Kisah Si Bangau Merah 6
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
a, walaupun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak. Dia
peka rasa dan cerdik sekali, namun karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka
dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu
"tarian" dan "senam" kepadanya, dia pun mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak
mempunyai prasangka bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan
dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!
Di lain pihak, Thian-te Tok-ong ada-lah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya
merupakan seorang datuk sesat yang amat ditakuti orang. Dia bu-kan saja ahli silat, akan
tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun).
Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah
dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pen-dekar sakti, dia lalu
mengundurkan diri dan untuk melindungi dirinya, dia ber-sembunyi di balik sebuah
perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang. Perkumpulan itu maju pesat berkat
ke-pandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, dia menyerahkan kepengurusan
Thian-li-pang kepada sutenya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat juga amat lihai,
tentu saja masih jauh di bawah tingkat suhengnya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri
dan bertapa di dalam guha itu.
Setelah Yo Han berada setahun di dalam guha itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit
demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya
kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan ten-tang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai
membuka rahasia diri pribadinya. Dan Yo Han juga merasa sayang kepada gu-runya ini
karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang hi-dupnya tidak berbahagia,
yang, kesepian dan, agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.
Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han men-dengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te
Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan, saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat
yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-
pang. Dan satu ciri khas Thian-li-pang adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu,
anti penjajahan! Hal ini sebetul-nya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama
sekali bukan, melain-kan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu.
Pernah da-hulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di
bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan! Sejak itu, dia pun
bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah Mancu.
Tentu saja kepa-da Yo Han, kakek ini hanya mengemuka-kan bahwa perkumpulan Thian-li-
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
151 pang adalah perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, yang bercita-
cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dia mengharapkan anak,
yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya dan kelak menjadi pemimpin Thian-li-
pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.
Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya su-dah empat belas
tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih "menari", dia dipanggil menghadap gurunya. Sambil
berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar. Kakek itu
memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus
jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah
menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang
lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan ber-lekuk. Rambutnya yang
hitam panjang dibiarkan tergantung di belakang pung-gung. Alisnya tebal berbentuk golok,
dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan
lembut. "Yo Han, tahukah engkau sudah bera-pa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"
"Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."
"Benar, dua tahun telah berlalu de-ngan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh
kemajuan pesat, dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin
mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang kaulatih selama
ini. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kupe-rintahkan!"
Yo Han memang amat menyayang dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ
bersikap amat, baik kepa-danya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya
bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan, kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk
melakukan senam seperti yang di-ajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan
dan Im-yang-kun. Mulailah dia bergerak setelah men-dengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia
mengangkat lengan kanan ke atas, me-lingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar
perlahan saling bertemu se-perti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik
dan menahan napas, kemudian dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu
digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke ba-wah seperti menolak dengan pengerahan
tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah ge-rakan dari Thai-kek-koan. Kemudian gerakan itu
disambung dengan menjulur-kan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan agak ke
atas, jari-jari menunjuk langit, lalu siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang,
di-lanjutkan dengan gerakan memutar ta-ngan, telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas
seperti orang menyodor-kan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan
"Menghatur-kan Anggur Kepada Dewata".
"Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenagamu
berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.
Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak
dan dia pun mengerah-kan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya
itu meng-gembung besar sekali, seperti punuk onta saja!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
152 "Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Bud-dha!" kata
gurunya. Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh
tanah, kedua tangan merang-kap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke
punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!
Thian-te Tok-ong memberi aba-aba terus dan latihan "senam" ini sungguh amat
mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia em-pat belas tahun
itu dapat memindahkan gumpalan "punuk" yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga
sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher! Yo
Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa
sin-kang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!
"Sekarang kaulihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan" Nah, batu, itu
mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada tela-pak tangan kirimu dan
mendorongnya ke arah batu itu dengan pengerahan tekad untuk memecahkan gumpalan batu
yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"
Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi kare-na yang harus
diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia
menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua ba-gian tubuh itu ke arah
telapak tangan kirinya, dan dengan kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu
me-nonjol di dinding itu. Jarak antara ta-ngannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak
menyadari bahwa dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan dah-syat dan terdengar
suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding menon-jol itu!
"Brakkkk!" Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya
bahwa gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini
sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia meno-leh kepada gurunya ketika mendengar
gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.
"Suhu! Apa yang terjadi" Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.
"Heh-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan
batu pun akan hancur terkena sambatan angin pukulan tangan-mu."
"Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.
"Hushh, siapa suruh kau memukul orang" Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat,
bukan untuk memu-kul orang. Tadi pun hanya untuk menge-tahui sampai di mana kemajuan
latihan-mu. Apa kaukira aku ingin muridku men-jadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan
mengira yang bukan-bukan. Seka-rang sudah kulihat kemajuan ilmu senam-mu, mari kulihat
kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai kembali baju atasmu."
Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa
dalam usia empat be-las tahun itu, tubuhnya telah menjadi atletis dan indah sekali, seperti
tubuh seorang dewasa yang kuat.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
153 "Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-
sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, disambit bagaimanapun sudah pasti
akan mampu mengelak dan tidak akan dapat disambit. Nah, engkau mulailah."
Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lalu membuat gerakan-gerakan
loncatan ke sana-sini, kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk,
perge-langan tangan ditekuk dan kedua kakinya agak merendah, meloncat ke sana-sini,
bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan,
Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya, kadang meloncat ke atas, ka-dang
bergulingan, gerakannya gesit, lin-cah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam.
Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya
dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun
sungguh mengagumkan. Yo Han dapat mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi
sangat tajam dan dia sudah dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat
dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai
tubuhnya! "Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"
Yo Han mentaati dan tanpa dia sa-dari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang
didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar
harimau dan gerakan-nya amat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti
harimau dan, andaikata dia mengenakan pakaian bulu harimau, tentu orang akan mengira dia
seekor harimau sungguh!
Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han. Yang agaknya juga baru dikenal atau
diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang sudah penuh pengalaman
hidup ini pun tidak tahu mengapa ada hal mujijat ter-dapat dalam diri anak itu. Kalau dia
mengajarkan suatu ilmu silat dengan dalih ilmu tari atau senam, dia menga-jarkan gerakan
silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga
mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh. Akan tetapi, dia melihat keanehan.
Kalau Yo Han sudah memainkan tari monyet mi-salnya, dia melihat anak itu seolah-olah
bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian
wajar, tidak dibuat, tidak tiru-an, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan
manusia, kecuali dilakukan monyet aseli. Demikian pula ge-rakan harimau. Kalau anak itu
sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya presis harimau, bahkan gerakan
mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan sepasang matanya juga
mencorong seperti mata harimau! Ini sungguh ajaib dan kadang-kadang se-orang datuk besar
seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya
ini" Sekarang pelajaran yang paling akhir. Gerakan binatang cecak merayap itu. Yang paling
sukar dan paling baru. Ja-ngan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah,
akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."
"Teecu, biarpun tidak tahu apa mak-sudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak,
telah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa
sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
154 "He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tidak tahu gu-nanya. Selain
dapat menyehatkan tubuh-mu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja.
Suatu hari engkau tidak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat
keluar tidak mungkin, lalu apa yang akan kaulakukan" Apakah engkau akan mati kelaparan di
dalam lubang itu kalau tidak ada orang mendengar teriakanmu minta tolong" Nah kalau
engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu
dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"
Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti. "Baik, Suhu. Teecu akan
mencobanya sekarang." Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia duduk bersila,
mengatur pernapasan, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya
mengeluarkan bunyi berkerotokan, kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding guha dan
merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu. Dan dia
pun dapat merayap seperti se-ekor cecak ke atas dan turun ke sebe-rang dinding yang sana!
Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya mem-basahi seluruh tubuh karena dia telah
mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau me-mang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang
yang terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggu-nakan kaki tangannya
untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau
menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"
Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai ke-kerasan hati
yang mengagumkan dan pantang mundur. Apalagi dia memang patuh kepada gurunya yang
dianggapnya amat menyayangnya.
"Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri memasang kuda-kuda di tengah ruangan
guha itu. Dia tahu bahwa kalau tadi suhunya menghujankan sambit-an batu-batu kecil, kini
gurunya hendak menggunakan segala macam ranting un-tuk menyambitnya seperti hujan
anak panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga
sedapat mungkin harus bisa menang-kap sebanyaknya.
"Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan kedua tangannya dan puluhan
batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini
bergerak se-perti seekor lutung, kaki tangannya ber-gerak dan bukan hanya. kedua tangannya
saja yang mampu menangkis atau me-nangkap ranting, bahkan kedua kaki te-lanjang itu pun
berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.
Akan tetapi, ketika gurunya menghen-tikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri
bersila di atas lantai guha, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah
dan beng-kak-bengkak membiru!
"Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar
mulutnya tidak mengeluar-kan keluhan.
Kakek itu menghampiri, langkahnye sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali. Akan
tetapi matanya menco-rong aneh dan berulang kali dia mengge-leng. kepala.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
155 "Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang
menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tak peduli bagaima-na tinggi ilmunya saat ini
dia sudah akan menjadi kaku dan mampus?"
Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"
"Ranting-ranting itu semua sudah kupasangi bubuk racun yang paling ber-bahaya di dunia
ini, terdiri dari racun segala macam ular yang paling ampuh. Ular cobra, ular belang hitam,
ular me-rah, ular emas, bahkan racun kalajeng-king hijau. Siapapun yang terkena, pasti mati
seketika. Akan tetapi engkau.... engkau hanya luka-luka dan tangan kaki-mu membiru saja!
Bukan main!"
"Tapi, kenapa, Suhu" Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"
"Ha-ha-ha-ha, aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan
harapanku kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu" Aku hanya akan
mengujimu! Andaikata racun-racun itu mengancam nyawamu, aku su-dah mempersiapkan
obat penawarnya. Sekarang tidak perlu lagi. Racun itu hanya berhenti sampai dipergelangan
tangan dan kakimu. Entah kemujijatan apa yang melindungi dirimu, Yo Han."
"Tidak ada kemujijatan apa-apa ke-cuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu
melindungi teecu, Suhu."
"Heh-heh-heh, sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada
kekuasaan Tuhan melin-dungimu, tidak melindungi orang lain?"
"Suhu, bagaimana teecu bisa tahu" Kehendak Tuhan, siapa yang tahu" Teecu hanya
merasakan bahwa ada sesuatu diluar kehendak akal plkiran teecu, teecu hanya menyerahkan
kepada Tuhan, me-nyerah dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa pun yang dikehendaki Tuhan
atas diri teecu, akan teecu terima tanpa me-ngeluh."
"Engkau memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"
"Rasanya ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."
"Heh-heh-heh, tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), akan tetapi sekali
ini, Tok-ong sama sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada dirimu.
Buktinya, engkau tidak apa-apa. Kalau bukan eng-kau keadaanmu ini merupakan penghinaan
besar bagiku dan sekali pukul engkau akan mampus. Akan tetapi engkau mu-ridku, bahkan
engkau akan kuajari bagai-mana untuk mengobati pengaruh racun dariku."
"Akan tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai
orang, tidak mau meracuni orang."
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau mence-lakai orang, akan tetapi akan dicelakai orang, engkau
tidak mau meracuni orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aih, Yo Han, engkau
belum tahu apa artinya hidup ini. Kaukira dunia ini seperti sorga" Neraka pun tidak sebusuk
dunia, kautahu" Setan-setan pun tidak sejahat manusia, kautahu?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
156 "Tidak, Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Ha-nya karena
mempelajari ilmu kekerasan, maka dia menjadi jahat dan hendak mengandalkan kekerasan
untuk mencari kemenangan. Dan teecu tidak sudi mem-pelajari kekerasan."
Thian-te Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan muridnya itu. Bagaimana dia
tidak akan merasa geli" Selama dua tahun ini dia telah menggembleng Yo Han dengan ilmu-
ilmu yang amat hebat, ilmu yang akan dapat mem-bunuh puluhan orang lawan dan anak ini
masih mengatakan tidak sudi mempela-jari kekerasan!
Mereka berada di tengah guha itu, tidak nampak dari luar. Tiba-tiba terde-ngar suara
melengking nyaring dari luar pintu guha, disusul keta-kata yang lem-but seorang wanita,
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun yang dapat terdengar sampai ke dalam guha.
"Thian-te Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang Moli ingin bicara denganmu!"
Mendengar suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia
mengenal siapa itu Ang I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid walaupun
dia tidak pernah diajarkan apa pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti iblis, selain amat lihai,
juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan kakek tua
renta yang selama ini bersikap baik kepadanya.
Akan tetapi kakek itu terkekeh. "Ang I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat
terdengar dari sini. Perlu apa aku harus keluar menemuimu" Kalau mau bicara, bicaralah, dari
sini pun aku dapat mendengarmu dengan baik."
"Thian-te Tok-ong, tidak perlu kuje-laskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kauketahui
maksudnya. Aku datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat
penawar racun ilmu yang telah kusempurnakan."
"Heh-heh-heh, engkau sudah menyem-purnakan Toat-beng Tok-hiat (Darah Be-racun
Pencabut Nyawa)" Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan. kini
engkau berhasil me-nguasainya" Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang tanpa
tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar melihat iblis betina itu!" Kakek itu
menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han. Anak itu memegang ujung tongkat dan menuntun
gurunya keluar dari dalam guha. Dia sendiri sudah sering keluar guha, akan tetapi kakek itu
tidak pernah sehingga setelah kini dia keluar dari guha, matanya disipitkan, silau, dan
mu-kanya nampak pucat seperti mayat hidup. Diam-diam Ang I Moli sendiri bergidik. Kakek
ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun sudah mendengar bahwa kakek tua renta ini
merupakan tokoh nomor satu dari Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian tak dapat
diukur tingginya.
Setelah Yo Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar guha, mereka melihat ada beberapa orang
di situ. Selain Ang I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ terdepat Lauw
Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang yang berlutut, dan ada pula lima orang pria lain yang
melihat pakaian mereka adalah petani-petani biasa dan nampaknya mereka itu ketakutan,
berlutut pula tanpa berani mengangkat muka. Hanya Ang I Moli seorang yang tidak berlutut.
Hal ini tidaklah aneh karena ia bukan anggauta Thian-li-pang, bahkan ia adalah pemimpin
dari perkumpulan Ang I Mopang di luar kota Kun-ming. Dua tahun yang lalu, ketika ia
bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo Han kepada Lauw Kang Hui
wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja, ia lalu
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
157 membawa dua belas orang remaja itu pergi. Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu
kejinya itu, mengorbankan nyawa dua belas orang remaja yang dihisap darahnya, dan kini,
dua tahun kemudian, ia telah berhasil dengan ilmunya itu dan datang menagih janji, yaitu
untuk minta obat penawar bagi keampuhan ilmunya yang beracun.
