Pendekar Sadis 18
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
li-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan dan para tamu, penjaga dan pelayan telah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!
Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apalagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa.
Thian Sin tentu saja tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Setelah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya "kakap", yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar. Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang diperlihatkannya ketika dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, tidak mungkin membuat jerih tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai daripada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi. Dia menduga kalau hari itu tidak ada sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka diapun sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!
Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah sunyi benar-benar. Pemuda yang menjadi pusat perhatian yang tadi masih membaca sajak dengan suara merdu, kinipun tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.
Ada bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepatnya. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana Thian Sin bermalam. Tak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa harum sekali. Setelah membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius sampai beberapa lamanya, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka.
Betapapun juga, mereka masih mempergunakan saputangan yang telah diberi obat penawar untuk ditutupkan di muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikitpun tidak bergerak. Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka, biarpun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya.
"Hayaaa...!" Mereka berteriak, dengan kaget.
"Kita tertipu...!"
Kiranya yang mereka tubruk bersama itu bukan lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana!
"Cepat keluar, angin buruk!" kata yang menjadi pimpinan. Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak baik bagi mereka dan mereka hendak cepat-cepat pulang melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka berlompatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!
"Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!" Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar.
Lima orang pengemis yang sudah menerima perintah ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, "hidup atau mati" demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung. "Orang muda, menyerahlah agar kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tidak perlu untuk melukaimu," kata seorang di antara mereka. Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena sayang kepada pemuda ini melainkan karena gentar dan mereka ingin agar pemuda itu menyerah saja agar mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini.
"Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian akan mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia" Kenapa tidak berani muncul" Sampaikan tantanganku kepadanya!"
"Manusia sombong!" Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka sudah menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.
Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlalu rendah kalau dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada waktu itu sehingga kalau dia menghendaki dalam satu dua jurus saja Thian Sin akan dapat dengan mudah merobohkan, bahkan menewaskan mereka. Akan tetapi, pemuda ini melanjutkan siasatnya memancing "kakap" dan dia tidak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka diapun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in-kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke manapun tongkat mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin. Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat dia pura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi daripada mereka. Dengan lagak seperti orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya dan nampaklah sinar perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san. Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memainkan pedang itu dengan indahnya, dan mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas dan robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka tewas seketika, sedangkan yang seorang lagi kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih dan menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu.
"Hemm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja diapun sudah pulas!
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemiss malam ini malah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat di antara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main! Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biarpun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu telah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan. Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini malah berani membunuh itu. Dan merekapun teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, bahkan sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis! Benarkah Pendekar Sadis pemuda ini dan kalau benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang" Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.
Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga lalu pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi ketika tiga orang ketua itu datang menghadap, dan sebelum ia menerimanya, ia telah lebih dulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap.
"Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan sediakan sarapan untuk mereka," perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik.
Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak. "Sudah, jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan." Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti dan dikagumi oleh tiga orang ketua kai-pang ini, nampak bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.
Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biarpun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru dan ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seolah-olah tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu.
Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu dan berkata, "Sepagi ini kalian datang menggangguku, tentu ada urusan penting yang kalian merasa tidak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?"
"Harap locianpwe sudi memaafkan kami," kata mereka. Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu. "Sesungguhnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang menentang Bu-tek Kai-pang sekali ini adalah seorang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan telah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Kalau locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe."
"Menggegerkan kota raja" Siapakah yang menggegerkan kota raja akhir-akhir ini selain Pendekar Sadis itu?"
"Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe."
Nenek itu nampak tertarik. "Ah, benarkah" Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang" Ceritakan semua!"
Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sutenya menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan agar tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis. "Bahkan dia berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe."
Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja!
"Menarik sekali!" katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. "Lalu bagaimana" Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!"
"Menurut laporan para anggauta, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang dia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan."
"Hemm, kalau mereka juga gagal, maka menarik sekali," kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.
"Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar." Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi dibuntungi lengannya dan kembali dalam kesempatan itu, Si Pemuda tanpa menyebutkan namanya menantang Lam-sin.
Lam-sin mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali."
"Memang dia sombong sekali, locianpwe, akan tetapi kami masih cukup kuat untuk menundukkannya dan menyeret ke hadapan kaki locianpwe, kalau locianpwe menghendaki," kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.
Akan tetapi nenek itu tersenyum. "Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku dan aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya." Lam-sin memanggil pelayan dan membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus : PENDEKAR SADIS!
Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran bahwa semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa sehari itu dipergunakan oleh para anggauta kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka memperoleh berbagai keterangan, tentang pendekar itu yang dikabarkan masih muda, berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis!
Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.
"Masuk saja, pintuku tidak dikunci!" kata Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya.
Pintu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. "Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi biarpun nomor kamarnya nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan."
Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar KEPADA PENDEKAR SADIS. Dia tersenyum dan mengangguk. "Benar, surat ini untukku. Terima kasih!"
Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia bersikap hati-hati, tidak ceroboh ketika membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, maka dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.
Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunting Cemara sebelah timur kota Heng-yang, kalau memang Pendekar Sadis berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini
Tertanda : Lam-sin
Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walaupun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apalagi murid-muridmu, Lam-sin!" katanya sambil tersenyum dan tak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di situ untuk menyelidiki, cepat melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu"
Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta-pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, karena satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, kecuali perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan. Lam-sin kini sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan dengan racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.
