Pencarian

Pendekar Kelana 10

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


hat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing!
"Bhe Song Ci, apa yang kaulakukan ini" Sadarlah!" bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat.
Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih tetap menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, ma mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song Ci terkulai, rebah dan membelalakkan matanya. "Kenapa kalian merobohkan aku?" Dia seperti orang sehabis bangun tidur dan melihat adiknya itu sudah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit. Dia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya mengapa kakak-kakaknya menotoknya. Dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu. Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga memiliki pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk memainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.
"Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?" Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan. Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apalagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong.
Akan tetapi, sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan puteri pendekar besar Tang Hay yang biarpun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan mengelak dengan cepat dari sambaran pedang yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu iapun dapat mengukur kepandaiannya. Memang lawannya bukan orang biasa dan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia tahu pula bahwa ia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka iapun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka!
Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ia menjadi terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah tetap hampir mengenai sasaran, akan tetapi selalu luput! Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Kedua kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser ke sana sini, akan tetapi selalu serangan pedang lawannya dapat dielakkan dengan mudah!
Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Gadis itu kelihatan olehnya, seperti menanti datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci menyerang terus, kini mengerhkan seluruh tenaganya sehingga serangannya semakin kuat dan cepat.
"Haiiiitttt?"!" Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya dansebelum dia dapat sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan menendang dari belakang.
"Bukkk!" Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.
"Mampuslah!" Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut. Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan menggunakan ilmu meringankan tubuh dan mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan main. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkangnya dalam tendangannya.
"Dess"..!!" Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.
Sementara itu Si Kong mendekati Hui Lan dan berbisik, "Mereka inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian, yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok mendiang suhu Ceng Lojin."
Mendengar ini, Hui Lan mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi kemerahan, kedua tangannya bergerak kepunggung dan di lain saat ia sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluar sinar menyeramkan dan berwarna hitam. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) memang berwarna hitam dan pedang pusaka ini merupakan pedang yang ampuh sekali.
"Jadi kalian inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian" Kalian yang dahulu bersama Toa Ok dan Ji Ok menyerbu Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin" Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!"
Lima orang itu terkejut mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas ia demikian lihai, dan lima orang itu diam-diam merasa gentar juga. Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau Teratai Merah di mana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu dan mereka semua terluka dalam yang cukup hebat sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya.
Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima. Bagaimanapun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belumm berpengalaman.
"Serbu! Bunuh bocah sombong ini!" Bentak Ciok Khi. Mendengar perintah in, Sia Leng Tek, orang kedua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu Cong Boan, orang ketiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui Lan. Di lihat keadaannya seolah-olah seekor domba muda yang lunak dagingnya dikepung oleh lima ekor srigala yang kelaparan dan haus!
Hui Lan tidak menjadi gentar dan kembali ia mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak, "Kalian berlima berlututlah!" Mendengar bentakan ini, dua diantara mereka menekuk lututnya, akan tetapi mereka segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka. Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat. Diantara ilmu-ilmu yang di ajarkan ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling lemah. Maka melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, iapun sudah siap dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada.
Melihat gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia menanggalkan caping yang tadi menutup kepalanya dan berkata, "Ha-ha-ha, kalin berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini berlima mengeroyok seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak Tahu Malu!"
Setelah berkata demikian, dia memungut sebatang kayu ranting pohon dan sekali melompat, dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap dengan tongkatnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya.
"Lan-moi, jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang," bisik Si Kong. Hui Lan yang tadinya sudah marah sekali mendengar bahwa lima orang itu yang mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat ia berkeinginan untuk membunuh mereka, kini mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar dan iapun mengangguk dan berbisik kembali.
"Baiklah, Kong-ko."
Lega rasa hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu, kini tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui kelihaiannya, maka orang pertama, kedua dan ketiga menghadapi Hui Lan, sedangkan Si Kong dilawan oleh orang keempat dan kelima.
Belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak berani maju dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu.
Akan tetapi pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka keroyok. Biarpun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, namun pedang mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap pedang mereka bertemu tongkat, mereka merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka.
Keadaan Hui Lan lain lagi. Biarpun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat ia dihujani serangan dan kedua pedangnya menjadu senjata untuk mempertahankan diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi, tiga orang pengeroyok itupun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi penasaran dan mendesak terus.
Sambil melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya ke arah Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong segera mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing) yang dimainkan berubah dengan desakan yang kuat kepada dua orang pengeroyoknya. Dua orang itu terkejut, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat itu menghantam lututt kiri si gendut Bwa Koan Si dan alam detik lain memukul pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan. Bwa Koan Si memgang sebelah kakinya yang terpukul dan berloncat-loncatan, tidak memperulikan lagi pedang yang dilepaskannya karena tangan kanan sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan m ain neyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya. Sedangkan Bhe Song Ci terpaksa melepaskan pednagnya karena pundaknya yang terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Diapun mengeluh kesakitan sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi.
Si Kong tidak lagi memperdulikan dua orang itu dan dia sudah menyerbu ke arah tiga orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya, kepungan iti menjadi kacau balau. Ciok Khi, orang pertama yang mukanya bopeng, melihat betapa dua orang rekannya telah kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Diam-diam ia terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis! Maka ia memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, sedangkan dia sendiri masih menyerang Hui Lan dengan ganasnya.
Akan tetapi, dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Maka, setelah seorang dari dia melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat! Semua serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya. Ciok Khi merupakan orang tertua dan terlihai diantara lima orang Bu-tek Ngo-sian. Dia merasa amat penasaran karena tidak dapat mengalahkan seorang gadis. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya.
Pertandingan antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong segera memainkan TA-kau Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, demikian cepat dan tidak disangka-sangka gerakannya. Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka. Akan tetapi kini Si Kong tidak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan seorang, maka dia tidak mau mengeroyok. Apalagi melihat Hui Lan mendesak lawannya dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu mengalahkannya.
Dugaan Si Kong tepat. Ketika Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan pedangnya yang mengarah pinggang, Hui Lan menggunakan pedang kirinya untuk menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel sehingga pedang mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan pedangnya dari atas kebawah mengenai pedang lawan yang sudah tertahan oleh pedang kirinya itu.
"Trakkk"..!" Pedang di tangan Ciok Khi potong menjadi dua! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah. Empat orang saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi mereka berlima pergi meninggalkan tempat itu.
Belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka. "Kalian jangan takut. Kami bukan orang yang membunuhi rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat untuk mengubur mereka. Kalau kami menghendaki, sekarang juga kalian sudah mati semua. Nah, sekarang setelah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka."
Belasan orang itu merasa bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak.
*** Di puncak Kui-liong-san yang menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang semua orang telah bersiap-siap menghadapi pertempuran karena mereka maklum bahwa banyak tokoh persilatan mendaki pegunungan itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Pada hari itu, ketiga pangcu dari Kui-jiauw-pang mengadakan perundingan di ruangan dalam yang luas. Bwe Hwa dan Leng Kun pun ikut pula berbincang-bincang.
"Keadaan menjadi ramai sekali," antara lain Toa Pangcu atau Toa Ok berkata. "Bukan saja banyak orang mendaki puncak ini untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan saatnya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa diantara kami yang paling lihai dan patut memperoleh julukan "Datuk Terkuat Di Dunia". Yang akan muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok."
Mendengar ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Ia pernah mendengar nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa mereka itu adalah dua orang yang amat kejam, tidak pantang melakukan kejahatan apapun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua). Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka itu kepadanya"
Sam Pangcu atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka diapun cepat berkata, "Semua orang akan datang memusuhiku karena hendak merampas Pek-lui-kiam. Tentu Pek-lihiap tidak keberatan untuk membantuku kalau aku terlampau didesak oleh mereka."
Bwe Hwa hanya mengangguk akan tetapi sukar untuk menjawab. Ia kini merasa bingung, tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan. Kalau sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau ia berkawan dengan orang-orang seperti Toa Ok dan Ji Ok yang terkenal sebagai manusia-manusia jahat. Akan tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, memperlakukannya dengan hormat dan ramah. Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka. Karena itu ia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, ia tidak akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat. Akan tetapi kalau tuan rumah bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja ia akan membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan menyerang ia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam.
Agaknya ucapan Ang I Sianjin dan sikap Bwe Hwa itu menarik pula perhatian Toa Ok. "Ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk terkuat di dunia. Akan tetapi kalau yang datang itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona Pek?"
Bwe Hwa terpaksa menjawab. "Benar demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi kalian. Akan tetapi kalau urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku tidak akan tinggal diam."
Baru mereka bercakap-cakap, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut.
"Ngo-sian, apakah yang telah terjadi?" bentak Toa Ok. Sudah lama Bu-tek Ngo-sian memang menjadi pembantu-pembantunya.
"Kami berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kamu melihat betapa beberapa orang anggauta kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang amat lihai ilmu silatnya. Masih untung kami berlima tidak terbunuh dan dapat meloloskan diri."
"Hemm, jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?" tanya Toa Ok dengan marah dan penasaran. Lima orang pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan lawan yang tangguh sekali. Bagaimana mungkin para pembantunya ini dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis"
Lima orang Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang, kemudian Ciok Khi yang paling tua diantara mereka menjawab dengan takut-takut, "Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada di sana."
Ji Ok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. "Keparat, kalian berlima kalah oleh dua orang muda" Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!"
Sam pangcu atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri dan Toa Ok mengangguk menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian menuruni puncak.
Akan tetapi baru saja mereka tiba dilereng pertama, tiba-tiba saja mereka melihat seorang kakek tinggi besar dan berkepala botak, dan sepasang golok besar menempel dipunggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, bersilang tangan di depan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu dengan senyum mengejek. Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu berkata, "Ha-ha-ha-ha, kiranya Ji Ok sudah berada disini! Di mana Toa Ok. Suruh dia maju bersamamu untuk melihat siapa diantara kita yang paling lihai!"
Ji Ok sendiri terkejut bukan main melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah seorang diantara para datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di dunia.
"Aha, kiranya Pai-ong Loa Thian Kunm sudah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan menantimu dipuncak Kui-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama. Sekarang kami masih mempunyai urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak menghalangi kami."
"Ha-ha-ha, aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kui-liong-san, di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Siapakah ketua Kui-jiauw-pang?"
"Ketuanya adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang berada disini." jawab Ji Ok.
