, tidak
heran kalau Liu Cui-cui apal sekali dengan kata" makian terisebut.
Lam-hay-it-kun sendiripun beberapa kali hendak menodai Liu Cui-cui tapi setiap kali berhasil ia hindari dengan selamat, sebab itulah meskipun diluarnya ia tunduk kepada pihak Lam-hay-bun, pada hakikatnya rasa bencinya terhadap Lim-hay-it-kun telah merasuk ke tulang sumsum.
Sekarang Tian Pek memakinya dengan ucapan yang seringkali dipakai Lam-hay-it-kun, tak heran rasa sedihnya luar biasa, sambil membuang pedang hjau itu ia lari sembari menahan isak tangis.
Belum jauh gadis itu pergi, tiba2 terdengar suara tertawa dingin memecahkan kesunyian, sesosok bayangan manusia berkelebat dari balik gunung2an dan tahu2 muncul seorang gadis.
Gadis yang muncul ini adalah Tian Wan-ji, betapa girangnya Tian Pek, ia berseru: "Wan-ji....!"
Kepolosan dan kelincahan Wan-ji yang cantik kini lenyap tak berbekas, sebagai gantinya ia ke-lihatan murung dan kesal, bukan saja tak gubris seruan mesra Tian Pek, malahan dengan senyum mengejek ia mengitari Kim Cayhong yang telanjang.
Jengah Kim Cay-hong, walaupun Wan-ji se-kaum dengannya, tapi pandangan lawan yang aneh dan sinis itu sangat menusuk perasaan.
Pada hari biasa ia selalu angkuh dan tinggi hati, tapi sekarang dalam keadaan bugil ia ditonton begitu, sekalipun ia berusaha mengendalikan perasaannya, tak urung merah juga pipinya, ia tundukkan kepalanya rendah2...
Setelah puas mengamati Kim Cay-hong yang bugil, lalu Wan-ji berkata dengan tertawa dingin: "Hehe, engkoh Tian,
kau baru saja menikah dengan enciku, kenapa sudah main perempuan lagi di luaran, pantaskah perbuatanmu ini?"
Perkataan ini membuat Liu Cui-cui maupun Kim Cayhong jadi tertegun.
Cui-cui balik lagi ke tempat semula, ia lupa menangis.
Kim Cay-hong pun lupa akan rasa malunya, dengan mata terbelalak mereka berseru: "Kau. . . ."
Hanya itu saja yang dapat mereka ucapken, sesaat kedua gadis itu ter-mangu2 seperti orang linglung.
Tian Pek bukan anak bodoh, sudah tentu ia dapat meraba perasaan kedua gadis itu, pikirnya: "Inilah kesempatan terbaik bagiku untuk memutuskan tali cinta dengan mereka berdua."
Berpikir demikian, dengan serius ia lantas berkata: "Apa yang dikatakan adik Wan memang benar, aku memang sudah dijodohkan dengan Buyung Hong, encinva Wan-ji dan sekarang secara resmi kami telah menjadi suami isteri .
, . ." Belum habis ucapan Tian Pek, paras Liu Cui cui telah berubah hebat, matanya melotot, bentaknya dengan murka:
"Sungguhkah perkataanmu ini?"
"Masa membohongi kau?" jengek Wan-ji dari samping.
Cui-cui merasakan kepadanya pening dan pandangannya jadi gelap, tanpa terasa air matanya jatuh bercucuran, sambil menggigit bibir dan menahan isak tangisnya ia berkata kepada Tian Pek dengan sedih: "Kau .. . .kau kejam benar . , . ,kau tak setia ., .. tidak pegang janji.. . coba jawablah .... bagaimana dengan diriku ini . . . ?"
Tian Pek tertegun juga, dari kepedihan Cui-cui ia tahu bahwa cinta gadis itu terhadapnya sudah mendalam,
sekarang ia baru menyesal akan tindakan sendiri yang gegabah, hanya karena menuruti emosi ia menerima pinangan Buyung Hong, ditinjau dari keadaan saat ini, jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang baginya untuk memutuskan hubungan cintanya.
Sementara anak muda itu masih ter-mangu2 karena sedih bercampur menyesal, nun jauh disana tiba2 terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati. jeritan maut menjelang ajal, mengerikan dan membuat bulu roma orang sama berdiri.
Jeritan ngeri itu tidak terlampau keras kedengarannya, tapi cukup membuat beberapa orang itu mengeluarkan peluh dingin, paras Tian Pek dan Kim Cay-hong seketika berubah hebat.
Tiba2 Kim Cay-hong menubruk kedepan Tian Pek, serunya dengan sedih: "Engkoh Tian, Siauhiap! Tolonglah, bantulah ayahku . . . mungkin jiwanya terancam bahaya . . .
." Sebenarnya Tian Pek tidak peduli keselamatan Cing-husin Kim Kiu, ia lebih mencemaskan diri paman Lui, Tay-pek-siang-gi, Ji-lopiautau dan Buyung Hong.
Sementara itu pengaruh racun "dupa liur naga" telah punah sama sekali, tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti sediakala, mendengar permintaan itu ia lantas melepaskan baju luarnya dan diserahkan kepada Kim Cayhong, kemudian memungut kembali pedang hijaunya, ia berkata: "Aku tak tahu dimana ayahmu berada, pergilah cari sendiri! Aku harus menolong dua orang sahabatku...."
Begitu selesai berucap segera ia meluncur ke arah jeritan maut tadi dengan cepat.
Seperginya Tian Pek tiga gadis itu saling pandang sekejap, siapapun tidak mempedulikan lawannya, diantara mereka Kim Cay-hong tampak paling gelisah, selesai mengenakan jubah pemberian Tian Pek, cepat ia berlari ke arah jeritan tadi.
Cui-cui mengerling sekejap ke arah Wan-ji, kemudian tantangnya: "Punya keberaninn ke sana?"
"Hm, apa yang kutakut?" sahut Wan-ji sambil mencibir.
Secepat terbang ia lantas mendahului melayang ke sana.
Cui-cui segera menyusul dari belakang, susul menyusul keempat orang itu tiba di sebuah halaman yang sangat luas, lentera dan obor membuat suasana terang benderang bagaikan siang hari.
Halaiman yang luas ini berlantai tanah keras, pada ujung halaman dekat dinding sana tersedia delapan belas macam senjata, karung pasir dan berbagai peralatan, tampaknya halaman ini adalah lapangan berlatih silat istana keluarga Kim.
Tepat di hadapan mereka dibangun sebuah panggung yang tinggi, sebuah meja panjang besar terletak di tengah panggung itu, sementara di belakang meja tersedia berpuluh kursi emas, Lam-hay-siau-kun dan Lam-hay-liong-li berduduk di kursi utama. sedangken sisanya ditempati Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian dan lain2, paling belakang berdiri pula belasan laki2 berpakaian ringkas.
Di depan panggung, dekat dinding tertanam belasan buah cagak kayu yang besar tiap cagak itu terikat seseorang, diantara mereka ada yang sudah tewas dalam keadaan mengerikan, ada yang mati dengan dada atau perut terbelah, ada yang kutung lengan atau kakinya, jelas siksaan yang mereka alami sebelum ajal pasti luar biasa.
Beberapa orang yang masih berada dalam keadaan hidup berdiri lemas dengan muka pucat dan ketakutan.
Di kedua belah sisi cagak itu masing2 berdiri dua orang algojo yang bermuka garang. dengan dada terbuka dan golok besar terpangku mirip sekali dengan malaikat maut pencabut nyawa.
Pertarungan sengit antara berpuluh orang masih berlangsung di tengah halaman, sambaran golok dan pukulan men-deru2.
Mengingat Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian dan lain2
hanya duduk tenang di atas panggung, bisa ditarik kesimpulan bahwa pertarungan tersebut dilayani oleh jago kelas dua atau tiga dari perguruan Lam-hay-bun.
Begitu tiba di tepi gelanggang, segera Tian Pek mengetahui bahwa orang2 yang sedang terlibat dalam pertempuran itu tak lain adalah paman Lui, Tay-pek-siang-gi, Ji-lopiautau serta Buyung Hong.
Selama pertarungan berlangsung paman Lui dan Tay-pek-siang-gi bertempur dengan bertangan kosong, Ji-lopiautau bergolok, Buyung Hong pakai pedang pendek, mereka melabrak musuh habis2an, sekalipun dikerubut oleh belasan orang mereka tetap di atas angin, beberapa kali jago Lam-hay-bun kena dihajar terluka atau tewas.
Lam-hay-siaukun berada di atas panggung dan menonton jalannya pertarungnn itu sambil menggoyangkan kipasnya, ketika dilihatnya pertarungan itu berlangsung tanpa akhir, dengan alis bekernyit ia berpaling ke kiri dan ke kanan.
Si nenek rambut putih, Leng-yan-hong, adalah seorang Hay-gwa-sam-sat segera membentak, dia melambung ke
atas, lalu meluncur ke bawah dengan cepat telapak tangannya segera menghantam batok kepala paman Lui.
Sebagai jago kawakan, nenek itu tahu kungfu paman Lui terhitung paling lihay, maka per-tama2 ia serang paman Lui.
Saat itu paman Lui sedang menghadapi empat lima orang musuh, ketika tiba2 merasakan datangnya sergapan si nenek berambut putih itu, cepat telapak tangan kirinya berputar dan mendesak mundur musuh, sedang telapak tangan kanannya dengan jurus Thian-ong-tok-tha (Raja langit menyangga pagoda) ia tangkis serangan si nenek yang dahsyat itu dengan keras lawan keras.
Ketika dua gulung tenaga pukulan yang hebat itu kebentur, "blang!" paman Lui terdesak mundur empat lima langkah dengan sempoyongan, sedangkan kawanan jago Lam-hay-bun yang mengepung paman Lui ikut tercerai-berai, dari sini dapatlah diketahui betapa hebat tenaga pukulan nenek berambut putih itu.
Paman Lui terkejut oleh kedahsyatan ilmu pukulan si nenek.
Sementara itu Leng-yan-hong atau si nenek berambut putih itu sudah melayang turun, teriaknya: "Jangan kabur!
Sambut lagi pukulan nenekmu!"
Telapak tangannya didorong ke depan, segulung angin pukulan dahsyat menerjang pula ke dada paman Lui.
