Kisah Si Bangau Merah 7
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
dan membawanya ke sini tanpa
diketahui orang."
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri" Wahhh.... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak
mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat daripada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat
menyuruh aku untuk melakukan pencurian" Kita bukan maling, Suhu...."
Kalau saja kakek itu masih mempu-nyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala
sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkel-nya. "Waduhhh! Engkau ini
sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa" Dewa pun masih suka mencuri kalau
terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau meng-ambil makanan, pakaian dan apa saja yang
kauperlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kautinggalkan uang di tempat engkau
mengambil barang-ba-rang itu. Ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah
kiri itu. Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri
dinding itu. "Kaulihat bagian yang mengkilat itu" Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja,
yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam guha itu memang ter-pantul oleh
beberapa buah batu di din-ding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua
buah batu sebesar ibu jari tangannya.
"Apakah ini, Suhu?"
"Emas."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
181 "Emas" Benarkah?" Yo Han terbelelak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah
batu yang mengkilap di tangan-nya, lalu menoleh ke arah dinding.
"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apalagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu
emas, dan dua buah di tangan-mu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang
kaukehendaki. Ja-ngan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup
berharga untuk ditukar sebuah batu emas itu. Kautinggalkan saja sebuah di tempat engkau
mengambil barang dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia mendapat
keuntungan besar. Berarti eng-kau tidak mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus men-curi, maka
dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan
meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambil-nya.
"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun pergunakan
kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini
sampai engkau kem-bali, menunggumu dengan lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati
kalau eng-kau tidak kembali. Nah, pergilah."
Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak
merayap, dia menanggal-kan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu
mulailah dia me-rayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sin-kang di
tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permu-kaan
dinding sumur dan melekat di situ! Perlahan-lahan dan dengan hati-hati dia merayap naik.
Sekali saja keliru menga-tur tenaga pada telapak tangan dan ka-kinya, tentu dia akan terjatuh
kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han telah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong
dinamakan "tari cecak" ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari
bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk se-nang. Anak muda itu seorang
yang me-miliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang
mujijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos
dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apalagi sudah dia bekali pesan bahwa
dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kela-paran. Itu saja pasti akan membuat hati anak
itu tidak tega meninggalkannya.
Ketika tiba di permukaan sumur, ter-nyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak.
Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tinggi-nya dan ternyata mulut sumur
berada di dalam sebuah guha yang kecil. Mulut guha nampak di depan sana, akan tetapi
melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu
besar tubuhnya. Meli-hat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh amat baik tempat sembunyi
gurunya di dalam sumur itu. Tak mungkin ada orang memasuki terowongan guha yang
demiki-an sempitnya, dan andaikata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang
itu tentu akan kembali keluar se-telah melihat bahwa guha terowongan itu berakhir pada
mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik lagi, mulut guha kecil itu tertutup semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai
dari mulut guha, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu
masih ter-masuk daerah Thian-li-pang, pikirnya. Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
182 se-kali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati tempat itu agar tidak lupa kalau
akan kembali ke sumur. Ke-mudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu
berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu,
menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dili-hatnya dari atas, nampak genteng banyak
rumah. Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang
diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam,
sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali
sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.
Dan giranglah dia ketika dia meli-hat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke
belakang, menuju dapur ketika dalam intaiannya dia meli-hat pekerja restoran itu mengambil
guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap
dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya
berada di dalam gudang itu. Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap,
asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai guci terisi
penuh. Dia mengambil pula mang-kok piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia
meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia de-ngan cepat.
Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil
mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam
perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.
Dia kembali ke dalam guha kecil membawa dua buah karung. Dia memba-yangkan betapa
akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko yang akan menemukan potongan
batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia mening-galkan potongan batu emas, di meja di
mana dia mengambil pakaian. Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil
menyeret dua karung itu, kemudi-an setelah tiba di mulut sumur, dia me-rayap turun. Sempat
pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia ha-rus kembali ke tempat yang
seperti ne-raka itu" Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak
berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di da-sar sumur
dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia ti-dak kembali" Tidak, dia
tidak boleh se-kejam itu. Apalagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.
"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang diki-rim Tuhan
kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan
kembali ke sini!" Ka-kek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua
isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh murid-nya.
Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah
sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut
penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap. Yo Han
memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Biarpun kaki tangannya
sudah tidak ada, namun dia dapat mela-yani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya,
mulut, bahkan hidungnya se-bagai pengganti tangan, dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya
sama sekali ti-dak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti
katak yang lincah.
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagai-mana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di
sini" Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan me-ninggalkan sumur ini."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
183 "Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dari
bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi men-jadi tontonan orang. Tidak,
engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, ter-utama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau
boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau
mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dan
suaranya terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah
menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang
baik, apakah yang kauucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu" Sudah kaupikirkan
masak-ma-sak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, men-diang kedua orang tuaku selalu menasi-hatiku ugar aku
hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam ben-tuk kekerasan, terutama sekali
jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan
perten-tangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku
sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti
ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku
tidak menjadi ya-tim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Kalau ibu dan ayahmu memiliki ilmu ke-pandaian silat
yang tinggi, tidak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena
ilmu silat me-reka kurang tinggi, sehingga mereka ti-dak mampu membela diri dengan baik.
Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka" Ka-lau engkau
membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda remaja itu menentang pan-dang mata gurunya dengan berani dan sungguh-sungguh.
"Mengapa takut, Suhu" Kita hidup ada yang menghidupkan, mati ada yang mematikan, kita
ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pe-lindung utama dan kalau Tuhan
melin-dungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?"
"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan
akan melindungi kita dan tak seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan
tetapi ba-gaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati" Punya ilmu silat atau tidak,
bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan
tidak ada yang mengganggu ia pun akan mati sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu
membantah kebenaran itu. Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi mereka
tentu mereka itu tewas hanya karena Tuhan sudah meng-hendaki mereka mati. Andaikata
Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tidak akan mati. Hanya Tuhan yang menentu-kan
mati hidupnya seseorang, Tuhan Ma-ha Kuasa! Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu
dia menggeleng kepala. "Bagaimanapun juga, aku tidak suka be-lajar ilmu silat, Suhu. Ilmu
silat adalah jahat!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
184 "Jahat" Ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik" Lihat, barang-barang yang
kaubawa turun itu! Lihat barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil.
Apakah semua itu tidak jahat sekali?"
Yo Han memandang gurunya dengan heran dan menjawab cepat. "Tentu saja tidak jahat,
Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu dapat kita pergunakan untuk
memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum
dan be-nang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk
membuat prabot dari kayu dan sebagainya."
Kembali kakek itu tertawa. "Dan ba-gaimana dengan kedua tanganmu itu" Baik atau jahatkah
kedua tanganmu itu?"
Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik,
Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang
ber-manfaat itu." "Sekarang dengar baik-baik! Bagaima-na kalau kapak itu dipergunakan
untuk mengapak kepala orang, gunting itu un-tuk menusuk perut orang, jarum untuk
disambitkan menyerang lawan, pisau un-tuk menyayat leher orang, juga catut dan martil itu
untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat di-namakan barang yang baik
dan berguna?"
Yo Han terbelalak. Tak pernah ter-gambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada
yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi.... tapi...."
"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han" Kalau kedua tanganmu itu
kaupergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah
kedua tangan itu masih kaukatakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau
engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau
mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan bukanlah
benda-benda itu, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk
memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api
untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru
dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang
tersembu-nyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya
perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu
dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak
benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat ber-buat lain. Memang demikianlah kenyata-annya. "Aku
mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada
dalam diri ma-nusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat,
bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batin-nya bersih
dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
185 Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang di-pergunakan dalam perbuatan,
condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat" Sama seperti
semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak
dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi
setelah diper-gunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu
mempergu-nakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok,
membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat
kejahatan. Akan tetapi ka-lau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para
pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah
tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat
me-namakan ilmu itu jahat" Ingat, muridku. Kautahu harimau" Mengapa Tuhan menciptakan
harimau dengan diberi kuku dan taring" Dan mengapa lembu bertanduk" Ular berbisa" Ulat
berbulu gatal" Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk
melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring,
tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi.
Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk
melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia
untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan
melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang
mengandung unsur kesenian kesehatan, dan bela diri, juga untuk membela mereka yang
lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang
memiliki batin bersih!"
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah
ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan
pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan. Akan
tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama
kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan
Siang Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu
silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dian membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi
banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai
ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga
dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para
penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.
Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
buntung itu. "Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada
ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya."
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan "
Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"
Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan
sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan
untuk mencari per-musuhan dan membunuh orang."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
186 "Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah
dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang ting-gi dari kakek
Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya
menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan.
Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya
meng-gunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han un-tuk dapat
bertahan. Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia
memperoleh ke-majuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari" dan
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"senam" yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong.
Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin
Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam
Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.
Biarpun lenyapnya Yo Han yang me-reka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam
Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang mera-sa agak kecewa karena mereka
tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan memperkuat Thian-li-pang, namun
mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang
mereka anggap sudah mati.
Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan
pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga hadir dalam pertemuan
puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang I Moli dan dua orang
to-su Pek-lian-kauw yang selama ini me-mang sudah bekerja sama dengannya, yaitu Kwan
Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang
pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili
pimpinan perkumpulan itu.
Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang
mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara partai-
partai persilat-an besar yang sudah mereka adu domba. Bahkan pembunuhan atas diri Thian
Kwan Hwesio di kuil Poteng adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk
mempe-runcing permusuhan akibat adu domba itu. Dan surat yang mereka terima ada-lah
surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-
pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu menyatakan bahwa kini per-musuhan antara partai-
partai persilatan itu mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha
bekas panglima Kao Cin Liong dan ke-luarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
dan keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang
tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang tamu-tamu
dari dunia persilatan, termasuk empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
187 lun-pai dan Go-bi-pai. Da-lam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu
menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya, mengajak empat partai besar yang
mengirim wakil-wakitnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati. Kao Cin Liong
menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia
sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biarpun sebelum meninggal
Thian Kwan Hwesio mengata-kan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-
pai, namun dia me-rasa curiga dan tidak percaya. Apalagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai
me-nyangkal. Kao Cin Liong menceritakan tentang luka beracun akibat racun ular hitam yang
biasanya hanya dipergunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati
semua utusan par-tai persilatan besar itu mendatangkan kesan, apalagi ketika Suma Ceng
Liong yang namanya sudah amat terkenal dan amat disegani semua orang menyatakan
pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Cu-wi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bersikap
gagah dan bijaksana. Oleh kare-na itu, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-
pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu
harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat
partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah men-dengar tentang
peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) sudah sependapat dengan saya
bahwa peristiwa itu patut dicurigai. Mudah sekali dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga
yang agaknya sengaja hendak mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-
pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, maupun pembunuh
Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara
Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apabila Cuwi tidak menghentikan
permu-suhan antara saudara sendiri, berarti Cu-wi dengan mudah dapat dipermainkan dan
pihak ke tiga yang mengadu domba."
Semua orang mengangguk dan menya-takan setuju dengan pendapat dari pen-dekar yang
amat mereka hormati itu, dan diam-diam mereka pun menduga-duga siapa kiranya yang
berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai
persilatan. Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pe-rintah Kerajaan
Mancu yang tentu saja ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan
menjadi hancur atau lemah sendiri agar tidak membaha-yakan pemerintah lagi. Akan tetapi
Kao Cin Liong menggeleng kepala.
"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak
menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun dia seorang
Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja mem-punyai kelemahan-kelemahannya, sejak
muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap
bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun amat cerdik,
maka saya tidak perca-ya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para
partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan mem-buat
kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa bukan pemerintah yang menjadi pihak ke tiga
itu. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan membahayakannya."
Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi
semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang
mengadudombakan mereka" Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
188 "Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa
ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga
sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua mu-rid
harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang
pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan sehingga
dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keun-tungan. Pertama, kita menggagalkan niat
busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu,
kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita
ketahui siapa dan kelak kita bersama mengambil tindakan terhadap mereka."
Kembali semua orang setuju dan per-temuan itu benar-benar menjadi sebuah pesta yang
menggembirakan di mana pa-ra wakil empat partai persilatan itu da-pat berbincang-bincang
dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian
bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.
Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang melaporkan semua peristiwa itu kepada
pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi kecewa
bukan main. "Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang
sambil mengepal tinju. "Dia da-pat melarikan diri ke atas rumah keluar-ga Kao Cin Liong
sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat
yang te-lah kita atur sebaiknya."
"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu
dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Akan tetapi kini mereka tidak
saling bermu-suhan lagi bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba.
