Pencarian

Petualang Asmara 7

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


ublished by ceritasilat
178 lim"pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri
Siauw"lim"si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh
besar itu. Selain merasa berkewajiban untuk membantu, juga Kun Liong sengaja hendak
menanti dengan penuh harapan ayah bundanya akan datang pula ke Siauw"lim"si.
Ayahnya adalah murid Tiang Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw"lim"pai, dia merasa
yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan
Thian Le Hwesio yang menjadi suhengnya. Selain mengharapkan kedatangan ayah
bundanya di kuil Siauw-lim"si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan bertemu dengan
para tokoh kang"ouw yang diduga tentu akan datang memberi penghormatan terakhir
kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiang Pek Hosiang.
Kita tinggalkan dulu kuil Siauw"lim-si yang sedang berkabung dan mari kita tengok
keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan keluarganya yang merupakan tokoh"tokoh
penting dalam cerita ini.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong berusia
lima belas tahun dan dia pergi ke Cin"ling"san mencari ayah bundanya, dan hanya
bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu
itu Cia Keng Hong den isterinya sedang turun den mereka justeru pergi ke kota Leng-
kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri.
Dengan perasaan penuh harap dan gembira karena akan dapat berjumpa dengan
sahabat"sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota
Leng"kok. Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau
orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua
orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa"apa yang menonjol pada diri mereka,
kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan
cantik. Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, tampak gagah dan tampan,
dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tidak terlalu panjang.
Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning.
Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya longgar dan
sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip
di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang"ouw belasan
tahun yang lalu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau ada yang dapat menduga
bahwa dia pandai ilmu silat, agakhya hanya karena sepatunya, sepatu kulit yang tinggi,
kuat dan biasa dipergunakan merantau.
Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walaupun usianya sudah mendekati
empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping padat, kedua pipinya belum diserang
keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena sehari itu dia berjalan kaki
sampai jauh. Juga nyonya cantik ini tidak kelihatan membawa senjata. Siapa yang akan
menyangka bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit pinggang
ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di
dalam hati setiap orang lawan" Pakaiannya juga sederhana namun bersih dan tidak
dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya,
dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi.
Biarpun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah
menimbulkan dugaan bahwa mereka bukanlah orang"orang lemah, namun kiranya tidak
akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong
yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan karena pedangnya, yaitu Siang-
bhok"kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri
dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang di waktu masih gadis
dahulu berjuluk Song-bun Siu"li (Dara Cantik Berkabung)" Nama julukan yang amat
terkenal di kalangan kaum sesat"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
179 Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang"ouw atau datuk kaum sesat yang lebih
terkenal daripada Siang"bhok-kiam Cia Keng Hong dan isterinya, Song-bun Siu"li Sie
Biauw Eng. Bahkan Cinling"pai yang sebetulnya hanya sekumpulan penduduk dusun
pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi amat terkenal
dan disegani dunia kang"ouw.
Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan"bangunan di dalam kota
Leng"kok, Sie Biauw Eng berkata, "Aihhh, sungguh banyak kemajuan terjadi di dalam
kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak
melihat Leng"kok."
Cia Keng Hong tersenyum, "Kaukira baru berapa tahun" Jangan mimpi, sudah lima belas
tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu singkat, tentu saja
banyak terjadi perubahan."
"Hemmm, waktu berlalu dengan cepat sekali, tanpa terasa belasan tahun telah lewat!
Betapapun juga, kemajuan di Leng"kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong
San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil."
"Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak
ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera
mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati
kita." "Hem, mengapa kita akan kecewa andaikata anak mereka itu tidak seperti yang kita
harapkan?" Sie Biauw Eng bertanya, "Anak itu bukanlah kita, dan harapan kita belum
tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu
dianggap buruk pula oleh orang lain."
"Wah, isteriku yang baik, lagi"lagi engkau berfilsafat!" Keng Hong menggoda.
"Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka akan filsafat muluk"muluk yang hanya
menjadi permainan kata"kata kosong belaka. Yang kukatakan tadi adalah kenyataan.
Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan"harapan
akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya
maka seringkali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya
sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... eh, siapa namanya...?"
"Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?"
"Oya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti
keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong."
"Ah, mana mungkin begitu, isteriku" Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita..."
"Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia
calon jodoh Giok Keng" Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok kalau
dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang
anak yang bersangkutan itu pula."
"Hemmm... hemmm..."
"Hemm"hemm apa maksudmu?" Biauw Eng memandang suaminya.
"Kalau kau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya
akan merusak hidupnya..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
180 "Ehh! Apakah yang kaukatakan ini" Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu
Cong San dan Yan Cu."
"Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah tiba di tempat ini" Kita bicarakan
urusan jodoh perlahan"lahan..."
"Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini,
itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!"
"Tenanglah... ingat akan kandunganmu..." Keng Hong memperingatkan.
"Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut"pautnya dengan ini...
apalagi baru dua bulan... ah, semua gara"gara engkau!"
Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya.
Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, mereka bicara bisik-bisik namun
kelihatan serius sekali.
"Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberitahukan Giok
Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya!
Dan aku sudah tua! Salahmu...!" Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.
"Hishhh! Kenapa hanya aku saja yang salah" Bukankah hal ini akibat perbuatan kita
berdua" Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok" Engkau masih muda!
Siapa bilang engkau sudah tua" Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!"
"Ngacau...!" Blauw Eng membentak dan mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang
tercinta itu tersenyum"senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua
pipinya menjadi merah.
"Tidak perlu kau bingung, Keng"ji tentu akan menari kegirangan kalau mendengar akan
mempunyai seorang adik yang sudah bertahun"tahun diinginkannya."
"Sebetulnya aku pun tidak hendak membicarakan hal kandungan. Aku sudah
menerimanya sebagai anugerah Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa"bawa dalam
persoalan perjodohan Giok Keng. Apakah engkau akan berkeras kepala mengambil
keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?"
Keng Hong menarik napas panjang. "Isteriku, Giok Keng masih kanak"kanak, mana
mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh" Kita adalah ayah bundanya, andaikata
aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita tentu telah kita
pikirkan masak"masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita."
"Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari bahwa pendapat kita belum tentu sama
dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan
hatinya. Suamiku, mengapa kau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini" Ingatlah akan
riwayat kita sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas
dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan
bukan hal main"main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah
pilih, akan menderita selamanya."
"Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan,
dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
181 "Betapapun juga, biarkan dia memilih sendiri."
"Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?"
"Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!"
"Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San."
"Mungkin saja, kalau Keng"ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Mengapa engkau
bingung seperti kucing hendak bertelur" Kalau memang sudah jodoh, apa yang
dikhawatirkan kelak tidak akan
bertemu?" Keng Hong merengut. "Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur" Mana ada
kucing bisa bertelur?"
Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.
"Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti
kalau semua pihak sudah setuju. Mengapa tergesa"gesa" Bukankah kedatangan kita ini
untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka
itu?" "Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!"
"Hehh" Mana ada ayam beranak..." Wah, engkau membalas, ya?" Biauw Eng mencubit
lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu
masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu! Dan memang demikianlah cinta
kasih antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak
ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak pernah ada istilah buruk bagi mereka
yang saling mencinta!
"Husshhh! Malu dilihat orang! Dan kalau tiba"tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan
melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersendau-gurau di warung
arak, bisa kita dicap sombong!" Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian
mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang
di kota itu terkenal sebagai Yap"sinshe (Tabib Yap).
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat
baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng"kok tanpa pamit dan
tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi.
"Ji"wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe dan isterinya, juga
puteranya, telah bertahun"tahun pergi."
"Mengapa" Apa yang terjadi?" Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.
"Mereka... melarikan diri..." Seorang kakek bekas tetangga Yap"sinshe menjelaskan.
"Tidak mungkin!" Biauw Eng berseru. "Mereka bukanlah orang"orang pengecut yang
melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?"
"Mereka menjadi orang"orang buruan pemerintah."
"Ehhh...?" Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, "Harap Loheng
sudi menceritakan kepada kami."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
182 Kakek itu mengangguk. "Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada
Ji-wi." Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek
itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk
dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap"sinshe tidak berhasil
mengobati para perwira yang terluka sehingga ditangkap dan kemudian bersama
isterinya, Yap"sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan.
"Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?" Keng Hong bertanya.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. "Aku tidak tahu,
akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap"sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala
daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang
tahu kecuali mereka sendiri."
"Dan puteranya" Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?"
"Ahhh, Yap"kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana.
Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok
meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul." Keng Hong dan isterinya
teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu"satunya
keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San
seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia.
"Bagaimana matinya?"
"Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi,
mati dalam kesunyian."
Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu.
"Ke mana kita harus mencari mereka?" katanya dengan suara kecewa.
