Pencarian

Pendekar Kelana 7

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Hui Lan menceritakan tentang, kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin, semua orang terdiam karena terkejut dan ikut berduka.
"Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak perduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekalipun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih berada di pulau Teratai Merah" Lalu siapa yang berada dengan dia di saat terakhirnya" Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?"
"Kebetulan saja saya dan ayah ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek-buyut sudah berada diambang kematian. Kakek-buyut meninggal karena usia tua dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia mengerahkan sin-kangnya."
Cang Sun menghela napas panjang. "Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun itu pendekar Sadis itu masih saja di musuhi orang! Dan orang-orang jahat dan sesat itu masih ada saja sepanjang masa, kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?"
"Menurut seorang murid kakek-buyut yang hidup berdua saja dengan kakek-buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek-buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek ngo-sian yang juga datang dari barat."
Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun ia tidak pernah lagi pergi ke tibet maka ia tidak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang di sebut itu.
"Bagaimana keadaan ayah dan ibumu Hui Lan" Aku sudah rindu sekali kepada mereka!" kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu.
Hui Lan tahu dari ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada ayahnya. Ia pun menjawab dengan nada suara gembira "mereka baik-baik saja bibi, juga kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling "pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan."
"Syukurlah, Hui Lan. Aku girang mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaaannya. Negara sedang di rong-rong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke cin-ling-pai."
"Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat merupakan hal yang menyenangkan sekali," kata Cang Sun menghibur. "Tak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita."
Wajah Hui Lan berubah merah mendengar ucapan pamannya itu, akan tetapi ia tidak marah karena ucapan itu di keluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk berolok-olok.
"Bagus sekali!" Wi Mei bersorak. "Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah" Aku sudah ingin sekali berkunjung ke cin-ling-pai!"
Tentu saja Hui Lan tersipu malu. Ah, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku, dan untuk merayakan hari baik kalian itu, ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!"
Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu. "Kami juga belum ada rencana untuk menikah!" kata Wi Mei.
Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya. "Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai" Kami juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!"
"Betul sekali, ayah. Saya juga ingin sekali melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!" kata Cang Wi Mei. "Ibu tentu setuju, bukan?"
Pada saat itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu. "Hemm, apakah yang harus di setujui itu, Wi Mei?"
Wanita itu adalah Tang Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui lan segera bangkit berdiri memberi hormat.
"Ah, engkau Hui Lan, bukan" Sudah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!" Teng Cin Nio berkata gembira dan ia pun ikut duduk dekat Mayang.
"Kedua orang anak kita ini minta untuk di perkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan," kata Mayang kepadanya.
Teng Cin Nio mengerutkan alisnya dan ia memandang kepada suaminya lalu berkata, "Agaknya tidak bijaksana kalau membolehkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik kepada mereka."
"Aku sendiri juga agak keberatan. Biarpun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang tinggi ilmu silatnya."
Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei merengek. "Takut apa" Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya menimpa dirinya" Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat membela diri?"
Cang yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, lalu berkata kepada kedua orang anaknya. Hui Lan lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu ayah ibunya yang amat tinggi. Dan pula, kalau sampai ada yang mendengar bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk di jadikan sandera. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali kalau membawa pasukan pengawal yang kaut."
Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut dan melihat ini, Hui Lan menghibur. "Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan terus langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah kemana sebelum aku kembali ke Cin-ling-pai. Sebaliknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua, aku yang merasa tidak enak sekali."
Hui Lan tinggal di istana menteri Cang selama tiga hari. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka dan kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebetulnya, di dalam hatinya Hok Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut menjadi pasangan Hui Lan.
Setelah tiga hari, Hui Lan berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.
*** Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, nampak kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak nampak tergesa-gesa, memandang ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu. Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar, dan melihat rambutnya yang licin dan rapi, pakaiannya yang mewah, sepatunya yang baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini. Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Di punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati.
Setelah tiba di bawah lereng, di luar sebuah hutan, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.
"Selamat siang, kong cu!" kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.
"Ada berita apa" Kenapa kalian menemui aku" Sudah kukatakan jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum."
"Maaf, kongcu. Disini aman, sepi tidak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan melihat bahwa ketika joli tersingkap, didalamnya duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, maka kami sengaja menghadang kongcu disini."
"Hemm, siapa gadis itu?"
"Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik."
"Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Kalau aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan."
"Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!" kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan.
Pemuda tampan itu melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu. Dari cara mereka berjalan, dapat di duga bahwa para wanita itu bukanlah orang sembarangan. Langkah mereka ringan dan tegap. Joli itu namapak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu.
Kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. Sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu dan pemimpinnya mengangkat tangan kanan keatas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti.
Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli tetap berhenti akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang diantara mereka bertanya, suaranya ketus, "Kalian mau apa menghadang perjalanan kami?"
Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.
"Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi" Kami tidak minta banyak. Hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli. Dan kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!"
Ucapan itu sudah jelas sekali. Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, ia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang ia tahu tentu akan pergi ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin dapat mengintai keluar dan tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.
"Turunkan joli!" perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli. Sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena takut.
Karena nona mereka minta joli di turunkan, hal itu berarti nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itupun berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka sudah siap siaga untuk berkelahi kalau nona mereka memerintahkan.
Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis dalam joli itu cantik jelita bukan main. Akan tetapi, Cu Yin tanpa berkata apa-apa sudah menggerakkan kedua tangannya dan meluncur empat batang anak panah ke arah rombongan orang itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, empat orang di antara mereka terjungkal dan sekarat lalu tewas seketika!
Melihat hal ini, enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka telah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tidak mengira akan di serang dengan panah-tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu. Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju. Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan dan terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar.
Melihat enam orang pengawalnya sudah menandingi para perampok itu, Si-angkoan Cu Yin hanya duduk saja dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Ia tahu bahwa para pembantunya tidak akan kalah oleh para perampok itu, maka iapun tidak mau turun tangan membantu, hanya bersikap waspada untuk menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka.
Sementara itu, pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, terkejut bukan main melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ketempat pertempuran. Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal dan di takuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong. Sebagai putera tunggal, tentu saja dia telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong berada di etmpat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang di berikan ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan ikut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli!
Dengan muka mereah karena marah, Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah tiba di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan berjongkok memeriksa seorang diantara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh. Dia tidak dapat melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali. Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Melihat ukiran dua huruf Lam Tok di gagang anak panah, dia makin terkejut. Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun selatan itu sama kedudukannya dengan ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya merupakan datuk besar yang di takuti dan di segani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu.
"Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!" teriakan dan suaranya berpengaruh dan berwibawa sekali. Enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang mendengar teriakan ini dan enam orang wanita juga berlompatan ke dekat joli di mana nona merela masih duduk dengan tenang. Kini Gin Ciong melangkah maju dan berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum. Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Kini seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk di lepas kendalinya dan di biarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu.
Tio Gin Ciong juga kagum bukan main. Benar pelaporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga!
Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin, "Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan Lan Tok" Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?"
Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu merasa di kenal di mana-mana. Itu menandakan bahwa nama besar ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.
"Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok" Dia adalah ayahku! Dan siapa engkau ini. Para perampok ini apakah anak buahmu?"
Gin Ciong semakin terkejut mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan membunuh emapat orang anak buahnya!
"Kiranya engkau puteri paman Si-angkoan" Dengar, nona. Antara ayahmu dan ayahku ada hubungan, karena keduanya merupakan datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau ayahmu itu datuk besar selatan maka ayahku adalah datuk besar dari timur."
Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keuar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena setelah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan.
"Engkau tentu putera Tung Giam-ong?"
Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata, "Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu".."
"Namaku Siangkoan Cu Yin," jawabnya singkat. "Apakah sepuluh orang ini anak buah pulau beruang?"
"Dugaanmu benar, nona. Sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!" Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes.
"Tentu saja mereka ku bunuh, karena mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!"
Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. "Mereka kurang ajar" Kata-kata bagaimana yang mereka ucapkan?"
"Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk di permainkan. Tidakkah mereka itu layah di bunuh?"
Gin Ciong kini menghadapi enam orang anak buahnya. "Benarkah apa yang di katakan nona ini" Kalian berani kurang ajar?"
Seorang diantara enam orang itu menjawab, tidak, kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar."
"Jahanam!" Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu meluncur kedepan dan menancap di dada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya menjawab sekali lalu jatuh telentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.
"Hayo siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?" pemud aitu membentak.
Lima orang anak buahnya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong, "Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!" ucapan ini mereka kelaurkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.
"Bagus! Kalian sudah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!"
Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin dan berkata serentak, "Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami."
Cu Yin tersenyum dan melambaikan tangan. "Sudahlah, lima orang dari kalian telah di hukum mati, aku sudah puas!"
"Terima kasih, Siocia. Terima kasih, kongcu!" mereka berlima lalu bangkit berdiri dan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya.
Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan lalu mencabuti anak panah itu, membersihkannya dari darah dengan selembar kain lalu menyimpannya.
Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya di dalam hutan di sebelah. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat lima mayat itu dan membawanya ke dalam hutan untuk di kuburkan.
Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk bicara dengan gadis itu. "Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada di sini" Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?"
Cu Yin tersenyum. Pemuda ini tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi sikapnya demikian sederhana dan hormat serta sopan, sehingga hatinya tertarik. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menceritakan apa yang hendak di carinya kepada sembarang orang yang baru saja di kenalnya.
"Tio-kongcu, kita secara kebetulan saja bertemu di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling bertemu dan berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru bertemu saling menceritakan keadaan dirinya maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini."
Gin Ciong juga tertawa mendengar betapa pertanyaannya di jawab dengan pertanyaan pula. "Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan pulau beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayah yang menyuruhku, dengan maksud agar dalam mencari pedang pusaka itu, aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw."
Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemud aini tidak ada bedanya dengan ia sendiri. Ia pun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang di perintahkan ayahnya!
"Hi-hi-hik," Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis kalau tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampak sederetan giginya yang rapi dan putih mengkilap. "Kalau begitu, kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena akupun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!"
Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi setelah berpikr sejenak diapun lalu tertawa gembira. "Bagus sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak bersaing, bahkan saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau begitu kita bekerja sama, kukira akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!"
"Ah, mana bisa di atur begitu" Pedang itu hanya sebatang, bukan dua atau lebih yang dapat di bagi-bagi!"
"Tentu saja tidak di bagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Pedang itu menjadi milikku atau milikmu, apa sih bedanya" Kita segolongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu."
"Sesungguhnyakah" Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?"
Gin Ciong mengangguk. "Boleh kau anggap begitu. Akan tetapi aku belum tahu harus mencari kemana."
"Aku tahu di mana adanya pedang itu!" kata Cu Yin yang teringat kepada Si Kong, pemuda yang di cintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya.
Wajah Gin Ciong berseri gembira, "Ah, itu baik sekali, nona. Kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!"
"Nanti dulu, Tio-kongcu ( tuan muda Tio)".."
"Aih, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi."
"Habis, harus menyebut bagaimana" Engkau sendiri menyebutku nona."
"Baiklah, mulai sekarang kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi ( adik Yin ) dan engkau menyebut aku Ciong-ko ( kakak Ciong ), bagaimana pendapatmu" Setujukah engkau, Yin-moi?"
"Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.
Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapapun juga. Karena itu, kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk di temani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu."
Cu Yin mengangguk. "Aku setuju," katanya dan iapun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya. Enam orang wanita pengawal yang setia dan patuh itu lalu berlari pergi untuk melaksanakan perintah nona majikan mereka. Gin Ciong juga memanggil lima orang pembantunya dan menyuruh mereka pergi, pulang ke pulau Beruang dan melaporkan kepada ayahnya bahwa dia bersama puteri Lam-tok hendak pergi merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam.
Tak lama kemudian, para pembantu Cu Yin sudah tiba kembali ke tempat itu dan mereka menuntun seekor kuda berbulu coklat yang cukup kuat dan bagus.
