Pencarian

Petualang Asmara 26

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 26


apa yang telah terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
740 campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama
terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung ke
belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian di pundaknya hancur oleh pukulan
tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa pukulan kedua
telapak tangan Kok Beng Lama. Dengan muka buas Kok Beng Lama sudah hendak
menerjang lagi dua orang bekas sutenya yang sudah terluka itu dan agaknya tidak akan
dapat dihidarkan lagi dua orang Lama Jubah Merah itu tentu akan tewas karena mereka
belum sempat bangun sedangkan para anggauta yang lain tidak ada yang berani
menghadapi Kok Beng Lama.
"Pemberontak hina! Jangan bergerak atau puterimu akan pinceng bunuh di depan
matamu!" Kok Beng Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti
patung. Lak Beng Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang
ditodongkan ke ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya.
Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban
totokan. Kok Beng Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai
Huang-ho itu, dan kini nampak nyata olehnya betapa mirip wajah dara itu dengan wajah
bekas kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan
keras dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta
itu. Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah memperoleh kesempatan menguasai diri
mereka dan sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing.
"Kok Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!"
Kok Beng Lama tidak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang
sakit demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap
mata, "Nona muda, siapakah namamu?"
Hong Ing yang tidak dapat bergerak itu sejak tadipun memandang kepada Kok Beng
Lama dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah ayah
kandungnya" Mendengar pertanyaan itu, dia diam saja karena urat gagunya telah
tertotok, membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Tiba-tiba Sin Beng Lama
menggerakkan ujung lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan
terbebaslah dara itu dari totokan yang membuatnya gagu.
"Aku... namaku Pek Hong Ing..."
Hong Ing menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas.
"Siapa gurumu?" Kembali Kok Beng Lama bertanya.
"Go-bi Sin-kouw..."
"Siapa nama ibumu?" Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau.
"Nama ibu, Pek Cu Sian..."
"Cu Sian...!" pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar menyerupai
keluhan. "Tahukah engkau siapa ayahmu?"
"Ibu tidak pernah sempat memberitahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu
mengaku para susiokku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan dengan
ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku bernama Kok
Beng Lama..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
741 Kok Beng Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan
sedangkan Lak Beng Lama sudah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala hong
Ing, juga para anggauta Lama sudah mengurung lagi tempat itu.
"Akulah Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya sudah empat lima tahun ketika engkau
masih kecil engkau tinggal di ruang di mana aku terhukum. Ingatkah engkau akan
sesuatu di tempat itu?"
"Aku... aku hanya ingat berada di dalam ruangan yang luas bersama ibu dan seorang
laki-laki yang selalu bersamadhi, yang tak dapat kulupakan adalah bahwa laki-laki itu
seringkali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar manusia..."
"Engkau anakku...!" Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras. "Akulah laki-laki itu...
sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!" Seperti gila kakek itu lalu
memandang ke sekelilingnya. "Hayo bebaskan dia! Kalau tidak, kubasmi kalian semua!"
"Kok Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya kalau kami
yang mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa
besar dan untuk menjaga kehormatan dan wibawa perkumpulan, engkau sebagai
seorang anggauta pimpinan yang menyeleweng haruslah dihukum. Menyerahlah dan
engkau akan kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak
berdosa apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid
keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan
membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu." Suara halus Sin Beng Lama itu
terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi.
Kok Beng Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan
suara lantang, "Locianpwe, kalau benar engkau adalah ayah kandungku, jangan
dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah kepada
mereka dan berkorban untuk aku!"
Mendengar ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah
yang keruh dan merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan
wajahnya berseri. "Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu, sikapmu, persis
sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar kupertimbangkan!"
Sin Beng Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah
dan kalau pertandingan dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti yang
diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis!
"Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah
bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan
tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu itu akan
menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar,
seolah-olah perkumpulan kami tidak dapat bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu,
engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu.
Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman
itu hanyalah untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet."
"Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?"
"Puterimu akan kami pelihara baik-baik, tinggal di sini sebagai keluarga dan sewaktu-
waktu dapat menjengukmu di dalam penjara."
Kok Beng Lama mengerutkan alisnya berpikir keras, kemudian mengangguk. "Cukup
adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
742 mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku
pergi" Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu
anakku?" "Kok Beng Lama!" Sin Beng Lama berteriak marah. "Engkau sendiri sudah tahu betapa
Lama Jubah Merah lebih menghargai janji daripada nyawa! Pinceng sendiri berjanji
takkan mengganggu Pek Hong Ing, tidak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar
kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!"
"Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama."
"Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama."
"Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama,
berjanji tidak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para
pimpinan Lama Jubah Merah."
"Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!" kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia
berkata kepada sutenya, "Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing agar dia dapat
bertemu dengan ayah kandungnya!"
Lak Beng Lama membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari
kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri
Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di depan kakek itu sambil berseru penuh
keharuan, "Ayaaaahhh...!"
Kok Beng Lama menunduk, memandang kepada gadis yang berlutut itu, kemudian
menengadah ke langit, kemudian tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah
dan tubuh Hong Ing terangkat dan sudah dirangkul dan dipeluknya.
"Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di
mana kau dilahirkan. Biarlah engkau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang
amat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kaumaafkan ayahmu yang tidak becus
membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya, aku dapat melakukan sesuatu untuk
anaknya, yaitu engkau, Anakku!" Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan
penuh kasih sayang.
Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada
ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik, "Ayah, setelah aku dibebaskan,
mari kita pergi saja dari sini. Aku... aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah."
Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa rindu kepada seorang pemuda
yang dicintanya.
Ayahnya menggeleng kepala. "Janji lebih penting daripada segalanya, Anakku.
Kautinggallah di sini, sebagai kcluarga terhormat dan lebih dari itu lagi, setiap hari
engkau dapat menjengukku di penjara dan aku akan mewariskan seluruh ilmu
kepandaianku kepadamu!"
Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan
tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia
tertawa-tawa lagi.
"Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau
masih akan dapat bertemu. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat
hukumanmu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
743 Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa
dia diantar ke tempat hukuman, di mana dahulu dia mendekam selama sepuluh tahun.
Kalau dulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya,
sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk
mewariskan ilmu-ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.
Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!"
Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan
Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka
selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.
"Mengapa, Hong Ing" Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini"
Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua
anggauta bersikap hormat kepadamu?" tanya Sin Beng Lama.
"Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus
dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang
Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan
Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan disakiti hati orang. Maka, aku hendak
menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena
ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan aku sebagai
puterinya tentu akan mereka kutuk pula."
"Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang dara yang suci dan
bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa." kata Sin Beng
Lama dengan pandang mata penuh kagum.
"Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam
aku telah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan
enam bermuka tiga..."
"Siancai...!"
"Omitohud...!"
Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut
mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong
Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!
"Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan
sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena
ayahmu pasti akan mengamuk kalau mendengar engkau akan mengorbankan dirimu
kepada Dewa."
"Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Dan urusan ini tidak ada
sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat
aku mengambil keputusan ini. Ibu telah berdosa kepada Dewa, juga Ayah telah berdosa,
maka terlahir aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri
kepada Dewa."
"Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat
menjadi kekasih Dewa, Hong Ing."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
744 "Akan kuusahakan agar Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya
mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini..."
"Omitohud...!" Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.
"Akan tetapi," Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. "Kami telah berjanji kepada ayahmu
untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu..."
"Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian telah
memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian tidak melanggar janji kepada Ayah.
Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela.
Biarlah kalau sudah tiba masanya, aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada
Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali menyesali dosa-
dosanya dahulu."
"Ahhh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku..." Sin Beng Lama sampai harus mengusap
dua titik air matanya saking terharu hatinya. Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu
amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih
Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan
mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan jadinya seorang keponakan mereka
menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!
"Bukan aku yang baik, Susiok, karena itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus
dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharukan kebaikan dari Susiok untuk memenuhi
permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melakukan
pengorbanan diri."
"Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakanlah apa yang
harus kami lakukan?" Hun Beng Lama berkata penuh semangat karena dia yakin
berdasarkan kepercayaannya bahwa kelak dia pun akan menerima anugerah dan ikut
memperoleh sepercik berkah dari Dewa.
"Aku mendengar bahwa seorang yang dengan setulusnya hati hendak berbakti kepada
Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan."
"Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih
lahir batin."
"Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan
tetapi dia telah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku
menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kakiku,
perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak
menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung
dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Setelah melihat dia tertangkap di
sini, barulah aku dengan hati lapang dan bersih akan mengorbankan diri dengan suka
rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya."
"Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?" tanya Sin Beng Lama.
"Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?"
"Pinceng sudah mendengar kata-katanya ketika membelamu, dan melihat engkau
menampar mukanya..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
745 "Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat
memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka
siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa."
"Benarkah kata-katamu itu?"
"Aku berjanji dan janji lebih berharga daripada mati!"
"Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi
permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kaumaksudkan dan menyeretnya ke depan
kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng
yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya."
"Baik, Suheng," jawab Hun Beng Lama. "Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan di
mana adanya dia" Apakah masih di pulau kosong itu?"
"Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja,
Susiok. Setelah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti
segera meninggalkan tempat itu."
"Habis, di mana kami harus mencarinya?"
"Aku tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti
berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan
dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah
aku bersakit hati. Maka harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-
ling-san."
Tiga orang Lama itu sama sekali belum pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai,
maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap
Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa kedua orang sutenya sudah cukup


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu
meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena mereka
menganggap perintah dari "perawan suci" ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.
Tentu saja semua itu adalah siasat yang amat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja
tidak betah tinggal di tempat itu, dan biarpun dia mulai menerima gemblengan ayahnya
yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya
meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk
menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu! Karena maklum bahwa sia-sisa saja
untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun
Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat
untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-
pai dengan maksud menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang amat sakti sehingga Kun
Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di
Cin-ling-pai, tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan tentu akan ikut turun
tangan, apalagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu
akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong.
Setelah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti
dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan tiba di tempat itu memberi
kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andaikata siasatnya
gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita
atau mati sekalipun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam kegembiraan yang didorong
harapan bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun
mempelajari dan melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu
akan siasat yang dijalankan oleh puterinya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
746 "Ibu kenapa Ayah belum juga pulang?" anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek
kepada ibunya. Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik
napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya. "Gara-
gara encimu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!"
Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai,
sedangkan anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal
suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggauta atau anak
murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apalagi setelah lebih dulu Giok
Keng lolos dari tempat itu.
"Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu."
"Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran
yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah bertemu dengan
encimu Giok Keng."
"Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga
boleh merantau seperti Enci Keng?"
"Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan kepandaianmu untuk
menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke
tempat latihan, pasangan kuda-kudamu yang kaulatih kemarin itu masih belum baik
benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat."
Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat.
Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun
Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan ketika ayahnya pergi
sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja di samping
pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu pun diberi pelajaran
membaca dan menulis.
Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada
puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi pula hal yang
menarik. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta,
berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah. Lima
orang itu tentu saja menyambut kedatangan dua orang pendeta itu dengan sikap
hormat, apalagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan kelihatan saleh. Yang
seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya jalan mendaki puncak, yang
ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti
membaca doa. Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai
penghormatan, Kwee Kin Ta bertanya, "Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi
Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah
mengunjungi Cin-ling-pai?"
Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak
Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama
menjawab, "Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?"
"Benar, Losuhu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
747 "Kedatangan kami adalah untuk mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong," kata
pula Hun Beng Lama.
Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid
yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah tempat yang
sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta
dan para sutenya sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu sekarang, nama yang
dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.
"Dia tidak berada di sini, Losuhu," jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.
"Kalau begitu di mana dia?" Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya
tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta
menjadi terkejut, juga curiga.
"Kami tidak tahu dia berada di mana," jawabnya.
"Kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!"
Kedua orang pendeta itu terus melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal
Cia Keng Hong "Eh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya
urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua
kami." "Hemm, pinceng tidak membutuhkan dermaan, hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-
pai...!" kata pula Hun Beng Lama dan bersama sutenya dia terus saja masuk ke dalam
rumah. "Tahan...!" Kwee Kin Ta berseru marah. "Harap Ji-wi Losuhu sebagai orang-orang
beribadat tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin!
Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!"
Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee
Kin Ta dan para sutenya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana
ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya.
Melihat betapa dua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak
dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.
"Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?" Sie Biauw Eng menegur tak senang
karena merasa terganggu.
"Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang ingin berjumpa dengan Kun Liong, setelah
teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu."
Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua itu memasuki
taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang
kelihatan lemah dan halus itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan agaknya
merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya sehingga kini mereka berani
memasuki taman tanpa ijin.
"Kalian minggirlah!" katanya kepada para anggauta Cin-ling-pai yang memenuhi taman,
kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua
orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia
berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati
karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
748 Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari
sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
sin-kang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat kedua
tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.
"Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah
Ji-wi hendak menemui suamiku?" tanya Sie Biauw Eng dengan suara lembut namun
pandang matanya penuh selidik.
"Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seorang
bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak mempunyai urusan dengan
Cin-ling-pai."
"Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya."
Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya digoyang-goyang. "Tidak usah, Toanio.
Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja."
"Losuhu, di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong."
Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah demikian"
Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda bernama Yap Kun
Liong itu?"
"Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun
Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud
Ji-wi mencari Yap Kun Liong."
"Kami hendak menangkapnya," jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini terlalu
mengandalkan kepandaiannya sendiri maka dia merasa tidak perlu menyembunyikan
niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya.
Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Akan
tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-
tenang saja. "Ibu..., kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, kenapa dua orang ini hendak
menangkap orang" Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?"
"Hushhh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur." Sie Biauw Eng kaget
mendengar kelancangan mulut puteranya. Dua orang pendeta itu menjadi merah
mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum
melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat
untuk menjadi seorang pandai!
"Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia saja karena yang
dicari tidak ada. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari
golongan manakah?"
"Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari
jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk
menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Kalau dia tidak ada, biarlah kami
bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman
gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
749 "Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung, sudah beberapa bulan
belum pulang, dan aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan
suamiku pada saat ini."
Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama
menarik napas panjang.
"Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!" Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan
dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. "Ada jalan baik! Toanio,
urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi, di dunia ini, Yap
Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada dan
engkau tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya
harus bertanggung jawab. Karena itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa
puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong,
kami akan mengembalikan puteramu."
"Pendeta iblis keparat!" Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya.
Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani
dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita"Pedang Kayu Harum" digambarkan dengan
jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia telah
menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, Cia Giok Keng, telah
dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri
Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar. Namun begitu
tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang
dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina!
Begitu mendengar niat pendeta itu akan menculik puteranya untuk kelak "ditukar"
dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya
terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya, "Kin Ta,
jaga adikmu!" kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim
pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah
di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!
"Omitohud...!" Hun Beng Lama terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nyonya
cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat
ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, lalu
tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang
mendengarnya. Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa
dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk balas menyerang, melainkan sudah menerjangnya dengan serangan-
serangan dahsyat, mainkan ilmu silatnya yang amat cepat dan mengerahkan pukulan-
pukulan berdasarkan sin-kang yang amat ditakuti orang ketika dia masih malang-
melintang di dunia kang-ouw dahulu, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima
Racun). Pukulan ini amat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu
mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan
lawan tangguh! Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-
ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu" Hal ini tidaklah aneh bagi yang
telah membaca ceritaPedang Kayu Harum , karena memang di waktu mudanya Sie
Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan dia sendiri
dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih.
Dahulu di waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang
hebat luar biasa, apalagi setelah dia menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia
memperoleh petunju suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
750 "Trik-trrriiiikkk...!" Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi nyaring dan
senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mujijat dan dengan
kecepatan seperti kilat menyambar.
WUUUUTTT... wirrr... tar-tar-tar...!"
"Hebat...!" Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu
tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang bukan saja menangkis
sambaran tasbihnya malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu
membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-
ledak seperti halilintar menyambar. Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya
mengeluarkannya apabila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya
dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-
in-sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng
bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-
gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang
dapat membawa maut!
Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suhengnya, Lak Beng Lama lalu
meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi
putera subonya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan
orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah.
Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala
Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng
Lama yang amat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri,
sedangkan para sutenya yang lain kembali sudah
menyerang dari segala jurusan.
"Plakkk...!" Tubuh Kwee Kin Ci tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh
tangan kiri kakek itu! Dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng
Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan
kosong saja dia mampu mematahkan pedang dan bahkan terus merobohkan pemiliknya
dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya. Melihat adiknya roboh dan kakek itu
jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang
kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk
ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat
gerakan menusuk ke arah perut.
"Ceppp! Cepppp!" Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti ketika dengan dua
jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya,
sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!
"Augghhhhh...!" Kwee Kin Ta menjerit ketika merasa betapa tangan yang memasuki
rongga perut sedalam pergelangan itu tak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas
seperti dibakar!
"Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!"


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Omitohud...!" Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan
tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka
pucat. Sambaran cahaya putih tadi benar-benar amat berbahaya dan begitu dia
mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri dan
ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya,
membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
751 Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih mampu
menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, benar-
benar kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu mengejutkan hati kedua orang Lama itu.
Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada
di guha harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apalagi Ketua
Cin-ling-pai itu sendiri! Andaikata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga,
agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!
Lak Beng Lama yang cerdik pada saat itu sudah dapat menduga bahwa mungkin ini
adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru, "Subeng, harap desak dia...!"
Mendengar ini, Hun Beng Lama segera mengeluarkan suara menggereng yang aneh.
Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara dan berbareng dengan
gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang
tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda hidup,
disusul oleh kedua tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang-
kadang malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya. Didesak sedemikian rupa oleh
kakek yang amat lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya
sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang
sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai.
Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw, "Ibuuu...! Bebaskan aku...!"
Kagetlah hati Biauw Eng dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata
anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali
bagi pendeta lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak
murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata, "Toanio,
hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!"
Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera
putihnya dalam usahanya mencegah kedua tangannya bergerak menyerang Lak Beng
Lama. Maklumlah dia bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara
sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya.
Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot, "Manusia iblis...! Kalau kau
mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat
mencincang hancur tubuhmu!" Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat
kedua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat
itu tentu akan memenuhi ancamannya.
"Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat dan
kagum dari pinceng." Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia
akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai
lawan yang sedemikian hebatnya.
Sie Biauw Eng sejak dahulu bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat
lihai dan penuh keberanian tidak pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal amat
cerdik. Baru sekarang, melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut
sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw,
"Houw-ji, seorang calon pendekar pantang menangis dan menghadapi segala bahaya
dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!"
Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta lagi dalam pondongan Lak
Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tidak ada gunanya
sama sekali. "Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci,
akan tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau
membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa" Kalau memang gagah dan berani,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
752 bebaskan anakku dan majulah kalian pendeta-pendeta palsu berdua, kita bertanding
sampai salah satu pihak mati!" Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.
"Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan
orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu justeru karena
kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya
akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami
Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami
serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuh
dan bertanding melawan Toanio dan jalan satu-satunya hanyalah menahan putera
Toanio. Nah, selamat tinggal sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat
mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama."
Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin
Ta yang patah-patah tulang tangan kirinya itu membuat gerakan untuk menyerbu,
demikian pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan
tangan mencegah mereka. Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan
alisnya berkerut, kedua tangannya mengepal akan tetapi tidak berani membuat gerakan
sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan
suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!
In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!"
Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang mengejar Lauw Kim In yang berlari-
lari. Namun Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus
sambil kadang-kadang mengusap air matanya. Biasanya, wanita yang berhati keras dan
dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang keluar dari mulut Kun
Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu
tertekan. Dia sama sekali tidak cinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya
kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa
tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada
Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu. Makin lama dekat dengan Ouwyang
Bouw, makin sadarlah dia bahwa "suaminya" itu adalah seorang yang tidak waras
otaknya, agak miring otaknya dan di balik ketidakwajarannya itu terdapat watak yang
luar biasa kejam dan jahatnya! Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan
dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan
sumoinya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan
Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak mempergunakan kelihaian orang
muda gila ini untuk dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu
membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo. Dan dia berhasil menyelamatkan Pek
Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian"ong Lo-mo di samping berhasil
meningkatkan ilmu kepandaiannya dengan petunjuk "suaminya". Akan tetapi, setiap kali
apabila teringat akan keadaan dirinya, apalagi setiap kali harus melayani cumbu rayu
dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu,
batinnya makin tertekan.
Ucapan-ucapan Kun Liong seperti ujung pedang runcing menikam jantungnya. Dia
diumpamakan setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur
kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu dan dia merasa jantungnya tertikam dan sakit
sekali. Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya
menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti
Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu betapa anehnya
cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda
permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu. Ouwyang Bouw yang
menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita, baik secara
suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja
di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tidak mengenal apa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
753 artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, pernah Ouwyang Bouw menganjurkan
agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu! Ditangkapnya
seorang pemuda tampan dan dengan ancaman maut Ouwyang Bouw memaksa pemuda
itu agar bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk-bujuk agar dia suka
melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan
hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak
berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar
celaan dan sindiran Kun Liong.
"Isteriku... yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu begitu cepat seperti
kuda! Ha-ha-ha!" kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di
belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh gin-kangnya
yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.
"Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-
ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku
kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!"
Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu "kumat" lagi gilanya, gila berahi
yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah
dia berlari dengan tekad kalau dapat akan membebaskan diri dari manusia itu. Akan
tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya
dia tersusul juga.
"Ha-ha-ha, kau kalah!" Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim
In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw terus menggelutnya dan memaksanya
sambil terkekeh-kekeh, "Kita memang sepasang kuda... heh-heh, sepasang kuda
bermain cinta..."
Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus
mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang memiliki tingkat kepandaian tinggi ini.
Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak
mau bunuh diri dengan sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, maka ditambah
dengan penderitaan beberapa kali lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.
"Isteriku yang manis... kau hebat..." Omyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw
Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw Ialu
tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan
mulut tersenyum kepuasan.
Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik
ke arah "suaminya" yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tidur
dengan tubuh setengah telanjang, dan harus diakuinya bahwa tubuh Ouwyang Bouw
tegap dan gagah. Andaikata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah
dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas
cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi laki-laki ini gila! Kegilaan
yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa
yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan sebagai seekor kuda betina, hampir
sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya meluap.
"Wuuuuuttt!" Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan
serangan maut ke arah dada dari suaminya.
"Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?" Biarpun kelihatannya tadi memejamkan matanya,
namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
754 Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia
tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol. "Aku mengapa" Mengapa lagi kalau
bukan mengajak kau berlatih silat?" jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus
saja dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkari jurus-jurus yang paling
ampuh. Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang kedodoran,
Ouwyang Bouw tertawa, "Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah
mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!"
Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia
tidak tahu bahwa "isterinya" itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Setelah lewat
lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan
suaminya yang benar-benar amat lihai ini.
"Sratttt!" Dia mencabut pedangnya. "Lihat pedang!" bentaknya karena biarpun di lubuk
hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar
suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat
pedang. "Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan
daripada bertangan kosong, isteriku manis!" Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya
dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.
"Wah-wah, apakah engkau tidak lelah" Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin
mengaso!" Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus
dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu.
Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Derigan tangan kosong dia
tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini,
biarpun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia menyarungkan pedangnya, lalu
duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut.
Ouwyang Bouw merangkulnya, mengusap keringat dari lehernya dan tangannya terus
membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.
"Aihh, Manis! Kau kenapa" Mengapa marah-marah?" Ouwyang Bouw malah menggoda
dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.
"Engkau menipuku!" Lauw Kim In berkata.
"Heh" Aku..." Menipumu...?"
"Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya
menipuku saja."
"Bukankah setiap kali kauminta, aku selalu melatihmu?"
"Huh! Yang kauajarkan hanyalah jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya, sampai
sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!"
"Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku
sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain
cinta, kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin biarpun aku mengajarkan seluruh
ilmuku kepadamu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
755 Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan,
juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat
mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini" Dia harus bersabar dan menanti
datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya
mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw. Akan tetapi memang watak Ouwyang Bouw
aneh, dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di
sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya dan
mengajarkan jurus-jurus baru, sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja,
tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan makin memuakkan
hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama
dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In
yang merasa seperti dijadikan boneka hidup!
Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya sudah
lewat pula kumatnya penyakit Ouwyang Bow. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin
baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw
Kim In sampai berpekan-pekan!
Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Omyang Bouw menarik tangan Lauw Kim
In dan menyeretnya ke dalam semak-semak.
"Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja..." Kim In menolak karena mengira
bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw mendekap mulutnya dan
menuding ke depan.
Lauw Kim In memandang dan dia terkejut melihat seorang gadis cantik dan seorang
pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, karena gadis itu bukan lain adalah pengantin
yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok
Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan
bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu.
Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu" Dia bukan lain adalah Lie Kong
Tek! Seperti kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok
Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia
menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu dan memaksakan perpisahan antara
mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san.
Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak
tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh
oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong.
Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar
daerah itu, mencari-cari tanpa hasil.
Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok
Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan
arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
"Cia-siocia (Nona Cia)...!" Dia memanggil sambil berlari mengejar.