Se-mua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong"
"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang
Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja,
kini berkata dan semua orang memandang kakek itu. Semua orang di situ takut dan
menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam guha tempat pertapaannya
itu. Hanya untuk urusan yang amat pen-ting saja dia mau bertemu dengan pim-pinan Thian-li-
pang seperti sekarang ini. "Apakah kalian tidak tahu siapa Kao Cin Liong itu" Dia keturunan
Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah ketu-runan Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Kalau kita memusuhi mereka, kedua ke-luarga itu dapat mendatangkan kegagalan kepada
kita, bahkan mungkin Kehancuran. Kita akan membentur batu karang kalau memusuhi
mereka. Dan pula, apa untung-nya memusuhi mereka" Tujuan kita ha-nya satu,
menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"
Semua orang saling pandang dan ber-diam diri. Apa yang dikatakan datuk da-ri Thian-li-
pang itu memang tepat.
"Siancai....!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan
satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara em-pat partai itu dengan kerajaan!
Sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
189 Semua orang mengangguk-angguk me-nyatakan persetujuan mereka.
"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah
putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita kehilangan murid kita terbaik,
Ciang Sun yang ga-gal membunuh Kaisar Kian Liong dan dia tewas."
"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para
pangeran yang dapat menggantikan-nya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat
menggunakan racun. Akan te-tapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita
harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan de-ngan Pangeran Kian Ban Kok
harus di-pererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati
lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau harus menunggu
bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali ber-gerak harus berhasil."
"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thiata-te Tok-ong me-mang tepat. Kami
dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap
bergerak apabila sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari
Pek-lian-kauw maupun Thian-li-pang me-nahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan
yang kasar dulu, agar tidak me-ngejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga,"
kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.
Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat untuk sementara ti-dak melakukan
gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan siasat halus untuk
menyu-sup ke dalam istana, menghubungi kem-bali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian
Ban Kok, dan menyusun kekuatan.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat
dengan gaya yang indah na-mun gagah. Rambutnya yang hitam pan-jang dikuncir menjadi
dua dan bergan-tungan di kanan kiri, diikat dengan pita kuning. Ketika ia bersilat, sepasang
kun-cir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, ka-dang di
belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, dua helai kuncir itu pun ikut
bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang
kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.
Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, seperti gerakan seekor burung ba-ngau merah. Ia
adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin
Hong yang berdiri menonton sambil bertolak ping-gang. Sian Li kini telah menjadi seorang
anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang
berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung
mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung se-nyum mengejek sehingga
sepasang lesung di pipinya selalunampak. Ia sedang me-mainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun
(Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena
usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum
"mengisi" tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu. Anaknya masih terlalu muda sehingga
akan membahayakan kalau tubuhnya me-nerima kekuatan yang dahsyat itu. Kini, anaknya
hanya mempelajari dan mengua-sai gerakannya saja, kelak kalau sudah dewasa, baru akan
diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap. Selain ilmu silat yang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
190 merupa-kan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi
yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang
menjadi seorang di antara guru-gurunya. Juga dia mengajar-kan dasar-dasar dari ilmu yang
pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan
kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.
Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar
biasa. Ilmu silatnya sudah hebat. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.
Ketika ia menyelesaikan gerakan ter-akhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba mun-cul ibunya,
Kao Hong Li. "Ada tamu datang, kalian hentikan dulu latihan itu, dan mari keluar menyambut
tamu!" Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapa-kah yang
datang berkunjung?"
"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."
Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tamu itu dipersilakan
duduk. Ketika mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang
usianya empat puluh tahun dan berjenggot pan-jang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak
mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki
kegagahan. Orang itu sudah mengangkat kedua tangan depan dada untuk menghormati tuan
dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu dan
mempersilakan tamunya duduk.
"Sian Li, engkau masuklah dulu, man-di dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan
mengeluarkan minuman untuk tamu kita."
Tamu itu cepat menggerakkan ta-ngannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena
urusan ini justeru menyangkut diri Siocia (Nona)."
Sin Hong memandang tamu, itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya,
Suma Ceng Liong, dan me-ngatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah
lagi. Tentu paman-nya itu menyuruh utusan ini untuk men-jemput puterinya karena dulu
mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh
paman dan bibinya itu. Walaupun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi, namun ten-tu saja paman dan bibinya itu mempu-nyai ilmu-ilmu yang khas dan
amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.
Melihat tuan rumah memandang kepa-danya, tamu itu lalu mengeluarkan se-sampul surat dan
menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu
dibaca ber-sama isterinya yang berdiri di belakang-nya. Mereka membaca surat dari Suma
Ceng Liong dan tepat seperti yang didu-ga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta
agar Sian Li diperke-nankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi
janji mere-ka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.
Membaca surat itu, Hong Li menge-rutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ah,
bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
191 Sin Hong lalu memandang kepada ta-mu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toa-
ko yang sudah mengan-tarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan
ramah. "Harap sampaikan saja kepada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami
Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Akan tetapi sebe-lum ke sana, kami
akan mengunjungi dulu kota raja."
Tamu itu dijamu oleh Sin Hong seke-luarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk
kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau
Sian Li diba-wa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan
merasa tenteram hatinya.
Sian Li sendiri tadinya hampir meno-lak ketika diberitahu bahwa ia akan di-beri pelajaran
silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah
ibunya, apalagi ke-tika mendengar bahwa ia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke
Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja ia pun merasa terhibur dan tidak mem-bantah lagi.
Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota
Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun
Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an
di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang
akan mereka lewati kalau mere-ka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.
Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di
sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang
cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu bermalam di kota
ini. Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti
dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di
situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya
tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya meme-nuhi
kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan
hidup sehari-hari.
Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki Heng-tai,
kota itu sedang ra-mai-ramainya dan semua rumah pengi-napan telah penuh tamu! Sin Hong
dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.
"Ah, kita sudah penat sekali. Apa ki-ta harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mengomel
setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah
penginapan ter-paksa menolak mereka karena semua kamar telah penuh.
"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginap-an telah
penuh," kata Kao Hong Li. "Ka-lau perlu kita dapat menumpang di ru-mah seorang penduduk
dengan membayar sewa kamar."
"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih
ada kamar di sana," kata Sin Hong. Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan
mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergan-tung di depan. Nama hotel itu Thai
Li-koan (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting
terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan
menghampiri me-reka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
192 "Maaf, semua kamar sudah penuh. Malam ini, semua kamar diborong oleh Ouw-ciangkun
dari kota raja."
"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak" Untuk apa panglima Ouw
itu memborong semua ka-mar" Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li,
penasaran. Pelayan itu mengangguk. "Rombong-annya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak
menerima tamu, dan dia ti-dak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, kamar-
kamar besar te-lah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam
kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga perajurit pengawal."
"Tapi, yang disewakan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian
Li berkata. "Kan masih banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"
Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak pe-rempuan yang
berpakaian serba merah ini memang manis sekali.
"Memang ada, Nona, tapi.... ah, ba-nyak yang sudah pesan lebih dulu...."
Hong Li yang cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah
kami sebuah kamar samping atau belakang, dan kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia
menge-luarkan sepotong perak yang cukup besar. Melihat mengkilapnya perak itu sikap Si
Pelayan berubah amat ramah. Dia meli-rik ke kanan kiri, kemudian menyambar perak itu dari
tangan Hong Li dan mem-bungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku
bajunya. "Marilah, Sam-wi masih beruntung ti-dak terlambat. Biarpun sudah banyak pemesan, akan
tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah ku-berikan kepada kalian."
Mereka mema-suki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan
mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia
menerima uang sewanya untuk sema-lam dan memesan agar mereka itu ja-ngan sekali-kali
keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan
pintu samping saja, untuk keluar masuk. Ketika mereka masuk, mereka melihat banyak-nya
perajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada pe-rajurit yang
menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa
tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah men-dapatkan kamar di belakang.
"Ingat, selama di sini malam ini, ka-lian tidak boleh menerima tamu, tidak boleh
memasukkan orang asing ke sini," kata Si Perajurit pengawal kepada me-reka.
Setelah memperoleh kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan
air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa
kamarnya mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seper-ti di rumah-rumah penginapan
biasa. Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar
bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil
menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
193 Biarpun malam telah tiba, namun taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati
karena di sana-sini di-pasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di
taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu,
dan ia pun berlari-lari di dalam taman.
"Sian Li, jangan berlari-lari....!" kata ibunya sambil mengejar.
Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolong....!"
Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohonitu. Ia
melihat puterinya didekap seorang laki-laki tinggi besar yang ber-muka hitam. Puterinya
meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu amat kuat sehingga Sian Li tidak mampu
me-lepaskan diri. Hong Li maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi,
kalau tidak, bagaimana pu-terinya yang sudah memiliki kelihcahan dan ilmu yang lumayan itu
demikian mudah ditangkap"
"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar
muka hitam. Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini
masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis,
ku-lepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."
"Jahanam busuk....!" Hong Li mem-bentak marah. Begitu orang itu melepas-kan Sian Li dan
mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan ia pun
menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tidak ingin mencari
keributan, dan tidak ingin membunuh orang, hanya untuk menghajarnya saja, maka nyonya
muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan menggunakan
jurus dari Sin-liong-ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan selu-ruh tenaga saktinya.
Melihat nyonya mu-da yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam
menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan
Hong Li. "Plak-plak-dukk....!" Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga me-lalui
telapak tangan yang didorongkan dan akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.
Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya nyeri dan tadi ketika
telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai
terdorong ke belakang. Marahlah dia. Dicabutnya golok dari pinggangnya.
"Berani engkau menyerangku?" ben-taknya dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.
Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya.
Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.
"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya
lembut namun penuh wiba-wa.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
194 Aneh sekali. Mendengar teriakan lem-but ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar segera
menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh dan menjawab, suaranya penuh
kepatuhan. "Baik...., baik.... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu
dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.
Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas
pintu dan wajahnya nam-pak jelas olehnya. Ang I Moli! Ia masih mengenal wanita yang
pakaiannya serba merah itu! Ang I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu" Dan di mana Yo
Han" Apakah masih bersama iblis betina itu" Hong Li merasa betapa jantungnya ber-debar
penuh ketegangan. Ia sudah melu-pakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang
memenuhi pikiran-nya hanyalah Ang I Moli.
"Ibu, perempuan itu adalah Ang I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menya-darkannya dari
lamunan. "Mari kita kejar Ibu!" Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya
menyambar pundaknya.
"Sstt, jangan, Sian Li."
"Ehh" Kenapa, Ibu" Pertama, laki-la-ki tadi harus Ibu beri hajaran, agar dia bertaubat. Dan
Ang I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han"
Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"
"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Ma-ri kita beritahu ayah, engkau jangan membuat ribut.
Ingat, mereka itu mem-punyai banyak kawan bahkan ada seorang panglima yang mempunyai
banyak peraju-rit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke
kamar mereka. Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan pute-rinya demikian
tegang. "Ada terjadi apa-kah?" tanyanya.
"Ayah, Ang I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li dan tentu saja ayahnya terkejut
mendengar pemberitahuan ini. Akan tetapi Hong Li memberi isarat agar puterinya menutup
mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam
taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap
kurang ajar dan ketika ia hen-dak menghajarnya, muncul Ang I Moli yang memanggil Si
Muka Hitam itu.
Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau
iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran
apakah Yo Han juga berada di sini?"
"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah malam ini menurut pelayan tadi,
pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya"
Dan Ang I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menja-di tamu pula."
"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting
apakah Yo Han, ikut de-ngannya di sini" Kita harus menyelidiki-nya. Aku selama ini merasa
berdosa ke-pada mendiang ayah ibunya...."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
195 "Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.
"Aku ikut!" kata Sian Li penuh sema-ngat.
"Tidak boleh, Sian Li," kata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Eng-kau lihat, baru Si
Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apalagi Ang I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang
berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."
"Dan menyelidiki apakah Yo Han ber-ada pula di hotel ini," sambung ayahnya.
Biarpun hatinya merasa kecewa, na-mun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup
cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang
ditemuinya di ta-man tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia telah dapat
di-tangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya
gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali. Apalagi kalau
suhengnya, Yo Han, berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan
suhengnya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.
Dari depan kamar mereka yang bera-da di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya
dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu mengadakan
pesta. "Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya" Jangan keluar, apalagi jangan
meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."
"Baik, Ayah," kata Sian Li.
"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali.
Jangan sekali-kali eng-kau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para
perajurit pengawal," pesan ibunya.
Sian. Li mengangguk, dan di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya
Ang I Moli mengingat-kan ia akan semua peristiwa yang di-alaminya ketika ia masih kecil,
delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus meng-ingatkan ia kepada suhengnya, Yo Han yang
pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suhengnya itu pergi me-ninggalkan keluarga
ayahnya, karena di-bawa oleh wanita iblis itu. Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah
suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan sega-lanya, juga kedukaannya karena diting-galkan
suhengnya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bah-wa suhengnya itu amat
baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.