Dasar tinggi hati dan tak sudi mengunjuk kelemahan di depan orang, meskipun paman Lui tahu bahwa serangan lawan amat dahsyat, ia tidak menghindar atau berkelit, malahan dengan keras-lawan-keras ia sambut serangan dahsyat si nenek.
"Blang!" benturan keras terjadi pula, nenek itu cuma tergetar sedikit, sebaliknya paman Lui terdorong mundur sampai lima langkah.
Nenek itu tambah gusar karena secara beruntun paman Lui menyambut pukulannya dengan kekerasan, dengan mata melotot ia menghardik: "Keparat! Bila pukulanku yang ketiga ini tidak dapat merebut jiwa anjingmu, mulai hari ini namaku biar dicoret dari dunia persilatan!"
Dengan sepenuh tenaga dalamnya ia dorong kedua telapak tangannya ke depan. Kelihatannya telapak tangan nenek itu didorong dengan gerakan yang lambat, malahan disertai dengan gemetar keras se-akan2 kepayahan sekali, namun angin pukulan yang timbul dari serangan tersebut kuatnya tidak kepalang, debu pasir lantas beterbangan.
Paman Lui sendiri seperti sudah kepayahan, untuk menangkis dua kali serangan musuh tadi ia sudah merasakan lengannya kaku kesemutan, darah bergolak hebat, tapi ia pantang menyerah, meski pun ia tahu serangan ketiga si nenek terlebih dahsyat, akan tetapi sambil mengertak gigi ia menangkis pula.
Diam2 hawa murninya dihimpun ilmu pukulan Thian-hud-hang-nio-ciang dikerahkan hingga puncaknya, tatkala angin serangan lawan yang dahsyat itu menyambar tiba, baru ia angkat telapak tangannya untuk menyambut dengan keras lawan keras.
Kebetulan waktu itu Tian Pek berdiri di atas tembok pekarangan, ia tak menyangka paman Lui akan bertindak senekat itu, tadinya ia mengira paman Lui tentu akan berkelit dulu, kemudian melepaskan serangan balasan, maka Tian Pek sendiri tidak melakukan persiapan apa2.
Tapi demi melihat paman Lui siap menyambut serangan musuh, ia baru sadar gelagat tidak menguntungkan: "Wah celaka. . . .!" serunya.
Ketika ia melayang turun. telapak tangan paman Lui telah saling bentur dengan telapak tangan nenek itu.
Paman Lui tergetar mundur. namun ia masih tetap berdiri tegak dan tak sampai terjungkal.
Nenek itu berdiri dengan mata melotot, ia menunggu jatuhnya lawan. tapi paman Lui tidak roboh, malahan mengejek "'Nenek tua, katakan namamu."
Karena bicara, pergolakan darah dalam dadanyaa tak terkendalikan lagi, darah segar terus mengucur melalui ujung mulut.
Nenek rambut putih sangat tinggi hati, sejak masuk daratan Tiongioan, kecuali keok di tangan Tian Pek, belum pernah ia temui musuh yang tangguh.
Siapa tahu sekarang bertemu dengan paman Lui, bukan saja lawannya sanggup menyambut tiga kali serangannya tanpa roboh, terutama serangannya yang terakhir di mana ia sudah menghimpun segenap kekuatannya, tapi kenyataannya paman Lui masih tetap berdiri tegak tanpa roboh.
Sekarang paman Lui mengejek, dari malu ia jadi gusar, alisnya berkerut, mata melotot, dengan gemas ia menutuk Sim-gi-hiat ditubuh paman Lui. Dengan menyeringai jengeknya: "Ingin tahu namaku, boleh kau bertanya setelah bertemu dengan raja akhirat nanti!"
Tian Pek tahu kelihayan tutukan nenek itu, ia tahu paman Lui diserang dengan Soh-hun-ci yang maha dahsyat, dengan terkejut cepat ia berseru: "Paman, cepat berkelit . . .
,"

Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Wan-ji jauh lebih cepat, baru saja Tian Pek berseru nona itu dengan lincahnya bagaikan burung walet sudah menerjang ke tengah gelanggang, sebelum tiba di tempat, jari tangan segera melancarkan serangan maut, ilmu yang dipakai juga Soh-hun-ci, bahkan yang diarah adalah Kwan-goan-hiat pada lengan kanan nenek itu.
Disinilah letak kecerdikan Wan-ji, ia tahu
kepandaiannya mempergunakan Soh-hun-ci masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kesempurnaan si nenek rambut putih, oleh sebab itu dia menghindari arah serangan musuh dan balas mengancam Hiat-to penting di lengan kanan lawannya.
Dalam keadaan begini, bila si nenek tidak segera menarik kembali serangannya, kendatipun serangannya berhasil membunuh paman Lui, akan tetapi lengan kanannya juga akan cacat untuk selamanya.
Terpaksa si nenek batalkan serangannya dan cepat berkelit kesamping. Paman Lui sempoyongan mundur beberapa langkah, cepat Wan-ji memburu maju dan memayangnya.
"Paman, apakah kau terluka...." tanya gadis itu.
Seperti diketahui, selama Paman Lui berdiam di istana keluarga Buyung, ia paling menyayangi Wan-ji, dan Wan-ji sendiripun sangat menghormati paman Lui.
Sementara itu, Tian Pek sendiripun sudah melayang masuk ke tengah gelanggang, ia melototi si nenek berambut putih dan bentaknya: "Sudah lanjut usia, tak tersangka hatimu sebusuk ini, masa terhadap orang yang sudah terluka masih kau serang secara keji" Hehehe, sekarang tuan muda ingin tahu sebenarnya sampai dimanakah kemampuanmu?"
Kedua telapak tangannya segera direntangkan ke atas, itulah gaya pembukaan dari jurus Thian-hud-hang-mo-ciang, katanya: "Siauya akan memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu, dalam tiga gebrakan, tetap akan kubereskan jiwamu!"
Sejak melihat kemunculan Tian Pek, si nenek berambut putih sudah kelihatan terkejut bercampur jeri, Sikap pongahnya kini sudah lenyap. Ia tahu anak muda ini adalah malaikat maut baginya, untuk sesaat ia jadi bingung dan berdiri ter-mangu2 disitu, ingin lari pun terasa rikuh.
Tiba2 bayangan orang berkelebat, tahu2 kakek berjenggot panjang serta Hud-im Hoat-su telah me layang ke depan anak muda itu.
Setibanya digelanggang, sambil tertawa kakek berjenggot panjang itu berkata: "Engkoh cilik, di daratan Tionggoan dewasa ini hanya kau seorang yang dapat menaklukkan Hay-gwa-sam sat kami. Meskipun begitu, malam ini kami bertipa berhasrat turun tangan bersama guna minta petunjuk kepada engkoh cilik, mungkin orang lain akan bilang kami main kerubut, tapi bagi engkoh cilik tentunya pengerubutan ini bukan soal . . ."
Mendengar perkataan ini, Tian Pek ter-bahak2:
"Hahaha, aku menghormati kau sebagai orang yang lebih tua, tak tahunya kau malahan mengucapkan kata2 yang memalukan, tidakkah kau merasa kulit mukamu terlampau tebal?"
Merah padam wajah kakek berjenggot panjang itu, tapi segera ia tertawa lngi: "Hahaha, anggaplah aku si tua bangka ini memang bermuka tebal, tapi tahukah engkau engkoh cilik, bila kami Hay-gwa-sam-sat mengerubuti kau seorang, justeru peristiwa ini akan menaikkan nama serta gengsi engkoh cilik di dunia persilatan" Berbicara terus
terang, kecuali engkoh cilik seorang, di daratan Tionggoan dewasa ini belum ada orang lain yang pantas menerima kehormatan ini."
"Hahaha, kalau begitu. kehormatan ini bagaimanapun juga harus kuterima" Baiklah, Tian Pek siap menerima pelajaran kalian bertiga, silakan kalian melancarkan serangan?"
Habis berkata segera ia bersiap melancarkan pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang.
Ilmu silat Hay-gwa-sam-sat cukup disegani, jangankan jago2 biasa. bahkan tokoh persilatan yang sangat tersohor seperti Mo-in-sin-jiu (tangan sakti di balik awan) Siang Cong-thian, Hiat-ciang-hwe-liong (naga api telapak darah) Yau Peng-kun serta Tok-kiam-leng-coa (pedang racun ular sakti) Go Hoa-lam, anak buah An-lok Kongcu, juga Hong-jan-sam kay, anak buah Toan-hong Kongcu, lalu Kim-hu siang-tiat-wa anak buah Siang-lin Kongcu. secara beruntun telah terluka di tangan mereka.
Bukan itu saja, malahan Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio Kiu-ciu, tokoh paling sakti dibawah pimpinan Leng-hong Kongcu juga dikalahkan oleh si nenek berambut putih, bisa dibayangkan betapa kagetnya kawanan jago demi menyaksikan Hay-gwa-sam-sat sudi menurunkan derajat sendiri dengan menantang Tian Pek untuk bertempur satu lawan tiga dan tanpa berpikir tantangan itu diterima oleh anak muda itu.
Tidak heran pertempuran lain yang sedang berlangsung otomatis lantas berhenti dan masing2 lantas menguadurkan diri ke samping gelanggang.
Suasana jadi hening, semua orang mengalihkan perhatiannya ke tengah gelanggang, Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li yang duduk tenang di atas panggungpun
berdiri, rupanya merekapun ingin menyaksikan bagaimanakah jalannya pertarungan antara ketiga tokoh sakti andalan perguruannya melawan Tian Pek.
Buyung Hong dan Kim Cay-hong tidak tahu sampai dimanakah kelihayan Hay-gwa-sam-sat, akan tetapi menyaksikan ketegangan yang mencekam seluruh gelanggang pertarungan itu mereka Sadar bahwa musuh yang akan dihadapi Tian Pek pasti lihay luar biasa, diam2
mereka menguatirkan keselamatan engkoh Pek.
Wan-ji tahu sampai dimanakah kehebatan kungfu Hay-gwa-sam-sat, ketika dilihatnya Tian Pek menerima tantangan lawan, ia menjadi gelisah dan tak tenang .... .
Cui-cui juga tahu kungfu Tian Pek dewasa ini sudah cukup untuk malang melintang di dunia persilatan, sebab dia sendiri yang membantu pemuda itu berlatih, tapi setelah mengetahui anak muda itu menerima tantangan ketiga tokoh sakti dari Lam-hay itu, tidak urung iapun rada kuatir.