"Tiada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Kalau mereka ingin berjumpa
dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin"ling"san."
"Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja."
"Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa
dia mengaku!" kata Biauw Eng gemas.
"Dia" Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!"
"Wah"wah! Isteriku, ingat, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita
adalah pemimpin Cin"ling"pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa
kau ingin dicap pemberontak?"
"Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!"
"Eh, ke mana?" Keng Hong tak berdaya menghadapi isterinya yang ia tahu sedang
marah dan penasaran itu!
"Ke gedung Kepala Daerah!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
183 Keng Hong tidak membantah dan diam"diam ia gembira melihat betapa isterinya sama
sekali belum berubah, masih seperti Song"bun Siu"1i dia dahulu, dara cantik jelita yang
kadang"kadang disebut dewi akan tetapi adakalanya disebut iblis betina yang ganas!
Isterinya ini, biarpun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum
kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga
mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong
tersenyum"senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya mengerling kepadanya dan
mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti
melangkah. "Mengapa kau mesam"mesem" Mentertawakan aku, ya?"
"Wah, tidak! Aku hanya..."
"Hanya apa...?"
"Kasihan kepada Ma"taijin!"
"Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!"
Waktu itu hari telah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup.
Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar seorang di antara selirnya, tidur
nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu
rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga beristirahat di dalam
kamar"kamar tamu yang disediakan untuk mereka.
Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka
dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat
sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya, "Ada keperluan
apakah Ji"wi (Anda Berdua) datang ke sini" Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki
halaman ini."
Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap
Cong San dan isterinya, akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri
Ketua Cin"ling-pai maka dia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti
wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia
berkata, "Laporkan kepada Ma"taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!"


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus dan
melihat sikap yang amat tidak menghormat terhadap Ma"taijin itu, maka dia menjawab,
"Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus lebih dulu
mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya.
Pula, permintaan itu baru bisa diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup
dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu."
"Apa kaubilang?" Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu.
"Apa kaukira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?"
Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap
untuk menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong cepat menjura dan berkata
halus, "Harap kalian suka melaporkan kepada Ma"taijin bahwa Cia Keng Hong dan
isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma"taijin."
Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Biarpun nama ini amat terkenal,
akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh"tokoh kang"ouw saja dan tidak
sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu, disebutnya nama
ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
184 "Siapapun adanya Ji"wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan
sebaliknya Ji"wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap
sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji"wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi
ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permobonan
menghadap."
"Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!" Blauw Eng sudah tidak sabar
lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga
yang menghadang di depannya.
DELAPAN orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka
mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil
melintangkan tombak dan golok di tangan.
"Pergi!" Biauw Eng membentak dan terdengar suara senjata"senjata itu terlempar
disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri. Mereka berteriak
kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang,
mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka. Pendekar ini
menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka
dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah"matahkan golok itu sedemikian
mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat demonstrasi kehebatan
kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka
mundur"mundur dan tak seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan.
"Anjing"aniing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?" Bentakan ini disusul
munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Melihat
munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu
berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, "Mereka memukul kami, mereka hendak
membunuh Taijin,"
Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal
itu terkejut bukan main. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan
meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng. Karena khawatir kalau"kalau
isterinya tidak mampu mengendalikan diri dan membunuh alat pemerintah, Keng Hong
sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah
tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak, "Mundur kalian!"
Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali
tidak peduli akan dorongan tangan Keng Hong, akan tetapi segera mereka itu berteriak
kaget ketika merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat,
yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang!
Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri
itu telah lenyap.
"Heii, ke mana mereka...?" tanya mereka.
"Celaka... mereka memasuki gedung..." jawab para penjaga yang tadi hanya
memandang dengan mata terbelalak.
"Hayo kejar...!" Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara
para perigawal sudah membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul
semua pengawal dan penjaga.
Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung, tidak rnau
membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang
pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik, "Lekas
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
185 katakan di mana kamar Taijin!" Jari"jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram
pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat
mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan
suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah.
Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang mendeprok berlutut dan tidak mampu
bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tak berani mengangkat
muka. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong tiba di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik,
"Isteriku, jangan membunuh orang..."
Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu. "Brakkk!"
daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki"laki tua, berusia hampir enam puluh tahun
berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian
tidak lengkap menjerit kecil dan cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah
selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar
kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja menjadi marah sekali,
terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.
"Apa ini" Siapa kalian berani kurang ajar" Pengawal! Tangkap mereka...!" Mataijin
berseru marah. Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar. "Apakah engkau Ma"taijin?" tanyanya.
Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada. "Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo
lekas berlutut minta ampun!"
"Manusia rendah!" Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk
milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam
keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini
bergerak, tampak sinar merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk
telah menjerat leher Ma-taijin. Begitu sabuk ditarik dengan sentakan mendadak,
pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang
menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak
dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.
"Hayo katakan, apa yang telah kaulakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap"sin"she
dan isterinya!" Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah sehingga
libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan
napasnya terengah"engah.
"Yap"sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!" katanya dengan kedua tangan
sia"sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.
Biauw Eng menarik ujung sabuk. "Uukhhh!" Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke
luar. "Tidak mungkin! Kalau engkau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan
kedudukanmu, mereka tentu tidak akan memberontak! Mereka tidak berhasil
menyembuhkan para pengawalmu, mengapa hal itu kausalahkan" Mereka bukanlah
dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!"
"Am... ampun, Li"hiap..." Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya
makin mencekik erat.
"Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa
engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!" Setelah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
186 berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga
Ma"taijin.
"Prettt... aduuuuhhh...!" Ma"taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah
kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul
ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya sampai menusuk jantung, pandang
matanya berkunang dan ubun"ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia
merintih"rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.
"Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Kalau aku mendengar lagi kau masih berlaku
sewenang"wenang mengandalkan kedudukanmu, aku akan datang dan mengambil
kepalamu!"
"Tar"tar"tarrr...!!"
Biauw Eng maklum bahwa ada orang menyerangnya dari belakang dengan senjata
lemas. Dia sendiri seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya
menggunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat dia menggerakkan
tangannya dan gulungan sinar merah dari sabuk sutera melayang ke atas kepalanya,
meluncur ke belakang dan menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah
kepalanya dengan bunyi meledak"ledak tadi.
"Tarrr... bretttt!!" Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget.
Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya bertemu dengan ujung cambuk
penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular
hidup melayang ke arah pinggang Ma"taijin dan di lain saat tubuh Ma"taijin telah
melayang ke arah penyerangnya tadi dan diterima dengan tangan kiri yang amat besar
dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku,
"Ma"taijin harap mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya menghadapi dua orang
penjahat ini."
Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget
dan keheranan. Kiranya telah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan
kiri adalah kakek"kakek berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana,
memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah dan yang memegang
cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu. Biarpun mereka
adalah tokoh"tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai
datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah
bertemu dengan seorang manusia yang seaneh pemegang cambuk itu sehingga dia
sendiri pun sampai bengong terlongong!
Orangnya tinggi besar ukuran raksasa. Keng Hong yang berawak sedang itu hanya
setinggi pundaknya. Tubuh orang itu besar dan perutnya berbentuk seperti gentong.
Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang"panjang seperti tangan monyet.
Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala
tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi
bercampur kuning emas berombak indah sekali, seolah"olah bukan rambut melainkan
benang"benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis
dan jenggotnya, biarpun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan
warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan
mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru
laut! Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang
dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi
namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita,
benar"benar seorang laki"laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya. Akan tetapi
pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut.
Celananya sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
187 saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar
wanita itu. Pakaian bagian atasnya yang aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek
yang berkancing emas. Di bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke
lutut, berlengan panjang pula, dengan saku"saku yang besar, akan tetapi lucunya,
bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain
seperti kapas. Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di
beberapa tempat sebelah selatan orang"orang geger mengabarkan adanya seorang
manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari
seberang lautan, manusia "biadab" yang pakaiannya aneh"aneh, rambutnya ada yang
putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga
bermacam"macam warnanya, akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong
dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang
yang penakut. Akan tetapi kini mereka berhadapan dongan seorang yang bahkan
keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar
Laki"laki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh
selidik kemudian terdengar dia bertanya, "Siapakah Anda berdua yang berani mati
mengganggu seorang pembesar pemerintah?"
Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab, "Kami tidak mengganggu
seorang pembesar, karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah,
melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu telah berlaku sewenang"wenang terhadap
saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani
mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang"wenang. Kami tidak ada urusan
dengan kalian."
Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri. "Hemm,
sepasang pendekar, ya" Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!"
Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng sudah salah
menduga. Dalam istilah kang"ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi berhadapan,
maka kata"kata "berkenalan" dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian,
karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah
membentak, "Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?"
Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biangkeladi
malapetaka yang menimpa keluarga Yap Cong San telah dihukum olch isterinya, tidak
menghendaki urusan berlarut"larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua
dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata "Mari kita pergi
dari sini!"
Biauw Eng sadar kembali ketika merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia
menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri
ini melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu dan para
pengawal yang berkerumun di luar kamar.
"Eh"eh, sahabat gagah... tunggu dulu!" Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan
ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.
Biarpun gerakan ini biasa saja, namun diam"diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut
juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini
bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan "ujian" karena tangan itu tidak
menampar atau memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng
Hong. Karena itu, pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang hanya menggoyang
tangannya seperti menolak dan berkata,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
188 "Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!"
"Plak! Plakk!"
Biarpun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di
antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu
terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Ia
berdiri bengong memandang suami isteri yang terus melangkah ke luar itu,
terheran"heran dan akhirnya membentak teman"temannya yang sudah bergerak
mengejar, "Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!"
Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing
botak dengan mata memandang penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas
panjang, menggelenggeleng kepalanya dan mengomel, "Hebat...! Semuda itu sudah
demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian dunia ini
penuh dengan orang"orang yang berkepandaian tinggi." Kemudian dia menoleh kepada
dua orang temannya tadi dan berkata, "Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita
dengan menanam permusuhan dengan orang"orang pandai seperti mereka. Tugas kita
bahkan harus mendekati orang"orang pandai, bukan memusuhi mereka."
"Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin?" bantah seorang temannya.
"Hanya luka ringan. Ma"taijin tentu dapat menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih
penting. Pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih
murah!" Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar
Ma"taijin untuk bantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.
Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng"kok pada malam hari itu juga,
menuju pulang ke Cin"ling"san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh
keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.
"Sungguh membuat orang penasaran sekali!" kata Keng Hong. "Jelas dia adalah seorang
asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang"orang
seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi mengapa dia menguasai
ilmu kita" Sambaran tangannya tadi selain mengandung sin"kang yang cukup kuat, juga
merupakan gerakan Eng"jiauw"kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik
sekali!" "Hanya tokoh"tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita
kepada orang asing!" kata Biauw Eng.
"Belum tentu!" kata pula suaminya. "Kaulihat tadi selain gerakannya lihai, ilmu
cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia
termasuk anggauta kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang"ouw. Sudah terlalu
lama kita mengubur diri di dalam kesunyian di puncak Cin"ling-san. Sebaiknya kita
menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh
kang"ouw yang kita kenal, selain mendenngar tentang keadaan kang"ouw, juga mencari
keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya."
"Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa
bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu berpergian lagi sebelum dia berusia
dua tiga tahun?"
Demikianlah, kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin"ling"pai dengan
beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh"tokoh kang"ouw yang mereka kenal.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
189 Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan
itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya! Betapapun juga, mereka
berdua sudah mendengar jelas akan perubahan di dunia kang"ouw pada waktu itu.
Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat yang sepak
terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan seringkali
mengacau dunia kang-ouw dan merobohkan banyak orang gagah.
Mereka itu adalah Ban"tok Coa"ong Ouw-yang Kok, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi"eng
Niocu Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang
lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu
dengannya yang terkenal julukannya saja, yaitu Toat"beng Hoat"su (Kakek Ajaib
Pencabut Nyawa)!
Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka akan
kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, timbul keinginan di hati Keng Hong dan
terutama Biauw Eng untuk bertemu dengan mereka dan mencoba kesaktian mereka.
Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli"ahli seperti mereka, bukan
keinginan menundukkan dan menjagoi, melainkan keinginan untuk mengukur
kepandaian masing"masing. Namun Keng Hong mencegah isterinya dengan
menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang telah memimpin
sebuah partai seperti Cin"ling"pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh"tokoh
yang dianggap jahat seperti iblis itu.
"Pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding
menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik kalau kita terlalu lama meninggalkan
Giok Keng seorang diri saja di Cin"ling"san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat
akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun
menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggauta Cin"ling"pai."
Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng tidak
membantah, maka pulanglah suami isteri pendekar ini ke Cin"ling"san dengan hati
kecewa karena mereka tidak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu
seperti yang mereka harap"harapkan.
Tentu saja mereka berdua sama sekali tidak pernah mimpi bahwa putera tunggal
sahabat"sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru beberapa pekan saja datang
mengunjungi Cin-ling-san, bahkan telah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka.
Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya
mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup
mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu
kepada ayah bundanya.
Ketika Cia Keng Hong mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa
diri keluarga Yap, diam"diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong.
Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai
juga kabarnya jahat seperti iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia
memperdalam ilmu"ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Selama hampir tiga
tahun dara yang telah berangkat dewasa ini berlatih dengan rajin sehingga dia hampir
dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang
terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Namun harus
diakui bahwa untuk mencari tanding bagi Giok Keng di waktu itu, benar"benar bukan
merupakan pekerjaan yang mudah!
Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang amat cantik
jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tak lama setelah ibunya pulang ke Cin"ling"san
sehingga pada waktu itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki"laki berusia
hampir tiga tahun, bertubuh sehat berwajah tampan dan berwatak gembira seperti
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
190 encinya (kakaknya) ketika masih kecil. Dengan labirnya adik laki"laki ini, berkuranglah
sifat kemanjaan Giok Keng, apalagi karena dia kini sudah dewasa, dan yang tinggal
kepada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya. Ayahnya seringkali
memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika
masih gadis! Begitu presis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir
sendiri. Biarpun watak isterinya tidak jahat, namun andaikata isterinya itu tidak saling
mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang cinta dan setia, andaikata
isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan
memiliki kekerasan yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam!
Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong, dan menambah kerut di wajahnya
adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan tentang perjodohan!
Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar
kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau
mendengar usul dan bujukan orang tuanya agar dia segera menentukan pilihan untuk
menjadi jodohnya.
"Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu"itu saja. Muak aku
mendengar tentang kawin!" Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang
hanya dapat saling pandang dengan melongo.
"Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!" Keng Hong mengomel.
"Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?"
Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam"diam dia makin merasa
rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang
hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.
Pada suatu hari lewat tengah hari keadaan di Cin"ling-san sunyi dan nyaman. Matahari
yang bersinar terang tidak terhalang awan tebal seperti biasanya mendatangkan hawa
yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan
hawa di siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya.
Pada waktu itu, Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya
sudah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya
tokoh kaum sesat yang lihai, biarpun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih
ilmu silat dan menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sin-kang dengan bersamadhi
setiap hari. Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk
bersamadhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di
dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng,
seperti biasa di saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian"bu"thia (ruangan
berlatih silat) yang berada di samping rumah.
Pada waktu itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin"ling"san yang juga dikenal
sebagai anggauta"anggauta Cinling"pai, telah mendapat latihan keras sehingga tingkat
kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari
itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, dan sebagian pula ada yang berlatih
di bawah pohon"pohon rindang. Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para
anggauta ini berlatih berpasangan, baik laki"lakinya, wanitanya, maupun anak"anaknya.
Gerakan mereka cepat"cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka memiliki sin"kang
yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggauta Cin"ling"pai. Untuk para
anggauta ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan lihai sekali,
yaitu San"in"kun"hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan
cara"cara bersamadhi untuk menghimpun sin"kang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng,
menurunkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Hui"niau-coan"in (Burung Terbang
Menerjang Awan) sehingga rata"rata para anggauta Cin"ling"pai memiliki kecepatan
gerak yang mengagumkan. Gabungan ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
191 masing merupakan ilmu"ilmu pilihan yang tinggi nilainya, dikombinasikan dan menjadi
landasan ilmu silat para anggauta Cin"ling"pai. Tentu saja di samping ilmu ini, Keng
Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada
beberapa orang yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya dan mereka ini
berjumlah sebelas orang merupakan anggauta"anggauta pimpinan atau murid-murid
tertua. Betapapun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam
ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai"kek-sin"kun dan
Thi"khi"i"beng. Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari
Kun"lun"pai dan karena dia bukan murid Kun"lun"pai, tentu saja dia tidak berani
mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang ke dua, Thi-khi"i"beng, adalah
ilmu mujijat yang pernah diperebutkan para jagoan di dunia kang-ouw (baca
ceritaPedang Kayu Harum ) dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya. Ilmu
ini amat ganas, merupakan sin"kang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan,
membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum memiliki
dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak
berani menurunkan kepada orang lain bahkan belum berani mengajarkan kepada
puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mujijat
itu. Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin"ling"san sedang berlatih silat
berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid"murid kepala
dari Cin"ling"pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun,
dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dua orang pemuda
ketika Cin-ling-pai mula-mula berdiri, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah
pimpinan Cia Keng Hong, maka boleh dibilang mereka adalah dua orang yang paling
tinggi tingkat kepandaiannya di antara para anggauta Cin-ling-pai. Kedua orang ini tidak
pernah menikah dan hidup membujang di cin-ling-san, merupakan wakil-wakil dari Ketua
Cin-ling-pai, bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya, murid-murid kepala
yang kesemuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan kedua orang
ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang
sedang berlatih di siang hari itu.
Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa,
juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang
kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat
mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena hadirnya dua
orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan
bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!
"Ha"ha"ha, nama Cin"ling"pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi
mengapa para anggautanya hanya begini saja?" Seorang di antara mereka, kakek yang
mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.
"Ahh, Ang"kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentu hanya orang"orang
rendahan dari Cin"ling"pai. Betapapun jugat kurasa orang Cin"ling"pai bukan dewa"dewa
yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha!!"
Para anggauta Cin"ling"pai itu adalah pemuda"pemuda yang biarpun sudah banyak
digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar
ucapan~ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tak dapat
menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak
hampir berbareng,
"Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin"ling"pai?"
"Kalau kau menantang, terimalah seranganku!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
192 Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang
kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan
tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup
melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan
menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping. Biarpun gerakan mereka
kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tidak mampu menghindar
lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tak dapat bangun kembali. Melihat dua orang
teman mereka roboh dengan muka di bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam
dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta"merta dua orang
kakek itu mereka terjang dan keroyok! Sambil tertawa-tawa, kedua orang kakek itu
bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru, akan tetapi baru beberapa jurus saja,
kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh
mereka dan mereka itu pingsan.
"Mundur kalian!" Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriek nyaring, kemudian mereka
berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan
pukulan"pukulan berat. Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua
lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San"in"kun"hoat yang disebut
Siang"in"twi"san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.
Dua orang kakek itu ketika tertawa-tawa tadi bukan semata"mata sengaja hendak
mengejek melainkan karena mereka memang kecewa dan terheran melihat
pemuda"pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlampau rendah.
Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh
Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu
menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali! Memang, Ilmu Silat San"in"kun"hoat
yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggauta Cin-ling-pai, dan yang telah
dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang
hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus"jurus itu dahsyat
sekali dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing"masing. Kini,
menghadapi jurus Siang-in-twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke
samping dan balas menyerang dari samping. Namun, jurus Siang-in-twi-san telah
dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu membalik ke
bawah, lengannya dipergunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu
meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.
"Plakkk!" Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia
terhuyung mundur, biarpun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka
segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati"hati, maklum bahwa
lawan amat tangguh.
Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan
di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggauta Cin-ling-pai yang muda
telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu
tidak boleh dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng
mereka, melainkan menolong enam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang
segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula
yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.
"Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau, melukai enam
orang anggauta kita...!"
Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget mendengar laporan ini. Dia cepat
meloncat dan lari ke luar setelah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk
berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang
saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sutenya, masih juga belum dapat
mendesak dua orang kakek itu, apalagi merobohkan. Merah wajah Giok Keng. Sungguh
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
193 memalukan sekali. Murid"murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang
kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka. Dengan sudut matanya dia melihat
betapa anggauta Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak
tangan hitam di tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak
atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk
telapak tangan. Diam"diam dia terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan
beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
"Paman Kwee berdua mundurlah!"
Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwe Kin Ta dan empat orang sutenya dan mereka
segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik dan memandang Giok Keng
penuh perhatian.
Mereka itu lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, "Apakah Nona ini Cia-
siocia (Nona Cia) yang terhormat" Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua)
dari..." "Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian
sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya
dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.
Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar
merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan
main, kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan
darah kematian di leher kedua orang kakek itu. Dari angin sambaran ujung sabuk itu
mengertilah mereka bahwa kalau totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, mereka
benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan
tetapi betapa kaget hati mereka ketika kedua siner merah muda itu seolah"olah hidup
dan mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan
kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah
membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran. Melihat ini, dalam
kegemasannya, Giok Keng merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya
bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena kedua orang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut! Sabuk sutera merah
muda itu dipegang di bagian tengah dan gerakan kedua tangannya membuat kedua
ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.
"Tar"tar"tat"tar...!!"
Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena
hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek"robek dan kulit tubuh mereka luka-
luka. Walaupun hanya luka di bagian luar yang ringan, namun mengeluarkan darah dan
rasanya cukup nyeri dan pedih!
"Tar"tar... wuuuuttt! Aihhh!" Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba"tiba ujung
sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu
telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia
terkejut. Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang ia
pelajari dari ibunya. Ibunya terkenal sekali dengan Ilmu Pek"in"sin"pian (Cambuk Lemas
Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih
seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biarpun
ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, namun menurut ibunya, sudah
cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu"tahu kedua ujung
sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini
tentu amat lihai!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
194 Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintan,
"Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!" Setelah kedua
orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap
menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara
halus. "Saya mohon dengan hormat sudilah Cia"siocia memaafkan kedua orang paman ini.
Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan niat buruk. Saya Liong Bu Kong den
bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin"ling"pai, Yang
Mulia Cia Keng Hong Locianpwe..."
"Cukup!" Giok Keng memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. "Tidak
membawa niat buruk akan tetapi melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai. Ditebus
nyawa pun masih belum impas!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu
menggulung sabuknya dan menyimpannya, tangan kanannya bergerak mencabut
pedang. "Singggg!" Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari
perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin"hwa"kiam (Pedang Bunga Perak), terbuat
dari perak yang diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biarpun dia tidak suka
akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula
merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada
pedangnya ini. "Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh..."
"Wuuuuttt... singggg!!" Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andaikata tidak
dielakkan cepat"cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah
leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari
tubuhnya! Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan dan kiri, ke atas dan dua kali
terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, terus dikejar sinar putih menyilaukan
mata itu. "Nanti dulu, Nona... brettt!" Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat
buntung. Nyaris tangannya yang buntung!
"Srattt!" Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan
terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.
"Tringgg... cranggg... tranggg!" Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang
pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan
pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sin-kang yang kuat, juga
pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
"Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding..."
"Singgg... trangggg!" Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan
terasa panas telapak tangannya.
"Tak usah banyak cakap!" bentak Giok Keng yang kembali telah menerjang dengan
ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng
menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia
terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sin-kang
amat kuat, juga memiliki kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya
dapat dihindarkan dengan tangkisan atau elakan. Para anggauta Cin"ling"pai dan dua
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
195 orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa
dua gulung sinar pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong.
Demikian terang sinar kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang
yang memainkannya.
"Tahan senjata!" Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang
bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik dan gerakan mereka
tertahan. Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang
memegang pedang dan mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke
belakang. Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya,
jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan tenaga sin-kang mujijat
dia keluarkan, jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
"Krakkk!" Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat sekali. Matanya memandang pedang di
tangannya yang telah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu
mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu
sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya adalah sebatang pedang
pusaka yang ampuh! Diam"diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuatnya jari-
jarl tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi
ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus dan penuh kesabaran dan
ketenangan, namun juga penuh wibawa, "Orang muda, siapapun adanya engkau,
seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang
beriktikad baik!"
"Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan
harap engkau masih dapat bernapas!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang
usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa.
Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua
Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu"li!
Dengan jantung berdebar dan keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu cepat
menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong
dan Sie Biauw Eng sambil berkata, "Mohon Ji"wi"locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi
mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong
Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman
Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song."
Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan
hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang usianya sudah enam puluh
lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu
berjuluk Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan
hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
"Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani" Ada keperluan apakah?"
Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok
Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang
dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu benar"benar
tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat! "Harap Locianpwe
sudi memaafkan, sebetulnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan
maksud... eh, Paman Gak, harap Totiang menjelaskan kepada Cia"locianpwe." Agaknya
sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus
menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
196 Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil
menjura, kemudian Pek-kui Cak Song berkata, "Tidak perlu kiranya kami membohong
kepada Pai-cu (Ketua). Sesungguhnya telah lama sekali Liong-kong-cu (Tuan Muda
Liong) mendengar akan nama besar Pai"cu dan akan kehebatan puteri Pai"cu, yaitu
Nona Cia Giok Keng. Harap Pai"cu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal
dari pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Hemmm... bukankah di Kwi"ouw adalah serang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-
eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?" Biauw Eng memotong.
Dua orang kakek itu tersenyum. "TIdak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng
Niocu Ang Hwi Nio." Tentu saja mereka merasa bangga menyebut nama yang sudah
tersohor itu. "Dan kami berdua adalah pembantu"pembantu utamanya, juga termasuk
murid"murid pangcu kami yang setia."
"Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?" Keng
Hong mendesak, hatinya tidak enak.
Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jerih.
"Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk...
untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu
tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona
Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami..."
