Pencarian

Pendekar Laknat 2

Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Bagian 2


yang berjumlah sembilan
orang. Ki Ih berhasil mengejar Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari
Kong-tong-pay. Sebenarnya ia dapat membunuh musuh2
suaminya itu. Sayang To Hun-ki dan ketiga tokoh Pengemis
muncul. Kay-pang memang baik hubungannya dengan partai2
persilatan. Dan Ki Ih memang tak disuka orang.
Selain berasal dari seberang lautan, pun wanita itu banyak
mengikat permusuhan dengan kaum persilatan di Tiong-goan.
To Kiu-kong, Pengemis Tertawa, si Pincang kiri Tio Thau
dan sipincang kanan Li Ji, segera bantu menyerang Ki Ih.
Kedudukan segera berobah. Ki Ih yang semula menang angin,
kini berbalik terdesak.
76 Namun wanita sakti itu tak mau menyerah mentah2. Ia
mainkan pedangnya lebih gencar. Salah sebuah jurus ilmu
Pedang Kilat yang disebut Guruh-dan-halilintar-menyambar,
segera memburu kesembilan pengeroyoknya. Mereka jeri dan
terpaksa mundur. Kesempatan itu digunakan Ki Ih untuk
menabur 9 buah senjatan rahasia Hwe-hun-tui ke arah To
Hun-ki dan keempat Su-lo.
Hwe-hun-tui atau Gumpalan-awan-api, merupakan senjata
rahasia yang telah mengangkat nama Ki Ih. Apabila kelima
orang itu binasa, mudahlah ia membereskan keempat tokoh
pengemis. To Kiu-kong terkejut tetapi tak keburu menolong kelima
tokoh Kong-tong-pay. Pada saat maut hendak merenggut jiwa
tokoh2 Kong-tong-pay itu, tiba-tiba Siau-liong muncul dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Sambil loncat ke udara,
ia kebutkan kedua lengan bajunya. Dua buah gelombang sinar
merah melanda dan sembilan buah senjata rahasia Hwe-huntui
itupun hancur lebur.
Sesuai dengan namanya, senjata-rahasia Gumpalan-awanapi
itu memancarkan hawa panas. Hanya tenaga-sakti Bu-keksin-
kang yang bersifat panas, dapat menghancurkan senjata
rahasia itu. Dan selamatiah jiwa kelima tokoh Kong-tong-pay!
Sekalian orang terkejut. Selain tak menduga akan
kemunculan Pendekar Laknat, pun mereka heran, mengapa
tokoh gila itu membantu orang2 Kong-tong-pay.
Dan Ki Ih pun tak kurang kagetnya. Menghadapi sembilan
musuh tadi, ia sudah kewalahan. Apa lagi ditambah dengan
seorang Pendekar Laknat. Cepat wanita itu melarikan diri.
77 Pada saat meluncur turun ke bumi, Siau-liong berputar diri
dan lepaskan pukulan dahsyat ke arah sembilan jago
pengeroyok itu!
Gila! Bukankah tadi Pendekar Laknat menghancurkan
senjata rahasia dari Ki Ih" Mengapa sekarang ia berbalik
menyerang ke sembilan tokoh2 yang mengeroyok wanita itu"
Kesembilan jago itu menghindar ke samping lalu
menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong lebih cepat. Segera ia
lancarkan pukulan yang kedua yakni To-sia-san-ho atau
Membalikkan gunung dan sungai.
Kesembilan jago itu terpental mundur sampai empat
langkah. Mereka berputar diri terus lari masuk ke hutan
Kiranya Siau-liong memang bermaksud hendak menghalau
kesembilan orang itu. Kemudian ia akan menghadap ibunya
dan minta maaf. Ia hendak menjelaskan bahwa dia adalah
puteranya yang terpisah selama 16 tahun itu!
Tetapi ketika berpaling, alangkah kejutnya. Ki Ih siwanita
berkerudung, sudah lenyap!
Siau-liong terpukau. Enam belas tahun lamanya ia berpisah
dari ibunya. Dua kali ia mendapat kesempatan berjumpa tetapi
dua kali itu pula ia tak berhasil bicara dengan ibunya. Air mata
pemuda itu berlinang-linang. Akhirnya ia duduk bersemedhi
memulangkan tenaga.
Ketika membuka mata, ia terkejut. Di hutan jauh disebelah
muka, tampak berkelebat sesosok tubuh wanita. Menduga
kalau ibunya, cepat ia loncat dan lari menghampiri.... Ah,
hampir ia berteriak girang ketika bayangan itu benar Ki Ih.
Tetapi pada lain kejab ia tertegun ketika menyadari bahwa
saat itu dirinya masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.
Tak mungkin ibunya akan percaya!
78 Hanya beberapa detik ia tertegun. wanita itupun sudah
lenyap lagi dari pandangan. Cepat Siau-liong mengejar tetapi
tak berhasil. Akhirnya ia membuka kedok dan pakaian
penyamarannya. Lalu ia duduk melepaskan lelah di tepi
sungai. "Ma, apakah engkau tahu bahwa puteramu Siau-liong
masih hidup dan sekarang sudah begini besar" Ah, mama,
betapalah rindu hatiku kepada-mu...." dalam termenung
mengenangkan nasib, ia menangis meratapi ibunya.
Kemudian ia bertanya pada dirinya, "Mama, apakah engkau
setuju atas tindakanku" Ma, jika engkau mengetahui
maksudku, tentulah engkau dapat menyetujui.... hai!" tiba-tiba
ia memekik kaget.
Matanya yang tengah memandang permukaan air, tiba-tiba
tertumbuk pada wajah seorang gadis. Cepat ia berpaling ke
belakang dan ah.... sicantik Tiau Bok-kun.
"Nona Tiau!" serunya tersipu-sipu menghapus air mata.
Tetapi gadis itu diam saja. Siau-liong mengulang lagi
tegurannya namun tiada penyahutan. Siau liong
memandangnya lekat2. Dan terpukaulah ia....
Nona itu benar-benar menyerupai Tiau Bok-kun tetapi
bukan Tiau Bok-kun!
"Siapa engkau?" akhirnya nona itu menegur.
Siau-liong terkesiap Nada nona itu wajar tetapi galak. Ia
tak puas atas sikap si nona yang tak sopan itu.
"Apa pedulimu aku siapa" " sahutnya.
79 "Siapa yang panggil Tiau Bok-kun itu?"
"Aku salah sangka." muka Siau-liong merah.
"Dan mengapa engkau menangis?"
"Karena aku suka menangis!" sahut Siau-liong dengan nada
yang tak kurang getas.
Dara itu hendak mencabut pedang tetapi tak jadi. Sambil
tertawa mengikik ia menggagah dimuka Siau-liong, "Ih,
jangan marah, bung. Aku memang tak dapat bicara halus
tetapi aku ingin berkenalan dengan engkau. Keberatan?"
"Engkau terlalu bengis, aku tak suka berkenalan."
"Hm, jika menolak, lebih baik kita berkelahi.
"Boleh saja akupun tidak takut!"
Baru Siau-liong berkata begitu, si nona galak sudah
merangsang dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut
Siau-liong. Siau-liong merasa serba salah. Berkelahi dengan seorang
anak perempuan, sesungguhnya ia malu. Tetapi kalau diam
saja, dara itu menyerang dengan liar. Terpaksa ia menghindar
saja.... Dua jurus kemudian, timbullah pikirannya untuk lolos.
Ia anggap tak berguna berkelahi dengan seorang anak
perempuan yang tak dikenal.
Setelah berhasil memaksa dara itu mundur, Siau-liong terus
melarikan diri. Ia menuju ke tepi sungai. Tetapi ketika
berpaling, ah.... nona itu tetap mengejarnya Siau-liong loncat
80 ke sebuah perahu sampan, terus meluncur ke tengah menuju
kota Siok-ciu. Astaga.... dara itupun loncat ke sebuah perahu dan
mengejar. Ia memiliki lwekang yang hebat sehingga
perahunya dapat meluncur pesat.
Tetapi betapapun halnya, Siau-liong tetap menang cepat.
Begitu tiba di pantai, ia terus masuk kota dan mencari sebuah
rumah penginapan. Habis makan, ia terus masuk tidur.
Menjelang mahgrib, baru ia bangun. Tepat pada saat itu,
dua orang pelayan masuk membawa seperangkat pakaian dan
senampan hidangan.
"Tuan, nona yang bertempat di kamar sebelah depan,
mengirim pakaian ini untuk tuan," kata pelayan itu.
Siau-liong mendengus. Ia malu kalau mengatakan tak kenal
dengan nona itu.... Setelah pelayan pergi, ia bimbang sendiri.
Menerima pemberian itu atau tidak.
Ia mengintai di jendela. Kamar disebelah depan, tampak
sepi. Ia duduk kembali, memandang hidangan itu. Ah,
mungkin nona itu salah faham. Jelas ia tak kenal padanya.
Akhirnya ia berbangkit dan melangkah keluar. Tetapi baru
menyingkap tirai pintu, sesosok tubuh menerobos masuk.
Karena tak keburu menarik pulang tangannya, tersentuhlah ia
pada dua buah benda yang lunak....
Tersipu-sipu ia menyurut kesamping pintu. Seorang dara
melangkah masuk dengan berisak tangis Siau-liong
tercengang. Itulah nona yang mengejarnya tadi.
"Engkau menghina aku! Engkau menghina aku!" sambil
menangis, kedua tangan nona itu mencakari dada Siau-liong.
81 Siau-liong biarkan saja agar nona itu jangan semakin kalap.
Tetapi ia hampir geli karena dadanya seperti di kitik-kitik.
Tiba-tiba tangan nona itu menusuk jalan darah didadanya.
Siau-liong terkejut tetapi diam saja. Nona itu menjerit kaget
dan menarik pulang tangannya sambil mendekap tangan kiri
dengan tangan kanannya.
"Setan, jahat benar engkau!" nona itu meninju dada Siauliong.
Ternyata dalam diam tadi, Siau-liong kerahkan lwekang Bukek-
sin-kang kedadanya. Itulah sebabnya si nona menjerit
kesakitan. Jika tak lekas menarik pulang, tentu tangan nona
itu akan cacad.
Sambil tertawa, Siau-liong menyurut mundur dan memberi
hormat, "Harap jangan marah dan maafkan kesalahanku!"
"Huh, mengapa tak mempersilahkan aku masuk!"
"Hidangan itu adalah pemberian nona, silahkan nona
menyantapnya " kata Siau-liong.
"Bukankah engkau menerimanya?"
"Tanpa jasa apa2, tak pantas menerima hadiah, aku...."
"Ah, apa artinya hidangan semacam itu?" tukas si nona.
Siau-liong tetap menolak. Tetapi nona itupun tetap
memaksanya. Ia terus melangkah masuk, duduk dan suruh
Siau-liong duduk juga lalu diajak makan.
82 Sambli makan mereka ber-cakap2. Nona itu mengatakan
bahwa ia berasal dari seberang lautan. Namanya Pek Ciang-wi
atau Mawar Putih. Memang ia gemar berpakaian serba putih.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa gurunya berpesan.
Apabila di daerah Tiong-goan supaya mencari seorang sahabat
yang baik Ketika berjumpa dengan Siau-liong, ia anggap
pemuda itu seorang baik yang tepat dijadikan sahabat. Maka
makin Siau-liong jual mahal, nona itu makin mengejarnya....
Atas pertanyaan Siau-liong, si nona memberi jawaban yang
indah, "Rumahku diseberang lautan, dibawah gunung Dewa.
Gunung itu terletak di atas angin. Eh, apa perlumu
mengetahui nama tempat itu!"
Dan ketika Siau-liong menanyakan tentang gurunya, nona
itu gelengkan kepala. Siau-liong tak mau mendesak. Ia
sendiripun tak mau mengatakan tentang gurunya kepada lain
orang. Ketika pertama kali bertemu, Siau-liong tak senang melihat
tingkah si nona yang liar itu. Tetapi entah bagaimana, kini ia
merasa tak marah dengan cara2 liar nona itu. Mungkin hal itu
disebabkan, karena ia putera dari Ki Ih yang juga berasal dari
seberang lautan.
Kepada si nona, Siau-liong mengaku bernama Kongsun
Liong dan minta nona itu memanggilnya Siau-liong.
Mawar Putih terkesiap. Dipandangnya pemuda itu lekat2,
dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Ia geleng2 kepala dan
berseru lembut, "Siau-liong...."
Panggilan itu amat menyentuh hati Siau-liong. Dalam sikap
kewajaran, kejujuran dan keliarannya, Mawar Putih memiliki
83 sifat ke Ibuan yang mesra Untuk pertama kali dalam
hidupnya, Siau-liong rasakan indahnya kehidupan....
Mereka makan dan minum dengan gembira. Habis makan,
Mawar Putih suruh Siau-liong berganti pakaian yang
dikirimkan tadi.
Setelah ganti pakaian baru, Siau-liong tampak lebih cakap
dan gagah. Nona itu tertawa gembira. Mereka menuju ke
kebun belakang, menikmati kolam yang menghias taman.
"Siau-liong!"
"Nona Pek!"
Nona itu menggeliat, "Ih, janggal benar panggilanmu itu,"
"Habis?"
"Panggil saja Mawar Putih"
"Mawar.... Putih," suara Siau-liong agak sember. Ia tak
dapat melanjutkan kata2nya karena saat itu si nona sandarkan
tubuh kedadanya.
Siau-liong seorang perjaka yang belum pernah bergaul
sedemikian mesranya dengan gadis. Sejak kecil, ia hanya
bergaul dengan pohon2 hijau dan burung2 hutan. Sudah tentu
ia ter-longong2 melihat tingkah Mawar Putih. Ketika
hidungnya terbaur hawa harum dari tubuh si dara, semangat
Siau-liong serasa melayang-layang....
Tiba-tiba terdengar derap langkah orang bergegas datang.
Keduanya cepat meluruskan duduknya dan memperhatikan
pendatang itu. Ah, ternyata pelayan hotel.
84 "Tuan, ada tetamu mencari tuan!" katanya.
Siau-liong cepat kembali kekamarnya. Ia terkejut melihat
beberapa anak buah Kay-pang berkerumun diserambi
kamarnya. Mereka tampak tegang.
"Cousu-ya datang!" anak buah Kay-pang serempak berseru
ketika Siau-liong muncul.
Mawar Putih terperanjat. Ia tak menyangka bahwa pemuda
yang bernama Kongsun Liong itu ternyata seorang ketua
partai Kay-pang.
To Kiu-kong muncul dari kamar Siau-liong dan
mempersilahkan Siau-liong berdua masuk. Siau-liong terkejut
ketika melihat Tiau Bok-kun berbaring ditempat tidurnya
dalam keadaan pingsan. Bajunya koyak2 dan berlumuran
darah. Untunglah nona itu tak begitu parah lukanya. Siau-liong
segera minumkan beberapa butir pil kemulut nona itu.
Melihat Siau-liong begitu memperhatikan Tiau Bok-kun,


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serentak timbullah rasa tak senang dalam hati Mawar Putih. Ia
duga nona itu tentulah yang dipanggil Siau-liong ketika
berjumpa di tepi sungai tadi pagi.
Setelah memeriksa luka Tiau Bok-kun tak berbahaya. Siauliong
meminta keterangan kepada To Kiu-kong.
Kiranya setelah melarikan diri dari serangan Siau-liong
sebagai Pendekar Laknat, To Kiu-kong dan rombongan To
Hun-ki lalu berpisah.
Menjelang malam, To Kiu-kong mendapat laporan dari anak
buah Kay-pang, bahwa Siau-liong tinggal dirumah penginapan
85 Gun-hian-can To Kiu-kong diminta Toh Hun-ki supaya suka
mengundang Kongsun Liong agar membantu partai Kongtong-
pay menghadapi Soh-beng Ki-su, Ki Ih dan Pendekar
Laknat. Dalam rangka membasmi durjana itu, pertama harus
mendapatkan Pending Kumala yang berada ditangan Tiau
Bok-kun. Pending Kumala itu merupakan kunci untuk
memperoleh tempat penyimpanan pusaka sakti yang dapat
menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran.
Malam itu juga To Kiu-kong berserta beberapa jago Kaypang
berangkat mencari Siau-liong ke Siok-ciu. Tetapi
ditengah jalan mereka berpapasan dengan Soh-beng Ki-su
yang berhasil melukai Tiau Bok-kun dan merebut Pending
Kumala. To Kiu-kong dan kawan2 segera menyerang pertapa itu.
