Pencarian

Pendekar Sadis 17

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


ab dengan tokoh-tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan. Memang dia terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik. Namun hal ini bukan merupakan kejahatan apalagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa mempunyai banyak selir muda yang cantik. Pula, tidak pernah terdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apalagi ketika para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis yang terkenal sebagai pembasmi yang kejam terhadap orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduhnya berbuat kejahatan. Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah merasa marah dan menentang, tidak setuju akan kekejaman-kekejaman itu walaupun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis itu kini telah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis!
Ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itupun adalah pemberian orang kepadanya karena sepak terjangnya yang mengerikan. Datangnya seperti setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, suka menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan! Belum pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan merekapun merasa muak dan menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia! Pendekar bukanlah orang yang kejam, walaupun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat sewenang-wenang. Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan bahkan menjadi saksi kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis kepada para pemimpin Siauw-lim-pai.
Sementara itu, Thian Sin juga merasa menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya, berarti mereka membela fihak yang salah, pikirnya. Dengan cepat dia membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama saja dengan mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia telah keluar dari kota raja dan menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata, "Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau."
Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Thian Sin. "Taihiap... aku merasa berterima kasih sekali kepadamu... dan biarlah aku menyerahkan diriku kepada taihiap untuk membalas budi taihiap..."
"Hemm, pergilah dan jangan kauganggu aku lagi!" kata Thian Sin.
"Tapi... tapi, taihiap, ke manakah aku dapat pergi" Kalau bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?"
Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya. "Habis, apa maumu?" tanyanya, agak bingung juga.
"Taihiap, biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani taihiap... dan apapun yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati."
Thian Sin tidak menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka kalau bertemu dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan menggemparkan kota raja dan para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini. Maka diapun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api unggun, dia telah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap, telah membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu.
Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tidak berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula.
"Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini," tiba-tiba pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering.
Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan menghampiri duduk di atas jerami dekat dengan Thian Sin. "Engkau hendak pergi, taihiap" Ke mana" Lalu aku... aku bagaimana...?"
Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini" Dan tiba-tiba dia bertanya, "Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu" Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini."
"Mencari musuhmu, taihiap" Siapakah yang kaucari" Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya."
Ucapan ini mendatangkan harapan pada Thian Sin. "Benarkah" Yang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri di kota raja, akan tetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan."
Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali. "Tok-ciang Sian-jin..." Tok-ciang... ah, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!" Dan iapun mendekat dan jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang. Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Benarkah" Engkau tahu di mana dia?" tanyanya.
Kim Lan mengangguk-angguk. "Sekarang aku teringat. Mendiang suamiku pernah mengirimi kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita bahwa di situ terdapat seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang... yang kuingat hanya Tok-ciang begitu saja, entah Tok-ciang Sian-jin atau Tok-ciang siapa. Suamiku mendengar julukan itu dari percakapan antara para anggauta Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran."
"Bagus sekali!" Thian Sin berseru dengan girang. "Engkau mau membantuku?"
"Tentu saja, taihiap. Setelah apa yang kaulakukan untukku, biar harus berkorban nyawapun untukmu aku bersedia melakukannya!"
"Aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang yang berjuluk Tok-ciang Sian-jin apakah dia itu benar Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam atau bukan."
"Baik, taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu... kalau engkau menghendaki... aku... aku akan senang sekali menemanimu tidur..." Wajah itu masih sempat menjadi merah ketika mengatakan hal ini dan matanya mengerling tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis ini.
Thian Sin tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apalagi karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita.
*** Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sebenarnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Memang para pemimpinnya terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak aseli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulah penentang pemerintah yang kuat. Biarpun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, namun perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana. Kekuatannya terletak kepada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama dan janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, memanfaatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat yang merasa tidak puas terhadap pemerintah yang memang pada waktu itu amat buruk.
Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan.
Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah selalu gagal, karena pemerintah hanya mengejar den berusaha membasmi akibatnya saja tanpa mempedulikan sebabnya. Timbulnya ketidakpuasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biarpun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, namun selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah.
Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun, rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya, ditindas, dan menonjolkan pula, betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, yang ditambahi pula bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata untuk menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah. Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan semacam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas akan keadaan hidupnya, merupakan makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut.
Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh lagi, bahkan lebih subur mungkin. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya daripada terkecoh oleh akibatnya, tentu akan lebih memperhatikan akarnya daripada mengacuhkan rumputnya. Sebabnya atau akarnya terletak kepada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di gunung-gunung, kalau pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa. Nah, kalau sudah begini, maka tanpa diberantaspun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Rakyat tentu akan terbuka matanya bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk mempergunakan kekuatan mereka, kekuatan rakyat, untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Dan rakyat tentu akan menentangnya.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang diserbu oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa tidak aman hidupnya. Dia masih merasa ngeri kalau membayangkan kelihaian putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan diapun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati atas kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya. Maka larilah dia, setelah Jeng-hwa-pang dibasmi, ke kota raja di mana dia mempunyai banyak sahabat dan dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang mencarinya maka dia mulai merasa tenang.
Akan tetapi, kemudian terdengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sian-jin teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu! Dan diapun menjadi panik dan ketakutan, apalagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang telah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan diapun tahu bahwa pemuda itu tentu akan mencarinya, tentu tahu pada akhirnya bahwa diapun menjadi satu di antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw.
Tok-ciang Sian-jin merasa tidak aman lagi tinggal di kota raja dan diapun lari ke satu-satunya tempat yang dirasanya aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan Pek-lian-kauw. Setelah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa oreng tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, hatinya menjadi tenteram juga. Betapapun juga putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan kalau pemuda itu berani muncul, dia tentu akan berusaha agar pendekar itu dikeroyok dan tewas seperti mendiang ayahnya.
Sarang Pek-lian"kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tidak jauh dari daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang amat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mendirikan sebuah benteng, melainkan mempergunakan sebuah dusun untuk menjadi sarang mereka. Mereka mendirikan rumah-rumah di antara penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara rumah-rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap saat tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia. Para penduduk dusun Tiong-king itupun kesemuanya telah dipengaruhi dan biarpun mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggauta-anggauta yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak "perjuangan" Pek-lian-kauw berhasil.
Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena ia membawa kulit harimau dan mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yaitu pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima tanpa banyak kecurigaan. Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di daerah itu. Adapun pusat Pek-lian-kauw masih berada di selatan, di Propinsi Hok-kian. Thian-hwa Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sian-jin, dan dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sutenya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sian-jin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu menjadi semakin kuat.
Pada waktu itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sutenya dan juga Tok-ciang Sian-jin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, seorang tosu tinggi kurus yang mukanya seperti tikus akan tetapi matanya amat berwibawa dan memang tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat. Giok-lian-cu ini datang membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat.
"Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?" Thian-hwa Lo-su membantah. "Kami setiap hari sudah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki maupun wanita, semua mendukung gerakan kita!" Dia merasa agak penasaran kalau dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau rukun bekerja.
"Siancai... harap Lo-heng jangan salah mengerti dan dapat menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita," kata Giok-lian-cu sambil tersenyum. Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya disisakan beberapa helai kumis jarang. "Coba Lo-heng jawab, selain berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah juga kawan-kawan di daerah ini berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat" Apakah ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai agar ikan-ikan banyak mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung sehingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?"
Para pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama mereka menerima "gemblengan" di pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha seperti itu. "Tapi mengapa" Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin" Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk...?"
"Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, karena dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidakamanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas dan membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, dan kalau sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Ini lebih mudah untuk mendorong rakyat untuk memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita."
Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah kekuasaan mereka menjadi semakin melarat, dan kalau perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil.
Akhirnya mereka itu minum arak dari cawan mereka sambil berseru, "Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat kalau pemerintah telah digulingkan dan Pek-lian-kauw yang berkuasa!"
Rapat pimpinan dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biarpun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tidak pernah pantang makan barang berjiwa maupun minuman keras. Bahkan merekapun tidak pernah pantang bersenang-senang dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itupun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang telah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis melayani mereka makan minum. Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih dan merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata. Karena itu, dalam melayani mereka makan minum gadis-gadis itupun bersikap genit-genit, apalagi terhadap tamu itu, walaupun pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita.
Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncul Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggauta Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, segera membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka sedang berpesta, apalagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis.
Melihat anggautanya datang membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal, Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya. Betapa sembrono anak buahnya itu. "Siapa yang kaubawa menghadap ini?"
"Maaf, suhu, ia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit binatang buas ke sini, dan ia sekarang membawa dua gulung kulit harimau..."
Kecurigaan segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan kini dia memandang dengan penuh perhatian, juga dengan pandang mata lembut ketika melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan pakaiannya yang ketat itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan. Juga pandang mata wanita itu mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu tidak berdarah dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan rumah ini melihat betapa pandang mata tamunya berkilat. Kalau tadi tamunya menghadap para pelayan itu dengan sikap tak acuh dan jemu, kini kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, dibandingkan dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka dan bersikap genit-genit itu, wanita penjual kulit harimau ini jauh lebih unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang nampak menyembunyikan kekuatan dan kehangatan, maupun dalam sikap yang nampak alim.
"Ah, jadi engkau adalah isteri Hok-houw-kwi" Pinto mengenal baik suamimu itu. Apa, sudah mendiang" Duduklah nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu meninggal dunia," kata Thian-hwa Lo-su dengan sikap ramah.
Kim Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang lain akhirnya duduklah ia di sebuah kursi, setelah ia menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh Pek-lian-kauw yang sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu. Diam-diam ia mengerling ke arah mereka dan dengan mudah ia dapat mengenal Tok-ciang Sian-jin seperti yang didengarnya dari Thian Sin. Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya pucat agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh seperti itu hanya orang ini, maka tentu inilah Tok-ciang Sian-jin, pikirnya. Pendeta yang selalu menatapnya, yang tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus, tentu bukan Tok-ciang Sian-jin. Maka, iapun cepat mencurahkan perhatian kepada tugasnya dan setelah duduk, ia diam saja menundukkan mukanya yang manis.
"Ceritakanlah, nyonya, bagaimana suamimu meninggal" Apakah meninggal ketika memburu binatang buas" Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke sini," desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa suami wanita ini telah meninggal dunia.
Didesak demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah dan ia menjawab dengan suara gemetar memancing rasa iba, "Suami saya... dan ayah saya... telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan." Ia sengaja memaki nama pangeran itu karena iapun tahu bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga pemerintah.
"Toan-ong-ya...?" tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan semua orang memandangnya dengan penuh perhatian.
"Benar, totiang," kata wanita itu sambil menahan isaknya.
"Ahhh...! Tapi bukankah pangeran keparat ini baru-baru saja dibunuh oleh Pendekar Sadis" Demikian yang kami dengar!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata dan diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang mengandung getaran yang mengguncangkan jantungnya. Pendekar Sadis telah memberi tahu kepadanya bahwa pendeta ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
"Saya juga sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapapun yang membunuhnya, sakit hati saya akan kematian suami dan ayah saya telah terbalas!" katanya dan ia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur.
"Eh, nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?"
"Ayah saya dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan yang lalu karena... karena... ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi selirnya... saya melarikan diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah dan suami saya membela, akan tetapi mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh orang barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya lagi."
Semua orang mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa memperoleh dua gulung kulit harimau ini?"
Hemm, ketua perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Ia harus berhati-hati, karena kalau sampai bocor rahasianya, tentu ia akan mati tanpa dapat menghindarkan diri dari bahaya maut lagi.
"Setelah mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama teman-teman pemburu yaitu bekas teman-teman suami saya, saya lalu melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami berhasil menjebak dua ekor harimau dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu di lereng Tai-hang-san sebelah barat, saya lalu teringat kepada pesan suami saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di mana katanya ada ketua perkumpulan yang suka membelinya."
"Hemm, dia mengatakan ketua perkumpulan" Perkumpulan apa?" tanya ketua Pek-lian-kauw dengan kaget.
