Elang Terbang Di Dataran Luas 5
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 5
misteri, apa lagi yang bisa dikatakan
Siau-hong"
Dia hanya bisa bertanya, "Mengapa kau tidak
membunuhku?"
Ternyata jawaban yang diberikan Galun Lhama sama
misteriusnya dengan ilmu silat yang dimilikinya.
"Karena aku sudah mengetahui maksud kedatanganmu,"
jawab Galun Lhama tenang, "Kedatanganmu bukan untuk
menjenguk perempuan itu, kau datang untuk
membunuhnya."
"Dari mana kau tahu?"
"Karena kau membawa hawa napsu membunuh, hanya
orang yang telah bertekad akan membunuh orang baru
memiliki hawa pembunuhan semacam ini, meskipun kau
sendiri tidak melihatnya, namun sejak kau melangkah
masuk ke dalam ruangan ini, aku telah merasakannya."
Siau-hong tak dapat buka suara lagi.
Dia benar-benar dibuat terkejut, terperangah oleh
kenyataan yang dihadapi.
Galun Lhama kembali berkata, "Aku tidak
membunuhmu karena aku ingin kau pergi membunuhnya."
Tiba-tiba suaranya berubah sangat berat dan dalam,
"Hanya dengan kematiannya kau baru bisa hidup. Hanya
dengan kematiannya, kematian Bu-siong baru punya nilai."
Dari sorot matanya yang tua tiba-tiba memancar sinar
tajam yang menggidikkan, dengan suara keras bagai auman
singa terusnya, "Cabut pedangmu, gunakan pedang ini
untuk membunuhnya! Gunakan darah perempuan iblis itu
untuk memberi minum pedang yang telah dahaga itu!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, ia menambahkan,
"Kau harus ingat baik-baik, bila kesempatan emas yang kau
jumpai kali ini dilewatkan begitu saja, maka selamanya kau
akan hidup tersiksa di dalam neraka, terjerumus untuk tidak
bangkit lagi."
Jelas perkataan ini bukan sebuah permintaan, juga bukan
sebuah perintah. Tapi sebuah pertaruhan.
Pertaruhan dari seorang pendeta agung.
Kau baru bisa hidup bila berhasil membunuhnya, kalau
tidak, sekalipun tetap hidup, keadaanmu tak jauh berbeda
dengan mati. Ternyata pendeta agung yang penuh misteri ini bukan
saja dapat melihat hawa pembunuhan yang dipancarkan
Siau-hong, dia pun dapat menembus suara hatinya.
Oleh karena itulah dia mengajak Siau-hong bertaruh,
hanya seorang pendeta agung yang dapat menetapkan
pertaruhan semacam ini.
Hal ini pun merupakan niat baik seorang pendeta agung,
niat baiknya untuk melenyapkan kejahatan.
Benarkah Siau-hong bertekad akan pergi membunuh
Pova" Tegakah dia turun tangan"
Siau-hong memang telah bertekad bulat akan menghabisi
nyawa Pova. Tokko Ci maupun Bu-siong bukan orang yang pandai
bicara bohong, perkataan yang mereka ucapkan pasti tak
bohong atau dibuat-buat.
Mereka telah membuktikan perempuan macam apakah
Pova itu, Siau-hong mau tak mau harus mempercayainya,
oleh sebab itu dia tak boleh membiarkan perempuan itu
hidup lebih lanjut, kalau tidak, entah berapa banyak lelaki
yang bakal musnah di tangannya.
Kini dia telah berhadapan dengan Pova.
Pedang sudah berada dalam genggamannya, ujung
pedang sudah tinggal beberapa inci di atas jantungnya, asal
dia dorong pedang itu ke depan, maka seluruh masalah,
seluruh penderitaan, baik cinta, benci, budi maupun
dendam akan berakhir.
Sekalipun dia masih sukar melupakan, namun dengan
berjalannya sang waktu, semua kenangan lambat-laun akan
semakin tawar dan hambar, setawar awan di angkasa, buyar
dan lenyap ketika terhembus angin.
Tapi sayang tusukan pedangnya justru tak mampu
dilanjutkan....
Matahari makin condong ke langit barat.
Pova seperti pendeta agung misterius itu, dengan tenang
duduk di balik bayangan kegelapan.
Ketika ia melihat Siau-hong berjalan masuk ke dalam
ruangan, melihat tangannya menggenggam pedang, dengan
cepat dia sudah dapat menebak maksud kedatangannya.
Walaupun hawa pembunuhan tiada suara tiada
bayangan tiada wujud, namun tak mungkin bisa
disembunyikan. Bila dia masih ingin membantah atau mencari alasan,
masih ingin menggunakan gerak-geriknya yang lemah
lembut untuk membangkitkan rasa cinta Siau-hong di masa
lampau, tusukan pedang pemuda itu pasti sudah
dihujamkan ke dadanya sedari tadi.
Andaikata dia menubruk ke dalam pelukan Siau-hong
begitu bertemu dengannya, lalu menunjukkan wajah riang,
Siau-hong pun pasti telah membunuhnya.
Namun dia tidak berbuat begitu.
Ia hanya duduk di sana dengan tenang, menatap Siauhong
lekat-lekat, sampai lama kemudian ia baru menghela
napas seraya berkata, "Tak kusangka ternyata kau belum
mati." Inilah perkataan jujurnya yang pertama.
"Aku minta Bu-siong pergi mencarimu, bukan karena
ingin dia mengajakmu menengok aku, tapi ingin dia
mencabut nyawamu."
Siau-hong tetap membungkam, menunggunya berkata
lebih jauh. Biarpun kata jujur sangat melukai hati, namun tidak
semenderita dan tersiksa seperti waktu dibohongi orang.
"Aku tahu Bu-siong pasti tak akan membiarkan kau
datang menjumpai aku, pasti akan membunuhmu," kata
Pova, "Bila dia tak mampu membunuhmu, berarti dia pasti
mati di tanganmu."
Kemudian dengan hambar dia melanjutkan, "Setelah dia
mati, kau pasti akan kemari dan Galun Lhama pasti akan
membunuhmu untuk membalas dendam kematiannya,
karena hubungan mereka berdua lebih akrab daripada
hubungan seorang ayah dengan anaknya."
Ini pun ucapan yang sejujurnya.
Dia telah memperhitungkan setiap kemungkinan secara
cermat, sebetulnya rencananya bakal membuahkan hasil
sukses. Setelah menghela napas panjang, Pova berkata lebih
lanjut, "Sekarang aku baru tahu, ternyata perhitunganku
masih ada sedikit kesalahan. Rupanya Galun Lhama jauh
lebih cermat, jauh lebih lihai daripada apa yang
kubayangkan, ternyata dia dapat menembusi maksud
hatiku." Kemudian ia memberi penjelasan lebih jauh, "Biasanya
dia tak pernah peduli urusanku dengan Bu-siong, maka aku
baru kelewat memandang enteng dirinya, sekarang aku baru
tahu, ternyata selama ini dia selalu mendendam dan
membenci aku, ia lebih suka membebaskan kau daripada
membiarkan harapanku terwujud."
Lama sekali Siau-hong termenung, kemudian ia baru
bertanya, "Mengapa kau beritahukan semua persoalan ini
kepadaku?"
"Karena aku tak ingin membohongimu lagi."
Tiba-tiba terbias nada sendu di balik ucapannya.
"Kau pun tak usah bertanya lagi kepadaku, apakah aku
sungguh-sungguh atau berbohong kepadamu, karena kau
adalah musuhku, aku hanya ingin membunuhmu."
Siau-hong masih ingat dia pernah mengatakan hal yang
sama di masa lalu.
Hubungan mereka memang sudah tak ada pilihan lain
lagi, hubungan antara musuh dan sahabat, kalau bukan
teman berarti musuh, kalau bukan kau yang mati berarti
akulah yang mati!
"Oleh sebab itu setiap saat kau boleh membunuhku, aku
tak bakal menyalahkan kau," kembali Pova berkata.
Siau-hong merasa tak tega untuk turun tangan.
Bukannya tak tega, pada hakikatnya dia tak mampu
turun tangan. Karena pada hakikatnya dia sendiri pun tak
tahu, dalam peristiwa ini siapa berada di pihak benar dan
siapa salah. Bila Po Eng benar-benar adalah begal kucing dan bila
Pova melakukan semuanya itu karena dia bertugas untuk
menangkap sang perampok, apakah apa yang telah dia
lakukan itu salah"
Demi tercapainya tujuan, bukankah Po Eng pun sama
saja pernah menghalalkan segala cara"
Tokko Ci adalah seorang jago pedang, jago pedang tidak
pernah mempunyai perasaan, Bu-siong pun sudah menjadi
pendeta, tidak sepantasnya ia terlibat dalam kasus cinta,
kalau sampai mereka berdua bisa ditipu perempuan ini
habis-habisan, maka kejadian ini hanya bisa dibilang
merupakan kesalahan mereka sendiri, mencari penyakit
buat diri sendiri.
Siau-hong tidak membayangkan tentang dirinya. Setiap
kali berada dalam situasi antara hidup dan mati, benar dan
salah, seringkali dia melupakan diri sendiri.
Ooo)d*w(ooO BAB 14. CINTA BENCI HANYA TERPISAH SATU
GARIS Pova menatapnya lekat-lekat.
"Kau mau membunuhku boleh saja, tidak membunuhku
juga boleh, aku tak akan memaksa dirimu," katanya,
"Namun ada satu hal perlu kuingatkan dulu kepadamu."
"Soal apa?"
"Jika kau tak membunuhku, bakal ada orang akan
membunuhmu. Bila aku tak mati, setelah kau berjalan
keluar dari ruangan ini, nyawamu pasti akan tercabut di
ujung pedang Galun."
"Aku tahu," sahut Siau-hong.
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, tanpa
berpaling lagi dia beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Antara cinta dan benci, antara benar dan salah, antara
hidup dan mati, sesungguhnya bagaikan golok bermata dua,
perbedaan di antara mereka hanya dipisahkan oleh sebuah
garis yang tipis.
Baru keluar dari dalam ruangan, Siau-hong telah melihat
Galun Lhama sedang menunggunya di tengah halaman
kecil. Matahari sudah semakin redup, angin yang berhembus
terasa makin dingin dan menggigilkan.
Galun Lhama berdiri di bawah sebatang pohon kuno,
hembusan angin menggoyangkan dahan dan ranting,
namun jagat raya sama sekali tak bergerak.
Pendeta agung ini pun sama sekali tak bergerak.
Walaupun dia nampak begitu kurus kering dan lemah,
namun kesabarannya sudah melampaui ketenangan yang
mencekam jagat raya.
Satu-satunya perubahan yang terjadi hanyalah di saat ia
bertemu Siau-hong, dari balik matanya seolah terlintas
selapis perasaan pedih dan iba.
Apakah hal ini dikarenakan dia telah menduga sejak
awal kalau Siau-hong tak bakal melakukan pembunuhan"
Dalam genggaman Siau-hong masih ada pedang, cahaya
pedang tetap memancarkan sinar kehijauan.
Galun Lhama memandang sekejap pedang di tangannya,
lalu berkata hambar, "Pedang mustika bagaikan kuda
jempolan, kuda jempolan memilih majikan yang saleh,
begitu pula dengan pedang, bila kau tak dapat
mempergunakannya maka senjata itu bukan milikmu."
"Pedang ini memang sebenarnya bukan milikku,
milikmu," kata Siau-hong.
"Kalau bukan milikmu, cepat kembalikan kepadaku,"
ujar Galun Lhama sambil mengulurkan tangan.
Tanpa ragu sedikit pun Siau-hong segera mengembalikan
pedang itu ke tangannya.
Ketajaman pedang ini jauh berada di luar dugaan siapa
pun, seandainya dia menggenggam senjata ampuh
semacam ini, belum tentu Galun Lhama bisa
menandinginya dengan mudah.
Namun dia seakan sama sekali tidak berpikir ke situ,
sama sekali tidak punya pikiran kalau Galun minta dia
menyerahkan kembali pedang itu karena pendeta itu akan
menggunakan senjata itu untuk membunuhnya.
Dia pun tidak....
Matahari senja telah bersembunyi di belakang bangunan
istana yang tinggi megah, yang tersisa kini hanya kilatan
cahaya pedang berwarna hijau yang berkilauan di tengah
remang-remangnya cuaca.
Tiba-tiba Galun Lhama menghela napas panjang sambil
berkata, "Sebetulnya kau pun seorang pemuda yang hebat
dan mengesankan, seperti Bu-siong, tapi sayang sekarang
kau pun telah mati. Sekalipun aku tidak membunuhmu, kau
pun tak jauh berbeda dengan orang mati."
Ia mendongakkan kepala menatap Siau-hong, kemudian
terusnya, "Sekarang apa lagi yang ingin kau katakan?"
"Ada!" jawab Siau-hong segera, "Masih ada yang akan
kukatakan, ada satu persoalan ingin kutanyakan
kepadamu."
"Soal apa?"
Siau-hong menatapnya tajam, kemudian sepatah demi
sepatah ujarnya, "Kau membenci Pova, membenci dia telah
menghancurkan orang yang paling kau kasihi, kau pun
membenci diri sendiri, karena kau sama sekali tak sanggup
mencegah terjadinya peristiwa ini."
Tiba-tiba dia mempertinggi suaranya dan bertanya lebih
jauh dengan nada keras, "Mengapa kau tidak berusaha
mencegah mereka" Mengapa membiarkan dia tetap tinggal
di sini" Mengapa tidak kau bunuh dengan tanganmu
sendiri" Sebenarnya apa yang kau takuti?"
Galun Lhama tidak menjawab, sama sekali tak
membuka suara, sementara cahaya pedang dalam
genggamannya bergetar semakin hebat.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah tangannya sedang gemetar" Persoalan apa di
dunia ini yang dapat membuat pendeta agung ini
terperanjat hingga gemetaran"
Perkataan Siau-hong makin tajam dan memojokkan,
katanya lagi, "Sudah jelas kau memiliki kemampuan untuk
mencegah terjadinya peristiwa ini, bila kau sudah turun
tangan sejak awal, tak mungkin Bu-siong menemui ajalnya.
Dalam hatimu pasti terdapat rahasia besar yang takut
diketahui orang, karena itu bukan saja kau tak berani
membunuh Pova, bahkan bertemu muka dengannya pun
tak berani."
"Apakah kau menginginkan aku pergi membunuhnya?"
tiba-tiba Galun Lhama buka suara, "Bila aku ingin
membunuhmu, apakah harus membunuhnya terlebih
dahulu?" "Benar!" jawaban Siau-hong langsung, jelas dan tegas.
Dia tak ingin Pova mati, tapi dia pun tak ingin dirinya
mati, karena itu diajukan persoalan pelik untuk Galun.
Dia yakin dan percaya kalau Galun Lhama seperti
dirinya, tak akan turun tangan terhadap Pova, sebab kalau
bukan begitu, mungkin Pova sudah mati berulang kali.
Tapi kali ini lagi-lagi dia salah menduga.
Bara saja kata "benar" meluncur dari mulutnya, tubuh
Galun Lhama yang kurus kering telah menyelinap ke depan
bagai hembusan segulung angin segar dan tahu-tahu telah
menyusup masuk ke dalam ruangan.
Menanti dia ikut menyusul ke dalam, pedang di tangan
Galun Lhama yang memancarkan sinar kehijauan itu telah
menempel di atas tenggorokan Pova.
Cahaya pedang menyinari wajah Pova, paras gadis itu
sama sekali tak nampak gugup, panik, atau ketakutan.
Dia tak percaya Galun berani turun tangan terhadapnya.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Pova hambar,
"Apakah kau ingin membunuhku" Apakah kau sudah lupa
siapakah aku" Lupa dengan janji rahasia di antara kita
berdua?" "Aku tidak lupa."
"Kalau begitu kau seharusnya tahu, bila kau bunuh
diriku, bukan saja bakal menyesal sepanjang masa, bahkan
dosamu tak pernah bisa tercuci bersih selamanya."
Pova berbicara dengan yakin, begitu yakinnya hingga
membuat orang mau tak mau merasa terperanjat.
Sebenarnya siapakah perempuan ini"
Antara seorang iblis wanita dengan seorang pendeta
agung, sebenarnya telah terjalin janji rahasia apa" Mereka
telah berjanji untuk apa" Untuk melakukan apa"
Siau-hong tidak habis mengerti, tapi dia pun tak bisa
tidak untuk mempercayainya.
Galun Lhama sama sekali tidak menyangkal akan hal
ini. "Aku tahu, aku memang tak dapat membunuhmu, tapi
aku rela selamanya terjebak dalam neraka dan siksaan batin
untuk tetap membunuhmu."
"Mengapa?"
"Karena Bu-siong adalah anakku, dua puluh delapan
tahun berselang aku pun pernah bertemu seorang wanita
seperti kau."
Berubah paras Pova.
Dia bukan terperanjat karena mendengar rahasia ini,
melainkan karena dia tahu setelah Galun Lhama
membeberkan semua rahasia kepadanya, hal ini
menunjukkan ia telah bertekad akan menghabisi nyawanya.
Paras Siau-hong ikut berubah.
Dia pun telah menyadari akan hal ini. Bukan saja ia
tercengang bahkan merasa menyesal, karena hawa napsu
membunuh di hati Galun terpancing keluar gara-gara
dipaksa olehnya.
Dia tak ingin menyaksikan Pova tewas gara-gara
ulahnya. Belum lagi pedang itu menusuk ke depan, Siau-hong
telah menerkam ke depan, tangan kanannya langsung
membacok belakang tengkuk Galun sementara tangan
kirinya mencengkeram urat nadi pada pergelangan
tangannya yang menggenggam pedang. Galun Lhama sama
sekali tak berpaling.
Dia alihkan pedangnya ke tangan kiri, sementara ruas
tulang lengan kanannya tiba-tiba menekuk sambil berputar
ke belakang, dia balas mengancam pinggang anak muda itu.
Siapa pun itu orangnya, tak nanti ada yang menduga
kalau lengan seseorang dapat ditekuk ke belakang dari
posisi seperti itu, apalagi menyerang dari arah yang tak
terduga. Begitu juga dengan Siau-hong, dia pun tidak mengira.
Baru saja ia saksikan Galun membalik lengan kanannya,
tahu-tahu dia sudah terhantam roboh.
Kini mata pedang sudah berada tak sampai dua inci dari
tenggorokan Pova.
Tusukan yang dilakukan Galun Lhama saat ini sangat
lambat, perasaan yang sudah banyak tahun terkekang, rasa
cinta yang sudah lama terkendali, tiba-tiba saja
dilampiaskan semua, rasa benci dan dendamnya terhadap
Pova jauh lebih dalam dari siapa pun.
Dia ingin menyaksikan iblis wanita yang telah
menghancurkan hidup putranya ini perlahan-lahan mati di
ujung pedangnya.
Sekarang sudah tak ada orang lagi yang dapat
menyelamatkan jiwa Pova.
Siau-hong nyaris tak tega menyaksikan lebih lanjut.
Sungguh tak disangka pada detik itulah mendadak terlihat
lagi ada sekilas cahaya pedang menyambar secepat kilat,
langsung mengancam nadi besar di belakang tengkuk Galun
Lhama. Tusukan pedang itu datang amat cepat, arah yang diincar
pun sangat tepat.
Dalam keadaan begini, mau tak mau Galun Lhama
harus berusaha menyelamatkan diri.
Pedangnya segera diayun ke belakang menyongsong
datangnya cahaya pedang yang terbang melintas di tengah
udara. "Traang!", sepasang pedang saling beradu, terjadilah
suara benturan yang memekakkan telinga, percikan bunga
api berhamburan ke mana-mana, seperti percikan api
mercon di tengah kegelapan malam.
Menyusul "Traak!", sebilah pedang mencelat ke udara
dan menancap di atas tiang ruangan.
Tak ada pedang, tak ada manusia.
Ternyata pedang itu dilontarkan orang dari luar ruangan,
sementara sang pelempar masih berada di luar kamar.
Kalau lontaran pedangnya saja bisa menimbulkan kekuatan
dan kecepatan sehebat ini, bisa dibayangkan betapa
ampuhnya kungfu yang dimiliki orang itu.
Biarpun Galun Lhama belum sempat bertemu orang itu,
rupanya dia sudah tahu orang ini sangat menakutkan.
Siau-hong segera dapat menduga siapa gerangan orang
ini. Meskipun dia tak mengira orang itu bisa datang
menyelamatkan Pova, namun dia kenal betul pedang itu.
Ternyata pedang yang menancap di atas tiang penglari
itu tak lain adalah pedang Mo-gan, si mata iblis miliknya.
Ruangan yang redup, kertas jendela yang putih, daun
jendela berada dalam keadaan setengah terbuka, sementara
itu pedang meluncur masuk dari luar jendela, tapi mana
orangnya" Sewaktu pedang Mata iblis terpantek di atas tiang, Galun
Lhama telah menerobos keluar lewat jendela, Siau-hong
hanya menyaksikan sekilas cahaya pedang berwarna
kehijauan melesat keluar dari jendela bagaikan kilatan
bianglala. Tahu-tahu bayangan tubuhnya telah lenyap dari
pandangan. Tubuhnya yang kurus kering telah melebur di balik
cahaya pedang, tubuh dan pedangnya telah bersatu-padu,
nyaris mendekati "tubuh pedang melebur jadi satu" seperti
sering disebut dalam legenda.
Ci-siong, pedang mestika yang berada dalam
genggamannya termasuk juga sebuah senjata langka.
Seandainya Po Eng masih berada di luar ruangan,
dengan cara apa dia akan membendung datangnya serangan
maut itu" Tiba-tiba Siau-hong melompat naik ke atas wuwungan
rumah, dia berniat mencabut pedang miliknya dan berharap
segera dapat menyerahkan senjata itu ke tangan Po Eng.
Belum sempat tangannya diulur, mendadak atap ruangan
hancur dan berserakan ke bawah lantai, kemudian terlihat
sebuah tangan menerobos masuk melalui lubang itu dan
menyambar pedang itu.
Sebuah tangan yang kurus tapi sangat kuat, tangan
dengan jari yang panjang dan kuku yang terawat sangat
bersih dan rapi.
Siau-hong segera mengenali tangan itu, dia pun pernah
berjabatan tangan dengan tangan itu.
Ternyata orang yang muncul tak lain adalah Po Eng.
Mengapa Po Eng datang menolong Pova" Apakah
karena Siau-hong ataukah dikarenakan sebuah alasan yang
hingga kini belum diketahui oleh siapa pun"
Belum Siau-hong menemukan alasannya, dari luar
ruangan telah berkumandang lagi suara pekikan naga yang
amat nyaring. Sekali lagi pedang Ci-siong saling bentur dengan pedang
Mo-gan, belum habis suara dengungan bergema, Siau-hong
pun telah menyusul keluar ruangan.
Waktu itu senja sudah kelam, kegelapan mulai
menyelimuti angkasa.
Siau-hong tak dapat melihat jelas tubuh Po Eng, dia pun
tidak melihat Galun, yang terlihat hanya dua kilatan cahaya
pedang yang saling menggulung dan saling berputar di
udara, di tengah hawa pedang yang menggidikkan, terlihat
daun dan ranting berguguran, bahkan ujung baju yang
dikenakan Siau-hong pun ikut berkibar.
Inilah untuk pertama kalinya Siau-hong menyaksikan
ilmu pedang yang dimiliki Po Eng.
Sudah belasan tahun lamanya ia berlatih pedang, tapi
baru hari ini dia sadar bahwa ilmu pedang ternyata
merupakan sebuah pelajaran yang memiliki jangkauan
begitu luas dan besar.
Ditatapnya pertarungan yang sedang berlangsung sengit
itu dengan termangu, bukan saja tangan dan kakinya terasa
dingin, perasaannya pun ikut dingin, begitu dinginnya
hingga merasuk ke sampai ujung kaki.
Siapa yang akan memenangkan pertarungan ini"
Hawa pedang berwarna hijau kelihatannya jauh lebih
cemerlang daripada hawa dingin "Mata iblis". Gerakan
berputar dan beterbangan pun seakan jauh lebih lincah dan
gesit. Tapi secara tiba-tiba Siau-hong dapat merasakan bahwa
sang pemenang pastilah Po Eng.
Sebab biarpun hawa pedang "Ci-siong" lebih cemerlang,
namun jelas memperlihatkan pertanda terburu napsu dan
gelisah. Siapa yang bernapsu dan gelisah pasti tak akan bertahan
lama. Ternyata apa yang dilihatnya tidak salah, meskipun
cahaya yang terpancar dari pedang "Ci-siong" lebih segar
dan cemerlang, namun hawa pedang yang terpancar sudah
tidak memiliki hawa pembunuhan yang dahsyat dan
menakutkan. "Trang...!", mendadak terdengar lagi suara dentingan
nyaring, untuk ketiga kalinya sepasang pedang itu saling
bentur. Bersamaan dengan lenyapnya suara dentingan, cahaya
pedang yang menyelimuti angkasa pun tiba-tiba lenyap, kini
dedaunan di atas pohon telah berguguran, suasana di
tengah halaman pun tiba-tiba berubah jadi sunyi senyap.
Entah sejak kapan Galun Lhama sudah duduk bersila di
tengah guguran dedaunan, di tengah remangnya cuaca, dia
nampak begitu tenang, begitu lemah, seperti apa yang
dilihat Siau-hong pertama kali tadi.
Sementara itu pedang "Ci-siong" sudah tak berada di
tangannya lagi.
Dalam genggamannya tak ada pedang, di hati pun tiada
pedang. Kini dia sudah bukan jago pedang yang garang, jago
pedang yang mampu membunuh musuhnya dalam sekejap.
Di saat dia meletakkan pedang, tubuhnya telah
melangkah masuk ke tengah halaman, tapi sekarang dia
tampil sebagai seorang pendeta agung yang hatinya lebih
tenang dari air.
Semua hawa kebengisan dan napsu membunuh, cinta
dan dendam, sayang dan benci mengikuti buyarnya hawa
pedang yang mulai sirna dan punah, tingkat kesuciannya
telah mengalami kemajuan satu tingkat.
Dengan tenang Po Eng berdiri di hadapannya,
memandang wajahnya dengan tenang, sikapnya serius
penuh hormat, sorot matanya memancarkan sinar kagum,
tiba-tiba ujarnya sambil merangkap tangan memberi
hormat, "Kiong-hi Taysu!"
"Kiong-hi apa" Kegembiraan apa yang kuperoleh?"
"Taysu telah memahami teori tingkat tinggi ilmu
pedang," kata Po Eng, "Kiong-hi juga kepada Taysu karena
hasil latihanmu kembali memperoleh kemajuan."
Galun Lhama tersenyum, perlahan-lahan dia pejamkan
matanya. "Kau baik, kau sangat baik," kemudian sambil mengulap
tangan ia menambahkan, "Kau pergilah!"
Po Eng belum beranjak pergi, tiba-tiba Galun Lhama
membuka mata kembali sambil meraung sangat keras.
"Kenapa minta kau yang pergi" Kenapa bukan aku yang
pergi?" Seusai mengucapkan perkataan itu, dari balik wajahnya
yang semu gelap terlintas selapis hawa kelembutan dan
ramah.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali lagi Po Eng merangkap tangan memberi hormat.
Dengan langkah yang lambat Galun Lhama berjalan
melewati tumpukan daun di tanah dan menuju ke balik
kegelapan malam.
Dari tengah kegelapan malam yang mencekam, terlihat
bintang bertaburan di angkasa.
"Ci-siong" masih tertinggal di tanah, mata pedang yang
berwarna hijau kini telah berubah busam tak bercahaya.
Pedang kenamaan seperti jago pedang, sama saja tak
boleh kalah. Mengawasi bayangan punggung Galun Lhama hingga
lenyap dari pandangan, tiba-tiba Po Eng menghela napas
panjang. "Dia tidak kalah, sekalipun dianggap kalah pun bukan
kalah oleh permainan pedangku."
"Bukan?"
"Pasti bukan," Po Eng menggeleng, "Dia kalah karena
dia sama sekali tak punya niat membunuhku, dia hanya
ingin menggunakan aku untuk melampiaskan hawa
pedangnya, melampiaskan semua hawa sesat dan napsu
membunuh yang mengeram di hatinya."
Sesudah berhenti sejenak, perlahan-lahan terusnya,
"Kalau dia sama sekali tak berniat mengungguli diriku,
bagaimana mungkin bisa dianggap kalah?"
Siau-hong memahami maksudnya.
Seorang pendeta agung yang sudah banyak tahun
menahan diri, bila secara tiba-tiba timbul gejolak perasaan
yang sukar dikendalikan, terkadang dalam waktu sekejap
akan menggiringnya terjerumus ke dalam bencana iblis.
Karena jarak antara "iblis" dan "kebenaran"
sesungguhnya seperti selisih antara cinta dan benci, hanya
terbatas satu benang tipis.
Kini jago pedang telah kalah, namun pendeta agung
telah menyadari akan kekhilafannya.
Po Eng menatap Siau-hong, sinar matanya kembali
memancarkan rasa gembira dan terhibur, dia sudah tahu
pemuda itu telah memahami maksudnya.
Padahal waktu itu pikiran Siau-hong sangat kalut.
Ada banyak persoalan yang dia ingin tanyakan kepada
Po Eng, dia sudah merasakan adanya hubungan istimewa
antara Pova dan Po Eng, suatu hubungan rahasia yang
hingga kini belum pernah diketahui siapa pun.
