Pencarian

Elang Terbang Di Dataran Luas 6

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 6


g terlepas dari busurnya, ucapan Po Eng telah
disampaikan sementara anak panah belum terlepas dari
busurnya. Tapi anak panah telah berada di tali busur, masa tak
dilepaskan"
Mendadak... "Prakkk!", gendawa emas itu melejit ke
udara, ternyata tali busur telah tertarik putus.
Mengikuti putusnya tali busur, hawa napsu membunuh
di wajah Pancapanah pun berangsur sirna.
"Kalian memang merupakan sahabat sejati," dia
menghela napas, "Belum pernah kuduga bahwa kalian
ternyata merupakan sahabat sejati!"
Malam sudah larut, kini semakin larut.
Selesai mengucapkan perkataan itu, perlahan-lahan
Pancapanah membalikkan badan dan berjalan menuju ke
balik kegelapan.
Kegelapan di ujung langit yang tak terhingga, selalu
mengandung kesepian yang luar biasa.
Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, tak
tahan Yang-kong pun menghela napas panjang.
"Kau tak pernah mengira kalau mereka adalah sahabat
yang begitu karib, mungkin karena kau sendiri belum
pernah mempunyai teman."
Terlihat Pancapanah mengangguk perlahan. "Mungkin
saja begitu...."
Belum sampai dia menyelesaikan ucapannya, mendadak
terlihat tubuhnya menegang bagaikan tali busur yang ditarik
kencang, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berbaring di atas
pasir, menempelkan telinganya di atas tanah, cahaya
bintang yang menyinari wajahnya memperlihatkan
perubahan mimik yang sangat aneh.
Lagi-lagi dia mendengar suara yang tak mungkin
terdengar oleh orang lain.
"Apa yang kau dengar?" tak tahan Yang-kong berbisik.
"Manusia!"
"Manusia?" tanya Yang-kong lagi, "Ada orang datang
kemari?" "Ehm!"
"Menuju kemari?"
"Ehm."
"Berapa banyak jumlah mereka?"
Pancapanah tidak menjawab, dia memang tak perlu
menjawab, sebab waktu itu Siau-hong maupun Yang-kong
sudah mendengar pula suara yang baru saja ia dengar.
Suara derap kaki kuda yang amat ringan bergerak amat
cepat, dalam sekejap mereka telah dapat mendengar dengan
amat jelas, rombongan berkuda itu sedang bergerak menuju
ke arah mereka, jumlah pendatang paling tidak tiga-empat
puluhan orang, tiga-empat puluhan ekor kuda.
Sambil melompat bangun, bisik Pancapanah, "Kalian
ikut aku."
Kuda "Ci-hu" milik Siau-hong maupun kuda milik Yangkong
berada di bawah pohon kering di tepi kolam yang
telah mengering itu.
Dengan kecepatan tinggi Pancapanah menghampirinya,
menepuk perlahan kepala sang kuda, melepas tali lesnya,
dan membawa kedua ekor kuda itu menuju ke belakang
gundukan pasir yang jauh lebih rendah dan pendek,
kemudian menjatuhkan "Ci-hu" hingga merebah dan
menggunakan dada sendiri menindih kepala "Ci-hu".
Kuda "Ci-hu" yang tak pernah menuruti kemauan orang
ternyata sama sekali tidak memiliki tenaga untuk meronta
atau melawan setelah berada di tangannya.
Sewaktu turun tangan tadi, dia telah memberi tanda
kepada Yang-kong, gadis itu segera menggunakan cara yang
sama untuk mengendalikan kuda yang lain.
Cara yang mereka gunakan selain cepat, bahkan sangat
mujarab, mungkin jauh lebih mujarab daripada cara yang
digunakan seorang hidung-belang untuk merayu
perempuan. Pada saat itulah suara derap kaki kuda semakin
mendekat, kemudian terlihatlah serombongan manusia
berkuda bergerak menuju ke tanah hijau yang telah
mengering itu. Jumlah mereka adalah tiga puluh tujuh orang dengan
tiga puluh enam ekor kuda, binatang tunggangan orang
paling akhir bukan kuda, melainkan seekor keledai.
Orang ini bertubuh tinggi besar, bahkan sangat gemuk,
namun binatang tunggangannya justru seekor keledai yang
kurus kecil. Anehnya, biarpun keledai itu kurus kecil namun tampak
sangat kuat dan cekatan, sekalipun harus mengangkut
manusia sebesar dan seberat itu, ternyata ia sanggup
mengikut di belakang ketiga puluh enam ekor kuda
jempolan itu. Biarpun orang itu bertubuh tinggi besar dan gemuk,
namun sama sekali tak nampak gagah ataupun berwibawa,
pakaian yang dikenakan sangat bersahaja, ketika mengintil
di belakang ketiga puluh enam penunggang kuda yang
berpakaian mewah, berkuda jempolan, dan menyoreng
golok panjang, keadaannya lebih mirip seorang pelayan.
Anehnya sikap para penunggang kuda itu terhadapnya
sangat hormat, bahkan kelihatan agak takut.
Setelah turun dari kuda tunggangannya, ketiga puluh
enam orang jagoan itu serentak berdiri berjajar di kedua sisi
jalan dengan sikap yang amat menghormat, jangankan
bergerak, bernapas lebih keras pun tak berani.
Sambil tetap duduk di atas keledainya, orang itu
celingukan ke sana kemari beberapa saat lamanya,
kemudian baru perlahan-lahan turun dari atas pelananya.
Wajahnya yang memerah kelihatan bagaikan seorang
yang jujur dan polos, bahkan mukanya nampak sedikit
bodoh dan kebingungan.
Kembali dia celingukan, kemudian baru menggapai ke
arah seorang lelaki bertubuh kekar sembari bertanya,
"Apakah tempat ini yang kau maksudkan?"
"Benar!"
"Seingatku, kau seperti mengatakan tempat ini adalah
sebuah oase?"
"Benar."
"Mana airnya?" orang itu menghela napas, "Mengapa tak
terlihat setitik air pun di sini?"
Lelaki itu tertunduk rendah, butiran keringat sebesar
kacang kedelai telah membasahi jidat dan ujung hidungnya,
kedua kaki pun tampak agak gemetar, bahkan suaranya
sewaktu menjawab pun mulai gemetar.
"Tiga tahun berselang aku pernah datang kemari, di sini
memang merupakan sebuah oase, memang ada airnya, tak
nyana sekarang telah mengering."
"Tidak nyana, benar-benar tidak nyana," si gemuk yang
menunggang keledai itu menghela napas panjang, tiba-tiba
tanyanya lagi, "Belakangan apakah kesehatanmu bagus?"
"Bagus."
"Apakah pernah sakit?"
"Tidak."
Sekali lagi si gemuk penunggang keledai itu menghela
napas. "Kalau begitu kuduga kau sendiri pun tak pernah
menyangka kalau dirimu bakal segera mati, bukan?"
Tiba-tiba lelaki itu mengangkat wajahnya, muka yang
semula dicekam perasaan takut yang luar biasa secara tibatiba
muncul sekulum senyuman.
Ternyata dia masih sanggup tertawa, suatu peristiwa
yang sama sekali tak diduga siapa pun.
Si gemuk penunggang keledai itu pun tercengang, tak
tahan tegurnya, "Kau anggap sangat menggelikan?"
"Aku... aku... aku...."
Lelaki itu masih tertawa, senyumannya kelihatan begitu
gembira, begitu misterius, namun nada ucapannya penuh
dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa.
Tiba-tiba ia mulai berlutut, ketika badannya mulai
berlutut senyuman yang diperlihatkan pun makin gembira
dan riang. Tentu saja dia pun dapat menangkap hawa napsu
membunuh yang terpancar dari wajah si gemuk, sudah jelas
dia takut setengah mati, tapi kenyataan dia masih dapat
tertawa, sudah jelas suara tertawanya begitu riang gembira,
apa mau dikata caranya menunjukkan rasa ketakutan telah
mencapai puncaknya.
Seorang normal tak bakal menunjukkan penampilan
semacam ini, apakah orang ini sudah gila lantaran
ketakutan"
Rekan-rekannya memandang ke arah orang itu dengan
perasaan terkejut, mimik muka yang sebelumnya nampak
terkejut dan heran tiba-tiba berubah jadi wajah tertawa,
tertawa penuh keriangan, penuh misterius, tertawanya
persis senyumannya.
Menyusul ketiga puluh lima orang itu pun sama-sama
berlutut, ketika berlutut senyuman mereka nampak makin
riang, makin gembira.
Berubah paras si gemuk penunggang keledai itu, berubah
jadi tercengang, kaget, dan ngeri.
Pada saat parasnya mulai berubah itulah, tiba-tiba dia
pun memperlihatkan senyuman, senyuman gembira yang
misterius, senyum yang sama dengan ketiga puluh enam
orang anak buahnya.
Kemudian dia pun ikut berlutut.
Begitu ketiga puluh tujuh orang itu berlutut, mereka tak
pernah bergerak lagi, bukan saja tubuhnya masih tetap
terjaga pada posisi semula, wajah mereka pun masih dihiasi
dengan senyuman gembira.
Ketiga puluh enam orang itu tertawa terus, seakan-akan
secara bersamaan sedang menyaksikan sebuah kejadian
yang membuat mereka sangat gembira, sangat senang.
Tiba-tiba Yang-kong menggenggam tangan Siau-hong,
tangan gadis itu dingin dan basah, begitu pula dengan
tangan Siau-hong.
Menyaksikan senyuman gembira ketiga puluh tujuh
orang itu, sedikit pun mereka tidak merasa gembira, yang
dirasakan kini hanya kengerian aneh yang tak terlukiskan
dengan perkataan.
Mereka berdua pun tak tahu apa yang telah terjadi,
namun di hati kecil kedua orang itu secara tiba-tiba
diselimuti pula perasaan ngeri dan takut yang tak
terlukiskan dengan kata-kata.
Malam kelam yang panjang belum lagi lewat, jagat raya
masih diselimuti kegelapan dan keheningan.
Ketiga puluh tujuh orang itu masih berlutut di tempat
tanpa bergerak, senyuman riang masih tertera di wajah
masing-masing. Tapi kini senyuman gembira mereka pun sudah kelihatan
tak begitu menggembirakan lagi.
Senyuman orang-orang itu sudah kaku, sudah membeku.
Tubuh mereka pun telah kaku, telah membeku.
Di saat mereka menjatuhkan diri berlutut, nyawa mereka
ikut melayang meninggalkan raga, begitu berlutut langsung
mati. Saat ajal orang-orang itu adalah saat mereka berlutut,
yakni di saat mereka tertawa paling gembira.
Di saat menemui ajalnya mengapa mereka harus
tertawa" Mengapa mereka harus mati dalam keadaan berlutut"
Siau-hong ingin bertanya kepada Pancapanah, begitu
pula dengan Yang-kong, ada banyak persoalan yang ingin
ditanyakan. Di dataran luas yang penuh diselimuti misteri dan tak
berperasaan ini, seandainya masih ada orang yang bisa
menjelaskan kejadian misterius yang menakutkan ini, tak
dapat disangkal orang itu adalah Pancapanah.
Tapi sayang Pancapanah tidak memberi kesempatan
kepada mereka untuk bertanya.
Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah botol kayu berwarna
hitam dari dalam sakunya, lalu dengan jari manis dan
kelingking untuk menjepit botol itu sementara memakai ibu
jari dan jari telunjuknya untuk membuka penutup botol,
dari dalam botol itu dia menuang sedikit bubuk yang
kemudian diusapkan ke hidung kedua ekor kuda itu.
Dua ekor kuda yang lambat-laun mulai bergerak itu pun
seketika tidak bergerak lagi.
Bukan saja dia tidak membiarkan manusia bersuara,
kuda pim tak boleh ikut bersuara.
Tiga puluh tujuh orang yang berada di depan gundukan
pasir telah mati semua, orang mati tak akan mendengar
apa-apa. Mengapa dia masih belum berani bersuara" Dia takut
siapa yang mendengar suara mereka"
Pancapanah bukan hanya tenang dan dingin, bahkan
sangat angkuh, dia selalu percaya diri, tak pernah takut
kepada siapa pun, semua orang mengakui tak banyak lagi
kejadian di dunia ini yang dapat membuatnya ketakutan.
Tapi sekarang parasnya telah berubah, bahkan
tampaknya jauh lebih ketakutan ketimbang Siau-hong
maupun Yang-kong.
Sebab persoalan yang dia ketahui jauh lebih banyak
daripada mereka berdua.
Bukan saja dia tahu kalau orang-orang itu telah
keracunan, bahkan tahu kalau mereka telah terkena racun
Im-leng (Roh gentayangan) yang konon paling jahat, paling
ganas, dan paling menakutkan.
Sifat racun itu tak berwarna tak berbau, datang tanpa
bayangan tanpa bentuk, sedang orang yang melepaskan
racun pun bagaikan sesosok roh jahat yang gentayangan tak
berjejak. Belum pernah ada orang yang tahu siapa pelepas racun
itu, menggunakan cara apa melepaskan racun, juga tak ada
yang tahu sejak kapan dirinya terkena racun, menanti
mereka sadar dirinya keracunan, racun telah menyebar ke
seluruh tubuh dan tidak tertolong lagi.
Bentuk wajah mereka berubah bentuk tatkala racun itu
mulai bekerja, otot badan pun ikut kejang dan kemudian
lemas kehilangan kekuatan yang membuat sang korban


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh berlutut.
Mungkin saja "Im-leng" yang meracuni mereka masih
berada ribuan li jauhnya, mungkin juga dia sudah berada di
sekeliling mereka.
Peduli di mana pun dia berada, cepat atau lambat dia
pasti akan datang untuk menengok para korban yang mati
keracunan di tangannya, seperti seorang ahli ukir, ketika
menyelesaikan hasil seninya, dia pasti akan berusaha untuk
menikmati hasil karyanya.
Tapi sayang, selama ini belum ada seorang hidup pun
yang pernah menyaksikan wajah aslinya, karena dia harus
menunggu hingga seluruh targetnya benar-benar tewas,
baru datang menikmati hasil karyanya, dia selalu akan
mengatur agar mereka mati di sebuah tempat terpencil, sepi
dan jarang ada orang yang datang mengunjunginya.
Oase kering ini memang sebuah tempat yang jarang
didatangi orang, kini orang-orang itu telah mati semua.
Oleh karena itu dalam waktu singkat Im-leng pasti akan
muncul di sana.
Sebenarnya manusia macam apakah dirinya" Laki"
Perempuan" Tua" Atau muda"
Sebenarnya dia itu manusia atau sesosok roh setan
gentayangan"
Pancapanah merasakan detak jantungnya berdebar amat
cepat. Dia sadar, bila Im-leng tahu di situ masih ada orang
hidup, maka jangan harap orang hidup itu masih bisa
melanjutkan kehidupannya.