Sementara itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. De-ngan
perlindungan kegelapan malam, me-reka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun
samping rumah, kemu-dian dengan gerakan yang ringan bagai-kan dua ekor burung walet,
mereka melompat ke atas pohon dan setelah meng-intai dari pohon dari tidak melihat ada-nya
penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng. Gerakan me-reka begitu ringan
sehingga tidak me-nimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu,
kedua-nya mendekam dan dengan hati-hati me-reka memandang ke sekeliling. Hati mereka
lega melihat bahwa para perajurit pengawal hanya menjaga di sekitar ru-mah itu, di bawah.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
196 Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran
seorang panglima kerajaan di hotel itu!
Ruangan tengah hotel itu dikepung perajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal
ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat
suatu ke-gembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.
Sudah terlalu lama mereka tidak menga-lami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan
pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih
bertualang sebagai pende-kar dan seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh dan keadaan
yang menegangkan seperti sekarang.
Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah
itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, merayap di atas genteng atas ruangan itu dan
mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wu-wungan di kanan kiri yang lebih tinggi
sehingga dengan rebah menelungkup, me-reka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan
leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat
mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.
Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena diberi tambahan penerangan. Terdapat
beberapa buah meja yang di-atur di tengah ruangan, berderet panjang. Di kepala meja
duduklah seorang berpa-kaian panglima. Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga
tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di
kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka
berpakaian seperti tosu. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao
Hong Li, apalagi ketika mereka mengenal adanya Ang I Moli di antara mereka, dan
me-ngenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan
orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang
bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main. Sepanjang pengetahuan mereka,
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memu-suhi
Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, walaupun terkenal sebagai perkumpulan orang-orang
gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum
pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Pagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-
kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima
kerajaan" "Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana...." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat
agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk. Mereka tahu
bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Pek-lian-
kauw dan Thian-li-pang bukan hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang I Moli seorang
saja sudah merupakan lawan yang bukan ringan, apalagi para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan
orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ.
Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil
ketuanya sampai ikut hadir, berarti pertemuan itu tentu pen-ting sekali, pikir Sin Hong.
Keingin tahu-nya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk
mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini dijamu oleh
seorang panglima muda Kerajaan Mancu! Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai
terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa-lagi di situ masih terdapat pasukan
anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri
mereka yang membutuhkan perlindungan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
197 "Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar
bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut
mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.
Panglima itu tertawa. "Aih, Su-siok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya
penjagaan kami" Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para
tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling
ruang-an ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku.
Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu adalah murid
keponakan diri adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat
menduga apa yang telah terjadi. Kiranya Thian-li-pang telah berhasil menyelundupkan
seorang anggautanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana karena melihat pakaian-nya,
panglima dan pasukannya itu ter-masuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh berbahaya
sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!
Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki,
putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu
adalah seorang pe-muda yang telah mewarisi ilmu kepan-daian ayahnya, seorang yang gagah
dan berani, juga cerdik. Ketika Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai per-silatan
besar karena campur tangan ke-luarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan
para pimpinan empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan
mereka men-cari jalan lain. Kembali mereka menghu-bungi Siang Hong-houw (Permaisuri
Ha-rum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka sehingga
memungkinkan mereka menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda
pasukan pengawal istana!
Siang Hong-houw yang masih menden-dam kepada Kerajaan Mancu yang telah
menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang,
dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan mem-bunuh suaminya,
Kaisar Kian Liong, se-perti yang pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha
membunuh Kaisar itu namun dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya
menga-takan bahwa penyelundupan orang-orang.
Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk me-mata-matai
semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan me-reka menumbangkan
kekuasaan pemerin-tah Mancu.
Demikianlah, karena pandainya mem-bawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan
Ouw Ciangkun itu seben-tar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang
lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-
li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun telah "membuat jasa" dengan membasmi ge-rombolan
penjahat yang seolah-olah di-umpankan oleh dua perkumpulan pembe-rontak itu. Karena jasa-
jasanya, maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para,
pang-lima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.
Karena mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki
mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah dia berani mengadakan
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kontak dengan Thian-li-pang.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
198 Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki
mengadakan pertemuan ra-hasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-
lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Biar-pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu
adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, namun karena
mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang, berani mengganggu pertemuan itu,
mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan
mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!
"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merunding-kan
kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak mela-porkan bahwa
segalanya berjalan denganlancar dan sekarang telah terbuka ke-sempatan yang amat baik bagi
kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang menjadi saingan Pangeran
Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.
"Coba jelaskan, bagaimana kesempat-an itu" Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini,
begitu bertindak kita ha-rus berhasil," kata Ang I Moli yang ber-sama dua orang tosu, yaitu
Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan
Ang I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga
ingin sekali mendengarkan jawabannya.
"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw
Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Pada nanti tanggal lima belas
bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran
dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati mu-sim
bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di
sana dan mereka akan ber-pesta pada saat yang sama."
"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru gi-rang. "Kalau semua lalat itu sudah ber-kumpul, sekali
tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"
"Lauw-pangcu, engkau hendak meng-gunakan kekerasan menyerang ke taman itu?" Ang I
Moli bertanya sambil menge-rutkan alisnya.
Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, ja-ngan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk
mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak
mengguna-kan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar jangan
melanggar janji. Pula, biarpun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan
pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan teta-pi apa artinya seregu
pasukan dalam is-tana, menghadapi pasukan pengawal yang amat besar jumlahnya" Tidak,
kami akan menggunakan jalan yang paling ha-lus, dan untuk ini, tentu saja kami
mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."
"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang da-pat kami bantu?" kata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu
hendak menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan" Nah, kalau
tentang racun, siapa yang akan mampu menan-dingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti
Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Ra-cun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)" Apa
pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
199 "Totiang (Bapak Pendeta) harap ja-ngan salah sangka. Memang kami sendiri sudah
mempersiapkan racun yang amat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak.
Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang
cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya Ang I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu
menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu bahkan bertugas
menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, kesempatan menuangkan arak itulah
dapat Moli pergunakan untuk mencampurkan racun ka-mi. Siapa lagi yang akan mampu
melaku-kannya kalau bukan Ang I Moli?"
"Aih, Lauw Pangcu. Bagaimana mung-kin aku dapat melakukan tugas yang amat berbahaya
itu" Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagaimana aku akan
mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"
Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apa-kah Ang I Moli yang terkenal amat pan-dai dan lihai itu
sekarang merasa takut?"
"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut ke-pada siapapun
juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata
terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang I Moli dengan muka
menjadi merah. Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang I Moli tidak menyalahartikan
maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang su-dah kami atur dan rencanakan
sebelum-nya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw
suka menerima Bibi menjadi kepala pe-layan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapapun
juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan
mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebe-tulnya merupakan pengepungan
untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan tidak akan
gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk men-campurkan
bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok.
Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw
untuk menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan ketika pesta itu ter-jadi, agar
para Locianpwe dari Pek-lian-kauw mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi
para pangeran se-hingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak
bercuriga."
Ang I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka beker-ja sama.
Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."
"Karena itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perun-dingan di
sini. Memang sebaiknya kalau besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan
diterima oleh Siang Hong-houw. Adapun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai
anggauta penga-wal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."
Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi
terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam
sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isarat kepada isterinya dan
mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang.
Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menanti kembalinya ayah bundanya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
200 "Bagaimana, Ayah" Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) berada di dalam sana?"
Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.
Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian se-rius, Sian Li
segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"
Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberitahu puteri mereka. Sian Li bukan anak
kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat
mengetahui ke-adaan.
"Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting." Lalu dengan suara lirih Hong Li menceritakan
tentang sega-la yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li
mengerutkan alisnya.
"Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!" serunya khawa-tir. "Lalu apa
yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?"
"Engkau tahu betapa gawatnya keada-an, Sian Li," kata Sin Hong dengan sikap serius.
"Ibu dan ayahmu harus cepat melaku-kan usaha untuk mencegah terjadinya ke-jahatan di
istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dulu, agar gerakan kami
tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami mengha-dapi lawan-lawan yang amat jahat
dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai
kami kembali."
Sian Li mengangguk-angguk. Ia mak-lum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tidak
akan leluasa bergerak. Apa-lagi kalau sampai terjadi bentrokan, ia tidak akan dapat membantu
bahkan men-jadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan
da-tuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya ma-sih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.
"Akan tetapi, sebaiknya engkau ber-sembunyi saja di kamar, anakku. Kalau engkau
membutuhkan makan minum, pe-san saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini.
Jangan engkau be-pergian keluar."
"Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?"
"Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi.
Bagaimanapun juga, besok pa-gi-pagi kami tentu sudah pulang," kata Sin Hong.
"Andaikata belum selesai urusan ini pun kami tentu akan kembali ke sini un-tuk
menjengukmu, Sian Li," kata Hong Li.
"Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali."
Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan ja-ngan keluar dari
kamar, suami isteri pendekar itu lalu meninggalkan rumah penginapan, menggunakan
kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain melihat mereka meninggalkan tempat itu.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
201 Tentu saja para perajurit penjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal
Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar melapor kepada
panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam telah larut.
Bagaimanamungkin mereka berani meng-ganggu atasan mereka yang sedang tidur"
Liu Tai-ciangkun adalah seorang pa-nglima tua, berusia enam puluh tiga ta-hun, yang dikenal
oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan
adil. Juga dia dapat menghargai para pende-kar, bahkan seringkali dia mengulurkan tangan
mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para
penjahat. Karena ini-lah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap
panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi
kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-
li-pang yang berhasil menye-lundup menjadi perwira pasukan penga-wal istana. Akan tetapi,
mereka kini berhadapan dengan lima orang perajurit penjaga yang berkeras tidak dapat
mene-rima tamu pada malam-malam begitu.
"Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun,
sebaiknya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat
menerima tamu" Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang mengganggunya,"
kata kepala jaga.
"Hemm, kalian tidak mengenal kami bentak Hong Li yang berwatak keras. "Kalau Liu Tai-
ciangkun mendengar bah-wa kami yang datang, dia tentu akan cepat keluar menyambut!"
Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah
lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. "Harap saudara sekalian memaafkan
isteriku. Akan teta-pi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus
kami sam-paikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga."
Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka
kepada jaga itu sambil me-mandanq kepada nyonya muda yang can-tik dan galak itu,
bertanya, "Sebetulnya, siapakah Jiwi" Kami tidak mengenal Ji-wi, dan apa keperluannya"
Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?"
"Hemm, kalian ingin mengenal kami" Nah, jagalah baik-baik!" kata Hong Li dan sebelum
suaminya mencegahnya, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan
totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan di antara
lima orang penjaga itu. Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis bahkan
memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi
lemas dan mereka ter-kulai roboh satu demi satu, tidak mampu bangkit kembali!
"Nah, kalian lihat. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-
ciangkun ke dalam" Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tatacara
dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami"
Katakan saja kepada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan
isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!"
Setelah berkata demikian, dengan ge-rakan cepat sekali, tangan Hong Li ber-gerak
membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu. Kini lima orang itu yang tadi
terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berke-nalan dengan kelihaian nyonya
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
202 muda itu, akan tetapi juga mendengar nama Pende-kar Bangau Putih dan puteri bekas
Jen-deral Kao Cin Liong, mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala
jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, walaupun untuk itu ter-paksa dia harus
mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang da-lam keadaan biasa, biar
bagaimanapun juga tidak akan berani dia melakukannya!
Tak lama kemudian, kepala jaga itu kembali dan dengan sikap hormat dia mempersilakan
suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang ber-ada di sebelah kiri
bangunan. Ketika Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka menda-patkan Liu Tai-
ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya
dia menge-nakan pakaian pengganti baju tidur seca-ra tergesa-gesa, rambutnya juga nampak
kusut. Mereka saling memberi hormat dan panglima itu bangkit dengan wajah ber-seri. "Tai-
ciangkun, mohon maaf sebesar-nya kalau kami telah mengganggu Ciang-kun dari tidur," kata
Sin Hong dengan sikap hormat.
"Ahh, tidak apa-apa, Taihiap dan Li-hiap. Silakan duduk!" kata panglima itu dengan ramah
sambil mempersilakan me-reka duduk di kursi-kursi yang sudah di-atur berhadapan dengan
dia, hanya ter-halang meja besar. "Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti
Jiwi membawa urusan yang teramat. pen-ting. Nah, para pengawal sengaja kula-rang
mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!" Sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.
Sin Hong lalu menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya
ketika mereka mengin-tai dan mendengarkan perCakapan para tokoh Pek-lian-kauw dan
Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.
Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah
bukan main, di samping juga amat terkejut. "Sudah kuragukan perwira muda itu! Dia terlalu
cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya pa-ra
pemberontak itu diam-diam memper-gunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh
berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan pasukan untuk menangkap semua
pengkhianat dan pem-berontak itu!" Panglima itu bangkit ber-diri.
"Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukan tindakan yang tepat dan bijaksana!" kata Kao Hong
Li. Panglima itu mengerutkan alisnya dan menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran.
Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan
tidak tepat dan tidak bijaksana" Apa maksud Lihiap?"
"Tai-ciangkun, mereka berada di ru-mah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau
Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat,
tentu mereka su-dah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun akan terlambat," kata
Hong Li. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
203 "Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat,
mereka memiliki banyak orang yang lihai!" kata pula Sin Hong.
"Andaikata Ciangkun tidak terlambat dan menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun
untuk menuntut mereka" Tidak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan
kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti" Ingat, Ouw-
ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah
Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melin-dungi Ouw-
ciangkun?"
Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba
jenggotnya dan dia meng-angguk-angguk. "Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi
mengingatkan aku sehingga tidak bertindak tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang
ha-rus kita lakukan?"
"Maaf, Ciangkun," kata Hong Li. "Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat
pula. "Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Akan
tetapi diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk
menggagalkan rencana jahat mere-ka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada
waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat."
"Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, ada dua ke-untungan. Pertama,
Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan
Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan penga-wal yang dipimpin Ouw-ciangkun di
sam-ping menangkap Ang I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua,
penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah ter-kurung di
lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?" kata Sin Hong.
Panglima itu mengangguk-angguk "Ba-gus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Ji-wi baik
sekali!" Panglima itu lalu berun-ding dengan mereka. Dia akan mengerah-kan pasukan yang
kuat untuk diam-diam mengepung taman pada saat pesta ulang tahun Siang Hong-houw
berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan tertangkap
semua, "Akan tetapi, kami membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu ber-bahaya.
Keselamatan nyawa para pange-ran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri, Ang I
Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para
pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami melindungi para
pangeran dan mencegah perbuatan Ang I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon
Jiwi tidak menolak dan ja-ngan kepalang membantu kami menyela-matkan para pangeran dan
mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat."
Suami isteri itu saling pandang. Me-mang tidak semestinya kalau mereka membantu
setengah-setengah. Apalagi, mereka tahu bahwa bantuan mereka bu-kan berarti mereka
berpihak kepada Ke-rajaan Mancu semata, melainkan teruta-ma sekali menentang golongan
sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, Tai-ciangkun," kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. "Kami akan
membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang
se-karang masih berada di kamar rumah penginapan itu, kami akan menjemputnya lebih dulu
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
204 dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun
agar keselamatannya terjamin."
"Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian tadi" Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama
puteri Jiwi."
Sin Hong dan Hong Li segera berpa-mit untuk kembali ke Heng-tai yang belasan li jauhnya
dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedung-nya itu. Panglima itu
mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan melihat betapa panglima itu amat
menghormati mereka, para perajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami
isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.
Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali ke kota Heng-tai.
Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walaupun
masih ada perajurit pengawal yang menjaga. Agaknya, rapat itu sudah selesai dan kini para
tokoh se-sat itu entah bersembunyi di mana Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan
bersembunyi ketika tiba di belakang ho-tel itu dan melihat kesibukan di antara para perajurit
pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu.
Ketika Sin Hong dan Hong Li kemba-li ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu
kamar tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri
mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tidak nampak
bayangan Sian Li! Mulailah mereka me-rasa khawatir, apalagi ketika mereka meneliti tempat
tidur anak itu dan men-dapat kenyataan, bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas
ditiduri anak mereka.
Mereka cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan
sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram
pundaknya. "Hayo katakan di mana anak perem-puan kami!"
Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. "Saya.... saya tidak tahu....,
apa.... apa yang telah terja-di maka Jiwi marah kepada saya?"
"Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini. Akan tetapi sekarang
ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam" Hayo kata-kan, kalau engkau tidak
mengaku dan berbohong, kami akan membunuhmu!" Sin Hong yang biasanya tenang dan
lembut itu, kini terpaksa menghardik dan me-ngancam karena dia pun mulai gelisah sekali.
"Sungguh mati, Taihiap, Lihiap sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk
sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami tidak sempat mengurus hal-hal
lain. Ka-mi semua tidak pernah melihat puteri Jiwi.... tidak nampak Siocia keluar kamar"
Sungguh mati saya tidak tahu...."
Suami isteri itu saling pandang. "Su-dahlah," akhirnya Sin Hong berkata. "Ka-lau engkau
benar tidak tahu, tidak me-ngapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong,
kelak masih belum terlambat bagi kami untuk meng-hukummu!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
205 "Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap.... kalau saya melihat atau men-dengar tentang
Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...."
Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu,
kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.
"Heran, ke mana Sian Li pergi?" Sin Hong berkata lirih.
"Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka
mengaku di mana anak kita!" kata Hong Li.
Akan tetapi Sin Hong memegang le-ngannya. "Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya
menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak
bisa kita me-nuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian
me-reka. Kalau Sian Li berada dengan mere-ka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri
kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain."
Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. "Kalau Ang I Moli yang
melakukan penculikan terhadap Sian Li, sekali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!"
"Yang penting, kita harus dapat me-nemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak
kita itu dalam keadaan selamat," kata Sin Hong.
"Tidak ada kemungkinan lain," kata Hong Li. "Lenyapnya anak kita itu pasti ada
hubungannya dengan komplotan pem-berontak yang semalam mengadakan ra-pat di sini.
Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberon-tak itu yang bertanggung
jawab." "Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana
kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang I Moli dan memaksanya
mengaku untuk mengembalikan anak kita."
Setelah mencari-cari tanpa hasil, ke-mudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan
pasukannya dan tidak me-lihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu. Juga mereka
berdua tidak melihat adanya Ang I Moli dan para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang,
terpaksa, walaupun dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu
Tai-ciangkun. Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pende-kar itu lenyap
dari kamar rumah pengi-napan. "Jangan khawatir, Taihiap dan Li-hiap, kami akan menyebar
penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu." Dan seketika panglima
itu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan
sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.
Adapun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun lalu diselundupkan ke dalam istana,
menyamar sebagai penga-wal-pengawal yang tergabung dalam pa-sukan pengawal istana
bagian luar. De-ngan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang
perwi-ra pasukan pengawal yang menjadi saha-batnya. Sin Hong dan Hong Li dapat bergerak
bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Namun, keduanya me-nyembunyikan diri sambil
menanti da-tangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
206 mana Siang Hong-houw hendak menga-dakan pesta ulang tahunnya, dihadiri oleh semua
pangeran. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Penanggalan Im-lek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu,
setiap tanggal lima belas, dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan
seterang-terangnya.
Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan
kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-
lampu gantung beraneka bentuk dan warna me-nambah indahnya suasana, seolah
meng-gantikan bintang-bintang yang tidak nam-pak di langit karena sinarnya ditelan cahaya
bulan purnama. Bunga-bunga di taman sedang mekar semerbak, menam-bah keindahan
malam itu. Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permai-suri ini masih
nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan
dihias emas per-mata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya
dan senyumnya yang tak pernah meninggalkan bibirnya, membuat ia nampak cantik jelita dan
menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran
menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka.
Pesta berjalan dengan meriah. De-lapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir.
Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga
tidak ada selir lain yang hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin
berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya. Untuk mem-buat pesta
bertambah meriah, serom-bongan besar pemusik, penyanyi dan pe-nari menyajikan hiburan-
hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja
atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk ber-baur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar
mereka hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau me-reka menyamar menjadi pengawal,
maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk
me-lindungi para pangeran.
Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh tebih orang pengawal yang merupa-kan pasukan
istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.
Biarpun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada
mengamati keadaan sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para perajurit yang
berjaga di situ kare-na mereka tahu bahwa di antara para perajurit itu tentu terdapat para tokoh
sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri melakukan perondaan
di dalam taman itu, seolah hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang
berpesta di dalam taman.
Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang
dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja
yang me-ngelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walaupun yang
se-dang berpesta tidak terlalu banyak. Ke-tika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang
mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
207 bukan main. Terkejut, heran dan juga girang karena mereka melihat seorang kakek yang
gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun! Dan di dekat
kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih
nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita
itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran
akan tetapi juga girang.
Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan seorang di an-tara mereka yang
ikut berpesta" Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan
perjalanan ber-sama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli. Mereka terus
membayangi Ang I Moli selama bertahun-tahun, akan tetapi akhirnya mereka kehilangan
jejak iblis betina itu. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa
menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah
bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu mem-bakar hati mereka
ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta! Dan pada suatu hari yang baik,
Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani diban-dingkan Suma Ciang Bun, menyatakan
perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan
gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis! Dan akhirnya, Suma Ciang Bun
mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang
sa-habatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara per-nikahan
antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan
oleh tujuh orang tosu lainnya. Namun, secara hukum aga-ma pernikahan itu sudah sah dan
sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!
Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling
mencinta, saling menghormati dan dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan
menjadi pemimpin, se-dangkan Suma Ciang Bun lebih kewanita-an dan selalu menyetujui apa
yang dipu-tuskan oleh isterinya.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Me-reka sudah
berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya juga mengunjungi
rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini meneri-ma mereka dengan gembira
sekali. Mere-ka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun
mene-mukan jodohnya, walaupun sudah agak terlambat. Apalagi yang dipilihnya ada-lah
bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan
yang tidak jauh!
Demikianlah, ketika mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat
kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih
tinggal di ba-rat dahulu. Karena pengawal istana me-laporkan kepada Siang Hong-houw
bahwa seorang wanita bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama
suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat ia menyambut dan ketika
bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.
Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bertemu dengan sahabat lamanya yang
mendatangkan kenangan lama sebelum ia menjadi selir Kaisar, sehingga ia menahan Gangga
Dewi dan Suma Ciang Bun agar tinggal di istana sebagai tamu-nya, tamu kehormatan dan
dapat ikut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas. Gang-ga
Dewi yang berpengalaman itu melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu men-derita
tekanan batin walaupun hidup da-lam gemerlapnya kemewahan dan kemu-liaan. Maka, ia
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
208 merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai
seorang permaisuri yang mulia, ia merasa ber-bahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung
walaupun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau
yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia mem-bujuk suaminya untuk memenuhi
permin-taan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.
Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran
mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demi-kian sederhana, tidak
dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh
semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw. Suma Ciang Bun sama sekali
tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta
itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal
kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah
corak wajah mereka.
Sementara itu Ang I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Ia pun memakai penyamaran
agar jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyerahkan kepa-da Siang Hong-houw
agar Ang I Moli diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ
harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun
dan Gangga Dewi.
Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ
sebagai tamu! Tentu saja ia menjadi bingung. Apa artinya itu" Apakah Siang Hong-houw
sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin
keamanan di situ" Beberapa kali Ang I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang
matanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berun-ding dengan perwira
itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian tiba-tiba dan tak tersangka-
sangka se-hingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi.
Bagai-manapun juga, rencana semula harus dilanjutkan!
Ang I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya mun-culnya Suma
Ciang Bun dan Gangga De-wi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula
dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak mengenal mereka,
akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya. Hal ini bukan karena pe-nyamarannya
kurang baik. Sama sekali tidak. Andaikata suami isteri itu belum tahu bahwa ia akan
menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para
pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pende-kar itu akan mengenalnya. Akan tetapi, di
luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenal kepala pelayan setengah tua yang
cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan menga-mati gerak-gerik Ang I Moli
dengan sek-sama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun
tentu sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan
keluar dari dalam istana.
Sejak tadi, nampak Ang I Moli me-ngatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan,
untuk mengeluarkan hi-dangan dan keadaan berjalan lancar tan-pa ada yang mencurigakan,
Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li.
Permaisuri itu memberi isarat kepada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci
arak yang bentuknya asing dan indah, terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
209 ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak
tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, lalu berkata,
"Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah
puluhan tahun umurnya dan selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan
sehat dan sema-ngat tinggi."
Para pangeran bersorak gembira dan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi
menyentuh lengan suaminya. "Anggur Uigur yang sudah puluhan tahun umurnya memang
amat hebat."
Ang I Moli menghampiri Siang Hong-houw dan berkata dengan penuh hormat dan halus,
"Perkenankan hamba sendiri mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para
tamu yang mulia."
Karena sejak pertama kali Ang I Mo-li bersikap halus, ramah dan sopan se-hingga
menyenangkan hati Siang Hong-houw, ia pun mengangguk dan menyerah-kan guci anggur itu
kepada kepala pela-yan baru yang cekatan itu. Ang I Moli segera dengan sikapnya yang
menarik dan lembut, menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-
houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang
sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala
pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, dari yang paling tua sampai
yang paling muda, baru menuangkan ang-gur ke dalam cawan para puteri. Semua itu
dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang mene-tes keluar
sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika
menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari
telunjuk kiri wanita itu menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan,
menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus
yang tidak kelihatan orang lain. Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui
gerakan ini,
dan membawanya ke sini tanpa
diketahui orang."