Baginya sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga tidak
dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di dunia ini,
yang mam-pu membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan beracun hanyalah
Thian-te Tok-ong seorang!
Begitu kakek tua renta itu muncul, Ang I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw
Kang Hui yang berlutut juga memberi hormat dan berkata, "Tee-cu mohon Supek sudi
memaafkan kalau teecu mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang I Moli
yang hendak menagih janji dua tahun yang lalu."
"Heh-heh-heh, Lauw Kang Hui, mulut-mu bicara satu akan tetapi hatimu bica-ra dua.
Katakan saja bahwa engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar
tidak?" Wajah Lauw Kang Hui yang biasanya sudah memang merah itu menjadi sema-kin gelap,
akan tetapi dia, menyembah lagi dengan segala kerendahan hati. "Su-pek, teecu hanya
menyerahkan kepada kebijaksanaan Supek, karena semua itu demi kemajuan Thian-li-pang
kita." "Baiklah, kautunggu saja. Sekarang, Moli. Aku bukan orang yang suka me-langgar janji. Yo
Han memang menye-nangkan dan sudah menjadi muridku. Untuk itu, aku tentu akan
memenuhi janjimu. Akan tetapi, bagaimana aku akan dapat membuat obat pemunah dari ilmu
kejimu itu kalau aku tidak melihat dulu buktinya."
Ang I Moli tertawa genit dan me-mang wanita ini masih manis sekali se-perti orang muda
saja walaupun usianya sudah empat puluh tahun. "Locianpwe Thian-te Tok-ong, aku sudah
memper-siapkan segalanya. Lihatlah lima orang dusun ini. Mereka yang akan kujadikan
kelinci percobaan. Nah, harap kaulihat baik-baik!"
Dengan gerakan yang luar biasa ce-patnya, yang nampak hanya berkelebat-nya bayangan
merah saja dan tahu-tahu tiga di antara lima orang itu roboh terpelanting. Padahal, Ang I Moli
hanya mendorongkan telapak tangannya dari jauh saja tanpa menyentuh orangnya, dan dari
telapak tangan itu menyambar hawa yang kebiruan ke arah mereka.
"Keji sekali kau!" Tlba-tiba Yo Han berseru dan dari tempat ia berdiri, Yo Han teringat akan
ilmu senamnya dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang yang belum
roboh. Dua orang itu seperti kena disambar angin keras dan tubuh mereka, terguling-guling
sampai jauh akan tetapi mereka terhindar dari, pukulan beracun Ang I Moli!
Melihat ini, Ang I Moli marah sekali dan ia pun mengerahkan pukulan kedua tangannya,
didorongkan ke arah tubuh Yo Han. Anak ini pun menyambut. dengan gerakan senam yang
dinamakan "mendo-rong bukit".
"Dess....!" Yo Han terjengkang dan roboh pingsan. Akan tetapi Ang I Moli terhuyung,
berpusing lalu roboh dan mun-tah darah! Wanita itu terbelalak, penuh kekagetan, keheranan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
158 dan juga ketakutan karena ia merasa betapa ilmunya yang amat keji itu, yaitu yang ia beri
nama Toat-beng Tok-hiat, tadi ketika bertemu dengan tenaga dari kedua tangan anak itu, telah
membalik dan melukai dirinya sendiri! Ia tahu bahwa ia telah menjadi korban pukulannya
sendiri yang membalik dan ia sendiri tidak mempunyai obat pe-nawarnya! Keadaannya sama
dengan tiga orang petani yang dijadikan kelinci per-cobaan. Mereka pun roboh dan muntah
darah. Baik wajah tiga orang itu maupun wajah Ang I Moli berubah menjadi kebi-ruan!
Thian-te Tok-ong menghampiri Yo Han dan dia tertawa terkekeh-kekeh sa-king girangnya
melihat betapa biarpun pingsan Yo Han sama sekali tidak ter-luka. Dia menotokkan
tongkatnya ke tengkuk anak itu dan Yo Han pun siuman kembali. Dia meloncat bangun dan
me-mandang ke arah Ang I Moli dengan mata terbelalak. "Suhu.... apakah teecu.... membuat
ia roboh....?"
Thian-te Tok-ong mengangguk. "Kalau engkau tidak mempergunakan senam mendorong
bukit, tentu engkau akan ro-boh keracunan atau mungkin sudah tewas. Ilmu iblis betina itu
keji bukan main."
Ang I Moli terengah-engah dan bang-kit duduk. "Locianpwe, aku yakin bahwa seorang
Locianpwe seperti engkau ini ti-dak akan menelan ludah sendiri dan akan memenuhi janjinya.
Aku menuntut diberi obat penawar untuk ilmu pukulan ini."
"Ha-ha-ha, sudah lama kubuatkan. Aku mengenal pukulan keji semacam itu, Moli. Akan
tetapi engkau masih untung. Kalau engkau tadi membuat Yo Han tewas, engkau pun tentu
akan kubunuh! Nah, inilah obat penawarnya, berikut catatan cara membuatnya, terimalah dan
buktikan kemanjurannya pada dirimu sen-diri."
Kakek itu melemparkan sebuah bung-kusan yang diterima oleh Ang I Moli. Isi bungkusan itu
ternyata belasan butir pel merah dan sehelai kertas catatan resep pembuatannya. Menurutkan
petun-juk catatan, Ang I Moli menelan sebutir pel merah dan setelah bersila sejenak,
wajahnya berubah merah kembali dan ia merasa betapa pengaruh racun di tubuh-nya lenyap.
Ia girang bukan main, me-loncat berdiri lalu membungkuk terhadap Thian-te Tok-ong.
"Nama besar Thian-te Tok-ong ter-nyata bukan nama kosong dan bukan seorang pembohong.
Aku menghaturkan banyak terima kasih." Kemudian kepada Lauw Kang Hui ia pun berkata,
"Lauw Pangcu, kita telah saling membantu, ha-rap sampaikan hormatku kepada Ouw Pangcu.
Aku mohon diri untuk mengam-bil jalanku sendiri. Selamat tinggal!"
"Heiiii, nanti dulu!" Tiba-tiba Yo Han berseru keras. Moli terkejut karena se-kali anak itu
menggerakkan kaki, tubuh-nya sudah melayang dan berdiri di de-pannya! Anak ini, entah
disadari atau pun tidak, telah memiliiki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat!
"Huh, mau apa engkau?" bentaknya, tidak berani memandang rendah karena tentu saja ia
gentar terhadap guru anak itu.
Dengan telunjuk tangan kanannya, se-perti seorang dewasa menegur seorang anak nakal, Yo
Han berkata, "Ang I Mo-li, sejak dahulu engkau sungguh tak ber-ubah, bahkan menjadi
semakin jahat dan keji. Engkau melukai tiga orang petani yang tidak berdosa itu sampai
mereka keracunan dan engkau mau meninggalkan mereka begitu saja" Mana tanggung
ja-wabmu" Engkau harus menyembuhkan dulu mereka, baru boleh pergi!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
159 Ang I Moli mengerutkan alisnya. Ma-na ia mau mentaati permintaan bocah itu" "Huh! Peduli
apa aku dengan mere-ka?" Serunya dan ia pun sudah meloncat pergi. Akan tetapi Yo Han
juga melon-cat dan anak ini terkejut sendiri akan tubuhnya melayang dan dia dapat
meng-hadang di depan wanita pakaian merah itu.
"Aih, kiranya Tok-ong sudah melatih-mu, ya" Yo Han, engkau masih kanak-kanak, sama
sekali bukan lawanku, ja-ngan coba-coba menghalangiku. Kalau aku tidak melihat muka
gurumu, sekali pukul engkau akan mampus. Pergilah!"
"Moli, aku tidak mau berkelahi, aku tidak mau melawanmu atau melawan siapa saja. Akan
tetapi aku minta per-tanggungan jawabmu. Tiga orang itu ti-dak berdosa. Tidak boleh engkau
mening-galkan mereka terluka tanpa kauobati. Hayo cepat kausembuhkan mereka!"
"Bocah setan kau!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian-te Tok-ong terkekeh-kekeh. "Ang I Moli, jangan
mengira bahwa aku men-campuri urusan percekcokahmu dengan Yo Han anak kecil. Akan
tetapi, di da-lam dunia kita, sudah terdapat peraturan bahwa siapa yang menang harus ditaati
dan siapa kalah harus mentaati. Nah, sekarang begini saja. Engkau boleh me-nyerang Yo Han
sampai dua puluh jurus, dengan ilmu pukulanmu yang mana pun, boleh semua kepandaianmu
kaukeluarkan, kecuali pukulan Toat-beng Tok-hiat itu. Kalau kau pergunakan pukulan itu dan
sampai muridku mati, engkau akan kuca-bik-cabik. Akan tetapi semua pukulan lain boleh
kaulakukan. Kalau sampai dua puluh jurus engkau tidak mampu merobohkannya, nah, engkau
harus mentaati perintahnya mengobati tiga orang petani itu. Kalau sebelum dua puluh jurus
dia jatuh, sudahlah, engkau boleh pergi dan aku yang akan menghajar kelancangan mulut
muridku." Mendengar ini, Lauw Kang Hui wakil ketua. Thian-li-pang yang datang pula ke situ diam-
diam terkejut bukan main. Bagaimana sih supeknya itu" Tingkat kepandaian Ang I Moli
sudah tinggi seka-li. Apalagi setelah kini menguasai Toat-beng Tok-hiat, bahkan dia sendiri
pun harus berhati-hati kalau melawan wanita itu. Dan kini supeknya menyuruh Moli
menyerang Yo Han sampai dua puluh ju-rus. Mana mungkin anak itu dapat ber-tahan" Baru
satu dua jurus saja kepala anak itu dapat hancur! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani
mencampuri urusan supeknya yang amat ditakuti dan dihor-matinya itu.
Ang I Moli adalah seorang wanita iblis yang licik. Tadinya dengan senang sekali ia berhasil
mendapatkan Yo Han, akan tetapi terpaksa ia melepaskan anak itu kepada Thian-te Tok-ong.
Kini, men-dengar tantangan itu, tentu saja ia men-dapatkan kesempatan, untuk melampiaskan
kemarahannya. Kalau ia membunuh anak itu, berarti anak itu tidak terjatuh ke tangan orang
lain, dan ia pun dapat membalas penghinaan yang diterimanya ketika Yo Han menangkisnya
tadi! "Bagus sekali! Locianpwe Thian-te Tok-ong, bukan aku yang menantang. Syarat itu memang
cukup adil. Nah, Yo Han yang manis, majulah ke sini untuk menerima kematianmu. Sayang
masih begini muda terpaksa engkau harus mam-pus di tanganku."
"Suhu, teecu tidak sudi berkelahi, biarpun melawan iblis betina itu sekali pun," kata Yo Han
kepada gurunya sam-bil mengerutkan alisnya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
160 "Bocah tolol!. Siapa suruh engkau ber-kelahi" Akan tetapi ia hendak membunuh tiga orang
petani itu, juga hendak mem-bunuhmu. Engkau tidak perlu memukulnya engkau hanya
menari saja seperti yang kaupelajari tadi. Gunakan tari monyet dan tari lutung, dan hendak
kulihat apa-kah perempuan sombong ini mampu me-nyentuh selembar rambutmu. Hayo cepat
engkau menari!"
Mendengar perintah ini, hati Yo Han tidak ragu lagi. Dia memang tetap ber-pendirian bahwa
ia tidak akan sudi ber-kelahi menggunakan kekerasan memukul orang. Akan tetapi kalau
hanya menari dan menghindarkan diri dari serangan orang, itu namanya bukan berkelahi dan
bukan menggunakan kekerasan. Apalagi dia harus menyelamatkan nyawa tiga orang petani
yang tidak berdosa itu. Maka, dia pun melangkah maju mengha-dapi wanita itu dengan hati
tabah. Ba-gaimanapun juga, karena ia segan dan takut kepada Thian-te Tok-ong, Ang I Moli
sekali lagi berkata, "Locianpwe Thian-te Tok-ong, benarkah aku boleh menyerangnya sampai
dua puluh jurus?"
"Perempuan sombong, siapa yang me-nyangkal" Cepat serang!"
Ang I Moli memang seorang yang amat licik dan curang. Biarpun yang dihadapinya itu
seorang remaja berusia empat belas tahun, namun begitu mende-ngar ucapan Thian-te Tok-
ong, tanpa memberi peringatan lagi tiba-tiba saja ia sudah menerjang dengan tamparan yang
amat ganas, ke arah kepala Yo Han.
"Wuuut-wuut-wuuuttt....!" Tiga kali ia menampar susul menyusul dan.... luput! Bagaikan
seekor kera yang amat lincah. Yo Han sudah menari-nari dan semua tamparan itu sama sekali
tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti telah melihat lebih dulu datangnya tamparan.
Tentu saja Ang I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main lagi,
mengeluarkan jurus-ju-rusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk menampar atau
memukul, melain-kan mengirimkan jurus pukulan mautnya! Bahkan, setelah lewat sepuluh
jurus, ber-turut-turut ia memukul dengan pukulan ampuh Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan
beracun yang amat dahsyat, yang dikua-sai oleh para murid Pek-lian-kauw. ting-kat tinggi
saja. Pukulan ini mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang
yang menghisapnya roboh pingsan! Namun, Yo Han dengan gerakannya yang lincah selalu
dapat menghindarkan diri, bahkan asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja terse-dot
olehnya sama sekali tidak mempe-ngaruhinya, bahkan dia masih sempat berseru, "Aih,
baunya harum!"
Tentu saja ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang I Moli merupakan tam-paran dan
ejekan. Tiba-tiba ia mengelu-arkan suara melengking nyaring. Tinggal tiga jurus lagi karena
ia sudah menye-rang sampai tujuh belas jurus tanpa hasil dan yang tiga jurus ini akan
dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan tenaga sembarangan, melainkan
ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng Tok-hiat!
Terdengar suara bercuitan seperti ti-kus-tikus terjepit ketika ia melancarkan pukulan ampuh
Toat-beng Tok-hiat itu. Pukulan ini baru saja dirampungkannya latihannya dan merupakan
pukulan ting-kat tinggi yang amat hebat. Jangankan seorang anak remaja seperti Yo Han yang
tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang
Hui saja belum tentu akan mampu menahan pukulan maut itu! Diam-diam Lauw Kang Hui
terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan tetapi dia tahu betapa sayangnya
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
161 supeknya kepada anak itu sehingga kalau sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang I Moli
tidak akan dapat diselamatkan lagi!
