Pendekar Panji Sakti 1
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 1
BAB 1 Angin Barat Mengibarkan Panji Sakti
Malam semakin kelam.
Tiada rembulan, tiada bintang.
Serangga bercengkerama di antara semak ilalang, membuat suasana di hutan belantara terasa makin sendu, makin hening dan menyeramkan.
Dari balik kegelapan tampak berkelebat sesosok bayangan manusia, gerakan tubuhnya enteng bagai walet, cepat bagai sambaran kilat, ketika melihat panji sakti yang berkibar di hadapannya, dia segera melepas bajunya, membuka tali kepang rambutnya, dengan dada telanjang perlahan-lahan menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan panji sakti yang berkibar di tengah hutan itu, wajahnya nampak sendu, sedih dan murung.
Dia berlutut di depan panji itu, berlutut tanpa bergerak, kaku bagai sebuah arca.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai, menyusul kemudian seseorang menghardik dengan nyaring:
"Sudah datang?"
"Ada di sini!"
Dua rombongan manusia menunggang berkuda dengan debu beterbangan di angkasa bergerak mendekat. Rombongan di sisi kiri terdiri dari tiga orang dengan tiga ekor kuda, seorang di antaranya adalah lelaki setengah umur bertubuh jangkung tapi kekar, orang kedua adalah seorang pemuda kecil pendek dengan sorot mata tajam, sementara orang ketiga adalah seseorang berwajah hitam, mengenakan baju warna hitam dengan sebilah pedang tersoreng dipunggungnya, hanya sepasang matanya yang nampak jeli, berkilauan di tengah kegelapan.
Pemuda itu mencemplak kudanya maju lebih dulu ke depan, sambil merentangkan sepasang tangannya, dia segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun di depan panji itu.
Sementara pemuda kecil pendek bermata tajam itu segera menarik tali les kudanya, ketika lari kudanya mulai melambat, tampak dua sosok bayangan manusia kembali berkelebat, ternyata mereka adalah rombongan yang datang dari sebelah kanan, terdiri dari seorang kakek bercambang dan seorang gadis berbaju hijau.
Lelaki bertelanjang dada yang berlutut di depan panji masih berlutut tanpa bergerak, kakek bercambang itu dengan mengepalkan sepasang tinjunya segera berjalan menghampirinya, mendekat dengan wajah penuh amarah.
Pemuda berbaju hitam dan gadis berbaju hijau itu berdiri tanpa bicara di belakangnya, paras muka mereka nampak berat dan serius.
Angin malam berhembus makin kencang, di tengah deru angin yang memekakkan telinga, mendadak terdengar kakek bercambang itu membentak nyaring, telapak tangannya langsung dihantamkan ke dada lelaki bertelanjang dada itu.
Bentakan nyaring kembali bergema menyusul berkelebatnya sesosok bayangan.
"Toako, tunggu sebentar!"
Seorang lelaki setengah umur telah menangkis pukulan dahsyat itu.
"Mau apa kau?" hardik kakek bercambang itu gusar.
Tujuh tahun telah berlalu, apa salahnya menunggu sejenak lagi?" ucap lelaki setengah umur itu sambil menghela napas.
Dada kakek bercambang itu kelihatan naik turun tak beraturan, meski amarahnya telah memuncak, akhirnya dia turunkan kembali tangannya.
"Kuda pelaksana hukuman telah disiapkan?" ia menegur dengan suara dalam.
Begitu mendengar kata "kuda pelaksana hukuman", paras muka lelaki bertelanjang dada itu berubah hebat.
"Sam siok," buru-buru nona berbaju hitam itu berseru lirih,
"Sute telah berhasil mendapatkannya, sementara Tecu pun telah berhasil membawa kemari kuda Wu im kay soat (awan gelap menutupi salju) milik cong piauthau perusahaan ekspedisi Thian bu Piaukiok, tapi hingga kini Samte dan paman Sim belum nampak juga bayangannya."
Lelaki setengah umur itu segera menambahkan:
"Tugasku adalah mengambil kuda Ci liu (kuda merah berbulu hitam) milik perkampungan keluarga Seng, sedang Su tit (keponakan keempat) mengambil kuda Giok ti cu liong (telapak kumala naga merah) milik peternakan Lok-jit, semuanya merupakan sasaran yang enteng, tentu saja bisa kembali lebih cepat."
Tiga ekor kuda jempolan telah tertambat di batang pohon, ringkikan kuda yang panjang membuat ranting dan dedaunan bergoncang.
Gadis berbaju hijau itu melirik sekejap ke arah orang yang berlutut di hadapan panji itu, tiba-tiba dengan perasaan tak tega dia membuang muka ke arah lain, sementara paras muka semua orang yang hadir pun kelihatan murung dan sangat berduka.
"Paman Sim telah datang!"
Setelah angin kencang berhembus lewat, lelaki yang menancapkan panji tadi segera berlari mendekat, ternyata dia berlari sambil mengangkat tinggi seekor kuda berwarna hitam dan putih, otot lengannya yang menonjol nampak sangat kekar, butiran keringat membasahi jidatnya, begitu tiba di hadapan rombongan orang-orang itu, segera bentaknya nyaring:
"Terima ini!"
Sepasang lengannya diayunkan ke depan, ternyata dia sudah melemparkan kuda itu ke depan.
Pemuda berbaju hitam dan pemuda kecil pendek segera melompat ke depan, yang satu menyambar sepasang kaki depan, yang lain menyambar sepasang kaki belakang kuda itu, kemudian meletakkannya ke tanah.
Pemuda berbaju hitam itu kembali menepuk leher kuda itu, kuda itupun meringkik panjang ingin melompat ke muka, tapi sepasang tangannya sekali lagi menyambar bulu leher kuda itu, akibatnya meski sudah meringkik panjang, kuda itu sama sekali tak mampu bergeser.
Sembari menyeka peluh yang membasahi jidatnya, kata lelaki bertelanjang kaki itu:
"Kuda Hui im Pa cu (macan tutul terbang di awan) benar-benar punya tabiat buruk yang berangasan dan gampang marah, hampir saja aku gagal menaklukkannya, setelah berhasil kutangkap, sialan, ternyata dia ngambek dan tidak mau berlari, terpaksa bukan orang yang menunggang kuda, kudalah yang menunggang manusia."
Setelah memandang sekelilingnya sekejap, dengan wajah berubah, tanyanya lagi:
"Mana Siau Lo sam" Apa belum kembali?"
Lelaki setengah umur itu menggeleng.
Sambil menghentakkan kaki telanjangnya ke tanah, lelaki itu berseru lagi:
"Padahal aku sudah tahu kalau penjagaan di benteng Han hong po sangat ketat dan kuat, si tua bangka Leng juga bukan manusia yang gampang dihadapi, tapi dia justru ngotot ingin ke situ..."
Tiba-tiba berubah paras muka lelaki telanjang dada yang sedang berlutut di depan panji sakti itu, serunya kaget:
"Jadi Samte pergi ke benteng Han hong po untuk mencuri kuda mestika Leng liong kou?"
"Tutup mulut!" bentak kakek bercambang itu nyaring, "kau kesemsem wanita, mengkhianati perguruan, aku Im Gi tidak punya anak durhaka macam kau, Im losam juga tidak punya saudara macam dirimu, biarpun dia mati dalam benteng Han hong po, apa sangkut-pautnya dengan dirimu" Sekali lagi berani memanggilnya Samte, sekarang juga akan kucincang tubuhmu hingga hancur lebur!"
"Anak tahu salah, sadar kalau berdosa dan kesalahanku sangat besar," sahut lelaki itu dengan kepala tertunduk, "sejak dulu, anak memang sudah tidak ingin hidup terus."
"Kalau sudah tahu perbuatanmu amat berdosa dan salah besar, kenapa masih kau lakukan perbuatan yang memalukan ini?" bentak Im Gi keras, "memangnya kau tidak tahu kalau keluarga Im sudah turun temurun bermusuhan dengan benteng Han hong po?"
Kemudian sambil merentangkan sepasang tangannya, dia mengeluh kepada langit:
"Tidak disangka, nama besarku sepanjang hidup akhirnya harus rusak dan musnah di tangan anak durhaka yang tidak setia, tidak berbakti seperti kau!"
Suara jeritannya keras dan penuh kepedihan, bagaikan lolongan monyet yang sedang di mangsa harimau.
Dengan sedih lelaki setengah umur itu segera menimbrung:
"Dia sudah tahu salah, Toako, masa kau tidak bersedia mengampuni jiwanya" Bagaimana kalau kita kutungi sepasang kakinya saja, agar dia cacad seumur hidup?"
Dengan wajah murung dan sendu, lelaki bertelanjang dada itu tertawa pedih, katanya:
"Im Kian telah melanggar pantangan berat, Im Kian bersedia menerima hukuman mati ditarik oleh lima ekor kuda demi ditegakkannya wibawa dan nama baik perguruan panji sakti."
"Bagus!" puji lelaki bertelanjang kaki sambil mengacungkan jempolnya, "begitu baru pantas menjadi anak murid perguruan panji sakti!"
"Biar mati pun aku tidak akan menyesal," kata Im Kian lagi dengan sedih, "aku hanya berharap ayah sudi mengampuni nyawa Leng Cing soat, urusan ini tidak ada sangkut-paut dengan dirinya, semua ini merupakan kesalahanku seorang."
Lelaki kekar yang tidak takut mati ini ternyata meleleh kan air mata, air mata kesedihan, lanjutnya:
"Apalagi dalam rahimnya sudah mengandung darah daging dari keluarga Im!"
Berubah hebat paras muka Im Gi, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, mendadak dari kejauhan berkumandang lagi suara derap kaki kuda, seekor kuda putih bagai anak panah yang terlepas dari busur cepatnya berlarian mendekat di tengah kegelapan malam, tak nampak ada penunggang di atas pelana kuda itu.
"Mana anak Cing?" dengan kening berkerut lelaki setengah umur itu berseru.
Belum selesai ia berkata, sesosok bayangan tampak berkelebat, bayangan manusia berwarna putih sudah muncul dari bawah perut kuda itu dan duduk dengan tenang di atas pelana.
"Hahahaha...." terdengar orang itu tertawa tergelak, "akhirnya Leng liong kou (kuda sakti naga dingin) berhasil juga kutaklukkan!"
Di tengah gelak tertawa nyaring, kuda itu seketika berhenti berlari dan berdiri tidak berkutik di depan panji sakti, seorang pemuda berbaju putih berwajah tampan segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun ke tanah.
Begitu bertemu dengan lelaki yang sedang berlutut di depan panji, dengan perasaan terkejut bercampur gembira, segera sapanya:
"Toako, akhirnya kau pulang juga!"
Im Gi pura-pura tidak mendengar, dengan suara berat serunya:
"Samte, segera umumkan semua dosa dan kesalahannya, kemudian segera laksanakan hukuman!"
Lelaki setengah umur itu menghela napas sedih, dengan kepala tertunduk, ucapnya:
"Im Kiu siau, murid bagian pelaksana hukuman perguruan Thi hiat tay ki bun (panji sakti darah besi) mewakili Cosuya mengumumkan bahwa murid murtad Im Kian telah kesemsem wanita, diam-diam bersekongkol dengan musuh dan dinyatakan bersalah, untuk itu dia pantas menerima hukuman mati ditarik lima ekor kuda!"
Paras muka Im Ceng berubah hebat, teriaknya lantang:
"Ternyata kalian menyuruh aku mencuri kuda tujuannya untuk mencelakai Toako" Ternyata dikelabui! Apa dosa dan kesalahan Toako" Kenapa tubuhnya mesti dicincang dan ditarik oleh lima ekor kuda sampai mati" Kenapa dia harus menerima hukuman sesadis ini" Padahal dia tak lebih hanya mencintai seorang wanita dari keluarga Leng."
Kemudian sambil membalikkan tubuh, dia berlutut di depan kakek bercambang itu dan memohon:
"Ayah, apakah kau tidak bersedia mengampuni Toako sekali ini saja" Bagaimanapun dia adalahh putramu!"
Paras muka Im Gi hijau membesi, dia berdiri mematung di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Gadis berbaju hitam dan pemuda kekar itu serentak ikut menjatuhkan diri berlutut.
Im Ceng maju dua langkah ke depan, sambil memeluk kaki ayahnya, kembali dia memohon:
"Ayah, ampunilah jiwanya sekali ini saja!"
Mendadak Im Kian membentak nyaring sambil melompat bangun, serunya lantang: "Jite, Samte, Site, Ngomoay, Toako tahu bersalah, kalian tak perlu banyak bicara lagi, baik-baiklah merawat ayah, berbaktilah kepadanya.
Dilahirkan sebagai keturunan keluarga Im, aku memang tidak seharusnya jatuh hati kepada anggota keluarga benteng Han hong po. Ayah, ananda tidak berbakti dan telah menodai nama baik panji sakti darah besi, noda ini hanya bisa dibersihkan dengan cucuran darah!"
Begitu selesai berkata, tiba-tiba dia mengayunkan telapak tangannya dan dihantamkan ke atas ubun-ubun sendiri, diiringi jeritan ngeri yang memilukan, percikan darah segar berhamburan kemana-mana.
Im Ceng segera menubruk ke muka, Im Kiu siau membuang muka ke arah lain, sementara lelaki kekar bertelanjang kaki melototkan sepasang matanya mengawasi panji sakti darah besi yang sedang berkibar terhembus angin itu tanpa berkedip.
Im Gi sendiri masih berdiri dengan wajah membesi, sinar matanya berkilat, namun perawakan tubuhnya yang tinggi besar mulai bergetar, bahkan gemetar sangat keras.
Lama sekali dia berdiri kaku bagai patung, berdiri tanpa berkutik.
Akhirnya sambil mencabut panji sakti darah besi yang menancap di tanah perbukitan itu, jeritnya dengan suara yang memilukan hati:
"Langit sebagai saksi, cucuran darah yang mengalir keluar dari tubuh anak murid perguruan panji sakti bukan cucuran darah yang sia-sia, setiap anggota perguruan jangan melupakan pelajaran yang terjadi pada hari ini, terlebih jangan melupakan sumpah berdarah mendiang leluhur kita. Thian sebagai saksi, mulai hari ini saat pembalasan dendam keluarga kita sudah dimulai!"
Teriakan itu keras dan tinggi melengking, nyaring hingga menembus angkasa, sementara cucuran air mata mulai membasahi kelopak mata dan pipinya.
Angin musim gugur masih berhembus kencang, panji sakti darah besi masih berkibar tiada hentinya, malam terasa semakin kelam, hawa membunuh pun semakin tebal menyelimuti seluruh jagad.
Lama sekali Im Gi memegang panji sakti perguruannya, hingga hembusan angin mengeringkan cucuran air matanya, baru ia berseru dengan nada yang dalam dan berat:
"Thiat Tiong-tong tetap tinggal di sini untuk melaksanakan hukuman, yang lain ikut aku pergi!"
Begitu mengucapkan kata "pergi", sekali lagi panji sakti berkibar kencang, menyusul hembusan angin puyuh, tahu-tahu tubuhnya sudah melesat sejauh tiga depa lebih dari posisi semula.
Im Ceng membentak nyaring, sambil melompat bangun, jeritnya keras:
"Untuk melaksanakan hukuman terhadap darah daging keluarga Im, kenapa harus dilakukan oleh anggota marga lain?"
Im Gi yang sudah berada di kejauhan seketika menghentikan langkahnya, perlahan-lahan dia membalikkan tubuh, lalu sepatah demi sepatah dia berkata:
"Semenjak bergabung dalam perguruan panji sakti, mereka adalah sedarah serumpun, barang siapa berani menyinggung lagi tentang 'murid marga lain', batu ini adalah contohnya!"
Begitu selesai bicara, panji besar itu segera dihantamkan ke bawah.
"Criiing!", diiringi percikan lelatu api, sebuah batu hitam sebesar kerbau yang berada di sampingnya seketika terhajar hancur berkeping.
"Ayo jalan!" buru-buru Im Kiu-siau membentak nyaring.
Tanpa membuang waktu lagi dia menyeret tangan Im Ceng dan segera berlalu dari situ.
Dengan sedih nona berbaju hijau itu menengok pemuda berbaju hitam sekejap, tiba-tiba dia pun membalikkan tubuh dan mengikut di belakang pemuda kekar tadi lenyap di balik kegelapan malam sana.
Tidak berapa lama kemudian semua orang sudah berlalu dari situ, kini tinggal pemuda berbaju hitam itu berdiri seorang diri di tengah keheningan, di tengah hembusan angin yang kencang dan ringkikan kuda yang bergema tiada hentinya, lama sekali ia berdiri tak berkutik, hanya sepasang matanya yang jeli memandang ke sana kemari tanpa henti, berkilauan bagai cahaya bintang di tengah malam.
Suara guntur menggelegar membelah bumi, hujan deras pun turun bagaikan dituang dari langit.
Lima ekor kuda meringkik bersama dan berlarian menuju ke lima arah yang berbeda, di belakang kelima ekor kuda itu terlihat ceceran darah yang menggenangi permukaan tanah.
Tapi hanya sebentar saja, tak selang berapa saat kemudian, genangan darah itu sudah bersih tersapu air hujan....
Thiat Tiong-tong, pemuda berbaju hitam itu berdiri kaku di tengah curahan hujan deras bagai sebuah tiang bendera, wajahnya dibasahi butiran air, meleleh dan menetes ke bawah, dia sendiri pun tidak tahu butiran air itu air hujan atau air mata.
Kuda-kuda itu memang sangat terlatih dan punya
kemampuan yang luar biasa, setelah berlarian menuju ke lima arah yang berbeda, mereka langsung berlari menuju ke istal majikannya masing-masing, termasuk juga kuda Leng-liong-kou yang semula kelihatan jinak di tangan Im Ceng, tapi kini ikut berlarian menjauhi tempat itu.
Sungguh cepat lari kuda itu, bagai naga sakti yang terbang di udara, di tengah hujan angin yang deras hanya terlihat sesosok bayangan putih melintas, sama sekali tak dapat dikenali bentuknya secara jelas.
Setelah awan hitam yang tebal dan pekat mulai menipis di ufuk timur, akhirnya lamat-lamat muncullah secercah cahaya terang.
Di bawah sinar redup, di sisi pegunungan yang berbaris, terlihat bangunan rumah yang bersusun bagai sebuah perkampungan yang sedang terlelap tidur, itulah benteng Han-hong-po, sebuah pusat kekuatan persilatan yang disegani di seantero jagad.
Sambil meringkik nyaring, kuda Leng-liong-kou berlari semakin cepat, kini ia berlari menembus sebuah hutan lebat.
Di tengah pepohonan yang rindang, di tengah jalan setapak yang berliku-liku, ditambah air dan lumpur yang berhamburan kemana-mana, mendadak terdengar suara suitan nyaring bergema.
Sesosok bayangan manusia melayang turun dari atas dahan pohon, agaknya ia sudah memperhitungkan waktunya secara tepat, karena tubuhnya langsung melayang turun di atas punggung kuda itu.
Tapi lari kuda Leng-liong-kou kelewat cepat, baru saja tubuh orang itu meluncur ke bawah, sang kuda sudah berkelebat lewat.
Dalam situasi demikian, terlihat orang itu menarik napas sambil melambung ke udara, kemudian setelah bersalto beberapa kali dia menyambar ekor kuda mestika itu dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Dengan begitu tubuhnya pun terseret oleh lari kuda itu dan melambung di tengah udara.
Tiba-tiba orang itu menarik napas panjang, sekali lagi dia berpekik nyaring, kemudian melayang ke punggung kuda itu.
Sambil membelai bulu punggungnya yang halus, terdengar orang itu berbisik lirih:
"Kuda, wahai kuda, masakah kau sudah melupakan aku?"
Di balik kegelapan terlihat orang itu berwajah tampan, bermata tajam dan beralis tebal, wajahnya diliputi kesedihan dan amarah, ternyata dia tak lain adalah Im Ceng!
Walaupun kuda Leng-liong-kou masih berlari kencang, namun tampaknya dia masih teringat pada pemuda yang pernah menjinakkan dirinya, sambil meringkik rendah akhirnya kuda itu berhenti berlari.
Waktu itu sikap Im Ceng jauh lebih tegang ketimbang kudanya, dengan cepat dia melompat ke belakang kuda, di situ terlihat ada dua utas tali kasar yang masih menggelantungan, tali itu penuh dengan percikan darah, juga lumpur, tapi ujung tali sudah tak nampak sepotong benda pun.
"Mungkinkah sudah terlepas?"
Hawa panas yang bergelora dalam dadanya membuat Im Ceng tidak kuasa menahan diri, dia menjatuhkan diri ke tanah dan menangis tersedu-sedu.
"Toako, ooh Toako, sungguh mengenaskan kematianmu, bukan saja jenazahmu tidak utuh, bahkan harus tercecer di sepanjang hutan belantara...."
Sekonyong-konyong terdengar suara hentakkan nyaring berkuman-dang berulang kali, tahu-tahu dari balik hutan sana sudah bermunculan puluhan orang lelaki kekar berpakaian ringkas dan bersenjata tajam, dalam waktu singkat mereka telah mengepungnya rapat, puluhan pasang mata yang tajam berkilauan bagai mata golok yang tertimpa cahaya memandangnya tanpa berkedip.
Im Ceng segera tertawa keras, dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kemari, ayo kemari, aku memang sedang mencari kalian untuk membalas dendam sakit hati Toakoku!"
Baru selesai dia berteriak, tiba-tiba empat orang lelaki kekar yang semula menghadang dihadapannya telah menyingkir ke samping dan membukakan sebuah jalan lewat.
Menyusul terlihat seorang kakek kurus kering, berjubah putih, bertopi caping lebar berjalan mendekat dengan langkah lebar.
Air hujan masih menetes membasahi topi capingnya, menetes di atas wajahnya yang kereng dan penuh wibawa.
Orang itu memiliki kening tinggi dengan sorot mata yang tajam, hidungnya agak bengkok bagai paruh elang, di bawah dagunya terlihat jenggot kambing berwarna abu-abu yang berkibar terhembus angin.
Begitu tiba di hadapan Im Ceng, segera tegurnya ketus:
"Siapa Toakomu, dendam sakit hati apa yang terjalin antara Toakomu dengan benteng Han hong po" Apakah kau anggota perguruan Thi hiat tay ki bun?"
"Leng It hong!" Im Ceng tertawa seram, "kecuali anggota Thi-hiat tay ki bun, keluarga mana yang bisa memiliki anak laki macam kami!"
Ternyata kakek berhidung elang itu bukan lain adalah Han hong Po cu, pemilik benteng Han hong po, Leng It-hong.
Sambil mengelus jenggot kambingnya, dia menegur dengan suara dalam:
"Tengah malam buta begini, berani amat kau mencuri kuda mestika kami, Leng liong kou, nyalimu betul-betul luar biasa"
Hujan angin kembali melanda dengan lebatnya, butiran air yang menetes dari caping lebarnya segera menutupi perubahan wajah kakek itu, menutupi juga telapak tangannya yang gemetar.
Sambil tertawa dingin seru Im Ceng:
"Hmm, orang lain boleh saja menganggap benteng Han hong po sebagai dinding tembaga tembok baja, tapi Siauya sama sekali tak memandang sebelah mata, mau datang mau pergi sesuka hatiku, hmmm, terhitung macam apa dirimu itu!"
Tiba-tiba Leng It-hong bertanya:
"Perguruan panji sakti telah melaksanakan hukuman mati Ngo be hun si (lima kuda memisahkan mayat), apakah tujuannya untuk menghukum Im Kian, si bocah tidak becus itu?"
"Kau akan mendapat giliran yang kedua!" jerit Im Ceng penuh dendam.
Tubuhnya segera bergerak cepat, langsung menerjangke hadapan Leng It hong.
Tiba-tiba terlihat cahaya golok berkelebat, tiga orang lelaki berpakaian ringkas mengayunkan golok panjangnya
menyongsong keda-tangannya, bunga golok bergetar di udara dan memisah menjadi tiga bagian, masing-masing membabat tubuh bagian atas, tengah dan bawah Im Ceng.
Sementara itu Leng It-hong telah menegakkkan kepala sambil tertawa seram, serunya:
"Im Gi, wahai Im Gi, Lohu mesti berterima kasih kepadamu, anak jahanammu telah menggaet putri keluarga Leng kami, tidak disangka kau telah mewakili Lohu menghukum mati bajingan itu!"
Begitu berhenti tertawa, segera hardiknya:
"Tahan, biarkan dia pergi!"
Ketiga orang lelaki itu segera menarik kembali senjatanya dan mundur tiga langkah.
"Manusia she Im," kembali Leng It hong berkata dengan suara mendalam, "mengingat kau pun seorang Enghiong Hohan, kali ini Lohu akan memberi jalan hidup bagimu, lain kali bila berani membuat onar lagi dalam benteng Han hong po, jangan salahkan Lohu membuat kau bisa datang, susah pergi!"
"Jaubui (kentut busuk)!" umpat Im Ceng gusar, "kau tak perlu berlagak suci, sok berwelas-asih, hari ini Siauya justru tak mau balik, bisa apa kau?"
Telapak tangannya kembali menyambar ke muka, dengan lima jari tangannya bagai sebuah kaitan, dia mencengkeram ujung sebilah golok panjang, kemudian tangannya digetarkan kuat-kuat.
Termakan cengkeraman itu, lelaki pemilik golok itu tak kuasa menggenggam senjatanya lagi, lekas dia melepaskan senjatanya sambil melang-kah mundur.
Im Ceng mendengus dingin, kembali lengannya menyodok ke muka, kali ini dengan gagang golok rampasannya dia menyodok jalan darah Ciang tay hiat di dada lawan.
Dua bilah golok panjang lainnya tak tinggal diam, satu dari kiri dan yang lain dari kanan secepat kilat membabat sepasang bahu Im Ceng, cahaya golok berkelebat bagai rantai dan melintas secepat petir.
Sambil membungkukkan tubuh, Im Ceng merangsek maju ke depan, tahu-tahu dia sudah menerobos lewat melalui bawah babatan golok lawan.
Sikut kanannya bekerja cepat, ia langsung menyodok lambung lelaki yang ada di sebelah kiri dengan kuat.
Termakan sodokan yang tidak terduga ini, lelaki itu meringkuk kesakitan, tubuhnya langsung terbungkuk-bungkuk dan tidak mampu berdiri tegak lagi.
Sementara telapak tangan kirinya dengan jurus To yap tiau yang jiu (menusuk balik telapak tangan), mencengkeram pergelangan tangan lelaki yang ada di sebelah kanan, begitu dipuntir sambil disentak ke depan, tubuh lelaki kekar yang bobot tubuhnya mencapai ratusan kati itu seketika terlempar ke udara.
Ling It-hong mendengus dingin, tubuhnya bergeser tiga langkah ke samping sambil menjulurkan telapak tangan kanannya, tahu-tahu dia sudah mendorong tubuh lelaki yang terlempar ke udara itu perlahan, menggunakan tenaga dorongan itu, lelaki itu segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun kembali ke tanah.
Meski berhasil mendarat dengan selamat, tak urung sepasang matanya terbelalak juga mengawasi lawannya, jelas rasa kaget dan ngeri yang mencekam perasaannya belum berhasil dikendalikan.
Dengan ibu jarinya Im Ceng menekan ujung golok, jari telunjuknya melakukan gerakan mencukil dari bawah, golok panjang itu segera berputar arah dan gagang golok itupun jatuh ke dalam genggamannya.
Dengan golok berada di tangan, posisi Im Ceng sekarang ibarat harimau tumuh sayap, segera hardiknya:
"Tua bangka sialan, serahkan nyawamu!"
Ling It-hong sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya, hanya ujarnya dengan dingin:
"Anak muda, jangan kelewat takabur dan lupa diri, tindakan semacam ini hanya akan mempermalukan diri sendiri, coba periksa dulu sekeliling mu, lihatlah apakah sekarang kau masih sanggup melarikan diri?"
Di luar lingkaran lelaki bergolok panjang kini telah bertambah lagi dengan satu lapis pemanah yang telah membentangkan busurnya dan siap melepaskan anak panah yang telah disiapkan, asal ada perintah, maka hujan panah segera akan dilancarkan ke tubuh anak muda itu.
"Sudah kau periksa dengan jelas?" kata Leng It-hong sambil mengangkat telapak tangannya, "asal kuayunkan tanganku ke bawah, perguruan Tay ki bun segera akan kehilangan lagi seorang jagoannya!"
"Bila kau ingin mengancam dengan menggunakan
keselamatan jiwaku sebagai taruhan, maka perhitunganmu keliru besar," teriak Im Ceng sambil membusungkan dada, "kalau ingin menyerang, silakan saja dilakukan, lihat saja apakah Siauyamu ini bakal mengernyitkan dahi atau tidak?"