"Sekarang kalian boleh pulang ke sungai Hung-kiang, laporkan pada ayah bahwa aku baik-baik saja dan sedang pergi merampas pedang Pek-lui-kiam, dibantu oleh putera Tung Giam-ong. Enam orang wanita itu tidak berani membantah dan mereka segera pergi dari situ setelah memberi hormat kepada nona majikan mereka.
"Mari kita berangkat!" kata Cu Yin sambil meloncat ke atas punggung kudanya.
Gin Ciong juga melompat ke atas kuda putihnya. "Kemana?"
"Ketempat di mana Pek-lui-kiam berada."
"Di mana itu?"
"Nanti engkau juga tahu. Marilah!" Cu Yin sudah membalapkan kudanya dan terpaksa Gin Ciong juga menyuruh kudanya lari kencang. Pemuda ini menggeleng kepala melihat kelakuan Cu Yin yang berandalan. Akan tetapi telah terjadi sesuatu dalam hatinya. Dia mencinta gadis itu! Alangkah cocoknya kalau kelak gadis itu menjadi isterinya! Dan siapa tahu pedang Pek-lui-kiam yang akan menjadi perantaranya. Kalau pedang pusaka itu jatuh ke tangannya, kemudian dia berikan kepada Cu Yin sebagai tanda cintanya, mustahil kalau gadis itu tidak membalas perasaan kasihnya, Juga Lam-tok tentu akan menyetujui karena dia sudah berjasa membantu sehingga pedang Pek-lui-kiam dapat terjatuh ke tangan datuk selatan itu.
*** Kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja adalah sebuah kota yang cukup ramai. Kota ini terkenal sebagai gudang rempah-rempah dan hasil bumi karena daerahnya memiliki tanah yang subur. Karena itu, penduduk di Tung-ciu dan daerahnya dapat hidup makmur. Tanahnya subur karena di sana mengalir sungai yang tak pernah kering.
Di antara deretan toko-toko, rumah makan dan rumah penginapan, terdapat sebuah toko rempah-rempah yang sedang saja besarnya. Pemilik toko ini adalah seorang pria berusia lima puluh satu tahun, dan isterinya yang berusia hampir lima puluh tahun. Semua penduduk Tung-ciu tidak tahu bahwa pemilik toko yang bernama Pek Han Siong ini sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki kesaktian. Dia ahli silat tingkat tinggi. Mukanya yang bulat dengan alis tebal dan mata agak sipit itu tidak menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi dunia kangouw mengenal namanya sebagai seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Bersama Tang Hay yang menjadi sahabat akrabnya, dia pernah mengalahkan dan menewaskan banyak tokoh sesat, terutama para tokoh Pek-lian-kauw. Pria berwatak tenang, sabar, pendiam dan halus tutur katanya ini memiliki ilmu-ilmu silat tinggi yang dahsyat. Dia memiliki ilmu Pek-sim-pang sebanyak tiga belas jurus yang sukar di lawan, mahir pula menggunakan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut dan ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Dan lebih dari pada itu, diapun ahli sihir yang kuat sekali.
Isterinya bernama Siangkoan Bi Lian. Dalam hal ilmu silat, wanit aini juga mencapai tingkat tinggi, sedikit lebih rendah dari tingkat suaminya. Dalam usianya yang empat puluh sembilan tahu itu, Siangkoan Bi Lian masih nampak cantik. Didagunya terdapat sebuah tahi lalat yang membuat wajahnya yang manis itu nampak membayangkan kekerasan hati. Iapun ahli dalam ilmu silat Kwan Im Sin-kun dan Kim-ke Sin-kun.
Suami isteri ini bagi para penduduk Tung-ciu merupakan suami isteri biasa karena memang Pek Han Siong dan isterinya tidak pernah memperlihatkan kemahiran mereka dalam ilmu silat. Mereka di anggap pedagang rempah-rempah biasa saja yang bersikap ramah terhadap para pelanggannya.
Seperti kita ketahui, Pek Han Siong dan isterinya mempunyai seorang puteri bernama Pek Bwe Hwa. Gadis yang cantik seperti ibunya ini tentu saja di gembleng ayah ibunya sejak kecil sehingga setelah kini berusia delapanbelas tahun, ia telah menjadi ahli silat yang amat tangguh. Karena itu, kedua orang tuanya tidak keberatan melepas puteri mereka itu pergi untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bahkan mereka berpesan agar puteri mereka itu ikut mencari Pek-lui-kiam yang kabarnya di perebutkan para tokoh kangouw.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Pek Han Siong bersama isterinya telah bangun dari tidurnya. Merteka berdua seperti biasanya, berlatih silat di taman kecil belakang rumah mereka. Tidak ada orang lain yang melihat kalau mereka berlatih silat. Bahkan seorang pelayan wanita tua tidak mengerti kalau suami isteri itu bermain silat. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka berolah raga senam untuk menyehatkan tubuh.
Suami isteri itu latihan bersama, memainkan ilmu Kwan Im Sin-kun. Gerakan mereka nampak hanya dua bayangan berkelebatan saling serang.
Mendadak keduanya berhenti dan berlompatan kebelakang, lalu memandang kearah pagar tembok yang mengelilingi taman berikut rumah mereka. Mereka mendengar gerakan orang di pagar tembok itu dan biarpun mereka sedang latihan, pendengaran mereka demikian tajam sehingga mereka dapat menangkap suara gerakan orang di situ.
"Siapa di sana" Masuklah!" kata Pek Han Siong dengan suara tegas.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan meloncati pagar tembok. Gerakan bayangan itu gesit sekali. Dengan sekali loncat saja dia sudah berada di depan suami isteri itu. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian memandang tajam penuh selidik. Orang berusia kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti pendeta agama To rambutnya di gelung ke atas dan di ikat pita putih. Pakaiannya berwarna kuning dan di punggungnya nampak gagang sebatng pedang. Wajah rosu tiu kurus seperti kurang makan, akan tetapi matanya yang cekung itu mengeluarkan sinar mencorong. Dari matanya itu saja suami isteri sudah dapat mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
"Siancai (damai)".! Kiranya Pek Han Siong dan puterinya Siangkoan Ci Kang bersembunyi di sini. Pantas di kota Tung-ciu ini tidak ada yang tahu bahwa kalian adalah ahli-ahli silat yang hebat!"
Pek Han Siong mengangkat kedua tangan di depan dada. Bagaimanapun juga, orang iniadalah tamunya dan seorang pendeta pula maka sudah sepatutnya kalau dia menghormatinya.
"Maaf, totiang. Totiang siapakah dan ada keperlauan apakah dengan kami?"
akan tetapi Siangkoan Bi Lian tidak mau menghormatinya, bahkan bertanya dengan suara menegur, "Seorang pendeta semestinya mengenal kesopanan dan kehormatan. Akan tetapi engkau datang me;oncati pagar dan mengatakan kami bersembunyi. Kami sama sekali tidak bersembunyi, dan juga tidak takut menghadapi siapapun juga termasuk engkau!"
"tenanglah dan biar totiang ini memberi penjelasan." Kata suaminya menyabarkan hatinya. Akan tetapi Siangkoan Bi Lian masih cemberut dan memandang kepada tosu itu dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Aku tidak datang sendirian saja!" kata tosu itu dan iapun bertepuk tangan. Nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri tiga orang lain yang juga melompati pagar tembok. Tiga orang ini juga berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka berpakaian ringkas akan tetapi memakai jubah luar yang terlampau besar sehingga nampak kedodoran. Begitu berdiri di dekat tosu pertama tadi, mereka membuka jubah luarnya dan nampaklah gambar lingkaran dan sebatang teratai putih di baju bagian dada mereka.
Melihat ini, Siangkoan Bi Lian berseru, "Ah, jadi kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw" Pantas tidak mengenal aturan, datang bukan seperti tamu, melainkan seperti segerombolan perampok dan pencuri!"
"Siancai! Puteri Siangkoan Ci Kang masih berhati keras dan galak!"
Pek Han Siong melangkah maju. "Totiang, kalau kalian berempat datang dari Pek-lian-kauw, maka ada keperluan apakah kalian menemui kami?"
"Pek Han Siong! Duapuluh tahun lebih kami menanti dengan sabar, bahkan mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu silat. Semua itu kami lakukan untuk membuat perhitungan dengan engkau dan Siangkoan Ci Kang. Akan tetapi karena Siangkoan Ci Kang telah meninggal dunia, maka perhitungan ini di wakili oleh puterinya."
"Majulah kalian! Kami tidak takut!" kata Siangkoan Bi Lian.
Akan tetapi suaminya memegang lengannya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan emasinya. "Perhitungan apakah yang kalian maksudkan" Harap jelaskan agar kami mengerti apa yang kalian maksudkan." Kata Pek Han Siong dengan sikapnya yang tenang.
Melihat ketenangan Pek Han Siong, empat orang tosu itu kelihatan jerih juga. Tosu yang pertama muncul itu agaknya menjadi pemimpin dari rombongan itu dan dia sengaja melantangkan suaranya untuk mengatasi rasa jerihnya terhadap pendekar yang sikapnya luar biasa tenangnya itu.
"Pek Han Siong termenung, mengenag peristiwa yang terjadi sua puluh enam tahun yang lalu. Ketika itu dia dan Bi Lian yang kini menjadi isterinya, bekerja sama dengan Tang Hay dan para pendekar Cin-ling-pai, menentang Pek-lian-kauw. Mereka mendapat kemenangan dan menewaskan banyak tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi. Diantara musuh itu terdapat Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu. Akan tetapi, Ban Tok Siansu memang benar tewas di tangan Siangkoan Ci Kang. Hanya saja, Hek Tok Siansubukan tewas di tangannya melainkan tewas oleh Tang Hay. Akan tetapi dia tidak menyangkal. Bagaimanapun juga, Tang Hay bekerja sama dengan dia, berarti kedua orang Siansu yang tewas itupun musuhnya. Dia berani bertanggung jawab atas perbuatan Tang Hay yang menjadi sahabat baiknya. Dia masih ingat benar bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu adalah dua orang pendeta yang sesat dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Ilmu kepandaian mereka tinggi. Kalau empat orang ini murid-murid mereka yang selama dua puluh enam tahun memperdalam ilmu meraka, dapat di bayangakan betapa lihainya mereka, Siangkoan Bi Lian kembali berkata,:
Bagus! Kiranya kalian murid-murid orang pendeta sesat itu" Jangan kalian mati tanpa nama, siapa nama kalian!"
Tosu pertama berkata sambil tersenyum mengejek. "aku bernama Kui Hwa Cu dan tiga orang adik seperguruanku ini bernama Lian Hwa cu, Thian Hwa cu, dan Tiat Hwa Cu."
"Kui Hwa Cu, bagaimana caranya kalian hendak membalas dendam dan membuat perhitungan" Apakah kalian berempat hendak main keroyokan atau satu lawan satu?" Bi Lian bertanya dengan nad suara menantang. Sama sekali ia tidak merasa takut karena selama ini ia dan suaminya hampir setiap hari berlatih dan ketika puteri mereka belum pergi merantau, mereka berdua melatih puteri mereka. Dengan demikian, di bandingkan dua puluh enam tahun yang lalu, mereka memperoleh kemajuan.
"Ha-ha-ha! Kedatangan kami ini bukan untuk mengadu ilmu, melainkan untuk membalas dendam dan membunuh kalian berdua. Karena itu, kami tentu saja akan maju bersama!"
"Bagus! Selamanya Pek-lian-kauw adalah perkumpulan penjahat berkedok perjuangan yang pengecut. Baik, kalau kalian hendak megandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok kami, majulah!" bentak nyonya yang berhati baja itu.
Empat orang tosu itu lalu membuat gerakan dengan tangan mereka. Mula-mula mereka menggerakkan kedua tangan di udara seperti orang menuliskan huruf-huruf, kemudian Kui Hwa Cu mengambil dua potong kertas yang sudah bertuliskan huruf dan dia berkata dengan suara berwibawa mengandung getaran kuat sedangkan tiga orang temannya berpangku tangan dengan mata di tujukan kepada Pek Han Siong dan isterinya.