"Ha-ha-ha, kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku akan membiarkan kalian lewat!"
Ang I Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada disitu bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Biapun yang berada di depan mereka itu adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak, "Enak saja engkau meminta Pek-lui-kiam! Biarpun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak takut kepadamu!"
Pai-ong Loa Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu. "Hemm, kalau tidak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin. Engkau kiranya orang itu. Kalau kalian tidak memberikan Pek-lui-kiam sekarang juga kepadaku, terpaksa aku akan menghajar kalian!"
"Manusia sombong, siapa takut kepadamu?" bentak Sam Ok dan dia sudah menerjang maju dengan pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong.
Orang yang diserang itu masih sempat tertawa dan ketika pukulan Sam Ok sudah menyambar dekat, diapun melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok.
"Desss".!" Tubuh Sam Ok terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kui-jiauw-pang ini terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya dengan tangan Pai-ong itu membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi dadanya. Maklumlah dia bahwa datuk Utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.
Ji Ok yang sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu lalu maju selangkah. "Pai-ong, kuyakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok. Sekarang belum tiba saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada disini. Kalau engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kui-liong-san. Kalau diantara semua datuk ternyata engkau yang paling lihai, tentu saja engkau berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!"
Pai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena disini tidak ada Toa Ok, engkau merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata aku yang paling kuat diantara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus diserahkan kepadaku!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar, bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik.
"Sam Pangcu, lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu berbahaya sekali, masih untung bahwa engkau tidak terluka hebat ketika bertanding dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan Api) yang amat dahsyat."
Ang I Sianjin mengangguk. "Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat dimana Bu-tek Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada lagi disitu. Yang ada disitu hanyalah orang-orang Kui-jiauw-pang yang baru saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka.
"Kemana perginya pemuda dan gadis itu?" tanya Ciok Khi kepada mereka. Melihat para pimpinan itu m arah-marah, para anggauta Kui-jiauw-pang itu menjawab dengan takut-takut.
"Mereka telah pergi entah kemana."
"Apakah kalian tadi menanyakan namanya?" tanya Sam Pangcu.
"Tidak, Sam Pangcu. Kami tidak sempat bertanya."
Ji Pangcu dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lalu mereka semua kembali ke puncak dengan wajah lesu.
*** Telah dua minggu lamanya Pek Bweh Hwa menjadi tamu keh ormatan di puncak Kui-liong-san. Ia mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa ia ingin segera pergi dari situ.
"Jangan tergesa-gesa, Hwa-moi. Kita disini diperlakukan dengan ramah dan hormat, kenapa engkau menjadi tidak betah?" kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba.
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Beberapa kali ia melihat pandang mata seperti itu dan diam-diam ia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun seorang pendekar muda yang selain tampan, juga bersikap sopan dan baik terhadap dirinya. Pemuda berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang membuat ia menjadi ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini, ia melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul terhadap dirinya.
"Justeru karena pimpinan Kui-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi semakin tidak enak. Siapa tahu, dibalik semua sikap baik itu terkandung niat yang keji."
"Aih, kenapa engkau menjadi curiga" Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada kita, terutama sekali kepadamu" Mereka bahkan telah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadamu!"
"Hal itu juga membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka bersiap-siap untuk melawan semua orang yang datang ke sini untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku! Rasanya tak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang."
"Hemm, aku tidak dapat membantahmu kalau begitu, Hwa-moi. Akan tetapi jangan sekarang kita pergi, Hwa-moi. Tunggulah beberapa hari kalau mereka sedang bergembira."
"Baik, aku menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau engkau merasa senang tinggal disini, engkau tinggallah di sini dan aku akan turun puncak seorang diri."
Percakapan itu membuat Leng Kun gelisah sekali. Maka dia lalu merundingkannya dengan ketiga ketua Kui-jiauw-pang. Selagi mereka berunding, muncullah empat orang wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa Cu. Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat). Sebetulnya mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran Budha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap pengkhianat dan setelah menjadi buronan, empat orang ini lalu masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw. Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung ke atas memakai tali sutera putih dan di Pek-lian-kauw mereka mendapat kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai.
Ketika Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggauta Pek-lian-pai juga, pergi ke Kui-jiauw-pang untuk membantu Kui-jiauw-pang mempertahankan pedang pusaka Pek-lui-kiam, dan setelah Leng Kun berada di Kui-jiauw-pang, pemuda ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai. Maka pimpinan perkumpulan pemberontak itu lalu mengirim See-thian Su-hiap untuk memperkuat Kui-jiauw-pang, membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai. See-thian Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kui-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai juga mendaki puncak Kui-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang hati dan tangan terbuka. Ketika Leng Kun sedang membicarakan keinginan Bwe Hwa yang akan meninggalkan tempat itu, muncullah See-thian Su-hiap ke ruangan yang luas itu.
Munculnya empat orang ini menyadarkan Leng Kun. "Ahh, kenapa aku hampir melupakan kehadiran empat orang totiang di sini" Kalian dapat membantu aku!"
See-thian Su-hiap dipersilakan duduk, dan Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng Kun. "Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?"
"Kami baru saja membicarakan tentang nona Pek Bwe Hwa yang mulai bercuriga kepada kita dan ia ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil dan kita akan dapat menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi meninggalkan puncak."
"Apa yang harus kami lakukan?"
"Sebaiknya kita merundingkan hal itu diruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini."
Toa Ok tertawa. "Ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan agar menjadi jinak dan penurut, ha-ha-ha!"
Leng Kun mengajak See-thian Su-hiap ke ruangan lain dan disitu mereka bicara. Leng Kun minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi miliknya, gadis itu tentu selanjutnya akan taat kepadanya.
Malam itu gelap dan sunyi sekali. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi.
Bwe Hwa tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja ia terbangun seperti ada yang menggugahnya. Tadi ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia pesiar dengan Leng Kun dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan memeluknya. Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan tetapi sungguh aneh, ia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya ia dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu ia tergugah dari tidurnya.
Bwe Hwa merasa betapa tubuhnya panas. Ia bangkit duduk dan menghapus peluh dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba ada hasrat timbul di hatinya untuk mencari Leng Kun! Entah mengapa, ia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan orang yang bermimpi, ia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar, membuka pintu itu dengan perlahan, lalu ia melangkah keluar.
"Kun-ko".." Ia berbisik. Pada saat ia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan tiba-tiba Bwe Hwa seperti orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Ia merasa heran mengapa ia berada diluar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk menuju ke kamar Leng Kun. Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai dirinya agar ia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tak wajar yang memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun.
"Jahanam"..!" bisiknya dan iapun menyilangkan kedua lengannya depan dada sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu. Sebentar saja dorongan kekuatan itu berhentu dan ia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah kalau ia teringat betapa tadi ia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan kemarahan memenuhi hatinya.
Timbul keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun dan memakinya, karena ia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan sihir untuk menguasainya, akan tetapi kesadarannya membuat ia mencegah perbuatan ini.
"Tidak," katanya kepada diri sendiri. "Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini." Maka ia lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu, ia mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil.
"Kun-ko, bukalah pintu, biarkan aku masuk."
Daun pintu segera terbuka karena memang tidak di kunci, dan dari dalam muncul Leng
Kun, akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat tosu yang baru beberapa hari ini menjadi tamu pula di situ. Bwe Hwa segera menyadari bahwa empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya. Bwe Hwa merasa lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walaupun ia berada dalam pengaruh sihir, kewaspadaannya membuat ia tanpa disengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam dan Pek-lui-kiam. Kini ia memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan.
"Coa Leng Kun, apa yang kaulakukan bersama empat orang pendeta itu?" bentaknya dengan marah.
A".. apa?". maksudmu?" Leng Kun bertanya dengan gelagapan karena terkejut dan bingung bahwa gadis itu sama sekali idak berada dalam pengaruh sihir seperti disangkanya semula ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Dia sudah siap untuk merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tidak mengira Bwe Hwa akan membentak seperti itu.
"Hemm, jangan pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini telah menggunakan kekuatan sihir untuk mencelakakan aku!" Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu.
Melihat ini, Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara. "Su-wi totiang, tolonglah aku!"
Empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga mengira bahwa ilmu sihir mereka pasti akan membuat gadis itu tidak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar suara gadis itu diluar pintu. Segera mereka berloncatan keluar dari kamar sambil mencabut pedang masing-masing. Ketika mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera menyetujui karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong. Padahal, Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang telah membinasakan Lan Hwa Cu, paman guru mereka. Mereka lalu menggunakan siasat memancing Bwe Hwa dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun.
Melihat empat orang pendeta itu berloncatan dan mengepungnya dengan pedang di tangan dan Keng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya.
Melihat empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun berkata, "Su-wi totiang, tangkap ia hidup-hidup untukku!"
Bukan main marahnya Bwe Hwa. Ia meloncat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan pedangnya, akan tetapi Leng Kun menghindar dan empat orang tosu itu sudah menyerangnya dari empat penjuru.
Bwe Hwa memutar pedangnya untuk menangkis dan ia terkejut kiranya empat orang tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Kalau ia dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun, ia dapat celaka. Maka ia mengambil keputusan dengan cepat. Ia menggunaka jurus terampuh ari Kwan-im-kiamsut sehingga empat orang tosu itu terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu.
"Kejar ia"..!" terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biarpun cuaca hanya remang-remang di sinari bulan yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa ada halangan. Penjagaan diwaktu larut malam itu tidak ketat lagi, para penjaga lebih banyak yang tertidur daripada yang terjaga. Sedikit penjaga itupun tidak berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka.
Setelah lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para pengejarnya.
Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang lihai itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan Kui-jiauw-pang dengan wajah leseu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa.
Bwe Hwa tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Ia maklum bahwa kalau ia tersusul, dan terpaksa melayani serangan mereka ia akan kalah. Apalagi kalau diingat bahwa di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian, Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu.
*** Bwe Hwa merasa lega setelah fajar menyingsing dan ia tidak melihat ada orang yang memburunya. Ia mengaso di balik semak belukar dan menghela napas karena lega. Kemudian ia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di pinggangnya. Bagaimanapun juga, tidak sia-sia ia menjadi tamu Kui-jiauw-pang karena ia telah mendapatkan pedang pusaka itu. Akan tetapi ia merasa menyesal sekali atas perbuatan Leng Kun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan tampan, bersikap halus itu, ternyata hanya seekor srigala berkedok domba.