"Saya tidak tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta menghadap ketuanya untuk menawarkan kulit-kulit ini. Maka saya berani datang ke sini karena menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini berani membayar mahal dan juga bahwa mereka... semua manis budi dan gagah perkasa."
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. "Sayang suamimu telah meninggal nyonya, kalau belum, tentu aku akan suka berkenalan dengan dia."
Melihat sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw tertawa. "Lo-te, kalau suaminya sudah meninggal, masih ada isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?"
Mereka semua tertawa, kecuali Tok-ciang Sian-jin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka kepada wanita. Dia lebjh suka untuk mengajak seorang pria tampan menemaninya tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini terbunuh oleh Toan-ong-ya yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia tidak merasa enak hati sungguhpun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis.
"Nyonya muda, jangan khawatir. Dua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan kami akan membayar berapa saja harga yang kauminta. Akan tetapi, mengingat bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka engkaupun merupakan sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat. Mari masuk dan minum bersama kami, nyonya!" Dan kepada para pelayan itu Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok, sumpit dan cawan bersih.
"Ah, mana saya berani, totiang... " Saya... tidak seharusnya saya..."
"Nyonya, kami dengan sungguh hati menghormatimu sebagai isteri bekas sahabat dari Thian-hwa Lo-su, mengapa engkau hendak menolaknya" Apakah engkau tidak mau menerima kebaikan kami?" Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus itu berkata sambil tersenyum penuh arti. Sekali pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa yang berkecamuk dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam hatinya iapun tersenyum puas. Memang inilah yang dicarinya. Tanpa dapat mengait seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan kecantikannya, mana mungkin ia akan dapat menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang Sian-jin itu" Dan Si Muka Tikus ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ.
Mendengar ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su girang sekali. Terbuka jalan baginya untuk meyenangkan hati tamunya dan hal ini amat perlu karena dengan demikian maka tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke pusat tentang dirinya. "Ha-ha-ha, engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan engkau tidak akan rugi berkenalan dengan dia."
Dengan lagak seorang wanita "baik-baik", Kim Lan akhirnya menerima ajakan makan minum itu dengan sikap malu-malu. Akan tetapi setelah makan minum beherapa cawan arak, wanita ini mulal tersenyum manis sekali kepada Si Muka Tikus. Wajahnya yang manis menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak malu-malu lagi seperti tadi sehingga kalau tersenyum nampak deretan gigi putih rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing.
Giok-lian-cu, tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, biarpun sudah memakai pakaian pendeta namun masih menjadi hamba nafsu yang amat lemah, sudah menjadi tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat bulan ditinggal suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik daripada wanita-wanita dusun yang melayani mereka makan minum itu, yang biarpun tidak bersuami, namun setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw di tempat itu secara bergilir.
Dan Kim Lan pandai jual mahal, bersikap seperti seorang wanita yang belum tahu apa-apa, dan hanya dengan bujukan dan seperti orang setengah terpaksa karena takut akhirnya ia membiarkan diririya digandeng dan setengah ditarik-tarik oleh tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh para rekan-rekannya. Para tosu pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu dengan ketawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang sesungguhnya bukan merah karena malu-malu, melainkan karena marah! Namun semua ini harus dilakukannya. Betapapun juga, ia harus berkorban untuk Pendekar Sadis. Bukan hanya karena pendekar itu telah mampu membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan, melainkan juga karena ia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu, dan disamping rasa takut, juga ia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu setelah beberapa hari lamanya ia menjadi kekasih pemuda yang lihai, gagah dan juga kejam dan aneh itu. Ia sudah berjanji untuk membantu, untuk menyelidiki tempat persembunyian Tok-ciang Sian-jin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw, dan satu-satunya jalan baginya untuk dapat berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan menggunakan kecantikannya untuk memikat hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw. Dan ia berhasil. Dengan baik sekali karena dari percakapan tadi ia diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus dilayaninya adalah Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari pusat yang tentu saja amat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam perjamuan tadi ia diam-diam memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam ia merasa serem dan ngeri. Tosu itu nampak demikian pendiam dan dingin, memandang rendah segala sesuatu di sekelilingnya, bahkan dialah satu-satunya orang di antara para tosu itu yang tidak bersikap merendah dan menjilat terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan maklum bahwa orang seperti itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka ia bersikap amat hati-hati.
Untung bahwa bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu ia harus melayani, karena biarpun Tok-ciang Sian-jin itu jauh lebih menarik sebagai pria dibandingkan dengan kakek muka tikus, namun ia akan merasa ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang Sian-jin dan tosu itu tentu akan dengan mudah dapat membongkar rahasianya.
Dengan pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria, Kim Lan dengan mudah saja membuat tosu muka tikus itu semakin terbuai dan tergila-gila kepadanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya dapat memperoleh keterangan selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sian-jin, di mana tinggalnya, di pondok mana, dan apa kedudukannya di tempat itu. Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus yang membayangkan keheranan tanpa kecurigaan hanyalah, "Eh, kenapa engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang Sian-jin?"
Kim Lan menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil seperti orang ketakutan dan ngeri. "Mukanya begitu dingin dan sinar matanya kepadaku seolah-olah hendak menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih manusia bermuka dingin itu."
Jawaban ini menyenangkan hati Giok-lian-cu dan diapun menceritakan semua keadaan Tok-ciang Sian-jin seperti yang ditanyakan oleh wanita yang malam itu benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang sekali. Biarpun malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim Lan yang harus melayani seorang kakek yang dibencinya, harus menurut saja apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya, namun pada keesokan harinya, ketika ia berpamit dan dibekali uang cukup banyak untuk membayar dua gulung kulit harimau dan pelayanannya, Kim Lan pulang dengan hati senang bukan main. Ia telah berhasil, ia akan membikin girang hati Pendekar Sadis yang dipuja dan dicintanya!
Setelah Thian Sin mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarmya, dia tersenyum girang. "Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini, aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!"