Mendengar suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal
orang itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di depan ayahnya,
seketika Giok Keng cemberut. Hemm, kembali dia berhadapan dengan seorang penjilat,
pikirnya! Betapa banyaknya bertemu dengan pria-pria seperti itu! Pria yang
memperlihatkan "kebaikan", bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang
gadis cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria seperti itu.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu sikapnya membelanya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah perkasa dan penuh
kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan pengorbanan dirinya,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
756 hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya! Dia sudah muak dengan semua itu,
apalagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong Bu Kong si tukang bujuk rayu!
Kini teringat olehnya betapa hampir semua laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang
berhati palsu, kecuali... Kun Liong agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan
mengatakan tidak cinta kepadanya! Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini,
dari pandang matanya saja sudah menjeritkan "cinta" yang memuakkan.
Betapapun juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan
hampir tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu, dia akan
menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang telah jatuh hati
kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan. Mulai sekarang, dia akan membalas semua
pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dahulu adalah para suhengnya di Cin-ling-pai,
terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta
kepadanya, lalu disusul belasan orang suhengnya yang lain. Setelah itu, entah berapa
banyaknya lirikan-lirikan cinta yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang
pria, tua muda yang bertemu dengannya.
"Cia-siocia...!" Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira
karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap telah
hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu"
"Siapakah engkau dan ada keperluan apa memanggil-manggil aku?" Giok Keng bertanya
dengan sikap galak dan pura-pura tidak mengenal karena dia ingin mempermainkan
pemuda tinggi besar ini.
Lie Kong Tek memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan
yang tidak dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak
mempunyal keinginan dibalas. "Cia-siocia, tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi
dua hari yang lalu kita bersama ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-
kauw telah melawan orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek."
"Ahhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris
tewas di tangan ayahku!" Giok Keng sengaia mengemukakan hal itu karena dia menduga
bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan jasa-jasanya
ketika menolong dan membelanya.
Akan tetapi dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan
dia menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius, "Salahku sendiri, Nona.
Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri
urusan orang lain."
"Tapi... engkau telah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan
kepadaku!" Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda itu
yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya untuk
membela sampai mati!
Lie Kong Tek menggeleng kepala. "Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang
kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu peristiwa
yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang melihatnya, pasti akan
turun tangan."
Hati Giok Keng menjadi penasaran. "Apa" Kaumaksudkan... andaikata yang terancam
oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain..."
"Tentu saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana
memukul anaknya sendiri."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
757 Hati Giok Keng kecewa. "Ahh, kukira tadinya..." kekecewaan hatinya karena jawaban
pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya.
"Kaukira bagaimana, Nona?"
"Kukira kau menolongku karena... karena kau suka padaku." Terus terang saja Giok
Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang
mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat
alasan untuk mempermainkan dan menghina laki-laki yang tinggi besar dan tampan
gagah ini. Wajah Lie Kong Tek berubah merah seketika. "Nona, melakukan suatu perbuatan yang
oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau berdasarkan
rasa suka atau tidak suka!"
Giok Keng makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan
seorang laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis dan menjilat
kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar kasar
dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah membuat dia
menjadi penasaran. Kalau melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya,
mengaku cinta, dia merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama
setelah pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini lain lagi, bahkan
sebaliknya daripada sikap pemuda pada umumnya. Dia akan merasa amat penasaran
dan "turun nilai" kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan cinta
kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,"Aihh, kalau tidak salah, gadis
yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu adalah tunanganmu, Saudara Lie
Kong Tek?"
Lie Kong Tek mengangguk. "Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu
ke Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun,
tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang terlambat..."
"Kau dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat
menolong aku dan ayahku. Bu Li Cun itu cantik sekali, engkau tentu berduka dan
kehilangan, Saudara Lie."
"Tentu saja, aku merasa amat kasihan kepada Nona itu. Akan tetapi terus terang saja,
tidak ada perasaan kehilangan di hatiku karena selamanya pun baru satu kali aku
bertemu dengan tunanganku. Andaikata yang mengalami nasib buruk seperti dia itu
seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan sekali."
Giok Keng termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya. Berbeda dengan pemuda
lain, bahkan sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak
mengandung api gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain. Bahkan di
dalam pandang mata Kun Liong yang terang-terangan tidak mencintanya itu pun
terdapat sinar kagum kalau memandang kepadanya. Kenyataan ini membuat hatinya
panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kauanggap aku bukan apa-apa, ya" Tunggu
saja kau, hatiku belum puas kalau tidak dapat melihat engkau bertekuk lutut dan
merengek mengaku cinta!
Gadis ini tidak sadar betapa sesungguhnya dialah yang sombong! Demikianlah keadaan
hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri, sehingga dia seolah-
olah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan watak-wataknya sendiri.
Karena tidak mengenal diri sendiri inilah yang menimbulkan segala perbuatan yang
merugikan orang lain dan diri sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak
ada perbuatan jahat yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah
mengenal dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
758 dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja
berdasarkan kepentingan diri pribadi.
Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam cengkeraman si
aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku tanpa disadarinya.
Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerak-gerik dan segala akal bulus
si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala
siasat dan tipu muslihatnya.
Demikian pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak
jujur, polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung niat lain. Tidak
demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik, lihai,
puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah timbullah rasa
tinggi hati dan keyakinan bahwa semua pria pasti akan bertekuk lutut dan jatuh cinta
kepadanya! "Nona Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!"
Timbul harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh
selidik. "Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?"
"Hanya untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, Nona.
Ayahmu juga mencarimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu mencarimu.
Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?"
"Hendak kembali ke Pek-lian-kauw, memberi hajaran kepada para penjahat Pek-lian-
kauw." "Aihh! Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi. Bahkan Suhu dan ayahmu sendiri
terpaksa harus melarikan diri. Pek-lian-kauw amat kuat, selain ketuanya memiliki
keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga mereka berjumlah
banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai."
Giok Keng terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri"
"Di manakah Ayah sekarang?"
"Beliau juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu, Nona."
"Kalau begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san. Sudah terlatu lama aku
meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali." Teringat akan ibunya, hati
Giok Keng berduka bukan main karena terbayang dahulu ketika dia cekcok dengan
ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa ayahnyalah yang benar
mengenai pribadi Liong Bu Kong. Teringat betapa demi Liong Bu Kong dia sampai
minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati ayah bundanya, dia menjadi makin gemas
kepada Liong Bu Kong dan andaikata dia tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di
tangan Yo Bi Kiok, tentu dia akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong
bukan di tangannya membuat hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk
mempermainkan hati dan cinta kasih kaum pria! Adapun yang dianggapnya sebagai
calon korban pertama adalah Lie Kong Tek inilah.
