Pendekar Kelana 9
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
i anggauta dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat!
Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. "Kalian semua tentu telah melihat dan mendengar! Mulai saat ini, kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua" Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!"
Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, maka dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira.
Sam Ok lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.
*** Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu amat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Gadis itu masih muda, paling banyak sembilanbelas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai. Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah ia mendaki bukit itu. Melihat seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah di duga ia tentulah seorang gadis kangouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung dipunggungnya.
Memang ia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Ia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Gadis perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika ia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Setelah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong segera pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.
Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persisi ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya. Dalam usianya yang sembilanbelas tahun itu, ia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, ilmu Kwan Im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kum, ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), dan selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, ia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan ia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.
Biarpun masih muda, namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya amat menolongnya ketika ia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan tentang pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal. Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, ia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi kalau terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, ia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat. Kini ia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka Bwe Hwa pada pagi hari itu telah tiba dikaki gunung Kui-liong-san.
Matahari telah naik tinggi, namun sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu, cuaca masih remang-remang dan sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pohon. Namun pemandangan itu sungguh indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.
Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi ia sudah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak ketika mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.
"Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?" tanya kakek penjual bubur itu.
Bwe Hwa tersenyum. "Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman."
Orang itu memandang penuh kekhawatiran. "Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Disana menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu."
"Bahaya apakah, paman?" tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal ia sudah mendengar bahwa bukit itu menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.
"Apakah nona belum mendengar" Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!"
Bwe Hwa tersenyum lagi. "Aku tidak takut kepada binatang buas, paman. Aku mempunyai pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku."
"Akan tetapi". ah, apakah nona belum mendengar?" Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. "Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu, kunasihatkan, pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona."
Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jerih mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan setan dan iblis oleh penjual bubur itu, tentu anak buah Kui-jiauw-pang.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Disana terdapat semak-semak belukar yang lebat. Ia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apak. Kemudian ia mendengar gerengan halus namun menggetarkan jantung. Bwe Hwa berhenti melangkah dan menhadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Ia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apapun.
Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya yang nongol keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Namun Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap.
Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa dapat menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimay yang lapar merupakan binatang yang amat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya. Perlahan-lahan harimau itu melangkah, menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam, nampak otot-ototnya menggeletar.
Kemudian, dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan lompatan kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman kedua kaki depan yang kuat.
Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum lagi sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi membuat dia marah sekali.
Bwe Hwa sudah mencabut pedangnya. Ia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan kini menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya sudah siap untuk menggigit apabila korbannya dapat dicengkeram dengan kedua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap. Ketika harimau itu menerkamnya, ia cepat menggeser kaki ke kiri dan pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.
"Crokk!!" Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh lagi. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.
Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tak mampu bangkit, timbul perasaan iba di hati Bwe Hwa. bagaimanapun juga harimau itu tidak jahat. Dia menyerang siapa saja yang dapat dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau ia menyiksanya. Diapun tidak akan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depat putus, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan. Setelah mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun dan harimau itupun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam dan hampir putus!
Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, "Wah, hebat sekali!"
Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan diikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak. Pemuda itu nampak tampan dan terutama bersih sekali sehingga tidak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar duapuluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.
Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang pesolek dan tampan ini dan apa maksudnya muncul dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini. Pemuda itu pun seakan terpesona. Dia melihat seorang gadis yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa, berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan membunuhnya.
Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemuncullannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenym dan menjura memberi hormat.
"Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan dalam hutan ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiu, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tidak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?"
Bwe Hwa tidak merasa tidak senang ditegur oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
"Justeru karena kedua kaki depannya putus aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan."
Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan kagum. "Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga amat bijaksana. Memang, apa yang nona lakukan itu tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kami bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kami saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlalu tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tidak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona."
Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan dia mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu. Ketika Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya untuk membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu dan dia minta agar Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Tang Hay dan keluarganya.
Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa girang sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu, kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalas dendamnya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran. Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, maka diapun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka, diapun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya mengapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa.
Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya, tentu dia akan menjadi marah. Akan tetapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, ia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Iapun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.
"Aku bernama Pek Bwe Hwa," katanya singkat.
Coa Leng Kun mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "She Pek" Aku pernah mendengar akan keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di Kong-guan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?"
Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw, karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada ditempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.
"Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku," ia menerangkan dengan pendek.
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!" Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. "Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!"
"Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebetulnya, apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun" Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar."
Coa Leng Kun tersenyum. "Tepat sekali pertanyaanmu, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi melihat kelihaianmu, aku mengerti jawabannya."
"Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini."
"Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apalagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?"
Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda terpelajar dan juga pandai ilmu silat yang jujur.
"Kalau dugaanmu begitu, demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula," katanya.
Coa Leng Kun tertawa. "Engkau cerdik dan menduga dengan tepat, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk berhasil merebut pusaka itu kalau mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkan. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja."
Pemuda ini pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai dimana kehebatan ilmu silatnya.
"Engkau terlalu merendahkan diri, sauadar Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu, kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing."
Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. "Ah, mana aku berani, nona" Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!"
Bwe Hwa tersenyum. "Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Dan pula, mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tidak akan saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Kalau kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat bersahabat."
"Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona" Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat."
"Keluarkan senjatamu, saudara Coa!" kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.
Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggang merah dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu titiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat ia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga Sin-kang yang kuat, maka ia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka iapun berkata dengan suara lembut.
Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir kalau sulingmu yang terbuat dari perak itu kalau bertemu dengan pedangku akan menjadi rusak."
Leng Kun tersenyum lebar. "Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku tidak akan rusak." Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.
"Aku telah siap, nona. Mulailah!"
Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Ia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya"
"Lihat pedang!" bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada. Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak lalu membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Akan tetapi dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.
"Cring" trangg"..!!" Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.
Mereka lalu menyerang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im-kiamsut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi dengan suara melengking-lengking!
Setelah bertanding selama limapuluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau mereka berkelahi benar-benar, ia akan menang, akan tetapi akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah puas menguji ilmu silat pemuda itu, ia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.
"Coa Leng Kun, tak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang beruubah menjadi sepuluh batang!" Gadis itu mengerahkan tenaga batinnya, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu. Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang dan berseru, "Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!"
Bwe Hwa tersenyum dan tidak menyerang lagi. Pemuda itu masih bengong keheranan. "Nona, ilmu pedang apakah yang kaumainkan tadi" Pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan."
Bwe Hwa merasa senang. Biarpun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, akan tetapi dengan kekuatan sihirnya oa mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.
"Ah, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa."
"Nona engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak dapat menandingimu. Pula, kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Kenapa engkau masih menyebutku saudara Coa" Terdengarnya begitu asing."
"Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?"
"Engkau lebih muda dariku, pantas kuesebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kausebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?"
Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka iapun tidak keberatan untuk menganggap epmud aitu sebagai sahabat atau kakaknya.
"Baiklah, Kun-ko," jawabnya sederhana.
Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun. "Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan dimana engkau tinggal. Hwa-moi" Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari, pendekar Tan Tiong Bu di bunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali."
"Dari siapakah engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu" Siapakah gurumu yang telah meninggal dunia itu?"
"Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan namanyapun tak seorang pun mengetahuinya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta di sebut Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi."
Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti sudah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Orang tuaku yang memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Akupun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw segera dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka akupun datang ke sini untuk menyelidikinya."
"Dengan kepandaianmu, aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi."
"Aih, belum tentu, twako. Setidaknya disini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentu ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil."
"Tidak, Hwa-moi. Aku tidak akan berebut denganmu, aku bahkan akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!"
Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, mengapa begitu baik hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam" Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih. Ayahnya sudah menasihatkan kepadanya bahwa musuh yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya" Ia harus berhati-hati.
"Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?":
Leng Kun tersenyum. "Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?"
"Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan."
"Akan tetapi kita telah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa kagum sekali kepadamu, dan suka sekali. Ah, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?"
"Daging harimau?" Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain. "Aku belum pernah memakannya."
"Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Kalau pandai memasaknya, daging harimau itu lezat sekali. Biarpun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu." Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigannya sudah terlupa lagi olehnya.
Ia hanya duduk di atas baju sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatak Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya dan setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lalu dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu di tusuk dengan belahan bambu yang didapatkan disekitar tempat itu dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang amat sedap sehingga timbul seleranya. Ia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.
"Coba cicipilah!" kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.
"Hemm, baunya sedap!" kata Bwe Hwa terus terang dan setelah daging itu agak mendingin, ia menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali,, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena di bumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, dan Leng Kun membawa seguci arak.
Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa, "Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku mendaki dari arah kanan. Kita bertemu diatas nanti. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang diantara kita tentu berhasil."
Bwe Hwa mengangguk. "Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di jalan menuju ke atas."
"Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. "
"Sampai nanti, Kun-ko."
Bwe Hwa lalu meloncat ke kira dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Diapun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya.
Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini tidak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar. Selosin orang anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak maka dapat tiba disitu tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.
Heii, berhenti!! Siapa engkau berani datang ke sini tanpa diundang?" bentak kepala jaga dengan suara lantang.
Leng Kun tersenyum dan berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata sepuluh orang itu. "Bagus, kalian melakukan penjagaan yang ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan." Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih. "Serahkan ini kepada ketua kalian!"
Kepala jaga melihat bendera itu, berubah sikapnya. Dia menerima bendera itu, memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah, "Harap kongcu suka menunggu di dalam gardu sebentar menanti kembalinya pelapor."
Leng Kun mengangguk sambil tersenyum lalu duduk di dalam gardu penjagaan. Para penjaga tidak ada yang bicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut.