"Taihiap...!" Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan cepat sekali. Kim Lan duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga gelisah. Malam tadi ia telah melakukan tugas yang berat dan sekarangpun ia masih merasa muak kalau teringat akan kakek si muka tikus. Akan tetapi, pendekar itu tidak mau menghiburnya dan pergi begitu saja, menyuruhnya tinggal seorang diri di tempat sunyi itu. Akan tetapi ia percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali dan kalau pendekar itu sudah berhasil membunuh musuh besarnya, barulah ia akan menagih upah sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu!
Sementara itu, Thian Sin sudah melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Dia telah memperoleh keterangan dengan jelas dari Kim Lan. Tok-ciang Sian-jin memang benar berada di sarang Pek-lian-kauw, dan menurut keterangan wanita itu, Tok-ciang Sian-jin bersembunyi di dalam sebuah pondok seorang diri di sebelah utara dusun atau perkampungan Pek-lian-kauw itu. Dan perkampungan itu setiap saat dijaga oleh anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak mungkin ada orang asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka dan sebelum dia sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia telah dilaporkan terlebih dahulu dan fihak musuhnya dapat berjaga-jaga. Akan tetapi, pada waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik karena menurut keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sian-jin berlatih samadhi dan tidak keluar dari pondoknya dari pagi sampai sore, tosu itu melatih ilmu silat kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar pikiran tentang ilmu silat dan saling mengisi. Menurut penuturan kakek muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya Tok-ciang Sian-jin mempunyai hubungan baik sekali dengan Thian-hwa Lo-su dan sering mewakili ketua itu untuk melatih ilmu silat kepada murid-murid ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Tentu saja hal itu dilakukan sebagai imbalan jasa Pek-lian-kauw yang sudah menerimanya untuk bersembunyi di tempat itu dan juga tentu saja untuk perlindungan yang dijanjikan oleh Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya, demikian pikir Thian Sin. Dan memang sesungguhnya dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan. Tok-ciang Sian-jin sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu, sudah dapat menyangka siapa adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar sekali. Maka dia sudah berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk minta bantuan mereka apabila musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh janji dari pihak pimpinan Pek-lian-kauw.
Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak merasa takut menghadapi mereka semua itu. Hanya dia bersikap cerdik, tidak mau memasuki sarang Pek-lian-kauw begitu saja, karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk begitu saja, sebelum dia bertemu dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan musuhnya yang mendengar akan kedatangannya itu sangat boleh jadi akan melarikan diri terlebih dulu. Dia harus dapat menyergap Tok-ciang Sian-jin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan setelah itu, biar dia akan dikeroyok oleh seluruh anggauta Pek-lian-kauw sekalipun, dia tidak merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan Tok-ciang Sian-jin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat melarikan diri lagi.
Ketika Thian Sin menyelinap di antara pohon-pohon di luar dusun sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia diam saja bersembunyi tanpa bergerak dan akhirnya dia dapat melihat tiga orang anggauta Pek-lian-kauw yang mendekam di dalam parit, agak jauh di depannya. Hemm, kiranya mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam parit, seperti barisan pendam. Tentu saja sukar bagi orang luar untuk memasuki wilayah itu tanpa ketahuan, pikirnya. Dia lalu menyelinap di antara pohon dan semak-semak, mempergunakan kepandaiannya sehingga gerakannya seperti terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari pohon ke pohon, bergerak ke sebelah kanan. Tepat seperti yang diduganya, antara jarak seratus meter dari parit itu, terdapat parit lain dengan tiga orang anggauta Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di dalam parit. Ketika dia memeriksa ke kiri, di sebelah parit pertama, juga dalam jarak seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat penjagaannya.
Thian Sin bergerak cepat, setelah dia merunduk dan bergerak sambil tiarap di antara rumput, mendekati parit pertama, setelah tiba dekat tubuhnya terjun ke bawah dan sebelum tiga orang itu sempat mengeluarkan suara, hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja Thian Sin telah merobohkan mereka dengan menotok mereka. Gerakannya terlampau cepat bagi tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu sebelum tahu apa yang terjadi telah roboh terkulai pingsan! Thian Sin cepat menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan mereka, lalu menggunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga kalau mereka siuman kembali, mereka takkan dapat berkutik atau berteriak. Semua ini dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan di lain saat, dia sudah bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak maju menuju ke parit ke dua di sebelah kiri. Kembali dia menaklukkan tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia sudah meninggalkan mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka seperti tiga orang teman mereka yang pertama tadi. Tanpa banyak mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga orang penjaga di parit ke tiga tidak berdaya. Giranglah hatinya dan diapun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Biarpun dia sudah membersihkan jalan masuk dengan menundukkan para penjaga di tiga parit, dan dia percaya bahwa penjaga di parit yang lain jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju dengan sangat hati-hati. Pondok yang paling ujung itu, pondok tempat tinggal Tok-ciang Sian-jin sudah nampak. Akan tetapi Thian Sin menahan kegembiraan hati yang dapat membuat orang menjadi lengah itu. Dia tetap berhati-hati dan memeriksa keadaan sekelilingnya dengan teliti. Dan sikapnya ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia melihat gerakan di atas pohon. Cepat dia menyelinap di balik semak-semak belukar dan mengintai. Ternyata di atas pohon itu terdapat seorang penjaganya! Ah, tentu di lain-lain pohon yang agaknya sengaja ditanam di sekeliling daerah itu tentu ada penjaganya yang bersembunyi. Untuk melumpuhkan penjaga di atas pohon itu seperti yang dilakukannya terhadap para penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari jendela pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang Sian-jin sedang melihat dari sana. Thian Sin memutar otak mencari akal.
Kemudian dia mengambil keputusan untuk mempergunakan kepandaiannya yang lain, yaitu ilmu sihirnya. Dengan langkah tetap dia lalu bangkit dan berjalan menghampiri pohon itu! Dia telah berada di dalam wilayah Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui para penjaga di parit tadi, maka biarlah dia berlagak seperti bukan orang asing di daerah itu! Setelah tiba di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang sejak tadi tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak panah di busurnya untuk menyerang ke bawah itu.
Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika pemuda yang berada di bawah itu menggapai dengan tangan, tersenyum ramah dan berkata, "Hai, kawan, aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah, akan kuberitahukan padamu!"