Malam kelam yang panjang sudah hampir lewat, pakaian
yang basah oleh keringat dingin pun sudah mulai
mengering tertiup angin malam yang menusuk tulang.
Jagat raya yang hitam pekat kini telah berubah menjadi
warna keabu-abuan yang lebih gelap daripada kegelapan
malam. Tiga puluh tujuh sosok mayat yang mati berlutut masih
tetap berlutut kaku di bawah jagat raya yang kelabu,
menanti kedatangan Im-leng yang telah meracuni mereka
untuk menengok terakhir kalinya.
Ternyata orang pertama yang datang bukan Im-leng,
melainkan seekor elang.
Burung elang pemakan bangkai.
Tampak burung elang terbang berkeliling di angkasa.
Jagat raya yang berwarna kelabu lambat-laun mulai
memutih, lambat-laun berubah seperti warna kelopak mata
jenazah yang telah memutih.
Tiba-tiba elang pemakan bangkai itu menukik ke bawah,
hinggap di tubuh sesosok mayat yang masih berlutut,
dengan menggunakan paruhnya yang lebih kuat dari baja
untuk mematuk mata mayat itu.
Inilah patukannya yang pertama.
Pada saat dia bersiap melanjutkan sarapannya yang amat
lezat, tiba-tiba terlihat sepasang sayapnya mengejang kaku.
Tentu saja dia tak dapat mati berlutut.
Elang pemakan bangkai tak dapat berlutut, tapi elang
pun dapat mati.
Ternyata racun jahat Im-leng telah menyebar ke setiap
sel darah dalam tubuh jenazah itu, ketika elang pemakan
bangkai mematuk darah orang itu, maka sang elang pun
ikut mati keracunan.
Siau-hong merasakan dadanya sesak, begitu sesak hingga
tak sanggup bernapas, lambungnya terasa berkerut, seakanakan
cairan pahitnya akan tertumpah keluar....
Pada saat itulah dia mendengar lagi sebuah suara yang
sangat aneh. Ia mendengar gonggong anjing.
Gonggong anjing pun bukan sesuatu yang aneh. Di
seluruh kota maupun desa di wilayah Kang-lam, orang
dapat mendengar gonggong anjing dari setiap sudut tempat,
bahkan setiap hari suara itu mengganggu ketenangan,
membuat kau yang enggan mendengar pun terpaksa harus
mendengarnya juga.
Tapi di dataran luas yang begitu gersang, sepi, dan
terpencil, apalagi di pagi hari yang dingin membekukan,
siapa pun tak akan menyangka akan mendengar suara
gonggong anjing, tentu saja semakin tak mengira kalau
akan melihat munculnya seekor anjing.
Siau-hong telah melihat munculnya seekor anjing.
Ternyata makhluk kedua yang muncul bukan roh
gentayangan pula, melainkan seekor anjing.
Seekor anjing Peking yang berbulu putih salju dan sangat
cantik. Langit nyaris sudah terang menderang, lambat-laun
warnanya telah berubah menjadi sewarna ujung hidung
mayat-mayat itu.
Anjing Peking yang putih bersih dan manis itu masih
menggonggong, menggunakan semacam gerakan yang amat
menarik, amat lincah berlari mendekat, seakan seekor
anjing kecil yang sangat disayang berlari masuk ke dalam
kamar tidur majikannya.
Dia seakan tahu majikannya yang berhati lembut tak
bakal memarahinya, karena itu benda apa pun yang
dijumpai pasti digigitnya sekali, berjumpa dengan sandal
milik majikan pun tetap akan menggigitnya.
Hanya sayang tempat ini bukan kamar tidur gadis manja,
di sini pun tak ada nona yang berhati lembut, apalagi sandal
bunga yang indah.
Yang ada di sini hanya orang mati, sepatu laras kulit
yang dikenakan pada kaki mayat-mayat itu.
Anjing Peking yang putih menawan itu masih tetap
menggigitnya, yang digigit bukan sepatu kulit yang
dikenakan mayat itu, yang digigit adalah betis mayat itu.
Ternyata anjing Peking yang putih menawan itu
menggigit betis setiap mayat yang dijumpai.
Orang mati tentu tak akan merasa sakit, tiada reaksi dari
mayat-mayat kaku itu.
Tapi Yang-kong merasa hatinya sakit.
Seperti gadis gadis berusia sembilan belas tahun, dia pun
amat menyukai anjing kecil berbulu putih yang menarik
hati. Dia tak tega menyaksikan anjing kecil yang menawan itu
sama nasibnya seperti elang pemakan bangkai, mati
keracunan. Dia tak tega untuk melihatnya, namun dia pun tak tahan
untuk melihatnya.
Karena itu dia pun menyaksikan satu kejadian aneh.
Anjing kecil itu bukan saja tidak mati keracunan, bahkan
berubah makin lincah, makin menarik, makin menawan,
seperti anjing kecil yang baru habis menyantap hidangan
lezat yang diberikan majikannya, karena itu dia
menggunakan cara yang paling menawan untuk
melaporkan hasilnya, untuk membuat senang hati
majikannya, karena itu dia menggonggong tiada hentinya,
menggoyang ekor tiada hentinya.
Kini dia sudah mendengar majikannya memanggil,
"Macan kecil, cepat, cepat, cepat, biar ibu menciummu,
menggendongmu!"
Dia hanya seekor anjing kecil, bukan macan kecil,
"ibu"nya pun bukan seekor anjing, dia seorang manusia.
Seorang yang sangat menarik, berkulit putih bersih,
bermata bening, rambutnya yang hitam dikepang menjadi
tujuh-delapan belas buah kepang kecil, pada setiap kepang
kecil itu diikat dengan tali merah yang berbentuk kupukupu.
Di wilayah Kang-lam yang berpanorama indah, di
musim semi yang berudara segar, di tepi sungai kecil atau di
kebun bunga, mungkin saja kau akan bertemu dengan
seorang gadis kecil yang begitu menawan.
Tapi di tempat, waktu dan suasana seperti ini, siapa pun
tak bakal akan mengira bakal bertemu dengan manusia
semacam ini. Tentu saja dia bukan "Roh gentayangan", pasti bukan.
Tapi siapakah dia" Mengapa bisa muncul di tempat ini,
bahkan membawa seekor anjing kecil"
Andaikata bukan lantaran di tempat itu masih ada tiga
puluh tujuh sosok mayat yang masih berlutut di sana, Yangkong
pasti akan lari melewati gundukan pasir dan bertanya
kepadanya, dari dalam kantung kulitnya membagikan
semangkuk susu kambing yang manis kecut, lalu bertanya
tentang asal-usulnya dan bertanya kepadanya apakah
bersedia menjadi sahabatnya.
Tapi dengan cepat dia hapus seluruh rencananya itu,
kendati di sana tak ada orang mati, dia tak bakal muncul
dari persembunyiannya.
Karena secara tiba-tiba dia telah menyaksikan seseorang
yang jauh lebih menakutkan daripada orang mati, seorang
berpakaian serba putih bagaikan sesosok roh jahat muncul
secara tiba-tiba di belakang tubuh nona kecil berkepang
tujuh-delapan belas itu.
Padahal dia tidak termasuk orang yang berparas jelek,
perawakan tubuhnya tinggi tegap bagaikan sebatang pit,
pakaian putihnya bersih dan sesuai dengan potongan
badan, bahkan panca-inderanya termasuk sempurna, orang
itu terhitung tampan dan menawan.
Dia bahkan jauh lebih tampan dan menarik daripada
kebanyakan orang lelaki, namun siapa pun yang pernah
melihatnya pasti akan terperanjat hingga bermandikan
keringat dingin.
Tubuh orang ini seolah tembus pandang, semua bagian
tubuhnya yang berada di luar pakaian hampir seluruhnya
tembus pandang, setiap nadinya, setiap ototnya, bahkan
setiap kerat tulang-belulangnya dapat dilihat dengan jelas
sekali. Seluruh bagian tubuh orang ini seolah dilapisi oleh kristal
yang tembus pandang.
Hampir saja Yang-kong menjerit keras, berteriak kepada
nona kecil yang menarik itu agar lari dengan cepat, makin
cepat larinya semakin baik.
Bagaimana pun dia merasa kuatir akan keselamatan
nona kecil itu.
Apakah kemunculan manusia kristal itu dikarenakan
gadis cilik itu" Apa yang bakal dia lakukan terhadapnya"
Sekalipun manusia kristal itu tidak mengusiknya, tatkala
gadis itu mengetahui di belakangnya telah berdiri manusia
semacam ini, apakah dia tidak mati lantaran kaget"
Sekarang gadis itu telah melihat kehadirannya.
Ternyata dia sama sekali tidak takut, malah mencakmencak
kegirangan, dipeluknya tengkuk orang itu lalu
mengecup pipinya yang tembus pandang.
Ternyata manusia kristal itu pun ikut tertawa, bahkan
pandai bicara, suaranya penuh kelembutan dan kehangatan.
Akan tetapi perkataan yang dia ucapkan lagi-lagi
membuat orang lain terperanjat.
"Apakah semuanya sudah mati?" tanya orang itu sambil
membelai lembut rambut si nona, "Apakah semuanya
sudah mati?"
"Tentu saja semuanya sudah mati," jawab nona kecil itu,
"Perlu kita suruh si macan kecil menggigit mereka sekali
lagi?" Lalu sambil memicingkan mata lanjutnya, "Kau
melarang mereka menyaksikan matahari hari ini, mana
mungkin mereka bisa hidup hingga fajar menyingsing?"
Tak tahan secara diam-diam Yang-kong menggenggam
lagi tangan Siau-hong, tangan mereka berdua terasa lebih
dingin ketimbang tadi.
Ternyata manusia kristal inilah si roh gentayangan, "Imleng".
Rupanya anjing kecil itu menggigit kaki setiap mayat
yang berlutut tadi tujuannya untuk mencoba apakah mereka
benar-benar sudah mati atau belum, hanya orang mati yang
tak merasa kesakitan.
Harus menunggu hingga setiap orang mati, si roh
gentayangan baru akan muncul.
Tapi Yang-kong belum mati, Siau-hong, dan
Pancapanah pun belum mati.
Akhirnya mereka dapat melihat wajah asli si roh
gentayangan dalam keadaan hidup.
Tapi sekarang, berapa lama lagi mereka dapat hidup"
Kemungkinan besar si roh gentayangan telah
menemukan jejak mereka, telah melepaskan racunnya yang
tak berwarna, tak berbau, dan tak berwujud, melepasnya di
udara, di tengah hembusan angin, ketika mereka
menjumpai dirinya telah keracunan, tubuh mereka telah
jatuh berlutut.
Berlutut berarti mati.
Biarpun seseorang bakal mati, tidak seharusnya mereka
mati dalam keadaan berlutut.
Mengapa tidak sekalian beradu jiwa dengannya"
Menyerangnya mati-matian"
Hampir Yang-kong menerjang keluar dari
persembunyiannya...
Tapi pada saat itulah kembali ia saksikan sebuah
peristiwa yang amat menakutkan.
Dari antara tiga puluh tujuh sosok mayat yang mati
berlutut, tiba-tiba ada seorang telah hidup kembali.
Ternyata orang mati yang hidup kembali itu tak lain
adalah si gemuk penunggang keledai.
Tubuhnya yang gemuk besar tiba-tiba melejit ke tengah
udara seperti ikan Lehi dari sungai Huang-ho, terlihat
secercah cahaya perak menebar di angkasa.
Cahaya perak itu berkelebat lalu jatuh ke atas tubuh
manusia kristal itu, ternyata sebuah jala.
Tubuhnya berputar di tengah udara kemudian melayang
turun di atas batang pohon kering itu dan mulai menarik
jala peraknya. Dalam waktu sekejap manusia kristal itu pun berubah
menjadi ikan dalam jaring.
Bila seseorang benar-benar sudah mati, dia tak akan
bangkit dan hidup kembali, karena setiap manusia hanya
memiliki selembar nyawa, hanya bisa mati satu kali.
Tentu saja si gemuk itu pun tidak terkecuali.
"Pernahkah kau bayangkan kalau aku belum mati?" ia
tertawa tergelak, "Pernahkah kau bayangkan, di dunia ini


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata masih ada orang yang tak mati kau racun?"
Suara tawanya amat nyaring dan gembira, kejadian
semacam ini memang patut dia banggakan.
Tapi sayang suara tawanya harus segera berakhir, karena
dia pun telah menyaksikan satu kejadian yang sama sekali
tak diduga. Dia menjumpai nona kecil itu pun sedang tertawa.
Tadi dia masih sempat memeluk manusia kristal itu,
bahkan menciumnya. Hal ini membuktikan hubungan di
antara mereka berdua tentu sangat dekat dan akrab.
Ketika saat ini dia melihat sanak dekatnya secara tibatiba
dijaring orang, seharusnya gadis itu merasa sangat
terkejut, sangat gusar, dan sangat berduka, sekalipun dia tak
berani mengadu nyawa dengan si gemuk, paling tidak
sepantasnya ia berusaha melarikan diri.
Siapa sangka dia justru ikut tertawa, bukan hanya
tertawa bahkan bertepuk tangan, bukan saja gelak
tertawanya jauh lebih ceria, suara tepuk tangannya pun
jauh lebih keras dari siapa pun.
"Kungfu yang hebat! Kemampuan yang luar biasa!"
teriaknya sambil bertepuk tangan, "Sekalipun
kemampuanmu di bidang yang lain tidak seberapa hebat,
namun kemampuanmu untuk berpura-pura mati boleh
dibilang nomor satu di kolong langit."
Kembali dia bertanya, "Ketika digigit si macan kecil tadi,
masa kau sama sekali tidak merasa kesakitan?"
Si gemuk ikut tertawa.
"Siapa bilang tidak sakit, sakitnya setengah mati,"
sahutnya. "Kenapa kau bisa tahan?"
"Begitu terbayang si roh gentayangan Im-sianseng yang
selama ini malang-melintang dalam dunia persilatan dan
selalu membikin orang ngeri dan ketakutan bakal segera
tergantung dalam jaringku, biar lebih sakit pun aku masih
dapat menahannya."
"Masuk akal, sangat masuk akal," kembali nona cilik itu
tertawa, "Setiap perkataan Oh-tayciangkwe rasanya selalu
masuk akal."
Sekarang Yang-kong baru tahu, ternyata si gemuk
bermarga Oh, bahkan seorang Tayciangkwe.
Di wilayah utara, Tayciangkwe berarti Toalopan,
juragan besar. Kalau dilihat bentuk badannya, dia memang
mirip seorang juragan besar, tauke besar.
Tiba-tiba nona cilik itu kembali menghela napas.
"Sungguh tak disangka hari ini ternyata Oh-tayciangkwe
telah salah mengatakan sesuatu."
"Soal apa?"
"Orang yang kau gantung dalam jaringmu itu bukan Imsianseng,
tidak sepantasnya kau sebut si Roh gentayangan
yang membikin setiap orang ketakutan itu sebagai Imsianseng"
"Lalu harus memanggil apa?"