"Kalau Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama," tiba-tiba
Kong Tek berkata. Bagi pemuda
ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan
menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan hati
itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia mencinta gadis
ini" Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu, apalagi karena dia pun
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
759 maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh dengan seorang dara seperti
puteri Ketua Cin-ling-pai ini.
Mulut yang manis bentuknya itu terhias senyum mengejek. Hemmm, pikir Giok Keng,
betapa pun angkuh hatimu, belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam
perjalanan. "Eh" Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie" Mengapakah?"
Lie Kong Tek agak sukar menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan
kedua lengannya. "Mengapa" Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku telah berpisah
dari Suhu dan hidup sebatang kara, tidak mempunyai tujuan tetap, sedangkan kau pun
sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan perjalanan
bersama" Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan ayahmu yang amat
bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu."
Senyum di bibir Giok Keng makin melebar. Hemm, alasan yang dicari-cari, pikirnya.
"Baiklah," katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin sekali melihat laki-laki
ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia patahkan hati dan kasihnya seperti
yang ingin dia lakukan terhadap semua pria sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu
Kong! Demikianlah, dua orang itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama
kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak dan berdiri di
depan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai dan seorang
wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian.
Melihat dua orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua
orang itu ketika datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi lari
berkejar-kejaran. Akan tetapi Giok Keng tidak mengenal mereka. Biarpun pernah
Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada
waktu itu ingatan Giok Keng hilang olch obat perampas ingatan, maka dia tidak
mengenal dua orang ini. Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis
cantik ini yang tadinya hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw.
"Heh-heh-heh, inilah pengantin wanita yang kabur!" Ouwyang Bouw berkata sambil
tertawa. Muka Giok Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw
dia tampak makin cantik. "Siapakah kalian" Perlu apa menghadang di jalan?" Giok Keng
membentak. "Ha-ha-ha, puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan
dia ini isteriku."
Mendengar nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama
Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah
bahwa dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan
ayahnya! "Bagus, manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?" Bentaknya sambil
menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah mendengar
betapa lihainya pemuda ini.
"Ho-ho-ha-ha! Biarpun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon
isteri Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan segolongan. Jangan galak-galak, Nona
manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
760 "Dia sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!" Giok Keng
membentak. "Wah-wah... sudah mampus" Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai
pacar lain lagi yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar
juga, ya" Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng! Bagaimana
kalau kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?" Lauw Kim In hanya cemberut,
tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena tingkah laku dan ucapan
suaminya itu merupakan pisau beracun yang menyayat-nyayat hatinya.
"Ouwyang Bouw, bersiaplah untuk mampus!" Giok Keng membentak lagi. Sebagai
seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali.
"Heh-heh, makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding" Lebih baik
bercinta! Mari kita bertukar pasangan!"
Giok Keng benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari
lagi dia bertanya, "Apa... maksudmu...?"
"Ha-ha-ha, baru pengantin baru, masa tidak tahu" Kita bertukar pasangan, bertukar
pacar untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri isteriku!"
"Iblis laknat bermulut busuk!" Giok Keng tahu akan maksud yang kotor itu, maka
kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan hatinya lagi dan
serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw.
"Heiiitttt... ahhh...!" Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang
dan bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena
mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng tadi.
Biarpun otaknya miring, namun Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian
tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan gadis itu
dengan sungguh-sungguh, bahkan juga membalas dengan serangan pedang ularnya
yang amat dahsyat.
Sementara itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan
Ouwyang Bouw, juga cepat mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman
Ouwyang Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah
dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun lalu menerjang dan membantu Giok Keng
mengeroyok Ouwyang Bouw.
Ouwyang Bouw yang lihai sekali melihat gerakan pemuda tinggi besar ini tahulah dia
bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau
Giok Keng, maka pada saat dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok
Keng, kakinya yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek
dan kaki kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama
sekali tidak menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu.
"Desss...!" Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia
bangkit kembali, menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir
kepeningan, kemudian dia maju lagi dengan penuh semangat.
"Isteriku, kautundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat pula
sepak-terjangnya dalam bercinta. Kautangkap dia, biar kutangkap yang perempuan!"
Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In diam saja seperti
patung menonton pertandingan yang amat hebat itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
761 "Kalau begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini!" Ouwyang Bouw
bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu.
"Lie-twako, awas...!" Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah
yang lembut. Namun terlambat. Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu
menyambar cepat sekali, tepat mengenai paha Kong Tek dan pemuda itu mengeluarkan
suara gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi namun
dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu sudah bekerja. Kini
teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan Kun


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa bahayanya jarum merah beracun
itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik untuk melihat Kong
Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga dia jatuh terguling.
"Brettt...!" sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw.
"Ha-ha-ha-ha, pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-
ha, untungku!" Dan dia maju menubruk.
"Mampuslah!" Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya, akan
tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang
pedang telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah siap menghadapi
serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya!
Dengan mata terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw
mulai menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata kepada wanita yang diaku
isterinya tadi. "Isteriku, lekas kauajak pemuda itu, biarpun dia terluka pahanya akan
tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton aku main-main dengan
puteri Cin-ling-pai ini" Ha-ha-ha!"
Giok Keng hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya.
Dia cepat memejamkan matanya dan mengerahkan seluruh sinkang. Dia pernah diajari
oleh ayahnya cara untuk menggunakan tenaga mujijat dari sin-kang istimewa yang
menurut ayahnya adalah ciptaan mendiang Tiang Pek Hosiang untuk membebaskan
totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
"Manusia iblis!" Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin
dan tahulah dia bahwa biarpun pahanya terluka, Kong Tek telah memaksa diri menubruk
maju menyerang Ouwyang Bouw. Akan tetapi dia tidak membuka matanya dan tetap
mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Dia menurut ayahnya,
kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi-i-beng dan sebagai gantinya, ayahnya
menurunkan ilmu membebaskan totokan jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya
dapat dipergunakan untuk membebaskan totokan jalan darah yang tidak berbahaya.
Untung baginya, Ouwyang Bouw yang tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya,
hanya menotok jalan darah biasa sehingga, biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki
tangan, namun tidak seluruh tubuhnya lumpuh.
"Dessss...! Brukkk...!" Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras.
"Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu agar kalau isteriku mau, dia dapat
mempergunakanmu. Kalau tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku
meniduri kekasihmu yang cantik ini, ha-ha!"
