Kisah Si Bangau Merah 8
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah
ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan di-bagi.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan
hal itu karena mereka tidak menyangka buruk.
Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan
mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-
masing dengan wajah gembira penuh senyum, tiba-tiba terde-ngar seruan nyaring.
"Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!"
Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ter-kejut dan heran
mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari
rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian
dan tarian mereka.
Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sam-bil memberi
hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. "Harap Paduka semua
jangan minum ang-gur itu karena semua cawan telah dira-cuni, kecuali cawan para puteri dan
Pa-ngeran Kian Ban Kok. Semua cawan pa-ngeran lain telah diracuni dan siapa yang minum
anggur itu akan tewas!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
210 Tentu saja semua orang terkejut bu-kan main mendengar ini dan, otomatis semua orang
meletakkan cawah masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri.
Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi
wanita itu mengatakan bahwa semua pa-ngeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan
menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol
dengan dia kare-na dia sendiri tidak diracuni.
"Perempuan rendah! Engkau hanya se-orang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali
mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau bohong dan akan
kubuktikan." Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih
oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya adalah seorang wanita
Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya,
kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggo-rokannya.
"Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Masih berani eng-kau
mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, telah diracuni?" Bentak Pangeran
Kian Ban Kok, akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat
betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba mengeluar-kan
teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika!
Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik. Melihat
keadean yang kacau ini, Ang I Moli terkejut bukan main. Ia tahu bahwa rahasianya diketahui
wanita ang-gauta rombongan pemusik itu dan akibat-nya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban
Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah
keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung.
Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang I Moli bahwa
menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu ga-gal,
maka jalan satu-satunya hanyalah menggunakan kekerasan membunuhi para pangeran!
Maka,tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia
sembunyikan di balik baju-nya.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggau-ta pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke
depannya dan wanita itu berseru, "Ang I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari
tanganku!" Dan wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian
me-noleh ke arah Suma Ciang Bun dan ber-teriak, "Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong
Li. Cepat lindungi para pange-ran! Ada komplotan pombunuh!"
Pada saat itu, Ang I Moli yang ter-kejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, sudah
menyerangnya dengan tusukan pedang. Namun Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan
membalas de-ngan tamparan tangan kiri yang mengan-dung hawa beracun karena ia
mengguna-kan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.
Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua
orang perajurit penga-wal yang memegang pedang sudah berloncatan untuk menyerang para
pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggauta
Thian-li-pang yang menyamar sebagai perajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting.
"Paman Suma Ciang Bun, cepat sela-matkan para pangeran!" teriak pula Sin Hong.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
211 Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka ta-dinya bingung,
akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang.
Apalagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia lalu
menyambar lengan isterinya.
"Mari kita lindungi mereka!"
Suami isteri ini berloncatan melin-dungi para pangeran yang kelihat bingung dan ketakutan.
Ketika ada perajurit-pe-rajurit pengawal dengan senjata di ta-ngan menyerbu ke arah para
pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat
orang penyerbu.
Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali ketika tadi ia melihat betapa
Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran
lain. Per-maisuri Kaisar ini sama sekali tidak tahu tentang rencana pembunuhan keji terha-dap
para pangeran itu dan begitu kini jatuh korban, tentu saja ia menjadi ter-kejut dan gelisah.
Apalagi ketika para perajurit pengawal yang seharusnya ber-tugas melindungi keselamatan
keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak mem-bunuh para pangeran. Dan ia telah
meli-batkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu! Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-
li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir
penjajah Mancu. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak sedemikian
nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah
mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana.
Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut ber-tanggungjawab karena ialah
yang meneri-ma masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan
pang-lima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala
pelayan dalam pesta itu!
Melihat munculnya seorang wanita dan seorang pria dari rombongan pemusik yang
menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu
agungnya, yaitu Gangga De-wi dan suaminya juga berloncatan melin-dungi para pangeran,
Siang Hong-houw cepat bertindak. "Mari cepat menyingkir ke dalam!" katanya dan ia
bersama para pangeran dan puteri meninggaikan tem-pat yang kini menjadi medan
pertempur-an itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Se-telah semua pangeran dan puteri mema-suki istana bersama Siang Hong-houw, dan
jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami iste-ri itu kembali ke
taman dan ikut mem-bantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari
tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.
Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera
Ketua Thian-li-pang sen-diri, yaitu Ouw Ban, tidak semua ang-gauta Thian-li-pang. Hanya
ada dua puluh orang lebih anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan
Ouw Cun Ki menjadi perajurit pasukan penga-wal. Selebihnya adalah perajurit penga-wal
aseli. Oleh karena itu, ketika para perajurit aseli melihat bahwa pasukan mereka dikepung
oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, mereka
melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka adalah seorang
pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja mereka segera membalik dan
menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadi-lah pertempuran yang berat
sebelah ka-rena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biarpun rata-rata pandai ilmu
silat, dikeroyok banyak sekali lawan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
212 Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkan, Ouw Cun Ki melompat hendak
melarikan diri. Akan tetapi, nam-pak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah
dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin
Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan
pa-kaian putihnya yang ringkas.
"Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana" Engkau harus mempertanggung-jawabkan
perbuatanmu!" kata Sin Hong.
"Penjilat busuk, anjing penjajah Man-cu!" teriak Ouw Cun Ki dan dia sudah menggunakan
pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.
Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu
bahwa Thian-li-pang adalah per-kumpulan orang jahat yang bersekongkol dengan Pek-lian-
kauw yang berkedok per-juangan namun menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri
sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang,
melainkan dengan para penjahat.
"Jahanam, orang macam engkau yang mengotorkan perjuangan!" bentaknya sambil
mengelak dan membalas dengan tendangan yang biarpun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki,
namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung. Ouw Cun Ki putera
Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah
me-warisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seo-rang tokoh
Thian-li-pang yang berkedu-dukan penting.
Akan tetapi, sekali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang
sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).
Maka, biarpun pe-muda itu memegang pedang dan menye-rang dengan nekat, dalam beberapa
gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang
membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.
Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang I Moli ber-langsung dengan
seru. Kepandaian dua orang wanita ini lebih seimbang diban-dingkan kepandaian antara Sin
Hong dan Ouw Cun Ki. Ang I Moli telah mengua-sai ilmu barunya, yaitu Toat-beng-tok-hiat
(Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan
karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mema-tangkannya. Dan kini
Ang I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan
beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong. Melihat betapa lihainya Kao Hong Li,
Ang I Moli yang mempergunakan pedang di tangan kanan itu, menyelingi serangannya
dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.
Ketika pertama kali Ang I Moli me-nyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang
mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau
mayat, Hong Li mak-lum bahwa dia menghadapi pukulan bera-cun yang berbahaya. Maka, ia
pun cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga
merupakan ilmu pukulan yang mengan-dung hawa beracun. Biarpun tidak seja-hat Toat-beng-
tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
213 "Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, kedua orang wanita itu terdorong ke
belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang I Moli. Setelah
berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan
yang dapat menandingi ilmunya itu!
Sebelum kedua orang wanita ini saling terjang lagi, mendadak nampak bayangan berkelebat
dan Gangga Dewi telah ber-hadapan dengan Ang I Moli.
"Iblis betina Ang I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kausembunyikan Yo Han"
Hayo cepat beritahu atau ter-paksa aku akah menyiksamu untuk me-ngaku!" bentakan
Gangga Dewi ini selain mengejutkan hati Ang I Moli, juga mem-buat Kao Hong Li
memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi ia lihat duduk di sebelah
pamannya, Su-ma Ciang Bun. Dan kini wanita ini me-ngenal Ang I Moli, bahkan menyebut-
nyebut nama Yo Han!
Ang I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan ia tahu akan
kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah
menyamar. "Mampuslah!" bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk. Gang-ga Dewi
memiliki gin-kang yang hebat dan ia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu
dapat dielak-kannya dengan mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak gulungan
sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi
telah membalas dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sab?k itu melun-cur kaku bagaikan
berubah menjadi tong-kat menotok ke arah dada Ang I Moli.
Ang I Moli menangkis dengan pedang-nya, dan tangan kirinya mendorong de-ngan ilmu
yang diandalkannya, yaitu Toat-beng-tok-hiat. Uap putih yang ber-bau busuk menyambar dan
Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan
pukulan beracun yang amat jahat.
"Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!" Kao Hong Li membentak dan ia pun
menerjang maju, sekali ini meng-gunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun
Pasir. Demikian hebat-nya daya serang ilmu ini sehingga Ang I Moli yang memegang pedang
itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke be-lakang.
Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa Kao Hong Li, kepo-nakan
suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun me-mutar sabuk suteranya
dan berseru. "Kao Hong Li, aku adalah isteri pa-manmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari
Bhutan." Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan
keadaan pamannya, Su-ma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita
karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik,
seorang wanita Bhutan. Dan ia pun ter-ingat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
214 seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah de-ngan pendekar Wan Tek hoat,
saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!
"Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?" katanya sambil mengelak dari
sambaran pedang Ang I Moli yang sudah membalas serangannya.
"Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!"
Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang I Moli yang
menjadi sibuk sekali. Meng-hadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk
mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia
kewalahan dan terus mundur.
"Singg....!" Dengan nekat Ang I Moli membacokkan pedangnya ke arah kepala Gangga
Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu
menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat. Ang I Moli terkejut dan berusaha menarik
lepas pedangnya. Namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang
dengan amat kuatnya. Ketika ia bersitegang dan menarik-narik pedangnya agar terlepas, Hong
Li sudah meloncat ke depan dan sekali jari tangannya me-luncur dan menotok, Ang I Moli
roboh terkulai dengan lemas.
Hong Li menginjak perut Ang I Moli dan melihat ini, Gangga Dewi berseru, "Jangan bunuh
dulu!" Hong Li memandang wanita Bhutan itu dan tersenyum. "Bibi, aku tidak ingin
membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, ia harus lebih dulu
mengatakan di mana ia me-nyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau
melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan dimana engkau
menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melain-kan menyerahkan
engkau kepada Liu Ciangkun.
"Aku tidak tahu, aku tidak pernah melihat puterimu," jawab Ang I Moli de-ngan sikapacuh.
Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini
tidak merasa gentar. Selama ia masih hidup, ia takkan pernah putus asa dan menyerah.
"Bohong! Puteriku yang kami tinggal-kan di rumah penginapan itu hilang. Siapa lagi kalau
bukan engkau dan ka-wan-kawanmu yang telah manculiknya" Hayo katakan, di mana ia!"
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak," jawab
Ang I Moli acuh.
"Iblis busuk, engkau patut dihajar!" Hong Li yang amat mengkhawatirkan pu-terinya,
mengangkat tangan hendak me-mukul. Akan tetapi Gangga Dewi me-nyentuh pundaknya.
"Nanti dulu, Hong Li. Ia harus mem-beritahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang I Moli,
engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku mengejarmu
dan mencari-mu, akan tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
215 Ang I Moli tersenyum mengejek. "Yo Han telah menjadi murid para pimpinan Thian-li-pang
dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah Thian-
li-pang." Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang I Moli kiranya tidak ada
perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melain-kan menyerahkan wanita
itu kepada se-orang perwira untuk dibelenggu dan di-jadikan tawanan.
"Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di
mana pula adanya Yo Han," kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke
dalam per-tempuran. Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan
merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membu-nuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil
selundupan Thian-li-pang ini dibe-lenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan
wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka
dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhir-nya
belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.
Kaisar Kian Liong marah sekali men-dengar bahwa Ouw Cun Ki yang diperca-ya dan diberi
anugerah pangkat tinggi itu ternyata adalah mata-mata pembe-rontak Thian-li-pang yang
diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para pang-limanya untuk menghukum berat
kepada para pemberontak itu, hukum buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya. Biarpun
tidak ada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun
permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang me-ngunjungi
permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan
sakit keras. Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega untuk menegur atau bertanya. Dan
memang penyakit permai-suri itu cukup payah, bahkah pertolongan para tabib tidak dapat
mengurangi pen-deritaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah
dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang. Hampir saja semua pangeran
tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab.
Bahkan kematian Pange-ran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar, Ia merasa
bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam
istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasa-an ini membuat ia
berduka dan menyesal bukan main. Ia memang mendendam ter-hadap pemecintah Mancu
yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa
Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya se-hingga kalau ia
sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan
keluarganya, maka ialah yang berdosa besar. Perasaan ber-salah ini, mendatangkan
penyesalan yang membuat Siang Hong-houw jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya
sehingga beberapa bulan kemudian, Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakit-nya.
Setelah merobohkan banyak orang to-koh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong
Li, dibantu Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, mencoba untuk men-cari keterangan tentang
Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ter-nyata tidak ada seorang pun di antara
mereka tahu tentang dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada
Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharapkan balas jasa sama
sekali. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
216 Mereka berempat keluar dari istana dan saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang per-temuan mereka dengan Yo Han
yang diculik dan dilarikan Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.
"Menurut pengakuan Ang I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada para pimpinan Thian-li-
pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!" kata
Gangga Dewi. "Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu
selain memiliki anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-
kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus ber-hati-hati melakukan penyelidikan."
