Pencarian

Pendekar Kelana 6

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


santai sambil melamun, mengenang kembali Siangkoan Ji yang ternyata Siangkoan Cu Yin itu. Betapa bodohnya, berhari-hari lamanya melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang disangkanya seorang laki-laki. Ketika mengenang kembali betapa dia sudah menyedot racun dari pundak yang kulitnya putih mulus dan lunak itu, jangtungnya berdebar dan mukanya berubah merah. Dia marah kepada diri sendiri. Mengapa dia mengenang gadis itu dengan hati terasa kehilangan dan kesepian"
Dalam keadaan mendongkol kepada hati akal pikirannya sendiri itulah dia dikejutkan oleh suara wanita yang menyuruhnya minggir dengan nada merendahkan.
Ketika dia membalik dan melihat bahwa mereka itu adalah gadis-gadis, hatinya makin kesal lagi. Jalan itu cukup lebar, para gadis itu dapat saja melewatinya dan berjalan ke pinggir, mengapa dia harus minggir"
"Kau yang minggir!" bentaknya dengan mata mengandung kemarahan.
Seorang diantara gadis-gadis itu yang berjalan di depan joli, memandang kepadanya dengan mata melotot. "Kau berani membantah" Kau ingin mampus?"
"Kalian yang ingin mampus!" jawab Si Kong dengan hati mendongkol.
Dua orang gadis yang tidak menggotong joli itu menjadi marah. Tangan mereka bergerak dan empat batang hui-to (piasu terbang) menyambar ke arah tubuh Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan main melihat serangan maut itu. Dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas sehingga empat batang pisau itu lewat di bawah kakinya. Dua orang gadis itu mencabut pedang dan cepat menyerang lagi. Gerakan mereka cukup cepat dan bertenaga. Namun Si Kong yang sudah marah itu kini menggunakan tongkat bambunya. Begitu dia bersilat dengan Ta-kaw Sin-tung, dalam beberapa jurus saja dia membuat dua orang wanita itu terjungkal. Dia tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, dan hatinya sudah puas membuat dua orang wanita galak dan jahat itu roboh.
Empat orang gadis yang lain sudah menurunkan joli dan kini mereka berempat menyerang Si Kong dengan pedang mereka. Yang dua orang sudah bangkit lagi dan ikut menyerang. Kini Si Kong dikeroyok oleh enam orang wanita itu. Setelah mereka maju bersama, Si Kong merasa kagum juga. Para wanita ini masing-masing memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi dan setelah maju bersama mereka sudah membentuk barisan pedang yang kompak sekali. Kalau saja Si Kong tidak memiliki ilmu tongkat yang sakti itu, dan kalau saja dia belum menguasai Liok-te Hui-teng sehingga gerakannya amat ringan dan cepatnya, tentu dia akan kewalahan juga menghadapi barisan pedang yang dibentuk oleh enam orang wanita itu. Dia bergerak amat cepatnya dan mengerahkan tenaga dalam tongkatnya. Begitu dia memutar tongkatnya dan badannya ikut berputar, terdengar suara berkerontang berulang kali dan enam orang gadis itu sudah roboh semua dan pedang mereka sudah terlepas dari tangan mereka!
Sekali ini, enam orang gadis itu bangkit sambil meringis. Untuk bagi mereka bahwa Si Kong tidak ingin melukai mereka, maka mereka hanya merasa nyeri karena terbanting saja, akan tetapi tidak sampai luka . setelah pedang mereka terpental dan terlepas, juga mereka semua berpelantingan, enam orang gadis itu menjadi jerih dan mereka bangkit sambil memandang ke arah joli.
Joli tersingkap dan muncullah seorang gadis yang amat cantik jelita. Sebatang pedang tergantung dipunggungnya.
"Manusia kurang ajar, berani engkau merobohkan para pelayanku?"
Si Kong menjadi bengong. Gadis itu cantik bukan main dan melihat pakaiannya yang serba biru dan mewah, dapat di duga bahwa gadis ini tentu seorang gadis bangsawan atau setidaknya hartawan. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tusuk sanggul terbuat dari emas permata, kedua pergelangan tangannya terhias gelang kemala yang mahal harganya, kedua telinganya mengenakan anting-anting terbuat dari emas permata pula. Pakaiannya warna-warni dari kain sutera halus, dan sepatunya masih berwarna hitam mengkilap. Wajah itu sungguh luar biasa cantiknya. Kulit mukanya putih kemerahan, terutama dikedua pipi bawah matanya, padahal muka itu tidak memakai bedak tebal atau gincu. Anak rambut yang halus sekali berjuntai kedahi dan pelipisnya. Sepasang alisnya hitam dan kecil melengkung seperti dilukis, melindungi sepasang mata yang sukar digambarkan saking indahnya. Mata itu tajam dan jernih, dengan kedua ujung bergaris ke atas, dihias bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya mancung keicl dengan punggung hidung sedikit menonjol! Mulutnya! Entah mana yang lebih indah dan memiliki daya tarik terbesar. Mata atau mulutnya. Bibirnya begitu lembut dan merah membasah, nampaknya seperti tersenyum manis sekali, akan tetapi dagunya yang runcing itu seperti mengejek dan membayangkan kekerasan hatinya.
"Hei, petani kurang ajar! Jawablah pertanyaanku tadi!" Gadis itu membentak lagi dan ketika bicara, nampak giginya yang putih mengkilap dan rapi. Rongga mulutnya kelihatan segar kemerahan tanda bahwa ia bertubuh sehat.
Si Kong seperti tertarik ke alam kenyataan. "Eh".. oh".. pertanyaan apa?" katanya gagap karena dia tadi seperti dalam mimpi. Bingung pikirannya karena dia merasa bahwa wajah si cantik jelita itu tidak asing baginya.
"Mengapa engkau berani merobohkan enam orang pelayanku?"
"Aku terpaksa, nona. Merekalah yang mengeroyokku."
"Hemm, kalau memang jagoan, jangan melawan pelayanku. Akulah lawanmu!"
"Aku". aku tidak ingin berkelahi denganmu, nona. Diantara kita tidak ada permusuhan, mengapa kita harus berkelahi?"
"Engkau telah merobohkan enam orang pengikutku, itu sudah merupakan permusuhan. Nah, sambutlah ini!" Gadis cantik itu menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar putih menyambar ke arah Si Kong.
Si Kong terkejut dan maklum bahwa senjata rahasia itu amat berbahaya, maka cepat dia mengambil topi capingnya dan menggunakan caping yang lebar itu untuk menyambut senjata-senjata itu. Dia melihat bahwa senjata rahasia itu adalah anak panah yang beracun. Dibuangnya topi capingnya dan dia mengerutkan alisnya. Gadis ini begitu cantik akan tetapi juga begitu ganas, begitu menyerangnya sudah mengarah kematiannya!
"Singgg".!" Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut pedang dari pungungnya. "Terimalah pedangku ini!" demikian ia membentak dan segera menyerang Si Kong dengan kecepatan luar biasa. Si Kong melompat jauh ke samping, menangkis dengan tongkat bambunya. Akan tetapi ternyata gadis itu lihai sekali ilmu pedangnya. Begitu di tangkis, pedang itu melenceng dan membabat kaki Si Kong. Pemuda ini terpaksa meloncat ke atas dan dia harus mengelak dan menangkis, sibuk sekali karena gadis itu menyerangnya secara sambung-menyambung dan bertubi-tubi. Diam-diam Si Kong kagum juga. Ilmu pedang gadis ini benar-benar lihai. Bahkan jauh lebih lihai dibandingkan enam orang pelayan yang mengeroyoknya tadi. Guru gadis ini tentulah seorang sakti.