Ia akan bersembunyi dulu dan kalau sudah ternyata bahwa ia tidak di kejar, ia akan menuruni puncak gunung dan membawa pedang pusaka pulang ke Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada ayah ibunya. Ah, betapa mereka akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan seluruh tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah.
Setelah matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos di antara celah-celah daun pohon, Bwe Hwa merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin para pengejarnya mengambil arah lain. Ia lalu keluar dari belakang semak-semak dan hendak melamjutkan perjalanan. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang di kenal oleh Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya semalam!
Tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam dan memasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan mati-matian. Ia maklum akan ketangguhan para pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja ia tidak akan menyerah.
Hwa-moi, aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi mengapa engkau melarikan diri" menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia sebagai suami isteri." Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata halus. Akan tetapi ucapan itu menambah kebencian hati Bwe Hwa. seorang pemuda yang demikian lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis!
"Coa Leng Kun, manusia jahat, aku tidak akan menyerah sampai mati!" Bwe Hwa lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukkan ke arah dada.
"Tranggg"..!" Leng Kun menangkis dengan sulingnya dan dia terhuyung karena Bwe Hwa dalam serangannya tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang dan mengeroyoknya, Bwe Hwa memutar pedangnya dan mengamuk. Akan tetapi dia segera di kepung oleh lima orang itu dan betapapun lihainya di keroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan dan ia segera terdesak. Dalam keadaan terdesak ini, Bwe Hwa teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Ia teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka iapun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan di lain saat ia telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar berkilat ketika ia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tidak menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memuta Pek-lui-kiam di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan. Dengan pengerahan tenaga ia menangkis hujan senjata lima orang pengeroyoknya itu dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan merusak senjata para pengeroyoknya.
"Trangg". trangg".. trangg".!!" terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis itu bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya. Akibat pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu telah patah menjadi du potong! Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa ia telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Kalau pedang aseli tidak mungkin patah bertemu dengan senjata lawan. Kalau pedang itu selemah itu, tidak mungkin di jadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw. Iapun membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali ia harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi.
Tubuh Bwe Hwa sudah basah oleh keringatnya sendiri. Ia terpaksa mengerahkan tenaga
sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini menguras tenaganya dan membuat ia lelah sekali. Akan tetapi gadis perkasa ini sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia melainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat ia belum juga dapat disentuh senjata para pengeroyok. Memang ilmu pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, akan tetapi mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe Hwa seringkali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak sempat lagi menyerang.
Dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu, "Enci Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing ini!" Orang yang berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan. Gadis perkasa ini telah mencabut Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang menyerbu kearah lima orang pengeroyok itu. Mereka terkejut dan segera berlompatan ke belakang untuk melihat lebih jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu.
Hui Lan kini juga dapat memandang mereka dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat
Leng Kun. Ia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika ia diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Coa Leng Kun, pemuda itu yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang tosu yang lihai!
"Nona Tang?", engkaukah ini?" Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan menegur.
"Benar aku! dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!" jawab Hui Lan sambil memandang dengan mata mencorong. Untung ia dahulu menjauhkan diri dari Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab.
"Adik Hui Lan, engkau mengenal bangsat ini" Jangan tertipu oleh gayanya yang yang lembut dan baik, sebetulnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!"
"Coa-sicu, siapakah gadis ini?" tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap kepada Leng Kun.
"Su-wi To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah ketua Cin-ling-pai!"
"Ahhh! Kebetulan sekali, kalau begitu kita bunuh dua orang gadis, puteri musuh kita ini!" bentak Kui Hwa Cu dan dengan marah dia menyerang Bwe Hwa lagi. Akan tetapi Hui Lan yang meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu. Dalam beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak dan dua orang rekannya segera membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun menhadapi Bwe Hwa.
"Kong-ko, kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing ini?" Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui Lan dan hanya menonton saja di bawah pohon.
Melihat Si Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari serangan dua orang lawannya, iapun berseru, "Kong-ko, bagus sekali engkau juga
datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat ini!"
"Hemm, kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!" kata Si Kong.
Leng Kun dan See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka kewalahan karena gadis ini begitu hebat sepak terjangnya. Dua batang pedangnya itu seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang di antara See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apalagi kalau ditambah lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu, Kui Hwa Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan.
"Pergi".!" Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil melemparkan suatu benda ke depan mereka.
"Awas! Menghindar!" teriak Si Kong dan dua gadis itu menaati aba-aba ini cepat meloncat kebelakang dan berlindung di belakang pohon besar.
"Darrrr?".!" Benda itu setelah menyentuh tanah lalu meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal. Si Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkangnya, kedua tangannya mendorong ke depan dan asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar saja membubung ke atas dan tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi ternyata lima orang itu lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan asap hitam tebal tadi.
Bwe Hwa memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam ia merasa iri mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang ia kagumi itu. Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika ia membantu ketua Hek-i-kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih lanjut dan pemuda itu segera berpamit dan pergi.
"Adik Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul di sini?"
"Kami memang melakukan penyelidikan ke bukit Kui-liong-san ini, enci Bwe Hwa. Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?"
"Panjang ceitanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka."
"Aihh, diantara kita, mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa" Kami bersyukur
sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Akupun pernah bertemu dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu silatnya lihai sekali. Siapa kira dia seorang yang berwatak jahat."
"Aku sendiripun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia dan bersamanye naik ke puncak bukit ini. Dia sudah mengenal ketua Kui-jiauw-pang maka dia mengajak aku menemui para pimpinan Kui-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kui-liong-pang menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka telah menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!"
"Ahh"..!" Hui Lan berseru.
"Bohong semua itu! Tipuan belaka! Tadi malam empat orang tosu itu membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng Kun. Aku menyadari akan pengaruh sihir maka dapat membebaskan diri dari pengaruh itu. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir dan diam-diam telah membawa pedangku Kwan-im-kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka. Aku sengaja mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata Leng Kun berniat busuk terhadap aku dan dikamarnya terdapat empat orang pendeta itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga. Aku terpaksa melarikan diri sampai disini. Setalah fajar, aku mengira mereka tidak mengejarku, maka aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kembali dan kembali aku dikeroyok disini sampai engkau muncul membantuku."
"Dan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?" tanya Si Kong yang juga tertarik oleh cerita Bwe Hwa.
"Pedang Pek-lui-kiam palsu!" kata Bwe Hwa yang lalu memungut pedang yang telah patah menjadi dua potong itu. "Inilah pedang itu. Ketika terdesak tadi, aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini patah ketika bertemu dengan senjata mereka!"
Si Kong memeriksa dua potong pedang itu. "Memang palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa semua yang kau alami itu telah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat lolos dari siasat licik mereka. Akan tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan kekuatan mereka."
"Yang menjadi ketua Kui-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu, Ji-pangcu dan Sam-pangcu. Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok, dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu berjubah merah. Disamping ketiga ketua ini, di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang tosu tadi yang juga lihai. Anak buah Kui-jiauw-pang kurang lebih seratus orang, dan aku pernah melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat orang tosu itu."
Hemm, kalau begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko, ternyata mereka yang berkuasa di puncak dan menjadi pimpinan Kui-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin."
"Memang kedudukan mereka kuat sekali." Kata Si Kong dengan tenang. "Dan kita belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka."
"Sudah pasti, Kong-ko!" kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata yang tajam. "Lihat saja pedang palsu ini. Kalau mereka tidak menguasai Pek-lui-kiam yang aseli, bagaimana mereka dapat membuat yang palsu" Sekarang aku baru tahu mengapa mereka semudah itu menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku. Ternyata mereka hanya mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng Kun itu!" Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya.
"Sebenarnya siapakah Coa Leng Kun itu" Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa" Dan empat orang tosu itu, dari manakah mereka?"
"Aku sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lojin. Entah benar atau tidak keterangan itu. Dan mengenai empat orang tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana."
Si Kong yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata, "Empat orang tosu itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang Pek-lian-kauw."
"Pek-lian-kauw yang dipergunakan sebagai agama dan dipergunakan untuk menutupi kejahatan Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?" tanya Hui Lan sambil memandang wajah Si Kong.
"Kalau begitu, Kui-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?" tanya Bwe Hwa.
"Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Datuk-datuk besar seperti Toa Ok dan Ji Ok menguasai perkumpulan kecil seperti Kui-jiauw-pang, untuk apa mereka melakukan itu kalau bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?" kata Si Kong.
"Kalau begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggauta Pek-lian-kauw?" tanya Bwe Hwa.
"Bisa jadi," kata Si Kong. "Kedudukan mereka kuat sekali. Kalau kita bertiga naik ke puncak dan harus menghadapi mereka semua, kita akan kalah kuat."
"Lalu bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam saja membiarkan pedang Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?" tanya Bwe Hwa penasaran.
"Tentu saja tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui kehadiran kita bertiga, tentu mereka akan melakukan penjagaan kuat. Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi dulu di dalam guha yang kami temukan di bawah lereng ini."
"Benar, enci Bwe Hwa. Guha itu besar dan tersembunyi, baik untuk persembunyian kita untuk sementara. Aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw akan datang ke puncak Kui-liong-san untuk memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Biarlah mereka naik dulu dan bertanding dengan pimpinan Kui-jiauw-pang. Dalam keadaan ribut itu, baru kita mendaki puncak sehingga kita tidak perlu harus menghadapi pengeroyokan orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai," kata Hui Lan yang menyetujui usul Si Kong.
Demikianlah, tiga orang muda itu menuruni lagi lereng itu dan mereka tiba di tempat yang dimaksudkan tanpa halangan. Seperti dikatakan oleh Si Kong, tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik sekali. Guha itu lebar dan dalam sehingga mereka akan terhindar dari hujan dan panas, dan tak jauh dari situ, disebelah kiri guha terdapat air pancuran yang jernih sekali. Guha itu tertutup oleh semak belukar sehingga tidak nampak dari luar. Si Kong dan Hui Lan menemukan guha itu tanpa disengaja. Mereka berdua sedang memburu kijang yang sudah terluka oleh sambitan batu Si Kong, dan kijang itulah yang membawa mereka menemukan guha itu.
Bwe Hwa juga senang melihat guha itu yang lantainya sudah ditutup rumput dan daun kering. Kalau malam mereka dapat membuat api unggun di dalam guha untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Melihat pancuran air jernih itu, Bwe Hwa ingin sekali mandi dan bertukar pakaian.