"Pek Han Siong dan isteri, saat kematian kalian sudah di depan mata! Dua ekor naga ini akan membunuh kalian!"
Kui Hwa cu melemparkan dua potong kertas itu ke udara dan Siangkoan Bi Lian terbelalak karena ia melihat betapa di udara tiba-tiba muncul dua ekor naga yang menyeramkan, dengan mata mencorong dan lidah-lidah api terjulur keluar dari mulut dan hidung mereka. Tahulah ia bahwa lawan menggunakan sihir yang amat kuat, maka ia pun mengeluarkan sinkang untuk melawan pengaruh sihir itu.
Pek Han Siong pernah di ambil murid oleh Ban Hok Lojin, seorang diantara delapan dewa dan dia di latih ilmu sihir yang amat kuat. Maka, melihat permainan Kui Hwa Cu dia tertawa dan terdengar suaranya yang penuh wibawa.
"Ha-ha-ha, Kui Hwa Cu berempat! Kalian yang membuat naga ini, maka kalian pula yang akan di terkamnya!" Han Siong menggerakkan tangannya menunjuk kearah empat orang tosu itu dan mereka terbelalak ketika melihat betapa dua ekor naga ciptaan ilmu sihir mereka itu kini membalik dan menyerang mereka berempat! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali dan cepat mereka menyimpan sihir mereka, menarik kekuatan sihir itu dan dua ekor naga itu kini melayang turun menjadi dua potong kertas!
Kembali Kwi Hwa Cu membentak, "Pek Han Siong, kalian menghadapi kami delapan orang! Bersiaplah kalian berdua untuk mampus!"
"Kui Hwa Cu, kalau kalian maju dengan delapan orang, kami akan maju sepuluh orang!"
Yang terheran-heran adalah Siangkoan Bi Lian. Mula-mula ia melihat betapa empat orang tosu itu menjadi delapan, setiap orang menjadi dua, akan tetapi setelah suaminya bicara, ia melihat dirinya sendiri menjadi lima orang demikian pula diri suaminya menjadi lima orang! Ia tahu bahwa semua ini hasil kekuatan sihir, akan tetapi ia tetap menjadi bingung. Ia tahu bahwa suaminya beradu kekuatan sihir melawan empat orang tosu itu, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh sihir itu.
Melihat hasil serangan mereka yang dapat di ungguli oleh Pek Han Siong, tahulah ke empat orang tosu itu bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan kalau mengadu kekuatan sihir. Tangan mereka turun kembali dan semua kekuatan sihir mereka di tarik. Han Siong juga menghentikan pengerahan sihirnya karena kekuatan sihir itu kalau di keluarkan terlalu lama, akan menghabiskan tenag saktinya.
Kui Hwa Cu dan tiga orang temannya lalu meraih ke punggung dan mereka telah memegang sebatang pedang. Siangkoan Bi Lian dan Pek Han Siong juga mengambil pedang dari rak senjata yang memang di persiapkan di tempat itu kalau mereka sedang latihan silat.
Kui Hwa Cu dan rekan-rekannya sudah tahu bahwa ilmu kepandaian Pek Han Siong lebih tinggi dari isterinya, dan memang sebelum masuk ke situ mereka sudah merencanakan siapa yang menghadapi Siangkoan Bi Lian. Maka kini Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, sesuai rencana, menghadapi dan mengeroyok Pek Han Siong, sedangkan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu mengeroyok Siangkoan Bi Lian.
Terjadilah perkelahian yang seru di dalam taman itu. Baik Pek Han Siong maupun Siangkoan Bi Lian mengguanakan pedang mereka untuk memainkan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut yang amat hebat, halus dan lemah gemulai gerakannya, akan tetapi di balik kehalusan itu terkandung tenaga yang dahsyat sekali.
Setelah bertanding belasan jurus, Pek Han Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kedua orang pengeroyoknya amat tangguh. Ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang golongan sesat dari barat, dan banyak pula tokoh Pek-lian-kauw menguasai ilmu pedang itu yang sebetulnya lebih tepat kalau di mainkan dengan pedang melengkung. Dia sendiri tidak merasa berat melawan dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi ketika dia mengerling ke arah isterinya dia melihat betapa isterinya terdesak oleh pengeroyokan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu.
Akan tetapi selagi Bi Lian terdesak danHan Siong mencari kesempatan untuk membantu isterinya, tiba-tiba nampak bayangan orang dan muncullah seorang gadis yang cantik jelita. Gadis ini memegang sepasang pedang yang berkilauan dan membentak, "Tosu-tosu palsu dari mana berani di rumah paman Pek Han Siong?" karena ia melihat bahw aSiangkoan Bi Lian terdesak hebat, iapun terjun ke dalam pertempuran dan membantu Bi Lian sehingga kini dua orang pengeroyok Bi Lian terpaksa berpisah. Thian Hwa Cu tetap bertanding melawan Bi Lian sedangkan Tiat Hwa Cu menghadapi gadis yang baru datang.
Kini Han Siong bernapas lega. Kalau hanya menghadapi seorang tosu, dia tidak mengkhawatirkan keadaan isterinya. Dan diapun merasa girang sekali ketika mengenal siapa gadis yang memainkan sepasang pedang itu. Gadis itu bukan lain adalah Tang Hui Lan! Siangkoan Bi Lian juga mengenal gadis itu dan ia berseru, "Hui Lan"!"
"Bibi, mari kita hajar para pendeta palsu ini!" kata Hui Lan sambil tersenyum dan bangkitlah semangat Siangkoan Bi Lian. Sikap gadis itu mengingatkan ia akan Cia Kui Hong, ibu dari gadis itu yang waktu mudanya bersama ia menentang Pek-lian-kauw. Lincah, berani, dan galak!
Empat orang tosu yang menamakan diri sendiri See-thian-Su-hiap (empat pendekar dunia barat) itu merasa terkejut sekali.menurut perhitungan mereka, mereka berempat pasti akan dapat membunuh Pek Han Siong dan isterinya. Siapa kira, biarpun di keroyok dua, Pek Han Siong sama sekali tidak terdesak, dan tiba-tiba muncul gadis lihai itu yang membantu Siangkoan Bi Lian yang sudah terdesak. Dengan munculnya gadis itu terpaksa Thian Hwa cu maju sendirian menghadapi Siangkoan Bi Lian, dan Tiat Hwa Cu juga sendirian saja menghadapi gadis yang luar biasa lihainya itu!
Tingkat kepandaian Tang Hui Lan memang sudah tinggi sekali, bahkan di bandingkan dengan
Siangkoan Bi Lian, tingkatnya lebih tinggi. Payah Tiat Hwa Cu menandinginya dan setelah lewat dua puluh jurus, Tiat Hwa Cu hanya mampu melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil terus mundur. Sepasang pedang di tangan gadis itu seolah telah berubah menjadi puluhan batang banyaknya! Dan ketika dia terdesak dan tersudut, sebuah tendangan kaki Hui Lan membuat dia terjengkang roboh!
Hui lan hanya berdiri tidak mengejar karena ia belum tahu siapa mereka dan mengapa mereka memusuhi keluarga Pek Han Siong. Apa lagi melihat betapa Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian juga mulai mendesak musuh-musuhnya, Hui Lan berdiri saja tidak membantu karena ia tahu bahwa mereka berdua tidak membutuhkan bantuannya. Kedau orang tuanya sudah memesan agar ia tidak sembarangan saja membunuh orang. Itulah sebabnya ia diam saja melihat Tiat Hwa Cu yang sudah ditendang roboh itu merangkak bangkit dan menggunakan tangan kirinya menutupi dada kanannya yang terasa nyeri bukan main oleh tendangan kaki mungil Hui Lan! Dia pun tidak berani maju lagi dan hanya menonton keadaan saudara-saudaranya yang mulai terdesak.
Mendadak terdengar Siangkoan Bi Lian membentak nyaring dan pedangnya berhasil melukai pundak kiri lawannya. Thian Hwa Cu terhuyung dan darah mengalir dari luka di pundaknya. Dia terhuyung ke belakang. Siangkoan Bi Lian hendak mengejar untuk membunuhnya, akan tetapi terdengar seruan suaminya, "Jangan bunuh dia!" Mendengar seruan suaminya ini, Siangkoan Bi Lian tidak jadi mengejar dan ia melompat ke dekat Hui Lan. Mereka berdua kini melihat perkelahian antara Pek han Siong yang di keroyok dua.
Pek Han Siong merasa lega bahwa Hui Lan dan Bi Lian sudah berhasil mengalahkan dua orang musuh. Kini dia dapat mencurahkan semua perhatiannya kepada dua orang lawannya.
"Kena".!" Dia membentak dan tiba-tiba pedangnya membuat gerakan memutar dan pedang di tangan kedua orang lawannya itu terpental dan terlepas dari pegangan. Secepat kilat Han Siong mnyapu dengan kakinya dan Lian Hwa Cu roboh terpelanting. Han Siong menginjakkan kaki kirinya di atas dada Lian Hwa Cu dan pedangnya menodong dada Kui Hwa Cu yang sudah tidak berpedang lagi. Injakan kaki kirinya membuat Lian Hwa Cu merasa seolah dia ditindih benda yang berat sekali, membuat dia tidak mampu berkutik dan Kui Hwa Cu juga merasakan ujung pedang itu menembus pakaiannya dan menyentuh kulit dadanya. Sedikit gerakan saja dari tangan yang menodongnya itu dan tamatlah riwayatnya. Maka diapun tidak berani bergerak, hanya memandang dengan muka pucat.
"Hemm, sebetulnya sudah lebih dari pantas kalau kami membunuh kalian berempat. Akan tetapi kami bukan orang-orang kejam dan jahat yang suka membunuh lawan yang sudah kalah dan tidak berdaya. Kalau kalian masih merasa penasaran, pergi dan belajarlah dua puluh tahun lagi, baru kalian mencari kami. Lihatlah, siapa gadis itu" Ia adalah puteri Tang Hay yang dulu membunuh Hek Tok Siansu!"
"Kami akan membalas kekalahan ini!" kata Kui Hwa Cu dengan marah dan meras terhina.
"Bagus kalau kalian masih memiliki semangat. Nah, cepat kalian pergi dari sini!" dia melepaskan kakinya dari dada Lian Hwa cu dan menarik pedangnya yang menodong dada Kui Hwa Cu. Empat orang tosu itu tidak mau membuang waktu lagi. Mereka telah beruntung tidak di bunuh oleh musuh-musuh mereka. Mereka melompati pagar tembok dan lenyap.
Pek Han Siong menarik napas panjang, lalu menoleh dan memandang ke arah Hui Lan. "Bagus Sekali, Hui Lan. Kedatanganmu seperti malaikat penolong!"
"Kalau Hui Lan tidak segera datang membantu, aku bisa celaka di tangan dua orang kerbau itu!" kata pula Siangkoan Bi Lian sambil merangkul gadis cantik itu.
"Aih, paman dan bibi terlalu memuji. Tanpa adanya aku sekalipun, aku yakin paman Pek Han Siong akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi, aku merasa heran sekali mengapa enci Bwe Hwa tidak muncul membantu paman dan bibi?"
"Bwe Hwa sedang pergi, marilah kita masuk ke dalam rumah agar lebih leluasa kita bercakap-cakap." Siangkoan Bi Lian menggandeng tangan Hui Lan dan mereka bertiga masuk kedalam rumah. Para pembantu penjaga toko rempah-rempah telah berdatangan dan toko itu mulai di buka. Akan tetapi Pek Han Siong dan isterinya tidak keluar karena asik bercakap-cakap dengan Hui Lan.
"Bagaiaman kabar tentang ayah dan ibumu" Dan bagaimana tentang Cin-ling-pai?" tanya Pek Han Siong.
"Kami semua baik-bauk saja, paman. Ayah dan ibu memang berpesan agar dalam perantauanku memperluas pengalaman, aku singgah di sini untuk menyampaikan salam mereka kepada paman dan bibi."