"Keparat!" Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, "Hendak melamar setelah mengacau
di Cin-ling-san dan melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-
ciang?" Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Ini... ini... hanya kesalahpahaman...
hanya keinginan menguji kepandaian... bukan berniat buruk... kami mohon maaf dan
biarlah kami mengobati mereka yang terluka..."
"Siapa butuh bantuan kalian" Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam
itu saja apa sih artinya" Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!" Biauw
Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk "menjaga diri" lebih dulu
sebelum dia bergerak. Biarpun dua orang kakek itu jauh lebih tua daripadanya, namun
dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utussan dan
murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak
mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Setelah dua
orang kakek itu yang maklum akan dipukul berjaga"jaga, barulah ia menggerakkan
tubuhnya sambil berseru, "Robohlah!"
Dua orang kakek yang di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-
kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Des! Dess! Plak"plak!"
Kedua tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka,
namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah
tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan
yang tidak begitu kuat,akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh,
muntah darah dan pingsan. Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup
hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan
dengan Hek-tok-ciang. Tidaklah aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu
pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri
mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
197 Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari
lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya daripada Hek-tok-ciang,
apalagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!
Liong Bu Kong terkejut sakali. Dia tadi sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian
Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung
pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam
segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah
murid-murid kelas satu dari ibunya! Pemuda yang amat cerdik ini tidak memperlihatkan
perasaan menyesal di mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil
berkata, "Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya.
Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan
mengampuni nyawa mereka."
Biarpun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, namun dalam
pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu amat tidak menyenangkan, maka dia pun
berkata, "Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali"kali berani menginjakkan
kaki di daerah Cin"ling"san. Adapun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak
perlu datang meminang karena bagaimanapun juga, kami tidak suka berbesan dengan
golongan hitam. Nah, pergilah!"
Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan.
Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan setelah
bertemu dengan orangnya, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus
dia tergila"gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu
menentang keras. Kembali pemuda itu menjura dan berkata, "Maafkan saya, Ji-
wi"locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, mudah"mudahan saja
kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan
menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang
kami terima." Dia menjura, membungkuk, mengempit tubuh kedua orang kakek yang
masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang,
termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati
kagum. Pemuda itu benar"benar lihai!
Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan
anak isterinya kembali ke dalam rumah. Setelah berada di dalam, Keng Hong berkata
kepada puterinya, "Nah, kaulihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang
sudah dewasa kalau tidak segera menikah. Tentu banyak godaan dan penolakan-
penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan."
"Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan
mendapatkan jodoh."
Giok Keng cemberut. "Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh tak perlu
dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu
bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran
orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!"
Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, "Tentu saja
kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apalagi kalau dia putera
Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!"
Giok Keng tetap cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda
tampan tadi, dan biarpun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima
pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak
mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
198 "Menolak atau menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya
seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan
saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin
menikah?" Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya,
memasuki kamarnya sendiri dan menangis!
Keng Hong menggeleng"geleng kepalanya. Isterinya menghibur, "Sabarlah. Dia baru
berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!"
"Kekanak-kanakan apa" Itulah kalau anak manja!" Akan tetapi Keng Hong tidak
melenjurken kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah,
bahkan dia lalu memeluk isterinya dan berkata, "Biarlah kita serahkan jodoh anak kita
kepada nasib."
"Perlu apa dipusingkan" Biarlah dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari
belakang agar dia jangan salah pilih."
Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang"orang Kwi-eng-pai itu dan
mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia
menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng
makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong dan pendekar ini pun
melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga
Ilmu Silat Thai"kek Sin"kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak
membocorkannya kepada orang lain! Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan
tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tabun, ilmu
kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-
tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan
ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari
kaum sesat. Betapapun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-ki-i-beng
kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia
menjawab, "Kaukira mudah saja menguasai Thi-khi-i-beng" Kalau belum kuat benar
dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara
kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dahulu seorang tokoh golongan hitam yang tinggi
ilmu kepandaiannya bernama Kiu"bwe"toanio Lu Sian Cu, yang berhasil memaksaku
memberikan Thi-khi-i-beng, telah mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau
belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sin"kang biasa, berarti menghadapi
bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kaupelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu
kaukuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat
dikalahkan lawan, biarpun engkau tidak menggunakan Thi-ki-i-beng."


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan
ilmu"ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng makin
berduka karena belasan kali datang lamaran dari pemuda"pemuda yang bukan
orang"orang sembarangan, putera ketua"ketua partai besar, pemuda-pemuda sastrawan
dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera pangeran dari kota raja melamar,
semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok Keng. Padahal, usia dara itu kini telah
meningkat, sudah sembilan belas tahun!
Ketika Keng Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan
Thian Le Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekalian untuk menghibur
kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa
tahu kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah hampir dua
puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka jumpai.
Giok Keng disuruh menjaga Cin"ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang
baru berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju
pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
199 dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak baik kalau adiknya
ditinggalkan seorang diri bersama para pimpinan Cin-ling-pai dalam keadaan di mana
bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.
Akan terpenuhikah harapan Keng Hong dan Biauw Eng bahwa mereka akan berjumpa
dengan sahabat baik mereka Yap Cong San dan isterinya di kuil Siauw"lim"si" Untuk
mengetahui ini. sebaiknya kita mencari Yap Cong San dan isterinya dan melihat keadaan
mereka. Sudah terlampau lama kita meninggalkan mereka dan marilah kita mengikuti
perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan Leng"kok.
Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San dan isterinya lari meninggalkan Leng"kok
sebagai orang buruan setelah dengan kekerasan Yan Cu membebaskan suaminya dari
tahanan Ma"taijin. Mereka lalu mulai mencari putera mereka yang hilang. Akan tetapi
karena kepergian Kun Liong tidak meninggalkan bekas yang jelas, mereka tersesat dan
sampai dua tahun mereka menjelajah ke selatan dan ke timur, belum juga mereka
berhasil menemukan putera mereka itu! Akhirnya mereka terpaksa kembali ke utara.
Tiga tahun telah lewat semenjak mereka meninggalkan Leng"kok tanpa hasil sama sekali
dalam usaha mereka mencari Kun Liong. Hampir mereka putus harapan dan timbul
kekhawatiran bahwa putera mereka yang lenyap itu tewas, ketika pada suatu hari
harapan itu timbul kembali secara kebetulan ketika mereka mendengar tentang putera
mereka itu. Hal itu terjadi ketika perjalanan mereka membawa mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho
di lereng Pegunungan Luliang-san yang menjadi tapal batas antara Propinsi Shansi di
timur dan Propinsi Sensi di barat. Mereka bermalam di dalam sebuah kamar rumah
penginapan kecil sederhana, di sebuah dusun nelayan di tepi Sungai Huang-ho.
Menjelang tengah malam, setelah suami isteri yang kelelahan ini tertidur, tiba"tiba Yan
Cu terbangun oleh suara bisik"bisik. Dia terbangun, memasang telinga mendengarkan
percakapan lirih yang terjadi di kamar sebelah, percakapan yang dapat didengarnya jelas
karena agaknya dua orang wanita yang bercakap"cakap itu tidak menyembunyikan suara
mereka dan antara kamamya dan kamar sebelah itu hanya teraling oleh dinding papan
yang sambungannya tidak begitu rapat.
Tentu saja Yan Cu tidak akan sudi mendengarkan percakapan orang lain kalau saja dia
tidak tertarik karena mendengar disebutnya nama puteranya, nama Kun Liong!
"Sungguh heran sekali! Ke mana perginya bocah setan itu" Kalau dia melarikan diri
dengan perahu, masa dia bisa naik perahu sampai ke langit" Mengapa jejaknya lenyap
sama sekali?" terdengar suara wanita yang mengandung penasaran dan kemarahan.
"Memang dia bukan bocah biasa, Subo (Ibu Guru)," terdengar jawaban suara seorang
anak perempuan. "Dahulu Kong-kong sudah bilang bahwa anak itu memang luar biasa,
munculnya pun secara aneh sekali, dari dalam sungai!"
"Huh! Apakah dia anak iblis sungai" Siapa namanya?"
"Dia mengaku bernama Kun Liong, Subo. Akan tetapi teecu (murid) tidak yakin bahwa
dia yang membawa pergi benda itu karena benda itu tadinya berada di tangan Phoa Sek
It. Ketika Phoa Sek it membunuhi semua orang, Kun Liong melarikan diri. Mana mungkin
dia merampasnya dari tangan Phoa Sek It?"
"Siapa tahu" Bocah itu setidaknya tentu mengetahui di mana adanya benda itu.
Hemmm... kalau dia dapat tertangkap olehku, akan kupaksa dia mengaku, akan
kupatah-patahkan semua tulang tubuhnya agar dia suka mengaku!"