"Manusia iblis! Terkutuk kau...!" Kong Tek memaki-maki akan tetapi tidak mampu
bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya
lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
762 "Ha-ha-ha, kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan
tertawa bahagia menyaksikan betapa aku dapat menggagahi puteri musuh besarnya.
Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!"
Giok Keng tetap memejamkan mata dan mematikan rasa ketika Ouwyang Bouw
menciuminya dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai
membuka pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun dapat dia
punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi!
"Hyaaatt...!"
"Croottttt...! Aduuuhhh...!"
Tubuh Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya
yang berlumuran darah. Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi,
biarpun dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya yang hancur
bola matanya, membuatnya buta sebelah seketika dan rasa nyeri membuat dia
menggerung-gerung.
Tiba-tiba terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak.
Lauw Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba telah mencabut
pedangnya dan kini dari samping dia menghampiri suaminya, lengan kiri memeluk
suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya menggerakkan
pedangnya menusuk ke arah lambung.
"Crepppp...!"
Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri. Tubuh Ouwyang Bouw seperti
menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu, terbelalak memandang
isterinya, mulutnya berteriak, "Kau..." Kau...?"
Kemudian terdengar gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan
Ouwyang Bouw telah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In
yang tak dapat mengelak lagi karena wanita itu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-
seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung orang yang amat
dibencinya itu.
"Aughhh...!" Lauw Kim In menjerit mengerikan karena kedua buah dadanya telah
dicengkeram sedemikian rupa sampai hancur dan darah muncrat keluar, berbareng
dengan darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw.
Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang
Bouw terpelanting, tubuh yang tidak mempunyai lengan lagi karena kedua lengannya
telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di
dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada! Lauw Kim In
juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya
memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri dan berjongkok, mendengarkan
kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.
"Katakan... kepada Yap Kun Liong... Mawar Go-bi... di saat terakhir... mempertahankan
nilainya...!" Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan karena
kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan
Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung.
Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia
membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan
amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
763 dari depan mukanya. Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya
Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena selain luka pada pahanya, juga
tertotok punggungnya. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak
mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng
menghampirinya.
"Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona," kata Kong Tek.
"Kau merasa telah menolongku lagi?"
Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang
membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.
Kong Tek menarik napas panjang. "Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam
bahaya, akan tetapi kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu,
karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau
selamat." Setelah dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek
menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu menghampiri mayat Lauw Kim In dan
Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.
"Eh, apa yang kaulakukan itu?" Giok Keng bertanya.
Tanpa menghentikan pekerjaannya, dia menjawab, "Menggali lubang untuk mengubur
dua mayat ini..."
Giok Keng cemberut. "Aaaahhh! Perlu apa" Mereka adalah manusia-manusia jahat yang
berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!"
"Mungkin, akan tetapi sekarang aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak
mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona."
Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan
susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia mengerti akan kebenaran
pendapat pemuda itu.
Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak
budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek
itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja
tidak membantu. Betapapun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah
payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng
merasa tidak enak hatinya. Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik
hanya untuk menarik perhatiannya" Bagaimana kalau tidak" Pemuda itu tidak pernah
melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji. Akhirnya Giok
Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah
payah bekerja. Bagaimanapun juga, pemuda itu tadi telah susah payah membelanya,
bahkan telah menderita luka yang amat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita
yang tewas itu pun telah membantunya, karena biarpun mata sebelah Ouwyang Bouw
sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu.
Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri
Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan
keduanya bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan
dalam. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
764 "Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona," kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang
dia menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah
kembali. Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan saputangan, dan Giok Keng berkata,
"Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan."
Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa
tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Ketika dia siuman
kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan
melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka di pahanya dengan merobek sedikit
celananya di bagian yang terluka, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan,
membengkak besar.
"Ahhh, engkau terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun
pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada
pertolongan Kun Liong, aku tentu sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan
tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi makin
hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas."
Kong Tek menarik napas panjang.
"Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku terluka dan tidak mampu jalan,
maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku
menyusul ke Cin-ling-pai."
Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak
terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini
termasuk aksinya agar dikagumi" Apakah menyuruh dia pergi sendiri meninggalkan dia
yang terluka parah itu termasuk lagaknya agar dianggap sebagai seorang gagah sejati"
Dia akan mencobanya!
"Begitulah kehendakmu, Toako" Aku harus melanjutkan sendiri perjalananku dan
meninggalkan engkau di sini?"
Kong Tek mengangguk. "Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya."
"Kalau tidak berhasil?"
Kong Tek tersenyum. "Paling hebat mati!"
"Dan kau tidak ingin aku membantumu?"
"Apakah yang dapat kaulakukan, Nona" Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara,
dan... dan andaikata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di
sini." "Eh! Mengapa?"
Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab, "Tidak apa-apa."
"Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako."
"Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
765 Giok Keng berjalan pergi dengan cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia
melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, melainkan
memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah
tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu,
mengintai dari balik pohon. Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan babwa
pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kalipun tidak
pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila kepadanya pemuda
ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar" Ataukah
pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku" Hemm, ingin
kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku!
Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih.
"Mari kurawat lukamu itu"
Kong Tek mengangkat mukanya. "Ahh... kau belum pergi, Nona?"
Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek
kain celana di luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk mencuci
darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu
terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit.
Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu. "Sakitkah?"
"Tidak berapa, Nona," jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga.
Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak
memiliki sifat cengeng.
"Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika
aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dulu, kemudian semua
darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya
karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi."
"Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun
sekeji itu!" hanya ini saja komentar Kong Tek.
"Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suhengku itu mengeluarkan
jarum dari lukaku, dia mempergunakan sin-kang yang amat kuat, menyedot jarum-
jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sin-kang dari telapak tangannya saja. Akan
tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang
untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya. Akan tetapi tentu
amat nyeri..."
"Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah kau tidak merasa ngeri, Nona" Biarlah
aku yang membedahnya sendiri."
"Pertahankanlah!" Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian
dia merobek kulit di luka itu, terus ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya
menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum
merah dan darah kehitaman keluar dari luka yang agak lebar itu.
"Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus
disedot..." Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda
ini takkan tertolong lagi. Biarpun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun
racun itu sudah menjalar sejengkal lebih di seputar luka! Pemuda ini sudah berkali-kali
membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka
dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya kalau sampai dia membiarkan
pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya. Dengan mengeraskan hatinya dia
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
766 berkata, "Aku akan menyedotnya bersih seperti yang ditakukan Yap-suheng kepadaku
kemarin dulu."