"Benar sekali apa yang dikatakan Paman Suma Ciang Bun," kata Tan Sin Hong. "Pasukan
pemerintah pun sukar membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan
tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan
ba-nyak orang gagah membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan ge-rakan
menentang pemerintah Mancu."
"Bagi kami, yang terpenting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah
penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw menga-dakan rapat," kata
Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.
"Hemm, memang mencurigakan," kata Suma Ciang Bun. "Siapa lagi kalau bukan mereka
yang menculik anakmu" Akan tetapi, tiada seorang pun di antara me-reka yang kita robohkan
mengakui meli-hat anak itu. Sebaiknya kalau kita men-cari keterangan di rumah penginapan
itu lagi."
Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidik-an.
Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mende-ngar bahwa
pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasa di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di
antaranya terda-pat seorang pengemis tua yang asing. Ketika Sian Li melihat para pengemis
minta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu meng-hampiri Sian
Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, penge-mis itu diberi sepotong uang
perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.
Keterangan itu tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan
isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
"Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan se-tiap orang asing
patut dicurigai," kata Gangga Dewi. Mereka lalu minta kepada tukang masak untuk
menggambarkan ke-adaan pengemis itu.
"Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang.
Memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling."
Demikian kete-rangan yang mereka peroleh.
Empat orang pendekar itu lalu ber-pencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai.
Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya tentang pengemis seperti yang
digembar-kan tukang masak tadi.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
217 Sin Hong sendiri yang akhirnya men-dapatkan keterangan, setelah para penge-mis lain hanya
mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu, seorang di antara
mereka menerangkan bahwa pengemis bongkok itu datang dari selatan dan merupakan
seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan berlaku sewenang--wenang
terhadap para pengemis lainnya. Bahkan Phoa-pangcu, ketua para pengemis di kota Heng-tai,
pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-
wenang itu. "Kau tahu siapa dia?" Sin Hong ber-tanya.
"Dia mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam)," jawab
pengemis itu. "Dan engkau melihat dia bersama se-orang anak perempuan berusia dua belas tahun yang
berpakaian serba merah?" Sin Hong mendesak.
Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apalagi ketika bertemu kembali
dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, tiga orang itu pun sama
sekali tidak menemukan jejak Sian Li.
"Sebaiknya kalian lanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehi-langan anak
itu kepada Adik Suma Ceng Liong," kata Suma Ciang Bun. "Dengan demikian maka dia pun
akan dapat mem-bantu kalian mencari jejak. Kami sendiri akan melanjutkan usaha kami
mencari jejak Sian Li."
Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua
pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi
Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha
mereka mencari jejak Sian Li. Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang
karena menurut pengakuan Ang I Moli, Yo Han kini ber-ada di perkumpulan pemberontak
itu. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Ke manakah perginya Sian Li" Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia
merasa kesal untuk ber-diam diri di kamarnya saja. Maka, sete-lah menanti dua jam di
kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan
maksud untuk berjalan-jalan menghitang-kan kekesalannya.
Gadis kecil ini tidak tahu bahwa se-jak ia keluar dari dalam kamarnya, se-pasang mata telah
mengikutinya, sepa-sang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan
lain ada-lah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh
tinggi besar bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman. Dia adalah
seorang di antara anak buah Ang I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat. Sejak tadi,
dia menden-dam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus
melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dika-lahkan ibu gadis itu.
Hanya karena takut kepada Ang I Moli saja dia meninggalkan mereka ibu dan anak. Kini,
selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perem-puan berpakaian merah yang manis itu keluar
dari dalam kamarnya, seorang diri pula.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
218 Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat.
Kalau dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan tidak mengurangi kekuatan
penjagaan. Dia harus dapat membalas penasaran dan dandamnya tadi, sekaligus bersenang-
senang. Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya men-jadi
seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ke-tika Sian Li tiba di
tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah pengi-napan.
Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apalagi ketika dia mengenal orang
itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap
dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau ber-teriak,
Hek-bin-houw sudah menubruk dan menyergapnya seperti seekor harimau menubruk
kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah
menotok jalan da-rah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan
tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu
me-manggul tubuh anak perempuan yang sudah tidak mampu meronta itu dan membawanya
loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ
terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan
tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang tak mam-pu bergerak.
"Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam
kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk
ke dalam kuil kosong itu dan dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil
yang tak terpelihara dan kotor. Tem-pat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam para
gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal.
Tiba-tiba nampak sinar yang biarpun hanya kecil akan tetapi karena muncul-nya tiba-tiba dan
di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi se-luruh ruangan dan mengejutkan,
juga menyilaukan mata, Hek-bin-houw terkejut dan menoleh. Kiranya sinar itu adalah nyala
api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel dan kini lilin itu diletakkan di sudut,
di dekat kakek jem-bel yang duduk bersila sambil meman-dang kepada Hek-bin-houw dan
Sian Li dengan sinar mata penuh selidik.
"Ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jem-bel itu.
Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia
dimaki anjing! "Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku" Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti. Hayo cepat
menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut goloknya
dengan sikap mengan-cam.
Kakek jembel itu terkekeh lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan
tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.
"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya" Ha--ha, memang
tepat, engkau memang per-sis anjing bermuka hitam. Dan aku ber-juluk Hek-pang Sin-kai
(Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing
muka hitam."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
219 Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja
diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini. "Jahanam busuk, engkau sudah bosan hidup!"
bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu.
Namun, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu menggerakkan tongkat bututnya
berwarna hitam untuk menangkis.
"Trakkkk....!" Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia ter-kejut sekali
karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besar-nya tenaga yang
terkandung dalam tong-kat hitam itu ketika menangkisnya tadi. Akan tetapi, dasar orang yang
selalu mengandalkan tenaga dan kepandaian sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang
selalu memandang rendah orang lain Hek-bin-houw masih belum mau menya-dari bahwa dia
berhadapan dengan seo-rang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi
semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bong-kok
dapat menandinginya.
"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi
sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.
"Manusia tak tahu diri!" Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi
gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tang-kisan itu membuat
tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan. Hek-bin-houw berteriak dan
goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa
yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya.
Hek-bin-houw ter-kulai roboh dan tidak dapat bangun kem-bali!
"Heh-heh-heh, ada saja jalannya orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu
dan dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mam-pu bergerak. Gadis kecil itu
memandang kepada pengemis yang berdiri menga-matinya dengan mata terbelalak, akan
tetapi sama sekali tidak kelihatan takut.
"Heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas anjing hitam itu menculikmu.
Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak
manis!" Sekali tongkatnya bergerak, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh
Sian Li. Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah
beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi, ia segera dapat berdiri tegak dan
dengan sikap te-gas ia berkata,
"Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."
"Ehh" Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apa engkau lebih suka ikut
dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak
bernyawa lagi. "Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah
Ibuku!" "Tapi, engkau telah kutolong!"
"Aku tidak pernah minta pertolongan-mu."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
220 "Huh, engkau manis tapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang
engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"
"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan. Meli-hat gadis cilik ini
memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Dia
menge-nal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki
tenaga sin-kang yang kuat, maka
ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sin-kang yang mendatangkan
kecepatan dan kekuatan.
"Hayo ikut!" katanya dan tangan kiri-nya menyambar. Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan
ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat,
maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di
lain saat, Sian Li telah tertotok kem-bali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan
hinggap di pundak pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari
cepat di dalam ke-gelapan malam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali kakek pengemis itu telah keluar dari kota Heng-tai
sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota
yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.
Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu" Dia adalah seorang tokoh persilatan yang
terkenal, namun dia ter-masuk tokoh sesat yang suka mengandal-kan kepandaian untuk
memaksakan ke-inginannya dan tidak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena
itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tong-kat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat
walaupun di selatan dia mempunyai per-kumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) dan dia menjadi ketuanya. Karena dia seorang
petualang yang suka berkela-na, maka perkumpulan itu sering ditinggalkannya dan dia
serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.
Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, per-buatan itu dia
lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-
bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menen-tangnya dan menyerangnya. Akan
tetapi, ketika melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel
itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya.
Saking lelahnya, ketika dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan
pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menya-darkannya dan kini, biarpun
tubuhnya ti-dak tampak bergerak, ia depat bersuara dan berulang-ulang ia minta agar kakek
itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan ti-dak
mempedulikannya.
Pagi itu amat sunyi dan Sian Li su-dah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak
tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Per-cuma saja bicara, pikirnya. Saat
itu ma-sih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada
orang, ia akan menjerit minta tolong.
Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan.
Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga agar suaranya
terde-ngar lantang.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
221 "Kakek jahat, lepaskan aku!" teriak-nya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak
kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu
menengok, kemudian nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.
Melihat ini, Sian Li berkata lagi.
"Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku
mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"
"Heh-heh-heh, aku tidak takut ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh
mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.
"Engkau tertawa karena tidak menge-tahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau
akan mati berdiri!" kata pula Sian Li dan ia melihat betapa nenek yang berjalan di belakang
itu memperce-pat langkahnya sehingga jaraknya sema-kin dekat, hanya sepuluh meter saja di
belakangnya. Kembaii kakek jembel itu tertawa bergelak mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya
hanya gertak belaka.
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangu Putih! Dan ibuku ada-lah keturunan
Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa
betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.
"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawa-nya hilang
karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.
"Siapa membual" Ibuku bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga
Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti
dari Istana Pulau Es!"
Kini Hek-pang Sin-kai tidak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bu-kan main
mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa anak ini tidak mungkin membual karena dari mana
anak ini da-pat mengenal nama-nama besar itu" Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia
bahkan menjadi semakin gembira.
"Bagus! Kalau begitu, engkau ketu-runan para pendekar sakti. Engkau pan-tas menjadi
muridku!" katanya gembira dan bangga karena kalau dia dapat me-ngambil murid keturunan
Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya ten-tu akan terangkat tinggi sekali!
Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyam-bar ke arah
kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka
cepat dia mem-balik ke kanan dan menggerakkan tong-kat dan tangan kirinya untuk
menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan berkelebat dan tahu-tahu
tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, telah dirampas orang!
Ketika dia membalik, dia melihat se-orang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan
telah membebasken totok-an atas diri gadis cilik itu. "Anak baik, engkau minggirlah, biar
kubereskan jem-bel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
222 samping. Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di tepi jalan yang masih sunyi itu
sambil memandang kepa-da dua orang tua yang sudah saling ber-hadapan itu dengan hati
tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang
penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.
Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke
arah muka nenek itu. "Ne-nek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani
menentang Hek-pang Sin-kai?"
Nenek itu tersenyum dan sungguh mengagumkan. Nenek yang usianya sedi-kitnya enam
puluh tujuh tahun itu, yang rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak
jauh lebih mu-da karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini di
waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih
ramping padat. Memang ia bukan wanita sembarangan. Ia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari
pendekar Kam Hong yang terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, disamping
sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoi-nya (adik seperguruan) dan telah nee-nguasai
ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sinim (Tiupan Suling
Sakti Sinar Emas). Disamping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek
ini seo-rang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sin-kang ga-bungan
Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari
mendiang Pendekar Super Sakti!
"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai" Sudah lama aku men-dengar akan
nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk
menghajarmu sampai engkau bertaubat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"
"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku menamatkan riwayat
hidupmu." Senyum itu masih belum menghilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti
orang berkabung namun yang rapi dan bersih itu.
"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."
"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tan-pa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah
menerjang dengan tongkat-nya. Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya
saja dia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupa-kan seorang lawan yang tak boleh
dipan-dang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunaken tongkatnya tanpa
peduli bahwa nenek itu bertangan kosong, dan dia pun menyerang dengan jurus--jurus maut
dari ilmu tongkatnya. Tong-kat hitam itu bagaikan seekor ular hidup, meluncur ke depan dan
membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu
melangkah mun-dur untuk menghindarkan diri dari se-rangan ke arah leher itu, ujung tongkat
terus meluncur ke depan karena penge-mis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung
tongkat membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalain darah terpenting
di bagian depan tubuh!
Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut. "Hemm, kejam sungguh!"
Nenek Bu Ci Sian berseru lirih. Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan
tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuh-nya! Ia menggunakan
kelincahan gerakan-nya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun,
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
223 totok-an berikutnya terus mengancam sehingga terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling
dari ikat pinggangnya. Nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi
sehingga menge-jutkan hati Hek-pong Sin-kai. Suara me-lengking yang keluar dari suling
yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan
cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi diri dari suara itu, akan tetapi
serangannya menjadi gagal.
Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikut-nya. Akan
tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian
jauh lebih tinggi darinya! Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas
bergulung-gulung menyilauhan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bi-ngung karena
selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak
serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar
dengan ancaman dahsyat, juga selalu me-ngeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya!
Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-
siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.
Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walaupun dahulu di waktu mudanya ia
terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tak me-ngenal ampun terhadap para
penjahat. Setelah ia menjadi isteri suhengnya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi
lembut dan tidak kejam untuk me-lakukan pembunuhan. Walaupun ia tahu bahwa yang
dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia
menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan mampu merobohkan dan
menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, kini ia hanya menggunakan sulingnya untuk
me-ngepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul ti-dak terlalu
keras ke arah pundak, pung-gung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang
digebuki ibunya! Maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-
kai lalu meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba dia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya
yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersu-dut dan kalah. Selain
untuk dapat me-nyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu
di-pergunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran. Tongkat
meluncur dengan kecepatan se-perti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek
Bu Ci Sian. "Hemm....!" Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat dan
begitu tongkat yang melun-cur itu bertemu suling, suling diputar dan tongkat itu berputaran
menempel pada suling.