Tetapi pertapa itu keliwat sakti bagi mereka. Soh-beng Ki-su
berhasil lolos dan To Kiu-kong hanya dapat menolong Tiau
Bok-kun. Pada saat masih dapat ditanya, Tiau Bok-kun menyebut2
nama Kongsun Liong maka To Kiu-kong segera membawanya
kerumah penginapan itu.
"Mana To Hun-ki sekarang?" tanya Siau-liong
"Di biara Ji-long-bio di gunung Pit-ka-san," To Kiu-kong
menerangkan. Karena tak dipedulikan, Mawar Putih merasa terhina. Pada
saat Siau-liong tengah merenung, diam-diam nona itu
menyelinap keluar. Setelah To Kiu-kong dan anak buahnya
minta diri, barulah Siau-liong mengetahui kalau Mawar Putih
lenyap. Tetapi ia tak menghiraukan. Ia lebih mementingkan
86 untuk mengurut jalan-darah Tiau Bok-kun. Tak berapa lama
nona itupun tersadar.
Tetapi sebelum nona itu tersadar benar-benar, Siau-liong
mengambil pakaiannya yang lama lalu menyelinap pergi....
-ooo0dw0ooo- Gunung Pit-ka-san terletak dihulu sungai Kim-sat-kiang.
Gunung itu mempunyai tiga buah puncak. Kedua puncak di
kanan kiri, dapat dicapai orang. Tetapi puncak ditengah, lurus
melandai seperti sebuah tiang penyanggah langit. Empat
penjuru dikelilingi jurang yang curam. Jika tak memiliki ilmu
ginkang yang tinggi, tak mungkin dapat mencapai puncak itu.
Di puncak tersebut terdapat sebidang tanah datar seluas
sepuluh tombak. Di belakang tanah datar, didirikan sebuah
biara yang disebut Ji-liong-bio. Kepala biara Liau Liau taysu,
seorang paderi dari partai Go-bi-pay.
Pada saat mengurut Tiau Bok-kun, pikiran Siau-liong
menimang. Setelah mendapat separoh Pending Kumala yang
dimiki nona itu, Soh-beng Ki-su tentu akan mencari To Hun-ki
untuk mendapatkan Pending Kumala yang separoh bagian
lagi. Maka ia harus cepat2 mendahului ke Pit-ka-Soh-beng Kisu
pasti akan datang kesitu. Kembali Siau-liong menyaru
sebagai Pendekar Laknat.
Tiba di kaki gunung, tampak biara Ji-liong-bio terang
benderang, penuh orang. Ia menyembunyikan diri. Tak berapa
lama, muncul beberapa orang. Berkelompok kecil terdiri dari
dua tiga orang, kemudian rombongan dari tujuh delapan
orang. Mereka adalah jago2 silat yang sakti. Hal itu terbukti
dari gerakan mereka yang amat tangkas ketika berloncatan
mendaki puncak.
87 Beberapa saat kemudian, dari puncak terdengar suara
orang bertempur seru. Siau-liong terkejut. Apakah To Hun-ki
dan orang2 Kong-tong-pay diserang musuh" Siapakah musuh
itu" Karena tertarik perhatiannya, Siau-liong hendak
menghampiri puncak. Saat itu rembulan remang. Sekeliling
penjuru gelap pekat. Ia gunakan gerak Burung-hongmenghadap-
matahari. Dalam tiga empat kali melambung, ia
dapat mencapai separoh bagian puncak gunung itu. Tetapi
pada saat ia hendak melayang ke atas lagi, tiba-tiba ia
diserang gelombang angin yang hebat. Dan seketika itu juga
ia meluncur ke bawah lagi. Ia amat terkejut dan berusaha
menyambar dahan pohon yang tumbuh disana sini. Tetapi tak
berhasil. Minilik kepandaian yang dimiliki saat itu, tak mungkin ia
harus menderita kecelakaan semacam itu. Benar, memang itu
bukan kecelakaan, tetapi sebuah serangan gelap dari
seseorang yang berada di puncak.
Meluncur dari ketinggian 60-an tombak, tentu hancur lebur.
Tetapi untunglah Siau-liong sudah memiliki ginkang yang
disebut Naga-melingkar-18 putaran. Ia berputar-putar dan
melayang ke karang buntung disisi kanan puncak. Dengan
meminjam tenaga tekanan pada dahan pohon, ia melambung
lagi ke atas puncak. Setelah memperhitungkan telah mencapai
ketinggian yang diduga menjadi tempat persembunyian
penyerang gelap tadi, ia terus melayang ke karang di sebelah
kiri. Ia hendak mencari penyerang itu.
Ternyata penyerang gelap itu adalah Soh-beng Ki-su
sendiri. Tepat yang diduga Siau-liong, Soh-beng Ki-su mencari
Toh Hun-ki. Dan ia lebih dulu tiba di gunung Pit-ka-san. Tetapi
ketika melihat di biara Ji-liong-bio berlangsung pertempuran,
ia batalkan rencananya. Pada waktu ia melayang turun sampai
88 di tengah gunung, ia melihat Pendekar Laknat bergegas
mendaki ke atas. Segera ia lontarkan pukulan dahsyat. Setelah
Siau-liong tenggelam ke bawah, ia melarikan diri.
Itulah sebabnya maka Siau-liong tak dapat menemukan
Soh-beng Ki-su. Akhirnya pemuda itu lanjutkan pendakiannya
lagi ke atas puncak. Ia bersembunyi dibalik gunduk karang.
Ketika melongok pertempuran di tanah datar, kejutnya bukan
kepalang. Kiranya lebih dari enam lelaki dan wanita, tegak berjajar di
depan biara. Dan yang bertempur di lapangan datar adalah Ki
Ih lawan keempat Kong-tong Su-lo serta Liau Liau taysu
bersama empat orang muridnya.
Siau-liong duga ibunya tentu hendak mencari balas kepada
Toh Hun-kin dan keempat Sulo. Diam-diam ia bangga dan
girang mempunyai seorang ibu yang setia kepada suaminya.
Ki Ih memang sakti. Menghadapi keroyokan belasan jago2
sakti. ia tak gentar, Ilmu pedang Kilat, dimainkan laksana ular
naga bergeliatan di permukaan laut. Cepat bagaikan kilat
menyambar dan gesit seperti ular menyusup ke dalam liang.
Tetapi Siau-liong tetap mencemaskan keselamatan ibunya.
Ternyata rombongan paderi yang berjajar diluar biara itu
terdiri dari jago2 persilatan yang ternama. Antara lain, Ki Ceng
siansu ketua Go-bi-pay. It Kiau ketua Tiam-jong-pay, tokoh
Kun-lun Sam-cu dari Kun-lun-pay. Thian-san It-soh dari Thiansan-
pay, paderi2 sakti dari Siau-lim-pay serta tokoh2 Bu-tongpay
dan Hoa-san-pay.
Dalam menghadapi kelima Durjana dan Ki Ih, partai2
persilatan itu telah mengirim jagonya yang tangguh, mencari
pusaka yang telah tersiar luas di dunia persilatan. Hanya
89 dengan memperoleh pusaka itulah kelima durjana dan Ki Ih
dapat diberantas.
Saat itu mereka berhadapan dengan Ki Ih. Mengingat Ki Ih
itu seorang wanita, jago2 itu sama pegang gengsi. Mereka tak
mau mengeroyok melainkan mengajukan beberapa jago saja.
Siau-liong bingung bagaimana harus bertindak. Jika muncul
sebagai Pendekar Laknat, berpuluh jago persilatan tentu akan
menyerangnya. Selain sukar menolong ibunya, ia sendiri
terancam bahaya.
Kalau muncul sebagai ketua partai Kay-pang, ia tentu harus
memusuhi ibunya, karena Kay-pang bersahabat baik dengan
partai2 persilatan.
Sedang ia belum dapat memutuskan tindakan apa yang
akan diambil, keadaan Ki Ih makin payah. Tiba-tiba To Hun-ki
mendesak dan menyabat pinggang wanita itu dengan cepat
dan tak terduga-duga. Siau-liong terkejut sekali dan hampir
berteriak. Untung sebelum membuka mulut, dengan jurus
Kilat-membelah-halilintar, Ki Ih dapat menghapus serangan
maut itu. Siau-liong kucurkan keringat dingin. Belum sempat ia
menghela napas, tiba-tiba Ki Ih terancam bahaya lagi. Karena
sedang menghindari serangan To Hun-ki, ke 9 tokoh2
lawannya segera menyerbu. Ki Ih alihkan perhatiannya untuk
menghalau serangan orang2 itu tetapi sudah terlambat. Kini ia
dikuasai oleh kesembilan musuh itu dan tak mampu
melancarkan serangan balasan.
Walaupun tak dapat diketahui perobahan muka wanita itu
karena ditutup kain kerudung, namun dari tubuhnya yang
menggigil, teranglah kalau keadaannya makin payah. Ada
tanda2 ia hendak meloloskan diri.
90 Toh Hun-ki dan kawan2nya tahu juga rencana wanita itu.
Mereka mendesak lebih gencar sehingga tubuh wanita seperti
tertabur sinar pedang. Keempat Su-lo dari Kong-tong-pay tak
henti2nya tertawa mengejek.
Pada lain saat Ki Ih menjerit keras. Bahunya kiri terpapas
pedang Toh Hun-ki. Darah membasahi lengan bajunya....
Wanita itu kerahkan seluruh semangat. Sekaligus ia
lancarkan tiga jurus serangan pedang yang dahsyat, khusus
ditujukan pada lawan yang membelakangi jurang. Hendak ia
desak orang itu supaya menyurut mundur dan jatuh ke dalam
jurang! Tetapi kalau orang itu tahu bahaya dan hanya
menghindar.... Ki Ih hendak menggunakan kesempatan itu
untuk loncat ke dalam jurang. Ia lebih suka mati di dasar
jurang daripada mati ditangan musuh-musuh yang dibencinya
itu! Dalam sekejab mata saja, 300 jurus telah berlangsung.
Berkat kenekadannya, dapatlah Ki Ih mendekati tepi karang.
Dua tiga jurus lagi, ia tentu dapat menghalau musuh yang
menghadang dimuka dan akan terbukalah kesempatan untuk
lolos. Tetapi untuk mencapai tujuan itu bukanlah hal yang
mudah. Tiga ratus jurus tadi benar-benar telah menghabiskan
tenaganya. Tubuhnya bersimbah keringat. Ia paksakan diri
mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya. Tetapi
ternyata tenaganya sudah habis Pedangnya mulai lambat,
tubuh berguncang-guncang dan pandang matanya pun
berbinar-binar. Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri
campur gelak tawa mengejek. Toh Hun-ki mendahului kawankawannya
menusuk dada wanita itu.
91 Pada detik maut hendak merenggut jiwa Ki Ih, sekonyongkonyong
sesosok tubuh dalam jubah hitam melayang di udara.
Dan serempak dengan itu segelombang sinar merah melanda
dan tahu2 senjata kesepuluh tokoh yang mengeroyok Ki Ih
itu, jatuh berhamburan ke tanah....
Siau-liong melayang turun dan memandang kesekeliling.
Melihat Pendekar Laknat muncul, Ki Ih segera sarungkan
pedang dan duduk bersemedhi memulangkan tenaga.
Tahu bahwa ibunya tak terluka, Siau-liong tak mau
mengganggunya. Kini ia menghadapi berpuluh jago silat yang
saat itu sama menghunus senjata dan menghampiri.
"Hai, setan Laknat, engkau menolong aku tetapi mengapa
menolong wanita ganas itu!" tegur Toh Hun-ki.
Diam-diam Siau-liong girang. Ia hendak mengulur waktu.
Maka tertawalah ia senyaring-nyaringnya.
"Toh tua salah engkau Seharus memanggil aku Pendekar
Laknat yang gila. Gila, ya memang gila! Apakah engkau perlu
tahu alasanku?" serunya.
Siau-liong tertawa lagi, "Aku dapat menolong, pun dapat
membunuhmu. Aku dapat menolong Ki Ih, tetapi dapat
membunuhnya juga. Bukan sigila Pendekar Laknat kalau tidak
bertindak segila. ini!"
Tiba-tiba ia berputar tubuh dan "bum...." empat orang
murid Liau Liau taysu yang menyerang dari belakang, telah
disongsong dengan sebuah pukulan. Tubuh keempat orang itu
terlempar ke dalam jurang.
92 Sekalian orang terkejut melihat kesaktian Pendekar Laknat
yang jauh lebih sakti dari 20 tahun berselang. Liau Liau taysu
walaupun marah, tetapi tak dapat berbuat apa2.
"Pendekar Laknat mengapa engkau mengganas orang
secara begitu kejam" Apakah engkau yakin mampu turun dari
gunung Pit-ka-san ini?" bentak Toh Hun-ki, ketua Kong-tongpay.
Siau-liong tertawa dingin, "Menyerang secara gelap, apakah
kalian anggap benar" Aku bebas datang dan pergi. Apakah
engkau yakin merintangi aku" Hm, jangan gegabah!"
Tokoh2 yang pernah berjumpa dengan Pendekar Laknat
pada 20 tahun yang lalu, diam-diam heran. Mengapa sekarang
nada tertawa momok itu sedemikian menggerincing dan jauh
sekali bedanya dengan tertawa Pendekar Laknat yang dulu"
Sikap dan kata2nya juga tak seliar dahulu.
"Suheng, jangan termakan siasatnya yang hendak
mengulur waktu!" tiba-tiba keempat Sulo dari Kong-tong-pay
berseru kepada Toh Hun-ki.
Bersama Liau Liau taysu, keempat Su-lo itu segera maju
menyerang. Toh Hun-ki cepat mencegah keempat Su-lo tetapi
tak keburu merintangi Liau Liau taysu. Karena marah
kehilangan empat orang muridnya, Liau Liau taysu menyerang
dengan cepat sekali.
Namun Siau-liong acuh tak acuh. Tak mau ia melayani
serangan paderi itu dengan sungguh2. Tetapi Liau Liau taysu
makin kalap. serangan pertama luput, ia susuli lagi dengan
serangan kedua yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga.
Sesungguhnya tadi Siau-liong gunakan tenaga dalam untuk
menyedot serangan Liau Liau taysu. Pada saat paderi itu


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

93 menyerang yang kedua kali, saat itu juga Siau-liong pentalkan
kembali sedotan tenaga-dalamnya. Seketika terdengar letupan
keras Liau Liau taysu terhuyung beberapa langkah. Mulutnya
menyembur darah dan jatuhlah ia terduduk di tanah.
Wajahnya pucat lesi. Buru-buru ia pejamkan mata untuk
mengatur peredaran darahnya.
Menyaksikan peristiwa itu, Toh Hun-ki dan rombongannya
terlongong-longong. Dan pada saat itulah Ki Ih loncat bangun
dan terus lari lenyap dalam kegelapan malam!
Siau-liong terkejut Diam-diam ia siap untuk memberi
bantuan kepada ibunya apabila musuh hendak merintangi.
Tetapi ia pun merasa kecewa sekali. Kesempatan untuk
berjumpa dengan ibunya, kembali hilang. Kini ia tumpahkan
kemarahannya kepada orang2 itu. Sambil kerahkan tenaga
dalam, ia maju menghampiri mereka.
Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay, menginsyafi bahwa saat
itu akan meletus pertempuran maut. Suatu pertempuran yang
akan menggoncangkan dan berakibat besar dalam dunia
persilatan, Ia ambil posisi ditengah.... Tokoh2 yang lain pun
serentak berbaris dibelakangnya.
Tahu betapa penting arti pertempuran itu, Toh Hun-ki tak
berani bertindak gegabah. Setelah dahulu mendesak murid
kesayangannya, Tong Gun-liong supaya bunuh diri, ketua
Kong-tong-pay itu amat menyesal. Karena kematian Tong
Gun-liong itu telah membangkitkan kemarahan sicantik Ki Ih.
Jika saat itu tambah lagi seorang Pendekar Laknat, ah....
partai Kong-tong-pay tentu hancur....!
Diam-diam ketua Kong-tong-pay itu sudah menyiapkan
rencana, serunya, "Pendekar Laknat. apakah kemunculanmu
sekarang ini hendak mengganas.... membunuh.... dan
menjagal orang?"'
94 Siau-liong tak menyahut. Ia kehilangan faham bagaimana
hendak menyelesaikan dendam kematian ayahnya serta pesan
mendiang Koay suhu.