Si Kong selalu mengalah dalam pertandingan ini. Dia mengerahkan ilmu Yan-cu Hui-kun sehingga tubuhnya seperti burung walet terbang saja. Kalau dia mau menggunakan ilmu silat Hok-lion Sin-ciang atau Thi-ki-i-beng tentu dia akan dapat merobohkan gadis itu dengan cepat. Akan tetapi dia tidak mau mempergunakan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Ceng Lojin kalau keadaan tidak terlalu berbahaya dan mendesak. Dia sengaja memperpanjang pertandingan itu untuk "memberi muka" kepada gadis itu. Sambil bertanding dia mengingat-ingat, dimana dia pernah bertemu dengan gadis yang wajahnya tidak asing baginya itu. Akhirnya dia teringat akan anak panah tangan yang dipergunakan gadis itu untuk menyerangnya. Dia teringat bahwa anak panah seperti itu pernah dipergunakan Siangkoan Ji terhadap anak buah Kwi-jiauw-pang! Gadis ini tentulah Siangkoan Ji, atau nama aselinya Siangkoan Cu Yin!
Pedang menyambar lagi dengan kuatnya. Si Kong menyambut dengan tongkatnya, mengerahkan tenaga sinkangnya dan gadis itu tidak mampu lagi melepaskan pedangnya dari tongkat. Pedang itu seolah telah melekat kuat pada tongkat bambu itu. Gadis itu menarik-narik pedangnya akan tetapi tidak berhasil. Mendadak ia menggunakan tangan kirinya untuk memukul kepala Si Kong. Pemuda ini mengelak melainkan menangkap pergelangan tangan itu dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga gadis itu tidak dapat lagi melepaskan tangan. Ia meronta-ronta akan tetapi tetap saja tangan kiri dan pedangnya melekat dan tidak dapat ia lepaskan. Gadis itu menjadi jengkel dan hampir menangis sambil menarik-narik.
Si Kong berkata tenang dan lembut. "Sudah cukupkan, Ji-te?" lalu dilepaskannya pedang dan tangan gadis itu.
Siangkoan Cu Yin bersungut-sungut lalu menyimpan pedangnya dan memandang kepada Si Kong dengan sikap marah. "Engkau seorang yang kejam!"
"Ehh" Dimana letak kekejamanku, Yin-moi" Kalau aku kejam, tentu aku akan menyerang orang-orangmu dan engkau dengan jurus maut! Akan tetapi aku melukaipun tidak, bagaimana kau katakan aku kejam?"
"Engkau meninggalkan aku seorang diri di hutan, apakah itu tidak kejam?"
"Ah, itukah yang kau maksudkan kejam" Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali meninggalkanmu, Yin-moi. Akan tetapi, tidak ada cara lain yang dapat kutempuh. Sudah kukatakan, kita tidak mungkin melakukan perjalanan bersama. Itu namanya tidak pantas, apalagi bagimu, seorang gadis." Si Kong benar-benar menghela napas dengan hati murung. Dia merasa gembira ketika mengadakan perjalanan bersama gadis ini, padahal ketika itu dia tidak tahu bahwa gadis itu menyamar sebagai seorang pemuda. Apalagi sekarang, setelah pemuda jembel itu berubah menjadi gadis secantik ini, betapa akan senangnya melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi kesopanan melarangnya.
"Siapa yang mengatakan tidak pantas" Aku akan menjadi Siangkoan Ji lagi kalau engkau mau melakukan perjalanan bersamaku."
Si Kong menghela napas. Betapa akan senangnya, dan gadis ini pun berpengetahuan luas, banyak tokoh kangouw dikenalnya. Dia teringat akan Ang I Sianjin.
"Yin-moi, dapatkah engkau memberitahukan kepadaku dimana tempat tinggal Ang I Sianjin?"
Siangkoan Cu Yin berseri wajahnya. "Dia adalah ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di bukit Kwi-liong-san. Kita kesana berdua, Kong-ko" Aku akan membantumu!" katanya penuh semangat.
"Siocia, Lo-ya pasti akan marah kalau siocia tidak berusaha mencari pedang itu. Kami berenam diutus untuk membantumu. Bagaimana siocia dapat mengajak orang lain, seorang pria pula?" kata seorang diantara enam orang pelayan itu, sambil membungkuk dengan hormat kepada Siangkoan Cu Yin.
"Jangan mencamouri urusanku!" bentak Cu Yin dengan mengkal hatinya.
"Yin-moi, bagaimanapun juga, engkau harus menaati perintah ayahmu. Kecuali itu, akupun tidak dapat menerima permintaanmu untuk melakukan perjalanan bersama. Nah, selamat tiggal Yin-mio!"
"Tunggu, Kong-ko"!" Cu Yin juga meloncat cepat dan akhirnya dapat menyusul karena Si Kong sengaja memperlambat larinya dan menunggu gadis itu.
"Ada apa lagi, Yin-moi?"
"Kong-ko, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa aku" aku mencintaimu?"
Si Kong menghela napas panjang. "Engkau keliru, Yin-moi. Engkau puteri seorang datuk yang kenamaan dan kaya raya, sedangkan aku hanya seorang pengelana yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki tempat tinggal. Sepatutnya engkau berjodoh dengan seorang pemuda yang setingkat derajatnya denganmu. Aku berterima kasih kepadamu, Yin-moi, akan tetapi maafkanaku. Aku tidak berani melakukan perjalanan bersamamu. Selamat tinggal!" Sekali ini Si Kong meloncat dan berlari dengan cepat sekali sehingga Cu Yin tidak akan mampu mengejarnya.
Enam orang pelayan itu berlarian menyusul nona majikan mereka dan mereka menemukan Cu Yiin menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar.
Joli tadi juga sudah di bawa kesitu. "Silakan duduk dalam joli, siocia. Katakan kemana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu."
Cu Yin marah dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai, masuk ke dalam joli dan berkata, "Antarkan aku ke Kwi-liong-san!"
Enam orang itu saling pandang akan tetapi tidak berani membantah. Empat di antara mereka lalu memaggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah orang-orang yang lihai, menjadi pelayan dan juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam-tok, maka perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Di sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak.
Puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk di pagi hari itu. Malam tadi turun hujan lebat dan pagi ini segala sesuatu nampak hidup. Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar bagaikan kanak-kanak yang baru habis mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih kepada langit yang semalam telah menghujaninya. Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah didunia. Ada seberkas cahaya biru di antara aan-awan putih, sangat mengesankan dan penuh mengandung rahasia alam.
Si Kong duduk di atas batu dan termenung. Dia tadi menikmati keindahan yang terbentang luas di hadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi sayang keadaan yang indah dimana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh alam itu, hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati akal pikirannya sudah bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin.
Cu Yin mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan lihai, puteri Lam-tok, jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya, keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia mencintai Cu Yin ataukah tidak.
Lamunannya membuyar ketika muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enampuluh tahun, memikul sebongkok kayu, tentu untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong. Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu. Dan tiba-tiba Si Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu tentu banyak penglamannya tentang hidup, sudah banyak merasakan suka duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta.
"Selamat pagi, paman!" kata Si Kong dengan ramah. "Maukah paman menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?"
"Daging dan roti kering" Dan ada araknya pula" Orang muda, akan bodohlah aku kalau aku menolak tawaranmu yang baik itu." Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari pundaknya dan cepat Si Kong membantunya.
Si Kong mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang dibelinya kemarin siang dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu sambil makan minum.
"Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?"
"Di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman, sungguh menyenangkan hatiku. Aku tahu bahwa paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat menjawab rahasia yang menekan hatiku."
Kakek itu minum arak dari guci, dan merasa puas dan kenyang.
"Apakah soal yang harus di jawab itu" Aku hanya seorang penghuni dusun di bawah sana. Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku dapat menjawab rahasia yang engkau sendiri tidak mampu melakukannya?"
"Aku yakin paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum."
"Hemm, engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?"
"Sederhana saja bagimu, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sesungguhnya cinta itu" Paman pernah jatuh cinta bukan?"
Kakek itu terkekeh. Dia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula. Mendengar pertanyaan itu, dia merasa lucu. "Orang muda, tentu saja aku pernah jatuh cinta, bahkan seringkali aku jatuh cinta."
Si Kong terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita"
"Berapa kali engkau jatuh cinta, paman?"
"Tak terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai siteriku, mencintai anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai sahabat-sahabatku, bahkan mencintai parang ini dan cangkul di rumah."
Si Kong tertegun. "Jadi paman hanya sekali saja beristeri?"
"Ya, sekali saja. Aku mencintai isteriku karena ia menyenangkan hatiku melayani semua kehendakku dan tidak pernah membantah."