"Jangan, Nona...!" Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu
yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka dengan mulutnya! "Jangan! Lebih
baik aku mati saja daripada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap jangan
merendahkan diri seperti itu. Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!"
Biarpun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang terluka dan
menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek dapat juga
mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot
lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah. Giok Keng
memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha agar darahnya terkumpul di
luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia berseru girang, "Cukup,
Toako! Kau tertolong sudah!"
Kong Tek kehabisan tenaga lalu menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah.
"Berkat pertolonganmu, Nona," katanya terengah.
Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati
luka itu dengan saputangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, biarpun agak
terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.
Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemucia ini. Kuat tubuhnya,
kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat
dia penasaran karena biarpun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan
hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tidak memperlihatkan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikap manis atau bermuka-muka, seolah-olah pemuda itu bukan melakukan perjalanan
di samping seorang dara yang cantik jelita, yang telah banyak membuat laki-laki
bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan bersama
seorang teman biasa saja yang tidak ada keistimewaannya apapun juga! Hatinya kagum
bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh
seorang pria! "Lama Jubah Merah di Tibet" Jahanam benar berani menantangku!" Pendekar Cia Keng
Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat
tentang diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.
Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya.
"Aku akan segera mengejar ke sana!"
"Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu lihai
sekali, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka
tidak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah
Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung
menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji" Ketika
aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada dalam kekuasaan mereka, aku tidak
berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam
anak kita, apa yang dapat kita lakukan" Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dan
menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah
yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet."
DENGAN panjang lebar Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi
sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong
dengan muka keruh dan seringkali menggeleng kepala dan mengepal tinju. Setelah
cerita isterinya tentang diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
767 depannya. "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah
pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."
"Giok Keng" Bagaimana dengan anakku itu?" Biauw Eng bertanya dan wajah ibu ini
makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan
puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua ditambah dengan peristiwa diculiknya
Bun Houw. "Hehhhh..." Keng Hong menghela napas. "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat
terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong
Bu Kong itu!"
"Apa" Giok Keng... menikah?"
"Hampir saja!" Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas
puteri mereka itu. Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa
ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik
napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya telah "berbaik
kembali" dengan puteri mereka.
"Sekarang, di mana dia?"
"Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong."
"Aihh, berbahaya kalau begitu."
"Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya."
"Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun
Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu
berjodoh dengan Kun Liong..."
Kembali Keng Hong menghela napas. "Sebaiknya kita tidak mencampuri urusan jodoh
anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak
urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta,
dan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang
lain." "Siapa?"
"Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama
Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir kubunuh." Dia lalu menceritakan betapa Lie
Kong Tek membela Giok Keng.
Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta
orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu
terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di
pibak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu
mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan ketampanan wajah dan kebaikan sikap
belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dahulu sudah kunasihati
Keng-ji agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah
seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan
kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon
suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang
laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinaan, maka jelas bahwa
cintanya itu hanya cinta berahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak
menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
768 lumpur perjinaan yang akibatnya selalu ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun...
betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan
terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tidak ada gunanya sama sekali!"
Melihat isterinya bicara secara bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan
mengajaknya masuk ke dalam.
Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan kedua orang anak mereka.
"Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya
tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita
itu." Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subonya (Ibu Gurunya),
melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhunya.
"Dari kota raja?" Keng Hong berseru dengan kaget.
"Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun."
"Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!" Keng Hong dan isterinya
bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika
melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang telah lama
menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan
julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain
yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.
"Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!"
Tio Hok Gwan memberi hormat diikuti oleh Keng Hong dan isterinya. "Mudah-mudahan
saja keadaan Tai-hiap dan Li-hiap selama ini baik-baik saia," katanya. Suami isteri itu
merasa tertusuk batinnya, akan tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan
mempersilakan tiga orang tamunya duduk di ruangan dalam dan para pelayan dan anak
murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.
"Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau
kepada Tai-hiap. Silakan Tai-hiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan
perundingan." Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap
hormat. Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut dan
menerimanya dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka
sampul surat dan membaca isi surat yang singkat itu.
"Ke Tibet...?" Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.
Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya dan
membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong
agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.
"Sungguh kebetulan!" Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. "Kami berdua
pun merencanakan hendak pergi ke sana!"
"Ahhh! Begitukah" Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke
barat." Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga karena keperluan apakah yang
memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dah penuh rahasia itu"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
769 Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan
mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira
pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu. "Di antara sahabat baik tidak ada
rahasia," kata Keng Hong, "karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan
kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru
berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke
Tibet!" Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. "Lama Jubah Merah" Sungguh aneh!
Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama
Lama Jubah Merah itulah!"
Cia Keng Hong dan isterinya menjadi terheran-heran dan ingin sekali mendengar
penuturan Tio Hok Gwan. "Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan
menjadi tugas kita di Tibet."
Tio Hok Gwan lalu bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan
para negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan
Tibet yang sesunguhnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka
belaka. Untuk mempererat hubungan baik, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang
puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri seorang pangeran putera Kaisar. Di samping
urusan keluarga ini yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat
dan hadiah ke Tibet, juga urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-
diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik
perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan
mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka
merencanakan persekutuan, untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang
kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai
imbalannya,Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak
terhadap Kerajaan Beng.
"Sebetulnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting," Tio Hok Gwan menutup
ceritanya. "Akan tetapi, mengapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua" Mengapa The-
taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon
pemberontak itu?"
"Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet
dengan kita. Rakyat Tibet amat peka terhadap penyerbuan tentara asing dan kalau
sampai kita mengirim pasukan ke sana, biarpun pasukan itu akan membantu Pemerintah
Tibet yang sah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung
hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itu, penumpasan para pemberontak Lama
Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Hanya
atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya
memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai
itu." "Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!" kata Biauw
Eng. "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"
"Hemmm..." Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. "Kalau tidak salah mereka adalah
tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang namanya Sin Beng Lama.
Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar
dengan Yap Kun Liong?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
770 "Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka
dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas
kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah
cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah."
"Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?"
"Justeru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul.
Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini," kata Keng Hong.
"Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu,
Taihiap." "Bila kita berangkat ke Tibet?"
"Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke
kota raja dan kita berangkat bersama."
Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya tiga orang
tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong dan isterinya.
Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama
Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang
kebetulan itu, andaikata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka m
Pendekar Satu Jurus 4 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pendekar Cacad 11
^