Mendengar itu, Yan Cu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Biarpun dia merasa
heran dan ragu-ragu mendengar percakapan itu, namun besar kemungkinan mereka itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
200 bicara tentang puteranya yang hilang. Cepat dia turun dari pembaringan, menghampiri
dinding dan mengintai dari celah-celah dinding papan. Dilihatnya dalam kamar sebelah
itu seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh pendek, cantik manis akan
tetapi matanya menyinarkan kekejaman dan bentuk mulutnya selalu menyeringai seperti
orang mengejek, rambutnya panjang, sedang duduk di kursi berhadapan dengan seorang
anak perempuan berusia kurang lebih sebelas tahun yang bersikap pendiam dan
berwajah cantik dan dingin. Di atas meja depan wanita rambut panjang itu terdapat
sebatang pedang panjang yang bentuknya agak melengkung dan gagangnya panjang,
sebatang pedang berbentuk asing bagi Yan Cu.
Yan Cu menduga bahwa tentu wanita itu bukan orang sembarangang maka dia pun
bersikap hati"hati sekali. Melihat suaminya masih tidur pulas, dia berindap keluar dari
dalam kamarnya, kemudian menyelinap ke luar rumah penginapan yang sunyi karena
semua orang telah tidur, dengan ringan tubuhnya mencelat ke atas genteng dan dia
membuka genting tepat di atas kamar sebelah tadi. Sebagai penjagaan, sebelum keluar
kamarnya Yan Cu sudah menyambar pedangnya.
AKAN tetapi, pada saat dia membuka genting, tiba"tiba dari bawah menyambar sinar
hijau dengan kecepatan kilat ke arahnya! Yan Cu terkejut tetapi tidak menjadi gugup.
Dia sudah meloncat ke belakang dan berjungkir balik. Ketika dia turun lagi dan berdiri di
wuwungan genting rumah itu, terlihat bayangan berkelebat dan tahu"tahu wanita pendek
berambut panjang tadi telah berada di depannya, berdiri dengan sebatang pedang
panjang melengkung yang berkilauan di tangannya!
Yan Cu menjadi marah sekali, apalagi ketika teringat betapa wanita ini mengancam
untuk mematahkan semua tulang di tubuh puteranya dan memaksanya mengaku!
Andaikata yang diancam itu bukan puteranya, melainkan seorang anak lain yang
namanya juga Kun Liong, tetap saja ancaman itu menunjukkan bahwa wanita pendek ini
adalah seorang yang kejam dan jahat sekali, patut untuk dibasmi. Namun, pada saat itu,
yang terpenting bagi Yan Cu adalah untuk mengetahui apakah benar puteranya yang
dibicarakan mereka itu.
"Perempuan kejam! Apakah yang kaubicarakan dalam kamar tadi, yang kausebut
namanya, anak yang bemama Kun Liong itu adalah seorang anak laki"laki yang berusia
kira"kira tiga belas tahun sekarang ini dan she Yap?"
"Kalau benar dia kau mau apa?" Wanita itu balas bertanya dan mulutnya makin
mengejek. "Tapi benarkah dia" Wajahnya tampan, matanya lebar, kepalanya bundar dan dahinya
lebar, alisnya seperti golok, hidungnya mancung" Benarkah dia Yap Kun Liong?"
"Perempuan lancang, kau telah berani melakukan pengintaian. Hemmm, kau tidak
mengenal Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
Yan Cu tentu saja sudah mendengar nama datuk kaum sesat ini selama perantauannya
mencari Kun Liong, akan tetapi pada saat itu dia tidak mempedulikan semua hal kecuali
persoalan di mana adanya puteranya. "Tidak peduli kau siapa, akan tetapi benarkah Yap
Kun Liong yang kaubicarakan tadi?"
Sinar mata wanita pendek itu mengeluarkan kilat kemarahan. Namanya sudah tersohor
di seluruh jagat sebagai seorang datuk dari daerah selatan. Tidak ada orang kang-ouw
yang tidak menjadi gentar mendengar namanya, apalagi bertemu dengan dia! Dan
perempuan ini sama sekali tidak peduli!
"Perempuan bosan hidup! Kalau benar dia itu Yap Kun Liong kau mau apa?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
201 "Mau apa" Membunuh engkau yang mengancam dia! Di mana dia sekarang?"
"Hi-hi-hik, lagakmu seperti jagoan sendiri! Aku pun sedang mencari dia. Engkau
siapakah?"
"Aku ibunya!" Yan Cu sudah marah sekali, dicabutnya pedangnya dan tanpa banyak
cakap lagi dia sudah menubruk maju, mengirim serangan kilat dengan tusukan ke arah
dada lawan. "Hi"hik, ibunya?" Bu Leng Ci, wanita itu terkekeh dan mengelak cepat sambil
membabatkan pedang panjangnya dari samping.
"Singgg!" Pedang samurai pedang model Jepang itu dipegang gagangnya dengan kedua
tangan dan ketika dibabatkan cepatnya seperti kilat menyambar dan mengandung
tenaga yang amat dahsyat. Tentu saja Yan Cu terkejut bukan main, karena sama sekali
tidak menyangka bahwa datuk wanita yang tersohor ini benar-benar amat berbahaya.
Dia sudah meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang
panjang, lalu bersiap menghadapi lawan tangguh ini.
"Kau ibunya" Hi-hi-hik, kalau begitu kau harus mampus. Anakmu telah membikin jengkel
hatiku!" Bertandinglah dua orang wanita itu di atas genting, dan keduanya sama-sama terkejut
sekali, lebih-lebih Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Selama dia merantau ke utara dari pantai
laut selatan, belum pernah dia bertemu tanding dan jarang pula dia mempergunakan
pedang samurainya. Tadi ketika dia menggunakan senjata rahasia Siang-tok-toa (Pasir
Beracun Wangi) dari bawah, dia sudah terkejut karena orang yang tadi mengintai dari
kamar sebelah kemudian mengintai dari atas genting dapat menghindarkan diri. Karena
itu maka dia menyusul ke atas sambil membawa pedang samurainya. Kini, setelah
mereka bergebrak selama belasan jurus, Bu Leng Ci benar-benar kaget sekali. Wanita
cantik jelita di depannya ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian hebat! Bukan saja
ilmu pedangnya luar biasa, juga lawannya ini memiliki keringanan tubuh dan kekuatan
tenaga sakti yang mampu menandinginya!
Merasa kurang leluasa bertanding di atas genting, Bu Leng Ci melayang turun. Tentu saja
Yan Cu tidak mau melepaskannya, dan cepat menyusul dengan loncatan cepat. Kini
mereka berhadapan di atas tanah, di sebelah belakang rumah penginapan itu, dan saling
memandang di bawah sinar bulan sepotong yang mendatangkan cahaya penerangan
remang-remang. "Siapakah engkau?" Bu Leng Ci membentak, tertarik juga untuk mengenal siapa adanya
lawan tangguh ini.
"Aku ibunya Yap Kun Liong! Ketahuilah, perempuan iblis, bahwa aku adalah Gui Yan Cu.
Isteri dari Yap Cong San. Engkau tentu tidak mengenal kami, karena kami bukan
golongan iblis kaum sesat yang suka malang-melintang berbuat kejam mengandalkan
kepandaian yang tidak seberapa seperti engkau!"
"Hi-hi-hik, sombong. Mampuslah engkau!" Bu Leng Ci kembali menerjang, samurainya
membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, digerakkan dengan kedua
tangannya. "Trang! Cringgg!!"
Yan Cu merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar. Diam-diam
dia harus mengakui bahwa wanita iblis yang tersohor sebagai seorang di antara datuk-
datuk kaum sesat yang bermunculan di waktu itu, yang bertubuh pendek dan berpedang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
202 panjang ini benar-benar amat tangguh. Maka dia pun mengerahkan tenaga dan memutar
pedangnya dengan cepat. Yan Cu adalah seorang wanita perkasa. Biarpun dia tahu
bahwa lawannya tangguh, namun untuk berteriak memanggil suami isterinya dia merasa
malu karena berteriak minta bantuan bukanlah kelakuan seorang gagah!
Tiba-tiba pedang dan samurai kembali bertemu dan menempel untuk beberapa detik
lamanya, karena Bu Leng Ci mempergunakan kekuatan kedua lengannya, pedang Yan Cu
agak tertindih dan saat itu dipergunakan oleh Bu Leng Ci untuk menggerakkan
kepalanya. Rambutnya yang panjang menyambar ke arah Yan Cu seperti ribuan ekor
ular menyerang!
Yan Cu terkesiap dan cepat dia menarik kembali pedangnya, melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir-balik. Sambil membalikkan tubuhnya yang berpoksai (bersalto)
tiga kali di udara, pedangnya menyambar untuk melindungi dirinya.