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri" Wahhh.... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak
mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat daripada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat
menyuruh aku untuk melakukan pencurian" Kita bukan maling, Suhu...."
Kalau saja kakek itu masih mempu-nyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala
sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkel-nya. "Waduhhh! Engkau ini
sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa" Dewa pun masih suka mencuri kalau
terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau meng-ambil makanan, pakaian dan apa saja yang
kauperlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kautinggalkan uang di tempat engkau
mengambil barang-ba-rang itu. Ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah
kiri itu. Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri
dinding itu. "Kaulihat bagian yang mengkilat itu" Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja,
yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam guha itu memang ter-pantul oleh
beberapa buah batu di din-ding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua
buah batu sebesar ibu jari tangannya.
"Apakah ini, Suhu?"
"Emas."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
181 "Emas" Benarkah?" Yo Han terbelelak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah
batu yang mengkilap di tangan-nya, lalu menoleh ke arah dinding.
"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apalagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu
emas, dan dua buah di tangan-mu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang
kaukehendaki. Ja-ngan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup
berharga untuk ditukar sebuah batu emas itu. Kautinggalkan saja sebuah di tempat engkau
mengambil barang dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia mendapat
keuntungan besar. Berarti eng-kau tidak mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus men-curi, maka
dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan
meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambil-nya.
"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun pergunakan
kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini
sampai engkau kem-bali, menunggumu dengan lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati
kalau eng-kau tidak kembali. Nah, pergilah."
Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak
merayap, dia menanggal-kan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu
mulailah dia me-rayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sin-kang di
tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permu-kaan
dinding sumur dan melekat di situ! Perlahan-lahan dan dengan hati-hati dia merayap naik.
Sekali saja keliru menga-tur tenaga pada telapak tangan dan ka-kinya, tentu dia akan terjatuh
kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han telah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong
dinamakan "tari cecak" ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari
bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk se-nang. Anak muda itu seorang
yang me-miliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang
mujijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos
dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apalagi sudah dia bekali pesan bahwa
dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kela-paran. Itu saja pasti akan membuat hati anak
itu tidak tega meninggalkannya.
Ketika tiba di permukaan sumur, ter-nyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak.
Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tinggi-nya dan ternyata mulut sumur
berada di dalam sebuah guha yang kecil. Mulut guha nampak di depan sana, akan tetapi
melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu
besar tubuhnya. Meli-hat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh amat baik tempat sembunyi
gurunya di dalam sumur itu. Tak mungkin ada orang memasuki terowongan guha yang
demiki-an sempitnya, dan andaikata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang
itu tentu akan kembali keluar se-telah melihat bahwa guha terowongan itu berakhir pada
mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik lagi, mulut guha kecil itu tertutup semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai
dari mulut guha, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu
masih ter-masuk daerah Thian-li-pang, pikirnya. Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
182 se-kali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati tempat itu agar tidak lupa kalau
akan kembali ke sumur. Ke-mudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu
berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu,
menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dili-hatnya dari atas, nampak genteng banyak
rumah. Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang
diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam,
sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali
sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.
Dan giranglah dia ketika dia meli-hat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke
belakang, menuju dapur ketika dalam intaiannya dia meli-hat pekerja restoran itu mengambil
guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap
dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya
berada di dalam gudang itu. Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap,
asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai guci terisi
penuh. Dia mengambil pula mang-kok piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia
meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia de-ngan cepat.
Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil
mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam
perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.
Dia kembali ke dalam guha kecil membawa dua buah karung. Dia memba-yangkan betapa
akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko yang akan menemukan potongan
batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia mening-galkan potongan batu emas, di meja di
mana dia mengambil pakaian. Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil
menyeret dua karung itu, kemudi-an setelah tiba di mulut sumur, dia me-rayap turun. Sempat
pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia ha-rus kembali ke tempat yang
seperti ne-raka itu" Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak
berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di da-sar sumur
dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia ti-dak kembali" Tidak, dia
tidak boleh se-kejam itu. Apalagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.
"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang diki-rim Tuhan
kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan
kembali ke sini!" Ka-kek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua
isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh murid-nya.
Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah
sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut
penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap. Yo Han
memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Biarpun kaki tangannya
sudah tidak ada, namun dia dapat mela-yani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya,
mulut, bahkan hidungnya se-bagai pengganti tangan, dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya
sama sekali ti-dak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti
katak yang lincah.
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagai-mana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di
sini" Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan me-ninggalkan sumur ini."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
183 "Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dari
bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi men-jadi tontonan orang. Tidak,
engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, ter-utama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau
boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau
mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dan
suaranya terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah
menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang
baik, apakah yang kauucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu" Sudah kaupikirkan
masak-ma-sak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, men-diang kedua orang tuaku selalu menasi-hatiku ugar aku
hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam ben-tuk kekerasan, terutama sekali
jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan
perten-tangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku
sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti
ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku
tidak menjadi ya-tim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Kalau ibu dan ayahmu memiliki ilmu ke-pandaian silat
yang tinggi, tidak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena
ilmu silat me-reka kurang tinggi, sehingga mereka ti-dak mampu membela diri dengan baik.
Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka" Ka-lau engkau
membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda remaja itu menentang pan-dang mata gurunya dengan berani dan sungguh-sungguh.
"Mengapa takut, Suhu" Kita hidup ada yang menghidupkan, mati ada yang mematikan, kita
ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pe-lindung utama dan kalau Tuhan
melin-dungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?"
"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan
akan melindungi kita dan tak seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan
tetapi ba-gaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati" Punya ilmu silat atau tidak,
bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan
tidak ada yang mengganggu ia pun akan mati sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu
membantah kebenaran itu. Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi mereka
tentu mereka itu tewas hanya karena Tuhan sudah meng-hendaki mereka mati. Andaikata
Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tidak akan mati. Hanya Tuhan yang menentu-kan
mati hidupnya seseorang, Tuhan Ma-ha Kuasa! Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu
dia menggeleng kepala. "Bagaimanapun juga, aku tidak suka be-lajar ilmu silat, Suhu. Ilmu
silat adalah jahat!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
184 "Jahat" Ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik" Lihat, barang-barang yang
kaubawa turun itu! Lihat barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil.
Apakah semua itu tidak jahat sekali?"
Yo Han memandang gurunya dengan heran dan menjawab cepat. "Tentu saja tidak jahat,
Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu dapat kita pergunakan untuk
memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum
dan be-nang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk
membuat prabot dari kayu dan sebagainya."
Kembali kakek itu tertawa. "Dan ba-gaimana dengan kedua tanganmu itu" Baik atau jahatkah
kedua tanganmu itu?"
Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik,
Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang
ber-manfaat itu." "Sekarang dengar baik-baik! Bagaima-na kalau kapak itu dipergunakan
untuk mengapak kepala orang, gunting itu un-tuk menusuk perut orang, jarum untuk
disambitkan menyerang lawan, pisau un-tuk menyayat leher orang, juga catut dan martil itu
untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat di-namakan barang yang baik
dan berguna?"
Yo Han terbelalak. Tak pernah ter-gambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada
yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi.... tapi...."
"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han" Kalau kedua tanganmu itu
kaupergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah
kedua tangan itu masih kaukatakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau
engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau
mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan bukanlah
benda-benda itu, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk
memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api
untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru
dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang
tersembu-nyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya
perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu
dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak
benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat ber-buat lain. Memang demikianlah kenyata-annya. "Aku
mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada
dalam diri ma-nusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat,
bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batin-nya bersih
dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
185 Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang di-pergunakan dalam perbuatan,
condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat" Sama seperti
semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak
dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi
setelah diper-gunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu
mempergu-nakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok,
membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat
kejahatan. Akan tetapi ka-lau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para
pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah
tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat
me-namakan ilmu itu jahat" Ingat, muridku. Kautahu harimau" Mengapa Tuhan menciptakan
harimau dengan diberi kuku dan taring" Dan mengapa lembu bertanduk" Ular berbisa" Ulat
berbulu gatal" Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk
melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring,
tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi.
Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk
melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia
untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan
melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang
mengandung unsur kesenian kesehatan, dan bela diri, juga untuk membela mereka yang
lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang
memiliki batin bersih!"
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah
ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan
pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan. Akan
tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama
kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan
Siang Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu
silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dian membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi
banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai
ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga
dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para
penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.
Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
buntung itu. "Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada
ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya."
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan "
Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"
Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan
sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan
untuk mencari per-musuhan dan membunuh orang."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
186 "Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah
dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang ting-gi dari kakek
Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya
menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan.
Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya
meng-gunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han un-tuk dapat
bertahan. Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia
memperoleh ke-majuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari" dan
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"senam" yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong.
Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin
Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam
Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.
Biarpun lenyapnya Yo Han yang me-reka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam
Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang mera-sa agak kecewa karena mereka
tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan memperkuat Thian-li-pang, namun
mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang
mereka anggap sudah mati.
Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan
pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga hadir dalam pertemuan
puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang I Moli dan dua orang
to-su Pek-lian-kauw yang selama ini me-mang sudah bekerja sama dengannya, yaitu Kwan
Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang
pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili
pimpinan perkumpulan itu.
Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang
mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara partai-
partai persilat-an besar yang sudah mereka adu domba. Bahkan pembunuhan atas diri Thian
Kwan Hwesio di kuil Poteng adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk
mempe-runcing permusuhan akibat adu domba itu. Dan surat yang mereka terima ada-lah
surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-
pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu menyatakan bahwa kini per-musuhan antara partai-
partai persilatan itu mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha
bekas panglima Kao Cin Liong dan ke-luarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
dan keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang
tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang tamu-tamu
dari dunia persilatan, termasuk empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
187 lun-pai dan Go-bi-pai. Da-lam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu
menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya, mengajak empat partai besar yang
mengirim wakil-wakitnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati. Kao Cin Liong
menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia
sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biarpun sebelum meninggal
Thian Kwan Hwesio mengata-kan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-
pai, namun dia me-rasa curiga dan tidak percaya. Apalagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai
me-nyangkal. Kao Cin Liong menceritakan tentang luka beracun akibat racun ular hitam yang
biasanya hanya dipergunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati
semua utusan par-tai persilatan besar itu mendatangkan kesan, apalagi ketika Suma Ceng
Liong yang namanya sudah amat terkenal dan amat disegani semua orang menyatakan
pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Cu-wi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bersikap
gagah dan bijaksana. Oleh kare-na itu, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-
pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu
harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat
partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah men-dengar tentang
peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) sudah sependapat dengan saya
bahwa peristiwa itu patut dicurigai. Mudah sekali dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga
yang agaknya sengaja hendak mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-
pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, maupun pembunuh
Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara
Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apabila Cuwi tidak menghentikan
permu-suhan antara saudara sendiri, berarti Cu-wi dengan mudah dapat dipermainkan dan
pihak ke tiga yang mengadu domba."
Semua orang mengangguk dan menya-takan setuju dengan pendapat dari pen-dekar yang
amat mereka hormati itu, dan diam-diam mereka pun menduga-duga siapa kiranya yang
berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai
persilatan. Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pe-rintah Kerajaan
Mancu yang tentu saja ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan
menjadi hancur atau lemah sendiri agar tidak membaha-yakan pemerintah lagi. Akan tetapi
Kao Cin Liong menggeleng kepala.
"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak
menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun dia seorang
Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja mem-punyai kelemahan-kelemahannya, sejak
muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap
bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun amat cerdik,
maka saya tidak perca-ya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para
partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan mem-buat
kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa bukan pemerintah yang menjadi pihak ke tiga
itu. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan membahayakannya."
Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi
semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang
mengadudombakan mereka" Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
188 "Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa
ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga
sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua mu-rid
harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang
pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan sehingga
dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keun-tungan. Pertama, kita menggagalkan niat
busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu,
kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita
ketahui siapa dan kelak kita bersama mengambil tindakan terhadap mereka."
Kembali semua orang setuju dan per-temuan itu benar-benar menjadi sebuah pesta yang
menggembirakan di mana pa-ra wakil empat partai persilatan itu da-pat berbincang-bincang
dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian
bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.
Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang melaporkan semua peristiwa itu kepada
pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi kecewa
bukan main. "Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang
sambil mengepal tinju. "Dia da-pat melarikan diri ke atas rumah keluar-ga Kao Cin Liong
sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat
yang te-lah kita atur sebaiknya."
"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu
dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Akan tetapi kini mereka tidak
saling bermu-suhan lagi bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba.