"Kami girang sekali engkau datang Hui Lan. Hanya sayangnya Bwe Hwa juga sedang merantau seperti engkau. Kalau ia berada di sini, tentu ia merantau bersamamu dan itu akan lebih menggembirakan lagi."
Paman, siapakah emapt orang tosu tadi" Mengapa mereka memusuhi paman dan bibi?"
"Kami juga baru tadi mengenal mereka. Pagi tadi tiba-tiba saja mereka muncul dan menantang kami. Mereka hendak membalaskan kematian guru-guru mereka, yaitu mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu. Ban-tok Siansu tewas di tangan ayah mertuaku Siangkoang Ci Kang dan Hek-tok Siansu tewas di tangan ayahmu. Akan tetapi kami berdua juga musuh-musuh karena dahulu kami bekerja sama dengan ayahmu menentang Pek-lian-kauw."
"Jadi mereka tadi adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw?" tanya Hui Lan.
"Benar dan mereka itu murid-murid mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu." Jawab Siangkoan Bi Lian.
"Nama mereka Kui Hwa Cu, Lian Hwa cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu dan menggunakan julukan See-thian Suhiap!" sambung Pek Han Siong. "Engkau berhati-hatilah kalau bertemu mereka, Hui Lan. Mereka adalah orang-orang licik yang tidak malu maju bersama untuk mengeroyok musuh."
"Aku akan berhati-hati, paman."
"Hui Lan, bagaiman engaku tadi dapat mengetahui bahwa kami sedang berkelahi dan datang membantu?"
"Aku datang berkunjung pagi-pagi, bibi. Akan tetapi pintu depan masih di tutup dan tidak nampak
seorangpun di luar. Aku lalu masuk ke pekarangan dan dari situ aku mendengar beradunya senjata dari taman di belakang rumah ini. Karena tertarik, aku lalu melompat ke pagar tembok dan melihat paman dan bibi di keroyok, maka aku segera melompat masuk dan membantu bibi."
Pek Han Siong menghela napas panjang. "sungguh menyebalkan sekali. Kami tinggal bertahun-tahun di sini tanpa ada yang tahu bahwa kami adalah keluarga yang dapat bermain silat. Ternyata hari ini kami di datangi musuh-musuh yang hendak membalas dendam."
"Kenapa harus menyesal" Kita dahulu selalu membasmi golongan sesat di dunia kangouw, dan kita melakukan hal itu dengan penuh pertanggungan jawab. Kalau golongan sesat mendendam kepada kita, kita tidak perlu menyesal, melainkan menghadapi mereka dengan gagah."
"Engkau benar, akan tetapi betapa indahnya kehidupan kita selama ini. Jauh dari kekerasan, jauh dari perkelahian dan permusuhan."
"Karena kita sudah mulai tua memang sebaiknya kalau kita mengundurkan dan hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi orang-orang muda harus melanjutkan sikap kami membasmi golongan sesat, karena kalau tidak di imbangi oleh para pendekar, tentu golongan sesat akan semakin merajalela dan menyusahkan rakyat jelata. Itulah pula yang menyebabkan kita memberi kesempatan kepada Bwe Hwa untuk merantau dan bertindak sebagai pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas yang melakukan penindasan mengandalkan kekuatan mereka dan membela yang tertindas dan lemah." Ucapan Siangkoan Bi Lian ini penuh semangat, matanya mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis. Hui Lan memandang kagum dan teringat kepada ibunya. Ada persamaan antara Siangkoan Bi Lian dan ibunya, sama-sama keras hati dan pemberani!
"Paman dan bibi, kedatanganku ini selain menjenguk karena merasa rindu, juga aku membawa sebuah berita yang tidak menyenangkan. Ketahuilah bahwa dua bulan yang lalu kakek buyut Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah telah meninggal dunia."
Pek Han Siong bangkit dari tempat duduknya dengan kaget. "Meninggal" Kakek Ceng Thian Sin yang sakti itu dapat meninggal dunia?"
Isterinya mencela. "Aih, engkau ini bagaimana sih" Setiap orang manusia betapa pandai dan saktinya, tetap saja akan mati satu demi satu. Apakah anehnya kalau kakek Ceng Thian Sin meninggal dunia" Usianya tentu sudah ada seratus tahun."
"Bibi benar, kakek buyut meninggal dunia dalam usia seratus tahun lebih. Hanya ada satu hal yang mengganggu hatiku mengenai kematian kakek buyut."
Pek Han Siong sudah duduk kembali dan memandang gadis itu dengan alis berkerut, "Apa yang mengganggu hatimu Hui Lan?"
"Kakek buyut meninggal dunia setelah dia bertanding, di keroyok tujuh orang lawan. Beliau berhasil mengusir tujuh orang lawan itu, akan tetapi agaknya beliau terlalu mengeluarkan tenaga sehingga tubuhnya yang sudah tua sekali itu tidak kuat menahan, dan beliau tewas karenanya."
Pek Han Siong mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau kakek Ceng di cari dan di musuhi orang dalam usia setua itu, karena di waktu mudanya dia membasmi banyak sekali tokoh kangouw yang jahat. Siapakah tujuh orang itu, Hui Lan?"
"Mreka itu adalh datuk sesat yang berjuluk Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian." Jawab Hui Lan sambil menggenggam jari-jari tangannya, mengepal kedua tinjunya.
Melihat ini, Siangkoan Bi Lian bertanya, "Jadi engkau merantau ini adalah untuk mencari tujuh orang itu dan membalas kematian kakek buyutmu?"
"Tidak, bibi. Akan tetapi dalam perantauanku, kalau aku sampai bertemu dengan mereka, tentu mereka itu akan kuserang."
"Hemm, Hui Lan, apakah engkau hendak membalskan dendam kematian kakek Ceng Thian Sin?" tanya Pek Han Siong sambil memandang tajam wajah gadis itu.
Hui Lan menggeleng kepalanya. "Tidak, paman. Aku telah di nasehati ayah dan ibu agar jangan menyambung rantai balas membalas dan dendam mendendam ini. Akan tetapi kalau aku bertemu mereka dan mereka melakukan kejahatan, tentu akan kutentang mereka!"
Pek Han Siong mengangguk. "Ayah ibumu bijaksana, Hui Lan. Dendam itu menimbulakn kebencian dan kemarahan, membuat orang ingin sekali membalas. Tujuh orang datuk itu mendatangi kakek Ceng dipulau Teratai merah juga untuk membalas dendam. Memang tidak benar kalau kita mngikat diri dengan dendam, akan tetapi kalau engkau menentang seseorang karena dia melakukan kejahatan, bukan karena engkau mendendam, tentu saja tindakanmu itu benar."
"Akan tetapi betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali kalu bertemu mereka, Hui lan." Kata Siangkoan Bi Lian. "Nama tujuh orang itu sebagai datuk sesat sudah amat terkenal, apalagi Toa Ok dan Ji Ok itu. Sudah lama aku mendengar namanya dan mereka adalah datuk besar yang mewakili daerah barat."
"Terima kasih, bibi. Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono dan lancang. Akupun cukup mengerti bahwa mereka adalh orang-orang yang berkepandaian tinggi dan licik sehingga mereka tidak akan malu mengeroyok lawan seperti yang mereka lakukan terhadap kakek buyut."
Suami isteri itu bertanya banyak sekali tentang orang tua Hui Lan. Gadis inipun menceritakan semua yang di ketahuinya karena ia maklum betapa eratnya hubungan antara ayahnya dan Pek Han Siong. Dalam percakapan mereka, Hui Lan menyinggung tentang pedang Pek-lui-kiam.
"Ah, engkau mengetahui juga tentang pedang yang menghebohkan seluruh dunia kangouw itu" Kalau aku masih muda seperti dulu, tentu aku tidak mau ketinggalan memperebutkannya!" kata Siangkoan Bi Lian.
"Hui lan, apakah engkau juga ingin mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam?" tanya Pek Han Siong.
"Memang aku tertarik sekali, paman. Kabarnya pedang pusaka itu tadinya berada di tangan seorang pendekar besar bernama Tan Tiong Bu, akan tetapi pendekar ini terbunuh dan pedang pusaka itu lenyap. Menurut kabar angin, pembunuh itu tentu telah mencuri pedang Pek-lui-kiam."
"Tahukah engkau siapa pembunuh dan pencuri pedang itu?"
"Menurut kabar yang kuperoleh dalam perjalananku, pembunuh itu adalah seorang kakek berjubah merah. Kalau tidak salah, pembunuh itu adalah Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di Kwi-liong-san."
"Hui Lan, mungkin Bwe Hwa juga mencari pedang itu. Akan tetapi pedang itu asalnya bukan milik kita, maka sungguh tidak benar kalau kita mencoba untuk merampasnya. Kalau kita berhasil, berarti kita memiliki barang yang bukan milik kita, melainkan milik Tan Tiong Bu itu."
"Paman benar. Aku hendak ke Kwi-liong-san hanya untuk menyelidiki. Kalau benar pedang pusaka itu menjadi milik orang jahat, hal itu harus dicegah. Kabarnya pedang pusaka itu merupakan pusaka yang ampuh, kalau terjatuh ke tangan penjahat, tentu dia menjadi seperti harimau tumbuh sayap, kejahatannya makin menjadi-jadi. Sebaliknya kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan seorang pendekar yang menggunakannya untuk membasmi para penjahat, akupun tidak akan mengganggunya."
"Engkau benar, Hui Lan. Kalau engkau hendak menyelidiki ke Kwi-liong-san, aku hanya berpesan padamu. Apabila engkau bertemu dengan Bwe Hwa, ajaklah ia bekerja sama seperti ayahmu bekerja sama dengan aku dahulu. Dengan bersatu, kalian berdua menjadi lebih kuat, daripada kalau bekerja sendiri-sendiri."
"Baik paman, akan aku perhatikan pesan paman itu."
Hui Lan tinggal selama tiga hari di rumah Pek Han Siong. Pada pagi hari ke empat, ia berpamit dan meninggalkan kota Tung-ciu, menuju ke selatan untuk berkunjung ke Kwi-liong-san (Gunung Naga Iblis).
Si Kong melakukan perjalanan seenaknya. Dia tidak tergesa-gesa pergi ke Kwi-liong-san karena dia memang sedang berkelana, menikmati semua keindahan alam yang terbentang di depannya. Pada suatu siang, tibalah dia di sebuah dusun. Dia melihat betapa penduduk dusun berada dalam keadaan sibuk sekali. Orang-orang berkeliaran ke sana-sini berunding berkelompok-kelompok. Ketika mereka melihat dia memasuki dusun, banyak orang membayanginya dengan pandang mata penuh kecurigaan. Yang amat aneh baginya, dia tidak melihat seorangpun wanita muda. Yang ada hanya wanita-wanita tua dan anak-anak. Selebihnya, semua penduduk itu laki-laki! Wajah mereka jelas sekali nampak resah dan khawatir.
Si Kong melihat sebuah kedai minuman di sudut dusun, dan di situpun banyak pria sedang berkumpul dan bicara ramai. Akan tetapi ketika dia memasuki kedai minuman itu, percakapan mereka berhenti tiba-tiba dan seorang demi seorang meninggalkan kedai itu. Si Kong mendapatkan dirinya seorang diri saja di kedai itu, bersama seorang kakek penjaga kedai yang nampak ketakutan dan sering kali mencuri pandang ke arahnya. Si Kong menjadi tidak sabar lagi.
"Paman, aku minta secangkir teh dan bak-pau," katanya kepada penjaga kedai.
Kakek itu tergopoh-gopoh menyediakan pesanannya dan membawa kepada Si Kong setelah menaruh makanan dan minuman di atas meja, kakek itu tergesa-gesa hendak pergi lagi.
"Nanti dulu, paman. Aku ingin bertanya kepadamu."
"Bertanya apa, kongcu. Aku tidak tahu apa-apa." Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat dan kedua tangannya diangkat seolah takut kalau dipukul.