"Hmm! Walaupun kematianmu tidak perlu disesalkan, tapi tahukah kau bahwa hingga kini kondisi perguruan panji sakti masih sangat lemah, tahukah kau apa sebabnya ayahmu rela hidup menderita selama dua puluh tahun di tepi perbatasan hanya untuk mendidik kalian beberapa orang murid" Tujuannya tidak lain adalah agar kalian kelak bisa membangun kembali kejayaan serta nama besar perguruan panji sakti dalam dunia persilatan, bila hari ini kau mengorbankan nyawa dengan percuma, apakah tidak merasa patut disayangkan" Coba camkan kembali ucapanku ini."
Im Ceng mendongakkan kepala sambil tertawa seram.
"Jago-jago yang muncul dalam perguruan panji sakti bukan cuma aku seorang, sekalipun hari ini aku tewas di tanganmu, suatu hari kelak tetap akan muncul orang lain yang akan menuntut balas kepadamu. Hmmm! Kau tak perlu menakut-nakuti aku!"
"Menghadapi kematian seperti pulang ke rumah, kegagahan dan keberanianmu memang mengagumkan, tapi menolak nasehat yang baik, keras kepala mengikuti suara hati sendiri justru merupakan tindakan seorang goblok yang kelewat dungu."
"Sudah, jangan banyak cingcong," tukas Im Ceng nyaring,
"kalau ingin bunuh, cepat bunuh, kalau ingin bertarung, ayo kita segera bertempur!"
Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara, sambil menjejakkan kakinya dia menendang punggung lelaki kekar itu.
Saat itu rasa kaget dan ngeri yang dirasakan lelaki itu belum lagi hilang, kini dia semakin terkesiap, buru-buru tubuhnya bergulingan di atas tanah menghindarkan diri dari tendangan maut itu.
Siapa sangka saat itulah In Ceng meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa, dari pukulan berubah menjadi cengkeraman, kali ini dia sambar kaki lelaki itu dan memutarnya di angkasa.
Tak sempat menjerit kaget, tubuh lelaki itu sudah terangkat ke udara dan diputar kencang bagaikan sebuah gangsing.
Menyaksikan rekannya jatuh ke tangan lawan, bahkan digunakan sebagai perisai, tentu saja kawanan pemanah itu tidak berani sembarangan bertindak, untuk sesaat mereka menjadi bimbang dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Sambil membentak nyaring, teriak Im Ceng:
"Siapa menghalangi aku mampus, siapa menghindari aku hidup!"
Sambil memutar perisai manusia itu, dia menerjang maju ke dalam kepungan dengan kecepatan luar biasa.
Seketika itu juga suasana menjadi kalut, karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, barisan pengepung itupun kacau-balau tak keruan, dengan begitu terbukalah sebuah jalan.
Menyaksikan hal ini, Leng It-hong segera tertawa dingin, serunya:
"Sejak tadi Tio-toa sudah kehilangan nyawanya, apa lagi yang kalian ragukan?"
Dua orang lelaki bergolok menanggapi teriakan itu dengan menerjang maju ke muka, goloknya diayunkan langsung membabat ke tubuh lelaki yang berada di tangan Im Ceng.
Begitu kuat bacokan golok itu, tak selang berapa saat kemudian, bacokan kedua orang itu telah membelah tubuh rekannya menjadi tiga bagian.
Dimana cahaya golok menyambar lewat, percikan darah segera berhamburan.
Im Ceng membentak nyaring, sekuat tenaga dia lemparkan potongan mayat dalam genggamannya ke wajah salah satu lelaki penyerang itu.
Lemparan yang tak terduga ini seketika membuat seluruh wajah lelaki itu bermandikan darah, sambil menjerit kaget dia melompat mundur, tapi begitu teringat benda yang dilemparkan ke wajahnya adalah kurungan mayat rekannya yang terbelah, kontan perutnya menjadi mual.
Tanpa membuang waktu lagi dia membuang golok dalam genggaman nya dan berlarian menjauh dari situ sambil memuntahkan seluruh isi perutnya, lari seperti orang gila.
Bagai harimau ganas yang menyerang mangsanya, Im Ceng langsung menerobos masuk ke tengah lapisan cahaya golok, dengan tangan kosong dia melayani puluhan bilah golok panjang yang menyambar di sekeliling tubuhnya.
Terlihat bayangan manusia bergerak lewat, diiringi jeritan kaget, lagi-lagi ada tiga orang lelaki kekar yang terseret dan terlempar keluar dari arena pertempuran.
"Budak-budak goblok yang tidak berguna!" umpat Leng It-hong dengan wajah bertambah gelap.
Kawanan pemanah yang berada di empat penjuru serentak menarik busur masing-masing, siap melancarkan serangan, begitu telapak tangan Leng It-hong dibalik dengan ibu jari menuding ke bawah, serentak kawanan jago itu membentak nyaring dan melepaskan anak panah masing-masing.
Desingan angin tajam seketika memenuhi seluruh udara, berpuluh-puluh batang anak panah bagaikan beribu ekor belalang terbang, langsung meluruk ke tubuh lawan.
Mimpi pun kawanan jago bergolok panjang yang sedang mengepung Im Ceng tidak menyangka, Pu-cu mereka begitu tega tidak memikirkan keselamatan anak buahnya dengan memutuskan untuk melepaskan hujan panah.
Dalam terkejut bercampur ngeri, serentak mereka memutar goloknya sambil kabur ke empat penjuru, dua orang di antaranya yang kabur agak terlambat seketika tertembus panah, diiringi jerit mengerikan yang memilukan hati mereka jatuh bergelimpangan di tanah dengan dada tertembus puluhan batang panah.
Sejak semula Im Ceng telah mempersiapkan golok dalam genggaman, sambil memutar tubuh dia memainkan goloknya kian kemari, seketika anak panah yang tertuju ke arahnya berjatuhan dimana-mana.
Tapi kawanan pemanah itu telah menyiapkan kembali anak panahnya, mereka siap melepaskan serangannya begitu diperintahkan.
Dengan pandangan dingin Leng It-hong mengawasi anak muda itu, katanya ketus:
"Sekarang aku sudah tidak bisa membebaskan dirimu lagi, tangkap dia hidup-hidup atau bunuh dia di tempat!"
Mendadak dari balik rindangnya dedaunan sebatang pohon raksasa, muncul seorang gadis, meski berbaju perlente, namun keadaannya amat mengenaskan.
Dari belakang gadis itu, di balik dedaunan yang lebat, terdengar seseorang berseru dengan suara dingin:
"Leng It-hong, kau masih menginginkan nyawa putrimu?"
Berubah hebat paras muka Leng It-hong.
"Siapa kau?" hardiknya, "cepat bebaskan dia!"
"Tidak sulit bila ingin kubebaskan putrimu, silakan kalian antar pemuda she Im itu keluar hutan, kujamin nyawa putrimu tak akan terusik!"
Ling It-hong tertawa dingin.
"Hmm, ternyata anak murid perguruan panji sakti pun mampu melakukan perbuatan sebejad itu, hari ini sepasang mata Leng It-hong betul-betul terbuka!" ejeknya.
"Siapa bilang dia adalah anggota perguruan panji sakti?"
teriak Im Ceng gusar.
"Kalau dia bukan anggota perguruan panji sakti, kenapa menggunakan cara yang begitu licik dan busuk untuk menyelamatkan jiwamu?"
Dengan gusar Im Ceng segera menengadah, teriaknya:
"He... siapa kau?"
"Setelah keluar dari hutan ini dalam keadaan selamat, otomatis kau akan bersua denganku!"
"Aku Im Ceng meski harus mati pun tak sudi kau tolong dengan cara serendah itu."
Orang yang berada di balik rindangnya pepohonan itu segera menyahut sambil tertawa dingin:
"Kalau aku ngotot ingin menolongmu, mau apa kau?"
Tiba-tiba Leng It-hong melepaskan topi bambu dari kepalanya dan membantingnya keras-keras ke tanah, umpatnya:
"Selama hidup Lohu paling benci dipaksa orang, hari ini aku benar-benar dibuat celaka oleh kau si budak sialan."
"Mundur!" teriaknya kemudian.
Tidak selang berapa saat, seluruh jagoan yang ada di situ telah mengundurkan diri.
"Kenapa belum kau bebaskan dia?" kembali Leng It-hong membentak nyaring.
"Orang she Im toh belum pergi dari situ!" jawab orang itu sambil tertawa.
"Kau hanya bisa menggunakan cara itu untuk memaksa, jangan harap bisa memaksaku," teriak Im Ceng lagi, "kalau aku bersikeras tidak mau pergi, bisa apa kau?"
"Kalau tidak mau pergi, aku pun bersikeras tidak akan melepaskan dia, sehari kau tidak pergi, sehari juga aku tidak akan melepaskan dia, jika sepuluh hari kemudian kau baru pergi, aku pun akan menahannya sepuluh hari, aku tahu tabiatmu memang keras kepala, justru ingin kulihat watak baumu yang keras dan busuk itu bisa bertahan berapa lama?"
Hijau membesi paras muka Im Ceng, biarpun dia tahu orang sedang menolongnya, tapi dia justru tak sudi menerima budi kebaikan itu, mendadak hardiknya:
"Aku justru akan memaksamu melepaskan dia!"
tahu baru saja tubuhnya berputar, telapak tangan Leng It-hong sudah dihantamkan ke ulu hatinya.
"Kurangajar!" teriak Im Ceng gusar, "aku berbaik hati menolong putrimu, kenapa kau malah membokongku?"
"Hahahaha...." orang di belakang pohon ikut tertawa tergelak,
"aku pun berbaik hati ingin menolongmu, kenapa kau pun membokongku?"
Kontan Im Ceng terbungkam, tak sanggup berkata lagi.
Tiba-tiba dari luar hutan terdengar seseorang berteriak:
"Dimana adik Im Kian?"
Di tengah hujan lebat terlihat seorang gadis berbaju putih dengan membawa payung bambu melayang masuk ke dalam hutan.
Gerakan tubuhnya enteng dan cepat, sekalipun sedang berjalan di tengah hujan deras, pakaiannya tak nampak kotor, ternoda sedikit lumpur pun tidak.
Ling It-hong seketika kembali mengernyitkan alis matanya.
Gadis berbaju putih itu sama sekali tidak menengok kearahnya, sorot matanya hanya mengawasi Im Ceng tanpa berkedip.
"Jadi kau adalah Im Ceng?" dia menyapa.
"Dan kau Leng Cing-soat?"
"Benar aku," sahut gadis berbaju putih itu sambil manggut-manggut.
"Kau telah mencelakai Toakoku, sekarang masih punya muka untuk bertemu denganku?" bentak Im Ceng lagi.
Sepasang kepalannya langsung ditonjokkan ke depan, menghantam sepasang bahunya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan cekatan eng Cing-soat mengoyang pinggangnya dan tahu-tahu sudah lolos dari ancaman.
"Kau berani bersikap kurangajar terhadap ensomu?" tegurnya.
"Kau ini enso siapa?" balas Im Ceng gusar.
Ketika serangan yang kedua baru saja dilancarkan, terdengar Leng Cing-soat berseru lagi:
"Aku sedang mengandung darah daging Toakomu, berani kau memukulku?"
Sambil berkata dia majukan tubuhnya dan siap menyambut pukulan itu.
Buru-buru Im Ceng menarik kembali pukulannya sambil mundur tiga langkah, untuk sesaat dia berdiri mematung, wajahnya sebentar berubah hijau sebentar putih, untuk beberapa saat dia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah menghela napas panjang kembali Leng Cing-soat berkata:
"Setelah Toakomu meninggal, sudah seharusnya kau turuti perkataan ensomu, cepat tinggalkan tempat ini, ketahuilah ensomu adalah seorang yang bernasib jelek!"
Butiran air matanya kembali bercucuran membasahi pipinya.
Im Ceng memandang sekejap air mata yang membasahi wajah perempuan itu, kemudian memandang sekejap pula ke arah gadis yang ada di atas pohon, akhirnya sambil menjejakkan kakinya dengan gemas, dia berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Mendadak berkelebat kembali selapis hujan cahaya yang menyilaukan mata, puluhan titik cahaya perak yang membawa desingan angin tajam meluncur datang dan mengurung radius beberapa depa di sekeliling tubuhnya.
Dengan cekatan Im Ceng menjatuhkan diri ke belakang, lalu melejit ke udara dan berputar tiga kali.
"Triiing, triiing!", lapisan hujan perak itu bergerak membuat satu lingkaran, kemudian baru berkumpul menjadi satu, setelah saling membentur di tengah udara, hujan perak tadi baru menyebar ke empat penjuru dengan kekuatan yang sama sekali tak berkurang.
Kali ini lapisan hujan cahaya itu mengancam ke wajah dan dada anak muda itu.
Im Ceng mengayunkan sepasang tangannya berulang kali, di tengah deru angin pukulan yang bergelombang, akhirnya ia berhasil merontokkan semua hujan cahaya itu, ternyata benda-benda itu tidak lain adalah puluhan batang jarum perak yang lembut bagai bulu kerbau.
Paras muka Leng It-hong maupun Leng Cing-soat berubah hebat, sementara manusia misterius yang berada di balik pepohonan ikut membentak penuh amarah:
"He, berani amat kau melancarkan serangan bokongan kepadanya, memangnya nyawa putrimu sudah tidak kau inginkan?"
"Kalian keliru besar," teriak Leng Cing-soat, "senjata rahasia itu bukan dilancarkan oleh orang-orang Han hong po."
"Apa" Kau masih ingin berkelit?" seru Im Ceng.
"Orang yang biasa menggunakan Thian li ciam (jarum gadis langit) sebagai senjata rahasia andalannya hanya ada satu keluarga, ilmu melepaskan Am gi Leng long biau jiu, Sam san thian hoa (jari tangan lentik penyebar bunga langit) pun tiada duanya di kolong langit, setelah menyaksikan senjata rahasia semacam ini, setelah melihat ilmu melepaskan senjata rahasia seperti ini, masakah kalian belum bisa menebak siapa pelakunya" Mana boleh kalian timpakan kesalahan ini kepada benteng Han hong po?"
"Lalu perbuatan siapa" Kalau punya nyali, ayo cepat perlihatkan wajahmu!"
Tiba-tiba Leng It-hong menganggukkan kepalanya seraya berkata:
"Seng-toaso, silakan keluar, bila kau tidak segera tampil, keponakan wanitamu akan kehilangan nyawa!"
Gelak tertawa seketika berkumandang dari belakang sebatang pohon besar.
Suara tertawanya merdu, lembut dan sedap didengar, bagaikan suara tertawa seorang gadis, tapi yang muncul berbareng suara tertawa itu adalah seorang nyonya tua yang rambutnya telah beruban dan membawa sebuah tongkat besar.
Di belakang nenek itu mengikut seorang lelaki setengah umur yang memiliki wajah merah dengan hidung singa dan mulut lebar, kumis dan jenggotnya pendek dan tipis.
Ia mengikut terus di belakang si nenek sambil memegangi sebuah caping bambu yang lebar, dengan caping itu dia menutupi kepala si nenek dari curahan air hujan, sementara pakaiannya sendiri yang dikenakan telah basah kuyup.
Nenek itu berjalan dengan langkah lebar, bukan saja tidak nampak ketuaannya, bahkan gerak-gerik maupun suara tawanya mirip seorang gadis berusia belasan.
"Tiga orang menantuku, satu demi satu telah tewas di tangan orang-orang Tay ki bun," ujarnya nyaring, "ini membuat putraku selama belasan tahun enggan menikah lagi, apa salahnya kalau kau pun kehilangan seorang putri untuk menemani menantuku di alam baka" Sekarang anak orang she Im sudah muncul di benteng Han hong po, memangnya akan kau lepas begitu saja?"
Nada ucapan si nenek pun terdengar halus dan lembut, jauh bertolak belakang dengan kerutan yang memenuhi wajahnya.
Berubah paras muka Leng It-hong. Tapi sebelum ia sempat berkata, manusia misterius yang berada di balik pepohonan telah berseru sambil tertawa:
"Rupanya yang datang adalah pemilik perkampungan keluarga Seng yang dulu disebut orang San hoa hian li (perempuan sakti penyebar bunga) Seng-toanio" Berarti yang mengikut di belakangmu adalah Ci sim Kiam khek (jago pedang berhati merah) Seng Cun-hau, Seng-siaucengcu, selamat bersua, selamat bersua!"
Seng-toanio mendengus dingin, tanpa mendongakkan kepala, katanya dingin:
"Hmm, bukankah kau ingin mencabut nyawa Leng Cing-ping"
Ayo, lakukan segera. Kini aku sudah muncul di sini, jangan harap manusia she Im itu bisa kabur lagi dari tempat ini!"
"He, Leng It-hong, sudah kau dengar perkataan itu" Biarpun menantunya sudah mati, dia masih punya anak lelaki, sebaliknya jika kau kehilangan putrimu, menantu pun tidak akan kau punyai"
"Im Ceng, sebenarnya kau mau pergi atau tidak?" dengan wajah menyeramkan Leng It-hong menghardik.
Saat itu Im Ceng sedang berdiri bersandar di atas sebatang pohon besar, sambil bersiaga penuh, sahutnya lantang: "Siauya kalau mau datang segera akan datang, mau pergi segera akan pergi, jangan harap ada yang bisa menghalangiku!"
"Benarkah begitu?" jengek Seng-toanio, "Leng-laute, sudah kau dengar" Orang lain sama sekali tak memandang sebelah mata pun terhadap benteng Han-hong-po, masa kau hanya berdiam terus?"
Sebelum Leng It-hong menjawab, sambil menghela napas panjang Leng Cing-soat telah berkata: "Bibi, semestinya kau pun berpikir untuk kami, kini adikku sudah terjatuh ke tangan orang, apalagi yang bisa kami perbuat?"
"Keponakanku, kau jangan berkata begitu," tukas Seng-toanio, "ketika bibi menyaksikan perguruan Tay-ki-bun kembali melaksanakan hukuman mati dengan ditarik lima ekor kuda, bahkan mencuri kuda mestika, buru-buru aku menyusul kemari, bukankah tujuannya demi kebaikan bersama" Sudah bertahun-tahun lamanya perguruan Tay ki bun menahan diri, kini mereka mulai muncul sambil melakukan pembalasan dendam, jelas orang-orang itu akan melakukan pemban-taian secara besar-besaran, jika kau tidak membunuhnya, dialah yang akan membunuhmu. Sekarang jumlah orang kita banyak, sedang jumlah mereka sedikit, kalau satu melawan satu sudah pasti kitalah yang untung."
Tiba-tiba Im Ceng tertawa tergelak, serunya: "Siapa yang sudi beradu nyawa dengan kalian" Selamat tinggal, Siauya segera akan pergi!"
Di tengah gelak tertawanya, ia bergeser sambil menempel di batang pohon dan menyelinap masuk ke balik pepohonan yang lebat.
Siapa pun tak ada yang menyangka dengan tingkah-laku pemuda ini, tadi ketika dilepas, ia ngotot tak mau pergi, sekarang ketika orang berniat menahannya, ia justru memanfaatkan peluang itu untuk kabur.
Seng-toanio tertawa dingin.
"Cun-hau!" serunya, "hadang jalan perginya!"
Pendekar pedang berhati merah Seng Cun-hau menyahut dengan suara dalam, baru saja dia akan menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget dari Im Ceng yang berasal dari balik pepohonan:
"Aaah, rupanya kau!"
Menyusul kemudian terdengar suara jeritan kaget Leng Cing-ping yang terjatuh dari atas pohon, lekas Leng It-hong melompat ke depan dan memeluk tubuh putrinya.
Dalam waktu yang amat singkat, terlihat bayangan manusia berkelebat, tahu-tahu Seng Cun-hau telah melolos pedangnya sambil menerobos masuk ke balik pepohonan.
Diiringi suara ranting dan dahan pohon yang berguguran tertebas pedangnya, tampak dua sosok bayangan manusia meluncur turun dari atas sebatang pohon.
Segera Leng It-hong menyerahkan gadis yang berada dalam bopongannya ke tangan Leng Cing-soat, serunya berat:
"Cepat bawa dia pulang!"
Ling Cing-soat mundur ke belakang, tapi sorot matanya masih memandang ke arah depan.
Terlihat dua sosok bayangan manusia meluncur turun dari atas dahan pohon, salah seorang di antaranya adalah seorang lelaki berbaju serba hitam dengan sebilah pedang tersoreng dipunggungnya.
Baru saja pemuda itu siap menutulkan kembali kakinya untuk sekali lagi melambung ke udara, tiba-tiba terasa segulung angin pukulan yang dingin menggidikkan telah menyambar tiba.
Rupanya Leng It-hong telah memburu datang sembari melancarkan sebuah pukulan maut.
"Saat ini jangan harap kau bisa lolos dari sini!" teriaknya gusar.
Pemuda berbaju hitam itu tetap bungkam, dia membuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari pukulan itu, menggunakan kesempatan yang ada dia pun mencabut pedangnya sambil menyerang sepasang mata lawan.
Bukan saja ilmu pedangnya tajam, serangan pun dilancarkan cepat bagai sambaran petir.
Ling It-hong segera membalik sepasang tangannya sambil dirangkap jadi satu, tujuannya ingin menjepit tubuh pedang orang berbaju hitam itu, kecepatannya mengubah jurus serangan betul-betul luar biasa.
Siapa sangka orang berbaju hitam itu telah memutar pedangnya sambil melepaskan tusukan langsung, dalam waktu singkat lagi-lagi dia melancarkan lima serangan berantai.
Biarpun ilmu pedangnya biasa tanpa variasi yang aneh, namun kecepatan serangannya betul-betul luar biasa, biarpun Leng It-hong sudah puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan pun jarang menjumpai kehebatan semacam ini.
Di pihak lain pendekar pedang berhati merah Seng Cun-hau sudah bertarung tiga gebrakan melawan Im Ceng, tiba-tiba serunya:
"Paman Leng, biar keponakan yang menjajal kehebatan jurus serangan pemuda itu!"
Sekalipun perkampungan keluarga Seng tersohor sebagai keluarga senjata rahasia, namun selama ini Seng Cun-hau justru lebih terkenal dalam dunia Kangouw sebagai seorang jago pedang, tak heran muncul keinginannya untuk menjajal ilmu pedang pemuda berbaju hitam itu setelah menyaksikan kehebatan lawan.
"Ilmu pedang yang dimiliki bangsat ini sangat cepat, permainan tangannya sangat lincah, Hiantit, kau mesti lebih berhati-hati bila bertarung melawannya!" kata Leng It-hong dengan suara dalam.
"Keponakan mengerti!"
Setelah melancarkan tiga serangan berantai, dia telah bertukar posisi dengan Leng It-hong, pedangnya diluruskan sejajar dada dan kini ia berdiri saling berhadapan dengan pemuda berbaju hitam itu.
Mereka berdua berdiri saling berhadapan tanpa menggerakkan tubuh, hanya sorot matanya yang saling bertatapan.
Kedua orang ini, yang satu berwajah hitam bersinar merah, sementara yang lain berwarna hitam berkilat, hidungnya sama-sama hidung singa, matanya sama-sama tajam bagai sembilu, keangkeran mereka lamat-lamat memperlihatkan gaya seorang jago kenamaan.
Di pihak lain Im Ceng telah bertarung beberapa gebrakan melawan Leng It-hong, mendadak pemilik benteng Han hong po ini menyaksikan lawannya sedang mengawasi pemuda berbaju hitam itu dengan wajah penuh amarah.
Terdengar Seng-toanio sambil tersenyum telah berseru:
"Leng-laute, kenapa mesti terburu-buru bertarung" Toh orang she Im itu tidak bakal bisa lolos dari sini, ayo kita saksikan pertarungan orang ini lebih dulu, coba lihat, bukankah perawakan pemuda itu mirip sekali dengan Cun-hau" Hakikatnya mereka seperti dua bersaudara saja."
Im Ceng yang berada di tepi arena mendadak berteriak pula dengan suara lantang: "Thiat Tiong-tong! Kalau kau enggan melancarkan serangan, lebih baik angkat saudara saja dengan orang itu!"
Ternyata pemuda berbaju hitam itu tak lain adalah murid ketiga dari perguruan Tay ki bun, Thiat Tiong-tong, dia adalah seorang anak yatim piatu dan sudah banyak menerima budi dari perguruan, itulah sebabnya pada hari-hari biasa ia selalu mengalah kepada adik seperguruannya ini.
Maka akhirnya dia pun turun tangan.
Orang yang tak sembarangan melancarkan serangan, biasanya serangan yang dilakukannya pasti cepat bukan kepalang.
Diiringi dua bentakan nyaring, dua kilas cahaya pedang saling menyambar di tengah udara.
Menyusul kemudian "Triiing, triiing.... ", kembali berkumandang dentingan nyaring saling beradunya pedang, begitu bertemu mereka saling berpisah lagi, dalam waktu singkat kedua belah pihak telah melancarkan belasan jurus serangan.
Kini perhatian semua orang sudah tertuju ke tengah arena, semua orang seakan-akan terkesima oleh pertarungan yang sedang berlangsung.
Hanya Im Ceng seorang yang terkecuali.
"Aaah, ternyata mereka berasal dari perguruan Tay ki bun, bagus, bagus sekali" terdengar pujian bergema berulang kali.
"Apanya yang bagus?" bentak Im Ceng gusar.
Seng-toanio tertawa terkekeh-kekeh.
"Di saat perguruan Tay-ki-bun melakukan pembalasan, biasanya mereka suka membokong dan menyerang secara gelap, bahkan jumlahnya tak mungkin hanya satu dua orang, hari ini sudah ada tiga orang yang jatuh ke cengkeraman kami, apa tidak bagus namanya?"
"Mana ada tiga orang?" tanya Leng It-hong keheranan.
"Leng-Iaute, masa kau lupa kalau dalam perut putrimu masih ada seorang lagi?"
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Asal ada anggota keluarga Im yang terjatuh ke tanganku, jangan harap mereka bisa hidup selamat!"
Ling It-hong segera melompat ke depan, menghadang di depan dua bersaudara Leng Cing-soat, bisiknya kemudian:
"Kalian segera mundur dari sini!"
Sekali lagi Seng-toanio tertawa terkekeh-kekeh.
"Leng-Iaute, apa yang kau takuti" Memangnya jarum gadis langit milik Seng-toanio digunakan secara sembarangan"
Sekalipun akan turun tangan, yang pasti sasarannya bukan putrimu!"
Pada saat itulah mendadak dari luar hutan muncul belasan ekor kuda yang tinggi besar berlarian mendekat, kuda-kuda itu mengenakan pelindung kepala yang terbuat dari baja sementara punggungnya juga mengenakan lapisan lempengan baja yang kuat.
Belasan orang lelaki berbaju hitam menempel ketat di atas punggung kuda itu, meski sedang berlarian menerobos pepohonan yang rapat, namun kepandaian menunggang kuda orang-orang itu luar biasa sekali, mereka berhasil melewati setiap rintangan dengan mudah dan cepat, selancar sedang berlarian di padang luas.
Begitu rombongan berkuda itu menerobos masuk ke dalam hutan, seketika itu juga gerombolan manusia yang semula mengepung hutan itu membubarkan diri karena kaget bercampur takut.
Terdengar orang yang ada di kuda itu membentak nyaring:
"Semua anggota perguruan Tay ki bun segera mundur dari sini!"
Menyusul bentakan itu, puluhan titik senjata rahasia berhamburan keluar dari tangan para penunggang kuda itu langsung mengancam tubuh Seng-toanio, Leng It-hong serta Leng Cing-soat bersaudara.
Dua orang di antara mereka segera melompat turun dari kudanya dan menyisakan dua ekor kuda untuk Im Ceng berdua.
Sambil memutar pedangnya, Thiat Tiong-tong segera melompat naik ke punggung kuda, teriaknya sembari menarik lengan Im Ceng:
"Samte, ayo pergi dari sini!"
Im Ceng meronta melepaskan diri dari cengkeraman, dia segera melompat naik ke punggung kuda yang lain dan mencemplak kudanya.
Kedatangan rombongan manusia berkuda itu sangat cepat dan mendadak, sewaktu pergi pun mereka lakukan dengan cepat, terdengar ringkikan kuda yang sahut-menyahut, tidak selang beberapa lama kemudian mereka sudah lenyap di balik pepohonan.
Setelah berhasil menghindari serangan Am gi, Seng-toanio segera berseru:
"Ayo kejar!"
Setiap orang ikut dalam pengejaran itu, hanya Leng Cing-soat bersaudara tetap berdiri tak bergerak di posisi semula.