Paman Lui, Tay-pek siang-gi serta Ji-lopiautau belum lama berselang telah menyaksikan sendiri sampai dimana kelihayan si nenek berambut putih, apalagi sekarang tiga orang turun tangan bersama, inipun membuat mereka cemas.
Bagaimana pun juga Tian Pek telah menerima tantangan tersebut, sekalipun orang lain mencemaskan
keselamatannya toh percuma saja, sebab anak muda itu tak nanti membatalkan persetujuannya dengan begitu saja.
Kalau rekan2 Tian Pek dibikin panik, maka sebaliknya kawanan jago Lam-hay-bun diam2 merasa gembira, meskipun tidak sedikit kawanan jago itu pcrnah menjajal kehebatan kungfu anak muda itu, tapi mereka yakin asal tiga "malaikat maut" itu turun tangan benama. maka kesempatan untuk menang sudah pasti jauh lebih besar.
Dalam pada itu, karena Tian Pek berani menerima tantangannya, dengan girang si kakek berjenggot acungkan jempolnya seraya memuji; "Bagus, engkoh cilik! Kau memang luar biasa, boleh dibilang kau adalah manusia paling aneh yang pernah kujumpai selama seratus tahun terakhir ini!
"Losianseng terlalu memuji!" Tian Pek jadi rikuh oleh sikap hormat kakek berjenggot panjang itu.
Leng-yan-hong. si nenek berambut putih itu tertawa terkekeh: "Hehehe, engkoh cilik tak usah sungkan2, apa yang dikatakan kakek itu memang kata2 sejujurnya! Terus terang saja kami akui bahwa sebelum bertemu dengan kau, kami selalu menganggap kami bertiga ini tiada tandingan di kolong langit, malahan cukong kami, Lam-hay-it-kun sendiripun tak berani mengatakan kami bertiga bukan tandingannya . . . ."
Sampai disini, si kakek berjenggot mengedipi rekannya, sementara Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li yang berada di atas panggung juga segera berubah air mukanya.
Tapi nenek itu tidak menggubris isyarat rekannya itu dan tidak perduli pula bagaimana reaksi orang lain, ujarnya lebih lanjut: "Malam ini, engkoh cilik seorang diri akan melayani kami bertiga. bukankah ini suatu peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi?"
"Kalau kalian merasa kungfu kalian tiada tandingannya di kolong langit ini, mengapa kalian mau tunduk di bawah perintah orang lain?" tanya Tian Pek.
Sebelum nenek berambut putih itu menjawab, Hud-in Hoat-su telah menyela lebih dulu: "Hei. nenek rudin, jangan sembarangan omong yang bukan-bukan ... "
Tapi kakek berjenggot panjang itu menghela napas pelahan, katanya: "Bangsat gundul, malam ini kita bertemu tokoh silat yang luar biasa, bagaimnnapun kita harus berbicara terus terang!" " Lalu ia berkata kepada Tian Pek:
"Berbicara sesungguhnya. kami bertiga tua bangka memang mempunyai kesulitan yang tak bisa diberitahukan kepada orang lain, sekarang tak ada waktu untuk bicara lagi denganmu ...,"
Tiba2 air mukanya berubah jadi serius, sambungnya lagi:
"Yang sudah lewat tak usah dibicarakan lagi sesungguhnya bagi kami bertiga mengerubuti seorang bocah macam kau, boleh dibilang peristiwa ini jarang terjadi dan sukar dicari, untuk memeriahkan pertemuan besar ini, bagaimana kalau kita melakukan pertaruhan pula dalam pertarungan ini?"
Keterus-terangan ketiga orang tua ini telah mengurangi sikap permusuhan Tian Pek terhadap lawannva, ia balik bertanya: "Bolehkah aku tahu, Locianpwe ingin taruhan apa?"
Mendengar dirinya disebut "Locianpwe", saking gembiranya si kakek berjenggot sampai garuk2 kepalanya yang tak gatal, selang sesaat baru menjawab: "Bila kami kalah, maka mulai detik itu juga kami akan mengundurkan diri dari Lam-hay-bun dan takkan mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Sebaliknya kalau engkoh cilik yang kalah' maka kaupun harus mengundurkan diri dari dunia persilatan di Tionggoan ini, adil bukan?"
Tian Pek adalah pemuda yang polos dan jujur rada kebodoh-bodohan, tapi sekarang mendadak ia tampak lebih cerdik, mendengar pertaruhan yang diajukan kakek berjenggot itu, ia merasa ada sesuatu yang tak beres.
Maka ia bertanya: "Sebelum diputuskan ada baiknya kau terangkan lebih dulu, bila kalian mengundurkan diri dari
Lam-hay-bun, apakah masih akan berkecimpuug di daratan Tionggoan atau tidak" Sebaliknya bila aku yang harus mengundurkan diri dari dunia persilatan, apakah juga tidak boleh tinggal di daratan Tionggoan?"
Dari pembicaraan ini si kakek berjenggot panjang segera tahu pemuda ini tidak sederhana, ia tertawa dan menjawab:
"Aku tak peduli dimana kau akan berdiam, pokoknya asal tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Tegasnya setiap persoalan yang berbau persilatan, maka urusan itu tak boleh kita campur, sedangkan mengenai soal tempat tinggal peduli itu berada di daratan Tionggoan maupun di luar lautan, pokoknya jauh dari perjumpaan dengan orang persilatan Bagaimana" Setuju?"
Sementara itu Lam-hay-liong-li telah mengerling sekejap ke arah Sin-liong-taycu, air muka "pengeran naga sakti"
itupun berubah hebat, ia melangkah maju dan hendak melompat ke bawah . . .
Tak seorangnun yang menaruh perhatian terhadap gerak-genk kakak beradik itu, mereka sama mencurahkan perhatian untuk mengikuti perundingan yang sedang berlangsung antara Tian Pek dengan Hay-gwa-sam-sat Tiba2 terdengar Tian Pek menjawab: "Usul Locianpwe memang sangat bagus, tapi sayang tak dapat kuterima."
"Kenapa?" tanya kakek berjenggot, "apakah engkoh cilik masih ingin mengatakan sesuatu?"
"Sakit hati ayahlu belum terbalas, kecuali Tian Pek sudah tak bernyawa lagi, maka selama hayat masih dikandung badan dendam ini harus kutuntut lebih dahulu!"
"Betul, sakit hati orang tua memang harus dibalas lebih dulu!" sahut kakek berjenggot panjang sambil mengangguk,
"entah siapakah musuh engkoh cilik yang membunuh ayahmu itu?"
"Cing-hu-sin Kim Kiu!" jawab Tian Pek sekata demi sekata.
Mendadak si nenek berambut putih menengadah dan terbahak2, keras sekali suaranya sehingga rambutnya yang beruban ikut bergetar keras.
Tian Pek menjadi tak senang hati, ia menegur:
"Locanpwe, apa yang kau tertawakan?"
Nenek itu tak dapat menahan gelak tertawanya, sambil ter-bahak2 dia menuding salah seorang yang terikat pada tonggak kayu sana.
"Cing-hu-sin Kim Kiu telah mati," kata si kakek berjenggot, "aku rasa maksud tujuan engkoh cilikpun sudah terpenuhi!"
Mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, Tian Pek melihat di ujung pekarangan sana tersisa sebuah kursi beroda yang telah hancur, manusia yang terikat di tonggak kayu di depan kursi itu dalam keadaan mengerikan, bukan saja kaki dan tangannya telah berpisah dengan badannya.
kepalapun sudah kutung, jelas mati dengan cara Nio-to-him-si yang amat keji dari Lom-hay-bun itu.
Ketika dia mengamati jenazah yang berlepotan darah itu, dilihatnya jubahnya itulah yang seringkali dikenakan oleh Cing-hu-sin Kim Kiu.
Tiba2 terdengar jerit tangis yang memilukan, sesosok bayangan menerjang ke dekat jenazah Cing-hu-sin Kim Kiu. Itulah Kim Cay-hong yang mengenakan jubah luar Tian Pek.
Tiba2 satu ingatan aneh terlintas dalam benak Tian Pek, ia merasa kasihan terhadap Kim Cay-hong yang kehilangan ayah, tapi iapun merasa lega karena musuh yang membunuh ayahnya telah mati dengan ganjaran yang setimpal, pikirnya lebih jauh dengan heran: "Lam-bay-bun kembali membalaskan dendam kematian ayahku, sebenarnya aku mesti bersahabat atau bermusuhan dengan mereka?"
Tapi sedapatnya ia singkirkan jauh2 ingatan tersebut, katanya kemudian: "Sekalipun Kim Kiu sudah mati tapi pembunuh ayahku masih ada Kian-kun-ciang In Tiongliong!"
"Wah, tampaknya tidak sedikit pembunuh ayahmu, engkoh cilik," kata si kakek berjenggot panjang sambil tertawa aneh. "Apa aku boleh tahu, selain kedua orang itu masih ada siapa lagi?"
"Kun-goan-ci Su-gong Cing!"
"Dan"''
"Pah-ong-pian Hoan Hui!"
"Hahaha!" kakek berjenggot panjang itu ter-bahak2.
"Kiranya musuh besar engkoh cilik adalah para pemuka dunia persilatan, apakah masih ada yang lain?"
"Tidak ada lagi!"
Nenek berambut putih lantas berkata: "Engkoh cilik, kalau cuma beberapa orang itu saja musuh besarmu, sekarang silakan saja bertempur melawan kami, sebab di dunia persilatan ini tiada persoalan lain lagi yang akan merisaukan hatimu!"
"Maksudmu, empat pemuka dunia persilatan berikut Hoan Hui telah kalian bunuh?" tanya Tian Pek.
"Ah, masa kami membohongi seorang bocah seperti kau?" sela Hud-in Hoat-su.
Dengan serius si kakek berjenggot menukas: "Engkoh cilik, tentunya kau tahu betapa pentingnya janji dan perkataan seorang persilatan" Ketahuilah kami Hay-gwa-san-sat bukan kaum keroco. ."
Mendadak Tian Pek memberi hormat kepada ketiga orang itu, katanya: "Kalau begitu, terima kasih atas bantuan kalian yang telah membalaskan dendamku!"
"Engkoh cilik, kau jangan hanya berterima kasih kepada kami bertiga saja." kata si nenek, "bicara sesungguhnya, orang yang mewakili dirimu membunuhi musuhmu bukanlah kami melainkan majikan muda kami, sepantasnya engkoh cilik berterima kasih kepada majikan muda kami itu!"