"Hyaaattt....!" Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang sudah terputar-
putar melekat pada suling itu tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang sudah
melarikan diri! Akan tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu
dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang! Kakek
jembel itu mengeluarkan teriakan kesa-kitan. Akan tetapi saking takut kalau dikejar dan
dibunuh, dia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang
menembus paha kirinya.
Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertan-dingan itu dan diam-diam ia merasa gi-rang bahwa
nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat
nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
224 "Nek, kenapa tidak kaubunuh saja ka-kek jembel jahat itu?"
Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dan alisnya berkerut. "Kenapa
dibunuh?" tanyanya.
"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau membebaskan mereka yang akan
menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah m-embiarkan dia pergi. Tentu
dia akan men-celakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut
bersalah, Nek."
Nenek Bu Ci Sian terbetalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga ga-lak dan tak kenal
ampun terhadap orang jahat. Ia tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.
"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui"
Sian Li memandang tajam, "Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"
"Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma
Ceng Liong?"
"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon
guruku." "Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakan itu.
"Engkau menjadi muridnya" Bagaimana pula ini?"
"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah eng-kau, Nek?"
Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan berhati-hati. "Engkau
sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya."
"Tentu saja. Nenek Kam Bi amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin
Liong dan kami bertemu disana,
"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."
"Aih, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" kata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil
berlutut. Nenek itu girang sekali, mengangkat bangun anak itu, dan memeluknya. "Eng-kau bahkan
sudah mengenal saudaraku?"
"Tentu saja. Sejak kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut
Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru
aku melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah
mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."
"Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah
ibumu." Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
225 Sian Li menceritakan tentang penga-laman ia dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang
persekutuan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena
Sian Li memang cerdik dan ia sudah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan
jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.
"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu menghadapi urusan besar yang menyang-kut keselamatan
keluarga Kaisar. Pantas saja engkau dicullk orang dan tidak ke-betulan, yang menolongmu
juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang
me-nuntunku pagi-pagi ini lewat di sini se-hingga dapat melihat engkau dalam ta-wanan
penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan
menjadi calon gurumu?"
"Sebetulnya, aku bersama Ayah Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena
sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah
dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke
kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."
"Aih, begitukah" Bagus sekali kalau begitu. Aku sendiri sedang dalam perja-lanan menuju ke
rumah anak dan mantuku itu."
"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan men-jadi bingung.
Sebaiknya kalau kita kemba-li dulu ke Heng-tai dan...."
"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-
li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu den mereka mengeroyokku,
bagaimana aku akan mampu melindungimu?"
"Aku tidak takut, Nek."
"Bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari
bahaya, apakah kita harus mendatangi bahaya lagi dan membiarkan engkau tertawan musuh"
Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah seka-li. Sebaiknya, mari kuantar engkau ke
Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang
akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan
berkunjung ke Ta-tung untuk memberitahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."
Akhirnya Sian Li menurut karena ba-gaimanapun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang
akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka ke Cin-an dan me-reka diterima dengan
penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan Isterinya, Kam Bi Eng.
"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah ne-nek itu menjadi murung. Inilah yang dikhawatirkannya,
namun sejak tadi dita-han-tahannya. Ia seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir
bahwa anaknya yang akan menderita duka.
"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi
murung setelah ia berta-nya tentang ayahnya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
226 Nenek itu menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"
"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu kita memperingati
ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" kata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya
dengan khawatir.
"Engkau benar. Usianya sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan
tenang sebulan yang lalu...."
"Ibuuuu....!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu,
kenapa...." Kenapa Ibu diam saja" Kenapa aku tidak diberitahu?" Ia bertanya di antara ratap
tangisnya. Nenek itu tidak ikut menangis, me-lainkan tersenyum lembut sehingga anak-nya merasa
heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu
bertanya dengan hati-ha-ti, "Akan tetapi, Ibu, kenapa kami tidak diberitahu tentang kematian
Ayah?" Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya. "Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini
semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan agar begitu dia menghembuskan napas
terakhir, aku se-gera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya.
Ini pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya
kepadamu setelah lewat satu bulan."
"Tapi.... tapi mengapa....?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.
"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikir-annya. Dia tidak
ingin jenazahnya dibiar-kan berminggu atau berhari-hari, membu-suk sebelum dikubur. Dia
juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut penda-patnya, orang yang meratapi yang
mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri.
Dapat dibayangkan betapa sedihku ketika terpaksa memenuhi permintaan terakhir-nya itu,
menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri para
tetangga saja. Sampai ma-tinya, ayahmu ingin sederhana, memper-lihatkan kerendahan
hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."
Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk
menangis lagi. Ia me-rangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau be-gitu, kami akan pergi ke
makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada
ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu" Apakah Ibu yang singgah di
rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"
"Panjang ceritanya," kata nenek itu.
"Secara kebetulan saja aku bertemu de-ngan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang
sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."
Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
227 Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan
Hong Li tentu menghadapi bahaya karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw
banyak yang lihai."
"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mere-ka?" tanya Bi Eng
sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.
Ceng Liong mengenal sinar mata is-terinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas
panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi
bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"
"Tentu saja tidak. Mari kita berang-kat sekarang juga untuk mencari mere-ka," kata isterinya
penuh semangat.
"Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku
memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kem-bali ke kota raja dan
mencari mereka."
"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu
beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."
"Sian Lun" O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke
kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempu-nyai seorang murid, dan ia
sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap seba-gai anak angkat oleh Suma Ceng
Liong dan Kam Bi Eng itu.
Suami Isteri itu agaknya baru ter-ingat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam lalu berteriak,
"Sian Lun....! Di mana engkau" Kesinilah, nenekmu da-tang!
Dari arah belakang terdengar jawaban "Teecu datang, Subo!" Dan tak lama kemudian
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncullah seorang pemuda re-maja yang gagah perkasa. Pemuda ini biarpun baru berusia
lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang
tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan se-nyum,
akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke
arah nenek Bu Ci Sian.
"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."
Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan
menyuruhnya bangun ber-diri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"
"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. "Harap
Suhu dan Subo maafkan tee-cu. Karena melihat nenek datang bersa-ma tamu, meka teecu
tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."
"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li.
Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini
murid kami bernama Liem Sian Lun."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
228 Dua orang remaja itu berdiri dan sa-ling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di
depan dada sebagai penghor-matan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang
kepada Suma Ceng Liong lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.
"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana" Mengingat dia murid Kakek
den Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Su-siok (Paman Guru)...."
Suma Ceng Liong tertawa. "Memang seharusnya engkau menyebut dia paman, mengingat
bahwa dia murid kami dan
engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, berarti
engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."
Wajah Sian Li berseri. "Aih, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak
Seperguruan)! Memang aku lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit
lebih tua dariku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan daripada menjadi paman dan
keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun.
Semua orang tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghor-matan itu.
"Sumoi...." katanya lirih.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu
Ci Sian, dan akhirnya nenek ini menyetujui bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin
Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau
diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.
Karena Sian Li selalu mengkhawatir-kan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma
Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah me-reka, menuju ke kota raja,
melakukan perjalanan secepatnya.
Akan tetapi, tiga hari kemudian, me-reka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!
Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu
gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa
meninggal-kan jejak. Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di
istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan
jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang
men-dengar bahwa anak mereka dalam keada-an selamat dan kini berada di rumah paman
mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan de-ngan pesta keluarga,
walaupun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung
dan berduka. Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari
mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana
berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang untuk bersembahyang di depan makam mendiang
pendekar sak-ti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.
Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk ikut
dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
229 "Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang
ayahmu" Kini ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku
tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah
ma-kam ayahmu."
Biarpun hatinya merasa berat, terpak-sa Kam Bi Eng meninggalken ibunya seorang diri di
istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Ia kembali ke Cin-an bersama
suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li.
Ada-pun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka
setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka
kembali ke Ta-tung setelah me-reka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun
anak itu belajar ilmu di Cin-an, setiap tahun baru mereka akan datang berkunjung.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pe-muda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas
lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.
Kakek itu menghela napas panjang. "Saat terbebas dari segala penderitaan hidup bagiku telah
tiba. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang
sudah tiba di garis akhirnya."
"Tapi, Suhu....!"
"Hushhh! Tidak senangkah hatimu me-lihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang
mencintamu, terbebas dari hu-kuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini" Inginkah
engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"
Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang
dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan ber-lekuk, alisnya tebal berbentuk
golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan
kelembutan walaupun dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas,
Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan
kuat-kuat itu memperli-hatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau tidak
memperli-hatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja
dan dibiarkan tergantung di belakang punggung. Dilihat sepintas lalu, dia se-orang pemuda
biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda
petani atau pe-muda yang bekerja kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda
bangsa-wan, apalagi terpelajar. Akan tetapi ka-lau orang melihat dengan perhatian, akan
nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya
terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.
Kalau pemuda itu nampak seperti pe-muda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama
sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada
umum-nya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa
tangan! Rambut putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya
seperti sehelai selimut kapas.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
230 Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar
sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya
itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.
Ketika pertama kali memasuki sumur di dalam guha sebelah belakang sarang Thian-li-pang
di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas
tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam
sumur itu selama lima tahun. Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek
yang buntung kaki dan lengannya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah
menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari behwa dia dilatih ilmu silat yang
amat hebat. Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari
ma-nusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempela-jari
ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan
mempergunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.
Dalam waktu empat tahun, Yo Han telah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan
kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu "tari" dan "senam" yang
dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya me-rupakan ilmu silat yang hebat. Dan di
bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan di- perdalam
sehingga matang. Kemudian, setahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu
menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-
kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.
"Bahkan karena ilmu inilah aku disik-sa oleh dua orang Suhengku. Mereka begitu
menginginkan ilmu Bu-kek-hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki
tanganku, dan menyik-saku di dalam sumur. Kini, ilmu itu te-lah kuwariskan kepadamu Yo
Han. Hati-ku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik
Thian-li-pang, dapat mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan
perkumpulan itu sebagai per-kumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan
bangsa." Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han.
Selama setahun barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal
mema-tangkannya melalui latihan saja. Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek
Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biarpun Yo Han sudah membantunya dengan
penggunaan ilmu Bu-kek-hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan
darah dengan menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat, namun ka-rena usia
tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan
sakit-sakitan. Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau
bu-kan dia yang telah menguasai ilmu Bu-kek-hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat
bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!
Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin
payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya pada dada gurunya, tahulah dia bahwa
jantung gurunya be-kerja lemah sekali. Sungguh amat meng-herankan. Ketika gurunya
melatih Bu-kak-hoet-keng, gurunya demiklan penuh semangat dan tidak mengenal lelah. Kini,
seolah-olah tenaganya habis setelah seta-hun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar
ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.
"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita sudah dicengke-ram dan
dipengaruhi oleh peradaban dan tatasusila yang sudah diterima oleh se-mua orang. Bagaimana
mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
231 se-nang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian" Seluruh dunia akan mengutuk
teecu kalau teecu berani me-ngatakan hal seperti itu."
Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku se-jak dulu tahu
bahwa engkau hebat, mu-ridku. Matamu yang ke tiga selalu terbuka sehingga engkau lebih
awas, lebih waspada daripada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan
engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-
ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati
dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!"
kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama
semakin surut dan akhir-nya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.
Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali dan tahulah dia bahwa tubuh itu telah menjadi
mayat. Dia menunduk de-ngan sikap hormat untuk menghormati jenazah suhunya. Dia tidak
menangis, tidak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain, juga karena suhunya
ini, biarpun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhunya tahu
bahwa andaikata dia mena-ngisi kematian suhunya, maka tangisnya itu palsu. Tangisnya itu
bukan bersedih untuk suhunya, melainkan bersedih karena dirinya sendiri, karena ditinggal,
karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak mengang-gap
diri sendiri keterlaluan, tidak me-ngenal budi! Dia tidak menangis, karena memang tidak ada
hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedih-kan. Bahkan kalau dia mau jujur,
ada perasaan lega dalam hatinya bahwa guru-nya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini
bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, ber-arti dia bebas pula
untuk meninggalkan sumur itu!
Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya diletakkan di lantai kamar yang
kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan guha batu dalam sumur itu.
"Engkau tahu, tempat itu amat kusu-kai. Setiap kali melakukan siu-lian (sa-madhi) aku selalu
menggunakan kamar itu. Biarlah aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku,
badanku," de-mikian pesannya. Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal
di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa di jenguk
keluarga maupun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan
membawanya ke dalam guha, merebahkannya di dalam guha itu. Kemudian dia
mengumpulkan semua ba-han yang masih ada, roti dan daging kering, beberapa potong
pakaian, dan dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan
me-masukkan semua itu dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di
punggungnya, dan memasuki guha, berlutut di depan jenazah gurunya.