Tiba-tiba terdengar Leng Cing-ping menghela napas panjang sambil bergumam:
"Semoga mereka berdua tidak sampai terkejar oleh ayah!"
Mendengar itu Leng Cing-soat mengerutkan dahinya, tanyanya keheranan:
"Bukankah dia telah menyiksamu, kenapa kau malah berharap dia berhasil lolos?"
Sekali lagi Leng Cing-ping menghela napas sedih:
"Dia tidak menyiksaku, dia tidak pernah menyiksaku"
Ucapannya amat halus dan manja, tubuhnya pun kelihatan lemah tak bertenaga, sama sekali bertolak belakang dengan kondisi kakaknya yang keras, dingin dan angkuh.
Ling Cing-soat sekali lagi menatap adiknya, setelah menarik napas panjangujarnya:
"Ji-moay, apakah kau pun jatuh cinta kepada murid perguruan Tay ki bun itu" Apakah kau tidak cukup melihat penderitaan Cicimu ini?"
Leng Cing-ping menundukkan kepala, sampai lama dan lama sekali tanpa bicara.
BAB 2 Senyuman Suto Siau
Thiat Tiong-tong serta Im Ceng memiliki ilmu menunggang kuda yang hebat, kedua ekor kuda tunggangan mereka pun merupakan kuda mestika pilihan yang hebat.
Tidak lama setelah berlarian menembus pepohonan, kedua orang itu sudah jauh meninggalkan rombongan berkuda lainnya.
Terdengar para penunggang kuda itu berseru keras:
"Kalian berdua cepat lari dari sini, biar kami yang menghadang para pengejar itu!"
Maka rombongan manusia berkuda yang ada di belakang pun semakin ketinggalan jauh.
Dalam waktu singkat Leng It-hong serta Seng-toanio telah berhasil menyusul seekor kuda yang ada di barisan paling belakang.
Sambil melambung ke tengah udara Leng It-hong
melancarkan sebuah pukulan ke punggung penunggang itu, biarpun tenaga serangannya tidak terlalu dahsyat, namun ancaman yang dilepaskan dari tengah udara ini memiliki kekuatan yang cukup menakutkan.
Sementara Seng-toanio dengan tangan kanan menggenggam jarum perak, tongkat di tangan kirinya langsung disodokkan ke depan, ujung tongkatnya mengancam jalan darah Leng-tay-hiat serta Ming-bun-hiat di tubuh orang itu.
Serangan gabungan yang dilancarkan kedua orang itu sungguh dahsyat dan mengerikan, siapa tahu penunggang kuda itu hanya tertawa, tiba-tiba tubuhnya menerobos ke bawah perut kudanya.
Gerakan tubuhnya enteng dan cantik, bicara soal
kemampuannya menunggang kuda, boleh dibilang jarang ada jagoan persilatan di daratan Tionggoan yang sanggup menandinginya.
"Mau lari kemana kau!" bentak Seng-toanio gusar.
Serangan tongkat besinya makin gencar, kali ini dia mengancam punggung kuda itu.
Perlu diketahui, tongkat besi yang dia gunakan adalah sebuah tongkat yang ditempa dari bahan baja dari laut selatan, jika sampai mengenai sasaran, dapat diduga baik manusia maupun kudanya akan tak tahan.
"Seng-toaci, ampuni jiwa mereka!"
Seng-toanio menarik kembali pergelangan tangannya, dengan jurus Hian gay li bi (sadar di saat genting) dia menahan serangan toyanya secara paksa dan menariknya ke belakang.
"Plokkk!", toya itu menghantam perlahan di atas pelana kuda itu.
Terlihat sesosok bayangan manusia menyelinap keluar dari bawah perut sang kuda, kemudian setelah duduk di pelana, ia menarik tali les kudanya, maka diiringi ringkikan panjang kuda itupun berhenti berlari.
Dengan wajah berubah Leng It-hong dan Seng-toanio segera berseru hampir berbareng:
"Suto Siau, rupanya kau?"
Orang ini berwajah bulat bagai rembulan, senyuman selalu menghiasi ujung bibirnya, dia pun termasuk salah satu musuh bebuyutan dari perguruan Tay ki bun, bukan saja seorang pendekar kenamaan dalam dunia persilatan, dia pun tersohor sebagai saudagar kaya raya, pemilik peternakan kuda Lok-jit dan dikenal sebagai Suto Siau.
Siapa pun tidak menyangka kalau orang yang menyelamatkan anak murid perguruan Tay ki bun dari mara bahaya ternyata adalah dia!
Ling It-hong dan Seng-toanio berdiri tertegun.
"Apa-apaan kau ini" Apa maksudmu berbuat begitu" Apakah kau telah mengkhianati sumpah setia persekutuan kita dengan berpihak kepada perguruan Tay ki bun?"
Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, biarpun aku punya keinginan begitupun belum tentu mereka mau menerimaku."
"Lantas" Memangnya kau sudah edan?"
"Seng-toanio toh seorang pendekar wanita yang ampuh dan pintar, masa tak bisa menduga siasat apa yang sedang Siaute lakukan hari ini?"
"Siasat" Siasat apa" Tanpa siasatmu pun kami berhasil mengurung para cecunguk perguruan Tuy ki bun, kenapa kau malah membebaskan mereka?"
"Aku pun ingin tahu siasat bagus apa yang sebenarnya sedang dirancang saudara Suto?" timbung Leng It-hong pula ketus.
Sementara itu belasan pasukan berkuda itu sudah berbalik dan berlarian pelan di tanah pegunungan, hujan yang turun makin bertambah kecil, walaupun langit masih gelap, namun fajar segera akan menyingsing.
"Aku tahu, membebaskan harimau pulang gunung, memang bukan cara yang tepat" kata Suto siau kemudian, "tapi aku sedang melaksanakan siasat mengulur senar pada ikan yang terpancing, jika kalian berdua masih juga belum paham, ayo kita cari dulu tempat berteduh, akan Siaute terangkan sejelas-jelasnya"
Tempat paling dekat untuk berteduh dari air hujan adalah benteng Han hong po, tentu saja tempat paling tepat yang dituju adalah benteng itu.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Suto Siau baru menerangkan secara gamblang:
"Perguruan Thi hiat tay ki bun adalah perguruan dengan kawanan jago yang tangguh, hampir semua partai dan perguruan yang ada di kolong langit menaruh rasa segan terhadap mereka, bukan disebabkan lantaran kungfunya memang merupakan aliran tersendiri, yang lebih penting lagi adalah gerak-gerik serta sepak terjang mereka kosen, nekad dan hebat. Belakangan mereka memang berusaha menghindari segala pertikaian dengan hidup mengasingkan diri di daerah pinggiran perbatasan, tapi siapa berani menjamin pada suatu hari nanti mereka akan muncul kembali di keramaian dunia, kemunculan yang kita semua kuatirkan."
Senyuman masih menghiasi bibirnya, setelah berhenti sesaat, lanjutnya kembali:
"Kemunculan kembali perguruan Thi hiat tay ki bun di daratan Tionggoan kali ini, tak terlepas tujuan utamanya adalah untuk menghadapi kita lima keluarga besar, bila kita analisa dari kekuatan yang dimiliki kedua belah pihak, aku rasa siapa lebih kuat dan siapa lebih lemah tak perlu kujelaskan lagi, kalian pun tentu lebih mengerti."
Ling It-hong maupun Seng-toanio tidak berkomentar, mereka hanya mendengarkan dengan seksama.
"Sekalipun kita tidak tahu kekuatan sesungguhnya dari perguruan Tay ki bun, namun anak murid mereka memang selamanya tak banyak, tak mungkin mereka bisa menghadapi keroyokan jumlah besar. Jadi apabila kita lima keluarga besar mau berhimpun menjadi satu dan bekerja sama, jelas saat kematian mereka sudah tiba. Tapi bila kita mesti berhadapan satu lawan satu... aku takut pihak kitalah yang bakal keok."
Ling It-hong tertawa dingin.
"Hmm, kecuali ada anggota persekutuan yang tiba-tiba berkhianat dan membantu pihak lawan secara diam-diam, kalau tidak, kerja sama kita lima keluarga besar tak mungkin buyar, bersatu terus sampai mati!"
Senyuman masih tetap menghiasi bibir Suto Siau, ujarnya lagi:
"Selisih jarak antara kita lima keluarga besar, yang paling dekat pun berjarak sekitar puluhan li, meskipun di waktu biasa jarang saling berhubungan, namun di saat ada ancaman bahaya, pasti akan datang saling membantu, selama ini serangan dari pihak perguruan Tay ki bun selalu dilakukan cepat bagai angin, begitu gagal dengan serangannya, mereka segera akan mundur, tapi bila serangannya berhasil, apa yang akan dilakukan?"
Sekali lagi paras muka Leng It-hong dan Seng-toanio berubah hebat.
Sambil tetap tertawa Suto Siau berkata lagi:
"Apalagi meski kita berhasil mengalahkan perguruan Tay ki bun, tapi asal ada satu saja di antara anak muridnya yang berhasil lolos, yang pasti kita akan selalu dibuat makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, aku rasa kalian pun bukannya tak tahu bagaimana tabiat anggota perguruan Tay ki bun yang pantang menyerah dan punya tekad yang besar, bahkan sepak terjangnya mendekati perbuatan nekad itu?"
Perasaan setiap orang merasa bergetar karena mereka bisa membayangkan kembali betapa nekad dan mengerikannya sepak terjang orang-orang perguruan Tay ki bun.
Lewat lama kemudian Seng-toanio baru bertanya:
"Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?"
"Himpun seluruh kekuatan yang ada dan basmi perguruan Tay ki bun hingga ke akar-akarnya!"
"Tapi mereka ada di tempat gelap sementara kita ada di tempat terang, masa kita lima keluarga besar harus berkumpul menjadi satu setiap hari khusus untuk menanti kedatangan mereka?"
"Bila kita lima keluarga besar selalu berkumpul menjadi satu, tak mungkin mereka akan muncul."
"Itulah sebabnya cara semacam ini tidak bisa digunakan."
"Kenapa begitu" Kalau mereka tidak datang mencari kita, memangnya kita tidak bisa pergi mecari mereka?"
Ling It-hong tertawa dingin.
"Kalau bisa menemukan jejak mereka, sudah kucari orang-orang itu sejak dua puluh tahun berselang, tak perlu Suto-heng ingatkan lagi hari ini!"
"Hahaha," Suto Siau tertawa tergelak, "mungkin dua puluh tahun berselang tak berhasil ditemukan, tapi kalau kita cari hari ini pasti dapat dijumpai!"
"Maksudmu?" agak tergerak hati Seng-toanio.
"Itulah sebabnya aku melaksanakan siasatku dengan membebaskan mereka berdua," kata Suto Siau sambil tertawa,
"biarpun kedua orang anggota perguruan Tay ki bun itu kubebaskan, namun secara diam-diam di bawah telapak kuda itu telah kupasang sejenis obat yang mengeluarkan bau sangat tajam, kita semua memang tak bisa mengendus bau itu, tapi bau itu tidak akan lolos dari penciuman anjing. Asal kita lepaskan anjing pelacak untuk mengikuti bau tajam yang ditinggalkan kedua ekor kuda itu, tidak lama kemudian sarang mereka segera akan ditemukan, coba bayangkan, bukankah siasatku ini jauh lebih jitu?"
"Hahaha, tidak nyana kau bisa memikirkan siasat seperti itu,"
seru Seng-toanio kemudian sambil tertawa.
"Siasat ini memang hebat," Leng It-hong menghela napas panjang, "tidak heran orang persilatan menyebut saudara Suto sebagai jagoan yang berpikiran jeli, Siaute benar-benar ketinggalan jauh."
Mendadak Seng-toanio menghentikan tertawanya seraya membentak:
"Leng Cing-soat, keponakan Leng yang hebat, sudah cukup kau menguping" Ayo cepat keluar!"
Dari balik penyekat ruangan terdengar seseorang tertawa merdu, menyusul suara tertawa Leng Cing-soat berjalan keluar dengan langkah lembut.
Begitu muncul, gadis itu segera menyapa:
"Paman Suto, baik-baikkah kau!"
"Hahaha, bagus sih bagus," sahut Suto Siau sambil tertawa tergelak, "sayang telingaku kurang tajam hingga kehadiranmu di balik penyekat ruangan pun tidak kuketahui."
"Kelihatannya Seng-toanio mesti minta maaf kepadamu,"
sindir Seng-toanio lagi sambil tertawa dingin, "kalau bukan gara-gara aku, sekarang kau tentu sudah menyampaikan berita ini keluar."
"Bibi, apa maksud perkataanmu itu?" tegur Leng Cing-soat dengan wajah berubah, "aku benar-benar tidak habis mengerti kenapa kau selalu menyindirku, memangnya aku tidak boleh berada dalam rumahku sendiri?"
"Soat-ji!" dengan wajah berubah Leng It-hong menghardik.
Ling Cing-soat membalikkan tubuhnya, bertatapan muka dengan ayahnya.
Ling It-hong segera menghela napas panjang, nada suaranya yang semula kasar pun segera berubah menjadi lembut dan halus, katanya lagi:
"Sekarang Cianpwe sekalian sedang berunding, lebih baik pulanglah dulu ke kamarmu!"
"Lebih baik dia tetap berada di sini dulu!" kembali Seng-toanio berseru sambil tertawa dingin.
"Jadi kau benar-benar beranggapan Soat-ji akan
menyampaikan kabar ini keluar?" paras muka Leng It-hong agak berubah.
"Apa salahnya kita berjaga-jaga?"
"Kurangajar" seru Leng It-hong gusar, "anggota benteng Han hong po tidak ada yang pagar makan tanaman!"
"Yang kukuatirkan pikiran dan perasaan-nya sekarang sudah lebih condong pada keluarga lain....
Waktu itu Leng Cing-ping sudah berada sepuluh li dari benteng Han hong po.
Meskipun sepanjang tahun dia hidup dalam bangunan rumah yang tertutup, namun dalam hati kecilnya telah tumbuh keinginan untuk berkelana dalam dunia persilatan. Setiap waktu dia selalu melamunkan dirinya bisa berjalan menelusuri tanggul sungai dengan pohon yangliu yang tumbuh di sepanjang jalan, bisa berkuda melewati padang rumput yang luas didampingi seorang pemuda tampan di sisinya.
Ketika semalam ia mendengar ada pemuda bernyali berani menyusup masuk ke dalam benteng Han hong po yang selama sepuluh tahun terakhir selalu tenang tanpa kejadian, timbul perasaan ingin tahunya untuk mengintip siapa gerangan pemuda itu.
Di saat dia sedang mengintip pemuda yang bernyali itu, di bawah rintik hujan dia saksikan sepasang mata seorang pemuda berbaju hitam sedang mengawasinya.
Ketika sepasang mata mereka saling beradu, gadis itupun sadar bahwa khayalannya selama ini segera akan berubah menjadi kenyataan.
Karena sorot mata pemuda berbaju hitam yang tajam dengan wajah yang tampan dan gerak-gerik yang gagah, justru merupakan pemuda idaman yang selama ini diimpikan dan didambakan.
Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak menyangka kalau dalam remangnya hujan secara tiba-tiba akan berjumpa dengan seorang gadis cantik, ketika menyaksikan sorot mata si nona yang sayu macam orang kesemsem, segera timbul suatu perasaan aneh dalam hatinya.
Tapi dia tidak melupakan keselamatan Im Ceng, maka sambil mencengkeram pergelangan tangan gadis itu, tegurnya:
"Siapa kau?"
Leng Cing-ping segera merasakan adanya segulung hawa panas yang mengalir masuk ke lubuk hatinya melalui pergelangan tangan itu, membuat seluruh tubuhnya gemetar keras, dia seakan lupa untuk melawan, malah jawabnya jujur:
"Aku bernama Leng Cing-ping!"
"Apa hubunganmu dengan Leng It-hong?"
"Dia adalah ayahku."
Maka dia pun dijadikan sandera oleh Thiat Tiong-tong, walau begitu, gadis itu sama sekali tidak menaruh dendam atau sakit hati terhadap pemuda itu.
Inilah pengalaman unik yang dialami perasaannya, kejadian unik yang menimpa dirinya dan hanya gadis yang sudah lama dipingit baru bisa merasakan keanehan dan keunikan itu.
Begitu mendengar rencana keji yang dilakukan Suto Siau, dalam pikirannya hanya terlintas satu ingatan, bagaimana caranya menyelamatkan nyawa pemuda yang diimpikan itu.
Maka tanpa berpikir panjang lagi dia pun menyelinap keluar dari benteng Han hong po sambil menuntun dua ekor anjing penjaga milik keluarganya.
Hujan yang turun mulai mereda, namun titik air yang lembut bagai kabut masih menyelimuti angkasa, sambil menuntun kedua ekor anjing, gadis itu mulai menelusuri jalan perbukitan, dinginnya udara pagi, dinginnya air hujan membuat tubuhnya yang lemah gemulai mulai gemetar keras.
Kedua ekor anjingnya mulai menggonggong, seolah-olah telah mengendus suatu bau aneh dari tanah perbukitan yang becek, maka mereka pun menelusuri jalan yang dilalui Thiat Tiong-tong, bergerak maju ke depan.
Anjing yang garang dituntun seorang gadis cantik yang lemah berjalan di tengah hujan rintik, perpaduan ini membentuk sebuah gambaran yang aneh dan luar biasa.
Semakin ke depan tanah perbukitan itu makin sepi dan terpencil, tampaknya mereka sudah jauh berada di tengah bukit.
Akhirnya di antara pepohonan yang lebat muncul bayangan atap rumah, sampai di situ gonggongan anjing itupun makin ramai dan keras.
Lekas Leng Cing-ping melarang anjingnya menyalak, dia sudah dapat menduga, bangunan rumah itu besar kemungkinan adalah tempat persembunyian anggota perguruan Tay ki bun.
Selesai mengikat anjingnya di dahan pohon, dia mulai menyelinap masuk ke dalam bangunan rumah itu.
Bangunan itu didirikan persis di antara dua bukit yang tinggi, bukan saja medannya berbahaya, bahkan tidak mudah untuk mencapai tempat itu.
Sekalipun tujuan kedatangannya adalah untuk memberi peringatan, namun sedikit banyak rasa waswas muncul dalam hatinya, karena itu tanpa menggubris tanah berlumpur yang becek, dia mulai merayap masuk dengan sangat hati-hati.
Di depan sana terlihat sebuah bangunan mirip kuil yang terbengkalai, bangunan itu berdiri di atas tebing karang yang curam, ketika terhembus angin, bangunan itu seakan-akan sedang melayang di tengah udara.
Angin yang kencang ditambah hujan yang masih turun, membuat gerak-geriknya lebih tersembunyi serta tak mudah ketahuan orang.
Dipilihnya sebatang pohon yang paling tinggi dan rimbun untuk menyembunyikan diri, dia menyelinap naik secara diam-diam.
Ketika melongok ke bawah, maka terlihatlah di halaman belakang bangunan kuil terdapat belasan ekor kuda jempolan, suasana bangunan amat sepi, tali kelihatan sesosok bayangan manusia pun, bahkan tidak terdengar suara manusia, termasuk belasan ekor kuda itupun tak ada yang meringkik atau menimbulkan suara berisik.
Dengan perasaan gelisah dia memutar otak, akhirnya dari dalam saku diambilnya sebuah gendawa emas yang panjangnya hanya satu kaki serta berapa butir peluru perak yang kecil.
"Sreeet!", belasan butir peluru perak itu segera dibidikkan ke depan, diiringi kilatan cahaya perak, semuanya diarahkan ke rombongan kuda-kuda itu.
Busur emas peluru perak merupakan permainannya di kala senggang, tak heran kalau dia sangat menguasainya, dalam waktu singkat sepuluh butir peluru sudah menghajar telak pantat kuda-kuda itu.
Seketika kuda-kuda itu kesakitan dan meringkik panjang.
Terlihat beberapa sosok bayangan manusia segera meluncur keluar dari ruang utama, gerakan tubuh mereka ringan dan cepat, tapi setelah memeriksa beberapa saat sekeliling tempat itu, tidak dijumpai sesosok bayangan manusia pun di sana.
Sambil mengertak gigi Leng Cing-ping menyusup masuk ke dalam bangunan kuil itu, perasaan cinta yang muncul dalam hatinya membangkitkan keberanian yang sudah lama terpendam, membuat gadis yang lemah lembut ini punya keberanian untuk menyusup masuk ke dalam sarang harimau.
Tak sempat lagi memperhatikan patung Buddha yang telah tertutup debu serta ruang kuil yang setengah ambruk, tubuhnya menyelinap masuk ke dalam ruang kedua, di sanalah dia melihat seseorang, seorang lelaki berbaju hitam.
Sebuah meja sesaji yang kuno dan bobrok dengan dua batang lilin merah yang tinggal setengah.
Di atas meja sesaji, di antara lilin menih terbentang selembar panji besar berwarna ungu.
Di depan panji besar itu berlutut seorang lelaki berbaju hitam, punggungnya lurus bagai sebatang pedang.
Potongan tubuh yang tegak lurus itu serasa begitu dikenal dalam pandangan Leng Cing-ping, dia tak kuasa untuk menahan diri lagi setelah dicekam perasaan gelisah bercampur ngeri selama beberapa saat.
"He!" tegurnya.
Dengan cepat Thiat Tiong-tong membalikkan tubuhnya, tapi paras mukanya segera berubah hijau membesi, mimpi pun dia tak mengira dalam keadaan dan situasi seperti ini dia bertemu kembali dengan putri benteng Han hong po di tempat itu.
Dia melompat bangun seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi segera berlutut kembali.
"Cepat lari! Cepat kabur! Sedikit terlambat, kau akan kehilangan nyawamu!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perasaan cinta yang mendasari perasaan nya membuat Leng Cing-ping tanpa sadur mengungkap seluruh perasaan kuatir dan perhatiannya yang besar, sebab kalau dia tak punya hati kepada pemuda itu, mengapa menyuruhnya untuk kabur"
"Aku khusus datang untuk memberitahukan kepadau, memberitahu sebuah berita yang sangat gawat, mereka...
sebentar lagi mereka akan tiba disini!"
"Mereka" Siapa mereka?"
"Ayahku... masih ada lagi...."
"Masih ada siapa lagi?"
"Suto Siau, Seng-toanio...."
"Darimana mereka bisa tahu kalau kami berada di sini?"
"Mereka menggunakan siasat yang dirancang Suto Siau, mereka telah membubuhkan..."
Mendadak terdengar suara bentakan keras berkumandang datang:
"Tiong-tong, suara apa di dalam sana?"
Biarpun suara itu berasal dari tempat yang jauh, namun terdengar jelas sekali.
Thiat Tiong-tong bergetar keras tubuhnya, sementara Leng Cing-ping sudah bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Se... semuanya ini kulakukan demi kau... demi kau...."
Biarpun nadanya gemetar, namun dipenuhi luapan perasaan cinta yang tanpa tedeng aling-aling.
Sorot mata Thiat Tiong-tong yang tajam seketika berubah dari redup menjadi terang, tapi kemudian, dari terang berubah menjadi redup kembali, dalam waktu yang amat singkat berbagai gejolak perasaan berkecamuk di dalam benaknya.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya matanya segera dialihkan ke meja sesaji.
Tanpa membuang waktu Leng Cing-ping segera menyusup ke bawah meja dan bersembunyi di situ.
Baru selesai dia bersembunyi, baru saja Thiat Tiong-tong membetulkan posisi taplak meja yang bergoyang, segulung angin dingin telah berhembus masuk dari luar jendela, angin yang dingin, dingin sekali.
Apa yang harus dilakukan sekarang" Apakah dia harus mengorbankan diri demi Leng Cing-ping yang bersedia mengorbankan segalanya demi dia" Lalu dengan cara apa dia harus membalas budi kebaikan serta luapan perasaan-nya"
Belum habis dia berpikir, sesosok bayangan manusia telah melayang masuk dari luar jendela.
Berkat latihannya yang tekun ditambah kemampuannya yang luar biasa membuat Thiat Tiong-tong segera berpaling.
Ternyata yang muncul di depan jendela adalah pelaksana hukum perguruan Tay ki bun, Im Kiu-siau.
"Tiong-tong!" terdengar dia menegur, "aku tahu dalam hatimu pasti terdapat banyak persoalan, bahkan merasa tidak terima, tapi ketahuilah gerakan perguruan Tay ki bun terjun kembali ke dalam dunia persilatan kali ini ibarat orang main judi, berhasil atau tidaknya tergantung pada tindakan pertama yang mereka dilakukan, oleh sebab itu Toasuheng selalu mengawasi setiap gerak-gerik saudaranya secara ketat dan penuh disiplin, dalam hal ini kau perlu memakluminya."
"Aku mengerti."
"Tapi perbuatanmu kelewat gegabah, Im Ceng memang selalu berangasan dan ngawur dalam bertindak, dia tak sanggup mengendalikan diri, tapi kau tak pernah ngawur, tingkah lakumu selalu cermat dan seksama, kenapa kali ini justru meninggalkan jejak?"
"Semuanya ini memang kesalahanku, aku pun sangat mengerti," kata Thiat Tiong-tong tanpa membantah.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bentakan keras berkumandang dari luar jendela, tahu-tahu Im Ceng sudah menerobos masuk ke dalam.
"Seorang lelaki berani berbuat berani bertanggung jawab, kau tak perlu mewakiliku mengaku kesalahan," serunya.
Sekalipun pakaiannya compang-camping tak keruan, namun wajahnya masih memancarkan sinar keangkeran.
Im Kiu-siau kontan menarik muka, tegurnya:
"Apa yang kau teriakkan" Memangnya tiddak bisa bicara dengan suara perlahan dan halus?"
Biarpun biasanya dia selalu bersikap lembut dan ramah, tapi begitu menarik muka, mimik mukanya kelihatan angker, serius dan penuh wibawa, membuat siapa pun tali berani bersikap sembar angan.
Im Ceng pun menundukkan kepala semakin rendah, nada suaranya juga bertambah lirih.
"Sebenarnya akulah yang memaksa dia untuk balik dulu kemari...."
Seorang kakek berjenggot panjang berwajah merah mendadak berjalan masuk ke dalam ruangan, jenggot dan rambutnya basah oleh air hujan, tapi sepasang tangannya mengepal kencang.
Sambil berdiri tegak di depan pintu, ditatapnya Im Ceng dengan sorot mata tajam, kemudian tegurnya:
"Jadi kau yang memaksanya untuk langsung balik kemari?"
"Benar!" sahut Im Ceng sambil berlutut.
"Siapa yang memberikan kuda itu kepadamu" Siapa yang menolong kau" Masa persoalan inipun tidak kau ketahui?"
"Tidak tahu!"
Sekalipun dia tahu persoalan itu amat serius, namun jawabannya tetap tegas dan tandas.
Im Gi maju lebih ke depan, sinar matanya lebih tajam dari sambaran halilintar.
"Tahukah kau kalau orang lain sengaja menolongmu karena mereka sedang menjalankan siasat busuk?" tegurnya.
Dengan kepala tertunduk Thiat Tiong-tong segera menjawab:
"Samte masih muda, mungkin belum mampu berpikir
panjang, semua ini adalah kesalahanku, jangan salahkan dia."
"Kau tidak usah membela aku," tukas Im Ceng lagi dengan suara keras, "kenyataan akulah yang bersalah, aku tidak ingin kau mewakiliku menerima hukuman, aku mengakui, kau memang pernah membujukku agar jangan langsung balik ke sini...."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang kemungkinan besar ini siasat musuh sengaja melepas untuk dikuntit jejaknya!"
"Kalau dia sudah berkata begitu, kenapa kau masih memintanya untuk langsung balik" Apakah kau begitu tergopoh-gopoh kabur dan menyelamatkan diri?"
"Aku tidak takut mati, aku hanya mendongkol dengan dirinya!" Im Ceng segera mengangkat wajahnya.
Im Kiu-siau menghela napas panjang, tukasnya:
"Apa benar ada orang telah meninggalkan bau harum istimewa yang tak berwarna" Kenapa aku tidak bisa menebak asal-usul kuda-kuda itu?"
"Asal-usul apa?" Im Gi tertawa dingin, "semua ini tidak lebih hanya siasat busuk yang dirancang Suto Siau, memangnya dia anggap bisa mengelabui aku?"
Leng Cing-ping yang bersembunyi di bawah meja segera merasa tubuhnya gemetar keras.
"Sungguh lihai tokoh yang satu ini!" pikirnya, dia semakin tak berani bergerak di bawah kolong langit, bahkan bernapas pun tak berani keras keras.
Kalau toh dia sudah siap mengorbankan diri demi cinta, tentu saja dia tak ingin pemuda pujaan hatinya itu menderita gara-gara dia.