Kesempatan itu tak disia-siakan Toh Hun-ki. Ketua Kongtong-
pay itu melanjutkan pula, "Semua ketua partai persilatan
dan para tiang-lo yang berada disini, mempersilahkan saudara
turun gunung."
Habis berkata ketua Kong-tong-pay itu memberi hormat
dengan membungkukkan tubuh. Sekalian tokoh pun mengikuti
tindakannya. Detik2 itu amat tegang sekali. Sekalian tokoh tak tahu
apakah tawaran berdamai itu akan disambut baik oleh
Pendekar Laknat.
Sekonyong-konyong Siau-liong bersuit nyaring lalu
melenting tinggi ke udara. Berjumpalitan dua kali lalu
meluncur turun terus meluncur ke bawah gunung. Dalam
sekejab, ia lenyap dalam kegelapan.
Siau-liong hendak menyusul ibunya. Tetapi wanita itu
sudah lenyap. Dalam beberapa kejab saja, ia sudah lari
belasan li. Tiba-tiba tampak tiga sosok bayangn hitam
terapung-apung di permukaan sungai Kim-sat-kiang.
Ketika dekat, kejut Siau-liong bukan kepalang. Ketiga sosok
bayangan hitam itu adalah Tiau Bok-kun yang tengah diserang
Soh-beng Ki-su, si Pertapa pencabut nyawa. Dan yang
seorang lagi, bukan lain Ki Ih, ibu Siau-liong.
Kiranya setelah sadar, Tiau Bok-kun masih perlu
bersemedhi memulihkan tenaga Setelah sembuh, ia segera
keluar mencari jongos penginapan. Dari keterangan pelayan
95 itu, barulah ia mengetahui bahwa yang menolongnya adalah
Siau-liong. Tetapi ia heran, mengapa Siau-liong tinggalkan
dirinya dalam rumah penginapan situ"
Kemudian setelah mendengar keterangan sipelayan bahwa
Siau-liong bersama seorang nona yang menginap di kamar
sebelah, seketika timbullah rasa cemburu dalam hati Tiau Bokkun.
Ah, Siau-liong telah melupakan dirinya karena terpikat
seorang gadis lain!
Segera Tiau Bok-kun lari menuju ke sungai Kim-sat-kiang.
Ia tidak mencari Siau-liong dan merebutnya lagi dari tangan
gadis itu. Dengan ilmu lari cepat, Tiau Bok-kun tiba di kaki
gunung Pit-ka-san. Tepat pada saat itu, Soh-beng Ki-su pun
turun dari gunung. Dan bertemulah keduanya.
Walaupun sadar bahwa tak dapat menandingi Soh-beng Kisu,
namun Tiau Bok-kun tetap hendak merebut kembali
separoh bagian dari Pending Kumala yang dirampas pertapa
itu. Setelah dua tiga kali bertempur dengan Soh-beng Ki-su,
Tiau Bok-kun sudah mempunyai pengalaman. Ia harus
mengembangkan kelebihannya dalam ilmu ginkang, untuk
menutupi kekurangannya dalam tenaga dalam.
Kebalikannya Soh-beng Ki-su tak bersemangat untuk
bertempur. Ia kuatir akan dikejar Pendekar Laknat atau Ki Ih.
Tetapi karena tak bersemangat, kebalikannya ia sukar untuk
meloloskan diri.
Dan memang yang dicemaskan itu, ternyata terbukti. Saat
itu muncullah Ki Ih yang terus menyerangnya. Dengan
demikian Soh-beng Ki-su makin kelabakan. Sesaat
membayangkan kemungkinan munculnya Pendekar Laknat,
semangat Soh-beng Ki-su makin kacau. Ia terus menerus main
mundur saja. 96 Siasat main mundur itu dimaksud untuk menjauhkan diri
dari Pit-ka-san serta menghindari Pendekar Laknat. Tetapi
diluar dugaan, karena lari tanpa tujuan, Siau-liong malah
memergoki mereka.
Siau-liong amat girang sekali. Wanita yang satu, adalah
ibunya sendiri. Dan yang menjadi lawannya adalah musuh
besar Siau-liong. Diam-diam ia membulatkan tekad untuk
meringkus pertapa itu.
Segera ia mencari alat untuk meluncur di air. Ia berhasil
memperoleh dua keping kayu. Dengan berdiri di atas keping
kayu itu, ia meluncur ketempat pertempuran.
Melihat kemunculan orang yang paling ditakuti, serasa
terbanglah semangat Soh-beng Ki-su Satu-satunya jalan yang
paling selamat, hanyalah melarikan diri.
Saat itu Siau-liong hanya terpisah tiga empat tombak. Ia
sudah siapkan pukulan maut. Pertapa itu pasti hancur lebur.
Tetapi se-konyong2 ketiga orang yang bertempur itu bubar
dan lari, Ki Ih meluncur ke tepi sungai.
"Ibu." diam-diam Siau-liong menjerit kaget. Diantara dua
pillhan: ibu atau musuh, ternyata ia memilih ibu. Dan
segeralah ia melesat mengejar Ki Ih.
Tetapi wanita itu terkejut karena Pendekar Laknat
mengejarnya. Ia batalkan lari ke tepi sungai dan berputar
arah, menuju ke tengah sungai lagi, Ia berasal dari Seberang
Laut, kepandaiannya berjalan di atas air, amat mengagumkan.
Dipermukaan laut yang berombak besar, ia dapat berlari-lari
seperti di tanah datar. Apalagi hanya permukaan sebuah
sungai. 97 Tetapi Siau-liong pun ngotot. Ia tak mau lepaskan
kesempatan untuk menemui ibunya itu.
Ki Ih menggunakan dahan pohon, sedang Siau-liong
memakai keping kayu. Yang satu seorang wanita berkerudung
muka. Yang seorang, seorang tua buruk muka. Mereka saling
berkejaran di atas permukaan bengawan Kim-sat-kiang.
Akhirnya melihat pengejarnya makin dekat, Ki Ih berputar
tubuh dan menyerang dengan ilmu Pedang Kilat.
Siau-liong terkejut. Betapapun ia tak berani melawan
ibunya sendiri. Tetapi serangan Pedang Kilat itu benar-benar
luar biasa cepatnya. Terpaksa ia apungkan tubuh melayang
melampaui kepala ibunya.
Tetapi dengan tindakan itu, keping papan yang dibuat
pijakan tadi, terdampar air dan tenggelam.
Untung Siau-liong masih dapat gunakan ilmu meringankan
tubuh ketika ia meluncur ke pe-mukaan air, sehingga ia tak
sampai tenggelam. Tetapi ketika memandang kemuka,
ternyata ibunya sudah meluncur jauh. Tiba-tiba ia melihat
keping papan-pinjakannya tadi dibawa arus. Cepat ia
memburu dan memakainya lagi.
Ketika hendak mengejar, ibunyapun sudah melarikan diri.
Tetapi wanita itu tak mau lari jauh. Ia berdiri dengan sebelah
kaki pada dahan kayu sehingga dapat meluncur pesat. Ia
tetap mondar-mandir di sepanjang permukaan sungai karena
kuatir akan keselamatan Tiau Bok-kun. Kalau nona itu kalah ia
segera membantunya.
Kepandaian berjalan di atas air, Siau-liong kalah jauh
dengan ibunya. Diam-diam Siau-liong kagum melihat ibunya
dapat meluncur dengan sebelah kaki.
98 Pemuda itu lupa bahwa saat itu ia masih dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat sehingga ibunya
melarikan diri. Siau-liong meniru menginjak papan kayu
dengan sebelah kaki mengejar. Seharusnya Soh-beng Ki-su
melarikan diri.
Tetapi ternyata ia masih bertempur dengan Tiau Bok-kun.
Terang dia tentu mempunyai rencana.
Tepat pada saat Ki Ih berhasil lolos dari sergapan Siauliong,
tiba-tiba Tiau Bok-kun menjerit. Bahu nona itu kena
ditutuk oleh Soh-beng Ki-su Dan secepat rubuh, tubuh nona
itu terus disambar dan dibawa lari oleh pertapa itu.
Mendengar jeritan itu, Siau-liong berpaling. Ketika melihat
apa yang terjadi, ia lepaskan ibunya dan terus mengejar Sohbeng
Ki-su. Tetapi ketika tiba di daratan, ternyata Soh-beng
Ki-su sudah hampir mencapai daerah gunung. Cepat Siauliong
mengejar terus.
Soh-beng Ki-su benar-benar seorang tua yang licin. Ia
gunakan siasat menyusup kesana, menyelinap kemari
sehingga Siau-liong kehilangan jejak.
Entah sudah berselang berapa lama mereka berkejaran itu,
tahu2 saat itu matahari sudah mulai condong kebarat lagi.
Karena mengepit tubuh orang, akhirnya letih juga Soh-beng
Ki-su sehingga larinya pun kurang cepat. Melihat itu Siau-liong
percepat larinya.
Saat itu Siau-liong sudah hampir berhasil menyusul tetapi
tiba-tiba Soh-beng Ki-su melesat ke dalam gerumbul dan
lenyap! 99 Siau-liong gunakan jurus Naga-melingkar-delapan-kali
untuk berloncatan di udara dan melayang ketempat Soh-beng
Ki-su lenyap tadi.
Ternyata di dekat situ terdapat sebuah saluran air seluas
dua li. Saluran sungai itu menjurus loncatan diantara gugusan
batu yang bertaburan disepanjang saluran. Dan saat itu
hampir mencapai ujung terakhir.
Siau liong girang karena ujung saluran itu buntu. Cepat ia
apungkan tubuh ke atas segunduk batu besar. Tetapi ia
terkejut ketika tiba-tiba batu itu bergerak.... Cepat ia loncat
kembali ketempatnya tadi.
Batu besar itu berguguran, menghamburkan tanah lumpur
ke udara. Setelah lumpur lenyap, kejut Siau-liong bukan alang
kepalang. Ternyata batu yang diinjaknya tadi adalah kepala
seekor ular besar. Binatang itu mengangkat kepalanya ke atas
lalu menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong dapat
menghindari. Setelah dua tiga kali serangannya tak berhasil,
ular itu marah dan menyemburkan segumpal asap beracun....
Siau-liong menjerit kaget. Sambil salurkan tenaga dalam
Bu-kek-sin-kang ketelapak tangan, ia berjumpalitan dengan
gerak Naga-berputar-18-kali, lepaskan hantaman lalu
meluncur ke atas sebatang pohon disebelah kiri.
Tetapi pukulan sakti Bu-kek-sin-kang tak mampu
menghalau uap beracun yang tetap melayang ketempat Siauliong.
Siau-liong makin kaget. Tak mungkin ia dapat
menghindar kelain tempat lagi. Akhirnya ia nekad, apungkan
tubuh melayang ke atas badan ular raksasa. Tetapi tiba-tiba
sisik ular itu bertebaran menyerangnya. Setiap helai sisik,
merupakan seperti sebatang badik tipis.
100 Untunglah Siau-liong dapat menghalau sisik maut itu.
Kemudian ia berjumpalitan menyerang punggung ular.
Rupanya ular itu jeri juga. Sambil menyerang dengan kepala
dan ekor, binatang itu siap2 melarikan diri.
Kejut Siau-liong makin besar. Ternyata ular raksasa itu
bukan ular sesungguhnya tetapi sebuah ular tiruan yang
digerakkan dengan alat.
Setelah mengetahui rahasianya, Siau-liong segera
lancarkan serangan hebat dengan tangan kanan dan kiri.
Terdengar ledakan dahsyat dan ular itu pun hancur berkepingkeping.
Siau-liong menghela napas longgar. Memandang
kesekeliling, hanya karang dan batu2 berserakan yang
menabur seluruh permukaan sungai itu. Tetapi ketika
memperhatikan dengan seksama ternyata batu2 itu seperti
diatur orang dengan rapi.
Siau-liong termenung. Ia harus menolong Tiau Bok-kun
tetapi keadaan tempat disitu amatlah misterius dan
berbahaya. Tiba-tiba entah darimana, air meluap dan mengalir
deras sekali dan cepat merendam batu2 dipermukaannya.
Sungai meluap, bukan soal. Tetapi ia kuatir batu2 itu
merupakan alat rahasia yang berbahaya. Akhirnya ia gunakan
gerak Naga-berputar-18-kali melayang kekarang sebelah
muka. Tetapi baru kaki menginjak karang itu, ia segera
mengeluh, "Celaka!"
Batu karang menonjol itu menyurut ke dalam dan
berbareng itu dari kedua samping, berhamburanlah panah
beracun serta bermacam senjata rahasia.
101 Untunglah Siau-liong tak gugup. Ia gunakan ilmu berat
tubuh Cian-kin-tui, meluncur kepermukaan air dibawah. Tetapi
segera ia menyadari bahwa ilmu kepandaianya meringankan
tubuh, belum mencapai tingkat dapat berjalan di atas air.
Namun ia tak putus asa. Cepat ia dapat menemukan akal.
Ratusan batang anak panah dan lain-lain senjata rahasia yang
terapung di atas air itu, dapat digunakan sebagai alat berjalan
di air. Dan ternyata memang benar. Dengan menginjak di atas
ratusan batang anak panah, dapatlah ia meluncur kemulut
saluran sungai. Tiba di ujung saluran, cepat ia loncat kekarang
sebelah samping. Karena ujung saluran itu meluncur ke
bawah, merupakan suatu air terjun yang berpuluh tombak


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tingginya. "Pertapa itu tentu mengambil jalan kecil ini, pikirnya sambil
mengamati jalan kecil yang terdapat dikarang situ. Sejenak
meragu. ia terus melangkah maju. Berjalan beberapa langkah,
terdengar gumpalan karang berguguran jatuh. Setelah
tenangkan diri, ia lanjutkan langkah lagi. Dan sampai sekian
lama, ia tak mendapat gangguan suatu apa lagi.
Ujung penghabisan dari jalan itu. merupakan sebuah
lembah. Disitu terdapat sebuah pintu raksasa dari batu yang
penuh guratan hurup Jun atau musim Semi. Ia tak menyadari
bahwa saat itu ia tengah berada di lembah "Ban-jun koh atau
lembah Musim-semi. "
Siau -liong tak menghiraukah suatu apa. Ia terus maju. Ah,
serasa ia memasuki sebuah dunia baru. Dunia yang beralam
keindahan musim Semi. Penuh bunga2 mekar, rumput2 hijau
dan alam nan segar berseri. Hembusan angin sepoi mengantar
bau bunga, membuat semangat Siau-liong sedap segar.
Lembah Musim-semi itu merupakan akibat dari gempa bumi
sehingga karang dan batu2 merekah, jaluran air malang
melintang bagaikan jaring labah-labah.
102 Siau-liong amat gembira. Setelah membuka baju luarnya
yang basah, ia menyusur jalan kecil ditengah padang bunga.
Tiba-tiba ia mendengar orang menyanyi lagu 'Keindahan alam
dan Kehidupan' Ia terkejut dan cepat memandang
kesekeliling. Tetapi tak menemukan apa2.
Ia berhenti. Jelas suara nyanyian itu berasal dari seorang
wanita. Kembali terdengar nyanyian itu mengalun. Nadanya
melengking tinggi macam orang merintih. Siau-liong terkesiap.
Sekonyong-konyong muncul seekor burung kakak tua
besar. Dan hampir saja Siau-liong melonjak kaget ketika
burung itu dapat berseru seperti manusia, "Ada tamu! Ada
tetamu....!"
Belum Siau-liong mengambil suatu tindakan tiba-tiba
muncul seekor burung gagak hitam terbang melayang di
udara dan berbunyi beberapa kali.
Siau-liong tersirap dan seketika ingat bahwa saat itu ia
sedang mengejar Soh-beng Ki-su.
Cepat2 ia ayunkan langkah lagi. Tetapi jalan disebelah
depan penuh dengan lingkaran saluran air kecil yang
melingkar-lingkar seperti jaring labah-labah. Hutanpun makin
lebat sehingga ia kehilangan arah.
Tiba-tiba burung kakak tua tadi me-lonjak2 di atas dahan
pohon lalu melayang kemuka dengan pelahan.
Seketika timbullah pikiran Siau-liong. Jika burung itu dapat
bicara, tentulah burung piaraan orang. Ia memutuskan untuk
mengikuti arah terbangnya kakak tua itu.