"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan
sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan
pesan Suhu. Suhu untuk terakhir kalinya, teecu menghatur-kan terima kasih melalui ucapan
yang keluar dari sanubari teecu." Dia membe-ri hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya,
kemudian dia keluar dari dalam guha kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding
sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa co-retan dan lukisan yang dibuat
suhunya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek-
hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang
mendaki tangga saja. De-ngan cepat tibalah dia di dalam guha di atas tanah, guha yang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
232 menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dia mendengar sua-ra orang lapat-lapat dari dalam guha
yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri. Maka, dia pun menanti di guha itu,
duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.
Pertama-tama, dia dipesan untuk per-gi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam
Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang membantu
perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia
menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan dinikahkan dengan seorang
puteri adik Kaisar Kang Hsi. Akan tetapi karena melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji
akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan
menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jende-ral Ciu Kwan menjadi
marah dan mem-beranikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan
dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.
Ciu Kwan yang beristeri seorang pute-ri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang
pertama adalah Ciu Lam Hok, se-dangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng.
Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu ber-darah pendekar dan pembela
rakyat. Biarpun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut
dihukum, namun diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun
meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kai-sar itu diampuni
dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok amat men-cinta adiknya, akan tetapi
terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana,
bah-kan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seo-rang
pahlawan besar.
Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun,
bersama dua orang suheng-nya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang maksudnya
untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah
diceritakan kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suhengnya setelah bergaul dengan
orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai me-nyeleweng
kejalan sesat. Dia menentang mereka dan akhirnya dia disiksa dan menderita selama
bertahun-tahun di da-lam sumur. Seringkali kakek buntung itu mengenang keluarganya dan
dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat
menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena rindunya
maka dia membebankan tugas di pundak muridnya agar setelah muridnya keluar dari dalam
sumur, per-tama-tama Yo Han harus mencari adik-nya yang bernama Ciu Ceng, seorang
puteri, di istana dan mengenal keluarga adiknya itu. Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa
Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih
sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng
de-ngan taruhan nyawa!
"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir untuk adikku, saudara
kandungku yang tunggal itu, ma-ka aku sungguh mengharapkan engkau akan
melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pe-sannya yang
pertama. Pesan ke dua gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi
mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang
mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi
dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu le-nyap dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
233 kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan. Yo Han mendapat tugas untuk
mencari dan me-rampas kembali benda itu yang bukan saja amat penting karena khasiatnya,
juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seo-rang tokoh
besar dunia persilatan.
Adapun pesan ke tiga dari gurunya adalah agar dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-
tangan kotor dan me-ngembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-
orang gagah yang hendak membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan
ke-benaran dan keadilan, tidak dibawa me-nyeleweng seperti sekarang ini.
"Aku tahu, kedua suhengku itu me-nyeleweng setelah mereka bergaul dengan orang-orang
Pek-lian-kauw. Karena itu, Thian-li-pang harus dibersihkan dari pe-ngaruh Pek-lian-kauw dan
menjadi per-kumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-li--
pang masih banyak yang bersih, hanya mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dicengkeram pengaruh Pek-lian-kauw. Bersihkan Thian-li-pang, mu-ridku. Sesungguhnya
untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan
Thian-li-pang, berarti bahwa semua penderitaanku ini tidak sia-sia."
Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini lebih dahulu. Apa pun
resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apa-lagi, dia memang
berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang
lain, dan berusaha untuk melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari penga-ruh
jahat. Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan guha itu men-jauh, dia pun
menyelinap keluar dari guha dan dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang
agaknya se-dang melakukan suatu kegiatan karena berbondong-bondong para anggautanya
menuju ke pekarangan rumah induk. Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa
tentu ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya kalau ada rapat besar yang melibatkan
seluruh anggauta, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah
induk. Dia pun menyusup mendekat dan mengintai.
Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang.
Semua anggauta yang ber-ada di pusat, yang jumlahnya tidak ku-rang dari dua ratus orang,
berkumpul di pekarangan yang luas itu. Anggauta Thian-li-pang tersebar di banyak tempat,
puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang
hadir dalam rapat adalah ke-tua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggauta di
pusat. Pertemuan itu amat penting karena selain dihadiri ketuanya, yaitu Ouw Ban dan
wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini
jarang muncul dan mereka menjadi pena-sehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu
Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, dan suhengnya, yaitu Thian-te Tok-ong yang
selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam guha. Kalau dua orang ini sampai
mun-cul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang
tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua
orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang ber-sama Ang I Moli.
Setelah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang menceritakan
dengan singkat akan kega-galan usaha mereka untuk membunuh para pengeran di Istana.
Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan juga Ang I Moli tokoh Pek-lian-kauw,
ditangkap dan dihukum mati, bersama banyak anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw
yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
234 "Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras
karena hatinya diliputi ke-marahan dan kedukaan atas kematian puteranya. "Kita akan
mengumpulkan ke-kuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar dan seluruh keluarganya!"
Ucapan penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggau-ta Thian-li-
pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk jangan gembira dan setelah sorakan itu
mereda, Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu ter-tawa, "Ha-ha-ha, sungguh gagah sekali
Pangcu dari Thian-li-pang! Memang pen-dapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita takkan
berhasil sebelum kita mem-bunuh Kaisar Kian Liong dan para pa-ngeran. Kalau mereka
terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau dan kita pergunakan kesempatan itu untuk
mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"
Kembali ucapan ini disambut sorakan. "Hancurkan penjajah Mancu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Diam....!"
Semua orang terdiam memandang orang yang mengeluarkan bentakan nya-ring itu. Yang
membentak adalah Ban--tok Mo-ko. Biarpun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga
tahun ini biasa-nya halus dan ramah, namun bentakannya mengandung getaran kuat sehingga
semua orang terdiam dan suasana menjadi he-ning sehingga suaranya terdengar cukup jelas
walaupun suara itu lembut.
"Ouw Ban," kata Ban-tok Mo-ko de-ngan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau
mengemukakan usul baru, sebaik-nya kalau kita membicarakan tentang kedudukanmu sebagai
ketua. Tahukah engkau mengapa sekali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan
Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari guhanya?"
Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan.
"Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."
"Ouw Ban, apakah engkau masih be-lum menyadari kesalahanmu" Sebagai ketua engkau
tidak becus! Semua langkah yang kauambil telah gagal, bahkan me-rugikan Thian-li-pang
yang kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau ma-lah hendak membunuh lebih banyak
murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh me-reka menyerbu istana?"
Ouw Ban nampak penasaran sekali. "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi
perjuangan!"
"Hemm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan
perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu ngawur. Sejak engkau menye-lundupkan Ciang Sun
ke istana, menghu-bungi Siang Hong-houw, engkau banyak melakukan kesalahan yang
merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid buhuh diri
dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali" Ouw Ban, karena engkau muridku, aku
menjadi malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"
Wajah Ouw Ban menjadi merah. Dia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya,
karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan kini guru-nya bahkan
mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang
tokoh Pek-lian-kauw!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
235 Dia teringat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang
pertama yang paling ting-gi kedudukannya, bahkan lebih tinggi da-ri kedudukan gurunya dan
supeknya yang hanya merupakan penasihat!
"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh
kemarahan. "Aku ber-hak memutuskan apa yang harus dilaku-kan oleh Thian-li-pang, dan
aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong!
Tidak ada seorang pun yang boleh meng-halangi rencanaku ini!"
Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan
antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.
"Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam sa-kit hati karena
kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk
kepentingan Thian-li-pang!"
"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi
Ketua Thian-li-pang. Sing-kirkan saja dia dan ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-
ong. Mendengar ini, Ouw Ban menjadi se-makin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan
supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang menden-dam karena kematian
puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka.
Akan tetapi sekarang, melihat keinginan-nya membalas dendam kematian putera-nya
dihalangi, bahkan kedudukannya se-bagai Ketua Thian-li-pang, akan digeser, dia tidak
mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang ka-kek yang sudah tua
renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat
du-duknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.
"Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting,
juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan
paling tepat men-jadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan
ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalah-kan dan merobohkan aku!"
"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini me-mang bejat, Sute! Biar aku yang meng-hajarnya!"
Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang
biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah
maju meng-hadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya,
"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyele-wengannya. Aku
yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima
hukuman!" Akan tetapi Ouw Ban yang sudah ma-rah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah
suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak
kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa
hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
236 "Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk
terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"
"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?" sekali lagi Ban-tok Mo-ko
membentak. "Kalau terpaksa, siapa pun akan ku-lawan. Aku harus mempertahankan ke-dudukanku
sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"
"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu dan tiba-tiba
dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka
dia pun menangkis dan balas menyerang!
Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau
melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan
seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nam-pak bahwa usia tua membuat Ban-tok
Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah
tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan ka-lau Ouw Ban masih giat
bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih ba-nyak bersamadhi dan tidak pernah
ber-latih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat,
namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama
kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!
Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang meng-hindar dari
desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah
merah den dia pun memukul ke depan dengan dorongan ke-dua tangan terbuka. Itulah ilmu
pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-
ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut
dorongan, kedua tangan itu.
"Plakkk!" Dua pasang tangan itu sa-ling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat.
Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan se-bentar saja nampak uap
mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sin--
kang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan
murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang
kalah kuat akan roboh den tewas!
Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kiri-nya menepuk
punggung sutenya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"
Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum
tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw
Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah
darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!
Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang
beberapa kali untuk me-mulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan
berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Sing-kirkan mayat murid murtad itu agar kita
dapat bicara dengan tenang."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
237 Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang.
Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang
murid murtad. Ban-tok Moko lalu berkata ke-pada semua orang dengan suaranya yang lembut. "Para
anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan
disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw
Kang Hui. Kang Hui, kaupimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua
baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya."
Lauw Kang Hui memberi hormat ke-pada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi
semua orang, "Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang
Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua mutid Thian-li-pang
agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Se-karang,
saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk
memilih seorang ketua baru."
Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengu-sulkan agar
masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan
pemilihan di antara para calon itu.
Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua ta-ngan ke atas dan
menggeleng kepalanya. "Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang
membutuhkan bimbing-an orang yang berpengalaman dan ber-ilmu tinggi. Kalau diserahkan
kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan mele-mahkan
perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan
saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau
Suhu Ban-tok Mo-ko!"
Semua orang yang berada di situ me-nyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang,
mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung ada-lah dua orang kakek yang sakti
itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat
membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata, "Ka-mi berdua adalah orang-
orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi un-tuk merepotkan diri mengurus hal-hal
yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya
dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah
terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid
kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wa-kilnya dan para pembantunya. Apakah semua
setuju?" Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para
anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu. Selama
ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah me-nunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk
urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktip dibandingkan suhengnya Ouw Ban
yang telah tewas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua
tangan ke atas, mem-beri isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
238 menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi
hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.
"Harap Suhu dan Supek suka memaaf-kan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan
berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk
mengeluarkan semua pe-rasaan penasaran yang telah lama mene-kan hati teecu."
"Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya ka-lau kita bicara
secara jujur, mengeluar-kan semua isi hati kita. Bicaralah!" kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang Hui lalu menghadapi se-mua anggauta yang mencurahkan perhati-an kepadanya.
"Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya
sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat,
yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang
Thian-li-pang seolah-olah diken-dalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan
kita alami. Oleh kare-na itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai
saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-
lian-kauw sebagai rekan seperjuangan mela-wan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil
jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri."
Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan
pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja
para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw.
Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang
sebaliknya. Tentu saja penda-pat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan
penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri
sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul
pertentangan, yang diuntungkan mengang-gap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap
buruk. Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan
alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai
bicara segera bangkit berdiri dan suaranya ter-dengar lantang.
"Siancai....! Pendapat dari Lauw-pang-cu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa
penasaran sekali! Bukankah sela-ma ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang
setia" Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang.
Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan
membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak
kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang" Sungguh penasaran sekali dan kami
tidak dapat menerima-nya."
"Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pen-deta) harap tenang dan suka mempertim-bangkan
ucapan kami. Selama ini, mendi-ang Suheng Ouw Ban selalu mendengar-kan nasihat Pek-
lian-kauw, bahkan ke-gagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw.
Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencam-puri urusan kami dan mengenai
perjuang-an, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling men-campuri.
Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan
kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka
meninggal-kan pertemuan ini."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
239 Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja
kehilangan Ang I Moli yang merupa-kan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai
akibat kegagalan kerja sa-ma mereka untuk membunuh para pange-ran. Dan sekarang, mereka
diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi," teriak Kui Thian-cu yang
bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak se-makin tua.
Banyak anggauta Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga
nampak gelisah dan penasaran sehingga nampak sikap permusuhan anta-ra dua kelompok
yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang me-nentang.
"Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat,
membantu pemerintah pen-jajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti
penjajah?" teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menan-tang sekali.
"Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?" bentak Lauw
Kang Hui yang sudah marah. Agaknya, perkelahian takkan dapat di-hindarkan lagi,
sedangkan dua orang ka-kek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja
dengan sikap tenang.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka
berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut.
Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengena-kan pakaian yang bersih namun sederhana.
Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula
Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, "Heii, bukankah engkau Yo
Han....?" Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk samb
akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah
ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan di-bagi.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan
hal itu karena mereka tidak menyangka buruk.
Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan
mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-
masing dengan wajah gembira penuh senyum, tiba-tiba terde-ngar seruan nyaring.
"Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!"
Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ter-kejut dan heran
mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari
rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian
dan tarian mereka.
Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sam-bil memberi
hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. "Harap Paduka semua
jangan minum ang-gur itu karena semua cawan telah dira-cuni, kecuali cawan para puteri dan
Pa-ngeran Kian Ban Kok. Semua cawan pa-ngeran lain telah diracuni dan siapa yang minum
anggur itu akan tewas!"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
210 Tentu saja semua orang terkejut bu-kan main mendengar ini dan, otomatis semua orang
meletakkan cawah masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri.
Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi
wanita itu mengatakan bahwa semua pa-ngeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan
menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol
dengan dia kare-na dia sendiri tidak diracuni.
"Perempuan rendah! Engkau hanya se-orang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali
mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau bohong dan akan
kubuktikan." Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih
oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya adalah seorang wanita
Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya,
kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggo-rokannya.
"Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Masih berani eng-kau
mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, telah diracuni?" Bentak Pangeran
Kian Ban Kok, akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat
betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba mengeluar-kan
teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika!
Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik. Melihat
keadean yang kacau ini, Ang I Moli terkejut bukan main. Ia tahu bahwa rahasianya diketahui
wanita ang-gauta rombongan pemusik itu dan akibat-nya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban
Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah
keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung.
Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang I Moli bahwa
menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu ga-gal,
maka jalan satu-satunya hanyalah menggunakan kekerasan membunuhi para pangeran!
Maka,tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia
sembunyikan di balik baju-nya.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggau-ta pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke
depannya dan wanita itu berseru, "Ang I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari
tanganku!" Dan wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian
me-noleh ke arah Suma Ciang Bun dan ber-teriak, "Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong
Li. Cepat lindungi para pange-ran! Ada komplotan pombunuh!"
Pada saat itu, Ang I Moli yang ter-kejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, sudah
menyerangnya dengan tusukan pedang. Namun Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan
membalas de-ngan tamparan tangan kiri yang mengan-dung hawa beracun karena ia
mengguna-kan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.
Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua
orang perajurit penga-wal yang memegang pedang sudah berloncatan untuk menyerang para
pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggauta
Thian-li-pang yang menyamar sebagai perajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting.
"Paman Suma Ciang Bun, cepat sela-matkan para pangeran!" teriak pula Sin Hong.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
211 Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka ta-dinya bingung,
akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang.
Apalagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia lalu
menyambar lengan isterinya.
"Mari kita lindungi mereka!"
Suami isteri ini berloncatan melin-dungi para pangeran yang kelihat bingung dan ketakutan.
Ketika ada perajurit-pe-rajurit pengawal dengan senjata di ta-ngan menyerbu ke arah para
pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat
orang penyerbu.
Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali ketika tadi ia melihat betapa
Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran
lain. Per-maisuri Kaisar ini sama sekali tidak tahu tentang rencana pembunuhan keji terha-dap
para pangeran itu dan begitu kini jatuh korban, tentu saja ia menjadi ter-kejut dan gelisah.
Apalagi ketika para perajurit pengawal yang seharusnya ber-tugas melindungi keselamatan
keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak mem-bunuh para pangeran. Dan ia telah
meli-batkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu! Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-
li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir
penjajah Mancu. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak sedemikian
nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah
mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana.
Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut ber-tanggungjawab karena ialah
yang meneri-ma masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan
pang-lima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala
pelayan dalam pesta itu!
Melihat munculnya seorang wanita dan seorang pria dari rombongan pemusik yang
menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu
agungnya, yaitu Gangga De-wi dan suaminya juga berloncatan melin-dungi para pangeran,
Siang Hong-houw cepat bertindak. "Mari cepat menyingkir ke dalam!" katanya dan ia
bersama para pangeran dan puteri meninggaikan tem-pat yang kini menjadi medan
pertempur-an itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Se-telah semua pangeran dan puteri mema-suki istana bersama Siang Hong-houw, dan
jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami iste-ri itu kembali ke
taman dan ikut mem-bantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari
tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.
Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera
Ketua Thian-li-pang sen-diri, yaitu Ouw Ban, tidak semua ang-gauta Thian-li-pang. Hanya
ada dua puluh orang lebih anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan
Ouw Cun Ki menjadi perajurit pasukan penga-wal. Selebihnya adalah perajurit penga-wal
aseli. Oleh karena itu, ketika para perajurit aseli melihat bahwa pasukan mereka dikepung
oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, mereka
melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka adalah seorang
pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja mereka segera membalik dan
menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadi-lah pertempuran yang berat
sebelah ka-rena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biarpun rata-rata pandai ilmu
silat, dikeroyok banyak sekali lawan.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
212 Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkan, Ouw Cun Ki melompat hendak
melarikan diri. Akan tetapi, nam-pak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah
dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin
Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan
pa-kaian putihnya yang ringkas.
"Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana" Engkau harus mempertanggung-jawabkan
perbuatanmu!" kata Sin Hong.
"Penjilat busuk, anjing penjajah Man-cu!" teriak Ouw Cun Ki dan dia sudah menggunakan
pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.
Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu
bahwa Thian-li-pang adalah per-kumpulan orang jahat yang bersekongkol dengan Pek-lian-
kauw yang berkedok per-juangan namun menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri
sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang,
melainkan dengan para penjahat.
"Jahanam, orang macam engkau yang mengotorkan perjuangan!" bentaknya sambil
mengelak dan membalas dengan tendangan yang biarpun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki,
namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung. Ouw Cun Ki putera
Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah
me-warisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seo-rang tokoh
Thian-li-pang yang berkedu-dukan penting.
Akan tetapi, sekali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang
sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).
Maka, biarpun pe-muda itu memegang pedang dan menye-rang dengan nekat, dalam beberapa
gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang
membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.
Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang I Moli ber-langsung dengan
seru. Kepandaian dua orang wanita ini lebih seimbang diban-dingkan kepandaian antara Sin
Hong dan Ouw Cun Ki. Ang I Moli telah mengua-sai ilmu barunya, yaitu Toat-beng-tok-hiat
(Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan
karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mema-tangkannya. Dan kini
Ang I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan
beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong. Melihat betapa lihainya Kao Hong Li,
Ang I Moli yang mempergunakan pedang di tangan kanan itu, menyelingi serangannya
dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.
Ketika pertama kali Ang I Moli me-nyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang
mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau
mayat, Hong Li mak-lum bahwa dia menghadapi pukulan bera-cun yang berbahaya. Maka, ia
pun cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga
merupakan ilmu pukulan yang mengan-dung hawa beracun. Biarpun tidak seja-hat Toat-beng-
tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
213 "Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, kedua orang wanita itu terdorong ke
belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang I Moli. Setelah
berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan
yang dapat menandingi ilmunya itu!
Sebelum kedua orang wanita ini saling terjang lagi, mendadak nampak bayangan berkelebat
dan Gangga Dewi telah ber-hadapan dengan Ang I Moli.
"Iblis betina Ang I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kausembunyikan Yo Han"
Hayo cepat beritahu atau ter-paksa aku akah menyiksamu untuk me-ngaku!" bentakan
Gangga Dewi ini selain mengejutkan hati Ang I Moli, juga mem-buat Kao Hong Li
memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi ia lihat duduk di sebelah
pamannya, Su-ma Ciang Bun. Dan kini wanita ini me-ngenal Ang I Moli, bahkan menyebut-
nyebut nama Yo Han!
Ang I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan ia tahu akan
kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah
menyamar. "Mampuslah!" bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk. Gang-ga Dewi
memiliki gin-kang yang hebat dan ia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu
dapat dielak-kannya dengan mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak gulungan
sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi
telah membalas dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sab?k itu melun-cur kaku bagaikan
berubah menjadi tong-kat menotok ke arah dada Ang I Moli.
Ang I Moli menangkis dengan pedang-nya, dan tangan kirinya mendorong de-ngan ilmu
yang diandalkannya, yaitu Toat-beng-tok-hiat. Uap putih yang ber-bau busuk menyambar dan
Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan
pukulan beracun yang amat jahat.
"Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!" Kao Hong Li membentak dan ia pun
menerjang maju, sekali ini meng-gunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun
Pasir. Demikian hebat-nya daya serang ilmu ini sehingga Ang I Moli yang memegang pedang
itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke be-lakang.
Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa Kao Hong Li, kepo-nakan
suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun me-mutar sabuk suteranya
dan berseru. "Kao Hong Li, aku adalah isteri pa-manmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari
Bhutan." Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan
keadaan pamannya, Su-ma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita
karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik,
seorang wanita Bhutan. Dan ia pun ter-ingat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
214 seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah de-ngan pendekar Wan Tek hoat,
saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!
"Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?" katanya sambil mengelak dari
sambaran pedang Ang I Moli yang sudah membalas serangannya.
"Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!"
Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang I Moli yang
menjadi sibuk sekali. Meng-hadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk
mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia
kewalahan dan terus mundur.
"Singg....!" Dengan nekat Ang I Moli membacokkan pedangnya ke arah kepala Gangga
Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu
menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat. Ang I Moli terkejut dan berusaha menarik
lepas pedangnya. Namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang
dengan amat kuatnya. Ketika ia bersitegang dan menarik-narik pedangnya agar terlepas, Hong
Li sudah meloncat ke depan dan sekali jari tangannya me-luncur dan menotok, Ang I Moli
roboh terkulai dengan lemas.
Hong Li menginjak perut Ang I Moli dan melihat ini, Gangga Dewi berseru, "Jangan bunuh
dulu!" Hong Li memandang wanita Bhutan itu dan tersenyum. "Bibi, aku tidak ingin
membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, ia harus lebih dulu
mengatakan di mana ia me-nyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau
melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan dimana engkau
menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melain-kan menyerahkan
engkau kepada Liu Ciangkun.
"Aku tidak tahu, aku tidak pernah melihat puterimu," jawab Ang I Moli de-ngan sikapacuh.
Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini
tidak merasa gentar. Selama ia masih hidup, ia takkan pernah putus asa dan menyerah.
"Bohong! Puteriku yang kami tinggal-kan di rumah penginapan itu hilang. Siapa lagi kalau
bukan engkau dan ka-wan-kawanmu yang telah manculiknya" Hayo katakan, di mana ia!"
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak," jawab
Ang I Moli acuh.
"Iblis busuk, engkau patut dihajar!" Hong Li yang amat mengkhawatirkan pu-terinya,
mengangkat tangan hendak me-mukul. Akan tetapi Gangga Dewi me-nyentuh pundaknya.
"Nanti dulu, Hong Li. Ia harus mem-beritahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang I Moli,
engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku mengejarmu
dan mencari-mu, akan tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?"
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
215 Ang I Moli tersenyum mengejek. "Yo Han telah menjadi murid para pimpinan Thian-li-pang
dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah Thian-
li-pang." Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang I Moli kiranya tidak ada
perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melain-kan menyerahkan wanita
itu kepada se-orang perwira untuk dibelenggu dan di-jadikan tawanan.
"Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di
mana pula adanya Yo Han," kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke
dalam per-tempuran. Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan
merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membu-nuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil
selundupan Thian-li-pang ini dibe-lenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan
wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka
dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhir-nya
belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.
Kaisar Kian Liong marah sekali men-dengar bahwa Ouw Cun Ki yang diperca-ya dan diberi
anugerah pangkat tinggi itu ternyata adalah mata-mata pembe-rontak Thian-li-pang yang
diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para pang-limanya untuk menghukum berat
kepada para pemberontak itu, hukum buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya. Biarpun
tidak ada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun
permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang me-ngunjungi
permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan
sakit keras. Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega untuk menegur atau bertanya. Dan
memang penyakit permai-suri itu cukup payah, bahkah pertolongan para tabib tidak dapat
mengurangi pen-deritaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah
dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang. Hampir saja semua pangeran
tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab.
Bahkan kematian Pange-ran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar, Ia merasa
bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam
istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasa-an ini membuat ia
berduka dan menyesal bukan main. Ia memang mendendam ter-hadap pemecintah Mancu
yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa
Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya se-hingga kalau ia
sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan
keluarganya, maka ialah yang berdosa besar. Perasaan ber-salah ini, mendatangkan
penyesalan yang membuat Siang Hong-houw jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya
sehingga beberapa bulan kemudian, Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakit-nya.
Setelah merobohkan banyak orang to-koh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong
Li, dibantu Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, mencoba untuk men-cari keterangan tentang
Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ter-nyata tidak ada seorang pun di antara
mereka tahu tentang dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada
Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharapkan balas jasa sama
sekali. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
216 Mereka berempat keluar dari istana dan saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang per-temuan mereka dengan Yo Han
yang diculik dan dilarikan Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.
"Menurut pengakuan Ang I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada para pimpinan Thian-li-
pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!" kata
Gangga Dewi. "Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu
selain memiliki anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-
kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus ber-hati-hati melakukan penyelidikan."