Tian Pek berpaling mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, yang dimaksud kiranya Lam-hay-liong-li.
Lam-hay-liong-li juga sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip.
Ketika Tian Pek beradu pandang dengan gadis itu, hatinya terkesiap, buru2 ia melengos, ia merasa bahwa sorot mata itu luar biasa.
Bukan cuma sekali ini saja anak muda itu melihat sorot mata begini, tatapan Wan-ji waktu merawat sakitnya di Pah-to-san-ceng. Pandangan Buyung Hong ketika terpengaruh oleh irama Im-hun-siau-hoat, Ketika menunggang kuda menuju istana keluarga Kim bersama Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong, serta waktu Liu Cui-cui mengobati lukanya dalam keadaan bugil di lembah Bong-hun-kok, semua itu penah dilihatnya sorot mata seperti ini.
Belenggu cinta sudah cukup memusingkan pikiran pemuda ini, beberapa gadis yang selalu mengitarinya sudah cukup membuatnya kebingungan, sekarang dilihatnya Lam-hay-liong-li menatapnya pula dengan sorot mata mesra seperti itu, tentu saja ia tak berani balas tatapannya, dengan ketakutan cepat sinar matanya beralih ke arah lain.
"Setelah aku berterima kasih kepada kalian, rasanya tak perlu kuucapkan terima kasih lagi kepada orang lain,"
katanya kemudian kepada Hay-gwa-sam-sat. "Sekarang aku sudah tidak memikirkan sakit hati ayahku lagi, tiada persoalan lain yang membelenggu pula pikiranku, baiklah, kuterima taruhan kalian itu, silakan Cianpwe bertiga mulai nmnyerang!"
Ia lolos pedang hijau dari sarungnya dan diluruskan ke depan, ia melakukan gerak pembukaan jurus Sam-cay-kiam, ilmu pedang yang sangat umum.
Hay-gwa-sam-sat tidak berani gegabah, serentak mereka memisahkar diri dengan posisi segi tiga, dengan begitu Tian Pek segera terkurung di tengah.
Setelah ambil ancang2, kakek berjenggot panjang berdiri tegak dengan kedua telapak tangan bersilang di depan dada, inilah gaya Hay-pau-jit-gwat (memeluk matahari dan rembulan).
Sedangkan si nenek berdiri dengan sebelah kaki melangkah ke depan, jari tangan kanan menuding di tepi telinga. Sebaliknya Hud-in Hoat-su berjongkok dengan kedua tangan menempel tanah, gayanya seperti seekor katak.
Dari kuda2 mereka ini dapat diketahui si kakek berjenggot itu akan menghadapi lawan dengan ilmu Tay-jiu-in, si nenek siap dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan Hud-in Hoat-su dengan ilmu Ha-mo-kang.
Suasana dalam gelanggang jadi sunyi senyap, ratusan orang yang berada di sekitar tempat itu berdiri dengan terbelalak lebar, semua orang ingin menyaksikan bagaimana akhhir dari pertarungan seru yang jarang bisa dijumpai ini.
Sekilas pandang pertarungan ini seperti pertempuran pribadi antara Hay-gwa-sam-sat melawan Tian Pek, tapi pada hakikatnya pertarungan ini justeru sangat mempengaruhi keselamatan dunia persilatan, menang-kalah bertarungan ini mempengaruhi pula kehidupan berpuluh ribu manusia.
Meskipun musuh2 Tian Pek sudah terbasmi, empat pemuka dunia persilatan telah musnah. akan tetapi pengaruh Lam-hay-bun justeru berkali lipat lebih mengerikan daripada empat pemuka dunia persilatan itu, lebih kejam dan lebih se-wenang2.
Andaikata Tian Pek kalah dalam pertarungan ini sehingga harus mengudurkan diri dari dunia persilatan, itu berarti daratan Tionggoan segera akan menjadi wilayah jajahan Lam-hay-bun, keadaan pada waktu itu pasti akan lebih mengerikan daripada semasa perebutan kekuataan antara empat Kongcu dunia persilatan.
Bukan rahasia lagi bahwa di dunia persilatan dewasa ini kecuali Tian Pek, belum ada orang lain yang mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-sam-sat.
Sebab itulah jago seperti paman Lui, Tay-pek-siang-gi serta Ji=lopiautau sekalian merasa tegang sekali, mereka kuatir Tian Pek hanya terburu napsu dan berdarah panas menyambut tantangnn ketiga orang itu, bila sampai cedera berarti suatu kerugian yang besar bagi umat persilatan.
Buyung Hong serta Wan-ji juga merasa tegang, malahan mereka jauh lebih tegang daripada orang lain.
Kim Cay-hong telah jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya dalam keadaan mengerikan, cuma tak seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya.
Satu2nya orang yang paling santai ialah Lui Cui-cui, ia percaya seratus persen akan Kungfu Tian Pek dewasa ini, bahkan boleh dibilang sudah mencapai tingkatan tiada tandingan di kolong langit ini, Walau begitu rasa was-was masih terselip di dalam hati nona itu.
Ia tidak kuatir Kungfu engkoh Tian bukan tandingan lawan, ia justeru mencemaskan keselamatan anak muda itu dari tipu muslihat ketiga jago tua itu.
Orang dari Lam-hay-bun sendiripun tak tenang, teratama Sin-liong-taycu serta Lam-hay-liong-li.
Sin-liong-taycu sudah pernah merasakan kelihayan Tian Pek, sedangkan Hay-gwa-sam-sat justeru merupakan basis kekuatan Lam-hay-bun mereka, tentu saja ia menguatirkan keselamatan anak buahnya ini.
Padahal, pengabdian Hay-gwa-sam-sat kepada Lam-hay-bun adalah karena mereka pernah diselamatkan jiwanya oleh Hay-liong-sin, maka ketiga orang itu bersumpah setia untuk berbakti kepada Lam-hay-bun.
Tiga orang ini sangat aneh, mereka sudah terbiasa bertindak menurut hawa napsu sendiri, apa- lagi ilmu silat mereka jauh di atas Hay-liong-sin, maka seringkali mereka unjuk sikap tak bersahahat.
Dan sekarang Sin-liong-taycu justeru menguatirkan kekalahan mereka, ia kuatir ketiga orang itu sengaja mengalah sehingga dengan alasan tersebut untuk mengundurkan diri dari Lam-hay-bun.
Perasaan Lam-hay-liong-li juga tidak menentu ia tidak mengharapkan Tian Pek kalah, namun ia- pun tidak mengharapkan Hay-gwa-sam-sat yang keok.
Hatinya yang selama ini belum pernah tersentuh oleh siapapun, kini tertarik oleh ketampanan Tian Pek, sejak kecil sampai dewasa belum pernah ia alami perasaan seaneh ini, maka untuk sesaat ia jadi tertegun, ia lupa bahwa tanggung-jawab operasinya ke daratan Tionggoan berada diatas pundaknya, iapun tidak bertindak melihat gelagat yang tidak menguntungkan Lam-hay-bun ini, gadis itu hanya ter-mangu2 belaka.
Lentera sudah dipasang di-mana2, suasana lapangan berlatih yang luas ini terang-benderang bermandikan cahaya.
Hay-gWa-sam-sat pernah menderita kekalahan sewaktu melawan Tian Pek dengan satu lawan satu, sekarang mereka bekerja sama, serentak mereka unjuk jurus pembukaan yang paling hebat, dari sini dapat diketahui bahwa mereka tidak main2 seperti apa yang dikuatirkan Sin-liong-taycu, malahan tampaknya mereka justru hendak menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Tian Pek.
"Cianpwe bertiga, silakan keluarkan senjata kalian!" seru Tian Pek setelah memasang kuda2.
"Kami bertiga tua bangka ini tidak pernah menggunakan senjata tajam," sahut Hay-gwa-sam-sat berbareng, "Lagipula kami bertiga harus melawan kau seorang, bertangan kosongpun rasanya berlebihan. . . ."
Dengan bersenjata pun pantas bagi Tian Pek untuk menandingi ketiga jago lihay itu, tapi sebagai pemuda yang tinggi hati, ia tak sudi menarik keuntungan atas orang lain.
Karena itu segera ia pun sarungkan kembali pedang
hijaunya, lalu sambil merentangkan kedua telapak tangannya dengan gaya pembukaan dari Thian-hud-hang-mo-ciang, ia berkata: "Kalau kalian akan melayani diriku dengan bertangan kosong, maka biarlah akupun melayani kalian dengan bertangan kosong pula. Silakan!"
Diam2 paman Lui serta Tay-pek-siang-gi menggeleng kepala sambil berpikir: "Ai, tabiat bocah ini persis seperti ayahnya, Pek-lek-kim Tian In-Thian."
Sementara itu kakek berjenggot berkata sambil tertawa:
"Engkoh cilik, silakan menyerang! Kami sudah untung dengan tiga-lawan-satu maka kau saja yang menyerang lebih dulu."
"Yang muda wajar mengalah kepada yang tua, silakan Cianpwe bertiga turun tangan lebih dulu!"
"Hehe, apa gunanya saling mengalah?" tiba2 si nenek ter-kekeh2. "Kalau semua orang sungkan turun tangan lebih dulu, biar si nenek tua saja ymg mendahului!"
Dengan tenaga ilmu jari Soh-hun-ci yang hebat segera ia menyerang, desiran angin tajam segera menyambar ke tubuh Tian Pek.
Tian Pek tenang2 saja. dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh ia mengegos kesamping.
Setelah nenek berambut putih itu turun tangan, Hud-in Hoat-su juga tidak sungkan2 lagi, ia ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya didorong ke depan menghantam dada lawan.
Hebat sekali serangan tersebut, angin pukulannya menderu2 bagaikan amukan ombak di tengah samudra.
Sekali lagi Tian Pek mengegos ke samping dengan langkah ajaib Ciau-hoan-biau-hiang-poh.
Kakek berjenggot mendongkol melihat serangan yang dilancarkan rekannya dapat dihindarkan pemuda itu, ia lantas membentak: "Engkoh cilik, jangan main menghindar melulu, sambut pukulanku ini!"
Sambil membentak, suatu pukulan dahsyat dilontarkan ke depan, ketika hawa murninya tersalur keluar, telapak langannya se-akan2 membesar seperti roda, dengan membawa deru angin yang mengerikan ia membacok pinggang Tian Pek.