Akan tetapi, Yo Han yang sama se-kali belum menyadari bahwa semua la-tihan yang
dilakukan secara rajin selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki
ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal ini adalah karena sebagian besar dari waktunya
dia berada di dalam guha yang gelap dan remang-remang. Maka, kini dia dapat melihat atau
mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas sehingga memudahkan dia untuk
berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana sini dan tiga kali han-taman berturut-turut
yang mengeluarkan bunyi bercicit itu tidak ada yang, mengenai tubuhnya.
Ang I Moli penasaran bukan main sehingga ia lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh jurus ia
menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang dianggapnya telah
membuat ia kehilangan muka itu.
"Takkk!" Tubuh Moli terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauh-nya karena
disodok ujung tongkat oleh Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek
itu masih du-duk bersila, dan jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang mu-lur
atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat menyambut serangan Moli dan
membuat wanita itu terjengkang.
"Moli, apa engkau ingin mampus" Su-dah dua puluh jurus dan engkau masih ingin
menyerang terus?" bentak kakek itu terkekeh.
Ang I Moli cepat bangkit, dan mem-beri hormat. "Maaf, Locianpwe, aku sa-lah menghitung."
"Heh-heh-heh, engkau sudah kalah bertaruh. Hayo kausembuhkan tiga orang itu kemudian
cepat pergi dari sini, ja-ngan sekali lagi sampai bertemu dengan-ku, karena aku tidak akan
sudi mengam-punimu lagi!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ang I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te Tok-
ong adalah orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupa-kan seorang tokoh langka
yang tidak pernah mencampuri urusan dunia. Dika-lahkan Thian-te Tok-ong masih belum
merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, ia, datuk besar yang baru saja selesai
menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu Toat-beng Tok-hiat yang dianggap-nya akan dapat
membuat ia menjadi seorang yang paling lihai di dunia, atau setidaknya seorang di antara
yang paling lihai, kini tidak dapat merobohkan seo-rang bocah berusia empat belas tahun
yang tidak pandai ilmu silat! Maka, se-telah ia memandang kepada Yo Han de-ngan sinar
mata mengandung penuh ke-bencian, dan di dalam hatinya ia menca-tat bahwa kelak pada
suatu hari ia pasti akan membunuh anak ini dan menghisap darahnya sampai tidak tertinggal
setetes-pun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun lenyap dari tempat itu.
"Heh-heh-heh-heh, Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kaubunuh,
kalau tidak engkau yang akan dibunuhnya, heh-heh!"
Yo Han mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan mau
membunuh siapapun ju-ga!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
162 "Heh-heh-heh, engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang
mengantar perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun akan menagih janji,
bukan?" Lauw Kang Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini.
Kakek ini bukan saja merupa-kan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, akan tetapi
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga terkenal bengis dan entah sudah berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang sejak
dahulu dibunuh-nya begitu saja dengan kesalahan yang amat sepele. Maka, dia pun cepat
me-nyembah sambil berlutut.
"Teecu memberanikan diri mengantar Ang I Moli karena ia desak-desak, Supek. Adapun
tentang Supek hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan kepada
kebijaksanaan Supek. Bagaimana teecu berani menuntut?"
"Ha-ha-ha, engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak
seperti suhengmu Ouw Ban yang terlalu keras kepala walaupun ke-pandaiannya lebih tinggi.
Aku mendengar tentang siasatmu mengadu domba antara empat partai persilatan besar dan
berha-sil baik. Ha-ha, sungguh, aku sendiri tidak akan memikirkan sejauh itu. Eng-kau
memang pandai dan aku suka sekali menambahkan satu dua pukulan untukmu agar engkau
lebih dapat memajukan Thian-li-pang lagi!"
"Terima kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan de-ngan suara lirih.
"Hanya teecu mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu kalau Suhu memarahi teecu
karena ini."
"Gurumu" Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban.
Jangan takut, kalau gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pan-tatnya sampai
bengkak-bengkak, heh-heh-heh! Nah, ke sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan kuajarkan
Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan Pedang) padamu. Hafalkan
baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua tahun baru engkau akan dapat mahir."
"Terima kasih, Supek!"
Lauw Kang Hui memasuki mulut guha dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar
silat, lalu masuk ke dalam guha untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan guha
dan me-ngirimkan makanan dan minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam sumur.
Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk kedua ilmu itu dari Thian-te
Tok-ong tanpa ada yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun tidak ada yang berani.
Setelah dia hafal benar, Lauw Kang Hui berlutut mengha-turkan terima kasih kemudian
meninggalkan guha yang menjadi sunyi kembali. Dan dia pun mulai lagi setiap hari bela-jar
ilmu menari dan senam, karena sam-pai hari itu pun Yo Han tetap berkukuh tidak sudi belajar
ilmu memukul orang!
Ketika usianya sudah lima belas tahun dan tetap juga dia berkeras tidak mau belajar silat,
hampir habis kesabaran Thian-te Tok-ong. Dia memanggil murid-nya menghadap. Yo Han
berlutut di de-pannya. Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam guha sudah mulai gelap.
Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki
ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
163 "Yo Han, apakah engkau sudah gila" Kaulihat sendiri, kalau engkau tidak pan-dai mengelak,
tentu engkau sudah mam-pus diserang Ang I Moli. Kenapa engkau tetap tidak mau menerima
pelajaran silat dariku" Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit
ini." "Tidak Suhu. Teecu tetap tidak mau belajar memukul orang. Untuk apa" Tee-cu tidak akan
pukul orang, apalagi mem-bunuh orang. Hidup bukan berarti harus saling bermusuhan dan
saling bunuh."
"Tolol! Kaukira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
"Teecu tetap tidak mau! Sejak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas
hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau mereka tidak pandai silat, tidak mungkin
mereka itu mati muda."
"Huh, hal itu karena ilmu silat mere-ka masih rendah, masih mentah! Sudahlah tidak perlu
banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperli-hatkan bukti-bukti
kepadamu!"
Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram gurunya
dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-
diam dia kagum. Guru-nya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak
seperti itu! Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah
bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah
terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai di-sertai gelak tawa di antara suara
tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te Tok-ong melepaskan murid-nya, lalu membiarkan muridnya menuntun tongkatnya,
diajaknya memasuki dusun itu. "Tidak perlu banyak bertanya, kau lihatlah saja sendiri,"
katanya dan sete-lah mereka memasuki dusun, tiba-tiba kakek itu memegang lengannya dan
membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang
sedang terjadi di ba-wah.
Yo Han terbelalak, mukanya seben-tar pucat sebentar merah. Dia me-lihat peristiwa yang
mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat dia merasa ngeri bukan main.
Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-
orang dusun yang sama sekali tidak mam-pu mengadakan perlawanan. Ada pula yang
memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, men-ciuminya dan
memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah.
Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu
dengan ke-jam sekali.
Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun
dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat melon-cat dari tempat setinggi itu
tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya ber-kali-kali dan ke
mana pun tubuhnya ber-kelebat, dia telah merampas sebatang golok dan mendorong seorang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
164 perampok sampai terjengkang dan terguling-guling. Melihat seorang anak remaja maju
mendorong roboh beberapa orang anak buah-nya, kepala perampok yang brewok men-jadi
marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang
dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher
anak itu. Yo Han yang telah mahir "menari" itu melihat dengan jelas datangnya golok, maka
dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke sam-ping sehingga
golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, akan tetapi karena dia
marah melihat orang itu tadi menggeluti seo-rang wanita, dan kini melihat orang itu hendak
membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring, "Engkau orang jahat, pergilah!"
dan sungguh luar biasa sekali akibatnya. Terkena dorongan ta-ngan Yo Han, kepala perampok
itu ter-lempar seperti daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding, dan dia
pingsan seketika karena kepalanya terbanting pada dinding.
Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok
mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua
serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tidak suka berkelahi, tidak suka
memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging
sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh, orang-orang macam ini masih kaukasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo
Han melihat betapa be-lasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua!
Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan
ter-belalak dan alis berkerut.
"Suhu membunuh mereka semua" Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu terkekeh-kekeh. "Dan kau
mau bilang bahwa be-lasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari
rumah pen-duduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi kalau suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya
antara mereka dengan kita" Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan pung-gung mereka
dan memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu
tidak sudi membunuh tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemm, kaukira engkau ini pintar dan baik, ya" Bocah tolol. Kaulihat, mengapa penduduk
dusun ini sampai dibunuh, di-perkosa dan dirampok" Karena mereka lemah! Coba mereka itu
kuat, coba me-reka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu
mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban
kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajak-nya pergi. Di
sepanjang perjalanan pulang ke guha, anak itu termenung. Hatinya tidak senang. Gurunya
membunuhi orang begitu saja walaupun orang-orang itu perampok kejam.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
165 Mereka tiba di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik
muridnya dan melon-cat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka
melihat se-ekor harimau menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-
jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu menghunjam leher
dan pundak, darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol
kor-bannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang murid-nya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han" Apakah
harimau itu kejam" Dan andaika-ta kijang itu mampu melawan dan me-nang, atau mampu
melarikan diri, bukan-kah berarti ia tidak akan menjadi kor-ban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati
kelaparan! Untuk itu dia sudah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing
dan gigi tajam. Dia tidak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun
ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat
dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu
jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tidak suka
belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi
jahat!" "Yo Han, kaulihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senja-ta untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu. saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau ti-dak mampu
melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan
senjata kekerasan yang jahat" Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan
menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila" Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau aku
memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing
itu, bukan untuk memukul, melukai apalagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat anak keras kepala! Apa kaukira kalau kita
mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-
perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan mem-bunuh orang" Kalau kita
mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat
membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
166 membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, terutama sekali, kita
dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, menjadi orang yang terpandang di dalam
dunia!" Yo Han mengerutkan alisnya. Ada se-bagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang
terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimanapun juga, orang-orang yang pandai silat
selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai
silat." "Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah
saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bi-cara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau
belajar silat!" kata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, ten-tang nyawa teecu, berada di
tangan Tu-han dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi.... benar juga...." kakek itu menggumam. Sudah sering dia
melihat Yo Han yang tidak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal
terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang melindunginya. Dia sendiri
adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya ke-kuasaan
di luar dirinya. Kekuasan Tuhan" Dia tidak percaya karena tidak dapat melihatnya! Dia tidak
sadar bahwa pera-saan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan
yang tidak dipercayanya itu!
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini, sudah tiga tahun Yo Han
berada di dalam guha itu dan usianya sudah lima belas tahun, ia menjadi seorang pemuda
remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras. Mukanya yang
lon-jong dengan dagu runcing berlekuk itu. membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk
panjang dikuncir besar. Pakaian-nya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok
karena tebal menghitam berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya
ramah walaupun dia pendiam. Sepasang matanya memba-yangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah mulai jemu, tinggal di dalam guha itu, setiap hari selain melayani gurunya yang
makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (samadhi)
yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia. Akan tetapi, kalau
timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada guru-nya. Kakek
itu sudah tua sekali dan dia merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam
sumur, bahkan ia sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur,
akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhunya.
Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketua, yaitu Ouw Ban dan Lauw
Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan
depan guha, Yo Han disuruh ke dalam oleh suhunya dan tidak diperkenankan untuk
menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan, mereka pun tidak boleh. Yo Han masuk ke
bagian paling dalam dari guha itu agar tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan
bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi ia duduk termenung, matanya yang
terlatih itu dapat melihat cuaca yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya
terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
167 dapat diukur itu. Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke
bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan
orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu dapat menerima luncuran
bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Untuk menanti percakapan gurunya dengan dua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu
duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di
bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang
saja terdengar suara yang amat mengeri-kan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit
tangis, seperti tawa, pen-deknya bukan seperti suara manusia!
Tiba-tiba Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukan pekik melengking
mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan kini yang terdengar adalah suara
nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, nyanyiannya sederhana akan tetapi suara
itu demikian merdu dan lembut.
"Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!"
Yo Han mendengarkan dan karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka
sekali membaca, maka men-dengar satu kali saja dia sudah hafal. Akan tetapi, bagaimana
seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata
itu" Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti: Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Sang Jalan atau Kekuasaan
Tuhan)!" Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih
kagum mendengar kemerduan suara itu daripada isi kata-katanya yang tidak dimengerti benar.
Kalau biasanya dia tidak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, karena se-lain
dilarang suhunya, juga dia tidak per-nah menganggur dan suara melengking yang mengerikan
itu membuatnya ragu, kini mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat
hatinya tertarik bukan main. Apakah si penyanyi itu orang yang suka menjerit-jerit itu"
Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana" Apakah dosa-nya" Dan
mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh dan juga
jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan
marah, dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagaimanapun juga, dia harus tahu
siapa salah siapa benar dan kalau orang di bawah sumur itu tidak bersalah, dia tidak
sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerja-an yang bagi
orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia sudah
lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak mera-yap
di dinding guha! Dengan latihan samadhi, dia dapat menggunakan tenaga dalam tubuh untuk
menyedot hawa dan kedua tangan dan kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
168 Dalamnya sumur itu tidak kurang da-ri dua puluh lima meter dan biarpun gelap pekat, namun
pandang mata Yo Han maslh dapat menembus sehingga nampak remang-remang olehnya
bahwa sumur itu agak menyerong. Dan akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas,
ada empat meter persegi dan ter-dapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar
lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap
se-kali, sungguh orang akan tersiksa hebat kalau harus tinggal di situ.
Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak
mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong
rahasia lain. Tiba-tiba saja tubuhnya seperti dise-dot oleh kekuatan yang amat kuat menu-ju ke salah
sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-
sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat
baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya.
"Desss....!" Tubuh Yo Han terbentur benda lunak akan tetapi yang kuatnya bukan main
sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bress....!" Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak
memandang kepada "guci" itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak
mempunyai kaki dan tidak mempunyai tangan. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh
mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat
dijungkirbalikkan akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki. Kini penglihatan Yo Han mulai
terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia
memperhatikan mah-luk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk,
agaknya te-lanjang akan tetapi kulitnya ditutup "pa-kaian" lumpur kering. Hanya mukanya
yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis,
kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan mahluk
yang mengerikan se-kali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang
aneh dan berbahaya.
Kini mahluk itu berloncatan, bukan menggelundung, berloncatan menghampiri Yo Han.
Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia me-mang tidak mempunyai
niat buruk, hanya memandang dengan penuh perhatian. Wa-jah itu kini nampak nyata. Wajah
seorang kakek yang tentu sudah tua sekali, dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam,
Bahkan mulut yang sebagian tetutup ku-mis itu seperti menyeringai tersenyum.