"Kau seharusnya memanggil dia sebagai Im-toasiocia,"
nona itu tertawa, "Paling tidak seharusnya kau
memanggilnya Im-toakohnio."
"Di manakah nona Im sekarang?" tanya Oh-tayciangkwe
cepat. "Berada di sini, persis di hadapanmu," nona itu
menunjuk ke hidung sendiri, "Akulah Im-toakohnio, Imsiocia
adalah aku."
Lagi-lagi Oh-tayciangkwe tak mampu tertawa.
Siapa pun tak akan menyangka si nona kecil dengan
rambut dikepang tujuh-delapan belas, yang suka
membopong anjing kecil, bahkan sewaktu tertawa mirip
dengan keceriaan cucu sendiri, ternyata tak lain adalah Imleng,
si Roh gentayangan yang sangat menakutkan.
Kembali nona itu membopong anjing kecilnya, lalu
ujarnya kepada Oh-tayciangkwe yang kini sudah tak
mampu tertawa lagi, "Bagaimana kalau kudendangkan
sebuah lagu untukmu?"
Dalam situasi seperti ini ternyata si nona ingin
menyanyi, bukan hanya begitu, ternyata ia benar-benar
menyanyi: "Di Yan-pak terdapat Sam-po-tong.
Terkenal dan disegani banyak orang.
Dalam Sam-po-tong terdapat Sam-po (tiga mestika).
Siapa bertemu siapa tertimpa musibah, air mata jatuh
berlinang. Ayah tiada, ibu pun tiada,
Siapa bertemu dia tertimpa bencana,
Air mata meleleh bagaikan butiran beras"
Apa yang dia nyanyikan pada hakikatnya tidak bisa
disebut sebuah nyanyian, bait syairnya pun sama sekali tak
indah, namun setiap patah katanya justru merupakan
kenyataan. Sam-po-tong (Gedung tiga mestika) terletak di wilayah
Yan-pak, pamor dan namanya memang amat tersohor.
Dalam Sam-po-tong memang benar-benar terdapat Sam-po,
tiga mestika, bila orang persilatan bertemu Sam-po, jarang
sekali ada yang bisa luput dari bencana.
Menunggu nona itu selesai menyanyi, Oh-tayciangkwe
pun bertepuk tangan.
"Bicaralah menurut hati nuranimu, nyanyian yang
kubawakan barusan enak tidak dinikmati?"
"Bagus, enak sekali," jawab Oh-tayciangkwe tertawa,
"Kujamin belum pernah ada orang lain yang bisa menyanyi
jauh lebih merdu daripada dirimu."
Im-toasiocia tertawa terkekeh.
"Menjilat ribuan, menjilat jutaan, hanya pantat yang
paling enak dijilat. Kau begitu menyanjungku, tentu saja
aku pun harus membalas sanjunganmu itu."
"Tentu, tentu."
"Orang lain mendengar aku menyebutmu Tayciangkwe,
mereka pasti menyangka paling kau hanya tauke sebuah
kedai makan saja." Oh-tayciangkwe menghela napas.
"Aku sendiri lebih suka begitu, kesulitan dan kerepotan
yang dialami para Tayciangkwe rumah makan jauh lebih
kecil daripada diriku."
"Hanya sayangnya kau justru Tayciangkwe dari Sam-potong,
ingin menyangkal pun tak mungkin bisa disangkal."
Tiba-tiba nona itu bertanya lagi, "Dapatkah kau beritahu
padaku, Sam-po-tong itu sebenarnya tiga mustika apa saja?"
"Menurutmu?" Oh-tayciangkwe balik bertanya sambil
tersenyum. "Jaring yang dapat menggantung orang tentu mestika
pertama bukan?" tanya Im-toasiocia sambil memutar biji
matanya. " "Tentu saja."
"Konon kau mempunyai Am-gi yang dinamakan Honghong-
tian-ci (Burung Hong pentang sayap), walaupun
belum sebanding dengan Khong-ciok-leng (Bulu merak)
dari Perkampungan Khong-ciok-san-ceng di masa lampau,
namun kehebatannya luar biasa juga, tentunya benda itu
pun termasuk salah satu mestikamu."
"Seharusnya begitu."
Ooo)d*w(ooO BAB 18. OH-TAYCIANGKWE
"Masih ada sebuah mestika lagi, tanpa kau sebut pun aku
dapat menebaknya," kata Im-toasiocia sambil tertawa,
"Benda mestika yang paling berharga dari Sam-po-tong
tentunya adalah dirimu sendiri, bukan?"
Oh-tayciangkwe tertawa tergelak.
"Hahaha, betul, tepat sekali, kalau aku bukan mestika,
masa tak bisa mati keracunan?"
"Justru karena orang persilatan mengatakan kau tak bisa
mati diracun, maka aku jadi ingin menjajal
kemampuanmu."
"Bukankah sekarang telah kau coba?" kata Ohtayciangkwe,
"Rasanya sudah seharusnya tiba giliranku
menjajal kemampuanmu."
"Menjajal apa" Bagaimana menjajalnya?"
"Mencoba apakah kau mampu menghindari sambitan
senjata rahasia Hong-hong-tian-ci!"
Walaupun senyuman masih menghiasi wajahnya,
namun hawa napsu membunuh telah terpancar dari balik
matanya. Biarpun ia belum bergerak, namun punggung tangannya
telah muncul otot otot hijau yang menonjol.
Berputar sepasang biji mata Im-toasiocia, tiba-tiba
ujarnya, "Kau benar-benar percaya kalau aku adalah Roh
gentayangan" Mengapa kau tidak bertanya dulu kepadaku,
siapa orang yang telah kau gantung itu?"
Oh-tayciangkwe menatap tajam wajah nona itu,
jangankan bergerak, berkedip pun tidak, dia seolah telah
mengambil keputusan, tak akan berpaling untuk menengok
ke arah manusia kristal.
Dia tak perlu cabangkan pikiran lagi demi seseorang
yang sudah terperangkap di dalam jaringnya, peduli siapa
pun orang itu karena hasilnya sama saja.
Walau begitu, tak urung ia bertanya juga, "Siapakah
orang ini?"
"Padahal dia belum terhitung sebagai orang," jawab Imtoasiocia,
"Karena dia tak lebih hanya sebuah botol."
"Botol" Botol apa?"
"Botol untuk menyimpan racun, beragam racun ada di
dalam tubuhnya."
Kemudian setelah berhenti sejenak, Im-toasiocia
menambahkan, "Oleh sebab itu asal kau berani
menggerakkan tanganmu, berarti ajalmu segera akan tiba!"
"Ajalku segera tiba" Siapa yang akan mati?"
"Kau! Tentu saja kau."
Dengan lembut Im-toasiocia menambahkan, "Asal dia
meniupkan udara ke arah tubuhmu, maka kau bakal segera
mampus." Oh Tayciangkwe tertawa tergelak.
"Perkataan apa pun yang kau ucapkan, tak bakal aku
tertipu." Kemudian setelah tertawa keras, tambahnya, "Biarpun
tampangku mirip seekor babi, padahal aku lebih licik
daripada seekor rase tua."
"Asal kau berani menggerakkan tanganmu, kau segera
akan menjadi seekor rase mampus."
Tiba-tiba Oh-tayciangkwe menghentikan gelak
tertawanya. Yang berbicara kali ini bukan Im-toasiocia, tentu saja
bukan pula dirinya, orang yang berbicara berada di
belakang tubuhnya, hanya selisih jarak tiga jengkal darinya.
Tiba-tiba dia melejit ke udara dan berjumlatan, seketika
itu juga dijumpai orang yang semula tergantung dalam
jaring, kini sudah berada dalam jalanya lagi.
Di saat dia bertekad tak akan tertipu oleh akal muslihat
nona kecil itu dan tidak berpaling untuk memecah
perhatian, si manusia kristal telah meloloskan diri dari
dalam jaringnya dan berdiri di belakang tubuhnya, bahkan
jala mestikanya kini telah berada di tangan orang ini.
Akhirnya Oh-tayciangkwe tetap tertipu.
Orang ini bukan manusia kristal, meski bukan manusia,
dia pun bukan botol.
Rupanya tingkah-polah nona kecil dengan tertawa,
menyanyi dan berbincang tak lain bertujuan agar rekannya
bisa meloloskan diri dari dalam jala.
Bila di kolong langit hanya ada dua orang yang dapat
meloloskan diri dari jala peraknya, maka orang itu adalah
salah satu di antaranya.
Bila di kolong langit hanya ada satu orang yang dapat
meloloskan diri dari jala peraknya, maka dialah satusatunya
orang itu. Orang ini bukan saja tembus pandang, bahkan seolah tak
memiliki tulang-belulang, walau sekerat pun.
Suara tawa nona kecil berkepang itu makin merdu,
makin manis. "Sekarang kau tentu sudah tahu siapakah si Roh
gentayangan yang sebenarnya, bukan" Tapi sayang saat ini
sudah terlambat."
"Memang sedikit terlambat," sahut Oh-tayciangkwe
sambil melompat naik ke atas pohon kering, "Untung belum
terlalu terlambat, asal aku belum mati berarti segalanya
belum terlambat! Sekalipun aku harus mati, kalian harus
menemani aku!"
Sepasang tangannya telah direntangkan bagaikan burung
Hong pentang sayap.
"Sekalipun aku harus masuk neraka, kalian pun harus
menemani aku!"
Seperti senjata rahasia ampuh yang konon pernah
beredar dalam dunia persilatan, seperti senjata rahasia Huihun-
ngo-hoa-jin (Kain lima warna terbang bagai awan),
Khong-ciok-leng (Bulu merak), Thian-coat-te-beng-jin-bong,
bu-cing-toh-bing-sam-cay-teng (Tiga paku tanpa perasaan
pencabut nyawa, langit musnah, manusia lenyap), orang
persilatan pun belum pernah ada yang tahu senjata rahasia
Hong-hong-tian-ci milik Sam-po-tong itu sesungguhnya
merupakan senjata rahasia macam apa, bagaimana cara
menyambitkannya, dan seberapa dahsyat daya
penghancurnya. Sebab orang yang pernah menyaksikan kedahsyatan
senjata rahasia itu, biasanya sudah mati di ujung senjata itu.
Akan tetapi, tak ada seorang pun yang meragukan
perkataan Oh-tayciangkwe.
Ketika dia mengatakan harus menemaninya masuk
neraka, itu berarti dia benar-benar berniat mengajak mereka
masuk neraka bersama-sama.
Dia menaruh kepercayaan penuh terhadap keampuhan
senjata rahasianya, dia sangat yakin dengan
kemampuannya. Kini sepasang lengannya sudah direntangkan,
melakukan sebuah gerakan dan gaya yang aneh penuh
misteri. Wajah manusia kristal yang semula tembus pandang,
tiba-tiba muncul selapis kabut asap berwarna ungu yang
seketika menyelimuti seluruh mukanya.
Senyuman yang menghiasi nona cilik pun kini sudah
hilang tak berbekas.
Asal salah seorang di antara mereka mulai turun tangan,


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka ketiga orang itu akan berangkat ke neraka bersamasama...
hanya menuju neraka, tak akan pergi ke tempat
lain. Pada saat yang amat kritis itulah mendadak dari balik
sebuah gundukan pasir yang agak besar dan tinggi bergema
suara tiupan seruling.
Irama seruling indah dan lembut, lagu yang dibawakan
pun sangat menawan, tanpa terasa seluruh hawa napsu
membunuh yang berkobar di hati orang-orang itu mulai
buyar. Menyusul berkumandangnya suara seruling tadi, tampak
dua orang muncul, dua orang yang amat kecil.
Seorang kakek bertubuh kerdil menuntun seekor keledai
dan seorang nenek kerdil yang duduk di punggung keledai
sambil meniup seruling, wajah mereka amat kecil dengan
mulut yang kecil, bibir yang kecil dan seruling pualam yang
kecil pula. Selama hidup belum pernah Siau-hong menyaksikan
manusia sekerdil ini, manusia di mana pun yang pernah
ditemuinya berukuran setengah lebih tinggi daripada
mereka berdua. Walau begitu, potongan tubuh mereka justru amat
sempurna, sama sekali tidak menunjukkan kejelekan atau
kelucuan apa pun.
Kakek Jkerdil itu berambut putih dengan wajah yang
sangat ramah, sementara sang nenek kerdil berparas cantik,
lembut dan alim, dia memegang seruling dengan kedua
belah tangannya, seakan seruling pualam itu merupakan
sebuah benda mestika.
Siapa pun pasti akan mengakui kalau mereka berdua
merupakan pasangan yang serasi.
Oh-tayciangkwe tidak turun tangan, begitu pula dengan
Roh gentayangan.
Siapa pun itu orangnya, bila telah mendengar suara
seruling semerdu itu dan menjumpai dua orang istimewa
semacam ini, tak mungkin mereka dapat melancarkan
serangan mematikan lagi.
Kembali sekulum senyuman cerah menghiasi wajah Imtoasiocia.
"Losianseng, Lothaythay, kalian datang dari mana" Dan
mau pergi ke mana?"
Menyaksikan seorang nona kecil yang begitu menawan,
sekulum senyuman segera menghiasi wajah kakek kerdil
itu. "Kami datang dari tempat di mana kalian datang."
Kemudian menambahkan, "Tapi kami tak ingin pergi ke
mana kalian akan pergi."
Senyumannya ramah dan lembut, perkataannya pun
sangat enak didengar.
"Dunia begini luas, ada banyak tempat indah yang patut
didatangi dan dikunjungi, kenapa kalian justru memilih
pergi ke neraka?"
Irama seruling berkumandang makin hangat dan lembut,
kabut ungu yang menyelimuti wajah manusia kristal pun
lambat-laun semakin buyar.
Tiba-tiba Oh-tayciangkwe melompat turun dari dahan
pohon, kemudian menjura kepada kakek kerdil itu dengan
sangat hormat. Kakek kerdil itu sepertinya agak tercengang, tanyanya
kemudian, "Aku tak lebih hanya seorang tua bangka yang
tak berguna, apa sebabnya kau begitu hormat kepadaku?"
"Setelah bersua dengan Hong-locianpwe, mana berani
Boanpwe bersikap kurangajar?" jawab Oh-tayciangkwe
dengan sikap yang lebih hormat.
Berkilat sepasang mata Im-toasiocia, dipandangnya
kakek kerdil itu dengan pandangan terkejut, lalu
gumamnya, "Hong-locianpwe?"
Dengan nada tercengang dan kaget, terusnya, "Jadi kau
adalah Jian-li-hui-im, ban-li-tui-gwe, sin-heng-bu-im-tuihong-
siu" (Ribuan li mengejar awan, laksa li menangkap
rembulan, langkah sakti tanpa bayangan pengejar angin)
Hong-loyacu?"
Sambil tersenyum kakek kerdil itu manggut-manggut.