Kembali anak muda itu menghindarkan serangan dahsyat itu dengan gerakan enteng Bu-sik-bu- siang-sin-hoat. hampir tidak tertampak bayangan tubuhnya, tahu2
pemuda itu sudah lolos jauh ke sana.
Baru sekarang kakek berjenggot itu tercengang, ia tak habis mengerti mengapa Tian Pek belum juga melancarkan serangan balasan, meskipun ia sudah menyerang secara ganas dengan ilmu sakti Tay-jiu-in, segera ia menegur:
"Engkoh cilik, kenapa tidak membalas?"
"Pertama aku ingin menghormati kalian, kedua, dengan cara ini akupun ingin menyampaikan rasa terima kasihku karena Cianpwe bertiga telah bantu aku melenyapkan musuh besar pembunuh ayahku!"
"Huh, anak muda yang membosankan, masih semuda ini suka bicara secara ber-tele2. Nih, sambut dulu pnkulanku!"
seru si nenek dengan tak sabar.
Angin serangan menderu-deru, kali ini dia menyerang Keng-bun-hiat di bawah iga anak muda itu.
Sesudah ia diserang secara keji dan tak kenal ampun oleh nenek berambut putih itu, Tian Pek tidak sungkan2 lagi, ia
segera melancarkan serangan balasan dengan jurus Hud-cou-so-hoat (Buddha suci memberi khotbah)
Pada saat yang hampir bersamaan, kakek berjenggot juga menyerang dengan Tay-jiu-in, sedangkan Hud-in Hoat-su menyermg dengan Ha-mo-kang, diiringi deru angin yang tajam kedua serangan tersebut serentak tertuju ke tubuh Tian Pek.
Tian Pek tetap tenang, dengan gerak campuran ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh dan ilmu entengkan tubuh Hu-sik-bu-niang-sin-hoat serta ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia layani ketiga lawan tangguh itu dengan sama lihaynya.
Pertempuran ini benar2 suatu pertempuran sengit yang jarang terjadi, saking dahsyatnya debu yang mengepul di udarapun mencapai ketinggian puluhan kaki.
Waktu itu bayangan manusia yang berada di seputar gelanggang sudah tidak terlihat jelas lagi, yang tertampak hanya kisaran angin yang men-deru2 bagaikan amukan topan, keadaan sungguh mengerikan.
Dalam waktu singkat, pertarungan sudah berlangsung berpuluh gebrakan, masing2 saling bertahan dengan gigihnya pukulan bertambah dahsyat dan gencar, menangkalah sukar untuk ditentukan dalam waktu singkat.
Dalam keadaan seperti ini, kawanan jago silat yang mengikuti pertarungan disamping tak mampu berdiri tegak lagi dan terdesak mundur, malahan lentera dan obor yang berada puluhan tombak jauhnya dari gelanggang pun berguncang keras seperti mau padam.
Keringat telah membasahi tubuh ke empat orang itu.
walaupun masing2 pihak memiliki ilmu silat yang lihay, tapi pertarungan yang berlangsung terlalu banyak memeras
tenaga, kendati Hay-gwa- sam-sat sangat ulet, tubuh mereka pun sudah basah keringat, sebaliknya meski kungfu Tian Pek tiada tandingannya, napasnya juga ter-sengal2.
Dari pertempuran cepat sekarang keempat orang itu mulai saling mengitari gelanggang sambil menyerang dengan gerakan yang lambat, kendati pun begitu, semua orang dapat melihat jelas sekarang bahwa setiap pukulan yang dilancarkan ke?empat orang itu, semuanya disertai dengan himpunan tenaga maha sakti, setiap kali serangan mengenai sasaran yang kosong, di atas permukaan tanah segera muncul sebuah lekukan atau lubang yang dalam.
Dari sini terbuktilah bahwa setiap serangan baik pukulan maupun tutukan yang dilancarkan keempat orang itu, semuanya disertai tenaga penghancur yang mengerikan.
Di antara ketiga "malaikat maut" itu, watak si nenek berambut putih paling berangasan, di waktu biasa jarang sekali ada orang yang sanggup menandingi kelihayan kungfunya, bahkan ia pernah sesumbar barang siapa sanggup menahan tiga kali serangannya, maka ia akan bebas dari kematian.
Tapi sekarang, meski pun mereka bertiga telah bekerja sama, namun kepungan itu tidak menghasilkan apa2, dalam gusar dan panasarannya, serangan jari Soh-hun-cinya segera dikerahkan sekuatnya. "Crit! Crit! Crit!" beruntun-runtun ia lancarkan tiga kali tutukan berantai yang semuanya ditujukan pada Hiat-to mematikan di tubuh lawan.
Tian Pek sendiri jadi penasaran karena tak dapat merobohkan musuh sesudah bertarung sekian lama, rasa ingin lekas menang lantas timbul dalam hati kecilnya, ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh serta ilmu entengkan tubuh Bu-sik-bu-siang-sin-hoat diperpadukan jadi satu, gemulai bagaikan bidadari cantik, lincah bagaikan naga
perkasa, secara beruntun ia menghindarkan tiga kali tutukan maut itu. kemudian dengan jurus Hud-kong-bu-ciau dari ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia sapu tubuh si nenek berambut putih itu.
Waktu itu serangan maut si nenek keburu dilancarkan, ia jadi mati langkah dan tak sempat menarik diri, dengan sendirinya gerak menghindarpun jadi lebih lambat, tanpa ampun bahu kirinva kena tersapu oleh tangan Tian Pek.
Setengah badan nenek itu jadi kaku kesemutan, rasa sakit merasuk tulang, ia berpekik kesakitan, lalu dengan sempoyongan mundur lima-enam langkah.
Untung ia tak sampai terhajar telak oleh serangan tersebut, bila kena di hantam tepat pada bagian yang mematikan, pasti nenek itu akan mati konyol.
Gusar dan gelisah Hud-in Hoat-su demi melihat si nenek kena dihantam oleh Tian Pek. "Kok, kok!" sambil ber-kaok2
seperti katak, kedua telapak tangannya segera mendorong ke punggung anak muda itu.
Waktu itu, baru saja Tian Pek berhasil menghajar nenek berambut putih, ketika merasakan angin keras menyambar dari belakang, bukannya menghindar atau berkelit, dengan menghimpun tenaga ia putar badan menyambut ancaman tersebut.
"Blaang!" benturan keras terjadi dan desing angin memancar ke empat penjuru, di antara debu pasir yang beterbangan, bagaikan layang2 yang putus benangnya, tubuh Hud-in Hoat-su terlempar jauh ke belakang.
Setelah melukai dua orang musuh, kemenangan bagi Tian Pek sudah berada di ambang pintu, gerakan melukai si nenek kemudian menghajar pula Hud-in Haot-su sampai mencelat, baik keindahan jurus serangannya maupun
tenaga pukulannya sangat mengagumkan, seketika tampik sorak berkumandang baik dari pihak kawan maupun lawan.
Air muka Lam-hay-liong-li dan Sin-liong-taycu berubah hebat, mereka semakin tegang bercampur gelisah.
Sementara paman Lui, Ji-lopiautau, Tay-pek-siang-gi, Wanji serta Buyung Hong ikut bersorak dengan girangnya.
Seketika suasana jadi gaduh.
Di tengah kegaduhan itu mendadak terdengar bentakan nyaring ibarat guntur menggelagar, segulung hawa pukulan yang maha dahsyat bagai topan menyapu gelanggang yang luas itu, demikian dahsyatnya hingga lentera serta obor yang berpuluh tombak jauhnya terembus hingga guram.
Semua orang menjerit kaget. waktu lampu terang kembali, tertampaklah muka Tian Pek pucat lesi dari ujung bibir meinucurkan darah. Ketika semua orang memandang si kakek berjenggot,
orang tua itu berdiri dengan wajah buas, matanya melotot, mukanya menyeringai dan rambutnya se-akan2
berdiri. Dari keadaan tersebut dapat diketahui Tian Pek telah terluka dalam.
Paman Lui dan lain2 merasa cemas. Dalam pada itu, kakek berjenggot itu telah mengangkat telapak tangannya yang besar itu dan hendak membacok batok kepala Tian Pek.
Jilid 22 "Hehehe, engkoh cilik!" ia berseru sambil tertawa seram,
"di antara tiga tua bangka, dua orang sudah terluka, sekarang dengan pukulan ini akan kucabut jiwamu!"
Setelah melukai dua orang lawannya, sedikit lengah Tian Pek juga terluka oleh pukulan si kakek, darah terasa bergolak di dalam dada, walaupun begitu ia tidak gentar, ia berkata: "Beium tentu bisa Cianpwe, kekuatan kita seimbang, adu pukulan ini entah akan dimenangkan siapa''"
"Hehehe, engkoh cilik, jangan paksakan diri," kakek berjenggot itu berkata dan telapak tangannya yang besar itu terus menekan ke bawah "Jelas kau sudah terluka dan muntah darah,"
"Kukira Locianpwe sendiripun tahu keadaan sendiri, isi perutmu sudah terguncang dan peredaran hawa murnimu tidak lancar lagi!" balas Tian
Pek sambil menghimpun tenaga sepenuhnya dan perlahan diangkat ke atas.
Apa yang diucapkan Tian Pek memang tepat
mencerminkan keadaan si kakek, hawa murninya sudah tergetar buyar oleh pukulan dahsyat anak muda itu, sekarang didengarnya pemuda itu membongkar rahasianya, hawa napsu membunuhnya segera timbul, sambil menyeringai seram ia berkata: "Sebenarnya aku ingin menyudahi pertarungan ini; setelah menang-kalah diketahui, tapi sekarang . . . hehe, engkoh cilik, kematianmu tak dapat dihindarkan lagi."
Berbicara sampai di sini, hawa murninya segera disalurkan keluar, telapak tangannya yang besar itu bagai gugur gunung dahsyatnya membacok batok kepala Tian Pek.
Baik Buyung Hong maupun Tian Wanji dan Kim Cayhong yang baru sadar dari pingsannya serentak menjerit kaget demi menyaksikan serangan maut itu, cepat mereka menerjang ke tengah gelanggang.
Tapi terlambat, tangan Tian Pek telah beradu dengau musuh.
Di tengah getaran keras itu, Buyung Hong, Wan-ji dan Kim Cay-hong terguncang balik ke tempat semula oleh angin pukulan yang memancar ke empat penjuru itu.
Tian Pek muntah darah, namun tidak roboh, sambil mengangkat telapak tangannya ia berteriak: "Hei, orang tus, hayo maju lagi!"