"Kau tidak mati...." Kau.... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lem-but, seperti suara
orang yang terpelajar, namun agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan
keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri me-pet di dinding dan
menggeleng kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya
adalah seorang manusia, walaupun aneh, bahkan mungkin seorang tapa-daksa yang patut
dikasihani dia pun berkata,
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
169 "Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku.... aku tidak bermaksud mengganggu, aku
hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu." Dia lalu
menyanyi seperti tadi, meniru-kan suara yang didengarnya tadi. "Jin Sin It Siauw Thian Te, It
Im It Yang Wi Ci To....!"
"Siancai....! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu" Eh, anak
muda, tahukah engkau apa arti-nya kalimat itu?"
Yo Han sudah membaca banyak kitab, selain itu, memang dia memiliki kelebih-an, bahkan
keanehan dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil
sekalipun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, se-olah-olah dia pernah mengenal semua
kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang mem-bisikinya,
memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan, itu, dia mengangguk.
"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak, tidak. Engkau yang setiap ha-ri mengirim makanan kepadaku, bukan" Sudah
kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri su-mur dan aku tahu,
engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam
kalimat itu."
"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Ba-dan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita
dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala mahluk di dunia ini, manusia merupakan
mahluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan mahluk lain. Tuhan telah
menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung
unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan
kalau air samu-dera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apabila
mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh
manusia pun selalu me-ngandung panas, api yang apabila padam berarti kematian. Seperti
yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar berlaku pula di alam kecil.
Bukankah, demikian, Locianpwe?"
"Siancai....! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau
dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki
itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative)
itulah To. Locianpwe, sudah kehendak Tuhan bahwa yang meng-gerakkan segala sesuatu di
dunia ini ada-lah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, namun saling
dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sem-purna
dan tidak lengkap. Im itu wanita, Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan
Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan
langit, di-ngin dan panas dan sebaginya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang" Tanpa ada
Yang, Im pun tidak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan"
Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut" Kalau ti-dak ada bumi,
langit pun tidak ada. Ma-ka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling
melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam.
Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-
kekacauan. Kalau dalam alam kecil, yai-tu badan kita, Im dan Yang tidak seim-bang, maka
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
170 akan timbul gangguan penya-kit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To
akan bekerja dengan sempurnanya."
Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia
menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bi jaksana, Maha
Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya
To, adanya Kekuasaan Tuhan yang men-jadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat
Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini.
Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda" Ataukah seorang manusia ajaib
yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat
dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
"Lima belas tahun" Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi" Padahal, seorang
jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah
menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan
To" Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirim-kan engkau ke sini untuk menjadi murid dan
ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han mengerutkan alisnya. "Lo-cianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin
menjadi murid dan ahli warismu."
"Ehhh" Apa katamu" Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan ber-lomba untuk
menjadi muridku, dan eng-kau menolak menjadi murid dan ahli warisku" Wah, wah, aku Ciu
Lam Hok bisa mati karena keheranan!" Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini
ber-loncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan
amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki ta-ngannya ini tentu
menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut ten-tang ilmu silat dan jagoan di
dunia kang-ouw.
"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah
mempunyai guru."
"Ehhh" Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya" Coba kata-kan, siapa gurumu
yang tidak becus, itu!"
"Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."
"Uhhhh...!" Tiba-tiba tubuh itu "ter-bang" ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke
dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, ter-pental ke dinding kanan dan bolak
balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu
turun kembali dan berdiri tan-pa kaki di depan Yo Han. "Kiranya eng-kau datang atas
perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh.
Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe,
tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
171 Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-
remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun
gigi lagi. "Engkau" Yang dapat menahan ta-brakanku, tidak mau belajar silat" Mem-benci ilmu silat
dan membenci kekerasan" Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong" Ha-ha-ha, engkau
boleh mem-bohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam
Hok!" "Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang muda, omongan apa yang kau- keluarkan ini" Engkau mengaku murid Thian-te Tok-
ong dan mengatakan tidak suka belajar silat" Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau
menari" "Ha-ha-ha...."
"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan
tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu ber-henti di ujung ruangan itu
dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han.
Pe-muda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyam-bar ke
arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh,
menari seperti mo-nyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu
menge-lak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kaubilang tidak pernah
belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak
berbohong, tidak pernah berbohong" Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti
gurumu!" "Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari
dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba sebuah benda kecil me-nyambar lagi dan sekali ini Yo Han ku-rang cepat mengelak
sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda
itu perih dan agak nyeri, akan tetapi bagi-nya tidak berapa mengganggu. "Yang licik dan
curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong
sehingga leherku ter-kena tiupan benda rahasiamu, Tangan Yo Han memijat bagian leher
yang ter-luka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan
melempar-kannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba
untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang
dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesi-ma adalah cara orang
muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai leher-nya. Orang lain, betapa pun lihainya,
sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Akan teta-pi orang
muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih
sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
172 Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya. Tiba-tiba, kakek itu
mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah
ber-gulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.
Pemuda ini terkejut dan kemba-li dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek
itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia ha-nya berhasil meloncat dan mengelak
empat lima kali saja, lalu tiba-tiba ke-dua kakinya terkena totokan ujung ram-but dan dia pun
terpelanting jatuh!
Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek! itu menyerangnya dengan rambut.
Suara rambut itu yang menyam-bar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo
Han kini mengguna-kan ilmu "senam", berdiri kokoh, menge-rahkan tenaga yang dapat
membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu
de-ngan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo
Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari
kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tu-buhnya
terpental ke belakang dan kem-bali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang
dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
"Siancai....! Engkau ini manusia atau-kah setan" Heii, Yo Han, katakan seju-jurnya, siapa
engkau dan apa pula mak-sudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh tak-jub. Tahulah dia
bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi,
namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat
lihai itu saja tidak mampu mero-bohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian
monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam
men-dorong bukit. Akan tetapi, dalam bebera-pa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang
tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam, yang dikuasainya tidak mampu
menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!
"Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te
Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi
muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam
sumur. Sudah lama aku amat tertariik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku
tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam su-mur untuk melihat siapa
yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa
yang suka meraung-raung itu?"
"Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tu-han.... yang
mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan merayap, Locianpwe. Di an-tara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian
gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.
"Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa" Yo Han, mendekatlah,
nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
173 Yo Han maklum bahwa jauh atau de-kat, bagi kakek sakti ini sama saja. Ka-lau kakek ini
hendak membunuhnya, biar-pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia
pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah, Yo Han, aku hendak me-meriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu dan tiba-tiba
rambut kepalanya ber-gerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-
libat selu-ruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa
rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini.
Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji
kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehi-langan kaki dan tangan, maka
rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan
menekan-nekannya.
Berulang-ulang kakek itu mengeluar-kan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia
menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo
Han, dia terlem-par dan bergulingan.
"Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa...." Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah.... inilah...." dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang se-ring didengar
Yo Han! Tentu saja Yo Han menjadi heran bu-kan main. "Locianpwe, ada apakah" Maafkan kalau aku
bersalah." Yo Han memandang terharu. "Jadi.... kiranya Lo-cianpwe yang suka meraung dan
mena-ngis itu?"
Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak
mengusap air mata dari muka-nya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena
bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang
suka meraung dan mena-ngis, lalu apa yang akan kaulakukan?"
"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk
menolongmu dan mem-bawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung
ketegasan. Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali
kakek itu. "Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong"
Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang
dibunuhnya, apakah pengorban-anku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan berce-rita, dan agaknya
Tuhan sengaja mengi-rimkan engkau ke sini untuk mendengar-kan ceritaku."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
174 "Aku pun yakin bahwa tentu kekuasa-an Tuhan yang mendorongku untuk me-nuruni sumur
ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai
hanya tinggal kedua pun-daknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan
dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan
dengan pe-nuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki
dan tangannya masih leng-kap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangkai kakak ber-adik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu
Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam
Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu. Hal ini ada-lah karena dia
memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu
mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-
li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan
untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian,
Ciu Lam Hok me-ninggalkan Thian-li-pang. untuk bertualang.
Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-
pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi keti-ka mendengar betapa
dua orang suheng-nya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga
me-reka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Ra-cun
Langit Bumi), hatinya merasa kha-watir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan
kebenaran berita itu.
Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya
memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang
penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang ber-gaul dengan golongan sesat,
bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahat-an
dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan
segala cara untuk menca-pai tujuan!
Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur me-reka yang dia
anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah.Terjadi pertengkaran yang
berakhir dengan per-kelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan
Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan
kecurangan itu, ber-pura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau
memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang
me-nyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pende-kar.
Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk
menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai
sekarang. "Aku terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik
hati Yo Han. "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang
pernah diperebut-kan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi
seorang yang telah menjadi hamba nafsunya un-tuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
175 berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertau-bat. Biasanya,
pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan
mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mere-ka lupa lagi akan pernyataan mereka
untuk bertaubat, bahkan melakukan keja-hatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan
mereka." Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai
ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah
begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu me-nuntun mereka kembali ke jalan benar.
Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
"Heh-heh, engkau memang anak aneh!" kata kakek itu. "Nah, karena kelengahan-ku, pada
suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi
menandingi mereka.
Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menye-rahkan kitab
ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan
ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia
Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki
tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi,
mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kuperguna-kan untuk menyelamatkan
nyawaku, bah-kan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ah,
tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini.
Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, menga-pa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi
tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat mera-yap naik" Loncatanku pun tidak
akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil
naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak
berkaki ini, aku pun pasti kalah."
"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik
seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke
sini, berarti mereka, menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja
membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih
mengirim makanan untukmu?"
"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda remaja itu mengerutkan alis-nya, kemudian mengangguk. "Aku me-ngerti sekarang.
Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, ha-nya membuat Locianpwe tidak
berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-
raha-sia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"
"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini
kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi
aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti
sam-pai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolong-ku.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
176 Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam
keadaan seperti ini" Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan
sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini,
Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi mu-ridku, menjadi ahli warisku!"
"Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau meng-gunakan
kekerasan, tidak mau berkela-hi...."
"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"
"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang
kaupelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau
menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak
menjadi muridku" Engkau memilih men-jadi muridnya?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan teta-pi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh
dua orang suheng Locian-pwe itu. Kalau di sini, bagaimana mung-kin aku tinggal di sini
bersamamu?"
"Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, kata-kanlah. Maukah
engkau menjadi muridku" Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti
ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, su-dahlah, aku tidak mau hidup lebih lama
lagi, biar untuk semenit pun. Sekali menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah
dan nyawaku akan melayang!"
Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa ka-kek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang
aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengi-ngat akan pengalaman
kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh membiarkan
kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri,
berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang, membunuh atau menyebabkan
kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti
pengganti kedua lengan, me-rangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak.
Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis
sesenggukan! "Ah, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha--ha, tidak apa, muridku. Aku hanya mera-sa girang dan
terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dika-bulkan! Mari, Yo Han, kita
harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir
dengan kematian kita berdua."
"Eh, kenapa begitu, Suhu?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
177 "Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar
gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati
batu dari dia pun mengikuti.
"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu
berhasil setelah aku ber-usaha selama satu tahun! Dan tahun-ta-hun berikutnya kupergunakan
untuk mem-buat terowonan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini men-jadi
pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu
melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur.
Suara itu nyaring dan me-masuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak
telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan
seperti suara manusia lagi.
"Ciu Sute....!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo Han....!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han
menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.
"Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"
"Ha-ha-ha, sejak kaulempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persauda-raan lagi antara
kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kausuruh turun membunuhku itu" Ha-
ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun,
eng-kau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat
terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas. "Suheng, muridmu tentu telah
dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia
supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"
"Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap
siaga. Siapa tahu dia me-masang perangkap."
"Tapi, dia sudah tidak mempunyai ka-ki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah
sana gelap, kita tidak menge-nal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk
membunuhnya."
Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya
yang baru tidak berbo-hong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan
jahat. Ma-ka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara. Ciu
Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu,
dia pun mengerah-kan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
178 kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak
yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh
orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua
saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya
terkandung ejekan dan tantangan.
Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, ten-tu dia sudah
merayap turun untuk mem-bunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku
kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan
menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua
kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi"
"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Daripada membahayakan diri sendi-ri lebih baik
kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo Han" Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh
turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus
asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan
te-tapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-
pang" Biarlah dia mampus ber-sama Si Buntung."
Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujan-kan jarum-
jarum beracun ke dalam su-mur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan
segala macam bina-tang beracun. Bahkan yang terakhir se-reka menyiramkan air yang
kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah ce-pat menyelinap ke dalam lubang. Kemu-dian mereka
kembali menggeser kembali batu sebesar gajah menutupi lubang se-hingga semua benda dan
binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-
tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, me-manggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi
dari bawah. Tentu saja de-mikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah
pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar
rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu
mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.
"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan
batu-batu besar!"
"Tapi, Suheng. Bukankah mereka su-dah tewas?"
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh,
Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki ta-ngannya buntung, akan
tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu
pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur
itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat
hidup lagi."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
179 Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, me-rasa ngeri dan
takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah
ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk mem-beri perintah itu kepada Ouw Ban,
Ketua Thian-li-pang. Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang, sekali ini mendapat
perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan
batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-
pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian"li-pang
yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya.
Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur
kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai
penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata
terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan
tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan
dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun ! Akhir terowongan itu
merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip
sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya,
di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya
sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun
tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya. Keadaan dalam
ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur
ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara
hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
"Ah, apakah itu, Suhu?"
"Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu
saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai
sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."
Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terha-dap adik
seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri" Tadinya dia me-ngira bahwa Ang I
Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan ke-jam di dunia ini. Siapa kira,
orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga ta-hun, yang dapat bersikap ramah dan
lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang
kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita ting-gal di sini tanpa makan,
dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau
merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-
pang. Engkau carilah ba-han makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering
untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari
makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan
air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."
"Suhu, kenapa susah-susah amat" Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa
mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
180 "Yo Han, sebelum berhasil mengajar-kan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar
dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku
keluar, se-luruh datuk dunia kang-ouw akan menca-riku dan kita akan menghadapi bahaya
yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini" Baru sumur
yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi
di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu,
Suhu?" "Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
"Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan" Kalau engkau minta makanan tentu semua
orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga.