"Kau mandilah dulu, enci Bwe Hwa. biar aku menyusul setelah engkau selesai mandi," kata Hui Lan. Bwe Hwa lalu membawa pakaian yang bersih ke pancuran air yang juga tertutup semak sehingga tidak nampak dari guha. Gadis ini mandi membersihkan dirinya dan perasaan bahagia menyelimuti perasaan hatinya sehingga tanpa terasa ia bersenandung!
Setelah Bwe Hwa pergi mandi, Hui Lan duduk berdua saja dengan Si Kong. "Engkau sudah mengenal baik enci Bwe Hwa, bukan" Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?"
Si Kong mengangguk. "Mengenal baik sih belum. Baru satu kali aku bertemu dengannya dan kami sempat bertanding karena kesalahpahaman antara kita. Aku salah duga bahwa Hek I Kaipang itu perkumpulan pengemis yang sesat maka aku menyerbu ke sana. Sebaliknya Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan Hek I Kaipang karena ketua perkumpulan itu kenalan ayahnya dan dia sedang mencari keterangan tentang Pek-lui-kiam. Karena kesalah-pahaman ini kami bertanding dan ia segera mengenal ilmu silatku. Demikianlah, kami baru bertemu satu kali dan berkenalan."
"Akan tetapi bagaimana pendapatmu tentang dia, Kong-ko?"
Si Kong memandang tajam. "Mengapa engkau tanyakan itu, Lan-moi?"
"Karena aku ingin tahu pendapatmu tentang ia, apakah cocok dengan pendapatku."
Si Kong tersenyum. "Ah, mudah saja menilai Bwe Hwa. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan ia pemberani pula."
Hui Lan mengangguk-angguk. "Tepat, memang ia cocok sekali dengan engkau Kong-ko."
Si Kong tertegun. "Cocok, apa maksudmu, Lan-moi?"
"Maksudku bahwa ia memang cocok dan pantas sekali untuk menjadi pasanganmu!"
Si Kong terbelalak dan dia melihat wajah Hui Lan berubah agak kemerahan. "Ah, engkau ini ada-ada saja, bicara yang tidak karuan!" dia menegur halus serius.
Akan tetapi Hui Lan masih berkata, "Seorang pemuda seperti engkau harus mendapatkan
pasangan yang setimpal, Kong-ko. Dan kalau ada gadis yang pantas mendampingimu, maka enci Bwe Hwa itulah orangnya!"
"Aih, jangan begitu, Lan-moi. Engkau membuat aku menjadi salah tingkah dan malu."
Kata Si Kong sambil tersenyum lebar dan menganggap gadis ini hanya bergurau dan menggodanya saja. Akan tetapi percakapan itu terhenti karena suara Bwe Hwa memangggil.
"Adik Hui Lan, aku sudah selesai! Ke sinilah menggantikan aku mandi!"
Terdengar langkah kaki Bwe Hwa yang lari ke guha. Hui Lan segera bangkit dan mengambil pakaian penggantinya. Bwe Hwa muncul dengan wajah segar kemerahan, rambutnya basah terurai dan tangannya membawa pakaian bekas pakai yang tadi telah dicucinya.
"Wah, airnya jernih dan sejuk sekali, Lan-moi!" katanya gembira. "Aku benar beruntung sekali bertemu dengan kalian."
"Aku hendak mandi dan mencuci pakaian. Engkau temani Kong-ko di sini enci Bwe Hwa!" kata Hui Lan yang cepat lari menuju ke pancuran air.
"Ah, rambutku basah dan awut-awutan!" kata Bwe Hwa sambil tersenum dan menggosok-gosok rambut kepalanya dengan sehelai kain. "Tentu jelek sekali seperti iblis betina. Benar tidak, Kong-ko?"
Di tanya demikian terpaksa Si Kong memandang gadis itu dan melihat rambut hitam
panjang yang terurai itu dan terpaksa dia menjawab sejujurnya. "Rambutmu indah sekali,
Hwa-moi!" "Aih, benarkah itu?"
"Aku berkata dengan jujur, bukan pujian untuk menyenangkan hatimu saja."
Bukan main girangnya rasa hati Bwe Hwa mendengar ucapan itu. Pemuda itu bukan merayu, melainkan memuji sejujurnya. Wanita manakah yang tidak akan bangga dan girang kalau dirinya dipuji, bukan sekedar rayuan melainkan pujian yang sejujurnya"
Bwe Hwa lalu menggelung rambutnya setelah mengeringkan dengan kain. Sungguh sedap dipandang kalau wanita sedang menggelung rambutnya, dengan kedua tangan diangkat, dengan cekatan menata rambut itu. Apalagi wanita secantik Bwe Hwa.
Sambil menyusut mukanya dengan kain, Bwe Hwa memandang kepada Si Kong dan ternyata pemuda itu tidak memandangnya. Si Kong memang tidak berani memandang lama-lama takut terpesona oleh keindahan tubuh Bwe Hwa.
"Kong-ko, engkau dan Hui Lan tentu telah bergaul erat sekali, bukan" Engkau melakukan
perjalanan ke sini bersama-sama dan tentu telah mengalami banyak hal bersama pula. Sudah berapa lamakah engkau melakukan perjalanan dengan Hui Lan?"
"Kurang lebih setengah bulan," jawab Si Kong sebenarnya.
"Ia seorang gadis yang amat lihai dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan?"
"Memang ia lihai, mewarisi ilmu-ilmu ayah ibunya." Kembali Si Kong menjawab dengan wajar, namun hatinya mulai heran mengapa Bwe Hwa bicara tentang Hui Lan dan tadi Hui Lan bicara tentang Bwe Hwa. Benar mirip sekali watak dua orang gadis ini. Si Kong memandang wajah Bwe Hwa dan melihat dagu yang indah itu terhias tahi lalat yang membuat ia nampak semakin manis. Akan tetapi hanya sebentar Si Kong memandang, lalu menunduk lagi.
"Dan ia canti jelita! Jarang sekali ada gadis secantik ia yang memiliki ilmu kepandaian setinggi ia. Betulkah, Kong-ko?"
Heran bin ajaib, pikir Si Kong. Mengapa sama benar arah percakapan Bwe Hwa ini dengan Hui Lan tadi" Seolah mereka berdua telah bersepakat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Terpaksa kembali dia menjawab sejujurnya.
"Betul memang ia cantik jelita dan lihai."
"Ya, aku tahu. Memang ia paling cocok kalau mendampingimu, menjadi pasanganmu!"
Si Kong tertegun. Mengapa persis benar" "Apa". apa maksudmu dengan ucapan itu, Hwa-moi?"
Tanpa kauakui akupun sudah dapat menerka, Kong-ko. Engkau dahulu begitu tergesa meninggalkan aku sehingga aku tidak sempat bicara banyak. Engkau begitu angkuh! Akan tetapi sekarang engkau melakukan perjalanan bersama Hui Lan sampai setengah bulan. Itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bahwa engkau dan Hui Lan saling mencinta. Benar bukan?" Bwe Hwa kini menatap wajah Si Kong dengan tajam penuh selidik.
"Ah, tidak sampai begitu jauh, Hwa-moi. Kami melakukan perjalanan bersama karena kebetulan saja, yaitu kami berdua mempunyai keinginan yang sama untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Harap jangan menyangka yang bukan-bukan!"
"Aih, Kong-ko, aku dapat melihat pandang mata Hui Lan begitu bersinar penuh cinta ketika memandangmu. Hui Lan mencintamu, itu sudah jelas."
"Aku tidak tahu akan hal itu, Hwa-moi."
"Jangan pura-pura, engkau sendiri juga mencintanya, bukan?"
"Ah, aku tidak tahu, Hwa-moi. Aku belum pernah memikirkan tentang hal itu. Aku adalah murid mendiang Ceng Lojin, sedangkan Hui Lan adalah cucu buyutnya, maka aku merasa seperti melakukan perjalanan dengan saudara sendiri."
Percakapan itu terhenti oleh panggilan Hui Lan. "Kong-ko, aku sudah selesai, engkau mandilah!"
"Baik, engkau kembalilah kesini, Lan-moi. Aku akan segera menggantikanmu."
Si Kong menyambar buntalan pakaiannya lalu pergi dari situ ketika melihat Hui Lan datang memasuki guha itu. Dia merasa tidak enak kalau berada di dalam guha menghadapi dua orang gadis itu. Hui Lan menduga bahwa dia tertarik kepada Bwe Hwa dan sebaliknya Bwe Hwa menduga bahwa dia mencinta Hui Lan. Dia merasa seperti menjadi seekor domba yang akan diperebutkan oleh dua ekor singa betina! Dia memang kagum kepada Hui Lan akan kecantikan dan kelihaiannya, akan tetapi dia juga kagum kepada Bwe Hwa. tidak terbayangkan olehnya tentang cinta! Orang seperti dia, hidup sebatang kara, tanpa sanak kadang, miskin tidak mempunyai apa-apa, seorang petualang miskin, bagaimana sempat memikirkan tentang cinta dan perjodohan" Kalaupun ada perasaan cinta masuk ke dalam hati akal pikirannya, seketika akan diusirnya dengan penuh kesadaran bahwa perjodohan bukanlah milik seorang petualang miskin seperti dia.
Demikianlah, Si Kong berpikir-pikir sambil mandi. Dia sengaja membawa buntalan pakaiannya karena dia merasa tidak tahan lagi kalau menghadapi dua orang gadis yang seolah-olah saling cemburu itu. Akan tetapi hatinya masih meragu apakah sikapnya tidak terlalu kaku terhadap dua orang gadis itu kalau dia meninggalkan mereka!
Sementara itu, Bwe Hwa memandang Hui Lan yang baru selesai mandi itu dengan
pandang mata iri. Dalam pandangannya Hui Lan cantik sekali dan inilah yang membuat ia merasa iri. Ia hampir merasa yakin bahwa Si Kong saling mencinta dengan Hui Lan. Kalau memang benar demikian, ia harus mengalah. Akan tetapi siapat tahu Si Kong benar-benar belum jatuh cinta kepada Hui Lan seperti yang dikatakan tadi. Kalau benar demikian, masih ada kesempatan baginya untuk mengharapkan pemuda itu dapat mencinta dirinya.
"Adik Hui Lan, engkau nampak cantik sekali sehabis mandi dengan rambut terurai itu."