Sehabis makan, setelah beristirahat beberapa jam lamanya, pada saat matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, "Tolong kalian beritahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini."
Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja. Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberitahukan jalan dan arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbedap penuh kengerian den ketakutan.
Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, akan tetapi di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya. Ketika Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberitahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorangpun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan tidak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan gin-kang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya seperti terbang. Maka ia merasa penasaran dan diapun lalu mengerahkan gin-kang dan melakukan pengejaran. Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu sungguh luar biasa cepatnya. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi dan muncul di sebelah kanan. Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu mempermainkannya, atau setidaknya, tentu hendak menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata telah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya.
Thian Sin teringat bahwa dahulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa kini telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia lalu melangkah maju, menghampiri mereka dan setelah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat!
"Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong" Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku" Aku telah datang, harap mereka berdua suka mempprkenalkan diri."
"Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!"
Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan, di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.
"Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?"
Ang-i Kai-ong menjawab, "Pendekar Sadis, orang yang kaucari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga."
"Ah, begitukah" Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin" Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya."
"Bocah sombong!" bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. "Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau telah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, kini engkau sudah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!"
Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka diapun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tidak jauh dari situ. Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba gin-kangnya tadi, lalu terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!"
Ucapan Thian Sin ini merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Akan tetapi, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja, membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya, kemudian terdengar desas-desus bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sian-jin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lalu berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, untuk maju mengepung dan mengeroyok! Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang segera maju mengepung dan mereka bergerak mengitari pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka, memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang.
Thian Sin yang datang memang dengan maksud membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu ketika keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan kanan dan kiri, sedangkan telinganya mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap.
Dia berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan, mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu diapun bersikap waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya sedangkan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya.
Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu sudah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya dan tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini telah siap untuk menyerbu dan menanti kesempatan. Diapun dapat menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.
Karena itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Baru setelah dia merasa adanya sambaran senjata sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang. Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang terdepan yang terjengkang dan tidak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Melihat ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar sekali. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh mendorong dengan kedua tangan membunuh lima orang teman mereka!
Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong telah menggerakkan barisan masing-masing maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja. Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tidak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki dan tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biarpun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia menjadi marah. Memang penyerangan itu teratur sekali, kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus dan kini sudah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya dan melindungi dirinya dengan kekebalan, dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong! Kakek ini terkejut dan menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.
"Dukkk!" Dia menangkis dengan lengannya dan mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat dan kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya dan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.
"Plak! Plak!" Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, dua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!
Para anggauta Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu.
Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebat. Biarpun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apalagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, namun berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya.
Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun, dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali dan sering kali mereka terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya. Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentu lebih lihai lagi daripada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.
"Plakkk!" Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Sepasang mata Ang-i Kai-ong terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi semakin hebat tenaga sin-kang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya, membuat dia panik.
"Tolong... tolong...!" teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.
Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin. Dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.
"Plakk! Bukk!" Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi-i-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya.
Tiga orang pengemis tua itu terkejut, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, makin keras pula tenaga sin-kang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu! Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat dan meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengen muka pucat mata terbelalak dan terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik. Namun mereka inipun berteriak kaget ketika tenaga merekapun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, dan lebih banyak orang lagi tenaga sin-kangnya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.
Pada saat itu, nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!
"Tuk! Tuk!" Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi-i-beng dan menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui kedua tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya. Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya!
Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan kemanapun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ telah sunyi, tidak nampak seorangpun pengemis, juga mayat-mayat para anggauta pengemis telah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di situ saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.
Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!
LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.
Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. "Ha-ha-ha, Lam-sin, biarpun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!"
Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang. Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berlenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia telah memasuki gua naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut.
Keadaan di tempat itu sunyi saja. Hanya nampak beberapa orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang berdiri seperti patung. Seolah-olah tempat itu diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggauta Bu-tek Kai-pang berkabung karena kematian para anggauta yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.
Ketika Thian Sin tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin, dia memandang kagum. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga. Jalan menuju ke pintu depan ditutup dengan kerikil yang merupakan kerikil yang putih kebiruan. Ketika menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik dan Thian Sin lalu mengerahkan gin-kangnya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja!
Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja merupakan demontrasi gin-kang yang hebat, dan yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.
Ketika Thian Sin berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu cepat memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga ia nampak manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu, "Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja."
"Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya," kata wanita ke dua.
Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak nampak seperti pelayan. Maka diapun mengangguk. "Pangcu kalian sungguh baik hati." Maka diapun melangkah ke dalam gedung itu, diiringkan oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.
Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan huruf indah yang tentu terbuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, dan perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya indah seperti istana saja!
Ketika mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lalu dimasukkan ke mulutnya, mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.
Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang sudah mendekati lubang kubur ini, maka sia-sialah agaknya perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru, Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang nampak kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat. Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara karena memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang tak dapat dibantah lagi kekuatannya. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat. Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanya seorang nenek tua renta seperti ini. Nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Ketika Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan alisnya, tanpa menengok ia berkata kepada seorang di antara lima orang gadis cantik itu.
"A-bwee, suara apakah itu" Tikus" Anjing?"
Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan saputangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghina, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.
"Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?" akhirnya dia bertanya dengan suara nyaring. Dia melihat betapa wajah lima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya itu tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini amat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.
Thian Sin, dan tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus, "Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini sungguh memandang rendah kepadanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus, rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, dan hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.
"Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!"
"Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!"
"Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!"
"Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah yang berusaha meniru lagak seorang siucai!"
Hampir meledak rasanya dada Thian Sin saking mendongkolnya. Nenek ini ternyata seorang yang pandai berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, semakin cerewet, maka dia pikir kalau harus berdebat adu mulut, dia akan kalah. Lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.
"Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, engkau mengundangku mau apakah?"
Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Thian Sin kini melihat dari samping sebuah wajah yang berkeriputan kedua pipinya, dengan hidung kecil dan bibir kering mengejek.
"Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya" Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada saat aku makah maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan menghadapi kematianmu."
Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seolah-olah nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia melangkah maju dan berkata dengan nada tidak kalah mengejeknya, "Memang sebaiknya orang yang akan mati makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kauserahkan dan gunakan untuk bertindak curang." Dan Thian Sinpun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga mereka kini dapat saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan bermacam-macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.
Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa serem sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh nampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan. Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tidak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan tadi melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini.
Setelah sejenak saling pandang dan nenek itupun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali inilah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, nenek itu sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin. Setelah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya ia berkata, "Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!"
Memang saat itu sudah menjelang senja dan cuaca di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tidak kebagian sinar matahari lagi dan menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung di sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguhpun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa sinar yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.
"Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!" kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh seorang pelayan. Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis, itu.
Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga. Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, Si Nenek akan tiba-tiba melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi.
Nenek itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat. "Pendekar Sadis, beranikah engkau minum arak dalam cawanmu itu?" Berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama. Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa. Seorang datuk sudah terlalu percaya kepada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan golongan penjahat rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri dan Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan menggunakan racun. Apalagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya sehingga datuk ini tidak mungkin merasa gentar kepadanya sehingga sampai begitu merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin tersenyum memandang kepadanya.
"Andaikata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia ini, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi daripada seorang penjahat yang paling hina sekalipun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?" Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis.
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!" Nenek itupun lalu minum araknya, akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu ia letakkan kembali cawannya di atas meja.
"Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, setelah kita makan baru kita bicara nanti!"
Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa itu mendatangkan rasa serem di hati siapapun jugap bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apabila mendengar nama mereka, duduk berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang dan dapat dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka itu akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan. Namun, melihat betapa mereka itu duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan selera yang balk dan kelihatan enak, seolah-olah mereka berdua itu bukan dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Keduanya makan dengan enak, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu berlumba makan. Biarpun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa diantara mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu.
Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras.
Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain.
"Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri," tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang.
Lima orang pelayan itu saling pandang, nampak ragu-ragu. "Dan para pengawal...?" tanya Si Baju Ungu.
"Tinggalkan! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapapun juga memasuki rumahku. Dan kalian jangan keluar dari kamar kalau tidak kupanggil!"
"Baik, pangcu..." jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu kelihatan marah. Setelah menjura ke arah Thian Sin merekapun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal inipun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga ia tak mau dibantu oleh siapapun juga! Pantaslah menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini.
SETELAH lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itupun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, diapun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, terhalang meja.
"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?"
Thian Sin tersenyum dan mengangguk. "Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir."
Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh, aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walaupun jangan dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!"
Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang belum pernah dijumpai selamanya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis.
"Benarkah engkau tahu siapa diriku sebenarnya?" Thian Sin memancing dengan suara menantang.
"Kalau aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku den mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, kalau aku tahu pula semua riwayatmu sejak kau kecil, siapa orang tuamu. Nah, kalau aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku dan menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang siapa kalah di antara kita?"
Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya.
"Baik, nah coba kaukatakan sekarang siapa aku."
"Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?"
Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya.
"Dan engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Hen Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?"
Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Luar biasa sekali nenek ini. "Hemmm, kiranya engkau memiliki jaringan mata-mata yang amat luas, Lam-sin. Aku tidak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kaukatakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?"
"Ayah bundamu meninggal karena dikeroyok oleh pasukan dan setelah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lalu membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sian-jin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?"
Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi lalu duduk kembali. Ini sudah keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya"
"Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu" Mengapa aku menantangmu?"
Nenek itu menyeringai yang tentu saja dimaksudkan tersenyum. Thian Sin membuang pandang matanya agar tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata, "Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan" Dan engkau mempergunakan Thi-khi-i-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku."
"Hemm, jadi engkaukah kiranya bayangan itu yang menyerangku dengan dua kerikil kecil?"
"Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku tahu tentang Thi-khi-i-beng dan aku tidak takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?"
"Hemm, kenapa tidak kaulakukan kecurangan itu! Sekarangpun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau tahu semua tentang diriku, tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan undur selangkahpun andaikata engkau mengeroyokku."
"Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan" Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan" Heh-heh-heh!"
Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. "Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan..."
Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. "Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!"
Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengetuarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya.
Sin"ko, Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku.
Ciu Lian Hong. Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin.
"Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi" Aku tidak pernah mengenal tulisannya."
"Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini."
"Apa" Tiong-ko sudah datang ke sini?"
"Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!" Dan memang nenek itu masih merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!
Thian Sin terrdenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid!
"Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!"
Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. "Apa..." Apa maksudmu...?"
"Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong."
Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu" Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah.
"Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia."
"Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati" Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!"
"Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini." Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya!
Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah. "Ceng Thian Sin, kita ini sama!"
Thian Sin memandang heran. "Sama" Sama bagaimana?"