Tentu saja Si Kong menjadi lebih heran lagi. "Paman, aku tidak apa-apa, jangan takut. Duduklah, paman, duduklah dengan tenang, jangan takut kepadaku. Bahkan kalau ada bahaya mengancam dirimu, aku yang akan menghadapinya dan menolongmu!"
"Tidak"., tidak"..! jangan tanyakan apa-apa kepadaku aku tidak tahu, tidak mengerti" ah, kasihanilah diriku yang sudah tua?"
si Kong mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa kakek ini takut akan sesutau, seperti semua orang dusun itu berada dalam keadaan panik dan ketakutan. Akan amat sukarlah membujuk kakek yang sudah ketakutan seperti itu. Jalan satu-satunya hanyalah membuat kakek itu takut kepadanya agar mau mengatakan apa yang terjadi di dusun ini. Si Kong melepaskan capingnya yang lebar dan meletakannya di atas meja. Kemudian, dengan tiba-tiba saja dia menyambar lengan kakek itu dan membuat mukanya nampak bengis, matanya melotot.
"Engkau ingin hidup atau ingin kugantung sampai mati! Hayo jawab atau aku akan menghancurkan semua tulangmu dan mengupas semua kulitmu!"
Wajah itu menjadi semakin pucat dan tubuhnya menggigil. Kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong. Suaranya hampit tidak terdengar, karena dia bicara dengan tubuh menggigil dan lidah terasa kelu. "Ampunkan saya kongcu, apun?"
"Hemm, aku mau mengampunimu kalau engkau mau menjawab pertanyaanku. Nah, katakan apa yang telah terjadi di dusun ini maka semua orang kelihatan ketakutan dan aku tidak melihat seorangpun wanita muda di sini. Apa yang telah terjadi" Jawab dengan sejelasnya!" kata Si Kong dengan girang karena gertakannya berhasil.
"Ada". ada malapetaka melanda dusun kami?"
Hayo jawab yang jelas. Malapetaka apakah itu?"
"Aku" takut menjawabnya, kongcu."
"Takut apa?"
"Kalau saya banyak bicara, tentu saya akan dibunuh?"
"Dan kalau engkau tidak mau menjawab, engkau bukan saja akan kubunuh, bahkan kusiksa lebih dulu. Sebaliknya kalau engkau suka menerangkan kepadaku, aku akan melindungimu dari bahaya apapun!"
Mendengar ucapan Si Kong itu, kakek penjaga kedai itu kelihatan agak lega. "Kongcu, bukan hanya di dusun ini saja malapetaka itu menimpa, akan tetapi di semua dusun sekitar bukit Monyet di sana itu juga. Iblis penjaga bukit Kera itu minta agar wanita-wanita muda , terutama yang cantik, dikorbankan kepadanya. Wanita itu harus dilempar ke dalam sumur tua. Entah sudah berapa banyak wanita menjadi korban dilempar ke dalam sumur tua"."
"Mengapa kalian suka melakukan itu?"
"Kami dipaksa, kongcu. Ada di dusun selatan yang tidak menurut dan akibatnya, pada malam harinya, kepala dusun dan tujuh orang lain dibunuh tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya, dan dalam semalam saja, tiga orang gadis telah lenyap tanpa ada yang tahu kemana perginya."
"Hemm". aneh sekali ada iblis minta korban wanita muda yang cantik. Jadi karena itu, semua wanita muda mengungsi keluar dari dusun ini dan semua orang nampak ketakutan?"
"Benar, kongcu. Kami khawatir kalau-kalau iblis itu di malam hari akan datang dan membunuh kami. Akan tetapi tadi pagi ada kejadian aneh. Ketika malam tadi kami semua mendengar suara iblis itu yang suaranya bergema minta agar hari ini disediakan korban seorang gadis, kami sudah kebingungan. Semua gadis telah pergi, yang ada hanya kanak-kanak dan nenek-nenek. Lalu pagi tadi datang seorang gadis cantik dan gadis itu menawarkan dirinya untuk menjadi korban dan dilempar ke dalam sumur tua."
"Ah, siapakah gadis itu?"
"Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Akan tetapi ia membawa pedang, agaknya ia seorang pendekar wanita yang sengaja hendak menantang iblis penjaga gunung Kera itu, kongcu."
"Hemm, dan ia sudah dilempar ke dalam sumur tua?"
"Sudah dan bukan dilempar, melainkan ia meloncat kedalam sumur tua dan lenyap. Karena itu kami ketakutan, takut kalau-kalau iblis itu akan mengamuk karena ada gadis dari dusun kami yang hendak menentangnya. Ahh, kami telah memberi peringatan kepada gadis itu, akan tetapi ia memaksa dan kami tidak dapat menghalanginya."
Si Kong mengerutkan alisnya. Dia dapat menduga bahwa yang berani berbuat demikian tentulah seorang pendekar wanita. Dia merasa kagum akan tetapi juga khawatir. Dia tidak percaya bahwa ada iblis penjaga bukit yang menuntut agar dikorbankan gadis-gadis cantik. Ini tentu ulah orang-orang jahat. Mungkin penjahat itu lihai sekali sehingga tidak ada orang di dusun itu yang pernah melihatnya walaupun iblis itu membunuhi banyak orang di waktu malam. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan mengalami celaka di dalam sumur tua.
"Paman, hayo antar aku ke sumur tua itu!" kata Si Kong.
Wajah kakek itu menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil seolah dirinya diserang demam parah. "Saya". saya". tidak berani, kongcu."
"Hayolah, ada aku jangan takut. Atau aku menggunakan kekerasan seperti ini?" Si Kong mengambil sebuah cangkir dan meremasnya dengan tangan kiri. Cangkir itu hancur berkeping-keping dan kakek itu semakin takut.
"Nah, mau antar aku ke sumur tua itu atau kau memilih kuhancurkan tulang-tulangmu?" Si Kong menggertak.
"Baik". baik, kongcu" saya akan menutup dulu kedai ini?" Kakek itu ketakutan dan bergegas menutup kedainya. Kemudian bersama Si Kong dia meninggalkan dusun. Beberapa orang laki-laki yang melihat pemilik kedai berjalan bersama seorang pemuda asing, menjadi tertarik.
"Paman Kiu, hendak kemana engkau?" beberapa orang bertanya.
Kakek itu sengaja menjawab dengan suara keras agar terdengar banyak orang. Dia ingin mencari teman dalam keadaan terancam dan terpaksa itu. "Aku" mengantar kongcu ini ke sumur tua!!"
Semua orang terkejut dan meningkir, akan tetapi aa tujuh orang pemuda yang mengikuti dari belakang. Si Kong membiarkan saja mereka mengikuti, dan kakek itu kelihatan lega karena kini dia mempunyai teman yang mengantar pemuda itu ke sumur tua yang mereka takuti.
Mereka kini mendaki lereng bukti Kera menuju ke puncak. Matahari telah naik tinggi, sinarnya panas membakar sehingga kakek itu bersimbah peluh dan kadang d iusapnya muka dan lehernya dengan ujung lengan bajunya.
"Masih jauhkah, paman?" Si Kong bertanya.
"Sudah dekat. Itu puncaknya sudah nampak dari sini. Sumur tua itu berada di puncak bukit ini." Mereka melewati sebuah hutan kecil dan melihat banyak sekali kera di hutan itu. Mengertilah Si Kong mengapa bukit itu di sebut Bukit Kera, kiranya memang banyak kera hidup di bukit ini.
Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak. Dengan tubuh gemetar kakek itu mengajak Si Kong menghampiri sebuah sumur tua. Tujuh orang pemuda berhenti di tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati tegang dan kaki siap untuk melarikan diri!
"Inilah sumurnya, kongcu ...."
Si Kong melihat betapa sinar matahari yang berada di atas menyinari sumur. Dia menghamp1ri dan nenjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi kelihatannya gelap menghitam. Sinar matahari hanya smnpai bagian luar dan atas sumur itu saja. Sumur itu lebar, ada dua meter lebarnya, makin ke bawah makin nengecil.
"Nona berpedang itu melompat ke dalam sumur ini?" tanya Si Kong kepada kakek itu. Kakek itu hanya mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara, agaknya dngan was-was dia menunggu munculnya, munculnya iblis itu dari dalam sumur. Kedua kakinya yang gemetar juga sudah siap melarikan diri. Si Kong menoleh dan melihat tujuh orang pemuda dusun masih berdiri di sana.
"Heiii, kalian sobat-sobat! Aku ingin nenyelidiki ke dalan sumur. Maukah kalian membawakan segulung tali yang kuat" Kalau ada makin panjang semakin baik!" tujuh orang itu saling pandang, lalu mereka mengangguk dan larilah mereka dari puncak itu. Si Kong memeriksa keadaan sekitar sumur. Tidak ada sesuatu yang aneh. Puncak itu tidak berapa lebar, hanya kurang lebih sepuluh meter lebarnya, menjulang ke atas. Dia mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya dan menjatuhkan batu itu ke dalan sumur. Dia nenanti sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada suara apa-apa yang datang dari bawah sana, seolah-olah sumur itu tidak berdasar! Kalau dasarnya air, tentu akan terdengar suara batu yang jatuh ke dalamya. Juga kalau dasarnya tanah, akan terdengar oleh pendengarannya yang terlatih. Si Kong mengerutkan alisnya. Aneh sekali, pikirnya. Benarkah lubang sumur itu tidak berdasar atau dasarnya amat dalam hingga suara batu yang dia jatuhkan tidak dapat terdengar dari atas" Kalau seperti itu dalamnya, gadis pendekar itu tentu mengalami kecelakaan. Mendadak telinganya menangkap suara yang hanya sayup-sayup terdengar olehnya. Seperti suara orang berkata-kata, seperti bisikan halus. Dia merasa heran dan bulu tengkuknya meremang juga. Dia tidak pernah melihat setan. Akan tetapi pernah mendengar orang bercerita tentang setan yang seram-seram. Kini mendengar suara bisik-bisik itu, jantungnya berdebar dan terbayanglah dalan ingatannya perihal setan seperti yang pernah didengarnya. Ah, mustahil! Demikian dia mencela diri sendiri. Mana mungkin ada setan di tempat ini!
Tujuh orang pemuda itu berlarian mendaki puncak dan mereka menyerahkan segulung tali yang panjang kepada Si Kong. Si Kong mengikatkan ujung tali ke batang pohon yang tumbuh di si tu dan melemparkan gilungan tali itu ke dalam sumur. Lingkaran gulungan tali itu terbuka.


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Terima kasih atas bantuan kalian. Sekarang aku hendak turun ke dalam sumur ini."
Setelah Si Kong menuruni sumur melalui tali itu, tujuh orang pemuda dan kakek pemlik kedai itu tidak dapat menahan lagi rasa takut mereka. Mereka lalu meninggalkan sumur dan mengintai dari jarak jauh dengan hati tegang dan jantung berdebar.
Si Kong meninggalkan caping lebarnya di bibir surnur, akan tetpai dia membawa bambu pikulannya dan buntalan pakaiannya yang dia ikatkan di punggung.
Tali itu temyata panjang sekali dan setelah melewati batas antara bagian sumur yang mendapat cahaya matahari dan yang gelap, dia menuruni tali itu dengan hati-hati. Tak lama kemdian tibalah dia di dasar sumur dan dia tersnyum sendiri ketia kakinya menyentuh sebuah jala. Kiranya ada sehelai jala dipasang di situ. Pantas batunya tidak mengeluarkan suara karena menimpa jala yang kuat dan lunak. Begitu dia menginjak jala itu, terdengar suara berkelinting di arah kiri. Dia meraba-raba ke bagian kiri dan dan dapat kenyataan bahwa dinding sumur di bagian kiri itu kosong berlubang! Kalau begitu sumur itu bagian dasarnya mempunyai sebuah terowongan!