"Cringgg...!" Pedangnya bertemu dengan samurai yang kini dipegang dengan tangan
kanan sedangkan pada detik itu, tangan kiri Bu Leng Ci yang jari-jarinya merupakan jari
baja telah menusuk ke arah dada dengan maksud menembus dada itu dan merogoh
jantung seperti yang biasa dia lakukan terhadap para korbannya!
"Ihhh...!" Yan Cu cepat menggulingkan tubuhnya ke kanan, terus bergulingan di atas
tanah untuk membebaskan diri dari serangan itu.
"Wut...!"
Yan Cu menahan jeritnya ketika merasa betapa dadanya sebelah kanan sakit sekali.
Kiranya dia telah disusul oleh serangan Pasir Beracun Wangi yang dilepas dari jarak
dekat. Biarpun Yan Cu telah bergulingan sambil memutar pedangnya, tetap saja ada
sebagian dari Siang-tok-soa yang mengenai dadanya. Seketika kepalanya pening,
matanya berkunang dan ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung!
"Hi-hi-hik, sayang sekali kau harus mampus!" Bu Leng Ci sudah meloncat maju,
mengayun samurainya ke arah pinggang Yan Cu.
"Singg... tranggg...!!" Yan Cu dalam keadaan pening itu masih dapat menangkis dengan
tangan karena tubuhnya menggigil kedinginan akibat pasir beracun itu dan tenaganya
berkurang, apalagi karena dia memang kalah tenaga, pedangnya terpental dan terlepas
dari pegangannya. Sementara itu, pedang samurai sudah menyambar lagi ke arah
lehernya. "Tranggg...! Eihhh...!" Bu Leng Ci meloncat ke belakang ketika samurainya ditangkis oleh
sebatang mouw-pit (pena bulu) yang membuat lengannya tergetar. Kiranya Yap Cong
San yang telah menyelamatkan isterinya, Cong San cepat memegang lengan isterinya,
dan berbisik, "Mundurlah... cepat telan obat penawar...!"
"Hi"hi"hi, agaknya ini suaminya, ya" Ha"ha, tidak ada obat penawar untuk melawan
Siang-tok-soa dari Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Isterimu akan mampus, dan engkau
juga!" Mendengar nama ini, Yap Cong San terkejut. Tadi dia terbangun oleh suara pertandingan
yang lapat-lapat dan terkejut ketika tidak melihat isterinya rebah di sampingnya dan
pedang isterinya tidak tampak. Cepat ia berpakaian dan melompat keluar sambil
membawa sebatang mouw-pit yang menjadi senjatanya yang ampuh. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya melihat isterinya terhuyung, pedangnya terlempar dan
pedang panjang lawan isterinya itu mengancam nyawa isterinya. Untung dia tidak
terlambat dan setelah dapat menangkis pedang samurai itu, dia melihat bahwa isterinya
telah terluka dan melihat warna mukanya, tentu terluka senjata beracun.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
203 Dengan marah dan khawatir sekali Yap Cong San segera menerjang ke depan
menggunakan senjata Im-yang-pit hitam putih dengan gerakan cepat seperti kilat.
Kembali Bu Leng Ci terkejut. Sungguh tak pernah disangka bahwa di dunia kang"ouw
sebelah utara ini terdapat orang"orang pandai seperti suami isteri ini yang sama sekali
tidak terkenal namanya. Bahkan sang suami ini lebih lihai daripada isterinya!
Bu Leng Ci berteriak keras dan samurainya kembali berkelebat membentuk gulungan
sinar seperti seekor ular naga mengamuk. Namun Yap Cong San yang bersikap hati"hati
selalu dapat membendung amukan sinar samurai, bahkan membalas dengan
totokan"totokan maut yang bukan tidak berbahaya bagi Bu Leng Ci. Betapapun juga,
segera murid lihai dari Siauw"lim"pai ini mendapat kenyataan bahwa lawannya amat
tangguh, bahkan dalam hal tenaga sin"kang, dia masih belum mampu menandinginya,
terbukti dari getaran"getaran pada kedua tangannya setiap kali Im"yang"pit di
tangannya terbentur oleh pedang samurai. Pantas wanita ini menjadi seorang di antara
datuk"datuk golongan hitam, kiranya memang amat lihai.
Biarpun demikian, tidak mudah bagi Bu Leng Ci untuk mengalahkan murid Siauw"lim-
pai ini yang memiliki ilmu silat aseli dari Siauw-lim-pai dan dapat membentuk
pertahanan yang bukan main kuatnya, laksana batu karang yang menahan gempuran
badai! Dan lebih celaka lagi bagi Bu Leng Ci ketuka Yan Cu sudah menyambar lagi
pedangnya dan biarpun wajah wanita itu ada bayangan gelap, namun peningnya lenyap
dan kini ia membantu suaminya menerjang Bu Leng Ci! Menghadapi Yap Cong San saja
sudah amat sukar baginya untuk merobohkan pendekar ini, apalagi dikeroyok dua
dengan suaminya yang marah itu.
"Robohlah!" Tiba"tiba Bu Leng Ci mengeluarkan suara teriakan nyaring, tangannya
bergerak dan sinar hijau menyambar, itulah Siang"tok"soa!
"Awas...!!" Yap Cong San berteriak memperingatkan isterinya dan keduanya cepat
melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi Bu Leng Ci telah
mempergunakan kesempatan itu meloncat ke dalam rumah penginapan. Suami isteri itu
mengejar dengan cepat.
Karena merasa tidak kuat kalau harus menandingi suami isteri itu, Bu Leng Ci sudah
memondong anak perempuan yang menjadi muridnya dan lari ke luar.
"Iblis betina, hendak lari ke mana kau?" Cong San dan Yan Cu mengejar dan pendekar
ini cepat menggunakan senjata rahasianya untuk menyambit bayangan di depan.
Senjata rahasia dari Yap Cong San ini berupa mata uang tembaga, uang biasa yang
dapat dipergunakan untuk berbelanja, akan tetapi kalau dipergunakan sebagai senjata
rahasia, amat hebat dan dapat menembus tulang!
Bu Leng Ci menjerit lirih ketika pundaknya disambar sebuah mata uang, mendatangkan
rasa nyeri bukan main. Akan tetapi hal ini malah membuat dia mempercepat larinya.
Dengan penasaran Yap Cong San mengejar terus.
"Aduhhh..."
Rintihan isterinya ini membuat Cong San terkejut dan membalik. Ketika dia melihat
isterinya terhuyung hampir jatuh, dia cepat menyambar tubuh isterinya. Ternyata Yan Cu


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah pingsan. Melihat keadaan isterinya, terpaksa Cong San membatalkan
pengejarannya dan cepat berusaha menolong isterinya.
Pasir beracun yang memasuki dada kanan bagian atas itu benar"benar amat hebat. Kulit
di bagian dada itu membengkak biru, dan warna kebiruan menjalar sampai ke muka!
Tubuh Yan Cu panas sekali, akan tetapi anehnya, wanita itu menggigil kedinginan!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
204 Yap Cong San sudah banyak mempelajari pengobatan dari isterinya. Dia memeriksa
sebentar penuh ketelitian setelah merebahkan tubuh isterinya di atas pembaringan
dalam kamar mereka. Akhirnya dia menghela napas, menekan kekhawatiran hatinya.
Racun wangi itu benar-benar amat berbahaya dan dia sudah tahu akan sifat racun itu.
Dia harus menggunakan sin-kang dan obat"obat yang sukar dicari, dan biarpun
demikian, agaknya bukan hal yang mudah untuk menyelamatkan nyawa isterinya dari
renggutan maut!
Keadaan ini memaksa Yap Cong San menghentikan usahanya mencari puteranya,
bahkan dia lalu membawa isterinya untuk beristirahat dan berobat di puncak
Pegunungan Lu-liang-san yang sunyi, selain untuk menghindarkan diri dari pengejaran
alat pemerintah, juga untuk bersembunyi dari pengejaran tokoh-tokoh hitam. Dalam
keadaan seperti itu, amatlah berbahaya bagi isterinya kalau ada lawan kuat datang
menyerang. Demikianiah, dengan penuh ketekunan dan kesabaran Cong San merawat isterinya di
puncak Lu-liang-san. Tepat seperti yang diduga dan dikhawatirkannya, pengobatan itu
memakan waktu sampai hampir dua tahun! Setelah menghabiskan banyak akar dan
daun obat yang dengan susah payah dapat dia temukan di semak"semak belukar dalam
hutan di Pegunungan Lu-liang-san, dan banyak pula memeras tenaga sin-kangnya untuk
membantu isterinya mengusir hawa beracun, dan memakan waktu dua tahun kurang
sedikit, barulah semua racun itu dapat terusir bersih dari tubuh Gui Yan Cu! Setelah
isterinya sembuh, mereka telah meninggalkan rumah selama lima tahun lebih!