Sepasang tangannya segera menggenggam bajunya kencang-kencang, dia katupkan giginya kuat-kuat, kuatir beradunya gigi menimbulkan suara aneh yang mencurigakan.
Dalam pada itu kawanan anggota perguruan Tay ki bun tampaknya sudah pulang, lelaki bertelanjang kaki muncul lebih dulu, sambil melangkah masuk ke dalam ruangan, teriaknya:
"Sudah kabur semua, bayangan pun tidak nampak!"
Im Gi tertawa dingin, tiba-tiba dia merentangkan telapak tangannya, di tengah telapak terlihat tiga butir peluru perak yang memancarkan cahaya berkilauan.
"Darimana asal-usul peluru perak ini, apakah kalian kenal?"
tanyanya. Sekali lagi Leng Cing-pingyang bersembunyi di kolong meja terkesiap, tapi ia segera menghibur diri:
"Senjata rahasia itu adalah mainanku sejak kecil, darimana mereka bisa mengenalinya?"
Terdengar Im Gi berkata lebih jauh:
"Kalau dibilang senjata rahasia ini adalah senjata andalan seorang ahli Am gi, rasanya bobot peluru ini sedikit agak berat, tapi kalau dilepas dengan busur rasanya kelewat enteng, kelihatannya mirip dengan benda mainan perempuan keturunan jago silat kenamaan, jika dugaan Lohu tak meleset, maka hal-hal lain yang aneh pun tidak sulit untuk dijelaskan!"
"Hal-hal aneh apa?"
"Setelah Suto Siau berhasil mengetahui letak markas perguruan Tay ki bun dengan siasat ini, dia pasti akan mengumpulkan segenap kekuatan dari benteng Han hong po serta peternakan Lok-jit berikut lima keluarga kenamaan melancarkan serbuan besar-besaran dan membasmi kita hingga ke akar-akarnya, tapi munculnya peluru perak ini jelas merupakan satu tindakan menggebuk rumput mengejutkan ular, bukankah kejadian ini rada aneh?"
"Benar."
"Jika peluru perak ini berasal dari perempuan, sudah pasti perempuan itu adalah salah satu di antara kedua putri Leng It-hong yang khusus datang memberi kabar, dan kejadian aneh inipun berarti sudah adajawabannya."
"Betul, betul, sudah pasti begitu!" lelaki bertelanjang kaki itu segera berseru sambil melompat bangun, "biasanya perhitungan Toako sangat tepat dan hebat, memang tiada duanya di kolong langit!"
Leng Cing-ping yang bersembunyi di kolong meja sudah mulai bermandikan keringat dingin.
Paras muka Thiat Tiong-tong ikut berubah hebat.
Tiba-tiba Im Gi menatapnya tajam, dengan suara serius tegurnya nyaring:
"Ketika semua orang pergi melacak musuh, kenapa kau tidak ikut serta?"
"Tecu berdoa, Tecu bersalah, karena itu tak berani sembarangan bergerak!"
"Selama berada di sini, apa yang telah kau lihat?"
Thiat Tiong-tong gemetar keras, terlebih Leng Cing-ping yang bersembunyi di kolong meja, peluh telah membasahi seluruh wajah dan tubuhnya.
Lama sekali Thiat Tiong-tong termenung, tak sepatah kata pun yang mampu dia katakan.
"Cepat jawab!" bentak Im Gi lagi dengan alis mata bekernyit.
Dalam keadaan begini Thiat Tiong-tong tidak mungkin bisa menjawab, tapi dia pun tidak berani untuk tidak menjawab.
"Biar aku saja yang menjawab!" mendadak terdengar seseorang menyahut dari bawah kolong meja.
Dengan sekali tendangan Im Gi membalikkan meja
sembahyang, muncullah wajah Leng Cing-pingyang pucat-pias bagai mayat.
Semua orang menjerit kaget.
"Kau adalah putri Leng It-hong?" bentak Im Gi keras.
Leng Cing-ping tidak berani menjawab, dia terbungkam dalam seribu bahasa.
Im Gi langsung turun tangan, sebuah pukulan menghantam tubuh Thiat Tiong-tong hingga mencelat ke sudut ruangan, disusul sebuah tendangan menohok ulu hatinya.
Thiat Tiong-tong tak berani melawan, dia hanya memejamkan mata menanti datangnya kematian.
Wajah setiap orang berubah hebat, tapi tidak seorang pun berani turun tangan untuk mencegah, hanya Leng Cing-ping seorang yang tiba-tiba memeluk tubuh Im Gi sambil memohon:
"Kalau ingin membunuh, bunuhlah aku, semua kejadian ini tak ada sangkut-pautnya dengan dia!"
"Lepaskan tanganmu!" hardik Im Gi penuh amarah.
Sekalipun telapak tangannya sudah di angkat, namun pada akhirnya dia tak tega turun tangan terhadap seorang gadis muda.
Dengan air mata bercucuran dan suara gemetar kembali Leng Cing-ping berkata:
"Sejak mengambil keputusan akan datang kemari, aku sudah bertekad tidak akan kembali dalam keadaan hidup, tapi sebelum turun tangan, dengarkan dulu perkataanku hingga selesai."
Meskipun sepasang tangannya masih memeluk tubuh Im Gi, namun sorot matanya sudah dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong.
"Tujuan kedatanganku kemari tak lebih hanya ingin membujuk kalian agar segera pergi, aku tak punya niat atau maksud lain. Aku pun tahu, perbuatanku ini pasti tak akan dimaafkan ayahku, padahal kalian pun berniat akan membunuhku. Tindakanku ini memang nampak sangat bodoh, tapi aku rela melakukannya, aku hanya berharap kalian sudi mengingat maksud hatiku ini dan setelah membunuhku nanti, jangan menyusahkan dialagi."
Perlahan-lahan Im Gi menurunkan kembali telapak
tangannya, tapi kembali tanyanya dengan keras:
"Sejak kapan kau kenal Thiat Tiong-tong" Kenapa rela mati demi dirinya?"
"Ohh, jadi dia bernama Thiat Tiong-tong?" Leng Cing-ping tertawa sedih, "sekarang aku baru tahu nama sebenarnya, mengenai kenapa aku berbuat demikian, aku sendiri pun tidak tahu."
"Bagaimana sikapnya kepadamu?"
Leng Cing-ping menghela napas sedih.
"Bagaimanapun dia akan bersikap kepadaku, aku tidak peduli, asal dia bisa tetap hidup sehat, biar aku mesti mati pun tak jadi soal."
Perlahan dia melepaskan tangannya dan menyembah ke tanah.
Udara di luar ruangan masih terasa dingin, tetesan air hujan di beranda rumah menimbulkan detak suara yang memilukan.
Setiap orang merasa hatinya murung, berat, masgul, tapi tak ada yang tahu apa yang mesti diperbuat.
Perlahan-lahan gadis berbaju hijau itu memalingkan wajahnya ke arah lain, karena butiran air mata telah membasahi pipinya.
Paras muka Im Gi pun nampak berat dan serius, dia hanya berdiri mematung, sementara Im Kiu-siau malah memejamkan mata.
Di tengah keheningan mendadak terdengar lelaki bertelanjang kaki itu berseru keras:
"Benar-benar sumpek hatiku, Toako, apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis ini?"
Im Gi tidak menjawab, dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, pandangan matanya dialihkan ke tempat kejauhan, mengawasi langit yang mulai terang.
Kembali lelaki bertelanjang kaki itu berseru:
"Aku si lelaki kaki telanjang tidak pernah tahu apa artinya cinta, sampai setua inipun tidak ada yang mencintai aku, Toako, lebih baik lepaskan saja dirinya!"
"Lepaskan dia?"
"Siapa yang merasa keberatan?" Belum habis pertanyaan itu diajukan, Im Ceng sudah melompat bangun seraya berteriak:
"Aku keberatan!"
"Kau tidak usah ikut campur!" tukas Im Kiu-siau sambil menarik muka.
"Bila kita bebaskan dia, bukankah kematian Toako kelewat penasaran?" teriak Im Ceng sedih, "Toako saja tidak sudi kalian bebaskan, kenapa dia mesti dibebaskan?"
Pemuda yang agresif dan mudah naik darah ini hanya tahu memikirkan Toakonya, dia hanya tahu Toakonya sudah mati, sementara urusan lain tak pernah dia masukkan ke dalam hati.
Lelaki bertelanjang kaki itu mengepal tinjunya kuat-kuat, otot hijau pada keningnya ikut menonjol keluar.
"Kau bersaudara dengan Im Kian, memangnya dengan Thiat Tiong-tong bukan saudara?"
"Dialah yang turun tangan membunuh Toakoku, biar harus mati pun aku tak akan melepaskan dia!" jerit Im Ceng keras.
Sementara itu paras muka Im Gi telah berubah menjadi pucat kehijau-hijauan, tiba-tiba bentaknya:
"Thiat Tiong-tong, apa lagi yang hendak kau katakan!"
"Tecu tidak ada perkataan lagi!"
"Tiong-tong mungkin tidak ada perkataan, tapi Siaute ada beberapa patah kata yang harus disampaikan," sela Im Kiu-siau dengan wajah serius: "apapun keputusan akhir yang bakal dijatuhkan, meski semuanya tergantung keputusan Toako, tapi pada saat dan keadaan seperti ini tidak seharusnya kita melakukan hal yang kelewat batas."
"Kenapa?"
"Karena sekarang yang harus segera kita putuskan adalah nasib selanjutnya perguruan Tay ki bun kita, tempat ini sudah ditemukan musuh, tak lama kemudian jago-jago dari benteng Han hong po maupun peternakan Lok-jit akan melancarkan serangan secara besar-besaran, persoalannya sekarang, kita harus melawan mereka habis-habisan atau sementara menghindari benturan ini, Toako harus segera mengambil keputusan, sedikit terlambat mungkin keadaan sudah tak sempat!"
Biar singkat namun perkataan itu sangat berbobot, kontan saja paras muka semua orang berubah menjadi berat dan serius, mereka sama-sama menunggu jawaban Im Gi.
Semua orang pun sadar, setiap ucapan yang diutarakan Im Gi akan segera memutuskan nasib dari seluruh anggota perguruan Tay ki bun.
Semangat lelaki bertelanjang kaki paling berkobar, beberapa kali dia ingin meneriakkan kata "adu nyawa", tapi selalu urung diutarakan, sebab dia sadar, perkataannya akan menentukan mati hidup orang banyak.
Dicekam suasana serba serius dan tegang, akhirnya Ciang bunjin mereka berkata:
"Ketika perguruan Thi hiat tay ki bun baru muncul dalam dunia persilatan, Sucow pendiri partai bersama Thiat locianpwe pernah berkelana dalam dunia persilatan tanpa tandingan, waktu itu dimana panji sakti tiba, tak ada jagoan persilatan yang berani membangkang."
Emosi mulai menyelimuti wajahnya, dengan wajah sedih lanjutnya:
"Waktu itu benteng Han-hong-po, peternakan Lok-jit, per kampungan keluarga Seng, perusahaan ekspedisi Thian-bu Piaukiok serta ruang Pek-lek-tong merupakan orang-orang kepercayaan per guruan Tay ki bun. Siapa tahu setelah Suco dan Thiat-locianpwe meninggal dunia, kelima keluarga persilatan ini bersekongkol merencanakan siasat busuk untuk membunuh Ciang bunjin angkatan kedua perguruan kita beserta keenam belas orang Locianpwe lainnya, mereka berharap perguruan Tay ki bun segera ambruk dan tak pernah bisa bangkit kembali!"
Semakin berbicara dia semakin sedih bercampur gusar, terusnya:
"Dalam empat puluh tahun terakhir, perguruan Tay ki bun kita selalu didesak dan disudutkan kelima keluarga besar itu hingga tak ada tempat untuk berpijak, selama empat puluh tahun, permusuhan di antara kami makin lama semakin mendalam, dua kali aku berangkat menuntut balas namun tidak pernah berhasil menggoyahkan kelima keluarga besar itu, maka pada dua puluh tahun berselang kuputuskan untuk menyingkir ke perbatasan dengan harapan ada kesempatan untuk mendidik anak murid. Dan kini awan gelap telah berlalu, keturunan keempat keluarga Im dan keluarga Thiat telah tumbuh dewasa, kenyataan ini membuat aku girang, karena harapan untuk membalas dendam telah muncul kembali!"
Tiba-tiba dia menepuk telapak tangan kiri sendiri kuat-kuat:
"Siapa sangka begitu tiba di daratan Tionggoan, Im Kian telah mengkhianati perguruan, Im Ceng serta Tiong-tong pun membikin hatiku sedih, harapan yang kupupuk hampir dua puluh tahun lamanya kini akan punah dan lewat bagai aliran air, padahal usiaku semakin tua, sanggupkah aku menunggu selama dua puluh tahun lagi?"
Semua orang menundukkan kepala, tidak ada yang berani beradu pandang dengan sorot matanya yang penuh pancaran dendam.
Terdengar Im Gi berkata lagi dengan lantang:
"Thiat Tiong-tong dan Im Ceng tidak tahu arti persaudaraan, diam-diam membangkang perintah perguruan, untuk kesalahan itu kalian diusir dari perguruan, sementara murid-murid perguruan Tay ki bun yang lain tetap tinggal di sini, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!"
Semua orang terkesiap setelah mendengar keputusan itu, paras muka Thiat Tiong-tong berubah hebat, sementara Im Ceng segera memohon:
"Tecu bersedia mati di sini daripada diusir keluar dari pintu perguruan!"
"Kau berani membangkang perintah guru?"
"Aku hanya berharap tetap tinggal di sini dan mengadu jiwa melawan mereka!"
"Tutup mulut!" bentak Im Kiu-siau tiba-tiba.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh menghadap ke arah Im Gi, kemudian katanya lagi:
"Toako, kau mesti berpikir tiga kali sebelum mengambil keputusan, bila kita berbuat demikian, bukankah sama seperti memenuhi pengharapan Suto Siau" Perguruan Tay ki bun kita pasti akan hancur dan musnah dalam pertarungan kali ini.
Toako, begitu tegakah kau membiarkan perguruan yang didirikan leluhur kita dengan susah payah akhirnya harus hancur berantakan begitu saja?"
"Perintah yang sudah kuucapkan tidak pernah akan dicabut kembali!" tukas Im Gi dengan wajah hijau membesi.
"Sekalipun begitu, menurut aturan, Siaute sebagai pelaksana hukum perguruan ini berhak untuk mengubah atau memperbaiki perintah yang telah diturunkan Ciangbun-suheng"
"Apa maumu?"
"Sekalipun Im Ceng dan Thiat Tiong-tong melakukan kesalahan, namun dosa mereka belum termasuk berat, sepantasnya bila diusir dari perguruan selama tiga tahun, bila dalam tiga tahun mendatang mereka tidak melakukan kejahatan bahkan berjasa bagi perguruan, maka terbuka kesempatan bagi mereka untuk kembali ke perguruan. Selain itu sudah sepantasnya bila seluruh kekuatan perguruan Tay ki bun yang kita miliki sekarang mundur untuk sementara ke perbatasan, menghindari bentrokan yang tidak berguna, kita baru melakukan pembalasan dendam tiga tahun kemudian!"
"Tiga tahun kemudian?"
"Tiga tahun bukan terhitung waktu yang kelewat panjang, tapi justru dapat memperpanjang usia perguruan kita, Toako, masa kau tidak bisa menahan diri hanya untuk tiga tahun saja?"
Untuk beberapa saat lamanya Im Gi cuma berdiri mematung, akhirnya sambil menghentakkan kakinya dengan gemas dia menyahut:
"Baiklah, aku turuti kemauanmu!"
Im Kiu-siau seketika merasakan semangatnya berkobar kembali.
"Kalau memang begitu, biar untuk sementara waktu Siaute mewakili Toako menyampaikan perintah!"
Setelah menarik napas panjang, serunya dengan suara berat:
"Thiat Cing-su, siapkan kuda-kuda kita, sekalian hukum mati kedua ekor kuda yang dibawa Thiat Tiong-tong!"
Pemuda kekar itu segera membusungkan dada tanpa
menyahut, dengan cepat dia beranjak pergi.
Kembali Im Kiu-siau berseru:
"Im Ting-ting, segera siapkan piauhok (buntalan), sekalian siapkan ransum kering, bagi ke atas setiap pelana kuda dan jangan lupa sertakan sekantung arak untuk melawan hawa dingin."
Gadis berbaju hijau itu segera membesut air matanya dan menyahut:
"Tecu terima perintah!"
Kepada lelaki bertelanjang kaki kembali Im Kiu-siau berseru:
"Mohon Sute tetap menjaga kehormatan panji sakti!"
Lelaki itu tertawa tergelak:
"Hahaha, Samko tidak usah kuatir, biar tubuh harus remuk-redam, Siaute pasti akan melindungi panji sakti ini hingga selamat tiba di tempat tujuan!"
"Bagus!" Im Kiu-siau ikut tertawa, "di saat nanti panji sakti berkibar kembali di daratan Tionggoan, itulah saat bagi kita bersaudara untuk melampiaskan semua dendam sakit hati."
"Samsiok (paman ketiga)" teriak Im Ceng sambil melompat bangun, "aku memiliki darah panas yang bergolak, memiliki sepasang lengan yang penuh bertenaga, setiap saat aku siap melaksanakan perintah Samsiok."
Cepat Im Kiu-siau menarik wajah.
"Mulai sekarang kau sudah bukan anggota perguruan kami lagi, jelas kami tidak akan memberi tugas apapun kepadamu,"
katanya, "harapanku, dalam tiga tahun mendatang jangan menyia-nyiakan harapan perguruan, berbuatlah yang benar selama ini dan tiga tahun kemudian kau tetap adalah anak murid perguruan Tay ki bun. Thiat Tiong-tong, apa yang barusan kukatakan kepadanya berlaku juga untukmu, mengerti?"
Thiat Tiong-tong hanya menundukkan kepala tanpa
menjawab, sementara paras muka Im Ceng berubah hebat.
"Bagaimana dengan aku?" Leng Cing-ping yang diam-diam sudah bangkit berdiri bertanya pelan.
Im Kiu-siau menghela napas panjang.
"Ciangbunjin telah mengampuni jiwamu, kau boleh segera pulang ke rumahmu!" katanya.
"Pulang?" Leng Cing-ping tertawa pedih, "masih mungkinkah bagiku untuk pulang ke rumah?"
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan menatap wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, sampai lama kemudian ia baru menghela napas panjang, bisiknya lirih:
"Semoga kau baik-baik menjaga diri."
Thiat Tiong-tong hanya tertunduk tanpa bicara, melirik sekejap pun tidak berani.
Leng Cing-ping segera membesut air matanya sambil tertawa paksa, selangkah demi selangkah dia berjalan meninggalkan ruangan.
Hujan di luar gedung masih turun dengan lebatnya, dia menengadah memandang sekejap cuaca yang buruk, tiba-tiba sambil menutupi wajah dia berlarian meninggalkan tempat itu, tak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah tertelan di balik lebatnya air hujan.
Thiat Tiong-tong tidak berani mengangkat kepala, tapi dalam hati kecilnya dia ikut berdoa:
"Kau pun harus baik-baik menjaga dirimu."
Seorang gadis muda yang terbiasa hidup dipingit, kini harus berkelana dalam dunia persilatan tanpa sanak tanpa tempat tinggal, hidup bergelandangan seorang diri, mungkinkah masa depannya seperti air hujan yang sedang turun dengan derasnya di luar gedung"
Tak tahan Im Kiu-siau menghela napas, ujarnya:
"Thiat Tiong-tong! Dia yang telah mencelakaimu, atau kau yang telah mencelakainya?"
Sementara lelaki bertelanjang kaki itu menghentakkan kakinya dengan gemas sambil berteriak:
"Thian, kenapa kau selalu tak adil" Kenapa gadis sebaik dan secantik dia harus dilahirkan sebagai putri Leng It-hong?"
Dalam teriakan itu terdengar dua ringkikan kuda yang panjang melengking berkumandang dari kejauhan sana.
"Tampaknya kedua ekor kuda itu telah dihabisi nyawanya,"
gumam Im Kiu-siau.
Menyusul kemudian Im Ting-ting muncul dalam ruangan sambil memberi laporan:
"Lapor Susiok, semua perbekalan telah siap!"
"Ayo berangkat!" Im Gi langsung membentak nyaring.
Dia langsung melangkah keluar ruangan, sama sekali tidak berpaling untuk menengok kearah putra kandung serta murid kesayangannya, walau hanya sekejap.
Namun di balik hatinya yang paling dalam, rasa sedih dan sakit tetap berkecamuk dalam benaknya.
Lelaki bertelanjang kaki pun segera mencabut panji sakti dan ikut berjalan keluar dari ruangan.
"Anak-anak, berjuanglah yang benar, kita bertemu tiga tahun mendatang!" serunya.
Di tengah hujan lebat, panji sakti berwarna ungu itu berkibar kian kemari, seolah ingin membelah angin dan hujan.
Im Ceng segera melangkah keluar siap menyusul di belakang mereka, tapi Thiat Tiong-tong segera berseru:
"Samte, mau kemana kau?"
"Jangan mencampuri urusanku!"
Thiat Tiong-tong melompat sambil melesat ke depan dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, setelah menerobos jendela dan tiba di tengah halaman, Dia menghadang jalan pergi Im Ceng.
"Mau apa kau?" bentak Im Ceng gusar.
"Tidak selang beberapa lama lagi musuh besar kita segera akan menyusul kemari, maukah kau kita bersama-sama menghadang usaha pengejaran mereka?"
"Baik!" jawab Im Ceng singkat.
Dengan kekuatan mereka berdua, jelas teramat sulit bila ingin menghadang pengejaran yang dilakukan jago-jago tangguh dari benteng Han hong po maupun Seng ke cung.
Sekalipun kedua orang pemuda ini mengerti, namun mereka tidak peduli.
"Kenapa mereka belum juga datang?" tanya Im Ceng kemudian, "kita mesti menunggu sampai kapan?"
Kemudian bisiknya lagi:
"Kau bersembunyi dulu di sini, biar aku yang menyambut kedatangan mereka!"
"Kau akan menyambut mereka?" berubah wajah Thiat Tiong-tong, "kalau kau maju menyambut mereka, sama artinya mengantar kematianmu."
"Cepat atau lambat akhirnya toh sama saja mati, malah lebih puas jika kita sambut kedatangan mereka!"
"Siapa bilang cepat atau lambat sama saja bakal mati" Masa kau lupa, tiga tahun kemudian kita masih akan kembali ke perguruan?"
Im Ceng tertawa dingin.
"Memangnya kau anggap dengan melakukan penghadangan di tempat ini maka kita bakal selamat?" jengeknya.
"Kehadiran kita berdua di tempat ini hanya bertujuan menghalangi usaha pengejaran yang mereka lakukan, berusaha mengulur waktu dan bukan untuk mengantar nyawa di tempat ini! Nyawa kita berdua masih harus dipertahankan lebih jauh, kita harus melanjutkan hidup, melanjutkan perjuangan untuk melawan gabungan lima keluarga besar, kenapa harus mati secara konyol?"
Im Ceng membalikkan tubuh, saling berhadapan dengan rekannya.
Sorot mata mereka berdua pun saling bertemu, yang satu sorot matanya memancarkan ketenangan serta kebulatan tekadnya, sementara yang lain memancarkan luapan emosi serta kehangatan perasaannya, tapi yang pasti mereka berdua telah memperlihatkan semangat serta keberaniannya untuk menentang setiap rintangan.
Akhirnya Im Ceng yang memecah keheningan terlebih dulu, katanya dengan suara dalam:
"Kecuali mempertaruhkan nyawa untuk menghadang
pengejaran mereka, apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Sekalipun sekarang belum ditemukan, kita tetap harus berusaha mencari cara lain," sahut Thiat Tiong-tong singkat.
Ucapannya disampaikan dengan nada penuh percaya diri.
Rasa percaya diri yang begitu besar dan bulat membuat setiap persoalan yang ada dalam pandangannya menjadi masalah yang gampang, sesulit apapun persoalannya dia merasa yakin mampu mengatasinya.
Dengan cepat dia sudah melesat menuju ke ruang depan yang penuh dengan sarang laba-laba dan membuka pintu kuil lebar-lebar, kemudian dia menyulut pula obor di empat penjuru, membuat seluruh ruangan menjadi terang-benderang bermandikan cahaya.
Setelah itu dia padamkan cahaya lentera yang menerangi ruang belakang, mengumpulkan beberapa kotak tembaga yang tak berguna dan mengisinya penuh dengan batu, kemudian dengan seutas tali, batu-batu dalam kotak itu digantungnya di atas jalan tembus, baik yang menuju ke depan ruangan maupun ke belakang gedung.
Perguruan Tay ki bun sudah cukup lama berdiam di tempat itu, tak heran berbagai peralatan masih berserakan di situ.
"He, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Im Ceng keheranan.
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak bicara, dari sakunya dia mencabut keluar sebilah pisau pendek, kemudian sambil melompat ke sisi tiang penyangga ruangan dia mulai membacok tiang-tiang itu hingga gumpil sebagian.
Selesai membuat retakan pada setiap tiang penyangga, dia pun mengambil selembar kain tirai dan dirobeknya menjadi beberapa lembar robekan kecil yang diikat satu dengan lainnya menjadi seutas tali, setiap dua depa dalam ruangan dia mengikat tali itu dengan beberapa butir batu besar, kemudian tubuhnya melayang ke atas tiang penglari, lagi-lagi dia melepaskan belasan buah genting dan disembunyikan di setiap sudut wuwungan rumah yang gelap dan jauh dari pandangan orang.
Lama-kelamaan habis sudah kesabaran Im Ceng, tidak tahan tegurnya:
"Eeei, memangnya kau hendak mengajak mereka bermain petak umpet?"
"Benar!"
"Kita sedang menghadapi masalah serius yang menyangkut mati hidup, masa kau masih ingin bergurau" Jika kau hanya ingin bermain petak umpet, maaf kalau aku tak bisa menemani!"
"Samte, justru hari ini kita akan menggunakan petak umpet untuk mempertahankan mati hidup kita."
"Bermainlah sendiri, aku ingin mengadu jiwa dengan mereka,"
seru Im Ceng gusar.
Baru saja Thiat Tiong-tong menarik tangannya, dari kejauhan sana sudah terdengar suara gonggongan anjing.
Di tengah hembusan angin dan curah hujan, gonggongan anjing itu hanya bergema sejenak untuk kemudian hening kembali.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka sudah datang!" bisik Thiat Tiong-tong sambil menarik Im Ceng menuju ke ruang belakang:
"Samte, apa yang hendak kita lakukan sekarang menyangkut mati hidup kita semua, apapun yang kau pikirkan, kumohon turutilah perkataanku kali ini saja."
"Baik, kali ini saja!" sahut Im Ceng sambil mengertak gigi.
Angin dan hujan masih menyelimuti udara, di balik cahaya api yang bergoyang terhembus angin, hawa membunuh terasa mulai menyelimuti empat penjuru.
Di tengah keheningan yang mencekam, terdengar suara ujung baju yang tersampuk angin bergema dari luar kuil, menyusul kemudian muncul puluhan sosok bayangan hitam yang misterius.
Gerakan tubuh mereka ringan dan cepat, begitu tiba beberapa depa dari bangunan kuil, serentak mereka menyebarkan diri dan bersembunyi di balik pepohonan.
Ling It-hong terlihat mengenakan baju ketat berwarna ungu, kepalanya dibungkus dengan kertas minyak, sementara Suto Siau mengikut di sampingnya, dia pun membungkus kepalanya dengan kertas minyak.
"Seluruh bangunan utama kuil terang benderang
bermandikan cahaya, pintu gerbang pun dalam keadaan terbuka, kelihatannya seperti tanpa penjagaan, saudara Ling, apa kau tidak merasa kejadian ini rada aneh?" tanyanya.
Ling It-hong tidak menjawab, dia hanya manggut-manggut.
Seng-toanio berdua dengan putranya berdiri di belakang mereka berdua, selain itu hadir pula seorang lelaki setengah umur yang menggembol sejenis senjata aneh di punggungnya.
"Pasti Leng Cing-ping si budak itu belum berhasil menemukan tempat ini sehingga mereka belum mendapat kabar," kata Seng-toanio dingin.
Tampaknya lelaki setengah umur itu tidak sependapat, segera bantahnya:
"Sekalipun keponakan Cing-ping tidak berada di benteng Han hong po, bukan berarti dia sedang kemari untuk menyampaikan kabar berita!"
Dengan perasaan berterima kasih Leng It-hong melirik sekejap ke arahnya.
"Pek Seng-bu," terdengar Seng-toanio mulai mengumpat:
"kau Golok Yanci Pedang Pelangi 5 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 5
BAB 1 Angin Barat Mengibarkan Panji Sakti
Malam semakin kelam.