Dia tidak bertanya karena dia tak tahu bagaimana harus
bertanya. Po Eng pun tidak berbicara, apakah karena dia pun tak
tahu bagaimana harus berkata"
Daun jendela yang setengah terbuka kini telah tertutup
rapat, tiada cahaya lentera di dalam ruangan, juga tak ada
suara, hanya Pova seorang diri yang duduk tenang di balik
kegelapan. Mengapa dia masih tetap tinggal di sini"
Perlahan-lahan Po Eng membalikkan badan, menghadap
ke angkasa dengan bintang yang gemerlapan dan berdiri
termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya,
"Aku tahu, masih terdapat sebuah simpul mati yang belum
dapat kau lepas dalam hatimu."
Siau-hong tidak menyangkal.
Kembali Po Eng termenung cukup lama.
"Bila kau benar-benar ingin mengetahui rahasia di balik
semua ini, ikutlah aku, tapi kunasehati dirimu, ada
beberapa masalah memang lebih baik tidak tahu."
Kali ini Siau-hong tidak menerima nasehat Po Eng.
Dia pergi mengikuti Po Eng, berjalan menuju ke rumah
kecil yang berada di sebelah timur.
Cahaya bintang terlihat jauh lebih benderang di tengah
gurun, mereka sudah tiga hari lamanya berjalan di tengah
gurun pasir. Siau-hong tidak mengerti apa sebabnya Po Eng lagi-lagi
membawanya menyusuri gurun pasir, namun dia pun tidak
bertanya. Ia percaya kali ini Po Eng pasti akan memberi sebuah
jawaban yang gamblang dan jelas, jawaban yang dapat
mengurai simpul mati dalam hatinya.
Mereka melakukan perjalanan dengan menunggang
kuda, sepanjang hari nyaris kuda dilarikan tanpa berhenti,
waktu beristirahat sangat sedikit.
Perjalanan yang mereka tempuh selama tiga hari ini lebih
jauh daripada perjalanan biasa yang dilakukan selama
sepuluh hari. Gurun pasir yang tak berperasaan sama tak berperasaan,
pada senja hari ketiga mereka telah balik kembali ke tebing
karang yang terbentuk dari hembusan angin.
Selamanya Siau-hong tak akan melupakan tempat ini,
sebab di tempat inilah untuk pertama kalinya ia berjumpa
Pova, di sini pula Wi Thian-bong sekalian mendirikan
perkemahannya. Kini walaupun perkemahan itu entah sudah lenyap ke
mana, namun seluruh peristiwa yang pernah terjadi dalam
perkemahan itu, tak pernah akan dilupakan Siau-hong
untuk selamanya.
Po Eng telah turun dari kudanya, bersama Siau-hong
menikmati sepotong daging sapi dan sekantung arak susu.
Selama tiga hari perjalanan, mereka jarang sekali buka
suara, namun setiap kali selesai meneguk arak, Siau-hong
tentu akan mendengar ia mendendangkan lagu yang amat
pedih. Lagu yang menggambarkan perasaan cinta seorang
lelaki, perasaan yang membawa kesedihan, kesendirian
yang memabukkan, jauh lebih memabukkan daripada arak
yang diteguk. "Kapan kita akan meneruskan perjalanan ke depan
sana?" "Kita tak akan melanjutkan perjalanan lagi," jawab Po
Eng, "Tempat inilah yang kita tuju."
"Buat apa kau mengajakku kemari?" kembali Siau-hong
bertanya. Kalau tempat ini adalah tujuan mereka, apakah semua
jawaban dari pertanyaannya berada di sini"
Po Eng tidak memberi jawaban apa pun, dia
mengeluarkan dua buah sekop dari dalam buntalannya dan
melemparkan sebuah ke arah Siau-hong.
Dia minta Siau-hong mengikutinya menggali tanah di
sana. Apakah semua jawaban dari pertanyaannya terpendam
di bawah sana"
Ooo)d*w(ooO Malam semakin larut.
Tanah yang mereka gali pun makin lama semakin dalam,
kini mereka telah menggali melewati lapisan pasir yang
gembur, lalu melewati pula selapis batu cadas yang keras.
Sekonyong-konyong "Tring!", Siau-hong merasa
cangkulnya telah menyentuh sebuah benda logam yang
keras. Menyusul dia pun menyaksikan kilatan cahaya emas dari
balik bebatuan.
Ternyata emas murni!
Ternyata di bawah bebatuan karang yang keras itu
tertanam emas murni dalam jumlah yang sangat banyak.
Sambil membuang sekopnya, ujar Po Eng kepada Siauhong,
"Sekarang kau tentu sudah mengerti bukan, mengapa
kuajak kau datang kemari."
Suaranya tetap tenang, "Tiga puluh laksa tahil emas
murni milik Hok-kui-sin-sian Lu-sam yang hilang dirampok
semuanya di sini."
"Kau yang menguburnya di sini?"
"Benar, akulah si begal kucing."
Walaupun sejak awal Siau-hong telah menduga, tak
urung ia terperanjat juga dibuatnya.
Kembali Po Eng menatapnya lekat-lekat, kemudian
melanjutkan dengan perlahan, "Setiap anggota rombongan
kami adalah begal kucing, merekalah pejuang sebenarnya
yang sudah lama mendapat pendidikan ketat dan bertarung
dalam ratusan pertempuran. Bila anak buah Wi Thian-bong
dibandingkan mereka, maka kemampuan orang-orang itu
tak lebih hanya bocah yang baru belajar bermain pedang."
Nada bicaranya sama sekali tidak terselip nada ejekan
atau memandang hina, karena apa yang dikatakan memang
merupakan kenyataan.
"Mimpi pun Wi Thian-bong tak akan menyangka kalau
tumpukan emas murni ini sebetulnya belum pernah
diangkut keluar meninggalkan gurun pasir."
"Selamanya tak akan diangkut keluar?"
"Ya, selamanya!"
Jawaban Po Eng sangat tegas dan serius, tapi Siau-hong
tetap tak habis pikir.
Dengan susah payah mereka merampok uang emas itu,
tentunya perbuatan ini dilakukan karena nilai bongkahan
emas murni itu.
Bila tumpukan emas murni itu bakal dipendam
selamanya di sana, bukankah emas yang tak ternilai
harganya itu akan berubah seperti pasir dan bebatuan, sama
sekali tak ada nilainya"
Tidak menunggu Siau-hong menanyakan soal itu, Po
Eng telah menjawab pertanyaan itu terlebih dulu.
"Sebetulnya tujuan kami bukan ingin memiliki emas
murni itu," kata Po Eng, "Kami sengaja merampok emas itu
karena kami tak akan membiarkan Lu-sam menggunakan
emas murni itu untuk menghadapi orang lain."
"Orang lain?" tak tahan Siau-hong bertanya, "Siapa yang
kau maksud sebagai orang lain?"
"Mereka adalah kawanan manusia yang selama dua hari
belakangan hampir setiap hari kau jumpai, yakni Pova,
Pancapanah, serta seluruh anggota sukunya."
"Mengapa Lu-sam ingin menghadapi mereka?" tanya
Siau-hong lagi, "Ia berencana akan menghadapi mereka
dengan cara apa?"
Po Eng minta Siau-hong membantunya mengubur
kembali emas itu ke dalam tanah, kemudian baru mulai
berkisah, "Dia ingin merombak ajaran agama orang Tibet
yang telah dipuja selama hampir ratusan tahun, dia pun
ingin membunuh Buddha Hidup yang dipuja-puja orang
Tibet selama ini karena ingin mendirikan agamanya sendiri
di sini." "Jelas kejadian ini merupakan sebuah perencanaan yang
sangat mengejutkan, siapa pun tak menyangka Lu-sam akan
menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisinya,
hal ini dikarenakan agama yang dipujanya adalah agama
menyembah api, ayahnya adalah orang Persia, pengikut
setia dari kaum pemuja api," ujar Po Eng lebih lanjut, "Oleh
sebab itu, dia ingin menggantikan ajaran kaum Lhama di
Tibet dengan ajaran menyembah api."
Dengan wajah serius terusnya, "Padahal agama
kepercayaan yang dianut orang Tibet sudah begitu
mengakar di hati sanubari masing-masing, karena itu
seandainya rencana yang dilakukan Lu-sam benar-benar
terwujud, dapat dipastikan wilayah Tibet tak pernah akan
hidup dalam kedamaian dan ketenteraman."
"Oleh karena itu kalian tak bisa membiarkan rencananya
itu terwujud?"
"Benar, tak boleh terwujud," kembali Po Eng
menegaskan, "Untuk mencegah dirinya, terpaksa kami tak
segan menghalalkan segala secara, bahkan bila perlu
mengorbankan segala yang kami miliki."
Sementara Siau-hong masih termenung, kembali Po Eng
berkata, "Orang pertama yang mengorbankan diri adalah
Pova, dia pula pengorbanan paling besar."
"Jadi dia adalah perempuan yang dikatakan Pancapanah,
demi kejayaan sukunya bersedia mengorbankan diri?" tanya
Siau-hong, "Bahkan bersedia mengorbankan segala
miliknya untuk menyusup ke dalam kubu Lu-sam dan
menjadi mata-mata?"
"Benar, dialah orangnya."
Setelah berhenti sejenak, kembali Po Eng melanjutkan,
"Kami tak akan membiarkan orang lain mengetahui rahasia
ini, maka dari itu di kala masih berada dalam tenda berbulu
hitam, terpaksa aku membiarkan kau menaruh kesalah
pahaman terhadapnya, ketika berada di luar 'leher
kematian' pun kami tak membiarkan dia muncul dari dalam
tandu ketiga."
Lambat-laun Siau-hong mulai paham dengan peristiwa
yang terjadi. "Oleh karena itu Galun Lhama rela membiarkan dia
tinggal dalam istana Potala, maka kau pun bersedia datang
untuk menyelamatkan jiwanya."
"Karena aku tak akan membiarkan dia tewas di tangan
Galun, juga tak akan membiarkan Galun menyesal
sepanjang masa," kata Po Eng, "Demi agama yang dianut
Galun, pengorbanan yang diberikan Pova sudah kelewat
besar." Tiba-tiba dengan nada penuh kesedihan dan kepedihan,
kembali terusnya, "Bukan saja dia mengorbankan diri
sendiri, bahkan tak segan mengorbankan orang yang
dicintainya."
Siapakah orang yang paling dicintai Pova"
Siau-hong tidak bertanya, juga tak perlu bertanya.
Tentu saja Lu-sam akan membalaskan dendam atas
kematian putra tunggalnya. Agar bisa memperoleh
kepercayaan dari Lu-sam, terpaksa Pova harus
mengorbankan Siau-hong, dia sendiri tak tega turun tangan,
karena itu ia minta Bu-siong untuk membantunya
melaksanakan tugas ini.
Seorang wanita, demi cintanya yang agung, demi
kepercayaannya, ternyata tak segan mengorbankan lelaki
yang paling dicintainya, sekalipun lelaki itu sebenarnya tak
bersalah, namun dia tak sempat lagi mempedulikan hal ini.
Dengan apa yang telah ia lakukan, siapa yang dapat
mengatakan kalau dia bersalah"
Siau-hong tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia
hanya membaringkan diri dengan perlahan, berbaring
tenang di bawah cahaya bintang.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cahaya bintang nun jauh di langit, malam yang dingin
seolah menyelimuti seluruh gurun yang tak berperasaan,
seandainya dia melelehkan air mata saat itu, bisa dipastikan
air matanya akan membeku jadi bunga es.
Dia tidak melelehkan air mata, setelah mengalami
peristiwa ini, mungkin sepanjang hidup dia tak akan
melelehkan air mata lagi.
Po Eng sama sekali tidak memberi penjelasan mengapa
dia harus memberitahukan rahasia ini kepadanya, "Karena
kau adalah sahabat karibku!"
Perkataan semacam ini memang tak perlu diulang untuk
kedua kalinya. "Kini aku telah memberitahukan semua persoalan yang
kuketahui kepadamu!" secara ringkas dan sederhana Po Eng
menerangkan, "Kau boleh mempertimbangkan masakmasak,
akan tetap tinggal untuk bergabung dengan kami
atau pergi?"
"Aku pasti akan mempertimbangkannya," janji Siauhong.
"Terserah berapa lama kau akan mempertimbangkan
masalah ini, tapi di saat kau telah mengambil keputusan,
segeralah beritahu kepadaku."
Siau-hong menyanggupi.
Cahaya bintang terasa makin redup dan tawar, hawa
dingin yang mencekam kegelapan malam terasa makin
membekukan, mereka berdua sama-sama tak dapat melihat
bagaimana perubahan mimik muka masing-masing.
Sampai lama kemudian Siau-hong baru berkata, "Kau
selalu bekerja cermat dan berhati-hati, tapi kali ini kau
kelewat sembrono."
"Sembrono?"
"Kau tidak kuatir ada orang menguntit kita sampai di
sini" Tidak kuatir orang lain mengetahui kalau di sini
terdapat emas dalam jumlah yang sangat besar?"
Po Eng tidak menjawab, tapi dari balik kegelapan segera
terdengar seseorang menyahut sambil tertawa, "Dia tak
perlu kuatir ada orang lain menguntitnya karena ia tahu
sepanjang jalan aku pasti berada di sekitar kalian berdua,
sekalipun terdapat beberapa ekor rase yang ingin mengintil,
aku pasti membekuknya dan mengulitinya."
Ternyata suara Pancapanah.
Ketika Siau-hong melompat bangun, Pancapanah telah
berdiri di hadapannya, hanya selisih jarak lima kaki.
Sepak terjang orang ini jauh lebih sukar terlacak
ketimbang rase gurun pasir yang paling gesit, gerakan
tubuhnya lebih cepat daripada hembusan angin, sorot
matanya pun lebih pekat daripada kegelapan malam, saat
ini dia sedang mengawasi Siau-hong.
"Tentu saja dia pun tidak kuatir kau bakal membocorkan
rahasianya," ujar Pancapanah hambar, "Belum pernah ada
orang yang dapat membocorkan rahasia kami."
Dia sedang tertawa, namun senyumannya begitu
misterius, dingin, tak berperasaan seperti suasana malam
buta di tengah gurun pasir.
Ketika mereka kembali ke kota Lhasa, pagi hari yang
cerah, kehidupan yang berdenyut serta "cahaya matahari
biru" yang indah dan cantik sedang menanti kedatangan
mereka. Kembali Po Eng menyerahkan Siau-hong kepada gadis
itu. "Ke mana pun dia ingin pergi, ajaklah dia ke sana,"
pesan Po Eng, "Apa pun yang dia minta, berikan semua
kepadanya."
Ketika mendengar perkataan itu, sewaktu
membayangkan kembali senyuman Pancapanah yang
dingin tanpa perasaan, orang dengan mudah akan
terbayang suasana di saat seorang narapidana sedang
menghadapi detik-detik terakhir menjelang dihukum
gantung, karena pada saat terakhir, apa pun permintaan
yang diajukan pasti akan dikabulkan.
Dia telah membocorkan rahasia yang seharusnya tak
boleh diketahui siapa pun kepada Siau-hong, dipandang
dari sudut tertentu tak disangkal dia telah memutuskan
hukuman mati untuk anak muda itu.
Namun Siau-hong tidak berpendapat demikian, dia
seolah tidak membayangkan apa pun.
"Sinar matahari" masih tertawa begitu cerah dan
gembira, dia sama sekali tidak bertanya kemana perginya
selama beberapa hari ini, hanya tanyanya, "Apa yang kau
inginkan" Ingin aku menemanimu pergi ke mana?"
Tiga hari kemudian Siau-hong baru menjawab
pertanyaannya itu.
"Aku minta sepuluh ribu tahil perak," katanya, "Aku
ingin pergi ke suatu tempat yang tak mungkin bisa kau
temani." Dalam tiga hari ini mereka nyaris berkumpul setiap saat,
ia telah menemani Siau-hong melakukan semua pekerjaan
kaum lelaki yang tak mungkin mau dilakukan oleh
perempuan lain.
Ia menemaninya main judi, menemaninya minum arak,
terkadang sewaktu minum sampai mabuk, mereka bahkan
tidur bersama. Suatu hari ketika Siau-hong mabuk, tiba-tiba ia temukan
gadis itu sedang tertidur di sampingnya.
Sewaktu tidur, nona ini tampak lebih lembut, lebih
cantik, lebih mirip seorang wanita ketimbang sewaktu dia
mendusin. Perawakan tubuhnya yang langsing, lembut,
putih bersih, terendus bau harum yang merangsang.
Napsu birahi yang membakar dadanya ketika mendusin
dari mabuknya, hampir saja membuat Siau-hong tak kuasa
menahan diri, nyaris dia menggagahi gadis muda itu.
Untung saja ia mampu mengendalikan diri, dengan air
dingin ia guyur badannya hampir setengah jam lamanya,
hingga kini hubungan mereka berdua masih tetap bersih
dan suci. Sayang sekali kesucian mereka bukan saja tidak
diketahui siapa pun, mungkin tak seorang pun akan
mempercayainya.
Tapi Yang-kong tak peduli, terserah apa pun pikiran
orang lain terhadap mereka berdua, dia sama sekali tak
peduli. Ooo)d*w(ooO BAB 15. PILIHAN
Sebetulnya persoalan semacam ini paling dipedulikan
kaum wanita, tentu saja terkecuali ia memang sudah siap
menerima kehadiran lelaki itu.
Yang-kong tak peduli, apakah dia pun telah siap
menerima kehadiran pemuda ini"
Tapi tiga hari kemudian secara tiba-tiba Siau-hong
mengajukan permintaan ini, bahkan minta gadis itu untuk
mengabulkannya.
"Kau tak boleh bertanya hendak ke mana aku pergi,
apalagi menguntitku secara diam-diam. Kalau tidak,
kemungkinan besar aku akan membunuhmu!"
Permintaan semacam ini sangat tak masuk akal, bahkan
kelewat batas. Apa yang diucapkan pun kasar dan sangat
menyakitkan hati, bahkan dia sendiri pun menyangka
Yang-kong pasti akan marah.
Siapa tahu bukan saja dia tidak marah, bahkan segera
menyanggupi permintaannya.
"Pergilah, aku cinta padamu!"
Sepuluh ribu tahil perak yang diminta Siau-hong,
ternyata disiapkan untuk diberikan kepada Tokko Ci.
Dia sama sekali tidak melupakan janjinya dan kembali
lagi ke rumah burung yang pernah ditunjukkan bocah itu.
Rumah burung masih tetap ada, sangkar burung di
bawah wuwungan rumah pun masih utuh, namun burungburung
yang berada dalam sangkar itu telah hilang, kosong,
lenyap. Burung-burung itu telah terpapas kutung dan rontok di
atas tanah, setiap burung telah terbelah jadi dua bagian,
terpapas kutung oleh sabetan pedang tajam.
Bekas darah yang berceceran di atas tanah telah
mengering, suasana dalam rumah pun hening dan sepi.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan tangan dan kakinya jadi
dingin, dingin membeku.
Jangan-jangan ketika ia datang kemari tempo hari, ada
orang yang secara diam-diam menguntitnya"
Sebenarnya selama ini dia yakin dengan ketajaman mata
dan pendengarannya, sulit bagi siapa pun untuk
menguntitnya tanpa ketahuan, akan tetapi setelah
melakukan perjalanan semalam suntuk di tengah gurun
pasir, sejak Pancapanah muncul secara tiba-tiba di
hadapannya, keyakinan dan rasa percaya dirinya mulai
goyah. Siapa yang telah menguntitnya sampai di situ" Siapa pula
yang telah membantai kawanan burung itu secara sadis dan
keji" Apakah Tokko Ci dan bocah itu sudah tewas di ujung
pedangnya"
Rumah burung masih tetap seperti sediakala, begitu
melangkah masuk, lantai kayu yang terinjak menimbulkan
suara menderit yang nyaring.
Siau-hong maju, mendorong pintu hingga terbuka lebar.
Di dalam ruangan tak ada orang, juga tak ada mayat,
hanya ada selembar lukisan, kelihatannya sebuah lukisan
yang dibuat dengan darah segar, lukisan itu dipasang di atas
dinding kayu persis berhadapan dengan pintu masuk,
melukiskan seorang iblis wanita yang sedang mengisap isi
otak seorang lelaki.
Wajah iblis wanita itu mirip wajah Pova.
Sedangkan lelaki yang sedang diisap isi otaknya tak lain
adalah dirinya, Siau-hong.
Hanya ada lukisan, tanpa tulisan, tanpa penjelasan.
Namun Siau-hong telah memahami maksud lukisan itu,
tiba-tiba saja dia terbayang kembali lukisan dalam lekukan
dinding yang berada dalam kuil yang gelap itu.
Dari sisi telinganya dia pun seolah mendengar suara
bocah itu sedang berkata, "... Bila kau melanggar sumpah,
selama hidup dirimu akan seperti orang itu, sepanjang masa
akan merasakan penderitaan karena siksaan keji perempuan
setan itu."
Siau-hong sama sekali tidak melanggar sumpahnya, dia
pun tidak membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.
Akan tetapi dia pun tidak membunuh Pova.
Tokko Ci pasti sudah mendapat tahu kalau Pova belum
mati, dia pasti menyangka Siau-hong telah
mengkhianatinya, karena itu segera mengajak bocah itu
pergi meninggalkan rumah burung.
Burung yang dibabat mati, lukisan yang tergantung di
atas dinding jelas secara khusus memang ditinggalkan di
sana agar bisa terlihat oleh Siau-hong, sengaja ditinggalkan
agar Siau-hong tahu kalau dia sangat membenci dan
mendendamnya. Dia masih memiliki sebelah tangan yang dapat
menggenggam pedang, masih memiliki kekuatan untuk
membunuh burung yang sedang terbang.
Sebetulnya orang ini memang memiliki kekuatan
terpendam yang sangat menakutkan, kekuatan terpendam
yang selamanya susah diduga, apalagi "benci dan dendam"
pun merupakan semacam kekuatan yang sangat
menakutkan. Sekarang orang pertama yang akan dibunuhnya sudah
pasti bukan Po Eng, melainkan Siau-hong!
Dengan tenang Siau-hong berdiri di depan lukisan
dinding itu, berdiri lama sekali, kemudian perlahan-lahan
meletakkan uang sebesar sepuluh ribu tahil perak itu ke atas
lantai. Setelah itu dengan langkah lebar dia beranjak keluar,
berjalan menuju ke bawah langit nan biru.
Biarpun langit masih secerah tadi, namun hatinya
sekarang telah diliputi bayangan hitam yang sukar
dibuyarkan. Dia tahu, Tokko Ci tak bakal melepaskan dirinya.
Sejak saat ini sepanjang hidupnya, setiap saat dia harus
waspada menghadapi datangnya tusukan yang mematikan.
Sejak bertemu untuk pertama kalinya dengan Tokko Ci,
dia sudah tahu kalau salah satu di antara mereka berdua,
cepat atau lambat, akhirnya ada seorang di antaranya yang
bakal tewas di tangan lawan.
Ternyata Yang-kong masih menungguinya. Begitu
berjumpa, kata pertama yang diucapkan adalah, "Sekarang
Po Eng ada di mana" Aku akan menjumpainya, sekarang
juga akan menjumpainya!"
Ruangan di gedung samping lebar dan bersih, cahaya
matahari menyinari seluruh ruangan, hampir setiap benda
yang berada di sana merupakan barang pilihan, tak
berlebihan, juga tak bakal kekurangan.
Arak yang disuguhkan pun arak anggur dari Persia yang
manis dan segar, dituang dalam cawan batu kristal yang
tembus pandang, memercikkan cahaya yang gemerlapan.
Po Eng menuangkan secawan untuk Siau-hong
kemudian meneguk setengah cawan arak dalam cawan
sendiri, setelah itu baru bertanya, "Apakah kau sudah
bertekad akan pergi dari sini?"
"Benar!"
Jawaban Siau-hong masih seperti jawabannya dulu,
singkat dan tegas. Dia seolah tak tahu kalau pertanyaan
yang dihadapi sekarang jauh lebih serius daripada
pertanyaan yang pernah dijawab sebelumnya.
Po Eng tidak bertanya lagi, dia pun tidak bicara apa pun,
mereka berdua sama-sama tidak buka suara lagi.
Awan putih masih melayang di ujung langit nun jauh di
depan sana, angin masih berhembus menggoyang ranting
dan dahan, di bawah langit nan biru lapisan salju di puncak
bukit nampak berkilauan. Manusia biasa sedang berjuang
untuk kehidupan sendiri, manusia luar biasa pun sedang
berjuang untuk kehidupan sendiri.
Akan tetapi semua persoalan itu terpisah dari mereka,
suasana dalam ruangan itu begitu hening, tenang,
menyerupai detak jantung seseorang yang telah sekarat.
Kemudian senja pun lambat-laun menjelang tiba.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya hanya berlangsung sekejap, tiba-tiba kegelapan
malam telah menyelimuti seluruh jagat.
Di dalam ruangan ada lentera, namun siapa pun tidak
berusaha menyulutnya. Kedua orang itu masih duduk
tenang di tengah kegelapan, hanya bintang di luar jendela
yang mulai muncul di angkasa. Lalu rembulan muncul,
cahaya bintang bergemerlapan, cahaya redup yang
menembus lewat daun jendela dan menyoroti tubuh mereka
berdua. Saat itulah Po Eng baru buka suara lagi.
"Aku sangat memahami tabiatmu, semua persoalan yang
telah diputuskan tak nanti berubah lagi."
"Aku telah mengambil keputusan," sikap Siau-hong luar
biasa tenangnya, "Aku harus pergi dari sini."
Po Eng sama sekali tidak bertanya "mengapa", malah
tanyanya, "Apakah kau masih ingat perkataan yang
diucapkan Pancapanah?"
"Aku masih ingat, dia bilang, belum pernah ada orang
yang dapat membocorkan rahasia kalian."
"Aku percaya, kau tak bakal membocorkan rahasia ini
kepada orang lain, tapi dia beda, belum pernah dia percaya
kepada siapa pun," kata Po Eng, "Dia selalu berpendapat
hanya orang mati yang bisa menyimpan rahasia."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Siau-hong mulai
menggenggam kencang tangannya.
Po Eng tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia
hanya memberitahu Siau-hong, "Terkadang ada beberapa
persoalan yang tak mungkin bisa kuputuskan sendiri."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya,
"Misalnya kau hendak pergi, aku pun tak berdaya
menahanmu tetap berada di sini."
Tiba-tiba Siau-hong memahami maksud perkataan Po
Eng ini, karena secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan
dua patah kata yang pernah diucapkan Po Eng.
Kalau bukan teman, berarti musuh.
Untuk menghadapi musuh, jangan berbelas kasihan.
Sahabat berubah jadi musuh, rangkul berubah jadi duel,
darah segar bagaikan arak wangi berceceran di atas tanah.
Anehnya, saat ini bukan hal-hal itu yang dipikirkan Siauhong,
bukan saling membunuh, bukan kematian, bukan
kemusnahan. Pada saat yang amat singkat, secara tiba-tiba ia teringat
desa kelahirannya, Kang-lam, Kanglam yang indah, tenang,
Kang-lam yang dikelilingi aneka bunga di tengah hujan
gerimis, Kanglam dengan jembatan dan sungai yang begitu
banyak. Suara Po Eng pun mendadak berubah jadi begitu jauh,
seakan suara yang datang dari Kang-lam.
"Sejak awal aku sudah tahu kau akan pergi," kata Po Eng
lagi, "Setibamu di Lhasa, kau tidak pergi menengok Pova,
aku sudah tahu kau telah bertekad akan meninggalkan
kami, karena kau sendiri pun tahu selamanya kau tak akan
memahami kami, juga tak bisa memahami semua
perbuatan yang kami lakukan."
Mendadak dia memutus pembicaraan sendiri yang belum
selesai, mendadak bertanya pada Siau-hong, "Apa yang
sedang kau pikirkan?"
"Kang-lam," sahut Siau-hong pula, "Aku sedang
membayangkan Kang-lam."
"Kau sedang memikirkan Kang-lam" Pada saat dan
suasana begini ternyata kau masih memikirkan Kang-lam?"
Di balik perkataan Po Eng, sama sekali tiada nada
mengejek atau tercengang, yang ada hanya setitik rasa
pedih yang tawar.
"Pada hakikatnya kau bukan golongan kami, kau adalah
seorang penyair, bukan pejuang, bukan petarung, juga
bukan jago pedang, karena itu kau ingin pergi, karena saat
ini ternyata kau masih memikirkan Kang-lam."
Siau-hong mendongakkan kepala, menatap wajahnya.
"Apa yang harus kupikirkan sekarang" Memikirkan
apa?" "Kau harus memikirkan Gan Tin-kong, memikirkan
Song-lohucu, memikirkan Cu Im, berpikirlah siapakah
mereka." "Mengapa aku harus memikirkan mereka?"
"Karena mereka tak akan membiarkan kau pergi," ucap
Po Eng, "Bila di dunia ini masih ada cara yang dapat
menahan kepergianmu, mereka pasti akan menggunakan
cara itu untuk menghadapimu. Bila mereka menganggap
hanya dengan menggorok lehermu maka kau baru bisa
dicegah kepergiannya, mereka tak bakal menggorokkan
goloknya ke tempat lain."
"Mereka adalah manusia semacam ini?"
"Benar, mereka adalah manusia semacam ini, bukan saja
mereka dapat menggorok leher orang lain seperti membabat
rumput, mereka pun dapat membersihkan darah yang
menodai mata golok mereka seperti sedang membersihkan
noda air."