Se-mua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong"
"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang
Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja,
kini berkata dan semua orang memandang kakek itu. Semua orang di situ takut dan
menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam guha tempat pertapaannya
itu. Hanya untuk urusan yang amat pen-ting saja dia mau bertemu dengan pim-pinan Thian-li-
pang seperti sekarang ini. "Apakah kalian tidak tahu siapa Kao Cin Liong itu" Dia keturunan
Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah ketu-runan Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Kalau kita memusuhi mereka, kedua ke-luarga itu dapat mendatangkan kegagalan kepada
kita, bahkan mungkin Kehancuran. Kita akan membentur batu karang kalau memusuhi
mereka. Dan pula, apa untung-nya memusuhi mereka" Tujuan kita ha-nya satu,
menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"
Semua orang saling pandang dan ber-diam diri. Apa yang dikatakan datuk da-ri Thian-li-
pang itu memang tepat.
"Siancai....!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan
satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara em-pat partai itu dengan kerajaan!
Sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
189 Semua orang mengangguk-angguk me-nyatakan persetujuan mereka.
"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah
putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita kehilangan murid kita terbaik,
Ciang Sun yang ga-gal membunuh Kaisar Kian Liong dan dia tewas."
"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para
pangeran yang dapat menggantikan-nya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat
menggunakan racun. Akan te-tapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita
harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan de-ngan Pangeran Kian Ban Kok
harus di-pererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati
lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau harus menunggu
bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali ber-gerak harus berhasil."
"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thiata-te Tok-ong me-mang tepat. Kami
dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap
bergerak apabila sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari
Pek-lian-kauw maupun Thian-li-pang me-nahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan
yang kasar dulu, agar tidak me-ngejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga,"
kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.
Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat untuk sementara ti-dak melakukan
gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan siasat halus untuk
menyu-sup ke dalam istana, menghubungi kem-bali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian
Ban Kok, dan menyusun kekuatan.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat
dengan gaya yang indah na-mun gagah. Rambutnya yang hitam pan-jang dikuncir menjadi
dua dan bergan-tungan di kanan kiri, diikat dengan pita kuning. Ketika ia bersilat, sepasang
kun-cir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, ka-dang di
belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, dua helai kuncir itu pun ikut
bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang
kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.
Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, seperti gerakan seekor burung ba-ngau merah. Ia
adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin
Hong yang berdiri menonton sambil bertolak ping-gang. Sian Li kini telah menjadi seorang
anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang
berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung
mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung se-nyum mengejek sehingga
sepasang lesung di pipinya selalunampak. Ia sedang me-mainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun
(Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena
usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum
"mengisi" tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu. Anaknya masih terlalu muda sehingga
akan membahayakan kalau tubuhnya me-nerima kekuatan yang dahsyat itu. Kini, anaknya
hanya mempelajari dan mengua-sai gerakannya saja, kelak kalau sudah dewasa, baru akan
diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap. Selain ilmu silat yang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
190 merupa-kan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi
yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang
menjadi seorang di antara guru-gurunya. Juga dia mengajar-kan dasar-dasar dari ilmu yang
pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan
kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.
Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar
biasa. Ilmu silatnya sudah hebat. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.
Ketika ia menyelesaikan gerakan ter-akhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba mun-cul ibunya,
Kao Hong Li. "Ada tamu datang, kalian hentikan dulu latihan itu, dan mari keluar menyambut
tamu!" Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapa-kah yang
datang berkunjung?"
"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."
Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tamu itu dipersilakan
duduk. Ketika mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang
usianya empat puluh tahun dan berjenggot pan-jang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak
mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki
kegagahan. Orang itu sudah mengangkat kedua tangan depan dada untuk menghormati tuan
dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu dan
mempersilakan tamunya duduk.
"Sian Li, engkau masuklah dulu, man-di dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan
mengeluarkan minuman untuk tamu kita."
Tamu itu cepat menggerakkan ta-ngannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena
urusan ini justeru menyangkut diri Siocia (Nona)."
Sin Hong memandang tamu, itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya,
Suma Ceng Liong, dan me-ngatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah
lagi. Tentu paman-nya itu menyuruh utusan ini untuk men-jemput puterinya karena dulu
mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh
paman dan bibinya itu. Walaupun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi, namun ten-tu saja paman dan bibinya itu mempu-nyai ilmu-ilmu yang khas dan
amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.
Melihat tuan rumah memandang kepa-danya, tamu itu lalu mengeluarkan se-sampul surat dan
menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu
dibaca ber-sama isterinya yang berdiri di belakang-nya. Mereka membaca surat dari Suma
Ceng Liong dan tepat seperti yang didu-ga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta
agar Sian Li diperke-nankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi
janji mere-ka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.
Membaca surat itu, Hong Li menge-rutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ah,
bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
191 Sin Hong lalu memandang kepada ta-mu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toa-
ko yang sudah mengan-tarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan
ramah. "Harap sampaikan saja kepada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami
Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Akan tetapi sebe-lum ke sana, kami
akan mengunjungi dulu kota raja."
Tamu itu dijamu oleh Sin Hong seke-luarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk
kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau
Sian Li diba-wa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan
merasa tenteram hatinya.
Sian Li sendiri tadinya hampir meno-lak ketika diberitahu bahwa ia akan di-beri pelajaran
silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah
ibunya, apalagi ke-tika mendengar bahwa ia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke
Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja ia pun merasa terhibur dan tidak mem-bantah lagi.
Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota
Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun
Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an
di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang
akan mereka lewati kalau mere-ka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.
Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di
sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang
cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu bermalam di kota
ini. Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti
dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di
situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya
tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya meme-nuhi
kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan
hidup sehari-hari.
Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki Heng-tai,
kota itu sedang ra-mai-ramainya dan semua rumah pengi-napan telah penuh tamu! Sin Hong
dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.
"Ah, kita sudah penat sekali. Apa ki-ta harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mengomel
setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah
penginapan ter-paksa menolak mereka karena semua kamar telah penuh.
"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginap-an telah
penuh," kata Kao Hong Li. "Ka-lau perlu kita dapat menumpang di ru-mah seorang penduduk
dengan membayar sewa kamar."
"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih
ada kamar di sana," kata Sin Hong. Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan
mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergan-tung di depan. Nama hotel itu Thai
Li-koan (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting
terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan
menghampiri me-reka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
192 "Maaf, semua kamar sudah penuh. Malam ini, semua kamar diborong oleh Ouw-ciangkun
dari kota raja."
"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak" Untuk apa panglima Ouw
itu memborong semua ka-mar" Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li,
penasaran. Pelayan itu mengangguk. "Rombong-annya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak
menerima tamu, dan dia ti-dak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, kamar-
kamar besar te-lah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam
kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga perajurit pengawal."
"Tapi, yang disewakan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian
Li berkata. "Kan masih banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"
Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak pe-rempuan yang
berpakaian serba merah ini memang manis sekali.
"Memang ada, Nona, tapi.... ah, ba-nyak yang sudah pesan lebih dulu...."
Hong Li yang cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah
kami sebuah kamar samping atau belakang, dan kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia
menge-luarkan sepotong perak yang cukup besar. Melihat mengkilapnya perak itu sikap Si
Pelayan berubah amat ramah. Dia meli-rik ke kanan kiri, kemudian menyambar perak itu dari
tangan Hong Li dan mem-bungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku
bajunya. "Marilah, Sam-wi masih beruntung ti-dak terlambat. Biarpun sudah banyak pemesan, akan
tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah ku-berikan kepada kalian."
Mereka mema-suki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan
mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia
menerima uang sewanya untuk sema-lam dan memesan agar mereka itu ja-ngan sekali-kali
keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan
pintu samping saja, untuk keluar masuk. Ketika mereka masuk, mereka melihat banyak-nya
perajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada pe-rajurit yang
menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa
tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah men-dapatkan kamar di belakang.
"Ingat, selama di sini malam ini, ka-lian tidak boleh menerima tamu, tidak boleh
memasukkan orang asing ke sini," kata Si Perajurit pengawal kepada me-reka.
Setelah memperoleh kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan
air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa
kamarnya mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seper-ti di rumah-rumah penginapan
biasa. Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar
bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil
menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
193 Biarpun malam telah tiba, namun taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati
karena di sana-sini di-pasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di
taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu,
dan ia pun berlari-lari di dalam taman.
"Sian Li, jangan berlari-lari....!" kata ibunya sambil mengejar.
Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolong....!"
Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohonitu. Ia
melihat puterinya didekap seorang laki-laki tinggi besar yang ber-muka hitam. Puterinya
meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu amat kuat sehingga Sian Li tidak mampu
me-lepaskan diri. Hong Li maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi,
kalau tidak, bagaimana pu-terinya yang sudah memiliki kelihcahan dan ilmu yang lumayan itu
demikian mudah ditangkap"
"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar
muka hitam. Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini
masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis,
ku-lepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."
"Jahanam busuk....!" Hong Li mem-bentak marah. Begitu orang itu melepas-kan Sian Li dan
mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan ia pun
menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tidak ingin mencari
keributan, dan tidak ingin membunuh orang, hanya untuk menghajarnya saja, maka nyonya
muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan menggunakan
jurus dari Sin-liong-ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan selu-ruh tenaga saktinya.
Melihat nyonya mu-da yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam
menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan
Hong Li. "Plak-plak-dukk....!" Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga me-lalui
telapak tangan yang didorongkan dan akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.
Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya nyeri dan tadi ketika
telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai
terdorong ke belakang. Marahlah dia. Dicabutnya golok dari pinggangnya.
"Berani engkau menyerangku?" ben-taknya dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.
Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya.
Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.
"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya
lembut namun penuh wiba-wa.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
194 Aneh sekali. Mendengar teriakan lem-but ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar segera
menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh dan menjawab, suaranya penuh
kepatuhan. "Baik...., baik.... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu
dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.
Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas
pintu dan wajahnya nam-pak jelas olehnya. Ang I Moli! Ia masih mengenal wanita yang
pakaiannya serba merah itu! Ang I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu" Dan di mana Yo
Han" Apakah masih bersama iblis betina itu" Hong Li merasa betapa jantungnya ber-debar
penuh ketegangan. Ia sudah melu-pakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang
memenuhi pikiran-nya hanyalah Ang I Moli.
"Ibu, perempuan itu adalah Ang I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menya-darkannya dari
lamunan. "Mari kita kejar Ibu!" Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya
menyambar pundaknya.
"Sstt, jangan, Sian Li."
"Ehh" Kenapa, Ibu" Pertama, laki-la-ki tadi harus Ibu beri hajaran, agar dia bertaubat. Dan
Ang I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han"
Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"
"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Ma-ri kita beritahu ayah, engkau jangan membuat ribut.
Ingat, mereka itu mem-punyai banyak kawan bahkan ada seorang panglima yang mempunyai
banyak peraju-rit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke
kamar mereka. Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan pute-rinya demikian
tegang. "Ada terjadi apa-kah?" tanyanya.
"Ayah, Ang I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li dan tentu saja ayahnya terkejut
mendengar pemberitahuan ini. Akan tetapi Hong Li memberi isarat agar puterinya menutup
mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam
taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap
kurang ajar dan ketika ia hen-dak menghajarnya, muncul Ang I Moli yang memanggil Si
Muka Hitam itu.
Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau
iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran
apakah Yo Han juga berada di sini?"
"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah malam ini menurut pelayan tadi,
pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya"
Dan Ang I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menja-di tamu pula."
"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting
apakah Yo Han, ikut de-ngannya di sini" Kita harus menyelidiki-nya. Aku selama ini merasa
berdosa ke-pada mendiang ayah ibunya...."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
195 "Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.
"Aku ikut!" kata Sian Li penuh sema-ngat.
"Tidak boleh, Sian Li," kata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Eng-kau lihat, baru Si
Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apalagi Ang I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang
berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."
"Dan menyelidiki apakah Yo Han ber-ada pula di hotel ini," sambung ayahnya.
Biarpun hatinya merasa kecewa, na-mun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup
cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang
ditemuinya di ta-man tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia telah dapat
di-tangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya
gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali. Apalagi kalau
suhengnya, Yo Han, berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan
suhengnya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.
Dari depan kamar mereka yang bera-da di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya
dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu mengadakan
pesta. "Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya" Jangan keluar, apalagi jangan
meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."
"Baik, Ayah," kata Sian Li.
"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali.
Jangan sekali-kali eng-kau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para
perajurit pengawal," pesan ibunya.
Sian. Li mengangguk, dan di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya
Ang I Moli mengingat-kan ia akan semua peristiwa yang di-alaminya ketika ia masih kecil,
delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus meng-ingatkan ia kepada suhengnya, Yo Han yang
pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suhengnya itu pergi me-ninggalkan keluarga
ayahnya, karena di-bawa oleh wanita iblis itu. Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah
suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan sega-lanya, juga kedukaannya karena diting-galkan
suhengnya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bah-wa suhengnya itu amat
baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.