"Apakah cinta paman kepada isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak, tetangga, dan juga cangkul itu?"
"Tentu saja sama. Aku mencintai isteriku karena ia dengan senang hati melayaniku. Aku mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta kepala dusun, para sahabtku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku mencinta parang dan cangkul karena benda-benda itu berguna bagiku. Pendeknya aku mencinta segala yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andaikata barang ini pecah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan membuangnya."
"Akan tetapi cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah luntur dan berbalik menjadi benci!"
"Heh-heh-heh, mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan" Aku mencinta isteriku karena ia penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lain. Bahkan aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena ia memberi berkah kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya" Mencinta karena ada pamrih supaya disenangkan" Kalau engkau mempunyai isteri dan ia menyeleweng atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya" Kalau anak-anak mendurhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka" Kalau kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka" Manusia mencintai seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya."
Si Kong tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana, seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat, namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta dalam hati manusia memang berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, semacam cinta jual beli. Alangkah palsu dan kotornya cinta itu.
"Akan tetapi, paman. Ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu kepada anaknya. Kalau ada ibu yang membenci anaknya, maka ia itu seorang yang tidak waras pikirannya."
"Hemm, aku masih menyangsikan cinta seorang ibu kepada anaknya. Apakah ia tidak pernah marah kepada anaknya" Apakah ia tidak pernah jengkel karena kenakalan anaknya" Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan hatinya."
"Apakah tidak ada cinta murni tanpa pamrih dalam dunia ini?" tanya Si Kong dengan penasaran.
"Menurut penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi rasa benci yang dapat yang dapat timbul sewaktu-waktu kalau yang dicintai itu tidak menyenangkan hati."
"Tapi, paman. Lihat sinar matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apapun. Lihat harumnya bunga, dia memberi keharuman kepada siapapun juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apapun. Apakah itu bukan cinta sejati yang suci murni?"
"Wah, engkau benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah, bahkan kayu-kayu kering ini, semua itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apapun! Engkau benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa mencita kalau disenangkan hatinya, tegasnya cinta manusia itu berpamrih. Mengapa begitu?"
"Karena manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Manusia sejak lahir dikaruniai nafsu-nafsu yang maksudnya untuk menyertai manusia, menjadi budak manusia. Akan tetapi manusia itu lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga bukan dia yang menjadi majikan nafsu, melainkan sebaliknya dia menjadi budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih, karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung, dan ingin senang. Adapun cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut sesuatu, sejak lahir kita sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan memuja Tuhan setiap saat." Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang di dapat ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai.
Kakek itu menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang didapat dari tradisi, segala benda itu dikuasai oleh para dewa. Karena itu, dia dan masih banyak orang lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu, agar mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang muda ini begitu pandai, pikirnya dan otaknya kalau harus memikirkan itu, menjadi pening dan bingung.
"Mungkin engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik sebentar lagi panas tereik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kauhidangkan padaku." Kakek itu memanggul kayu bakarnya dan melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya mengikutinya dengan pandang matanya.
Dia termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang yang berbahagia hidupnya. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka butuhkan, sehingga mendapatkan seikat kayu bakar saja sudah membahagiakan hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat menyenangkan hatinya.
Dia menghela napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia" Kadang-kadang memang hatinya senang, akan tetapi lebih sering hatinya murung. Kenapa bahagia seolah menghindar darinya"
Apa lagi disaat itu. Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemana. Dia merasa tidak ada yang membutuhkannya. Dia menoleh ke arah buntalan pakaiannya dan teringatlah dia akan sepasang gelang dalam kantung kain yang berada dibuntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat akan gelang itu, teringat pula dia akan Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun yang berbudi baik.
Gadis itu telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang telah membunuh ayah bunda gadis itu. Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin pembunuh orang tua Kiok Nio dan merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak mempergunakan pedang pusaka itu" Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walaupun pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam"
Kalau sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberitahu kepada Kiok Nio bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu tidaklah cukup. Dia harus yakin benar bahwa Ang I Sianjin pembunuh itu, dan untuk meyakinkan hatinya, dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam. Tidak, tidak sekarang, melainkan kalau nanti dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti jika dia dapat merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin. Pula, kalau sekarang dia memberitahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I Sianjin dan gadis itu pergi dengan nekat untuk membalas dendam, hal itu akan amat berbahaya bagi Kiok Nio.
Timbul semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok
Nio! Perasaan dibutuhkan ini menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus mencari Ang I Sianjin dan Siangkoan Cu Yin sudah memberitahu kepadanya bahwa Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di Kwi-liong-san. Dia kini mempunyai tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san mencari Ang I Sianjin.
*** Siang itu panas bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan pusat perdagangan pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar menjadi korban panas terik yang membakar.
Kota Liok-bun terletak dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalulintas perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota datang ke kota ini untuk membeli atau menjual barang.
Diantara sekian banyaknya orang yang memakai perlindungan caping atau payung, terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan di bakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilanbelas tahun dan pakaiannya serba merah muda. Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya menjadi kemerahan tanpa bedak dan gincu. Terutama sekali sepasang matanya, amat menarik perhatian karena mata itu amat indah dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu nampak cerah dan manis bukan main. Para pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakangpun sudah menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Akan tetapi kalau orang melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar wanita yang mahir bermain ilmu pedang.
Tidak ada seorangpun di dalam kota Liok-bun itu yang mengenalnya. Kalau ada yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu terkejut dan gentar. Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay, dan ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai.
Seperti pernah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan, berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka tepat namun agak terlambat karena Ceng Lojin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lojin tewas, dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lojin dipulau itu. Kematian yang amat menyedihkan karena tidak ada seorangpun tamu yang datang melayat.
Beberapa hari setelah pemakaman, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke Cin-ling-pai pulang dari Pulau Teratai merah, Hui Lan banyak termenung. Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lojin, kakek buyutnya. Walaupun kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, ia tetap merasa penasaran karena kematian itu dapat dibilang menjadi akibat dari perlawanannya para datuk yang menantangnya. Kalau para datuk itu tidak datang menantang, belum tentu kalau kakek buyutnya tewas.
Kecantikan gadis ini menarik perhatian orang, terutama para pria. Tidak ada yang tidak menengok kembali setelah berpapasan dengan gadis ini. Hui Lann tidak memperhatikan atau memperdulikan ulah para pria itu. Is sudah terbiasa melihat mata para pria menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap kurang ajar kepadanya.
Ketika ia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, ayahnya berkata sambil memandang puterinya penuh perhatian, "Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?"
Hui Lan menggeleng kepalanya. "Tidak, ayah. Aku hanya ingin merantau untuk mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuan tentang dan menambah pengetahuanku tentang dunia persilatan."
Ibunya Cia Kui Hong berkata. "Nasihat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan. Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama. Apalagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini amat kejam dan berbahaya. Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka."
"Apakah ayah dan ibu juga akan menghindar dan melarikan diri kalau bertemu dengan mereka di dalam perjalanan?" tanya gadis itu sambil memandang tajam kepada ayah ibunya.
Tang Hay dan Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudia Tang Hay berkata, "Tentu saja tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau seorang diri saja bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka" Kalau harus melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi mereka itu licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan pengeroyokan secara curang. Karena itu, jangan nekat untuk menentang mereka."
"Ayahmu berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yan banyak jumlahnya bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya kalau nekat dan mati konyol adalah perbuatan bodoh. Mengertikah engkau?"
Hui Lan mengangguk. "Aku mengerti ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri."
"Kalau begitu, seabiknya engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu."
"Baik, ayah. Memang aku ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman Cia Kui Bu."
Cia Kui Bu adalah adik Cia Kui Hong, satu ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya itu.
"Kalau engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, kerumah pamanmu Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga." kata pula Tang Hay.
"Dan jangan lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu." Kui Hong menambahkan.
"Baik, ayah dan ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu."
"Sekarang pamitlah kepada kakek dan nenekmu." kata Kui Hong.
Hui Lan lalu pergi ke ruang dalam. Ia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia enampuluh lima tahun, duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang disenanginya, yaitu menyulam.