"Sama sebatangkara, sama kesepian."
"Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?"
"Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang" Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin."
Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!
"Apakah engkau tidak mempunyai keluarga" Suami, anak atau cucu?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga..."
Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas. "Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka."
Nenek itu terkekeh. "Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan" Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan."
Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan diapun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing lukisan.
Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno. "Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?"
Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi alat-alat musik itu.
"Dan pandai bermain musik pula?"
"Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak."
"Meniup suling" Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!"
Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan mulailah ia mainkan kawat-kawat yang-kim itu sehingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!"
"Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?" kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa.
Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastra dan sajak terdapat di situ!
Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut.
"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang amat menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!"
Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia telah bertemu dengan Tung-hai"sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan bahkan kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu.
"Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?" tiba-tiba nenek tua itu bertanya.
Thian Sin mengerutkan alisnya. "Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas" Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?"
"Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik."
Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa ia akan menang nanti, hal ini sudah berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata. "Lam-sin, memang kau benar, akan tetapi kematian bisa menimpa siapa saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak."
"Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!" Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu. Merekapun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di sudut kanan kamar.
Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sinpun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan sajak tulisan Thian Sin.
"Lam-sin datuk dunia selatan
mendatangkan kagum dan heran
aku melihat perpaduan
antara ketuaan dan kesegaran
keganasan dan kelembutan!"
Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya.
"Pendekar Sadis yang tersohor
kiranya hanya seorang pemuda hijau
yang lemah lembut dan halus
pandai bersuling dan bersajak
betapa amat mengagumkan!"
Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain!
"Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah," Thian Sin memuji.
"Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis," Nenek itu berkata. Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata.
"Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?"
"Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap jahat" Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan engkaupun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu mengapa aku menolong Lian Hong dan menganggapnya sebagai murid" Karena ia hendak diperkosa orang dan tahukah engkau siapa orang itu" Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!"
"Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta."
Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanyao "Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu secara tiba-tiba saja menyebut namanya selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu
"Cinta" Jatuh cinta" Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta..." Ah, aku tidak mengerti..."
"Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?"
Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini. "Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira saja pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku." Thian Sin berhenti sebentar, lalu menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, "Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?"
Nenek itu menggeleng kepalanya. "Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!" Setelah menjawab demikian, iapun menyambung cepat, "Mari kita ke lian-bu-thia!"
Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu. Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukan dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini" Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa kalau dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya. Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini" Dan kalau dia kalahpun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat mundur lagi.
Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Ruangan lian-bu-thia ini selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kaukehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang dan mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?"
Thian Sin mengangguk. "Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang..."
"Sekarang bagaimana" Engkau takut" Heh-heh-heh!"
Merah muka Thian Sin. "Siapa takut kepadamu" Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu."
"Engkau membunuhku" Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu tidak cukup untuk membuat aku membunuhmu?"
Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh. "Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Mari, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!" Dan pemuda itu, lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak dengan sikap tenang.
Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri.
"Menurut penuturan Lian Hong, ergkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mujijat itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!" Lam-sin menantang.
Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka diapun bertanya, "Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?"
Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. "Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak" Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa tanya pakai senjata atau tidak" Kalau engkau sendiri memiliki seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak undur selangkahpun!"
"Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!" Thian Sin lalu menampar dengan gerakan sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin cepat mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun. Akan tetapi jangan kira pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan itu mengandung tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah.
Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat sekali dan setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat.
Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan gin-kang, dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya, menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya. Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu.
Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan tenaga yang dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi.
"Haiiittt...!" Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan.
"Hemmm...!" Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu.
"Dukkk...!" Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan lawan yang dapat menandinginya dalam hal gin-kang dan sin-kang. Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.
Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin.
Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan ternyata sinar hitam seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin mencium keharuman kembang. Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya hebat, kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu. Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya.
Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu. Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim pukulan.
Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak.
"Lihat jarumku!" tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat.
Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan. Kipasnya telah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya karena pemuda ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang.
Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, namun dia tetap terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat.
Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat.
"Trang! Cringgg...!" Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka iapun cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai!
Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya.
Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras!
Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan. Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah"
Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan.
Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang.
Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, "Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?"
Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak!
"Kau... kau kenapakah, nek?" Thian Sin bertanya sambil mendekati.
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah kalah... lebih baik mati...!" Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri.
"Jangan...!" Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu. Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis.
Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara!
"Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?" Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.
"Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?" Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, "Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!"
Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara" Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak.
"Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!" Thian Sin berkata. "Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu."
"Kau... kau mau...?" Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya. "Benarkah kau... kau mau...?" Nenek itu seolah-olah tidak percaya.
Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia mencium bau harum minyak wangi. "Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin."
Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, "Ke kiri... melalui pintu kiri itu..."
Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar! Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya.
Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk.
"Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?" tanya nenek itu.
"Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan." Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah. Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu.
Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba. "Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.
Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu. "Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan" Pembaringan akan kotor..."
"Nanti..." kembali Lam-sin menarik kakinya. "Kau... kaupadamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian Sin..."
Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu.
Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang benar-benar selamnaya belum pernah berdekatan dengan seorang pria! Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu.
"Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya... maafkan aku."
Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis.
Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan.
Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut!
Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. "Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!"
Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, "Aku... aku malu..."
"Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walaupun tidak sah" Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku..."
"Thian Sin, jangan merayu engkau!"
"Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku..."
"Kepada Lam-sin nenek tua renta?"
"Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah." Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan... dia terpesona! Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu.
"Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!" katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lalu menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut.
"Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"
"Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat gand
Jodoh Rajawali 34 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 5
li-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan dan para tamu, penjaga dan pelayan telah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!
Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apalagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa.
Thian Sin tentu saja tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Setelah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya "kakap", yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar. Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang diperlihatkannya ketika dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, tidak mungkin membuat jerih tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai daripada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi. Dia menduga kalau hari itu tidak ada sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka diapun sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!
Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah sunyi benar-benar. Pemuda yang menjadi pusat perhatian yang tadi masih membaca sajak dengan suara merdu, kinipun tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.
Ada bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepatnya. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana Thian Sin bermalam. Tak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa harum sekali. Setelah membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius sampai beberapa lamanya, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka.
Betapapun juga, mereka masih mempergunakan saputangan yang telah diberi obat penawar untuk ditutupkan di muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikitpun tidak bergerak. Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka, biarpun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya.
"Hayaaa...!" Mereka berteriak, dengan kaget.
"Kita tertipu...!"
Kiranya yang mereka tubruk bersama itu bukan lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana!
"Cepat keluar, angin buruk!" kata yang menjadi pimpinan. Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak baik bagi mereka dan mereka hendak cepat-cepat pulang melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka berlompatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!
"Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!" Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar.
Lima orang pengemis yang sudah menerima perintah ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, "hidup atau mati" demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung. "Orang muda, menyerahlah agar kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tidak perlu untuk melukaimu," kata seorang di antara mereka. Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena sayang kepada pemuda ini melainkan karena gentar dan mereka ingin agar pemuda itu menyerah saja agar mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini.
"Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian akan mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia" Kenapa tidak berani muncul" Sampaikan tantanganku kepadanya!"
"Manusia sombong!" Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka sudah menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.
Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlalu rendah kalau dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada waktu itu sehingga kalau dia menghendaki dalam satu dua jurus saja Thian Sin akan dapat dengan mudah merobohkan, bahkan menewaskan mereka. Akan tetapi, pemuda ini melanjutkan siasatnya memancing "kakap" dan dia tidak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka diapun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in-kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke manapun tongkat mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin. Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat dia pura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi daripada mereka. Dengan lagak seperti orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya dan nampaklah sinar perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san. Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memainkan pedang itu dengan indahnya, dan mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas dan robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka tewas seketika, sedangkan yang seorang lagi kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih dan menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu.
"Hemm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja diapun sudah pulas!
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemiss malam ini malah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat di antara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main! Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biarpun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu telah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan. Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini malah berani membunuh itu. Dan merekapun teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, bahkan sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis! Benarkah Pendekar Sadis pemuda ini dan kalau benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang" Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.
Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga lalu pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi ketika tiga orang ketua itu datang menghadap, dan sebelum ia menerimanya, ia telah lebih dulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap.
"Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan sediakan sarapan untuk mereka," perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik.
Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak. "Sudah, jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan." Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti dan dikagumi oleh tiga orang ketua kai-pang ini, nampak bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.
Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biarpun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru dan ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seolah-olah tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu.
Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu dan berkata, "Sepagi ini kalian datang menggangguku, tentu ada urusan penting yang kalian merasa tidak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?"
"Harap locianpwe sudi memaafkan kami," kata mereka. Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu. "Sesungguhnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang menentang Bu-tek Kai-pang sekali ini adalah seorang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan telah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Kalau locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe."
"Menggegerkan kota raja" Siapakah yang menggegerkan kota raja akhir-akhir ini selain Pendekar Sadis itu?"
"Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe."
Nenek itu nampak tertarik. "Ah, benarkah" Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang" Ceritakan semua!"
Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sutenya menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan agar tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis. "Bahkan dia berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe."
Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja!
"Menarik sekali!" katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. "Lalu bagaimana" Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!"
"Menurut laporan para anggauta, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang dia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan."
"Hemm, kalau mereka juga gagal, maka menarik sekali," kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.
"Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar." Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi dibuntungi lengannya dan kembali dalam kesempatan itu, Si Pemuda tanpa menyebutkan namanya menantang Lam-sin.
Lam-sin mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali."
"Memang dia sombong sekali, locianpwe, akan tetapi kami masih cukup kuat untuk menundukkannya dan menyeret ke hadapan kaki locianpwe, kalau locianpwe menghendaki," kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.
Akan tetapi nenek itu tersenyum. "Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku dan aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya." Lam-sin memanggil pelayan dan membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus : PENDEKAR SADIS!
Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran bahwa semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa sehari itu dipergunakan oleh para anggauta kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka memperoleh berbagai keterangan, tentang pendekar itu yang dikabarkan masih muda, berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis!
Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.
"Masuk saja, pintuku tidak dikunci!" kata Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya.
Pintu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. "Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi biarpun nomor kamarnya nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan."
Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar KEPADA PENDEKAR SADIS. Dia tersenyum dan mengangguk. "Benar, surat ini untukku. Terima kasih!"
Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia bersikap hati-hati, tidak ceroboh ketika membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, maka dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.
Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunting Cemara sebelah timur kota Heng-yang, kalau memang Pendekar Sadis berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini
Tertanda : Lam-sin
Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walaupun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apalagi murid-muridmu, Lam-sin!" katanya sambil tersenyum dan tak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di situ untuk menyelidiki, cepat melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu"
Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta-pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, karena satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, kecuali perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan. Lam-sin kini sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan dengan racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.