Tiada rembulan, tiada bintang.
Serangga bercengkerama di antara semak ilalang, membuat suasana di hutan belantara terasa makin sendu, makin hening dan menyeramkan.
Dari balik kegelapan tampak berkelebat sesosok bayangan manusia, gerakan tubuhnya enteng bagai walet, cepat bagai sambaran kilat, ketika melihat panji sakti yang berkibar di hadapannya, dia segera melepas bajunya, membuka tali kepang rambutnya, dengan dada telanjang perlahan-lahan menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan panji sakti yang berkibar di tengah hutan itu, wajahnya nampak sendu, sedih dan murung.
Dia berlutut di depan panji itu, berlutut tanpa bergerak, kaku bagai sebuah arca.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai, menyusul kemudian seseorang menghardik dengan nyaring:
"Sudah datang?"
"Ada di sini!"
Dua rombongan manusia menunggang berkuda dengan debu beterbangan di angkasa bergerak mendekat. Rombongan di sisi kiri terdiri dari tiga orang dengan tiga ekor kuda, seorang di antaranya adalah lelaki setengah umur bertubuh jangkung tapi kekar, orang kedua adalah seorang pemuda kecil pendek dengan sorot mata tajam, sementara orang ketiga adalah seseorang berwajah hitam, mengenakan baju warna hitam dengan sebilah pedang tersoreng dipunggungnya, hanya sepasang matanya yang nampak jeli, berkilauan di tengah kegelapan.
Pemuda itu mencemplak kudanya maju lebih dulu ke depan, sambil merentangkan sepasang tangannya, dia segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun di depan panji itu.
Sementara pemuda kecil pendek bermata tajam itu segera menarik tali les kudanya, ketika lari kudanya mulai melambat, tampak dua sosok bayangan manusia kembali berkelebat, ternyata mereka adalah rombongan yang datang dari sebelah kanan, terdiri dari seorang kakek bercambang dan seorang gadis berbaju hijau.
Lelaki bertelanjang dada yang berlutut di depan panji masih berlutut tanpa bergerak, kakek bercambang itu dengan mengepalkan sepasang tinjunya segera berjalan menghampirinya, mendekat dengan wajah penuh amarah.
Pemuda berbaju hitam dan gadis berbaju hijau itu berdiri tanpa bicara di belakangnya, paras muka mereka nampak berat dan serius.
Angin malam berhembus makin kencang, di tengah deru angin yang memekakkan telinga, mendadak terdengar kakek bercambang itu membentak nyaring, telapak tangannya langsung dihantamkan ke dada lelaki bertelanjang dada itu.
Bentakan nyaring kembali bergema menyusul berkelebatnya sesosok bayangan.
"Toako, tunggu sebentar!"
Seorang lelaki setengah umur telah menangkis pukulan dahsyat itu.
"Mau apa kau?" hardik kakek bercambang itu gusar.
Tujuh tahun telah berlalu, apa salahnya menunggu sejenak lagi?" ucap lelaki setengah umur itu sambil menghela napas.
Dada kakek bercambang itu kelihatan naik turun tak beraturan, meski amarahnya telah memuncak, akhirnya dia turunkan kembali tangannya.
"Kuda pelaksana hukuman telah disiapkan?" ia menegur dengan suara dalam.
Begitu mendengar kata "kuda pelaksana hukuman", paras muka lelaki bertelanjang dada itu berubah hebat.
"Sam siok," buru-buru nona berbaju hitam itu berseru lirih,
"Sute telah berhasil mendapatkannya, sementara Tecu pun telah berhasil membawa kemari kuda Wu im kay soat (awan gelap menutupi salju) milik cong piauthau perusahaan ekspedisi Thian bu Piaukiok, tapi hingga kini Samte dan paman Sim belum nampak juga bayangannya."
Lelaki setengah umur itu segera menambahkan:
"Tugasku adalah mengambil kuda Ci liu (kuda merah berbulu hitam) milik perkampungan keluarga Seng, sedang Su tit (keponakan keempat) mengambil kuda Giok ti cu liong (telapak kumala naga merah) milik peternakan Lok-jit, semuanya merupakan sasaran yang enteng, tentu saja bisa kembali lebih cepat."
Tiga ekor kuda jempolan telah tertambat di batang pohon, ringkikan kuda yang panjang membuat ranting dan dedaunan bergoncang.
Gadis berbaju hijau itu melirik sekejap ke arah orang yang berlutut di hadapan panji itu, tiba-tiba dengan perasaan tak tega dia membuang muka ke arah lain, sementara paras muka semua orang yang hadir pun kelihatan murung dan sangat berduka.
"Paman Sim telah datang!"
Setelah angin kencang berhembus lewat, lelaki yang menancapkan panji tadi segera berlari mendekat, ternyata dia berlari sambil mengangkat tinggi seekor kuda berwarna hitam dan putih, otot lengannya yang menonjol nampak sangat kekar, butiran keringat membasahi jidatnya, begitu tiba di hadapan rombongan orang-orang itu, segera bentaknya nyaring:
"Terima ini!"
Sepasang lengannya diayunkan ke depan, ternyata dia sudah melemparkan kuda itu ke depan.
Pemuda berbaju hitam dan pemuda kecil pendek segera melompat ke depan, yang satu menyambar sepasang kaki depan, yang lain menyambar sepasang kaki belakang kuda itu, kemudian meletakkannya ke tanah.
Pemuda berbaju hitam itu kembali menepuk leher kuda itu, kuda itupun meringkik panjang ingin melompat ke muka, tapi sepasang tangannya sekali lagi menyambar bulu leher kuda itu, akibatnya meski sudah meringkik panjang, kuda itu sama sekali tak mampu bergeser.
Sembari menyeka peluh yang membasahi jidatnya, kata lelaki bertelanjang kaki itu:
"Kuda Hui im Pa cu (macan tutul terbang di awan) benar-benar punya tabiat buruk yang berangasan dan gampang marah, hampir saja aku gagal menaklukkannya, setelah berhasil kutangkap, sialan, ternyata dia ngambek dan tidak mau berlari, terpaksa bukan orang yang menunggang kuda, kudalah yang menunggang manusia."
Setelah memandang sekelilingnya sekejap, dengan wajah berubah, tanyanya lagi:
"Mana Siau Lo sam" Apa belum kembali?"
Lelaki setengah umur itu menggeleng.
Sambil menghentakkan kaki telanjangnya ke tanah, lelaki itu berseru lagi:
"Padahal aku sudah tahu kalau penjagaan di benteng Han hong po sangat ketat dan kuat, si tua bangka Leng juga bukan manusia yang gampang dihadapi, tapi dia justru ngotot ingin ke situ..."
Tiba-tiba berubah paras muka lelaki telanjang dada yang sedang berlutut di depan panji sakti itu, serunya kaget:
"Jadi Samte pergi ke benteng Han hong po untuk mencuri kuda mestika Leng liong kou?"
"Tutup mulut!" bentak kakek bercambang itu nyaring, "kau kesemsem wanita, mengkhianati perguruan, aku Im Gi tidak punya anak durhaka macam kau, Im losam juga tidak punya saudara macam dirimu, biarpun dia mati dalam benteng Han hong po, apa sangkut-pautnya dengan dirimu" Sekali lagi berani memanggilnya Samte, sekarang juga akan kucincang tubuhmu hingga hancur lebur!"
"Anak tahu salah, sadar kalau berdosa dan kesalahanku sangat besar," sahut lelaki itu dengan kepala tertunduk, "sejak dulu, anak memang sudah tidak ingin hidup terus."
"Kalau sudah tahu perbuatanmu amat berdosa dan salah besar, kenapa masih kau lakukan perbuatan yang memalukan ini?" bentak Im Gi keras, "memangnya kau tidak tahu kalau keluarga Im sudah turun temurun bermusuhan dengan benteng Han hong po?"
Kemudian sambil merentangkan sepasang tangannya, dia mengeluh kepada langit:
"Tidak disangka, nama besarku sepanjang hidup akhirnya harus rusak dan musnah di tangan anak durhaka yang tidak setia, tidak berbakti seperti kau!"
Suara jeritannya keras dan penuh kepedihan, bagaikan lolongan monyet yang sedang di mangsa harimau.
Dengan sedih lelaki setengah umur itu segera menimbrung:
"Dia sudah tahu salah, Toako, masa kau tidak bersedia mengampuni jiwanya" Bagaimana kalau kita kutungi sepasang kakinya saja, agar dia cacad seumur hidup?"
Dengan wajah murung dan sendu, lelaki bertelanjang dada itu tertawa pedih, katanya:
"Im Kian telah melanggar pantangan berat, Im Kian bersedia menerima hukuman mati ditarik oleh lima ekor kuda demi ditegakkannya wibawa dan nama baik perguruan panji sakti."
"Bagus!" puji lelaki bertelanjang kaki sambil mengacungkan jempolnya, "begitu baru pantas menjadi anak murid perguruan panji sakti!"
"Biar mati pun aku tidak akan menyesal," kata Im Kian lagi dengan sedih, "aku hanya berharap ayah sudi mengampuni nyawa Leng Cing soat, urusan ini tidak ada sangkut-paut dengan dirinya, semua ini merupakan kesalahanku seorang."
Lelaki kekar yang tidak takut mati ini ternyata meleleh kan air mata, air mata kesedihan, lanjutnya:
"Apalagi dalam rahimnya sudah mengandung darah daging dari keluarga Im!"
Berubah hebat paras muka Im Gi, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, mendadak dari kejauhan berkumandang lagi suara derap kaki kuda, seekor kuda putih bagai anak panah yang terlepas dari busur cepatnya berlarian mendekat di tengah kegelapan malam, tak nampak ada penunggang di atas pelana kuda itu.
"Mana anak Cing?" dengan kening berkerut lelaki setengah umur itu berseru.
Belum selesai ia berkata, sesosok bayangan tampak berkelebat, bayangan manusia berwarna putih sudah muncul dari bawah perut kuda itu dan duduk dengan tenang di atas pelana.
"Hahahaha...." terdengar orang itu tertawa tergelak, "akhirnya Leng liong kou (kuda sakti naga dingin) berhasil juga kutaklukkan!"
Di tengah gelak tertawa nyaring, kuda itu seketika berhenti berlari dan berdiri tidak berkutik di depan panji sakti, seorang pemuda berbaju putih berwajah tampan segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun ke tanah.
Begitu bertemu dengan lelaki yang sedang berlutut di depan panji, dengan perasaan terkejut bercampur gembira, segera sapanya:
"Toako, akhirnya kau pulang juga!"
Im Gi pura-pura tidak mendengar, dengan suara berat serunya:
"Samte, segera umumkan semua dosa dan kesalahannya, kemudian segera laksanakan hukuman!"
Lelaki setengah umur itu menghela napas sedih, dengan kepala tertunduk, ucapnya:
"Im Kiu siau, murid bagian pelaksana hukuman perguruan Thi hiat tay ki bun (panji sakti darah besi) mewakili Cosuya mengumumkan bahwa murid murtad Im Kian telah kesemsem wanita, diam-diam bersekongkol dengan musuh dan dinyatakan bersalah, untuk itu dia pantas menerima hukuman mati ditarik lima ekor kuda!"
Paras muka Im Ceng berubah hebat, teriaknya lantang:
"Ternyata kalian menyuruh aku mencuri kuda tujuannya untuk mencelakai Toako" Ternyata dikelabui! Apa dosa dan kesalahan Toako" Kenapa tubuhnya mesti dicincang dan ditarik oleh lima ekor kuda sampai mati" Kenapa dia harus menerima hukuman sesadis ini" Padahal dia tak lebih hanya mencintai seorang wanita dari keluarga Leng."
Kemudian sambil membalikkan tubuh, dia berlutut di depan kakek bercambang itu dan memohon:
"Ayah, apakah kau tidak bersedia mengampuni Toako sekali ini saja" Bagaimanapun dia adalahh putramu!"
Paras muka Im Gi hijau membesi, dia berdiri mematung di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Gadis berbaju hitam dan pemuda kekar itu serentak ikut menjatuhkan diri berlutut.
Im Ceng maju dua langkah ke depan, sambil memeluk kaki ayahnya, kembali dia memohon:
"Ayah, ampunilah jiwanya sekali ini saja!"
Mendadak Im Kian membentak nyaring sambil melompat bangun, serunya lantang: "Jite, Samte, Site, Ngomoay, Toako tahu bersalah, kalian tak perlu banyak bicara lagi, baik-baiklah merawat ayah, berbaktilah kepadanya.
Dilahirkan sebagai keturunan keluarga Im, aku memang tidak seharusnya jatuh hati kepada anggota keluarga benteng Han hong po. Ayah, ananda tidak berbakti dan telah menodai nama baik panji sakti darah besi, noda ini hanya bisa dibersihkan dengan cucuran darah!"
Begitu selesai berkata, tiba-tiba dia mengayunkan telapak tangannya dan dihantamkan ke atas ubun-ubun sendiri, diiringi jeritan ngeri yang memilukan, percikan darah segar berhamburan kemana-mana.
Im Ceng segera menubruk ke muka, Im Kiu siau membuang muka ke arah lain, sementara lelaki kekar bertelanjang kaki melototkan sepasang matanya mengawasi panji sakti darah besi yang sedang berkibar terhembus angin itu tanpa berkedip.
Im Gi sendiri masih berdiri dengan wajah membesi, sinar matanya berkilat, namun perawakan tubuhnya yang tinggi besar mulai bergetar, bahkan gemetar sangat keras.
Lama sekali dia berdiri kaku bagai patung, berdiri tanpa berkutik.
Akhirnya sambil mencabut panji sakti darah besi yang menancap di tanah perbukitan itu, jeritnya dengan suara yang memilukan hati:
"Langit sebagai saksi, cucuran darah yang mengalir keluar dari tubuh anak murid perguruan panji sakti bukan cucuran darah yang sia-sia, setiap anggota perguruan jangan melupakan pelajaran yang terjadi pada hari ini, terlebih jangan melupakan sumpah berdarah mendiang leluhur kita. Thian sebagai saksi, mulai hari ini saat pembalasan dendam keluarga kita sudah dimulai!"
Teriakan itu keras dan tinggi melengking, nyaring hingga menembus angkasa, sementara cucuran air mata mulai membasahi kelopak mata dan pipinya.
Angin musim gugur masih berhembus kencang, panji sakti darah besi masih berkibar tiada hentinya, malam terasa semakin kelam, hawa membunuh pun semakin tebal menyelimuti seluruh jagad.
Lama sekali Im Gi memegang panji sakti perguruannya, hingga hembusan angin mengeringkan cucuran air matanya, baru ia berseru dengan nada yang dalam dan berat:
"Thiat Tiong-tong tetap tinggal di sini untuk melaksanakan hukuman, yang lain ikut aku pergi!"
Begitu mengucapkan kata "pergi", sekali lagi panji sakti berkibar kencang, menyusul hembusan angin puyuh, tahu-tahu tubuhnya sudah melesat sejauh tiga depa lebih dari posisi semula.
Im Ceng membentak nyaring, sambil melompat bangun, jeritnya keras:
"Untuk melaksanakan hukuman terhadap darah daging keluarga Im, kenapa harus dilakukan oleh anggota marga lain?"
Im Gi yang sudah berada di kejauhan seketika menghentikan langkahnya, perlahan-lahan dia membalikkan tubuh, lalu sepatah demi sepatah dia berkata:
"Semenjak bergabung dalam perguruan panji sakti, mereka adalah sedarah serumpun, barang siapa berani menyinggung lagi tentang 'murid marga lain', batu ini adalah contohnya!"
Begitu selesai bicara, panji besar itu segera dihantamkan ke bawah.
"Criiing!", diiringi percikan lelatu api, sebuah batu hitam sebesar kerbau yang berada di sampingnya seketika terhajar hancur berkeping.
"Ayo jalan!" buru-buru Im Kiu-siau membentak nyaring.
Tanpa membuang waktu lagi dia menyeret tangan Im Ceng dan segera berlalu dari situ.
Dengan sedih nona berbaju hijau itu menengok pemuda berbaju hitam sekejap, tiba-tiba dia pun membalikkan tubuh dan mengikut di belakang pemuda kekar tadi lenyap di balik kegelapan malam sana.
Tidak berapa lama kemudian semua orang sudah berlalu dari situ, kini tinggal pemuda berbaju hitam itu berdiri seorang diri di tengah keheningan, di tengah hembusan angin yang kencang dan ringkikan kuda yang bergema tiada hentinya, lama sekali ia berdiri tak berkutik, hanya sepasang matanya yang jeli memandang ke sana kemari tanpa henti, berkilauan bagai cahaya bintang di tengah malam.
Suara guntur menggelegar membelah bumi, hujan deras pun turun bagaikan dituang dari langit.
Lima ekor kuda meringkik bersama dan berlarian menuju ke lima arah yang berbeda, di belakang kelima ekor kuda itu terlihat ceceran darah yang menggenangi permukaan tanah.
Tapi hanya sebentar saja, tak selang berapa saat kemudian, genangan darah itu sudah bersih tersapu air hujan....
Thiat Tiong-tong, pemuda berbaju hitam itu berdiri kaku di tengah curahan hujan deras bagai sebuah tiang bendera, wajahnya dibasahi butiran air, meleleh dan menetes ke bawah, dia sendiri pun tidak tahu butiran air itu air hujan atau air mata.
Kuda-kuda itu memang sangat terlatih dan punya
kemampuan yang luar biasa, setelah berlarian menuju ke lima arah yang berbeda, mereka langsung berlari menuju ke istal majikannya masing-masing, termasuk juga kuda Leng-liong-kou yang semula kelihatan jinak di tangan Im Ceng, tapi kini ikut berlarian menjauhi tempat itu.
Sungguh cepat lari kuda itu, bagai naga sakti yang terbang di udara, di tengah hujan angin yang deras hanya terlihat sesosok bayangan putih melintas, sama sekali tak dapat dikenali bentuknya secara jelas.
Setelah awan hitam yang tebal dan pekat mulai menipis di ufuk timur, akhirnya lamat-lamat muncullah secercah cahaya terang.
Di bawah sinar redup, di sisi pegunungan yang berbaris, terlihat bangunan rumah yang bersusun bagai sebuah perkampungan yang sedang terlelap tidur, itulah benteng Han-hong-po, sebuah pusat kekuatan persilatan yang disegani di seantero jagad.
Sambil meringkik nyaring, kuda Leng-liong-kou berlari semakin cepat, kini ia berlari menembus sebuah hutan lebat.
Di tengah pepohonan yang rindang, di tengah jalan setapak yang berliku-liku, ditambah air dan lumpur yang berhamburan kemana-mana, mendadak terdengar suara suitan nyaring bergema.
Sesosok bayangan manusia melayang turun dari atas dahan pohon, agaknya ia sudah memperhitungkan waktunya secara tepat, karena tubuhnya langsung melayang turun di atas punggung kuda itu.
Tapi lari kuda Leng-liong-kou kelewat cepat, baru saja tubuh orang itu meluncur ke bawah, sang kuda sudah berkelebat lewat.
Dalam situasi demikian, terlihat orang itu menarik napas sambil melambung ke udara, kemudian setelah bersalto beberapa kali dia menyambar ekor kuda mestika itu dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Dengan begitu tubuhnya pun terseret oleh lari kuda itu dan melambung di tengah udara.
Tiba-tiba orang itu menarik napas panjang, sekali lagi dia berpekik nyaring, kemudian melayang ke punggung kuda itu.
Sambil membelai bulu punggungnya yang halus, terdengar orang itu berbisik lirih:
"Kuda, wahai kuda, masakah kau sudah melupakan aku?"
Di balik kegelapan terlihat orang itu berwajah tampan, bermata tajam dan beralis tebal, wajahnya diliputi kesedihan dan amarah, ternyata dia tak lain adalah Im Ceng!
Walaupun kuda Leng-liong-kou masih berlari kencang, namun tampaknya dia masih teringat pada pemuda yang pernah menjinakkan dirinya, sambil meringkik rendah akhirnya kuda itu berhenti berlari.
Waktu itu sikap Im Ceng jauh lebih tegang ketimbang kudanya, dengan cepat dia melompat ke belakang kuda, di situ terlihat ada dua utas tali kasar yang masih menggelantungan, tali itu penuh dengan percikan darah, juga lumpur, tapi ujung tali sudah tak nampak sepotong benda pun.
"Mungkinkah sudah terlepas?"
Hawa panas yang bergelora dalam dadanya membuat Im Ceng tidak kuasa menahan diri, dia menjatuhkan diri ke tanah dan menangis tersedu-sedu.
"Toako, ooh Toako, sungguh mengenaskan kematianmu, bukan saja jenazahmu tidak utuh, bahkan harus tercecer di sepanjang hutan belantara...."
Sekonyong-konyong terdengar suara hentakkan nyaring berkuman-dang berulang kali, tahu-tahu dari balik hutan sana sudah bermunculan puluhan orang lelaki kekar berpakaian ringkas dan bersenjata tajam, dalam waktu singkat mereka telah mengepungnya rapat, puluhan pasang mata yang tajam berkilauan bagai mata golok yang tertimpa cahaya memandangnya tanpa berkedip.
Im Ceng segera tertawa keras, dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kemari, ayo kemari, aku memang sedang mencari kalian untuk membalas dendam sakit hati Toakoku!"
Baru selesai dia berteriak, tiba-tiba empat orang lelaki kekar yang semula menghadang dihadapannya telah menyingkir ke samping dan membukakan sebuah jalan lewat.
Menyusul terlihat seorang kakek kurus kering, berjubah putih, bertopi caping lebar berjalan mendekat dengan langkah lebar.
Air hujan masih menetes membasahi topi capingnya, menetes di atas wajahnya yang kereng dan penuh wibawa.
Orang itu memiliki kening tinggi dengan sorot mata yang tajam, hidungnya agak bengkok bagai paruh elang, di bawah dagunya terlihat jenggot kambing berwarna abu-abu yang berkibar terhembus angin.
Begitu tiba di hadapan Im Ceng, segera tegurnya ketus:
"Siapa Toakomu, dendam sakit hati apa yang terjalin antara Toakomu dengan benteng Han hong po" Apakah kau anggota perguruan Thi hiat tay ki bun?"
"Leng It hong!" Im Ceng tertawa seram, "kecuali anggota Thi-hiat tay ki bun, keluarga mana yang bisa memiliki anak laki macam kami!"
Ternyata kakek berhidung elang itu bukan lain adalah Han hong Po cu, pemilik benteng Han hong po, Leng It-hong.
Sambil mengelus jenggot kambingnya, dia menegur dengan suara dalam:
"Tengah malam buta begini, berani amat kau mencuri kuda mestika kami, Leng liong kou, nyalimu betul-betul luar biasa"
Hujan angin kembali melanda dengan lebatnya, butiran air yang menetes dari caping lebarnya segera menutupi perubahan wajah kakek itu, menutupi juga telapak tangannya yang gemetar.
Sambil tertawa dingin seru Im Ceng:
"Hmm, orang lain boleh saja menganggap benteng Han hong po sebagai dinding tembaga tembok baja, tapi Siauya sama sekali tak memandang sebelah mata, mau datang mau pergi sesuka hatiku, hmmm, terhitung macam apa dirimu itu!"
Tiba-tiba Leng It-hong bertanya:
"Perguruan panji sakti telah melaksanakan hukuman mati Ngo be hun si (lima kuda memisahkan mayat), apakah tujuannya untuk menghukum Im Kian, si bocah tidak becus itu?"
"Kau akan mendapat giliran yang kedua!" jerit Im Ceng penuh dendam.
Tubuhnya segera bergerak cepat, langsung menerjangke hadapan Leng It hong.
Tiba-tiba terlihat cahaya golok berkelebat, tiga orang lelaki berpakaian ringkas mengayunkan golok panjangnya
menyongsong keda-tangannya, bunga golok bergetar di udara dan memisah menjadi tiga bagian, masing-masing membabat tubuh bagian atas, tengah dan bawah Im Ceng.
Sementara itu Leng It-hong telah menegakkkan kepala sambil tertawa seram, serunya:
"Im Gi, wahai Im Gi, Lohu mesti berterima kasih kepadamu, anak jahanammu telah menggaet putri keluarga Leng kami, tidak disangka kau telah mewakili Lohu menghukum mati bajingan itu!"
Begitu berhenti tertawa, segera hardiknya:
"Tahan, biarkan dia pergi!"
Ketiga orang lelaki itu segera menarik kembali senjatanya dan mundur tiga langkah.
"Manusia she Im," kembali Leng It hong berkata dengan suara mendalam, "mengingat kau pun seorang Enghiong Hohan, kali ini Lohu akan memberi jalan hidup bagimu, lain kali bila berani membuat onar lagi dalam benteng Han hong po, jangan salahkan Lohu membuat kau bisa datang, susah pergi!"
"Jaubui (kentut busuk)!" umpat Im Ceng gusar, "kau tak perlu berlagak suci, sok berwelas-asih, hari ini Siauya justru tak mau balik, bisa apa kau?"
Telapak tangannya kembali menyambar ke muka, dengan lima jari tangannya bagai sebuah kaitan, dia mencengkeram ujung sebilah golok panjang, kemudian tangannya digetarkan kuat-kuat.
Termakan cengkeraman itu, lelaki pemilik golok itu tak kuasa menggenggam senjatanya lagi, lekas dia melepaskan senjatanya sambil melang-kah mundur.
Im Ceng mendengus dingin, kembali lengannya menyodok ke muka, kali ini dengan gagang golok rampasannya dia menyodok jalan darah Ciang tay hiat di dada lawan.
Dua bilah golok panjang lainnya tak tinggal diam, satu dari kiri dan yang lain dari kanan secepat kilat membabat sepasang bahu Im Ceng, cahaya golok berkelebat bagai rantai dan melintas secepat petir.
Sambil membungkukkan tubuh, Im Ceng merangsek maju ke depan, tahu-tahu dia sudah menerobos lewat melalui bawah babatan golok lawan.
Sikut kanannya bekerja cepat, ia langsung menyodok lambung lelaki yang ada di sebelah kiri dengan kuat.
Termakan sodokan yang tidak terduga ini, lelaki itu meringkuk kesakitan, tubuhnya langsung terbungkuk-bungkuk dan tidak mampu berdiri tegak lagi.
Sementara telapak tangan kirinya dengan jurus To yap tiau yang jiu (menusuk balik telapak tangan), mencengkeram pergelangan tangan lelaki yang ada di sebelah kanan, begitu dipuntir sambil disentak ke depan, tubuh lelaki kekar yang bobot tubuhnya mencapai ratusan kati itu seketika terlempar ke udara.
Ling It-hong mendengus dingin, tubuhnya bergeser tiga langkah ke samping sambil menjulurkan telapak tangan kanannya, tahu-tahu dia sudah mendorong tubuh lelaki yang terlempar ke udara itu perlahan, menggunakan tenaga dorongan itu, lelaki itu segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun kembali ke tanah.
Meski berhasil mendarat dengan selamat, tak urung sepasang matanya terbelalak juga mengawasi lawannya, jelas rasa kaget dan ngeri yang mencekam perasaannya belum berhasil dikendalikan.
Dengan ibu jarinya Im Ceng menekan ujung golok, jari telunjuknya melakukan gerakan mencukil dari bawah, golok panjang itu segera berputar arah dan gagang golok itupun jatuh ke dalam genggamannya.
Dengan golok berada di tangan, posisi Im Ceng sekarang ibarat harimau tumuh sayap, segera hardiknya:
"Tua bangka sialan, serahkan nyawamu!"
Ling It-hong sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya, hanya ujarnya dengan dingin:
"Anak muda, jangan kelewat takabur dan lupa diri, tindakan semacam ini hanya akan mempermalukan diri sendiri, coba periksa dulu sekeliling mu, lihatlah apakah sekarang kau masih sanggup melarikan diri?"
Di luar lingkaran lelaki bergolok panjang kini telah bertambah lagi dengan satu lapis pemanah yang telah membentangkan busurnya dan siap melepaskan anak panah yang telah disiapkan, asal ada perintah, maka hujan panah segera akan dilancarkan ke tubuh anak muda itu.
"Sudah kau periksa dengan jelas?" kata Leng It-hong sambil mengangkat telapak tangannya, "asal kuayunkan tanganku ke bawah, perguruan Tay ki bun segera akan kehilangan lagi seorang jagoannya!"
"Bila kau ingin mengancam dengan menggunakan
keselamatan jiwaku sebagai taruhan, maka perhitunganmu keliru besar," teriak Im Ceng sambil membusungkan dada, "kalau ingin menyerang, silakan saja dilakukan, lihat saja apakah Siauyamu ini bakal mengernyitkan dahi atau tidak?"