"Nek?"!" kata Hui Lan manja.
Nenek itu mengangkat mukanya, tersenyum memandang cucunya tersayang. "Ah, engkau Hui Lan. Duduklah. Wajahmu kelihatan demikian berseri, ada berita baik apakah?"
Hui Lan menarik kursi dekat neneknya. "Memang aku sedang bergembira sekali, nek. Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!"
Nenek itu menunda pekerjaannya, menaruh kain yang disulam ke atas meja lalu memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu. "Ah, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di waktu aku seusiamu sekarang ini, akupun merantau sampai jauh, seorang diri saja, demikian pula ibumu. Apalagi engkau sudah mewarisi ilmu dari ayah ibumu, tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui Lan."
"Terima kasih, nek. Dimana kakek?"
"Dia sedang bersamadhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih dari tujuhpuluh tahun usianya, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan. Akan tetapi aku mempunyai nasihat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu. Ketahuilah bahwa dunia persilatan itu mempunyai banyak orang yang berilmu tinggi. Kalau mereka semua orang baik-baik, tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi banyak diantara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat! Karena itu, engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali, dan usahakan agar engkau tidak perlu membunuh orang. Jauhkan sedapat mungkin segala permusuhan yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?"
Hui Lan merangkul dan mencium pipi neneknya. "Aku mengerti, nek, dan jangan khawatir, aku akan selalu ingat nasihat nenek ini. Aku hendak berkemas, nek. Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek."
Hui Lan berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi kekamarnya sendiri, diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. Ia tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan di atas meja, termenung membayangkan kembali semua pengalamannya di waktu ia masih gadis seusia cucunya. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya diwaktu muda, seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu ia telah menjadi seorang nenek-nenek! Kembali ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu.
Pada hari itu juga, Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya dan ibunya memberi bekal uang cukup banyak serta sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima banyak petuah dari orang tuanya, berangkatlah Hui Lan dengan buntalan pakaian dan pedangnya di punggung.
Demikianlah, pada hari itu ia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dilakukan adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panasnya bukan main dan ia tidak mau kalau wajahnya menjadi rusak kulitnya oleh sengatan matahari. Setelah membeli payung iapun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak memperdulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan, melainkan melangkah terus dengan tenangnya sampai ia melihat papan nama di depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa tempat itu memiliki rumah makan berikut pula rumah penginapan.
Hui Lan sudah melakukan perjalanan sejak pagi tadi. Ia merasa lelah dan lapar, maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah yang cantik itu, yang kini tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah menutupkan payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan. Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat.
"Selamat siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?"
"Kedua-duanya," jawab Hui Lan. "Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!"
"Mari, silakan nona." kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke loteng di mana banyak kamar disewakan.
Setelah diantarkan ke sebuah kamar sudut, Hui Lan merasa cocok. Kamar itu cukup bersih dan ia segera menaruh buntalannya diatas meja.
"Sekarang, harap sediakan air untuk mencuci muka, setelah itu baru aku akan turun dan memesan makanan."
"Baik, siocia." Pelayan itu pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa sebaskom air jernih yang dia letakkan ke atas sebuah bangku.
"Terima kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan."
"Baik, siocia." pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu.
Hui Lan menutupkan kamar itu, lalu membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Kemudian ia keluar dari kamarnya, meninggalkan pakaiannya akan tetapi membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan yang tadi menyambutnya.
"Bawa pergi baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain agar aku dapat memesan makanan." kata Hui Lan. Ia hanya mengerutkan alis saja melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata mereka. Iapun sengaja duduk di depan meja dan menghadap ke dinding, membelakangi para tamu. Bagaimanapun juga, akan tidak nyaman makan dipandang banyak mata. Memang ia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga.
Seorang pelayan lain menghampirinya dan Hui Lan memesan nasi dan beberapa macam sayuran. Untuk minumnya ia minta disediakan air teh.
Selagi ia menanti datangnya masakan, ia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di meja belakangnya. Dari percakapan itu ia dapat mengetahui bahwa di meja sebelah belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula ia tidak menghiraukan percakapan mereka, akan tetapi ketika percakapan itu menyinggung dirinya, mau tidak mau ia memperhatikan juga.
"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia seorang pendekar wanita yang lihai!"
"Aih, takut apa" Paling-paling ia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat takut apa?"
"Benar, agaknya ia bukan orang sini. Kalau dapat dibujuknya alangkah senangnya."
"Aku juga sudah muak dengan perempuan-perempuan lacur itu. Kalau yang ini boleh sekali!"
Merah kedua pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Ia melihat di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah belakang.
"Cap! Cap!" sepasang sumpit itu menancap di atas meja empat orang itu, menancap sampai kegagangnya! Meja itu terbuat dari kayu yang tebal dan keras namun sumpit bambu itu dapat menancap setengahnya lebih. Apalagi kalau mengenai tubuh mereka. Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu.
Dengan mata terbelalak, empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, lalu menoleh ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya. Empat orang itu hanyalah pemuda-pemuda berandalan anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu silat. Akan tetapi apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka. Mereka berempat lalu meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan mereka adalah makanan-makanan istimewa yang agak lama dibuatnya. Akan tetapi baru mereka melangkah beberapa langkah mereka terguling satu demi satu karena kaki mereka ada yang mengganjal. Ketika mereka melihat, ternyata yang memalangkan kakinya itu adalah seorang pemuda yang berpakaian serba putih seperti seorang terpelajar. Wajah pemuda itu tampan sekali dan mulutnya tersenyum sinis, matanya melirik ke arah para pemuda tadi. Karena memang hati mereka sudah gentar setelah ada sepasang sumpit menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu bangkit dan berlari keluar rumah makan.
Hui Lan hanya mendengar empat orang yang hendak mengganggunya tadi berpelantingan, akan tetapi tidak tahu apa yang telah terjadi dan iapun tidak ingin menengok. Setelah peristiwa itu ia merasa tidak tenang kalau duduk menghadapi tembok, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya. Maka Hui Lan lalu pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga ia dapat melihat para tamu. Agaknya tidak ada yang melihat ketika ia menyambitkan sepasang sumpit itu kepada empat orang pemuda karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan kepadanya melainkan kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih itu. Ia dapat menduga bahwa tentu empat orang yang berpelantingan itu dihajar oleh pemuda tampan ini. Biarpun pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang mencorong dan sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita banyak bagi Hui Lan. Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan cepat membuang muka ketika pemuda itu menganggukan sedikit kepalanya.
Hidangan untuknya datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan ditonton orang,
terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka ia pindah duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding. Melihat ini, pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu mengapa Hui Lan pindah duduk, maka dia merasa geli.
Setelah makan, Hui Lan membayar harga makanan dan iapun keluar dari rumah makan itu. Dilihatnya bahwa pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya sudah tidak berada disitu lagi. Ia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan cepat keluar dari situ, membawa payungnya. Buntalan uang berada di pinggang dan pedangnya berada di punggungnya. Ia ingin berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu ia akan kembali ke rumah penginapan itu beristirahat.
Akan tetapi belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang lebih sepuluh orang laki-laki dan melihat bahwa empat orang diantara mereka menuding-nuding kepadanya, ia dapat menduga bahwa agaknya empat orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya. Hui Lan melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Ia dapat menduga bahwa agaknya orang-orang itu hendak membalas kepadanya karena ia telah mengusir empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya. Ayah ibu menasihatkan agar ia tidak mencari permusuhan dalam perjalanannya, akan tetapi kalau ia di ganggu tentu ia tidak akan tinggal diam dan akan memberi hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu.
Dari kelompok itu majulah seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitamana dan wajah itu nampak bengis sekali.
"Hemm, jadi nona ini yang berani menghina empat orang muridku?" tanyanya kepada para murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat orang yang tadi mengganggunya.
Akan tetapi sebelum Hui Lan tiba di depan dekat mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan orang itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum. Hui Lan segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tidak jauh dari tempat ia duduk. Karena pemuda itu sudah mendahuluinya menghadapi rombongan orang itu, maka iapun berhenti menonton saja.