Mengerti" Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui,
atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu" Andaikata membeli pun, mereka akan
melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, ba-gaimana dapat membeli
makanan?" "Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han" Dengan kepandai-anmu itu,
engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya
a, walaupun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak. Dia
peka rasa dan cerdik sekali, namun karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka
dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu
"tarian" dan "senam" kepadanya, dia pun mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak
mempunyai prasangka bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan
dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!
Di lain pihak, Thian-te Tok-ong ada-lah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya
merupakan seorang datuk sesat yang amat ditakuti orang. Dia bu-kan saja ahli silat, akan
tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun).
Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah
dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pen-dekar sakti, dia lalu
mengundurkan diri dan untuk melindungi dirinya, dia ber-sembunyi di balik sebuah
perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang. Perkumpulan itu maju pesat berkat
ke-pandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, dia menyerahkan kepengurusan
Thian-li-pang kepada sutenya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat juga amat lihai,
tentu saja masih jauh di bawah tingkat suhengnya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri
dan bertapa di dalam guha itu.
Setelah Yo Han berada setahun di dalam guha itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit
demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya
kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan ten-tang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai
membuka rahasia diri pribadinya. Dan Yo Han juga merasa sayang kepada gu-runya ini
karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang hi-dupnya tidak berbahagia,
yang, kesepian dan, agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.
Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han men-dengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te
Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan, saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat
yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-
pang. Dan satu ciri khas Thian-li-pang adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu,
anti penjajahan! Hal ini sebetul-nya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama
sekali bukan, melain-kan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu.
Pernah da-hulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di
bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan! Sejak itu, dia pun
bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah Mancu.
Tentu saja kepa-da Yo Han, kakek ini hanya mengemuka-kan bahwa perkumpulan Thian-li-
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
151 pang adalah perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, yang bercita-
cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dia mengharapkan anak,
yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya dan kelak menjadi pemimpin Thian-li-
pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.
Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya su-dah empat belas
tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih "menari", dia dipanggil menghadap gurunya. Sambil
berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar. Kakek itu
memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus
jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah
menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang
lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan ber-lekuk. Rambutnya yang
hitam panjang dibiarkan tergantung di belakang pung-gung. Alisnya tebal berbentuk golok,
dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan
lembut. "Yo Han, tahukah engkau sudah bera-pa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"
"Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."
"Benar, dua tahun telah berlalu de-ngan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh
kemajuan pesat, dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin
mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang kaulatih selama
ini. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kupe-rintahkan!"
Yo Han memang amat menyayang dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ
bersikap amat, baik kepa-danya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya
bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan, kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk
melakukan senam seperti yang di-ajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan
dan Im-yang-kun. Mulailah dia bergerak setelah men-dengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia
mengangkat lengan kanan ke atas, me-lingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar
perlahan saling bertemu se-perti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik
dan menahan napas, kemudian dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu
digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke ba-wah seperti menolak dengan pengerahan
tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah ge-rakan dari Thai-kek-koan. Kemudian gerakan itu
disambung dengan menjulur-kan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan agak ke
atas, jari-jari menunjuk langit, lalu siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang,
di-lanjutkan dengan gerakan memutar ta-ngan, telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas
seperti orang menyodor-kan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan
"Menghatur-kan Anggur Kepada Dewata".
"Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenagamu
berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.
Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak
dan dia pun mengerah-kan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya
itu meng-gembung besar sekali, seperti punuk onta saja!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
152 "Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Bud-dha!" kata
gurunya. Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh
tanah, kedua tangan merang-kap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke
punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!
Thian-te Tok-ong memberi aba-aba terus dan latihan "senam" ini sungguh amat
mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia em-pat belas tahun
itu dapat memindahkan gumpalan "punuk" yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga
sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher! Yo
Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa
sin-kang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!
"Sekarang kaulihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan" Nah, batu, itu
mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada tela-pak tangan kirimu dan
mendorongnya ke arah batu itu dengan pengerahan tekad untuk memecahkan gumpalan batu
yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"
Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi kare-na yang harus
diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia
menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua ba-gian tubuh itu ke arah
telapak tangan kirinya, dan dengan kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu
me-nonjol di dinding itu. Jarak antara ta-ngannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak
menyadari bahwa dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan dah-syat dan terdengar
suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding menon-jol itu!
"Brakkkk!" Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya
bahwa gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini
sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia meno-leh kepada gurunya ketika mendengar
gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.
"Suhu! Apa yang terjadi" Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.
"Heh-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan
batu pun akan hancur terkena sambatan angin pukulan tangan-mu."
"Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.
"Hushh, siapa suruh kau memukul orang" Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat,
bukan untuk memu-kul orang. Tadi pun hanya untuk menge-tahui sampai di mana kemajuan
latihan-mu. Apa kaukira aku ingin muridku men-jadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan
mengira yang bukan-bukan. Seka-rang sudah kulihat kemajuan ilmu senam-mu, mari kulihat
kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai kembali baju atasmu."
Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa
dalam usia empat be-las tahun itu, tubuhnya telah menjadi atletis dan indah sekali, seperti
tubuh seorang dewasa yang kuat.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
153 "Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-
sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, disambit bagaimanapun sudah pasti
akan mampu mengelak dan tidak akan dapat disambit. Nah, engkau mulailah."
Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lalu membuat gerakan-gerakan
loncatan ke sana-sini, kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk,
perge-langan tangan ditekuk dan kedua kakinya agak merendah, meloncat ke sana-sini,
bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan,
Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya, kadang meloncat ke atas, ka-dang
bergulingan, gerakannya gesit, lin-cah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam.
Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya
dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun
sungguh mengagumkan. Yo Han dapat mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi
sangat tajam dan dia sudah dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat
dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai
tubuhnya! "Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"
Yo Han mentaati dan tanpa dia sa-dari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang
didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar
harimau dan gerakan-nya amat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti
harimau dan, andaikata dia mengenakan pakaian bulu harimau, tentu orang akan mengira dia
seekor harimau sungguh!
Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han. Yang agaknya juga baru dikenal atau
diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang sudah penuh pengalaman
hidup ini pun tidak tahu mengapa ada hal mujijat ter-dapat dalam diri anak itu. Kalau dia
mengajarkan suatu ilmu silat dengan dalih ilmu tari atau senam, dia menga-jarkan gerakan
silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga
mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh. Akan tetapi, dia melihat keanehan.
Kalau Yo Han sudah memainkan tari monyet mi-salnya, dia melihat anak itu seolah-olah
bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian
wajar, tidak dibuat, tidak tiru-an, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan
manusia, kecuali dilakukan monyet aseli. Demikian pula ge-rakan harimau. Kalau anak itu
sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya presis harimau, bahkan gerakan
mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan sepasang matanya juga
mencorong seperti mata harimau! Ini sungguh ajaib dan kadang-kadang se-orang datuk besar
seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya
ini" Sekarang pelajaran yang paling akhir. Gerakan binatang cecak merayap itu. Yang paling
sukar dan paling baru. Ja-ngan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah,
akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."
"Teecu, biarpun tidak tahu apa mak-sudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak,
telah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa
sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
154 "He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tidak tahu gu-nanya. Selain
dapat menyehatkan tubuh-mu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja.
Suatu hari engkau tidak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat
keluar tidak mungkin, lalu apa yang akan kaulakukan" Apakah engkau akan mati kelaparan di
dalam lubang itu kalau tidak ada orang mendengar teriakanmu minta tolong" Nah kalau
engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu
dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"
Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti. "Baik, Suhu. Teecu akan
mencobanya sekarang." Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia duduk bersila,
mengatur pernapasan, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya
mengeluarkan bunyi berkerotokan, kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding guha dan
merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu. Dan dia
pun dapat merayap seperti se-ekor cecak ke atas dan turun ke sebe-rang dinding yang sana!
Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya mem-basahi seluruh tubuh karena dia telah
mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau me-mang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang
yang terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggu-nakan kaki tangannya
untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau
menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"
Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai ke-kerasan hati
yang mengagumkan dan pantang mundur. Apalagi dia memang patuh kepada gurunya yang
dianggapnya amat menyayangnya.
"Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri memasang kuda-kuda di tengah ruangan
guha itu. Dia tahu bahwa kalau tadi suhunya menghujankan sambit-an batu-batu kecil, kini
gurunya hendak menggunakan segala macam ranting un-tuk menyambitnya seperti hujan
anak panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga
sedapat mungkin harus bisa menang-kap sebanyaknya.
"Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan kedua tangannya dan puluhan
batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini
bergerak se-perti seekor lutung, kaki tangannya ber-gerak dan bukan hanya. kedua tangannya
saja yang mampu menangkis atau me-nangkap ranting, bahkan kedua kaki te-lanjang itu pun
berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.
Akan tetapi, ketika gurunya menghen-tikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri
bersila di atas lantai guha, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah
dan beng-kak-bengkak membiru!
"Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar
mulutnya tidak mengeluar-kan keluhan.
Kakek itu menghampiri, langkahnye sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali. Akan
tetapi matanya menco-rong aneh dan berulang kali dia mengge-leng. kepala.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
155 "Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang
menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tak peduli bagaima-na tinggi ilmunya saat ini
dia sudah akan menjadi kaku dan mampus?"
Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"
"Ranting-ranting itu semua sudah kupasangi bubuk racun yang paling ber-bahaya di dunia
ini, terdiri dari racun segala macam ular yang paling ampuh. Ular cobra, ular belang hitam,
ular me-rah, ular emas, bahkan racun kalajeng-king hijau. Siapapun yang terkena, pasti mati
seketika. Akan tetapi engkau.... engkau hanya luka-luka dan tangan kaki-mu membiru saja!
Bukan main!"
"Tapi, kenapa, Suhu" Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"
"Ha-ha-ha-ha, aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan
harapanku kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu" Aku hanya akan
mengujimu! Andaikata racun-racun itu mengancam nyawamu, aku su-dah mempersiapkan
obat penawarnya. Sekarang tidak perlu lagi. Racun itu hanya berhenti sampai dipergelangan
tangan dan kakimu. Entah kemujijatan apa yang melindungi dirimu, Yo Han."
"Tidak ada kemujijatan apa-apa ke-cuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu
melindungi teecu, Suhu."
"Heh-heh-heh, sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada
kekuasaan Tuhan melin-dungimu, tidak melindungi orang lain?"
"Suhu, bagaimana teecu bisa tahu" Kehendak Tuhan, siapa yang tahu" Teecu hanya
merasakan bahwa ada sesuatu diluar kehendak akal plkiran teecu, teecu hanya menyerahkan
kepada Tuhan, me-nyerah dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa pun yang dikehendaki Tuhan
atas diri teecu, akan teecu terima tanpa me-ngeluh."
"Engkau memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"
"Rasanya ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."
"Heh-heh-heh, tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), akan tetapi sekali
ini, Tok-ong sama sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada dirimu.
Buktinya, engkau tidak apa-apa. Kalau bukan eng-kau keadaanmu ini merupakan penghinaan
besar bagiku dan sekali pukul engkau akan mampus. Akan tetapi engkau mu-ridku, bahkan
engkau akan kuajari bagai-mana untuk mengobati pengaruh racun dariku."
"Akan tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai
orang, tidak mau meracuni orang."
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau mence-lakai orang, akan tetapi akan dicelakai orang, engkau
tidak mau meracuni orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aih, Yo Han, engkau
belum tahu apa artinya hidup ini. Kaukira dunia ini seperti sorga" Neraka pun tidak sebusuk
dunia, kautahu" Setan-setan pun tidak sejahat manusia, kautahu?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
156 "Tidak, Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Ha-nya karena
mempelajari ilmu kekerasan, maka dia menjadi jahat dan hendak mengandalkan kekerasan
untuk mencari kemenangan. Dan teecu tidak sudi mem-pelajari kekerasan."
Thian-te Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan muridnya itu. Bagaimana dia
tidak akan merasa geli" Selama dua tahun ini dia telah menggembleng Yo Han dengan ilmu-
ilmu yang amat hebat, ilmu yang akan dapat mem-bunuh puluhan orang lawan dan anak ini
masih mengatakan tidak sudi mempela-jari kekerasan!
Mereka berada di tengah guha itu, tidak nampak dari luar. Tiba-tiba terde-ngar suara
melengking nyaring dari luar pintu guha, disusul keta-kata yang lem-but seorang wanita,
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun yang dapat terdengar sampai ke dalam guha.
"Thian-te Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang Moli ingin bicara denganmu!"
Mendengar suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia
mengenal siapa itu Ang I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid walaupun
dia tidak pernah diajarkan apa pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti iblis, selain amat lihai,
juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan kakek tua
renta yang selama ini bersikap baik kepadanya.
Akan tetapi kakek itu terkekeh. "Ang I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat
terdengar dari sini. Perlu apa aku harus keluar menemuimu" Kalau mau bicara, bicaralah, dari
sini pun aku dapat mendengarmu dengan baik."
"Thian-te Tok-ong, tidak perlu kuje-laskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kauketahui
maksudnya. Aku datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat
penawar racun ilmu yang telah kusempurnakan."
"Heh-heh-heh, engkau sudah menyem-purnakan Toat-beng Tok-hiat (Darah Be-racun
Pencabut Nyawa)" Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan. kini
engkau berhasil me-nguasainya" Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang tanpa
tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar melihat iblis betina itu!" Kakek itu
menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han. Anak itu memegang ujung tongkat dan menuntun
gurunya keluar dari dalam guha. Dia sendiri sudah sering keluar guha, akan tetapi kakek itu
tidak pernah sehingga setelah kini dia keluar dari guha, matanya disipitkan, silau, dan
mu-kanya nampak pucat seperti mayat hidup. Diam-diam Ang I Moli sendiri bergidik. Kakek
ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun sudah mendengar bahwa kakek tua renta ini
merupakan tokoh nomor satu dari Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian tak dapat
diukur tingginya.
Setelah Yo Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar guha, mereka melihat ada beberapa orang
di situ. Selain Ang I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ terdepat Lauw
Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang yang berlutut, dan ada pula lima orang pria lain yang
melihat pakaian mereka adalah petani-petani biasa dan nampaknya mereka itu ketakutan,
berlutut pula tanpa berani mengangkat muka. Hanya Ang I Moli seorang yang tidak berlutut.
Hal ini tidaklah aneh karena ia bukan anggauta Thian-li-pang, bahkan ia adalah pemimpin
dari perkumpulan Ang I Mopang di luar kota Kun-ming. Dua tahun yang lalu, ketika ia
bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo Han kepada Lauw Kang Hui
wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja, ia lalu
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
157 membawa dua belas orang remaja itu pergi. Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu
kejinya itu, mengorbankan nyawa dua belas orang remaja yang dihisap darahnya, dan kini,
dua tahun kemudian, ia telah berhasil dengan ilmunya itu dan datang menagih janji, yaitu
untuk minta obat penawar bagi keampuhan ilmunya yang beracun.