Kakek berjenggot itupun bergeliat, akhirnya ia tak tahan dan muntah darah juga, ketika dilihatnya Tian Pek masih kuat untuk menantang bertempur lagi, mendadak air mukanya berubah jadi tenang, rasa gusarnya berganti dengan rasa kagum, sambil acungkan jempol ia berseru:
"Engkoh cilik, kau benar2 hebat! Aku amat kagum padamu!"
Tian Pek adalah pemuda yang suka lunak dan tak doyan keras, bila orang kasar kepadanya maka iapun akan bertindak lebih kasar, tapi sekarang kakek berjenggot itu memujinya, ia jadi tak tega untuk melanjutkan pertarungan adu jiwa itu, terutama bila mengingat betapa kedua orang itu sudah dilukainya, ia merasa dendam sakit bati ayahnya telah terbalas, apa gunanya mesti beradu jiwa dengan orang lain"
Maka iapun menarik kembali telapak tangannya, lalu sambil menjura katanya: "Aku mengaku kalah, Locianpwe
.... selamat tinggal!" tanpa berpaling lagi ia lantas berlalu dari situ.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan kakek berjenggot panjang itu, ia tak mengira anak muda itu akan berlalu dengan begitu saja, untuk sesaat dia jadi tertegun ....
Baru beberapa langkah Tian Pek berlalu, tiba2 ia merasa darah dalam rongga dadanya bergolak sekuat tenaga ia bertahan, kemudian cepat2 kabur keluar pagar pekarangan.
Di belakangnya ia mendengar suara seruan Buyung Hong, Tian Wan-ji, Kim Cay-hong serta paman Lui sekalian, namun ia tak berpaling lagi dan kabur menuju ke luar kota.
Perasaannya sekarang terasa aneh sekali, kalut, se-olah2
banyak masalah y?ng menyelimuti benak-nya, tapi setelah dipikir dengan seksama terasa kosong pula, tiada sasuatu persoalan apapun.
Ia tahu dalam pertarungan melawan Hay-gwa-sam-sian tadi hawa murninya telah dipergunakan kelewat betas, lagipula isi perutnya sudah terluka parah, dia bisa bertahan sampai sekarang tanpa roboh tak lain adalah berkat tekadnya menahan diri agar tidak sampai roboh di depan mata orang banyak, maka ia tak pedulikan panggilan siapapun, sambil mempertahankan sisa hawa murni yang di milikinya sekuat tenaga ia kabur ke depan.
Pemuda itupun tahu, bila sekarang ia hentikan larinya maka dia pasti akan roboh, dan sekali roboh maka kemungkinan besar tak kan sanggup merangkak bangun lagi, sebab itulah walaupun ia mendengar suara panggilan dari rekan-rekannya namun ia sama sekali tidak menggubris.
"Seorang laki2 sejati lebih baik menderita dari pada dikasihani orang!" inilah prinsip hidup dan keangkuhan Tian Pek.
Setelah meninggalkan Lam-keng, ia terus lari menyusur tepi sungai, melewati dua belas gua karang dan menuju
"Bong-hun-koh" (lembah kematian).
Didengarnya suara air sungai yang mendebur, dilihatnya batu berumput di mana ia pernah berbaring ketika diobati Cui-cui, akhirnya ia tak tahan dan jatuh di atas batu itu dan tak sadarkan diri.
Entah sudah lewat berapa lama tiba2 ia merasa lubang hidungnya gatel2 geli "Waaji. ... waaji!" ia bersin beberapa kali, segera kesadaran-pun pulih kcmbali.
Sang surya telah muncui di ufuk timur, kicauan burung yang merdu berkumandang di angkasa ternyata malam sudah lewat dan fajarpun tiba.
Tiba2 dilihatnya Liu Cui-cui berduduk bersandar di sebelahnya dan sedang mempermainkan sehelai bulu burung yang indah, dengan tertawa sedang mengkili lubang hidung Tian Pek dengan bulu burung itu.
Cepat Tian Pek merangkak bangun, serunya:
"He, kau.. "
Cui cui tertawa, ia membuang bulu burung itu dan menjawab: "Kita ditakdirkan dua sejoli, kemanapun kau pergi disitulah aku akan muncul. Nama besar dan kejayaan mirip asap akan buyar dalam sekejap, budi dendam hanya impian, apa gunanya kau mencampuri urusan dunia persilatan lagi" Marilah kita mencari tempat yang jauh dari keramaian untuk hidup bahagia hingga akhir tua nanti"
Engkoh Pek, sekarang engkau tak bisa menolak lagi!"
Tiba2 Tian Pek merasa masih ada urusan lain, maka katanya: "Aku . , ."
Cui cui lantas menyela: 'Eigkoh Pek, sakit hati ayahmu telah terbalas, engkau tidak terikat lagi oleh masalah apapun, inilah kesempatan yang terbaik untuk ber sama2
mengasingkan diri, marilah kita hidup bagaikan sepasang burung merpati!
Tatkala dilihatnya Tian Pek masih termangu-mangu tanpa menjawab aambil tertawa ia menggoda: "Jangan2
engkoh Pek merasa berat untuk meninggalkan Wan-ji, Buyung Hong serta Kang-lam-te-it-bi-jin?"
Merah muka Tian Pek karena isi hatinya tertebak, jawabnya dengan ter-gagap2: "Aku dengan Buyung siocia telah .... telah terikat ?"
Cui-cui tertawa: "Kakak beradik itu sama2 mencintai dirimu, ambil yang satu harus ambil pula yang lain, tak mungkin bagi engkoh Pek untuk meninggalkan salah satu diantaranya. Andaikata mereka bertiga sama2 menaruh cinta kepada engkoh Pek dan rela meninggalkan sanak keluarga tanpa mempersoalkan sakit hati, apa salahnya kalau kami semua mendampingi engkoh Pek secara bersama2. Pikiranku sudah terbuka, aku merasa sepantasnya aku berlapang dada dan hidup bersama mereka dalam suasana kadamaian. Engkoh Pek, engkau jangan pandang rendah diriku. Siaumoay bukanlah Kuntilanak, lebih2
bukan orang yang suka cemburu. ."
Mendeng itu, Tian Pek menghela napas panjang, katanya: "Sungguh tak kusangka kau bisa berpikir sebaik ini bagiku tapi aku. .."
Buat orang persilatan, janji tetap janji, setiap perkataan berbobot melebihi gnnung, seringkali seorang ksatria berubah jalan hidupnya hanya lantaran sepatah kata, bahkan sampai matipun takkan dilanggarnya.
Demikian pula keadaan Tian Pek sekarang, waktu pertarungannya melawan Hay-gwa-sam-sat, kendatipun secara beruntun ia dapat merobohkan Hud in Hoat-su dan nenek berambut putih, tapi akhirnya menderita kekalahan di tangan kakek berjenggot panjang, menurut peraturan
maka dia harus memegang janji dan mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Akan tetapi pada hakikatnya dia pribadi masih mempunyai banyak persolan yang belum dibereskan, budi dan dendam ayahnya, dan lagi masalah cintanya dengan beberapa orang gadis. semua pwrsoalan ini tak mungkin ditinggalkannya dengan begitu saja tanpa ada penyelesaian, terutama persetujuannya atas pinangan paman Lui yang telah menjodohkan dia dengan Buyung Hong,
bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dibiarkan begitu saja.
Untuk sesaat pemuda itu jadi binpung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan, andaikata dia dengan Liu Cui-cui tak ada kenyataan sebagai suami-isteri, mungkin saja persoalan ini mudah di-selesaikan, tapi kenyataan berbicara lain, dan lagi Liu Cui cui sendiripun telah menunjukkan sikap yang bijaksana hal ini mcmbuatnya semakin bimbang.
Sementara Tian Pek kebingungan, mendadak mata Cuicui yang jeli mengerling sekejap sekitar tempat itu, kemudian tegurnya "Siapa di situ" Berani mencuri dengar pembicaraan nonamu" Hayo unjukkan diri untuk menerima kematian!"
Tian Pek melengak, ia tak menyangka ketajaman mata serta pendengaran Liu Cui-cui jauh jauh lebih lihay daripadanya, ia sendiri sama sekali tidak mendengar sesuatu apapun, tapi si nona ternyata tahu ada orang bersembunyi di sekitar sana.
Betul juga, begitu Cui-cui menegur, dari balik pohon besar tak jauh dari tempat mereka berada melayang keluar sesosok bayangan.
Orang itu berdandan perlente sekali, meskipun di tengah kegelapan sulit untuk melihat raut wajahnya, tapi dapat diduga bahwa orang ini adalah seorang pemuda cakap.
Sesudah munculkan diri dari tempat persembunyirtnnya, orang itu tertawa ter-bahak2, lalu berkata: "Hahaha, kurang ajar, benar2 kurang ajar! kalianlah yang bsr-kaok2 di sini mengganggu tidurku. sebelum sempat kutegur kalian, malahan kau vang menegur diriku lebih dulu. Apa tumon!"
Habis itu ia lantas putar badan dan berlalu dari situ.
Cui-cui mendengus, entah dengan gerakan apa, tahu2 ia sudah bergerak ke depan dan mengadang jalan pergi orang itu.
Terkejut orang itu menyaksikan betapa gesit gerakan lawan, ia tak mengira Cui cui memiliki Ginkang sehebat itu, iapun tak tahu apa makcud Cui-cui mengadang jalan perginya" Cepat dia meng-himpun tenaga pada telapak tangan dan siap menghadapi segala sesuatu.
Sementara itu Tian Pek telah memburu datang, di bawah cahaya bintang ia dapat mslihat jelas wajah orang, mendadak ia berseru kaget: "He, kiranya kau!"
Orang itu menengadah dan tertawa ter-bahak2: "Hahaha, kenapa" Tidak kau sangka bukan" Padahal sejak tadi kutahu kau yang berada di situ. Hah! Bu-cing-kiam-kek (jago pedang tak kenal ampun) ternyata punya rejeki gede, begitu banyak nona cantik yang mengejar dirimu, apalagi mempunyai seorang nyonya yang begini bijaksana, hahaha.
kukira bertambah lagi tiga isteri dan empat selir juga tidak menjadi soal."
Tian Pek bukan anak bodoh, ia dapat merasakan sindiran itu. wajahnya jadi merah, dengan tergagap ia menjawab: "Hoan Soh ... Hoan-heng, su . . . . sudah lama
kita tak tak berjumpa, tak tersangka engkau sudah pandai bergurau! . . ."