Siau-hong balas menatapnya, lama kemudian perlahanlahan
ia baru berkata, "Kau pun seharusnya tahu, terkadang
aku juga dapat berbuat begitu."
Dari balik mata Po Eng yang tajam segera terpancar
cahaya dingin yang menggidikkan bagaikan "Mata iblis",
mendadak cawan kristal yang berada dalam genggamannya
hancur-lebur, sambil berdiri ia mendorong daun jendela,
lalu berkata, "Coba lihat apakah itu?"
Dari balik jendela tampak sebuah lentera tergantung
tinggi di puncak tiang bendera.
"Hanya sebuah lentera," jawab Siau-hong.
"Kau tahu apa maksudnya?" Tentu saja Siau-hong tidak
tahu. Po Eng memandang sekejap lentera merah yang
tergantung di puncak tiang, tiba-tiba sekilas perasaan sedih
yang belum pernah terlihat melintas di wajahnya.
"Itu berarti mereka sudah tahu kalau kau akan pergi, kini
telah disiapkan acara perpisahan untukmu."
Mendadak dia menggerakkan tangan, menyentil jari
keluar jendela dan sepotong hancuran kristal mendesing
tajam menembus angkasa.
Cahaya lentera berwarna merah yang berada dua puluh
kaki di hadapannya seketika padam, sinar dingin di balik
mata Po Eng pun ikut lenyap dan sirna.
"Oleh karena itu, kau sudah boleh pergi sekarang," dia
sama sekali tidak berpaling lagi memandang Siau-hong,
hanya tangannya yang diulapkan, "Kau boleh pergi."
Ketika Siau-hong keluar dari pintu, dia pun berjumpa
Yang-kong. Yang-kong sedang berdiri di bawah bayangan gelap
sederet pagar di dalam halaman, senyuman secerah sinar
matahari yang selalu menghiasi wajahnya kini sudah
lenyap. Walaupun dia masih tertawa, namun senyumannya
tampak begitu sendu, begitu sedih dan diselimuti bayangan
gelap yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Siau-hong menghampirinya, berjalan ke hadapannya.
"Apakah kau pun datang untuk mengantar kepergianku?"
"Tidak!" tiba-tiba gadis itu menggenggam tangan Siauhong,
jari tangannya terasa dingin bagaikan es, "Tahukah
kau, apa yang telah mereka persiapkan untuk mengantar
kepergianmu?"
Siau-hong segera tertawa.
"Menggunakan batok kepalaku" Atau menggunakan
darahku?" katanya.
Dia pun menggenggam kencang tangan Yang-kong.
"Apa yang ingin kau katakan telah kuketahui semua,
terserah cara apa pun yang hendak mereka pergunakan, aku
tak peduli."
"Kau tak peduli" Benar-benar tak peduli?" dengan
terperanjat, Yang-kong menatap wajahnya.
"Bagaimana pun, aku telah bertekad akan pergi dari sini,
terserah cara apa pun yang hendak mereka gunakan, bagiku
sama saja."
Hidup juga pergi, mati pun tetap pergi, setelah
memutuskan akan pergi, tak pernah dia pikirkan mati
hidupnya. Akhirnya Yang-kong melepaskan genggamannya, lalu
berpaling memandang seranting daun di bawah bayangan
gelap yang telah layu dan mengering.
"Baiklah, kau boleh pergi!" dia menunjuk ke arah sebuah
pintu kecil di sudut halaman, "Lewatlah pintu kecil itu,
orang pertama yang akan mengantar kepergianmu adalah
Gan Tin-kong, kau harus memperhatikan tangannya secara
khusus." Siau-hong pernah memperhatikan cara Gan Tin-kong
turun tangan. Sewaktu berada di dalam tenda bulu elang berwarna
hitam, di saat dia mencengkeram lengan iblis Liu Hun-hun.
Tangan yang digunakan adalah tangan kirinya.
"Aku tahu," ucap Siau-hong, "Akan kuperhatikan tangan
kirinya secara khusus."
Tiba-tiba Yang-kong merendahkan suara, setengah
berbisik ia berkata, "Bukan saja harus memperhatikan
tangan kirinya, terlebih harus kau waspadai tangannya yang
lain." "Tangannya yang lain" Tangan kanan" Atau..."
"Bukan tangan kanannya!"
Jangan-jangan Gan Tin-kong masih memiliki sebuah
tangan yang lain, tangan ketiga"
Siau-hong masih ingin bertanya lagi, tapi nona itu sudah
mengeluyur pergi tanpa berbicara lagi, seakan cahaya senja
yang tiba-tiba lenyap di balik langit barat.
Hanya bedanya, cahaya sang surya pasti akan muncul
kembali keesokan harinya, bagaimana dengan Yang-kong"
Mungkin sepanjang hidup Siau-hong tak akan dapat
bertemu lagi dengannya.
Tatkala kau bertemu dengan Gan tin-kong, peduli di saat
apa pun dan di tempat mana pun, dia selalu tampil rapi dan
keren seolah seseorang yang hendak memimpin upacara
ritual dalam ruang biara, bukan hanya pakaiannya bersih
dan rapi, gerak-geriknya pun serius dan penuh rasa hormat.
Beginilah tampangnya saat ini, dia tampil bersih dan
penuh wibawa, sampai di saat goloknya sedang menggorok
leher lawan pun, sikap dan penampilannya tak pernah
berubah. Siau-hong berjalan menghampirinya, tanpa
mengucapkan kata basa-basi yang sama sekali tak berguna,
dia langsung menegur, "Kau siap menggunakan cara apa
untuk mengantar kepergianku?"
"Menggunakan tangan kiriku," jawaban Gan Tin-kong
tetap langsung dan berterus terang. "Tempat ini adalah
sarang penyamun, masuk ke sarang penyamun seperti
masuk ke dalam neraka, tak ada kesempatan untuk balik
lagi ke dunia keramaian secara utuh. Karena kau ingin
pergi, terpaksa aku harus membunuhmu, membunuhmu
menggunakan tangan kiriku."
Dia selalu menyembunyikan tangan kirinya di dalam
saku. "Aku tak pernah menggunakan senjata, tanganku inilah
senjataku untuk membunuh manusia," Gan Tin-kong
menerangkan, "Tak ada manusia kidal dalam dunia
persilatan yang bisa menyerang jauh lebih cepat daripada
tangan kiriku, oleh sebab itu kau harus memperhatikan
dengan sungguh-sungguh!"
"Aku pernah menyaksikan kau melancarkan serangan,
tentu saja aku akan memperhatikan secara sungguhsungguh,"
kemudian tanya Siau-hong, "Tapi aku tak habis
mengerti, kalau memang kau berniat membunuhku,
mengapa harus mengingatkan diriku agar lebih berhatihati?"
"Karena aku ingin kau mati dengan puas," jawab Gan
Tin-kong, "Aku ingin kau mati dengan puas tanpa
menggerutu." Siau-hong segera menghela napas panjang.
"Ai, ternyata Gan Tin-kong seperti namanya, jujur, tulus
dan adil, tak pernah mau melakukan perbuatan yang
merugikan orang, oleh sebab itu semisal kau bermain
curang satu kali, tak akan ada orang yang menaruh curiga
kepadamu."
Paras Gan Tin-kong sama sekali tak berubah, tapi sorot
matanya telah berubah.
Kembali Siau-hong melanjutkan, "Seandainya aku benarbenar
berkonsentrasi dan memusatkan seluruh perhatianku
terhadap tangan kirimu, dapat dipastikan hari ini aku bakal
mampus di tanganmu."
Tiba-tiba ia tertawa lebar, tambahnya, "Untung saja aku
masih belum melupakan Liu Hun-hun!"
"Liu Hun-hun" Kenapa dia?"
"Bahkan dia pun tak menaruh curiga kepadamu, bahkan
dia pun tertipu oleh muslihatmu, apalagi aku seorang anak
muda yang baru terjun ke dalam dunia persilatan," kata
Siau-hong, "Kau bisa menjadi tangan ketiga Song-lohucu,
tentu saja dia pun dapat menjadi tangan ketigamu,
menggunakan tangan ketiga untuk membunuhku."
Kembali dia menghela napas, lanjutnya, "Saat itu
walaupun aku mati dengan perasaan tak puas, walau hatiku
dipenuh perasaan jengkel, mendongkol dan marah, sayang
semua itu tak mungkin bisa kulampiaskan lagi."
Paras Gan Tin-kong mulai berubah.
"Sama sekali tak kusangka, ternyata kau tidak terlalu
bodoh." Dia sudah siap turun tangan, tapi sepasang matanya
mengawasi terus pintu kecil di belakang Siau-hong, tak
disangkal Song-lohucu pasti berada di belakang pintu kecil
itu, begitu dia turun tangan, mereka berdua akan
menggencetnya dari depan dan belakang, tak diragukan lagi
Siau-hong pasti akan mampus oleh gempuran ini, tak
seorang pun jagoan dalam dunia persilatan yang dapat
menghindari gempuran bersama kedua orang ini.
"Masih ada satu urusan lagi yang mungkin tak akan kau
duga," kata Siau-hong lagi sambil tertawa.
"Urusan apa?"
"Aku pun memiliki tangan yang lain, tangan ketiga."
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pun memiliki tangan ketiga?" ejek Gan Tin-kong
sambil tertawa dingin, "Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Tentu saja kau tak akan melihatnya, selama hidup
jangan harap bisa melihatnya. Tapi kau tak boleh tidak
harus mempercayainya."
"Kenapa?"
"Karena tangan ketigamu kini sudah dibelenggu oleh
tangan ketigaku," tiba-tiba Siau-hong menambahkan,
"Kalau tak percaya, apa salahnya diperiksa sendiri."
Tentu saja Gan Tin-kong tak akan pergi memeriksanya,
dia mulai tertawa.
Jarang sekali orang ini tertawa, terkadang sepanjang
bulan belum tentu dia tertawa satu kali, tapi kali ini dia
benar-benar tertawa.
Seorang anak muda yang baru terjun ke dunia persilatan,
ternyata ingin menggunakan cara semacam itu untuk
membohongi seorang jago kawakan macam dia.
Ia sudah termasyhur sejak masih muda, sudah malang
melintang dalam dunia persilatan sejak usianya masih kecil,
tak terhitung korban yang mati di tangannya, meski di masa
pertengahan dia dipaksa berganti nama karena kejaran dan
desakan musuh besarnya, meski harus melarikan diri ke
ujung dunia, namun kecerdasannya justru bertambah
matang, pengalamannya tambah luas, bagaimana mungkin
dia termakan oleh tipu muslihat semacam ini!
Di saat dia mulai tertawa itulah tangan yang selalu
disembunyikan di balik pakaiannya mulai melancarkan
serangan secepat sambaran petir.
Di saat dia turun tangan, Song-lohucu pasti akan
mengimbangi serangannya itu dengan melancarkan
serangan maut juga.
Sudah banyak tahun mereka bertempur saling bahumembahu,
sudah sering masuk keluar pertarungan yang
mematikan, pengalaman bertarungnya banyak, belum
pernah kerja sama mereka menjumpai kegagalan atau
kejadian di luar dugaan, belum pernah meleset walau hanya
satu kali pun. Tapi kali ini terkecuali.
Gan Tin-kong telah turun tangan, akan tetapi Songlohucu
yang berada di luar pintu sama sekali tak bereaksi.
Gagal dengan gempurannya yang pertama, dia mulai
menyerang untuk kedua kalinya.
Dari luar pintu tetap tiada reaksi, tak ada gerakan, tak
ada serangan yang mengiringi serangannya.
Gan Tin-kong tidak lagi melancarkan serangan ketiga,
tiba-tiba dia melejit ke tengah udara lalu melesat ke arah
pintu kecil itu.
Song-lohucu benar-benar berada di luar pintu, tapi saat
itu sedang berbaring di sudut dinding, mengawasinya
sambil tertawa getir.
Gan Tin-kong tak sanggup tertawa lagi, akhirnya dia
menyadari bahwa peristiwa ini sedikit pun tidak
menggelikan. Siau-hong telah beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Dia yakin Gan tin-kong takkan mengejarnya lagi,
keberhasilannya merobohkan Song-lohucu sama artinya dia
telah merobohkan juga Gan Tin-kong.
Tentu saja dia bukan menggunakan "tangan ketiga"
untuk merobohkan Song-lohucu, dia tidak mempunyai
tangan ketiga. Tapi dia memiliki sepasang mata kedua, Yang-kong
adalah matanya yang kedua.
Andaikata tak ada bisikan dari Yang-kong, dia tak akan
menyangka Song-lohucu bakal bersembunyi di balik
kegelapan sambil menunggu kedatangannya, dia tak akan
menyangka kalau dia akan bersama Gan Tin-kong
menyergap dan menggencetnya dari depan dan belakang.
Walaupun apa yang dikatakan Yang-kong tidak terlalu
jelas, namun peringatan yang diberikan gadis itu justru
mengingatkan dia akan kerja sama kedua orang itu ketika
menghadapi Liu Hun-hun, khususnya tipu muslihat yang
telah mereka gunakan.
Oleh sebab itu dia mencari Song-lohucu terlebih dahulu,
menggunakan senyuman yang ramah, sikap yang sopan, dia
berusaha menenteramkan hati orang tua itu.
Di saat Song-lohucu benar-benar mengira dia telah
kehilangan semangat dan daya tempurnya, secara tiba-tiba
ia turun tangan, menggunakan gerak serangan paling cepat
untuk menotok tiga buah jalan darah penting di tubuh
kakek she Song ini.
Song-lohucu bukan sahabatnya, dia adalah musuhnya,
terhadap musuh yang sedang dihadapi dia harus
menggunakan cara yang paling cepat dan cara yang paling
keji. Atas tindakan yang telah dia lakukan ini, Siau-hong
merasa puas sekali.
Berikut siapa pula yang akan "mengantar
keberangkatan"nya"
Dia masih ingat, Po Eng pernah menyinggung nama Cu
Im kepadanya, dia pun masih ingat Cu Im adalah
Congkoan yang mengurus kantor dagang "Eng-Ki", seorang
anak muda yang amat tulus, jujur, dan sangat tahu aturan.
Siau-hong sama sekali tak menyangka kalau dia pun
seorang jago Bu-lim yang memiliki ilmu silat tinggi dan
selama ini selalu merahasiakan kebolehannya.
Namun ketika Po Eng menyinggung nama orang ini, dia
seakan memandangnya lebih berbobot, lebih penting dan
lebih serius daripada Gan Tin-kong, memang bukan
manusia sembarangan yang mampu mengendalikan kantor
dagang sebesar "Eng-ki", bila tidak memiliki ilmu silat dan
kemampuan yang istimewa, tak nanti Po Eng akan
menyerahkan tugas dan tanggung jawab berat ini
kepadanya. Siau-hong yakin, lak mungkin Po Eng salah pilih orang,
terhadap Cu Im, sejak awal dia sudah menaruh perasan
waswas. Pada saat itulah dia melihat Cu Im.
Penampilan Cu Im masih seperti di hari-hari biasa,
sopan, polos dan penuh aturan, satu-satunya yang berbeda
adalah di tangannya saat ini telah menggenggam sebilah
pedang. Sebilah pedang besi yang amat sederhana, pedang itu
sudah dilolos dari sarungnya.
Sambil memeluk pedang dengan sepasang tangannya
dan membiarkan ujung pedang menunjuk ke bawah, dia
memberi hormat kepada Siau-hong dengan penuh sopan
santun. "Boanpwe Cu Im, menanti petunjuk Hong-tayhiap."
Siau-hong tertawa.
"Aku bukan Tayhiap" tukasnya, "Kau pun bukan
Boanpweku, jadi tak perlu kelewat sungkan."
Sikapnya sewaktu berhadapan dengan Song-lohucu tadi
sama sopannya dengan sikap Cu Im terhadapnya sekarang,
kini Song-lohucu telah tergeletak di sudut dinding.
Selama beberapa hari ini dia telah banyak belajar,
banyak mempelajari berbagai persoalan.
Dia pun sangat memahami maksud Cu Im, sebagai
seorang Boanpwe yang minta petunjuk kepada seorang
Cianpwe, dia tak perlu bersikap adil lagi, biarpun di tangan
seorang Cianpwe tak berpedang, sebagai seorang Boanpwe
dia tetap boleh melancarkan serangan.
Benar saja, Cu Im telah turun tangan.
Serangan yang dilancarkan tidak terlalu cepat, perubahan
jurus pun tidak cepat, pada hakikatnya jurus serangan yang
dia gunakan sama sekali tak memiliki perubahan yang
terlalu rumit dan pelik, serangannya tak lebih hanya sebuah
jurus serangan yang amat sederhana tapi nyata dan amat
bermanfaat. Ilmu pedang semacam ini walaupun memiliki kelebihan,
akan tetapi bila digunakan untuk menghadapi Siau-hong,
jelas sama sekali tak ada gunanya.
Biarpun Siau-hong menghadapi serangan itu dengan
tangan kosong, menggunakan ilmu Kim-na-jiu-hoat yang
merupakan ilmu dasar kepandaian silat pun sudah lebih
dari cukup baginya untuk menghadapi ancaman lawan.
Dia bahkan mulai curiga kalau penilaian Po Eng
terhadap Cu Im kelewat tinggi dan berlebihan, benarkah Cu
Im belum sempat mengeluarkan ilmu silat sesungguhnya"
Baru saja Siau-hong akan menambah daya tekanannya
untuk memaksa dia mengeluarkan segenap kekuatannya,
tiba-tiba Cu Im sudah mundur sepuluh langkah dan sekali
lagi merangkap pedangnya di depan dada sambil memberi
hormat. "Boanpwe bukan tandingan Hong-tayhiap, Boanpwe
mengaku kalah," katanya.
Sekarang sudah mengaku kalah, apakah tidak terlalu
awal" Tidak seharusnya Po Eng mempunyai anak buah
yang begini lemah dan sama sekali tak berguna.
Semua anak buah Po Eng adalah petarung handal, kalau
tidak bertarung hingga titik darah penghabisan, tak nanti
mereka akan mengundurkan diri.
Tiba-tiba Cu Im berkata sambil tertawa, "Hong-tayhiap
pasti menganggap Boanpwe belum menggunakan kekuatan
sesungguhnya dan tidak seharusnya mundur begitu saja,
bukan?" Siau-hong mengakui akan hal ini.
Maka sambil tersenyum, kembali ujar Cu Im, "Boanpwe
tak ingin bertarung lagi, karena Boanpwe tak tega bertarung
lebih lanjut melawan dirimu."
"Kau merasa tak tega" Mengapa tak tega?" tak tahan
Siau-hong bertanya.
"Karena Hong-tayhiap sudah terkena racun jahat,
usiamu sudah tak bisa melewati setengah jam lagi," jawab
Cu Im lembut, "Bila Boanpwe memaksamu bertarung dua
puluh gebrakan lagi, maka racun dalam tubuh Hongtayhiap
segera akan bekerja dan tak ampun jiwamu pasti
akan segera melayang."
Siau-hong ikut tertawa.
Dia sama sekali tidak percaya perkataan Cu Im, sepatah
kata pun tak percaya.
"Aku keracunan" Kau lihat aku sudah keracunan?" Siauhong
sengaja bertanya, "Sejak kapan aku keracunan?"
"Sejak beberapa saat berselang."
"Arak yang diberikan Po Eng ada racunnya?"
"Tidak ada, dalam arak tak ada racun," jawab Cu Im,
"Bila dia ingin membunuhmu, tak perlu menggunakan arak
beracun." "Kalau dalam arak tak beracun, di mana racunnya?"
"Berada di tangan."
"Tangan siapa?"
"Tadi, tangan siapa yang kau genggam?" Cu Im balik
bertanya. Sekali lagi Siau-hong tertawa.
Tadi dia hanya menggenggam tangan Yang Kong, dia
tak akan percaya kalau Yang Kong akan mencelakainya.
Cu Im menghela napas, katanya, "Padahal kau
seharusnya dapat berpikir sampai ke situ. Dia salah seorang
yang mengantar kepergianmu, dialah orang pertama yang
mengantar kepergianmu, hanya saja cara yang dia gunakan
sama sekali berbeda dengan cara yang kami gunakan."
"Di mana perbedaannya?"
"Cara yang dia gunakan jauh lebih lembut daripada cara
kami, tapi cara itu justru jauh lebih bermanfaat."
"Cara apa yang dia pergunakan?"
"Kalian sudah sering pergi bersama, tentunya kau pernah
menyaksikan cincin yang sering dia kenakan, bukan?"
Siau-hong memang pernah menyaksikan cincin emas itu,
sebuah cincin yang terbuat dari emas murni, cincin yang
dibuat sangat indah dan menawan.
Bagaimana bentuk cincin itu" Siau-hong sudah tak ingat
dengan jelas. Di kota Lhasa, hampir setiap wanita
mengenakan perhiasan emas, di sudut sungai yang
mengalir, kau dapat menyaksikan ada begitu banyak orang,
menggunakan cara yang paling purba, sedang berusaha
mengeduk pasir emas dari tepi sungai.
Semua orang mengenakan cincin emas, di tempat ini
memakai perhiasan emas bukanlah satu peristiwa yang
menarik perhatian orang.
"Tapi cincin yang dia kenakan sama sekali berbeda," kata
Cu Im, "Cincin itu meski beratnya hanya beberapa gram,
namun nilainya bisa mencapai lebih dari ratusan tahil emas
murni." "Kenapa?" tanya Siau-hong, "Apakah cincin itu dibuat
oleh seorang ahli perhiasan kenamaan atau bentuknya yang
unik?" "Bukan!"
"Lalu apa sebabnya?"
"Karena racun dalam cincin itu," Cu Im menerangkan,
"Racun itu terbuat dari ramuan tiga puluh tiga jenis bahan
racun yang ganas, mula-mula ketiga puluh tiga jenis racun
itu digunakan untuk merendam emas, kemudian emas yang
sudah mengandung racun dibuat menjadi sebuah cincin, di
ujung cincin terdapat sebatang duri, duri yang lebih tajam
dari ujung jarum, asal tertusuk sedikit saja pada kulit
badanmu, sekalipun tusukan itu tidak menimbulkan rasa
sakit, bahkan sama sekali tidak kau rasakan, namun dalam
setengah jam kemudian racun itu pasti akan mulai bekerja
dan merenggut nyawamu."
Siau-hong tak dapat tertawa lagi, namun dia pun tidak
memberikan reaksi yang khusus.
Cu Im seolah sedang merasa kasihan dan sayang akan
nasibnya yang jelek, kembali dia bergumam, "Sebetulnya
kami semua telah menganggap kau sebagai sahabat. Bila
kau tidak pergi, tak seorang pun di tempat ini yang akan
mencelakaimu, terlebih Yang Kong, dia tak akan
menyusahkan dirimu."
Kemudian setelah menghela napas panjang, lanjutnya,
"Sungguh tidak beruntung, sekarang kita sudah bukan
sahabat lagi."
Tiba-tiba Siau-hong menukas perkataannya, "Aku tahu
apa yang akan kau katakan, kalau bukan teman berarti
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musuh, oleh karena itulah ia menggunakan cara semacam
ini untuk menghadapiku, terhadap musuhnya, kalian
memang akan bertindak dengan cara apa pun."
Cu Im sama sekali tidak menyangkal.
Kembali Siau-hong berkata, "Mula-mula dia
memberitahu dulu kepadaku akan rencana Gan Tin-kong
dan Song-lohucu yang berniat membunuhku, tujuannya
agar aku yakin kepadanya, agar aku percaya seratus persen
kepadanya, kemudian baru tanpa kusadari dia tusukkan
cincin beracunnya ke telapak tanganku, agar secara tak
sadar aku keracunan."
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba tanyanya, "Tapi apa
sebabnya kau memberitahukan rahasia ini kepadaku?"
Sebelum Cu Im menjawab, kembali Siau-hong telah
bertanya, "Bila tangan terpagut ular berbisa, seorang ksatria
akan memotong tangan sendiri, apakah kau berharap aku
mengurungi sendiri tanganku ini?"
Ooo)d*w(ooO BAB 16. PEDANG PEMUTUS SUKMA, MANUSIA
PUTUS USUS "Bukan," Cu Im seolah tidak mendengar kalau di balik
ucapan itu terselip nada sindiran, "Tapi tak ada salahnya
kau periksa dulu tangan milikmu, coba periksa apa benar di
atas tanganmu telah muncul mulut luka kecil seperti bekas
gigitan lebah beracun. Kalau mulut luka itu belum terjadi
perubahan, mungkin kau masih tertolong."
"Aku masih tertolong" Siapa yang akan menolongku?"
"Asal kau bersedia tetap tinggal di sini, setiap orang tentu
bersedia menolongmu."
Kepercayaan Siau-hong terhadap Yang-kong tampaknya
sudah mulai goyah, tak tahan ia membalikkan badan,
menghadap ke arah cahaya rembulan yang baru muncul
dan menjulurkan tangannya yang pernah digenggam Yang
Kong. Baru saja tubuhnya berputar, tujuh titik cahaya bintang
yang amat tajam telah memancar keluar dari tangan kiri Cu
Im, cahaya tajam yang bukan dilancarkan oleh kekuatan
pergelangan tangan, tapi dilontarkan dari dalam sebuah
tabung dengan pegas yang sangat kuat.
Biarpun banyak jenis senjata rahasia yang digunakan
orang persilatan, namun Toh-beng-jit-seng-ciam (jarum
tujuh bintang pencabut nyawa) tetap merupakan jenis yang
paling menakutkan.
"Braak...!", begitu pegas dilepas, pedang besi di tangan
kanan Cu Im kembali melancarkan sebuah tusukan kilat.
Gerak tangannya sudah tidak selambat tadi lagi, begitu
pedangnya ditusukkan ke muka, cahaya pedang yang
berkilauan telah mengunci mati seluruh jalan mundur Siauhong.
Pada saat itulah dia seolah telah berubah menjadi
seorang yang lain, dari seorang jago pedang yang berilmu
biasa telah berubah menjadi jago pedang yang maha
dahsyat. Seandainya sejak awal dia telah menggunakan ilmu
pedang semacam ini, dapat dipastikan Siau-hong tak akan
sanggup menghindarkan diri.
Tapi sekarang dia telah mencabik hancur rasa percaya
diri Siau-hong.
Siapa pun orangnya, bila mengetahui dirinya telah
dikhianati sahabat yang paling dipercaya, perasaannya pasti
akan jatuh, sedih dan pedih, apalagi waktu itu Siau-hong
sedang memeriksa mulut luka di tangan sendiri.
Bukan satu pekerjaan yang mudah untuk memeriksa
sebuah mulut luka selembut ujung jarum di bawah sinar
rembulan yang redup.
Dia telah memusatkan seluruh pikirannya ke tangan
sendiri, rasa percaya dirinya telah hancur, perasaan dan
emosinya telah runtuh penuh kepedihan, bagaimana
mungkin serangan pedang itu dapat dihindari"
Begitu melancarkan tusukan maut, Cu Im telah
memperhitungkan bahwa Siau-hong pasti mampus.
Seandainya Siau-hong benar-benar percaya kepada
ucapan Cu Im, benar-benar memeriksa apakah tangannya
terdapat mulut luka atau tidak, dapat dipastikan dia tentu
mampus. Tapi dia tidak mati, karena dia menaruh rasa percaya
penuh terhadap Yang Kong, rasa percaya seorang terhadap
manusia lain. Karena kepercayaannya terhadap Yang Kong tak
mungkin bisa digoyahkan dan dihancurkan hanya
dikarenakan beberapa patah kata orang lain, oleh karena itu
dia tidak mati.
Terhadap serangan pedangnya itu, Cu Im mempunyai
keyakinan untuk berhasil, dia pun yakin benar dengan
kemampuan jarum tujuh bintangnya.
Oleh karena itu begitu pedangnya melancarkan tusukan,
dia telah menggunakan seluruh tenaga yang dimiliki, hanya
teringat untuk "menyerang" tapi lupa untuk "bertahan".
Walaupun tusukan pedang itu sangat ganas dan dahsyat,
tapi sayang terdapat titik kelemahan, terdapat bagian
serangan yang terbuka. Dia sangka seluruh jalan mundur
Siau-hong telah tertutup, tapi sayang dia seolah melupakan
sesuatu, lupa kalau Siau-hong masih punya sebuah jalan
lagi yang bisa dia lakukan, "menggunakan serangan untuk
bertahan", menyerang masuk melalui titik kelemahannya,
mengancam jantungnya, menyerang nadi kematiannya dan
menerjang pusat pertolongannya.
Siau-hong tidak membunuh mati Cu Im.
Mula-mula dia bacok dulu pergelangan tangan Cu Im
yang menggenggam pedang, kemudian menyelinap masuk
ke posisi kosong musuh dan menyodok iga lawan dengan
sikutnya, bersamaan jari tengah, jari telunjuk dan jari
kelingkingnya menyodok ke muka, mencengkeram
tenggorokan orang she Cu itu.
Semua bagian yang diserang adalah tempat mematikan,
dalam keadaan begini mau tak mau Cu Im harus
menghindar untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba kelima jari tangan kanan Siau-hong berubah
jadi cakar elang, dia cakar wajah Cu Im, mencongkel biji
matanya sementara telapak tangan kirinya membabat bahu
kanan orang itu.
Bila bahu kanan terhantam telak, niscaya pedang besi itu
akan terlepas dari genggaman.
Menggunakan kesempatan itu Siau-hong rebut senjata
musuh, di antara kilauan cahaya pedang, tahu-tahu ujung
senjata itu telah menempel di atas tenggorokan Cu Im.