Baginya sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga tidak
dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di dunia ini,
yang mam-pu membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan beracun hanyalah
Thian-te Tok-ong seorang!
Begitu kakek tua renta itu muncul, Ang I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw
Kang Hui yang berlutut juga memberi hormat dan berkata, "Tee-cu mohon Supek sudi
memaafkan kalau teecu mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang I Moli
yang hendak menagih janji dua tahun yang lalu."
"Heh-heh-heh, Lauw Kang Hui, mulut-mu bicara satu akan tetapi hatimu bica-ra dua.
Katakan saja bahwa engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar
tidak?" Wajah Lauw Kang Hui yang biasanya sudah memang merah itu menjadi sema-kin gelap,
akan tetapi dia, menyembah lagi dengan segala kerendahan hati. "Su-pek, teecu hanya
menyerahkan kepada kebijaksanaan Supek, karena semua itu demi kemajuan Thian-li-pang
kita." "Baiklah, kautunggu saja. Sekarang, Moli. Aku bukan orang yang suka me-langgar janji. Yo
Han memang menye-nangkan dan sudah menjadi muridku. Untuk itu, aku tentu akan
memenuhi janjimu. Akan tetapi, bagaimana aku akan dapat membuat obat pemunah dari ilmu
kejimu itu kalau aku tidak melihat dulu buktinya."
Ang I Moli tertawa genit dan me-mang wanita ini masih manis sekali se-perti orang muda
saja walaupun usianya sudah empat puluh tahun. "Locianpwe Thian-te Tok-ong, aku sudah
memper-siapkan segalanya. Lihatlah lima orang dusun ini. Mereka yang akan kujadikan
kelinci percobaan. Nah, harap kaulihat baik-baik!"
Dengan gerakan yang luar biasa ce-patnya, yang nampak hanya berkelebat-nya bayangan
merah saja dan tahu-tahu tiga di antara lima orang itu roboh terpelanting. Padahal, Ang I Moli
hanya mendorongkan telapak tangannya dari jauh saja tanpa menyentuh orangnya, dan dari
telapak tangan itu menyambar hawa yang kebiruan ke arah mereka.
"Keji sekali kau!" Tlba-tiba Yo Han berseru dan dari tempat ia berdiri, Yo Han teringat akan
ilmu senamnya dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang yang belum
roboh. Dua orang itu seperti kena disambar angin keras dan tubuh mereka, terguling-guling
sampai jauh akan tetapi mereka terhindar dari, pukulan beracun Ang I Moli!
Melihat ini, Ang I Moli marah sekali dan ia pun mengerahkan pukulan kedua tangannya,
didorongkan ke arah tubuh Yo Han. Anak ini pun menyambut. dengan gerakan senam yang
dinamakan "mendo-rong bukit".
"Dess....!" Yo Han terjengkang dan roboh pingsan. Akan tetapi Ang I Moli terhuyung,
berpusing lalu roboh dan mun-tah darah! Wanita itu terbelalak, penuh kekagetan, keheranan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
158 dan juga ketakutan karena ia merasa betapa ilmunya yang amat keji itu, yaitu yang ia beri
nama Toat-beng Tok-hiat, tadi ketika bertemu dengan tenaga dari kedua tangan anak itu, telah
membalik dan melukai dirinya sendiri! Ia tahu bahwa ia telah menjadi korban pukulannya
sendiri yang membalik dan ia sendiri tidak mempunyai obat pe-nawarnya! Keadaannya sama
dengan tiga orang petani yang dijadikan kelinci per-cobaan. Mereka pun roboh dan muntah
darah. Baik wajah tiga orang itu maupun wajah Ang I Moli berubah menjadi kebi-ruan!
Thian-te Tok-ong menghampiri Yo Han dan dia tertawa terkekeh-kekeh sa-king girangnya
melihat betapa biarpun pingsan Yo Han sama sekali tidak ter-luka. Dia menotokkan
tongkatnya ke tengkuk anak itu dan Yo Han pun siuman kembali. Dia meloncat bangun dan
me-mandang ke arah Ang I Moli dengan mata terbelalak. "Suhu.... apakah teecu.... membuat
ia roboh....?"
Thian-te Tok-ong mengangguk. "Kalau engkau tidak mempergunakan senam mendorong
bukit, tentu engkau akan ro-boh keracunan atau mungkin sudah tewas. Ilmu iblis betina itu
keji bukan main."
Ang I Moli terengah-engah dan bang-kit duduk. "Locianpwe, aku yakin bahwa seorang
Locianpwe seperti engkau ini ti-dak akan menelan ludah sendiri dan akan memenuhi janjinya.
Aku menuntut diberi obat penawar untuk ilmu pukulan ini."
"Ha-ha-ha, sudah lama kubuatkan. Aku mengenal pukulan keji semacam itu, Moli. Akan
tetapi engkau masih untung. Kalau engkau tadi membuat Yo Han tewas, engkau pun tentu
akan kubunuh! Nah, inilah obat penawarnya, berikut catatan cara membuatnya, terimalah dan
buktikan kemanjurannya pada dirimu sen-diri."
Kakek itu melemparkan sebuah bung-kusan yang diterima oleh Ang I Moli. Isi bungkusan itu
ternyata belasan butir pel merah dan sehelai kertas catatan resep pembuatannya. Menurutkan
petun-juk catatan, Ang I Moli menelan sebutir pel merah dan setelah bersila sejenak,
wajahnya berubah merah kembali dan ia merasa betapa pengaruh racun di tubuh-nya lenyap.
Ia girang bukan main, me-loncat berdiri lalu membungkuk terhadap Thian-te Tok-ong.
"Nama besar Thian-te Tok-ong ter-nyata bukan nama kosong dan bukan seorang pembohong.
Aku menghaturkan banyak terima kasih." Kemudian kepada Lauw Kang Hui ia pun berkata,
"Lauw Pangcu, kita telah saling membantu, ha-rap sampaikan hormatku kepada Ouw Pangcu.
Aku mohon diri untuk mengam-bil jalanku sendiri. Selamat tinggal!"
"Heiiii, nanti dulu!" Tiba-tiba Yo Han berseru keras. Moli terkejut karena se-kali anak itu
menggerakkan kaki, tubuh-nya sudah melayang dan berdiri di de-pannya! Anak ini, entah
disadari atau pun tidak, telah memiliiki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat!
"Huh, mau apa engkau?" bentaknya, tidak berani memandang rendah karena tentu saja ia
gentar terhadap guru anak itu.
Dengan telunjuk tangan kanannya, se-perti seorang dewasa menegur seorang anak nakal, Yo
Han berkata, "Ang I Mo-li, sejak dahulu engkau sungguh tak ber-ubah, bahkan menjadi
semakin jahat dan keji. Engkau melukai tiga orang petani yang tidak berdosa itu sampai
mereka keracunan dan engkau mau meninggalkan mereka begitu saja" Mana tanggung
ja-wabmu" Engkau harus menyembuhkan dulu mereka, baru boleh pergi!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
159 Ang I Moli mengerutkan alisnya. Ma-na ia mau mentaati permintaan bocah itu" "Huh! Peduli
apa aku dengan mere-ka?" Serunya dan ia pun sudah meloncat pergi. Akan tetapi Yo Han
juga melon-cat dan anak ini terkejut sendiri akan tubuhnya melayang dan dia dapat
meng-hadang di depan wanita pakaian merah itu.
"Aih, kiranya Tok-ong sudah melatih-mu, ya" Yo Han, engkau masih kanak-kanak, sama
sekali bukan lawanku, ja-ngan coba-coba menghalangiku. Kalau aku tidak melihat muka
gurumu, sekali pukul engkau akan mampus. Pergilah!"
"Moli, aku tidak mau berkelahi, aku tidak mau melawanmu atau melawan siapa saja. Akan
tetapi aku minta per-tanggungan jawabmu. Tiga orang itu ti-dak berdosa. Tidak boleh engkau
mening-galkan mereka terluka tanpa kauobati. Hayo cepat kausembuhkan mereka!"
"Bocah setan kau!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian-te Tok-ong terkekeh-kekeh. "Ang I Moli, jangan
mengira bahwa aku men-campuri urusan percekcokahmu dengan Yo Han anak kecil. Akan
tetapi, di da-lam dunia kita, sudah terdapat peraturan bahwa siapa yang menang harus ditaati
dan siapa kalah harus mentaati. Nah, sekarang begini saja. Engkau boleh me-nyerang Yo Han
sampai dua puluh jurus, dengan ilmu pukulanmu yang mana pun, boleh semua kepandaianmu
kaukeluarkan, kecuali pukulan Toat-beng Tok-hiat itu. Kalau kau pergunakan pukulan itu dan
sampai muridku mati, engkau akan kuca-bik-cabik. Akan tetapi semua pukulan lain boleh
kaulakukan. Kalau sampai dua puluh jurus engkau tidak mampu merobohkannya, nah, engkau
harus mentaati perintahnya mengobati tiga orang petani itu. Kalau sebelum dua puluh jurus
dia jatuh, sudahlah, engkau boleh pergi dan aku yang akan menghajar kelancangan mulut
muridku." Mendengar ini, Lauw Kang Hui wakil ketua. Thian-li-pang yang datang pula ke situ diam-
diam terkejut bukan main. Bagaimana sih supeknya itu" Tingkat kepandaian Ang I Moli
sudah tinggi seka-li. Apalagi setelah kini menguasai Toat-beng Tok-hiat, bahkan dia sendiri
pun harus berhati-hati kalau melawan wanita itu. Dan kini supeknya menyuruh Moli
menyerang Yo Han sampai dua puluh ju-rus. Mana mungkin anak itu dapat ber-tahan" Baru
satu dua jurus saja kepala anak itu dapat hancur! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani
mencampuri urusan supeknya yang amat ditakuti dan dihor-matinya itu.
Ang I Moli adalah seorang wanita iblis yang licik. Tadinya dengan senang sekali ia berhasil
mendapatkan Yo Han, akan tetapi terpaksa ia melepaskan anak itu kepada Thian-te Tok-ong.
Kini, men-dengar tantangan itu, tentu saja ia men-dapatkan kesempatan, untuk melampiaskan
kemarahannya. Kalau ia membunuh anak itu, berarti anak itu tidak terjatuh ke tangan orang
lain, dan ia pun dapat membalas penghinaan yang diterimanya ketika Yo Han menangkisnya
tadi! "Bagus sekali! Locianpwe Thian-te Tok-ong, bukan aku yang menantang. Syarat itu memang
cukup adil. Nah, Yo Han yang manis, majulah ke sini untuk menerima kematianmu. Sayang
masih begini muda terpaksa engkau harus mam-pus di tanganku."
"Suhu, teecu tidak sudi berkelahi, biarpun melawan iblis betina itu sekali pun," kata Yo Han
kepada gurunya sam-bil mengerutkan alisnya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
160 "Bocah tolol!. Siapa suruh engkau ber-kelahi" Akan tetapi ia hendak membunuh tiga orang
petani itu, juga hendak mem-bunuhmu. Engkau tidak perlu memukulnya engkau hanya
menari saja seperti yang kaupelajari tadi. Gunakan tari monyet dan tari lutung, dan hendak
kulihat apa-kah perempuan sombong ini mampu me-nyentuh selembar rambutmu. Hayo cepat
engkau menari!"
Mendengar perintah ini, hati Yo Han tidak ragu lagi. Dia memang tetap ber-pendirian bahwa
ia tidak akan sudi ber-kelahi menggunakan kekerasan memukul orang. Akan tetapi kalau
hanya menari dan menghindarkan diri dari serangan orang, itu namanya bukan berkelahi dan
bukan menggunakan kekerasan. Apalagi dia harus menyelamatkan nyawa tiga orang petani
yang tidak berdosa itu. Maka, dia pun melangkah maju mengha-dapi wanita itu dengan hati
tabah. Ba-gaimanapun juga, karena ia segan dan takut kepada Thian-te Tok-ong, Ang I Moli
sekali lagi berkata, "Locianpwe Thian-te Tok-ong, benarkah aku boleh menyerangnya sampai
dua puluh jurus?"
"Perempuan sombong, siapa yang me-nyangkal" Cepat serang!"
Ang I Moli memang seorang yang amat licik dan curang. Biarpun yang dihadapinya itu
seorang remaja berusia empat belas tahun, namun begitu mende-ngar ucapan Thian-te Tok-
ong, tanpa memberi peringatan lagi tiba-tiba saja ia sudah menerjang dengan tamparan yang
amat ganas, ke arah kepala Yo Han.
"Wuuut-wuut-wuuuttt....!" Tiga kali ia menampar susul menyusul dan.... luput! Bagaikan
seekor kera yang amat lincah. Yo Han sudah menari-nari dan semua tamparan itu sama sekali
tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti telah melihat lebih dulu datangnya tamparan.
Tentu saja Ang I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main lagi,
mengeluarkan jurus-ju-rusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk menampar atau
memukul, melain-kan mengirimkan jurus pukulan mautnya! Bahkan, setelah lewat sepuluh
jurus, ber-turut-turut ia memukul dengan pukulan ampuh Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan
beracun yang amat dahsyat, yang dikua-sai oleh para murid Pek-lian-kauw. ting-kat tinggi
saja. Pukulan ini mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang
yang menghisapnya roboh pingsan! Namun, Yo Han dengan gerakannya yang lincah selalu
dapat menghindarkan diri, bahkan asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja terse-dot
olehnya sama sekali tidak mempe-ngaruhinya, bahkan dia masih sempat berseru, "Aih,
baunya harum!"
Tentu saja ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang I Moli merupakan tam-paran dan
ejekan. Tiba-tiba ia mengelu-arkan suara melengking nyaring. Tinggal tiga jurus lagi karena
ia sudah menye-rang sampai tujuh belas jurus tanpa hasil dan yang tiga jurus ini akan
dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan tenaga sembarangan, melainkan
ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng Tok-hiat!
Terdengar suara bercuitan seperti ti-kus-tikus terjepit ketika ia melancarkan pukulan ampuh
Toat-beng Tok-hiat itu. Pukulan ini baru saja dirampungkannya latihannya dan merupakan
pukulan ting-kat tinggi yang amat hebat. Jangankan seorang anak remaja seperti Yo Han yang
tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang
Hui saja belum tentu akan mampu menahan pukulan maut itu! Diam-diam Lauw Kang Hui
terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan tetapi dia tahu betapa sayangnya
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
161 supeknya kepada anak itu sehingga kalau sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang I Moli
tidak akan dapat diselamatkan lagi!