Memang tak salah, orang ini ialah Hoan Soh-ing, puteri Hoan Hui, cuma saat ini ia berdandan sebagai laki2, lagipula di depan Cui-cui, tentu saja Tian Pet tidak ingin membongkar rahasia penyamaranya itu, maka sengaja ia sebut Hoan-heng kepadanya.
Cui cui sendiri bukanlah orang bodoh, ia segera tertawa dingin, sambil menuding Hoan Soh-ing ia berkata:
"Hehehe, kau tak perlu berlagak di depanku, kau anggap aku tak dapat melihat dirimu" Hm, sejak tadi akupun tahu kau ini sejenis betina seperti diriku pula!"
Kali ini Hoa Soh ing yang menjadi jengah, merah wajahnya, ia tak mengira gadis cantik di depannya ini ternyata memiliki ketajaman mata yang luar biasa!
Mestinya dia hendak menggoda orang, sekarang justeru orang lainlah yang mengejeknya, untuk sesaat nona Hoan ini jadi melongo dan tak mampu menjawab.
Setelah ada pengalaman dengan Wan-ji tempo hari, Tian Pek pikir Cui cui pasti akan cemburu dan bisa jadi akan berkelahi dengan Hoan Soh-ing maka cepat ia berseru:
"Adik Cui, jangan kau banyak curiga, sejak dulu dia memang suka berdandan sebagai laki2....!"
Mendadak Cui-cui tertawa cekikikan, ibarat musim dingin tiba2 berubah jadi musim semi yang hangat.
Puas dengan tertawanys, ia berkata: "Engkoh Pek, jangan kuatir, kan adik telah berjanji takkan cemburu, maka jangan kuatir adik akan rewel, kalau sudah ada Wan-ji, Buyung Hong dan Kim Cay-hong, apa salahnya bila sekarang bertambah seorang lagi ..."
Mendadak dari malu Hoan Soh-ing menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan tak tahu malu!"
Air rauka Cui-cui berubah hebat, seketika tangannya diayun ke depan, "Plok!" ia gampar muka Hoan Soh-ing sehingga timbul bekas telapak tangan yang merah.
Tamparan Cui cui ini cepat sekali, bukan saja Hoan Soh ing tak sanggup menghindar, bahkan Tian Pek juga tak sempat mengalanginya.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan siapapun, seketika Hoan Soh-ing tertegun dan tak tahu apa yang harus dilakukan.


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semenjak kecil Hoan Soh-ing dibesarkan di lingkungan yang dimanjakan, di rumahnya pelayan dan dayang tak terhitung jumlahnya, jangankan ditampar orang, berbicara kasar saja tak ada yang berani.
Ayahnya, Pah ong pian Hoan Hui, namanya sejajar dengan keempat pemuka dunia persilatan, usianya sudah lebih setengah abad dan mempunyai tiga putera dan seorang puteri, anak gadisnya selalu dimanja, disayang, dipandang sebagai mutiara, apa yang diinginkan tak pernah ditolak sehingga terpeliharalah watak manja yang berlebihan, kalau tidak begitu, tak nanti sang ayah membiarkan puterinya sepanjang hari berdandan sebagai laki2.
Bukan saja Hoan Hui sendiri, bahkan Hoan si-sam kiat (tiga orang gagah keluarga Hoan) yang tersohor di dunia persilatan juga mengalah tiga bagian kepada adiknya ini.
Dan kini, gadis yang terbiasa dimanja ini digampar oleh Cui-cui, kendatipun pada mulanya ia tertegun, tapi sesaat kemudian iapun naik darah, sambil membentak gusar,
segenap tenaga dalamnya dihimpun lalu dia melancarkan bacokan maut ke tubuh Cui-cui.
Apabila Hoan-si sam-kiat di dunia persilatan terkenal ilmu pedangnya yang lihay, maka Hoan Soh-ing meskipun seorang gadis, kungfunya justeru terletak pada ilmu pukulannya. Liok-eng ciang-hoat keluarganya telah dikuasai dengan cukup sempurna.
Begitu pukulan itu dilepaskan, bayangan telapak tangan seketika berseliweran.
Diiringi deru angin pukulan yang tajam, serangan itu segera mengurung sekujur badan Cui-cui.
Walaupun ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat yang ia yakinkan sudah cukup sempurna, tapi di-bandingkan dengan kungfu Cui-cui jelas ibarat langit dan bumi, Cui-cui jauh lebih lihay daripadanya.
Di tengah sambaran angin yang men-deru2, tiba2 Cui-cui nendengus, tangannya terangkat untuk menangkis. ' Bluk!
seketika Hoan Soh-ing tergetar mundur lima langkah.
Hoan Soh-ing meniang memiliki jiwa seorang laki2, nona yang tinggi hati dan manja ini belum lama berselang telah mengalami bencana besar, keluarganya terbantai dan ia harus melakukan perjalanan siang malam menuju ke Lam-keng untuk minta bantuan kepada sahabat ayahnya, yakni Siang-lin Kongcu, guna balas dendam bagi kematian ayahnya serta menolong ketiga saudaranya.
Waktu lewat dua belas gua karang, karena lelah dan lagi hari sudah gelap, ia beristirahat di bawah pohon dengan maksud keesokan harinya melanjutkan perjalanannya menuju istana keluarga Kim.
Siapa tahu tanpa sengaja ia meadengar pembicaraan Tian Pek dengan Cui-cui, semula ia tidak bermaksud unjuk
diri, apa mau dikata jejaknya di-ketahui Cui-cui, terpaksa ia keluar.
Dasar lagi sial, baru dua-tiga patah kata ia sudah digampar Cui-cui dengan keras, bayangkan saja betapa gusar dan penasarannya nona manja yang sedari kecil belum pernah mengalami penghinaan macam itu, tak heran ia menyerang lawan dengan sepenuh tenaga.
Ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat keluarganya memang ampuh, terutama jurus Liok-eng-peng-hun yang terhitung sebuah pukulan mematikan, tapi kenyataannya serangan yang dahsyat itu ternyata tak mampu menahan tangkisan lawan.
Ia jadi sedih sekali sehingga hampir saja melelehkan air mata, lengannya kaku kesemutan, darah di dalam rongga dadanya ikut bergolak keras.
"Sudahlah, jangan berkelahi lagi, kalian kan sana-sama orang sendiri.. cepat hentikan pertarungan ini" dengan panik Tian Pek berusaha melerai.
Setelah berhasil memukul mundur Hoan Soh-ing, Cuicui berdiri sambil bertolak pinggang, tampangnya persis seperti nyonya judas, cuma iantaran mukanya cantik, maka meskipun judas tetap menimbulkan daya tarik.
Ia mencibir lalu berkati: "Hm, meskipun pikiranku sekarang sudah terbuka dan tidak kularang engkoh Pek mencari tiga gundik dan empat selir, tapi aku ingin membikin mereka tahu bahwa aku sebenaroya adalah isteri pertama . . ."
Mendadak ia merasa kata2 itu tak pantas di-ucapkan, dengan muka merah ia lantas tertawa cekikikan.
Tian Pek jadi serba salah dan tak tahu apa yang mesti diucapkan.
Jangankan cari gundik dan selir, kendatipun ia bermaksud demikian, orang lain juga belum tentu mau.
Tapi sekarang Cui-cui yang polos telah bicara terus terang kan lucu jadinya persoalan ini"
Perlu diketahui, sejak kecil sering Cui-cui menyaksikan percekcokan antara Lam-hay-it-kun dengan Kui-bin-kiau-hwa, menurut pengertiannya perempuan yang suka cemburuan dinamai "harimau betina', bila seorang perempuan sudah dicap demikian, maka hal ini adalah kejadian yang memalukan.
Karena itu ia berusaha bersikap lunak dan lapang dada, padahal dalam hati kecilnya cemburu sekali, ditambah lagi ia tidak paham adat istiadat maka seringkali apa yang diucapkan tak dipertimbangkan apakah itu akan menyinggurg perasaan orang atau tidak.
Ketika ia mengatakan ingin menjadi istri pertama, tiba2
ia teringat pada kenangan manis di sampan kecil di sungai Hwai tempo hari, mukanya menjadi merah, jantungnya berdebar dan tak sanggup melanjutkan kata2nya.
Hoan Soh-ing berwatak keras, apalagi keluarganya baru saja tertimpa malang, ia tsk tahan oleh godaan Cui-cui itu, ia tahu kungfunya maasih jauh dibandingkan lawan, maka dengan muka pucat ia melolos ruyung delapan belas ruas dan siap bertarung lagi.
Ruyung ini bukan sembarang ruyung, inilah senjata andalan Pah-ong-pian Hoan Hui yang terkenal di dunia persilatan, Pah-ong-pian tidak mewariskan kepandaian ini kepada ketiga puteranya, tapi malah diajarkan kepada puterinya.
Tian Pek jadi panik ia mengira Hoan Soh-ing telah nekat dan hendak mengadu jiwa.
Ia tahu Soh-ing pasti bukan tandingan Cui-cui, selain itu ia pun kuatir Cui-cui turun tangan keji sehingga Hoan Soh-ing bakal rugi besar, buru2 ia maju ke muka.
"Hoan Soh.." ia bingung sebutan apa yang harus diucapkan, terpaksa ia berkata sekenanya: "Jangan . .. .
jangan salah paham, kalian jangan salah paham .... Cui-Cui
. . . Cui-cui . . . "
Cui-cui bagaimana" Dasar tidak pandai bicara, seketika ia tak tahu apa yang mesti diucapkan.
Hoan Soh-ing ternyata tak menyerang lagi, ia pegang pangkal ruyung, mendadak ia hantam batok kepala sendiri.
Kiranya nona ini hendak membunuh diri.
Tian Pek terperanjat, cepat ia merampas ruyung itu dengan gerakan Hwe-tiong-ji-li (memetik buah di tengah api), suatu jurus Kin-na-jiu yang lihay.
"Nona Hcan, kenapa kau . .. ?"
Belum habis Tian Pek berkata, Hoan Soh-ing lantas menangis tersedu-sedan, sambi1 mendekap mukanya ia lari masuk ke dalam hutan.
"Nona Hoan! Nona Hoan . .!' cepat Tian Pek memburu ke sana sambil berteriak, selain hendak menjelaskan kesalah pahaman itu, iapun kuatir, kuatir nona itu berbuat nekat lagi.