"Benar sekali apa yang dikatakan Paman Suma Ciang Bun," kata Tan Sin Hong. "Pasukan
pemerintah pun sukar membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan
tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan
ba-nyak orang gagah membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan ge-rakan
menentang pemerintah Mancu."
"Bagi kami, yang terpenting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah
penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw menga-dakan rapat," kata
Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.
"Hemm, memang mencurigakan," kata Suma Ciang Bun. "Siapa lagi kalau bukan mereka
yang menculik anakmu" Akan tetapi, tiada seorang pun di antara me-reka yang kita robohkan
mengakui meli-hat anak itu. Sebaiknya kalau kita men-cari keterangan di rumah penginapan
itu lagi."
Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidik-an.
Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mende-ngar bahwa
pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasa di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di
antaranya terda-pat seorang pengemis tua yang asing. Ketika Sian Li melihat para pengemis
minta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu meng-hampiri Sian
Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, penge-mis itu diberi sepotong uang
perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.
Keterangan itu tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan
isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
"Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan se-tiap orang asing
patut dicurigai," kata Gangga Dewi. Mereka lalu minta kepada tukang masak untuk
menggambarkan ke-adaan pengemis itu.
"Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang.
Memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling."
Demikian kete-rangan yang mereka peroleh.
Empat orang pendekar itu lalu ber-pencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai.
Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya tentang pengemis seperti yang
digembar-kan tukang masak tadi.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
217 Sin Hong sendiri yang akhirnya men-dapatkan keterangan, setelah para penge-mis lain hanya
mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu, seorang di antara
mereka menerangkan bahwa pengemis bongkok itu datang dari selatan dan merupakan
seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan berlaku sewenang--wenang
terhadap para pengemis lainnya. Bahkan Phoa-pangcu, ketua para pengemis di kota Heng-tai,
pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-
wenang itu. "Kau tahu siapa dia?" Sin Hong ber-tanya.
"Dia mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam)," jawab
pengemis itu. "Dan engkau melihat dia bersama se-orang anak perempuan berusia dua belas tahun yang
berpakaian serba merah?" Sin Hong mendesak.
Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apalagi ketika bertemu kembali
dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, tiga orang itu pun sama
sekali tidak menemukan jejak Sian Li.
"Sebaiknya kalian lanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehi-langan anak
itu kepada Adik Suma Ceng Liong," kata Suma Ciang Bun. "Dengan demikian maka dia pun
akan dapat mem-bantu kalian mencari jejak. Kami sendiri akan melanjutkan usaha kami
mencari jejak Sian Li."
Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua
pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi
Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha
mereka mencari jejak Sian Li. Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang
karena menurut pengakuan Ang I Moli, Yo Han kini ber-ada di perkumpulan pemberontak
itu. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
Ke manakah perginya Sian Li" Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia
merasa kesal untuk ber-diam diri di kamarnya saja. Maka, sete-lah menanti dua jam di
kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan
maksud untuk berjalan-jalan menghitang-kan kekesalannya.
Gadis kecil ini tidak tahu bahwa se-jak ia keluar dari dalam kamarnya, se-pasang mata telah
mengikutinya, sepa-sang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan
lain ada-lah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh
tinggi besar bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman. Dia adalah
seorang di antara anak buah Ang I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat. Sejak tadi,
dia menden-dam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus
melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dika-lahkan ibu gadis itu.
Hanya karena takut kepada Ang I Moli saja dia meninggalkan mereka ibu dan anak. Kini,
selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perem-puan berpakaian merah yang manis itu keluar
dari dalam kamarnya, seorang diri pula.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
218 Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat.
Kalau dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan tidak mengurangi kekuatan
penjagaan. Dia harus dapat membalas penasaran dan dandamnya tadi, sekaligus bersenang-
senang. Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya men-jadi
seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ke-tika Sian Li tiba di
tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah pengi-napan.
Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apalagi ketika dia mengenal orang
itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap
dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau ber-teriak,
Hek-bin-houw sudah menubruk dan menyergapnya seperti seekor harimau menubruk
kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah
menotok jalan da-rah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan
tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu
me-manggul tubuh anak perempuan yang sudah tidak mampu meronta itu dan membawanya
loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ
terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan
tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang tak mam-pu bergerak.
"Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam
kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk
ke dalam kuil kosong itu dan dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil
yang tak terpelihara dan kotor. Tem-pat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam para
gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal.
Tiba-tiba nampak sinar yang biarpun hanya kecil akan tetapi karena muncul-nya tiba-tiba dan
di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi se-luruh ruangan dan mengejutkan,
juga menyilaukan mata, Hek-bin-houw terkejut dan menoleh. Kiranya sinar itu adalah nyala
api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel dan kini lilin itu diletakkan di sudut,
di dekat kakek jem-bel yang duduk bersila sambil meman-dang kepada Hek-bin-houw dan
Sian Li dengan sinar mata penuh selidik.
"Ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jem-bel itu.
Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia
dimaki anjing! "Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku" Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti. Hayo cepat
menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut goloknya
dengan sikap mengan-cam.
Kakek jembel itu terkekeh lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan
tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.
"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya" Ha--ha, memang
tepat, engkau memang per-sis anjing bermuka hitam. Dan aku ber-juluk Hek-pang Sin-kai
(Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing
muka hitam."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
219 Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja
diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini. "Jahanam busuk, engkau sudah bosan hidup!"
bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu.
Namun, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu menggerakkan tongkat bututnya
berwarna hitam untuk menangkis.
"Trakkkk....!" Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia ter-kejut sekali
karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besar-nya tenaga yang
terkandung dalam tong-kat hitam itu ketika menangkisnya tadi. Akan tetapi, dasar orang yang
selalu mengandalkan tenaga dan kepandaian sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang
selalu memandang rendah orang lain Hek-bin-houw masih belum mau menya-dari bahwa dia
berhadapan dengan seo-rang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi
semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bong-kok
dapat menandinginya.
"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi
sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.
"Manusia tak tahu diri!" Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi
gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tang-kisan itu membuat
tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan. Hek-bin-houw berteriak dan
goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa
yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya.
Hek-bin-houw ter-kulai roboh dan tidak dapat bangun kem-bali!
"Heh-heh-heh, ada saja jalannya orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu
dan dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mam-pu bergerak. Gadis kecil itu
memandang kepada pengemis yang berdiri menga-matinya dengan mata terbelalak, akan
tetapi sama sekali tidak kelihatan takut.
"Heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas anjing hitam itu menculikmu.
Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak
manis!" Sekali tongkatnya bergerak, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh
Sian Li. Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah
beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi, ia segera dapat berdiri tegak dan
dengan sikap te-gas ia berkata,
"Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."
"Ehh" Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apa engkau lebih suka ikut
dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak
bernyawa lagi. "Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah
Ibuku!" "Tapi, engkau telah kutolong!"
"Aku tidak pernah minta pertolongan-mu."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
220 "Huh, engkau manis tapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang
engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"
"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan. Meli-hat gadis cilik ini
memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Dia
menge-nal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki
tenaga sin-kang yang kuat, maka
ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sin-kang yang mendatangkan
kecepatan dan kekuatan.
"Hayo ikut!" katanya dan tangan kiri-nya menyambar. Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan
ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat,
maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di
lain saat, Sian Li telah tertotok kem-bali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan
hinggap di pundak pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari
cepat di dalam ke-gelapan malam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali kakek pengemis itu telah keluar dari kota Heng-tai
sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota
yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.
Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu" Dia adalah seorang tokoh persilatan yang
terkenal, namun dia ter-masuk tokoh sesat yang suka mengandal-kan kepandaian untuk
memaksakan ke-inginannya dan tidak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena
itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tong-kat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat
walaupun di selatan dia mempunyai per-kumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) dan dia menjadi ketuanya. Karena dia seorang
petualang yang suka berkela-na, maka perkumpulan itu sering ditinggalkannya dan dia
serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.
Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, per-buatan itu dia
lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-
bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menen-tangnya dan menyerangnya. Akan
tetapi, ketika melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel
itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya.
Saking lelahnya, ketika dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan
pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menya-darkannya dan kini, biarpun
tubuhnya ti-dak tampak bergerak, ia depat bersuara dan berulang-ulang ia minta agar kakek
itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan ti-dak
mempedulikannya.
Pagi itu amat sunyi dan Sian Li su-dah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak
tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Per-cuma saja bicara, pikirnya. Saat
itu ma-sih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada
orang, ia akan menjerit minta tolong.
Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan.
Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga agar suaranya
terde-ngar lantang.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
221 "Kakek jahat, lepaskan aku!" teriak-nya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak
kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu
menengok, kemudian nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.
Melihat ini, Sian Li berkata lagi.
"Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku
mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"
"Heh-heh-heh, aku tidak takut ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh
mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.
"Engkau tertawa karena tidak menge-tahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau
akan mati berdiri!" kata pula Sian Li dan ia melihat betapa nenek yang berjalan di belakang
itu memperce-pat langkahnya sehingga jaraknya sema-kin dekat, hanya sepuluh meter saja di
belakangnya. Kembaii kakek jembel itu tertawa bergelak mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya
hanya gertak belaka.
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangu Putih! Dan ibuku ada-lah keturunan
Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa
betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.
"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawa-nya hilang
karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.
"Siapa membual" Ibuku bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga
Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti
dari Istana Pulau Es!"
Kini Hek-pang Sin-kai tidak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bu-kan main
mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa anak ini tidak mungkin membual karena dari mana
anak ini da-pat mengenal nama-nama besar itu" Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia
bahkan menjadi semakin gembira.
"Bagus! Kalau begitu, engkau ketu-runan para pendekar sakti. Engkau pan-tas menjadi
muridku!" katanya gembira dan bangga karena kalau dia dapat me-ngambil murid keturunan
Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya ten-tu akan terangkat tinggi sekali!
Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyam-bar ke arah
kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka
cepat dia mem-balik ke kanan dan menggerakkan tong-kat dan tangan kirinya untuk
menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan berkelebat dan tahu-tahu
tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, telah dirampas orang!
Ketika dia membalik, dia melihat se-orang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan
telah membebasken totok-an atas diri gadis cilik itu. "Anak baik, engkau minggirlah, biar
kubereskan jem-bel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
222 samping. Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di tepi jalan yang masih sunyi itu
sambil memandang kepa-da dua orang tua yang sudah saling ber-hadapan itu dengan hati
tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang
penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.
Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke
arah muka nenek itu. "Ne-nek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani
menentang Hek-pang Sin-kai?"
Nenek itu tersenyum dan sungguh mengagumkan. Nenek yang usianya sedi-kitnya enam
puluh tujuh tahun itu, yang rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak
jauh lebih mu-da karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini di
waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih
ramping padat. Memang ia bukan wanita sembarangan. Ia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari
pendekar Kam Hong yang terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, disamping
sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoi-nya (adik seperguruan) dan telah nee-nguasai
ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sinim (Tiupan Suling
Sakti Sinar Emas). Disamping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek
ini seo-rang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sin-kang ga-bungan
Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari
mendiang Pendekar Super Sakti!
"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai" Sudah lama aku men-dengar akan
nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk
menghajarmu sampai engkau bertaubat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"
"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku menamatkan riwayat
hidupmu." Senyum itu masih belum menghilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti
orang berkabung namun yang rapi dan bersih itu.
"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."
"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tan-pa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah
menerjang dengan tongkat-nya. Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya
saja dia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupa-kan seorang lawan yang tak boleh
dipan-dang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunaken tongkatnya tanpa
peduli bahwa nenek itu bertangan kosong, dan dia pun menyerang dengan jurus--jurus maut
dari ilmu tongkatnya. Tong-kat hitam itu bagaikan seekor ular hidup, meluncur ke depan dan
membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu
melangkah mun-dur untuk menghindarkan diri dari se-rangan ke arah leher itu, ujung tongkat
terus meluncur ke depan karena penge-mis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung
tongkat membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalain darah terpenting
di bagian depan tubuh!
Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut. "Hemm, kejam sungguh!"
Nenek Bu Ci Sian berseru lirih. Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan
tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuh-nya! Ia menggunakan
kelincahan gerakan-nya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun,
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
223 totok-an berikutnya terus mengancam sehingga terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling
dari ikat pinggangnya. Nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi
sehingga menge-jutkan hati Hek-pong Sin-kai. Suara me-lengking yang keluar dari suling
yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan
cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi diri dari suara itu, akan tetapi
serangannya menjadi gagal.
Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikut-nya. Akan
tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian
jauh lebih tinggi darinya! Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas
bergulung-gulung menyilauhan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bi-ngung karena
selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak
serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar
dengan ancaman dahsyat, juga selalu me-ngeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya!
Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-
siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.
Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walaupun dahulu di waktu mudanya ia
terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tak me-ngenal ampun terhadap para
penjahat. Setelah ia menjadi isteri suhengnya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi
lembut dan tidak kejam untuk me-lakukan pembunuhan. Walaupun ia tahu bahwa yang
dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia
menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan mampu merobohkan dan
menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, kini ia hanya menggunakan sulingnya untuk
me-ngepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul ti-dak terlalu
keras ke arah pundak, pung-gung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang
digebuki ibunya! Maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-
kai lalu meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba dia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya
yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersu-dut dan kalah. Selain
untuk dapat me-nyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu
di-pergunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran. Tongkat
meluncur dengan kecepatan se-perti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek
Bu Ci Sian. "Hemm....!" Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat dan
begitu tongkat yang melun-cur itu bertemu suling, suling diputar dan tongkat itu berputaran
menempel pada suling.