Empat orang pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata, "Inilah pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!"
Si muka hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tangan kirinya menuding ke arah muka pemuda itu dan tangannya bertolak pinggang ketika dia menghardik, "Bocah kurang ajar! Berani engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami" Hayo cepat berlutut minta ampun atau nyawamu akan melayang!"
Pemuda itu tersenyum mengejek. "Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandalan itu" Kebetulan sekali, karena engkau gurunya, engkau sepatutnya mengajarkan sopan santun kepada mereka. Sekarang, engkau dan empat orang muridmu itu harus berlutut minta ampun kepada nona itu." Dia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri di belakangnya.
Si muka hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, sebaliknya pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya berlutut minta ampun!
"Keparat!" bentaknya. "Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermika Hitam!" Berkata demikian, dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih itu. Pemuda ini cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong dan sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tak dapat dihindarkan lagi, dua lutut yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih.
"He, bukan kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!"
Si Muka Hitam menjadi marah bukan main. Dia telah dihina di depan banyak orang, terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main karenanya dia menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dengan suara mengaum seperti seekor harimau, dia lalu menyerang dengan goloknya! Membabi buta dia menyerang, namun pemuda itu gesit bukan main. Selalu mengelak di antara sambaran golok dan kadang malah menangkis dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui bahwa tenaga itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang membuat kedua tangannya kebal terhadap senjata tajam!
Diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, pikirnya, akan merupakan lawan tangguh baginya kalau sampai pemuda itu dan ia bertanding.
Tiba-tiba Hui Lan terbelalak kagum. Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si muka hitam terlempar ke belakang menimpa para muridnya. Sepuluh orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok masing-masing dan menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan tubuhnya dan satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi hanya beberapa menit saja.
Si muka hitam dan sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh karena mereka semua menderita luka parah
"Jahanam busuk! Apakah kalian masih ingin mengganggu wanita lagi?" bentak pemuda baju putih itu.
Tanpa menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu. Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor diantara kedua kaki belakang mereka!
Pemuda baju putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi hui lan dan dia mengangkat kedua tangannya depan dada sambil berkata . "Nona, menghadapi berandalan macam itu harus menggunakan tangan besi."
Hui lan membalas penghormatan itu dan berkata, "terima kasih atas bantuanmu."
"Aih, nona. Perlu apa berterima kasih" Aku dapat menduga bahwa tanpa kau turun tangan sekalipun tentu nona akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan anjing itu" Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan kemana nona hendak pergi?"
Sikap dan ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng kun itu demikian sopan dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani bicara.
"Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai. Aku ingin pergi ke Pao-ting."
Coa Leng kun melebarkan matanya dan wajahnya berseri. "Dari cin-ling-pai" Ah, kalau begitu nona tentu murid Cin-Ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan itu. Aku mendengar bahwa ketua Cin-Ling-Pai seorang wanita sakti yang berilmu tinggi. Apakah nona muridnya?"
Hui Lan tersenyum, bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini pernah mendengar ketenaran ibunya. "Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku."
"Ah, maaf".maaf".., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!" dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat.
"Sudahlah jangan terlalu merendah," kata Hui Lan sambil membalas penghormatan itu. "aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang sakti."
"Gururku adalah ayahku yang sudah meninggal dunia," kata Coa Leng Kun dengan suara mengandung kedukaan. "dan kepandaian silatku tidak ada artinya bila di bandingkan dengan dengan kepandaianmu, nona."
Hui lan merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru saja di jumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas . "Sudahlah aku hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu." Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apa lagi mereka berdua menjadi pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu, Leng Kun juga tidak membantah dan dia memberi hormat lagi.
"Selamat berpisah nona Hui lan." Katanya dengan nada suara gembira.
Hui lan melangkah pergi. Ia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, kelihatan hanya seperti sasterawan lemah akan tetapi ilmu silatnya tinggi, bicaranya sopan dan lembut, selkalu merendahkan diri. ingin ia menengok kembali, akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang belum di kenalnya sama sekali. Ibunya pernah menasihatinya agar waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan ia tidak ingin menengok lagi.
Ia pernah mendengar dari ibunya bahwa dunia kangouw sedang di gemparkan oleh perebutan sepasang pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (pedang halilintar). "Buka mata dan telingamu"," kata ayahnya pula, "siapa tahu engkau bertemu dengan orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik. jangan kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada di tangan golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya."
"Akan tetapi, pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, ayah dan ibu?"
"Kabar yang kami peroleh seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang itu di buat oleh seorang sakti yang di sebut Pek-sim lo-si-an (dewa tua berhati putih) dan tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang itu di curi orang sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang terjatuh ketangan seorang pendekar bernama Tan Tion Bu yang tinggal di sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tion Bu itu terbunuh orang bersama isterinya, dan pedang pusaka itupun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar di curi oleh pembunuh itu."
"Dan pembunuh itu siapakah?"
"Tidak ada seorangpun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian merah." Kata ibunya. Ibunya dapat memperoleh keterangan ini setelah mengutus murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin.
"Aku teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia atau bukan yang telah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu," kata Tang Hay. "Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi ketua kwi jiauw pang di kwi-liong "san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi di dunia barat.
"Akan tetapi engkau tidak perlu menyelidiki ke kwi-liong-san, Hui Lan," kata ibunya. "Kami tidak permusuhan dengan kwi-jiauw-pang dan jangan sampai ada kesalah pahaman di antara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger di sana, sungguh tidak enak bagi Cin-ling-pai."
"Baiklah, ibu. Aku akan menaati nasihatmu." Demikian Hui Lan berkata.
Ketika Hui Lan berjalan-jalan di kota liok-bun itu, ia terkenang kembali akan nasihat ayah ibunya itu. Tidak ia tidak akan mencari gara-gara keributan. Tadipun untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun itu turun tangan sendiri memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara ia dan orang-orang itu.
Hari telah menjadi senja ketika Hui Lan pulang kerumah penginapan. Sampai ia makan malam di rumah makan bagian depan rumah penginapan itu tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.
Malam hari itu, ketika ia sedang tidur, ia mendengar suara perlahan di jendela kamar itu,. Karena kamarnya gelap, lilin sudah ia padamkan dan di luar terdapat penerangan lampu, ia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamarnya. Hui Lan mengerutkan alisnya. Bayangan itu tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat cepat. Akan tetapi ia tidak bangkit, terus berbaring sambil mengamati kearah jendela dengan waspada. Kembali ia melihat bayangan itu berkelebat, kini bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya, dan jendela itu terdengar berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha membuka jendela dari luar. Hui Lan bangkit duduk tanpa mengeluarkan suara dan menanti dengan tenang. Maling ini mencari penyakit, pikirnya.
Mendadak terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, meyambar pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja di sebelah kamarnya, di bagian luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang memakia penutup muka dari hidung kebawah, berpakaian serba hitam dan yang seorang lagi bukan lain adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun!
Hui Lan mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang maling yang hendak mencokel jendelanya dan sekarang mereka bertanding dengan serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang berpakaian serba hitam tadi. Dia menggunakan sebatang golok yang besar dan berat, sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling. Gerakan maling itu cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu bukan lawan yang pemuda yang lihai itu. Leng Kun seolah mempermainkan maling itu. Suara gaduh perkelahian itu membuat para tamu di rumah penginapan itu terbangun dan banyak jendela dan pintu di buka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel berlarian mendatangi tempat itu.
Maling yang sudah kewalahan melihat hal ini menjadi semakin jerih. Dia membentak dan menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia runcing) meluncur kearah Leng Kun. Dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan. Gadis itu dengan tenang menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit antara dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu jatuh keatas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan kesempatan ini untuk meloncat dan melarikan diri.
Leng Kun tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang kini memandang pemuda itu dengan alis berkerut.
"Selamat malam, Tang-siochia," katanya memberi hormat. "sayang saya tidak dapat menangkap maling itu."
"Sobat Coa, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu." Kata Hui Lan agak marah karena pemuda ini selalu melindunginya, padahal ia tidak membutuhkan perlindungan dan bantuan itu. Kalau hanya menghadapi para pemuda berandalan yang siang tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, ia masih sanggup.