Liu Cui-cui yang polos jadi tertegnn ia tak menyangka hanya satu katanya menyinggung perasaan gadis itu hingga hampir saja terjadi peristiwa yang tragis.
Maklumlah, ia tidak paham adat istiadat Tiong-goan, ia tak menyangka penghinaan seperti itu sukar diterima oleh gadis manapun juga.
Begitulah Tian Pek terus mengejar di belakang Hoan Soh-ing. Berbicara tentang ilmu meringankan tubuh pemuda itu dengan Bu sik-bu-sian sin-hoat dan ilmu langkah Cian-ho-li-biau-hiang-poh tidak sulit baginya untuk menyusul Hoan Soh-ing.
Tapi ketika ia sudah hampir mendekati gadis itu, mendadak dan atas pohon menggelinding turun segulung bayangan hitam dan langsung menerjang kaki Tian Pek.
Gerakan bayangan hitam ini cepat luar biasa dan cuma tiga kaki besarnya, hitam menggumpal entah barang apa"
Tian Pek terperanjat, dengan cepat ia hentikan gerakannya dan melayang ke samping, waktu ia memandang lagi, ia lihat gumpalan hitam itu dengan gerakan melejit telah bangkit berdiri di depan Tian Pek.
Benda hitam ini bukan binatang seperti dugaannya semula, dia adalah seorang manusia, betul2 manusia tulen, cuma tingginya hanya tiga kaki, kepalanya besar dan kakinya pendek.
Si cebol yang dekil ini dengan ingus meleleh dari lubang hidungnya sampai ke mulut, sambil menyeringai ia melototi Tian Pek.
Segera Tian Pek mengenal si cebol ini, dia bukan lain adalah Sam-cun- teng Siau-song-bun si setan cilik alias si paku tiga inci.
Melihat manusia yang menjemukan ini Tian Pek berkerut kening, sebelum ia buka suara, Sam-cun-teng telah menyeka ingusnya dengan ujung baju, lalu sambil menyengir ia berkata: "Keparat! Hari ini kau kepergok lagi dengan Siau-thayya (tuan besar cilik) Hehehe, kali ini biarpun kau berlutut dan mtnyembah sepuluh kali kepada Siauthayya juga takkan kuampuni jiwamu."
Perkataan ini sungguh tidak tahu malu, padahal beberapa bulan yang lalu ia bukan tandingan Tian Pek, apalagi sekarang Tian Pek telah mendapatkan penemuan aneh sehingga menjadi tokoh nomor satu di kolong langit ini, tapi si cebol ini menganggapnya seperti dulu, malahan menantangnya pula, sungguh tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi"
Tian Pek mendengus, dengan nada menghina tegurnya:
"Di manakah kedua gurumu?"
Tian Pek paling benci kepada segala macam kejahatan, sejak tahu dari cerita Sin-kau Tiat Leng bahwa Kanglam-ji ki adalah murid murtad yang membunuh gurunya, ia lantas dendam dan membencinyn sampai merasuk tulang, karena itu ia ingin tahu jejak Kanglam-ji-ki daripada melayani tantangan si cebol.
Sungguh mendongkol Sam-cun-teng karena
tantangannya tak digubris, ia menggelengkan kepalanya yang besar itu, kemudian berkata: "Kau tak perlu tanya kedua Lothayya, kan sebentar lagi Siauthayya akan cabut nyawamu!"
Habis berkata, dengan jurus Siau kui-jui mo (setan cilik mendorong gilingan) ia berputar ke sisi Tian Pek, secepat kilat ia mencengkeram lengan kiri lawannya.
Tian Pek menjadi gemas, sambil miringkan bahunya ke kiri, ia melangkah maju setindak, telapak tangannya membalik ke belakang ia tabok punggung si cebol.
Jangan meremehkan tubuh Sam-cun-teng yang kerdil, kelincahannya justeru mengagumkan, mendadak kedua kakinya yang pendek itu menjejak tanah terus melayang tiga kaki ke sana, dengan jurus yang sama kembali ia cengkeram lengan kiri Tian Pek.
Serangan Sam-cun-teng ini bukan saja lebih cepat dan lebih aneh daripada beberapa bulan yang lalu ketika terjadi pertarungan di tepi Yan-cu-ki,
bahkan serangannya sekarang membawa deru angin dingin yang menusuk tulang, angin dingin keluar dari kesepuluh jari tangancya, membuat Tian Pek terkesiap.
Cepat Tian Pek mengegos ke samping, dengan jurus Hong-cebg lui-beng (angib berembus guntur menggelegar), setajam golok telapak tangannya membacok batok kepala Sam-cun teng yang besar dan cekak itu.
Sam-cun-teng berpekik nyaring, kepalanya yang gede itu menggeleng, dengan gesit ia menyelinap lewat, cengkeramannya kembali ditujukan lengan kanan Tian Pek, untuk ketiga kalinya ia menyerang dengan jurus Siau-kui tui mo.
Dalam waktu singkat kedua orang sudah ber-gebrak beberapa kali, dengan gesit Sam-cun-teng selalu bergerak ke kiri dan ke kanan secepat kilat, jurus serangan yang dipakai juga melulu Siau-kui-tui mo tadi
Diam2 Tian Pek terperanjat, ia heran mengapa si cebol bisa selihay ini, padahal dengan kungfunya sekarang, bukan saja tokoh silat kenamaan bisa dikalahkan dalam dalam tiga gebrakan, bahkan Hay-gwa-sam-sat yang lihay juga bisa dihadapinya sekaligus bertiga.
Tapi sekarang, tujuh delapan gebrakan sudah lewat, bukan saja si cebol tak bisa dikalahkan. malahan gerakan si cebol hakikatnya cuma satu gerakan yang tak berbeda, dia sendiri menjadi repot menghadapi kelincahan lawan.
Tian Pek terkejut, tapi Sam-cun-teng jauh lebih terkejut lagi. Ia pun tak menyangka ilmu silat anak muda itu telah memperoleh kemajuan yang begini pesat.
Sesudah dihajar oleh Tian Pek di tepi Yan-cu-ki tempo hari, mestinya dia berharap kedua gurunya akan tampil untuk mslabrak Tian Pek, tak tersangka mendadak muncul seorang kakek buntung dan membikin kedua gurunya ketakutan dan lari ter-birit2, walaupun bingung karena tidak tahu sebab musababnya, terpaksa Sam-cun-teng ikut kabur.
Sam cun-teng tidak tahu kakek buntung itu sebenarnya adalah kakek-gurunya, sepenjang jalan sering ia berpaling ke belakang dan tampaknya mereka pasti akan disusul oleh Sin kau (monyet sakti) Tiat Leng.
Andaikata Sin-lu tiat-tan Tang Ciang-li tidak muncul niscaya ketiga orang itu mampus di ujung tongkat Sin-kau Tiat Leng. Karena peristiwa itu pula akibatnya kedua tokoh aneh yang sudah puluhan tahun malang melintang di utara dan selatan sungai Tiangkang telah berduel hingga akhirnya sama2 tewas.
Setelah lolos dari kematian, diam2 Kanglam-ji-ki dan Sam-cun-teng kembali ke lembah setan di bukit Gan-tan-san. Sam-cun-teng menggerutu karena gurunya tidak mewariskan ilmu yang tinggi kepadanya sehingga membuat dia kehilangan muka, iapun menuduh kedua gurunya bernyali tikus, ketakutan pada seorang kakek cacat yang tak berkaki dan lari ter-birit2, dari nadanya jelas si cebol tak puas dengan kedua gurunya, bahkan berniat meninggalkan lembah setan untuk mencari guru lain.
Ketika itu Kanglam-ji-ki sedang ketakutan setengah mati ksrena mengetahui gurunya masih hidup, setelah direcoki terus oleh muridnya, mereka tak tahan, sejak itu Ci-hoat-leng kau (monyet cerdik berambut merah) Siang Ki-ok lantas mewariskan ilmu pukulan Kui-pok-ciang kepada si cebol, sedangkan Kui kok-in-siu (pertapa dari lambah setan). Bun Ceng-ki menurunkan ilmu langkah Kui-biau-hong (embusan angin setan). Sementara mereka sendiripun
menekuni isi kitab Bu-kek-pit kip yang mereka rampas dari tangan gurunya.
Ketika mereka yakin ilmu silatnya sudah cuknp tangguh untuk melawan Sin-kau, tersiarlah berita di dunia persilatan bahwa gurunya telah tewas karena duel dengan Sin lu-tiattan.
Untuk membuktikan kebenaran berita tersebut, mereka bertiga lantas berangkat ke "dua belas gua karang" di Lam keng. Betul juga. Mereka temukan mayat Sin-kau Tiat Leng terkapar di dalam sebuah gua.
Betapa girangnya Kanglam-ji-ki, mereka merasa bebas dari ancaman, saat itulah kembali Sam-cun-teng ribut ingin membalas dendam kepada Tian Pek.
"Apa susahnya?" kata Ci-hoat leng-kau Siang Ki-ok sambil tertawa. "Jangan kaukira ilmu pukulan Kui pok ciang yang kuwariskau padamu itu cuma tiga jurus, pada hakikatnya ketiga jurus pukulan itu punya kekuatan yang hebat, cukup dengan jurus pertama Siau-kui tui-mo saja bocah yang bernama Tian Pek itu pasti dapat kau bunuh!"
Ucapan tersebut mengkili-kili hati Sam-cun-teng, ia semakin bernapsu untuk mencari Tian Pek.
Tetapi sekarang, setelah bertemu dengan pemuda yang di-cari2, sekalipun jurus Siau-kui tui-mo sudah diulangi sampai tujuh kali, jangankan membunuhnya, untuk menjawil ujung bajupun tak mampu.
Sam-cun-teng lebih kaget dan marah lagi setelah mengetahui musuhnya tidak bertarung dengan sungguh2, setiap jurus serangannya hanya dielak seenaknya saja tanpa memakai tenaga.
Akhirnya si cebol yang penasaran ini membentak keras, pukulannya berubah, kedua telapak tangan terentang, dengan gaya "burung walet menembus awan" ia seruduk dada Tian Pek dengan kepala.
"Jurus apa ini. . .?" pikir Tian Pek tercengang.
Sepintas pandang gerakan ini lebih mirip dengan orang nekat yang akan bunuh diri dengan menumbukka
Seruling Samber Nyawa 10 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Seruling Samber Nyawa 15
^