Penjaga itu meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat bahwa pemuda itu telah berada di daerah mereka sendiri, berarti bukan orang asing karena orang asing takkan mungkin mampu melewati para penjaga parit, dan mendengar bahwa pemuda itu membawa pesan penting dari ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat memanjat turun dari pohon. Pemuda itu tidak membawa senjata dan sikapnya tidak seperti seorang musuh, maka diapun tidak khawatir.
Akan tetapi ketika dia sudah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau. Penjaga itu terkejut sekali, namun terlambat karena dia sudah tunduk di bawah pengaruh pandang mata Thian Sin yang kini berkata dengan suara lirih namun mengandung penuh wibawa, terutama sekaii terasa oleh orang itu sebagai perintah yang tak mungkin dibantah.
"Antarkan aku menghadap Tok-ciang Sian-jin ke pondoknya!"
"Baik, kuantarkan, marilah," jawab penjaga itu seakan-akan dia bicara dengan seorang rekannya sendiri. Tentu saja hal ini adalah hasil dari kekuatan sihir Thian Sin yang memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang temannya.
Para penjaga lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat hal ini, akan tetapi karena penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik, bahkan mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal Tok-ciang Sian-jin, tentu saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan mengira bahwa pemuda itu adalah penduduk dusun atau juga orang yang sudah dikenal oleh penjaga itu maka dapat diterima. Apalagi melihat orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang Sian-jin, para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak Tok-ciang Sian-jin, yang lebih suka berdekatan dengan seorang pemuda tampan daripada dengan wanita. Dan pemuda itu, biarpun kelihatan dari jarak agak jauh, memang nampak tampan!
Berdebar tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua mendekati pondok itu. Di sinilah orang yang selama ini dicari-carinya! Hatinya berdebar karena tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia gagal.
"Panggil dia keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!" bisiknya dengan pengerahan tenaga sihirnya. Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang tertutup dengan hati-hati.
"Sian-jin harap suka buka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk Sian-jin!"
Sunyi saja di dalam. Tidak ada jawaban. Penjaga itu, atas desakan Thian Sin, mengetuk lagi dan mengulang kata-ketanya sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap saja sunyi, tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian Sin menjadi curiga dan khawatir kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang ke depan, mendorong pintu dengan kedua tangannya.
"BRAKKK...!" Pintu itu jebol dan terbuka. Thian Sin dengan berani meloncat ke dalam pondok, membiarkan penjaga itu bengong terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa terheran-heran mengapa dia berada di depan pondok itu melihat orang menjebol pintu pondok, padahal seharusnya dia berjaga di atas pohon!
Thian Sin bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok. Ternyata pondok itu kosong! Burung itu telah terbang! Dia telah ditipu, atau bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menedangi semua barang di dalam pondok itu sehingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang di situ rusak semua. Tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar pondok!
"Ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!"
Thian Sin menjadi marah sekali, tidak tahu marah kepada siapa. Dia tidak tahu apakah Kim Lan mengkhianatinya" Agaknya tidak demikian. Lebih besar kemungkinan bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai sekali sehingga mereka sudah tahu akan kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok, Tok-ciang Sian-jin telah pergi dulu dan membiarkan dia memasuki pondok kosong. Dia lalu menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu, Tok-ciang Sian-jin, memang sudah berada di luar, berdiri dengan tegak di samping tujuh orang berjubah pendeta yang dia duga tentulah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di belakang orang-orang itu nampak puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw. Tempat itu telah dikurung oleh para anggauta Pek-lian-kauw.
Thian Sin tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walaupun dia maklum bahwa dia telah dikurung oleh sedikitnya seratus orang, dan dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia masih mampu mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya, "Seekor buaya selalu memilih pecomberan di mana dia akan merasa senang. Seorang Ciu Hek Lam, biarpun sudah berjuluk Tok-ciang Sian-jin, merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya di antara orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!"
Mendengar ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya, sedangkan Tok-ciang Sian-jin diam saja, hanya memandang dengan tajam, wajahnya yang dingin sama sekali tidak membayangkan sesuatu. Senjatanya pecut baja masih terlibat di pinggangnya, dan dia selalu mengikuti gerak-gerik Thian Sin dengan penuh perhatian. Diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang yang masih begini muda telah memiliki kepandaian yang demikian menggiriskan, bahkan telah dikenal sebagai Pendekar Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu roma. Untunglah dia bersikap waspada dan dia sudah curiga kepada wanita pembawa dua gulung kulit harimau itu, maka diam-diam setelah wanita itu pergi, dia mengadakan perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw, menyatakan kecurigaannya dan diam-diam diapun sudah bersiap-siap schingga ketika pemuda itu muncul, dia telah mengetahuinya terlebih dulu dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah terkurung dan menurut kehendaknya, dia ingin lekas-lekas melihat pemuda yang merupakan ancaman baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di depan para orang Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, apalagi di situ terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai itu.
Sementara itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti nyanyian ejekan ini, pendeta bermuka tikus itu lalu tertawa dan diapun lalu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata yang amat tajam, seolah-olah ada getaran keluar dari sinar matanya, lalu mulutnya mengeluarkan suara yang juga mengandung getaran amat berwibawa, sehingga terasa oleh semua orang yang berada di situ.
"Orang muda, engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah terkurung, melawanpun tidak ada gunanya. Orang muda, lihatlah baik-baik padaku dan kuperingatkan engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!" Thian Sin merasa bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak memaksanya berlutut. Namun dia dapat menangkis dan melawan kekuatan sihir ini, akan tetapi dia lalu mempunyai akal. Mengapa dia tidak pura-pura menurut" Kalau dia sudah berlutut, tentu Tok-ciang Sian-jin akan turun tangan menyerangnya dan saat itu, selagi semua orang lengah, dia akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan merobohkannya! Kalau sekarang dia menyerang, tentu akan terdapat banyak orang yang melindungi Tok-ciang Sian-jin sehingga dia khawatir kalau-kalau serangannya akan gagal dan dia keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan mampu melarikan diri lagi. Maka, setelah memperhitungkan dengan cepat, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut!