Im-toasiocia memandang ke arah nyonya kerdil yang
berada di punggung keledai, kemudian katanya pula,
"Hong-siu-gwe-bo tak pernah saling berpisah satu dengan
lainnya, aku rasa yang ini tentulah Gwe-popo, bukan?"
Senyuman yang menghiasi wajah Tui-hong-siu (Kakek
pengejar angin) semakin cerah.
"Sungguh tak nyana nona ini meski masih muda usia,
namun memiliki pengetahuan yang amat luas."
Oh-tayciangkwe berdehem beberapa kali, lalu tanyanya,
"Hong-cianpwe bukannya menikmati hidup di
Perkampungan Poan-gwe-san-ceng (Perkampungan
menemani rembulan), mau apa mendatangi tempat gersang
yang terpencil semacam ini?"
Tui-hong-siu memandangnya sekejap, lalu tertawa.
"Sebaliknya Oh-tayciangkwe bukannya menikmati rezeki
dalam Sam-po-tong, mau apa pula kau mendatangi tempat
gersang yang terpencil ini?"
"Aku...."
"Padahal tak usah Oh-tayciangkwe bicara pun, aku
sudah tahu."
"Kau tahu?" tampaknya Oh-tayciangkwe terperanjat,
"Dari mana bisa tahu?"
"Sebetulnya kedatangan kita dikarenakan persoalan yang
sama, mana mungkin aku tidak tahu?"
Oh-tayciangkwe makin terperanjat, sengaja tanyanya,
"Persoalan apa yang Hong-locianpwe maksudkan?"
"Ya, karena persoalan itu," sambil tersenyum pelan-pelan
dia mengeluarkan tangan dari dalam sakunya.
Sebuah "Tangan emas" yang amat menyilaukan mata.
"Kalau memang semua orang datang dikarenakan
persoalan ini, mengapa pula harus masuk neraka bersamasama?"
ujar Tui-hong-siu sambil" tertawa, "Kalau toh kita
semua telah datang kemari, maka yang pantas masuk
neraka adalah orang lain."
Sekarang mereka telah datang, lalu siapa yang
seharusnya pergi ke neraka"
Irama seruling telah menjauh, orang-orang itu pun telah
pergi menjauh. Ternyata mereka datang dikarenakan "Tangan emas". Di
bawah komando "Tangan emas", pertikaian dan
perselisihan pribadi tidak diperkenankan tetap dipelihara,
peduli kau adalah Roh gentayangan atau bukan, Ohtayciangkwe
atau bukan, semuanya sama dan sederajat.
Kemunculan "Tangan emas" ini ternyata mendatangkan
daya pengaruh yang begitu besar.
Pancapanah melompat bangun dari atas tanah,
memandang Siau-hong dengan pandangan yang sangat
aneh, tiba-tiba ia mengucapkan pula kata-kata yang sangat
aneh, "Sekarang aku baru tahu, apa sebabnya Po Eng
membiarkan kau pergi."
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, tambahnya,
"Sekarang kau pergilah, cepat pergi!"
Siau-hong tidak habis mengerti, dia ingin sekali bertanya
mengapa dia mengucapkan perkataan itu dan apa
maksudnya. Tapi begitu menyelesaikan perkataannya, Pancapanah
pun ikut pergi, pergi secepat hembusan angin.
Ketika dia hendak pergi, belum pernah ada orang yang
mampu menahannya.
Lentera minyak yang redup, udara yang tercemar, tanah
yang berpasir....
Tapi akhirnya mereka tiba juga di sebuah tempat yang
ada kehidupan, Siau-hong dan Yang-kong telah
menghabiskan semangkuk bakmi yang mereka pesan,
sampai kuahnya pun diteguk habis.
Berada di desa miskin di tepi gurun, menyaksikan bocahbocah
kecil yang berebut tahi kuda di sepanjang jalan, siapa
pun akan sadar betapa berharganya setiap benda yang ada
di dunia ini. Selesai menghabiskan semangkuk bakmi, mereka pun
duduk termenung di bawah cahaya lentera yang redup,
dalam hati serasa ada banyak perkataan yang hendak
dibicarakan, namun tak tahu harus mulai dari mana.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Siau-hong
bertanya, "Kau pernah mendengar tentang manusia yang
bernama Tui-hong-siu ini?"
"Pernah."
"Tahukah kau manusia macam apakah dia?"
"Aku tahu," jawab Yang-kong, "Dua puluh tahun
berselang, dia termashur karena Gin-kang-thian-he-te-it
(Jago nomor wahid ilmu meringankan tubuh), walaupun
dalam dua puluh tahun terakhir banyak bermunculan
manusia berbakat dalam dunia persilatan, tidak banyak
orang yang mampu mengungguli kehebatannya."
Siau-hong kembali termenung, setelah lewat cukup lama
dia baru bicara lagi, "Ketika aku baru berkelana dalam
dunia persilatan, pernah mempunyai sahabat karib yang
usianya jauh lebih tua ketimbang aku, sekalipun kungfu
yang dimilikinya tidak terlampau tinggi, namun tak ada
urusan dunia persilatan yang tidak diketahui olehnya."
Yang-kong mendengarkan dengan serius.
Kembali Siau-hong melanjutkan, "Dia pernah
memberitahukan kepadaku beberapa nama jago persilatan
yang dianggap menakutkan."
"Salah satu di antaranya adalah Tui-hong-siu?"
"Benar, ada Tui-hong-siu, ada juga nama Ohtayciangkwe."
Dia tidak menyinggung nama "Im-leng", Roh
gentayangan, karena dalam pandangan sebagian besar umat
persilatan, Roh gentayangan pada hakikatnya tidak
dianggap sebagai seorang, sebab siapa pun tak dapat
memastikan wujud sebenarnya dari makhluk itu.
"Sekarang mereka telah datang, muncul karena Tangan
emas," lanjut Siau-hong, "Kim-jiu minta mereka melakukan
apa?" Yang-kong tidak menjawab.
Mereka pernah mendengar penjelasan Pancapanah,
konon Kim-jiu adalah sebuah organisasi rahasia yang
didirikan Hok-kui-sin-sian Lu-sam, tujuannya adalah
menciptakan keonaran di kalangan orang-orang Tibet dan
merebut kekuasaan mereka.
Thiat Gi yang kehilangan emas dan terbunuh, Wi Thianbong
yang kehilangan lengannya, Koh-hun-jiu si Tangan
penggaet sukma yang memburu Siau-hong, Liu Hun-hun
yang mati tergantung di atas pohon, semuanya merupakan
anggota organisasi rahasia itu.
Sekarang mereka telah mengumpulkan seluruh tokoh
paling sakti dari organisasi untuk berkumpul di sini.
Mau apa orang-orang itu datang kemari" Seharusnya
Siau-hong maupun Yang-kong dapat menduganya.
Dengan termangu Siau-hong mengawasi mangkuk
kosong di hadapannya, seolah dari dalam mangkuk yang
kasar itu bakal muncul sebuah jawaban, yang bisa
menjawab semua masalah sulit yang sedang dihadapi.
Setelah memandangnya sampai lama, dia baru berkata,
"Belum tentu kedatangan mereka karena ingin mencari Po
Eng." "Ehm."
"Sekalipun berhasil menemukannya, dia pasti punya cara
yang hebat untuk menghadapi mereka."
"Ehm."
"Dia mempunyai anak buah yang banyak tak terhingga,
sedang dia sendiri pun merupakan jagoan di antara
kawanan jagoan tangguh," kata Siau-hong lebih lanjut,
"Bila dia pun sudah lebih dari cukup untuk menghadapi
mereka, kehadiran orang lain tak ada gunanya."
"Ehm."
"Peduli bagaimana pun juga urusan ini toh sudah tak ada
sangkut-pautnya denganku, bagaimana pun aku telah
meninggalkan mereka. Sebulan kemudian, aku bakal tiba di
Kang-lam" Suaranya sangat rendah, seakan-akan semua
perkataannya itu diucapkan untuk diri sendiri.
"Kau belum pernah datang ke Kang-lam, karena itu kau
tak pernah menyangka Kang-lam adalah tempat yang begitu
indah, jembatannya, airnya, perahunya, gunung yang tak
terhitung jumlahnya...."
Ooo)d*w(ooO Yang-kong mendengarkan dengan tenang, peduli apa
pun yang dia katakan, nona itu selalu mengiakan.
Tapi baru berbicara sampai di sini, tiba-tiba Siau-hong
menukas pembicaraan sendiri, mendadak teriaknya, "Aku
ingin minum arak!"
Dia telah minum arak dalam jumlah banyak.
Arak Toh-shia-sau yang garang dan pedas begitu
mengalir masuk ke dalam perutnya, bagaikan segumpal
bara api yang segera membakar seluruh badannya.
Dia masih ingat, Po Eng pernah menemaninya meneguk
arak semacam ini, meneguk berkali-kali, setiap kali setelah
minum arak dan mabuk, Po Eng pasti akan melantunkan
lagu yang memedihkan hati, lagu yang membuat siapa pun
tak akan melupakan untuk selamanya.
Orang yang penampilannya keras dan dingin bagaikan
baja ini sebetulnya menyembunyikan penderitaan dan
siksaan yang dalam.
Semangkuk demi semangkuk Siau-hong menghabiskan
isi cawan, setiap kali selesai meneguk, dia pun mulai
bertepuk tangan sambil bernyanyi:
"Putra bangsa harus ternama.
Arak harus memabukkan, arak harus memabukkan...."
Ia tidak melanjutkan lagi nyanyiannya.
Suaranya kini telah parau, matanya telah memerah,
mendadak sambil menggebrak meja teriaknya, "Kita segera
balik!" Yang-kong masih mengawasinya dengan tenang.
"Kembali?" ia bertanya, "Kembali ke mana?"
"Kembali ke Lhasa."
"Bukankah kau telah pergi, mengapa harus kembali ke
sana?" tanya Yang-kong hambar, "Apakah kau sudah lupa,


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewat sebulan kemudian kau sudah akan tiba di Kang-lam,
desa kelahiranmu, tempat sahabat-sahabatmu, impianmu,
semuanya berada di sana."
Ditatapnya Siau-hong dengan pandangan dingin, lalu
tanyanya sekali lagi, "Mengapa kau akan kembali lagi ke
Lhasa?" Siau-hong mendongakkan pula kepalanya, menatap
gadis itu dengan garang, "Sudah jelas kau tahu mengapa
aku berbuat begini, kenapa harus ditanyakan lagi?"
Salju yang melapisi sorot mata Yang-kong seketika
mencair, cair menjadi air musim semi, jauh lebih lembut
daripada air di musim semi.
"Tentu saja aku tahu mengapa kau berbuat begitu,"
katanya sedih, "Seperti aku, kita semua tahu apa tujuan
kedatangan orang-orang itu, kau pun seperti aku, tak pernah
dapat melupakan Po Eng."
Siau-hong tak dapat menyangkal lagi.
Dia sendiri pun tak dapat melupakan perkataan
Pancapanah. Sekarang aku baru mengerti mengapa Po Eng
membiarkan kau pergi.
Kemungkinan besar Po Eng sudah punya firasat, bakal
ada musuh tangguh yang akan muncul di sana, karena itu
bukan saja membiarkan dia pergi, bahkan minta dia pergi
dengan membawa Yang-kong.
Peduli musibah macam apa pun yang bakal menimpa
dirinya, Po Eng tak pernah akan membiarkan mereka ikut
menderita dan terseret ke dalam persoalan itu.
"Tapi bukankah kau sendiri pernah berkata, jika Po Eng
pun tak sanggup menghadapi mereka, percuma orang lain
ikut ke sana."
Suara Yang-kong bertambah lembut, "Oleh karena kau
telah terlepas dari kami, siapa pun tak dapat lagi
memaksamu pergi mengantar kematian, seandainya kau tak
ingin kembali, siapa pun tak akan menyalahkan dirimu."
"Benar, aku pun tahu tak bakal ada yang menyalahkan
aku," sahut Siau-hong, "Tapi aku pasti tak akan memaafkan
diriku sendiri."
"Jadi kau rela balik ke sana untuk mengantar kematian?"
Siau-hong mengepal tinjunya kuat-kuat, sepatah demi
sepatah sahutnya, "Sekalipun tempat itu telah berubah jadi
neraka, bagaimana pun juga aku tetap akan balik ke sana!"
Lhasa tetap Lhasa, seperti saat mereka
meninggalkannya, langit tetap cerah, sinar matahari
menyinari seluruh jagat.
Atap bulat istana Potala masih membiaskan cahaya yang
menyilaukan mata ketika tertimpa cahaya sang surya,
segala sesuatunya masih tetap sama, sama sekali tak
berubah. Istana suci yang kuno dan antik itu seperti persahabatan
mereka, tak pernah berubah untuk selamanya.
Mereka telah kembali di Lhasa.
Senyuman Yang-kong ikut berubah secerah langit saat
itu, sementara paras Siau-hong justru berubah makin suram
dan gelap. "Tampaknya tak pernah terjadi sesuatu di tempat
ini." "Rasanya begitu."
"Bila orang-orang itu sudah tiba di sini, sudah melakukan
aksinya, tempat ini pasti berubah jadi sangat kalut," kata
Yang-kong, "Setiap kali terjadi sesuatu, Po Eng pasti akan
mengirim orang untuk melakukan patroli di luar kota."
Ia tertawa makin riang.
"Tapi sekarang di sekitar sini sama sekali tak nampak
orang-orang kita, meski seorang pun."
Mereka masih belum memasuki kota suci Lhasa,
sepanjang jalan hanya terlihat tiga orang, semuanya
penganut Buddha hidup yang datang jauh dari ribuan li,
dengan tiga langkah sekali menyembah, lima langkah sekali
berlutut, menggunakan cara yang paling menderita dan
tersiksa, menunjukkan rasa percaya dan hormatnya.
Semangat dan tubuh kasar mereka telah memasuki
keadaan setengah terbebas dari godaan duniawi, terhadap
apa yang dapat dilihat, mereka memandang seolah tak
melihat, terhadap apa yang dapat mereka dengar seolah
tidak mendengar.
Mereka telah membawa diri sendiri memasuki suasana
gaib dimana tak bisa mendengar dan tak bisa melihat.
Tiba-tiba Siau-hong mengalihkan pokok pembicaraan,
katanya, "Ada sementara masalah, sekalipun tak kau lihat
dan tak kau dengar, namun tetap tak bisa memastikan
keberadaannya."
Dengan sorot mata mengandung pemikiran yang
mendalam, pelan-pelan sambungnya, "Terkadang dia
bahkan jauh lebih jelas dan nyata daripada apa yang bisa
dilihat dan didengar, bahkan keberadaannya jauh lebih
lama dan langgeng."
Yang-kong tidak paham apa maksud perkataan itu, dia
pun tak mengerti mengapa secara tiba-tiba dia
mengucapkan perkataan semacam itu.