Akan tetapi dia tidak membunuh lawannya.
"Aku tak membunuhmu karena kau meskipun bukan
sahabatku, namun bukan juga musuh besarku," ujar Siauhong,
"Kau ingin membunuhku pun karena suatu masalah,
kau anggap hal ini harus dan wajib kau lakukan."
Cu Im yang berada di bawah todongan pedang masih
tetap berdiri tenang, tak tahan ia bertanya juga kepada Siauhong,
"Kau benar-benar percaya kalau Yang-kong tak bakal
mencelakaimu?"
"Aku percaya!"
"Mengapa kau begitu percaya kepadanya?"
"Karena dia belum pernah membohongi aku," jawaban
Siau-hong amat sederhana.
Tiba-tiba Cu Im menghela napas panjang.
"Aku sangat kagum kepadamu, kau memang seorang
sahabat sejati," puji Cu Im, "Tapi sayang semua sahabatmu
belum tentu merupakan sahabat sejati, oleh karena itu
kuanjurkan kepadamu lebih baik cepatlah pergi dengan
membawa pedangku itu."
"Aku tidak menghendaki nyawamu, kenapa harus
membawa pergi pedangmu?"
"Karena dalam waktu singkat kau bakal
menggunakannya, mungkin bukan untuk membunuh
orang." "Lalu digunakan untuk apa?"
Cu Im menatap wajah Siau-hong, tiba-tiba sinar matanya
menunjukkan perubahan yang sangat aneh, lewat lama
kemudian baru ujarnya, "Pedang ini seperti pedang lainnya,
kecuali bisa dipakai untuk membunuh orang, benda ini pun
masih memiliki kegunaan lain."
"Apa kegunaan itu?"
"Untuk bunuh diri," kembali Cu Im menghela napas,
"Bagaimana pun bunuh diri paling tidak jauh lebih enak
daripada mati di ujung pedang orang lain."
Belum sempat Siau-hong buka suara, tiba-tiba dari balik
kegelapan terdengar seseorang berkata dengan suara dingin,
"Sekalipun dia akan bunuh diri, tak perlu memakai
pedangmu, dia sendiri memiliki pedang, pedangnya jauh
lebih tajam daripada pedangmu."
Tiba-tiba terlihat sekilas cahaya pedang berkelebat dari
balik kegelapan, lalu terlihat sebilah pedang melesat,
seakan-akan muncul dari luar angkasa, langsung menancap
di bawah kaki Siau-hong.
Cahaya pedang berhawa dingin dengan di ujung senjata
seolah terdapat sebuah mata elang yang buas dan
menyeramkan sedang menatap dingin ke arahnya, itulah
pedang 'Mata iblis' miliknya.
Selama ini pedang itu disimpan Po Eng dan Siau-hong
belum pernah menyinggungnya lagi, dia seakan sudah
melupakan kehadiran pedang itu.
Tapi kini pedang miliknya telah kembali, tentu saja
bukan datang dari luar angkasa.
Pedang itu meluncur dari tangan seseorang.
Begitu Siau-hong berpaling, dia pun melihat orang itu,
mata tajam seperti elang, berbaju putih seperti sukma
gentayangan dan berdiri tegak bagai sebuah bukit karang.
Orang ini tak lain adalah Po Eng.
Siau-hong segera merasakan hatinya seakan tenggelam.
Ternyata orang terakhir yang akan mengantar
kepergiannya adalah Po Eng.
Pedang yang diserahkan Cu Im kepadanya memang
bukan dipakai untuk membunuh orang lain, di bawah ujung
pedang Po Eng, pada hakikatnya dia sama sekali tak punya
peluang. Sebetulnya mereka berdua sudah merupakan sahabat
yang sangat akrab, tapi sekarang mereka telah berubah jadi
dua manusia dari dunia yang berbeda.
Tiba-tiba Siau-hong tertawa, selama hidup belum pernah
dia tertawa sesedih dan sepedih ini.
"Sungguh tak kusangka kau pun akan datang mengantar
kepergianku," kata Siau-hong, "Kalau memang kau berniat
mengantar kepergianku, buat apa kau kembalikan pedang
itu kepadaku?"
"Karena pedang itu sesungguhnya memang milikmu."
Suara Po Eng sama sekali tak berperasaan, "Kau
seharusnya masih ingat apa yang pernah kukatakan
kepadamu, aku tak pernah mau barang milik orang hidup."
Tentu saja Siau-hong masih ingat. Mungkin pada
hakikatnya Po Eng belum pernah menerima benda apa pun
darinya. Pedangnya, persahabatannya, tak satu pun yang
pernah dia terima.
Kembali Po Eng berkata, "Sekarang kau sudah memiliki
pedangmu sendiri, kenapa tidak segera kau kembalikan
pedang di tanganmu itu kepada Cu Im?"
Siau-hong mengembalikan pedang itu kepada Cu Im,
kain pembalut gagang pedang berwarna hijau telah basah
kuyup oleh peluh dingin.
Tiba-tiba Po Eng tertawa dingin lagi.
"Hingga sekarang mengapa kau belum pergi" Apakah
ingin melihat aku membunuhnya?"
Perkataan ini ditujukan kepada Cu Im.
Terpaksa Cu Im beranjak pergi, sekalipun tak ingin
namun mau tak mau terpaksa dia harus pergi juga.
Tiba-tiba Siau-hong tertawa dingin.
"Mengapa dia harus pergi?" tanyanya kepada Po Eng,
"Sewaktu kau membunuh orang, mengapa takut dilihat
orang lain?"
Dia tidak menunggu jawaban Po Eng, sebab dia tahu Po
Eng tak akan menjawab pertanyaannya itu.
Dia telah mencabut pedangnya.
Sudah banyak tahun pedang ini mengikuti Siau-hong,
setiap kali menggenggam gagang pedang itu, selalu timbul
perasaan yang aneh, seolah sedang menggenggam tangan
seorang sahabat karib saja.
Tapi ketika ia menggenggam pedang itu sekarang,
perasaannya seperti sedang menggenggam tangan sesosok
mayat, tangan jenazah yang sudah dingin dan kaku, seakan
menggenggam tangan sahabat yang telah mati untuk
terakhir kalinya.
Itulah perasaan seseorang yang belajar pedang,
menggenggam pedang untuk terakhir kalinya.
Seandainya ia bersedia tetap tinggal di sini, seandainya
dia bersedia tetap meninggalkan pedang itu di tanah, Po
Eng tak bakal turun tangan.
Namun sayang ia tidak bersedia.
Sewaktu ia cabut pedang itu dari tanah, seperti dia telah
mengubur diri sendiri ke dalam tanah.
Po Eng masih berdiri di sana bagaikan sukma
gentayangan, memandangnya dengan dingin.
Tiada pedang di tangan Po Eng, tanpa menggunakan
pedang pun Po Eng tetap bisa membunuh orang.
Dengan mengandalkan tangan kosong dia sanggup
menghadapi bacokan golok Wi Thian-bong yang cepat
bagaikan kilat, sekarang tentu saja dia pun sanggup
menghadapi serangan pedang Siau-hong dengan sepasang
tangannya. Siau-hong telah melancarkan tusukan, serangan itu
tertuju ke arah -jantung Po Eng, yaitu jantung Siau-hong
sendiri. Karena tusukan yang dia lancarkan sama artinya
seperti menusuk diri sendiri.
Dari balik kilau cahaya pedang ia telah menyaksikan
"kematian".
Cahaya pedang yang berkilauan tiba-tiba terhenti,
terhenti persis di depan jantung Po Eng, ujung pedang telah
menembus pakaian Po Eng yang berwarna putih.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Po Eng sama sekali tidak turun tangan, bahkan bergerak
sedikit pun tidak.
Pada saat terakhir itulah Siau-hong baru menarik
kembali tusukannya, bahkan dia sendiri pun tertegun
karena kejadian ini.
"Mengapa kau tidak membalas?" tak tahan tanyanya
kepada Po Eng. Di saat dia bertanya kepada Po Eng, Po Eng pun sedang
bertanya kepadanya, "Mengapa kau tidak membunuhku?"
Kedua orang itu tak ada yang menjawab pertanyaan
lawan, karena mereka sama-sama mengetahui jawabannya.
Persahabatan! Inilah satu-satunya jawaban.
Pada saat bersamaan bukan saja ujung pedang telah
berhenti, seluruh pergerakan yang ada di dunia pun seakanakan
ikut terhenti. Karena mereka telah sadar, peduli urusan orang lain
akan berubah seperti apa pun, mereka berdua tetap tidak
berubah. Mereka masih tetap bersahabat.
Sahabat sejati selamanya tak akan berubah jadi musuh.
Cahaya lentera di atas tiang kembali bercahaya.
Tiba-tiba Po Eng membalikkan badan, mengawasi
cahaya lentera yang mirip kerlipan bintang di kejauhan,
lewat lama kemudian perlahan-lahan ia baru berkata,
"Pergilah, pergi ke bawah cahaya lentera itu, di sana ada
seseorang sedang menantikan kedatanganmu."
Siau-hong tidak berkata lagi. Po Eng pun tidak berkata
lagi. Ada sementara persoalan memang tak perlu diutarakan,
semua yang terindah di dunia ini memang tak perlu
diucapkan dengan kata-kata.
Mimpinya berada di Kang-lam. Kang-lam berada dalam
alam impiannya.
Cahaya lentera pun jauh bagaikan di Kang-lam, ada
seseorang menunggunya di bawah lentera, sesosok manusia
dan dua ekor kuda.
Orang itu adalah Yang-kong, sedang kuda adalah Ci-hu.
Baik orangnya maupun kudanya semua adalah sahabat
karibnya, sahabat sejati yang selamanya tak pernah akan
berubah. Yang-kong hanya mengucapkan tiga patah kata, "Mari
kita pergi!"
Cahaya bintang lebih jauh dari Kang-lam, tapi cahaya
bintang dapat terlihat jelas, bagaimana dengan Kang-lam"
Impiannya berada di Kang-lam, impiannya memang
dipenuhi kepedihan dan kesedihan seorang perantau yang
jauh meninggalkan desa kelahiran.
Dia tak pernah dapat melupakan kepedihan dan
kesedihannya ketika dengan berat hati meninggalkan Kanglam.
Kini dia akan segera kembali ke Kang-lam, tapi...
mengapa hatinya masih dipenuhi kesedihan dan kepedihan"
Yang-kong selalu berada di sampingnya, tiba-tiba ia
bertanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Kang-lam!"
Kang-lam tak lebih hanya susunan dua kata, tapi ketika
mendengar dua kata itu, Yang-kong pun segera
memperlihatkan mimik muka seperti orang sedang
bermimpi, tiba-tiba ia mulai bersenandung, membawakan
bait syair dari Liu Tun-thian.
Konon bait syair ini merupakan persembahan Liu Tunthian
kepada Sun-ho Tok-say ketika berada di kolam Chetong,
di mana secara tak sengaja terbaca oleh Wanyen
Liang. Konon gara-gara bait syair itu pula akhirnya tentara Kim
di bawah pimpinan Wanyen Liang menyerbu wilayah
Kang-lam. Memang harus diakui, inilah bait lagu yang sangat
indah, membuat mabuk yang mendengar, membuat mabuk
pula yang mendendangkan.
Lewat lama kemudian Siau-hong baru menghela napas,
katanya, "Mereka yang belum pernah datang ke Kang-lam,
pasti ingin berkunjung ke sana, tapi bila telah tiba di Kanglam,
kau akan sangat merindukan Lhasa."
"Aku percaya."
"Sekembaliku ke Kang-lam, bila tahu ada orang hendak
pergi ke Lhasa, aku pasti akan menitipkan sedikit kue bunga
Kui dan gula-gula daun teratai, hidangan kecil dari Kanglam
untukmu," kata Siau-hong sambil tertawa paksa,
"Sekalipun kau tak dapat menikmati bunga Kui dan bunga
teratai dari Kang-lam, hidangan kecil itu mungkin bisa
mengobati rasa rindumu itu."
Yang-kong termenung sampai lama sekali, tiba-tiba dia
ikut tertawa. "Kau tak perlu menitipkan hidangan itu kepada orang
lain," senyumannya mendadak berubah sangat aneh, "Aku
bisa pergi membeli sendiri."
"Kau akan membeli sendiri?" Siau-hong belum
menangkap arti perkataannya, "Mau beli di mana?"
"Tentu saja beli di Kang-lam."
Kini Siau-hong baru terperanjat.
"Mau membeli sendiri di Kang-lam" Jadi kau pun akan
pergi ke Kang-lam?"
Yang-kong mengangguk perlahan, dari balik pandangan
matanya pun seolah muncul impian tentang Kang-lam,
bahkan tersisip pula rasa murung karena suatu perpisahan.
Siau-hong menghembuskan napas lega.
"Kau tak bakal ke sana," katanya, "Dapat kulihat kau
merasa sangat berat untuk meninggalkan Lhasa, terlebih
harus berpisah dengan sahabat-sahabatmu."
"Aku memang merasa berat untuk berpisah dengan
mereka," sahut Yang-kong, "Tapi aku harus pergi ke Kanglam."
"Mengapa?"
"Engkoh Eng minta aku mengantarmu, mintaku
mengantarmu sampai Kang-lam," Yang-kong menerangkan
dengan sedih, "Seharusnya kau tahu, terlepas tugas apa pun
yang dia minta aku kerjakan, aku selalu menuruti semua
perkataannya."
Sekali lagi Siau-hong tertawa paksa.
"Mengapa dia minta kau mengantar sejauh itu" Apakah
dianggapnya aku sudah lupa jalanan untuk pulang?"
"Aku sendiri pun tak tahu mengapa dia minta aku
mengantarmu," jawab Yang-kong, "Tapi karena dia sudah
meminta, maka aku pun harus mengantarmu sampai di
Kang-lam, biar kau hajar aku dengan pecut pun aku tak
bakal pergi dari sampingmu."
Dia pun ikut tertawa walau kelihatan sangat dipaksakan,
karena dia pun seperti Siau-hong, memahami maksud Po
Eng. Po Eng memintanya untuk mengantar Siau-hong karena
tak lain ingin menjodohkan mereka berdua, setiap orang
beranggapan bahwa mereka sudah merupakan sepasang
kekasih. Siau-hong termenung sampai lama sekali, tiba-tiba
tanyanya lagi, "Setelah tiba di Kang-lam, apakah kau akan
balik lagi?"
"Benar," tanpa berpikir panjang Yang-kong langsung
menjawab, "Peduli sampai di mana pun, aku pasti akan
kembali lagi."
Mendadak tanyanya lagi, "Tahukah kau manusia macam
apakah Po Eng itu?"
"Dia adalah Toakomu."
"Dia adalah Toakoku, tentu saja Toakomu juga,"
Yang-kong menghela napas panjang, "Hanya sayang aku
bukanlah adiknya!"
"Kau bukan?" Siau-hong sedikit melengak, "Lantas kau
adalah apanya?"
"Aku adalah calon istrinya, kami berdua telah terikat tali
perkawinan."
Siau-hong terperangah.
Kembali Yang-kong termenung sampai lama sekali
kemudian baru berkata lagi, "Selama ini dia tak pernah
membiarkan kau tahu akan persoalan ini, karena dia selalu
mengira kau menyukai aku, dia tak ingin kau tertekan
batinnya karena persoalan ini."
Siau-hong tertawa getir.
Kembali Yang-kong berkata, "Lagi pula dia selalu
menganggap dirinya sudah terlalu tua, merasa tak pantas
mengawini aku, selalu berharap aku bisa menemukan
pasangan hidup yang jauh lebih baik, oleh karena itu...."
"Oleh karena itu dia minta kau mengantarku, mengantar
sampai ke Kang-lam," Siau-hong mewakilinya menjawab.
"Dia memang manusia semacam ini, selalu berpikir demi
kepentingan orang lain, belum pernah memikirkan
kepentingan sendiri," Yang-kong tertawa getir, "walaupun
penampilannya selalu dingin dan kaku, dingin bagaikan
bongkahan es."
Biarpun senyumannya mengandung nada pedih namun
terselip pula perasaan bangga, bangga karena Po Eng.
"Demi kau, dia tak segan ribut sendiri dengan rekanrekannya,
bahkan tak segan menjamin dengan nyawanya
kalau kau tak bakal membocorkan rahasia mereka," Yangkong
menghela napas panjang, "Tapi persoalan ini sampai
mati pun tak nanti akan dia katakan kepadamu, sebab dia
tak ingin kau memikul beban di hatimu, tak ingin kau
berterima kasih kepadanya."
Siau-hong tidak berkata apa-apa lagi.
Dia kuatir air mata yang sudah mengembeng di kelopak
matanya keburu meleleh.
Dia tak akan mengucurkan air mata secara mudah,
perasaan terima kasihnya kepada seseorang pun tak pernah
diucapkan begitu saja.
Kembali lewat lama sekali, Yang-kong baru berkata,
"Peduli bagaimana pun dia bersikap kepadaku, sikapku
kepadanya tak pernah akan berubah untuk selamanya."
"Oleh sebab itu kemana pun kau pergi, suatu saat pasti
akan kembali," sambung Siau-hong.
Yang-kong menatap pemuda itu dan bertanya perlahan,
"Jadi kau memahami maksudku?"
"Tentu saja paham."
Yang-kong tertawa, dia benar-benar tertawa,
senyumannya kembali secerah dan seterang sinar sang
surya. Kembali dia menggenggam tangan Siau-hong, kali ini dia
menggenggam lebih kencang dan erat.
"Aku tahu, kau pasti dapat mengerti," katanya, "Aku pun
tahu, dia tak akan salah melihatmu, kau memang
merupakan sahabat karibnya."
Di saat mereka sedang tertawa paling cerah, paling
gembira itulah tiba-tiba terdengar semacam suara keluhan
yang amat menyedihkan.
Bukan rintihan, bukan pula dengusan napas memburu,
hanya seseorang yang berada dalam keadaan sangat
menderita, sangat tersiksa maka akan memperdengarkan
suara semacam ini.
Suara itu sangat rendah, sangat jauh, seandainya bukan
berada di tengah malam buta, apalagi di tengah gurun yang
sepi, kemungkinan besar mereka tak akan mendengar suara
ini. Tapi sekarang mereka telah mendengarnya.
Tempat itu masih termasuk pinggiran gurun pasir,
merupakan sebuah oase yang kini telah mengering.
Oase yang mengering, ibarat wanita cantik yang telah
memasuki usia senja, tak akan dapat menahan ayunan
langkah siapa pun.
Yang-kong mengajak Siau-hong menelusuri jalan itu.
Bukan saja karena amat jarang orang berlalu-lalang di
sini, dikarenakan pula orang lain tak akan menyangka
orang yang begitu hapal dan menguasai situasi gurun pasir,
akan melalui sebuah tanah oase yang tak berair.
Tak berair berarti tak ada kehidupan, para pelancong
pasti akan menghindari tempat itu.
Pohon nan hijau sudah mulai layu dan mengering, yang
tersisa hanya sebuah gundukan tanah yang tetap kokoh,
tetap duduk dengan pandangan dingin, menyaksikan
perubahan yang terjadi di alam jagat ini.
Suara yang mereka dengar ternyata berasal dari balik
gundukan pasir itu.
Di belakang gundukan pasir terdapat sebatang pohon
kering, di atas pohon kering tergantung tubuh seseorang,
seseorang yang seharusnya sudah mati sedari dulu.
Siapa pun itu orangnya, tak mungkin bisa hidup hingga
sekarang setelah mengalami begitu banyak siksaan dan
penderitaan. Mungkin dia bisa hidup hingga kini karena
orang itu hanya separoh manusia dan separoh lainnya iblis.
Ternyata orang ini tak lain adalah Thian-mo-giok-li (Iblis
langit gadis suci) Liu Hun-hun.
Kalau bukan dikarenakan pakaiannya, nyaris Siau-hong
tak dapat mengenalinya sebagai Liu Hun-hun.
Dia telah disiksa hingga tak berbentuk manusia, bahkan
suara untuk merintih pun tak sanggup dikumandangkan,
yang bisa dilakukan hanya memandang ke arah Siau-hong
dengan sorot mata minta belas kasihan, memandang
dengan matanya yang merah darah.
Dia tak ingin Siau-hong menolongnya, sebab dia sendiri
pun tahu tak mungkin dirinya dapat hidup lebih jauh.
Yang dia inginkan hanya mati secepatnya.
Siau-hong memahami maksudnya, andaikata dia
menghadiahkan sebuah tusukan, tindakannya itu justru
merupakan sebuah tindakan bajik baginya, tindakan yang
sangat berperi kemanusiaan.
Namun dia tidak turun tangan, sebab dia sendiri pun tak
tahu bagaimana harus berbuat.
Bagaimana pun juga orang ini belum mati, tak seorang
pun punya hak untuk menentukan mati hidupnya.
Yang-kong telah membuang muka, dia tak tega
menyaksikan lebih jauh.
"Mari kita pergi!"
Siau-hong enggan beranjak pergi. Sambil menghela
napas Yang-kong pun berkata, "Jika kau tak ingin
menolongnya, tidak tega pula membunuhnya, mengapa tak
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau pergi?"
Siau-hong sendiri pun tak dapat mengemukakan
alasannya. Dalam watak manusia memang terdapat banyak sekali
ungkapan perasaan yang sukar dijelaskan, oleh sebab itu
hampir setiap orang seringkali melakukan perbuatan yang
dia sendiri pun tak dapat menjelaskan alasannya.
Siau-hong hanya ingin melepaskan perempuan itu dari
tiang gantungan.
Yang-kong segera menarik tangannya.
"Kau tak boleh menyentuhnya!"
"Mengapa?"
"Sebab bila kau menyentuhnya, maka orang lain akan
tahu kalau kita pernah datang ke sini, tahu kalau jalan
inilah yang kita tempuh."
"Orang lain" Siapa pula orang lain itu?" kembali Siauhong
bertanya. Yang-kong tak menjawab, karena "orang lain" telah
mewakilinya menjawab, "Yang dimaksud orang lain adalah
aku!" Suara itu berasal dari belakang tubuh Siau-hong.
Bahkan Siau-hong sama sekali tidak merasakan
kehadirannya, tahu-tahu orang itu telah berdiri di
belakangnya bagaikan sesosok roh gentayangan.
Belum pernah ada orang tahu kapan dia akan datang,
belum pernah juga ada yang tahu kapan dia akan pergi.
Siau-hong mengepal sepasang tinjunya, sampai ujung jari
pun ikut terasa dingin membeku.
Tapi dia sama sekali tidak merasa keheranan, sebab sejak
awal dia sudah tahu, Pancapanah tak bakal melepaskan
dirinya. Wajah Pancapanah sudah tidak dihiasi senyuman
sehangat musim semi, penampilannya tampak begitu keras
dan kokoh bagaikan emas, sinar matanya tajam bagai ujung
gurdi. Dalam genggamannya masih terlihat gendawa, di
pinggangnya tergantung pula anak panah.
Kembali Yang-kong menghela napas.
"Kusangka kau tak akan menduga bahwa aku bakal
melalui jalanan ini, tak menyangka kau masih tetap berhasil
menemukan kami."
Lalu setelah tertawa getir, terusnya, "Tak heran setiap
orang bilang bila Pancapanah sedang mengejar seseorang,
maka keadaannya ibarat seekor anjing pemburu sedang
mengejar seekor ayam, belum pernah sekali pun mengalami
kegagalan."
Pancapanah seolah sama sekali tidak mendengar apa
yang sedang dibicarakan gadis itu, dia masih mengawasi
Liu Hun-hun yang tergantung di atas pohon tanpa berkedip.
Tiba-tiba tanyanya, "Tahukah kalian siapa yang telah
melakukan semua ini terhadap dirinya?"
"Memangnya kau tahu?" tanya Yang-kong, "Siapa?"
Lama sekali Pancapanah termenung sebelum akhirnya
menyebut nama seseorang, "Dia adalah Kim-jiu si tangan
emas." "Tangan emas" Siapakah Tangan emas?"
"Kim-jiu bukan nama manusia tapi sebuah organisasi,
organisasi yang dibeli Lu-sam dengan bayaran emas
murni," Pancapanah menjelaskan, "Kim-jiu merupakan
julukan mereka."
"Sebelum ini mengapa aku belum pernah
mendengarnya?"
"Aku sendiri pun baru tahu belakangan," kata
Pancapanah, "Thiat Gi, Wi Thian-bong, Liu Hun-hun,
mereka adalah anggota organisasi ini."
"Kalau Liu Hun-hun adalah anggota organisasi ini,
mengapa mereka bersikap begitu keji terhadapnya?"
Mungkin saja Yang-kong tidak mengetahui alasannya,
tapi Siau-hong tahu.
"Karena dia pernah mengkhianati mereka!"
Sewaktu berada dalam tenda berbulu elang berwarna
hitam, dia minta setiap rekannya meninggalkan sebelah
tangan. Sekarang Siau-hong baru paham, apa sebabnya waktu itu
Po Eng melepaskan Liu Hun-hun begitu saja.
Rupanya dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa
rekan-rekannya pasti akan melakukan balas dendam
terhadapnya. Mata Pancapanah mulai berkerut kencang, tapi sinar
matanya bertambah tajam, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa
dingin, "Sungguh tak disangka ternyata mereka masih
tinggal di sini dan belum pergi."
Kembali Yang-kong bertanya, "Mereka sengaja
menggantung tubuh Liu Hun-hun di sini, apakah perbuatan
itu sengaja dilakukan untuk menakut-nakuti kita?"
Tapi dengan cepat ia jawab pertanyaan sendiri, "Sudah
pasti begitu, maka dari itu kau harus secepatnya pergi
mencari mereka, tunjukkan sedikit kehebatanmu kepada
mereka." Kembali dia menarik tangan Siau-hong, menariknya
menuju ke tempat di mana kuda mereka dilepas.
"Kita pun harus segera pergi."
Tapi Pancapanah segera menghalangi jalan pergi
mereka, melintangkan gendawa di tengah jalan.
"Kau boleh pergi, tapi dia tetap di sini."
"Buat apa dia tetap tinggal di sini?" Yang-kong sengaja
berlagak pilon, "Apakah minta dia menemanimu minum
arak?" "Bukan!"
Sebenarnya pertanyaan ini tak perlu dijawab, tapi
Pancapanah tetap menjawab, bahkan menjawab dengan
nada serius dan sungguh-sungguh.
Kembali Yang-kong menghela napas.
"Aku pun tahu, tentu saja kau tak akan minta dia untuk
menemanimu minum arak, kau tak pernah minum arak
sewaktu hendak membunuh orang."
Pancapanah mengakuinya, hawa napsu membunuh telah
mencorong keluar dari balik matanya.
"Kalau sudah tahu, buat apa kau bertanya lagi?"
"Karena aku berharap kau hanya memintanya
menemanimu minum arak," sikap Yang-kong pun berubah
jadi serius dan bersungguh-sungguh, "Karena kau tak akan
mampu membunuhnya."
Pancapanah tertawa dingin.
"Aku memahami maksudmu," katanya, "Kalian berdua
boleh turun tangan bersama, asal dapat membunuhku, kau
boleh membawa dia pergi."
Kemudian sepatah demi sepatah tambahnya, "Hanya
setelah berhasil membunuhku, kau baru dapat
membawanya pergi."
"Kau keliru besar," sekali lagi Yang-kong menghela
napas, "Pada dasarnya kau sama sekali tidak memahami
maksudku, aku tak pernah berniat membunuhmu, tapi kau
pun tak nanti bisa membunuhnya, kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" tukas Pancapanah, "Ketika dia
ingin pergi, tak seorang pun dapat menghalanginya; begitu
pula dengan aku, di saat aku hendak membunuh orang, tak
seorang pun dapat menghalangiku juga."
Tangan kanannya telah menggenggam gendawa emas,
kemudian dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kirinya menarik sebatang anak panah.
"Kecuali kali ini dia masih dapat menghindari kelima
batang anak panahku!"
Kini gendawa emas telah dipentang, anak panah telah
disiapkan, Ngo-hoa-sin-ciam yang selalu tepat sasaran telah
siap melepaskan anak panah mautnya.
Mendadak Yang-kong berteriak, "Aku pun tak tahu
apakah dia sanggup menghindari anak panahmu atau tidak,
tapi aku tahu, jika panah itu kau lepaskan, maka yang mati
terpanah bukan hanya dia seorang."
"Kau ingin menemaninya mati?" ejek Pancapanah sambil
tertawa dingin.
Ooo)d*w(ooO BAB 17. MANUSIA YANG MATI BERLUTUT
"Aku tak ingin," jawab Yang-kong.
Bukan takut, dia malah tertawa, terusnya, "Aku hanya
tahu, bila kau membunuhnya, maka akan ada orang lain
pasti menemaninya pergi mati."
"Siapa" Siapakah orang itu?" mau tak mau Pancapanah
harus bertanya.
"Orang itu adalah Pova!"
Dengan hambar terusnya, "Po Eng minta aku
memberitahukan kepadamu, bila kau membunuh Siauhong,
maka Pova pasti akan ikut mati, hari ini kau
membunuhnya, Pova tak akan hidup sampai esok."
Gendawa emas masih berada di tangan Pancapanah,
anak panah pun masih di atas gendawa, tapi sekujur
badannya telah jadi kaku, bahkan jari tangan yang menarik
tali busur pun ikut kaku.
Dia sangat memahami Po Eng, tak ada orang kedua
yang lebih mengerti tentang Po Eng daripada dirinya.