Melihat ini, Giok-lian-cu tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan. Dia telah berhasil memperlihatkan kepandaiannya, disaksikan oleh semua anak buah Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang mengeluarkan seruan kagum melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang didesas-desuskan sebagai Pendekar Sadis itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan tamu dari Pek-lian-kauw pusat itu! Sementara itu, melihat pemuda itu menjatuhkan diri berlutut Tok-ciang Sian-jin merasa girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia segera menubruk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya, akan tetapi kecerdikannya menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya dia lalu, berkata kepada dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat disebut muridnya karena lima orang itu sering kali menerima petunjuk-petunjuknya dalam ilmu silat.
"Lekas ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!"
Dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri. Merekapun ingin berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja mereka berani melakukan ini bukan hanya karena tingkat kepandaian merekapun sudah tinggi akan tetapi terutama melihat keadaan pemuda itu yang sudah dikuasai oleh sihir dari Giok-lian-cu. Jangankan pemuda itu sudah tak berdaya, biarpun pemuda itu masih sehat sekalipun kalau mereka maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu mungkin omong kosong belaka, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda ini yang masih begitu muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah menghantamkan tangan terbuka dengan pengerahan sin-kang untuk menghancurkan tulang pundak kanan kiri Thian Sin.
Diam-diam Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil dan orang menyangka dia benar-benar telah dikuasai ilmu sihir dari tosu muka tikus itu. Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sian-jin yang maju sendiri walaupun orang itu telah melolos senjata, melainkan menyuruh dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lain. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi tulang pundaknya diremukkan orang dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah tulang pundaknya kalau dia tidak melawan.
"Dess! Desss!" Thian Sin bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting keras. Thian Sin tidak berhenti sampai sekian saja, sambil membentak, "Tok-ciang Sian-jin pengecut hina!" Dia sudah menerjang dan mengirim pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam.
"Desss...! Desss...!" Tok-ciang Sian-jin dan juga Thian-hwa Lo-su yang ikut menangkis serangan itu untuk melindungi sahabatnya, terjengkang dan keduanya tentu akan terbanting pula kalau mereka tidak cepat berjungkir balik.
"Tar-tar-tarrr!" Cambuk baja di tangan Tok-ciang Sian-jin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin. Akan tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan jari-jari tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan dahsyat sekali. Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat ia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi-i-beng.
"Plakk! Ahhhhh... ahhhhh, lepaskan...!" Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sin-kangnya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya.
"Plakk! Aihhhhh... lepaskan tanganku...!" Thian-hwa Lo-su juga berseru dan kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka akan tetapi sungguh celaka, makin besar mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar.
"Itu Thi-khi-i-beng, jangan kerahkan sin-kang!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berseru keras dan cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya. Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berlompatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum ia mampu mendesak Tok-ciang Sian-jin, para tosu lain telah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak anggauta Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggauta ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sian-jin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggauta Pek-lian-kauw itu.
"Tok-ciang Sian-jin manusia pengecut, jangan lari kau!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tidak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walaupun perkumpulan itu telah melindungi musuh besarnya. Dia tidak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Setelah musuhnya benar-benar lenyap, diapun merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng.
"Pek-lian-kauw bukan musuhku!" teriaknya dan diapun berloncatan cepat sekali dan menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu. Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, dan Thian-hwa Lo-su memberi perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian mereka dengan hati kecil dan gentar membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis, dan mereka bergidik. Untung pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, kalau demikian halnya, tentu telah jatuh banyak korban tadi. Dan merekapun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw itu menganjurkan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu. Juga Giok-lian-cu terpaksa dengan terus terang mengatakan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tidak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.
*** "Sungguh mati, taihiap, apakah aku telah menjadi gila, berani mengkhianatimu" Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan ketika aku terpaksa melayani mereka, dan... ah, sudah kukatakan bahwa aku mau mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih tidak percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?"
"Tidak perlu semua janji dan sumpah itu, kalau memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sian-jin dari tempat sembunyinya."
"Baik, saya akan melakukan segala perintahmu," kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa ia memang tidak mengkhianati pemuda itu. "Asalkan... asalkan engkau tidak melupakan semua pembelaanku, taihiap..." katanya dengan sikap manja. Thian Sin tersenyum dan karena dia membutuhkan bantuan wanita ini, maka diapun mengulurkan kedua tangannya dan menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.
Thian Sin sengaja tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia telah pergi dan mencari jejak Tok-ciang Sian-jin di lain tempat, apalagi ketika Thian Sin sengaja melakukan kegemparan dengan mcmbasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya. Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah. Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.
"Kepalamupun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sian-jin! Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat biarpun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Memang wanita ini semenjak pertemuan pertama sudah merasa takut sekali kepada tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.
"Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kaulaporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengaku sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!" bentak Tok-ciang Sian-jin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu sungguh nampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.
"Tidak... ti... tidak...!" Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa gelisah sekali mengapa Pendekat Sadis belum juga muncul, padahal ia seperti merasa betapa maut telah mengelus-elus kepalanya.
"Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkan kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?"
"Tok-ciang Sian-jin, aku berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam kini terbelalak dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.
"Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Mampuslah kau, perempuan laknat!" Cambuk baja di tangannya bergerak dan suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan. Akan tetapi, secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan terlempar, sampai bergulingan akan tetapi ia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi.
Tok-ciang Sian-jin yang sama sekali tidak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sebetulnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu. Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya, dia menyerang dengan dahsyat. Cambuknya meledak-ledak mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini terkenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya. Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, dan bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sian-jin sendiri yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan amat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya. Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan amat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seolah-olah mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Kalau pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawan terhuyung dan tiada hentinya dia mengejek.
"Hemmm, pengecut yang hanya berani main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah mampu membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku! Plak!" Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan kalau dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher dan mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri. Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, diapun lalu membalikkan tubuhnya dan menggunakan gin-kangnya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan menghadang sambil tertawa. Akhirnya, Tok-ciang Sian-jin putus asa dan untuk yang terakhir kali, dia mengerahkan seluruh tenaganya, menyalurkan tenaga itu pada cambuknya dan menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.