Hui Lan memandang kepada Bwe Hwa sambil tersenyum. "Terima kasih, enci Bwe Hwa. Engkau sendiri juga cantik bukan main." Hui Lan duduk di atas lantai dan mengeringkan rambutnya.
"Hemm, setiap orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepadamu, Hui Lan!" Bwe Hwa tersenyum.
Hui Lan mengangkat muka menatap wajah Bwe Hwa lalu berkata, "Ihh, enci Bwe Hwa. Mengapa engkau berkata begitu" Aku tidak perduli ribuan orang pria jatuh cinta kepadaku. Demikian pula engkau tentu mudah merobohkan hati pria yang manapun dengan kecantikanmu dan kepandaianmu."
"Aku tidak akan merobohkan hati pria manapun, adik Lan. Akan tetapi jelas nampak olehku betapa engkau saling mencinta dengan Si Kong! hayo sangkal kalau kata-kataku tidak benar!" Biarpun dalamn nada suaranya terdengar pahit, namun Bwe Hwa memandang Hui Lan dengan senyum manis.
Hui Lan menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi menggosok untuk mengeringkan
rambutnya dengan kain. Ia memandang Bwe Hwa dengan mata terbelalak, kemudian menggelung rambutnya seolah tidak pernah mendengar kata-kata Bwe Hwa tadi.
"Bagaimana, Lan-moi" Kata-kataku benar, bukan" Mudah saja bagiku untuk melihat bahwa engkau mencinta dia dan diapun mencintamu. Jawablah!"
Hui Lan menyelesaikan gelung rambutnya dan ia memandang Bwe Hwa dengan wajah serius. "Enci Bwe Hwa, kepadamu aku tidak perlu berbohong. Engkau mengatakan bahwa aku mencinta Kong-ko, dan hal itu tidak perlu kusangkal. Memang benar aku kagum dan tertarik sekali kepada Kong-ko, akan tetapi itu tidak berarti bahwa diapun suka kepadaku. Dan akupun dapat menduga bahwa engkau juga suka dan kagum kepadanya, bahwa engkau mencintanya, enci Bwe Hwa!"
Wajah Bwe Hwa berubah kemerahan, akan tetapi sebagai seorang gadis yang gagah perkasa ia tidak berpura-pura. Seperti juga Hui Lan ia berani mengakui apa yang tersembunyi di dalam hatinya. "Terus terang saja, dugaanmu itu benar, Lan-moi. Belum pernah aku tertarik kepada pria kecuali dia. Akan tetapi apakah dia suka kepadaku, hal ini masih belum dapat diketahui."
Hening sejenak. Kedua orang gadis perkasa dan cantik jelita itu menundukan muka dengan alis berkerut. Mereka menyadari bahwa diantara mereka terdapat jurang pemisah yang ditimbulkan oleh rasa cinta mereka terhadap seorang pemuda! Mereka seolah menjadi saingan.
"Ternyata kita mencintai orang yang sama, Lan-moi. Sungguh sebuah kenyataan yang pahit sekali. Tidak mungkin kita memperebutkan hati seorang pria. Sekarang begini saja, Lan-moi. Kita lihat saja nanti, siapa diantara kita yang dicinta oleh Kong-ko, ialah yang berhak menjadi pasangannya. Yang tidak dicinta harus mengalah. Bagaimana pendapatmu?"
Kedua pipi Hui Lan berubah kemerahan, Bwe Hwa telah bicara dari hati ke hati, secara terbuka dan sejujurnya. Ia harus menghargai sikap ini, walaupun terdengar memalukan dua orang gadis membicarakan cintanya terhadap seorang pemuda dengan gadis lain! Akan tetapi ia dapat menghargai kejujuran Bwe Hwa. Dalam urusan hati seperti ini memang sebaiknya kalau mereka berdua bersikap terbuka dan jujur sehingga tidak menimbulkan dendam diantara mereka seperti kalau hal itu tidak dibicarakan sejujurnya dan disimpan menjadi rahasia sehingga mereka berdua akansaling cemburu.
"Lega hatiku mendengar keterbukaan, enci Bwe Hwa. Dengan kejujuranmu ini kita berdua tidak perlu saling bersaing dan saling cemburu. Aku setuju dengan pendapatmu. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kita lihat saja nanti siapa diantara kita yang dicinta Kong-ko."
"Aku juga girang dengan kejujuranmu, adikku!" Bwe Hwa merangkul Hui Lan dan mereka saling berangkulan dengan hati lega dan terharu.
Setelah lama mereka menanti munculnya Si Kong dan pemuda itu belum juga datang, mereka merasa heran. Hui Lan lalu bangkit dan berjalan keluar guha,diikuti oleh Bwe Hwa.
"Kong-ko, sudah selesaikah engkau mandi?" Hui Lan berteriak lantang, akan tetapi tidak terdengar jawaban.
"Kong-ko, dimana engkau?" teriak Bwe Hwa sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh. Akan tetapi Bwe Hwa inipun tidak memperoleh jawaban. Suasananya sunyi saja. Matahari telah naik di langit timur dan kedua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Mereka berdua berseru kembali beberapa kali untuk memanggil Si Kong, namun tetap saja tidak ada jawaban.
"Hatiku merasa tidak enak, Lan-moi. Mari kita lihat di pancuran air," kata Bwe Hwa. Kedua gadis itu lalu pergi ke tempat air memancur di mana mereka tadi mandi dan mencuci pakaian. Akan tetapi tidak nampak Si Kong di sana. Mereka lalu memandang ke kanan kiri sambil berteriak memanggil nama Si Kong.
"Enci Bwe Hwa, lihat di sana itu!" kata Hui Lan. Bwe Hwa menengok dan melihat apa yang ditunjuk oleh Hui Lan. Di tanah padas yang berbentuk dinding nampak coretan-coretan. Mereka berdua lalu melompat mendekat dan benar apa seperti dugaan mereka, coret-coretan itu merupakan huruf-huruf yang diukir pada tanah padas itu. Kedua orang gadis itu berlumba membacanya dengan hati khawatir.
"Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tak terikat apapun juga!"
Setelah membaca bunyi tulisan di tanah padas itu, Hui Lan dan Bwe Hwa merasa betapa tubuh mereka menjadi lemas. Mereka berdua mengerti benar bahwa Si Kong sengaja menjauhkan diri dari mereka, karena merasa tidak berharga untuk berdekatan lebih lama dengan mereka yang disebut burng-burung Hong yang mulia.
"Kong-ko"..!" hampir berbareng mereka menyerukan nama ini dan mereka menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil termenung.
"Enci Bwe Hwa, agaknya dia?" dia telah mendengar percakapan kita di".."


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe Hwa mengangguk. "Kong-ko adalah seorang pemuda yang rendah hati sekali. Dari tulisannya itu kita tahu bahwa dia tidak mencinta kita, menganggap diri terlalu rendah untuk mencinta kita. Seperti pernah kukatakan, Lan-moi, cinta tidak dapat dipaksakan! Cinta tidan mungkin hanya terjadi sepihak saja. Sekarang bagaimana kehendakmu, Lan-moi?"
"Kita cari pedang Pek-lui-kiam enci Bwe Hwa."
"Benar, kita mencari pedang pusaka itu dan siapapun yang mendapatkan harus diserahkannya kepada Kong-ko."
"Ah, betapa mendalam rasa cintamu. Biarpun tidak mendapat sambutan engkau tetap memikirkan dia! Akan tetapi pendapatmu itu memang tepat. Aku telah mendengar dari Kong-ko bahwa dia mencari pedang itu untuk dikembalikan kepada seorang gadis bernama Tan Kiok Nio yang kini tinggal di kota Ci-bun."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. "Pedang itu akan diserahkan kepada seorang gadis" Apakah gadis itu?"" Ia tidak melanjutkan dan Hui Lan menjelaskan.
"Jangan mengira bahwa Kong-ko jatuh cinta kepada gadis itu, enci Bwe Hwa. gadis itu adalah puteri mendiang Tan Tiong Bu yang tadinya menjadi pemilik pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tan Tiong Bu tewas oleh seseorang dan ada dugaan bahwa pembunuhnya adalah Ang I Sianjin yang kemudian mencuri pedang pusaka itu. Nah, gadis itu minta pertolongan Kong-ko untuk mencari pembunuh ayahnya dan merampas kembali pedang pusaka milik mendiang ayahnya itu."
Bwe Hwa mengangguk-angguk. "Tidak mengherankan kalau begitu. Kong-ko memang memiliki watak yang budiman dan tangannya selalu terbuka untuk menolong siapa saja. Kalau begitu, sebaiknya kita berpisah, Lan-moi. Kita mendaki secara terpisah dan marilah kita berlumba untuk mendapatkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu. Siapa yang mendapatkannya tentu akan menyerahkannya kepada Kong-ko dan siapa tahu, hal itu akan melunakkan hatinya."
Hui Lan tersenyum dan ia semakin yakin bahwa cinta Bwe Hwa terhadap Si Kong memang mendalam sekali. Ia hanya menghela napas dan berkata, " Baiklah, mari kita mengambil jalan masing-masing. Aku tidak akan merasa menyesal kalau engkau yang akan dapat menguasai pedang itu."
Setelah berkemas, kedua orang gadis itu lalu meninggalkan guha dan melanjutkan pendakian ke puncak dengan mengambil jalan terpisah.
*** Si Kong berjalan seorang diri sambil termenung. Dia terpaksa meninggalkan dua orang gadis yang dikagumi dan disukanya setelah mendengar percakapan mereka. Dia mendengarkan itu tanpa disengaja. Setelah mandi, dia sudah memikirkan bahwa sebaiknya dia berpamit dari mereka dan mencari jalannya sendiri. Akan tetapi ketika dia mendekati guha, dia mendengar dua orang gadis itu bercakap-cakap mengenai dirinya. Dia menjadi bingung dan bersedih. Tak disangkanya dua orang gadis itu menaruh hati kepadanya. Bagaimana mungkin dia menyambut cinta kasih seorang gadis seperti mereka yang menjadi puteri pendekar besar, serba kecukupan" Apalgi diperebutkan antara dua orang gadis yang dikaguminya itu. Dia merasa bahwa sebagai seorang kelana miskin dan yatim piatu seperti dia amat tidak sepadan kalau berpasangan dengan Hui Lan maupun Bwe Hwa. Dia mengeraskan hatinya dan mengambil keputusan untuk pergi begitu saja tanpa pamit. Akan tetapi untuk tidak membuat dua orang gadis itu penasaran, dia meninggalkan coretan-coretan di batu padas itu.