Setiap perkataan yang diucapkan Po Eng, persis panah
yan Pendekar Laknat 6 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 1
misteri, apa lagi yang bisa dikatakan
Siau-hong"
Dia hanya bisa bertanya, "Mengapa kau tidak
membunuhku?"
Ternyata jawaban yang diberikan Galun Lhama sama
misteriusnya dengan ilmu silat yang dimilikinya.
"Karena aku sudah mengetahui maksud kedatanganmu,"
jawab Galun Lhama tenang, "Kedatanganmu bukan untuk
menjenguk perempuan itu, kau datang untuk
membunuhnya."
"Dari mana kau tahu?"
"Karena kau membawa hawa napsu membunuh, hanya
orang yang telah bertekad akan membunuh orang baru
memiliki hawa pembunuhan semacam ini, meskipun kau
sendiri tidak melihatnya, namun sejak kau melangkah
masuk ke dalam ruangan ini, aku telah merasakannya."
Siau-hong tak dapat buka suara lagi.
Dia benar-benar dibuat terkejut, terperangah oleh
kenyataan yang dihadapi.
Galun Lhama kembali berkata, "Aku tidak
membunuhmu karena aku ingin kau pergi membunuhnya."
Tiba-tiba suaranya berubah sangat berat dan dalam,
"Hanya dengan kematiannya kau baru bisa hidup. Hanya
dengan kematiannya, kematian Bu-siong baru punya nilai."
Dari sorot matanya yang tua tiba-tiba memancar sinar
tajam yang menggidikkan, dengan suara keras bagai auman
singa terusnya, "Cabut pedangmu, gunakan pedang ini
untuk membunuhnya! Gunakan darah perempuan iblis itu
untuk memberi minum pedang yang telah dahaga itu!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, ia menambahkan,
"Kau harus ingat baik-baik, bila kesempatan emas yang kau
jumpai kali ini dilewatkan begitu saja, maka selamanya kau
akan hidup tersiksa di dalam neraka, terjerumus untuk tidak
bangkit lagi."
Jelas perkataan ini bukan sebuah permintaan, juga bukan
sebuah perintah. Tapi sebuah pertaruhan.
Pertaruhan dari seorang pendeta agung.
Kau baru bisa hidup bila berhasil membunuhnya, kalau
tidak, sekalipun tetap hidup, keadaanmu tak jauh berbeda
dengan mati. Ternyata pendeta agung yang penuh misteri ini bukan
saja dapat melihat hawa pembunuhan yang dipancarkan
Siau-hong, dia pun dapat menembus suara hatinya.
Oleh karena itulah dia mengajak Siau-hong bertaruh,
hanya seorang pendeta agung yang dapat menetapkan
pertaruhan semacam ini.
Hal ini pun merupakan niat baik seorang pendeta agung,
niat baiknya untuk melenyapkan kejahatan.
Benarkah Siau-hong bertekad akan pergi membunuh
Pova" Tegakah dia turun tangan"
Siau-hong memang telah bertekad bulat akan menghabisi
nyawa Pova. Tokko Ci maupun Bu-siong bukan orang yang pandai
bicara bohong, perkataan yang mereka ucapkan pasti tak
bohong atau dibuat-buat.
Mereka telah membuktikan perempuan macam apakah
Pova itu, Siau-hong mau tak mau harus mempercayainya,
oleh sebab itu dia tak boleh membiarkan perempuan itu
hidup lebih lanjut, kalau tidak, entah berapa banyak lelaki
yang bakal musnah di tangannya.
Kini dia telah berhadapan dengan Pova.
Pedang sudah berada dalam genggamannya, ujung
pedang sudah tinggal beberapa inci di atas jantungnya, asal
dia dorong pedang itu ke depan, maka seluruh masalah,
seluruh penderitaan, baik cinta, benci, budi maupun
dendam akan berakhir.
Sekalipun dia masih sukar melupakan, namun dengan
berjalannya sang waktu, semua kenangan lambat-laun akan
semakin tawar dan hambar, setawar awan di angkasa, buyar
dan lenyap ketika terhembus angin.
Tapi sayang tusukan pedangnya justru tak mampu
dilanjutkan....
Matahari makin condong ke langit barat.
Pova seperti pendeta agung misterius itu, dengan tenang
duduk di balik bayangan kegelapan.
Ketika ia melihat Siau-hong berjalan masuk ke dalam
ruangan, melihat tangannya menggenggam pedang, dengan
cepat dia sudah dapat menebak maksud kedatangannya.
Walaupun hawa pembunuhan tiada suara tiada
bayangan tiada wujud, namun tak mungkin bisa
disembunyikan. Bila dia masih ingin membantah atau mencari alasan,
masih ingin menggunakan gerak-geriknya yang lemah
lembut untuk membangkitkan rasa cinta Siau-hong di masa
lampau, tusukan pedang pemuda itu pasti sudah
dihujamkan ke dadanya sedari tadi.
Andaikata dia menubruk ke dalam pelukan Siau-hong
begitu bertemu dengannya, lalu menunjukkan wajah riang,
Siau-hong pun pasti telah membunuhnya.
Namun dia tidak berbuat begitu.
Ia hanya duduk di sana dengan tenang, menatap Siauhong
lekat-lekat, sampai lama kemudian ia baru menghela
napas seraya berkata, "Tak kusangka ternyata kau belum
mati." Inilah perkataan jujurnya yang pertama.
"Aku minta Bu-siong pergi mencarimu, bukan karena
ingin dia mengajakmu menengok aku, tapi ingin dia
mencabut nyawamu."
Siau-hong tetap membungkam, menunggunya berkata
lebih jauh. Biarpun kata jujur sangat melukai hati, namun tidak
semenderita dan tersiksa seperti waktu dibohongi orang.
"Aku tahu Bu-siong pasti tak akan membiarkan kau
datang menjumpai aku, pasti akan membunuhmu," kata
Pova, "Bila dia tak mampu membunuhmu, berarti dia pasti
mati di tanganmu."
Kemudian dengan hambar dia melanjutkan, "Setelah dia
mati, kau pasti akan kemari dan Galun Lhama pasti akan
membunuhmu untuk membalas dendam kematiannya,
karena hubungan mereka berdua lebih akrab daripada
hubungan seorang ayah dengan anaknya."
Ini pun ucapan yang sejujurnya.
Dia telah memperhitungkan setiap kemungkinan secara
cermat, sebetulnya rencananya bakal membuahkan hasil
sukses. Setelah menghela napas panjang, Pova berkata lebih
lanjut, "Sekarang aku baru tahu, ternyata perhitunganku
masih ada sedikit kesalahan. Rupanya Galun Lhama jauh
lebih cermat, jauh lebih lihai daripada apa yang
kubayangkan, ternyata dia dapat menembusi maksud
hatiku." Kemudian ia memberi penjelasan lebih jauh, "Biasanya
dia tak pernah peduli urusanku dengan Bu-siong, maka aku
baru kelewat memandang enteng dirinya, sekarang aku baru
tahu, ternyata selama ini dia selalu mendendam dan
membenci aku, ia lebih suka membebaskan kau daripada
membiarkan harapanku terwujud."
Lama sekali Siau-hong termenung, kemudian ia baru
bertanya, "Mengapa kau beritahukan semua persoalan ini
kepadaku?"
"Karena aku tak ingin membohongimu lagi."
Tiba-tiba terbias nada sendu di balik ucapannya.
"Kau pun tak usah bertanya lagi kepadaku, apakah aku
sungguh-sungguh atau berbohong kepadamu, karena kau
adalah musuhku, aku hanya ingin membunuhmu."
Siau-hong masih ingat dia pernah mengatakan hal yang
sama di masa lalu.
Hubungan mereka memang sudah tak ada pilihan lain
lagi, hubungan antara musuh dan sahabat, kalau bukan
teman berarti musuh, kalau bukan kau yang mati berarti
akulah yang mati!
"Oleh sebab itu setiap saat kau boleh membunuhku, aku
tak bakal menyalahkan kau," kembali Pova berkata.
Siau-hong merasa tak tega untuk turun tangan.
Bukannya tak tega, pada hakikatnya dia tak mampu
turun tangan. Karena pada hakikatnya dia sendiri pun tak
tahu, dalam peristiwa ini siapa berada di pihak benar dan
siapa salah. Bila Po Eng benar-benar adalah begal kucing dan bila
Pova melakukan semuanya itu karena dia bertugas untuk
menangkap sang perampok, apakah apa yang telah dia
lakukan itu salah"
Demi tercapainya tujuan, bukankah Po Eng pun sama
saja pernah menghalalkan segala cara"
Tokko Ci adalah seorang jago pedang, jago pedang tidak
pernah mempunyai perasaan, Bu-siong pun sudah menjadi
pendeta, tidak sepantasnya ia terlibat dalam kasus cinta,
kalau sampai mereka berdua bisa ditipu perempuan ini
habis-habisan, maka kejadian ini hanya bisa dibilang
merupakan kesalahan mereka sendiri, mencari penyakit
buat diri sendiri.
Siau-hong tidak membayangkan tentang dirinya. Setiap
kali berada dalam situasi antara hidup dan mati, benar dan
salah, seringkali dia melupakan diri sendiri.
Ooo)d*w(ooO BAB 14. CINTA BENCI HANYA TERPISAH SATU
GARIS Pova menatapnya lekat-lekat.
"Kau mau membunuhku boleh saja, tidak membunuhku
juga boleh, aku tak akan memaksa dirimu," katanya,
"Namun ada satu hal perlu kuingatkan dulu kepadamu."
"Soal apa?"
"Jika kau tak membunuhku, bakal ada orang akan
membunuhmu. Bila aku tak mati, setelah kau berjalan
keluar dari ruangan ini, nyawamu pasti akan tercabut di
ujung pedang Galun."
"Aku tahu," sahut Siau-hong.
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, tanpa
berpaling lagi dia beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Antara cinta dan benci, antara benar dan salah, antara
hidup dan mati, sesungguhnya bagaikan golok bermata dua,
perbedaan di antara mereka hanya dipisahkan oleh sebuah
garis yang tipis.
Baru keluar dari dalam ruangan, Siau-hong telah melihat
Galun Lhama sedang menunggunya di tengah halaman
kecil. Matahari sudah semakin redup, angin yang berhembus
terasa makin dingin dan menggigilkan.
Galun Lhama berdiri di bawah sebatang pohon kuno,
hembusan angin menggoyangkan dahan dan ranting,
namun jagat raya sama sekali tak bergerak.
Pendeta agung ini pun sama sekali tak bergerak.
Walaupun dia nampak begitu kurus kering dan lemah,
namun kesabarannya sudah melampaui ketenangan yang
mencekam jagat raya.
Satu-satunya perubahan yang terjadi hanyalah di saat ia
bertemu Siau-hong, dari balik matanya seolah terlintas
selapis perasaan pedih dan iba.
Apakah hal ini dikarenakan dia telah menduga sejak
awal kalau Siau-hong tak bakal melakukan pembunuhan"
Dalam genggaman Siau-hong masih ada pedang, cahaya
pedang tetap memancarkan sinar kehijauan.
Galun Lhama memandang sekejap pedang di tangannya,
lalu berkata hambar, "Pedang mustika bagaikan kuda
jempolan, kuda jempolan memilih majikan yang saleh,
begitu pula dengan pedang, bila kau tak dapat
mempergunakannya maka senjata itu bukan milikmu."
"Pedang ini memang sebenarnya bukan milikku,
milikmu," kata Siau-hong.
"Kalau bukan milikmu, cepat kembalikan kepadaku,"
ujar Galun Lhama sambil mengulurkan tangan.
Tanpa ragu sedikit pun Siau-hong segera mengembalikan
pedang itu ke tangannya.
Ketajaman pedang ini jauh berada di luar dugaan siapa
pun, seandainya dia menggenggam senjata ampuh
semacam ini, belum tentu Galun Lhama bisa
menandinginya dengan mudah.
Namun dia seakan sama sekali tidak berpikir ke situ,
sama sekali tidak punya pikiran kalau Galun minta dia
menyerahkan kembali pedang itu karena pendeta itu akan
menggunakan senjata itu untuk membunuhnya.
Dia pun tidak....
Matahari senja telah bersembunyi di belakang bangunan
istana yang tinggi megah, yang tersisa kini hanya kilatan
cahaya pedang berwarna hijau yang berkilauan di tengah
remang-remangnya cuaca.
Tiba-tiba Galun Lhama menghela napas panjang sambil
berkata, "Sebetulnya kau pun seorang pemuda yang hebat
dan mengesankan, seperti Bu-siong, tapi sayang sekarang
kau pun telah mati. Sekalipun aku tidak membunuhmu, kau
pun tak jauh berbeda dengan orang mati."
Ia mendongakkan kepala menatap Siau-hong, kemudian
terusnya, "Sekarang apa lagi yang ingin kau katakan?"
"Ada!" jawab Siau-hong segera, "Masih ada yang akan
kukatakan, ada satu persoalan ingin kutanyakan
kepadamu."
"Soal apa?"
Siau-hong menatapnya tajam, kemudian sepatah demi
sepatah ujarnya, "Kau membenci Pova, membenci dia telah
menghancurkan orang yang paling kau kasihi, kau pun
membenci diri sendiri, karena kau sama sekali tak sanggup
mencegah terjadinya peristiwa ini."
Tiba-tiba dia mempertinggi suaranya dan bertanya lebih
jauh dengan nada keras, "Mengapa kau tidak berusaha
mencegah mereka" Mengapa membiarkan dia tetap tinggal
di sini" Mengapa tidak kau bunuh dengan tanganmu
sendiri" Sebenarnya apa yang kau takuti?"
Galun Lhama tidak menjawab, sama sekali tak
membuka suara, sementara cahaya pedang dalam
genggamannya bergetar semakin hebat.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah tangannya sedang gemetar" Persoalan apa di
dunia ini yang dapat membuat pendeta agung ini
terperanjat hingga gemetaran"
Perkataan Siau-hong makin tajam dan memojokkan,
katanya lagi, "Sudah jelas kau memiliki kemampuan untuk
mencegah terjadinya peristiwa ini, bila kau sudah turun
tangan sejak awal, tak mungkin Bu-siong menemui ajalnya.
Dalam hatimu pasti terdapat rahasia besar yang takut
diketahui orang, karena itu bukan saja kau tak berani
membunuh Pova, bahkan bertemu muka dengannya pun
tak berani."
"Apakah kau menginginkan aku pergi membunuhnya?"
tiba-tiba Galun Lhama buka suara, "Bila aku ingin
membunuhmu, apakah harus membunuhnya terlebih
dahulu?" "Benar!" jawaban Siau-hong langsung, jelas dan tegas.
Dia tak ingin Pova mati, tapi dia pun tak ingin dirinya
mati, karena itu diajukan persoalan pelik untuk Galun.
Dia yakin dan percaya kalau Galun Lhama seperti
dirinya, tak akan turun tangan terhadap Pova, sebab kalau
bukan begitu, mungkin Pova sudah mati berulang kali.
Tapi kali ini lagi-lagi dia salah menduga.
Bara saja kata "benar" meluncur dari mulutnya, tubuh
Galun Lhama yang kurus kering telah menyelinap ke depan
bagai hembusan segulung angin segar dan tahu-tahu telah
menyusup masuk ke dalam ruangan.
Menanti dia ikut menyusul ke dalam, pedang di tangan
Galun Lhama yang memancarkan sinar kehijauan itu telah
menempel di atas tenggorokan Pova.
Cahaya pedang menyinari wajah Pova, paras gadis itu
sama sekali tak nampak gugup, panik, atau ketakutan.
Dia tak percaya Galun berani turun tangan terhadapnya.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Pova hambar,
"Apakah kau ingin membunuhku" Apakah kau sudah lupa
siapakah aku" Lupa dengan janji rahasia di antara kita
berdua?" "Aku tidak lupa."
"Kalau begitu kau seharusnya tahu, bila kau bunuh
diriku, bukan saja bakal menyesal sepanjang masa, bahkan
dosamu tak pernah bisa tercuci bersih selamanya."
Pova berbicara dengan yakin, begitu yakinnya hingga
membuat orang mau tak mau merasa terperanjat.
Sebenarnya siapakah perempuan ini"
Antara seorang iblis wanita dengan seorang pendeta
agung, sebenarnya telah terjalin janji rahasia apa" Mereka
telah berjanji untuk apa" Untuk melakukan apa"
Siau-hong tidak habis mengerti, tapi dia pun tak bisa
tidak untuk mempercayainya.
Galun Lhama sama sekali tidak menyangkal akan hal
ini. "Aku tahu, aku memang tak dapat membunuhmu, tapi
aku rela selamanya terjebak dalam neraka dan siksaan batin
untuk tetap membunuhmu."
"Mengapa?"
"Karena Bu-siong adalah anakku, dua puluh delapan
tahun berselang aku pun pernah bertemu seorang wanita
seperti kau."
Berubah paras Pova.
Dia bukan terperanjat karena mendengar rahasia ini,
melainkan karena dia tahu setelah Galun Lhama
membeberkan semua rahasia kepadanya, hal ini
menunjukkan ia telah bertekad akan menghabisi nyawanya.
Paras Siau-hong ikut berubah.
Dia pun telah menyadari akan hal ini. Bukan saja ia
tercengang bahkan merasa menyesal, karena hawa napsu
membunuh di hati Galun terpancing keluar gara-gara
dipaksa olehnya.
Dia tak ingin menyaksikan Pova tewas gara-gara
ulahnya. Belum lagi pedang itu menusuk ke depan, Siau-hong
telah menerkam ke depan, tangan kanannya langsung
membacok belakang tengkuk Galun sementara tangan
kirinya mencengkeram urat nadi pada pergelangan
tangannya yang menggenggam pedang. Galun Lhama sama
sekali tak berpaling.
Dia alihkan pedangnya ke tangan kiri, sementara ruas
tulang lengan kanannya tiba-tiba menekuk sambil berputar
ke belakang, dia balas mengancam pinggang anak muda itu.
Siapa pun itu orangnya, tak nanti ada yang menduga
kalau lengan seseorang dapat ditekuk ke belakang dari
posisi seperti itu, apalagi menyerang dari arah yang tak
terduga. Begitu juga dengan Siau-hong, dia pun tidak mengira.
Baru saja ia saksikan Galun membalik lengan kanannya,
tahu-tahu dia sudah terhantam roboh.
Kini mata pedang sudah berada tak sampai dua inci dari
tenggorokan Pova.
Tusukan yang dilakukan Galun Lhama saat ini sangat
lambat, perasaan yang sudah banyak tahun terkekang, rasa
cinta yang sudah lama terkendali, tiba-tiba saja
dilampiaskan semua, rasa benci dan dendamnya terhadap
Pova jauh lebih dalam dari siapa pun.
Dia ingin menyaksikan iblis wanita yang telah
menghancurkan hidup putranya ini perlahan-lahan mati di
ujung pedangnya.
Sekarang sudah tak ada orang lagi yang dapat
menyelamatkan jiwa Pova.
Siau-hong nyaris tak tega menyaksikan lebih lanjut.
Sungguh tak disangka pada detik itulah mendadak terlihat
lagi ada sekilas cahaya pedang menyambar secepat kilat,
langsung mengancam nadi besar di belakang tengkuk Galun
Lhama. Tusukan pedang itu datang amat cepat, arah yang diincar
pun sangat tepat.
Dalam keadaan begini, mau tak mau Galun Lhama
harus berusaha menyelamatkan diri.
Pedangnya segera diayun ke belakang menyongsong
datangnya cahaya pedang yang terbang melintas di tengah
udara. "Traang!", sepasang pedang saling beradu, terjadilah
suara benturan yang memekakkan telinga, percikan bunga
api berhamburan ke mana-mana, seperti percikan api
mercon di tengah kegelapan malam.
Menyusul "Traak!", sebilah pedang mencelat ke udara
dan menancap di atas tiang ruangan.
Tak ada pedang, tak ada manusia.
Ternyata pedang itu dilontarkan orang dari luar ruangan,
sementara sang pelempar masih berada di luar kamar.
Kalau lontaran pedangnya saja bisa menimbulkan kekuatan
dan kecepatan sehebat ini, bisa dibayangkan betapa
ampuhnya kungfu yang dimiliki orang itu.
Biarpun Galun Lhama belum sempat bertemu orang itu,
rupanya dia sudah tahu orang ini sangat menakutkan.
Siau-hong segera dapat menduga siapa gerangan orang
ini. Meskipun dia tak mengira orang itu bisa datang
menyelamatkan Pova, namun dia kenal betul pedang itu.
Ternyata pedang yang menancap di atas tiang penglari
itu tak lain adalah pedang Mo-gan, si mata iblis miliknya.
Ruangan yang redup, kertas jendela yang putih, daun
jendela berada dalam keadaan setengah terbuka, sementara
itu pedang meluncur masuk dari luar jendela, tapi mana
orangnya" Sewaktu pedang Mata iblis terpantek di atas tiang, Galun
Lhama telah menerobos keluar lewat jendela, Siau-hong
hanya menyaksikan sekilas cahaya pedang berwarna
kehijauan melesat keluar dari jendela bagaikan kilatan
bianglala. Tahu-tahu bayangan tubuhnya telah lenyap dari
pandangan. Tubuhnya yang kurus kering telah melebur di balik
cahaya pedang, tubuh dan pedangnya telah bersatu-padu,
nyaris mendekati "tubuh pedang melebur jadi satu" seperti
sering disebut dalam legenda.
Ci-siong, pedang mestika yang berada dalam
genggamannya termasuk juga sebuah senjata langka.
Seandainya Po Eng masih berada di luar ruangan,
dengan cara apa dia akan membendung datangnya serangan
maut itu" Tiba-tiba Siau-hong melompat naik ke atas wuwungan
rumah, dia berniat mencabut pedang miliknya dan berharap
segera dapat menyerahkan senjata itu ke tangan Po Eng.
Belum sempat tangannya diulur, mendadak atap ruangan
hancur dan berserakan ke bawah lantai, kemudian terlihat
sebuah tangan menerobos masuk melalui lubang itu dan
menyambar pedang itu.
Sebuah tangan yang kurus tapi sangat kuat, tangan
dengan jari yang panjang dan kuku yang terawat sangat
bersih dan rapi.
Siau-hong segera mengenali tangan itu, dia pun pernah
berjabatan tangan dengan tangan itu.
Ternyata orang yang muncul tak lain adalah Po Eng.
Mengapa Po Eng datang menolong Pova" Apakah
karena Siau-hong ataukah dikarenakan sebuah alasan yang
hingga kini belum diketahui oleh siapa pun"
Belum Siau-hong menemukan alasannya, dari luar
ruangan telah berkumandang lagi suara pekikan naga yang
amat nyaring. Sekali lagi pedang Ci-siong saling bentur dengan pedang
Mo-gan, belum habis suara dengungan bergema, Siau-hong
pun telah menyusul keluar ruangan.
Waktu itu senja sudah kelam, kegelapan mulai
menyelimuti angkasa.
Siau-hong tak dapat melihat jelas tubuh Po Eng, dia pun
tidak melihat Galun, yang terlihat hanya dua kilatan cahaya
pedang yang saling menggulung dan saling berputar di
udara, di tengah hawa pedang yang menggidikkan, terlihat
daun dan ranting berguguran, bahkan ujung baju yang
dikenakan Siau-hong pun ikut berkibar.
Inilah untuk pertama kalinya Siau-hong menyaksikan
ilmu pedang yang dimiliki Po Eng.
Sudah belasan tahun lamanya ia berlatih pedang, tapi
baru hari ini dia sadar bahwa ilmu pedang ternyata
merupakan sebuah pelajaran yang memiliki jangkauan
begitu luas dan besar.
Ditatapnya pertarungan yang sedang berlangsung sengit
itu dengan termangu, bukan saja tangan dan kakinya terasa
dingin, perasaannya pun ikut dingin, begitu dinginnya
hingga merasuk ke sampai ujung kaki.
Siapa yang akan memenangkan pertarungan ini"
Hawa pedang berwarna hijau kelihatannya jauh lebih
cemerlang daripada hawa dingin "Mata iblis". Gerakan
berputar dan beterbangan pun seakan jauh lebih lincah dan
gesit. Tapi secara tiba-tiba Siau-hong dapat merasakan bahwa
sang pemenang pastilah Po Eng.
Sebab biarpun hawa pedang "Ci-siong" lebih cemerlang,
namun jelas memperlihatkan pertanda terburu napsu dan
gelisah. Siapa yang bernapsu dan gelisah pasti tak akan bertahan
lama. Ternyata apa yang dilihatnya tidak salah, meskipun
cahaya yang terpancar dari pedang "Ci-siong" lebih segar
dan cemerlang, namun hawa pedang yang terpancar sudah
tidak memiliki hawa pembunuhan yang dahsyat dan
menakutkan. "Trang...!", mendadak terdengar lagi suara dentingan
nyaring, untuk ketiga kalinya sepasang pedang itu saling
bentur. Bersamaan dengan lenyapnya suara dentingan, cahaya
pedang yang menyelimuti angkasa pun tiba-tiba lenyap, kini
dedaunan di atas pohon telah berguguran, suasana di
tengah halaman pun tiba-tiba berubah jadi sunyi senyap.
Entah sejak kapan Galun Lhama sudah duduk bersila di
tengah guguran dedaunan, di tengah remangnya cuaca, dia
nampak begitu tenang, begitu lemah, seperti apa yang
dilihat Siau-hong pertama kali tadi.
Sementara itu pedang "Ci-siong" sudah tak berada di
tangannya lagi.
Dalam genggamannya tak ada pedang, di hati pun tiada
pedang. Kini dia sudah bukan jago pedang yang garang, jago
pedang yang mampu membunuh musuhnya dalam sekejap.
Di saat dia meletakkan pedang, tubuhnya telah
melangkah masuk ke tengah halaman, tapi sekarang dia
tampil sebagai seorang pendeta agung yang hatinya lebih
tenang dari air.
Semua hawa kebengisan dan napsu membunuh, cinta
dan dendam, sayang dan benci mengikuti buyarnya hawa
pedang yang mulai sirna dan punah, tingkat kesuciannya
telah mengalami kemajuan satu tingkat.
Dengan tenang Po Eng berdiri di hadapannya,
memandang wajahnya dengan tenang, sikapnya serius
penuh hormat, sorot matanya memancarkan sinar kagum,
tiba-tiba ujarnya sambil merangkap tangan memberi
hormat, "Kiong-hi Taysu!"
"Kiong-hi apa" Kegembiraan apa yang kuperoleh?"
"Taysu telah memahami teori tingkat tinggi ilmu
pedang," kata Po Eng, "Kiong-hi juga kepada Taysu karena
hasil latihanmu kembali memperoleh kemajuan."
Galun Lhama tersenyum, perlahan-lahan dia pejamkan
matanya. "Kau baik, kau sangat baik," kemudian sambil mengulap
tangan ia menambahkan, "Kau pergilah!"
Po Eng belum beranjak pergi, tiba-tiba Galun Lhama
membuka mata kembali sambil meraung sangat keras.
"Kenapa minta kau yang pergi" Kenapa bukan aku yang
pergi?" Seusai mengucapkan perkataan itu, dari balik wajahnya
yang semu gelap terlintas selapis hawa kelembutan dan
ramah.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali lagi Po Eng merangkap tangan memberi hormat.
Dengan langkah yang lambat Galun Lhama berjalan
melewati tumpukan daun di tanah dan menuju ke balik
kegelapan malam.
Dari tengah kegelapan malam yang mencekam, terlihat
bintang bertaburan di angkasa.
"Ci-siong" masih tertinggal di tanah, mata pedang yang
berwarna hijau kini telah berubah busam tak bercahaya.
Pedang kenamaan seperti jago pedang, sama saja tak
boleh kalah. Mengawasi bayangan punggung Galun Lhama hingga
lenyap dari pandangan, tiba-tiba Po Eng menghela napas
panjang. "Dia tidak kalah, sekalipun dianggap kalah pun bukan
kalah oleh permainan pedangku."
"Bukan?"
"Pasti bukan," Po Eng menggeleng, "Dia kalah karena
dia sama sekali tak punya niat membunuhku, dia hanya
ingin menggunakan aku untuk melampiaskan hawa
pedangnya, melampiaskan semua hawa sesat dan napsu
membunuh yang mengeram di hatinya."
Sesudah berhenti sejenak, perlahan-lahan terusnya,
"Kalau dia sama sekali tak berniat mengungguli diriku,
bagaimana mungkin bisa dianggap kalah?"
Siau-hong memahami maksudnya.
Seorang pendeta agung yang sudah banyak tahun
menahan diri, bila secara tiba-tiba timbul gejolak perasaan
yang sukar dikendalikan, terkadang dalam waktu sekejap
akan menggiringnya terjerumus ke dalam bencana iblis.
Karena jarak antara "iblis" dan "kebenaran"
sesungguhnya seperti selisih antara cinta dan benci, hanya
terbatas satu benang tipis.
Kini jago pedang telah kalah, namun pendeta agung
telah menyadari akan kekhilafannya.
Po Eng menatap Siau-hong, sinar matanya kembali
memancarkan rasa gembira dan terhibur, dia sudah tahu
pemuda itu telah memahami maksudnya.
Padahal waktu itu pikiran Siau-hong sangat kalut.
Ada banyak persoalan yang dia ingin tanyakan kepada
Po Eng, dia sudah merasakan adanya hubungan istimewa
antara Pova dan Po Eng, suatu hubungan rahasia yang
hingga kini belum pernah diketahui siapa pun.