Sungguh serangannya ini amat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut dan cepat pemuda ini miringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga ketika Tok-ciang Sian-jin mengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu dan cepat dia melepaskan tenaga sin-kangnya, akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sian-jin terpelanting keras.
Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri, akan tetapi... tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia mencoba tangan kanan, akan tetapi juga tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa Thian Sin yang maklum bahwa lawannya hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat kakek itu lumpuh kedua lengannya dan tidak mampu digerakkan.
"Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!" kata Thian Sin sambil tertawa dan dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak ia melihat kekejaman dilakukan orang, namun menyaksikan sikap Pendekar Sadis, ia benar-benar bergidik dan hampir ia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sian-jin. Betapapun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri.
"Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, bunuhlah, siapa yang takut mati?" bentak Tok-ciang Sian-jin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya sudah banyak didengarnya itu.
"Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkaupun harus mati dikeroyok!"
"Apa... apa maksudmu...?" Tok-ciang Sian-jin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.
"Kaulihat saja nanti...!" Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk panjang itu melibat tubuh kakek itu, lalu diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini. Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas sekali, berwarna merah darah! Melihat semut-semut itu, mengertilah Tok-ciang Sian-jin dan diapun berteriak-teriak.
"Jangan...! Jangan... bunuh saja aku...!"
Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum dan cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja semua pakaian tosu itu telah direnggut lepas dan tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu dan pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang. Kemudian, dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu lalu menggantung tubuh itu di cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya, dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang. Mengamuklah semut-semut itu dan akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sian-jin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja dan semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas dan mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga! Tok-ciang Sian-jin meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi telinganya dan membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sian-jin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hiduppun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya diapun terkulai dan pingsan, mendekati mati. Thian Sin lalu menggunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sin-kangnya, cambuk itu menyambar seperti pedang, tepat mengenai leher tubuh itu dan putuslah leher Tok-ciang Sian-jin. Dengan pakaian tosu itu yang tadi dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lalu dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!
"Taihiap...!" Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.
"Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua." kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.
Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw ketika menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Biarpun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis! Akan tetapi karena Tok-ciang Sian-jin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataannya pendekar itu tidak membunuh seorangpun anggauta Pek-lian-kauw, maka merekapun diam saja.
Sementara itu, di kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw mengenal bahwa kepala itu adalah kepala Tok-ciang Sian-jin, maka orang-orangpun dapat menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.
Sementara itu setelah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan telah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri sungguhpun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.
Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus, akan tetapi juga berwibawa, "Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!"
Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet dan mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya puas telah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia tersenyum. "Tenanglah, kenapa takut?"
"Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku...aku khawatir, taihiap."
"Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu." Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.
"Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!" Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi.
Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pckarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya keren, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih. Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sastrawan, namun sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukan orang-orang sembarangan, apalagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim dan berwibawa itu, sungguh jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw. Maka diapun lalu menjura dengan sikap hormat dan berkata, "Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?" Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sastrawan muda yang tahu akan sopan santun.
"Omitohud...! Benarkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?" tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya.
"Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, sungguhpun saya sendiri sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu," jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi.
"Siancai... siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis," kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.
"Siapa ngo-wi locianpwe kalau saya boleh bertanya dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?"
"Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai," kata hwesio itu dengan sederhana, akan tetapi Thian Sin terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai!
"Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai," kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!
"Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya." kata seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Biarpun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini namun dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.
"Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya," kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.
"Pinto banyak berhutang budi kepada mendiang Toan-ong-ya," sambung tosu Kun-lun-pai.
Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka jelaslah dapat diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia yakin akan kebenarannya, bahwa pembunuhannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah karena kesalahan pangeran itu sendiri, dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikitpun juga. Hal ini nampak oleh lima orang kakek itu dan merekapun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.
"Ah, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Kalau begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya telah membunuh pangeran itu, bukan?" tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi.
"Bukan hanya itu, orang muda," kata tosu Kun-lun-pai. "Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!"
"Omitohud, dosamu bertumpuk-tumpuk, orang muda. Siapakah kaukira engkau ini" Giam-lo-ong sendiri" Ataukah ibils berwajah manusia" Pinceng sudah mendengar akan caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud... Siauw-lim-pai akan ikut bersalah kalau tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!"
Thian Sin mengerutkan alisnya, akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus ketika dia berkata, "Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukanlah anggauta kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi." Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas.
Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya kehabisan akal, karena bagaimanapun juga, memang ucapan pemuda itu benar. Selain pemuda itu tidak ada urusan dengan Kun-lun-pai maupun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tidak melakukan kejahatan dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.
"Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Kalau kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat."
Thian Sin tersenyum lebar. "Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat" Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!"
"Omitohud...!"
"Siancai...!"
"Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian" Siapakah yang mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat" Agaknya wanita itu yang memberitahukanmu, bukan?" Seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.
"Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?" Thian Sin balas bertanya.
"Coba katakan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!"
"Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tidak perlu berdebat. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tidak akan undur selangkahpun!"
"Keparat...!" Tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah. "Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!"
Thian Sin tersenyum dan biarpun dia tahu bahwa mereka bertiga itu lihai sekali ilmu pedangnya, namun dia tidak merasa takut. "Sam-wi hendak membela orang jahat" Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi."
Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah, dan mereka sudah hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata. "Omitohud... harap sam-wi tenang dulu. Tidak baik turun tangan sebelum diperoleh penjelasan." Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam.
Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju menghadapi Thian Sin. "Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukanlah orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalahfahaman antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya sehingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?"
Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka diapun menjawab tenang. "Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia" Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah dan suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuhnya?"
"Hemm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?" seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata.
Thian Sin mengangguk. "Benar, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya." Dia sengaja menggunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.
"Omitohud... Sicu, engkau orang muda, biarpun telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebenarnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini!
"Mereka adalah pemburu-pemburu binateng liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, ia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu..."
"Siancai...!" Tosu itu berseru dengan suara panjang. "Pemutarbalikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Ia pernah berusaha untuk mencuri di istana Toan-ong-ya, lalu tertangkap, akan tetapi ia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulah dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu ia telah diambil selir oleh Toan-ong-ya, suatu kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu wanita. Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, hanya mengusirnya."