Sementara itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. De-ngan
perlindungan kegelapan malam, me-reka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun
samping rumah, kemu-dian dengan gerakan yang ringan bagai-kan dua ekor burung walet,
mereka melompat ke atas pohon dan setelah meng-intai dari pohon dari tidak melihat ada-nya
penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng. Gerakan me-reka begitu ringan
sehingga tidak me-nimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu,
kedua-nya mendekam dan dengan hati-hati me-reka memandang ke sekeliling. Hati mereka
lega melihat bahwa para perajurit pengawal hanya menjaga di sekitar ru-mah itu, di bawah.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
196 Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran
seorang panglima kerajaan di hotel itu!
Ruangan tengah hotel itu dikepung perajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal
ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat
suatu ke-gembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.
Sudah terlalu lama mereka tidak menga-lami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan
pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih
bertualang sebagai pende-kar dan seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh dan keadaan
yang menegangkan seperti sekarang.
Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah
itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, merayap di atas genteng atas ruangan itu dan
mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wu-wungan di kanan kiri yang lebih tinggi
sehingga dengan rebah menelungkup, me-reka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan
leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat
mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.
Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena diberi tambahan penerangan. Terdapat
beberapa buah meja yang di-atur di tengah ruangan, berderet panjang. Di kepala meja
duduklah seorang berpa-kaian panglima. Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga
tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di
kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka
berpakaian seperti tosu. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao
Hong Li, apalagi ketika mereka mengenal adanya Ang I Moli di antara mereka, dan
me-ngenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan
orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang
bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main. Sepanjang pengetahuan mereka,
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memu-suhi
Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, walaupun terkenal sebagai perkumpulan orang-orang
gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum
pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Pagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-
kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima
kerajaan" "Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana...." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat
agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk. Mereka tahu
bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Pek-lian-
kauw dan Thian-li-pang bukan hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang I Moli seorang
saja sudah merupakan lawan yang bukan ringan, apalagi para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan
orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ.
Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil
ketuanya sampai ikut hadir, berarti pertemuan itu tentu pen-ting sekali, pikir Sin Hong.
Keingin tahu-nya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk
mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini dijamu oleh
seorang panglima muda Kerajaan Mancu! Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai
terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa-lagi di situ masih terdapat pasukan
anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri
mereka yang membutuhkan perlindungan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
197 "Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar
bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut
mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.
Panglima itu tertawa. "Aih, Su-siok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya
penjagaan kami" Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para
tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling
ruang-an ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku.
Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu adalah murid
keponakan diri adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat
menduga apa yang telah terjadi. Kiranya Thian-li-pang telah berhasil menyelundupkan
seorang anggautanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana karena melihat pakaian-nya,
panglima dan pasukannya itu ter-masuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh berbahaya
sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!
Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki,
putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu
adalah seorang pe-muda yang telah mewarisi ilmu kepan-daian ayahnya, seorang yang gagah
dan berani, juga cerdik. Ketika Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai per-silatan
besar karena campur tangan ke-luarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan
para pimpinan empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan
mereka men-cari jalan lain. Kembali mereka menghu-bungi Siang Hong-houw (Permaisuri
Ha-rum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka sehingga
memungkinkan mereka menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda
pasukan pengawal istana!
Siang Hong-houw yang masih menden-dam kepada Kerajaan Mancu yang telah
menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang,
dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan mem-bunuh suaminya,
Kaisar Kian Liong, se-perti yang pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha
membunuh Kaisar itu namun dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya
menga-takan bahwa penyelundupan orang-orang.
Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk me-mata-matai
semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan me-reka menumbangkan
kekuasaan pemerin-tah Mancu.
Demikianlah, karena pandainya mem-bawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan
Ouw Ciangkun itu seben-tar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang
lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-
li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun telah "membuat jasa" dengan membasmi ge-rombolan
penjahat yang seolah-olah di-umpankan oleh dua perkumpulan pembe-rontak itu. Karena jasa-
jasanya, maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para,
pang-lima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.
Karena mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki
mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah dia berani mengadakan
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kontak dengan Thian-li-pang.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
198 Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki
mengadakan pertemuan ra-hasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-
lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Biar-pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu
adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, namun karena
mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang, berani mengganggu pertemuan itu,
mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan
mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!
"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merunding-kan
kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak mela-porkan bahwa
segalanya berjalan denganlancar dan sekarang telah terbuka ke-sempatan yang amat baik bagi
kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang menjadi saingan Pangeran
Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.
"Coba jelaskan, bagaimana kesempat-an itu" Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini,
begitu bertindak kita ha-rus berhasil," kata Ang I Moli yang ber-sama dua orang tosu, yaitu
Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan
Ang I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga
ingin sekali mendengarkan jawabannya.
"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw
Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Pada nanti tanggal lima belas
bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran
dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati mu-sim
bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di
sana dan mereka akan ber-pesta pada saat yang sama."
"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru gi-rang. "Kalau semua lalat itu sudah ber-kumpul, sekali
tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"
"Lauw-pangcu, engkau hendak meng-gunakan kekerasan menyerang ke taman itu?" Ang I
Moli bertanya sambil menge-rutkan alisnya.
Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, ja-ngan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk
mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak
mengguna-kan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar jangan
melanggar janji. Pula, biarpun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan
pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan teta-pi apa artinya seregu
pasukan dalam is-tana, menghadapi pasukan pengawal yang amat besar jumlahnya" Tidak,
kami akan menggunakan jalan yang paling ha-lus, dan untuk ini, tentu saja kami
mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."
"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang da-pat kami bantu?" kata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu
hendak menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan" Nah, kalau
tentang racun, siapa yang akan mampu menan-dingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti
Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Ra-cun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)" Apa
pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
199 "Totiang (Bapak Pendeta) harap ja-ngan salah sangka. Memang kami sendiri sudah
mempersiapkan racun yang amat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak.
Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang
cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya Ang I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu
menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu bahkan bertugas
menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, kesempatan menuangkan arak itulah
dapat Moli pergunakan untuk mencampurkan racun ka-mi. Siapa lagi yang akan mampu
melaku-kannya kalau bukan Ang I Moli?"
"Aih, Lauw Pangcu. Bagaimana mung-kin aku dapat melakukan tugas yang amat berbahaya
itu" Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagaimana aku akan
mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"
Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apa-kah Ang I Moli yang terkenal amat pan-dai dan lihai itu
sekarang merasa takut?"
"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut ke-pada siapapun
juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata
terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang I Moli dengan muka
menjadi merah. Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang I Moli tidak menyalahartikan
maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang su-dah kami atur dan rencanakan
sebelum-nya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw
suka menerima Bibi menjadi kepala pe-layan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapapun
juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan
mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebe-tulnya merupakan pengepungan
untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan tidak akan
gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk men-campurkan
bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok.
Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw
untuk menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan ketika pesta itu ter-jadi, agar
para Locianpwe dari Pek-lian-kauw mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi
para pangeran se-hingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak
bercuriga."
Ang I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka beker-ja sama.
Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."
"Karena itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perun-dingan di
sini. Memang sebaiknya kalau besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan
diterima oleh Siang Hong-houw. Adapun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai
anggauta penga-wal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."
Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi
terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam
sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isarat kepada isterinya dan
mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang.
Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menanti kembalinya ayah bundanya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
200 "Bagaimana, Ayah" Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) berada di dalam sana?"
Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.
Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian se-rius, Sian Li
segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"
Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberitahu puteri mereka. Sian Li bukan anak
kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat
mengetahui ke-adaan.
"Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting." Lalu dengan suara lirih Hong Li menceritakan
tentang sega-la yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li
mengerutkan alisnya.
"Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!" serunya khawa-tir. "Lalu apa
yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?"
"Engkau tahu betapa gawatnya keada-an, Sian Li," kata Sin Hong dengan sikap serius.
"Ibu dan ayahmu harus cepat melaku-kan usaha untuk mencegah terjadinya ke-jahatan di
istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dulu, agar gerakan kami
tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami mengha-dapi lawan-lawan yang amat jahat
dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai
kami kembali."
Sian Li mengangguk-angguk. Ia mak-lum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tidak
akan leluasa bergerak. Apa-lagi kalau sampai terjadi bentrokan, ia tidak akan dapat membantu
bahkan men-jadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan
da-tuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya ma-sih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.
"Akan tetapi, sebaiknya engkau ber-sembunyi saja di kamar, anakku. Kalau engkau
membutuhkan makan minum, pe-san saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini.
Jangan engkau be-pergian keluar."
"Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?"
"Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi.
Bagaimanapun juga, besok pa-gi-pagi kami tentu sudah pulang," kata Sin Hong.
"Andaikata belum selesai urusan ini pun kami tentu akan kembali ke sini un-tuk
menjengukmu, Sian Li," kata Hong Li.
"Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali."
Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan ja-ngan keluar dari
kamar, suami isteri pendekar itu lalu meninggalkan rumah penginapan, menggunakan
kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain melihat mereka meninggalkan tempat itu.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
201 Tentu saja para perajurit penjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal
Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar melapor kepada
panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam telah larut.
Bagaimanamungkin mereka berani meng-ganggu atasan mereka yang sedang tidur"
Liu Tai-ciangkun adalah seorang pa-nglima tua, berusia enam puluh tiga ta-hun, yang dikenal
oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan
adil. Juga dia dapat menghargai para pende-kar, bahkan seringkali dia mengulurkan tangan
mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para
penjahat. Karena ini-lah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap
panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi
kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-
li-pang yang berhasil menye-lundup menjadi perwira pasukan penga-wal istana. Akan tetapi,
mereka kini berhadapan dengan lima orang perajurit penjaga yang berkeras tidak dapat
mene-rima tamu pada malam-malam begitu.
"Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun,
sebaiknya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat
menerima tamu" Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang mengganggunya,"
kata kepala jaga.
"Hemm, kalian tidak mengenal kami bentak Hong Li yang berwatak keras. "Kalau Liu Tai-
ciangkun mendengar bah-wa kami yang datang, dia tentu akan cepat keluar menyambut!"
Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah
lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. "Harap saudara sekalian memaafkan
isteriku. Akan teta-pi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus
kami sam-paikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga."
Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka
kepada jaga itu sambil me-mandanq kepada nyonya muda yang can-tik dan galak itu,
bertanya, "Sebetulnya, siapakah Jiwi" Kami tidak mengenal Ji-wi, dan apa keperluannya"
Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?"
"Hemm, kalian ingin mengenal kami" Nah, jagalah baik-baik!" kata Hong Li dan sebelum
suaminya mencegahnya, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan
totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan di antara
lima orang penjaga itu. Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis bahkan
memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi
lemas dan mereka ter-kulai roboh satu demi satu, tidak mampu bangkit kembali!
"Nah, kalian lihat. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-
ciangkun ke dalam" Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tatacara
dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami"
Katakan saja kepada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan
isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!"
Setelah berkata demikian, dengan ge-rakan cepat sekali, tangan Hong Li ber-gerak
membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu. Kini lima orang itu yang tadi
terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berke-nalan dengan kelihaian nyonya
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
202 muda itu, akan tetapi juga mendengar nama Pende-kar Bangau Putih dan puteri bekas
Jen-deral Kao Cin Liong, mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala
jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, walaupun untuk itu ter-paksa dia harus
mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang da-lam keadaan biasa, biar
bagaimanapun juga tidak akan berani dia melakukannya!
Tak lama kemudian, kepala jaga itu kembali dan dengan sikap hormat dia mempersilakan
suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang ber-ada di sebelah kiri
bangunan. Ketika Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka menda-patkan Liu Tai-
ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya
dia menge-nakan pakaian pengganti baju tidur seca-ra tergesa-gesa, rambutnya juga nampak
kusut. Mereka saling memberi hormat dan panglima itu bangkit dengan wajah ber-seri. "Tai-
ciangkun, mohon maaf sebesar-nya kalau kami telah mengganggu Ciang-kun dari tidur," kata
Sin Hong dengan sikap hormat.
"Ahh, tidak apa-apa, Taihiap dan Li-hiap. Silakan duduk!" kata panglima itu dengan ramah
sambil mempersilakan me-reka duduk di kursi-kursi yang sudah di-atur berhadapan dengan
dia, hanya ter-halang meja besar. "Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti
Jiwi membawa urusan yang teramat. pen-ting. Nah, para pengawal sengaja kula-rang
mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!" Sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.
Sin Hong lalu menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya
ketika mereka mengin-tai dan mendengarkan perCakapan para tokoh Pek-lian-kauw dan
Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.
Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah
bukan main, di samping juga amat terkejut. "Sudah kuragukan perwira muda itu! Dia terlalu
cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya pa-ra
pemberontak itu diam-diam memper-gunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh
berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan pasukan untuk menangkap semua
pengkhianat dan pem-berontak itu!" Panglima itu bangkit ber-diri.
"Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukan tindakan yang tepat dan bijaksana!" kata Kao Hong
Li. Panglima itu mengerutkan alisnya dan menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran.
Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan
tidak tepat dan tidak bijaksana" Apa maksud Lihiap?"
"Tai-ciangkun, mereka berada di ru-mah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau
Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat,
tentu mereka su-dah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun akan terlambat," kata
Hong Li. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
203 "Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat,
mereka memiliki banyak orang yang lihai!" kata pula Sin Hong.
"Andaikata Ciangkun tidak terlambat dan menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun
untuk menuntut mereka" Tidak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan
kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti" Ingat, Ouw-
ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah
Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melin-dungi Ouw-
ciangkun?"
Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba
jenggotnya dan dia meng-angguk-angguk. "Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi
mengingatkan aku sehingga tidak bertindak tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang
ha-rus kita lakukan?"
"Maaf, Ciangkun," kata Hong Li. "Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat
pula. "Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Akan
tetapi diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk
menggagalkan rencana jahat mere-ka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada
waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat."
"Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, ada dua ke-untungan. Pertama,
Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan
Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan penga-wal yang dipimpin Ouw-ciangkun di
sam-ping menangkap Ang I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua,
penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah ter-kurung di
lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?" kata Sin Hong.
Panglima itu mengangguk-angguk "Ba-gus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Ji-wi baik
sekali!" Panglima itu lalu berun-ding dengan mereka. Dia akan mengerah-kan pasukan yang
kuat untuk diam-diam mengepung taman pada saat pesta ulang tahun Siang Hong-houw
berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan tertangkap
semua, "Akan tetapi, kami membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu ber-bahaya.
Keselamatan nyawa para pange-ran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri, Ang I
Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para
pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami melindungi para
pangeran dan mencegah perbuatan Ang I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon
Jiwi tidak menolak dan ja-ngan kepalang membantu kami menyela-matkan para pangeran dan
mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat."
Suami isteri itu saling pandang. Me-mang tidak semestinya kalau mereka membantu
setengah-setengah. Apalagi, mereka tahu bahwa bantuan mereka bu-kan berarti mereka
berpihak kepada Ke-rajaan Mancu semata, melainkan teruta-ma sekali menentang golongan
sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, Tai-ciangkun," kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. "Kami akan
membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang
se-karang masih berada di kamar rumah penginapan itu, kami akan menjemputnya lebih dulu
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
204 dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun
agar keselamatannya terjamin."
"Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian tadi" Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama
puteri Jiwi."
Sin Hong dan Hong Li segera berpa-mit untuk kembali ke Heng-tai yang belasan li jauhnya
dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedung-nya itu. Panglima itu
mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan melihat betapa panglima itu amat
menghormati mereka, para perajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami
isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.
Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali ke kota Heng-tai.
Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walaupun
masih ada perajurit pengawal yang menjaga. Agaknya, rapat itu sudah selesai dan kini para
tokoh se-sat itu entah bersembunyi di mana Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan
bersembunyi ketika tiba di belakang ho-tel itu dan melihat kesibukan di antara para perajurit
pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu.
Ketika Sin Hong dan Hong Li kemba-li ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu
kamar tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri
mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tidak nampak
bayangan Sian Li! Mulailah mereka me-rasa khawatir, apalagi ketika mereka meneliti tempat
tidur anak itu dan men-dapat kenyataan, bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas
ditiduri anak mereka.
Mereka cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan
sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram
pundaknya. "Hayo katakan di mana anak perem-puan kami!"
Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. "Saya.... saya tidak tahu....,
apa.... apa yang telah terja-di maka Jiwi marah kepada saya?"
"Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini. Akan tetapi sekarang
ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam" Hayo kata-kan, kalau engkau tidak
mengaku dan berbohong, kami akan membunuhmu!" Sin Hong yang biasanya tenang dan
lembut itu, kini terpaksa menghardik dan me-ngancam karena dia pun mulai gelisah sekali.
"Sungguh mati, Taihiap, Lihiap sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk
sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami tidak sempat mengurus hal-hal
lain. Ka-mi semua tidak pernah melihat puteri Jiwi.... tidak nampak Siocia keluar kamar"
Sungguh mati saya tidak tahu...."
Suami isteri itu saling pandang. "Su-dahlah," akhirnya Sin Hong berkata. "Ka-lau engkau
benar tidak tahu, tidak me-ngapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong,
kelak masih belum terlambat bagi kami untuk meng-hukummu!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
205 "Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap.... kalau saya melihat atau men-dengar tentang
Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...."
Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu,
kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.
"Heran, ke mana Sian Li pergi?" Sin Hong berkata lirih.
"Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka
mengaku di mana anak kita!" kata Hong Li.
Akan tetapi Sin Hong memegang le-ngannya. "Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya
menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak
bisa kita me-nuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian
me-reka. Kalau Sian Li berada dengan mere-ka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri
kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain."
Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. "Kalau Ang I Moli yang
melakukan penculikan terhadap Sian Li, sekali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!"
"Yang penting, kita harus dapat me-nemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak
kita itu dalam keadaan selamat," kata Sin Hong.
"Tidak ada kemungkinan lain," kata Hong Li. "Lenyapnya anak kita itu pasti ada
hubungannya dengan komplotan pem-berontak yang semalam mengadakan ra-pat di sini.
Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberon-tak itu yang bertanggung
jawab." "Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana
kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang I Moli dan memaksanya
mengaku untuk mengembalikan anak kita."
Setelah mencari-cari tanpa hasil, ke-mudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan
pasukannya dan tidak me-lihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu. Juga mereka
berdua tidak melihat adanya Ang I Moli dan para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang,
terpaksa, walaupun dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu
Tai-ciangkun. Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pende-kar itu lenyap
dari kamar rumah pengi-napan. "Jangan khawatir, Taihiap dan Li-hiap, kami akan menyebar
penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu." Dan seketika panglima
itu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan
sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.
Adapun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun lalu diselundupkan ke dalam istana,
menyamar sebagai penga-wal-pengawal yang tergabung dalam pa-sukan pengawal istana
bagian luar. De-ngan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang
perwi-ra pasukan pengawal yang menjadi saha-batnya. Sin Hong dan Hong Li dapat bergerak
bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Namun, keduanya me-nyembunyikan diri sambil
menanti da-tangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
206 mana Siang Hong-houw hendak menga-dakan pesta ulang tahunnya, dihadiri oleh semua
pangeran. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Penanggalan Im-lek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu,
setiap tanggal lima belas, dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan
seterang-terangnya.
Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan
kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-
lampu gantung beraneka bentuk dan warna me-nambah indahnya suasana, seolah
meng-gantikan bintang-bintang yang tidak nam-pak di langit karena sinarnya ditelan cahaya
bulan purnama. Bunga-bunga di taman sedang mekar semerbak, menam-bah keindahan
malam itu. Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permai-suri ini masih
nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan
dihias emas per-mata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya
dan senyumnya yang tak pernah meninggalkan bibirnya, membuat ia nampak cantik jelita dan
menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran
menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka.
Pesta berjalan dengan meriah. De-lapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir.
Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga
tidak ada selir lain yang hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin
berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya. Untuk mem-buat pesta
bertambah meriah, serom-bongan besar pemusik, penyanyi dan pe-nari menyajikan hiburan-
hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja
atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk ber-baur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar
mereka hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau me-reka menyamar menjadi pengawal,
maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk
me-lindungi para pangeran.
Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh tebih orang pengawal yang merupa-kan pasukan
istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.
Biarpun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada
mengamati keadaan sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para perajurit yang
berjaga di situ kare-na mereka tahu bahwa di antara para perajurit itu tentu terdapat para tokoh
sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri melakukan perondaan
di dalam taman itu, seolah hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang
berpesta di dalam taman.
Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang
dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja
yang me-ngelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walaupun yang
se-dang berpesta tidak terlalu banyak. Ke-tika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang
mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
207 bukan main. Terkejut, heran dan juga girang karena mereka melihat seorang kakek yang
gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun! Dan di dekat
kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih
nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita
itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran
akan tetapi juga girang.
Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan seorang di an-tara mereka yang
ikut berpesta" Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan
perjalanan ber-sama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli. Mereka terus
membayangi Ang I Moli selama bertahun-tahun, akan tetapi akhirnya mereka kehilangan
jejak iblis betina itu. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa
menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah
bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu mem-bakar hati mereka
ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta! Dan pada suatu hari yang baik,
Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani diban-dingkan Suma Ciang Bun, menyatakan
perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan
gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis! Dan akhirnya, Suma Ciang Bun
mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang
sa-habatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara per-nikahan
antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan
oleh tujuh orang tosu lainnya. Namun, secara hukum aga-ma pernikahan itu sudah sah dan
sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!
Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling
mencinta, saling menghormati dan dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan
menjadi pemimpin, se-dangkan Suma Ciang Bun lebih kewanita-an dan selalu menyetujui apa
yang dipu-tuskan oleh isterinya.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Me-reka sudah
berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya juga mengunjungi
rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini meneri-ma mereka dengan gembira
sekali. Mere-ka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun
mene-mukan jodohnya, walaupun sudah agak terlambat. Apalagi yang dipilihnya ada-lah
bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan
yang tidak jauh!
Demikianlah, ketika mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat
kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih
tinggal di ba-rat dahulu. Karena pengawal istana me-laporkan kepada Siang Hong-houw
bahwa seorang wanita bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama
suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat ia menyambut dan ketika
bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.
Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bertemu dengan sahabat lamanya yang
mendatangkan kenangan lama sebelum ia menjadi selir Kaisar, sehingga ia menahan Gangga
Dewi dan Suma Ciang Bun agar tinggal di istana sebagai tamu-nya, tamu kehormatan dan
dapat ikut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas. Gang-ga
Dewi yang berpengalaman itu melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu men-derita
tekanan batin walaupun hidup da-lam gemerlapnya kemewahan dan kemu-liaan. Maka, ia
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
208 merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai
seorang permaisuri yang mulia, ia merasa ber-bahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung
walaupun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau
yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia mem-bujuk suaminya untuk memenuhi
permin-taan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.
Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran
mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demi-kian sederhana, tidak
dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh
semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw. Suma Ciang Bun sama sekali
tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta
itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal
kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah
corak wajah mereka.
Sementara itu Ang I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Ia pun memakai penyamaran
agar jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyerahkan kepa-da Siang Hong-houw
agar Ang I Moli diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ
harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun
dan Gangga Dewi.
Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ
sebagai tamu! Tentu saja ia menjadi bingung. Apa artinya itu" Apakah Siang Hong-houw
sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin
keamanan di situ" Beberapa kali Ang I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang
matanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berun-ding dengan perwira
itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian tiba-tiba dan tak tersangka-
sangka se-hingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi.
Bagai-manapun juga, rencana semula harus dilanjutkan!
Ang I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya mun-culnya Suma
Ciang Bun dan Gangga De-wi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula
dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak mengenal mereka,
akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya. Hal ini bukan karena pe-nyamarannya
kurang baik. Sama sekali tidak. Andaikata suami isteri itu belum tahu bahwa ia akan
menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para
pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pende-kar itu akan mengenalnya. Akan tetapi, di
luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenal kepala pelayan setengah tua yang
cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan menga-mati gerak-gerik Ang I Moli
dengan sek-sama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun
tentu sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan
keluar dari dalam istana.
Sejak tadi, nampak Ang I Moli me-ngatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan,
untuk mengeluarkan hi-dangan dan keadaan berjalan lancar tan-pa ada yang mencurigakan,
Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li.
Permaisuri itu memberi isarat kepada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci
arak yang bentuknya asing dan indah, terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
209 ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak
tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, lalu berkata,
"Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah
puluhan tahun umurnya dan selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan
sehat dan sema-ngat tinggi."
Para pangeran bersorak gembira dan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi
menyentuh lengan suaminya. "Anggur Uigur yang sudah puluhan tahun umurnya memang
amat hebat."
Ang I Moli menghampiri Siang Hong-houw dan berkata dengan penuh hormat dan halus,
"Perkenankan hamba sendiri mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para
tamu yang mulia."
Karena sejak pertama kali Ang I Mo-li bersikap halus, ramah dan sopan se-hingga
menyenangkan hati Siang Hong-houw, ia pun mengangguk dan menyerah-kan guci anggur itu
kepada kepala pela-yan baru yang cekatan itu. Ang I Moli segera dengan sikapnya yang
menarik dan lembut, menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-
houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang
sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala
pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, dari yang paling tua sampai
yang paling muda, baru menuangkan ang-gur ke dalam cawan para puteri. Semua itu
dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang mene-tes keluar
sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika
menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari
telunjuk kiri wanita itu menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan,
menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus
yang tidak kelihatan orang lain. Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui
gerakan ini,