"Hyaaattt....!" Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang sudah terputar-
putar melekat pada suling itu tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang sudah
melarikan diri! Akan tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu
dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang! Kakek
jembel itu mengeluarkan teriakan kesa-kitan. Akan tetapi saking takut kalau dikejar dan
dibunuh, dia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang
menembus paha kirinya.
Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertan-dingan itu dan diam-diam ia merasa gi-rang bahwa
nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat
nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
224 "Nek, kenapa tidak kaubunuh saja ka-kek jembel jahat itu?"
Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dan alisnya berkerut. "Kenapa
dibunuh?" tanyanya.
"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau membebaskan mereka yang akan
menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah m-embiarkan dia pergi. Tentu
dia akan men-celakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut
bersalah, Nek."
Nenek Bu Ci Sian terbetalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga ga-lak dan tak kenal
ampun terhadap orang jahat. Ia tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.
"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui"
Sian Li memandang tajam, "Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"
"Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma
Ceng Liong?"
"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon
guruku." "Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakan itu.
"Engkau menjadi muridnya" Bagaimana pula ini?"
"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah eng-kau, Nek?"
Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan berhati-hati. "Engkau
sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya."
"Tentu saja. Nenek Kam Bi amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin
Liong dan kami bertemu disana,
"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."
"Aih, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" kata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil
berlutut. Nenek itu girang sekali, mengangkat bangun anak itu, dan memeluknya. "Eng-kau bahkan
sudah mengenal saudaraku?"
"Tentu saja. Sejak kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut
Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru
aku melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah
mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."
"Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah
ibumu." Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
225 Sian Li menceritakan tentang penga-laman ia dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang
persekutuan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena
Sian Li memang cerdik dan ia sudah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan
jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.
"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu menghadapi urusan besar yang menyang-kut keselamatan
keluarga Kaisar. Pantas saja engkau dicullk orang dan tidak ke-betulan, yang menolongmu
juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang
me-nuntunku pagi-pagi ini lewat di sini se-hingga dapat melihat engkau dalam ta-wanan
penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan
menjadi calon gurumu?"
"Sebetulnya, aku bersama Ayah Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena
sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah
dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke
kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."
"Aih, begitukah" Bagus sekali kalau begitu. Aku sendiri sedang dalam perja-lanan menuju ke
rumah anak dan mantuku itu."
"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan men-jadi bingung.
Sebaiknya kalau kita kemba-li dulu ke Heng-tai dan...."
"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-
li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu den mereka mengeroyokku,
bagaimana aku akan mampu melindungimu?"
"Aku tidak takut, Nek."
"Bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari
bahaya, apakah kita harus mendatangi bahaya lagi dan membiarkan engkau tertawan musuh"
Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah seka-li. Sebaiknya, mari kuantar engkau ke
Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang
akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan
berkunjung ke Ta-tung untuk memberitahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."
Akhirnya Sian Li menurut karena ba-gaimanapun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang
akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka ke Cin-an dan me-reka diterima dengan
penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan Isterinya, Kam Bi Eng.
"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah ne-nek itu menjadi murung. Inilah yang dikhawatirkannya,
namun sejak tadi dita-han-tahannya. Ia seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir
bahwa anaknya yang akan menderita duka.
"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi
murung setelah ia berta-nya tentang ayahnya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
226 Nenek itu menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"
"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu kita memperingati
ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" kata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya
dengan khawatir.
"Engkau benar. Usianya sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan
tenang sebulan yang lalu...."
"Ibuuuu....!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu,
kenapa...." Kenapa Ibu diam saja" Kenapa aku tidak diberitahu?" Ia bertanya di antara ratap
tangisnya. Nenek itu tidak ikut menangis, me-lainkan tersenyum lembut sehingga anak-nya merasa
heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu
bertanya dengan hati-ha-ti, "Akan tetapi, Ibu, kenapa kami tidak diberitahu tentang kematian
Ayah?" Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya. "Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini
semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan agar begitu dia menghembuskan napas
terakhir, aku se-gera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya.
Ini pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya
kepadamu setelah lewat satu bulan."
"Tapi.... tapi mengapa....?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.
"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikir-annya. Dia tidak
ingin jenazahnya dibiar-kan berminggu atau berhari-hari, membu-suk sebelum dikubur. Dia
juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut penda-patnya, orang yang meratapi yang
mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri.
Dapat dibayangkan betapa sedihku ketika terpaksa memenuhi permintaan terakhir-nya itu,
menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri para
tetangga saja. Sampai ma-tinya, ayahmu ingin sederhana, memper-lihatkan kerendahan
hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."
Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk
menangis lagi. Ia me-rangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau be-gitu, kami akan pergi ke
makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada
ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu" Apakah Ibu yang singgah di
rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"
"Panjang ceritanya," kata nenek itu.
"Secara kebetulan saja aku bertemu de-ngan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang
sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."
Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
227 Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau
Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan
Hong Li tentu menghadapi bahaya karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw
banyak yang lihai."
"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mere-ka?" tanya Bi Eng
sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.
Ceng Liong mengenal sinar mata is-terinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas
panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi
bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"
"Tentu saja tidak. Mari kita berang-kat sekarang juga untuk mencari mere-ka," kata isterinya
penuh semangat.
"Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku
memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kem-bali ke kota raja dan
mencari mereka."
"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu
beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."
"Sian Lun" O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke
kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempu-nyai seorang murid, dan ia
sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap seba-gai anak angkat oleh Suma Ceng
Liong dan Kam Bi Eng itu.
Suami Isteri itu agaknya baru ter-ingat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam lalu berteriak,
"Sian Lun....! Di mana engkau" Kesinilah, nenekmu da-tang!
Dari arah belakang terdengar jawaban "Teecu datang, Subo!" Dan tak lama kemudian
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncullah seorang pemuda re-maja yang gagah perkasa. Pemuda ini biarpun baru berusia
lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang
tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan se-nyum,
akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke
arah nenek Bu Ci Sian.
"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."
Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan
menyuruhnya bangun ber-diri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"
"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. "Harap
Suhu dan Subo maafkan tee-cu. Karena melihat nenek datang bersa-ma tamu, meka teecu
tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."
"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li.
Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini
murid kami bernama Liem Sian Lun."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
228 Dua orang remaja itu berdiri dan sa-ling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di
depan dada sebagai penghor-matan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang
kepada Suma Ceng Liong lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.
"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana" Mengingat dia murid Kakek
den Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Su-siok (Paman Guru)...."
Suma Ceng Liong tertawa. "Memang seharusnya engkau menyebut dia paman, mengingat
bahwa dia murid kami dan
engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, berarti
engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."
Wajah Sian Li berseri. "Aih, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak
Seperguruan)! Memang aku lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit
lebih tua dariku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan daripada menjadi paman dan
keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun.
Semua orang tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghor-matan itu.
"Sumoi...." katanya lirih.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu
Ci Sian, dan akhirnya nenek ini menyetujui bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin
Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau
diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.
Karena Sian Li selalu mengkhawatir-kan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma
Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah me-reka, menuju ke kota raja,
melakukan perjalanan secepatnya.
Akan tetapi, tiga hari kemudian, me-reka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!
Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu
gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa
meninggal-kan jejak. Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di
istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan
jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang
men-dengar bahwa anak mereka dalam keada-an selamat dan kini berada di rumah paman
mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan de-ngan pesta keluarga,
walaupun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung
dan berduka. Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari
mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana
berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang untuk bersembahyang di depan makam mendiang
pendekar sak-ti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.
Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk ikut
dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
229 "Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang
ayahmu" Kini ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku
tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah
ma-kam ayahmu."
Biarpun hatinya merasa berat, terpak-sa Kam Bi Eng meninggalken ibunya seorang diri di
istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Ia kembali ke Cin-an bersama
suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li.
Ada-pun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka
setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka
kembali ke Ta-tung setelah me-reka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun
anak itu belajar ilmu di Cin-an, setiap tahun baru mereka akan datang berkunjung.
*** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pe-muda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas
lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.
Kakek itu menghela napas panjang. "Saat terbebas dari segala penderitaan hidup bagiku telah
tiba. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang
sudah tiba di garis akhirnya."
"Tapi, Suhu....!"
"Hushhh! Tidak senangkah hatimu me-lihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang
mencintamu, terbebas dari hu-kuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini" Inginkah
engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"
Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang
dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan ber-lekuk, alisnya tebal berbentuk
golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan
kelembutan walaupun dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas,
Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan
kuat-kuat itu memperli-hatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau tidak
memperli-hatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja
dan dibiarkan tergantung di belakang punggung. Dilihat sepintas lalu, dia se-orang pemuda
biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda
petani atau pe-muda yang bekerja kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda
bangsa-wan, apalagi terpelajar. Akan tetapi ka-lau orang melihat dengan perhatian, akan
nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya
terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.
Kalau pemuda itu nampak seperti pe-muda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama
sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada
umum-nya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa
tangan! Rambut putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya
seperti sehelai selimut kapas.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
230 Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar
sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya
itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.
Ketika pertama kali memasuki sumur di dalam guha sebelah belakang sarang Thian-li-pang
di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas
tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam
sumur itu selama lima tahun. Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek
yang buntung kaki dan lengannya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah
menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari behwa dia dilatih ilmu silat yang
amat hebat. Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari
ma-nusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempela-jari
ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan
mempergunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.
Dalam waktu empat tahun, Yo Han telah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan
kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu "tari" dan "senam" yang
dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya me-rupakan ilmu silat yang hebat. Dan di
bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan di- perdalam
sehingga matang. Kemudian, setahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu
menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-
kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.
"Bahkan karena ilmu inilah aku disik-sa oleh dua orang Suhengku. Mereka begitu
menginginkan ilmu Bu-kek-hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki
tanganku, dan menyik-saku di dalam sumur. Kini, ilmu itu te-lah kuwariskan kepadamu Yo
Han. Hati-ku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik
Thian-li-pang, dapat mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan
perkumpulan itu sebagai per-kumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan
bangsa." Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han.
Selama setahun barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal
mema-tangkannya melalui latihan saja. Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek
Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biarpun Yo Han sudah membantunya dengan
penggunaan ilmu Bu-kek-hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan
darah dengan menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat, namun ka-rena usia
tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan
sakit-sakitan. Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau
bu-kan dia yang telah menguasai ilmu Bu-kek-hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat
bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!
Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin
payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya pada dada gurunya, tahulah dia bahwa
jantung gurunya be-kerja lemah sekali. Sungguh amat meng-herankan. Ketika gurunya
melatih Bu-kak-hoet-keng, gurunya demiklan penuh semangat dan tidak mengenal lelah. Kini,
seolah-olah tenaganya habis setelah seta-hun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar
ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.
"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita sudah dicengke-ram dan
dipengaruhi oleh peradaban dan tatasusila yang sudah diterima oleh se-mua orang. Bagaimana
mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
231 se-nang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian" Seluruh dunia akan mengutuk
teecu kalau teecu berani me-ngatakan hal seperti itu."
Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku se-jak dulu tahu
bahwa engkau hebat, mu-ridku. Matamu yang ke tiga selalu terbuka sehingga engkau lebih
awas, lebih waspada daripada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan
engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-
ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati
dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!"
kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama
semakin surut dan akhir-nya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.
Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali dan tahulah dia bahwa tubuh itu telah menjadi
mayat. Dia menunduk de-ngan sikap hormat untuk menghormati jenazah suhunya. Dia tidak
menangis, tidak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain, juga karena suhunya
ini, biarpun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhunya tahu
bahwa andaikata dia mena-ngisi kematian suhunya, maka tangisnya itu palsu. Tangisnya itu
bukan bersedih untuk suhunya, melainkan bersedih karena dirinya sendiri, karena ditinggal,
karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak mengang-gap
diri sendiri keterlaluan, tidak me-ngenal budi! Dia tidak menangis, karena memang tidak ada
hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedih-kan. Bahkan kalau dia mau jujur,
ada perasaan lega dalam hatinya bahwa guru-nya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini
bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, ber-arti dia bebas pula
untuk meninggalkan sumur itu!
Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya diletakkan di lantai kamar yang
kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan guha batu dalam sumur itu.
"Engkau tahu, tempat itu amat kusu-kai. Setiap kali melakukan siu-lian (sa-madhi) aku selalu
menggunakan kamar itu. Biarlah aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku,
badanku," de-mikian pesannya. Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal
di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa di jenguk
keluarga maupun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan
membawanya ke dalam guha, merebahkannya di dalam guha itu. Kemudian dia
mengumpulkan semua ba-han yang masih ada, roti dan daging kering, beberapa potong
pakaian, dan dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan
me-masukkan semua itu dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di
punggungnya, dan memasuki guha, berlutut di depan jenazah gurunya.