103 Ternyata pemandangan dalam lembah itu makin lama
makin mengagumkan. Penuh dengan pohon-pohon bunga dan
rumput2 hijau serta desir air mengalir disaluran. Angin pun
menebarkan bau yang harum.
Setelah dua kali membelok tikungan dan melintasi
beberapa hutan, tiba-tiba kakak tua itu terbang cepat, masuk
ke dalam hutan lebat.
Siau-liong tertegun. Saat itu ia tiba dimuka sebuah lembah
yang sempit. Sebuah batu besar penggunduk ditengah mulut
lembah. Mirip dengan pintu.
Tengah ia bersangsi, tiba-tiba dendang nyanyian itu
kembali terdengar melantang dari dalam lembah.
"Masakan nyanyian itu suara burung kakak-tua?" diamdiam
ia meragu setelah mendengar jelas lagu yang
dinyanyikan. Ia terus maju memasuki mulut lembah. Tetapi apa yang
terbentang dihadapannya, benar-benar membuatnya terkejut
bukan kepalang.
Di dalam lembah itu ternyata merupakan sebuah tanah
datar yang seluas sepuluh tombak. Ditengahnya terdapat
sebuah empang. Di atas empang tertutup oleh asap putih
menyerupai awan. Dalam kabut putih itu samar-samar tampak
20 lebih wanita cantik yang rambutnya terurai kebahu. Mereka
tengah bermain-main dalam empang itu. Seorang dara yang
tengah bersandar pada sebatang pohon liu tengah
berdendang lagu. Kiranya nyanyian tadi, adalah dara itu yang
mendendangkan. Siau-liong ter-longong2 mengawasi pemandangan disitu.
104 "Kongcu datang!" tiba-tiba seorang gadis cantik berpakaian
kuning berteriak.
Rombongan dara yang tengah bermain-main diempang itu
serentak tertegun. Cepat mereka pencarkan diri dalam dua
rombongan dan tegak dengan khidmat.
Tak berapa lama dari dalam hutan muncul delapan gadis
dengan membawa semacam selendang. Mereka menghampiri
empang dan berdiri dalam dua rombongan.
Sesaat kemudian muncullah seorang wanita yang amat
cantik, dalam pakaian yang gilang-gemilang. Serentak barisan
gadis-gadis itupun berdiri memberi hormat.
Sejenak wanita cantik itu memandang kesekeliling lalu
bertanya, "Mana Siau-jui!"
Seorang bujang yang mengawal disamping, segera
berteriak, "Siau-jui' Siau-jui....!"
Dari arah hutan terdengar suara penyahutan. Dan seekor
burung kakak tua segera terbang melayang hinggap di atas
bahu wanita cantik itu. Ah, kiranya burung kakak tua yang
diikuti Siau-liong tadi.
Sambil tertawa wanita itu mengelus-elus kepala kakak tua
lalu menyerahkan kepada seorang bujang. Kemudian ia
membuka pakaian hendak mandi.
"Jangan! Jangan mandi ada orang asing!" tiba-tiba kakak
tua itu berbunyi nyaring.
105 Nona cantik itu tertegun. Ia tak jadi membuka pakaian. Dan
Siau-liong pun terkejut. Cepat ia bersembunyi tetapi
terlambat. Dua orang bujang menjerit kaget.
"Mundur!" bentak nona cantik seraya loncat kemulut
lembah. Karena sudah kepergok, terpaksa Siau-liong unjuk diri
sekali. Ia memberi hormat dan menjelaskan, "Karena tersesat
jalan. aku keliru masuk kemari. Harap nona maafkan!"
Sicantik terkejut mundur selangkah. Ditatapnya Siau-liong
dengan tajam. Rambut Siau-liong yang kusut masai terurai
kebahu, mata besar, hidung dan mulut lebar serta muka kotor,
membuat sicantik tertawa.
"Nona menertawakan aku...."
Lama sekali nona cantik itu tertawa. Kemudian berseru,
"Kalau tak salah tuan tentulah Pendekar Laknat yang
termasyhur diseluruh jagad itu?"
Siau-liong terkesiap. Ia menyadari bahwa saat itu ia masih
menyamar sebagai Pendekar Laknat. Maka ia mengiakan.
Nona itu juga tertegun. Rupanya ia heran melihat
perobahan sikap dan ucapan Pendekar Laknat.
Rupanya Siau-liong menyadari. Buru-buru ia berganti
dengan nada parau seperti orang tua, "Jika tak salah, nona
tentulah pemilik lembah Musim-semi ini."
Sicantik tertawa mengikikik, "Engkau menduga tepat.
Konon kabarnya lo-cianpwe disohorkan congkak, angkuh dan
ganas. Tetapi kenyataannya lo-cianpwe seorang yang amat
ramah!" 106 Dipanggil 'lo-cianpwe' Siau-liong terpaksa hanya meringis
lalu tertawa gelak2.
Sicantik memainkan biji matanya yang indah beberapa
jenak, lalu berkata pula, "Kabarnya lo-cianpwe sudah
mengasingkan diri digunung selama 20 tahun. Entah mengapa
lo-cianpwe mendadak mengunjungi lembah yang sunyi ini...."
Siau-liong hendak menyahut tetapi nona itu cepat
mendahului lagi, "Sungguh suatu kehormatan besar sekali locianpwe
sudi berkunjung kemari. Silahkan masuk ke dalam
lembah. Kami hendak menghormat dengan
mempersembahkan minuman sekedarnya!"
Nona itu lalu menyisih kesamping mempersilahkan
tetamunya. Siau-liong terpaksa masuk ke dalam lembah. Ia
mempunyai dua alasan. Pertama, kemungkinan Soh-beng Kisu
tentu mempunyai hubungan dengan nona itu. Kedua, ia
ingin tahu apakah sebenarnya yang disebut lembah Musimsemi
itu! Ternyata ditengah hutan terdapat sebuah jalan yang
bersih, menuju kesebuah bangunan gedung besar dan megah.
Pintunya bercat warna emas dan dihias dengan ukir-ukiran
yang indah. Empat orang bujang cepat menyambut
kedatangan si nona dengan hormat. Si nona suruh mereka
pergi. Kemudian ia mengajak Siau-liong masuk dan duduk
dimeja yang penuh hidangan dan minuman. Tak lama,
terdengar bunyi tetabuhan harpa yang merdu.
Siau-liong terkesiap.
Tiba-tiba nona itu berbangkit mengangsurkan secangkir teh
wangi kepada Siau-liong, "Silahkan minum."
107 Siau-liong tertawa menyambut tetapi ia letakkan lagi
dimeja. Lengan baju si nona bergetar dan setiup hawa wangi
menabur hidung Siau-liong. Seketika bergeloralah darah Siauliong,
nafsu berkobar. Berpaling ke arah pemilik lembah,
didapatinya si nona tengah menyungging senyum manis, mata
mengicupkan sinar kecabulan....
Saat itu hampir Siau-liong tak kuat menahan diri lagi. Ia
hendak memeluk nona cantik itu. Tetapi sekonyong-konyong
ia terkesiap ketika telinganya serasa mendengar bentakan,
"Jangan!"
Cepat ia tenangkan pikiran, katanya: "Aku sudah tua,
mungkin tak dapat memenuhi harapan nona!" - Diam-diam ia
pancarkan tenaga - sakti Bu-kek-sin-kang ke arah nona itu.
Nona itu terkejut dan terhuyung mundur sampai 5-6
langkah. "Kuperlakukan engkau sebagai seorang cianpwe, tetapi
engkau...."
"Ha, ha," Siau-liong menukas tertawa, "Jangan banyak
omong. Aku akan pergi!"
Pada saat Siau-liong melangkah muncullah 20 orang gadis
dengan menghunus pedang. Siau-liong tertawa, "Jika nona
tahu siapa diriku, mengapa suruh anak2 perempuan
mengantar jiwa?"
Nona cantik itu menghela napas dan suruh gadis2 itu
menyingkir. Kemudian ia berkata kepada Siau-liong, "Jika locianpwe
hendak pergi, silahkanlah...." tiba-tiba nadanya
berobah rawan. "Rupanya kita tak dapal keluar dari lembah
ini!" 108 "Mengapa?" Siau-liong terkejut.
Kembali nona itu menghela napas, "Ah, apakah lo-cianpwe
tak tahu" Seluruh tahun lembah ini beriklim hangat seperti
musim Semi. Sumber air disini mendidih panas. Hal ini akibat
dari hawa panas dari kerak bumi. Dan tanah lembah ini
mengandung tambang belirang. Kami yang sejak kecil hidup
disini. memiliki jasmani yang beda dengan orang kebanyakan.
Apabila kami keluar dari lembah ini, dalam waktu setahun
saja, semua ilmu kepandaian kami tentu lenyap dan kami pun
mati!" Siau-liong tergerak hatinya.
"Apakah kalian hendak tinggalkan lembah ini?" tanyanya.
Nona itu kerutkan dahi, "Sebagai wanita persilatan, kami
ingin mencari pengalaman dan melakukan dharma kebaikan.
Sudah tentu kami ingin sekali keluar dari tempat ini,"
Siau-liong mengangguk, "Lalu dengan cara bagaimana
kalian hendak keluar dari lembah ini?"
Tiba-tiba nona itu berlutut dan bercucuran air mata,
"Justeru itulah kami hendak minta lo-cianpwe menolong."
"Ah, tetapi aku seorang tiada berguna," Siau-liong tersipusipu.
Nona itu menangis, "Lo-cianpwe seorang sakti tiada
tanding. Jika tak mau memberi pertolongan, lebih baik kami
mati saja!"
"Nanti dulu," buru-buru Siau-liong mencegah, asal dapat
saja, aku tentu mau membantu!"
109 "Asal lo-cianpwe mau, tentu dapat menolong kami," nona
itu tertawa. Ia memberi hormat, berbangkit lalu duduk
didepan meja. Siau-liong-pun terpaksa duduk lagi.
"Kami telah mendapat bantuan Soh-beng Ki-su untuk
mencari peta pusaka. Dengan peta pusaka itu kami akan
menemukan penyimpanan pusaka. Diantaranya terdapat
semacam pil Hian-ki-tan yang berkhasiat membikin tulang2
kita seperti baru tumbuh lagi. Dengan begitu dapatlah kami
memiliki jasmani seperti orang biasa. Separoh bagian dari peta
itu berhasil direbut Soh-beng Ki-su. Tetapi yang separoh
bagian masih berada pada lo-cianpwe. Maka sudilah locianpwe
memberikan kepada kami, sesuai dengan kesediaan
lo-cianpwe hendak menolong kami tadi!"
Siau-liong terkejut ketika mendengar kata2 si nona.
Ternyata dugaannya benar. Soh-beng Kisu bersembunyi dalam
lembah situ. Tetapi dia seorang pemuda yang berhati welasasih.
Ia kasihan kepada nasib gadis2 itu.
"Tetapi benda itu tak berada padaku. Desas-desus dalam
dunia persilatan itu tidak benar...." katanya.
Seketika berobahlah wajah si nona. Ia tertawa sinis,
"Benar, memang separoh dari Pending Kumala itu berada
ditangan ketua Kong-tong-pay.... Tetapi lo-cianpwe sudah
berulang kali menempurnya. Menilik kesaktian lo-cianpwe,
tentulah peta itu sudah ditangan lo-cianpwe...." nona itu
berhenti sejenak lalu berkata lagi, "Apabila kedua peta
disatukan, tentulah mudah mencari pusaka itu. Terus terang,
pusaka itu disimpan dalam gunung ini. Aku hanya
menghendaki pil Hian-ki-tan saja. Lain-lain kuserahkan kepada
lo-cianpwe semua!"
"Tetapi benda itu benar-benar tak berada padaku. Jika tak
percaya, terserah!"
110 Tetapi nona itu makin ngotot "Sudah 20 tahun lo-cianpwe
mengasingkan diri. Jika bukan karena pusaka itu, tak mungkin
lo-cianpwe akan muncul lagi!"


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu barulah Siau-liong menyadari kalau Giok-pwe atau
Pending Kumala merupakan penyebab dari kehebohan besar.
Dan teringat jugalah ia akan kata2 Pengemis Tertawa dalam
rapat Kay-pang di biara tempo hari. Pengemis itu mengatakan
bahwa dunia kacau-balau. Keempat durjana Thian, Te, Liong
dan Hou bermunculan di dunia persilatan. Tentulah mereka
juga terpikat oleh peta pusaka itu.
Siau-liong tertegun.
"Lalu apakah tujuan lo-cianpwe mengejar Soh-beng Ki-su
itu?" tanya nona itu pula.
"Untuk menolong nona Tiau Bok-kun!"
"Bukan untuk menolong Pending Kumalanya?" nona itu
menyindir. Siau-liong mengkal sekali, sahutnya, "Ya, anggaplah begitu
karena benda itu warisan keluarganya."
Nona itu tertawa mengejek. Tiba-tiba wajahnya berobah
bengis lalu membentak, "Rusa tua, sudah kuketahui
kelicikanmu."
Siau-liong terkesiap. Wanita memang aneh. Beberapa saat
berselang masih merengek-merengek menyebut lo-cianpwe.
Sekarang berbalik memaki-maki!
111 "Tak perlu bersilat lidah menutupi maksudmu. Aku adalah
seorang pembohong besar. Tak mungkin engkau dapat
mengelabuhi aku" Maka tiba-tiba nona itu menghambur ejek.
"Memang kenyataan begitu, apakah yang harus kukatakan"
Jika tak percaya. akan kuserahkan separoh Giok-pwe yang
berada pada Toh Hun-ki tetapi nona harus melepaskan nona
Tiau!" Nona cantik itu tertegun. Ia heran mengapa sekarang
Pendekar Laknat berubah menjadi manusia yang menjunjung
budi kebaikan"
Tetapi ia tak mudah percaya, serunya, "Kalau engkau
hendak menolong Tiau Bok-kun, apakah engkau mau
menemuinya" Dia berada disini!"
Sebelum Siau-liong menjawab, nona itu sudah bertepuk
tangan tiga kali. Dinding ruang yang semula merupakan batu
marmar hijau, tiba-tiba berderak-derak merekah dan
terbukalah sebuah pintu. Seorang nenek tinggi besar,
memapah keluar seorang gadis yang rambutnya kusut masai.
Siau-liong terkejut. Gadis itu adalah Tiau Bok-kun. Menilik
wajah dan semangatnya yang sayu lunglai, tentulah gadis itu
telah ditutuk jalan darahnya. Serentak Siau-liong hendak
menghampiri. Tetapi nona pemilik lembah mengancamnya, "Selangkah
lagi engkau berani maju, nona itu tentu kuhancurkan!"
Siau-liong tertegun.
"Serahkan!" nona itu tertawa.
"Apa yang harus kuserahkan?" Siau-liong heran.
112 "Jangan pura-pura! Serahkan Giok-pwe itu ."
"Apakah nona tak percaya kepadaku?" tanya Siau-liong.
"Mengapa aku harus percaya?"
Siau-liong mendengus, "Ho, kiranya engkau juga
pembohong"
Nona itu tertawa ejek, "Tadi berbohong sekarang, tukar
menukar Separoh Giok-pwe itu dapat ditukar dengan jiwa
nona Tiau ini. Bagaimana kehendakmu "
Sejenak Siau-liong kehilangan faham. Akhirnya ia tertawa,
"Aha, kita sama2 bermain sandiwara. Engkau menipu aku, aku
menipumu. Aku hendak menipu Giok-pwemu, engkau hendak
menipu Giok-pweku...."
"Sekarang baru engkau bicara benar!" dengus nona itu.
Siau-liong gelengkan kepala, "Soal ini tiada sangkut
pautnya dengan nasib nona Tiau. Menurut hematku, baiklah
kita bertaruh. Siapa'yang menang, akan memperoleh kedua
potong Giok-pwe itu. Setuju?"
Nona itu merenung. Memang benar. Membunuh Tiau Bokkun
pun tiada sangkut pautnya dengan kepentingan Pendekar
Laknat. "Rusa tua, katakanlah bagaimana pertaruhan itu?" katanya.
"Seorang lelaki takkan berkelahi dengan orang perempuan.
Orang tua takkan menghina orang muda. Baiklah kita bertaruh
dalam soal kepandaian masing-masing dan tidak saling
bertempur."
113 "Caranya?" tanya si nona.
Pendekar Laknat mengusulkan untuk mengadu kepandaian
melempar gundu ke dalam mangkuk. Nona itu terpaksa
menyadari karena ia merasa tak menang dengan momok itu.