Dengan pikiran dipenuhi bayangan kedua orang gadis itu, Si Kong melanjutkan perjalanan. Niatnya hanya untuk menyelidiki pembunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas kembali pedang pusaka Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepada Tan Kiok Nio. Kenapa dia harus terlibat dalam urusan cinta dengan seorang diantara dua orang gadis itu"
Karena tidak ingin tersusul oleh dua orang gadis itu, Si Kong mengambil jalan ke barat melalui lereng-lereng perbukitan itu. Dia harus mencaki puncak melalui lereng sebelah barat agar tidak sampai bertemu dengan Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan tetapi, sambil melangkah ke depan, dia merasa betapa perasaan hatinya berat seperti terhimpit perasaan bersalah. Dua orang gadis itu dengan jujur mengatakan bahwa mereka mencintanya. Dan sekarang, dia pergi begitu saja tanpa memberi tahu. Hal ini tentu saja akan membuat mereka bersedih dan kecewa. Berulang kali dia bertanya kepada hatinya sendiri, gadis mana diantara keduanya itu yang dia cinta.
Jawaban hatinya membingungkannya. Dia kagum kepada keduanya dan merasa suka kepada keduanya. Apakah dia mencinta mereka" Mencinta seorang diantara mereka" Entahlah, dia jawab sendiri pertanyaan itu. Dia ragu dan bingung, tidak dapat merjawab pertanyaan itu. Dia tidak tahu dan belum mengenal apa itu yang disebut cinta. Dia memang suka kepada mereka, kagum kepada mereka karena mereka adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, gagah perkasa dan budiman, puteri dari pendekar-pendekar kenamaan.
Cinta asmara memang mendatangkan banyak macam akibat, dapat membahagiakan seseorang namun dapat pula menyengsarakan seseorang. Cinta asmara adalah cinta yang diboncengi nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan, memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai. Kalau semua keinginan ini dipenuhi maka hatinya mengaku cinta. Dilayani, dimanja, disukai, betapa menyenangkan semua itu. Akan tetapi begitu muncul kenyataan lain, tidak lagi dilayani, tidak lagi dimanja, tidak lagi disenangi, maka cinta asmara pun terbang pergi seperti kabut terkena sinar matahari, dan cinta asmara berganti dengan kebencian. Kegagalan cinta asmara membuat seseorang menjadi kecewa, duka dan merasa sengsara sekali. Bagaimana kalau cinta asmara terpenuhi dan disambut dengan baik" tentu saja mendatangkan kesenangan besar yang dianggap sebagai bahagia. Akan tetapi betapa pendeknya usia kebahagiaan itu. Betapa rapuhnya hati yang mengaku cinta.
Si Kong belum pernah jatuh cinta, maka dia tidak dapat membedakan antara rasa suka dan rasa cinta. Rasa kagum dan suka tidak menuntut balasan, tidak ingin menguasai, memiliki atau ingin menyenangkan diri sendiri. Orang tidak akan pernah patah hati kalau rasa sukanya lenyap atau berubah, karena tidak merasa kehilangan. Rasa suka diantara sahabat tidak ingin memiliki, maka tidak akan merasa kehilangan.
Si Kong berhenti melangkah dan seluruh perhatiannya kini dipusatkan kepada mata dan telinganya. Dia mendengar langkah kaki yang datang dari jauh, akan tetapi derap langkah itu sudah terdengar dari situ, seolah yang datang mendekat adalah seekor gajah besar yang amat berat!
Setelah dekat, Si Kong memandang dengan heran dan kagum karena yang datang menghampirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang usianya lebih dari enampuluh tahun. Pakaiannya ringkas dan mewah, dan disabuknya terselip sebuah kantung dan tangan kirinya memegang sebuah kong-ce (tombak cagak), mukanya penuh brewok sehingga wajah itu nampak bengis. Karena kakek itu menghampiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, Si Kong lalu mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat. Dia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi.
"Selamat siang, lo-cianpwe."
Sepasang mata kakek itu mencorong mengamati Si Kong dari atas yang memakai caping lebar sampai ke kaki yang mengenakan sepatu butut dan pakaiannya yang sederhana.
"Hemm, siapa engkau?" tanya kakek itu penuh kecurigaan.
"Namaku Si Kong, locianpwe."
"Engkau anggauta Kui-jiauw-pang?"
"Bukan, locianpwe."
"Hemm, kalau bukan anggauta Kui-jiauw-pang, lalu mengapa engkau berada di sini?"
"Aku". aku tidak inginkan sesuatu"." Jawab Si Kong dengan gugup karena dia meragu apakah dia harus berterus terang atau tidak.
"Hemm, engkau datang ke Kui-liong-san untuk mencari Pek-lui-kiam, bukan?"
Semua orang yang datang ke sini mencari dan hendak memperebutkanPek-lui-kiam, maka diapun menjawab sejujurnya. "Benar, locianpwe, namun aku tidak yakin apakah aku mampu"."
"Kalahkan aku dulu kalau engkau mau memperebutkan Pek-lui-kiam disini!" Kakek itu menggerakkan tangan kanannya, memukul ke arah dada Si Kong dengan cepat dan kuat sekali. Tahu-tahu tangannya yang kanan telah hampir mengenai dada Si Kong. Hawa pukulan yang dahsyat sudah terasa oleh pemuda itu. Dia cepat melangkah mundur selangkah lalu mendorong pula dengan tangan kanan untuk menyambut pukulan lawan itu. Untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi dan satu-satunya jalan untuk menangkis pukulan yang dipenuhi tenaga sinkang itu hanyalah menyambutnya dengan tangan juga.
"Wuuuuutttt?" dessss!" Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Si Kong terhuyung mundur lima langkah. Akan tetapi kakek itu juga terhuyung mundur lima langkah. Si Kong merasa betapa dadanya sesak dan tahulah dia bahwa kakek itu menggunakan sinkang yang amat kuat sehingga pertemuan tangan itu membuat isi dadanya terguncang. Maklum bahwa dia menghadapi lawan tangguh yang berbahaya, Si Kong tidak ingin melanjutkan perkelahian tanpa sebab yang kuat itu. Maka diapun lalu melompat dari situ dan pergi melanjutkan perjalanannya. Kakek itu agaknya juga maklum bahwa pemuda itu seorang yang tangguh sekali, maka diapun tidak melakukan pengejaran.
Siapakah kakek tinggi kurus brewok yang amat tangguh ini" Kalau Si Kong mendengar nama julukan kakek itu, tentu dia tahu dengan orang macam apa dia berhadapan. Kakek itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk besar dari timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Timur)! Seperti para datuk yang lain, dia mendaki Kui-liong-san dengan dua tujuan. Pertama, memenuhi undangan Toa Ok dan Ji Ok yang hendak menentukan siapa diantara para datuk besar yang patut dipilih sebagai datuk nomor satu di dunia. Dan kedua, tentu saja, untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dengan Si Kong, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang diantara orang kangouw yang hendak memperebutkan pedang pusaka. Setiap orang yang hendak memperebutkan pedang itu dianggapnya sebagai musuh yang patut di bunuh untuk mengurangi jumlah saingan. Maka dia lalu menyerang dengan pukulan maut, dan dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja pemuda itu tentu akan mati! Pukulannya itu mengandung tenaga sinkang yang panas dan amat kuat, dilakukan dengan penuh tenaga karena dia bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Akan tetapi dia menjadi terkejut setengah mati ketika pemuda itu menyambut dorongannya dengan telapak tangan pula dan ketika kedua tangan bertemu, dia terdorong ke belakang sampai lima langkah! Dan diapun merasa betapa isi perutnya terguncang dan cepat dia mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi perutnya agar jangan terluka dalam. Maka diapun sama sekali tidak mengejar ketika pemuda itu lari dari situ.
Sementara itu, Si Kong merasa heran dengan munculnya kakek sakti itu dan dia tahu bahwa memperebutkan pedang Pek-lui-kiam sungguh merupakan pekerjaan yang amat sulit dengan adanya orang-orang sakti di tempat itu.
Dia berjalan dengan hati-hati karena maklum bahwa perjalanan itu berbahaya, terdapat banyak jurang dan siapa tahu disitu terdapat pula perangkap dan jebakan yang dipasang oleh orang-orang Kui-jiauw-pang.
Selagi dia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dia mendengar seruan orang dari belakang. Dia menengok dan melihat seorang kakek lari mengejarnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Tadinya Si Kong mengira bahwa kakek tadi yang mengejarnya. Dia bersiap untuk lari lebih cepat, akan tetapi ketika dia melihat bahwa kakek yang mengejarnya itu adalah seorang kakek yang bertubuh sedang, tidak memegang tombak cagak seperti tadi, dia merasa lega dan menanti dengan siap siaga.
Kakek itu mempergunakan ginkang yang hebat sehingga sebantar saja sudah tiba di depan Si Kong. Si Kong memandang penuh perhatian. Kakek inipun sudah berusia enampuluh tahun lebih. Tubunya sedang dan tegap. Alisnya tebal dan matanya mencorong membuat wajah yang tampan itu nampak berwibawa. Dipunggungnya terselip sebatang pedang dan dipinggangnya terdapat belasan batang anak panah kecil. Melihat panah itu, Si Kong terkejut karena dia teringat akan anak panah tangan yang biasa dipergunakan oleh Cu Yin! Dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah datuk besar selatan yang berjuluk Lam Tok! Si Kong tidak mencari permusuhan, apalagi dengan Lam Tok ayah dari Cu Yin yang pernah menjadi sahabat baiknya. Datuk besar ini tentu lihai sekali, dan keadaannya sendiri belum pulih dari guncangan akibat beradu tenaga dengan kakek tinggi kurus yang amat lihai. Maka kalau dipaksa harus bertanding melawan Lam Tok, lebih baik dia menghindarkan diri.
Ketika bertemu kakek pertama, dia menegur lebih dulu, akan tetapi akibatnya, dia diserang secara hebat sekali. Siapa tahu Lam Tok juga akan menyerangnya kalau kakek ini mengira dia hendak memperebutkanPek-lui-kiam. Watak para datuk besar ini amat aneh. Kalau mereka hendak menguasai Pek-lui-kiam, maka setiap orang yang bermaksud memperebutkan Pek-lui-kiam tentu dianggap musuh yang harus dibunuh!