"Maaf, nona. Saya tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak tahu bahwa nona menginap di dalam rumah penginapan ini." Leng Kun memberi hormat lagi dengan senyum ramah.
Hui Lan tidak mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya dan mnenutup pintu kamarnya. Leng Kun di hujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan.
"Tidak perlu ribut-ribut," kata Leng Kun dan suaranya cukup nyaring sehingga terdengar oleh Hui Lan. "Aku mendengar gerakan orang di luar kamarku, aku keluar dan membayanginya. Ternyata dia berusaha mencokel jendela kamar ini, maka aku menegurnya dan kami berkelahi." Setelah berkata demikian Leng Kun juga kembali ke kamarnya. Orang-orang itu bubaran dan para tamu menutupkan jendela dan kamar rapat-rapat karena takut di datangi penjahat.
Hui lan sudah rebah kembali keatas pembaringannya. Akkan tetapi ia sukar jatuh pulas. Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Ia mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Apakah ia tadi tidak bersikap keterlaluan kepada Coa Leng Kun" Pemuda itu tidak tahu bahwa ia bermalam di situ dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja. Sebagai seorang pendekar, Leng Kun tentu saja turun tangan melihat ada maling hendak mencongkel jendela kamar. Ia tidak berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah benar" Ia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Ia mengambil piauw yang tadi di tangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali keatas meja. Setidaknya sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa ia bukan gadis yang lemah tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan akhirnya ia dapat tidur pulas.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting di mana pamannya Cia Kui Bu, tinggal. Pamannya itu masih muda, berusia kurang lebih tigapuluh dua tahun. Sebetulnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya ituadik tiri ibunya. Akan tetapi paman tirinya itu telah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka akrab sekali. Bahkan pamannya juga menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Akan tetapi sampai berusia tiga puluh dua tahun, Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang di kawal perusahaannya semakin banyak saja. Para pedagang amat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang di ganggu penjahat. Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu. Akan tetapi selalu para perampok itu dapat di pukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu terkenal dan di takuti penjahat. Setiap orang penjahat yang melihat bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatkan barang-barang berharga, semua tidak berani mengusiknya.. perusahaan itu memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), bahkan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu di juluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok.
Untuk mempercepat perjalanannya ke pao-ting, Hui Lan membeli seekor kuda dan melanjutakan perjalanannya dengan menunggang kuda. Sejak kecil ia sudah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu dapat di lakukan dengan cepat.
Beberapa hari kemudian ia memasuki kota pau-ting. Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tidak jauh dari kota raja, di sebelah selatan kota raja. Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauwkiok itu. Hui Lan belum pernah datang kekota ini. Biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san.
Melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu, Hui Lan menjadi kagum sekali. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar berbunyi "Ceng Liong Piauwkiok"dan di pintu gerbang duduk beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar dan gagah.
Hui Lan melompat turun dari kudanya, menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu.
"Nona siapakah dan ada keperluan apakah datang ke piauwkiok kami" Apakah nona hendak mengirim barang?" tanya seorang diantara mereka.
"Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku." Jawab Hui Lan singkat.
Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan. Tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang mengaku keponakan majikan mereka, tentu saja mereka menjadi curiga.
"Nona, majikan kami sedang berada dalaam keadaan yang tidak memungkinkan dia menemui nona. Maka, katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona."
Hui Lan mengerutkan alisnya. "Sudah ku katakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, dan kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!"
"Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami mempunyai seorang keponakan seperti nona. Karena itu, beritahukan nama nona dan kami akan melaporkan kedalam."
"Tidak, panggil saja dia keluar!"
"Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona."
"Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!" Hui Lan lalu menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di situ, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang bahkan seorang diantara mereka melintang tombaknya.
"Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!" bentak Hui Lan. Ketika penjaga yang memegang tomabak itu menghalanginya dengan tombak, Hui Lan dengan gerakan yang cepat merampas tombak itu dan sekali menggerakkan tangan, tombak itu meluncur dan menancap di batang pohon, diatas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus!
Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kacau. Mereka menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.
"Nona tidak boleh melakukan kekerasan di sini!" bentak pemimpin mereka.
"Begitukah" Kalau kalian ingin kuhajar, majulah!" tantang Hui Lan.
Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba gadis itu gadis itu hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang diantara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali.
Tiga orang lainnya menjadi terkejut dan cepat menyerang, akan tetapi kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!
"Hemm, hendak kulihat apa yang akan di lakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!" setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak, "Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!"
Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran. "Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!"
"Tapi?"tapi?"kongcu sedang sakit, nona."
"Sakit"." Sakit apa" Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!"
Pelayan itu tidak berani membantah dan ia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.
"Paman Kui Bu"..!" Aku Hui Lan berteriak dan ia lari menghampiri, dan duduk di tepi pembaringan itu.
Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang. "Hui Lan, aku"..aku sedang menderita luka berat?""
"Kenapa, paman" Coba kuperiksa!" Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu ada tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah memiliki sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi kalau di biarkan , luka itu dapat merenggut nyawanya.
"Engkau terkena pukulan beracun, paman harus cepat di obati! Tenanglah, paman aku akan mengobati paman!" setelah berkata demikian, ia menoleh kepada pelayan wanita tadi. "Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!" Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi parintah gadis itu.
"Mulanya begini, Hui Lan?"
"Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan keluarkan tenaga. Batu giok mustika obat ini dapat menghisap semua hawa beracun."
"Hemm, milik ayahmu?"
"Benar, untung bahwa ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat."
Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu dan menggosok-gosokannya keatas dada yang kehitaman sambilk mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menyedot. Tak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok. Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan ia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci. Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman dan batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang di hisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali.
Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu kedalam air semangkok dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu habis di minum Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia mencoba mengerahkan sinkangnya dan dia tidak merasakan sakit lagi!
"Ah, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!"
"Kita harus bersyukur bahwa kita teidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi."
Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar berlari lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka telah pudar kembali dan mereka kini memburu kedalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau di ganggu gadis yang lihai itu.
"Kalian mau apa?" Bentak Kui Bu.
Lima orang itu terheran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri mereka berlutut.
"Maafkan kami, kongcu"..kami?"kami kira nona itu".akan mengganggu kongcu?"
"Hemm, keponakanku ini mengganggu" Malah ia yang menyembuhkan aku"
Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata, "Mohon pengampunan dari lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat?"
"Apa" Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?"
"Ampun, kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, tadi kami hendak melarang lihiap ini masuk, akan tetapi kami semua ia robohkan"."
Kui Bu tertawa. "Ha-ha-ha, biar kalian di tambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui lan masuk untuk menemuiku!" Setelah tertawa lagi Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.
"Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka tidak pernah mengenalmu, maka berani melarangmu."
"Tidak mengapa, paman. Mereka tidak kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?"
Cia Kui Bu lalu menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa ia memiliki sepeti emas yang amat berharga dan hendak di kirimnya ke kota raja. Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas! Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Belum pernah ia menerima kiriman barang sebesar itu harganya. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sangup membayar biaya pengiriman berapa saja di minta. Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang besarnya belum tentu bisa di peroleh Ceng-liong piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia di bantu oleh lima orang piauw su (pengawal) yang tangguh dan cukup lumayan ilmu silatnya. Peti itu di muat dalam sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itupun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Diatas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong piauw kiok, yaitu gambar seekor naga hijau. Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali.
Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang biarpun agak jauh, akan tetapi termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu.
Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak di pergunakan lagi. Memang biasanya rombongan Ceng-liong piauwkiok mempergunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan mereka dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas, namun menyimpang dari jalan besar.
"Malam itu terjadinya," kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang di dengarkan dengan penuh perhatian oleh keponakannya. "seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, tiba-tiba terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, akupun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri di seret beberapa orang pergi dari tempat itu!"
"Hemm, mereka tentu perampok!" kata Hui Lan.
"Memang benar, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa aku, tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku berdiri seorang kakek berusia enampuluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia menyerangku dengan ganas. Kakek itu lihai sekali dan terpaksa aku memainkan Siang-bhok-kiamsut (Ilmu pedang kayu harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat tidak terduga-duga datangnya dan mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan dan mereka menggotong aku pulang kesini."