"Hmm! Walaupun kematianmu tidak perlu disesalkan, tapi tahukah kau bahwa hingga kini kondisi perguruan panji sakti masih sangat lemah, tahukah kau apa sebabnya ayahmu rela hidup menderita selama dua puluh tahun di tepi perbatasan hanya untuk mendidik kalian beberapa orang murid" Tujuannya tidak lain adalah agar kalian kelak bisa membangun kembali kejayaan serta nama besar perguruan panji sakti dalam dunia persilatan, bila hari ini kau mengorbankan nyawa dengan percuma, apakah tidak merasa patut disayangkan" Coba camkan kembali ucapanku ini."
Im Ceng mendongakkan kepala sambil tertawa seram.
"Jago-jago yang muncul dalam perguruan panji sakti bukan cuma aku seorang, sekalipun hari ini aku tewas di tanganmu, suatu hari kelak tetap akan muncul orang lain yang akan menuntut balas kepadamu. Hmmm! Kau tak perlu menakut-nakuti aku!"
"Menghadapi kematian seperti pulang ke rumah, kegagahan dan keberanianmu memang mengagumkan, tapi menolak nasehat yang baik, keras kepala mengikuti suara hati sendiri justru merupakan tindakan seorang goblok yang kelewat dungu."
"Sudah, jangan banyak cingcong," tukas Im Ceng nyaring,
"kalau ingin bunuh, cepat bunuh, kalau ingin bertarung, ayo kita segera bertempur!"
Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara, sambil menjejakkan kakinya dia menendang punggung lelaki kekar itu.
Saat itu rasa kaget dan ngeri yang dirasakan lelaki itu belum lagi hilang, kini dia semakin terkesiap, buru-buru tubuhnya bergulingan di atas tanah menghindarkan diri dari tendangan maut itu.
Siapa sangka saat itulah In Ceng meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa, dari pukulan berubah menjadi cengkeraman, kali ini dia sambar kaki lelaki itu dan memutarnya di angkasa.
Tak sempat menjerit kaget, tubuh lelaki itu sudah terangkat ke udara dan diputar kencang bagaikan sebuah gangsing.
Menyaksikan rekannya jatuh ke tangan lawan, bahkan digunakan sebagai perisai, tentu saja kawanan pemanah itu tidak berani sembarangan bertindak, untuk sesaat mereka menjadi bimbang dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Sambil membentak nyaring, teriak Im Ceng:
"Siapa menghalangi aku mampus, siapa menghindari aku hidup!"
Sambil memutar perisai manusia itu, dia menerjang maju ke dalam kepungan dengan kecepatan luar biasa.
Seketika itu juga suasana menjadi kalut, karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, barisan pengepung itupun kacau-balau tak keruan, dengan begitu terbukalah sebuah jalan.
Menyaksikan hal ini, Leng It-hong segera tertawa dingin, serunya:
"Sejak tadi Tio-toa sudah kehilangan nyawanya, apa lagi yang kalian ragukan?"
Dua orang lelaki bergolok menanggapi teriakan itu dengan menerjang maju ke muka, goloknya diayunkan langsung membabat ke tubuh lelaki yang berada di tangan Im Ceng.
Begitu kuat bacokan golok itu, tak selang berapa saat kemudian, bacokan kedua orang itu telah membelah tubuh rekannya menjadi tiga bagian.
Dimana cahaya golok menyambar lewat, percikan darah segera berhamburan.
Im Ceng membentak nyaring, sekuat tenaga dia lemparkan potongan mayat dalam genggamannya ke wajah salah satu lelaki penyerang itu.
Lemparan yang tak terduga ini seketika membuat seluruh wajah lelaki itu bermandikan darah, sambil menjerit kaget dia melompat mundur, tapi begitu teringat benda yang dilemparkan ke wajahnya adalah kurungan mayat rekannya yang terbelah, kontan perutnya menjadi mual.
Tanpa membuang waktu lagi dia membuang golok dalam genggaman nya dan berlarian menjauh dari situ sambil memuntahkan seluruh isi perutnya, lari seperti orang gila.
Bagai harimau ganas yang menyerang mangsanya, Im Ceng langsung menerobos masuk ke tengah lapisan cahaya golok, dengan tangan kosong dia melayani puluhan bilah golok panjang yang menyambar di sekeliling tubuhnya.
Terlihat bayangan manusia bergerak lewat, diiringi jeritan kaget, lagi-lagi ada tiga orang lelaki kekar yang terseret dan terlempar keluar dari arena pertempuran.
"Budak-budak goblok yang tidak berguna!" umpat Leng It-hong dengan wajah bertambah gelap.
Kawanan pemanah yang berada di empat penjuru serentak menarik busur masing-masing, siap melancarkan serangan, begitu telapak tangan Leng It-hong dibalik dengan ibu jari menuding ke bawah, serentak kawanan jago itu membentak nyaring dan melepaskan anak panah masing-masing.
Desingan angin tajam seketika memenuhi seluruh udara, berpuluh-puluh batang anak panah bagaikan beribu ekor belalang terbang, langsung meluruk ke tubuh lawan.
Mimpi pun kawanan jago bergolok panjang yang sedang mengepung Im Ceng tidak menyangka, Pu-cu mereka begitu tega tidak memikirkan keselamatan anak buahnya dengan memutuskan untuk melepaskan hujan panah.
Dalam terkejut bercampur ngeri, serentak mereka memutar goloknya sambil kabur ke empat penjuru, dua orang di antaranya yang kabur agak terlambat seketika tertembus panah, diiringi jerit mengerikan yang memilukan hati mereka jatuh bergelimpangan di tanah dengan dada tertembus puluhan batang panah.
Sejak semula Im Ceng telah mempersiapkan golok dalam genggaman, sambil memutar tubuh dia memainkan goloknya kian kemari, seketika anak panah yang tertuju ke arahnya berjatuhan dimana-mana.
Tapi kawanan pemanah itu telah menyiapkan kembali anak panahnya, mereka siap melepaskan serangannya begitu diperintahkan.
Dengan pandangan dingin Leng It-hong mengawasi anak muda itu, katanya ketus:
"Sekarang aku sudah tidak bisa membebaskan dirimu lagi, tangkap dia hidup-hidup atau bunuh dia di tempat!"
Mendadak dari balik rindangnya dedaunan sebatang pohon raksasa, muncul seorang gadis, meski berbaju perlente, namun keadaannya amat mengenaskan.
Dari belakang gadis itu, di balik dedaunan yang lebat, terdengar seseorang berseru dengan suara dingin:
"Leng It-hong, kau masih menginginkan nyawa putrimu?"
Berubah hebat paras muka Leng It-hong.
"Siapa kau?" hardiknya, "cepat bebaskan dia!"
"Tidak sulit bila ingin kubebaskan putrimu, silakan kalian antar pemuda she Im itu keluar hutan, kujamin nyawa putrimu tak akan terusik!"
Ling It-hong tertawa dingin.
"Hmm, ternyata anak murid perguruan panji sakti pun mampu melakukan perbuatan sebejad itu, hari ini sepasang mata Leng It-hong betul-betul terbuka!" ejeknya.
"Siapa bilang dia adalah anggota perguruan panji sakti?"
teriak Im Ceng gusar.
"Kalau dia bukan anggota perguruan panji sakti, kenapa menggunakan cara yang begitu licik dan busuk untuk menyelamatkan jiwamu?"
Dengan gusar Im Ceng segera menengadah, teriaknya:
"He... siapa kau?"
"Setelah keluar dari hutan ini dalam keadaan selamat, otomatis kau akan bersua denganku!"
"Aku Im Ceng meski harus mati pun tak sudi kau tolong dengan cara serendah itu."
Orang yang berada di balik rindangnya pepohonan itu segera menyahut sambil tertawa dingin:
"Kalau aku ngotot ingin menolongmu, mau apa kau?"
Tiba-tiba Leng It-hong melepaskan topi bambu dari kepalanya dan membantingnya keras-keras ke tanah, umpatnya:
"Selama hidup Lohu paling benci dipaksa orang, hari ini aku benar-benar dibuat celaka oleh kau si budak sialan."
"Mundur!" teriaknya kemudian.
Tidak selang berapa saat, seluruh jagoan yang ada di situ telah mengundurkan diri.
"Kenapa belum kau bebaskan dia?" kembali Leng It-hong membentak nyaring.
"Orang she Im toh belum pergi dari situ!" jawab orang itu sambil tertawa.
"Kau hanya bisa menggunakan cara itu untuk memaksa, jangan harap bisa memaksaku," teriak Im Ceng lagi, "kalau aku bersikeras tidak mau pergi, bisa apa kau?"
"Kalau tidak mau pergi, aku pun bersikeras tidak akan melepaskan dia, sehari kau tidak pergi, sehari juga aku tidak akan melepaskan dia, jika sepuluh hari kemudian kau baru pergi, aku pun akan menahannya sepuluh hari, aku tahu tabiatmu memang keras kepala, justru ingin kulihat watak baumu yang keras dan busuk itu bisa bertahan berapa lama?"
Hijau membesi paras muka Im Ceng, biarpun dia tahu orang sedang menolongnya, tapi dia justru tak sudi menerima budi kebaikan itu, mendadak hardiknya:
"Aku justru akan memaksamu melepaskan dia!"
tahu baru saja tubuhnya berputar, telapak tangan Leng It-hong sudah dihantamkan ke ulu hatinya.
"Kurangajar!" teriak Im Ceng gusar, "aku berbaik hati menolong putrimu, kenapa kau malah membokongku?"
"Hahahaha...." orang di belakang pohon ikut tertawa tergelak,
"aku pun berbaik hati ingin menolongmu, kenapa kau pun membokongku?"
Kontan Im Ceng terbungkam, tak sanggup berkata lagi.
Tiba-tiba dari luar hutan terdengar seseorang berteriak:
"Dimana adik Im Kian?"
Di tengah hujan lebat terlihat seorang gadis berbaju putih dengan membawa payung bambu melayang masuk ke dalam hutan.
Gerakan tubuhnya enteng dan cepat, sekalipun sedang berjalan di tengah hujan deras, pakaiannya tak nampak kotor, ternoda sedikit lumpur pun tidak.
Ling It-hong seketika kembali mengernyitkan alis matanya.
Gadis berbaju putih itu sama sekali tidak menengok kearahnya, sorot matanya hanya mengawasi Im Ceng tanpa berkedip.
"Jadi kau adalah Im Ceng?" dia menyapa.
"Dan kau Leng Cing-soat?"
"Benar aku," sahut gadis berbaju putih itu sambil manggut-manggut.
"Kau telah mencelakai Toakoku, sekarang masih punya muka untuk bertemu denganku?" bentak Im Ceng lagi.
Sepasang kepalannya langsung ditonjokkan ke depan, menghantam sepasang bahunya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan cekatan eng Cing-soat mengoyang pinggangnya dan tahu-tahu sudah lolos dari ancaman.
"Kau berani bersikap kurangajar terhadap ensomu?" tegurnya.
"Kau ini enso siapa?" balas Im Ceng gusar.
Ketika serangan yang kedua baru saja dilancarkan, terdengar Leng Cing-soat berseru lagi:
"Aku sedang mengandung darah daging Toakomu, berani kau memukulku?"
Sambil berkata dia majukan tubuhnya dan siap menyambut pukulan itu.
Buru-buru Im Ceng menarik kembali pukulannya sambil mundur tiga langkah, untuk sesaat dia berdiri mematung, wajahnya sebentar berubah hijau sebentar putih, untuk beberapa saat dia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah menghela napas panjang kembali Leng Cing-soat berkata:
"Setelah Toakomu meninggal, sudah seharusnya kau turuti perkataan ensomu, cepat tinggalkan tempat ini, ketahuilah ensomu adalah seorang yang bernasib jelek!"
Butiran air matanya kembali bercucuran membasahi pipinya.
Im Ceng memandang sekejap air mata yang membasahi wajah perempuan itu, kemudian memandang sekejap pula ke arah gadis yang ada di atas pohon, akhirnya sambil menjejakkan kakinya dengan gemas, dia berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Mendadak berkelebat kembali selapis hujan cahaya yang menyilaukan mata, puluhan titik cahaya perak yang membawa desingan angin tajam meluncur datang dan mengurung radius beberapa depa di sekeliling tubuhnya.
Dengan cekatan Im Ceng menjatuhkan diri ke belakang, lalu melejit ke udara dan berputar tiga kali.
"Triiing, triiing!", lapisan hujan perak itu bergerak membuat satu lingkaran, kemudian baru berkumpul menjadi satu, setelah saling membentur di tengah udara, hujan perak tadi baru menyebar ke empat penjuru dengan kekuatan yang sama sekali tak berkurang.
Kali ini lapisan hujan cahaya itu mengancam ke wajah dan dada anak muda itu.
Im Ceng mengayunkan sepasang tangannya berulang kali, di tengah deru angin pukulan yang bergelombang, akhirnya ia berhasil merontokkan semua hujan cahaya itu, ternyata benda-benda itu tidak lain adalah puluhan batang jarum perak yang lembut bagai bulu kerbau.
Paras muka Leng It-hong maupun Leng Cing-soat berubah hebat, sementara manusia misterius yang berada di balik pepohonan ikut membentak penuh amarah:
"He, berani amat kau melancarkan serangan bokongan kepadanya, memangnya nyawa putrimu sudah tidak kau inginkan?"
"Kalian keliru besar," teriak Leng Cing-soat, "senjata rahasia itu bukan dilancarkan oleh orang-orang Han hong po."
"Apa" Kau masih ingin berkelit?" seru Im Ceng.
"Orang yang biasa menggunakan Thian li ciam (jarum gadis langit) sebagai senjata rahasia andalannya hanya ada satu keluarga, ilmu melepaskan Am gi Leng long biau jiu, Sam san thian hoa (jari tangan lentik penyebar bunga langit) pun tiada duanya di kolong langit, setelah menyaksikan senjata rahasia semacam ini, setelah melihat ilmu melepaskan senjata rahasia seperti ini, masakah kalian belum bisa menebak siapa pelakunya" Mana boleh kalian timpakan kesalahan ini kepada benteng Han hong po?"
"Lalu perbuatan siapa" Kalau punya nyali, ayo cepat perlihatkan wajahmu!"
Tiba-tiba Leng It-hong menganggukkan kepalanya seraya berkata:
"Seng-toaso, silakan keluar, bila kau tidak segera tampil, keponakan wanitamu akan kehilangan nyawa!"
Gelak tertawa seketika berkumandang dari belakang sebatang pohon besar.
Suara tertawanya merdu, lembut dan sedap didengar, bagaikan suara tertawa seorang gadis, tapi yang muncul berbareng suara tertawa itu adalah seorang nyonya tua yang rambutnya telah beruban dan membawa sebuah tongkat besar.
Di belakang nenek itu mengikut seorang lelaki setengah umur yang memiliki wajah merah dengan hidung singa dan mulut lebar, kumis dan jenggotnya pendek dan tipis.
Ia mengikut terus di belakang si nenek sambil memegangi sebuah caping bambu yang lebar, dengan caping itu dia menutupi kepala si nenek dari curahan air hujan, sementara pakaiannya sendiri yang dikenakan telah basah kuyup.
Nenek itu berjalan dengan langkah lebar, bukan saja tidak nampak ketuaannya, bahkan gerak-gerik maupun suara tawanya mirip seorang gadis berusia belasan.
"Tiga orang menantuku, satu demi satu telah tewas di tangan orang-orang Tay ki bun," ujarnya nyaring, "ini membuat putraku selama belasan tahun enggan menikah lagi, apa salahnya kalau kau pun kehilangan seorang putri untuk menemani menantuku di alam baka" Sekarang anak orang she Im sudah muncul di benteng Han hong po, memangnya akan kau lepas begitu saja?"
Nada ucapan si nenek pun terdengar halus dan lembut, jauh bertolak belakang dengan kerutan yang memenuhi wajahnya.
Berubah paras muka Leng It-hong. Tapi sebelum ia sempat berkata, manusia misterius yang berada di balik pepohonan telah berseru sambil tertawa:
"Rupanya yang datang adalah pemilik perkampungan keluarga Seng yang dulu disebut orang San hoa hian li (perempuan sakti penyebar bunga) Seng-toanio" Berarti yang mengikut di belakangmu adalah Ci sim Kiam khek (jago pedang berhati merah) Seng Cun-hau, Seng-siaucengcu, selamat bersua, selamat bersua!"
Seng-toanio mendengus dingin, tanpa mendongakkan kepala, katanya dingin:
"Hmm, bukankah kau ingin mencabut nyawa Leng Cing-ping"
Ayo, lakukan segera. Kini aku sudah muncul di sini, jangan harap manusia she Im itu bisa kabur lagi dari tempat ini!"
"He, Leng It-hong, sudah kau dengar perkataan itu" Biarpun menantunya sudah mati, dia masih punya anak lelaki, sebaliknya jika kau kehilangan putrimu, menantu pun tidak akan kau punyai"
"Im Ceng, sebenarnya kau mau pergi atau tidak?" dengan wajah menyeramkan Leng It-hong menghardik.
Saat itu Im Ceng sedang berdiri bersandar di atas sebatang pohon besar, sambil bersiaga penuh, sahutnya lantang: "Siauya kalau mau datang segera akan datang, mau pergi segera akan pergi, jangan harap ada yang bisa menghalangiku!"
"Benarkah begitu?" jengek Seng-toanio, "Leng-laute, sudah kau dengar" Orang lain sama sekali tak memandang sebelah mata pun terhadap benteng Han-hong-po, masa kau hanya berdiam terus?"
Sebelum Leng It-hong menjawab, sambil menghela napas panjang Leng Cing-soat telah berkata: "Bibi, semestinya kau pun berpikir untuk kami, kini adikku sudah terjatuh ke tangan orang, apalagi yang bisa kami perbuat?"
"Keponakanku, kau jangan berkata begitu," tukas Seng-toanio, "ketika bibi menyaksikan perguruan Tay-ki-bun kembali melaksanakan hukuman mati dengan ditarik lima ekor kuda, bahkan mencuri kuda mestika, buru-buru aku menyusul kemari, bukankah tujuannya demi kebaikan bersama" Sudah bertahun-tahun lamanya perguruan Tay ki bun menahan diri, kini mereka mulai muncul sambil melakukan pembalasan dendam, jelas orang-orang itu akan melakukan pemban-taian secara besar-besaran, jika kau tidak membunuhnya, dialah yang akan membunuhmu. Sekarang jumlah orang kita banyak, sedang jumlah mereka sedikit, kalau satu melawan satu sudah pasti kitalah yang untung."
Tiba-tiba Im Ceng tertawa tergelak, serunya: "Siapa yang sudi beradu nyawa dengan kalian" Selamat tinggal, Siauya segera akan pergi!"
Di tengah gelak tertawanya, ia bergeser sambil menempel di batang pohon dan menyelinap masuk ke balik pepohonan yang lebat.
Siapa pun tak ada yang menyangka dengan tingkah-laku pemuda ini, tadi ketika dilepas, ia ngotot tak mau pergi, sekarang ketika orang berniat menahannya, ia justru memanfaatkan peluang itu untuk kabur.
Seng-toanio tertawa dingin.
"Cun-hau!" serunya, "hadang jalan perginya!"
Pendekar pedang berhati merah Seng Cun-hau menyahut dengan suara dalam, baru saja dia akan menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget dari Im Ceng yang berasal dari balik pepohonan:
"Aaah, rupanya kau!"
Menyusul kemudian terdengar suara jeritan kaget Leng Cing-ping yang terjatuh dari atas pohon, lekas Leng It-hong melompat ke depan dan memeluk tubuh putrinya.
Dalam waktu yang amat singkat, terlihat bayangan manusia berkelebat, tahu-tahu Seng Cun-hau telah melolos pedangnya sambil menerobos masuk ke balik pepohonan.
Diiringi suara ranting dan dahan pohon yang berguguran tertebas pedangnya, tampak dua sosok bayangan manusia meluncur turun dari atas sebatang pohon.
Segera Leng It-hong menyerahkan gadis yang berada dalam bopongannya ke tangan Leng Cing-soat, serunya berat:
"Cepat bawa dia pulang!"
Ling Cing-soat mundur ke belakang, tapi sorot matanya masih memandang ke arah depan.
Terlihat dua sosok bayangan manusia meluncur turun dari atas dahan pohon, salah seorang di antaranya adalah seorang lelaki berbaju serba hitam dengan sebilah pedang tersoreng dipunggungnya.
Baru saja pemuda itu siap menutulkan kembali kakinya untuk sekali lagi melambung ke udara, tiba-tiba terasa segulung angin pukulan yang dingin menggidikkan telah menyambar tiba.
Rupanya Leng It-hong telah memburu datang sembari melancarkan sebuah pukulan maut.
"Saat ini jangan harap kau bisa lolos dari sini!" teriaknya gusar.
Pemuda berbaju hitam itu tetap bungkam, dia membuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari pukulan itu, menggunakan kesempatan yang ada dia pun mencabut pedangnya sambil menyerang sepasang mata lawan.
Bukan saja ilmu pedangnya tajam, serangan pun dilancarkan cepat bagai sambaran petir.
Ling It-hong segera membalik sepasang tangannya sambil dirangkap jadi satu, tujuannya ingin menjepit tubuh pedang orang berbaju hitam itu, kecepatannya mengubah jurus serangan betul-betul luar biasa.
Siapa sangka orang berbaju hitam itu telah memutar pedangnya sambil melepaskan tusukan langsung, dalam waktu singkat lagi-lagi dia melancarkan lima serangan berantai.
Biarpun ilmu pedangnya biasa tanpa variasi yang aneh, namun kecepatan serangannya betul-betul luar biasa, biarpun Leng It-hong sudah puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan pun jarang menjumpai kehebatan semacam ini.
Di pihak lain pendekar pedang berhati merah Seng Cun-hau sudah bertarung tiga gebrakan melawan Im Ceng, tiba-tiba serunya:
"Paman Leng, biar keponakan yang menjajal kehebatan jurus serangan pemuda itu!"
Sekalipun perkampungan keluarga Seng tersohor sebagai keluarga senjata rahasia, namun selama ini Seng Cun-hau justru lebih terkenal dalam dunia Kangouw sebagai seorang jago pedang, tak heran muncul keinginannya untuk menjajal ilmu pedang pemuda berbaju hitam itu setelah menyaksikan kehebatan lawan.
"Ilmu pedang yang dimiliki bangsat ini sangat cepat, permainan tangannya sangat lincah, Hiantit, kau mesti lebih berhati-hati bila bertarung melawannya!" kata Leng It-hong dengan suara dalam.
"Keponakan mengerti!"
Setelah melancarkan tiga serangan berantai, dia telah bertukar posisi dengan Leng It-hong, pedangnya diluruskan sejajar dada dan kini ia berdiri saling berhadapan dengan pemuda berbaju hitam itu.
Mereka berdua berdiri saling berhadapan tanpa menggerakkan tubuh, hanya sorot matanya yang saling bertatapan.
Kedua orang ini, yang satu berwajah hitam bersinar merah, sementara yang lain berwarna hitam berkilat, hidungnya sama-sama hidung singa, matanya sama-sama tajam bagai sembilu, keangkeran mereka lamat-lamat memperlihatkan gaya seorang jago kenamaan.
Di pihak lain Im Ceng telah bertarung beberapa gebrakan melawan Leng It-hong, mendadak pemilik benteng Han hong po ini menyaksikan lawannya sedang mengawasi pemuda berbaju hitam itu dengan wajah penuh amarah.
Terdengar Seng-toanio sambil tersenyum telah berseru:
"Leng-laute, kenapa mesti terburu-buru bertarung" Toh orang she Im itu tidak bakal bisa lolos dari sini, ayo kita saksikan pertarungan orang ini lebih dulu, coba lihat, bukankah perawakan pemuda itu mirip sekali dengan Cun-hau" Hakikatnya mereka seperti dua bersaudara saja."
Im Ceng yang berada di tepi arena mendadak berteriak pula dengan suara lantang: "Thiat Tiong-tong! Kalau kau enggan melancarkan serangan, lebih baik angkat saudara saja dengan orang itu!"
Ternyata pemuda berbaju hitam itu tak lain adalah murid ketiga dari perguruan Tay ki bun, Thiat Tiong-tong, dia adalah seorang anak yatim piatu dan sudah banyak menerima budi dari perguruan, itulah sebabnya pada hari-hari biasa ia selalu mengalah kepada adik seperguruannya ini.
Maka akhirnya dia pun turun tangan.
Orang yang tak sembarangan melancarkan serangan, biasanya serangan yang dilakukannya pasti cepat bukan kepalang.
Diiringi dua bentakan nyaring, dua kilas cahaya pedang saling menyambar di tengah udara.
Menyusul kemudian "Triiing, triiing.... ", kembali berkumandang dentingan nyaring saling beradunya pedang, begitu bertemu mereka saling berpisah lagi, dalam waktu singkat kedua belah pihak telah melancarkan belasan jurus serangan.
Kini perhatian semua orang sudah tertuju ke tengah arena, semua orang seakan-akan terkesima oleh pertarungan yang sedang berlangsung.
Hanya Im Ceng seorang yang terkecuali.
"Aaah, ternyata mereka berasal dari perguruan Tay ki bun, bagus, bagus sekali" terdengar pujian bergema berulang kali.
"Apanya yang bagus?" bentak Im Ceng gusar.
Seng-toanio tertawa terkekeh-kekeh.
"Di saat perguruan Tay-ki-bun melakukan pembalasan, biasanya mereka suka membokong dan menyerang secara gelap, bahkan jumlahnya tak mungkin hanya satu dua orang, hari ini sudah ada tiga orang yang jatuh ke cengkeraman kami, apa tidak bagus namanya?"
"Mana ada tiga orang?" tanya Leng It-hong keheranan.
"Leng-Iaute, masa kau lupa kalau dalam perut putrimu masih ada seorang lagi?"
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Asal ada anggota keluarga Im yang terjatuh ke tanganku, jangan harap mereka bisa hidup selamat!"
Ling It-hong segera melompat ke depan, menghadang di depan dua bersaudara Leng Cing-soat, bisiknya kemudian:
"Kalian segera mundur dari sini!"
Sekali lagi Seng-toanio tertawa terkekeh-kekeh.
"Leng-Iaute, apa yang kau takuti" Memangnya jarum gadis langit milik Seng-toanio digunakan secara sembarangan"
Sekalipun akan turun tangan, yang pasti sasarannya bukan putrimu!"
Pada saat itulah mendadak dari luar hutan muncul belasan ekor kuda yang tinggi besar berlarian mendekat, kuda-kuda itu mengenakan pelindung kepala yang terbuat dari baja sementara punggungnya juga mengenakan lapisan lempengan baja yang kuat.
Belasan orang lelaki berbaju hitam menempel ketat di atas punggung kuda itu, meski sedang berlarian menerobos pepohonan yang rapat, namun kepandaian menunggang kuda orang-orang itu luar biasa sekali, mereka berhasil melewati setiap rintangan dengan mudah dan cepat, selancar sedang berlarian di padang luas.
Begitu rombongan berkuda itu menerobos masuk ke dalam hutan, seketika itu juga gerombolan manusia yang semula mengepung hutan itu membubarkan diri karena kaget bercampur takut.
Terdengar orang yang ada di kuda itu membentak nyaring:
"Semua anggota perguruan Tay ki bun segera mundur dari sini!"
Menyusul bentakan itu, puluhan titik senjata rahasia berhamburan keluar dari tangan para penunggang kuda itu langsung mengancam tubuh Seng-toanio, Leng It-hong serta Leng Cing-soat bersaudara.
Dua orang di antara mereka segera melompat turun dari kudanya dan menyisakan dua ekor kuda untuk Im Ceng berdua.
Sambil memutar pedangnya, Thiat Tiong-tong segera melompat naik ke punggung kuda, teriaknya sembari menarik lengan Im Ceng:
"Samte, ayo pergi dari sini!"
Im Ceng meronta melepaskan diri dari cengkeraman, dia segera melompat naik ke punggung kuda yang lain dan mencemplak kudanya.
Kedatangan rombongan manusia berkuda itu sangat cepat dan mendadak, sewaktu pergi pun mereka lakukan dengan cepat, terdengar ringkikan kuda yang sahut-menyahut, tidak selang beberapa lama kemudian mereka sudah lenyap di balik pepohonan.
Setelah berhasil menghindari serangan Am gi, Seng-toanio segera berseru:
"Ayo kejar!"
Setiap orang ikut dalam pengejaran itu, hanya Leng Cing-soat bersaudara tetap berdiri tak bergerak di posisi semula.