Setelah terdengar bunyi suara berkelinting tadi, segera disusul bunyi suara orang bercakap-cakap dan tak lama kemudian nampak sinar api di terowongan. Empat orang laki-laki datang dan seorang diantara mereka memegang sebuah lampu gantung yang sinarnya cukup terang. Dalam penerangan sinar itu, nampaklah oleh Si Kong bahwa terowongan itu lebar dan tinggi kurang lebih dua meter garis tengahnya. Di pinggang empat orang itu nampak ada golok bergantung dan mereka membawa tali seolah hendak mengikat korban yang terjatuh ke dalam jala mereka. Tentu dia dikira seorang gadis manis yang menjadi korban disuguhkan kepada iblis penjaga sumur. Tepat seperti dugaannya, bukan iblis yang menuntut dikorbankannya gadis-gadis muda dan cantik, melainkan segerombolan orang-orang jahat yang menipu penduduk dusun yang percaya akan tahyul!
Hati Si Kong menjadi panas sekali. Entah sudah berapa banyak gadis dusun yang menjadi korban-korban iblis-iblis itu. Dia menyembunyikan mukanya di bawah lengan agar mereka tidak dapat melihat dari jauh bahwa dia seorang pria. Setelah mereka menghampiri, dia mendengar dengan jelas kata-kata mereka.
"Wah, sudah datang lagi gadis manis untuk kita!"
"Engkau sudah mendapat bagian, aku yang belum."
"Yang ini untukku, akan kuminta pada Twako!"
Ketika mereka sudah tiba dekat, dalam jarak dua meter, Si Kong melompat keluar dari dalam jala dan tiga kali tangannya bergerak menotok dan tiga orang itu roboh tak dapat berkutik lagi. Dia mencengkeram pundak orang ke empat yang membawa lampu sehingga orang itu menyeringai karena pundaknya seperti dicengkeram jepitan baja saja.
"Jangan berteriak atau bergerak kalau tidak ingin mati!" Si Kong berbisik, dan dari pundak yang gemeteran tahulah Si Kong bahwa orang itu ketakutan.
"Hayo katakan berapa banyak kawan-kawanmu?"
Agaknya orang ketakutan itu hendak menggertak, maka dia segera menjawab, "Ada lima belas orang dan dipimpin oleh Twako (Kakak Tertua) yang amat lihai. Engkau berani masuk ke sini, berarti engkau akan mati tersiksa."
Si Kong memperkuat cengkeraman tangannya dan orang itu mengaduh-aduh. "Aduh" ampunkan saya?" dia meratap.
"Dimana gadis-gadis korban itu?"
"Diruangan sana, dikumpulkan menjadi satu. Kalau ada yang dibutuhkan, diambil dan dibawa"."
"Antarkan aku kesana!"
Dia melepaskan cengkeramannya dan mendorong orang yang membawa lampu itu ke depan. Orang itu hendaknya akan lari, akan tetapi setelah merasakan lagi cengkeraman di pundaknya, dia maklum bahwa dia sudah tidak berdaya.
"Baik, akan kuantarkan. Akan tetapi lepaskan dulu pundakku". aduhh, sakit".!"
Si Kong mengendurkan cengkeramannya dan mendorong orang itu yang terhuyung-huyung melangkah maju. Setelah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter dan jalan itu membelok ke kanan, nampak ruangan yang mendapatkan cahaya matahari. Orang itu menggantungkan lampu di tempat gantungan yang tersedia. Si Kong memperhatikan sekelilingnya. Agaknya terowongan itu sengaja dibuat orang. Bagian itu merupakan dasar sebuah sumur yang tidak begitu dalam, maka mendapatkan sinar matahari dari atas. Orang itu lalu melangkah terus, jalan mulai mendaki naik.
Setelah tiba di depan sebuah ruangan yang memakai jeruji besi pada pintunya, orang itu berhenti. Si Kong melihat belasan orang gadis berada dalam ruangan itu, ada yang sedang menangis dan ada yang memandang kosong dan putus asa. Dia tertarik kepada seorang gadis yang kedua tangannya diikat pada gelang-gelang yang tertanam di dinding itu. Terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah Hui Lan, Tang Hui Lan! Akan tetapi gadis itu tidak melihatnya, melainkan menundukkan mukanya dan sikapnya tenang sekali.
Dari depan terdengar suara orang. Si Kong cepat menotok tawanannya dan menyeretnya ke tempat gelap, kemudian dia mengintai. Belasan orang mendatangi tempat itu, mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh bekas penyakit cacar. Akan tetapi laki-laki bopeng (cacat mukanya) ini mempunyai mata yang mencorong penuh kekejaman dan agaknya dia menjadi kepala mereka semua karena belasan orang itu nampak tunduk dan hormat kepadanya.
"Sekali ini kami bersumpah, twako. Twako tentu akan senang sekali mendapatkan yang ini. Ia luar biasa cantik jelitanya tidak seperti perawan-perawan gunung yang sederhana itu. Ketika jatuh ke dalam jala ia pingsan. Melihat ia membawa pedang, kami lalu merampas pedang dan mengikat kedua tangannya pada gelang baja. Nah, itu dia, twako, agaknya sudah sadar. Aduh, cantiknya seperti puteri kaisar saja!"
Si tinggi besar muka bopeng itu hanya menggumam, akan tetapi setibanya di depan pintu berjeruji, dia berhenti dan memandang ke arah gadis yang diikat itu dengan bengong. Ternyata anak buahnya tidak berlebihan dalam keterangannya. Seorang gadis yang luar biasa!
"Ha-ha, ia cantik dan membwa pedang" Berarti ia tentu sedikit banyak pandai bersilat. Ia pantas menjadi sisihanku, menjadi isteriku! Bukakan daun pintu ini! Aku sendiri yang akan melepaskan ikatan kedua tangannya yang mungil itu!"
Anak buahnya tertawa-tawa senang melihat pemimpin mereka puas, dan dua orang dari mereka cepat membuka daun pintu yang dipasangi rantai yang dikunci itu.
Begitu daun pintu di buka, si bopeng itu lalu melangkah masuk dan menghampiri Hui Lan. Si Kong melihat ini dan seluruh urat syarafnya sudah menegang, siap untuk menerjang kalau si bopeng itu melakukan hal yang tidak sopan terhadap Hui Lan.
Si bopeng itu telah berdiri di depan Hui Lan dan dia tertawa bergelak. "Hebat, cantik jelita, kulitnya begitu putih mulus! Ha-ha-ha!"
Setelah tertawa dan berkata memuji kecantikan tawanan itu, kedua tangannya yang besar bergerak hendak me- lepaskan tali pengikat kedua tangan Hui Lan. Tiba-tiba Si Kong yang mengintai itu tersenyum. Dia melihat gadis itu mengangkat mukanya dan melihat betapa mata gadis itu mencorong seperti mata naga. Sekilas pandang saja tahulah Si Kong bahwa dara perkasa itu hanya pura-pura, padahal telah siap siaga sejak meloncat ke dalam sumur! Si Kong merasa kagun bukan main. Dia sendiri tentu akan berpikir dua kali kalau harus meloncat begitu saja ke dalam sumur yang gelap itu dan belum tahu apa yang akan dihadapinya di dasar sumur.
Dugaannya benar. Begitu si bopeng menjulurkan kedua tangan untuk melepaskan ikatan tangan Hui Lan, tiba-tiba saja kedua tangan gadis yang tadinya terikat, sudah lepas begitu saja dan sekali tangan kiri si gadis itu memukul dengan tangan terbuka miring yang mengenai dada si bopeng, pemimpin gerombolan itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mengaduh-aduh dan mulutnya mengeluarkan darah!
Melihat ini, belasan orang anggauta gerombolan itu menjadi terkejut dan marah. Akan tetapi sebelum mereka dapat berbuat sesuatu terdengar suara Hui Lan membentak dengan nyaring penuh wibawa.
"Kalian hanya anjing-anjing yang pandai menggonggong! Anjing-anjing yang pandai menggonggong!"
Si Kong menahan tawanya ketika belasan orang itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri merangkak dengan kaki tangan mereka seperti anjing dan mereka menyalak dan menggonggong riuh rendah sambil merangkak ke sana ke mari! Ternyata segerombolan orang itu telah terpengaruh oleh sihir yang dilepas Hui Lan.
"Adik Hui Lan".!" Si Kong melompat keluar dari tempat sembunyinya. Hui Lan terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Dengan alis berkerut ia memandang Si Kong, mengira bahwa ada anggauta gerombolan yang tidak terkena sihirnya. Akan tetapi ketika ia sudah melihat jelas, ia segera mengenal pemuda itu dan memandang dengan penuh keheranan.
"Engkau" kakak Si Kong! Bagaimana engkau dapat berada di sini?" Pandang matanya tiba-tiba berubah penuh kecurigaan. "Apakah engkau menjadi satu dengan gerombolan anjing-anjing ini?"
Si Kong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bagaimana aku dapat menjadi satu dengan mereka" Aku menuruni sumur untuk melakukan penyelidikan, setelah mendengar keterangan orang dusun. Kiranya gadis yang tadi pagi meloncat ke dalam sumur adalah engkau, Lan-moi. Ah, kekhawatiranku sia-sia saja. Kalau engkau tentu tidak membutuhkan bantuan siapapun!"
"Nanti saja kita bicara, Kongko. Mari bantu aku membawa gadis-gadis ini keluar dari sini dan menyeret anjing-anjing ini keluar agar dapat dihajar oleh penduduk dusun."
"Baik, Lan-moi. Anjing-anjing itu sebaiknya dibuat tidak berdaya," kata Si Kong dan dia lalu memasuki ruangan tahanan itu. Berkali-kali tangannya bergerak dan setiap gerakan tentu merobohkan seorang penjahat yang sedang merangkak dan menggonggong itu. Sebentar saja belasan orang itu sudah tertotok semua, termasuk si muka bopeng yang telah menderita luka parah oleh pukulan tangan Hui Lan tadi.
Dengan penerangan lampu yang dibawa seorang gadis yang telah dibebaskan Si Kong menyeret belasan orang itu ke dasar sumur.
"Engkau naiklah dulu, Lan-moi. Setelah berada di atas, panggil penduduk dusun agar mereka mengangkat naik gadis-gadis ini dan juga gerombolan ini!"
"Baik, Kong-ko!" Dengan sigap dan cepat sekali Hui Lan merayap naik dengan bergantung pada tali yang tadi dipakai Si Kong untuk turun ke dalam sumur.
Para pemuda dusun yang tadi bersama kakek pemilik kedai mengintai dengan jantung berdebar tegang dan ketakutan, tiba-tiba melihat Hui Lan melompat keluar dari sumur. Gadis ini telah mengambil kembali sepasang pedangnya dari sebuah kamar bawah tanah yang menjadi gudang berisi barang-barang berharga hasil rampokan. Melihat gadis yang tadi pagi melompat ke dalam sumur kini muncul dari dalam sumur, tujuh pemuda dusun dan kakek itu menjadi girang dan beramai-ramaii mereka menghampiri.
"Bagaimana, lihiap?" kata mereka, tidak ragu lagi menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Hui Lan.
"Beres, gadis-gadis itu sebentar lagi akan naik ke sini, juga iblis-iblis itu telah tertangkap dan akan di naikkan pula."
Orang-orang itu terbelalak ketakutan mendengar bahwa iblis-iblis telah tertangkap. Bagaimanapun juga, kalau harus menghadapi iblis-iblis, walaupun sudah tertangkap, mereka merasa ngeri.
Melihat mereka sudah siap untuk kabur lagi, Hui Lan tertawa.
"Jangan bodoh, yang kumaksudkan dengan iblis-iblis itu tentu saja bukan iblis aseli, melainkan penjahat-penjahat yang mengaku sebagai iblis."
Mendengar ini, mereka menjadi lega. "Sekarang bersiap-siaplah untuk menarik tali itu. Dan kakek ini boleh pulang ke dusun memberi tahu semua orang dusun untuk menjemput gadis-gadis korban yang menjadi keluarga mereka."