Dia tidak bertanya karena dia tak tahu bagaimana harus
bertanya. Po Eng pun tidak berbicara, apakah karena dia pun tak
tahu bagaimana harus berkata"
Daun jendela yang setengah terbuka kini telah tertutup
rapat, tiada cahaya lentera di dalam ruangan, juga tak ada
suara, hanya Pova seorang diri yang duduk tenang di balik
kegelapan. Mengapa dia masih tetap tinggal di sini"
Perlahan-lahan Po Eng membalikkan badan, menghadap
ke angkasa dengan bintang yang gemerlapan dan berdiri
termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya,
"Aku tahu, masih terdapat sebuah simpul mati yang belum
dapat kau lepas dalam hatimu."
Siau-hong tidak menyangkal.
Kembali Po Eng termenung cukup lama.
"Bila kau benar-benar ingin mengetahui rahasia di balik
semua ini, ikutlah aku, tapi kunasehati dirimu, ada
beberapa masalah memang lebih baik tidak tahu."
Kali ini Siau-hong tidak menerima nasehat Po Eng.
Dia pergi mengikuti Po Eng, berjalan menuju ke rumah
kecil yang berada di sebelah timur.
Cahaya bintang terlihat jauh lebih benderang di tengah
gurun, mereka sudah tiga hari lamanya berjalan di tengah
gurun pasir. Siau-hong tidak mengerti apa sebabnya Po Eng lagi-lagi
membawanya menyusuri gurun pasir, namun dia pun tidak
bertanya. Ia percaya kali ini Po Eng pasti akan memberi sebuah
jawaban yang gamblang dan jelas, jawaban yang dapat
mengurai simpul mati dalam hatinya.
Mereka melakukan perjalanan dengan menunggang
kuda, sepanjang hari nyaris kuda dilarikan tanpa berhenti,
waktu beristirahat sangat sedikit.
Perjalanan yang mereka tempuh selama tiga hari ini lebih
jauh daripada perjalanan biasa yang dilakukan selama
sepuluh hari. Gurun pasir yang tak berperasaan sama tak berperasaan,
pada senja hari ketiga mereka telah balik kembali ke tebing
karang yang terbentuk dari hembusan angin.
Selamanya Siau-hong tak akan melupakan tempat ini,
sebab di tempat inilah untuk pertama kalinya ia berjumpa
Pova, di sini pula Wi Thian-bong sekalian mendirikan
perkemahannya. Kini walaupun perkemahan itu entah sudah lenyap ke
mana, namun seluruh peristiwa yang pernah terjadi dalam
perkemahan itu, tak pernah akan dilupakan Siau-hong
untuk selamanya.
Po Eng telah turun dari kudanya, bersama Siau-hong
menikmati sepotong daging sapi dan sekantung arak susu.
Selama tiga hari perjalanan, mereka jarang sekali buka
suara, namun setiap kali selesai meneguk arak, Siau-hong
tentu akan mendengar ia mendendangkan lagu yang amat
pedih. Lagu yang menggambarkan perasaan cinta seorang
lelaki, perasaan yang membawa kesedihan, kesendirian
yang memabukkan, jauh lebih memabukkan daripada arak
yang diteguk. "Kapan kita akan meneruskan perjalanan ke depan
sana?" "Kita tak akan melanjutkan perjalanan lagi," jawab Po
Eng, "Tempat inilah yang kita tuju."
"Buat apa kau mengajakku kemari?" kembali Siau-hong
bertanya. Kalau tempat ini adalah tujuan mereka, apakah semua
jawaban dari pertanyaannya berada di sini"
Po Eng tidak memberi jawaban apa pun, dia
mengeluarkan dua buah sekop dari dalam buntalannya dan
melemparkan sebuah ke arah Siau-hong.
Dia minta Siau-hong mengikutinya menggali tanah di
sana. Apakah semua jawaban dari pertanyaannya terpendam
di bawah sana"
Ooo)d*w(ooO Malam semakin larut.
Tanah yang mereka gali pun makin lama semakin dalam,
kini mereka telah menggali melewati lapisan pasir yang
gembur, lalu melewati pula selapis batu cadas yang keras.
Sekonyong-konyong "Tring!", Siau-hong merasa
cangkulnya telah menyentuh sebuah benda logam yang
keras. Menyusul dia pun menyaksikan kilatan cahaya emas dari
balik bebatuan.
Ternyata emas murni!
Ternyata di bawah bebatuan karang yang keras itu
tertanam emas murni dalam jumlah yang sangat banyak.
Sambil membuang sekopnya, ujar Po Eng kepada Siauhong,
"Sekarang kau tentu sudah mengerti bukan, mengapa
kuajak kau datang kemari."
Suaranya tetap tenang, "Tiga puluh laksa tahil emas
murni milik Hok-kui-sin-sian Lu-sam yang hilang dirampok
semuanya di sini."
"Kau yang menguburnya di sini?"
"Benar, akulah si begal kucing."
Walaupun sejak awal Siau-hong telah menduga, tak
urung ia terperanjat juga dibuatnya.
Kembali Po Eng menatapnya lekat-lekat, kemudian
melanjutkan dengan perlahan, "Setiap anggota rombongan
kami adalah begal kucing, merekalah pejuang sebenarnya
yang sudah lama mendapat pendidikan ketat dan bertarung
dalam ratusan pertempuran. Bila anak buah Wi Thian-bong
dibandingkan mereka, maka kemampuan orang-orang itu
tak lebih hanya bocah yang baru belajar bermain pedang."
Nada bicaranya sama sekali tidak terselip nada ejekan
atau memandang hina, karena apa yang dikatakan memang
merupakan kenyataan.
"Mimpi pun Wi Thian-bong tak akan menyangka kalau
tumpukan emas murni ini sebetulnya belum pernah
diangkut keluar meninggalkan gurun pasir."
"Selamanya tak akan diangkut keluar?"
"Ya, selamanya!"
Jawaban Po Eng sangat tegas dan serius, tapi Siau-hong
tetap tak habis pikir.
Dengan susah payah mereka merampok uang emas itu,
tentunya perbuatan ini dilakukan karena nilai bongkahan
emas murni itu.
Bila tumpukan emas murni itu bakal dipendam
selamanya di sana, bukankah emas yang tak ternilai
harganya itu akan berubah seperti pasir dan bebatuan, sama
sekali tak ada nilainya"
Tidak menunggu Siau-hong menanyakan soal itu, Po
Eng telah menjawab pertanyaan itu terlebih dulu.
"Sebetulnya tujuan kami bukan ingin memiliki emas
murni itu," kata Po Eng, "Kami sengaja merampok emas itu
karena kami tak akan membiarkan Lu-sam menggunakan
emas murni itu untuk menghadapi orang lain."
"Orang lain?" tak tahan Siau-hong bertanya, "Siapa yang
kau maksud sebagai orang lain?"
"Mereka adalah kawanan manusia yang selama dua hari
belakangan hampir setiap hari kau jumpai, yakni Pova,
Pancapanah, serta seluruh anggota sukunya."
"Mengapa Lu-sam ingin menghadapi mereka?" tanya
Siau-hong lagi, "Ia berencana akan menghadapi mereka
dengan cara apa?"
Po Eng minta Siau-hong membantunya mengubur
kembali emas itu ke dalam tanah, kemudian baru mulai
berkisah, "Dia ingin merombak ajaran agama orang Tibet
yang telah dipuja selama hampir ratusan tahun, dia pun
ingin membunuh Buddha Hidup yang dipuja-puja orang
Tibet selama ini karena ingin mendirikan agamanya sendiri
di sini." "Jelas kejadian ini merupakan sebuah perencanaan yang
sangat mengejutkan, siapa pun tak menyangka Lu-sam akan
menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisinya,
hal ini dikarenakan agama yang dipujanya adalah agama
menyembah api, ayahnya adalah orang Persia, pengikut
setia dari kaum pemuja api," ujar Po Eng lebih lanjut, "Oleh
sebab itu, dia ingin menggantikan ajaran kaum Lhama di
Tibet dengan ajaran menyembah api."
Dengan wajah serius terusnya, "Padahal agama
kepercayaan yang dianut orang Tibet sudah begitu
mengakar di hati sanubari masing-masing, karena itu
seandainya rencana yang dilakukan Lu-sam benar-benar
terwujud, dapat dipastikan wilayah Tibet tak pernah akan
hidup dalam kedamaian dan ketenteraman."
"Oleh karena itu kalian tak bisa membiarkan rencananya
itu terwujud?"
"Benar, tak boleh terwujud," kembali Po Eng
menegaskan, "Untuk mencegah dirinya, terpaksa kami tak
segan menghalalkan segala secara, bahkan bila perlu
mengorbankan segala yang kami miliki."
Sementara Siau-hong masih termenung, kembali Po Eng
berkata, "Orang pertama yang mengorbankan diri adalah
Pova, dia pula pengorbanan paling besar."
"Jadi dia adalah perempuan yang dikatakan Pancapanah,
demi kejayaan sukunya bersedia mengorbankan diri?" tanya
Siau-hong, "Bahkan bersedia mengorbankan segala
miliknya untuk menyusup ke dalam kubu Lu-sam dan
menjadi mata-mata?"
"Benar, dialah orangnya."
Setelah berhenti sejenak, kembali Po Eng melanjutkan,
"Kami tak akan membiarkan orang lain mengetahui rahasia
ini, maka dari itu di kala masih berada dalam tenda berbulu
hitam, terpaksa aku membiarkan kau menaruh kesalah
pahaman terhadapnya, ketika berada di luar 'leher
kematian' pun kami tak membiarkan dia muncul dari dalam
tandu ketiga."
Lambat-laun Siau-hong mulai paham dengan peristiwa
yang terjadi. "Oleh karena itu Galun Lhama rela membiarkan dia
tinggal dalam istana Potala, maka kau pun bersedia datang
untuk menyelamatkan jiwanya."
"Karena aku tak akan membiarkan dia tewas di tangan
Galun, juga tak akan membiarkan Galun menyesal
sepanjang masa," kata Po Eng, "Demi agama yang dianut
Galun, pengorbanan yang diberikan Pova sudah kelewat
besar." Tiba-tiba dengan nada penuh kesedihan dan kepedihan,
kembali terusnya, "Bukan saja dia mengorbankan diri
sendiri, bahkan tak segan mengorbankan orang yang
dicintainya."
Siapakah orang yang paling dicintai Pova"
Siau-hong tidak bertanya, juga tak perlu bertanya.
Tentu saja Lu-sam akan membalaskan dendam atas
kematian putra tunggalnya. Agar bisa memperoleh
kepercayaan dari Lu-sam, terpaksa Pova harus
mengorbankan Siau-hong, dia sendiri tak tega turun tangan,
karena itu ia minta Bu-siong untuk membantunya
melaksanakan tugas ini.
Seorang wanita, demi cintanya yang agung, demi
kepercayaannya, ternyata tak segan mengorbankan lelaki
yang paling dicintainya, sekalipun lelaki itu sebenarnya tak
bersalah, namun dia tak sempat lagi mempedulikan hal ini.
Dengan apa yang telah ia lakukan, siapa yang dapat
mengatakan kalau dia bersalah"
Siau-hong tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia
hanya membaringkan diri dengan perlahan, berbaring
tenang di bawah cahaya bintang.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cahaya bintang nun jauh di langit, malam yang dingin
seolah menyelimuti seluruh gurun yang tak berperasaan,
seandainya dia melelehkan air mata saat itu, bisa dipastikan
air matanya akan membeku jadi bunga es.
Dia tidak melelehkan air mata, setelah mengalami
peristiwa ini, mungkin sepanjang hidup dia tak akan
melelehkan air mata lagi.
Po Eng sama sekali tidak memberi penjelasan mengapa
dia harus memberitahukan rahasia ini kepadanya, "Karena
kau adalah sahabat karibku!"
Perkataan semacam ini memang tak perlu diulang untuk
kedua kalinya. "Kini aku telah memberitahukan semua persoalan yang
kuketahui kepadamu!" secara ringkas dan sederhana Po Eng
menerangkan, "Kau boleh mempertimbangkan masakmasak,
akan tetap tinggal untuk bergabung dengan kami
atau pergi?"
"Aku pasti akan mempertimbangkannya," janji Siauhong.
"Terserah berapa lama kau akan mempertimbangkan
masalah ini, tapi di saat kau telah mengambil keputusan,
segeralah beritahu kepadaku."
Siau-hong menyanggupi.
Cahaya bintang terasa makin redup dan tawar, hawa
dingin yang mencekam kegelapan malam terasa makin
membekukan, mereka berdua sama-sama tak dapat melihat
bagaimana perubahan mimik muka masing-masing.
Sampai lama kemudian Siau-hong baru berkata, "Kau
selalu bekerja cermat dan berhati-hati, tapi kali ini kau
kelewat sembrono."
"Sembrono?"
"Kau tidak kuatir ada orang menguntit kita sampai di
sini" Tidak kuatir orang lain mengetahui kalau di sini
terdapat emas dalam jumlah yang sangat besar?"
Po Eng tidak menjawab, tapi dari balik kegelapan segera
terdengar seseorang menyahut sambil tertawa, "Dia tak
perlu kuatir ada orang lain menguntitnya karena ia tahu
sepanjang jalan aku pasti berada di sekitar kalian berdua,
sekalipun terdapat beberapa ekor rase yang ingin mengintil,
aku pasti membekuknya dan mengulitinya."
Ternyata suara Pancapanah.
Ketika Siau-hong melompat bangun, Pancapanah telah
berdiri di hadapannya, hanya selisih jarak lima kaki.
Sepak terjang orang ini jauh lebih sukar terlacak
ketimbang rase gurun pasir yang paling gesit, gerakan
tubuhnya lebih cepat daripada hembusan angin, sorot
matanya pun lebih pekat daripada kegelapan malam, saat
ini dia sedang mengawasi Siau-hong.
"Tentu saja dia pun tidak kuatir kau bakal membocorkan
rahasianya," ujar Pancapanah hambar, "Belum pernah ada
orang yang dapat membocorkan rahasia kami."
Dia sedang tertawa, namun senyumannya begitu
misterius, dingin, tak berperasaan seperti suasana malam
buta di tengah gurun pasir.
Ketika mereka kembali ke kota Lhasa, pagi hari yang
cerah, kehidupan yang berdenyut serta "cahaya matahari
biru" yang indah dan cantik sedang menanti kedatangan
mereka. Kembali Po Eng menyerahkan Siau-hong kepada gadis
itu. "Ke mana pun dia ingin pergi, ajaklah dia ke sana,"
pesan Po Eng, "Apa pun yang dia minta, berikan semua
kepadanya."
Ketika mendengar perkataan itu, sewaktu
membayangkan kembali senyuman Pancapanah yang
dingin tanpa perasaan, orang dengan mudah akan
terbayang suasana di saat seorang narapidana sedang
menghadapi detik-detik terakhir menjelang dihukum
gantung, karena pada saat terakhir, apa pun permintaan
yang diajukan pasti akan dikabulkan.
Dia telah membocorkan rahasia yang seharusnya tak
boleh diketahui siapa pun kepada Siau-hong, dipandang
dari sudut tertentu tak disangkal dia telah memutuskan
hukuman mati untuk anak muda itu.
Namun Siau-hong tidak berpendapat demikian, dia
seolah tidak membayangkan apa pun.
"Sinar matahari" masih tertawa begitu cerah dan
gembira, dia sama sekali tidak bertanya kemana perginya
selama beberapa hari ini, hanya tanyanya, "Apa yang kau
inginkan" Ingin aku menemanimu pergi ke mana?"
Tiga hari kemudian Siau-hong baru menjawab
pertanyaannya itu.
"Aku minta sepuluh ribu tahil perak," katanya, "Aku
ingin pergi ke suatu tempat yang tak mungkin bisa kau
temani." Dalam tiga hari ini mereka nyaris berkumpul setiap saat,
ia telah menemani Siau-hong melakukan semua pekerjaan
kaum lelaki yang tak mungkin mau dilakukan oleh
perempuan lain.
Ia menemaninya main judi, menemaninya minum arak,
terkadang sewaktu minum sampai mabuk, mereka bahkan
tidur bersama. Suatu hari ketika Siau-hong mabuk, tiba-tiba ia temukan
gadis itu sedang tertidur di sampingnya.
Sewaktu tidur, nona ini tampak lebih lembut, lebih
cantik, lebih mirip seorang wanita ketimbang sewaktu dia
mendusin. Perawakan tubuhnya yang langsing, lembut,
putih bersih, terendus bau harum yang merangsang.
Napsu birahi yang membakar dadanya ketika mendusin
dari mabuknya, hampir saja membuat Siau-hong tak kuasa
menahan diri, nyaris dia menggagahi gadis muda itu.
Untung saja ia mampu mengendalikan diri, dengan air
dingin ia guyur badannya hampir setengah jam lamanya,
hingga kini hubungan mereka berdua masih tetap bersih
dan suci. Sayang sekali kesucian mereka bukan saja tidak
diketahui siapa pun, mungkin tak seorang pun akan
mempercayainya.
Tapi Yang-kong tak peduli, terserah apa pun pikiran
orang lain terhadap mereka berdua, dia sama sekali tak
peduli. Ooo)d*w(ooO BAB 15. PILIHAN
Sebetulnya persoalan semacam ini paling dipedulikan
kaum wanita, tentu saja terkecuali ia memang sudah siap
menerima kehadiran lelaki itu.
Yang-kong tak peduli, apakah dia pun telah siap
menerima kehadiran pemuda ini"
Tapi tiga hari kemudian secara tiba-tiba Siau-hong
mengajukan permintaan ini, bahkan minta gadis itu untuk
mengabulkannya.
"Kau tak boleh bertanya hendak ke mana aku pergi,
apalagi menguntitku secara diam-diam. Kalau tidak,
kemungkinan besar aku akan membunuhmu!"
Permintaan semacam ini sangat tak masuk akal, bahkan
kelewat batas. Apa yang diucapkan pun kasar dan sangat
menyakitkan hati, bahkan dia sendiri pun menyangka
Yang-kong pasti akan marah.
Siapa tahu bukan saja dia tidak marah, bahkan segera
menyanggupi permintaannya.
"Pergilah, aku cinta padamu!"
Sepuluh ribu tahil perak yang diminta Siau-hong,
ternyata disiapkan untuk diberikan kepada Tokko Ci.
Dia sama sekali tidak melupakan janjinya dan kembali
lagi ke rumah burung yang pernah ditunjukkan bocah itu.
Rumah burung masih tetap ada, sangkar burung di
bawah wuwungan rumah pun masih utuh, namun burungburung
yang berada dalam sangkar itu telah hilang, kosong,
lenyap. Burung-burung itu telah terpapas kutung dan rontok di
atas tanah, setiap burung telah terbelah jadi dua bagian,
terpapas kutung oleh sabetan pedang tajam.
Bekas darah yang berceceran di atas tanah telah
mengering, suasana dalam rumah pun hening dan sepi.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan tangan dan kakinya jadi
dingin, dingin membeku.
Jangan-jangan ketika ia datang kemari tempo hari, ada
orang yang secara diam-diam menguntitnya"
Sebenarnya selama ini dia yakin dengan ketajaman mata
dan pendengarannya, sulit bagi siapa pun untuk
menguntitnya tanpa ketahuan, akan tetapi setelah
melakukan perjalanan semalam suntuk di tengah gurun
pasir, sejak Pancapanah muncul secara tiba-tiba di
hadapannya, keyakinan dan rasa percaya dirinya mulai
goyah. Siapa yang telah menguntitnya sampai di situ" Siapa pula
yang telah membantai kawanan burung itu secara sadis dan
keji" Apakah Tokko Ci dan bocah itu sudah tewas di ujung
pedangnya"
Rumah burung masih tetap seperti sediakala, begitu
melangkah masuk, lantai kayu yang terinjak menimbulkan
suara menderit yang nyaring.
Siau-hong maju, mendorong pintu hingga terbuka lebar.
Di dalam ruangan tak ada orang, juga tak ada mayat,
hanya ada selembar lukisan, kelihatannya sebuah lukisan
yang dibuat dengan darah segar, lukisan itu dipasang di atas
dinding kayu persis berhadapan dengan pintu masuk,
melukiskan seorang iblis wanita yang sedang mengisap isi
otak seorang lelaki.
Wajah iblis wanita itu mirip wajah Pova.
Sedangkan lelaki yang sedang diisap isi otaknya tak lain
adalah dirinya, Siau-hong.
Hanya ada lukisan, tanpa tulisan, tanpa penjelasan.
Namun Siau-hong telah memahami maksud lukisan itu,
tiba-tiba saja dia terbayang kembali lukisan dalam lekukan
dinding yang berada dalam kuil yang gelap itu.
Dari sisi telinganya dia pun seolah mendengar suara
bocah itu sedang berkata, "... Bila kau melanggar sumpah,
selama hidup dirimu akan seperti orang itu, sepanjang masa
akan merasakan penderitaan karena siksaan keji perempuan
setan itu."
Siau-hong sama sekali tidak melanggar sumpahnya, dia
pun tidak membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.
Akan tetapi dia pun tidak membunuh Pova.
Tokko Ci pasti sudah mendapat tahu kalau Pova belum
mati, dia pasti menyangka Siau-hong telah
mengkhianatinya, karena itu segera mengajak bocah itu
pergi meninggalkan rumah burung.
Burung yang dibabat mati, lukisan yang tergantung di
atas dinding jelas secara khusus memang ditinggalkan di
sana agar bisa terlihat oleh Siau-hong, sengaja ditinggalkan
agar Siau-hong tahu kalau dia sangat membenci dan
mendendamnya. Dia masih memiliki sebelah tangan yang dapat
menggenggam pedang, masih memiliki kekuatan untuk
membunuh burung yang sedang terbang.
Sebetulnya orang ini memang memiliki kekuatan
terpendam yang sangat menakutkan, kekuatan terpendam
yang selamanya susah diduga, apalagi "benci dan dendam"
pun merupakan semacam kekuatan yang sangat
menakutkan. Sekarang orang pertama yang akan dibunuhnya sudah
pasti bukan Po Eng, melainkan Siau-hong!
Dengan tenang Siau-hong berdiri di depan lukisan
dinding itu, berdiri lama sekali, kemudian perlahan-lahan
meletakkan uang sebesar sepuluh ribu tahil perak itu ke atas
lantai. Setelah itu dengan langkah lebar dia beranjak keluar,
berjalan menuju ke bawah langit nan biru.
Biarpun langit masih secerah tadi, namun hatinya
sekarang telah diliputi bayangan hitam yang sukar
dibuyarkan. Dia tahu, Tokko Ci tak bakal melepaskan dirinya.
Sejak saat ini sepanjang hidupnya, setiap saat dia harus
waspada menghadapi datangnya tusukan yang mematikan.
Sejak bertemu untuk pertama kalinya dengan Tokko Ci,
dia sudah tahu kalau salah satu di antara mereka berdua,
cepat atau lambat, akhirnya ada seorang di antaranya yang
bakal tewas di tangan lawan.
Ternyata Yang-kong masih menungguinya. Begitu
berjumpa, kata pertama yang diucapkan adalah, "Sekarang
Po Eng ada di mana" Aku akan menjumpainya, sekarang
juga akan menjumpainya!"
Ruangan di gedung samping lebar dan bersih, cahaya
matahari menyinari seluruh ruangan, hampir setiap benda
yang berada di sana merupakan barang pilihan, tak
berlebihan, juga tak bakal kekurangan.
Arak yang disuguhkan pun arak anggur dari Persia yang
manis dan segar, dituang dalam cawan batu kristal yang
tembus pandang, memercikkan cahaya yang gemerlapan.
Po Eng menuangkan secawan untuk Siau-hong
kemudian meneguk setengah cawan arak dalam cawan
sendiri, setelah itu baru bertanya, "Apakah kau sudah
bertekad akan pergi dari sini?"
"Benar!"
Jawaban Siau-hong masih seperti jawabannya dulu,
singkat dan tegas. Dia seolah tak tahu kalau pertanyaan
yang dihadapi sekarang jauh lebih serius daripada
pertanyaan yang pernah dijawab sebelumnya.
Po Eng tidak bertanya lagi, dia pun tidak bicara apa pun,
mereka berdua sama-sama tidak buka suara lagi.
Awan putih masih melayang di ujung langit nun jauh di
depan sana, angin masih berhembus menggoyang ranting
dan dahan, di bawah langit nan biru lapisan salju di puncak
bukit nampak berkilauan. Manusia biasa sedang berjuang
untuk kehidupan sendiri, manusia luar biasa pun sedang
berjuang untuk kehidupan sendiri.
Akan tetapi semua persoalan itu terpisah dari mereka,
suasana dalam ruangan itu begitu hening, tenang,
menyerupai detak jantung seseorang yang telah sekarat.
Kemudian senja pun lambat-laun menjelang tiba.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya hanya berlangsung sekejap, tiba-tiba kegelapan
malam telah menyelimuti seluruh jagat.
Di dalam ruangan ada lentera, namun siapa pun tidak
berusaha menyulutnya. Kedua orang itu masih duduk
tenang di tengah kegelapan, hanya bintang di luar jendela
yang mulai muncul di angkasa. Lalu rembulan muncul,
cahaya bintang bergemerlapan, cahaya redup yang
menembus lewat daun jendela dan menyoroti tubuh mereka
berdua. Saat itulah Po Eng baru buka suara lagi.
"Aku sangat memahami tabiatmu, semua persoalan yang
telah diputuskan tak nanti berubah lagi."
"Aku telah mengambil keputusan," sikap Siau-hong luar
biasa tenangnya, "Aku harus pergi dari sini."
Po Eng sama sekali tidak bertanya "mengapa", malah
tanyanya, "Apakah kau masih ingat perkataan yang
diucapkan Pancapanah?"
"Aku masih ingat, dia bilang, belum pernah ada orang
yang dapat membocorkan rahasia kalian."
"Aku percaya, kau tak bakal membocorkan rahasia ini
kepada orang lain, tapi dia beda, belum pernah dia percaya
kepada siapa pun," kata Po Eng, "Dia selalu berpendapat
hanya orang mati yang bisa menyimpan rahasia."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Siau-hong mulai
menggenggam kencang tangannya.
Po Eng tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia
hanya memberitahu Siau-hong, "Terkadang ada beberapa
persoalan yang tak mungkin bisa kuputuskan sendiri."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya,
"Misalnya kau hendak pergi, aku pun tak berdaya
menahanmu tetap berada di sini."
Tiba-tiba Siau-hong memahami maksud perkataan Po
Eng ini, karena secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan
dua patah kata yang pernah diucapkan Po Eng.
Kalau bukan teman, berarti musuh.
Untuk menghadapi musuh, jangan berbelas kasihan.
Sahabat berubah jadi musuh, rangkul berubah jadi duel,
darah segar bagaikan arak wangi berceceran di atas tanah.
Anehnya, saat ini bukan hal-hal itu yang dipikirkan Siauhong,
bukan saling membunuh, bukan kematian, bukan
kemusnahan. Pada saat yang amat singkat, secara tiba-tiba ia teringat
desa kelahirannya, Kang-lam, Kanglam yang indah, tenang,
Kang-lam yang dikelilingi aneka bunga di tengah hujan
gerimis, Kanglam dengan jembatan dan sungai yang begitu
banyak. Suara Po Eng pun mendadak berubah jadi begitu jauh,
seakan suara yang datang dari Kang-lam.
"Sejak awal aku sudah tahu kau akan pergi," kata Po Eng
lagi, "Setibamu di Lhasa, kau tidak pergi menengok Pova,
aku sudah tahu kau telah bertekad akan meninggalkan
kami, karena kau sendiri pun tahu selamanya kau tak akan
memahami kami, juga tak bisa memahami semua
perbuatan yang kami lakukan."
Mendadak dia memutus pembicaraan sendiri yang belum
selesai, mendadak bertanya pada Siau-hong, "Apa yang
sedang kau pikirkan?"
"Kang-lam," sahut Siau-hong pula, "Aku sedang
membayangkan Kang-lam."
"Kau sedang memikirkan Kang-lam" Pada saat dan
suasana begini ternyata kau masih memikirkan Kang-lam?"
Di balik perkataan Po Eng, sama sekali tiada nada
mengejek atau tercengang, yang ada hanya setitik rasa
pedih yang tawar.
"Pada hakikatnya kau bukan golongan kami, kau adalah
seorang penyair, bukan pejuang, bukan petarung, juga
bukan jago pedang, karena itu kau ingin pergi, karena saat
ini ternyata kau masih memikirkan Kang-lam."
Siau-hong mendongakkan kepala, menatap wajahnya.
"Apa yang harus kupikirkan sekarang" Memikirkan
apa?" "Kau harus memikirkan Gan Tin-kong, memikirkan
Song-lohucu, memikirkan Cu Im, berpikirlah siapakah
mereka." "Mengapa aku harus memikirkan mereka?"
"Karena mereka tak akan membiarkan kau pergi," ucap
Po Eng, "Bila di dunia ini masih ada cara yang dapat
menahan kepergianmu, mereka pasti akan menggunakan
cara itu untuk menghadapimu. Bila mereka menganggap
hanya dengan menggorok lehermu maka kau baru bisa
dicegah kepergiannya, mereka tak bakal menggorokkan
goloknya ke tempat lain."
"Mereka adalah manusia semacam ini?"
"Benar, mereka adalah manusia semacam ini, bukan saja
mereka dapat menggorok leher orang lain seperti membabat
rumput, mereka pun dapat membersihkan darah yang
menodai mata golok mereka seperti sedang membersihkan
noda air."