Sehabis makan, setelah beristirahat beberapa jam lamanya, pada saat matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, "Tolong kalian beritahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini."
Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja. Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberitahukan jalan dan arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbedap penuh kengerian den ketakutan.
Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, akan tetapi di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya. Ketika Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberitahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorangpun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan tidak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan gin-kang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya seperti terbang. Maka ia merasa penasaran dan diapun lalu mengerahkan gin-kang dan melakukan pengejaran. Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu sungguh luar biasa cepatnya. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi dan muncul di sebelah kanan. Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu mempermainkannya, atau setidaknya, tentu hendak menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata telah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya.
Thian Sin teringat bahwa dahulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa kini telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia lalu melangkah maju, menghampiri mereka dan setelah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat!
"Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong" Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku" Aku telah datang, harap mereka berdua suka mempprkenalkan diri."
"Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!"
Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan, di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.
"Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?"
Ang-i Kai-ong menjawab, "Pendekar Sadis, orang yang kaucari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga."
"Ah, begitukah" Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin" Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya."
"Bocah sombong!" bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. "Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau telah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, kini engkau sudah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!"
Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka diapun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tidak jauh dari situ. Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba gin-kangnya tadi, lalu terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!"
Ucapan Thian Sin ini merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Akan tetapi, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja, membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya, kemudian terdengar desas-desus bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sian-jin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lalu berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, untuk maju mengepung dan mengeroyok! Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang segera maju mengepung dan mereka bergerak mengitari pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka, memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang.
Thian Sin yang datang memang dengan maksud membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu ketika keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan kanan dan kiri, sedangkan telinganya mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap.
Dia berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan, mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu diapun bersikap waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya sedangkan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya.
Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu sudah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya dan tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini telah siap untuk menyerbu dan menanti kesempatan. Diapun dapat menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.
Karena itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Baru setelah dia merasa adanya sambaran senjata sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang. Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang terdepan yang terjengkang dan tidak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Melihat ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar sekali. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh mendorong dengan kedua tangan membunuh lima orang teman mereka!
Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong telah menggerakkan barisan masing-masing maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja. Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tidak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki dan tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biarpun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia menjadi marah. Memang penyerangan itu teratur sekali, kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus dan kini sudah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya dan melindungi dirinya dengan kekebalan, dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong! Kakek ini terkejut dan menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.
"Dukkk!" Dia menangkis dengan lengannya dan mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat dan kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya dan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.
"Plak! Plak!" Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, dua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!
Para anggauta Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu.
Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebat. Biarpun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apalagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, namun berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya.
Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun, dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali dan sering kali mereka terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya. Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentu lebih lihai lagi daripada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.
"Plakkk!" Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Sepasang mata Ang-i Kai-ong terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi semakin hebat tenaga sin-kang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya, membuat dia panik.
"Tolong... tolong...!" teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.
Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin. Dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.
"Plakk! Bukk!" Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi-i-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya.
Tiga orang pengemis tua itu terkejut, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, makin keras pula tenaga sin-kang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu! Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat dan meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengen muka pucat mata terbelalak dan terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik. Namun mereka inipun berteriak kaget ketika tenaga merekapun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, dan lebih banyak orang lagi tenaga sin-kangnya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.
Pada saat itu, nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!
"Tuk! Tuk!" Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi-i-beng dan menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui kedua tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya. Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya!
Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan kemanapun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ telah sunyi, tidak nampak seorangpun pengemis, juga mayat-mayat para anggauta pengemis telah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di situ saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.
Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!
LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.
Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. "Ha-ha-ha, Lam-sin, biarpun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!"
Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang. Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berlenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia telah memasuki gua naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut.
Keadaan di tempat itu sunyi saja. Hanya nampak beberapa orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang berdiri seperti patung. Seolah-olah tempat itu diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggauta Bu-tek Kai-pang berkabung karena kematian para anggauta yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.
Ketika Thian Sin tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin, dia memandang kagum. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga. Jalan menuju ke pintu depan ditutup dengan kerikil yang merupakan kerikil yang putih kebiruan. Ketika menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik dan Thian Sin lalu mengerahkan gin-kangnya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja!
Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja merupakan demontrasi gin-kang yang hebat, dan yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.
Ketika Thian Sin berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu cepat memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga ia nampak manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu, "Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja."
"Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya," kata wanita ke dua.
Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak nampak seperti pelayan. Maka diapun mengangguk. "Pangcu kalian sungguh baik hati." Maka diapun melangkah ke dalam gedung itu, diiringkan oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.
Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan huruf indah yang tentu terbuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, dan perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya indah seperti istana saja!
Ketika mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lalu dimasukkan ke mulutnya, mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.
Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang sudah mendekati lubang kubur ini, maka sia-sialah agaknya perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru, Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang nampak kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat. Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara karena memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang tak dapat dibantah lagi kekuatannya. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat. Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanya seorang nenek tua renta seperti ini. Nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Ketika Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan alisnya, tanpa menengok ia berkata kepada seorang di antara lima orang gadis cantik itu.
"A-bwee, suara apakah itu" Tikus" Anjing?"
Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan saputangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghina, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.
"Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?" akhirnya dia bertanya dengan suara nyaring. Dia melihat betapa wajah lima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya itu tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini amat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.
Thian Sin, dan tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus, "Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini sungguh memandang rendah kepadanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus, rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, dan hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.
"Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!"
"Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!"
"Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!"
"Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah yang berusaha meniru lagak seorang siucai!"
Hampir meledak rasanya dada Thian Sin saking mendongkolnya. Nenek ini ternyata seorang yang pandai berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, semakin cerewet, maka dia pikir kalau harus berdebat adu mulut, dia akan kalah. Lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.
"Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, engkau mengundangku mau apakah?"
Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Thian Sin kini melihat dari samping sebuah wajah yang berkeriputan kedua pipinya, dengan hidung kecil dan bibir kering mengejek.
"Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya" Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada saat aku makah maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan menghadapi kematianmu."
Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seolah-olah nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia melangkah maju dan berkata dengan nada tidak kalah mengejeknya, "Memang sebaiknya orang yang akan mati makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kauserahkan dan gunakan untuk bertindak curang." Dan Thian Sinpun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga mereka kini dapat saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan bermacam-macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.
Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa serem sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh nampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan. Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tidak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan tadi melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini.
Setelah sejenak saling pandang dan nenek itupun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali inilah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, nenek itu sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin. Setelah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya ia berkata, "Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!"
Memang saat itu sudah menjelang senja dan cuaca di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tidak kebagian sinar matahari lagi dan menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung di sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguhpun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa sinar yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.
"Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!" kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh seorang pelayan. Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis, itu.
Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga. Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, Si Nenek akan tiba-tiba melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi.
Nenek itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat. "Pendekar Sadis, beranikah engkau minum arak dalam cawanmu itu?" Berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama. Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa. Seorang datuk sudah terlalu percaya kepada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan golongan penjahat rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri dan Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan menggunakan racun. Apalagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya sehingga datuk ini tidak mungkin merasa gentar kepadanya sehingga sampai begitu merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin tersenyum memandang kepadanya.
"Andaikata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia ini, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi daripada seorang penjahat yang paling hina sekalipun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?" Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis.
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!" Nenek itupun lalu minum araknya, akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu ia letakkan kembali cawannya di atas meja.
"Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, setelah kita makan baru kita bicara nanti!"
Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa itu mendatangkan rasa serem di hati siapapun jugap bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apabila mendengar nama mereka, duduk berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang dan dapat dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka itu akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan. Namun, melihat betapa mereka itu duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan selera yang balk dan kelihatan enak, seolah-olah mereka berdua itu bukan dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Keduanya makan dengan enak, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu berlumba makan. Biarpun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa diantara mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu.
Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras.
Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain.
"Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri," tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang.
Lima orang pelayan itu saling pandang, nampak ragu-ragu. "Dan para pengawal...?" tanya Si Baju Ungu.
"Tinggalkan! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapapun juga memasuki rumahku. Dan kalian jangan keluar dari kamar kalau tidak kupanggil!"
"Baik, pangcu..." jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu kelihatan marah. Setelah menjura ke arah Thian Sin merekapun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal inipun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga ia tak mau dibantu oleh siapapun juga! Pantaslah menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini.
SETELAH lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itupun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, diapun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, terhalang meja.
"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?"
Thian Sin tersenyum dan mengangguk. "Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir."
Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh, aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walaupun jangan dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!"
Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang belum pernah dijumpai selamanya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis.
"Benarkah engkau tahu siapa diriku sebenarnya?" Thian Sin memancing dengan suara menantang.
"Kalau aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku den mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, kalau aku tahu pula semua riwayatmu sejak kau kecil, siapa orang tuamu. Nah, kalau aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku dan menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang siapa kalah di antara kita?"
Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya.
"Baik, nah coba kaukatakan sekarang siapa aku."
"Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?"
Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya.
"Dan engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Hen Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?"
Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Luar biasa sekali nenek ini. "Hemmm, kiranya engkau memiliki jaringan mata-mata yang amat luas, Lam-sin. Aku tidak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kaukatakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?"
"Ayah bundamu meninggal karena dikeroyok oleh pasukan dan setelah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lalu membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sian-jin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?"
Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi lalu duduk kembali. Ini sudah keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya"
"Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu" Mengapa aku menantangmu?"
Nenek itu menyeringai yang tentu saja dimaksudkan tersenyum. Thian Sin membuang pandang matanya agar tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata, "Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan" Dan engkau mempergunakan Thi-khi-i-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku."
"Hemm, jadi engkaukah kiranya bayangan itu yang menyerangku dengan dua kerikil kecil?"
"Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku tahu tentang Thi-khi-i-beng dan aku tidak takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?"
"Hemm, kenapa tidak kaulakukan kecurangan itu! Sekarangpun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau tahu semua tentang diriku, tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan undur selangkahpun andaikata engkau mengeroyokku."
"Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan" Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan" Heh-heh-heh!"
Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. "Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan..."
Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. "Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!"
Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengetuarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya.
Sin"ko, Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku.
Ciu Lian Hong. Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin.
"Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi" Aku tidak pernah mengenal tulisannya."
"Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini."
"Apa" Tiong-ko sudah datang ke sini?"
"Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!" Dan memang nenek itu masih merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!
Thian Sin terrdenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid!
"Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!"
Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. "Apa..." Apa maksudmu...?"
"Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong."
Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu" Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah.
"Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia."
"Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati" Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!"
"Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini." Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya!
Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah. "Ceng Thian Sin, kita ini sama!"
Thian Sin memandang heran. "Sama" Sama bagaimana?"