"Omitohud, sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, ia telah berhasil membujukmu dan memutarbalikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya..."
Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Kim Lan...!" Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berhenti di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri.
"Berhenti kau...!" Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
"Plakk!" Thian Sin menangkisnya dan tosu itu terhuyung ke belakang. "Harap locianpwe jangan mencampuri urusanku!" Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya sudah melesat ke depan seperti seekor burung saja, dan sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya dan ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur. Kim Lan meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati dan menusukkan pisau ke perutnya sendiri, akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal.
Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat itu.
"Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu" Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku" Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman" Hayo jawab sebenarnya!"
Tiba-tiba wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, dan ia berkata, "Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap... engkau... aku tergila-gila kepadamu... ahhh!"
"Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek seperti hendak kaubikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!" Beberapa kali pisau berkelebat. Lima orang kakek itu hendak mencegah akan tetapi menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya telah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu. Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah dan karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang!
"Inilah biang-keladi semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!" Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab. Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis kepada Kim Lan sehingga mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalanginya. Mereka datang selain untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasihat kepada pendekar yang hatinya kejam seperti iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukannya sengaja membunuh orang baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, sedangkan tentang nasihat, agaknya pemuda itu agaknya tidak dapat dinasihati. Buktinya, baru saja mereka menegur si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah!
Thian Sin cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga setelah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Mengapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan" Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia. Akan tetapi, dia tidak peduli dan hatinya merasa puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh orang tuanya. Dan sekarang tinggal musuh-musuh keluaarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itupun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat. Akan tetapi, dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Biarpun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan selain keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, ada satu keinginan lain yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya. Mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dia, sebagai keturunannya, putera tunggalnya, harus menebus kegagalan itu. Dia harus dapat mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk kaum sesat. Memang, dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi kemenangannya itu belum mutlak. Barulah kemenangannya akan diakui oleh dunia kalau dia sudah dapat membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi! Dan dia akan mencari, akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah dapat mengalahkan semua detuk di dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu. Biarpun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, namun untuk dapat mengangkat nama ayahnya dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya" Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!
Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itulah yang belum pernah dijumpainya, walaupun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggauta-anggauta Bu-tek Kai-pang yang rata-rata amat lihai itu. Juga berita tentang Lam-sin ini amat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai daripada tiga datuk lainnya. Pula, untuk sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apalagi setelah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu tempatnya paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi. Adapun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin.
Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin!
Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang amat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata berkepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, akan tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang disebut daerah selatan adalah yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang.
Lam-sin sendiri merupakan seorang tokoh yang penuh rahasia, jarang ada yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan orang-orang di dalam kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa ia adalah Lam-sin yang tersohor itu. Lam-sin tidak pernah keluar turun tangan sendiri menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tidak mampu menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan. Namun, ia turun tangan di waktu malam dan lima orang jagoan dari Jepang itu tidak tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh rahasia dan di manapun ia berada, tidak pernah ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain.
Bu-tek Kai-pang merupakan nama perkumpulan yang membayangkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Dan untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis! Tiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat langsung dari Lam-sin, dan mereka itupun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Tiga orang inilah yang langsung menangani semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk dan setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka.
Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat dan Lam-sin sendiri juga sebagai datuk sesat karena sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini merupakan pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apapun di selatan selalu membayar semacam "pajak" atas penghasilan mereka kepada Bu-tek Kai-pang. Kalau hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan "pekerjaan" mereka. Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk amat banyak dan perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah memiliki harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.
Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia sudah dapat melihat ada beberapa orang anggauta pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu sudah menunjukkan siapa adanya mereka. Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung, akan tetapi setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan berlekak-lekuk seperti ular.
Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia melihat pengemis yang mendekati rumah makan itu. Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung. Pengemis inipun mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerak kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada. Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara... Dia tadi sudah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, dan memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang.
"Heii, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?"
Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa di lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu. Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sin-kang yang lumayan!
Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. "Ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang" Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing" Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!"
Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tidak ada seorangpun di kota itu akan berani bersikap menghina seperti ini, apalagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali!
Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia mengerti benar bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Maka setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggauta Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani seperti tamu-tamu biasa, walaupun mereka itu tidak perlu membayar. Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggauta Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil.
Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum dan melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tidak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata agar dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya.
"Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini...!"
"Jangan campuri urusanku!" bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan. Semua orang merasa tegang dan ngeri, apalagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka telah bersiap-siap menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu. Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu dan dia tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran. Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak dua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu.
Thian Sin bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah sekali, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Malah dia tersenyum.
"Aih, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman" Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?"
"Keparat bermulut busuk!"
"Bocah sudah bosan hidup!"
Dua orang pengemis itu sudha bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa, "Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!" Dan tangannya bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu telah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar yang membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main. Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar, kedua lengan masih bergantung lumpuh.
"HEI, jangan lupakan tongkat jimat kalian!" Thian Sin berseru dan dia menyambar dua tongkat itu, lalu melemparkannya sembarangan ke depan. Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka sendiri yang menggantungnya!
Semua orang yang berada di rumah makan itu tadi telah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu. Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut dan menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang mampu mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang dalam segebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan menggunakan tulang-tulang ayam!
Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Maka mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa itu" Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya"
Pertanyaan ini bergema di seluruh Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh, menggebrak meja.
"Siapakah pemuda keparat itu?"
"Kami... kami tidak tahu namanya."
"Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?"
Seorang pengemis yang baru datang berkata, "Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah penginapan Lok-nam."
"Bagus," kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. "Lima Ular Hitam, malam nanti kutugaskan menangkapnya dan menyeretnya ke sini!"
Lima orang pengemis berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam) cepat memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Hek-coa Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obat dan racun-racun ular dengan memainkan pertunjukkan dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, setelah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka diterima sebagai anggauta-anggauta kai-pang dan merupakan lima di antara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah ahli-ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat mereka yang tinggi, apalagi setelah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).
Malam itu sunyi sekali di penginapan Lok-nam. Hal ini bukan seka
Pendekar Kelana 11 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Pendekar Kembar 7
^