Siau-hong balas menatapnya, lama kemudian perlahanlahan
ia baru berkata, "Kau pun seharusnya tahu, terkadang
aku juga dapat berbuat begitu."
Dari balik mata Po Eng yang tajam segera terpancar
cahaya dingin yang menggidikkan bagaikan "Mata iblis",
mendadak cawan kristal yang berada dalam genggamannya
hancur-lebur, sambil berdiri ia mendorong daun jendela,
lalu berkata, "Coba lihat apakah itu?"
Dari balik jendela tampak sebuah lentera tergantung
tinggi di puncak tiang bendera.
"Hanya sebuah lentera," jawab Siau-hong.
"Kau tahu apa maksudnya?" Tentu saja Siau-hong tidak
tahu. Po Eng memandang sekejap lentera merah yang
tergantung di puncak tiang, tiba-tiba sekilas perasaan sedih
yang belum pernah terlihat melintas di wajahnya.
"Itu berarti mereka sudah tahu kalau kau akan pergi, kini
telah disiapkan acara perpisahan untukmu."
Mendadak dia menggerakkan tangan, menyentil jari
keluar jendela dan sepotong hancuran kristal mendesing
tajam menembus angkasa.
Cahaya lentera berwarna merah yang berada dua puluh
kaki di hadapannya seketika padam, sinar dingin di balik
mata Po Eng pun ikut lenyap dan sirna.
"Oleh karena itu, kau sudah boleh pergi sekarang," dia
sama sekali tidak berpaling lagi memandang Siau-hong,
hanya tangannya yang diulapkan, "Kau boleh pergi."
Ketika Siau-hong keluar dari pintu, dia pun berjumpa
Yang-kong. Yang-kong sedang berdiri di bawah bayangan gelap
sederet pagar di dalam halaman, senyuman secerah sinar
matahari yang selalu menghiasi wajahnya kini sudah
lenyap. Walaupun dia masih tertawa, namun senyumannya
tampak begitu sendu, begitu sedih dan diselimuti bayangan
gelap yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Siau-hong menghampirinya, berjalan ke hadapannya.
"Apakah kau pun datang untuk mengantar kepergianku?"
"Tidak!" tiba-tiba gadis itu menggenggam tangan Siauhong,
jari tangannya terasa dingin bagaikan es, "Tahukah
kau, apa yang telah mereka persiapkan untuk mengantar
kepergianmu?"
Siau-hong segera tertawa.
"Menggunakan batok kepalaku" Atau menggunakan
darahku?" katanya.
Dia pun menggenggam kencang tangan Yang-kong.
"Apa yang ingin kau katakan telah kuketahui semua,
terserah cara apa pun yang hendak mereka pergunakan, aku
tak peduli."
"Kau tak peduli" Benar-benar tak peduli?" dengan
terperanjat, Yang-kong menatap wajahnya.
"Bagaimana pun, aku telah bertekad akan pergi dari sini,
terserah cara apa pun yang hendak mereka gunakan, bagiku
sama saja."
Hidup juga pergi, mati pun tetap pergi, setelah
memutuskan akan pergi, tak pernah dia pikirkan mati
hidupnya. Akhirnya Yang-kong melepaskan genggamannya, lalu
berpaling memandang seranting daun di bawah bayangan
gelap yang telah layu dan mengering.
"Baiklah, kau boleh pergi!" dia menunjuk ke arah sebuah
pintu kecil di sudut halaman, "Lewatlah pintu kecil itu,
orang pertama yang akan mengantar kepergianmu adalah
Gan Tin-kong, kau harus memperhatikan tangannya secara
khusus." Siau-hong pernah memperhatikan cara Gan Tin-kong
turun tangan. Sewaktu berada di dalam tenda bulu elang berwarna
hitam, di saat dia mencengkeram lengan iblis Liu Hun-hun.
Tangan yang digunakan adalah tangan kirinya.
"Aku tahu," ucap Siau-hong, "Akan kuperhatikan tangan
kirinya secara khusus."
Tiba-tiba Yang-kong merendahkan suara, setengah
berbisik ia berkata, "Bukan saja harus memperhatikan
tangan kirinya, terlebih harus kau waspadai tangannya yang
lain." "Tangannya yang lain" Tangan kanan" Atau..."
"Bukan tangan kanannya!"
Jangan-jangan Gan Tin-kong masih memiliki sebuah
tangan yang lain, tangan ketiga"
Siau-hong masih ingin bertanya lagi, tapi nona itu sudah
mengeluyur pergi tanpa berbicara lagi, seakan cahaya senja
yang tiba-tiba lenyap di balik langit barat.
Hanya bedanya, cahaya sang surya pasti akan muncul
kembali keesokan harinya, bagaimana dengan Yang-kong"
Mungkin sepanjang hidup Siau-hong tak akan dapat
bertemu lagi dengannya.
Tatkala kau bertemu dengan Gan tin-kong, peduli di saat
apa pun dan di tempat mana pun, dia selalu tampil rapi dan
keren seolah seseorang yang hendak memimpin upacara
ritual dalam ruang biara, bukan hanya pakaiannya bersih
dan rapi, gerak-geriknya pun serius dan penuh rasa hormat.
Beginilah tampangnya saat ini, dia tampil bersih dan
penuh wibawa, sampai di saat goloknya sedang menggorok
leher lawan pun, sikap dan penampilannya tak pernah
berubah. Siau-hong berjalan menghampirinya, tanpa
mengucapkan kata basa-basi yang sama sekali tak berguna,
dia langsung menegur, "Kau siap menggunakan cara apa
untuk mengantar kepergianku?"
"Menggunakan tangan kiriku," jawaban Gan Tin-kong
tetap langsung dan berterus terang. "Tempat ini adalah
sarang penyamun, masuk ke sarang penyamun seperti
masuk ke dalam neraka, tak ada kesempatan untuk balik
lagi ke dunia keramaian secara utuh. Karena kau ingin
pergi, terpaksa aku harus membunuhmu, membunuhmu
menggunakan tangan kiriku."
Dia selalu menyembunyikan tangan kirinya di dalam
saku. "Aku tak pernah menggunakan senjata, tanganku inilah
senjataku untuk membunuh manusia," Gan Tin-kong
menerangkan, "Tak ada manusia kidal dalam dunia
persilatan yang bisa menyerang jauh lebih cepat daripada
tangan kiriku, oleh sebab itu kau harus memperhatikan
dengan sungguh-sungguh!"
"Aku pernah menyaksikan kau melancarkan serangan,
tentu saja aku akan memperhatikan secara sungguhsungguh,"
kemudian tanya Siau-hong, "Tapi aku tak habis
mengerti, kalau memang kau berniat membunuhku,
mengapa harus mengingatkan diriku agar lebih berhatihati?"
"Karena aku ingin kau mati dengan puas," jawab Gan
Tin-kong, "Aku ingin kau mati dengan puas tanpa
menggerutu." Siau-hong segera menghela napas panjang.
"Ai, ternyata Gan Tin-kong seperti namanya, jujur, tulus
dan adil, tak pernah mau melakukan perbuatan yang
merugikan orang, oleh sebab itu semisal kau bermain
curang satu kali, tak akan ada orang yang menaruh curiga
kepadamu."
Paras Gan Tin-kong sama sekali tak berubah, tapi sorot
matanya telah berubah.
Kembali Siau-hong melanjutkan, "Seandainya aku benarbenar
berkonsentrasi dan memusatkan seluruh perhatianku
terhadap tangan kirimu, dapat dipastikan hari ini aku bakal
mampus di tanganmu."
Tiba-tiba ia tertawa lebar, tambahnya, "Untung saja aku
masih belum melupakan Liu Hun-hun!"
"Liu Hun-hun" Kenapa dia?"
"Bahkan dia pun tak menaruh curiga kepadamu, bahkan
dia pun tertipu oleh muslihatmu, apalagi aku seorang anak
muda yang baru terjun ke dalam dunia persilatan," kata
Siau-hong, "Kau bisa menjadi tangan ketiga Song-lohucu,
tentu saja dia pun dapat menjadi tangan ketigamu,
menggunakan tangan ketiga untuk membunuhku."
Kembali dia menghela napas, lanjutnya, "Saat itu
walaupun aku mati dengan perasaan tak puas, walau hatiku
dipenuh perasaan jengkel, mendongkol dan marah, sayang
semua itu tak mungkin bisa kulampiaskan lagi."
Paras Gan Tin-kong mulai berubah.
"Sama sekali tak kusangka, ternyata kau tidak terlalu
bodoh." Dia sudah siap turun tangan, tapi sepasang matanya
mengawasi terus pintu kecil di belakang Siau-hong, tak
disangkal Song-lohucu pasti berada di belakang pintu kecil
itu, begitu dia turun tangan, mereka berdua akan
menggencetnya dari depan dan belakang, tak diragukan lagi
Siau-hong pasti akan mampus oleh gempuran ini, tak
seorang pun jagoan dalam dunia persilatan yang dapat
menghindari gempuran bersama kedua orang ini.
"Masih ada satu urusan lagi yang mungkin tak akan kau
duga," kata Siau-hong lagi sambil tertawa.
"Urusan apa?"
"Aku pun memiliki tangan yang lain, tangan ketiga."
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pun memiliki tangan ketiga?" ejek Gan Tin-kong
sambil tertawa dingin, "Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Tentu saja kau tak akan melihatnya, selama hidup
jangan harap bisa melihatnya. Tapi kau tak boleh tidak
harus mempercayainya."
"Kenapa?"
"Karena tangan ketigamu kini sudah dibelenggu oleh
tangan ketigaku," tiba-tiba Siau-hong menambahkan,
"Kalau tak percaya, apa salahnya diperiksa sendiri."
Tentu saja Gan Tin-kong tak akan pergi memeriksanya,
dia mulai tertawa.
Jarang sekali orang ini tertawa, terkadang sepanjang
bulan belum tentu dia tertawa satu kali, tapi kali ini dia
benar-benar tertawa.
Seorang anak muda yang baru terjun ke dunia persilatan,
ternyata ingin menggunakan cara semacam itu untuk
membohongi seorang jago kawakan macam dia.
Ia sudah termasyhur sejak masih muda, sudah malang
melintang dalam dunia persilatan sejak usianya masih kecil,
tak terhitung korban yang mati di tangannya, meski di masa
pertengahan dia dipaksa berganti nama karena kejaran dan
desakan musuh besarnya, meski harus melarikan diri ke
ujung dunia, namun kecerdasannya justru bertambah
matang, pengalamannya tambah luas, bagaimana mungkin
dia termakan oleh tipu muslihat semacam ini!
Di saat dia mulai tertawa itulah tangan yang selalu
disembunyikan di balik pakaiannya mulai melancarkan
serangan secepat sambaran petir.
Di saat dia turun tangan, Song-lohucu pasti akan
mengimbangi serangannya itu dengan melancarkan
serangan maut juga.
Sudah banyak tahun mereka bertempur saling bahumembahu,
sudah sering masuk keluar pertarungan yang
mematikan, pengalaman bertarungnya banyak, belum
pernah kerja sama mereka menjumpai kegagalan atau
kejadian di luar dugaan, belum pernah meleset walau hanya
satu kali pun. Tapi kali ini terkecuali.
Gan Tin-kong telah turun tangan, akan tetapi Songlohucu
yang berada di luar pintu sama sekali tak bereaksi.
Gagal dengan gempurannya yang pertama, dia mulai
menyerang untuk kedua kalinya.
Dari luar pintu tetap tiada reaksi, tak ada gerakan, tak
ada serangan yang mengiringi serangannya.
Gan Tin-kong tidak lagi melancarkan serangan ketiga,
tiba-tiba dia melejit ke tengah udara lalu melesat ke arah
pintu kecil itu.
Song-lohucu benar-benar berada di luar pintu, tapi saat
itu sedang berbaring di sudut dinding, mengawasinya
sambil tertawa getir.
Gan Tin-kong tak sanggup tertawa lagi, akhirnya dia
menyadari bahwa peristiwa ini sedikit pun tidak
menggelikan. Siau-hong telah beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Dia yakin Gan tin-kong takkan mengejarnya lagi,
keberhasilannya merobohkan Song-lohucu sama artinya dia
telah merobohkan juga Gan Tin-kong.
Tentu saja dia bukan menggunakan "tangan ketiga"
untuk merobohkan Song-lohucu, dia tidak mempunyai
tangan ketiga. Tapi dia memiliki sepasang mata kedua, Yang-kong
adalah matanya yang kedua.
Andaikata tak ada bisikan dari Yang-kong, dia tak akan
menyangka Song-lohucu bakal bersembunyi di balik
kegelapan sambil menunggu kedatangannya, dia tak akan
menyangka kalau dia akan bersama Gan Tin-kong
menyergap dan menggencetnya dari depan dan belakang.
Walaupun apa yang dikatakan Yang-kong tidak terlalu
jelas, namun peringatan yang diberikan gadis itu justru
mengingatkan dia akan kerja sama kedua orang itu ketika
menghadapi Liu Hun-hun, khususnya tipu muslihat yang
telah mereka gunakan.
Oleh sebab itu dia mencari Song-lohucu terlebih dahulu,
menggunakan senyuman yang ramah, sikap yang sopan, dia
berusaha menenteramkan hati orang tua itu.
Di saat Song-lohucu benar-benar mengira dia telah
kehilangan semangat dan daya tempurnya, secara tiba-tiba
ia turun tangan, menggunakan gerak serangan paling cepat
untuk menotok tiga buah jalan darah penting di tubuh
kakek she Song ini.
Song-lohucu bukan sahabatnya, dia adalah musuhnya,
terhadap musuh yang sedang dihadapi dia harus
menggunakan cara yang paling cepat dan cara yang paling
keji. Atas tindakan yang telah dia lakukan ini, Siau-hong
merasa puas sekali.
Berikut siapa pula yang akan "mengantar
keberangkatan"nya"
Dia masih ingat, Po Eng pernah menyinggung nama Cu
Im kepadanya, dia pun masih ingat Cu Im adalah
Congkoan yang mengurus kantor dagang "Eng-Ki", seorang
anak muda yang amat tulus, jujur, dan sangat tahu aturan.
Siau-hong sama sekali tak menyangka kalau dia pun
seorang jago Bu-lim yang memiliki ilmu silat tinggi dan
selama ini selalu merahasiakan kebolehannya.
Namun ketika Po Eng menyinggung nama orang ini, dia
seakan memandangnya lebih berbobot, lebih penting dan
lebih serius daripada Gan Tin-kong, memang bukan
manusia sembarangan yang mampu mengendalikan kantor
dagang sebesar "Eng-ki", bila tidak memiliki ilmu silat dan
kemampuan yang istimewa, tak nanti Po Eng akan
menyerahkan tugas dan tanggung jawab berat ini
kepadanya. Siau-hong yakin, lak mungkin Po Eng salah pilih orang,
terhadap Cu Im, sejak awal dia sudah menaruh perasan
waswas. Pada saat itulah dia melihat Cu Im.
Penampilan Cu Im masih seperti di hari-hari biasa,
sopan, polos dan penuh aturan, satu-satunya yang berbeda
adalah di tangannya saat ini telah menggenggam sebilah
pedang. Sebilah pedang besi yang amat sederhana, pedang itu
sudah dilolos dari sarungnya.
Sambil memeluk pedang dengan sepasang tangannya
dan membiarkan ujung pedang menunjuk ke bawah, dia
memberi hormat kepada Siau-hong dengan penuh sopan
santun. "Boanpwe Cu Im, menanti petunjuk Hong-tayhiap."
Siau-hong tertawa.
"Aku bukan Tayhiap" tukasnya, "Kau pun bukan
Boanpweku, jadi tak perlu kelewat sungkan."
Sikapnya sewaktu berhadapan dengan Song-lohucu tadi
sama sopannya dengan sikap Cu Im terhadapnya sekarang,
kini Song-lohucu telah tergeletak di sudut dinding.
Selama beberapa hari ini dia telah banyak belajar,
banyak mempelajari berbagai persoalan.
Dia pun sangat memahami maksud Cu Im, sebagai
seorang Boanpwe yang minta petunjuk kepada seorang
Cianpwe, dia tak perlu bersikap adil lagi, biarpun di tangan
seorang Cianpwe tak berpedang, sebagai seorang Boanpwe
dia tetap boleh melancarkan serangan.
Benar saja, Cu Im telah turun tangan.
Serangan yang dilancarkan tidak terlalu cepat, perubahan
jurus pun tidak cepat, pada hakikatnya jurus serangan yang
dia gunakan sama sekali tak memiliki perubahan yang
terlalu rumit dan pelik, serangannya tak lebih hanya sebuah
jurus serangan yang amat sederhana tapi nyata dan amat
bermanfaat. Ilmu pedang semacam ini walaupun memiliki kelebihan,
akan tetapi bila digunakan untuk menghadapi Siau-hong,
jelas sama sekali tak ada gunanya.
Biarpun Siau-hong menghadapi serangan itu dengan
tangan kosong, menggunakan ilmu Kim-na-jiu-hoat yang
merupakan ilmu dasar kepandaian silat pun sudah lebih
dari cukup baginya untuk menghadapi ancaman lawan.
Dia bahkan mulai curiga kalau penilaian Po Eng
terhadap Cu Im kelewat tinggi dan berlebihan, benarkah Cu
Im belum sempat mengeluarkan ilmu silat sesungguhnya"
Baru saja Siau-hong akan menambah daya tekanannya
untuk memaksa dia mengeluarkan segenap kekuatannya,
tiba-tiba Cu Im sudah mundur sepuluh langkah dan sekali
lagi merangkap pedangnya di depan dada sambil memberi
hormat. "Boanpwe bukan tandingan Hong-tayhiap, Boanpwe
mengaku kalah," katanya.
Sekarang sudah mengaku kalah, apakah tidak terlalu
awal" Tidak seharusnya Po Eng mempunyai anak buah
yang begini lemah dan sama sekali tak berguna.
Semua anak buah Po Eng adalah petarung handal, kalau
tidak bertarung hingga titik darah penghabisan, tak nanti
mereka akan mengundurkan diri.
Tiba-tiba Cu Im berkata sambil tertawa, "Hong-tayhiap
pasti menganggap Boanpwe belum menggunakan kekuatan
sesungguhnya dan tidak seharusnya mundur begitu saja,
bukan?" Siau-hong mengakui akan hal ini.
Maka sambil tersenyum, kembali ujar Cu Im, "Boanpwe
tak ingin bertarung lagi, karena Boanpwe tak tega bertarung
lebih lanjut melawan dirimu."
"Kau merasa tak tega" Mengapa tak tega?" tak tahan
Siau-hong bertanya.
"Karena Hong-tayhiap sudah terkena racun jahat,
usiamu sudah tak bisa melewati setengah jam lagi," jawab
Cu Im lembut, "Bila Boanpwe memaksamu bertarung dua
puluh gebrakan lagi, maka racun dalam tubuh Hongtayhiap
segera akan bekerja dan tak ampun jiwamu pasti
akan segera melayang."
Siau-hong ikut tertawa.
Dia sama sekali tidak percaya perkataan Cu Im, sepatah
kata pun tak percaya.
"Aku keracunan" Kau lihat aku sudah keracunan?" Siauhong
sengaja bertanya, "Sejak kapan aku keracunan?"
"Sejak beberapa saat berselang."
"Arak yang diberikan Po Eng ada racunnya?"
"Tidak ada, dalam arak tak ada racun," jawab Cu Im,
"Bila dia ingin membunuhmu, tak perlu menggunakan arak
beracun." "Kalau dalam arak tak beracun, di mana racunnya?"
"Berada di tangan."
"Tangan siapa?"
"Tadi, tangan siapa yang kau genggam?" Cu Im balik
bertanya. Sekali lagi Siau-hong tertawa.
Tadi dia hanya menggenggam tangan Yang Kong, dia
tak akan percaya kalau Yang Kong akan mencelakainya.
Cu Im menghela napas, katanya, "Padahal kau
seharusnya dapat berpikir sampai ke situ. Dia salah seorang
yang mengantar kepergianmu, dialah orang pertama yang
mengantar kepergianmu, hanya saja cara yang dia gunakan
sama sekali berbeda dengan cara yang kami gunakan."
"Di mana perbedaannya?"
"Cara yang dia gunakan jauh lebih lembut daripada cara
kami, tapi cara itu justru jauh lebih bermanfaat."
"Cara apa yang dia pergunakan?"
"Kalian sudah sering pergi bersama, tentunya kau pernah
menyaksikan cincin yang sering dia kenakan, bukan?"
Siau-hong memang pernah menyaksikan cincin emas itu,
sebuah cincin yang terbuat dari emas murni, cincin yang
dibuat sangat indah dan menawan.
Bagaimana bentuk cincin itu" Siau-hong sudah tak ingat
dengan jelas. Di kota Lhasa, hampir setiap wanita
mengenakan perhiasan emas, di sudut sungai yang
mengalir, kau dapat menyaksikan ada begitu banyak orang,
menggunakan cara yang paling purba, sedang berusaha
mengeduk pasir emas dari tepi sungai.
Semua orang mengenakan cincin emas, di tempat ini
memakai perhiasan emas bukanlah satu peristiwa yang
menarik perhatian orang.
"Tapi cincin yang dia kenakan sama sekali berbeda," kata
Cu Im, "Cincin itu meski beratnya hanya beberapa gram,
namun nilainya bisa mencapai lebih dari ratusan tahil emas
murni." "Kenapa?" tanya Siau-hong, "Apakah cincin itu dibuat
oleh seorang ahli perhiasan kenamaan atau bentuknya yang
unik?" "Bukan!"
"Lalu apa sebabnya?"
"Karena racun dalam cincin itu," Cu Im menerangkan,
"Racun itu terbuat dari ramuan tiga puluh tiga jenis bahan
racun yang ganas, mula-mula ketiga puluh tiga jenis racun
itu digunakan untuk merendam emas, kemudian emas yang
sudah mengandung racun dibuat menjadi sebuah cincin, di
ujung cincin terdapat sebatang duri, duri yang lebih tajam
dari ujung jarum, asal tertusuk sedikit saja pada kulit
badanmu, sekalipun tusukan itu tidak menimbulkan rasa
sakit, bahkan sama sekali tidak kau rasakan, namun dalam
setengah jam kemudian racun itu pasti akan mulai bekerja
dan merenggut nyawamu."
Siau-hong tak dapat tertawa lagi, namun dia pun tidak
memberikan reaksi yang khusus.
Cu Im seolah sedang merasa kasihan dan sayang akan
nasibnya yang jelek, kembali dia bergumam, "Sebetulnya
kami semua telah menganggap kau sebagai sahabat. Bila
kau tidak pergi, tak seorang pun di tempat ini yang akan
mencelakaimu, terlebih Yang Kong, dia tak akan
menyusahkan dirimu."
Kemudian setelah menghela napas panjang, lanjutnya,
"Sungguh tidak beruntung, sekarang kita sudah bukan
sahabat lagi."
Tiba-tiba Siau-hong menukas perkataannya, "Aku tahu
apa yang akan kau katakan, kalau bukan teman berarti
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musuh, oleh karena itulah ia menggunakan cara semacam
ini untuk menghadapiku, terhadap musuhnya, kalian
memang akan bertindak dengan cara apa pun."
Cu Im sama sekali tidak menyangkal.
Kembali Siau-hong berkata, "Mula-mula dia
memberitahu dulu kepadaku akan rencana Gan Tin-kong
dan Song-lohucu yang berniat membunuhku, tujuannya
agar aku yakin kepadanya, agar aku percaya seratus persen
kepadanya, kemudian baru tanpa kusadari dia tusukkan
cincin beracunnya ke telapak tanganku, agar secara tak
sadar aku keracunan."
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba tanyanya, "Tapi apa
sebabnya kau memberitahukan rahasia ini kepadaku?"
Sebelum Cu Im menjawab, kembali Siau-hong telah
bertanya, "Bila tangan terpagut ular berbisa, seorang ksatria
akan memotong tangan sendiri, apakah kau berharap aku
mengurungi sendiri tanganku ini?"
Ooo)d*w(ooO BAB 16. PEDANG PEMUTUS SUKMA, MANUSIA
PUTUS USUS "Bukan," Cu Im seolah tidak mendengar kalau di balik
ucapan itu terselip nada sindiran, "Tapi tak ada salahnya
kau periksa dulu tangan milikmu, coba periksa apa benar di
atas tanganmu telah muncul mulut luka kecil seperti bekas
gigitan lebah beracun. Kalau mulut luka itu belum terjadi
perubahan, mungkin kau masih tertolong."
"Aku masih tertolong" Siapa yang akan menolongku?"
"Asal kau bersedia tetap tinggal di sini, setiap orang tentu
bersedia menolongmu."
Kepercayaan Siau-hong terhadap Yang-kong tampaknya
sudah mulai goyah, tak tahan ia membalikkan badan,
menghadap ke arah cahaya rembulan yang baru muncul
dan menjulurkan tangannya yang pernah digenggam Yang
Kong. Baru saja tubuhnya berputar, tujuh titik cahaya bintang
yang amat tajam telah memancar keluar dari tangan kiri Cu
Im, cahaya tajam yang bukan dilancarkan oleh kekuatan
pergelangan tangan, tapi dilontarkan dari dalam sebuah
tabung dengan pegas yang sangat kuat.
Biarpun banyak jenis senjata rahasia yang digunakan
orang persilatan, namun Toh-beng-jit-seng-ciam (jarum
tujuh bintang pencabut nyawa) tetap merupakan jenis yang
paling menakutkan.
"Braak...!", begitu pegas dilepas, pedang besi di tangan
kanan Cu Im kembali melancarkan sebuah tusukan kilat.
Gerak tangannya sudah tidak selambat tadi lagi, begitu
pedangnya ditusukkan ke muka, cahaya pedang yang
berkilauan telah mengunci mati seluruh jalan mundur Siauhong.
Pada saat itulah dia seolah telah berubah menjadi
seorang yang lain, dari seorang jago pedang yang berilmu
biasa telah berubah menjadi jago pedang yang maha
dahsyat. Seandainya sejak awal dia telah menggunakan ilmu
pedang semacam ini, dapat dipastikan Siau-hong tak akan
sanggup menghindarkan diri.
Tapi sekarang dia telah mencabik hancur rasa percaya
diri Siau-hong.
Siapa pun orangnya, bila mengetahui dirinya telah
dikhianati sahabat yang paling dipercaya, perasaannya pasti
akan jatuh, sedih dan pedih, apalagi waktu itu Siau-hong
sedang memeriksa mulut luka di tangan sendiri.
Bukan satu pekerjaan yang mudah untuk memeriksa
sebuah mulut luka selembut ujung jarum di bawah sinar
rembulan yang redup.
Dia telah memusatkan seluruh pikirannya ke tangan
sendiri, rasa percaya dirinya telah hancur, perasaan dan
emosinya telah runtuh penuh kepedihan, bagaimana
mungkin serangan pedang itu dapat dihindari"
Begitu melancarkan tusukan maut, Cu Im telah
memperhitungkan bahwa Siau-hong pasti mampus.
Seandainya Siau-hong benar-benar percaya kepada
ucapan Cu Im, benar-benar memeriksa apakah tangannya
terdapat mulut luka atau tidak, dapat dipastikan dia tentu
mampus. Tapi dia tidak mati, karena dia menaruh rasa percaya
penuh terhadap Yang Kong, rasa percaya seorang terhadap
manusia lain. Karena kepercayaannya terhadap Yang Kong tak
mungkin bisa digoyahkan dan dihancurkan hanya
dikarenakan beberapa patah kata orang lain, oleh karena itu
dia tidak mati.
Terhadap serangan pedangnya itu, Cu Im mempunyai
keyakinan untuk berhasil, dia pun yakin benar dengan
kemampuan jarum tujuh bintangnya.
Oleh karena itu begitu pedangnya melancarkan tusukan,
dia telah menggunakan seluruh tenaga yang dimiliki, hanya
teringat untuk "menyerang" tapi lupa untuk "bertahan".
Walaupun tusukan pedang itu sangat ganas dan dahsyat,
tapi sayang terdapat titik kelemahan, terdapat bagian
serangan yang terbuka. Dia sangka seluruh jalan mundur
Siau-hong telah tertutup, tapi sayang dia seolah melupakan
sesuatu, lupa kalau Siau-hong masih punya sebuah jalan
lagi yang bisa dia lakukan, "menggunakan serangan untuk
bertahan", menyerang masuk melalui titik kelemahannya,
mengancam jantungnya, menyerang nadi kematiannya dan
menerjang pusat pertolongannya.
Siau-hong tidak membunuh mati Cu Im.
Mula-mula dia bacok dulu pergelangan tangan Cu Im
yang menggenggam pedang, kemudian menyelinap masuk
ke posisi kosong musuh dan menyodok iga lawan dengan
sikutnya, bersamaan jari tengah, jari telunjuk dan jari
kelingkingnya menyodok ke muka, mencengkeram
tenggorokan orang she Cu itu.
Semua bagian yang diserang adalah tempat mematikan,
dalam keadaan begini mau tak mau Cu Im harus
menghindar untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba kelima jari tangan kanan Siau-hong berubah
jadi cakar elang, dia cakar wajah Cu Im, mencongkel biji
matanya sementara telapak tangan kirinya membabat bahu
kanan orang itu.
Bila bahu kanan terhantam telak, niscaya pedang besi itu
akan terlepas dari genggaman.
Menggunakan kesempatan itu Siau-hong rebut senjata
musuh, di antara kilauan cahaya pedang, tahu-tahu ujung
senjata itu telah menempel di atas tenggorokan Cu Im.
Akan tetapi dia tidak membunuh lawannya.