"Apakah kakek itu tidak meninggalkkan nama, paman?"
"Tidak, setelah aku dan para pembantuku roboh, dia segera melarikan diri. kereta dan peti emas itu telah lenyap di bawa mereka."
Hui Lan mengerutka alisnya. Ia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali. "Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?"
"Aku pernah mendengar bahwa di pantai timur terdapat seorang datuk yang lihai, bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Akan tetapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu ia datang dan setelah mendengar bahwa emasnya di rampok penjahat, lalu menuntut agar aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu" Biar kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, masih juga belum cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan."
Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir. Gadis ini selain keras hati dan lincah, juga amat cerdik. "Paman Kui Bu, ketika wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?"


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, tidak. Untuk apa" Wanita itu juga melarang merusak peti itu. Ia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya kepadanya. Andaikata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa ia mengirimnya dengan biaya semahal itu?"
"Memang nampaknya tidak mungkin akan tetapi ada suatu kemungkinan besar sekali, paman. Ia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lalu terjadi perampokan dan ia minta ganti seribu tail emas! Hemm, aku terus terang saja menjadi curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja ia ia bersekutu dengan perampok dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!"
"Ahhh"!" Cia Kui Bu menepuk dahinya dan memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum. "Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah memikirkan sampai ke sana" Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya, tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas."
"Inilah kelicikan mereka. Kalau mereka merampas emas, tentu akan terus di cari sebagai penjahat perampok. Akan tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum."
"Hemm, aku akan mencari kakek itu kepulau tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!" kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.
"Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu" Apa ciri-cirinya?"
"Ia seorang wanita cantik yang kelihatan masih muda, akan tetapi kurasa ia sudah berusia hampir empat puluh tahun. Ia pesolek, berpakaian mewah dan memegang sebuah kebutan. Dipunggungnya terganutng sebuah pedang."
"Pakaiannya?"
"Pakaiannya mewah dan serba mewah."
"Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li( Iblis Betina Merah Cantik )" Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu."
Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "akupun pernah mendengar tentang betina itu, akan tetapi ketika ia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya."
"Aku sendiripun belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, maka kita tunggu saja kedatangannya besok. Biar aku yang berhadapan dengan dia paman harap diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar ia mengakui siapa dirinya."
Setelah di obato Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu pulih kembali. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari encinya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi ilmu-ilmu andalan dari ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan encunya, gadis ini telah mempelajari ilmu sihir pula dari ayahnya! malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul dan dia pun dapat makan minum dengan lahapnya. Dia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar keselamatan enci dan ci-hunya ( kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol.
"Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Kenapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga" Dengan demikian kehidupan paman akan menjadi tenang."
Cia Kui Bu tersenyum. "Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, bagaimana" Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri, bukankah aku akn menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?"
"Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi. "kata gadis itu.
"Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang cocok denganku."
Setelah malam makin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Ia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat ia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya. Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi.
Pagi itu suasana di Ceng-liong piauw-kiok terasa sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu. Jumlah mereka ada enambelas orang. Mereka semua memakai pakaian seragam piauwsu yang ringkas membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik. Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi telah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja. Pagi-pagi gadis ini mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya dan ia duduk di ruangan dalam, tidak senang berada di luar karena tentu ia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu.
Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu di halaman rumah itu. Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalaupun ia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya di bedaki tipis dan terhias gincu pada bibir dan pipinya. Rambutnya yang hitam panjang di gelung ke atas dan di hias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dan warna merah yang paling menyolok di antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan.
"Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung-jawabkan tanggunganmu!" terdengar wanita berseru dengan suaranya yang lantang.
Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi kalau di suruh majikan mereka. Akan tetapi, Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar bahkan gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang kearah wanita cantik itu.
Melihat munculnya gadis yang jelita itu, wanita itu mengerutkan alisnya "Siapa engkau" Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau ia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang, akan kuhancurka semua yang berada di sini, dan akan kulaporka kepada yang berwajib!"
"Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?" Hui Lan bertanya dengan suaranya yang halus, namun mengandung wibawa besar.
Wanita itu nampak kaget. "Tidak perlu namaku di sebut dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang di bawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!"
"Barang itu memang di rampok, dan sedang di usahakan agar di dapatkan kembali."
"Omong kosong! Sampai kapan di dapatkan" Aku sudah memberi waktu sampai hari ini dan tidak mau waktunya di ulur lagi."
"Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?"
"Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?" tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.
"Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu di bawa lari perampok!" kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu.
"Apa maksudmu?"
"Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja."
"Gila kau!"
"Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kaukatakan emas, kemudian sekutumu mengadakan perampasan di jalan, lalu engkau datang minta uang pengganti. Begitu bukan?"
"Apa buktinya" Barang itu memang emas seribu tail!"
"Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas" Engkau hanya membawa sebuah peti yang kau larang untuk di periksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu" Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?" kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek.
Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah. "Omongan apa yang kau keluarkan ini" Aku pengirim barang yang di bikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu sewajarnya?"
Tentu sewajarnya kalau engkau bukan Ang-bi Mo-li yang sudah terkenal kelicikan dan kejahatannya."
"Keparat! Bicaramu makin kurang ajar saja! Siapakah engkau?"
"Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia "piauwsu."
Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu, menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li. "Siocia, biarka kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!"
Hui Lan tidak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi, nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan gesit sekali dan para piauwsu itupun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di iris senjata tajam!
"Kalian mundur semua!" bentak Hui Lan dan iapun melompat kedepan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang pedang penakluk iblis), pemberian ibunya.
Melihat ini, Ang-bi Mo-li memandang tajam. "Apakah engkau ini puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong" Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?"
Diam-diam Hui Lan terkejut. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran menyelinap di hatinya. Kalau begitu, wanita ini membikin susah pamannya memang di sengaja karena pamannya adalah adik dari ibunya!
"Kalau benar mengapa" Kalau tidak kenapa?" Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika di tanya tadi.
Sepasang mata wanita itu seperti menyinarkan api. "Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai" Kalau begitu, hari ini engkau akan mampus di tanganku!" mendadak Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga kini dia memegang dua senjata, pedang dan kebutan.
"Aku atau engkau yang akan mampus?" Hui Lan membalas menggertak.
Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga ia tidak mengeluarkan suara lagi, langsung menyerang dengan pedang dan kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan ia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.
"Trang"..Cringg".!"
"Keduanya melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tak di sangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka ia pun menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya. Namun, sepasang pedang di tangan Hui Lan telah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat di tembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li . Sebaliknya, setiap kali gadis itu menyerang, sinar kilat mencuat dari gulungan sinar pedang, Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah ia terdesak ke belakang.
Cia Kui Bu yang sudah keluar sejak tadi, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus di akui bahwa gerakan wanita baju merah itu amat gesit. Akan tetapi, segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus.
Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.
"Heiiittt".kena".!" Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya dan mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah.
Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.
"Darrr"..!" nampak asap hitam mengepul tebal. Hui lan yang tidak mau terkena asap itu segera meloncat ke belakang dan kesempatan itu di pergunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan diri.
Cia Kui Bu menghampiri keponakannya. "Engkau hebat, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu lihai sekali dan engkau dengan mudah telah mengusirnya!"
"Sayang aku tidak dapat menangkapnya, paman. Ia menggunakan bahan peledak untuk melarikan diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas, melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini ia hendak membikin nama baik Ceng-liong Piauwsu menjadi tercemar. Ini semua memang sudah di atur. Agaknya wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka ia membalasnya kepadamu."
Cia Kui Bu mengangguk-angguk. "Agaknya Ang-bi Mo-li itu bersekutu dengan Tung-hai Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga ingin membalas dendam kepada keluarga Cin-ling-pai."
"Boleh jadi, paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena sejak dulu orang-orang tua yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan dan menentang semua penjahat. Bahkan aku belum sempat mengebarimu, paman. Kakek buyut Ceng Thian Sin juga sudah meninggal dunia."
"Ahhh?"!" Kui Bu memandang Hui Lan dengan kaget. Rasanya sukar di percaya bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktia luar biasa itu dapat mati!" Mari kita bicara di dalam, Hui Lan.