Nona itu menyediakan 4 biji benda bundar dan sebuah
mangkuk. Setelah menaruh benda2 itu di atas meja, Siau-liong
mempersilahkan si nona yang melempar lebih dulu.
Diam-diam nona itu tertawa dalam hati. Ia yakin tentu akan
menang. Dengan gaya yang indah, ia lemparkan keempat
gundu itu ke dalam mangkuk. Gundu ber-putar2 dan melingkar2
membentuk sepasang huruf ji (dua).
"Menang!" teriak si nona.
"Nanti dulu, aku belum," seru Siau-liong terus mengambil
gundu dan dilemparkan ke dalam mangkuk Gundu berputarputar
kemudian berhenti dalam bentuk huruf Liok (enam)
"Ha, ha, akulah yang menang!" serunya.
"Tidak, tidak! Gunduku dapat berputar lebih cepat." teriak
si nona. "Tetapi gunduku dapat membentuk jumlah yang lebih
banyak!" sahut Siau-liong.
"Baiklah, engkau yang menang. Tetapi masih dua kali lagi
bertanding," akhirnya nona itu mengakui. Ia menjeput gundu
lalu dilemparkan lagi. Gundu2 itu berhenti berjajar-jajar rapi di
tengah mangkuk.
Nona itu tertawa bangga.
114 "Jangan tertawa dulu," tukas Siau-liong seraya menjemput
gundu lalu dilemparkan ke udara. "Klotek".... gundu2 itu
berhamburan jatuh dan serentak berhenti ditengah mangkuk.
"Engkau kalah lagi!" serunya.
Tiba-tiba nona itu menuding muka Siau-liong dan memaki,
"Ho, bagus benar muslihatmu, rubah tua! Engkau sengaja
menantang pertandingan bermain gundu ini supaya aku kalah.
Tidak! Jika tak mau menyerahkan separoh Giok-pwe itu,
jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini!"
Siau-liong tertawa mengejek.
"Jika dengan kepandaian, engkau mampu mengalahkan
aku, tentu takkan ingkar. Tetapi caramu tidak jujur. Kalau
menang, engkau meminta Giok-pwe. Tetapi kalau kalah,
engkau cari alasan ini itu. Memang kalau aku sudah mati
disini, tentu tak dapat keluar. Tetapi untuk membunuh
Pendekar Laknat, lebih sukar daripada mendaki tangga
kelangit!"
Nona itu marah dan malu. Wajahnya sebentar pucat
sebentar merah padam. Serentak ia mencabut pedang.
Dengan jurus Bianglala-menutup-matahari. ia menusuk dada
Siau-liong. Siau-liong mengendap dan menyurut mundur, Rombongan
gadis yang terdiri dari 20 orang itu pun serentak pecah diri
membentuk sebuah barisan. Kemudian mereka menghunus
pedang dan maju menghampiri Siau-liong.
Karena tak mencelakai gadis2 itu, Siau-liong menyurut
mundur. 115 Serangan pertama gagal, gadis pemilik lembah menyusuli
lagi dengan serangan kedua dalam jurus Ular-putih-menyulur
lidah. Ia menusuk dada Siau-liong sekuat-kuatnya.
Saat itu Siau-liong sudah mundur kira2 terpisah dua meter
dari tempat Tiau Bok-kun. Dengan gesit, ia mengisar dan
menendang tangan si nona. Nona itu cepat merobah gerakan
pedangnya. Tetapi diluar dugaan, tendangan Siau-liong itu hanya
ancaman kosong. Begitu si nona menghindar, secepat kilat
pemuda itu berputar diri kesamping sinenek tua dan menutuk
punggungnya. Dan serempak dengan gerakan menutuk itu,
tangan kiri pun menyambar bahu Tiau Bok-kun. Ia hendak
menerobos keluar dari kepungan.
"Tubuh tua yang licin!" nona pemilik lembah memekik
seraya menyerang dan memberi isyarat agar barisan gadis itu
pun ikut menyerbu.
Dalam keadaan seperti itu, terpaksa Siau-liong harus
membela diri. Sebuah ayunan tangan kiri, membuat tiga orang
gadis tersurut mundur, muntah darah dan terkapar di tanah
Siau-liong terkejut. Ia menyadari bahwa pukulan yang
diayunkan itu adalah ajaran pengemis Tengkorak-sakti Song
Thay-kun. Pukulan Thay-siang-ciang yang amat sakti!
"Ha, ha, jangan mengantar jiwa sia-sia!" serunya memberi
peringatan. Pada saat si nona pemilik lembah tertegun, Siau-liong
lepaskan lagi sebuah pukulan. Nona itu terkejut dan cepat
loncat menghindar. Kesempatan itu tak disia-siakan Siau-liong.
Dengan gerak Harimau-buas-tinggalkan-gunung, sambil
mengepit tubuh Tiau Bok-kun, ia loncat keluar pintu.
116 Tetapi pintupun tertutup. Siau-liong menghantamnya
dengan pukulan Bu-kek-sin-kang. "Bum...." terdengar ledakan
keras tetapi pintu itu tak kurang suatu apa. Siau-liong heran.
Dalam pada itu rombongan gadis yang dipimpin nona
cantik tadi pun tiba. Tetapi agaknya nona pemilik lembah itu
gentar terhadap Pendekar Laknat. Ia tak berani segera
menyerang melainkan memaki-maki dari kejauhan.
Siau-liong cepat memutuskan. Kalau tak dapat menembus
pintu muka mengapa ia tak mau coba menerjang pintu
belakang" Sambil mendukung Tiau Bok-kun, ia loncat melayang
keruang besar. Ternyata di belakang ruang itu, merupakan
sebuah hutan lebat. Siau-liong menerobos ke dalam hutan. Ia
kira, ujung hutan itu tentu merupakan jalan belakang keluar
dari lembah. Tetapi ternyata, hutan itu gelap sekali. Melintas
kian kemari, ia tetap hanya berputar-putar dalam hutan itu
saja. Siau-liong gelisah. Ia memandang kesekeliling dengan
seksama. Sejauh mata memandang, hanya pohon2 bunga
yang tampak. Jarak pohon itu satu dengan lain hampir sama,
sukar dibedakan.
Sejenak tertegun, mulailah Siau-liong berjalan lagi dengan
pelahan. Setiap tiga batang pohon diberinya tanda. Setelah
lebih 40 pohon, ia telah mencapai dua li jauhnya. Tetapi ah....
ternyata ia balik lagi pada jalan semula atau pohon pertama
yang telah diberinya tanda tadi.
Akhirnya ia menghela napas, meletakkan Tiau Bok-kun lalu
bersandar pada pohon. Nona itu masih meram, tiga buah jalan
darahnya ditutuk orang. Sekalipun sudah ditolong Siau-liong
117 tetapi nona itu tetap belum sadar. Terpaksa Siau-liong
mengurutnya. Beberapa waktu kemudian barulah nona itu
menguak dan tersadar.
Begitu melihat Siau-liong, nona itu menjerit dan meronta
hendak lari. "Nona Tiau, mengapa engkau ini?" tegur Siau-liong.
Dengan wajah pucat, nona itu menyurut mundur,
"Engkau.... engkau bukan pendekar Lak...."
"Jangan kuatir, aku takkan mencelakaimu!" buru-buru Siauliong
menukas setelah menyadari dirinya masih sebagai
Pendekar Laknat.
Tiau Bok-kun berhenti, memandang kesekeliling penjuru.
Dengan tertawa, Siau-liong duduk dan berkata, "Silahkan
duduk, nona."
Dengan ragu2 nona, itu ikut duduk. Tiba-tiba ia teringat,
serunya, "Tadi aku seperti ditutuk oleh Soh-beng Ki-su....
locianpwekah yang menolong?"
Diam-diam Siau-liong geli. Sahutnya, "Benar, memang aku
yang menolongmu. Tetapi saat ini kita masih terbenam dalam
barisan musuh. Entah kita dapat atau tidak keluar dari lembah
ini!" Buru-buru Tiau Bok-kun menghaturkan terima kasih,
ujarnya, "Ah, kiranya lo-cianpwe seorang yang berbudi luhur.
Desas-desus dalam dunia persilatan itu ternyata tidak benar!"
"Desas desus bagaimana?"
118 "Kabarnya 20 tahun yang lalu lo-cianpwe amat ganas
gemar membunuh, congkak, dingin, tak suka bersahabat dan
kejam sekali...."
"Adakah aku sesuai dengan desas-desus itu?"
Tiau Bok-kun tertawa kecil dan tundukkan kepala "Ku....
rasa tidak sesuai. Lo-cianpwe seorang baik. Aku tak percaya
segala omongan orang itu!"
Diam-diam Siau-liong merasa bahagia. Selebat hutan dalam
lembah Musim-semi, hatinya terasa pekat sekali hingga tak
dapat berkata-kata.
Setelah beberapa saat, Tiau Bok-kun rasakan tenaganya
pulih kembali. Melihat Pendekar Laknat diam saja, ia bertanya,
"Lo-cianpwe, apakah kita tak berangkat lagi?"
"Mungkin kita terpaksa bermalam disini," Siau-liong tertawa
hambar. Tiau Bok-kun terbeliak. Ia heran mengapa seorang tokoh
yang sedemikian sakti, tak berdaya keluar dari hutan itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa keras. Dan
melengkinglah teriakan garang dari nona pemilik lembah,
"Rubah tua, sepandai-pandai tupai melompat, sesekali
tergelincir juga. Betapapun saktimu, tetapi kali ini jangan
harap engkau mampu keluar dari lembah ini!"
Tiau Bok-kun berpaling memandang keseluruh penjuru,
Tetapi ia tak dapat menentukan arah datangnya suara itu.
Siau-liong murka. Dengan menggembor keras ia
menghamburkan lima buah pukulan Bu-kek-sin-kang keempat
119 penjuru, Pohon2 berderak-derak putus dahannya. Ranting dan
daun bertebaran.
"Ibiis tua! Pohon berjumlah 2000 batang. Kecuali engkau
mampu menghantam habis, barulah engkau mampu keluar
dari lembah ini. Tetapi masih ada pula Pagar Harimau, Pagar
Singa, Pari Beracun dan lain-lain...." tiba-tiba terdengar
lengking suara mirip hantu merintih.


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiau Bok-kun pucat, Siau-liong pun tertegun. Itulah suara
Soh-beng Ki-su, manusia yang dibencinya. Tetapi apa daya. Ia
hanya termenung.
Saat itu hari mulai petang. Tiba-tiba segumpal kabut tipis
bertebaran melayang-layang. Makin lama makin tebal, baunya
mengandung belirang. Jelas bukan kabut sewajarnya
melainkan ditaburkan orang.
"Lo-cianpwe, mereka melepas api!" seru Tiau Bok-kun
makin cemas. Tetapi Siau-liong tertawa tenang, "Api tak jadi soal, tetapi
ini...."- ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena batuk2
terserang bau belirang. Tiau Bok-kun pun ikut batuk2.
"Iblis tua! Jangan lama2, lekaslah engkau ke Neraka!" seru
Soh-beng Ki-su pula.
Siau-liong tertawa nyaring, serunya, "Ha, tahukah engkau
bahwa separoh Giok-pwe itu berada dalam tanganku?"
"Bagus, setelah engkau mati, tentu dapat kita ambil!" seru
Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah.
120 Siau-liong tertawa mengejek, "Ho, di dunia tak ada hal
yang seenak bayanganmu itu! Jika aku mati, tentu lebih dulu
Giok-pwe itu akan kuhancurkan...."
Kata2 Siau-liong itu ternyata membawa pengaruh. Sohbeng
Ki-su dan si nona pemilik lembah berdiam diri. Tetapi
dalam pada itu kabut pun mulai menipis dan akhirnya lenyap
sama sekali. Andaikata Siau-liong tak menggunakan siasat
tadi, tentulah ia dan Tiau Bok-kun sudah binasa.
Hari makin malam. Hutan makin gelap gulita.
Tiba-liba Tiau Bok-kun terhuyung-huyung dan berbargkit,
"Lo-cianpwe...."
"Nona Tiau, mengapa engkau!" Siau-liong terkejut.
Tiau Bok-kun rubuh ,....
---ooo0dw0ooo---
Jilid 03 Disimpang Jalan
Siau-liong terkejut tetapi gadis itu sudah rubuh. Buru-buru
ia menolongnya.... Dahi nona itu mengerut gelap, kaki tangan
lunglai dan bibirnya gemetar.
Siau-liong menyadari bahwa kabut belirang tadi tentu
mengandung racun.... Karena ia sudah mendapat saluran
tenaga murni dari Koay-suhu simanusia dari gua dan minum
darah makhluk aneh serta makan buah Im-yang-som maka ia
memiliki daya tahan yang kebal terhadap kabut beracun itu.
121 Beda dengan Tiau Bok-kun yang lebih rendah
kepandaiannya sehingga tak tahan diserang kabut itu.
Sejak kecil ikut pada gurunya, tabib sakti Kongsun Liong,
Siau-liong pun faham akan ilmu pengobatah. Karena tak
membekal obat, tak dapat ia menyembuhkan nora itu.
Akhirnya ia hanya dapat melakukan cara mengurut untuk
menekan racun dalam tubuh gadis itu supaya jangan
mengembang luas.
Tak berapa lama Tiau Bok-kun tersadar. Memandang Siauliong,
nona itu mengeluh, "Lo-cianpwe, aku benci...."
"Siapa?"
Tiau Bok-kun menghela napas panjang, "Aku benci diriku
yang bernasib malang ini...."
Siau-liong tertawa lalu menghela napas.
"Lo-cianpwe," kata nona itu pula, "dengan kepandaian yang
sakti engkau tentu dapat keluar dari lembah ini. Janganlah
karena diriku, engkau akan mendapat kesusahan...."
Siau-liong tertawa, "Orang menjuluki diriku Pendekar
Laknat. Kegemaranku mengurus hal2 yang tak adil. Sekali
campur tangan, tak pernah aku mundur lagi."
Tiau Bok-kun gelengkan kepala, "Nasibku memang malang.
Hidupku selalu dirundung kesusahan dan keputus-asaan.
Andaikata dapat keluar dari lembah ini, bagiku pun tiada
manfaatnya hidup di dunia!"
Sejenak berhenti, nona itu berkata pula, "Lo-cianpwe,
apakah engkau mau meluluskan sebuah permintaanku?"
122 Siau liong buru-buru mengiakan.
Sesaat tampak Tiau Bok-kun meragu tetapi akhirnya ia
berkata juga, "Ada seorang pemuda gagah bernama Kongsun
Liong. Adakah lo-cianpwe kenal padanya?"
Jantung Siau-liong mendebur keras. Cepat ia menyahut,
"Dia adalah ketua partai Kay-pang yang termasyhur. Masakan
aku tak kenal?"
Tiau Bok-kun menghela napas.
"Tolonglah lo-cianpwe suka menyerahkan suratku ini
kepadanya. Katakan . ,.... katakanlah, bahwa aku sudah
meninggal dunia. Budi pertolongannya kepadaku, terpaksa
kelak pada penitisan yang akan datang, baru dapat kubalas!"
Habis berkata nona itu menangis tersedu-sedu. Siau-liong
terpaksa ikut mengucurkan air mata. Untunglah karena gelap,
tiada yang mengetahui keadaannya saat itu.
Sesungguhnya sudah berulang kali Siau-liong hendak
menyingkap kedoknya agar Tiau Bok-kun terkejut girang.
Tetapi setiap kali, ia batalkan niatnya.
Kini baru ia mengetahui betapa besar cinta Tiau Bok-kun
kepadanya.... Pikiran Siau-liong mulai melayang-layang
jauh.... Dari keterangan gurunya, yakni tabib sakti Kongsun Sintho,
Siau-liong mengetahui bahwa pembunuh ayahnya adalah
ketua Kong-tong-pay yang bernama Toh Hun-ki serta keempat
tokoh tua dan partai itu. Dan Toh Hun-ki itu sesungguhnya
adalah guru dari ayah Siau-liong.
123 Selama ini beberapa kali ia mempunyai kesempatan untuk
membunuh musuh ayahnya itu. Tetapi setiap kali teringat
akan pesan gurunya bahwa mendiang ayahnya meninggalkan
pesan supaya jangan membalas sakit hati itu. Terpaksa Siauliong
lepaskan musuhnya.
Mengenai ibunya, Siau-liong sudah beberapa kali berjumpa
tetapi setiap kali tentu kehilangan kesempatan untuk bicara.
Kemudian pikiran Siau-liong melayang jauh pada manusia
aneh Pendekar Laknat yang memberinya ilmu kesaktian,
Menurut pesan Pendekar Laknat, ia harus membenci semua
manusia di dunia. Apabila ia tak dapat memenuhi pesan itu,
sekurang-kurangnya ia harus dapat membunuh Soh-beng Kisu,
pertapa yang berhutang darah Pendekar Laknat.
Kemudian masih ada seorang lagi yakni Kolo-sin-kay atau
Pengemis Tengkorak Song Thay-kun. Walaupun tokoh itu
hanya berupa tengkorak tetapi dari petunjuknialah ia dapat
mempelajari ilmu pukulan Thay-siang-ciang-hwat yang sakti,
makan buah Im-yang-som dan minum darah ular naga.
Dan kini setelah dirinya dinobatkan sebagai Cousu-ya atau
ketua dari partai Kay -pang, demi membalas budi Pengemis
Tengkorak, ia harus berusaha keras untuk mengharumkan
nama baik partai itu.
Peristiwa2 itu melalu-lalang dibenak Siau-liong. Ia
menginsyafi, betapa berat beban yang terletak pada bahunya.
Kini ia telah memiliki berbagai kepandaian sakti. Tetapi sejauh
itu, satu pun dari beban2 itu belum ada yang berhasil ia
laksanakan. Bagaimana yang akan terjadi, masih gelap
baginya. 124 Ah.... tugas kewajiban masih menumpuk. Mengapa ia harus
menjerumuskan diri dalam jerat asmara" Demikian ia
melamun. Tengah ia terbenam dalam lamunan itu, tiba-tiba sebuah
suara halus mendesing di udara dan menyambar belakangnya.
Siau-liong terkejut, Cepat ia mengunakan dua buah jari tangan
untuk menjepit senjata gelap itu- Ah, kejutnya bukan kepalang
ketika pendapatkan bahwa yang dijepit itu bukan senjata
rahasia, melainkan hanya secarik lipatan kertas....
Hebat! Hanya ahli menutuk jalan darah dari jauh, yang
mampu menjentikkan surat itu kepadanya. Cepat ia berbangkit
dan memandang keseluruh penjuru. Tetapi kecuali derak halus
dari ranting dan daun2 tertiup angin malam, tiada tampak
suatu apa lagi.
Terpaksa ia duduk kembali serta diam-diam menghela
napas, "Ah, memang benar, di atas gunung masih terdapat
langit yang tinggi, Yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi.
Kesaktian orang itu tak dibawah kepandaianku...."
Tiau Bok-kun hanya terlongong-longong memandang Siauliong.
Tetapi pemuda itu tak sempat lagi memberi keterangan
karena ia terus membuka surat lipatan itu. Dan membacanya:
"Ilmu silat tiada batasnya. Harus faham tenaga luardalam,
ilmu pukulan dan senjata, mengetahui barisan Patkwa-
kiu-kiong, Ki-bun-ngo-heng, ilmu pengobatan,
perbintangan dan pemakaian racun, barulah dia dapat
menguasai dunia persilatan. Kepandaianmu tinggi tetapi
kurang pengalaman dan kurang cermat hingga terjebak dalam
barisan pohon bunga. Ingat dan hati-hatilah! Dunia persilatan
itu penuh tipu muslihat yang ganas...."
125 Siau-liong terkejut. Jelas orang itu memberi peringatan
kepadanya. Walaupun nadanya congkak tetapi maksudnya
baik. Siau-liong lanjutkan membaca lagi,
"Soh-beng Ki-su adalah murid dari si Iblis penakluk-dunia.
Dan nona pemilik Lembah Semi itu anak perempuan dari Dewi
Neraka. Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan
sepasang suami isteri yang selalu kumpul-cerai. Saat ini
mereka masuk ke dalam lembah. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Karena tiada tanda siapa penulisnya, Siau-liong bingung.
"Lo-cianpwe, apakah surat itu...." baru Tiau Bok-kun
bertanya, Siau-liong cepat menukas, "Ah, dari seorang
sahabat pada 40 tahun yang lalu!"
Tepat Siau-liong mengucap begitu, tiba-tiba dari belakang
terdengar orang tertawa dingin dan pada lain saat sesosok
bayangan hitam loncat menyelinap ke dalam gerumbul.
Siau-liong terkejut. Kiranya orang itu bukan lain adalah
orang berpakaian hitam yang pernah bertempur dengannya
tempo hari. Cepat ia mengajak Tiau Bok-kun pergi. Tetapi
nona menolak, "Silahkan lo-cianpwe pergi sendiri, jangan
pedulikan diriku."
Siau-liong tak mau banyak bicara. Cepat ia menyambar
Tiau Bok-kun terus dibawa lari mengejar orang berpakaian
hitam tadi. Orang itu menyusup ke kanan dan ke kiri. Kira2 dua li
jauhnya, dia sudah berhasil keluar dari barisan pohon bunga.
Mau tak mau Siau-liong harus mengagumi orang itu. Diamdiam
ia memutuskan hendak menyingkap rahasia sibaju hitam
itu. Sekali enjot tubuh, ia menubruk orang itu seraya
membentak, "Siapakah sesungguhnya saudara ini!"
126 Tetapi rupanya orang misterius itu sudah memperhitungkan
hal itu. Pada saat Siau-liong bergerak, iapun sudah
melambung ke udara dan dengan gerak Burung-waletmenembus-
awan, ia melayang ke balik sebuah batu besar.
Diluar daerah barisan pohon bunga itu, merupakan sebuah
tanah lapang. Dan tak jauh disebelah muka, merupakan
sebuah lamping gunung yang melandai curam. Karena
mengepit tubuh Tiau Bok-kun, gerakan Siau-liong kurang
leluasa. Pada saat ia hendak layangkan diri mengejar orang
aneh itu, tiba-tiba tampak beberapa orang ter-huyung2 lari di
atas lamping gunung. Cepat sekali mereka sudah mendekati
ketempat Siau-liong.
Walaupun malam gelap tetapi Siau-liong dapat mengetahui
bahwa kawanan orang yang datang itu adalah ketua Kong
tong-pay yakni Toh Hun-ki bersama keempat tetua Kong-tongpay
atau Kong-tong-su-lo.
Menilik pakaian dan keadaan mereka, rupanya mereka
kalah bertempur dan sedang dikejar musuh. Mereka lari
pontang-panting menuju barisan pohon bunga.... Dalam
keadaan ketakutan mereka tak melihat Siau-liong.
Melihat rombongan orang Kong-tong-pay, Tiau Bok-kun
tampak jeri. Ia menjerit pelahan dan cepat bersembunyi di
belakang Siau-liong. Mendengar jeritan itu, rombongan Toh
Hun-ki berhenti. Mereka tertegun melihat Siau-liong dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat, berada diluar hutan.
Geraham Siau-liong berderuk-deruk menahan kemarahan.
Tak pernah sedetikpun ia melupakan dendam kematian
ayahnya. Diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti Bu keksin-
kang. Tetapi pada lain kilas, terngiang pula pesan
mendiang ayahnya bahwa ia tak boleh menuntut balas.
127 Apalagi melihat keadaan Toh Hun-ki saat itu, pemuda Siauliong
tak sampai hati turun tangan.
"Pendekar Laknat....!" seru Tok Hun-ki.
Siau-liong melirik ke arah orang itu. Tampak pakaiannya
berlubang beberapa beberapa tusukan senjata. Tubuh penuh
bintik2 noda darah, rambut kusut masai terurai kedada.
Sedang keempat Kong-tong su-lo dibelakangnya dengan
kepala menunduk.
"Menyerang orang yang sedang terluka, bukanlah laku
seorang ksatrya Aku masih dapat mencari lain kesempatan
untuk membalas dendam padanya," diam-diam Siau-liong
menimang dalam hati. Dan tenaga sakti Bu-kek-sin kang pun
diredakan. "Kali ini kuampuni jiwa kalian. Tetapi kalau bertemu lagi,
jangan harap kalian mendapat kemurahan seperti saat ini
lagi!" serunya.
Walaupun heran atas tindakan Pendekar Laknat, tetapi Toh
Hun-ki tak mau membuang waktu lagi. Ia menghaturkan
terima kasih dan terus lari menuju ke dalam hutan.
"Hai, apakah kalian benar-benar hendak mencari
kematian!" tiba-tiba Siau-liong berseru seraya ayunkan
pukulan. Serangkum angin menderu menghadang lari
rombongan orang2 Kong-tong-pay itu.
Toh Hun-ki terkejut. Ia kira Pendekar Laknat merubah
keputusan. "Hutan itu merupakan barisan pohon bunga dari Lembah
Semi. Aku sendiri tadi hampir celaka, apa lagi kalian!" seru
Siau-liong dengan tertawa dingin.
128 Toh Hun-ki berhenti dan memandang ke arah hutan. Ia
berterima kasih sekali atas peringatan momok itu. Sebagai
seorang ketua sebuah partai persilatan, ia berilmu tinggi dan


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpengalaman luas. Apa yang dikatakan Pendekar Laknat itu
memang benar. Diam-diam ia malu pada dirinya sendiri dan
timbullah rasa mengindahkan kepada momok itu.
Beberapa saat kemudian, belasan orang bersenjata muncul.
Mereka hendak mengejar rombongan Toh Hun-ki. Tetapi
terkejut ketika melihat Pendekar Laknat berada disitu. Mereka
tak berani sembarangan bertindak dan hanya pecah diri
mengepung. Siau-liong tertawa.
Ternyata kawanan pengejar itu adalah Soh-beng Ki-su dan
gadis pemilik Lembah Semi sendiri bersama anak buahnya.
Adalah karena Pendekar Laknat menggunakan siasat untuk
menghancurkan separoh dari Giok-pwe yang berada
ditangannya, maka Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik lembah
itu terpaksa hentikan serangannya dengan kabut beracun.
Giok-pwe itu adalah benda milik Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka. Lebih baik mereka tunggu kedatangan guru dan ibu
guru itu. Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi mengetahui
bahwa guru dan ibu guru mereka itu sukar diraba sepak
terjangnya. Tetapi mereka yakin dalam beberapa hari ini,
kedua tokoh itu tentu akan kambali ke dalam lembah lagi.
Kedatangan Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu tak lain
hendak mengikuti Siau-liong yang tengah mengejar Soh-beng
Ki-su.... Ketua Kong-tong-pay itu tak pernah melepaskan
hasratnya untuk mendapatkan separoh Giok-pwe yang
129 dirampas Soh-beng Ki-su dari Tangan Tiau Bok-kun Yang
separoh bagian sudah berada ditangannya. Apabila berhasil
mendapat yang separoh dari tangan Soh-beng Ki-su, akan
lengkaplah peta untuk mencari kitab pusaka berisi ilmu
kesaktian yang tiada taranya di dunia. Dengan demikian partai
Kong-tong-pay pasti dapat mengangkat diri dan menguasai
dunia persilatan.
Dengan harapan itulah maka Toh Hun-ki memberanikan diri
untuk memasuki sarang harimau atau Lembah Semi-abadi
yang amat berbahaya itu.
Tetapi gerak-gerik Soh-beng Ki-su dan Siau-liong cepat
sekali. Mereka menghilang dari pandangan Toh Hun-ki. Dan
ketua Kong-tong-pay itu kehilangan arah akhirnya tersesat ke
belakang lembah. Disitu mereka dipergoki Soh-beng Ki-su dan
wanita pemilik Lembah Semi-abadi terus diserang.
Toh Hun-ki adalah ketua partai Kong-tong-pay dan
keempat Su-lo itu merupakan jago-jago sakti dari partai
tersebut. Tetapi Soh-beng Ki su dan wanita pemilik Lembah
Semi-abadi adalah murid dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka yang termasyhur. Ilmu Pek-kut-kang (tulang putih)
dari Soh-beng Ki-su dan ilmu Yong-kut-kang (pelelah tulang)
dari wanita pemilik lembah, memerupakan ilmu sakti yang
ganas sekali. Maka tak berapa lama, Toh Hun-ki dan keempat
Su-lo itu dapat dilukai dan melarikan diri.
Soh-beng-ki-su dan si nona pemilik lembah memimpin anak
buahnya mengejar. Pada saat rombongan Toh Hun-ki dapat
digiring memasuki barisan pohon bunga, tiba-tiba Pendekar
Laknat menolong.
"Setan tua, rupanya umurmu memang panjang!" seru nona
pemilik lembah seraya tertawa mengejek Siau-liong.
130 Siau-liong marah sekali. Soh-beng-ki-su adalah pembunuh
dari Koay suhu. Sepak terjang pertapa itupun amat ganas
Nona pemilik Lembah Semi, cabul dan ganas. Jika kedua
manusia itu tak dilenyapkan. dunia persilatan tentu menderita.
Siau-liong tertawa keras seraya melangkah maju. Karena
sudah beberapa kali menderita pil pahit dari Pendekar Laknat,
Soh-beng Ki-su gentar dan cepat kerahkan tenaga-sakti Pekkut-
kang. Dari jari pertapa itu meluncur sinar putih menyerang
Siau-liong. Pemuda itu tak mengacuhkan. Ia tetap tertawa nyaring.
Nadanya menyerupai singa mengaum. Melihat itu, Son beng
Ki-su makin ketakutan. Ia perhebat lagi tenaga sakti Pek-kutkang
sampai beberapa bagian.
Sesungguhnya dalam tertawa tadi, diam-diam Siau-liong
pun sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Pada saat
sinar putih Pek-kut-kang tiba, Siau-liong menggembor keras
dan lepaskan pukulan Tay-lo-kim-kong, sebuah jurus dari ilmu
pukulan Tay siang-ciang yang amat dahsyat.
Terdengar suara menggelegar keras ketika kedua jenis
tenaga-sakti itu saling beradu. Hasilnya segera dapat
diketahui. Sinar putih Pek-kut-kang berantakan lenyap dan
Soh-beng Ki-su pun ter-huyung2 ke belakang beberapa
langkah.... Ia terluka.
"Serahkan jiwamu, jahanam!" Siau-liong maju menghampiri
dan hendak meaghantamnya lagi. Tetapi si nona pemilik
lembah segera mengajak anak buahnya menyerbu.
Siau-liong hanya membenci Soh-beng Ki-su dan nona
pemilik lembah itu. Ia tak mau mengorbankan banyak jiwa
yang tak berdosa. Belasan anak buah yang terdiri dari lelaki
131 dan perempuan itu, se-olah2 tak mengacuhkan pukulan Siauliong.
Mereka seperti manusia2 patung yang tak bernyawa.
Siau-liong tak sampai hati dan terpaksa menarik pulang
pukulannya. Setelah hantamkan tangan kiri ke arah nona pemilik
lembah Siau-liong pun enjot tubuh melambung melampaui
kepala orang2 itu lalu melayang ke arah Soh-beng Ki-su.
Soh-beng Ki-su yang sudah menderita luka itu makin
ketakutan. Wajahnya pucat sekekita. Siau-liong tak peduli dan
terus hendak menghantamnya.
"Tahan!" tiba-tiba dari samping terdengar suara orang
membentak dan serangkum angin bertenaga lunak
mendampar punggungnya.
Siau-liong terkejut seraya cepat loncat menghindar. Ketika
bepaling, tampaklah sepasang kakek-nenek berdiri setombak
jauhnya. Kedatangan kedua orang itu sama sekali tak
bersuara. Siau-liong terkesiap.
Kedua kakek-nenek itu sudah lanjut usianya. Dahi mereka
penuh berhias keriput tetapi mukanya masih berseri segar.
Sepasang matanya bersinar tajam.
Yang lelaki bertubuh jangkung tetapi punggungnya
bungkuk. Jenggotnya menjulai panjang sampai kelutut.
Rambutnya yang putih terurai lepas pada kedua bahu. Alisnya
pun panjang sehingga hampir bersambung satu sama lain.
Hidung bengkok macam burung kukuk beluk. Mulutnya aneh,
karena bibir bagian atas lebar tetapi yang bawah kecil
132 sehingga tampak baris giginya yang putih. Sepintas pandang
menyerupai orang hutan.
Sedang yang perempuan, bertubuh pendek kecil. Tingginya
hanya sebatas perut sikakek. Alisnya tebal, mata besar dan
hidung membiak lebar, menaungi mulutnya yang besar. Nenek
itu mencekal sebatang tongkat Liong-thau-ciang atau tongkat
Kepala naga. Tongkat lebih tinggi dari orangnya.