Tiba-tiba terdengar Leng Cing-ping menghela napas panjang sambil bergumam:
"Semoga mereka berdua tidak sampai terkejar oleh ayah!"
Mendengar itu Leng Cing-soat mengerutkan dahinya, tanyanya keheranan:
"Bukankah dia telah menyiksamu, kenapa kau malah berharap dia berhasil lolos?"
Sekali lagi Leng Cing-ping menghela napas sedih:
"Dia tidak menyiksaku, dia tidak pernah menyiksaku"
Ucapannya amat halus dan manja, tubuhnya pun kelihatan lemah tak bertenaga, sama sekali bertolak belakang dengan kondisi kakaknya yang keras, dingin dan angkuh.
Ling Cing-soat sekali lagi menatap adiknya, setelah menarik napas panjangujarnya:
"Ji-moay, apakah kau pun jatuh cinta kepada murid perguruan Tay ki bun itu" Apakah kau tidak cukup melihat penderitaan Cicimu ini?"
Leng Cing-ping menundukkan kepala, sampai lama dan lama sekali tanpa bicara.
BAB 2 Senyuman Suto Siau
Thiat Tiong-tong serta Im Ceng memiliki ilmu menunggang kuda yang hebat, kedua ekor kuda tunggangan mereka pun merupakan kuda mestika pilihan yang hebat.
Tidak lama setelah berlarian menembus pepohonan, kedua orang itu sudah jauh meninggalkan rombongan berkuda lainnya.
Terdengar para penunggang kuda itu berseru keras:
"Kalian berdua cepat lari dari sini, biar kami yang menghadang para pengejar itu!"
Maka rombongan manusia berkuda yang ada di belakang pun semakin ketinggalan jauh.
Dalam waktu singkat Leng It-hong serta Seng-toanio telah berhasil menyusul seekor kuda yang ada di barisan paling belakang.
Sambil melambung ke tengah udara Leng It-hong
melancarkan sebuah pukulan ke punggung penunggang itu, biarpun tenaga serangannya tidak terlalu dahsyat, namun ancaman yang dilepaskan dari tengah udara ini memiliki kekuatan yang cukup menakutkan.
Sementara Seng-toanio dengan tangan kanan menggenggam jarum perak, tongkat di tangan kirinya langsung disodokkan ke depan, ujung tongkatnya mengancam jalan darah Leng-tay-hiat serta Ming-bun-hiat di tubuh orang itu.
Serangan gabungan yang dilancarkan kedua orang itu sungguh dahsyat dan mengerikan, siapa tahu penunggang kuda itu hanya tertawa, tiba-tiba tubuhnya menerobos ke bawah perut kudanya.
Gerakan tubuhnya enteng dan cantik, bicara soal
kemampuannya menunggang kuda, boleh dibilang jarang ada jagoan persilatan di daratan Tionggoan yang sanggup menandinginya.
"Mau lari kemana kau!" bentak Seng-toanio gusar.
Serangan tongkat besinya makin gencar, kali ini dia mengancam punggung kuda itu.
Perlu diketahui, tongkat besi yang dia gunakan adalah sebuah tongkat yang ditempa dari bahan baja dari laut selatan, jika sampai mengenai sasaran, dapat diduga baik manusia maupun kudanya akan tak tahan.
"Seng-toaci, ampuni jiwa mereka!"
Seng-toanio menarik kembali pergelangan tangannya, dengan jurus Hian gay li bi (sadar di saat genting) dia menahan serangan toyanya secara paksa dan menariknya ke belakang.
"Plokkk!", toya itu menghantam perlahan di atas pelana kuda itu.
Terlihat sesosok bayangan manusia menyelinap keluar dari bawah perut sang kuda, kemudian setelah duduk di pelana, ia menarik tali les kudanya, maka diiringi ringkikan panjang kuda itupun berhenti berlari.
Dengan wajah berubah Leng It-hong dan Seng-toanio segera berseru hampir berbareng:
"Suto Siau, rupanya kau?"
Orang ini berwajah bulat bagai rembulan, senyuman selalu menghiasi ujung bibirnya, dia pun termasuk salah satu musuh bebuyutan dari perguruan Tay ki bun, bukan saja seorang pendekar kenamaan dalam dunia persilatan, dia pun tersohor sebagai saudagar kaya raya, pemilik peternakan kuda Lok-jit dan dikenal sebagai Suto Siau.
Siapa pun tidak menyangka kalau orang yang menyelamatkan anak murid perguruan Tay ki bun dari mara bahaya ternyata adalah dia!
Ling It-hong dan Seng-toanio berdiri tertegun.
"Apa-apaan kau ini" Apa maksudmu berbuat begitu" Apakah kau telah mengkhianati sumpah setia persekutuan kita dengan berpihak kepada perguruan Tay ki bun?"
Suto Siau tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, biarpun aku punya keinginan begitupun belum tentu mereka mau menerimaku."
"Lantas" Memangnya kau sudah edan?"
"Seng-toanio toh seorang pendekar wanita yang ampuh dan pintar, masa tak bisa menduga siasat apa yang sedang Siaute lakukan hari ini?"
"Siasat" Siasat apa" Tanpa siasatmu pun kami berhasil mengurung para cecunguk perguruan Tuy ki bun, kenapa kau malah membebaskan mereka?"
"Aku pun ingin tahu siasat bagus apa yang sebenarnya sedang dirancang saudara Suto?" timbung Leng It-hong pula ketus.
Sementara itu belasan pasukan berkuda itu sudah berbalik dan berlarian pelan di tanah pegunungan, hujan yang turun makin bertambah kecil, walaupun langit masih gelap, namun fajar segera akan menyingsing.
"Aku tahu, membebaskan harimau pulang gunung, memang bukan cara yang tepat" kata Suto siau kemudian, "tapi aku sedang melaksanakan siasat mengulur senar pada ikan yang terpancing, jika kalian berdua masih juga belum paham, ayo kita cari dulu tempat berteduh, akan Siaute terangkan sejelas-jelasnya"
Tempat paling dekat untuk berteduh dari air hujan adalah benteng Han hong po, tentu saja tempat paling tepat yang dituju adalah benteng itu.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Suto Siau baru menerangkan secara gamblang:
"Perguruan Thi hiat tay ki bun adalah perguruan dengan kawanan jago yang tangguh, hampir semua partai dan perguruan yang ada di kolong langit menaruh rasa segan terhadap mereka, bukan disebabkan lantaran kungfunya memang merupakan aliran tersendiri, yang lebih penting lagi adalah gerak-gerik serta sepak terjang mereka kosen, nekad dan hebat. Belakangan mereka memang berusaha menghindari segala pertikaian dengan hidup mengasingkan diri di daerah pinggiran perbatasan, tapi siapa berani menjamin pada suatu hari nanti mereka akan muncul kembali di keramaian dunia, kemunculan yang kita semua kuatirkan."
Senyuman masih menghiasi bibirnya, setelah berhenti sesaat, lanjutnya kembali:
"Kemunculan kembali perguruan Thi hiat tay ki bun di daratan Tionggoan kali ini, tak terlepas tujuan utamanya adalah untuk menghadapi kita lima keluarga besar, bila kita analisa dari kekuatan yang dimiliki kedua belah pihak, aku rasa siapa lebih kuat dan siapa lebih lemah tak perlu kujelaskan lagi, kalian pun tentu lebih mengerti."
Ling It-hong maupun Seng-toanio tidak berkomentar, mereka hanya mendengarkan dengan seksama.
"Sekalipun kita tidak tahu kekuatan sesungguhnya dari perguruan Tay ki bun, namun anak murid mereka memang selamanya tak banyak, tak mungkin mereka bisa menghadapi keroyokan jumlah besar. Jadi apabila kita lima keluarga besar mau berhimpun menjadi satu dan bekerja sama, jelas saat kematian mereka sudah tiba. Tapi bila kita mesti berhadapan satu lawan satu... aku takut pihak kitalah yang bakal keok."
Ling It-hong tertawa dingin.
"Hmm, kecuali ada anggota persekutuan yang tiba-tiba berkhianat dan membantu pihak lawan secara diam-diam, kalau tidak, kerja sama kita lima keluarga besar tak mungkin buyar, bersatu terus sampai mati!"
Senyuman masih tetap menghiasi bibir Suto Siau, ujarnya lagi:
"Selisih jarak antara kita lima keluarga besar, yang paling dekat pun berjarak sekitar puluhan li, meskipun di waktu biasa jarang saling berhubungan, namun di saat ada ancaman bahaya, pasti akan datang saling membantu, selama ini serangan dari pihak perguruan Tay ki bun selalu dilakukan cepat bagai angin, begitu gagal dengan serangannya, mereka segera akan mundur, tapi bila serangannya berhasil, apa yang akan dilakukan?"
Sekali lagi paras muka Leng It-hong dan Seng-toanio berubah hebat.
Sambil tetap tertawa Suto Siau berkata lagi:
"Apalagi meski kita berhasil mengalahkan perguruan Tay ki bun, tapi asal ada satu saja di antara anak muridnya yang berhasil lolos, yang pasti kita akan selalu dibuat makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, aku rasa kalian pun bukannya tak tahu bagaimana tabiat anggota perguruan Tay ki bun yang pantang menyerah dan punya tekad yang besar, bahkan sepak terjangnya mendekati perbuatan nekad itu?"
Perasaan setiap orang merasa bergetar karena mereka bisa membayangkan kembali betapa nekad dan mengerikannya sepak terjang orang-orang perguruan Tay ki bun.
Lewat lama kemudian Seng-toanio baru bertanya:
"Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?"
"Himpun seluruh kekuatan yang ada dan basmi perguruan Tay ki bun hingga ke akar-akarnya!"
"Tapi mereka ada di tempat gelap sementara kita ada di tempat terang, masa kita lima keluarga besar harus berkumpul menjadi satu setiap hari khusus untuk menanti kedatangan mereka?"
"Bila kita lima keluarga besar selalu berkumpul menjadi satu, tak mungkin mereka akan muncul."
"Itulah sebabnya cara semacam ini tidak bisa digunakan."
"Kenapa begitu" Kalau mereka tidak datang mencari kita, memangnya kita tidak bisa pergi mecari mereka?"
Ling It-hong tertawa dingin.
"Kalau bisa menemukan jejak mereka, sudah kucari orang-orang itu sejak dua puluh tahun berselang, tak perlu Suto-heng ingatkan lagi hari ini!"
"Hahaha," Suto Siau tertawa tergelak, "mungkin dua puluh tahun berselang tak berhasil ditemukan, tapi kalau kita cari hari ini pasti dapat dijumpai!"
"Maksudmu?" agak tergerak hati Seng-toanio.
"Itulah sebabnya aku melaksanakan siasatku dengan membebaskan mereka berdua," kata Suto Siau sambil tertawa,
"biarpun kedua orang anggota perguruan Tay ki bun itu kubebaskan, namun secara diam-diam di bawah telapak kuda itu telah kupasang sejenis obat yang mengeluarkan bau sangat tajam, kita semua memang tak bisa mengendus bau itu, tapi bau itu tidak akan lolos dari penciuman anjing. Asal kita lepaskan anjing pelacak untuk mengikuti bau tajam yang ditinggalkan kedua ekor kuda itu, tidak lama kemudian sarang mereka segera akan ditemukan, coba bayangkan, bukankah siasatku ini jauh lebih jitu?"
"Hahaha, tidak nyana kau bisa memikirkan siasat seperti itu,"
seru Seng-toanio kemudian sambil tertawa.
"Siasat ini memang hebat," Leng It-hong menghela napas panjang, "tidak heran orang persilatan menyebut saudara Suto sebagai jagoan yang berpikiran jeli, Siaute benar-benar ketinggalan jauh."
Mendadak Seng-toanio menghentikan tertawanya seraya membentak:
"Leng Cing-soat, keponakan Leng yang hebat, sudah cukup kau menguping" Ayo cepat keluar!"
Dari balik penyekat ruangan terdengar seseorang tertawa merdu, menyusul suara tertawa Leng Cing-soat berjalan keluar dengan langkah lembut.
Begitu muncul, gadis itu segera menyapa:
"Paman Suto, baik-baikkah kau!"
"Hahaha, bagus sih bagus," sahut Suto Siau sambil tertawa tergelak, "sayang telingaku kurang tajam hingga kehadiranmu di balik penyekat ruangan pun tidak kuketahui."
"Kelihatannya Seng-toanio mesti minta maaf kepadamu,"
sindir Seng-toanio lagi sambil tertawa dingin, "kalau bukan gara-gara aku, sekarang kau tentu sudah menyampaikan berita ini keluar."
"Bibi, apa maksud perkataanmu itu?" tegur Leng Cing-soat dengan wajah berubah, "aku benar-benar tidak habis mengerti kenapa kau selalu menyindirku, memangnya aku tidak boleh berada dalam rumahku sendiri?"
"Soat-ji!" dengan wajah berubah Leng It-hong menghardik.
Ling Cing-soat membalikkan tubuhnya, bertatapan muka dengan ayahnya.
Ling It-hong segera menghela napas panjang, nada suaranya yang semula kasar pun segera berubah menjadi lembut dan halus, katanya lagi:
"Sekarang Cianpwe sekalian sedang berunding, lebih baik pulanglah dulu ke kamarmu!"
"Lebih baik dia tetap berada di sini dulu!" kembali Seng-toanio berseru sambil tertawa dingin.
"Jadi kau benar-benar beranggapan Soat-ji akan
menyampaikan kabar ini keluar?" paras muka Leng It-hong agak berubah.
"Apa salahnya kita berjaga-jaga?"
"Kurangajar" seru Leng It-hong gusar, "anggota benteng Han hong po tidak ada yang pagar makan tanaman!"
"Yang kukuatirkan pikiran dan perasaan-nya sekarang sudah lebih condong pada keluarga lain....
Waktu itu Leng Cing-ping sudah berada sepuluh li dari benteng Han hong po.
Meskipun sepanjang tahun dia hidup dalam bangunan rumah yang tertutup, namun dalam hati kecilnya telah tumbuh keinginan untuk berkelana dalam dunia persilatan. Setiap waktu dia selalu melamunkan dirinya bisa berjalan menelusuri tanggul sungai dengan pohon yangliu yang tumbuh di sepanjang jalan, bisa berkuda melewati padang rumput yang luas didampingi seorang pemuda tampan di sisinya.
Ketika semalam ia mendengar ada pemuda bernyali berani menyusup masuk ke dalam benteng Han hong po yang selama sepuluh tahun terakhir selalu tenang tanpa kejadian, timbul perasaan ingin tahunya untuk mengintip siapa gerangan pemuda itu.
Di saat dia sedang mengintip pemuda yang bernyali itu, di bawah rintik hujan dia saksikan sepasang mata seorang pemuda berbaju hitam sedang mengawasinya.
Ketika sepasang mata mereka saling beradu, gadis itupun sadar bahwa khayalannya selama ini segera akan berubah menjadi kenyataan.
Karena sorot mata pemuda berbaju hitam yang tajam dengan wajah yang tampan dan gerak-gerik yang gagah, justru merupakan pemuda idaman yang selama ini diimpikan dan didambakan.
Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak menyangka kalau dalam remangnya hujan secara tiba-tiba akan berjumpa dengan seorang gadis cantik, ketika menyaksikan sorot mata si nona yang sayu macam orang kesemsem, segera timbul suatu perasaan aneh dalam hatinya.
Tapi dia tidak melupakan keselamatan Im Ceng, maka sambil mencengkeram pergelangan tangan gadis itu, tegurnya:
"Siapa kau?"
Leng Cing-ping segera merasakan adanya segulung hawa panas yang mengalir masuk ke lubuk hatinya melalui pergelangan tangan itu, membuat seluruh tubuhnya gemetar keras, dia seakan lupa untuk melawan, malah jawabnya jujur:
"Aku bernama Leng Cing-ping!"
"Apa hubunganmu dengan Leng It-hong?"
"Dia adalah ayahku."
Maka dia pun dijadikan sandera oleh Thiat Tiong-tong, walau begitu, gadis itu sama sekali tidak menaruh dendam atau sakit hati terhadap pemuda itu.
Inilah pengalaman unik yang dialami perasaannya, kejadian unik yang menimpa dirinya dan hanya gadis yang sudah lama dipingit baru bisa merasakan keanehan dan keunikan itu.
Begitu mendengar rencana keji yang dilakukan Suto Siau, dalam pikirannya hanya terlintas satu ingatan, bagaimana caranya menyelamatkan nyawa pemuda yang diimpikan itu.
Maka tanpa berpikir panjang lagi dia pun menyelinap keluar dari benteng Han hong po sambil menuntun dua ekor anjing penjaga milik keluarganya.
Hujan yang turun mulai mereda, namun titik air yang lembut bagai kabut masih menyelimuti angkasa, sambil menuntun kedua ekor anjing, gadis itu mulai menelusuri jalan perbukitan, dinginnya udara pagi, dinginnya air hujan membuat tubuhnya yang lemah gemulai mulai gemetar keras.
Kedua ekor anjingnya mulai menggonggong, seolah-olah telah mengendus suatu bau aneh dari tanah perbukitan yang becek, maka mereka pun menelusuri jalan yang dilalui Thiat Tiong-tong, bergerak maju ke depan.
Anjing yang garang dituntun seorang gadis cantik yang lemah berjalan di tengah hujan rintik, perpaduan ini membentuk sebuah gambaran yang aneh dan luar biasa.
Semakin ke depan tanah perbukitan itu makin sepi dan terpencil, tampaknya mereka sudah jauh berada di tengah bukit.
Akhirnya di antara pepohonan yang lebat muncul bayangan atap rumah, sampai di situ gonggongan anjing itupun makin ramai dan keras.
Lekas Leng Cing-ping melarang anjingnya menyalak, dia sudah dapat menduga, bangunan rumah itu besar kemungkinan adalah tempat persembunyian anggota perguruan Tay ki bun.
Selesai mengikat anjingnya di dahan pohon, dia mulai menyelinap masuk ke dalam bangunan rumah itu.
Bangunan itu didirikan persis di antara dua bukit yang tinggi, bukan saja medannya berbahaya, bahkan tidak mudah untuk mencapai tempat itu.
Sekalipun tujuan kedatangannya adalah untuk memberi peringatan, namun sedikit banyak rasa waswas muncul dalam hatinya, karena itu tanpa menggubris tanah berlumpur yang becek, dia mulai merayap masuk dengan sangat hati-hati.
Di depan sana terlihat sebuah bangunan mirip kuil yang terbengkalai, bangunan itu berdiri di atas tebing karang yang curam, ketika terhembus angin, bangunan itu seakan-akan sedang melayang di tengah udara.
Angin yang kencang ditambah hujan yang masih turun, membuat gerak-geriknya lebih tersembunyi serta tak mudah ketahuan orang.
Dipilihnya sebatang pohon yang paling tinggi dan rimbun untuk menyembunyikan diri, dia menyelinap naik secara diam-diam.
Ketika melongok ke bawah, maka terlihatlah di halaman belakang bangunan kuil terdapat belasan ekor kuda jempolan, suasana bangunan amat sepi, tali kelihatan sesosok bayangan manusia pun, bahkan tidak terdengar suara manusia, termasuk belasan ekor kuda itupun tak ada yang meringkik atau menimbulkan suara berisik.
Dengan perasaan gelisah dia memutar otak, akhirnya dari dalam saku diambilnya sebuah gendawa emas yang panjangnya hanya satu kaki serta berapa butir peluru perak yang kecil.
"Sreeet!", belasan butir peluru perak itu segera dibidikkan ke depan, diiringi kilatan cahaya perak, semuanya diarahkan ke rombongan kuda-kuda itu.
Busur emas peluru perak merupakan permainannya di kala senggang, tak heran kalau dia sangat menguasainya, dalam waktu singkat sepuluh butir peluru sudah menghajar telak pantat kuda-kuda itu.
Seketika kuda-kuda itu kesakitan dan meringkik panjang.
Terlihat beberapa sosok bayangan manusia segera meluncur keluar dari ruang utama, gerakan tubuh mereka ringan dan cepat, tapi setelah memeriksa beberapa saat sekeliling tempat itu, tidak dijumpai sesosok bayangan manusia pun di sana.
Sambil mengertak gigi Leng Cing-ping menyusup masuk ke dalam bangunan kuil itu, perasaan cinta yang muncul dalam hatinya membangkitkan keberanian yang sudah lama terpendam, membuat gadis yang lemah lembut ini punya keberanian untuk menyusup masuk ke dalam sarang harimau.
Tak sempat lagi memperhatikan patung Buddha yang telah tertutup debu serta ruang kuil yang setengah ambruk, tubuhnya menyelinap masuk ke dalam ruang kedua, di sanalah dia melihat seseorang, seorang lelaki berbaju hitam.
Sebuah meja sesaji yang kuno dan bobrok dengan dua batang lilin merah yang tinggal setengah.
Di atas meja sesaji, di antara lilin menih terbentang selembar panji besar berwarna ungu.
Di depan panji besar itu berlutut seorang lelaki berbaju hitam, punggungnya lurus bagai sebatang pedang.
Potongan tubuh yang tegak lurus itu serasa begitu dikenal dalam pandangan Leng Cing-ping, dia tak kuasa untuk menahan diri lagi setelah dicekam perasaan gelisah bercampur ngeri selama beberapa saat.
"He!" tegurnya.
Dengan cepat Thiat Tiong-tong membalikkan tubuhnya, tapi paras mukanya segera berubah hijau membesi, mimpi pun dia tak mengira dalam keadaan dan situasi seperti ini dia bertemu kembali dengan putri benteng Han hong po di tempat itu.
Dia melompat bangun seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi segera berlutut kembali.
"Cepat lari! Cepat kabur! Sedikit terlambat, kau akan kehilangan nyawamu!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perasaan cinta yang mendasari perasaan nya membuat Leng Cing-ping tanpa sadur mengungkap seluruh perasaan kuatir dan perhatiannya yang besar, sebab kalau dia tak punya hati kepada pemuda itu, mengapa menyuruhnya untuk kabur"
"Aku khusus datang untuk memberitahukan kepadau, memberitahu sebuah berita yang sangat gawat, mereka...
sebentar lagi mereka akan tiba disini!"
"Mereka" Siapa mereka?"
"Ayahku... masih ada lagi...."
"Masih ada siapa lagi?"
"Suto Siau, Seng-toanio...."
"Darimana mereka bisa tahu kalau kami berada di sini?"
"Mereka menggunakan siasat yang dirancang Suto Siau, mereka telah membubuhkan..."
Mendadak terdengar suara bentakan keras berkumandang datang:
"Tiong-tong, suara apa di dalam sana?"
Biarpun suara itu berasal dari tempat yang jauh, namun terdengar jelas sekali.
Thiat Tiong-tong bergetar keras tubuhnya, sementara Leng Cing-ping sudah bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Se... semuanya ini kulakukan demi kau... demi kau...."
Biarpun nadanya gemetar, namun dipenuhi luapan perasaan cinta yang tanpa tedeng aling-aling.
Sorot mata Thiat Tiong-tong yang tajam seketika berubah dari redup menjadi terang, tapi kemudian, dari terang berubah menjadi redup kembali, dalam waktu yang amat singkat berbagai gejolak perasaan berkecamuk di dalam benaknya.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya matanya segera dialihkan ke meja sesaji.
Tanpa membuang waktu Leng Cing-ping segera menyusup ke bawah meja dan bersembunyi di situ.
Baru selesai dia bersembunyi, baru saja Thiat Tiong-tong membetulkan posisi taplak meja yang bergoyang, segulung angin dingin telah berhembus masuk dari luar jendela, angin yang dingin, dingin sekali.
Apa yang harus dilakukan sekarang" Apakah dia harus mengorbankan diri demi Leng Cing-ping yang bersedia mengorbankan segalanya demi dia" Lalu dengan cara apa dia harus membalas budi kebaikan serta luapan perasaan-nya"
Belum habis dia berpikir, sesosok bayangan manusia telah melayang masuk dari luar jendela.
Berkat latihannya yang tekun ditambah kemampuannya yang luar biasa membuat Thiat Tiong-tong segera berpaling.
Ternyata yang muncul di depan jendela adalah pelaksana hukum perguruan Tay ki bun, Im Kiu-siau.
"Tiong-tong!" terdengar dia menegur, "aku tahu dalam hatimu pasti terdapat banyak persoalan, bahkan merasa tidak terima, tapi ketahuilah gerakan perguruan Tay ki bun terjun kembali ke dalam dunia persilatan kali ini ibarat orang main judi, berhasil atau tidaknya tergantung pada tindakan pertama yang mereka dilakukan, oleh sebab itu Toasuheng selalu mengawasi setiap gerak-gerik saudaranya secara ketat dan penuh disiplin, dalam hal ini kau perlu memakluminya."
"Aku mengerti."
"Tapi perbuatanmu kelewat gegabah, Im Ceng memang selalu berangasan dan ngawur dalam bertindak, dia tak sanggup mengendalikan diri, tapi kau tak pernah ngawur, tingkah lakumu selalu cermat dan seksama, kenapa kali ini justru meninggalkan jejak?"
"Semuanya ini memang kesalahanku, aku pun sangat mengerti," kata Thiat Tiong-tong tanpa membantah.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bentakan keras berkumandang dari luar jendela, tahu-tahu Im Ceng sudah menerobos masuk ke dalam.
"Seorang lelaki berani berbuat berani bertanggung jawab, kau tak perlu mewakiliku mengaku kesalahan," serunya.
Sekalipun pakaiannya compang-camping tak keruan, namun wajahnya masih memancarkan sinar keangkeran.
Im Kiu-siau kontan menarik muka, tegurnya:
"Apa yang kau teriakkan" Memangnya tiddak bisa bicara dengan suara perlahan dan halus?"
Biarpun biasanya dia selalu bersikap lembut dan ramah, tapi begitu menarik muka, mimik mukanya kelihatan angker, serius dan penuh wibawa, membuat siapa pun tali berani bersikap sembar angan.
Im Ceng pun menundukkan kepala semakin rendah, nada suaranya juga bertambah lirih.
"Sebenarnya akulah yang memaksa dia untuk balik dulu kemari...."
Seorang kakek berjenggot panjang berwajah merah mendadak berjalan masuk ke dalam ruangan, jenggot dan rambutnya basah oleh air hujan, tapi sepasang tangannya mengepal kencang.
Sambil berdiri tegak di depan pintu, ditatapnya Im Ceng dengan sorot mata tajam, kemudian tegurnya:
"Jadi kau yang memaksanya untuk langsung balik kemari?"
"Benar!" sahut Im Ceng sambil berlutut.
"Siapa yang memberikan kuda itu kepadamu" Siapa yang menolong kau" Masa persoalan inipun tidak kau ketahui?"
"Tidak tahu!"
Sekalipun dia tahu persoalan itu amat serius, namun jawabannya tetap tegas dan tandas.
Im Gi maju lebih ke depan, sinar matanya lebih tajam dari sambaran halilintar.
"Tahukah kau kalau orang lain sengaja menolongmu karena mereka sedang menjalankan siasat busuk?" tegurnya.
Dengan kepala tertunduk Thiat Tiong-tong segera menjawab:
"Samte masih muda, mungkin belum mampu berpikir
panjang, semua ini adalah kesalahanku, jangan salahkan dia."
"Kau tidak usah membela aku," tukas Im Ceng lagi dengan suara keras, "kenyataan akulah yang bersalah, aku tidak ingin kau mewakiliku menerima hukuman, aku mengakui, kau memang pernah membujukku agar jangan langsung balik ke sini...."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang kemungkinan besar ini siasat musuh sengaja melepas untuk dikuntit jejaknya!"
"Kalau dia sudah berkata begitu, kenapa kau masih memintanya untuk langsung balik" Apakah kau begitu tergopoh-gopoh kabur dan menyelamatkan diri?"
"Aku tidak takut mati, aku hanya mendongkol dengan dirinya!" Im Ceng segera mengangkat wajahnya.
Im Kiu-siau menghela napas panjang, tukasnya:
"Apa benar ada orang telah meninggalkan bau harum istimewa yang tak berwarna" Kenapa aku tidak bisa menebak asal-usul kuda-kuda itu?"
"Asal-usul apa?" Im Gi tertawa dingin, "semua ini tidak lebih hanya siasat busuk yang dirancang Suto Siau, memangnya dia anggap bisa mengelabui aku?"
Leng Cing-ping yang bersembunyi di bawah meja segera merasa tubuhnya gemetar keras.
"Sungguh lihai tokoh yang satu ini!" pikirnya, dia semakin tak berani bergerak di bawah kolong langit, bahkan bernapas pun tak berani keras keras.
Kalau toh dia sudah siap mengorbankan diri demi cinta, tentu saja dia tak ingin pemuda pujaan hatinya itu menderita gara-gara dia.