Para piauwsu mengobati luka-luka ringan mereka dan mereka tidak habis-habis memuji kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu!
Setelah berada di dalam, Kui Bu bertanya, "Bagaimana sampai kakek Ceng thian Sin meninggal dunia, Hui Lan" Apakah karena sakit dan karena usia tua?"
"Boleh di bilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke pulau teratai merah menantang kakek buyut. Mereka semua dapat di kalahkan oleh kakek buyut akan tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah menderita luka berat yang membawanya kepada kematiannya."
Cia Kui Bu menghela napas napas panjang "Permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam. Sampai kapankah berakhirnya" Apakah kita juga harus membalas dendam kepada mereka yang membalas dendam?"
Hui Lan tersenyum. "Tentu saja tidak begitu jalan pikiran kita, paman. Kita tidak membalas dendam, akan tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat. Kalau kita membasmi kejahatan lalu ada keturunan orang jahat membalas dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula."
"Pekerjaan seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu, aku ingin berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang. Aku telah mengumpulkan modal dan aku seringkali mengangkut barang dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus di jual ke sana. Dengan demikian akupun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku."
"Berganti perusahaan baik-baik saja, paman. Akan tetapi kurasa, menjadi piauwsu juga baik. Adapun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di manapun dia berada dan pekerjaan apapun yang di lakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat."
Kembali Cia Kui Bu menghela napas panjang. "Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti emas itu" Bagaimana kalau ia datang lagi untuk meminta ganti?"
"Aku kira tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya telah kita ketahui dan ia tidak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah ia mendapat hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar tentang pek-lui-kiam?"
"Pek-lui-kiam yang di pakai perebutan di dunia kangouw itu" Tentu saja aku juga mendengarnya, karena hal itu ramai di bicarakan orang di dunia persilatan. Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu, dia akan menjgoi seluruh dunia dan dapat di angkat atau di pilih menjadi bengcu kelak."
"Ah aku tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu sendiri, bukan dari senjatanya walaupun senjata itu membantunya. Orang yang mempunyai ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan sebuah pedang pusaka yang ampuh, akan tetapi bagaimana ampuhpun senjata itu, kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, dia akan kalah juga."
"Pendapatmu itu benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang."
"Akan tetapi besar bahayanya kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu, paman. Kalau pedang itu terjatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang iblis, aku harus menentangnya!"
"Ada berita bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Si-anjin, ketua dari kwi-kiauw-pang di kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi kalau benar terjatuh ke tangan ketua kwi-jiauw-pang, dunia kang ouw akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai perkumpulan sesat yang amat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar pek-lian-kauw."
"Hemm, kalau begitu berbahaya sekali, paman. Nanti setelah singgah ke tung-ciu, ke rumah paman Pek Han Siong, aku ingin menyelidiki ke kwi-liong-san."
"Aih, jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di kwi-liong-san benar-benar kuat, banyak sekali anak buahnya. Kalau engkau hanya seorang diri saja pergi ke sana, amatlah berbahaya bagimu."
"Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya akan menyelidiki apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka."
"Kalau begitu hatiku lega, Hui Lan. Aku percaya bahwa engkau telah mewarisi banyak ilmu silat yang lihai, akan tetapi kalau hanya seorang diri menghadapi puluhan, bahkan ratusan anak buah kwi-jiauw-pang, sungguh perbuatan itu tidak bijaksana."
Pada keesokan harinya, Hui Lan berpamit dari pamannya dan melanjutkan perjalanan ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Ia hendak memenuhi pesan ayahnya agar singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara sendiri dari ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung_ciu melewati kota raja, ia hendak singgah dulu di kota raja. Di kota raja tinggal bibinya, adik ayahnya, yang bernama mayang, peranakan tibet sedangkan ayahnya adalah kakeknya. Jadi mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya amat akrab dengan ayahnya. Bibinya itu kini menjadi isteri seorang bangsawan, yaitu Cang Sun. sudah lewat dua tahun sejak Cang Sun, mayang, dan Teng Cin Nio, isterinya kedua, datang berkunjung ke Cin-Ling-pai. Masih teringat ia betapa gembiranya ketika itu. Ia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian, seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah puteri Teng Cin Nio bernama Cnag Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biarpun mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling "san, kedua orang muda itu telah menjadi sahabat akarabnya.
Setelah meninggalkan Pao-ting, Hui Lan lalu melakukan perjalanan ke utara, ke kota raja.
*** Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih namapak kuat walaupun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini dari timur kekuasaan jepang mulai mendesak dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera walaupun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang portugis dari daratan Cina.
Pada waktu kaisarnya adalah kaisar Wan Li (1572-1620), dan dia baru menjabat sebagai kaisar selama tiga tahun. Seperti juga kaisar yang lalu, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. Kekuasaan dari juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng. Bahkan beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk dan berada di luar tembok kota raja Peking. Akan tetapi akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat di sapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai. Ada yang menggabung kan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur dan bergabung dengan orang-orang jepang.
Dua orang menteri utama yang amat berjasa selama pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana dan pandai. Setelah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana. Akan tetapi kini terdapat seorang yang diangkat menjadi penasihat kaisar Wan Li, di jadikan penasihat karena orang ini juga memiliki pengetahuan luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng. Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, sejak mudanya Cang Sun telah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biarpun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat, namun isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Oleh karena itu, kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, di gembleng oleh Mayang dan menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat.
Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebiksanaan ayahnya, lalu mengangkat Cang Sun menjadi menteri yang bertugas menasihati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik kedalam maupun keluar, karena itu, kekuasaan menteri Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang ayahnya dahulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara. Semenjak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini. Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikitpun tidak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan. Sesungguhnyalah, untuk menjaga agar pohon itu subur dan menghasilkan bunga dan buah, yang perlu di pelihara dan di jaga adalah akar dan batangnya. Demikian pula kalau menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Seorang pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan"
Menteri Cang berhubungan dekat sekali dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang. Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa jepang, menteri Cang Sun menasihati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Namun sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi.
Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan karena Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk di talukkan! Akhirnya, setelah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu di tarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian, barulah keadaan menjadi agak tenteram.
Pada suatau hari, Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam hal mendidik dua orang muda itu, Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Wei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, ia menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu. Kepada Hok Thia ia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang hebat sekali, yaitu yang di sebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Adapun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang dipakainya sebagai ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter. bIarpun berupa rantai baja, akan tetapi karena tipis dan di gerakkan oleh tangan yang mengandung sin-kang, senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang!
Kini kedua orang kaka beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong.. Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya erat dengan para ahli silat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat. Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun dapat menilai bahwa Cang WI Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya di bandingkan kakaknya. Biarpun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya. Mendadak Wi Mei berseru, "Kena!!" dan tubuhnya meloncat kebelakang. Hok Thian tersenyum dan mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya.
Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!" kata Hok Thian dengan sejujurnya.
"Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko, kalau aku tidak menggunakan kecepatan, aku pasti kalah olehmu." Jawab Wi Mei dengan jujur pula.
"Gerakan cepat saja tanpa di sertai tenaga sin-kang yang memadai, masih kurang daya hasilnya, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersamadhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu, engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu, sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat, engkau dapat melindungi diri lebih baik. engkau perbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu."
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun dan melapor bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap.
"Adik Hui Lan" Ah, aku girang sekali!" kata Wi mei. Cang Hok Thian juga berseri wajahnya mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.
"Cepat persilakan ia masuk!"
Penjaga itu tidak langsung pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi horamt dan pergi keluar.
Tak lama kemudian muncullah Hui Lan dalam ruangan itu. Ia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata gembira, "Paman, bibi?"!"
"Ah, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang" Dari mana saja engkau?" tanya Mayang dengan gembira sekali.
Saya hanya sendiri, bibi, sebelum singgah kesini saya telah mengunjungi paman Cia Kui Bu." Mereka lalu bercakap-cakap dengan akrab sekali, akan tetapi ketika
Harpa Iblis Jari Sakti 23 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Hati Budha Tangan Berbisa 11
^