Tak lama kemudian, pelapor itu kembali dan mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang sudah berusia lanjut. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi.
Leng Kun bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu.
"Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?" tanya Leng Kun.
Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu dan menjawab, "Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu."
Leng Kun mengikuti Sam ok memasuki pintu gerbang dan dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain yang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati. Adapun orang kedua bertubuh kurus pendek, rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang, mukanya penuh rambut seperti monyet. Kalau orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin.
Begitu memasuki ruangan itu, Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin, "Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Lui-jiauw-pang, akan tetapi mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?"
"Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Nama julukanku kini adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kiu-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa ok dan Ji Ok, yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami ini. Kami belum mengetahui siapa namamu."
"Namaku adalah Coa Leng Kun," jawab pemuda itu, "aku di utus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Akan tetapi dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?" Pemuda itu memandang dengan ragu kepada dua orang kakek itu.
"Heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau dapat melakukan perundingan dengan kami bertiga disini. Akan tetapi keadaanmu sungguh membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda" Sungguh sembrono para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang amat penting." kata Toa Ok.
"Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda," kata Sam Ok. "Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu aseli. Toa Ok, bagaimana kalau kita mengujinya lebih dulu?"
"Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu karena orang yang tidak memiliki kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami."
Coa Leng Kun tersenyum mengejek. "Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak senang mendengar ketidak-percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapapun juga." Mulutnya berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia bersikap tenang.
Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang kini di pimpin oleh Kaisar Wan Li. Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi setelah berkali-kali usahanya gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, maka pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan diantara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.
Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai kalau sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata, "Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya."
Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berduapun tekah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang amat kuat, dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Kalau Sam Ok yang menguji, mereka berduapun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu.
Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata, "Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!"
Diam-diam leng Kun merasa lega hatinya. Diapun belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.
"Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan Pek-lian-pai yang di percaya penuh aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian."
Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak menggunakan senjata, diapun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin memang tidak bermaksud terlalu mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andaikata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak melukai pemuda itu.
"Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!" kata Sam Ok.
"Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka engkau yang sepantasnya menyerang dulu, Sam Ok!" kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Bagus! Lihat seranganku!" Sam Ok membentak dan diapun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biarpun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya, akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.
Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul melakukan pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!
"Haiitt"..!" Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, diapun mengerahkan sinkang untuk menangkis.
"Dukkk".!" Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga
langkah, akan tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalah hal tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat.
Akan tetapi pemuda itu hendak menutupi kekurangannya dalam hal tenaga itu dengan kelebihan ginkangnya. Dia bergerak cepat sekali dan kini tubuhnya berpusing seghingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berpusing itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terpaksa mundur terdesak hebat.
Pada saat itu, Toa Ok berseru, "Hentikan pertandingan!"
Legalah hati Sam Ok. Dia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan dan kalau dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya.
"Cukup sudah Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi menggunakan ilmu silat Gelombang Samudera dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu Hek Tok Siansu almarhum. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak menggunakan ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok Siansu?"
Leng Kun maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Maka, diapun berterus terang.
"Mendiang Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!"
Mendengar jawaban ini, Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri.
Bagus sekali! Dahulu, Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan sekarang cucunya melanjutkan kerja sama itu sehingga diangkat menjadi utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!" kata Toa Ok dan nada suaranya lebih ramah.
"Kami mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kaubawa?"
"Pimpinan Pek-lian-pai mengutus aku datang ke sini untuk membantu Kui-jiauw-pang
yang akan kedatangan banyak orang pandai yang ingin merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kami tidak mengetahui bahwa sekarang Kui-jiauw-pang memiliki dua orang ketua baru sehingga keadaannya lebih kuat lagi. Untuk itu, aku sebagai utusan Pek-lian-pai mengucapkan selamat kepada para ketua baru."
Tiga orang ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang, "Jangan khawatir, Cao-sicu. Kami telah tahu akan hal itu dan kami telah siap siaga. Siapapun yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi dari daerah Kui-liong-san. Apalagi engkau datang membantu sehingga keadaan kita lebih kuat lagi."
"Ketika hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu tinggi. Ia tidak boleh dipandang ringan karena ia adalah cucu dari ketua Pek-sim-pang!"
Tiga orang ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, dalam suaranya terkandung kekhawatiran. "Cucu ketua Pek-sim-pang" Siapa namanya, sicu?"
"Namanya Pek Bwe Hwa."
"Ah, tidak salah lagi. Ia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang amat terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek Han Siong!" kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya. "Ayah gadis itu, Pek Han Siong, akan merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekalipun tidak perlu kita takuti."
Coa Leng Kun mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, daripada menghadapi gadis itu sebagai lawan, lebih baik kalau ia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita."
Tiga pasang mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru, "Aneh! Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama" Kalau ia datang, tentu ia menginginkan pedang pusaka itu!"
"Benar apa yang dikatakab Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama dengan kita" Sejak dahulu, ayah gadis itu menentang pemberontakan terhadap kerajaan, bahkan dia menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?" tanya Sam Ok.
"Harap sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke Kui-liong-san, aku bertemu dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai. Ia mengira aku seorang di antara mereka yang ingin merampas pedang Pek-lui-kiam. Bahkan kami bersepakat untuk bekerja sama dalam hal ini, dan aku akan membantunya. Nah, kalau aku sekarang mengawaninya naik ke sini dan memperkenalkan ia kepada sam-wi, tentu ia akan merasa senang sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya untuk menyerahkan pedang pusaka itu."
"Ahhh?"!" Tiga orang ketua itu berseru kaget.
"Harap tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah, pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat membasmi orang-orang itu."
Tiga oran ketua itu mengangguk-angguk dan saling pandang.
"Akan tetapi kita harus merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau ia mengetahui hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan ia akan menganggap aku sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya bersikap baik kepadanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar ia percaya."
"Baiklah, Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu." akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, kedudukan mereka tentu lebih kuat. "Akan tetapi, agaknya engkau membenci wanita itu. Ada urusan apakah antara engkau dengannya?"
Leng Kun menghela napas panjang lalu berkata, "Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang paling kubenci karena merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay, dan keluarga Pek Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu tewas."
Tiga orang kepala perkumpulan Kui-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru, "Ah, musuh-musuhmu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai karena mereka berdua itulah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam pemberontakan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian yang hebat."
Leng Kun mengerutkan alisnya. "Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali puteri keluarga Pek berada di sini."
"Kenapa ia tidak kita bunuh saja karena ia adalah puteri musuh besarmu, sicu?" tanya Sam Ok.
"Ahh, pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak memetik keuntungan apapun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat daripada itu. Selain itu kita dapat mempergunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan hatinya. Kalau sampai aku dapat mempermainkannya sebagai isteriku, ini berarti aku telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!"
Toa Ok dan Ji Ok tertawa bergelak. "Bagus! Kiranya engkau yang masih muda ini mempunyai kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu. Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap gadis itu." kata Toa Ok.
"Sekarang aku minta agar sam-wi pangcu mengirim seregu anak buah Kui-jiauw-pang untuk menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka."
"Akan tetapi, jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun sehingga siapapun yang hendak mendaki puncak ini akan menghadapi bahaya maut! Kami juga sudah memasang para anggauta untuk menjadi baris pendam, menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai jalan rahasia."
"Gadis itu lihai dan cerdik sekali, tentu ia akan dapat menghindarkan diri dari jebakan dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang untuk mengeroyoknya."
Leng Kun lalu memimpin limabelas orang anak buah Kui-jiauw-pang, menuruni puncak itu. Dia berpesan kepada limabelas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa, akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.
Akan tetapi dia berpesan pula kepada mereka agar mereka jangan sampai melukai gadis itu, dan berhati-hati karena gadis itu lihai sekali. Para anggauta Kui-jiauw-pang yang sudah mengetahui bahwa pemuda itu seorang utusan Pek-lian-pai dan diterima dengan hormat oleh tiga orang ketua mereka, menaati pesan Leng Kun.
Pek Bwe Hwa melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Ia dapat menduga bahwa Kui-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang berbahaya. Ia menggunakan semua kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum kakinya melangkah. Ia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang dan dengan kayu ini ia mencoba jalan di depannya. Ketika ia melihat di depannya sepetak rumput menutupi jalan, ia lalu menggunakan rantingnya untuk memeriksa. Ia menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan seperti yang di khawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah selimut rumput itu, dibawahnya kosong dan merupakan lubang. Ia lalu mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi dibawah rumput. Maklum bahwa didepannya terdapat jebakan lubang besar tertutup rumput, ia lalu mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya.
Ia melangkah terus dengan berani. Walaupun terdapat banyak perangkap, ia tidak takut dan melanjutkan perjalananya dengan penuh kewaspadaan. Diam-diam ia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak perangkap pula. Akan tetapi ia menenangkan hatinya. Leng Kun adalah seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik.
Ketika ia menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya. Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar masuk ke dalam semak-semak. Bwe Hwa turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah ia bahwa tadi ia telah menginjak sepotong kayu yang menarik sehelai tali yang dihubungkan dengan alat melepas anak panah itu dan yang berada di dalam semak belukar. Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi ia tidak merasa takut dan melangkah terus dengan lebih berhati-hati, melihat dulu sebelum ia melangkah.
Ketika jalan setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak. Limabelas orang laki-laki telah berdiri didepannya dan mereka semua memakai cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan. Bwe Hwa dapat menduga bahwa belasan itu tentu anak buah Kui-jiauw-pang, maka iapun siap untuk menhadapi pengeroyokan mereka. Ia bersikap tenang saja dan memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam.