Sepasang tangannya segera menggenggam bajunya kencang-kencang, dia katupkan giginya kuat-kuat, kuatir beradunya gigi menimbulkan suara aneh yang mencurigakan.
Dalam pada itu kawanan anggota perguruan Tay ki bun tampaknya sudah pulang, lelaki bertelanjang kaki muncul lebih dulu, sambil melangkah masuk ke dalam ruangan, teriaknya:
"Sudah kabur semua, bayangan pun tidak nampak!"
Im Gi tertawa dingin, tiba-tiba dia merentangkan telapak tangannya, di tengah telapak terlihat tiga butir peluru perak yang memancarkan cahaya berkilauan.
"Darimana asal-usul peluru perak ini, apakah kalian kenal?"
tanyanya. Sekali lagi Leng Cing-pingyang bersembunyi di kolong meja terkesiap, tapi ia segera menghibur diri:
"Senjata rahasia itu adalah mainanku sejak kecil, darimana mereka bisa mengenalinya?"
Terdengar Im Gi berkata lebih jauh:
"Kalau dibilang senjata rahasia ini adalah senjata andalan seorang ahli Am gi, rasanya bobot peluru ini sedikit agak berat, tapi kalau dilepas dengan busur rasanya kelewat enteng, kelihatannya mirip dengan benda mainan perempuan keturunan jago silat kenamaan, jika dugaan Lohu tak meleset, maka hal-hal lain yang aneh pun tidak sulit untuk dijelaskan!"
"Hal-hal aneh apa?"
"Setelah Suto Siau berhasil mengetahui letak markas perguruan Tay ki bun dengan siasat ini, dia pasti akan mengumpulkan segenap kekuatan dari benteng Han hong po serta peternakan Lok-jit berikut lima keluarga kenamaan melancarkan serbuan besar-besaran dan membasmi kita hingga ke akar-akarnya, tapi munculnya peluru perak ini jelas merupakan satu tindakan menggebuk rumput mengejutkan ular, bukankah kejadian ini rada aneh?"
"Benar."
"Jika peluru perak ini berasal dari perempuan, sudah pasti perempuan itu adalah salah satu di antara kedua putri Leng It-hong yang khusus datang memberi kabar, dan kejadian aneh inipun berarti sudah adajawabannya."
"Betul, betul, sudah pasti begitu!" lelaki bertelanjang kaki itu segera berseru sambil melompat bangun, "biasanya perhitungan Toako sangat tepat dan hebat, memang tiada duanya di kolong langit!"
Leng Cing-ping yang bersembunyi di kolong meja sudah mulai bermandikan keringat dingin.
Paras muka Thiat Tiong-tong ikut berubah hebat.
Tiba-tiba Im Gi menatapnya tajam, dengan suara serius tegurnya nyaring:
"Ketika semua orang pergi melacak musuh, kenapa kau tidak ikut serta?"
"Tecu berdoa, Tecu bersalah, karena itu tak berani sembarangan bergerak!"
"Selama berada di sini, apa yang telah kau lihat?"
Thiat Tiong-tong gemetar keras, terlebih Leng Cing-ping yang bersembunyi di kolong meja, peluh telah membasahi seluruh wajah dan tubuhnya.
Lama sekali Thiat Tiong-tong termenung, tak sepatah kata pun yang mampu dia katakan.
"Cepat jawab!" bentak Im Gi lagi dengan alis mata bekernyit.
Dalam keadaan begini Thiat Tiong-tong tidak mungkin bisa menjawab, tapi dia pun tidak berani untuk tidak menjawab.
"Biar aku saja yang menjawab!" mendadak terdengar seseorang menyahut dari bawah kolong meja.
Dengan sekali tendangan Im Gi membalikkan meja
sembahyang, muncullah wajah Leng Cing-pingyang pucat-pias bagai mayat.
Semua orang menjerit kaget.
"Kau adalah putri Leng It-hong?" bentak Im Gi keras.
Leng Cing-ping tidak berani menjawab, dia terbungkam dalam seribu bahasa.
Im Gi langsung turun tangan, sebuah pukulan menghantam tubuh Thiat Tiong-tong hingga mencelat ke sudut ruangan, disusul sebuah tendangan menohok ulu hatinya.
Thiat Tiong-tong tak berani melawan, dia hanya memejamkan mata menanti datangnya kematian.
Wajah setiap orang berubah hebat, tapi tidak seorang pun berani turun tangan untuk mencegah, hanya Leng Cing-ping seorang yang tiba-tiba memeluk tubuh Im Gi sambil memohon:
"Kalau ingin membunuh, bunuhlah aku, semua kejadian ini tak ada sangkut-pautnya dengan dia!"
"Lepaskan tanganmu!" hardik Im Gi penuh amarah.
Sekalipun telapak tangannya sudah di angkat, namun pada akhirnya dia tak tega turun tangan terhadap seorang gadis muda.
Dengan air mata bercucuran dan suara gemetar kembali Leng Cing-ping berkata:
"Sejak mengambil keputusan akan datang kemari, aku sudah bertekad tidak akan kembali dalam keadaan hidup, tapi sebelum turun tangan, dengarkan dulu perkataanku hingga selesai."
Meskipun sepasang tangannya masih memeluk tubuh Im Gi, namun sorot matanya sudah dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong.
"Tujuan kedatanganku kemari tak lebih hanya ingin membujuk kalian agar segera pergi, aku tak punya niat atau maksud lain. Aku pun tahu, perbuatanku ini pasti tak akan dimaafkan ayahku, padahal kalian pun berniat akan membunuhku. Tindakanku ini memang nampak sangat bodoh, tapi aku rela melakukannya, aku hanya berharap kalian sudi mengingat maksud hatiku ini dan setelah membunuhku nanti, jangan menyusahkan dialagi."
Perlahan-lahan Im Gi menurunkan kembali telapak
tangannya, tapi kembali tanyanya dengan keras:
"Sejak kapan kau kenal Thiat Tiong-tong" Kenapa rela mati demi dirinya?"
"Ohh, jadi dia bernama Thiat Tiong-tong?" Leng Cing-ping tertawa sedih, "sekarang aku baru tahu nama sebenarnya, mengenai kenapa aku berbuat demikian, aku sendiri pun tidak tahu."
"Bagaimana sikapnya kepadamu?"
Leng Cing-ping menghela napas sedih.
"Bagaimanapun dia akan bersikap kepadaku, aku tidak peduli, asal dia bisa tetap hidup sehat, biar aku mesti mati pun tak jadi soal."
Perlahan dia melepaskan tangannya dan menyembah ke tanah.
Udara di luar ruangan masih terasa dingin, tetesan air hujan di beranda rumah menimbulkan detak suara yang memilukan.
Setiap orang merasa hatinya murung, berat, masgul, tapi tak ada yang tahu apa yang mesti diperbuat.
Perlahan-lahan gadis berbaju hijau itu memalingkan wajahnya ke arah lain, karena butiran air mata telah membasahi pipinya.
Paras muka Im Gi pun nampak berat dan serius, dia hanya berdiri mematung, sementara Im Kiu-siau malah memejamkan mata.
Di tengah keheningan mendadak terdengar lelaki bertelanjang kaki itu berseru keras:
"Benar-benar sumpek hatiku, Toako, apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis ini?"
Im Gi tidak menjawab, dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, pandangan matanya dialihkan ke tempat kejauhan, mengawasi langit yang mulai terang.
Kembali lelaki bertelanjang kaki itu berseru:
"Aku si lelaki kaki telanjang tidak pernah tahu apa artinya cinta, sampai setua inipun tidak ada yang mencintai aku, Toako, lebih baik lepaskan saja dirinya!"
"Lepaskan dia?"
"Siapa yang merasa keberatan?" Belum habis pertanyaan itu diajukan, Im Ceng sudah melompat bangun seraya berteriak:
"Aku keberatan!"
"Kau tidak usah ikut campur!" tukas Im Kiu-siau sambil menarik muka.
"Bila kita bebaskan dia, bukankah kematian Toako kelewat penasaran?" teriak Im Ceng sedih, "Toako saja tidak sudi kalian bebaskan, kenapa dia mesti dibebaskan?"
Pemuda yang agresif dan mudah naik darah ini hanya tahu memikirkan Toakonya, dia hanya tahu Toakonya sudah mati, sementara urusan lain tak pernah dia masukkan ke dalam hati.
Lelaki bertelanjang kaki itu mengepal tinjunya kuat-kuat, otot hijau pada keningnya ikut menonjol keluar.
"Kau bersaudara dengan Im Kian, memangnya dengan Thiat Tiong-tong bukan saudara?"
"Dialah yang turun tangan membunuh Toakoku, biar harus mati pun aku tak akan melepaskan dia!" jerit Im Ceng keras.
Sementara itu paras muka Im Gi telah berubah menjadi pucat kehijau-hijauan, tiba-tiba bentaknya:
"Thiat Tiong-tong, apa lagi yang hendak kau katakan!"
"Tecu tidak ada perkataan lagi!"
"Tiong-tong mungkin tidak ada perkataan, tapi Siaute ada beberapa patah kata yang harus disampaikan," sela Im Kiu-siau dengan wajah serius: "apapun keputusan akhir yang bakal dijatuhkan, meski semuanya tergantung keputusan Toako, tapi pada saat dan keadaan seperti ini tidak seharusnya kita melakukan hal yang kelewat batas."
"Kenapa?"
"Karena sekarang yang harus segera kita putuskan adalah nasib selanjutnya perguruan Tay ki bun kita, tempat ini sudah ditemukan musuh, tak lama kemudian jago-jago dari benteng Han hong po maupun peternakan Lok-jit akan melancarkan serangan secara besar-besaran, persoalannya sekarang, kita harus melawan mereka habis-habisan atau sementara menghindari benturan ini, Toako harus segera mengambil keputusan, sedikit terlambat mungkin keadaan sudah tak sempat!"
Biar singkat namun perkataan itu sangat berbobot, kontan saja paras muka semua orang berubah menjadi berat dan serius, mereka sama-sama menunggu jawaban Im Gi.
Semua orang pun sadar, setiap ucapan yang diutarakan Im Gi akan segera memutuskan nasib dari seluruh anggota perguruan Tay ki bun.
Semangat lelaki bertelanjang kaki paling berkobar, beberapa kali dia ingin meneriakkan kata "adu nyawa", tapi selalu urung diutarakan, sebab dia sadar, perkataannya akan menentukan mati hidup orang banyak.
Dicekam suasana serba serius dan tegang, akhirnya Ciang bunjin mereka berkata:
"Ketika perguruan Thi hiat tay ki bun baru muncul dalam dunia persilatan, Sucow pendiri partai bersama Thiat locianpwe pernah berkelana dalam dunia persilatan tanpa tandingan, waktu itu dimana panji sakti tiba, tak ada jagoan persilatan yang berani membangkang."
Emosi mulai menyelimuti wajahnya, dengan wajah sedih lanjutnya:
"Waktu itu benteng Han-hong-po, peternakan Lok-jit, per kampungan keluarga Seng, perusahaan ekspedisi Thian-bu Piaukiok serta ruang Pek-lek-tong merupakan orang-orang kepercayaan per guruan Tay ki bun. Siapa tahu setelah Suco dan Thiat-locianpwe meninggal dunia, kelima keluarga persilatan ini bersekongkol merencanakan siasat busuk untuk membunuh Ciang bunjin angkatan kedua perguruan kita beserta keenam belas orang Locianpwe lainnya, mereka berharap perguruan Tay ki bun segera ambruk dan tak pernah bisa bangkit kembali!"
Semakin berbicara dia semakin sedih bercampur gusar, terusnya:
"Dalam empat puluh tahun terakhir, perguruan Tay ki bun kita selalu didesak dan disudutkan kelima keluarga besar itu hingga tak ada tempat untuk berpijak, selama empat puluh tahun, permusuhan di antara kami makin lama semakin mendalam, dua kali aku berangkat menuntut balas namun tidak pernah berhasil menggoyahkan kelima keluarga besar itu, maka pada dua puluh tahun berselang kuputuskan untuk menyingkir ke perbatasan dengan harapan ada kesempatan untuk mendidik anak murid. Dan kini awan gelap telah berlalu, keturunan keempat keluarga Im dan keluarga Thiat telah tumbuh dewasa, kenyataan ini membuat aku girang, karena harapan untuk membalas dendam telah muncul kembali!"
Tiba-tiba dia menepuk telapak tangan kiri sendiri kuat-kuat:
"Siapa sangka begitu tiba di daratan Tionggoan, Im Kian telah mengkhianati perguruan, Im Ceng serta Tiong-tong pun membikin hatiku sedih, harapan yang kupupuk hampir dua puluh tahun lamanya kini akan punah dan lewat bagai aliran air, padahal usiaku semakin tua, sanggupkah aku menunggu selama dua puluh tahun lagi?"
Semua orang menundukkan kepala, tidak ada yang berani beradu pandang dengan sorot matanya yang penuh pancaran dendam.
Terdengar Im Gi berkata lagi dengan lantang:
"Thiat Tiong-tong dan Im Ceng tidak tahu arti persaudaraan, diam-diam membangkang perintah perguruan, untuk kesalahan itu kalian diusir dari perguruan, sementara murid-murid perguruan Tay ki bun yang lain tetap tinggal di sini, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!"
Semua orang terkesiap setelah mendengar keputusan itu, paras muka Thiat Tiong-tong berubah hebat, sementara Im Ceng segera memohon:
"Tecu bersedia mati di sini daripada diusir keluar dari pintu perguruan!"
"Kau berani membangkang perintah guru?"
"Aku hanya berharap tetap tinggal di sini dan mengadu jiwa melawan mereka!"
"Tutup mulut!" bentak Im Kiu-siau tiba-tiba.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh menghadap ke arah Im Gi, kemudian katanya lagi:
"Toako, kau mesti berpikir tiga kali sebelum mengambil keputusan, bila kita berbuat demikian, bukankah sama seperti memenuhi pengharapan Suto Siau" Perguruan Tay ki bun kita pasti akan hancur dan musnah dalam pertarungan kali ini.
Toako, begitu tegakah kau membiarkan perguruan yang didirikan leluhur kita dengan susah payah akhirnya harus hancur berantakan begitu saja?"
"Perintah yang sudah kuucapkan tidak pernah akan dicabut kembali!" tukas Im Gi dengan wajah hijau membesi.
"Sekalipun begitu, menurut aturan, Siaute sebagai pelaksana hukum perguruan ini berhak untuk mengubah atau memperbaiki perintah yang telah diturunkan Ciangbun-suheng"
"Apa maumu?"
"Sekalipun Im Ceng dan Thiat Tiong-tong melakukan kesalahan, namun dosa mereka belum termasuk berat, sepantasnya bila diusir dari perguruan selama tiga tahun, bila dalam tiga tahun mendatang mereka tidak melakukan kejahatan bahkan berjasa bagi perguruan, maka terbuka kesempatan bagi mereka untuk kembali ke perguruan. Selain itu sudah sepantasnya bila seluruh kekuatan perguruan Tay ki bun yang kita miliki sekarang mundur untuk sementara ke perbatasan, menghindari bentrokan yang tidak berguna, kita baru melakukan pembalasan dendam tiga tahun kemudian!"
"Tiga tahun kemudian?"
"Tiga tahun bukan terhitung waktu yang kelewat panjang, tapi justru dapat memperpanjang usia perguruan kita, Toako, masa kau tidak bisa menahan diri hanya untuk tiga tahun saja?"
Untuk beberapa saat lamanya Im Gi cuma berdiri mematung, akhirnya sambil menghentakkan kakinya dengan gemas dia menyahut:
"Baiklah, aku turuti kemauanmu!"
Im Kiu-siau seketika merasakan semangatnya berkobar kembali.
"Kalau memang begitu, biar untuk sementara waktu Siaute mewakili Toako menyampaikan perintah!"
Setelah menarik napas panjang, serunya dengan suara berat:
"Thiat Cing-su, siapkan kuda-kuda kita, sekalian hukum mati kedua ekor kuda yang dibawa Thiat Tiong-tong!"
Pemuda kekar itu segera membusungkan dada tanpa
menyahut, dengan cepat dia beranjak pergi.
Kembali Im Kiu-siau berseru:
"Im Ting-ting, segera siapkan piauhok (buntalan), sekalian siapkan ransum kering, bagi ke atas setiap pelana kuda dan jangan lupa sertakan sekantung arak untuk melawan hawa dingin."
Gadis berbaju hijau itu segera membesut air matanya dan menyahut:
"Tecu terima perintah!"
Kepada lelaki bertelanjang kaki kembali Im Kiu-siau berseru:
"Mohon Sute tetap menjaga kehormatan panji sakti!"
Lelaki itu tertawa tergelak:
"Hahaha, Samko tidak usah kuatir, biar tubuh harus remuk-redam, Siaute pasti akan melindungi panji sakti ini hingga selamat tiba di tempat tujuan!"
"Bagus!" Im Kiu-siau ikut tertawa, "di saat nanti panji sakti berkibar kembali di daratan Tionggoan, itulah saat bagi kita bersaudara untuk melampiaskan semua dendam sakit hati."
"Samsiok (paman ketiga)" teriak Im Ceng sambil melompat bangun, "aku memiliki darah panas yang bergolak, memiliki sepasang lengan yang penuh bertenaga, setiap saat aku siap melaksanakan perintah Samsiok."
Cepat Im Kiu-siau menarik wajah.
"Mulai sekarang kau sudah bukan anggota perguruan kami lagi, jelas kami tidak akan memberi tugas apapun kepadamu,"
katanya, "harapanku, dalam tiga tahun mendatang jangan menyia-nyiakan harapan perguruan, berbuatlah yang benar selama ini dan tiga tahun kemudian kau tetap adalah anak murid perguruan Tay ki bun. Thiat Tiong-tong, apa yang barusan kukatakan kepadanya berlaku juga untukmu, mengerti?"
Thiat Tiong-tong hanya menundukkan kepala tanpa
menjawab, sementara paras muka Im Ceng berubah hebat.
"Bagaimana dengan aku?" Leng Cing-ping yang diam-diam sudah bangkit berdiri bertanya pelan.
Im Kiu-siau menghela napas panjang.
"Ciangbunjin telah mengampuni jiwamu, kau boleh segera pulang ke rumahmu!" katanya.
"Pulang?" Leng Cing-ping tertawa pedih, "masih mungkinkah bagiku untuk pulang ke rumah?"
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan menatap wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, sampai lama kemudian ia baru menghela napas panjang, bisiknya lirih:
"Semoga kau baik-baik menjaga diri."
Thiat Tiong-tong hanya tertunduk tanpa bicara, melirik sekejap pun tidak berani.
Leng Cing-ping segera membesut air matanya sambil tertawa paksa, selangkah demi selangkah dia berjalan meninggalkan ruangan.
Hujan di luar gedung masih turun dengan lebatnya, dia menengadah memandang sekejap cuaca yang buruk, tiba-tiba sambil menutupi wajah dia berlarian meninggalkan tempat itu, tak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah tertelan di balik lebatnya air hujan.
Thiat Tiong-tong tidak berani mengangkat kepala, tapi dalam hati kecilnya dia ikut berdoa:
"Kau pun harus baik-baik menjaga dirimu."
Seorang gadis muda yang terbiasa hidup dipingit, kini harus berkelana dalam dunia persilatan tanpa sanak tanpa tempat tinggal, hidup bergelandangan seorang diri, mungkinkah masa depannya seperti air hujan yang sedang turun dengan derasnya di luar gedung"
Tak tahan Im Kiu-siau menghela napas, ujarnya:
"Thiat Tiong-tong! Dia yang telah mencelakaimu, atau kau yang telah mencelakainya?"
Sementara lelaki bertelanjang kaki itu menghentakkan kakinya dengan gemas sambil berteriak:
"Thian, kenapa kau selalu tak adil" Kenapa gadis sebaik dan secantik dia harus dilahirkan sebagai putri Leng It-hong?"
Dalam teriakan itu terdengar dua ringkikan kuda yang panjang melengking berkumandang dari kejauhan sana.
"Tampaknya kedua ekor kuda itu telah dihabisi nyawanya,"
gumam Im Kiu-siau.
Menyusul kemudian Im Ting-ting muncul dalam ruangan sambil memberi laporan:
"Lapor Susiok, semua perbekalan telah siap!"
"Ayo berangkat!" Im Gi langsung membentak nyaring.
Dia langsung melangkah keluar ruangan, sama sekali tidak berpaling untuk menengok kearah putra kandung serta murid kesayangannya, walau hanya sekejap.
Namun di balik hatinya yang paling dalam, rasa sedih dan sakit tetap berkecamuk dalam benaknya.
Lelaki bertelanjang kaki pun segera mencabut panji sakti dan ikut berjalan keluar dari ruangan.
"Anak-anak, berjuanglah yang benar, kita bertemu tiga tahun mendatang!" serunya.
Di tengah hujan lebat, panji sakti berwarna ungu itu berkibar kian kemari, seolah ingin membelah angin dan hujan.
Im Ceng segera melangkah keluar siap menyusul di belakang mereka, tapi Thiat Tiong-tong segera berseru:
"Samte, mau kemana kau?"
"Jangan mencampuri urusanku!"
Thiat Tiong-tong melompat sambil melesat ke depan dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, setelah menerobos jendela dan tiba di tengah halaman, Dia menghadang jalan pergi Im Ceng.
"Mau apa kau?" bentak Im Ceng gusar.
"Tidak selang beberapa lama lagi musuh besar kita segera akan menyusul kemari, maukah kau kita bersama-sama menghadang usaha pengejaran mereka?"
"Baik!" jawab Im Ceng singkat.
Dengan kekuatan mereka berdua, jelas teramat sulit bila ingin menghadang pengejaran yang dilakukan jago-jago tangguh dari benteng Han hong po maupun Seng ke cung.
Sekalipun kedua orang pemuda ini mengerti, namun mereka tidak peduli.
"Kenapa mereka belum juga datang?" tanya Im Ceng kemudian, "kita mesti menunggu sampai kapan?"
Kemudian bisiknya lagi:
"Kau bersembunyi dulu di sini, biar aku yang menyambut kedatangan mereka!"
"Kau akan menyambut mereka?" berubah wajah Thiat Tiong-tong, "kalau kau maju menyambut mereka, sama artinya mengantar kematianmu."
"Cepat atau lambat akhirnya toh sama saja mati, malah lebih puas jika kita sambut kedatangan mereka!"
"Siapa bilang cepat atau lambat sama saja bakal mati" Masa kau lupa, tiga tahun kemudian kita masih akan kembali ke perguruan?"
Im Ceng tertawa dingin.
"Memangnya kau anggap dengan melakukan penghadangan di tempat ini maka kita bakal selamat?" jengeknya.
"Kehadiran kita berdua di tempat ini hanya bertujuan menghalangi usaha pengejaran yang mereka lakukan, berusaha mengulur waktu dan bukan untuk mengantar nyawa di tempat ini! Nyawa kita berdua masih harus dipertahankan lebih jauh, kita harus melanjutkan hidup, melanjutkan perjuangan untuk melawan gabungan lima keluarga besar, kenapa harus mati secara konyol?"
Im Ceng membalikkan tubuh, saling berhadapan dengan rekannya.
Sorot mata mereka berdua pun saling bertemu, yang satu sorot matanya memancarkan ketenangan serta kebulatan tekadnya, sementara yang lain memancarkan luapan emosi serta kehangatan perasaannya, tapi yang pasti mereka berdua telah memperlihatkan semangat serta keberaniannya untuk menentang setiap rintangan.
Akhirnya Im Ceng yang memecah keheningan terlebih dulu, katanya dengan suara dalam:
"Kecuali mempertaruhkan nyawa untuk menghadang
pengejaran mereka, apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Sekalipun sekarang belum ditemukan, kita tetap harus berusaha mencari cara lain," sahut Thiat Tiong-tong singkat.
Ucapannya disampaikan dengan nada penuh percaya diri.
Rasa percaya diri yang begitu besar dan bulat membuat setiap persoalan yang ada dalam pandangannya menjadi masalah yang gampang, sesulit apapun persoalannya dia merasa yakin mampu mengatasinya.
Dengan cepat dia sudah melesat menuju ke ruang depan yang penuh dengan sarang laba-laba dan membuka pintu kuil lebar-lebar, kemudian dia menyulut pula obor di empat penjuru, membuat seluruh ruangan menjadi terang-benderang bermandikan cahaya.
Setelah itu dia padamkan cahaya lentera yang menerangi ruang belakang, mengumpulkan beberapa kotak tembaga yang tak berguna dan mengisinya penuh dengan batu, kemudian dengan seutas tali, batu-batu dalam kotak itu digantungnya di atas jalan tembus, baik yang menuju ke depan ruangan maupun ke belakang gedung.
Perguruan Tay ki bun sudah cukup lama berdiam di tempat itu, tak heran berbagai peralatan masih berserakan di situ.
"He, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Im Ceng keheranan.
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak bicara, dari sakunya dia mencabut keluar sebilah pisau pendek, kemudian sambil melompat ke sisi tiang penyangga ruangan dia mulai membacok tiang-tiang itu hingga gumpil sebagian.
Selesai membuat retakan pada setiap tiang penyangga, dia pun mengambil selembar kain tirai dan dirobeknya menjadi beberapa lembar robekan kecil yang diikat satu dengan lainnya menjadi seutas tali, setiap dua depa dalam ruangan dia mengikat tali itu dengan beberapa butir batu besar, kemudian tubuhnya melayang ke atas tiang penglari, lagi-lagi dia melepaskan belasan buah genting dan disembunyikan di setiap sudut wuwungan rumah yang gelap dan jauh dari pandangan orang.
Lama-kelamaan habis sudah kesabaran Im Ceng, tidak tahan tegurnya:
"Eeei, memangnya kau hendak mengajak mereka bermain petak umpet?"
"Benar!"
"Kita sedang menghadapi masalah serius yang menyangkut mati hidup, masa kau masih ingin bergurau" Jika kau hanya ingin bermain petak umpet, maaf kalau aku tak bisa menemani!"
"Samte, justru hari ini kita akan menggunakan petak umpet untuk mempertahankan mati hidup kita."
"Bermainlah sendiri, aku ingin mengadu jiwa dengan mereka,"
seru Im Ceng gusar.
Baru saja Thiat Tiong-tong menarik tangannya, dari kejauhan sana sudah terdengar suara gonggongan anjing.
Di tengah hembusan angin dan curah hujan, gonggongan anjing itu hanya bergema sejenak untuk kemudian hening kembali.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka sudah datang!" bisik Thiat Tiong-tong sambil menarik Im Ceng menuju ke ruang belakang:
"Samte, apa yang hendak kita lakukan sekarang menyangkut mati hidup kita semua, apapun yang kau pikirkan, kumohon turutilah perkataanku kali ini saja."
"Baik, kali ini saja!" sahut Im Ceng sambil mengertak gigi.
Angin dan hujan masih menyelimuti udara, di balik cahaya api yang bergoyang terhembus angin, hawa membunuh terasa mulai menyelimuti empat penjuru.
Di tengah keheningan yang mencekam, terdengar suara ujung baju yang tersampuk angin bergema dari luar kuil, menyusul kemudian muncul puluhan sosok bayangan hitam yang misterius.
Gerakan tubuh mereka ringan dan cepat, begitu tiba beberapa depa dari bangunan kuil, serentak mereka menyebarkan diri dan bersembunyi di balik pepohonan.
Ling It-hong terlihat mengenakan baju ketat berwarna ungu, kepalanya dibungkus dengan kertas minyak, sementara Suto Siau mengikut di sampingnya, dia pun membungkus kepalanya dengan kertas minyak.
"Seluruh bangunan utama kuil terang benderang
bermandikan cahaya, pintu gerbang pun dalam keadaan terbuka, kelihatannya seperti tanpa penjagaan, saudara Ling, apa kau tidak merasa kejadian ini rada aneh?" tanyanya.
Ling It-hong tidak menjawab, dia hanya manggut-manggut.
Seng-toanio berdua dengan putranya berdiri di belakang mereka berdua, selain itu hadir pula seorang lelaki setengah umur yang menggembol sejenis senjata aneh di punggungnya.
"Pasti Leng Cing-ping si budak itu belum berhasil menemukan tempat ini sehingga mereka belum mendapat kabar," kata Seng-toanio dingin.
Tampaknya lelaki setengah umur itu tidak sependapat, segera bantahnya:
"Sekalipun keponakan Cing-ping tidak berada di benteng Han hong po, bukan berarti dia sedang kemari untuk menyampaikan kabar berita!"
Dengan perasaan berterima kasih Leng It-hong melirik sekejap ke arahnya.
"Pek Seng-bu," terdengar Seng-toanio mulai mengumpat:
"kau Golok Yanci Pedang Pelangi 5 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 5