Setelah berpikir demikian, Si Kong merasa lebih baik menjauhkan diri dari perkelahian dengan kakek itu. Tidak ada gunanya melayani para datuk yang suka berkelahi tanpa sebab. Berbeda kalau andaikata dia sudah mendapatkan Pek-lui-kiam, tentu dia akan menghadapi siapapun yang hendak merampas dari tangannya.
"Hei, orang muda. Tunggu dulu!" Lam Tok berteriak sambil meloncat dan mengejar. Akan tetapi Si Kong menggunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar. Lam Tok merasa heran dan penasaran tidak dapat mengejar pemuda itu, akan tetapi dia tidak mengejar terus karena diapun harus berhati-hati berada di pegunungan yang asing baginya itu.
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak dikejar lagi, barulah Si Kong menghentikan larinya dan menyelinap di balik semak belukar untuk mengaso. Dia menanti sampai lama akan tetapi tidak ada yang mengejarnya. Legalah hatinya dan kini tenaganya juga sudah pulih kembali karena selama menanti itu dia bersamadhi mengumpulkan hawa murni untuk menghilangkan bekas pertemuan tenaganya dan tenaga kakek tinggi kurus brewok yang lihai itu. Matahari telah naik tinggi dan Si Kong melanjutkan perjalannnya mendaki puncak, menyelinap diantara pohon-pohon dan semak belukar.
*** Para pimpinan Kui-jiauw-pang di puncak Kui-liong-san sudah bersiap menyambut kunjungan para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kedudukan Kui-jiauw-pang kuat sekali. Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok telah mendatangkan banyak balabantuan. Coa Leng Kun telah mengundang See-thian Su-hiap, empat orang tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu sihir. Disitu berkumpul pula Bu-tek Ngo-sian, lima orang tangguh yang sudah lama menjadi pembantu Toa Ok dan Ji Ok. Mereka merupakan tiga belas orang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang dapat diandalkan. Selain mereka, masih ada pula seregu pasukan Pek-lian-pai yang jumlahnya kurang lebih seratus orang dan yang kini sudah bergabung dengan pasukan Kui-jiauw-pang sendiri yang berkekuatan seratus orang lebih.
Pek-lian-pai telah berhasil menghasut Gubernur Ji dari propinsi Ce-kiang untuk memberontak. Dengan janji bahwa kalau pemberontakan mereka berhasil Gubernur Ji akan mereka angkat menjadi kaisar baru, Gubernur Ji setuju dan dia segera bersekongkol dengan Pek-lian-pai dan Kui-jiauw-pang. Karena mereka merasa belum kuat untuk memberontak dan menyerang pasukan kerajaan, maka kini mereka berniat untuk mengadu domba orang-orang kang-ouw dengan umpan pedang Pek-lui-kiam.
Hal ini selain dilakukan untuk mengacau ketenteraman, juga untuk melemahkan dunia kangouw yang sebagian besar condong membantu dan mendukung pemerintah kerajaan. Juga untuk memancing para tokoh kangouw membantu persekongkolan mereka dengan menjanjikan kedudukan yang tinggi kalau pemberontakan berhasil.
Tigabelas orang itu kini berkumpul mengadakan rapat untuk mengatur siasat. Para anak buah Kui-jiauw-pang disebar untuk mengamati gerakan orang-orang yang mendaki Kui-liong-san, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai. Toa Ok dan Ji Ok memimpin pertemuan itu di dalam ruangan yang luas dalam rumah induk Kui-jiauw-pang.
"Coba ceritakan kembali pertemuan kalian dengan pemuda dan gadis yang lihai itu. Benarkah mereka telah membunuh sepuluh orang kita dan melukai belasan orang lainnya?" tanya Toa Ok kepada Bu-tek Ngo-sian.
Ciok Khi sebagai orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian menjawab. "Ketika itu kami berlima melihat seorang pemuda dan seorang gadis mengamuk dan merobohkan belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang yang mengeroyok mereka. Kami segera menyerang mereka, akan tetapi ternyata mereka lihai sekali. Bahkan gadis itu memiliki ilmu sihir. Terpaksa kami melarikan diri karena tidak kuat melawan mereka."
"Bodoh kalian! Melawan seorang muda dan seorang gadis saja tidak mampu mengalahkan mereka!" Toa Ok mengomel dan lima orang itu hanya menunduk saja.
Mendengar Toa Ok menegur Bu-tek Ngo-sian dengan marah, See-thian Su-hiap saling pandang dan orang tertua dari mereka, Kui Hwa Cu segera berkata. "Harap Toa-pangcu tidak menegur mereka Bu-tek Ngo-sian. Pemuda dan gadis itu memang lihai bukan main. Kami sendiri sudah bertemu dan mengeroyok mereka dan mereka memang orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Ketika kami mengeroyok nona Pek Bwe Hwa, mereka berdua muncul dan terpaksa kami menggunakan bahan peledak untuk menyingkir. Nona Pek Bwe Hwa dan dua orang muda itu merupakan lawan yang tangguh, Toa-pangcu dan ini harus kami akui."
Dengan hati kega Bu-tek Ngo-sian mendengarkan pembelaan secara tdiak langsung ini dan Ciok Khi berani membuka mulut melapor. "Ada satu hal lagi yang perlu kami laporkan kepada Sam-wi Pangcu (tiga ketua) bahwa ternyata pemuda dan gadis itu tidak berbohong ketika mereka mengatakan bahwa yang membunuh sepuluh orang anggauta Kui-jiauw-pang itu bukan mereka."
"Hemm, bagaimana engkau bisa tahu bahwa bukan mereka pembunuhnya" Lalu siapa yang membunuh?"
"Dari para anggauta yang melakukan penguburan kami mendengar bahwa sepuluh orang itu tewas terkena anak panah beracun. Kami mendatangi kuburan mereka dan menyuruh gali kembali untuk memeriksa. Dan ternyata mereka itu terkena anak panah dan pada gagangnya terdapat tulisan Lam Tok."
"Ahhh".! Jadi Lam Tok kiranya yang membunuh mereka?" bentak Toa Ok marah.
"Agaknya memang benar begitu, Toa-pangcu."
Keparat Lam Tok. Belum bertemu dengan kami telah turun tangan membunuh anak buah kami. Pasti akan kutegur perbuatannya itu!"
Pada saat itu, seorang anggauta Kui-jiauw-pang masuk dengan muka pucat dan melapor kepada Toa Ok. "Toapangcu di lereng selatan ada seorang gadis dan seorang pemuda yang sedang mengamuk!"
Mendengar laporan ini, Toa Ok marah sekali. "Mari kita semua pergi ke sana! Dua orang muda itu harus dibunuh!"
Semua orang bangkit dari tempat duduknya dan serentak mereka berlari menuruni puncak bagian selatan, dan pelapor tadi menjadi penunjuk jalan.
Setelah tiba di lereng bagian selatan, mereka melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan sedang dikeroyok belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang yang dibantu lima orang angguta Pek-lian-kauw. Sudah ada beberapa orang pengeroyok yang roboh dan dua orang muda itu masih mengamuk, si pemuda memainkan sebatang pedang dan gadis itupun mengamuk dengan pedangnya. Melihat mereka, See-thian Su-hiap dan Bu-tek Ngo-sian berbisik, "Bukan, bukan mereka"..!"
Mendengar ucapan mereka itu, Toa Ok lalu melompat maju dan membentak. "Bocah-bocah lancang! Berani benar kalian mengacau di Kui-liong-san!"
Bentakan itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat sehingga suara itu seolah menggetarkan bumi. Pemuda dan gadis itu bukan lain adalah Tio Gin Ciong dan Siangkoan Cu Yin! Mendengar bentakan yang dahsyat itu, Gin Ciong dan Cu Yin maklum bahwa yang datang adalah seorang yang sakti bersama belasan orang lainnya. Cu Yin dan Gin Ciong melompat ke belakang dan sekali tangan Cu Yin bergerak, tiga batang anak panah sudah meluncur ke arah Toa Ok!
"Sing-sing-singgg?"..!" Toa ok menyambut dengan kedua tangannya dan dia sudah menangkap tiga batang anak panah itu. Ketika dia memeriksa, mata anak panah itu mengandung racun dan pada gagangnya terdapat dua huruf: Lam Tok. Segera dia dapat menduga siapa adanya gadis yang ganas itu.
"Hemm, engkau puteri Lam Tok, bukan" Ada urusan apa engkau berani mengacau di tempat ini?"
Biarpun maklum bahwa tiga belas orang yang datang adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun Cu Yin sama sekali tidak kelihatan jerih.
"Aku memang puteri Lam Tok. Aku dan kawanku ini sedang melakukan perjalanan disini, mengapaorang-orang ini mengeroyok kami" Kalian datang hendak membantu mereka?"
"Hemm, gadis kecil, ayahmu sendiri Si Racun Selatan tidak berani memandang rendah kami! Dan engkau, anak muda. Siapakah engkau?" Toa Ok mengamati wajah Gin Ciong dengan tajam penuh selidik karena tadipun dia melihat sepak terjang pemuda ini cukup hebat.
Gin Ciong tersenyum bangga. "Ayahku adalah Majikan Pulau Beruang!"
Toa Ok membelalakkan matanya. "Jadi engkau putera Tung-giam-ong Si Datuk Timur" Bagaimana kalian dapat berada disini" Di mana ayah kalian?" Toa Ok mendapat pikiran yang bagus sekali. Gadis dan pemuda ini ternyata adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam "ong. Alangkah baiknya kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutu, dengan demikian ada harapan baginya untuk menarik Lam Tok dan Tung-giam-ong menjadi sekutu pula.
"Bagus sekali! Kiranya kalian adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong yang memang kami tunggu-tunggu sebagai tamu-tamu kami. Nona, siapakah namamu, dan engkau muda, siapa namamu?"
Melihat sikap ramah kakek yang berkepala botak dan besar itu, Cu Yin mengerutkan alisnya.
"Sebelum kami memperkenalkan diri lebih dulu engkau yang mengatakan siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Kui-jiauw-pang?"
"Ha-ha-ha-ha!" Toa Ok tertawa bergelak. "Anak Lam Tok ternyata bernyali besar, tidak percuma menjadi puteri Lam Tok. Kalian ingin tahu siapa kami" Aku dan adikku ini adalah datuk-datukd ari barat."
Cu Yin menyipitkan matanya. "Toa Ok dan Ji Ok?" tanyanya.