Akan tetapi, Yo Han yang sama se-kali belum menyadari bahwa semua la-tihan yang
dilakukan secara rajin selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki
ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal ini adalah karena sebagian besar dari waktunya
dia berada di dalam guha yang gelap dan remang-remang. Maka, kini dia dapat melihat atau
mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas sehingga memudahkan dia untuk
berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana sini dan tiga kali han-taman berturut-turut
yang mengeluarkan bunyi bercicit itu tidak ada yang, mengenai tubuhnya.
Ang I Moli penasaran bukan main sehingga ia lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh jurus ia
menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang dianggapnya telah
membuat ia kehilangan muka itu.
"Takkk!" Tubuh Moli terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauh-nya karena
disodok ujung tongkat oleh Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek
itu masih du-duk bersila, dan jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang mu-lur
atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat menyambut serangan Moli dan
membuat wanita itu terjengkang.
"Moli, apa engkau ingin mampus" Su-dah dua puluh jurus dan engkau masih ingin
menyerang terus?" bentak kakek itu terkekeh.
Ang I Moli cepat bangkit, dan mem-beri hormat. "Maaf, Locianpwe, aku sa-lah menghitung."
"Heh-heh-heh, engkau sudah kalah bertaruh. Hayo kausembuhkan tiga orang itu kemudian
cepat pergi dari sini, ja-ngan sekali lagi sampai bertemu dengan-ku, karena aku tidak akan
sudi mengam-punimu lagi!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ang I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te Tok-
ong adalah orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupa-kan seorang tokoh langka
yang tidak pernah mencampuri urusan dunia. Dika-lahkan Thian-te Tok-ong masih belum
merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, ia, datuk besar yang baru saja selesai
menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu Toat-beng Tok-hiat yang dianggap-nya akan dapat
membuat ia menjadi seorang yang paling lihai di dunia, atau setidaknya seorang di antara
yang paling lihai, kini tidak dapat merobohkan seo-rang bocah berusia empat belas tahun
yang tidak pandai ilmu silat! Maka, se-telah ia memandang kepada Yo Han de-ngan sinar
mata mengandung penuh ke-bencian, dan di dalam hatinya ia menca-tat bahwa kelak pada
suatu hari ia pasti akan membunuh anak ini dan menghisap darahnya sampai tidak tertinggal
setetes-pun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun lenyap dari tempat itu.
"Heh-heh-heh-heh, Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kaubunuh,
kalau tidak engkau yang akan dibunuhnya, heh-heh!"
Yo Han mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan mau
membunuh siapapun ju-ga!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
162 "Heh-heh-heh, engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang
mengantar perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun akan menagih janji,
bukan?" Lauw Kang Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini.
Kakek ini bukan saja merupa-kan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, akan tetapi
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga terkenal bengis dan entah sudah berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang sejak
dahulu dibunuh-nya begitu saja dengan kesalahan yang amat sepele. Maka, dia pun cepat
me-nyembah sambil berlutut.
"Teecu memberanikan diri mengantar Ang I Moli karena ia desak-desak, Supek. Adapun
tentang Supek hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan kepada
kebijaksanaan Supek. Bagaimana teecu berani menuntut?"
"Ha-ha-ha, engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak
seperti suhengmu Ouw Ban yang terlalu keras kepala walaupun ke-pandaiannya lebih tinggi.
Aku mendengar tentang siasatmu mengadu domba antara empat partai persilatan besar dan
berha-sil baik. Ha-ha, sungguh, aku sendiri tidak akan memikirkan sejauh itu. Eng-kau
memang pandai dan aku suka sekali menambahkan satu dua pukulan untukmu agar engkau
lebih dapat memajukan Thian-li-pang lagi!"
"Terima kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan de-ngan suara lirih.
"Hanya teecu mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu kalau Suhu memarahi teecu
karena ini."
"Gurumu" Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban.
Jangan takut, kalau gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pan-tatnya sampai
bengkak-bengkak, heh-heh-heh! Nah, ke sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan kuajarkan
Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan Pedang) padamu. Hafalkan
baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua tahun baru engkau akan dapat mahir."
"Terima kasih, Supek!"
Lauw Kang Hui memasuki mulut guha dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar
silat, lalu masuk ke dalam guha untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan guha
dan me-ngirimkan makanan dan minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam sumur.
Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk kedua ilmu itu dari Thian-te
Tok-ong tanpa ada yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun tidak ada yang berani.
Setelah dia hafal benar, Lauw Kang Hui berlutut mengha-turkan terima kasih kemudian
meninggalkan guha yang menjadi sunyi kembali. Dan dia pun mulai lagi setiap hari bela-jar
ilmu menari dan senam, karena sam-pai hari itu pun Yo Han tetap berkukuh tidak sudi belajar
ilmu memukul orang!
Ketika usianya sudah lima belas tahun dan tetap juga dia berkeras tidak mau belajar silat,
hampir habis kesabaran Thian-te Tok-ong. Dia memanggil murid-nya menghadap. Yo Han
berlutut di de-pannya. Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam guha sudah mulai gelap.
Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki
ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
163 "Yo Han, apakah engkau sudah gila" Kaulihat sendiri, kalau engkau tidak pan-dai mengelak,
tentu engkau sudah mam-pus diserang Ang I Moli. Kenapa engkau tetap tidak mau menerima
pelajaran silat dariku" Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit
ini." "Tidak Suhu. Teecu tetap tidak mau belajar memukul orang. Untuk apa" Tee-cu tidak akan
pukul orang, apalagi mem-bunuh orang. Hidup bukan berarti harus saling bermusuhan dan
saling bunuh."
"Tolol! Kaukira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
"Teecu tetap tidak mau! Sejak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas
hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau mereka tidak pandai silat, tidak mungkin
mereka itu mati muda."
"Huh, hal itu karena ilmu silat mere-ka masih rendah, masih mentah! Sudahlah tidak perlu
banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperli-hatkan bukti-bukti
kepadamu!"
Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram gurunya
dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-
diam dia kagum. Guru-nya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak
seperti itu! Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah
bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah
terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai di-sertai gelak tawa di antara suara
tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te Tok-ong melepaskan murid-nya, lalu membiarkan muridnya menuntun tongkatnya,
diajaknya memasuki dusun itu. "Tidak perlu banyak bertanya, kau lihatlah saja sendiri,"
katanya dan sete-lah mereka memasuki dusun, tiba-tiba kakek itu memegang lengannya dan
membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang
sedang terjadi di ba-wah.
Yo Han terbelalak, mukanya seben-tar pucat sebentar merah. Dia me-lihat peristiwa yang
mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat dia merasa ngeri bukan main.
Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-
orang dusun yang sama sekali tidak mam-pu mengadakan perlawanan. Ada pula yang
memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, men-ciuminya dan
memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah.
Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu
dengan ke-jam sekali.
Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun
dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat melon-cat dari tempat setinggi itu
tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya ber-kali-kali dan ke
mana pun tubuhnya ber-kelebat, dia telah merampas sebatang golok dan mendorong seorang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
164 perampok sampai terjengkang dan terguling-guling. Melihat seorang anak remaja maju
mendorong roboh beberapa orang anak buah-nya, kepala perampok yang brewok men-jadi
marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang
dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher
anak itu. Yo Han yang telah mahir "menari" itu melihat dengan jelas datangnya golok, maka
dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke sam-ping sehingga
golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, akan tetapi karena dia
marah melihat orang itu tadi menggeluti seo-rang wanita, dan kini melihat orang itu hendak
membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring, "Engkau orang jahat, pergilah!"
dan sungguh luar biasa sekali akibatnya. Terkena dorongan ta-ngan Yo Han, kepala perampok
itu ter-lempar seperti daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding, dan dia
pingsan seketika karena kepalanya terbanting pada dinding.
Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok
mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua
serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tidak suka berkelahi, tidak suka
memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging
sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh, orang-orang macam ini masih kaukasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo
Han melihat betapa be-lasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua!
Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan
ter-belalak dan alis berkerut.
"Suhu membunuh mereka semua" Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu terkekeh-kekeh. "Dan kau
mau bilang bahwa be-lasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari
rumah pen-duduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi kalau suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya
antara mereka dengan kita" Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan pung-gung mereka
dan memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu
tidak sudi membunuh tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemm, kaukira engkau ini pintar dan baik, ya" Bocah tolol. Kaulihat, mengapa penduduk
dusun ini sampai dibunuh, di-perkosa dan dirampok" Karena mereka lemah! Coba mereka itu
kuat, coba me-reka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu
mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban
kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajak-nya pergi. Di
sepanjang perjalanan pulang ke guha, anak itu termenung. Hatinya tidak senang. Gurunya
membunuhi orang begitu saja walaupun orang-orang itu perampok kejam.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
165 Mereka tiba di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik
muridnya dan melon-cat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka
melihat se-ekor harimau menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-
jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu menghunjam leher
dan pundak, darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol
kor-bannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang murid-nya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han" Apakah
harimau itu kejam" Dan andaika-ta kijang itu mampu melawan dan me-nang, atau mampu
melarikan diri, bukan-kah berarti ia tidak akan menjadi kor-ban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati
kelaparan! Untuk itu dia sudah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing
dan gigi tajam. Dia tidak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun
ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat
dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu
jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tidak suka
belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi
jahat!" "Yo Han, kaulihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senja-ta untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu. saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau ti-dak mampu
melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan
senjata kekerasan yang jahat" Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan
menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila" Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau aku
memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing
itu, bukan untuk memukul, melukai apalagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat anak keras kepala! Apa kaukira kalau kita
mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-
perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan mem-bunuh orang" Kalau kita
mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat
membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
166 membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, terutama sekali, kita
dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, menjadi orang yang terpandang di dalam
dunia!" Yo Han mengerutkan alisnya. Ada se-bagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang
terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimanapun juga, orang-orang yang pandai silat
selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai
silat." "Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah
saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bi-cara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau
belajar silat!" kata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, ten-tang nyawa teecu, berada di
tangan Tu-han dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi.... benar juga...." kakek itu menggumam. Sudah sering dia
melihat Yo Han yang tidak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal
terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang melindunginya. Dia sendiri
adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya ke-kuasaan
di luar dirinya. Kekuasan Tuhan" Dia tidak percaya karena tidak dapat melihatnya! Dia tidak
sadar bahwa pera-saan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan
yang tidak dipercayanya itu!
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini, sudah tiga tahun Yo Han
berada di dalam guha itu dan usianya sudah lima belas tahun, ia menjadi seorang pemuda
remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras. Mukanya yang
lon-jong dengan dagu runcing berlekuk itu. membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk
panjang dikuncir besar. Pakaian-nya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok
karena tebal menghitam berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya
ramah walaupun dia pendiam. Sepasang matanya memba-yangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah mulai jemu, tinggal di dalam guha itu, setiap hari selain melayani gurunya yang
makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (samadhi)
yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia. Akan tetapi, kalau
timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada guru-nya. Kakek
itu sudah tua sekali dan dia merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam
sumur, bahkan ia sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur,
akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhunya.
Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketua, yaitu Ouw Ban dan Lauw
Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan
depan guha, Yo Han disuruh ke dalam oleh suhunya dan tidak diperkenankan untuk
menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan, mereka pun tidak boleh. Yo Han masuk ke
bagian paling dalam dari guha itu agar tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan
bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi ia duduk termenung, matanya yang
terlatih itu dapat melihat cuaca yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya
terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
167 dapat diukur itu. Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke
bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan
orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu dapat menerima luncuran
bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Untuk menanti percakapan gurunya dengan dua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu
duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di
bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang
saja terdengar suara yang amat mengeri-kan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit
tangis, seperti tawa, pen-deknya bukan seperti suara manusia!
Tiba-tiba Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukan pekik melengking
mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan kini yang terdengar adalah suara
nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, nyanyiannya sederhana akan tetapi suara
itu demikian merdu dan lembut.
"Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!"
Yo Han mendengarkan dan karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka
sekali membaca, maka men-dengar satu kali saja dia sudah hafal. Akan tetapi, bagaimana
seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata
itu" Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti: Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Sang Jalan atau Kekuasaan
Tuhan)!" Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih
kagum mendengar kemerduan suara itu daripada isi kata-katanya yang tidak dimengerti benar.
Kalau biasanya dia tidak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, karena se-lain
dilarang suhunya, juga dia tidak per-nah menganggur dan suara melengking yang mengerikan
itu membuatnya ragu, kini mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat
hatinya tertarik bukan main. Apakah si penyanyi itu orang yang suka menjerit-jerit itu"
Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana" Apakah dosa-nya" Dan
mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh dan juga
jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan
marah, dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagaimanapun juga, dia harus tahu
siapa salah siapa benar dan kalau orang di bawah sumur itu tidak bersalah, dia tidak
sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerja-an yang bagi
orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia sudah
lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak mera-yap
di dinding guha! Dengan latihan samadhi, dia dapat menggunakan tenaga dalam tubuh untuk
menyedot hawa dan kedua tangan dan kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
168 Dalamnya sumur itu tidak kurang da-ri dua puluh lima meter dan biarpun gelap pekat, namun
pandang mata Yo Han maslh dapat menembus sehingga nampak remang-remang olehnya
bahwa sumur itu agak menyerong. Dan akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas,
ada empat meter persegi dan ter-dapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar
lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap
se-kali, sungguh orang akan tersiksa hebat kalau harus tinggal di situ.
Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak
mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong
rahasia lain. Tiba-tiba saja tubuhnya seperti dise-dot oleh kekuatan yang amat kuat menu-ju ke salah
sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-
sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat
baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya.
"Desss....!" Tubuh Yo Han terbentur benda lunak akan tetapi yang kuatnya bukan main
sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bress....!" Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak
memandang kepada "guci" itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak
mempunyai kaki dan tidak mempunyai tangan. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh
mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat
dijungkirbalikkan akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki. Kini penglihatan Yo Han mulai
terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia
memperhatikan mah-luk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk,
agaknya te-lanjang akan tetapi kulitnya ditutup "pa-kaian" lumpur kering. Hanya mukanya
yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis,
kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan mahluk
yang mengerikan se-kali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang
aneh dan berbahaya.
Kini mahluk itu berloncatan, bukan menggelundung, berloncatan menghampiri Yo Han.
Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia me-mang tidak mempunyai
niat buruk, hanya memandang dengan penuh perhatian. Wa-jah itu kini nampak nyata. Wajah
seorang kakek yang tentu sudah tua sekali, dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam,
Bahkan mulut yang sebagian tetutup ku-mis itu seperti menyeringai tersenyum.