Pemimpin regu anak buah Kui-jiauw-pang itu lalu membentak dengan suara lantang,
"Engkau siapakah berani memasuki wilayah kami tanpa ijin, nona" Lebih baik engkau menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, daripada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu."
Dengan sikap tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab, "Aku tidak sudi menyerah dan kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan, silakan. Hendak kulihat bagaimana caranya kalian menggunakan kekerasan!"
Pemimpin regu memberi aba-aba dan limabelas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor srigala mengepung seekor domba. Akan tetapi setelah mereka bergerak, yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, melainkan seekor harimau betina dan tangguh sekali. Ketika mereka menyerbu untuk menangkap gadis itu, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya. Belasan oran itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa sebagai seorang gadis cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tidak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah empat orang dibuat roboh oleh Bwe Hwa. Barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru, "Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!"
Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran. "Mengapa, Kun-ko" Mereka ini hendak menangkap aku!"
"Hwa-moi, mereka ini adalah para anggauta Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap kau maafkan mereka yang tidak tahu ini." Dia lalu menoleh kepada para anggauta Kui-jiauw-pang sambil membentak, "Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap yang gagah perkasa ini!"
Limabelas orang itu lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, "Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!"
Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Setelah belasan orang itu pergi, ia bertanya kepada Leng Kun. "kun-ko apakah yang telah terjadi" Kenapa engkau nampaknya berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?"
"Tentu engkau menjadi heran, Hwa-moi. Aku sendiripun sama sekali tidak menyangka akan mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika aku mendaki, akupun bertemu dengan belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang dan aku dikeroyok. Aku dapat mengalahkan mereka dan muncullah seorang diantara tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia mengenal ilmu silatku dan menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kui-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa diantara sahabat pedang itu tidak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Marilah kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Aku telah menceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerimamu sebagai sahabat pula."
Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apabila pedang berada di tangan seorang jahat, ia harus merampasnya. Akan tetapi apabila pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, ia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari tangan orang jahat. Ia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi ia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat!
"Kun-ko, bukankah Kui-jiauw-pang itu perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?"
"Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir dan rumah judi, darimana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka kitapun sepantasnya bersikap baik kepada mereka. Maka soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Ia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja" Akan tetapi ia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya.
"Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka." kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali.
"Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain." kata Leng Kun dan mereka lalu mendaki puncak bukit Kui-liong-san. Ia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup diantara pohon dan semak.
"Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?" tanya Bwe Hwa ketika mereka menyusup di antara semak berduri.
"Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman."
Bwe Hwa menjadi semakin heran. "Kenapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko" Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?"
"Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka."
Mereka maju dengan cepat karena mereka menggunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang, Bwe Hwa melihat belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat. Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang.
Ketika mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar.
"Selamat datang, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-lihiap!" kata Sam Pangcu.
Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang membunuh pendekar Tan tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kui-jiauw-pang. Iapun memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam ia terkejut melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itupun sambil tersenyum mengenalkan diri. Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali dan tubuhnya gendut mengaku sebagai Toa Pangcu. Adapun orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet. Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju ketiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah.
Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab.
"Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menyambut kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu."
"Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!"kata Toa Pangcu.
"Pek-lihiap, mari silakan duduk!" kata Ji Pangcu sambil tersenyum. Melihat keramahan tiga orang ketua itu, Bwe Hwa merasa senang. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu yang duduk sambil mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan dan minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan.
Melihat ini, tahulah Bwe Hwa bahwa ia akan dijamu makanan, maka ia mengerutkan alisnya dan menolak.
"Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada disini, dan jangan merepotkan sam-wi."
"Aah, mana bisa begitu, lihiap" Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Setelah makan minum, barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini." kata Toa Pangcu.
Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa, memandang kepada gadis itu dan
berkata lirih, "Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, tidak enak kalau kita menolak hidangan mereka."
Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata, "Kedatangan kami merepotkan sam-wi saja."
Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Setelah melihat pihak tuan rumah makan, barulah ia berani mengambil hidangan dan makan. Ia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai ia tertipu dan keracunan.
Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebetulnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?"
Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan iapun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di depannya.
"Begini, sam-wi pangcu. Telah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga medengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu." Setelah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatapwajah ketiga orang ketua.
"Hemm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?" tanya Sam Pangcu.
"Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh terjatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, ketika pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan akupun tidak akan mengganggunya. Akan tetapi, Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, setelah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk menyelidiki kebenaran berita itu." Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu.
"Ha-ha-ha-ha!" Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan
kepala yang besar itu digeleng-gelengkannya. "Tidak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami. Kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apalagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu. Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang."
Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, dan pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu. "Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?"
"Semua gara-gara Pek-lui-kiam. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu, Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. "Akan tetapi kenapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu
membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?" tanyanya.
Sam Pangcu menghela napas panjang. "Antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang besar. Juga pedang Pek-lui-kiam itu dia gunakan untuk membunuh keluargaku. Maka, aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam, baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu."
"Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?" tanya
pula Bwe Hwa. "Sekarang juga akan kami serahkan kalalu lihiap berjanji akan membantu kami
menghdapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami."
Kesangsian Bwe Hwa lenyap. "Kalau begitu, aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang."
"Ha-ha-ha, agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, akan tetapi sebaliknya kami telah percaya sepenuhnya kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dulu" Baik, kami akan serahkan sekarang juga!"
Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.
"Terimalah Pek-lui-kiam ini, lihiap!"
Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Ia menerima pedang itu. Akan tetapi ia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru ia akan percaya. Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu indah sekali dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri.
"Pek-lui-kiam"..!" Gadis itu berseru girang. Ia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka ia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu.
"Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir kalau ada orang berani datang ke sini
untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu akan senang membantu, bukan?"
Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa bergembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu.
"Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal disini selama satu bulan dan selama itu kita berdua akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!"
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan" Terlalu lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, iapun merasa tidak enak kalau menolak.
Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Demikian pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa.
Biarpun pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan ia memperingatkan Leng Kun pada malam itu sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.
"Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak."
"Aih, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?"
"Siapa lagi, tentu pimpinan Kui-jiauw-pang."
"Ah, kenapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi" Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkannya kepadamu. Aku sudah percaya sepenuhnya kepada tiga orang ketua itu, Hwa-moi."
"Syukurlah kalau benar mereka baik kepada kita. Akan tetapi bagaimana pun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?"
"Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Mereka telah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?"
Maksudku bukan mencurigai siapapun, hanya kita harus tetap waspada dan hati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja."
"Baik, Hwa-moi, selamat tidur."
Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Ia tidak menyadari bahwa yang dikhawatirkannya itu bahkan datanag dari orang yang paling dipercayanya saat itu.
Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Bulan menebarkan cahayanya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah namun penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu bahkan membuat tempat itu menjadi seram dan mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan. Demikian pula keadaan di sekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu.
Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu. Menjelang tengah malam,tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia melangkah ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah yang menghentikan suara jengkerik dan belalang itu. Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enampuluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, akan tetapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang.
Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendahseperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu.
Kakek ini tidak tahu kalau dibelakangnya, dibalik semak belukar, terdapat dua orang
yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-
semak. "Wah, itu ayahku".!" bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah
Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari
Timur). Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan. Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu. Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah manapun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya mempergunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itu, mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin segera mengenal ayahnya.
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tio Gin Ciong adalah puteri datuk besar dari timur, akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, diapun merasa jerih. Dia melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.
"Ssttt".. itu disana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu".." Siangkoan Cu Yin mengangguk dan diapun melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang di duduki ayahnya. Ia juga tidak tergesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat ia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari.
Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggauta Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang berani memasuki tempat itu, lima orang anggauta Kui-jiauw-pang ini mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat kakek itu dengan baik. Maka mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan di lakukan orang itu kalau malah sudah berganti pagi.
Melihat lima orang tidak hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apapun, Gin Ciong berbisik. "Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga."
Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Ia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam ia berpikir mengapa ayahnya berada di tempat itu. Ia yakin bahwa ayahnya tentu telah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau ia dan Gin Ciong, tentu belum di ketahui ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicarapun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu.
Sambil merebahkan dirinya, Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya dan ia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerakgerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya. Ia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena ia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi oleh bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin ia dapat mencinta pria lain. Di manakah kini Si Kong berada" Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau ia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kui-liong-san. Sebetulnya inilah yang menariknya dan mau pergi ke Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong!
Malam yang indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin telah bangu dari tidurnya. Ia mendapatkan Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang samadhi. Dia menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.
"Dapat tidur nyenyak?" tanya Gin Ciong.
Cu Yin menganguk. "Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?"
"Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya
sedang tenggelam dalam samadhinya."
Cu Yin memandang ke arah ayahnya. Jarak di antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikitpun tidak bergerak seperti orang tidur.
"Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia sendiri hendak turun tangan merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?"
"Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar."
"Aku yakin ayahku telah melihat mereka atau telah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya."
Gin Ciong mengangguk dan mereka berdua kini menanti dan mengintai dengan hati tegang. Apalagi ketika mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka dan berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.
"Ayahmu terancam bahaya." Bisik Gin Ciong.
Cu Yin tersenyum mengejek. "Bukan ayah, melainkan sepuluh orang itu yang akan mampus!"
Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggauta Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas. Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin menyentuh tangannya dan ketika dia menengok Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong cepat memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak maupun menangkis!
"Tuk-tuk-tuk".!" terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Rok dan senjata rahasia itupun runtuh seakan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali.
Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata memiliki kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Akan tetapi dia lalu teringat akan julukan datuk itu. Lam tok (Racun Selatan) dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun.
Para anggauta Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka lalu berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian tubuh sebelah belakang datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung. Tiba-tiba datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya di gerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat dan dari kedua tangannya menyambar empat batang panah tangan. Terdengar teriakan keras ketika empat orang diantara para penyerbu itu terpelanting roboh dan tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan.
Enam orang yang lain terkejut dan marah sekali. Mereka terus menubruk ke depan dengan nekat.
"Hemmm"..!" Kakek itu mengeluarkan gerengan dan tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila. Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur! Enam orang anggauta Kui-jiauw-pang itu berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, demikian mereka roboh bergulingan saking nyerinya. Kiranya tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, akan tetapi juga telah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Tewaslah sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan.
Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar dimana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengar suaranya yang galak. "Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat kalau kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!"
Gin Ciong terkejut dan jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya, "Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku."
Gadis itu lalu meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Ia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.
"Ayah".!!"
Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali. "Hemm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi disana" Dan siapa pula pemuda itu?" Dia menudingkan ke arah Gin Ciong yang sudah mengangkat kedua tangan depan dada sambil memberi hormat dengan membungkukkan badannya.
"Dia kenalanku yang baru, ayah. Kami melakukan perjalanan ke Kui-liong-san ini untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Enkau tentu tidak dapat menebak siapakah pemuda ini!"
Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. "Ayah, aku ingin menguji kecerdikan ayah. Coba ayah menebak siapa pemuda ini, kalau dapat menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi kalau tidak dapat menebak, ayah harus merampas Pek-lui-kiam untukku!"
Lam Tok menggumam, "Hemmmm, apa sukarnya?" Tiba-tiba tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu, telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.
"Sambutlah!" serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong. Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar sehingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda ini sejak kecil sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, dia memiliki gerakan cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.
"Locianpwe".. apa kesalahanku"..!" dia menegur.
"Tidak usah banyak cakap. Sambulah ini".!" Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.
Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh, seperti juga ayahnya. Aneh, tidak perduli dan dapat pula bersikap kejam sekali seperti yang diperlihatkan Lam Tok ini terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.
"Ayah tidak boleh membunuhnya. Kalau ayah membunuh atau melukai, berarti ayah kalah bertaruh!"
Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak semakin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu lalu mengeluarkan suara memekik nyaring dan dia mengubah ilmu silatnya. Ilmu silat yang dimainkan itu sungguh dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia telah memainkan ilmu silat simpanannya yanitu Giam-ong Sin-kun (Ilat Sakti Raja Maut) dan pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!
"Dukk! Dess".!" Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalubertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!"
Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi untuk menyenangkan hati ayahnya, ia pura-pura mengejek, "Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau ayah sudah menegetahuinya?"
"Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!"
"Ayah ngawur! Bagaimana ayah dapat mengetahuinya" Ayah tentu asal menebak saja!" kata puterinya.
"Hemm, anak nakal. Apa kaukira engkau sendiri yang cerdik dan bayak akal" Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya dan pemuda ini mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat Tung-giam-ong."
"Akan tetapi, setiaporang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?"
"Ketika dia memainkanHek-wan-kun silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia mampu bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu."
Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa amat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan ia bertanya kepada ayahnya.
"Aku kalah, dan ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!"
Lam Tok terawa dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Tin Gin Ciong, "Siapa namamu?"
"Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe."
"Mana ayahmu" Apakah dia belum datang?"
Gin Ciong menjadi bingung. "Saya". saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini."
"Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!"
Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya. "Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?"
Pertanyaan itu seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah dia mencinta Cu Yin, tentu akan di jawabnya seketika dengan anggukan kepala!
"Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!" kata Cu Yin pura-pura marah.
"Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan tidak dapat dipercaya janjinya" Engkau telah kalah bertaruh denganku dan menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, engkau sudah membantah dan tidak segera menjawab!"
"Ayah, aku hendak menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!" Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Ia tahu benar akan watak ayahnya yang tidak pernah mundur menghadapi tantangan apapun dan dari siapapun juga.
Lam Tok mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab, "Hemm, dimatamu tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta kalau engkau memandang kepada Gin Ciong. Seorang wanita yang mencinta seorang pria, biarpun pada lahirnya disembunyikan, namun ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya kalau ia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!"
Tentu saja Gin Ciong merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan yang terus terang antara anak dan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya" Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya. Biarpun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Diapun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu.
Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka iapun berkata dengan lembut. "Cing-ko, harap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Terhadap ayah aku tidak mungkin dapat berbohong. Ayah benar, aku kagum kepada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria."
Lam Tok menghela napas panjang. "Sayang, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong, hal itu baik sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Dan bagaimana dengan keputusanmu" Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!"
Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok. "Saya sudah tahu, locianpwe. Bairpun saya jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun ia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa ia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong, akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya binta Yin-moi kepadaku akan berubah." Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.
"Hemm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin" Orang macam apakah dia itu?"
"Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, ayah."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia kelihatan gembira bukan main. "Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tidak perlu dipertanyakan lagi, akan tetapi engkau membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?"
"Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, ayah. Dia berani menolak cintaku dan
menolak ketika hendak keajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal, dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita."
Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemmmm"., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu" Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku dimana dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!"
Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata, "Sebetulnya Si Kong itu sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Akan tetapi ketika saya hendak membunuhnya, Yin-moi melarangku."
Cu Yin mengerutkan alisnya dan menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela. "Kalau engkau mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, aku tentu tidak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, dan terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!"
Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya. "Hemm, sampai dimanakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?"
Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. Dia lihai dan sombong sekali, locianpwe, karena dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!"
Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut. Nama julukan Pendekar Sadis bukan nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam jerih terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.
"Hemm, jadi dia murid Pendekar Sadis" Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?"
"Aku mencintanya dan juga membencinya, ayah."
"Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Kalau dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?"
Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, "Kalau dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya."
"Dan dimana sekarang dia berada?"
"Dia pernah mengatakan bahwa diapun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini."
"Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu."
"Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?" tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.
Lam Tok mengepal tinju tangannya. "Kalau dia tetap menolak, dia akan mampus ditanganku!"
Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu.
"Ayah akan mendaki puncak bersama kami?" tanya Cu Yin.
"Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama, kalian berdua akan dapat membela diri dengan baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!"
"Sampai jumpa, ayah." Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.
Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu dimana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berjalan cepat. Mereka adalah Si Kong dan Tang Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dulu melihat mayat bergelimpangan itu.
"Kong-ko, lihat".!" Ia menuding ke kiri. Ketika Si Kong menengok, diapun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan.
Si Kong meraba leher satu diantara mayat-mayat itu. "Masih hangat tubuh mereka, baru saja mereka terbunuh. Lihat, darahpun masih belum kering benar." Hui Lan ikut berjongkok memeriksa dan iapun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.
"Enam orang diantara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tanganhancur lebur. Mereka jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini".. ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka?".!"
"Siangkoan Cu Yin?" Hui Lan mendekati Si Kong. "Apa buktinya bahwa ia yang membunuh mereka ini?"
"Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap di tubuhh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin."
"Hemm, mengapa ia begini ganas dan kejam?"
Si Kong menghela napas panjang, seolah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin. "Ingat, ia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apalagi kalau ia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!"
Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir mati keracunan yang dilakukan oleh Siangkoan Cu Yin. "Kalau ia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti ia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya."
"Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini."
"Apa yang hendak kaulakukan, Kong-ko?"
"Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk disini dan menjadi makanan binatang buas. Pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin."
Hui Lan mengangguk dan diam-diam ia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Ia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong. Ia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Ia lalu membantu Si Kong menggali lubang tanpa berkata apa-apa dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati.
Akan tetapi setelah mereka berhasil menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba datang belasan orang yang mengenakan cakar setan pada tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan tahu bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Kui-jiauw-pang.
"Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!" bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggauta Kui-jiauw-pang yang berjumlah limabelas orang itu.
"Bukan kami yang membunuh mereka." kata Si Kong dengan tenang.
"Tidak mungkin orang lain!" bentak si muka hitam. "Engkau membunuh mereka dan berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah mengubur mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!"
Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab, "Namaku Si Kong dan nona ini adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, akan tetapi bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk disini."
"Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!" seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dam menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.
Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, "Lan-moi, jangan membunuh orang!"
Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, kemudian dengan tendangan kaki dan tamparan, kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan. Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang lagi, kini bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh.
Melihat kenekatan para pengeroyok Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya, limabelas orang itu kembali terpelanting dan sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri.
Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena ia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa. Seorang dari mereka berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empatpuluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok usianga lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai.
Melihat munculnya lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin. Tadinya dia mengira bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san untuk ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika membentak dengan suara marah dan orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.
"Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggauta Kui-jiauw-pang?"
Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya sudah lupa dan tidak mengenalnya lagi. "Kami berdua tidak membunuh. Orang lain yang membunuhnya dan belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Terpaksa kami melawan."
"Hemm, apa kaukira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?" bentak si muka bopeng.
Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu, menjadi penasaran dan ia yang menjawab dengan suara lantang, "Kalian mau percaya atau tidak, terserah! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!"
Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian dan yang paling muda diantara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.
"Nona manis, siapa namamu nona" Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Diantara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan bukankah itu baik sekali?" Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia sudah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini, Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.
"Heii, kamu ini anjing darimana berani menggonggong?" Ia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatab sihir yang dahsyat. Empat orang yang lain terbelalak ketika meli
Bukit Pemakan Manusia 23 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Jodoh Rajawali 15
i anggauta dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat!
Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. "Kalian semua tentu telah melihat dan mendengar! Mulai saat ini, kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua" Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!"
Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, maka dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira.
Sam Ok lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.
*** Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu amat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Gadis itu masih muda, paling banyak sembilanbelas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai. Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah ia mendaki bukit itu. Melihat seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah di duga ia tentulah seorang gadis kangouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung dipunggungnya.
Memang ia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Ia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Gadis perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika ia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Setelah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong segera pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.
Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persisi ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya. Dalam usianya yang sembilanbelas tahun itu, ia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, ilmu Kwan Im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kum, ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), dan selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, ia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan ia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.
Biarpun masih muda, namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya amat menolongnya ketika ia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan tentang pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal. Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, ia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi kalau terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, ia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat. Kini ia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka Bwe Hwa pada pagi hari itu telah tiba dikaki gunung Kui-liong-san.
Matahari telah naik tinggi, namun sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu, cuaca masih remang-remang dan sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pohon. Namun pemandangan itu sungguh indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.
Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi ia sudah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak ketika mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.
"Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?" tanya kakek penjual bubur itu.
Bwe Hwa tersenyum. "Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman."
Orang itu memandang penuh kekhawatiran. "Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Disana menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu."
"Bahaya apakah, paman?" tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal ia sudah mendengar bahwa bukit itu menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.
"Apakah nona belum mendengar" Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!"
Bwe Hwa tersenyum lagi. "Aku tidak takut kepada binatang buas, paman. Aku mempunyai pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku."
"Akan tetapi". ah, apakah nona belum mendengar?" Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. "Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu, kunasihatkan, pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona."
Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jerih mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan setan dan iblis oleh penjual bubur itu, tentu anak buah Kui-jiauw-pang.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Disana terdapat semak-semak belukar yang lebat. Ia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apak. Kemudian ia mendengar gerengan halus namun menggetarkan jantung. Bwe Hwa berhenti melangkah dan menhadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Ia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apapun.
Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya yang nongol keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Namun Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap.
Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa dapat menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimay yang lapar merupakan binatang yang amat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya. Perlahan-lahan harimau itu melangkah, menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam, nampak otot-ototnya menggeletar.
Kemudian, dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan lompatan kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman kedua kaki depan yang kuat.
Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum lagi sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi membuat dia marah sekali.
Bwe Hwa sudah mencabut pedangnya. Ia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan kini menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya sudah siap untuk menggigit apabila korbannya dapat dicengkeram dengan kedua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap. Ketika harimau itu menerkamnya, ia cepat menggeser kaki ke kiri dan pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.
"Crokk!!" Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh lagi. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.
Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tak mampu bangkit, timbul perasaan iba di hati Bwe Hwa. bagaimanapun juga harimau itu tidak jahat. Dia menyerang siapa saja yang dapat dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau ia menyiksanya. Diapun tidak akan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depat putus, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan. Setelah mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun dan harimau itupun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam dan hampir putus!
Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, "Wah, hebat sekali!"
Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan diikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak. Pemuda itu nampak tampan dan terutama bersih sekali sehingga tidak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar duapuluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.
Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang pesolek dan tampan ini dan apa maksudnya muncul dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini. Pemuda itu pun seakan terpesona. Dia melihat seorang gadis yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa, berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan membunuhnya.
Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemuncullannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenym dan menjura memberi hormat.
"Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan dalam hutan ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiu, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tidak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?"
Bwe Hwa tidak merasa tidak senang ditegur oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
"Justeru karena kedua kaki depannya putus aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan."
Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan kagum. "Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga amat bijaksana. Memang, apa yang nona lakukan itu tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kami bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kami saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlalu tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tidak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona."
Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan dia mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu. Ketika Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya untuk membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu dan dia minta agar Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Tang Hay dan keluarganya.
Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa girang sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu, kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalas dendamnya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran. Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, maka diapun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka, diapun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya mengapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa.
Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya, tentu dia akan menjadi marah. Akan tetapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, ia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, ia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Iapun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.
"Aku bernama Pek Bwe Hwa," katanya singkat.
Coa Leng Kun mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "She Pek" Aku pernah mendengar akan keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di Kong-guan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?"
Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw, karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada ditempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.
"Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku," ia menerangkan dengan pendek.
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!" Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. "Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!"
"Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebetulnya, apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun" Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar."
Coa Leng Kun tersenyum. "Tepat sekali pertanyaanmu, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi melihat kelihaianmu, aku mengerti jawabannya."
"Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini."
"Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apalagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?"
Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda terpelajar dan juga pandai ilmu silat yang jujur.
"Kalau dugaanmu begitu, demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula," katanya.
Coa Leng Kun tertawa. "Engkau cerdik dan menduga dengan tepat, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk berhasil merebut pusaka itu kalau mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkan. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja."
Pemuda ini pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai dimana kehebatan ilmu silatnya.
"Engkau terlalu merendahkan diri, sauadar Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu, kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing."
Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. "Ah, mana aku berani, nona" Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!"
Bwe Hwa tersenyum. "Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Dan pula, mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tidak akan saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Kalau kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat bersahabat."
"Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona" Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat."
"Keluarkan senjatamu, saudara Coa!" kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.
Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggang merah dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu titiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat ia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga Sin-kang yang kuat, maka ia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka iapun berkata dengan suara lembut.
Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir kalau sulingmu yang terbuat dari perak itu kalau bertemu dengan pedangku akan menjadi rusak."
Leng Kun tersenyum lebar. "Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku tidak akan rusak." Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.
"Aku telah siap, nona. Mulailah!"
Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Ia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya"
"Lihat pedang!" bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada. Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak lalu membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Akan tetapi dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.
"Cring" trangg"..!!" Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.
Mereka lalu menyerang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im-kiamsut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi dengan suara melengking-lengking!
Setelah bertanding selama limapuluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau mereka berkelahi benar-benar, ia akan menang, akan tetapi akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah puas menguji ilmu silat pemuda itu, ia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.
"Coa Leng Kun, tak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang beruubah menjadi sepuluh batang!" Gadis itu mengerahkan tenaga batinnya, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu. Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang dan berseru, "Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!"
Bwe Hwa tersenyum dan tidak menyerang lagi. Pemuda itu masih bengong keheranan. "Nona, ilmu pedang apakah yang kaumainkan tadi" Pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan."
Bwe Hwa merasa senang. Biarpun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, akan tetapi dengan kekuatan sihirnya oa mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.
"Ah, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa."
"Nona engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak dapat menandingimu. Pula, kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Kenapa engkau masih menyebutku saudara Coa" Terdengarnya begitu asing."
"Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?"
"Engkau lebih muda dariku, pantas kuesebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kausebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?"
Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka iapun tidak keberatan untuk menganggap epmud aitu sebagai sahabat atau kakaknya.
"Baiklah, Kun-ko," jawabnya sederhana.
Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun. "Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan dimana engkau tinggal. Hwa-moi" Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari, pendekar Tan Tiong Bu di bunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali."
"Dari siapakah engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu" Siapakah gurumu yang telah meninggal dunia itu?"
"Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan namanyapun tak seorang pun mengetahuinya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta di sebut Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi."
Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti sudah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Orang tuaku yang memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Akupun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw segera dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka akupun datang ke sini untuk menyelidikinya."
"Dengan kepandaianmu, aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi."
"Aih, belum tentu, twako. Setidaknya disini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentu ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil."
"Tidak, Hwa-moi. Aku tidak akan berebut denganmu, aku bahkan akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!"
Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, mengapa begitu baik hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam" Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih. Ayahnya sudah menasihatkan kepadanya bahwa musuh yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya" Ia harus berhati-hati.
"Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?":
Leng Kun tersenyum. "Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?"
"Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan."
"Akan tetapi kita telah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa kagum sekali kepadamu, dan suka sekali. Ah, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?"
"Daging harimau?" Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain. "Aku belum pernah memakannya."
"Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Kalau pandai memasaknya, daging harimau itu lezat sekali. Biarpun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu." Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigannya sudah terlupa lagi olehnya.
Ia hanya duduk di atas baju sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatak Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya dan setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lalu dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu di tusuk dengan belahan bambu yang didapatkan disekitar tempat itu dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang amat sedap sehingga timbul seleranya. Ia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.
"Coba cicipilah!" kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.
"Hemm, baunya sedap!" kata Bwe Hwa terus terang dan setelah daging itu agak mendingin, ia menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali,, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena di bumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, dan Leng Kun membawa seguci arak.
Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa, "Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku mendaki dari arah kanan. Kita bertemu diatas nanti. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang diantara kita tentu berhasil."
Bwe Hwa mengangguk. "Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di jalan menuju ke atas."
"Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. "
"Sampai nanti, Kun-ko."
Bwe Hwa lalu meloncat ke kira dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Diapun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya.
Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini tidak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar. Selosin orang anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak maka dapat tiba disitu tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.
Heii, berhenti!! Siapa engkau berani datang ke sini tanpa diundang?" bentak kepala jaga dengan suara lantang.
Leng Kun tersenyum dan berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata sepuluh orang itu. "Bagus, kalian melakukan penjagaan yang ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan." Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih. "Serahkan ini kepada ketua kalian!"
Kepala jaga melihat bendera itu, berubah sikapnya. Dia menerima bendera itu, memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah, "Harap kongcu suka menunggu di dalam gardu sebentar menanti kembalinya pelapor."
Leng Kun mengangguk sambil tersenyum lalu duduk di dalam gardu penjagaan. Para penjaga tidak ada yang bicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut.