Namun gadis ini tidak bertanya, karena secara tiba-tiba
ia menemukan bahwa ada sementara keadaan yang telah
berubah, berubah menjadi sangat aneh.
Mereka putuskan untuk berkunjung dulu ke kantor Engki
di jalan Pat-kak-ke untuk melihat keadaan, kemudian
baru pergi menengok Po Eng.
Karena itulah mereka tidak melewati jalanan di sisi
istana Potala, tapi langsung lewat jalan besar menuju ke
kawasan pasar. Orang yang berlalu-lalang di jalanan makin lama
semakin banyak, ada banyak di antara mereka yang kenal
Yang-kong. Tempat ini adalah desa kelahirannya, sejak kecil dia
termasuk orang yang supel, senang bergaul, dan suka
membantu orang. Pandai mengambil hati orang, diterima di
seluruh pelosok kota khususnya kaum papa dan kaum
pengemis yang tiap hari mengais hidup. Setiap kali bertemu
dengannya, mereka akan datang mengerumuninya ibarat
lebah bertemu madu.
Tapi hari ini, begitu mereka melihat kehadirannya, jauhjauh
sudah menghindar, seakan tak berani memandangnya
biar sekejap pun, ada pula di antara mereka yang secara
diam-diam memandangnya, sorot mata yang mereka
perlihatkan pun sangat aneh dan misterius, bahkan
mendekati rasa takut yang berlebihan. Kehadirannya hari
ini seakan bibit penyakit menular yang akan mendatangkan
ancaman keselamatan bagi semua orang.
Padahal gadis itu tahu, dirinya masih merupakan dirinya
yang dahulu, sedikit pun tidak berubah.
Tapi apa sebabnya orang-orang itu berubah begini rupa"
Apakah karena mereka tahu Siau-hong bukan anggota
kantor dagang Eng-ki" Apakah karena Po Eng telah
memperingatkan mereka, melarang mereka berdekatan
dengan Siau-hong"
Tampaknya semua pertanyaan ini hanya bisa dijawab
setelah tiba di kantor dagang Eng-ki.
Sambil menuntun kuda, mereka melewati kerumunan
orang banyak dan akhirnya tiba di depan kantor dagang
Eng-ki. Papan nama "Eng-ki" masih seperti dulu, memantulkan
sinar terang ketika tertimpa cahaya matahari.
Akhirnya Yang-kong menghembuskan napas lega.
"Ketika Cu Im bertemu kau nanti, bisa jadi mimik
mukanya akan kelihatan sangat aneh," kata nona itu kepada
Siau-hong, "Lebih baik tak usah kau layani dia, bagaimana
pun sikapnya terhadapmu, lebih baik kau berlagak seolah
tidak melihat."
Pada hakikatnya Siau-hong belum pernah berlagak tidak
melihat, Cu Im yang di waktu biasa selalu berada di kantor
Eng-ki sepanjang hari, ternyata hari ini tidak nampak
batang hidungnya, begitu juga para pegawai yang banyak
tahun bekerja di kantor itu pun kini tak terlihat seorang pun.
Sekalipun papan merek "Eng-ki" sama sekali tidak
berubah, akan tetapi semua pegawai dalam toko telah
berganti rupa, ternyata tak seorang pun yang dikenal Yangkong.
Tampaknya mereka pun tidak mengenali Yang-kong,
bahkan menganggapnya sebagai pembeli. Dua orang
pelayan serentak menyongsong kedatangannya, lalu
memakai dialek Han dan dialek Tibet bertanya kepada
Siau-hong berdua akan membeli apa.
Yang-kong betul-betul terperangah.
Walaupun pegawai-pegawai itu tidak mengenalinya,
seharusnya mereka tahu kalau dia merupakan bagian dari
kantor Eng-ki. "Aku tidak membeli apa-apa, aku datang mencari
orang," kata Yang-kong.
"Mencari siapa?" pegawai bermuka bulat berkepala
runcing dan berdialek Han itu segera bertanya. "Aku
mencari Cu Im!"
Cu Im adalah pengurus kantor ini, tapi dua orang
pegawai itu seolah belum pernah mendengar nama itu.
Kedua orang itu saling bertukar pandang dengan wajah
bingung, lalu sembari menggeleng sahumya, "Di tempat
kami tak pernah ada orang bernama itu."
Yang-kong makin terperangah.
"Aku rasa kau pasti baru masuk bekerja," ia bertanya
kepada pelayan itu, "Sudah datang berapa hari?"
"Baru tiga hari."
"Tahukah kau siapa Lopan tempat ini?" Lelaki berlogat
kotaraja itu kontan tertawa.
"Sebagai seorang pegawai, kalau nama Lopan saja tak
tahu, bukankah aku orang yang tolol sekali?"
Dia tidak tolol, karena itu ujarnya lebih jauh, "Lopan
tempat ini bermarga Wi, dia bernama Thian-bong."
Kantor dagang "Eng-ki" yang didirikan Po Eng, kenapa
pemiliknya bisa berganti jadi Wi Thian-bong"
"Tidak tahu."
Semua pegawai yang bekerja di sana adalah pegawai
baru, mereka rata-rata berasal dari luar daerah, tentang
masalah ini mereka pun sama sekali tak tahu, bahkan nama
Po Eng pun belum pernah didengar.
Yang-kong percaya orang-orang itu memang benar-benar
tak tahu, biar dibunuh pun mereka tetap tak tahu.
Mereka pun tidak tahu Wi Thian-bong saat ini berada di
mana, sebagai pegawai tentu saja mereka tak berhak untuk
menanyakan keberadaan majikannya.
Lantas ke mana perginya Po Eng"
Yang-kong segera mencemplak kudanya, melarikan
dengan cepat langsung menuju ke gedung tempat tinggal Po
Eng. Dia tak yakin apakah Po Eng berada di sana.
Membayangkan kembali mimik muka aneh orang-orang
itu sewaktu melihatnya, teringat sorot mata suram yang
diperlihatkan orang-orang itu, timbul satu firasat jelek yang
tak berani dia bayangkan di dalam hatinya.
Namun dia bertekad akan menemukannya.
Selama beberapa waktu mereka tinggalkan Lhasa, apa
yang sebenarnya telah terjadi di sini" Perubahan
menakutkan apa yang telah terjadi" Seluruh persoalan ini
mungkin baru bisa diperoleh jawaban setelah bertemu Po
Eng nanti. Tapi dia sudah tak mungkin bisa menemukan Po Eng
lagi. Sewaktu ia bersama Siau-hong tiba di tempat tinggal Po
Eng, ternyata tempat itu telah berubah menjadi puing-puing
yang berserakan, seluruh bangunan pagoda, loteng, gedung,
kebun, semuanya ludas terlalap api, terbakar hingga tinggal
abu. "Sebuah kebakaran yang luar biasa besarnya!"
Ketika orang membicarakan kembali kebakaran itu
beberapa tahun kemudian, mereka masih merasakan detak
jantung yang berdebar keras.
"Sumber api paling tidak ada tiga-empat puluh tempat,
begitu kebakaran terjadi, api menjilat seluruh bangunan dari
tiga-empat puluh posisi yang berbeda, kebakaran ini
berlangsung selama tiga hari tiga malam."
Setiap orang menganggap kebakaran itu berasal dari "api
langit", merupakan bencana yang diturunkan langit
terhadap keluarga itu.
Sumber api yang sebenarnya tak pernah diketahui orang,
juga tak ada orang yang ingin mengetahuinya.
Kini Yang-kong berdiri di antara puing yang berserakan.
Tapi dia masih bisa membayangkan tempat di mana ia
berdiri sekarang, dahulunya adalah gardu segi delapan yang
sekelilingnya penuh dengan lautan bunga.
Setiap musim semi atau musim gugur tiba, di saat
senggang Po Eng tentu akan duduk dalam gardu itu dan dia
pun selalu menemaninya minum barang dua cawan arak
dan bermain satu babak catur.
Menelusuri jalan setapak yang beralas batu hijau menuju
ke timur, di sanalah letak ruang tidurnya.
Dia sudah sepuluh tahun berdiam di sini, seluruh
impiannya telah terajut di sini, seluruh kenangan pun sudah
tertinggal di sini.
Tapi sekarang semuanya telah tiada, lenyap tak berbekas.
Ia berdiri termangu, memandang dengan tertegun,
menyaksikan puing-puing yang berserakan.
Tak ada air mata yang membasahi pipinya.
Demi sebuah boneka yang dirusak orang, ia bisa
melelehkan air mata, demi seekor kucing kecil yang mati,
dia pun bisa menangis setengah harian.
Tapi sekarang malah tiada air mata yang membasahi
pipinya. Kenangan lama masih terlintas dalam benaknya, puing
yang hancur masih terpampang di depan mata, tiada
manusia, tiada suara, segala sesuatunya telah berubah jadi
abu yang beterbangan.
Ke mana perginya Po Eng"
"Dia pasti masih hidup, dia tak mungkin mati."
Tiada hentinya ia bergumam dan mengulangi perkataan
itu beberapa kali, entah gumaman itu khusus untuk
diperdengarkan kepada Siau-hong ataukah hanya untuk


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghibur diri sendiri.
Siau-hong tidak menjawab, sepatah kata pun tidak
menyahut. Dalam keadaan seperti ini, apa lagi yang bisa dia
katakan" Tempat ini bukan desa kelahirannya, bukan Kang-lam,
namun rasa pedih dan sakit yang dirasakan dalam hatinya
sekarang, sedikit pun tidak lebih enteng daripada apa yang
diderita gadis itu.
Dia memahami perasaan nona itu terhadap Po Eng.
Rumah kediaman hancur terbakar masih bisa dibangun
kembali, tapi manusia yang mati tak mungkin bisa hidup
kembali, asal Po Eng masih hidup, baginya urusan lain
sudah tak penting lagi.
Apakah dia masih hidup"
Seandainya belum mati, saat ini dia berada di mana"
Dari tengah runtuhan puing yang berserakan mendadak
terdengar suara langkah kaki yang berat, seorang Lhama
tinggi besar berjalan mendekat dengan langkah lebar.
Yang-kong segera berpaling, menatapnya.
"Aku kenal kau," meski suaranya parau, gadis itu masih
dapat mengendalikan ketenangan hatinya, "Kau adalah
murid pertama Galun Lhama."
"Benar," jawab Lhama itu, "Aku bernama A-so."
"Dia yang menyuruh kau kemari?"
"Benar," mimik muka A-so menunjukkan kedukaan
yang mendalam, "Tiga hari berselang aku telah datang
kemari." "Mau apa kemari?"
Ooo)d*w(ooO BAB 19. RUMAH KAYU DI TENGAH GUNUNG
"Waktu itu api telah padam, aku datang untuk
memberesi puing bekas kebakaran."
Sepasang tangan Yang-kong mulai gemetar karena
emosi, lewat lama kemudian ia baru bertanya, "Apa yang
telah kau temukan?"
A-so tidak langsung menjawab, dia termenung cukup
lama, hingga gejolak emosinya mereda baru menjawab.
"Bisa lolos atau tidak dari sebuah bencana kebakaran,
tergantung apa kata takdir, sewaktu sampai di sini aku tidak
menemukan apa-apa, semuanya telah ludas, telah habis
terbakar, yang kutemukan hanya sedikit abu tulang."
Yang ia temukan bukan hanya "sedikit" abu tulang, ia
berhasil mengumpulkan tiga belas kaleng abu tulang.
"Abu tulang?" Yang-kong berusaha mengendalikan diri,
"Abu tulang siapa?"
"Abu tulang siapa" Abu tulang siapa...?"
"Di tempat ini pun terdapat orang-orang dari sukuku,
temanku, selama tiga hari ini siang malam aku selalu
berusaha mencari, aku pun ingin tahu abu tulang siapa
mereka itu, sayang tulang-belulang setiap orang telah
menjadi abu, siapa pula yang bisa mengenalinya lagi?"
"Setiap orang?" tanya Yang-kong, "Apa yang kau
maksud dengan setiap orang?"
A-so menghela napas panjang, dengan sedih ia
membungkam. Yang-kong menarik ujung jubahnya kuat-kuat, serunya,
"Tahukah kau, sebelumnya ada berapa banyak orang di
tempat ini" Tadi kau mengatakan setiap orang, apakah
maksudmu mereka telah...."
Tiba-tiba suaranya terhenti setengah jalan, agaknya dia
sendiri pun telah dibuat terkesiap oleh pikirannya itu.
"Tidak mungkin, pasti tidak mungkin," dia berseru
sambil melepas genggaman, "Pasti masih ada orang hidup
di sini, pasti masih ada. Asal kau dapat menemukan
seorang saja, maka dapat kau ketahui ke mana perginya
yang lain."
A-so hanya terbungkam sambil menggeleng.
"Masa seorang pun tak berhasil kau temukan?"
"Tidak! Seorang hidup pun tak berhasil kutemukan," Aso
menggeleng. Setelah tarik napas pelan-pelan terusnya, "Malam ketika
terjadi kebakaran, tak seorang pun yang tahu apa yang telah
terjadi di tempat ini, siapa yang melepaskan api dan siapa
saja yang terbunuh. Ai...! mungkin selamanya tak ada yang
bisa bercerita keadaan yang sesungguhnya."
"Tak ada yang bisa menceritakan keadaan
sesungguhnya?" lambat-laun Yang-kong mulai hilang
kendali, "Apakah kau masih belum dapat menebak siapa
pembunuhnya?"
"Apakah kau tahu siapa pembunuhnya?"
"Tentu saja tahu," Yang-kong mengepal tinju kencangkencang,
"Wi Thian-bong, Oh-tayciangkwe, Hong-siu,
Gwe-bo, Im-leng. Mereka adalah pembunuhnya."
"Jadi kau anggap hanya mengandalkan beberapa orang
itu, Po Eng, Cu Im, Gan tin-kong, Song-lohucu, serta
ratusan orang pejuang yang berada di sini berhasil ditumpas
dalam semalaman saja, bahkan tak tertinggal seorang hidup
pun?" A-so segera menjawab sendiri pertanyaan itu, "Kalau
hanya mengandalkan beberapa orang itu saja aku rasa tak
mungkin mampu."
"Jadi menurutmu masih ada siapa lagi?"
"Masih ada musuh dalam selimut."
"Musuh dalam selimut?" tanya Yang-kong, "Maksudmu
di sini pun sudah tersusup mata-mata musuh?"
"Kalian dapat mengirim mata-mata untuk menyusup ke
dalam organisasi mereka, memangnya mereka tak sanggup
melakukan hal yang sama?"
Yang-kong termenung, lewat lama kemudian ia baru
bertanya lagi secara tiba-tiba, "Bagaimana dengan Pova?"
"Malam itu Pova pun ikut datang kemari," sahut A-so,
"Dia bersikeras ingin bertemu dengan Po Eng."
"Sewaktu terjadi kebakaran, apakah dia masih berada di
sini?" "Benar."
"Sekarang di mana dia" Sudah mati atau masih hidup?"
Tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini. Maka
A-so balik bertanya, "Apakah kau curiga dia telah menjadi
mata-mata pihak lawan?"
Yang-kong menolak untuk menjawab pertanyaan ini,
tapi sikapnya sudah menjelaskan semuanya.
Selama ini dia memang tak pernah percaya kepada Pova!
Antara wanita dengan wanita lain selalu timbul naluri
untuk bermusuhan, jarang sekali ada perempuan yang mau
percaya seratus persen perempuan lain, khususnya di antara
perempuan-perempuan cantik, sifat semacam ini semakin
kentara. "Kali ini kau keliru," tukas A-so cepat, "Mata-matanya
bukan Pova."
"Kenapa kau begitu yakin?"
"Karena A-so sangsi sejenak, sampai lama kemudian ia
baru membulatkan tekad untuk bicara, "Karena tanpa
sengaja aku telah menemukan sebuah rahasia."
"Rahasia apa?"
"Rahasia tentang hubungan segitiga antara Po Eng,
Pancapanah, dan Pova. Mengetahui asal-usul mereka dan
A-so tidak menyelesaikan perkataannya.
Parasnya yang serius dan berat, tiba-tiba muncul
senyuman gembira yang amat misterius, tiba-tiba ia
menjatuhkan diri berlutut, begitu berlutut badannya tak
pernah bisa bergerak lagi.
Mengapa si Roh gentayangan tidak membiarkan dia
membocorkan rahasia itu"
Rahasia tentang hubungan segitiga antara Po Eng,
Pancapanah, dan Pova sebenarnya mempunyai sangkutpaut
macam apa dengan si Roh gentayangan"
Tiba-tiba Yang-kong menarik tangan Siau-hong.
"Mari kita pergi," katanya, "Kita pergi mencari Po Eng."
"Kau mampu menemukan dirinya?"
"Selama dia belum mati, aku pasti dapat
menemukannya," jawab Yang-kong penuh percaya diri,
"Dia pasti belum mati."
"Bila dia belum mati, mengapa semua persoalan di sini
ditinggalkan begitu saja" Mengapa dia pergi tanpa
bertanggung jawab?" tanya Siau-hong.
"Kalau situasi tidak menguntungkan, apakah seorang
ksatria harus bunuh diri?" sahut Yang-kong, "Bilamana
keadaan mendesak, persoalan apa pun dapat diabaikan,
semua masalah apa pun dapat dikorbankan."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya,
"Karena dia harus tetap hidup, bagaimana pun susahnya
bagaimana pun menderitanya, dia harus tetap hidup, karena
di samping harus membangun kembali negaranya, dia pun
harus memusnahkan musuh-musuhnya, oleh karena itu dia
tak boleh pergi... tak boleh mati!"
Ditatapnya Siau-hong sekejap, kemudian terusnya, "Kau
seharusnya mengerti, terkadang mati lebih gampang
daripada hidup, walaupun ada sementara orang lebih suka
memilih jalan yang lebih mudah, mati dan semua urusan
selesai, namun dia bukan termasuk jenis manusia semacam
ini." "Benar dan aku mengerti," tiba-tiba Siau-hong
mendapatkan kembali rasa percaya dirinya, "Dia pasti
masih hidup, pasti belum mati!"
Ooo)d*w(ooO Di tengah gunung, di tepi air, jauh di balik pepohonan
yang hijau dan lebat, berdiri sebuah bangunan rumah kayu
yang kecil. Ketika kau sedang murung dan sedih, lelah karena harus
berjuang mempertahankan hidup, di saat pulang dari
medan laga, membawa seseorang yang kau cintai dan gadis
itu pun mencintaimu, lalu memasuki rumah kayu itu dan
dia melakukan apa yang kau sukai, kau senangi, saat seperti
itu tentu sangat membahagiakan.
Bila kau memiliki rumah kayu seperti ini, bila kau
mempunyai gadis semacam ini, dapat dipastikan kau tak
akan senang diganggu orang lain.
Oleh sebab itu di saat kau menjumpai bahaya, bisa jadi
di tempat inilah dirimu bersembunyi.
Po Eng mempunyai juga sebuah rumah kayu seperti ini,
berada di tengah gunung, di tepi air, di balik pepohonan
yang hijau dan lebat. Yang-kong adalah gadis
kesayangannya. Inilah rahasia di antara mereka berdua, sebetulnya hanya
mereka berdua yang tahu, tapi sekarang ia telah mengajak
Siau-hong datang ke sana.
Dalam rumah kayu itu terdapat empat buah jendela yang
amat besar dan sebuah anglo kecil.
Bila di musim panas, mereka akan membuka lebar
semua jendela, membiarkan angin gunung yang melewati
mata air berhembus masuk, membiarkan angin yang
membawa harum bunga menyelimuti seluruh ruangan.
Bila musim dingin tiba, mereka akan membuat api
unggun dengan memakai tungku kecil itu, di atas tungku
diterapkan sebuah kuali kecil, lalu sambil menghangatkan
arak, duduk dengan tenang menyaksikan jilatan bara api.
Inilah dunia mereka, dunia yang sangat tenang.
"Bila Po Eng masih hidup, dia pasti akan datang
kemari," ujar Yang-kong, "Dia tentu tahu kalau aku bakal
mencarinya di sini."
Ternyata Po Eng tidak datang.
Pintu rumah pun tidak dikunci.
Kecuali mereka berdua, tak ada orang ketiga yang
mengetahui tempat itu, jadi pintu memang tak perlu
dikunci. Yang-kong membuka pintu, dengan cepat parasnya
berubah jadi pucat-pias.
Rumah yang kosong, rumah yang penuh kenangan,
rumah dengan penuh kerisauan... mengapa ia tak datang"
Tiba-tiba sekujur badan nona itu gemetar keras, parasnya
telah berubah jadi pucat-pias tiba-tiba timbul warna merah
yang aneh. Tubuhnya gemetar begitu menakutkan, begitu
menyeramkan, wajahnya memerah dengan begitu aneh,
begitu mengherankan.
Apa yang telah dia saksikan" Tidak, ia tidak melihat apaapa.
Di bawah jendela terdapat meja kecil, sepasang matanya
menatap lekat meja kecil itu, tapi... tak ada sesuatu di atas
meja itu. Siapa pun itu orangnya, wajah mereka tak akan
menunjukkan perubahan yang begitu aneh ketika melihat
sebuah meja yang kosong.
Tapi apa sebabnya secara tiba-tiba dia berubah jadi
begitu gembira" Begitu meluap emosinya"
Apakah dia dapat melihat barang yang tak terlihat orang
lain" Tak tahan Siau-hong pun bertanya kepadanya, sekuat
tenaga Yang-kong menggigit bibir sendiri, sampai lama
sekali dia baru buka suara.
"Dia tidak mati, ia pernah datang kemari."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Sebenarnya di atas meja ini terdapat sebuah boneka
tanah liat, dialah yang membawa boneka tanah liat itu dari
kota Bu-si," Yang-kong berkata perlahan, "Selama ini dia
selalu menganggap boneka itu mirip dengan aku."
Akhirnya Siau-hong mengerti, "Jadi sewaktu kalian pergi
dari sini terakhir kali, boneka itu masih berada di atas
meja?" Yang-kong manggut-manggut.
"Aku masih ingat dengan sangat jelas, tak mungkin bakal
salah. Bahkan aku sempat menciumnya sesaat sebelum
kami tinggalkan tempat ini."
"Kemudian apakah kalian pernah kemari lagi?"
"Tidak."
"Kecuali kalian berdua, apakah masih ada orang lain
yang bisa sampai di sini?" kembali Siau-hong bertanya.
"Tidak ada, sama sekali tak ada."
"Oleh sebab itu kau mengira Po Eng pasti pernah datang
kemari, dialah yang telah membawa boneka tanah liat itu?"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti dia."
Suaranya telah berubah jadi sesenggukan, ada banyak
persoalan sebenarnya ingin dia tanyakan, namun dia pun
tak berani bertanya, karena ia tahu persoalan-persoalan itu
pasti akan melukai hatinya.
Jika Po Eng telah datang, mengapa pula dia pergi lagi"
Mengapa tidak tetap tinggal di sana menanti
kedatangannya" Mengapa dia sama sekali tidak
meninggalkan kabar berita"
Padahal sekalipun dia ajukan pertanyaan itu pun belum
tentu Siau-hong mampu menjawabnya.
Dia tidak menanyakan persoalan-persoalan itu,
sebaliknya ada orang lain yang telah menjawabkan
pertanyaannya, menjawab dengan menggunakan cara yang
sangat aneh, sangat mengejutkan dan sangat menakutkan.
Pada awalnya mereka hanya mendengar suara ketukan
di atas atap rumah, menyusul dari delapan penjuru
bangunan rumah kecil itu berkumandang suara yang sama.
"Tuk, tuk, tuk", suara itu bergema berulang kali, seakanakan
ada pemburu bodoh yang menjadikan rumah kayu itu
sebagai target panahnya, seakan dia telah menganggap
rumah kayu itu sebagai binatang buruan, yang ingin
memanahnya hingga mati.
Tentu saja rumah kayu tak bakal mati, di kolong langit
pun tak akan ada seorang pemburu segoblok itu.
Lalu apa yang telah terjadi"
Dengan cepat mereka pun jadi paham apa yang telah
terjadi. Dalam waktu sekejap tiba-tiba rumah papan itu
beterbangan ke udara, setiap lembar papan yang ada pada
dinding rumah itu tiba-tiba terlepas dari tempatnya dan
melayang di angkasa.
Rupanya setiap lembar papan rumah itu sudah tergaet
oleh sebuah kaitan baja, kaitan baja itu dihubungkan
dengan seutas tali yang panjang.
Mereka hanya menyaksikan tali berkait itu dengan
membawa lembaran papan kayu beterbangan di angkasa,
dalam waktu singkat semuanya lenyap tak berbekas.
Rumah kayu itu pun ikut lenyap.
Meja kecil masih berada di tempat semula, tungku api
yang kecil itu pun masih berada di tempat semula.
Setiap benda yang berada dalam rumah kayu itu masih
tetap utuh, masih tetap berada di posisi semula, namun
rumah kayu itu sudah lenyap.
Tempat itu berada di atas gunung, di dalam sebuah
hutan yang lebat, di balik gunung yang paling tinggi.
Tapi... dengan munculnya tali berkait yang terbang kian
kemari, rumah kayu itu pun ikut lenyap.
Gunung nan biru masih seperti semula, hutan pun masih
tumbuh lebat dan rapat, angin masih berhembus, bau
harum semerbak bunga pun terendus dengan berlalunya
angin. Walaupun saat itu masih terang tanah, tiada cahaya
matahari yang dapat menembusi hutan purba yang lebat,
sepanjang mata memandang hanya lapisan hijau yang
menyelimuti jagat.
Kecuali tanah hijau dan mereka berdua, di jagat raya ini
seolah sudah tak ada yang lain.
Tak ada orang lain, tak ada suara lain.
Yang-kong menatap Siau-hong, Siau-hong pun
menatapnya, hanya ada mereka berdua, dua orang dengan
tangan kaki yang telah dingin bagaikan es.
Karena mereka tahu, walaupun saat ini mereka tak
melihat siapa pun, tak mendengar suara apa pun, namun di
belakang setiap pohon, di balik setiap kegelapan, semuanya
telah diselimuti hawa pembunuhan yang tak terlihat
maupun terdengar.
Tak mungkin tali berkait itu terbang datang lalu terbang
pergi tanpa sebab, tak mungkin rumah kayu itu terbang
melayang tanpa alasan.
Musuh tangguh mereka telah datang, datang mengikuti
mereka, di Lhasa, di bekas puing kebakaran, mereka sudah
dikuntit, sudah diikuti terus secara diam-diam.
Seandainya Po Eng tidak pergi, tentu saja sekarang
sudah terjatuh ke dalam cengkeraman orang-orang ini.
Karena itulah Po Eng telah pergi, bahkan sama sekali
tidak meninggalkan sedikit kabar pun.
Rupanya dia sudah menduga, cepat atau lambat Yangkong
pasti akan datang mencarinya, dia pun telah menduga
musuh besarnya tentu akan datang mengikut di
belakangnya. Musuh tangguh mengawasi dari sekeliling sana, hawa
pembunuhan menyelimuti empat penjuru.
Apa yang harus mereka lakukan sekarang"
Yang-kong mengawasi Siau-hong, Siau-hong pun
mengawasi gadis itu, ternyata mereka berdua sama-sama
tertawa, seolah tak pernah terjadi apa pun di sana.
Rumah kayu itu masih berada di tempat semula.
"Tempat ini sungguh indah," ujar Siau-hong sambil
tertawa, "Kau seharusnya mengajakku kemari sejak dulu."
"Sudah kuduga, kau pasti menyukai tempat ini."
Siau-hong mencari bangku dan duduk, tiba-tiba ujarnya,
"Aku berani bertaruh denganmu."
"Taruhan apa?"
"Aku berani bertaruh, di sini pasti ada arak."
"Kau menang taruhan."
Tertawa Yang-kong benar-benar sangat cerah dan
gembira, dari dalam kari dia mengeluarkan sebotol arak dan
dua buah cawan.
Ia duduk persis berhadapan dengan Siau-hong, ketika
Siau-hong membuka penutup guci arak itu, dia pun menarik
napas dalam-dalam.
"Arak bagus!" puji Siau-hong.
Dia menuang dua cawan, secawan untuk sendiri dan
secawan lagi untuk Yang-kong.
"Aku menghormati secawan untukmu," katanya sambil
angkat cawan, "Semoga kau panjang umur dan sukses
dalam semua persoalan."
"Aku pun menghormati kau dengan secawan arak," balas
Yang-kong, "Semoga semua keinginanmu pun terwujud."
Mereka bersama-sama angkat cawan.
Tapi sebelum mereka berdua sempat meneguk isi cawan
itu, tiba-tiba terdengar desingan angin menembus udara,
"Triinggg!", tahu-tahu kedua cawan itu sudah hancur
berserakan. Kedua cawan itu tertimpuk hancur oleh dua biji mata
uang, mata uang itu berasal dari balik kerumunan semak,
berjarak paling sedikit belasan kaki dari tempat mereka
duduk. Menggunakan sebiji mata uang untuk menghancurkan
sebuah cawan arak mungkin tidak terlalu sulit, kalau ingin
menghancurkan sebuah cawan arak dengan sebiji mata
uang dari jarak belasan kaki, persoalan jadi lain.
Tapi baik Yang-kong maupun Siau-hong seolah sama
sekali tak menganggap kejadian ini sebagai sesuatu yang
luar biasa. Ternyata mereka berdua sama sekali tidak memberikan
reaksi, seakan-akan dalam genggaman mereka pada
hahikatnya tak pernah memegang cawan, seolah pula
cawan arak yang berada dalam genggamannya sama sekali
tidak ditimpuk hancur.