"Ha-ha-ha, bagus kalau engkau sudah mengetahuinya. Akan tetapi sekarang kami menjadi ketua Kui-jiauw-pang aku menajdi Toa Pangcu, daikku menjadi Ji Pangcu dan yang berjubah merah itu adalah Sam Pangcu."
Mendengar bahwa gadis dan pemuda itu adalah anak-anak Lam Tok dan Tung-giam-ong, Bu-tek Ngo-sian segera memperkenalkan diri mereka, "Kami adalah Bu-tek Ngo-sian!"
"Perkenalkan, aku adalah Coa Leng Kun." Leng Kun juga memperkenalkan diri kepada gadis yang cantik molek itu, senyumnya memikat dan pandang matanya bersinar-sinar!
"Kami berempat adalah See-thian Su-hiap." Empat orang tosu itiu tidak mau kalah memperkenalkan diri.
Mendengar sederetan nama julukan itu, diam-diam Cu Yin terkejut bukan main. Baru Toa Ok dan Ji Ok itu saja sudah merupakan dua orang tokoh yang kedudukannya setingkat dengan ayahnya. Dan masih banyak nama julukan yang terkenal mendeampingi mereka! Iapun maklum bahwa terhadap mereka ini ia tidak boleh bersikap kasar karena mereka semua adalah orang-orang tangguh. Cu Yin cukup cerdik untuk mengubah sikap menjadi ramah kepada mereka.
Aih, kiranya kalian adalah orang-orang yang menjadi sahabat ayah. Aku bernama Siangkoan Cu Yin dan temanku putera Tung-giam-ong ini bernama Tio Gin Ciong. Tadi terjadi kesalah-pahaman antara orang-orangmu dan kami. Kami dicurigai dan diusir dari tempat ini, maka terjadilah perkelahian."
"Ah, tidak mengapa, nona. Mereka itu bodoh dan tidak tahu berhadapan dengan siapa maka berani bertindak kasar. Harap nona dan kongcu suka memaafkan anak buah kami."
"Hemm, tidak mengapa paman. Kami tidak terluka dan syukur kami tidak membunuh seorangpun dari orang-orangmu. Eh, kalau tidak salah, Sam Pangcu ini yang berjuluk Ang I Sianjin, bukan?"
Kakek berjubah merah itu mengelus jenggotnya. "Nona Siangkoan ternyata bermata tajam dan cerdik sekali. Aku memang Ang I Sianjin, akan tetapi sekarang aku berjuluk Sam Ok dan berkedudukan sebagai Sam Pangcu di Kui-jiauw-pang."
"Hemm-hemmm".. aku mendengar bahwa engkau telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin dan telah merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Benarkah kabar itu?"
"Ah, nona Siangkoan. Aku yang sudah tua ini tidak membutuhkan pedang pusaka itu, walaupun benar aku telah mengambilnya. Ketahuilah, aku membunuh Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam karena dahulu dia telah membunuh keluargaku dengan menggunakan pedang pusaka itu. Aku sudah tua, pedang pusaka itu lebih patut menjadi milik seorang muda seperti nona."
"Heh-heh-heh, nona Siangkoan. Marilah kita pergi kerumah perkumpulan agar dapat bicara lebih leluasa. Nona dan kongcu menjadi tamukehormatan kami. Kami mengundang ji-wi (kalian) untuk menunjukkan penyesalan kami atas sikap anak buah kami."
Cu Yin dan Gin Ciong saling pandang dan gadis itu menganggukkan kepalanya maka Gin Ciong juga menyetujuinya. Siangkoan Cu Yin terlalu percaya kepada diri sendiri dan nama besar ayahnya. Tidak mungkin ada yang berani mengganggunya! Beramai-ramai mereka pun mendaki puncak menuju ke sarang Kui-jiauw-pang.
Sebuah perjamuan makan dihidangkan untuk menghormati dua orang muda yang menjadi tamu agung itu. Coa Leng Kun segera bermanis-manis muka terhadap Cu Yin, bahkan mengambil tempat duduk di sebelah kanan Cu Yin ketika mereka duduk menghadapi meja perjamuan. Diam-diam Gin Ciong merasa tidak senang, akan tetapi karena Leng Kun bersikap sopan dan agaknya Cu Yin juga menerima uluran persahabatan Leng Kun dengan senang hati, diapun tidak dapat mencegah.
"Akupun sependapat dengan Sam Pangcu yang tadi mengatakan bahwa pedang Pek-lui-kiam lebih pantas kalau berada di tangan seorang pendekar wanita muda seperti nona Siangkoan," kata Leng Kun sambil tersenyum manis dan mengerling ke arah gadis itu.
"Ah, Sam Pangcu tentu berkata hanya untuk main-main saja," kata Cu Yin sambil tersenyum. "Mana mungkin pusaka yang diperebutkan orang-orang kang-ouw itu diberikan begitu saja kepadaku?"
"Ha-ha-ha, apa gunannya bagi kami untuk berbohong, nona Siangkoan?" kata Toa Ok
sambil mengangkat cawan araknya dan minum habis sekali tenggak. "Kami akan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu dengan senang hati kepada nona, asal saja nona mau membantu kami menghadapi orang-orang kang-ouw yang hendak merampas dan memperebutkan pedang pusaka itu. Kepada puteri Lam Tok kami merasa seperti berhadapan dengan keponakan sendiri dan kalau kami menyerahkan pedang Pek-lui-kiam kepadamu, tentu Lam Tok tidak akan bersusah payah memperebutkan pusaka itu lagi bahkan membantu agar pedang pusaka itu tidak terlepas dari tanganmu dan direbut lain orang!"
Siangkoan Cu Yin yang cerdik itu segera mengerti bahwa pihak tuan rumah mau menyerahkan pedang akan tetapi ada syaratnya, yaitu bahwa dia harus membantu mereka.
"Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada paman sekalian?" tanya Siangkoan Cu Yin.
"Tidak banyak dan tidak sukar, nona. Engkau dan putera Tung-giam-ong tinggal disini sebagai tamu kehormatan kami dan kalian berdua membantu kami menghadapi musuh-musuh kami yang berdatangan dengan niat merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Bagaimana?"
"Hemm, menghadapi para tokoh kangouw merupakan pekerjaan berbahaya! Akan tetapi kapankah kalian hendak menyerahkan pedang pusaka itu?"
"Sekarang juga kami serahkan kalau nona mau berjanji akan membantu kami!" kata Toa Ok sambil mengeluarkan pedang Pek-lui-kiam. Dia mencabut pedang itu dan nampak sinar kilat berkelebat ketika pedang itu terhunus. "Nah, terimalah Pek-lui-kiam ini, nona Siangkoan!"
Cu Yin menjadi girang bukan main. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan pedang pusaka itu sedemikian mudahnya! Ia lalu menerima pedang yang sudah disarungkan kembali itu dan untuk meyakinkan hatinya, ia mencabut kembali pedang Pek-lui-kiam itu dan matanya silau melihat sinar berkilat dari pedang itu. Dengan girang ia menyarungkan kembali dan berkata, "Terima kasih, Toa Pangcu. Tentu aku akan membantu kalian, dan kalau bertemu ayah, aku akan meminta ayah membantu pula."
"Itu bagus sekali, nona Siangkoan."
Akupun akan membujuk ayah untuk membantu kalau aku bertemu dengan ayah di sini," kata Tio Gin Ciong, ikut gembira melihat Siangkoan Cu Yin demikian senang hatinya.
Malam itu Cu Yin mendapatkan sebuah kamar yang lengkap, dan disebelah kiri kamarnya adalah kamar yang diberikan kepada Gin Ciong.
Akan tetapi malam itu Cu Yin tidak dapat tidur. Seluruh hati dan pikirannya terkenang kepada Si Kong dan ada rasa rindu yang mendalam terhadap pemuda itu. Ia membayangkan ketika masih menyamar sebagai Siangkoan Ji ia melakukan perjalanan bersama Si Kong dan ia merasa bahagia sekali. Akan tetapi perasaannya terpukul ketika ia teringat betapa Si Kong menolak cintanya. Sakit rasanya dan ia merasa benci sekali kepada Si Kong. Namun di lain saat ia merasa rindu. Harus diakuinya bahwa ia mencintai Si Kong dengan sepenuh hatinya dan ia merasa menyesal mengapa ia muncul sebagai Siangkoan Cu Yin di depan Si Kong sehingga pemuda itu tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamanya. Kalau saja ia masih menjadi pengemis muda, tentu sekarang ia masih bersama Si Kong dan membantu pemuda itu mendapatkan Pek-lui-kiam!
Ah, bagaimana kalau ia menyerahkan Pek-lui-kiam kepada Si Kong" Barangkali saja pemuda itu akan berubah dan membalas cintanya kalau ia menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya! Dengan pikiran ini Cu Yin dapat juga tidur pulas dan bermimpi tentang Si Kong.
*** Bwe Hwa berjalan seorang diri sambil berpikir tentang pengalamannya yang baru terjadi tadi. Kalau diingat kembali, timbul rasa malu dan penyesalan di dalam hatinya. Jelas bahwa ia telah jatuh cinta kepada Si Kong. Akan tetapi pantaskah kalau ia seperti memaksakan cintanya itu agar dibalas oleh Si Kong" Dan ia merasa begitu cemburu kepada Hui Lan! Kalau Si Kong mencintai Hui Lan, pantaskah kalau ia mencampuri dan hendak menghalangi" Berpikir tentang pemuda yang dicintanya itu, ia teringat akan sajak yang ditinggalkan Si Kong untuk ia dan Hui Lan. Tak mungkin ia melupakan sajak itu, seolah telah terukir bukan di tanah padas, melainkan di dalam hatinya. Mulut dara ini berkemak-kemik membaca sajak itu.
"Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tidak terikat apapun juga!"
Bwe Hwa menghela napas panjang dan berkata seorang diri dalam bisikan lirih.
"Seekor burung gagak yang papa" Aih, Kong-ko, betapa engkau telah merendahkan diri sedemikian rupa sehingga merasa tidak pantas berdekatan dengan kami." Ia lalu membayangkan keadaan pemuda itu sehingga pemuda itu begitu merendahkan dirinya. Si Kong seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, murid mendiang Ceng Lojin. Tidak, Si Kong bukan merendahkan diri karena kepandaian. Kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya atau kepandaian Hui Lan. Akan tetapi dia seorang yatim piatu, tidak bersanak kadang, tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan tempat tingg
Kisah Para Pendekar Pulau Es 12 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Kisah Para Pendekar Pulau Es 9
^