"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan
sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan
pesan Suhu. Suhu untuk terakhir kalinya, teecu menghatur-kan terima kasih melalui ucapan
yang keluar dari sanubari teecu." Dia membe-ri hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya,
kemudian dia keluar dari dalam guha kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding
sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa co-retan dan lukisan yang dibuat
suhunya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek-
hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang
mendaki tangga saja. De-ngan cepat tibalah dia di dalam guha di atas tanah, guha yang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
232 menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dia mendengar sua-ra orang lapat-lapat dari dalam guha
yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri. Maka, dia pun menanti di guha itu,
duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.
Pertama-tama, dia dipesan untuk per-gi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam
Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang membantu
perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia
menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan dinikahkan dengan seorang
puteri adik Kaisar Kang Hsi. Akan tetapi karena melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji
akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan
menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jende-ral Ciu Kwan menjadi
marah dan mem-beranikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan
dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.
Ciu Kwan yang beristeri seorang pute-ri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang
pertama adalah Ciu Lam Hok, se-dangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng.
Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu ber-darah pendekar dan pembela
rakyat. Biarpun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut
dihukum, namun diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun
meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kai-sar itu diampuni
dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok amat men-cinta adiknya, akan tetapi
terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana,
bah-kan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seo-rang
pahlawan besar.
Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun,
bersama dua orang suheng-nya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang maksudnya
untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah
diceritakan kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suhengnya setelah bergaul dengan
orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai me-nyeleweng
kejalan sesat. Dia menentang mereka dan akhirnya dia disiksa dan menderita selama
bertahun-tahun di da-lam sumur. Seringkali kakek buntung itu mengenang keluarganya dan
dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat
menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena rindunya
maka dia membebankan tugas di pundak muridnya agar setelah muridnya keluar dari dalam
sumur, per-tama-tama Yo Han harus mencari adik-nya yang bernama Ciu Ceng, seorang
puteri, di istana dan mengenal keluarga adiknya itu. Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa
Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih
sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng
de-ngan taruhan nyawa!
"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir untuk adikku, saudara
kandungku yang tunggal itu, ma-ka aku sungguh mengharapkan engkau akan
melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pe-sannya yang
pertama. Pesan ke dua gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi
mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang
mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi
dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu le-nyap dan
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
233 kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan. Yo Han mendapat tugas untuk
mencari dan me-rampas kembali benda itu yang bukan saja amat penting karena khasiatnya,
juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seo-rang tokoh
besar dunia persilatan.
Adapun pesan ke tiga dari gurunya adalah agar dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-
tangan kotor dan me-ngembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-
orang gagah yang hendak membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan
ke-benaran dan keadilan, tidak dibawa me-nyeleweng seperti sekarang ini.
"Aku tahu, kedua suhengku itu me-nyeleweng setelah mereka bergaul dengan orang-orang
Pek-lian-kauw. Karena itu, Thian-li-pang harus dibersihkan dari pe-ngaruh Pek-lian-kauw dan
menjadi per-kumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-li--
pang masih banyak yang bersih, hanya mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dicengkeram pengaruh Pek-lian-kauw. Bersihkan Thian-li-pang, mu-ridku. Sesungguhnya
untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan
Thian-li-pang, berarti bahwa semua penderitaanku ini tidak sia-sia."
Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini lebih dahulu. Apa pun
resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apa-lagi, dia memang
berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang
lain, dan berusaha untuk melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari penga-ruh
jahat. Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan guha itu men-jauh, dia pun
menyelinap keluar dari guha dan dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang
agaknya se-dang melakukan suatu kegiatan karena berbondong-bondong para anggautanya
menuju ke pekarangan rumah induk. Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa
tentu ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya kalau ada rapat besar yang melibatkan
seluruh anggauta, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah
induk. Dia pun menyusup mendekat dan mengintai.
Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang.
Semua anggauta yang ber-ada di pusat, yang jumlahnya tidak ku-rang dari dua ratus orang,
berkumpul di pekarangan yang luas itu. Anggauta Thian-li-pang tersebar di banyak tempat,
puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang
hadir dalam rapat adalah ke-tua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggauta di
pusat. Pertemuan itu amat penting karena selain dihadiri ketuanya, yaitu Ouw Ban dan
wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini
jarang muncul dan mereka menjadi pena-sehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu
Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, dan suhengnya, yaitu Thian-te Tok-ong yang
selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam guha. Kalau dua orang ini sampai
mun-cul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang
tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua
orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang ber-sama Ang I Moli.
Setelah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang menceritakan
dengan singkat akan kega-galan usaha mereka untuk membunuh para pengeran di Istana.
Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan juga Ang I Moli tokoh Pek-lian-kauw,
ditangkap dan dihukum mati, bersama banyak anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw
yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
234 "Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras
karena hatinya diliputi ke-marahan dan kedukaan atas kematian puteranya. "Kita akan
mengumpulkan ke-kuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar dan seluruh keluarganya!"
Ucapan penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggau-ta Thian-li-
pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk jangan gembira dan setelah sorakan itu
mereda, Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu ter-tawa, "Ha-ha-ha, sungguh gagah sekali
Pangcu dari Thian-li-pang! Memang pen-dapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita takkan
berhasil sebelum kita mem-bunuh Kaisar Kian Liong dan para pa-ngeran. Kalau mereka
terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau dan kita pergunakan kesempatan itu untuk
mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"
Kembali ucapan ini disambut sorakan. "Hancurkan penjajah Mancu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Diam....!"
Semua orang terdiam memandang orang yang mengeluarkan bentakan nya-ring itu. Yang
membentak adalah Ban--tok Mo-ko. Biarpun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga
tahun ini biasa-nya halus dan ramah, namun bentakannya mengandung getaran kuat sehingga
semua orang terdiam dan suasana menjadi he-ning sehingga suaranya terdengar cukup jelas
walaupun suara itu lembut.
"Ouw Ban," kata Ban-tok Mo-ko de-ngan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau
mengemukakan usul baru, sebaik-nya kalau kita membicarakan tentang kedudukanmu sebagai
ketua. Tahukah engkau mengapa sekali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan
Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari guhanya?"
Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan.
"Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."
"Ouw Ban, apakah engkau masih be-lum menyadari kesalahanmu" Sebagai ketua engkau
tidak becus! Semua langkah yang kauambil telah gagal, bahkan me-rugikan Thian-li-pang
yang kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau ma-lah hendak membunuh lebih banyak
murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh me-reka menyerbu istana?"
Ouw Ban nampak penasaran sekali. "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi
perjuangan!"
"Hemm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan
perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu ngawur. Sejak engkau menye-lundupkan Ciang Sun
ke istana, menghu-bungi Siang Hong-houw, engkau banyak melakukan kesalahan yang
merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid buhuh diri
dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali" Ouw Ban, karena engkau muridku, aku
menjadi malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"
Wajah Ouw Ban menjadi merah. Dia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya,
karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan kini guru-nya bahkan
mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang
tokoh Pek-lian-kauw!
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
235 Dia teringat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang
pertama yang paling ting-gi kedudukannya, bahkan lebih tinggi da-ri kedudukan gurunya dan
supeknya yang hanya merupakan penasihat!
"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh
kemarahan. "Aku ber-hak memutuskan apa yang harus dilaku-kan oleh Thian-li-pang, dan
aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong!
Tidak ada seorang pun yang boleh meng-halangi rencanaku ini!"
Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan
antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.
"Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam sa-kit hati karena
kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk
kepentingan Thian-li-pang!"
"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi
Ketua Thian-li-pang. Sing-kirkan saja dia dan ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-
ong. Mendengar ini, Ouw Ban menjadi se-makin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan
supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang menden-dam karena kematian
puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka.
Akan tetapi sekarang, melihat keinginan-nya membalas dendam kematian putera-nya
dihalangi, bahkan kedudukannya se-bagai Ketua Thian-li-pang, akan digeser, dia tidak
mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang ka-kek yang sudah tua
renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat
du-duknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.
"Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting,
juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan
paling tepat men-jadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan
ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalah-kan dan merobohkan aku!"
"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini me-mang bejat, Sute! Biar aku yang meng-hajarnya!"
Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang
biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah
maju meng-hadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya,
"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyele-wengannya. Aku
yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima
hukuman!" Akan tetapi Ouw Ban yang sudah ma-rah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah
suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak
kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa
hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
236 "Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk
terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"
"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?" sekali lagi Ban-tok Mo-ko
membentak. "Kalau terpaksa, siapa pun akan ku-lawan. Aku harus mempertahankan ke-dudukanku
sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"
"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu dan tiba-tiba
dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka
dia pun menangkis dan balas menyerang!
Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau
melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan
seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nam-pak bahwa usia tua membuat Ban-tok
Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah
tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan ka-lau Ouw Ban masih giat
bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih ba-nyak bersamadhi dan tidak pernah
ber-latih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat,
namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama
kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!
Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang meng-hindar dari
desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah
merah den dia pun memukul ke depan dengan dorongan ke-dua tangan terbuka. Itulah ilmu
pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-
ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut
dorongan, kedua tangan itu.
"Plakkk!" Dua pasang tangan itu sa-ling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat.
Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan se-bentar saja nampak uap
mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sin--
kang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan
murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang
kalah kuat akan roboh den tewas!
Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kiri-nya menepuk
punggung sutenya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"
Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum
tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw
Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah
darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!
Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang
beberapa kali untuk me-mulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan
berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Sing-kirkan mayat murid murtad itu agar kita
dapat bicara dengan tenang."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
237 Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang.
Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang
murid murtad. Ban-tok Moko lalu berkata ke-pada semua orang dengan suaranya yang lembut. "Para
anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan
disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw
Kang Hui. Kang Hui, kaupimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua
baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya."
Lauw Kang Hui memberi hormat ke-pada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi
semua orang, "Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang
Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua mutid Thian-li-pang
agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Se-karang,
saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk
memilih seorang ketua baru."
Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengu-sulkan agar
masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan
pemilihan di antara para calon itu.
Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua ta-ngan ke atas dan
menggeleng kepalanya. "Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang
membutuhkan bimbing-an orang yang berpengalaman dan ber-ilmu tinggi. Kalau diserahkan
kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan mele-mahkan
perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan
saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau
Suhu Ban-tok Mo-ko!"
Semua orang yang berada di situ me-nyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang,
mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung ada-lah dua orang kakek yang sakti
itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat
membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata, "Ka-mi berdua adalah orang-
orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi un-tuk merepotkan diri mengurus hal-hal
yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya
dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah
terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid
kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wa-kilnya dan para pembantunya. Apakah semua
setuju?" Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para
anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu. Selama
ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah me-nunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk
urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktip dibandingkan suhengnya Ouw Ban
yang telah tewas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua
tangan ke atas, mem-beri isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
238 menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi
hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.
"Harap Suhu dan Supek suka memaaf-kan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan
berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk
mengeluarkan semua pe-rasaan penasaran yang telah lama mene-kan hati teecu."
"Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya ka-lau kita bicara
secara jujur, mengeluar-kan semua isi hati kita. Bicaralah!" kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang Hui lalu menghadapi se-mua anggauta yang mencurahkan perhati-an kepadanya.
"Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya
sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat,
yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang
Thian-li-pang seolah-olah diken-dalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan
kita alami. Oleh kare-na itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai
saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-
lian-kauw sebagai rekan seperjuangan mela-wan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil
jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri."
Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan
pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja
para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw.
Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang
sebaliknya. Tentu saja penda-pat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan
penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri
sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul
pertentangan, yang diuntungkan mengang-gap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap
buruk. Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan
alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai
bicara segera bangkit berdiri dan suaranya ter-dengar lantang.
"Siancai....! Pendapat dari Lauw-pang-cu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa
penasaran sekali! Bukankah sela-ma ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang
setia" Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang.
Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan
membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak
kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang" Sungguh penasaran sekali dan kami
tidak dapat menerima-nya."
"Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pen-deta) harap tenang dan suka mempertim-bangkan
ucapan kami. Selama ini, mendi-ang Suheng Ouw Ban selalu mendengar-kan nasihat Pek-
lian-kauw, bahkan ke-gagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw.
Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencam-puri urusan kami dan mengenai
perjuang-an, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling men-campuri.
Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan
kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka
meninggal-kan pertemuan ini."
Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
239 Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja
kehilangan Ang I Moli yang merupa-kan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai
akibat kegagalan kerja sa-ma mereka untuk membunuh para pange-ran. Dan sekarang, mereka
diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.
Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi," teriak Kui Thian-cu yang
bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak se-makin tua.
Banyak anggauta Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga
nampak gelisah dan penasaran sehingga nampak sikap permusuhan anta-ra dua kelompok
yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang me-nentang.
"Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat,
membantu pemerintah pen-jajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti
penjajah?" teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menan-tang sekali.
"Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?" bentak Lauw
Kang Hui yang sudah marah. Agaknya, perkelahian takkan dapat di-hindarkan lagi,
sedangkan dua orang ka-kek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja
dengan sikap tenang.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka
berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut.
Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengena-kan pakaian yang bersih namun sederhana.
Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula
Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, "Heii, bukankah engkau Yo
Han....?" Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk samb