Nasib buruk yang menimpa sepasang suami isteri ini, cara hidup bersunyi dan segala
macam kekhawatiran dan kedukaan berhubung dengah lenyapnya putera mereka,
menjadi pupuk yang menambah dalam cinta kasih di antara mereka. Setelah Yan Cu
sembuh dan Cong San menganggap perlu bagi isterinya untuk selama beberapa bulan
beristirahat memulihkan kesehatan di puncak yang indah pemandangannya dan sejuk
hawanya itu, curahan cinta kasih mereka yang makin mendalam sebagai hiburan duka
karena memikirkan Kun Liong membuat Yan Cu mengandung lagi! Hal ini mendatangkan
kegirangan besar di hati suami isteri itu dan terpaksa mereka memperpanjang kediaman
mereka di puncak Pegunungan Lu-liang-san
Dengan hati penasaran dan marah, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menurunkan muridnya,
yang tadi dipondongnya setelah merasa yakin bahwa suami isteri yang lihai itu tidak
mengejarnya. Dia membuka bajunya, mengambil obat dan mengobati luka di pundaknya
yang terkena sambitan Touw"kut"ci yang dilepas oleh
Yap Cong San. Hatinya merasa penasaran sekali, akan tetapi Bu Leng Ci bukanlah
seorang bodoh yang nekat. Dia maklum bahwa menghadapi kedua orang suami isteri itu
amatlah berbahaya. Kalau hanya melawan seorang di antara mereka, agaknya dia masih
menang sedikit. Akan tetapi kalau harus menghadapi mereka berdua, benar"benar
berbahaya sekali.
"Subo, siapakah yang bertanding dengan Subo sampai membuat Subo terluka?" anak
perempuan itu bertanya sambil memandang dengan heran dan penasaran. Anak
perempuan ini adalah Yo Bi Kiok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, hampir enam
tahun yang lalu Bi Kiok diambil murid oleh Siang"tok Mo"li setelah ditolong dari tangan
Phoa Sek It bekas pengawal Panglima Besar The Hoo yang mencuri bokor emas.
Dengan sia"sia Bu Leng Ci mencari Kun Liong yang disangkanya melarikan bokor emas.
Tentu saja dia tidak dapat menemukan Kun Liong karena anak ini telah diambil murid
oleh Bun Hoat Tosu di puncak Gunung Teratai Biru dan digembleng selama lima tahun
oleh kakek sakti itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
205 Selama itu, Bu Leng Ci melatih ilmu silat kepada muridnya dan dia girang sekali
memperoleh kenyataan bahwa Bi Kiok memiliki bakat yang baik sekali. Akan tetapi setiap
kali teringat akan bokor emas yang dicurinya, dia selalu merasa penasaran sehingga
berkali"kali dia mengajak muridnya merantau di sepanjang Sungai Huang"ho untuk
menyelidiki dan mencari bokor itu.
Pada waktu itu, dia berada di tepi Huang"ho di lereng Lu"liang"san juga untuk
menyelidiki bokor emas dan secara tidak tersangka"sangka, di tempat ini dia sampai
terluka oleh suami isteri yang sama sekali tidak terkenal! Hatinya penasaran sekali.
Tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa baru beberapa bulan yang lalu dia telah
berhadapan muka dengan orang yang menyimpan bokor emas yang diinginkannya itu.
Ketika dia membunuhi orang"orang Pek"lian"kauw yang berani melawannya, kemudian
bertemu dengan pemuda gundul yang memiliki keberanian luar biasa, dia sama sekali
tidak mengira bahwa pemuda gundul itulah yang dahulu dicari"carinya bersama Bi Kiok!
Kalau saja dia tahu! Dan semua ini adalah karena Bi Kiok merahasiakan tentang diri Kun
Liong, karena dara remaja ini tidak ingin melihat Kun Liong dibunuh oleh gurunya, hal
yang sudah pasti terjadi kalau dia beritahukan bahwa bokor itu dilarikan Kun Liong.
Karena itu pula, sebelum pergi meninggalkan kuil tua, dengan ujung sepatunya Bi Kiok
membuat coretan"coretan di atas tanah memperingatkan Kun Liong agar jangan
membicarakan tentang bokor dengan siapapun juga!
Biarpun lukanya tidak hebat, namun hati Bu Leng Ci mendongkol bukan main. Sudah
bertahun"tahun dia merantau dan belum pernah dia dikalahkan lawan, jangankan
sampai terluka! Hanya sedikit hiburan hatinya bahwa dia telah melukai wanita bernama
Gui Yan Cu itu dengan Pasir Beracun Wangi. Mengingat ini, dia tersenyum sendiri dan
kemarahannya lenyap.
"Hemm, aku terluka hanya sedikit, tidak ada artinya, akan tetapi perempuan itu akan
mampus oleh Siang"tok"soa yang mengenai dadanya. Tidak ada obat yang akan dapat
menyembuhkan racun pasirku!" katanya dengan menjawab pertanyaan muridnya tadi.
"Subo, selama enam bulan ini Subo selalu mencari bokor emas tanpa mengenal lelah.
Sebetulnya apa sih gunanya bokor itu?" Mereka duduk di bawah pohon dan Bi Kiok
memandang gurunya yang sudah selesai membalut luka di pundaknya. Bi Kiok telah
menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun, wajahnya cantik namun
sikapnya selalu serius dan dingin. Hal ini agaknya, karena terlampau banyak kepahitan
yang dideritanya selama hidupnya.
Bu Leng Ci memandang muridnya. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang selalu
patuh, rajin berlatih, dan juga kelihatan berbakti dan sayang kepadanya. Iblis betina ini
tersenyum. "Aihh, kau tidak tahu, muridku. Bokor itu merupakan benda pusaka yang
amat berharga, mungkin pusaka yang paling berharga yang dimiliki The Hoo."
"Hemm, apakah Subo membutuhkan emas" Betapa mudahnya kalau Subo menghendaki
emas." Dengan kata"kata ini Bi Kiok hendak menyatakan babwa kalau gurunya
menghendaki, mereka dapat saja mengambil dan merampas emas milik siapapun juga,
tidak perlu mencari-cari benda yang telah hilang itu.
"Emas" Hi"hi"hi, siapa butuh emas" Bokor itu kabarnya, dan ini hanya kabar angin yang
membocor dari rahasia Panglima The Hoo, mengandung peta rahasia yang menunjukkan
tempat persembunyian harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya."
"Apakah Subo membutuhkan harta?"
Kembali iblis betina itu tertawa sambil menggeleng kepalanya. Kalau melihat dia sedang
bercakap"cakap dengan muridnya sambil tersenyum manis seperti itu, orang tidak akan
menyangka bahwa dialah Siang-tok Mo-li, iblis betina yang menggemparkan dunia kang-
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
206 ouw karena kelihaian dan kekejamannya, mengerikan hati orang karena kebiasaannya
yang menyeramkan dan menjijikkan, yaitu mengganyang jantung manusia mentah-
mentah, diambil langsung dari rongga dada seorang lawan hidup-hidup! Sepatutnya dia
seorang wanita bertubuh pendek yang cantik manis dan sayang kepada muridnya.
"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan harta,
dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang amat besar itu
perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula, yang amat menarik hati
adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"
Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar manusia di
dunia ini. Betapa menyedihkan! Manusia diombang-ambingkan oleh keinginan, dan
membagi"bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan luhur, keinginan suci dan
sebagainya. Padahal, apakah perbedaan antara keinginan yang ini dengan keinginan
yang itu" Apakah perbedaan antara keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi
mulia dan lain"lain" Bahkan, apakah bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan
batiniah" Tetap sama, keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan
keadaan sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau
terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apabila tidak tercapai. Apakah akan
mendatangkan kepuasan mutlak apabila tercapai" Biasanya tidak! Keinginan yang
tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan senikmat kalau belum tercapai, kalau
masih menjadi angan-angan, karena pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu
yang belum ada, selalu akan tertarik pula untuk menjangkau yang baru lagi. Keadaan
sekarang dianggap sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa
yang baru itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang
lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, terus beringin,
terus menjangkau dan hidup menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang membuat
manusia hidup menjadi maju! Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan" Apakah
adanya pertentangan antar manusia, perang, kelaparan di sana-sini, permusuhan,
dendam, iri dan benci-membenci ini termasuk kemajuan" Apakah setiap perbuatan,
setiap pekerjaan yang dilakukan, harus didasari keinginan" Apakah kalau orang
menanam jagung tanpa mengharapkan apa"apa, melakukan demi cintanya kepada
pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang" Apakah benar bahwa kemajuan lahir
karena keinginan" Keinginan membuat manusia menjadi hamba, terikat, dan hidupnya
seperti boneka yang digerakkan oleh benang"benang nafsu keinginan. Tidak ada
Jodoh Rajawali 20 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Golok Halilintar 8
^