Tak lama kemudian, pelapor itu kembali dan mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang sudah berusia lanjut. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi.
Leng Kun bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu.
"Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?" tanya Leng Kun.
Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu dan menjawab, "Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu."
Leng Kun mengikuti Sam ok memasuki pintu gerbang dan dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain yang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati. Adapun orang kedua bertubuh kurus pendek, rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang, mukanya penuh rambut seperti monyet. Kalau orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin.
Begitu memasuki ruangan itu, Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin, "Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Lui-jiauw-pang, akan tetapi mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?"
"Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Nama julukanku kini adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kiu-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa ok dan Ji Ok, yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami ini. Kami belum mengetahui siapa namamu."
"Namaku adalah Coa Leng Kun," jawab pemuda itu, "aku di utus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Akan tetapi dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?" Pemuda itu memandang dengan ragu kepada dua orang kakek itu.
"Heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau dapat melakukan perundingan dengan kami bertiga disini. Akan tetapi keadaanmu sungguh membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda" Sungguh sembrono para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang amat penting." kata Toa Ok.
"Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda," kata Sam Ok. "Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu aseli. Toa Ok, bagaimana kalau kita mengujinya lebih dulu?"
"Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu karena orang yang tidak memiliki kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami."
Coa Leng Kun tersenyum mengejek. "Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak senang mendengar ketidak-percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapapun juga." Mulutnya berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia bersikap tenang.
Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang kini di pimpin oleh Kaisar Wan Li. Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi setelah berkali-kali usahanya gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, maka pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan diantara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.
Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai kalau sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata, "Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya."
Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berduapun tekah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang amat kuat, dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Kalau Sam Ok yang menguji, mereka berduapun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu.
Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata, "Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!"
Diam-diam leng Kun merasa lega hatinya. Diapun belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.
"Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan Pek-lian-pai yang di percaya penuh aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian."
Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak menggunakan senjata, diapun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin memang tidak bermaksud terlalu mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andaikata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak melukai pemuda itu.
"Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!" kata Sam Ok.
"Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka engkau yang sepantasnya menyerang dulu, Sam Ok!" kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Bagus! Lihat seranganku!" Sam Ok membentak dan diapun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biarpun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya, akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.
Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul melakukan pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!
"Haiitt"..!" Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, diapun mengerahkan sinkang untuk menangkis.
"Dukkk".!" Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga
langkah, akan tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalah hal tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat.
Akan tetapi pemuda itu hendak menutupi kekurangannya dalam hal tenaga itu dengan kelebihan ginkangnya. Dia bergerak cepat sekali dan kini tubuhnya berpusing seghingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berpusing itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terpaksa mundur terdesak hebat.
Pada saat itu, Toa Ok berseru, "Hentikan pertandingan!"
Legalah hati Sam Ok. Dia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan dan kalau dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya.
"Cukup sudah Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi menggunakan ilmu silat Gelombang Samudera dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu Hek Tok Siansu almarhum. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak menggunakan ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok Siansu?"
Leng Kun maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Maka, diapun berterus terang.
"Mendiang Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!"
Mendengar jawaban ini, Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri.
Bagus sekali! Dahulu, Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan sekarang cucunya melanjutkan kerja sama itu sehingga diangkat menjadi utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!" kata Toa Ok dan nada suaranya lebih ramah.
"Kami mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kaubawa?"
"Pimpinan Pek-lian-pai mengutus aku datang ke sini untuk membantu Kui-jiauw-pang
yang akan kedatangan banyak orang pandai yang ingin merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kami tidak mengetahui bahwa sekarang Kui-jiauw-pang memiliki dua orang ketua baru sehingga keadaannya lebih kuat lagi. Untuk itu, aku sebagai utusan Pek-lian-pai mengucapkan selamat kepada para ketua baru."
Tiga orang ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang, "Jangan khawatir, Cao-sicu. Kami telah tahu akan hal itu dan kami telah siap siaga. Siapapun yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi dari daerah Kui-liong-san. Apalagi engkau datang membantu sehingga keadaan kita lebih kuat lagi."
"Ketika hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu tinggi. Ia tidak boleh dipandang ringan karena ia adalah cucu dari ketua Pek-sim-pang!"
Tiga orang ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, dalam suaranya terkandung kekhawatiran. "Cucu ketua Pek-sim-pang" Siapa namanya, sicu?"
"Namanya Pek Bwe Hwa."
"Ah, tidak salah lagi. Ia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang amat terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek Han Siong!" kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya. "Ayah gadis itu, Pek Han Siong, akan merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekalipun tidak perlu kita takuti."
Coa Leng Kun mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, daripada menghadapi gadis itu sebagai lawan, lebih baik kalau ia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita."
Tiga pasang mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru, "Aneh! Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama" Kalau ia datang, tentu ia menginginkan pedang pusaka itu!"
"Benar apa yang dikatakab Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama dengan kita" Sejak dahulu, ayah gadis itu menentang pemberontakan terhadap kerajaan, bahkan dia menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?" tanya Sam Ok.
"Harap sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke Kui-liong-san, aku bertemu dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai. Ia mengira aku seorang di antara mereka yang ingin merampas pedang Pek-lui-kiam. Bahkan kami bersepakat untuk bekerja sama dalam hal ini, dan aku akan membantunya. Nah, kalau aku sekarang mengawaninya naik ke sini dan memperkenalkan ia kepada sam-wi, tentu ia akan merasa senang sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya untuk menyerahkan pedang pusaka itu."
"Ahhh?"!" Tiga orang ketua itu berseru kaget.
"Harap tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah, pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat membasmi orang-orang itu."
Tiga oran ketua itu mengangguk-angguk dan saling pandang.
"Akan tetapi kita harus merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau ia mengetahui hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan ia akan menganggap aku sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya bersikap baik kepadanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar ia percaya."
"Baiklah, Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu." akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, kedudukan mereka tentu lebih kuat. "Akan tetapi, agaknya engkau membenci wanita itu. Ada urusan apakah antara engkau dengannya?"
Leng Kun menghela napas panjang lalu berkata, "Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang paling kubenci karena merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay, dan keluarga Pek Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu tewas."
Tiga orang kepala perkumpulan Kui-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru, "Ah, musuh-musuhmu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai karena mereka berdua itulah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam pemberontakan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian yang hebat."
Leng Kun mengerutkan alisnya. "Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali puteri keluarga Pek berada di sini."
"Kenapa ia tidak kita bunuh saja karena ia adalah puteri musuh besarmu, sicu?" tanya Sam Ok.
"Ahh, pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak memetik keuntungan apapun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat daripada itu. Selain itu kita dapat mempergunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan hatinya. Kalau sampai aku dapat mempermainkannya sebagai isteriku, ini berarti aku telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!"
Toa Ok dan Ji Ok tertawa bergelak. "Bagus! Kiranya engkau yang masih muda ini mempunyai kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu. Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap gadis itu." kata Toa Ok.
"Sekarang aku minta agar sam-wi pangcu mengirim seregu anak buah Kui-jiauw-pang untuk menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka."
"Akan tetapi, jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun sehingga siapapun yang hendak mendaki puncak ini akan menghadapi bahaya maut! Kami juga sudah memasang para anggauta untuk menjadi baris pendam, menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai jalan rahasia."
"Gadis itu lihai dan cerdik sekali, tentu ia akan dapat menghindarkan diri dari jebakan dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang untuk mengeroyoknya."
Leng Kun lalu memimpin limabelas orang anak buah Kui-jiauw-pang, menuruni puncak itu. Dia berpesan kepada limabelas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa, akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.
Akan tetapi dia berpesan pula kepada mereka agar mereka jangan sampai melukai gadis itu, dan berhati-hati karena gadis itu lihai sekali. Para anggauta Kui-jiauw-pang yang sudah mengetahui bahwa pemuda itu seorang utusan Pek-lian-pai dan diterima dengan hormat oleh tiga orang ketua mereka, menaati pesan Leng Kun.
Pek Bwe Hwa melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Ia dapat menduga bahwa Kui-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang berbahaya. Ia menggunakan semua kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum kakinya melangkah. Ia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang dan dengan kayu ini ia mencoba jalan di depannya. Ketika ia melihat di depannya sepetak rumput menutupi jalan, ia lalu menggunakan rantingnya untuk memeriksa. Ia menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan seperti yang di khawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah selimut rumput itu, dibawahnya kosong dan merupakan lubang. Ia lalu mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi dibawah rumput. Maklum bahwa didepannya terdapat jebakan lubang besar tertutup rumput, ia lalu mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya.
Ia melangkah terus dengan berani. Walaupun terdapat banyak perangkap, ia tidak takut dan melanjutkan perjalananya dengan penuh kewaspadaan. Diam-diam ia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak perangkap pula. Akan tetapi ia menenangkan hatinya. Leng Kun adalah seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik.
Ketika ia menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya. Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar masuk ke dalam semak-semak. Bwe Hwa turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah ia bahwa tadi ia telah menginjak sepotong kayu yang menarik sehelai tali yang dihubungkan dengan alat melepas anak panah itu dan yang berada di dalam semak belukar. Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi ia tidak merasa takut dan melangkah terus dengan lebih berhati-hati, melihat dulu sebelum ia melangkah.
Ketika jalan setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak. Limabelas orang laki-laki telah berdiri didepannya dan mereka semua memakai cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan. Bwe Hwa dapat menduga bahwa belasan itu tentu anak buah Kui-jiauw-pang, maka iapun siap untuk menhadapi pengeroyokan mereka. Ia bersikap tenang saja dan memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam.