Siau-liong tertegun melihat keadaan kedua manusia aneh
itu. "Suhu." tiba-tiba Soh-beng Ki-su berteriak girang seraya lari
menghampiri dan berlutut dihadapan kakek yang mirip orang
hutan itu. "Ayah, ibu....!" nona pemilik lembah pun berseru dan lari
terus memeluk dada wanita kate.
Sambil membelai rambut puterinya dengan mesra, nenek
kate itu menghibur, "Jangan takut, anakku. Ibumu tentu akan
menghimpas penasaranmu!"
Kemudian nenek itu melangkah maju. Saat itu barulah
Siau-liong menyadari akan surat peringatan dari orang baju
hitam yang mengatakan bahwa kedua momok suami isteri itu
sudah datang ke dalam lembah. Tak salah lagi, mereka
tentulah suami-isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Nenek Dewi Neraka berhenti lima langkah di hadapan Siauliong
dan memandangnya dengan berapi2. Tiba-tiba Dewi
Neraka tertawa mengekeh.
"Heh, heh, setan tua Bu-kek, mengapa 20 tahun tak
ketemu, engkau sekarang bertambah tinggi...." tegurnya.
133 Siau-liong teringat bahwa kedua suami-isteri durjana itu
adalah musuh bebuyutan dari Koay suhu atau Pendekar
Laknat. Beberapa kali Koay suhu kalah oleh kedua momok itu.
Diam-diam ia menimang. Walaupun sekarang ia sudah
memiliki tenaga-sakti dari Koay suhu dan faham ilmu pukulan
Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak, tetapi kedua
momok itu tentulah juga sudah jauh lebih maju dalam ilmu
kesaktiannya. Maka Siau-liong tak berani memandang rendah.
Sambil kerahkan tenaga sakti, ia tertawa nyaring.
"Sekalipun berpisah hanya tiga hari tetapi harus meneliti
lagi. Selama 20 tahun ini aku telah berhasil mempelajari
semacam ilmu ajaib. Tubuhku dapat kupanjang-surutkan,
kurus-gemuk kan menurut sekehendak hatiku. Pula aku dapat
memperpanjang umurku sampai seribu tahun!" sahut Siauliong.
Dewi Neraka terperanjat. Tetapi cepat ia tenang kembali
Ujarnya, "Hanya sayang makin tua engkau makin tak kenal
malu. Buktinya, mengapa engkau tak malu menghina kedua
muridku ini?"
Nenek itu mengguncangkan tongkatnya seperti hendak
menyerang. Tetapi Iblis Penakluk-dunia cepat loncat
mencegah.... Lalu berkata kepada Siau-liong, "Setan tua Bukek,
kuucapkan selamat engkau masih tetap awet muda dan
tambah tinggi!"
'Ho, tak perlu memuji!" Siau-liong tertawa tawar.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka saling
berpAndangan. Agaknya mereka curiga atas sikap dan kata2
Siau-liong. 134 Iblis Penakluk dunia kerutkan alis, tertawa sinis, "Dua puluh
tahun tak ketemu, engkau banyak berubah. Kabarnya engkau
punya sebuah ilmu baru lagi?"
"Ilmu jenis Bubuk-makan-kayu saja, masakan pantas
dibanggakan," Siau-liong tertawa.
Sambil mengurut jenggot, Iblis Penakluk dunia berkata
pula, "Isteriku telah mengundang seluruh ksatrya dunia
persilatan supaya datang kelembah sini untuk mengadu
kepandaian. Rupanya engkau merupakan tetamu paling
terhormat dari isteriku!"
"Jika isterimu yang mengundang, tiada alasan aku tak
datang," sahut Siau-liong.
Iblis itu tertawa sinis, "Dapat atau tidaknya engkau hadir,
tergantung bagaimana hasil peyakinanmu selama 20 tahun ini.
Mungkin sejak saat ini, dunia akan kehilangan seorang momok
yang disebut Pendekar Laknat!"
Tiba-tiba iblis tua itu menutup kata-kata dengan dorongkan
kedua tangannya ke arah Siau-liong. Siau-liong memang
sudah menduga kemungkinan itu. Iapun sudah siap sedia.
Cepat ia dorongkan kedua tangannya menyongsong.
Dahulu iblis Penakluk-dUnia termasyhur dengan pukulan
sakti Thay-krk-bu-wi-kangnya. Setelah memperdalam lagi
selama 20 tahun, sudah tentu tenaga saktinya makin
sempurna. Dess.... terdengar ledakan keras. Debu dan batu seluas
beberapa meter, berhamburan keempat penjuru....
Tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ilmu pukulan Thay-siangciang
yang dilancarkan Siau-liong berlandas kekerasan
135 dahsyat. Sedang tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-kang dari iblis
Penakluk dunia mengutamakan tenaga lunak.
Keduanya paling menggunakan delapan bagian tenaganya.
Kesudahannya, mereka sama2 terkejut. Ternyata tenaga sakti
keduanya sama2 lenyap, Tiada yang kalah dan menang.
Iblis Penakluk dunia paksakan tertawa, "Setan tua Bu-kek,
dalam 20 tahun ini, hebat sekali kemajuanmu!"
Dalam berkata-kata itu, iblis Penakluk-dunia tetap
pancarkan tenaga sakti ke arah tangannya dan menyerang.
"Bagus, bagus." seru Siau-liong seraya balikkan kedua
tangannya menyambut.
Mereka saling adu tenaga dalam melalui sepasang tangan
masing-masing. Sampai sepeminum teh lamanya, keduanya
tetap tak bergerak. Tiba-tiba iblis Penakluk-dunia
menggembor keras. Ia deliki mata. Tulang2 tubuhnya
berderak-derak dan ia tambahkan lagi penyaluran tenaga
dalamnya untuk mendesak Siau-liong.
Tampaknya Siau-liong tak kuat bertahan. Kedua lengannya
pun sudah menjuntai ke bawah dan tubuhnya mulai condong
ke belakang. Toh Hun-ki dan keempat Su-lo serta Tiau Bok-kun
menyaksikan pertempuran maut itu dengan berdebar-debar.
Mereka mencemaskan keadaan Siau-liong. Jika Siau-liong
kalah, merekapun takkan lolos dari tangan maut siiblis
Penakluk-dunia.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa Siau-liong.
Tubuh Pendekar Laknat itu tegak kembali dan bahkan dapat
mendesak lawan ke belakang.
136 Sepeminum teh lamanya, wajah iblis yang semula merah
segar, mulai tampak pucat lesi. Keningnya basah dengan
keringat. Jelas tokoh itu hampir kehabisan tenaga.
Karena mengenakan kedok penyamaran sebagai Pendekar
Laknat, maka perobahan air muka Siau-liong tak terlihat.
Tetapi jelas, diapun berjuang mati-matian untuk bertahan.
Sekonyong-konyong terdengar getaran menggelegar dan
tahu2 iblis Penakluk dunia serta Siau-liong sama2 menyurut
mundur sampai tujuh langkah.... Debu dan pasir berhamburan
hebat. Kedua musuh itu tegak berdiri tak kurang suatu apa.
Beberapa saat kemudian, barulah iblis Penakluk dunia berseru,
"Setan tua Bu-kek, dua puluh tahun berselang, engkau
menghalangi cita-citaku menguasai dunia persilatan. Kini 20
tahun kemudian, engkau tetap merupakan penghalangku yang
utama...."
Ia berhenti sejenak. lalu, "Tetapi keadaan sekarang
berbeda dengan dulu. Asal engkau berani datang menghadiri
pertempuran di dalam lembah, aku sudah sedia cara untuk
menguburmu!"


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-liong tertawa nyaring, "Dalam hidupku tak pernah
kutakut pada manusia siapa saja. Aku tentu datang."
Tiba-tiba tubuh iblis Penakluk dunia condong kemuka
seperti mau rubuh tetapi segera tegak lagi.... Setelah tertawa
terkekeh-kekeh beberapa saat, ia ajak Dewi Neraka dan puteri
serta muridnya masuk ke dalam lembah. Tak berapa lama
mereka lenyap dari pandangan.
Saat itu hampir menjelang tengah malam.
137 Siau-liong memandang rembulan cekung. Ia menghela
napas dalam. "Lo-cianpwe...." Tiau Bok-kun lari menghampiri.
"Pendekar.... Laknat," Toh Hun-ki pun bersama keempat
Su-lo menghampiri kemuka Siau-liong.
Siau-liong tak mengacuhkan. Ia duduk di tanah pejamkan
mata. Toh Hun-ki, Tiau Bok-kun dan keempat Su-lo tak berani
mengganggu. Mereka tahu Pendekar Laknat seorang manusia
aneh. Sukar diraba sepak terjangnya. Walaupun tadi telah
menolong tetapi belum tentu dia tak berpaling halauan.
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Siau-liong mengangkat
kepala dan muntah darah.
"Lo-cianpwe, apakah engkau terluka...." Tiau Bok-kun
berseru cemas. Siau-liong mengiakan, "Ya, tetapi si iblis dunia itupun lebih
berat dari aku!"
Toh Hun-ki buru-buru mengambil dua butir pil merah lalu
diberikan kepadanya, "Pil buatan partai Kong-tong-pay ini.
mempunyai khasiat mengembalikan ketenangan darah dan
hawa murni...."
Plak.... tiba-tiba Siau-liong menampar jatuh pil itu dan
membentak, "Siapa sudi makan pil pemberianmu"
Toh Hun-ki tersentak kaget. Bersama keempat Su-lo, ia
mundur beberapa langkah. Ia duga momok itu tentu sedang
kumat gilanya. 138 Tiau Bok-kun pun mengira demikian. Ia juga mundur dua
langkah. Tak berapa lama terdengar Siau-liong menghela napas
pula. Mendengar itu Toh Hun-ki memberi hormat seraya
menghaturkan terima kasih, "Pemberian pil tadi berdasarkan
rasa terima kasih kami yang tak terhingga kepada saudara."
"Pergi kau!" bentak Siau-liong, "aku tak butuh terima
kasihmu. Jika saat ini kalian tak terluka, mungkin kalian sudah
jadi mayat!"
"Silahkan saudara berkata apa saja. Tetapi karena merasa
menerima budi, aku tak dapat tinggalkan saudara dalam
keadaan terluka," sahut Toh Hun-ki, terus duduk di tanah
diikuti keempat Su-lo.
Siau-liong pejamkan mata. Beberapa saat kemudian ia
membentak bengis, "Toh Hun ki!"
Ketua Kong-tong-pay itu mengiakan.
"Aku hendak minta engkau menyelidiki berita seseorang...."
"Asal tenagaku mampu, tentu akan kulaksanakan," sahut
Toh Hun-ki. Siau-liong mengangguk, katanya, "Apakah pada 10 tahun
yang lalu engkau kenal akan seorang lelaki yang bernama
Tong Gun-liong?"
Toh Hun-ki terbeliak.
139 Tong Gun-liong dikubur di gunung Hongsan. Dan ternyata
Pendekar Laknat bersembunyi dibalik gunung itu. Mungkinkah
mayat Tong Gun-liong itu Pendekar Laknat yang
menguburnya" Demikian Toh Hun-ki mulai membayang
kecemasan. Tetapi Pendekar Laknat seorang iblis yang gila dan
pendendam. Dia tak punya seorang sahabat pun juga. Tak
mungkin dia mempunyai hubungan apa2 dengan Tong Gunliong.
Mustahil dia mau mengubur mayat Tong Gun-liong.
"Lekas bilang, kenal atau tidak!" Siau-liong mengulang
pertanyaannya. "Tong Gun-liong adalah muridku...." Toh Hun-ki tergagap
lalu menghela napas. Sambil menghitung jari tangan, ia
berkata pula, "Tetapi pada belasan tahun berselang, dia telah
binasa di lembah Hok-liong-koh di gunung Hongsan."
"Mengapa?" Siau-liong tahankan air matanya.
Toh Hun-ki menghela napas panjang, "Memang kelalaianku
sendiri sehingga tak mengetahui bahwa Tong Gun-liong diamdiam
telah jatuh cinta kepada Ki Ih. Dari hubungan gelap,
mereka melahirkan seorang anak lelaki dan...."
Toh Hun-ki terpaksa hentikan keterangannya karena
mendadak Siau-liong menggembor keras dan muntah darah.
"Lanjutkan!" teriak Siau-liong.
Terpaksa Toh Hun-ki bercerita lagi, "Demi menjaga
peraturan perguruan, kuputuskan tak mengakui pernikahan
itu. Tetapi diluar dugaan Ki Ih marah dan mengamuk Kongtong-
pay...." 140 Ia berhenti sejenak untuk mengenangkan peristiwa itu lalu
melanjutkan, " Pada saat itu, salju mulai turun dengan deras.
Jalanan gunung penuh bertutupkan salju. Dalam kebingungan,
Gun-liong membawa anaknya yang baru berumur belum
cukup 100 hari itu melarikan diri. Tetapi dia tergelincir jatuh
ke bawah karang yang curam dan binasa. Ki Ih menyusul lari
dan tak ketahuan beritanya lagi...."
"Kemunculan Ki Ih kedaerah Tiong-goan itu, tentu mencari
balas pada kalian, bukan?" tukas Siau-liong.
"Benar," sahut Toh Hun-ki. Serentak ia teringat akan
peristiwa digunung Tay-lian-san tempo hari. Bersama tokoh2
Kay-parg, rombongan Toh Hun-ki berhasil mengepung dan
melukai Ki Ih. Tetapi tiba-tiba pada saat itu Pendekar Laknat
muncul menolong Ki Ih. Diam-diam Toh Hun-ki menatap Siauliong
dengan rasa heran.
Siau-liong menggeram, "Jika putera Tong Gun-liong masih
hidup, pantaskah dia menuntut balas kepadamu?"
Toh Hun-ki mengangguk, "Sudah tentu...."
Tiba-tiba Siau-liong tengadahkan kepala tertawa keras,
"Toh Hun-ki, engkau telah membunuh jiwa seseorang. Apakah
engkau tak menyesal atas peristiwa 16 tahun yang lalu itu?"
Ketua Kong Tong-pay menghela napas, "Sebagai guru dan
murid, sudah tentu aku bersedih. Tetapi dalam kedudukan
sebagai seorang ketua perguruan yang menjaga ketertiban
peraturan, aku tak menyesal sama sekali!"
Nada jawaban itu mengunjuk kewibawaan sebagai seorang
ketua partai persilatan yang termasyhur.
141 Siau-liong merenung diam. Setelah menghela napas, ia
berpaling ke arah Tiau Bok-kun, "Nona Tiau itu menderita
terkena racun. Saat ini aku tak sempat merawatnya...."
"Serahkan kepadaku yang mengobatinya," cepat Toh Hunki
menanggapi. "Tidak! Aku dapat merawat diriku sendiri.... mereka....
mungkin akan membunuhku!" cepat2 Tiau Bok-kun berseru.
Siau-liong tertawa hambar, "Mereka tak dapat dan tak
mungkin berani berbuat begitu...." berpaling kepada Toh Hunki,
Siau-liong berkata lebih jauh, "Asal kalian mengantar nona
itu kekota Siok-ciu dan dapat menyembuhkan lukanya, barulah
kuanggap kalian telah membalas budiku tadi...." habis berkata
Siau-liong terus berbangkit dan melangkah pergi.
Tiba-tiba berhamburan air mata Tiau Bok-kun, serunya,
"Lo-cianpwe...."
Siau-liong berhenti dan menanyakan.
"Apakah lukamu tak mengapa?" tanya nona itu penuh
cemas. Siau-liong paksakan tertawa, "Mati hidup sudah suratan
takdir. Harap nona jangan kuatir...." berkata sampai disitu,
meluaplah rasa haru dalam hati Siau-liong sehingga air
matanya hampir mencucur keluar. Buru-buru ia berpaling
muka dan berjalan lagi.
"Harap tunggu dulu, aku masih hendak bicara kepada
saudara," baru beberapa langkah Siau-liong berjalan, Toh
Hun-ki sudah menghadangnya.
Siau-liong tertegun.
142 Toh Hun-ki mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain
warna biru, katanya, "Bungkusan ini berisi separoh bagian dari
Giok-pwe, sebuah pusaka yang menjadi milik Kong-tongpay...."