Bila saat ini ada orang sedang mengawasi mereka, orang
itu pasti akan mengira mereka berdua sebagai orang goblok.
Waktu itu tentu saja ada orang sedang mengawasi
mereka, di balik hutan lebat di sekeliling bangunan rumah
itu penuh dengan manusia yang berjaga-jaga.
Anehnya, walaupun mereka telah membongkar rumah
kayu itu, menimpuk hancur cawan arak, namun tidak
ditindak lanjuti dengan aksi lainnya.
Kalau dibilang Yang-kong dan Siau-hong sedang
bermain sandiwara, mereka sedang menonton sandiwara.
Apakah kedatangan orang-orang itu hanya khusus untuk
menonton sandiwara"
Langit lambat-laun makin gelap.
Siau-hong berdiri, berputar dua lingkaran dalam ruang
rumah yang kini sudah tanpa dinding kayu itu, tiba-tiba
ujarnya, "Udara hari ini sangat bagus."
"Benar, sangat bagus."
"Kau ingin pergi berjalan-jalan?" tanya Siau-hong lagi.
Yang-kong menatapnya, sampai lama sekali, kemudian
baru menggeleng perlahan.
"Tidak, aku tak ingin pergi," sahutnya, "Pergilah, aku
menantimu di sini!"
"Baik, aku akan pergi seorang diri," Siau-hong segera
memberi jaminan, "Dalam waktu singkat, aku akan
kembali." Biarpun dinding kayu di sekeliling tempat itu sudah
lenyap, dia tetap berjalan keluar melalui bekas di mana
letak pintu rumah itu.
Ia berjalan sangat lambat, gerak-geriknya santai, gayanya
seperti seseorang yang baru kenyang bersantap dan kini
hendak berjalan santai untuk menurunkan makanan dalam
lambungnya. Bangunan kayu itu dibangun pada sebuah tanah lapang
di tengah hutan belukar. Baru saja ia tiba di tepi hutan,
mendadak berkelebat sesosok bayangan manusia dari
belakang pohon sambil membentak nyaring, "Kembali!"
Di tengah bentakan itu, terlihat dua belas titik cahaya
bintang menyambar datang, yang diarah bukan jalan darah
di tubuh Siau-hong, bukan pula bagian tubuh yang
mematikan, semua senjata rahasia itu diarahkan persis di
depan jalan perginya hingga menyumbat jalanan itu.
Tiga titik cahaya bintang yang datang mengarah
wajahnya melesat tiba paling cepat, Siau-hong tak bisa
maju, tak bisa pula berkelit ke kiri atau kanan, terpaksa
mengikuti datangnya sambaran ketiga batang Am-gi yang
mengarah wajahnya itu, dia mundur.
Akhirnya pemuda itu mundur kembali ke depan bangku
di mana semula ia duduk.
Baru saja tubuhnya berduduk, ketiga batang senjata
rahasia itu pun ikut rontok dan jatuh persis di hadapannya,
kali ini bukan mata uang tembaga yang digunakan untuk
menghancurkan cawan tadi melainkan tiga biji teratai besi
yang bermata tajam.
Thi-lian-cu atau Teratai besi sebetulnya merupakan
senjata rahasia yang sangat umum, tapi cara orang ini
melepaskan Am-gi jauh berbeda dengan ilmu pada
umumnya, bukan saja hebat bahkan penggunaan tenaganya
sangat tepat. Yang-kong memandang Siau-hong sekejap, walaupun
parasnya tidak menunjukkan perubahan apa pun, namun
sorot matanya sudah mencerminkan perasaan kuatir
bercampur takut.
Sekarang siapa pun dapat melihat bahwa jagoan yang
datang kali ini hampir semuanya merupakan jago-jago kelas
wahid. Terdengar Siau-hong bertanya lagi kepada Yang-kong
sambil tertawa, "Kau tidak merasa aku pulang kelewat
cepat?" "Betul, memang kelewat cepat," ternyata Yang-kong
menjawab sambil tertawa pula.
Belum habis perkataan itu diucapkan, Siau-hong telah
melambung kembali dari bangkunya, dengan ujung kaki
menutul tanah, memakai gerakan Yan-cu-sam-cau-sui
(Burung walet mengayuh air), secepat sambaran kilat
tubuhnya meluncur ke arah hutan sebelah lain.
Baru saja tubuhnya memasuki hutan, mendadak
terdengar bentakan nyaring berkumandang dari balik
kegelapan, diiringi kilatan cahaya pedang terdengar
seseorang membentak, "Jalan ini pun tidak tembus, lebih
baik kau kembali!"
Begitu selesai perkataan itu diucapkan, tubuh Siau-hong
yang sudah menerobos masuk ke dalam hutan tahu-tahu
mencelat kembali keluar, setelah berjumpalitan tiga kali, ia
terjatuh kembali dari tengah udara dan turun persis di
dalam rumah kayu itu, bahkan duduk kembali di bangku
yang ditempatinya tadi.
Bukan saja pakaiannya telah robek dua tempat, setelah
duduk sampai lama pun napasnya masih tersengal-sengal.
Tak dapat disangkal lagi orang yang bersembunyi di
dalam pepohonan itu adalah jago berilmu tinggi.
Anehnya, walaupun ia berhasil memukul mundur Siauhong,
namun tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk
mengejar. Asalkan Siau-hong sudah balik kembali ke dalam rumah
kayu, serangan mereka pun segera dihentikan, tampaknya
tujuan mereka tak lebih hanya memaksa Siau-hong tetap
tinggal di dalam rumah dan tidak berniat mencabut
nyawanya. Siapa saja yang telah datang" Apa tujuan mereka"
Langit semakin gelap.
Siau-hong dan Yang-kong masih duduk saling
berhadapan, orang-orang di dalam hutan sudah tak dapat
melihat perubahan mimik muka mereka lagi.
Tapi mereka berdua tahu, paras mereka saat ini pasti tak
sedap dipandang.
Tiba-tiba Yang-kong menghela napas.
"Waktu sudah semakin larut, satu hari lewat dengan
begitu cepatnya" lalu tanyanya kepada Siau-hong, "Kau
masih ingin keluar dari sini?"
Siau-hong menggeleng. Yang-kong bangkit.
"Kalau begitu lebih baik kita tidur lebih awal!"
"Baik, kau tidur di ranjang, aku tidur di lantai." Kembali
Yang-kong menatapnya sangat lama. "Aku tidur di ranjang,
kau pun tidur di ranjang." Ucapannya amat tegas bahkan
langsung berjalan mendekat dan menarik Siau-hong dari
bangkunya. Tangannya terasa dingin membeku, bahkan gemetar
keras. Dia adalah calon istri sahabat karibnya, dari balik


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegelapan entah ada berapa banyak pasang mata sedang
mengawasi mereka, seandainya orang lain, dia pasti akan
menghindar, pasti akan bersikeras memaksanya untuk tidur
di lantai. Tapi Siau-hong bukan orang lain, Siau-hong tetap Siauhong.
"Baiklah," sahutnya, "Kau tidur di ranjang, aku pun tidur
di ranjang."
Di dalam rumah kayu itu hanya terdapat sebuah ranjang,
sebuah ranjang yang sangat besar, ketika membaringkan
diri, sikap mereka seolah tak pernah terjadi apa pun di sana,
seolah mereka masih berada dalam rumah kayu yang
hangat, di mana daun jendela terbuka lebar, dimana tak ada
orang yang datang mengganggu.
Namun dalam hati kecil mereka berdua tahu dengan
jelas, situasi kini telah berubah, setiap saat nyawa mereka
mungkin akan hancur bagaikan cawan arak, bisa hidup
sampai kapan pun mereka sendiri tak tahu.
Yang-kong membungkus tubuhnya di balik selimut yang
terbuat dari kain kasar, tubuh mereka terpisah cukup jauh,
namun kepala mereka berada sangat dekat, karena mereka
tahu pihak lawan tentu ada banyak perkataan yang hendak
dibicarakan. Yang-kong yang buka suara lebih dulu, sambil
merendahkan suaranya ia bertanya kepada Siau-hong, "Kau
terluka?" "Tidak," bisik Siau-hong di sisi telinganya, "Karena
mereka memang tidak bermaksud mencabut nyawaku."
"Bila mereka berniat begitu?"
"Maka sekarang aku sudah menjadi seorang yang mati."
Siau-hong belum pernah putus asa, tapi setelah dia
berkata demikian sekarang, berarti mereka berdua memang
sudah tak punya kesempatan lagi.
Yang-kong tertawa paksa.
"Bagaimana pun juga sementara waktu mereka toh tak
akan turun tangan, apa salahnya kalau kita tidur sejenak."
"Kita tak boleh tidur."
"Kenapa?"
"Karena kita tak boleh tetap tinggal di sini," jawab Siauhong,
"Sama sekali tak boleh."
"Kau ingin menerjang keluar?"
"Kita harus bersama-sama menerjang keluar."
"Bukankah sudah kau coba?" ujar Yang-kong, "Kau
sendiri pun tahu kalau kesempatan buat kita tak banyak."
"Benar, jangankan seratus persen, sepuluh persen
kesempatan pun tak ada!"
"Lantas, apakah kita harus mengantar kematian?"
"Sekalipun bakal mati, kita tetap harus menerjang
keluar." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya,
"Sekalipun harus mati, kita tak boleh mati di sini."
"Kenapa?"
"Karena kita tak boleh menyusahkan Po Eng."
Ucapan Siau-hong pun sangat kukuh dan tegas.
"Kemungkinan besar dia masih berada di sekitar sini,
orang-orang itu enggan turun tangan, mereka pun tidak
melepaskan kita pergi, tujuannya adalah hendak
memperalat kita untuk menjebak Po Eng. Seandainya Po
Eng berada di sekitar sini, apakah dia akan berpeluk tangan
membiarkan kita terkurung sampai mati di sini?"
Yang-kong termenung, lewat lama kemudian baru
menghela napas.
"Tak mungkin!"
"Dapatkah kita biarkan dia datang kemari?" sambil
menatapnya tajam, Siau-hong bertanya.
Kembali Yang-kong termenung.
Pertanyaan semacam ini pada hakikatnya tak perlu
dijawab. Dia menatap Siau-hong, air mata telah
mengembeng dalam kelopak matanya.
Dia tak nanti akan bersedih demi diri sendiri, tapi demi
seseorang ia rela mati daripada membiarkan sahabatnya
celaka, perasaan gadis ini benar-benar hancur.
Siau-hong tak boleh mati, sama sekali tak boleh.
Tapi bagaimana dengan Po Eng"
Yang-kong memejamkan mata, lewat lama, lama sekali,
mendadak dia mengulurkan tangan memeluk Siau-hong
erat-erat. "Bila kau bertekad akan berbuat begitu, mari kita
lakukan," katanya, "Peduli kemana kau akan pergi, aku akan selalu
mengikutimu. Biarpun kau pergi ke neraka pun, aku akan
ikut ke neraka." Malam semakin kelam.
Siau-hong berbaring dengan tenang, membiarkan Yangkong
memeluk erat tubuhnya.
Dia tidak bergerak, tidak merasa bersalah, karena dia
cukup memahami perasaan Yang-kong, memahami juga
diri sendiri. Walaupun mereka sedang berpelukan, namun
yang mereka pikirkan di dalam hati adalah orang lain.
Seseorang yang setiap saat bisa mati karena mereka,
orang yang bisa membuat mereka mati untuknya.
Po Eng, di mana kau" Tahukah kau bagaimana perasaan
kami terhadapmu"
Mendadak terlihat sesosok bayangan manusia muncul
dari balik kegelapan, melambung sepuluh tombak di udara,
lalu jatuh kembali ke tanah.
"Blam!", tahu-tahu orang itu jatuh di dalam rumah kayu
yang sudah tak utuh, jatuh persis di pinggir ranjang mereka,
begitu terjatuh dia tak bergerak lagi.
Siapakah orang itu" Mau apa datang kemari" Apakah
orang-orang itu sudah memutuskan untuk tidak menunggu
lagi, memutuskan untuk turun tangan terhadap mereka"
Yang-kong menatap Siau-hong.
"Kelihatannya kita kedatangan tamu."
"Rasanya memang begitu."
"Bagaimana kalau tak usah kita gubris?" Yang-kong
sengaja bertanya kepada Siau-hong.
"Kenapa tak usah digubris?"
"Dia datang tanpa mengetuk pintu, langsung menerobos
masuk ke dalam rumah, sedikit pun tak tahu sopan-santun,
kenapa kita mesti menggubris manusia tak sopan semacam
ini?" Siau-hong tertawa.
Di saat dia tertawa itulah Yang-kong telah melepas
rangkulannya, pemuda itu pun melejit ke udara, siap
menyerang dari atas.
Tapi dia urung turun tangan karena keburu telah melihat
jelas orang itu.
Rumah ini memang tak berpintu, andai berpintu pun tak
mungkin orang ini akan mengetuk pintu.
Mana ada orang mati bisa mengetuk pintu"
Batok kepala orang ini sudah terkulai, tergantung di atas
tengkuk, seperti bocah nakal yang mematahkan tengkuk
boneka tanah liat.
Biarpun di tempat itu tak berlentera, tak ada cahaya
rembulan, sekilas Siau-hong masih dapat mengenali kalau
dia adalah orang mati.
Siapa yang telah mematahkan tulang tengkuknya"
Mengapa mayatnya dibuang kemari"
Tiba-tiba Siau-hong merasakan jantungnya berdebar
keras, dia telah teringat akan seseorang.
Ooo)d*w(ooO BAB 20. HAWA PEMBUNUHAN DARI EMPAT
PENJURU Pada saat itulah dari balik kegelapan arah yang lain tibatiba
meluncur keluar sesosok bayangan manusia,
melambung sejauh puluhan tombak dan... "Blam", jatuh ke
dalam rumah kayu yang tak berdinding.
Seperti orang pertama, batok kepala orang ini pun
terkulai lemas di atas tengkuknya.
Dengan satu gulingan cepat Yang-kong melompat
bangun dari atas ranjang, tangannya menggenggam tangan
Siau-hong erat-erat. Jantung mereka berdua berdebar keras,
mencorong sinar terang dari balik matanya.
Dari balik belantara terdengar suara tertawa dingin.
"Ternyata datang juga!"
"Saudara, kalau memang sudah datang, mengapa tidak
segera tampil untuk bertemu dengan kita?"
Di tengah suara tertawa dingin yang disisipi suara ujung
baju tersampuk angin dan suara patahnya ranting serta
dedaunan, lamat-lamat terlihat sesosok bayangan manusia
berkelebat. "Ada di sini!" dari kejauhan terdengar lagi seseorang
membentak nyaring.
Baru bergema suara bentakan itu, kembali terlihat tiga
sosok bayangan manusia melambung ke tengah udara, lalu
menerkam ke arah sana.
Detak jantung Yang-kong dan Siau-hong berdebar makin
cepat, tentu saja mereka dapat menebak siapa gerangan
yang telah datang.