Pemimpin regu anak buah Kui-jiauw-pang itu lalu membentak dengan suara lantang,
"Engkau siapakah berani memasuki wilayah kami tanpa ijin, nona" Lebih baik engkau menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, daripada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu."
Dengan sikap tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab, "Aku tidak sudi menyerah dan kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan, silakan. Hendak kulihat bagaimana caranya kalian menggunakan kekerasan!"
Pemimpin regu memberi aba-aba dan limabelas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor srigala mengepung seekor domba. Akan tetapi setelah mereka bergerak, yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, melainkan seekor harimau betina dan tangguh sekali. Ketika mereka menyerbu untuk menangkap gadis itu, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya. Belasan oran itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa sebagai seorang gadis cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tidak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah empat orang dibuat roboh oleh Bwe Hwa. Barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru, "Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!"
Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran. "Mengapa, Kun-ko" Mereka ini hendak menangkap aku!"
"Hwa-moi, mereka ini adalah para anggauta Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap kau maafkan mereka yang tidak tahu ini." Dia lalu menoleh kepada para anggauta Kui-jiauw-pang sambil membentak, "Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap yang gagah perkasa ini!"
Limabelas orang itu lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, "Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!"
Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Setelah belasan orang itu pergi, ia bertanya kepada Leng Kun. "kun-ko apakah yang telah terjadi" Kenapa engkau nampaknya berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?"
"Tentu engkau menjadi heran, Hwa-moi. Aku sendiripun sama sekali tidak menyangka akan mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika aku mendaki, akupun bertemu dengan belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang dan aku dikeroyok. Aku dapat mengalahkan mereka dan muncullah seorang diantara tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia mengenal ilmu silatku dan menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kui-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa diantara sahabat pedang itu tidak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Marilah kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Aku telah menceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerimamu sebagai sahabat pula."
Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apabila pedang berada di tangan seorang jahat, ia harus merampasnya. Akan tetapi apabila pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, ia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari tangan orang jahat. Ia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi ia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat!
"Kun-ko, bukankah Kui-jiauw-pang itu perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?"
"Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir dan rumah judi, darimana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka kitapun sepantasnya bersikap baik kepada mereka. Maka soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Ia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja" Akan tetapi ia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya.
"Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka." kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali.
"Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain." kata Leng Kun dan mereka lalu mendaki puncak bukit Kui-liong-san. Ia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup diantara pohon dan semak.
"Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?" tanya Bwe Hwa ketika mereka menyusup di antara semak berduri.
"Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman."
Bwe Hwa menjadi semakin heran. "Kenapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko" Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?"
"Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka."
Mereka maju dengan cepat karena mereka menggunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang, Bwe Hwa melihat belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat. Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang.
Ketika mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar.
"Selamat datang, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-lihiap!" kata Sam Pangcu.
Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang membunuh pendekar Tan tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kui-jiauw-pang. Iapun memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam ia terkejut melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itupun sambil tersenyum mengenalkan diri. Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali dan tubuhnya gendut mengaku sebagai Toa Pangcu. Adapun orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet. Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju ketiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah.
Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab.
"Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menyambut kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu."
"Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!"kata Toa Pangcu.
"Pek-lihiap, mari silakan duduk!" kata Ji Pangcu sambil tersenyum. Melihat keramahan tiga orang ketua itu, Bwe Hwa merasa senang. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu yang duduk sambil mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan dan minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan.
Melihat ini, tahulah Bwe Hwa bahwa ia akan dijamu makanan, maka ia mengerutkan alisnya dan menolak.
"Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada disini, dan jangan merepotkan sam-wi."
"Aah, mana bisa begitu, lihiap" Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Setelah makan minum, barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini." kata Toa Pangcu.
Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa, memandang kepada gadis itu dan
berkata lirih, "Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, tidak enak kalau kita menolak hidangan mereka."
Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata, "Kedatangan kami merepotkan sam-wi saja."
Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Setelah melihat pihak tuan rumah makan, barulah ia berani mengambil hidangan dan makan. Ia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai ia tertipu dan keracunan.
Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebetulnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?"
Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan iapun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di depannya.
"Begini, sam-wi pangcu. Telah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga medengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu." Setelah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatapwajah ketiga orang ketua.
"Hemm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?" tanya Sam Pangcu.
"Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh terjatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, ketika pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan akupun tidak akan mengganggunya. Akan tetapi, Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, setelah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk menyelidiki kebenaran berita itu." Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu.
"Ha-ha-ha-ha!" Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan
kepala yang besar itu digeleng-gelengkannya. "Tidak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami. Kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apalagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu. Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang."
Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, dan pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu. "Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?"
"Semua gara-gara Pek-lui-kiam. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu, Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap."
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. "Akan tetapi kenapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu
membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?" tanyanya.
Sam Pangcu menghela napas panjang. "Antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang besar. Juga pedang Pek-lui-kiam itu dia gunakan untuk membunuh keluargaku. Maka, aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam, baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu."
"Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?" tanya
pula Bwe Hwa. "Sekarang juga akan kami serahkan kalalu lihiap berjanji akan membantu kami
menghdapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami."
Kesangsian Bwe Hwa lenyap. "Kalau begitu, aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang."
"Ha-ha-ha, agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, akan tetapi sebaliknya kami telah percaya sepenuhnya kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dulu" Baik, kami akan serahkan sekarang juga!"
Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.
"Terimalah Pek-lui-kiam ini, lihiap!"
Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Ia menerima pedang itu. Akan tetapi ia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru ia akan percaya. Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu indah sekali dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri.
"Pek-lui-kiam"..!" Gadis itu berseru girang. Ia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka ia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu.
"Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir kalau ada orang berani datang ke sini
untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu akan senang membantu, bukan?"
Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa bergembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu.
"Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal disini selama satu bulan dan selama itu kita berdua akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!"
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan" Terlalu lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, iapun merasa tidak enak kalau menolak.
Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Demikian pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa.
Biarpun pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan ia memperingatkan Leng Kun pada malam itu sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.
"Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak."
"Aih, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?"
"Siapa lagi, tentu pimpinan Kui-jiauw-pang."
"Ah, kenapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi" Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkannya kepadamu. Aku sudah percaya sepenuhnya kepada tiga orang ketua itu, Hwa-moi."
"Syukurlah kalau benar mereka baik kepada kita. Akan tetapi bagaimana pun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?"
"Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Mereka telah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?"
Maksudku bukan mencurigai siapapun, hanya kita harus tetap waspada dan hati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja."
"Baik, Hwa-moi, selamat tidur."
Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Ia tidak menyadari bahwa yang dikhawatirkannya itu bahkan datanag dari orang yang paling dipercayanya saat itu.
Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Bulan menebarkan cahayanya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah namun penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu bahkan membuat tempat itu menjadi seram dan mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan. Demikian pula keadaan di sekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu.
Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu. Menjelang tengah malam,tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia melangkah ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah yang menghentikan suara jengkerik dan belalang itu. Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enampuluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, akan tetapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang.
Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendahseperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu.
Kakek ini tidak tahu kalau dibelakangnya, dibalik semak belukar, terdapat dua orang
yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-
semak. "Wah, itu ayahku".!" bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah
Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari
Timur). Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan. Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu. Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah manapun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya mempergunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itu, mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin segera mengenal ayahnya.
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tio Gin Ciong adalah puteri datuk besar dari timur, akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, diapun merasa jerih. Dia melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.
"Ssttt".. itu disana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu".." Siangkoan Cu Yin mengangguk dan diapun melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang di duduki ayahnya. Ia juga tidak tergesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat ia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari.
Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggauta Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang berani memasuki tempat itu, lima orang anggauta Kui-jiauw-pang ini mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat kakek itu dengan baik. Maka mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan di lakukan orang itu kalau malah sudah berganti pagi.
Melihat lima orang tidak hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apapun, Gin Ciong berbisik. "Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga."
Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Ia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam ia berpikir mengapa ayahnya berada di tempat itu. Ia yakin bahwa ayahnya tentu telah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau ia dan Gin Ciong, tentu belum di ketahui ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicarapun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu.
Sambil merebahkan dirinya, Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya dan ia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerakgerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya. Ia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena ia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi oleh bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin ia dapat mencinta pria lain. Di manakah kini Si Kong berada" Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau ia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kui-liong-san. Sebetulnya inilah yang menariknya dan mau pergi ke Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong!
Malam yang indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin telah bangu dari tidurnya. Ia mendapatkan Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang samadhi. Dia menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.
"Dapat tidur nyenyak?" tanya Gin Ciong.
Cu Yin menganguk. "Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?"
"Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya
sedang tenggelam dalam samadhinya."
Cu Yin memandang ke arah ayahnya. Jarak di antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikitpun tidak bergerak seperti orang tidur.
"Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia sendiri hendak turun tangan merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?"
"Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar."
"Aku yakin ayahku telah melihat mereka atau telah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya."
Gin Ciong mengangguk dan mereka berdua kini menanti dan mengintai dengan hati tegang. Apalagi ketika mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka dan berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.
"Ayahmu terancam bahaya." Bisik Gin Ciong.
Cu Yin tersenyum mengejek. "Bukan ayah, melainkan sepuluh orang itu yang akan mampus!"
Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggauta Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas. Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin menyentuh tangannya dan ketika dia menengok Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong cepat memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak maupun menangkis!
"Tuk-tuk-tuk".!" terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Rok dan senjata rahasia itupun runtuh seakan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali.
Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata memiliki kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Akan tetapi dia lalu teringat akan julukan datuk itu. Lam tok (Racun Selatan) dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun.
Para anggauta Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka lalu berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian tubuh sebelah belakang datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung. Tiba-tiba datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya di gerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat dan dari kedua tangannya menyambar empat batang panah tangan. Terdengar teriakan keras ketika empat orang diantara para penyerbu itu terpelanting roboh dan tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan.
Enam orang yang lain terkejut dan marah sekali. Mereka terus menubruk ke depan dengan nekat.
"Hemmm"..!" Kakek itu mengeluarkan gerengan dan tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila. Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur! Enam orang anggauta Kui-jiauw-pang itu berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, demikian mereka roboh bergulingan saking nyerinya. Kiranya tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, akan tetapi juga telah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Tewaslah sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan.
Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar dimana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengar suaranya yang galak. "Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat kalau kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!"
Gin Ciong terkejut dan jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya, "Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku."
Gadis itu lalu meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Ia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.
"Ayah".!!"
Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali. "Hemm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi disana" Dan siapa pula pemuda itu?" Dia menudingkan ke arah Gin Ciong yang sudah mengangkat kedua tangan depan dada sambil memberi hormat dengan membungkukkan badannya.
"Dia kenalanku yang baru, ayah. Kami melakukan perjalanan ke Kui-liong-san ini untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Enkau tentu tidak dapat menebak siapakah pemuda ini!"
Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. "Ayah, aku ingin menguji kecerdikan ayah. Coba ayah menebak siapa pemuda ini, kalau dapat menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi kalau tidak dapat menebak, ayah harus merampas Pek-lui-kiam untukku!"
Lam Tok menggumam, "Hemmmm, apa sukarnya?" Tiba-tiba tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu, telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.
"Sambutlah!" serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong. Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar sehingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda ini sejak kecil sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, dia memiliki gerakan cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.
"Locianpwe".. apa kesalahanku"..!" dia menegur.
"Tidak usah banyak cakap. Sambulah ini".!" Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.
Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh, seperti juga ayahnya. Aneh, tidak perduli dan dapat pula bersikap kejam sekali seperti yang diperlihatkan Lam Tok ini terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.
"Ayah tidak boleh membunuhnya. Kalau ayah membunuh atau melukai, berarti ayah kalah bertaruh!"
Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak semakin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu lalu mengeluarkan suara memekik nyaring dan dia mengubah ilmu silatnya. Ilmu silat yang dimainkan itu sungguh dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia telah memainkan ilmu silat simpanannya yanitu Giam-ong Sin-kun (Ilat Sakti Raja Maut) dan pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!
"Dukk! Dess".!" Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalubertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!"
Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi untuk menyenangkan hati ayahnya, ia pura-pura mengejek, "Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau ayah sudah menegetahuinya?"
"Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!"
"Ayah ngawur! Bagaimana ayah dapat mengetahuinya" Ayah tentu asal menebak saja!" kata puterinya.
"Hemm, anak nakal. Apa kaukira engkau sendiri yang cerdik dan bayak akal" Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya dan pemuda ini mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat Tung-giam-ong."
"Akan tetapi, setiaporang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?"
"Ketika dia memainkanHek-wan-kun silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia mampu bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu."
Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa amat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan ia bertanya kepada ayahnya.
"Aku kalah, dan ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!"
Lam Tok terawa dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Tin Gin Ciong, "Siapa namamu?"
"Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe."
"Mana ayahmu" Apakah dia belum datang?"
Gin Ciong menjadi bingung. "Saya". saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini."
"Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!"
Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya. "Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?"
Pertanyaan itu seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah dia mencinta Cu Yin, tentu akan di jawabnya seketika dengan anggukan kepala!
"Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!" kata Cu Yin pura-pura marah.
"Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan tidak dapat dipercaya janjinya" Engkau telah kalah bertaruh denganku dan menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, engkau sudah membantah dan tidak segera menjawab!"
"Ayah, aku hendak menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!" Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Ia tahu benar akan watak ayahnya yang tidak pernah mundur menghadapi tantangan apapun dan dari siapapun juga.
Lam Tok mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab, "Hemm, dimatamu tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta kalau engkau memandang kepada Gin Ciong. Seorang wanita yang mencinta seorang pria, biarpun pada lahirnya disembunyikan, namun ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya kalau ia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!"
Tentu saja Gin Ciong merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan yang terus terang antara anak dan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya" Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya. Biarpun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Diapun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu.
Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka iapun berkata dengan lembut. "Cing-ko, harap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Terhadap ayah aku tidak mungkin dapat berbohong. Ayah benar, aku kagum kepada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria."
Lam Tok menghela napas panjang. "Sayang, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong, hal itu baik sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Dan bagaimana dengan keputusanmu" Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!"
Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok. "Saya sudah tahu, locianpwe. Bairpun saya jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun ia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa ia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong, akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya binta Yin-moi kepadaku akan berubah." Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.
"Hemm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin" Orang macam apakah dia itu?"
"Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, ayah."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia kelihatan gembira bukan main. "Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tidak perlu dipertanyakan lagi, akan tetapi engkau membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?"
"Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, ayah. Dia berani menolak cintaku dan
menolak ketika hendak keajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal, dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita."
Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemmmm"., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu" Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku dimana dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!"
Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata, "Sebetulnya Si Kong itu sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Akan tetapi ketika saya hendak membunuhnya, Yin-moi melarangku."
Cu Yin mengerutkan alisnya dan menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela. "Kalau engkau mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, aku tentu tidak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, dan terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!"
Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya. "Hemm, sampai dimanakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?"
Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. Dia lihai dan sombong sekali, locianpwe, karena dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!"
Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut. Nama julukan Pendekar Sadis bukan nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam jerih terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.
"Hemm, jadi dia murid Pendekar Sadis" Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?"
"Aku mencintanya dan juga membencinya, ayah."
"Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Kalau dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?"
Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, "Kalau dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya."
"Dan dimana sekarang dia berada?"
"Dia pernah mengatakan bahwa diapun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini."
"Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu."
"Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?" tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.
Lam Tok mengepal tinju tangannya. "Kalau dia tetap menolak, dia akan mampus ditanganku!"
Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu.
"Ayah akan mendaki puncak bersama kami?" tanya Cu Yin.
"Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama, kalian berdua akan dapat membela diri dengan baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!"
"Sampai jumpa, ayah." Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.
Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu dimana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berjalan cepat. Mereka adalah Si Kong dan Tang Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dulu melihat mayat bergelimpangan itu.
"Kong-ko, lihat".!" Ia menuding ke kiri. Ketika Si Kong menengok, diapun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan.
Si Kong meraba leher satu diantara mayat-mayat itu. "Masih hangat tubuh mereka, baru saja mereka terbunuh. Lihat, darahpun masih belum kering benar." Hui Lan ikut berjongkok memeriksa dan iapun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.
"Enam orang diantara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tanganhancur lebur. Mereka jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini".. ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka?".!"
"Siangkoan Cu Yin?" Hui Lan mendekati Si Kong. "Apa buktinya bahwa ia yang membunuh mereka ini?"
"Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap di tubuhh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin."
"Hemm, mengapa ia begini ganas dan kejam?"
Si Kong menghela napas panjang, seolah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin. "Ingat, ia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apalagi kalau ia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!"
Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir mati keracunan yang dilakukan oleh Siangkoan Cu Yin. "Kalau ia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti ia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya."
"Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini."
"Apa yang hendak kaulakukan, Kong-ko?"
"Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk disini dan menjadi makanan binatang buas. Pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin."
Hui Lan mengangguk dan diam-diam ia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Ia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong. Ia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Ia lalu membantu Si Kong menggali lubang tanpa berkata apa-apa dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati.
Akan tetapi setelah mereka berhasil menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba datang belasan orang yang mengenakan cakar setan pada tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan tahu bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Kui-jiauw-pang.
"Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!" bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggauta Kui-jiauw-pang yang berjumlah limabelas orang itu.
"Bukan kami yang membunuh mereka." kata Si Kong dengan tenang.
"Tidak mungkin orang lain!" bentak si muka hitam. "Engkau membunuh mereka dan berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah mengubur mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!"
Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab, "Namaku Si Kong dan nona ini adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, akan tetapi bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk disini."
"Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!" seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dam menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.
Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, "Lan-moi, jangan membunuh orang!"
Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, kemudian dengan tendangan kaki dan tamparan, kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan. Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang lagi, kini bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh.
Melihat kenekatan para pengeroyok Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya, limabelas orang itu kembali terpelanting dan sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri.
Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena ia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa. Seorang dari mereka berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empatpuluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok usianga lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai.
Melihat munculnya lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin. Tadinya dia mengira bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san untuk ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika membentak dengan suara marah dan orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.
"Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggauta Kui-jiauw-pang?"
Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya sudah lupa dan tidak mengenalnya lagi. "Kami berdua tidak membunuh. Orang lain yang membunuhnya dan belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Terpaksa kami melawan."
"Hemm, apa kaukira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?" bentak si muka bopeng.
Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu, menjadi penasaran dan ia yang menjawab dengan suara lantang, "Kalian mau percaya atau tidak, terserah! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!"
Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian dan yang paling muda diantara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.
"Nona manis, siapa namamu nona" Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Diantara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan bukankah itu baik sekali?" Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia sudah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini, Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.
"Heii, kamu ini anjing darimana berani menggonggong?" Ia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatab sihir yang dahsyat. Empat orang yang lain terbelalak ketika meli
Bukit Pemakan Manusia 23 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Jodoh Rajawali 15