"Aku tak membunuhmu karena kau meskipun bukan
sahabatku, namun bukan juga musuh besarku," ujar Siauhong,
"Kau ingin membunuhku pun karena suatu masalah,
kau anggap hal ini harus dan wajib kau lakukan."
Cu Im yang berada di bawah todongan pedang masih
tetap berdiri tenang, tak tahan ia bertanya juga kepada Siauhong,
"Kau benar-benar percaya kalau Yang-kong tak bakal
mencelakaimu?"
"Aku percaya!"
"Mengapa kau begitu percaya kepadanya?"
"Karena dia belum pernah membohongi aku," jawaban
Siau-hong amat sederhana.
Tiba-tiba Cu Im menghela napas panjang.
"Aku sangat kagum kepadamu, kau memang seorang
sahabat sejati," puji Cu Im, "Tapi sayang semua sahabatmu
belum tentu merupakan sahabat sejati, oleh karena itu
kuanjurkan kepadamu lebih baik cepatlah pergi dengan
membawa pedangku itu."
"Aku tidak menghendaki nyawamu, kenapa harus
membawa pergi pedangmu?"
"Karena dalam waktu singkat kau bakal
menggunakannya, mungkin bukan untuk membunuh
orang." "Lalu digunakan untuk apa?"
Cu Im menatap wajah Siau-hong, tiba-tiba sinar matanya
menunjukkan perubahan yang sangat aneh, lewat lama
kemudian baru ujarnya, "Pedang ini seperti pedang lainnya,
kecuali bisa dipakai untuk membunuh orang, benda ini pun
masih memiliki kegunaan lain."
"Apa kegunaan itu?"
"Untuk bunuh diri," kembali Cu Im menghela napas,
"Bagaimana pun bunuh diri paling tidak jauh lebih enak
daripada mati di ujung pedang orang lain."
Belum sempat Siau-hong buka suara, tiba-tiba dari balik
kegelapan terdengar seseorang berkata dengan suara dingin,
"Sekalipun dia akan bunuh diri, tak perlu memakai
pedangmu, dia sendiri memiliki pedang, pedangnya jauh
lebih tajam daripada pedangmu."
Tiba-tiba terlihat sekilas cahaya pedang berkelebat dari
balik kegelapan, lalu terlihat sebilah pedang melesat,
seakan-akan muncul dari luar angkasa, langsung menancap
di bawah kaki Siau-hong.
Cahaya pedang berhawa dingin dengan di ujung senjata
seolah terdapat sebuah mata elang yang buas dan
menyeramkan sedang menatap dingin ke arahnya, itulah
pedang 'Mata iblis' miliknya.
Selama ini pedang itu disimpan Po Eng dan Siau-hong
belum pernah menyinggungnya lagi, dia seakan sudah
melupakan kehadiran pedang itu.
Tapi kini pedang miliknya telah kembali, tentu saja
bukan datang dari luar angkasa.
Pedang itu meluncur dari tangan seseorang.
Begitu Siau-hong berpaling, dia pun melihat orang itu,
mata tajam seperti elang, berbaju putih seperti sukma
gentayangan dan berdiri tegak bagai sebuah bukit karang.
Orang ini tak lain adalah Po Eng.
Siau-hong segera merasakan hatinya seakan tenggelam.
Ternyata orang terakhir yang akan mengantar
kepergiannya adalah Po Eng.
Pedang yang diserahkan Cu Im kepadanya memang
bukan dipakai untuk membunuh orang lain, di bawah ujung
pedang Po Eng, pada hakikatnya dia sama sekali tak punya
peluang. Sebetulnya mereka berdua sudah merupakan sahabat
yang sangat akrab, tapi sekarang mereka telah berubah jadi
dua manusia dari dunia yang berbeda.
Tiba-tiba Siau-hong tertawa, selama hidup belum pernah
dia tertawa sesedih dan sepedih ini.
"Sungguh tak kusangka kau pun akan datang mengantar
kepergianku," kata Siau-hong, "Kalau memang kau berniat
mengantar kepergianku, buat apa kau kembalikan pedang
itu kepadaku?"
"Karena pedang itu sesungguhnya memang milikmu."
Suara Po Eng sama sekali tak berperasaan, "Kau
seharusnya masih ingat apa yang pernah kukatakan
kepadamu, aku tak pernah mau barang milik orang hidup."
Tentu saja Siau-hong masih ingat. Mungkin pada
hakikatnya Po Eng belum pernah menerima benda apa pun
darinya. Pedangnya, persahabatannya, tak satu pun yang
pernah dia terima.
Kembali Po Eng berkata, "Sekarang kau sudah memiliki
pedangmu sendiri, kenapa tidak segera kau kembalikan
pedang di tanganmu itu kepada Cu Im?"
Siau-hong mengembalikan pedang itu kepada Cu Im,
kain pembalut gagang pedang berwarna hijau telah basah
kuyup oleh peluh dingin.
Tiba-tiba Po Eng tertawa dingin lagi.
"Hingga sekarang mengapa kau belum pergi" Apakah
ingin melihat aku membunuhnya?"
Perkataan ini ditujukan kepada Cu Im.
Terpaksa Cu Im beranjak pergi, sekalipun tak ingin
namun mau tak mau terpaksa dia harus pergi juga.
Tiba-tiba Siau-hong tertawa dingin.
"Mengapa dia harus pergi?" tanyanya kepada Po Eng,
"Sewaktu kau membunuh orang, mengapa takut dilihat
orang lain?"
Dia tidak menunggu jawaban Po Eng, sebab dia tahu Po
Eng tak akan menjawab pertanyaannya itu.
Dia telah mencabut pedangnya.
Sudah banyak tahun pedang ini mengikuti Siau-hong,
setiap kali menggenggam gagang pedang itu, selalu timbul
perasaan yang aneh, seolah sedang menggenggam tangan
seorang sahabat karib saja.
Tapi ketika ia menggenggam pedang itu sekarang,
perasaannya seperti sedang menggenggam tangan sesosok
mayat, tangan jenazah yang sudah dingin dan kaku, seakan
menggenggam tangan sahabat yang telah mati untuk
terakhir kalinya.
Itulah perasaan seseorang yang belajar pedang,
menggenggam pedang untuk terakhir kalinya.
Seandainya ia bersedia tetap tinggal di sini, seandainya
dia bersedia tetap meninggalkan pedang itu di tanah, Po
Eng tak bakal turun tangan.
Namun sayang ia tidak bersedia.
Sewaktu ia cabut pedang itu dari tanah, seperti dia telah
mengubur diri sendiri ke dalam tanah.
Po Eng masih berdiri di sana bagaikan sukma
gentayangan, memandangnya dengan dingin.
Tiada pedang di tangan Po Eng, tanpa menggunakan
pedang pun Po Eng tetap bisa membunuh orang.
Dengan mengandalkan tangan kosong dia sanggup
menghadapi bacokan golok Wi Thian-bong yang cepat
bagaikan kilat, sekarang tentu saja dia pun sanggup
menghadapi serangan pedang Siau-hong dengan sepasang
tangannya. Siau-hong telah melancarkan tusukan, serangan itu
tertuju ke arah -jantung Po Eng, yaitu jantung Siau-hong
sendiri. Karena tusukan yang dia lancarkan sama artinya
seperti menusuk diri sendiri.
Dari balik kilau cahaya pedang ia telah menyaksikan
"kematian".
Cahaya pedang yang berkilauan tiba-tiba terhenti,
terhenti persis di depan jantung Po Eng, ujung pedang telah
menembus pakaian Po Eng yang berwarna putih.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Po Eng sama sekali tidak turun tangan, bahkan bergerak
sedikit pun tidak.
Pada saat terakhir itulah Siau-hong baru menarik
kembali tusukannya, bahkan dia sendiri pun tertegun
karena kejadian ini.
"Mengapa kau tidak membalas?" tak tahan tanyanya
kepada Po Eng. Di saat dia bertanya kepada Po Eng, Po Eng pun sedang
bertanya kepadanya, "Mengapa kau tidak membunuhku?"
Kedua orang itu tak ada yang menjawab pertanyaan
lawan, karena mereka sama-sama mengetahui jawabannya.
Persahabatan! Inilah satu-satunya jawaban.
Pada saat bersamaan bukan saja ujung pedang telah
berhenti, seluruh pergerakan yang ada di dunia pun seakanakan
ikut terhenti. Karena mereka telah sadar, peduli urusan orang lain
akan berubah seperti apa pun, mereka berdua tetap tidak
berubah. Mereka masih tetap bersahabat.
Sahabat sejati selamanya tak akan berubah jadi musuh.
Cahaya lentera di atas tiang kembali bercahaya.
Tiba-tiba Po Eng membalikkan badan, mengawasi
cahaya lentera yang mirip kerlipan bintang di kejauhan,
lewat lama kemudian perlahan-lahan ia baru berkata,
"Pergilah, pergi ke bawah cahaya lentera itu, di sana ada
seseorang sedang menantikan kedatanganmu."
Siau-hong tidak berkata lagi. Po Eng pun tidak berkata
lagi. Ada sementara persoalan memang tak perlu diutarakan,
semua yang terindah di dunia ini memang tak perlu
diucapkan dengan kata-kata.
Mimpinya berada di Kang-lam. Kang-lam berada dalam
alam impiannya.
Cahaya lentera pun jauh bagaikan di Kang-lam, ada
seseorang menunggunya di bawah lentera, sesosok manusia
dan dua ekor kuda.
Orang itu adalah Yang-kong, sedang kuda adalah Ci-hu.
Baik orangnya maupun kudanya semua adalah sahabat
karibnya, sahabat sejati yang selamanya tak pernah akan
berubah. Yang-kong hanya mengucapkan tiga patah kata, "Mari
kita pergi!"
Cahaya bintang lebih jauh dari Kang-lam, tapi cahaya
bintang dapat terlihat jelas, bagaimana dengan Kang-lam"
Impiannya berada di Kang-lam, impiannya memang
dipenuhi kepedihan dan kesedihan seorang perantau yang
jauh meninggalkan desa kelahiran.
Dia tak pernah dapat melupakan kepedihan dan
kesedihannya ketika dengan berat hati meninggalkan Kanglam.
Kini dia akan segera kembali ke Kang-lam, tapi...
mengapa hatinya masih dipenuhi kesedihan dan kepedihan"
Yang-kong selalu berada di sampingnya, tiba-tiba ia
bertanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Kang-lam!"
Kang-lam tak lebih hanya susunan dua kata, tapi ketika
mendengar dua kata itu, Yang-kong pun segera
memperlihatkan mimik muka seperti orang sedang
bermimpi, tiba-tiba ia mulai bersenandung, membawakan
bait syair dari Liu Tun-thian.
Konon bait syair ini merupakan persembahan Liu Tunthian
kepada Sun-ho Tok-say ketika berada di kolam Chetong,
di mana secara tak sengaja terbaca oleh Wanyen
Liang. Konon gara-gara bait syair itu pula akhirnya tentara Kim
di bawah pimpinan Wanyen Liang menyerbu wilayah
Kang-lam. Memang harus diakui, inilah bait lagu yang sangat
indah, membuat mabuk yang mendengar, membuat mabuk
pula yang mendendangkan.
Lewat lama kemudian Siau-hong baru menghela napas,
katanya, "Mereka yang belum pernah datang ke Kang-lam,
pasti ingin berkunjung ke sana, tapi bila telah tiba di Kanglam,
kau akan sangat merindukan Lhasa."
"Aku percaya."
"Sekembaliku ke Kang-lam, bila tahu ada orang hendak
pergi ke Lhasa, aku pasti akan menitipkan sedikit kue bunga
Kui dan gula-gula daun teratai, hidangan kecil dari Kanglam
untukmu," kata Siau-hong sambil tertawa paksa,
"Sekalipun kau tak dapat menikmati bunga Kui dan bunga
teratai dari Kang-lam, hidangan kecil itu mungkin bisa
mengobati rasa rindumu itu."
Yang-kong termenung sampai lama sekali, tiba-tiba dia
ikut tertawa. "Kau tak perlu menitipkan hidangan itu kepada orang
lain," senyumannya mendadak berubah sangat aneh, "Aku
bisa pergi membeli sendiri."
"Kau akan membeli sendiri?" Siau-hong belum
menangkap arti perkataannya, "Mau beli di mana?"
"Tentu saja beli di Kang-lam."
Kini Siau-hong baru terperanjat.
"Mau membeli sendiri di Kang-lam" Jadi kau pun akan
pergi ke Kang-lam?"
Yang-kong mengangguk perlahan, dari balik pandangan
matanya pun seolah muncul impian tentang Kang-lam,
bahkan tersisip pula rasa murung karena suatu perpisahan.
Siau-hong menghembuskan napas lega.
"Kau tak bakal ke sana," katanya, "Dapat kulihat kau
merasa sangat berat untuk meninggalkan Lhasa, terlebih
harus berpisah dengan sahabat-sahabatmu."
"Aku memang merasa berat untuk berpisah dengan
mereka," sahut Yang-kong, "Tapi aku harus pergi ke Kanglam."
"Mengapa?"
"Engkoh Eng minta aku mengantarmu, mintaku
mengantarmu sampai Kang-lam," Yang-kong menerangkan
dengan sedih, "Seharusnya kau tahu, terlepas tugas apa pun
yang dia minta aku kerjakan, aku selalu menuruti semua
perkataannya."
Sekali lagi Siau-hong tertawa paksa.
"Mengapa dia minta kau mengantar sejauh itu" Apakah
dianggapnya aku sudah lupa jalanan untuk pulang?"
"Aku sendiri pun tak tahu mengapa dia minta aku
mengantarmu," jawab Yang-kong, "Tapi karena dia sudah
meminta, maka aku pun harus mengantarmu sampai di
Kang-lam, biar kau hajar aku dengan pecut pun aku tak
bakal pergi dari sampingmu."
Dia pun ikut tertawa walau kelihatan sangat dipaksakan,
karena dia pun seperti Siau-hong, memahami maksud Po
Eng. Po Eng memintanya untuk mengantar Siau-hong karena
tak lain ingin menjodohkan mereka berdua, setiap orang
beranggapan bahwa mereka sudah merupakan sepasang
kekasih. Siau-hong termenung sampai lama sekali, tiba-tiba
tanyanya lagi, "Setelah tiba di Kang-lam, apakah kau akan
balik lagi?"
"Benar," tanpa berpikir panjang Yang-kong langsung
menjawab, "Peduli sampai di mana pun, aku pasti akan
kembali lagi."
Mendadak tanyanya lagi, "Tahukah kau manusia macam
apakah Po Eng itu?"
"Dia adalah Toakomu."
"Dia adalah Toakoku, tentu saja Toakomu juga,"
Yang-kong menghela napas panjang, "Hanya sayang aku
bukanlah adiknya!"
"Kau bukan?" Siau-hong sedikit melengak, "Lantas kau
adalah apanya?"
"Aku adalah calon istrinya, kami berdua telah terikat tali
perkawinan."
Siau-hong terperangah.
Kembali Yang-kong termenung sampai lama sekali
kemudian baru berkata lagi, "Selama ini dia tak pernah
membiarkan kau tahu akan persoalan ini, karena dia selalu
mengira kau menyukai aku, dia tak ingin kau tertekan
batinnya karena persoalan ini."
Siau-hong tertawa getir.
Kembali Yang-kong berkata, "Lagi pula dia selalu
menganggap dirinya sudah terlalu tua, merasa tak pantas
mengawini aku, selalu berharap aku bisa menemukan
pasangan hidup yang jauh lebih baik, oleh karena itu...."
"Oleh karena itu dia minta kau mengantarku, mengantar
sampai ke Kang-lam," Siau-hong mewakilinya menjawab.
"Dia memang manusia semacam ini, selalu berpikir demi
kepentingan orang lain, belum pernah memikirkan
kepentingan sendiri," Yang-kong tertawa getir, "walaupun
penampilannya selalu dingin dan kaku, dingin bagaikan
bongkahan es."
Biarpun senyumannya mengandung nada pedih namun
terselip pula perasaan bangga, bangga karena Po Eng.
"Demi kau, dia tak segan ribut sendiri dengan rekanrekannya,
bahkan tak segan menjamin dengan nyawanya
kalau kau tak bakal membocorkan rahasia mereka," Yangkong
menghela napas panjang, "Tapi persoalan ini sampai
mati pun tak nanti akan dia katakan kepadamu, sebab dia
tak ingin kau memikul beban di hatimu, tak ingin kau
berterima kasih kepadanya."
Siau-hong tidak berkata apa-apa lagi.
Dia kuatir air mata yang sudah mengembeng di kelopak
matanya keburu meleleh.
Dia tak akan mengucurkan air mata secara mudah,
perasaan terima kasihnya kepada seseorang pun tak pernah
diucapkan begitu saja.
Kembali lewat lama sekali, Yang-kong baru berkata,
"Peduli bagaimana pun dia bersikap kepadaku, sikapku
kepadanya tak pernah akan berubah untuk selamanya."
"Oleh sebab itu kemana pun kau pergi, suatu saat pasti
akan kembali," sambung Siau-hong.
Yang-kong menatap pemuda itu dan bertanya perlahan,
"Jadi kau memahami maksudku?"
"Tentu saja paham."
Yang-kong tertawa, dia benar-benar tertawa,
senyumannya kembali secerah dan seterang sinar sang
surya. Kembali dia menggenggam tangan Siau-hong, kali ini dia
menggenggam lebih kencang dan erat.
"Aku tahu, kau pasti dapat mengerti," katanya, "Aku pun
tahu, dia tak akan salah melihatmu, kau memang
merupakan sahabat karibnya."
Di saat mereka sedang tertawa paling cerah, paling
gembira itulah tiba-tiba terdengar semacam suara keluhan
yang amat menyedihkan.
Bukan rintihan, bukan pula dengusan napas memburu,
hanya seseorang yang berada dalam keadaan sangat
menderita, sangat tersiksa maka akan memperdengarkan
suara semacam ini.
Suara itu sangat rendah, sangat jauh, seandainya bukan
berada di tengah malam buta, apalagi di tengah gurun yang
sepi, kemungkinan besar mereka tak akan mendengar suara
ini. Tapi sekarang mereka telah mendengarnya.
Tempat itu masih termasuk pinggiran gurun pasir,
merupakan sebuah oase yang kini telah mengering.
Oase yang mengering, ibarat wanita cantik yang telah
memasuki usia senja, tak akan dapat menahan ayunan
langkah siapa pun.
Yang-kong mengajak Siau-hong menelusuri jalan itu.
Bukan saja karena amat jarang orang berlalu-lalang di
sini, dikarenakan pula orang lain tak akan menyangka
orang yang begitu hapal dan menguasai situasi gurun pasir,
akan melalui sebuah tanah oase yang tak berair.
Tak berair berarti tak ada kehidupan, para pelancong
pasti akan menghindari tempat itu.
Pohon nan hijau sudah mulai layu dan mengering, yang
tersisa hanya sebuah gundukan tanah yang tetap kokoh,
tetap duduk dengan pandangan dingin, menyaksikan
perubahan yang terjadi di alam jagat ini.
Suara yang mereka dengar ternyata berasal dari balik
gundukan pasir itu.
Di belakang gundukan pasir terdapat sebatang pohon
kering, di atas pohon kering tergantung tubuh seseorang,
seseorang yang seharusnya sudah mati sedari dulu.
Siapa pun itu orangnya, tak mungkin bisa hidup hingga
sekarang setelah mengalami begitu banyak siksaan dan
penderitaan. Mungkin dia bisa hidup hingga kini karena
orang itu hanya separoh manusia dan separoh lainnya iblis.
Ternyata orang ini tak lain adalah Thian-mo-giok-li (Iblis
langit gadis suci) Liu Hun-hun.
Kalau bukan dikarenakan pakaiannya, nyaris Siau-hong
tak dapat mengenalinya sebagai Liu Hun-hun.
Dia telah disiksa hingga tak berbentuk manusia, bahkan
suara untuk merintih pun tak sanggup dikumandangkan,
yang bisa dilakukan hanya memandang ke arah Siau-hong
dengan sorot mata minta belas kasihan, memandang
dengan matanya yang merah darah.
Dia tak ingin Siau-hong menolongnya, sebab dia sendiri
pun tahu tak mungkin dirinya dapat hidup lebih jauh.
Yang dia inginkan hanya mati secepatnya.
Siau-hong memahami maksudnya, andaikata dia
menghadiahkan sebuah tusukan, tindakannya itu justru
merupakan sebuah tindakan bajik baginya, tindakan yang
sangat berperi kemanusiaan.
Namun dia tidak turun tangan, sebab dia sendiri pun tak
tahu bagaimana harus berbuat.
Bagaimana pun juga orang ini belum mati, tak seorang
pun punya hak untuk menentukan mati hidupnya.
Yang-kong telah membuang muka, dia tak tega
menyaksikan lebih jauh.
"Mari kita pergi!"
Siau-hong enggan beranjak pergi. Sambil menghela
napas Yang-kong pun berkata, "Jika kau tak ingin
menolongnya, tidak tega pula membunuhnya, mengapa tak
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau pergi?"
Siau-hong sendiri pun tak dapat mengemukakan
alasannya. Dalam watak manusia memang terdapat banyak sekali
ungkapan perasaan yang sukar dijelaskan, oleh sebab itu
hampir setiap orang seringkali melakukan perbuatan yang
dia sendiri pun tak dapat menjelaskan alasannya.
Siau-hong hanya ingin melepaskan perempuan itu dari
tiang gantungan.
Yang-kong segera menarik tangannya.
"Kau tak boleh menyentuhnya!"
"Mengapa?"
"Sebab bila kau menyentuhnya, maka orang lain akan
tahu kalau kita pernah datang ke sini, tahu kalau jalan
inilah yang kita tempuh."
"Orang lain" Siapa pula orang lain itu?" kembali Siauhong
bertanya. Yang-kong tak menjawab, karena "orang lain" telah
mewakilinya menjawab, "Yang dimaksud orang lain adalah
aku!" Suara itu berasal dari belakang tubuh Siau-hong.
Bahkan Siau-hong sama sekali tidak merasakan
kehadirannya, tahu-tahu orang itu telah berdiri di
belakangnya bagaikan sesosok roh gentayangan.
Belum pernah ada orang tahu kapan dia akan datang,
belum pernah juga ada yang tahu kapan dia akan pergi.
Siau-hong mengepal sepasang tinjunya, sampai ujung jari
pun ikut terasa dingin membeku.
Tapi dia sama sekali tidak merasa keheranan, sebab sejak
awal dia sudah tahu, Pancapanah tak bakal melepaskan
dirinya. Wajah Pancapanah sudah tidak dihiasi senyuman
sehangat musim semi, penampilannya tampak begitu keras
dan kokoh bagaikan emas, sinar matanya tajam bagai ujung
gurdi. Dalam genggamannya masih terlihat gendawa, di
pinggangnya tergantung pula anak panah.
Kembali Yang-kong menghela napas.
"Kusangka kau tak akan menduga bahwa aku bakal
melalui jalanan ini, tak menyangka kau masih tetap berhasil
menemukan kami."
Lalu setelah tertawa getir, terusnya, "Tak heran setiap
orang bilang bila Pancapanah sedang mengejar seseorang,
maka keadaannya ibarat seekor anjing pemburu sedang
mengejar seekor ayam, belum pernah sekali pun mengalami
kegagalan."
Pancapanah seolah sama sekali tidak mendengar apa
yang sedang dibicarakan gadis itu, dia masih mengawasi
Liu Hun-hun yang tergantung di atas pohon tanpa berkedip.
Tiba-tiba tanyanya, "Tahukah kalian siapa yang telah
melakukan semua ini terhadap dirinya?"
"Memangnya kau tahu?" tanya Yang-kong, "Siapa?"
Lama sekali Pancapanah termenung sebelum akhirnya
menyebut nama seseorang, "Dia adalah Kim-jiu si tangan
emas." "Tangan emas" Siapakah Tangan emas?"
"Kim-jiu bukan nama manusia tapi sebuah organisasi,
organisasi yang dibeli Lu-sam dengan bayaran emas
murni," Pancapanah menjelaskan, "Kim-jiu merupakan
julukan mereka."
"Sebelum ini mengapa aku belum pernah
mendengarnya?"
"Aku sendiri pun baru tahu belakangan," kata
Pancapanah, "Thiat Gi, Wi Thian-bong, Liu Hun-hun,
mereka adalah anggota organisasi ini."
"Kalau Liu Hun-hun adalah anggota organisasi ini,
mengapa mereka bersikap begitu keji terhadapnya?"
Mungkin saja Yang-kong tidak mengetahui alasannya,
tapi Siau-hong tahu.
"Karena dia pernah mengkhianati mereka!"
Sewaktu berada dalam tenda berbulu elang berwarna
hitam, dia minta setiap rekannya meninggalkan sebelah
tangan. Sekarang Siau-hong baru paham, apa sebabnya waktu itu
Po Eng melepaskan Liu Hun-hun begitu saja.
Rupanya dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa
rekan-rekannya pasti akan melakukan balas dendam
terhadapnya. Mata Pancapanah mulai berkerut kencang, tapi sinar
matanya bertambah tajam, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa
dingin, "Sungguh tak disangka ternyata mereka masih
tinggal di sini dan belum pergi."
Kembali Yang-kong bertanya, "Mereka sengaja
menggantung tubuh Liu Hun-hun di sini, apakah perbuatan
itu sengaja dilakukan untuk menakut-nakuti kita?"
Tapi dengan cepat ia jawab pertanyaan sendiri, "Sudah
pasti begitu, maka dari itu kau harus secepatnya pergi
mencari mereka, tunjukkan sedikit kehebatanmu kepada
mereka." Kembali dia menarik tangan Siau-hong, menariknya
menuju ke tempat di mana kuda mereka dilepas.
"Kita pun harus segera pergi."
Tapi Pancapanah segera menghalangi jalan pergi
mereka, melintangkan gendawa di tengah jalan.
"Kau boleh pergi, tapi dia tetap di sini."
"Buat apa dia tetap tinggal di sini?" Yang-kong sengaja
berlagak pilon, "Apakah minta dia menemanimu minum
arak?" "Bukan!"
Sebenarnya pertanyaan ini tak perlu dijawab, tapi
Pancapanah tetap menjawab, bahkan menjawab dengan
nada serius dan sungguh-sungguh.
Kembali Yang-kong menghela napas.
"Aku pun tahu, tentu saja kau tak akan minta dia untuk
menemanimu minum arak, kau tak pernah minum arak
sewaktu hendak membunuh orang."
Pancapanah mengakuinya, hawa napsu membunuh telah
mencorong keluar dari balik matanya.
"Kalau sudah tahu, buat apa kau bertanya lagi?"
"Karena aku berharap kau hanya memintanya
menemanimu minum arak," sikap Yang-kong pun berubah
jadi serius dan bersungguh-sungguh, "Karena kau tak akan
mampu membunuhnya."
Pancapanah tertawa dingin.
"Aku memahami maksudmu," katanya, "Kalian berdua
boleh turun tangan bersama, asal dapat membunuhku, kau
boleh membawa dia pergi."
Kemudian sepatah demi sepatah tambahnya, "Hanya
setelah berhasil membunuhku, kau baru dapat
membawanya pergi."
"Kau keliru besar," sekali lagi Yang-kong menghela
napas, "Pada dasarnya kau sama sekali tidak memahami
maksudku, aku tak pernah berniat membunuhmu, tapi kau
pun tak nanti bisa membunuhnya, kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" tukas Pancapanah, "Ketika dia
ingin pergi, tak seorang pun dapat menghalanginya; begitu
pula dengan aku, di saat aku hendak membunuh orang, tak
seorang pun dapat menghalangiku juga."
Tangan kanannya telah menggenggam gendawa emas,
kemudian dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kirinya menarik sebatang anak panah.
"Kecuali kali ini dia masih dapat menghindari kelima
batang anak panahku!"
Kini gendawa emas telah dipentang, anak panah telah
disiapkan, Ngo-hoa-sin-ciam yang selalu tepat sasaran telah
siap melepaskan anak panah mautnya.
Mendadak Yang-kong berteriak, "Aku pun tak tahu
apakah dia sanggup menghindari anak panahmu atau tidak,
tapi aku tahu, jika panah itu kau lepaskan, maka yang mati
terpanah bukan hanya dia seorang."
"Kau ingin menemaninya mati?" ejek Pancapanah sambil
tertawa dingin.
Ooo)d*w(ooO BAB 17. MANUSIA YANG MATI BERLUTUT
"Aku tak ingin," jawab Yang-kong.
Bukan takut, dia malah tertawa, terusnya, "Aku hanya
tahu, bila kau membunuhnya, maka akan ada orang lain
pasti menemaninya pergi mati."
"Siapa" Siapakah orang itu?" mau tak mau Pancapanah
harus bertanya.
"Orang itu adalah Pova!"
Dengan hambar terusnya, "Po Eng minta aku
memberitahukan kepadamu, bila kau membunuh Siauhong,
maka Pova pasti akan ikut mati, hari ini kau
membunuhnya, Pova tak akan hidup sampai esok."
Gendawa emas masih berada di tangan Pancapanah,
anak panah pun masih di atas gendawa, tapi sekujur
badannya telah jadi kaku, bahkan jari tangan yang menarik
tali busur pun ikut kaku.
Dia sangat memahami Po Eng, tak ada orang kedua
yang lebih mengerti tentang Po Eng daripada dirinya.
Setiap perkataan yang diucapkan Po Eng, persis panah
yan Pendekar Laknat 6 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 1