Dari balik kegelapan tampak bayangan manusia
melambung berulang kali, hampir semuanya menerjang ke
arah sana, di antara sampukan ujung baju dengan angin,
bergema bentakan berulang kali.
"Manusia she Po, mau kabur ke mana kau?"
"Tinggalkan dulu nyawamu!"
Tak diragukan lagi, yang datang adalah Po Eng.
Dia sengaja memperlihatkan jejaknya agar para jago
yang mengepung tempat itu sama-sama mengejarnya,
dengan begitu muncul kesempatan baik bagi Siau-hong dan
Yang-kong untuk meloloskan diri.
Sekali lagi Yang-kong menatap Siau-hong, dalam
persoalan apa pun dia selalu menunggu Siau-hong yang
mengambil keputusan.
Siau-hong hanya mengucapkan sepatah kata, "Di mana
ia berada, ke sana aku pergi."
Yang-kong sama sekali tidak berbicara lagi, serentak
mereka berdua menggerakkan tubuh, ikut menerjang ke
arah yang sama.
Sebetulnya mereka pun tahu kalau mara bahaya
mengancam setiap jengkal langkah dalam hutan itu, namun
mereka tak peduli.
Taburan bintang menghiasi angkasa, sayang cahaya
bintang terlalu redup, tak sanggup menembus lebatnya daun
dan pepohonan, banyak daun yang meski sudah mengering
namun tak sempat rontok dari rantingnya.
Mereka belum juga menjumpai seseorang, suara
bentakan dan teriakan di kejauhan lambat-laun sudah tak
terdengar lagi.
Hutan lebat ini berada di tengah sebuah lembah yang
dikelilingi sederet tanah perbukitan, kondisi tanahnya
rendah dan melengkung ke bawah mirip sebuah mangkok,
bukan saja udara sangat hangat, hembusan angin pun terasa
hangat, itulah sebabnya walaupun saat ini telah memasuki
permulaan musim dingin, dedaunan belum banyak yang
rontok. Tentu saja tetap ada dedaunan yang berguguran, seperti
seseorang, terkadang disebabkan pelbagai alasan harus
meninggalkan rumah, daun pun terkadang harus
meninggalkan ranting dikarenakan berbagai alasan.
Siau-hong tidak mendengar langkah kaki siapa pun yang
sedang berjalan di atas guguran dedaunan, begitu pula
Yang-kong. Mereka hanya mendengar semacam suara yang sangat
aneh. Mereka mendengar seseorang sedang menangis.
Setiap orang pasti pernah menangis, di saat lahir
menangis, di saat mati pun akan menangis lagi, dalam
tahap antara lahir dan mati kau pun akan sering menangis.
Ada sementara orang hanya menangis di saat sedih,
berduka atau mengalami penderitaan, ada pula sementara
orang yang menangis di saat sedang gembira, sedang
meluap emosinya.
Ada orang berkata, dalam kehidupan seorang, tak
mungkin dia bisa menghindari dua jenis suara, pertama
adalah suara tertawa, kedua adalah suara isak tangis.
Oleh sebab itu suara isak tangis sebetulnya tak bisa
terhitung sebagai sejenis suara yang aneh.
Tapi berada di tempat semacam ini, dalam suasana
seperti ini, siapa pun pasti akan merasa keheranan bila
mendengar ada orang sedang menangis.
Yang lebih aneh lagi, orang yang sedang menangis
adalah seorang yang siapa pun tak akan menyangka kalau
dia bakal menangis.
Di saat Siau-hong dan Yang-kong mendengar suara isak
tangis, mereka telah melihat orang itu.
Ternyata orang ini tak lain adalah Oh-tayciangkwe.
Sewaktu menjumpai dirinya, ia sedang duduk di bawah
sebatang pohon yang tinggi besar, menangis sedih bagaikan
seorang bocah. Seandainya mereka tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, siapa pun tak akan menyangka pemilik Sampo-
tong yang nama besarnya menggetarkan seluruh dunia
persilatan, ternyata pada tempat dan saat seperti ini bisa
duduk di bawah sebatang pohon sambil menangis tersedusedu
bagaikan seorang bocah.
Tapi mereka telah menyaksikannya.
Waktu itu Oh-tayciangkwe seolah tidak melihat
kehadiran mereka berdua.
Isak tangisnya benar-benar menyedihkan, begitu sedih
hingga tak sanggup memperhatikan orang lain, tapi
sayangnya Siau-hong berdua tak bisa untuk tidak
memperhatikan orang itu.
Mereka pernah bertemu dengannya, kenal dengannya,
tahu siapa orang ini.
Untung mereka tidak berlagak tidak memperhatikan dia,
berlagak tak pernah bertemu dengannya, mereka
memutuskan untuk lewat begitu saja dari hadapannya.
Tapi sayang mereka tak sempat lewat.
Tiba-tiba Oh-tayciangkwe melompat bangun dari bawah
pohon dan menghadang jalan pergi mereka, meskipun
wajahnya masih basah oleh air mata, namun dia sudah
tidak menangis lagi, meski matanya masih merah namun


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah memancarkan sinar kelicikan seekor rase.
Tiba-tiba ia bertanya, "Apakah kalian manusia?"
Siau-hong menatap Yang-kong, begitu pula Yang-kong
menatap Siau-hong, lalu sengaja tanyanya, "Bagaimana
dengan kau?"
"Aku manusia."
"Begitu pula dengan aku."
Oh-tayciangkwe tertawa dingin.
"Kalau kalian memang manusia, setelah melihat ada
orang sedang menangis dengan sedihnya, mengapa masih
berlagak tidak melihat." Yang-kong balas tertawa dingin.
"Sekalipun kami telah melihatnya lantas kenapa" Apakah
kau minta kami menemanimu, duduk sambil menangis?"
Lalu dengan penuh semangat lanjutnya, "Kau menangis
di sini sementara kami lewat di hadapanmu, apa sangkutpautnya
tangisanmu dengan kami?"
"Tentu saja ada sangkut-pautnya," ternyata jawaban Ohtayciangkwe
tak kalah semangatnya, "Justru karena kalian,
maka aku menangis."
"Karena kami?" tak tahan Siau-hong bertanya, "Mengapa
kau menangis karena kami?"
Tampang Oh-tayciangkwe semakin sedih, semakin
berduka. "Sepanjang sejarah hidupku, aku hanya pernah
mencintai seorang wanita," katanya, "Sudah lama sekali
aku mencarinya, tatkala aku berhasil menemukan dirinya,
ternyata dia sudah mati."
"Kenapa dia mati?"
"Mati gantung diri gara-gara kalian!" jerit Ohtayciangkwe
dengan sedihnya, "Kalianlah yang
menggantung dirinya di atas pohon, menggantungnya
hidup-hidup!"
Kemudian setelah melotot sekejap ke arah Siau-hong
dengan benci, terusnya, "Aku tahu kau bermarga Hong,
orang menyebutmu Siau-hong yang tak takut mampus, mau
menyangkal pun tak ada gunanya."
Siau-hong mulai mengerti.
"Maksudmu perempuan itu adalah Liu Hun-hun?"
tanyanya. "Benar."
"Jadi kau sangka akulah yang telah membunuhnya?"
"Kalau bukan kau, siapa lagi?" Siau-hong menghela
napas. "Kalau aku mengatakan bukan diriku, kau pasti tak akan
percaya." Dia tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
Sekarang dia sudah melihat Oh-tayciangkwe berniat
mencabut nyawanya, siapa pun itu orangnya seharusnya
dapat melihat pula akan hal ini.
Hong-hong-tian-ci, burung Hong pentang sayap.
Oh-tayciangkwe telah merentang tangannya
menunjukkan satu gaya yang sangat aneh dan misterius,
siapa pun tak tahu senjata rahasianya akan dilancarkan
dengan cara apa, namun setiap orang tahu, asal senjata
rahasia itu sudah dilontarkan, maka tak ada orang yang bisa
tertawa lagi. Tiba-tiba Yang-kong tertawa, bukan hanya tertawa
bahkan mulai bersenandung.
Yang dia nyanyikan adalah lagu yang didengarnya dari
belakang gundukan pasir di oase kering itu.
"Di Yan-pak terdapat Sam-po-tong. Terkenal dan
disegani banyak orang. Dalam Sam-po-tong terdapat Sampo.
Siapa bertemu, siapa tertimpa musibah, air mata jatuh
berlinang. Tiada ayah, tiada ibu.
Siapa bertemu dia tertimpa bencana.
Air mata meleleh bagaikan butiran beras."
Daya ingat gadis ini memang sangat hebat, bukan saja
setiap bait syairnya tak salah bahkan bisa dinyanyikan
seperti yang dibawakan gadis kecil itu tempo hari.
Belum selesai gadis itu menyanyi, paras Oh-tayciangkwe
telah berubah hebat.
"Siapa kau?"
"Aku adalah aku."
"Dari mana kau bisa tahu tentang aku?"
"Kenapa aku tak tahu" Kalau aku tak tahu siapa yang
bakal tahu?" Yang-kong tertawa manis, "Padahal kau
seharusnya tahu juga siapakah aku."
"Mana aku bisa tahu?"
"Coba kau perhatikan siapakah aku?" senyumannya
mirip dengan senyuman gadis cilik berkepang enam-tujuh
belas, hanya bedanya ia tidak membopong anjing Peking
yang mungil berbulu putih.
Dengan terperanjat Oh-tayciangkwe menatapnya,
kemudian selangkah demi selangkah mulai mundur.
"Kau sangka siapakah si Roh gentayangan?" kembali
Yang-kong berkata, "Kau benar-benar menyangka si botol
adalah...."
Belum lagi gadis itu menyelesaikan perkataannya, Siauhong
telah mencabut pedangnya.
Bagian akar pohon besar itu tiba-tiba muncul sebuah
pintu. Tentu saja tak bisa dianggap sebuah pintu sungguhan,
lebih tepat dibilang sebuah gua, Yang-kong menyangka
lubang itu pintu karena dari dalam lubang itu benar-benar
muncul tubuh seseorang.
Walaupun orang ini bukan Po Eng, tapi dia adalah
sahabat mereka.
"Pancapanah!" tak tahan Yang-kong berteriak, "Rupanya
kau!" Bertemu dengannya, mereka pun merasa sangat gembira.
Selama ini belum pernah ada yang tahu kapan dia akan
muncul, tapi setiap kali kemunculannya selalu membuat
orang merasa amat gembira.
"Jadi kau yang turun tangan tadi?"
"Benar, aku," Pancapanah menunjukkan gerakan tangan
yang sederhana, memperlihatkan bagaimana cara dia
mematahkan tulang tengkuk orang, meski sederhana
namun sangat bermanfaat.
"Mana Po Eng?" kembali Yang-kong bertanya.
"Aku tidak melihatnya," Pancapanah menggeleng, "Aku
pun sedang mencarinya."
"Tahukah kau dia berada di mana?"
"Tidak tahu."
Pancapanah berkata dengan penuh keyakinan.
"Tapi aku tahu, dia pasti belum mati."
Alasannya, "Karena orang-orang itu pun sedang
mencarinya, hal ini membuktikan mereka pun tahu kalau
dia belum mati".
Setelah tersenyum tambahnya, "Peduli siapa pun itu
orangnya, bukan pekerjaan yang mudah untuk mencabut
nyawa Po Eng."
Yang-kong ikut tertawa.
"Bila ada orang menginginkan nyawamu, mungkin hal
ini semakin tak mudah lagi."
Dia pun menaruh keyakinan yang sama terhadap
Pancapanah. Peduli berada di mana pun, kapan pun, dia selalu dapat
menemukan sebuah tempat persembunyian bagi diri sendiri.
Sebuah tempat yang tak mungkin bisa ditemukan orang
lain. Berada dalam situasi apa pun, dia selalu akan
menyiapkan sebuah jalan mundur bagi diri sendiri.
"Mereka sangka kau telah melarikan diri keluar dari
hutan ini, siapa sangka ternyata kau bersembunyi di bawah
pohon." Yang-kong menghela napas.
"Tak heran Po Eng sering berkata, bila kau ingin
bersembunyi, tak satu manusia pun di kolong langit yang
bisa menemukan dirimu," katanya.
Pancapanah tersenyum.
"Aku pun tahu kau masih ingin mengucapkan sesuatu."
"Mengucapkan apa?"
"Mengatakan kalau aku adalah seekor rase tua."
"Kau bukan rase tua," Yang-kong tertawa, "Dua ratus
ekor rase tua yang dikumpulkan menjadi satu pun belum
tentu bisa menandingi dirimu."
Kalau tadi sudah tak terdengar suara manusia, kini suara
itu terdengar kembali. Orang-orang yang telah keluar dari
hutan tampaknya saat ini sedang bergerak mendekat.
Tanpa terasa Pancapanah berkerut kening.
"Kalian cepat masuk dan bersembunyi," serunya sambil
menunjuk ke arah lubang di bawah pohon. "Gua ini lebih
dari cukup untuk menampung kalian berdua."
"Bagaimana dengan kau?"
"Kalian tak usah menguatirkan aku," sahut Pancapanah,
"Aku punya cara untuk menghadapi mereka."
"Aku percaya."
"Tapi kalian baru boleh keluar setelah aku kembali
nanti." Ia sudah bersiap untuk pergi, tiba-tiba sambil
membalikkan badan katanya lagi, "Aku masih berharap
kalian bisa melakukan sesuatu."
"Apa?"
"Lepaskan pakaian dan sepatu yang kalian kenakan."
Pancapanah tidak menjelaskan mengapa mereka harus
berbuat begitu, Yang-kong pun tidak bertanya.
Ia telah membalikkan badan, dengan cepat melepas baju
luar serta sepatunya. Andaikata Pancapanah minta dia
melepaskan semua bajunya, gadis itu pasti tak akan
menolak. Ia bukan termasuk gadis pemalu.
Dia percaya Pancapanah berbuat begitu pasti ada
alasannya. Siau-hong pun telah melepas jubah luarnya.
"Cukupkah hanya begini?"
"Cukup," sahut Pancapanah, "Hanya saja kau harus
menyerahkan pedangmu itu kepadaku!"
Bagi seorang yang belajar pedang, di dunia ini hanya ada
dua macam barang yang tak boleh diserahkan kepada orang
lain secara sembarangan.
Pedang dan bininya.
Tapi Siau-hong tanpa ragu sedikit pun telah
menyerahkan pedang miliknya itu kepada Pancapanah,
karena dia seperti Yang-kong, selalu percaya kepadanya.
Pancapanah segera menepuk bahu Siau-hong, ujarnya,
"Kau percaya kepadaku, kau adalah sahabatku."
Baru sekarang dia menganggap Siau-hong sebagai
sahabatnya. "Aku tak akan membuat kau kecewa."
Ternyata gua di bawah pohon itu benar-benar cukup
untuk memuat dua orang, hanya saja bila kedua orang itu
tetap Pendekar Sadis 4 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 12
^