"Sama sebatangkara, sama kesepian."
"Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?"
"Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang" Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin."
Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!
"Apakah engkau tidak mempunyai keluarga" Suami, anak atau cucu?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga..."
Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas. "Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka."
Nenek itu terkekeh. "Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan" Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan."
Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan diapun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing lukisan.
Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno. "Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?"
Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi alat-alat musik itu.
"Dan pandai bermain musik pula?"
"Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak."
"Meniup suling" Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!"
Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan mulailah ia mainkan kawat-kawat yang-kim itu sehingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!"
"Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?" kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa.
Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastra dan sajak terdapat di situ!
Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut.
"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang amat menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!"
Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia telah bertemu dengan Tung-hai"sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan bahkan kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu.
"Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?" tiba-tiba nenek tua itu bertanya.
Thian Sin mengerutkan alisnya. "Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas" Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?"
"Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik."
Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa ia akan menang nanti, hal ini sudah berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata. "Lam-sin, memang kau benar, akan tetapi kematian bisa menimpa siapa saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak."
"Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!" Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu. Merekapun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di sudut kanan kamar.
Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sinpun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan sajak tulisan Thian Sin.
"Lam-sin datuk dunia selatan
mendatangkan kagum dan heran
aku melihat perpaduan
antara ketuaan dan kesegaran
keganasan dan kelembutan!"
Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya.
"Pendekar Sadis yang tersohor
kiranya hanya seorang pemuda hijau
yang lemah lembut dan halus
pandai bersuling dan bersajak
betapa amat mengagumkan!"
Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain!
"Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah," Thian Sin memuji.
"Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis," Nenek itu berkata. Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata.
"Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?"
"Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap jahat" Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan engkaupun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu mengapa aku menolong Lian Hong dan menganggapnya sebagai murid" Karena ia hendak diperkosa orang dan tahukah engkau siapa orang itu" Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!"
"Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta."
Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanyao "Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu secara tiba-tiba saja menyebut namanya selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu
"Cinta" Jatuh cinta" Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta..." Ah, aku tidak mengerti..."
"Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?"
Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini. "Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira saja pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku." Thian Sin berhenti sebentar, lalu menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, "Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?"
Nenek itu menggeleng kepalanya. "Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!" Setelah menjawab demikian, iapun menyambung cepat, "Mari kita ke lian-bu-thia!"
Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu. Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukan dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini" Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa kalau dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya. Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini" Dan kalau dia kalahpun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat mundur lagi.
Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Ruangan lian-bu-thia ini selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kaukehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang dan mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?"
Thian Sin mengangguk. "Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang..."
"Sekarang bagaimana" Engkau takut" Heh-heh-heh!"
Merah muka Thian Sin. "Siapa takut kepadamu" Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu."
"Engkau membunuhku" Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu tidak cukup untuk membuat aku membunuhmu?"
Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh. "Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Mari, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!" Dan pemuda itu, lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak dengan sikap tenang.
Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri.
"Menurut penuturan Lian Hong, ergkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mujijat itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!" Lam-sin menantang.
Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka diapun bertanya, "Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?"
Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. "Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak" Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa tanya pakai senjata atau tidak" Kalau engkau sendiri memiliki seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak undur selangkahpun!"
"Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!" Thian Sin lalu menampar dengan gerakan sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin cepat mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun. Akan tetapi jangan kira pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan itu mengandung tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah.
Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat sekali dan setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat.
Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan gin-kang, dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya, menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya. Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu.
Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan tenaga yang dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi.
"Haiiittt...!" Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan.
"Hemmm...!" Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu.
"Dukkk...!" Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan lawan yang dapat menandinginya dalam hal gin-kang dan sin-kang. Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.
Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin.
Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan ternyata sinar hitam seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin mencium keharuman kembang. Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya hebat, kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu. Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya.
Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu. Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim pukulan.
Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak.
"Lihat jarumku!" tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat.
Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan. Kipasnya telah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya karena pemuda ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang.
Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, namun dia tetap terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat.
Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat.
"Trang! Cringgg...!" Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka iapun cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai!
Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya.
Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras!
Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan. Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah"
Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan.
Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang.
Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, "Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?"
Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak!
"Kau... kau kenapakah, nek?" Thian Sin bertanya sambil mendekati.
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah kalah... lebih baik mati...!" Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri.
"Jangan...!" Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu. Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis.
Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara!
"Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?" Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.
"Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?" Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, "Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!"
Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara" Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak.
"Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!" Thian Sin berkata. "Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu."
"Kau... kau mau...?" Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya. "Benarkah kau... kau mau...?" Nenek itu seolah-olah tidak percaya.
Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia mencium bau harum minyak wangi. "Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin."
Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, "Ke kiri... melalui pintu kiri itu..."
Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar! Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya.
Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk.
"Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?" tanya nenek itu.
"Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan." Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah. Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu.
Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba. "Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.
Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu. "Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan" Pembaringan akan kotor..."
"Nanti..." kembali Lam-sin menarik kakinya. "Kau... kaupadamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian Sin..."
Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu.
Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang benar-benar selamnaya belum pernah berdekatan dengan seorang pria! Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu.
"Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya... maafkan aku."
Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis.
Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan.
Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut!
Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. "Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!"
Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, "Aku... aku malu..."
"Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walaupun tidak sah" Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku..."
"Thian Sin, jangan merayu engkau!"
"Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku..."
"Kepada Lam-sin nenek tua renta?"
"Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah." Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan... dia terpesona! Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu.
"Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!" katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lalu menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut.
"Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"
"Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat gand
Jodoh Rajawali 34 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 5