Pencarian

Petualang Asmara 27

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 27


emperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo,
melainkan terutama sekali pasukan
Pemerintah Tibet yang hendak membasmi Lama Jubah Merah yang hendak
memberontak. Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan
adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa berduka dan kecewa, bahwa
adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan
tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan girang karena
hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup
dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang telah menjadi seorang wanita
sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas. Dalam
perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentausa dan bahkan memperoleh
pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andaikata adiknya itu memilih dia dan ikut
bersamanya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andaikata demikian,
agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling
tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya
yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya.
Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanyalah wajah
Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai
hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.
"Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu..." Dia menghela napas teringat akan
kekasihnya itu dan dia mempercepat langkahnya. Kini baru terasa olehnya betapa
mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya
di waktu dahulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai
seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya.
Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua
orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya
dengan gadis itu, perjinaan mereka di dalam kuil tua, dia merasa malu dan menyesal
bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu
telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
771 saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa
rendahnya dia, betapa kotor dan keji!
"Hwi Sian... kaumaafkanlah aku..."
Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua.
Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sukar mengukur isi hati
Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya.
Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman akan membunuh setiap orang wanita yang
mencintanya, yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak
akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.
Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali
dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram kalau dia teringat akan
kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi
itu. Terbayanglah kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak
pertemuannya dengan "nikouw" itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa
sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya!
Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan
ketololannya dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya! Bahkan dalam saat terakhir
sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung
pedang beracun yang amat menyakitkan, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin
dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan
lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu.
Bagaimanakah nasib Hong Ing" Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu
betul apakah dua orang pendeta Lama itu bermaksud buruk terhadap kekasihnya
ataukah tidak. Betapapun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk,
keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat. Dua orang pendeta Lama itu amat
lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan
terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus
menemukan gadis itu dan melihat dengan mata sendiri bahwa Hong Ing berada dalam
keadaan selamat. Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua
orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk,
mengapa susah payah mengajak dara itu pergi" Siapa yang akan dapat mencegah
mereka kalau mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, ketika mereka tiba di pulau
kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka" Tidak, mereka pasti
tidak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.
Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri karena kembali dia
teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di
tempat tinggal Hwi Sian" Kabarnya gadis itu bersama dua orang suhengnya tinggal
bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa
tidak" Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik
saja dan mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya telah diampuni,
tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan.
Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para
pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di
Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti
pembuangan waktu yang terlalu banyak.
Memang benar seperti dugaannya, tidaklah sukar mencari tempat tinggal Gak Liong di
Secuan karena hampir semua orang mengenal, siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar
Gak) yang telah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu
Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat sehingga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
772 daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur. Dia memperoleh keterangan
bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar
kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali dan memang Gak Liong sekarang
setelah tua tidak mencampuri lagi urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu
diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui
tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya merupakan sebuah bangunan kayu
yang sederhana namun suasananya di situ hening dan menyenangkan.
Setelah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat
yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di tepi sungai dan sudah
tampaklah bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang amat sunyi namun
menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di
pohon-pohon sepanjang sungai. Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan
betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu
menikah dengan suhengnya, Tan Swi Bu" Apakah bersama suheng yang kini menjadi
suaminya itu tetap tinggal di situ" Ataukah sudah pindah" Dia hanya ingin
melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadannya selamat dan baik-baik saja, dan
melihat sinar mata yang telah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia akan
dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.
Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai
melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat daripada bambu di sambung-sambung.
Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset,
akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya amat dalam, merupakan tebing
yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Kun Liong tidak
ragu-ragu lagi, segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan
tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu.
Begitu dia tiba di seberang, di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-
tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang
menyilaukan menyambar ke arah lehernya!
"Singggg... ehhhh...!" Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang
kepada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking
tajamnya. Orang itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah mendekati lima puluh
tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.
"Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-
mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku..."
"Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?" Tiba-tiba Kun Liong
memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.
Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia
menjawab dengan kaku, "Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi
manusia-manusia jahat macam..."
"Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukan iblis Pek-lian-kauw, apalagi teman Tok-
jiauw Lo-mo!"
Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong,
melangkah mundur tiga kali dan memandang penuh perhatian, matanya masih
menyorotkan keraguan dan kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang
musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, "Siapakah engkau...?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
773 Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. "Poa-toako, beberapa
tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toa-ko, sutemu Han
Swi Bu dan sumoimu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong."
"Aihhh...!" Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan
pedangnya, lalu menjura, "Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)!
Biarpun baru satu kali bertemu, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari
kedua adik seperguruanku."
"Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi,
mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menanti datangnya
musuh?" Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang, "Mari kita masuk ke dalam, Yap-
enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi."
Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk dan mengikuti
twa-suheng (kakak seperguruan pertama) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang
kelihatan amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu
bercerita, "Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku menyangka engkau
adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat
ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersamadhi seperti biasa, lapat-lapat aku
mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh mempergunakan tenaga khi-kang
sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang
mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika
engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu."
"Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?"
Poa Su It menghela napas panjang, "Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan
sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku agar aku
menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu
saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa
Suhu." "Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik," kata Kun Liong.
"Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?"
Kun Liong mengangguk dan berkata lagi, "Kalau dia datang bersama kawan-kawannya,
tentu berniat buruk sekali. Oleh karena itu, setelah mendengar ini, aku akan
membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi
mereka." Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri dan dia memegang lengan Kun
Liong. "Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!"
Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian
sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.
"Kenapa Toako berjaga seorang diri" Di manakah Sute dan Sumoimu?"
"Suami istri itu pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi
mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan ketika Suhu masih
membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi para
pemberontak dan penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
774 mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta
bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi"
Lega rasa hati Kun Liong. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian telah
menikah dengan ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia
dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan
dia yakin bahwa gadis yang pernah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah
memaafkannya. Sayangnya dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar
pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.
"Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?"
"Menyelidiki ke Tibet."
Jawaban ini mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. "Ada
terjadi apakah di Tibet?"
"Panglima The menugaskan Suhu untuk menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah
Merah yang kabarnya mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua
perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga
Kerajaan Beng."
Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan"
Kalau terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing.
Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini"
"Memang Tok-jiauw Lo-mo seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat
berhadapan dengan dia, karena dahulu pernah aku ditangkap oleh kakek itu bersama
teman-temannya."
Poa Su It menghela napas. "Itulah yang menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu
berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak
menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu."
"Urusan pribadi?"
"Ya, dan aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh
menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan
dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, aku khawatir
sekali." "Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhumu itu, tidak perlu dikhawatirkan karena
apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan
agaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apalagi
menghadapi lawan berat seperti suhumu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak
mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang
dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya,
Toako." "Benar, dan sungguh untung bagiku engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena
dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram."
Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar rasa
kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu.
Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang tidak pernah menikah selamanya ini
memiliki dasar watak pendekar tulen. Karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka
sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu menuju ke
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
775 Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa
Su It terkejut sekali.
"Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kauceritakan itu adalah
pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya
sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat
sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang
menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, menyamar sebagai
penduduk biasa, yang hendak bersembahyang dan minta berkah."
Hari berganti malam dan yang mereka tunggu-tunggu pun datanglah! Mula-mula
terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena
pengerahan khi-kang yang cukup kuat, "Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi
janji!" Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar
pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Sejak tadi Poa Su It memang
sudah siap dan menggantung lampu-1ampu sehingga di depan pondok pun cukup
terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini.
Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin
dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan
pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong.
Biarpun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus,
kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang
ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari
muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam.
Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan
melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang
dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang memiliki rambut yang aneh, pendek tidak
panjang pun belum.
Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi sama sekali hati


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar ini tidak merasa takut. Dia memandang lagi dengan penuh perhatian kepada
orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu. Ada sepuluh orang banyaknya dan
melihat pakaian mereka seperti pendeta berwama kuning dengan lukisan teratai putih di
bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah
orang-orang Pek-lian-kauw. Pendekar yang sudah banyak pengalaman ini lalu menarik
kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah
semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, melainkan tentu ada hubungannya
dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya
pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo. Tentu Pek-lian-kauw dan kakek
ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu
yang aktip dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan
penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah,
maka mereka memusuhi gurunya.
Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang
terdapat permusuhan pribadi yang dimulai di waktu mereka, masih muda dahulu. Tok-
jiauw Lo-mo di waktu mudanya adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian
dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar. Pada suatu hari, ketika dia
menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai
setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan
kemudian, selagi Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan
membunuh wanita itu! Gak Liong menjadi marah dan sakit hati, mencarinya dan kembali
menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tak berambut,
punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
776 kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok
dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat
melarikan diri. Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng dirinya dan demikian pula Gak
Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan
itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-
jiauw Lo-mo mencarinya.
Ketika Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-
mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi
kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan
dulu, apalagi mengingat bahwa pendekar itu adalah pembantu The Hoo, serta merta Tok-
jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar
Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang
tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.
"Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja" Keluarlah menerima kematian!" Tok-jiauw
Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan
musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh.
Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah
meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, "Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu
membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!"
Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu
menjadi marah sekali. "Kau mampuslah!" Tongkatnya menyambar dan cakar setan yang
mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang
kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Sikap dan
teguran Kun Liong itu baginya sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda
ini! "Plak! Plak!"
"Uughhhh...!" Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia
memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu. Hampir dia tak dapat
mempercayai kalau tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan
saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan
membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik bertemu dengan
tenaga yang amat dahsyat!
"Kau... kau siapakah?" bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda
ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.
"Hemm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang
kaubohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!"
Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.
"Ketika itu kepalaku tidak berambut..."
"Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!"
Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.
"Tahan...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul
seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti petani, tubuhnya kurus dan
wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
777 "Suhu...!" Poa Su It berkata. "Biarlah teecu dan Yap-enghiong yang menghadapi
penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!"
Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya. "Su It, kau mundurlah." Kemudian dia
menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, "Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar,
terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk
menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya.
Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri
orang lain."
Kun Liong membungkuk dan berkata hormat, "Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak
akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako kalau iblis tua ini
berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok."
"Heh-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak
sombong." "Lo-mo, kita sama-sama tua dan marilah kila selesaikan urusan lama tanpa membawa-
bawa yang muda. Kalau para anggauta Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri
urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula."
"Heh-heh-heh, siapa yang mau curang" Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu
sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang
terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang
tua!" Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong. Kakek ini memang cerdik.
Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang
paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.
"Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Mari kita
selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita."
"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!" Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia
sudah menyerang ke depan.
"Tranggg! Trakkk!"
Pendekar dari Secuan itu telah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Kun Liong menonton dengan
hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun
Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak
tipu. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena
penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga setiap
tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa
kali dia terhuyung-huyung, sungguhpun setiap serangannya membuat lawan terdesak
hebat. Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya dan berdiri di dekat Kun Liong, juga
menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang
sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun
dia juga tidak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki
tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak segera bergerak sehingga dia mendapat kesempatan
untuk mengamuk!
Andaikata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah
mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian
pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar
di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri. Dia tahu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
778 bahwa Gak Liong amat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang
tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Dengan penuh semangat dia
terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil
mengerahkan tenaga seadanya pula.
Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan
tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal
sifat ilmu silat lawan. Maka biarpun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat
hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.
"Eeeaaaghhh...!" Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak
cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, itulah pukulan baru
yang telah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh
besar ini. Gak Liong agak terkejut, tidak mengira bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang
dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan
tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya.
Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya meluncur ke
depan. "Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!" Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong
menancap di ulu hatinya, sedangkan pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi
pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan sin-kang yang
mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu.
Tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan dan dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-
putus, "Aku... aku cinta padanya... kau telah merampasnya... maka kubunuh... dia...
hanya kalungnya... yang menjadi penggantinya... ini... ini... kukembalikan kalungnya
padamu.... Gak Liong..."
Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, wajah Gak Liong
membayangkan keharuan. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang
kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada
di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia
kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-
jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.
"Gak-locianpwe, awas...!" Kun Liong berteriak namun terlambat. Ketika Gak Liong
mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu,
tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat dan pelipis
kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu
digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa kemudian
berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat
mengeluh lagi. "Suhu...!" Poa Su It berteriak, akan tetapi pada saat itu, sepuluh orang Pek-lian-kauw
sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan
mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukan
orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani
pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw.
Kun Liong juga dikeroyok dan karena orang-orang Pek-lian-kauw itu pun tadi
menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan
tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw
mengepungnya. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
779 Namun, dengan tenang, Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis
dengan amat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya. Semenjak
dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam
kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi
Tosu telah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri
hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul
menyelamatkannya. Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali
dia bertemu dengan para tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia
sekarang bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu
suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang
diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya,
terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan
memberontak. Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik
dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina oleh cara pendidikan yang sudah
diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk bercita-cita, untuk mengejar sesuatu,
untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih
sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita. Hal ini sudah dibenarkan
oleh kita sehingga setiap manusia, sejak kecil, bergulat dan berjuang untuk mencapai
cita-cita masing-masing sehingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut
dan bersaing, karena cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk
mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk,
yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, namun semua itu hanyalah kulit yang
membungkus isi yang sama, yaitu : mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri,
baik lahir maupun batin!
Kalau kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa
cita-cita atau keinginan mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan-kepalsuan,
pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia. Sekelompok anak-anak
pun, kalau melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang
anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan,
perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa
demikian" Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita
itu dan cita-cita itulah yang penting lagi! Cita-cita itu saja yang dianggap akan
mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi, seluruh gairah didorong oleh
pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.
Karena kita mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada, maka
kita tidak mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana
adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah
memperhatikan sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah
penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita. Bahkan ada
pendapat yang amat menyesatkan bahwa "cita-cita menghalalkan segala cara". Betapa
menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya.
Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik"
Demikian pula dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka,
cita-cita pribadi yang diselimuti
dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan lain sebagainya, terjadilah permainan-
permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-
kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi
mencapai cita-citanya. Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya
buruk, banyak terdapat cita-cita yang baik. Baik maupun buruk tetap saja cita-cita, tetap
saja keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah
terjadi penyelewengan dan kekerasan, dan terjadilah bentrokan dan pertentangan.
Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si "aku" dan penonjolan si "aku" dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
780 si "kamu" tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum
tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya.
Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan memperoleh sesuatu yang belum
ada" Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak"
Mengapa kita tidak menghayati hidup di saat ini" Hidup di saat ini berarti menujukan
seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa
depan yang menyesatkan. Kalau kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih
di hati, apakah perlunya kita bercita-cita" Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-
langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya kalau mata kita ditujukan
jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita
memandang "sana" yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari "sini?" Mengapa kita
menginginkan yang "begitu" dan tidak menghayati yang "begini?" Yang "begitu" adalah
khayal, sedangkan yang "begini", saat ini, barulah nyata dan hidup!
Karena sudah seringkali bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan
banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang
mempergunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak
mau memberi hati lagi.
"Kalian orang-orang jahat!" bentaknya.
Bentakan ini disusul oleh berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-
nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi
terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas
karena tubuh pemuda itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata
mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh. Mereka
berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi, akan tetapi Kun Liong sudah
menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil
menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, pundaknya, dan ada yang benjol-
benjol kepalanya.
Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil
merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi.
Namun, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang
pengeroyoknya dalam waktu singkat!
"Pergilah...!" Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya
sudah menangkap tongkat seorang lawan, tangan kanan menampar pangkal lengan
kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya
menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh.
Habislah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu,
bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian meninggalkan
tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak.
"Biarkan mereka pergi," kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar.
Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong
kemudian lari menghampiri mayat suhunya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi
mukanya dengan penuh duka. Orang tua itu telah puluhan tahun menjadi gurunya dan
menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapat dimengerti betapa sedih hati Poa Su It
melihat kematian gurunya itu.
Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan
itu dan berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It
mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian dia berpamit untuk
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
781 melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan
keterangan dari Poa Su It tentang perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama
Lama Jubah Merah.
Wajah Pek Hong Ing yang cantik jelita dan segar itu sebentar pucat sebentar merah
ketika dia mendengar dari para pelayan bahwa kedua orang pendeta Lama yang telah
pergi hampir dua bulan itu, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, hari itu telah kembali ke
kuil. Jantungnya berdebar keras dan bermacam pertanyaan mengaduk-aduk hatinya.
Apakah kedua orang pendeta itu telah berjumpa dengan Kun Liong" Apakah bertemu
dengan Ketua Cin-ling-pai" Apa yang telah terjadi" Harapan dan kecemasan membuat
jantungnya berdebar tegang dan dia segera lari keluar dari dalam kamarnya untuk
menemui mereka.
Mereka telah duduk di ruangan besar, bersila di atas bantalan kuning. Hun Beng Lama,
Lak Beng Lama, dan Sin Beng Lama yang mendengarkan pelaporan mereka. Ketika
mereka bertiga melihat munculnya Hong Ing, Sin Beng Lama lalu tersenyum dan
berkata, "Hong Ing, kau duduklah. Biarpun kedua orang susiokmu belum berhasil
mendatangkan Kun Liong, namun kami yakin bahwa tidak lama lagi dia akan muncul di
sini." Hong Ing tidak menjawab, matanya memandang ke arah seorang anak laki-laki berusia
lima tahun yang duduk di atas lantai dekat dengan Lak Beng Lama. Anak laki-laki itu
tampan dan sehat, matanya tajam bersinar-sinar dan kelihatan sedang marah.
Mendengar ucapan Sin Beng Lama, anak laki-laki itu segera membuka mulutnya dan
berkata, suaranya nyaring dan lantang, "Kalau Suheng Yap Kun Liong datang bersama
ayahku, kalian tentu akan dihajar sampai mampus!"
Tentu saja Hong Ing terkejut sekali mendengar ucapan anak itu yan menyebut Suheng
(kakak seperguruan) kepada Kun Liong. Dia menghampiri, memandang anak itu dan
bertanya kepada Sin Beng Lama. "Susiok, siapakah anak ini dan dari mana dia datang?"
Sin Beng Lama yang bersikap lemah lembut itu tersenyum, "Dia ikut bersama kedua
orang susiokmu..."
"Aku diculik!" Anak itu berseru marah. "Pendeta-pendeta menculik anak kecil, sungguh
tak tahu malu!"
Hong Ing makin kaget dan heran, juga kagum menyaksikan sikap yang demikian tabah
dari anak itu. "Lak Beng Susiok, siapakah dia itu?" tanyanya kepada paman gurunya ke tiga yang
menjaga anak itu.
"Dia" Ha-ha-ha, dia adalah putera Ketua Cin-ling-pai..."
"Ohhh...! Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) tidak memegang janji! Aku minta agar
supaya Yap Kun Liong yang dibawa ke sini, kenapa malah membawa anak kecil, putera
Ketua Cin-ling-pai yang tidak tahu apa-apa?"
"Siancai...! Kami sama sekali tidak melanggar janji. Kami membawa anak ini ke sini
justeru adalah untuk memenuhi janji karena hanya dengan cara inilah Yap Kun Liong
dapat muncul di sini," Lak Beng Lama berkata.
"Apa maksud Susiok?"
Hun Beng Lama yang lebih halus sikapnya dibandingkan dengan Lak Beng Lama,
menjawab, "Kami tidak berhasil bertemu dengan Yap Kun Liong di Cin-ling-san, bahkan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
782 Ketua Cin-ling-pai juga tidak berada di rumahnya. Kami hanya bertemu dengan isteriya
dan puteranya ini, maka terpaksa kami membawa puteranya ini ke sini dan
meninggalkan pesan kepada isterinya bahwa apabila Ketua Cin-ling-pai mengantarkan
Yap Kun Liong ke sini, maka puteranya akan dikembalikan. Bukankah ini merupakan cara
terbaik untuk memaksa Yap Kun Liong datang ke sini?"
Wajah yang tadinya pucat itu menjadi merah kembali dan berseri gembira setelah
mendengar penjelasan ini. Diam-diam hati Hong Ing merasa girang sekali karena
siasatnya telah berhasil. Memang sebaiknya begini karena perbuatan dua orang pendeta
Lama itu tentu memancing kemarahan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan tentu
pendekar itu bersama Kun Liong akan muncul di tempat ini! Kalau Kun Liong datang
bersama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, tentu ayahnya dan dia sendiri akan dapat
diselamatkan. "Ah, maafkan saya, Ji-wi Susiok! Kiranya begitukah" Memang baik sekali
dan saya amat berterima kasih kepada Ji-wi Susiok. Akan tetapi, agar anak ini tidak
rewel dan suka tinggal sementara di sini, blarlah dia tidur bersama saya."
Sin Beng Lama tersenyum. "Sebaiknya begitu. Bawalah dia ke kamarmu."
Hong Ing menghampiri anak itu yang memandang kepadanya dengan sinar mata tajam
penuh curiga. Hong Ing tersenyum manis dan menyentuh pundak Cia Bun Houw. "Mari ikut bersama
Enci." Tiba-tiba Bun Houw menggerakkan tangan menangkis lengan dara itu dengan sigap dan
mengelak ke belakang. "Siapa kau" Kalian semua orang jahat!" bentaknya.
Hong Ing memandang kagum. Anak ini benar-benar amat tampan dan bersemangat,
baru berusia lima tahun sudah memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya. "Jangan
salah duga, Adik baik. Para Locianpwe yang membawamu ke sini bukan berniat jahat.
Engkau hanya disuruh tinggal di sini sampai ayahmu datang menjemputmu. Marilah aku
Pek Hong Ing, dan aku sama sekali tidak berniat jahat kepadamu."
Melihat dara yang cantik jelita itu bersikap halus kepadanya, Bun Houw mulai berkurang
kecurigaannya. Dia mengangguk biarpun dia tidak mau ketika Hong Ing hendak
menggandengnya.
"Siapakah namamu, Adik yang baik?"
"Namaku Cia Bun Houw," jawabnya singkat.
"Adik Bun Houw, marilah ikut bersamaku. Engkau tentu lapar. Kita makan lalu bermain
dan bercakap-cakap di dalam taman. Di sini terdapat sebuah taman yang indah."
Sikap yang amat ramah dan baik dari Hong Ing menghibur juga hati anak itu dan dalam
beberapa hari saja dia telah menjadi sahabat baik Hong Ing dan menaruh kepercayaan
besar kepada dara itu. Dua pekan kemudian, ketika Hong Ing mengunjungi ayahnya di
dalam kamar hukuman, dia sengaja mengajak Bun Houw. Kamar hukuman itu amat luar
biasa, tidak patut disebut kamar hukuman, karena kamar itu merupakan kamar yang
lebarnya empat meter persegi dan kosong sama sekali tidak ada perabotnya sepotong
pun. Di tengah-tengah kamar ini, duduk bersila seorang kakek tinggi besar yang bukan
lain adalah Kok Beng Lama. Memang luar biasa cara para Lama Jubah Merah ini. Yang
merupakan belenggu hukuman hanyalah janji-janji mereka yang lebih kokoh daripada
belenggu baja. Dan dia melaksanakan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dengan cara
bersamadhi siang malam, hanya berhenti apabila tubuhnya membutuhkan makan saja,
atau membutuhkan istirahat dan tidur. Selain terpaksa memenuhi kebutuhan
jasmaninya, semua waktunya dihabiskan dengan bersamadhi! Agaknya kakek ini sudah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
783 mengambil keputusan nekat untuk menghabiskan usianya dengan bersamadhi, setelah
dia memperoleh janji ketiga orang sutenya bahwa puterinya, Pek Hong Ing, takkan
diganggu. Satu-satunya orang yang dapat menyadarkan kakek ini dari samadhinya
hanyalah Hong Ing. Setiap kali puterinya ini datang tentu dia suka untuk menghentikan
samadhinya dan bercakap-cakap, bahkan menurunkan ilmu-ilmunya kepada Hong Ing.
Kalau bukan puterinya, biar siapa saja dan biar diapakanpun dia tidak akan dapat
disadarkan dari samadhinya.
Setelah membuka pintu kamar itu dengan hati-hati dan melihat ayahnya sedang
bersamadhi seperti biasanya, Hong Ing menuntun tangan Bun Houw dan mengajak anak
itu berlutut lalu duduk bersila di depan kakek itu, dalam jarak dua meter karena mereka
berdua duduk bersandar dinding di atas lantai yang mengkilap bersih, karena seringkali
dibersihkan sendiri oleh Hong Ing.
Kakek itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya. Namun pendengarannya yang
sudah terlatih hebat dan amat tajam itu dapat menangkap semua suara dan mengikuti
semua gerak-gerik Hong Ing dan Bun Houw.
"Anakku, dengan siapakah kau memasuki kamar ini dan mengapa engkau mengajak
orang lain?"
Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran. Hong Ing cepat menjawab dengan suara
agak manja, "Ayah, inilah Adik Cia Bun How, putera dari Ketua Cin-ling-pai!"
"Hemm, suruh dia keluar dari kamar ini!" kakek itu membentak tanpa membuka
matanya. Tiba-tiba Bun Houw yang menyaksikan itu semua, berkata dengan suaranya yang bening
nyaring, "Enci Hong Ing, kenapa engkau mengajak aku masuk ke tempat ini" Mana
ayahmu" Kakek yang galak dan tua ini" Ah, tidak patut dia menjadi ayahmu, Enci.
Engkau begini halus dan baik, akan tetapi dia begitu galak dan jahat!"
"Hushh... diamlah!" Hong Ing menegur anak itu. Dia teringat akan cerita Kun Liong
tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong, maka dia cepat berkata lagi untuk memancing
perhatian ayahnya. "Ayah, dia ini adalah putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong,
Ketua Cin-ling-pai, murid dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong...!"
Akan tetapi, kakek itu sudah tertarik sekali ketika mendengar suara Bun Houw tadi,
suaranya yang begitu bening dan seperti jarum-jarum menusuk telinganya, suara yang
hanya dapat dimiliki seorang bocah yang cerdas dan berbakat baik sekali. Maka dia telah
membuka kedua matanya memandang. Sinar kagum berpancar keluar dari matanya
ketika dia memandang Bun Houw, apalagi ketika mendengar bahwa Bun Houw adalah
putera dari seorang murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong!
MELIHAT sikap ayahnya, Hong Ing cepat menyambung, "Ayah, aku ingin agar Adik Bun
Houw menjadi muridmu!"
"Hemmmm...!" Tiba-tibA kakek itu meluruskan lengan kanannya dan Bun Houw yang
sejak tadi memandang wajah kakek itu menjadi terbelalak kaget melihat betapa lengan
yang besar itu dapat memanjang keluar dari lengan bajunya, terus memanjang sampai
tangan itu mencengkeram punggung bajunya dan mengangkatnya ke atas lalu
menariknya dekat dengan muka kakek itu! Memang hebat sekali kepandaian Kok Beng
Lama. Sin-kangnya sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dia mampu membuat
lengannya memanjang sampai hampir dua meter! Dengan kepandaian seperti ini, tentu
saja dia merupakan seorang lawan yang amat berbahaya bagi siapa pun.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
784 "Bagus! Kau anak baik sekali... kau benar ingin menjadi muridku?" tanya kakek itu
sambil memeriksa tubuh anak itu dengan pandang matanya dan dengan rabaan jari-jari
tangan kirinya, terutama sekali meraba-raba tengkorak kepala Bun Houw.
Bun Houw adalah seorang anak yang usianya baru lima tahun, akan tetapi dia putera
suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia cerdik sekali. Melihat
kenyataan bahwa kakek aneh ini adalah ayah dari Pek Hong Ing yang amat baik
kepadanya, kemudian bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sehingga akan
mampu melindunginya di tempat asing itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,
"Aku suka sekali menjadi muridmu!"
"Ha-ha-ha!" Kok Beng Lama tertawa dan melepaskan tubuh anak itu ke atas lantai.
Hatinya girang sekali karena tadinya dia merasa agak kecewa melihat bahwa bakat
puterinya sendiri masuh jauh dapat mewarisi seluruh ilmu-ilmunya yang membutuhkan
"wadah" yang kuat dan berbakat. Kini, melihat Bun Houw, dia menemukan seorang
murid yang pasti akan dapat mewarisi semua kepandaiannya.
"Suhu...!" Bun Houw yang cerdas itu pun sudah berlutut sambil memberi hormat dan
menyebut suhu. "Ha-ha-ha...!" Kakek itu kembali tertawa.
Hong Ing girang sekali. Dia memeluk Bun Houw dengan girang. "Sekarang engkau
menjadi suteku (adik seperguruanku) dan aku adalah sucimu (kakak seperguruanmu)."
"Suci...!" Bun Houw memberi hormat kepada dara itu.
Mulai hari itu, Bun Houw menjadi murid Kok Beng Lama dan setiap hari anak itu berada
di dalam kamar hukuman untuk menerima petunjuk dan gemblengan kakek aneh itu.
Kok Beng Lama memang berwatak luar biasa. Dia sama sekali tidak peduli dan tidak
ingin tahu mengapa putera Ketua Cin-ling-pai itu bisa berada di tempat itu. Dia tidak
mau mempedulikan lagi urusan dunia, maka dia tidak pernah bertanya kepada Hong Ing
maupun kepada Bun Houw. Dia setiap hari hanya mengajar ilmu kepada puterinya dan
muridnya itu, tanpa membicarakan urusan lain lagi. Pekerjaannya setiap hari hanya
mengajar dan bersamadhi, lain tidak.
Tentu saja setiap gerak-gerik Pek Hong Ing dan Cia Bun Houw tidak pernah terlepas dari
penyelidikan tiga orang pendeta Lama, namun mereka tidak menghalangi ketika melihat
bahwa Bun Houw menjadi murid suheng mereka yang menjalani hukuman itu. Mereka
percaya penuh akan janji Kok Beng Lama, dan mereka sudah mengenal betul watak
suheng mereka itu yang mungkin dapat mengamuk dan memusuhi mereka mengenai
urusan pribadi, namun akan membela dengan pertaruhan nyawa apabila perkumpulan
agama mereka diserang musuh dari luar. Selain itu, Hong Ing juga tidak memperlihatkan
sikap mencurigakan, bahkan dara ini menurut dan mempelajari dengan teliti semua
pelajaran keagamaan mereka sehubungan akan menjadi korban untuk dewa kelak,
setelah permintaannya dipenuhi, yaitu hadirnya Yap Kun Liong di situ. Bahkan dia
menurut pula ketika diharuskan melakukan puasa dan pantang makan barang berjiwa
agar dirinya tetap bersih apabila saatnya tiba dia mengorbankan diri kepada dewa
sebagai penebus "dosa" ibunya dabulu. Melihat sikap dara ini, Sin Beng Lama dan dua
orang sutenya tidak menjadi curiga, dan mereka hanya menanti-nanti kedatangan Yap
Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw, agar pelaksanaan korban suci untuk
dewa dapat segera dilaksanakan. Dalam hal ini, para pendeta Lama mempunyai
keyakinan bahwa pengorbanan suci seorang dara kepada dewa akan mendatangkan
berkah yang amat hebat, akan mendatangkan keajaiban yang membawa kejayaan
kepada perkumpulan mereka. Mereka percaya bahwa dengan bantuan dan perlindungan
dewa yang tentu akan membantu mereka setelah menerima pengorbanan istimewa,
yaitu puteri mendiang Pek Cu Sian yang mengecewakan dan membikin marah dewa,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
785 tentu Kerajaan Tibet akan dapat mereka tumbangkan dan mereka rampas! Mereka
berkeyakinan bahwa kalau selama ini mereka belum juga berhasil adalah karena dewa
marah kepada mereka berhubung dengan peristiwa kedosaan yang dilakukan oleh Pek
Cu Sian, gadis calon mempelai dewa yang melarikan diri! Sekarang, begitu Pek Hong Ing
berada pada mereka, sudah nampak tanda-tanda bahwa mereka akan berhasil, terutama
sekali dengan adanya kenyataan bahwa hubungan mereka dengan Pek-lian-kauw
menjadi erat dan saling membantu.
Memang perkumpulan Lama Jubah Merah mulai membuat persiapan untuk memberontak
dan menyerang Pemerintah Tibet. Semua Lama Jubah Merah telah dikumpulkan dan
jumlah mereka ternyata hampir dua ratus orang. Selain melatih semua Lama Jubah
Merah ini menjadi pasukan istimewa yang amat kuat, juga kini telah dikumpulkan banyak
bantuan dari luar, bantuan yang terdapat dari berbagai cara. Ada yang karena percaya
kepada keampuhan Kelenteng Lama Jubah Merah, yaitu para penduduk di sekitar daerah
itu yang pernah menerima "berkah" dari kelenteng, ada pula yang karena terpaksa atau
dipaksa oleh pengaruh para pimpinan Lama, ada pula yang "dibeli" dengan uang!
Betapapun juga, Sin Beng Lama telah berhasil menghimpun ratusan orang perajurit
"sukarelawan", yang dilatih di luar markas mereka, dilatih ilmu perang dan barisan, juga
kontak langsung telah diadakan dengan Pek-lian-kauw yang sudah siap membantu para
Lama untuk menyerbu Tibet dengan janji bahwa kelak, para Lama yang telah menguasai
Tibet akan mengerahkan kekuatan pula untuk membantu mereka menumbangkan
Pemerintah Beng-tiauw!
Kini, para Lama hanya menanti tibanya saat yang suci itu, ialah pengorbanan seorang
dara kepada dewa untuk memberkahi mereka. Semua orang sudah tahu bahwa perawan
yang cantik jelita dan yang kini berada di markas, keponakan murid dari Sin Beng Lama
sendiri, dara jelita Pek Hong Ing yang akan menebus dosa ibunya mengorbankan diri
kepada dewa dengan cara seperti biasa, yaitu dibakar hidup-hidup! Akan tetapi gadis itu
baru mau menjalani upacara pengorbanan diri kalau musuhnya sudah berlutut di bawah
kakinya! Dan kini semua orang menanti datangnya saat itu.
Bukan hanya Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saja yang setiap hari
menanti-nanti munculnya Cia Keng Hong yang membawa Yap Kun Liong untuk ditukar
dengan Cia Bun Houw. Juga Hong Ing dan Bun Houw setiap hari menanti-nanti dengan penuh harap. Bagi
Hong Ing, saat kedatangan Kun Liong akan merupakan saat penentuan mati hidupnya!
Sin Beng Lama memang cerdik sekali. Untuk melakukan suatu pemberontakan terhadap
pemerintah, terutama sekali lebih dulu haruslah mencari kesan baik dari rakyat jelata,
agar dalam hati rakyat terkandung simpati terhadap, "perjuangan" mereka. Dan untuk


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, dia hampir setiap hari mengadakan sembahyangan besar di kelentengnya yang amat
luas, tentu saja disertai jamuan tanpa bayar bagi rakyat yang berkunjung dan yang
bersembahyang. Mendengar bahwa di Kelenteng Lama Jubah Merah diadakan
sembahyangan besar, berbondong-bondong rakyat dari berbagai jurusan di sekitar
daerah itu datang berkunjung. Bahkan banyak pula di antara para pengunjung yang
bermalam di halaman kelenteng untuk dapat mendengarkan khotbah Sin Beng Lama
atau kedua orang sutenya yang diadakan setiap hari, khotbah tentang kebatinan dan
sekaligus khotbah yang memburuk-burukkan Pemerintah Tibet dan bujukan-bujukan
untuk memberontak!
Pada suatu pagi, ketika para pengunjung kelenteng sedang berkumpul di halaman
mendengarkan khotbah yang dilakukan sendiri oleh Sin Beng Lama, tiba-tiba terdengar
suara berbisik di dalam markas. Sin Beng Lama menyuruh kedua orang sutenya untuk
memeriksa apa yang terjadi sedangkan dia sendiri melanjutkan khotbahnya. Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama cepat berlari melalui pintu belakang kelenteng, langsung
memasuki markas dari mana terdengar suara ribut-ribut.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
786 Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dua orang tokoh Lama Jubah Merah itu
melihat beberapa orang anak buah mereka bergelimpangan dan di tengah-tengah
kepungan para pendeta Lama berdirilah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lak
Beng Lama yang berwatak agak keras dan kasar segera berseru, "Minggir semua!" lalu
dia memasuki kepungan bersama suhengnya, Hun Beng Lama. Kini mereka berhadapan
dengan pemuda itu yang bukan lain adalah Yap Kun Liong! Melihat datangnya dua orang
pendeta Lama ini, Kun Liong segera mengenal mereka.
"Hemm, kebetulan sekali Ji-wi Losuhu (Kedua Bapak Pendeta) datang!" tegurnya dengan
nada suara tegas. "Aku datang untuk menemui tiga orang pemimpin Lama Jubah Merah,
akan tetapi tahu-tahu para pendeta di sini menyerbu dan mengeroyokku."
Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama tidak mengenal Kun Liong karena ketika mereka
dahulu menculik Hong Ing di pulau kosong, pemuda ini berkepala gundul dan pakaiannya
hanya sehelai cawat. Kini pemuda itu sudah berambut panjang dan hitam, dan biarpun
pakaiannya sederhana, namun lengkap.
"Orang muda yang lancang, siapakah kau dan apa keperluanmu mencari kami?"
"Aku bernama Yap Kun Liong dan kedatanganku adalah untuk minta kepada para
pimpinan Lama Jubah Merah agar suka membebaskan Nona Pek Hong Ing!"
Mendengar Ini, terkejutlah dua orang pendeta Lama itu dan mereka memandang lebih
teliti, kemudian saling pandang dan Lak Beng Lama berseru kepada para anak buahnya.
"Tangkap pemuda ini!"
Belasan orang pendeta Lama menyerbu dengan tangan kosong. Mereka mendengar
perintah "tangkap", maka tentu saja mereka tidak mau menggunakan senjata tajam
yang dapat membunuh pemuda ini. Namun, untuk kedua kalinya Kun Liong
menggerakkan tubuh seperti tadi ketika dia diserbu, tubuhnya berkelebatan dan
berputaran dengan kaki tangan bergerak dan berturut-turut robohlah belasan orang
pengeroyok itu!
Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan para pendeta yang lain. Segera mereka
menyerbu dan Kun Liong dikepung dan dikeroyok oleh banyak pendeta, bahkan kini Hun
Beng Lama dan Lak Beng Lama yang maklum akan kelihaian pemuda itu, sudah bergerak
menyerbu pula. Majunya dua orang pendeta Lama yang amat sakti ini membuat Kun Liong terdesak. Dia
memang hanya bermaksud membela diri dan hanya merobohkan lawan sedapat mungkin
tanpa melakukan pembunuhan. Tentu saja menghadapi serangan dua orang pendeta
Lama yang berilmu tinggi itu, dia bersikap hati-hati sekali, lebih-lebih karena masih ada
puluhan orang anggauta perkumpulan Lama Jubah Merah itu yang membantu Hun Beng
Lama dan Lak Beng Lama.
Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan markas itu, Pek Hong Ing cepat lari keluar
dan dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia melihat Yap Kun Liong
sedang dikepung dan dikeroyok banyak pendeta. Sejenak dia seperti terpesona melihat
pemuda yang menjadi kekasih pujaan hatinya itu, yang setiap saat dirindukannya dan
diharap-harapkan kedatangannya. Kini pemuda itu telah muncul, akan tetapi dikepung
dan dikeroyok. Menurutkan perasaannya, ingin dia ikut mengamuk dan membantu
kekasihnya. Namun dia teringat betapa liciknya para pendeta Lama itu. Kalau dia maju,
tentu mereka akan menangkap dia dan menggunakan dia untuk memaksa Kun Liong
menyerahkan diri. Teringat akan ini, dia lalu cepat-cepat masuk lari ke dalam dan
langsung dia memasuki kamar hukuman ayahnya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
787 "Ayah... tolonglah aku...!" Dia berlutut memeluk ayahnya dengan muka pucat dan napas
terengah-engah.
Bun Houw yang sedang duduk bersila melatih diri bersamadhi seperti yang diajarkan
gurunya, membuka mata dan terkejut melihat keadaan sucinya. Akan tetapi dia tidak
berani membuka suara, hanya memandang kepada gurunya. Kok Beng Lama juga
membuka matanya, sejenak memandang heran kepada puterinya, lalu bertanya, "Hong
Ing, apakah yang terjadi?"
"Ayah..." dengan suara terisak Hong Ing berkata. "Lekas Ayah menolongnya...! Yap Kun
Liong telah datang dan dikeroyok oleh kedua orang Susiok dan puluhan orang pendeta...!
Lekaslah Ayah...!"
Namun Kok Beng Lama tidak bergerak. "Hemmm... salahnya sendiri kalau datang ke sini
dan dikeroyok, tidak ada urusannya dengan pinceng."
"Ayah, akulah yang salah! Akulah yang menyebabkan semua itu. Ayah, aku mencinta
Kun Liong dan dia mencintaku. Kami saling mencinta, karena itu... aku telah mencari
akal untuk memancing Kun Liong ke sini. Aku membohongi para Susiok, aku bilang
bahwa aku bersedia mengorbankan diri kepada dewa untuk menebus dosa ibuku, asal
mereka dapat mendatangkan Yap Kun Liong. Karena tidak bertemu dengan Kun Liong,
para Susiok membawa Adik Bun Houw ke sini dengan pesan agar orang tua anak ini
mengantarkan Kun Liong ke sini untuk ditukar dengan Bun Houw. Ayah... semua itu
kulakukan demi cintaku kepada Kun Liong. Aku ingin pergi dari sini, ingin ikut dia, hidup
bersama dia. Tapi dia... dia dikeroyok di luar. Ayah, tolonglah aku, bantulah dia... hu-
huuuuh!" Hong Ing menangis, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan kekasihnya.
Dia tahu akan kelihaian kekasihnya itu, namun membayangkan kesaktian para susioknya
dan banyaknya para pendeta yang mengeroyok, tentu saja hatinya gelisah sekali.
"Hemmm...!" Kok Beng Lama mengeluarkan suara dari dalam rongga perutnya yang
tertahan di kerongkongan, sampai lama dia diam saja. Setelah Hong Ing sambil
menangis berkali-kali membujuknya, akhirnya dia mendorong tubuh puterinya sehingga
tubuh Hong Ing terpental ke belakang.
"Tidak! Kauminta agar ayahmu menjadi seorang hina dina yang melanggar janji" Tidak,
lebih baik kau menyuruh aku mati! Anak tidak berbakti, kau berani minta ayahmu
melakukan hal yang hina itu?" Setelah membentak demikian, kakek ini sudah
memejamkan matanya kembali dengan alis berkerut.
"Ayaaaahhh...!" Hong Ing menjerit dan pada saat itu, di luar terdengar suara makin
berisik, tanda bahwa jumlah para pengeroyok bertambah banyak dan makin gelisah hati
Hong Ing. Dia menubruk lagi ayahnya dengan nekat sambil menangis. "Ayah, aku tidak
minta Ayah melanggar janji. Hanya tolonglah dia, tolonglah Kun Liong yang dikeroyok...
kalau sampai dia mati, aku pun akan mati di depan kakimu, Ayah!"
Sampai berkali-kali Hong Ing mengulangi kata-katanya sambil menangis, dan akhirnya
kakek itu membuka mata dan mengangguk. "Memang lebih baik mati daripada hidup
dalam hina melanggar janji. Pergilah!"
Sikap dan kata-kata ayahnya ini tiba-tiba membuat Hong Ing timbul semangat dan
kenekatannya. Memang sebelum bertemu dengan ayahnya, dia hidup di dalam dunia
tanpa mengandalkan siapapun juga, maka terasalah olehnya betapa sikapnya tadi amat
lemah dan manja. "Baik, Ayah! Aku akan mati bersama Kun Liong, akan tetapi bukan
karena tidak hendak melanggar janji terhadap para Susiok yang palsu itu! Aku akan
melawan mereka sampai mati!" Dengan isak tertahan Hong Ing lalu berlari keluar dari
dalam kamar hukuman.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
788 "Suci...!" Bun Houw berteriak memanggil namun Hong Ing tidak menengok lagi.
Sementara itu, di luar markas terjadi pertempuran yang amat hebat. Kun Liong masih
dapat mempertahankan dirinya biarpun kini Hun Beng Lama yang menggunakan senjata
tasbih dan Lak Beng Lama yang bertongkat mengurung dan mendesaknya, dibantu oleh
banyak sekali pendeta Lama yang berjubah merah. Yang membuat kepala Kun Liong
terasa pening adalah persamaan pakaian para pengeroyoknya itu sehingga sukar
baginya untuk membedakan orangnya. Hal ini membuat dia seringkali terkena hantaman
tasbih atau tongkat di tangan kedua orang pendeta Lama yang lihai itu. Untung bahwa
sin-kangnya memang amat tinggi tingkatnya sehingga dengan perlindungan tenaga sakti
ini, tubuh yang kena dihantam dua senjata itu tidak mengalami luka. Bagaikan seekor
jangkerik yang dikeroyok banyak semut, Kun Liong mengamuk, kaki tangannya bergerak
dan siapa saja, kecuali dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu, yang terkena sentuhan
kedua tangan atau kakinya tentu terlempar jauh ke belakang.
"Kun Liong jangan khawatir, aku membantumu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring
dan muncullah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki gagah yang datang
menyerbu dengan pedang mereka. Dengan beberapa gebrakan saja dua orang yang
datang membantu Kun Liong ini sudah berhasil merobohkan dua orang pendeta Lama.
"Hwi Sian...!" Kun Liong terkejut bukan main ketika mengenal wanita cantik yang
membantunya. "Tan-twako...!" Dia mengenal pula Tan Swi Bu, bekas suheng dari Hwi
Sian yang telah meniadi suami wanita itu. "Mundurlah, pergilah dan jangan mencampuri
urusanku...!" Teriaknya dengan suara penuh kekhawatiran karena dia maklum betapa
lihainya para pendeta Lama Jubah Merah ini, sama sekali bukanlah lawan kedua orang
suami isteri itu. Betapa pun, melihat Hwi Sian, ulu hatinya seperti tertusuk sesuatu dan
dia merasa terharu.
"Kun Liong, aku... girang dapat membantumu... tranggg...!" Hwi Sian menangkis
datangnya sambaran sebatang golok dengan pedangnya lalu melanjutkan pedangnya
menusuk yang dapat ditangkis pula oleh lawannya.
"Yap-taihiap, mari kita basmi para pemberontak ini!" Tan Swi Bu juga berseru dan
mendengar seruan ini, para pendeta menjadi kaget bukan main. Maklumlah mereka
bahwa rahasia mereka telah diketahui orang dan tentu dua orang laki-laki dan
perempuan yang baru datang ini adalah mata-mata pemerintah.
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mata-mata!"
Teriakan-teriakan ini disusul dengan menyerbunya banyak pendeta mengepung Hwi Sian
dan Tan Swi Bu yang memutar pedang mereka dan mengamuk penuh semangat. Seperti
telah diceritakan oleh Poa Su It kepada Kun Liong, suami isteri murid pendekar Secuan
Gak Liong ini telah melaksanakan tugas mereka menyelidiki perkumpulan Agama Lama
Jubah Merah yang dikabarkan hendak memberontak itu, mentaati perintah dari susiok-
couw mereka, yaitu Panglima Besar The Hoo. Mereka menyamar sebagai orang-orang
yang datang hendak bersembahyang dan setiap hari mereka melakukan penyelidikan
sehingga akhirnya mereka dapat mengetahui tentang gerakan Lama Jubah Merah yang
sudah mempersiapkan dan melatih pasukan-pasukannya, dan juga kontak mereka
dengan pihak Pek-lian-kauw yang kini banyak pula berkumpul di luar markas, ikut
melatih para penduduk yang dapat dibujuk oleh Lama Jubah Merah. Akan tetapi pada
pagi hari itu, selagi mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dan
melaporkan hasil penyelidikan mereka, mereka mendengar ribut-ribut di dalam markas.
Dengan cerdik mereka berhasil menyelundup masuk dan dapat dibayangkan betapa
kaget hati Hwi Sian ketika melihat bahwa pemuda tampan yang kini memiliki rambut
kepala bagus itu dan yang dikeroyok oleh banyak pendeta adalah Yap Kun Liong, pria
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
789 yang tak pernah dapat dilupakannya! Maka serta merta dia mencabut pedang yang
disembunyikan di bawah bajunya dan menyerbu tanpa berunding dulu dengan suaminya!
Tentu saja Tan Swi Bu juga tidak membiarkan isterinya menempuh bahaya seorang diri
dan dia pun menyerbu mati-matian.
Melihat betapa Hwi Sian dan Swi Bu terus mengamuk dan dikepung banyak pendeta, Kun
Liong menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika dari jauh dia melihat munculnya seorang
pendeta Lama yang amat lihai, yaitu Sin Beng Lama dengan lima batang hio mengepul,
maklumlah dia bahwa bahaya besar mengancam suami isteri itu.
"Hemmm...!" Dia menggeram dengan mengerahkan tenaganya, menerima hantaman-
hantaman Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama serta lain-lain pendeta, kemudian secepat
kilat dia menangkap lengan kedua orang pendeta Lama yang lihai itu sambil
mengerahkan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!
"Auhhh...!"
"Aduhhh...!"
"Haiii..., lepaskan aku...!"
Teriakan-teriakan penuh kepanikan itu terdengar dari mulut mereka yang memukul
tubuh Kun Liong dan tangan mereka yang mengenai tubuh pemuda ini melekat tak dapat
ditarik kembali, bahkan segera mereka merasakan betapa tenaga sin-kang mereka
membanjir keluar disedot oleh tubuh pemuda itu! Karena banyaknya para pendeta yang
tadi memukul Kun Liong untuk membantu kawan, maka belasan orang pendeta,
termasuk Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama melekat pada tubuh pemuda itu dan
kedua orang Lama yang sakti itu merasa panik dan juga marah kepada anak buah
mereka sendiri. Kalau saja tidak ada anak buah mereka yang ikut-ikut memukul dan
melekat sehingga menghalangi gerakan mereka, tentu dengan tangan mereka yang
masih bebas mereka dapat mengirim pukulan maut dengan totokan-totokan ke bagian
tubuh yang lemah dari pemuda luar biasa itu.
Kun Liong yang melihat betapa Sin Beng Lama sudah menggerakkan tubuhnya meloncat
dekat Hwi Sian dan Swi Bu, cepat mengembalikan tenaga sin-kang yang tersedot
olehnya dan terkumpul menyesak di pusar, mengeluarkan bentakan nyaring dan
menggoyang tubuhnya seperti seekor harimau menghalau air dari bulu-bulu tubuhnya.
"Haaaiiiihhhh!"
Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, juga belasan orang anak buahnya, berseru kaget
dan terlempar ke arah Sin Beng Lama! Belasan orang anak buah mereka itu terlempar
dalam keadaan pingsan, sedangkan Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masih dapat
mengumpulkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tubuh mereka
itu tidak meluncur menerjang subeng mereka sendiri. Mereka berjungkir balik dan
terjatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan terhuyung-huyung. Sementara itu, Sin
Beng Lama telah membuat pedang di tangan Hwi Sian dan Swi Bu terpental jauh,
kemudian dua kali tangannya bergerak dan robohlah Hwi Sian dan suaminya. Akan tetapi
pada saat itu, belasan batang tubuh beterbangan menerjangnya dari arah Kun Liong!
"Omitohud...!" Dia berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali sehingga
belasan batang tubuh yang meluncur itu lewat di bawah kakinya lalu terbanting dan
terguling-guling ke atas tanah dalam keadaan pingsan.
"Pendeta keji...!" Kun Liong membentak dan segera dia sudah bertanding melawan Sin
Beng Lama yang amat lihai. Tampak sinar-sinar kecil berapi seperti ada banyak sekali
kunang-kunang beterbangan di sekitar tubuh Kun Liong. Diam-diam pemuda itu terkejut
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
790 juga melihat betapa lima batang hio membara itu meluncur dan menyambar-nyambar
cepat sekali ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya. Dia maklum betapa hebatnya
serangan ini, maka dia pun cepat menggerakkan kaki tangannya, mengelak, menangkis
dan baras menyerang. Karena lawan menggunakan lima batang hio yang amat luar biasa
itu, dia tidak mungkin dapat mengandalkan Thi-khi-i-beng, dan untuk mengimbangi
kecepatan lawan dia terpaksa memainkan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun dan
mempergunakan tenaga sin-kang Pek-in-ciang sehingga dari kedua telapak tangannya
mengepul uap putih yang menyambar-nyambar dahsyat.
"Yap Kun Liong menyerahlah engkau dan pinceng akan mengampunimu," kata Sin Beng
Lama. Pendeta ini diam-diam merasa kagum bukan main terhadap Kun Liong dan kalau
pemuda ini mau menyerah sehingga Hong Ing dapat mengorbankan diri kepada dewa,
kemudian pemuda ini mau membantunya, tentu merupakan tenaga bantuan yang tidak
ternilai harganya!
"Sin Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing dan aku akan pergi dari sini dengan damai!"
Kun Liong berkata pula, akan tetapi matanya melirik ke arah Hwi Sian dan Swi Bu yang
sudah rebah tak bergerak lagi. Dia tidak dapat menyatakan sakit hatinya kalau suami
isteri itu tewas, karena hal itu adalah kesalahan Hwi Sian dan suaminya sendiri, dan
mereka itu pun telah merobohkan dan membunuh beberapa orang pendeta!
"Pemuda sombong!" Sin Beng Lama berseru dan kini dia memperhebat serangannya dan
bahkan dibantu oleh Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang sudah dapat memulihkan
kembali tenaganya.
"Suheng, hati-hati terhadap Thi-khi-i-beng!" berkata Lak Beng Lama.
"Ya, dia tentu menggunakan ilmu mujijat itu!" kata pula Hun Beng Lama.
Sin Beng Lama berseru, "Jangan melewatkan bagian-bagian yang paling lemah. Serang
matanya!" Kun Liong mendongkol bukan main, akan tetapi juga sibuk karena tiga orang lawannya
itu benar-benar amat sakti, sedangkan dia amat khawatir melihat keadaan Hwi Sian yang
sudah bergerak dan mengeluarkan rintihan perlahan.
"Kun Liong... ohhh... Kun Liong...!"
Suara ini cukup menusuk perasaan hati pemuda itu. Dia mengeluarkan suara melengking
nyaring sekali dan tenaga sakti mujijat yang terkumpul di dalam tubuhnya berkat latihan
menurut ilmu dalam kitab Keng-lun Tai-pun secara tiba-tiba bekerja didorong oleh
perasaannya. Tiga orang pendeta Lama itu mengeluarkan seruan kaget dan seperti tiga
helai daun kering tertiup angin, mereka terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!
"Hwi Sian...!" Kun Liong meloncat dan menghampiri Hwi Sian, berlutut dan merangkul
leher wanita itu.
"Kun Liong...!" Hwi Sian menggerakkan lengan merangkul leher Kun Liong. "Kun Liong,


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia... suamiku... dia telah mati..."
Kun Liong menoleh dan menghela napas. Memang jelas bahwa Tan Swi Bu telah tewas,
dan wanita ini pun berada dalam keadaan payah sekali, dadanya berlubang dan seperti
terbakar. "Kun Liong... aku... aku tetap cinta padamu..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
791 Kun Liong menarik napas lagi, dua butir air mata membasahi pipinya. Dia tidak mampu
mengeluarkan suara.
"Kun Liong..." Suara itu berbisik. "Dengarlah..." Terpaksa Kun Liong mendekatkan
telinganya ke dekat mulut yang amat dikaguminya itu, mulut yang bentuknya amat
indah dan selalu menjadi daya tarik utama dari kecantikan Hwi Sian. "Aku akan mati...
dan kaupelihara baik-baik anak itu... kutitipkan di Kuil Kwan-im-bio di kaki bukit, tanya
Suheng Poa Su It..."
"Plak-plakk...!" Tanpa menoleh Kun Liong mengangkat tangan kirinya dan dua kali dia
menangkis datangnya dua batang golok yang menyambarnya dari belakang. Golok-golok
itu terpental dari tangan pemegangnya dan dua orang pendeta Lama meloncat ke
belakang, memegangi tangan yang terasa panas!
"Anakmu...?" Kun Liong bertanya.
Mata itu bersinar-sinar memandang wajahnya, dan bibir yang masih merah membasah
itu tersenyum sehingga nampak sebagian gigi berkilat putih. "Kini aku... dapat membuka
rahasia... dia... dia anak kita, Kun Liong... rawatlah dan... selamat tinggal..."
Keduanya menjadi lemas seketika. Hwi Sian lemas karena tubuhnya tak bernyawa lagi,
sedangkan Kun Liong lemas lunglai mendengar pengakuan yang hebat dan di luar
dugaannya itu. Hwi Sian meninggalkan seorang anak, anak mereka! Anak Hwi Slan dan
dia! Betapa mungkin ini" Hubungan yang dahulu itu... di kuil tua itu... menghasilkan
keturunan"
"Tidak mungkin!" Dia meletakkan tubuh Hwi Sian ke atas tanah dan meloncat berdiri,
matanya merah. "Wuttt-wuuuttt... desss! Aughhh...!" Lak Beng Lama berteriak keras karena kini
tongkatnya yang menyambar bertemu dengan tangkisan yang dilakukan dengan tenaga
mujijat sedemikian dahsyatnya sehingga tidak hanya tongkatnya yang terpental, juga
tubuhnya terasa seperti disambar petir!
Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama cepat menyerang dan kembali Kun Liong dikeroyok
dan didesak hebat. Pemuda ini melawan dengan pandang mata masih termenung, dan
dengan dua butir air mata membasahi pipinya. Pikirannya masih penuh dengan
pengakuan Hwi Sian. Anak Hwi Sian, anaknya!
"Siuttt... cussss... dukk!" Dia terhuyung ke belakang. Ketika nyaris lehernya tertusuk hio
membara dan dia mengelak sambil membuang diri ke belakang tadi, tasbih di tangan
Hun Beng Lama menyambar lambungnya dengan tepat, membuat dia terpelanting ke
belakang. Tentu saja kedua orang pendeta Lama itu tidak menyia-nyiakan kesempatan
ini, terus mendesak maju, Kun Liong menggoyangkan kepalanya untuk mengusir suara
Hwi Sian yang masih mengiang-ngiang mengikuti telinganya, agar dia dapat
memusatkan perhatian menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu.
"Kun Liong...!"
Untuk kedua kalinya selama beberapa menit itu jantung Kun Liong terguncang hebat. Dia
cepat meloncat ke belakang dan melihat dara yang dirindukannya selama ini, Pek Hong
Ing, meronta-ronta dalam pegangan Lak Beng Lama! Cepat dia mengerahkan tenaganya
dan tubuhnya melayang ke arah Lak Beng Lama.
"Mundur! Kalau tidak, kubunuh dia!" Lak Beng Lama berseru, tongkatnya menempel di
ubun-ubun kepala Hong Ing.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
792 Kun Liong mundur dengan muka pucat. "Hong Ing... Hong Ing...!" bibirnya berbisik.
"Kun Liong, lawanlah! Lawan dan bunuhlah mereka yang keji dan jahat! Jangan
pedulikan diriku!" Hong Ing berkata sambil menangis.
"Tidak! Sam-wi Lo"suhu (Tiga Bapak Pendeta), dengarlah! Aku menyerah asal Sam-wi
Lo-suhu tidak mengganggu Hong Ing!"
"Omitohud, bagus kalau begitu. Berlututlah!" Sin Beng Lama berseru sambil
menghampiri Kun Liong.
"Kun Liong, jangan...!" Hong Ing menjerit akan tetapi karena mengkhawatirkan keadaan
kekasihnya, Kun Liong sudah maju berlutut di depan Sin Beng Lama. Kakek ini
mengeluarkan segulung tali hitam, lalu dibantu oleh Hun Beng Lama dia membelenggu
kedua pergelangan tangan Kun Liong di belakang tubuhnya. Tali hitam itu bukanlah
sembarang tali, melainkan terbuat dari bulu biruang hitam yang hanya terdapat di
pegunungan yang sunyi dari daerah Tibet. Bulu binatang ini amat kuat, tidak mungkin
dibacok putus oleh senjata pusaka yang mana pun. Orang hanya dapat membunuh
biruang hitam itu dengan jalan menusuknya, sehingga senjata runcing menyusup di
antara bulu kuat itu melukai tubuh. Kalau dibacok, jangan harap dapat melukai binatang
itu. Akan tetapi tentu saja ada kelemahan bulu itu bagi yang mengerti. Kun Liong
membiarkan kedua tangannya dibelenggu tanpa mengadakan perlawanan.
"Hong Ing, jangan melawan, menurutlah saja. Kurasa para Losuhu ini tidak akan berniat
buruk." "Omitohud, sama sekali tidak, Yap-taihiap. Engkau sungguh gagah dan kami bukanlah
orang-orang yang tidak menghargai orang pandai. Kami ingin sekali bersahabat dengan
Taihiap." Sin Beng Lama berkata den halus penuh bujukan.
Akan tetapi dengan sinar mata tajam dan suara tegas, Kun Liong kepada ketua para
Lama Jubah Merah itu dan berkata, "Losuhu, aku menyerah bukan karena ingin
bersahabat dengan Losuhu sekalian, melainkan karena Losuhu berjanji tidak akan
mengganggu Hong Ing. Sekarang, setelah aku menyerah, harap lekas bebaskan Hong
Ing dan lakukan apa saja yang Losuhu sukai terhadap diriku."
"Kun Liong...!" Hong Ing yang sudah dilepas oleh Lak Beng Lama karena pemuda lihai itu
telah dibelenggu, cepat lari menubruk pemuda itu, merangkulnya sambil menangis.
"Kun Liong... oh, Kun Liong...!" Hong Ing hanya dapat meratap karena hatinya menyesak
oleh perasaan terharu. Seturuh kerinduan hatinya menyesak di dada, kegirangan melihat
pemuda ini kembali bercampur dengan kekhawatiran melihat kekasihnya menyerah dan
dibelenggu. Dia merangkul memeluk, mendekapkan mukanya yang basah oleh air mata
itu di pipi, leher, dan dada Kun Liong yang menunduk dan mencoba meredakan hati
kekasihnya. "Tenanglah, Hong Ing. tenanglah..."
Akan tetapi mana mungkin hati Hong Ing dapat ditenangkan kalau dia teringat bahwa
dia akan dikorbankan kepada dewa di depan mata Kun Liong seperti yang telah
dijanjikannya kepada Sin Beng Lama" Siasatnya memang berhasil membawa Kun Liong
menyusulnya ke tempat ini, akan tetapi kesudahannya sama sekali berbeda dengan yang
dikehendakinya. Dia mengharapkan kedatangan Kun Liong bersama Cia Keng Hong
untuk melawan para pendeta Lama itu dan membebaskan dia dan ayahnya, akan tetapi
hasilnya jauh berlainan. Ayahnya tidak mau membantu, dan Kun Liong menyerah untuk
melindunginya! Bagaimana dia dapat tenang menghadapi malapetaka ini"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
793 "Mundurlah kau!" Lak Beng Lama menarik lengan Hong Ing sehingga terlepas dari
rangkulan pada leher Kun Liong.
"Hong Ing, sekarang Yap-taihiap sudah datang, kau harus memenuhi janjimu." Sin Beng
Lama berkata, suaranya halus akan tetapi nadanya mengandung paksaan dan ancaman.
Dengan kedua mata masih basah Hong Ing memandang kepada Kun Liong yang masih
berdiri tegak dengan lengan terikat ke belakang. Pemuda itu memandangnya dengan
tenang dan bibirnya tersenyum seperti hendak menghibur dan membesarkan hatinya.
Maklumlah dara ini bahwa siasatnya telah gagal sama sekali, bahkan dia telah menyeret
Kun Liong ke dalam bahaya maut. Dia tahu pula akan kepalsuan hati para paman
gurunya, maka dia khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya itu.
"Susiok, aku hanya mau berkorban diri kalau Susiok bertiga suka berjanji takkan
membunuh Yap Kun Liong."
"Hong Ing, apa maksudmu berkorban diri?" Kun Liong bertanya dengan tiba-tiba dan
hatinya berdebar tegang.
Akan tetapi Hong Ing menundukkan mukanya tidak berani menjawab. Kalau dia bicara
terus terang, tentu Kun Liong akan marah-marah kepada para pendeta dan
memberontak. Dalam keadaan sudah terbelenggu seperti itu, hasilnya tentu akan sia-sia,
bahkan akan membahayakan keselamatannya, maka dia diam saja, bahkan mendesak
Sin Beng Lama. "Sin Beng Susiok, bagaimana" Tanpa janji Sam-wi untuk membebaskan Kun Liong
segera setelah saya berkorban, saya tidak akan mau dan saya akan membunuh diri
kalau dipaksa!"
Tanpa ragu-ragu lagi Sin Beng Lama berkata, "Kami berjanji! Kami akan segera
membebaskan Yap Kun Liong setelah kau selesai berkorban diri untuk dewa."
Hong Ing menoleh kepada Kun Liong, menarik napas panjang dan terisak, lalu menunduk
dan berkata, "Kalau begitu, saya bersedia."
Sin Beng Lama merasa girang sekali. "Hayo kauikut denganku untuk menghafal doa
penyeberangan ke kahyangan! Sute berdua, harap bawa Yap-taihiap ke kamar tamu dan
menjaganya baik-baik." Kakek ini lalu menggandeng lengan Hong Ing, dituntunnya gadis
ini pergi dari situ masuk ke dalam.
"Hong Ing...! Losuhu, nanti dulu! Hong Ing, jelaskan kepadaku apa artinya ini semua!
Apa artinya pengorbanan itu!" teriak Kun Liong.
Akan tetapi Hong Ing yang memandang kepadanya, hanya menggeleng kepala dan air
matanya bercucuran, kemudian dengan cepat dia mengikuti Sin Beng Lama berjalan
masuk. Kun Liong hendak mengejar, akan tetapi Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama
memegang kedua lengannya dari kanan kiri, Hun Beng Lama berkata, "Harap kau tidak
memberontak. Kaulihat sendiri bahwa kami tidak melakukan paksaan kepada Pek Hong
Ing. Dia melakukan segala sesuatu dengan suka rela atas kehendaknya sendiri, semoga
para dewa melindunginya."
Kun Liong terpaksa menahan kemarahannya. Ketika dia digiring masuk, dia melirik ke
arah mayat-mayat di sekeliling tempat itu dan melihat mayat Hwi Sian dan suaminya,
dia memejamkan kedua matanya. "Hwi Sian, kauampunkan aku..." bisik hatinya. Betapa
hidupnya yang lalu bergelimang kepalsuan dan dosa, dan bahkan saat ini pun dia tidak
berdaya menolong Hong Ing. Ingin dia meronta dan memberontak, namun dia menekan
kemarahannya. Hal ini tidak mungkin ia lakukan selama Hong Ing masih berada di
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
794 tangan mereka. Dia harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya untuk
menentukan sikap.
Sementara itu, dengan hati penuh harapan, penuh kegirangan, karena dia merasa yakin
bahwa kalau Pek Hong Ing, keturunan Pek Cu Sian yang pernah membikin murka dan
kecewa kepada dewa itu dengan suka rela mengorbankan diri menjadi "mempelai dewa"
tentu para dewa akan memberkahi dan melindungi Lama Jubah Merah dan membantu
mereka dalam "perjuangan" mereka yang suci, Sin Beng Lama menuntun Pek Hong ing
ke dalam ruangan sembahyang untuk mengajarkan doa-doa yang harus diucapkannya
ketika pengorbanan dilaksanakan.
Sebagai seorang dara yang sedikit banyak sudah kemasukan kepercayaan agama itu,
kepercayaan tradisi, diam-diam Hong Ing menerima nasib, bahkan dia pun
mengharapkan bahwa pengorbanan dirinya selain akan menebus dosa mendiang ibunya,
juga akan dapat membebaskan orang yang dicintanya, yaitu Yap Kun Liong, dan
membebaskan pula ayahnya dari segala dosa! Dia benar-benar hendak berkorban secara
suka rela, demi mereka bertiga itu, terutama sekali demi kebebasan Kun Liong. Maka dia
pun menahan kedukaan hatinya dan menghafalkan doa-doa itu dengan tekun tanpa
banyak membantah lagi. Hal ini makin menggirangkan hati Sin Beng Lama yang
menganggap bahwa dewa telah memilih dara ini maka telah menurunkan kegaiban dan
mempengaruhi hati dara itu!
Selama tiga hari Kun Liong menjadi tamu yang terbelenggu! Dia diperlakukan dengan
baik dan dengan ilmunya melemaskan tubuh Sia-kut-hoat yang telah mencapai tingkat
tinggi sekali, dia telah berhasil memindahkan kedua lengannya yang terikat di belakang
tubuhnya itu kini menjadi berada di depan tubuhnya!
Bagi seorang ahli seperti Kun Liong, tidaklah sukar untuk menurunkan kedua tangan
yang terbelenggu di belakang itu melalui bawah pinggulnya, menarik kedua kakinya dan
membiarkan belenggu kedua tangan itu terus melalui bawah kedua kakinya yang ditekuk
ke atas sehingga kini kedua tangannya berada di depan tubuh, biarpun masih dalam
keadaan terbelenggu kedua pergelangan tangannya.
Melihat hal ini, Hun Beng Lama hanya memandang kagum, namun mereka merasa lega
bahwa pemuda itu tidak dapat mematahkan belenggu. Dengan kedua tangan kini berada
di depan, Kun Liong dapat makan dengan mudah dan tidak merasa terlalu tersiksa lagi.
Tubuhnya tidak merasa tersiksa, akan tetapi batinnya amat gelisah. Beberapa kali dia
membujuk kedua orang pendeta Lama itu untuk menceritakan apa yang telah terjadi,
dan apa yang hendak dilakukan oleh Hong Ing. Namun kedua orang itu hanya
menjawab, "Harap Tai-hiap bersabar karena Tai-hiap akan menyaksikan dengan mata
sendiri apa yang akan dilakukan oleh murid keponakan kami itu. Karena itulah maka Tai-
hiap ditahan di sini, agar dapat menyaksikan. Setelah selesai upacara pengorbanan itu,
kami pasti akan membebaskan Tai-hiap."
Pada hari ke tiga itu, di halaman belakang markas Lama Jubah Merah telah dibangun
sebuah tempat pembakaran yang berupa sebuah panggung kecil dari kayu. Di tengah
panggung terdapat sebatang tiang dan di sekeliling tiang ini ditumpuk
kayu-kayu yang mudah terbakar. Sebuah meja sembahyang besar telah disiapkan dan di
atas meja itu dihidangkan lengkap segala keperluan sembahyang, dan banyak lilin
dinyalakan. Tempat itu penuh dengan para anggauta Lama Jubah Merah yang sudah
berkumpul di sekeliling tempat pembakaran. Mereka duduk bersila di atas tanah
sehingga kelihatan seperti bunga-bunga besar berwarna merah karena mereka semua
mengenakan jubah merah mereka. Dengan penuh khidmat para pimpinan yang terdiri
dari Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dibantu oleh para Lama lain
yang tinggi tingkatnya, mengatur meja sembahyang.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
795 Tak lama kemudian muncullah Pek Hong Ing, berjalan perlahan-lahan, diikuti dengan
sikap penuh hormat oleh para Lama dan disambut sambil membungkuk-bungkuk oleh
Sin Beng Lama sendiri yang bersikap seperti seorang pendeta menyambut datangnya
tamu agung, dalam hal ini pengantin agung! Semua mata para pendeta, yang telah
bertahun-tahun bertapa dan berpuasa terhadap nafsu, terutama sekali nafsu berahi, kini
memandang penuh gairah. Bagi pandang mata mereka, Pek Hong Ing bukan lagi
manusia, melainkan seorang dewi, seorang calon isteri dewa, karena itu memiliki
kecantikan agung, bukan kecantikan jasmaniah belaka yang kasar, kotor dan hanya
sedalam kulit! Mereka yakin bahwa kelak, di alam baka, mereka akan bersahabat dengan
wanita-wanita seperti ini!
Memang pada saat itu, melihat Pek Hong Ing akan menimbulkan rasa takjub, hormat dan
kagum. Dara ini telah dirias dengan teliti, kelihatan cantik tapi agung sekali, tidak seperti
seorang dara dari darah daging lagi, melainkan sepatutnya telah menjadi seorang
bidadari dari kahyangan! Wajahnya yang putih halus itu seolah-olah bersinar, pandang
matanya meremang jauh, menembus segala sesuatu di depannya, langkahnya lembut
dan agung, kepalanya tegak, tubuhnya lurus
dan lenggangnya lemah gemelai. Rambutnya yang mengkilap bersih karena sudah dicuci
secara istimewa, hitam subur dan panjang digelung ke atas seperti gelung rambut para
dewi dalam dongeng, dihias ratna mutu manikam, gemerlapan tertimpa cahaya matahari
pagi. Seluruh pakaian dara itu, sampal ke sepatunya, berwarna putih bersih, dari sutera
termahal, sutera yang amat halus sehingga seolah-olah terbayang lekuk lengkung
tubuhnya di balik pakaian putih itu. Warna pakaian yang putih bersih ini kelihatan makin
mencolok karena dilatarbelakangi warna merah darah dari jubah merah yang
dikenakannya. Banyak di antara para pendeta Lama yang hadir di situ memandang
bengong, ada yang tanpa disadarinya berlinang air mata, ada pula yang beberapa kali
meneguk air liurnya sendiri, ada pula yang langsung merangkap kedua tangan ke depan
dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk memuja para dewata dan
mohon kekuatan bagi batinnya yang terguncang hebat.
Dengan langkah-langkah yang sudah teratur dan terlatih, Hong Ing menghampiri Sin
Beng Lama dan membalas penghormatan kakek ini, menerima hio dan bersembahyang
di depan meja sembahyang, berlutut dan membungkuk sampai dahinya yang halus
menempel pada permadani yang dibentang di situ, semua gerak-geriknya diikuti oleh
mata para pendeta dengan seksama. Setelah selesai bersembahyang, Hong Ing lalu
melangkah meninggalkan meja sembahyang, diikuti oleh suara tambur yang sejak tadi
dipukul lambat-lambat mengikuti gerakan "pengantin puteri" ini, lalu langsung
melangkah menaiki anak tangga ke atas panggung, diikuti oleh Sin Beng Lama, Hun
Beng Lama dan Lak Beng Lama. Tiga orang pendeta ini membawa bunga yang dirangkai
menjadi tali yang amat panjang, kemudian, setelah Hong Ing berdiri membelakangi tiang
sampai punggung menempel pada tiang, menghadap ke meja sembahyang, tiga orang
pendeta itu sambil membaca doa lalu melibat-libatkan tali kembang itu ke seluruh tubuh
Hong Ing. Kembang-kembang itu dirangkai dengan menggunakan tali yang kuat dan
tahan api, dan hal ini dilakukan untuk menjaga agar sang mempelai akan tetap berdiri
ketika dilakukan pembakaran nanti, tetap berdiri dan habis terbakar dalam sikap yang
agung. Setelah selesai mengikat Hong Ing pada tiang itu, mereka bertiga turun lalu dimulailah
upacara sembahyang dan membaca doa sebelum pembakaran dilakukan.
Dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati para pendeta itu, dipimpin oleh Sin Beng
Lama, bersembahyang dan berdoa dan seluruh panca indria, seluruh perasaan dan
perhatian mereka tujukan kepada dewa di langit!
Semenjak kecil, kita manusia telah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh agama,
oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan daripada kepercayaan-
kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi. Jalan pikiran kita tidak lagi bebas


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
796 karena sudah digariskan dan ditentukan oleh kepercayaan yang ditanamkan kepada kita
sejak kecil, sesuai dengan masyarakat dan lingkungan masing-masing. Oleh karena itu,
kita tidak mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup
melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk
pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku yang
juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan kita.
Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidaklah
wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita. Segala yang kita
lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan kita adalah palsu dan tidak
wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan semua kepalsuan itu telah kita terima
sebagai cara hidup kita yang wajar! Kepalsuan dianggap kewajaran, itulah pelajaran
kebudayaan kita.
Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang hanya bergerak
menurut garis yang sudah ditentukan lebih dulu. Mereka tidak mau menyelidiki dan
mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena yang terpenting bagi mereka,
seperti bagi kita pada umumnya, adalah tujuan daripada perbuatan mereka.
Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan untuk
mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata demi
sembahyang itu sendiri, melainkan bagi tercapainya yang mereka tuju sebagai hasil dari
sembahyang itu. Mereka menghadapi "perjuangan" menumbangkan Pemerintah Tibet,
maka mereka melakukan upacara pengorbanan dan sembahyang dengan segala
kesungguhan hati, bukan demi upacara itu sendiri, melainkan demi terkabulnya harapan
dan cita-cita mereka. Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi
cara atau jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu
kemenangan dalam "perjuangan" itu, melalui berkah para dewa yang mereka sembah-
sembah. Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan mengatakan
bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita sendiri pun sesungguhnya
tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita membalikkan pandangan mata kita untuk
memandang dan meneliti, untuk mengenal keadaan diri sendiri! Kalau kita
bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja
yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk
oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-
masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita" Mari kita menengok diri sendiri.
Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-
masing, "Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah
SAYA," atau di dalam kelompok kita berdoa, "Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah
kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI", dan selanjutnya
lagi" Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata
ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah
ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah" Ataukah hanya
merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata" Dengan cara demikian, Tuhan
tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan
seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala
keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh
kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan
kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepurapuraan dan kemunafikan
yang palsu" Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun
perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu
adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan
atau kesenangan diri pribadi!
Ini sudah jelas dan nyata, bukan" Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA
KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
797 menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada
kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang
dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah
merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.
Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan,
kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan pikiran kita. Dengan
memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan setelah bebas dari
semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya takkan
menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar
karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku,
tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak
mungkin ada cinta kasih.
Baru saja upacara sembahyang selesai, Sin Beng Lama berkata kepada dua orang
sutenya, "Jemput Yap Kun Liong ke sini!"
Dua orang pendeta Lama itu bergegas masuk ke dalam markas dan memasuki kamar di
mana Kun Liong duduk menanti dengan tenang, dijaga oleh dua losin orang pendeta
Lama Jubah Merah. Melihat Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masuk, Kun Liong
berkata, "Ji-wi berjanji akan mempertemukan aku dengan Pek Hong Ing pagi ini."
"Marilah, dia sudah menanti sejak tadi. Upacara sembahyang telah dilakukan, dan kini
tinggal menanti kehadiranmu untuk segera melaksanakan upacara pengorbanan," kata
Hun Beng Lama dengan sikap serius.
"Pengorbanan..." Hong Ing...?" Kun Liong bangkit berdiri dan bertanya dengan penuh
ketegangan. Hun Beng Lama tersenyum dan memegang siku kanan Kun Liong sedangkan Lak Beng
Lama memegang siku kirinya. "Marilah, Tai-hiap, kau menyaksikan sendiri dan melihat
bahwa kami sama sekali tidak melakukan pemaksaan kepada Hong Ing."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Kun Liong mengikuti dua orang pendeta
Lama ini menuju ke belakang markas dan dia merasa makin gelisah dan tegang melihat
banyaknya pendeta yang berkumpul di halaman belakang itu. Sementara itu, di dalam
kamar hukuman di mana Kok Beng Lama duduk bersila, Bun Houw berlutut di depan
kakek itu sambil menangis. "Suhu...! Suhu...! Kenapa Suhu selama tiga hari tidak mau
mendengarkan permintaan teecu (murid)?" Bun Houw berteriak sambil menyusut air
matanya. "Terjadi banyak hal luar biasa. Suheng Yap Kun Liong telah datang dan dia
ditangkap oleh para Susiok dan dimasukkan kamar tahanan. Teecu sama sekali tidak
boleh mendekat, bahkan diancam akan dipukul kalau teecu mendekati kamar itu. Juga
Suci Hong Ing selalu berada di kamar sembahyang, tidak boleh teecu dekati. Suhu,
semua itu telah terjadi dan Suhu tidak ambil pusing."
Kok Beng Lama termenung, kemudian membuka mata dan menunduk, menatap wajah
muridnya yang masih kecil itu, yang kini memandang kepadanya dengan pipi basah air
mata. Dia tersenyum lebar. "Bun Houw, engkau muridku penuh semangat, akan tetapi
engkau masih kanak-kanak. Engkau tidak tahu bahwa hidup ini baru berharga kalau kita
menjaga kehormatan, dan kehormatan baru terjaga kalau kita selalu menyatukan kata-
kata dan perbuatan. Pinceng (aku) telah berjanji tidak akan memberontak, mana
mungkin engkau. minta pinceng mencampuri urusan para suteku itu?"
"Tapi, Suhu..."
"Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Pergilah dan latih pelajaranmu," kakek itu
menghardik. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
798 Tiba-tiba Bun Houw yang mengusap air matanya itu berkata, suaranya penuh
kemarahan, "Aku malu menjadi muridmu!"
Kata-kata ini mengejutkan Kok Beng Lama dan kakek ini membuka lagi matanya,
memandang wajah yang kini merah dan penuh kemarahan, sepasang mata kecil yang
berapi-api ditujukan kepadanya itu.
"Apa... apa katamu?" tanyanya penuh keheranan karena selama ini Bun Houw
memperlihatkan sikap hormat, penuh sayang, dan penurut kepadanya.
"Aku bilang bahwa aku malu menjadi muridmu! Suhu mengecewakan hati, Suhu bukan
seorang laki-laki gagah seperti yang kuduga! Suhu pengecut!"
Kalau saja tidak ingat bahwa yang bicara adalah seorang anak kecil yang sudah diambil
sebagai muridnya, tentu sekali menggerakkan tangan Kok Beng Lama akan membunuh
orang yang memakinya pengecut itu! Matanya terbelalak lebar dan telinganya
mendengarkan kata-kata anak kecil itu yang terus menyerangnya!
"Suhu lebih percaya kepada para Susiok yang jahat itu daripada kepadaku! Suhu bilang
memegang janji, akan tetapi apakah mereka juga memegang janji" Tahukah Suhu
bahwa sekarang ini, seperti yang kuintai tadi, Suci sedang menghadapi ancaman maut,
akan dibakar hidup-hidup" Akan tetapi Suhu tidak mau menolong. Suhu takut dan
pengecut...!" Bun Houw tidak menangis lagi, dan kini sudah bangkit berdiri, telunjuk
kanannya menuding-nuding ke arah muka kakek itu.
"Kau bohong...!" Kok Beng Lama membentak ketika mendengar cerita Bun Houw bahwa
puterinya hendak dibakar hidup-hidup!
"Suhu lihat sendiri! Kalau saya bohong masib belum terlambat untuk menghukum saya.
Suhu boleh bunuh saya." Anak itu menjawab tegas.
Pada saat itu, terdengarlah suara hiruk pikuk di bagian belakang markas, seperti
kegaduhan orang-orang yang bertempur, dan di antara suara hiruk pikuk itu
pendengaran Kok Beng Lama yang amat tajam menangkap jeritan suara puterinya! Dia
mendengus, dan tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu, tiba-tiba berkelebat dan
seperti terbang cepatnya dia sudah melompat keluar dari kamar itu dan terus berlari ke
belakang! Apa yang disaksikannya di halaman belakang markas itu membuat dia terkejut bukan
main! Puterinya, dengan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis yang menjadi mempelai
dewa, telah berdiri di panggung dengan tubuh berbelit-belit rangkaian bunga dan api di
bawah panggung sudah mulai dinyalakan oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak
Beng Lama! Dia melihat puterinya itu memandang ke kanan kiri dan menjerit-jerit, "Kun
Liong...! Jangan melawan... oh, Kun Liong!"
Kok Beng Lama terheran-heran. Melihat sikapnya dan keadaan di situ, agaknya
Pendekar Panji Sakti 23 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Hati Budha Tangan Berbisa 7
^