Kakek pemilik kedai segera berlari turun. Saking girangnya dia tidak mengenal lelah sehingga setelah tiba di dusunnya, dia terengah-engah sukar bicara dan tentu akan jatuh pingsan kalau tidak segera ditolong penduduk dusun.
"Lihiap itu" telah membebaskan semua gadis korban dan telah menangkap segerombolan penjahat yang menipu kita menjadi iblis dan setan."
Berita ini segera tersiar luas dan didengar pula oleh pendoouk dusun-dusun di sekitar pegunungan Kera itu. Maka berbondong-bondonglah mereka itu menuju ke puncak.
Sementara itu, Hui Lam memberi isarat kepada Si Kong dengan menarik-narik tali. Si Kong yang berada di bawah, sudah membuatkan tempat duduk dart jala yang berada di situ, diikatkan dengan ujung tali dan memberi isarat dengan menarik-narik tali itu. Hui Lan mengerti dan ia menyuruh tujuh orang pemuda itu untuk nenarik tali ke atas.
Gadis pertama muncul. Semua orang bersorak gembira, terutama mereka yang mengenal gadis ini dan keluarganya. Orang-orang dusun sudah berkumpul semua di sekeliling sumur. Tua muda dan anak anak bersorak dan gadis itu tersedu-sedu dalam rangkulan ibunya.
Tempat duduk dari jala itu lalu diturunkan kembali. Gadis kedua, ketiga dan seterusnya diangkat satu demi satu dan sorak sorai terdengar setiap kali ada gadis yang tiba di luar sumur. Akhirnya semua gadis yang pernah menjadi korban "iblis-iblis" itu telah dikeluarkan dari dalam sumur.
Orang berikutnya yang ditarik keluar sumur amat berat sehingga membutuhkan tenaga banyak orang untuk menarik tali. Ketika orang itu muncul, ternyata dia adalah kepala gerombolan yang tinggi besar bermuka bopeng. Mulutnya masih berlepotan darah dan dia tidak mampu berkutik karena sudah ditotok oleh Si Kong.
"Nah, inilah yang mengaku-ngaku iblis penjaga sumur itu. Kalian lihat, dia manusia biasa, bukan" Manusia biasa, akan tetapi amat jahatnya. Dia dan belasan orang anak buahnya yang mengganggu kalian, minta agar gadis-gadis dan perhiasan-perhiasan dikorbankan dan dilemparkan ke dalam sumur."
Mendengar ucapan Hui Lan itu, para penduduk dusun menjadi marah, terutama yang gadisnya dijadikan korban. Mereka maju serentak untuk memukuli si bopeng tang sudah tidak berdaya itu. Ada yang menggunakan alat bertani seperti cangkul, kapak dan lain-lain.
"Sudah! Cukup! Jangan dibunuh!" teraik Hui Lan, akan tetapi ia terlambat. Ketika orang-orang itu mundur, si muka bopeng sudah menjadi seonggok daging berlumuran darah!
"Kalian bertindak berlebihan!" Hui Lan menegur. "Mereka memang jahat dan perlu dihukum, akan tetapi tidak dibunuh dan dibantai seperti itu! Ingat, aku akan marah kalau kalian ulangi lagi perbuatan itu atas diri para penjahat yang akan dikeluarkan semua!" Seruan Hui Lan itu mengandung wibawa yang kuat dan semua orang menundukkan muka. Hui Lan lalu memberi isarat kepada Si Kong dibawah untuk mengisi tempat duduk yang sudah diturunkan. Si Kong lalu memberi tanda dengan tarikan tali. Orang kedua dikeluarkan dan kini hanya caci maki yang terlontar dari mulut semua orang terhadap penjahat itu yang menjadi ketakutan setengah mati melihat demikian banyak orang marah-marah seolah hendak menelan dia bulat-bulat!
Demikianlah, satu demi satu penjahat dikeluarkan dan mereka semua menjadi ketakutan setengah mati ketika melihat pemimpin mereka sudah tewas dengan tubuh hancur. Akan tetapi mereka tidak dibunuh, hanya diseret dan digeletakkkan ke atas tanah. Setelah semua penjahat ditarik keluar, paling akhir yang keluar adalah Si Kong sendiri yang membawa sebuah peti.
Semua orang bersorak karena mereka semua sudah mendengar dari kakek pemilik kedai betapa penuda itu menuruni sumur dan menolong para gadis yang ditahan.
Si Kong megangkat kedua tangan ke atas dan membuka peti. Temyata di dalamnya terisi banyak perhiasan dari emas permata. "Mereka yang merasa sudah melemparkan perhiasannya ke dalam sumur, boleh mencari perhiasannya dan mengambilnya kembali. Akan tetapi yang merasa tidak mempunyai perhiasan yang dirampok, jangan mengambil sesuatu dari dalam peti. Awas, aku tidak akan mengampuni mereka yang bertindak curang dan mengambil barang yang bukan miliknya!"
Mereka yang merasa kehilangan kahilangan karena pernah diancam oleh suara iblis agar menyerahkan perhiasan mereka dan melemparkan ke dalam sumur, segera mencari perhiasan masing-masing dan akhir nya semua orang telah memperoleh kembali perhiasan mereka. Akan tetapi didalam peti itu masih terdapat banyak sekali benda-benda berharga dari emas, batu kemala dan lain-lain.
"Panggil kepala dusun ke sini!" kata Si Kong. Ternyata kepala dusun juga sudah berada di antara penduduk dusun dan dia segera mkelangkah maju ketika mendengar seruan Si Kong.
"Paman kepaala dusun di sini ?"
"Benar, taihiap."
"Dengarlah baik-baik. Kalau ada orang-orang seperti para pengacau ini, kumpulkan orang sedusun, atau kalau perlu ditambah para penghuni dusun tetangga, satukan tenaga untuk menghadapi dan nenghajar para penjahat itu. Jangan percaya kepada kabar dan cerita tahyul."
"Baik, taihiap," kata kepala dusun yang tadi ikut pula memukuli kepala penjahat itu. "Mulai sekarang, kami akan melakukan perlawanan."
"Bagus! Nah, segerombolan penjahat ini sudah mendapat hajaran keras. Kalau berani muncul lagi di tempat ini jangan ragu keroyoklah ramai-ramai."
"Baik, taihiap."
Si Kong menghadapi gerombolan yang masih rebah malang melintang tak mampu bergerak itu, lalu memulihkan jalan darah mereka yang tertotok satu demi satu. Para penjahat itu sudah mendengar semua pembicaraan Si Kong dengan penduduk dan kepala dusun, maka begitu dapat bergerak, mereka lalu berlutut dan minta-minta ampun.
"Kalian benar-benar telah bertaubat" Awas, kalau berani sekali lagi aku melihat kalian berbuat jahat, aku tidak akan mengampunimu lagi. Sekarang, pergilah dan bawa mayat pemimpin kalian, kubur di tempat yang jauh dari sini. Nah pergilah!"
Para penjahat itu menghaturkan terima kasih dan segera mengangkut sisa mayat si bopeng, lalu pergi dari situ dengan cepat. Mereka sangat ketakutan. Sejak mereka melihat pemimpin mereka roboh muntah darah dihantam oleh gadis itu, mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka! Mereka hanya teringat secara samar-samar betapa mereka merasa berubah menjadi anjing, kemudian mereka tidak mampu bergerak, hanya melihat betapa mereka satu demi satu ditarik naik keluar dari sumur dalam keadaan tidak mampu bergerak dan dikepung penduduk dusun yang nampak marah sekali kepada mereka. Mereka sudah putus asa dan tentu mereka akan dibunuh seperti yang terjadi pada pemimpin mereka. Maka, dapat dibayangkan betapa lega dan senang hati mereka dilepas dan diampuni. Pengalaman mereka itu sedikit banyak akan mempengaruhi jalan kehidupan mereka selanjutnya, membuat mereka jerih untuk melakukan kejahatan lagi.
Si Kong menghampiri Hui Lan yang sejak tadi menonton saja dan berkata kirih, "Bagaimana pendapatmu, Lan-moi, jika sisa perhiasan ini kita bagikan kepada keluarga mereka yang terbunuh dan keluarga para gadis yang menjadi korban?"
Hui Lan sejak tadi menonton dengan hati kagum. Kalau menurut hatinya, ingin ia memberi hajaran keras kepada para penjahat itu! Akan tetapi Si Kong membebaskan mereka setelah menakut-nakuti mereka. Kini mendengar pertanyaan Si Kong, ia berkata, "Terserah kepadamu, Kong-ko. Aku hanya dapat menyetujui saja."
Si Kong melambaikan tangannya memanggil kakek pemilik kedai minuman itu. "Paman, engkau kuangkat menjadi orang yang bertugas membagi-bagi perhiasan ini dengan adil kepada keluarga mereka yang dibunuh para penjahat dan keluarga para gadis yang menjadi korban. Sanggupkah engkau, paman?"
Kakek itu kelihatan bangga sekali. "Serahkan saja kepada saya, taihiap. Saya akan membagi-bagi secara adil."
Si Kong berkata kepada kepala dusun. "Paman menjadi pengawasnya agar pembagian berjalan lancar dan adil. Harap panggil keluarga para korban pembunuhan dan penculikan dan membagi-bagi perhiasan ini secara adil."
Kepala dusun mengangguk setuju. Si Kong lalu berkata kepada Hui Lan. "Semua sudah beres, mari kita pergi, Lan-moi!"
Hui Lan mengangguk dan kedua orang muda perkasa itu sekali berkelebat lenyap dari depan semua orang. Melihat ini, semua orang terkejut dan ketahyulan kembali melanda hati mereka. Kepala dusun yang lebih dulu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah berkelebatnya dua orang itu. Semua penduduk segera mengikuti kepala dusun, berlutut sambil berterima kasih kepada dua orang "dewa-dewi" yang telah membebaskan mereka dari ancaman iblis jahat.
Dari jauh mereka mendengar yang dapat terdengar jelas oleh mereka, "Jangan lupakan persatuan melawan yang jahat. Selamat tinggal!" Itu adalah suara Si Kong yang sengaja diucapkan dari jauh dengan pengerahan khikang sehingga dapat terdengar oleh mereka yang berada di sekeliling sumur tua.
Kepala dusun memimpin semua orang, untuk melempar-lemparkan banyak batu ke dalam sumur sehingga sumur itu penuh batu dan tidak mungkin dilewati orang lagi. Kemudian, dengan pengawasan kepala dusun, mulailah perhiasan itu dibagi-bagikan kepada keluarga mereka yang tewas dan keluarga para gadis yang menjadi korban.
*** Mereka duduk di atas batu di bawah sebuah batang pohon besar. Matahari telah condong ke barat, namun cuaca masih terang. Mereka diam saja dan kadang saling pandang. Akhirnya Hui Lan yang biasanya lincah itu mengeluarkan suara memecah kesunyian.
"Bagaimana engkau bisa masuk ke dalam sumur itu, Kong-ko" Ceritakanlah dari awal."
Si Kong tersenyum memandang gadis yang hebat itu. Dia pernah mengagumi Siangkoan Cu Yin, merasa suka kepada gadis berandalan itu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, kekagumannya terhadap Hui Lan ini lebih mendalam.
"Hanya kebetulan saja, Lan-moi. Siang tadi kebetulan aku lewat di dusun ini dan membeli minuman dikedai kakek tadi. Aku melihat keadaan dan suasana yang ganjil sekali. Aku tidak melihat ada wanita muda di dusun itu dan kaum prianya kelihatan panik dan ketakutan. Bahkan ketika melihat aku yang asing bagi mereka, mereka memandang penuh kecurigaan. Karena itu aku lalu membujuk kepada kakek pemilik kedai untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi dia ketakutan dan menolak untuk bercerita. Terpaksa aku mengalahkan rasa takutnya kepada sesuatu itu menjadi rasa takut terhadap diriku. Aku mengancam dia dan akhirnya dia mengaku akan adanya setan yang mengganggu penduduk, betapa setan itu minta perhiasan dan bahkan gadis-gadis muda dan cantik. Dia bercerita tentang sumur setan dimana gadis-gadis itu dilempar ke dalam sumur, juga dia bercerita tentang seorang gadis yang dengan suka rela melompat ke dalam sumur itu. Selanjutnya aku mencari tali panjang dan menuruni sumur itu. Kurobohkan beberapa orang yang berada di dasar sumur, dan kutotok mereka. Lalu aku memaksa seorang diantara mereka untuk menunjukkan dimana adanya ruangan yang dipergunakan untuk menawan para gadis itu. Setelah tiba di sana, aku melihat engkau diantara para gadis dan kebetulan gerombolan itu datang memasuki ruangan itu. Begitulah awal mulanya aku sampai masuk ke dalam sumur itu. Dan engkau sendiri, bagaimana bisa menjadi tawanan mereka" Tentu engkau yang dikatakan kakek itu sebagai gadis yang dengan suka rela masuk ke dalam sumur itu, bukan?"
"Benar, Kong-ko. aku juga secara kebetulan saja lewat di luar dusun itu. Dalam perjalanan itu aku melihat seorang gadis bersama ibunya melarikan diri sambil menangis ketakutan. Aku hentikan mereka dan kutanyakan apa sebabnya. Gadis itu lalu menceritakan tentang setan yang meminta korban gadis-gadis dan bahwa gadis itu semalam telah diminta oleh suara setan diatas rumah mereka. Karena ketakutan dan tidak sudi dijadikan korban setan, gadis itu lalu mengajak ibunya melarikan diri. aku menjadi penasaran sekali dan kumasuki dusun itu, kuceritakan kepada mereka bahwa aku bersedia dijadikan korban menggantikan gadis yang melarikan diri. Aku lalu diantar ke atas puncak, menghampiri sumur itu. Kemudian aku lalu meloncat masuk ke dalam sumur."
"Akan tetapi, Lan-moi. Bagaimana engkau berani meloncat kedalam sumur yang tidak kelihatan dasarnya itu, dan yang belum kauketahui bagaimana keadaan di dalamnya?"
Hui Lan tersenyum. "Sudah kuperhatikan dengan baik, Kong-ko. Kalau para gadis itu dilempar ke dalam sumur, berarti mereka tentu tidak akan mati ketika tiba di dasar sumur. Kalau mereka itu mati, untuk apa penjahat itu minta korban gadis?"
"Bukankah yang minta korban gadis itu menurut para penduduk adalah iblis penjaga sumur tua?"
"Hemm, siapa dapat percaya" Sejak semula aku sudah menduga bahwa hal itu dilakukan penjahat yang pura-pura menjadi setan, dan aku menduga bahwa penjahat itu tidak hanya seorang. Nah, setelah yakin bahwa gadis-gadis itu tidak mati, aku lalu melompat ke dalam sumur, tentu saja aku waspada dan mengerahkan ginkang untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya maut mengancam di dasar sumur."
"Engkau sungguh pemberani sekali, Lan-moi."
"Engkaupun masuk ke dalam sumur. Entah siapa yang lebih berani, engkau atau aku. nah, setelah tiba di bawah, ternyata ada sehelai jaring yang menangkap aku. begitu tubuhku menyentuh jaring, terdengar suara berkelentingan dan muncul empat orang yang membawa sebuah obor. Aku pura-pura tidak berdaya ketika ditangkap dan sepasang pedangu dirampas."
"Kenapa engkau menyerah begitu saja, Lan-moi?"
"Aku ingin berhadapan sendiri dengan pemimpin mereka dan tepat seperti yang kuduga, akhirnya dia muncul dan barulah aku membebaskan diri untuk menghantam mereka."
"Sebetulnya dari manakah datangnya gerombolan itu" Apakah mereka itu para anggauta dari perkumpulan sesat yang lebih besar?"
"Ah, kurasa tidak, Kong-ko. Mereka itu hanya gerombolan perampok biasa yang menemukan terowongan bawah tanah itu untuk menakut-nakuti penghuni dusun-dusun yang masih bodoh. Dengan cara demikian mereka dapat mengumpulkan perhiasan dan juga gadis-gadis gunung dengan mudah, bahkan tanpa kekerasan. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi. Mereka tadi merasa enak dibebaskan begitu saja." Kalimat terakhir ini diucapkan Hui Lan dengan nada menegur.
"Gerombolan seperti itu biasanya hanya mengekor saja perbuatan pemimpin mereka. Kepala penjahat telah terbunuh oleh orang-orang dusun, dan anak buah penjahat itu pun sudah mendapat hajaran keras. Kukira mereka akan menyadari kejahatan mereka dan akan mengubah cara hidup mereka."
Hui Lan tidak membantah lagi. Watak pemuda itu seperti watak ayahnya, mudah memaafkan dan tidak suka sembarangan membunuh orang. Tidak seperti watak ibunya yang keras dan bertindak tegas terhadap para penjahat sehingga setiap mirud Cin-ling-pai juga memiliki watak seperti itu. Keras tidak mengenal ampun terhadap orang-orang jahat. Wataknya sendiri berada di tengah-tengah antara watak ayahnya yang pengampun dan watak ayahnya yang pengampun dan watak ibunya yang tidak mengenal ampun.
"Kalau boleh aku mengetahui, sebenarnya engkau hendak pergi kemana, Lan-moi?" tanya Si Kong mengalihkan pembicaraan.
"Aku hendak pergi ke Kwi-liong-san," kata Hui Lan berterus terang.
"Si Kong memandang dengan wajah berseri. "Pek-lui-kiam".?"
Hui Lan juga tercengang. "Eh, engkau juga mengetahui?"
"Siapa yang tidak tahu tentang pedang pusaka itu, Lan-moi. Aku bahkan dimintai tolong oleh puteri pendekar Tan Tiong Bu untuk membantunya mencari pembunuh ayahnya."
"Hemm, kaumaksudkan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san?"
Si Kong mengangguk. "Agaknya engkau tahu lebih banyak tentang Ang I Sianjin, Lan-moi."
"Tahu lebih banyak juga tidak. Aku hanya mendengar bahwa pendekar Tan Tiong Bu terbunuh oleh seorang kakek berjubah merah dan menurut dugaan orang pembunuh dan pencuri pedang itu adalah Ang I Sianjin."
"Engkau hendak merampas Pek-lui-kian, Lan-moi?"
"Kalau memang benar Ang I Sianjin pencurinya, tentu aku akan mencoba untuk merampasnya. Nama Kwi-jiauw-pang sudah tersohor di empat penjuru sebagai perkumpulan sesat yang kejam. Kalau dibiarkan Ang I Sianjin memiliki Pek-lui-kiam, tentu dia akan menjadi lebih kejam dan sewenang-wenang. Akan tetapi kalau pedang itu berada di tangan pendekar budiman, akupun tidak akan mengganggunya. Dan engkau sendiri hendak kemana, Kong-ko?"
Sama dengan engkau, Lan-moi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku hendak membantu puteri mendiang Tan Tiong Bu untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Kalau berhasil tentu akan kuserahkan kepadanya yang berhak sebagai pewaris pedang milik ayahnya."
"Tidak perlukah untuk menyelidiki dulu dari mana Tan Tiong Bu mendapatkan pedang itu" Aku mendengar bahwa pembuat pedang Pek-lui-kiam adalah seorang sakti berjuluk Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih). Karena itu patut diselidiki bagaimana pedang pusaka itu dapat jatuh ke tangan pendekar Tan Tiong Bu."
Si Kong tertegun dan mengangguk-angguk. "Kalau demikian persoalannya, memang engkau benar. Tadinya aku mengira bahwa pedang pusaka memang milik yang sah dari mendiang pendekar Tan Tiong Bu. Kalau begitu, apakah engkau berkeberatan melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san bersama aku, Lan-moi?"
Hui Lan menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik. Dia belum mengenal benar pemuda ini, akan tetapi dia adalah murid kakek-buyutnya yang setia dan berbakti. Ia akan melihat bagaimana sikap Si Kong selanjutnya kalau mereka melakukan perjalanan bersama. Kalau sikapnya tidak menyenangkan, mudah saja menghentikan perjalanan bersama itu untuk berpisah dan mengambil jalan sendiri. Sebaliknya kalau sikapnya sopan dan menyenangkan, apa salahnya melakukan perjalanan" Sebagai murid kakek-buyutnya, Si Kong dapat dikatakan sebagai "orang sendiri".
Hui Lan tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tentu saja aku tidak keberatan. Bukankah tujuan kita sama" Bahkan kita dapat bekerja sama dalam penyelidikan kita terhadap Ang I Sianjin."
Si Kong merasa girang sekali. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama dan di sepanjang jalan, Si Kong termenung. Dia teringat kepada Siangkoan Cu Yin! Gadis puteridatuk Lam Tok itu membujuknya untuk melakukan perjalanan bersama, akan tetapi dia menolaknya dan kini dia malah ingin melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain! Akan tetapi, Hui Lan tidak dapat disamakan dengan Cu Yin. Gadis ini puteri sepasang pendekar yang kenamaan dan sikapnya gagah dan lembut. Sedangkan Cu Yin sama sekali berbeda. Gadis yang suka menyamar sebagai pria itu nakal, suka mengganggu orang, dan terutama sekali membuat dia tidak suka melakukan perjalanan bersama adalah pengakuan Cu Yin bahwa gadis itu mencintainya! Andaikan Cu Yin masih menyamar sebagai pria, dia akan senang sekali melakukan perjalanan dengannya. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan seorang gdais yang mencintainya, padahal dia sendir belum pernah mencinta gadis manapun juga, tentu akan sangat mengganggu kedamaian hatinya.
Belum jauh Si Kong melakukan perjalanan bersama Hui Lan pada hari itu, senja telah datang dan matahari sudah tidak nampak, hanya sinarnya yang lemah masih memungkinkan mereka melakukan perjalanan.
"Wah kita akan kemalaman di jalan kalau tidak dapat menemukan sebuah dusun, Kong-ko."
"Biar kuselidiki apakah ada dusun disekitar tempat ini," kata Si Kong dan dia lalu melompat ke pohon besar lalu memanjat ke atas. Dari atas pohon itu dia memandang ke empat penjuru. Akan tetapi, yang nampak hanya warna hijau gelap dari puncak-puncak pohon. Di empat penjuru yang ada hanya hutan, tidak nampak adanya rumah orang! Diapun melompat turun kembali.
"Sama sekali tidak nampak ada rumah orang disekitar sini, Lan-moi. Agaknya kita akan kemalaman di tengah hutan. Akan tetapi di bagian selatan nampak ada lapangan rumput yang terbuka, agaknya disana kita dapat melewatkan malam lebih menyenangkan daripada di dalam hutan."
Hui Lan mengangguk. "Kalau begitu kita pergi ke selatan, ke lapangan rumput itu, Kong-ko."
Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan karena sebentar lagi bumi akan diselimuti kegelapan dan melakukan perjalanan tidak mungkin lagi. Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah lapangan rumput yang terbuka, tepat pada saat malam tiba dan marga satwa mulai memperdengarkan suara puja puji terhadap Yang Maha Kuasa.
"Tempat ini cukup menyenangkan," kata Hui Lan dan hati Si Kong menjadi lega. Tadinya dia khawatir kalau Hui Lan merasa kecewa dan tidak senang karena mereka terpaksa harus melewatkan malam di situ.
"Memang lebih enak daripada di tengah hutan. Rumputnya bersih, seperti permadani hijau digelar luas. Aku akan membuat api unggun, Lan-moi."
Si Kong lalu cepat pergi ke hutan di sebelah, mengumpulkan ranting kering. Biarpun cuaca sudah mulai gelap, dapat juga dia memperoleh ranting dan daun kering yang banyak. Dia lalu membuat api unggun dan setelah api unggun bernyala besar, mereka berdua merasa gembira sekali. Suasana menjadi demikian in
Harpa Iblis Jari Sakti 32 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 7
^