Ia berhenti sejenak, melirik ke arah Tiau Bok kun, lalu
melanjutkan pula, "Dan yang separoh bagian adalah milik
nona Tiau itu.... Tetapi sayang telah dirampas Soh-beng Ki-su.
Saat ini tentu sudah diserahkan kepada gurunya siibiis
Penakluk dunia. Apabila kedua Giok-pwe dipersatukan, akan
merupakan sebuah peta rahasia penyimpanan pusaka yang
selama ini dikejar-kejar oleh kaum persilatan.... -"
Kembali ia berhenti sejenak lagi lalu meneruskan, "Pusaka
itu merupakan simpanan harta karun dan kitab pusaka yang
tak ternilai harganya."
"Semut mati karena manisan, manusia karena harta. Aku
tak ingin sama sekali pada harta dunia!" Siau-liong tertawa
hina. "Aku sendiri juga tak mementingkan harta," buru-buru Toh
Hun-ki menerangkan, "tetapi dalam tempat penyimpanan
pusaka itu, terdapat sebuah kitab. Konon kitab itu adalah
karya dari Tio Sam-hong cousu. Jika berhasil memperolehnya,
tentu akan mendapat kesaktian yang hebat dan dapat
membasmi kawanan durjana, membantu mengamankan dunia
persilatan...."
Ketua Kong-tong-pay itu berhenti sejenak, memandang
Siau-liong lalu berkata pula, "Terus terang aku tak mampu
mendapatkan separoh bagian dari Giok-pwe yang dirampas
Soh-beng Ki-su itu. Maka hendak kuhaturkan separoh bagian
giok-pwe itu kepadamu...."
143 "Sebagai pembalas budi?" tukas Siau-liong.
"Aku hidup untuk kepentingan umat manusia dan bekerja
demi amanat sesama kaum persilatan. Kumohon engkau
muncul lagi dalam dunia persilatan untuk menyelamatkan
bencana darah!" habis berkata ia angsurkan bungkusan berisi
separoh Giok-pwe itu kepada Siau-liong.
Tetapi Siau-liong tak mau tergesa2 menyambuti. Katanya
tertawa, "Apakah engkau percaya kepadaku" Mengapa engkau
yakin aku takkan mencelakai dunia persilatan?"
Sambil menatap Siau-liong, Toh Hun-ki tertawa nyaring,
"Mataku tak buta. Kupercaya penuh engkau pasti takkan
mengecewakan tugas suci dunia persilatan ini!"
Namun Siau-liong masih bersangsi. Jika menerima
pemberian Toh Hun ki, musuh besarnya yang membunuh
ayahnya, kelak ia tentu sulit untuk membalas dendam Tetapi
ucapan Toh Hun-ki itu memang menarik perhatiannya. Ia tak
menghiraukan segala harta karun. Hanya kalau, kitab pusaka
itu sampai jatuh ketangan manusia2 durjana, tentulah dunia
persilatan akan terancam bencana kehancuran! ya, Setelah
meragu beberapa saat, akhirnya ia menerima juga pemberian
itu. "Semoga anda diberkahi keselamatan dan selamat jalan!"
serasa lapanglah dada Toh Hun-ki setelah Siau-liong mau
menerima. Ia memberi hormat lalu memanggul Tiau Bok-kun
yang masih pingsan dan terus pergi. Keempat Su-lo mengiring
dibelakang. Siau-liong tegak termenung-menung. Hatinya pepat sekali.
Ingin ia tumpahkan air mata untuk melonggarkan kesesakan
dadanya. Beberapa kali berjumpa dengan Toh Hun-ki tetapi
144 setiap kali tentu tak dapat membalas dendam. Dan beberapa
kali bersua dengan ibunya tetapi tentu terpisah lagi....
Ia merasa kalau kepandaiannya sekarang sudah tinggi.
Siapa tahu dalam pertempuran dengan iblis Penakluk dunia, ia
telah menderita luka berat.
Dan teringat pula ia akan manusia aneh baju hitam. Jika
orang itu tidak muncul memberi bantuan. kemungkinan saat
itu ia sudah mati dalam kurungan barisan pohon bunga.
Siau-liong memandang ke balik batu besar. Setelah tak
melihat suatu apa, ia berjalan menuruni lamping gunung.
Melintasi lamping gunung itu, tibalah ia disebuah tanah datar.
Sebuah anak sungai mengalir keluar gunung.... Ia menurutkan
aliran sungai kecil itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia teringat. Buru-buru ia
membuka kedok muka sebagai Pendekar Laknat dan jubah
hitamnya. Saat itu, ia menjadi Kongsun Liong lagi, ketua partai
Kay-pang.... Lebih kurang dua jam lamanya, fajar mulai tiba. Yang
tampak diempat penjuru hanya jajaran gunung. Ternyata ia
tersesat jalan dan tak dapat keluar dari daerah belantara.
Luka dalam tubuhnya mulai bekerja. Hampir ia tak kuat
menahan tubuhnya yang terhuyung-huyung itu. Beberapa kali
hampir rubuh. Tiba-tiba ia ia melihat sebuah biara pada jarak 10 tombak
disebelah muka. Dengan langkah terhuyung ia menuju biara
itu. Ternyata sebuah biara yang rusak. Pada papan yang
tergantung di atas pintu terdapat tulisan Ke-beng-si atau biara
Ayam-berkokok. 145 Biara itu penuh dengan sarang gelagasi. Tembok bengkah2
dan area2 berserakan diujung ruang. Keadaannya
mengenaskan sekali. Siau-liong harus lekas2 menyalurkan
darah untuk mengobati luka dalamnya. Kalau terlambat ia
pasti akan cacad selama-lamanya.
Tetapi Siau-liong meragu. Biara itu hanya terpisah
sepuluhan li dari lembah Semi. Kedua suami isteri durjana itu
setiap saat tentu dapat mencarinya kesitu. Apabila musuh
mengetahui tempat persembunyiannya, tentu celakalah ia.
Dalam kegelisahan tiba-tiba Siau-liong melihat sebuah
tempat yang tepat untuk bersembunyi. Ialah diruang samping.
Separoh wuwungan ruang samping itu rubuh. Tetapi separoh
bagian belakangnya masih utuh. Tertutup oleh runtuhan
tembok dan wuwungan, dibagian belakang ruang itu terdapat
sebuah lubang berbentuk segi tiga.
Setelah yakin orang tentu sukar menduga tempat itu
dipakai tempat bersembunyi, ia segera menyusup, menutup
liang itu dengan keping papan dan tembok bengkah. Setelah


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapat, ia mulai duduk bersemedhi menyalurkan darah. Berkat
dasar tenaga dalamnya yang kokoh ditambah pula minum
darah naga dipusar bumi serta buah som, dalam waktu sejam
saja, darahnya yang bergolak itu dapat ditenangkan.
Cepat sekali delapan jam telah lewat. Empat jam lagi,
lukanja tentu sembuh. Saat itu hari petang. Angin reda dan
turunlah hujan. Tak berapa lama tiba-tiba ia mendengar
langkah kaki yang halus masuk ke dalam ruang situ. Ia duga
tentulah pemburu yang meneduh. Selekas hujan berhenti,
orang itu tentu pergi.
Diluar dugaan, setelah mondar-mandir beberapa saat,
orang itu berseru kaget dan terus menuju keruang samping
146 Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat dan masuk
ke dalam ruang samping. Siau-liong terkejut sekali. Saat itu
penyaluran tenaga dalamnya sedang mencapai puncak
ketegangan. Dalam keadaan seperti itu, cukup seorang biasa
saja, sekali dorong tentu dapat merubuhkan Siau-liong. Dia
akan cacad bahkan bisa mati.
Akhirnya ia menyerah pada nasib. Jika memang ditakdirkan
mati, apa boleh buat. Dengan kebulatan pikiran itu, ia mulai
tenang dan menjalankan penyaluran darah lagi.
Pendatarg itu agaknya tertegun lalu tertawa pelahan seraya
menghampiri ke tempat Siau-liong. Siau-liong pun merasa
bahwa orang itu telah berada dibelakangnya.
Tring.... orang itu mencabut pedang. Seketika terdengar
keping-keping papan dan tembok berhamburan tertabas
pedang. "Habislah riwayatku...." diam-diam Siau-liong mengeluh....
Saat itu ia tak dapat berbuat apa2. Ia hanya pasrah nasib
saja, Tetapi heran. Sampai sekian saat belum juga terjadi
sesuatu. Rupanya orang itu batalkan maksudnya membunuh.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, Siau-liong
mendengar orang itu menyarungkan pedang kembali. Dan
menyusul terdengar suara celana wanita berteliku duduk tak
jauh dari tempatnya. Ketegangan Siau-liong mereda. Jelas
pendatang itu tiada bermaksud jahat kepadanya.
Selang empat jam kemudian, selesailah penyaluran Siauliong.
Lukanya hampir sembuh sama sekali. Begitu membuka
mata, pertama-tama ia ingin mengatahui siapakah gerangan
pendatang itu. 147 Cepat ia berpaling dan.... astaga! Orang itu sudah lenyap.
Setelah menghela napas panjang, ia berbangkit. Ternyata
hujan sudah berhenti. Ruang penuh air, tubuhnya pun penuh
kotoran debu. Tiba-tiba hidungnya terbaur daging bakar yang
wangi. Buru-buru ia berpaling Dimeja sembahyang tampak
seonggok api yang belum padam. Di atas api terdapat
segumpal daging rusa. Karena sehari suntuk tak makan, air
liurnya pun menitik keluar. Ketika hendak mengambil daging
rusa itu, tiba-tiba sesosok tubuh langsing menerobos masuk.
Girang Siau-liong bukan kepalang. Orang itu bukan lain Pek
Ciang-wi atau si Mawar Putih.
Dara itu tengah membawa sebuah tempat dupa yang diisi
air. Buru-buru Siau-liong menghampiri dan menyambutinya,
"Ah, kiranya engkau...."
"Sudah sembuh?" tanya dara itu.
Siau-liong mengiakan.
"Mengapa engkau terluka?"
Siau-liong tergugu tak dapat menerangkan.
Waktu bertempur dengan iblis Penakluk dunia, ia
menyamar sebagai Pendekar Laknat. Tetapi sekarang ia sudah
kembali menjadi Kongsun Liong lagi. Sulit ia menuturkan
peristiwa itu. Karena tak biasa bohong, merah padamlah muka
pemuda itu. Untung dara itu tak mau mendesaknya.
Sambil menuding ujung hidung Siau-liong, ia berkata,
"Sungguh besar nian nyalimu. Jika semalam yang datang
bukan aku tentu jiwamu sudah melayang!"
148 Siau-liong tertawa meringis. Buru-buru ia alihkan
pembicaraan menanyakan tentang daging rusa bakar.
"Bagaimana?" Mawar Putih tersenyum manis.
"Sungguh harum sekali Tak kira engkau pandai sekali
masak," Siau-liong memuji.
Rupanya dara itu senang hatinya. Ia segera ajak Siau-liong
duduk dimuka meja dan menikmati daging rusa bakar. Siauliong
makan dengan lahap. Selesai makan, haripun sudah
fajar. Mawar Putih memandang Siau-liong lalu memandang
dirinya sendiri. kemudian tertawa geli, "Ah, engkau ketua Kaypang,
sudah tentu seorang pengemis tua. Tetapi aku...."
Kiranya karena menemani Siau-liong makan dan mengobrol
sampai setengah malam, muka dan pakaian si dara
berlumuran kotoran.
"Makan daging bakar dan minum air kotor sekalipun bukan
pengemis tetapi tentu bangsa manusia liar...." Siau-liong
tertawa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan buru-buru berpaling.
Mawar Putih pun tertawa. Tiba-tiba ia juga hentikan
tertawanya dan menghela napas panjang.
Sudah tentu Siau-liong heran, tegurnya, "Mengapa engkau
tiba-tiba bermuram durja?"
Sejenak menatap Siau-liong, dara itu gelengkan kepala,
"Ah, aku teringat kalau suhuku sudah datang. Belasan tahun
aku tak pernah berpisah dengan beliau. Sekarang tak tahu
bilakah aku dapat berjumpa lagi dengan suhu...."
149 Wajah dara itu makin rawan, katanya lebih lanjut, "Sejak
kecil aku sudah sebatang kara. Adalah suhuku yang merawat
dan memelihara diriku sampai besar. Kami tinggal di sebuah
pulau kecil. Karena tak bercocok tanam, sejak kecil aku
membantu suhu berburu dan mencari ikan. Cara membakar
daging tadi, pun aku belajar dari suhu."
"Mengapa engkau tinggalkan suhumu dan seorang diri...."
"Aku hendak membalas dendam untuk suhu!" tukas Mawar
Putih geram. Siau-liong terbeliak memandang dara itu, tanyanya,
"Mengapa nona tak datang bersama suhu nona" Apakah
beliau tega...."
"Suhu sedang sakit...." sahut Mawar Putih dengan nada
sumbang. Dua butir air mata menitik dari sudut matanya,
"suhu mengatakan bahwa penyakit yang diindapkannya itu tak
mungkin sembuh. Yang beliau selalu ingat adalah dendam
darahnya. Karena suhu sudah mewariskan seluruh
kepandaiannya kepadaku, maka sudah selayaknya aku yang
membalaskan dendam itu. Akan kubawa kepala orang itu
kehadapan suhu!"
Siau-liong tertarik perhatiannya. Tetapi ia tak dapat
menemukan kata-kata untuk menghibur dara itu. Lebih-lebih
ketika mengetahui bahwa tujuan dara itu menyangkut juga
asal-usul dirinya. Rasa haru Siau-liong makin meluap. Iapun
kucurkan beberapa titik air mata.
"Eh, mengapa engkau juga menangis?" Mawar Putih
hentikan sedunya dan tertawa menegur.
150 Siau-liong tertegun. Ia heran mengapa secepat itu si dara
sudah mengganti tangis dengan senyum tawa. Terpaksa iapun
ikut tertawa. "Siapakah musuhmu?" tanyanya.
Dengan geram Mawar Putih menyahut, "Ketua partai Kongtong-
pay To Hun-ki bersama keempat Su-lo!"
Siau-liong termangu. Mengapa terjadi peristiwa yang begitu
kebetulan sekali! Toh Hun-ki adalah musuhnya besar karena
telah membunuh ayahnya. Mengapa musuh besar si dara itu
juga To Hun-ki"
"Apakah suhumu seorang pria atau wanita?" tanyanya agak
ragu. "Sudah tentu wanita!"
"Mengapa suhumu bermusuhan dengan Toh Hun-ki?"
Dara itu kicupkan gundu matanya, "Pertanyaanmu terlalu
jauh! Apakah engkau hendak mengetahui peristiwa itu
sejelasnya" Apa perlumu?"
Siau-liong menghela napas, "Ah, terus terang saja, Toh
Hun-ki itu juga musuhku besar!"
Mawar Putih terbeliak dan menatapnya. Beberapa jenak
kemudian, ia berkata, "Sungguh kebetulan sekali. Kita dapat
bekerja sama."
Siau-liong mendengus dan merenung. Kemunculan Ki Ih
kedunia persilatan lagi untuk mencari balas kepada Kongtong-
pay, setiap orang persilatan sudah mengetahui semua.
Apalagi ia sendiripun sudah menyaksikan wanita sakti itu.
151 Walau pun setiap kali belum berhasil menerangkan kepada
wanita itu, namun ia percaya bahwa wanita sakti itu tentulah
Coa-sik Se-si Ki Ih.
Tetapi aneh sekali! Mengapa Mawar Putih mengatakan
bahwa suhunya sedang sakit dirumah" Kalau begitu, jelas
guru Mawar Putih ini tentu bukan Ki Ih. Habis kalau bukan Ki
Ih, siapakah sesungguhnya guru dara itu" Mengapa ia juga
mempunyai dendam sakit hati kepada Kong-tong-pay.
"Nona, aku hendak bertanya kepadamu!"
"Silahkan!"
"Siapakak nama suhumu itu...."
Mawar Putih terdiam sejenak baru menjawab, "Tiada
gunanya kuberitahukan nama suhuku. Beliau bernama Aminah
si Boneka-cantik dari Persia!"
"Apa?" Siau-liong menegas kejut.
"Aminah Pasilia!"
"Nama yang aneh dan sukar diingat serta tak sedap
didengar," kata Siau-liong.
Mawar Putih deliki mata, "Apa" Engkau berani menghina
nama suhuku?"
Dara itu terus Bentrok Rimba Persilatan 19 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 7
^