"Kau tidak mati...." Kau.... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lem-but, seperti suara
orang yang terpelajar, namun agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan
keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri me-pet di dinding dan
menggeleng kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya
adalah seorang manusia, walaupun aneh, bahkan mungkin seorang tapa-daksa yang patut
dikasihani dia pun berkata,
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
169 "Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku.... aku tidak bermaksud mengganggu, aku
hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu." Dia lalu
menyanyi seperti tadi, meniru-kan suara yang didengarnya tadi. "Jin Sin It Siauw Thian Te, It
Im It Yang Wi Ci To....!"
"Siancai....! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu" Eh, anak
muda, tahukah engkau apa arti-nya kalimat itu?"
Yo Han sudah membaca banyak kitab, selain itu, memang dia memiliki kelebih-an, bahkan
keanehan dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil
sekalipun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, se-olah-olah dia pernah mengenal semua
kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang mem-bisikinya,
memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan, itu, dia mengangguk.
"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak, tidak. Engkau yang setiap ha-ri mengirim makanan kepadaku, bukan" Sudah
kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri su-mur dan aku tahu,
engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam
kalimat itu."
"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Ba-dan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita
dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala mahluk di dunia ini, manusia merupakan
mahluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan mahluk lain. Tuhan telah
menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung
unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan
kalau air samu-dera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apabila
mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh
manusia pun selalu me-ngandung panas, api yang apabila padam berarti kematian. Seperti
yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar berlaku pula di alam kecil.
Bukankah, demikian, Locianpwe?"
"Siancai....! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau
dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki
itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative)
itulah To. Locianpwe, sudah kehendak Tuhan bahwa yang meng-gerakkan segala sesuatu di
dunia ini ada-lah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, namun saling
dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sem-purna
dan tidak lengkap. Im itu wanita, Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan
Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan
langit, di-ngin dan panas dan sebaginya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang" Tanpa ada
Yang, Im pun tidak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan"
Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut" Kalau ti-dak ada bumi,
langit pun tidak ada. Ma-ka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling
melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam.
Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-
kekacauan. Kalau dalam alam kecil, yai-tu badan kita, Im dan Yang tidak seim-bang, maka
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
170 akan timbul gangguan penya-kit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To
akan bekerja dengan sempurnanya."
Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia
menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bi jaksana, Maha
Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya
To, adanya Kekuasaan Tuhan yang men-jadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat
Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini.
Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda" Ataukah seorang manusia ajaib
yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat
dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
"Lima belas tahun" Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi" Padahal, seorang
jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah
menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan
To" Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirim-kan engkau ke sini untuk menjadi murid dan
ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han mengerutkan alisnya. "Lo-cianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin
menjadi murid dan ahli warismu."
"Ehhh" Apa katamu" Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan ber-lomba untuk
menjadi muridku, dan eng-kau menolak menjadi murid dan ahli warisku" Wah, wah, aku Ciu
Lam Hok bisa mati karena keheranan!" Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini
ber-loncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan
amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki ta-ngannya ini tentu
menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut ten-tang ilmu silat dan jagoan di
dunia kang-ouw.
"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah
mempunyai guru."
"Ehhh" Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya" Coba kata-kan, siapa gurumu
yang tidak becus, itu!"
"Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."
"Uhhhh...!" Tiba-tiba tubuh itu "ter-bang" ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke
dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, ter-pental ke dinding kanan dan bolak
balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu
turun kembali dan berdiri tan-pa kaki di depan Yo Han. "Kiranya eng-kau datang atas
perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh.
Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe,
tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
171 Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-
remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun
gigi lagi. "Engkau" Yang dapat menahan ta-brakanku, tidak mau belajar silat" Mem-benci ilmu silat
dan membenci kekerasan" Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong" Ha-ha-ha, engkau
boleh mem-bohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam
Hok!" "Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang muda, omongan apa yang kau- keluarkan ini" Engkau mengaku murid Thian-te Tok-
ong dan mengatakan tidak suka belajar silat" Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau
menari" "Ha-ha-ha...."
"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan
tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu ber-henti di ujung ruangan itu
dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han.
Pe-muda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyam-bar ke
arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh,
menari seperti mo-nyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu
menge-lak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kaubilang tidak pernah
belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak
berbohong, tidak pernah berbohong" Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti
gurumu!" "Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari
dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba sebuah benda kecil me-nyambar lagi dan sekali ini Yo Han ku-rang cepat mengelak
sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda
itu perih dan agak nyeri, akan tetapi bagi-nya tidak berapa mengganggu. "Yang licik dan
curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong
sehingga leherku ter-kena tiupan benda rahasiamu, Tangan Yo Han memijat bagian leher
yang ter-luka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan
melempar-kannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba
untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang
dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesi-ma adalah cara orang
muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai leher-nya. Orang lain, betapa pun lihainya,
sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Akan teta-pi orang
muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih
sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
172 Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya. Tiba-tiba, kakek itu
mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah
ber-gulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.
Pemuda ini terkejut dan kemba-li dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek
itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia ha-nya berhasil meloncat dan mengelak
empat lima kali saja, lalu tiba-tiba ke-dua kakinya terkena totokan ujung ram-but dan dia pun
terpelanting jatuh!
Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek! itu menyerangnya dengan rambut.
Suara rambut itu yang menyam-bar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo
Han kini mengguna-kan ilmu "senam", berdiri kokoh, menge-rahkan tenaga yang dapat
membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu
de-ngan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo
Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari
kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tu-buhnya
terpental ke belakang dan kem-bali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang
dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
"Siancai....! Engkau ini manusia atau-kah setan" Heii, Yo Han, katakan seju-jurnya, siapa
engkau dan apa pula mak-sudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh tak-jub. Tahulah dia
bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi,
namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat
lihai itu saja tidak mampu mero-bohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian
monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam
men-dorong bukit. Akan tetapi, dalam bebera-pa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang
tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam, yang dikuasainya tidak mampu
menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!
"Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te
Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi
muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam
sumur. Sudah lama aku amat tertariik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku
tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam su-mur untuk melihat siapa
yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa
yang suka meraung-raung itu?"
"Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tu-han.... yang
mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan merayap, Locianpwe. Di an-tara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian
gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.
"Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa" Yo Han, mendekatlah,
nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
173 Yo Han maklum bahwa jauh atau de-kat, bagi kakek sakti ini sama saja. Ka-lau kakek ini
hendak membunuhnya, biar-pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia
pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah, Yo Han, aku hendak me-meriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu dan tiba-tiba
rambut kepalanya ber-gerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-
libat selu-ruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa
rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini.
Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji
kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehi-langan kaki dan tangan, maka
rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan
menekan-nekannya.
Berulang-ulang kakek itu mengeluar-kan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia
menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo
Han, dia terlem-par dan bergulingan.
"Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa...." Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah.... inilah...." dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang se-ring didengar
Yo Han! Tentu saja Yo Han menjadi heran bu-kan main. "Locianpwe, ada apakah" Maafkan kalau aku
bersalah." Yo Han memandang terharu. "Jadi.... kiranya Lo-cianpwe yang suka meraung dan
mena-ngis itu?"
Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak
mengusap air mata dari muka-nya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena
bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang
suka meraung dan mena-ngis, lalu apa yang akan kaulakukan?"
"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk
menolongmu dan mem-bawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung
ketegasan. Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali
kakek itu. "Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong"
Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang
dibunuhnya, apakah pengorban-anku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan berce-rita, dan agaknya
Tuhan sengaja mengi-rimkan engkau ke sini untuk mendengar-kan ceritaku."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
174 "Aku pun yakin bahwa tentu kekuasa-an Tuhan yang mendorongku untuk me-nuruni sumur
ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai
hanya tinggal kedua pun-daknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan
dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan
dengan pe-nuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki
dan tangannya masih leng-kap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangkai kakak ber-adik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu
Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam
Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu. Hal ini ada-lah karena dia
memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu
mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-
li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan
untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian,
Ciu Lam Hok me-ninggalkan Thian-li-pang. untuk bertualang.
Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-
pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi keti-ka mendengar betapa
dua orang suheng-nya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga
me-reka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Ra-cun
Langit Bumi), hatinya merasa kha-watir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan
kebenaran berita itu.
Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya
memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang
penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang ber-gaul dengan golongan sesat,
bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahat-an
dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan
segala cara untuk menca-pai tujuan!
Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur me-reka yang dia
anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah.Terjadi pertengkaran yang
berakhir dengan per-kelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan
Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan
kecurangan itu, ber-pura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau
memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang
me-nyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pende-kar.
Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk
menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai
sekarang. "Aku terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik
hati Yo Han. "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang
pernah diperebut-kan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi
seorang yang telah menjadi hamba nafsunya un-tuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
175 berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertau-bat. Biasanya,
pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan
mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mere-ka lupa lagi akan pernyataan mereka
untuk bertaubat, bahkan melakukan keja-hatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan
mereka." Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai
ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah
begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu me-nuntun mereka kembali ke jalan benar.
Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
"Heh-heh, engkau memang anak aneh!" kata kakek itu. "Nah, karena kelengahan-ku, pada
suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi
menandingi mereka.
Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menye-rahkan kitab
ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan
ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia
Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki
tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi,
mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kuperguna-kan untuk menyelamatkan
nyawaku, bah-kan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ah,
tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini.
Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, menga-pa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi
tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat mera-yap naik" Loncatanku pun tidak
akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil
naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak
berkaki ini, aku pun pasti kalah."
"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik
seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke
sini, berarti mereka, menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja
membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih
mengirim makanan untukmu?"
"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda remaja itu mengerutkan alis-nya, kemudian mengangguk. "Aku me-ngerti sekarang.
Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, ha-nya membuat Locianpwe tidak
berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-
raha-sia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"
"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini
kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi
aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti
sam-pai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolong-ku.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
176 Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam
keadaan seperti ini" Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan
sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini,
Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi mu-ridku, menjadi ahli warisku!"
"Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau meng-gunakan
kekerasan, tidak mau berkela-hi...."
"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"
"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang
kaupelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau
menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak
menjadi muridku" Engkau memilih men-jadi muridnya?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan teta-pi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh
dua orang suheng Locian-pwe itu. Kalau di sini, bagaimana mung-kin aku tinggal di sini
bersamamu?"
"Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, kata-kanlah. Maukah
engkau menjadi muridku" Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti
ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, su-dahlah, aku tidak mau hidup lebih lama
lagi, biar untuk semenit pun. Sekali menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah
dan nyawaku akan melayang!"
Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa ka-kek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang
aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengi-ngat akan pengalaman
kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh membiarkan
kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri,
berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang, membunuh atau menyebabkan
kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti
pengganti kedua lengan, me-rangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak.
Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis
sesenggukan! "Ah, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha--ha, tidak apa, muridku. Aku hanya mera-sa girang dan
terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dika-bulkan! Mari, Yo Han, kita
harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir
dengan kematian kita berdua."
"Eh, kenapa begitu, Suhu?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
177 "Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar
gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati
batu dari dia pun mengikuti.
"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu
berhasil setelah aku ber-usaha selama satu tahun! Dan tahun-ta-hun berikutnya kupergunakan
untuk mem-buat terowonan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini men-jadi
pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu
melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur.
Suara itu nyaring dan me-masuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak
telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan
seperti suara manusia lagi.
"Ciu Sute....!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo Han....!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han
menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.
"Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"
"Ha-ha-ha, sejak kaulempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persauda-raan lagi antara
kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kausuruh turun membunuhku itu" Ha-
ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun,
eng-kau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat
terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas. "Suheng, muridmu tentu telah
dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia
supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"
"Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap
siaga. Siapa tahu dia me-masang perangkap."
"Tapi, dia sudah tidak mempunyai ka-ki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah
sana gelap, kita tidak menge-nal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk
membunuhnya."
Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya
yang baru tidak berbo-hong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan
jahat. Ma-ka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara. Ciu
Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu,
dia pun mengerah-kan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
178 kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak
yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh
orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua
saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya
terkandung ejekan dan tantangan.
Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, ten-tu dia sudah
merayap turun untuk mem-bunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku
kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan
menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua
kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi"
"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Daripada membahayakan diri sendi-ri lebih baik
kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo Han" Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh
turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus
asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan
te-tapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-
pang" Biarlah dia mampus ber-sama Si Buntung."
Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujan-kan jarum-
jarum beracun ke dalam su-mur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan
segala macam bina-tang beracun. Bahkan yang terakhir se-reka menyiramkan air yang
kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah ce-pat menyelinap ke dalam lubang. Kemu-dian mereka
kembali menggeser kembali batu sebesar gajah menutupi lubang se-hingga semua benda dan
binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-
tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, me-manggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi
dari bawah. Tentu saja de-mikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah
pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar
rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu
mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.
"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan
batu-batu besar!"
"Tapi, Suheng. Bukankah mereka su-dah tewas?"
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh,
Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki ta-ngannya buntung, akan
tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu
pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur
itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat
hidup lagi."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
179 Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, me-rasa ngeri dan
takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah
ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk mem-beri perintah itu kepada Ouw Ban,
Ketua Thian-li-pang. Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang, sekali ini mendapat
perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan
batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-
pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian"li-pang
yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya.
Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur
kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai
penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata
terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan
tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan
dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun ! Akhir terowongan itu
merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip
sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya,
di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya
sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun
tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya. Keadaan dalam
ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur
ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara
hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
"Ah, apakah itu, Suhu?"
"Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu
saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai
sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."
Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terha-dap adik
seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri" Tadinya dia me-ngira bahwa Ang I
Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan ke-jam di dunia ini. Siapa kira,
orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga ta-hun, yang dapat bersikap ramah dan
lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang
kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita ting-gal di sini tanpa makan,
dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau
merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-
pang. Engkau carilah ba-han makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering
untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari
makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan
air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."
"Suhu, kenapa susah-susah amat" Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa
mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
180 "Yo Han, sebelum berhasil mengajar-kan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar
dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku
keluar, se-luruh datuk dunia kang-ouw akan menca-riku dan kita akan menghadapi bahaya
yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini" Baru sumur
yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi
di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu,
Suhu?" "Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
"Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan" Kalau engkau minta makanan tentu semua
orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga.
Mengerti" Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui,
atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu" Andaikata membeli pun, mereka akan
melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, ba-gaimana dapat membeli
makanan?" "Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han" Dengan kepandai-anmu itu,
engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya