Pencarian

Petualang Asmara 6

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


nya terasa nyeri sehingga Kun Liong
meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya
bertemu dengan batok kepala yang amat keras!
"Aihhh, kepala gundulmu keras juga, ya?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk
mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi
membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!
"Pukulanmu seperti tahu saja!" Dia balas mengejek dan balas pula menyerang, akan
tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangannya untuk
mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.
"Cih, kiranya engkau manusia cabul!" Giok Keng mengelak.
"Cabul hidungmu!" Kiin Liong makin marah. "Siapa yang cabul?" Dia menjadi makin
marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia
disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa"
"Gundul cabul tak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!" Giok Keng kini menyerang
dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini.
Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia.
Berarti puteri susioknya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia
Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng
begitu. "Eh, tahan dulu...! Plak!" Karena lengah, pundaknya kena dipukul membuat dia
terhuyung, akan tetapi tidak apa apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran,
maka dia menerjang lagi.
"Nanti dulu! Desss!" Kun Liong menangkis dengan keras, kini Giok Keng yang terhuyung
karena Kun Liong menggunakan sinkang. "Apakah engkau Keng?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
149 Giok Keng menghentikan scrangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut di
dahi kacau balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah
merah. "Apa Keng?" Dia membentak.
"Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu" Kau puteri Ketua Cin ling-pai?"
"Banyak cerewet! Rasakan tanganku!"
Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul
ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini
dia menggunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-
totokan yang cepat sekali. Biarpun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.
"Cusss!" Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena
ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat,
tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti kalau terkena tepat melainkan bergoyang
dan menggigil sedikit, kemudian pemuda itu sudah meloncat mundur dan berkata,
"Hemm, engkau mengajak berkelahi, ya" Aku seorang laki laki sejati, tidak mau
memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri."
"Kau laki laki apa" Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!"
"Wuussss...!!" Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang lagi dengan totokan totokan
lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus jurus San in
Kun hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari
Cia Keng Hong. Ilmu silat San in Kun hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan
tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan gerakan yang luar biasa lihainya. Kalau saja
Giok Keng sudah memiliki sin-kang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong
dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda
gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan. Namun
kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda
ini lalu mainkan jurus dari Pat hong sin kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan
dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang
dari dua jurusan, andaikata dia diserang dari delapan jurusan sekalipun, dia akan dapat
melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat hong sin kun (Silat Sakti Delapan
Penjuru Angin). Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh
lawannya, dara itu menjadi makin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk
mengejeknya, "Hayo, keluarkan Thi khi-I beng, hendak kulihat bagaimana lihainya."
"Eihhh...!!" Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya. Thi khi I beng adalah ilmu
sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau belum tentu
selamanya akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tidak boleh sembarangan dimiliki
orang yang dasarnya belum kuat benar lahir batin. Kini pemuda gundul ini menantang
Ilmu Thi khi I beng. Hati siapa tidak menjadi gemas"
"Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi khi I beng untuk melawan
manusia macam engkau!" Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi
aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah mendesak Kun
Liong dengan totokan totokan maut, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong
sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.
"Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu tahu menendang pinggul!"
"Mampuslah!"
Giok Keng sudah menubruk maju. "Ciaaattt!" Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke
arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
150 "Aihhhh...!" Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangan sudah
dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa,
dia tidak tega memukul dan kepalannya dibuka, berubah menjadi cengkeraman dan dia
berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.
"Aduhhhh... curang kau, setan!" Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan
tetapi berbareng dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil
mengerahkan tenaga.
"Dukkk!!"
Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!
Sambil bertolak pinggang berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok
Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepalanya untuk memindahkan rambutnya
yang agak awut-awutan dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak
terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.
"HEMMM, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!" Dia mengejek.
Biarpun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat
menggerakkan mulut bicara, dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau
menyerah, bahkan mengejek! "Kalau begitu, mengapa tidak kaubunuh" Hemmm, kau
tidak berani membunuhku, ya" Karena kalau kau membunuh orang yang kaucurangi
sehingga tanpa tersangka sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut
paling besar!"
"Setan gundul! Kau masib berani membuka mulut besar?"
"Mengapa tidak" Engkau seorang dara yang cantik tapi galak, behati baik akan tetapi
pura pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu berjiwa pendekar
pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina.
Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kuceritakan kepada ayah
bundamu kelak!"
Sepasang mata yang indah itu terbelalak. "Ehh..." Kau... kau siapa?"
"Ayahmu adalah Supekku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoinya."
"Apa" Engkau... engkau she Yap?"
"Tidak ada keduanya!"
"Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?"
"Hanya inilah orangnya!"
"Celaka! Kenapa kau tidak bilang sejak tadi ?" Tergopoh gopoh Giok Keng menotok
kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi.
Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka
mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. "Eh, kau jangan..."
"Namaku bukan eh!"
"Orang she Yap..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
151 "Mengapa kau sombong amat, sih" Memangnya aku penjahat sampai kau tidak sudi
menyebut namaku?"
Giok Keng membanting-banting kakinya dengan jengkel, gerakan yang ia warisi dari
ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia
selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini! Akan tetapi dia takut kalau-
kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah ibunya, terutama sekali kepada ibunya.
Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya keras dan kalau ibunya sudah marah, dia
amat takut kepada ibunya.
"Kun Liong..."
"Eh, eh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?"
"Kenapa lagi" Cerewet benar kau!"
"Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, berarti di antara kita masih
ada hubungannya."
"Hubungan apa" Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!"
"Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau bau..."
"Bau apa" Kurang ajar kau!"
"Maksudku, masih bau bau... eh, hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku
keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah"
Jadi, karena engkau masih kecil..."
"Sombong! Apa kaukira engkau ini sudah kakek kakek" Aku bukan anak kecil!"
"Kalau begitu engkau nenek nenek!"
"Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!"
"Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw
sumoi, dan aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan
kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?"
Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan
susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan
tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal
gatal untuk menampar kepada gundul licin itu!
"Baiklah, Piauw suheng!" Dia mengejek sambil membungkuk dibuat buat. "Aku minta
engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?"
Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus
dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka. "Salah siapa! Engkau
telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku.
Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau
dimarahi, mungkin dipukul!"
"Aihhh... janganlah, Piauw suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan kepada
piauw sumoimu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
152 "Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, malah minta tolong
segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?"
"Piauw suheng yang baik, kaumaafkan aku, ya" Aku tidak marah lagi kepadamu, aku
tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa
engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... eh..."
"Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu ragu?" Kun Liong menghardik sampai
Giok Keng kaget.
"Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu mendatangkan keraguan dan kecurigaan
padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, malah
pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini,
memimpin Cin-ling pai. Bayangkan saja betapa beratnya! Maka begitu melihat engkau
yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?"
Kun Liong merasa seperti dielus elus. Enak sekali rasanya, akan tetapi mulutnya tetap
diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. "Kalau aku membiarkan semua orang
menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku
akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf."
"Habis, harus bagaimana?" tanya Giok Keng penasaran. "Apakah aku harus berlutut di
depan kakimu?"
Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan kepada Hwi Sian,
yaitu agar dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Kalau
sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi
kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai
ayahnya mendengar akan hal itu! Dara ini takut kepada ibunya yang keras, tentu tidak
tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh
menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba tiba dia mendapat akal dan menjawab
sambil tersenyum. "Engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan tadi
engkau telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan
ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!"
Mata Giok Keng terbelalak lebar. "Apa..." Sudah gilakah engkau" Kalau kupukul dengan
sungguh sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali
saja cukup..."
"Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik agar ayah bundamu tahu bahwa
puteri mereka telah menyambut kedatangan piauw suhengnya dengan pukulan maut
sampai kepalanya pecah!"
"Aihhh... habis bagaimana?"
"Terserah kepadamu. Pendeknya, aku ingin kau menggunakan tanganmu menampar
kepalaku sampai tiga kali!"
Giok Keng memandang kepala itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya.
Tangannya memang gatal gatal rasanya, ingin sekali dia menampari kepala itu, akan
tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan
mendapat ampun dari ibunya. Ia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia
berkata, "Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!"
"Eeh, mana bisa" Aku tidak menangkis tidak mengelak mana bisa luput" Padahal engkau
puteri Ketua Cin ling-pai! Siapa mau percaya?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
153 "Habis bagaimana?"
"Terserah, asal menampar kepala." Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah
dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.
"Kalau pelan pelan boleh, kan?"
"Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala." Jantung Kun Liong berdebar
karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan
yang halus itu!
"Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!"
Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan
dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala
gundul itu tiga kali. "Sudah cukup tiga kali!" kata Giok Keng sambil melangkah mundur,
geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.
"Terima kasih, enak sekali!" kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.
"Pringas pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta
ditampar!"
"Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh
tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?"
"Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau
sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!"
"Wah, kau tidak percaya kepadaku" Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya" Sekarang
aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik
sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu."
"Dan aku benci kepadamu!"
"Oh, ya" Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!"
"Aku benci, terutama kepalamu."
"Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini." Kun Liong mengelus kepalanya.
Betapa dia tidak sayang" Kepalanya mendatangkan banyak "untung" jika dia bertemu
dengan dara~dara jelita!
Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, "Nah, aku pergi, Piauw-sumoi
yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?"
"Tidak sudi! Sekalipun cukuplah."
"Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan
aku?" "Tidak usah, ya!"
Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting banting
kaki saking jengkelnya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
154 Biarpun mulutnya tertawa tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara
galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus elus kepalanya oleh tangan halus itu,
namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu
kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh, dia
tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah
bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian
ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak,
apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang
seperti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci"
Akan tetapi, ke mana dia harus belajar ilmu" Kalau saja dia dapat menjadi murid
supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia
bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing!
Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas!
Dan dia anjingnya. Ha ha! Mana ada anjing gundul" Kembali dia mengelus kepalanya dan
teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu
menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi" Sudah matikah" Kata
ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil
Siauw-lim si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak
orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil
Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim pai!
Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan
tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau
tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi" Setidaknya
tentu akan singgah di Siauw lim si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para
perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si "
Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat,
kadang kadang hanya makan buah buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu
mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu
kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan
ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan
tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim
si. Menjadi murid Siauw lim pai" Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa
ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun
ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tabu bahwa dengan menyebut
dirinya "bekas murid Siauw lim pai" berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid.
Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang
telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya.
Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa
mengaku bahwa dia adalah putera mereka.
Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerhang
Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan
kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga
amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang
dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja!
"Apa" Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda" Dan untuk keperluan itu
engkau telah mendahului membuang rambutmu?" tanya kepala penjaga yang diberi
laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung
berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
155 Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, "Demikianlah, Losuhu,
sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu."
"Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena
kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup."
Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio,
berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang
yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh" Akan tetapi karena
niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk
mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan
mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai. Dia
sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah hekas suheng
ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan
jantung berdebar dia menghadap ketua ini.
Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala
penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah
seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya
tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren,
kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya
sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!
"Saudara muda, kepalamu kenapakah?"
Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati
Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga.
"Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu." Kun Liong
membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan
berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga
sia"sialah usahanya.
"Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat
membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa,
hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga
daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!"
Diam"diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis.
Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya,
urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia
dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan
kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua
Siauw-lim"pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya
atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti
itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw"lim"si ini, di dalam sebuah kamar yang
disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih
hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah
dia ingin berguru!
"Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena
banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena
secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah"olah Tuhan
sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku)
menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak
kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio.
Siapakah namamu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
156 "Teecu she Liong, bernama Kun." Kun Liong membohong.
"Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga
ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa
pekerjaan harian suruh dia bantu," kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali
sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh
lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.
Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong"ji, bekerja di dalam
Kuil Siauw"lim"si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena
dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing"pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya
tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga
dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran
tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di
dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw"lim"pai yang siang malam dijaga oleh
empat orang hwesio secara bergilir.
Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke
kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta
Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua
sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan
kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, ke dua adalah gudang pusaka yang
hanya jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu.
Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan
tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!
Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas,
kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia
telah membuang waktu sia"sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan
tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi
risikonya. Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum
mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang
sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati
orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini
mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia
untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.
Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, Kun Liong keluar dengan
hati"hati dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi temannya sekamar sudah
tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, di luar penuh kabut
sehingga malam bertambah gelap.
Karena sudah hafal akan tempat"tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke
dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar
pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang
hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai
rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga
tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu
melalui jendela yang selalu tertutup pula.
Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua
orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio
penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka" Tidak mungkin! Tertidur di
waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata
tertidur, masa dua"duanya" Tentu ada apa"apa yang tidak beres, pikirnya. Dia lalu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
157 menyelinap dengan hati"hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk
melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir
dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama
keadaannya dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak
di lantai seperti orang tidur!
Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh
menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw"lim"pai yang menyelundup masuk ke
Siauw"lim"pai" Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan
dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari
dalam. Cepat namun hati"hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai.
Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki"laki berada di dalam kamar
pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan
benda"benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.
"Maling...!" Kun Liong berteriak dan meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela
yang terbuka. Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang biarpun
mukanya ditutup sebagian dengan saputangan tampak sebagai seorang pemuda tampan,
melepaskan pula buntalannya. "Robohkan dia, hwesio cilik itu!" katanya kepada seorang
di antara mereka.
Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun
Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling"maling yang dianggapnya
berbahaya. Melihat totokan, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sin"kangnya,
menggoyang sedikit tubuh itu sehingga totokan meleset mengenai tubuh yang kebal,
sedangkan dia sendiri membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat
Pat"hong"sin"kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan
tetapi karena sinkangnya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu
mengeluarken suara "hekkkhh!" dan roboh pingsan.
"Crattt! Augghh...!" Kun Liong terhuyung"huyung ketika ada sebuah benda merah
menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela
kamar. Sebelum pingsang dia melihat banyak bayangan hwesio"hwesio berkelebatan
masuk ke dalam kamar itu.
Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw"lim"si. Thian Le Hwesio, sute
atau wakil Ketua Siauw-lim"si, memimpin sendiri murid-muridnya menuju ke kamar
pusaka. Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia
menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng membobol langit"langit kamar itu
dan biarpun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw"lim"si. Anak buahnya
yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang yang telah dibikin
pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.
Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan"buntalan yang berserakan. Kalau saja
tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw"lim"pai tercuri. Dia cepat melakukan
pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa
oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio"louw
(tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw"lim-si!
Namun masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini
berkat kewaspadaan Liong"ji, karena empat orang hwesio telah tewas!
"Liong"ji, ke mana dia" Suruh dia ke sini!" Thian Le Hwesio berkata.
Para hwesio mencari"cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Le
Hwesio sendiri pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
158 terheran"heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling
itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu" Dengan hati cemas dia lalu
menghadap suhengnya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw"lim"pai untuk membuat laporan.
Ke manakah sebetulnya Kun Liong pergi" Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke
mana"mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan
terkena jarum merah pemuda berkedok saputangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke
belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.
Ketika siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah
kamar yang luas dan kamar ini kosong tidak ada perabotnya, hanya lantainya bersih
sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek
yang amat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang. Lehernya masih terasa sakit
dan ketika dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia
bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini, dan otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek
ini tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat
menolongnya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw"lim-si tanpa diketahui orang"
Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
"Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih
atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini."
Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya. "Aihhh, bagaimana engkau bisa tahu
bahwa kau berada di Ruang Kesadaran" Tahukah kau siapa aku?"
"Sukong adalah Tiang Pek Hosiang..."
"Hemm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau
berindap seperti maling, akan tetapi malah memergoki maling"maling itu. Kelakuanmu
aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah
engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?"
"Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sesungguhnya karena ingin menghadap
Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan dan membohong kepada
para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong..."
"Aha! Kiranya engkau anak Cong San" Engkau menyamar sebagai kacung karena hendak
bertemu denganku" Apakah kau disuruh oleh ayahmu?"
"Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong."
Kakek itu tersenyum lebar. "Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut
kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku" Bukankah ayah
dan ibumu memiliki kepandaian juga, apalagi engkau dapat minta petunjuk supokmu Cia
Keng Hong?"
"Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu telah dibimbing selama lima tahun..."
Tiba"tiba dia teringat akan janjinya kepada Sun Hoat Tosu, maka cepat dia
menyambung. "Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji."
"Ha"ha, Bun Hoat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justeru kepadamu dia
menurunkan ilmunya?"
"Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!"
"Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan
seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa"san"pai. Dahulu dia pernah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
159 mengatakan kepadaku untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar
delapan penjuru. Benarkah?"
"Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Teecu selama lima tahun diajar oleh
beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang"liong"pang dan ilmu silat tangan kosong
Pat"hong"sin"kun, juga latihan tenaga sin"kang yang mempunyai daya membetot."


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha"ha"ha! Tentu untuk melawan Thi-khi"i-beng, bukan?"
"Ehh...! Sukong tahu juga?"
"Kakek tua Hoa"san"pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan
mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali mengapa tidak ada ilmu yang dapat
menandingi Thi"khi"i-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya
membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi"i"beng."
Kun Liong mengangguk"angguk sampai dahinya membentur lantai. "Mohon petunjuk dari
Sukong." "Baiklah. Bun Hoat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa"apa denganmu telah rela
melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik,
tentu saja berhak mewarisi ilmu"ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di
sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati" Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang
mewarisinya."
Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni
kuil, dia mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Mengapa hal ini
sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil" Karena memang tidak ada seorang pun
hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil
mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiang Pek Hosiang,
meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi
lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minvm mercka berdua,
apalagi karena kakek itu jarang sekali makan.
Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw"lim-pai dan
dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim"Pai, berkata, "Ji"wi (Kalian
Berdua) siapakah dan siapa pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan
bokor" Kalian dari golongan mana?"
Biarpun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun karena sikapnya memang
angker sekali dengan tubuhnya yang tinggi besar bermuka hitam matanya lebar,
mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu. Mereka mencoba
menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia saja karena tubuh mereka sudah lemas dan
lumpuh oleh totokan lihai.
"Bebaskan totokan mereka," kata pula Ketua Siauw"lim"pai itu kepada sutenya, Thian Le
Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua
kali ke arah punggung dua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak
kembali. "Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang,
tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman."
Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh
saku dalam baju. Semua tokoh Siauw"lim"pai yang hadir di situ sudah siap untuk
menjaga diri kalau"kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau siap
untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
160 tiba"tiba dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher dan keduanya
terguling, berkelojotan dan mati.
Thian Le Hwesio meloncat dekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak
menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan saputangan dan mencabut
benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata, "Omitohud... kalau tidak salah ini
duri kembang hijau...!"
Dia melangkah maju memperlihatkan dua batang duri itu kepada suhengnya, Ketua
Siauw"lim"pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan
berkata, "Engkau benar, Sute. Ini tentu duri kembang hijau dan kembang itu hanya
tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi"eng"pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!"
Thian Le Hwesio berseru kaget. "Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut
kepada ketuanya!"
Pada saat itu, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh
perhatian sehingga sutenya, Thian Le Hwesio memandang heran dan tidak mendesak.
Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara
bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat
dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiang Pek Hosiang!
"Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang
kelak dia yang akan mencarinya."
Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata, "Sute, tidak usah kita menyusul ke
sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute
menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya."
Thian Le Hwesio memandang penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
membantah kehendak ketuanya, mengangguk dan mengundurkan diri untuk memimpin
para anak buah Siauw"lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam"diam
hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali. Boleh jadi Kwi"eng"pai
merupakan perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apalagi ketuanya
yang berjuluk Kwi"eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di
antara datuk"datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi Siauw"lim"pai juga sebuah
perkumpulan bersih yang amat besar. Kalau sampai terdengar dunia kang"ouw betapa
Siauw"lim"pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang Kwi"eng"pai tanpa berani membalas
atau mencari, bukankah Siauw-lim"pai akan ditertawakan orang dan para tokoh
Siauw"lim"pai dianggap penakut"
Betapapun juga, Thian Le Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suhengnya
yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali
pedang dan hio"louw pusaka Siauw-lim"pai yang dicuri orang itu. Adapun Thian Kek
Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang"ouw timbul pertentangan dan persaingan
antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana. Tidak saja dia ingin
mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini
menggembleng sutenya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua
Siauw"lim"pai yang bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw"lim"pai ke dalam
gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia atau Thian Lee
Hwesio atau para tokoh Siauw-lim"pai yang lain maju menyerbu Kwi"eng"pai, tentu
berarti melibatkan Siauw-lim"pai ke dalam pertentangan. Sebaliknya kalau kacung yang
kini digembleng suhunya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan jadi anggauta
Siauw"lim"pai resmi, tidak ada hubungannya dengan Siauw"lim"pai, tentu Siauw-lim"pai
akan bebas dari libatan permusuhan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
161 Lima tahun lewat dengan amat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terletak di
bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim"si terasing dari dunia luar, Kun
Liong digembleng setiap hari oleh Tiang Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua.
Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi,
yaitu Ilmu Silat Im"yang"sin"kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan
kosong maupun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sin"kang yang disebut
Pek"in"ciang (Tangan Awan Putih), sin-kang yang amat lembut namun memiliki
kekuatan yang amat dahsyat. Siang malam Kun Liong berlatih. Tubuhnya menjadi kurus
karena kurang makan, mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar
matahari, namun matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk
seolah"olah menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah
adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh! Dia telah
menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat
sederhana gerak"geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Melihat
kepalanya, semua orang tentu menganggap dia sebagai orang hwesio, akan tetapi
pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio.
Pada suatu pagi, Tiang Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap
dan berlutut di depannya, "Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan
beritahukan kepada Ketua Siauw-lim"pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana
untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara,
tak perlu mengundang orang"orang kang"ouw."
"Sukong...!" Kun Liong terkejut bukan main mendengar pesan kakek itu, memandang
terbelalak dan mukanya pucat.
Kakek itu tersenyum lebar. "Mengapa, Kun Liong" Mengapa mendengar aku akan mati
engkau menjadi terkejut dan pucat mukamu seperti orang takut?"
"Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?"
"Mengapa timbul takut, Kun Liong?"
"Karena kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri
membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita."
"Ha"ha, benarkah demikian" Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana
mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui" Barulah timbul takut
kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek
moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan sesudah mati, semua itulah yang
menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu."
"Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng tentang
neraka, akan tetapi teceu merasa ngeri kalau membayangkan kematian."
"Hemm, kalau begitu, yang kautakutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau
takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala
yang kaukenal di dunia kehidupan ini. Andaikata orang-orang yang kausayang, benda-
benda yang kausukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut
itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?"
Kun Liong berpikir dan mengangguk, "Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong."
"Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah
dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan
akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
162 hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama,
apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?"
Kun Liong mengangguk"anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya
berkata terus terang, "Teecu mengerti akan tetapi masih sukar untuk menyelami
wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, kalau benar Sukong hendak pergi meninggalkan
penghidupan ini, perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir."
"Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku
melewatkan beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, keluarlah dan sampaikan
pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!" Kakek itu sudah memejamkan matanya
kembali sambil duduk bersila.
Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek
itu dan menerima gemblengan"gemblengan
yang hebat. Dia berlutut dan membentur"benturkan dahinya di atas lantai depan kaki sukongnya itu, menitikkan air
mata, kemudian sambil menarik napas panjang keluarlah dia dari ruangan itu membuka
daun pintu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam.
Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat seorang pemuda gundul keluar dari
Ruangan Kesadaran. Cepat mereka meloncat menghampiri dan siap untuk menerjang,
akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apalagi karena Kun Liong cepat
menjura kepada mereka dan berkata,
"Ji"wi Suhu apakah lupa kepada Liong-ji" Aku mendapat pesan dari Sukong untuk
disampaikan kepada Thian Kek-losuhu."
"Kau... kau kacung Liong"ji..." Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?"
Seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan matanya dan hampir tidak
percaya. "Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek"losuhu tentu mengerti, harap bawa aku
menghadap beliau."
Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi
menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong.
Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam"diam dia girang mempunyai
seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.
"Liong"ji, engkau baru keluar sekarang?" Ketua Siauw"lim"pai itu menyambut dengan
kata"kata ini.
Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Pertama"tama teecu mohon
maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebenarnya
she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di
Leng"kok."
Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek
Hwesio tersenyum dan mengangguk"angguk. "Pengakuanmu ini makin menggirangkan
hatiku, Yap"sicu karena berarti babwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng
(aku) memaafkan hal itu."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Hal ke dua yang perlu teecu laporkan
adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama
Sukong." Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
163 "Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap"sicu dan pinceng merasa girang sekali mendengar
bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu.
Mudah"mudahan saja Sicu dapat mempergunakan pelajaran dari Suhu itu untuk
membela kebenaran dan keadilan."
"Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu
adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta agar Locianpwe suka menyediakan
sebuah peti mati sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya
diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi
tahu orang"orang kang"ouw."
"Omitohud...!" Thian Kek Hwesio menangkap kedua tangan ke depan dada dan
memejamkan kedua matanya. "Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu."
"Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw"lim-si," kata Kun
Liong sambil memberi hormat.
"Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?"
"Tidak, Locianpwe."
"Kalau begitu, agaknya Subu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu.
Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid,
Suhu mengatakan bahwa Siculah yang akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah
pusaka yang dahulu dicuri oleh maling"maling itu. Karena itu, sekarang pinceng
mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri
itu." "Ahh, jadi maling"maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka" Pusaka apakah
yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?"
"Yang diambil adalah sebatang pedang Liong"bwe"kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah
hio"louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Adapun pencurinya, kalau tidak
salah dugaan kami adalah tokoh"tokoh dari Kwi"eng"pai yang berpusat di pulau di
tengah"tengah Telaga Kwi"ouw (Telaga Hantu)." Hwesio tua itu lalu menceritakan
tentang dua orang anggauta maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri
dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.
"Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Le Hwesio. Suhu telah memesan
bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka"pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute
tidak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Le Hwesio sudah diam"diam
meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi
untuk merampas kembali pusaka"pusaka itu. Karena itu, pinceng harap sukalah Sicu
membantu dan menyusul Sute ke Kwi"ouw untuk membantunya mengambil kembali
pusaka yang tercuri."
"Baikiah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali
dua pusaka itu."
Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga
Hitam, berangkatlah Kun Liong meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat
pandangan alam yang indah, terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan,
akan kematian sukongnya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya
hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan.
Betapa indahnya pemandangaa alam yang telah dipisahkan dengan dia selama lima
tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
164 memasuki dunia luas ini, dia seolah"olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia
baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki
paru"parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang"kembang.
Ingin dia bernyanyinyanyi, demikian senang dan gembira hatinya. Begini agaknya
perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun"tahun!
Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini telah
memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali
menuruni bukit. Pagi hari itu amat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi
sekali. Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki"laki yang kelihatannya
kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu
tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para
piauwsu dari Sam"to Piauw-kiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu
dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka,
maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman
untuk Siauw-lim"pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu
barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia
melanjutkan perjalanamya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.
Sukongnya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup
adalah saat sekarang ini yang sesungguhnya nikmat kalau pikiran kita tidak kita biarkan
untuk mengenang hal-hal lalu atau hal"hal mendatang, bahkan kematian bukan
merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan. Apa sih kematian" Kita tidak tahu
bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum
tahu. Ketakutan timbul dari bayangan"bayangan, dari angan-angan tentang hal yang kita
ketahui atau yang kita anggap telah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau
kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut"
Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang amat menyenangkan.
Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh
dengan pertentangan, penuh persoalan yang agaknya sambung menyambung tiada
kunjung henti. Dan kalau dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari
nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda
atau kebenaran! Semua demi si"akunya manusia, sampai"sampai kebenaran sekalipun
ingin dimonopoli. Kebenaran"Ku! Si aku inilah sumber dari segala persengketaan,
sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, membuat hidup menjadi semacam
gelanggang pertempuran demi si aku masing"masing. Memang benar sukongnya yang
berkata bahwa bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup,
tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!
Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia
melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana.
Dirogohnya bajunya yang lebar sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh
Thian Kek Hwesio. Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak,
hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukongnya. Minumnya
pun selama lima tahun itu hanya air jernih. Ada tercium bau arak dan daging panggang
dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu,
warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan
diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.
Tiga orang tamu yang sudah lebih dulu duduk di dalam warung, mengangkat muka
memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang"orang
itu memandangnya penuh selidik, Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap
tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan
berkata sederhana, "Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
165 Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu"ragu dan mengulang, "Arak" Dan bakmi dengan
daging?" Kun Liong mengangguk, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku
panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah
diduduki oleh seorang di antara tiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot
pendek dan agaknya sudah terlalu banyak minum arak karena mukanya merah dan
wajahnya berseri. Dengan menggerakken kedua pundaknya dan bertukar pandang
dengan tiga orang tamunya, pelayan itu lalu pergi ke belakang untuk mengambilkan arak
dan bakmi yang dipesan Kun Liong.
"Aku mendengar bahwa Siauw"lim"pai merupakan partai persilatan yang paling besar
dan telah terkenal sekali bahwa hwesio"hwesio Siauw"lim"pai adalah para hwesio yang
tidak pernah menyeleweng." Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat
menyakitkan anak telinga. Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah
seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka
pucat. "Ha"ha"ha"ha, apa yang kaudengar itu memang benar, Kui"suheng (Kakak Seperguruan
Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan
dia itu bukan seorang anggauta Siauw"lim"pai!" kata orang yang duduk sebangku
dengan Kun Liong.
Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa
mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus
dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia
mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan
tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak
mempedulikan Kun Liong.
"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw"lim"si bertindak keras
sekali dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui"suheng oleh Si
Jenggot Pendek tadi.
"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus
dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama,
Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang"ouw itu, terpaksa harus
mengundurkan diri karena pelanggaran?"
"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim"pai yang paling lihai, Yap Cong San yang
kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan
keanggautaannya dari Siauw"lim"pai karena pelanggaran."
"Urusan apakah?"
"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio"taihiap (Pendekar Besar Tio)
yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi
seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan
diam"diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk
yang disebut Pendekar Besar Tio itu.
"Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain" Yang penting malam ini kita
mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim"si. Mudah"mudahan saja
perjalanan jauh kita akan berhasil."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
166 Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya
mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw"lim"si! Mau apakah mereka"
Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi"eng"pai yang telah mencuri pusaka Siauw-
lim"si"
"Ucapan Tio"taihiap benar," kata Si Jenggot Pendek. "Kita harus menghormati para
pendeta Siauw"lim"pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat
menghormat pendeta munafik yang terang"terangan melanggar pantangan di depan
umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini
mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan
tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.
Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba"tiba bangku yang didudukinya itu bergetar
dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila
hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar
pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia
bersikap tenang saja seolah"olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu
mengerahkan sin"kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah
terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali! Si Muka Merah
terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin"kangnya dikerahkan dengan
sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin"kang kuat,
tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi,
tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan
tenaganya, terdengar suara "krakkk!" bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si
Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak
tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di
atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio"taihiap itu tidak mengulur tangan
menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan
melayang kembali ke dalam cawan itu! Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir"balik
dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun
Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak"enak duduk di
ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!
"Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!" Si Muka
Merah itu membentak marah.
Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di
atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu
terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian
yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang
membungkuk"bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan
minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling
kepada Si Muka Merah dan berkata, "Semenjak tadi aku makan dan minum di sini
dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah
laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut"ribut hendak
menantang orang?"
"Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"
"Saudara Song, duduklah!" Tiba"tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong
melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut"sungut, mengangguk tak berani
membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri
menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata,
"Siauw"suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak
dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan
sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan
umum, makan daging dan arak."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
167 Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia
tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia
menjawab, "Sudahlah, tidak ada apa"apa yang harus diributkan kalau hanya karena
kesalahpahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Tai"hiap, aku bukanlah seorang
hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku
berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"
SI MUKA PUCAT tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah
tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu
mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut
sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
"Ha"ha"ha, Song"laote, kaulihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak
teliti, menyangka orang yang bukan"bukan dan sudah tergesa"gesa turun tangan
sebelum yakin akan kesalahan orung. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu
saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak."
Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun
Liong sambil berkata, "Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan
saya tadi, Siauw"eng-hiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat,
sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan
dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"
Kun Liong cepat menjura, "Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya
adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali ingin
mengaso. Maaf!" Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen
sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang
sempit itu, melupakan lagi urusan tadi, akan tetapi diam"diam dia masih menaruh hati
curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim"si. Kecurigaannya ini
membuat Kun Liong gelisah dan pada keesokan harinya, pagi"pagi sekali, dia
mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw"lim"si. Sedikitnya dia harus
memberitahukan Thian Kek Hwesio akan tiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil
dan yang keadaannya mencurigakan agar Siauw"lim"pai dapat berjaga"jaga.
Biarpun kini Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar daripada ketika dia
meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa"gesa
dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke
puncak dan memasuki halaman kuil Siauw"lim"si yang amat luas.
Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw"lim-pai, dan setelah
dia berhadapan dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim"pai di ruangan depan, dapat
dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas
terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu
yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah
sebuah peti yang terisi jenazah Thian Le Hwesio!
Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut
memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti
mati itu berisi jenazah sukongnya, Tiang Pek Hosiang, dan jenazah Thian Le Hwesio!
"Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu," kata Thian Kek Hwesio kepada
Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. "Akan tetapi sebelum kami dapat
melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah
Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apalagi
karena sudah sepatutnya kalau jenazah Suhu memperoleh kehormatan dan menerima
penghormatan para tokoh kang"ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
168 kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua
jenazah disempurnakan."
Kun Liong mengangguk. "Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin
sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang"ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula
untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat
mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee"losuhu yang katanya mencari
pusaka yang hilang, tahu"tahu kembali dalam keadaan telah tewas dan siapa pula yang
mengantar dengan kereta piauw"kiok itu?"
"Yap"sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali pusaka sesuai dengan pesan
Suhu, sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar
jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah
Sute," kata Ketua Siauw"lim"pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu ke
ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan
upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah.
Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang
mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah
jalan. Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw"lim"pai,
mereka segera memberi hormat, apalagi ketika Ketua Siauw-lim"pai minta agar mereka
menceritakan semua kepada Kun Lion, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera
mulai dengan penuturannya.
Sam"to"piauw"kiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di
kota Lam"san"bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang
kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar
dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam"to"eng (Tiga Pendekar Golok).
Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini amat dipercaya orang
untuk mengawal pelancong atau barang"barang berharga.
Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti
yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam"to"piauw-kok dan minta agar
peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw"lim"pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan
pula! "Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di
rumah, maka kami sebagai pembantu"pembantunya menerima barang itu dan kami
tidak mengutus anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan
baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw"lim"pai. Karena
barang kiriman itu untuk Siauw-lim"si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi
sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu
berisi... berisi..."
"Jenazah Thian Le"losuhu?" Kun Liong melanjutkan karena pemimpin para piauwsu yang
bermuka bitam itu kelihatan gagap.
"Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!"
"Siapakah dia yang mengirim peti itu?"
"Seorang pemuda tampan, dan sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil
Ketua Siauw-lim"pai, timbul dugaan kami babwa agaknya pemuda itu adalah
penyamaran dari dia..." Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan
ragu"ragu dan jerih, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri,
seolah"olah dia merasa takut kalau"kalau suaranya terdengar orang lain!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
169 "Siapakah dia yang kaumaksudkan?"
"Giok... hong... cu..."
Kun Liong mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan
Giok"hong"cu (Si Burung Hong Kemala) itu. "Hemmm, dia itu orang apakah?"


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan heran, kemudian dia dapat
menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw"lim"pai
itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang"ouw,
maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata, "Dia adalah
seorang wanita muda yang namanya tersohor di seluruh dunia kang"ouw selama dua
tahun ini. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya ganas sekali dan
melihat betapa banyaknya tokoh"tokoh golongan putih yang menjadi korban keganasan
tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguhpun ada
pula golongan hitam yang dibasminya. Dia seorang tokoh penuh rahasia dan melihat
bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim"pai, kami terus saja ingat
kepadanya."
"Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapapun juga orang itu."
Kun Liong membantah, hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita
muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Le Hwesio.
"Kami tidak menuduh sembarangan!" Si Muka Hitam membantah. "Biarpun dia
berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara
serta gerak"geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar."
"Tapi bagaimana kau dapat memastikan dia itu tokoh wanita yang berjuluk
Giok"hong"cu?"
"Karena Giok"hong"cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda
itu, di bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala.
Kabarnya, kami sendiri belum pemah bertemu dengan Giok"hong"cu, tokoh itu pun
selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan
julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya."
Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan
tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan
penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah mendiang sukongnya, untuk
mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw"lim"pai yang dicuri orang. Dan
karena Thian Le Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya
pembunuh hwesio tua itu tentulah orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian
pusaka itu. Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang telah melukainya, adalah
seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh"tokoh
Siauw-lim"pai. Akan tetapi, pemuda itu dahulu berkedok saputangan, dan tubuhnya
memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw"lim"pai, dua
orang pencuri yang tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali adalah
anggauta Kwi"eng"pai di Kwi"ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.
"Apakah Giok"hong"cu yang kausebut itu seorang anggauta Kwi"eng"pai?" tanyanya.
Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jerih, menggeleng kepala dengan kuat. "Ah,
saya rasa tidak ada hubungannya dengan Kwi"eng"pai... akan tetapi entahlah, sepanjang
pendengaran kami, Giok"hong"cu selalu bergerak sendiri. Kwi"eng"pai terlalu besar
untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama
perkumpulan itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
170 Kun Liong mengangguk"angguk. "Jadi orang yang mungkin sekali menyamar
Giok"hong"cu itu mendatangi Sam"to-piauwkiok di Lam"san"bun" Apakah memang dia
tinggal di Lam"san"bun?"
"Yap"sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya" Akan tetapi
memang pada bulan"bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara
Lam"san"bun sampai ke kota raja."
Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biarpun dia belum yakin benar bahwa
tokoh wanita terkenal itu yang membunub wakil Ketua Siauw"lim-pai, namun sedikitnya
dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san"bun dan kota raja.
Para piauwsu Sam"to"piauwkiok itu tidak lama berada di Siauw"lim"si. Mereka segera
berpamit untuk kembali ke Lam-san"bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga
orang pimpinan mereka. Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga
orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti
pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim"pai,
maka setiap orang yang datang ke Siauw"lim"si tentu mengandung niat yang
meragukan. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah
orang"orang biasa, adalah anak buah Kwi"eng"pai atau setidaknya mempunyai
hubungan dengan pembunuh Thian Le Hwesio.
Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan
kuil, menanti munculnya tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena
segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu"tunggu itu berlari mendaki puncak
dengan gerakan cepat. Diam"diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka
itu adalah orang"orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah ia
saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio"taihiap itu menyambar
cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar kembali ke dalam
cawan, membuktikan tenaga sin"kang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu
menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar"benar tercengang dan
kecurigaannya bertambah. Siauw-lim"pai telah kedatangan tiga orang lawan berat,
pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar agar tidak mengacaukan dalam
kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam
peti"peti mati.
Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke
kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena
semua hwesio sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang
melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam"keng (doa) mereka dan suara
ketukan"ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji"puji yang penuh
khidmat. Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun
Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong,
sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan
dan juga mereka kelihatan marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah
jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan
pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau
tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa
pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu
menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim"si!
Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk, sudah mendahului dua orang
kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, "Kiranya sahabat muda
yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
171 kami pergi memasuki kuil Siauw"lim"si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan
kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw"lim-si sudah selesal."
Kun Liong bersikap tenang akan tetapi dia menggeleng kepalanya. "Pada saat ini Siauw-
lim"si tidak menerima kunjungan orang"orang asing. Harap Sam"wi kembali saja dari
mana Sam"wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk."
"Eh, eh, omongan apa ini?" Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan
suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. "Engkau
bilang bahwa kau bukan seorang hwesio biarpun kepalamu gundul. Sekarang engkau
menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim"si. Sebenarnya siapakah engkau dan
apa kehendakmu terhadap kami?"
"Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw"lim"pai, karena itu aku
harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim"si."
"Manusla sombong! Apakah ehgkau menantang berkelahi?" Si Muka Merah membentak.
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku
tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan,
apalagi terhadap Siauw"lim"pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi
dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim"pai yang sedang sibuk."
"Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong
seperti engkau layak dlhajar!" Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak
menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,
"Saudara Song, jangan!"
Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena
dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan
memandang penuh selidik, kemudian berkata, "Sahabat muda, engkau dengan tegas
melarang kami memasuki kuil Siauw-lim"si dan menuduh kami hendak mengadakan
pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukari kekacauan,
karena itu harap engkau jangan menghalangi kami."
Kun Liong menggeleng kepalanya. "Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku
menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau
suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan
kepada Ketua Siauw-lim"pai dan kalian menanti dulu di sini."
Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. "Orang muda, kami
memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw"lim"pai, akan tetapi urusan ini tidak
dapat kuberitahukan kepada siapapun juga."
"Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja." Kun Liong berkata
tegas. "Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"
"Terpaksa aku mencegah kalian."
"Orang muda, engkau menantang kami?"
"Nah, lagi"lagi aku dituduh menantang!" Kun Liong tersenyum. "Engkau ini orang tua
disebut tai"hiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang
pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam"wi datang hendak memaksa memasuki
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
172 kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil
Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam"wi dan minta agar Sam"wi pergi lagi saja, akan
tetapi Sam"wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam"wi memaksa aku akan
mencegah. Eh, kini Sam"wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?"
Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas. "Orang muda, agaknya
engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga
berani bicara main"main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!"
"Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir."
"Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan
mengadu kepandalan."
"Aku tidak mau berkelahi."
Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda
gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi, "Dia pengecut!"
"Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut," bantah Kun Liong yang
tersinggung juga disebut pengecut.
"Kalau berani, majulah!" tantang Si Muka Merah.
"Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"
"Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka
berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"
"Maksudku sudah jelas, Tai"hiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan
suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan
urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"
"Bocah sombong! Tio"taihiap, biar aku menghajarnya!" orang she Song yang bermuka
merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu
sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya
yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun
Liong. Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin"kang dan cepat serta keras
sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan
serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau
menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan
tenaga sin"kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.
Dengan sin"kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan
Hek"tok"ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui"hong"pang tanpa terluka, bahkan
Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik
hawanya. "Bukkkk!"
Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh
pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin"kang yang menolak dan
membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah"olah memukul karet yang amat
keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya
terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
173 tangannya itu telah bengkak"bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu,
Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.
"Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu
tadi?" Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan
tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan
ketika dia telah mencabut pedangnya.
"Saudara Song, jangan main senjata!" Si Pengantuk menegur.
"Sute, mundurlah!" Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka
Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main.
Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai
darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah
mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.
Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti
yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa
amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin"kang seperti yang
dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah
yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang
amat kuat. Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si
Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat
daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi"tubi yang dilanjutkan oleh orang
she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara
tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal
karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im"yang-
sin"kun bagian pertahanan.
Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap
dasar"dasar Ilmu Silat Siauw-lim"pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu
hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw"lim"pai, sedangkan perkembangan dan
gerakannya sama sekali tidak dia kenal! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa
jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar
Siauw"lim"pai.
Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tidak
membalas serangan temannya, namun semua serangan temannya itu sama sekali tidak
pernah berhasil tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda
gundul yang amat aneh ilmu silatnya itu. Maka dengan gerakan ringan sekali seperti
seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya,
menarik sambil berseru, "Mundurlah, Saudara Kui!"
Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan.
Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu"tahu
lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang ia tahu amat lihai.
"Sam"wi benar"benar keras kepala dan ingin mengandalkan kepandaian untuk
memaksakan kehendak sendiri!" Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga
menghadapi lawan yang ia tahu tak boleh dipandang ringan itu.
"Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!" Si Pengantuk sudah menyerang,
akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi,
Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya, dan ujung jari tangan kirinya
melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
174 Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak
sungguh"sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas
sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun
mengerahkan tenaganya ke arah tangan, menggerakkan tangan kanannya menangkis
jari"jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.
"Plak! Plakkk!"
Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan
pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu
benar bahwa jarang ada orang kang"ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong
mundur atau terluka tangannya. Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan
sama sekali tidak kelihatan menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap
putih yang aneh! Lagi"lagi dia tadi telah mempergunakan Pek"in"ciang yang
dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang.
Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa
betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah
hatinya bahwa lawannya ini benar"benar berilmu tinggi!
"Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!" Kakek pengantuk itu
berkata, kedua lengannya bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah"olah
seluruh tulang-tulang lengannya patah"patah! Kun Liong yang belum berpengalaman,


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang dengan mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa
tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mujijat.
"Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!"
Si Pengantuk dan Kun Liong yang sudah siap untuk bertanding mati"matian karena
maklum bahwa lawan tak boleh dibuat main"main, segera melangkah mundur dan
menoleh. Kiranya Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim"pai yang telah berada di
situ. Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang
temannya dan Si Pengantuk berkata,
"Harap Thian Kek"suhu suka memaafkan kami..."
Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan terheran"heran lalu bertanya,
"Yap"sicu, apakah yang telah terjadi?"
Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang
itu benar"benar mengenal Ketua Siauw-lim"pai! Dengan terus terang dia menjawab,
"Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau
Siauw"lim"si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi
pertengkaran."
Hwesio tua itu tampak kaget sekali. "Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kautentang
ini, Sicu!" Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, "Harap
Taihiap sudi memaafkan Yap"sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap"sicu
berniat baik untuk membela Siauw"lim"pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang
baik... dan Yap"sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban"kin"kwi Tio Hok Gwan dan
Tio"taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!"
Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas
mencegah Ketua Siauw-lim"pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, "Losuhu,
marilah kita bicara di dalam saja." Hwesio itu mengangguk"angguk, kemudian
mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil
memandang dengan penuh perhatian, diam"diam dia terkejut mendengar disebutnya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
175 nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang
berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban"kin"kwi (Setan Bertenaga Selaksa
Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin"kang yang amat kuat.
Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban"kin"kwi Tio Hok Gwan, namun melihat
sikap Ketua Siau-wlim"pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek
pengantuk ini tentu seorang tokoh kang"ouw yang terkenal.
Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang ketihatan seperti seorang
pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak
mengenalnya" Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan
pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai. Melihat
orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang
berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Aken tetapi,
pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo
melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan
menjelajah di negara"negara asing.
Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak
buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan
yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi
pengawal"pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han,
berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin
berusia empat puluh tahun.
Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti
jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti"peti
itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio!
"Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan
berani datang mengganggu!" katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya
lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh
khidmat. Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang
menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim"pai itu. Thian Kek Hwesio
memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di
depan dada. "Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang
harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu
meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Le
Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali." Dia lalu menceritakan betapa rombongan
piauwsu yang tidak tahu"menahu datang membawa peti yang terisi jenazab Thian Le
Hwesio yang terbunuh orang!
"Sungguh penasaran sekali!" Tio Hok Gwan berseru. "Ini merupakan tanda bahwa kaum
sesat di dunia kang"ouw sudah mulai berani bergerak lagi!" Tentu saja hati pengawal ini
menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum
sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak.
Kini, wakil Ketua Siauw"lim"pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah
mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!
Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan
berkata, "Harap Tio"taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal
telah bersikap kurang hormat."
Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian
mengangguk"angguk dan memuji, "Yap"sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
176 sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu
adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim"pai boleh merasa
beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga
Siauw"lim"pai dengan gagah."
Sebagai tamu"tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan
Siauw"lim"pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan,
sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan
minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak! Kun Liong yang dianggap "keluarga
sendiri" juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim"pai bertanya,
"Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat
penting. Pinceng harap Sam"wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang
tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam"wi. Maka harap
Sam"wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam"wi bawa dari kota raja."
Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut
menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali
meragu, "Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-
lim"pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus
untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami
berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami
datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri."
Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang
itu, "Pinceng dan para anak murid Siauw-lim"pai siap untuk melaksanakan perintah Yang
Mulia Panglima The."
"Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada
Losuhu dan Siauw"lim"pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat
akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim"pai dengan dunia kang"ouw, kami ingin
mohon bantuan Siauw"lim"pai dalam hal ini."
Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung
menyangkut Siauw"lim"pai sehingga tidak akan timbul hal"hal yang tidak diinginkan.
Dengan sikap ramah dia berkata, "Harap Tio"taihiap tidak bersikap sungkan dan
ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya
perintah yang mulia itu."
Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas, "Panglima The telah
kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja
dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan
pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam"diam panglima mengutus
orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang
mencuri pusaka itu. Namun semua usaha sia"sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa
pengawal yang berkhianat itu ternyata telah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan
kabarnya pusaka itu hilang tenggelam di Sungai Huang"ho. Sepuluh tahun yang lalu,
pengawal khianat itu terbunuh bersama anak buahnya yang telah menjadi bajak sungai,
dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang
mengatakan bahwa pusaka itu telah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tidak
seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula
bahwa pada saat pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu
tampak bayangan Siang"tok Mo"li. Kami masih meragukan semua berita itu dan
mengingat akan pengetahuan Losuhu yang amat luas, kami sengaja datang menghadap
mohon petunjuk."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
177 Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi tentu
bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama
Siang"tok Mo"li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!
Bi Kiok tentu sekarang telah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu
pernah monolongnya, dua kali malah telah menolongnya. Pertama ketika bersama
mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air Sungai Huang-ho.
Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para
tokoh Pek-lian"kauw dan Ketua Ui"hong"pang. Betapa manisnya anak itu! Kun Liong tak
sengaja tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.
Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan
penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata, "Pinceng
sendiri tidak pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan
mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka agar memasang mata
telinga, juga bertanya"tanya di dunia kang"ouw kepada para sahabat. Tentu saja kami
akan segera melapor kalau ada berita bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para
anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu."
"Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Eh, Yap"sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu
pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?"
Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu,
terkejut mendengar teguran ini. "Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang
sering kali saya dengar, di dunia kang"ouw banyak terjadi perebutan pusaka"pusaka.
Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi" Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?"
"Benar sekali pertanyaan itu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya
Pusaka yang hilang itu." Thian Kek Hwesio berkata.
"Pusaka dari The"ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga."
"Sebuah bokor emas...?" Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk"angguk.
"Kalau hanya emas yang merupakan harta, mengapa orang-orang gagah di dunia
kang"ouw sampai berebutan" Sungguh tiada bedanya dengan para perampok saja sikap
ini!" Kun Liong berkata lagi, diam"diam jantungnya makin keras berdebar karena
ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang telah
dia sembunyikan!
Tio Hok Gwan menghela napas panjang. "Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Kalau
hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpannya dan
menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan
bantuan Losuhu, juga bantuan Yap"sicu yang kami anggap sebagai orang sendiri
sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka."
"Jangan khawatir, Taihiap. Setelah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami
akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan tentang bokor emas itu," kata
Thian Kek Hwesio.
"Saya pun akan berusaha membantu, Tio"taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan
kalau saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya
persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia."
Thio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama kedua orang
pembantunya, dia segera berpamit den meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu.
Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh Siauw-
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > p
Hati Budha Tangan Berbisa 4 Golok Halilintar Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 34
^